PERGULATAN KAUM MUSLIM MINORITAS Versus Multikulturalisme dan Sekularisme

Oleh Dr. M. Amin Nurdin, MA.

USHUL PRESS

Perpustakaan Nasional Katalog dalam terbitan (KDT) Nurdin, Amin, 2009 Pegulatan Kaum Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme/ M. Amin Nurdin Jakarta: Ushul Press, 2009 X, 260 hlm, 14x21 cm

ISBN : 978-602-8700-91-6

M. Amin Nurdin Pergulatan Kaum Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme

Lay-out dan desain cover : Ali Ma’mun Gambar Sampul Departement of Immigration and Multicultural Affairs Penerbit :Ushul Press Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412 Cetakan Pertama 2009 Dicetak oleh Sejahtera Kita Jl. HOS. Cokroaminoto (Kreo) No. 103 Ciledug Raya Tangerang Tlp. 021-73451975 (Isi diluar tanggungjawab percetakan)

Copyright 2009 M. Amin Nurdin Dilarang mengutip sebagian seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin foto copy, tanpa izin sah dari penerbit. V

KATA PENGANTAR

Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah hasil penelitian penulis untuk mengambil gelar doktor di Sekolah Pascasarjana Univeersitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullaj Jakarta. Penelitian ini membahas kehidupan beragama dalam masyarakat Australia, yang pada mulanya ide itu muncul secara tidak sengaja dari obrolan penulis dengan Dr Lea Jellineck dan Mr Hugh O’Neal – keduanya dosen di Universitas , dalam suatu undangan makan siang di rumah Hugh O’Neal, di tengah kota Melbourne. Ketika mendengar rencana penulis tentang tema penelitian disertasi yang membahas kehidupan beragama di Indonesia, kedua Indonesianist ini menyarankan penulis untuk meneliti posisi agama di tengah masyarakat Australia yang multikultural, karena sangat terbatasnya literatur yang membahas hal ity. Tanpa disadari mereka berdua, topik diskusi tersebut ternyata telah menginspirasi penulis dan mewujudkannya menjadi sebuah penelitian disertasi. Karena itu, penulis merasa perlu mengucapja terima kasih kepada keduanya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada alm. Prof.Dr.Harun Nasution, ketika itu menjabat Direktur Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN – sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta – yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di lembaga yang dipimpinnya. Ucapan terima kasih juga kepada Departemen Agama R>I, yang telah memberikan beasiswa sejak Program S2 hingga S3. Begitu pula kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat itu dijabat Prof.Dr.Azyumardi Azra, MA, yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini, sekaligus menjadi pembimbing disertasi bersama Prof.Dr.M.Bambang Pranowo. Terima kasih kepada beliau berdua, yang telah bersedia meluangkan waktu, dan membagi ilmu kepada penulis selama proses pembimbingab penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada senior penulis, Fachry Ali, yang telah membantu selama proses penelitian dalam bentuk meminjamkan buku-buku yang diperlukan dan memberikan koreksi-koreksi yang sangat berguna dalam penulisan disertasi. Tanpa disadari, beliau telah ikut pula menjadi pembimbing penulis, selain VI

pembimbing utama. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Bahtiar Effendi, MA, yang dengan segala senang hati sering memberikan buku dan bahan— bahan referensi. Dalam penulisan awal draft disertasi, penulis banyak dibantu oleh seorang pemuka agama Islam di Australua dan mantan Sekretaris Jenderal Australian Federation of Islamic Council (AFIC), Bilal Cleland, yang telah berjasa mempertemukan penulis dengan Pengurus AFIC di Melbourne dan memberikan akses bacaan yang begitu banyak tentang Islam di Australia. Demikian pula kepada Prof.Dr.Abdullah Saeed, Ketua Jurusan Islamic Studies di Melbourne University, yang membuka pintu lembaganya untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan. Penulis berhutang budi kepada para pustakawan di berbagai perpustakaan universitas di dan Melbourne, khususnya Melbourne University. Juga ucapan yang sama kepada staf perpustakaan American Corner di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman, yang tidak bisa disbutkan satu persatu atas dukungan mereka. Dan yang terpenting, penulis mengucapkan terima kasih kepada almarhum ayahanda Nurdin Dt.Majo Sati dan ibunda Hj.Roana Kamil serta kedua almarhum mertua: H.M.Joesoef Ahmad dab Hj.Aminah Amrab, yang telah mendorong penulis untuk menempuh pendidikan tertinggi. Khusus kepada isteri tercinta, Dr Jusna Joesoef Ahmad dan ananda Faruki, penulis mengucapkan terima kaih atas pengertian, dukungan dan kesabaran selama berlangsungnya penelitian.

Jakarta, 9 November 2009

VII

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii BAB I: PENDAHULUAN 1 1 A. Latar Belakang Masalah 1 1 B. Perumusan dan Batasan Masalah 16 5 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 17 D. Kajian Pustaka 18 6 D. Metodologi Penelitian 25 F. Organisasi Penelitian 27 8

BAB II: MASYARAKAT AUSTRALIA 43 A. Sejarah Berdirinya Negara Australia 29 B. Pengelompokan Sosial-Budaya, Etnik, dan Agama dalam Masyarakat Australia 41 C. Multikulturalisme sebagai Ideologi Negara 61

BAB III: MUSLIM AUSTRALIA: LATAR BELAKANG SEJARAH DAN SOSIO-DEMOGRAFI 10 A. Latar Belakang Sejarah 93 B. Negara Asal Muslim Australia135 112 10 C. Interaksi Komunitas Muslim dengan Masyarakat Australia 120 1. Persepsi Komunitas Islam terhadap Masyarakat Australia 127 2. Persepsi Masyarakat Australia terhadap Komunitas Islam 132 67 BAB IV: DINAMIKA KOMUNITAS ISLAM AUSTRALIA A. Inkubasi Lembaga Kepemimpinan 138 1. Mesjid sebaga Pusat Agama dan Aktifitas Sosial 138 2. Organisasi-organisasi Muslim Australia 142

VIII

B. Kepemimpinan Kelompok dan Individual dalam Komunitas Muslim 146 1. Asal-usul Pemimpin Kelompok 150 2. Asal-usul Pemimpin Individu 152 84 C. Latar belakang Sosio-Ekonomi Komunitas Muslim Australia 160 1. Profil Usia dan Jenis Kelamin 164 2. Pemukiman 165 3. Pendidikan 176 4. Pekerjaan 277

BAB V: “SYMBOLIC WORLD”: ISLAM DAN IDE MULTI- KULTURALISME 184 A. Interaksi Islam dan Multikulturalisme Australia 186 B. Refleksi Islam terhadap Multikulturalisme 195

BAB V: KESIMPULAN/PENUTUP A. Kesimpulan 201 B. Saran saran 214

DAFTAR BACAAN 216 LAMPIRAN-LAMPIRAN 258 90

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Latar belakang sejarah keberadaan umat Islam di Australia telah berumur panjang. Bahkan sebelum kaum kulit putih menduduki daratan Australia di tahun 1778, para nelayan Makassar telah lalu lalang di daerah pantai Darwin untuk mencari trepang yang kemudian dijual untuk pasar daratan Tiongkok. Mereka sempat pula menikahi wanita penduduk asli Australia, Aborigin, sambil mengenalkan agama Islam. Namun karena langkanya sumber-sumber tertulis pada masa-masa awal keberadaan masyarakat Muslim di Australia, maka beberapa buku yang menulis tentang sejarah awal kedatangan Muslim lebih banyak merujuk kepada orang-orang Afghanistan sebagai penunggang onta.1 Sejarah kehadiran Islam di Australia baru tercatat dalam dokumentasi Australia diawali dengan kedatangan kelompok Afghanistan pada bulan Juni 1860. Kedatangan mereka berkaitan dengan perlunya tenaga kerja dan alat transportasi onta dalam pembukaan lahan-lahan pertanian dan eksplorasi tambang mineral di daerah pedalaman Australia. Kontribusi mereka dalam pertumbuhan ekonomi negara diakui secara luas oleh masyaraka Australia, khususnya dalam masa-masa awal eksplorasi. Namun tidak lebih dalam 35 tahun berikutnya merupakan masa kemunduran bagi umat Islam ketika pemerintah federasi Australia yang baru saja terbentuk memaklumatkan The White Australian Policy (Kebijakan Kulit Putih Australia) yang berbau rasis dan diskriminatif di tahun 1901. Kebijakan ini menetapkan penolakan kepada penduduk non-Eropa untuk mengajukan hak-hak permohonan naturalisasi untuk menjadi penduduk menetap. Hal ini berakibat bagi kelompok Muslim dengan sulitnya kesempatan untuk mencari pekerjaan sehingga mereka menjadi kelompok marjinal. Akhirnya, sebagian besar dari mereka kembali ke kampung halamannya, sedangkan sebagian kecil lainnya (4.000 orang) tetap menetap di Australia.

1Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, Islamic Council of , Melbourne, 2002, h. 5. 2

Masa-masa pembentukan basis populasi kaum Muslim di Australia baru terjadi sejak tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Hal ini diawali dengan persoalan domestik berupa kurangnya tenaga kerja dan persoalan internasional berupa ancaman pendudukan tentara Jepang ke kawasan Asia Timur yang terjadi sebelum dan setelah Perang Dunia II. Kedua situasi yang tak menguntungkan ini mendorong pemerintah Australia segera mempercepat pertambahan populasi dalam kerangka pertahanan nasional jangka panjang dengan cara memperlunak seleksi kriteria imigrasi para migran dan refugee, sekaligus dapat memperkuat proses industrialisasi yang sedang berlangsung.2 Hingga pertengahan 1950-an, kedatangan etnis muslim masih sedikit, namun mereka memiliki pendidikan yang tinggi dan profesional. Pada tahun 1960-an, penduduk muslim berdatangan dengan jumlah yang sangat besar (lebih kurang 10.000 jiwa), khususnya dari Turki, dengan adanya perjanjian antara pemerintah Australia dan Turki. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1970-an dengan kedatangan etnis yang mayoritas Muslim dari Libanon yang berjumlah ratusan ribu orang sebagai pengungsi (refugees) karena adanya perang saudara di daerah asalnya, disusul lagi dari Palestina. Kedatangan kaum muslim berikutnya terjadi setiap tahun dari berbagai negara, seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, India, dan Banglades. Kehadiran mereka telah membentuk sebuah basis komunitas Islam tersendiri sehingga secara keseluruhan jumlah penduduk Australia sampai tahun 1998 meningkat dua kali lipat dibanding setelah Perang Dunia II di tahun 1947. Komunitas-komunitas Islam yang telah terbentuk melakukan aktifitas sosial bermula dari mesjid, karena tempat ini merupakan pusat kegiatan ibadah dan sosial. Fungsi mesjid yang terdapat di lingkungan maupun di kota yang mereka tempati merupakan faktor integrasi antar berbagai etnis. Setidaknya faktor ini dapat mereduksi kesetiaan etnis yang berlebihan. Mesjid memiliki peran sentral dalam kehidupan komunitas muslim baik secara keagamaan (ibadat) maupun sosial. Mesjid menjadi pusat ibadat dan tempat ekspresi, interpretasi, dan perayaan upacara-upacara keagamaan. Dengan demikian, ia juga menjadi rujukan komunitas dan alat identifikasi

2Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of ’, dalam Mary L, Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, Law Printer, Melbourne,

3

diri. Hampir semua aktifitas keagamaan dan sosial ummat Islam Australia dikendalikan dari rumah Tuhan ini. Kemajuan Islam di Australia sebangun dan identik dengan mudahnya diketemukan berpuluh-puluh mesjid yang didirikan di berbagai kota, khususnya di dan Victoria. Dukungan pemerintah terhadap pendirian mesjid sangat kondusif. Hal ini dapat dilihat ketika peresmian mesjid terbesar di Preston, Victoria, disaksikan oleh wakil pribadi Perdana Menteri Malcolm Fraser dan Archbishop Roma Katholik Roma Melbourne.3 Upaya memayungi berbagai etnis muslim oleh berbagai pemimpin kelompok komunitas telah pula melahirkan berbagai organisasi, mulai dari tingkat negara bagian sampai negara federal. Pada tingkat federal ada Dewan Federasi Islam Australia (The Australian Federation of Islamic Councils/AFIC) dan tingkat negara bagian, yang berfungsi sebagai representasi komunitas muslim di tingkat pemerintahan, seperti The Islamic Council of Victoria. AFIC merupakan organisasi yang mewakili suara komunitas muslim di tingkat negara federal, di samping berfungsi membantu pendanaan dan memfasilitasi berbagai kebutuhan umat Islam Australia. Organisasi ini dibiayai oleh dukungan masyarakat lokal, negara-negara muslim penghasil minyak, dan hasil dari penerbitan sertifikat halal. Konsekuensi imigrasi bagi masyarakat Australia dan kaum pendatang muslim (dan migran pada umumnya) terletak di luar batas demografis semata, tetapi juga berkait dengan dimensi-dimensi sosial, budaya, agama, politik, dan ekonomi. Hal ini dapat dilihat bagaimana respon masyarakat Australia terhadap kaum Muslim dan sebaliknya, bagaimana respon kaum merekai untuk beradaptasi dan berintegrasi di dalam rumah mereka yang baru. Respon masyarakat Australia tercitrakan dalam pemberian streotype terhadap masyarakat Muslim sebagai sekte minoritas dengan segala konotasi yang menggambarkan ketiadaan sejarah atau peradaban dan potensial menjadi anggota komplotan konspirasi internasional yang berbahaya. Sebagian ‘image’ memang disadari atau tidak terbentuk oleh dominasi media yang memihak dan peristiwa-peristiwa politik dan berdarah internasional lainnya yang dikait-kaitkan

h. 52. 3Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, Altamira Press, New York, 2002, h. 211.

4

langsung dengan umat Islam Australia. Akibatnya, mereka menuai prasangka dan tindakan diskriminatif dalam bentuk penolakan, isolasi, dan kebencian. Respon kelompok Muslim yang berinteraksi dengan masyarakat Australia mengalami ‘kegagapan’ ketika sederet kekayaan budaya dan pluralisme latar belakang mereka berbeda dengan lingkungan mereka yang baru. Banyak dari mereka merasa tercerabut dan mengalami trauma saat menemukan diri mereka sebagai sebuah minoritas agama dan dipaksa untuk mengadopsi berbagai budaya yang berbeda. Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakaan respon yang sering terjadi dan bisa dipahami dapat menghambat proses adaptasi dan pembauran di tengah masyarakat Australia. Hal ini terlihat dari orientasi kontak sosial cenderung yang kepada etnik dengan segala pernik-pernik budayanya. Respon lain kelompok Muslim adalah terbawanya pemikiran mereka yang konservatif terhadap nilai-nilai demokrasi, kesetaraan jender, dan praktek keagamaan. Hal ini bisa dipahami, karena latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan yang masih rendah ketika mereka baru datang ke negara yang ‘asing’ ini. Corak pemikiran yang konservatif tersebut terlihat pada penolakan terhadap proses modernitas dan menuntut idealisasi ideologi politik Islam dan sistem pengadilan syariat yang secara de jure dan de facto bertentangan dengan ideologi multikulturalisme Australia.4 Kondisi ini menimbulkan citra bahwa komunitas Muslim sulit menyesuaikan diri sehingga dicap sebagai salah satu biang keladi potensial konflik sosial masyarakat Australia. Karena itu, masyarakat Australia menganggap keberadaan kelompok Muslim di Australia sebagai salah satu faktor keberhasilan atau kegagalan penerapan ideologi Multikulturalisme dalam membentuk sebuah identitas nasional Australia yang kohesif dan integratif. Namun dalam proses adaptasi dan integrasi kelompok Muslim dalam arus masyarakat Australia pada masa-masa berikutnya mengalami perubahan yang signifikan sehingga membuka ruang baru pula terhadap penafsiran agama. Perubahan sikap tersebut memunculkan sepenggal cahaya dan optimisme terhadap masa depan

4Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211.

5

Islam Australia untuk bisa beradaptasi dan kemudian berintegrasi dengan masyarakat dan negara Australia. Pemerintah Australia sendiri memiliki komitmen untuk menciptakan ‘sense of belonging’ dan penciptaan pengertian agama secara timbal balik. Hal ini antara lain dilanjutkan dengan pendirian the World Conference on Religion and Peace (WCRPA), yang merintis peran pendorong dan dukungan terhadap kelompok imigran baru dengan berbagai dialog dan pertemuan lintas agama.5 Persoalan lain yang dihadapi Komunitas Muslim adalah belum terbentuknya satu kesatuan komunitas etnis Islam yang kuat sebagai sebuah ummah, tetapi masih terfragmentasi dalam berbagai etnis. Faktor kesetiaan etnis masih tetap dipelihara sehingga interaksi sosial di antara mereka sangat terbatas. Etnis Turki, Libanon, dan Albania sangat menonjol bagaikan sebuah festival lansekap Islam Australia, yang masih berjalan sendiri-sendiri. Mungkin dapat dimengerti, fragmentasi etnis Muslim ini pada dasarnya merupakan sebuah konsekuensi yang tidak dapat terelakkan bagi psikologi masyarakat yang menempati ‘rumah baru’ yang masih asing. Faktor fragmentasi dalam etnis Islam dan adaptasi dengan nilai-nilai hegemoni masyarakat Australia di atas, telah memunuculkan persoalan integrasi dan kohesi sosial dalam masyarakat Australia. Secara faktual, kaum Muslim di Australia merupakan representasi hubungan sosial dengan masyarakat Australia pada umumnya, karena mereka menempati posisi ketiga jumlah penganut agama setelah agama Budha (lebih 1,5%= k.l. 300.000 orang) setelah agama Kristen yang menjadi penganut mayoritas. Persoalan-persoalan yang dihadapi para migran direspon pemerintah Australia dengan cara menetapkan multikulturalisme sebagai kebijakan dan penerapan dalam mengatur anggota masyarakatnya agar tercipta suatu masyarakat yang harmonis dan terhindar dari berbagai konflik kepentingan. Multikulturalisme6 yang diterapkan Pemerintah Australia sudah menjadi istilah yang secara luas diterima masyarakat

5Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211. 6Multikulturalisme berasal dari kata multi (jamak), kultur, dan isme (paham). ‘Multikultural’ adalah kata sifat yang merujuk pada fakta keragaman, sementara "multikulturalisme" menunjuk pada sikap normatif atas fakta keragaman itu. Diolah dari Bruce Moore (ed.), The Australian Concise Oxford Dictionary, Oxford University Press, Melbourne, 1997, h. 878.

6

kontemporer sebagai konsep sosial yang ideal dalam ideologi negara ‘Dunia Baru’ vis-a-vis ‘Dunia Lama’ yang bersifat konservatif, rasis, dan fasis. Secara historis, multikulturalisme merupakan fenomena baru yang muncul seiring dengan mengalirnya para imigran dari ‘Dunia Timur’ ke negara-negara Barat terutama setelah Perang Dunia II dan meningkat pada tahun 1960-an. Imigrasi ini pada gilirannya berakibat kepada perubahan komposisi demografis baik secara etnik, sosial, dan budaya. Sejalan dengan munculnya problems of migrant yang merupakan akibat langsung dari adanya perbedaan budaya yang dibawa dari negara asal dengan prinsip- prinsip nilai yang berkembang dalam kebudayaan negara yang didatangi.7 Era baru ini menandai munculnya sebuah politik kebudayaan baru dalam menghadapi perbedaan.

