PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ACEH DAN

OLEH:

KHAMAMI NIM: 13.08.3.00.0.01.01.0032

PEMBIMBING:

PROF. DR. M. ATHO MUDZHAR, MSPD

PROF. DR. MASYKURI ABDILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014

i

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan kekuatan dan bimbingan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Tema disertasi ini terinspirasi oleh perdebatan di kalangan umat Islam tentang syariat Islam yang menjadi hukum negara. Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa syariat Islam harus menjadi hukum negara dan ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa syariat Islam tidak menjadi hukum negara. Perdebatan ini melahirkan pro-kontra yang berkepanjangan di sejumlah negeri Muslim. Indonesia dan sebagai Negara Muslim menghadapi problematika dalam memberlakukan syariat Islam ke dalam sistem hukum negara. Perdebatan yang panjang sejak Indonesia merdeka telah mencapai kompromi bahwa agama menjadi bagian penting dalam sistem hukum negara. Dalam posisi yang demikian ini, sejumlah perundang-undangan yang berkaitan dengan agama (Islam) disahkan, yang mengatur Peradilan Agama, Hukum Perkawinan, Perbankan Syariah, Penyelenggaraan Ibadah Haji, Pengelolaan Zakat, dll. Perdebatan yang panjang sejak Malaysia merdeka telah mencapai kompromi bahwa Islam menjadi agama resmi negara, meskipun agama- agama lain diakui. Dalam posisi yang demikian ini, sejumlah perundang- undangan yang berkaitan dengan Islam disahkan, yang mengatur Mahkamah Syariah, Hukum Keluarga, Perbankan Syariah, Hukum Jinayah, dll. Aceh (Indonesia) dan Kelantan (Malaysia) merupakan daerah yang paling progesif dalam upaya pelaksanaan syariat Islam. Karakter masyarakatnya yang relijius telah mendukung pelaksanaan syariat Islam. Ditambah lagi dengan kekuatan politik dan masyarakatnya yang menjadikan Aceh dan Kelantan memiliki momentum dalam pelaksanaan syariat Islam. Penyelesaian konflik di Aceh di masa reformasi (1998-sekarang) telah menjadikan semangat baru untuk melaksanakan syariat Islam. Tak heran, jika Aceh telah melaksanakan sebagian syariat Islam di bidang hukum jinayah. Sejumlah Undang-undang dan Peraturan Daerah/Qanun telah disahkan untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam, terutama pelanggaran akidah, ibadah, syiar Islam, khamar, maisir, khalwat, pelanggaran zakat, dan baitul mal. Peralihan kekuasaan di Kelantan (1990-sekarang) telah menjadikan Kelantan berjuang melaksanakan syariat Islam secara ka>ffah. Kekuatan

iii politik yang dimiliki di Kelantan (PAS) dan kekuatan sosial masyarakatnya telah berhasil dimobilisasi sebagai daya dorong pelaksanaan syariat Islam. Usaha keras untuk melaksanakan h}udu>d di Kelantan pun hingga kini terus berkobar di kalangan politisi dan masyarakat. Atas dasar itu, disertasi ini menemukan hubungan yang kuat antara hukum jinayah dan penguasa. Dalam arti, bahwa pemberlakuan hukum jinayah ke dalam sistem hukum negara ditentukan oleh model interaksi kehendak politik hokum nasional, Pemerintahan Daerah, partai politik, dan masyarakat. Dari segi materi hukum, pemberlakuan hukum jinayah Aceh dan Kelantan ditentukan oleh tingkat pemberlakuan qis}a>s}, h}udu>d dan ta’zi>r. Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis banyak mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang memberikan kontribusi, baik berupa pemikiran, saran, dan dukungan, di antaranya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD selaku promotor I dan Prof. Dr. Masykuri Abdillah selaku promotor II yang banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dengan tekun, teliti, sabar, dan ikhlas dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini dari semua aspek. Keduanya juga terbuka memberikan kesempatan kepada penulis untuk berdiskusi dan berdialog dalam setiap kesempatan. 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak menuangkan kebijakan-kebijakan strategis dalam memajukan iklim akademis yang dapat penulis rasakan selama belajar. 3. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mengimprovisasi kebijakan-kebijakan baru, utamanya dalam peningkatan dan pengembangan metode riset yang berkualitas dan bertaraf Internasional, secara khusus beliau juga banyak memberikan arahan dan perbaikan dalam penulisan ini. 4. Tim Penjamin Mutu Internal Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mengevaluasi dan memberikan masukan dalam proses penulisan ini melalui tahapan-tahapan Work in Progress (WIP), sebagai bagian dari pengayaan substansi penelitian. 5. Segenap Guru Besar dan para dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan mata kuliah selama penulis menjadi mahasiswa Program Doktoral di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga tercatat sebagai amal ibadah. Penulis juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya serta ucapkan terima kasih kepada semua pihak, civitas akademika, rekan-rekan kuliah, serta teman-teman diskusi, baik dalam perkuliahan maupun di luar

iv kampus, dan forum ilmiah yang banyak membantu penulis, baik langsung ataupun tidak dalam penuntaskan disertasi ini. Tak lupa, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada istriku, Encum Miftafriyah yang telah memberikan support dan perhatian tulus hingga kuliah Doktoral terselesaikan. Kepada anak-anaku, Arya Zilfakham, Bayu Ahmad Zilfakham, dan Ahraz Nik Safir Zilfakham, penulis merasakan banyak waktu yang terbagi dalam membimbing-mendidik dan menyelesaikan studi Doktoral ini. Disertasi ini adalah karya manusia yang banyak kekurangan dan kelemahan. Penulis menyadari kelemahan data, informasi, dan analisis dalam disertasi ini. Oleh karenanya, dengan senang hati penulis mengharapkan masukan, saran, kritik dan kontribusi konstruktif lainnya dari pembaca dan pemerhati untuk kesempurnaan disertasi ini. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan keberkahan dan bimbingan kepada kita semua, agar menjadi hamba yang selalu mengabdi dan bersyukur atas nikmat- nikmat-Nya. Akhirnya, semoga karya ini bermanfaat kepada semua pihak, amin.

Tangerang Selatan, 7 Mei 2014 M/ Rajab 1435 H Yang Membuat Pernyataan

Khamami

v

vi

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda-tangan dibawah ini:

Nama : Khamami NIM : 13.08.3.00.0.01.01.0032 Tempat Tugas : Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Alamat Rumah : Vila Inti Persada, Jalan Alam Indah, Blok C6 No. 36 Pamulang Timur, Pamulang, Kota Tangerang Selatan Banten menyatakan dengan sebenarnya, bahwa disertasi dengan Judul: ‚Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan‛ adalah karya penulis sendiri, bukan hasil jiplakan, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya atau atas petunjuk para pembimbing. Jika dikemudian hari terbukti tidak benar, maka sepenuhnya akan menjadi tanggung-jawab penulis dan bersedia gelar dibatalkan. Demikian surat pernyataan ini, saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 8 April 2014 Yang Membuat Pernyataan

Khamami

vii

viii

PERSETUJUAN PROMOTOR

Setelah diadakan pembimbingan, disertasi dengan judul: ‚Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan‛ yang ditulis oleh:

Nama :Khamami NIM : 13.08.3.00.0.01.01.0032 Konsentrasi : Syariah telah melalui work in progress I, II, III, dan IV serta telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran pembimbing dan disetujui untuk diajukan dalam sidang terbuka (Ujian Promosi).

Jakarta, 4 April 2014 Promotor I:

Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD

ix

PERSETUJUAN PROMOTOR

Setelah diadakan pembimbingan, disertasi dengan judul: ‚Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan‛ yang ditulis oleh:

Nama :Khamami NIM : 13.08.3.00.0.01.01.0032 Konsentrasi : Syariah telah melalui work in progress I, II, III, dan IV serta telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran pembimbing dan disetujui untuk diajukan dalam sidang terbuka (Ujian Promosi).

Jakarta, 7 April 2014 Promotor II:

Prof. Dr. Masykuri Abdillah

x

PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI

Disertasi dengan Judul: ‚Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh Dan Kelantan‛ yang ditulis oleh Khamami, NIM: 13.08.3.00.0.01.01.0032 telah LULUS dalam Ujian Pendahuluan (tertutup) pada hari Selasa, 29 April 2014, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran-saran dan komentar para Dewan Penguji, sehingga disertasi ini dapat diajukan ke sidang Promosi Doktor (Ujian Terbuka).

Jakarta, 7 Mei 2014 DEWAN PENGUJI, 1. Prof. Dr. Suwito, MA (Ketua sidang/merangkap Penguji) Tanggal……………………….

2. Prof. Dr. A. Ghani Abdullah (Penguji 1) Tanggal……………………….

3. Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo Penguji 2 Tanggal……………………….

4. Prof. Soedijarto, MA Penguji 3 Tanggal……………………….

5. Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD Pembimbing/merangkap Penguji 1 Tanggal……………………….

6. Prof. Dr. Masykuri Abdillah Pembimbing/merangkap Penguji 2 Tanggal……………………….

xi

xii

ABSTRAK

Khamami, NIM: 13.08.3.00.0.01.01.0032, Judul Disertasi: ‚PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ACEH DAN KELANTAN‛

Studi ini menemukan bahwa pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah dan materi hukum jinayah. Dari segi kehendak politik, persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah Aceh dan Kelantan ditentukan oleh model interaksi antara kehendak politik hukum nasional, kehendak politik Pemerintahan Daerah, respon partai politik, dan respon masyarakat. Dari segi materi hukum, persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah Aceh dan Kelantan ditentukan oleh tingkat pemberlakuan qis}a>s}, h}udu>d dan ta‘zi>r. Temuan tentang besarnya peranan kehendak politik penguasa ini mendukung teori Mahfudh MD (2006) yang menyatakan bahwa hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang berinteraksi dan saling bersaing. Teori Mahfudh ini masih bersifat umum karena studi ini justru menemukan bahwa politik itupun masih bervariasi, yakni politik hukum nasional dan politik Pemerintahan Daerah atau bahkan saling bertentangan antara keduanya. Studi ini juga mendukung teori M.B. Hooker (2013) yang menyatakan bahwa pemberlakuan hukum (syariah) selalu merupakan konstestasi politik di level Pusat dan Daerah karena syariat Islam pada dasarnya bersifat ideologis, yang selalu dinegosiasikan baik secara rasional maupun tidak rasional. Studi ini memodifikasi temuan Kikue Hamayotsu (2003) yang menyatakan bahwa formalisasi syariat Islam semata-mata merupakan insentif politik (political insentive) dari elit penguasa untuk mengelola sistem patronase kepada pemilih Muslim, tetapi justru merupakan hasil interaksi antara kehendak politik politik hukum nasional, kehendak politik Pemerintahan Daerah, respon partai politik dan masyarakat. Studi ini juga memodifikasi temuan M. Buehler (2008) yang menyatakan bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh hanya merupakan akumulasi politik kekuasaan yang dimainkan oleh elit lokal, tetapi justru merupakan kehendak politik elit Pusat. Studi ini juga memodifikasi temuan Much. Nur Ichwan (2007) dan Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad (2009) yang menyatakan bahwa pemberlakuan syariat Islam semata-mata hanya merupakan upaya Pemerintahan Negara untuk menyelesaikan konflik di daerah, melainkan hasil interaksi antara kehendak politik hukum nasional dan kehendak politik Pemerintahan Daerah, respon partai politik dan respon masyarakat ketika

xiii daerah itu berstatus negara bagian dalam sistem federasi atau berstatus otonomi khusus dalam sistem negara kesatuan. Dari segi materi hukum, studi ini mendukung temuan Mohammad Hashim Kamali yang menyatakan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan mengadopsi fikih konvensional. Studi ini menemukan bahwa hukum jinayah yang diberlakukan di Kelantan mengadopsi pendapat empat mazhab, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi‘i, dan Hambali. Sebaliknya, studi ini berbeda dengan temuan Mohd. Said bin Mohd. Ishak yang menyatakan bahwa hukum jinayah yang diberlakukan di Kelantan hanya mengacu pada mazhab Syafi‘i. Terkait peranan gerakan radikalisme, studi ini membantah pendapat Ira M. Lapidus (1997), Peter G. Riddel (2005), Robin Bush (2008), dan Haedar Nashir (2009) yang menyatakan bahwa perjuangan pemberlakuan syariat Islam merupakan fenomena gerakan radikalisme Islam dan jalan kekerasan, melainkan dengan perjuangan politik secara damai. Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan metode kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik, pendekatan fikih, pendekatan sejarah, dan pendekatan sosiologi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis perbandingan dengan membandingkan kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah dan materi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, observasi, dan wawancara. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil observasi dan wawancara mendalam terhadap informan di Aceh dan Kelantan, seperti IAIN Ar-Raniry, Dinas Syariat Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama, ulama dayah (pesantren), anggota DPRA Partai Demokrat, Partai Aceh, anggota DUN PAS, UMNO, dan PKR, Mahkamah Syar’iyyah Kelantan, Mufti Kelantan, dan masyarakat akar rumput dari kalangan Muslim dan Non-Muslim. Data lainnya bersumber dari dokumen, literatur, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Aceh dan Kelantan, seperti Enakmen Kanun Jinayah Syariah (I) 1983 Negeri Kelantan, Draft Enakmen Kanun Jinayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan, UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Perda No. 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, dan Draft Qanun Jinayah 2009.

xiv

ABSTRACT

Khamami (13.08.3.00.0.01.01.0032) 2014. The Jinayat Law Enforcement in Aceh and Kelantan

This study found that the enforcement of jinayat law in Aceh and Kelantan shares similarities and also differences. These similarities and differences can be seen from two aspects namely political will of jinayat enforcement and the substance of jinayat law. From the side of political will, jinayat enforcement both in Aceh and in Kelantan are defined by the interaction model among national law politics, local governance politics, response of political parties and response of the people. In term of the legal matter, the similarities and the differences of jinayat enforcement in Aceh and Kelantan are determined by the degree of enforcement of qis}a>s}, h}udu>d, and ta‘zi>r. In term of the role of political will in the jinayat enforcement, this study supports Mahfudh MD’s theory (2006) which states that the law is the crystallization of political wills that interact and compete one another. This theory is too broad thus this study finding adds to the theory that there is a variety of politics between state governance and local governance which can be contradictory between the two. This study also support the theories of MB. Hooker which state that the law is the result of political contestation at both local and national levels which means that the shariah Islam, being essentially ideological, is always negotiable rationally or irrationally. This study modifies the findings of Kikue Hamayotsu (2003) who mention that the formalization of Islamic law is merely a political incentive from the ruling elites to manage the patronage system to the Muslim voters. This study finds that this formalization is as the result of interaction among the political will of the national law, local governance, political parties and the public response. This study also modifies the findings of M. Buehler (2008) which state that the imposition of Islamic law in Aceh is simply an accumulation of political power played by local elites. Instead, this study finds that the imposition is the political will of the central elites. In addition, this also modifies the finding of Much. NurIchwan (2007) and Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad (2009) who state that the imposition of Islamic law is solely a central government effort to resolve the conflict in the region. This study finds that it is the result of the interaction among the political will of national law, local governance, the responses of political parties and public response within the status of the region as the federation system or special autonomy. In terms of the legal matter, this study supports the findings of Mohammad Hashim Kamali stating that jinayat enforcement in Kelantan is

xv adopting conventional law. This study finds that jinayat law enacted in Kelantan adopted the opinion of the four scholars, the Maliki, Hanafi, Shafi'i, and Hanbali. Conversely, this study is in contrast to the findings of Mohd. Said bin Mohd. Isaac jinayat stating that the law enacted in Kelantan only refers toShafi’i. In term of the radicalism role, this study refutes the theories of Ira M. Lapidus (1997), Peter G. Riddell (2005), Robin Bush (2008), and HaedarNasir (2009) stating that the struggle towards Islamic law enforcement is a phenomenon of Islamic radicalism and violence. Instead, this study finds that the law enforcement is done by peaceful political struggle. This study is a field research with qualitative method. This study used hermeneutic approach, fikih approach, historical approach, and sociological. Comparative analysis is employed in this study by comparing the political will as well as jinayat law matters in Aceh and Kelantan. The data for this study were gained by documentation, observation, and interviews. The primary data used in this study were derived from observation and depth interviews with informants in Aceh and Kelantan, such as from IAIN Ar-Raniry, Department of Islamic Sharia, the Islamic Scholars Council, Dayah schools (boarding), DPRA members of the Democratic Party, Aceh party, DUN members of PAS, UMNO, and PKR, the Shar’iyyah Court of Kelantan, Kelantan Mufti, and grassroots community of Muslims and Non-Muslims. Other data were derived from documentations, literatures, and legislations related to Aceh and Kelantan, such as Enakmen Kanun Jenayah Sharia (I) 1983 State of Kelantan, Bill of Enakmen Kanun Jenayah Sharia (II) 1993 State of Kelantan; Law No. 44 Year 1999 on the Implementation of Aceh Privileges; Law No. 18 of 2001 on Special Autonomy for Aceh; Law No. 11 Year 2006 on Aceh Governance; Regulation No. 5 Year 2000 on the Enacment of Islamic law in Aceh province; Qanun No.10 Year 2002 Concerning the Shari'a Courts; Qanun No.11 of 2002 on the Implementation of Islamic Law in the Fields of Belief, Worship, and Islamic Preaching; Qanun No.12 of 2003 on Khamr; Qanun No. 13 of 2003 on Gambling; Qanun No.14 Year 2003 on Seclusion; Qanun No. 7 Year 2004 Concerning Zakat; Qanun No. 10 Year 2007 on the Baitul Mal; and Bill of Qanun Jinayah 2009.

xvi

ملخص

مخامي، رقم التسجيل: 13.08.3.00.0.01.01.0032، عنوان رسالة الدكتوراه: تنفيذ األحكام اجلنائية )التنفيذ اجلنائي( يف أتشيو )إندونيسيا( وكالنتان )ماليزيا(.

أثبتت ىذه الدراسة وجود تشاهبات واختالفات بُت التنفيذ اجلنائي بــــأتشيو وكالنتان اليت تتمثل يف إرادة سياسة األحكام الوطنية ومواد األحكام اجلنائية. أما جوهو التشاهبات واالختالفات من حيث إرادة السياسة الوطنية حيددىا منوذج التفاعل بُت إرادة سياسة األحكام الوطنية واحلكومة احمللية واالستجابة لألحزاب السياسية واالستجابة للمجتمع. ووجوه التشاهبات واالختالفات من حيث ادلواد اجلنائية حيددىا مستوى تنفيذ القصاص، واحلدود، والتعزير.

وأيدت ىذه الدراسة نظرية حمفوظ ‛Mahfud MD“ )2006( اليت صرحت أن القانون نتيجة أو بلورة من اإلرادات السياسية اليت يتفاعل ويتنافس بعضها بعضا. ولكن تظل ىذه النظرية عامة ألهنا عبارة عن السياسة ادلختلفة منها سياسة األحكام الوطنية وسياسة واحلكومة احمللية بل السياسة ادلتعارضة بينهما. وىكذا أيدت ىذه الدراسة نظرية م.ب. ىوكر ) 2013( اليت صرحت أن تنفيذ الشريعة ال يزال متأثرا بالتنافس السياسي ىف ادلستوى ادلركزي واحمللي ألن الشريعة ىي اإليديولوجية أصال ويكون دائما على التفاوضات منطقيا أو غَت منطقي

وبرىنت ىذه الدراسة أن ما أشار إليو الدراسات السابقة من دراسة كيكو محايوتسو Kikue“ ”Hamayotsu )2003( اليت قالت إمنا إضفاء الشريعة اإلسالمية على القانون من احلوافز السياسية من حيث النخبة السياسية إلدارة نظام احملسوبية حنو ادلنتخب ادلسلم، ودراسة م. بوحلَت ”M. Buehler“ )2008( اليت ذكرت أن تنفيذ الشريعة اإلسالمية يف أتشيو جمرد الًتاكم السياسي للنخبة احمللية، ودراسة حممد نور إخوان )2007( وقمر الزمن بوستامان أمحد ) 2009( اليت استنتجت أن تنفيذ الشريعة اإلسالمية ليس إال جهود سياسة احلكومة ادلركزية دلعاجلة الصراع يف احمللية. وإن تنفيذ الشريعة اإلسالمية نتيجة من التفاعل بُت إرادة السياسة األحكام الوطنية وإرادة السياسة احلكومة احمللية واالستجابة لألحزاب السياسية واالستجابة للمجتمع دلا كانت والية مايف حالة الدولة عند نظام االحتاد أو يف حالة احلكم الذايت اخلاص عند نظام الدولة الوحدوية.

أما من حيث ادلواد اجلنائية فأيدت ىذه الدراسة ما برزه حممد ىشيم كمايل من خالل حبثو أن التنفيذ اجلنائي الذي عقد يف كالنتان يتبٌت الفقو التقليدي. وأن األحكام اجلنائية اليت عقدت يف كالنتان تطبق على أربعة مذاىب ىي ادلذىب ادلالكي، وادلذىب احلنفي، وادلذىب الشافعي، وادلذىب احلنبلي.

xvii

تعارضت ىذه الدراسة ما يذىب إليو إيراء لفيدوس ”Ira M. Lapidus“ )1997( وفيتَت ريدل ”Peter G. Riddel“ )2005( وروبُت بوش”Robin Bush“ )2008( وحيدرنصَت Haedar“ ”Nashir )2009( أن نضال تطبيق الشريعة اإلسالمية عبارة عن ظاىرة حركة تطرف اإلسالم إنو غَت صحيح بل ىو نضال السياسة السليمة.

ىذه الدراسة حبث ميداين يستخدم الطريقة النوعية، وادلدخل التفسَتي، وادلدخل الفقهي، وادلدخل التارخيي، وادلدخل االجتماعي، وحتليل ادلقارنة بُت اإلرادة السياسية للتنفيذ اجلنائي وادلواد اجلنائية يف أتشيو وكالنتان.

كما يستخدم طريقة التوثيق وادلالحظة وادلقابلة جلمع البيانات األساسية ادلأخوذة من ادلخربين بأتشيو وكالنتان الذين ىم يشتغلون يف ادلعهد الرانَتي العايل اإلسالمي احلكومي، واجمللس الوطٍت للمديرين يف الشريعة اإلسالمية، وجملس الشورى للعلماء، وعلماء ادلعاىد اإلسالمية، وأعضاء جملس النواب أتشيو من احلزب الدديوقراطي وحزب أتشيو، وأعضاء جملس الدعوة الوطنية وأعضاء وحدة األحزاب اإلسالمية ادلاليزية، ومنظمة ماليو الوطنية ادلتحدة،وحزب عدالة الرعية، واحملكمة الشرعية كالنتان، ومفىت كالنتان، واجملتمع اإلسالمي واجملتمع الال إسالمي.

أما البيانات األساسية اليت صدرت من ادلالحظة وادلقابلة فهي مأخوذة من التشريعات ادلتعلقة بأتشيو. وكالنتان مثل القانون اجلنائي رقم 1 سنة 1983 كالنتان، والقانون اجلنائي رقم 2 سنة 1983 كالنتان، والقانون رقم 44 سنة 1999 عن تنفيذ ادلزية ألتشيو، والقانون رقم 18 سنة 2001 عن احلكم الذايت اخلاص بدولة أتشيو دار السالم والقانون رقم 11 سنة 2006 عن حكومة أتشيو، والنظام احمللي رقم 5 سنة 2000 عن تنفيذ الشريعة اإلسالمية يف حمافظة والية أتشيو اخلاصة، والقانون رقم 10 سنة 2002 عن احملكمة الشريعة ، والقانون رقم 11 سنة 2002عن تنفيذ الشريعة اإلسالمية يف جمال العقائد، والعبادة، والشعار اإلسالمي، والقانون رقم 12 سنة 2003 عن اخلمر، والقانون رقم 13 سنة 2003 عن ادليسر، والقانون رقم 14 سنة 2003 عن اخللوة، والقانون رقم 7 سنة 2004 عن توظيف الزكاة، والقانون رقم 10 سنة 2007 عن بيت ادلال، ومشروع القانون اجلنائي سنة 2009.

xviii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR ii SURAT PERNYATAAN iii PERSETUJUAN PROMOTOR vii PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI ix ABSTRAK xi DAFTAR ISI ixx PEDOMAN TRANSLITERASI xxi DAFTAR TABEL xxiii DAFTAR MATRIK xxiv GLOSARIUM xxvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah 12 C. Tujuan Penelitian 12 D. Manfaat Penelitian 13 E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan 13 F. Metodologi Penelitian 18 G. Sistematika Pembahasan 22

BAB II RELASI SYARIAH, NEGARA, DAN DEMOKRASI

A. Relasi Syariah dengan Negara 23 B. Relasi Demokrasi dan Gerakan Pemberlakuan Syariah 34 C. Relasi Syariah, Politik dan Sosial 42 D. Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum dan Politik Negara-negara Muslim 51

BAB III AKAR PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ...... INDONESIA DAN MALAYSIA

A. Sejarah Aceh dan Kelantan 65 B. Kondisi Sosio-Budaya, dan Politik Aceh dan Kelantan 73 C. Pemberlakuan Hukum Jinayahxix di Masa Kerajaan Islam 112 D. Hukum Jinayah dalam Politik Hukum Kolonial 120 E. Perjuangan Pemberlakuan Hukum Jinayah Paska 128 Kemerdekaaan F. Posisi Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum Nasional 136

BAB IV KEHENDAK POLITIK DAN RESPON MASYARAKAT TERHADAP PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ACEH DAN KELANTAN

A. Kehendak Politik Hukum Nasional dalam 151 Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh .dan Kelantan B. Kehendak Politik Pemerintahan Daerah dalam 164 Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh .dan Kelantan C. Respon Partai Politik dalam Pemberlakuan Hukum 178 Jinayah di Aceh .dan Kelantan D. Respon Masyarakat terhadap Pemberlakuan Hukum 186 Jinayah di Aceh dan Kelantan E. Mobilisasi Perjuangan dalam Pemberlakuan Hukum 199 Jinayah di Aceh dan Kelantan

BAB V MATERI PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ...... ACEH DAN KELANTAN

A. Materi Pemberlakuan H}udu>d di Aceh dan Kelantan 213 B. Materi Pemberlakuan Ta’zi>r di Aceh dan Kelantan 219 C. Materi Perluasan Pemberlakuan H}udu>d dan Qis}a>s di Aceh dan Kelantan 231 D. Materi Perluasan Pemberlakuan Ta‘zi>r di Aceh dan Kelantan 244

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan 251 B. Saran 259

DAFTAR PUSTAKA 261 INDEKS 285 DAFTAR RIWAYAT HIDUP 291

xx

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN 1.Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin ḍ ض a ا ẓ ظ b ب ҅ ع t ت Gh غ th ث F ف j ج Q ق {h ح K ك kh خ

L ل d د M م dh ذ N ن r ر W و z ز H ه s س Y ي sh ش ṭ ط ṣ ص

2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang b, al-Furqa>n, dan al-Qur‘a>n. ,yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah , [ ة ] d. Ta Marbu>t}ah ][ روضة ألاطفال] ,atau dummah, ditulis menjadi [ h ] dan al-, seperti rawḍah al-aṭfa>l ], ta‘ marbut}ah yang mati (harakat sukun ), ditulis ( ,[ ٍ_],[ _ ً ][ ٌ_ ] ,al-bala>ghah ], tanwin, un, an, in ][ البالغة ] h), seperti ً * [t}ab‘an ] [ طبعا] qa>din], atau] [ ا ٍضا ] ,seperti

DAFTAR TABEL

xxii

Tabel 1. Daftar Negara-negara Muslim di Dunia Tabel 2. Jumlah Penduduk Aceh 2010 Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelantan 2010

xxiii

DAFTAR MATRIK

Matrik 1. Posisi Fraksi-fraksi dalam Pembahasan Amandemen UUD 1945 di Sidang MPR (2000, 2001, 2002) Matrik 2. Daftar Perbandingan Kehendak Politik hukum nasional dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Matrik 3. Daftar Perbandingan Kehendak Politik Pemerintahan Daerah dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Matrik 4. Daftar Perbandingan Respon Partai Politik Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Matrik 5. Daftar Perbandingan Respon Masyarakat dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Matrik 6. Daftar Perbandingan Mobilisasi Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Matrik 7. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Khamar di Aceh dan Kelantan Matrik 8. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Zina di Aceh dan Kelantan Matrik 9. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Khalwat di Aceh dan Kelantan Matrik 10. Rancangan Perbandingan Hukum H}udu>d di Aceh dan Kelantan Matrik 11. Rancangan Perbandingan Hukum Khamar di Aceh dan Kelantan Matrik 12. Rancangan Perbandingan Hukum Zina di Aceh dan Kelantan Matrik 13. Rancangan Perbandingan Hukum Qadhaf di Aceh dan Kelantan Matrik 14. Rancangan Perbandingan Hukum Sariqah, H}ira>bah, dan Irtida>d di Kelantan Matrik 15. Rancangan Perbandingan Hukum Qis}a>s} dan Diyat di Aceh dan Kelantan Matrik 16. Rancangan Perbandingan Hukum Ta‘zi>r di Aceh dan Kelantan Matrik 17. Rancangan Perbandingan Hukum Liwa>t} dan Musa>h}aqah di Aceh dan Kelantan Matrik 18. Dafar Perbandingan Kehendak Politik Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Matrik 19. Daftar Perbandinganxxiv Respon dan Mobilisasi Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Matrik 20. Daftar Perbandingan Materi Hukum H}udu>d dan Qis}a>s} yang Diberlakukan dan Diperjuangkan di Aceh dan Kelantan

xxv

xxvi

GLOSARIUM

APU : Angkatan Perpaduan Ummah Berjasa : Partai Barisan Jemaah Islamiyah BKPRMI : Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia VOC : Vereenigde Oostindische Compagnie DAP : Democratic Action Party DDI : Dewan Dakwah Islam DIA : Daerah Istimewa Aceh DI/TII : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia DPR : Dewan Perwakilan Rakyat DPRDGR : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong DUN : Dewan Undangan Negeri FPI : Front Pembela Islam GAM : Gerakan Aceh Merdeka HTI : Hizbut Tahrir Indonesia HUDA : Himpunan Ulama Dayah Aceh IAIN : Institut Agama Islam Negeri Inpres : Instruksi Presiden IS : Indische Staatregeling ISA : Internal Security Act KAMMI : Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia KHI : Kompilasi Hukum Islam KIAS : Kolej Islam Antarbangsa Sultan Ismail Petra KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat Magera : Majelis Gerakan Negara Masyumi : Majelis Syuro Muslimin Indonesia MCA : Malaysian Chinese Association MIC : Malaysian Indian Congress MMI : Majelis Mujahidin Indonesia MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama MUNA : Majelis Ulama Nasional Aceh NAD : Nanggroe Aceh Darussalam NEGARA : Partai Negara Serawak NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia NU : Nahdlatul Ulama

xxvii

PAN : Partai Amanat Nasional PAS : Partai Islam se-Malaysia Partai Golkar : Partai Golongkan Karya PBB : Partai Bulan Bintang PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDU : Partai Daulat Umat PDKB : Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan PK : Partai Keadilan PKB : Partai Kebangkitan Bangsa PKR : Partai Keadilan Rakyat PKS : Partai Keadilan Sejahtera PNU : Partai Nahdlatul Umat PPP : Partai Persatuan Pembangunan PSII : Partai Syarikat Islam Indonesia PUI : Partai Umat Islam RIR : Resolutie der Indische Regeering R.R : Regeerningsreglement Perda : Peraturan Daerah Peperda : Penguasa Perang Daerah Perti : Persatuan Tarbiyah Islam PUSA : Persatuan Ulama Seluruh Aceh SIRA : Sentral Informasi Referendum Aceh TPM : Tim Pembela Muslim UIN : Universitas Islam Negeri UMNO : United Malays National Organization UUD : Undang-undang Dasar WH : Wilayatul Hisbah

xxviii

xxix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama mayoritas di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam yang mewakili hampir 40 persen populasi di Asia Tenggara. Tiga negara ini merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Adapun Singapura, Thailand, Filiphina, Burma, Vietnam, Kambojia, Laos, dan Tomor Leste merupakan negara- negara yang mayoritas penduduknya beragama lainnya, seperti Budha, Katolik, dan Protestan.1 Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sebagian penduduk Muslim Indonesia dan Malaysia memiliki kecenderungan untuk memberlakukan hukum-hukum syariat secara komprehensif. Kecenderungan ini merupakan wujud dari pemahaman mereka untuk menjalankan seluruh kewajiban agama di dalam sistem negara.2 Mereka meyakini bahwa Islam tidak terpisahkan dari negara, sehingga negara berkewajiban memberlakukan syariat Islam sebagai hukum nasional secara keseluruhan.3 Kecenderungan ini terbentuk oleh memori kolektif tentang keberlakuan syariat Islam di sejumlah kerajaan Islam. Dalam sejarahnya, Kesultanan Melaka (1405-1511) dan Kesultanan Aceh Darussalam (1496-1903) telah memberlakukan syariat Islam secara menyeluruh, yang meliputi hukum keluarga dan hukum pidana/hukum jinayah (qis}a>s},

1Greg Fealy dan Virginia Hooker (ed.), Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook (Singapura, ISEAS, 2006), 6. Robert W. Hefner, ‚Islam di Era Negara Bangsa: Kebangkitan Politik dan Agama Muslim Asia Tenggara‛ dalam Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich (ed.), Islam di Era Negara Bangsa: Kebangkitan Politik dan Agama Muslim Asia Tenggara, penerjemah Imron Rosyidi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 5. 2L. Carl Brown, Religion and State: the Muslim Approach to Politics (New York: Columbia University, 2000), 178. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), 188. Lihat Ali> Ali> Mans}u>r, Muqa>rana>t bayna al-Shari>‘at al- Isla>miyyah wa al-Qa>nu>n al-Wad} ‘iyyah (Beirut: Dar al-Fath}, 1970), 18. 3Pernyataan Politik dan Dukungan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang dikeluarkan tanggal 20 Desember 2000 di Yogyakarta yang kemudian dimuat di Risalah Mujahidin, "Rakyat Aceh Darussalam Dikhianati Durahman Wahid" Edisi 02/23 Ramadhan 1412 H/21 Desember 2000 M, 1-2. 1 h}udu>d, ta‘zi>r).4 Dengan kata lain, sebelum para penjajah Barat datang ke kepulauan Indonesia dan Malaysia, syariat Islam telah diberlakukan. Keadaan ini berubah setelah politik kolonial yang meminggirkan hukum jinayah dalam sistem hukum di Indonesia dan Malaysia.5 Hingga sekarang, posisi pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia tidak mengalami perkembangan yang signifikan karena tidak memenuhi unsur totalitas syariat Islam. Respon yang muncul sejak Indonesia dan Malaysia terbebas dari kolonialisme adalah perdebatan di kalangan elit dan masyarakat tentang

4Ulama-ulama fikih berbeda pendapat tentang qis}a>s}, h>}udu>d, ta‘zi>r dalamjina>ya>h. Al-Ma>wardi> dan Taqiy al-Di>n Abi> Bakr ibn Muh}ammad al-Husayni>, Abi> Yah}ya> Zaka>ria> al-Ans}a>ri>, dan Abu al-Wali>d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rushd al-Qurt}ubi>, membahas bab jina>ya>h dengan hanya menyebut soal pembunuhan, yang dibedakan dengan h}udu>d. Lihat Al-Ma>wardi> dalam al-Ah}ka>m al- S}ult}a>ni>yah wa al-Wila>ya>t al-Di>ni>yah, (Iskandariyah: Dar Ibn Khaldun, tt.), 227-246. Taqy al-Di>n Abi> Bakr ibn Muh}ammad al-Husayni>, Kifa>yat al-Akhya>r fi> Gha>yat al- Ikhtis}a>r (Semarang: Toha Putera, t.th.). Abi> Yah}ya> Zaka>ria> al-Ans}a>ri, Fath} al-Wahha>b bi Sharh} Minhaj al-T}ulla>b (Semarang: Toha Putra, t.th.). Abu al-Wali>d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rushd al-Qurt}ubi>, Bida>yat al-Mujtahid fi Niha>yat al-Muqtas}id (Beirut: Da>r al-Kutub al-Isla>miyah, ttp.). Adapun ulama-ulama fikih, seperti Muhammad Abu> Zahrah dan ‘Abd al-Qa>dir ‘Awdah menyebut jari>mah dibagi tiga, yaitu h}udu>d, qis}>}as} dan diya>t, dan ta’zi>r. Ada tujuh macam jari>mah h}udu>d, yaitu zina, qadhaf, minum khamr, pencurian, h}ira>bah, riddah, al-baghy (pemberontakan). Qis}a>s}} dan diyat dibagi dalam dua kategori: pembunuhan dan melukai yang dapat dihukum qis}a>s} dan diyat. Adapunta’zi>r merupakan jari>mah yang diancam dengan hukuman yang diserahkan kepada pemerintah. Lihat Muhammad Abu> Zahrah al-Jari>mah wa al-‚Uqu>bah fi>> al-Fiqh al-Isla>mi > (Kairo: Mat}ba’ah al-Madani>, 1998), 19. ‘Abd al-Qa>dir Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>rana>t bi> al-Qa>nu>n al-Wad’i}>, Juz 1, cetakan keempatbelas (Beirut: al-Ris>alah, 1998), 40-51. 5M.B. Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim, dkk. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991). Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia (Malang, Bayumedia, 2005), 28. A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 70. Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan, dan Kegiatan (BandaAceh: Dinas Syariat Islam, 2006), 114. Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cetakan kedua (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004), 46-47. Zulkifli Hasan, ‚Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia: Setakat Manakah Pelaksanaannya?‛ dalam Zulkifli Hasan (ed.), Hudud di Malaysia: Cabaran Pelaksanaan (Kualalumpur: ABIM, 2013), 98. Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1986), 47. Mohd Nik Mohd Salleh, ‚Kelantan in Transaction: 1891-1910‛ dalam WR Roff, Kelantan: Religion, Society, Politic in Malay State (Kuala Lumpur: tp. tth), 23. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1996), 12. Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Obor, 2010), 177. 2 pemberlakukan syariat Islam di dalam sistem hukum negara. Formasi awal negara yang terbentuk di Indonesia dan Malaysia memperlihatkan betapa syariat Islam menjadi perdebatan serius dalam konstelasi politik nasional. Di periode awal penyusunan Konstitusi Indonesia (1945) dan Konstitusi Malaysia (1957), telah terjadi perdebatan tentang syariat Islam. Di Indonesia, Piagam Jakarta telah diperdebatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam menyusun dasar negara. Para pendiri bangsa kemudian menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu ‚dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya‛.6 Di Malaysia, Konstitusi Malaysia awalnya terjadi perdebatan dalam menyusun hubungan agama dan etnik. Konstitusi Malaysia 1957 akhirnya mementahkan keinginan untuk menyamakan hak warga negara yang berasal dari Cina dan India dan sebaliknya justru memberikan kedudukan istimewa bagi Islam, para sultan, dan kaum Muslim Melayu.7 Kedudukan istimewa ini telah memberikan ruang dalam memberlakukan syariat Islam dalam skala tertentu. Periode-periode selanjutnya di Indonesia dan Malaysia menunjukkan fluktuasi pemberlakuan syariat Islam. Peristiwa penting dan menentukan dalam pemberlakuan syariat Islam sesungguhnya diawali dari perubahan politik di Indonesia dan Malaysia. Arus transisi politik dari otoritarianisme ke demokrasi pada 1998 menyebabkan perubahan yang cukup signifikan terhadap perjuangan syariat Islam di Indonesia.8 Di Malaysia, menguatnya kelompok oposisi, PAS di Kelantan pada 1990 dengan kemenangan yang meyakinkan pada Pemilu 19909 telah memberikan stimulus bagi perjuangan pemberlakuan syariat Islam secara menyeluruh.

6Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), 85. Nadirsyah Hossein, Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2007), 59. Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio- Legal atas Konstituante 1956-1959, cetakan ketiga (Jakarta: Graffiti, 2009), 11. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 88-91. Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 155-158. Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1996), 109. 7John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, penerjemah Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999), 167. 8Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), 3-4. Lihat pula Arskal Salim, ‚Challenging The Secular State…‛, 2. 9Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Kelantan, Imbasan 20 Tahun (Kota Bharu, 2010), 3. Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan 3

Di Indonesia, setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, tuntutan terhadap pemberlakuan syariat Islam semakin besar. Sejumlah kelompok Islam menyerukan tuntutan pemberlakuan syariat Islam secara total. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah,10 dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menuntut pemberlakuan syariat Islam sebagai solusi atas sejumlah persoalan bangsa. Partai-partai Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) juga memperjuangkan formalisasi syariat Islam melalui usul perubahan konstitusi.11 Partai-partai politik yang berjuang mengembalikan Piagam Jakarta dalam proses amandemen konstitusi di era reformasi pun mendapat dukungan dari kelompok-kelompok Islam seperti FPI, HTI, dan MMI.12 Kecenderungan politik ini sesungguhnya berbeda dengan masa sebelumnya. Jika pada masa awal kemerdekaan, Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islam) memiliki kesamaan pandangan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam sidang-sidang Majelis Konsituante, maka pada era reformasi, orientasinya berubah. NU dan Muhammadiyah dan juga PKB dan PAN dalam rangkaian amandemen konstitusi 2000-2002 jutsru mengambil posisi yang tidak sama dengan PPP dan PBB yang berjuang untuk mengembalikan Piagam Jakarta.13 Di parlemen, hanya PPP dan PBB yang bersuara untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam amandemen konstitusi 2000-2002.

Kepada Agama, Bangsa, dan Negara (Kelantan: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 1995), 84-92. 10Erich Kolig, ‚Radical Islam, Islamic Fervor, and Political Sentiments in Central Java, Indonesia, dalam European Journal of East Asian Studies, (2005): 64-65, dspace.library.uu.nl/ diakses 12 Pebruari 2012. 11Formal artinya sesuai dengan peraturan yang sah; dengan demikian formalisasi berarti pengundangan peraturan melalui negara. Formalisasi syariah artinya pengundangan syariat Islam oleh negara ke dalam hukum nasional. Lihat Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 244. 12Satya Arinanto, ‚Piagam Jakarta dan Cita-cita Negara Islam‛ dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA (eds.), Syariat Islam Yes Syariat Islam No (Jakarta: Paramadina, 2001), 57. 13Nadirsyah Hosen, ‚Shari’a and Constitutional Reform…‛, 93. Arskal Salim, ‚Challenging the Secular State…‛, 87-88. Arskal Salim dan Azyumardi Azra,‛The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Polititcs‛ dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (eds.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapura: ISEAS, 2003), 1-2. 4

Dalam praktiknya, perjuangan formalisasi syariat Islam secara total pun tidak berhasil.14 Konstitusi tidak berhasil diubah sebagaimana yang pernah tertuang dalam Piagam Jakarta. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) tetap menggunakan Pancasila sebagai dasar negara tanpa ada sedikitpun perubahan. Perubahan hanya dilakukan pada batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, bukan pada pembukaan. Berpijak pada kegagalan perjuangan pemberlakuan syariat Islam dalam kancah politik nasional, maka terjadi perubahan strategi. Strategi yang dilakukan adalah formalisasi peraturan daerah dengan jalan mendekat kepada penguasa daerah (gubernur, bupati atau walikota) dan DPRD untuk membuat beberapa bentuk peraturan hukum yang aspiratif terhadap Islam.15 Strategi ini merupakan upaya yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan daerah agar melakukan Islamisasi produk hukum pada level daerah. Aceh merupakan daerah yang paling meyakinkan dalam formalisasi syariat Islam.16 Dalam periode akhir konflik Aceh, diberlakukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berorientasi kepada syariat Islam. Di antaranya adalah UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD, Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul

14Meskipun Indonesia tidak memberlakukan syariat Islam secara total, tetapi ada beberapa regulasi yang mengatur tentang Islam, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Inpres No. 1 Tahun 1991, Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang- undang No. 17 Th. 1999 Tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 15Khamami Zada, ‚Perda Syariat: Proyek Syariatisasi Islam yang sedang Berlangsung,‛ dalam Tashwirul Afkar, Edisi 20, (2006): 14-15. Lihat pula Syamsurijal Adhan dan Subair Umam, Perdaisasi Syariat Islam di Bulukumba,‛ dalam Tashwirul Afkar, Edisi 20, (2006): 56-77. 16 Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh‛, dalam Burhanuddin (ed.), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal (Jakarta: JIL dan TAF, 2003) 96-99. Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), 132-140. Arskal Salim, ‚Shari’a in Indonesia’s Current Transition: An Upadate‛ dalam Azyumardi Azra dan Arskal (eds.), ‚Sharia and Politics in Modern Indonesia…‛, 213-234. 5

Mal.17 Sejumlah produk perundang-undangan di atas merupakan wujud dari keistimewaan Aceh untuk memberlakukan syariat Islam, termasuk hukum jinayah. Keistimewaan Aceh untuk memberlakukan hukum jinayah ternyata tidak memuaskan sejumlah kalangan masyarakat karena hukum jinayah yang diberlakukan sebatas khamar, maisir, dan khalwat. Karena itulah, usaha untuk memperluas cakupan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh pun dilakukan. Dalam pembahasan di DPRA, 14 September 2009 disepakati untuk memasukkan hukum rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. Kelompok yang setuju dengan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah merujuk pada sejarah Kesultanan Aceh yang telah memberlakukan hukuman rajam. Hukuman rajam telah diberlakukan sejak zaman Islam awal dan telah diberlakukan di sejumlah Negara Muslim. Karena itulah, Pansus memasukkan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. Sebaliknya, wakil dari Pemerintah Aceh berpendirian tidak memasukkan rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. Pemerintah Aceh berprinsip bahwa pelaksanaan hukum jinayah dilaksanakan secara bertahap. Sebaliknya, fraksi-fraksi DPRA tetap ngotot memasukkan pasal rajam dan mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah.18 Akibatnya, Qanun Jinayah yang ditetapkan DPRA tidak

17Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan undang- undang, peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah. Lihat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 442. UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 7 menyebutkan Qanun Aceh adalah peraturan perundang- undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Menurut UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 1 ayat 21 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut: UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: Termasuk dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan ketentuan di atas, maka kedudukan Qanun diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia dan dipersamakan dengan Perda. Lihat Jum Anggriani, ‚Kedudukan Qanun dalam Sistem Pemerintahan Daerah dan Mekanisme Pengawasannya‛, dalam Jurnal Hukum Nomor 3 Volume, (2011): 327, http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/11%20Jum%20Anggriani.pdf diakses diakses 12 Pebruari 2014. 18Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 6 disetujui Gubernur Propinsi NAD, Irwandi Yusuf sehingga hukuman rajam tidak dapat diberlakukan di Aceh.19 Formalisasi syariat Islam di Aceh yang terjadi sejak masa Reformasi seringkali dianalisis sebagai strategi politik nasional agar Aceh tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).20Syariat Islam merupakan solusi atas konflik antara Pemerintahan Negara RI dengan rakyat Aceh sejak masa pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Aceh hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM).21 Keistimewaan Aceh untuk memberlakukan syariat Islam dalam UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh merupakan solusi yang ditawarkan Pemerintah Pusat dalam membangun perdamaian di Aceh. Dampak positif yang ditimbulkan adalah rakyat Aceh memandang Pemerintah Negara RI serius menyelesaikan permasalahan konflik di Aceh.22 Adapun di Malaysia, khususnya di Kelantan, terjadi perkembangan menarik setelah PAS memenangkan daerah pemilihan Kelantan pada 1990.23 Kepemimpinan PAS di Kelantan di bawah Menteri Besar Nik Abdul Aziz Nik Mat semakin nampak dengan berbagai kebijakannya yang aspiratif terhadap Islam. Pada awal kepemimpinannya, Pemerintah Kelantan memindahkan rekening bank

19Bandingkan dengan sejarah pemberlakukan hukum jinayah di Aceh di masa kerajaan Islam. Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 119-120. 20Lihat bantahan Michelle Ann Miller dalam, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law: A Serious Response to Acehnese Separatism?,‛ dalam Asian Ethnicity, 5, 3, (2004):335,http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1463136042000259789?journa lCode=caet20#preview diakses 22 Oktokber 2009. Lihat pula Taufik Adnan Amal dan Sjamsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…,‛ 96-99. 21Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…,‛ 96-99. Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca Osman Raliby, ‚Aceh, Sejarah, dan Kebudayaannya‛ dalam Islamil Suny (ed.), Bunga Rampai tentang Aceh (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980). Michelle Ann Miller, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law…,‛ 4. M. Buehler, ‚The Rise of Shari'a by-laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption,‛ South East Asia Research, 16, 2, (2008): 255-285, http://columbiauniversity.net/cu/weai/faculty/articles/Buehler.pdf diakses 7 Juli 2009. 22Much. Nur Ichwan, ‚The Politics of Shari’aization: Central Governmental and Regional Discourse of Shari’a Implementation in Aceh‛ dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia (Cambridge: Harward Law School, 2007), 214-215. 23Syed Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in Southeast Asia (Singapura: Thomson, 2004), 123-124. 7 dari bank konvensional ke bank Islam, memberantas tempat-tempat maksiat dan perjudian, penjualan minuman keras diatur secara ketat, yang hanya diperuntukkan bagi non-Muslim, menertibkan tempat hiburan dan salon yang mengarah pada praktik seksual, melarang Makyong dan Menora24 yang mengandung unsur khurafat, memperkenalkan gadai Islam (al-rahn),25 melarang wanita bekerja malam di perusahaan kilang, melarang wanita mengikuti lomba qiraat al- Qur’an,26pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan dalam majlis-majlis, organisasi nasyid wanita hanya dibolehkan bagi wanita yang berumur 15 tahun ke bawah, menghancurkan seluruh tempat yang diduga tempat berlangsungnya perbuatan-perbuatan maksiat, menghalangi segala bentuk iklan yang menampilkan gambar-gambar wanita, dan mengatur berbagai tempat potong rambut yang selama ini diduga keras sebagai tempat berlangsungnya pelacuran dan minuman keras.27 Langkah penting yang dilakukan Pemerintahan Kelantan adalah mengesahkan Enakmen Jenayah Syariah II Kelantan Tahun 1993 yang dimaksudkan untuk menggantikan Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 Kelantan.28 Pada awalnya, Pemerintahan Kelantan membentuk

24Makyong merupakan drama, tarian, nyanyian, dan unsur-unsur komedi yang bercerita tentang dewa-dewi yang disampaikan melalui mulut, hanya menggunakan ingatan tanpa dialog tertulis. Menora merupakan dramatari masyarakat Siam yang berkembang dalam kalangan masyarakat Siam di Segenting Kra, yaitu di wilayah Pitchaburi, Surat Thani, Phatthalung, Nakhon Sithammarat dan Kelantan serta Kedah. Lihat M.C. ff. Sheppard, ‚Makyong‛, The Straits Time Annual For 1960, Singapore, 15. Mohamad Nazri, dkk., ‚Repertoire Cerita Menora: Dokumentasi Berasaskan Cerita Lisan Masyarakat Siam di Bukit Yong, Kelantan‛ dalam Jurnal Melayu (5) (2010): 128, http://journalarticle.ukm.my/3022/1/01ADNAN_JUSOH.pdf diakses 22 Pebruari 2014. Hamidah bt. Yaacob, ‚Hiburan Tradisional Kelantan‛ dalam Beberapa Aspek Warisan Kelantan, ed. Khoo Kay Kim (Kuala Lumpur: Jabatan Sejarah Universiti Malaysia, 1982), 57-58. 25Mazlan Jusoh dan Wan Nik Wan Yussof, ‚Kelantan 20 Tahun di Bawah Teraju Ulama: Catatan Perkembangan Pentadbiran Kerajaan Negeri Kelantan selama 2 Dekad‛ dalam 20 Tahun Pentadbiran Membangun Bersama Islam Kerajaan Kelantan, 36-41. 26Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan Kepada Agama, Bangsa, dan Negara (Kelantan: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 1995), 106. Lihat pula Berita Harian 5 Desember 1990 yang menyebut Majelis Perbandaran Kota Bharu telah mengeluarkan arahan supaya menghentikan judi. 27Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan (Suatu Perbandingan dengan Fikih Islam)‛, Disertasi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, 67. 28Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di sejumlah Negara Bagian di Malaysia adalah Enakmen, sedangkan peraturan perundang-undangan yang 8

Komite Khusus yang membuat draft Undang-undang Hudud dan Qisas. Anggotanya terdiri dari Tun Mohamad Salleh Abbas (Mantan Ketua Hakim Negara Malaysia), M. Daud al-Iraqi, Wakil Mufti, Mohamad Sukhri bin Mohamed, dan Abu Bakar bin Abdullah al-Kutty. Tun Mohamad Salleh diangkat sebagai konsultan agar draft Undang-undang Hudud dan Qisas sesuai dengan asas pembuatan perundang-undangan di Malaysia karena pengalamannya sebagai Ketua Hakim Negara Malaysia. Beberapa kali rapat dilaksanakan dan juga mengundang Menteri Besar, Nik Aziz Nik Mat. Studi Banding juga dilaksanakan di Iran, Mesir, dan Mesir. Daud bin Muhamad pergi ke Iran, M. Daud al-Iraqi pergi ke Nigeria, dan Abdul Halim pergi ke Mesir29 Argumen yang digunakan untuk merevisi Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985 adalah karena undang-undang jinayah yang dilaksanakan di Malaysia pada umumnya dan Kelantan pada khususnya adalah undang-undang ciptaan manusia (al-ahka>m al- wad}‘i>yah) dan merupakan warisan penjajah. Kondisi ini berbeda dengan masa sebelum dijajah, ketika Tanah Melayu melaksanakan Undang- undang Islam secara keseluruhan. Usaha ini dilakukan untuk mengembalikan undang-undang Islam agar dapat dilaksanakan di Kelantan.30 Sebagaimana Enakmen Kanun Jenayah Syariah di negeri-negeri lain,31 Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1984 tidak mengadopsi hukuman yang sesuai dengan syariah, melainkan mengacu pada Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jenayah) Malaysia 1984 bahwa hukuman maksimum yang boleh dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah

diberlakukan di Negara Federal adalah Akta. Berikut ini adalah perundang-undangan jinayah yang diberlakukan di Malaysia: Enakmen Kanun Jinayah di sejumlah negeri di Malaysia, seperti Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan, 1985, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kedah, 1988, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah, 1991, Ordinan Kesalahan Jenayah Syariah Serawak, 1991, Enakmen Jenayah Syariah Perak, 1992, Enakmen Jenayah dalam Syarak, Perlis, 1991, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Sembilan, 1992, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Trengganu 2002. Enakmen Jenayah Syariah (Selangor) 1995, Akta Jenayah Syariah (Wilayah Persekutuan) 1997. Lihat Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cetakan kedua (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004), 77-81. 29Wawancara dengan Abu Bakar bin Abdullah al-Kutty, salah seorang anggota Komite Khusus yang mempersiapkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II pada 19 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 30Tim Penyelidik, Program PAS Negeri Kelantan 1990 (Kota Bharu: Badan Perlindungan PAS Negeri Kelantan, 2000), 13. 31Zulkifli Hasan, ‚Isu Undang-Undang Jenayah Islam di Malaysia dan Sejauh Manakah Perlaksanaannya‛, Makalah, tidak diterbitkan. Lihat pula Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 77-81. 9 adalah denda RM 5.000,00 atau penjara 3 tahun atau 6 kali cambuk atau kombinasi di antara hukuman-hukuman itu.32 Sebaliknya, Enakmen Jenayah Syariah II Kelantan Tahun 1993 berisi hukum-hukum qis}a>s}, zina, qadhaf, pencurian, perampokan, dan murtad yang hukumannya disesuaikan dengan syariat Islam. Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan Tahun 1993 merupakan undang-undang hukum h}udu>d pertama di Asia Tenggara yang mengadopsi syariat Islam setelah masa kemerdekaan. Pengundangan Enakmen Jenayah di Kelantan setelah PAS menang di Pemilu 1990 sesuai dengan komitmen politik PAS33 untuk mengimplementasikan syariat Islam sebagai sistem hukum Malaysia, baik di level negara pusat maupun negara bagian.34 PAS dengan lantang meminta syariah menggantikan sistem hukum Malaysia yang berasas Inggris.35 PAS pun berjuang memberlakukan hukum jinayah dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan Tahun 1993.36 Dalam praktiknya, Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan Tahun 1993 tidak dapat diimplementasikan karena ditolak oleh Pemerintah Federal. Argumen yang dibangun Pemerintah Federal adalah karena Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan 1993 bertentangan dengan Konstitusi dan Akta Mahkamah Syariah 1984. 37 Jika Enakmen Jenayah ingin diberlakukan di Kelantan, maka Konstitusi Malaysia harus terlebih dahulu diamandemen dan Akta Mahkamah Syariah 1984 direvisi sehingga memungkinkan penerapan hukuman h}udu>d dan qis}a>s } di Kelantan. Para politisi PAS sebenarnya telah menyadari sulitnya

32Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan 1993 telah disahkan oleh Jemaah Ulama Jabatan Agama Islam Negeri dan Majlis Agama Islam Kelantan (MAIK) dan mufti negeri hingga akhirnya Dewan Perundangan Negeri pada 25 Nopember 1993 mengesahkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II)Tahun 1993. Lihat Mohammad Hashim Kamali, Hukuman dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Trengganu (Selangor, Ilmiah Publisher, 2003), 35-36. 33John L. Esposito dan John O. Voll, ‚Demokrasi di Negara-negara Muslim…‛, 181. 34Peter G. Riddell, ‚Islamization and Partial Shari’a in Malaysia‛, dalam Paul Marshal (ed.), Radical Islam’s Rules: The Worldwide Spread of Extreme Shari’a Law, (New York: Freedom House, 2005), 144. 35Zainah Anwar, Kebangkitan Islam di Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1990), 2. 36Kikue Hamayotsu, ‚Islam and Nation Building in Southeast Asia: Malaysia and Indonesia in Comparative Perspective,‛ dalam Pacific Affairs, University of British Columbia, 75, 3 (2002): 362, http://www.jstor.org/stable/4127290 diakses 7 Juli 2009. 37Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 75 Perlembagaan Persekutuan (Konstitusi Malaysia). Lihat Perlembagaan Persekutuan, (Selangor: Internatinal Law Book Services, 2009). 10 melakukan amandemen konstitusi,38 tetapi komitmen untuk memberlakukan syariat Islam tetap dijalankan, meski tidak disetujui oleh Pemerintah Federal yang dipimpin UMNO. Berpijak pada paparan di atas, gerakan pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum negara sesungguhnya dapat dilihat dari sudut sosial dan politik. Kikue Hamayotsu, Michelle Ann Miller, Ma. Theresa R. Milallos, M.B. Hooker dan Virginia Hooker, M. Nur Ichwan, M. Buelher, mengajukan tesis bahwa pemberlakuan syariat Islam di dalam sistem hukum negara merupakan alat konsolidasi untuk kepentingan meraih kekuasaan politik.39 Sebaliknya, menurut Ira M. Lapidus, Peter G. Riddel, Robin Bush, dan Haedar Nashir, pemberlakuan syariat Islam merupakan respon gerakan radikalisme Islam terhadap modernitas,40 yang dibingkai dalam sistem keagamaan untuk melaksanakan ajaran Islam dalam bentuk perilaku sosial.41 Dalam posisi ini, hubungan yang kuat antara hukum, negara, dan masyarakat42sesungguhnya tidak dapat dihindarkan dalam menganalisis pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Studi ini memfokuskan pada posisi hukum yang berada pada siklus hubungan timbal balik antara kekuatan politik dan kekuatan sosial. Studi ini membandingkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan,

38MB. Hooker dan Virginia Hooker, ‚Sharia as a Symbol of Islamist Ideologies‛, dalam Greg Fealy dan Virginia Hooker (eds.), ‚Voices of Islam in Souteast Asia…‛, 177-178. 39Kikue Hamayotsu, ‚Politics of Syariah Reform‛ dalam Virginia Hooker dan Norani Othman (eds.), Islam, Society, and Politics (Singapura: ISEAS, 2003), 66-70. Michelle Ann Miller, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law…‛, 351. Ma. Theresa R. Milallos, ‚Muslim Veil as Politics: Political Autonomy, Women and Shari’a Islam in Aceh‛, dalam Cont Islam 1, Springer Science + Business Media B.V. (2007), 289–301, http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11562-007-0028-5#page-1 diakses 7 Juli 2009. Much. Nur Ichwan ‚The Politics of Shari’aization…‛, 214-215. M. Buehler, ‚The Rise of Shari'a by-laws…‛, 255-285. 40Ira M. Lapidus, ‚Islamic Revival and Modernity: The Contemporary Movements and the Historical Paradigms‛ dalam the Economic and Social History of the Orient, Vol. 40, No. 4 (1997), 1, http://www.jstor.org/stable/3632403 diakses 7 Juli 2009. Peter G. Riddell, ‚Islamization and Partial Shari’a in Malaysia‛, dalam Paul Marshal (ed.), ‚Radical Islam’s Rules…‛, 144. Robin Bush ‚Regional Shari’a Regulations in Indonesia: Anomaly or Sympton?‛ dalam Greg Fealy and Sally (ed.), White Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008), 174-191. Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP, 2009), 80-82. 41Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), 1-2. 42Ihsan Imtiyaz, Muslim Laws, Politics, and Society in Modern Nation States, (England: Asghate Publishing Limited, 2005), 9. 11 dari aspek kehendak politik beserta respon/gerakan masyarakat dan materi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.

B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah Dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, di antaranya mengenai kedudukan Non- Muslim dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan, kedudukan perempuan dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan, pengaruh mazhab fikih dalam materi hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan, perbandingan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dari aspek kehendak politik dan materi hukum, pengaruh kelompok Islam dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan, dan konflik di kalangan masyarakat dalam memberlakukan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Dari daftar masalah tersebut, penelitian ini memilih salah satu tema, yaitu bagaimana perbandingan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dari segi kehendak politik dan meteri hukum. Rumusan masalah tersebut diturunkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimanakah kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan serta respon masyarakat terhadapnya? Apa persamaan dan perbedaannya? 2. Bagaimanakah materi hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan? Apa persamaan dan perbedaannya? Berdasarkan luasnya penelitian ini, maka perlu dilakukan pembatasan. Penelitian ini dibatasi pada wilayah Aceh dan Kelantan di tingkat propinsi. Penelitian ini juga dibatasi pada periode 1993-2013 di Kelantan dan periode 1999-2013 di Aceh.

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengungkap persamaan dan perbedaaan kehendak politik dan respon masyarakat terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. 2. Mengungkap persamaan dan perbedaaan materi hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan.

12

D. Manfaat Penelitian Secara akademik, penelitian ini mengungkap persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Penelitian terhadap persamaan dan perbedaan motivasi politik dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan telah dikaji oleh peneliti lain. Adapun persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah dari aspek kehendak politik dan materi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan belum dikaji oleh peneliti lain. Penelitian ini mengungkap pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan sebagai kehendak politik negara yang dipengaruhi oleh orientasi politik, aspirasi dan gerakan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan negara (pemerintah dan legislatif) yang telah mengakomodasi sebagian pemberlakuan hukum jinayah (h}udu>d dan ta‘zi}r) di Aceh dan Kelantan dan menolak sebagian pemberlakuan hukum jinayah (h}udu>d dan qis}a>s}) di Aceh dan Kelantan. Secara pragmatis, penelitian ini digunakan untuk menjelaskan posisi negara dalam mengakomodasi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Penelitian ini dapat digunakan untuk memetakan materi hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan dalam hubungannya dengan pendapat-pendapat ulama fikih. Penelitian ini juga dapat memetakan kelompok-kelompok masyarakat dalam merespon pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Pemberlakuan syariat Islam di negara-bangsa mengalami dinamika yang tajam. Perjuangannya pun tidak lepas dari motif-motif politik dan agama yang melatarbelakanginya dan juga direspon oleh negara dalam suasana politik yang dinamis. Dari sudut pandang politik, pemberlakuan syariat Islam oleh negara seringkali dipandang memiliki muatan politik yang kuat. Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean dalam buku Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria (2004) mencatat bahwa penerapan syariat Islam memiliki akar yang kuat dalam persoalan-persoalan politik. Dalam kasus Indonesia, pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, telah ditafsirkan sebagian daerah sebagai pemberian otonomi untuk menerapkan syariat dalam peraturan daerah. Beberapa partai politik berbasis Islam telah memanfaatkan isu

13 penerapan syariat untuk menjaring dukungan politik,43 untuk mendapatkan simpati politik dari rakyat yang mayoritas beragama Islam. Dalam praktik politik di daerah, pemberlakuan syariat Islam dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk membangun konsolidasi kekuatan politik. M. Buehler dalam artikel yang berjudul ‚The Rise of Shari'a by-laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption,‛ menunjukkan bahwa formalisasi syariat Islam di daerah merupakan alat konsolidasi kekuasaan politik para penguasa lokal, terutama untuk mengeksplorasi sumber finansial dalam membangun dan memelihara jaringan dengan para broker kekuasaan. Buehler justru tidak menemukan gerakan konservatisme dalam pemberlakuan syariat Islam di daerah. Ia justru melihat adanya akumulasi politik kekuasaan yang dimainkan oleh elit lokal untuk meraih panggung kekuasaan politik setelah diperkenalkannya pemilihan langsung. Kondisi inilah yang menjadikan para elit politik sekarang ini harus bekerja keras untuk mendapatkan suara rakyat secara langsung. Dalam pola inilah, syariat Islam di daerah dimanfaakan oleh elit politik lokal sebagai mesin politik untuk mendapatkan suara politik.44 Adapun dalam perspektif politik negara di Indonesia, syariat Islam dijadikan sebagai komoditas politik untuk menyelesaikan konflik politik di daerah. Much. Nur Ichwan dalam artikel yang berjudul ‚The Politics of Shari’aization: Central Governmental and Regional Discourse of Shari’a Implementation in Aceh‛ menemukan bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh tidak dapat dipisahkan dari upaya negara melalui pendekatan agama (religious approach) untuk menyelesaikan permasalahan Aceh agar tetap tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan diberlakukan syariat Islam di Aceh, rakyat Aceh memandang negara serius menyelesaikan permasalahan konflik di Aceh. Bersamaan dengan pendekatan militer dan politik, pendekatan ini dipandang Ichwan terbukti berhasil. Pendekatan negara ini sesungguhnya merefleksikan politik syari’atisasi45 yang dimainkan oleh elit-elit pusat. Selaras dengan pemikiran di atas, Michelle Ann Miller dalam artikel yang berjudul ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law: A Serious Response to Acehnese Separatism?,‛ memandang bahwa pemberlakuan syariat Islam di Aceh sejatinya telah gagal merespon tuntutan rakyat

43Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta: Alvabet, 2004), 176-177. 44M. Buehler, ‚The Rise of Shari'a by-laws…‛ 255-285. 45Much.Nur Ichwan dalam ‚The Politics of Shari’aization…‛, 214-215. 14

Aceh atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Keputusan pemerintah untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh mengandung arti bahwa rakyat Aceh harus menunggu lama untuk mendapatkan keadilan atas berbagai persoalan yang dihadapi rakyat Aceh, terutama infrastruktur negara yang tidak berfungsi, budaya politik yang korup, dan tuntutan keadilan terhadap pelanggaran HAM.46 Dalam kasus Kelantan, Kikue Hamayotsu menemukan bahwa formalisasi syariat Islam di Malaysia merupakan political insentive dari elit penguasa untuk mengelola sistem patronase yang berbasis pada legitimasi politik.47 Analisis yang berkembang di Malaysia48 menyebutkan bahwa formalisasi hukum jinayah di Kelantan dan Trengganu dalam bentuk Enakmen Kanun Jenayah merupakan praktik politisasi PAS dalam menarik simpati masyarakat Muslim. MB. Hooker dan Virginia Hooker pun menyebut Enakmen Kanun Jenayah Syariah sangat penting nilainya bagi PAS sebagai simbol komitmen PAS terhadap pemberlakuan syariat Islam. Ini juga menegaskan kepada publik bahwa PAS merupakan partai yang lebih islami daripada UMNO.49 Sementara di Aceh, pemberlakuan syariah melalui Perda/Qanun merupakan konstestasi politik antara Pusat dan Daerah yang selalu dinegosiasikan.50 Dari sudut gerakan radikalisme, Haedar Nashir dalam buku Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia telah berhasil memetakan proses dan strategi gerakan Islam radikal dalam memberlakukan syariat Islam di Aceh, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. Dalam studinya, gerakan Islam syariat di sejumlah daerah tampil dengan karakter legal-formal, doktriner, dan militan. Strategi yang digunakan untuk memberlakukan syariat Islam adalah mobilisasi dan konsolidasi gerakan dengan memaksimalkan saluran-saluran konvensional, seperti

46Michelle Ann Miller, ‚The Nanggroe Aceh Darussalam Law…‛, 351. 47The political insentive membantu koordinasi antara Pemerintah Federal di satu sisi dan di sisi lain koordinasi otoritas keagamaan pusat dan aktor-aktor masyarakat. Kikue Hamayotsu, ‚Politics of Syariah Reform‛, dalam Virginia Hooker dan Norani Othman (eds.), Islam, Society…‛, 66-70. 48Mohammad Hashim Kamali berhasil memotret perdebatan Perdana Menteri Mahathir Muhammad dengan Presiden PAS, Abdul Hadi Awang tentang Rancangan Enakmen Jenayah di Kelantan dan Trengganu dalam Mohammad Hashim Kamali, Hukuman dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Trengganu, (Selangor, Ilmiah Publisher, 2003), 8-9. 49MB. Hooker dan Virginia Hooker, ‚Shari’a as a Symbol of Islamist Ideologies…‛, 177-178. 50M.B. Hooker, ‚Southeast Asian Shari’ahs‛, dalam Studia Islamika, Volume 20 Nomor 2 (2013): 209. 15 tabligh akbar, pengajian, seminar, debat publik, publikasi media, penerbitan, pengembangan jaringan dengan organisasi Islam di daerah, desakan politik, dan kerjasama dengan pemerintah.51 Pemberlakuan syariat Islam dalam perspektif ini memiliki keterkaitan dengan gerakan radikalisme. Berbeda pandangan Nashir, Ma. Theresa R. Milallos dalam artikel yang berjudul ‚Muslim Veil as Politics: Political Autonomy, Women and Shari’a Islam in Aceh,‛ memandang bahwa pemberlakuan syariat Islam tidak bisa dilihat sebagai kebangkitan Islam atau manifestasi dari radikalisasi Islam, meskipun di Aceh, Islam memiliki makna politik yang kuat, terutama dengan sejarah pemberontakan Darul Islam. Syariat Islam sebagai proyek politik di Aceh justru memiliki implikasi yang kuat dengan relasi gender karena banyak mengatur tentang perempuan.52 Dalam aspek lainnya, pemberlakuan syariat Islam telah mengembalikan otoritas ulama yang telah lama digantikan oleh otoritas lain (pemerintah). Tim Lindsey, MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley dalam artikel yang berjudul ‚Sharia Revival in Aceh‛ menemukan bahwa kebangkitan syariah di Aceh telah meningkatkan otoritas para ulama di Aceh berkompetesi dengan otoritas sekular. Para ulama mendapatkan keuntungan dari pemberlakuan Qanun Syariat dan didirikannya institusi-institusi agama, termasuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Dalam situasi seperti ini, ternyata masyarakat Aceh tidak berorientasi pada paham Wahabi, sehingga para ulamanya tidak menuntut pendirian Negara Islam.53 Sebaliknya, dalam artikel yang berjudul ‚Submision to Allah? The Kelantan Syariah Criminal Code (II), 1993‛, M.B. Hooker justru mengkritik formalisasi hukum jinayah di Kelantan yang kurang memperhatikan legal drafting, argumen rasional, dan implikasi sosiologis di Kelantan.54 Adapun penelitian yang secara spesifik membahas hukum jinayah di Aceh dan Kelantan belum begitu banyak. Dari sudut pandang materi hukum yang diberlakukan, Mohammad Hashim Kamali dalam buku Hukuman dalam Undang-undang Islam: Suatu Penelitian terhadap Hukum Hudud Kelantan dan Trengganu menemukan bahwa

51Haedar Nashir, ‚Gerakan Islam Syariat…‛, 80-82. 52Ma. Theresa R. Milallos, ‚Muslim Veil as Politics…,‛ 289–301. 53Tim Lindsey, MB. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley ‚Sharia Revival in Aceh‛ dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia (Cambridge: Harward Law School, 2007), 253-254. 54M.B. Hooker, ‚Submission to Allah? The Kelantan Shari’ah Criminal Code (II), 1993‛, dalam Virginia Hooker dan Norani Othman (eds.), ‚Islam, Society, and Politics‛, 95-96. 16 pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan dan Trengganu mengadopsi fikih konvensional.55 Temuan Hashim Kamali sebanding lurus dengan kesimpulan Mohd. Said bin Mohd. Ishak dalam kajian disertasinya yang berjudul ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan (Suatu Perbandingan dengan Fikih Islam)‛ bahwa Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan mengacu pada ketentuan tindak pidana h}udu>d yang dikemukakan ulama fikih, khususnya mazhab Syafi’i. Pasal-pasal yang terdapat di dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan selain mempunyai banyak sisi persamaannya, juga dijumpai perbedaan yang mendasar dengan ketentuan yang termuat dalam fikih. Dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan tidak dimasukkan al-baghy, meskipun di dalam fikih diatur dalam h}udu>d. Demikian juga Enakmen hanya membatasi alat bukti dengan saksi, pengakuan dan qari>nah. Berbeda dengan fikih yang menggunakan sumpah, saksi, dan sumpah penggugat, al-qasa>mah dan an-nuku>l (penolakan bersumpah dari pihak tergugat) sebagai alat bukti.56 Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah sarjana, Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad telah berhasil mengkaji perbandingan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Dalam buku yang berjudul Islamic Law in Southeast Asia: a Study of Its Applicattion in Kelantan and Aceh, Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad menemukan persamaan dan perbedaan pelaksanaan h}udu>d di Aceh dan Kelantan. Persamaannya adalah di Aceh dan Kelantan, syariat Islam pernah dilaksanakan di masa Kesultanan Islam dengan peran ulama yang begitu besar dalam melaksanakan syariat Islam melalui pondok (Kelantan) atau dayah (Aceh). Sayangnya, pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan Kelantan terhambat oleh Pemerintah Kolonial (Belanda dan Inggris). Aspek persamaan lainnya adalah pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan Kelantan telah menjadi isu politik yang kuat di kalangan elit. Bagi PAS di Kelantan, pelaksanaan syariat Islam telah diadopsi sebagai strategi untuk meraih suara rakyat, sedangkan elit politik di tingkat nasional telah menjadikan isu syariat Islam di Aceh sebagai strategi

55Ada beberapa isu yang disoroti Hashim Kamali, yaitu hubungan Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan dengan Konstitusi Malaysia, kedudukan non-Muslim, dan rincian tentang permasalahan yang terdapat dalam h}udu>d yang diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan. Lihat Mohammad Hashim Kamali, ‚Hukuman dalam Undang-undang Islam…‛, 30-69. 56Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah…‛, 67. 17 untuk menyelesaikan konflik dan juga untuk memenangkan pemilu nasional dan lokal di Aceh.57 Perbedaannya adalah di Kelantan, h}udu>d diperkenalkan setelah PAS memenangkan daerah pemilihan Kelantan pada Pemilu 1990, sedangkan di Aceh, sejak Indonesia merdeka, perjuangan memberlakukan syariat Islam sudah dimulai. Syariat Islam di Aceh telah menjadi solusi konflik antara negara (Indonesia) dan rakyat Aceh dengan memberikan otonomi khusus. Perbedaan lainnya adalah cara-cara untuk memperjuangkan syariat Islam di Kelantan lebih damai, tidak seperti di Aceh. Di Kelantan, konflik terjadi sebatas dalam arena panggung politik yang tidak berimplikasi ke rakyat, sedangkan di Aceh terjadi konflik antara TNI dengan Darul Islam (DI). Perbedaan yang tak kalah penting lainnya adalah di Kelantan, syariat Islam dijadikan oleh PAS sebagai srategi untuk meraih suara politik dan menekan partai penguasa (UMNO) sehingga negara menolak pelaksanaan syariat Islam (h}udu>d). Di Aceh, isu syariat Islam dipandang oleh Negara sebagai alat menyelesaikan konflik dan juga meraih dukungan politik.58 Penelitian yang telah dilakukan Kamaruzzaman Busttaman- Ahmad di atas difokuskan pada sejarah dan motivasi politik pemberlakuan h}udu>d di Aceh dan Kelantan. Penelitian Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad di atas belum komprehensif mengkaji pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad tidak mengkaji aspek kehendak politik, respon partai politik dan masyarakat, mobilisasi massa, dan materi hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Karena itulah, penulis bermaksud mengisi kekosongan penelitian tentang perbandingan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan yang meliputi kehendak politik beserta respon dan gerakan masyarakat dan materi hukum jinayah yang telah diberlakukan dan yang diperjuangkan untuk diberlakukan.

E. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan metode kualitatif.59 Penelitian ini merupakan socio-legal research yang

57Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad, Islamic Law in Southeast Asia: a Sudy of Its Applicattion in Kelantan and Aceh (Chiang Mai: Asian Muslim Action Network, 2009), 45-46. 58Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad, ‚Islamic Law in Southeast Asia…‛, 46- 47. 59Lihat Noong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), 341. Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: UI Press, 2006), 73-76. Joseph A. Maxwell, Qualitative Research Design an 18 menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dengan kata lain, hukum tidak hanya dilihat dari materi hukumnya saja, tetapi juga dilihat dari proses pembentukannya dalam kehidupan sosial dan politik.60 Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dalam penelitian ini dibagi dalam dua aspek, yaitu kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah dan materi pemberlakuan hukum jinayah. Terkait aspek pemberlakuan hukum jinayah di atas, penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik, pendekatan fikih, pendekatan sejarah, dan pendekatan sosiologi. Pendekatan hermeneutik digunakan untuk menganalisis kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dengan cara menafsirkan pernyataan-pernyataan pemerintah, partai politik, dan mayarakat di Aceh dan Kelantan.61 Pendekatan sejarah digunakan untuk menganalisis latar belakang pemberlakuan hukum jinayah dengan cara menyusun kronologi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pendekatan sosiologi digunakan untuk menganlisis perilaku kelompok masyarakat dalam melakukan mobilisasi perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pendekatan fikih digunakan untuk menganalisis materi hukum yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat ulama fikih. Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. 62 Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengamatan di Aceh dan Kelantan dan wawancara mendalam (in- depth interview) terhadap informan di Aceh dan Kelantan. Informan di

Interactive Approach (London, Sage Publication, 2005). Koentjaraningrat, Metode- metode Penelitian Masyarakat, cetakan keempatbelas (Jakarta: Gramedia, 1997). 60Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated: a Comparative Overview of the Legal System of Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden University Press, 2010), 21. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ketiga (Jakarta: Prenada, 2007), 87. 61Sebagai filsafat atau teori interpretasi makna, pendekatan hermeneutika ini menggunakan teori hermeneutis untuk mengungkap apa yang dipikirkan pengarang. Lihat Jose Bleicher, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik, penerjemah Ahmad Norma Permata (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), vii-viii. Adapun dalam hermeneutika hukum, teks hukum selalu tertanam dalam sejarah dan digerakkan secara politik sehingga tidak akan ada kemungkinan untuk memandang hukum hanya sebagai produk nalar dan argumen, tetapi harus menafsirkan sesuai dengan kategori-kategori materialistis, seperti kekuasaan, hubungan sosial, dan gender. Lihat Gerald L. Bruns, ‚Hukum dan Bahasa: Hermeneutika Teks Hukum dalam Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik, penerjemah M. Khozin (Bandung: Nusa Media, 2008), 41-42. 62Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2007), 12. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2004), 157. 19

Aceh berasal dari Perguruan Tinggi Islam, seperti IAIN Ar-Raniry, dari pemerintah daerah (Dinas Syariat Islam), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), ulama dayah (pesantren), dan dari partai politik (anggota DPRA Partai Demokrat dan Partai Aceh), dan masyarakat bawah (grassroot) dari kalangan Muslim dan Non-Muslim. Wawancara mendalam juga dilakukan di Kelantan kepada anggota DUN (Dewan Undangan Negeri) PAS, UMNO, dan Partai Keadilan, Ketua Mahkamah Syar’ah Kelantan, Mufti Kelantan, dan masyarakat bawah (grassroot) dari kalangan Muslim dan Non-Muslim Kelantan.Wawancara mendalam dilaksanakan dalam beberapa kurun waktu, yaitu pada 20-22 September 2010 (Banda Aceh), 12-22 Oktokber 2011 (Kelantan dan Trengganu), 18- 22 Juni 2012 (Banda Aceh), 13-16 Nopember 2012 (Banda Aceh), 23-15 Nopember 2012 (Bireuen), dan 27-29 Agustus 2013 (Bireuen). Data sekunder penelitian ini diperoleh dari dokumen, peraturan perundang-undangan, literatur, pemberitaan atau kepustakaan lain yang terkait dengan topik penelitian, terutama yang berkaitan dengan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Dokumen peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Enakmen Kanun Jinayah Syariah (I) 1983 Negeri Kelantan, Draft Enakmen Kanun Jinayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan versi yang disahkan Dewan Undangan Negeri Kelantan,63 UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Perda No. 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, dan Draft Qanun Jinayah 2009 versi yang disahkan DPRD Aceh.64 Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, observasi, dan wawancara. Metode dokumentasi dilakukan untuk menelusuri data yang termuat dalam dokumen, seperti perundang- undangan, arsip, dan surat resmi, berita surat kabar, dan literatur yang terkait dengan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Metode observasi

63Rancangan Enakmen Kanun Jinayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan telah disahkan oleh Dewan Undangan Negeri Kelantan pada 25 Nopember 1993. 64Rancangan Qanun Jinayah 2009 telah disahkan oleh DPRD Aceh pada 14 September 2009. 20 dilakukan dengan mengamati perilaku masyarakat dalam merespon pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Metode wawancara dilakukan untuk mendalami informasi dari pemerintah, partai politik (legislatif), akademisi, ulama, hakim, grassroot (masyarakat bawah), dan ormas Islam tentang pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis perbandingan. Studi ini membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain.65 Jerome Hall berpendapat bahwa perbandingan hukum (comparative law) sebagai metode dilakukan dengan membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dengan melihat konteks sosial, fungsi hukum, dan institusi sosial di masyarakat.66 Studi ini membandingkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dari dua aspek, yaitu kehendak politik dan materi hukum jinayah. Dari aspek kehendak politik, studi ini menganalisis kehendak politik hukum nasional dan Pemerintahan Daerah, respon partai politik dan masyarakat, mobilisasi perjuangan di Aceh dan Kelantan. Dari aspek materi hukum, studi menganalisis materi hukum jinayah di Aceh dan Kelantan, yang meliputi qis}a>s}, h}udu>d, dan ta‘zi>r. Pemilihan Aceh sebagai lokasi penelitian didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, dalam sejarahnya Aceh telah memberlakukan hukum jinayah di masa Kesultanan Aceh Darussalam (1496-1903). Kedua, dalam sejarahnya sejak masa Muhammad Daud Beureueh (DI/TII) hingga Hasan Tiro (GAM), terdapat gerakan pemberontakan kepada Pemerintahan Negara Republik Indonesia (RI). Ketiga, hukum jinayah telah diberlakukan di Aceh dalam kerangka sistem hukum nasional setelah mendapatkan otonomi khusus. Pemilihan Kelantan sebagai lokasi penelitian didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, Kelantan merupakan negara bagian di Malaysia yang dikuasai PAS hingga Pemilu 2013. PAS inilah yang bersemangat memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Kedua, Kelantan merupakan negara bagian di Malaysia yang pertama kali mengundangkan hukum jinayah, yang meliputi h}udu>d, qis}a>s}, dan ta‘zi>r sebagai revisi atas pemberlakuan hukum jinayah sebelumnya yang tidak sesuai dengan hukum syariat (imam mazhab). Ketiga, di Kelantan terdapat gerakan perluasan pemberlakuan hukum jinayah, baik oleh Pemerintah Kelantan maupun masyarakat Kelantan.

65Peter Mahmud Marzuki, ‚Penelitian Hukum‛, 133. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2007) 257-258. 66Jerome Hall, Comparative Law and Social Theory (New York: Louisiana State University Press, 1963), 5-10. 21

F. Sistematika Pembahasan Disertasi ini terdiri dari enam bab, termasuk bab penutup yang terangkai secara korelatif antara satu dengan yang lainnya. Komposisi masing-masing bab tersistematisasi ke dalam daftar isi. Bab Pertama berjudul Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua berjudul Relasi Syariah, Negara, dan Demokrasi yang berisi kajian teoritik tentang relasi syariah dan negara, dan relasi demokrasi dan gerakan pemberlakuan syariah, relasi syariah, politik, dan sosial, dan hukum jinayah dalam sistem hukum dan politik negara-negara muslim. Kajian teoritik ini dimaksudkan untuk menjelaskan teori-teori pemberlakuan syariat Islam dalam hubungannya dengan negara (politik) dan masyarakat (sosial). Bab Ketiga berjudul Akar Pemberlakuan Hukum Jinayah di Indonesia dan Malaysia yang berisi sejarah Aceh dan Kelantan, kondisi sosio-budaya Aceh dan Kelantan, dan kondisi politik di Aceh dan Kelantan. Bab ini juga mengurai sejarah pemberlakuan hukum jinayah di masa kerajaan Islam yang meliputi wilayah Aceh, Banten, Banjar, Melaka, Pahang, Kelantan, Perak, dan Trengganu. Politik hukum kolonial terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia juga dibahas, khususnya kebijakan penjajah Belanda (Indonesia) dan penjajah Inggris (Malaysia). Bab ini diperkaya dengan pembahasan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia paska kemerdekaan dan posisi hukum jinayah dalam sistem hukum negara. Bab Keempat berjudul Kehendak Politik Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan yang berisi kehendak politik hukum nasional dan kehendak politik Pemerintahan Daerah dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Bab ini juga mengurai respon partai politik dan masyarakat dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan, baik masyarakat grassroot (bawah) maupun elit serta mobilisasi yang dilakukan masyarakat dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pembahasan bab ini dimaksudkan untuk menjelaskan tarik-menarik kepentingan politik hukum nasional dan Pemerintahan Daerah dalam pemberlakuan hukum jinayah serta respon yang disuarakan partai politik dan masyarakat terhadap kebijakan negara dan Pemerintahan Daerah tersebut. Bab Kelima berjudul Materi Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan yang berisi materi h}udu>d dan ta‘zi>r yang telah

22 diberlakukan di Aceh dan Kelantan dan materi h}udu>d, qis}a>s,} dan ta‘zi>r yang sedang diperjuangkan di Aceh dan Kelantan. Pembahasan materi hukum jinayah yang telah diberlakukan dan sedang diperjuangkan di Aceh dan Kelantan ini dikaitkan dengan pendapat ulama-ulama fikih, terutama untuk melihat pengaruh ulama-ulama fikih terhadap materi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Bab Keenam berjudul Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

23

24

BAB II RELASI SYARIAH, NEGARA DAN DEMOKRASI

Wacana tentang gerakan pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum negara dapat didekati dengan beberapa teori. Penelitian ini menggunakan teori relasi syariah dan negara, demokrasi dan gerakan sosial Islam dan relasi syariah dan politik untuk menjelaskan posisi pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum nasional. Teori-teori ini dipergunakan untuk menjelaskan kerangka paradigmatik dan operasional dalam memahami pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.

