SIKAP BERBAHASA

Oleh Dr. Rajab Bahry, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Tulisan ini bermaksud membahas sikap penutur bahasa terhadap bahasa, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing. Sikap yang dimaksud di sini adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian atau keyakinan. Dengan demikian mudah ditebak bahwa sikap di sini dimaksudkan perbuatan atau keyakinan seseorang terhadap bahasa. Tulisan kecil ini ditujukan untuk mengantar masa purnabakti guru kita, yakni Drs. Abdullah Faridan sebagai seorang pendidik yang telah mengabdi dalam bidang kebahasaan. Mungkin orang akan bertanya, mengapa judulnya sikap berbahasa dan apa kaitannya dengan kesan penulis terhadap Bapak Abdullah Faridan? Latar belakang judul ini penulis pilih karena terkesan pada pendirian beliau terhadap ilmu, dalam hal ini ilmu bahasa. Beliau pernah bercerita kepada saya bahwa beliau terus berusaha menuntut ilmu karena teringat ungkapan kepala sekolah (beliau tugas pertama sekali sebagai guru SD di Aceh Utara). Ketika kepala sekolah akan dipindahtugaskan, kepala sekolah menyuruh Bapak Abdullah Faridan sebagai kepala sekolah, tetapi beliau menolak dan mengatakan lebih baik orang lain saja (pada waktu itu beliau menolak karena ada kerja sampingan yang mendatangkan uang). Kepala sekolah akhirnya berkata, “Geutanyoe mandum na pungo, tapi bek trep that pungo”. Setelah itu beliau berpikir “keras” apa arti dari perkataan ini. Akhirnya, beliau memilih menerima menjadi kepala sekolah dan menuntut ilmu kembali, yang dalam hal ini menekuni bidang bahasa. Kaitannya dengan judul ini sangat erat. Penulis melihat sikap beliau telah memilih ilmu ketimbang menjadi “pedagang” merupakan sikap yang perlu ditiru. Sampai saat ini beliau telah menunaikan tugasnya dengan baik dan selalu bersikap positif terhadap ilmu bahasa. Sikap positif terhadap ilmu bahasa inilah yang perlu dipahami dan ditiru oleh generasi penerus (bukan hanya guru bahasa Indonesia). Permasalahan yang dihadapi bidang bahasa secara garis besar ada tiga, yakni (1) masalah bahasa, (2) masalah pemakaian bahasa, dan (3) masalah pemakai bahasa. Masalah yang akan dibahas dalam kaitan ini hanyalah masalah yang ketiga karena masalah bahasa dan masalah pemakaian bahasa merupakan garapan para ahli bahasa. Masalah yang ketiga (masalah pemakai bahasa) merupakan masalah seluruh masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Masalah ketiga ini juga melahirkan sikap bahasa, yakni ada yang bersikap positif dan ada yang. Sering kita dengar ungkapan filosofis tentang bahasa, misalnya, “bahasa menunjukkan bangsa atau bahasa jati diri bangsa”. Ungkapan seperti ini mudah diungkapkan, namun penerapannya bergantung pada pemahaman seseorang tentang makna yang terkandung di dalamnya atau yang lebih penting lagi pada kedalaman penghayatan individu berdasarkan cara pandang yang melatarbelaknginya. Jika ungkapan ini dihayati (sekali lagi jika), kekacauan bahasa yang disebabkan oleh kesalahan pemahaman tentang bahasa atau kesalahan “sistem” tentang bahasa sebenarnya tidak perlu terjadi. Artinya, kesalahan bahasa yang disebabkan oleh ketidaktahuan mudah diperbaiki dengan adanya usaha dari diri untuk menambah pengetahuan, kesalahan sistem yang menyebabkan orang merasa tidak perlu ada aturan bahasa akan hilang karena merasa berbahasa yang baik menunjukkan bangsa yang baik pula. Untuk membahas masalah bahasa di Indonesia, harus dipahami kedudukan bahasa yang ada. Kedudukan bahasa di Indonesia secara garis besar ada tiga tataran, yakni (1) bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan juga sebagai bahasa negara, (2) selain bahasa Indonesia dan bahasa asing, bahasa-bahasa di Indonesia berkedudukan sebagai bahasa daerah, dan (3) selain bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bahasa-bahasa yang digunakan di Indonesia berkedudukan sebagai bahasa asing. Kedudukan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah dijabarkan secara jelas dalam Seminar Politik Bahasa Nasional tahun 1975 dan Seminar Politik Bahasa tahun 1999. Fungsi ketiga kelompok bahasa ini dapat dilihat di bawah ini. Fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai bahasa nasional adalah ν lambang kebanggaan kebangsaan ν lambang identitas nasional ν alat pemersatu ν alat perhubungan antardaerah dan antarabudaya Fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai bahasa negara adalah ν bahasa resmi kenegaraan ν bahasa pengantar dalam dunia pendidikan ν alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ν alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi Fungsi bahasa daerah adalah ν lambang identitas daerah ν lambang kebanggaan daerah ν alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah ν sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia ν pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia ν di samping itu dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan Fungsi bahasa asing adalah ν sarana perhubungan antarbangsa ν sarana pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern ν sumber kebahaan untuk memperkaya bahasa Indonesia ν dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik

Setelah jelas kedudukan dan fungsi setiap bahasa di Indonesia, sudah seharusnya kita bersikap positif terhadap bahasa. Kita paham bahwa bahasa Indonesia diangkat sebagai bahasa nasional karena banyaknya bahasa daerah yang ada di Indonesia (penelitian terakhir sekitar 731 bahasa). Bahasa daerah sudah jelas fungsinya sehingga kita mempunyai kewajiban memelihara bahasa daerah masing-masing. Bahasa asing juga sudah diketahui fungsinya secara jelas. Selain itu, dari pengertian fungsi dan kedudukan bahasa ini, kita harus sadar bahwa bahasa daerah di Indonesia tidak ada yang lebih kedudukannya daripada bahasa lain. Oleh karena itu, kita harus bersikap bahwa tidak perlu merasa “malu” menggunakan bahasa daerah dan juga tidak usah merasa “bangga” menggunakan bahasa asing. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena semua bahasa itu sudah dipahami kedudukan dan fungsinya masing-masing. Orang yang memahami kedudukan dan fungsi bahasa akan menggunakan bahasa sesuai dengan kedudukan dan fungsinya secara benar. Sebagai kata kunci yang perlu diingat adalah (1) kita harus menguasai bahasa daerah sebagai jati diri kita dan juga bisa berkompetisi secara lokal, (2) kita harus mampu menguasi bahasa Indonesia agar kita mampu berkompetisi pada tingkat nasional, dan (3) kita harus menguasi bahasa asing agar kita mampu berkompetisi pada tingkat global. Kekacauan bahasa umumnya karena sikap pemakai bahasa yang kurang positif. Oleh karena itu, sering terjadi kekacauan bahasa. Kekacauan itu musalnya (1) akibat benturan berbagai nilai, penggunaan bahasa tertentu seringkali mengintervensi penggunaan bahasa lain, (2) dalam dokumen resmi, bahkan juga peristiwa kenegaraan, penggunaan bahasa Indonesia sudah diintervensi oleh bahasa asing (3) melalui perfilman, pesinetronan, dan periklanan, bahasa Melayu Jakarta telah menngintervensi bahasa-bahasa daerah, dan (4) penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik juga tidak teratur. Kekacauan pemakaian bahasa ini tidak akan terjadi jika masyarakat kita mempunyai sikap seperti Drs. Abdullah Faridan. Sikap beliau adalah memerlukan kebenaran bahasa dan bukan memerlukan “yang terlihat wah”. Selain itu, sistem juga tidak akan merusak jika kita bersikap positif terhadap bahasa. Contoh sederhana sistem yang salah terhadap bahasa juga terdapat di Unsyiah. Unsyiah telah mengharuskan mahasiswa untuk mengikuti TOEFL sebelum ujian akhir. Hal ini sebenarnya sangat baik, tetapi mengapa tes UKBI (Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia) tidak diharuskan. Apakah karena cara berpikir kita sudah mengasumsikan bahwa penggunaan bahasa Inggris sudah harus diwajibkan bagi semua mahasiswa kita. Ataukah kita sudah merasa bahwa kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa kita sudah memadai? Penulis menduga kemampuan berbahasa Indonesia mahasiswa kita masih kurang (sesuai dengan fenomena nasional yang menunjukkan nilai bahasa Indonesia lebih rendah daripada nilai bahasa Inggris). Penyebabnya sudah jelas karena sikap kita terhadap bahasa Indonesia yang tidak positif. Tulisan singkat ini diakhiri dengan harapan agar sikap Bapak Abdullah Faridan terhadap bahasa hendaknya kita renungkan lalu kita ikuti. Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih atas bimbingan Bapak kepada saya. Bapak telah memberikan ilmu dan “jalan” ilmu kepada saya yang tidak bisa dihitung berapa banyaknya. Tiada kata yang dapat saya ringkas untuk kebaikan Bapak. Saya hanya bisa mengungkapkan dengan kata dalam bahasa Gayo, yakni, “Kutatangan jariku sepuluh, sebelas urum kepala satu, kén gantini batil tembege bersapan ruje berisin dirié, kén gantini hurmet mulieku ku Ama, si nge menosah ejer marah, si nge menosah manat putenah ku atas diriku. Buge manat putenah si ari Ama gere mutekar buh alihku si rantol, gere mugerawal buh jangkangku si kolah. Berijin terang bes kam Ama”.

Banda Aceh, 16 Ramadan 1428 H SANG GURU (Selamat Jalan Guruku, Abdullah Faridan)

Oleh Drs. Yusri Yusuf, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Lelaki dari Tanah Pasir lebih dari empat puluh lima tahun mengabdi untuk kecerdasan bangsanya di negeri ini dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi

ada bintang jasa Satya Lencana Karya, 2005 Itu pun harus diurus ke Jakarta jangan tanya soal gaji cukup makan sepuluh hari

Selamat jalan Sang Guru muridmu sudah sempurna walau kadang kurang merasa engkau membuka jalan ke sana

kutahu engkau tak berharap dihargai karena penghargaan di negeri ini harus dibeli

Lelaki dari Tanah Pasir pengorbananmu terukir abadi bagai pendahulu yang duluan pergi

tiba saatnya kami pun ’kan merasa jika jasa tak lagi bermakna karna mereka sudah sempurna.

di ruang kuliah engkau berkata: maju tak gentar membela yang benar! di luar sana mereka memaksa: maju tak gentar membela yang bayar!

Darussalam, 11 November 2007 SHABAH

Oleh Dra. Sa’adiah, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Tulesan nyoe lon persembahkan keu nyang mulia guree lontuan/kanda lontuan yang bijak lam meututo santon berbahasa murah ate sabe lam saba

Dengon bismillah Ion puphon kalam Saleuem keu suleutan Sayidil ambia Saleuem oh Iheh nyan keu wareh sahbat Oh Iheuh nyan meuhat keu keluarga

Assalamualaikum wahe dum rakan Inong ngon agam tuha ngon muda Saleuem keu wareh ngon bandum rakan Keu handai tolan agam ngon dara

Bak lon duek-duek Ion nak keumarang Haba keu cutbang nyang that mulia Haba Ion nyoe kon haba wayang Haba droeneuh nyan lam kisah nyata

Dilee yang keu phon Ion lakee meuah Sabab han keumah bak karang haba Bah cit meunan Ion ci ci langkah Kadang na ilah dari Po kuasa

Kadang na ileuham Neubri le Allah Kadang na tuah bak mata ate Kadang pih jeuet haba Ion peugah Beutoi ngon salah neutulong take

Meu'ah Ion lakee nibak aduen droe Ngon siploh jaroe ateuh jeumala Lon lakee idin u be meulinggoe Lon meumat jaroe Ion meu'ah desya

Neupe-idin Ion wahe e cutbang Lon keneuk karang haba bhah kanda Meunyo na salah Ion lakee ampon Sabab di ulon nyoe keuh baro sa

Et noe dilee me'ah bak cutbang Haba Ion riwang bak asai mula Haba keu guree Ion keuneuk karang Meu'ah tan reumbang Ion ato basa

Wahe e rakan deungo Ion kisah Keu Pak Abdullah guree geutanyoe Guree yang jroh that deungo Ion peugah Ureueng jih gagah han soe boh bagoe

Jinoe Ion peugah saboh khabaran Abdullah Faridan ulon boh nama Gobnyan cit ureueng jeuet keu teuladan Bak mat peutimang lingkungan dumna

Gobnyan dituri karena bijak Keu buet han tom glak lam jeuet-jeuet masa Bak penelitian cit cukop galak Masalah geusibak bahasa ngon sastra

Gobnyan tom geuduek keu sekretareh Ingat hai wareh bek sagai lupa Lam geukeureuja keubit that bijak Hantom na congkak bak geubicara

Yoh saboh masa syedara meutuah Tgk. Abdullah duek keu dekan tiga Dekan bidang kemahasiswaan Gebbri teuladan keu ureueng muda

Ngon mahasiswa pih cukop rakan Sabe na sajan ban siseulingka Geu-arah mahasiswa bek na mungkaran Bek na meulawan ngon guree dumna

Lam duek pimpinan le ureueng galak Hana si tapak dirasa cupa Meunan keuh pi-e sabe geupeujak Meu ato tapak meusare banja ' Abdullah Faridan rame urueng thee Nyan sidroe guree nyang ka ternama Phon mula di Banda troh u Tamiang Mulai di Sabang troh u Pante Geulima

Le that ureueng nyang ka carong Bak puduek peudong geungui bahasa Gobnyan ahli phon bak bidang kalimat Hingga meuhat bak taseureh bahasa

Bakjameun dilee tugaih bak SD Oh dudoe akhe bak Syiah kuala Jurusan bahasa gobnyan geupileh Bidang taseureh ileumee bahasa

Gobnyan dosen nyang that meusyuhu Bak tamse labu ka get that tuha Jeuet cok keu bijeh bek le na ragu Keu ubat hai tengku leubeh utama

Gobnyan le bidang geubri kuliah Han peu tapeugah wawasan geuh na Wawasan gobnyan cukop that luah Ileumee alamiah bahasa ngon sastra

Bak semester phon geubri linguistik Geupeurunoe taktik cara beulaja Gobnyan keuh ahli bak bhah kalimat Sintaksis geumat bak semester lima

Le that ileumee atra gobnyan bri Kamoe geupeuturi bahasa ngon sastra Dumna puisi geuyue tasreh Dudoe geu-aleh bak analisis prosa

Bak thon Japan pulohan meubek na salah Tgk. Abdullah duek keu keutua Keutua prodi nan masa yoh nyan Jinoe geupeunan Jurusan Bahasa

Bah pih gobnyan duek keu keutua Hana geurasa gobnyan meusyeuhu Watee nyan gobnyan yang leubeh muda Geupeumulia guree ngon teungku

Geutem tarot peue nyang geupeugah Hantom geusanggah peu nyang geupinta Meunankeuh bagoe budi Abdullah Hantom na bantah ngon ureung tuha

Wahe rakan Ion rakan meutuah Lontuka kisah Ion balek haba Haba Ion puwoe bak la-en kisah Watee nyan meugah nan perinteh sa

Thon tujoh sikureueng phon that dibuka Perinteh sa ngon diploma satu Program nyan phon cuba-cuba Dudoe jituka ngon strata satu

Wahe syedara jinoe Ion peugah Dengo Ion kisah peu nyang Ion rasa Watee thon phon Ion tamong kuliah Ibu Syarifah duek keu keutua

Pak Abdullah jeuet keu sekretareh Tukang teumuleh peu nyang na acara Bak peutimang mahasiswa leupah that areh Bek na meucureh hate aneunda

Lam masa nyankeuh Ion deungo haba Mahasiswa es sa geusaran pileh Watee nyan cuma na diploma sa Soe hana kuasa geusaran aleh

Ban Ion deungo gah cit meunan bagoe Lon thee laju droe hana kuasa Yoh nyan laju lonjak peugah droe Lon keuneuk gantoe bek le bak es sa

Ban troh u jurusan laju lonpeugah Na londeungo gah kamoe jeuet tuka Soe nyang han keumah duek bak es sa Jeuet pinah data u bak diploma

Lon pileh jinoe diploma satu Wahe e teungku yang mat kuasa Sabab di Ion nyoe ureueng putoh that Han ek Ion karat peutamat es sa

Meunankeuh haba lonbri laporan U bak Jurusan bahasa Indonesia Nyang deungo haba Abdullah Faridan Get that neukadam ulon bicara Sare geudeungo haba lonpeugah Laju geusanggah geukoh bicara Peue na alasan gata neuk pinah Peue nyang han keumah taduek bak es sa

Teuma lonjaweueb ngon meuseunihat Ulon gasien that hana beulanja Bak diploma matong sang meukrut tu-ot Pane na patot Ion duek bak es sa

Geuteumanyong lom nibak lontuan Ci trang pakriban ka ha eh gata Watee nyan laju lonjaweueb rijang Ka ha eh nyoe trang leubeh that nyata

Geukalon rijang peu nyang Ion seurah Laju geupegah han lheuh keu gata Geubri nasihat keu Ion watee nyan Han geuperkenan peu nyang Ion cita

Deungo hai adoe gata bek ta weh Sabab ka ha eh tan dukong gata Gata teutap bek na peue daleh Le that teuleubeh taduek bak es sa

Yoh nyan han hase Ion jadeh minah Ka geupeuleumah cara duek bak es sa Watee nyan laju lon teupike bagah Ngon peue lon peuglah uang sikula

Ka trep nibak nyan bak saboh watee Lonjak peuteuntee tamat sikula Lonjak teuma keudeh bak guree U lonjak bri thee pakriban cara Yoh nyan na aturan bak peulheuh kuliah Peue tuleh makalah atawa skripsi Ladom na rakan tuleh makalah Ladom geupegah tuleh skripsi

Ulon peugah droe bak Pak Abdullah Nyoe na masalah pakriban cara Ulon neuk tuleh saboh makalah Peue keuh na salah lagee nyoe bahasa

Neuseu-ot laju Teungku Abdullah Deungo Ion peugah bandua cara Cara yang phon tuleh makalah Skripsi lonpeugah cara keudua

Jinoe tapileh tuleh skripsi Bek watee akhi meulah meuhaba Bek na tatakot bak meneliti Gata Tuhan bri mudah lam keureuja

Bak tuleh skripsi han ek Ion bayang Bak seudia uang jak meneliti Meunyo makalah sang bacut ringan Na bacut simpanan uang beasiswa

Baroe kon matong Ion ka meukarat Lon that melarat lam bhah beulanja Jinoe teurasa ka meukrut teu-ot Sang hana patot Ion jeuet keu sarjana

Neuseu-ot laju le Pak Abdullah Meunyo keu susah kon hanya gata Jinoe gata nyoe baro Ihu teu-ot Lon luka tu-ot deungon lhu dada

Jaweueb Pak Abdullah deugon that areh Gata tatuleh saboh skripsi Sabab di gata jitueng le syarat Makalah meuhat bek le takira

Jinoe teurasa peu nyang geupeugah Hana meu-ilah meusaboh kata Dumna meulah-lah 'nyo han tapateh Teurasa peudeh si umu masa

Meunyo tapateh keu haba guree Dudoe meuteuntee tanyoe bahgia Bek sagai tuwo keu jasa guree Nyan ureueng keu lhee tapeumulia

Kisah ulon nyan sahaja lonpeugah Jasa Pak Abdullah hanjeuet Ion lupa Sijak baroe jeh sampoe oh jinoe Keu gobnyan sidroe sang keluarga

Bandum nyan jinoe jeuet keu keunangan Sabab di gobnyan hana le bersama Gobnyan geusandang nan pensiunan Hana le sajan bak jurusan bahasa

Walau deuh jinoe kamoe ka meu-cre Di dalam hate sabe bersama Adak meupisah pih cuma badan Lam hate sajan leupah le makna

Kamoe di kanto meurasa pilu Teu-ingat keu teungku yang bijaksana Hana pat le kamoe meungadu Sabab teungku neupiyoh keureuja

Talakee doa u bak Hadharat Gobnyan beusihat sepanjang masa Beusihat tuboh sunggoh ibadat Raseuki meuhat Allah peunyata

Nyankeuh hai rakan yang jeuet Ion Surat Salah ngon ilat neutulong bri thee Saleh pih salah dalam riwayat Bek jeuet keu upat ulon keu guree

Dengan kalam kata bismillah Kamoe peuleupah kanda mulia Beupanyang umu Neubri le Allah Beu-Neupeuleupah nibak bahaya

Haba keu cutbang matong panyang that 'Nyo tapeusapat le macam bagoe Sabab di watee ka bak ujong that Takot Ion teulat keu bungong rampoe

'Et noe keuh matong haba Ion tuleh Watee ka habeh hana le masa Saleh bak kata na nyang meulanggeh Peumeu'ah wareh bek jeuet ke desya Alhamdulillah ulon top kalam Seulaweut salam keu nabi mulia Meunyo na salah atra lontuan Yang keubaikan po Allah ta'ala

Darussalam, Februari 2008 RINDU AKU PADAMU SELALU (Refleksi Purnabakti Buat Pak Abdullah Faridan)

Oleh Drs. Wildan, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Ada selaksa hasrat untuk mengingat semua kisah yang mencurah kasih dari seorang guru, Abdullah Faridan, kepada diri saya, Wildan Abdullah. Kisah kasih yang membahana, menyerlak selaksa kesan. Tulisan ini menjadi kisahan sederhana yang secara khusus saya persembahkan dalam rangka purnabakti beliau sebagai dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Unsyiah.

Latar Diri Pak Abdullah, begitulah sapaan yang sering dilekatkan kepada pemilik nama lengkap Drs. H. Abdullah Faridan. Beliau lahir pada 12 Maret 1942 di Desa Cibrek Baroh, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara; di dalam SK kepangkatan tertulis 28 Maret 1942. Hari kelahiran beliau bertepatan dengan hari pertama Jepang mendarat di Aceh. Sembari mendapat pendidikan keluarga di desa kelahirannya, Pak Abdullah mendapat pendidikan formal pada sekolah rakyat (SR) di Aron. Sekolah-sekolah dalam zaman itu serba kekurangan, termasuk kekurangan staf pengajarnya. Waktu itu, satu-satunya guru di SR Aron adalah lulusan Normal School Pematang Siantar, yaitu Hasyboellah S.R. (orang tua Karimuddin Hasyboellah, mantan Bupati Aceh Utara). Karena terjadinya pemberontakan DI/TII, sekolah-sekolah di Aceh dibakar, termasuk SR Aron. Ketika itu Abdullah Faridan kecil sedang duduk di kelas VI SR. Hasrat untuk memperoleh dan menyelesaikan pendidikan begitu menggebu dalam dirinya, terlebih karena mendapat sokongan dari keluarga, sehingga akhirnya beliau terpaksa harus bersekolah pada SR 3 Lhokseumawe. Pada sekolah inilah berkumpul para siswa dari seluruh Aceh Utara (Krueng Mane—Panton Labu). Ada sekitar 60 siswa kelas VI yang disatukan dalam kelas khusus. Mereka ini dididik oleh para guru yang pada umumnya adalah (mantan) kepala sekolah yang sudah dibakar itu. Bersekolah dalam zaman itu memang masih agak sulit dan menyulitkan, termasuk dalam hal transportasi. Oleh karena itu, sudah merupakan suatu kelaziman jika beliau harus berjalan kaki dari Aron ke Lhokseumawe. Bagaimanapun, beliau akhirnya memperoleh ijazah sekolah dasar pada SR 3 Lhokseumawe. Pak Abdullah adalah guru (= dosen) sejati. Benih-benih keguruan mulai tersemat dalam diri beliau manakala beliau memilih Sekolah Guru B (SGB) begitu menyelesaikan sekolah dasar. SGB adalah institusi pendidikan yang mendidik calon guru SD. Setamat SGB, lebih lanjut beliau terpilih sebagai satu dari lima siswa yang boleh melanjutkan ke Sekolah Guru A (SGA) di Takengon, yaitu lembaga yang menyiapkan calon guru sekolah menengah. Di SGA inilah beliau berjumpa dengan (alm.) T.D. Yusuf, (alm.) Umar Ismi, Nurkhalis (mantan pustakawan Unsyiah), (alm.) Mahmud Majid (mantan dosen FIP). Di SGA ini pula beliau berkakak kelas dengan Uzir Mahmud, Rusli M. Nuh (mantan dekan FKIP), (alm.) Anzier Idris, dan Wamad Abdullah. Setamat SGA pada 1961, beliau semestinya diangkat menjadi guru sekolah menengah, tetapi karena ada peraturan pemerintah yang mengatur lain, beliau akhirnya diangkat sebagai guru sekolah dasar, yaitu guru SR di Aron sejak 1962.

Tabah dalam Irama Takdir Saya terlalu banyak belajar pada Pak Abdullah. Secara informal saya memanuti sikap dan perilaku beliau dalam kehidupan keseharian. Ada sesuatu yang selalu saya simak, yang selalu muncul, yang telah menjadi gaya, dan selalu jadi pelajaran: beliau selalu tabah dan sabar dalam suka dan duka. Keadaan ini terutama tercermin dalam kehidupan rumah tangga beliau. Kehidupan rumah tangga Pak Abdullah adalah kehidupan yang penuh romantika. Tersebutlah nama Nur Wahida, seorang wanita yang menjadi idaman dalam kehidupan Pak Abdullah sejak Oktober 1970. Bu Nur Wahida adalah kelahiran darah campuran dari negeri Malikussalah, Gedung Pase, dan negeri Teuku Umar Johan Pahlawan, Meulaboh. Ialah anak tertua Kolonel Abdullah Hanafiah, mantan Komandan Korem 11 Lilawangsa Lhokseumawe, yang pernah menjabat Bupati Pidie tahun 1964—1968. Dari wanita jelita inilah Pak Abdullah dianugerahi Allah lima orang anak: Adinirwan, S.E. (Iwan, 1971), dr. Jumalayanti (Yanti, 1973), M. Ikhsan, S.E.Ak. (Ican, 1974), Rahmiyana, S.Ag. (Rahmi, 1976), Safrizal, S.H. (Dek Jal, 1977). Bagaimanapun, Pak Abdullah telah diberi rahmat dan karunia oleh Allah, beliau juga harus menerima takdir yang diberlakukan-Nya: Ibu Nur Wahida meninggalkan beliau untuk selamanya dalam bulan Desember 1980, setelah sepuluh tahun hidup bersama. Pada saat meninggal, Bu Nur Wahida masih dalam status mahasiswa tingkat akhir pada Jurusan Bahasa Indonesia, dan bertugas sebagai guru Bahasa Indonesia pada SMKK Banda Aceh. Mungkin nasib sayalah yang kurang beruntung sehingga tidak sempat berkenalan dengan almarhumah. Namun, semua anak-anak yang ditinggalkannya, yang jadi adik- adik bagi saya, semuanya dengan bijak menerima keberadaan saya tatkala saya bersilaturrahim. Mereka faham hubungan saya dengan Pak Abdullah: hubungan anak didik dengan pendidiknya, hubungan anggota dalam koleganya, hubungan insani (seorang pengembara) yang sangat mempribadi (dengan orang tuanya). Kini, mereka tinggal tiga orang kakak beradik: Iwan, Ican, dan Rahmi. Sementara itu, tatkala musibah gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, Yanti beserta anak dan suaminya pergi meninggalkan dunia fana di alam Aceh Barat sana. Berikutnya, Dek Jal beserta ibu tirinya, Bu Juwariah, juga hilang bersama air bah di kawasan Lampulo, Banda Aceh. Manakala Tuhan mencipta hari ini, ya hari terakhir yang sedang kita jalani, saya perlu menyebut doa ikhlas buat mereka, terutama almarhumah Yanti dan almarhum Dek Jal, yang adalah peraih fahala syahid berkat musibah tsunami. Saya akui bahwa saya punya hubungan khusus kepada mereka, yang adalah anak-anak Pak Abdullah, adik-adik saya, yang hidup dalam kasih sayang seorang ayah tanpa disertai ibu kandungnya. Syukur ibu-ibu tiri mereka amat bijaksana! Pak Abdullah sempat menduda selama lima tahun hingga akhirnya pada 1985 menikahi Siti Asma, wanita setengah baya asal kota kecil Trieng Gadeng, Pidie. Mantan guru SPG Banda Aceh ini saya kenal dengan baik. Setelah SPG dileburkan, sejak 1992, Bu Siti Asma dimutasikan menjadi dosen PGSD FKIP Unsyiah. Secara pribadi, mulai dari sinilah saya, dan keluarga, menjalin hubungan silaturrahim yang rapat dengan keluarga Pak Abdullah. Hampir saban saat ada berita, walau sekedar sebuah sapa: sedang apa, lagi di mana, dan bagaimana keadaannya? Pak Abdullah beristerikan Siti Asma. Ya, Siti Asma, yang hidup penuh duka lara. Hidupnya yang menyayat. Selama tujuh tahun lebih ia menderita kanker kewanitaannya. Ganas dan panjang masanya. Bukan tak ada upaya untuk mencegah, tetapi ujian Tuhan telah berlaku apa adanya. Sejatinya, yang lebih teruji adalah Pak Abdullah. Beliau nyaris putus asa, anak-ananya juga. Kami sekeluarga ikut mengiba dalam doa. Allahlah penentu segalanya: pada 1998 Siti Asma meninggal dunia. Di sinilah saya melihat sosok Abdullah Faridan sebagai insan sejati: tabah, sabar. Ia tawakkal kepada Tuhannya. Dalam tahun 2000 Pak Abdullah mengakhiri masa duda dengan menikahi Juwariah, wanita asal Peureulak. Kehidupan rumah tangga Pak Abdullah dalam dekade ini tampak sungguh tenang dan bahagia. Tidak tampak adanya derita. Senang saya melihatnya. Rupanya, ketengan dan kesenangan yang ada, tidak bertahan lama. Musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004 telah merenggut Juwariah dari pangkuannya. Alir takdir terus mengikuti kehidupan Pak Abdullah dan telah semakin menempanya dalam sikap tabah dan sabar. Sungguh sebuah anugerah juga sekiranya Allah mentakdirkan Pak Abdullah, pada 2005, menikahi Lisnawati Daud, wanita kelahiran 1952 di Tumpok Teungoh, Lhokseumawe. Wanita sederhana mantan karyawan Bumi Putra 1912. Ia adalah ibu bagi anak-anak, penyayang dan pengasih. Saya selalu berdoa, semoga yang ini abadi. Yang sebenarnya, hampir semua dosen di Gemasastrin merakyat: mereka senang menyayangi. Tapi, Pak Abdullah tersangat. Ini saya alami semenjak saya masih mahasiswa, berlanjut hingga saya sudah menjadi pegawai, berterusan hingga masa-masa akhir beliau di jurusan. Saya masih sangat ingat, sering di akhir bulan berjalan ketika masa-masa awal saya jadi pegawai, terlebih lagi manakala saya sedang studi S2 di Jawa, dalam era saya baru berumah tangga, saya sering disantuninya dengan pinjaman. Berapa pun yang saya minta, asal untuk kebutuhan dan wajar, di rekening pun beliau cairkan. Saya tak pernah dibuatnya putus asa. Ketika ada kesulitan biaya saat studi di tanah Sunda, saya berkirim surat singkat, ”Mohon saya dikirimi ... rupiah,” dan berselang 24 jam dananya sudah mengalir ke rekening saya. Seperti perintah saja. Bagaimanapun, beliau adalah orang tuanya saya, menyayangi saya. Manakala di rumah saya ada kenduri, misalnya, saya mengundang, dan beliau datang. Itu wajar. Begitu juga sebaliknya. Tetapi, manakala di tempat saya ada mie meukap, dan saya informasikan, dan beliau pun datang. Ini kasih sayang. Luar biasa.