Bagi beberapa negara yang menerapkan demokrasi liberal, pendekatan budaya dan ideologi ‘multikultural’ dianggap lebih baik daripada pendekatan ‘assimilisi’ dalam menyikapi realitas keberagamaan etnik dan budaya penduduk pendatang yang menjadi kelompok minoritas di tengah mainstream budaya Kulit Putih.8 Sebagaimana diketahui, ideologi assimilasi, dibangun atas asumsi bahwa kaum pendatang diharapkan mampu melepaskan cara hidup lama mereka dengan cara menyesuaikan diri dalam kerangka budaya dan gaya hidup Barat (western conformism). Di sini, nilai-nilai kebudayaan Barat harus menjadi rujukan utama, sedangkan komponen budaya etnis minoritas pendatang menjadi pelengkap bagi kebudayaan baru itu. Seiring dengan munculnya kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan bagi kelompok minoritas sebagai akibat langsung dari fluktuasi komposisi populasi kaum migran yang membengkak, ideologi assimilasi yang dikembangkan menuai kritik tajam yang memuncak sekitar tahun 1960-an. Pada gilirannya, wacana perbaikan nasib kaum minoritas ini memunculkan sebuah pandangan baru dalam melihat relasi antar-etnis yang dikenal sebagai ideologi multikulturalisme. Betapapun, bagi beberapa

7Joseph H. Carens and Melissa S. Williams, ‘Muslim Minorities in Liberal Democracies: The Politics of Misrecognition’, dalam Reiner Baubock, et al (eds.), The Challenge of Diversity: Integration and Pluralism in Societies of Immigration, Avebury, Vermont, 1996, h. 157. 8Jean I. Martin, The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, George Allen &Unwin, Sydney, 1978, h. 207. Lihat juga James Jupp, ‘One among Many”, dalam David Goodman, et al,

7

kalangan tertentu, wacana multikulturalisme merupakan ancaman bagi identitas nasional dan ‘way of life’ Barat, namun ideologi ini dipandang mampu memecahkan masalah hak-hak sosial, politik, dan ekonomi kelompok minoritas,9 serta mendorong terwujudnya perlindungan identitas dan budaya kelompok minoritas. Perlu digaris bawahi bahwa istilah multikuralisme memang multi-tafsir dan multi-dimensional.10 Beberapa sarjana mendefinisikan multikulturalisme sebagai suatu kenyataan sosial adanya kelompok-kelompok masyarakat dari beraneka budaya yang tinggal menetap bersama, suka maupun tidak suka, di sebuah negara. Ada juga definisi multikulturalisme sebagai sebuah tatanan sosial ideal berupa lambang dari prinsip-prinsip keadilan sosial yang mengemukakan tentang hak-hak, nilai, dan kesetaraan kelompok dari berbagai tradisi budaya dan etnik. Pendapat pertama merujuk kepada terma multikulturalisme dalam arti demografi empiris dan fakta sosiologis, sedangkan pendapat kedua merujuk kepada terma ideologis dan konsep normatif tentang way of life atau bagaimana seharusnya masyarakat itu diatur (should be organised). Kedua terma ini dalam multikulturalisme bisa digunakan

Multicultural Australia: The Challenges of Change, Scribe and the , Victoria, 1991, h. 124. 9Ellie Vasta, ‘Multiculturalism and Ethnic Identity: Relationship between Racism and Resistance’, dalam Australian and New Zealand Journal of Sociology, no.2, August 1993, h. 209-210. 10Menurut West, Collins, dan Lemert, multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari posmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan yang mengambil ide dari gagasan posmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka. Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna hanya dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari titik ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternatif yang secara fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman. Multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka. Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal kemngkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai mengubah struktur sosial secara keseluruhan. Teori sosial kritis, menurut Ben Agger, adalah menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, dengan menyatakan bahwa perubahan sosial tidak dapat berlangsung di pundak individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri. Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus di akui. Lebih luas lagi, pluraisme adalah sebuah faham tentang pluraitas, demikian definisi yang disampaikan oleh Richard J.Mouw dan Sander Griffon. Pengertian seperti ini, menurut mereka, akan lebih bermakna ketika seseorang mengakui dan meyakini bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai banyaknya perbedaan itu. Diakses dari www.huttaqi/universal communication.

8

secara bergantian.11 Namun dalam pembahasan penelitian ini, lebih banyak merujuk kepada terma terakhir. Begitu pula pengertian tentang ‘ideologi’ yang terdapat dalam multikultural adalah sebuah konsep yang dapat dibagi dalam 2 kategori: Netral dan kritik. Netral berorietansi pada ‘pandangan dunia’ (world views) atau sistem kepercayaan (system of belief). Kritik dalam artian bagaimana ideologi itu dikonseptualisasikan dalam memelihara sebuah sistem dominasi atau tradisi (Marx). Edward Shils mendefinisikan ideologi sebagai seperangkat ide, sikap, dan kepercayaan yang sistematis mengenai manusia, negara, masyarakat, dan bentuk ideal dari suatu masyarakat yang diingin-kan.12 Dalam pembahasan materi multikulturalisme lebih ditekankan kepada aspek ‘netral’ daripada ‘kritis’. Pengertian multikulturalisme sebagai ideologi di Australia merupakan model yang dianggap paling cocok dalam mengatur hubungan antar etnis dan bangsa yang berjumlah 170-an dan dasar rujukan peraturan-peraturan pemerintah Australia dalam mengambil kebijakan. Dimensi-dimensi multikulturalisme tidak hanya berkait dengan masalah toleransi, tetapi juga penerimaan dengan baik budaya lain sebagai sesuatu yang mempunyai nilai yang sama untuk dikembangkan masyarakat itu sendiri. Hal ini terlihat pada tujuan multikulturalisme, yaitu pertama, perekat sosial (social cohesion), yang bertujuan agar aneka kelompok dapat berinteraksi dengan berbagai cara guna mencapai kebutuhan bersama; kedua, identitas budaya (cultural identity), yaitu hak masyarakat dijamin dan diperbolehkan untuk mengekspresikan dan mewarisi budaya masing-masing, termasuk bahasa dan agama; ketiga, persamaan kesempatan dan akses (equality and acces) di mana masyarakat diberi kesempatan dan akses yang sama dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi dan pekerjaan; keempat, rasa tanggungjawab (equal responsbility), komitmen dan partisipasi yang sama (commitment and participation) yang mensyaratkan kelompok minoritas setia

11Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, MelbourneUniversity Press, Melbourne, 2000, h. 3. 12Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 3.

9

kepada negara melalui rasa tanggungjawab dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat dan berpegang teguh kepada ideologi multikultural.13 Apakah multikulturalisme dapat menjadi model alternatif dalam membangun masa depan bangsa? Masalah ini menimbulkan dua pendapat yang dapat dilihat dari sisi negatif dan positif. Pandangan yang negatif mengatakan bahwa multikulturalisme dan etnisitas merupakan suatu ancaman bagi bangsa dan way of life Barat. Pendapat sebaliknya mengatakan, ideologi multikulturalisme dan etnisitas mampu memecahkan masalah hak-hak sosial, politik, dan ekonomi kelompok minoritas. Namun dalam kenyataannya, pendapat negatif yang datang dari kelompok konservatif tidak mendapat dukungan masyarakat pada umumnya. Berangkat dari pengalaman negara-negara yang sudah menjadikan multikulturalisme sebagai ideologi, seperti Australia dan Canada yang penduduknya bersifat multi-etnis dan bangsa terlihat mampu meredam ketegangan-ketegangan dan kekerasan-kekerasan dalam bentuk konflik budaya dan agama, termasuk terorisme serta radikalisme. Kedua negara ini, khususnya Australia banyak dijadikan model multikulturalisme di banyak negara dunia dalam membangun suatu kesatuan sosial (social integration) dan kohesi sosial (social cohesiveness) hingga saat ini. Sejak tahun 1975, multikulturalisme telah menjadi ideologi negara dan menjadi babak baru sejarah Australia dalam menapak jalan kenegaraan dan kebangsaan di masa berikutnya. Ini merupakan sebuah usaha domestikasi komunitas- komunitas sosial etnik14 yang bertaburan dan fluktuatif serta rawan konflik. Babak baru dimulai setelah berbagai usaha dilakukan negara sebelumnya di dalam menerima kehadiran para migran15.

13Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1989, h. 37.

14Terma etnik merujuk pada individu atau kelompok minoritas yang bukan latar belakang Anglo- Saxon-British, warganegara, dan bukan dari suku Aborigin. Lihat Jean I. Martin, The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, h. 15. 15Terma migran merujuk pada individu atau kelompok minoritas/imigran, lahir di luar Australia dan bukan warganegara, pendatang baru dan penetap permanen (permanent residents). Lihat Jean I. Martin, The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, h. 15.

10

Kebijakan ini adalah suatu usaha rekayasa sosial politik (social engeneering) dalam kerangka meredam ketegangan dan kekerasan dalam bentuk konflik budaya, terorisme, dan radikalisme. Dalam realitas sosial ini, terlihat kecilnya kemungkinan konflik etnis sosial, budaya, dan agama yang selama ini terjadi Australia.

B. Perumusan dan Batasan Masalah Permasalahan di atas menggambarkan bahwa komunitas Muslim di Australia memiliki hambatan-hambatan baik secara internal maupun eksternal dalam menyesuaikan diri dengan tempat mereka yang baru, khususnya sejak gelombang besar migrasi Muslim di tahun 1960-an dan 1970-an bersamaan dengan diberlakukannya ideologi multikulturalisme di tahun 1975 sebagai dasar kebijakan politik pemerintah dalam mengatur urusan antar-etnis, karena beragamnya etnik, sosial, budaya, dan agama. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana komunitas Muslim Australia berintegrasi dan ‘survive’ dalam masyarakat Australia di tengah pertentangan antara resitensi identital kultural Islam dan ideologi multikulturalisme yang sekuler di Australia. Kajian penelitian ini terbatas pada tiga hal, yaitu pertama, upaya kelompok migran Muslim dengan berbagai persoalan internal dan eksternal dalam menyesuaikan diri di Australia setelah munculnya kebijakan multikulturalisme Australia di tahun 1975. Kedua, pembahasan sejarah munculnya ideologi multikulturalisme yang sensitif dan kontroversial di tengah dominasi budaya Australia yang sekuler serta akomodasinya terhadap realitas etnis yang plural bagi terbentuknya sebuah identitas nasional Australia. Ketiga, model integrasi yang dilperlukan komunitas Muslim dalam memelihara identitas kultural mereka sehingga tidak bertentangan dengan ideologi multikuralisme yang sekuler di Australia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian tentang Islam dan Multikulturalisme ini bertujuan sebagai berikut:

11

a. Untuk mengetahui sejarah kedatangan, perkembangan, dan dinamika kelompok minoritas Muslim di Australia baik dalam dimensi etnis, budaya, ekonomi maupun pendidikan, b. Untuk mengetahui tentang asal-usul multikulturalisme, perkembangan, dan bagaimana ideologi ini diterima sebagai tatanan ideal kebijakan politik negara Australia dalam mengelola konflik dalam realitas masyarakatnya yang plural. c. Untuk mengetahui sejauhmana kaum Muslim Australia bisa menyesuaikan diri dan tetap ‘survive’ di tengah pergumulan antara resistensi kultural Islam di satu pihak dan kebijakan multikulturalisme yang sekuler di Australia di pihak lain.. Adapun kegunaan dari penelitian ini, yaitu: a. Sebagai fenomena dunia modern, multikulturalisme dapat dijadikan model ideologi politik yang ideal bagi suatu negara yang memiliki penduduk yang beragam kultur, etnik, budaya, dan agama. dalam membangun harmoni dan kesatuan sosial. b. Penelitian ini juga berguna untuk memecahkan masalah konflik antara ‘religous culture’ dan secular culture’’ dan ‘clash of civilization’ dalam pertemuan Islam dan Barat. c. Kajian dan penelitian yang membahas agama di Australia relatif masih terbats, karena itu penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi khazanah literatur tentang etnik minoritas Muslim dan kehidupan beragama di Australia.

D. Kajian Pustaka Pada umumnya penelitian tentang agama-agama, khususnya Islam dan kelompok Muslim di Australia masih sangat terbatas. Namun sejak tahun 1995, isu tentang Islam mulai menarik perhatian masyarakat Australia seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk Muslim dan tumbuhnya keingintahuan mereka tentang Islam itu sendiri. Di samping itu, peristiwa-peristiwa internasional yang secara tidak langsung berkaitan dengan citra Islam di Australia. Penelitian-penelitian

12

tersebut tidak hanya dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim Australia, tetapi juga dari kalangan sarjana non-Muslim yang bekerja di lembaga pemerintahan dan di berbagai lembaga penelitian perguruan tinggi, seperti Universitas Monash dan Universitas Melbourne. Jumlah kajian penelitian tentang Islam semakin meningkat ketika terjadinya peristiwa penyerangan pusat ekonomi dan keamanan Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001 dan diikuti tragedi bom Bali dua tahun berikutnya, yang memakan korban sebagian besar turis asal Australia. Isu-isu yang diteliti sebagian besar masih berkaitan dengan pengenalan tentang ajaran Islam, sejarah kedatangan, dan profil umat Islam, yang ditujukan kepada masyarakat luas Australia, khususnya masyarakat kulit putih. Isu lain yang juga diteliti adalah berbagai persoalan yang dihadapi kelompok migran Muslim sebagai etnik minoritas dalam beradaptasi dengan rumah mereka yang baru baik dari aspek pemukiman, kesejahteraan, dan pendidikan maupun implikasi ideologi multikulturalisme sebagai kebijakan politik Australia terhadap umat Islam di Australia. Salah satu isu penting dan krusial dalam perjalanan sejarah politik Australia adalah ideologi multikulturalisme. Ideologi ini bertujuan untuk menciptakan suatu identitas nasional yang menekankan kehidupan yang harmonis dalam jangka panjang, yang tidak hanya memperkaya modal sosial masyarakat Australia, tetapi juga solusi menghadapi tantangan-tantangan dari berbagai kelompok etnik dan agama bagi masa depan negara Australia. Sejauh pengamatan peneliti, tantangan dari kelompok etnik Muslim di tengah multikulturalisme Australia, baru diteliti oleh seorang sarjana Muslim bernama Begum Zubaida pada tahun 1981 atau 24 tahun lalu dalam disertasinya berjudul ‘Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria’ di . Dalam disertasinya, ia mengidentifikasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat Islam di kota Melbourne tentang masa depan pendidikan Islam anak-anak mereka yang multikultural akibat diberlakukannya ideologi tersebut.16

16Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria, unpublished dissertation, Monash University, Melbourne, 1984, h. 235-236..

13

Menurut hasil penelitiannya ketika itu, ada dua pandangan masyarakat Islam yang berbeda terhadap pemberlakuan ideologi multikulturalisme tersebut, yaitu Kelompok Konservatif dan Moderat. Kelompok Konservatif menganggap ideologi Islam yang selama ini menjadi dasar pemikiran mereka bertentangan dengan ideologi multikulturalisme yang sekuler. Kelompok ini berpendapat bahwa Islam merupakan ideologi politik yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan menuntut diberlakukannya negara Islam serta pemberlakuan sistem syariat Islam di Australia bagi warganya yang beragama Islam. Secara teologis, Islam bukan hanya sebagai seperangkat doktrin, tetapi juga mencakup kebudayaan dan politik yang harus dipatuhi di manapun mereka bertempat tinggal. Hal ini bertentangan dengan ideologi multikulturalisme yang bersumber dari pemikiran politik fillsafat kemanusiaan yang bersifat sekuler yang mengatur bagaimana mengatur toleransi dan harmoni dalam kehidupan masyarakat yang plural. Menurut Begum Zubaida, konflik dua ideologi tersebut terlihat dalam empat prinsip dan penerapan ideologi multikulturalisme Australia, yaitu perekat sosial, identitas kultural, kesempatan dan akses yang sama, dan tangggung jawab dan komitmen dan partisipasi yang sama. Pertama, prinsip pertama yang tercantum dalam the Australian Council on Population and Ethnic Affairs, menyatakan, ...in the public arena, as distinct from the essentially private domain of the family and religious belief, there cab be only one recognigsed legal code...To allow each cultural group freedom to develop its own legal codes, political institutions and practices would threaten the existence of Australia as a cohesive nation.17

Prinsip pertama multikulturalisme ini berlawanan dengan pandangan kelompok komunitas Muslim dan pemimpin agama. Prinsip ini, menurut Imam Mesjid Lakemba di Sydney bertentangan dengan hukum syariat Islam. Para Imam menginginkan adanya suatu ‘pengadilan bagi kelompok Muslim’ sesuai dengan agama mereka di Australia. Syariat adalah hukum Islam yang mejadi pedoman segala aspek kehidupan masyarakat Islam dan ini tidak sesuai dengan ideologi sekuler

17The Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for All Australians: Our Develoving Nationhood, Australian Govertment Publishing, 1982, h. 16.

14

multikulturalisme, yang tidak menyediakan ruang hukum syariat Islam dalam sistem hukum positif Australia. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip ideologi Islam. Kedua, identitas budaya. Prinsip ini tercantum dalam the Australian Council on Population and Ethnic Affairs, yang memuat:: The aim should be to achieve a society in which all people have the freedom to express their cultural identity...A core of moral and cultural values, based on the central institutions of society, will continue to place limits on what is acceptable behaviour for all members of society.18

Dalam kasus kelompok Muslim, identitas kultural mereka didominasi oleh ideologi agama, karena itu Islam juga harus dilihat sebagai identitas budaya yang terlihat dalam simbol-simbol keagamaam seperti praktek keagamaan, khususnya shalat, makanan, pakaian, sosial, dan nilai-nilai moral. Simbol-simbol identitas ini merupakan karakteristik yang membedakan mereka dengan kelompok agama lainnya. Dalam praktek keagamaan seperti melakukan shalat Jum’at, Idul Fitri, dan Idul Adha masih mendapatkan hambatan secara struktural baik dari tempat perusahaan mereka bekerja maupun di tingkat pemerintahan pusat dan federal, kecuali negara bagian Victoria. Begitu pula nilai-nilai sosial kelompok Muslim lainnya yang berbeda dengan nilai-nilai multikulturalisme Australia, seperti bercampurnya antara pelajar pria dan wanita dalam satu ruang di sekolah-sekolah umum dan swasta dan pemaksaan pemakaian baju renang (bikini) dalam kegiatan olahraga berenang. Dengan demikian, prinsip kedua multikulturalisme ini telah mengatur segala perilaku semua anggota masyarakat. Hal ini bertentangan dengan standar moral yang diterapkan multikulturalisme dengan ideologi Islam, yang menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan moral Islam. Ketiga, kesempatan dan akses yang sama. Dalam konteks Australia, prinsip ini khususnya berkaitan dengan kemajuan ekonomi dan pekerjaan para migran dibandingkan dengan masyarakat umum Australia. Bila dihubungkan dengan masyarakat Islam, terdapat hambatan yang sangat signifikan dalam memanfaatkan

18The Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for All Australians: Our Develoving Nationhood, 1982, h. 17.

15

kesempatan dan akses tersebut, karena rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya kemampuan bahasa Inggris. Begitu pula kedudukan wanita (kesetaraan jender) mempunyai pandangan yang berbeda dengan ideologi Islam. Kelompok ideologi Islam ini berpendapat bahwa kedudukan pria dianggap lebih tinggi dari perempuan, karena peran mereka sebagai kepala rumah tangga. Keempat, tanggungjawab dan komitmen serta partisipasi yang sama. Dalam aspek ini, kelompok minoritas dituntut kesetiaan untuk membela negara Australia. Kesetiaan ini diperlihatkan dalam bentuk tanggung-jawab bsersama dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan komunitas dan tetap memegang teguh komitmen terhadap ideologi multikulturalisme. Dalam konteks ini, kelompok Muslim mempunyai komitmen kepada ideologi Islam daripada multikulturalisme Australia. Karena itu, kaum Muslim Australia hidup dalam dua ideologi yang saling bertentangan dan hal ini berakibat terhadap pemeliharaan warisan kultural. Dampak dari implikasi penerapan multikulturalisme Pemerintah Australia terhadap pendidikan multikultural di sekolah-sekolah Islam tidak bisa diterima oleh kelompok Islam konservatif, karena mereka tetap berkiblat kepada ideologi Islam, termasuk mempertahankan guru-guru Islam –meskipun tidak memiliki skill— dan penolakan buku-buku pelajaran multikultural yang memuat gambar binatang babi. Hal ini berbeda dengan kelompok moderat yang secara selektif setuju dengan ideologi tersebut di atas. Perbedaan pandangan kedua kelompok ini terjadi karena latar belakang sosial, etnis, pendidikan sehingga melahirkan penafsiran yang berbeda pula terhadap Islam itu sendiri. Sejalan dengan pendekatan teoritis Begum Zubaida yang menggunakan ideologi sebagai alat analisis dalam memahami kaum Muslim di Australia. Michael Humphrey, seorang peneliti Islam dan Multikulturalisme di Australia juga berpendapat yang sama. Dalam karyanya ‘Is this a -Free Zone? Islam and State in Australia’19 dan ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’’20,

19 Michael Humphrey, ‘Is this a Mosque-Free Zone? Islam and State in Australia’, Migration Monitor, vol. 12, Januari, h. 12-17. 20Michael Humphrey, ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’, dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, UNSW Press, Sydney, 2003, h.33-52.