A. Relasi Syariah dengan Negara Perdebatan konseptual tentang relasi agama dan negara dalam sejarah pemikiran abad klasik dan pertengahan sejatinya tidak pernah menggema secara kuat di kalangan para pemikir Muslim karena praktik politik umat Islam di zaman kekhalifahan Islam tidak pernah memisahkan agama dan negara. Para pemikir Muslim klasik dan pertengahan telah menyaksikan praktik integrasi agama dan negara dalam Kekhalifahan Islam (sejak Khilafah Rasyidah hingga Turki Utsmani). Tak heran, jika para pemikir Muslim, seperti al-Ma>wardi> (972- 1058 M), al-Ghaza>li> (1058–1111 M), Ibn Taymi>yah (1263-1328 M), Ibn Khaldu>n (1332-1406 M) dan yang lainnya tidak pernah memperdebatkan konsep relasi agama dan negara. Mereka sudah melihat langsung praktik relasi agama dan negara yang bersifat integral (menyatu). Al-Ma>wardi> dalam al-Ah}ka>m al-S}ult}a>ni>yah wa al-Wala>yat al-Di>ni>yah, al-Ghaza>li> dalam al-Tibr al-Masbu>k fi> Nas}ih}at al-Mulu>k dan al-Iqtis}a>d fi> al-I’tiqa>d, Ibn Khaldu>n dalam Muqaddimah, dan Ibn Taymi>yah dalam al-Siya>sah al- Shar’i>yah fi> Is}lah} al-Ra>’i> wa al-Ra>’i>yah memiliki pandangan bahwa mengangkat khalifah dalam suatu negara bertujuan untuk melindungi agama dan mengatur dunia.67 Jika ditelusuri secara seksama, para pemikir

67Al-Ma>wardi>, al-Ah}ka>m al-S}ult}a>ni>yah wa al-Wala>yat al-Di>ni>yah (Iskandariyah: Da>r Ibn Khaldu>n, ttp), 7. Al-Ghaza>li>, al-Tibr al-Masbu>k fi> Nas}ih}at al- Mulu>k, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 74-76. Al-Ghaza>li, al-Iqtis}a>d fi> al- I’tiqa>d, (Beirut: Da>r al-Kutub, 2003), 169-170. Ibn Khaldu>n, Muqaddimah (Beirut: Dar 25

Islam ini telah menempatkan agama dan negara dalam posisi yang tidak terpisah. Integrasi agama dan negara telah nyata dalam praktik pada zaman Nabi, sahabat, dan Kekhalifahan Islam. Kolonialisme yang terjadi di negeri-negeri Muslim telah menjadikan konsep penyatuan agama dan negara ini mulai diperdebatkan. Pengaruh Barat yang sekuler telah menjadikan Dunia Islam, seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Aljazair, Indonesia, dan Malaysia mengalami kesulitan dalam upaya sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara. Pendirian negara bangsa yang pertama kali setelah kolonialisme menjadikan para pemikir di Dunia Islam berdebat tentang hubungan agama dan negara.68 Konsep relasi agama dan negara berkembang luas di kalangan pemikir Muslim dikarenakan muncul dan berkembangnya konsep pemisahan agama dan negara yang dihembuskan dari pengalaman sejarah modern Barat. Sekularisasi yang terjadi di Barat telah menantang konsep penyatuan agama dan negara yang menjadi basis argumen politik umat Islam.69 Karena itulah, di zaman modern ini, terjadi perdebatan yang serius di kalangan Islam dan Barat dalam menjelaskan konsep relasi agama dan negara. Dalam konteks ini, terjadi pemilahan antara kelompok yang memiliki pandangan yang menyatukan agama dan negara dan kelompok yang menolak penyatuan agama dan negara.70 Kelompok yang pertama sering disebut sebagai kelompok fundamentalis dan radikal71, sedangkan al-Fikr, ttp), 191. Ibnu Taymi>yah, al-Siya>sah al-Shar’iyah fi> Is}la>h} al-Ra>’i> wa al-Ra’i>yah (Kairo: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1969), 161. 68Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 3. 69Armando Salvatore, ‚Discursive Contention in Islamic Terms: Fundamentalism versus Liberalism‛ dalam Ahmad S. Mousalli (ed.), Islamic Fundamentalism: Myth and Realities (Libanon: Ithaca Press, 1998), 75. 70Basis argumen kedua kelompok adalah term-term al-Qur’an, seperti mulk, ummah dan h}ukm yang berkonotasi politik. Perdebatan ini terdapat dalam Sayed Khatab dan Gary D. Bouma, Democracy in Islam (London dan New York: Routledge, 2007), 7. 71Istilah fundamentalis dan radikal dapat dilacak dari Zachary Abuza, Political Islam and Violence in Indonesia, (London and New York: Routledge, 2007), 84. Lihat Oliver Roy, the Failure of Political Islam, (Londong: LB. Taurish Publishers, 1992), 3- 4. Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, penerjemah Imam Rosyidi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 292 dan 304. Said Amir Arjomand, ‚Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism‛ dalam Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (eds.), Fundamentalism Comprehended (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1995), 193. Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), 119-128. 26 kelompok yang kedua sering disebut sebagai kelompok sekuler72 dan liberal.73 Di antara pertentangan dua kelompok di atas, muncul kelompok yang ketiga, yaitu mereka yang berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keakhiratan dan sekaligus keduniaan (kemasyarakatan) meskipun hanya dalam bentuk prinsip-prinsip umum saja.74 Isu utama yang diperdebatkan dalam relasi agama dan negara adalah Negara Islam dan pemberlakuan syariat Islam. Kelompok fundamentalis sebagaimana dikemukakan Ahmad S. Mousalli adalah gerakan Islam yang menginginkan pendirian Negara Islam dan pemberlakuan syariat Islam.75 Bassam Tibi menyebut kelompok Islam yang menginginkan pemberlakuan hukum syariah sebagai kelompok fundamentalis yang memiliki motivasi untuk mendirikan negara Islam.76 Sebaliknya, kelompok yang menolak pendirian Negara Islam dan pemberlakukan syariat Islam sebagai kelompok liberal.77 Kelompok fundamentalis dan liberal tampak bersaing, bukan hanya dalam diskursus keagamaan, tetapi juga pertarungan politik. Dalam pandangan Leonard Binder, kelompok fundamentalis menjadi tantangan serius bagi kelompok liberal. 78Sebaliknya, kelompok liberal juga menjadi pesaing serius dari kelompok fundamentelis. Kedua kelompok ini tampaknya sulit dipertemukan dalam diskursus keagamaan dan orientasi politik. Dalam pandangan kelompok yang pertama, Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Seluruh persoalan umat Islam telah diberikan jawabannya dalam Islam.

72Istilah sekular dan liberal dapat dilacak pada Leonard Binder, Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies (Chicago: The University of Chicago Press, 1998), 357-359 dan Said Amir Arjomand, ‚Unity and Diversity in Islamic Fundamentalism…‛, 119-128. 73Dengan terminologi yang lebih bervariasi, Sayed Khatab dan Gary D. Bouma menyebut kedua kelompok di atas dengan sebutan ‚pemikiran Kiri dan Kanan, pemikiran Liberal dan Konservatif, pemikiran Pertengahan dan Modern, atau pemikiran Modernis dan Revivalis‛. Lihat Sayed Khatab dan Gary D. Bouma, ‚Democracy in Islam…‛, 11. 74Masykuri Abdillah, ‚Demokrasi yang Religius: Membincang Kembali Konsep Demokrasi di Indonesia‛, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Fiqh Siyasah (Ilmu Politik Islam) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, 16-17. 75Ahmad S. Mousalli, ‚Introduction to Islamic Fundamentalism: Realities, Ideologies, and Internal Politics‛ dalam Ahmad S. Mousalli (ed.), ‚Islamic Fundamentalism…‛, 3. 76Bassam Tibi, ‛Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam...‛, 292 dan 304. 77Armando Salvatore, ‚Discursive Contention in Islamic Terms…‛, 79. 78Leonard Binder, ‚Islamic Liberalism: a Critique…‛, 357-359. 27

Dengan kata lain, Islam adalah solusi atas keburukan kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.79 Konkretnya, mereka menginginkan restorasi penyatuan komunitas politik Muslim (ummah), yang dipimpin oleh otoritas Islam yang tersentralisasi (negara Islam), yang memberlakukan syariat Islam, dan digelorakan oleh semangat jihad.80 Paham penyatuan agama dan negara ini ini dapat dilacak dari pemikiran Abul A’la> al-Mawdu>di>, Taqiy al-Di>n al-Nabha>ni, Khalil Abdul Karim, dan pemikir Islam lainnya.81 Abul A’la> al-Mawdu>di> (1903-1979)> berpendapat bahwa Islam sejak awal memerintahkan untuk mendirikan negara Islam. Dalam posisi inilah, tuntutan mendirikan negara Islam dan konstitusi Islam bersumber pada keyakinan yang mendalam bahwa jika seorang Muslim tidak mentaati hukum Allah Swt (syariat Islam), maka pengakuannya sebagai seorang Muslim menjadi batal dan tidak ada artinya. Al-Mawdu>di kemudian menuduh teori pemisahan agama dan negara sebagai filsafat syetan. Karena itulah, Negara Islam dalam pandangan al-Mawdu>di> diletakkan dalam fondasi tauhid, risalah dan khilafah. 82 Taqiy al-Di>n al-Nabha>ni> (1909-1977) berpandangan bahwa sejak Nabi mendirikan komunitas masyarakat di Madinah, berubahlah periode dakwah ke periode hukum dan kekuasaan yang dapat memperkokoh dakwah. Di masa inilah, al-Nabh>ani> meyakini bahwa Nabi mendirikan negara untuk mengatur masyarakat.83 Dengan proposisi ini, Nabi Muhammad diklaim telah mempraktikkan teori penyatuan agama dan negara.

79John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛ dalam John L. Esposito dan Francois Burgat (eds.), Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in the Middle East and Europe (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 2003), 71. 80Paul Marshal, ‚Preface: the Importance of Extreme Shari’a‛ dalam Paul Marshal (ed.), Radical Islam’s Rules (USA: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2005), xi. 81Beberapa pemikir Islam telah menjadi ikon dari kelompok fundamentalis. L. Carl Brown dan Emanuel Sivan menyebut Ayatullah Khomeini, Hasan al-Banna>, Sayyid Quthb, Abu al-A’la> al-Mawdu>di>, Hasan Tura>bi>, dan Taqiyyuddi>n al-Nabha>ni> sebagai kelompok radikal dan fundamentalis. Mereka memiliki pandangan yang relatif sama tentang kewajiban mendirikan Negara Islam yang memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Lihat L. Carl Brown, Religion and State: the Muslim Approach to Politic (New York: Columbia University, 2000), 81. Emauel Sivan, Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics (New Haven dan London: Yale University Press, 1985), 1-2. 82Abul A’la> al-Mawdu>di>, al-H}uku>mah al-Isla>mi>yah, (Kairo: al-Mukhta>r al- Isla>mi>,1980), 22 dan 28. 83Taqy al-Di>n al-Nabha>ni>, al-Dawlah al-Isla>mi>yah, (Beirut: Da>r al-Aimmah, 2002), 48-49. 28

Dalam pandangan Khalil Abdul Karim (1929-2002), argumentasi yang mengkerdilkan Islam sebagai agama an sich, bukan agama sekaligus negara, merupakan argumentasi yang distorsif dan tidak cukup bukti sebab jika Islam adalah agama an sich tentu di dalam Islam tidak ada persoalan-persoalan yang menyangkut politik, kekuasaan atau pemerintahan. Dalam kenyataannya, banyak teks-teks suci yang menyinggung persoalan politik, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama dan negara sekaligus.84 Dalam posisi inilah, beberapa pemikir Islam meyakini bahwa Islam harus menjadi dasar negara, syariah harus diterima sebagai konstitusi negara, kedaulatan politik ada di tangan Tuhan, dan negara-bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep umat yang tidak mengenal batas-batas wilayah.85 Paradigma ini kemudian dikenal dengan konsep ‚al-Isla>m di>n wa dawlah‛. Islam adalah agama dan negara sekaligus. Dengan kata lain, Islam mengatur persoalan-persoalan politik dan kekuasaan.86 Paradigma ini mengakibatkan umat Islam diberi kewajiban untuk memberlakukan hukum-hukum syariat, termasuk hukum jinayah, seperti qis}a>s}, h}udu>d, dan ta’zi>r di dalam sistem hukum negara. Lahirnya pandangan ini dipengaruhi oleh memori sejarah bahwa sejak awal, umat Islam mempraktikkan relasi yang integral antara syariah dan negara. Para khalifah Islam di masa awal telah memberlakukan hukum-hukum syariah, dan bahkan para khalifah dipandang sebagai para penjaga hukum-hukum syariah di muka bumi. Memori historis ini muncul dari keyakinan ideologis yang kuat untuk melaksanakan hukum Tuhan, bukan hukum buatan manusia. Kondisi ini diperkuat dengan fakta keterdesakan hukum-hukum syariat di negara- negara Muslim akibat adopsi terhadap hukum-hukum Barat di masa kolonial. Masuknya hukum-hukum Barat secara formalistik ke negeri- negeri Muslim menjadikan hukum-hukum syariat hanya berada dalam wilayah kultural.87 Negara pertama yang mengadopsi hukum Barat adalah Turki. Pada abad ke-19, Turki mulai melakukan reformasi hukum dengan memperkenalkan hukum dagang berdasarkan praktik orang-orang Eropa sesuai Perjanjian Perdagangan 1838, Undang-undang Pidana Tahun 1858

84Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, penerjemah Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003), 115-116. 85Bahtiar Effendy, ‚Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan Kenyataan Empirik‛ dalam M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), xv. 86Armando Salvatore, ‚Discursive Contention in Islamic Terms…‛, 77. 87Lihat Sami Zubaida, Law and Power in the Islamic World (New York: I.B. Tauris & Co Ltd, 2010), 1. 29 yang mengadopsi Undang-undang Pidana Perancis (1810),88 Undang- undang Pencatatan Dagang tahun 1861 dan Undang-undang Perdagangan Maritim tahun 1863.89 Modernisasi hukum yang menghendaki legislasi formal mengakibatkan hukum-hukum syariat semakin terdesak, sehingga banyak pemikir Muslim mulai berusaha memikirkan pengundangan formal dalam memberlakukan hukum-hukum syariat. Di sisi lain, pandangan sekularistik hadir sebagai bagian dari kritik terhadap paham penyatuan agama dan negara yang selama ini mapan dan berpengaruh kuat dalam kesadaran kolektif umat Islam. Konsep al-Isla>m di>n wa dawlah dikritik bahwa Islam tidak mengatur persoalan kenegaraan secara spesifik karena urusan kenegaraan diserahkan kepada umat yang disesuaikan dengan konteks sosial dan politik. Paham penyatuan agama dan negara ini dipandang telah gagal dalam memahami posisi Nabi Muhammad di Madinah karena kehadiran Islam di Madinah baru mencapai tahap yang disebut chiefdom (ima>rah), yakni tahap yang sudah melampaui tingkat integrasi sosial politik kesukuan, yang berbasis pertalian sedarah, tetapi belum mencapai tahap integrasi sosial politik yang disebut negara. Setelah Nabi Muhammad wafat, kekuasaan terpusat ini berkembang menjadi bagian dari proses menuju terbentuknya negara dinastik yang menjadi bagian dari proses berperadaban masyarakat Arab Muslim. Persepsi para pemikir Islam tentang negara Madinah sebagai format Negara Islam yang wajib dicontoh untuk ditegakkan merupakan persepsi yang mengabaikan realitas sosiologis masyarakat Arab saat itu. Suatu proses menuju pembentukan negara tidak tepat dijadikan contoh baku atau ideal, dan karena itu perlu rekonstruksi atas format teoretik tentang hubungan Islam dengan negara.90 Dalam paham sekular, negara dipisahkan dari agama. Agama masuk dalam urusan privat yang tidak diatur negara sehingga negara tidak diperbolehkan memberlakukan hukum-hukum agama. Pengalaman Barat di abad pertengahan telah memperlihatkan betapa agama dimanipulasi oleh penguasa politik untuk kepentingan kekuasaan.Tak heran, sekularisasi menjadi jawaban atas kemunduran Barat yang mengintegrasikan gereja dan negara. Karana itulah, para pemikir Muslim

88Penjelasan lebih lengkap tentang reformasi hukum di Turki lihat Sami Zubaida, ‚Law and Power in the Islamic World…‛, 130-135. Lihat pula Joseph Schacht, an Introduction Islamic Law (Oxford: the Clarendon Press, 1964), 92. 89Kondisi ini menjalar ke negara-negara lain, seperti Mesir, Syria, Pakistan, dan Indonesia. Lihat M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 81-82. 90Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam (Jakarta: Alvabet dan LAKIP, 2011), 369. 30 mengadopsi pengalaman sejarah dan pemikiran Barat dalam menata relasi agama dan negara. Dalam konteks ini, syariat tidak dapat diberlakukan oleh negara karena menjadi urusan privat umat Islam. Paham sekularistik ini dapat dilacak dari pemikiran ‘Ali> ‘Abd al-Ra>ziq, Bassam Tibi, Muhammad Sa’i>d al-As}ma>wi, >Abdullahi Ahmed an-Na’im dan yang lainnya. ‘Ali> ‘Abd al-Ra>ziq (1888-1966) menolak pandangan bahwa Nabi Muhammad adalah rasul sekaligus sebagai pemimpin negara. Menurut al- Ra>ziq, Nabi Muhammad adalah seorang rasul, yang tidak mendirikan negara di Madinah dan tidak mengajak untuk mendirikan negara.91 Islam memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk mengelola negara sesuai kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi. Dalam konteks ini, al- Ra>ziq mengambil posisi bahwa khilafah bukanlah rejim agama. Al-Ra>ziq pun tidak memberikan legitimasi sistem demokrasi, termasuk kepada sistem politik yang lainnya. Dia berpandangan bahwa Islam tidak menyediakan sistem politik tertentu sehingga Islam tidak memberikan legitimasi kepada sistem politik apa pun.92 Sama seperti al-Ra>ziq, Muh}ammad Sa’i>d al-Ashma>wi> menolak pandangan bahwa Islam adalah negara dan agama (al-Isla>m di>n wa dawlah), yang pada gilirannya akan membawa kepada empat persepsi. Pertama, sistem pemerintahan yang dipraktikkan di negara-negara Islam adalah bagian dari ajaran agama. Kedua, politik adalah bagian dari agama sehingga dapat dikatakan aktivitas politik adalah aktivitas agama; tidak ada perbedaan antara agama dan politik. Ketiga, kewajiban mendirikan negara Islam yang memberlakukan syariat Islam. Keempat, dasar/asas dari negara-negara Islam adalah sistem Islam, sistem moral Islam, dan budaya Islam. Jika yang dimaksud konsepsi ‚Islam adalah negara dan agama‛ adalah demikian, maka bagi al-Ashma>wi> adalah suatu kekeliruan yang besar dalam memahami agama (Islam) karena al-Qur’an dan Hadith tidak memuat ajaran (normatif-tekstual) yang berkaitan dengan sistem politik. Menurut al-Ashma>wi>, sistem pemerintahan dalam Islam bersumber pada kehendak manusia (madani>), bukan kehendak Tuhan (di>ni>).93 Dalam kaitan dengan pemberlakuan syariat Islam, Abdullahi Ahmed an-Na’im mengemukakan bahwa aturan-aturan syariah tidak dapat diberlakukan secara formal oleh negara sebagai hukum dan

91’Ali>>’Abd al-Ra>ziq, al-Isla>m Wa Us}u>l al-H}ukm (Kairo: al-Hay’ah al- Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, tt.), 64-65. 92Leonard Binder, ‚Islamic Liberalism: a Critique…‛, 131 dan 147. 93Muh}ammad Sa’i>d al-Ashma>wi>, al-Isla>m al-Siya>si>, cetakan ketiga (Kairo: ’Arabiyyah li al-Tiba>’ah wa al-Nashr, 1992), 166. 31 kebijakan publik hanya karena alasan bahwa aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Pernyataan itu bukan berarti bahwa Islam harus dikeluarkan dari perumusan kebijakan publik dan perundang-undangan atau dari kehidupan publik pada umumnya. Sebaliknya, negara tidak perlu berusaha menerapkan syariah secara formal. Pandangan An-Naim ini berangkat dari asumsi bahwa umat Islam di manapun, baik sebagai minoritas ataupun mayoritas, dituntut untuk menjalankan syariah Islam sebagai bagian dari kewajiban agamanya. Tuntutan ini akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundang-undangan negara. Ini tidak berarti negara dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan warga negara.94 Pandangan an-Na’im ini sesungguhnya hendak mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat, tetapi bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara paksa oleh kekuatan negara. An-Na’im sedang berikhtiar untuk menjelaskan dan menyokong upaya penting dan sekaligus sulit untuk menjembatani paradoks pemisahan kelembagaan Islam dan negara sambil tetap memperhitungkan adanya keterkaitan yang niscaya antara Islam dan politik dalam masyarakat Islam saat ini. An-Na’im menentang ilusi berbahaya tentang negara Islam yang bisa menjalankan prinsip-prinsip syariah melalui kekuatan negara yang memaksa. An-Na’im juga menentang ilusi berbahaya lainnya bahwa Islam bisa atau seharusnya ditarik keluar dari kehidupan publik umatnya. Dengan kata lain, apa pun yang dijalankan oleh negara atas nama syariah dengan sendirinya akan menjadi sekular, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan politik yang memaksa dan bukan oleh otoritas Islam yang unggul, sekalipun tidak tertutup kemungkinan mencari tahu bagaimana pandangan masyarakat Muslim tentang hal itu.95 Konsepsi an-Na’im di atas, dipertegas lagi oleh Muh}ammad ‘Abi>d al-Ja>biri> bahwa syariat Islam bukanlah keseluruhan teks yang mesti diberlakukan, melainkan bagaimana menafsirkannya secara memadai di dalam kehidupan sekarang.96 Penerapan syariat Islam tidak sekadar pelaksanaan hukuman, seperti hukuman potong tangan karena

94Abdullahi Ahmed an-Na’im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a (London: Harvard University Press, 2008), 15-17. 95Abdullahi Ahmed an-Na’im, ‚Islam and the Secular State…‛, 21. 96Muhammad ’A>bid al-Jabi>ri>, Wijhat al-Naz}ar: Nah}wa I’a>dat Bayna Qad}a>ya> al- Fikr al-‘Arabi> al-Mu’a>s}ir (Maghribi>: Markaz al-Tsaqafi> al-‘Arabi>, 1992). 32 ada prinsip-prinsip dan hukum-hukum lainnya yang harus diterapkan, seperti prinsip musyawarah dalam kehidupan politik. Penerapan prisip- prinsip ini harus mendahului penerapan sebagian hukuman-hukuman syariat, khususnya hukuman atas pencurian karena ketiadaan sebab- sebab objektif yang mendorong kepada pencurian merupakan syarat yang niscaya untuk menjadikan tanggung jawab pencurian itu terpulang kepada si pelaku.97 Hal ini disebabkan karena syariah lebih merupakan metodologi atau sumber hukum dan bukan hukum itu sendiri. Karena itulah, syariat tidak dapat diundangkan sebagai hukum positif dan akan tetap menjadi sumber dari sistem sanksi agama yang bersifat normatif. Dengan kata lain, syariat tidak dapat diterima atau diasumsikan untuk menjadi sebuah undang-undang sebagaimana hukum positif.98 Karena itulah, Muh}ammad al-Ja>biri> memandang titik berangkat penerapan syariat Islam seharusnya adalah memberikan kesempatan kepada kaum muslimin dan yang lainnya dari anggota masyarakat Islam untuk menikmati hak-hak asasi yang ditetapkan untuk manusia sebagai manusia oleh al-Qur’an dan Hadith. Tanpa menikmati hak-hak asasi manusia tersebut niscaya penerapan h}udu>d hanya mengenai kaum yang lemah, yang melakukan pelanggaran dan tindakan kriminal karena didorong oleh rasa lapar, kebodohan, dan penindasan yang mereka terima. Sebaliknya, orang-orang kuat, para pemegang kekuasaan, kehormatan, dan harta selalu mengetahui bagaimana cara menyembunyikan kajahatan-kejahatan mereka dan bagaimana menghindar dari jeratan hukum, dan karena itu h}udu>d tidak akan pernah diterapkan kepada mereka.99 Pertentangan antara paham integral dan sekular ini kemudian dijembatani dengan paham substansial.100 Paham ini menjelaskan bahwa Islam tidak mengatur sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah satu tokohnya adalah Muhammad Husain Haikal yang menulis buku al-H}uku>mah al-Isla>mi>yah. Menurut Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan al-Qur’an dan Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan kenegaraan. Sistem pemerintahan republik dan kerajaan yang telah dilaksanakan dalam sejarah Islam tidak dapat diklaim sebagai

97Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, penerjemah Mujiburrahman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 187-188. 98Abdullahi Ahmed an-Na’im, ‚Syariat dan Hukum Positif di Negara Modern,‛ dalam Tashwirul Afkar, Edisi 12 (2002): 39. 99Muhammad Abid al-Jabiri, Syura: Tradisi Partikularitas–Universalitas, penerjemah Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003), 200. 100Bahtiar Effendy, ‚Teologi Baru Politik Islam…‛, 41. 33 sistem yang islami karena semasa Nabi Muhammad hidup di Madinah belum terdapat ketentuan-ketentuan dasar sistem pemerintahan yang rinci. Yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.101 Sebagaimana pendapat di atas, Munawir Sjadzali menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetapi al-Qur’an tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Nabi Muhammad Saw wafat tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya umat Islam menentukan siapa pemimpin atau kepala negara mereka, mengatur hubungan kekuasaan antara kepala negara dan rakyat, batas kekuasaan dan masa jabatan kepala negara, dan lain-lain. Al-Qur’an memiliki kelenturan dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman yang lain serta antara satu budaya dengan budaya yang lain.102 Kelompok ini percaya kepada sifat holistik Islam, tetapi mereka menolak pendapat bahwa Islam memberikan sistem kehidupan yang detil dan baku. Sifat holistik Islam hanya meliputi nilai-nilai moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi kehidupan. Mereka memandang relasi Islam dan negara hanya didasarkan pada prinsip-prinsip etis, bukan konsepsi baku. Islam tidak mewajibkan umatnya untuk membentuk sebuah negara, melainkan tatanan masyarakat yang baik, yaitu masyarakat yang merefleksikan substansi ajaran Islam, seperti keadilan, egalitarianisme, partisipasi, musyawarah, dan lainnya.103 Masykuri Abdillah membagi kelompok ini dalam tiga orientasi. Pertama, pelaksanaan syariah secara formal untuk hukum-hukum privat tertentu, seperti hukum keluarga, zakat, haji, wakaf, dan perbankan syariah. Kedua, pelaksanaan syariat Islam secara substantif, seperti hukuman mati bagi tindak pembunuhan yang secara materiil sama dengan qis}a>s}. Ketiga, pelaksanaan syariat Islam secara esensial, jika pelaksanaan secara substantif sulit diwujudkan dalam konteks masa kini. Misalnya, hukuman penjara bagi tindak pidana pencurian secara esensial telah sesuai dengan jiwa hukum Islam, yakni bahwa pencurian merupakan kejahatan yang harus dikenakan sanksi.104 Dengan kata lain,

101Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), 182-183. Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal (Jakarta: Paramadina, 2001), 240. 102Munawir Sjadzali, ‚Islam dan Tata Negara…‛, 1-2 dan 235-236. 103Bahtiar Effendy, ‚Teologi Baru Politik Islam…‛, 29-30. 104Masykuri Abdillah, ‚Demokrasi yang Religius: Membincang‛, 38. 34 kelompok ini menjadikan ajaran Islam sebagai sumber etika-moral atau input bagi pembangunan hukum nasional dan kebijakan publik lainnya.105 Dalam pandangan kelompok ini, negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim memiliki hak untuk memberlakukan hukum-hukum syariah sebagai bagian dari ekspresi beragama yang dijamin oleh negara dengan tetap menghormati hak-hak kelompok minoritas. Dengan kata lain, negara tidak dapat bersikap netral sepenuhnya terhadap agama karena agama telah dipeluk oleh warga negaranya. Negara juga tidak dapat menyerahkan sepenuhnya kepada kelompok mayoritas (Muslim) untuk memberlakukan hukum agama dalam negara yang plural. Karena itulah, berbagai hukum-hukum syariat diperkenankan untuk diberlakukan negara. M. B. Hooker menemukan positivisasi syariah di Indonesia telah berhasil menghindari kesulitan menempatkan hukum positif yang berbasis syariah sebagai hukum yang islami. Hal ini dibuktikan dengan masuknya aspek-aspek syariah yang cocok untuk Indonesia dalam sistem hukum nasional secara damai, seperti Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), bank syariah, wakaf, zakat dan fatwa. 106 Jan Michiel Otto menyebut bahwa Indonesia berada dalam posisi negara yang memiliki sistem campuran (mixed system) yang menyandingkan konstitusi nasional dengan memperbolehkan aturan- aturan Islam memainkan peran yang dominan dan mempengaruhi sejumlah area hukum nasional. Berbeda dengan negara lain, seperti Arab Saudi yang menggunakan sistem syariah klasik (classical sharia system) dengan menjadikan syariah sebagai hukum nasional.107 Wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang substansialistik di Indonesia juga merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesis antara Islam dan negara.108 Ketiga teori ini seringkali dijadikan sebagai pemetaan paradigma gerakan pemberlakuan syariat Islam di negara-negara Muslim. Tak mengherankan jika sampai sekarang ini, perdebatan relasi agama dan negara masih berlangsung alot dan akan terus diperdebatan dalam setiap transisi negara. Di tengah transisi politik itulah, gerakan sosial dan politik dari aliran apa pun biasanya akan muncul. Kelompok liberal,

105Masykuri Abdillah (ed.), ‚Wacana Formalisasi Syariat Islam‛ dalam Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), 7. 106M. B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law (Singapura: ISEAS, 2008), 289-290. 107Jan Michiel Otto, Sharia and National Law in Muslim Countries: Tension and Opportunities for Dutch and EU Foreign Policy, (Leiden: Leiden University Press, 2008), 8. 108Bahtiar Effendy, ‚Teologi Baru Politik Islam…‛, 41. 35 sosialis, dan Islam akan saling berebut kekuasaan. Indonesia telah menjadi contohnya. Islam memainkan peran yang signifikan dalam setiap transisi politik, karena Indonesia memiliki akar sejarah dan ideologi dengan Islam. Ketiga bentuk relasi syariah dan negara dalam konteks kekinian menunjukkan bahwa paradigma integral-fundamentalis dan sekuler- liberal tidak dapat dioperasikan secara murni karena konteks sosial politik suatu negara akan sangat mempengaruhi pilihan-pilihan di atas. Syariah, khususnya di negara-negara Muslim, akan diakomodasi masuk ke dalam hukum negara melalui proses perdebatan sosial dan politik yang panjang. Sebaliknya, menolak syariah masuk ke dalam hukum negara, akan kehilangan relevansinya bagi negara-negara Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia.

B. Relasi Demokrasi dan Gerakan Pemberlakuan Syariah Gerakan pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum negara berhubungan dengan sistem politik yang sedang dipraktikkan oleh negara. Negara demokratis yang memberikan kebebasan beraspirasi dan berpartisipasi dalam kebijakan negara memungkinkan kelompok- kelompok masyarakat melakukan gerakan sosial. Sebaliknya, negara otoriter yang mengekang aspirasi dan partisipasi, tidak memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat melakukan gerakan sosial. Dalam kerangka inilah, gerakan pemberlakuan syariat Islam diletakkan dalam sistem politik negara demokratis yang menyediakan ruang publik yang lebih luas. Demokratisasi dan civil society telah menjadi fenomena penting dalam dekade terakhir abad ke-20. Isu yang dimunculkan adalah partisipasi politik, representasi, hak menentukan diri sendiri, akuntabilitas pemerintahan, penegakkan hukum, dan keadilan sosial. Isu ini bergulir deras di seluruh penjuru Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika. Aktor dan organisasi di luar negara pun menjadi kekuatan utama civil society,109 yang berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang negara. Negara tidak bisa lagi memainkan peran politiknya secara sentralistik, hegemonik, dan otoriter. Negara harus mulai mempertimbangkan kekuatan-kekuatan sipil yang berpartisipasi dalam proses politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Civil society pada dasarnya tumbuh subur di negara yang demokratis, sedangkan di negara otoriter, civil society akan mendapatkan tekanan politik yang kuat, bahkan terkadang dikooptasi

109John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 70. 36 untuk kepentingan rezim. Dale F. Eickelman menyebut civil society di Maroko hingga Turki tumbuh dalam bentuk masyarakat kritis seiring dengan perkembangan demokrasi.110 Di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Filiphina, dan Tailand pun tumbuh civil society dalam mengagendakan politik kekuasaan yang demokratis. Tak ketinggalan, civil society yang tumbuh di Timur Tengah, telah menjadi kekuatan dalam membangun politik demokratis. Kini, demokratisasi yang tumbuh di negara-negara Muslim Timur Tengah dan Asia Tenggara telah menggulirkan perkembangan civil society yang signifikan.111 Demokrasi telah memperkuat posisi civil society karena demokrasi modern sebagaimana yang dibayangkan Robert A. Dahl menghendaki adanya sirkulasi kekuasaan, pemerintahan yang representatif, dan kesetaraan politik.112 Konsep ini mengandung pengertian bahwa semua orang berhak berpartisipasi dalam kekuasaan negara dalam posisi yang setara. Kesetaraan politik merupakan komponen utama demokrasi yang menegaskan bahwa setiap warga negara dapat berkontribusi untuk melahirkan kebijakan politik.113 Demokrasi merupakan sistem politik yang memberikan peluang yang sama kepada warga negaranya untuk menyalurkan aspirasinya secara bebas. Demokrasi mengandaikan bahwa seluruh warga negara berpartisipasi dalam pemerintahan dan bebas menyalurkan aspirasinya. Kebebasan beraspirasi, media, dan berorganisasi telah menjadi kunci utama dalam demokrasi sehingga negara dapat dikontrol oleh seluruh rakyat secara langsung. Dalam teorinya, Larry Diamond menegaskan demokrasi harus dikonsolidasi oleh elit, organisasi, dan massa yang percaya bahwa sistem politik demokrasi ini dipatuhi, termasuk di dalamnya aktor-aktor kolektif yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan, seperti partai politik, kelompok bisnis, kelompok profesional, organisasi mahasiswa, kelompok perempuan dan kelompok kepentingan dan gerakan masyarakat yang

110Dale F. Eickelman, ‚Foreward‛ dalam Augustus Richard Norton, Civil Society in the Middle East (Leiden: Brill, 1996), xiii. 111John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society,‛ 70. 112Robert A. Dahl, Democracy and Its Critique (Michigan: Yale University, 1989), 24. Adam Przeworski, dkk., Democracy and Development: Political Institution and Well-Being in the World, 1950-1990 (New York: Cambridge University Press, 2005), 19. 113Lihat Albert Weale, Democracy (New York: St. Martin’s Press, 1999), 54. Lihat pula Robert A. Dahl, On Democracy (Virginia: Yale University Press, 1998), 62- 65. 37 mencari suara dan keuntungan (benefit).114 Ini berarti bahwa demokrasi menghendaki posisi dan peran yang signifikan oleh seluruh komponen masyarakat dalam menjalankan pemerintahan. Itu sebabnya, kontrol dari civil society terhadap negara dilakukan sebagai bagian dari partisipasi politik. Kontrol dilakukan terhadap kebijakan yang telah dirumuskan oleh negara dalam mengatur rakyatnya. Kebijakan negara yang dikontrol civil society dapat berupa kebijakan politik, kebijakan hukum, kebijakan ekonomi, kebijakan sosial, dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa demokrasi memberikan kesempatan kepada civil society untuk berkontribusi terhadap negara. Selain itu, terhadap kebijakan negara, civil society dapat menyalurkan aspirasi tentang kebijakan yang akan dirumuskan negara, baik dalam urusan politik, hukum, sosial, dan ekonomi. Ruang-ruang penyaluran aspirasi sesungguhnya tersedia luas di dalam ruang publik. Dalam konsepsi ini, demokrasi menyediakan ruang publik sebagai tempat masyarakat berkontestasi dalam diskursus negara. Albert Weale menyebut beberapa saluran partisipasi politik dalam negara demokrasi, seperti suara, kampanye partai politik, aktivitas kelompok kepentingan, menjalin komunikasi dengan pejabat publik, terlibat dalam protes dan demonstrasi, dan terlibat dalam perumusan kebijakan publik.115 Saluran- saluran inilah yang dijadikan sebagai mekanisme civil society dalam berpartisipasi politik. Dalam konteks inilah, ruang publik menjadi arena perdebatan diskursus oleh seluruh lapisan masyarakat. Demokrasi memberikan ruang kebebasan untuk berekspresi dan menyalurkan aspirasi. Demokrasi juga memberi ruang bagi kelompok masyarakat untuk memobilisasi aspirasi ke dalam saluran politik untuk mempengaruhi kebijakan negara. Lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang memperjuangkan pemberlakuan hukum merupakan implikasi dari kebebasan yang menjadi prinsip dari demokrasi. John L. Esposito telah mensinyalir beberapa isu islamisasi yang muncul dalam ruang publik, seperti tuntutan pendirian Negara Islam, penekanan publik dan politik terhadap dimensi Islam, dan pemberlakuan syariat Islam. Fenomena ini terjadi di sejumlah Negara Muslim, seperti Pakistan, Iran, Sudan, Afghanistan, Mesir,116Indonesia,

114Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation (Maryland: The Johns Hopkins University Press, 1999), 8. 115Albert Weale, ‚Democracy‛, 87-88. 116John L. Esposito, ‚Introduction: Modernizing Islam and Re-Islamization in Global Perspecive‛ dalam John L. Esposito dan Francois Burgat, Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in the Middle East and Europe (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 2003), 6-8. 38

Malaysia, dan Tunisia. Isu-isu ini muncul di ruang publik yang disediakan negara demokratis. Gerakan perjuangan pemberlakuan syariat Islam lahir dari politik kebebasan yang disediakan demokrasi. Demokrasi tidak membatasi pembentukan organisasi-organisasi untuk memberi ruang bagi penyaluran aspirasi. Munculnya gerakan Islam di Indonesia, seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslimin dan organisasi Islam lainnya yang menyuarakan aspirasi pemberlakuan syariat Islam oleh negara secara ka>ffah merupakan efek dari demokrasi yang menyediakan kebebasan dalam ruang publik.117 Kesempatan untuk mengeluarkan aspirasi politik oleh kelompok masyarakat akan mengalami eskalasi ketika negara sedang bertransisi. Transisi politik dari otoriter ke demokrasi yang pernah terjadi di Indonesia telah menjadikan ruang publik kembali dipenuhi dengan tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Ruang publik yang dipenuhi oleh syariat Islam telah menjadi konektor utama antara rakyat dan kekuasaan.118 Sepanjang kejatuhan rezim Orde Baru di Indonesia, di samping reformasi sebagai isu utama dalam ruang publik, orientasi kepada Islam, seperti Piagam Jakarta,119 Islamisasi, syariat Islam, dan Negara Islam menjadi tema-tema utama dalam ruang publik. Begitu pula yang terjadi Mesir paska kejatuhan rezim Hosni Mubarak pada 11 Pebruari 2011, orientasi Islam sosial dan politik menguat. Transisi politik di Mesir yang membuka arus kebebasan politik terbukti berhasil menumbuhkan Islamisme dengan kemenangan H}izb al- H}urri>yah wa al-‘Ada>lah (Partai Kebebasan dan Keadilan), partai yang didirikan al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir.120 Pemilu di masa transisi

117Khamami Zada, ‚Islam Radikal: Pergulatan…‛, 4. 118Istilah ini diambil dari penjelasan Iris Marion Young tentang ruang publik yang menjadi tempat kemunculan isu, informasi, opini kebijakan dan praktik politik yang didiskusikan dan diseminasi yang dapat memprovokasi perubahan sosial dan politik. Lihat Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (New York: Oxford University Press, 2000), 173-174. Bandingkan Jurgen Habermas, Between Facts and Norms: Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 2001), 329-378. 119Tiga partai Islam, PPP, PBB, dan PK telah menampilkan karakternya masing-masing dalam perjuangan mengislamisasi negara dan masyarakat dalam agenda pemberlakuan syariah. Lihat Bernhard Platzdasch, Islamism in Indonesia (Singapura: ISEAS, 2009), 205. 120Kelahiran Ikhwanul Muslimin tidak lepas dari upaya Hasan al-Bana pada April 1928. Sebagai organisasi massa keagamaan, Ikhwanul Muslimin merupakan induk sekaligus muara bagi lahirnya banyak organisasi Islam di Mesir dan beberapa negara Arab lainnya, termasuk di Suriah, Sudan, Yordania, Kuwait, Yaman, dan 39

Mesir kemudian memenangkan Mohammed Mursi yang berasal dari sayap Ikhwanul Muslimin (H}izb al-H}urri>yah wa al-‘Ada>lah). Kondisi yang seperti ini kemudian dimanfaatkan oleh rezim penguasa untuk mengubah konstitusi yang selaras dengan Islam. Akibat kuatnya desakan massa yang didukung oleh militer, maka Mohammed Mursi pun dijatuhkan. Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdel Fatah Al Sisi pada 3 Juli 2013 mengumumkan peta jalan bagi masa depan Mesir dengan menjatuhkan Presiden Moursi121 Potret Indonesia dan Mesir sesungguhnya mencerminkan perubahan yang revolusioner sebagaimana yang telah diprediksi oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schimitter sebagai kemunculan suatu alternatif revolusioner.122 Pemberlakuan syariat Islam secara ka>ffah sesungguhnya adalah alternatif revolusioner. Jika tidak diakomodasi, maka gelombang masyarakat untuk memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam secara ka>ffah akan terus berlangsung di masa transisi berikutnya. Dalam posisi inilah, Jack A. Goldstone menjelaskan terjadi posisi saling mempengaruhi; seringkali gerakan sosial mencari pengaruh negara untuk meraih tujuannya dan sebaliknya negara seringkali bertindak mempengaruhi gerakan sosial. Karena itulah, negara merespon gerakan sosial dengan jalan represi atau sebaliknya negara dapat menerima gerakan sosial.123 Dalam negara demokrasi seperti sekarang ini, cara represi sudah tidak lagi digunakan oleh negara dalam merespon gerakan masyarakat. Sebaliknya, menerima sepenuhnya pun tidak dapat sebagian negara Afrika Utara. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), 33. 121Nathan J. Brown, ‚Egypt’s Failed Transition‛ dalam Journal of Democracy, Volume 24, Number 4, October 2013, 1-2. http://www.ned.org/research/worth-reading- oct-15-2013-journal-of-democracy-october-2013-issue diakses pada 12 Pebruari 2014. Maria Cristina Paciello, ‚Egypt: Changes and Challenges of Political Transition‛, dalam MEDPRO Technical Report No. 4/Mei 2011, 1.http://www.iai.it/pdf/mediterraneo/MedPro/MedPro-technical-paper_04.pdf diakses pada 28 Januari 2014. 122Lihat Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schimitter, Transition from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Maryland: The John Hopkins University Press, 1986), 6. Bandingkan transisi demokrasi yang terjadi di Brazil, Polandia, Argentina, Cekoslovakia, Cile, Hungaria, dan Bulgaria dengan berbagai model transisi yang telah dilalui. Lihat Gerado L. Munck dan Carol Skalnik Leff, ‚Modes of Transition and Democratization: South America and Estern europe in Comparative Perspective‛ dalam Lisa Anderson (ed.), Transition Democracy (New York: Columbia University Press, 1999), 194. 123Jack A. Goldstone, ‚Bridging Institutionalized and Noninstitutionalized Politics‛ dalam Jack A. Goldstone (ed.), States, Parties and Sosial Movement (New York: Cambdridge University Press, 2003), 12-13. 40 dilakukan oleh negara jika terjadi perbedaan kepentingan dalam membentuk hukum negara. Karena itulah, negara biasanya menggunakan elit-elit untuk berpartisipasi dalam pemberlakuan syariat Islam sebagai bagian dari partisipasi masyarakat (public participation). Dari sudut civil society, gerakan Islam kontemporer lahir dalam konstelasi politik yang semakin demokratis di sejumlah negara Muslim. John L. Esposito telah berhasil memetakan gerakan Islam setelah mengamati perkembangan Islam dan civil society di Timur Tengah. Dalam pengamatan Esposito, gerakan Islam menawarkan Islam sebagai solusi atau alternatif ketiga dari sosialisme dan kapitalisme. Gerakan Islam memandang Barat terlalu bias orientasinya yang hanya bertumpu pada sekularisme dan secara politik tidak cocok bagi masyarakat Muslim dan secara sosial telah rusak (korosif) atau merusak identitas dan moral masyarakat Muslim. Para Islamis menegaskan bahwa Islam bukan hanya koleksi dari kepercayaan dan ritual yang dipraktikkan, melainkan ideologi yang komprehensif bagi masyarakat Muslim. Islam mencakup kehidupan pribadi dan kehidupan sosial sekaligus.124 Terhadap doktrin ini, kebanyakan dari gerakan Islam memfokuskan syariat Islam sebagai program politik dan menggunakannya sebagai definisi dari Islamisasi.125 Gerakan Islam pada umumnya didominasi oleh kelompok muda, lulusan kampus, dan profesional muda. Mereka direkrut dari masjid dan kampus sebagai basis utamanya. Mereka muncul akibat tekanan ekonomi dan politik penguasa. Kekuatan mereka bukan hanya agama, tetapi juga penguasaan sains dan tekonologi, pendidikan, hukum, dan kedokteran. Pada umumnya mereka adalah kaum urban yang berasal dari kelas menengah. Di banyak Negara Muslim, mereka adalah kelompok elit alternatif yang modern, tetapi memiliki orientasi Islam yang kuat dan memiliki komitmen untuk mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang lebih islami.126 Mereka adalah produk dari sistem pendidikan modern. Mereka tidak memperoleh pendidikan politik di sekolah-sekolah agama, melainkan di kampus-kampus. Mereka hidup mengikuti nilai- nilai kota modern. Mereka disebut Olivier Roy dengan kelompok fundamentalis yang berorientasi syariat Islam.127

124John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 72. 125Knut S. Vikor, Between God and the Sultan: a History of Islamic Law (New York: Oxford University Press, 2005), 257. 126John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 73. 127Olivier Roy, the Failure of Political Islam (London: I.B. Tauris Publisher, 1994), 3-4. 41

Esposito menyebut gerakan Islam tumbuh dalam aktivitas sosial dan politik.128 Dalam aktivitas sosial, gerakan Islam mewujud dalam organisasi Islam yang berperan dalam kehidupan sosial sebagai bagian dari civil society. Dalam sudut gerakan sosial,129 Carrie Rosefsky Wickham memasukkan civil society yang berbasis Islam ke dalam studi gerakan sosial Islam ketika meneliti al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir. Wickham kemudian menyebutnya dengan Islamic social movement.130 Dari sudut inilah, gerakan Islam dapat terjadi dalam bentuk gerakan yang tidak melembaga atau gerakan yang melembaga131 yang dilakukan oleh orang-orang yang relatif besar jumlahnya.132 Dalam pandangan Charles Tilly, collective action dilakukan orang untuk mengejar kepentingan bersama.133 Tindakan bersama (collective action) dalam gerakan sosial dapat bertipe proaktif, yaitu memulai suatu proses perubahan atau bertipe reaktif, yaitu reaksi atas perubahan yang sedang terjadi.134 Dalam bahasa lain, Sartono Kartodirdjo menegaskan bahwa gerakan sosial bertujuan untuk

128John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 75. 129Gerakan sosial merupakan aliansi sosial yang terasosiasi untuk mempengaruhi atau menghalangi perubahan sosial di dalam masyarakat. Gerakan sosial di masyarakat modern menurut Anthony Giddens teridentifikasi ke dalam empat area, yaitu gerakan demokrasi (democratic movement) yang konsen untuk membangun atau memelihara hak-hak politik, gerakan buruh (labor movement) yang konsen untuk mengontrol tempat kerja dan mengubah distribusi kekuasaan ekonomi, gerakan lingkungan (ecological movement) yang konsen membatasi kerusakan sosial dan lingkungan, dan gerakan perdamaian (peace movement) yang konsen membatasi pengaruh kekuasaan militer dan bentuk-bentuk agresif nasionalisme. Selain keempat yang diidentifikasi Giddens, gerakan perempuan (woman movement) dan gerakan konsumen (consumer movement) juga masuk dalam gerakan sosial. Lihat David Jary dan Julia Jary, The HarperCollins Dictionary of Sociology (USA: HarperCollins Publisher, 1991), 456. 130Carrie Rosefsky Wickham, Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political Change in Egypt (New York: Columbia University Press, 2002), 4-5. 131Mario Diani, ‚The Concept of Sosial Movement‛ dalam Kate Nash (ed.), Readings in Contemporary Political Sociology, (Malden-Massachutes; Blacwell Publishers, 2000), 157. 132James W. Vanden, The Social Experience: an Introduction to Sociology (New York: MacGraw Hill Publishing Company, 1990), 594. 133Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (Massachusetts: Addison- Wesley Publishing Company, 1978), 5. 134Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, penerjemah Mesika Zeid dan Zulfami (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 135. Lihat pula Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 70. 42 mewujudkan atau menolak suatu perubahan dari susunan masyarakat, baik dengan jalan yang radikal maupun revolusioner.135 Fenomena ini sesungguhnya mirip dengan gerakan revitalisasi atau milenarian, yang muncul akibat krisis sosial yang ekstrem dalam masa perubahan yang cepat ketika orang-orang mengalami disorientasi dari pola-pola hidup tradisional dan tidak tersedia cara-cara yang sangat sekuler untuk mengatasi kondisi ini. Dalam gerakan milenarian, sejumlah individu menolak untuk menerima segala sesuatu sebagaimana adanya. Mereka justru mengharapkan dan mendambakan terjadinya perubahan yang berarti dalam hidup mereka.136 Gerakan Islam yang melakukan partisipasi politik dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk. Pertama, partisipasi politik yang memberi dukungan kepada penguasa dalam bentuk membuat pernyataan mendukung atau mengirim utusan pendukung. Kedua, partisipasi politik yang dimaksudkan untuk menunjukkan kelemahan penguasa dengan harapan penguasa mengubah atau memperbaiki kelemahan tersebut. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk petisi, resolusi, mogok, demonstrasi, protes, dan sebagainya. Ketiga, partisipasi politik yang dimaksudkan sebagai penentang penguasa untuk menjatuhkan sehingga terjadi perubahan pemerintahan atau sistem politik. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk mogok, pembangkangan politik, huru-hara dan pemberontakan bersenjata.137 Dalam aktivitas politik, gerakan Islam juga melibatkan diri dalam partisipasi politik secara langsung di parlemen.138 Dengan kata lain, gerakan Islam juga terlibat dalam pemerintahan atau terjun ke dalam politik kekuasaan di parlemen. Pengalaman beberapa Negara Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Tunisia, Turki, Aljazair, dan Pakistan memperlihatkan bahwa gerakan Islam terlibat dalam politik kekuasaan dalam bentuk partai politik Islam. Inilah yang diperlihatkan PPP, PBB dan PKS (Indonesia), PAS (Malaysia), H}izb al-Nah}d}ah (Tunisia), Front

135Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), 205. 136Semua gerakan milenarian mengandung unsur keagamaan dan unsur politik dalam ideologi dan strategi mereka untuk melakukan perubahan. Ada beberapa gerakan yang sangat politis dan radikal mendorong melakukan perubahan sosial dengan cepat. Lihat Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro; Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, penerjemah M. Farid Wajdi (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 532-433. 137Arbi Sanit, ‚Politik sebagai Sumber Daya Hukum: Telaah mengenai Dampak Tingkah Laku Politik Elit dan Massa terhadap Kekuatan Hukum di Indonesia‛, dalam Artidjo Alkotsar dan M. Sholeh Amin (eds.), Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali, 1986), 50. 138John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 75. 43

Islamic Salvation (Aljazair), H}izb al-Hurri>yah wa al-‘Adalah, Nu>r Sala>fi> (Mesir), Jama’ati Islami (Pakistan) dan Ref’ah (Turki).139 Kebanyakan dari partai-partai Islam di atas diinisisasi atau minimal dipengaruhi oleh gerakan Islam, seperti al-Ikhwan al-Muslimun, Salafi, dan kelompok Islam lainnya. Tipologi dalam gerakan Islam kontemporer ini memperlihatkan kecenderungan utama gerakan Islam dalam meraih tujuan utamanya untuk mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang lebih islami yang berorientasi pada pemberlakuan syariat Islam. Dengan dua pola inilah, perjuangan pemberlakuan syariat Islam oleh gerakan Islam dilakukan. Gerakan Islam yang berorientasi sosial dan politik sangat tergantung pada sistem politik negara. Dalam konteks inilah, Carrie Rosefsky Wickham membagi tiga sistem politik yang mempengaruhi mobilisasi gerakan Islam, yaitu sistem politik yang terbuka, sistem politik yang tertutup, dan sistem politik yang semi terbuka. Dalam sistem politik yang terbuka, negara memberikan kebebasan partai politik untuk berkontestasi memperebutkan posisi kekuasaan. Dalam sistem otoritarian yang tertutup, negara melarang partai politik untuk berkontestasi memperebutkan posisi kekuasaan. Dalam sistem politik otoritarian yang semi-terbuka, kontestasi politik dibatasi oleh rezim.140 Ketiga posisi inilah yang akan dihadapi gerakan Islam di sejumlah Negara Muslim. Karena itulah, keberhasilan gerakan Islam dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam akan sangat ditentukan oleh sistem politik yang sedang berjalan di suatu negara. Jika negara memberlakukan sistem politik yang terbuka, maka bisa jadi gerakan Islam politik dapat merebut kekuasaan yang pada gilirannya akan memberlakukan syariat Islam secara total. Sebaliknya, jika negara memberlakukan sistem politik yang tertutup, maka gerakan Islam akan kesulitan memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam secara total, atau bahkan ditindas oleh rezim. Dalam konteks sekarang ini, negara-negara Muslim biasanya akan meresponnya secara positif sebagai bagian dari partisipasi politik masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politik. Negara juga tidak akan secara lantang menolak pemberlakuan syariat Islam, tetapi memainkannya sebagai komoditas politik.

C. Relasi Syariah, Politik, dan Sosial Islam yang diberlakukan dalam sistem hukum negara sesungguhnya memiliki hubungan dengan politik karena syariat Islam

139John L. Esposito, ‚Islam and Civil Society‛, 77-86. 140Carrie Rosefsky Wickham, ‚Mobilizing Islam: Religion …‛, 176-177. 44 merupakan hukum agama yang hendak diberlakukan oleh negara dan negara merupakan institusi politik yang berwenang membentuk hukum negara. Di sisi lain, hukum dan masyarakat (sosial) juga memiliki hubungan karena terbentuknya hukum merupakan pencerminan dari realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, syariah, negara dan masyarakat memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi. Dalam kaitan ini, penjelasan tentang pembentukan hukum negara diambil dari teori hubungan hukum, politik, dan sosial (masyarakat). Pertanyaan yang muncul dalam konteks hubungan hukum dan politik adalah apakah hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya politik yang mempengaruhi hukum. Terhadap pertanyaan ini, Mahfudh MD memberikan tiga jawaban. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang berinteraksi dan bahkan saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinannya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan- aturan hukum.141 Perbedaan jawaban di atas pada dasarnya disebabkan oleh perdebatan cara pandang para ahli. Kelompok idealis yang hanya memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) berpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat, termasuk dalam segala kegiatan politik. Para penganut paham empiris memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau melihat realitas bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya, tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya.142 Dengan kata lain, paham empiris melihat hukum tidak hanya dilihat dari materi hukumnya saja (in the book), tetapi juga dilihat dari proses pembentukan dan fungsinya (in the action) dalam kehidupan sosial dan politik.143

141Moh. Mahfudh MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998),8. 142Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia…‛, 8. 143Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated: a Comparative Overview of the Legal System of Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden University Press, 2010), 21. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ketiga (Jakarta: Prenada, 2007), 87. 45

Dalam kenyataan empiris, hukum sebagai pernyataan kehendak masyarakat di negara demokrasi tidak dapat dilepaskan dari politik kekuasaan.144 Teori trias politika yang telah menjadi rujukan dalam membagi kekuasaan di zaman sekarang ini145 telah menempatkan lembaga legislatif bersama eksekutif sebagai pembentuk hukum. Oleh karena adanya orientasi politik dalam setiap pembentukan hukum, maka aroma politik akan selalu kental dalam setiap pembentukan hukum di kalangan eksekutif dan legislatif. Oleh karena itulah, hukum selalu berkorelasi dengan politik karena hukum adalah produk politik.146 Hukum dalam arti peraturan umum yang abstrak dan mengikat sebenarnya tidak lain merupakan hasil pertarungan aspirasi politik. Oleh sebab itu, secara riil siapa saja atau kelompok apa saja yang ingin memasukkan nilai-nilai tertentu dalam suatu produk hukum harus mampu menguasai atau meyakinkan pihak legislatif bahwa nilai-nilai itu perlu dan harus dimasukkan dalam produk hukum. Karena itulah, pekerjaan legislatif (membuat hukum) sebenarnya lebih merupakan pekerjaan politik daripada pekerjaan hukum itu sendiri. Di sinilah dapat dimengerti dengan mudah adanya asumsi bahwa hukum merupakan produk politik.147 Jika demikian, hukum merupakan sarana bagi elit politik yang dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.148 Pandangan di atas tampaknya sejalan dengan teori positivisme hukum. Dalam teori ini, hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat yang diekspresikan melalui legislasi dan didukung oleh sanksi- sanksi yang ditetapkan negara.Teori ini kemudian dikritik karena tidak mampu memahami realitas hukum sebagai regulasi sosial. Berkaitan dengan kritik ini, Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum jauh lebih luas ruang lingkupnya dari sekedar norma-norma yang dibuat dan diaplikasikan oleh institusi negara, tetapi hukum diletakkan di dalam

144Arbi Sanit, ‚Politik sebagai Sumber Daya Hukum…‛, 40. 145Trias Politika sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‚Politik Tiga Serangkai‛. Menurut ajaran Trias Politika dalam tiap pemerintah negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang terpisah. Lihat C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, penerjemah STP Team Work (Bandung: Nusa Media, 2008), 331. 145Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat (Jakarta: Gramedia, 1977), 151. 146Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia…‛, 8. 147Moh. Mahfudh MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 2006), 289. 148Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, cetakan keempat (Jakarta: Rajawali Press, 1988), 13. 46 jaringan asumsi kultural masyarakat.149 Oleh karena itu, aturan hukum tidak ditemukan dalam hukum tertulis yang dibuat negara, tetapi terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Ehrlich kemudian menyebutnya dengan living law, yang merupakan pencerminan dari banyak kelompok masyarakat, sedangkan positive law merupakan pencerminan dari kehendak negara.150 Adapun dalam teori hubungan hukum dan masyarakat dijelaskan bahwa hukum sebagai norma sosial tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat atau bahkan merupakan pencerminan dari nilai- nilai yang berlaku di masyarakat.151 Karena itulah, dimungkinkan perubahan hukum akibat kesenjangan-kesenjangan yang ada di dalam norma hukum formal dengan perubahan keadaan, hubungan, dan peristiwa yang terjadi di masyarakat.152 Perubahan nilai-nilai di masyarakat akan dapat mempengaruhi perubahan hukum yang sedang diberlakukan negara. Dalam perspektif ini, hukum terbentuk karena dipengaruhi oleh masyarakat atau sebaliknya perubahan masyarakat mempengaruhi pembentukan hukum. Hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat telah terjadi secara dinamis. Sebelum dibentuk hukum, masyarakat memiliki pengaruh yang signifikan untuk memberikan kontribusi secara substansial. Setelah hukum terbentuk, masyarakat akan terpengaruh dalam bentuk perubahan sosial. Dalam posisi hukum mengubah masyarakat inilah, Steven Vago menyebut hukum memiliki fungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering), kontrol sosial (social control) dan integrasi masyarakat (dispute resolution).153 Dalam kerangka kerja operasionalisasi hukum sebagai perekaya sosial, komitmen fungsi legislasi yang diharapkan untuk mengefektifkan bekerjanya hukum nasional akan tampak menampilkan dominasi eksekutif karena besarnya kekuasaan eksekutif dibanding badan-badan perwakilan. Karena itulah, dalam pandangan Soetandyo Wignjosoebroto hukum menjadi government social control dan berfungsi sebagai alat perekayasa sosial secara formal dan yuridis dan tidak merefleksikan

149Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum, penerjemah Narulita Yusron (Bandung: Nusa Media, 2012), 36-39. 150Reza Banakar, ‚Sociological Jurisprudence‛ dalam Reza Banakar Max Travers (ed.), An Introduction Law and Social Theory (Oxford-Portland Oregon: Hart Publishing, 2002), 42-48. 151Soerjono Soekanto, ‚Pokok-Pokok Sosiologi Hukum…‛, 14. 152Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: Genta Publishing, 2009), 51. 153Steven Vago, Law and Sociey (Prentice Hall, Englewood, New Jersey, 1991), 12-14. 47 konsep keadilan, moralitas, dan kearifan yang selama ini hidup di dalam kesadaran masyarakat.154 Dalam posisi ini, Knut S. Vikor menyebut hukum ditempatkan di antara negara dan civil society. Ketika negara akan membuat hukum, negara dapat mengadopsi norma yang hidup di masyarakat. Sebaliknya, negara menggunakan hukum untuk mengubah norma yang telah hidup di masyarakat.155 Di sinilah masyarakat memiliki kepentingan-kepentingan yang menjadi aspirasi terhadap hukum mana yang akan diberlakukan oleh negara. Individu-individu dalam masyarakat tidak berjalan sendiri-sendiri dalam menyalurkan aspirasi, melainkan dilakukan secara bersama-sama dalam organisasi. Perjuangan masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang akan diberlakukan dapat juga dilihat dari sudut gerakan sosial yang mempengaruhi atau menghalangi perubahan sosial. Tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, legislatif dan masyarakat dalam membentuk hukum negara akan selalu dipertarungkan dalam dinamika politik. Suara politik yang besar akan memenangkan pertarungan dalam membentuk hukum. Dalam posisi ini, konstestasi pemerintah dan legislatif tidak dapat dilakukan secara bipolar, tetapi masih ada kekuatan lain sebagai pilar demokrasi, yaitu kekuatan civil society, yang diwakili kelompok masyarakat. Inilah yang menjadikan tiga kepentingan dalam pembentukan hukum. Segitiga kepentingan yang mewadahi pemerintah, legislatif, dan kelompok masyarakat akan tampak nyata dalam setiap pembentukan hukum di dalam negara demokrasi. Dalam konteks inilah, negara merumuskan legal policy (politik hukum) tentang hukum yang akan diberlakukan yang mencakup proses pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan dan hukum ditegakkan oleh negara. Politik hukum tidak hanya melihat hukum dari perspektif formal yang memandang kebijakan hukum dari rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja. Politik hukum juga melihat hukum dari latar belakang dan proses keluarnya rumusan-rumusan tersebut.156 Di sinilah pertarungan kekuatan politik dan kekuatan sosial dalam membentuk hukum. Jika hubungan politik dan hukum seringkali dikaitkan dengan politik hukum negara secara makro sebagaimana pendapat Mahfudh MD di atas, M. Atho Mudzhar justru berpendapat sebaliknya. Politik hukum

154Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 231-247. 155Knut S. Vikor, ‚Between God and the Sultan…‛, 255. 156Moh.Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia…‛, 9-11. 48 tidak dibatasi pada politik hukum negara yang bersifat makro (isu-isu nasional dan regional), tetapi juga perjuangan partai-partai politik di parlemen untuk memperoleh kontrol kekuasaan dan partisipasi dalam proses legislasi. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan partai-partai politik dalam mengesahkan sejumlah perundangan-undangan, seperti UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dan UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 157 Dalam perspektif ini, ada dua model politik hukum, yaitu politik hukum ortodoks dan politik hukum responsif. Politik hukum ortodoks menitikberatkan pada peranan yang sangat dominan dari lembaga- lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukum dalam suatu masyarakat. Produk hukum yang dihasilkan dari model ini bersifat kaku, tidak terbuka terhadap perubahan dan bersifat opresif. Sebaliknya, politik hukum responsif mendorong segala usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat yang berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan, dan dilembagakan dalam suatu proses politik.158 Dalam politik hukum responsif ini, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar keadilan prosedural, melainkan juga mengenali keinginan publik yang memiliki komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.159 Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum yang berkarakter responsif harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Bersamaan dengan itu, upaya menguatkan civil society perlu juga dikedepankan karena dapat meningkatkan keberdayaan masyarakat dalam memperjuangkan aspirasi politiknya dalam mendorong demokratisasi.160 Upaya menguatkan civil society juga dilakukan untuk memperjuangkan pembentukan hukum yang sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.

157M. Atho Mudzhar, ‚Indonesian Pluralism and the Politics of Legislation (a Study of the Behaviours of Political Parties in the Reformation Era‛ Makalah dipresentasikan dalam the International Conference on the Practice of Islamic Law, Nation State and Modernity: Legal and Socio-political Perspective, yang diselenggarakan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 11-12 Desember 2013. 158Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia (Jakarta: YLBHI, 1988), 27. 159Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, penerjemah Raisul Muttaqin, cetakan kelima (Bandung: Nusa Media, 2010), 84. 160Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia…‛, 381. 49

Dalam perspektif inilah, pemberlakuan syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan aspek sosial dan politik. Dalam arti bahwa setiap hukum negara yang akan dan telah diberlakukan merupakan arena politik kekuasaan yang melibatkan kekuasaan pembentuk hukum dan kekuatan masyarakat yang berada di luarnya. Karena itulah, pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum negara tidak berada dalam ruang yang kosong. Ada motif-motif yang melatarbelakangi pemberlakuan syariat Islam dalam sistem hukum negara. Pemberlakuan syariat Islam seringkali diperjuangkan melalui saluran-saluran politik yang paling strategis (legislative heavy) yang menunut kecenderungan politik yang tinggi. Maka, tak dapat dielakkan bahwa pemberlakuan syariat Islam tergantung kepada kemauan politik penguasa. Di sinilah kepentingan penguasa tampak lebih kuat daripada aspirasi masyarakat dalam pemberlakuan syariat Islam. Kepentingannya adalah mendapatkan legitimasi dari masyarakat Muslim untuk mempertahankan kekuasaannya.161 Sebaliknya, dalam posisi penyeimbang, gerakan sosial masyarakat menjadi model yang efektif untuk melakukan tekanan (pressure) kepada penguasa untuk memberlakuan syariat Islam. Dalam konteks inilah, pemberlakuan syariat Islam sesungguhnya mengalami posisi yang dilematis. Di satu sisi, syariah adalah hukum yang berasal dari Tuhan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, sementara di sisi lain negara merupakan sistem yang berlaku untuk setiap warga negara tanpa membeda-bedakan agama. Posisi yang demikian ini mengakibatkan ketegangan yang luar biasa karena syariat Islam yang dipersepsikan bersifat sakral dintegrasikan ke dalam negara yang bersifat profan. Ketegangan juga terjadi antara Tuhan sebagai pemilik hukum dan Sultan sebagai representasi masyarakat yang mengimplementasi hukum.162 Ketegangan itu bersumber pada bagaimanakah sesuatu yang sakral dan ekslusif (karena hanya umat Islam yang meyakini syariah sebagai hukum) menjadi hukum positif di dalam negara yang profan dengan berbagai kepentingan politik yang terbentuk dalam prosedural demokrasi. Menurut N.J. Coulson, hukum Islam sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan mengalami ketegangan akibat kuatnya perubahan sosial yang dipengaruhi kebudayaan Barat. Ketegangan itu diakibatkan oleh perbedaan sumber hukum Islam dengan hukum Barat. Hukum Barat

161Arskal Salim, ‚Challenging The Secular State…‛, 2 dan 14. 162Knut S. Vikor, ‚Between God and the Sultan…‛, v. 50 bersumber dari filsafat dan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan hukum Islam bersumber dari Tuhan.163 Perjuangan untuk memberlakukan syariat Islam, khususnya hukum jinayah dalam ruang politik terpola dalam dua gerakan politik, yaitu gerakan politik dalam pentas nasional dan gerakan politik lokal. Dalam pentas nasional, gerakan politik pemberlakuan syariat Islam diorientasikan pada penyusunan dan perubahan konstitusi dan undang- undang yang bersifat nasional. Beberapa negara telah mengundangkan hukum pidana Islam secara nasional. Pakistan, Sudan dan Iran telah mengesahkan Undang-undang Hukum Pidana Islam yang berisi 6 aturan h}udu>d, yaitu minum khamar, zina, qadhaf, pencurian, perampokan, dan murtad.164 Adapun dalam pentas politik lokal, gerakan politik pemberlakuan syariat Islam diorientasikan pada penyusunan regulasi di daerah. Di Indonesia (Aceh) terdapat sejumlah qanun syariat, seperti Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat. Di Nigeria, pemberlakuan hukum jinayah dilakukan dalam pentas politik lokal, yakni khusus di Nigeria Utara, yaitu Zamfara (1999), Bauchi (1 Juni 2001), Borno (1 Juli 2001), Gombe, Jigawa, Kaduna, Kano (April 2000), Katsina (1 Agustus 2000), Kebbi (1 Desember 2000), Niger, Sokoto (2 Agustus 2000), dan Yobe (Oktokber 2000) yang mengundangkan Undang-undang Hukum Pidana Syariah (The Shari‘a Penal Code)165 dengan mengadopsi hukuman rajam, cambuk, potong tangan, dan qis}a>s}.166 Malaysia juga menggunakan jalan politik lokal dengan disahkannya sejumlah qanun jinayah. Dimulai dari Kelantan, diundangkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah, 1985, Enakmen Kanun

163Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago and London: University of Chicago Press 1969). Lihat pula Aḥmad Ḥasan, ‚Book Reviews: Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence by Noel J. Coulson‛ dalam Islamic Studies, Vol. 9, No. 4 (1970), 355-360, http://www.jstor.org/stable/20833006 diakses pada 24 Pebruari 2014. diakses pada 28 Pebruari 2014. 164Undang-undang Hukum Pidana Sudan 1991 tidak berlaku di Sudan Selatan. Lihat Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan dalam Jan Michiel Otto (ed.), Sharia Incorporated: a Comparative Overview of the Legal System of Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden University Press, 2010), 210-213. 165 Mashood A. Baderin (rev.), Sharia Implementation in Northern Nigeria 1999-2006: A Sourcebook, Philip Ostien, (Ibadan: Spectrum Books Limited, 2007), 5 Volumes, 2. 166The Center for Religious Freedom (ed), ‚The Talibanization of Nigeria Sharia Law and Religious Freedom‛ dalam Freedom House Report, Nomor 1, Vol. XI, 2003 diakses pada 8 Mei 2013. 51

Jenayah Syariah Kedah, 1988, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah, 1991, Ordinan Kesalahan Jenayah Syariah Serawak, 1991, Enakmen Jenayah Syariah Perak, 1992, Enakmen Jenayah dalam Syarak, Perlis, 1991, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Sembilan, 1992, Enakmen Prosedur Jenayah Syariah Sabah, 1993, Enakmen Kanun Prosedur Jenayah Syariah Selangor, 1995, dan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Trengganu 2002.167 Dalam perspektif ini, banyak kelompok yang bermain dalam formalisasi syariat Islam di negara Muslim, yang ditujukan untuk kepentingan kekuasaan, baik melestarikan kekuasaan maupun merebut kekuasaan. Atau dalam bahasa lain, pemberlakuan syariah merupakan konstestasi politik yang selalu dinegosiasikan.168Dalam posisi ini, politik dipahami sebagai permainan untuk mencapai kekuasaan (siapa yang mendapatkan kekuasaan, kapan dan bagaimana).169 Bagi mereka yang sedang berkuasa, syariat Islam dapat menjadi isu strategis untuk meraih simpati rakyat dalam melestarikan kekuasaan. Bagi mereka yang tidak berkuasa, syariat Islam dapat menjadi jalan untuk meraih simpati politik rakyat untuk merebut kekuasan. Dalam teori elit, di dalam kelompok penguasa (the ruling class) selain ada elit yang berkuasa (the ruling elite) juga ada elit tandingan yang mampu meraih kekuasaan melalui massa, jika elit yang berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah.170 Pemberlakuan syariat Islam oleh negara dalam konteks ini sesungguhnya mencerminkan aroma politik yang kuat yang sedang diperebutkan oleh kalangan elit. Karena itulah, pemberlakuan syariat Islam sangat tergantung pada keseriusan penguasa, beserta kelompok elit yang merespon.171 Jika penguasa gagal mendengar aspirasi rakyat, niscaya akan kehilangan otoritas politiknya. Inilah yang menjadikan syariat Islam menjadi isu politik yang strategis bagi penguasa dan kelompok tandingannya. Dalam pola inilah, syariat

167Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cet. kedua (Kuala Lumpur: UniversitiMalaya, 2004), 77-81. 168M.B. Hooker, ‚Southeast Asian Shari’ahs‛, dalam Studia Islamika, Volume 20 Nomor 2 (2013): 209. 169S.P. Varma, Teori Politik Modern, penerjemah Yohanes Kristiarto, dkk., cetakan kedua (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 197-198. 170S.P. Varma, ‚Teori Politik Modern…‛, 197-198. 171Arskal Salim, ‚Politics, Criminal Justice, and Islamisation in Aceh‛,Paperdipresentasikan dalam ALC Occasional Seminar, the Asian Law Centre and the Indonesia Forum as part of the University of Melbourne’s Asia Week pada 18 Agustus 2009, 14, http://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/salim_final2_forwebsitewobleed2.pdf diakses pada 12 Pebruari 2014. 52

Islam di daerah dimanfaakan oleh elit politik lokal sebagai mesin politik untuk meraih kekuasaan.172 Dengan demikian, syariat Islam dalam pengertian hukum yang akan diberlakukan oleh negara berada dalam ruang perdebatan politik dan nilai-nilai dan norma-norma yang hidup di masyarakat. Ketika syariat Islam berada dalam wilayah ini, maka akan terjadi kontestasi kepentingan politik para elit kekuasaan politik dan gerakan masyarakat dalam memperjuangkan syariat Islam sebagai hukum negara. Ini berarti ketika syariat Islam diperjuangkan dalam ruang politik kekuasaan, maka akan bertarung kekuatan-kekuatan politik yang memiliki kepentingan politik, baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen. Pertarungan ini juga dipengaruhi oleh pencerminan kekuatan sosial di masyarakat.

D. Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum dan Politik Negara-negara Muslim Negara-negara Muslim adalah negara-negara yang penduduknya 50 persen atau lebih beragama Islam. Jean Michiel Otto menyebut dua belas negara Muslim, yaitu Mesir, Marokko, Arab Saudi, Sudan, Turki, Afganistan, Iran, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Mali, dan Nigeria.173 Kategori ini belum memasukkan Libya, Tunisia, Syria, Aljazair, Maroko, Jordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Maladewa, dan Bahrain.

Tabel 1. Daftar Negara-negara Muslim di Dunia

Negara Jumlah Penduduk Prosentase Muslim (dalam juta) (%) Mesir 80,3 90 Maroko 33,8 99 Arab Saudi 28,0 100 Sudan 41,0 70 Turki 71,2 100 Afghanistan 31,9 99 Iran 70,0 98 Pakistan 174,0 97 Indonesia 234,7 86

172M. Buehler, ‚The Rise of Shari'a by-laws in Indonesian Districts: An Indication for Changing Patterns of Power Accumulation and Political Corruption,‛ South East Asia Research 16, 2, (2008): 255-285, http://columbiauniversity.net/cu/weai/faculty/articles/Buehler.pdf diakses 7 Juli 2009. 173Jean Michiel Otto, ‚Sharia Incorporated: : a Comparative Overview …‛, 28. 53

Malaysia 24,8 60 Mali 12,6 90 Nigeria 140,0 50 Sumber: Jan Michiel Otto, Sharia Incorporated: a Comparative Overview of the Legal System of Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden University Press, 2010)

Dari dua belas negara Muslim di atas, empat negara telah memberlakukan hukum jinayah secara nasional, yaitu Arab Saudi, Sudan, Iran, dan Pakistan. Tiga Negara, yaitu Nigeria, Indonesia, dan Malaysia memberlakukan hukum jinayah di level lokal, sedangkan di level nasional, negara-negara ini telah memberlakukan hukum pidana warisan kolonial. Empat negara lainnya, yaitu Mesir, Turki, Marokko, dan Mali tidak memberlakukan hukum jinayah, tetapi memberlakukan hukum pidana warisan kolonial atau telah dipengaruhi kolonial.174 Adapun dilihat dari kodifikasi hukum jinayah di sejumlah negara- negara Muslim, dapat dipetakan dalam dua kategori. Pertama, ada negara yang memberlakukan hukum jinayah dengan cara tidak mengkodifikasi dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada negara-negara yang memberlakukan hukum jinayah dengan cara menyusun undang-undang. Arab Saudi merupakan negara yang tidak menyusun undang-undang jinayah karena Arab Saudi cukup mengambil hukum yang termaktub dalam al-Qur’an dan Hadith. Adapun negara-negara lainnya melakukan modernisasi hukum jinayah dalam bentuk undang-undang, seperti Iran, Sudan, Pakistan, Indonesia, Malaysia, dan Nigeria.175

174Klasifikasi ini didasarkan pada penjelasan Tahir Mahmood, Paul Marshall, dan Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean. Lihat Tahir Mahmood, Criminal Law in Islam and the Muslim World (New Delhi, Institute of Objective Studies, 1996). Paul Marshall (ed.), Radical Islam’s Rules; the Worldwide Spread of Extreme Shari’a Law (USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 2005). Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004) 175Tahir Mahmood yang membagi negara-negara Muslim yang telah memberlakukan hukum jinayah ke dalam dua kategori, yaitu (1) negara-negara yang memberlakukan hukum jinayah dengan jalan kodifikasi dan jalan tidak kodifikasi, (termasuk di dalamnya negara-negara yang pemerintah kolonialnya telah melakukan de- islamisasi atau westernisasi hukum jinayah) dan (2) negara-negara yang hukum jinayahnya telah dimodernisasi di masa sebelumnya dan negara-negara yang hukum jinayah modernnya telah diberlakukan. Pada kategori yang pertama, Arab Saudi dan Yaman Utara adalah negara yang hukum jinayahnya diberlakukan secara total atau cakupan hukum yang luas, tetapi tidak dikodifikasi. Libya, Pakistan, Iran, dan Sudan adalah negara-negara yang telah mengkodifikasi hukum jinayah. Mesir, Syiria, Irak, Jordania, Oman, Tunisia, Aljazair, Yaman Selatan, Malaysia dan banyak Negara Muslim lainnya masuk dalam kategori yang kedua. Lihat Tahir Mahmood, Criminal Law in Islam…‛, 312. 54

Pemberlakuan hukum jinayah di Arab Saudi didasarkan pada sistem hukum yang berbeda dengan negara-negara lain. Berdasarkan Peraturan Dasar (Niz}a>m Asa>si>) ayat 1, Arab Saudi adalah Negara Islam dengan menjadikan al-Qur’an dan Hadi>s} sebagai konstitusi negara. Konsekuensinya, keputusan pengadilan di Arab Saudi harus merujuk kepada al-Qur’an dan Hadith.176 Sebagai negara yang konservatif/tradisional dalam memberlakukan sistem hukum dan politik, Arab Saudi menggandeng Wahabisme sebagai sekte resmi negara dan menjadikan mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi negara.177 Seluruh hukum Islam di Arab Saudi, termasuk hukum jinayah diberlakukan di bawah otoritas pengadilan. Hukuman rajam, cambuk, potong tangan, qis}a>s}, dan diyat diberlakukan di Arab Saudi. Para hakim memutuskan perkara jinayah dengan secara langsung menginterpretasikan al-Qur’an dan Hadith.178 Hukum jinayah di Arab Saudi tidak ditulis dalam bentuk undang-undang, melainkan diinterpretasikan dari al-Qur’an dan Hadith. Dalam praktiknya, implementasi hukum jinayah di Arab Saudi tidak berjalan mulus. Ada kelompok yang menentang implementasi hukum jinayah di Arab Saudi. Saudi Institute misalnya melaporkan praktik penyimpangan hukuman cambuk dalam kejahatan perbuatan seksual. Menurut Saudi Institute, al-Qur’an telah menetapkan hukuman cambuk pada tiga pelanggaran/kejahatan, yaitu zina yang dicambuk 100 kali,qadhaf yang dihukum cambuk 80 kali, dan minum khamar yang dicambuk 40-80 kali. Dalam praktiknya, di Arab Saudi pada awal 2002, seorang laki-laki di Jeddah dicambuk 4.750 kali karena telah melakukan hubungan seksual dengan adik iparnya.179 Di Sudan, sebelum kedatangan penjajah Inggris diberlakukan hukum jinayah. Setelah masa penjajahan, para penjajah Inggris telah menggantinya dengan hukum Inggris atau hukum India yang berada di bawah penjajahan Inggris. Waktu itu, hukum yang digunakan adalah Undang-undang Hukum Pidana 1860 (the Penal Code 1860) dan Undang-

176Frank E. Vogel, Islamic Law and Legal System: Studies of Saudi Arabia (Leiden, Brill, 2000), 24-25. 177Stephen Schwartz, ‚Shari’a in Saudi Arabia, Today and Tomorrow‛ dalam Paul Marshall (ed.), Radical Islam’s Rules; the Worldwide Spread of Extreme Shari’a Law (USA: Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 2005), 19. Esther van Eijk, ‚Sharia and National Law in Saudi Arabia‛ dalam Jean Michiel Otto (ed.), ‚Sharia Incorporated…‛, 156-157. 178Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam…‛, 313-314. 179Stephen Schwartz, ‚Shari’a in Saudi Arabia, Today and Tomorrow‛ dalam Paul Marshall (ed.), ‚Radical Islam’s Rules…‛, 35. 55 undang Hukum Acara Pidana (the Criminal Procedure Code 1898).180 Campur tangan penjajah terhadap hukum pidana di Sudan telah meminggirkan hukum jinayah. Setelah penjajah meninggalkan Sudan, mulai dilakukan usaha- usaha untuk menata hukum agar sesuai dengan syariat Islam. Perubahan ini terjadi secara signifikan setelah Ja’far al-Numeiri (1969-1985) berkuasa di Sudan. Di periode pertengahan kekuasaannya, tepatnya setelah membaca menguatnya revivalisme Islam, potensi politik, dan keinginan untuk mengontrol dan mengooptasi kekuatan di Sudan, Ja’far al-Numeiri melakukan serangkaian Islamisasi.181 Pada 1977, Ja’far al- Numeiri membentuk komite untuk mengharmonisasikan hukum dengan syariah. Komite ini dipimpin Hasan Turabi yang menyusun Rancangan Undang-undang Zakat, Larangan Alkohol, Riba, dan Judi sesuai dengan h}udu>d.182 Upaya ini sesungguhnya adalah kepentingan politik Ja’far al- Numeiri, bukan dimotivasi oleh kepentingan agama karena semakin lemahnya kekuatan Ja’far al-Numeiri di panggung politik nasional.183 Kelompok minoritas non-Muslim pun dengan tegas menolak islamisasi Numeiri. Keberatan ini didasarkan pada argumen bahwa penerapan syariat Islam bertentangan dengan kepentingan berbagai komunitas Kristen, hak-hak individu, persamaan di mata hukum, dan usaha-usaha penegakkan keadilan masyarakat yang majemuk dilihat dari sudut ras, etnisitas, dan agama.184 Penolakan ini telah memberikan dinamika tersendiri dalam upaya pemberlakuan syariat Islam di Sudan. Baru pada 1983, Presiden Ja’far al-Numeiri memberlakukan hukum pidana Islam. Di antaranya adalah Undang-undang Hukum Pidana 1983 (the Penal Code 1983), Undang-undang Hukum Acara Pidana 1983 (the Criminal Procedure Code 1983), Akta Kehakiman 1984 (Judiciary Act 1984) dan Akta Pembuktian 1983 (Evidence Act 1983). Undang- undang Hukum Pidana 1983 (the Penal Code 1983) diberlakukan pada 8

180Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan‛ dalam Jean Michiel Otto (ed.), ‚Sharia Incorporated: a Comparative Overview …‛, 184-185. 181Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam…‛, 114-115. 182Hamouda Fathelrahman Bella, ‚Shari’a in Sudan‛ dalam Paul Marshall (ed.), ‚Radical Islam’s Rules…‛, 90. 183Sean Hilhorst, ‚Use of Force in the Sudan: Between Islamic Law and International Law‛ dalam Muslim World Journal of Human Rights, Volume 5, Issue 1 2008, 8. http://www.researchgate.net/publication/240793640_Use_of_Force_in_the_Sudan_Bet ween_Islamic_Law_and_International_Law diakses 12 Pebruari 2014. 184Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam…‛, 115. 56

September 1983. Ja’far al-Numeiri berhasil memperkenalkan hukum h}udu>d, seperti pencurian, perampokan, zina, qadhaf, dan minum khamar dengan hukuman rajam, cambuk, dan potong tangan.185 Salah satu bukti pelaksanaan pidana syariah di Sudan adalah putusan Pengadilan Pidana Sudan yang menghukum mati Mahmoud Mohamed Taha pada 18 Januari 1985 karena dituduh telah murtad dari agamanya.186 Akhirnya, Ja’far al-Numeiri dikudeta militer ketika Ja’far al- Numeiri dalam perjalanan pulang ke Sudan dalam lawatannya dari Washington, Amerika Serikat. Jendral Abd al-Rahman Suwar al-Dhahab mengumumkan kudeta pada 4 April 1985. Pemerintah Sudan kemudian dipimpin Sadiq al-Mahdi (1986-1989). Corak pandangannya berbeda dengan Ja’far al-Numeiri yang memandang syariat Islam dapat diterapkan di masyarakat yang adil. Ia pun kemudian membekukan hukum syariat yang telah diberlakukan Ja’far al-Numeiri. Ia pun tak kuasa menerima kudeta atas dirinya pada 1989. Setelah itu, rezim Islamis mengambil alih panggung kekuasaan Sudan, yaitu rezim Jenderal Umar al-Basyir yang didukung National Islamic Front dan Ikhwanul Muslimin (Hasan Turabi) pada 1989187 Beberapa tahun setelah itu, pada 1991, disahkan Undang-undang Hukum Pidana Sudan (the Sudan Criminal Act) yang berisi 6 aturan h}udu>d, yaitu minum khamar, zina, qadhaf, pencurian, perampokan, dan murtad. Dalam Undang-undang Hukum Pidana Sudan disebut pelaku meminum khamar dihukum cambuk sebanyak 40 kali. Zina> muh}s}an dihukum rajam dan zina> ghayru muh}s}an dihukum cambuk sebanyak 100 kali. Pencurian dihukum potong tangan kanan. Jika dilakukan lagi, maka pencuri dihukum penjara lebih dari 5 tahun. Orang yang pindah agama (murtad) dihukum mati. Pembunuhan juga diatur dalam Undang-undang Hukum Pidana Sudan yang dijatuhi hukuman qis}a>s} dan diyat.188 Di masa pemerintahan Jenderal Umar al-Basyir, Konstitusi 1985 dihapus digantikan dengan Konsitusi 1998 yang banyak memuat Islam.