Masuk ke IKIP, lulus di FKg., dan pensiun di FKIP Pak Abdullah adalah insan yang gerah akan ilmu. Obsesi keilmuannya tentu berparalel dengan perkembangan zaman beliau hidup. Kegerahan dan obsesi itu menjadi awal langkah beliau menapak di perguruan tinggi, yaitu manakala beliau terdaftar sebagai mahasiswa pada 1967. Beliau menjadi mahasiswa pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ketika itu belum ada FKIP. Yang ada adalah Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (FKSS), IKIP Bandung Cabang Banda Aceh. IKIP saat itu memiliki empat fakultas, yaitu FKSS, FKIS (ilmu sosial), FKIE (ilmu eksakta), dan FIP. Sementara itu, FKSS memiliki dua jurusan, yaitu Jurusan Bahasa Indonesia dan Jurusan Bahasa Inggris. Dan, Pak Abdullah memilih Jurusan Bahasa Indonesia. Dalam dekade itu, sekitar tahun-tahun awal Pak Abdullah menjadi mahasiswa, Jurusan Bahasa Indonesia hanya memiliki seorang dosen, yaitu (alm.) Drs. Adnan Hanafiah; sarjana IKIP Bandung, sarjana muda IKIP Jogja. Pak Adnan Hanafiah pada saat itu mengajar Sastra Klasik, Filologi, Teori Sastra, dan Bahasa Arab. Tenaga lainnya adalah asisten, umumnya kepala SLTA, sepeti Ibrahim Kaoi (Ka SMA 1, Bahasa Kawi dan Bahasa Perancis), Ishak Johan (Ka SMEA, Bahasa Sanskerta), Sanir (Ka SPG, Kemampuan Bahasa), Z.A. Ibrahim (Ka SMA Darussalam, Sastra Modern), Razali Cut Lani (guru SMA Darussalam, Tata Bahasa), Samsuddin Z.A. (Diknas, Kritik Sastra). Di samping itu, Jurusan Bahasa Indonesia juga dibantu oleh Gani Sulaiman (bahasa Arab), Prof. Soemarmo (dekan FKIE, Bahasa Belanda dan Bahasa Jerman). Yang sarjana di antara mereka ini adalah Pak Adnan Hanafiah dan Prof. Soemarmo, yang lainnya sarjana muda. Sementara itu, (alm.) Prof. Drs. Budiman Sulaiman, yang lebih berkonsentrasi dalam Mata Kuliah Bahasa Kawi dan Sintaksis, baru datang di Jurusan Bahasa Indonesia manakala Pak Abdullah sudah duduk di tingkat II. Bagaimanapun, dalam kondisi tertatih karena kekurangan pengajar dan buku-buku referensi, Pak Abdullah dapat menyelesaikan sarjana muda pada Mei 1970. Kemudian, sembari mengajar pada SD 24 Banda Aceh, beliau meneruskan kuliah tingkat IV. Selama di SD 24 itu beliau merasa memiliki pengalaman sangat monomental, yaitu menjadi penatar keliling untuk pemasyarakatan metode SAS bagi guru, KS, penilik SD se-Aceh. Kemudian, beliau menyelesaikan S1 pada 27 Januari 1975 dan dimutasi menjadi Ka SD 1 BNA pada 1976. Karena kekurangan staf pengajar pada Jurusan Bahasa Indonesia, Pak Abdullah pernah diusul sebagai asisten dosen sejak 1974, tetapi hal itu selalu saja terbentur oleh hal-hal nonteknik, yaitu karena beliau adalah pegawai daerah dengan NIP berkepala 39. Jadi, agak sulit mendapat persetujuan pusat. Bagaimanapun, beliau dapat diangkat menjadi dosen pada Jurusan Bahasa Indonesia setalah adanya formasi jatah pengganti a.n. (alm.) Drs. M. Ridwan (dosen Civik Hukum, PD II FKg) yang meninggal dunia 1975. Pada saat itu dosen pada Jurusan Bahasa Indonesia sudah tujuh orang: Adnan Hanafiah, Budiman Sulaiman, Zaini Ali, Nuriah T.A., Syarifah Hanoum, Husni Yusuf, dan Abdullah Faridan. Sementara itu, Sitti Rohana masih berstatus asisten. Kemudian baru menyusul A. Murad Em Ajies, Ridwan Ismail, Syamsuar Marlian. Beberapa saat kemudian baru ada penyesuaian status Sitti Rohana menjadi dosen dan perpindahan Siti Mariah Wahab yang sebelumnya juga seorang guru di Banda Aceh. Sebagai dosen, Pak Abdullah memiliki kecakapan keilmuan yang spesifik, tetapi juga melebar. Karir utama beliau semestinya dalam bidang kebahasaan. Pada saat baru saja berada di jurusan beliau mengasuh MK Fonologi. Ini mata kuliah yang tertera dalam SK. Beliau juga mengasuh Sintaksis, terutama setelah Pak Budiman Sulaiman melepaskan mata kuliah ini, dan morfologi. Namun, dalam perkembangannya, karena kekurangan tenaga, beliau juga mengasuh keterampilan berbahasa, terutama MK Keterampilan Menyimak. Ketika pertama sekali saya berkenalan dengan Pak Abdullah di ruang kuliah, beliau mengasuh mata kuliah bidang kesastraan. Beliau antara lain mengajar MK Kritik Sastra dan MK Apresiasi Sastra. Saat pertama kali saya bertemu, sudah terkesan bahwa Pak Abdullah adalah seorang guru. Saat itu tahun 1981, tahun awal saya menjadi mahasiswa FKIP. Suatu ketika Pak Abdullah membawa kisah ”Kunang-Kunang Di Menhattan”. Entah dalam mata kuliah apa, saya lupa. Pak Abdullah merekreasi cerpen Umar Kayam itu secara lisan. Beliau bagai terasyik sendiri di depan kelas. Kami mahasiswa pun bagai terbawa ke dalam cerita, menerbangkan imajinasi, mengikuti alur kisahan hingga ke Menhattan sana. Inilah awal kegairahan saya kepada sastra. Lain kali Pak Abdullah memperkenalkan struktur kalimat. Bagi sebagian besar mahasiswa bahasa, struktur kalimat adalah momok. Saya juga merasakan kesulitan dalam belajar ilmu kalimat ini, sintaksis. Namun, berkat keseriusan dalam pembimbingan Pak Abdullah, kendala yang saya hadapi lambat-laun berubah menjadi peluang. Saya pun akhirnya jatuh cinta pada sintaksis meski dengan modal pas-pasan. Begitulah hari-hari bersama Pak Abdullah di ruang-ruang kuliah selama saya masih mahasiswa. Beliau mengajar, dan saya terbina karenanya. Dalam masa-masa berikutnya, terutama setelah saya menjadi dosen di jurusan ini sejak 1987, saya dan Pak Abdullah mengasuh mata kuliah yang sama: tim mata kuliah kesastraan. Kami mengasuh secara bersama-sama MK Prosa Fiksi dan Drama, MK Puisi, MK Sastra Klasik atau Sejarah Sastra. Ada kenikmatan tersendiri ketika saya berkolaborasi di ruang kuliah. Kami menyiapkan bahan, mengajar, dan mengevaluasi bersama. Termasuk mengevaluasi diri, di samping menilai kecakapan mahasiswa. Di ruang kuliah, kami saling berganti peran di antara para mahasiswa. Saling asuh, asah, dan asih. Kami mengajar seperti bukan mengajar, ruang kuliah benar-benar hidup, mahasiswa benar-benar aktif, suasana kuliah menjadi PAKEM. Sayang, dalam dekade terakhir, kami tidak bersama lagi karena Pak Abdllah kembali ke induk keilmuannya, kebahasaan, sementara saya tetap dalam bidang kesastraan, bersama Pak Mukhlis dan Pak Mohd. Harun, atau sekali-sekali berkolaborasi dengan Bu Saadiah. Dalam kaitan dengan pengembangan kreativitas mahasiswa, yang tergabung dalam Gemasastrin, Pak Abdullah memiliki peranan yang sangat utama. Pada saat beliau masih sekretaris jurusan, atau ketika menjabat ketua prodi, semua kegiatan kemahasiswaan beliau backup. Saya menjadi teringat ketika pada tahun 1980-an, ketika Gemasastrin sedang berada di puncak kejayaan, Pak Abdullah selalu bersedia men-support, misal untuk acara camping, yang sering kami istilahkan dengan kegiatan “latihan alam” dalam kaitan dengan kelompok teater Gemasastrin. Beliau menjadi pelindung bagi Gemasastrin manakala Pak Budiman Sulaiman, Ketua Jurusan saat itu, melarang berbagai acara malam hari jika turut dihadiri mahasiswi. Kini saya jadi ingat keberadaan nama-nama antara lain Kanda Basri Yusuf (sekarang Ketua Kadin Aceh Utara), Said Saifullah dan Marzuzak (keduanya sekarang di Dinas Pendidikan Aceh Barat), Nasrullah Iba (guru SMA di Aceh Besar), Nurul A’la dan Puspa Hati (guru SMA), dan sederat nama lain, yang semuanya sangat aktif di Gemasastrin, dan semunya kini menjadi orang; mereka inilah pendiri dan penggerak Gemasastrin yang selalu mampu menjaga amanah dari Pak Abdullah. Tentu saja Pak Abdullah tidak bekerja sendiri. Dukungan dari almh. Bu Syarifah Hanoum, almh. Bu Nuriah T.A., Bu Sitti Rohana, Pak A. Murad Em Ajies dan Pak Ridwan Ismail sangat beliau perlukan. Kami menjadi sering camping. Dan Pak Abdullah selalu menjadi pelindung kegiatan sekaligus pelindung pencurian waktu dari Pak Budiman.

Pengalaman Jabatan Pak Abdullah adalah perekat di antara kolega pada Jurusan Bahasa Indonesia. Semenjak menjabat sebagai sekretaris jurusan pada 1978 (ketua jurusan Pak Budiman Sulaiman), beliau menghidupkan arisan keluarga BI. Hubungan pribadi di antara satu per satu keluarga besar jurusan juga beliau bangun dengan seksama. Manakala pada 1981--1984 ketua jurusan dijabat oleh Bu Syarifah Hanoum, Pak Abdullak masih tetap diprcaya sebagai sekretaris jurusan. Periode berikutnya, sejak 1985, jurusan berubah menjadi program studi. Pak Abdullah adalah ketua program studi Bahasa Indonesia pertama (1985—1988), dan kertua jurusannya adalah Pak Budiman Sulaiman, yang membawahi prodi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Eksistensi Pak Abdullah sebagai dosen yang pekerja mendapat simpati dari fakultas. Hal ini pula yang membawa beliau menduduki jabatan PD III dalam periode 1988—1991, dengan dekan Idris Ibrahim. Posisi PD III ini dijabatnya mungkin ada juga kaitannya dengan pengalaman beliau sebagai Ketua Senat Mahasiswa FK; catatan khusus: ketua-ketua senat FK/FKIP periode awal adalah pertama, 1968—1970, Uzier Mahmud; kedua, 1970—1972 Abdullah Faridan; ketiga Dahlian Usman, keempat T. Alamsyah Banta, kemudian Ibrahim A.W.; Harun Jalil, Marhaban Ibrahim, dan Darni M. Daud, dst. Ketika FKIP mulai membuka program PGSD, Pak Abdullah juga menjadi pawangnya. Beliau adalah rombongan pertama yang mendapat pelatihan ke-PGSD-an. Hal ini pula yang membawa beliau menjabat sebagai ketua UPP PGSD Lampeunerut pada 1991—1894. Setelah beberapa tahun beristirahat, pada 1998— 2002 kembali memimpin Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Unsyiah. Di samping itu, jauh sebelumnya, pada 1978—1981, beliau juga pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia pada PGSLP di gedung SPG Pantee Perak. Pak Abdullah adalah insan yang menggurui, tetapi juga mengayomi. Termasuk dalam hal memperhatikan kesejahteraan kawula muda. Mungkin semua dosen muda usia merasa terbantu manakala beliau menjabat Pimpro Penelitian Bahasa dan sastra Indonesia dan daerah, yaitu proyek Pusat Bahasa, Depdiknas, yang dititip melalui Kanwil P dan K Aceh. Tugas ini beliau emban dalam tahun 1995—2000. Beliau memberi perhatian khusus kepada dosen muda dengan melibatkan mereka dalam tim penelitian. Beranjak dari mengelola dan terlibat dalam proyek tersebutlah beliau banyak meneliti, baik sebagai peneliti utama ataupun sebagai anggota peneliti. Sejumlah topik penelitian penah beliau garap bersama teman-teman berkenaan dengan topik berikut: hadih maja dalam kaitannya dg rumusan Pancasila, hubungan bahasa dengan adat istiadat Aceh, bahasa Simeulu, tata bahasa Aceh, pembentukan kata benda bahasa Gayo, perkembangan sastra aceh pada angkatan ’45, sastra anak dalam bahasa Tamiang, dan sastera bahasa jamee. Pak Abdullah adalah penguasa beberapa bahasa daerah. Bahasa-bahasa yang beliau kuasai, di samping bahasa Indonesia, adalah bahasa Aceh, bahasa Gayo, dan agak menguasai bahasa Jamee.

Pekerja Sosial Sebagai ciri pekerja sosial, Pak Abdullah adalah pegiat organisasi, baik organisasi profesi maupun organisiasi sosial lainnya. Beliau adalah anggota dan pengurus Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), yang dalam tahun 1988—1995 menjabat sebagai ketua. Pada masa kepengurusan beliaulah diadakan seminar bahasa yang agak berwibwa, terutama yang diadakan di gedung BKOW, dalam rangka musyawarah HPBI Aceh. Ketika masih sebagai mahasiswa Pak Abdullah adalah perintis pendirian HMI komisariat FK pada 1969. Pak Abdullah baru benar-benar terjun sebagai pekerja sosial sejak 1983, yaitu ketika beliau mendirikan Yayasan Kemakmuran Bangsa, Banda Aceh, bersama Hasballah M. Saad. Di samping itu, beliau juga aktif di BK3S Aceh sejak 1991 sampai sekarang. Hal yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika beliau mengajak saya terlibat dalam kegiatan Gelar Nusantara Anak Indonesia (Gelantara), yang beliau geluti dalam tahun 1993—1997, sebuah kegiatan sosial yang dipayungi oleh Yayasan Janur Kuning milik Bambang Trihatmojo. Dalam tahun 1995 saya ditugasi memandu Anak-Anak Gelantara Aceh ke Jakarta dan ini x I saya naik pesawat terbang.

Studi Banding Ini adalah kisah yang sangat mengecewakan. Ketika pada 1989 gerombolan Gemasastrin mengadakan studi tour ke Sumatera Barat. Waktu itu Pak Abdullah menjabat PD III FKIP. Saya dipercaya membantu panitia, yang diketuai seorang mahasiswa bandel Suripto. Tiba-tiba saya jadi ingat mereka: (almarhumah) Ibunda Nuriah TA (semoga Allah melapangkan jalan di sirath atas ketulusan sikapnya), Nila, Jun (alm. Dr. Abdul Junaidi), Dek Cut (Cut Kasmi Lailan), Suripto, Harun (Pak Mohd Harun), Dek Mul, Fakrurrazi, Yusuf, T. Husni, Alamsyah, Husni Alamsyah, Husaini, Marhaban dan Jasnilawati, Muslizar (Kim) dan Nurlai, T. Saiful Amri (Bing), Nasrul (FH), Eni Julfisa Rosi, Diana Sumantri, Ismawirna (kini Dosen USM), Tina (Bu Rostina), Ema (Huzaimah), Busairi, ..... dan Kak Adek (Bu Saadiah), serta Bang Din (Pak Saifuddin Mahmud, tak jadi berangkat karena sakit). Mereka adalah sebagian dari rombongan yang mampu saya ingat nama; yang lain hanya ingat wajah; selebihnya lupa. Perencanaan studi tour itu sangat menggembirakan, pelaksanaannya sangat mengesankan, pengakhirannya sangat mengecewakan. Kami berangkat dengan Bus Kurnia yang disopiri Bang Din. Saya ingat Pa Abdullah juga ikut bersama. Begitu kami sampai di Padang, saya mendapat laporan bahawa panitia kekurangan dana. Mungkin ada kucuran dana dari Pak Abdullah sehingga beliau pun terpaksa pulang dengan bis bersama rombongan. Rupanya, sang ketua panitia, Suripto, entah bagaimana kisahnya, tidak membayar biaya transportasi kepada pihak armada, Pak Sulaiman. Akhirnya, mereka terpaksa berurusan dengan para dekan. Bagaimanapun, Pak Abdullah hanya berujar, ”Saya sudah percayai, saya pikir sudah diurusi, dan beres semua.” Sebuah ungkapan dalam kesabaran seorang guru, sangat mendidik, amat berkesan, dan sungguh mendalam....! Ungkapan yang hinggi kini, mungkin hingga nanti, menjadi kehati-hatian dalam hidup saya.

Hari Tua yang Memaknai Hubungan kasih dalam jalinan kisah guru—murid, atas nama kolega, dan ikatan anak—orang tua, berjalan apa adanya. Itu semua saya rasakan sejak Pak Abdullah bersama isteri yang kedua, almarhum Siti Asma (semoga Allah memberi keampunan berkat penderitaan oleh penyakitnya yang agak lama!). Manakala beliau bersama isteri yang ketiga, Juwariah, hubungan pribadi ini semakin berjiwa (semoga syurga Allah adalah miliknya bersebab musibah ie beuna). Dan ... kini di saat beliau bersama isteri keempat, ibunda tercinta, di saat tidak lagi sebagai kolega, semakin terasa ada rindu di dada, semakin ada ingin berbagi suka. Makanya, jika ada yang bertanya, siapa orang tua saya di jurusan bahasa, Abdullah Faridanlah yang bapaknya (dan almh. Nuriah T.A. sebagai ibunya) Dan ... saya anak yang rada manja, bersahaja, dan agak bandel, tentunya! Kini Pak Abdullah sudah memasuki gerbang senja. Hari- hari akhir penuh makna. Hidup di sisa usia dengan gairah tak terkata. Model hidup yang akan ditempuh oleh semua kita! Sebagai mahasiswa, kolega, anak juga, saya hanya mampu berucap, ”Selamat menempuh masa purnabakti, semoga Allah memberkahi semua ilmu yang ditaburi dan amal yang ditapaki, Amin!” SURAT YANG TAK PERNAH TERKIRIMKAN (Kado Pensiun Buat AF)

Oleh Drs. Mukhlis, M.S. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Aku tulis surat ini pascaultahmu yang keenam puluh lima. Di hari- hari terakhir masa baktimu di almamater yang telah mempertemukan kita, aku ingin curahkan segalanya padamu. Mungkin akan jadi ingatan bagiku kala suatu saat nanti kubuka- buka lagi arsipku di rumah. Aku tulis surat ini untuk nukilkan sejarah hidup dan hari-hari panjang yang pernah kita jalani bersama selama hampir dua puluh enam tahun, sebuah rentang waktu yang cukup panjang untuk dilupakan. Ayah. Izinkan aku memanggilmu seperti itu. Itu nama indah yang akrab sekali di telingaku sejak aku mengenalmu dan adik- adik yang lucu: Iwan, Yanti, Ican, Rahmi, dan Ijal di rumah Lampriet atau rumah toko Beurawe. Meski dua di antara mereka tidak lagi bersama kita karena prahara 26 Desember 2004, wajah dan kelucuan mereka tetap hinggap di benakku. Ayah, meski surat ini tidak pernah terkirim, aku ingin sampaikan terima kasih tulusku padamu. Engkau memang beda. Pertemuan pertama kita di kelas “Kesastraan” di ruang 9 Diploma langsung beri rasa takzim padaku. Tampilanmu yang sederhana, suaramu yang pelan, satu satu, lantang, berikan energi lain padaku (mungkin juga teman-temanku seangkatan: Wil, Ampuh, Heldijal, Eli, Mimi, Ida, atau kakak kelas yang terpaksa kuliah ulang). Nilai “A” untuk mata kuliah Kesastraan itulah yang beri dorongan bagiku untuk terus larut dan bergelut di dunia sastra hingga hari ini. Ayah, engkau telah berikan ruang bagiku tuk temukan pilihan jalur hidup, meski mungkin tak punya makna bagi orang lain. Ayah, aku tulis surat ini buat ingatkan diri, bahwa di saat kreativitas masih menjadi suatu yang terlarang di kampus kita, engkau berikan ruang bagi kami buat lakukan sesuatu untuk meningkatkan kapasitas diri: belajar dari kakak kelas dan berbagi dengan adik-adik yang baru masuk. Aku jadi ingat betul bagaimana engkau ingatkan aku sebagai pengurus warga GEMASASTRIN dan rekan-rekan aktivis warga untuk secepatnya menggulung tenda-tenda perkemahan sebelum dosen senior yang lain datang di arena “peisijuek” mahasiswa baru saban tahun. Engkau tidak ingin kami dinilai ‘membantah” petuah para sepuh di jurusan ini. Kalau boleh aku jujur hari ini, kegiatan perkemahan yang diisi dengan latihan teater, olah tubuh, olah vokal, meditasi seperti itu ternyata beri “sesuatu” yang sangat berguna bagiku di hari-hari selanjutnya di fakultas ini. Engkau beri kesempatan padaku dan kami semua saat itu tuk belajar banyak tentang sastra: drama atau puisi dari Basri Yusuf Seumirah, Nasrullah IBA, Sayid Saifullah, Raden, Barlian AW, Puspahati, Nurul A’la, Saifuddin Mahmud, atau senior-senior lain yang luar biasa itu. Tanpa kesempatan yang “nyuri-nyuri” seperti itu, kami, anak-anakmu, pasti tidak akan punya kapasitas lain selain yang diberikan di ruang kuliah. Ayah, aku tulis surat ini tuk sampaikan rasa syukur pada- Nya atas kesempatan bertemu denganmu. Kesabaranmu membimbingku menyelesaikan skripsi yang sempat tertatih-tatih beberapa waktu telah membuatku belajar banyak tentang kehidupan. Bahwa ilmu ternyata harus saban waktu diulang. Bahwa kerja menulis ternyata tidak akan pernah selesai. Bahwa jalan hidup ternyata tidak selamanya lempang. Ada saja halangan yang membuat hajatan berbeda dengan kenyataan. Bahwa teman kadang memang menggunting di lipatan. Bahwa kejujuran, keikhlasan, dan ketabahan adalah pintu masuk ke semua kesempatan. Ayah, aku tulis surat ini untuk menyatakan takzimku padamu. Andai dulu kuturuti kata hati dan bergabung dengan teman-teman di SMA Yapena Arun, aku mungkin tidak akan belajar sebanyak ini bersamamu. Nasihatmu untuk “bertahanlah satu tahun lagi di sini“ saat kusampaikan ketidaklulusanku dalam tes calon dosen tempo hari ternyata membuat jalan hidupku menjadi beda. Entahlah. Kegagalan dalam hidup, seperti katamu saat itu, ternyata harus disikapi dengan bijak. Sejuta rencana dan mimpi harus kalah dengan takdir yang telah tersurat saat kita belum lahir. Ayah, meski surat ini mungkin tak pernah terkirim padamu dalam amplop berperangko, aku ingin ia jadi pengingat di masa depan. Hampir sepuluh tahun menjadi pendampingmu di Janur Kuning membuatku belajar banyak tentang bagaimana memaknai realitas kehidupan dan ke mana keberpihakan harus diarahkan dalam hidup yang mahasingkat ini. Aku jadi ingat bagaimana kita habiskan hari-hari dan kadang malam di ruang garasi yang kita sulap jadi kantor yayasan. Aku selalu ingat bagaimana engkau ajarkan makna kebersamaan. Aku selalu ingat bagaimana engkau ajarkan makna keterbukaan. Aku selalu ingat bagaimana engkau ajarkan keberpihakan pada anak-anak miskin, lansia, perempuan papa, dan guru-guru yang ikhlas mendampingi muridnya. Aku selalu ingat bagaimana engkau ajarkan bahwa sebuah kerja tidak harus diukur dengan uang. Kepuasan batin, kepekaan rasa, dan keinginan untuk terus melakukan kebaikan ternyata memang tidak bisa dibayar dengan apa pun, walaupun dengan sejumlah uang. Ayah, saat surat ini dipublikasikan, aku sudah hampir 20 tahun jadi dosen. Aku jadi ingat lagi bagaimana tanggapanmu saat kusampaikan niatku untuk mengubah orientasi pembelajaran sastra bagi adik-adik mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa saat aku kembali dari Bandung, 1993. Ada gurat kekhawatiran di wajahmu. Teman-teman dosen senior lain belum tentu bersepaham dengan niatan itu. Tapi, tak apalah. Aku jadi ingat bagaimana reaksi adik-adik: Budi Arianto, Nurdin, Bussairi Ende, dan lain-lain saat kuminta mereka membaca ”Sastra dan Teori Sastra” A. Teeuw, ”Tentang Sastra” Jan Van Luxemburg, atau buku lain yang tak pernah mereka dengar sebelumnya. Entahlah. Sebuah perubahan memang harus dimulai walau tak semua orang sepaham dengan itu. Ayah, perubahan demi perubahan telah kucoba lakukan di kelas sastra. Mahasiswa kita tak lagi belajar sastra di ruang yang mahasempit. Mereka sudah akrab dengan Taman Budaya Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Museum Negeri Aceh, Teater Nol, Komunitas Tikar Pandan, Toko Buku Dokarim, Kantor JKMA, Kantor Tyfa, dan alam raya. Aku, Budi Arianto, dan anggota tim pengajar sastra yang lain bukan lagi ”orang yang mahatahu”. Aku (kami) hanya fasilitator (dan kadang-kadang provokatur, hehehe). Sumber belajar bagi mereka ada di mana-mana dan siapa saja. Kupikir mahasiswa kita sudah saatnya punya ruang untuk belajar pada orang lain, belajar melahirkan kreativitas personal, belajar jadi eseis, jadi cerpenis, jadi penyair, jadi penulis naskah drama, jadi aktor panggung, jadi juri, jadi apa saja. Mereka sudah saatnya diberi ruang tuk miliki kompetensi lain untuk menopang hidup dan profesi masa depan. Entahlah. Meski kadang kudengar tanggapan miris dari teman-teman, aku enjoy saja. Aku berharap mahasiswa kita juga bisa enjoy. Entahlah.... Ayah, berbahagialah. Tersenyumlah menatap hari-hari di depan. Jejakmu akan kami susuri ulang. Langkahmu akan kami lanjutkan. Selamat jalan mahaguruku. Selamat jalan orang tuaku. Selamat jalan sahabatku. Sosok dirimu ’kan selalu kami kenang.

Mibo, Medio Mei 2008 TERIMA KASIH BAGI SANG GURU: YANG TAK HANYA MEMBAGI ILMU

Oleh Dra. Rostina Taib, M.Hum. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Tulisan ini kupersembahkan bagi guru yang selalu datang memberi air kala aku kehausan, memberi ilmu kala aku berada dalam ketidaktahuan, dan memberi senyum saat aku memerlukan. Beliau tidak hanya pernah menjadi dosen yang diidolakan oleh mahasiswanya, tidak hanya sebagai atasan yang disenangi bawahannya, tetapi juga sebagai teuman yang selalu datang berbagi senyum dan senantiasa menampung keluhan. Tidaklah terlalu berlebihan jika dalam tulisan ini saya ingin mengukir kisah bersama Bapak Abdullah Faridan. Pergaulan selama tiga periode bersama beliau tentu telah mengukir banyak kisah. Periode saat menjadi mahasiswa dari tahun 1986 hingga 2001, periode atasan bawahan, dan periode teuman sejawat sosok dan laku beliau terhadap penulis senantiasa mengukir senyuman. Periode saat menjadi mahasiswa. Pada periode ini beliau selalu hadir di tengah-tengah kami dalam setiap kegiatan, ke pantai lampu-uk, ke Sarah, Pulau Kapuk, Indra Patra, ke Padang, dan ke mana saja mahasiswa Gemasastrin membuat acara, di sana Pak Abdullah ada. Beliau orang tua yang tidak pernah mengabaikan undangan siapa pun, tak terkecuali mahasiswanya. Oleh karena sikap kebapakan dan keikhlasan yang melekat di jiwanya, beliau pula yang menunjukkan jalan kepada penulis untuk memperoleh beasiswa TID pada tahun 1998. Periode atasan dan bawahan. Pada periode ini beliau selalu memberi kemudahan untuk semua bawahanya yang akan naik pangkat. Tidak terkecuali bagi dosen muda. Prinsip beliau adalah jika ada jalan yang mudah mengapa harus menempuh jalan yang susah. Beliau atasan yang selalu menyapa bawahannya dengan akrab dan bersahabat. Pada banyak kegiatan dan permasalahan beliau telah menjadi jembatan penghubung dalam menyatukan perbedaan pandangan antara dosen senior dan dosen yunior di Program Studi PBSID (saat ini Jurusan PBSID). Beliau tidak pernah membedakan perlakuan terhadap dosen yunior dan dosen senior. Beliau hadir di rumah siapa pun yang berduka, beliau datang ke kediaman siapa pun yang mempunyai hajatan, dan beliau senantiasa hadir di setiap rumah yang kena giliran arisan. Ya, beliau selalu ada di tengah kami yang muda-muda dalam suka dan duka. Periode teuman sejawat. Pada periode ini beliau telah memperlihatkan kinerja yang patut dicontoh oleh generasi penerusnya. Di usia tua, beliau mengajar melebihi kami yang masih belia. Dalam kegiatan akademik yang melibatkan beliau pada saat-saat terakhir masa dinasnya, beliau masih memperlihatkan hal itu. Pada penulisan modul Bahasa Indonesia untuk PGSD yang didanai ERA di awal 2007 ini, beliau masih menyumbangkan gagasan yang tidak kalah daripada kami, teuman sejawat beliau yang masih relatif muda. Dari sekian kisah yang tertera di atas, satu hal yang selalu akan menjadi goresan berarti dalam catatan harian penulis, beliau selalu hadir pada setiap moment penting dalam kehidupan penulis. Tanpa pernah bosan, beliau selalu datang melengkapi kebahagian kami sekeluarga. Sejak dari acara pesta perkawinan yang dilaksanakan di Labuhan haji, Aceh Selatan September 1999, mengantar pengantin ke Pidie, sampai pada setiap kelahiran ketiga buah hati penulis. Pak Abdullah selalu datang menyempatkan diri melengkapi kebahagian kami sekeluarga. Semoga Yang di Atas akan terus merahmati beliau karena beliau adalah manusia yang paling suka membuat orang lain berbahagia. Terima kasih Bapak. Semoga kebaikanmu kepada mahasiswa, bawahan, dan sesama teuman sejawat akan menjadi contoh bagi kami dalam berkiprah di Jurusan ini. Insyaallah kami akan meneruskan perjuangan Bapak dalam mencerdaskan generasi berikutnya. ALEH PAKI-PAKI DAN ‘O-‘O DOH: Ungkapan Kemayu Pengantar Keberuntungan

Oleh Dra. Rostina Taib, M.Hum. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Aleh paki-paki atau leh paki-paki yang sepadan dengan ‘entah bagaimana’ dalam Bahasa Indonesia, lazim kita dengar diucapkan oleh seseorang untuk menggoda kerabat dekat yang berasal dari daerah Aceh Selatan. Ungkapan aleh paki-paki sangat menyatu dengan seseorang yang mengaku dirinya berasal dari daerah pala tersebut. Siapa pun yang memperkenalkan diri berasal dari wilayah itu kepada orang lain sesama penutur bahasa Aceh, mereka dapat dipastikan akan menerima olokan aleh paki-paki dan ‘o-‘o doh yang ditirukan dengan intonasi penuh alunan dan berirama aduhai (kemayu). Olokan ini sudah tidak asing di telinga teuman-teuman yang berasal dari daerah itu, meskipun di telinga pemiliknya sendiri, kala ungkapan ini dipameokan oleh orang lain, terasa sangat lucu. Sepertinya sudah ada suatu kesepakatan yang tak tertulis bahwa orang Aceh Selatan adalah awak aleh paki-paki dan awak ‘o-‘o doh! Entah benarkah ungkapan aleh paki-paki dan ‘o-‘o doh tersebut diucapkan oleh yang mengakui pemiliknya dengan intonasi kemayu. Wallahhualam! Namun, yang pasti ketika ungkapan tersebut dipameokan oleh orang lain, intonasinya menjadi sangat aneh dan lucu di telinga penuturnya sendiri. Lalu, bagaimanakah asal-usul ungkapan aleh paki-paki dan ‘o-‘o doh yang sesungguhnya? Tulisan ini akan mengulas riwayat asal-usul kedua ungkapan itu. Dari segi linguistik frasa aleh paki-paki berasal dari bahasa Aceh leh pakriban yang terdiri dari unsur inti pakriban ‘bagaimana’ dan unsur atribut aleh ‘entah’. Frasa ini dalam bahasa Aceh pada umumnya ada dua bentuk, yakni leh pakriban ‘entah bagaimana’ dan leh kiban ‘ yang juga berpadanan maknanya dengan entah bagaimana bahasa Indonesia. Pengulangan kedua frase tersebut seharusnya menjadi aleh pakri-pakriban dan aleh kiban-kiban. Namun, frasa aleh pakri-pakriban tidak lazim digunakan. Pengulangan Frasa aleh kiban-kiban menimbulkan makna baru entah bagaimana yang mengandung nilai rasa penuh kekesalan dan dapat pula bermakna meremehkan sesuatu yang dikerjakan. Hal ini terlihat pada pemakaian frase tersebut dalam kalimat berikut ini.

But kah aleh pakriban! ‘Pekerjaanmu entah bagaimana saja!’

But kah aleh kiban-kiban!. ‘Pekerjaanmu entah bagaimana /tidak karuan’

* But kah aleh pakri-pakriban. ( Tidak lazim dipakai) ‘Pekerjaanmu entah bagaimana’

Pemakaian frasa aleh pakriban pada kalimat pertama hanya bermakna denotasi entah bagaimana, sedangkan pemakaian frasa aleh kiban-kiban pada kalimat kedua mengandung makna denotasi entah bagaimana plus bermakna konotasi kekesalan. Artinya, kalimat kedua digunakan hanya ketika seseorang merasa kesal kepada orang lain. Demikian pula halnya dengan frasa aleh paki-paki, frase ini terbentuk dari dua unsur, yakni unsur inti paki ‘bagaimana’ dan unsur aleh ‘entah’. Pengulangan frasa aleh paki menjadi aleh paki- paki ‘entah bagaimana’ atau leh paki-paki ‘entah bagaimana’. Seperti terdapat dalam pemakaian berikut ini.