16

menyatakan bahwa kehadiran Islam di Australia sebagai kasus percobaan (as a test) keberhasilan dan kegagalan bagi masa depan sebuah negara sekuler yang multikultural. Menurut hasil penelitiannya, formulasi ‘Islam di Barat’ menggambarkan pertemuan dua kebudayaan yang tidak cocok, karena yang satu agamis dan lainnya sekuler. Karena itu keberadaan Islam di Australia dianggapnya sebagai sebuah masalah bagi ‘multikulturalisme’ Australia. Ketidak-cocokan (incompatibality) tersebut bermuara pada resistensi kultural permanen kelompok Muslim terhadap proses-proses dominan modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, sekularisasi, dan kesetaraan gender. Sebagian pendapat serupa juga ditemukan dalam disertasi Dedi Mulyana berjudul ‘Twenty Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and Transformation of Ethnic Identity’ di Monash University, tahun 1995. Menurutnya, sebagian kecil etnik Islam yang berasal Indonesia masih terikat kepada loyalitas Islam sebagai ideologi sehingga kehadiran mereka tetap dicurigai sebagai faktor disintegratif terhadap identitas nasional Australia.21 Teori lain yang lebih baru diajukan oleh Abdullah Saeed dalam bukunya ‘Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions’22 di tahun 2004, secara tidak langsung menolak tesis Zubaida Begum tentang adanya pertentangan dua ideolologi dalam kelompok Muslim Australia dan teori resistensi budaya Michael Humphrey. Dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat perubahan besar sikap kelompok Muslim Australia terhadap multikultulturalisme Australia. Dalam pencarian jati diri mereka, ideologi politik Islam tidak lagi merupakan faktor yang signifikan dan harus dicurigai sebagai warganegara penuh Australia. Kelompok ini dalam proses adaptasi dan berintegrasi dalam masyarakat Australia untuk mewujudkan identitas nasional Australia. Saeed berpendapat bahwa faktor ideologi multikulturalisme

21Dedi Mulyana, Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and Transformation of Ethnic Identity, unpublished dissertatation, Monash University, Melbourne, 1995, h. 263-270. 22Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions’ Departement of Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and Australian Multicultural Foundation in Assotiation with The University of Melbourne, 2004, h. 61-74.

17

memainkan peran penting dalam proses integrasi tersebut, khususnya adanya kebebasan beragama, termasuk penggunaan simbol-simbolnya. Hal ini diperkuat dengan teori Gary D. Bouma dalam berbagai karyanya. Dalam salah satu tulisannya, ia mengatakan bahwa komunitas Islam di Australia termasuk yang berperan aktif dalam membangun pluralisme agama. Karena itu, kontribusi mereka dalam membangun fondasi keharmonisan kehidupan antar beragama di Australia diakui secara luas di Australia.23 Dengan demikian, model multikulturalisme Australia seperti dijelaskan di atas, dapat dijadikan contoh sesuai dengan definisi Parekh bahwa, ‘sebagaimana halnya masyarakat dengan berbagai agama atau bahasa adalah multi-agama atau multi-bahasa, maka sebuah masyarakat yang mencakup beberapa budaya adalah multikultural’. Karena itu, ia berpendapat bahwa sebuah masyarakat multikulturalis adalah sebuah bentuk yang mencakup beberapa komunitas budaya dunia dengan konsep-konsep yang saling tumpang tindih, namun tetap berbeda dalam konsep, sistem pemaknaan, nilai-nilai, bentuk-bentuk organisasi sosial, sejarah, adat dan praktek-prakteknya. 24 Pembahasan pengertian ‘multikulturalisme’ yang diberikan para ahli sangat beragam. ‘Multikulturalisme’ pada dasarnya adalah pandangan dunia – yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan – yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam ‘politics of recognition’. Posisi agama dalam konteks multikulturalisme, menurut Robert Crotty,25 tidak harus dilihat sebagai dua ideologi yang berlawan satu sama lain, karena agama adalah sistem budaya yang memberikan sebuah ketertiban dunia dan pemaknaan (meaning) di saat munculnya kekacauan (chaos) dan ancaman. Agama menawarkan suatu

23Gary D. Bouma, et al (eds.), ‘Muslims Managing Religious Diversity’, dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, , h.53-62. 24Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia di seminar Kongres Budaya Indonesia, h. 2. Lihat www.kongresbud.budpar.go.id. Diakses 27/12/2006.

18

kebenaran yang Mutlak (Ultimacy) sebagai representasi simbolik dari ketertiban dunia. Dengan demikian, meski multikulturalisme merupakan sebuah ideologi sekuler, ia berhadapan dengan agama yang juga bagian dari budaya masyarakat itu sendiri. Kerana itu, bentuk-bentuk agama yang menampakkan diri dalam kehidupan sehari-hari haruslah sejalan dengan perspektif multikulturalisme. Bentuk sikap mental keagamaan yang ekslusif dan konservatif terhadap keragaman budaya masyarakat, tidak akan mendapat tempat dan ruang. Sebaliknya wajah inklusif dan terbuka merupakan tempat yang ‘ideal’ sekaligus ‘membumi’ bagi perkembangan eksistensi masing-masing etnik. Bila terjadi konflik antara ideologi agama dan multikulturalisme, menurut John Eade,26 dapat diselesaikan dengan pendekatan konstruksi cultural hybridity (identitas campuran/kesadaran ganda atau lebih). Kontsruksi kebudayaan hibrid terjadi melalui proses migrasi global. Mereka menciptakan ‘diaspora-diaspora baru’ di mana mereka harus belajar untuk menampati paling sedikit dua identitas, berbicara dua bahasa budaya dan menterjemahkan dan bernegosiasi di antara keduanya. Kesadaran ganda atau percampuran ini, menurutnya lebih lanjut, akan menghasilkan identitas baru sebagai cara untuk berintegrasi, bertahan hidup, dan berjuang dalam kondisi yang krisis dan transisi.

E. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi yang membahas interaksi antara berbagai struktur, nilai-nilai, dan mobilitas kelompok minoritas migran Muslim dan masyarakat Australia yang mempunyai tatanan nilai-nilai, norma-norma yang sudah mapan dalam membentuk suatu masyarakat yang harmonis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca dan menelaah buku-buku dan media cetak dan elektronik yang ada hubungannnya dengan pembahasan. Di samping itu juga digunakan penelitian lapangan (field research), yaitu mengamati langsung ke objek

25Robert Crotty, ‘Multiculturalism and Religious Pluralism: Interaction and Overlap’, dalam Norman C. Habel (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, Australian Association for the Study of Religious (AARS), , 1992, h. 31.

19

penelitian untuk memperoleh data primer. Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian lapangan adalah obeservasi (pengamatan) dan wawancara. Observasi adalah pencatatan secara sistermatik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian untuk mendapatkan data yang berlangsung sejak bulan Oktober 2008 sampai akhir tahun 1999. Penelitian kepustakaan bersumber dari dua data, yaitu primer dan sekunder. Data primer yang menjadi rujukan penulis, antara lain seperti yang telah disebutkan dalam kajian pustaka, sedangkan kajian tentang multikulturalisme Australia adalah The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945-1975 karya Mark Lopez, buku Theophanous yang berjudul Understanding Multiculturalism and Australian Identity. Begitu pula dua buku, yaitu Towards a National Agenda for a Multicultural Australia: A Discussion Paper dan buku National Agenda for a Multikultural Australia: Sharing Our Future, yang diterbitkan Pemerintah Australia mengenai kebijakan Multikulturalisme Australia dan program-programnya. Penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh pemimpin agama Islam yang tergabung dalam AFIC dan kelompok organisasi lainnya, para refugee, dan kelompok masyarakat Yahudi Australia. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui langsung aspirasi, dinamika dan perkembangan komunitas Islam di Australia. Adapun sumber data sekunder, penulis merujuk pada buku-buku dan tulisan- tulisan dalam bentuk jurnal, majalah, surat kabar, dan akses media elektronik yang membahas pokok kajian tentang perkembangan dan kemajuan Islam di Australia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sebuah proses mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi informasi untuk menjawab pertanyaan penelitian agar dapat memberi gambaran tentang situasi, fenomena, masalah atau suatu kejadian. Informasi tersebut dikumpulkan dengan menggunakan berbagai variabel yang diukur dalam skala nominal atau ordinal (skala pengukuran kualiatif) dan analisis dilakukan untuk

26Thung Ju Lan, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan Budaya, Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002, h. 56-57.

20

membangun variasi tersebut dalam situasi, fenomena atau permasalahan dimaksud tanpa memberikan penilaian secara kuantitatif.27 Penelitian kualitatif layak digunakan pada kasus-kasus yang memerlukan analisis apresiatif kepada substansi maupun atas alasan metodologis: hakikat dari riset ini merupakan sebuah eksplorasi dan dapat dibandingkan dengan menekankan pada pemberian identifikasi dan memberi penjelasan tentang makna, dalam hal ini, yang berkaitan antara agama dan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi sekuler. Penelitian ini mengambil studi kasus di Australia. Alasan pemilihan Australia sebagai studi kasus, karena negara ini telah melaksanakan ideologi multikultural sebagai kebijakan politik sekaligus menerapkannya dalam berbagai program yang terencana dan sistematis sehingga tercipta suatu masyarakat yang kohesif dan harmonis. Studi kasus pada umumnya didefinisikan sebagai studi tentang kejadian- kejadian dalam konteks kehidupan manusia yang nyata.28 Dalam badan ilmu yang lebih luas, peran studi kasus empirik mempunyai tempat yang khusus sebagai sebuah strategi penelitian. Sifat empirik di sini berarti bahwa tiap kesimpulan ditarik atas dasar bukti yang jelas setelah dikumpulkan dari himpunan informasi pengalaman hidup nyata atau hasil observasi. Dalam hal ini setidaknya ada empat bentuk aplikasinya, yang terpenting adalah yang dapat memberi penjelasan tentang hubungan timbal balik antara intervensi dalam kehiduoan nyata yang sangat kompleks bila disurvai atau untuk dijadikan strategi eksperimental. Aplikasi kedua adalah untuk menggambarkan dalam konteks kehidupan nyata di mana telah terjadi suatu intervensi. Ketiga, sebuah evaluasi akan dapat dimanfaatkan dalam sebuah cara deskriptif dari sebuah studi kasus illustratif – bahkan bisa juga dari laporan jurnalistik – tentang intervensi itu sendiri. Aplikasi keempat ada pada penggunaannya dalam upaya mengeksplorasi situasi di mana intervensi yang sedang dievaluasi dalam keadaaan tidak jelas dan belum memberi hasil yang spesifik.29 Setelah data yang terkumpul, penulis menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan keadaan objek atau peristiwa secara sistematis, faktual, dan akurat

27 Ranjit Kumar, Research Methodology: A Step by-Step Guide for Beginners, Longman, London, 1996, h. 2,7,8. 28 Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods, Sage Publications, Beverly Hills, London, 1985, h. 67.

21

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, dan hubungan antar fenomena. Data yang telah dideskripsikan diolah dan diinterpretasikan dengan menggunakan metode analitis dan teori cultural hybridity (kesadaran ganda atau lebih) untuk menjawab pertanyaan penelitian. F. Organisasi Penelitian Organisasi penelitian ini terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama mencakup gambaran singkat tentang sejarah berdirinya negara Australia dan asal-usul multikulturalisme hingga diterima sebagai kebijakan ideologi negara Australia. Pada bagian ini dibahas proses pergantian ideologi assimilassi yang bersifat monokultural menjadi ideologi multikultural. Bagian kedua menggambar secara historis fase-fase kedatangan dan keberadaan kaum Muslim di Australia. Dalam bagian ini juga dibahas interaksi sosial umat Islam dengan masyarakat Australia dan sebaliknya persepsi masyarakat Australia terhadap komunitas Islam di Australia. Bagian ketiga membahas dinamika kelompok minoritas Muslim Australia di tengan pergumulannya dengan tempat mereka yang baru dari segi kepemimpinan, ekonomi, dan pendidikan. Bagian keempat memuat pemahaman dan penghayatan kelompok Muslim Australia terhadap agamanya yang dipresentasikan dalam dunia simbol dalam interaksinya dengan multikulturalisme. Di sini juga dibahas pendekatan kaum Muslim Australia agar bisa beradaptasi dan ‘survive’ di Australia.

29Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods, h. 25.

22

BAB II MASYARAKAT AUSTRALIA DAN IDEOLOGI MULTIKULTURALISME

A. Sejarah Berdirinya Negara Australia Secara geografis, benua Australia dulu menyatu dengan Asia; namun setelah melewati jutaan tahun ikatan itu menghilang, dan memisahkan ‘Lahan Selatan yang Besar’ itu, beserta tanam-tanaman dan binatangnya, membentuk diri dengan caranya sendiri dalam relung alamnya sendiri, yang melindunginya dari makhluk pemangsa pemakan daging yang bisa saja merambah lewat jembatan alam bila saja jembatan itu tidak patah dan kemudian menjadi sederet mata rantai pulau-pulau yang sekarang memisahkan Australia dari benua Asia. Meskipun begitu, semua bekas-bekas jembatan purba itu tidak lenyap sama sekali. Hanya diperlukan sebuah pengubahan sejauh 100 kaki di dasar lautan untuk menggabungkan kembali Australia dengan Papua New Guinea.30 Suku Aborigin yang mengadaptasikan diri mereka untuk tetap hidup dalam sebuah lingkungan yang kerap dengan keras, berburu dan mencari ikan, karena tidak ada binatang yang bisa dijinakkan dan diternakkan atau tanaman yang bisa ditanam. Jadi mereka mengembangkan sebuah pola hidup sederhana, dengan ekonomi primitif kaum nomad. Kaum Aborigin adalah penemu sebenarnya dari Tanah Australia atau Terra Australis. Kata Australia yang berasal dari kata Latin Australis, yang berarti selatan.

30Oswald L. Ziegler, ‘Commonwealth of Australia’, dalam Oswald L. Ziegler, (ed.), the World and South East Asia, Oswald Ziegler Enterprises, Sydney, 1973, h. 148

23

Mendahului tahun-tahun kolonisasi ada banyak legenda dan spekulasi. Kaum Kaldea, kaum Arab, dan kaum China semua dianggap memiliki pengetahuan tentang Australia dan orang Portugis juga telah melihat bagian dari pantai ini sebelum tahun 1542. Orang Spanyol dinyatakan sebagai pengunjung dan orang Belanda telah membuat banyak perjalanan tercatat yang membawa mereka ke pantai benua ini, Kontak pertama dengan orang Inggris dilakukan oleh William Dampier di tahun 1688 ketika kapalnya Cygnet melempar jangkar di tepian barat laut dekat pelabuhan Derby sekarang.31 Australia hari ini adalah sebuah pulau benua seluas hampir 3 juta mil persegi, hampir sama dengan luas negara Amerika Serikat. Populasinya yang relatif kecil berjumlah lebih 19 juta orang, yang telah didiami masyarakat yang beradab dan umumnya berasal dari orang Eropa selama lebih kurang dari 200 tahun lalu. Australia adalah benua yang paling kering, tidak punya gunung besar dan sistem sungai seperti di tempat lain. Bagiannya yang lebih subur ada di sektor-sektor yang secara perbandingan kecil dan di sini tumpukan penduduk terkonsentrasi, sebagian besar di sudut tenggara. Riwayat Australia yang modern dimulai tanggal 23 Agustus 1770, ketika Kapten James Cook, R.N., seorang pelaut Inggris, mengambil alih ‘ atas nama Yang Mulia Raja George II’ dari apa yang sekarang menjadi bagian timur New South Wales dan , dan menambah lagi teritori lain pada kerajaan inggris Raya (sekarang Negara-Negara Persemakmuran Inggris). Ulang tahun ke- 200 diperingati di Australia tahun 1970 dengan dihadiri Yang Mulia Ratu Elizabeth II, H.R.H. Pangeran Philip, Duke of Edinburgh, H./R.H. Pangeran Wales dan Puteri Anne. New South Wales, pada khususnya, membua nya sebuah peristiwa yang mengesankan. Setelah Cook berlayar ke bagian lain Australia, mulailah berlaku aneksasi. Ia tidak bermaksud berlayar ke benua itu untuk menjajahnya (mengkolonisasi); ia tengah dalam perjalanan pulang ke Inggris dari Tahiti di mana ia tadinya dikirim untuk melakukan sebuah observasi astoromis. Ia berlabuh di Teluk Botany (Botany Bay) –

31Manning Clark, A Short History of Australia, A Mentor Book, New York, 1969, h. 13.

24

sekarang di kawasan Sydney – yang dinamakannya demikian karena banyaknya jenis (spesimen) botanis vegetasi yang ditemui di daerah itu. Pandangan Cook tentang Australia, atau sebanyak yang telah sempat dilihatnya, telah membangkitkan minat masyarakat di Inggris, namun baru di tahun 1787 mulai berlayar armada sebelas kapal yang datang, di bawah komando Kapten Arthur Philip, R.N. yang kelak menjadi gubernur koloni baru itu yang dinamai New South Wales. Pemerintah Inggris mempunyai dua motivasi dalam hal permukiman yang belakangan ini. Koloni-koloni Amerika telah lenyap akibat Perang Kemerdekaan dan sebuah basis di luar negeri diperlukan bagi para narapidana yang dihukum buang karena berbagai bentuk kejahatan. Kapal-kapal itu mencapai Botany Bay tanggal 18 Januari 1788, namun Philip belum merasa tertarik dengan tapak itu dan delapan hari kemudian ia berlayar ke Port Jackson, duabelas mil sebelah utara pantai, lalu mendirikan permukimannya di Sydney Cove.32 Lepas dari kesulitan-kesulitan besar akibat kekurangan bahan makanan dan tenaga ahli, koloni ini dengan kokoh terbentuk dan mulai dilakukan eksplorasi ke pedalaman. Tasmania, yang sebelumnya dikenal sebagai Lahan Van Diemen, pulau paling selatan dari benua itu mendapat penetap pertama dari Sydney tahun 1803.33 Ia menjadi sebuah koloni dengan haknya sendiri di tahun 1825 dan Australia Barat, sebuah area luas hampir 1 juta mil persegi, mulai didiami di tahun 1827. Australia Selatan diciptakan sebagai sebuah koloni bebas tahun 1836. Selama waktu ini Victoria dan Queensland merupakan bagian dari New South Wales secara politis namun di tahun 1851 dan 1859 masing-masing menjadi koloni terpisah. Di tahun 1901 semua koloni-koloni itu membentuk federasi di bawah ‘Persemakmuran Australia’ dan sejak itu menjadi Negara-negara Bagian. Sebuah daerah istimewa (teritori) dipisahkan dari New South Wales menjadi Ibu Kota Negara Federasi (Federal Capital) dan di tahun 1913 diberi nama Canberra. Di tahun 1907 kendali atas Territorial Australia Selatan yang berpenduduk jarang, sebagian besar terbuka dan belum dibangun diberikan pada Pemerintah

32Manning Clark, A Short History of Australia, h. 28. 33Oswald L. Ziegler, ‘Commonwealth of Australia’, dalam Oswald L. Ziegler (ed.), The World and South East Asia, h. 149.