185Rifyal Ka’bah, ‚Pidana Islam sebagai Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam‛, Makalah tidak diterbitkan, 7.Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam…‛, 320-321. 186Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan‛, dalam Jean Michiel Otto (ed.), ‚Sharia Incorporated: a Comparative Overview…‛, 195. Rifyal Ka’bah, ‚Pidana Islam sebagai Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam‛, Makalah tidak diterbitkan, 8. 187Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam…‛, 118-119. 188Undang-undang Hukum Pidana Sudan 1991 tidak berlaku di Sudan Selatan. Lihat Olaf Kondgen, ‚Sharia and National Law in Sudan‛, dalam Jean Michiel Otto (ed.), ‚Sharia Incorporated…‛, 210-213. 57

Di masa inilah, pelaksanaan syariat Islam khususnya dalam hukum jinayah tampak nyata. Pada Desember 2001, seorang non-Muslim bernama Abok Alfa Akok dinyatakan terbukti berzina dan dihukum rajam oleh pengadilan darurat di selatan Darfur.189 Pengadilan darurat di Nyala, Darfur Bara, pada 17 Juli 2002 juga menjatuhkan hukuman mati atas 88 orang yang dituduh membunuh, merampok bersenjata, dan mengganggu ketentraman publik. Seminggu kemudian, pada 24 Juli 2002, pengadilan darurat di Nyala memvonis hukuman mati kepada 15 orang atas tuduhan pembunuhan, perampokan, dan pemilikan senjata api ilegal. Pakistan adalah negara yang berbentuk Republik Islam. Selama 1947-1979, Pakistan memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana India 1860. Undang-undang ini kemudian diubah namanya dengan Undang-undang Hukum Pidana Pakistan (Pakistan Penal Code/PPC 1899) dan Undang-undang Hukum Acara Pidana 1898 (Criminal Procedure Code 1898).190 Prinsip normatif dari Undang-undang Hukum Pidana Pakistan ini masih tidak berubah dari Undang-Undang Hukum Pidana India 1860 yang tidak memenuhi unsur syariah. Kondisi ini mengakibatkan tuntutan Islamisasi hukum bergema hingga dirumuskan Konstitusi Pakistan yang ketiga (1973). Konstitusi ini disahkan pada masa Zulfikar Ali Buttho. Konstitusi ini dipandang sebagai konstitusi paling Islami dalam sejarah Pakistan. Dalam Konstitusi ini disebutkan bahwa Pakistan adalah Negara Republik Islam dan Islam sebagai agama negara dan ideologi negara.191 Pada 1977, Zulfikar Ali Buttho mengeluarkan paket islamisasi, yang di antaranya berisi larangan konsumsi alkohol, judi, balapan kuda, dansa, dan klab malam. Proyek islamisasi Zulfikar Ali Buttho inilah yang telah melicinkan jalan bagi munculnya ekspekstasi partai-partai keagamaan dan menyiapkan landasan bagi upaya islamisasi pada masa kekuasaan Zia ul-Haq.192 Jenderal Zia ul-Haq sebagai kepala negara kemudian merumuskan pemberlakuan syariah. Kementerian Keadilan ditugaskan untuk menyusun draft undang-undang hukum pidana yang sesuai dengan

189Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam…‛, 119-120. 190Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Times Press, 1987), 239. 191Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakisan dalam Jean Michiel Otto, ‚Sharia Incorporated: a Comparative Overview…‛, 408. 192Zia ul-Haq pada akhirnya yang melakukan kudeta terhadap Zulfikar Ali Buttho pada Juli 1977. Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam…‛, 142-143. 58 prinsip-prinsip al-Qur’an, termasuk h}udu>d, qis}a>s}, diyat, dan ta’zi>r. Tak dapat dinafikan pula, Dewan Ideologi Islam memainkan peran yang signifikan atas usaha ini.193 Pada 1979, pemerintah Pakistan memutuskan untuk menegakkan supremasi syariah di seluruh hukum negara, yaitu dengan memberlakukan Ordonansi Pelanggaran Harta Benda (Offences Against Property (Enforcement of Hudud) Ordinance 1979), Ordonansi Pelanggaran Zina (Offences of Zina (Enforcement of Hudud) Ordinance 1979), Ordonansi Pelanggaran Qadhaf (Offences of Qadhaf (Enforcement of Hadd) Ordinance 1979), Prohibition (Enforcement of Hadd) Order 1979, dan Ordonansi Ekseskusi Cambuk (Execution of the Punishment of Whiping Ordinance 1979). Undang-undang ini mengatur kejahatan pencurian, perampokan, qadhaf, zina, minum khamar yang dijatuhi hukuman potong tangan, cambuk, dan rajam.194 Pada 1984, Presiden Zia ul-Haq juga menyusun draft Ordonansi Qisas dan Diyat (Qisas and Diyat Ordinance) sebagai amandemen dari Undang-undang Hukum Pidana Pakistan 1860 (Pakistan Penal Code 1860). Lalu pada 1990 disusun lagi draft Ordonansi Qisas dan Diyat (Qisas and Diyat Ordinance). Kejahatan pembunuhan yang awalnya disusun dalam draft Ordonansi Qisas dan Diyat, tidak kunjung diundangkan. Akhirnya pada 1997, hukum pembunuhan dimasukkan ke dalam Undang-undang Hukum Pidana Pakistan 1997.195 Menurut Maarten G. Barends, Undang-undang Hukum Pidana Pakistan (Pakistan Penal Code 1899) dan Undang-undang Hukum Acara Pidana 1898 (Criminal Procedure Code 1898) masih berlaku. Bahkan, karena dalam kejahatan pencurian yang memerlukan pembuktian yang ketat dalam kodifikasi syariah, Undang-undang Hukum Pidana Pakistan (Pakistan Penal Code 1899) masih diberlakukan.196 Ini memperlihatkan dualisme hukum pidana di Pakistan. Di Iran, langkah awal mereformasi dan mengkodifikasi hukum pidana dimulai saat revolusi konstitusional. Para perumus konstitusi

193Dewan Ideologi Islam bertugas memberi nasihat kepada pemerintah jika hukum yang diajukan bertentangan dengan ketetapan Islam dan merekomendasikan indikator islamisasi terhadap hukum yang ada. Lihat Tahir Mahmood, ‚Personal Law in Islamic Countries…‛, 239. 194Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam…‛, 315-316 dan Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan (United Kingdom: Curzon Press, 1994), 109. 195Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam…‛, 315-316 dan Rubya Mehdi, ‚The Islamization of the Law in Pakistan…‛, 109. Jan Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakisan…‛, 420. 196Maarten G. Barends, ‚Shari’a in Pakistan‛ dalam Paul Marshall (ed.), ‚Radical Islam’s Rules…‛, 69-70. 59 melihat adanya dua sistem hukum pidana, syariah dan hukum negara. Pada 1911, mereka merumuskan Hukum Acara Pidana yang secara tentatif disetujui Parlemen. Lalu, pada 1912, perumusan Hukum Pidana (Penal Code) dilakukan oleh sekelompok hakim Perancis yang dipimpin Adolph Pierny di masa rezim monarki. Parlemen Iran menyetujui Hukum Pidana ini meskipun tidak berisi konsep-konsep hukum Islam. Reformasi hukum pidana ini berimplikasi terbatas karena peradilan syariah masih berjalan hingga rezim Reza Shah.197 Meskipun Konstitusi 1906 memberikan kekuasaan Dewan Islam Iran untuk meneliti legislasi yang tidak islami, rezim Shah Iran justru memberlakukan hukum pidana yang berbasis pada doktrin civil law. Undang-undang Hukum Pidana 1926 (the Penal Code 1926) yang berbasis civil law dan Undang-undang Hukum Acara Pidana 1932 (the Criminal Procedure Code 1932) diberlakukan.198Amandemen Undang- undang Hukum Pidana pada 1940 dan Undang-undang Hukum Acara Pidana pada 1932 pun berbasis pada civil law. Pada 1979, rezim Reza Shah digulingkan yang menandai berakhirnya sistem monarkhi. Lalu, Konstitusi 1979 disahkan yang menegaskan Iran sebagai Republik Islam.199 Konstitusi ini menegaskan bahwa seluruh bidang sipil, pidana, ekonomi, administrasi, budaya, militer, hukum, dan regulasi harus berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Hukum syariah menjadi sumber dari seluruh legislasi negara.200 Inilah perubahan besar setelah revolusi Iran. Undang-undang Hukum Pidana (The Penal Code 1926) yang berbasis civil law dan Undang-undang Hukum Acara Pidana (the Criminal Procedure Code 1932) kemudian dibatalkan. Lalu disiapkan Rancangan Undang-undang Hudud dan Qisas (Law of Hudud and Qisas 1983) dan Rancangan Undang-undang Ta‘zi>r (Law of Ta‘zi>r 1983) yang bersumber dari madhab Itshna> Ash’a>ri Ja’fari> Ima>mi>yah. Pada awalnya, Dewan Keamanan Nasional menolak Rancangan ini, tetapi setelah Imam

197Ziba Mir-Hosseini, ‚Sharia and Nattional Law in Iran dalam Jean Michiel Otto, ‚Sharia Incorporated: a Comparative Overview…‛, 356. 198Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam…‛, 317-318. 199Konstitusi ini kemudian diamandemen pada 1989. Lihat Mehrangis Kar, ‚Shari’a Law in Iran‛ dalam Paul Marshall (ed.), ‚Radical Islam’s Rules…‛, 347. 200Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam…‛, 317-319. Lihat pula Mehrangis Kar, ‚Shari’a Law in Iran…‛, 51-52. Ran Hirschl, ‚The Theocratic Challenge to Constitution Drafting in Post-Conflict States‛, dalamWilliam and Mary Law Review. 49.4 (Mar. 2008), 9. http://scholarship.law.wm.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1141&context=wmlr diakses pada 12 Pebruari 2014. 60

Khoemaini melakukan intervensi, Rancangan Undang-undang Hudud, Qisas, dan Ta‘zir di atas disahkan.201 Baru pada 1991, Undang-undang Hukum Pidana disetujui Parlemen. Undang-undang ini diperbaharui dua kali, yaitu pada 1996 dan 2011. Undang-undang ini terdiri dari 5 buku yang berisi tentang zina liwa>t}, musa>h}aqah, qadhaf, minum khamar, pencurian, perampokan, pembunuhan (dan melukai). Hukuman yang diberlakukan adalah hukum potong tangan, rajam, cambuk, qis}a>s}, denda, dan penjara. Meksipun hukum pidana Iran bersumber dari mazhab Ja’fari, tetapi juga memperbolehkan mazhab lain diberlakukan.202 Komunitas HAM internasional mengkritik Undang-undang ini, terutama hukuman rajam bagi zina> muh}s}an dan tidak setaranya perlakuan kepada perempuan dan non-Muslim. Setelah Khattami terpilih sebagai Presiden pada 1997, kelompok reformis Iran pun melakukan kritik. Pada 2002, setelah dialog konstruktif dengan Uni Eropa, Iran mengumumkan moratorium hukuman rajam, meskipun hukumnya tidak dihapuskan. Pada Mei 2006, eksekusi hukuman rajam kepada seorang wanita justru mendorong kelompok aktivis perempuan dan laki-laki membentuk jaringan Pengacara Volunteer yang mengkampanyekan penghapusan hukuman rajam dalam Undang-undang Hukum Pidana Iran. Pada 2007, aturan dalam Undang-undang Hukum Pidana 1991 telah diperbaharui dua kali dalam bentuk draft Rancangan yang masih memuat hukuman rajam. Setahun kemudian, pada 2008, Rancangan ini diperdebatkan di Parlemen yang hingga sekarang belum ada informasi tentang pengesahan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana Iran.203 Pemberlakuan syariat Islam di Nigeria Utara sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-11 sejalan dengan masuknya Islam ke Nigeria. Tapi dalam perjalanan berikutnya, di masa kolonial, pemberlakuan syariat Islam di Nigeria dibatasi oleh penguasa kolonial. Pemberlakuan syariat Islam terbatas pada hukum perdata. Nigeria merupakan satu-satunya koloni di mana pemerintahan kolonial yang mengizinkan penerapan syariat Islam, tetapi aplikasinya secara berangsur-angsur dimasukkan ke dalam kontrol otoritas administratif dan yudisial kolonial. Ketika Inggris menduduki Nigeria Utara, mereka tidak mencampuri sistem peradilan Islam. Para ami>r dan qa>d}i> dibiarkan menerapkan syariat Islam di bidang perdata dan pidana. Bahkan, ketika Undang-undang Hukum Pidana

201Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakistan…‛, 358. 202Tahir Mahmood, ‚Criminal Law in Islam…‛, 317-319. Lihat pula Mehrangis Kar, ‚Shari’a Law in Iran…‛, 51-52. Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakistan…‛, 358-359. 203Lihat Martin Lau, ‚Sharia and National Law in Pakistan…‛, 359-360. 61 diperkenalkan pada 1904, ia tidak menghapuskan syariat. Fikih mazhab Maliki berjalan berdampingan dengan Undang-undang tersebut. Campur tangan Inggris dilakukan pertama kali di bidang hukum pidana dengan menghapuskan hukum potong tangan, rajam, dan salib setelah diundangkan Ordonansi Peradilan Adat pada 1933. Selanjutnya, diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana 1959 untuk Nigeria Utara yang menghapus hukum pidana Islam.204 Situasinya berbeda setelah Olesungen Obasanjo, seorang purnawirawan militer pemeluk Kristen dari selatan Nigeria berkuasa. Pada 27 Oktokber 1999, syariat Islam berlaku efektif di negara bagian Zamfara, dengan mengundangkan Undang-undang Hukum Pidana Syariah (The Shari‘a Penal Code). Setelah itu, 11 negara bagian lainnya mengikuti langkah Zamfara, seperti Bauchi (1 Juni 2001), Borno (1 Juli 2001), Gombe, Jigawa, Kaduna, Kano (April 2000), Katsina (1 Agustus 2000), Kebbi (1 Desember 2000), Niger, Sokoto (2 Agustus 2000), dan Yobe (Oktokber 2000).205 Kedua belas negara di Negeria ini telah mengadopsi syariat Islam sebagai hukum negara yang memperkenalkan hukuman rajam, cambuk, potong tangan, dan qis}a>s}.206 Hukuman yang diterapkan adalah konsumsi alkohol dihukum 80 kali cambuk, sedangkan memproduksi, menyimpan dan memperdagangkannya dikenakan hukuman 40 kali cambuk dan/atau penjara maksimal 6 bulan. Kejahatan zina dikenakan hukuman rajam bagi pelaku yang telah kawin. Untuk pelaku yang belum kawin dikenakan hukuman 100 kali cambuk. Untuk pencurian, dikenakan hukuman potong tangan. Dalam kasus perampokan dikenakan hukuman penjara seumur hidup jika tidak terjadi pembunuhan. Jika terjadi pengambilan harta, maka dikenakan hukuman potong tangan kanan dan kaki kiri dan jika terjadi pembunuhan, maka dikenakan hukuman mati. Untuk kasus pembunuhan, hukum pidana di Nigeria Utara mengatur hukuman qis}a>s}, atau membayar diyat jika keluarga korban memaafkan.207

204Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Politik Syariat Islam…‛, 122-123. 205Mashood A. Baderin(rev.), Sharia Implementation in Northern Nigeria 1999-2006: A Sourcebook. Philip Ostien, (Ibadan: Spectrum Books Limited, 2007), 5 Volumes, 2. Lihat pula Paul Marshall, ‚Nigeria: Shari’a in a Fragmented Country‛ dalam Paul Marshal (ed.), ‚Radical Islam’s Rules…‛, 115. 206The Center for Religious Freedom (ed), ‚The Talibanization of Nigeria Sharia Law and Religious Freedom‛ Freedom House Report, Nomor 1, Vol. XI, 2003 diakses pada 8 Mei 2013. 207Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam...‛, 127-128. 62

Kasus yang pernah muncul pada pidana syariah di Nigeria adalah kasus pencurian, konsumsi alkohol, zina, dan pembunuhan. Untuk kasus qis}a>s}, Ahmed Tijani dijatuhi hukuman pembutaan mata kanannya karena telah membutakan mata seseorang dalam sebuah pertengkaran pada 26 Mei 2001.208Untuk kasus pencurian,209 Bello Garki Jangebi dihukum potong tangan karena mencuri ternak (Zamfara, 24 Maret 2000). Dua laki-laki dihukum cambuk 20 kali karena mencuri sebuah kipas meja (Katsina, Agustus 2000). Musa Gummi dihukum potong tangan karena mencuri tiga buah sepeda (Zamfara, 23 September 2000). Karibu Salisu dihukum 50 kali cambuk dan 6 bulan penjara karena mencuri kemeja (Zamfara, 23 S 0meptember 2000). Lawali Inchitara dipotong tangannya karena mencuri 8 sepeda (Zamfara, 5 Mei 2001). Naira Alyu dan Lawali Garba dipotong tangannya karena keduanya mencuri kambing dan 6000 naira dan suku cadang mobil seharga $152 (Sokoto, Juli 2001). Seorang anak laki-laki berumur 15 tahun dijatuhi hukuman potong tangan karena mencuri 32.000 naira (Kebbi, 25 Juli 2001).210 Untuk kasus konsumsi alkohol, Lawali Jekada Kaura Namoda dihukum 80 cambuk. Nugu Abdullahi dan Sa’adu Aminu diukum cambuk 80 kali karena mengkonsumsi alkohol (3 Januari 2001). Mallam Ummanu Bubeh dijatuhi hukuman cambuk 80 kali karena minum alkohol (Katsina, 9 Maret 2011).211 Untuk kasus zina, seorang gadis, Bariya Ibrahim Magazu, hamil dijatuhi hukuman 180 kali cambuk (setelah melahirkan) atas tuduhan zina dan qadhaf. Padahal, dia mengaku diperkosa (Zamfara, September 2000). Lawal Sada dijatuhi hukuman setahun penjara dan 100 kali cambuk atas tuduhan zina (Katsina, 16 Nopember 2000). Sebulan kemudian, Attine Tanko, teman wanita Sada dijatuhi hukuman 100 kali cambuk yang dieksekusi setelah melahirkan (Katsina, Desember 2000). Kasus yang menyita perhatian internasional pada 2001 adalah Saffiya Husaini yang dituduh melakukan kejahatan zina denganYakubu Abubakar. Saffiya ditemukan hamil dan melahirkan seoang anak

208Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam...‛, 131. 209Pengadilan syariat di Kaduna pernah memerintahkan kelompok hak asasi manusia, the Civil Rights Congress (CRC), untuk menutup blog dan menghentikan hosting yang berisi perdebatan tentang hukuman potong tangan di 12 negara bagian di sebelah utara Nigeria. Freedom House Report, ‚Nigeria‛ dalam http://www.freedomhouse.org/report/freedom-press/2011/nigeria diakses 8 Mei 2013. 210Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam...‛, 129-130. 211Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam...‛, 129-130. 63 perempuan, sedang ia seorang janda. Ketika diperiksa, Safiyya mengaku diperkosa oleh seorang laki-laki berusia 60 tahun. Laki-laki ini bebas karena kekurangan bukti. Belakangan Safiya mengubah kesaksiannya dan menyatakan mantan suaminya adalah ayah anak yang dikandungnya. Pada 9 Oktokber 2001, ia dijatuhi hukuman rajam oleh pengadilan syariat Sokoto. Ketika New York Times mengekspos kasusnya, anggota parlemen Eropa memprotes Presiden Obasanjo atas putusan peradilan tersebut.212 Brunei Darussalam adalah negara monarki Islam. Islam adalah agama resmi negara. Sultan adalah kepala agama sekaligus kepala pemerintahan. Konstitusi Brunei mengatur Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri dan sejumlah menteri. Secara otomatis, Sultan adalah Perdana Menteri. Dalam pelaksanaan pemerintahan, Sultan tidak harus mematuhi keputusan Dewan Menteri. Sultan yang juga berstatus Perdana Menteri dapat mengabaikan keputusan Dewan Menteri. Karena Brunei adalah Negara kerajaan absolut, maka seluruh kekuasaan di tangan Sultan.213 Brunei Darussalam telah mengumumkan pemberlakuan h}udu>d dan qis}a>s } pada 23 Oktokber 2013 dalam Peraturan Hukum Pidana Syariah (the Syariah Penal Code Order 2013) yang diberlakukan pada April 2014. Peraturan Hukum Pidana Syariah 2013 di Brunei mengatur hukum jinayah, yang terdiri dari h}udu>d, qis}a>s}, dan ta‘zi>r. H}udu>d yang diatur di Brunei adalah pencurian, perampokan, zina, pemerkosaan, liwa>t}, qadhaf, dan khamar. Qis}a>s} yang diatur adalah pembunuhan dan pelukaan. Ta‘zir yang diatur adalah tidak melaksanakan shalat Jum’at dan khalwat. Peraturan ini diperuntukkan kepada Muslim dan non-Muslim (pencurian, perampokan, sodomi, dan pemerkosaan).214 Ketika mengumumkan Peraturan Hukum Pidana Syariah 2013, Sultan Hasanal Bolkiah menegaskan bahwa pihaknya tidak meminta

212Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‛Politik Syariat Islam...‛, 130. Lihat pula Ibraheem Sulaiman, ‚Problems and Challenges in the Application of Shari‘a Penal Code in Nigeria‛, International Seminar ‚Islamic Criminal Justice Sistem‛, jointly organized by State Government of Johor dan Institute of Islamic Undestanding Malaysia (IKIM), 25-27 August 2003, Puteri Pan Pacific, Johor Bahru, Malaysia, 23. 213Tun Abdul Hamid Mohamad, ‚Implementation of Hudud In Brunei: Differences Between Brunei And Malaysia‛, dalam International Institute Of Advanced Islamic Studies (IAIS) Public Talk 11 February 2014, 1, http://www.IAIS.org.My/E/attach/11feb2014_Hudud/Implementation%20of%20hudud %20in%20brunei%20differences%20between%20brunei%20and%20malaysia%20iais% 2011%2002%202014.Pdf diakses 5 Mei 2014. 214Tun Abdul Hamid Mohamad, ‚Implementation of Hudud In Brunei‛, 4-5. 64 pendapat atau izin dari pihak manapun untuk melaksanakan hukum jinayah melainkan semata-mata karena perintah Allah Swt. Dalam kesempatan itu, Brunei juga mendemonstrasikan contoh pelaksanaan hukum h}udu>d. Hukum jinayah ini akan dilaksanakan dengan sangat hati- hati, teliti dan adil, serta berdasarkan ketentuan yang ada dalam al- Qur'an dan Sunnah. Selain itu, masyarakat juga diberi penjelasan perihal keadilan dan manfaat dari hukum jinayah ini sehingga tidak menimbulkan salah faham.215 Pemberlakukan hukum jinayah di Brunei ini dikecam keras oleh berbagai kelompok pegiat hak asasi manusia internasional. Kelompok pegiat HAM internasional menyebut tindakan Brunei sebagai suatu langkah mundur bagi hak asasi manusia. Meski mendapat kecaman, Sultan Hassanal Bolkiah menyebut hukum terbaru tersebut sebagai ''prestasi besar'' untuk Brunei. 'Keputusan untuk menerapkan (hukum syariah) untuk menaati perintah Allah seperti yang tertulis dalam al Qur’an. 216 Sementara itu, Datin Hayati, Jaksa Agung Brunei Darussalam mengatakan, hukum syariah Brunei memiliki proses yang ketat dan kompleks yang layak mendapatkan perhatian masyarakat luar. Jaksa Agung Brunei mencatat, hukum syariah memperhitungkan hak-hak korban atau ahli waris korban termasuk anggota keluarga. Di pengadilan syariah, sebelum hukuman dilaksanakan, ahli waris korban bisa memaafkan atau meminta kompensasi (diyat). Pengadilan atau pemerintah tidak bisa campur tangan dalam urusan ini. Begitu pula, salah satu perbedaan antara hukum syariah dan hukum pidana adalah kesaksian saksi dalam h}udu>d dan qisas harus adil dan tidak dapat bertentangan satu sama lain.217 Pelaksanaan hukum jinayah di Brunei dilaksanakan secara bertahap. Dimulai pelaksanaan ta‘zi>r pada April 2014, disusul pelaksanaan h}udu>d dan qis}a>s}. Hukuman ta’zir yang pertama kali dilaksanakan adalah hukuman denda. Pada tahap berikutnya, akan diberlakukan hukuman cambuk dan potong tangan. Tahapan terakhir adalah pelaksanaan hukuman mati.218

215 http://unikversiti.blogspot.com/2013/10/demonstrasi-contoh-pelaksanaan- hukum.html 216Kompas.com. ‚Brunei Resmi Berlakukan Hukum Syariah Islam, Kamis, 1 Mei 2014 diakses 5 Mei 2014. 217Kompas.com. ‚Brunei Resmi Berlakukan Hukum Syariah Islam, Kamis, 1 Mei 2014 diakses 5 Mei 2014. 218Sayangnya, pada April 2014, pemberlakuan hukum jinayah di Brunei ditunda. Lihat 65

Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak Brunei untuk menunda penerapan syariah Islam sehingga mereka bisa meninjau hukum tersebut untuk memastikan apakah memenuhi standar hak asasi manusia internasional. Di bawah hukum internasional, merajam orang sampai mati merupakan penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan orang atau hukuman lain dan dengan demikian jelas dilarang. Menurut juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville, hukum pidana Brunei ini dapat mendorong kekerasan lebih lanjut dan diskriminasi terhadap perempuan karena stereotip yang "tertanam".219 Tahapan pelaksanaan hukum jinayah di Brunei ditanggapi oleh Malaysia. PAS dan UMNO merespon pemberlakukan hukum jinayah di Brunei. PAS mendukung pemberlakukan hukum jinayah di Brunei, sedangkan UMNO mengingatkan agar masyarakat diberikan edukasi terlebih dulu untuk memberlakukan hukum jinayah di Brunei.220 Berdasarkan pembahasan di atas, hukum jinayah diberlakukan di sejumlah Negara Muslim. Arab Saudi, Iran, Nigeria, Pakistan, dan Sudan telah memberlakukan h}udu>d, qis}a>s}, dan ta‘zi>r. Pemberlakuan hukum jinayah di sejumlah Negara Muslim ini dipengaruhi oleh konteks politik yang terjadi di negara, terutama kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa.

http://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2014/04/22/brunei-delays- introduction-of-hudud/ diakses 5 Mei 2014. Kompas.com. ‚Brunei Resmi Berlakukan Hukum Syariah Islam, Kamis, 1 Mei 2014, http://internasional.kompas.com/read/2014/05/01/1552023/Brunei.Resmi.Berlakukan.H ukum.Syariah.Islam, diakses 5 Mei 2014. 220 ‚Hard to Implement Hudud Like Brunei, Say Groups‛ dalam The Star Online, 9 Nopember 2013, http://www.thestar.com.my/News/Nation/2013/11/09/Hudud-Law-Malaysia.aspx/ diakses 5 Mei 2014. 66

BAB III AKAR PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI INDONESIA DAN MALAYSIA

Pemberlakuan hukum jinayah sesungguhnya telah berakar lama. Semenjak zaman kerajaan-kerajaan Islam, kawasan-kawasan penting, yang sekarang ini disebut Indonesia, Malaysia, dan Filiphina terdapat undang-undang yang mengatur tentang hukum jinayah, seperti pencurian, zina, qadhaf, perampokan, riddah, khamar, dan pembunuhan. Dalam perkembangan selanjutnya faktor sejarah, kondisi sosio-budaya dan politik telah mempengaruhi pemberlakuan hukum jinayah di masa kolonial dan paska merdeka.

A. Sejarah Aceh dan Kelantan Aceh terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara. Aceh menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau. Banyak saudagar dari berbagai tempat di Asia Tenggara dan Asia Barat Daya datang dan menetap di daerah- daerah pantai Aceh. Aceh merupakan daerah yang disebut ‛Suvarnabhumi‛ (tanah emas) di mana para pedagang Hindu datang berlayar dalam jumlah yang besar. Karena kedudukan geografisnya, Aceh berperan dalam pelayaran antara India, Arab, dan Eropa di satu pihak, Kamboja dan Cina di pihak lain. 221 Aceh kemudian sering disebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di Nusantara. Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan Budha di Aceh. Peran Aceh kemudian semakin menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah ini, yang diperkenalkan oleh pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9.222 C. Snouck Hurgronje menyebut di zaman Islam, orang Aceh banyak sekali terjadi hubungan dengan penduduk India. Itu sebabnya, Hurgronje

221Osman Raliby, ‚Aceh, Sejarah dan Kebudayaannya‛ dalam Ismail Suny (ed.), Bunga Rampai tentang Aceh (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1974), 27-28. 222http://acehprov.go.id diakses pada 17 Oktokber 2013 67 menyimpulkan bahwa Aceh memeluk agama Islam karena memperolehnya dari India.223 Seiring dengan pesatnya perkembangan Islam di Aceh, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam, seperti kerajaan Perlak, kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Beunua/kerajaan Teumien/Tamiang, kerajaan Lingga, kerajaan Pidier, dan kerajaan Aceh Darussalam. Menurut A. Hasjmy, kerajaan Islam yang tertua di Aceh adalah Kerajaan Islam Perlak yang berkuasa pada 840-1291.224 Kesimpulan ini diperkuat Muliadi Kardi yang menyatakan Kerajaan Perlak di Aceh Timur pada 800 menyambut baik kapal saudagar Islam dari Teluk Kambey (Gujarat) yang diketuai Nahkoda Khalifah. Dalam waktu yang tidak begitu lama, ajaran Islam berkembang di Perlak.225 Jajat Burhanudin membantah kesimpulan Hasjmy dan Kardi. Burhanudin menyatakan bahwa kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Aceh. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti yang tertera pada nisan Malik al-Shaleh, raja Muslim pertama Samudera Pasai, yang berangka tahun 1297 dan cerita yang terdapat dalam Hikayat Raja-raja Pasai.226 Dari aspek penamaan, asal muasal Aceh dalam beberapa catatan berbeda-beda. Barros, orang Portugis, menulis Aceh dengan ejaan Achem, Achin, dan Atchin. Dalam naskah Cina Tong-hsi-yang-kao (1618) dan Shun-Feng-Hsiang-Song (abad ke-17) Aceh disebut dengan A-tsi. Adapun nama Aceh mulai dikenal luas pada abad ke-19 setelah Snouck Hurgronje menulis buku ‚De Acehers‛.227 Nama lain Aceh juga dapat ditemukan dari nama lain dari Qanun Meukuta Alam, yaitu al- Asyi, yang berarti Aceh.228

223C. Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan Adat Istadatnya, penerjemah Sutan Maimoen (Jakarta: INIS, 1996), 15-16. 224A. Hasjmy menyebutkan kerajaan Islamyang tertua di Aceh adalah kerajaan Peurelak 840-1291), disusul kerajaan Samudera Pasai (1042-1427), kerajaan Beunua/kerajaan Teumien/Tamiang (1184-1398), kerajaan Lingga, kerajaan Pidier, dan kerajaan Aceh Darussalam (1511-1903). Lihat A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Benual, 1983). 225Muliadi Kurdi, Aceh di Mata Sejarahwan,Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009), 69. 226Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Bandung: Mizan 2012), 4. 227Muliadi Kurdi, ‚Aceh di Mata Sejarahwan…‛, 7. 228Lihat Mohd. Kalam Daud dan T.A. Sakti, ‚Pengantar Penyalin Kembali dan Pengalih Aksara‛ dalam Qanun Meukuta Alama dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Mulek dan Komentarnya, ed. Darni M. Daud, penerjemah Mohd. Kalam Daud dan T.A. Sakti, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010), xi. Lihat juga A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 70. 68

Asal muasal Aceh sebagai sebuah kerajaan Islam (1511-1903) sejarahnya juga berbeda-beda. Anthony Reid dan Azyumardi Azra menulis bahwa Aceh lahir karena dorongan untuk melakukan perlawanan terhadap Portugis yang telah bermarkas di Pidie (1521) dan Pasai (1524). Kesultanan Aceh yang awalnya bukan merupakan kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatera, di bawah kekuasaan Sultan Ali al- Mughayat Syah (1514-1530) berhasil mempersatukan berbagai kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatera menjelang abad ke-16 untuk mengusir Portugis yang telah menguasai kedua wilayah tersebut.229 Anas Machmud berpendapat kesultanan Aceh berdiri pada abad ke-15 sebagai kelanjutan dari negeri Lamuri. Versi lain menyebut Poli/Lamiri/Lambri/Lanwuli. Letak Kerajaan Lamiri berada di Aceh Besar yang telah memiliki struktur pemerintahan yang tertata rapi dengan kekuatan militer yang cukup lengkap. Muzaffar Syah membangun kota Darussalam dan mengalami kemajuan di bidang perdagangan karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan ke Aceh setelah Malaka dikuasai Aceh.230 Dalam versi yang berbeda H.J. de Graaf mengatakan Kesultanan Aceh merupakan penyatuan dua kerajaan kecil, Lamuri dan Aceh Darul Kamal yang dilakukan Ali Mughayat Syah (1514-1530).231 Asal muasal Kesultanan Aceh juga dapat dilacak dalam Hikayat Aceh. Aceh Darussalam merupakan hasil pembauran dua pemukiman raja Meukuta Alam dan Darul Kamal yang dipisahkan oleh sungai yang bergabung karena proses perkawinan politik antar kedua anak raja, yaitu Ali Mughayat Syah (Kerajaan Meukuta Alam) dengan putri Kerajaan Darul Kamal.232

229Anthony Reid, The Contest for North Sumatera; Atjeh, he Neherlands and Brittain 1858-1898 (Kuala Lumpur: University of Malaysia Press, 1969), 2. Azyumardi Azra,‛Implementasi Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam:Perspektif Sosio- Historis‛ dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos, 2003), xix-xx. 230Asal muasal Kesultanan Aceh telah dipetakan oleh Badri Yatim dan Septi Satriani dalam kerangka yang berbeda. Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), 208. Septi Satriani, ‚Dinamika Sejarah Gampong dan Kampung di Aceh‛ dalam Irine Hiraswasi Gayatri (ed.), Runtuhnya Gampong di Aceh: Studi Masyarakat Desa yang Bergejolak (Jakarta: P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2008) 48- 50. 231Badri Yatim, ‚Sejarah Peradaban Islam…‛, 208. 232Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), cetakan ketiga (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 62. 69

Sepanjang perjalanan Kesultanan Aceh, sejarah mencatat bahwa abad ke-17 merupakan periode Kesultanan Aceh telah mencapai masa keemasan. Kemajuan di segala aspek kehidupan masyarakat dan negara telah mampu diwujudkan.233 Di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1637), Aceh mendominasi perdagangan di utara dan barat Sumatera, Selat Malaka. Selain itu, Aceh melakukan kontrol atau paling tidak penguasaan atas bagian-bagian tertentu di Semenanjung Malaya, yakni Pahang, Kedah, dan Perlis. Dengan bantuan penasehat-penasehat militer, senjata, dan amunisi dari Turki, Kesultanan Aceh mampu melancarkan serangan yang beruntun atas benteng Portugis di Malaka.234 Kesultanan Aceh menjadi kerajaan yang kuat selama berabad-abad dan memiliki pengaruh budaya dan tradisi Melayu yang tersebar dari Sumatera hingga ke Semenanjung Malaya.235 Dari aspek struktur sosial dan politik, di Kesultanan Aceh terbagi ke dalam tiga kelompok elit, yaitu sultan, uleebalang, dan ulama.236 Sultan dan uleebalang merupakan dua pilar utama yang mendukung kehidupan adat dan pemerintahan. Di lain pihak, ulama muncul sebagai pilar utama yang mendukung dan memperjuangkan keberadaan dan peranan agama. Ketiga pilar ini saling berkaitan atau saling mempengaruhi secara harmonis. Sayangnya, Pemerintah Belanda selama empat puluh tahun sebelum pecah Perang Dunia II telah merusak suasana harmonis antara ketiga kekuatan utama sosial-politik Aceh dan meninggalkan dampak yang masih terasa hingga berpuluh tahun kemudian. Setelah Belanda menghapus kesultanan, uleebalang dan ulama menjadi pilar utama masyarakat yang selalu dipertentangkan.237 Pada periode kolonialisme, pemberontakan dan perlawanan telah menjadi cara hidup masyarakat Aceh sejak Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh pada 1873. Pada 26 Maret 1873, pemerintah Kolonial Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Pernyataan ini memulai periode peperangan dan perlawanan yang panjang. Pada 13 Oktokber 1880, pemerintah kolonial Belanda sempat mengumumkan berakhirnya perang. Belanda terpaksa jatuh bangun demi mempertahankan kendali atas daerah jajahan. Peperangan besar pun

233Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor, 2010), 171. 234Azyumardi Azra, ‛Implementasi Syari’at Islam…‛‛, xx. 235Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010), 16. 236Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX (Jakarta: Depag RI, 2009), 72. 237Nazaruddin Sjamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949 (Jakarta_UI Press, 1999), 1-2. 70 kembali berkobar pada 1883. Pada 1898, Mayor J.B. van Heutsz diangkat menjadi Gubernur Aceh. Ia menerapkan kebijakan baru dengan mengkooptasi para uleebalang.238 Pada 14 Januari 1903, setelah tiga dekade berperang, Sultan Aceh, Teungku M. Daudsyah mengirim surat kepada van Heutsz yang menyatakan kesetiannya kepada pemerintah kolonial Belanda. Sayangnya, surat itu tidak memuaskan Belanda. Sultan Aceh pun ditangkap pada 1904 dan dibuang ke Jawa. Pada 1904, sebagian besar daerah Aceh telah berhasil dikuasai Belanda, namun perlawanan bergerilya dalam lingkup terbatas masih berlanjut hingga 1910. Aceh pun tak sepenuhnya ditundukkan Belanda.239 Pada 1939, sejumlah pemuka agama di bawah kepemimpinan Muhammad Daud Beureueh mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Awalnya, PUSA bertujuan memajukan dan melindungi agama Islam. PUSA kemudian semakin berkembang menjadi gerakan anti- Belanda dan sasaran pertama dari aksi perlawanan mereka adalah kalangan uleebalang. PUSA juga berupaya menjalin aliansi dengan Jepang. Kuatnya sentimen anti Belanda mendorong para pemuka agama di Aceh menjalin aliansi dengan Jepang jauh sebelum Jepang menginvansi Indonesia.240 Pada 1941, Fujiwara Kikan (F-Kikan) membangun kontak dengan PUSA. F-Kikan bersama PUSA berhasil merebut Banda Aceh dari Belanda pada 11 Maret 1942. PUSA tidak hanya ingin mengusir Belanda, tapi juga termotivasi untuk menggeser kekuasaan uleebalang. Karena munculnya berbagai kerusuhan dan tidak berpengalamannya para ulama dalam pemerintahan, akhirnya Jepang menerapkan kembali kebijakan Belanda, yaitu memerintah melalui uleebalang. Beberapa bulan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, kalangan ulama menyerang kelompok uleebalang. Peristiwa ini sering disebut Revolusi Sosial Aceh. Para ulama pun mengambil alih posisi uleebalang.241 Sementara di wilayah lain, Kelantan merupakan salah satu negara bagian di wilayah Perseketuan Kerajaan Malaysia yang terletak di sebelah timur Semenanjung Melaka (Malaysia Barat). Di sebelah utara,

238Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik di Aceh‛ dalam Olle Tornquist, dkk., (eds.), Aceh: Peran Demokrasi bagi Perdamaian dan Rekonstruksi (Yogyakarta: PCD Press, 2011), 78-79. 239Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik…‛, 77-78. 240Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik…‛, 75. 241Stanley Adi Prasetyo dan Teresa Birks, ‚Latar Belakang Situasi Politik…‛, 75. 71

Kelantan berbatasan langsung dengan Negara Thailand. Di sebelah barat berbatasan dengan Perak, di sebelah timur berbatasan dengan Trengganu dan di sebelah tenggara berbatasan dengan Pahang. Luas Kelantan adalah 14.929 kilometer persegi dan 75 persen masih merupakan hutan belantara.242 Sejarah awal Kelantan dapat ditelusuri dengan dihuninya berbagai macam penduduk yang berbeda-beda di era prasejarah. Kelantan pada awalnya dipercaya memiliki hubungan dengan Kerajaan Funan, kekuasaan Khmer, Kerajaan Sriwijaya, dan juga Siam.243 Kelantan juga merupakan subjek Kerajaan Sriwijaya (Buddha) dan kemudian terpengaruh Kerajaan Majapahit (Hindu-Jawa) pada abad ke-14.244 Penamaan Kelantan menurut beberapa ahli diawali dari peristiwa munculnya pada suatu malam pancaran sinar yang amat terang dari arah Bukit Panau (sekarang terletak di wilayah Tanah Merah, Kelantan). Cahaya terang ini menerangi seluruh Negeri Kelantan, sehingga sang Raja yang berkuasa ketika itu merubah nama Medang Bhumi menjadi Medang Kilatan Saji. Orang-orang Cham dari Champa sampai sekarang menyebut Kelantan dengan Kelan Jengeh (cahaya yang terang benderang). Dari nama Kilatan Saji inilah kemudian muncul nama Kelantan. Nama lain yang pernah muncul dalam catatan sejarah Kelantan adalah ‚Medang Kamulan‛, suatu negeri tempat lahirnya cerita-cerita kuno wayang kulit dan dikenal sebagai tempat munculnya kesenian wayang kulit di Tanah Melaka. Kelantan juga disebut ‚Kelantana‛ dan kadang-kadang disebut Tanah Kala. Kelantan disebut dengan ‚Raktamrittiku, yang berarti Negeri Tanah Merah. Adapun dalam catatan sejarah Cina, Kelantan disebut dengan Ho-Lo-Tan dan dalam catatan yang ditulis A. Haynes, salah seorang penasehat Kerajaan Inggris, Kelantan disebut ‚Gelam Hutan‛. 245 Sejarah awal Kelantan dapat ditelusuri dalam Hikayat Seri Kelantan yang bermula dari kisah Cik Siti sebagai raja yang pertama kali memerintah Kelantan. Menurut Ringkasan Cetera Kelantan, Cik Siti adalah gelar dari Cik Wan Kembang, cicit Sultan Mahmud Melaka (1488–1511), yang memerintah Kelantan selepas meninggalnya Raja

242Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan (Suatu Perbandingan dengan Fikih Islam‛, Disertasi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, 42. Lihat pula Saad Shukri Haji Muda, Detik-detik Sejarah Kelantan (Kota Bharu: Pustaka Aman Press, Sdn. Bhd, 1971), 86. 243Khoridatul Annisa, Malaysia Macan Asia (Yogyakarta: Garasi, 2009), 60. 244Richard Winstedt, The Malay Magician (Singapore: Oxford University Press, 1982), 1. 245Lihat Mohd. Said bin Mohd. Ishak, ‚Hudud dalam Kanun Jenayah Syariah …‛, 46. 72

Hussein, pemerintah Kelantan yang berasal dari Johor. Sejarah Kelantan seperti yang terdapat dalam Ringkasan Cetera Kelantan, bermula dari Sultan Mansyur Shah yang dikalahkan Sultan Mahmud Melaka.246 Sejak 1499, Kelantan menjadi negara yang tunduk di bawah Kesultanan Melaka setelah Sultan Mahmud Syah (1488–1511) mengirimkan angkatan perangnya untuk menaklukan Kelantan. Dengan runtuhnya Melaka pada 1511, Kelantan terpecah-pecah dan dikuasai oleh para kepala suku yang tamak dan picik yang membayar upeti kepada Pattani. Pada 1603, kebanyakan para kepala suku di Kelantan tunduk pada Pattani.247 Kerajaan pusat di Pattani membagi Kelantan kepada empat wilayah, yaitu Kelantan Timur, Kelantan Barat, Legeh dan Ulu Kelantan. Sekitar tahun 1760, seorang kepala suku dari Kubang Labu di Kelantan berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang sekarang ini menjadi Kelantan. Segera setelah itu, pada 1764, Long Yunos ditunjuk sebagai ‘penghulu’ Kota Bharu, sedangkan adik laki-lakinya, Nik Muhammadiah berkuasa sebagai Sultan Muhammadiah I di Legeh, Ayer Lanas. Nik Muhammadiah atau Sultan Muhammadiah I secara resmi dianggap sebagai Sultan Kelantan yang pertama.248 Pada 1812, Long Senik, anak adopsi Mohammad I, didampingi para penguasa Thai ditunjuk sebagai Sultan Mohammad II. Penguasa ini lepas dari pengaruh Trengganu dan lebih tunduk pada kekuasaan Thai. Pada 1820-an, Kelantan merupakan salah satu negara yang paling terkenal dan sekaligus paling makmur di kawasan Semenanjung Malaya. Negara ini berhasil mencegah terjadinya perang dan kerusuhan yang mewabah di negara-negara yang terletak di kawasan selatan dan barat Semenanjung Malaya. Kekuasaan Thai terus memainkan perannya untuk memanipulasi Kelantan hingga memasuki abad ke-19. Di bawah Anglo- Siamese Treaty 1909, kekuasaan Thai dipreteli dari Kelantan, Terengganu, Kedah, dan Perlis. Negara-negara tersebut diserahkan kepada Inggris. Kelantan pun menjadi salah satu dari negara-negara Melayu yang belum terfederasikan dengan Inggris sebagai penasihatnya.249

246Lihat Hikayat Seri Kelantan, edisi terjemahan Mohd. Taib Osman. Ia memberi catatan pendahuluan dalam transliterasi Hikayat Seri Kelantan, dalam Hikayat Seri Kelantan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2004), xix. 247Shellebear, Sejarah Melayu (Sungapura: Malaya Publishing House Limited, 1981), 152. 248Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 60. 249Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 61. 73

Kelantan adalah tempat pertama di Malaya yang diduduki Jepang yang melakukan penyerangan pada 8 Desember1941.250 Selama pendudukan Jepang. Kelantan lagi-lagi berada di bawah kendali Siam, tetapi setelah Jepang kalah pada Agustus 1945 Kelantan kembali ke tangan Inggris. Kelantan menjadi bagian dari federasi Malaya pada 1 Februari 1948 dan bersama negara-negara bagian lainnya mendapatkan kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957.251 Sebagaimana Kedah, wilayah Kelantan didominasi oleh sektor agraris dengan sawah-sawah yang ditanami padi yang subur. Di kampung-kampung banyak penduduknya mencari ikan terutama yang tinggal di garis-garis pantai. Selama berabad-abad, Kelantan dipisahkan dari negara-negara lainnya oleh Pegunungan Titiwangsa, sebuah pegunungan yang membujur dari utara keselatan di Semenanjung Malaya. Jalan mudah menuju Kelantan adalah dengan berlayar mengitari semenanjung, melawan gelombang laut, dan bajak laut. Karena alasan inilah, sejarah Kelantan sering melibatkan lautan dan perahu-perahu atau kapal. Kebanyakan masyarakat Kelantan masih terikat dengan laut, pada awal 1980-an. Jalan utama dibangun untuk menghubungkan negara- negara bagian yang berdekatan. Sekarang, orang dapat menyeberang melalui jalan dari kota Kuala Lumpur ke Kota Bharu melalui bujuran gunung dengan waktu tempuh sekitar 5 jam.252

B. Kondisi Sosio-Budaya dan Politik Aceh Dari sudut sosio-budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan Islam sebagai dua unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak hidup masyarakat. Meskipun secara umum, unsur yang sangat berpengaruh dalam masyarakat adalah unsur Islam dan adat, namun tradisi budaya Aceh tidak membagi masyarakatnya ke dalam kedua unsur tersebut. Dengan kata lain, masyarakat Aceh tidak mempertentangkan antara agama dan adat. Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat telah meliputi semua bidang hukum sehingga dapat dikatakan hukum Islam dan hukum

250Lihat Mike Wrigglesworth, The Japanese Invasion of Kelantan in 1941, cetakan kedua (Kota Bharu: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 1994), 1-2. Lihat pula Mejar Mohammad Kayun bin A Badaruddin, Jejak-jejak Pertempuran di Kota Bharu (Kuala Lumpur: Media Sastra SDN BHD, 2008), Nik Mohamed bin Nik Mohd. Salleh, Peperangan di Kelantan 7-8 Desember 1941 (Kota Bharu: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 1988), Dato’ Nik Mohamed Nik Mat Salleh, Peperangan Dunia Kedua di Kelantan Desember 1941, cetakan kedua(Kota Bharu: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 2006). 251Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 61. 252Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 62. 74 adat telah melebur menjadi satu hukum. Masyarakat Aceh hampir tidak mampu membedakan antara adat dan hukum Islam. Ini wajar karena antara kedua unsur ini dalam penerapan hukum di Aceh sama pentingnya. Hukum dipahami sebagai hukum Islam dan adat dipahami sebagai adat Islam.253 Masyarakat Aceh selalu berupaya dan menghormati nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah disepakati bersama atau aturan yang telah ditetapkan agama. Ungkapan yang dipakai adalah seubakhe-bakhe ureng Aceh, wate geuteuh nan Allah dan nan Nabi teuiem atauwa seungap, artinya sebodoh-bodoh orang Aceh ketika disebut nama Allah dan Nabinya mereka terdiam, tak meneruskan pekerjaan yang sedang ia lakukan. Bagi orang Aceh, mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam merupakan bagian dari kehidupan budaya. Ketika ini terjadi seakan diri mereka telah menyatu dengan ajaran Islam sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang menyalahi atau bertentangan dengannya. Latar yang dibangun oleh masyarakat Aceh dalam memahami dan mengikat hubungan antara saudara adalah berdasarkan norma-norma agama.254 Adagium yang masih dipegang di Aceh, adat bak Po Teummeurehum, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana. Menurut Hosein Djajadiningrat yang dimaksudkan hukom di Aceh adalah hukum Islam, sedangkan adat bermakna pemerintahan dan segala jenis pajak; reusam berarti tata cara setempat, dan qanun artinya hukum yang mengatur. Adagium ini mengungkapkan latar belakang yang berpengaruh pada kehidupan keseharian masyarakat Aceh. Bagi masyarakat Aceh, adat adalah ketentuan hukum yang bertalian dengan kehidupan kemasyarakatan dan ketatanegaraan duniawi yang berada di tangan raja sebagai Khadam Adat. Hukom adalah ketentuan hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan sesama insan yang bersumber dari ajaran Islam. Qanun adalah adat dan budaya wanita dalam berbagai upacara kemasyarakatan. Reusam menyangkut aturan tata karma bagi lelaki dalam melaksanakan adat kebiasaan dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat.255 Hal ini sesungguhnya mengandung makna pembagian kekuasaan dalam Kesultanan Aceh Darussalam. Kekuasaan politik dan adat berada di tangan Sultan (Po Teummeurehum). Kekuasaan pelaksanaan hukum

253Lihat C. Snouck Hurgronje, ‚Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya…‛, 77. Lihat pula Muliadi Kurdi, ‚Aceh di Mata Sejarawan…‛, 159. 254Muliadi Kurdi, ‚Aceh di Mata Sejarahwan…‛, 30-31. 255Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh‛ dalam Burhanuddin (ed.), Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal (Jakarta; JIL-TAF, 2003), 96. 75 berada di tangan ulama (Syiah Kuala). Kekuasaan pembuat undang- undang berada di tangan Putro Phang. Peraturan protokoler (reusam) berada di tangan Laksamana (Panglima Perang Aceh). Dalam keadaan bagaimana pun, adat, qanun, dan reusam tidak boleh dipisahkan dari hukum yang diartikan sebagau ajaran Islam. Antara adat dan Islam merupakan harmonisasi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena itu, dalam masyarakat Aceh berlaku adagium, hukom ngon adat han jeut cre lagee dzat ngon sipheut, (hukum adat dan hukum agama tidak boleh bercerai, ibarat tidak bisa dipisahkannya antara zat Alah dan sifat-sifat-Nya.256 Ini menunjukkan bahwa norma-norma agama ditopang oleh nilai-nilai adat yang kuat, sehingga di Aceh dikenal elit agama (teungku) dan elit adat (uleebalang). Karena itulah, hukum dan adat di Aceh tidak dapat dipisahkan, seperti hakikat dan sifat Tuhan. Konsepsi ini terlihat jelas dalam administrasi pemerintahan terkecil di Aceh yang berlaku di masa Kesultanan Aceh. Kesatuan daerah yang paling kecil di Aceh adalah gampong (kampung). Pemerintah kampung terdiri dari tiga golongan, yaitu; (1) Keuchik, kepala kampung yang khusus mengabdikan diri di bidang pemeliharaan adat istiadat di samping mengembangkan hidup beragama di antara rakyat; (2) Teungku, ahli agama Islam, tugasnya menegakkan hukum Islam. Di Aceh Besar, gelar Teungku umumnya diberikan kepada pemangku jabatan yang berhubungan dengan agama atau karena orang tersebut berpengetahuan lebih banyak atau lebih taat beribadah daripada masyarakat; (3) Ureung Tuha, pengetua gampong yangberpengalaman dan cerdik pandai. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman, arif, sopan santun dan berpengetahuan tentang adat di gampong.257 Gabungan dua, tiga atau lebih gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imeum (imam) dan dari dua, tiga atau lebih mukim dibentuk sebuah nanggree yang dipimpini oleh uleebalang dengan gelar Teuku. Di atas para uleebalang, duduk seorang Sultan yang memegang kekuasaan tertinggi sebagai raja Aceh.258 Di tiap-tiap gampong atau sekitarnya selalu ditemukan meunasah, yang fungsi utamanya adalah sebagai tempat melakukan shalat setiap hari. Di samping sebagai tempat sembahyang, meunasah juga digunakan sebagai tempat melakukan pertemuan sosial dan agama,

256Abd. Wahid, ‚Peranan Lembaga Adat dalam Mendukung Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh‛ dalam Syamsul Rijal (ed.), Dinamika Sosial Keagamaan dalam Pelaksanaan Syariat Islam, cetakan kedua (Banda Aceh: Dinas S yariat Islam Propinsi NAD, 2011), 110-111. 257Lihat C. Snouck Hurgronje, ‚Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya…‛, 46-58. 258Osman Raliby, ‚Aceh, Sejarah dan Kebudayaannya…‛, 43-44. 76 tempat diadakan upacara desa, tempat memusyawarahkan berbagai hal yang istimewa, dan tempat mengajar al-Qur’an. Di masa Perang Aceh, masjid merupakan tempat mengumumkan kepada masyarakat tentang sesuatu hal yang penting dalam bentuk khutbah dan ceramah.259 Saat ini, terdapat 13 suku bangsa asli Aceh. Suku Aceh adalah suku yang terbesar yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Suku kedua terbesar adalah Suku Gayo yang mendiami wilayah pegunungan tengah Aceh. Suku-suku lainnya adalah Aneuk Jamee di pesisir barat dan selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam dan Singkil, Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Tamiang. Suku Devayan mendiami wilayah selatan Pulau Simeulue sedangkan Suku Sigulai dan Suku Lekon di utaranya. Suku Haloban dan Suku Nias terdapat di Pulau Banyak. 260 Sebagian besar penduduk Aceh menganut agama Islam yang hidup berdampingan dengan penganut agama lainnya, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Berikut jumlah penduduk Aceh berdasarkan Sensus Penduduk 2010.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Aceh 2010

No. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk 1 Kabupaten Aceh Barat 172.896 2 Kabupaten Aceh Barat Daya 125.991 3 Kabupaten Aceh Besar 350.225 4 Kabupaten Aceh Jaya 76.892 5 Kabupaten Aceh Selatan 202.003 6 Kabupaten Aceh Singkil 102.213 7 Kabupaten Aceh Tamiang 250.992 8 Kabupaten Aceh Tengah 175.329 9 Kabupaten Aceh Tenggara 178.852 10 Kabupaten Aceh Timur 359.280 11 Kabupaten Aceh Utara 529.746 12 Kabupaten Bener Meriah 121.870 13 Kabupaten Bireuen 389.024 14 Kabupaten Gayo Lues 79.592 15 Kabupaten Nagan Raya 138.670

259Osman Raliby, ‚Aceh, Sejarah dan Kebudayaannya…‛, 43-44. 260Wawancara dengan Ketua Majelis Adat Aceh, Badruzzaman di Kota Banda Aceh pada 19 Juni 2012. Lihat pula Leo Suryadinat, Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape (Institute of Southeast Asian Studies, 2003), 10. 77

16 Kabupaten Pidie 378.278 17 Kabupaten Pidie Jaya 132.858 18 Kabupaten Simeulue 80.279 19 Kota Banda Aceh 224.209 20 Kota Langsa 148.904 21 Kota Lhokseumawe 170.504 22 Kota Sabang 30.647 23 Kota Subulussalam 67.316 Jumlah 4.486.570 Sumber: Sensus Penduduk 2010261

Dalam konteks sosial, budaya, dan agama, Aceh merupakan wilayah yang dikenal sebagai Serambi Mekah. Tingginya tingkat religiusitas masyarakat Aceh sudah muncul sejak zaman dahulu kala, yang ditopang oleh peran ulama. Dalam sejarahnya, Aceh merupakan wilayah yang memiliki akar yang kuat dengan Islam, terutama dalam menjalankan syariat Islam yang ditopang oleh hukum adat.262 Sebagaimana Aceh, Kelantan juga dikenal dengan sebutan Serambi Mekah. Kelantan dikenal pula dengan Negeri Tadahan Wahyu, Tanah Serendah Sekebun Bunga atau negeri berbudaya. Penduduknya mayoritas beragama Islam. Suku yang hidup di Kelantan adalah yang terdiri dari etnik Melayu, Cina, India, Siam, dan Orang Asal (asli) yang memeluk agama Islam, Budha, Hindu, Kristen, dan Sikh. 263 Makanan utama penduduk Kelantan sejak dulu adalah nasi, keledek (ubi rambat) dan ubi kayu. Nasi merupakan makanan siang dan malam, sedangkan keledek (ubi rambat) dan ubi kayu adalah makanan pagi bersama kopi ‘o’. Kebudayaan asing juga masuk ke Kelantan, seperti masakan kari pedas, pulut kuning264 dari India dan masakan kobis

261http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_suby ek=12¬ab=1 262Kondisi sosial masyarakat Aceh setelah kemedekaan masih tetap bertahan. Agama dan istiadat menjadi karakteristik yang masih dipegang kuat masyarakat Aceh sehingga mereka selalu menginginkan pelaksanaan syariat Islam. 263Pengerusi Jawatankuasa Penasihat, 20 Tahun Pentadbiran Membangun Bersama Islam Kerajaan Negeri Kelantan, 29. 264Makanan yang berasal dari beras pulut berwarna kuning yang dibuat dalam bentuk bundar, di atasnya diberi bunga telur, biasanya digunakanan sebagai bawaan pernikahan. 78 masak air dan pekasam265 dari Cina, dan makanan roti cecah bubur kacang266 dari Arab.267 Hubungan antar etnik di Kelantan relatif terjaga baik. Kelompok minoritas etni-agama di Kelantan merasa mendapat perlindungan dan kebebasan dari pemerintah negara bagian yang dipimpin partai Islam PAS.268 Hubungan Muslim Melayu dengan Cina berjalan baik. Lihat saja di pusat kota, seperti Kota Bharu, Pasir Mas, Kuala Krai, Machang, orang Melayu minum kopi dan makan nasi kerabu (nasi berlauk) di restoran-restoran Cina. Di pasar besar pun demikian. Di Jalan Suara Muda, persimpangan Jalan Dato’ Pati (Medan Ilmu) terdapat sebuah pasar Cina, Pasar Pokok Pinang, yang menjual sayuran, ikan dan keperluan dapur, juga daging babi. Orang Muslim Kelantan tak pernah memprotes adanya pasar tersebut. Di setiap Jumat, ribuan umat Islam membanjiri kawasan tersebut untuk mengikuti kuliah agama oleh Menteri Besar Kelantan (1990-2013), Tuan Guru Dato’ Bentara Setia Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, Mursyidul Am PAS.269 Rumah dan perkampungan merupakan satu peralatan budaya yang penting dalam melihat sejarah sosio-kultural penduduk Kelantan. Rumah orang Melayu Kelantan sebelum abad ke-20 adalah berbentuk sederhana. Berbeda dengan rumah bangsawan dan kerabat raja yang dihiasi dengan berbagai bentuk bunga dan mempunyai arsitektur yang tinggi. Di perkampungan, terdapat rumah-rumah yang didirikan bersebelahan antara satu dengan yang lain. Ini adalah hasil perkembangan keluarga. Terdapat pula beberapa rumah (tiga hingga lima buah) dikelilingi satu pagar sasak yang sama, biasanya terdiri dari adik-kakak, bapak saudara dan anak saudara, dan yang paling jauh sepupu.270 Pakaian lengkap yang digunakan penduduk Kelantan sebelum abad ke-20 adalah sejenis kain yang tidak berjahit yang dikenal dengan kain ‚punca potong‛ untuk laki-laki. Selain itu ada kain ‚bengkong, yang

265Ikan dimasukkan dalam tempayam yang diberi garam agar tidak bau busuk sehingga dapat disimpan lama untuk persiapan persediaan makanan di bulan Oktokber, Nopember, dan Desember karena penduduk tidak pergi ke laut mencari ikan. 266Roti yang dipotong-dipotong dalam beberapa lapisan dicampur dengan kacang hijau. 267Lihat Zaidi Saidi Ibrahim, ‚Aspek-aspek Budaya-Ekonomi Masyarakat Kelantan‛ dalam Khoo Kay Kim (ed.), Beberapa Aspek Warisan Kelantan (Kuala Lumpur: Jabatan Sejarah Universiti Malaysia, 1982), 43-44. 268Wawancara dengan Tharuman, orang Hindu-India, Lim Guan Seng, dan Jeff Lee, orang Budha-Cina pada 14 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 269Wawancara dengan Lim Guan Seng orang Budha-Cina pada 14 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 270Zaidi Saidi Ibrahim, ‚Aspek-aspek Budaya-Ekonomi …‛, 29-35. 79 dililit sekeliling pinggang, kain ‚bersebar‛ yang disangkut di bahu dan ‚semuntal‛ yang dipakai bersama. Pakaian wanita Kelantan terdiri dari dari tiga jenis pakaian utama, yaitu kain sarung ‚punca potong‛, kain berkemban dan kain kelubung.271 Pada dasarnya, penduduk Kelantan pada tahun-tahun sebelum 1910-an tidak menggunakan baju, melainkan kain-kain di atas. Baru setelah Sultan Muhammad IV memerintahkan seluruh rakyatnya menggunakan baju, maka baju kebaya dan baju kurung menjadi pakaian penduduk Kelantan. Tidak terdapat perbedaan dalam bentuk pakaian antara wanita istana dan wanita biasa, hanya berbeda dalam mutu saja.272 Rumah-rumah ibadah pun diberi jaminan oleh Pemerintah Negeri Kelantan. Ini dibuktikan dengan masih tegaknya berdiri Tokong Mek yang berusia 200 tahun Tokong Na Eng Kong dan Tokong Leng Eng Tian di Kampung Cina. Di Jalan Hamzah juga ada Tokong Tau Mu Kong.273 Di setiap bandar jajahan (kota kabupaten/kota) yang banyak dihuni orang Cina, ada rumah ibadah mereka, seperti di Tepi Sungai Pasir Tumboh.274 Pada awal pemerintah PAS di Kelantan periode 1990, orang Cina menginginkan bangunan Dewan Perniagaan Cina di Jalan Kebun Sultan dirubah bagian depannya sesuai dengan konsep tradisional Cina, PAS pun mengizinkannya. Padahal ketika Kelantan dipimpin UMNO, kaum Cina sudah beberapa kali minta perizinan, tidak dihiraukan UMNO. Pemerintah Negeri Kelantan juga mendirikan masjid yang berasitektur Cina di Rantau Panjang. Imam, arsitek, dan pekerjanya pun didatangkan dari Yunan Cina. Pemerintah Negeri Kelantan juga telah menyelenggarakan Ekspo Cheng Ho pada 2010. Kaum Cina pun bebas mempersembahkan budanya tarian Naga. Menteri Besar Kelantan, Tuan Guru Dato Nik Aziz Nik Mat pun berkenan hadir dalam perayaan Tarian Naga.275 Di bidang pendidikan, Pemerintah Negeri Kelantan memberi kebebasan untuk menyelenggarakan sekolah Cina, seperti Sekolah Rendah/Menengah Chung Hwa dan Chung Chin di Kota Bharu. Orang

271Zaidi Saidi Ibrahim, ‚Aspek-aspek Budaya-Ekonomi …‛ 37-40. 272Zaidi Saidi Ibrahim, ‚Aspek-aspek Budaya-Ekonomi …‛ 41-42. 273Wawancara dengan Lim Guan Seng orang Budha-Cina pada 14 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 274Urusetia Penerangan Negeri Kelantan, Kelantan Ikon Keharmonisan Kaum (Kota Bharu: Urusetia Penerangan Negeri Kelantan, 2011), 11-12. 275Wawancara dengan Lim Guan Seng orang Budha-Cina pada 14 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 80

Cina pun boleh minum minuman keras di rumah mereka, restoran Cina atau bukan tempat umum.276 Perlakuan kepada orang-orang Siam pun relatif sama. Kampung- kampung Siam bersebaran di Kelantan, lokasinya di tengah-tengah perkampungan Melayu. Kampung-kampung orang Siam terbesar di Kelantan adalah Kampung Terbak, Kampung Jubakar, Kampung Jambu, Kampung Kok Seraya, Kampung Kubang Panjang, Kampung Kulim (Tumpat), Kampung Repek, Kampung Tendong (Pasir Mas), Kampung Balai, Kampung Aril (Bachok), Kampung Semerak (Pasir Puteh), Kampung Kusial (Machang), dll.277 Setiap Kampung Siam dibangun ‚Wat‛ atau ‚Ketik‛ (patung). Di Kampung Jambu terdapat sebuah patung Budha Tidur (Sleeping Buddha) yang terbesar di Asia Tenggara, dengan ketinggian 11 meter, panjang 40 meter dan lebar 9 meter, yang dibangun pada 1973 dengan sumbangan orang banyak. Di Wat Machimmaran yang berusia 500 tahun di Kampung Jubakar dibangun sebuah patung Budha Bersila (Sitting Buddha). Patung ini tercatat sebagai patung Buddha terbesar di Asia Tenggara dengan ukuran ketinggian 30 meter, panjang 47 meter dan luas kedalaman 22.25 meter persegi. ‚Wat‛ atau ‚Ketik‛ (patung) ini menjadi tumpuan penganut agama Budha termasuk dari luar negeri, seperti Thailand, Nepal, Laos, Vietnam, Jepang, dan Korea. Satu lagi patung Buddha adalah Wat Buddhathaksin Ming Mongol di Kampung Balai dalam posisi berdiri (Standing Buddha) dengan ketinggian 36 meter dan luas 30 meter persegi.278 Etnis India bermukim di Kelantan sejak sebelum Malaysia merdeka, terutama di kawasan perladangan, seperti Ladang Pasir Gajah, Ladang Tako, Ladang Kuala Pertam, Kampung Keroh (Kuala Krai), Temangan, Ladang Sokor (Machang), Ladang Kerila (Tanah Merah) dan kawasan-kawasan kota seperti jalan Hamzah, Kota Bharu dan Gua Musang. Kuil terbesar adalah Kerila Karu Mariammah yang dibangun sejak zaman Inggris di Ladang Kerila, Tanah Merah. Yang kedua adalah Tumpat Muthu Mariamman di Tumpat dan Kuil Siva Subramanimalayam di Jalan Hamzah, Kota Bharu.279

276Urusetia Penerangan Negeri Kelantan, Kelantan Ikon Keharmonisan Kaum (Kota Bharu: Urusetia Penerangan Negeri Kelantan, 2011), 16-17. 277Urusetia Penerangan Negeri Kelantan, ‚Kelantan Ikon Keharmonisan Kaum…‛, 35. 278Urusetia Penerangan Negeri Kelantan, ‚Kelantan Ikon Keharmonisan Kaum…‛, 36-37. 279Urusetia Penerangan Negeri Kelantan, ‚Kelantan Ikon Keharmonisan Kaum…‛, 47-48. 81

Ekonomi Kelantan beraneka ragam. Ada penduduk yang bercocok tanam padi, karet, dan tembakau.280 Ada juga yang berrmata pencaharian sebagai nelayan. Tak ketinggalan terdapat perajin tangan tradisional seperti batik, ukiran kayu, dan songket. Sebagian masyarakat yang berdekatan dengan hutan bekerja sebagai penebang kayu. Dalam tahun- tahun terakhir ini, pariwisata, terutama di daerah pantai kian digalakkan dan menunjukkan peningkatan yang berarti.281 Ibu kota Kelantan, kota Bharu sekarang ini adalah pusat kegiatan ekonomi. Pasar utama di pusat kota adalah daya tarik utama kota Kelantan, juga ada rencana untuk membuka wilayah barat negara bagian di bawah ambisi proyek multi juta’an dolar dari pemerintahan Kelantan.282 Di Kota Bharu, tampak kehidupan yang tak begitu ramai. Hampir tak terlihat orang berjalan kaki. Masyarakat Kelantan lebih menyukai berkendaraan motor (mobil dan sepeda motor) daripada berjalan kaki. Transportasi publik tidak begitu banyak terlihat. Taksi pun sedikit yang hilir mudik di sepanjang jalan. Kedai-kedai makanan dan minuman dijajakan sepanjang hari (nasi lemak, nasi dagang, nasi air, sup daging/tulang, dan tom yam). Tak ketinggalan roti canai yang menjadi kekhasan di seluruh Malaysia. Teh, kopi, dan susu menjadi minuman kegemaran masyarakat sewaktu singgah di kedai. Kelantan telah menunjukkan sebagai kota serambi Mekah dengan banyaknya masyarakat yang menggunakan busana muslim/muslimah (jilbab panjang dan baju koko) bagi yang beragama Islam. Etnis Cina dan India tetap diberi kebebasan untuk menggunakan pakaian mereka sepanjang menghormati tata susila masyarakat Kelantan, sehingga tak tampak terlihat perempuan-perempuan Cina yang memakai celana pendek, seperti di Kuala Lumpur dan Singapura. Jilbab panjang untuk perempuan dan baju koko beserta peci putih menjadi ciri khas masyarakat Kelantan. Meski demikian, masih ada beberapa perempuan yang memakai jilbab dengan kaos lengan pendek. Kehidupan pagi banyak dilakukan dengan menyantap roti canai dan teh tarik (teh plus susu) di kedai-kedai dengan berkendara mobil atau motor. Kelantan sangat terkenal dengan para penduduknya yang terlibat dalam bisnis skala kecil dan menengah yang menghasilkan pendapatan yang memuaskan.283 Mulai 2008, Kelantan memiliki perusahaan penerbangan, Amrose Air yang berpusat di Bandara Sultan Ismail Petra.

280Wawancara dengan Sabri, Ukasyah, dan Muadz pada 16 Juni 2011 di Jakarta 281Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 62-63. 282Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 63. 283Wawancara dengan Sabri, Ukasyah, dan Muadz pada 16 Juni 2011 di Jakarta. 82

Amrose Air melayani rute-rute domestik dan internasional dengan tujuan seperti Bangkok dan Jeddah. Daerah pedesaan yang luas diwarnai dengan bertahannya tradisi Melayu seperti kontes menerbangkan layang-layang, kontes gasing, kompetisi kicauan burung, kerajinan tangan tradisional seperti batik, songket, dan kerajinan perak. Sebagai negara perbatasan dan bekas wilayah yang pernah berada di bawah kekuasaan Thailand (Siam). Kelantan menyerap pengaruh dari kebiasaan dan tradisi Thailand. Hal ini mengakibatkan Kelantan memiliki tradisi yang berbeda dengan negara- negara bagian Malaysia lainnya. Semua etnis secara umum hidup secara harmonis di Kelantan. Misalnya, anggota dari komunitas Thai mendapatkan izin untuk mendirikan kuil-kuil Buddha tanpa mendapatkan penolakan dari komunitas Melayu. Melayu Kelantan juga memiliki keunikan. Tidak seperti Melayu pada umumnya, mereka percaya peradaban Melayu mereka dari utara, bukannya dari selatan. Banyak orang Kelantan memiliki nenek moyang bangsa Thai. Inilah yang membuat mereka berbeda, baik kultural maupun fisik dengan orang Melayu umumnya.284 Dialek Melayu Kelantan juga berbeda dengan standar Melayu.285 Ditinjau dari stuktur kebahasaan dialek ini unik dalam pengucapan maupun gaya bicaranya. Dialek Melayu Kelantan adalah satu-satunya lingua franca negara, yang digunakan oleh media massa lokal dan umumnya digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Beberapa orang Kelantan tak dapat berbicara menggunakan bahasa Melayu standar sebagaimana diianjurkan oleh Pemerintah Federal. Dialek yang berbeda ini sangat merata dan terlihat di kalangan masyarakat yang berdekatan dengan Thailand seperti di Besut, yang juga berdekatan dengan distrik paling utara negara bagian Terengganu. Jika naskah Arab yang dinamakan Jawi memiliki pengaruh yang sedikit di bagian Malaysia lainnya, di Kelantan banyak digunakan dalam penulisan maupun pencetakan Bahasa Melayu.286 Wilayah Kelantan terbagi ke dalam 10 distrik, yaitu Kota Bharu, Pasir Mas, Tumpat, Pasir Puteh, Bachok, Kuala Krai, Machang, Tanah Merah, Jeli, dan Gua Musang. Jumlah penduduknya berdasarkan Sensus Penduduk 2010 adalah sebagai berikut:

284Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 65-66. 285Wawancara dengan Sabri, Ukasyah, dan Muadz pada 16 Juni 2011 di Jakarta. 286Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 66. 83

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelantan 2010

No Distrik Jumlah Penduduk 2010 1 Kota Bharu 491.237 2 Pasir Mas 189.292 3 Tumpat 153.976 4 Bachok 133.152 5 Tanah Merah 121.319 6 Pasir Puteh 117.383 7 Kuala Krai 109.461 8 Machang 93.087 9 Gua Musang 90.057 10 Jeli 40.637 Jumlah 1.539.601 Sumber: Sensus Penduduk Kelantan 2010 287

Bagi sebagian orang Malaysia, Kelantan identik dengan seni dan kerajinan Melayu. Kota Bharu sebagai ibu kota Kelantan dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu seperti pencak silat, seni perang, kendang, dan berbagai macam seni yang identik dengan budaya bangsa Melayu.288 Masyarakat Kelantan hidup dalam lingkungan kemasyarakatan yang tradisionalis yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama (Islam). Tradisi yang hidup di Kelantan merupakan warisan turun-menurun yang diwariskan nenek moyang dahulu. Islam dan adat-istiadat menjadi satu tradisi yang melekat dalam hidup keseharian masyarakat Kelantan.289 Kesenian tradisional Kelantan adalah Makyong yang dulunya terdapat di istana Raja Melayu Pattani di Selatan Siam lebih kurang 400 tahun yang lalu.290 Di dalam Makyong terdapat drama, tarian, nyanyian, dan unsur-unsur komedi. Ceritanya penuh dewa-dewi yang disampaikan melalui mulut, hanya menggunakan ingatan tanpa dialog tertulis.

287http://www.statistics.gov.my/portal/download_Population/files/census2010/ Taburan_Penduduk_dan_Ciri-ciri_Asas_Demografi.pdf diakses 27 Pebruari 2014. 288Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 66. 289Wawancara dengan Sabri, Ukasyah, dan Muadz pada 16 Juni 2011 di Jakarta. 290Lihat lebih lengkap M.C. ff. Sheppard, ‚Makyong‛, The Straits Time Annual For 1960, Singapore, 15. 84

Pertunjukkan Mak Yong tidak dapat disudahi satu malam saja, bahkan bersambung hingga tujuh malam.291 Kebudayaan lain yang berkembang di Kelantan adalah dua tarian yang paling populer di zaman dulu, yaitu Tarian Impian Asyek dan Tarian Joget Melayu Kelantan. Tarian Impian Asyek diciptakan oleh perkumpulan seniman di Kampung Serendah Sekebun Bunga di Kelantan sebagai persembahan kepada raja-raja Melayu. Tarian ini mulai terkenal sejak Kelantan dipimpin Sultan Muhammad IV. Tarian Joget Melayu Kelantan asalnya dibawa masuk oleh Raja Banggol, Long Jenal, anak ketiga dari Raja Long Yunus. Silat di Kelantan pada awalnya berasal dari Minangkabau pada tahun-tahun permulaan Kesultanan Melaka. Silat terbagi dalam Silat Randai Silat Songsong dan Silat Asli. Dzikir Barat, yang berisi tarian dan vocal dan kesenian wayang kulit yang berisi nasihat dan kritik. Dzikir Barat terdiri dari 15 orang dan musiknya terdiri dari gedombak, rebana kecil, tetawak dan serunai. Irama lagunya merdu dan sederhana. Wayang kulit pun telah menjadi tradisi di Kelantan, meskipun mereka tidak memperdulikan asalnya dari mana: Jawa, Jambi, Cina atau India. Wayang Kulit di Kelantan sudah mengalami perubahan; cara permainan, wayang kulitnya dan adat istiadatnya. Tok Dalang dan anggota musiknya mendapat perlindungan (gaji dari) raja pada abad ke-19 dan pada abad ke-20 Tok Dalang mencari nafkah sendiri.292 Layang-layang tidak boleh dilupakan dalam kebudayaan Kelantan. Pertandingan layang sudah disertai Raja Ahmad, putera Sultan Mahmud. Orang Kelantan menyebut banyak layang-layang, yaitu Wau Bulan, Wau Kucing, Wau Merak, Wau Bayan, Wau Burung, Wau Ikan, Wau Katak, Wau Orang, dan Wau Barat. Gasing juga menjadi budaya penduduk Kelantan. Gasing terbuat dari kayu di tepi bulatan gasing dilengkungi logam. Berat gasing 5-6 kg. Lingkarannya lebih kurang 75 cm dan garis pusat 27.5 cm. Rebana juga menjadi kesenian penduduk Kelantan. Rebana Besar dimainkan dalamperayaan tertentu di luar istana Sultan atau bersebelahan rumah Penghulu Kampung di Kelantan. Rebana Ubi lebih kecil bentuknya, garus pusatnya 67.5 cm dan yang yang terkecil 50 cm, Tingginya antara 43-50 cm. Permukaannya terbuat dari belulang. Rebana ini tidak digantung, tetapi diletakkan di tanah.293 Ada juga Kertok di Kelantan yang dimainkan setelah musim panen padi. Selampit

291Hamidah bt. Yaacob, ‚Hiburan Tradisional Kelantan‛ dalam Khoo Kay Kim (ed.), Beberapa Aspek Warisan Kelantan…‛, 57-58. 292Wawancara dengan Sabri, Ukasyah, dan Muadz pada 16 Juni 2011 di Jakarta. 293Hamidah bt. Yaacob, ‚Hiburan Tradisional Kelantan…‛, 73-74. 85 ialah bentuk bercerita yang tertua. Penyanyi yang bercerita diiringi dengan rebab dengan gaya India. Di Kelantan juga ada Balaga Lembu Kerbau, yaitu adu dua ekor kerbau, sabung ayam, dan pertandingan burung merbok.294 Banyak pesantren berdiri di Kelantan.295 Sekarang ini pesantren yang murni mengajarkan kitab (Pesantren Salaf) sudah tidak banyak lagi di Kelantan. Yang banyak adalah pesantren yang menggunakan kurikulum sekolah yang dipadukan dengan kurikulum Al-Azhar.296 Konteks sosio-budaya masyarakat Aceh yang relijius dan memelihara adat istiadat ini berbeda dengan kenyataan politik di Aceh yang terpinggirkan oleh pemerintahan pusat dan cenderung disebut sebagai separatisme (pemberontakan). Karena itulah, dalam konteks politik, pemberlakuan syariat Islam sesungguhnya dapat dilihat dari dua periode besar Aceh. Periode pertama perjuangan pemberlakuan syariat Islam di Aceh setelah Indonesia merdeka (1949-1968) merupakan respon politik atas kebijakan Pemerintah Pusat yang meminggirkan arti penting dari perjuangan rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Periode ini terlihat konflik Pemerintah Pusat dengan Gerakan DI/TII yang dipimpin Teungku Muhammad Daud Beureueh297 yang puncaknya adalah mendapatkan keistimewaan Aceh dalam tiga hal, yaitu keagamaan, keadatan, dan pendidikan. Periode kedua perjuangan pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan respon politik peminggiran dan penindasan yang puncaknya adalah pemberlakuan otonomi khusus dalam isu syariat Islam, adat, pendidikan, dan ulama. Pada periode inilah dimulai pemberlakuan qanun syariah secara lebih riil dibandingkan periode sebelumnya. Periode ini terlihat dengan jelas setelah berakhirnya konflik Pemerintah Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin Hasan Tiro (1969-2001) dalam perjanjian Helsinski. Di masa perjuangan kemerdekaan, rakyat Aceh memegang peranan penting. Rakyat Aceh yang dipimpin oleh ulama berjuang untuk kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Ulama seluruh Aceh pun membuat ‚Maklumat Ulama Seluruh Atjeh‛ untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kembali Belanda (15 Oktokber

294Hamidah bt. Yaacob, ‚Hiburan Tradisional Kelantan…‛, 76-81. 295Wawancara dengan Sabri, Ukasyah, dan Muadz pada 16 Juni 2011 di Jakarta. 296Wawancara dengan Dato’ Sukri, Mufti Kerajaan Negeri Kelantan pada 18 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 297Lebih lengkap perjalanan Daud Beureueh dalam pergolakan Aceh, lihat M. Nur El Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh (Jakarta: Gunung Agung, 1986). 86

1945) yang ditandatangani Tgk. Hadji Hasan Kroeng Kale, Tgk. Hadji Dja’far Siddiq, Tgk. M. Daoed Beureueh, Tgk. Hadji Ahmad Hasballah, T. Nja’ Arif, dan Toeankoe Mahmoed.

‚Segenap lapisan rakjat telah bersatu padu dengan patuh berdiri di belakang pemimpin Ir. Soekarno untuk menunggu perintah dan kewajiban yang akan dijalankan. Menurut kejakinan kami bahwa perdjuangan ini adalah sebagai sambungan perdjuangan dahulu di Atjeh jang dipimpin oleh almarhum Tgk. Tjhik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan jang lain. Dari sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah madju kemuka untuk mengikut djedjak perdjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh kepada segala perintah pemimpin kita untuk keselamatan Tanah Air, Agama, dan Bangsa‛.298

Kunjungan Presiden Soekarno pada tahun 1948 ke Aceh dengan misi permintaan kepada rakyat Aceh untuk berperang mempertahankan kemerdekaan dimanfaatkan para ulama Aceh untuk bernegosiasi. Permintaan Soekarno disanggupi Daud Beureueh dengan satu syarat, rakyat Aceh diberi kebebasan untuk melaksanakan syariat Islam. Pada gilirannya, empat ulama besar Tgk. H. M. Daud Beureueh, Tgk. H, Djakfar Lamjabat, Tgk. H. Muhammad Krueng Kalee, dan Tgk. H. Ahmad Hasballah mengeluarkan fatwa yang berbunyi: ‚Bagi kaum muslimin yang berperang mempertahankan cita-cita proklamasi, kalau meninggal dunia dalam perang itu akan mendapat pahala syahid.299 Ulama bersama rakyat Aceh bahu-membahu membangun persatuan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kontribusi yang besar dari rakyat Aceh sangat nyata dengan mengumpulkan dana perjuangan kemerdekaan. Dalam jangka waktu kurang lebih 3 bulan, 31 Maret 1949-11 Juli 1949 oleh Pemerintah Daerah telah disampaikan kepada perwakilan luar negeri sebanyak $100.000,00, Indonesian Office Singapore sebanyak $50.000,00, Angkatan Perang sebanyak $250.000,00 pengembalian Pemerintah Pusat ke Yogyakarta sebanyak $100.000,00. Semuanya berjumlah $500.000,00. Peranan penting Aceh ini diakui sendiri Presiden Soekarno. Dalam salah satu pidato yang pernah diucapkannya dalam perjalanan ke Aceh, setelah mengucapkan kata-kata penghargaan atas peranan yang telah dimainkan daerah dalam

298Maklumat Ulama Seluruh Atjeh untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pendjajahan kembali oleh Belanda (15 Oktokber 1945). 299Marzuki Wahid dan Nurrohman, ‚Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syariat Islam: Kasus Nanggroe Aceh Darussalam, dalam ‚Tashwirul Afkar, Edisi No. 13 (2002). 87 memperjuangkan kemerdekaan Nusa dan Bangsa, Soekarno memberikan sebutan Aceh dengan ‚Daerah Modal‛.300 Kesetiaan Aceh terhadap Pemerintah Pusat mengalami anti klimaks setelah Aceh dalam bentuk Karesidenan berubah dan diganti sehingga Aceh menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara bersama Tapanuli dan Sumatera Timur melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Sumatera (Peraturan Pembagian Sumatera dalam Tiga Propinsi) tanggal 15 April 1948.301 Perubahan ini ditentang dengan sengit oleh masyarakat Aceh. Umur Provinsi Sumut pun tidak lama. Setahun kemudian pada tahun 1949, Aceh dijadikan satu kesatuan Daerah Militer dengan Muhammad Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer. Pembubaran Provinsi Sumatera Utara dan pembentukan Daerah Militer Aceh ini dilaksanakan atas Keputusan Pemerintah Darurat RI (Kep. No. 21/Pem/PDRI.16/5.-)302 Tuntutan Provinsi Aceh tersendiri tanpa bergabung dengan Tapanuli Selatan dan Sumatera Timur berjalan terus, tanpa henti- hentinya dan dengan penuh semangat.Tidak lama kemudian keluarlah Ketetapan Wakil Perdana Menteri Mr. Syafrudin Prawiranegara, Ketetapan WPM Pengganti Peraturan Pemerintah tanggal 17 Desember 1949 No.8/Des/WPM yang memecah Provinsi Sumatera Utara menjadi dua propinsi, Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Timur/Tapanuli. Untuk Provinsi Aceh, diangkat Beureueh sebagai gubernurnya.303 Pembentukan Provinsi Aceh ini tidak dapat disetujui oleh Pemerintah Pusat yang baru saja terbentuk setelah beberapa lama terjadi kekosongan pemerintahan. Ketetapan Wakil Perdana Menteri tersebut ditinjau kembali oleh Pemerintah Pusat. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Propinsi Sumatera Utara memutuskan mencabut Peraturan Wakil Perdana

300Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi dalam Surat Keputusan WPM RI No. 1/Missi/1959 menyatakan, ‚Ternyata bahwa Daerah Aceh dalam suasana gelora persatuan ketika pecah Revolusi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, telah dapat memberikan amal jasanya yang tak terhingga dalam perjuangan kemerdekaan. Lihat S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekkah‛, 74 301Undang-undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Sumatera (Peraturan Pembagian Sumatera dalam Tiga Propinsi) Pasal 1: Sumetera dibagi menjadi tiga propinsi yang mengatur dan mengurus rumah tanga sendiri. 2: Propinsi-propinsi yang tersebutpada pasal 1 yaitu: Provinsi Sumatera Utara yang meliputi karesidenan- karesidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; Propinsi Sumatera Tengah yang meliputi karesidenan-karesidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi; Propvinsi Sumatera Selatan yang meliputi karesidenan-karesidenan Bengkulu, Palembang, Lampung, dan Bangka Belitung. 302S. M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 76. 303S. M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛,76. 88

Menteri pengganti Peraturan Pemerintah No. B/Des/W.K.P.M. Tahun 1949 Tentang Pembagian Sumatera Utara menjadi dua propinsi, mengesahkan penghapusan pemerintah daerah karesidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli serta pembubaran DPRD karesidenan- karesidenan tersebut, dan menetapkan pembentukan Propinsi Sumatera Utara.304 Dasar hukum Provinsi Aceh tidak sah dan untuk sementara hanya diakui secara de facto. Kawat Menteri Dalam Negeri ini menimbulkan reaksi dari kalangan pimpinan masyarakat Aceh.305 Silih berganti orang-orang yang mewakili Pemerintah Pusat berkunjung ke Kutaraja guna menentramkan keadaan. Pemerintah Pusat menghadapi kesulitan. Rakyat Aceh menghendaki Provinsi tersendiri, tanpa bergabung dengan daerah-daerah Tapanuli dan Sumatera Timur. Pada 1949, Soekarno mengunjungi Aceh untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Indonesia. Beureueh, setelah berhasil menghimpun dana untuk perjuangan RI memohon kepada Soekarno agar mengizinkan diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Bung Karno setuju, tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan Beureueh.306 Sebaliknya, persetujuan Repubik Indonesia dengan Republik Indonesia Serikat tanggal 19 Mei 1950 telah menentukan jumlah provinsi di seluruh Indonesia harus 10 dan dengan demikian pemberian otonomi untuk Aceh tidak mungkin dipenuhi tanpa berlawanan dengan persetujuan tersebut. Maka, dibentuklah Provinsi Sumatera Utara dengan Peraturan Pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1950.307 Pada tanggal 26 September 1950, Daerah Aceh mendapatkan kunjungan dari Menteri Dalam Negeri, Mr. Assa’at bersama Menteri Keuangan, Mr. Syafrudin Prawiranegara dengan tugas membujuk pemimpin-pemimpin Aceh untuk merubah sikap menentang Pemerintah Pusat dalam persoalan provinsi. Diadakanlah petermuan antara misi Pemerintah Pusat dengan pemimpin-pemimpin Aceh, seperti Tengku Muhammad Daud Beureueh, Muhammad Nur el Ibrahimy, Amelz, Tengku Husin al-Mujahid dan Wakil Jawatan Agama Aceh. Misi ini tidak berhasil menenteramkan keadaan. Pertemuan diakhiri dengan suasana tegang. Reaksi masyarakat Aceh memuncak dengan keluarnya

304Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. 305S. M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 76. 306Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh‛ dalam Burhanuddin, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal (Jakarta; JIL-TAF, 2003), 96. 307S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 80-81. 89

‚Pernyataan Akhir‛ yang menyerukan apabila Pemerintah Pusat tidak dapat memenuhi tuntutan Rakyat Aceh, yaitu otonomi dalam arti seluas- luasnya, mereka mengancam akan meletakkan jabatan sebagai pegawai negeri dan pemimpin rakyat dan kembali ke masyarakat.308 Pada tanggal 22 Desember 1950 diadakan Kongres PUSA di Kutaraja. Dalam kongres ini diambil suatu ketetapan tekad seluruh Aceh untuk meningkatkan perjuangan tuntutan otonomi Aceh. Sebulan kemudian, 22 Januari 1951, Perdana Menteri Muhammad Natsir mengunjungi Kutaraja dan mencapai kesepakatan dengan Gubernur/Kepala Daerah Aceh Tengku Muhamad Daud Beureueh. Kedua pihak menyetujui pembentukan Provinsi Sumatera Utara sekalipun hanya untuk sementara dan provinsi ini akan bubar setelah keadaan kelak mengizinkan pembentukan provinsi tersendiri bagi daerah Aceh. Ia berhasil menenteramkan keadaan sekalipun hanya untuk sementara waktu.309 Beureueh pun kehilangan posisi gubernurnya. Ia dipindahkan dan ditempatkan di Kementerian Dalam Negeri. Tidak lama di Jakarta, ia kembali ke Aceh.310 Perdana Menteri Mohd. Natsir dalam pidato radio di studio Kutaradja 23 Januari 1951 menjelaskan pembentukan Propinsi Sumatera Utara kepada pemimpin-pemimpin Aceh.