Leh paki-paki uni ‘oh! ‘Entah bagaimana saja uni ini!’

atau

Leh paki-paki jijaweub ‘oh tateumanyong ‘Entah bagaimana (saja) dia jawab ketika kita bertanya”

atau But kah aleh paki-paki! ‘Pekerjaanmu entah bagaimana /tidak karuan’ Yang menjadi permasalahan adalah pakriban ‘bagaimana’ dalam bahasa induknya (bahasa Aceh pada umumnya) menjadi paki dalam bahasa Aceh dialek ini. Hal ini muncul dikarenakan terjadinya pengaruh dan mempengaruhi antara bahasa Jamee dan bahasa Aceh. Bukankah kita ketahui bahwa masyarakat Aceh Selatan adalah masyarakat dwibahasa, yakni masyarakat yang menguasai dan menggunakan dua bahasa secara bergantian dalam berkomunikasi. Dalam hal ini, masyarakat daerah tersebut menguasai bahasa Aceh dan bahasa Jamee dengan tingkat penguasaan yang sama baiknya. Selain itu, pada penutur bahasa Aceh daerah ini pun tidak kita temukan fonem /r/ yang sama dengan fonem /r/ dalam bahasa Aceh dialek lain. Pada pemakai bahasa Aceh wilayah tersebut didapat fonem /R/ uvular, yakni /R/ yang diucapkan dengan posisi lidah mendekati langit-langit lunak. Dengan demikian, tidak mungkin muncul kosa kata pakriban. Untuk menghindari fonem ini, kata pakriban disingkat menjadi paki. Pemakaian frasa aleh paki-paki pada penutur bahasa Aceh dialek Aceh Selatan ditinjau dari sudut pandang linguistik merupakan suatu penyimpangan dari bahasa induknya aleh pakri- pakri atau aleh kiban-kiban. Namun, dilihat dari sudut pandang sosiolinguistik, frasa aleh paki-paki sejajar kedudukannya dengan leh kiban-kiban dan setara maknanya dengan entah bagaimana bahasa Indonesia. Pada frasa aleh paki-paki sebenarnya telah terjadi pengaruh bahasa Jamee ke dalam pemakaian bahasa Aceh. Dalam bahasa Jamee ditemukan frasa antah bak a- bak a ‘entah bagaimana’. Frasa ini terdiri dari dua unsur, yakni unsur inti bak a ‘bagaimana’ dan unsur atribut antah ‘entah’. Pemakaian ungkapan antah bak a-bak a terdapat dalam kalimat berikut ini.

Ah yuang! Antah bak a-bak a se waang ko. ‘Ah buyung! Entah bagaimana saja kamu ini.

Dalam bahasa Jamee, untuk menegaskan makna bak a ‘bagaimana’ dilakukan pengulangan menjadi antah bak a–bak a. Jadi, kala penutur bahasa Jamee menggunakan bahasa Aceh untuk berkomunikasi, struktur bahasa Jamee antah bak a-bak a yang tetap bermakna ‘bagaimana’ terbawa ke dalam struktur bahasa Aceh menjadi aleh paki-paki. Pengulangan dilakukan dengan maksud untuk menegaskan makna. Namun, dalam bahasa Aceh dialek ini pengulangan aleh paki ‘entah bagaimana’ menjadi aleh paki-paki ‘entah bagaimana’ dilakukan bukan untuk menegaskan makna melainkan untuk menyatakan kekesalan. Dengan demikian, dapat dikatakan aleh paki-paki merupakan sebuah ungkapan biasa yang terdapat dalam bahasa Aceh dialek Selatan. Frase ini sejajar dengan aleh kiban-kiban dalam bahasa Aceh pada umumnya dan setara maknanya dengan entah bagaimana. Pengucapan frasa ini pun sama persis dengan ucapan frasa leh kiban-kiban tanpa harus berintonasi penuh alunan apalagi berirama aduhai. Demikian pula dengan ungkapan ‘o-‘o doh! Ungkapan ini sejajar maknanya dengan benar-benar atau betul-betul. Dalam bahasa Aceh pada umumnya, ungkapan ini adalah ‘o hai! ‘O-‘o doh yang disesuaikan dengan bahasa Jamee iyo-iyo bana sebenarnya tidaklah dibunyikan dengan intonasi penuh alunan yang melankolis. Akan tetapi, ungkapan ini diucapkan berirama turun-naik yang mungkin ditelinga pendengar yang berasal dari wilayah lain, terasa aneh dan lucu. Sebenarnya keanehan dan kelucuan itu juga dirasakan oleh pemilikya ketika bahasa mereka ditirukan oleh orang lain. Satu hal yang perlu diberi cacatan bahwa bahasa di Aceh Selatan, baik bahasa Aceh maupun bahasa Jamee, memiliki intonasi lembut. Namun, terlepas dari itu semua, pernahkah kita sadari bahwa sebanarnya bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Aceh Selatan itu merupakan bahasa yang dapat menggugah perasaan pendengar? Ya bahasa yang berintonasi merdu itu mampu mempengaruhi orang lain dalam banyak hal termasuk mengubah amarah menjadi sebuah persahabatan. Bahasa memang merupakan cerminan jiwa pemakainya. Bahasa yang khas itu pun merupakan cerminan jiwa pemakainya yang (barangkali) penuh kesopansantuan, tata krama, dan kelemahlembutan. Demikian pula dengan bahasa Aceh ‘o-‘o doh ini yang selama ini kita gugu-gugu sebagai sebuah pameo yang tak berakhir. Kemungkinan besar, masyarakat pemakai bahasa ini juga memiliki karakter yang telah digambarkan sebelumnya. Dengan kesopansantunan, tata krama, dan kelemah-lembutan itu pulalah hingga bahasa ini mampu mengubah amarah sesorang menjadi senyuman dan persahabatan, kala bahasa ini diucapkan oleh pemiliknya. Mari kita tinjau ulang!!!

BAGAIMANAKAH SEHARUSNYA SAYA BERCERITA? (Sebuah Narasi untuk Guruku: Pak Abdullah Faridan)

Oleh Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Ini sebuah kisah, kisah perjalanan hidup anak manusia yang telah memilih jalan hidup sebagai seorang guru. Sebuah pilihan yang tepat tergambar dari setiap derap langkahmu yang senantiasa pasti. Langkah indah seorang guru. Kami adalah benih yang engkau semaikan yang hari ini juga mengikuti irama langkahmu, melanjutkan senandungmu tentang negeri dan anak manusia. Kami juga sedang belajar menyemai benih. Akankah benih itu pada saatnya juga akan menyemai benih pula? Ini adalah harapan. Hari ini kutatap lagi wajah itu. Kutatap lagi senyum kebapakan. Senyum kedamaian yang senantiasa menawarkan persahabatan seorang ayah kepada putra tercintanya. Boleh hari ini tak kutatap lagi langkah itu menapak ruang kelas, boleh tak kudengar lagi suara itu menerangkan nilai- nilai dalam karya sastra, boleh tak lagi kami menunggu di ruang-ruang kelas. Namun, derap langkah, sesungging senyum, dan teduhnya tatapan adalah simponi yang akan senantiasa mengalun, mengalunkan nada-nada yang pernah ada antara kita. Nada-nada itu akan selalu mengalir dalam nadi kala kami berbincang tentangmu dahulu. Hari ini engkau tidak ke mana-mana, engkau ada di sini bersama kami, hari esok dan lusa pun akan begitu. Engkau guruku, guru kami, orang tuaku, orang tua kami, untuk selamanya. Tidak pernah ada mantan guru. Yang ada adalah guru, dahulu, kini, dan selamanya engkau tetap guru kami. Kami telah belajar banyak darimu tentang hidup dan kehidupan.

(sepenggal untaian kasih murid kepada guru,

Pak Abdullah Faridan) 1. Pendahuluan Di sini Kisah Bermula Di sebuah ruang kuliah, di sinilah kisah bermula. Tatkala diskusi dalam kuliah Strategi Belajar-Mengajar berlangsung hangat, seorang mahasiswa bertanya cerdas, “Pak! Kalau nanti saya menjadi guru, bagaimana saya harus mengajarkan keterampilan berbicara, sedangkan untuk berdiri di depan teman-teman saja saya tidak PD.” “Selama ini saya banyak menyimak.” “Jarang sekali saya beroleh kesempatan berbicara, sementara salah satu tuntutan pembelajaran bahasa adalah keterampilan berbicara.” “Bagaimana solusinya, Pak?”. Sang dosen terpana sejenak memikirkan sebuah jawaban yang paling bijak. Akhirnya dia berujar, “Luar biasa Saudara- saudara!” “Seorang teman kita siang ini baru saja mempraktikkan keterampilannya berkata-kata.” “Yakinlah bahwa hanya mahasiswa secerdas Andalah yang mampu merangkai pertanyaan sesistematis itu.” “Anda cukup terampil berbicara dan praktikkanlah keterampilan ini nantinya di depan murid-murid Saudara kala Saudara menjadi guru!” ”Mari kita berikan applus untuk teman yang satu ini!” (semua peserta kuliah bertepuk tangan). Pada sesi yang lain, seorang mahasiswa menulis refleksi pembelajarannya seperti di bawah ini. Pembelajaran hari ini menurut saya menyenangkan tetapi hanya sedikit. Saya tidak sanggup membayangkan Bapak membiarkan saja suasana kelas hari ini berlangsung seperti kapal Titanic karam di abad yang lalu. Semua kacau. semua ribut. Semua berbicara. Tak ada yang mendengar. Saya pusing melihat ulah teman-teman di kelas siang ini. Semua berjalan-jalan di kelas seenaknya, berbicara keras- keras. Saya diam saja dan tidak senang.

Membaca refleksi itu, dosen menulis komentar di bawahnya. Saya menghargai hasil pengamatan Anda. Anda berbakat menjadi guru. Kalau ada waktu, tolonglah jawab pertanyaan ini, “Apa yang akan Anda lakukan andai murid-murid Anda di kelas bertindak seperti teman-teman Anda siang tadi? ‘Titanic’ karam yang Anda saksikan sang tadi adalah sebuah pembelajaran improvisasi bebas dalam konteks pengelolaan kelas. Lain kali kita akan berdiskusi lebih lanjut tentang ini! Penting untuk diingat, jangan pernah katakan pada murid Anda, “Duduk yang bagus, lipat tangan, dengar dan catat semua yang Ibu katakan.” Di sini Anda sudah melupakan satu hal, yaitu murid tidak pernah akan bisa mencatat jika posisi tangannya terlipat bukan?” Oleh karena itu, berkreasilah dengan strategi pembelajaran. Refleksi mahasiswa yang lain juga cukup menarik untuk disimak! Hari ini saya melihat semua teman, termasuk saya sangat menikmati kegiatan perkuliahan. Kami diberi sebuah kasus pembelajaran dan kemudian diminta mendiskusikan solusinya dalam kelompok. Ketika semua orang dalam kelompok menawarkan solusinya, kelas pun hingar-bingar tak ubahnya arena pasar Peunayong. Seperti kami juga, saya melihat dosen cukup menikmati kondisi kelas yang demikian. Beliau senyum-senyum saja melihat ulah kami. Mengapa beliau tidak marah? Itu membuat saya terkadang tak habis pikir. Di akhir perkuliahan beliau hanya mengatakan, “Saudara-saudara tulislah Apa yang akan Saudara lakukan andai Saudara seorang guru melihat kondisi kelas seperti ini?” “Sebuah pertanyaan yang menantang tentu saja”

Di bagian bawah dosen mengomentari refleksi itu, “Saya memang merencanakan suasana kelas akan berlangsung seperti siang tadi karena topik perkuliahan kita adalah pengelolaan kelas.” “Yang berlangsung siang tadi adalah sebuah potret nyata kondisi kelas yang mungkin akan Anda temui juga suatu masa kelak bila Anda telah menjadi guru!” “Apakah hasil yang akan Anda peroleh jika Anda marah-marah?” “Jika Anda marah, yang rugi adalah diri sendiri, bukan?”

Pada sesi pembelajaran yang lain, dosen berkata, “Saudara-saudara! Siang ini, saya akan memodelkan pembelajaran bercerita sebagai bagian dari pembelajaran bahasa.” Saya akan menceritakan sebuah episode kisah 1001 malam, kisah seorang raja yang dikhianati oleh permaisurinya. Akhirnya, sang raja menjadi pembunuh berdarah dingin. Setaip malam pertama perkawinannya, dapat dipastikan esoknya perempuan yang dinikahinya sudah meregang nyawa. Hal demikian terus berlanjut. Pembunuhan berakhir ketika sang raja menikah dengan putri perdana menteri. Putri ini selain cantik juga cukup cerdas. Salah satu kecerdasannya adalah menciptakan suspen cerita sehingga sang raja selalu dahaga mendengar kelanjutan cerita yang dituturkan sang putri. Inilah sepenggal dari 1001 kisah yang dituturkannya.

Malam Kelima Putri Syahrazad Melanjutkan Ceritanya ...... Duban lalu berkata, “Balasan baginda atas jasa hamba adalah seperti balasan yang dulu pernah dilakukan oleh seekor buaya.” “Bagaimana kisah tentang buaya yang kau maksud?” tanya sang Raja. Duban menjawab, “Hamba tak mungkin menuturkan kisahnya dalam keadaan seperti sekarang ini.” Air mata Duban kembali mengalir deras. Melihat kejadian itu, beberapa pembantu Raja bangkit dan berkata, “Wahai Raja, batalkanlah hukuman mati atas orang ini. Yang kami tahu, orang inilah yang telah menyembuhkan baginda yang tak dapat disembuhkan oleh tabib lain.” Diujung keputusasaan, Duban mengetahui bahwa Raja Yunan tak mungkin membatalkan hukumannya. Duban berkata, ”Wahai Raja, kalau memang baginda tetap harus membunuhku, maka berilah hamba kesempatan barang sejenak untuk kembali ke rumah hamba untuk memberi petunjuk kepada keluarga dan semua tetangga hamba tenang cara penguburan hamab nanti. Hamba juga akan menghibahkan semua kitab ketabiban yang hamba miliki. Baginda, hamba memiliki sebuah kitab yang sanat istimewa yang akan hamba berian kepada baginda.” Raja lalu bertanya, “Kitab apa yang kau maksud?” Duban menjawab, “Didalam kitab tersebut terdapat begitu banyak rahasia yang tak terhitung jumlahnya. Jika baginda memenggal kepala hamba, bukalah kitab itu. Pada lembar ketiga di baris ketiga halaman sebelah kiri, terdapat sebuah mantera yang dapat membuat kepala yang telah terpenggal dapat berbicara untuk menjawab apa pun yang baginda ajukan.” Dengan rasa takjub, baginda kembali bertanya, “Hai orang pintar, apakah jika kepalamu kupenggal dan kubacakan mantera itu, kepalamu akan dapat berbicara kepadaku?” “Ya,” jawab Duban. Setelah itu, Raja mengizinkan Duban untuk pulang ke rumahnya di bawah pengawalan ketat. Duban masuk ke dalam rumahnya. Dan seharian dia menyelesaikan segala urusannya. Keesokan harinya, Raja kembali memasuki ruang utama istananya. Dan tak lama kemudian, masuklah Duban si Orang Pintar dan langsung berdiri di hadapan Raja. Tampak tanannya memegang sebuah kitab kuno. Duban pun duduk seraya berkata, “Tolong ambilkan sebuah baki.” Setelah baki yang dimintanya tiba, Duban berkata, “Wahai baginda, silakan ambil kitab ini, namun jangan baginda buka kitab ini sebelum baginda memenggal kepala hamba. Ketika kepala hamba sudah dipenggal, letakkan kepala hamba di atas baki ini, karena dengan demikian darah dari kepala hamba akan berhenti. Sesudah itu, silakan Paduka membuka kitab ini.” Tanpa menunggu lama, Raja langsung memerintahkan algojo untuk memenggal kepala Duban. Kitab yang diberikan kepadanya diambilnya. Terpenggallah kepala Duban. Seperti yang telah diminta oleh Duban, algojo lalu meletakkan kepala yang sudah terpisah dari badan itu di atas baki, tepat dihadapan Raja. Tiba-tiba Duban membuka matanya seraya berkata, “Wahai Raja, bukalah kitab itu!” Ketika mendengar perintah dari penggalan kepala di hadapannya, baginda Raja langsung membuka kitab yang telah berada di tanganya. Berkali-kali sang Raja membasahi ujung jarinya dengan lidahnya untuk mempermudah dirinya ketika membuka lembaran-lembaran kitab kuno itu. Sudah enam lembar lembaran kitab kuno itu yang dibuka oleh Raja Yunan, tetapi tidak ada satu huruf pun yang dilihat oleh baginda. Ditengah keheranannya, Raja Yunan bertanya, “Wahai Orang Pintar, aku tidak menemukan tulisan apa pun di dalam kitab ini.” “Cobalah baginda buka halaman lainnya,” ujar Duban. Maka Raja Yunan kembali membolak-balik halaman kitab yang ada di tangannya. Dan seperti sebelumnya, berkali-kali sang Raja membasahi ujung jarinya dengan lidahnya untuk membuka halaman demi halaman yang rupanya memang sudah saling melekat. Lembar demi lembar dibuka oleh Raja Yunan. Entah sudah berapa kali jarinya berulang-ulang dibasahi dengan lidahnya, sampai akhirnya Raja Yunan terjatuh dari singgasananya dan langsung tewas. Rupanya, lembaran-lembaran kitab kuno yang diberikan Duban kepada Raja Yunan telah dibaluri racun yang sangat mematikan. Tindakan Raja yang berkali-kali membasahi ujung jarinya dengan lidah untuk membuka halaman kitab yang lengket, telah membuat racun merasuk ke dalam tubuhnya. Melihat orang yang membunuhnya telah tewas, dari atas baki terdengar penggalan kepala Duban bersenandung: Mereka berkuasa, dan terus berlama-lama Sungguh sedikit yang baik, seolah hukum tak ada Jika harus insaf, insaflah! Tapi mereka menolak Maka waktu datang dengan bencana dan bala Biarlah lisan kenyataan yang menyenandungkan ini dibalas itu Karena tak ada yang mencela zaman “Raja Yunan telah mati. Jadi, ketahuilah wahai jin seandainya saja dia membiarkan Duban hidup, tentulah Allah akan membiarkannya hidup. Akan tetapi sang Raja lebih memilih untuk membunuh Duban yang telah menolongnya, maka Allah membalas kejahatannya. Begitu pula denganmu, jika kau membiarkan aku hidup, maka Allah akan membiarkanmu hidup.” Ujar si nelayan tua kepada jin di dalam botol tembaga yang dibawanya. Malam hampir lewat. Pagi sudah dekat. Syahrazad menutup mulutnya rapat-rapat. Sabarlah Baginda, masih akan ada esok malam.... Demikian sebuah episode dalam Kisah 1001 Malam. Mari para pembaca, jika Anda seorang raja, kita bersabar menunggu cerita malam keenam. (Sumber: Hikayat 1001 Malam, Jilid 1, Terjemahan Fuad Syaifudin Nur, 2007) (Judul Asli: Alfu Lailah Wa Lailah)

2. Mari Kita Bercerita Bagaimana seharusnya saya bercerita? Dalam konteks pembelajaran di kelas, pertanyaan ini boleh dikata adalah milik seorang guru. Lebih khusus, ia adalah milik guru bahasa. Bercerita dalam pembelajaran bahasa adalah bagian dari pembelajaran keterampilan berbicara. Pembelajaran keterampilan ini dapat saja dilakukan secara terintegrasi dengan tiga keterampilan lainnya, yaitu keterampilan menyimak, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Dalam konteks pertanyaan pada awal paragraf ini, sedikit jawaban yang dapat diberikan adalah semua guru bahasa (guru bahasa Indonesia) pernah melaksanakan pembelajaran bercerita. Bagaimana mereka melaksanakannya? Akan lebih bijak jika jawabannya diberikan langsung oleh “aktor” atau ‘aktris’ pelaksana pembelajaran. Marilah kita menyimak sebuah kisah dari Negeri Antah Berantah berikut ini. “Dua puluh tahun sudah saya menjadi guru bahasa Indonesia di sebuah SMP. Hanya tiga atau empat model pembelajaran bahasa Indonesia yang telah saya lakonkan di kelas. Pada masa awal saya menjadi guru, saya sering meminta ketua kelas menuliskan materi pelajaran di papan tulis, siswa yang lain menulis seperti yang dituliskan oleh ketua kelas. Memanfaatkan situasi ini, saya ngobrol-ngobrol dengan guru lain di luar ruang kelas. Menjelang 10 menit lagi jam pelajaran saya berakhir, saya kembali ke kelas dan berujar, “Anak-anak apakah sudah mencatat semua yang di papan tulis?” “Sudah, Bu! Jawab anak-anak!” “Bagus! Karena waktu sudah habis, jadi Ibu cukupkan sampai di sini saja.” Saya pun melenggang ke luar ruang kelas. Tugas saya pada jam itu usai sudah. Saya masuk ke kelas yang lain dan mempraktikkan strategi yang sama. Yang membuat saya sangat nyaman adalah tidak ada satu pun murid saya protes terhadap strategi pembelajaran saya. Pada tahun kelima menjadi guru, saya sempat mendengar siswa saya berbicara pelan kepada temannya ketika saya masih di depan pintu kelas. Katanya, “Ketua kelas, hari ini tulisan di papan tulis harus lebih bagus dari kemarin ya?” Saya senyum-senyum saja. Lama-lama saya bosan sendiri dengan strategi pembelajaran seperti itu. Saya sedikit mengubah cara. Pada tahun keenam, saya tidak lagi meminta ketua kelas menuliskan materi di papan tulis, tetapi saya mendiktekan materi. Saya berpikir, dengan mendikte, siswa bisa belajar menyimak dan menulis sekaligus. Semua siswa saya memang rajin mencatat. Hanya sekali ada pertanyaan dari seorang siswa, “Bu, yang Ibu diktekan kan ada dalam buku teks kami juga!” Jawaban saya waktu itu, “Yang Ibu diktekan lain, Ibu mendikte yang penting-penting saja!” Komentar siswa lain, “Bu! Sebetulnya tangan capek juga mencatat, tapi kalau penting semua tak apa juga!” “Ya, yang Ibu dikte semua penting!”. Akhirnya tahun itu berakhir tanpa ada pertanyaan lagi. Saya dan para siswa dapat menikmati pembelajaran. Di sela-sela dikte, saya juga menjelaskan materi pelajaran. Saya tidak mau ambil pusing tentang pendapat siswa terhadap metode dikte yang saya terapkan. Bagi saya, yang paling penting adalah mengajar, bagaimanapun caranya. Lagi pula Kepala Sekolah juga tidak pernah menanyakan dan tidak pernah mempersoalkan bagaimana kami, para guru, mengajar. Bagi Kepala Sekolah, yang penting siswa tidak ribut di kelas dan tidak berkeliaran di luar kelas. Khusus dalam pembelajaran bercerita, strategi saya adalah meminta salah seorang siswa untuk membacakan cerita dari buku teks. Siswa yang lain mendengarkan. Setelah selesai siswa membacakan cerita, saya menjelaskan tentang isi cerita dan hal-hal lain mengenai cerita sesuai dengan tuntutan silabus. Saya melihat bahwa para siswa sangat senang mendengarkan cerita. Dalam hal bercerita, saya belum mendapatkan strategi baru. Padahal, saya sangat ingin berbagi cerita dengan siswa saya sehingga mereka betul-betul merasakan bahwa pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran yang menarik. Namun, kembali pertanyaan itu muncul, “Bagaimana seharusnya saya bercerita?” Sekali lagi para pembaca! Ini hanyalah sebuah kisah tak nyata dari Negeri Antah Berantah.

2.1 Apa Itu Cerita Cerita adalah hasil karya sastra yang di dalamnya terdapat kenikmatan dan kesenangan bagi pengarang yang telah menyusun dan mengarangnya, pendongeng yang menyampaikannya, dan penyimak yang menyimaknya. Cerita adalah seni. Seni memberi pengaruh, baik pada jiwa orang dewasa maupun anak-anak, karena ia dapat mengasah rasa dan akal. Seni yang disajikan untuk anak-anak haruslah berbeda, baik kualitas, kuantitas, gaya bahasa, maupun metode penyampaiannya dari orang dewasa. Cerita merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri. Akan menyenangkan bagi anak-anak maupun orang dewasa, jika pengarang, pendongeng, dan penyimaknya sama-sama baik. Cerita adalah salah satu bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca. Dalam cerita, ada beberapa hal pokok yang masing-masing tidak bisa dipisahkan, yaitu karangan, pengarang, penceritaan, pencerita atau pendongeng, dan penyimakan serta penyimak. Karangan adalah pembuatan cerita dan penyusunannya. Pengarang adalah penulis cerita karena ia yang mengarang cerita, baik idenya berdasarkan imajinasi sendiri maupun berasal dari tema yang sengaja dipilihnya. Penceritaan ialah penyampaian cerita kepada pendengar atau membacakannya bagi mereka. Dalam proses penceritaan ini, dibutuhkan adanya hal-hal yang mencakup posisi duduk pencerita/pendongeng dari pendengarnya, bahasa, suara, gerakan-gerakan, peragaan peristiwa-peristiwa, dan aura yang melingkupi antara dirinya dan pendengarnya agar penceritaan menjadi baik. Pencerita/pendongeng, adalah orang yang mengalihkan cerita dan menyampaikan kepada pendengar dengan bahasa pengarang atau bahasanya sendiri. Terkadang pendongeng ini adalah pengarang yang menyampaikan ceritanya sendiri. Penyimakan adalah mendengarkan cerita, mencakup posisi pendengar duduk atau berdiri, tingkat perhatian mereka apakah terpaksa atau atas kemauan sendiri, tingkat keberpengaruhan cerita terhadap jiwa mereka, sikap respek mereka terhadap para pahlawan dalam cerita, dan gambaran jiwa mereka atas pengaruh cerita atau penceritaannya. Penyimak adalah individu—atau banyak orang—yang mendengarkan cerita atau membacanya. Terkadang pendongeng sekaligus menjadi penyimaknya sendiri, seperti seseorang yang membaca cerita tertulis. Dengan demikian, karangan, pengarang, penceritaan, pencerita atau pendongeng, dan penyimakan serta penyimak adalah komponen pokok yang harus diperhatikan sehingga sebuah cerita layak disebut bagian dari sastra yang hidup dan abadi (Abdul Majid, 2002).

2.2 Strategi Pembelajaran Bercerita 2.2.1 Pemilihan Teks Cerita Agar sebuah cerita memberikan makna dalam pembelajaran, seorang guru bahasa mestinya mampu memilih teks cerita yang bermakna. Pemilihan teks cerita tentunya disesuaikan dengan tuntutan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasat sebagaimana tertera dalam silabus. Untuk Standar Kompetensi “Mendengarkan pembacaan cerita rakyat” dengan Kompetensi Dasar “Menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat”, guru dapat memilih cerita rakyat yang bernuansa lokal. Artinya, guru tidak harus selalu memaparkan cerita rakyat yang terdapat dalam buku panduan/ buku pegangan pembelajaran. Sebagai misal, dalam buku panduan/buku pegangan, juga buku teks untuk siswa, tertera cerita rakyat “Timun Emas”. Ini tidak selalu berarti guru harus bercerita tentang Timun Emas. Guru dapat saja berkreasi menggali cerita- cerita rakyat yang bernuansa lokal dan dekat dengan kehidupan anak. Berikut ini ditampilkan sebuah cerita rakyat yang bernuansa lokal untuk pembelajaran bercerita pada siswa SMP atau SMA di NAD. Putri Pukes (Inen Manyak Pukes) Cerita Rakyat Tanah Gayo

(Penulis: Drs. Teuku Alamsyah, M. Pd.)

Tersebutlah di Tanah Gayo seorang putri yang Pukes. Di tempat asal cerita ini, Putri Pukes lazim juga disapa sebagai Inen Manyak Pukes. Putri Pukes sejak kecil hidup bahagia bersama kedua orang tuanya di sebuah rumah adat gayo. Ketika menginjak usia dewasa, Putri Pukes telah menjadi gadis yang cantik jelita, bertabiat santun, dan penuh pengabdian kepada kedua orang tuanya. Sebuah keluarga di kampung tetangga mendengar berita tentang Putri Pukes dan dia berniat melamar Putri Pukes untuk menjadi menantunya. Putri Pukes akan dikawinkannya dengan putranya Banta Keumari. Datanglah utusan ke rumah orang tua Putri Pukes untuk melamar sang gadis. Singkat cerita, lamaran diterima dan waktu acara pernikahan pun sudah ditetapkan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Pesta meriah ala Tanah Gayo pun berlang-sung. Tetamu datang dari berbagai penjuru desa. Tidak lupa pula ditampilkan Tari Guel, Tari Reusam Beurume, dan Tari Putroe Bungsu. Semua tamu merasa terhibur. Acara pesta berlangsung tiga hari tiga malam. Esoknya adalah hari yang bersejarah bagi Putri Pukes. Ia harus rela berpisah dengan kedua orang tuanya, sanak saudaranya, handai tolan, dan rumahnya tercinta tempat ia mengukir kasih mesra bersama ayah bunda dan adik-adiknya. Ia harus rela pula berpisah dengan tepian air tempat ia bermandi sejak kecil hingga ia dewasa. Semua itu harus ia tinggalkan. Putri Pukes akan mengiringi suaminya hidup bersama mertua di kampung suaminya. Sulit ia bayangkan kapan ia akan dapat kembali lagi ke kampung halamannya tercinta. Memang adat negerinya sudah demikian adanya. Ketika akan berangkat meninggalkan rumahnya, ibundanya berpesan, “Wahai anakku Putri Pukes. Kini engkau telah dewasa, engkau telah bersuami. Kami telah mendidikmu dengan segenap kemampuan yang ada. Kini tempuhlah hidupmu dan jadilah dirimu sendiri. Kemesraan yang pernah ada antara kita kini akan berganti dengan kemesraan dalam bentuk yang lain. Dengarlah kata-kata suamimu dan berbaktilah padanya sebagaimana layaknya seorang istri. Janganlah engkau pernah bermasam muka pada suamimu. Semoga engkau menemukan kebahagiaan dalam hidupmu anakku! Satu lagi pesanku, “Setelah meninggalkan rumah ini jangan sekalipun engkau menoleh ke belakang. Teruslah berjalan ke kampong suamimu. Di tengah perjalanan batas antara kampungnya dan kampung suaminya, kerinduan Putri Pukes tak terbendung lagi. Tanpa sadar ia menoleh ke belakang. Tampak olehnya sayup- sayup atap rumahnya dan tampak pula sepintas pohon Alpukat bergoyang bersama angin. Namun, tanpa diduga tiba-tiba langit kelam, hujan turun disertai petir yang menggelegar. Putri Pukes dan suaminya terkesima. Setelah cuaca bersahabat kembali, Putri Pukes dan suaminya telah menjadi batu dan hingga kini batu tersebut dapat dijumpai di daerah perbatasan Kota Takengon menuju Bintang. ***** Untuk pembelajaran keterampilan berbicara dengan Kompetensi Dasar “Menemukan Makna Tersirat dalam Teks Cerita atau Teks Drama yang Dibacakan”, guru dapat berkreativitas menemukan cerita-cerita yang di dalamnya sarat terkandung makna tersirat. Berikut ini adalah sebuah contoh cerita yang dimaksud.