25

Persemakmuran yang sejak itu mengurusinya, bahkan sekarang pun, Teritori seluas lebih dari separuh juta mil persegi itu hanya memiliki penduduk ratusan ribu jiwa. Sementara itu, sebagian besar pendudk Aborigin merasa jauh dari kemakmuran. Pengambil alihan lahan berburu oleh penduduk kulit putih dan perseteruan-perseteruan yang terjadi menjadi bab suram dalam sejarah Australia. Selama bertahun-tahun orang menganggap bahwa kaum Aborigin memang ditakdirkan untuk punah. Namun di masa yang lebih kemudian dimunculkan kebijakan-kebijakan yang lebih mencerahkan; mulai ada pengakuan luas atas nilai budaya Aborigin dan suatu upaya tulus dilakukan untuk mengassimilasikan bangsa Aborigin yang latar belakang kesukuannya telah hilang itu ke dalam kehidupan bangsa Australia. Dalam definisi resmi kebijakan assimilasi menetapkan semua orang keturunan Aborigin untuk memilih penerapan gaya dan standar hidup yang sama dengan bangsa Australia lainnya dan hidup sebagai anggota dari komunitas Australia yang satu – menikmati hak-hak dan privilese yang sama, dikenakan kewajiban yang sama dan menganut harapan dan kesetiaan yang sama dengan bangsa Australia yang lainnya.34 Keberhasilan beberapa individu kaum Aborigin sebagai pegawai negeri, pendeta, seniman dan olah ragawan – dan belakangan ini juga sebagai politikus terkemuka – menganut sebuah budaya yang berbeda dari yang mereka miliki sendiri. Dalam hal ini barangkali yang paling dikenal adalah Albert Namatjira, pelukis, Harold Blair, penyanyi, Lionel Rose, orang Aborigin pertama yang memenangkan pertandingan dunia, gelar petinju kelas bantam dunia di Jepang tahun 1968, Evonne Goolagong yang memiliki tingggi meteorik sebagai salah satu wanita petenis terbesar yang pernah dihasilkan dunia, mencapai tingkat final di Wimbledon di tahun 1971 pada usaha keduanya dan dengan mengalahkan juara pemenang, orang Australia, Margaret Court, menjadi Ratu dunia tennis di usia 19 tahun. Atas upayanya yang luar biasa itu, Ratu menganugerahkannya gelar M.B.E. d tahun 1972 Kehormatan Tahim Naru (New Year’s Honours) dan Dewan Hari Australia (the Australia Day Council) memproklamirkannya sebagai ’Warga Australia Tahun Ini’. Bangsa Aborigin lainnya

34Marjorie Jonston, Australian History, Longman Cheshire, Melbourne, 1985, h. 167.

26

yang baik, Neville Bonner, terpilih masuk dalam keanggotaan Senat Negara Queensland tahun 1971. Angka-angka ini berlipat di tahun 1966 mencatat jumlah penduduk Aborigin 44,605 jiwa, di mana sejumlah 77,459 separuh Aborigin dan 8,000 suku Torres penduduk Strait Islanders dengan jumlah total 130,000 dan mayoritas hidup di Queensland.35

Australia Masa Kini Australia adalah sebuah negeri paradoks. Ia sebuah negeri modern, industri dan teknologi maju di sebuah benua yang sebagian besar belum didiami manusia. Lahannya seluas 7,682,300 kilometer persegi (2,966,136 mil persegi) menjadi rumah bagi lebih dari 19 juta orang. Australia adalah satu-satunya pulau benua dan satu- satunya benua yang merupakan satu negara di dunia. Mayoritas penduduknya menempati kota-kota besar di bagian tepi laut, sedangkan di bagian pedalamannya hampir kosong. Kelangkaan penduduk di pedalaman bisa dimengerti dilihat dari garis lintang di mana benua itu berada. Massa lahan Australia berada antara 15 dan 35 derajat garis lintang, tempat di mana hampir semya padang pasir dunia berada. Ditambah lagi, lebih dari 80 persen benua ini berada di zona iklim kering atau semi kering. Curah hujan rata-rata tiap tahunnya hanya 465 milimeter (18 inci) dan karena itu sekitar sepertiga lebih kering dari benua-benua lainnya kecuali Antartika. Tidak seperti bagian lain dunia, iklim Australia tidak sepenuhnya dapat diramalkan menurut batas-batas musim, tetapi tergantung pada berkembangnya fenomena El-Nino, dengan siklus musim kering dan curah hujan lebarnya yang khas. Terlepas dari keadaan tanahnya yang berfosil dan padang sahara, benua ini tergantung pada hasil ekspor produksi utama dan bahan mineral untuk bisa menopang gaya hidup nyaman dan mewah mayoritas penduduknya; namun ini dicapai lewat biaya besar kerusakan lingkungan dan gangguan ekosistem yang rapuh. Sekitar 70% benua Australia tidak cocok untuk jenis pertanian apapun, dan sebagian besar hanya bisa digunakan untuk penggembalaan domba atau ternak dalam jumlah terbatas. Kemakmuran utama Australia membahayakan keberlangsungan jangka panjang gaya hidupnya yang

35 Oswald L. Ziegler, Commonwealth of Asutralia, in Oswald L. Ziegler (ed.), the World and South East Asia, h. 150.

27

sekarang dan pemiskinan tanah dan salinitas semakin cepat merambah kemampuan negeri ini untuk menghasilkan ekspor hasil pertanian yang mendukung gaya hidup mewah penduduknya.36 Penduduk Australia semakin bertambah dengan meyakinkan antara 1 sampai 2% selama sepuluh tahun terakhir, disebabkan oleh gabungan dari aspek kelebihan kelahiran dari kematian dan program gerakan migrasi yang dahsyat. Dengan meluapnya penduduk masuk ke kota-kota dan mengumpul sepanjang garis pantai, paradoks lain muncul dalam hal stereotip budaya nasional pria Australia yang kasar dan berbasis alam liar semakin tidak menjadi contoh; namun mitos alam liar harus segera diganti dengan sosok manusia kita atau sebuah legenda berdasar pantai untuk mengidentifikasikan ke Australiaan-nya. Barangkali keengganan untuk menyia- nyiakan pesta-pesta gaya kuno mencerminkan profil penduduk yang semakin menua, karena Australia jauh dari bayangan sebuah komunitas muda yang penuh tenaga seperti yang dipunyainya dan hasil yang tak terelakkan, akibat tingkat kesuburan dan tingkat kematian yang rendah adalah suatu pertambangan progresif dalam usia rata- rata masyarakatnya. Terlebih lagi, kaum wanitanya meliputi lebih dari separuh penduduk. Kaum wanita dan kaum migran menciptakan sebuah kelompok mayoritas yang penting namun terabaikan secara budaya di tengah masyarakat Australia modern.

Budaya dan Komunitas Australia membanggakan dirinya sebagai masyarakat yang bersahabat dengan etos santai (laid-back ethos), yang disaksikan seluruh dunia selama penyelenggaraan Pertandingan Olimpiade yang sangat sukses di Sydney pada bulan September 2000. Barangkali ini ada kaitannya dengan iklim kawasan pantai dari bagian timur tepi lautnya, namun akses pada matahari dan olah raga selancar dalam keadaan iklim di mana orang bisa berada di luar rumah dengan berpakaian kurang lebih ringan selama 12 bulan dalam setahun tentulah akan menggugah suatu cara hidup dengan pendekatan yang relatif bersifat hedonistis. Demikian juga halnya tradisi atau

36 Frank G. Clarke, The History of Australia, Greenwood Press, Wesport, 2002, h.1-3.

28

kebiasaan dalam cara memandang pada pemerintah untuk menyediakan pelayanan sosial dasar dan kesejahteraan rakyat. Kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan akomodasi dasar bagi mereka yang paling tidak beruntung masih dipertimbangkan menjadi kawasan tanggung jawab pemerintah di Australia, meskipung kedua partai politik utama telah mengambil kebijakan untuk sedapat mungkin menjauhkan diri dari beban finansial ini. Orang Australia masih menganggap pemerintah harus melindungi mereka dari ekses-ekses paling buruk dari pasar dan menjalankan sebuah gaya hidup yang menjamin suatu standar minimum kehidupan pada tingkat kenyamanan sederhana. Pandangan seperti itu dalam sebuah iklim yang lembut dengan penduduk yang berusia lanjut menghasilkan sebuah kepuasan dengan diri sendiri yang memasukkan masyarakat ini dalam kelompok yang berpandangan konservatif. Dalam sebuah lingkungan yang cukup kaya, sejak akhir tahun 1940-an Australia telah mampu menyerap sejumlah besar kaum imigran dari semua bagian dunia, dan kini negara ini adalah satu dari komunitas yang paling multikultur (pluralis) di dunia. Sejak 1945, hampir 5,7 juta orang menetap di Australia dan kini hampir satu dari empat anggota masyarakatnya lahir di luar negeri. Lebih dari 30 persen penduduk baru tiap tahunnya pada dekade yang lalu datang dari latar belakang Asia, dan selama tiga tahun terakhir New Zealand, telah menggantikan Inggris sebagai negara kelahiran sebagian besar kaum migran. Secara sekilas progran migrasi seperti itu mungkin kelihatan berlawanan dengan sifat konservatif masyarakatnya, namun pada kenyataannya, keberhasilan kebijakan imigrasi pasca perang sebagian besar diakibatkan dari gabungan kemewahan dan kepuasan dengan diri sendiri Selama periode-periode kejatuhan ekonomi, kebencian pada kaum migran muncul semakin jelas naik, yang menurun lagi dengan beranjak naiknya ekonomi. Kehidupan sehari- hari semakin diperkaya oleh kontribusi dari berbagai masyarakat migran, dan mereka semua dilindungi dari tindak diskriminasi di bawah peraturan Undang-Undang Anti Diskriminasi Pemerintah Federal tahun 1975, yang mengilegalkan tindak diskriminasi di setiap aspek kehidupan berdasarkan warna kulit, ras, agama, jenis kelamin (gender), atau negeri asal. Bahasa Inggris menjadi bahasa nasional Australia, dan terlepas dari jumlah kaum migran yang tinggi, di tahun 1996, 85 persen penduduk

29

berbicara hanya bahasa Inggris di rumah dan kurang dari 1 persen tidak bisa berbicara bahasa Inggris sama sekali.37 Namun harmoni rasial, masih belum tercapai dengan keturunan kaum Aborigin, yang berjumlah sekitar 2% dari seluruh penduduk, dan mereka masih menderita dalam aspek kesejahteraan dan kesehatan. Keterbelakangan kesehatan ini bersumber dari posisi mereka sebagai korban invasi awal bangsa Eropa di tahun 1788. Mereka kehilangan negeri mereka dan tidak mendapat ganti rugi apapun sampai disahkannya hak-hak lahan tengaran (landmark land rights legislation) di tahun 1993. Belakangan ini, Komisi Penduduk Aborigin dan Teluk Torres (ATSIC) menerima lebih dari $1 milyar per tahun untuk mendanai program-program yang dirancang untuk memperbaiki ketakberuntungan selama dua abad.38 Rekonsiliasi dengan penduduk asli telah menjadi wacana politik besar di Australia, dengan Partai Buruh Australia (ALP) yang telah siap menawarkan sebuah pernyataan maaf (apology) resmi atas semua sejarah ketidak-adilan yang telah diakibatkan dan menyakitkan itu. Australia hari ini adalah sebuah negara berteknologi maju dan menikmati standar hidup yang tinggi. Gambaran lama orang Australia sebagai masyarakat bermata pencaharian pedesaan – peternak wool, petani susu, petani gandum dan petani buah-buahna – tidak lagi mencerminkan kenyataan sebanarnya. Karena, meskipun industri-industri utama ini masih menjadi bagian vital dalam ekonomi negara, metode-metode produksi modern telah memungkinkan cara pengerjaan yang semakin sediikit memerlukan tenaga manusia. Mayoritas penduduk Australia sekarang adalah penduduk perkotaan yang terlibat dalam usaha industri sekunder dan tersier serta kebanyakan mereka terkonsentrasi di kawasan pantai tenggara benua ini dalam jalur memanjang di selatan mulai dari kota penghasil baja Newcastle, melewati Sydney dan pusat penghasil baja kedua di Port Kembia di kawasan metropolitan Wollongong, sampai ke Melbourne. Negara Australia berbentuk sistem pemerintahan federal yang terdiri dari 6 negara bagian dan dua daerah teritorial, yaitu dengan ibukota Queensland, Australia Selatan beribukota Adelaide, Australia Barat

37 Frank G. Clarke, The History of Australia, h.1-3. 38Lihat juga Stephen J. Rimmer, The Cost of Multiculturalism, Belcomen, Bedford Park, 1991, h. 11.

30

dengan ibukota ,Tasmania beribukota Hobart, New South Wales dengan ibukota Sydney, dan Victoria dengan ibukota Melbourne serta Canberra adalah sebagai Ibukota Negara Federasi.

Imigrasi dan Rasisme Negara Australia pada zaman modern ini adalah produk dari dua proses yang agak berbeda, namun berkait dalam hal kolonisasi dan imigrasi. Dalam hal yang terakhir ini ia disebut sebagai negara migran (the Nation of migrant) Setiap orang yang bukan keturunan suku Aborigin adalah kaum imigran dari asal muasal yang relatif baru. Persoalan imigrasi sangat berkaitan erat dengan masyarakat Australia yang multikultural di seluruh dunia, khususnya setelah masa-masa Perang Dunia II, ketika Australia terlibat dalam sebuah program imigrasi besar, Di waktu orang Australia Putih akan ‘merayakan dua abad pendudukannya’, pemukiman bangsa Eropa sejak tahun 1788 telah berkembang tak merata. Pada tahun 1945, Australia baru mempunyai populasi 7,3 juta. Trauma Perang Dunia II, terutama invasi Jepang ke New Guinea dan pengeboman kota Darwin, menambah ketakutan banyak orang Australia, yang melihat diri mereka sendiri sebagai pos terdepan Inggris di tengah lautan Asia yang bersikap bermusuhan. Maka setelah tahun 1945 dimulai pencarian kaum migran yang dapat menggelembungkan jumlah penduduk, kekuatan, dan pertahanan Australia. Ada juga alasan-alasan lain, yang mendorong pencarian pemerintah untuk memperoleh lebih banyak kaum migran. Industrialisasi yang tengah tumbuh membutuhkan tenaga kerja, yang tak mungkin dapat dipenuhi oleh jumlah populasi yang kecil. Kapitalisme Australia tumbuh, dipacu modal asing dan tergantung pada impor pekerja dalam jumlah besar, umpamanya, untuk upaya-upaya konstruksi besar, seperti skema Hidro listrik Snowy Moontains. Australia masih dilihat sebagai bangsa berkulit putih dan berkebangsaan Inggris serta preferensi migran yang pertama adalah mereka yang berasal dari Inggris. Ketika sumber-sumber kaum migran dari Inggris gagal memenuhi kuota, definisi tentang siapa yang berhak di assimilasikan, yang bisa datang ke Australia tanpa menimbulkan ancaman apapun pada Australia, pertama kali diarahkan pada kaum

31

migran dari Eropa Tengah dan Eropa Timur, kemudian dari Eropa Selatan, akhirnya dari Timur Tengah dan lainnya. Kehadiran imigran dengan memperluas kriteria sumber migran yang tanpa memperhatikan latar belakang budaya mereka atau penampilan mereka, diharapkan kaum imigran baru akan dapat berassimilasi. Cara assimilasi akan dapat mengubah kaum migran dengan mengadopsi nilai-nilai Australia sehingga bisa memperkuat identitas, dan sebaliknya bukan merubah identitas nasional Australia.39 Pemerintah Australia menganggap sangat penting dalam menentukan pola imigrasi. Di tahun 1945 Menteri Tenaga Kerja untuk imigrasi, Calwell, mengumumkan sebuah target penambangan populasi 1% tiap tahun melalui imigrasi. Di bulan Nopember, 1946, ia mengumumkan target-target tahun berikutnya, namun menambahkan bahwa ia berharap agar ‘bagi setiap migran asing terdapat sepuluh orang yang berasal dari Inggris’.40 Namun demikian, untuk memenuhi target-target ini pemerintah Australia setuju menerima sejumlah ‘orang-orang yang salah tempat’, terutama yang berasal dari Eropa Tengah dan Eropa Timur, yang menderita akibat Perang Dunia II Mereka yang datang ke Australia jumlahnya naik turun dari maksimum 150-185.000 untuk tahun 1967-1970 sampai yang rendah 53.000 di tahun 1975-1976 saat resesi mulai di awal ‘70-an. Jumlah ini menurun dari awal tahun 1980-an sebanyak 76.000 orang. Kaum migran yang datang ke Australia mencerminkan kebijakan pemerintah tentang jumlah, sumber dan kategori, dan juga peristiwa-peristiwa di Australia dan di luar negeri. Jadi, ada sebuah kecenderungan mengurangi jumlah kaum migran selama resesi ekonomi, meskipun masih ada debat penting mengenai apakah kaum migran mengambil atau menciptakan lapangan pekerjaan.41 Dasar-dasar seleksi kaum migran itu bermacam-macam. Pada periode awal paska-perang, kriteria rasial dan budaya dipakai, hanya keturunan Eropa yang dicari -- dengan preferensi pada keturunan Eropa Utara. Politik kulit putih Australia secara

39McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, Social Science Press, Katoomba, Sydney, 1988, h. 170. 40Charles A. Price, ‘The Ethnic Composition of the Australian Population’, in Ian Burnley (ed.), Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies, Longman Chesire, Melbourne, 1985, h. 46.

32

bertahap mempermudah masuknya para imigran antara tahun 1952 dan tahun 1972. Terjadi modifikasi yang nyata bagi mereka yang berasal dari ‘keturunan campuran’ dan orang non Eropa yang mempunyai keahlian tinggi pada pertengahan tahun ‘60-an. Setelah tahun 1972, pemerintahan Partai Buruh Whitlam mempunyai sebuah komitmen pada politik non diskriminasi atas dasar ras sehingga menghapus pertimbangan berdasarkan ras dan negeri asal dari kriteria seleksi.42 Penghapusan ini tercermin pada nilai-nilai moral yang berubah dan sebuah komitmen yang berkembang di bagian-bagian penting dalam komunitas Australia yang melepas rasisme dalam segala bentuknya, Tetapi hal ini juga sesungguhnya mengakui adanya minat Australia dalam hal perdagangan, politik dan diplomatik di kawasan Asia yang memerlukan penghapusan politik kulit putih Australia. Pada saat yang sama Pemerintahan Buruh mengurangi penerimaan menyeluruh imigrasi. Selama dekade terakhir, kaum migran yang potensial ingin datang ke Australia jauh melebihi dari kesiapan Australia untuk menerima. Dengan demikian sementara kriteria rasial tidak lagi dipraktekkan, namun seleksi semakin keras dan menggunakan dasar-dasar lain untuk mengeluarkan, umpamanya, bagian yang meminta agar pihak migran yang telah memiliki anggota keluarga dekat di Australia untuk mensponsori kedatangan mereka dan tambahan syarat kesehatan serta kepribadian, sebelum mereka bisa segera dipekerjakan. Sumber kaum migran sebelum Perang Dunia II sebagian besar berasal dari Inggris dan Irlandia. Perubahan radikal pertama datang di tahun 1947 – 1952, ketika sebanyak 170.000 orang-orang yang tak mempunyai tempat datang ke Australia. Di akhir tahun ‘50-an dan awal tahun ‘60-an jumlah yang datang dari Yunani dan Italia semakin bertambah dan di akhir ‘60-an dari Yugoslavia. Pada tahun 70-an jumlah yang datang semakin bertambah dari Vietnam dan Selandia Baru serta juga dari Timur Tengah dan Amerika tengah dan Amerika selatan. Bagaimana pun, Inggris dan Irlandia tetap menjadi negara asal utama yang terbesar. Kaum peminta suaka

41Jamie Mackie, The Politic of Asian Migration’, James E. Coughlan and Deborah J. McNamara (ed.), Asian in Australia: Patterns of Migration and Settlement, Macmillan Education Australia, Melbourne, 1997, h. 10. 42McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, h. 172.

33

(refugees) menduduki proporsi nyata dalam penerimaan migran. Total jumlah 400.000 orang peminta suaka telah sampai di Australia sejak perang Dunia II. Konsekuensi program imigrasi yang paling jelas bagi masyarakat Australia adalah dalam aspek demografis: perubahan-perubahan dalam komposisi populasi keseluruhan. 1. Populasi bertambah dengan cepat. Hampir berlipat dua antara tahun 1946 dan 1986, di mana imigrasi menjadi penyebab 40% dari total pertambahan jumlah penduduk. 2. Pertambahan jumlah dan terutama fakta bahwa banyak kaum imigran masih berusia muda atau setengah tua serta memasuki bursa kerja yang menuju pada sebuah pertumbuhan dalam jumlah kekuatan kerja sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi Australia. 3. Imigrasi mempengaruhi profil menyeluruh usia populasi dan memperlambat aspek penuaan, Hal ini diakibatkan baik oleh karena usia kaum migran yang relatif muda dibandingkan populasi orang Australia pada umumnya, dan karena banyak dari kaum migran kemudian mempunyai anak, atau lebih banyak anak di Australia. 4. Komposisi etnis dalam populasi Australia berubah. Sebelum tahun 1945 hampir semua kaum migran Australia berkebangsaan Inggris. Di tahun 1947 hanya 10% dari total populasi lahir di luar negeri dan tiga perempat di antaranya lahir di Inggris dan irlandia. Di tahun 1981, 20,6% dari populasi lahir di luar negeri, meskipun sejauh itu kelompok terbesar tetap berasal dari Inggris dan Irlandia. Sekarang, 40% orang Australia berasal dari kaum migran atau setidaknya mempunyai satu dari orang tuanya yang adalah migran. Orang Australia terdiri dari campuran dari 156 kebangsaan dan latar belakang etnik yang berbeda, dengan jumlah terbesar datang dari Inggris, Italia, Selandia Baru, Yugoslavia, dan Yunani. Etnisitas merupakan faktor penting dari keragaman budaya Australia. Ia adalah sebuah konsep yang terbuka pada interpretasi. Secara definitif, ia mengacu pada tempat lahir dan pada negeri asal atau latar belakang budaya, sosial, dan agama. Di sini ia menjadi ‘fakta’ kelahiran. Di luar itu ia mengkait unsur-unsur subyektif yang menunjuk pada bagaimana mengidentifikasi seseorang atau kelompok.