‚Djadi saja berharap kepada sdr2 supaja sdr2 dapat meletakkan soal2 pada tempatnya, seluruhnja dengan pengertian bahwa apabila keinginan sdr2 yang sudah dinjatakan, pada suatu saat belum terwujud, maka itu hendaklah djangan menimbulkan perassan kesal atau perasaan yang tidak enak atau perasaan kurang sabar; akan tetapi semuanja itu sebagaimana jang saja katakan tadi, adalah soal-soal jang sewadjarnja timbul dalam negara jang berdasarkan demokrasi, dan djuga, bahwa sdr2 itu harus berdjalan dan disalurkan menurut tjara2 pula jang sudah tentu bagi negara kita ini‛311

Pada awal tahun 1953, PUSA mengadakan Kongres di Langsa. Kongres ini menuntut pembentukan kembali Provinsi Aceh. Kongres PUSA ini kemudian diikuti pula oleh Kongres Ulama di Medan, di bawah pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh. Pada tanggal 17 Agustus 1953, penduduk Kota Bakti mengadakan rapat sehubungan timbulnya suasana gelisah dan hangat di kalangan penduduk. Oleh rapat diambil resolusi berisi permohonan kepada Pemerintah Pusat untuk

308S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 83-84. 309S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 84. 310S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 85. 311Wedjangan Perdana Menteri Mohd. Natsir di Atjeh 23 Januari 1951 jam 21.22.07. 90 menangkap Beureueh serta pengikut-pengikutnya dengan alasan bahwa PUSA yang dipimpin olehnya menggerakkan rakyat untuk menyerang alat-alat kekuasaan negara, membasmi orang yang tidak disukainya, dan mendirikan Negara Islam.312 Penduduk Loeeng Putu pada tanggal yang sama mengadakan rapat dan mengambil resolusi dengan alasan: memaksa rakyat memasuki Masyumi/PUSA, melatih pandu-pandu Islam dan orang-orang PUSA sebagai tempat latihan tentara siang malam, memaksa dan mengancam penduduk-penduduk yang tidak mau menurut kehendak mereka. Ditambah lagi laporan yang diterima dari Komisariat PERTI Aceh Pidie di Sigli tanggal 17 Agustus 1953 dan laporan Ketua PNI ranting Loeeng Putu, yakni tindakan sekelompok orang yang dipaksa memasuki Partai Masyumi dengan sangsi ‚potong leher‛ dan ‚bakar rumah‛, bila menolak. Seterusnya dilaporkan bahwa ‚tidak lama lagi akan dimulai penyerangan terhadap tentara dan polisi dengan tujuan merebut kekuasaan negara guna menegakkan Negara Islam Aceh.313 Puncaknya adalah lahir ‚Proklamasi berdirinya Negara Republik Islam Indonesia tanggal 21 September 1953 atas nama Umat Islam Daerah Aceh dan sekitarnya‛ yang ditandatangani Teungku Mohd. Daud Beureueh yang menyatakan bergabung dengan Negara Islam Indonesia bentukan S.M. Kartosuwiryo.314 Proklamasi ini adalah pernyataan pembentukan Negara Islam Aceh dan pemisahan negara baru dari Negara Republik Indonesia.315 Padahal, sebelumnya perjuangan Aceh hanyalah otonomi yang luas dalam Negara Kesatuan RI, sehingga daerah ini dapat mengatur dengan bebas rumah tangganya sendiri menurut syariat Islam. Di tempat lain, Kongres Alim Ulama se-Indonesia di Medan di bawah pimpinan Beureueh pada bulan April 1953 memutuskan untuk memperjuangkan

312S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 85-86. 313S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 86. 314Bunyi teks proklamasi, ‚Berdasarkan pernjataan berdirinja Negara Republik Islam Indonesia pada tanggal 12 Sjawal 1368/7 Agustus 1949 oleh Imam Kartosuwirjo atas nama umat Islam Bangsa Indonesia, maka dengan ini kami njatakan daerah Atjeh dan sekitarnya menjadi bagian dari pada Negara Islam Indonesia. Lihat Teks Proklamasi Negara Islam Indonesia oleh Teungku Mohd. Daud Beureueh 21 September 1953. Lihat pula M. Nur El Ibrahimy, Kisah Kembalinya Tgk. Mohd. Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia (Jakarta: t.t.), 183. 315Untuk kelengkapan berdirinya sebuah negara, maka disusunlah pemerintahan NII Aceh yang terdiri dari Gubernur Sipil dan Militer, Dewan Syuro (Dewan Pemerintah Daerah), Majelis Syuro (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Lihat Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam (Jakarta: Madani Press, 2000), 12. 91

Negara Republik Indonesia agar menjadi Negara Islam Indonesia melalui Pemilihan Umum berikutnya.316 Gejolak Aceh terus memuncak. Pada September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan Maklumat yang menyatakan lenyapnya kekuasaan Pancasila dan daerah sekitarnya, diganti dengan Pemerintah Negara Islam. Isi Maklumat:

‚Dengan lahirnya Proklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnya, maka lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pantjasila di Atjeh dan daerah sekitarnja, diganti dengan Pemerintah Negara Islam. Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh rakjat, bangsa asing pemeluk bermatjam-matjam agama, pegawai negeri, saudagar, dan sebagainja: 1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia, tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama untuk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara. 2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa, bekerdjalah dengan sungguh-sungguh supaja roda pemerintahan terus berdjalan dengan lantjar. 3. Para suadagar hendaklah terus membuka toko, laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa, Pemerintah Islam mendjamin. 4. Rakjat seluruhnja djangan melakukan sabotase, merusakkan harta vital, mentjulik, merampok, menjiarkan kabar bohong, infiltrasi provokasi dan sebagainja jang dapat mengganggu Siapa saja jang melakukan kedjahatan2 tsb, akan dihukum dengan hukuman militer. 5. Kepada tuan2 bangsa asing hendaklah tenang dan tenteram, laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa, keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin. 6. Kepada tuan2 jang beragama selain Islam jangan ragu dan sjak wasangka, jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan2 peluk, karena Islam memerintahkan untuk melindungi tiap2 ummat dan agamnja seperti melindungi ummat Islam itu sendiri. Achirnja, kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakan kewadjiban masing2 seperti biasa.‛

Proklamasi NII Aceh kemudian disertai dengan ‚Keterangan Politik‛, 21 September 1953. Tampak dalam Keterangan Politik ini, atas nama rakyat Aceh, Daud Beureueh menyatakan bahwa rakyat Aceh telah membuat sejarah baru, yaitu membentuk Negara Islam akibat kekecewaan para pemimpin Aceh, khususnya Daud Beureueh yang mencita-citakan Negara Republik Indonesia berdasarkan Islam. Dalam Keterangan Politik ini, meskipun dasar pertama NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi ini adalah permainan politik. Daud Beureueh menginginkan agar seluruh hukum diberlakukan, baik perdata maupun pidana, termasuk juga ibadah dan kehidupan sehari-hari. Daud Beureueh juga sedih atas pernyataan Soekarno yang hendak mendirikan Negara

316S. M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 91. 92

Indonesia atas dasar kebangsaan karena Soekarno takut adanya daerah yang memisahkan diri dari NKRI jika negara berdasarkan Islam. Rasa sedih dan kesal ini memupuk keinginan rakyat Aceh untuk membentuk Negara Islam. Negara Islam ini bukanlah negara dalam negara karena Negara Republik Indonesia hanyalah suatu jembatan emas untuk mewujudkan negara yang sebenarnya yang sejak dulu dicita-citakan.317 Setelah Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya NII, para pemimpin Aceh membuat Piagam Batee Kureng, Piagam tentang berdirinya Negara Bahagian Aceh dalam lingkungan Negara Islam Indonesia. Dalam Piagam Batee Kureng, diatur wilayah kekuasaan Negara Bagian Aceh, Kepala Negara, Kabinet, Dewan Perwakilan Rakyat, Kekuasaan Negara, Kekayaan Negara, Alat Kekuasaan Negara (Daerah), dan Kehakiman.318 Pemerintah Pusat menyadari kekeliruannya dan melalui UU No. 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara membentuk Provinsi Swatantra Aceh (Dearah Swatantra Tingkat I Aceh). Dalam UU ini, daerah Aceh meliputi kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Selatan, Kota Besar Kutaradja yang dipisahkan dari lingkungan Daerah Otonom Propinsi Sumatera Utara.319 Dua tahun kemudian, 1958, Ikrar Lamteh mengakhiri pemberontakan Aceh. Kelompok garis keras dalam tubuh DI/TII yang dipimpin Beureueh memandang bahwa Aceh haruslah menjadi provinsi yang diberi otonomi luas yang memungkinkannya untuk memberlakukan syariat Islam.320 Pada 23 Mei 1959, Wakil Perdana Menteri RI, Mr. Hardi memimpin misi pemerintah ke Aceh terdiri dari 29 orang anggota, seperti Menteri Negara Urusan Stabilitas Ekonomi, Kolonel Soeprajogi, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Mayor Gatot Soebroto untuk meresmikan pemulihan keamanan dan menyambut kembalinya para republikan yang selama 6 tahun membangkang kepada RI. Di pihak Dewan Revolusi hadir berunding 25 orang yang terdiri dari A. Gani Oesman, Hasan Saleh, Husin Jusuf, T.M. Amin, T.A. Hasan, Ishak Amin, A. Gany Mtiara.321 Dengan perundingan yang alot, Komisi Hardi dapat

317‚Keterangan Politik‚ paska Proklamai NII, Aceh, 21 September 1953. 318Piagam Batee Kureng, 23 September 1955. 319Lihat Pasal 1 UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan pembentukan Propinsi Sumatera Utara. 320Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…‛, 97. 321Pernyataan Penguasa Perang Daerah Istimewa Aceh No. Peng-2/5/1959. 93 menerima usulan penetapan Aceh sebagai daerah istimewa dan kemudian mengejawantahkan dalam Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 tertanggal 26 Mei 1959. ‚Daerah Swatantra Tingkat I dapat disebut ‚Daerah Istimewa Aceh‛ dengan catatan bahwa Kepada Daerah itu tetap berlaku ketentuan-ketentuan mengenai daerah swatantra Tingkat I seperti termuat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, begitu pula lain-lain peraturan perundangan yang berlaku untuk Daerah Swatantra Tingkat I mengenai otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam lapangan keagamaan, peradaban, dan pendidikan‛.322 Keputusan ini memberikan status istimewa kepada Aceh dalam artian dapat melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, pendidikan, dan peradatan.323 Atas nama Komandan Daerah Militer Aceh, Letnan Kolonel T. Hamzah dan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh, A. Hasjmy membuat pernyataan bersama yang menyatakan bahwa (1) seluruh aparat NBA/NII (militer/polisi) diterima ke dalam pasukan yang bernama pasukan Tgk. Cik Di Tiro sebagai bagian dari Komando Daerah Militer Aceh/Iskandar Muda sesuai dengan pernyataan Misi Pemerintahan Pusat di Kutaraja, 26 Mei 1959. (2) Pemerintah akan membantu sekuat tenaga dalam batas-batas kemampuan negara pembangunan semesta di Aceh, terutama dalam bidang-bidang yang langsung menyentuh kepentingan rakyat, jasmana dan rohani untuk langkah pertama untuk merealisir maksud pemerintah tersebut. Misi Pemerintah Pusat telah membawa otoritasi sejumlah 88,4 juta rupiah.324 Letnan Kolonel T. Hamzah dan A. Hasjmy dalam pernyataan bersamanya juga telah mengklaim bahwa Dewan Revolusi NBA/NII telah menjatuhkan diri ke dalam Republik Indonesia untuk melanjutkan revolusi nasional tahun 1945 di atas landasan kembali kepada UUD 1945 untuk mencapai kebahagiaan, kemakmuran dan ketinggian agama, nusa, dan bangsa. Pernyataan bersama juga menyatakan bahwa organisasi NBA, sipil dan militer melebur ke dalam tubuh Pemerintahan Republik Indonesia secara wajar (seperti tercantum dalam surat pernyataan Dewan Revolusi, Gerakan Revolusioner Islam Aceh tanggal 26 Mei 1959).325 Keputusan Pemerintah RI di atas tidak berhasil memuaskan dan melegakan kelompok radikal kaum republikan dalam DI/TII. Beureueh,

322Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959. 323Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…‛, 97-98. Lihat pula S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh…‛, 95. 324Pernyataan Penguasa Perang Daerah Istimewa Aceh No. Peng-2/5/1959. 325Pernyataan Penguasa Perang Daerah Istimewa Aceh No. Peng-2/5/1959. 94 memandang bahwa sebutan istimewa bagi Aceh itu belum memiliki substansi dan bentuk konkret apa pun. Karena itu, ia kembali masuk hutan bersama pengikutnya dan melakukan perang gerilya. Perang saudara antara DI/TII dan TNI kembali bergolak di Aceh.326 Daud Beureueh sebagai Wali Negara/Panglima Tentara dan Territorium Tgk. Cik Di Tiro Tentara Islam Indonesia (TII) setelah membaca surat kawat Presiden tanggal 16 Agustus 1961, 23 Agustus 1961, dan 25 Agustus 1961 membuat pernyataan ‚bahwa perjuangan menegakkan hukum syariat Islam di Aceh khususnya dan di Indonesia umumnya tetap dilanjutkan sesuai dengan isi dan jiwa Proklamasi 21 September 1953.327 Di sisi lain, Daud Beureueh sedang menghadapi rekan-rekannya yang sudah meninggalkan medan perjuangan, seperti Resimen II di bawah pimpinan M. Amin Negara dan meminta kepada Tgk. M. Hasan Hanafiah agar Resimen IV/Batee Tunggaj menjadi modal untuk melanjutkan perjuangan di samping modal Resimen V dan Resimen VII.328 Melalui Pangdam Aceh yang baru, M, Jasin, serangkaian upaya dilakukan untuk memadamkan pembangkangan tersebut dengan jalan damai.Melalui surat Kolonel M. Jasin 7 Maret 1961 dan 5 Agustus 1961, meminta kepada Daud Beureueh agar kembali ke Pemerintah Republik Indonesia dengan cara yang selayaknya dan untuk memulihkan keadaan lahir dan batin di daerah Aceh. Kolonel M. Jasin menemui Daud Beureueh pada 2 Nopember 1961 agar Daud Beureueh kembali memimpin rakyat Aceh.329 Setelah itu, Delegasi Pemuka-pemuka Rakyat Aceh,330 utusan Komando Daerah Militer Aceh (KDMA) yang dipimpin

326Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…‛, 98. 327Pernjataan Wali Negara/Panglima Tentara dan Territorium Tgk. Tjhik Di Tiro Tentara IslamIndonesia, 1 September 1961. 328Surat Daud Beureueh kepada Tgk. M. Hasan Hanafiah tanggal 10 September 1961. 329Lihat Da’wah yang dikeluarkan Daud Beureueh 4 Nopember 1961. 330Delegasi Pemuka-pemuka Rakyat Aceh terdiri dari H. Ibnu Sa’adan (residen d/p Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh sebagai ketua delegasi,Mayor Daud Hasan (Wakil Kepala Staf KDMA) sebagai wakil delegasi, Dr. T. Iskandar (Wakil Presiden Unsyiah sebagai wakil golongan terdidik, A. Gani usman (Wakil Ketua BPH Daerah Istimewa Aceh), T. Ali Keurukon (Anggota BPH Daerah Istimewa Aceh), T. Usman Ja’cob (Wali kota Kota Besar Kutaraja), Zaini Bakri (Bupati Aceh Pidie), Ibrahim Abduh (Bupati Aceh Utara), Usman Aziz (Bupati Aceh Utara), Radja Wahab (Bupati Aceh Tengah), Tgk. M. Daud (patih/Wakil Bupati Aceh Timur), T. Tjut Mamad (Bupati Aceh Selatan), M. Jusuf (Komisaris Muda Polisi/Kepala Kepolisian Aceh Barat), Tgk. Abdullah Udjong Rimba (Ulama/Pimpinan Rakyat), H. Abu Bakar Ibrahim (Ulama/Pimpinan Rakyat), Pawang Leman (pemimpin Rakyat), Nja’ Abbas (Patih d/p 95

H. Ibnu Sa’adan (residen d/p Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Aceh, bertemu dengan Daud Beureueh pada 4-5 Oktokber 1961 mminta kepada Daud Beureueh untuk kembali memimpin mereka dan rakyat Aceh guna kepentingan agama dan rakyat Aceh.331 Berdasarkan surat Kolonel M. Jasin, pertemuan Kolonel M. Jasin tentang keinginan Jenderal A.H. Nasution di kediaman Daud Beureueh dan pertemuan dengan Delegasi Pemuka-pemuka Rakyat Aceh, Daud Beureueh akhirnya menerima maksud dan harapan wakil dari Pemerintah Pusat. Ada empat pertimbangan penting yang disaimpaikan Daud Beureueh. Pertama, pernyataan Presiden/Panglima tertinggi dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi. Kedua, janji Presiden/Panglima tertinggi di hadapan para alim ulama di Aceh di Kutaraja pada 1947 yang akan memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh untuk hidup dan mengatur kehidupan masyarakatnya sesuai dengan syariat agama mereka. Ketiga, hasrat (keinginan) yang senantiasa hidup terus-menerus di tengah-tengah masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam sebagaimana tergambar dari hasil Pemilu 1955 di mana hampir 100% dari para pemilih di Aceh telah memilih cita-cita Islam. Keempat, sejarah Aceh dari masa ke masa dan peranan (rasa tanggung jawab) yang telah ditunjukkan oleh umat Islam Aceh dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia hingga daerah Aceh oleh Pemerintah RI telah ditetapkan sebagai Daerah Istimewa.332 Dalam ‚Dakwah‛ yang disampaikan pada 4 Nopember 1961, akhirnya Daud Beureueh bersedia kembali ke Negara Republik Indonesia dengan syarat pemberlakuan unsur-unsur syariat Islam bagi masyarakat Aceh.333Setelah merenung satu hari, Daud Beureueh semakin yakin dengan keputusannya dengan mengirim surat ke Jenderal A.H. Nasution

Kantor Bupati Aceh Pidie), Tgk. Muhjiddin Jusuf (Ulama/Pemimpin Muda), Abdullah Muzakir Walad (Veteran Pejuang ‘45/Eks Komandan CPM Divisi X TNI), Nja’ Na Hamzah (saudagar/Wakil Golongan Pedagang), Ismail Usman (Saudagar/Wakil Golongan Pedagang), A.M. Ahmady (Golongan Muda), M. Thahir Mahmud (Golongan Pemuda), Hasanuddin (Golongan Pemuda), Ghazali Idris (Golongan Pemuda), Usman (RSU Bireun/Wakil PMI), Insja (Wakil Golongan Buruh), Chairmeng (Wartawan Photografi). Lihat Da’wah yang dikeluarkan Daud Beureueh 4 Nopember 1961. 331Da’wah yang dikeluarkan Daud Beureueh 4 Nopember 1961. 332Da’wah yang dikeluarkan Daud Beureueh 4 Nopember 1961. 333Tim Lindsey dan M.B. Hooker, Ross Clarke dan Jeremy Kingsley, Shari’a Revival in Aceh‛, dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law in Contemporarry Indonesia Ideas and Institution (Cambridge: Harvard Law School, 2007), 219. 96 pada 5 Nopember 1961,334 yang kemudian dibalas oleh Jenderal A.H. Nasution dalam suratnya 21 Nopember 1961 yang menjelaskan bahwa dengan pulihnya keamanan di Aceh, maka Pemerintah Daerah/Peperda dan seluruh rakyat Aceh untuk mengisi wadah dan rangka yang diletakkan dalam Misi Hardi.335 Pada 16 Desember 1961, Daud Beureueh membalas surat Jenderal A.H. Nasution dengan point penting, yaitu Rencana Teknik Realisasi Pelaksanaan Syariat Islam336 setelah utusan Daud Beureueuh bertemu dengan Panglima Kodan I/Iskandar Muda sebagai wakil Pemerintah di ruang Majelis Menteri Keamanan Nasional yang dihadiri juga oleh utusan-utusan Pangdam I/Iskandar Muda yakni Kasdam I, Letkol Nja’ Adam Kamil, Kepala Staf I, Kapten Manan dan Letkol Barkah, Ajudan Menteri Keamanan Nasional dalam bentuk rumusan Usul Rencana Undang-undang yang akan disampaikan ke MKN/KSAD untuk diteruskan ke Pemerintah/DPRGR.337 Ada lima isi pokok dari Rencana Realisasi, yaitu: pertama, syariat Islam dalam bentuk keseluruhannya agar secepat mungkin dapat dilaksanakan di wilayah Aceh. Kedua, sosial dan ekonomi. Peradatan yang tersimpul di dalamnya sebagai pertumbuhan adat-istiadat Aceh yang telah diwariskan turun-menurun dan yang bersendikan hukum syariat yang telah menjadi adat qanun dan adat reusam, termasuk di dalamnya: adat megow (pertanian), adat hareukat (pertanian), dan adat utoih pandee (perindustrian). Ketiga, kemakmuran. Pelaksanaan kemakmuran rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia umumnya dengan jalan membuka lapangan-lapangan hidup baru bagi rakyat Aceh sesuai dengan usaha dan cita-cita Pemerintah dalam membina kebangunan rakyat Indonesia dalam kancah pertumbuhan politik, sosial dan ekonomi dunia yang modern, mengajukan Pemerintah dan rakyat menggali berbagai macam kekayaan alam yang terkandung di Aceh untuk kebahagiaan serta rahmat bagi kemakmuran seluruh umat.338

334Lihat Surat Wali Negara Republik Islam Aceh tanggal 5 Nopember 1961. 335Surat Menteri Keamanan Nasional Kepala Staf Angkatan Darat, A.H. Nasution tanggal 21 Nopember 1961. 336Surat Daud Beureueh kepada Jenderal A.H. Nasution, 21 Nopember 1961. 337Rentjana Realisasi, 17 Desember 1961. 338Yang dimaksud kemakmuran adalah sebagai berikut: (1) perluasan dan penambahan pertambangan-pertambangan minyak yang telah ada, (2) pembukaan pertambangan emas, margaan, biji besi, timah, mika, dan lain-lain, (3) pembukaan pabrik-pabrik kertas, semen, galangan kapal-kapal kecil untuk pelajaran pantai dan lain- lain, (4) pembukaan kebun-kebun baru untuk penanaman kopi, lada, teh, cengkeh, getah, damar, sabut kelapa, kelapa sawit, nlam dan lain-lain, perluasan kebun-kebun yang telah ada dan/atau pembaharuan penanaman dari pohon-pohon yang telah tua, (5) pembuatan, perbaikan serta penambahan lalu lintas umum, lalu lintas kampung- kampung dan rantau-rantau, (6) perbaikan serta penambahan alat-alat perhubungan 97

Keempat, pendidikan. Pendidikan yang mula dan rendah sampai ke pendidikan yang tinggi harus sesuai dengan maksud kandungan ajaran syariat Islam sebagaimana telah digarissendikan para pahlawan Aceh, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan Tgk. Sjah Abdurrauf di Kuala. Kelima, santunan terhadap yatim piatu dan fakir miskin. Santunan ini harus menjadi tanggungan negara dan ditentukan dalam suatu bentuk Undang-undang Khusus.339 Pada 26 Desember 1961, Daud Beureueh sebenarnya mengirimkan surat ke Jenderal A.H. Nasution melalui Kolonel M. Jasin yang disampaikan tiga utusannya, Hasballah Daud, Amin Negara dan Mansur yang meminta agar pelaksanaan syariat Islam di Aceh menggunakan langkah juridis-formal dari Pemerintah Pusat dengan lampiran konsep Keputusan Presiden mengenai syariat Islam. M. Jasin kemudian dengan nada merendah menyarankan Daud Beureueuh agar tidak terjadi kesalahpahaman dengan Pemerintah Pusat. M. Jasin mengkhawatirkan surat Daud Beureueuh yang masih menggunakan Negara Republik Islam Aceh beserta stempelnya. M. Jasin memandang surat Daud Beureueh dikhawatirkan akan mendikte Pemerintah Pusat dengan konsep lampiran Peraturan Presiden.340 M. Jasin menyarankan agar syariat Islam cukup dilaksanakan di Aceh dengan perangkat kekuasaan yang ada, Misi Hardi, otonomi yang luas, Gubernur, DPRGR Aceh, dan Peperda. M. Jasin juga menyarankan agar seluruh pasukan dan senjatanya dibawa ke Langsa untuk darat, laut dan udara, (7) pelanjutan pembukaan dan pembetulan irigasi-irigasi besar dan kecil, (8) perbaikan usaha-usaha mencari ikan di laut dan perusahaan memelihara ikan di empang-empang di darat, dan (9) pembukaan rantau-rantau baru yang subur dengan jalan mengadakan transmigrasi lokal. Lihat Rentjana Realisasi, 17 Desember 1961. 339Rentjana Realisasi, 17 Desember 1961. 340Ada dua lampiran yang dibuat Daud Beureueuh, yaitu soal pelaksanaan syariat Islam dan pemulihan keamanan di Daerah Istimewa Aceh. Dalam lampiran pertama, disebutkan bahwa dalam lingkungan Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh berlaku menjalankan syariat Islam yang meliputi aqidah dan nizham. Yang dimaksud aqidah adalah hukum-hukum tentang kemanan dan peribadatan. Yang dimaksud nizham adalah hukum-hukum yang mengatur hidup dan kehidupan masyarakat yang meliputi sosial dan ekonomi, kemakmuran, pendidikan, dan santunan terhadap yatim piatu dan fakir miskin. Dalam lampiran kedua disebutkan bahwa untuk kepentingan pemulihan keamanan lahir dan batin, maka segala hak asasi rakyat Aceh dipulihkan kembali. Pemerintah juga diminta menempatkan perhatian penuh terhadap kerugian harta dan jiwa dalam lingkungan kehidupan kekeluargaan rakyat Aceh. Lihat Lampiran Rentjana Penetapan Presiden Republik Indonesia No.... Tahun 1961 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh dan Rentjana Penetapan Presiden Republik Indonesia No.... Tahun1961 tentangPeraturan Chusus Mengenai Pemulihan Kemananan Lahir dan Bathin dalam Lingkungan Daerah Istimewa Atjeh. 98 penampungan dan dapat diselesaikan pada akhir Desember 1961 untuk menormalisir kehidupan mereka. M. Jasin secara khusus juga meminta kepada Daud Beureueuh dan stafnya sebagai fase pertama sudah berada di Kota Simpang Ulim pada tanggal 31 Desember 1961. Fase keduanya diserahkan kepada Daud Beureueuh sendiri akan bertempat di mana pun yang pada gilirannya setelah Daud Beureueuh telah mendapat tempat yang tetap untuk membicarakan pelaksanaan syariat Islam. M. Jasin juga sudah memerintahkan Kodim Aceh Timur untuk membantu melaksanakan pemindahan, perawatan, perumahan dan yang lainnya untuk keperluan tersebut.341 Sebagai tindak lanjut upaya rekonsiliasi tersebut, pada 1962 Panglima Komando Daerah Militer I/Iskandar Muda, M. Jasin mengeluarkan Keputusan Penguasa Perang No.KPTS/PEPERDA- 061/3/1962 tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang menetapkan (1) terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluk di Daerah Istimewa Aceh dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara dan (2) penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di atas diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Istimewa Aceh.342 Dalam Memori Penjelasan Keputusan Penguasa Perang Daerah, disebutkan bahwasyariat Islam tidak akan berlaku apabila umat Islam sendiri tidak turut aktif mengembangkannya. Semua kegiatan atau usaha mengembangkan syariat Islam diberi kebebasan seluas-luasnya asal tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berwajib. Keputusan Peperda ini kemudian diserahkan kepada DPRDGR Daerah Istimewa Aceh sesuai dengan kedudukannya sebagai lembaga demokrasi yang tertinggi di Daerah untuk selanjutnya diciptakan suatu perumusan pelaksanaan yang akan dituangkan dalam Peraturan Daerah sesuai

341Surat Kolonel M. Jasin kepada Tgk. Daud Beureueuh 28 Desember 1961. 342Keputusan Penguasa Perang ini sebelumnya dikonsultasikan kepada Daud Beureueuh dalam surat yang dikeluarkan Kolonel M. Jasin pada 5 Pebruari 1962, yang kemudian dijawab Daud Beureueuh pada 17 Pebruari 1962 dan Keputusan Penguasa Perang ini sudah dikonsultasikan ke DPRGR pada 26 Maret 1962 dalam Sidang Istimewa I DPRDGR. Lihat Keputusan Penguasa Perang No. KPTS/PEPERDA- 061/3/1962 tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, Laporan Panitia Khusus III DPRDGR Daerah Istimewa Aceh Tahun 1962. Lihat pula Moch Nur Ichwan, ‚The Politics of Shari’atization: Central Governmental and Regional Discourse of Shari’a Implementation of Aceh‛ dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (eds.), Islamic Law in Contemporary Indonesia…’, 198 99 dengan kewenangannya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1957 dan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959.343 Keputusan Penguasa Perang ini mendapatkan respon dari banyak kalangan, terutama DPRDGR di beberapa wilayah Aceh, seperti Aceh Selatan, Aceh Utara, dan Aceh Barat kemudian mengeluarkan pernyataan resmi pada 1 Juni 1962 yang memutuskan mendukung sepenuhnya dan berdiri teguh untuk melaksanakan Surat Keputusan Penguasa Perang Daerah Istimewa Aceh tanggal 1 April 1962 dan mendesak pemerintah daerah untuk memberlakukan syariat Islam kepada pemeluknya.344 Dalam rapat pertama Tahun 1962, Panitia Khusus III DPRDGR Daerah Istimewa Aceh yang dipimpin Kapten Usman Thamin345 pada 22 Mei 1962 meminta penjelasan dari Panglima dan Gubernur Aceh. Dalam penjelasannnya, Panglima menyatakan bahwa salah satu pedoman pokok yang dijadikan garis kebijakan Panglima Kodam I/Peperda Aceh untuk melanjutkan usaha-usaha pemulihan keamanan adalah berpegang teguh pada keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.I/Missi/1959, keputusan yang telah dilahirkan oleh Misi Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi yang menyatakan bahwa Daerah Tingkat I Aceh dapat disebut Daerah Istimewa Aceh yang mempunyai otonomi sebagaimana berlaku ketentuan-ketentuan mengenai Daerah Swatantra Tingkat I seperti termuat dalam UU No. 1 Tahun 1957 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk Daerah Swatantra Tingkat I mengenai otonomi seluas-luasnya dalam lapangan keagamaan, peradatan, dan pendidikan. Khusus mengenai otonomi dalam lapangan keagamaan untuk rakyat Aceh sesuai dengan jiwa dan hasrat rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dengan hasrat melaksanakan unsur-unsur syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh.346 Berdasarkan konteks inilah, Panglima mengingatkan sudah waktunya mengadakan penertiban pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam

343Memori Pendjelasan Keputusan Penguasa Perang Daerah No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang Kebidjaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Sjari’at Agama Islam bagi Pemeluknja di Daerah Istimewa Atjeh. 344Surat Pernjataan No. 1/DPRD-GR/1962 DPRDGR Aceh Selatan dan Surat Pernjataan No. 1/DPRD-GR/1962 DPRDGR Aceh Utara. Surat Pernjataan No. 1/DPRD-GR/AB/1962 DPRDGR Aceh Barat. 345Panitia Khusus III dibentuk berdasarkan surat keputusan Pimpinan DPRD- GR No.5/62 dalam rangka keputusan PEPERDA Aceh No.KPTS/ PEPERDA- 061/3/1962 tanggal 7 April 1962 tentang kebijaksanaan unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh. 346Panitia Chusus III Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong RojongDaerah Istimewa Atjeh, tanggal 22 Mei 1962. 100 untuk pemeluk-pemeluknya di Aceh dalam suatu bentuk peraturan daerah. Kebijakan ini telah ditegaskan Jenderal A.H. Nasution bahwa syariat Islam tidak akan berlaku apabila golongan Islam sendiri tidak turut aktif mengembangkannya.347 Gubernur Aceh, A. Hasjmy mengemukakan pandangannya dalam rapat pertama Panitia Khusus III DPRDGR Daerah Istimewa Aceh bahwa posisi syariat Islam yang diberlakukan di Aceh tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dalam negara, juga bidang syariat yang perlu dipertegas. Dua bidang besar syariat yang dikemukakan Gubernur adalah bidang yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bidang yang mengatur peri kehidupan antar sesama manusia, seperti bidang sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan. Dalam bidang yang pertama, Gubernur berpandangan tidak bertentangan dengan hukum negara. Dalam bidang yang kedua, Gubernur berpandangan banyak yang tidak bertentangan dengan hukum negara. Dalam hukum pidana misalnya hukum pidana banyak yang tidak bertentangan. Gubernur juga menyoroti hukum rajam bagi pezina yang memerlukan persyaratan yang ketat sehingga sulit dilaksanakan. Gubernur memandang DPRGR Daerah Istimewa Aceh dapat mengatur minuman keras, shalat Jumat, tarian erotis, bulan Ramadhan yang sesungguhnya bagian dari pelaksanaan syariat Islam.348 Pertanyaan yang cukup kritis disampaikan wakil golongan nasional, Hanafiah yang mempertanyakan hukum rajam dan potong tangan dalam kaitannya dengan Undang-undang Negara.349 Isu potong tangan dan rajam memang sudah sejak awal menjadi isu penting bagi golongan nasionalis dalam perjuangan pemberlakuan syariat Islam sehingga golongan nasionalis mempertanyakan kemungkinan pemberlakuan potong tangan dan rajam. Ikatan Sardjana Indonesai juga mempelajari Keputusan Penguasa Perang No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962 yang dibentuk dalam Panitia Lima yang berhasil merumuskan ‚Tinjauan Sekitar Keputusan Penguasa Perang No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh‛. Dalam kesimpulannya, Panitia Lima menyatakan: (1) Surat Keputusan Penguasa Perang No.

347Panitia Chusus III Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong RojongDaerah Istimewa Atjeh, tanggal 22 Mei 1962. 348Panitia Chusus III Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong RojongDaerah Istimewa Atjeh, tanggal 22 Mei 1962. 349Panitia Chusus III Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong RojongDaerah Istimewa Atjeh, tanggal 22 Mei 1962. 101

KPTS/PEPERDA-061/3/1962 dapat dibenarkan, bahkan merupakan surat keputusan yang tepat karena dapat mencerminkan kehendak masyarakat di daerah ini, (2) Pelaksanaan syariat Islam harus tahap demi tahap, disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, (3) Hukum positif di Indonesia pada waktu ini dapat dianggap sebagai hukum yang saling melengkapi dengan syariat Islam, terutama bagi daerah Aceh yang hukum adatnya bersumber kepada hukum Islam, (4) Berlakunya syariat Islam itu tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan akan akan menjamin hidup satunya asas negara.350 Respon terhadap Keputusan Penguasa Perang No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962 juga dikemukakan kelompok-kelompok politik di DPRGR, yaitu Golkar, Golongan Nasionalis, Komunis, Golongan Kristen dan Golongan Islam. Golkar menyatakan menerima sepenuhnya laporan Panitia II DPRD-GR tahun 1962 dan menyetujui rencana pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.351 Golongan Kristen yang diwakili Parkindo menyatakan persetujuan terhadap pelaksanaan syariat Islam yang telah menjadi darah daging bagi rakyat Daerah Istimewa Aceh.352 Golongan Nasionalis juga menyatakan persetujuannya dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh.353 Adapun golongan Komunis menyatakan berbeda, yakni menunda rapat agar dapat dipikirkan rumusan yang paling tepat dalam memberlakukan syariat Islam. Pendapat ini didasari oleh tiga pertimbangan, yaitu: (1) Belum ada dasar yang mempunyai kekuatan hukum bagi Pemerintah Daerah untuk mengatur syariat agama Islam dan agama belum diserahkan kepada daerah; (2) Soal agama menyangkut urusan negara dan dasar negara sebab itu harus diatur oleh negara terlebih dahulu; (3) Dengan ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada, keinginan golongan Islam dapat diatur dalam peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan negara. Dengan demikian, unsur-unsur syariat Islam dapat ditangguhkan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Golongan komunis berpendirian, karena belum ada Undang-undang Pokok tentang Agama dan agama belum diserahkan kepada daerah, maka seharusnya DPRGR membuat suatu resolusi yang menuntut kepada Pemerintah

350Naskah Dokumen ‚Pelaksanaan Unsur-unsur Sjari’at Islam di Daerah Istimewa Aceh tahun 1962. 351Pendirian Golongan Karya dalam DPRD_GR Daerah Istimewa Aceh, Kutaradja, 15 Agustus 1962. 352Pendirian Golongan Kristen Jang Diutjapkan Oleh Hoetahaean, 15 Agustus 1962. 353Pendirian Golongan Nasionalis Jang Diutjapkan Oleh M. Nafiah, 15 Agustus 1962. 102 supaya Undang-undang Pokok Agama segera dikeluarkan. Jika Undang- undang Pokok itu telah ada dan agama telah diserahkan kepada daerah barulah Pemerintah Daerah mengatur soal-soal yang berkenaan dengan itu.354 Golongan Islam menyatakan bahwa Keputusan Peperda sesuai dengan makna Dekrit PJM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik RI yang diucapkan oleh PJM Presiden Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno tanggal 17 Agustus 1959 yang memuat: ‚Bahwa Kami berkeyakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Juni 1945 mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah suatu rangkaian kesatuan jang Konstitusi tersebut‛. Golongan Islam akan membantu pelaksanaan unsur-unsur pelaksanaan syariat Islam dengan sebaik-baiknya.355 Berdasarkan pandangan dari golongan-golongan politik di atas, DPRD-GR Daerah Istimewa Aceh membuat Pernyataan No. B- 7/1/DPRD-GR/1962 yang berisi: (1) Dalam batas-batas wewenang serta kemungkinan-kemungkinan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh akan melaksanakan unsur-unsur syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya seperti prinsip-prinsip yang terkandung dalam Keputusan Peperda; (2) Untuk pelaksanaan usaha tersebut, akan dibuat Peraturan-peraturan Daerah yang akan diserahkan kepada Panitia yang dibentuk Pemerintah Daerah; (3) Untuk menjaga jangan sampai ada kesimpangsiuran di dalam pengertian dan penyelenggaraan tentang unsur-unsur Pemerintah Pusat supaya segera membuat Undang-undang Pokok tentang Agama.356 Beberapa Perda yang dihasilkan DPRDGR Aceh setelah itu berupaya menjelmakan hasil kompromi yang dicapai antara kelompok Beureueh dan pemerintah Pusat.Setelah Beureueh turun gunung, keluar Perda No. 30 Tahun 1961 yang membatasi penjualan minuman dan makanan di bulan Ramadhan. Perda Tingkat II Aceh Timur No. 4 Tahun 1961 yang mengatur penjualan minuman keras, Perda Aceh Tengah No. 36 Tahun 1961 yang mengatur penjualan makanan dan minuman keras. Demikian pula pada 1963, terbit Perda No. 1/1963 Tentang Pelaksanaan Syiar Agama Islam dalam Daerah Istimewa Aceh. Perda ini mengatur penggunaan gedung-gedung Pemerintah Daerah untuk keperluan memperingati hari-hari besar Islam, penutupan kantor, toko, kedai dan warung pada setiap hari Jumat sejak adzan hingga selesai shalat Jumat,

354Pendirian Golongan Komunis Jang Diutjapkan oleh Thaib Adamy, 15 Agustus 1962. 355Pendirian Golongan Islam melalui Tgk. M. Saleh, 15 Agustus 1962. 356Pernyataan No. B-7/1/DPRD-GR/1962 15 Agustus 1962. 103 dan bulan Ramadhan.357 Berdasarkan rekomendasi Departemen Agama, perda terakhir ini tidak mendapat pengesahan Pemerintah Pusat.358 Amir Mahmud selaku Menteri Dalam Negeri menolak Perda No. 1/1963 Tentang Pelaksanaan Syiar Agama Islam. Dua tahun kemudian lahirlah UU No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah yang menyamakan keistimewaan Aceh dengan daerah istimewa lainnya di Indonesia.359 Pada 1966, di masa Hasbi Wahidy diterbitkan Perda No. 1 Tahun 1966 Tentang Pedoman Dasar Majelis Permusyawaratan Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengatur Majelis Ulama yang diamanatkan untuk memberikan pengertian dan kesadaran yang seluas-luasnya kepada umat mengenai kemurnian ajaran Islam dalam rangka realisasi unsur-unsur syariat Islam di Aceh.360 Perda minuman keras juga diterbitkan pada 1966 (Perda No. 6 Tahun 1966 Tentang Larangan Membuat, Memasukkan, Memperdagangkan, Menyimpan, dan Menimbun Minuman Keras) yang memberikan sanksi hukuman kurungan selama-lamanya 6 bulan atau denda sebanyak Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah).361 Gubernur Aceh, Hasbi Wahidy telah berupaya menerjemahkan konsesi tentang pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam di Aceh. Ia misalnya membentuk Biro Unsur-unsur Syariat Islam di Kantor Gubernur dan memprakarsai pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang kemudian dikukuhkan

357Lihat Pasal 1-5 Perda No. 1/1963 tentang Pelaksanaan Syiar Agama Islam Dalam Daerah Istimewa Aceh 358Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…‛, 99. 359UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah, dalam Penjelasan Pasal 93 menetapkan bahwa keistimewaan daerah hanyalah sebatas penyebutan. Lihat Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan ‚Pupuk Bawang‛ menuju Peradilan yang Sesungguhnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 333. 360Pasal 5 Perda No. 1 Tahun 1966 Tentang Pedoman Dasar Majelis Permusyawaratan Propinsi Daerah Istimewa Aceh juga mengamanatkan kepada Majelis Ulama untuk memberi pengertian dan kesadaran yang seluas-luasnya kepada umat tentang Pancasila, melenyapkan semua ajaran ateisme, aktif membantu menciptakan ketenangan dan kestabilan politik, ketertiban umum dan agama, membentuk dan memelihara kerjasama yang erat dengan Pemerintah serta memberi nasehat, menghindari dan mencegah segala sikap dan tindakan yang dapat melemahkan kesatuan dan kebulatan potensi umat, dan membimbing umat dalam pembangunan masyarakat dan negara ke arah terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Esa. 361Pasal 3 Perda No. 6 Tahun 1966 Tentang Larangan Membuat, Memasukkan, Memperdagangkan, Menyimpan, dan Menimbun Minuman Keras 104 eksistensinya dengan Perda No. 1 Tahun 1966. Latar belakang Hasbi yang pernah menjadi aktifis Pemuda PUSA dan upaya Islamisasi Aceh telah membuat ia kehilangan posisi sebagai gubernur Aceh. Ia diganti oleh Muzakir Walad pada 1968.362 Gubernur Muzakkir Walad pada awalnya meneruskan kebijakan Hasby. Pada tahun pertama jabatannya, Perda No. 6 Tahun 1968 Tentang Ketentuan Pokok Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh ditetapkan, setelah DPRDGR Aceh bersidang secara maraton mulai 5 hingga 11 Nopember 1968. Dalam Perda ini disebutkan bidang-bidang ajaran Islam yang akan dilaksanakan adalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, pendidikan Islam, dakwah, harta, kemasyarakatan, dan syiar Islam.363Sebagaimana Perda No. 1 Tahun 1963, Perda No. 6 Tahun 1968 juga ditolak Pemerintah Pusat pada 1969. Sejak penolakan ini, Walad berubah haluan dan tidak pernah lagi menyinggung syariat Islam dalam kebijakannya. Demikian pula, sejak saat itu, para pemimpin Aceh tidak pernah lagi membicarakan masalah syariat Islam.364 Di zaman Orde Baru, praktis Aceh dalam ketertindasan. Pada masa inilah, orang-orang mantan DI/TII kecewa karena perjanjian keistimewaan Aceh tidak ada pelaksanaannya. Mereka kemudian ada yang berontak lagi. Di sinilah Hasan Tiro yang dulunya sebagai Menlu DI/TII yang ditugaskan di AS tidak bisa pulang lagi ke Aceh. Dialah yang menyampaikan informasi tentang Aceh ke PBB dan membentuk Gerakan Aceh Merdeka.365 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diproklamirkan pada 4 Desember 1976 di sebuah Camp kedua yang bertempat di Bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Pada awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam. Gerakan ini dilakukan oleh Hasan Tiro melalui pendekatan kekeluargaan/kekerabatan setelah adanya komunikasi dengan beberapa tokoh DI/TII di masa Daud Beureueh,

362Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh‛, 99. 363Perda No. 6/1968 Tentang Ketentuan Pokok Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh misalnya menegaskan Pemerintah Daerah dan Majelis Ulama berusaha mencegah dan meberantas segala kepercayaan, tindakan dan perbuatan yang bersifat/berbentuk kufur, syirik, ateisme. Pemerintah Daerah dan Majelis Ulama berusaha mencegah hal- hal yang mengakibatkan kerusakan moral/akhlak baik yang berbentuk pakaian, bacaan, lukisan, tontonan, pemrainan, tarian, dan siaran, mengatur tata tertib pergaulan antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya sesuai syariat. 364Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh…‛, 99-100 365Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh. 105 seperti Tgk. Zainal Abidin Tiro yang masih keluarganya. Hasan Tiro sebenarnya telah lama terlibat dalam peristiwa DI/TII, khususnya di luar negeri (Amerika Serikat).366 Bersamaan dengan itu, Hasan Tiro juga mengumumkan struktur pemerintahan negara Aceh Sumatera.367 Penggunaan Sumatera dalam struktur pemerintahan negara yang diproklamikan diharapkan akan menarik dukungan yang lebih luas, bukan hanya dari Aceh, tetapi sekaligus seluruh Sumatera. Secara historis, wilayah Sumatera masuk dalam wilayah kerajaan Aceh yang dipimpin Iskandar Muda (1607-1636).368 Gagasan Hasan Tiro semakin memuncak setelah Pemerintah Orde Baru mengeksplorasi gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara sejak 1970-an dengan berdirinya PT. Arun (1974). Pada tanggal 4 Desember 1976, Hasan Tiro memproklamirkan berdirinya ‚Aceh Merdeka‛. Sejak saat itu, sejarah Aceh berubah menjadi sejarah kekerasan (penindasan) militer dan ketidakadilan politik maupun ekonomi. Pengembangan ekonomi yang diakselerasi Soeharto di Aceh melalui pengenalan terhadap industrialisasi hanya menciptakan ketidakpuasan sosial dalam skala lebih besar. Aceh memperoleh keuntungan yang sangat sedikit dari aset ekonominya sendiri, khususnya minyak bumi dan gas. Akibatnya, gangguan sosial dan politik menjadi semakin buruk. Hal ini membuat rezim Soeharto memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM).369 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lahirnya GAM, yaitu penyelesaian Darul Islam yang tidak tuntas,370 kekecewaan terhadap

366Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinski, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2p-LIPI, 2008), 67. Lihat pula Muhammad El- Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureueuh dalam Pergolakan Aceh (Jakarta: Media Dakwah, 2001),13. 367Strukturnya terdiri dari Presiden (Hasan Muhammad Tiro), Perdana Menteri (Dr. Muchtar Hasbi), Wakil Perdana menteri (Teungku Ilyas Leube), Menteri Keuangan (Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir. Asnawi Ali), Menteri Perhubungan (Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr. Zubir Mahmud) dan Menteri Penerangan (M. Tahir Husin). Lihat Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, 66. Lihat pula Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1989), 73. Bandingkan dengan Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan, dan Impian, (Jakarta: Grasindo, 2001), 44. 368Moch. Nurhasim, ‚Konflik dan Integrasi Politik…‛, 70. 369Azyumardi Azra, ‚Implementasi Syariat Islam…‛, xiv. Lihat pula Arskal Salim, Challenging the Secular State, The Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu, University of Hawai Press, 2009), 150. 370Meskipun ulama tidak lagi berperan dalam melakukan gerakan kemerdekaan, tetapi Islam masih menjadi faktor mobilisasi dan gerakan kemerdekaan dalam dinamika yang berbeda dengan masa awal kemerdekaan Indonesia. Lihat Lik A. Mansurnoor, “Muslim in Modern Southeast Asia: Radicalism in Historical Perspectives” 106 sistem politik yang unitaris (sentralistik) dan terlalu dominannya politik orang-orang Jawa, kekecewaan politik atas marjinalisasi masyarakat Aceh dalam proses pembangunan di daerah industri minyak dan gas bumi di mana mereka tidak diikutsertakan atau dipinggirkan.371 Jalan yang lebih terang bagi kontelasi politik di Aceh dalam hubungannya dengan Pemerintahan Negara RI semakin tampak setelah disepakainya Perjanjian Helsinski pada 15 Agustus 2005 di Finlandia. Pemerntah RI dan GAM menyepakati beberapa hal, yaitu (1) penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, yang berisi undang-undang pemerintah Aceh partisipasi politik, ekonomi, peraturan perundang- undangan, (3) hak asasi manusia, (3) amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, (4) pengaturan keamanan, (5) pembentukan misi monitoring Aceh, penyelesaian perselisihan. Perjanjian ini ditandatangani Hamid Awaludin selaku Menteri Hukum dan HAM (Pemerintah RI) dan Malik Mahmud (GAM) yang disaksikan Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative.372 Setelah Perjanjian Helsinski ditandatangani oleh Pemerintah RI dan GAM, jalan damai di Aceh semakin jelas. Irwandi Yusuf yang menjadi Gubernur Aceh (2007-2012) telah menjadikan titik balik hubungan Pemerintah Pusat dan Aceh, sehingga konflik politik berakhir. Hubungan Pemerintahan Negara RI dan Aceh tampak semakin baik ketika pasangan yang diusung Partai Aceh, Teungku Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf memenangkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada 2012. Kontelasi politik yang harmonis di Aceh di masa kepemimpinan mantan GAM; Irwandi dan Zaini telah membingkai prospek pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Adapun di Kelantan, konteks politiknya berbeda dengan di Aceh. Politik di Kelantan sangat kental dengan pertarungan politik kekuasaan yang bermuara pada Pemilu. Dalam sejarahnya, Pemilu pertama, 1955 sebelum Malaysia merdeka, UMNO (United Malays National Organization) yang berkoalisi dengan MCA (Malaysian Chinese Association) dan MIC (Malaysian Indian Congress) dengan sebutan Perikatan memenangi pemilu di seluruh Negara Bagian Malaysia dan sekaligus menguasai Kelantan. Paska Pemilu pertama setelah merdeka, Kelantan dibagi dalam tiga periode besar kepemimpinan politik. Pertama, periode dalam Taiwan Journal of Souhteast Asian Studies, Volume 2, No. 2, 2005, 254, http://www.cseas.ncnu.edu.tw/journal/v02_no2/pp3-54.pdf diakses 10 Oktokber 2013. 371Moch. Nurhasim, ‚Konflik dan Integrasi Politik…‛, 76. 372Lihat Momerandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement 2005. 107 kepemimpinan PAS (1959-1978). Pada pemilu kedua, 20 Juni 1959, UMNO kalah di Kelantan. PAS (Partai Islam se-Malaysia) berhasil memenangkan pemilu dengan perolehan 28 kursi dari 30 kursi yang diperebutkan. UMNO hanya mendapatkan 2 kursi saja, yaitu Bandar Hilir dan Ulu Kelantan Tomor. Ishak Lotfi Omar dilantik menjadi Menteri Besar Kelantan yang pertama dari PAS. Tokoh-tokoh PAS yang menang dalam Pemilu 1959 adalah Dato’ Haji Arshad, Haji Mohd Amin Yaakub, Khaidir Khatib, dll. Tokoh PAS yang menang di Parlemen (DPR) adalah Prof. Zulkifli Muhammad di Bachok, Dato’ Mohd Asri Haji Muda di Pasir Puteh, Peguam Wan Mustafa Haji Ali di Kelantar Hilir, Tuan Haji Ahmad Abdullah Prai di Kota Bharu Hilir.373 Kemenangan PAS di Pemilu 1959 di antaranya adalah karena mendapat dukungan dan kerjasama dari tuan-tuan guru seperti Tuan Guru Haji Abdul Ghani (Pondok Pasir Mas), Tuan Guru Haji Abdullah Tahir (Pondok Bunut Payong), Tuan Guru Haji Mustafa (Pondok Terosan, Pasir Tumboh), Tuan Guru Mohd. Zin (Kemudi), Tuan Guru Mohamad Tuboh (Pancur), Tuan Guru Haji Mat Tok Bakok (Kenali), Tuan Guru Haji Hasan (Pondok Lemal), Tuan Guru Haji Harun Haji Sulong (Repek), Tuan Guru Haji Daud (Meranti), Tuan Guru Haji Awang (Padang, Kolam), Tuan Guru Haji Aziz (Pondok Terosan). Ulama-ulama ini sangat berpengaruh di kalangan masyarakat.374 Pada Pemilu 1964 dan Pemilu 1969, PAS berhasil mempertahankan kekuasaannya di Kelantan hingga terbentuknya pemerintahan bersama PAS dan UMNO pada 1974-1978375 Di Pemilu 1964, Pemerintah Pusat bersikap agresif. Banyak pemimpin PAS terutama ulama ditahan dengan Undang-undang ISA (Internal Security Act), seperti Tuan Guru Haji Hassan Ismail, Haji Abdullah Arshad, Saudi Idris, dll. Pada saat pembubaran Dewan Undangan Negeri (DPR Propinsi) menjelang Pemilu 1964, mereka bertiga masih ditahan di penjara Kemunting. Meski demikian, PAS memutuskan agar ketiga anggota DUN yang ditahan tersebut tetap dicalonkan kembali untuk bertarung di Pemilu yang berlangsung pada 25 April 1964. Pada Pemilu 1964 ini, PAS berhasil menang dengan memperoleh 21 kursi dari 30 kursi yang diperebutkan. Di Parlemen, PAS meraih 8 kursi, Perikatan (UMNO, MCA, dan MIC) memperoleh 2 kursi. Mohd. Asri Haji Muda dilantik

373Rossem, 20 Tahun Menguak Gelombang (Selangor: SAR Publication and Distribution, 2011), 2. 374Rossem, ‚20 Tahun Menguak Gelombang…‛, 3. 375Pada saat kerusuhan etnis 13 Mei 1969, Tuan Guru Nik Aziz mengumpulkan ketua-ketua etnis agar tidak terpancing kerusuhan. Wawancara dengan Tharuman, orang India beragama Hindu pada tanggal 13 Oktokber 2011 di Kota Bharu, Kelantan. 108 sebagai Menteri Besar dan Nik Abd. Rahman Nik Mat sebagai Timbalan Menteri Besar.376 Pada Pemilu 1969, PAS kembali menang meskipun UMNO mendirikan Pasukan Pemuda Tahan Lasak yang sering mengganggu kampanye PAS. Pemilu yang diselenggarakan pada 10 Mei 1969, PAS berhasil memperoleh 19 kursi dari 30 kursi yang diperebutkan, sedangkan di Parlemen, PAS memperoleh 6 kursi dari 10 kursi yang diperebutkan. Dato’ Haji Mohd. Asri Haji Muda dilantik kembali sebagai Menteri Besar Kelantan dan Dato’ Haji Mohammad Nasir sebagai Timbalan Menteri Besar.377 Akibat kerusuhan etnis pada 13 Mei 1969, aktivitas politik dibekukan. Sesuai dengan situasi ketika itu, PAS bergabung dengan Perikatan yang terdiri dari UMNO, MCA, dan MIC di level pusat. Pada Pemilu 1974, PAS bergabung dalam Barisan Nasional (nama baru menggantikan Perikatan). Barisan Nasional berhasil membentuk pemerintahan koalisi. Akhirnya, PAS keluar dari Barisan Nasional setelah Perdana Menteri Malaysia berganti dari Tun Razak Hussain dengan Tun Hussain Onn.378 Di Kelantan pun terjadi krisis politik akibat penyingkiran Wakil Menteri Besar, Dato’ Haji Mohamd Nasir. Di Kota Bharu, Kelantan terjadi unjuk rasa anti Dato’ Mohd Asri, terutama di Dataran Ilmu di depan kantor PAS. Anak-anak muda melempar benda-benda ke arah petugas keamanan yang dibalas dengan gas air mata. Mereka lari dan datang kembali lagi dengan meneriakkan kata-kata ‚Asri, letak Jawatan‛ beserta spanduk-spanduk yang menghina Menteri Besar. Kota Bharu tampak seperti terbakar, asap hitam menggumpal di udara akibat ban mobil yang dibakar. Kondisi ini juga menjalar ke Pasir Mas yang memaksa petugas keamanan mengepung pengunjuk rasa di bandar Pasir Mas. Menurut Rossem, ada keterlibatan UMNO dalam unjuk rasa ini dengan hadirnya Dato’ Haji Hussain dan Hussain Serama. Karena itulah, Rossem menuding bahwa UMNO menjadi dalang yang menggerakkan unjuk rasa penggulingan Menteri Besar Moh. Asri di Kelantan.379 Ibrahim Ali yang kemudian menjadi orang kuat di Partai Berjasa pun terlibat dalam unjuk rasa ini. Kondisi tidak aman di Kelantan inilah yang dimanfaatkan Pemerintah Federal ikut campur tangan dengan

376Rossem, ‚20 Tahun Menguak Gelombang…‛, 6-7. 377Rossem, ‚20 Tahun Menguak Gelombang…‛, 8. 378Rossem, ‚20 Tahun Menguak Gelombang…‛, 9. 379Rossem, ‚20 Tahun Menguak Gelombang…‛, 8-9. 109 mengumumkan kondisi darurat yang mendirikan Majelis Gerakan Negara (Mageran).380 Kedua, periode kepemimpinan UMNO (1978-1990). Pada Pemilu 1978, PAS kalah akibat terpecahnya PAS dengan berdirinya Berjasa (Partai Barisan Jemaah Islamiyah) yang dipimpin Datuk Haji Muhammad bin Nasir. PAS hanya memperoleh 2 kursi (Wan Abdullah Wan Su di Manek Urai dan Nik Abdullah Arshad di Sering) dari 36 kursi yang diperebutkan. UMNO berhasil memperoleh 34 kursi. Tan Sri Muhammad Yaacob diangkat menjadi Menteri Besar.381 Pada Pemilu 1982 dan Pemilu 1986, UMNO berhasil memelihara kekuasaannya dengan mengalahkan PAS. Pada periode kepmimpinan UMNO ini, PAS melakukan usaha-usaha pembinaan ke masyarakat melalui kuliah-kuliah agama dan mejelis-mejelis ilmu. Ketiga, periode kepemimpinan PAS yang kedua. Pada era ini, kepemimpinan PAS telah berpindah dari Dato’ Asri Haji Muda ke Haji Yusuf Rawa. Kehadiran Haji Yusuf Rawa inilah bermulanya kepemimpinan ulama di PAS. Yusuf Rawa dengan bantuan barisan mudanya yang berjiwa Islam seperti Nik Abdul Aziz Nik Mat, Haji Hadi Awang, dan Fadhil Nor telah membawa PAS ke era kepemimpinan ulama.382 Perpecahan UMNO terjadi pada 1987 yang melahirkan Partai Melayu Semangat 46. Pertarungan antara Tengku Razaleigh Hamzah dan Mahathir Mohamad pada 1987 saat perebutan jabatan Presiden UMNO ketika itu mengakibatkan UMNO dilarang oleh Mahkamah Tinggi. Mahathir mendirikan UMNO yang baru dan Tengku Razaleigh mendirikan Partai Melayu Semangat 46.383 Koalisi PAS dengan Partai Melayu Semangat 46, Partai Barisan Jemaah Islamiyah (Berjasa) dan Partai Hamim dengan nama Angkatan Perpaduan Ummah inilah yang menyebabkan Barisan Nasional yang dipimpin UMNO kalah Pemilu 1990 di Kelantan. Dari 52 kursi Dewan Undangan Negeri (DPR Propinsi) dan parlemen (DPR) yang diperebutkan, UMNO tidak mendapatkan kursi.384 Angkatan Perpaduan Ummah berhasil memperoleh 39 kursi

380Rossem, ‚20 Tahun Menguak Gelombang…‛, 9. 381Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan Kepada Agama, Bangsa, dan Negara (Kelantan: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 1995), 11-14. 382Mohd. Sayuti Omar, Kelantan Selepas Pantang (Kuala Lumpur: Tinta Merah, 1991), 35. 383Mazlan Jusoh dan Wan Nik Wan Yussof, ‚Kelantan 20 Tahun di Bawah Teraju Ulama: Catatan Perkembangan Pentadbiran Kerajaan Negeri Kelantan selama 2 Dekad‛ dalam 20 Tahun Pentadbiran Membangun Bersama Islam Kerajaan Kelantan. 384Mohd Sayuti Omar, ‚Tuanku Ismail Petra…‛, 16. 110 dengan rincian PAS memperoleh 24 kursi DUN, Semangat 46 memperoleh 14 kursi dan Berjasa memperoleh 1 kursi. Kesemua calon BN termasuk Menteri Besar, Tan Sri Haji Mohamed Yacob dan Timbalan Menteri Besar Dato’ Ahmad Rastom Haji Ahmed Maher kalah.385 Akibat kekalahan telak inilah, Pemuda UMNO menuduh Sultan Kelantan ikut campur tangan politik dengan satu usul ‚Pengertian Raja Berpelembagaan‛ yang dimotori Hashim Safin. Datuk Hussein Ahmad selaku Ketua Penerangan UMNO Malaysia menyebut khutbah Jumat 19 Oktokber 1990 yang disebarkan ke seluruh imam di Kelantan dipandang telah menyeru kepada rakyat untuk memilih Angkatan Perpaduan Umat dan diakui oleh Mohd. Sayuti Osman bahwa isi pidato terebut adalah agar rakyat memilih pemimpin menurut Islam.386 Dalam pemilu berikutnya di tahun 1995, PAS menang kembali meskipun perolehan suaranya sedikit berkurang. PAS menang telak lagi pada Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004, PAS hampir kehilangan kontrol kekuasaannya di Kelantan, dengan hanya selisih 2 kursi. Kemenangan tipis PAS pada Pemiu 2004 diikuti dengan kematian calon PAS DPR Propinsi (Dewan Undangan Negeri) Pengkalan Pasir, Wan Abd. Aziz Wan Jaafar dan diikuti dengan Pemilu Kecil di Propinsi (Dewan Undangan Negeri) Pangkalan Pasir yang memberi kemenangan kepada calon UMNO, Hanafi Mamat. Kemenangan UMNO ini semakin memberi tekanan serius kepada PAS.387 Setelah pemilu 2008, PAS memperoleh dua pertiga dari jumlah kursi di Propinsi (Dewan Undangan Negeri).388 Di Pemilu 2013, PAS kembali menang di Kelantan mengalahkan rival utamanya, UMNO. Sampai 2013, Kelantan dikuasai oleh PAS yang dipimpin Nik Abdul Aziz Nik Mat, seorang Mursyidul Am PAS. Dengan demikian, sebagai partai oposisi, PAS berhasil menguasai Kelantan di Pemilu 1959- 1978 dan Pemilu 1990-2013. Kemenangan PAS di Kelantan selama beberapa pemilu menunjukkan bahwa masyarakat Kelantan masih memandang PAS sebagai wadah aspirasi politik mereka. Keberhasilan PAS di Kelantan tak dapat diabaikan peran ketokohan Nik Abdul Aziz Nik Mat sebagai seorang ulama yang sangat disegani di Kelantan. Ketokohan Nik Abdul Aziz Nik Mat semakin terlihat setelah Nik Abdul Aziz Nik Mat dilarang memberikan kuliah

385Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Kelantan, Imbasan 20 Tahun (Kota Bharu, 2010), 3. 386Mohd Sayuti Omar, ‚Tuanku Ismail Petra …‛, 84-92. 387Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Kelantan, ‚Imbasan 20 Tahun …‛, 52. 388Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 64-65. Lihat pula Mohd Sayuti Omar, ‚Tuanku Ismail Petra …‛, 10. 111 agama di Masjid Muhammadi. Dewan Ulama PAS Kelantan kemudian memutuskan untuk memindahkan lokasi kuliah agama di Dewan Prof. Zulkifli Muhammad, Pejabat Perhubungan PAS Kelantan. Sambutan masyarakat semakin hangat dan ketokohan Nik Abdul Aziz Nik Mat semakin kuat. Pendudukan datang dari berbagai tempat. Bermula dari situlah sebagai Ketua Dewan Ulama PAS Pusat, Nik Abdul Aziz Nik Mat menggerakan ulama dan ustadz-ustadz melalui kulah-kuliah agama ke seluruh Kelantan.389 Aktor penting lainnya adalah Dato’ Haji Omar Mohamd, Haji Kustafa Ibrahim dan Haji Buniyamin Yaakob.390 Berkat usaha gigih dan komitmen tinggi pemimpin PAS dan Nik Abdul Aziz Nik Mat, rakyat memberi perhatian kepada PAS, yang akhirnya berhasil memenangkan Pemilu 1990. ‚Membangun Bersama Islam dijadikan sebagai simbol resmi dalam menjalankan pemerintahan yang berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan qiyas.391 Langkah pertama yang dilakukan Nik Aziz Nik Mata setelah menjadi Menteri Besar Kelantan adalah memindahkan rekening bank Pemerintah Negeri Kelantan dari bank konvensional ke bank Islam, memberantas tempat-empat maksiat dan perjudian. Penjualan minuman keras juga diatur secara ketat, yang hanya diperuntukkan bagi non- Muslim, menertibkan tempat hiburan dan salon yang mengarah pada praktik seksual, Makyong dan Menora yang mengandung unsur khurafat juga dilarang, memperkenalkan gadai Islam (al-rahn) melalui Syarikat Perbadanan Kemajuan Iktisad Negeri Kelantan. Pemerintah Negeri Kelantan juga mendirikan Ma’had Tahfizh al-Qur’an Wal Qira’at di Pulai Chondong, Ma’had Tahfizh Sains Al-Bustanul Arifin di Kampung Berangan, Tumpat, menghidupkan kembali Yayasan Pengajian Tinggi Islam Kelantan yang telah dimatikan Barisan Nasional, mendirikan Ma’had al-Dakwah wal Imamah, dan Kolej Islam Antarbangsa Sultan Ismail Petra (KIAS),392melarang wanita bekerja malam di pengusaha kilang dan melarang wanita mengikuti lomba qiroat al-Qur’an.393 PAS sebagai partai yang berkuasa di Kelantan adalah partai yang anggotanya sebagian besar orang Melayu Muslim yang merupakan 95 persen dari jumlah penduduk Kelantan. Oleh sebab itu, Kelantan hampir

389Mazlan Jusoh dan Wan Nik Wan Yussof, ‚Kelantan 20 Tahun…‛, 32. 390Wan Nik Wan Yussof dan Mazlan Jusoh, ‚Membangun Bersama Islam: Kelantan Merajui Perubahan‛ Fajar Islam, Edisi September-Oktokber 2010, 9. 391Pengerusi Jawatankuasa Penasihat, ‚20 Tahun Pentadbiran…‛, 37. 392Mazlan Jusoh dan Wan Nik Wan Yussof, ‚Kelantan 20 Tahun…‛, 36-41. 393Mohd Sayuti Omar, ‚Tuanku Ismail Petra…‛, 106. Lihat pula Berita Harian 5 Desember 1990 yang menyebut Majelis Perbandaran Kota Bharu telah mengeluarkanarahan supaya menghentikan judi. 112 bersinonim dengan PAS karena Negara Bagian ini telah berada dalam kekuasaan PAS dalam jangka waktu yang lama.394 Pemilu 2013 telah memenangkan PAS di Kelantan. Nik Abdul Aziz Nik Mat digantikan oleh Mantan Wakil Menteri Besar Kelantan, Dato' Haji Ahmad bin Yaakob yang telah mengangkat sumpah jabatan sebagai Menteri Besar baru Negeri Kelantan di hadapan Sultan Muhammad V di Istana Negeri, Kubang Kerian pada 6 Mei 2013.395 Dengan demikian, sejarah, sosio-budaya dan konteks politik di Aceh dan Kelantan telah menjadi faktor penting dalam pemberlakuan hukum jinayah. Sejarah dan sosio-budaya telah menjadikan masyarakat Aceh dan Kelantan sebagai masyarakat yang relijius yang berbudaya. Kondisi historis dan sosio-budaya ini ditopang oleh kenyataan politik bahwa Aceh dan Kelantan memiliki sejarah perjuangan memberlakukan syariat Islam.

C. Pemberlakuan Hukum Jinayah di Masa Kerajaan Islam Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan sesungguhnya berakar dari sejumlah perundang-undangan dan praktik pelaksanaan syariat Islam di masa kerajaan Islam. M.B. Hooker telah memetakan pemberlakuan hukum jinayah di masa kerajaan Islam (Nusantara) yang bertumpu pada Undang-undang Melaka, Kanun Luwaran, dan Kanun Sulu.396 Selain undang-undang yang telah disebutkan Hooker, ada juga undang-undang lain, seperti Kanun Meukuta Alam dan Undang-undang Sultan Adam.397 Indonesia, Malaysia, dan Filiphina tampaknya memiliki sejarah yang meyakinkan tentang undang-undang Islam yang berkenaan dengan jinayah di zaman kerajaan Islam. Bukti-bukti sejarah telah memperlihatkan bahwa kerajaan Islam di Indonesia, Malaysia, dan Filipina telah mempraktikkan hukum

394Khoridatul Annisa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 64. 395http://www.kelantan.gov.my diakses 17 Okttokber 2013. 396Hooker telah memetakan undang-undang yang telah dibuat di masa kerajaan Islam di Asia Tenggara. M.B> Hooker secara umum membagi tiga ciri utama Undang- undang Islam di Asia Tenggara. Pertama, undang-undang syariah yang dibentuk mengikuti keadaan lokal. Kedua, di bawah pemerintahan kolonial, undang-undang syariah dibentuk dan dibatasi dalam ruang lingkup hukum keluarga. Ketiga, pada tahun- tahun setelah perang, undang-undang yang dibentuk memperkuat pemikiran klasik. Penjelasan lebih lengkap baca M.B. Hooker, Undang-undang Islam di Asia Tenggara, penerjemah Rohani Abdul Rahim, dkk. (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1991). 397Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia (Malang, Bayumedia, 2005), 28. 113 jinayah. Di Indonesia, pemberlakuan hukum jinayah di masa kerajaan Islam pernah dilaksanakan pada masa kerajaan Aceh Darussalam.398 Bukti dari pemberlakuan hukum jinayah ini dapat dilihat dari Qanun Meukuta Alam.399 Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul Qahhar telah menyusun undang-undang dasar negara yang diberi nama Qanun al- Asyi/Kanun Meukuta Alam, yang kemudian oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Qanun al-Asyi ini disempurnakan.400 Dalam Kanun ini, hukum jinayah yang diberlakukan terpengaruh oleh adat. Pelanggaran terhadap pembunuhan, pencurian, khamar, dan zina dikenakan hukuman dari syariat Islam yang bercampur dengan hukum adat.401 Dalam kasus pembunuhan, Sultan Alauddin al-Qahhar (1537- 1571) pernah melaksanakan qis}a>s} yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau atas Raja Lingga ke-16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria (Bener Meriah).402 Dalam versi lain, Sultan al- Qahhar pernah menjatuhkan hukuman mati kepada anak kandungnya sendiri bernama Ipah Ditungkup karena melanggar hukum agama dan adat negara.403 Pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah II Al-Mukammil

398Khamami Zada, ‚Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh (1514-1903),‛ dalam Karsa, Volume 20 No. 2 Desember 2012. 399Qanun Meukuta Alam yang dijumpai penulis adalah naskah kitab Qanun Meukuta Alam dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Mulek dan Komentarnya. Di dalam naskah kitabnya disebutkan ia berasal dari keturunan Jamalul Layl, salah seorang Sultan Aceh dari dinasti Habaib. Ia bermukim di Lam Garot Keutupang Dua Kecamatan Darul Imarah, dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar tidak jauh dari kota Banda Aceh. Naskah kitab ini dijumpai di Pustaka Prof. Ali Hasjmy.Meskipun dijumpai dari halaman 31 sampai dengan halaman 135, namun sebagai sebuah informasi sejarah sangat berharga. Sebagai sebuah syarah, di dalamnya tidak dimuat materi Qanun Meukuta Alam secara utuh, lengkap dengan bab, pasal, dan ayatnya. Yang diangkat adalah penafsiran tentang isi dan riwayat penerapannya, sesuai dengan yang dibutuhkan dari masa ke masa. Qanun Meukuta Alam yang berasal dari zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) tersebut bukan hanya terbatas pada syarah Tgk. Di Mulek, tetapi masih diberi komentar dengan istilah-istilah baru setelah Indonesia merdeka. Lihat Mohd. Kalam Daud dan T.A. Sakti, ‚Pengantar Penyalin Kembali dan Pengalih Aksara‛ dalam Darni M. Daud, ‚Pengantar‛ dalam Darni M. Daud (ed.), Qanun Meukuta Alama dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Mulek dan Komentarnya, penerjemah Mohd. Kalam Daud dan T.A. Sakti, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 2010), xi. 400A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alama (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 70. 401Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: Yayasan Obor, 2010), 177. 402Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan, dan Kegiatan (BandaAceh: Dinas Syariat Islam, 2006), 114. 403Junus Djamil, Gadjah Putih Iskandar Muda (Kutaradja: Lembaga Kebudajaan Atjeh, tt.), 90. 114

(1588-1604), diberlakukan hukuman qis}a>s} bagi pelaku pembunuhan. Sultan Alauddin Riayat Syah II Al-Mukammil telah melaksanakan hukuman qis}a>s } terhadap puteranya sendiri, Abangta yang ditangkap karena zalim, membunuh orang lain dan melawan hukum serta adat yang berlaku di kerajaan‛.404 Dalam kasus perzinahan, Kerajaan Aceh Darussalam pernah memberlakukan hukuman rajam pada masa Sultan Alaudin Riayat Shah al-Qahhar (1537-1571) ketika dua orang berzina pada tahun 1550 dengan status masing-masing telah menikah.405 Pada periode berikutnya, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) pernah melakukan hukuman mati terhadap anak laki-lakinya sendiri yang bernama Meurah Pupok atas tuduhan mengganggu rumah tangga orang lain dan berzina. Ia menjatuhkan hukuman h}udu>d atas kesalahan berzina dengan isteri salah seorang pengawal istana.406 Dalam kasus khamr, di Aceh, pada saat itu, hanya pedagang asing non-Muslim yang diberikan izin resmi untuk mengonsumsi arak. Pada tahun 1642, dua orang pekerja Eropa pada sebuah pabrik milik perusahaan Inggris dihukum oleh Ratu Safiyyat al-Din dengan memotong kedua tangan mereka karena telah berusaha memproduksi arak yang sebenarnya dilarang oleh penguasa tersebut.407 Dalam versi lain disebutkan bahwa dua orang Aceh ditemukan sedang mabuk di rumah Nakhoda Fijgie. Mereka ditangkap dan dihukum oleh Penghulu Kawal, yaitu kepala polisi, dengan menuangkan timah panas ke kerongkongan mereka.408 Hukuman bagi pencuri pada masa Sultan Alaudin Riayat Shah al- Qahhar (1607-1636) adalah potong tangan.409Yakni, pada perbuatan pencurian yang pertama, seorang pencuri dihukum dengan memotong pergelangan tangan kanan; pada kejahatan kali kedua dihukum dengan memotong tangan kiri, dan terkadang juga, sebagai gantinya dengan memotong salah satu atau kedua kakinya. Meskipun jarang terjadi, seorang pencuri juga dihukum dengan memotong kedua tangan dan kaki. Jika si terhukum masih melakukan kesalahan yang serupa, misalnya

404http://houseofaceh.org/2011/01/bagaimana-sultan-iskandar-muda- menegakkan-syariat-islam/diakses 9 Mei 2011. 405Ayang Utriza NWAY, ‚Adakah Penerapan Syariat Islam di Aceh?: Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688M, Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, 124. 406Darni M. Daud, ‚Pengantar‛, vii. Lihat pula Al Yasa’ Abubakar, ‚Syari’at Islam…‛, 114. 407Amirul Hadi, ‚Aceh, Sejarah, Budaya…‛, 177. 408Amirul Hadi, ‚Aceh, Sejarah, Budaya…‛, 180. 409Ayang Utriza NWAY, ‚Adakah Penerapan Syariat Islam…‛, 127. 115 dengan mencuri melalui jari-jari kaki, mereka dibuang ke pulo way [pulau Weh] seumur hidup. Jenis hukuman ini dijatuhkan, khususnya dalam kasus perampokan besar.410 Sementara itu, di kerajaan Banjar, terdapat fakta menarik penerapan syariat Islam. Di Banjar, qa>d}i tidak hanya menangani persoalan hukum perkawinan, perceraian, dan kewarisan, tetapi juga menangani perkara pidana. Tercatat dalam sejarah Banjar, bahwa hukuman mati bagi orang yang murtad, hukuman potong tangan bagi pencuri, dan hukuman cambukbagi pezina sudah diberlakukan. Di lingkungan kerajaan Banjar juga terdapat kitab hukum yang merupakan kodifikasi sederhana. Kitab hukum (Islam) itu kemudian dikenal dengan Undang-undang Sultan Adam.411 Azyumardi Azra menyebut hukum potong tangan atau kaki menurut mazhab Syafi’i juga diberlakukan bagi para pelaku pencurian di Banten pada masa kekuasaan Sultan Abd al-Fattah Ageng (1651-1682). Di Banten juga diberlakukan hukum syariat terhadap orang-orang yang menggunakan opium dan tembakau. Hukuman menurut syariat diberlakukan secara lebih keras lagi terhadap para pelaku pelanggaran seksual.412 Informasi ini memberi bukti bahwa hukum jinayah pernah dilaksanakan di Indonesia yang meliputi Aceh, Banjar, dan Banten. Di kawasan lainnya, di Malaysia, undang-undang Islam telah dilaksanakan sejak dari masa awal Kesultanan Melaka, tetapi tidak pernah ditulis dalam sebuah kitab undang-undang. Baru pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Shah (1446-1456), perumusan Undang- undang Malaka dilakukan. Sultan telah memerintahkan untuk dibuatkan Undang-undang agar para menterinya tidak menyalahi adat. Undang- undang Melaka terdiri dari 44 pasal yang meliputi tanggungjawab para pembesar, larangan di kalangan anggota masyarakat, hukuman-hukuman atas kesalahan jinayah dan sipil, masalah-masalah ibadat, muamalat, dan keluarga serta acara dan keterangan.413

410Amirul Hadi, ‚Aceh, Sejarah, Budaya…‛, 180. Keterangan ini dikutip dari William Dampier, Voyages and Description, Volume 1 (New York: Octagon Books, 1966), 315. 411Warkum Sumitro, ‛Perkembangan Hukum Islam...‛, 28. 412Azyumardi Azra, ‚Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio-Historis‛, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), xxviii. 413Mahmood Zuhdi Abd. Majid, Pengantar Undang-undang Islam di Malaysia, cetakan kedua (Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2004), 46-47. 116

Undang-undang Melaka yang disusun pada masa Kesultanan Melaka414 ini bermazhab Syafi’i. Sultan Megat Iskandar Shah415 memerintahkan untuk membuat undang-undang tentang istiadat kerajaan dalam bentuk Undang-undang yang bercorak Islam.416 Karena itulah, corak dari undang-undang ini, menurut Ahmad Mohammed Ibrahim, ada pengaruh adat Melayu dengan bukti penjatuhan hukuman dari aspek Islam dan adat lokal. Pelanggaran mencuri misalnya dikenakan hukuman Islam dan hukuman denda menurut adat.417 Undang-undang Malaka ini disebut sebagai produk hibrid, terutama campuran antara Islam dan adat.418 Adapun kesalahan jinayah yang diatur dalam Undang-undang Melaka adalah mencuri (pasal 7.2), merompak (pasal 43), zina (pasal 40.1), qadhaf (menuduh zina) (pasal 12.3), minum arak (pasal 42), dan riddah (pasal 36.1-36.2), pembunuhan (qis}a>s})} (pasal 5:1,3:8:2-4:39).419 Di

414Kesultanan Melaka didirikan oleh Parameswara, keturunan Raja Saylendra Kerajaan Palembang yang melarikan diri dari penaklukan Majapahit pada 1400. Nama Melaka berasal dari nama sebatang pohon yang terdapat di tebing Sungai Bertam. Parameswara dan para pengkiutnya sedang istirahat di bawah pohon tersebut setelah berburu. Anjingnya ditendang oleh seekor pelanduk hingga terjatuh ke dalam sungai. Parameswara menganggap peristiwa ini sebgaai kejadian ganjil, lalu memilih tempat itu untuk mendirikan kerajaan yang baru. Lihat Malaysia Kita: Panduan dan Rujukan Untuk Periksaan Am Kerajaan (Selangor: International Law Book Services, 2010), 8. Lihat pula Khoridatul Anissa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 16. 415Parameswara diceritakan dalam sejarah masuk Islam dengan nama Iskandar Shah. Lihat Hamid Jusoh, ‚Perkembangan Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia‛ dalam Undang-undang Islam: Jenayah, Keterangan dan Prosedur, Nasimah Husin et al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), 32. Lihat pula Abdul Monir Yaacob, ‚Pelaksanaan Perundangan Islam di Malaysia‛ dalam Khairul ‘Azmi Mohamad dan Faizal Fadzil (eds.), Konsep Pembangunan Ummah dalam Islam Perspektif Malaysia (Kuala Lumpu: Pro-Office Shop, ttp), 32. Lihat pula Khoridatul Anissa, ‚Malaysia Macan Asia…‛, 19. 416John Funston, ‚Malaysia‛, dalam Greg Fealy dan Virginia Hooker (eds.), Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook (Singapura, ISEAS, 2006), 51. 417Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1986), 11-13. 418Iza Hussin, ‚The Pursuit of the Perak Regalia: Islam, Law, and the Politics of Authority in the Colonial State‛ dalam Law & Social Inquiry, Volume 32, Issue 3, Summer (2007), 779, http://mfs.uchicago.edu/public/institutes/2013/islam/prereadings/hussin-- the_pursuit_of_the_perak_regalia.pdf diakses 10 Oktokber 2013. 419Ashgar Ali Ali Mohamed, ‚Implementation of Hudud (or Limits Ordained by Allah for Serious Crimes) in Malaysia‛ dalam International Journal of Humanities and Social Science Volume 2 No. 3, February (2012), 237 http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_2_No_3_February_2012/32.pdf diakses 10 117 sisi lain, Undang-undang Melaka yang disalin Y.F. Liaw menyebutkan aturan-aturan tentang hukum jinayah di bab 4-12. Bab 4 menerangkan hukuman mati bagi beberapa jinayah. Bab 5 menerangkan hukuman mati bagi pembunuhan tanpa sebab. Bab 6 menerangkan peraturan tentang mereka yang mengamuk dan kasus pembunuhan khusus. Bab 7 berkaitan dengan penalti karena membunuh seorang hamba. Bab 8 tentang hak untuk membunuh. Bab 11 mengatur potong tangan karena mencuri diulangi lagi tetapi hanya bagi pemimpin pencuri. Juga diatur tentang ta’zi>r agar pencuri diarak keliling pasar dengan menunggang lembu dengan mukanya dicat dan diiringi paluan gong sementara kesalahannya diumumkan kepada khalayak. Bab 12 mengatur tentang pelanggaran menggoda anak gadis dan perempuan bersuami, memperkosa, hukuman rajam bagi muh}san, dan hukuman cambuk bagi pelaku qadhaf.420 Dalam versi lain, Undang-undang Kanun Melaka berisi Undang- undang Melaka Tulen, Undang-undang Laut, Perkawinan Orang Islam, Undang-undang Jual-Beli dan Keterangan, Undang-undang Negeri dan Undang-undang Johor. Aturan jinayah terdapat dalam lima bab, yaitu bab 36 tentang rukun murtad, bab 39 tentang rukun pembunuhan, bab 40 tentang rukun zina, bab 41 tentang rukun qadhaf, dan pasal 42 tentang rukun minum arak.421 Di Johor, terdapat Undang-undang Johor yang banyak persamaannya dengan Undang-undang Melaka. Persoalan jinayah Islam diatur dalam pasal 5-13, dan pasal 16-19. Hal ini menjelaskan bahwa undang-undang yang berkaitan dengan jinayah Islam telah diterima dan dilaksanakan secara meluas sebelum kedatangan penjajahan Eropa.422 Undang-undang Islam lainnya yang pernah diberlakukan adalah Undang-undang Pahang. Undang-undang ini telah disusun semasa pemerintahan Sultan Abdulghafur Muhaiyudin Shah (1592-1614). Undang-undang Pahang berisi 93 pasal yang mengatur tentang qis}a>s} (pasal 46-47), denda (pasal 48), persetubuhan haram (pasal 49), sodomi (pasal 50), fitnah (pasal 51), minuman yang memabukkan (pasal 52), mencuri (pasal 53), merompak (pasal 54), murtad (pasal 54), dan tidak

Oktokber 2013. Lihat pula M. B. Hooker, ‚Undang-undang Islam…‛, 11-12. Lihat pula Nasimah Husin et al., ‚Undang-undang Islam…‛, 32. 420M. B. Hooker, ‚Undang-undang Islam, 11-12. Lihat pula Nasimah Husin et al., Undang-undang Islam, 32. 421Zulkifli Hasan, ‚Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia: Setakat Manakah Pelaksanaannya?‛ dalam Zulkifli Hasan (ed.), Hudud di Malaysia: Cabaran Pelaksanan (Kualalumpur: ABIM, 2013), 98. 422Nasimah Husin et al., Undang-undang Islam, 33. 118 shalat (pasal 60).423 Meksi Undang-undang Pahang dipengaruhi oleh adat Melayu, tetapi pengaruh adatnya lebih sedikit dibanding Undang-undang Melaka. Undang-undang Pahang ini lebih banyak dipengaruhi hukum Islam. Hal ini disebabkan karena pada waktu Undang-undang Pahang ditulis, pengaruh Islam di Tanah Melayu sudah begitu besar dibanding sewaktu Undang-undang Melaka ditulis.424 Di Perak, terdapat Undang-undang Sembilan Puluh Sembilan Negeri Perak yang banyak dipengaruhi oleh Undang-undang Melaka. Menurut Liaw Yock Fang, dalam Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik, Undang-undang ini bukan ditulis di Perak, melainkan terjemahan dari teks asal yang dibawa dari Hadramaut pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Tajudiin Shah. Undang-undang ini dibawa Syed Husain al- Faradz, seorang pembesar Hadramaut sebagai hadiah kepada Ahmad bin Isa al-Muhajir untuk anak cucunya dengan sedikit penyesuaian dan perubahan. Undang-undang ini ditulis dalam bentuk soal jawab yang terdiri dari sembilan puluh sembilan soal dan jawab, yang berisi tentang konstitusi, peperangan, kekeluargaan, harta, dan jinayah. Pada dasarnya, Undang-undang ini bersifat Islam, tetapi sebagaimana Undang-undang sebelumnya tidak terlepas dari pengaruh adat lokal. Pelaksanaan Undang-undang ini dibuat dengan cara menjadikannya sebagai asas rujukan dalam pengurusan negara oleh para menteri.425 Di Kedah, terdapat Undang-undang Datuk Seri Paduka Tuan (yang ditulis pada 1650) yang menyebut pencuri, perompak, penyabung ayam, pengedar candu, penjudi, pemuja pokok dan batu, dan pemabuk adalah perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah dan mesti dilaporkan kepada penghulu.426 Meskipun di dalam undang-undang ini tidak diinformasikan tentang hukuman yang ditetapkan, tetapi informasi yang terdapat dalam undang-undang ini memberi penegasan tentang pengaturan jinayah dalam undang-undang yang dibuat oleh raja pada saat itu. Pada abad ke-18, di Kelantan diberitakan adanya undang-undang Islam pada 1782 yang ditulis pada masa pemerintahan Syed al-Rahman, anak Long Pandak.427 Berdasarkan informasi Mohd Nik Mohd Salleh, di Kelantan, pada sekitar abad ke-19 juga terdapat kasus bahwa hakim

423Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, ‚Sistem Undang- undang…‛, 47. 424Mahmood Zuhdi Abd.Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 48-49. 425Mahmood Zuhdi Abd.Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 50. 426Lihat Winstedt, Undang-undang Kedah dalam JM BRAS (1928) 6 (2), 8. Zulkifli Hasan, ‚Undang-undang Jenayah Islam…‛, 98. 427Mahmood Zuhdi Abd.Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 50-51. 119 pernah menangani perkara jinayah yang didasarkan pada undang-undang Islam dan adat.428 Di Trengganu, juga dilaksanakan undang-undang Islam pada masa pemerintahan Sultan Umar yang menduduki tahta kerajaan pada 1837. Dalam catatan Mahmood Zuhdi Abd Majdi, Undang-undang Islam di masa ini telah dilaksanakan secara teratur sesuai kehendak Islam sebagai suatu agama dan cara hidup. Meskipun demikian, tak dinafikan ada pengaruh adat Melayu di dalamnya selama tidak bertentangan dengan Islam atau karena masa lama yang diperlukan untuk menghapus adat Melayu.429 Informasi lain menyebutkan bukti sejarah batu bersurat di Kuala Berang, Trengganu tahun 1899 (versi lain menyebut abad ke-12), yang berisi catatan tentang hukum Islam yang diberlakukan. Isi dari catatan tersebut adalah tanggungjawab pemerintah dalam melaksanakan ajaran Islam, pemberian dan penerimaan hutang, hukuman rajam atau cambuk bagi pelaku zina, hukum menuduh zina dan persamaan antar semua rakyat. Mahmood Zuhdi Abd Majid berpendapat catatan sejarah di Kuala Berang, Trengganu ini sulit dibuktikan sebagai undang-undang yang pernah dilaksanakan, karena tidak ada bukti yang menunjukkan adanya sebuah pemerintahan Islam yang berkuasa di Trengganu pada waktu itu.430 Kesimpulan Mahmood Zuhdi Abd Majid ini dibantah oleh Ismail Noor dan Muhammad Azaham bahwa pada 1881-1911 telah memerintah seorang sultan bernama Zainal Abidin III (1881-1918), yang telah memberlakukan h}udu>d, qis}a>s}, diyat and ta‘zi>r 431 Di Filipina, pada abad ke-19, terutama di Mindanao, terdapat Kanun Luwaran (Pilihan) yang bersumber dari teks-teks Arab. Kanun Luwaran juga mengatur kesalahan jinayah tentang pelanggaran terhadap orang dan harta benda, seperti mencuri (potong tangan), pelanggaran seksual, seperti zina (80 cambuk) dan menggoda seorang gadis (100 kali cambuk dan wajib menikah keduanya) dan pembunuhan yang dijatuhi hukuman mati, kecuali seorang budak.432 Sementara itu, dalam Kanun Sulu terdapat juga hukum jinayah, seperti mencuri (denda kain belacu), pembunuhan, percobaan pembunuhan, dan pembunuhan tidak sengaja (denda satu perlima), zina (denda yang disesuaikan suami perempuan;

428Mohd Nik Mohd Salleh, ‚Kelantan in Transaction: 1891-1910‛ dalam WR Roff, Kelantan: Religion, Society, Politic in Malay State (Kualalumpur, tp. tt.), 23. 429Mahmood Zuhdi Abd.Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 50-51. 430Mahmood Zuhdi Abd.Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 46. 431Ismail Noor dan Muhammad Azaham, The Malays par Excellence, Warts and All: An Introduction (Subang Jaya, Pelanduk publications, 2000), 7. Lihat pula Ashgar Ali Ali Mohamed, ‚Implementation of Hudud…‛, 1. 432M.B. Hooker, ‚Undang-undang Islam…‛, 24-25. 120 lebih tinggi statusnya, lebih tinggi dendanya).433 Isi Kanun Sulu ini tampak tidak sesuai dengan syariat Islam. Pemberlakuan hukum jinayah di Melaka, Aceh, dan Mindanau di atas, dipandang oleh M.B. Hooker sebagai ‛the local shari’ah‛. Hooker menjelaskan bahwa hukum jinayah yang diberlakukan adalah hukum jinayah yang telah beradaptasi dengan praktik lokal masyarakat.434 Artinya, di kawasan Asia Tenggara, kerajaan-kerajaan Islam memberlakukan hukum jinayah dengan tidak menafikan adat istiadat masyarakatnya. Adat istiadat masyarakat justru menjadi faktor penting dalam pemberlakuan hukum jinayah di masa kerajaan Islam. Dengan demikian, pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia berakar pada Undang-undang yang telah ditulis dan dilaksanakan oleh kerajaan-kerajaan Islam pada abad ke-16-19 ketika wilayah geografi Indonesia dan Malaysia belum terbentuk. Kerajaan- kerajaan Islam yang tumbuh pada abad ke-16-19 di Malaka, Pahang, Trengganu, Kelantan, Kedah, Trengganu, Kelantan, Mindanao, Aceh, Banten, dan Banjar memberlakukan hukum jinayah yang dalam batas- batas tertentu dipengaruhi oleh adat istiadat lokal. Pemberlakuan hukum jinayah di Asia Tenggara bertumpu pada kekuasaan politik (kerajaan Islam).