Cerita Tak Berujung Penulis: Abdul Aziz Abdul Majid

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang raja yang senang mendengarkan cerita. Orang-orang berdatangan dari negeri yang jauh untuk menyampaikan cerita-cerita yang indah dan diperdengarkan kepada raja. Raja memberikan hadiah berupa emas, pakaian, dan uang kepada orang yang membawakan ceritanya dengan bagus. Suatu hari, raja mengumpulkan semua orang yang ingin bercerita. Ia bermaksud menyampaikan keinginannya. “Aku ingin, salah seorang di antara kalian berkisah tentang cerita yang tak ada akhirnya. Siapa yang dapat melakukannya, ia akan menikah dengan putriku dan menjadi raja sesudahku. Sebaliknya, siapa saja yang bercerita dan ceritanya berakhir, aku akan mengirimkannya ke penjara!” kata Sang Raja dengan tegas. Setelah itu, orang-orang pun bubar. Mereka segera memikirkan bagaimana caranya agar memperoleh cerita yang tak ada akhirnya. Mereka tergiur oleh hadiah yang begitu besar yang dijanjikan oleh raja. Namun di sisi lain, mereka juga merasa cemas dengan ancaman raja jika cerita mereka gagal. Akhirnya, suatu hari, seseorang pencerita datang menghadap Raja. “Saya tahu cerita yang tak berujung itu, Paduka,” kata pencerita itu mencoba meyakinkan. “Ceritakanlah!” perintah raja. Laki-laki itu kemudian bercerita sepanjang hari. Tetapi menjelang malam ia tak mampu meneruskan ceritanya. Akhirnya, tamatlah ceritanya. Seperti yang telah dijanjikan, Raja segera mengirimkannya ke penjara. Beberapa hari berselang datanglah pendongeng yang lain. “Saya tahu cerita yang tak berujung,” tutur pendongeng itu. “Kau yakin ceritamu tak ada akhirnya?” Raja mengingatkan. “Jika ceritamu itu ada akhirnya, aku akan mengirimmu ke penjara!” “Saya siap,” kata pendongeng itu mantap. Kemudian ia duduk dan mulai bercerita kepada Raja. Tetapi, ceritanya hanya berlangsung beberapa Minggu, lalu berakhir. Akhirnya, Raja pun mengirimnya ke penjara. Beberapa Minggu berselang datang pencerita yang lain. “Saya tahu cerita yang tak ada akhirnya,” kata pencerita itu. “Aku ingin mendengarnya,” ucap Raja. “Apabila ceritamu berakhir, aku akan menyeretmu ke penjara seperti dua orang temanmu!” Pencerita itu menerima perjanjian. Lalu ia duduk dan mulai bercerita. Tiga Minggu telah berlalu. Tetapi memasuki akhir bulan, ceritanya usai juga. Ia tak dapat melanjutkan lagi. Raja pun menepati janjinya, ia menyeret orang itu ke penjara. Kemudian datang lagi pendongeng yang lain dan bercerita kepada Raja. Ceritanya berlangsung selama enam bulan. Ketika berakhir, Raja segera mengirimnya ke penjara. Datang lagi penceria yang lain dan ceritanya hanya bertahan selama setahun. Raja pun mengirimnya ke penjara. Begitulah seterusnya. Sampai pada suatu hari, ketika Raja duduk di singgasananya, datang seorang petani bermaksud menghadap Raja. Ia bermaksud memasuki istana Raja. Tetapi, para pengawal Raja melarangnya. Namun, Si Petani berusaha terus memaksa. Ketika para pengawal menangkapnya, mereka menanyai Si Petani. “Aku tahu cerita yang tidak ada ujungnya,” jawab Si Petani. Mendengar hal itu, para pengawal tak mempercayainya. Sebab petani itu tampak miskin dan pakaiannya compang- camping. Untunglah pada saat itu, Raja mendengar keributan itu. Setelah tahu persoalannya, raja memerintahkan para pengawalnya untuk menyuruh petani itu masuk. “Berceritalah! Jika ceritamu berakhir, kau akan dipenjara seumur hidup!” Seru Sang Raja. Si Petani menyetujui ketentuan itu. “Ayo, berceritalah!” Perintah Sang Raja penasaran. Mulailah Si Petani bercerita. Katanya, “Pada zaman dahulu, hidup seorang Raja yang zalim dan angkuh. Dia selalu mengambil harta dan penghasilan rakyatnya. Raja itu suka menyiksa tanpa alasan. Suatu hari, Raja itu membangun sebuah gudang yang sangat besar. Lebih besar daripada bangunan yang ada di seluruh kota. Kemudian Raja mengumpilkan biji-bijian yang dimiliki penduduk, seperti jagung, kacang, dan sebagainya. Biji-biji itu disimpan semuanya di gudang. Gudang ini tidak diberi pintu, jendela, ataupun untuk jalan masuk, kecuali retakan yang sangat kecil yang hanya cukup untuk masuk dan keluarnya seekor semut. Suatu hari, orang-orang melihat semut-semut telah menyerang dari berbagai arah. Dari bawah, atas, utara, selatan, barat, dan timur. Semut-semut itu hampir memenuhi seluruh negeri. Dari segenap arah semut-semut itu menyerang sehingga matahari pun tertutup oleh mereka. Mereka berkumpul di sekeliling gudang yang sangat besar itu. Kemudian seekor semut masuk dan mengambil sebiji gandung lalu ia keluar. Seekor semut lain masuk dan keluar setelah membawa sebiji gandum. Si Petani terus saja menceritakan semut yang masuk dan keluar mengambil biji-bijian yang tersimpan dalam gudang. Dan terus ia mengatakan hal yang sama. Dua tahun, tiga tahun, empat tahun, sepuluh tahun sudah berlalu. Si Petani masih mengulangi ungkapan itu sampai Sang Raja pun akhirnya merasa kesal. “Lalu apa yang terjadi setelah itu?” tanya Raja penasaran. “Tunggu dulu, kita harus menyelesaikan cerita seluruh semut yang datang ke negeri itu. Sebab kita akan tahu apa yang terjadi kemudian setelah seluruh semut masuk ke dalam gudang,” kata si petani dengan nada datar. “Seekor semut masuk dan mengambil sebiji gandum,” sambungnya meneruskan cerita. “Apa yang terjadi kemudian?” Raja tetap penasaran. “Sabarlah, sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang sabar,” kata Si Petani mengingatkan. Akhirnya Raja pun lelah mendengar cerita ini. “Cukup! Aku tidak ingin mendengar kelanjutan cerita. Cerita ini tak ada ujungnya!” “Benar, tuanku, cerita ini tidak ada akhirnya,” jawab Si Petani lantang. Kemudian Raja mengumumkan kepada seluruh warganya bahwa ia telah menemukan orang yang telah mengetahui ceria yang tidak berujung. Sang Raja akhirnya menikahkan Si Petani dengan putrinya. Kemudian, Raja pun mengadakan pesta pernikahan putrinya dengan sangat meriah. Para pendongeng yang dipenjarakan akhirnya dibebaskan. Petani itu lalu menjadi pengganti Raja setelah Raja pertama mangkat. Ia dan istrinya hidup bahagia.

Catatan: Sebagai panduan dalam pemilihan teks cerita, pilihlah teks cerita yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa!

2.2.2 Pembentukan Formasi Kelas Dalam pembelajaran bercerita, seorang guru yang pernah berpikir agar cerita dan penceritaannya meninggalkan kesan yang dalam di hati para siswa, ia akan berpikir juga tentang formasi kelas. Formasi kelas yang konvensional: guru berdiri di depan dan para siswa duduk menghadap guru di depan kelas kurang direkomendasikan dalam pembelajaran bercerita. Formasi kelas yang demikian menciptakan suasana monoton karena guru kurang bebas berimprovisasi. Ketika para guru akan melaksanakan pembelajaran bercerita, disarankan formasi kelas berbentuk melingkar. Dalam lingkaran itu, guru sebagai pencerita mengambil posisi di tengah lingkaran atau di tengah-tengah para siswa. Di tengah lingkaran itu, guru harus bebas bergerak ke setiap sudut. Hanya terdapat sedikit ruang terbuka dalam lingkaran itu sebagai ‘pintu’ bagi guru masuk di tengah lingkaran. Di tengah lingkaran sebaiknya diletakkan sebuah kursi karena guru tidak mungkin sepenuhnya bercerita sambil berdiri. Adakalanya guru juga harus duduk. Akan lebih mantap lagi jika guru mengambil posisi duduk sesuai dengan tuntutan cerita. Contoh, “Pangeran itu pun bertitah dari singgasananya yang megah”. Pada penggalan ini cukup beralasan jika guru mengambil posisi duduk. Berikut ini dikemukakan langkah-langkah pembelajaran bercerita. Langkah 1. Menjalin Interaksi dengan Siswa Sebagai kegiatan awal pembelajaran, guru mengarahkan siswa pada situasi siap memasuki kegiatan pembelajaran. Kegiatan ini antara lain dapat berupa (1) tanya jawab singkat mengenai cerita- cerita yang pernah didengar atau dibaca siswa, dapat juga pembelajaran dimulai dari sebuah kisah film yang diperkirakan dapat menarik minat siswa pada topik pembelajaran. Contoh (untuk siswa SMA), “Anak-anak, Romeo dan Juliet adalah sebuah kisah tragis kehidupan dua anak manusia yang berakhir dengan kematian. Kisah ini abadi sepanjang zaman. Selalu menarik untuk diceritakan dan didengar!” “Masih ingat siapa pengarang cerita Romeo dan Juliet?” “Hari ini topik kita adalah berbicara (guru menulis topik di papan tulis). “Indikator yang akan kita capai dalam pembelajaran ini adalah sebagai berikut....” “Sekarang kita akan membentuk formasi kelas. (guru memberikan beberapa instruksi)

Langkah 2. Membentuk Formasi Kelas Formasi kelas yang disarankan dalam pembelajaran bercerita adalah duduk melingkar. Posisi guru berada di tengah-tengah lingkaran sebagaimana terlihat pada denah berikut. Langkah 3. Pemberian Instruksi Setelah semua siswa duduk dalam formasi melingkar, guru memberikan beberapa petunjuk sebagai berikut. 1) “Anak-anak! (Bapak atau Ibu) sudah mempersiapkan fotokopi teks cerita yang akan Bapak/Ibu bacakan sebentar lagi.” (membagikan teks cerita kepada semua siswa). “Ketika (Bapak atau Ibu) membacakan teks cerita, silakan anak-anak mengikutinya melalui teks yang sudah Bapak/Ibu bagikan. Penting untuk diingat, jangan ada yang membaca bersuara ketika Bapak/Ibu membacakan cerita. “Upayakan perhatian sepenuhnya terpusat pada teks cerita yang dibacakan”. 2) “Setelah pembacaan cerita selesai, setiap siswa (individu) menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut!” (pertanyaan diberikan setelah pembacaan cerita selesai). • Tuliskan sisi yang paling menarik dari cerita tersebut! • Mengapa sisi itu paling menarik menurut pandanganmu! • Bagaimanakah karakter tokoh utama dalam cerita? • Apa yang akan Anda lakukan seandainya Anda tokoh utama cerita! • Tulislah nilai-nilai religius, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai moralyang terdapat dalam cerita!

Langkah 4. Perubahan Formasi Kelas (perubahan formasi kelas untuk kerja kelompok) 1) Setelah tugas individu diperkirakan selesai dikerjakan oleh siswa (10 menit), langkah berikutnya adalah mengubah formasi kelas dari formasi melingkar menjadi formasi duduk berkelompok. Dalam kelompok, siswa saling sharing terhadap tugas yang sudah dikerjakan secara individu tadi dan hasil tugas individu disatukan menjadi tugas kelompok untuk dipresentasikan.

Catatan: Pada setiap kelompok jangan ada ketua kelompok. Dalam kelompoknya, semua siswa adalah anggota kelompok.

2) Presentasi hasil kerja kelompok (dapat berupa menempelkan hasil kerja kekelompok pada dinding kelas atau pada papan tulis, dan seorang siswa mewakili kelompoknya mempresentasikan hasil kerja kelompok yang sudah ditempelkan) 3) Diskusi pleno 4) Pemberian penguatan, penyimpulan hasil pembelajaran, dan penentuan batas-batas tugas.

Langkah 5. Penulisan Refleksi Pembelajaran 1) Meminta semua siswa menulis refleksi terhadap pembelajaran sebagai salah satu dokumen portofolio. 2) Jika waktu masih memungkinkan, mintalah salah seorang siswa membacakan refleksinya dan berilah komentar.

Contoh Refleksi (Asrul Fuadi, kelas II SMA Negeri Antara) Pembelajaran hari ini berbeda. Selama menjadi siswa, baru hari ini saya mengikuti pelajaran yang suasananya lain dari biasa. Sungguh sangat menyenangkan. Ini sudah 13.30 WIB, tetapi saya belum merasa lelah dan belum merasa lapar. Waktu kerja kelompok tadi memang agak repot. Semua teman dalam kelompok saya mempertahankan ide masing-masing. Hasilnya, kelompok kami adalah yang paling terakhir selesai menyelesaikan tugas. Tapi alhamdulillah walaupun ada sedikit ketegangan, tugas kami selesai juga.

Komentar guru (ditulis di bagian bawah refleksi siswa) • Saya memang berharap pembelajaran hari ini bermakna bagi siswa. • Kerja sama dalam kelompok memang tidak mudah. Kita harus membiasakan diri mendengar- kan gagasan orang lain karena setiap orang mempunyai gagasan, dan itu patut dihargai. Saling menghargai inilah sebetulnya salah satu tujuan kerja kelompok.

3. Penutup Sebagai mengakhiri “Bagaimanakah Seharusnya Saya Bercerita?” berikut ini sebuah pertanyaan, “Apakah Saya sudah Profesional sebagai Guru?” kiranya juga cukup layak dan cukup patut untuk kita renungkan. Marilah sejenak kita merenungkannya! Berikut ini adalah sepenggal kisah seorang guru dalam konteks Mengajar Adalah Belajar: “When You Teach, You Learn...” Seorang guru mempunyai jadwal mengajar yang padat. Ia tampak letih tidak bersemangat. Sementara ia masih harus mengajar. “Hari ini, kita akan mempelajari semikonduktor,” sang guru mengawali pelajaran. “Beberapa waktu yang lalu saya melakukan penelitian semikonduktor. Penelitian semikonduktor inilah yang meluluskan saya dalam bidang sarjana. Saya meneliti detektor infra merah—salah satu jenis semikonduktor. Kita dapat merancang alat otomatis menggunakan detektor infra merah seperti sensor kepadatan lalu lintas dan sensor pintu otomatis. Memang inilah manfaat semikonduktor: kita dapat merancang berbagai peralatan otomatis. Dan Anda tahu, berapa harga detektor infra merah? Sekitar dua ribu rupiah, “guru berusaha menghubungkan pelajaran dengan kehidupan nyata. Tampak respon siswa positif. Suasana kelas mejadi lebih hidup. Kondisi sang guru yang sedang letih, tidak memungkinkan dia untuk mendominasi kelas dengan ceramah. Sang guru menemukan ide, “Saya beri waktu lima menit. Silakan lihat-lihat buku pelajarannya. Kemudian sampaikan pertanyaan untuk kita bahas.” Para siswa bersemangat mencari-cari pertanyaan—bukan jawaban. Sementara sang guru dapat beristirahat sejenak. Lima menit kemudian siswa penuh semangat mengajukan berbagai pertanyaan. “Baik, kita akan bahas pertanyaan satu per satu” kata sang guru. “Siapa yang ingin berkomentar tentang pertanyaan pertama” sang guru menawarkan. Siswa tampak ragu- ragu. Seorang siswa dengan setengah hati berkomentar dan kurang tepat sasaran. “Ya, bagus” kata sang guru. Kemudian sang guru mencoba menghubungkan komentar siswa dengan pertanyaan semula. Sang guru terus-menerus memberi dukungan positif terhadap komentar siswa (dalam dalam Nggermanto, 2005) Kini para siswa merasa aman. Komentar mereka tidak akan dipermalukan di depan kelas bahkan selalu didukung oleh guru. Risiko guru adalah: komentar siswa semakin berani. Siswa semakin kreatif melontarkan gagasan. Bahkan tidak jarang siswa bertanya dengan pertanyaan sangat cemerlang. Pertanyaan yang tidak pernah dipelajari sang guru di bangku sekolah atau dari buku- buku yang telah terbit. Inilah saatnya meyakini: mengajar adalah belajar. Guru berkeyakinan mengajar adalah belajar menanggapi pertanyaan sangat cemerlang dengan respons lebih cemerlang. Guru menggali pertanyaan lebih dalam lagi, merumuskan, dan menghubungkan dengan teori yang sudah ada—walau belum terjawab. Kecemerlangan siswa diakui dan diungkapkan langsung di depan kelas. Siswa semakin percaya diri untuk mengembangkan pengetahuan. Selanjutnya, guru dapat menawarkan dan merencanakan studi lebih lanjut berkenaan dengan pertanyaan sangat cemerlang. Studi dapat dilakukan bersama-sama antara guru dan siswa. Studi lanjut ini dapat berupa studi pustaka ataupun eksperimen. Sementara guru yang tidak meyakini mengajar adalah belajar akan kesulitan bila dihadapkan pada pertanyaan sangat cemerlang. Ia akan menutupi ketidaktahuannya dengan berlaku tegas atau membatasi kreativitas siswa. Dengan demikian, proses pun pembelajaran terhenti.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Teuku. 2007. “Dokumen Portofolio Mata Kuliah “Pengajaran Mikro” pada Mahasiswa Jurusan PBSID, FKIP Unsyiah, Tidak Dipublikasikan.

Majid A. Abdul Azis. 2002. Mendidik dengan Cerita. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nggermanto, Agus. 2005. Quantum Quotient. Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.

Nur, Fuad Syaifudin. 2007. Hikayat 1001 Malam (Terjemahan dari Alfu Lailah Wa Lailah). Jakarta: Qishi Press.

HABA “CIK BERANAK” (Cerita Rakyat Aceh dari Aceh Jaya)

Diceritakan kembali oleh Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Bak jameun dilèe bak binèh uteuen na saboh gampông. Gampông nyan rab ngon binèh krueng. Tabôh nan laju gampông nyan gampông Keureucing. Ureueng di Keureucing han that ramè. Rata- rata buet ureueng gampông nyan nakeuh geumeugoe, geumeulampôh, ngon geujak u glè geujak koh kayèe. Laen nibak nyan geumita eungkot sideh lam krueng. Geukeumawe, geumeujeue, ngon geumeujareng. Eungkot keureulieng cukop le lam krueng nyan. Leubeh-leubeh menyo teungoh musem ujeuen, eungkot keureulieng cukop le jitron dari pucok krueng. Jeuoh bacut ngon krueng karab toe sideh bineh glè, na saboh rumoh lakoe-binoe. Nyang agam tahei laju Apa Syamaun, teuma nyang inong geuhei Mak Isah. Ureueng nyan na aneuk dua ploh droe. Sikureueng blah droe aneuk agam ngon sidroe aneuk inong. Aneuk inong nyan aneuk tulot. Buet siuroe-uroe aneuk agam-agam nyoe nakeuh jibantu ayah ngon makjih meugoe, meulampoh, ngon peutron kayee di gle, sedangkan aneuk inong kayem tinggai di rumoh jibantu-bantu makjih teumaguen atawa jimeu’en-meu’en keudroe jih. Meujan-jan aneuk nyang agam jibantu ayahjih meujeue ngon meujareng eungkot. Meunyoe le meuteumeung, eungkot- eungkot nya ladom jipubloe keudeh u peukan. Peuelom meunyo eungkot keureulieng, troh u peukan siat sagai ka habeh lagot. Meunan cit hase pade di blang jeuet takheun leubeh untuk geupajoh sithon. Krong pade nyang yub rumoh jeut ta peugah cit hana tom soh, sabe meuasoe. Meunankeuh udep awak nyan dari thon keu thon cit cukop. Hase meuneu’u lampoh nyang na tinggai cit bak pisang. Nyan pih on jih ka layee. Watee breueh bit-bit ka habeh, awaknyan mulai geupajoh janeng. Watee bak-bak janeng pih ka abeh, mulai teuma geukoh sagee. Ka abeh bak meuriya geukoh geupeuget sagee, ujeuen pih hana cit lom jitoh hingga ureueng nyan han jeuet geutron u blang, han jeut geumeu’ue geupula pade. Trep-trep nibak nyan, sagee pih ka payah bak tamita. “Nyoe pakriban lom ta udep.” Meunan kheun lam ate Apa Syamaun. Bandum ureueng rumoh nyan ka habeh sosah. Seupot uroe nyan janeng hana le, sage pih betoi-betoi habeh. Aneuk tulot, aneuk ineng ka jiklik kadeuk. Nibak han ek geuthen geudeungo aneuk geuh jilake makanan, geubeudoh di ayah geujak koh bak pisang. Geupeuwoe pisang nyan geureuboh geulawok ngon u. Nyan keuh bu awak nyan sampoe meupadum seupot. O’h akhe watee boh pisang pih hana le tinggai, teuma geucok bak pisang geupeugot gule tibeuek. Nyang peunteng pruet bek deuek. Teuma jinoe bak pisang pih ka habeh, Mak Isah ngon Apa Syamaun ka mumang ule. Musem khueng karab sithon, pade lam krong pih ka abeh. Hase di lampoh nyang na tinggai ciet meubak pisang. Nyan pih on jieh kaabeh layee. Watee breuh bit-bit ka abeh, awak nyan ka mulai geupajoh janeng. Watee bak janeng pieh ka abeh, mulai teuma geukoh sagee. Ka abeh bak meuria geukoh geupeugot sagee, ujeun pih hana ciet lom jitoh hingga ureungnyan hanjeut geutron u blang, hanjeut geumeu’u geupula padee. Trep-trep nibaknyan sagee pih kepayah bak tamita. “Nyoe pakriban lom ta udeep,” meunan kheun lam ate Apa Syamaun. Bandum ureung lam rumoh nyan ka abeh sosah. Seupot uroe nyan janeng hana lee, sagee pih beutoi-beutoi abeh. Aneuk tulot nyang inong pih ka jiklik kadeuk. Nibak hana ek geutheun ate geudeungo aneuk geuh jilakee makanan, geubeudeh di ayah geukoh bak pisang.Geucok boh jih. Geupuwoe pisang nyan geureuboh geulawok ngon ue. Nyan keuh bu awak nyan sampo meupadum seupot. Oh akhe watee boh pisang pih hana le tinggai. Teuma geucok bak pisang geupeugot keu gulee tibeuek. Nyang peunteng pruet bek deuk. Teuma jinoe bak pisang pih ka abeh, Mak Isah ngon Apa Syamaun ka mumang ulee. Singoh jieh geupeurintah bak aneuk agam-agam geuyue jak keudeh lam uteuen geuyue jak mita boh birah. Aneuk agam- agam pih jibeurangkat jijak mita pue nyang geuyue. Meureumpok boh birah na saboh gunie. Boh birah nyan geureugoh-reuboh sampo seb sibulen pajoh. Pakriban oh lheuh nyan? Boh birah nyang na lam uteuen pih ka abeh. Nibak si seupot di Apa Syamaun teungoh geuduk bak anjong geujip kuphi, watee nyan geukhen bak Mak Isah, “Hai ma jih, ta cikakalon pat-pat Nasional sisat teupong meubacut, inteuk malam ta peugot tumpoe.” Watee geudeungoe haba meunan, laju Mak Isah geubeudoh geujak glip lam-lam lukiek kadang-kadang Nasional meubacut teupong meubacut tupong ata geukubah- keubah jameun. Rupajieh ciet raseuki, oh lheuh geumita keuno- keudeh geupusapat na teupong leubeh kureng sikai. Teuma geukhen bak Apa Saman, “nyoe na teupong cit bacut, cit sikai, teunte hana sep keu geutnyoe mandum.” Geukheun lee ayah “Ta peugoet keulon mantong, keu aneuk miet nyan hana pue. Awak nyan. Ban saree lheuh mugreb, yah jih geucok ngon jeu geujak mejeu keudeh u krueng. Aneuk miet pih ka jie peurap bak teumpat eh. Hana padum trep oh lheuh nyan awak nyan ban dua ploh droe pih kateuget. Geubeudeh Mak Isah geujak u 1945 dapu, teuma lajue geulawok teupong. Oh lheuh nyan laju geupeuseuum minyeuk geucroh tumpo. Ban tumpoe phon karab masak, aneuk agam nyang tuha pih jaga meujak toh iek. Watee trok ue dapu jikalon mak jieh teungoh geutot tumpoe. Laju jieh keunan jiepeuto. Jikalon na saboh nyang ka masak. Jiekheun bak mak jieh, “Peunyan mak geutot tumpoe nyoe?” “Die lon cukop trep ka hawa keu tumpoe, neujok keu lon saboh.” Seuot mak jih, “Nyoe hai aneuk tumpoe kutot keu yah keuh, teupong cit bacut, meunyoe kujok kriban keu awak laen?” “Han peu mak, bak awak laen han kupeugah-peugah. “Meunankeuh tumpoe ban masak nyan ka geujok keu aneuk agam nyang tuha. “Nyoe bek peugah bak adek- adekkah, teupong ciet bacut.” Kajuet mak!” Ban sare abeh jipajoh tumpoe nyan, aneuk agam tuha nyan pih jibeudoh jijak eh teuma. Yohgohlom dijipeureubah droe bak teumpat eh, jipeugoe adekjih nyang laen sira jikheun, “Hai... hai... beudoh kajak bak dapu, mak teungoh geucroh, tumpoe.” Ban jideungo lagee nyan haba, adek jih pih jibeudoh rijang jijak Undang-undang Dasar 1945 dapu laju dilakee saboh tumpoe. Bak geupike sayang keu aneuk tumpoe nyang ka masak pih geujok deungon peusan han geubri peugah bak awak laen. Aneuk nyan pih jianggok. Lagee bunoe cit, yohgohlom jipeureubah rueng bak teumpat eh, laju jipeugoe sidroe adekjih jiyue jak bak dapu seubab bak dapu na geupeugot tumpoe. Meunankeuh laju abeh sidroe gantoe sidroe jak bak dapu jak lakee tumpoe, hingga ban sikureueng blah droe aneuk miet nyan kalheueh jipajoh tumpoe. Jinoe tinggai sidroe teuk aneuk nyang paleng tulot. Ban jaga nibak teungeut jipeugoe le aduenjih, aneuk dara ch’ek nyan pih jigrak langkah keudeh u dapu. Teupong nyang tinggai jinoe cit seb keu saboh tumpoe teuk. Watee gaukalon aneuk inong geuh trok bak dapu, mak nyang meutuah nyan pih han sampoe ate han geubri keu aneuk inong. Jinoe teupong ka abeh minyeuk pih tho. Hana tinggai sapeue le. Meuhat jaroe geuraba-raba ulee geupike keu nasib ngon geupike peue eunteuk geupeugah menyo yah aneuk miet nyan troh geuwoe nibak jak meujeue. Hana padum trep o’h lheueh nyan Apa Syamaun trok geuwoe nibak geujak meujeue. Na neupuwoe eungkot meupadum boh. Ohlheueh gepeugleh droegeuh bacut laju geutanyong, “Pat teuma tumpoe nyang tacroh bunoe, dilon ka cukop deuek!” Ban geudeungo meunan, laju Mak Isah geujaweueb, “Meuah hai Bang meutuah, tumpoe nyang teucroh bunoe ka jiepeuhabeh le aneuk geutanyoe, meusaboh hana le tinggai. Aneuk miet nyang bunoe jibeudoh seuen-seuen sidroe jijak keunoe bak dapu jilakee tumpoe sampoe abeh ban bandum. ‘Ohlheuh geudeungo meunan, Apa Syamaun pih teuiem teuseupok. Lam geudeungo haba meunan, Apa Syamaun pih teuiem teuseupok. Lam ategeuh beungeh kon wayang. Teuma ‘ohlheuh nyan laju geukheun “Singoh beungoh aneuk miet nyan mandum tajak boh keudeh lam uteuen, tatinggai sideh lam rimba raya”. Ban geudeungo haba meunan Mak Isah hana geujaweueb sapeue. Watee uroe pih karab beungoh, Mak isah geukueh boh birah nyang na padum bak teuk nyang tinggai bak bineh mon. Boh birah nyan geureuboh rijang keu bekai aneukgeuh eunteuk sideh lam uteuen. Ban uroe kasare beungoh, aneuk miet nyan bandum geuba sajan keudeh lam uteuen. Watee jitanyong le aneuk pubuet lam uteuen, Apa Syamaun pih geujaweub geupeugah geujak mita reubong trieng nyang ditimoh lam uteuen gle. Aneuk miet nyan mandum pih jiturot ho nyang geuba le ureueng chikjih. Ka padum tajeumeurang, kapadum boh gle lheueh geuek geutron sampo rab leuho uroe troh bak saboh uteuen rayek. Bak uteuen nyan goh lom na troh meusidroe ureueng. Di sinankeuh Apa Syamaun ngon Mak Isah geuniet geutinggai aneukgeuh. Sira piyoh hek aneuk miet nyan pih pajoh boh birah, seubab pruet kadeuk. Hana trep lanja geumeusu Apa Syamaun, “Nyoe awak kah kamoe tinggai di sinoe siat, kamoe na ho meujak, hana trep inteuk meugisa teuma. Meunyo gohlom trok cit meugisa, inteuk kameuhoi, meunyo kamoe na meujaweb, nyan artijih kamoe hana jeuoh ngon awak kah. ‘Ohlheueh geupeugah lagee nyan peusan, aneuk miet nyan pih geutinggai lam uteuen nyan geubot langkah keudeh u timu. Sira geujak woe ureueng nyan geutoh ek saboh tumpok sapat. Bak ek nyan teuma geupeusan meunyo aneukgeuh jimeuhoi, ek nyan geuyue seuot rijang. Oh ban yah ngon mak geujak jih hana ruh le, aneuk miet nyan pih lale jimeu’en sabe keudroe, jipeulet cicem sinan lam uteuen. Bak watee kahek jipiyoh siat. Uroe pih karab seupot. Ayah ngon makjih gohlom cit troh geugisa. Bandum awak nyan ka sosah ate. Aneuk nyang tulot ka mulai jiklik jimeuhei yah ngon ma. “Ma e e, yah e e”. Teuma jideungo na ureueng seuot laju jiseutot pat asai su nyan.... Watee troh bak asai su bunoe, jiseutot pat asai su nyan. Watee troh bak asai su bunoe, nyang na ruh cit tumpok ek. Meunankeuh troh meupadum go sampoe uroe pih malam. Teuma jikheun le aneuk tuha, “Nyoe geutanyoe malam nyoe payah ta‘eh lam uteuen, geutanyoe ka geujak boh le mak ngon ayah, geutanyoe salah seubab malam baroe tapeuabeh tumpoe ban bandum. Kakeuh jinoe tameu-udep-udep keudroe. Takeumeung woe hana ta ruh jalan.” Malam nyan awak nyan laju jipeugot jambo keu teumpat jipiyoh. Watee adoe jih ka teungeut mandum, aneuk tuha jikalon bak gle jeuoh lagee na apui meublek-blek. Malam nyan laju jijak bak teumpat apui nyan. Nakeuh meulhee jeuem bak jijak, deuh jikalon saboh rumoh nyang cukop rayek. Tameh ngon bintehjih bandum kayee rayek bulat-bulat. Ban jijeungeuk u dalam ruh jikalon dua droe ureueng raya-raya teungoh e teunget. Ureung raya-raya nyan nakeuh gogasi lakoe binoe. Su nafah jih mantong ban lagee gempa. Aneuk tuha nyan pih jipreh sampoe beungoh uroe. Watee uroe ka beungoh, gogasi ineng jitaguen bu. O’ h lheuh nyan bandua gogasi nyan jipajoh bu abeh saboh kanot raya. Saboh kanot raya teuk bu jikeubah keu inteuk malam. Lheuh jipajoh bu, bandua gogasi jibeurangkat keudeh lam rimba jak mita rasuki. Aneuk tuha buno pih jitamong lam rumoh gogasi. Jikalon lam rumoh nyan meuh meupeuto-peuto, ija ngon bajee lagak-lagak. Teuma hana jipike terb-treb, bu nyang jitinggai le gogasi laju jicok jipuwoe keu adek-adek jih. Awak nyan bandum cukop that seunang seubab cit katreb that hantom jipajoh bu. Watee malam gogasi katroh jiwoe. Jikeumeung pajoh bu, jikalon bu hana lee. Nyang na tinggai cit meukanotsoh. “Nyoe pasti na pancuri tameng u rumoh geutanyoe, nyoe sigoe nyoe ta peumeuah.” Gogasi inong pih malam nyan payah taguen bu laen. Aneuk tuha bak malam nyan pih jijak lom bak rumoh gogasi. Singoh jih watee gogasi jibeurangkat u gle, bu nyang jitinggai le gogasi jicok jipuwoe lom keu adek-adek jih. Watee gogasi troh jigisa, jikalon bu ka abeh lom lage baroe. Teuma kheun gogasi agam, “Nyoe hana keumeuah le. Pancuri nyan payah tajok pelajaran. Singoh beungoh tataguen bu lhee boh saboh kanet, saboh kanet tapajoh beungoh, saboh kanet taboh tuba, saboh kanet teuk keu tapajoh malam keubah keudeh sideh cong bara. Mangat jra pancuri paleh.” Bandum haba gogasi nyan jideungoe le aneuk tuha. Ban beugoh uroe gogasi inoeng jipeulaku ban wasiet gogasi agam. Bu nyang meutuba jipeuduk bak teumpat biasa. Bu nyang keu enteuk malam jikeubah sideh cong bara. Oh lheuh nyan bandua gogasi pih jiteungoh u gle mita raseuki. Ban sare leupah gogasi jijak, aneuk tuha jitamong lam rumoh gogasi. Bu nyang cong bara jipeusoh lanja. Bu nyang meutuba jicok jipeuek keudeh cong bara. Oroe ka rab malam, gogasi pih kah troh jiwoe. Lheuh jipayoh siat laju jipeurab bak kanet bu. Bu nyang cong bara jipeutron laju rijang jipajoh sajan- sajan. Hana treb ban lheuh jipajoh bu ban dua gogasi ka jireunthak-reunthak droe, saket lam pruet saket lam tuleng, lagee ie paseung teungoh keunong sa. Bak kulet bule jiteubiet darah, bit apoh-apah gogasi tuha. Kajigrob keuno ka jichen keudeh, bak sagoe binteh reubah bandua. Jinoe ka mate Tuan Gogase, tuba nyang geuboh keu gob karoh geuuet keudroe. Ji aneuk tuha pih jipeugah bak adoe jih bandum, “Nyoe mulai singoh geutanyoe bak le ta tinggai lam uteuen nyoe, ta beurangkat keudeh bak uteuen laen mangat mudah ta mita raseuki. “ Singoh beungoh jih awak nyan bandum jibeurangkat ho ngen jiba le aduen jih nyang tuha nyan.” O’h lheuh ek gle tron gle, ek gunong turon gunong, uteuen meulngkeu uteuen, teumah troh awak nyan bak rumoh gogasi. Ban jitamong u dalam rumoh, laju jikalon dua droe mayet bu be-be raya. Nyan keuh mayet gogasi nyang mate bak pajoh tuba. Aduen nyang tuha pih jipeugah kisah sampoe gogasi nyan mate bak sagoe binteh. “ Nyoe jinoe di rumoh nyoe ta duek geutanyoe, mulai singoh ta buka blang ta buka lampoh, ngat na peu pajoh tanyoe syedara. Si deh di dalam na meuh meukatoe-katoe, singoh ta publoe ngat na beulanja.” Trep-trep oh lheuh nyan uteuen nyan pih kajeut keu saboh gampong nyang cukop makmue meuceuhu keudeh u lua. Pat-pat na ureung gasien bandum jitulong, meubacut hana mbong awak nyan dumna. Aneuk inong tulot pih jinoe kajeut keu sidroe dara nyang ceudah rupa. Nibak si uroe sidroe aneuk raja bak jak teumimbak ka seusat di dalam uteuen. Bak geupeulet saboh glueh teumbon, hana geuthe uroe ka sepot. Di glueh nyan pih lisek leupah na. Siat jipeudeh droe siat ka gadoh. Di aneuk raja gohlom pueh ate meunyoe glueh nyan gohlom meuteume timbak. Di glueh pih dikilek kuno dikilek keudeh hingga maken jeuoh jitamong lam uteuen, ji aneuk raja pih geuseutot sajan hinga troh sampoe glueh nyan gadoh bak pandangan mata. Jinoe geukeumeng gisa tan le geutuho jalan. Mata uroe ka hana ruh lee. Binatang uteuen pih ka jimeusu. Lam caya buleuen ruh geukalon panyot blet-blot bak saboh rumoh. Keunankeuh jinoe geupeuto. Ban troh bak rumoh nyan aneuk raja disambut le dua ploh adoe aduen meusyedara. Malam nyan aneuk raja geudom bak rumoh nyan. O’h singoh troh geuwoe u nanggroe, aneuk raja geupeugah bak ayahgeuh gobnyan geukeumeung meukawen ngon sidroe putroe nyang geuturi sideh lam uteuen rimba. Ji tuan raja pih setuju mantong. Maka beurangkatkeuh keudeh lam uteuen utosan raja jak meulakee. Ban sikureung blah droe adoe aduen cukop setuju adek tulot awak nyan geulakee meukawen le aneuk raja. Nibak si uroe putroe lam uteuen nyan pih geutandu geupuwoe keudeh u Banda, geuba bak astana raja. Rakyat nanggroe bandum ka jipreh bak bineh jalan. Bandum jikeumeung kalon peurumoh aneuk raja. Teuseubot kisah keu Apa Syamaun ngon Mak Isah. Watee lheuh geuboh aneuk sideh lam uteuen, udep dua ureung nyan maken sengsara. Bandua geuh jeut keu ureung geumade. Tiep uroe geujak seun-seun saboh gampong geujak theun seudeukah. Ngon seudeukah gob bri nyan keuh geumeuudep-udep. Bak uroe nyan bandua ureung tuha nyan na cit bak bineh jalan sajan-sajan ngon ureung laen. Ban sare troh tandu nyang ba putroe bak jalan nanggroe, ji aneuk tulot nyan ruh jikalon dua drop ureung tuh angon bajee teupriek meutampai-tampai. O’h jikalon ngen get, lam ate jih pih lagee ruh saboh rasia. Sang-sang bandua ureung nyan n atom jituri. Jipandang sigo teuk teuma jipeugah. “Hai Polem nyang ba tandu, neupeudong keuh dile siat, dilon na hajat keudeh u lua. Lon keumeng tron keudeh bak jalan, bagah hai rakan tandu neubuka.” Teuma jiteubiet di dalam tandu, laju jipeuto bak ureung tuha. E ma ngon ayah, leupah meutuah tanyoe meusua. Meurumpok teuma Poma meutuah ngon izin Allah nyang po kuasa. Keuneulheueh haba, bandum awak nyan meurumpok teuma ngon ureung cik jih. Aneuk inong tulot jadeh meukawen ngon aneuk raja. Mak ngon ayah jih pih tinggai sajan-sajan ngon aneuk tulot nyang kajeut ke peurumoh aneuk raja. Sikureung blah drop aneuk agam teutap tinggai nyang treb bak treb jeut keu saboh gampong. Meunankeuh haba Cik Beranak, nyang artijih ureueng le aneuk. Terjemahan Cerita HABA “CIK BERANAK”