34

Seorang kelahiran Australia masih tetap diindentifikasikan sebagai orang Yunani atau Yunani-Australia. Di sini etnisitas menandakan asosiasi dengan suatu kelompok dan masing-angota kelompok mempunyai arti sosial. Namun orang lain bisa saja tetap memberi label mereka sebagai orang Cina. Jadi ada komponen- komponen eksternal dan internal yang dipaksakan dan dipilihkan. Hal-hal ini bisa berubah dengan berjalannya waktu dan situasi lingkungan yang memberi penghargaan atau hukuman dalam penciptaan sebuah identifikasi tertentu. B. Pengelompokan Sosial Budaya, Etnik, dan Agama dalam Masyarakat Australia

Orang-orang Australia berasal dari seratus lebih negara yang berbeda-beda. Ada banyak bangsa dan kebudayaan di Australia. Sumber keragaman tersebut sebagai konsekuensi dari kebijakan negara mengenai imigrasi sehingga komposisi etnik, budaya, dan agama pun ikut merubah profil Australia. 43 Penduduk pertama yang hidup di Australia adalah orang-orang Aborigin. Mereka telah hidup di daerah selama lebih dari 50.000 tahun. Lalu disusul kedatangan orang Inggris di tahun 1788 dalam pelayaran pertama mereka di Australia. Sebagian besar dari mereka adalah para narapidana yang akan ditempatkan kerajaan Inggris untuk menetap di Australia. Selain migran dari dari Inggris, juga ada dari Irlandia.

43 www.dfat.gov.au/aii/publications/bad09/index.html, diakses tanggal 21 Juli 2005.

35

Department of Immigration and Multicultural Affairs Gambar 1: Para siswa dari Redfern di Sydney mencerminkan keanekaragaman budaya Australia

Sesudah Perang Dunia II terjadi arus perpindahan penduduk ke Australia dari banyak negara. Atbara tahun 1950 dan tahun 1973 kebanyakan migran datang dari Eropa. Sejak saat itu, terdapat kenaikan arus migrasi dari Timur Tengah dan dari Asia.

Pada tahun 1975, 20% dari jumlah penduduk dilahirkan di luar Australia. Pada tahun 1995 jumlah ini naik menjadi 23%, yakni satu dari setiap empat orang Australia dilahirkan di luar negeri. Antara tahun 1984 dan 1994 jumlah orang Australia kelahiran Asia sangat meningkat. Pada tahun 1994, 5% dari jumlah penduduk dilahirkan di Asia.44

44 Data sensus statistik Australia yang pada umumnya menggunakan kategori asal etnik Australia, asal tempat kelahiran, asal etnik, dan kontribusi etnik. Lihat Charles A. Price, ‘The Ethnic Composition of the Australian Population’, dalam Ian Burnley (ed)., Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies, h. 51-54.

36

Pada tahun 1994-95 kelompok migran kelahiran luar negeri yang paling pesat pertumbuhannya adalah dari Indonesia, Hong Kong dan Makao. Meskipun kebanyakan orang Australia kelahiran luar negeri berasal dari Eropa, arus migrasi dari Eropa telah sangat menurun jumlahnya dibandingkan arus migrasi dari Asia.

Meskipun orang Australia berlainan asal-usulnya, mereka hidup damai antara yang satu dan yang lain. Ada toleransi terhadap kebudayaan dan bangsa yang berlainan. Hukum Australia melindungi orang dari diskriminasi ras. Kebijakan untuk bersikap toleran dan untuk melindungi kebudayaan yang berbeda tersebut disebut multikulturalisme.

Kebudayaan yang dominan di Australia selama empat dasawarsa terakhir adalah yang berasal dari Inggris. Ini merupakan akibat dari zaman kolonial (Lihat Gambar 2 dan 3). Para migran ke Australia dulunya cenderung mengikuti kebudayaan yang dominan. Mereka cenderung makan, berpakaian dan berolah raga seperti orang Australia yang berasal dari Inggris. Sejak tahun 1960-an aspek kebudayaan seperti ini di Australia telah berubah. Orang-orang didorong untuk mempertahankan kebudayaan mereka sendiri.

Marshall Leaver Gambar.2: Tarian adat dari Negara Inggris

37

The Scots College, Sydney Gambar 3: Siswa-siswa dari sekolah Scots, Memakai pakaian adat dari Scotlandia

Sekarang para migran lebih dimungkinkan untuk mempertahankan warisan budaya mereka. Bahasa yang digunakan oleh kelompok-kelompok migran yang penting diajarkan di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Ada program radio dan televisi yang menggunakan bahasa asing. Hal ini membantu timbulnya perasaan jati diri bagi semua orang Australia, dan juga menimbulkan kebhinekaan bagi Australia serta membantu terciptanya masyarakat yang toleran.

Kebijakan di Australia dimaksudkan untuk menjaga kerukunan dan harmoni melalui multikulturalisme. Menurut kebijakan ini, semua orang Australia bebas untuk hidup di tempat yang dipilihnya dan bebas untuk mempertahankan kebudayaannya. Mereka dapat menggunakan dan mempelajari bahasanya. Mereka bebas untuk menjalankan agamanya. Orang-orang dari semua bangsa, agama, kebudayaan dan bahasa adalah sama di mata hukum.

Agama-agama di Australia

Ada banyak agama yang terdapat di Australia.45 Kebanyakan orang Australia beragama Kristen. Ada beberapa aliran kelompok Kristen. Dulu agama Kristen

45Lihat juga Gary D. Bouma, ‘Australia’s Religiuos Profile: Continuity and Change’, dalam Gary D. Bouma (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden tity and Cultural Diversity, The Christian Research Association, Melbourne,1996, h. 9-24.

38

Anglikan merupakan agama yang dominan (Lihat Gambar 4). Sekarang kelompok yang terbesar adalah kelompok beragama Katholik (Lihat Gambar 5) dengan 4,6 juta pemeluk. Di antara orang-orang Australia yang berasal dari Yunani dan Eropa timur dijumpai juga aliran Kristen Ortodoks. Di Australia juga ada sejumlah kecil penduduk yang memeluk agama Yahudi.

Islam di Australia terutama dipeluk oleh orang-orang yang berasal dari Libanon, Turki dan Timur Tengah (Lihat Gambar 6). Orang Australia yang beragama Buddha terutama berasal dari Asia Timur dan Asia Tenggara.

Asian Field Study Centres Gambar 4: Gereja Katedral Anglikan St Andrew, Sydney.

39

Marshall Leaver Gambar 5: Gereja Katedral Katolik Roma St Mary di Sydney.

Asian Field Study Centres Gambar 6: Mesjid di Sydney. Kebanyakan orang Islam di Australia berasal dari Turki dan Libanon.

Ada contoh gereja, kuil dan mesjid yang bagus di Australia. Beberapa di antaranya masih baru dibangun. Di tahun 1976 telah dibangun sebuah mesjid yang besar di Preston, yakni daerah pinggiran kota Melbourne. Baru-baru ini di daerah Wollongong telah dibangun sebuah kompleks agama Buddha yang besar (Lihat Gambar 8) dan sebuah kuil Hindu (Lihat Gambar 7). Juga ada kelompok kecil seperti pemeluk Bahai dan agama Yahudi.

40

Asian Field Study Centres Gambar 7: Kuil Hindu di Helensburgh di sekitar kota Wollongong.

Asian Field Study Centres

Gambar 8: Wihara Buddha terbesar di luar Asia di Wollongong

Orang bermigrasi ke Australia

Orang bermigrasi ke Australia karena alasan-alasan yang berbeda. Kebanyakan mereka datang ke Australia dengan alasan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik bagi dirinya sendiri maupun bagi anak-anaknya. Australia adalah sebuah negara yang besar dan negara-negara bagiannya mempunyai kondisi yang sesuai untuk tempat menetap.

Banyaknya kebudayaan yang berbeda telah menjadikan Australia sebagai tempat yang menarik. Di bawah ini, secara singkat dibahas beberapa kelompok

41

tertentu: Kelompok Aborigin, Inggris, Jerman, Yunani, Italia, Libanon, Vietnam, Indonesia, dan India

Orang Aborigin

Orang Aborigin atau penduduk asli telah hidup di Australia selama lebih dari 50.000 tahun. Kebijakan multikulturalisme mendorong mereka untuk memelihara kebudayaan mereka. Banyak orang di Australia berminat terhadap kebudayaan Aborigin. Seni dan musik Aborigin telah menjadi populer.46

Kaitan dengan Eropa

Hubungan awal antara Eropa dengan Australia telah dimulai sejak abad ke-15 yang dilakukan melalui orang Portugis dan Belanda. Benua Australia dapat dilihat dalam peta-peta Portugis lama. Mereka menamakannya Jawa Besar. Orang Belanda menyebutnya Holand Baru. Pada tahun 1642 orang Belanda bernama Abel Tasman berlayar dari Batavia (Jakarta) untuk menjelajahi Australia bagian selatan. Dia sampai di Pulau Tasmania. Tasman percaya bahwa Australia tidak layak untuk tempat bermukim. Oleh karena itu, selama abad berikutnya orang Eropa tidak menunjukkan minat terhadap Australia.

Kaitan dengan Inggris

Pada tahun 1770 seorang penjelajah Inggris bernama Kapten James Cook sampai di pantai timur Australia. Dia menganggap bahwa daerah tersebut cocok untuk tempat tinggal. Pada tahun 1788 terbentuklah masyarakat narapidana Inggris di Sydney.

Penduduk berbangsa Inggris tersebut berkembang, dan tak lama kemudian juga berdatangan para pemukim yang bukan narapidana. Mereka datang untuk membuat daerah pertanian. Kelompok-kelompok masyarakat lain juga dibentuk di daerah-daerah yang berlainan di Australia. Banyak orang dari bangsa Irlandia dan Inggris bermukim di Australia di awal Abad Ke-19 dan Ke-20. Orang-orang Inggris tersebut merupakan kelompok yang beraneka ragam.47

46Manning Clark, A Short History of Australia, h. 1. 47Manning Clark, A Short History of Australia, h. 28.

42

Kelompok ini meliputi orang-orang Inggris, Skotlandia, dan Wales. Saat ini orang Inggris dan Irlandia merupakan kelompok-kelompok terbesar di Australia. Telah berkembang suatu kebudayaan yang jelas di Australia. Kebudayaan tersebut kebanyakan didasarkan atas kebudayaan kelompok terbesar ini.

Banyak ciri kebudayaan Australia yang merupakan pengaruh Inggris. Bahasa yang digunakan dalam pemerintahan dan pendidikan resmi adalah bahasa Inggris. Pemilihan anggota parlemen didasarkan atas sistem Inggris. Sistem hukumnya didasarkan atas sistem hukum Inggris. Banyak jenis olahraga populer di Australia yang berasal dari Inggris, seperti permainan cricket, sepakbola rugby, tenis, dan balapan kuda.

Kelompok migran Jerman

Sekelompok orang Jerman bermigrasi ke Australia di tahun 1890-an. Mereka datang ke Australia agar bebas menjalankan agama Kristen aliran Luther. Mereka datang ke Australia karena tidak bebas menjalankan aliran kepercayaannya tersebut di negara mereka sendiri. Aliran Luther adalah sejenis agama Kristen Protestan. Mereka bermukim di Lembah Barossa. Lembah tersebut terletak 70 km di arah timur laut kota Adelaide.

Para migran Jerman menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk membuat industri minuman anggur. Mereka melihat bahwa tanah di Lembah Barossa serupa dengan tanah di Lembah Rhine di Jerman. Iklimnya cocok untuk produksi minuman anggur. Musim panasnya beriklim hangat dan kering dan musim dinginnya sejuk dan lembab.

Sekarang Lembah Barossa mempunyai penduduk kira-kira 18.000 orang. Ada 36 gereja di lembah tersebut, dan kebanyakan beraliran Luther. Lembah itu mempunyai ciri-ciri kebudayaan Jerman (Lihat Gambar 9). Ada bangunan-bangunan bergaya Jerman. Minuman anggur yang dihasilkan juga bergaya Jerman dan toko-toko serta restorannya menjual makanan gaya Jerman.

43

South Australian Tourism Commission Gambar 9: Orang Australia asal Jerman

Lembah Barossa telah menjadi daya tarik wisatawan. Para pengunjung dapat melihat festival Jerman. Selama berlangsungnya festival, orang-orang mengenakan pakaian tradisional dan menyajikan makanan tradisional. Para wisatawan dapat mendengarkan lagu-lagu dan musik Jerman.

Orang Cina

Orang-orang Cina bermigrasi ke Australia dalam jumlah besar selama Abad Ke-19. Mereka datang ke daerah-daerah pertambangan emas yang saat itu baru ditemukan. Jumlah mereka mencapai kira-kira 100.000. Namun, oleh karena adanya pembatasan imigrasi, jumlah mereka harus dikurangi. Ada kira-kira 29.900 orang Cina pada tahun 1901 dan hanya kira-kira 6.400 pada tahun 1947.

44

Kedatangan para pencari emas bangsa Cina membuat khawatir banyak pekerja Australia. Para pekerja ini, yang kebanyakan keturunan Inggris, menganggap bahwa orang-orang Cina ini akan mengambil pekerjaan mereka karena mereka mau saja dibayar rendah. Para pekerja Australia ini juga menolak upaya petani domba ternak untuk mendatangkan pekerja pertanian dari India. Reaksi yang keras ini menyebabkan pemerintah kolonial negara bagian untuk menggunakan kebijakan imigrasi yang membatasi imigrasi Asia. Sesudah timbulnya federasi, Pemerintah Australia juga memberlakukan suatu kebijakan yang membatasi imigrasi Asia. Kebijakan ini kemudian dikenal sebagai Kebijakan Australia Putih. Kebijakan ini dihapuskan pada tahun 1973.

Sejak tahun 1970-an jumlah penduduk Cina Australia telah meningkat. Mereka berdatangan dari Cina, Hong Kong, Taiwan dan beberapa negara di Asia Tenggara. Sekarang ada kira-kira 250.000 orang Cina di Australia. Kira-kira dua setengah persen orang Australia menggunakan bahasa Cina di rumah. Ada daerah Pecinan di kota Sydney dan Melbourne. Orang Cina mempunyai daerah pasar dan pertokoan. Juga terdapat orang-orang Cina yang menjalankan usaha dan yang bekerja sebagai tenaga profesional.48 (Lihat Gambar 10).

48Lihat Ho Chooi Hon and James E. Coughlan, ‘The Chinese in Australia: Immigrants from the People’s Republic of China, Malaysia, Singapore, Taiwan, Hongkong and Macau’, dalam James E. Coughlan and Deborah J. McNamara (ed.), Asian in Australia: Patterns of Migration and Settlement, h. 145.

45

Department of Immigration and Multicultural Affairs Gambar 10: Mantan Walikota Darwin, Mr Alec Fong Lim.

Migrasi sejak Perang Dunia II

Australia dulu terlibat dalam Perang Dunia II. Selama terjadinya perang tersebut, industri Australia telah berkembang. Telah pula didirikan industri-industri baru.

Sesudah perang, industri Australia yang sedang berkembang tersebut mengalami kekurangan tenaga terampil. Juga disadari waktu itu bahwa dengan adanya lebih banyak penduduk, berarti pelaku ekonomi akan lebih banyak. Banyak orang Eropa yang menderita akibat perang dan ingin bermigrasi ke Australia untuk memulai hidup baru. Pemerintah Australia mendorong terjadinya migrasi pascaperang.

Mula-mula mayoritas migran adalah dari Inggris dan Irlandia. Tak lama kemudian, banyak migran dari negara Eropa yang mengikuti arus orang-orang yang

46

datang untuk bermukim di Australia. Kebanyakan dari para migran Eropa ini datang dari Italia dan Yunani.

The Greek Herald

Gambar 11: Musisi Australia asal Yunani

Orang Yunani

Beberapa orang Yunani telah bermigrasi ke Australia sebelum tahun 1945. Orang-orang ini mendirikan usaha seperti restoran dan kafe, dan beberapa ada yang menjadi petani atau membuka bioskop. Beberapa dari pemukim Yunani ini ada yang tinggal bersama dalam suatu kelompok masyarakat, tetapi ada juga yang bermukim di desa-desa, menyatu dengan orang Eropa lainnya. Para pemukim Yunani yang awal ini kemudian menjadi kaya dan anak-anak mereka seringkali memasuki profesi seperti kedokteran dan hukum.

Menjelang tahun 1945 ada kira-kira 15.000 orang Yunani yang menetap di Australia. Sesudah Perang Dunia II lebih banyak lagi orang Yunani yang mulai

47

berdatangan. Antara tahun 1953 dan 1956 ada kira-kira 30.000 orang Yunani yang berdatangan. Migrasi orang Yunani ini mencapai puncaknya antara tahun 1961 dan 1966 ketika lebih dari 16.000 orang Yunani masuk ke Australia setiap tahun. Menjelang tahun 1971 ada kira-kira 160.000 orang Australia kelahiran Yunani.

Banyak migran Yunani yang berasal dari daerah pedesaan. Banyak dari mereka yang merasa bahwa mereka tidak mempunyai ketrampilan untuk bekerja di Australia. Maka mereka berinisiatif mendirikan usaha sendiri. Usaha ini meliputi restoran, toko buah-buahan, toko kue dan penjualan ikan.

Orang Yunani mempertahankan kebudayaannya secara kuat di Australia. Banyak orang Yunani yang memilih untuk hidup saling berdekatan di kota-kota di Australia. Perkampungan seperti daerah Marrickville, Stanmore, dan Kensington di Sydney serta daerah Brunswick, Prahran dan Fitzroy di Melbourne mempunyai penduduk Yunani dalam jumlah besar. Ada gereja-gereja Yunani Ortodoks, ada kafe dan klub sepakbola Yunani. Anak-anak para migran Yunani didorong untuk mempelajari bahasa Yunani.

Orang Italia

Ada orang Italia yang sangat lama sekali menetap di Australia, karena tertarik kepada penemuan emas pada Abad Ke-19. Keturunan orang-orang Italia ini, seperti halnya keturunan orang Yunani, menjadi kaya dan banyak terwakili dalam segala bidang kehidupan dan profesi.

Kebanyakan orang Italia datang ke Australia dalam jumlah besar sesudah Perang Dunia II. Orang-orang Italia sangat menderita dampak peperangan tersebut. Tingkat pengangguran sangat tinggi di Italia (18%). Beberapa daerah di Italia sangat miskin, terutama di selatan. Banyak migran yang berasal dari daerah-daerah yang miskin ini. Menjelang tahun 1954 penduduk Australia kelahiran Italia mencapai jumlah 120.000. Menjelang tahun 1971 jumlah tersebut mencapai 290.000 orang. Orang Italia merupakan kelompok migran terbesar di Australia.

Para migran Italia banyak yang masih mempertahankan rasa cinta kedaerahan. Orang Italia yang berasal dari daerah-daerah seperti Kalabria, Sisilia dan Veneto

48

tinggal saling berdekatan di Australia. Tiap-tiap daerah ini mempunyai bahasa yang berlainan. Seringkali mereka menikah dengan orang dari daerah yang sama. Adakalanya seluruh desa bermigrasi ke Australia. Jadi, banyak ikatan sosial asli dari Italia yang kemudian dipindahkan ke Australia. Daerah seperti Leichhardt di Sydney dan Carlton di Melbourne merupakan daerah tempat tinggal para keluarga Italia dan banyak usaha yang didirikan oleh orang Italia. Ada kafe Italia, toko pakaian, restoran dan toko makanan Italia (Lihat Gambar 12).