D. Hukum Jinayah dalam Politik Hukum Kolonial Di Indonesia, syariat Islam telah lama menjadi warna dari perilaku masyarakat. Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat.435 Belanda sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) 1602- 1798 tetap mengakui apa yang berlaku sejak berdirinya Kerajaan- kerajaan Islam di Nusantara, seperti hukum kekeluargaan Islam, hukum perkawinan dan hukum waris. Oleh VOC, hukum kekeluargaan diakui dan diterapkan dengan bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760, yang merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam, yang dikenal dengan Compendium Freijer (hasil karya D.W. Freijer). Hukum Islam yang telah berlaku sejak zaman VOC itulah yang oleh pemerintah Hindia Belanda

433M.B. Hooker, ‚Undang-undang Islam…‛, 26-27. 434M.B. Hooker, ‚Southeast Asian Shari’ahs‛, dalam Jurnal Studia Islamika, Volume 20 Nomor 2 (2013): 193. 435Bandingkan dengan Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), 48. Warkum Sumitro, ‛Perkembangan Hukum Islam...‛, 15-29. 121 diberikan dasar hukumnya dalam Regeerningsreglement (R.R) tahun 1855.436 Keadaan hukum Islam pada zaman VOC lebih maju daripada sebelumnya, karena telah terhimpun dalam beberapa kitab hukum. Pada tahun 1642 terbentuklah Statuta Batavia yang berlaku untuk masyarakat Batavia (sekarang Jakarta) dan sekitarnya. Dalam Statuta Batavia disebutkan bahwa mengenai kewarisan orang-orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yaitu hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Kitab hukum ini diterapkan pada peradilan-peradilan yang ada di daerah kekuasaan VOC. Selain itu, juga terdapat kitab hukum Mugharaer atau lengkapnya Compandium der oornamste Javaanche Wetten Naukeuring Getrokken Uit Het Mohammedaanche Wetboek Mogharrer yang berlaku untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini berisi perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana yang sebagian besar bermuatan hukum pidana Islam.437 Di Jawa Tengah, terdapat Kitab Surya Alam yang berasal dari masa kerajaan pertama Islam, Kerajaan Demak.438 Kitab-kitab hukum lain yang dibuat pada zaman VOC antara lain Pepakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum Jawa tua yang semula merupakan kompilasi ketentuan-ketentuan hukum Hindu, kemudian mengalami perubahan-perubahan yang mengindisikan pengaruh Islam. Kitab hukum Jawa Kuno yang meliputi Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilullah. Kitab hukum ini dipakai oleh enam menteri pelaksana kekuasaan peradilan, yang mewakili tiga sultan (Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon). Karena efektifnya Pepakem ini sebagai kitab undang-undang, maka ia diadopsi oleh penguasa (Sultan) Bone dan Goa di Sulawesi Selatan untuk dijadikan sebagai konstitusi

436Ismail Sunny, ‚Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia‛ dalam Amrullah Ahmad, SF, dkk., (eds.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 131. Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), 50. Lihat pula Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timul dan Berkembangnya (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), 49. 437Warkum Sumitro, ‛Perkembangan Hukum Islam...‛. 34. Mahsun Fuad, ‚Hukum Islam Indonesia…‛, 51. Lihat pula Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 59 438H.J. de Graaf, ‚Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke-18‛ dalam Azyumardi Azra (ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), 19. 122 atas prakarsa B.J.D. Clootwijk dengan diganti namanya dengan Compendium Indianche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa.439 Seiring adanya perubahan orientasi politik yang cukup signifikan, Belanda mulai melakukan penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Fenomena ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk mengeliminasi perkembangan legislasi dan legalisasi hukum Islam di Indonesia. Perubahan orientasi ini telah mengantarkan satu posisi krisis bagi hukum Islam, dalam arti bahwa keberadaannya dianggap tidak lagi menguntungkan bagi kepentingan politik kolonial Belanda.440 Posisi syariat Islam tampak strategis ketika Belanda masih menggunakan teori reception in complexu yang digagas Loedewyk Willem Christian Van den Berg, yakni memberlakukan hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, hukum mengikuti agama yang dianut penduduk. Jika orang memeluk agama Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku.441 Meksipun demikian, hukum jinayah belum menjadi hukum yang berlaku bagi pribumi Muslim. Belanda baru mengakui hukum perdata Islam (pernikahan, perceraian, waris, dan wakaf). Politik hukum Belanda masih meminggirkan hukum jinayah sebagai bagian dari totalitas pemberlakuan syariat Islam. Posisi yang ‛masih setengah hati‛ ini kemudian berubah setelah Belanda menerapkan sistem hukum berdasarkan golongan masyarakat, yaitu golongan Eropa dan Timur Asing (China) yang menggunakan hukum Belanda dan penduduk pribumi menggunakan hukum adat. Sistem ini mengakibatkan hukum syariah yang telah diberlakukan sejak masa kerajaan Islam terdesak.442 Inilah awal periode penerimaan hukum syariah oleh adat yang disebut teori receptie, yang digagas Van Vollenhaven443 dan Snouck Hurgronje,444yakni hukum Islam baru berlaku

439Mahsun Fuad, ‚Hukum Islam Indonesia…‛, 50-51. Warkum Sumitro, ‛Perkembangan Hukum Islam...‛, 34. Lihat pula Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 108. Lihat pula Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 11- 12. 440Mahsun Fuad, ‚Hukum Islam Indonesia…‛, 52. 441Warkum Sumitro, ‛Perkembangan Hukum Islam...‛, 37-38. 442M.B. Hooker, ‚Southeast Asian Shari’ahs‛, 194. 443Tentang Van Vollenhaven yang menulis adatrechtpolitiek di Aceh, Minangkabau dan Jawa dapat dibaca Daniel S. Lev, Hukum dan Politik Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, penerjemah Nirwono dan A.E. Priyono, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1990), 429. 444Snouck Hurgronje membedakan Islam dalam istilah ibadah dengan Islam sebagai kekuatan sosial politik. Dalam hal ini, dia membagi maslaah Islam atas tiga kategori, yakni bidang agama murni atau ibadah, bidang social kemasyarakatan dan 123 bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Pendapat ini diberi dasar hukumnya dalam Undang-undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti Regeerningsreglement (R.R.), yang disebut Wet de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatregeling (IS). Berdasarkan IS yang diundangkan dalam Stbl. 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.445 Dengan munculnya teori ini, Belanda cukup punya alasan untuk membentuk komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi dari komisi ini, lahirlah Stbl. 1937 No. 116 yang berisi pencabutan wewenang Peradilan Agama untuk menangani masalah waris dan yang lainnya. Perkara- perkara ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada Landraad, Pengadilan Negeri.446 Politik hukum Belanda terhadap pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, jelas-jelas meminggirkan hukum jinayah sehingga perdebatan yang muncul di masa Belanda lebih banyak pada aspek hukum keluarga yang menjadi wewenang Peradilan Agama. Sikap ini diambil oleh Belanda karena khawatir terhadap Gerakan Pan Islamisme yang sedang gencar diserukan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir.447 Kekhawatiran ini akan berujung pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia. Itu sebabnya, bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga hukum jinayah yang dipinggirkan pemberlakuannya. Di Malaysia, politik hukum kolonial tidak jauh berbeda. Setelah Portugis berkuasa di Melaka, kekuasaan Melaka dipegang oleh Gubernur yang dibantu oleh sebuah Majelis yang terdiri dari Ovidor (Hakim Besar), Viador (Datuk Bandar), dan Paderi Besar atau wakilnya dan Setiausaha Perang serta Sersan Mayor. Dalam urusan jinayah, hukuman- hukuman yang dijatuhkan oleh Ovidor harus mendapat pengesahan dari bidang politik. Dalam bidang agama murni atau ibadah pemerintah kolonial pada dasarnya memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksnakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, bahkan membantu. Dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam. Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, cetakan ketiga (Jakarta: LP3ES, 1996), 12. 445Ismail Sunny, ‚Kedudukan Hukum Islam…‛, 132. 446A. Qodri Azizy, Eklektisme Hukum Nasional: Kompetesi antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 155. 447Catatan kritis tentang PAN Islamisme dan gerakan Tarekat di Cianjur, Cilegon dan Garut dapat dilihat Aqib Suminto, ‚Politik Islam Hindia Belanda…‛, 64- 99. 124

Gubernur dan dijalankan dengan perintah Gubernur atau Ovidor. Ahmad Ibrahim tidak dapat memastikan apakah Portugis pernah membawa undang-undang Portugis ke Melaka. Laporan dari Belanda tentang Melaka menyebut banyak undang-undang yang dibuat oleh Portugis. Sayangnya, undang-undang tersebut tidak disebut sehingga tidak jelas informasinya. Pada umumnya, Portugis menyerahkan pengurusan keadilan di kalangan rakyat yang tidak beragama Kristen dan yang berbangsa Asia kepada ketua adat, sedangkan orang-orang Portugis diletakkan di bawah bidang kuasa hakim Portugis.448 Di masa penjajahan Belanda, peraturan perundang-undangan dikeluarkan oleh kerajaan Belanda dan Batavia (Jawa) serta badan pelaksana lokal. Sebagai langkah pertama, buku-buku undang-undang dikirim ke Melaka, termasuk beberapa bagian dari Groot Plakkatboek, suatu kumpulan undang-undang yang banyak sekali digunakan di Jawa. Kumpulan undang-undang inilah yang menjadi panduan Mahkamah Keadilan di Melaka. Oleh karena itu, rakyat Melaka menggunakan adat dan undang-undang mereka sendiri, sedangkan bangsa Eropa menggunakan undang-undang Belanda berdasarkan Colonial Statutes.449 Portugis dan Belanda tidak begitu banyak mengubah Undang- undang dan adat Melayu, bahkan membuat kebijakan untuk memberlakukan Undang-undang Melaka dan adat Melayu.450 Pada masa kolonialisme Portugis dan Belanda, Malaysia masih dapat memberlakukan Undang-undang Melaka, namun pada masa penguasa kolonial Inggris, situasinya berubah secara signifikan. Dalam berbagai perjanjian antara raja-raja Melayu dengan Inggris dinyatakan dengan jelas bahwa raja-raja Melayu menerima semua nasihat Inggris kecuali dalam masalah Islam dan adat.451 Dalam perjanjian Pangkor452 misalnya, Inggris berjanji tidak akan ikut campur dalam urusan-urusan yang menyangkut adat dan agama Melayu.453 Ini berarti

448Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, ‚Sistem Undang- undang…‛, 13-15. 449Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, ‚Sistem Undang- undang…‛, 15. 450Khoiruddin Nasution, ‚Status Wanita di Asia Tenggara…‛, 66. 451Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, ‚Sistem Undang- undang…‛, 49. 452Perjanjian Pangkor merupakan peristiwa yang penting dalam sejarah Tanah Melayu. Ia adalah detik yang menandakan permulaan kekuasaan penjajahan Inggris di Perak dan negeri-negeri Melayu lainnya. Lihat Malaysia Kita: Panduan dan Rujukan Untuk Periksaan Am Kerajaan (Selangor: International Law Book Services, 2010), 65. 453Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu (Jakarta: LP3ES, 1996), 21. 125 bahwa Inggris tidak akan ikut campur dalam urusan agama Islam. Inggris awalnya melakukan pembaharuan administratif dengan jalan pembentukan administrasi pemerintahan modern dan reformasi-reformasi lain. Dalam prakteknya, Inggris mengatur banyak aspek kehidupan pribumi, termasuk urusan agama. Dalam hal undang-undang jinayah, acara jinayah, kontrak, dan tanah, hukum Inggris menggantikan undang- undang Islam dan adat. Akhirnya, undang-undang Islam yang telah beradaptasi dengan adat hanya berlaku dalam hukum keluarga dan waris.454 Dengan demikian, pernyataan kontraktual untuk tidak campur tangan dalam urusan-urusan kebudayaan dan keagamaan Melayu, terbukti tidak dilakukan.455 Pada isu administrasi hukum Islam, menurut Husin Muthallib, dalam berbagai cara, penguasa Inggris ikut membantu perkembangan Islam dan Melayu. Pembaruan-pembaruan administratif telah menyebabkan terjadinya koordinasi dan regulasi lembaga-lembaga Muslim, seperti pengumpulan zakat dan wakaf, sistem peradilan Islam, dan prosedur ibadah haji.456 Luasnya kontrol Inggris atas masalah- masalah Melayu-Muslim, juga berarti bahwa banyak pengaruh syariah Islam pada kehidupan Melayu menjadi terbatasi. Majelis Agama yang dibentuk untuk membantu Sultan dalam menjalankan negaranya, dalam banyak hal, dikendalikan para pejabat Inggris. Ketentuan-ketentuan penting yang mempengaruhi peradilan Islam dan hukum Islam di Malaysia tunduk pada sanksi Inggris, khususnya dengan sepengetahuan dan persetujuan Residen Inggris. Kekuasaan para qa>d}i dibatasi oleh ketentuan Dekrit Negara yang dipengaruhi Inggris, yang hampir sepenuhnya merupakan replika dari Undang-undang dan Ordonansi Inggris, yang menetapkan hukuman maksimum untuk mereka kenakan. Lebih dari itu, para hakim sipil ketika menjelaskan keputusan-keputusan mereka, cenderung merujuk pada preseden praktik-praktik Undang- undang Inggris ketimbang preseden hukum syariah dan adat. Peradilan- peradilan Islam hanya sebatas memiliki peranan yang sekunder setelah peradilan sipil.457 Pada kenyataannya, Inggris memperkenalkan dan menerapkan Undang-undang Inggris secara berangsur-angsur yang akhirnya menggantikan Islam, terutama setelah keluarnya Piagam Keadilan 1807 untuk Negara-negara Selat (Pulau Pinang, Melaka, dan Singapura).

454Ahmad Mohamed Ibrahim dan Ahilemah Joned, ‚Sistem Undang- undang…‛, 49. 455Hussin Mutalib, ‚Islam dan Etnisitas…‛, 22. 456Hussin Mutalib, ‚Islam dan Etnisitas…‛, 25. 457Hussin Mutalib, ‚Islam dan Etnisitas…‛, 26-27. 126

Adapun isi Piagam Keadilan adalah penetapan pengadilan dan hendaknya pengadilan menggunakan Undang-undang Inggris, kecuali mengenai agama Islam dan adat Melayu. Undang-undang Islam yang diberlakukan hanya terbatas pada UU Perkawinan dalam aspek yang sempit.458 Selama penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum Islam seperti pengadilan syari’ah tentang perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris.459 Setelah kedatangan Inggris, undang-undang Islam telah dipinggirkan dan diletakkan di bawah bidang kuasa yang amat terbatasi di dalam enakmen negeri-negeri di bawah undang-undang pentadbiran agama Islam negeri-negeri. Dari aspek bidang kuasa jinayah, hukuman maksimum yang dikenakan di dalam enakmen-enakmen sebelum tahun 1965 hanya menetapkan denda sebanyak RM 5000,00 atau penjara selama tidak lebih dari 4 bulan atau kedua-duanya.460 Dalam kondisi yang demikian, ruang lingkup hukum jinayah yang diberlakukan semakin sempit dibanding dengan masa kerajaan Islam. Kondisi ini diperparah lagi dengan ketidaksamaan pengaturan jinayah di masing-masing negeri. Sistem perundang-undangan yang digunakan Inggris berbeda-beda di tiap negeri, meski dari aspek struktur dan penyusunannya ada kesamaan. Misalnya saja undang-undang jinayah Islam diperkenalkan dengan istilah ‚Undang-undang (Kesalahan- kesalahan) Orang-orang Islam di Selangor, Pahang dan Negeri Sembilan. Pada tahun 1937, undang-undang ini diganti dengan Enakmen (Kesalahan-kesalahan) Orang-orang Islam, 1937. Di Negeri Sembilan, undang-undang ini dikenal Arahan Majlis (Kesalahan-kesalahan) Orang- orang Islam, 1938, di Selangor dengan nama Enakmen (Kesalahan- kesalahan) Orang-orang Islam, 1938 dan di Perak dengan nama Undang- undang (Kesalahan) Syara’, 1939. Adapun di Trengganu diperkenalkan undang-undang kesalahan jinayah melalui beberapa peraturan, yaitu Undang-undang Tegahan Berkhalwat (1342H), Hukuman Kerana Tidak Menunaikan Sembahyang Jumat (1341 H), Nusyuz (1345 H), Hukuman

458Khoiruddin Nasution, ‚Status Wanita di Asia Tenggara…‛, 67-68. 459Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 219. 460Hukuman ini telah ditingkatkan pada 1965 dengan denda RM 1000,00 atau penjara tidak lebih dari 6 bulan atau kedua-duanya.Perubahan Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jinayah) telah dibuat pada 1984 dan setelah itu hukuman yang boleh dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah adalah denda RM 5000,00 atau penjara 3 tahun atau 6 kali cambuk atau kombinasi hukuman. Lihat Zulkifli Hasan, ‚Undang-undang Jenayah Islam…‛, 98-99. 127

Kerana Tidak Menunaikan Sembahyang Jumat (1353 H) dan Perak, aturan Dalam Masa Puasa (1351 H).461 Melalui enakmen ini, khususnya Negeri-negeri Melayu Bersekutu, undang-undang pidana yang diperkenalkan adalah pelanggaran yang berkaitan dengan tidak menghadiri shalat Jumat di masjid, tidak mengantar anak-anak ke kelas pengajian al-Qur’an, melarikan wanita, zina dan khlawat, persetubuhan mahram, zina antara dua orang yang telah cerai, pengajaran agama tanpa tauliyah, menjual makanan pada bulan Ramadhan, penerbitan berkaitan dengan ajaran Islam tanpa izin, dan tidak puasa di bulan Ramadhan. Hukuman maksimum yang dikenakan adalah penjara paling lama 5 tahun dalam kasus persetubuhan satu darah/perkawinan, atau penjara tidak lebih dari setahun dalam kasus zina dan denda tidak lebih dari RM 5.000,00 kepada pihak laki-laki, sedangkan pihak perempuan dikenakan RM 2.500,00. Hukuman yang paling rendah adalah kesalahan tidak menghadiri shalat Jumat yang dikenakan denda tidak lebih dari RM 500.462 Berdasarkan paparan di atas, penguasa kolonial di Indonesia dan Malaysia, seperti Inggris dan Belanda tidak serta-merta mengganti sistem hukum Islam secara menyeluruh, tetapi secara bertahap memperkenalkan hukum-hukum baru. Proses itu umumnya diawali dengan meminggirkan hukum pidana yang menempati posisi terlemah,463 dan digantikan hukum pidana versi penjajah. Sementara hukum kekeluargaan dan waris Islam dibiarkan sebagaimana adanya.464 Politik hukum kolonial Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia dalam pemberlakuan syariat Islam, terutama hukum jinayah menunjukkan karakter yang membatasi. Pada masa kolonial tidak ada praktik pelaksanaan hukum jinayah di wilayah-wilayah jajahannya. Belanda dan Inggris menggunakan jalan meminggirkan hukum jinayah dan hanya memperdebatkan pemberlakuan hukum keluarga dengan hukum adat. Ini berarti bahwa hukum jinayah tidak pernah diberlakukan di Indonesia dan Malaysia pada masa kolonial.

461Hamid Jusoh, ‚Perkembangan Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia‛ dalam Nazimah Hussin, dkk. (eds.), Undang-undang Islam: Jenayah, Keterangan, dan Prosedur (Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), 34-35. 462Hamid Jusoh, ‚Perkembangan Undang-undang…‛, 36. 463Indonesia misalnya mengadopsi seluruh muatan hukum pidana Belanda (Ordonantie 6 Mei 1877 No. 85) yang hingga kini belum dirubahb dengan hukum pidana yang sesuai konteks perubahan sosial dan politik bangsa Indonesia. 464Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Alvabet, 2004), 6-7. 128

E. Perjuangan Pemberlakuan Hukum Jinayah di Indonesia dan Malaysia Paska Kemerdekaan Perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia setelah merdeka mengalami dinamika yang fluktuatif. Indonesia termasuk negara di kawasan Asia Tenggara yang paling dinamis dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah. Sebaliknya di Malaysia, sudah sejak awal hukum jinayah sudah diakomodir dalam hukum negara, meskipun hukuman yang diperkenalkan tidak sesuai dengan syariat Islam. Di Indonesia periode penting dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah ke dalam hukum negara dilalui dalam empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPRS 1966-1968, dan periode paska Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002.465 Di masing-masing periode perjuangan pemberlakuan syariat Islam, pertarungan politiknya begitu kental yang melibatkan golongan nasionalis yang netral agama (sekuler) dan golongan Islam yang ingin menegakkan ideologi Islam (Islamis).466 Periode penting yang terlihat di masa menjelang Indonesia merdeka adalah perdebatan di tingkat elit ketika mendiskusikan dasar negara Indonesia. Perdebatan sengit terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI, terutama antara Soekarno yang mewakili golongan nasionalis dan Abdoel Kahar Muzakir dari golongan Islam yang didukung Ki Bagus Hadikusuma dari Muhammadiyah, Kiai Wahid Hasjim dari NU

465 Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), 85. Robert W. Hefner, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia‛, dalam Pacific Affairs, 82.4 (Winter 2009), 1-2. http://www.academia.edu/3398634/Challenging_the_Secular_State_reviewed_by_Rob ert_Hefner diakses 12 Pebruari 2014. Lihat pula Nadirsyah Hossein, Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2007), 59. 466Merujuk pada pengelompokkan yang telah dibuat Zachary Abuza, gerakan Islam terpolarisasi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok Islamis, kelompok militan- radikal, dan kelompok teroris.Kelompok Islamis adalah mereka yang percaya bahwa negara harus memberlakukan syariat Islam melalui institusi demokrasi.Kelompok militan-radikal adalah mereka yang menggunakan kekerasan (meski tidak seluruhnya) untuk membatasi dan mendefinisikan politik dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam. Kelompok teroris adalah mereka yang menggunakan kekerasan untuk melakukan perubahan revolusioner, termasuk memberlakukan syariat Islam secara total dan mendirikan Negara Islam. Lihat Zachary Abuza, Political Islam and Violence in Indonesia, (London and New York: Routledge, 2007), 84. 129

(Nahdlatul Ulama) dan K.H. Ahmad Sanusi dari PUI (Partai Umat Islam). Menyadari perdebatan yang begitu sengit, dibentuklah Tim Sembilan, yang beranggotakan Haji Agus Salim, Kiai Wahid Hasjim, Abikusno, dan Abdoel Kahar Muzakir dari golongan Islam dan Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin dari golongan nasionalis. Hasil dari sidang-sidang BPUPKI adalah kesepakatan Piagam Jakarta, yang memuat kata-kata bahwa ‚Negara berdasar pada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya‛467 Ironisnya, pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia, seorang pejabat angkatan laut Jepang datang ke Mohammad Hatta dan melaporkan bahwa orang-orang Kristen di Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia, kecuali jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta, Islam sebagai agama negara dan presiden adalah seorang Muslim dihapus.468 Akhirnya, tuntutan tersebut pun dipenuhi dan Pancasila menjadi dasar negara Indonesia. Kesepakatan ideologis yang dicapai sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibangun di atas landasan yang amat rentan penafsiran. Karena alasan ini, para elit politik negara terlibat dalam perdebatan- perdebatan ideologis-politis mengenai bentuk negara dan kerangka konstitusionalnya pada masa berikutnya. Pada masa ini faktor pemicunya adalah penyelenggaraan pemilu dengan Majelis Konstituante sebagai lokus utamanya. Penundaan pemilu menjadi strategi memantapkan posisi pendukung Pancasila karena ada kekhawatiran jika pemilu diselenggarakan, partai Islam akan menang dan akan meminta dukungan rakyat untuk mendirikan Negara Islam. Terbukti perjuangan untuk menegakkan Islam sebagai dasar ideologi negara muncul kembali selama masa kampanye Pemilu 1955. Dipelopori oleh Masyumi, kelompok Islam kembali mengajukan gagasan mereka mengenai Islam sebagai dasar negara dalam Majelis Konstituante (1956-1959).469 Majelis Konstituante tidak mampu mencapai kata sepakat dengan dasar negara Indonesia, yang pada gilirannya, Soekarno mengeluarkan Dekrtit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Perdebatan berikutnya terjadi pada masa Sidang MPR 1968 yang kembali membahas Piagam Jakarta. Di masa rezim Orde Baru yang begitu khawatir dengan partai Islam Masyumi, Piagam Jakarta masih

467Deliar Noer, Partai-partai Islamdi Pentas Nasional, 38. Lihat pula Arskal Salim, ‚Challenging the Secular State…‛, 63-68. 468Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 89-90. 469Bahtiar Effendy, ‚Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran…‛, 101-105. 130 diperjuangkan.470 Jika di masa sebelumnya NU berjuang bersama Masyumi untuk mengembalikan Piagam Jakarta, tetapi di masa Orde Baru, NU sudah berbeda perjuangannya dengan Parmusi (partai reinkarnasi Masyumi). NU sudah memiliki pandangan bahwa Piagam Jakarta adalah sumber hukum Indonesia. Sebaliknya, Parmusi masih konsisten untuk memperjuangkan Piagam Jakarta sama seperti partai pendahulunya, Masyumi.471 Pemerintah Orde Baru akhirnya menolak tuntutan kelompok Islam agar Piagam Jakarta dilegalisasikan kembali pada Sidang MPR 1968. Karena itulah, Orde Baru dengan politik marjinalisasinya menekan umat Islam untuk tidak lagi memperdebatkan syariat Islam. Praktis yang diberlakukan di zaman Orde Baru hanyalah aspek perkawinan, cerai, dan waris, yang tertuang dalamUndang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Perdebatan terakhir terjadi setelah Indonesia mengalami transisi politik dari rezim Orde Baru, terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001, dan 2002. Sama seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Kelompok Islam terbagai dua, yaitu (1) partai-partai yang berjuang memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke pasal 29, seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang), PNU (Partai Nahdlatul Umat), dan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dan (2) partai-partai yang mengusulkan rumusan yang inklusif, yaitu ‚kewajiban menjalan agama bagi pemeluk-pemeluknya’, seperti PAN (Partai Amanat Nasional), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), dan PK (Partai Keadilan). Kelompok nasionalis terdiri dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Partai Golkar (Golongkan Karya), dan PDKB (Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan) masih konsisten menolak Piagam Jakarta. Lalu, dalam Sidang Pleno MPR, PPP, PKB, dan PAN merubah usulannya dengan mengikuti posisi PDIP dan Golkar dengan rumusan ‚Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‛. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang Pleno MPR Agustus 2002, yaitu ‚Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‛.472

470Bahtiar Effendy, ‚Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran…‛, 115. 471Arskal Salim, ‚Challenging The Secular State…‛, 87. 472Arskal Salim dengan amat baik berhasil memetakan posisi fraksi-fraksi dalam Sidang MPR 2000-2002, termasuk perubahan-perubahan dari kelompok Islam. Lihat Arskal Salim, ‚Challenging The Secular State…‛, 90-107. 131

Matrik 1. Posisi Fraksi-fraksi dalam Pembahasan Amandemen UUD 1945 di Sidang MPR (2000, 2001, 2002)

Posisi Posisi Pertemuan Terakhir Pengambilan Kesimpulan

Partai Panitia Adhoc Komisi I dalam Sidang Pleno MPR

F-PDIP, F-PG, Alternatif Negara Alternatif Negara Tidak FKKI, pertama Berdasarkan pertama Berdasarkan berubah F-TNI/ Ketuhanan Yang Ketuhanan Yang POLRI Maha Esa Maha Esa F-PPP, Alternatif Negara berdasar Alternatif Negara Berubah kedua atas Ketuhanan pertama Berdasarkan Yang Maha Esa Ketuhanan Yang dengan Maha Esa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya F-PBB, Alternatif Negara berdasar Alternatif Negara berdasar Tidak F-PDU kedua atas Ketuhanan kedua atas Ketuhanan berubah Yang Maha Esa Yang Maha Esa dengan dengan kewajiban kewajiban menjalankan menjalankan syariat Islam bagi syariat Islam pemeluk- bagi pemeluk- pemeluknya pemeluknya F-PKB Alternatif Negara berdasar Alternatif Negara berdasar Berubah ketiga atas Ketuhanan pertama atas Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing- masing pemeluk- pemeluknya F- Alternatif Negara berdasar Alternatif Negara berdasar Berubah REFORMASI ketiga atas Ketuhanan pertama atas Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing- masing pemeluk- pemeluknya Diolah dari Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia (Honolulu: University of Hawai Press, 2008)

132

Berdasarkan sejarah perdebatan dasar Negara Indonesia di atas, dapat dipahami bahwa ideologi Pancasila didukung tidak hanya kalangan non-Muslim, tetapi juga Muslim. Karena itulah, usaha-usaha untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain semisal Islam akan dihadapi oleh Muslim dan Non-Muslim karena akan menjadi ancaman kesatuan negara.473 Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan hukum jinayah tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29 UUD NRI 1945 mengakomodir Islam dijamin dalam negara Indonesia. Ini berarti Indonesia tidak menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara. Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi474 dengan sumber hukum materiil berbunyi ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛ mendasari posisi penting bahwa agama menjadi jiwa dari sistem ketatanegaraan dan hukum nasional. Dalam sistem hukum formal, terutama dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat 1 berbunyi: ‚Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dan ayat 2 berbunyi ‚Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu‛. Berdasarkan sumber hukum formil dan materiil inilah,475 maka hukum agama menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Adapun dalam posisi hukum pidana Indonesia jelas sekali bahwa hukum jinayah tidak pernah diberlakukan di Indonesia, apalagi KUHP yang menjadi produk hukum pidana nasional tidak mengakomodir syariat Islam. Meskipun diatur pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan, dan minuman keras dalam KUHP, tetapi hukuman yang dikenakan berbeda dengan syariat Islam. KUHP masih merupakan peninggalan kolonial Belanda yang belum direvisi dan diakomodasi unsur-unsur dari hukum jinayah. Ini menunjukkan bahwa di tingkat konstitusi dan undang-undang di tingkat nasional, hukum jinayah belum diberlakukan di Indonesia. Kondisi berbeda diperlihatkan di Malaysia. Para delegasi Melayu yang terdiri dari aliansi UMNO, MCA, MIC sebagai pemenang Pemilu

473M. Atho Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: a Socio-Historical Approach (Jakarta: Office of Religious Research and Development and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003), 40. 474Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, ttp), 39. 475Tentang sumber hukum formil dan materiil dapat dilihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 19991), 64. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, cetakan ketujuh, (Jakarta: Sinar Bakti, 1983), 45. 133

1955 menegosiasikan kemerdekaan Malaysia kepada Pemerintah Inggris. Sebuah komisi persemakmuran (Commonwealth Commission) dibentuk oleh Ratu Inggris untuk menyusun Konstitusi yang dipimpin oleh Lord Reid, dengan anggota Mr. Ivor Jennings, Sir William Mckell, dan Mr Hakim B. Malik. Tak satupun orang Melayu yang menjadi anggota komisi. Aliansi UMNO, MCA, MIC kemudian mengajukan tuntutan agar Islam menjadi agama negara (bukan berarti negara Islam)476. Setelah merdeka pada 31 Agustus 1957, Malaysia menyusun Konstitusi (Perlembagaan Persekutuan) yang disahkan pada 1957. Konstitusi ini pada dasarnya sedikit mengangkat isu Islam dibandingkan Konstitusi 1963. Islam diberi tempat yang tinggi di Konstitusi Malaysia 1963 karena Islam telah menjadi agama resmi negara dalam.477 Di dalam Konstitusi, Pasal 3 ayat 1 berbunyi: ‚Agama Islam adalah agama bagi Persekutuan; tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di wilayah persekutuan‛.478Malaysia sejak awal telah menjadikan Islam sebagai agama yang spesial karena masuk dalam Konstitusi. Ini yang tidak terjadi di Indonesia. Raja di tiap negeri berkedudukan sebagai Ketua agama Islam dalam negerinya, sedangkan negeri-negeri yang tidak memiliki raja seperti Melaka, Pulau Pinang, Sabah dan Serawak yang menjadi raja adalah Yang diPertuan Agung.479 Meskipun Konstitusi telah diubah beberapa kali, pada 1970-an, kelompok revivalis Islam menuntut islamisasi hukum yang berhadapan dengan kelompok liberal di Malaysia.480 Berikutnya, pada 1980-an, muncul tuntutan pemberlakuan syariat Islam di ruang privat dan publik. Tuntutan ini ditolak sehingga syariat Islam tidak diberlakukan secara ka>ffah.481

476Ahmad Fauzi Abdul Hamid, ‚Implementing Islamic Law within a Modern Constitutional Framework: Challenges and Problems in Contemporary Malaysia‛, dalam Islamic Studies, Volume. 48, No. 2 (Summer 2009), 161-162, http://www.questia.com/library/journal/1P3-2035005951/implementing-islamic-law- within-a-modern-constitutional diakses pada 8 September 2013. 477Andrew Harding, “The Keris, The Crescent and the Blind Goddess: The State, Islam and the Constitution in Malaysia‛, dalam Singapore Journal of International and Comparative Law, 2002, 162, http://law.nus.edu.sg/sybil/downloads/articles/SJICL-2002-1/SJICL-2002-154.pdf diakses 29 Oktokber 2013. 478Pasal 3 ayat 1 Perlembagaan Persekutuan. 479Pasal 3 ayat 2 Perlembagaan Persekutuan. 480Andrew Harding, “The Keris, The Crescent and the Blind Goddess…‛, 163. 481Fikret Karčić, ‚Applying the Sharī'ah in Modern Societies: Main Developments and Issues‛, dalam Islamic Studies, Volume 40, No. 2 (Summer 2001), 12. http://www.bosanskialim.com/rubrike/biografije/bosanski_alimi/Karcic_Fikret.html diakses pada 10 Oktokber 2013. 134

Meskipun Islam masuk dalam Konstitusi Malaysia, namun syariat Islam secara total tidak bisa diberlakukan di Malaysia. Aspek hukum jinayah masih belum meyakinkan sebagai hukum yang diberlakukan sesuai dengan syariat Islam. Sejumlah Kanun Jenayah Syariah yang diberlakukan di negeri-negeri tidak mencerminkan hukum jinayah yang sesuai dengan syariat Islam. Tak terkecuali di Kelantan, sebagai Negara Bagian yang dipimpin PAS, mereka tidak berhasil memberlakukan hukum jinayah secara total. Regulasi hukum jinayah di Malaysia sesungguhnya telah mengatur beberapa hukum jinayah, seperti pencurian, zina, qadhaf, pembunuhan, dan perampokan, tetapi tidak ada satu pun hukuman yang diterapkan sesuai dengan syariat Islam. Ada kendala serius yang dihadapi masyarakat Islam yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara total, yaitu sistem hukum Malaysia yang bersumber pada Perlembagaan Persekutuan dan Undang-undang Akta 355 Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jenayah) 1965 yang diamandemen dengan Undang-Undang Malaysia Akta 612 Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jenayah) (Pindaan) 1984. Konstitusi Malaysia telah membatasi bahwa jika undang-undang negeri bertentangan dengan undang-undang persekutuan, maka otomatis undang-undang negeri batal. Dalam Akta 355 Akta Mahkamah Syariah 1965 disebutkan:

‚Mahkamah Syariah yang ditubuhkan dengan sempurnanya di bawah mana- mana undang-undang dalam sesuatu Negeri dan diberi bidang kuasa ke atas orang-orang yang menganuti agama Islam dan berkenaan dengan mana-mana perkara yang disebut satu persatu dalam Senarai II bagi Senarai Negeri dalam Jadual Kesembilan kepada Perlembagaan Persekutuan adalah dengan ini diberi bidang kuasa berkenaan dengan kesalahan-kesalahan terhadap rukun-rukun agama Islam oleh orang-orang yang menganuti agama tersebut yang boleh ditetapkan di bawah mana-mana undang-undang bertulis: Dengan syarat bahawa bidang kuasa sedemikian tidaklah boleh dijalankan berkenaan dengan apa-apa kesalahan yang boleh dihukum penjara selama tempoh melebihi tiga tahun atau denda melebihi lima ribu ringgit atau sebatan melebihi enam kali atau apa-apa gabungan hukuman-hukuman tersebut‛.482

Pembatasan yang telah ditetapkan dalam Akta Mahkamah Syariah Malaysia yaitu ‚ setiap kesalahan pidana dapat dihukum penjara selama tidak melebihi tiga tahun atau denda tidak melebihi lima ribu ringgit atau cambuk tidak melebihi enam kali atau gabungan hukuman-

482Pasal 2 Undang-undang Akta 355 Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jenayah) 1965yang diamandemen dengan Undang-Undang Malaysia Akta 612 Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jenayah) (Pindaan) 1984. 135 hukuman tersebut‛ menjadikan ketetapan ini berlaku untuk seluruh Malaysia. Kelantan sebagai negara bagian di Malaysia tunduk pada aturan ini. Ironisnya, penerapan hukuman (pemidanaan) di tiap-tiap negeri berbeda-beda selama tidak bertentangan dengan Akta 355 Akta Mahkamah Syariah 1984, yaitu tidak melebihi 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali jilid. Dimulai dari Kelantan, diundangkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah, 1985 yang direvisi 1993, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kedah, 1988, Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah, 1991, Ordinan Kesalahan Jenayah Syariah Serawak, 1991, Enakmen Jenayah Syariah Perak, 1992, Enakmen Jenayah dalam Syarak, Perlis, 1991, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Sembilan, 1992, Enakmen Prosedur Jenayah Syariah Sabah, 1993, Enakmen Kanun Prosedur Jenayah Syariah Selangor, 1995, dan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Trengganu 2002483telah mengatur perbuatan jianayah yang mendapatkan hukuman, tetapi bentuk/jenis hukumannya berbeda-beda, bahkan tidak ada hukuman h}udu>d dan qis}a>s} yang diberlakukan. Dengan kata lain, hukum jinayah yang diberlakukan di Malaysia hanya hukuman ta’zi>r. Kelantan dan Terengganu telah berupaya menerapkan hukuman h}udu>d dan qis}a>s } setelah PAS menang di kedua negeri tersebut. Kedua negeri sayangnya tidak dapat menerapkan h}udu>d dan qis}a>s} karena dipandang bertentangan dengan Bidang Kuasa Mahkamah Syariah. Kesulitan inilah yang menyebabkan Kelantan tidak dapat melaksanakan Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Kelantan yang berisi hukuman h}udu>d, qis}a>s}, dan ta’zi>r yang berbeda dengan hukuman yang telah ditetapkan dalam Akta 355 Akta Mahkamah Syariah 1965. Berdasarkan paparan di atas, perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Indonesia dan Malaysia dilakukan paska merdeka. Upaya- upaya politik dilakukan untuk menjadikan hukum jinayah dapat diberlakukan di Indonesia dan Malaysia secara nasional. Upaya ini akhirnya tidak berhasil karena Konstitusi Indonesia dan Malaysia tidak memberikan kewenangan untuk memberlakukan syariat Islam secara ka>ffah.

F. Posisi Hukum Jinayah dalam Sistem Hukum Nasional Sistem hukum di suatu negara beraneka ragam. Sistem hukum yang berkembang di sejumlah negara adalah hukum adat, hukum Islam,

483Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 77-81. 136 civil law, common law, dan sistem hukum lainnya.484 Masing-masing negara menganut sistem hukum yang berbeda-beda, baik memilih salah satu dari sistem hukum di atas maupun menggabungkan beberapa sistem hukum (pluralisme hukum). Indonesia dan Malaysia memiliki sistem yang berbeda sesuai dengan sejarah dan kondisi sosial-politiknya. Indonesia merupakan negara yang menganut pluralisme hukum. Empat sistem hukum hidup berdampingan secara damai di Indonesia; hukum adat, hukum Islam, civil law dan common law seiring dengan perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia. 485 Keempat unsur bangunan hukum ini saling mempengaruhi dalam sistem hukum di Indonesia.486 Hukum adat adalah hukum yang hidup pada masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku bangsa. Hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis kemudian mendapatkan tempatnya dalam putusan- putusan pengadilan formal, sehingga lama kelamaan perkembangan hukum adat tersebut dapat diikuti melalui putusan-putusan pengadilan. Bidang hukum adat ini meliputi hukum keluarga, yaitu warisan, perkawinan, pengangkatan anak, hukum atas tanah dan hukum yang berkaitan dengan kegitan perdagangan. Di beberapa daerah dikenal pula delik adat atau pidana adat. Di samping hukum adat, menyebarnya agama Islam ke nusantara, membawa datangnya hukum Islam. Di sejumlah daerah yang penganut Islamnya kuat, masyarakat menerapkan hukum Islam dalam bidang perkawinan, perceraian, dan warisan. Dalam perkembangan sekarang, hukum Islam tidak saja mengatur masalah perkawinan dan warisan, tetapi juga meluaskan pengaruhnya ke bidang hukum ekonomi, seperti perbankan, asuransi dan pasar modal.487 Kolonialisme Belanda ke kepulauan nusantara telah membawa datangnya hukum Belanda yang berasal dari Code Napoleon. Hukum ini dimasukkan ke dalam sistem civil law yang berasal dari Perancis yang digali dari hukum Romawi. Karakteristik dari civil law bahwa hukum itu adalah undang-undang yang terkodifikasi. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

484Esin Örücü, ‚What is a Mixed Legal System: Exclusion or Expansion? dalam Electronic Journal of Comparative Law, Volume 12.1 (2008): 1-2 http://www.ejcl.org/121/art121-15.pdf diakses pada 28 Pebruari 2014. 485Erman Rajagukguk, ‚Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme‛ Makalah disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung ke-37, 2 April 2005, 2. 486Lihat Herbert M. Kritzer (ed.), Legal System of the World: a Political, Social, and Cultural Encyclopedia, Volume II: E-L dan Volume III M-R (California, Colorado, England: ABC Clio, 2002), 705-708 dan 956-963. 487Erman Rajagukguk, ‚Ilmu Hukum Indonesia…‛, 2-4. 137

(KUHAP) merupakan hukum kolonial yang masih digunakan di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya modal asing pada tahun 1967, mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman- pinjaman luar negeri dari negara-negara maju. Pengaruh common law secara disadari atau tidak masuk ke Indonesia. Karakteristik common law adalah bahwa hukum itu lahir dari putusan-putusan hakim. Common law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya, perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru dan pengaruh sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara- negara common law, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia.488 Adapun bentuk Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara Kesatuan adalah bentuk negara yang kekuasaan tertingginya berada di pemerintah pusat. Pemerintah Pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah. Negara Indonesia adalah negara republik dengan sistem presidensial, yakni sistem pemerintahan terpusat kepada kekuasaan presiden sebagai kepala negara.489 Indonesia juga menganut sistem pembagian kekuasaan (trias politica) ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kepala Negara dipimpin presiden sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Sistem perwakilannya terdiri dari DPR dan DPD.490Sistem peradilannya terbagi ke dalam tiga struktur, yaitu peradilan negeri (Tingkat Pertama), peradilan banding, dan Mahkamah Agung. Di Indonesia, syariat Islam menjadi spirit dari sistem hukum nasional. Syariat Islam tidak dipertentangkan secara diametral di dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini disebabkan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan syariat Islam telah dipraktikkan oleh umat Islam sejak zaman sebelum kemerdekaan. Syariat Islam telah masuk ke

488Erman Rajagukguk, ‚Ilmu Hukum Indonesia...’, 4-6. 489Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2003), 1. Ahmad Sukarja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 107-114. Lihat pula Pasal 1 ayat 1, Pasal 4 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 490Perbedaan antara keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya masing-masing. Dewan Perwakialn Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dimaksudkan untuk mewakili daerah- daerah. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cetakan kedua (Yogyakarta: UII Press, 2005), 50. 138 dalam sistem hukum nasional, meski dalam bentuknya yang terbatas. Bidang syariat yang diundangkan dalam sistem hukum nasional di Indonesia masih terbatas pada hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, perwakafan, zakat, perbankan, dan asuransi. Bidang krusial yang masih belum diundangkan adalah bidang jinayah. Karena itulah, Indonesia menempatkan agama sebagai aspek yang penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. Sila Pertama Pancasila menegaskan ‚Ketuhanan Yang Maha Esa‛. Hal ini mendasari bahwa agama memiliki posisi yang sangat penting di dalam sistem ketatanegaraan dan hukum nasional. Indonesia bukanlah negara sekuler, yang memisahkan agama dan negara, melainkan negara yang menjadikan agama sebagai pilar utama. Posisi ini bukan berarti Indonesia adalah negara agama (teokrasi), yang menjadikan agama secara formalistik menjadi aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.491 Seluruh agama di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan lainnya) menjadi sumber inspirasi dalam pembentukan hukum nasional. Pancasila adalah dasar dalam berbangsa dan bernegara yang mengakui agama sebagai pilar utamanya. Penegasan ini diperkuat dalam UUD NRI Tahun 1945 29 ayat 1, ‚Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‛ dan ayat 2 ‚Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu‛. Berdasarkan ketaataan konstitusional inilah, maka syariat Islam masuk ke dalam sistem hukum nasional. Dengan kata lain, negara menjamin pelaksanaan syariat Islam kepada umat Islam di Indonesia. Berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang mengakui agama sebagai pilar utamanya, lahir sejumlah Undang-undang yang bernafaskan syariat Islam, seperti UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,492 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya sejumlah Undang-

491Lihat Nadirsyah Hosen, “Religion and the Indonesian Constitution: a Recent Debate dalam Journal of Southeast Asian Studies, (2005), 6, http://www.jstor.org/stable/20072669 diakses 12 Pebruari 2014. 492Undang-undang ini telah diubah dua kali, yaitu menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang PerubahanAtas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 139 undang yang mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam ini menunjukkan bahwa posisi syariat Islam berada dalam sistem hukum nasional. Hukum syariat yang diatur baru sebatas hukum keluarga, perwakafan, zakat, dan perbankan. Hukum jinayah masih belum diundangkan ke dalam sistem hukum nasional. Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 Pasal 18 B telah mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa dengan pemberian otonomi khusus. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 juga telah mengatur dan memberikan wewenang dan kewajiban yang lebih menekankan pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Dari peraturan-peraturan ini, Pemerintah Pusat telah memberikan kesempatan yang luas bagi setiap daerah untuk menjalankan pemerintahannya melalui otonomi. Di Indonesia, syariat Islam diakomodir dalam sistem peradilan dengan dibentuknya Peradilan Agama/Mahkamah Syariah. Di Indonesia, kewenangan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah.493 Kewenangan Peradilan Agama ini kemudian diperluas menjadi berwenang memeriksa memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, warta, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.‛494 Dalam konteks Aceh, sebelum Pemerintah Pusat memberikan otonomi khusus, Aceh diberi dahulu status keisimewaan melalui Undang-undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Kesitimewaan Aceh.495 Keistimewaan yang dimaksud dalam UU No. 44 Tahun 1999 adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

493Pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama 494Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama 495Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh. 140

Keistimewaan Aceh pada kehidupan beragama dilaksanakan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Dalam bidang adat, Keistimewaan Aceh diwujudkan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Keistimewaan Aceh dalam penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dengan mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam. Peran ulama yang disebutkan dalam Keistimewaan Aceh adalah kontribusi ulama dalam penetapan Kebijakan Daerah, dalam sebuah badan independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.496 Meskipun secara nasional, hukum jinayah tidak diberlakukan di Indonesia, tetapi hukum jinayah dapat diberlakukan di Aceh.Tonggak awal pelaksanaan hukum jinayah di Aceh adalah disahkannya UU No. 44 Tahun 1999. UU ini memberikan keistimewaan untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh. Keistimewaan yang disebutkan dalam UU No. 44 Tahun 1999 ini diberikan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah. Kedua, kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri. Ketiga, kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan. Berdasarkan keistimewaan yang dimiliki Aceh, pada tahun 2000, dibuatlah sejumlah Peraturan Daerah, yaitu Perda No. 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Perda No. 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Perda No. 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan Perda No. 7

496Lihat UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pasal 4-9. 141

Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Keempat Perda ini sangat berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Ulama yang dimaksud dalam Perda No. 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah ulama Dayah/Pesantren dan cendekiawan Muslim Aceh yang mempunyai kharismatik, intelektual dan memahami secara mendalam soal keagaman dan menjadi panutan masyarakat.497 Kedudukan MPU adalah independen dan bukan unsur pelaksana Pemerintah Daerah dan DPRD, melainkan mitra sejajar Pemerintah Daerah dan DPRD yang bertugas memberi masukan, pertimbangan, bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam, baik kepada Pemerintah Daerah maupun kepada masyarakat di daerah.498 Adapun pelaksanaan syariat Islam sebagai bagian dari Keistimewaan Aceh diwujudkan dalam Perda No.5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan dan membimbing serta mengawasi pelaksanaan syariat Islam dengan sebaik-baiknya. Setiap pemeluk agama Islam pun wajib mentaati, mengamalkan/menjalankan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna pada diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Begitu pula warga negara RI atau siapa pun yang bertempat tinggal/singgah di Aceh wajib menghormati pelaksaan syariat Islam di daerah. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh dilakukan dalam seluruh aspeknya, yaitu aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyyah/amar ma’ruf nahi munkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat, dan mawaris.499 Tampaknya, syariat Islam yang didefinisikan dalam perundang-undangan di Aceh dengan ‚tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan‛500 dipahami secara luas, bukan hanya pada hukum, tetapi juga teologi, dan kemasyarakatan. Pendidikan di Aceh diatur dalam Perda No. 6 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.Yang menjadi akar pendidikan di Aceh adalah ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadith serta kebudayaan Aceh. Filosofi pendidikan ini tetap memperhatikan UU

497Pasal 1 ayat 9 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 498Pasal 3 dan 4 Perda No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 499Pasal 3-5 Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. 500Lihat seluruh perundang-undangan tentang Aceh sejak 1999-2003. 142

No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan fungsi untuk memantapkan iman kepada Allah SWT, ilmu dan amal shaleh serta membina akhlak, mengembangkan peserta didik dalam upaya meningkatkan mutu kehidupan yang bermartabat sesuai dengan tuntutan ajaran Islam dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.501 Penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh tetap dipertahankan sepanjang sesuai dengan syariat Islam karena syariat Islam menjadi tolak ukur dalam penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh. Penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh meliputi hukum adat, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku, hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh.502Tampak sekali syariat Islam menjadi alat kontrol dari penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh. Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya, kecuali kewenangan dalam hubungan luar negeri, pertahanan terhadap gangguan eksternal, dan moneter. Di dalam UU Otonomi Khusus bagi NAD ini, pelaksanaan syariat Islam menjadi semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa ketentuan yang menyatakan bahwa Mahkamah Syariah menjadi lembaga peradilan yang berlaku bagi pemeluk agama Islam yang didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional dan demokrasi di Aceh yang dilaksanakan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam.503 Dengan demikian, pelaksanaan syariat Islam di Aceh berada dalam kerangka sistem hukum nasional. Dengan adanya UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD, maka masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam menjalankan syariat Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kekhususan implementasi UU No. 18 Tahun 2001 adalah pemberian kesempatan

501Pasal 2 dan 3 Perda No. 6 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. 502Pasal 2 dan 3 Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. 503UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasal 25: (1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. (2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lembaga perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam. 143 yang lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, baik sumber ekonomi, sumberdaya alam, maupun sumber daya manusia menumbuhkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di masyarakat Aceh dengan menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.504 Kewenangan Mahkamah Syariah secara lebih jelas kemudian dijabarkan dalam Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat. Dalam Qanun ini, Mahkamah Syar'iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang: ahwal al-shakhshiyah; mu'amalah, dan jinayah.505 Hukum materil dan formil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara ahwal al-syakhshiyah, mu'amalah, dan jinayah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syariat Islam.506 Dalam upaya pelaksanaan syariat Islam secara luas, dikeluarkan Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Perda ini bertujuan untuk membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dan pengaruh ajaran sesat meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya; menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang islami.507 Perda ini mengatur tentang pembinaan aqidah, pengawasan aliran sesat, pelaksanaan shalat Jum’at, shalat jama’ah, puasa Ramadhan, peringatan hari-hari besar Islam, penggunaan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin, penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi, dan berbusana Islami.508 Perda ini juga memberikan ketentuan uqu>bah (sanksi hukum) kepada siapa yang telah melanggar ketentuan di atas. Misalnya, bagi orang yang menyebarkan paham atau aliran sesat dihukum dengan ta‘zi>r berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali.509 Bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut tanpa udhur syar‘i> dihukum dengan ta‘zi>r berupa hukuman penjara paling lama

504Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, 225. 505Pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat. 506Pasal 53 dan 54 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat. 507Pasal 2 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam. 508Lihat pasal per pasal dalam Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. 509Pasal 20 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam. 144

6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 kali. Perusahaan pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksakan shalat fardhu dipidana dengan hukuman berupa pencabutan izin usaha.510 Bagi orang muslim yang tidak mempunyai udhur syar‘i> tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman ta‘zi>r berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicanbut izin usahanya. Bagi orang yang makan atau minum di tempat/di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman ta‘zi>r berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman cambuk di depan paling banyak 2 (dua) kali.511 Bagi orang yang tidak berbusana Islami dipidana dengan hukun ta‘zi>r setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah.512Setelah pelaksanaan syariat Islam telah berjalan dalam kerangka aqidah, ibadah, dan syiar Islam, diupayakan pelaksanaan syariat Islam dalam bidang jinayah secara bertahap. Langkah yang dilakukan untuk melaksanakan hukum jinayah adalah menyusun tiga qanun yang berkaitan dengan larangan minuman khamar, perjudian, dan khalwat. Paket hukum jinayah diberlakukan di Aceh dalam bentuk Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar dan sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat, dan Qanun No. 7 tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.513 Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) ikut terlibat dalam perumusan tiga Qanun ini karena Pemerintah Aceh selalu mengajak MPU untuk terlibat dalam penyusunan qanun syariat Islam.514 Puncak dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh sesungguhnya dapat dilihat dari keluarnya Undang-undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh disebutkan tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama

510Pasal 21 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam. 511Pasal 22 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam. 512Pasal 23 Perda No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syia Islam. 513Alyasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa, (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2008), 53-56. 514Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh 145 dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; (2) penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (3) penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam; (4) peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan (5) penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.515 Kewenangan ini sesungguhnya menegaskan kembali apa yang sudah diputuskan dalam perundang-undangan sebelumnya (UU Keistimewaan Aceh dan UU Otonomi Khusus Aceh. UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh kemudian memperjelas pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Yakni, syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak dalam hal ibadah, ahwa>l syakhshiyyah (hukum keluarga), mu’a>malah (hukum perdata), jina>yah (hukum pidana), qad}a’ (peradilan), tarbiyyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.516 Pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam, sedangkan bagi orang bukan beragama Islam yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.517 Inilah yang terjadi di Aceh. Pemberlakukan hukum jinayah di Aceh pada level perundang-undangan sesungguhnya tidak mengalami masalah yang signifikan. Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 memberikan peluang terhadap muncul kemungkinan pluralisme hukum di Indonesia.518 Pasal 18B ayat (1) menyatakan: ‛Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang‛. Terlebih lagi setelah dikeluarkan sejumlah perundang-undangan yang terkait dengan Aceh, yaitu UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Kesitimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh sesuai dengan asas yang dikenal dalam ilmu perundang-

515Lihat Pasal 16-17 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 516Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 517Pasal 126 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 518Hasnil Basri Siregar, ‚Islamic Law in a National Legal System: a Study on the Implementation of Shari'ah in Aceh, Indonesia, dalam Asian Journal of Comparative Law, 3.1 (Januari 2008), 3, http://www.degruyter.com/dg/viewjournalissue/j$002fasjcl.2008.3.1$002fissue- files$002fasjcl.2008.3.issue- 1.xml;jsessionid=6D1DEAFAB3DE45A605341BB0507993BB diakses 12 Pebruari 2014. 146 undangan sebagai asas ‛lex specialis derogat legi generalis,‛ yang artinya hukum khusus bisa mengenyampingkan ketentuan hukum yang umum. Adapun di Malaysia, sistem hukum nasionalnya dibangun atas banyak sumber. Dalam sejarahnya, sistem hukum pertama kali yang tercatat di Semenanjung Malaysia adalah hukum Kanun Melaka yang dipengaruhi oleh Hindu, Budha, dan filosofi Islam. Semenjak kedatangan para penjajah, seperti Inggris, Portugis, dan Belanda, sistem hukum Barat masuk ke dalam sistem hukum di Malaysia, selain hukum adat. Setelah Malaysia merdeka, sistem hukum Malaysia menganut pluralisme hukum, yang terdiri dari: (1) hukum yang tidak tertulis, yaitu hukum adat (Sabah dan Serawak), hukum Inggris, putusan pengadilan, dan (2) hukum yang tertulis, yaitu Konstitusi Federal dan Konstitusi Negara Bagian, serta hukum Islam.519 Malaysia adalah negara kerajaan dengan sistem pemerintahan federal yang dipimpin seorang Perdana Menteri. Kepala Negara di Malaysia disebut Yang Dipertuan Agung yang dipilih di antara para raja/sultan dari negara-negara bagian secara bergantian dalam Dewan Raja-Raja.520 Malaysia juga menganut sistem pembagian kekuasaan (trias politica) ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif. Negara- negara bagian di Semenanjung Malaka (Malaysia Barat) yang berbentuk monarki lokal dan mempunyai raja, pemerintahannya dipimpin oleh Menteri Besar, sedangkan negara-negara bagian yang tidak mempunyai raja, seperti Serawak dan Sabah (Malaysia Timur) pemerintahannya dipimpin oleh Ketua Menteri, yang kedua-duanya dipilih dari anggota majelis partai mayoritas pemenang pemilu di dalam Dewan Undangan Negeri (DPRD). Kekuasaan legislatif di Malaysia dibagi tiga, yaitu Yang di-Pertuan Agong (Raja), , dan Dewan Negara (Senat). Masing-masing negara bagian di Malaysia juga memiliki parlemen bernama Dewan Undangan Negeri, yang anggota-anggotanya dipilih dalam pemilu parlemen untuk masa jabatan 5 tahun. 521 Di Malaysia, agama menjadi pilar utama dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Islam sebagai agama mayoritas memiliki posisi yang penting dalam sistem ketatanegaraan Malaysia. Melayu di Malaysia menduduki posisi yang sentral dan sangat signifikan.

519Ahmad Ibrahim Mohamed dan Ahilemah Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia (Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1986), 27-109. 520Ahmad Sukarja, “Hukum Tata Negara…”, 110. 521Ahmad Ibrahim Mohamed dan Ahilemah Joned, ‚Sistem Undang- undang…‛, 231. Anonimous, Malaysia Kita: Panduan dan Rujukan untuk Peperiksaan Am Kerajaan (Selangor: Intertional Law Book Services, 2010), 155-157. 147

Kemelayuan dapat didefinisikan dalam pengertian tiga pilar, yakni agama, bahasa, dan raja. Ketiga pilar ini dicantumkan dalam konstitusi Malaysia paska kolonial. Dengan demikian, Islam mempunyai kedudukan yang penting dalam sejarah dan kebudayaan Melayu.522 Dalam Konstitusi Malaysia, Islam merupakan agama resmi negara, meskipun pengamalan agama- agama lain tetap dijamin oleh Konstitusi.Walaupun harus diakui bahwa sebenarnya dari jumlah penduduk Malaysia yang memeluk agama Islam hanyalah separuh lebih sedikit dari jumlah penduduk, tetapi citra Islam terhadap Negara Malaysia sangat jelas. Citra yang demikian, karena adanya faktor sejarah perkembangan politik sejak Kesultanan Melaka. Peran Islam sudah merupakan hak yang tak bisa diganggu gugat dan suatu hal yang sudah menyatu dengan Melayu itu sendiri.523 Islam bukan hanya merupakan keyakinan kaum Melayu, tetapi juga bertindak sebagai salah satu landasan pokok yang mendasari identitas mereka. Sejak periode awal, Islam di Malaysia mempunyai ikatan erat dengan politik dan masyarakat. Secara tradisional di Negara-negara Bagian Melayu, seluruh aspek pemerintahan, jika tidak diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh semangat agama. Islam menjadi unsur inti identitas dan kebudayaan Melayu. Islam merupakan sumber legitimasi para sultan, yang memegang peran sebagai pemimpin agama dan pelindung hukum Islam, pendidikan, dan nilai-nilai adat. Islam dan identitas Melayu saling berjalin berkelindan; menjadi orang Melayu berarti menjadi Muslim.524 Konstitusi Malaysia 1957 mengabadikan identifikasi agama dan etnik, kedudukan istimewa bagi Islam, para sultan dan kaum Muslm Melayu. Pasal 3 (1) ‚agama Islam adalah agama bagi Persekutuan‛. Pasal ini selaras dengan sejarah bahwa Islam mempuyai kedudukan dan pengaruh yang besar di Malaysia sejak sebelum merdeka.525 Konstitusi ini mendefinisikan orang Melayu sebagai orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mengikuti adat-istiadat Melayu. Islam dinyatakan sebagai agama resmi baik dalam federasi maupun dalam negara bagian masing-masing.

522Muhammad Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu (Kualalumpur, UKM, 1972). 523Alfitra Sallam, ‚Mencari Akar Budaya Politik Malaysia‛ dalam Hussin Mutalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu (Jakarta: LP3ES, 1996), xxi. 524John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim (Bandung: Mizan, 1999), 166. 525Abdul Aziz Bari, Islam dalam Perlembagaan Malaysia (Selangir, Intelmap, 2005), 12. 148

Para para sultan diakui sebagai pemimpin agama di negara bagian mereka, yaitu sebagai pembela dan pelindung agama dan kebudayaan Melayu, yang berhak menjalankan kewajiban-kewajiban moral dan agama. Pada tingkat negara, para sultan mendirikan departemen urusan agama dan pengadilan Islam, mengenakan dan mengumpulkan pajak (zakat atau pajak kekayaan), dan mengontrol khutbah, komunikasi (melalui media massa), dan penyebaran agama.526 Sesuai dengan kedudukan Islam di bawah kekuasaan raja-raja negeri, Konstitusi Malaysia menetapkan bahwa hukum Islam adalah urusan negeri. Pelaksanaan hukum pidana diletakkan di bawah kekuasaan Pemerintah Federal, sedangkan Islam diletakkan di bawah kekuasaan negeri-negeri.527 Meskipun demikian, negara-negara bagian sebenarnya tidak mempunyai kebebasan yang cukup untuk melaksanakan seluruh hukum syariat. Pasal 4 ayat 1 menyebutkan, ‚Konstitusi ini adalah undang-undang utama Perseketuan dan Undang-undang yang disahkan setelah merdeka yang bertentangan dengan Konstitusi adalah batal‛. Berdasarkan ketetapan inilah, Negara-negara Bagian memberlakukan sejumlah undang-undang, seperti Undang-undang Pendtadbiran Hukum Islam, Undang-undang Pentadbiran Mahkamah Syariah, Undang-undang Keluarga Islam, Undang-undang Jenayah Syariah, Undang-undang Acara Jinayah Syariah, Undang-undang Keterangan dan sebagainya,528 yang tidak bertentangan dengan Konstitusi. Meskipun Islam diakui di Konstitusi Malaysia, namun pengakuan tersebut tidak sampai menjadikan hukum Islam secara menyeluruh sebagai undang-undang negara. Pemberlakuan syariat Islam berjalan efektif, terutama dalam hukum keluarga, yang mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian, seperti Undang- undang Hukum Keluarga Islam di Melaka, 1983, Kelantan, 1983, Negeri Sembilan, 1983, Wilayah Persekutuan, 1984, Perak, 1984, Kedah, 1984, Pulau Pinang, 1985, Trengganu, 1985, Pahang, 1987, Selangor, 1989, Johor, 1990, Serawak, 1991, Perlis, 1992, dan Sabah, 1992.529Lahirnya sejumlah Undang-undang Hukum Keluarga di negara-negara bagian di

526John L. Esposito dan John O. Voll, ‚Demokrasi di Negara-Negara Muslim…‛, 167. 527Abdul Aziz Bari, ‚Islam dalam Perlembagaan Malaysia…‛, 101. 528Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 111. 529Khoiruddin Nasution, ‚Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim‛, dalam M. AthoMudzhar dan Khairuddin Nasution (eds.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab- kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 20-21. 149

Malaysia merupakan upaya pembaharuan dari Undang-undang Hukum Keluarga yang berlaku di zaman kolonial.530 Di Malaysia, Mahkamah Syariah merupakan peradilan bagi umat Islam dalam bidang hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian, perwalian, dan adopsi anak. Di samping itu, Mahkamah Syariah juga berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara jinayah yang hukumannya dibatasi pada denda maksimal RM. 5.000,00, 3 tahun penjara, 6 kali cambuk atau kombinasi antar ketiganya.531 Adapun pemberlakuan hukum jinayah di Malaysia sesungguhnya berada dalam ruang yang sempit. Tidak semua hukum h}udu>d, qis}a>s} dan ta‘zi>r diundangkan di Malaysia. Sekarang ini, bidang kuasa jinayah yang terdapat dalam undang-undang Islam di Malaysia dirumuskan dalam lima kategori. Pertama, tindak kejahatan yang berkaitan dengan moral (akhlak), seperti berkelakuan tidak sopan dan laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan di tempat-tempat umum. Kedua, tindak kejahatan seksual, seperti bercumbu pasangan bukan suami-isteri, khlawat, berzina, melakukan perbuatan yang mengarah ke zina, liwa>t}, musa>h}aqah, hamil atau melahirkan anak di luar nikah dan melacurkan diri. Ketiga, tindak kejahatan yang berkaitan dengan agama, seperti mengeluarkan atau menyebarkan kata-kata yang bertentangan dengan hukum syara’, menganjurkan atau melakukan maksiat, meminum minuman yang memabukkan dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Keempat, tindak kejahatan yang berkaitan dengan orang lain, seperti menghasut atau membujuk perempuan bersuami atau laki-laki beristeri agar bercerai, melarikan atau menyebabkan isteri orang lain meninggalkan rumah tangga yang ditentukan oleh suaminya, melacurkan anak atau anak di bawah asuhan, melarikan atau mempengaruhi seorang perempuan supaya lari dari pengasuhan ibu bapaknya, menjual atau menyerahkan anak-anak di bawah pengasuhan kepada orang yang bukan beragama Islam, menjadi mucikari, dan mempermasalahkan keislaman orang lain. Kelima, tindak kejahatan yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum Islam, seperti mengingkari, membantah, melanggar atau menghina hakim atau pegawai agama Islam, mengingkari undang-undang, melanggar dan mengingkari atau menghina perintah mahkamah dan Sultan. 532 Berdasarkan paparan di atas, posisi hukum jinayah di Aceh dan Kelantan mendapatkan legitimasi yuridis dari Konstitusi dan sejumlah perundang-undangan yang berlaku di kedua negara tersebut. Hukum

530Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 139. 531Herbert M. Kritzer (ed.), “Legal System of the World…”, 961. 532Mahmood Zuhdi Abd. Majid, ‚Pengantar Undang-undang Islam…‛, 140. 150 jinayah yang telah diberlakukan di Aceh tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan KUHP. Begitu juga di Kelantan, hukum jinayah yang telah diberlakukan tidak bertentangan dengan Konstitusi dan Aktra Mahkamah Syariah 1984. Dalam posisi inilah, hukum jinayah diberlakukan di Aceh dan Kelantan.

151

152

BAB IV KEHENDAK POLITIK DAN RESPON MASYARAKT TERHADAP PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ACEH DAN KELANTAN

Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki kecenderungan bahwa hukum yang diberlakukan oleh negara dipengaruhi oleh Islam. Resiko besar akan dihadapi oleh penguasa jika mencabut akar-akar Islam dalam pemberlakuan hukum negara. Aceh dan Kelantan telah menempatkan posisi yang progesif dalam pemberlakukan syariat Islam, khususnya pada aspek hukum jinayah yang dipengaruhi oleh kehendak politik pemerintah dan aspirasi masyarakat.

A. Kehendak Politik Hukum Nasional dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Konflik vertikal antara Pemerintahan Negara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berlangsung sejak rezim Orde Baru berkuasa. Berbagai cara sebenarnya sudah ditempuh pemerintah untuk mendamaikan Aceh dan melepaskannya dari konflik, namun sampai akhir masa Orde Baru hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda damai. Aceh masih dalam suasana konflik yang berkepanjangan. Setelah rezim Orde Baru jatuh dan digantikan oleh B.J. Habibie (Mei 1998-Oktokber 1999) jalan damai di Aceh memasuki babak baru. Pada awalnya, delegasi Aceh menuntut kepada Presiden B.J. Habibie untuk menuntaskan persoalan HAM, tahanan politik, dan otonomi khusus, Presiden Habibie pun berkomitmen untuk meningkatkan kondisi Aceh yang damai.533 Akhirnya di masa pemerintahan Habibie, MPR mengesahkan UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh sebagai respon atas tuntutan referendum rakyat

533Pierre Antoino Braud dan Giovanni Grevi, The EU Mission of Aceh: Implementing Peace, Institute for Security Studies, Paris, Desember 2005, 20. 153

Aceh yang semakin menguat setelah referendum Timor Timur.534 Kebijakan ini juga diambil untuk memulihkan kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintahan Negara RI.535 Keistimewaan di bidang syariat Islam, pendidikan, adat istiadat, dan ulama merupakan tawaran yang diberikan negara dalam menyelesaikan konflik Aceh. Tawaran ini sesungguhnya berdampak kecil karena masih banyak gerakan yang menginginkan kemerdekaan Aceh. Undang-undang ini merupakan pintu masuk bagi pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Pada masa berikutnya, Abdurrahman Wahid (Oktokber 1999-Juli 2001), jalan damai di Aceh terus dilakukan. Pada 11 April 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Oktokber 1999-Juli 2001) mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 tentang Perlakuan Khusus terhadap Situasi di Aceh. Agama secara spesifik tidak disebutkan dalam Inpres sebagai sebuah masalah. Hal ini dimungkinkan terjadi karena GAM tidak menjadikan Islam sebagai basis ideologis dalam melakukan aksinya dan Negara Islam bukanlah bagian dari platform formalnya. GAM bertujuan untuk mendirikan Negara Sekular, bukan Republik Islam. Instruksi Presiden memerintahkan Menteri Agama untuk mendorong inisiatif keamanan melalui pendekatan agama. Ini menjadi jelas bahwa penggunaan pendekatan agama diartikan dan diimplementasikan oleh Departemen Agama sebagai cara untuk memastikan keamanan kepentingan nasional Indonesia.536 Demikian juga pada masa Megawati Soekarnoputri (Juli 2001- September 2004), lahir UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Hukum jinayah merupakan bagian dari syariat Islam yang diberi kewenangan untuk diberlakukan di Aceh. Lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diawali oleh gagasan lima orang Anggota MPR dari Utusan Daerah dari Provinsi

534Edward Aspinnal dan Harold Crouch, The Aceh Peace Process: Why It Failed (Washington: East-West Center, 2003), 22. 535Asma Uddin, ‚Religious Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh, Indonesia, dalam University of St. Thomas Law Journal Volume 7, Issue 3, (2010), 26, http://ir.stthomas.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1236&context=ustlj diakses 23 Desember 2013. 536Moch. Nur Ichwan, ‚The Politics of Shari’aization: Central Governmental and Regional Discourse of Shari’a Implementation in Aceh‛ dalam Islamic Law in Contemporary Indonesia, eds. R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (Cambridge: Harward Law School, 2007), 105. 154

Daerah Istimewa Aceh, 12 orang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi DI Aceh, dan seorang Anggota DPR/MPR asal daerah pemilihan Provinsi Sumatera Utara. Mereka mensponsori pembentukan Simpul Bersama Anggota DPR/MPR asal Aceh. Pada tanggal 11 Oktober 1999, mereka menulis surat kepada Pimpinan MPR, seluruh Pimpinan Fraksi, dan semua Pimpinan Panitia Ad. Hoc, yang intinya mengusulkan agar Daerah Istimewa Aceh diberi kedudukan sebagai Daerah Otonomi Khusus (DOK).537 Proses penggarapan RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD, secara formal, dimulai setelah selesai Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Dengan bantuan berbagai pihak, Pemerintah Provinsi DI Aceh bersama anggota legislatif provinsi, anggota DPR asal Aceh, dan pemuka masyarakat berhasil menyusun draf RUU tersebut. RUU itu lalu dikirim ke Jakarta melalui surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh, Syamsuddin Mahmud, No. 118/782 tanggal 20 Januari 2000 dan selanjutnya diadopsi oleh DPR RI. Dengan menggunakan hak inisiatif yang mereka miliki, RUU itu diajukan dan dibahas bersama pemerintah. Setelah melewati proses yang cukup panjang dan alot, akhirnya menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-56, tepatnya tanggal 9 Agustus 2001, atau 2 (dua) bulan lebih lambat dari batas waktu yang diberikan MPR, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 2001 No. 114.538 UU ini memperkuat UU Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Di dalam UU Otonomi Khusus bagi NAD ini, pelaksanaan syariat Islam menjadi semakin kuat. Mahkamah Syariah dalam UU ini menjadi lembaga peradilan yang didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional dan demokrasi di Aceh.539 Kekhususan implementasi UU No. 18 Tahun 2001 adalah pemberian kesempatan yang lebih luas kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, baik sumber ekonomi, sumberdaya alam, maupun sumber daya manusia menumbuhkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di masyarakat Aceh dengan menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.540

537Agung Djojosoekarto, dkk. (eds), Kebijakan Otonomi Khusus Di Indonesia: Pembelajaran dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta (Jakarta: Kemitraan, 2008), 16. 538Agung Djojosoekarto, dkk. (eds), ‚Kebijakan Otonomi Khusus…‛, 16. 539Lihat UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasal 25: (1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. (2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lembaga perwakilan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam. 540Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia (Malang, Bayumedia, 2005), 225. 155

Meskipun Pemerintahan Negara RI sebelumnya gagal mengambil hati masyarakat Aceh, namun pada periode kekuasaan Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, Pemerintahan Negara RI berhasil mengeluarkan kebijakan politik strategis untuk Aceh setelah diundangkan UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 Tentang Perlakuan Khusus terhadap Situasi di Aceh, dan UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Paket Undang-undang tentang Keistimewaan Aceh dan Otonomi Khusus NAD di atas adalah perundang-undang yang dibuat sebagai hasil interaksi antara rakyat dan elit Aceh dengan Pemerintahan Negara RI. Jalan perdamaian di Aceh akhirnya terwujud setelah ditandatanganinya kesepakatan damai RI-GAM pada 15 Agustus 2005 di Finlandia. Perundingan RI-GAM di Helsinski merupakan bagian yang paling mendasar dari proses integrasi politik kelompok separatis (GAM) ke dalam Republik Indonesia. Implementasi untuk menuju integrasi politik ditempuh melalui jalur amnesti atau pengampunan serta sejumlah poin tentang reintegrasi ke dalam masyarakat (rehabilitasi harta benda publik dan perorangan, mengalokasikan tanah pertanian, dll). Dalam perundingan ini, GAM menerima sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi tidak ada kesepakatan antara RI-GAM untuk melaksanaan syariat Islam di Aceh. Kebijakan hukum yang dipicu oleh Perundingan RI-GAM di Helsinski adalah Pemerintah Pusat mengeluarkan Inpres No. 15 Tahun 2005 yang berisi tentang instruksi agar Gubernur NAD merencanakan dan melaksanakan reintegrasi dan pemberdayaan setiap orang yang terlibat dalam GAM ke dalam masyarakat mulai dari penerimaan, pembekalan, pemulangan ke kampung halaman, dan penyiapan pekerjaan.541 Puncak dari kebijakan hukum yang disepakati RI-GAM adalah ketika di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dikeluarkan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh542 yang menjadi

541Moch. Nurhasim, ‚Implementasi Reintegrasi Pasca-MOU Helsinski‛ dalam M. Hamdan Basyar (ed.), Aceh Baru: Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-P2P LIPI, 2008), 29-44. 542Melalui surat Nomor: R-10/Pres/1/2006 tanggal 26 Januari 2006, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh kepada DPR RI dan pada tanggal 9 Februari 2006, Badan Musyawarah dalam salah satu keputusannya memberi tugas kepada Panitia Khusus untuk memproses penanganan Pembicaraan Tingkat-I terhadap Rancangan Undang- Undang Tentang Pemerintahan Aceh. Lihat Laporan Panitia Khusus Pada Rapat 156 legitimasi yang kuat bagi Aceh untuk membangun Aceh dengan berbagai keistimewaan. Dalam Undang-undang itu disebutkan tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; (2) penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (3) penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam; (4) peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan (5) penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.543 Kewenangan ini sesungguhnya merupakan penegasan terhadap UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 tentang Perlakuan Khusus terhadap Situasi di Aceh, dan UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ini sesungguhnya memperkukuh pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang meliputi aqidah, syariah dan akhlak dalam hal ibadah, ahwa>l syakhshiyyah (hukum keluarga), mu’a>malah (hukum perdata), jina>yah (hukum pidana), qad}a’ (peradilan), tarbiyyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam,544 meskipun tidak ada kesepakatan bersama untuk memberlakukan syariat Islam dalam Perundingan RI-GAM di Helsinski. UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, BAB XVII, Pasal 125 menyebutkan: (1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak. (2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh. Pemberian kewenangan memberlakukan syariat Islam di Aceh berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Paripurna DPR RI Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan Rancangan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh Menjadi Undang-Undang, Selasa, 11 Juli 2006 543Lihat Pasal 16-17 UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 544Pasal 125 UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 157

Darussalam, dan UU No. 11 Tentang Pemerintahan Aceh sesungguhnya bermakna politik. Kebijakan Pusat ini bernilai ganda, yaitu pemerintah berhasil mengambil hati para ulama dan pengikutnya, sekaligus mengisoloasi GAM. Para ulama dapat memobilisasi umat untuk menerima niat baik Pemerintahan Negara RI, seperti yang pernah dilakukan Soekarno karena merekalah yang semenjak Aceh bergabung dalam Negara Indonesia menyatakan ingin memberlakukan syariat Islam. Pemerintahan Negara RI juga berhasil mengisolasi GAM yang selama ini dikenal tidak pernah menuntut pemberlakuan syariat Islam.545 Dengan kata lain, kebijakan pemberlakuan syariah ini merupakan konstestasi politik antara Pusat dan Daerah. 546 Kebijakan ini pada awalnya diragukan oleh Mohammad Nazar, ketika menjadi Ketua SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh).547 Ia menilai bahwa formalisasi syariat Islam tidak signifikan untuk menyelesaikan konflik Aceh. Menurutnya, syariat Islam sebagai solusi konflik, muncul dari petualang politisi Jakarta, bukan aspirasi dari rakyat Aceh. Syariat Islam adalah instrumen politik dari Pemerintah Pusat untuk mempengaruhi opini dan aspirasi masyarakat Aceh dan untuk menghapus dukungan internasional atas Aceh.548 Tokoh GAM, seperti Amdi Hamdani dan Amni Ahmad Marzuki juga mengkritik institusionalisasi syariat Islam oleh negara karena akan berpeluang menjadi alat kekuasaan yang penerapannya dapat melenceng dari tujuan syariat Islam.549 Kebijakan negara terhadap Aceh ini pun dicurigai oleh sebagian kalangan untuk menggeser dari konflik vertikal antara rakyat Aceh dengan Pemerintah Pusat ke konflik horisontal antar rakyat Aceh.550

545Achmad Gunaryo, Pergumuan Politik dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan ‚Pupuk Bawang‛ menuju Peradilan yang Sesungguhnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 338-340. 546M.B. Hooker, ‚Southeast Asian Shari’ahs‛, dalam Studia Islamika, Volume 20 Nomor 2 (2013): 209. 547SIRA adalah salah satu lembaga gerakan sipil masyarakat Aceh yang berjuang demi terlaksananya Referendum opsi Merdeka di Aceh. 548Nurrohman, ‚Formalisasi Syariat Islam di Daerah-daerah: Sebuah Catatan Kritis‛ dalam Masykuri Abdillah (ed.), Formalisasi Syariat Islam di Indoensia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), 198. 549Nurrohman, ‚Formalisasi Syariat Islam…‛, 200. 550Arskal Salim ‘Sharia from Below’ in Aceh (1930s–1960s): Islamic Identity and the Right to Self‐Determination with Comparative Reference to the Moro Islamic Liberation Front (MILF), dalam Indonesia and the Malay World, Volume. 32, No. 92, Maret (2004), 15, http://www.academia.edu/2572791/Sharia_from_below_in_Aceh_1930s- 1960s_Islamic_identity_and_the_right_to_self- 158

Mantan Kepala Dinas Syariat Islam di Provinsi Aceh, Al Yasa’ Abu Bakar mengakui bahwa penerapan syariat Islam di Aceh memang terkait dengan langkah politik darurat (political expendiency) Pemerintahan Negara RI agar Aceh tidak lepas dari NKRI.551 Dengan demikian, syariat Islam adalah solusi politik Pemerintahan Negara RI kepada rakyat Aceh552 untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuan utama Pemerintahan Negara RI adalah tidak terjadi disintegrasi yang mengancam kesatuan wilayah Indonesia. Karena itulah, pemberlakuan hukum jinayah di Aceh sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kehendak politik yang dimainkan oleh para elitnya. Kebijakan negara ini sejalan dengan solusi konflik politik antara rakyat Aceh yang dipimpin M. Daud Beureueh dengan Pemerintahan Pusat masa Soekarno. Tuntutan merdeka dari DI/TII di Aceh diobati oleh Soekarno dalam misi Hardi553 yang memberikan keistimewaan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Penguasa Perang No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Pemeluk- pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang menetapkan: (1) terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama Islam bagi pemeluk di Daerah Istimewa Aceh dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara, dan (2) penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di atas diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah Istimewa Aceh.554 Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan Perda No. 30 determination_with_comparative_reference_to_the_Moro_Islamic_Liberation_Front_ MILF_diakses 23 Desember 2011. 551Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM, (Jakarta: CSRC-KAS, 2007), 138-139 552Nurrohman, ‚Formalisasi Syariat Islam…‛, 201. 553Lihat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 dan Taufik Adnan Amal dan Samsurizal Panggabean, ‚Syariat Islam di Aceh‛ dalam Burhanuddin (ed.), Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal, (Jakarta: JIL dan TAF, 2003), 97-98. Lihat pula S.M. Amin, ‚Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekkah‛ dalam Islamil Suny (ed.), (Bunga Rampai tentang Aceh (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), 95. 554Keputusan Penguasa Perang ini sebelumnya dikonsultasikan kepada Daud Beureueuh dalam surat yang dikeluarkan Kolonel M. Jasin pada 5 Pebruari 1962, yang kemudian dijawab Daud Beureueuh pada 17 Pebruari 1962 dan Keputusan Penguasa Perang ini sudah dikonsultasikan ke DPRGR pada 26 Maret 1962 dalam Sidang Istimewa I DPRDGR. Lihat Keputusan Penguasa Perang No. KPTS/PEPERDA- 061/3/1962 Tentang Kebijaksanaan Pelaksanaan Unsur-unsur Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, Laporan Panitia Khusus III DPRDGR Daerah Istimewa Aceh Tahun 1962. Lihat pula Moch Nur Ichwan, ‚The Politics of Shari’atization: Central Governmental and Regional Discourse of Shari’a 159

Tahun 1961 yang membatasi penjualan minuman dan makanan dalam bulan Ramadhan, Perda Tingkat II Aceh Timur No. 4 Tahun 1961 yang mengatur penjualan minuman keras, Perda Aceh Tengah No. 36 Tahun 1961 yang mengatur penjualan makanan dan minuman keras dan Perda No. 1 Tahun 1963 tentang Pelaksanaan Syiar Agama Islam.555 Konflik politik berikutnya antara GAM dan Pemerintahan Negara RI pun dicarikan jalan komprominya dengan keistimewaan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam. Tak heran jika masa-masa sebelum perjanjian Helsinski ditanda-tangani, masyarakat Aceh telah mendapatkan keistimewaan untuk melaksanakan syariat Islam. Pemberian hak masyarakat Aceh untuk melaksanakan hukum jinayah tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD, Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Paket Undang-undang yang memberikan kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam ini merupakan agenda politik yang dimainkan Pemerintahan Negara RI untuk melunakkan hati masyarakat Aceh. 556 Situasinya berbeda dengan di Kelantan. Sejak awal, kehendak politik Pemerintahan Federal Malaysia dalam memberlakuan hukum jinayah di Kelantan tidak didasari oleh konflik vertikal yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Di Kelantan, tidak ada gerakan yang menginginkan pemisahan dari wilayah Malaysia. Pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan tidak ada kaitannya dengan gerakan separatisme. Dalam memberlakukan hukum jinayah di Kelantan dan juga negeri-negeri lainnya, Pemerintahan Federal menggunakan politik yang dimainkan Inggris, yang menghendaki syariat Islam tidak secara total berlaku di Kelantan. Kebijakan yang dilakukan Pemerintahan Federal adalah merevisi hukuman jinayah yang dipengaruhi Pemerintah Inggris yang menghukum kesalahan jinayah dengan denda sebanyak RM 5.000,00 atau penjara selama tidak lebih dari 4 bulan atau kedua-

Implementation of Aceh, dalam R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (ed.), Islamic Law in Contemporarry Indonesia Ideas and Institution, (Cambridge: Harvard Law School, 2007), 198. 555Perda ini mengatur penggunaan gedung-gedung Pemerintah daerah untuk keperluan memperingati hari-hari besar Islam, penutupan kantor, toko, kedai dan warung pada setiap hari Jumat sejak adzan hingga selesai shalat Jumat, dan bulan Ramadhan. Lihat Pasal 1-5 Perda No. 1 Tahun 1963 tentang Pelaksanaan Syiar Agama Islam Dalam Daerah Istimewa Aceh. 556Moh. Mahfudh MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998),8. 160 duanya.557 Pemerintahan Federal merevisi Akta Mahkamah Syariah 1965 dengan Akta Mahkamah Syariah 1984 dengan menetapkan hukuman terhadap kesalahan jinayah, yaitu 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Kebijakan ini merupakan langkah pembatasan agar seluruh negeri di Malaysia tidak menetapkan hukuman pidana di atas ketetapan Akta Mahkamah Syariah 1984. Karena itulah, Pemerintahan Federal yang dipimpin Mahathir Mohamad (UMNO) menetapkan hukuman maksimal bagi kesalahan jinayah Islam, yaitu 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Meskipun hukumannya lebih berat daripada hukuman yang ditetapkan dalam Akta Mahkamah Syariah 1965, Pemerintahan Federal sesungguhnya telah membatasi hukuman jinayah di seluruh negeri Malaysia. Pemerintahan Federal juga cenderung membiarkan hukuman jinayah tidak sesuai dengan hukuman yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, seperti hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, rajam bagi pelaku zina> muhs}an, dan qis}a>s } bagi pelaku pembunuhan. Itu sebabnya, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985 mengatur perbuatan jinayah, seperti pencurian, zina, qadhaf, h}irabah, dan irtida>d dengan hukuman 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Hukuman ini berarti sesuai dengan Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jinayah) 1984. Sebaliknya, hukuman ini tidak sesuai dengan hukuman h}udu>d dan qis}a>s} yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Pemerintahan Federal pun tidak mempersoalkan pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985. Pemerintahan Federal mulai mempersoalkan eksistensi Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992 yang disahkan di Kelantan sebagai revisi atas Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985. Sejak Mahathir Mohamad, Ahmad Badawi, dan Tun Najib Razak, Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992 ditolak oleh Pemerintahan Federal. Perjuangan Pemerintah Negeri Kelantan yang dipimpin Nik Abdul Aziz Nik Mat (PAS) digagalkan oleh Pemerintahan Federal di tiga periode kepemimpinan UMNO di Pemerintahan Federal (1992-sekarang).