Pada zaman dahulu di pinggir hutan terdapat sebuah kampung. Kampung itu letaknya di dekat sebuah sungai. Kita namakan saja kampung itu Kampung Keureuching. Penduduk di kampung Keureuching itu tidaklah ramai. Pekerjaan mereka umumnya bersawah, berkebun, mencari kayu ke hutan, dan mencari ikan di sungai. Di sungai itu banyak ikan ‘keureulieng’. Lebih-lebih lagi jika sedang musim hujan. Ikan keureulieng banyak yang turun dari hulu sungai. Tidak terlalu jauh dari sungai dekat dengan pinggir gunung, terdapat sebuah rumah suami istri. Yang lelaki kita panggil saja Apa Syamaun, sedangkan yang perempuan biasa dipanggil Mak Isah. Mereka mempunyai dua puluh orang anak. Sembilan belas laki-laki dan satu perempuan. Anak perempuan merupakan anak bungsu. Kerja anak yang laki-laki sehari-hari adalah membantu ayah ibunya di sawah, di kebun, atau mencari kayu ke hutan. Anak perempuan sering tinggal di rumah membantu-bantu ibunya di dapur atau bermain-main sendiri. Adakalanya anak laki-laki juga membantu mencari ikan di sungai. Jika banyak dapat ikan, sebagian ikan itu dijual di pasar. Demikian hasil padi di sawah boleh dikatakan berlebih untuk mereka makan setahun sampai musim bersawah berikutnya tiba. Lumbung padi di bawah rumah mereka selalu penuh. Hidup mereka dari tahun ke tahun boleh dikata cukup makmur. Hasil di kebun ada kopi, lada, pisang, cabe, jagung, yang kesemuanya dapat dijual selain untuk dimakan. Hingga suatu ketika datanglah suatu musim. Hujan tak pernah turun. Padi di sawah sudah banyak yang mati merana kekurangan air. Tanaman di kebun pun mengalami nasib serupa. Kayu di gunung pun tak bisa dihilirkan karena air sungai sudah dangkal. Musim kemarau yang sudah berbulan-bulan itu merupakan cobaan Allah Taala. Musim kemarau sudah menjelang setahun. Padi di lumbung pun sudah mulai hampir habis. Hasil di kebun yang tinggal hanya pisang. Itupun daunnya sudah mulai layu. Ketika beras sudah betul-betul habis, mereka mulai makan ‘janeng’ (sebangsa umbi- umbian yang buahnya gatal, tetapi sesudah diolah hasilnya dapat digunakan sebagai pengganti beras). Waktu pohon ‘janeng’ di hutan itu juga sudah habis, mereka ganti makan sagu. Pohon rumbia semua dipotong diolah menjadi sagu. Lama-kelamaan pohon sagu pun mulai sulit didapat. “Bagaimana ini,” kata hati Apa Syamaun. Semua mereka menjadi susah. Musim kemarau tampaknya akan berkepanjangan. Sore hari itu apa pun tidak ada lagi yang dapat dimakan. Anak bungsu mulai menangis kelaparan. Tak tahan hati mendengar tangisan anak bungsunya, sang ayah bangkit menebang pisang. Pisang itu dibawanya pulang, direbus dan dimakan campur inti kelapa. Itulah makanan mereka sampai beberapa hari. Ketika buah pisang juga sudah tak ada lagi yang tersisa. Batang pisangpun dimasak dijadikan sayur. Yang penting bisa untuk pengganjal perut yang lapar. Batang pisang akhirnya juga habis. Suami istri itu mulai panik. Besoknya semua anak laki-laki diperintahkan mencari keladi di hutan. Sore hari mereka kembali membawa satu goni keladi. Keladi itu cukuplah satu bulan pengganjal perut. Sesudah itu bagaimana lagi? Pohon keladi di hutan juga tidak tersisa. Suatu sore Apa Syamaun sedang menikmati kopinya di dapur. Waktu itu ia mengatakan pada Mak Isah, “Hai ibunya anak- anak, cobalah lihat barangkali ada sisa-sisa tepung barang sedikit, tolong nanti malam dibuatkan ‘tumpoe’.” Mendengar tuturan suaminya, Mak Isah langsung bangkit mencari ke setiap sudut kaleng barangkali masih ada tepung yang tersisa. Setengah jam ia mencari, diperolehnya tepung kurang lebih satu kaleng susu. Ia berkata pada suaminya, “Tepung yang ada hanya sekaleng susu, tentu tidak cukup untuk kita semua.” “Kalau begitu bikin untuk saya saja, untuk anak-anak tidak usah. Mereka tadikan baru makan daging kijang panggang, perut mereka tentu masih kenyang. Itu dibikin waktu anak-anak sudah pada tidur.” Sesudah magrib nanti saya pergi menjala. ‘Tumpoe’ itu saya makan sepulang dari sungai.” “baiklah kalau begitu, sekarang saya menunggu anak- anak tertidur semua,” jawab Mak Isah. Sehabis shalat Magrib, Apa Syamaun pergi menjala ikan. Anak-anak pun sudah mulai tidur merebahkan diri di tempat tidur. Tidak berapa lama kemudian mereka semua tertidur dengan mimpi masing-masing. Sesudah memastikan anak-anaknya tidur, Mak Isah berangkat ke dapur. Dibikinnya adonan kue ‘tumpoe’ dijerangkannya minyak ke dalam kuali, dan mulailah ia menggoreng ‘tumpoe’. Saat ‘tumpoe’ pertama hampir matang, anak yang sulung terbangun hendak membuang air kecil. Di dapur didengarnya suara seperti orang sedang menggoreng sesuatu. Di sana dilihatnya ibunya sedang menggoreng ‘tumpoe’ dan ia pun mendekat langsung minta sebuah. Sang ibu menjelaskan bahwa ‘tumpoe’ itu ai goreng untuk ayah, anak-anak harus rela tak kebagian karena tepungnya hanya sedikit. Lagi pula mereka tadi sore makan daging Kijang. Si sulung terus merengek sehingga ibunya tak sampai hati. Lalu ‘tumpoe’ yang baru masak itu diberikannya dengan pesan supaya si sulung tidak memberitahukan kepada adik-adiknya. Si sulung dengan takzimnya mengiyakan. “Tumpoe’ dimakannya sampai habis, barulah ia beranjak ke tempat tidur. Sebelum tubuhnya direbahkan, ia membangunkan salah seorang adiknya dan memberitahukan bahwa di dapur ibunya sedang menggoreng ‘tumpoe’. Diajarkannya pula pada adiknya bahwa pura-pura mau ke kamar kecil, kemudian baru ke dapur. Demikianlah si anak ini pun mengikuti petunjuk abangnya . sesampai di dapur ia meminta sebuah ‘tumpoe’ kepada ibunya. Seperti tadi juga, sang ibu menjelaskan bahwa ‘tumpoe’ itu untuk ayahnya. Si anak terus merengek dan berjanji tidak akan memberitahukan kepada saudara-saudaranya yang lain. Si ibu mengalah, ia memberikan sebuah ‘tumpoe’ kepada si anak nomor dua. Habis makan ‘tumpoe’ si anak pun berangkat tidur. Sebelum tidur, ia tidak lupa membangunkan saudaranya yang lain. Demikianlah seterusnya hingga setiap ‘tumpoe’ selesai digoreng, sekejap itu pula ‘tumpoe’ itu habis. Sekarang tepung itu yang tersisa hanya cukup untuk satu ‘tumpoe’ lagi. Apa boleh buat, daripada tidak ada sama sekali, walaupun cuma satu tentu cukup untuk pengobat hati si ayah., demikian Mak Isah berpikir. Namun, tiba-tiba gadis bungsunya sudah berdiri di sebelahnya dan merengek minta diberikan sebuah ‘tumpoe’. Hati keibuannya sangat tak tega untuk tidak memberikan sebuah ‘tumpoe’ kepada anak perempuannya yang belum tahu apa-apa itu. ‘Tumpoe’ yang terakhir itu pun diberikannya. Dengan senyum tak berdosa anak perempuan kecil itu menikmati makanan yang sudah sangat lama tak pernah dilihatnya lagi. Hati kekanakannya merasa puas dan bahagia. Kemudian ia pun pergi tidur kembali dengan mimpi yang indah. Tak lama kemudian sang ayah kembali dari menjala ikan. Setelah beristirahat sejenak, ia pun ke dapur. Tadi di jalan ia sudah membayangkan makan makanan kesenangannya. Apalagi makanan itu dibuat oleh Mak Isah, istrinya. Lelah badannya hilang seketika. Bagaimana kehidupan hari esok, itu urusan nanti. Yang penting malam ini ia akan menikmati makanan kegemarannya. Sesampainya di dapur dilihatnya istrinya duduk terpaku. Dengan suara pedih istrinya menjelaskan bahwa ‘tompoe’ sudah dihabiskan oleh anak-anak mereka. Ia menceritakan kejadian tadi dari awal hingga akhir. Tak terasa air matanya jatuh berlinang. Mendengar itu Apa Syamaun mencoba menahan marah. Ia hanya mengatakan, “Besok pagi anak-anak itu semua kita buang ke hutan.” Mak Isah tak berkata apa-apa lagi. Mereka berdua pergi tidur. Esoknya pagi-pagi sekali Mak Isah sudah bangun. Ia langsung ke sumur menggali beberapa batang keladi yang tersisa, memungut buahnya dan merebusnya sebagai bekal anak-anaknya nanti di tengah hutan. Ketika semua anak-anak sudah bangun, Apa Syamaun berkata, “Hari ini kita semua berangkat ke hutan. Kita akan mencari rebung bambu. Rebung bambu hanya ada di hutan rimba.” Maka berangkatlah sekalian anak beranak itu menuju hutan, mereka mengarungi bukit dan lembah hingga menjelang zuhur tibalah di sebuah hutan yang belum pernah dijamah manusia. Sambil beristirahat anak-anak itu makan keladi rebus. Kemudian ayahnya berkata, “Kalian semua kami tinggal di sini nanti kami kembali. Jika kami belun datang juga, panggillah kami. Jika kami menjawab berarti kami berada tidak jauh dari kalian.” Anak-anak semua mengangguk mengiyakan. Apa Syamaun dan Mak Isah pun meninggalkan anak- anaknya di tengah hutan. Sambil berjalan pulang, mereka buang kotoran dan berpesan pada kotoran itu jika anak-anaknya memanggil supaya kotoran itu menjawab. Demikianlah beberapa tumpuk kotoran mereka tinggalkan di sekitar hutan, kemudian mereka beranjak pulang. Menjelang sore si bungsuh mulai gelisah karena ayah dan ibunya belum juga kembali. Ia mulai memanggil-manggil. Panggilannya mendapat sahutan. Beramai-ramai mereka pergi ke tempat suara sahutan itu berasal. Di sana yang mereka jumpai hanya setumpuk kotoran. Begitulah berulang-ulang setiap dipanggil selalu ada sahutan dan ketika tiba di tempat sahutan itu berasal yang tampak hanya setumpuk kotoran. Jalan menuju ke rumah mereka sulit ditebak di dalam hutan itu. Alhasil mereka tersesat di dalam hutan. Karena hari sudah malam, si sulung berpesan pada adik-adiknya supaya mereka tenang dan tak perlu lagi mencari kedua orang tua mereka. Ia teringat tentang pesan ibunya tadi malam supaya tidak membangunkan adik-adiknya sesudah ia diberi sebuah ‘tumpoe’. Ia yakin orang tuanya sengaja membuang mereka di tengah hutan. “Malam ini kita menginap di sini, dan sekarang mari cepat-cepat kita buat pondok tempat bermalam.” Dalam waktu yang tidak lama pondok pun selesai didirikan, karena lelah mereka semua tertidur kecuali si sulung. Si sulung merasa bertanggung jawab terhadap adik- adiknya. Ia harus mencari jalan bagaimana caranya dapat bertahan hidup di tengah hutan. Tiba-tiba dari kejauhan tampak olehnya seperti cahaya lampu yang berkelap-kelip. Mungkin di sana ada rumah. Baiklah aku akan ke sana selagi adik-adikku masih tidur. Siapa tahu di rumah itu nanti ada makanan. Berangkatlah si sulung di malam buta itu menuju ke tempat asal cahaya lampu. Kira-kira tiga jam perjalanan tiba ia di sana. Dilihatnya sebuah rumah yang cukup besar terbuat dari balok- balok kayu. Ketika dijenguknya ke dalam tampak olehnya kedua makhluk tinggi besar. Suaranya dengkurnya seperti badai. Rumah itu adalah rumah raksasa. Si sulung bersembunyi menunggu pagi. Pagi hari raksasa perempuan ke dapur menanak nasi dua periuk besar. Satu periuk untuk dimakan pagi itu, sedangkan satu periuk lagi disimpan untuk makan malam sepulang mereka mencari rezeki. Sesudah makan, kedua raksasa itu berangkat ke hutan rimba. Si sulung masuk ke rumah raksasa. Di sana dilihatnya emas berpeti-peti. Namun pagi itu ia hanya membawa seperiuk nasi untuk dimakan bersama adik-adiknya.menjelang malam tiba, raksasa pulang dari rimba. Sesampai di rumah, raksasa perempuan langsung ke dapur mempersiapkan makan malam. Alangkah terkejutnya ia ketika dilihatnya periuk nasi sudah kosong melompong. Lalu diberitahukannya kepada raksasa laki-laki. Raksasa lak-laki sangat marah. “Kalau pencuri itu dapat, akan kumakan ia hidup-hidup, kukunyah-kunyah tulangnya sampai tak bersisa.” Malam itu raksasa perempuan terpaksa memasak lagi. Besoknya seperti biasa raksasa perempuan memasak dua periuk nasi. Satu periuk untuk pagi dan saqtu periuk lagi disimpan untuk malam hari. Kemudian mereka berangkat lagi ke hutan. Sepeninggal raksasa, si sulung kembali mengosongkan periuk nasi dan membawanya pulang untuk adik-adiknya. Hari itu si sulung lebih cepat pergi ke rumah raksasa. Sebelum malam tiba ia sudah bersembunyi di belakang rumah. Raksasa pulang pun menjumpai periuk nasi sudah kosong seperti kemarin. Raksasa laki-laki memaki-maki tak berujung pangkal. “Pencuri keparat, kalau dapat awas kau ya?” sambil menunggu raksasa perempuan selesai memasak nasi, ia dapat sebuah akal, lalu dikatakannya pada raksasa perempuan, “Besok masaklah nasi tiga periuk: satu periuk untuk makan pagi, satu periuk untuk makan malam, satu periuk lagi diisi racun. Yang berisi racun letakkan di tempat biasa, yang tidak beracun letakkan di atas para-para, biar mampus kau pencuri.” Kemudian kedua raksasa itu tersenyum puas. Di tempat persembunyiannya si sulung mendengar semua kata-kata raksasa. Seperti biasa setelah makan pagi kedua craksasa itu pun berangkat. Si sulung masuk dan menukar periuk nasi. Yang di atas para-para diambilnya sedangkan yang di bawah diletakkannya di atas para-para. Ketika raksasa pulang, keduanya tersenyum puas mengetahui siasatnya telah berhasil. Nasi yang di tempat biasa sudah kosong dibawa si pencuri. Periuk nasi di atas para-para diturunkan dan mereka makan dengan lahapnya. Tak lama kemudian racunpun mulai bereaksi. Kedua raksasa meronta-ronta dan melompat-lompat, menerjang kian ke mari. Dari sekujur tubuhnya keluar darah segar. Tak lama kemudian kedua raksasa itu diam tak bergerak, mereka mati oleh raciun yang ditaburkannya sendiri. Di pondoknya si sulung bercerita bahwa mulai besok mereka harus meninggalkan pondok itu. Mereka akan menuju ke sebuah tempat yang lebih aman dan lebih layak, tetapi masih tetap di tengah hutan. Belum reda ayam berkokok, dua puluh bersaudara meninggalkan pondok di tengah hutan menuju rumah raksasa. Sesampainya di sana mereka sangat terkejut melihat dua mayat manusia besar-besar terkapar di sudut rumah. Si sulung pun bercerita tentang yang dikerjakannya selama ini. Nasi yang dibawanya pulang dalam dua hari itu berasal dari rumah raksasa. Bersama-sama mereka menggali lubang di pinggir hutan dan menguburkan kedua mayat raksasa itu. Selanjutnya rumah peninggalan raksasa mereka tempati. Emas milik raksasa yang berpeti-peti sebagian merekla jual sebagian modal bertani. Dalam sekejap, dua puluh bersaudara anak Cik Beranak ini menjadi kaya. Mereka menebang hutan dan menjadikannya sebagai sawah dan kebun. Setiap ada orang miskin selalu mereka bantu, sehingga mereka terkenal sebagai orang kaya yang murah hati dan dermawan. Singkat cerita, pada suatu hari seorang pangeran dari sebuah negeri tersesat di dalam hutan. Sang pangeran tersesat karena mengejar kijang siluman. Karena tidak tahu lagi jalan pulang, pangeran beserta pembantunya menginap di rumah dua puluh bersaudara ini. Di rumah itu mereka dijamu oleh gadis bungsu dan abang-abangnya. Rupanya pangeran jatuh hati pada si bungsu yang telah menjadi seorang gadis yang cantik rupawan. Sekembalinya sang pangeran ke istana ayahandanya, dia pun mohon izin pada baginda untuk melamar putri bungsu di tengah hutan. Sang baginda tidak keberatan. Maka berangkatlah rombongan utusan raja ke tengah hutan untuk meminang si bungsu. Si bungsu boleh dikata tidak keberatan dipersunting oleh pangeran. Pada hari yang telah ditentukan, rombongan utusan raja kembali ke tengah hutan menjemput si bungsu untuk di bawa ke istana raja guna melangsungkan pesta perkawinan secara besar- besaran. Di jalan yang akan dilalui rombongan utusan raja yang membawa si bungsu sudah dipadati oleh penduduk negeri yang ingin melihat wajah calon istri pangeran. Di pinggir jalan itu dalam kerumunan orang banyak tampak pula dua orang pengemis, suami istri, dengan pakaian compang-camping. Tatkala sibungsu tiba di jalan itu, di dalam tandunya ia melihat dua orang tua yang tampak menderita. Si bungsu menatap lama ke arah kedua pengemis itu. Kemudian ia meminta pengawalnya untuk berhenti dan dengan serta-merta si bungsu turun dari tandunya. Ia langsung menghampiri kedua pengemis itu dan memeluk keduanya. O’h ibu.... ayah...., saya anakmu, anakmu yang bungsu. Abang-abang semua ada di sini, tapi mereka masih di belakang. Kedua pengemis itu pun terpaku,. Akhirnya mereka mengenal bahwa calon istri pangeran adalah anak mereka sendiri. Betapa sedih kedua orang tua itu mengenang peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu ketika mereka membuang semua anaknya di tengah hutan. Akhirnya kedua puluh bersaudara itu bertemu kembali dengan orang tuanya. Sejak itu pula kedua orang tua itu tinggal bersama denga anak bungsunya, sedangkan anak laki-laki kembali ke tengah hutan. Di sana mereka melanjutkan bersawah dan berkebun. Lama-kelamaan tempat itu menjadi sebuah perkampungan. KONSEP PENDIDIKAN ORANG ACEH

Oleh Dr. Mohd. Harun, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Orang Aceh termasuk salah satu etnis yang peradabannya pernah berjaya di dunia internasional. Mereka memiliki konsep pendidikan yang baik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam tulisan singkat ini diketengahkan sekilas pandangan orang Aceh mengenai (1) hakikat pendidikan, (2) kedudukan pendidik, dan (3) kedudukan anak didik.

1. Hakikat Pendidikan Dalam pandangan etnis Aceh semua ilmu pengetahuan harus dicari atau harus melalui proses pembelajaran. Konsep ini begitu mengakar sebagaimana tersurat dalam sebuah ungkapan berikut.

Baranggapeue buet tameugurèe Bèk tatirèe han sampôreuna (Apa pun pekerjaan harus berguru Jangan ditiru tidak akan sempurna)

Artinya, pendidikan sebagai suatu substansi abstrak tidak diperoleh begitu saja, tetapi ‘wajib’ melalui proses. Proses itu, antara lain, dengan cara berguru atau belajar pada orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, apa pun pekerjaan atau aktivitas manusia harus disertai dengan ilmu, yang notabenenya diperoleh melalui pendidikan. Perbuatan yang tidak disertai ilmu merupakan pekerjaan yang tidak baik dan tidak sempurna. Di sisi lain, proses peniruan (ikut-ikutan) sangat dilarang karena mendatangkan kemudharatan atau cacat cela. Pentingnya proses pendidikan dalam pemerolehan (acquisition) dan pembela-jaran (learning) ilmu pengetahuan juga disampaikan dalam ungkapan lain, yakni

Meunabsu keu carong tajak bak guru Meunabsu keu malém tajak bak teungku (Ingin pintar belajarlah pada guru Ingin alim belajarlah pada teungku)

Mengacu kepada hadih maja di atas terdapat dua macam pendidikan yang harus dijalani seorang manusia beradab, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama. Ciri pendidikan umum ditandai oleh kata ‘pintar’ dan ‘guru’, sedangkan ciri pendidikan agama ditandai oleh kata ‘alim’ dan ‘teungku’. Kata ‘pintar’ (carong) dalam terminologi edukasional orang Aceh lebih mengacu kepada penguasaan ilmu pengetahuan duniawi oleh seseorang yang lazimnya lebih mengandalkan dimensi rasionalitas. Sementara itu, kata alim (malém) lebih mengarah kepada penguasaan ilmu pengetahuan ukhrawi oleh seseorang yang secara umum merupakan perpaduan antara dimensi rasionalitas dan spiritualitas (akal dan rasa). Rasionalitas semata memang lebih mencerminkan sudut pandang sekuler, sedangkan paduan rasio dan rasa merupakan wujud yang lebih sempurna. Namun, yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa baik ilmu pengetahuan duniawi maupun ilmu pengetahuan ukhrawi haruslah dipelajari manusia agar terjadi harmoni atau keseimbangan. Dalam pandangan edukasional orang Aceh, seorang manusia yang sempurna adalah manusia yang memiliki ilmu pengetahuan terpadu, tidak satu bidang saja dan tidak sepenggal- sepenggal, sehingga bila ia mengerjakan sesuatu akan sesuai dengan panduan ilmu pengetahuan. Dari beberapa ungkapan yang ditampilkan di atas jelaslah bahwa pendidikan dipandang sebagai alat yang paling urgen dalam berbagai sisi kehidupan manusia.

2. Kedudukan Pendidik Dalam konteks dunia pendidikan, orang Aceh mengenal dua istilah yang artinya berbeda mengenai pendidik, meskipun berasal dari kata yang sama, yakni ‘guru’ dan ‘gurèe’, selain ‘teungku’ atau ‘ustaz’. Istilah ‘guru’ (dari bahasa Sanskerta) mengarah kepada pendidik di sekolah umum, sedangkan istilah ‘gurèe’ (dari kata ‘guru’ yang sudah mengalami proses adaptasi) mengacu kepada pendidik dalam bidang agama atau sama dengan guru ngaji di balai pengajian dan pesantren (dayah). Istilah ‘gurèe’ dapat disamakan dengan istilah ‘teungku’ atau ‘ustaz’ (kiyai di Jawa, buya di Minangkabau, Tuan Guru di Lombok Nusa Tenggara Barat, dan guru mpa ngaji atau guru tua dalam orang Kaili di Sulawesi Tengah). Dengan demikian, ada perbedaan maksud yang jelas antara kata ‘guru’ dan ‘gurèe’. Namun, kata ‘meugurèe’ (berguru) berarti netral, yakni menuntut ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum. Dalam konsep edukasional orang Aceh, ada tiga orang atau pihak yang harus diutamakan dan dimuliakan secara tulus, yaitu ayah, ibu, dan gurèe/guru. Perilaku mulia terhadap ketiga orang itu harus ditunjukkan sepanjang hayat. Ini merupakan konsep harmonisasi pendidikan paling hakiki yang harus dijalani seorang anak dalam proses pendewasaan dirinya. Sebuah hadih maja yang diungkapkan dalam dimensi ini adalah sebagai berikut.

Ayah deungon bunda keulhèe ngon gurèe Ureueng nyan ban lhèe tapumulia Pat-pat na salah meu’ah talakèe Akhirat teuntèe h’an keunong bala (Ayah dengan ibu serta dengan gurèe Mereka bertiga haruslah dimuliakan Apa pun kesalahan mohonlah kemaafan Di akhirat tentu tidak mendapat bahaya)

Mengapa gurèe (dan juga guru) harus ditempatkan setara dengan ayah dan ibu? Salah satu alasan utama mengapa orang Aceh menyetarakan kedudukan gurèe dengan ayah dan ibu adalah karena gurèe merupakan orang yang paling berjasa dalam mengantarkan seorang anak manusia mengenal Tuhan dan seluruh ciptaan-Nya sebagaimana tercermin dalam ungkapan berikut.

Gaséh ma ‘oh rambat Gaséh ku ‘oh jeurat Gaséh gurèe trôh u akhirat (Kasih ibu sampai ke beranda Kasih ayah sampai ke kuburan Kasih gurèe sampai ke akhirat)

Diksi gaséh ‘kasih’ menunjukkan adanya pertalian batin antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, dan anak (didik) dengan gurèe (guru). Jika seorang anak meninggal dunia, kasih ibunya hanya sampai sebatas beranda rumah, karena adat menganjurkan wanita agar tidak mengantar jenazah sampai ke kuburan; sedangkan kasih ayah hanyalah sebatas sampai di kuburan. Akan tetapi, kasih gurèe sampai ke akhirat. Tampak di sini kedudukan gurèe lebih tinggi daripada kedudukan ayah dan ibu. Ini hanyalah analogi simbolis yang pada hakikatnya ingin mengabarkan kepada manusia berakal bahwa gurèe/guru merupakan unsur yang paling utama dalam proses pendidikan. Karena itu, gurèe/guru haruslah dihormati secara tulus, dijadikan figur yang senantiasa harus didengar, diikuti, dan atau diimami.. Jika digambarkan dalam bagan, gurèe/guru menempati posisi ‘sentral’ sebagai berikut.

Bagan 1 Posisi gurèe/guru dalam masyarakat Aceh

3. Kedudukan Anak Didik Seorang anak didik atau murid dalam pandangan edukasional orang Aceh adalah manusia yang sedang mencari kebenaran. Sebagai pencari kebenaran, murid harus bijaksana dan selalu patuh kepada guru (pendidik). Seorang murid tidak boleh sekali- kali melawan guru, sebagaimana tampak dalam ungkapan berikut. Hana patôt murib jilawan gurèe Adak kon seudèe pungo gila (Tidak patut murid melawan guru Kalau tidak setengah gila tentu gila)

Tindakan melawan gurèe/guru, seperti membantah perintahnya atau mendebat penda-patnya yang sesuai dengan nash (aturan agama), dianggap sebagai tindakan yang tidak patut. Tindakan melawan ini disetarakan dengan durhaka kepada gurèe/ guru, sehingga murid durhaka itu akan mengalami nasib malang di dunia, yakni ‘seudèe’ (sableng) atau bahkan gila (pungo). Ini salah satu akibat yang menimpa murid durhaka itu selama di dunia. Selain itu, ia juga akan menerima akibatnya selama di akhirat, seperti dilukiskan berikut ini.

Bak sibôn-bôn bungong ka layèe Lingka peureudèe bungong ka mala Han tom murib jilawan gurèe Pagé meuteuentèe apui nuraka (Pohon sibôn-bôn layu bunganya Sekeliling perdu bunganya berguguran Tak pernah murid melawan guru Akhirat pasti dalam neraka)

Maksudnya, ‘dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah ada murid yang melawan guru, karena tindakan tersebut dapat mengakibatkan celaka dan siksaan api neraka’. Secara substansial hadih maja di atas bermakna bahwa sangat tidak pantas seorang murid melawan gurunya, karena hal itu tabu (pantang). Karena itu, jika ada seorang murid yang hidup sengsara akibat melawan gurèe/gurunya, orang Aceh menyebutnya sebagai teumeureuka bak gurèe atau ‘mendapat murka gurèe’. Kesadaran murid mengenai posisi dirinya, sangat berperan dalam membentuk watak dan perilaku dalam mendewasakan dirinya sebagai manusia yang bermoral dan berwawasan ilmu pengetahuan. Seorang murid harus menempatkan diri pada posisi aktif terkendali, yakni aktif belajar bersama gurèe/guru, tetapi memiliki batas-batas kewajaran sebagai seorang pencari kebenaran. Sebagai contoh, jika seorang gurèe sebuah pesantren di Aceh memerintahkan salah seorang muridnya untuk membajak sawah miliknya, sang murid tidak diperkenankan menolak perintah tersebut. Hal ini karena posisi gurèe adalah sebagai pengendali yang lebih mengerti apa yang dikendalikannya, sedangkan murid berada pada posisi orang yang mengabdikan diri kepada kemaslahatan gurèenya. Murid tidak boleh membantah sang gurèe/guru, karena gurèe/guru dalam banyak hal melebihi ayah dan ibu. Bagi sang gurèe/guru, permintaannya kepada murid tertentu untuk membajak sawahnya merupakan salah satu pendidikan yang terkadang tidak dimengerti oleh muridnya, karena pendidikan itu sendiri tidak serta merta dipahami sebagai belajar kitab atau buku teks semata. Kegiatan membajak, misalnya, termasuk salah satu praktik nyata yang berguna untuk melangsungkan eksistensi manusia. Di sinilah pentingnya penyadaran murid untuk dapat menempatkan diri pada posisi seorang ‘pencari’ kebenaran; seorang pengabdi. Dengan demikian jelaslah bahwa murid harus senantiasa siap belajar sambil mengabdi, belajar sambil mencari, dan belajar sambil merajut masa depan bila telah selesai proses pendidikan secara kasat mata. Antara murid dengan gurèe/guru terdapat satu ikatan batin, yakni murid memerlukan gurèe/guru dan gurèe/guru mendidik muridnya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. KEBERADAAN BAHASA ACEH HARI INI

Oleh Dr. Mohd. Harun, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Pengantar Andreas Kemke, seorang ahli filologi terkemuka asal Swedia dengan nada patriotik primordialistik menyatakan bahwa Tuhan di surga berbicara dengan bahasa Swedia, Adam berbicara dengan bahasa Denmark, sedangkan ular yang merupakan jelmaan setan berbicara dengan bahasa Perancis (Red West dalam Komaruddin Hidayat. 1996. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina).