'bel mondo' Gambar 12: Keluarga Manfredi membuka restoran Italia bel mondo di Sydney

Orang Libanon

Antara tahun 1947 dan 1970 ada kira-kira 5.500 orang Libanon yang menetap di Australia. Kebanyakan mereka beragama Kristen. Banyak dari mereka yang bekerja di pabrik seperti pabrik mobil Ford yang baru. Beberapa dari mereka ada yang berpenghasilan cukup dan mendirikan usaha sendiri seperti toko dan taksi.

Pada tahun 1975 pecahlah perang saudara di Libanon. Terjadi banyak kerusakan. Hal ini berakibat meningkatnya jumlah migran dari Libanon ke Australia. Pada tahun 1976-77, tibalah di Australia 10.715 orang Libanon. Di antara migran Libanon yang baru ini terdapat orang yang beragama Islam. Menjelang tahun 1981 terdapat lebih dari 50.000 orang kelahiran Libanon yang menetap di Australia. Juga ada orang Australia yang kelahiran negara lain di Timur Tengah, seperti dari Mesir, Irak, dan Siria.

49

Orang Indonesia Para nelayan Makassar yang berasal dari Indonesia telah datang ke Australia sejak abad ke-18 mendahului kedatangan orang-orang Eropa dan berlangsung sampai awal abad ke-20. Orang-orang Indonesia yang melanjutkan tradisi pelaut Makassar ke Australia berasal dari Kupang dan Jawa. Mereka telah bekerja di kawasan industri mutiara dan perkebunan gula di akhir abad ke- 19, karena upah mereka lebih baik daripada upah di kampung halaman. Industri mutiara di Australia Barat menyewa para penyelam dari Indonesia, khususnya yang direkrut di Kupang, dari tahun 1870-an hingga 1940-an, atas dasar persetujuan dengan penguasa Belanda. Mereka dipekerjakan di perahu-perahu yang beroperasi di Rebourne, dekat Port Headland, Cossack, dan kemudian di Broome yang menjadi pusat industri mutiara. Sebagian lagi, meski lebih sedikit jumlahnya, dipekerjakan di Port Darwin, Northern Territory dan di Thursday Island, North Queensland.49 Kehidupan ekonomi mereka di Broome sangat sulit. Mereka tinggal di gubuk- gubuk dekat perkampungan Aborigin sepanjang pantai. Mereka menghadapi sejumlah kecil majikan kulit putih yang hidupnya lebih baik, dan para pekerja Jepang, Cina, Filipina, dan Aborigin. Perkelahin antara mereka adalah hal yang lumrah. Di Thursday Island kondisi mereka lebih parah lagi. Mereka harus menanggung resiko hidup di tempat-tempat sesak dan tidak sehat. Mereka juga harus mengatasi serangan hiu, goresan karang, penyakit, tenggelam, dan topan yang membawa maut. Dengan adanya batasan-batasan keimigrasian tahun 1901, hampir semua kembali ke Indonesia dan hanya sejumlah kecil saja menetap di Australia. Baru di tahun 1950-an dan 1960-an ada mahasiswa Indonesia datang ke Australia sebagai bagian program beasiswa pemerintah Australia untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Australia. Selama periode ini, beberapa orang Indonesia datang ke Australia untuk mengajar bahasa Indonesia. Mereka yang memilih untuk menetap di Australia pada masa itu membentuk titik inti komunitas Muslim Indonesia. Berdasarkan kemudahan batasan migrasi non-putih tahun 1966, migrasi orang Indonesia ke Australia jadi bertambah besar. Sebagai tambahan pada mereka yang

49Abdullah Saeed, Islam in Australia, Allen & Unwin, Sydney, 2003, h. 11.

50

telah bermigrasi permanen ke Australia pada tahun 1980-an dan 1990-an, sejumlah besar orang Indonesia yang kaya mengirim anak-anak mereka belajar di Australia. Kini, kebanyakan orang indonesia tinggal di Sydney, diikuti kota-kota lain: Melbourne, Perth dan Brisbane. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, hanya 8.087 (17%) orang Australia asal indonesia (total 47.156) yang mengaku sebagai Muslim. Pada umumnya orang Indonesia merasa mudah bernitegrasi dengan masyarakat Australia. Mereka cenderung datang ke mesjid-mesjid yang dibangun kelompok etnik lainnya. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan sosial etnik dan keagamaan. Dalam kegiatan etnik, mereka mendirikan organisasi etnik seperti IKAWIRA, PERWIRA, Paguyuban Jawa, dan Minang Saiyo. Begitu pula dalam kegiatan keagamaan, mereka bekerjasama dengan kelompok mahasiswa Muslim Australia asal Indonesia yang tergabung dalam Monash Indonesian Islamic Society (MIIS) dan Himpunan Pengajian Islam al-Taqwa (HPIA). Orang-orang Islam asal Indonesia juga mendirikan mesjid atas swadaya sendiri di Sydney bernama al- Hijrah Mosque, lebih dikenal dengan Mesjid Tempe, karena terletak di daerah West Tempe. Demikian pula di Victoria, masyarakat Islam Indonesia bekerjasama dengan MIIS mendirikan mesjid (mushalla) bernama al-Taqwa, yang terletak di Clayton, dekat kampus Monash.50

50Deddy Mulyana, Islam dan Orang Indonesia di Australia, Logos, Jakarta, 2000, h. 63, 150-151.

51

Asian Field Study Centres Gambar 13: Masyarakat Indonesia di Australia telah memperkenalkan makanan baru seperti sate

Orang Vietnam

Selama jangka waktu akhir 1970-an dan 1980-an banyak migran yang berdatangan dari daratan Indo-Cina. Kebanyakan mereka datang dari Vietnam. Di Vietnam waktu itu terjadi peperangan selama tigapuluh tahun. Juga terjadi kerusuhan besar di Kamboja dan Laos. Terjadi peperangan di Kamboja di tahun 1979.51 Banyak orang dari negara-negara ini yang memutuskan untuk pergi dari negaranya. Banyak dari mereka yang pergi dengan menggunakan perahu kecil. Mereka harus mengarungi lautan yang berbahaya. Mulai tahun 1975 sampai pertengahan 1978 ada kira-kira 30.000 'manusia perahu' yang meninggalkan Vietnam. Jumlah ini meningkat di tahun berikutnya dan mencapai ratusan ribu jumlahnya (Lihat Gambar 14).

51Gary D. Bouma, ‘Budhist Temples and the Settlement of Vietnamese migrants: A Case Studi’, dalam Gary D. Bouma (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden tity and Cultural Diversity, The Christian Research Association, Melbourne,1996, h. 53-55.

52

Asian Field Study Centres Gambar 14: Orang Australia asal Vietnam

Australia menerima ribuan pengungsi Indo-Cina. Kemudian mereka datang sebagai migran. Mulai tahun 1975 sampai 1985 ada 79.000 orang Vietnam yang masuk ke Australia.Sekarang ada 200.000 orang Australia yang lahir di Vietnam. Seringkali, para pengungsi tidak mempunyai keluarga atau teman yang dapat membantunya. Yang membantu mereka adalah kelompok kerja sosial yang ada di Australia. Sekarang ada kelompok-kelompok bantuan Vietnam. Ada daerah-daerah yang menjadi tempat pemukiman Vietnam, misalnya Cabramatta di Sydney (Lihat Gambar 14) dan Richmond di Melbourne. Sekarang banyak orang Vietnam yang mempunyai usaha sendiri. Banyak anak Vietnam yang belajar di universitas.

Orang India

Orang India pertama kali datang ke Australia di Abad ke-19. Di tahun 1890- an, di antara para pemukim awal tersebut terdapat bangsa Sikh dari Punjab yang tinggal di New South Wales bagian utara. Mereka membuat perkebunan pisang di sini.

Orang-orang India mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar di tahun 1970-an. Di tahun 1991 terdapat lebih dari 61.000 orang Australia kelahiran India. Kebanyakan mereka adalah orang berpendidikan, 97% menggunakan bahasa Inggris, dan mereka sudah terbiasa dengan kebudayaan Inggris. Banyak dari mereka yang

53

menjadi tenaga ahli, termasuk menjadi dokter, insinyur, ahli komputer dan ilmuwan. Meskipun mereka berusaha mempertahankan kebudayaannya (Lihat gambar 16). Mereka tinggal di daerah-daerah yang berlainan dan kebanyakan hidup di antara orang-orang yang berbahasa Inggris. Orang-orang India juga berasal dari Fiji, Afrika Timur, Malaysia dan Mauritius.

Di Australia juga ada orang-orang Asia Selatan yang berasal dari negara seperti Sri Lanka, Bangladesh dan Pakistan.

PadmaRaman Gambar 16: Orang Australia keturunan India menambah banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Di sini nampak seorang penari Padma Raman sedang menari menurut gaya Kuchipudi, yakni salah satu gaya tarian utama di India. Tarian itu berasal dari drama Sanskrit kuno dan dulunya biasa ditarikan hanya oleh pria.

C. Multikulturalisme sebagai Ideologi Negara Bentuk multikulturalisme yang berkembang di Australia selama lebih tiga puluh tahun terakhir ini merupakan sebuah filosofi sosial politik yang penting, bila ditinjau dari standar internasional. Sebagai sebuah filosofi dan kebijakan, multikulturalisme Australia telah mencoba menekankan keseimbangan antara hak-hak semua orang atas identifikasi budaya, agama dan etnis di satu pihak, dan memberi dorongan pada rasa solidaritas sosial di pihak lain. Keberhasilan terbesar

54

multikulturalisme ada pada kemampuannya menegakkan dasar kesatuan dalam suatu masyarakat dengan diversitas budaya yang besar.

1. Pertumbuhan dan Gagasan Multikulturalisme Salah satu aspek terpenting yang mempengaruhi sikap Pemerintah dalam mengambil kebijakan multikulturalisme adalah kenyataan komposisi penduduk. Komposisi ini terdiri dari kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang etnik, budaya, dan agama yang beragam. Menyikapi kondisi multikultural masyarakatnya, Pemerintah Australia di tahun 1975 mengangkat ideologi ini sebagai kebijakan resmi terhadap kaum migran dan seluruh masyarakat Australia. Implikasinya terasa pada tiap kelompok dalam masyarakat yang mempunyai hak dan kebebasan untuk meneruskan dan memelihara indentitas budaya mereka. Ini menjadi sebuah ideologi yang sangat signifikan dalam menghadapi kaum Muslim --dan kelompok menoritas lainnya-- di Australia yang sebelumnya mempunyai identitas sendiri sesuai dengan negara asal.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Ideologi multikulturalisme dewasa ini telah bergerak dan mendorong upaya perlindungan identitas budaya kelompok-kelompok etnik. Sejumlah faktor dapat dilihat berhubungan dengah perubahan ini. Faktor-faktor itu adalah: 1. semakin bertambah besarnya keanekaan akibat perubahan komposisi penduduk migran, 2. migrasi berlangsung cepat menimbulkan gelombang arus imigran dan 3. perubahan pandangan masyarakat penerima (host society) mengenai kesetaraan/keadilan bagi kelompok minoritas. Betapapun, kekurang berhasilan kedua kebijakan Pemerintah sebelumnya tidak boleh dilupakan sebagai faktor pemberi kontribusi pada perubahan ini.52

52Foster, Lois and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History and Critique, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, England, 1988, h. 8. Lihat juga Payne J. Richard and Jamal R. Nassau, Politics and Culture in Developing World: The Impact of Globalization, Longman, New York, 2003, h. 338-340.

55

Asal-usul Multikulturalisme Sejarah rakyat Australia telah mengalami suatu transformasi substansial sejalan dengan perkembangan multikulturalisme. Ideologi tersebut dilihat dari segi kelahiran dan perkembangannya dapat dibagi dalam dua periode. Periode pertama dimulai dengan definisi ‘asli’ yang dimulai dari tahun 1972 sampai 1985. Selama periode ini Australia beralih dari karakter sebuah negara yang memaksakan identitas monokultural menjadi negara yang justru mendorong terciptanya keragaman budaya. Tahap kunci perkembangan ini dimulai dengan diperkenalkannya definisi asli multikulturalisme selama pemerintahan partai buruh Whitlam dan mengalami perubahan di masa pemerintahan partai liberal Fraser dan kemudian diadopsi oleh pemerintahan partai buruh Hawke. Selama tahap-tahap ini muncul beberapa peristiwa yang signifikan yang membentuk filosofi dan kebijakan multikulturalisme Australia. Namun demikian, terjadi pula penolakan- penolakan dari kelompok konservatif terhadap konsep multikulturalisme itu. Pada dasarnya datang dari kelompok yang takut bahwa identitas dan tradisi Australia akan goyah bahkan mungkin akan hancur akibat kebijakan multikulturalisme. Konflik dialektis antara kelompok pendukung dan yang oposisi terhadap multiklturalisme pada fase awal melahirkan pola-pola konflik besar yang terjadi di tahun 1980-an. Perkembangan ‘defenisi asli’ multikulturalisme dapat dibedakan dalam beberapa periode,53 yaitu: a. 1945-1971: Imigrasi massal pasca Perang Dunia II dan munculnya kritik dan tekanan terhadap cita ‘monokultural’. b. 1972-1975 : Perkembangan filosofi dan kebijakan ‘multikulturalisme’ selama tahun-tahun pemerintahan Whitlam. c. 1976-1983 : Tahun-tahun pemerintahan Fraser dan penyegaran konsp multikulturalisme, termasuk memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru. d. 1983-1985 : Terpilihnya Hawke sebagai Perdana Menteri dari Partai Buruh semakin memperkuat multikulturalisme dan meletakkan dasar baru dengan memperkenalkan atau menambah dimensi keadilan sosial dalam konsep tersebut.

53Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, Elikia Books Publication, Victoria, 1995, h. 2-3.

56

Masing-masing tahap di atas mewakili perkembangan yang berarti di dalam pembahasan dan perkembangan multikultural yang lebih sempurna sehingga menjadi sebuah ideologi dan sebuah kebijakan politik bangsa Australia dalam memperkuat kohesi dan harmoni sosial.

Asal-usul Definisi Asli (1945-1971) Fase pertama tahun 1945-1971 dimulai dengan karakteristik meningkatnya jumlah imigrasi dan kuatnya tekanan terhadap resistensi ide ‘monokultural’. Besarnya keinginan untuk memelihara suatu identitas Australia telah mengakibatkan lahirnya Australia sebagai negara Kulit Putih dan masyarakat yang rasis. Pandangan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan praktis sejak awal terbentuknya negara federasi Australia dengan ditetapkannya Peraturan Pembatasan Imigrasi (Immigration Restriction Act) pada tahun 1901 oleh Parlemen yang baru saja terbentuk ketika itu. Peraturan ini secara luas lebih dikenal dengan Kebijakan Kulit Putih Australia (the White Australia Policy). Undang-undang yang rasis ini mengatur kriteria imigrasi yang dapat masuk ke negara Australia, seperti tes kemampuan berbahasa Inggris, terbatas pada orang-orang kulit putih asal Inggris dan beberapa negara Eropa Utara, dan orang-orang yang secara kultural dianggap dapat berassimilasi dengan pandangan hidup kulit putih Australia. Secara khusus, peraturan ini secara keras menolak kehadiran imigran Asia dan Pulau Pasifik yang berakibat banyaknya dukungan media cetak dalam mengkampanyekan pembatasan tersebut dengan cara-cara yang menakutkan.54 The White Australia Policy mendapat sorotan yang tajam sejak diperkenalkannya program penerimaan imigrasi massal setelah Perang Dunia II. Program ini dibuka oleh pemerintahan Partai Buruh Chifley dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Liberal Menzies dengan karakteristik pengaruh berjangka panjang terhadap kehidupan sosial, budaya, dan politik Australia.55 Kebijakan terhadap

54Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.3-4. 55Lihat juga Lois Foster and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History and Critique, h. 27-28.

57

imigrasi itu terus berlangsung pada pemerintahan-pemerintahan berikutnya yang dibangun atas dasar prinsip assimilasi. Pada saat itu, baik partai politik Buruh maupun Liberal percaya bahwa perekat sosial (social cohesion) dapat dipelihara bila Australia tetap berkiblat pada program diskriminasi imigrasi. Karena itu, pada dasarnya substansi dukungan politik terhadap kebijakan imigrasi ini tidak terlepas dari kepentingan ekonomi Australia dan hal ini pada gilirannya telah memunculkan perdebatan hebat terhadap program kebudayaan dan komposisi ras. Ide pembatasan imigrasi hanya untuk ‘stock anglo-celtic’ telah mendapat tantangan keras dari program yang meluas ini. Perubahan besar yang pertama berupa keputusan untuk memperluas komposisi program dengan memasukkan kaum migran dari Eropa Timur. Perubahan dalam penekanan tampak pada jumlah penetap bangsa Inggris yang mengecil, yang tidak lagi tiba dalam jumlah yang sama seperti dulunya, namun mereka tetap menjadi pilihan yang lebih disukai dalam program imigrasi Australia. Meskipun program itu diperluas pada orang Eropa umumnya, tetapi pembedaan perlakuan tetap dilakukan di antara mereka dan orang-orang dari ras lain, khususnya orang Asia, Afrika dan Timur Tengah yang terus dikeluarkan dalam kerangka Kebijakan Kulit Putih Australia. Sebagai konsekuensi, Menteri Imigrasi, Arthus Calwell, merasa terdorong untuk membuka program imigrasi orang Eropa secara massal menjadi lebih sesuai bagi masyarakat dengan memaksakan kriteria pemilihan yang dirancang untuk memastikan agar mereka yang berimigrasi tidak dilihat sebagai suatu ancaman langsung pada pemikiran tentang identitas Australia yang sedang berlaku. Saat itu, isu tentang permukiman migrasi dikuasai sepenuhnya oleh kebijakan assimilasi. Kaum migran dengan keras diharapkan untuk mengenyampingkan warisan budaya mereka sendiri dan mengadopsi bahasa, nilai-nilai serta norma-norma budaya Australia. Ciri-ciri Assimilasi, seperti disebutkan oleh Mark Lopez dalam bukunya Origin of Multiculturalism in Australian Politics 1945-1975,56 antara lain:  Sebuah asumsi mendasar yang menyatakan bahwa program imigrasi massal, pemasukan, dan pertumbuhan populasi menguntungkan bagi kepentingan nasional

56Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 46-49.

58

Australia, terutama dalam hal tersedianya tenaga kerja untuk perkembangan ekonomi dan pertahanan.  Kebijakan assimilasi ditanggapi sebagai sebuah cara menuju pada pembinaan sebuah negara kesatuan. Kesatuan nasional merupakan nilai yang utama dan mengesampingkan keprihatinan. Membantu assimilasi migran digambarkan sebagai sebuah kewajiban ‘patriotik’ dan ‘di atas politik partai’. Tujuan Ini mensyaratkan sebuah model konsensus bukannya konflik dalam masyarakat.  Seluruh kaum migran, dari negara asal manapun, begitu diterima lewat kriteria seleksi, secara resmi ditetapkan dan diperlakukan sebagai individu yang dapai diassmilasikan. Dalam wacana resmi maupun tidak resmi, kaum migran dianggap menjadi ‘orang Australia baru’, sebuah isitilah yang dimaksudkan untuk menunjukkan afeksi dan sikap menerima. Ia juga mengenakan sebuah periode ‘pelatihan’ sebelum penerimaan penuh diperoleh. Hal ini terjadi biasanya ketika terjadi proses naturalisasi, dan kata depan ‘baru’ kemudian dihapus.  Assimilasianisme membawa berbagai metafora dan gambaran dari pandangan Amerika tentang ‘melting pot’’ di mana unsur-unsur yang terpisah melebur untuk membenruk sebuah masyarakat baru. Aspek ‘ras Inggris’ kerap diacu sebagaii sebuah contoh melting pot yang sukses. Acuan diarahkan pada Inggris sebagai etnik amalgamasi Eropa Utara: Celtik, Romawi, Angles, Saxon, Jutes, Normandia dan lainnya’.  Tanggung jawab diserahkan pada kaum migran untuk berakulturasi, dan populasi tuan rumah wajib bersikap toleran, menerima dan bahkan membantu para pendatang baru.  Kecurigaan di pihak penduduk tuan rumah dicela sebagai kebodohan dan irrasional.57  Assimilasi dianggap sebagai pandangan yang mencerahkan, toleran atau manusiawi karena penerimaannya pada pendatang baru sebagai unsur potensial

57Lihat juga Peter R. Shergold, ‘Discrimination against Australian Migrants: An Historical Methodology’, dalam Ian Burnley, (ed.), Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies, h. 62-63.