557Hukuman ini telah ditingkatkan pada 1965 dengan denda RM 1000,00 atau penjara tidak lebih dari 6 bulan atau kedua-duanya. Perubahan Akta Mahkamah Syariah (Bidang Kuasa Jinayah) telah dibuat pada 1984 dan setelah itu hukuman yang boleh dijatuhkan oleh Mahkamah Syariah adalah denda RM 5.000,00 atau penjara 3 tahun atau 6 kali cambuk atau kombinasi hukuman. Lihat Zulkifli Hasan, ‚Undang-undang Jenayah Islam di Malaysia: Setakat Manakah Pelaksanaannya?‛ dalam Zulkifli Hasan (ed.), Hudud di Malaysia: Cabaran Pelaksanan (Kualalumpur: ABIM, 2013), 98-99. 161

Pada Mei 1992, Mahathir Mohamad mengumumkan penolakan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992. UMNO sebagai partai pemerintah juga menolak pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1992. Argumen yang disampaikan adalah karena kebanyakan hukum di Malaysia telah sesuai dengan spirit dan prinsip Islam. Begitu pula, hukum syariat perlu dikompromikan dengan kondisi masyarakat Malaysia yang multikultural dan multiagama. UMNO juga berpandangan pemberlakuan syariat Islam kepada warga Muslim dan Non-Muslim sejatinya telah melakukan diskriminasi terhadap Non-Muslim.558 Meskipun bersikap kritis terhadap pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1993, Pemerintahan Federal melakukan upaya penyelarasan antara hukum syariah dengan hukum sipil. Komite Koordinasi Syariah dan Hukum Sipil dibentuk oleh Pemerintahan Federal yang merancang kesamaan pelaksanaan hukum Islam di seluruh Negara Bagian, sistem peradilan syariah dan menyesuaikan hukum sipil dengan hukum syariah.559 Reaksi keras dilakukan oleh PM Mahathir Mohamad yang menuding PAS di Kelantan sedang memainkan retorika politik yang menipu.560 Pemerintahan Federal selalu menekan kelompok-kelompok yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara total di Kelantan.561 Pemerintahan Federal melalui kekuatannya di parlemen

558Maria Luisa Seda-Poulin, ‚Islamization And Legal Reform In Malaysia: The Hudud Controversy of 1992‛, dalam Southeast Asian Affairs (1993), 225-226, http://www.jstor.org/stable/27912077 diakses 10 Oktokber 2013 559Maria Luisa Seda-Poulin, ‚Islamization and Legal Reform…‛, 228. 560Ahmad Fauzi Abdul Hamid, ‚Implementing Islamic Law within a Modern Constitutional Framework: Challenges and Problems in Contemporary Malaysia‛, dalam Islamic Studies, Volume 48, No. 2 (Summer 2009), 17, http://www.questia.com/library/journal/1P3-2035005951/implementing-islamic-law- within-a-modern-constitutional diakses 8 September 2013. Jan Starkr, ‚Constructing an Islamic Model in Two Malaysian States: PAS Rule in Kelantan and Terengganu‛ dalam Journal of Social Issues in Southeast Asia, Volume 19, No. 1 (April 2004), 68, http://www.jstor.org/stable/3632403 diakses 8 September 2012. Lihat pula M G G Pillai, ‚lslamic Criminal Law: Bowing to Fundamentalists‛, dalam Economic and Political Weekly, Volume 29, No. 7 (Feb. 12, 1994), 355, http://www.epw.in/commentary/malaysia-islamic-criminal-law-bowing- fundamentalists.html diakses 8 September 2012. 561Farid S. Shuaib, ‚The Islamic Legal System in Malaysia‛ dalam Pacific Rim Law &Policy Journal, Volume 21 No. 1, Januari (2012), 113, https://digital.law.washington.edu/dspace- law/bitstream/handle/1773.1/1094/21PRPLJ085.pdf?sequence=1 diakses 15 Maret 2013. 162 menolak pemberlakuan hukum jinayah secara total di Kelantan.562 Hal ini sesuai dengan komimen PM Mahathir Mohamad yang sejak awal kepemimpinannya telah merancang untuk menstandarisasi pemberlakuan hukum Islam di level pusat.563 Pada 15 Juli 1994, PM Mahathir Mohamad mengirim surat kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat perihal posisi Pemerintahan Federal terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Mahathir Mohamad mengatakan bahwa kajian awal menunjukkan dengan jelas bahwa hukum jinayah Kelantan ternyata bukan saja menyebabkan ketidakadilan, tetapi akan membawa kezaliman. Argumen yang dibangun Mahathir adalah sebagai berikut:564 Pertama, dugaan bahwa hukum jinayah akan diberlakukan hanya untuk Muslim saja dan tidak diberlakukan untuk Non-Muslim akan menyebabkan ketidakadilan dan kezaliman. Menurut Mahathir, di zaman Nabi Muhammad Saw ketika orang Yahudi melakukan perbuatan jinayah dihukum dengan menggunakan kitab Taurat karena kitab Taurat mempunyai hukuman yang tidak berbeda dengan hukum dalam al- Qur’an. Mereka yang berzina akan dihukum rajam sama seperti hukuman bagi Muslim. Sekarang ini, terdapat perbedaan yang jelas antara hukuman yang diatur dalam undang-undang sipil dengan hukuman yang diberlakukan dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan. Bagi Mahathir, menghukum Muslim lebih berat daripada Non-Muslim untuk tindak pidana yang sama atau tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama amatlah tidak adil dan merupakan suatu kezaliman. Dengan alasan inilah, Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1993 tidak boleh diterima sebagai undang-undang Islam atau selaras dengan ajaran Islam, sebaliknya tertentangan dengan agama Islam. Kedua, masalah pemerkosaan wanita. Berdasarkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan, jika seseorang wanita yang belum kawin melahirkan anak, maka ini adalah bukti bahwa ia telah

562Muhammad Syukri Salleh, ‚Establishing An Islamic State: Ideals And Realities in the State Of Kelantan, Malaysia, dalam Southeast Asian Studies, Volume 37, No. 2, September (1999), 247, http://repository.kulib.kyoto- u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/56717/1/KJ00000132128.pdf diakses 28 Januari 2014. 563Kikue Hamayotsu, Once a Muslim, Always a Muslim: the Politics of State Enforcement of Syariah in Contemporary Malaysia, dalam South East Asia Research, 20, 3, (2012), 402, http://www.jstor.org/stable/4127290 diakses 7 Juli 2009. 564Surat Perdana Menteri Mahathir Mohamad kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat pada 15 Juli 1994. Lihat pula analisis Mohammad Hashim Kamali terhadap surat ini. Mohammad Hashim Kamali, ‚Punishment in Islamic Law: A Critique of the Hudud Bill of Kelantan, Malaysia‛ dalam Arab Law Quarterly, Volume 13, No. 3 (1998), 207. http://www.jstor.org/stable/3382008 diakses 9 Juli 2012. 163 berzina dan akan dihukum berdasarkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan. Kondisi yang sebenarnya, wanita itu adalah korban perkosaan. Berdasarkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan, jika ia menuduh pemerkosanya, tuduhan hanya boleh diterima sah jika terdapat empat orang saksi (yang terdiri dari orang-orang yang baik, yang tidak melakukan dosa besar) yang menyatakan bahwa telah melihat dengan terang dan jelas bahwa yang dituduh telah memperkosa wanita tersebut. Mahathir kemudian menceritakan kondisi perang di Bosnia ketika orang-orang Serbia memperkosa banyak wanita Bosnia, maka tidaklah mungkin pemerkosaan dilakukan di hadapan saksi-saksi yang terdiri dari orang-orang yang baik. Jika saksi ini melihat dan mereka tidak menolong wanita tersebut, mereka dapat dianggap sebagai bersubhat, seperti orang- orang Serbia bersubhat dengan pemerkosa dari bangsa mereka. Jika pun ada saksi dan mereka tidak melakukan apapun untuk menolong mereka, maka tidak dapat dianggap sebagai orang yang baik. Dengan demikian, tuduhan korban pemerkosaan akan ditolak dan pemerkosa akan bebas. Kondisi di mana korban pemerkosaan dihukum salah karena melahirkan anak di luar nikah dan pemerkosa dibebaskan sebagai tidak bersalah karena tidak ada saksi adalah kezaliman yang dahsyat.565 Hukum h}udu>d menurut Mahathir bertujuan untuk mewujudkan keadilan kepada semua pihak, bukan untuk melakukan kezaliman. Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan menunjukkan ketidakadilan dan kezaliman. Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan yang disiapkan PAS bukanlah undang-undang yang sesuai dengan ajaran Islam. Ia hanyalah undang-undang buatan PAS yang bertentangan dengan agama Islam. Pemerintahan Federal akan senantiasa merujuk dan menerima ajaran dan amalan Islam tanpa disusupi oleh kehendak organasasi politik yang mempunyai kepentingan lain.566 Jika Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan yang mengandung unsur ketidakadilan diberlakukan, maka umat Islam dan anggota masyarakat Non-Muslim akan hilang kepercayaan terhadap Islam yang membawa keadilan. Ini akan memberi gambaran yang buruk terhadap agama yang suci dan menyebabkan penganut agama lain menjauhkan diri dari agama Islam dan menyebabkan orang yang berminat memeluk Islam akan menolak. Pemerintahan Federal senantiasa mempertahankan ajaran Islam dan tidak membenarkan Pemerintah

565Surat Perdana Menteri Mahathir Mohamad kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat pada 15 Juli 1994 566Surat Perdana Menteri Mahathir Mohamad kepada Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nik Mat pada 15 Juli 1994 164

Kelantan untuk menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Pada periode setelah Mahathir, baik Abdullah Ahmad Badawi dan Najib Razak, Pemerintahan Federal masih konsisten menolak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Abdullah Ahmad Badawi justru mengeluarkan slogan ‚Islam Hadhari‛567 dan Najib Razak mengeluarkan kebijakan ‚Satu Malaysia‛. Kebijakan Pemerintahan Federal ini sesungguhnya menegaskan sikap yang jelas untuk membangun Malaysia dalam visi Islam yang moderat dengan menghargai perbedaan etnis dan agama yang terdapat di Malaysia.

Matrik 2. Daftar Perbandingan Kehendak Politik Pemerintah Pusat dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan

Kehendak Indonesia Malaysia Politik Hukum Nasional Isi Memiliki kehendak politik Tidak memiliki kehendak untuk memberlakukan hukum politik untuk jinayah memberlakukan hukum jinayah Pembuat Presiden B.J. Habibie, PM Mahathir Mohamad, Presiden Abdurrahman PM Abdullah Badawi Wahid, PM Najib Razak bersama Presiden Megawati Parlemen Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama DPR RI Bentuk Peraturan Perundang- Surat PM dan respon PM di undangan: UU No. 44 Tahun media massa 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 Tentang Perlakuan Khusus terhadap Situasi di Aceh UU No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD dan

567Mohd Nakhaie Ahmad, Masyarakat Islam Hadari (Kualalumpur, YADIM, 2004), 1.

165

UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Faktor yang Konflik panjang antara Persaingan politik untuk mempengaruhi Pemerintah Pusat dengan mendapatkan dukungan rakyat Aceh (DI/TII/GAM) massa Hasil Aceh diperbolehkan Kelantan diperbolehkan memberlakukan hukum memberlakukan hukum jinayah, seperti khamar, jinayah (qis}a>s}, h}udu>d, dan khalwat, maisir, pelanggaran ta‘zi>r) yang sesuai dengan akidah, ibadah, syiar Islam, Akta Mahkamah Syariah dan pelanggaran zakat 1984. Sebaliknya, Kelantan tidak diperbolehkan memberlakukan hukum jinayah yang sesuai dengan pendapat imam-imam mazhab dalam kitab-kitab fikih.

Berdasarkan pemaparan di atas, ada perbedaan yang signifikan tentang kehendak politik Pemerintahan Negara RI dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pemerintahan Negara RI memberikan kewenangan kepada Aceh untuk melaksanakan syariat Islam, termasuk hukum jinayah. Tawaran ini merupakan solusi atas konflik yang terjadi antara rakyat Aceh dengan Pemerintahan Negara RI agar Aceh tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya, Pemerintahan Federal Malaysia tidak memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan rakyat Kelantan untuk melaksanakan syariat Islam, termasuk hukum jinayah. Pemerintahan Federal justru menolak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Penolakan ini merupakan jalan politik yang ditempuh Pemerintahan Federal yang dipimpin UMNO untuk mendapatkan simpati politik dari rakyat. Hal ini menjelaskan bahwa pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan merupakan produk politik yang saling berkontestasi di antara elit-elit politik. 568

B. Kehendak Politik Pemerintahan Daerah dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Kebijakan politik hukum nasional untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh ternyata tidak ditindaklanjuti secara komprehensif oleh

568Lihat teori hubungan hukum dan politik dalam Moh. Mahfudh MD, ‚Politik Hukum di Indonesia‛, 8. 166

Pemerintahan Daerah di Aceh. Kepemimpinan Aceh di masa reformasi yang dimulai dari Abdullah Puteh (2000-2004),569Azwar Abubakar (2004-2005),570 Mustafa Abubakar (2005-2007),571 Irwandi Yusuf (2007- 2012),572 dan Zaini Abdullah (2012-2017)573 memperlihatkan dinamikanya dalam pemberlakuan syariat Islam. Pada awalnya, setelah disahkan Undang-undang Otonomi Khusus, Pemerintahan Daerah merespon dengan sejumlah qanun yang disahkan di Aceh. Di masa-masa berikutnya, pemberlakuan syariat Islam berjalan lambat. Pemberlakuan hukum jinayah secara lebih luas di Aceh terhambat oleh kehendak politik Pemerintah Aceh di masa Irwandi Yusuf. Sejak deklarasi syariat Islam di Aceh berlangsung pada 2002 hingga sekarang, masa Abdullah Puteh lah yang memiliki kehendak politik yang kuat untuk memberlakukan syariat Islam secara ka>ffah (termasuk hukum jinayah). Kehendak politik Gubernur Abdullah Puteh sejalan dengan kebijakan politik Pemerintahan Negara RI bahwa syariat Islam merupakan solusi konflik. Abdullah Puteh mengatakan, dengan berlakunya syariat Islam secara ka>ffah (menyeluruh) di Aceh, diharapkan tidak akan ada lagi suasana kegelisahan dan segera berakhirnya penderitaan rakyat akibat konflik.574

569Abdullah Puteh lahir di Meunasah Arun, Aceh Timur, 4 Juli 1948. Ia pernah menjadi anggota DPR-RI (1979-1987) dan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Timur (1984). Puteh sempat menjadi Wakil Ketua Komisi V dan Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan. Terakhir, ia terpilih sebagai Gubernur Aceh (2000-2004). Pada 7 Desember 2004, Abdullah Puteh dimasukkan ke Rutan Salemba, Jakarta karena dituduh melakukan korupsi dalam pembelian 2 buah helikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp 12,5 miliar. Pada 11 April 2005, Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Segera setelah putusan tersebut dikeluarkan, Departemen Dalam Negeri memberhentikan Puteh sebagai Gubernur. 570Dari tahun 2000 sampai 2004, Abubakar menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh mendampingi Abdullah Puteh, kemudian menjadi gubernur sementara setelah Gubernur Abdullah Puteh terkena tuntutan korupsi. Dia mencalonkan diri untuk menjadi gubernur Pemilukada 2006 berpasangan dengan Nasir Djamil dari Partai Keadilan Sejahtera. Dia dikalahkan Irwandi Yusuf yang kemudian menjadi Gubernur Aceh (2007-2012). 571Mustafa Abubakar adalah Pejabat Pelaksana Tugas Gubernur Aceh. 572Irwandi Yusuf masuk Gerakan Aceh Merdeka dan dipercaya menduduki posisi Staf Khusus Komando Pusat Tentara GAM 1998-2001. Ia kemudian diberikan tugas oleh petinggi GAM di Swedia sebagai Koordinator Juru Runding GAM. Saat rapat pertama Aceh Monitoring Mission, dia tampil sebagai koordinator Juru Runding GAM di Aceh (2001-2002). 573Zaini Abdullah adalah Mantan Mentri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka. Sekarang ia menjadi Gubernur Aceh. 574http://www.pelita.or.id/baca.php?id=16861 diakses 18 Januari 2014. 167

Di dalam bingkai syariat Islam sebagai solusi konflik inilah, Abdullah Puteh bersama DPRD Aceh mengeluarkan qanun penerapan syariat Islam, seperti Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. Sejumlah qanun yang telah dikeluarkan Pemerintah Aceh bersama DPRD Aceh telah menjangkau aspek syariat Islam yang paling diperdebatkan untuk diberlakukan, yaitu hukum jinayah. Hal ini terlihat dari kewenangan Mahkamah Syariah yang dijabarkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat. Dalam Qanun ini, Mahkamah Syar'iyyah berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang jinayah.575 Hukum materil dan formil yang digunakan bersumber atau sesuai dengan Syariat Islam.576 Kehendak politik yang kuat untuk memberlakukan hukum jinayah di masa kepemimpinan Abdullah Puteh dibuktikan dengan didirikannya kelembagaan pelaksanaan syariat Islam, yaitu Dinas Syariat Islam (2001), Mahkamah Syar’iyyah (2004), dan Wilayatul Hisbah (2004). Kelembagaan inilah yang mengawal pelaksanaan syariat Islam di Aceh, selain Pemerintah Aceh dan DPRD yang bertugas membentuk sejumlah Perda/Qanun syariat Islam di Aceh. Dinas Syariat Islam merupakan perangkat daerah sebagai unsur Pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh yang berada di bawah Gubemur. Dinas Syariat Islam bertugas merencanakan, menyiapkan qanun yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam serta mendokumentasikan,dan menyebarluaskan hasil-hasinya; melakukan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan Pelaksanaan Syariat Islam; kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan, sarananya serta penyemarakan Syiar Islam; bimbingan dan pengawasan terhadap Pelaksanaan Syariat Islam di tengah-tengah masyarakat; dan pembimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.577

575Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat. 576Pasal 53 dan 54 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat. 577Pasal 2 dan 4 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organsasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 168

Mahkamah Syar’iyyah merupakan Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun,578 yang berlaku untuk pemeluk agama Islam.579 Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyyah kabupaten/kota adalah pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.580 Mahkamah Syar’iyyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-shakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.581 Wilayatul Hisbah adalah Lembaga pembantu tugas Kepolisian yang bertugas membina, melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai Polsus dan PPNS.582 Wilayatul Hisbah dibentuk oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini. Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah/Iingkungan lainnya. Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun, maka Wilayatul Hisbah diberi wewenang untuk menegur/menasehati si pelanggar. Setelah upaya menegun/menasehati dilakukan, ternyata perilaku si pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelangganan tersebut kepada pejabat penyidik.583 Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan kepada penyidik dan menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan. Dalam melaksanakan fungsi

578Pasal 25 ayat 1 UU No 44 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD. Lihat pula Pasal 1 ayat 2 Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam 579Pasal 1 ayat 7 UU No 44 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus NAD. Lihat Pasal 128 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh 580Pasal 1 ayat 15 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh 581Pasal 28 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Lihat pula Pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam 582Pasal 1 ayat 8 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam 583Pasal 14 ayat 1-5 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam 169 pengawasannya, Pejabat Witayatul Hisbah bila menemukan pelaku pelanggaran jarimah dapat menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik.584 Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.585 Setelah Abdullah Puteh (2000-2004) digantikan oleh gubernur- gubernur berikutnya, pemberlakuan syariat Islam di Aceh berjalan lambat. Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Azwar Abubakar (2004-2005), Mustafa Abubakar (2005-2007), dan Irwandi Yusuf (2007- 2012) tidak banyak berkontribusi dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Praktis, hanya Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal yang diberlakukan di masa kepemimpinan Irwandi Yusuf. Langkah penting sebenarnya dilakukan oleh Gubernur Irwandi Yusuf untuk mengkodifikasi hukum jinayah di Aceh. Berdasarkan instruksi Gubernur, Dinas Syariat Islam yang dipimpin Alyasa Abubakar (2002-2008) mempersiapkan Draft Rancangan Qanun Jinayah.586 Rancangan Qanun Jinayah ini merupakan kompilasi dan revisi dari tiga qanun sebelumnya yang mengaur maisir, khamar, dan khalwat ditambah dengan beberapa norma hukum baru. Draft ini dibahas dan dikaji secara luas dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dan pemerintah, seperti MPU (Badan Kajian Hukum dan Per-UU), Mahkamah Syar’iyyah, Kepolisian, Kejaksanaan, akademisi (IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syah Kuala), lalu hasilnya dibawa ke Biro Hukum untuk disempurnakan sesuai dengan kaidah perundang-undangan. Setelah dinyatakan sesuai dengan legal drafting, draf Rancangan Qanun Jinayah dibawa ke DPRA untuk dibahas dalam Sidang DPRA 2009.587 Draft pertama terdiri dari 40 pasal lebih ketika diserahkan DPRA. Setelah direvisi selama kurang lebih setahun oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRA, draf bertambah menjadi 70 lebih pasal (Rancangan Qanun Perubahan Pertama).588

584Pasal 16-18 Qanun 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya. Pasal 14-16 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir. Pasal 14 ayat 1-3 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum) 585Pasal 15 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Mesum) 586Wawancara dengan Alyasa’ Abu Bakar dan Muslim Ibrahim, 21 September 2010 di Banda Aceh. 587Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 588Arskal Salim, ‚Politics, Criminal Justice, and Islamisation in Aceh‛, Paper dipresentasikan dalam ALC Occasional Seminar, the Asian Law Centre and the 170

Dalam pembahasan di DPRA yang dipimpin Bahroom M. Rasyid (PPP) dan sekretaris Bustanil Arifin (PKS), 14 September 2009 disepakati untuk memasukkan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah.589 Kelompok yang setuju dengan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah merujuk pada sejarah Kesultanan Aceh yang telah memberlakukan hukuman rajam. Para penyusun Draft Rancangan Qanun Jinayah dipandang oleh kelompok ini tidak memiliki keseriusan untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh karena tidak memasukkan hukuman rajam. Ketua Pansus Bahroom M. Rasyid (PPP) justru berpandangan, jika ingin melaksanakan syariat Islam secara ka>ffah, mestinya DPRA tidak menyembunyikan hukuman rajam yang telah diatur dalam Islam. Hukuman rajam telah diberlakukan sejak zaman Islam awal dan kini telah diberlakukan di sejumlah Negara Muslim. Karena itulah, Pansus memasukkan hukuman rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. Sebaliknya, wakil dari Pemerintah Aceh berpendirian tidak memasukkan rajam dalam Rancangan Qanun Jinayah. Pemerintah Aceh berprinsip bahwa pelaksanaan hukum jinayah dilaksanakan secara bertahap. Sebaliknya, DPRD tetap ngotot memasukkan pasal rajam dan mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah. Fraksi Partai Demokrat sempat melobi fraksi-fraksi lain agar mereka memperbaiki pasal tentang hukuman rajam. Dengan alasan, karena bagaimanapun Perda itu harus menyesuaikan dengan hukum nasional. Upaya lobi itu kandas, karena mayoritas fraksi tetap bersikukuh sesuai rancangan akhir yang telah disepakati.590 Akibatnya, setelah dimintakan persetujuannya kepada Gubernur, Irwandi Yusuf menolak. Padahal, Panitia Khusus Rancangan Qanun Jinayah menyepakati (seluruh partai sepakat) untuk mensahkan Rancangan Qanun Jinayah Aceh. Irwandi Yusuf menyampaikan penolakannya untuk menandatangani Rancangan Qanun Jinayah Aceh seusai melantik 69 anggota DPRA periode 2009-2014. Irwandi pun merujuk pada Pasal 23 ayat (1) huruf (a) Undang Undang No 11 Tahun

Indonesia Forum as part of the University of Melbourne’s Asia Week pada 18 Agustus 2009, 6, http://www.law.unimelb.edu.au/files/dmfile/salim_final2_forwebsitewobleed2.pdf diakses pada 27 Pebruari 2013. 589Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 590http://www.acehinstitute.org/en/public-corner/social-cultural/item/138- mendialogkan-syariat-dalam-bingkai-demokratis-dilematis.html diakses 3 Pebruari 2014 171

2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa qanun disahkan setelah mendapat persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif.591 Ada dua alasan ketidaksetujuan Gubernur Irwandi Yusuf terhadap Qanun Jinayah Aceh yang disahkan DPRD Aceh.592 Pertama, Irwandi Yusuf menolak pasal hukuman rajam yang termuat dalam Qanun Jinayah Aceh. Kedua, Irwandi Yusuf menolak Draft Rancangan Qanun Jinayah Aceh karena bertentangan dengan hukum nasional dan hukum internasional. 593Alasan kedua ini didasarkan pada Pasal 284 KUHP yang tidak memasukkan perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan sebagai perbuatan pidana.594 Lagipula, Pasal 284 KUHP adalah delik aduan. Artinya, jika tidak ada yang mengadukan dari pihak yang dirugikan (suami atau istri), maka tidak ada unsur perbuatan pidana. Perbedaan mendasar antara Rancangan Qanun Jinayah Aceh dengan KUHP inilah yang masih menjadi kendala dalam pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Belum lagi, jika totalitas hukum jinayah diberlakukan di Aceh, seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum qis}a>s } bagi pelaku pembunuhan, maka akan bertentangan dengan KUHP. Kabiro Hukmas Pemerintah Aceh, Hamid Zein, berpandangan Pemerintah Aceh bukan tidak setuju diatur dan ditetapkan Rancangan Qanun Jinayah. Pemerintah Aceh hanya tidak setuju dimasukkanya hukuman rajam menjadi materi kedua rancangan qanun tersebut.595

591http://www.antaranews.com/berita/1256537338/pakar-hukum-qanun- jinayat-agar-dibahas-ulang. Pakar Hukum: Qanun Jinayat Agar Dibahas Ulang, Senin, 26 Oktober 2009. Lihat pula http://muslimdaily.net/berita/lokal/dewan-dakwah-desak- gubernur-aceh-tandatangani-qanun-jinayat.html. Dewan Dakwah Desak Gubernur Aceh Tandatangani Qanun Jinayat, Senin, 26 Oktokber 2009. 592Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 593Wawancara dengan Irwandi Yusuf yang diwartakan Rakyat Merdeka. Lihat ‚Irwandi Yusuf Tak Mau Tandatangani Qanun Jinayat, Senin, 26 Oktober 2009, http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2009/10/26/11029/Irwandi-Yusuf-Tak-Mau- Tandatangani-Qanun-Jinayat. Wawancara dengan Muslim Ibrahim tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh.Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 594Pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 595Wawancara dengan Irwandi Yusuf yang diwartakan Rakyat Merdeka. Lihat ‚Irwandi Yusuf Tak Mau Tandatangani Qanun Jinayat, Senin, 26 Oktober 2009, 172

Dalam bahasa lain, Hamid Zein berpendapat bahwa pada dasarnya Pemerintah Aceh tidak menolak pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pemerintah akan menunda pelaksanaan syariat Islam karena dipandang cukup melaksanakan hukuman cambuk. Dalam pandangan Pemerintah Aceh, syariat Islam bukanlah sekadar hukuman itu sendiri. Pelaksanaan syariat Islam mestinya mempertimbangkan persoalan ekonomi. Dalam kasus pencurian, Pemerintah tidaklah adil jika melaksanakan hukum potong tangan, sementara kesejahteraan rakyat belum tercapai.596 Perubahan kepemimpinan Aceh dari Irwandi Yusuf ke Zaini Abdullah yang diusung Partai Aceh pada awalnya dinilai membawa angin segar bagi gerakan pemberlakuan hukum jinayah. Zaini Abdullah dipandang memiliki orientasi yang kuat dalam pemberlakuan syariat Islam secara ka>ffah dibandingkan Irwandi Yusuf.597 Dalam kenyataannya hingga kini, Gubernur Zaini Abdullah masih belum nampak memiliki orientasi yang jelas untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh. Gubernur Aceh yang baru, Tgk. Zaini Abdullah cenderung untuk menunda pemberlakuan h}udu>d dan kembali kepada konsep sebelumnya untuk tidak memasukkan pasal rajam. Politik yang dimainkan Tgk. Zaini Abdullah sesungguhnya membuktikan bahwa syariat Islam secara ka>ffah bukanlah cita-cita perjuangan GAM. GAM lebih tertarik dengan perjuangan orang-orang Aceh yang mengelola sendiri pemerintahannya, meskipun terpaksa harus berkompromi di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Malaysia, situasinya berbeda. Sejak Malaysia merdeka, gerakan pemberlakuan syariat Islam secara total (termasuk hukum jinayah) dilakukan oleh partai politik, yaitu PAS. Masyarakat justru tidak begitu terlihat melakukan perjuangan pemberlakuan syariat Islam. Sistem politik di Malaysia yang tidak begitu bebas seperti di Indonesia memaksa masyarakat tidak banyak melakukan gerakan protes. Itu sebabnya, PAS sebagai representasi dari partai Islam di Malaysia melakukan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah dalam ruang-ruang politik. Sebagaimana telah disebutkan di muka, hukum jinayah yang diberlakukan merujuk pada Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985 yang disahkan pada 26 Maret 1985. Materi yang dimuat

http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2009/10/26/11029/Irwandi-Yusuf-Tak-Mau- Tandatangani-Qanun-Jinayat. 596Arskal Salim, ‚Politics, Criminal Justice…,‛ 7. 597Wawancara dengan Tgk. Faisal Ali, Sekjen HUDA pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh. Wawancara dengan Suardi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pada 16 Nopember 2012 di Banda Aceh 173 dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah ini lebih banyak menyangkut pelanggaran moral, akidah, ibadah dan seksual, yaitu persoalan zina, lesbian, homoseksual, pelacuran, hamil di luar nikah, melarikan istri orang, mucikari, minuman keras, makan di siang hari di bulan Ramadlan, dan penghinaan terhadap undang-undang. Ada dua persoalan yang dihadapi masyarakat dan Pemerintah Kelantan dalam menyikapi Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985. Pertama, hukum jinayah di Kelantan tidak diberlakukan secara total (ka>ffah). Hukum qadhaf, pencurian, perampokan, bughat, murtad tidak diberlakukan. Kedua, hukuman yang diberlakukan di Kelantan tidak sesuai dengan syariat Islam, karena hanya memberlakukan hukuman 3 tahun penjara, RM. 5000,00, dan 6 kali cambuk. Menyadari ketidaklengkapan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985 dan ketidaksesuaian dengan hukum syariat, Pemerintah Negeri Kelantan pada 1993 di bawah kepemimpinan Nik Abdul Aziz Nikmat menyusun undang-undang baru di Kelantan yang berkaitan dengan hukum pidana secara lengkap, yang disebut Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan dan disahkan oleh Dewan Perundang-undangan Negeri Kelantan pada 25 Nopember 1993. Enakmen ini merupakan kodifikasi hukum pidana yang pertama kali dibuat berdasarkan syariah Islam di Negara Bagian Malaysia. Sebagai pedoman hukum acara pelaksanaan Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan disahkan Enakmen Acara Jenayah Syariah Negeri Kelantan Nomor 9 Tahun 1993. Pada awalnya, Pemerintah Negeri Kelantan pada 11 Desember 1991 membentuk Komite Kajian UU Mahkamah Syariah dan Hal Ihwal Islam. Tujuannya adalah untuk membuat Undang-undang yang berkaitan dengan (1) Enakmen Pentadbiran Mahkamah Syariah, Undang-undang Keluarga Islam, Enakmen Acara Jinayah Syariah, Enakmen Acara Sipil, Kanun Jinayah Syariah, dan Enakmen Keterangan Mahkamah Syariah. Komite ini beranggotan 20 orang yang dipimpin Wakil Menteri Besar, Abdul Halim Abdul Rahman.598 Di dalam rapat pada 26 April 1992, Abdul Halim Abdurrahman599 meminta supaya peserta rapat mendiskusikan khusus tentang h}udu>d dan

598Tim Penyelidik, Program PAS Negeri Kelantan 1990 (Kota Bharu: Badan Perlindungan PAS Negeri Kelantan, 2000), 13. 599Enakmen ini disiapkan oleh Abdul Halim Abdulrahman (Wakil Menteri Besar Kelantan) pada waktu itu dan telah disahkan oleh jamaah ulama Majlis Agama Islam dan Sahibul al-Samahah dato Mufti. Lihat Ahmad Mawardi, Kebijakan Politik Nik Abdul Aziz Nik Mat di Kelantan (1990-2008), Paper tidak diterbitkan. 174 qis}a>s} di Kelantan. Barulah dibentuk Komite Khusus yang diketuai Abdul Halim untuk membuat draft Undang-undang Hudud dan Qisas. Anggotanya terdiri dari Tun Mohamad Salleh Abbas (Mantan Ketua Hakim Negara Malaysia), M. Daud al-Iraqi, Wakil Mufti, Mohamad Sukhri bin Mohamed, dan Abu Bakar bin Abdullah al-Kutty. Komite Khusus ini diberi tugas untuk merevisi UU No. 1/66 kemudian diganti menjadi Komite Kuasa Undang-undang Hudud dan Qisas. Posisi Tun Salleh Mohamad adalah sebagai konsultan agar draft sesuai dengan asas pembuatan perundang-undangan karena pengalamannya sebagai Ketua Hakim Negara Malaysia. Beberapa kali rapat dilaksanakan dan juga mengundang Menteri Besar, Nik Abdul Aziz Nik Mat. Studi Banding juga dilaksanakan di Iran, Mesir, dan Mesir. Daud bin Muhamad pergi ke Iran, M. Daud al-Iraqi pergi ke Nigeria, dan Abdul Halim pergi ke Mesir600 Argumen yang digunakan Komite untuk merevisi Enakmen Kanun Jenayah Syariah Negeri Kelantan 1985 adalah karena hukum jinayah yang dilaksanakan di Malaysia pada umumnya dan Kelantan pada khususnya adalah undang-undang ciptaan manusia (al-ahka>m al- wad‘i>yah) dan merupakan warisan penjajah. Kondisi ini berbeda dengan masa sebelum dijajah, Tanah Melayu telah melaksanakan hukum Islam secara keseluruhan. Usaha ini dilakukan untuk mengembalikan hukum Islam agar dapat dilaksanakan di Kelantan. Pihak Komite Kuasa UU 1/66 berpendapat bahwa terdapat dua hal penting di dalam pelaksanaan undang-undang Islam, yaitu untuk melaksanakan perintah Allah secara total dalam kehidupan manusia dari aspek ibadah hingga pidana dan agar Kelantan mendapat rahmat dan perlindungan dari Allah SWT.601 Setelah dipastikan keabsahannya, beberapa salinan telah dibuat untuk diantar kepada beberapa pihak yang terdiri dari para akademisi dan tokoh-tokoh agama untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam draf undang-undang tersebut. Setelah menerima usulan, beberapa perbaikan telah dibuat untuk memastikan undang-undang tersebut sempurna dan sesuai dengan kehendak hukum syariat sepenuhnya dan pandangan ulama fikih yang muktabar. Draft undang-undang yang telah direvisi itu dibawa

600Wawancara dengan Abu Bakar bin Abdullah al-Kutty, salah seorang anggota Jawatankuasa Khas yang mempersiapkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II pada 19 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 601Tim Penyelidik, ‚Program PAS Negeri Kelantan…‛, 13. 175 sekali lagi kepada pakar,602 seperti Prof. Ahmad Ibrahim, Prof. Mahmud Saidun Awang Osman dan beberapa nama lain.603 Setelah disetujui oleh Komite Hudud dan Qisas dan disiapkan sepenuhnya pada akhir 1992, draft dibawa ke Mufti Kerajaan Negeri Kelantan, Dato’ Abdullah bin Mat Hassan bersama Wakil Mufti Kelantan, Dato’ Sukri dan Ketua Mahkamah Syar’iyyah, Datok Daud bin Muhamad. Setelah itu, draft ini dibahas lagi di Jemaah Ulama 604 dan Majelis Agama Islam & Adat Istiadat Melayu Negeri Kelantan. Setelah dibaca dan diperbaiki, Mufti Kerajaan Negeri Kelantan membuat pengesahan dalam salah satu surat pada 17 Januari 1993 kepada Komite Hudud dan Qisas bahwa draft tersebut adalah selaras dan tidak bertentangan dengan hukum Syara’.605 Berikut petikan jawaban Mufti Kelantan, Dato’ Hasbullah bin Mohd. Hassan:

‚Tuan Setiausaha Khas, Kajian Pindaan Undang-undang 1/66 (Hudud dan Qisas) Bahagian Penyelia Ugama Balai Islam Kelantan, Lundang, Kota Bharu. (1) Setelah saya meneliti dan menghalusi serta menyemak semua seksyen- seksyen yang terdapat di dalam deraf undang-undang Enakmen Kanun II (Melaksanakan Sistem Jenayah Syariah 1992) yang dikemukakan kepada saya, maka saya berpuas hati bahwa deraf enakmen ini tidak bercanggah dengan hukum syarak. (2) Pihak saya bersetuju supaya diangkat kepada pihak kerajaan untuk dilaksanakan sesuai dengan kehendak kerajaan negeri yang berlandaskan al-Qur’a dan al-Sunnah. (3) Bersesuaian dengan undang-undang ini dilaksanakan untuk rakyat negeri Kelantan khususnya dan seluruh Malaysia amnya.‛606

Setelah perbincangan terakhir di tingkat Komite disetujui, draf undang-undang ini diajukan ke Ahli Majlis Mesyuarat Negeri (EXCO) Kerajaan Negeri Kelantan untuk dibawa ke Dewan Undangan Negeri Kelantan dengan tujuan untuk dibahas dan disahkan.607 Draf undang- undang yang disiapkan ini kemudian disetujui oleh seluruh anggota DPR

602Anual Bakri Haron, dkk., Pindaan Perlembagaan Kelantan Antara Sensasi dan Legitimasi (Kelantan: Pustaka Qamar, 2001), 55. 603Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Tekad Bersama Melaksanakan Hududullah‛ dalam Hukum Hudud: Tuntutan Umat dan Tanggungjawab Pemimpin Islam, Sampena 60 Tahun PAS, 1 Oktokber 2011. 604Wawancara dengan Dato’ Sukri, Mufti Negeri Kelantan pada 18 Oktokber 2011. 605Anual Bakri Haron, dkk., ‚Pindaan Perlembagaan Kelantan…‛, 55. 606Surat jawaban Mufti Kelantan, Dato’ Hj. Hasbullah bin Mohd. Hassan pada 17 Januari 1993 607Wawancara dengan Dato’ Sukri, Mufti Negeri Kelantan pada 18 Oktokber 2011. 176

Dewan Undangan Negeri, termasuk 2 anggota Dewan Undangan Negeri dari wakil UMNO sebagai partai oposisi di Kelantan.608 Draft ini kemudian dinamakan Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 sebagai revisi dari Enakmen Kanun Jenayah Syariah (I) 1985 yang tidak mengatur hukuman bagi pelanggaran jinayah sesuai dengan syariat Islam.609 Enakmen Kanun Jenayah Syariah II ini kemudian diserahkan ke Pemerintahan Federal untuk dimintai persetujuan setelah Sultan Kelantan, Sultan Ismail Petra menyetujuinya.610 Pembentukan Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan sangat dipengaruhi oleh kemenangan PAS di Kelantan pada Pemilu 1990 yang berkoalisi bersama Partai Melayu Semangat 46 (S46), dan Partai Barisan Jemaah Islamiah (BERJASA). Dari 52 kursi Dewan Undangan Negeri dan parlemen (DPR) yang diperebutkan, UMNO tidak mendapatkan kursi.611 Angkatan Perpaduan Ummah berhasil memperoleh 39 kursi dengan rincian PAS memperoleh 24 kursi DUN, Partai Melayu Semangat 46 memperoleh 14 kursi dan Berjasa memperoleh 1 kursi. Kesemua calon BN termasuk Menteri Besar, Tan Sri Haji Mohamed Yacob dan Wakil Menteri Besar Dato’ Ahmad Rastom Haji Ahmed Maher kalah.612 Setelah pemerintahan dibentuk di Kelantan, Partai PAS mempunyai kursi mayoritas di Dewan Undangan Negeri dan Ketua Dewan Ulama’ PAS, Nik Abdul Aziz Nik Mat terpilih sebagai Menteri Besar. Pengundangan Enakmen Jenayah di Kelantan merupakan kebijakan PAS613 sebagai pemenang Pemilu di Kelantan. Pada Pemilu 1990, PAS berhasil memenangkan Pemilu di Kelantan hingga sekarang. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan lebih banyak dilakukan oleh PAS setelah menang di perhelatan Pemilu.614 Hal ini

608Wawancara dengan Dato’ Sukri, Mufti Negeri Kelantan pada 18 Oktokber 2011 dan Abdurrahman Yusuf, Pengarah Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Kelantan pada 16 Oktokber 2011. 609Anual Bakri Haron, dkk., ‚Pindaan Perlembagaan Kelantan…‛, 61-63. 610Wawancara dengan Rossem, Penolong Pengarah (Penerbitan) Fajar Islam dan Divisi Penerbitan Setiausaha Penerangan Negeri Kelantan pada 13 Oktokber 2011. 611Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan Kepada Agama, Bangsa, dan Negara (Kelantan: Perbadanan Muzium Negeri Kelantan, 1995), 16. 612Lihat Urusetia Penerangan Kerajaan Negeri Kelantan, Imbasan 20 Tahun (Kota Bharu, 2010), 3. 613Pembahasan secara lengkap dapat dibaca di Hussin Muthalib, Islam dan Etnisitas, Perspektif Politik Melayu (Jakarta: LP3ES, 1996), 151-182. 614PAS berhasil memenangkan Pemilu di Kelantan dan membentuk pemerintahan hingga Pemilu 2008. Di Trengganu, PAS berhasil menang di Pemilu 1999 177 sesuai dengan komitmen PAS615untuk mengimplementasikan hukum Islam sebagai sistem hukum Malaysia, baik di level negara federal maupun negara bagian.616 Sesuai Anggaran Dasar PAS, pasal 3 yang dengan jelas meletakkan dasar partai untuk memperjuangkan Islam, yakni memperjuangkan wujudnya di dalam Negara Malaysia sebuah masyarakat, pemerintahan yang terlaksana di dalamnya nilai-nilai hidup Islam dan hukum-hukumnya untuk menggapai keridhaan Allah. Manifesto Pemilu Partai PAS di Negeri Kelantan dengan jelas menggariskan hasrat untuk melaksanakan sistem perundangan yang berdasarkan Al-Qur’an, Hadis}, Ijma>’, Ulama, dan Qiyas.617 Oleh karena PAS menguasai kursi parlemen di Kelantan dan keinginan semua partai yang tergabung dalam Angkatan Perpaduan Ummah (APU) untuk menegakkan syariat Islam di dalam pemerintahan, maka ada usaha-usaha untuk mengundangkan hukum jinayah. Dalam praktiknya, hukum jinayah di Kelantan tidak dapat diberlakukan secara efektif, karena bertentangan dengan kebijakan Pemerintahan Federal, yang tidak menghendaki pelaksanaan hukum h}udu>d.618 Pemerintahan Federal sejak zaman Mahathir Mohammad hinga sekarang masih menolak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Dalam pandangan Menteri Besar Kelantan, Nik Abdul Aziz Nikmat, orang-orang yang menolak, menghina, dan mengabaikan syariat Islam (h}udu>d) adalah golongan jahil dan tidak tahu keindahan syariat Islam, meskipun mereka beragama Islam. Nik Aziz optimis jika wajah yang sejatinya dari undang-undang syariah ini dijelaskan, tidak ada suara-suara yang sumbang menolak pelaksanannya. Hukum h}udu>d ini tidak dilaksanakan oleh orang politik, tetapi hakim yang akan menjatuhkan hukuman setelah menjalani proses yang adil terlebih dahulu. Karena itulah, tidak perlu merasa takut dengan hukum h}udu>d. Itu sebabnya, Nik Aziz mengharapkan agar tabiat menolak h}udu>d dapat

dan Pemilu 2008. Lihat Syed Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in Southeast Asia (Singapura: Thomson, 2004), 123-124. 615Lihat John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), 188. 616Peter G. Riddell, ‚Islamization and Partial Shari’a in Malaysia‛, dalam Paul Marshal (ed.), Radical Islam’s Rules: The Worldwide Spread of Extreme Shari’a Law (New York: Freedom House, 2005), 144. 617Lihat Anggaran Dasar PAS 618Khamami Zada dan Arif Arofah, Diskursus Politik Islam (Jakarta: LSIP, 2003), 130. 178 dijelaskan agar tidak menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat.619 Ia juga yakin bahwa masyarakat Kelantan, baik Muslim maupun Non- Muslim menerima pemberlakuan hukum jinayah.620 Wan Nik Wan Yussof, Setiausaha Politik Menteri Besar Kelantan berpendapat bahwa h}udu>d harus dilaksanakan oleh negara sebagai tanggungjawab pemimpin Islam yang sekarang ini dilakukan dengan terus-menerus memberi penyiaran kepada masyarakat Muslim dan juga Non-Muslim. Karena itulah, Pemerintah Negeri Kelantan setiap tahun menyelenggarakan Hari Hududullah sebagai sarana untuk memberi penerangan kepada masyarakat Kelantan agar mereka mengerti h}udu>d yang sebenarnya.621 Ini berarti dalam pandangan Pemerintah Kelantan, hukum jinayah harus dilaksanakan secara total dan segera, tanpa ditunda-tunda lagi karena masyarakat sudah siap dengan pelaksanaan hukum jinayah. Pemerintah Kelantan merasa yakin bahwa hukum jinayah sudah siap dilaksanakan di Kelantan secara total. Pemberlakuan hukum jinayah sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi karena sesuai dengan keinginan rakyat Kelantan.

Matrik 3. Daftar Perbandingan Kehendak Politik Pemerintah Daerah dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan

Kehendak Aceh Kelantan Politik Pemerintah Daerah Isi Ada variasi kehendak Pemerintah Kelantan politik di tiga masa konsisten menghendaki kepemimpinan Aceh pemberlakuan hukum jinayah

1. Gubernur Abdullah 1. Menteri Besar Nik Abdul Puteh memiliki Aziz Nikmat (1990-2013)

619Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Perundangan Islam Utamakan Mencegah Bukan Menghukum‛ dalam Fajar Islam, Bil 44 November-Desember 2011, 7. 620Ahmad Fauzi Abdul Hamid, ‚Implementing Islamic Law within a Modern Constitutional Framework: Challenges and Problems in Contemporary Malaysia‛, dalam Islamic Studies, Volume 48, No. 2 (Summer 2009), 18. http://www.questia.com/library/journal/1P3-2035005951/implementing-islamic-law- within-a-modern-constitutional diakses 8 September 2013. 621Wawancara dengan Wan Nik Wan Yussof, Setia Usaha Politik Pemerintah Negeri Kelantan pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 179

kehendak politik untuk memiliki kehendak politik memberlakukan hukum untuk memberlakukan jinayah secara hukum jinayah secara bertahap. ka>ffah 2. Gubernur Irwandi 2. Menteri Besar Ahmad bin Yusuf tidak memiliki Yaakob (2013) memiliki kehendak politik untuk kehendak politik untuk memberlakukan hukum memberlakukan hukum jinayah secara luas jinayah secara ka>ffah 3. Gubernur Zaini Abdullah tidak ada kejelasan kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah secara luas Bentuk 1. Gubernur Abdullah 1. Menteri Besar Nik Abdul Puteh (2000-2004) Aziz Nikmat mengesahkan mengesahkan enam (6) Enakmen Kanun Jenayah Perda/Qanun Aceh, Syariah II Negeri Kelantan yaitu Perda No. 5 2. Menteri Besar Ahmad bin Tahun 2000 tentang Yaakob meneruskan untuk Pelaksanaan Syariat mempertahankan Enakmen Islam di Propinsi Kanun Jenayah Syariah II Daerah Istimewa Aceh, Negeri Kelantan Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat 2. Gubernur Irwandi Yusuf (2007-2012) mengesahkan Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.

180

3. Gubernur Zaini Abdullah (2012-2017) mengesahkan Rancangan Qanun Acara Jinyah Aceh 2013 Faktor yang 1. Gubernur Abdullah Menteri Besar Nik Abdul Aziz mempengaruh Puteh merespon Nikmat dan Menteri Besar i keinginan rakyat Aceh Ahmad bin Yaakob (terutama ulama) yang menjadikan isu hukum jinayah sedang bersemangat sebagai komoditas politik untuk melaksanakan untuk mendapatkan dukungan syariat Islam setelah dari pemilih Muslim yang diberi otonomi khusus mayoritas di Kelantan dalam 2. Gubernur Irwandi rangka menghadapi UMNO Yusuf dan Gubernur Zaini Abdullah (yang berasal dari GAM) tidak memiliki orientasi untuk melaksanakan syariat Islam ka>ffah Hasil Hukum jinayah Hukum jinayah secara ka>ffah diberlakukan di Aceh yang (qis}a>s}, h}udu>d, dan ta‘zi>r) yang terbatas pada khamar, sesuai dengan syariat Islam khalwat, maisir, tidak diberlakukan di pelanggaran akidah, Kelantan, tetapi yang ibadah, syiar Islam, diberlakukan adalah hukuman pelanggaran zakat dan h}udu>d yang dibatasi tidak Baitul Mal lebih dari RM 3.000, 5 tahun penjara, dan 6 kali cambuk

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak ada perbedaan antara pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh adalah bagian dari kebijakan Pemerintah Pusat demi menjaga NKRI yang disetujui oleh masyarakat dan elit Aceh. Sebaliknya, pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan adalah kebijakan Pemerintah Kelantan yang ditolak oleh Pemerintahan Federal.

C. Respon Partai Politik dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Hukum jinayah sebagai bagian dari syariat Islam merupakan agenda politik yang strategis di masyarakat yang relijius, seperti Aceh

181 dan Kelantan. Karena itulah, hukum jinayah menjadi agenda politik yang menarik bagi pihak-pihak yang memperebutkan kekuasaan di Aceh dan Kelantan. Partai-partai politik, baik partai Islam maupun partai nasionalis menggunakan isu syariat Islam sebagai komoditas politik yang menjanjikan, terutama dalam menggalang dukungan massa. Di Aceh dan Kelantan, terjadi pemilahan kelompok politik dalam menggunakan isu syariat Islam (hukum jinayah) sebagai agenda politik. Di Aceh, partai politik yang artikulatif menyampaikan respon terhadap pemberlakuan hukum jinayah adalah Partai Aceh yang dilahirkan GAM dan PKS yang berorientasi Islam. Partai-partai lain, seperti PPP dan PAN tidak banyak merespon pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Partai-partai nasionalis, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDIP juga tidak banyak merespon pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Dalam beberapa bulan setelah Gubernur Zaini Abdullah menjabat, muncul gerakan masyarakat yang mendesak kepada Pemerintah Aceh dan DPRA agar mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah (Januari-Pebruari 2013).622Dalam merespon desakan masyarakat ini, sejumlah politisi Partai Aceh yang menduduki posisi strategis di DPRA, seperti Hasbi Abdullah, Adnan Beuransyah, dan Abdullah Saleh telah menjanjikan Racangan Qanun Jinayat dan Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayat segera dibahas di DPRA. Ketua Sementara DPRA Hasbi Abdullah yang juga politisi Partai Aceh menjelaskan bahwa upaya merevisi Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayah menjadi prioritas DPRA 2009- 2014. Pengesahan qanun tersebut oleh DPRA berlangsung lama karena dinilai masih banyak kontroversi. Menurut Hasbi, hampir semua anggota dewan sepakat menolak dan akan merevisi qanun tersebut, terutama poin hukuman rajam.623 Badan Legislasi DPRA dan Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah (Partai Aceh) berjanji akan mengupayakan agar Rancangan Qanun Jinayah masuk di Rancangan Qanun prioritas dalam prolegda Aceh 2013.624 Abdullah Saleh juga berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk memasukkan kembali Rancangan Qanun Jinayah dalam prioritas legislasi pada 2013. Ia berpendapat, tidak hanya memasukkan Rancangan Qanun Jinayah tersebut untuk disahkan, tetapi juga ada rencana dalam Rancangan Qanun Jinayah ditambah baberapa

622Pada Januari-Pebruari 2013 muncul gerakan aksi yang dimotori ormas-ormas Islam, seperti BKPRMI, IMM, KAMMI, dan FPI, yang menuntut pengesahan Rancangan Qanun Jinayah. 623http://www.acehkita.com/berita/revisi-qanun-jinayah-prioritas-dpr/ 624Atjehpost.com, 20 Februari 2013, diakses 20 Pebruari 2013. 182 aturan terkait dengan sanksi bagi yang melakukan tindak pidana korupsi.625 Anggota DPRA asal Lokshemawe, Nazar Pasee, berpandangan bahwa Partai Aceh tidak menolak hukum rajam masuk dalam Qanun Jinayah selama telah menjadi aspirasi seluruh masyarakat Aceh, karena dalam pelaksanaan hukuman rajam pun dilakukan secara ketat, sehingga tidak perlu ditakutkan tentang kekhawatiran pelaksanaan hukuman rajam. Partai Aceh juga tidak mau memprioritaskan isu syariat Islam sebagai komoditas politiknya, karena baginya yang lebih prioritas adalah kesejahteraan rakyat Aceh. Apalagi di dalam adat istiadat Aceh, melekat syariat Islam sehingga rakyat Aceh sudah lama memberlakukan syariat Islam.626 Sebagaimana diketahui agenda politik GAM adalah mendapatkan hak penguasaan negara secara hukum dan politik, meskipun merelakan tidak mendapatkan kemerdekaan Aceh. Sesuai dengan perundingan Helsinski, tidak ada kesepakatan antara RI dengan GAM untuk memberlakukan syariat Islam karena syariat Islam bukan agenda politik GAM. Jalan kompromi yang didapatkan GAM ini berbeda dengan DI/TII Daud Beureueh. Aceh di bawah kepemimpinan GAM berhasil mendapatkan kekuasaan politik secara penuh. Di Pemilukada yang pertama kali diikuti GAM, Irwandi Yusuf, bekas juru runding GAM berhasil menduduki pimpinan puncak Aceh menjadi Gubernur Aceh bersama pimpinan SIRA, Muhammad Nazaruddin. Di Pemilu pertamanya, Partai Aceh, partai resmi mantan GAM berhasil memenangi perolehan kursi di Aceh. Tidak jauh berbeda dengan GAM, agenda syariat Islam sesungguhnya bukan menjadi agenda utama Partai Aceh. Berbeda dengan DI/TII pimpinan Daud Beureueh, yang tidak sekadar memiliki agenda politik menjadikan Aceh sebagai daerah mandiri yang tidak berada di bawah Sumatera Utara, Partai Aceh hanya mengagendakan kemenangan politik di DPRA dan Pemerintah Aceh untuk mengontrol dan mengendalikan kekuasaan secara penuh, baik di eksekutif maupun di legislatif. Itu sebabnya dalam isu-isu pemberlakuan syariat Islam, seperti pembahasan Rancangan Qanun Jinayah Aceh 2009, Partai Aceh tidak begitu nyaring suaranya, baik menolak maupun mendukung. Sikap politik ini diambil oleh Partai Aceh karena tidaklah mungkin di Aceh, ada sekelompok organisasi atau partai politik yang menolak pemberlakuan syariat Islam.

625The Globe Journal, 13 Februari 2013 diakses 20 Pebruari 2013. 626Wawancara dengan Nazar Pasee, anggota DPRA Periode 2009-2014 perwakilan Partai Aceh pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh. 183

Menurut Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat, formalisasi hukum jinayah di Aceh memiliki nuansa politik ketika partai- partai Islam mengusulkan hukuman rajam masuk dalam pembahasan di DPRA, terutama untuk mendapatkan simpati politik dari masyarakat Islam. Amir Helmi juga menyayangkan solusi Aceh dengan formalisasi syariat Islam, yang masuk dalam ranah hukum jinayah. Pada periode 2009 hingga sekarang (2013) di mana Partai Aceh menjadi pemenang Pemilu di Aceh, pembahasan Rancangan Qanun Jinayah tidak menjadi prioritas.627 Dalam kenyataannya, partai-partai politik di Aceh tidak berani menunjukkan sikap penolakan terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Aceh karena akan mudah dituduh sebagai anti Islam. Partai-partai politik akan mengambil sikap ‚diam‛ atau ‚mendiamkan‛ wacana pemberlakuan hukum jinayah. Arus mainstream akan dilihat dalam mengambil sikap dalam soal pemberlakuan hukum jinayah. Kepentingan politik akan menjadi panglima dalam menanggapi isu ini. Tidak hanya politisi Partai Aceh yang merespon gerakan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengharapkan Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayah masuk dalam Program Legislasi (Prolegda) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh 2013. Menurut Ketua PKS Aceh, Ghufran Zainal Abidin, tanpa ada aturan tentang hukum acara jinayah, penerapan syariat Islam selama ini mengalami kendala, karena aturan hukumnya belum jelas. Jika Qanun Hukum Acara Jinayah disahkan, penegak hukum dapat melaksanakan semua proses hukum syariat tanpa harus menggunakan KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Ghufran menyarankan supaya pasal-pasal yang menjadi polemik dalam Rancangan Qanun Jinayah yang pernah disahkan DPRA sebelumnya dan belum ditandatangani gubenur, dibahas kembali supaya ada jalan keluar.628 Menurut Ketua PKS Banda Aceh, Subhan M. Isa, Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Qanun Acara Jinayah semestinya masuk dalam Prolegda 2013 karena sudah jelas-jelas menjadi aspirasi masyarakat Aceh dan juga menjadi perintah UU Pemerintahan Aceh, karena dalam UUPA terdapat perintah penerapan syariat Islam. Dia juga mengatakan bahwa Qanun Jinayah menjadi penting agar mekanisme

627Wawancara dengan Amir Helmi, Wakil Ketua DPRA dari Partai Demokrat di Banda Aceh, 18 Juni 2012. 628Subhan M. Isa adalah Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh. Lihat Atjeh.com, 8 Januari 2013 diakses 20 Pebruari 2013.

184 pelaksanaan hukum jinayah di Aceh jelas dan ada kepastian. Dia mengkhawatirkan adanya aksi masyarakat yang akan melakukan tindakan sendiri dalam pelaksanaan hukuman, yang terkadang justru tidak baik bagi image penerapan syariat Islam.629 Ditambahkan oleh Anggota DPRA dari fraksi PKS lainnya, Mohariadi bahwa DPRA dan eksekutif rencananya akan membahas ulang Qanun Jinayah. Hal ini dilakukan untuk mencari kesepahaman bersama dalam membangun syariat Islam di Aceh.630 Memperkuat pendapat di atas, anggota Komisi X Fraksi PKS DPR RI Raihan Iskandar mengatakan qanun yang mengatur jinayah sudah sepatutnya diberlakukan di Aceh sebagai langkah menegakkan syariat Islam. Ia menilai pemerintah daerah masih kurang serius melaksanakan qanun di Aceh.631 Kembali maraknya isu Raqanun Jinayah di Aceh menjelang akhir periode DPRA sesungguhnya mengulang sejarah pembahasan Raqan Jinayah di periode yang lalu. Ini menunjukkan bahwa kepentingan politik di balik Rancangan Qanun Jinayah di Aceh begitu besar. Elit-elit politik Islam, seperti PKS yang di periode 2004-2009 mengusulkan hukuman rajam dalam pembahasan Rancangan Qanun Jinayah kembali bergeliat merespon hangatnya isu pembahasan Rancangan Qanun Jinayah di awal 2013. Tampak PKS di Aceh ingin merebut simpati rakyat Aceh dengan mendukung gerakan rakyat yang menginginkan pengesahan Rancangan Qanun Jinayah. Sebaliknya, Partai Aceh tidak menolak tuntutan pengesahan Rancangan Qanun Jinayah. Partai Aceh di DPRA hanya menjanjikan akan membahas Rancangan Qanun Jinayah. Hal ini sesungguhnya menampilkan konsistensi Partai Aceh yang memprioritaskan pengesahan Rancangan Qanun Jinayah karena syariat Islam bukan menjadi agenda utama perjuangan mereka. Partai Aceh juga tidak mau dipandang sebagai partai anti-syariah, sehingga tidak menunjukkan penolakan pengesahan Rancangan Qanun Jinayah. Di Kelantan, syariat Islam sebagai komoditas politik begitu sengit diperdebatkan dalam kasus h}udu>d. Dalam konteks ini, terjadi perdebatan antara koalisi pemerintah (Barisan Nasional) dan koalisi oposisi (). Partai-partai politik yang memperdebatkan persoalan h}udu>d di Kelantan adalah partai koalisi oposisi Pakatan Rakyat

629Atjeh.com, 13 Februari 2013. 630http://admin.atjehpost.com/read/2012/07/06/14046/0/31/DPRA-dan- Eksekutif-Akan-Bahas-Ulang-Qanun-Jinayah, 06 Juli 2012. 631http://www1.atjehpost.com/read/2012/04/29/7698/5/5/Qanun-Jinayah- Sudah-Sepatutnya-Diberlakukan-Di-Aceh diakses20 Pebruari 2013. 185

(PAS, PKR, dan DAP) dan partai pemerintah Barisan Nasional (UMNO, MCA, dan Gerakan). Kelompok oposisi yang tergabung dalam Pakatan Rakyat masih terjadi perbedaan pendapat. DAP, PKR, dan PAS sebagai koalisi oposisi di Malaysia dihadapkan pada persoalan serius untuk mempertahankan koalisinya, ketika PAS bersikukuh memberlakukan hukum jinayah. Pada 29 September 2011, PKR telah mengambil pendirian untuk mempertahankan segala dasar yang telah disetujui bersama di samping menghormati perbedaan ideologi DAP, PKR, dan PAS. Majelis Pimpinan Pakatan Rakyat yang dipimpin Anwar Ibrahim, Lim Kit Siang dan Tuan Guru Abdul Hadi Awang sepakat mempertahankan dasar-dasar yang telah disepakati bersama dan menghormati perbedaan ideologi setiap partai dalam Pakatan Rakyat, termasuk pendirian PAS untuk memberlakukan h}udu>d. Kesepakatan ini merupakan respon terhadap usaha UMNO-Barisan Nasional untuk memecah belah Pakatan Rakyat melalui isu h}udu>d. Menurut Presiden PAS, Abdul Hadi Awang, PAS tidak akan sekali-kali memaksa golongan Non-Muslim untuk menerima undang- undang syariah, terutama pelaksanaan h}udu>d.632 PAS memandang Pemerintah Negeri Kelantan memiliki hak untuk membuat Enakmen Kanun Jenayah Syariah. Karena rakyat Kelantan mayoritas telah memilih PAS atas dasar Islam, maka sudah seharusnya rakyat Kelantan diberi hak untuk melaksanakan Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993. Jika ada kelompok yang menghalangi, berarti bertentangan dengan semangat demokrasi yang telah disepakati bersama.633 Anggota Dewan Undangan Negeri Kelantan dari PAS yang mewakili Ayer Lanas (Kelantan), Hasan Mahmood berpendapat bahwa h}udu>d adalah batasan-batasan syariat yang telah ditentukan oleh Allah agar manusia tidak melanggar batasan tersebut. Orang-orang yang melampaui batasan ini akan dihukum sesuai dengan apa yang terkandung dalam al-Qur’an, hadits, ijma>’ dan qiyas. Pelaksanaan h}udu>d di Kelantan hanya untuk orang Islam saja, sedangkan bagi Non-Muslim diberi pilihan apakah menggunakan h}udu>d atau memilih hukum konvensional. Pelaksanaan h}udu>d adalah untuk memperlihatkan keadilan Islam sehingga masyarakat merasa nikmat di dalam naungan Islam sebagai agama yang adil dan sempurna yang pada gilirannya mereka akan memilih hukum Islam untuk dilaksanakan. Ia menyayangkan, terlalu banyak kesamaran dan kekeliruan pihak-pihak tertentu mengenai hukum

632Sinar Harian 2 Oktokber 2011 633Lihat Pendirian PAS mengenai h}udu>d, yang ditandatangai Tuan Ibrahim Tuan Man, Ketua Penerangan PAS pada 20 September 2011 186

Islam karena mereka hanya mengetahui hukum potong tangan dan rajam, tanpa mengetahui proses hukuman potong tangan dalam Islam.634 Ini pula yang ditegaskan oleh Hasan Mahmood bahwa h}udu>d harus dilaksanakan di Kelantan karena sejak zaman kerajaan Islam, h}udu>d sudah dijalankan yang membawa suasana di Kelantan berubah menjadi baik.635 Dalam pandangan UMNO yang diwakili Perdana Menteri Malaysia Tun Najib Razak, undang-undang berasaskan hukum h}udu>d tidak akan dilaksanakan di Malaysia karena realitas masyarakat Malaysia yang majemuk. Najib menyatakan bahwa pemerintah telah mengambil maqa>s}id al-shari>’ah, yaitu tujuan yang sebenarnya untuk menyelesaikan permasalahan rakyat, agar senantiasa aman dan sejahtera.636 Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia yang sejak dulu menolak pemberlakuan h}udu>d di Kelantan juga bersuara lagi. Mahathir mengkritik Pemerintah Negeri Kelantan yang selalu mendesakkan pelaksanaan undang-undang Islam, tetapi pada saat yang sama menjadikan Kelantan sebagai negeri yang paling tinggi terjangkit HIV sejak 2008.637 Chua Soi Lek, Ketua MCA secara jelas menentang h}udu>d karena bukan lagi waktunya untuk melaksanakan undang-undang h}udu>d di Malaysia yang penduduknya berbeda-beda agama. MCA akan keluar dari Barisan Nasional jika UMNO menyetujui pelaksanaan h}udu>d di Kelantan, meskipun ia memahami bahwa orang Islam dalam UMNO menerima h}udu>d.638 Partai koalisi pemerintah lainnya, Gerakan melalui Timbalan Gerakan, Dato’ Chang Ko Youn, menyatakan bahwa Gerakan menolak usaha melaksanakan h}udu>d atau undang-undang teokratik apa pun dengan struktur asas persekutuan dan perlembagaan karena Malaysia adalah bukan negara Islam, meskipun mayoritas berpenduduk Muslim. Gerakan juga mengancam bahwa kerjasama politik dengan UMNO tidak dapat dipertahankan dan mungkin berakhir jika hasrat melaksanakan h}udu>d dilaksanakan.639

634Hasil pengamatan Sidang Dewan Undangan Negeri yang membahas Program dan Budget Pemerintah Negeri Kelantan pada 19 Oktokber 2011. 635Hasil pengamatan Sidang Dewan Undangan Negeri yang membahas Program dan Budget Pemerintah Negeri Kelantan pada 19 Oktokber 2011. 636Lihat http://www/malaysiakini.com/news/176760 diakses pada 24 September 2011 637The Malaysian Insider, 21 September 2011 . 638http://www/malaysiakini.com/news/176631 diakses pada 25 September 2011. 639http://www/malaysiakini.com/news/176631 diakses pada 25 September 2011. 187

Tampak tarik-menarik yang begitu kuat antara UMNO dan PAS dan di tubuh koalisi Pakatan Rakyat (PAS, PKR, dan DAP) yang berbeda ideologi telah menjadikan isu h}udu>d di Kelantan sebagai komoditas politik yang signifikan. PAS dapat memainkan isu h}udu>d untuk menarik simpati Muslim yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam secara ka>ffah. Sebaliknya, UMNO juga menggunakan isu h}udu>d untuk memojokkan PAS yang dipandang tidak mengerti pluralitas masyarakat Malaysia, yang didominasi oleh tiga etnis besar dengan afinitas keagamaan yang berbeda; Melayu (Islam), Cina (Budha), dan India (Hindu). UMNO hendak menarik dukungan dari kelompok Cina dan India dalam Barisan Nasional. PAS juga memiliki kelemahan dalam menjaga koalisisnya ketika menggunakan isu h}udu>d karena DAP akan merespon yang berbeda. Matrik 4. Daftar Perbandingan Respon Partai Politik Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan

Respon Aceh Kelantan Partai Politik 1. PKS mendorong 1. PAS menyuarakan pembahasan Raqanun pemberlakuan hukum Jinayah Aceh dalam jinayah ke ruang publik dan Sidang DPRA koalisi Pakaan Rakyat (DAP 2. Partai Aceh dan dan PKR) berkomitmen Demokrat tidak tegas untuk memahami pendirian merespon pembahasan PAS tentang h}udu>d Raqanun Jinayah Aceh. 2. UMNO bersama Barisan Akan tetapi, Partai Aceh Nasional (MCA dan dan Demokrat tidak Gerakan) menolak menolak pemberlakuan pemberlakuan hukum syariat Islam jinayah ruang publik

Berdasarkan pemaparan di atas, partai politik Islam di Aceh, seperti PKS merespon pemberlakuan hukum jinayah dengan menampilkan cara pandang yang menyetujui dan bahkan berjanji untuk membahas Rancangan Qanun Jinayah Aceh dalam Sidang DPRA. Partai Aceh dan Partai Demokrat tidak menolak pemberlakuan hukum jinayah di Aceh, tetapi mereka tidak jelas sikapnya dalam merespon usaha pengesahan Rancangan Qanun Jinayah Aceh dalam Sidang DPRA. Di Kelantan, partai koalisi pemerintah (Barisan Nasional), UMNO, MCA, dan Gerakan tetap konsisten menolak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Sebaliknya, PAS tetap konsisten memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Partai koalisi oposisi lainnya

188

(DAP, dan PKR) menghormati pendirian PAS yang berjuang untuk memberlakukan hukum jinayah di Kelantan.

D. Respon Masyarakat terhadap Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan tidak dapat dilepaskan dari respon masyarakat yang beragam dari masyarakat Aceh dan Kelantan. Kelas sosial dan stratifikasi sosial,640 yang terdiri dari kelompok elit dan kelompok grassroot di Aceh dan Kelantan telah memainkan peran yang signifikan dalam memberikan respon terhadap pemberlakuan hukum jinayah. Terdapat respon pro dan kontra di masyarakat terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Secara umum, perdebatan yang muncul dalam pemberlakuan syariat Islam di Aceh terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang pro terhadap pemberlakuan syariat Islam dan kelompok yang kontra terhadap pemberlakuan syariat Islam. Kelompok yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam, termasuk hukum jinayah di Aceh mendasarkan argumennya pada ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran agama. Sebaliknya, kelompok yang menolak pemberlakuan syariat Islam mengambil argumen bahwa qanun jinayah bertentangan dengan hak asasi manusia dan hukum posistif di Indonesia serta menitikberatkan pada semangat menghukum yang kejam. Ditambahkan lagi bahwa masyarakat Aceh sudah sejak lama melaksanakan syariat Islam sehingga tidak memerlukan qanun-qanun syariat.641 Masyarakat yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah dapat dikelompokkan dalam kelompok elit yang berbasis pesantren/dayah, intelektual Islam, ulama MPU, dan ormas Islam. Sebaliknya, masyarakat grassroot yang bukan dari kalangan dayah/pesantren tampak abai dalam diskursus pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Yang diinginkan kelompok grassroot setelah konflik selesai adalah tercapainya kesejahteraan. Itu sebabnya, masyarakat grassroot Aceh sekarang ini menikmati hidup damai dengan sibuk memperjuangkan kesejahteraan. Masyarakat grassroot juga tidak bisa secara terang-terangan menolak pemberlakuan hukum jinayah di Aceh

640Penjelasan tentang kelas sosial dan stratifikasi sosial dapat dilacak pada Gordon Marshal (ed.), Oxford Concise Dictionary of Sosiology (Oxford dan New York: Oxford University Press, 1994), 56 dan 512. 641Ramli, Merajam Dalil Syariat (BandaAceh: Bandar Publishing, 2010), 56- 57.Wawancara dengan Ridwan Qari, Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Kementerian Agama RI Aceh 13 Nopember 2012. 189 karena bagi mereka syariat Islam telah menjadi isu yang sulit untuk ditolak. Jika mereka menolak, maka keislaman mereka akan mudah diragukan.642 Dalam pandangan aktivis LSM di Aceh, Iqbal Farabi, masyarakat Aceh sesungguhnya tidak perduli dengan pemberlakuan syariat Islam karena pada dasarnya, masyarakat Aceh secara kultural telah melaksanakan syariat Islam. Setelah syariat Islam diformalkan, baru menjadi masalah karena pemberlakuannya lebih didorong oleh kelompok- kelompok elit yang memiliki akses dengan kekuasaan, sedangkan masyarakat tidak begitu memperhatikan pemberlakuan h}udu>d (dan juga ta’zi>r) karena bagi mereka itu bukan prioritas hidup. Masyarakat juga tidak bisa menolak secara lugas dan tegas, karena akan mudah dituduh sebagai ‚kafir‛, suatu stigma yang mudah ditimpakan kepada kelompok- kelompok yang tidak setuju dengan formalisasi hukum jinayah.643 Masyarakat tampaknya belum siap dengan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh karena pengetahuan mereka berbeda-beda tentang syariat Islam.644 Sosialisasi tentang hukum jinayah kepada masyarakat masih belum optimal menjangkau lapisan-lapisan masyarakat yang paling bawah. Masyarakat grassroot juga pasif dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Tingkat kepasifan masyarakat dibuktikan dari sepinya aksi tuntutan pemberlakuan hukum jinayah. Masyarakat cenderung diam dalam merespon pemberlakuan hukum jinayah. Suara aktif perjuangan pemberlakuan hukum jinayah justru diperlihatkan Dinas Syariat Islam, yang mengkoordinasikan untuk mengajukan Rancangan Qanun Jinayah yang di-back up oleh para ulama, yang berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama dan dayah (pesantren) dan cendekiawan Muslim dari kampus (IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah). Ketidakaktifan masyarakat dalam memperjuangkan Qanun Jinayah sesungguhnya merupakan karakter rakyat Aceh yang tidak biasa dengan unjuk rasa/demonstrasi. Rakyat Aceh akan langsung menyampaikan aspirasinya, tanpa perlu melakukan unjuk rasa.645 Di Aceh, diskursus pemberlakuan hukum jinayah tidak banyak menyentuh kepentingan grassroot, tetapi lebih dititikberatkan pada

642Wawancara dengan Sopir Taksi dan Pedagang Kaki Lima di Banda Aceh 18 Juni 2012. 643Wawancara dengan Iqbal Farabi, Aktivis LSM di Banda Aceh, 18 Juni 2012.Wawancara dengan Sopir Taksi Banda Aceh, 18 Juni 2012. 644Wawancara dengan Bustami Usman, Ketua Kesbangpolinmas Pemerintah Aceh pada 19 Juni 2012 di Banda Aceh 645Wawancara dengan Suardi Saidi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pada 16 Nopember 2012 di Banda Aceh 190 diskursus politik yang melibatkan kemauan penguasa daerah dan para elit masyarakat dalam pemberlakuan hukum jinayah. Perbincangan publik tentang hukum jinayah belum tampak nyata dalam kehidupan keseharian masyarakat. Mereka lebih banyak memperbincangkan pelaksanaan syariat Islam yang telah ada, seperti khamar, maisir, khalwat, busana muslim, dan pelanggaran akidah. Hal ini berbeda dengan di Kelantan. Masyarakat Kelantan dalam merespon diskursus pemberlakuan hukum jinayah berada dalam satu pandangan yang sama. Kelompok elit dan kelompok grassroot berada pada barisan yang sama, yakni memahami hukum jinayah dan siap melaksanakannya. Kelompok elit yang diwakili ulama, politisi, pemerintah beserta masyarakat grassroot siap melaksanakan hukum jinayah.646 Kelompok elit dan grassroot memiliki kesadaran yang kuat untuk memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Kenyataan sosial masyarakat Kelantan yang relijius dengan afinitas politik kepada PAS, membuat masyarakat Kelantan selalu memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah. Hampir tidak ditemukan masyarakat Muslim yang menolak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Mereka sudah sejak lama siap melaksanakan syariat Islam secara total. Mufti Kelantan, Dato’ Mohamad Sukhri menyatakan bahwa syariat Islam adalah hukum Allah yang harus dilaksanakan. H}udu>d di Kelantan yang telah diundangkan sejak 1993 mestinya sudah dapat diberlakukan di Kelantan. Sebelum dilaksanakan, Pemerintah Kelantan seharusnya mempersiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan dalam melaksanakan h}udu>d. Dato’ Mohamad Sukhri memandang Pemerintah Kelantan belum mempersiapkan perangkat-perangkat tersebut karena terkendala oleh kewenangan Pemerintah Kelantan yang tidak memiliki otoritas di lembaga penegak hukum, seperti kepolisian.647 Ketua Hakim Syar’i Kelantan, Dato’ Daud bin Muhammad memandang bahwa Pemerintah Kelantan sudah seharusnya melaksanakan h}udu>d setelah diundangkan Enakmen Kanun Jenyah

646Sejumlah wawancara di Kelantan, seperti Wan Nik Wan Yussof, Setia Usaha Politik Pemerintah Negeri Kelantan pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu, Wawancara denga Mufti Kelantan, Dato’ Mohamad Sukhri pada 18 Oktokber 2011 di Kota Bharu. Wawancara dengan Ketua Hakim Syar’i Kelantan, Dato’ Daud bin Muhammad pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu.Wawancara dengan Ahli DUN Kelantan (Anggota DPRD Kelantan), Abdullah Yacoob, pada 19 Oktokber 2011 di Kota Bharu. Wawancara dengan Sopir Taksi dan Pedagang 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 647Wawancara dengan Mufti Kelantan, Dato’ Mohamad Sukhri pada 18 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 191

Syariah II 1993 meskipun Pemerintahan Federal menolak. Hingga kini, Pemerintah Kelantan tidak berani melaksanakan. Dato’ Daud bin Muhammad kemudian mengkritik Pemerintah Kelantan yang tidak serius melaksanakan h}udu>d di Kelantan.648 Justru penolakan terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan datang dari lawan politik PAS, yaitu UMNO. Dengan tegas UMNO menolak pemberlakuan hukum jinayah. Dalam Sidang Dewan Undangan Negeri yang membahas Program dan Budget Pemerintah Negeri Kelantan pada 19 Oktokber 2011 terjadi perdebatan yang tajam antara kubu PAS, Hasan Mahmood dan kubu UMNO, Nazollah dalam menyikapi perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Pihak PAS selalu menyaurakan pemberlakuan hukum jinayah, sedang pihak UMNO selalu menentang pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan.649 Dengan demikian, masyarakat Kelantan tidak terbelah secara tajam dalam merespon pemberlakuan hukum jinayah. Ada kepentingan bersama yang diyakini oleh orang-orang yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam, yang pada gilirannya mewujud dalam gerakan masyarakat, baik yang dilakukan dalam jalur struktural maupun dalam jalur kultural. Totalitas pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan juga mengundang perdebatan di kalangan masyarakat. Ada kelompok yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara total dan ada kelompok yang menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara bertahap. Msyarakat Aceh dan Kelantan berbeda dalam merespon totalitas pemberlakuan hukum jinayah. Di Aceh, pemberlakuan hukum jinayah tidak diperjuangkan secara totalistik. H}udu>d, qis}a>s}, dan ta’zi>r yang menjadi inti hukum jinayah tidak diperjuangkan untuk diberlakukan totalistik. Ada tahapan yang sistematis dalam memberlakukan hukum jinayah di Aceh agar totalitas pemberlakuan hukum jinayah dapat tercapai. Tahap awal pemberlakuan hukum jinayah Di Aceh lebih dititikberatkan pada hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah, syiar, dan moralitas/kesusilaan,seperti busana muslim/muslimah, shalat Jum’at, puasa Ramadhan, maisir, khalwat, dan khamar beserta pelanggaran terhadap aturan ibadah, akidah, dan syiar Islam. Tahap berikutnya masuk pada wilayah pelanggaran seksual, yaitu tentang liwa>t}, ikhtila>t}, musa>h}aqah, qadhaf, perkosaan, dan pelecehan seksual. Karena itulah,

648Wawancara dengan Ketua Hakim Syar’i Kelantan, Dato’ Daud bin Muhammad pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 649Pengamatan Sidang Dewan Undangan Negeri yang membahas Program dan Budget Pemerintah Negeri Kelantan pada 19 Oktokber 2011 192 hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh saat ini sesungguhnya berada pada level yang terbatas, karena hanya satu materi h}udu>d yang diberlakukan, yaitu khamar dan ta‘zi>r, seperti khalwat, maisir, pelanggaran pada aspek aqidah, ibadah, syiar Islam, dan zakat. Aspek h}udu>d yang mengatur qadhaf, zina, pencurian, perampokan, murtad, dan bughat belum menjadi prioritas. Qis}a>s} dan diyat yang menjadi bagian penting dalam hukum jinayah tidak diberlakukan di Aceh. Tahapan pemberlakuan hukum jinayah yang terjadi di Aceh telah menjadi cara pandang kelompok-kelompok Islam yang berasal dari kampus dan dekat dengan Pemerintah Aceh, seperti Alyasa’ Abu Bakar,650 Rusydi Ali Muhammad,651 dan Muslim Ibrahim.652 Mereka menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara bertahap. Kelompok ini memandang bahwa strategi pemberlakuan hukum jinayah dilekatkan kepada penguasa sehingga sangat tergantung pada keinginan Pemerintah Aceh. Apalagi mereka inilah yang terlibat mempersiapkan draft Rancangan Qanun Jinayah versi Pemerintah Aceh. Dalam pandangan Alyasa’ Abu Bakar, setelah pelaksanaan syariat Islam telah berjalan dalam kerangka aqidah, ibadah, dan syiar Islam, diupayakan pelaksanaan syariat Islam dalam bidang jinayah secara bertahap. Langkah yang dilakukan adalah perumusan qanun di bidang pidana materil dan formil yang dipilah menjadi empat bidang, yaitu: Pertama, peraturan yang berkaitan dengan perlindungan moral yang meliputi larangan minuman khamar, perjudian, zina dan perkosaan. Pada bidang ini sudah disusun tiga qanun, yaitu Qanun No. 12 Tentang Larangan Khamar dan sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Tentang Khalwat. Kedua, peraturan yang berkaitan dengan perlindungan harta kekayaan yang meliputi pencurian, penggelapan, penipuan, perampokan/perampasan dan pengrusakan barang milik orang lain, termasuk di dalamnya perbuatan penadahan. Bidang yang kedua ini telah berhasil disusun Rancangan Qanun Jinayah yang sampai sekarang belum diberlakukan karena Gubernur Aceh belum menyetujuinya. Ketiga, peraturan yang berkaitan dengan perlindungan nyawa manusia, yaitu tentang larangan pembunuhan dan penganiayaan atau perlukaan. Pada bidang ini, belum disusun Qanun yang berisi tentang qis}a>s}. Keempat,

650Alyasa’ Abubakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa, (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2008), 53-56. 651Wawancara dengan Rusydi Ali Muhammad, Kepala Dinas Syariat Islam Pemerintah Aceh pada 14 Nopember 2012 di Banda Aceh. 652Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh. 193 peraturan mengenai hukum acara pidana secara khusus sesuai dengan kebutuhan di Aceh karena adanya pelaksanaan hukum pidana syariat. 653 Pada bidang ini telah berhasil disusun Rancangan Qanun Hukum Acara Jinayah. Dalam pandangan Ketua MPU Aceh, Muslim Ibrahim, pelaksanaan syariat Islam di Aceh dilaksanakan secara bertahap. Setelah 3 Qanun berhasil disahkan, lalu bertahap mengajukan Qanun Jinayah, meskipun bukan jinayah lengkap karena pembunuhan belum masuk di dalamnya. Setelah ditolak oleh Gubernur, para ulama masih berharap yang ditolak dikeluarkan dulu dan diterapkan yang sudah diterima oleh Gubernur. Bagi ulama, hukum jinayah tidak harus semuanya diberlakukan terlebih dulu, tapi dilakukan secara bertahap. 654 Di luar kelompok elit yang berasal dari cendekiwan kampus, terdapat pula suara-suara dari organisasi massa Islam yang berpengaruh di Aceh, seperti dayah (pesantren), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggore Aceh Darussalam (MUNA), Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan untuk memberlakukan hukum jinayah secara bertahap. Pada kondisi sekarang, tampak mayoritas masyarakat Aceh menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara bertahap. Tentu saja strategi ini dirancang untuk mencapai cita-cita ideal memberlakukan qis}a>s}, h}udu>d qisas, dan ta‘zi>r di Aceh. Teungku Faisal Ali, Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang juga menjabat sebagai Ketua PWNU Aceh menjelaskan bahwa dayah/pesantren di Aceh menginginkan pemberlakuan hukum jinayah secara bertahap, bukan stagnan seperti yang sekarang ini berjalan. Pengesahan Rancangan Qanun Jinayah yang memasukkan pasal rajam pada tahun 2009 sesungguhnya tidak mencerminkan keinginan masyarakat Aceh. Inilah yang mengakibatkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh selama satu dekade ini berjalan di tempat.655 Setelah Zaini Abdullah terpilih menjadi Gubernur Aceh, ia mengunjungi Abu Panton, ulama kharismatik, Ketua HUDA di Aceh dan diberi nasehat untuk memberlakukan hukum jinayah secara bertahap agar tidak berjalan stagnan.656

653Alyasa Abubakar, ‚Penerapan Syariat Islam…‛, 53-56 654Wawancara dengan Muslim Ibrahim, Ketua Umum MPU NAD, tanggal 21 September 2010 di Banda Aceh. 655Wawancara dengan Teungku Faisal Ali, Sekjen HUDA dan Ketua PWNU Aceh pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh. 656Wawancara dengan Teungku Faisal Ali, Sekjen HUDA dan Ketua PWNU Aceh pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh. 194

Demikian ini pula yang dinyatakan Ketua Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) Kota Banda Aceh, Teungku Abdul Aziz, bahwa pemberlakuan syariat Islam, seperti hukum jinayah tidak dapat dilakukan langsung keseluruhannya. Pemberlakuan hukum jinayah dilakukan secara bertahap karena masyarakat Islam perlu diberikan pemahaman tentang syariat Islam secara memadai.657 Suardi Saidi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pun menegaskan bahwa syariat Islam secara komprehensif mesti diberlakukan di Aceh, tetapi tidak dapat dilaksanakan sekaligus. Strateginya dilakukan secara bertahap, karena jika diberlakukan sekaligus, pemerintah dan masyarakat tidak siap dengan totalitas syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam secara total adalah cita-cita ideal masyarakat Muslim Aceh, tetapi sekarang ini dilaksanakan secara bertahap. Ia menegaskan bahwa qanun-qanun yang sekarang ada, tidak lah cukup menjangkau syariat Islam secara komprehensif, karena bagian inti dari syariat Islam, yaitu hukum jinayah belum diberlakukan. Ia berpendirian, penerapan syariat Islam dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kesiapan masyarakat Aceh.658 Di Kelantan berbeda cara pandangnya dengan Aceh. Pemerintah Negeri Kelantan yang sejak 1990 hingga 2013 dipimpin oleh Nik Abdul Aziz Nik Mat, sejak awal memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah (h}udu>d) secara total dan segera di Kelantan. Dalam pandangannya, h}udu>d merupakan undang-undang Allah Swt yang wajib dilaksanakan sebagaimana fard}u melaksanakan shalat, puasa, dan zakat.659H}udu>d bukan sekadar hukuman cambuk dan potong tangan yang dijatuhkan atas pelaku jinayah terhadap kesalahan-kesalahan seperti mencuri, berzina dan minum arak saja, tetapi lebih luas lagi, yaitu mencakup semua batasan syariat yang telah ditetapkan Allah Swt. Mufti Kerajaan Negeri Kelantan. Dato’ Mohamad Sukhri berpandangan bahwa h}udu>d secara total di Kelantan dapat dilaksanakan, tetapi perlu menyelesaikan beberapa persoalan penting, terutama Konstitusi dan Akta Mahkamah Syariyyah 1985 yang memberi kewenangan Mahkamah Syar’iyyah untuk menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, RM 5.000,00 dan 6 kali cambuk. Padahal, hukuman yang

657Wawancara dengan Teungku Abdul Aziz di Banda Aceh pada 22 Nopember 2012 658Wawancara dengan Suardi Saidi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pada 16 Nopember 2012 di Banda Aceh 659Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Tekad Bersama Melaksanakan Hududullah‛ dalam Hukum Hudud: Tuntutan Umat dan Tanggungjawab Pemimpin Islam, Sampena 60 Tahun PAS, 1 Oktokber 2011. 195 terdapat dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 berbeda dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah. Ini berarti perlu mengamandemen Konstitusi dan Akta Mahkamah Syar’iyyah 1985. Sayangnya, untuk mengamandemen Perlembagaan dan Akta Mahkamah Syar’iyyah diperlukan 2/3 kursi parlemen. Jika seluruh anggota parlemen bersatu untuk mengamandemen Perlembagaan dan Akta Mahkamah Syar’iyyah tidak akan cukup kursi karena harus melibatkan Non-Muslim di parlemen. Inilah tantangannya dalam melaksanakan h}udu>d di Kelantan.660 Tantangan berikutnya adalah Pemerintah Negeri Kelantan perlu menata kelembagaan yang melaksanakan h}udu>d karena polisi dan penjara menjadi kewenangan Pemerintahan Federal, sehingga polisi tidak akan bisa menangkap pelaku kejahatan h}udu>d dan dituntut ke Mahkamah Syar’iyyah serta dimasukkan ke penjara karena kewenangan kepolisian dan penjara berada di Pemerintahan Federal.661 Menurut Ketua Hakim Syar’i, Dato’ Daud bin Muhammad, sudah sepatutnya Pemerintah Negeri Kelantan melaksanakan h}udu>d secara total karena Enakmen Jenayah Syariah (II) 1993 telah disahkan oleh Dewan Undangan Negeri Kelantan dan mendapatkan persetujuan dari Sultan Kelantan. Bukan hanya itu, masyarakat Kelantan juga telah menerima hukum h}udu>d. Sayangnya, Pemerintah Negeri Kelantan tidak serius untuk melaksanakan h}udu>d karena yang dilaksanakan hanyalah pewacanaan h}udu>d dalam Hari Hududullah saja.662 Ormas yang dibentuk PAS, Dewan Himpunan Penyokong PAS yang dulunya bernama Kelab Penyokong PAS setelah bergerak selama enam tahun justru menolak pemberlakuan h}udu>d di Kelantan. Ketua Dewan Himpunan Penyokong PAS, Hu Pang Chow mengancam akan keluar dari PAS secara beramai-ramai seandainya pimpinan PAS tidak mau mengalah dan ngotot memperjuangkan h}udu>d. Sejatinya, ia menginginkan pimpinan PAS memberi perhatian kepada masalah lain sebelum memikirkan untuk melaksanakan h}udu>d. Di beberapa negara bagian di Malaysia yang telah dikunjunginya, Non-Muslim menolak pelaksanaan h}udu>d. Menurutnya, Pemerintah PAS di Kelantan sebaiknya mencontoh Pulau Pinang yang berhasil menurunkan indeks kejahatan pidana hingga 36 persen setelah mengambil alih pemerintahan negeri dari Barisan Nasional. Itulah yang pimpinan PAS perlu lakukan, bukan