Pernyataan primordialistik Kemke di atas bukanlah yang pertama dan satu-satunya di dunia. Orang Arab-Muslim dan umat Islam secara umum, tanpa menyindir bahasa etnis lain, haqqul yakin bahwa di akhirat kelak Tuhan akan mengadili manusia dengan bahasa Arab. Bahkan, sejak dalam kubur para malaikat menanyai manusia dengan bahasa Arab. Alasan lain, bukankah bahasa Arab adalah bahasa Alquran yang digunakan oleh umat Islam dalam berkomunikasi langsung dengan Allah? Kebanggaan yang hampir sama ditunjukkan oleh orang India. Mereka beranggapan bahwa bahasa pertama yang diajarkan Tuhan adalah bahasa Hindik. Klaim serupa dilakukan bangsa Cina. Sementara itu, orang Mesir yang menggunakan bahasa Phrygian sejak zaman Psammatichus (600 SM) menyatakan bahwa bahasa merekalah yang paling tua di dunia. Di sisi lain, walaupun oleh Kemke disindir sebagai bahasa ’setan’, orang Perancis sampai kini dengan penuh kebanggaan menempatkan bahasa mereka sebagai bahasa yang paling santun dan terindah di dunia. Benar tidaknya beberapa klaim di atas rasanya tidak perlu dipersoalkan lebih jauh. Sebab, dalam pandangan sosiolinguistik, pada hakikatnya semua bahasa di dunia ini baik, walaupun ada bahasa yang kaya dan ada bahasa yang miskin. Hal yang kiranya menarik adalah bahwa secara implisit pernyataan di atas mengandung rasa cinta, rasa bangga, dan rasa memiliki pemilik bahasa terhadap bahasa mereka masing-masing. Rasa cinta dan rasa bangga yang bersumber dari hati serta rasa memiliki yang bersumber dari hati dan akal pikiran mempunyai signifikansi yang tinggi dalam upaya mempertahankan eksistensi sebuah bahasa dan penyebarluasan pengaruhnya dalam kebudayaan lokal, nasional, dan global. Oleh karena itulah, dalam perspektif politik bahasa, primordialistik itu dihalalkan dan penting. Dengan kata lain, primordialistik bukanlah kata yang tabu bagi sebuah etnis dalam konteks apa pun. Etnis apa pun dibenarkan untuk bangga dengan bahasa, ideologi, dan teknologi mereka, sepanjang tidak meremehkan dan atau menafikan keberadaan etnis lain.

Problematika Bahasa Aceh Bahasa Aceh adalah salah satu bahasa yang eksis dan terus berkembang di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sampai saat ini belum ada kesepakatan secara ilmiah dari mana asal-usul bahasa tersebut. Yang jelas, bahasa Aceh telah eksis sejak berabad-abad yang lalu. Bahasa ini memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan bahasa Melayu, meskipun ia dimasukkan ke dalam rumpun Austronesia. Di Nusantara, bahasa ini dikenal sebagai salah satu bahasa yang paling banyak menggunakan vokal rangkap dan bunyi sengau, sehingga terkesan sulit dipelajari orang non-Aceh. Bahasa Aceh dituturkan oleh sekitar 70 persen penduduk NAD atau hampir oleh tiga juta jiwa. Sebagai bahasa mayoritas, bahasa Aceh memegang peranan penting di Aceh, terutama untuk komunikasi sosial. Karena itu, ia dipelajari bukan hanya oleh orang Aceh, tetapi juga oleh orang lain yang berkepentingan dengan orang Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat diperhatikan dari banyaknya mahasiswa non-etnis Aceh di Banda Aceh yang ingin sekali berbahasa Aceh. Di samping itu, banyak juga para pendatang pascatsunami yang ingin belajar bahasa Aceh untuk berbagai kepentingan. Ini tentu termasuk suatu prestise yang perlu dicatat dalam sejarah. Walaupun bahasa Aceh menjadi bahasa utama di Aceh, hingga kini belum juga disepakati sebuah ejaan resmi untuk menuliskannya. Ada kesan, seakan tidak ada lembaga resmi dan sosial yang mau peduli dengan keberadaan bahasa ini, terutama dari dimensi standirisasi penulisannya. Akibatnya, kita menemukan banyak sekali variasi penulisan bahasa Aceh, antara lain terlihat pada lirik lagu Aceh di kaset-kaset, baliho, selebaran, majalah, dan buku-buku. Sebagai contoh, banyak orang menulis balèe untuk maksud balè atau yang berarti balai. Padahal, kata balèe itu bermakna janda (inong balèe). Di sisi lain, Kota Saree sering ditulis orang dengan frase Kota Sare. Dalam bahasa Aceh, saree bermakna sepoi-sepoi basah, sedangkan sare bermakna rata. Kesalahan serupa terjadi pada penulisan nama kampung, seperti pada kata Lam Ateuk (Ateuek) ditulis Lamatek. Contoh nyata ini dapat kita lihat persis pada papan penunjuk arah di pangkal jembatan depan SMK 1 Banda Aceh atau di sudut kanan kantor Gubernur Aceh bila kita berangkat dari arah kota ke Darussalam. Contoh lain adalah Aceh Rayek seringkali ditulis Aceh Rayeuk. Di pusat perbelanjaan pun terjadi kesalahan penulisan bahasa Aceh, seperti pada selebaran yang ditempel di Pante Pirak Pasaraya yang berbunyi: bloe saboeh pree saboh. Namun, di sana juga ada tulisan dengan maksud serupa yang ditulis tangan di karton, yakni: bloe saboh pre saboh. Inilah sebenarnya penulisan yang betul menurut kaidah bahasa Aceh yang selama ini sering diajarkan di dalam dunia akademis, khususnya di kampus. Pada satu sisi, masalah kesalahan penulisan ini memunculkan lafal atau makhraj yang berbeda ketika dibaca, terutama oleh orang non-Aceh. Pada sisi lain, terjadi kesalahan beragam, karena masing-masing orang menuliskan bahasa Aceh sesuai dengan selera, kemampuan, dan latar belakang pendidikannya. Selain itu, terjadi kecenderungan pada sebagian generasi muda dan orang berpendidikan Aceh untuk menggunakan bahasa lain dalam komunikasi sesama etnis Aceh, terutama bahasa Indonesia. Dalam konteks ini ada permasalahan ketidakcintaan terhadap bahasa ibu, karena komunikasi terjadi di luar konteks pembelajaran resmi dan sesama etnis Aceh yang berbahasa ibu yang sama. Mengacu kepada sejumlah permasalahan di atas, kita berharap para pakar bahasa Aceh dapat bersinergi dengan Pemerintah Aceh untuk melahirkan sebuah ejaan resmi bahasa Aceh. Sementara itu, untuk menumbuhkembangkan kecintaan berbahasa Aceh, terutama sesama etnis Aceh, dapat digalakkan melalui media massa elektronika, media massa cetak, dan lomba, berpidato. Namun, kuranglah bijak jika bahasa Aceh terlalu sering digunakan di media pemerintah (nasional) yang tentu saja diharapkan menggunakan bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu ada media tersendiri yang dikelola pemerintah Aceh. Sebagai bahasa mayoritas di Aceh, bahasa ini digunakan hampir di seluruh Aceh, bahkan dipelihara secara baik oleh masyarakat Aceh di luar negeri, seperti di Malaysia, Singapura, dan di beberapa negara Eropa. Karena itu, kurang beralasan jika ada orang tertentu yang mengatakan bahwa bahasa ini akan segera mati atau hilang dari muka bumi. Bahasa Aceh akan hilang jika semua orang Aceh telah punah atau tidak satu orang Aceh pun yang mau berbicara dengan bahasanya. Alasan punahnya bahasa Aceh karena keengganan orang Aceh berbicara dalam bahasanya itu tentu saja membutuhkan waktu yang sangat lama, seiring dengan naik turunnya semangat primordialisme etnis Aceh terhadap bahasa mereka.

Perkembangan Terkini Bahasa Aceh Secara jujur saya harus mengakui bahwa bahasa Aceh tumbuh secara dinamis dan telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dengan perkembangan zaman. Sebagai bahasa yang dinamis dan terus membuka diri, bahasa ini telah menerima begitu banyak kosa kata bahasa lain, baik dari bahasa serumpun maupun bahasa yang tidak serumpun. Dari bahasa serumpun, antara lain dari bahasa Melayu, sedangkan dari bahasa tidak serumpun, antara lain dari bahasa Arab, Inggris, Cina, Sanskerta, Parsi, dan Portugis. Berikut ini ditampilkan daftar kosa kata bahasa Aceh yang diserap dari bahasa Melayu, Arab, Inggris, Sanskerta, Cina, Portugis, dan Parsi.

Tabel 1 Kosa Kata Bahasa Aceh yang Diserap dari Berbagai Bahasa Melayu Arab Inggris Sanskert Cina Portug Parsi a is Amilan abi bôm Indrapuri camc Mari banda ateueh adab atôm indrapatr a syahban arông adat bôt a cawa da atô adé gôn indrajaya n bagoe adeueb pawôn budiman lotèn bantal aleuhat katôn dèwa g baris asa pipa dèwi tôcô beurani badai glah agama tôge beungk badan gaih seumaya ak baka swiping ng biduen bateue batré anugrah cré kawôm komput gurèe côm leuhô er syeuruga cungké mugréb almani nuraka dapu hadiah um dèsya dayông illa leumbô darôhaka gleuen aseuli i g imeum moto hambô mukim meusé itông sikin n janggai siluweu kaset kurôh e albôm langsô wajéb fôtô ng sunat popèn lumpat karpèt rumoh tisu sikula

Mengacu kepada sejumlah contoh yang ditampilkan dalam tabel di atas tampak bahwa bahasa Aceh termasuk salah satu bahasa yang sangat terbuka menerima pengaruh dari bahasa lain. Bahasa Arab, misalnya, telah mempengaruhi bahasa Aceh sejak berabad-abad silam. Ribuan kosa kata bahasa Arab telah diterima sebagai kosa kata bahasa Aceh. Akibat sempurnanya pengaruh bahasa Arab, banyak orang Aceh yang tidak tahu lagi bahwa kata- kata seperti peureulee, watee, jameun, hukom, hameh, sikin, dan siluweue itu berasal dari bahasa Arab. Demikian juga halnya dengan kosa kata bahasa Inggris berikut (tercetak miring): ija katon (dari catton), abeh gaih (dari gas), kaset (dari cassette) brok, dan toe gon (dari goal). Pengaruh bahasa lain terhadap bahasa Aceh masih berlangsung hingga kini. Bahkan, bahasa gaul dari bahasa daerah lain, seperti cewek dari bahasa Jawa telah menjadi kosakata bahasa Aceh. Dari kata itu, muncul kata meucewek ”berpacaran’. Kata cewek dalam bahasa Aceh digunakan bukan hanya untuk menyebutkan jenis kelamin perempuan, tetapi juga untuk pengertian percintaan. Pergeseran arti seperti ini juga berlaku, misalnya, untuk kata dari bahasa Arab, yakni jameun, dari kata zaman yang berarti masa. Kata jemeun kemudian berarti pada masa dahulu kala atau waktu lampau. Dari sejumlah contoh dan deskripsi di atas, saya optimis bahwa bahasa Aceh akan terus eksis sebagai sebuah bahasa yang kompetitif dengan bahasa lain di berbagai belahan dunia. Konon lagi, setelah adanya kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, rasa cinta terhadap bahasa Aceh oleh etnis Aceh menjadi segar kembali. Hal ini menjadi titik awal untuk menggairahkan kembali rasa bangga terhadap bahasa ibu, sehingga suatu saat akan ada pemimpin Aceh yang benar-benar mau berpikir sejenak untuk mengadakan sebuah lembaga pendidikan resmi/formal guna melahirkan guru-guru bahasa Aceh yang kompeten.

Kasus Kebanggaan Berbahasa Aceh Hal pertama yang perlu dicatat dalam konteks ini adalah bahwa ada indikasi sejumlah orang mulai menggerakkan kembali pemakaian bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Ini perlu diberikan apresiasi yang positif. Indikasi ini tidak hanya terlihat dalam komunikasi lisan, tetapi juga terjadi dalam komunikasi tulis. Banyak contoh dapat diberikan. Misalnya, saya sering menemukan para penjual di toko-toko dan kaki lima, terutama kaum pria, mengucapkan ungkapan teurimong geunaseh dengan lafal yang kental. Meskipun ungkapan dari bahasa Melayu itu diterjemahkan secara salah kaprah, saya merasakan itu sebagai awal kesadaran berbahasa Aceh di kalangan penjual khususnya. Dalam bahasa Aceh sendiri untuk ungkapan yang sama dengan terima kasih itu dahulu dipakai kata sabah. Sebagai catatan, kata kasih dalam bahasa Aceh menjadi gaseh, sedangkan kata geunaseh berarti kekasih atau orang yang dikasihi atau orang yang dicintai. Perhatikan contoh: Lailahaillallah, Nabi Muhammad Geunaseh Allah (Tiada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad Kekasih Allah). Kata geunaseh itu dibentuk dari kata gaseh ditambah sisipan eun setelah huruf /g/. Semua kata yang mendapat sisipan eun dalam bahasa Aceh menjadi kata benda (nomina). Beberapa contoh kata yang mendapat sisipan eun adalah sipat menjadi seunipat, salen menjadi seunalen, payah menjadi peunayah, piyoh menjadi peuniyoh. Dalam bentuk tulis, selain dalam kemasan karya sastra hikayat (prosa liris), bahasa Aceh banyak sekali ditemukan pada spanduk-spanduk di jalan-jalan dan toko-toko, juga lembaga pemerintah, seperti PLN. Bahkan, pada saat menjelang Idul Fitri, ramai orang mengirimkan pesan singkat (SMS). Salah satu contoh, kebetulan dalam bentuk puisi yang dikirimkan kepada saya, adalah sebagai berikut.

Uteuen ngon rimba meulapeh-lapeh Teumpat rimueng eh peugot istana Buleuen puasa jinoe rab abeh Beujeuet tapeugleh desya ubena

Ramadhan abeh Syawal pih teuka Sambot syedara ate beuputeh Uroe bahgia jiwa beureuseh Watee nyoe wareh peumeu’ah desya.

Meu’ah lon lakee seureuta keuluarga Bek le na sisa meu-ube gareh.

Sisi lain adanya kebanggaan orang berbahasa Aceh pada saat ini adalah tumbuhnya kepercayaan bahwa bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang bermartabat dan dapat menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Kita sekarang juga menemukan ada orang yang menggarap kamus bahasa Aceh-Inggris atau dalam bahasa lain selain bahasa Inggris. Sejak dulu pun sebenarnya sudah ada kamus bahasa Aceh-Belanda yang digarap Hoesen Djajadiningrat. Namun, sekarang nuansanya tentu saja berbeda. Kondisi lain mengenai kasus kebanggaan atau lebih tepatnya kesadaran berbahasa Aceh adalah adanya mata kuliah Bahasa Aceh, Sastra Aceh di FKIP Unsyiah, FKIP Serambi Mekkah, dan Getsempena. Kenyataan ini menunjukkan ada secuil kepedulian insan kampus untuk melestarikan bahasa Aceh. Namun, kepedulian ini tenggelam dengan tidak seriusnya Pemerintah Daerah melestarikan bahasa Aceh, paling tidak pada waktu yang telah lalu. Artinya, kalau Pemerintah Aceh sekarang mau peduli pada bahasa Aceh, inilah saat yang tepat. Ambil saja contoh kasus bahasa Jawa. Jika seorang murid sekolah dasar tidak lulus mata pelajaran bahasa Jawa, murid tersebut tidak boleh naik kelas. Coba!

Keengganan Berbahasa Aceh Dalam sepuluh tahun terakhir ini, tentu saja sampai saat makalah ini saya tulis, saya sering menemukan para remaja, terutama gadis-gadis yang baru tumbuh, lebih senang menggunakan bahasa Indonesia, meskipun dia berbahasa ibu bahasa Aceh. Kasus ini sering saya temukan saat berbelanja pakaian di toko-toko yang mempekerjakan para wanita pramuniaga (pelayan toko). Bahkan, pada Ahad (18/11/07) kemarin, saya masih menemukan pramuniaga yang enggan menjawab dengan bahasa Aceh, walaupun saya berbicara dengan bahasa Aceh. Karena saya tahu betul bahwa di anak Aceh tok-tok, saya tanyakan begini: “Padum jumlah bandum, Dek?” Dia menjawab: “Tunggu sebentar saya hitung ya”. Pola percakapan dengan kasus serupa ini hampir selalu saya temukan setiap berbelanja. Kesan saya terhadap model manusia seperti ini adalah bahwa mereka sedang belajar bahasa Indonesia. Dari segi niat baik mereka belajar bahasa Indonesia, tentu saja ini sangatlah positif. Akan tetapi, mereka harus juga mafhum bahwa mereka tidak boleh menyepelekan pelanggan yang meminta mereka berkomunikasi dengan bahasa Aceh. Apalagi masih sangat banyak orang lain yang berbelanja dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbahasa Indonesia. Kasus seperti ini sangat jarang saya temukan di Jawa. Di Malang, Jawa Timur misalnya, saya bertanya dalam bahasa Indonesia, tetapi sering si pelayan menjawab dengan bahasa Jawa. Apakah si pelayan itu merasa bangga dengan berbahasa Jawa atau menganggap semua orang bisa berbahasa Jawa? Wallahu alam bissawab! Contoh kasus pramuniaga tadi adalah satu sisi keengganan orang Aceh berbahasa Aceh. Saya menganggap orang-orang yang berperilaku seperti ini sebagai anak kampung yang baru hijrah ke kota (kaum urban). Ini terjadi pada anak-anak yang kehilangan jatidiri atau tidak tahu siapa dirinya yang sesung- guhnya. Sementara contoh lain adalah adanya upaya meniadakan logat bahasa Aceh yang dikuasainya sejak kecil atau seperti kentalnya bahasa Acehnya si Kapluk, Mando Gapi, dan Haji Uma dalam komedi Eumpang Breueh. Akibatnya, kita menemukan anak- anak muda dan gadis tanggung berbicara bahasa Aceh yang tilo atau meukeulido, seperti yang diucapkan oleh Yusniar dalam Eumpang Breueh. Dan bahasa yang meukeulido itu hampir tidak ditemukan di kampung-kampung. Jika ini dilakukan oleh anak non-Aceh yang tidak berbahasa ibu bahasa Aceh kita harus memakluminya. Kita juga tahu bahwa hal itu adalah lazim bagi pembelajar bahasa kedua. Namun, jika dia anak Aceh tok-tok, ini sangat patut diwaspadai. Gejala ini termasuk dalam dekadensi berbahasa. Karena itu, perlu ada penyadaran dari orang tua, guru, pemerintah (yang masih dipercayai) bahwa mencintai bahasa ibu, dalam hal ini bahasa Aceh, adalah bagian dari kecintaan dan kebanggaan terhadap keberadaan diri sendiri.

Catatan Penutup Sebagai guru sastra Aceh di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, saya melihat ada kegundahan dalam diri sebagian mahasiswa terhadap keberadaan bahasa Aceh. Sebagian tampak acuh tak acuh dan sebagian lagi merasa tidak perlu diajarkannya bahasa dan sastra Aceh di kampus. Untunglah di Unsyiah mata kuliah ini sekarang sebagai mata kuliah wajib. Ini tentu saja sebuah fenomena. Namun, yang pasti bahwa hampir semua mahasiswa sulit menulis dalam bahasa Aceh. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Menurut saya, yang harus kita lakukan adalah menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa Aceh sebagai bahasa ibu. Jalannya dapat bermacam-macam, seperti melalui penerbitan surat kabar, majalah berbahasa Aceh, radio berbahasa Aceh, lomba menulis dalam bahasa Aceh, lomba berdebat dalam bahasa Aceh; melalui pembelajaran di sekolah dasar dan menengah, serta adanya program studi khusus bahasa dan sastra Aceh di beberapa perguruan tinggi di Aceh. Untuk kepentingan itu, tentu saja harus ada alokasi dana yang memadai. PENGGUNAAN STRATEGI PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS WACANA ARGUMENTASI MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FKIP UNSYIAH

Oleh Drs. Denni Iskandar, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

ABSTRACT

Key words: modeling strategy, argumentation text

This research is entitled “The Use of Modeling Strategy to Develop Writing Ability of Argumentation Text of Indonesian Department Students, Faculty of Education, Unsyiah”. The aim of this research is to describe objectively the used of modeling strategy to advance students’ writing ability. The method used in this research was descriptive qualitative by designing action research class. The data of this research were planning, application process, and evaluation (students’ writing) done by the researcher. Writing class of academic year 2005/2006 was taken as the data for the research which involved 39 students. The result showed that students’ writing ability were improved from circle 1 to circle 2 at the level of prewriting, writing, and revision or editing. Therefore, modeling strategy can be used as an alternative in learning writing at university.

A. Pendahuluan Keterampilan menulis wacana argumentasi merupakan kompetensi yang harus diajarkan kepada mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unsyiah. Namun, berdasarkan evaluasi terhadap mahasiswa angkatan sebelumnya, kemampuan mereka masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain karena kelemahan- kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan strategi pemodelan. Strategi ini dianggap cocok untuk pembelajaran menulis wacana argumentasi karena di dalamnya terdapat proses analisis terhadap contoh/model wacana. Syafi’ie (1990:164) mendefinisikan wacana argumentasi adalah wacana yang berusaha memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Musaba (1994:30) mengatakan bahwa wacana argumentasi adalah karangan yang memuat alasan yang meyakinkan. Ardiana (2002:11) mengatakan tulisan argumentasi lebih bersifat mengajak, mempengaruhi, atau meyakinkan pembaca terhadap suatu hal atau objek. Enre (1988:172) menyatakan bahwa wacana atau wacana pendalihan berbeda dengan bentuk wacana lainnya, karena fungsinya yang bersifat pembuktian. Pembuktian itu hendaknya disajikan secara logis dan ada fakta atau alasan. Tujuannya adalah untuk meyakinkan atau menghimbau. Akhadiah (2001:32) berpendapat bahwa wacana argumentasi adalah wacana yang mengemukakan alasan untuk mendukung atau memperkuat kebenaran pendapat kita sehingga orang lain mempercayai atau menyetujuinya. Pendapat lain mengatakan bahwa wacana argumentasi adalah karangan yang mengutarakan gagasan, pendapat, ide dengan meyertakan alasan-alasan untuk meyakinkan orang lain terhadap pendapat yang diungkapkan (Djuharie & Suherti, 2001:51). Cooper (1993:391) mengatakan bahwa pemodelan (modeling) merupakan proses penunjukkan atau mendemontrasikan kepada seseorang bagaimana menggunakan atau melakukan sesuatu. Pemodelan dapat juga diartikan sebagai proses yang ditunjukkan oleg seorang ahli kepada orang yang belum ahli (mahasiswa) tentang bagaimana melakukan suatu tugas sehingga mahasiswa tersebut mampu membangun pemahaman mereka sendiri tentang bagaimana menyelesaikan tugas tersebut. Djiwandono (2002:140) menyebutkan pemodelan adalah kegiatan belajar dimana seorang individu belajar dengan menyaksikan tingkah laku orang lain. Dengan modeling pelatih (dosen) mendemonstrasikan bagaimana melakukan sesuatu keterampilan, siswa mengobservasi tingkah laku dosen dan menirunya. Nurhadi (2002:16) mengatakan bahwa dalam pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olahraga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggris, dan sebagainya. Atau, guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Bandura (dalam Dahar, 1988:34) menyebutkan ada empat tahap atau fase belajar dari model, yaitu fase perhatian (attentional phase), fase retensi (retention phase), fase reproduksi (reproduction phase), dan fase motivasi (motivational phase). Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah penggunaan strategi pemodelan untuk meningkatkan kemampuan menulis wacana argumentasi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unsyiah?” Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan secara objektif penggunaan strategi pemodelan dalam upaya peningkatan kemampuan mahasiswa. Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi dosen dalam pengembangan dasar-dasar teori pembelajaran menulis di perguruan tinggi. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi perbaikan kualitas pembelajaran Menulis di FKIP Unsyiah.

B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan rancangan penelitian tindakan kelas. Prosedur penelitian adalah (1) studi pendahuluan, (2) penyusunan perencanaan, (3) pelaksanaan tindakan, (4) pengamatan, dan (5) refleksi (Kemmis dan Taggart dalam Sofi’udin, 1998; Suyanto, 2002:18). Data penelitian ini berupa (1) data proses tindakan pembelajaran menulis wacana argumentasi dengan strategi pemodelan pada tahap pramenulis, saat menulis, dan pasca menulis, (2) data tuturan, dan (3) data skor nilai hasil karangan mahasiswa. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik (1) tes, (2) pengamatan lapangan, (3) wawancara, dan (4) dokumentasi. Instrumen inti dalam penelitian ini adalah peneliti yang dilengkapi dengan pedoman pengamatan dan wawanca, serta perekam. Sumber data penelitian ini adalah perencanaan pembelajaran, proses penerapan, dan evaluasi (karangan mahasiswa) oleh dosen (peneliti). Data diambil pada kelas Mata Kuliah Menulis tahun pelajaran 2005/2006 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 39 orang. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik ”analisis data mengalir” yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:18). Proses analisis data dilakukan sejak awal penelitian dilakukan sampai selesai pengumpulan data. Langkah-langkahnya adalah (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan data.

C. Hasil dan Pembahasan (1) Tahap Pramenulis Pembelajaran menulis wacana argumentasi dengan strategi pemodelan pada tahap pramenulis dimulai dengan membagikan model karangan argumentasi. Dosen menyampaikan tujuan-tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan bertanya jawab dengan mahasiswa tentang wacana argumentasi. Penganalisisan model wacana argumentasi dilakukan berkelompok. Tiap kelompok beranggotakan antara 4-5 mahasiswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Aronson (dalam Lie, 2002:31) bahwa jumlah anggota kelompok sebaiknya sebanyak empat orang saja dan heterogen. Diskusi kelompok membahas model wacana dengan menitikberatkan pada analisis mengenai teuma, topik, dan karakteristik wacana argumentasi serta tujuan penulisan. Kegiatan analisis wacana model ini sesuai dengan fase pertama pemodelan, yaitu fase perhatian. Pada fase ini mahasiswa menganalisis wacana model dengan memperhatikan hal-hal yang menarik. Setelah siswa melalui fase perhatian, siswa menyimpan pemahamannya itu dalam memori. Fase ini disebut fase retensi. Bandura (dalam Gredler, 1991:393) menyebutnya sebagai suatu fase penginternalisasian dan penyimpanan akan hal-hal yang diperoleh dari model pada fase perhatian pada kesempatan kemudian. Hasil pada tahap pramenulis adalah topik karangan dan kerangka karangan . Pada siklus I seluruh mahasiswa yang diteliti sudah dapat menentukan topik karangan dan mengembangkannya menjadi kerangka karangan sebanyak 4 paragraf. Namun beberapa mahasiswa ada yang masih kesulitan menyusun kerangka karangan secara sisteumatis. Berikut hasil tes penentuan topik dan penyusunan kerangka karangan mahasiswa. Hasil Tes Kategori Nilai Jml. A B C D E Penentuan topik dan 7 16 16 0 0 39 penyusunan kerangka karangan Tabel 1 Hasil Tes Pramenulis (Siklus I)

Hasil pada tahap pembuatan draf siklus I menunjukkan bahwa semua mahasiswa sudah dapat menentukan topik dan membuat kerangka karangan. Namun, topik yang dipilih masih monoton dan belum bervariasi. Begitu juga dengan penyusunan kerangka karangan, umum berlum tersusun secara kronologis dan sisteumatis. Pada siklus II topik yang dipilih mahasiswa lebih bervariasi dan kerangka karangan yang disusun lebih sisteumatis, sehingga sebagian besar nilai mereka sudah tergolong baik atau B. Proses belajar mereka sudah tampak semakin baik dibandingkan pada siklus I. Dalam siklus II, dosen menampilkan kembali contoh atau model kerangka karangan dengan topik berbeda. Pada model kerangka karangan itu ditampilkan bagian-bagian karangan yang meliputi paragraf pendahuluan, isi, dan penutup. Berikut perkembangan nilai mahasiswa pada hasil tes penentuan topik dan penyusunan kerangka karangan argumentasi.

Tabel 2 Hasil Tes pada Tahap Pramenulis (Siklus II) Hasil Tes Kategori Nilai Jml. A B C D E Penentuan topik dan 11 24 4 0 0 39 Penyusunan kerangka karangan

(2) Tahap Penulisan Pelaksanaan pembelajaran pada tahap menulis dimulai dengan penyampaian tujuan pembelajaran ingin dicapai dan pemberian motivasi. Selanjutnya dosen memberikan model pengembangan kerangka karangan menjadi draf karangan. Model yang ditampilkan tidak berupa karangan jadi, melainkan berupa peragaan cara pengembangan kerangka karangan dengan melibatkan seluruh mahasiswa secara aktif. Pemberian model pengembangan kerangka karangan ini sesuai dengan pendapat bahwa model prosa (karangan) ketika dipadukan dalam konteks menulis dapat menjadi alat pengajaran yang handal dan efektif (Eschholz, 1980:21). Pendapat lain mengatakan bahwa guru seharusnya memberikan model, proses menulis pada tiap tahap dan mengajarkan strategi khusus tentang menulis pada siswa melalui aktivitas kelas yang bermakna (Ricahars & Renandya, 201:319). Pemberian model seperti ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar dalam olah raga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggris, dan sebagainya (Nurhadi, dkk., 2003:49). Hasil evaluasi pada tahap pembuatan draf karangan dalam siklus I menunjukkan bahwa semua siswa dapat membuat draf karangan sesuai dengan kerangka karangan dan topik yang dipilih. Tiap paragraf berisikan 3 sampai empat kalimat. Organisasi kalimatnya belum baik, ciri argumentasinya belum jelas, kurang meyakinkan pembaca, dan ada beberapa pengunaan ejaan yang tidak tepat. Berikut hasil tes pembuatan draf karangan pada siklus I. Tabel 3 Hasil Tes pada Tahap Menulis (Siklus I) Hasil Tes Kategori Nilai Jml. A B C D E Pembuatan draf 7 16 14 2 0 39 karangan

Pada siklus II mahasiswa sudah dapat membuat 3 sampai 4 paragraf dengan panjang tiap paragraf antara 4 sampat 7 kalimat. Kalimat mereka lebih teratur, organisasi karangannya (pendahuluan, isi, penutup) sudah tersusun dengan baik sesuai dengan ciri wacana argumentasi. Proses pelaksanaan penulisan draf juga berjalan lancar dan mahasiswa mengikuti secara aktif. Namun demikian masih juga terdapat beberapa kelemahan misalnya penulisan ejaan yang kurang tepat dan struktur kalimat yang belum baik. Berikut hasil tes pembuatan draf karangan pada siklus II.

Tabel 4 Hasil Tes pada Tahap Menulis (Siklus II) Hasil Tes Kategori Nilai Jml. A B C D E Pembuatan draf 11 17 11 0 0 39 karangan

Pembuatan draf dilakukan secara individu karena pada dasarnya mengarang adalah kerja atau kegiatan yang sifatnya individu. Pengembangan karangan mahasiswa yang satu berbeda dengan lainnya meskipun kerangka karangan yang dikembangkan sama. Karena itu, dapat dihasilkan karangan mahasiswa dengan gaya bahasa yang berbeda-beda. Ahmadi (1990:168) menyebutkan bahwa gaya bahasa merupakan ekspresi yang paling personal. Cox (1999:326) mengatakan bahwa proses menulis merupakan hal yang individu. Hasil pada siklus II sudah lebih baik daripada siklus I disebabkan oleh meningkatnya pemahaman mahasiswa mengenai wacana argumentasi. Peningkatan ini terjadi karena ada perubahan yang dilakukan oleh guru yaitu dengan memberikan contoh yang lebih lengkap, yaitu paragraf pendahuluan, isi, dan penutup.

(3) Tahap Revisi Dalam tahap ini mahasiwa melakukan kegiatan revisi dan penyuntingan karangan yang telah dibuat pada tahap penulisan. Proses pembelajaran dalam tahap revisi ini berjalan lancar. Revisi dan penyuntingan dilakukan secara individu dan berkelompok. Antar mahasiswa saling menukar karangan untuk dikoreksi oleh teumannya. Berikut hasil evaluasi tahap revisi pada siklus I.

