Toleransi Ala Mataram Kuno

Kategori Budaya , Sejarah72 Komentar | 8,143 views

Abad 8 hingga 10 Masehi, ada sebuah peradaban di tlatah Jawa Tengah.Kerajaan Mataram Kuno, demikian orang menyebutnya sebagai pembeda dengan Mataram Islam (yang dianggap modern). Mataram Kuno merupakan peradaban yang bercorak Hindu dan Budha. Ada Mataram Hindhu dan Mataram Budha. Keduanya hidup berdampingan dengan damai. Mataram Hindu (Wangsa Sanjaya) dan Mataram Budha (Wangsa Syailendra), masing-masing memiliki pengikut dan peradaban.

Keduanya, baik Wangsa Sanjaya maupun Wangsa Syailendra hidup berdampingan dengan damai dan penuh toleransi, sama-sama meninggalkan jejak peradaban berupa candi-candi yang tersebar diseantero Jawa Tengah (khususnya tlatah Klaten dan bhumi Magelang) dan Jogja.

Wangsa Syailendra meninggalkan Candi , Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Ngawen serta candi-candi kecil yang banyak tersebar di bhumi Magelang. Sedangkan candi yang dibangun oleh Wangsa Sanjaya antara lain : Kompleks Gunung Dieng, Candi Kalasan, Candi , Candi Rorojongrang, Candi serta candi kecil-kecil yang banyak tersebar di tlatah Jogja dan Klaten.

Candi Plaosan inilah yang banyak disebut-sebut sebagai simbol penyatuan dua Wangsa ini. Candi ini dibangun oleh sebagai hadiah pernikahan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) dengan Pramodhawardhani (Wangsa Syailendra). Pramodhawardhani adalah putri (pendiri Borobudur) dari garwa prameswari. Ketika keduanya memerintah, banyak mendirikan bangunan-bangunan suci (candi) dan menurut prasasti Kayumwungan, dialah yang meresmikan Kamulan Bhumisambhara [Candi Borobudur].

Dan karena pernikahan inilah toleransi dan kedamaian mulai terusik. Wangsa Syailendra juga mulai tenggelam karena terjadi perebutan kekuasaan dengan Balaputradewa (Putra Samaratungga dari Dewi Tara). Kekalahannya dari perebutan kekuasaan, menjadikan Balaputradewa hijrah ke Swarnabhumi [Sumatra] dan kemudian menjadi salah satu raja di Kerajaan Sriwijaya. Maka Dinasti Syailendra berakhir. Meski dengan berakhirnya wangsa Syailendra toleransi dan kedamaian antara pemeluk hindu dan budha masih tetap berlanjut. Rakyat seolah tak peduli dengan konflik elitis, bagi meraka hidup damai adalah sebuah budaya dan peradaban. Jika inginmengembalikan jatidiri bangsa maka yang seperti ini yang harus dikembalikan.

KERAJAAN MATARAM

KUNO

Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Disebut sebagai Kerajaan Mataram Kuno karena untuk membedakan Mataram Kuno dengan Mataram Baru atau Kesultanan Mataram (Islam). KERAJAAN MATARAM KUNO

Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya sering disebutBumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi– Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan . Daerah ini juga dialiri oleh Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur. Di Bumi Mataram diperintah oleh dua wangsa atau dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu (di bagian utara), dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha (di bagian selatan). Dalam hal pembuatan candi, kedua dinasti dapat bekerja sama, tetapi di bidang politik terjadi perebutan kekuasaan

Berdasarkan catatan yang terdapat pada prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno hingga 732M. Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8 sebelah barat kota Magelang. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha.

Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan.

Kerajaan Mataram di Jawa Tengah

Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat.

Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiriwangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dariwangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsaSanjaya). Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.

Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah.

Kerajaan Mataram di Jawa Timur

Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakalwangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.

CONTOH PENINGGALAN MATARAM KUNO

Atas: Candi Plaosan di Klaten, Jawa Tengah, salah satu peninggalan Kerajaan

Mataram Kuno yang berlatar agama Buddha.

Atas : Arca Raja Airlangga, raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur, di Candi Belahan. Arca ini kini disimpan di Museum Trowulan.

Atas : Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

Atas : Candi Gedong Songo di Ungaran, Jawa Tengah, merupakan candi peninggalan Kerjaan Mataram Kuno.