59

yang sama. Pihak oposisi dinyatakan sebagai mereka yang menolak ‘orang asing’ dan kebijakan yang membawa mereka datang.  Ada posisi kaum assimilasionis yang bersifat ‘garis keras’ dan yang ‘garis lunak’. Variasi ini pada dasarnya ada diantara mereka yang mengharapkan kaum migran berakulturasi dan menjadi tak dapat dibedakan dari penduduk tuan rumah sesegera mungkin, dan mereka yang dibiarkan sampai satu generasi untuk akhirnya mencapai hal itu, dan menerima sisa perbedaan minor dalam budaya.  Tujuan yang diinginkan kaum migran adalah permukiman permanen dan perolehan kewarganegaraan Australia, yang ditentukan undang-undang  the Nationality and Citizenship Act tahun 1948. Kesempatan untuk menjadi orang Australia dianggap sebagai sebuah kehormatan yang harus ditanggapi dengan penuh rasa syukur dan rasa bangga.  Kaum migran diharapkan bisa menerima idealisme dan nilai-nilai demokrasi parlementer Inggris, kepercayaan Kristiani, dan berakulturasi dengan ‘gaya hidup orang Australia’; di sini termasuk penerimaan pada nilai-nilai ‘khas’ Australia, seperti pertemanan (mateship), sikap adil (fair play), kebebasan, percaya diri dan pemberian kesempatan yang adil bagi semua. Ini dianggap sebagai cara yang terbaik untuk menjamin kaum migran agar ‘merdeka, hidup bahagia di masa depan’.  Perlindungan pada ‘homogenitas negara Australia’ dianggap penting secara mendasar. Ini mencakup: monokulturalisme, bahasa mono-Inggris, dan perlindungan pada lembaga-lembaga dan praktek-praktek warisan Inggris’. Hal ini tercermin dalam kriteria seleksi migran di Departemen yang lebih mendahulukan keturunan Inggris daripada orang yang bukan berlatar belakang berbahasa Inggris dan memelihara Kebijakan Australia Putih.  Kebudayaan dan bahasa kaum migran secara publik dipuji sebagai unsur yang memperkaya Australia. Namun bila dibandingkan dengan kebudayaan Australia- Inggris, lembaga-lembaga, nilai-nilai demokratis, dan bahasa Inggris, apa yang berasal dari kaum migran itu dianggap mempunyai nilai yang lebih di bawah dan berpotensi menjadi penghambat

60

pada kemajuan kaum migran sebagai individu, atau mengetengahkan suatu ancaman jangka panjang pada pertahanan karakter nasional Australia.  Kebudayaan Australia-Inggris dianggap lebih menarik dan meyakinkan daripada kebudayaan yang lain. Di tengah perbauran budaya yang menyertai masuknya kaum migran, ada anggapan bahwa kebudayaan asing lebih besar kemungkinannya untuk berubah, dan pada tahap yang lebih besar, daripada kebudayaan Australia yang berubah karena pengaruh asing.  Eksistensi kelompok-kelompok etnik dan munculnya serta tumbuhnya klub-klub serta organisasi-organisasi etnik sampai tingkat yang beraneka, dianggap sebagai suatu kecenderungan yang tidak diharapkan. Hal itu dianggap berlawanan dengan tujuan assimilasi dan harapan nasional, sehingga menjadi bahaya yang harus dihindari.  Menurunnya penggunaan bahasa asing dianggap sebagai alat pengukur keberhasilan assimilasi, khususnya pada anak-anak migran.  Ada harapan agar perubahan yang nyata dalam lembaga-lembaga sosial yang sudah ada bisa dihindarkan. Di luar dari pembentukan Departemen Imigrasi, dan badan-badan pendukungnya, lembaga-lembaga yang sudah ada dianggap memadai untuk menangani persoalan masuknya migran.  Hanya ada konsepsi yang terbatas mengenai kebutuhan kesejahteraan kaum migran. Dinas Lapangan Kerja Persemakmuran (the Commonwealth Employment Service/CES) dan kelas-kelas Pelajaran Bahasa Inggris diperkirakan sebagai sebagai kebutuhan utama kaum migran.  Pendidikan, kesejahteraan, kesehatan dan sistem hukum didorong agar hanya memberikan bantuan khusus minimal pada kaum migran (umpamanya pengadaan penerjemah dan interpreter) untuk mendorong kaum migran agar beradaptasi. Lebih lagi, keberadaan konsep ‘kesamaan’ (equality) yang ada menekankan bahwa kaum migran dan orang Australia harus diperlakukan dengan cara yang sama. Ada kepercayaan bahwa perhatian secara khusus pada kebutuhan kaum migran adalah sikap yang tidak egaliter dan berarti memperlakukan kaum migran secara berlebihan dibanding pada mereka yang terlahir sebagai orang Australia.

61

 Lembaga-lembaga didorong untuk memperlakukan kaum migran dengan baik; sementara kaum migran diharapkan menerima kesulitan ekonomi awal, bekerja di pabrik atau pekerjaan konstruksi, atau menjadi tenaga kerja kontrak di pemerintahan tanpa memperhitungkan kualifikasi dan pengalaman yang mereka miliki sebelumnya. Kaum migran dipuji bila memiliki keahlian dan bakat istimewa namun, pada umumnya, kualifikasi luar negeri yang non-Inggris tidak diakui atau diterima dengan curiga.  Kampanye publikasi pemerintah dan pendidikan masyarakat yang diarahkan pada penduduk tuan rumah untuk melawan sikap curiga dan mendorong sikap menerima program imigrasi dan pendatang-pendatang baru, dianggap penting untuk keberhasilan program tersebut.58 Rasisme yang berlanjut pada periode pertama program imigrasi paska perang (diperlihatkan dalam seleksi calon-calon imigran) menjadi berlipat dua dengan sikap negatif orang Australia terhadap kaum migran di saat kedatangan mereka. Keterikatan dengan suatu kebijakan assimilasi turut memperkuat unsur-unsur rasis dalam kebijakan dan sikap yang menyertainya, The White Australia Policy mempunyai dampak sangat penting pada pertambahan penduduk Australia sebelum Perang Dunia II; namun jarang sekali mendapat tantangan. Barulah setelah program imigrasi besar-besaran paska perang basis rasisnya yang melekat mulai tampak, terutama dalam lingkup internasional. Selama tahun 1960an, Kebijakan Australia Putih menjadi bulan-bulanan kutukan internasional karena warna rasis kolonialisme yang dinampakkannya dan dukungan xenofobic (kebencian pada orang asing) yang melekat pada politik ‘exclusive’-nya, yang didasarkan pada penampilan fisik. Secara bertahap sistem resmi diskriminasi kehilangan kekerasannya (tes mengeja dihilangkan di tahun 1960’an), namun baru pada tahun 1973, Permerintahan Whitlam mengambil langkah terakhir yang diperlukan untuk menghapuskan Kebijakan Australia Putih. Di dalam Australia sendiri, penekanan awal ada pada pembauran kaum migran baru pada ide monokultural dalam identitas Australia. Seperti dijelaskan di atas,

58Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 50.

62

manfaat imigrasi dianggap hampir seluruhnya dalam pengertian pertumbuhan ekonomi, dan hanya kecil perhatian yang diberikan pada aspek potensi imigrasi untuk memperkaya kehidupan sosial dan budaya Australia. Berlawanan dengan itu, perdebatan publik selama tahap ini mengemukakan model masyarakat monokultural, dan terus menerus menekankan pada kebutuhan kaum migran untuk melupakan tradisi budaya masa lalu mereka dan mengambil-alih apa yang diangggap sebagai budaya dan identitas Australia yang satu. Tujuannya untuk memastikan bahwa konsekuensi- konsekuensi sosio-kultural imigrasi telah melebur dalam model tersebut. Jadi, sejak akhir 1940-an sampai awal 1970-an, citra ideal Anglo-Saxon dan Celtic dalam kebudayaan Australia dinggap menjadi bentuk panutan bagi semua orang. Tahap ini dicirikan oleh ketegangan mendasar antara tekanan kepentingan ekonomi dan ancaman yang dirasakan terhadap idealisme monokultural yang dihadapi imigrasi. Tujuan assimilasi adalah pada periode paska perang menolak dan dalam berbagai kasus merusak semua bentuk budaya yang bukan bentuk ideal Anglo-Celtic. Selama masa ini ada upaya sistematis yang menolak bahwa sebelum Australia di kolonisasi pun telah ada sejumlah besar budaya Aborigin yang hidup bersama, dan itu terjadi sejak masyarakat dari budaya-budaya yang berbeda berimigrasi. Di luar keberadaan masyarakat ini, banyak sejarah awal Australia hanya berisi upaya mencegah munculnya suatu masyarakat aneka budaya. Menjelang akhir tahun 1960-an, posisi assimilasi dan monokultural mendapat tekanan dan kelompok-kelompok etnis mulai menunjukkan perlawanan mereka terhadap kebijakan-kebijakan ini. Menjelang saat itu, ada tekanan dari kelompok etnis untuk mengadopsi model permukiman yang lebih fleksibel. Hal ini memberi jalan tumbuhnya model pemukiman yang terintegrasi di mana diakui bahwa semua bentuk budaya bisa membaur bersama dalam satu keseluruhan, di mana ciri terbaik dari masing-masing pihak bisa dipakai untuk membentuk basis sebuah identitas tunggal Australia; ‘.....kita bergerak ke arah sebuah poisisi yang lebih ‘toleran’ yang mengharapkan integrasi kaum imigran. Ini berarti adanya ‘memberi dan menerima’ baik dari pihak Australia maupun pihak kelompok imigran’.59

59Andrew C. Theopanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 7.

63

Juga pada saat inilah pertimbangan-pertimbangan kerugian yang sebenarnya dihadapi kelompok-kelompok etnis mendapat perhatian dan isu-isu publik, seperti isu keadilan sosial mulai muncul dalam istilah-istilah yang lebih vokal. Alasan utama perhatian itu disebabkan oleh pertambahan signifikan dalam jumlah kelompok etnis yang semakin menampakkan diri mereka. Pada akhir tahun 1960-an banyak kaum imigran menjadi warga negara (citizens), dan dalam pemilihan umum tahun 1969 dan 1972, jumlah suara imigran tampil signifikan, dan partai-partai politik menghormatinya. Menjelang pemilihan umum tahun-tahun tersebut, sejumlah penetap baru menuntut sebuah suara yang kuat dalam masalah-masalah publik. Namun hanya lewat pemilihan umum Perdana Menteri di tahun 1972, kelompok- kelompok ini secara resmi memperoleh suara.

Introduksi Istilah ‘Multikulturalisme’: Menuju Multikulturalisme Pemerintahan Whitlam adalah yang pertama memformulasikan sebuah respons kebijakan yang positif pada implikasi tingkat tinggi di bidang budaya, politik dan sosial dalam hal imigrasi pada masyarakat Australia. Dari pertimbangan ini, wacana yang disebarkan adalah munculnya istilah ‘multikulturalisme’. Dalam konteks inilah kata ‘multikulturalisme’ diperkenalkan di Australia dalam sebuah pidato utama berjudul A Multi-Cultural Society for the Future, oleh Menteri Imigrasi dalam Pemerintahan Whitlam, Al Grassby.60 Dalam pidato itu, secara resmi ia menyatakan bahwa Australia bukanlah sebuah masyarakat yang homogen secara kultural, dan karena itu suatu kohesi (kerekatan) sosial sebaiknya dicapai melalui kebijakan-kebijakan yang memberi penghargaan pada hak untuk berbeda. Hal-hal ini kemudian diperkuat dalam empat dokumentasi kebijakan Al Grassby, yaitu ‘A Multicultural Society for the Future’, ‘Credo for a Nation’, ‘Education for a Multicultural Australia’, and Commissioner for Community Relations.61

60Al Grassby adalah arsitek kebijakan Multikulturalisme Australia di era pemerintahan PM Whitlam yang menjabat sebagai Menteri Imigrasi, sekaligus me ‘launching’ istilah tersebut ke tengah publik Australia. Lihat Stephen Castles et al, Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in Australia, Pluto Press, Sydney, 1988, h. 57. 61Lois Foster and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary History and Critique, h. 61.

64

Al Grassby, di tahun 1973, memberi batasan sasaran multikulturalisme dalam pengertian sebagai berikut; sebagaimana dikutip oleh Andrew C. Theophanous:62 Tugas utama kita pada tahap sejarah ini berupa keharusan mendorong bentuk-bentuk praktis interaksi sosial dalam masyarakat kita. Ini berarti penciptaan sebuah masyarakat yang benar-benar adil di mana semua komponen bisa menikmati kemerdekaan dalam memberi kontribusinya sendiri secara khas pada masyarakat kekeluargaan negara [the family of the nation] Australia tahun 2000, kita perlu memberi penghargaan, menganut dan memelihara semua unsur-unsur pembeda yang memperoleh tempat dalam negara modern. Ini menyangkut isu paling mendasar dari hak-hak kemanusiaan seperti yang di abadikan dalam piagam PBB tentang perjanjian iinternasional terhadap hak-hak sipil dan politik [the United Nations International Covenant on Civil and Political Rights]... Istilah ‘multikulturalisme’ sebenarnya dipinjam dari Canada, meskipun ada perbedaan-perbedaaan yang jelas dalam penekanan dan implementasi.

Model multikulturalisme Canada, seperti di Australia, juga merupakan sebuah reaksi atas pembatasan dan kebijakann imigrasi yang diskriminatif (yang berakhir sampai tahun 1950an). Pemerintah Canada pertama kali mengumumkan politik multikulturalismenya di bulan Oktober 1971, ketika dalam sebuah pidato di Parlemen.

Di Australia, multikulturalisme mempunyai dampak yang lebih mendasar. Selama memangku jabatannya sebagai Menteri Imigrasi, Al Grassby berhasil mendorong perubahan sikap orang Australia terhadap kaum migran dan sebagian bahkan menganggap, ia berperan merubah retorika migrasi. Sir Gamage menunjuk kontribusi Grassby sebagai ‘vital dan signifikan’. Ia mengetengahkan isu yang diterlantarkan, namun penting. Ia mencoba mengkonsepkan pendekatan-pendekatan baru.’63 Lebih penting lagi, Grassby telah mempopulerkan konsep multikulturalisme dengan menggunakan istilah ‘the Family of the Nation’ (Keluarga satu bangsa). Ia mendefinisikan ini sbb.:

Dalam sebuah keluarga keterikatan menyeluruh pada kebutuhan bersama tak berarti memaksakan sebuah kesamaan penampilan luar

62Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 7. 63Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 10.

65

dalam kegiatan tiap anggota, juga tidak perlu anggota-anggota itu menolak individualitas dan perbedaan mereka demi mencari sebuah kesepakatan yang tipis dan hanya sebatas kulit ari saja. Hal yang penting adalah bahwa mereka semua mempunyai komitmen yang sama bagi semua.64

Selanjutnya, Pemerintahan Whitlam di Australia mengakui bahwa kaum migran awal telah mengalami penderitaan, akibat diskriminasi nyata dalam kaitan dengan hak-hak budaya, sosial, legal dan politik dalam masyarakat Australia. Sebagai konsekuensi, multikulturalisme dikembangkan sebagai kerangka di mana pihak pemerintah dapat menyusun dan memperbaiki semua ketidaksamaan yang dialami orang dari latar belakang bahasa bukan bahasa Inggris [NESB; Non-English-speaking- background]. Juga dalam makalahnya di tahun 1973, Grassby menunjuk pada aspek ketidakadilan sosial dalam multikulturalisme:

Betapapun, di Australia masa kini, situasi telah berubah secara cukup dramatis, dalam hal proporsi menyeluruh dari orang Australia yang ‘lama’ dan yang ‘baru’. Demi keadilan sosial, sebuah masyarakat tidak boleh dalam jangka panjang, merendahkan kehadiran satu dari empat anggota mereka. Apakah satu dari empat itu secara permanen menolak kehormatan ekspresi diri dan pernyataan diri – seandainya diinginkannya [oleh yang satu]– dianggap nihil oleh tiga yang lainnya?65

Agenda Kebijakan Multikultural Whitlam

Pertumbuhan multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan dan filosofi mulai sungguh-sungguh diterapkan di saat pemilihan Pemerintahan Partai Buruh Whitlam. Ada sebuah usaha resistensi resmi dari Kebijakan Australia Putih menjelang akhir kekuasaan Pemerintahan Liberal, tetapi Whitlam lah yang mengambil tindakan membelokkan Kebijakan Putih Australia, dan sepenuhnya mengurangi sisa-sisa program imigrasi yang berlandaskan diskriminasi rasial.

64Dikutip dari buku Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 10. 65Kutipan dari Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 10.

66

Secara spesifik, Pemerintahan Whitlam memperkenalkan sejumlah ukuran berkaitan dengan hukum imigrasi Australia yang membalikkan sikap xenofobia yang melekat pada kebijakan-kebijakan Australia. Dalam bukunya, The Whitlam Government 1972-1975, bekas Perdana Menteri ini membeber-kan sejumlah reformasi di bidang ini dalam pemerintahannya. Antara lain, a. menyediakan, untuk pertama kalinya, program-program yang didampingi bantuan bagi orang non-Eropa. Jumlah orang non-Eropa yang menetap di Australia meningkat sampai rata-rata 20.000 tiap tahun selama masa pemerintahan Partai Buruh; b. memperkenalkan, di bulan Juli 1973, sebuah sistem visa yang mudah bagi para turis dan pengunjung jangka pendek lainnya dari negeri-negeri non-Eropa , seperti halnya hampir semua orang Eropa, memperoleh visa tanpa melalui pemeriksaan teliti seperti sebelumnya, cukup dengan memperlihatkan tiket prabayar, sebuah paspor yang masih berlaku, sebuah pernyataan bahwa mereka mempunyai dana yang cukup untuk tinggal, dan sebuah perjanjian tertulis untuk tidak bekerja selama di tinggal di Australia; c. memberi penekanan lebih besar pada bentuk imigrasi yang mempertemukan kembali keluarga-keluarga orang yang berkemungkinan besar akan menetap dengan bahagia dan permanen di Australia (family reunion) yang biasanya adalah mereka yang mempunyai teman-teman yang menanti mereka di saat kedatangan ke Australia; d. menyediakan bantuan memasukkan para anak yatim piatu Vietnam, dan kemudian mengadopsi anak-anak Vietrnam dan anak yatim dari negera manapun; dan e. melaksanakan amnesti pertama di Australia untuk imigrasi ilegal.66 Agenda Multikultural Whitlam Sejalan dengan reformasi sistem imigrasi yang digambarkan di atas, Pemerintahan Whitlam memulai sederet lanjutan reformasi yang dirancang untuk memunculkan secara aktif ide multikultural. Isinya, yaitu: a. Pengakhiran hak-hak istimewa khusus dan situasi yang dinikmati warga negara Inggris di Australia melalui kemudahan memperoleh kewarga negaraan, visa, izin masuk ulang (re-entry permit) dan kualifikasi hak pilih; b. Pencabutan bagian dari Migration Act yang mempertahankan sikap diskriminasi lama terhadap bangsa Aborigin Australia dan meminta mereka untuk mendapat izin khusus bila akan meninggalkan negara; c.

66Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 28-29.