Tabel 5 Hasil Tes pada Tahap Revisi (Siklus I) Hasil Tes Kategori Nilai Jml. A B C D E Revisi dan 9 11 17 3 0 39 Penyuntingan

Berdasarkan hasil penilaian pada Siklus I, dosen melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran dengan menekankan revisi pada aspek isi dan organisasi karangan. Tompkins (1994:16) menyebutkan bahwa selama proses revisi penulis memperbaiki ide-ide dalam karangan mereka. Sementara itu Cooper (2000:359) mengatakan bahwa pada tahap revisi mahasiswa mulai menilai isi atau ide karangan, pilihan kata, dan sebagainya. Penyuntingan menitikberatkan pada aspek-aspek mekanik dalam penulisan. Penggunaan tanda-tanda baca atau ejaan dan struktur kalimat menjadi hal yang harus diperhatikan, karena kesalahan hal tersebut bisa mengubah makna kalimat. Penekanan penyuntingan lebih diarahkan pada pencarian dan perbaikan masalah-masalah mekanik (Eanes, 1997:496). Smally (2001) mengatakan bahwa pada tahap akhir, bacalah tulisan untuk menemukan kekeliruan tata bahasa, ejaan, mekanik atau tanda baca. Pendapat sejenis disampaikan pula oleh Cooper (2000:360) bahwa untuk menulis karangan jadi, periksalah ejaan, mekanik, dan struktur kalimat. Berikut hasil evaluasi tahap revisi pada siklus II.

Tabel 6 Hasil Tes pada Tahap Revisi (Siklus II) Hasil Tes Kategori Nilai Jml. A B C D E Revisi dan 11 17 11 0 0 39 Penyuntingan

Hasil evaluasi tahap revisi pada Siklus II tidak ada lagi mahasiswa yang memperoleh nilai D dan terjadi peningkatan jumlah mahasiwa yang memperoleh nilai A dan B. Hal ini karena perevisian dan penyuntingan dilakukan dengan cara memberikan contoh karangan yang sudah direvisi dan disunting, pemodelan dari dosen, dan perevisian teuman sejawat. Pemodelan disampaikan oleh dosen sebelum mahasiswa melakukan revisi dan penyuntingan teumannya. Langkah ini sejalan dengan pendapat yang menayatakan bahwa revisi memerlukan model dan guru, konferensi antara mahasiswa dan dosen, antara mahasiswa dan mahasiswa, dan revisi oleh siswa secara individu (Graves, dalam Cooper, 2000:359).

(4) Tahap Publikasi Akhir dari kegiatan menulis adalah publikasi setelah karangan final selesai. Pembelajaran diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran. Dosen menawarkan cara yang dipakai dalam publikasi, lalu menerangkan apa saja yang harus diperhatikan pada saat mempublikasikan karangannya, seperti intonasi, kejelasan, dan substansi yang disampaikan. Mahasiswa diberikan kesempatan membacakan hasil karangannya di depan kelas dan mepresentasikan hal-hal penting yang berhubungan dengan penulisan wacana argumentasi. Pelaksanaan publikasi pada Siklus I dan Siklus II berjalan lancar. Pada siklus II keaktifan, tanggung jawab, antuasiasme, dan toleransi sudah lebih baik. Jika pada siklus I masih ada mahasiswa yang malu membacakan karangannya, pada siklus II sudah tidak ada lagi. Para mahasiswa juga mulai berani menanggapi presentasi mahasiswa lain.

D. Penutup Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa strategi pemodelan dalam pembelajaran menulis wacana argumentasi dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa Jurusan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Unsyiah dalam menulis wacana argumentasi. Para pengajar bahasa Indonesia hendaknya menjadikan strategi pemodelan sebagai alternatif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran menulis wacana argumentasi khususnya. Penelitian lain juga perlu dilakukan untuk melihat penggunaan strategi pemodelan pada kemampuan menulis narasi, eksposisi, dan deskripsi.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Muchsin, 1990. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.

Akhadiah, dkk. 2001. Materi Pokok Menulis I. Jakarta: Universitas Terbuka.

Ardana, LI. 2002. Menulis. Jakarta: Depdiknas.

Cooper, J. David. 2000. Literacy. New York: Houghton Mifflin Company.

Cox, Carole. 1999. Teaching Language Art: A Student-and Responces Centered Classrooom. United State: Allyn and Bacon Boston.

Dahar, Ratna Wills. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud.

Djiwandono dan Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Djuharie, dkk. 2001. Panduan Membuat Karya Tulis: Resensi, Laporan Buku, Skripsi, Tesis, Artikel, Makalah, Berita Essei. Bandung: Yrama Widya.

Eanes, Robin. 1997. Content Area, Literacy Teaching For Today and Tommorow. United State: Delmar Publisher.

Enre, Fachruddin Ambo. 1988. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Jakarta: Depdikbud.

Eschholz, P.A. 1980. The Prose Models Approach, dalam Donovan, dkk. Eight Approaches to Teaching Composition (hal 21-36). Urbana NCTE.

Greddler, M.E. Bell. Belajar dan Membelajarkan. Terjemahan oleh Munandir. 1991. Jakarta: Rajawali Pers. Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas.

Milles,dkk. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rahmadi Rahidi. Jakarta: UI Press.

Musaba, Zulkifli. 1989. Penuntun Tulis Menulis. Banjarmasin: Penerbit Aulia.

Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual. Malang: Penerbit UM.

Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Richards, J.D. & Renandya, W.A. 2001. Metodology in Language Teaching an Antology of Current Practice. Cambridge:

Rofi’uddin, Ahmad. 1998. Rancangan Penelitian Tindakan. Makalah disajikan dalam Lokakarya Tingkat Lanjut Penelitian Kualitatif Angkatan VII Tahun 1998/1999. Lembaga Penelitian: IKIP Malang.

Smalley, dkk. 2001. Refining Composition Skills Rhetoric and Grammer. USA: Heinle, A Devision of Thomson Learning, Inc.

Syafi’ie, Imam.1998. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud.

Syafi’ie, Imam (Ed).1990. Bahasa Indonesia Profesi. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Tompkins, G.E. 1994. Teaching Writing: Balancing Procces and Product. New York: Macmillan College Publishing Company, Inc. BELIAU HADIR DALAM MOMENTUM PENTING HIDUPKU (Kesan dan Pesan Denni Iskandar)

Oleh Drs. Denni Iskandar, M.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Waktu itu, 10 Agustus 1995 adalah hari pesta peresmianku. Aku berdomisili di Langsa dan Isteriku di Kuala Simpang, karena itu pengantin pria bergerak dari Langsa untuk diantarkan ke Kuala Simpang. Banyak teuman yang hadir saat itu, karena mereka memang aku undang, termasuk teuman-teuman kolegaku di Banda Aceh. Khusus kolegaku (dosen PBSID) aku tidak berharap banyak atas kehadiran mereka mengingat; pertama aku baru saja diangkat sehingga kolegaku sebelumnya adalah dosenku; kedua jarak Banda Aceh-Langsa lumayan jauh (sekitar 450 km). Kalaupun ada yang hadir mungkin para dosen yang masih tergolong muda. Sebuah kebahagian bila di saat-saat hari istimewa dalam hidup kita, orang-orang yang kita cintai hadir menemani dan memberikan restu. Akan lebih berbahagia lagi bila orang-orang istimewa yang diharapkan hadir muncul pada hari bahagia itu. Dialah Bapak Abdullah Faridan yang menyempurnakan kebahagiaanku sekaligus menjadi peyakin bagi orang-orang sekeliling bahwa aku benar-benar dosen karena ada dosen yang hadir saat itu. Betapa terkejut dan tersanjungnya aku yang masih sangat junior ini kedatangan tamu senior. Betapa beliau tidak pilih kasih dalam menghadiri undangan. Dan itu bukan kebetulan, itu memang karakter beliau. Saat arisan Prodi masih ada, beliau jarang alpa untuk menghadirinya. Itulah kenangan tak terlupakan yang membuat derajat simpatiku terhadap beliau berbeda dengan yang lainnya. Terima kasih pak Abdullah, engkau menjadi panutan Silaturrahmi dalam Keluarga Besar Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Selamat menikmati masa pensiun dan semoga berbahagia menjalaninya. Amin. DOA BERBEDA (Doa Armia untuk Abdullah Faridan) Oleh Armia, S.Pd., M.Hum. (Dosen PBSId FKIP Unsyiah) jantungku tak berdetak mataku tak berkedip mulutku bisu telingaku tuli hatiku pilu diriku tak dapat berbuat apa-apa tak melihat, tak merasa, tak mendengar hanya hati yang berdebar ketika kabar dirinya akan tak bersama tak ada tempat berpinta tak mungkin diperpanjang masa tak mungkin diriku bicara hanya asa masih berdaya daya tak sempurna menyampaikan doa doa berbeda kusampaikan untuk dirinya ya Allah panjangkanlah umurnya dirinya telah banyak bercerita yang membuat diriku panjang usia ya Allah sehatkanlah jiwa-raganya dirinya telah memberi contoh kesehatan jiwa-raga ya Allah mudahkanlah rezekinya dirinya telah mengajarkanku mencari harta ya Allah mudahkanlah urusannya dirinya telah mempermudah urusan hamba ya Allah selamatkanlah dirinya dirinya telah menyelamatkan langkah hamba ya Allah berikanlah nilai yang tinggi kepadanya dirinya telah memberi nilai tertinggi kepada hamba hanya diri-Mu ya Allah yang membalas semua yang diberikannya kepada hamba doa-doaku ’kan selalu ada doa-doa berbeda doa penyambung asa, doa penyambung rindu dirinya selalu ada dalam hidupku

Cot Mesjid, Februari ’08 SIKAP POSITIF TERHADAP BAHASA INDONESIA (Refleksi Bulan Bahasa ’07)

Oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum. [email protected] (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

(Tulisan singkat ini saya persembahkan secara khusus kepada guru saya, Drs. H. Abdullah Faridan, yang telah sangat banyak membekali, mengilhami, dan menginspirasi saya tentang ilmu bahasa.)

“Kami putra putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia“.

Demikian salah satu butir pernyataan sikap pemuda Indonesia pada Konggres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928.

Tampaknya ’darah dan jiwa’ pernyataan sikap pemuda Indonesia itu kini mulai luntur. Kelunturan ’semangat’ tersebut terlihat dari sikap (pengajar, pembelajar, dan pengguna) bahasa Indonesia (BI) yang cenderung tidak positif terhadap BI. Artinya, baik guru maupun siswa tidak sungguh-sungguh dalam mengajar dan belajar BI. Di pihak lain, sedikitnya sudah ada 40 negara di dunia yang telah mempelajari dan menguasai BI dan menjadikannya sebagai bahasa asing. Lebih dari itu, pelajaran BI sudah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan negara bersangkutan (Serambi Indonesia Edisi Rabu,17 Oktober 2007). Perlu diketahui bahwa ilmu bahasa tergolong ke dalam kelompok ilmu nomotetik, yaitu ilmu yang pada akhir analisisnya menghasilkan rumus-rumus atau formulasi tertentu. Dengan perkataan lain, ilmu bahasa boleh dikatakan sebagai ilmu pasti. Jadi, untuk dapat memahami ilmu nomotetik diperlukan perhatian yang ekstra. Jika tidak, ilmu tersebut tidak dapat dipahami dengan baik. Itulah sebabnya ilmu mateumatika dan ilmu bahasa dijadikan tolok ukur dalam menilai baik tidaknya prestasi siswa dalam Ujian Nasional (UN). Perlu dipertegaskan lagi bahwa sebagai alat atau sarana berkomunikasi, BI dibutuhkan dan terus digunakan. Kita masih membaca buku, koran, majalalah, dan sebagainya yang ditulis atau disampaikan dalam BI. Kita masih berkomunikasi antarsesama dengan menggunakan BI. Sejak sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi materi pelajaran BI selalu diberikan sebagai muatan kurikulum nasional. BI merupakan mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh setiap peserta didik. Apa pun lembaga pendidikan, jurusan, dan progam yang digelutinya selalu terdapat pelajaran BI. Pada jenjang sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan atas, jika nilai BI tidak mencapai angka enam, anak didik tidak bisa dinaikkan kelas. Pada jenjang perguruan tinggi, jika nilai BI berada di level E atau belum lulus, mahasiswa tersebut tidak bisa menjadi sarjana karena mata kuliah BI merupakan bagian dari beban SKS yang wajib dilunasinya. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa BI itu penting dipelajari dan dipergunakan secara baik dan benar. Kecuali itu, ciri substansial manusia yang bepikir adalah membaca dan menulis atau menyerap dan mentransformasikan ilmu. Melalui membaca manusia memperoleh ilmu dan pengalaman. Semua input pengetahuan yang diserap melalui bahan bacaan harus bisa direkonstruksi; disampaikan ulang kepada orang lain. Dengan demikian, proses pengembangan keilmuan terus berlanjut. Itulah ciri orang berpikir kritis dan akademis (ulil albab). Bukti empiris menunjukkan bahwa ketidaklulusan siswa dalam UN disebabkan oleh, antara lain, rendahnya skor nilai mata pelajaran BI. Ada beberapa indikator yang dapat dinilai terkait dengan pernyataan bahwa sikap pembelajar, pengajar, dan pengguna BI terkesan tidak positif. Indikator tersebut adalah sebagai berikut: (1) kompetensi guru BI rendah, (2) motivasi pembelajar BI rendah, (3) apresiasi terhadap pengajar BI sangat kurang, (4), nilai BI siswa rendah dan (5) tingkat kesalahan penggunaan BI tinggi. Dalam ruang yang terbatas ini saya tidak mungkin menguraikan semua indikator tersebut. Pada kesempatan ini saya hanya mewacanakan tentang kompetensi guru BI dan motivasi belajar BI karena dari sanalah punca-nya. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kompetensi guru BI rendah. Rendahnya mutu guru tersebut tentu berimbas pada rendahnya prestasi siswa. Ada beberapa catatan penting yang saya temukan di lapangan ketika memfasilitasi pelatihan guru BI. Iseng-iseng saya mencoba mengeksplorasi kompetensi mereka terkait dengan penguasaan materi BI yang selama ini menjadi bahan ajar mereka. Ternyata, kompetensi mereka sangat kacau. Prinsip-prinsip dasar keilmuan BI tidak dikuasai secara benar. Ketika digali lebih lanjut ditemukan informasi bahwa umumnya guru BI tidak memeliki buku-buku referensi yang mutakhir (minimal lima tahun terakhir), tidak memiliki kamus BI yang standar, sangat kurang mengikuti perkembangan ilmu kebahasaan. Ilmu yang diajarkan kepada siswa hari ini ternyata ilmu BI yang sudah ’mensok’, yaitu ilmu yang mereka peroleh ketika belajar di program diploma belasan atau puluhan tahun yang lalu. Dengan perkataan lain, guru BI tidak melakukan pembaruan (up-dating) terhadap ilmunya. Ketika ditanya mengapa hal ini bisa terjadi, jawaban mereka sangat klasik; hana pèng ’tidak ada uang’. Menurut hemat saya, itu merupakan jawaban yang tidak logis. Guru BI yang bersikap positif terhadap profesinya pasti mengalokasikan gajinya setiap bulan, walau dalam persentase kecil, untuk pengadaan buku-buku atau bahan terbaru. Guru BI yang ideal pasti tidak menyesal membelanjakan pendapatannya sekali seumur hidup untuk membeli sebuah kamus BI yang standar. Sangat tidak masuk akal rasanya seorang guru BI yang setiap bulan menerima gaji dari pemerintah karena mengajar BI enggan mengeluarkannya sedikit untuk keperluan peningkatan kapasitas keilmuannya, sementara untuk membeli baju baru, bunga, guci, dan sebagainya tidak merasa rugi. Sekali lagi, inilah, antara lain, yang dimaksud dengan sikap tidak positif dari seorang guru BI. Bukti konkret rendahnya kompetensi guru BI terlihat dari perolehan nilai saat dilakukan pretes. Dari 100 skor maksimal yang harus diperoleh, ternyata rata-rata guru BI hanya bisa memperoleh 20 (20%). Coba bayangkan, berapa persen yang bisa ditularkan guru tersebut kepada siswa. Motivasi belajar BI rendah. Hal ini terlihat, mulai dari tingkat sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Di tingkat sekolah tersedia relatif banyak jam pelajaran BI. Banyaknya jam tersebut tidak berkorelasi positif dengan hasil belajar siswa. Rendahnya motivasi belajar tersebut, antara lain, pihak pengelola sekolah sendiri secara tidak langsung telah mengondisikan bahwa belajar BI tidak lebih penting daripada pelajaran lainnya. Buktinya, hampir semua sekolah mengalokasikan jam pelajaran BI pada ’jam-jam ngantuk’. Cukup banyak pejajaran BI diajarkan oleh guru yang bukan berlatar belakang disiplin ilmu BI. Orientasi belajar BI tidak diarahkan pada aktivitas berbahasa sebagai suatu keterampilan. Kondisi seperti itu jelas membuat siswa jenuh dan mematikan motifasinya terhadap belajar BI. Di tingkat perguruan tinggi lain lagi ceritanya. Misalnya, di Unit Pengelola Teknis Mata Kuliah Umum (UPT-MKU) Unsyiah pihak rektorat sebagai pengelola tidak menunjukkan apresiasi yang baik terhadap pembelajaran BI. Kelas BI diisi sampai dengan 150 mahasiswa. Kelas BI sebanyak 40 s.d. 70 unit dipaksakan asuh oleh hanya 4 s.d. 7 orang dosen BI. Coba bayangkan, bagaimana bisa mengajar keterampilan berbahasa untuk mahasiswa dalam kelas sebesar dan sebanyak itu. Tentu sangat tidak logis. Namun, begitulah yang terjadi bertahun-tahun di perguruan tinggi. Kenyataan hari ini memang terkait dengan banyak pihak dalam sistem pendidikan kita, yaitu pemerintah, kepala sekolah, guru, siswa, rektor, dosen, mahasiswa, orang tua, dan masyarakat. Atas kenyataan ini, dengan tidak menutup kesalahan diri dan tidak saling menyalahkan siap-siapa, marilah kita memperbaiki semuanya. Dapat ditegaskan bahwa jangan menganggap berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu mudah sehingga kita tidak merasa perlu belajar-mengajar secara sungguh-sungguh dan menggunakan bahasa tersebut secara cermat. Jika kita menganggap berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu mudah, kita tidak akan pernah sukses belajar BI atau tidak akan pernah tahu, paham, terampil, dan cermat berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulis. Saat ini sedang berlangsung sosialisasi Rancangan Undang Undang (RUU) Kebahasaan. Pada masa yang akan datang sebagai bentuk apresiasi tertinggi dalam disiplin berbahasa Indonesia, setiap tahun Presiden Republik Indonesia akan menganugerahi penghargaan Adi Bahasa bagi daerah yang disiplin dan tertip dalam menggunakan BI. Sebaliknya, juga akan diatur sanksi-sanksi bagi yang melanggarnya. Semoga BI tetap berjaya. “Aku Cinta Bahasa Indonesia“. Dirgahayu Pemuda Indonesia! KAMUS ACEH-INDONESIA-INGGRIS DAN KERESAHAN SAYA

Oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum. [email protected] (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Sebelum sampai pada substansi yang hendak saya paparkan, terlebih dahulu perlu saya ketengahkan starting point yang memotivasi saya menyampaikan hal yang “meresahkan” ini. Beberapa waktu yang lalu, bertempat di kantor Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID), FKIP Unsyiah, terjadi pembicaraan ‘nyeleneh’ seputar sebuah buku terbaru yang baru bergabung dengan koleksi lainnya di perpustakaan PBSID. Buku tersebut adalah Kamus Aceh-Indonesia-Inggris (selanjutnya disebut KAII) yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2007. Terlibat dalam pembicaraan itu sekitar 30% dosen PBSID, yang semuanya sepakat bahwa KAII tersebut telah “meresahkan” mereka (mungkin juga sebagian masyarakat Aceh lainnya yang sudah membaca sekilas kamus tersebut). Betapa tidak, setelah di-scanning tak ada lembar yang bebas dari koreksi, baik teknis maupun substantif. Sepertinya, penyusunan kamus tersebut tidak sesuai dengan atau mengesampingkan kaidah leksikografi (ilmu tentang perkamusan). Secara umum dapat dikatakan bahwa kamus tersebut, ke- terbitannya, terkesan sangat dipaksakan. Entah karena motivasi apa, entahlah. Yang jelas, menurut hemat saya, masyarakat Aceh, yang menggunakan bahasa Aceh dialek mana pun, tidak merasa gembira dengan hadirnya kamus baru tersebut. Kamus-kamus yang sudah terbit sebelumnya dipandang lebih baik dan lebih layak dirujuk. Saya mengkritisi hal tersebut, bukan berarti saya tidak apresiatif terhadap karya tersebut. Justru itulah salah satu bentuk apresiasi saya karena saya peduli dengan pelestarian dan perkembangan bahasa Aceh. Dalam bidang perkayuan, ada beberapa jenis kayu berdasarkan tinjauan kualitas, misalnya seumantôk, dama, meuranté, dan sembarang. Dalam bidang perkamusan, berdasarkan tinjauan leksikografi, ada beberapa macam bentuk kamus, antara lain, kamus besar, kamus umum, kamus ungkapan, kamus idiom, kamus istilah, kamus situasional, dan kamus thesaurus. Setelah mencermati secara keseluruhan isinya, saya tidak dapat memasukkan ke dalam kategori bentuk yang mana KAII itu. Barangkali perlu diciptakan satu lagi kategori bentuk yang lain, misalnya kamus sembarang. Secara substansial hal-hal yang sangat patut dikritik, antara lain, adalah sebagai berikut: (1) Entri KAII bukan cuma kata dasar (morfem leksikal), melainkan juga kata berimbuhan, kata ulang, kata majemuk, idiom, frasa, bahkan klausa. Perhatikan cuplikan berikut!

(1) Kata Berimbuhan Aceh Indonesia Inggris keuamanan keamanan security keubeunaran kebenaran truth keudutaan kedutaan embassy keumeubah menyimpan store keumeukoh panen harvest keumeunangan kemenangan victory

(2) Kata Ulang Aceh Indonesia Inggris keubiet-biet sungguh-sungguh serious bacut-bacut sedikit demi sedikit little by little Ragu-ragu ragu-ragu halfhearted ramah-tamah ramah-tamah friendly Rata-rata rata-rata average

(3) Kata Majemuk Aceh Indonesia Inggris bak pisang pohon pisang banana bak ureueng pohon kelapa coconut tihang bendera tiang bendera flagpole Tikoh blang tikus sawah rat tueng balah pembalasan dendam vengeance Tong broh tong sampah dustbin minyeuk bensen bensin benzene

(4) Idiom Aceh Indonesia Inggris theuen talo mengalah succumb top-top rabong spekulasi speculation patah seumangat putus asa discouragement saboh kawan sekelompok batch

(5) Frasa Aceh Indonesia Inggris ureueng jaga penjaga toko storekeeper keudee ureueng jaga tukang kebun gardener lampoh bangai that sangat bodoh crass saboh kawan sekelompok batch bangku yang hana bangku tanpa stool bak meusadeue sandaran barang lam moto muatan mobil carload di ateueh di atas above di geunireng di samping beside eleumee bhah sintaksis syntax kalimat guda agam kuda jantan stallion hana tuwo tidak terlupakan unforgettable hana masak belum matang unripe jeuet bantah dapat dibantah arguaable jeuet jibagi dapat dibagi divisible jeuet teubaca terbaca legible le that haba rewel gabby le that pihak banyak pihak multiilateral

(6) Klaus Aceh Indonesia Inggris peugot ateung membuat tanggul embank peugleh kumeuen membasmi kuman disinfect peugot gamba mengukir etch peugot undang- membuat undang- legislate undang undang

(2) Entri KAII bukan cuma kata bahasa Aceh, melainkan juga kata bahasa Indonesia.

(7) Kata Indonesia Aceh Indonesia Inggris aba-aba perintah command abad abad century abadi kekal eternity peugot undang- membuat undang- legislate undang undang administrasi administrasi administration agak agak rather agen wakil agent agenda agenda agenda akomodasi akomodasi accommodation

(3) Entri KAII banyak yang bukan khazanah bahasa atau budaya Aceh.

(8) Bukan Khazanah Bahasa atau Budaya Aceh Aceh Indonesia Inggris Bola bola ball Bola bulee manok bola bulu tangkis shuttlecock Bola bumoe bola dunia globe Bola donya bola dunia globe Bola jaroe bola tangan handball Bola listrek bohlam bulb Bola raga bola basket basketball Bola sudok biliar billiard

Bukankah dengan pola-pola seperti di atas, masing-masing dapat menghasilkan satu kamus kecil lainnya dengan entri seperti (1) keunyamanan, keusalahan, kekonsulan, keuneubah, teumeutöt, dan keukalahan; (2) meujai-jai, keusalahan, tamah-tamah, sirông- sirông, dan teupat-teupat; (3) bak leubue, bak liki, tiang tifi, tikôh glé, tueng darabarô, tông padé, dan minyeuk u; (4) böh talô, gatai asoe, putôh tutue, balék aleue, dan tuha bijèh; (5) ureung jaga manok, ureng jaga balè, caröng that, panteue nyang hana aleue, barang lam kapai, di leuen, èleumèe bhah ’ibadat, leumo inöng, hana woe, ka masak, jeuet kritik, jeuet tatampa, jeuet teupeugah, lé that peue peugah, dan lé that salah; (6) peugöt lueng, peugöt kuéh, peugöt langai, dan berbagai peugöt lainnya; (7) sosialisasi, realisasi, universitas, korupsi, dan manipulasi; (8) bola voli, bola kasti, bola kaki, dan bola api. Selain itu, pemakaian tanda diakritik (aksen grave [è], aigu [é], trema [ö], dan makron [ô]) juga tidak konsisten; sebagian kata dipakai dan sebagian yang lain tidak. Sebagian yang dipakai pun tanda diakritik ini kadang-kadang salah, misalnya daya pikè, dhôt, dan éleumèe bhah sihè. Saya menduga bahwa proses penyusunan kamus tersebut adalah sebagai berikut. Mula-mula didaftar kosakata yang terdapat dalam bahasa Inggris, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Aceh, lantas diurutkan terbalik; Aceh-Indonesia-Inggris. Dengan demikian, terciptalah kamus yang membingungkan, baik secara teknis maupun substantif. Buktinya, kosakata bahasa Inggrisnya yang diacu semuanya bersifat leksikal. Jika prosesnya memang seperti itu, siapa pun dengan sangat mudah dapat menyusun kamus. Seharusnya, didaftar terlebih dahulu kosakata dasar (morfem leksikal) yang terdapat dalam bahasa Aceh, lalu dicari padanannya yang terdapat dalam bahasa Indonesia, kemudian disesuaikan dengan terminologi yang relevan yang berlaku dalam bahasa Inggris. Hal tersebut dilakukan atas pertimbangan bahwa dalam teori linguistik disebutkan, untuk memperoleh makna yang sesuai dari data bahasa yang satu ke data bahasa lainnya tidak boleh diterjemahkan (secara truktur), tetapi dipadankan (secara semantis). Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada kata majemuk laut biru. Laut biru tidak dapat diterjemahkan menjadi ‘laot biru’ atau ‘laot blau’ karena dalam bahasa Aceh tidak tidak ada konsep tersebut. Yang ada dalam bahasa Aceh adalah laôt ijô. Dalam bahasa Aceh ada idiom cang panah, cèt langèt. Cang panah atau cèt langèt tidak dapat diterjemahkan menjadi ‘mencincang nangka’ atau ‘mengecat langit’ karena dalam bahasa Indonesia tidak ada konsep tersebut. Begitu juga dalam bahasa Aceh ada konstruksi, Ijô mata-ih bak jikalön pèng atau Bak pèng gadöh janggôt tidak dapat diterjemahkan menjadi ‘Hijau matanya melihat uang’ ‘Demi uang hilang jenggot’ karena makna konsep tersebut tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, apalagi dalam bahasa Inggris. Akibat penggunaan pola menerjemahkan, bukan memadankan, terciptalah tindak berbahasa (spech action) yang tidak alami seperti terlihat pada entri KAII, dan begitulah yang cenderung terjadi akhir-akhir ini pada pemakaian bahasa Aceh. Cermati, misalnya, penggunaan bahasa Aceh dalam Haba Aceh Uroe Nyo di Aceh TV, dalam syair lagu-lagu Aceh yang termuat dalam CD, dan media-media luar luang! Bukankah fenomena tersebut dapat dikatakan merusak bahasa? Semestinya, jika Dinas Kebudayaan NAD memiliki anggaran yang memadai, dapat memprakarsai penyusunan kamus yang lebih bermanfaat dengan melibatkan secara intensif para pakar yang benar-benar ahli, khususnya di bidang leksikografi. Bentuk kamus yang disusun pun harus jelas, misalnya, Kamus Umum Bahasa Aceh: Edisi Revisi, Kamus Ungkapan Bahasa Aceh, Kamus Idiom Bahasa Aceh, atau Glosarium Budaya Aceh. Dengan demikian, nilai kemanfaatannya bagi masyarakat luas sangat besar. PUISI BERSTRUKTUR; “PUISI LINGUISTIK” (Bagi Seorang Guru yang Dosen; Sastrawan yang Bahasawan yang Tak Lapuk Dimakan Zaman)

Oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum. [email protected] (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Data dua orang sahabat karib (S)/(FN) sedang berjalan (P)/(FV) melintasi gurun pasir (Pel.-K)/(KV) di tengah perjalanan mereka bertengkar (K-S-P)/(KV) dan (Konj.) salah seorang (S)/(FN) tanpa dapat menahan diri (K)/(KV) menampar temannya (P-O)/(KV) orang yang kena tampar (S)/(FN)/(KV) merasa sakit hati (P-O)/(FV)/(KV) tanpa berkata-kata (K)/(FV) dia menulis di atas pasir (S-P-K)/(KV)

“hari ini (Fadv.) sahabat terbaikku (S)/(FN) menampar pipiku" (P-O)/(KV) orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya (S)/(FN)/(KV) mencoba bernyanyi kecil (P-Pel.)/(KV) untuk menyejukkan galaunya (K)/(FAdv.)/(KV) mereka terus berjalan (S-P)/(KV) sampai menemukan sebuah oasis ((S)-P-O)/(KV) tempat mereka memutuskan untuk mandi (K)/(FAdv.)/(KV) namun (UK) ternyata oasis tersebut cukup dalam (S-P)/(KV) sehingga ia nyaris tenggelam (Konj.-S-P)/(KV) dan (Konj.) diselamatkanlah ia oleh sahabatnya (P-S-K)/(KV) ketika dia mulai siuman (K)/(FAdv.)/(KV) dan rasa takutnya sudah hilang (Konj.-S-P)/(KV) dia mengukir di sebuah batu (S-P-K)/(KV)

“hari ini (K)/(FAdv.) sahabat terbaikku (S)/(FN) telah menyelamatkan nyawaku" (P-O)/(KV) si penolong yang pernah menampar sahabatnya tersebut bertanya (S-P)/(FN)/(KV) “kenapa setelah aku melukai hatimu ( intro-S-P-O)/(KV) kau menulisnya di atas pasir (S-P-K)/(KV) dan setelah aku menolongmu (Konj.-S-P-O)/(KV) kamu menulis di atas batu” (S-P-K)/(KV) temannya, sambil tersenyum, menjawab (S-K-P)/(KV) "ketika seorang sahabat melukai kita (K)/(Fadv.)/(KV) kita harus menulisnya di atas pasir (S-P-O-K)/(KV) agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut (K)/(Fadv.)/(KV) dan bila di antara sahabat terjadi sesuatu kebajikan sekecil apa pun (Konj.-K)/(Fadv.)/(KV) kita harus memahatnya di atas batu hati kita (S-P-O-K)/(KV) agar tetap terkenang tidak hilang tertiup waktu" (K)/(Fadv.)/(KV) *****

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang dan perlakuan yang berbeda. Oleh karena itu, cobalah untuk saling mengenang, memaafkan, dan melupakan kegetiran masa lalu. Marilah kita menulis di atas pasir setiap kegetiran yang kita rasakan, dan mengukir di atas batu hati kita setiap hikmah yang kita peroleh! AKU INGIN MENULIS SURAT (kepada Bapak Abdullah Faridan)

Oleh Budi Arianto, S.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah) aku ingin menulis surat padanyasebelum lewat senja dan malam menawar seperti malam-malam sebelumnya aku ingin menulis surat padanya cerita tentang cinta dan kesetiaan pengabdian dan kasih yang telah kau berikan aku ingin menulis surat padanya tentang mimpi-mimpi merajut satu masa mengemas gelora menuju cita-cita seperti geloramu yang hidup didadaku ****

Lama aku termenung di depan komputer. Mencoba-coba mengenang wajahnya. Suaranya yang selalu terngiang. Tutur katanya yang runtun. Kesetiaannya menemani aku belajar. Sungguh tak mudah aku melukisnya. Melukis senyum tulus. Melukis garis-garis yang mulai menghiasi sudut matanya. Melukis wajah seorang Bapak. Ya, Bapak, yang selalu saja sabar membimbing. Sabar mendidik. Sabar pula memompa semangatku untuk berkarya. Tetap saja aku hanya merenung mengenangnya. Tiba-tiba aku ingin menulis surat yang akan kutujukan padanya. Banyak yang ingin aku sampaikan. Banyak yang ingin aku torehkan. Tapi tunggu dulu. Aku menimbang-nimbang ide yang berseliweran dikepalaku. Berloncat-loncatan ide-ide itu mendesak- desak agar aku keluarkan. Mungkin aku mulai dengan ucapan terimakasih atas dedikasinya yang besar mendidikku, bertahun-tahun di kampus. Barangkali lebih baik aku sampaikan dulu apresiasi yang tinggi atas pengabdiannya di prodi bahasa dan sastra Indonesia hingga pensiun tiba. Atau sebaiknya kuawali dengan kesanku selama mengikuti matakuliah, terutama mata kuliah yang berkait dengan sastra yang selalu membuat aku nyaman belajar. Rasanya akan lebih tepat pula kalau aku mulai dengan sebait puisi, seperti yang pernah dibacakan di depan kami. Sesaat aku mengenang kembali kisah-kisah tentang sanggar bahasa dan gelanggang mahasiswa yang dibimbingnya. Aku membayangkan sebuah arena tempat berkumpulnya mahasiswa dalam olah pikir, olah rasa dan olah tubuh untuk mengembangkan kreatifitas. Aku membayangkan arena diskusi dan berkarya yang tenang. Aku membayangkan ruang tempat para dosen bertukar pikiran dan ide memajukan dunia pendidikan. Aku membayangkan sebuah tempat orang ngobrol, bisa juga tempat mahasiswa berdiskusi mengerjakan pe-er, atau tempat seniman gemasastrin berlatih drama. Atau tempat mahasiswa menlahirkan bulletin Cerana, ketika itu. Setelah kupikir-pikir akan lebih mengesankan kalau aku tuliskan kesan pertamaku mendengar cerita liku-liku menjadi pendidik sejak dari guru SD hingga menjadi dosen di Unsyiah. Lebih tepat lagi bagaimana cita-citanya sebagai pemuda kampung yang ingin mengabdi kepada bangsa lewat dunia pendidikan. Menempuh jarak dan waktu, meninggalkan kampung halamannya, menempuh pendidikan di Kuta Radja. Tapi aku punya cerita lain di luar kampus bagaimana ia mendirikan sebuah yayasan untuk pengabdian kepada masyarakat. Ini pula yang telah memberi inspirasi bagiku untuk terjun di tengah-tengah masyarakat. Sesekali pula kami bercerita tentang kodisi sosial masyarakat. Kondisi sosial yang telah menyeret-nyeretku,menantang, dan membangun rasa empatiku yang dalam. Kondisi sosial masyarakat yang telah membuat hidupku merasa lebih berarti, bermanfaat, mesti sedikit yang dapat aku perbuat. Ya, Aku sungguh ingin menulis surat padanya, tapi aku masih saja termenung di depan komputer, menimbang-nimbang kata yang tepat aku sampaikan padanya.Pada orang yang sangat aku kagumi. Pada orang yang sangat aku hormati. Pada orang yang telah memberiku arti dan makna kehidupan. Sesungguhnya ia adalah yang sangat dekat denganku, ia adalah guruku, pembimbingku, dosenku, yang sekaligus orangtuaku dan sahabat berdiskusiku. Akhirnya setelah aku pikir-pikir, aku timbang- timbang,aku rasa-rasa, aku renung-renung, aku akan mulai dengan ucapan Terima kasih, dan berdoa atas keselamatannya serta menjadikannya sebagai tauladanku. Begitu bathinku.

