Sikap Berbahasa
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SIKAP BERBAHASA Oleh Dr. Rajab Bahry, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah) Tulisan ini bermaksud membahas sikap penutur bahasa terhadap bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Sikap yang dimaksud di sini adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian atau keyakinan. Dengan demikian mudah ditebak bahwa sikap di sini dimaksudkan perbuatan atau keyakinan seseorang terhadap bahasa. Tulisan kecil ini ditujukan untuk mengantar masa purnabakti guru kita, yakni Drs. Abdullah Faridan sebagai seorang pendidik yang telah mengabdi dalam bidang kebahasaan. Mungkin orang akan bertanya, mengapa judulnya sikap berbahasa dan apa kaitannya dengan kesan penulis terhadap Bapak Abdullah Faridan? Latar belakang judul ini penulis pilih karena terkesan pada pendirian beliau terhadap ilmu, dalam hal ini ilmu bahasa. Beliau pernah bercerita kepada saya bahwa beliau terus berusaha menuntut ilmu karena teringat ungkapan kepala sekolah (beliau tugas pertama sekali sebagai guru SD di Aceh Utara). Ketika kepala sekolah akan dipindahtugaskan, kepala sekolah menyuruh Bapak Abdullah Faridan sebagai kepala sekolah, tetapi beliau menolak dan mengatakan lebih baik orang lain saja (pada waktu itu beliau menolak karena ada kerja sampingan yang mendatangkan uang). Kepala sekolah akhirnya berkata, “Geutanyoe mandum na pungo, tapi bek trep that pungo”. Setelah itu beliau berpikir “keras” apa arti dari perkataan ini. Akhirnya, beliau memilih menerima menjadi kepala sekolah dan menuntut ilmu kembali, yang dalam hal ini menekuni bidang bahasa. Kaitannya dengan judul ini sangat erat. Penulis melihat sikap beliau telah memilih ilmu ketimbang menjadi “pedagang” merupakan sikap yang perlu ditiru. Sampai saat ini beliau telah menunaikan tugasnya dengan baik dan selalu bersikap positif terhadap ilmu bahasa. Sikap positif terhadap ilmu bahasa inilah yang perlu dipahami dan ditiru oleh generasi penerus (bukan hanya guru bahasa Indonesia). Permasalahan yang dihadapi bidang bahasa secara garis besar ada tiga, yakni (1) masalah bahasa, (2) masalah pemakaian bahasa, dan (3) masalah pemakai bahasa. Masalah yang akan dibahas dalam kaitan ini hanyalah masalah yang ketiga karena masalah bahasa dan masalah pemakaian bahasa merupakan garapan para ahli bahasa. Masalah yang ketiga (masalah pemakai bahasa) merupakan masalah seluruh masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Masalah ketiga ini juga melahirkan sikap bahasa, yakni ada yang bersikap positif dan ada yang. Sering kita dengar ungkapan filosofis tentang bahasa, misalnya, “bahasa menunjukkan bangsa atau bahasa jati diri bangsa”. Ungkapan seperti ini mudah diungkapkan, namun penerapannya bergantung pada pemahaman seseorang tentang makna yang terkandung di dalamnya atau yang lebih penting lagi pada kedalaman penghayatan individu berdasarkan cara pandang yang melatarbelaknginya. Jika ungkapan ini dihayati (sekali lagi jika), kekacauan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan pemahaman tentang bahasa atau kesalahan “sistem” tentang bahasa sebenarnya tidak perlu terjadi. Artinya, kesalahan bahasa yang disebabkan oleh ketidaktahuan mudah diperbaiki dengan adanya usaha dari diri untuk menambah pengetahuan, kesalahan sistem yang menyebabkan orang merasa tidak perlu ada aturan bahasa akan hilang karena merasa berbahasa yang baik menunjukkan bangsa yang baik pula. Untuk membahas masalah bahasa di Indonesia, harus dipahami kedudukan bahasa yang ada. Kedudukan bahasa di Indonesia secara garis besar ada tiga tataran, yakni (1) bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan juga sebagai bahasa negara, (2) selain bahasa Indonesia dan bahasa asing, bahasa-bahasa di Indonesia berkedudukan sebagai bahasa daerah, dan (3) selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bahasa-bahasa yang digunakan di Indonesia berkedudukan sebagai bahasa asing. Kedudukan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah dijabarkan secara jelas dalam Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975 dan Seminar Politik Bahasa tahun 1999. Fungsi ketiga kelompok bahasa ini dapat dilihat di bawah ini. Fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai bahasa nasional adalah ν lambang kebanggaan kebangsaan ν lambang identitas nasional ν alat pemersatu ν alat perhubungan antardaerah dan antarabudaya Fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai bahasa negara adalah ν bahasa resmi kenegaraan ν bahasa pengantar dalam dunia pendidikan ν alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ν alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi Fungsi bahasa daerah adalah ν lambang identitas daerah ν lambang kebanggaan daerah ν alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah ν sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia ν pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia ν di samping itu dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan Fungsi bahasa asing adalah ν sarana perhubungan antarbangsa ν sarana pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ν sumber kebahaan untuk memperkaya bahasa Indonesia ν dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik Setelah jelas kedudukan dan fungsi setiap bahasa di Indonesia, sudah seharusnya kita bersikap positif terhadap bahasa. Kita paham bahwa bahasa Indonesia diangkat sebagai bahasa nasional karena banyaknya bahasa daerah yang ada di Indonesia (penelitian terakhir sekitar 731 bahasa). Bahasa daerah sudah jelas fungsinya sehingga kita mempunyai kewajiban memelihara bahasa daerah masing-masing. Bahasa asing juga sudah diketahui fungsinya secara jelas. Selain itu, dari pengertian fungsi dan kedudukan bahasa ini, kita harus sadar bahwa bahasa daerah di Indonesia tidak ada yang lebih kedudukannya daripada bahasa lain. Oleh karena itu, kita harus bersikap bahwa tidak perlu merasa “malu” menggunakan bahasa daerah dan juga tidak usah merasa “bangga” menggunakan bahasa asing. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena semua bahasa itu sudah dipahami kedudukan dan fungsinya masing-masing. Orang yang memahami kedudukan dan fungsi bahasa akan menggunakan bahasa sesuai dengan kedudukan dan fungsinya secara benar. Sebagai kata kunci yang perlu diingat adalah (1) kita harus menguasai bahasa daerah sebagai jati diri kita dan juga bisa berkompetisi secara lokal, (2) kita harus mampu menguasi bahasa Indonesia agar kita mampu berkompetisi pada tingkat nasional, dan (3) kita harus menguasi bahasa asing agar kita mampu berkompetisi pada tingkat global. Kekacauan bahasa umumnya karena sikap pemakai bahasa yang kurang positif. Oleh karena itu, sering terjadi kekacauan bahasa. Kekacauan itu musalnya (1) akibat benturan berbagai nilai, penggunaan bahasa tertentu seringkali mengintervensi penggunaan bahasa lain, (2) dalam dokumen resmi, bahkan juga peristiwa kenegaraan, penggunaan bahasa Indonesia sudah diintervensi oleh bahasa asing (3) melalui perfilman, pesinetronan, dan periklanan, bahasa Melayu Jakarta telah menngintervensi bahasa-bahasa daerah, dan (4) penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik juga tidak teratur. Kekacauan pemakaian bahasa ini tidak akan terjadi jika masyarakat kita mempunyai sikap seperti Drs. Abdullah Faridan. Sikap beliau adalah memerlukan kebenaran bahasa dan bukan memerlukan “yang terlihat wah”. Selain itu, sistem juga tidak akan merusak jika kita bersikap positif terhadap bahasa. Contoh sederhana sistem yang salah terhadap bahasa juga terdapat di Unsyiah. Unsyiah telah mengharuskan mahasiswa untuk mengikuti TOEFL sebelum ujian akhir. Hal ini sebenarnya sangat baik, tetapi mengapa tes UKBI (Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia) tidak diharuskan. Apakah karena cara berpikir kita sudah mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa Inggris sudah harus diwajibkan bagi semua mahasiswa kita. Ataukah kita sudah merasa bahwa kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa kita sudah memadai? Penulis menduga kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa kita masih kurang (sesuai dengan fenomena nasional yang menunjukkan nilai bahasa Indonesia lebih rendah daripada nilai bahasa Inggris). Penyebabnya sudah jelas karena sikap kita terhadap bahasa Indonesia yang tidak positif. Tulisan singkat ini diakhiri dengan harapan agar sikap Bapak Abdullah Faridan terhadap bahasa hendaknya kita renungkan lalu kita ikuti. Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih atas bimbingan Bapak kepada saya. Bapak telah memberikan ilmu dan “jalan” ilmu kepada saya yang tidak bisa dihitung berapa banyaknya. Tiada kata yang dapat saya ringkas untuk kebaikan Bapak. Saya hanya bisa mengungkapkan dengan kata dalam bahasa Gayo, yakni, “Kutatangan jariku sepuluh, sebelas urum kepala satu, kén gantini batil tembege bersapan ruje berisin dirié, kén gantini hurmet mulieku ku Ama, si nge menosah ejer marah, si nge menosah manat putenah ku atas diriku. Buge manat putenah si ari Ama gere mutekar buh alihku si rantol, gere mugerawal buh jangkangku si kolah. Berijin terang bes kam Ama”. Banda Aceh, 16 Ramadan 1428 H SANG GURU (Selamat Jalan Guruku, Abdullah Faridan) Oleh Drs. Yusri Yusuf, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah) Lelaki dari Tanah Pasir lebih dari empat puluh lima tahun mengabdi untuk kecerdasan bangsanya di negeri ini dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi ada bintang jasa Satya Lencana Karya, 2005 Itu pun harus diurus ke Jakarta jangan tanya soal gaji cukup makan sepuluh hari Selamat jalan Sang Guru muridmu sudah sempurna walau kadang kurang merasa engkau membuka jalan ke sana kutahu engkau tak berharap dihargai karena penghargaan di negeri ini harus dibeli Lelaki dari Tanah Pasir pengorbananmu