660Wawancara denga Dato’ Sukri pada 18 Oktokber 2011 di Kota Bharu 661Wawancara denga Mufti Kelantan, Dato’ Mohamad Sukhri pada 18 Oktokber 2011 di Kota Bharu 662Wawancara dengan Ketua Hakim Syar’i Kelantan, Dato’ Daud bin Muhammad pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 196 tergesa-gesa melaksanakan h}udu>d yang masih banyak orang tidak paham. Pimpinan PAS terlebih dahulu memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat dengan meningkatkan peluang kerja.663 Ironisnya, pandangan Hu Pang Chow justru dibantah wakilnya dari etnik India, N Balasubramaniam yang menyatakan tidak takut pelaksanaan h}udu>d karena hukumannya untuk orang-orang yang berbuat salah yang beragama Islam, bukan untuk Non-Muslim. Menurutnya, Kelantan patut diberi peluang untuk melaksanakan h}udu>d. Jika sudah berhasil, bisa diterapkan di negara bagian lainnya.664 Perbedaan yang nyata antara Aceh dan Kelantan dalam soal totalitas pemberlakuan hukum jinayah jelas sekali. Di Aceh, pemberlakuan hukum jinayah memiliki tahapan-tahapan. Aspek-aspek kontroversial, seperti perbuatan zina yang dihukum rajam, pencurian yang dihukum potong tangan, dan pembunuhan yang dihukum qis}a>s } tidak diinginkan untuk diberlakukan. Kecenderungan elit agama dan masyarakat menghindar dari pengaturan hukuman controversial, seperti rajam, potong tangan, dan qis}a>s}. Ketiga hukuman inilah yang masih memerlukan pemahaman yang komprehensif dari masyarakat karena hukuman rajam, potong tangan, dan qis}a>s} masih menjadi perdebatan serius di masyarakat Aceh. Sebaliknya, gagasan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan tidak dilakukan secara bertahap. Totalitas pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan hampir tidak ditemukan perdebatan yang panjang. Masyarakat Muslim Kelantan telah memiliki kesadaran untuk memberlakukan hukum jinayah secara total. Hukuman rajam, potong tangan, dan qis}a>s tidak menjadi perdebatan serius di masyarakat karena mereka telah siap memberlakukan hukum jinayah secara total. Dalam kaitannya dengan pemberlakuan hukum jinayah, Non- Muslim di Aceh dan Kelantan menduduki posisi yang dilematis. Jika mereka menolak syariat Islam, mereka adalah kelompok minoritas yang tidak memiliki kekuatan politik yang kuat. Jika mereka menerima, mereka khawatir diperlakukan tidak adil oleh penguasa Muslim yang memberlakukan syariat Islam. Posisi dilematis ini biasanya muncul dalam setiap pemberlakuan syariat Islam di wilayah yang mejemuk, seperti Aceh dan Kelantan. Penerapan syariat Islam di Aceh pada awalnya sempat menjadi kekhawatiran warga Non-Muslim. Di awal pelaksanaan syariat Islam di Aceh, ada ketakutan dari kelompok Non-Muslim. Mereka khawatir akan diusir dari tanah Aceh, wajib berjilbab, akan dipotong tangan jika

663Sinar Harian, 10 Oktokber 2011 664Sinar Harian, 10 Oktokber 2011 197 mencuri, dipaksa masuk Islam, dan sebagainya.665 Hal ini terungkap dalam surat dari Majelis Permusyawaratan Gereja (MPG) Aceh, 16 Januari 2002 yang ditujukan kepada Gubernur Aceh, yang berisi agar pemerintah netral dan memperhatikan kaum minoritas, menghindari bentuk kekerasan dan penjajahan penguasa atas nama agama.666 Kekhawatiran ini muncul karena belum jelasnya konsep pemberlakuan syariat Islam di masa-masa perumusan. Di awal-awal perdebatan publik, masih terlintas lontaran pemikiran yang menghendaki pemberlakuan syariat Islam untuk seluruh penduduk Aceh, tak terkecuali Non-Muslim.667 Inilah kekhawatiran kelompok minoritas Non-Muslim di Aceh terhadap pemberlakuan syariat Islam. Pada awalnya, sejumlah Non-Muslim merasakan pelaksanaan syariat Islam yang menegangkan. Mereka merasa tidak nyaman dengan edaran wajib berbusana muslimah dan razia jilbab. Anak-anak yang bersekolah di sekolah umum merasa dikucilkan oleh teman-teman mereka yang semua berbusana mulimah. Mereka juga merasa sulit untuk membaur dengan masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.668 Dalam perkembangannya, masyarakat Non-Muslim dapat menerima pemberlakuan hukum jinayah di Aceh karena qanun-qanun syariat tidak dikenakan kepada mereka. Ketua Majelis Permusyawaratan Gereja Banda Aceh, Pdt. Sandino tidak merasakan sesuatu yang berat dari pemberlakuan syariat Islam (seperti hukum jinayah), karena syariat Islam diberlakukan untuk umat Islam.669 Sementara Wakil Katolik Banda Aceh, Baron Pandiangan menyatakan, umat Katolik tidak mendapatkan masalah dengan pemberlakuan syariat Islam.670 Justru Suryasani (Walubi Aceh) merasa heran dengan perdebatan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Sebagai warga Non-Muslim yang sejak lama tinggal di Aceh, dirinya merasa bebas menjalankan ibadatnya, termasuk cara berpakaian yang leluasa tanpa ada paksanaan untuk mengenakan kerudung. Secara

665Sjafrilsyah, ‚Persepsi dan Perilaku Masyaraka Non-Muslim terhadap Pelaksanaan Undang-undang Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam‛, dalam Syamsul Rijal, dkk., Dinamika dan Problematika Penerapan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011), 148.. 666Abidin Nurdin, ‚Syariat Islam dan Kaum Minoritas‛ dalam Abidin Nurdin, Syariat Islam dan Isu-isu Kontemporer (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011), 129-130. 667Sjafrilsyah, ‚Persepsi dan Prilaku Masyaraka Non-Muslim…‛, 148. 668Sjafrilsyah, ‚Persepsi dan Perilaku Masyarakat Non-Muslim…‛, 153-54. 669Wawancara dengan Pdt Sandino, PGI Propinsi Aceh pada 18 Oktokber 2010 di Banda Aceh 670Wawancara dengan Baron Pandiangan, KWI Propinsi Acehpada 18 Oktokber 2010 di Banda Aceh 198 umum, warga Aceh justru bersikap toleran terhadap keberadaan non- Muslim.671 Dalam komunitas etnis Cina di Aceh yang pada umumnya beragama Budha, Kristen, dan Konghuchu, ada yang menginginkan penerapan syariat Islam kepada dirinya. Sebagai contoh, seorang warga Cina, Lusiana Liu alias Young Ma (47 tahun) beragama Budha di Kelurahan Keramat Dalam, Sigli, Pidie terbukti bersalah secara hukum karena menjual minuman keras jenis Wisky merk Globe Horse. Yong Ma sebenarnya tidak dikenakan pelanggaran Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar karena ia tidak beragama Islam, tetapi ia memilih untuk diselesaikan di depan Mahkamah Syar’iyyah.672 Kasus lainnya terjadi pada Non-Muslim, yakni enam orang sopir truk melakukan perjudian di Banda Aceh, 2 orang beragama Islam dan 4 orang beragama non-Muslim. Setelah ditangkap polisi, 4 orang Non- Muslim memohon kepada aparat penegak hukum untuk disidangkan di Mahkamah Syar’iyyah, Hakim Mahkamah Syar’iyyah menolak permohonan mereka dan melimpahkan perkara mereka di Pengadilan Negeri Banda Aceh.673 Di Kelantan, pluralitas masyarakatnya tidak sama dengan di Aceh. Di Kelantan, ada empat etnis besar, yaitu Melayu, Cina, India, dan Siam. Keempat etnis ini memiliki afinitas agama yang berbeda-beda. Orang Melayu beragama Islam, orang Cina umumnya beragama Budha, orang India beragama Hindu, dan orang Siam beragama Budha. Selain empat etnis tersebut, ada penduduk asli, yang disebut ‚orang asal‛. Mereka hidup di pedalaman. Non-Muslim di Kelantan yang terdiri dari Cina, India, dan Siam memiliki pandangan bahwa syariat Islam adalah hukum Tuhan yang mesti dilaksanakan oleh umat Islam. Tharuman, orang India yang bekerja di Urusetia Kerajaan Kelantan berpandangan bahwa syariat Islam tidak boleh ditolak karena syariat Islam telah diturunkan oleh Tuhan. Dalam pandangannya, undang-undang Islam dan politik tak terpisahkan. Untuk

671Wawancara dengan Suryasani, Wakil Walubi Propinsi Aceh pada 18 Oktokber 2010 di Banda Aceh 672Kasus ini terjadi pada 7 Agustus 2008 ketika polisi bersama beberapa para saksi menemukan 15 Wisky di rumah Young Ma. Sebelumna Young Ma membeli minuman memabukkan dengan cara memesan ke Medan sejumlah 24 botol, sebagian sudah dijual dan sisanya 15 botol yang ditemukan polisi. Kasus ini diproses dan diputuskan di Mahkamah Syar’iyyah Syar’iyyah pada 10 Nopember 2008. Dengan hukuman penjara 4 bulan. Periksa Putusan Mahkamah Syar’iyyah Sigli No. 02/JN/2008/Msy.SGI. Lihat Abidin Nurdin, ‚Syariat Islam dan Kaum Minoritas…‛, 157. 673Serambi Indoensia, 21 Juni 2011. 199 membendung kesalahan jinayah, Tuhanlah yang tahu, sedangkan Undang-undang buatan manusia tidak memberi pengaruh yang signifikan. Undang-undang Hudud berfungsi untuk membendung kesalahan jinayah. Di dalam agama Hindu juga terdapat hukum yang sangat keras terhadap kesalahan jinayah, yaitu dalam hukum Manudidi Sattem, seperti kesalahan membunuh dihukum dengan diinjak gajah. Sebagai orang Hindu, Tharuman sangat setuju dengan pemberlakuan h}udu>d di Kelantan. Orang-orang semestinya tidak perlu takut dengan h}udud. Orang Hindu di Kelantan mendukung pemberlakuan h}udu

674Orang Hindu di Kelantan yang berjumlah sekitar sepuluh ribu jiwa tidak semuanya mendukung h}udud akan banyak tangan dipotong. MCA menggunakan isu h}udu>d sebagai alat politik agar orang-orang Cina tidak mendukung PAS. Partai politik yang mewadahi orang Cina lainnya, DAP678 berkoalisi dengan PAS dan setuju dengan pemberlakuan h}udu

Matrik 5. Daftar Perbandingan Respon Masyarakat dalam Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan

Respon Aceh Kelantan Respon Masyarakat Muslim Masyarakat Muslim, baik Masyarakat grassroot (kalangan bawah) grassroot (kalangan bawah) Muslim tidak banyak maupun elit Muslim telah siap mendiskusikan Raqanun memberlakukan hukum jinayah Jinayah Aceh, sedangkan elit Muslim (ulama MPU, ulama dayah, dan

678DAP tidak memperoleh kursi DUN di Kelantan. 679Wawancara dengan Jeff Lee Chuang, orang Cina-Budha di Kota Bharu, Kelantan tanggal 13 Oktokber 2011. 680Wawancara dengan Chew Pei Ha, orang beragama Buddha, pada 20 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 201

akademisi) mendorong Raqanun Jinayah Aceh yang telah direvisi dibahas di DPRA Respon Masyarakat Non-Muslim Masyarakat Non-Muslim telah Masyarakat pada awalnya khawatir mengetahui bahwa hukum Non-Muslim hukum jinayah jinayah tidak diberlakukan diberlakukan kepada kepada mereka sehingga mereka, tetapi setelah mereka tidak menolak melihat pelaksanaannya, mereka tidak lagi khawatir karena ternyata tidak diberlakukan kepada mereka

Dari aspek substansi materi hukum jinayah jelas sekali bahwa mereka dapat menerima pemberlakuan hukum jinayah karena hukum yang diberlakukan tidak dikenakan kepada mereka. Mereka tidak khawatir terhadap substansi materi hukum yang diberlakukan. Berbeda jika hukum jinayah yang diberlakukan juga dikenakan kepada Non- Muslim, maka arus penolakan akan mudah tersebar. Dari aspek posisi mereka sebagai minoritas, maka sesungguhnya mereka sedang memainkan posisi yang sulit untuk menolak pemberlakuan hukum jinayah. Tekanan yang lebih besar dari kelompok mayoritas akan mudah dialamatkan kepada mereka, jika mereka lantang menyuarakan penolakan pemberlakuan hukum jinayah. Jalan kompromi dan aman justru diperlihatkan masyarakat Non-Muslim di Aceh dan Kelantan dalam merespon pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan.

E. Mobilisasi Perjuangan Perluasan Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan Perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dilakukan dengan mobilisasi. Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dilakukan dengan memobilisasi struktur negara (pemerintah dan legislatif) karena kedua institusi inilah yang memiliki kewenangan melegislasi (taqni>n al-shari>’ah al-isla>mi>yah).681 Di luar lembaga negara ini, mobilisasi juga dilakukan terhadap kelompok-kelompok strategis,

681Bandingkan dengan kelompok yang menolak pengundangan syariat Islam, seperti ‘Abd al-Rahma>n ibn Sa’ad ibn ‘Ali al-Shatary.Lihat ‘Abd al-Rahma>n ibn Sa’ad ibn ‘Ali al-Shatary, Taqni>n al-Shari>’ah Bayna al-Tah}li>l wa al-Tah}ri>m, (Riyad}: Da>r al- Fad}i>lah, 2005), 15-30.‘Abd al-Rahma>n ibn Sa’ad ibn ‘Ali al-Shatary, H}ukm Taqn>in al- Shari>’ah al-Isla>miyyah (Riyad}: Da>r al-S}ami>’i li al-Nashr wa al-Tawzi>’, 2007), 15-22. 202 seperti ulama, kaum intelektual Muslim, dayah, dan ormas Islam. Dengan mobilisasi sumberdaya yang begitu komprehensif inilah, kelompok-kelompok masyarakat melakukan sejumlah gerakan dalam bentuk pressure group (kelompok penekan). Mobilisasi yang terjadi Aceh dan Kelantan tampak berbeda. Struktur utama yang dimobilisasi untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh adalah Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam di tingkat propinsi. Dinas Syariat Islam lalu melibatkan ulama dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan intelektual Islam kampus (IAIN Ar- Raniry). Kepemimpinan Dinas Syariat Islam selalu dipegang intelektual Islam dari dari IAIN Ar-Raniry, seperti Alyasa Abu Bakar, Rusydi Ali Muhammad, dan Syahrizal. Pentingnya memobilisasi Dinas Syariat Islam karena institusi ini memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organsasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Dinas Syariat Islam mempunyai fungsi: (1) merencanakan, menyiapkan, dan menyebarluaskan qanun Pelaksanaan Syariat Islam, (2) menyiapkandan membina sumber daya manusia dalam Pelaksanaan Syariat Islam; (3) melakukan bimbingan dan pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam, dan (4) melakukan bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam. Ini berarti Dinas Syariat Islam memiliki tugas yang menyeluruh mulai dari merencanakan, menyiapkan dan menyebarluaskan pelaksanaan syariat Islam. Dalam posisi inilah, Dinas Syariat Islam berkolaborasi dengan ulama yang tergabung dalam MPU, ulama dayah, intelektual dari IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) untuk melakukan penyiapan pelaksanaan syariat Islam secara berkesinambungan. Sejumlah qanun, seperti Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal yang menjadi bagian dari pelaksanaan hukum jinayah merupakan kolaborasi yang efektif antara Dinas Syariat Islam dengan MPU, ulama dayah, intelektual dari IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah. Tak kecuali upaya memperluas hukum jinayah yang masuk dalam Rancangan Qanun

203

Jinayah 2009 merupakan kolaborasi MPU, ulama dayah, intelektual dari IAIN Ar-Raniry dan Unsyiah. Dalam penyiapan sejumlah qanun syariat di atas dilakukan dalam suasana politik baru. Eforia reformasi dan eforia perjanjian Helsinski 2005 telah menjadi momentum bersama untuk mempersatukan masyarakat Aceh. Inilah political opportunity yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun paska reformasi. Syariat Islam adalah solusi awalnya untuk memecah kebuntuan politik damai di Aceh. Suasana kebebasan dan damai dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Aceh untuk menyiapkan pelaksanaan syariat Islam. Jalan mulus pelaksanaan syariat Islam sesungguhnya dilakukan dalam strategi bertahap menuju syariat Islam ka>ffah.682 Sayangnya, sejak disahkan Rancangan Qanun Jinayah oleh DPRA pada akhir periode 2004-2009, yaitu 14 September 2009, terjadi kemandekan yang meyakinkan karena Gubernur Irwandi Yusuf menolak menandatangani. Setelah Gubernur Irwandi Yusuf tidak menggubris desakan masyarakat untuk mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah, gerakan masyarakat cenderung melemah. Hampir tidak terjadi gejolak yang signifikan dalam perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Masyarakat Aceh cenderung pasif dalam melakukan gerakan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Selama Aceh dipimpin Irwandi, pembahasan tentang Qanun jinayah vakum, meskipun di ruang publik masyarakat masih mengharapkan pemberlakuan hukum jinayah. Pemerintah Aceh tidak mengambil inisiatif untuk kembali menyodorkan Rancangan Qanun Jinayah ke DPRA. Usaha-usaha penyiapan Rancangan Qanun Jinayah baru dilaksanakan pada periode kepemimpinan Aceh dipegang Pejabat Gubernur Tarmizi A. Karim. Pj. Tarmizi A. Karim membentuk tim yang terdiri Dinas Syariat Islam, Majelis Permusyawaran Ulama (MPU), Mahkamah Syar’iyyah, Kepolisian, Kejaksanaan dan Akademisi (IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syah Kuala) untuk mempersiapkan Rancangan Qanun Jinayah yang baru. Hasil dari kerja tim ini, dihapuslah pasal yang kontroversi seperti hukum rajam bagi pelaku zina.683 Rancangan Qanun Jinayah yang baru ini kemudian diserahkan ke DPRA.684 Perubahan kepemimpinan Aceh dari Irwandi Yusuf ke Zaini Abdullah yang diusung Partai Aceh sejatinya membawa angin segar bagi

682Wawancara dengan Rusydi Ali Muhammad, Kepala Dinas Syariat Islam, 14 Nopember 2012 di Banda Aceh. 683Wawancara dengan Rusydi Ali Muhammad, Kepala Dinas Syariat Islam, 14 Nopember 2012 di Banda Aceh. 684Serambinews.com, 20 Oktober 2012 diakses 20 Pebruari 2013. 204 gerakan pemberlakuan hukum jinayah. Zaini Abdullah dipandang memiliki orientasi yang kuat dalam pemberlakuan syariat Islam dibandingkan Irwandi Yusuf. Meskipun demikian, di sebagian kalangan Gubernur Zaini Abdullah dipandang masih belum nampak arah politik pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Gubernur Aceh sekarang ini, Zaini Abdullah dipandang lebih responsif dalam memberlakukan syariat Islam, meskipun sering dipersepsikan memiliki karakter yang sama dengan Gubernur Aceh sebelumnya, Irwandi Yusuf, yang menolak pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun Jinayah. Indikasinya adalah Gubernur Zaini Abdullah mulai dekat dengan ulama. Dengan kata lain, keterlibatan Gubernur Zaini Abdullah lebih intensif dalam kegiatan keislaman.685 Dalam konteks demikian, Pemerintah Aceh dan DPRA sebagai kelembagaan negara yang menyiapkan, membahas, dan mengesahkan produk perundang-undangan di Aceh memiliki kontribusi dalam pembentukan arah politik pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Di awal pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah, mulai ada gerakan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Misalnya, Dinas Syariah NAD menggelar Musyawarah Besar Pelaksanaan Syariat Islam yang berlangsung pada 1 Nopember 2012 di Banda Aceh. Mubes merekomendasikan pembahasan kembali Qanun Jinayah, yang melibatkan seluruh Dinas Syariat Islam tingkat Kabupaten/Kota se- Aceh, akademisi, MPU, dan dayah.686 Mubes ini adalah bagian dari upaya perjuangan pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh setelah kevakuman dalam beberapa tahun. Di Kelantan, gerakan pemberlakuan hukum jinayah sejatinya adalah gerakan struktural, yang didorong oleh Pemerintah Kelantan yang dikuasai PAS. Integrasi yang sangat jelas antara PAS dengan Pemerintah Kelantan menjadikan gerakan struktural begitu efektif mendorong kebijakan yang berorientasi syariah. Kebijakan syariat yang dikeluarkan Pemerintah Kelantan sejak 1990 adalah memindahkan rekening bank Pemerintah Negeri Kelantan dari bank konvensional ke bank Islam, memberantas tempat-tempat maksiat dan perjudian, mengatur secara ketata penjualan minuman keras, menertibkan tempat hiburan dan salon

685Wawancara dengan Suardi Saidi, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Aceh pada 16 Nopember 2012 di Banda Aceh.Wawancara dengan Rusydi Ali Muhammad, Kepala Dinas Syariat Islam, 14 Nopember 2012 di Banda Aceh.Wawancara dengan Teungku Faisal Ali, Sekjen HUDA pada 15 Nopember 2012 di Banda Aceh. 686Wawancara dengan Rusjdi Ali Muhammad pada 13 Nopember 2012 di Banda Aceh dan Wawancara dengan Kholil, peserta Mubes Syariat Islam pada 14 Nopember 2012 di Banda Aceh. 205 yang mengarah pada praktik seksual, melarang Makyong dan Menora,687melarang wanita bekerja malam di pengusaha kilang dan melarang wanita mengikuti lomba qiroat al-Qur’an.688 Dalam skala yang lebih sempit, pengesahan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan tanpa ada penolakan dari seluruh kelembagaan politik di Kelantan. Hal ini menjadi bukti bahwa secara struktural, gerakan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan dimobilisasi oleh kekuatan politik (pemerintah dan partai penguasa). Kini, kelembagaan politik di Kelantan masih setuju dengan pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan. Pemerintah Kelantan, Dewan Undangan Negeri, Mahkamah Syariah, dan Mufti di Kelantan sepakat untuk memperjuangkan pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan.689Tidak ada perbedaan pendapat tentang pemberlakuan hukum jinayah. Merekalah yang menyusun draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Kelantan 1993. Berkuasanya PAS di Kelantan yang begitu lama, yaitu pada periode 1959-1978690 dan 1990691-sekarang menjadikan hegemoni politik PAS di Kelantan begitu kuat. Birokrasi dan legislatif sejak lama dikontrol oleh PAS sehingga kekuatan politik lain sulit mengontrol Kelantan. Gerakan struktural yang mengandalkan kekuatan birokrasi pun begitu kukuh mempertahankan perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Secara struktural, Pemerintah Kelantan berencana mendirikan Komite Teknis Pelaksanaan H}udu>d untuk memastikan kelancaran pelaksanaan undang-undang h}udu>d. Exco Pembangunan Islam, Pendidikan dan Dakwah Negeri, Dato’ Mohd. Amar Nik Abdullah menyatakan bahwa komite ini bertugas mengkaji secara mendalam mengenai pelaksanaan h}udu>d dan mengambil langkah semestinya jika

687Mazlan Jusoh dan Wan Nik Wan Yussof, ‚Kelantan 20 Tahun…‛, 36-41. 688Mohd Sayuti Omar, Tuanku Ismail Petra Idealisme dan Keprihatinan Kepada Agama, Bangsa, dan Negara, 106. Lihat pula Berita Harian 5 Desember 1990 yang menyebut Majelis Perbandaran Kota Bharu telah mengeluarkanarahan supaya menghentikan judi. 689Wawancara dengan Dato’ Sukri, Mufti Kerajaan Negeri Kelantan pada 18 Oktokber 2011, Wan Nik Wan Yussof, Setia Usaha Politik Pemerintah Negeri Kelantan pada 20 Oktokber 201, Ketua Hakim Syar’i Kelantan, Dato’ Daud bin Muhammad pada 20 Oktokber 201, Ahli DUN Kelantan (Anggota DPRD Kelantan), Abdullah Yacoob, pada 19 Oktokber 2011 di Kota Bharu. 690Rossem, 20 Tahun Menguak Gelombang (Selangor: SAR Publication and Distribution, 2011), 2. 691Mohd. Sayuti Omar, Kelantan Selepas Pantang (Kuala Lumpur: Tinta Merah, 1991), 16. 206 mendapatkan masalah. Komite ini juga bertugas mengkaji revisi terhadap beberapa akta, seperti Akta Mahkamah Syariah 1965/1984.692 Adapun di level masyarakat, terdapat gerakan masyarakat untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Kelompok masyarakat yang memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan adalah aktivis dayah (pesantren) dan ormas Islam. Kelompok-kelompok ini berjuang dalam skala yang terbatas sebagai kelompok penekan (pressure group) kepada Pemerintah Aceh dan DPRA. Di Aceh, mobilisasi masyarakat setelah kepemimpinan Aceh bergeser ke Zaini Abdullah mengalami eskalasinya dalam memperjuangkan hukum jinayah. Tampaknya masyarakat menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan Aceh yang dipegang Zaini Abdullah yang berasal dari Partai Aceh karena pemberlakuan Rancangan Qanun Jinayah sangat tergantung pada Gubernur dan DPRA. Menjelang Prolegda DPRA Januari 2013, sejumlah gerakan masyarakat mulai bermunculan untuk melakukan pressure kepada Gubernur dan DPRA agar mensahkan Rancangan Qanun Jinayah. Sayangnya, gerakan pressure ini tidak melibatkan masyarakat secara luas dan organisasi Islam yang paling berpengaruh, seperti Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang dipimpin ulama kharismatik Abu Panton, Majelis Ulama Nasional Aceh (MUNA), Persatuan Tarbiyah Islam (Perti), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, melainkan hanya dilakukan oleh organisasi Islam tak berpengaruh, seperti KAMMI, FPI, HTI, DDI, BKPRMI, dan TPM.693 Gerakan pressure ini justru dilakukan kelompok-kelompok Islam yang berhaluan garis keras. Meskipun demikian, aksi pressure ini masih dilaksanakan dalam bentuk penyaluran aspirasi yang demokratis, tidak dilakukan dengan aksi kekerasan. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (DPW-BKPRMI) Aceh, Nasruddin Ibrahim mendesak agar Qanun Jinayah segera disahkan serta diberlakukan di

692Sinar Harian, 10 Oktokber 2011 693KAMMI, FPI, HTI, DDI, BKPRMI, dan TPMdi Jakarta memiliki kedekatan dengan ideologi radikal. Meskipun garis perjuangannya berbeda, tetapi mereka satu dalam perjuangan penegakkan syariat Islam. Studi tentang gerakan radikal dapat dilacak dalam Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras (Jakarta: Teraju, 2003), M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Gerakan Revivalisme Islam ke Indonesia (1980-2002), (Jakarta: Erlangga, 2005), M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, (Yogyakarta: LKiS, 2008), Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: ISAI, 2001), dan Jamhari dan Jajang Jahroni (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2004). 207

Aceh.694Ketua Umum DPW BKPRMI Aceh Nasruddin Ibrahim berharap anggota DPRA tidak terpengaruh oleh desakan dari LSM atau pihak luar negeri yang ingin menghadang pengesahan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah. Tim Pengacara Muslim (TPM) mendesak Pemerintah Aceh (DPRA dan gubernur) mengesahkan Rancangan Qanun Jinayat serta memberlakukanya sesegera mungkin di Aceh setelah pernah ditolak oleh eksekutif pada 2009. Ketua TPM, Safaruddin menjelaskan, Rancangan Qanun Jinayah merupakan lex specialis dalam sistem hukum di Indonesia. Landasan hukum dari Qanun Jinayah ini sudah diberikan oleh UUD 1945 yang kemudian disebutkan secara eksplisit pada Pasal 125 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.695 FPI juga melakukan gerakan serius. FPI Aceh dalam Musyawarah Daerah FPI se-Aceh, 10-12 Nopember 2012 di Pondok Pesantren al-Islah al-Aziziyah, Luengbata, Banda Aceh mendesak kepada Gubernur dan DPRA untuk mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah dan mengembalikan posisi Wilayatul Hisbah ke Dinas Syariat Islam.696 Desakan FPI ini sesungguhnya memberi spirit bagi perdebatan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh setelah mengalami kevakuman di masa pemerintahan Irwandi Yusuf. Ketua DPD FPI Aceh Tgk Muslim At-Thahiri dan Rabithah Thaliban Aceh (RTA) menyatakan siap mengawal agar Rancangan Qanun Jinayah segera disahkan. Menurutnya, pimpinan dayah siap berjuang bersama FPI mengawal Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah untuk segera disahkan. Dijelaskan oleh Ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA), Tgk Zulkhairi, Rancangan Qanun Jinayah akan membuat Aceh ‚merdeka‛ dari hukum peninggalan Belanda. Belum berlakunya Qanun Jinayah telah membuat ketidakkepastian hukum di Aceh sehingga menyebabkan seringnya terjadi pengadilan jalanan bagi pelanggar syariat. Kebutuhan Aceh terhadap Qanun Jinayah tak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi pasal tentang rajam sudah direvisi.697 Ketua Umum PW KAMMI Aceh, Faisal Qasim menjelaskan tidak ada alasan menunda-nunda pengesahan Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Hukum Acara Jinayah. Lalu, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh, Tgk Hasanuddin Yusuf Adan meminta anggota DPRA tidak

694Serambinews.com Sabtu, 20 Oktober 2012 diakses 20 Pebruari 2013. 695Serambinews.com diakses 20 Pebruari 2013, Ormas Islam: Berlakukan Segera Qanun Jinayah, Sabtu, 20 Oktober 2012. 696Serambi Indonesia, 13 Nopember 2012, 7. 697Hidayatullah.com, 09 Januari 2013 diakses 20 Pebruari 2013. 208 terpengaruh bisikan yang menghambat pengesahan Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Acara Jinayah dari dalam dan luar negeri.698 Pressure juga dilakukan dalam bentuk demonstrasi ke DPRA. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pelajar Islam Indonesia, Iskada, KAMMI, Hizbut Tahrir, dan LDII melakukan aksi demontrasi di depan gedung DPRA, Rabu 13 Februari 2013. Mereka meminta agar Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Qanun Acara Jinayah masuk dalam Prolega (Program Legislasi) 2013.699 Penegakan Syariat Islam di Aceh dipandang semakin mengkhawatirkan. Tingkah malas-malasan dari DPRA dan Gubernur Aceh membuat gerah beberapa ormas Islam di Aceh. Mereka mengaku kecewa terhadap tindakan Gubernur Aceh yang tidak tegas dalam menetapkan Rancangan Qanun Jinayah dalam Prolegda DPRA 2013.700 Ironisnya, Rancangan Qanun Jinayah tidak masuk lagi dalam Prolegda karena sudah pernah disampaikan kepada legislatif beberapa tahun sebelumnya. Demikian ini disampaikan Pelaksana Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh Makmur Ibrahim.701 Teungku Yusuf al-Qardhawy menyesalkan sikap Gubernur Aceh karena tidak memberikan kepastian waktu untuk memasukkan Rancangan Qanun Jinayah ke Prolegda DPRA. Padahal seluruh perwakilan ormas Islam se-Aceh telah membuat pertemuan untuk memutuskan masalah ini, namun gubernur Aceh juga belum bisa memberikan kepastian. Pertemuan yang berjalan alot tersebut berujung pada suatu kekecewaan terhadap ormas-ormas Islam. Gubernur memberi alasan bahwa persoalan ini tidak bisa diputuskan secara gegabah tanpa merundingkannya secara mendalam dengan ulama. Ormas-ormas Islam se-Aceh menyatakan akan memberikan dukungan penuh terhadap pemerintah Aceh bila Rancangan Qanun Jinayah ini segera dibahas di DPRA 2013.702 Menurut Alyasa’ Abubakar, revisi Rancangan Qanun Jinayah dan Rancangan Hukum Acara Jinayah yang diajukan oleh eksekutif ke DPRA pada 30 Mei 2012 sudah bisa diberlakukan. Aturan hukum syariat saat ini diperlukan agar ada kepastian hukum serta tidak terulang pengadilan jalanan terhadap pelangggar, seperti yang terjadi selama ini. Al Yasa’

698Hidayatullah.com, 09 Januari 2013 diakses 20 Pebruari 2013. 699Atjeh.com diakses 20 Pebruari 2013-02-20, Demo DPR Aceh, massa minta qanun jinayah masuk Prolega 2013Rabu, 13 Februari 2013. 700http://atjehliterature.blogspot.com/2013/02/gubernur-aceh-tak-tegas-soal- raqan-jinayah.html Nanggroe Aceh - diakses 20 Pebruari 2013. 701http://www.ikhwanesia.com/2013/02/santri-dayah-tuntut-qanun- jinayah.html Santri Dayah Tuntut Qanun Jinayah Segera Disahkan 702http://atjehliterature.blogspot.com/2013/02/gubernur-aceh-tak-tegas-soal- raqan-jinayah.html Nanggroe Aceh - diakses 20 Pebruari 2013. 209 mengatakan bahwa semestinya Raqanun ini segera disahkan untuk kepastian hukum syariat Islam di Aceh. Aturan ini penting sehingga masyarakat tahu harus bertindak, sehingga pengadilan massa seperti yang terjadi di beberapa daerah selama ini tidak terulang. Begitu juga investor, bukan takut pada syariat, tetapi takut pada ketidakpastian hukum. Justru yang sangat berbahaya, kalau yang terjadi adalah ketidakpastian dan kekosongan hukum. Muara dari ini terjadi pengadilan rakyat serta penafsiran secara sendiri-sendiri yang membingungkan semua pihak.703 Sementara itu, penegakkan pelanggaran jinayah mengalami kendala di Aceh. Di antara alasannya adalah: (1) para pelaku pelanggaran sudah memiliki strategi untuk menghindar dari pengadilan. Mereka sering lari sebelum disidang atau setelah diputus perkaranya sehingga sulit diputus atau dieksekusi. (2) Wilayatul Hisbah sudah mulai tidak bersemangat dalam melakukan razia pelanggaran jinayah. (3). Jaksa tidak serius menghadirkan para pelaku pelanggaran sehingga tidak dapat disidangkan oleh Mahkamah Syar’iyyah. (4) Tidak ada biaya yang cukup untuk mengeksekusi putusan Mahkamah Syar’iyyah. (5) Tidak ada Hukum Acara Jinayah sehingga para pelaku penggaran tidak bisa ditahan (kecuali satu hari) sehingga mereka sering kabur.704 Dalam kondisi Rancangan Qanun Jinayah yang tidak disahkan oleh DPRA dan Gubernur Aceh periode sekarang dan berkurangnya semangat Pemerintah Aceh melaksanakan qanun-qanun yang ada, muncul gerakan penegakkan hukum jinayah di Aceh yang dilakukan oleh masyarakat, terutama dalam kasus-kasus anti maksiat. Di Aceh, peradilan rakyat (gerakan massa) masih sering terjadi dalam menegakkkan perkara maisir, khalwat, dan khamar, yang dilakukan dalam bentuk razia. Penegakkan hukum jinayah di Aceh dilakukan oleh beberapa elemen yang sering dilakukan secara bersama, yaitu Dinas Syariat Islam, Satpol PP, Walikota/Bupati, dan masyarakat. Masyarakat mulai bertindak sendiri dengan merazia para pelaku khawat di pantai-pantai, seperti kasus di Lukwah (Aceh Barat).705 Kesadaran masyarakat untuk menegakkan praktik kemaksiatan dilakukan meskipun Wilayatul Hisbah

703http://aceh.tribunnews.com/2012/06/04/revisi-qanuan-jinayah-bisa- diberlakukan 704Wawancara dengan Sekretaris Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh. Wawancara dengan Pejabat Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh Bidang Jinayah, Wawancara dengan Hakim Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh pada 18 Juni 2012. 705Wawancara dengan Wakil Sekretaris Mahkamah Syar’iyyah Kota Banda Banda Aceh, 19 Juni 2012 di Banda Aceh. 210 telah melakukan penegakkan qanun. Ini pula yang terjadi ketika Walikota Langsa, Usman Abdullah bersama Kepala Dinas Syariat Islam, Ibrahim Latif memimpin razia penegakkan syariat Islam menyangkut Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Tatacara Berpakaian dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat. Dalam razia tersebut, terjaring 50 wanita yang berpakaian tidak sesuai Qanun dan 5 pasangan remaja dan pemuda yang dinilai melanggar Qanun Khalwat.706 Dalam kasus lainnya, yaitu di Langsa, Kepala Dinas SI, Ibrahim Latif melakukan razia bersama Wilayatul Hisbah terhadap pesta yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Kepala Dinas SI justeru dilawan oleh masyarakat Gampong Karang Anyar, Kecamatan Langsa Baro ketika menegur pesta yang di dalamnya terdapat keyboard yang tidak sesuai dengan syariat. Perisiwa ini bahkan mengundang kemarahan ormas Islam di sebagian besar Aceh. Para pimpinan ormas Islam menyerukan untuk melawan preman anti syariah.707 Keuchik Karang Anyar, Ahmad Turkin bahkan melaporkan balik Kadinas SI, Latif Ibrahim atas tuduhan pencemaran nama baik karena menurut Keuchik tidak ada insiden pengeroyokan.708 Hasil razia yang telah dilakukan oleh Wilayatul Hisbah bersama elemen lainnya ada yang dilakukan pembinaan dan ada yang dibawa ke Mahkamah Syariah. Pembinaan dilakukan biasanya terhadap para pelaku yang tertangkap dalam razia busana Islam. Pembinaan dilakukan oleh MPU, kemudian dihubungi keluarganya untuk membawa jilbab, setelah itu dilepaskan. Dalam praktiknya, pelaku sering sudah menyiapkan jilbab sehingga ketika dirazia, dia sudah siap mengambil jilbabnya. Dalam razia khalwat, pelaku yang ditangkap karena melakukan khalwat, akan diselesiakan secara adat dengan memanggil keluarganya untuk diambil.709 Kasus yang seperti ini pernah terjadi ketika dua pasangan mesum ditangkap di Gampong Geulanggang Baro, Kecamatan Koa Juang pada 13 Agustus 2013. Kedua pasangan diserahkan masyarakat untuk diproses pihak Wilayaul Hisbah Bireun, tetapi kedua pasangan tersebut dikembalikan lagi ke aparat gampong untuk diselesaikan secara musyawarah.710 Ada juga penegakkan hukum jinayah di Aceh dilakukan dengan membawa kasus-kasus pelanggaran jinayah ke Mahmakah Syar’iyyah.

706Serambi Indonesia, 12 Nopember 2012, h. 19. 707Serambi Indonesia, 28 Agustus 2013, 1 dan 11. 708 Serambi Indonesia, 29 Agustus 2013, 1 dan 11. 709Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syar’iyyah, Bireuen, Muhammad Yusuf 25 Agustus 2013 710Koran Bireuen, No. 11/TThn. I/Edisi 23 Agustus-1 September 2013 211

Pada awal-awal penegakkan, banyak kasus yang disidangkan di Mahkamah Syar’iyyah di Aceh. Kasus khalwat, maisir, dan khamar banyak dibawa ke Mahkamah Syar’iyyah. Bireuen merupakan kabupaten yang pertama kali melaksanakan eksekusi hukuman cambuk, yaitu di masa Bupati Mustafa A. Gelanggang pada 2005 dalam kasus perjudian. Di Bireuen, perkara jinayah yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyyah banyak terjadi di awal pelaksanaan tiga Qanun, yaitu 2005. Setelah itu, sangat sedikit perkara yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyyah. Kasus yang sering diajukan adalah maisir.711 Adapun di Kelantan, hampir tidak ditemukan gerakan massa. Mobilisasi masyarakat justru dilakukan oleh Pemerintah Negeri Kelantan atau PAS yang mengontrol kekuatan politik di Kelantan.Tipikal ini memang berbeda dengan di Aceh. Budaya politik dan sistem politik yang terbuka di Indonesia ikut mempengaruhi karakter gerakan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh. Sebaliknya, budaya politik dan sistem politik yang tertutup di Malaysia ikut mempengaruhi karakter gerakan pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan, yang tidak menghendaki gerakan protes dari jalur kultural. Kekuatan politiklah yang memobilisasi massa dalam mendesak pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan. Dukungan massa terlihat dalam peringatan Hari Hududullah di Kelantan, yang dimobilisasi PAS. Pada 6 Oktokber 2011 misalnya berlangsung Hari Hududullah di Kelantan. Acara ini mengundang masyarakat dan sejumlah pakar, seperti Dato’ Aria Diraja, Ketua Hakim Syar’ie Kelantan, Dato’ Muhamad Daud Al-Iraqi, mantan ahli exco Pemerintah Negeri Kelantan, dan pakar hukum tata negara Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia, Abdul Aziz Bari.712 Mereka mendiskusikan peluang pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan dari perspektif hukum tata negara dan hukum Islam. Seminar ini juga mengundang non-Muslim agar mereka mengetahui h}udu>d di Kelantan.713 Bersamaan dengan seminar di atas diadakan jamuan rakyat sebagai tanda syukur Menteri Besar Kelantan atas diakuinya hukum h}udu>d pada peta pemikiran politik Pakatan Rakyat di Stadion Sultan Muhammad IV. Di Kediaman Resmi Menteri Besar Kelantan berlangsung pertemuan tertutup Nik Abdul Aziz Nik Mat dengan ketua-

711Wawancara dengan Ketua Mahkamah Syariah Bireuen pada 25 Nopember 2012 712Wan Nik Wan Yussof, ‚Menanti Pelaksanaan Enakmen Syariah II‛ dalam Harakah, Bil. 1681 14-16 Oktokber 2011. 713Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Perundangan Islam Utamakan Mencegah Bukan Menghukum‛ dalam Fajar Islam, Bil 44 November-Desember 2011, 7. 212 ketua pusat pengajian pondok dari 14 pondok pesantren yang terkemuka.714 Gerakan massa yang terjadi pada saat peringatan Hari Hududullah 2011 di Kelantan di atas tidak menunjukkan karakter yang khas sebagai inisiatif masyarakat. Hari Hududullah yang dijadikan sebagai momentum masyarakat Kelantan menekan Pemerintahan Federal justru dimobilisasi PAS.715Masyarakat masih pasif dalam mendorong perlawanan kepada Pemerintah Pusat. Hari Hududullah dimanfaatkan oleh Pemerintah Kelantan dan PAS untuk memobilisasi rakyat Kelantan melawan Pemerintahan Federal. Mereka dikumpulkan dalam jamuan rakyat untuk mendukung program Pemerintah Kelantan dan PAS dalam memberlakukan h}udu>d. Pemerintah Kelantan dan PAS tahu betul bahwa rakyat Kelantan adalah modal politik dalam melakukan pressure kepada Pemerintahan Federal. Massa yang dikumpulkan berasal dari seluruh lapisan masyarakat, baik kelompok grassroot maupun kelas menengah. Dukungan massa juga terlihat jelas disalurkan melalui pengajian di masjid-masjid. Ribuan jamaah datang untuk mendengarkan ceramah Nik Abdul Aziz Nik Mat dan ulama-ulama lainnya di masjid Kota Bharu, Kelantan. Dalam ceramahnya, Nik Abdul Aziz Nik Mat selalu mengkampanyekan pelaksanaan h}udu>d di Kelantan. Di dalam transportasi publik, seperti bus antar kota juga selalu diperdengarkan kampanye h}udu>d dalam bentuk pengajian di radio. Masyarakat Kelantan tampaknya mengalami kesulitan dalam menyuarakan tuntutannya kepada Pemerintahan Federal untuk segera menyetujui pemberlakuan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan. Berbeda dengan masyarakat Aceh yang mudah menyalurkan aspirasinya kepada Pemerintah Aceh dan DPRA. Inilah yang membedakan mobilisasi massa di Aceh dan Kelantan dalam perjuangan memberlakuan hukum jinayah. Penegakkan hukum jinayah di Kelatan pun bertumpu pada kekuatan aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan Mahkamah Syariah. Masyarakat tidak melakukan gerakan razia untuk menegakkan hukum jinayah. Di Kelantan, penegakkan hukum jinayah konsisten dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan Mahkamah Syariah. Hampir tidak pernah ada peradilan rakyat untuk

714Wan Nik Wan Yussof, ‚Menanti Pelaksanaan Enakmen Syariah II‛ dalam Harakah, Bil. 1681 14-16 Oktokber 2011. 715Tuan Guru Haji Nik Abdul Aziz Nik Mat, ‚Perundangan Islam Utamakan Mencegah Bukan Menghukum‛ dalam Fajar Islam, Bil 44 November-Desember 2011, 7. 213 menegakkan kesalahan asusila (ta’zir) di Kelantan. Dalam praktiknya, kesalahan jinayah syariah memang tidak mendominasi di Kelantan sehingga masyarakat tidak perlu melakukan gerakan razia. Kultur masyarakat yang relijius dan dikontrol oleh kekuatan politik partai Islam, PAS, menjadikan masyarakat Kelantan lebih mudah diajak untuk menghindar dari pelanggaran asusila, yang kerapkali menjadi keresahan masyarakat.

Matrik 6. Daftar Perbandingan Mobilisasi Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan

Mobilisasi Aceh Kelantan Mobilisasi Masyarakat (ulama MPU, Pemerintah Kelantan, PAS, dan Struktural dayah, dan ormas Islam) masyarakat meyakinkan patai mempengaruhi struktur politik dalam koalisi Pakatan Negara (Pemerintah Aceh, Rakyat dan melakukan pressure Dinas Syariat Islam, kepada Pemerintahan Federal DPRA) Mobilisasi Mempengaruhi masyarakat Mempengaruhi masyarakat Kultural dalam jalur kultural di dalam jalur kultural di pondok pondok pesanren dan pesanren dan kegiatan kegiatan keagamaan, , keagamaan, seperti pengajian seperti pengajian Metode Pressure tanpa kekerasan Pressure tanpa kekerasan

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bahwa perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dilakukan dengan mobilisasi, yaitu memobilisasi struktur negara (pemerintah dan legislatif) dan kelompok-kelompok strategis, seperti ulama, kaum intelektual Muslim, dayah, dan ormas Islam. Mobilisasi yang terjadi di Aceh dan Kelantan tampak berbeda. Mobilisasi perjuangan pemberlakuan hukum jinayah yang diperluas di Aceh digerakkan oleh kelompok-kelompok masyarakat secara berkala, sedangkan mobilisasi perjuangan pemberlakuan hukum jinayah yang diperluas di Kelantan digerakkan oleh Pemerintah Kelantan dan PAS. Mobilisasi perjuangan juga tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan, melainkan menggunakan pressure kepada Pemerintah Daerah (Aceh) dan Pemerintah Pusat (Kelantan).

214

BAB V MATERI PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAH DI ACEH DAN KELANTAN

Hukum jinayah yang sekarang ini telah diberlakukan di Aceh (2002-2007) dan Kelantan (1985) berkaitan dengan pelanggaran moralitas, pelanggaran seksual, ibadah, dan syiar Islam. Pemberlakuan hukum jinayah ini belum menemukan totalitasnya (ka>ffah) karena belum semua aspek hukum jinayah (h}udu>d dan qis}a>s)} diberlakukan. Dalam kondisi yang demikian, di Aceh (2009) dan Kelantan (1993) terdapat Draft Qanun yang berisi perluasan hukum jinayah menuju totalitasnya (ka>ffah) dan penyesuaian hukum jinayah dengan syariat Islam.

A. Materi Pemberlakuan H}udu>d di Aceh dan Kelantan Pemberlakuan hukum h}udu>d di Aceh sebatas pada hukum minuman khamar saja. Di Kelantan, hukum h}udu>d yang diberlakukan adalah hukum yang mengatur pelanggaran zina dan minuman yang memabukkan (khamar). Padahal dalam fikih, ada tujuh bidang h}udu>d, yaitu zina, qadhaf, minum khamar, pencurian, h}ira>bah, riddah, al-baghy (pemberontakan).716 Hukum h}udu>d yang diberlakukan di Aceh yang hanya mengatur minuman khamar tertuang dalam Qanun No. 12 Tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya dan hukum h}udu>d yang mengatur minuman khamar dan zina di Kelantan tertuang dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 Kelantan.

1. Hukum Khamar Khamar yang dilarang di Aceh adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang memabukkan.717 Perbuatan khamar yang dilarang di Aceh adalah meminum, memproduksi, mengedarkan, mengangkut, memasukkan, memperdagangkan, menyimpan, dan menimbun.718 Di Kelantan, yang dilarang juga meminum minuman yang memabukkan, meskipun tidak

716Pelanggaran yang termasuk bagian h}udu>d adalah zina, menuduh zina, khamar, mencuri, h}ira>bah, murtad, dan pemberontakan. Lihat ‘Abd al-Qadir ‘Awdah al- Tasyri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>rana>t bi> al-Qa>nu>n al-Wad’i}>, Juz 1, cetakan keempatbelas, (Beirut: al-Ris>alah, 1998), 78-79. Lihat pula Muhammad Abu Zahrah, al- Jari>mah wa al-Uqu>bah fi al-Fiqh al-Isla>mi>, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1998). 717Pasal 2 Qanun No. 12 tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya. 718Pasal 1 ayat 21 Qanun No. 12 tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya. 215 menggunakan istilah khamar, seperti di Aceh. Selain itu, yang dilarang adalah membuat, menjual, memamerkan untuk dijual, menyimpan atau membeli minuman yang memabukkan.719 Berdasarkan penjelasan di atas, tampak tidak jauh berbeda khamar yang diatur di Aceh dan Kelantan. Adapun hukuman bagi pelaku yang melanggar Qanun Khamar di Aceh, dibagi dua, yaitu: (1) bagi orang yang mengkonsumsi minuman khamar diancam dengan hukuman h}udu>d, yaitu 40 (empat puluh) kali cambuk 720 dan (2) orang atau badan hukum yang memproduksi, menyediakan, menjual, memalsukan mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menjual, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya diancam dengan hukuman ta‘zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp 75.000.000, 00 (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).721 Di Kelantan, bagi orang yang meminum, membuat, menjual, memamerkan untuk dijual, menyimpan atau membeli minuman yang memabukkan dikenakan hukuman denda maksimal RM 3000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua-duanya.722 Enakmen Kanun Jinayah Syariah Kelantan (1985) pun tidak membagi pelaku pelanggaran kepada perorangan dan badan hukum secara eksplisit.723

Matrik 7. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Khamar di Aceh dan Kelantan

Jenis Aspek Aceh Kelantan Fikih Jinayah Pengaturan Khamar Aspek yang Meminum, Meminum, Meminum, dilarang memproduksi, membuat, menjual, membuat, menjual mengedarkan, mempamerkan untuk minuman yang mengangkut, dijual, menyimpan memabukkan memasukkan, atau membeli memperdagangkan, minuman yang menyimpan, memabukkan menimbun, dan mengonsumsi Pelaku Orang atau badan Orang Orang pelanggaran hukum Mengkonsumsi Seluruh perbuatan Meminum khamar minuman khamar meminum, membuat, dalam mazhab

719Pasal 25 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 720Pasal 26 Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar 721Pasal 26 Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar 722Pasal 25 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 723Pasal 25 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 216

diancam dengan menjual, Syafi’i dihukum Hukuman hukuman h}udu>d 40 mempamerkan untuk 40 kali cambuk kali cambuk dijual, menyimpan dan dalam Maliki, atau membeli Hanafi, dan Memproduksi, minuman yang Hambali dihukum menyediakan, memabukkan 80 kali cambuk. menjual, dikenakan hukuman memalsukan paling lama 3tahun Dalam mazhab mengedarkan, penjara atau denda Maliki, Hanafi, mengangkut, maksimal RM Syafi’i, dan menyimpan, menjual, 5000,00 atau kedua- Hambali memperdagangkan, duanya dan membuat, menghadiahkan dan dicambuk 6 kali. menyimpan dan mempromosikan menjual khamar minuman khamar dihukum ta‘zi>r dan sejenisnya diancam dengan hukuman ta‘zi>r berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 bulan dan atau denda paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,00 Sumber: Qanun No. 12 Tentang Larangan Khamar dan sejenisnya, Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 Kelantan, dan pendapat imam-imam mazhab.

Dalam perspektif fikih, ada empat hal yang ditinjau. Pertama, dari aspek pelarangan khamar, empat imam mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) bersepakat bahwa khamar adalah perbuatan yang dilarang (haram). Kedua, dari aspek pelaku perbuatan pelanggaran, para imam mazhab tidak membahas perbuatan pelanggaran yang berkaitan dengan khamar yang dilakukan oleh perusahaan. Para imam mazhab hanya membahas pelaku orang yang melakukan perbuatan pelanggaran yang berkaitan dengan khamar. Ketiga, dari aspek perbuatan yang dilarang, para imam mazhab membahas meminum, menyimpan, dan menjual khamar sebagai perbuatan yang dilarang (haram).724 Keempat,

724Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, Kita>b al-Fiqh ‘ala al-Madha>hib al-Arba’ah, Jilid V (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 28. Dalil keharaman khamar dalam al-Qur’an adalah surat al-Baqarah: 219, al-Nisa>: 43, dan al-Ma>idah: 90-91:

                  

         

217 dari aspek hukuman para imam mazhab berbeda pendapat. Mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku minum khamar adalah 80 kali cambuk. Dasar yang menjadi rujukan bagi Mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali adalah praktik Umar ibn al- Khatta>b yang menghukum peminum khamar sebanyak 80 kali cambuk. Beratnya hukuman ini dimaksudkan untuk membatasi praktik minum khamar di masyarakat. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hukuman bagi peminum khamar adalah 40 kali cambuk. Dalil yang digunakan adalah praktik Nabi Muhammad yang mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Mazhab Syafi’i berpandangan bahwa Umar ibn al-Khattab menghukum peminum khamar sebanyak 80 kali cambuk adalah hukuman ta‘zi>r karena Umar melihat merajalelanya praktik minum khamar.725 Pendapat berbeda dikemukakan al-Qurt}u>bi> bahwa Umar ibn al- Khatab menerapkan hukuman h}udu>d dengan cambuk berkali-kali dan mengasingkan peminum khamar kepada Muhjan al-Thaqafi>, yang secara sengaja dan membangga-banggakan perbuatannya. Padahal, Muhjan termasuk salah seorang anggota pasukan umat Islam yang sangat pemberani. Ia diasingkan Umar dan baru dibolehkan kembali ke Madinah ketika ia sudah tobat dan ia pun ikut dalam peperangan Qadisiyah. Pada waktu itu, ia bersumpah tidak akan meminum khamar lagi selama- lamanya.726 Adapun perbuatan menjual dan menyimpan minuman khamar dalam fikih juga dilarang. Para imam mazhab berpendapat perbuatan menjual dan menyimpan khamar adalah haram, tetapi para imam mazhab tidak menetapkan secara spesifik hukumannya. Karena itulah, perbuatan menjual dan menyimpan minuman khamar dapat dihukum ta‘zi>r.727

                      

                    

       

         .        

                   

725‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 15-16. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Da>r al-Fath} li al-A’la>m al-‘Arabi>, 2004), 711. 726Muhammad ibn Ahmad ibn Abi> Bakar Ibn Farh} al-Qurt}u>bi>, al-Ja>mi' li Ah}ka>m al-Qur'a>n, (Kairo: Dar al-Syu'ub, 1372 H), Juz 3, Juz 3, 56. 727Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 28. 218

Dengan demikian, pemberlakuan hukum khamar dari aspek larangan perbuatan khamar (meminum, menjual, dan menyimpan) dan pelaku perorangan yang melakukan perbuatan khamar merujuk pada pendapat mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dilihat dari aspek hukuman yang dikenakan kepada pelaku khamar, maka pemberlakuan hukum khamar di Aceh merujuk pada mazhab Syafi’i. Adapun dalam hal memproduksi, menyediakan, memalsukan mengedarkan, mengangkut, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar, para penyusun pemberlakuan hukum khamar di Aceh berijtihad dengan mengembangkan pendapat para imam mazhab. Sementera itu, di Kelantan, pemberlakuan hukum khamar dari aspek larangan perbuatan khamar (meminum, membuat, menjual, mempamerkan untuk dijual, menyimpan atau membeli) dan pelaku perorangan yang melakukan perbuatan khamar merujuk pada pendapat mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dilihat dari aspek hukuman yang dikenakan kepada pelaku khamar, maka pemberlakuan hukum khamar di Kelantan merujuk pada mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali. Adapun dalam hal membuat, mempamerkan untuk dijual, dan menyimpan minuman khamar, para penyusun pemberlakuan hukum khamar di Kelantan berijtihad dengan mengembangkan pendapat para imam mazhab.

2. Hukum Zina Dalam kasus zina, Aceh tidak memberlakukan pelanggaran zina. Di Kelantan, zina diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 Kelantan. Pasal 11 mengatur pelanggaran zina dengan hukuman maksimal 3 tahun penjara atau denda maksimal RM 5.000,00 atau kedua- duanya dan dicambuk 6 kali.728 Peraturan tentang zina di Kelantan tidak dibagi pelakunya kepada zina> muh}s}an dan zina> ghayru muh}s}an karena memang hukumannya tidak disesuaikan dengan hukum syariat. Hukuman yang diberlakukan di Kelantan tidak sejalan dengan pendapat ulama-ulama fikih. Ulama telah bersepakat bahwa hukuman bagi pelaku zina dibagi dua, yaitu zina> muh}s}an dan zina ghayru muh}s}an. Pelaku zina> muh}s}an dihukum rajam dan pelaku zina ghayru muh}s}an dihukum 100 kali cambuk.729

728Pasal 11 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 729Lihat Sayyid Sabiq, ‚Fiqh al-Sunnah…‛, 717. Lihat pula Ibn Rushd, Bida>yat al-Mujtahid fi> Niha>yat al-Muqtas}id, (Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah), 320. ‘Abd al- Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 56-58. Dalil pelaku zina> ghayru muh}s}an adalah: 219

Matrik 8. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Zina di Aceh dan Kelantan

Jenis Aspek Aceh Kelantan Fikih Jinayah Pengaturan Zina Aspek yang Tidak Perbuatan zina Perbuatan zina dilarang memberlakukan hukum zina Tidak dibedakan pelaku Empat imam Pelaku Tidak diatur zina> muh}s}an dan ghayru mazhab muh}s}an membedakan pelaku zina> muh}s}an dan ghayru muh}s}an Hukuman paling lama 3 Pelaku zina> Hukuman Tidak diatur tahun penjara atau denda muh}s}an dihukum maksimal RM 5.000,- rajam dan pelaku atau kedua-duanya dan zina ghayru dicambuk 6 kali. muh}s}an dihukum 100 kali cambuk. Dalam mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, selain dicambuk pelaku juga dihukum pengasingan. Mazhab Hanafi tidak mewajibkan hukuman pengasingan bagi pelaku zina> ghayru muh}s}an Sumber: Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 Kelantan

Berdasarkan pemaparan di atas, perbuatan zina yang dilarang di Kelantan sesuai dengan pendapat imam mazhab. Dari aspek pembagian pelaku zina kepada zina> muh}s}an dan zina> ghayru muh}s}an, pemberlakuan zina di Kelantan tidak sesuai dengan pendapat imam mazhab. Dari aspek hukuman bagi pelaku zina yang menetapkan bagi pelaku zina dengan hukuman 3 tahun penjara, RM 5000,00 dan 6 kali cambuk, maka pemberlakuan zina di Kelantan tidak sesuai dengan pendapat imam mazhab yang berpendapat bahwa bagi pelaku zina> muh}s}an dihukum

                        

                    

  

220 rajam dan zina> ghayru muh}s}an dihukum 100 kali cambuk. Ini menunjukkan bahwa hukuman bagi pelanggaran jinayah di Kelantan tidak mengadopsi pendapat-pendapat imam mazhab, tetapi melakukan ijtihad sendiri dengan mengikuti logika hukuman yang telah ditetapkan di masa awal kemerdekaan dan penjajah Inggris, yaitu penjara, denda, dan cambuk.

B. Materi PemberlakuanTa‘zi>r di Aceh dan Kelantan Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan lebih banyak pada aspek ta‘zi>r yang memang pengaturannya diserahkan kepada penguasa.Ta‘zi>r yang dikembangkan di Aceh terdiri dari pelanggaran moralitas, pelanggaran akidah, ibadah, dan syiar Islam yang tertuang dalam 6 qanun, yaitu Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, dan Qanun No. 7 Tahun 2010 tentang Baitul Mal. Pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan tidak jauh berbeda dengan di Aceh yang lebih banyak mengatur pelanggaran yang tidak ditetapkan hukumannya oleh syariat.Ta‘zi>r yang diberlakukan di Kelantan terdiri dari pelanggaran moralitas, pelanggaran akidah dan ibadah, pelanggaran seksual, dan penghinaan kepada aparat negara yang tertuang dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 Kelantan. Yang membedakan Aceh dan Kelantan adalah aspek pelanggaran seksual tidak diatur di Aceh, sedangkan di Kelantan aspek pelanggaran seksual begitu rinci diatur, seperti, musa>h}aqah, liwa>t}, khalwat, percumbuan seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan isterinya atau sebaliknya seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan suaminya, subhat dalam melakukan zina, hamil di luar nikah, menjadi mucikari, dan melacurkan diri.

1. Pelanggaran Moralitas Pelanggaran dalam aspek moralitas yang diatur di Aceh adalah maisir dan khalwat. Di Kelantan, pelanggaran moralitas yang diatur adalah khalwat, perbuatan tidak sopan, perkataan tidak sopan, banci, menghasut perempuan bersuami atau lelaki beristeri supaya bercerai atau mengingkari kewajiban dan tanggungjawabnya, melarikan isteri orang atau anak, melarikan perempuan, menjual atau membeli anak. Larangan maisir di Aceh diatur dalam Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir. Maisir (perjudian) dalam qanun ini

221 didefinisikan dengan kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.730 Ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.731 Maisir dilarang di Aceh dengan tujuan untuk memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan, mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir; melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir.732 Ada dua pelaku perbuatan maisir yang diatur dalam Qanun Larangan Maisir, yaitu orang dan badan hukum. Yakni, setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang melakukan, menyelenggarakan dan/atau memberikan fasititas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir, dan menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.733 Hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan maisir adalah cambuk di depan umum paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali. Orang atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan dan/atau memberikan fasititas serta melindungi kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir dihukum denda paling banyak Rp. 35.000.000,- paling sedikit Rp. 15.000.000,00.734 Adapun larangan khalwat di Aceh diatur dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat. Khalwat dalam Qanun ini adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.735 Larangan ini bertujuan untuk: (1) menegakkan syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (2) melindungi masyarakat dan berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan; (3) mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; (4) meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah

730Pasal 1 ayat 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir 731Pasal 2 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir 732Pasal 3 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir 733Pasal 5-6 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir 734Pasal 23 Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir 735Pasal 2 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat 222 dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; dan (5) menutup peluang terjadinya kerusakan moral. 736 Perbuatan khalwat diancam dengan hukuman ta‘zi>r berupa cambuk paling banyak 9 kali, paling rendah 3 kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 paling sedikit Rp. 2.500.000, 00. Bagi setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha yang memberikan kemudahan dan/atau melindungi orang melakukan khalwat/mesum diancam dengan hukuman ta‘zi>r berupa kurungan paling lama 6 bulan, paling singkat 2 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000, 00 paling sedikit Rp 5.000.000, 00. 737 Pelanggaran moralitas di Kelantan terdiri dari khalwat, perbuatan tidak sopan, perkataan tidak sopan, banci, menghasut perempuan bersuami atau lelaki beristeri supaya bercerai atau mengingkari kewajiban dan tanggungjawab, perlakuan sumbang, melarikan isteri orang atau anak, melarikan perempuan, dan menjual atau membeli anak. Khalwat dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 diatur bagi laki-laki yang bersunyi-sunyi dengan perempuan yang bukan mahramnya dan bukan isterinya. Perbuatan ini dikenakan hukuman denda maksimal RM 2.000,00 atau penjara maksimal 1 tahun atau kedua- duanya. Sebaliknya, seorang perempuan yang bersunyi-sunyi dengan laki-laki yang bukan mahramnya yang bukan suaminya dikenakan hukuman denda maksimal RM 2.000,00 atau penjara maksimal satu tahun atau kedua-duanya. Enakmen ini juga mengatur pula percumbuan seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan isterinya atau sebaliknya seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan suaminya dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara selama maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.738

Matrik 9. Persamaan dan Perbedaan Pelarangan Khalwat di Aceh dan Kelantan

Ta’zi>r Aceh Kelantan

Khalwat Aspek yang Perbuatan bersunyi-sunyi antara Laki-laki yang bersunyi-sunyi dilarang dua orang mukallaf atau lebih dengan perempuan yang bukan yang berlainan jenis yang bukan mahramnya dan bukan isterinya. muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Pelaku Orang (laki-laki dan Orang (laki-laki dan perempuan) pelanggaran perempuan)

736Pasal 3 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat 737Pasal 22 Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat 738Pasal 5 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 223

Cambuk 3-9 kali, dan/atau Hukuman denda maksimal RM denda Rp 2.500.000,00 Rp. 2.000,00 atau penjara maksimal 10.000.000,00. 1 tahun atau kedua-duanya. Hukuman -Bagi orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha yang memberikan kemudahan dan/atau melindungi orang melakukan khalwat/mesum diancam dengan hukuman 2- 6 penjara, dan/atau denda Rp 5.000.00000 Rp. 15.000.000,00 Sumber: Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat dan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985

Perbuatan tidak sopan yang diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 tidak didefinisikan secara jelas. Enakmen ini hanya menjelaskan bahwa seseorang yang dengan sengaja melakukan perbuatan atau berkelakuan tidak sopan yang bertentangan dengan hukum syariat di tempat umum dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.739 Perkataan tidak sopan yang diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 adalah perbuatan yang dengan sengaja mengeluarkan atau mengeluarkan kata-kata yang bertentangan dengan hukum Syara’ yang dapat mengganggu keamanan di tempat umum. Pelanggaran ini dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.740 Dalam kasus moralitas lainnya, Enakmen ini mengatur tentang banci, yaitu seorang lelaki yang memakai pakaian perempuan dan tampil seperti perempuan di tempat umum. Orang yang tampil banci dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.741 Pelanggaran juga dikenakan bagi perbuatan menghasut perempuan bersuami atau lelaki beristeri supaya bercerai atau mengingkari kewajiban dan tanggungjawab di antara satu dengan yang lain. Perbuatan seperti ini dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.742 Enakmen ini juga mengatur perbuatan melarikan atau menyebabkan isteri orang lain meninggalkan rumah tangganya. Enakmen ini menyatakan bersalah perbuatan ini yang dikenakan hukuman denda maksimal RM 2.000,00

739Pasal 6 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 740Pasal 6 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 741Pasal 7 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 742Pasal 8 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 224 atau penjara maksimal 1 tahun atau kedua-duanya dan Mahkamah boleh memerintahkan supaya isteri kembali kepada suaminya.743 Perbuatan melarikan atau mempengaruhi atau membujuk seorang perempuan supaya lari dari penjagaan ibu bapaknya atau penjaganya, dalam Enakmen ini dikenakan hukuman denda maksimal RM 2.000,00 atau penjara tidak melebhi 1 tahun atau kedua-duanya.744 Seorang ibu atau bapak atau penjaga yang menjual, memberi atau menyerahkan anaknya atau anak-anak yang di bawah penjagaannya kepada seseorang yang bukan beragama Islam dalam Enakemen ini dikenakan hukuman denda maksimal RM 2.000,00 atau penjara maksimal 1 tahun atau kedua- duanya. 745

2. Pelanggaran Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam Pelanggaran akidah yang diatur di Aceh adalah paham atau atau aliran sesat, dan keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam, tidak shalat Jumat dan puasa Ramadhan, tidak membayar zakat atau membayar zakat tidak sesuai ketentuan yang benar, memalsukan surat Badan Baitul Mal dan melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainya. Di Kelantan, pelanggaran akidah dan ibadah adalah takfir>, makan di bulan Ramadhan, dan menggalakkan maksiat. Kriminalisasi pelanggaran akidah di Aceh diatur dalam Qanun No. 11 tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Dalam Qanun ini, aqidah didefinisikan dengan akidah Islam menurut Ahlussunnah Waljamaah. Ibadah yang diatur dalam Qanun ini adalah shalat dan puasa Ramadhan. Syiar Islam yang dimaksud dalam Qanun ini adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.746 Dalam aspek akidah, ada tiga kewajiban/larangan bagi seluruh umat Islam di Aceh, yaitu: (1) memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat, (2) dilarang menyebarkan paham atau atau aliran sesat, dan (3) dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam.747 Pelanggaran terhadap penyebaran paham atau aliran sesat dihukum dengan ta‘zi>r berupa hukuman penjara

743Pasal 17 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 744Pasal 20 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 745Pasal 21 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 746Pasal 1 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam 747Pasal 5 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam 225 paling lama 2 tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 kali cambuk. Bagi orang yang keluar dari akidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam dihukum dengan hukuman yang diatur dalam Qanun tersendiri.748 Sayangnya, sampai sekarang Qanun yang mengatur hukuman orang yang keluar dari akidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam belum dibuat oleh Pemerintah Aceh. Pelanggaran ibadah dalam Qanun ini adalah shalat Jumat dan shalat fardhu, puasa di bulan Ramadhan, dan zakat. Bagi Muslim di Aceh yang tidak melaksanakan shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa udhur syar‘i> dihukum dengan ta‘zi>r berupa hukuman penjara paling lama 6 bulan atau dihukum cambuk di depan umum paling banyak 3 kali. Bukan hanya orang Muslim, perusahaan pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakana shalat fardhu pun dipidana dengan hukuman ta‘zi>r berupa pencabutan izin usaha.749 Selain itu, pelanggaran terhadap larangan makan dan minum di tempat/depan umum pada siang hari di bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman ta‘zi>r berupa hukuman penjara paling lama 4 bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 kali.750 Qanun ini juga mengatur tentang larangan menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tidak mempunyai ‘udhu>r syar‘i>> untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan larangan makan dan minum di tempat/depan umum pada siang hari di bulan Ramadhan.751 Sanksi hukuman bagi yang orang/badan usaha yang menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tidak mempunyai ‘udhu>r syar‘i> untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dipidana dengan hukuman ta‘zi>r berupa hukuman penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 kali dan dicabut izinnya. Dalam aspek ibadah, Pemerintah Aceh juga telah mengeluarkan kriminalisasi Muslim yang melakukan pelanggaran zakat (tidak

748Pasal 20 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam 749Pasal 21 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam 750Pasal 22 juga menyebutkkan larangan menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tidak mempunyai ‘udhu>r syar‘i> untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan dan larangan makan dan minum di tempat/depan umum pada siang hari di bulan Ramadhan 751Pasal 10 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam 226 membayar zakat atau membayar zakat tidak sesuai ketentuan yang benar). Pasal 38 Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat menghukum Muslim yang tidak membayar zakat atau membayar zakat tidak sesuai ketentuan yang benar dengan hukuman berupa denda paling banyak 2 kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling sedikit satu kali nilai zakat yang wajib dibayarkan dan juga membayar seluruh biaya sehubungan dengan dilakukan audit khusus. Qanun ini juga mengatur bahwa bagi Muslim yang tidak menunaikan zakat melalui Badan Baitul Mal pun dikenakan hukuman, yaitu ta‘zi>r berupa denda paling sedikit 1 kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak 2 kali nilai zakat yang wajib dibayarkan atau kewajiban membayar seluruh biaya yang diperlukan sehubungan dengan audit khusus.752 Kriminalisasi juga diberlakukan kepada seseorang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal yang dapat mengakibatkan gugurnya kewajiban membayar zakat. Hukuman ta‘zi>r diberikan karena pemalsuan surat dengan denda paling banyak Rp 3.000.000,00 paling sedikit Rp 1.000.000,00 atau hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau paling sedikit 1 bulan.753 Diatur pula ketentuan bagi seseorang yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya yang seharusnya diserahkan ke Baitul Mal. Hukuman ta‘zi>r diberikan karena penggelapan dengan hukuman cambuk paling sedikit 1 kali, paling banyak 3 kali dan denda paling sedikit 1 kali, paling banyak 2 kali dari nilai zakat, wakaf, atau harta agama lainnya yang digelapkan.754 Qanun juga mengatur Baitul Mal yang tidak menyalurkan zakat fitrah, zakat mal, wakaf, kepada mustahiq sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam perbuatan seperti ini dikenakan hukuman ta’zi>r karena penyelewengan denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00, paling banyak Rp. 3.000.000,00 atau hukuman kurungan paling singkat 2 bulan atau paling lama 6 bulan dan membayar kembali ke Baitul Mal senilai zakat atau harta agama yang diselewengkan.755 Pelanggaran ibadah juga diatur dalam Pasal 38 Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, yakni membuat, menggunakan surat palsu atau memalsukan surat Badan Baitul Mal dan melakukan/turut melakukan/membantu melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainya. Pasal 39 ayat 1 mengatur hukuman bagi pelaku yang membuat surat palsu atau memalsukan surat Badan Baitul Mal

752Pasal 50 Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal 753Pasal 51 Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal 754Pasal 52 Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal 755Pasal 53 Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal 227 yang dapat menerbitkan sesuatu hak, kewajiban atau pembebasan hutang, atau yang dapat dipergunakan sebagai keterangan suatu perbuatan dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan berupa hukuman cambuk di depan umum 1-3 kali, denda Rp 500.000,00 sampai Rp 1.500.000,00 atau kurungan 2-6 bulan.756 Kriminalisasi juga dilakukan kepada seseorang yang dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, yang dapat menimbulkan kerugian bagi Badan Baitul Mal atau muzakki, mustahiq atau kepentingan lain, dihukum dengan hukuman ta’zi>r berupa cambuk di depan umum 1-3 kali atau hukuman denda Rp 500.000,00 sampai Rp 1.500.000,00 atau kurungan 2-6 bulan.757 Qanun juga mengatur kriminalisasi terhadap seseorang yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan zakat atau harta lainnya yang seharusnya diserahkan kepada Badan Baitul Mal, dihukum karena penggelapan dengan hukuman ta‘zi>r berupa cambuk di depan umum 1-3 kali dan denda 1-2 kali dari nilai zakat atau nilai harta agama lainnya yang digelapkan.758 Bagi petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah dihukum karena melakukan jarimah menyelewengkan pengelolaan zakat dengan hukumanta‘zi>r berupa cambuk di depan umum 2-4 kali atau hukuman denda Rp 1.000.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00 atau hukuman kurungan 4-8 bulan.759 Pelanggaran terhadap syiar Islam diatur dalam Qanun No. 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Pelanggaran terhadap Muslim yang tidak berbusana Islami dipidana dengan hukuman ta‘zi>r setelah melalui proses peringatan dan pembinaan Wilayatul Hisbah.760 Adapun pelanggaran akidah dan ibadah yang diatur di Kelantan terdiri dari takfir> (mengkafirkan), makan di bulan Ramadhan, dan menggalakkan maksiat. Dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 diatur bahwa perbuatan yang berupa mengatakan atau mengaitkan melalui kata-kata, baik dalam ucapan atau tulisan, atau melalui isyarat, atau gambar atau melalui perbuatan, kegiatan, atau

756Pasal 38 Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat 757Pasal 39 ayat 2 Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat 758Pasal 40 Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat 759Pasal 41 Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat 760Pasal 23 Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam 228 mengelola, mengatur kegiatan yang mengarah keluar dari Islam dikenakan hukum penjara maksimal 3 tahun, atau denda maksimal RM 5.000,00 atau kedua-duanya.761 Begitu pula setiap orang yang menafsirkan secara menyeleweng fatwa yang dikeluarkan oleh pihak berkuasa agama dikenakan hukuman penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal RM 5.000,00 atau kedua-duanya.762 Orang yang tidak berpuasa menurut hukum syariat dan didapati makan atau minum atau merokok atau sejenisnya pada siang hari di bulan Ramadlan dalam Enakmnen ini dikenakan hukuman denda maksimal RM 500,00 atau penjara maksimal 3 bulan dan bagi kesalahan yang kedua atau yang berikutnya denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.763 Enakmen ini juga mengatur perbuatan berupa menganjurkan, membujuk atau menggalakkan orang melakukan pekerjaan maksiat adalah bersalah, dikenakan hukuman denda maksimal RM 500,00 atau penjara maksimal 4 bulan atau kedua-duanya.764

3. Pelanggaran Seksual Di Aceh, pelanggaran seksual tidak diatur dalam Qanun, sedangkan di Kelantan, banyak muatan pelanggaran seksual yang diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, pelanggaran seksual dalam Enakmen ini terdiri dari musa>h}aqah, liwa>t}, ikhtilat}, percumbuan seorang laki-laki dengan perempuan yang bukan isterinya atau sebaliknya seorang perempuan dengan laki-laki yang bukan suaminya, subhat melakukan zina, hamil di luar nikah, menjadi mucikari, melacurkan diri, dan persetubuhan dalam satu garis perkawinan. Di Kelantan, perbuatan percobaan zina dikenakan hukuman denda maksimal RM 3.000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua- duanya dan dicambuk maksimal 3 kali.765 Pengaturan percobaan zina ini merupakan terobosan hukum dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 karena para imam mazhab tidak memiliki pendapat tentang persoalan ini.

761Pasal 24 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 762Pasal 24 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 763Pasal 26 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 764Pasal 23 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 765Pasal 12 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 229

Perbuatan bersubhat melakukan zina766 dalam Enakmen ini dikenakan hukuman denda maksimal RM 3.000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua-duanya.767 Hukuman ini sejalan dengan pendapat imam-imam mazhab bahwa subhat dalam zina tidak dikenakan hukuman zina (rajam/cambuk). Argumennya adalah hukuman h}udu>d tidak dapat dikenakan jika dalam keadaan subhat.768 Perbuatan musa>h}aqah dikenakan hukuman denda maksimal lima ratus ringgit atau penjara maksimal empat bulan atau kedua-duanya.769 Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah mengkategorikan musahaqah sebagai pelanggaran ta‘zi>r, bukan h}udu>d.770 Karena musa>h}aqah dikategorikan sebagai ta‘zi>r, Draft Enakmen ini menetapkan hukuman denda atau penjara sebagai hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah. Perbuatan liwa>th dalam Draft Enakmen ini dimasukkan dalam kategori h}udu>d yang dikenakan hukuman denda maksimal RM 5.000,00 atau penjara maksimal 3 tahun atau kedua-duanya dan dicambuk 6 kali.771 Hukuman yang ditetapkan dalam Enakmen ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi yang menempatkan liwa>t} sebagai ta‘zi>r sehingga tidak dikenakan hukuman rajam/cambuk. Berbeda dengan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali yang menempatkan liwa>t} dan musa>h}aqah sebagai h}udu>d yang dikenakan hukuman rajam/cambuk.772 Hamil di luar nikah juga diatur dalam Enakmen ini. Seorang perempuan yang didapati hamil atau melahirkan anak di luar nikah dikenakan hukuman denda maksimal RM 3.000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua-duanya. Kategori hamil di luar nikah dalam Draft Enakmen ini berlaku bagi perempuan yang melahirkan anak setelah enam bulan pernikahan.773 Para ulama fikih berbeda pendapat tentang perempuan hamil yang tidak mempunyai suami. Mazhab Hanafi berpendapat jika seorang

766Perbuatan ini sering disebut wat}i>’ shubh}ah, yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan bukan isterinya dan persetubuhan itu dilakukan: a) dalam keadaan yang meragukan dalam keadaan dia menyangka bahwa perempuan yang disetubuhinya itu adalah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya; atau b) dalam keadaan yang meragukan dalam keadaan dia menyangka bahwa perkahwinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu adalah sah sesuai hukum syara’, sedangkan pada hakikatnya perkawinannya itu adalah tidak sah. 767Pasal 13 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 768‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 85. 769Pasal 15 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 770Sayyid Sabiq, ‚Fiqh al-Sunnah…‛, 732. 771Pasal 14 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 772‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, Kita>b al-Fiqh…‛, 125-126. 773Pasal 16 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 230 perempuan merdeka hamil dan tidak mempunyai suami, atau perempuan budak yang tidak mempunyai suami dan tuan, maka perempuan tersebut ditanya terlebih dahulu. Jika perempuan itu menjawab bahwa dia dipaksa berzina atau wathi’ shubhat, dan diterima penjelasannya, maka dia tidak dikenakan hukum h}udu>d. Madzab Syafi’i berpendapat perempuan tersebut tidak dikenakan hukum h}udu>d, meskipun tidak ada bukti dia dipaksa atau bersuami karena hukuman h}udu>d diberlakukan selama ada saksi atau pengakuan. Hukuman h}udu>d gugur karena disebabkan shubhat. Mazhab Maliki berpendapat perempuan tersebut dihukum h}udu>d sampai dia menunjukkan bahwa dia dipaksa atau telah bersuami atau bukti lain yang dapat dipercaya karena hukuman h}udu>d dijatuhkan karena ada tanda kehamilan. 774 Berdasarkan pada pendapat para imam mazhab di atas, maka Draft Enakmen mengikuti pendapat mazhab Maliki. Seorang suami yang melacurkan isterinya atau membiarkan isterinya melacurkan dirinya dikenakan hukuman denda tidak melebih RM 3.000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua-duanya. Seorang ibu atau bapak atau wali yang melacurkan anaknya atau anak-anak yang di bawah jagaannya atau membenarkan anaknya atau anak-anak yang di bawah penjagaannya itu melacur dikenakan hukuman denda maksimal RM 3.000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua-duanya.775 Adapun pelacuran dikenakan hukuman denda maksimal RM 4.000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua-duanya.776 Seseorang yang menjadi mucikari dalam Enakmen ini dikenakan denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.777 Pelacuran dan mucikari tidak ditemukan dalam pendapat imam mazhab. Pelacuran dan mucikari masuk dalam kategori ta‘zi>r yang menjadi kewenangan penguasa untuk menentukan hukumannya. Persetubuhan dalam satu garis darah (incest) juga dilarang dalam Enakmen ini. Hukumannya adalah denda maksimal RM 3.000,00 atau penjara maksimal 2 tahun atau kedua-duanya dan Mahkamah dapat memerintahkan supaya mereka tidak tinggal bersama-sama.778 Hukuman ini berbeda dengan pendapat Imam Ahmad dan Ishaq yang menghukum persetubuhan dalam garis keturunan dengan hukuman mati jika yang disetubuhi adalah isteri bapaknya.779

774 ‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 87. 775Pasal 18 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 776Pasal 19 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 777Pasal 22 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 778Pasal 10 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 779 ‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 90. 231

4. Penghinaan kepada Aparat Negara Pelanggaran kepada aparat negara tidak diatur di Aceh, tetapi di Kelantan diatur pelanggaran atas ketidaktaatan kepada aparat negara, yaitu menghina pegawai Hal Ehwal Agama Islam, menghina undang- undang, dan ingkar perintah Mahkamah dan titah Sultan. Dalam Enakmen ini diatur perbuatan mengingkari, melanggar, membantah atau menghina Qadhi atau Pegawai Hal Ehwal Agama Islam Negeri atau Penyelia Agama sewaktu menjalankan tugasnya yang dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.780 Perbuatan menghina Undang- undang dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.781 Perbuatan mengingkari, melanggar, membantah, menghina atau enggan mematuhi perintah Mahkamah dikenakan hukuman denda maksimal RM 1.000,00 atau penjara maksimal 6 bulan atau kedua-duanya.782 Perbuatan tidak mematuhi perintah Sultan dikenakan hukuman denda maksimal dua ribu ringgit atau penjara maksimal satu tahun atau kedua-duanya.783 Berdasarkan pemaparan materi hukum jinayah, baik h}udu>d dan ta‘zi>r, maka pemberlakuan hukum jinayah di Aceh pada dasarnya sangat terbatas karena hanya memuat hukum h}udu>d dan ta‘zi>r. Qis}a>s} dan diyat yang menjadi bagian penting dalam hukum jinayah tidak diberlakukan. H}udu>d yang diatur hanya khamar yang tertuang dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, sedangkan ta‘zi>r diatur dalam Qanun No. 11 tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, dan Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal. Kondisi yang berbeda terjadi di Kelantan. Pemerintah Kelantan telah menetapkan beberapa peraturan yang terkait dengan pelaksanaan hukum jinayah setelah diundangkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985. Hukum jinayah yang diberlakukan di Kelantan adalah h}udu>d dan ta‘zi>r. H}udu>d yang diberlakukan di Kelantan terbatas pada perbuatan zina dan khamar. Selebihnya yang diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 adalah ta‘zi>r, seperti perbuatan tidak sopan, perkataan tidak sopan, penampilan banci, menghasut perempuan bersuami atau lelaki beristeri supaya bercerai atau mengingkari kewajiban dan

780Pasal 27 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 781Pasal 28 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 782Pasal 31 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 783Pasal 32 Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 232 tanggungjawabnya, khalwat, bersetubuh dalam hubungan darah, percobaan zina, subhat dalam melakukan zina, liwa>t}, musa>h}aqah, hamil di luar nikah, melarikan isteri orang atau anak, melacurkan diri, melarikan perempuan, menjual atau memberi anak, menjadi mucikari, menggalakkan maksiat, takfir, makan di bulan Ramadhan, mengina pegawai hal ehwal Agama Islam, menghina undang-undang, ingkar perintah Mahkamah, perintah Sultan, pembelaan pegawai masjid dan lain-lain. Hukuman minum khamar dan zina di atas tidak sesuai dengan syariat Islam yang menetapkan hukuman rajam bagi zina muh}s}an dan cambuk 100 kali bagi zina ghiaru muh}s}an, serta 40 kali cambuk bagi pelaku minum khamar.

C. Materi Perluasan Pemberlakuan H}udu>d dan Qis}a>s} di Aceh dan Kelantan Materi yang diatur dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993 berbeda dengan materi hukum jinayah yang telah diberlakukan. Di peraturan sebelumnya, h}udu>d di Aceh hanya diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, sedangkan ta‘zi>r diatur dalam Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, dan Qanun No. 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal. Dalam Draft Draft Qanun Jinayah Aceh 2009, pemberlakuan hukum jinayah sudah lebih luas, yang mencakup sebagian h}udu>d dan ta’zi>r. Adapun aturan yang diajukan di Kelantan lebih lengkap dengan memasukkan h}udu>d, qis}a>s}, dan ta‘zi>r sekaligus. H}udu>d yang diberlakukan dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 Kelantan, adalah khamar dan zina. Dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Kelantan, hukum jinayah yang terdiri dari h}udu>d, qis}a>s}, dan ta‘zi>r telah diatur. Begitu pula, jika sebelumnya pelanggaran jinayah dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan 1985 dikenakan hukuman yang tidak sesuai dengan hukum syariat, maka dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Kelantan, telah disesuaikan dengan hukum syariat. Hukum jinayah yang dimuat dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 adalah hukum yang mengatur tentang h}udu>d dan ta‘zi>r. H}udu>d dan ta’zi>r yang diatur dalam Draft Qanun ini adalahkhamr, maisir, khalwat, ikhtilat}, zina>, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadhaf, liwat}, dan

233 musa>h}aqah. Draft Qanun ini merupakan perluasan dari qanun-qanun yang telah ada di Aceh, meskipun aspek qis}a>s} dan diyat tidak dimasukkan dalam Draft Qanun ini.Tujuh hukum yang baru masuk dalam Draft Qanun Jinayah ini terdiri dari h}udu>d (qadhaf dan zina) dan ta’zi>r (ikhtila>t}, pelecehan seksual, pemerkosaan, liwat}, dan musa>h}aqah). Terobosan hukum yang dibuat dalam Draft Qanun Jinayah terletak pada larangan pelecehan seksual dan pemerkosaan di mana aturan ini telah masuk dalam KUHP. Meskipun khamar, maisir, dan khalwat telah diatur dalam qanun sebelumnya, tetapi dalam Draft Qanun Jinayah ini diperdalam aturan hukumnya. Subjek hukum dari Draft Qanun Jinayah ada tiga, yaitu: (1) orang yang beragama Islam melakukan jarimah di Aceh; (2) orang yang bukan beragama Islam melakukan jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam serta memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayat; dan (3) orang yang beragama bukan Islam melakukan jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana diluar KUHP tetapi diatur dalam qanun ini.784 Adapun Draft Enakmen Kanun Jenayah Syaraih II (Hudud) 1993 Negeri Kelantan memuat h}udu>d, dan qis}a>s sebagai bagian utama dalam hukum jinayah. Ta’zi>r yang diatur dalam Enakmen ini hanya disinggung sebagai ganti dari hukuman h}udu>d karena tidak cukup bukti. Enakmen juga mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukuman dan lembaga Mahkamah Syariah yang bertugas memeriksa dan memutus pelanggaran pidana. Tindak pidana h}udu>d, ta‘zi>r, dan qis}a>s } yang diatur dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan diberlakukan kepada Muslim yang mukalaf. Artinya, Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan hanya berlaku untuk masyarakat Kelantan yang beragama Islam. Bagi non-Muslim diberikan pilihan; apakah akan menggunakan Enakmen ini atau tidak.785 Hukum h}udu>d yang diatur dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 baru sebatas khamar, zina, dan qadhaf. Khamar sebenarnya telah diatur dalam qanun sebelumnya, sedangkan zina dan qadhaf merupakan hukum h}udu>d yang baru dirumuskan dalam Draft Qanun ini. Perluasan hukum h}udu>d ini merupakan upaya untuk melengkapi dari tujuh hukum h}udu>d yang telah diatur dalam syariat Islam. Di Kelantan, h}udu>d yang diatur adalah sariqah (mencuri), h}ira>bah (merompak), zina (melakukan persetubuhan haram), qadhaf, shurb (meminum arak atau minuman yang

784Pasal 4 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 785Pasal 56 ayat1-2 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (Hudud) 1993 Negeri Kelantan. 234 memabukkan), dan irtida>d atau riddah (keluar dari agama Islam).786H}udu>d yang diberlakukan di Kelantan lebih banyak daripada di Aceh. Dengan demikian, persamaan antara Aceh dan Kelantan adalah aturan tentang khamar, zina, dan qadhaf. Perbedaannya, di Aceh tidak diatur sariqah, h}ira>bah, dan irtida>d, sedangkan di Kelantan telah diatur sariqah, h}ira>bah, dan irtida>d.