KERAJAAN MATARAM KUNO

Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya sering disebutBumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi– Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur. Di Bumi Mataram diperintah oleh dua wangsa atau dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu (di bagian utara), dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha (di bagian selatan). Dalam hal pembuatan candi, kedua dinasti dapat bekerja sama, tetapi di bidang politik terjadi perebutan kekuasaan

Kehidupan Politik Mataram Kuno

Pada mulanya yang berkuasa di Mataram adalah Dinasti Sanjaya. Bukti adanya kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di kaki Gunung Wukir, Magelang. Prasasti CAnggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk candrasengkala berbunyi srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka=732 M berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal adalah pendirian sebuah lingga di Bukit Stirangga buat keselamatan rakyatnya.

Petunjuk lain tentang Sanjaya adalah Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti itu menyebutkan bahwa s anjaya adalah raja pertama ( wangsakarta) dengan ibu kota kerajaannya di Mdang ri Poh Pitu. Dalam prasasti itu juga disebutkan raja-raja yang pernah memerintah, seperti berikut:

Urutan Raja Mataram Kuno adalah : 1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, 2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran, 3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan, 4) Sri Maharaja Rakai Warak, 5) Sri Maharaja Rakai Garung, 6) Sri Maharaja Rakai Pikatan, 7) Sri Maharaja Rakai Kayuwangi, 8) Sri Maharaja Rakai Watuhumalang, dan 9) Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.

Prasasti Dinoyo di Jawa Timur tahun 706 menyebutkan adanya Raja Gajayana yang mendirikan tempat pemujaan Dewa Agastya (perwujudan Siwa sebagai Mahaguru ) diwujudkan pula dalam bentuk lingga. Di sampimg itu, juga didirikan Candi Badut dengan berlanggam candi Jawa Tengah. Prasasti Kalasan tahun 778 M menyebutkan bahwa keluarga Syailendra berhasil membujuk Panangkaran untuk mendirikan bangunan suci buat Dewi Tara (istri Buddha) dan sebuah biara untuk para pendeta. Panangkaran juga menghadiahkan Desa Kalasan kepada sanggha.

Pada Prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Dinasti Sanjaya dan S-ailendra sama-sama berperan di Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya di bagian utara dengan mendirikan candi Hindu, seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di DataranTinggi Dieng. Adapun Dinasti Syailendra dibagian selatan dengan mendirikan candi Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan.

Dalam Prasasti Kelurak (di daerah Prambanan) tahun 782 disebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma, dan Sanggha yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Mungkin sekali bangunan sucinya ialah Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Indra. Pengganti Indra yang terkenal ialah Smaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun 824. Di bawah pemerintahan putri Smaratungga, yakni Pramodhawardani Dinasti Syailendra dan Sanjaya menjadi satu karena perkawinnya dengan Rakai Pikatan yang kemudian membangun candi-candi Buddha dan Hindu. Misalnya, Candi Plaosan yang merupakan candi Buddha banyak disebut nama Sri Kahulunan Sri Pikatan dapat diartikan nama Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani. Rakai Pikatan mendirikan candi Hind yakni Candi Prambanan (Loro Jonggrang) yang sangat megah. Dengan dibangunnya candi Hindu dan Buddha yang berdekatan menggambarkan adanya kerukunan beragama di Bumi Mataram.

Pada tahun 856 terjadi perubahan besar di Jawa Tengah, Dewa (adik Pramodhawardani) yang pusat -di pegunungan selatan yang terkenal dengan Istana Ratu Boko berusaha untuk merebut kekuasaan. Namun, ia malah tersingkir dari Jawa Tengah dan akhirnya melarikan diri ke Sumatra (menjadi raja di Sriwijaya). Jawa Tengah kemudian sepenuhnya diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Raja terakhirnya Raja Wawa dan digantikan Empu Sendok yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur.

Kehidupan Sosial Ekonomi Mataram Kuno

Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat. Pada masa Raja Balitung aktivitas perhubungan dan perdagangan dikembangkan lewat Sungai Bengawan Solo. Pada Prasasti Wonogiri (903) disebutkan bahwa desadesa yang terletak di kanan-kiri sungai dibebaskan dari pajak dengan catatan harus menjamin kelancaran lalu-lintas lewat sungai tersebut.

Kehidupan Agama dan Kebudayaan Mataram Kuno

Bumi Mataram diperintah oleh Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara. Hasil budayanya berupa candi- candi, seperti Gedong Sanga dan Kompleks Candi Dieng. Sebaliknya, Dinasti Sailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan. Hasil budayanya , seperti Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Semula terjadi perebutan kekuasan, namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan antara Pikatan (Sanjaya) beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Sailendra) beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara damai. Hal ini menunjukkan betapa besar jiwa toleransi bangsa Indonesia.