Catatan Budi Arianto HUJAN SEPINTAS LALU (Tinta untuk Bapak Abdullah Faridan)

Oleh Muhammad Idham, S.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Detik demi detik berlalu Hari-harimu tak luput dari kejaran waktu Tak terasa sepuluh tahun telah berlalu Bagaikan rintik hujan sepintas lalu

Di sini, aku menunggu Dalam segala gelak, rindu, dan keceriaan Dengan torehan senyummu yang tulus Telah kuikuti jejak langkahmu Dalam rintik hujan sepintas lalu…. Engkau telah menggoreskan Sejuta kenangan ilmu Yang kini terselubung di dalam hatiku Kan selalu kuabadikan bersama sisa hidupku Takkan kubiarkan….ditepis waktu Ditelan hujan sepintas lalu…

Untukmu…wahai guruku Kugoreskan sicuil rasa ini Dari negeri yang jauh dari tatapanmu Di tengah rintik hujan sepintas lalu…..

DORONGAN BERBICARA HATI KECIL

Oleh Subhayni, S.Pd. (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Berbicara pada suatu ketika Ketika mata tajam memandang Memandang keinginan yang sudah diidamkam Diidamkan suatu pekerjaan mulia

Pekerjaan mulia ini hanya sesuatu impian Impian yang semestinya jadi sebuah harapan Harapan yang akan memberikan kesejahteraan hidup Hidup di dunia untuk masyarakat, hidup diakhirat untuk sendiri

Sendiri mungkin tak pasti dalam memperjuangkan profesi Profesi yang selalu dinanti-nanti dan dihayalkan Dihayalkan dengan segenap perjuangan Perjuangan yang harus dibarengi dedikasi dan loyalitas Loyalitas inilah yang kemudian memerlukan rekomendasi Rekomendasi yang diberikan oleh senioritas, orang terpandang Terpandang karena kewibawaan, keakraban, performans, dan nilai- nilai luhur Luhur untuk memperjuangkan nasib pendidikan dan kaderisasi

Kaderisasi untuk kemajuan pendidikan dan penguatan tenaga pengajar Pengajar memiliki nilai-nilai dan norma-norma harus diperjuangkan Diperjuangkan demi peningkatan kualitas pendidikan Pendidikan yang dapat mengangkat derajat manusia di mata Allah

Allah memberikan jalan salah satu, melalui dukungan bapak Bapak telah banyak membantu saya dalam bergabung menjadi dosen Dosen di program studi pendidikan bahasa, sastra indonesia dan daerah Daerah yang benar-benar harus dibangun dan diperkaya khasanah bahasa

Bahasa adalah cerminan yang mengidentifikasi diri seseorang Seseorang yang apakah memiliki karakter atau seseorang yang tidak berkarakter Berkarakter sehingga orang lain dapat memberikan penilaian Penilaian ini akan memunculkan sesuatu, kemudian ada umpan balik

Umpan balik, berarti ada yang memberi dan ada yang menerima Memberi nasehat dan menerima nasehat itulah yang dilakukan Dilakukan berdasarkan kapasitas dan kemampuan Kemampuan untuk berbuat demi kemaslahatan umat

Kemaslahatan umat inilah yang bapak tekankan dan anjurkan Anjurkan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan keprofesian Keprofesian yang dapat memberi bekal untuk kehidupan kelak Kelak di akhirat, dunia lain setelah kehidupan di dunia Dunia ini memang fana Fana dalam arti kata tidak ada yang kekal, tidak ada yang maksum dan objektif Obektif adalah kata-kata yang cocok untuk dirimu Pak Pak, Saya mahasiswa bapak yang sangat berterima kasih

Berterima kasih atas segenap ilmu, bimbingan, nasehat, dan strategi Strategi untuk hidup sukses di dunia dan di akhirat Akhirat tujuan akhir kita untuk menata hidup abadi Abadi dalam kebahagiaan, kesenangan, kemewahan, dan keharmonisan

Keharmonisan inilah yang akan saya jaga pak Pak, semoga kita semua akan menjadi saudara Saudara yang akan menjaga sesama saudara, baik suka maupun duka Duka, jangan sampai sampai terjadi

Terjadilah jalinan kisah cerita indah antara kita semua setelah ini Setelah ini kita berdoa smoga kita diberi umur panjang,diridhai hidup oleh Allah Allah tempat mengadu dan memohon Memohon agar kita selalu dalam kebersamaan dalam FASTABIQUL KHAIRAT.

Banda Aceh, 10-05-2008 GURUKU PAK ABDULLAH

Oleh Rismawati (Mahasiswa PBSID FKIP Unsyiah)

Ketika langkahmu tidak lagi menapaki jengkal demi jengkal tanah gersang di kampus tua ini. Ingin aku bertanya, Sang guru kemana engkau akan pergi? Tidak ada lagi sua, tidak juga canda yang senanntiasa mengiringi pembelajaran kita di kelas-kelas kumuh ini. Ingin aku ucapkan selamat jalan, tapi aku tahu sang guru tidak pergi terlalu jauh. Hanya saja, mungkin sudah terlalu lelah untuk mengurusi sejejal manusia yang gerah dan haus akan ilmu. Tapi yang merasa kenyang sudah terlalu banyak, sepertinya. Sehingga sering tidak perduli dengan situasi belajar yang diberikan oleh sang guru. Guruku Pak Abdullah. Lelaki tua yang penyabar, rambutnya yang mulai memutih ditutupinya dengan peci hitam. Matanya dibingkai dengan kaca mata keemasan. Tidak pernah terlihat aura marah di wajahnya, meskipun ada kudengar cerita, dimasa mudanya dia juga pernah marah dan kejam. Tapi aku tidak percaya, baik itu perkataan si pulan dan si pulin. Yang aku lihat dia bahkan terlalu baik. Mau tidak mau, Pak Abdullah yang humoris telah menghabiskan puluhan tahun umurnya di kampus ini. kampus yang semakin lama semakin memudar cintaku padanya. Pak Abdullah telah memulai dan mengukir sejarah hidupnya di gemasastrin, di kampus ini. Walaupun tidak indah, hanya kampus inilah yang terbaik milik kita. Inilah warisan, warisan orang terdahulu kepada Pak Abdullah, dan kini Pak Abdullah mewariskannya kepada kita. “Menjadi seorang guru adalah pilihan. Kalau bercita-cita ingin menjadi orang kaya, jangan kuliah di FKIP. Kalau sudah memilih kuliah di sini, ya harus benar-benar jangan main-main.” begitu nasihat Pak Abdullah di sela-sela memberikan materi kuliah Sintaksis Lanjut ,suatu hari. Sesekali dia membetulkan letak kaca matanya. Sesekali pak Abdullah tidak memakai kaca mata, tapi mencoba memicing-micingkan mata untuk bisa melihat lebih jelas. Selang beberapa waktu lagi, dia mencoba membetulkan tali pinggangnya. Pak Abdullah tidak pernah lelah memberi pelajaran dan nasihat demi nasihat kepadaku dan teman-temanku. Kadang seketika ada rasa jenuh untuk belajar, sehingga kelas menjadi sarang gosib dan menjadi ribut. Tiba-tiba Pak Abdullah mencoba menenangkan, katanya ”Yang tidak mau belajar dengan saya silahkan terbit, daripada saya ternak nanti di sini”. Mendengar kata itu mahasiwa tertawa cekikikan, karena baru kali itu kami mendengar kata-kata unik itu. Setelah itu, setiap kali jam belajar dengan pak Abdullah kami kembali medengarnya. Pak Abdullah, sosok yang kini lebih layak untuk istirahat. Tapi hati ini seakan berat untuk melepas jejak langkahnya dari kampus tua ini. Ada jejeran pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. Apakah ada orang sebaik Pak Abdullah untuk hari yang akan datang, orang-orang yang peduli terhadap Gemasastrin, memberi nama harum Gemasastrin. Pak Abdullah bukan orang yang mengejar kekayaan, bukan juga orang yang memiliki jabatan tapi pak Abdullah seakan memiliki hati yang berlapis baja yang membuat dia bisa sabar menghadapi segala tingkah polah mahasiswa, lebih-lebih mahasiswa seperti saya yang susah diatur. Di zaman semberaut ini sulit sekali mencari sosok seperti pak Abdullah dari sederetan pecundang dunia. Mencari orang muda yang berkompetensi mungkin mudah. Tapi tidak akan pernah sebanding dengan sang guru. Guruku Pak Abdullah. Jika aku pintar menciptakan lirik lagu, pastilah akan aku ciptakan lirik lagu yang dari Umar Bakri.

SAJAK-SAJAK YANG TAK PERNAH MATI untuk Bapak Abdullah Faridan

Oleh Akmal (Mahasiswa PBSID FKIP Unsyiah)

Kau Aku dan Ceritamu ketika fajar mulai terasa lelah tak juga mulutmu mengeluh meski tetesan keringat telah menjelar membasuh tanah merah ini cerita kampungku dan kampungmu belum usai Aku akan terus mengitari waktu Sambil melihat anak-anak berlari-lari di hening waktu Rindu ceritamu tentang pohon-pohon harapan sepertinya baru kemarin aku lahir dari rahim dunia. hari ini jiwa ku terlunta karena asa dan harap

Ketika ku ingat tentang cerita-cerita itu Aku terdiam Lalu Di kolam taman penuh pohon-pohon harapan itu Kulihat wajahmu tersenyum Sambil membacakan satu cerita Tentang guru pada anak-anakku

Jika waktu kembali Tak akan kulewatkan sedetikpun Dari awal hingga akhir hikayatmu

Meski cerita itu telah usai dari mulutmu Tapi, tak di ingatanku sampai sekarang aku belum dapat menghitung uban di kepalamu maaf!

Darussalam, 2008

Sajak untuk Seseorang jiwa ini mungkin redup dan luruh dimasa aku mengenal kata ilalang mulai renta dan sujud ditelapak tanah menengadah buta karena tak tahu arah cahaya tak begitu kuhafal apa yang kau katakan namun, setiap coretan di papan tulis itu masih kusimpan dalam buku kecilku. : bukan aku durhaka karena ingatanku buta aku hanya tidak ingin kau marah jika aku tua, kemudian, lupa di sini, bukan di rumah duka meski penuh coretan di dinding-dinding kelam kami hanyut dalam wangi tubuhmu : aku dan aku tekurung bisu tidak dengan mereka aku berharap kau bercerita lagi agar aku bisa kembali mencatat waktu kau haturkan satu kata serupa penawar hati yang sedang lara saat bulan lenyap aku bersandar pada ingatan tentangmu tentang mereka tentang ruang kelam tentang coretan di didinding tentang senyum tentang rumput tenteng cerita tentang kampung-kampung murung tentang tawa dan waktu dan yang tak dapat ku ingat.

Darussalam, 2008

Aku Tidak Tahu Seperti Apa Judul yang Bagus Sepertinya ada yang hilang dari tubuhmu dimangsa angin malam yang gelapnya menyepi aku hanyut dalam ramang-remang kesunyian tubuhmu.rapuh

Ombak itu tak mampu melewati karang-karang di tubuhmu Wajahmu tersenyum melihatku mencuri waktu agar kau tak marah ketika aku telat duduk di kursi tua

Dalam ruangan kegilaan itu kau ceritakan bagaimana cara mencakar langit Aku dan mereka kemudian menjelma menjadi kunang-kunang menyetubuhi malam Agar indah dipandang malaikat kecil

Kau begitu bijak mendidik aku dan mereka Meski muda menjadi kisah tetap keringatmu mengalir untuk aku dan mereka

Lam U, 2008

Yang Meninggalkan Makna Satu lagi, Daun kami gugur Serupa sayap kupu-kupu Luruh menyentuh tanah

Ketika itu, Aku seperti hutan Yang masih rimba Pagar-pagar yang kau tancap dilingkaran tubuhku Masih rapuh

Tubuh ini lapuk seperti Uban yang melilit perih di kepalamu Sehingga kau tampak tampak senja Aku pun begitu. Lemah.

Meskipun senja beranjak pulang ke makam Kau tetap tidak bisu Aku pun seperti menjadi Matahari kecil Ilmu yang kau berikan Masih kusimpan dalam Jiwa yang mencatat Setiap ihwal dari mulut muliamu

Darussalam, 2008 MALU AKU PUNYA BAHASA DAERAH

Oleh Herman, S.Pd. (Alumni PBSID FKIP Unsyiah)

Assalammualaikum warahmatullah Jaroe dua blah ateuh jeumala Peurtama kalam lôn lakèe meu’ah Meunan amanah bak ureueng tuha Lôn lakèe meu’ah keu Pak Abdullah Faridan Saweueb lewat tulisan lôn saweu gata

Beriring salam saya mulai tulisan; menjumpai Pak Faridan dan sekeluarga. Mungkin ini hanya sebuah coretan; atau kerisauan yang masih tersisa. Sisa kuliah yang pernah Bapak berikan; mulai dari gedung PGSD hingga ke ruang RKU III. Inilah sisa kerisauan yang tak sempat saya tanyakan itu, Pak. Saya rangkum menjadi sepucuk surat panjang. Semoga Bapak berkenan membacanya. Namun, sebelum sampai ke pertanyaan, izinkah sejenak saya terlebih dahulu bercerita, tentunya tentang bahasa, seperti yang pernah Bapak ceritakan kepada saya atau kepada mahasiswa lain, sebelum dan sesudah saya. “Usia bahasa itu sudah sangat tua,” kata Bapak suatu ketika di ruang kuliah. Saya sepakat, Pak. Bahkan, lebih tua dari usia negeri ini, Aceh. Banda Aceh saja resmi menjadi ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak 803 tahun lalu, tentunya bahasa Aceh sudah terlebih dahulu ada sebelum kota ini ada. Bukti Banda Aceh dicetuskan sebagai ibukota dapat dilihat pada penemuan batu-batu nisan di Kampong Pande. Salah satu batu nisan peninggalan pahlawan-pahlawan Aceh di sana tertulis Banda Aceh dibangun pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 Hijriah, yang dalam kalender masehi bertepatan dengan tanggal 22 April 1205. Sejak saat itulah, Banda Aceh resmi menjadi ibukota Kerajaan Aceh Darussalam. Artinya, usia Kota Banda Aceh sampai saat ini, tepatnya pada 22 April 2008 lalu, sudah mencapai 8 abad lebih 3 tahun. Mengingat itu, sewajarnya sebuah keresahan timbul di benak saya, “Sudahkah masyarakat Aceh menghargai bangsanya?” Mungkin ini pertanyaan saya yang pertama, Pak. “Bangsa yang tinggi adalah bangsa yang pandai mencintai dan menghargai bahasanya.” Kalimat ini pernah didengungkan oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya. Mungkin ini pula yang membuat presiden rezim Orde Baru itu tidak pernah mau berbahasa Inggris (Sylado, 2005). Barangkali Soeharto tidak ingin dianggap sebagai orang yang tidak menghargai bangsa sendiri sehingga dalam pertemuan internasional, Bapak Pembangunan itu selalu membawa pendamping sebagai penerjemah. Terlepas dari diktator, tirani, atau apalah julukan untuk presiden kedua Republik Indonesia itu, dari segi bahasa, hemat saya, dia patut diberi acungan jempol. Acungan jempol ini khusus untuk hal ketidaksukaannya dalam bergaya “keinggris-inggrisan” dalam berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikannya dengan meminta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (sekarang Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional) untuk mengubah kata/ kosa kata dalam bahasa Inggris menjadi bahasa Indonesia. Walhasil, masa pemerintahannya, villa ditulis menjadi vila, real estate ditulis menjadi real estat, tower diganti penulisannya menjadi menara, park ditulis taman sehingga istilah green park ditulis menjadi taman hijau, Pondok Indah Mall (sekarang) kala itu ditulis Mal Pondok Indah, dan sejenisnya. Maka dari itu, pertanyaan saya yang tersisa selanjutnya, mengapa sekarang istilah-istilah asing, terutama dalam bahasa Inggris kembali merebak? Nama-nama tempat, gedung, rumah makan, jalan, mulai disemarakkan dengan bahasa asing. Apakah ini bukti kemajuan zaman dan teknologi? Apakah ini yang dimaksudkan kita harus menyesuaikan hidup sesuai dengan kemajuan zaman? Apakah dengan mengikuti istilah dalam bahasa asing itu, kita dikatakan sudah berkembang? Apakah dengan melupakan bahasa sendiri, kita dianggap sudah maju? Ah, andai saja Pak Faridan masih ada di ruang kuliah, tentu kita dapat berdiskusi tentang semua ini, tentang kerisauan dan kegundahan ini. Pak, jika dengan gaya “keinggris-inggrisan” itu serta melupakan bahasa sendiri, kita dianggap sebagai bangsa yang maju, saya tidak sepakat. Saya kira, Bapak sependapat dengan saya. Karenanya, pertanyaan berikutnya yang tersisa dari saya, gerangan penyakit apa yang menimpa negara kita sehingga kepala negara sekarang membiarkan istilah-istilah asing berkeliaran di segenap jalan, kota, dan kampung? Betapa banyak sekarang ini kita jumpai kata-kata asing yang sengaja dipampangkan dengan ukuran huruf yang besar. Saya contohkan saja pada baliho-baliho sebelum Pemilu/Pilkada. Ada baliho yang bertuliskan, “Korupsi No, SBY Yes!” Bukankah kata-kata tersebut (No-Yes) masih ada padanaannya dalam bahasa Indonesia? Lain halnya jika memang kata-kata tersebut tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia sehingga dianggap sebagai peristilahan. Namun, kata “No” dan “Yes” masih ada padanannya dalam bahasa Indonesia, bahkan dalam bahasa daerah. Mengapa tidak digunakan? Paling alasannya, “Tidak keren, tidak gaya, tidak menyentuh, tidak hebat, tidak menggigit, dan sebagainya”. Semua alasan itu tentu menjatuhkan harkat dan martabat bahasa kita sendiri. Menjatuhkan harkat dan martabat bahasa sendiri sama dengan tidak menghargai kultur dan bangsa sendiri. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak kasus “keinggris-inggrisan” di daerah kita. Karena itu, pertanyaan selanjutnya adalah apa dan di mana peran Pusat Bahasa sekarang dalam menjaga, membina, dan mengembangkan bahasa nasional dan bahasa daerah? Kasus penggunaan bahasa asing seperti di atas juga mulai merambah ke layar kaca (telivisi). Tak perlu mengkaji terlalu jauh tentang ini, saya sekedar hendak mengatakan, sejumlah stasiun telivisi swasta sekarang lebih senang menggunakan istilah LIVE untuk siaran langsung. Padahal, masa Hasan Alwi menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa, dia sudah meminta semua stasiun telivisi (pemerintahan dan swasta) untuk menggunakan kata “SIARAN LANGSUNG” pada acara yang memang disiarkan secara langsung, bukan LIVE. Suatu kali pada masanya, Alwi mendapati salah satu stasiun telivisi swasta di Indonesia menggunakan kata LIVE. Kata ini biasanya muncul di sudut atas layar kaca kita saat acara tersebut berlangsung. Maksudnya untuk mengatakan acara itu disiarkan secara langsung, misalnya acara pertandingan sepak bola yang disiarkan secara langsung dari tempat berlangsungnya pertandingan tersebut. Alwi sebagai Kepala Pusat Bahasa kala itu langsung menelpon pemimpin redaksi TV swasta yang menyiarkan acara tersebut. Alwi meminta agar kata LIVE diganti dengan “SIARAN LANGSUNG”. Tidak puas berbicara melalui telpon, Alwi juga mengirimkan surat resmi kepada stasiun TV tersebut sehingga pada penyaiaran secara langsung berikutnya tidak ada lagi kata LIVE di sana. Sungguh sebuah kepiawaian. Kepiawaian Alwi sebagai orang nomor satu di Pusat Bahasa masa itu dengan menelpon langsung pemilik TV swasta jika menggunakan kata asing dalam siarannya sudah menjadi rahasia umum di kalangan pegawai Pusat Bahasa. Hal ini bukanlah sekedar celoteh saya. Namun, saya mendengar langsung dari salah seorang peserta “Seminar tentang Pengutamaan Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Lambang Jati Diri Bangsa” yang diikuti oleh guru-guru pengasuh matapelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMA se-Indonesia dan wartawan. Saat itu, saya diundang juga sebagai peserta. Dalam acara yang diselenggarakan di Pusat Bahasa, Jakarta, itulah saya mengetahui sekelumit kisah Alwi yang piawai dan peduli dalam menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia agar tidak terjebak dengan bahasa asing. Mengingat itu, menjadi pertanyaan untuk Kepala Pusat Bahasa sekarang, Dr. Dendy Sugono, yang membiarkan saja telivis-telivi saat ini menggunakan kata LIVE untuk pengungkapan “SIARAN LANGSUNG”. Saya pernah menanyakan hal ini kepada pembicara dan pegawai Pusat Bahasa, di depan peserta, pembicara, dan Kepala -Kepala Balai Bahasa yang hadir dalam seminar tersebut waktu itu, tetapi saya tidak mendapatkan jawaban. Salahkah saya jika mempunyai asumsi kinerja Sugono sebagai Kepala Pusat Bahasa sekarang perlu diperbaiki, perlu ditinjau ulang kembali?

Bahasa Daerah Bapak Abdullah Faridan yang terhormat, Setelah meninjau sejumlah kasus yang menjadi kegelisahan saya di tingkat nasional (bahasa Indonesia), izinkan pula saya berkisah sedikit tentang kondisi bahasa kita (bahasa Aceh) saat ini. Barangkali kisah ini juga bagian yang tersisa dari kuliah yang tidak sempat saya dapatkan dari Bapak. Di awal surat ini, saya sudah menyatir dengan sebuah pertanyaan, “Sudahkah masyarakat Aceh menghargai bangsanya?” Pertanyaan itu berkaitan dengan pemakaian/ penggunaan dan pelestarian bahasa Aceh sebagai lambang jati diri masyarakat Aceh. Bukankah bahasa menunjukkan bangsa sehingga ada adagium yang menuturkan “Bangsa yang baik adalah bangsa yang pintar menghargai bahasanya?” Hal ini diperkuat dalam sebuah pantun bijak, tingkap papan kayu persegi riga-riga di Pulau Angsa indah tampan karena budi tinggi bangsa karena bahasa

Oleh karena itu, saya menyisakan pertanyaan dalam sebuah bentuk kegalauan, sejauh mana masyarakat Aceh telah menghargai bangsanya, ditinjau dari segi pengutamaan penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar dalam masyarakat dan rumah tangga Aceh? Terus terang, saya menangkap gejala “keinggris-inggrisan” mulai menyerang Aceh pascatsunami. Entah karena banyaknya lembaga pemberi bantuan dari bangsa asing yang masuk ke Aceh sehingga orang Aceh pun “gila inggris” dalam membuat nama lembaganya? Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dibentuk di Aceh, oleh orang Aceh. Saya misalkan saja, Aceh Institute, katahati institute, Aceh Programe, Aceh Recoveri Forum, dan belakangan menyusul Sekolah Menulis Dokarim yang memakai stempel suratnya bertuliskan Dokarim School. Ini baru sebagian kecil, masih banyak nama-nama lainnya yang menggunakan bahasa asing, yang tak mungkin saya catat semua di surat singkat ini. Hemat saya, lebih baik menggunakan bahasa daerah guna mempopulerkan bahasa kita di khalayak. Jika sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah dalam nama-nama atau kegiatan resmi, sebuah keniscayaan bahasa Aceh dapat masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sehingga menjadi sebuah kebanggaan bagi kita, saat ada kosa kata bahasa Aceh yang dibakukan menjadi kosa kata bahasa nasional. Jujur saja, hati saya sangat miris, sakit, kecewa, dan entah apalagi, saat membolak-balik KBBI, tidak saya temui kosa kata bahasa Aceh yang masuk ke dalam KBBI sebagai kosa kata yang sudah menasional. Padahal, bahasa dari daerah lain meusipak- ayak dalam KBBI, terutama bahasa Jawa. Masuknya kosa kata dari bahasa daerah diakui menjadi kosa kata secara nasional adalah hal wajar, sebab salah satu fungsi bahasa daerah memang sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa tidak ada kosa kata dari bahasa Aceh yang masuk dalam KBBI sebagai salah satu kosa kata yang dapat memperkaya bahasa nasional? Mari melihat kembali KBBI. Beberapa lembar sebelum halaman terakhir, ada halaman yang khusus merincikan kata dan ungkapan bahasa daerah yang ada di Indonesia (halaman 1288-1289). Setelah saya baca dan teliti, tidak ada satu kata pun dari bahasa Aceh di sana. Berikut ini saya beberkan jumlah istilah dari bahasa daerah yang dirangkum KBBI. 1) dari bahasa Jawa ada 43 istilah 2) dari bahasa Minangkabau ada 20 istilah 3) dari bahasa Sunda ada 7 istilah 4) dari bahasa Kawi ada 7 istilah 5) dari bahasa Bali ada 3 istilah 6) dari bahasa Batak ada 2 istilah 7) dari bahasa Lombok ada 1 istilah 8) dari bahasa Lampung ada 1 istilah 9) dari bahasa Madura ada 1 istilah

Coba lihat, bahasa Jawa meusipak troem dalam kamus edisi terbaru itu. Pertanyaannya, dari bahasa Aceh mengapa tidak ada? Lantas, untuk apa ada cabang Pusat Bahasa di Aceh (Balai Bahasa Banda Aceh)? Melihat kenyataan ini, terus terang, kekecewaan saya kepada Pusat Bahasa semakin bertambah. Untuk apa juga Kepala Balai Bahasa Banda Aceh (sejak Almarhum Dr. Abdul Djunaidi sampai dengan Dr. Rajab Bahry) selalu diundang dalam seminar-seminar tentang bahasa oleh Pusat Bahasa? Apakah hanya sebagai pelengkap? Pak Faridan, bergumpal pertanyaan dan keresahan masih menyisa di benak saya, yang mungkin tak dapat saya tuangkan di sini semua. Namun, baiklah, saya masih menyisakan sebuah pertanyaan terakhir sebagai penutup kegundahan dan kerisauan melihat bahasa daerah kita yang selau terkesan dinafikan. bagaimana kalau kita tutup saja Balai Bahasa Banda Aceh? Malu saya punya bahasa daerah, Pak! Wassalam, dari Ananda yang selalu gundah menikmati bahasa. SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL JURUSAN PBSID FKIP UNSYIAH Darussalam, Banda Aceh, 25 Mei 2008

Pukul Kegiatan

08.30 : Peserta seminar telah berada di ruangan acara. 08.30-08.4 : Pembacaan Tata Tertib Acara 0 Azwardi, S.Pd., M.Hum. 08.40-08.5 : Pembacaan Ayat Suci Al-Quran 0 Zulhammi, S.Pd. 08.50-09.0 : Laporan Ketua Panitia 0 Dr. Mohd. Harun, M.Pd. 09.00-09.1 : Sambutan dan Pembukaan Acara 0 Dr. H. M. Yusuf Aziz, M.Pd. 09.10-09.2 : Pembacaan Kata Pengantar Buku 0 Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. 09.20-09.2 : Penyerahan Cinderamata 5 Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. 09.25-09.4 : Sambutan 0 Drs. H. Abdullah Faridan 09.40-09.5 : Kesan dan Pesan Murid 0 Basri M. Yusuf 09.50-10.0 : Tari Persembahan 0 Gemasastrin 10.00-11.30 : Seminar Sesi I Pemakala : Prof. Dr. A. Chaedar h Alwasilah, M.A. Moderator : Dr. Rajab Bahry, M.Pd. Notulis : Dra. Sa’adiah, M.Pd.

11.30-11.4 : Istirahat 5 11.45-12.45 Seminar Sesi II : Pemakala : Dr. Mohd. Harun, M.Pd. h Drs. Saifuddin Mahmud, M.Pd. Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. Moderator : Drs. Yusri Yusuf, M.Pd. Notulis : Muhammad Idham, S.Pd.

12.45-13.4 : Istirahat 5 13.45-15.4 : Seminar Sesi III 5 Pemakala : Dra. Rostina Taib, M.Hum. h Drs. Denni Iskandar, M.Pd. Azwardi, S.Pd., M.Hum. Moderator : Drs. Mukhlis, M.S. Notulis : Subhayni, S.Pd.

15.45-16.1 : Istirahat 5 16.15-17.1 : Pagelaran Seni 5 Gemasastrin 17.15-17.3 : Penutupan Acara : Azwardi, S.Pd., 0 M.Hum. 17.30-18.0 : Penyerahan Sertifikat : Panitia 0 18.00 : Selesai KEPUTUSAN KETUA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FKIP UNSYIAH NOMOR: 080 TAHUN 2008

tentang Panitia Acara Purnabakti Drs. H. Abdullah Faridan

KETUA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FKIP UNSYIAH

Menimban : a bahwa untuk kelancaran acara purnabakti g . Drs. H. Abdullah Faridan perlu dibentuk Panitia; b bahwa saudara-saudara yang namanya tersebut . pada lampiran keputusan ini dipandang mampu untuk ditunjuk sebagai Panitia Acara Purnabakti tersebut; c. bahwa untuk keperluan yang dimaksud perlu ditetapkan dengan keputusan Ketua Jurusan.

Mengingat : hasil rapat Jurusan PBSID FKIP Unsyiah tanggal 10 Mei 2008

MEMUTUSKAN

Menetapk : an Pertama : Menunjuk Panitia Acara Purnabakti Drs. H. Abdullah Faridan dengan susunan personalia sebagimana tercantum dalam lampiran keputusan ini; Kedua : Panitia Acara Purnabakti Drs. H. Abdullah Faridan dalam melaksanakan tugasnya bertang-gung jawab kepada Ketua Jurusan; Ketiga : Keputusan ini mulai berlaku pada tangal ditetapkan.

Ditetapkan di Darussalam, Banda Aceh tanggal 11 Mei 2008 Ketua Jurusan,

Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. NIP 132011417

Lampiran : Keputusan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala Nomor: 080 Tahun 2008 Tanggal 12 Mei 2008

Penanggung : Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Jawab Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Unsyiah

Ketua Panitia : Dr. Mohd. Harun, M.Pd.

Wakil Ketua : Drs. Wildan, M.Pd.

Sekretaris : Muhammad Iqbal, S.Pd., S.H.

Bendahara : Dra. Sa’adiah, M.Pd.

Seksi Acara dan : 1. Azwardi, S. Pd., M.Hum. Tempat 2. Muhammad Idham, S.Pd.

Seksi Konsumsi : 1. Drs. Saifuddin Mahmud, M.Pd. 2. Drs. Razali, M.Pd. 3. Subhayni, S.Pd.

Koordinator Kegiatan : 1. Drs. Mukhlis, M.S. Mahasiswa 2. Budi Arianto, S.Pd. Ditetapkan di Darussalam, Banda Aceh tanggal 11 Mei 2008 Ketua Jurusan,

Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. NIP 132011417