Matrik 10. Perbandingan Hukum H}udu>d di Aceh dan Kelantan

Perbandingan Rancangan H}udu>d di Aceh Rancangan H}udu>d di Kelantan

Persamaan khamar, zina, dan qadhaf khamar, zina, dan qadhaf

Perbedaan tidak diatur sariqah, sariqah, h}ira>bah, dan irtida>d h}ira>bah, dan irtida>d Sumber: Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan versi hasil Sidang DUN Kelantan 1993

Khamar dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 didefinisikan sebagai minuman yang mengandung alkohol dan/atau yang dapat memabukkan.787 Ancaman hukumannya adalah hukuman h}udu>d 40 kali cambuk dan juga dapat dikenakan hukumanta’zi>r cambuk paling banyak 40 kali atau penjara paling lama 40 bulan.788 Hukuman ini masih konsisten mengambil pendapat dari mazhab Syafi’i yang menyatakan hukuman bagi peminum khamar adalah 40 kali cambuk dan tidak menggunakan pendapat mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali bahwa hukuman bagi peminum khamar adalah sebanyak 80 kali cambuk.789 Adapun perbuatan memproduksi, menyimpan/menimbun, mempromosikan, memasukkan khamar baik legal maupun illegal, atau mengimpor khamar dari luar negeri baik legal maupun illegal diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 80 kali dan denda paling banyak 800 gram emas murni atau penjara paling lama 80 bulan. Perbuatan menjual/membeli, membawa/mengangkut, atau menghadiahkan khamar diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 20 kali dan denda paling banyak 200 gram emas murni atau penjara paling lama 20

786Pasal 4 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 787Pasal 1 Ayat 14 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 788Pasal 13 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 789‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 15-16. Lihat Sayyid Sabiq, ‚Fiqh al-Sunnah…‛, 711. 235 bulan.790 Dalam hal jarimah dilakukan oleh korporasi, maka hukuman dikenakan terhadap pengurusnya.791 Perbuatan jarimah di atas yang melibatkan anak-anak dikenakan hukuman tambahan paling banyak 20 kali cambuk dan denda 200 gram emas murni atau penjara 20 bulan.792 Ulama fikih tidak menetapkan secara spesifik hukumannya sehingga perbuatan di atas dapat dihukum ta‘zi>r sehingga penguasa dapat menetapkan hukuman sesuai dengan kemaslahatan. Di Kelantan, shurb dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan diartikan dengan perbuatan meminum arak atau sejenis minuman yang memabukkan. Bagi orang yang melakukan perbuatan ini, baik mabuk maupun tidak, dan tanpa melihat kadar yang diminumnya, dikenakan hukuman cambuk maksimal 80 kali cambuk dan tidak kurang dari 40 kali cambuk. Kesalahan ini dapat dibuktikan dengan keterangan lisan yang diberi oleh dua orang saksi atau dengan iqra>r yang dibuat oleh tertuduh itu sendiri sebagaimana yang diatur dalam Draft Enakmen ini.793 Hukuman bagi pelaku minum khamar dalam Draft Enakmen ini mengadopsi Mazhab Syafi’i yang berpendapat hukuman peminum khamar adalah 40 kali cambuk dan mengadopsi pendapat mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali yang berpendapat hukuman peminum khamar sebanyak 80 kali cambuk.794

Matrik 11. Perbandingan Rancangan Pelarangan Khamar di Aceh dan Kelantan

Aspek Aceh Kelantan Perbandingan Definisi Minuman yang Perbuatan meminum Ada persamaan dalam mengandung alkohol arak atau sejenis mendefinisikan khamar dan/atau yang dapat minuman yang memabukkan memabukkan Perbuatan 1. Perbuatan minum Meminum arak atau Ada perbedaan dalam Pelanggaran yang mengandung sejenis minuman yang mengatur perbuatan alkohol dan/atau memabukkan pelanggaran khamar. Di yang dapat Kelantan yang diatur memabukkan hanya minum khamar, 2. Perbuatan sedangkan di Aceh tidak memproduksi, hanya minum khamar, tapi menyimpan/menimb juga memproduksi, un, mempromosikan, menyimpan/menimbun,

790Pasal 14 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 791Pasal 15 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 792Pasal 16 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 793Pasal 22 ayat1-2 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (Hudud) 1993 Negeri Kelantan. 794‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 15-16. Lihat Sayyid Sabiq, ‚Fiqh al-Sunnah…‛, 711. 236

memasukkan khamar mempromosikan, baik legal maupun memasukkan khamar atau illegal, atau mengimpor mengimpor khamar dari luar negeri baik legal maupun ilegal Hukuman 1. Hukuman 40 kali Hukuman cambuk Ada kesamaan dalam cambuk maksimal delapan menghukum pelaku minum 2. Dapat juga puluh kali cambuk dan khamar, yaitu 40 cambuk ditambahhukumanta tidak kurang dari dengan perbedaan dalam ‘zi>r cambuk paling empat puluh kali tambahan hukuman banyak 40 kali atau cambuk. penjara paling lama 40 bulan. Sumber: Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993

Zina dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 diartikan dengan persetubuhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.795 Perbuatan zina diancam dengan hukuman h}udu>d 100 kali cambuk bagi yang belum menikah dan hukuman rajam/hukuman mati bagi yang sudah menikah. Bagi orang yang dijatuhi hukuman di atas dapat juga dikenakan hukuman ta’zi>r berupa penjara paling lama 40 bulan.796 Tidak jauh berbeda dengan Aceh, zina dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan didefinisikan dengan persetubuhan di antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan pasangan suami isteri dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam pengertian wati>‘ shubhah. Jika pelaku zina sudah kawin dengan sah dan telah menikmati persetubuhan dalam perkawinan itu, maka pelaku itu dinamakan muh}s}an, tetapi apabila pelaku itu belum kawin atau sudah kawin tetapi belum merasakan persetubuhan dalam perkahwinan itu, maka pelaku itu dinamakan ghayru muh}s}an.797 Hukuman yang dikenakan bagi pelaku zina dalam Draft Enakmen ini dibagai dua, yaitu bagi pelaku zina muh}s}an, dihukum rajam, yaitu dilempari dengan batu sampai mati dan bagi pelaku zina gh}ayru muh}s}an, dihukum 100 kali cambuk dan sebagai tambahan dipenjara selama 1 tahun.798 Hukuman yang diberlakukan dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan

795Pasal 1 Ayat 20 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 796Pasal 24 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 797Pasal 10 Pasal 1-2 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 798Pasal 11 Pasal 1-2 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 237 sejalan dengan pendapat ulama-ulama fikih. Ulama telah bersepakat bahwa hukuman bagi pelaku zina dibagi dua, yaitu zina> muh}s}an dan zina ghayru muh}s}an. Pelaku zina> muh}s}an dihukum rajam dan pelaku zina ghayru muh}s}an dihukum cambuk 100 kali.799

Matrik 12. Perbandingan Rancangan Pelarangan Zina di Aceh dan Kelantan

Aspek Aceh Kelantan Perbandingan Definisi Persetubuhan antara Persetubuhan di antara Ada persamaan seorang laki-laki dan seorang laki-laki dengan definisi zina. Hanya seorang perempuan seorang perempuan yang saja di Kelantan tanpa ikatan bukan pasangan suami dipertegas dengan perkawinan dengan isteri dan persetubuhan tidak memasukkan kerelaan kedua belah itu tidak termasuk dalam wati>‘ shubhah pihak pengertian wati>’ shubhah Perbuatan Zina Muhs}an dan Zina Muhs}an dan Ada persamaan ghayru Muhs}an ghayru Muhs}an Hukuman 1. Hukuman 100kali 1. Bagi pelaku zina Ada persamaan cambuk bagi yang muh}s}an, dihukum hukuman, tetapi belum menikah dan rajam berbeda dalam dapat juga 2. Bagi pelaku zina hukuman tambahan dikenakan hukuman g}hayru muh}s}an, bagi pelaku zina ta‘zi>r berupa dihukum cambuk ghayru muh}s}an penjara paling lama seratus kali dan 40 bulan sebagai tambahan 2. hukuman dipenjara selama satu rajam/hukuman tahun mati bagi yang sudah menikah

Sumber: Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993

Qadhaf dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 didefinisikan dengan menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat membuktikan dengan menghadirkan 4 orang saksi.800 Perbuatan qadhaf dalam Draft Qanun ini diancam dengan hukuman h}ud>u>d 80 kali cambuk. Bagi orang yang dikenakan hukuman di atas dapat dikenakan hukuman ta‘zi>r penjara paling lama 40 bulan.801 Qadhaf dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan diartikan dengan pelanggaran atas tuduhan zina yang tidak

799Lihat Sayyid Sabiq, ‚Fiqh al-Sunnah…‛, 717. Lihat pula Ibn Rushd, Bida>yat al-Mujtahid…‛, 320. ‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 56-58. 800Pasal 1 Ayat 25 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 801Pasal 32 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 238 dibuktikan oleh empat orang saksi terhadap seseorang Islam yang akil baligh dan dikenali sebagai seorang yang bersih diri dari perbuatan zina. Qadhaf juga dapat dilakukan dengan membuat suatu penyataan dengan cara yang nyata, seperti menyatakan bahwa seseorang itu telah melakukan zina atau dengan cara tersirat seperti menyatakan bahwa seseorang itu bukan bapak ataupun anak kepada seseorang. Penyataan ini dapat dianggap qadhaf, kecuali dibuktikan dengan empat orang saksi laki-laki. Jika penyataan itu dibuktikan, maka orang yang dituduh zina adalah melakukan kesalahan zina.802 Pelaku perbuatan qadhaf dihukum dengan hukuman cambuk sebanyak 80 kali cambuk dan keterangannya sebagai saksi tidak boleh diterima lagi sehingga dia bertaubat atas perbuatannya itu.803 Hukuman yang diberlakukan dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan sejalan dengan pendapat ulama-ulama fikih yang telah bersepakat bahwa pelaku qadhaf dihukum 80 kali cambuk. Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Kelantan menambahkan hukuman, yaitu keterangannya tidak boleh diterima lagi sampai ia bertobat. Ini sesuai dengan kesepakatan imam mazhab yang berpendapat keterangan pelaku qadhaf tidak boleh diterima lagi sampai ia bertobat.804 Hukuman tambahan berupa penjara paling lama 40 bulan dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 masuk dalam kategori ta‘zi>r, yang tidak mengikuti pendapat para imam mazhab.

Matrik 13. Perbandingan Rancangan Pelarangan Qadhaf di Aceh dan Kelantan

Aspek Aceh Kelantan Perbandingan Definisi Menuduh seseorang Pelanggaran atas Ada persamaan, meski di melakukan zina tanpa tuduhan zina yang Kelantan diperinci

802Pasal 12 Pasal 1-3 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 803Pasal 13 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 804‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 189-192. Dalil yang dirujuk adalah:

                .   

.           

239

dapat membuktikan tidak dibuktikan oleh saksinya dengan menghadirkan 4 empat orang saksi orang saksi Muslim yang akil baligh dan dikenali sebagai seorang yang bersih diri dari perbuatan zina Perbuatan Menuduh zina Menuduh zina Ada persamaan Hukuman 1. Hukuman 80 kali 1. Hukuman cambuk Ada persamaan dalam cambuk sebanyak 80 kali hukuman pokok. Ada 2. Hukuman cambuk perbedaan dalam tambahanta‘zi>r 2. Keterangannya hukuman tambahan penjara paling lama sebagai saksi tidak 40 bulan boleh diterima lagi sehingga dia bertaubat atas perbuatannya Sumber: Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993

Selain tiga h}udud di atas, di Kelantan juga diatur sariqah, h}ira>bah, dan irtida>d. Tiga hukum h}udud di atas terdapat dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan. Di Aceh, tiga hukum h}udud ini tidak terdapat dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. Sariqah dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan didefinisikan dengan perbuatan memindahkan dengan cara bersembunyi harta dari penjagaan atau milik tuannya tanpa persetujuan tuannya yang mana perbuatan itu dilakukan dengan niat hendak menghilangkan harta itu dari penjjagaan atau milik tuannya. Pelanggaran sariqah dihukum dengan hukuman h}udu>d seperti berikut: (1) bagi pelanggaran pertama, dipotong tangan kanannya; (2) bagi pelanggaran yang kedua, dipotong kaki kiri; dan (3) bagi pelanggaran yang ketiga dan berikutnya, dipenjara dalam waktu yang menurut Mahkamah Syariah, pelaku pencurian tersebut sadar dan menyesal.805 Hukuman sariqah di atas sesuai dengan pendapat para imam mazhab bahwa pelaku pencurian dihukum potong tangan.806 H}ira>bah dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan diartikan sebagai perbuatan merampas harta orang lain dengan

805Pasal 5-6 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (Hudud) 1993 Negeri Kelantan. 806Lihat ‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛, 138. ‘Abd al-Qa>dir Awdah, ‚al-Tashri>’ al-Jina>’i…‛ > Juz 1, 651. Dalil yang menjadi rujukan tentang hukuman pencurian adalah surat al-Ma>’idah ayat 38:

                

240 kekerasan atau dengan perbuatan mengancam hendak menggunakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang yang bersenjata atau alat yang dapat digunakan sebagai senjata.807 Perbuatan h}ira>bah dihukum dengan hukuman h}udu>d seperti berikut: (1) dihukum bunuh dan setelah itu disalib, jika korban dibunuh dan hartanya atau harta orang lain diambil; (2) dihukum bunuh saja, jika korban dibunuh dengan tidak ada harta yang diambil; (3) dihukum potong tangan kanan dan kaki kirinya, jika harta saja yang diambil dengan tidak menyebabkan kematian korban atau menciderainya; tetapi jika harta diambil dan mengakibatkan cidera korbannya, maka diyat dibayar sebagai tambahan atas hukuman potong tangan dan kaki yang jumlah diyat itu disesuaikan dengan jenis dan keadaan cidera, dan (4) dipenjara dalam waktu yang menurut Mahkamah akan membawa pelaku sadar dan menyesal, jika pelaku sekadar mengancam dengan tidak mengambil harta atau tidak menyebabkan cidera.808 Pengaturan ini merujuk pada pendapat ulama fikih yang berpendapat809 bahwa hukuman bagi pelaku perampokan adalah dibunuh, dibunuh beserta disalib, potong tangan, dan dibuang.810 Pada hukuman keempat inilah, Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan menafsirkan dengan hukuman penjara. Inilah ijtihad para penyusun Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan. Irtida>d dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (1993) Kelantan diartikan dengan perbuatan atau perkataan oleh seorang Muslim mukallaf yang berlawanan dengan akidah Islam dengan syarat bahwa perbuatan itu dilakukan atau perkataan itu disebutkan dengan niat, dengan sukarela dan dengan pengetahuan, dan tanpa paksaan oleh siapapun atau oleh keadaan apa pun.811 Siapapun yang ditetapkan telah melakukan kesalahan irtida>d, sebelum dijatuhi hukuman oleh Mahkamah, dia bertaubat dalam waktu yang tidak kurang dari 3 hari setelah dia dinyatakan salah. Jika dia enggan bertaubat dan masih teguh dengan

807Pasal 8 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 808Pasal 9 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 809Dalil yang dirujuk adalah:

                   

               

810‘Abd al-Qa>dir Awdah, ‚al-Tashri>’ al-Jina>’i…‛>, 656-657. 811Pasal 23 Pasal 1-2 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 241 pendiriannya, maka Mahmakah mengumumkan hukuman mati kepadanya dan memerintahkan supaya hartanya, baik diperoleh sebelum atau setelah melakukan kesalahan, dirampas untuk dipegang bagi keperluan Baitul Mal. Jika dia bertaubat baik sebelum dijatuhi hukuman mati atau belum dijalankan hukuman mati, maka dia terlepas dari hukuman mati, dan hartanya yang dihukum rampas itu dipulangkan kepadanya. Hukuman yang dikenakan kepadanya adalah penjara maksimal 5 tahun.812 Hukuman murtad yang diatur di atas sesuai dengan pendapat ulama fikih bahwa orang yang murtad dihukum mati dan hartanya dirampas.813 Ulama fikih berbeda pendapat tentang harta yang dirampas. Mazhab Maliki, Syafi’i, dan pendapat yang kuat di kalangan Hambali berpendapat bahwa harta orang yang murtad dirampas semuanya. Mazhab Hanafi dan sebagian dari kalangan mazhab Hambali mengatakan tidak semua harta orang murtad dirampas, tetapi hanya harta yang diperoleh setelah murtad saja yang dirampas. Harta yang diperoleh sebelum murtad adalah hak ahli warisnya yang beragama Islam.814

Matrik 14. Rancangan Pelarangan Sariqah, H}ira>bah, dan Irtida>d di Kelantan

Jenis Jinayah Perbuatan Jinayah Hukuman Sariqah Perbuatan memindahkan dengan Hukuman h}udu>d seperti berikut: cara bersembunyi harta dari a) bagi pelanggaran pertama, dipotong penjagaan atau milik tuannya tangan kanannya; tanpa persetujuan tuannya yang b) bagi pelanggaran yang kedua, mana perbuatan itu dilakukan dipotong kaki kiri; dan c) bagi

812Pasal 23 Pasal 3-4 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 813Dalil yang dirujuk adalah surat al-Baqarah 217:

                    

                     

                   



814‘Abd al-Qa>dir Awdah, ‚al-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>…‛, 663. 242

dengan niat hendak pelanggaran yang ketiga dan menghilangkan harta itu dari berikutnya, dipenjara dalam waktu penjagaan atau milik tuannya yang menurut Mahkamah Syariah, pelaku pencurian tersebut sadar dan menyesal H}ira>bah Perbuatan merampas harta orang Hukuman h}udu>d seperti berikut: lain dengan kekerasan atau a) dihukum bunuh dan setelah itu dengan perbuatan mengancam disalib, jika korban dibunuh dan hendak menggunakan kekerasan hartanya atau harta orang lain diambil; yang dilakukan oleh seseorang b) dihukum bunuh saja, jika korban atau sekumpulan orang yang dibunuh dengan tidak ada harta yang bersenjata atau alat yang dapat diambil; digunakan sebagai senjata. c) dihukum potong tangan kanan dan kaki kirinya, jika harta saja yang diambil dengan tidak menyebabkan kematian korban atau mencederainya; tetapi jika harta diambil dan mengakibatkan cidera korbannya, maka diyat atau irsh dibayar sebagai tambahan atas hukuman potong tangan dan kaki yang jumlah diyat itu disesuaikan dengan jenis dan keadaan cidera, dan d) dipenjara dalam waktu yang menurut Mahkamah akan membawa pelaku sadar dan menyesal, jika pelaku sekadar mengancam dengan tidak mengambil harta atau tidak menyebabkan cidera Irtida>d Perbuatan atau perkataan oleh Siapapun yang ditetapkan telah seorang Muslim mukallaf yang melakukan kesalahan irtida>d, berlawanan dengan akidah Islam hendaklah sebelum dijatuhi hukuman dengan syarat bahwa perbuatan oleh Mahkamah, dia bertaubat dalam itu dilakukan atau perkataan itu waktu yang tidak kurang dari tiga hari disebutkan dengan niat, dengan setelah dia dinyatakan salah. Jika dia sukarela dan dengan enggan bertaubat dan masih teguh pengetahuan, dan tanpa paksaan dengan pendiriannya, maka Mahmakah oleh siapapun atau oleh keadaan mengumumkan hukuman bunuh apa pun. Perbuatan atau kepadanya dan memerintahkan supaya perkataan yang berlawanan hartanya baik diperoleh sebelum atau dengan akidah itu seperti Rukun setelah melakukan kesalahan, dirampas Islam, Rukun Iman dan halal dan untuk dipegang bagi keperluan Baitul haram. Mal. Jika dia bertaubat baik sebelum dijatuhi hukuman bunuh atau belum dijalankan hukuman bunuh, maka dia terlepas dari hukuman bunuh, dan hartanya yang dihukum rampas itu dipulangkan kepadanya. Hukuman yang dikenakan kepadanya adalah penjara maksimal lima tahun Sumber: Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993

243

Selain itu, ada juga perbedaan yang mencolok antara Aceh dan Kelantan adalah soal qis}a}s} dan diyat. Jika di Aceh tidak diatur tentang qis}a}s }dandiyat, maka di Kelantan telah diatur tentang qis}a}s} dan diyat. Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) 1993 Negeri Kelantan mengatur telah qis}a>s } dan diyat terhadap perbuatan pembunuhan dan menciderai orang lain. Draft Enakmen ini membagi pembunuhan ke dalam tiga jenis:qatl al-'amd (pembunuhan dengan sengaja); b) qatl shibh al-'amd (pembunuhan menyerupai qatl al-'amd); dan c) qatl al-khata' (pembunuhan tersalah).815

Matrik 15. Perbandingan Rancangan Hukum Qis}a>s} dan Diyat di Aceh dan Kelantan

Jenis Hukum Jinayah Aceh Kelantan

Qis}a>s} dan Diyat Tidak diatur: Diatur: 1. Qatl al-'amd 1. Qatl al-'amd (pembunuhan dengan (pembunuhan dengan sengaja); sengaja); 2. Qatl shibh al-'amd (pembunuhan 2. Qatl shibh al-'amd menyerupai qatl al-'amd); (pembunuhan 3. Qatlal-khata' (pembunuhan menyerupai qatl al- tersalah) 'amd); 3. Qatl al-khata' (pembunuhan tersalah) Sumber: Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993 Perbuatan qatl al-'amd (pembunuhan dengan sengaja) dalam Draft Enakmen ini dikenakan hukuman qis}a>s } (bunuh) kecuali: (1) perbuatan itu tidak dibuktikan dengan keterangan yang dikehendaki dalam Draft Enakmen ini; atau (2) meskipun ada bukti, tetapi wali telah membatalkan hukuman qis}a>s}.816 Jika keluarga korban mengampuni, maka dikenakan diyat dengan dibayar sekaligus atau diangsur selama tiga tahun.817 Perbuatan qatl shibh al-'amd (pembunuhan menyerupai qatl al-'amd) dikenakan hukuman diyat dan dapat ditambah dengan hukuman ta’zi>r, yaitu dipenjara maksimal empat belas tahun.818 Perbuatan qatl-al-khata' (pembunuhan tersalah) dikenakan hukuman diyat dan dapat ditambah dengan hukuman ta’zi>r, yaitu penjara maksimal sepuluh tahun.819

815Pasal 24-25 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 816Pasal 27 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 817Pasal 28 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 818Pasal 31 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 819Pasal 33 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 244

Perbuatan menciderai anggota badan orang lain juga dikenakan hukuman qis}a>s}, sesuai dengan cidera yang terjadi pada korban. Jika hukuman qis}a>s} tidak dapat dikenakan, maka si pelaku membayar diyat dan dapat ditambah dengan hukuman penjara. Ketentuan diyat dan penjara disesuaikan dengan tingkatan cidera yang dialami korban.820 Pembagian qis>}a>s} yang diatur dalam Draft Enakmen Jenayah Syariah Kelantan di atas sesungguhnya mengikuti pembagian yang telah dilakukan oleh ulama-ulama fikih. Hukuman yang diatur pun mengikuti pendapat ulama-ulama fikih.821 Dalam Draft Enakmen Jenayah Syariah Kelantan tidak dimasukkan hukuman kafarat, tidak boleh menerima waris dan wasiat sebagaimana terdapat dalam pendapat ulama-ulama fikih.822 Hukuman qis}a>s} tidak dapat dikenakan dalam kasus-kasus seperti berikut: (1) apabila pelaku yang melakukan kesalahan qis}a>s} telah mati; (2) apabila anggota badan yang hendak dikenakan hukuman qis}a>s} sudah tidak berfungsi lagi; (3) apabila telah diberi maaf oleh korban atau walinya; atau (4) apabila penyelesaian (s}ulh}) atau persetujuan di antara korban dan pelaku telah dibuat.823

820Pasal 35 subPasal 1-2 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (Hudud) 1993 Negeri Kelantan. 821 Dalil hukuman pembunuhan dan melukai adalah: Surat al-Baqarah ayat 178-179:

                       

         .            

        Surat al-Ma’idah ayat 45:

               .  .    

                 Surat al-Nisa’ ayat 92:

                     

                    

                    

 

822 ‘Abd al-Qa>dir Awdah, al-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>rana>t bi> al-Qa>nu>n al-Wad’i}>, 663. 823Pasal 37 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 245

D. Materi Perluasan PemberlakuanTa‘zi>r di Aceh dan Kelantan Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ta’zi>r yang dimuat dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 telah diperluas tidak hanya maisir dan khalwat seperti yang diatur dalam qanun sebelumnya. Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 telah memperkenalkan maisir, khalwat, ikhtila>t}, liwa>t dan musa>h}aqah, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah unsur terobosan baru yang diperkenalkan dalam Jinayah Aceh 2009. Dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (Hudud) 1993 Negeri Kelantan, ta’zi>r yang diatur di antaranya adalah musa>h}aqah, liwa>t}, itya>n al-ma>’itah, dan itya>n al-bahi>mah.

Matrik 16. Perbandingan Rancangan Hukum Ta‘zi>r di Aceh dan Kelantan

Jenis Hukum Jinayah Aceh Kelantan

Ta’zi>r Liwa>t Liwa>t} Musa>h}aqah, Musa>h}aqah Maisir Tidak diatur Khalwat Tidak diatur Ikhtila>t Tidak diatur Tidak diatur Itya>n al-ma>’itah Tidak diatur Itya>n al-bahi>mah Sumber: Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993

Maisir dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 didefinisikan sebagai permainan yang mengandung unsur taruhan, unsur untung- untungan yang dilakukan antara dua pihak atau lebih, disertai kesepakatan bahwa pihak yang menang akan mendapat keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung atau tidak langsung.824 Hukuman perbuatan maisir diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 60 kali dan denda paling banyak 600 gram emas murni atau penjara paling lama 60 bulan. Begitu pula perbuatan menyelenggarakan atau mempromosikan maisir diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 120 kali dan denda paling banyak 1.200 gram emas murni atau penjara paling lama 120 bulan.825 Perbuatan jari>mah di atas yang melibatkan anak-anak diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 120 kali cambuk dan denda 1.200 gram emas

824Pasal 1 Ayat 15 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 825 Pasal 17 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 246 murni atau penjara paling lama 120 bulan.826 Dalam hal jari>mah di atas dilakukan oleh korporasi, hukuman dikenakan terhadap pengurusnya, dengan ditambah 1/3 (satu per tiga).827 Khalwat didefinisikan dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan828 yang diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 10 kali dan denda paling banyak 100 gram emas murni atau penjara paling lama 10 bulan.829 Perbuatan jari>mah di atas terhadap anak yang berumur di atas 12 tahun, diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 20 kali dan denda paling banyak 200 gram emas murni atau penjara paling lama 20 bulan.830 Ikhtila>t} dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 diartikan dengan perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka.831 Perbuatan melakukan atau mempromosikan ikhtila>t} diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali dan denda paling banyak 600 gram emas murni atau penjara paling lama 60 bulan.832 Perbuatan jari>mah di atas terhadap anak-anak, diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 120 kali dan denda paling banyak 1.200 gram emas murni atau penjara paling lama 120 bulan. Liwa>t} dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 didefinisikan dengan hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki yang dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Musa>h}aqah adalah hubungan seksual antara perempuan dengan perempuan yang dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak.833 Perbuatan melakukan liwa>t} dan musa>h}aqah diancam dengan hukuman ta‘zi>r paling banyak 100 kali cambuk dan denda paling banyak 1000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan. Bagi perbuatan mempromosikan liwa>t} dan musa>h}aqah diancam dengan hukuman ta‘zi>r paling banyak 80 kali cambuk dan denda paling banyak 800 gram emas murni atau penjara paling lama 80 bulan.834 Perbuatan jarimah di atas yang dilakukan oleh anak-anak diancam dengan hukuman ta‘zi>r paling banyak 200 kali

826Pasal 18 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 827Pasal 19 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 828 Pasal 1 Ayat 16 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 829Pasal 20 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 830Pasal 22 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 831Pasal 1 Ayat 17 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 832Pasal 23 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 833Pasal 1 Ayat 22-23 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 834Pasal 33 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 247 cambuk dan denda paling banyak 2.000 gram emas murni atau penjara paling lama 200 bulan.835 Liwa>t} dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan diartikan dengan persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang laki-laki yang lain atau antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan isterinya yang dilakukan di luar kewajaran, yaitu melalui dubur. Pelaku perbuatan liwa>t} dihukum dengan hukuman yang sama seperti yang ditetapkan bagi zina dan dibuktikan dengan cara yang sama dengan cara yang dikehendaki untuk membuktikan zina.836 Musa>h}aqah dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syaraih II 1993 Negeri Kelantan diartikan sebagai suatu kesalahan ta‘zi>r yang merupakan suatu perbuatan memuaskan nafsu seks antara perempuan dengan perempuan dengan menempelkan faraj dengan faraj mereka berdua dan hukumannya adalah diserahkan kepada Mahkamah. Kesalahan itu dapat dibuktikan dengan cara yang sama dengan cara yang dikehendaki untuk membuktikan kesalahan ta‘zi>r. Pelaku perbuatan musa>h}aqah dihukum dengan hukuman yang sama seperti yang ditetapkan bagi zina dan dibuktikan dengan cara yang sama dengan cara yang dikehendaki untuk membuktikan zina.837 Dalam hal musa>h}aqah, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah mengkategorikan musa>h}aqah sebagai pelanggaran ta‘zi>r, bukan h}udu>d.838 Karena musa>h}aqah dikategorikan sebagai ta‘zi>r, maka Draft Qanun Jinayah Aceh dan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan boleh menetapkan hukuman denda, penjara atau hukuman lainnya sebagai hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah. Adapun dalam hal liwa>t, ulama berbeda pendapat tentang liwa>t}. Mazhab Hanafi menempatkan liwa>t} sebagai ta‘zi>r, sehingga tidak dikenakan hukuman rajam/cambuk. Berbeda dengan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali yang menempatkan liwa>t} sebagai h}udu>d yang dikenakan hukuman rajam/cambuk.839 Dengan demikian, Draft Qanun Jinayah Aceh mengikuti pendapat Hanafi, sedangkan Enakmen Kanun Jenayah Syariah Kelantan mengikuti pendapat mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

835 Pasal 34 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 836Pasal 16-18 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 837Pasal 19 subPasal 1-2 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 838Sayyid Sabiq, ‚Fiqh al-Sunnah…‛, 732. 839‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, ‚Kita>b al-Fiqh…‛ , 125-126. 248

Matrik 17. Perbandingan Rancangan Pelarangan Liwa>t} dan Musa>h}aqah di Aceh dan Kelantan

Aspek Aceh Kelantan Perbandingan

Definisi Hubungan seksual antara Persetubuhan antara Ada perbedaan Liwa>t} laki-laki dengan laki-laki seorang laki-laki dengan definisi liwa>t}, yang dilakukan dengan seorang laki-laki yang khususnya tentang kerelaan kedua belah lain atau antara seorang kerelaan (Aceh) dan pihak laki-laki dengan seorang persetubuhan perempuan yang bukan melalui dubur isterinya yang dilakukan (Kelantan) di luar kewajaran, yaitu melalui dubur Definisi Hubungan seksual antara Suatu perbuatan Ada perbedaan Musa>h}aqah perempuan dengan memuaskan nafsu seks definisi musa>h}aqah, perempuan yang antara perempuan khususnya tentang dilakukan dengan kerelaan dengan perempuan kerelaan (Aceh) dan kedua belah pihak dengan menempelkan persetubuhan dengan faraj dengan faraj mereka menempelkan faraj berdua dengan faraj (Kelantan) PerbuatanLiw 1. Melakukan liwa>t dan Melakukan liwa>t dan Ada perbedaan. Di a>t} dan musa>h}aqah musa>h}aqah Aceh, liwa>t} dan Musa>h}aqah 2. Perbuatan musa>h}aqah diatur mempromosikan liwa>t} secara rinci dan musa>h}aqah 3. Perbuatan liwa>t dan Musa>h}aqah } oleh anak- anak } Hukuman 1. Perbuatan melakukan Liwa>t} dan musa>h}aqah Ada perbedaan. Di Liwa>t} dan Musa>h}aqah dihukum dengan Kelantan, Liwa>t dihukum paling banyak hukuman yang sama dimasukkan ke 100 kali cambuk dan seperti yang ditetapkan dalam perbuatan denda paling banyak bagi zina dan dibuktikan zina (h}udu>d). Di 1000 gram emas murni dengan cara yang sama Aceh, Liwa>t} masuk atau penjara paling dengan cara yang dalam kategori lama 100 bulan. dikehendaki untuk ta‘zi>r. 2. Perbuatan membuktikan zina Ada persamaan mempromosikan Liwa>t} dalam hal dan Musa>h}aqah musa>h}aqah. Di Aceh diancam dengan dan Kelantan hukuman ta‘zi>r paling musahaqah masuk banyak 80 kali cambuk dalam kategori dan denda paling ta‘zi>r. banyak 800 gram emas murni atau penjara paling lama 80 bulan

Sumber: Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 versi hasil Sidang DPRD Aceh 2009 dan Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Tahun 1993 Negeri Kelantan hasil Sidang DUN Kelantan 1993

249

Itya>n al-mayyitah dalam Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (Hudud) 1993 Negeri Kelantan diartikan sebagai suatu kesalahan karena melakukan persetubuhan dengan mayat, baik mayat itu laki-laki maupun mayat perempuan, atau mayat itu mayat isteri pelaku maupun mayat perempuan yang lain. Terhadap perbuatan yang seperti ini, dihukum dengan hukuman ta‘zi>r, yaitu penjara maksimal 5 tahun.840 Ulama fikih berbeda pendapat terhadap perbuatan itya>n al- mayyitah. Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat itya>n al-ma>’itah masuk dalam kategori perbuatan zina yang diancam dengan hukuman h}udu>d karena perbuatan ini lebih besar dosanya daripada zina. Mazhab Maliki berpendapat, jika perbuatan itya>n al-mayyitah dilakukan kepada mayat bukan isterinya, maka dikenakan hukuman h}udu>d. Jika perbuatan itya>n al-mayyitah dilakukan kepada mayat isterinya, maka tidak dikenakan hukuman h}udu>d. Jika perempuan memasukkan dhakar laki- laki yang bukan suaminya, maka tidak dikenakan hukuman h}udu>d, melainkan dihukum ta‘zi>r, karena perempuan tersebut tidak bisa menikmatinya. Menurut Abu Hanifah, perbuatan itya>n al-mayyitah tidak masuk dalam kategori zina. Begitu juga perempuan yang memasukkan dhakar mayat laki-laki yang bukan suaminya ke dalam farjinya, tidak masuk kategori zina.841 Berdasarkan pendapat-pendapat imam mazhab di atas, maka Draft Enakmen Jenayah Kelantan mengikuti pendapat Abu Hanifah. Itya>n al-bahi>mah ialah suatu kesalahan kerana melakukan persetubuhan dengan binatang. Terhadap pelaku kesalahan ini, dihukum dengan hukuman ta‘zi>r, yaitu penjara maksimal lima tahun.842 Aturan ini mengikuti pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah yang berpendapat itya>n al-bahi>mah tidak masuk dalam perbuatan zina, sehingga hukumannya adalah ta‘zi>r. Dalam mazhab Syafi’i dan Hambali, ada dua pendapat. Pendapat pertama (yang paling kuat) mengatakan perbuatan itya>n al-bahi>mah bukan masuk dalam perbuatan zina, seperti pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Pendapat kedua mengatakan perbuatan itya>n al-bahi>mah masuk dalam perbuatan zina, tetapi hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati) pelaku dan hewannya.843 Pengaturan dalam Draft Enakmen Jenayah Syariah Kelantan ini mengikuti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hambal.

840Pasal 20 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II 1993 Negeri Kelantan. 841‘Abd al-Qa>dir Awdah, ‚al-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>…‛}>, 355. 842Pasal 21 Draft Enakmen Kanun Jenayah Syariah II (Hudud) 1993. 843‘Abd al-Qa>dir Awdah, ‚al-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>…‛, 355. 250

Pelecehan seksual dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 didefinisikan dengan perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang lain tanpa kerelaannya.844 Perbuatan melakukan pelecehan seksual diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 60 kali dan denda paling banyak 600 gram emas murni atau penjara paling lama 60 bulan.845 Bagi orang yang dengan sengaja melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak, diancam dengan hukuman cambuk paling banyak 120 kali dan denda paling banyak 1.200 gram emas murni atau penjara paling lama 120 bulan. Pemerkosaan dalam Draft Qanun Jinayah Aceh 2009 didefinisikan sebagai hubungan seksual terhadap faraj atau dubur korban dengan dhakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau dhakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan dhakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban, tidak termasuk hubungan seksual yang dilakukan dengan suami atau isteri.846 Perbuatan melakukan pemerkosaan diancam dengan hukuman cambuk paling sedikit 100 kali dan paling banyak 200 kali atau penjara paling sedikit 100 bulan dan paling lama 200 bulan. Begitu pula bagi orang yang melakukan zina dengan anak-anak dianggap melakukan pemerkosaan dan diancam dengan hukuman cambuk paling sedikit 100 kali dan paling banyak 200 kali atau penjara paling sedikit 100 bulan dan paling lama 200 bulan.847 Adapun bagi orang yang dengan sengaja melakukan jarimah di atas terhadap anak-anak diancam dengan hukuman cambuk paling sedikit 100 kali dan paling banyak 400 kali atau penjara paling sedikit 100 bulan dan paling lama 400 bulan.848 Atas permintaan korban, setiap orang yang dikenakan hukuman sebagaimana dimaksud dalam Draft Qanun ini dapat dikenakan hukuman kompensasi paling banyak 4.000 gram emas murni. Hakim dalam menetapkan besaran hukuman kompensasi perlu mempertimbangkan kemampuan keuangan terhukum/tertuduh. Dalam hal jari>mah di atas dilakukan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindari, maka hukuman kompensasi kepada korban dibebankan kepada yang memaksa.849 Berdasarkan pemaparan di atas, hukum jinayah yang telah diberlakukan di Aceh adalah hukum h}udu>d yang terbatas, yaitu khamar

844Pasal 1 Ayat 21 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 845Pasal 27 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 846Pasal 1 Ayat 24 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 847Pasal 29 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 848Pasal 30 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 849Pasal 31 Draft Qanun Jinayah Aceh 2009. 251 ditambah dengan beberapa hukum ta‘zi}r. Hukum jinayah yang telah diberlakukan di Kelantan juga adalah hukum h}udu>d yang terbatas, yaitu zina dan khamar. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku perbuatan minum khamar di Aceh sesuai pendapat imam mazhab, yaitu 40 kali cambuk (mazhab Syafi’i). Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku perbuatan zina dan minum khamar di Kelantan tidak sesuai pendapat imam mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) karena hanya menjatuhkan hukuman maksimal 3 tahun penjara, RM 5000,00 atau 6 kali cambuk. Adapun hukum jinayah yang sedang diperjuangkan di Aceh adalah hukum jinayah yang diperluas, yaitu khamar, zina, dan qadhaf. Di Kelantan, hukum jinayah yang sedang diperjuangkan adalah hukum jinayah lebih luas lagi, yaitu khamar, zina, qadhaf, sariqah, h}irabah, dan irtida>d. Hukumannya pun disesuaikan dengan pendapat-pendapat imam mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali). Hukumannya tidak lagi menggunakan hukuman maksimal 3 tahun penjara, RM 5000,00 atau 6 kali cambuk.

252

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Studi ini menemukan bahwa pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu kehendak politik pemberlakuan hukum jinayah dan materi hukum jinayah. Dari segi kehendak politik, persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah Aceh dan Kelantan ditentukan oleh model interaksi antara kehendak politik Pemerintah Pusat, kehendak politik Pemerintah Daerah, respon partai politik, dan respon masyarakat. Dari segi materi hukum, persamaan dan perbedaan pemberlakuan hukum jinayah Aceh dan Kelantan ditentukan oleh tingkat pemberlakuan qis}a>s}, h}udu>d dan ta’zi>r. Temuan tentang besarnya peranan kehendak politik penguasa ini mendukung teori Mahfudh MD (2006) yang menyatakan bahwa hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang berinteraksi dan saling bersaing. Teori Mahfudh ini masih bersifat umum karena studi ini justru menemukan bahwa politik itupun masih bervariasi, yakni politik hukum nasional dan politik Pemerintahan Daerah atau bahkan saling bertentangan antara keduanya. Studi ini juga mendukung teori M.B. Hooker (2013) yang menyatakan bahwa pemberlakuan hukum (syariah) selalu merupakan konstestasi politik di level Pusat dan Daerah karena syariat Islam pada dasarnya bersifat ideologis, yang selalu dinegosiasikan baik secara rasional maupun tidak rasional. Studi ini memodifikasi temuan Kikue Hamayotsu (2003) yang menyatakan bahwa formalisasi syariat Islam semata-mata merupakan insentif politik (political insentive) dari elit penguasa untuk mengelola sistem patronase kepada pemilih Muslim, tetapi justru merupakan hasil interaksi antara kehendak politik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, respon partai politik dan masyarakat. Studi ini juga memodifikasi temuan M. Buehler (2008) yang menyatakan bahwa pemberlakuan syariat Islam hanya merupakan akumulasi politik kekuasaan yang dimainkan oleh elit lokal, tetapi justru merupakan kehendak politik elit Pusat. Studi ini juga memodifikasi temuan Much. Nur Ichwan (2007) dan Kamaruzzaman Busttaman-Ahmad (2009) yang menyatakan bahwa

253 pemberlakuan syariat Islam semata-mata hanya merupakan upaya Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik di daerah, melainkan hasil interaksi antara kehendak politik Pemerintah Pusat dan kehendak politik Pemerintah Daerah, respon partai politik dan respon masyarakat ketika daerah itu berstatus negara bagian dalam sistem federasi atau berstatus otonomi khusus dalam sistem negara kesatuan. Terkait peranan gerakan radikalisme, studi ini membantah pendapat Ira M. Lapidus (1997), Peter G. Riddel (2005), Robin Bush (2008), dan Haedar Nashir (2009) yang menyatakan bahwa perjuangan pemberlakuan syariat Islam merupakan fenomena gerakan radikalisme Islam dan jalan kekerasan, melainkan dengan perjuangan politik secara damai. Untuk kasus Aceh, Pemerintahan Negara RI memiliki kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh sebagai bagian dari strategi Pemerintahan Negara RI untuk menyelesaikan konflik. Kehendak politik ini berlangsung sejak Pemerintahan Negara RI dipimpin Presiden Habibie, Abdurrahamn Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Faktor utama yang mempengaruhi kehendak politik Pemerintahan Negara RI ini adalah konflik Pusat dengan rakyat Aceh sejak masa Presiden Soekarno hingga Perjanjian Helsinski 2005. Konflik vertikal yang terjadi antara Pusat dengan rakyat Aceh di antaranya diselesaikan dengan memberikan otnomi khusus dalam pelaksanaan syariat Islam. Bukan hanya hukum keluarga dan ekonomi yang diberikan kewenangan untuk dilaksanakan di Aceh, tetapi juga kewenangan melaksanakan hukum jinayah. Untuk kasus Kelantan, Pemerintahan Federal (Malaysia) tidak memiliki kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah di Kelantan sejak PM Mahathir Muhamad, Abdullah Badawi hingga PM Najib Razak. Pemerintahan Federal justeru menjadikan isu pemberlakuan hukum jinayah sebagai komoditas politik untuk mendapat simpati politik dari masyarakat luas, yaitu sebagian pemilih Non-Muslim yang menjadi partner koalisinya dalam Barisan Nasional dan sebagian pemilih Muslim yang tidak berafiliasi dengan PAS. Faktor kepentingan politik inilah yang dipelihara Pemerintahan Federal dalam merespon keinginan Pemerintah Kelantan untuk memberlakukan hukum jinayah. Kehendak politik yang seperti ini telah berlangsung lama sejak Enakmen Kanun Jenayah Syariah II Negeri Kelantan 1993 disahkan oleh Dewan Undangan Negeri (DUN) Kelantan hingga sekarang. Dalam hal kehendak politik Pemerintahan Aceh, ada tiga model, yaitu memiliki kehendak politik secara bertahap, tidak memiliki kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah secara luas, dan

254 tidak ada kejelasan kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah secara luas. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan kepemimpinan di Aceh, yaitu masa Abdullah Puteh, Irwandi Yusuf, dan Zaini Abdullah. Pemerintahan Aceh di masa Abdullah Puteh (2000-2004) memiliki kehendak politik untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh secara bertahap. Sejalan dengan kebijakan politik hukum nasional yang memberikan kewenangan melaksanakan syariat Islam, Pemerintahan Aceh merespon dengan menerbitkan sejumlah Peraturan Daerah/Qanun yang berisi materi hukum jinayah dan kelembagaan yang mendukung pelaksanaan hukum jinayah. Pemerintah Aceh yang dipimpin Abdullah Puteh bersama DPRD Aceh menerbitkan enam (6) Perda/Qanun Aceh, yaitu Perda No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Setelah kepemimpinan Aceh beralih ke Irwandi Yusuf, hanya satu (1) Qanun yang diterbitkan, yaitu Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Ketika hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh ingin diperluas (Rancangan Qanun Jinayah) oleh DPRA dengan memasukkan hukum zina dan qadhaf, maka Gubernur Irwandi Yusuf, mantan Koordinator Juru Runding GAM (2007-2012) menolak, meskipun telah disahkan oleh DPRD pada 2009. Begitu pula desakan masyarakat untuk mensahkan Rancangan Qanun Jinayah di periode 2009-2012 justru gagal karena tidak ada kehendak politik dari Gubernur Irwandi Yusuf. Penolakan Gubernur Irwandi Yusuf didasarkan pada alasan konkret karena materi hukum jinayah yang disahkan DPRA memasukkan hukum rajam dan bertentangan dengan hukum nasional dan hukum internasional. Pada periode kepemimpinan Aceh berikutnya, Gubernur Zaini Abdullah (2012-2017), mantan Menteri Luar Negeri GAM yang merupakan representasi dari Partai Aceh, pengesahan pemberlakuan hukum jinayah yang diperluas (Rancangan Qanun Jinayah) juga belum terwujud. Rancangan Qanun Jinayah yang sudah direvisi Dinas Syariat Islam masih belum dibahas dalam Sidang DPRA. Jika Irwandi Yusuf konsisten menolak pengesahan Rancangan Qanun Jinayah, maka Gubernur Zaini Abdullah tidak menunjukkan penolakannya yang nyata, tetapi juga tidak upaya yang serius untuk mendorong DPRA yang

255 dikuasai partainya agar membahas dan mengesahkan Rancangan Qanun Jinayah Aceh. Inilah bukti bahwa politisi yang berasal dari GAM tidak memiliki orientasi yang kuat untuk memberlakukan hukum jinayah di Aceh dibandingkan masa Abdullah Puteh. Di masa kepemimpinan Abdullah Puteh, terbit sejumlah qanun yang berorientasi penerapan syariat Islam, seperti Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir, Qanun No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Kepemimpinan mantan GAM di Aceh justru tidak memberikan harapan yang besar dalam pembelakuan syariat Islam secara ka>ffah. Meskipun situasi politik akan dapat berubah seiring dinamika politik lokal dan nasional, Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah masih belum nampak jelas dalam perjuangan perluasan hukum jinayah. Partai politik di Aceh dan Kelantan merespon pemberlakuan hukum jinayah secara berbeda. Di Aceh, partai Islam, seperti PKS merespon dengan menyuarakan pemberlakuan hukum di Aceh yang diperluas (Rancangan Qanun Jinayah) dengan memasukkan hukuman rajam. Politisi PKS yang duduk di DPRA juga menjanjikan untuk mendorong pembahasan di DPRA. Sebaliknya, Partai Aceh sebagai partai mayoritas di DPRA dan Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu tidak menolak pemberlakuan hukum di Aceh yang diperluas (Rancangan Qanun Jinayah), tetapi juga tidak memperjuangkan pemberlakuan hukum di Aceh yang diperluas (Rancangan Qanun Jinayah) di DPRA untuk dibahas dan disahkan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan respon ini adalah karena PKS sebagai partai Islam ingin dipandang oleh rakyat Aceh sebagai partai yang konsisten memperjuangkan aspirasi pemberlakuan hukum di Aceh yang diperluas. Partai Aceh dan Partai Demokrat tidak memiliki orientasi yang kuat untuk memperjuangkan aspirasi pemberlakuan hukum di Aceh yang diperluas karena kedua partai ini bukanlah partai Islam. Di Kelantan, ada tarik-menarik yang begitu kuat antara UMNO bersama koalisi Barisan Nasional (UMNO, DAP, dan Gerakan) dan PAS bersama koalisi Pakatan Rakyat (PAS, PKR, dan MCA). Isu h}udu>d di Kelantan telah menjadi komoditas politik yang signifikan. PAS dapat memainkan isu h}udu>d untuk menarik simpati Muslim yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam secara ka>ffah. Sebaliknya, UMNO juga menggunakan isu h}udu>d untuk memojokkan PAS yang dipandang tidak mengerti pluralitas masyarakat Malaysia, yang

256 didominasi oleh tiga etnis besar dengan afinitas keagamaan yang berbeda; Melayu (Islam), Cina (Budha), dan India (Hindu). UMNO hendak menarik dukungan dari kelompok Cina dan India dalam Barisan Nasional. PAS juga memiliki kelemahan dalam menjaga koalisisnya ketika menggunakan isu h}udu>d karena MCA akan merespon yang berbeda dengan keinginan PAS. Masyarakat luas merespon pemberlakuan hukum jinayah yang diperluas di Aceh dan Kelantan. Di Aceh, diskursus pemberlakuan hukum jinayah tidak banyak menyentuh perdebatan di kalangan masyarakat bawah (grassroot). Perbincangan publik tentang hukum jinayah belum tampak nyata dalam kehidupan keseharian masyarakat. Mereka lebih banyak memperbincangkan pelaksanaan syariat Islam yang telah ada, seperti khamar, maisir, khalwat, busana muslim, dan pelanggaran akidah. Sebaliknya, masyarakat Kelantan tidak terbelah secara tajam dalam merespon pemberlakuan hukum jinayah yang diperluas. Ada kepentingan bersama yang diyakini oleh orang-orang yang menginginkan pemberlakuan syariat Islam. Adapun perbedaan yang nyata antara Aceh dan Kelantan dalam soal totalitas pemberlakuan hukum jinayah jelas sekali. Di Aceh, upaya pemberlakuan hukum jinayah dilakukan secara bertahap atau pelan-pelan (incremental). Aspek-aspek kontroversial, seperti perbuatan zina yang dihukum rajam, pencurian yang dihukum potong tangan, dan pembunuhan yang dihukum qis}a>s } tidak diinginkan segera untuk diberlakukan. Kecenderungan elit agama dan masyarakat menghindar dari pengaturan hukuman kontroversial, yang masih ditolak, seperti rajam, potong tangan, dan qis}a>s}. Ketiga hukuman inilah yang masih memerlukan pemahaman yang komprehensif dari masyarakat karena hukuman rajam, potong tangan, dan qis}a>s} masih menjadi perdebatan serius di masyarakat Aceh. Masyarakat Non-Muslim pada awalnya khawatir dengan pemberlakuan hukum jinayah yang diperluas di Aceh karena mereka khawatir akan diberlakukan kepada Non-Muslim. Setelah diberlakukan, mereka menyadari bahwa hukum jinayah tidak diberlakukan kepada mereka. Sebaliknya, upaya pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan dilakukan secara sekaligus. Masyarakat Muslim Kelantan telah memiliki kesadaran untuk memberlakukan hukum jinayah secara sekaligus. Hukuman rajam, potong tangan, dan qis}a>s tidak menjadi perdebatan serius di masyarakat karena mereka telah siap memberlakukan hukum jinayah secara sekaligus. Masyarakat Non-Muslim pun tidak keberatan dengan pemberlakuan hukum jinayah secara sekaligus di Kelantan karena tidak diberlakukan kepada mereka.

257

Perjuangan perluasan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan sama- sama dilakukan dalam dua jalur gerakan, yaitu jalur struktural dan jalur kultural. Pada jalur struktural, kelompok-kelompok masyarakat di Aceh, seperti MPU, intelektual Islam, dan ormas-ormas Islam berjuang mempengaruhi Pemerintah Aceh dan DPRA. Mereka berkolaborasi dengan lembaga-lembaga negara yang berkompeten membuat hukum. MPU dan intelektual Islam bersama Dinas Syariat Islam menyusun draft hukum jinayah dan mendiskusikannya dalam ruang publik. Ormas-ormas Islam bersama dayah/pesantren melakukan gerakan pressure kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk memberlakukan hukum jinayah yang diperluas. Dalam jalur kultural, Dinas Syariat Islam, MPU, ormas-ormas Islam, dan dayah melakukan kampanye syariat Islam melalui penerbitan buku-buku, sosialisasi ke masyarakat, dan dakwah Islam. Ormas-ormas Islam pun menggunakan ruang-ruang publik, seperti masjid, lembaga pendidikan (sekolah dan dayah), dan media untuk mengkampanyekan perjuangan pemberlakuan syariat Islam secara total. Di Kelantan, perjuangan struktual untuk memperluas dan menselaraskan hukum jinayah dengan syariat Islam dilakukan oleh partai politik (PAS) yang memimpin Pemerintahan Kelantan. Gerakan pressure dimobilisasi oleh Pemerintah Kelantan yang diarahkan kepada Pemerintahan Federal agar mau memberikan kewenangan kepada Kelantan untuk memberlakukan Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1993 (II) Kelantan. H}udu>d dijadikan isu publik oleh PAS untuk menantang UMNO dalam diskursus politik. Kedekatan masyarakat terhadap PAS di Kelantan menjadikan h}udu>d telah menjadi isu kultural di masyarakat dan isu politik di kalangan elit politik secara nasional. Dalam memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan, masyarakat sama-sama tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Gerakan demonstrasi, pawai, seminar, dan diskusi publik justru terlihat nampak dalam memperjuangkan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. Meskipun di Aceh, terdapat organisasi Islam garis keras, seperti FPI yang melakukan aksi tuntutan pemberlakuan Rancangan Qanun Jinayah Aceh, tetapi tidak terjadi aksi kekerasan. Justru yang dilakukan adalah mobilisasi struktur pemerintahan dan mengkonsolidasikan sejarah Aceh yang diklaim telah melaksanakan syariat Islam, termasuk h}udu>d di masa kerajaan Islam (Kerajaan Aceh Darussalam). Hal ini menjelaskan bahwa perjuangan pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku di bawah negara demokrasi. Ormas-ormas berhaluan garis keras seperti FPI, MMI, HTI di Aceh tidak memainkan peran yang signifikan; mereka hanya menjadi pressure group karena kontrol

258 masyarakat masih dipegang oleh ulama dayah yang tersebar di seluruh Aceh. Inilah yang menjadikan perjuangan perluasan hukum jinayah masih dalam paham keagamaan yang moderat. Di Kelantan, gerakan sosialnya (social movement) berbeda dengan di Aceh karena hampir tidak ditemukan pressure group yang signifikan. Meskipun hampir seluruh masyarakat Kelantan menginginkan pemberlakuan hukum jinayah, tetapi masyarakat Kelantan cenderung tidak melakukan pressrure kepada Pemerintahan Federal. Mobilisasi justru dilakukan oleh PAS sebagai partai politik pemenang Pemilu di Kelantan dengan sekaligus membingkai kesadaran masyarakat melalui media kultural, seperti pendidikan, pengajian, dan forum-forum warga. Masyarakat, ulama dan cendekiawan di Kelantan cenderung berafiliasi dengan PAS, sehingga media penyadaran masyarakat berlangsung efektif. Inilah yang menjadikan masyarakat di Kelantan tidak terbelah dalam merespon perjuangan pemberlakuan hukum jinayah. Dari aspek materi yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan, terdapat perbedaan. Di Aceh, hukum jinayah yang diberlakukan adalah h}udu>d dan ta‘zi>r. H}udu>d yang diberlakukan pun sangat terbatas, yaitu khamar. Hukum h}udu>d yang diberlakukan di Aceh hanya pada aspek minuman khamar yang tertuang dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan Sejenisnya.Aspek h}udu>d yang lain, seperti pencurian, zina, qadhaf, perampokan, murtad, dan bugha>t tidak diberlakukan di Aceh. Pemberlakuan hukum jinayah di Aceh lebih banyak pada aspek ta‘zi>r yang memang pengaturannya diserahkan kepada penguasa. Aspek ta‘zi>r yang banyak diberlakukan di Aceh, terutama peraturan yang berkaitan dengan pelanggaran moralitas, aqidah, ibadah, dan zakat. Enam qanun yang memuat materi ta‘zi>r telah diberlakukan di Aceh, yaitu Qanun No. 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Khamar, Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir, Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Qanun No. 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, dan Qanun No. 7 Tahun 2010 Tentang Baitul Mal. Di Kelantan, hukum jinayah yang diberlakukan tidak berbeda dengan Aceh, yaitu h}udu>d dan ta‘zi>r yang terdapat dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985. H}udu>d yang diberlakukan di Kelantan terbatas pada perbuatan zina dan khamar. Selebihnya yang diatur dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah 1985 adalah persoalan moralitas yang dimasukkan ke dalam ta‘zi>r, yang meliputi 12 butir, yaitu perbuatan tidak sopan, perkataan tidak sopan, penampilan banci, menghasut perempuan bersuami atau lelaki beristeri supaya bercerai atau

259 mengingkari kewajiban dan tanggungjawabnya, khalwat, bersetubuh dalam hubungan darah, percobaan zina, shubhat dalam melakukan zina, liwa>t}, musa>h}aqah, hamil di luar nikah, melarikan isteri orang atau anak, melacurkan diri, melarikan perempuan, menjual anak, menjadi mucikari, menggalakkan maksiat, takfi>r, makan di bulan Ramadhan, mengina pegawai hal ehwal Agama Islam, menghina undang-undang, ingkar perintah Mahkamah, dan perintah Sultan. Hukum h}udu>d yang diberlakukan di Kelantan tidak sesuai dengan hukum syariat secara formal. Hukuman h}udu>d yang diberlakukan di Kelantan dibatasi tidak lebih dari RM 3.000,00, 5 tahun penjara, dan 6 kali cambuk. Tidak puas dengan materi hukum jinayah yang diberlakukan di Aceh dan Kelantan, maka dilakukan upaya perluasan pemberlakuan hukum jinayah. Aceh telah menyusun materi rancangan pemberlakuan hukum jinayah yang diperluas, terutama h}udu>d dan ta‘zi>r. Perluasan h}udu>d yang diperjuangkan, tidak sekadar memasukan hukum khamar, tetapi juga qadhaf dan zina. Dalam Rancangan Qanun Jinayah Aceh dimasukkan dua unsur h}udu>d, yaitu qadhaf dan zina, selain khamar. Tidak hanya h}udu>d, aspek ta‘zir pun diperluas dengan memasukkan musa>h}aqah, liwa>t}, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan ikhtilat}, selain maisir dan khalwat. Di Kelantan, Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan 1993, memuat aspek h}udu>d, qis}a>s}, dan ta‘zi>r secara total. Artinya, hukum jinayah diperjuangkan untuk diberlakukan secara kaffah, kecuali hukum bugha>t. Jika pada Enakmen Kanun Jenayah 1985 Kelantan, hukum jinayah yang diberlakukan hanya aspek h}udu>d dan ta‘zi>r, maka dalam Enakmen Kanun Jenayah Syariah (II) Kelantan 1993, diperluas dengan qis}a>s}, bahkan hukumannya pun diselaraskan dengan hukum syariat karena hukuman yang terdapat dalam Enakmen Kanun Jenayah 1985 Kelantan tidak sesuai dengan syariat. Hukuman yang menjadi bidang kuasa Mahkamah Syariah yaitu hukuman tidak melebihi RM 5000,00, 3 tahun penjara atau 6 kali cambuk diganti dengan hukuman yang sesuai dengan hukuman syariat secara formal, seperti potong tangan, rajam, cambuk, dan qis}a>s}. Dari segi materi hukum, studi ini mendukung temuan Mohammad Hashim Kamali yang menyatakan bahwa pemberlakuan hukum jinayah di Kelantan mengadopsi fikih konvensional. Studi ini menemukan bahwa hukum jinayah yang diberlakukan di Kelantan mengadopsi pendapat empat mazhab, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi‘i, dan Hambali. Sebaliknya, studi ini berbeda dengan temuan Mohd. Said bin Mohd. Ishak yang menyatakan bahwa hukum jinayah yang diberlakukan di Kelantan hanya mengacu pada mazhab Syafi‘i.

260

B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan kehendak masyarakat terhadap pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. 2. Perlu juga dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan kehendak Kepolisian/Wilayatul Hisbah dalam penegakan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan. 3. Perlu juga dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan kehendak hakim dalam memutus perkara jinayah di pengadilan. 4. Perlu juga dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan materi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dalam perspektif hak asasi manusia (HAM). 5. Perlu juga dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan materi pemberlakuan hukum jinayah di Aceh dan Kelantan dalam perspektif hukum pidana nasional.

261

INDEKS

‘Ali> ‘Abd al-Ra>ziq, 30, 31 Aqidah, 5, 20, 144, 145, 160, Abdullah Puteh, 167, 168, 170, 168, 169, 180, 203, 221, 225, 179, 180, 181, 255, 256 226, 228, 232, 233, 255, 256, Abdurrahman Wahid, 154, 156, 259 165 Arab Saudi, 35, 53, 54, 55, 66 Aceh, 1, 2, 5, 6, 7, 11, 12, 13, 14, B.J. Habibie, 153, 165 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, Barat, 2, 15, 26, 29, 30, 41, 50, 25, 51, 52, 57, 67, 68, 69, 70, 67, 71, 73, 77, 85, 88, 93, 95, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 86, 87, 100, 147, 210 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, Belanda, 2, 17, 22, 70, 71, 86, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 87, 121, 123, 124, 125, 128, 103, 104, 105, 106, 107, 113, 133, 137, 147, 208 114, 115, 116, 121, 123, 140, bughat, 174, 193 141,럘142, 143, 145, 146, cambuk, 10, 51, 55, 57, 59, 61, 150, 153, 154, 155, 156, 157, 62, 63, 65, 118, 120, 127, 135, 158, 159, 160, 165, 166, 167, 144, 145, 150, 161, 173, 174, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 181, 195, 212, 216, 218, 219, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 220, 222, 223, 226, 227, 228, 185, 188, 189, 190, 192, 193, 230, 233, 235, 236, 237, 238, 194, 195, 197, 198, 199, 201, 239, 240, 246, 247, 248, 249, 202, 203, 204, 205, 207, 208, 251, 252, 260 209, 210, 211, 212, 213, 214, Cina, 3, 67, 68, 72, 78, 79, 80, 215, 216, 219, 220, 221, 222, 82, 85, 188, 199, 200, 201, 223, 225, 226, 229, 232, 233, 256 234, 235, 236, 237, 238, 239, civil law, 60, 137 240, 243, 244, 245, 246, 247, civil society, 36, 37, 38, 41, 42, 248, 249, 251, 253, 254, 255, 48, 49 256, 257, 258, 259, 260, 261 common law, 137, 138 Adat, 62, 67, 75, 76, 77, 114, Darul Islam, 7, 16, 18, 106 121, 142, 143, 176 Daud Beureuh, 21, 71, 86, 91, al-Ghaza>li, 25 95, 159, 183 al-Ma>wardi, 25 dayah, 17, 20, 189, 190, 194, 201, 203, 205, 207, 208, 209, 214, 258 262 demokrasi, 3, 22, 25, 31, 37, 38, Groot Plakkatboek, 125 39, 40, 42, 46, 48, 50, 90, 99, h}>udu>d, 2 129, 143, 144, 155, 186, 258 h}udu>d, 2, 10, 13, 17, 18, 21, 22, denda, 10, 61, 65, 104, 117, 118, 29, 33, 51, 56, 57, 59, 64, 65, 120, 127, 128, 135, 145, 150, 66, 115, 120, 136, 150, 161, 160, 161, 216, 219, 220, 221, 164, 166, 173, 174, 178, 179, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 181, 185, 186, 187, 188, 190, 228, 229, 230, 231, 232, 235, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 246, 247, 248, 249, 251 200, 201, 206, 212, 213, 215, Dinas Syariat Islam, 2, 20, 114, 216, 218, 230, 231, 232, 233, 145, 159, 168, 170, 190, 193, 234, 235, 237, 240, 241, 242, 198, 203, 204, 205, 208, 210, 243, 248, 249, 250, 251, 253, 214, 255, 258 256, 258, 259, 260 diyat, 2, 55, 57, 59, 62, 65, 114, Hambali, 216, 218, 219, 230, 120, 193, 232, 234, 241, 243, 235, 236, 242, 248, 250, 252, 244 260 DPRA, 6, 20, 170, 171, 172, 182, Hanafi, 111, 216, 217, 219, 220, 183, 184, 185, 188, 201, 204, 230, 235, 236, 242, 248, 252, 205, 207, 208, 209, 210, 213, 260 214, 255, 256, 258 Hasan Tiro, 21, 86, 105, 106 DUN, 20, 108, 111, 177, 191, Helsinski, 86, 106, 107, 156, 201, 206, 233, 235, 237, 238, 157, 160, 183, 204, 254 240, 243, 244, 246, 249, 254 HTI, 4, 207, 258 Enakmen Jenayah Syariah II HUDA, 173, 194, 205, 207 Kelantan Tahun 1993, 8 hukum adat, 74, 76, 78, 114, Enakmen Kanun Jenayah 123, 128, 136, 137, 143, 147 Syariah Negeri Kelantan hukum jinayah, 1, 6, 7, 10, 11, 1985, 161, 174 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, fikih, 2, 12, 13, 17, 19, 23, 166, 21, 22, 23, 25, 29, 51, 54, 55, 175, 215, 217, 218, 219, 230, 58, 64, 65, 66, 67, 107, 113, 236, 238, 239, 241, 242, 245, 114, 116, 118, 120, 121, 123, 250, 260 124, 127, 128, 129, 133, 135, FPI, 4, 182, 207, 208, 258 136, 141, 145, 146, 150, 153, fundamentalis, 26, 27, 28, 36, 41 159, 160, 162, 163, 165, 166, GAM, 7, 21, 105, 106, 107, 153, 167, 168, 170, 171, 172, 173, 154, 156, 157, 158, 160, 166, 174, 175, 177, 178, 179, 181, 167, 173, 181, 182, 183, 255, 182, 184, 185, 186, 188, 189, 256 190, 191, 192, 193, 194, 195, gerakan Islam, 15, 27, 39, 41, 42, 197, 198, 201, 202, 203, 204, 43, 44, 129 263

205, 206, 207, 208, 210, 211, Irwandi Yusuf, 7, 107, 167, 170, 212, 213, 214, 215, 221, 232, 171, 172, 173, 179, 180, 181, 233, 234, 251, 253, 254, 255, 183, 204, 208, 255 256, 257, 258, 259, 260, 261 Islam, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, hukum keluarga, 1, 34, 113, 124, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 126, 128, 137, 140, 146, 149, 20, 21, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 150, 157, 169, 254 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, hukum pidana, 1, 51, 54, 56, 58, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 50, 51, 59, 60, 61, 62, 65, 66, 101, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 122, 128, 133, 146, 149, 157, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 169, 174, 194, 261 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, Ibadah, 5, 20, 49, 144, 145, 160, 76,럘77, 78, 79, 82, 84, 86, 168, 169, 180, 203, 221, 225, 87, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 226, 228, 232, 233, 255, 256, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 259 104, 105, 106, 108, 110, 111, India, 3, 55, 58, 67, 78, 79, 81, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 82, 85, 86, 108, 188, 197, 199, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 200, 256 125, 126, 127, 128, 129, 130, Indonesia, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 11, 13, 14, 15, 16, 18, 21, 22, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 26, 27, 30, 35, 36, 37, 38, 39, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 40, 42, 43, 45, 46, 48, 49, 51, 150, 153, 154, 155, 157, 158, 52, 53, 54, 67, 68, 71, 77, 86, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 87, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 97, 98, 99, 100, 102, 104, 106, 173, 174, 175, 176, 178, 179, 107, 113, 114, 116, 121, 122, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 123, 124, 128, 129, 130, 131, 186, 187, 188, 189, 190, 192, 132, 133, 134, 136, 137, 138, 193, 194, 195, 197, 198, 199, 139, 140, 141, 144, 146, 153, 200, 201, 203, 204, 205, 206, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 207, 209, 211, 212, 214, 215, 165, 166, 167, 171, 173, 189, 218, 221, 225, 228, 229, 232, 207, 208, 209, 211, 212 233, 234, 235, 239, 241, 242, Inggris, 10, 17, 22, 55, 61, 72, 243, 253, 254, 255, 256, 257, 73, 74, 81, 115, 125, 126, 127, 258, 259, 260 128, 134, 138, 147, 160, 221 Kanun Melaka, 118, 147 Iran, 9, 38, 51, 53, 54, 59, 60, 61, kehendak politik, 12, 13, 18, 19, 66, 175 21, 22, 45, 153, 159, 160, 165, 166, 167, 179, 253, 254, 255

264

Keistimewaan Aceh, 5, 7, 20, liberal, 26, 27, 35, 36, 134 141, 146, 153, 156, 157, 160 liwa>t}, 61, 64, 150, 192, 221, 229, Kelantan, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 230, 233, 246, 247, 248, 249, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 260 22, 25, 51, 67, 71, 72, 73, 74, M. Buelher, 11 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, M.B. Hooker, 2, 15, 16, 52, 96, 86, 107, 108, 109, 110, 111, 113, 120, 121, 123, 158, 253 112, 113, 119, 120, 121, 135, Mahathir Mohamad, 110, 161, 136, 149, 150, 153, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 187 162, 163, 164, 165, 166, 173, Mahfudh, 45, 46, 48, 49, 160, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 166, 253 180, 181, 182, 185, 186, 187, Mahkamah Syar'iyyah, 168, 169, 188, 189, 191, 192, 195, 196, 170, 176, 195, 196, 199, 204, 197, 199, 200, 201, 202, 203, 210, 211, 212 205, 206, 207, 212, 213, 214, Maisir, 5, 20, 51, 145, 168, 170, 215, 216, 217, 219, 220, 221, 180, 193, 203, 221, 222, 232, 223, 224, 225, 228, 229, 230, 233, 246, 255, 256, 259 231, 232, 233, 234, 235, 236, Majelis Konsituante, 4 237, 238, 239, 240, 241, 242, Makyong, 8, 84, 112, 206 243, 244, 245, 246, 248, 249, Malaysia, 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 250, 252, 253, 254, 256, 257, 15, 17, 21, 22, 26, 36, 37, 39, 258, 259, 260, 261 43, 51, 52, 53, 54, 64, 66, 67, kerajaan Islam, 1, 7, 22, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 79, 81, 82, 113, 121, 123, 127, 187, 258 83, 84, 107, 108, 109, 111, Kesultanan Aceh, 1, 6, 21, 68, 113, 116, 117, 118, 121, 124, 69, 70, 75, 76, 115, 171 125, 126, 128, 129, 133, 134, Kesultanan Melaka, 1, 73, 85, 135, 136, 137, 147, 148, 149, 116, 117, 148 150, 153, 160,럘161, 162, Khalwat, 5, 20, 51, 145, 168, 163, 165, 166, 173, 174, 175, 170, 180, 193, 203, 211, 221, 176, 178, 179, 186, 187, 188, 222, 223, 224, 232, 233, 246, 196, 212, 254, 256 247, 255, 256, 259 Maliki, 62, 216, 217, 219, 220, Kikue Hamayotsu, 10, 11, 15, 230, 231, 235, 236, 242, 248, 163, 253 250, 252, 260 Kolonialisme, 26, 137 masyarakat, 2, 6, 8, 11, 12, 13, Konstitusi, 3, 5, 10, 17, 46, 57, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 27, 58, 60, 64, 96, 103, 134, 135, 28, 30, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 136, 147, 148, 149, 150, 195 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, KUHP, 133, 137, 151, 172, 234 47, 48, 49, 50, 53, 56, 57, 65,

265

66, 69, 70, 74, 75, 76, 77, 78, MPU, 16, 20, 105, 140, 141, 142, 82, 83, 84, 86, 88, 89, 96, 98, 145, 170, 189, 193, 194, 201, 102, 104, 107, 108, 110, 111, 203, 204, 205, 211, 214, 258 112, 113, 116, 121, 122, 123, Muhammad Husain Haikal, 33 135, 137, 140, 141, 142, 143, Muhammadiyah, 4, 129, 173, 144, 147, 148, 153, 155, 156, 190, 194, 195, 205, 207, 209 158, 160, 162, 164, 168, 170, MUNA, 194, 195, 207 173, 174, 178, 179, 181, 182, murtad, 10, 51, 57, 116, 118, 183, 184, 186, 187, 188, 189, 174, 193, 215, 242, 259 190, 191, 192, 194, 195, 196, musa>h}aqah, 61, 150, 192, 221, 197, 198, 202, 203, 204, 207, 229, 230, 233, 234, 246, 247, 210, 211, 212, 213, 214, 218, 248, 249, 260 222, 223, 224, 234, 253, 254, Nigeria, 9, 13, 14, 51, 53, 54, 61, 255, 256, 257, 258, 259, 261 62, 63, 64, 66, 128, 175 Masyumi, 4, 91, 130 Nik Abdul Aziz Nik Mat, 7, 79, mazhab, 12, 17, 21, 55, 61, 62, 110, 111, 113, 161, 163, 164, 116, 166, 216, 217, 218, 219, 174, 175, 176, 177, 179, 195, 220, 229, 230, 231, 235, 236, 200, 201, 212, 213 239, 240, 242, 248, 250, 252, NKRI, 7, 14, 92, 138, 159, 181 260 Non-Muslim, 12, 20, 133, 162, MB. Hooker, 11, 15, 16 163, 164, 179, 186, 196, 197, MCA, 107, 108, 109, 133, 186, 198, 199, 201, 202, 254, 257 187, 188, 200, 256 NU, 4, 129, 131 Megawati Soekarnoputri, 154, ormas, 3, 21, 26, 182, 189, 203, 155, 156, 165, 254 207, 209, 211, 214, 258 Melayu, 3, 8, 9, 70, 73, 78, 79, Otonomi Khusus, 5, 7, 20, 143, 81, 83, 84, 85, 110, 112, 117, 146, 154, 155, 156, 157, 160, 119, 120, 125, 126, 127, 128, 165, 167, 169 133, 144, 147, 148, 149, 175, Pakistan, 26, 30, 38, 43, 51, 53, 176, 177, 188, 199, 256 54, 58, 59, 61, 66 Menora, 8, 112, 206 PAN, 4, 124, 131, 182 Mesir, 9, 26, 30, 38, 39, 40, 42, Pancasila, 5, 92, 102, 104, 130, 43, 53, 54, 124, 175 133, 139 Michelle Ann Miller, 7, 11, 14, Partai Aceh, 20, 107, 173, 182, 15 183, 184, 185, 188, 204, 207, Misi Hardi, 97, 98 255, 256 MMI, 4, 258 partai politik, 4, 13, 18, 19, 20, mobilisasi, 15, 18, 19, 21, 22, 44, 21, 22, 37, 38, 43, 44, 49, 173, 106, 202, 207, 213, 214, 258

266

182, 183, 184, 185, 188, 200, 181, 195, 196, 199, 216, 219, 253, 258, 259 220, 223, 224, 225, 226, 229, partisipasi politik, 36, 38, 43, 44, 230, 231, 232, 235, 237, 238, 107 239, 240, 241, 242, 243, 244, PAS, 3, 7, 9, 10, 15, 17, 18, 20, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 21, 43, 66, 79, 80, 108, 109, 252, 260 110, 111, 112, 113, 135, 136, Peperda, 97, 98, 99, 100, 103 161, 162, 164, 173, 174, 175, perampokan, 10, 51, 57, 58, 59, 176, 177, 178, 186, 188, 191, 61, 62, 64, 67, 116, 133, 135, 192, 195, 196, 200, 201, 205, 174, 193, 241, 259 206, 212, 213, 214, 254, 256, pesantren, 20, 86, 189, 190, 194, 258, 259 207, 213, 258 PBB, 4, 39, 43, 66, 105, 131, 132 Piagam Jakarta, 3, 4, 5, 39, 96, pemerintah daerah, 20, 89, 100, 130, 131, 133 185 PKB, 4, 131, 132 Pemerintah Negara, 7, 92 PKR, 186, 188, 189, 256 Pemerintah Pusat, 7, 86, 87, 88, PKS, 43, 171, 182, 184, 185, 89, 90, 93, 94, 96, 98, 100, 188, 207, 256 103, 104, 105, 107, 108, 138, pluralisme hukum, 137, 146, 147 140, 156, 158, 165, 166, 181, politik hukum, 21, 22, 48, 49, 213, 214, 253 124, 166, 253, 255 Pemerintahan Aceh, 5, 7, 20, politik hukum nasional, 21, 22, 145, 156, 157, 160, 165, 172, 166, 253, 255 184, 255 politik kolonial, 2, 123 Pemerintahan Negara RI, 7, 107, potong tangan, 32, 51, 55, 57, 154, 155, 158, 159, 160, 166, 59, 61, 62, 63, 65, 101, 115, 167, 254 116, 118, 120, 161, 172, 173, Pemilu, 3, 10, 18, 21, 39, 96, 187, 195, 197, 240, 241, 243, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 257, 260 113, 130, 133, 177, 178, 183, PPP, 4, 39, 43, 131, 132, 171, 184, 200, 256, 259 182 pencurian, 2, 10, 32, 34, 51, 57, PSII, 4, 131 59, 61, 62, 63, 64, 67, 114, qadhaf, 2, 10, 51, 55, 57, 59, 61, 115, 116, 133, 135, 161, 173, 63, 64, 67, 117, 118, 135, 161, 174, 193, 197, 215, 240, 242, 174, 192, 215, 233, 234, 235, 257, 259 238, 239, 252, 255, 259, 260 penjara, 10, 34, 57, 61, 62, 63, Qanun, 5, 6, 15, 16, 20, 51, 68, 108, 127, 128, 135, 136, 144, 75, 114, 143, 144, 145, 155, 145, 150, 160, 161, 167, 174, 157, 160, 168, 169, 170, 171,

267

172, 180, 182, 183, 184, 185, Soesilo Bambang Yudhoyono, 188, 190, 193, 194, 199, 203, 156 204, 205, 207, 208, 209, 210, Sudan, 26, 38, 39, 51, 53, 54, 55, 211, 212, 215, 216, 217, 221, 56, 57, 66 222, 223, 224, 225, 226, 227, sultan, 3, 70, 115, 120, 122, 147, 228, 229, 232, 233,럘234, 148, 149 235, 236, 237, 238, 239, 240, Sultan Alauddin Riayat Syah, 244, 246, 247, 248, 249, 251, 114 255, 256, 258, 259, 260 Sultan Iskandar Muda, 7, 69, 70, Qanun Jinayah Aceh, 171, 172, 98, 114, 115 188, 233, 239, 246, 255 Sultan Mahmud Syah, 73 Qanun Meukuta Alam, 114 Syafi’i, 3, 17, 116, 117, 216, qis}a>s, 1, 2, 10, 13, 21, 23, 29, 34, 217, 219, 220, 230, 231, 235, 51, 55, 57, 59, 61, 62, 63, 64, 236, 242, 248, 250, 252 65, 66, 114, 117, 118, 120, syariat Islam, 1, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 136, 150, 161, 166, 172, 175, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 22, 25, 181, 192, 193, 194, 197, 215, 27, 28, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 233, 234, 244, 245, 253, 257, 38, 39, 40, 41, 44, 50, 51, 52, 260 53, 56, 57, 58, 61, 62, 78, 86, rajam, 6, 51, 55, 57, 58, 59, 61, 87, 89, 91, 93, 95, 96, 97, 98, 62, 64, 101, 115, 118, 120, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 161, 163, 171, 172, 173, 182, 105, 113, 114, 116, 121, 123, 183, 184, 185, 187, 194, 197, 124, 128, 129, 130, 131, 132, 204, 205, 208, 219, 220, 221, 133, 134, 135, 136, 138, 139, 230, 233, 237, 238, 248, 255, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 256, 257, 260 146, 149, 153, 154, 155, 156, ruang publik, 36, 38, 39, 188, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 204, 258 166, 167, 168, 170, 171, 173, Sayyid Sabiq, 218, 219, 230, 174, 177, 178, 181, 183, 184, 235, 236, 238, 248 185, 188, 189, 190, 191, 192, sekular, 16, 26, 30, 32, 33 193, 194, 195, 197, 198, 199, sistem hukum, 2, 3, 10, 11, 21, 202, 203, 204, 205, 207, 210, 22, 25, 29, 35, 36, 44, 50, 55, 211, 215, 222, 233, 234, 253, 60, 123, 128, 133, 135, 137, 254, 255, 256, 257, 258 138, 139, 140, 143, 147, 155, Syiar Islam, 5, 20, 144, 160, 168, 178, 208 169, 180, 203, 221, 225, 226, sistem politik, 31, 36, 37, 43, 44, 228, 232, 233, 255, 256, 259 107, 212 ta‘zi>r, 2, 21, 22, 64, 65, 66, 120, 144, 145, 150, 166, 181, 193,

268

194, 216, 218, 221, 223, 225, UMNO, 11, 15, 18, 20, 66, 80, 226, 227, 228, 230, 231, 232, 107, 108, 109, 110, 111, 133, 233, 234, 236, 238, 239, 247, 161, 162, 166, 177, 181, 186, 248, 249, 250, 259, 260 187, 188, 192, 256, 258 transisi, 3, 35, 39, 40, 131 Wilayatul Hisbah, 145, 168, 169, Turki, 25, 26, 29, 37, 43, 53, 54, 208, 210, 211, 228, 261 70 Zaini Abdullah, 107, 167, 173, ulama, 2, 13, 16, 17, 19, 20, 21, 179, 180, 181, 182, 194, 204, 23, 70, 71, 76, 78, 86, 87, 96, 205, 207, 255, 256 106, 108, 110, 111, 140, 141, zina, 2, 10, 51, 55, 57, 59, 61, 62, 142, 146, 154, 157, 158, 174, 63, 64, 67, 114, 117, 118, 120, 175, 181, 189, 190, 191, 194, 128, 135, 150, 161, 172, 174, 201, 203, 205, 207, 209, 213, 193, 197, 204, 215, 219, 220, 214, 219, 230, 238, 239, 241, 221, 222, 229, 230, 232, 233, 242, 245, 248, 258, 259 234, 235, 237, 238, 239, 240, uleebalang, 70, 71, 76 248, 249, 250, 251, 252, 255, 257, 259, 260

269

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Khamami adalah staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam (UIN) Negeri Syarif Hidayatullah. Ia lahir di Pemalang, 2 Januari 1975. Sekarang ini, ia bertempat tinggal di Jl. Alam Indah Komplek Vila Inti Persada Blok C6/36 RT 06/19 Pamulang Timur, Tangerang, Banten. Pendidikan formalnya diperoleh sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi: SDN II Pelutan, Pemalang (1982-1988), MTsN Pemalang (1988-1991), MAN I Yogyakarta (1991-1994), IAIN Yogyakarta Fakultas Syariah (1994-1999), dan S-2 UIN Jakarta (1999- 2002). Pendidikan Non-Formalnya diperoleh di Madrasah Diniyah Pelutan, Pemalang (1986), Pondok Pesantren Salafiyah Pemalang (1989- 1991), Pondok Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta (1994-1999), dan Pondok Pesantren al-Falah Kediri (1995). Pengalaman organisasinya diawali dari menjadi Ketua KIR MAN I Yogyakarta (1992-1993), Redaktur Majalah ARENA IAIN Yogyakarta (1995-1999), Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Tilawah PP. Nurul Ummah, Yogyakarta (1995-1999), PMII Rayon Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1995-1997), Senat Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1997-1999), Divisi Penerbitan PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta (1997-1999), Divisi Intelektual Senat Mahasiswa Eksekutif IAIN Yogyakarta (1997-1998), Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan PP Lakpesdam NU (2001-2008), Pengurus Pusat Studi Hukum dan HAM UIN Jakarta (2004-2009), Pengurus Pusat Lakpesdam NU (2010-2015). Pengayaan intelektualnya diasah dalam Short Course “Islamic Movement” (Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), Pelatihan Transformasi Konflik (Balitbang HAM, Departemen Hukum dan HAM RI, 2009), Short Course “Academic Writing (Asia Research Institute, National University of Singapore, 2009), Youth Muslim Exchange di Malaysia (ICIP, 2004), Delegasi Indonesia di World Forum for Modern Direct Democracy di Korea Selatan, (Korean Democracy Forum, 2009), Delegasi Indonesia di World Forum for Democratization in Asia, 2009, dan Local Partner World Movement for Democracy di Jakarta (2010). Karya-karyanya tersebar di Republika, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Kompas, Suara Pembaruan, Pelita Bangsa, Suara

289

Karya, Pelita, Majalah GAMMA, Panjimas, Jurnal Tashwirul Afkar (PP. Lakpesdam NU), Jurnal PERTA (Departemen Agama), Jurnal HAM dan Demokrasi (Habibie Center) , Jurnal Ulumuna (IAIN Mataram), Jurnal Istiqra (Departmen Agama), Jurnal Edukasi (Litbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Depag RI), Jurnal Ahkam (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta), dan Jurnal Karsa (STAIN Pamekasan). Buku-buku yang sudah diedit adalah Wawasan Islam (Yogyakarta: LP2M, 1999), Wacana Politik Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Nuansa Madani, 2000), KPU dan Membangun Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Nuansa Madani, 2000), Khadijah yang Agung (Jakarta: Hikmah, 2000), Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: Lakpesdam NU, 2002), Islam Progesif (Jakarta: LSIP, 2003), Dari Jihad Menuju Ijtihad (Jakarta: LSIP, 2003), Islam dan Dialog Peradaban (Jakarta: LSIP, 2003). Ia juga menjadi kontributor beberapa buku, yaitu Mengapa Partai Islam Kalah? (Jakarta: Alvabet, 2001), Syariat Islam Yes, Syariat Islam, No! (Jakarta: Paramadina, 2001), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama dengan Realitas (Jakarta: Erlangga, 2003), Menggugat Tradisi (Jakarta: Kompas, 2004), Dakwah Tranformatif (Jakarta: Lakpesdam NU, 2006), dan Islam dan Pluralisme (PP. Fatayat NU, 2006). Buku-buku yang telah diterbitkan adalah Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), Diskursus Islam Politik ((Jakarta: LSIP, 2003), Islam Melawan Terorisme (Jakarta: LSIP, 2003), dan Fiqih Siyasah: Doktrin Politik Islam (Jakarta: Erlangga, 2008) Beberapa penelitian yang telah dilakukan:”Pemberitaan Pelaku Kejahatan di Media Televisi (Balitbang HAM, 2005),”Kelompok Islam Radikal dan Pengembangan Multikulturalisme”, (Depag RI, 2006), ”Inisiatif Perdamaian dalam Konflik Sosial” (EIDHR Komisi Eropa-PP. Lakpesdam NU, 2008),”Partisipasi Masyarakat dalam Penegakkan HAM” (Balitbang HAM, Dephukham, 2008), “Penerbitan Islam Radikal di Indonesia (Kompetitif Kemenag 2010), “Efektivitas PBM terhadap Kerukunan Umat Beragama (Balitbang HAM 2010), “Radikalisme dalam Pendidikan Agama (Balitbang HAM 2011), “Peran Lembaga Adat dalam Penanganan Konflik Sosial (Balitbang HAM, 2012, Peneliti “Peran Lembaga Adat dalam Penanganan Konflik Sosial (Balitbang HAM2012), “Fatwa Hubungan Antaragama” (Penelitian Kompetitif, Lemlit UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012), dan ”Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penanganan Konflik Berbasis Agama” (Balitbang HAM 2013).

290

291