67

Memperbaiki pengaturan perjalanan antara Australia dan Selandia Baru untuk menghapuskan diskriminasi terhadap penduduk yang non-Anglo-Selandia Baru, seperti bangsa Maori; d. Memperbaiki Crimes Act untuk mengurangi diskriminasi yang mengizinkan pendeportasian penduduk Australia yang sudah memperoleh naturalisasi. Doktrin hukum lama bahwa ‘sekali menjadi imigran selalu jadi imigran’ diganti dengan sebuah doktrin baru ‘sekali menjadi orang Australia selalu menjadi orang Australia’; e.Memperbaiki Aliens Act untuk menghilangkan kewajiban menyampaikan pemberitahuan tahunan tentang alamat, pekerjaan dan status perkawinan bagi kaum asing; f. Memperbaiki kebijakan pencatatan kaum asing untuk memindahkan batasan tentang penggantian nama oleh kaum asing; g. Penghapusan tim-tim olah raga yang dipilih secara rasis dari Australia.67 Pemerintahan Whitlam memperkenalkan the Australian Assistance Plan (AAP) yang memuat pengakuan tentang hak-hak sosial kaum migran. AAP tidak secara khusus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kaum migran, tetapi lebih berupa sebuah cetak biru tindakan oleh Pemerintah Whitlam dalam area kesejahteraan sosial. Kaum migran mendapat manfaat secara tidak langsung dari AAP. Stephen Castles dalam bukunya tentang Multikulturalisme dan Nasionalisme, menggambarkan tujuan AAP sebagai ketetapan dari suatu ‘sistem pelayanan kesejahteraan terintegrasi dengan peran serta akar rumput yang tinggi, namun tetap dalam konteks sebuah kerangka nasional’.68 Pemerintahan Whitlam mengeluarkan seperangkat Dewan Daerah Pengembangan Sosial (Regional Councils of Social Development) yang akan bertanggung jawab dalam pelaksanaan rencana itu. Hampir semua Dewan memasukkan sebuah komite untuk mengurusi isu-isu khusus yang dihadapi kaum migran. Komite-komite ini cukup signifikan karena mereka adalah kerangka formal pertama di dalam mana dimungkinkan untuk memberi identitas dan menyikapi ‘isu- isu etnik’. Mereka juga menjadi alat formal pertama melalui mana kaum migran dimungkinkan untuk memobilisir diri secara politis dan mengemukakan pendapat

67Stephen Castles (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in Australia, h. 117. 68 Stephen Castles (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in Australia, h. 118.

68

mereka terhadap para pengambil keputusan melalui saluran-saluran resmi. Jean Martin, seorang pakar pendorong Multikulturalisme Australia, menggambarkan rencana Whitlam sebagai yang paling potensial untuk berubah berkenaan dengan status sosial dan ekonomi kaum migran karena ia adalah ‘katalisator bagi upaya signifikan pertama dari pihak kelompok etnik untuk bersatu, agar dapat mengemukakan keinginan-keinginan umum kaum etnik dalam permasalahan publik’. Komite migran ini menjadi basis pembentukan the Ethnic Communities Councils di Australia Selatan dan Victoria tahun 1974 dan New South Wales tahun 1975. Pembentukan the Ethnic Communities Councils dimaksudkan menjadi testamen terakhir dari keberhasilan Pemerintahan Whitlam dalam mendorong dan menciptakan kesempatan terbentuknya komunitas etnis terorganisir yang berpotensi memberi dampak dalam proses pengambilan keputusan. Hasil konkrit lain dari pendekatan Whitlam pada multikulturalisme termasuk pembentukan seperangkat Migrant Task Forces di tahun 1973 yang dirancang menggalang peranserta kaum migran dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Task Forces ini diperkenalkan untuk mengidentifikasi kebutuhan mendesak kaum migran dan melaporkannya pada Menteri Imigrasi sebelum Juni 1973.

Undang-Undang Diskriminasi Rasial (the Racial Discrimination Act) Sejajar dengan pembebasan perundangan imigrasi Australia, dan memperkenalkan sejumlah kebijakan multikultural, Pemerintahan Whitlam mempelopori the Racial Discrimination Bill. Maksud Bill ini untuk mencabut perlindungan hukum atas semua bentuk diskriminasi atas dasar ras dan etnisitas dan melicinkan jalan bagi Australia untuk memperbaiki Konvensi Negara Serikat atas Penghilangan Semua bentuk Diskriminasi Rasial (All Forms of Racial Discrimination). Grassby memainkan peran pimpinan dalam penulisan draft the Racial Discrimination Bill, bersama Jaksa Agung, Lionel Murphy. Peraturan itu ditetapkan di bulan Juni 1975 dan diumumkan sebagai sebuah Undang-Undang (an Act) tanggal 31 Oktober 1975.

69

Undang-undang ini bagaikan sebuah upaya besar dalam mengatasi ketidakadilan sosial dan diskriminasi rasial. Secara khusus, undang-undang ini menggambarkan diskriminasi rasial sebagai: ….discrimination, excludion, restriction or preference based on race, colour, descent or national or ethnic origin which has the purpose or effect of nutlifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise. On an equal footing, of any human right or fundamental freedom in the political, economic, social, cultural or any other field of public life.69

Secara khusus, peraturan ini menghapus perlindungan hukum, penolakan atau penutupan akses pada kendaraan atau fasilitas; pemegangan hak atas bidang tanah, perumahan atau akomodasi lain; penolakan atau penguasaan barang atau jasa-jasa; pengeluaran dari hak turut serta dalam persatuan dagang, mencari pekerjaan; memperoleh akses pada media iklan yang adil atas proses yang diwajibkan atas alasan ras, warna kulit, atau asal muasal nasional atau etnisitas seseorang, keluarga atau yang berhubungan dekat, yang diizinkan pada siapapun.70 Perundangan the Racial Discrimination Act Whitlam merupakan upaya awal oleh sebuah Pemerintah Federal untuk mencapai keseimbangan yang diperlukan antara pluralisme budaya dan prinsip-prinsip universal tentang hak-hak sosial. Ia meletakkan preseden penting dalam hal pengenalan tentang diskriminasi dan mencarikan jalan untuk mendorong terciptanya kesadaran yang lebih luas serta toleransi terhadap keanekaan budaya dalam masyarakat Australia.

Warisan Whitlam Betapapun, Pemerintahan Whitlam telah mengupayakan pencapaian pengenalan kebijakan multikultural, disamping juga memulai sebuah kerangka di dalam mana kebijakan publik dan program-program dapat dikembangkan hingga mencapai pengakuan hak-hak orang dari latar belakang etnis. Di sini termasuk hak untuk hidup bebas dari diskriminasi dan mengambil peran aktif dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial Australia.

69Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.12.

70

Pemerintahan Buruh Whitlam di awal 1970-an akan selalu dikenang, terutama oleh kaum migran, karena telah menguliti kebijakan Australia Putih dari masa lalu, juga secara resmi memberi pengakuan pada kepentingan-kepentingan kaum monoritas etnis dan memulai proses pelaksanaan pemberian jasa serta program-program yang diarahkan bagi masyarakat ini. Pemerintahan Whitlam juga yang memprekenalkan istilah ‘multikulturalisme’ ke dalam kamus politik Australia, dan dengan demikian, menolak outright dalam filosofi assimilasi.: Peran Pemerintah Whitlam dengan tepat disimpulkan oleh Whitlam sendiri dalam pernyataanya berikut: My government did as much as any Government could do – through its anti-discrimination laws, its initiatives on human rights, its acceptance of United Nations conventions, its creation of the office of Commissioner for Community relations – to remove the handicaps of prejudice and discrimination wherever they existed.71

Pemerintah Fraser dan Laporan Galbally

Perkembangan babak ketiga defisnisi asli multikulturalisme terjadi di tahun 1976 sampai 1983, yaitu pada periode Pemerintahaan Konservatif Fraser. Dengan terbukanya jalan menuju kekuasaan baginya di tahun 1975, terjadilah sebuah kejutan bagi banyak pendukungnya dan pencelanya bahwa Perdana menteri dari Partai Liberal, Malcolm Fraser, bertanggung jawab atas sejumlah reformasi lanjutan yang telah memperkuat multikulturalisme sebagai sebuah filosofi dan sebuah kebijakan. Perubahan-perubahan ini diarahkan untuk mendorong keanekaan budaya dalam masyarakat Australia. Salah satu yang sangat signifikan dari reformasi ini adalah perluasan Departemen Imigrasi tingkat Commonmwealth (Negara Persemakmuran) yang memasukkan Ethnic Affairs (Urusan Etnik). Sebagai tambahan, Pemerintahan Fraser mengawasi penciptaan Dewan Kependudukan dan Imigrasi Australia (the Australian Population and Immigration Council) atau APIC. Selama periode ini, titik fokus kebijakan multikultural terutama terletak pada hak-hak kaum migran untuk melakukan perbedaan kebudayaan, bukannya atas hak-

70Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.12. 71Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h.14.

71

hak sosial dan politik mereka dari Pemerintah. Fraser juga mengembangkan konsep multikulturalisme untuk merujuk pada kemungkinan sebuah kebudayaan Australia masa depan yang telah memasukkan unsur-unsur dari tradisi budaya yang beraneka. Perkembangan yang paling signifikan selama periode ini, betatapun, adalah Laporan Galbally, yang ditugaskan Fraser di tahun 1977, sebagai Menteri Imigrasi. Laporan ini memuat rekomendasi yang menegaskan komitmen pribadi PM Fraser dalam memperkuat multikulturalisme di Australia.

Laporan Galbally Di tahun 1978, Frank Galbally menyampaikan laporannya berjudul The Review of Post-Arrival Programs and Services to Migrans pada Pemerintah Australia. Laporan ini merupakan upaya besar pertama untuk menciptakan sebuah kerangka konkrit penyusunan dan prorgram-program kebijakan multikultural yang mempunyai fokus berjangka panjang. The Galbally Report, dan reaksi atas rekomendasinya, mengungkapkan penyusunan filosofi dalam bab kebijakan yang mendukung definisi asli multikulturalisne. Tak ada keraguan bahwa ini adalah sebuah laporan cikal bakal berkembangnya kebijakan multikultural dan praktek-prakteknya. Ia juga mempengaruhi semua laporan-laporan lanjutan sampai dengan revisi di tahun 1995 atas Agenda Nasional untuk Multikultural Australia (National Agenda for a Multicultural Australia).72 Laporan itu membuat rekomendasi-rekomendasi berkaitan dengan program permukian awal, penyediaan kursus-kursus bahasa Inggris dan memperbesar akses kaum migran pada sistem-sistem hukum, kesehatan dan kesejahteraan serta pada lapangan kerja. Sejumlah rekomendasi diterima oleh Pemerintahan Fraser. Dalam pengertian keseluruhan, Laporan Galbally telah memberi dampak yang signifikan sejauh bahwa ia dengan kuat menanamkan filosofi dan praktek multikulturalisme dalam sistem politik Australia ke dalam masyarakat yang lebih luas. Sebelumnya, Pemerintahan Whitlam telah membuat kemajuan tambahan ke arah pengakuan pada kepentingan-kepentingan khusus orang dari latar belakang bahasa

72

non Inggris, Laporan Galbally menyarankan sebuah strategi ulang lebih konkrit dan berjangka panjang yang dapat menjamin berlangsngnya kesuksesan multikulturalisme. Laporan Galbally telah mengarah pada tiga inisiatif spesifik Pemerintahan Fraser, yaitu: a. Lembaga Masalaha Multikultural Australia (the Australian Institute of Multicultural Affairs) Sebuah insiatif khusus dalam Laporan Galbally adalah rekomendasinya untuk mendirikan sebuah Lembaga Masalah Multikultural untuk melakukan peneltian dan menyebarkan informasi melalui masyarakat yang lebih luas dan memberi nasehat pada pemerintah tentang masalah etnik. Lembaga ini dimaksudkan menjadi sebuah organisasi independen yang bisa membuat suatu kontribusi penting dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Pada tahun 1979, Pemerintahan Fraser membentuk the Australian Institute of Multicultural Affairs Act yang menetapkan tujuannya sebagai berikut: 1. Mengembangkan di antara anggota masyarakat Australia dengan cara: 1.1. sebuah kesadaran atas keanekaan budaya dalam masyarakat yang muncul sebagai hasil migrasi; 1.2. sebuah penghargaan atas kontribusi dari budaya- budaya iitu pada pengkayaan bagi masyarakat yang lebih besar; 2. Mempromosikan toleransi, pengertian, hubungan yang harmonis serta saling menghormati antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda serta komunitas etnis di Australia; 3. Mendorong menjelmanya masyarakat Australia yang kohesif dengan membantu anggota-anggotanya untuk saling berbagi budaya mereka dan memberlakukan mereka dalam struktur politik dan hukum masyarakat, serta membantu mendorong terciptanya sebuah lingkungan yang memungkinkan anggota-anggotanya dari kelompok dan masyarakat budaya dan etnik yang berbeda memperoleh kesempatan berperan serta secara lebih penuh dalam masyarakat Australia dan mencapai potensi mereka sendiri.73

72Buku ini merupakan penjelasan resmi pemerintah tentang kebijakan dan masa depan multikulturalisme. Lihat Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. i-v. 73Andrew C. Theophanous,, Understanding Multiculturalism and Australian Identity h.17-20.

73

Di samping itu ada the Australian Institute of Multicultural Affairs (AIMA) yang bertujuan untuk mencerminkan bagian-bagian dari kebijakan umum multikulturalisme pada periode itu. Mereka memberi penekanan pada pentingnya toleransi dan penghormatan pada perbedaan budaya. Selama Pemerintahan Fraser, AIMA telah menghasilkan laporan-laporan dalam jumlah yang signifikan dalam kawasan kebijakan multikultural. Namun, masalahnya, masih belum ada mekanisme yang sudah mapan untuk menerjemahkan rekomendasi-rekomendasi AIMA ke dalam realitas sosial. Sebagai akibatnya, meskipun AIMA telah mengemukakan kenyataan ketidaksamaan sosial dan ekonomi signifikan yang masih dialami secara tidak proporsional oleh mereka dari latar belakang bahasa non Inggris. Namun dalam konteks ini, lembaga tidak berwenang untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan tersebut.

b. Perkembangan Pelayanan Siaran Khusus (the Special Broad- casting Service). Satu dari rekomendasi yang paling menonjol muncul dari Laporan Galbally terkait dengan pembentukan apa yang disebut dengan ‘televisi etnik’. Dalam ringkasan berikut, Laporan Galbally menggambarkan sebuah agenda memperkenalkan televisi etnik: The Government has indicated its commitment to ethnic television. Given the substantial issues involved, we believe development should be passed over tge next three years during which there will be widespread consultation with ethnic communities and other interested parties. We are anxious that it should be of value to the community as a whole by promoting tolerance and appreciation of cultural diversity. For this reason, even though ethnic television will naturally involve the production and broadcasting of programs of interest to specific groups of migrants, the aim should be to present such programs so as to attract a multilingual audience, and the community generally. This approach might have the additional advantage of placing ethnic television on a more secure footing.74

74Theophanous, Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity h.18.

74

‘Televisi Multikultural’, sebagaimana ia kemudian disebut, pertama kali diperkenalkan di Sydney dan Melbourne bulan Oktober 1980. Tujuannya adalah untuk mendorong dan mempromosikan pengertian di antara masyarakat non-etnik Australia tentang komunitas etnis, juga untuk membantu komunitas etnis agar menjadi lebih terbiasa dengan kehidupan di Australia. Televisi multikultural pada umumnya dianggap mencapai sukses besar di tahun-tahun pertama operasinya. Dalam sebuah pernyataan mengumumkan evaluasi Laporan Galbally di tahun 1982, PM Malcolm Fraser mengatakan tentang televisi multikultural sbb.: The evaluation has found results of the first year and a half of multicultural television to be very encouraging. There is a high degree of public acceptance that multicultural television provides a worthwhile alternative service, and it has shown itself capable of attracting audiences oif all backgrounds. The service is still at a formative stage and further progress can be made in a number of areas.75

Perdana Menteri kemudian mengumumkan niatnya meluaskan SBS masuk ke Canberra, Newcastle, Wollongong, Adelaide, brisbane, Hobart, Perth dan Darwin. Namun, Pemerintahan Fraser kehilangan kekuasaannya sebelum satupun dari perluasan ini bisa terrealisasikan. Pada saat ini, Pemerintah juga berketetapan untuk menjamin bahwa media SBS memasukkan sejumlah yang lebih besar pengumuman- pengumuman layanan masyarakat multi-bahasa, suatu keseimbangan yang lebih baik dalam linguistik dan lebih banyak program pembelajaran bahasa Inggris.

c. Peran Professor Zubrzycki dan the Ethnic Affaus Council Pemeintah Fraser meminta the Australian Ethnic Affairs Council untuk membuat sebuah piagam multikulturalisme yang memuat tiga prinsip bagi sebuah masyarakat multikultural yang sukses: 1. Kohesi sosial, 2. Identitas budaya, dan 3. Kesamaan kesempatan serta akses. Pada intinya, semua ini merupakan prinsip-prinsip klasik liberal yang menggaris bawahi definisi asli multikulturalisme. Di tahun 1982, Professor Zubrzycki, yang bertanggung jawab menyusun piagam itu, mengetuai

75

sebuah komite untuk menghasilkan sebuah laporan, Multiculturalism for All Australians: Our Developing Nationhood. Dalam laporan itu, ia menambahkan sebuah prinsip nomor empat, yaitu tanggung jawab yang sama untuk berkomitmen pada dan peranserta dalam masyarakat.76 Sesuai harapan, laporan itu mempertahankan dengan kuat komponen keanekaan budaya dalam multikulturalisme: Multicultural society is interesting and colourful, and offers many choices of lifestyle, in human relationships it offers great variety, wide horizons and the chance to discover other points of view. Australian society has sometimes failed to appreciate the cultural resources within itself; multiculturalism makes the most of these resources for the benefit of all. Multiculturalism is therefore much more than the provision of special servuces to minority ethnic groups. It is a way of looking at Australian society, and involves living together with an awareness of cultural diversity. We accept our differences and appreciate a variety of lifestyles rather than expect everyone to fit into a standardised pattern. Most of all, multiculturalism requires us to recognise that we cab each be ‘a real Australian’, without necessarily being ‘a typical Australian’.77

Dalam laporan itu, Zubrzycki memajukan argumentasi bahwa Multikul- turalisme harus meluas lebih dari masalah etnis. Ia mengatakan: I believe that the days when multiculturalism was discussed exclusively in the context of ‘ethnic affairs’, defined until recently as something concerning non-English-speaking minorities in Australia, are over. There is an urgent need for a reassessment and clarification of what multiculturalism stands for, implying as it does, interaction between cultural minority groups and the wqider Australian community.78 Laporan itu beranggapan bahwa untuk mensukseskan multikulturalisme, kelompok-kelompok minoritas dari latar belakang bahasa non Inggris, ‘tidak boleh

75Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity h.18. 76Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for all Australians: Our Developing Nationhood, Commonwealth of Australia, Canberra, 1982, h. 12 . 77Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 19 78Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 19

76

berkembang di pinggiran dan atas biaya keseluruhan masyarakat Australia, tetapi harus berorientasi kepada kelompok minoritas dan diberikan insentif sesuai keperluanya untuk masuk ke dalamnya.

Tahun-tahun Awal Pemerintah Hawke: 1983 – 1985 Pemerintah Hawke yang baru terpilih tahun 1983 sangat ingin membangun di tengah kemajuan yang dicapai selama periode Pemerintahan Fraser, namun juga ingin meluaskan kebijakan multikulturalisme. PM Hawke, pada pembukaan kantor Federasi Dewan Komunitas Etnik Australia (the Federation of Etrhnic Communities Council of Austraiua) atau FECCA, di bulan April 1984 , mengeluarkan pernyataan berikut yang mendukung sebuah pendekatan yang lebih luas pada multikulturalisme: ‘Multicultural’ is more than a descriptive term to designate a society made up of different ethnic groups. It is also an approach to policy formulation and resource allocation which seeks to provide for equality and access and opportunity. It designates a society which supports a common group of institutions, legal rights and obligations, while leaving individuals free to maintain their religion, language and cultural customs. A multicultural society is a vital and tolerant and progressive community in which all groups, be they Aboriginal, Anglo-Celtic, European, Asian, Latin American, or Middle Eastern, or from any oither of the ethnic groupings we find in our society today, make an important contribution to the richness, the depth and traditions of our nation.79 Pada tahap ini dalam perkembangan multikulturalisme, ada kesinambungan menjadi sebuah tingkat dukungan bipartisan yang signifikan bagi baik bagi kebijakan imigrasi Pemerintah dan bagi sebuah doktrin multikulturalisme. Ada suatu konsensus/kesepakatan bahwa kebijakan assimilasi masa lalu secara umum tidak diterima. Ada juga suau kemajuan yang kuat ke arah kebijakan dan program yang melindungi dan mengangkat keanekaan budaya. Kegiatan-kegiatan oleh Pemerintah yang merefleksikan transisi ini, dan upaya- upaya untuk meluaskan pengertian tradisional tentang multikulturalisme, termasuk keputusan tahun 1984 untuk mendefinisi ulang istilah AIMA. Termasuk dalam redefinisi ini kepentingan mendorong kesamaan dan akses bagi kalangan masyarakat

79Andrew C. Theophanous, Understanding Multiculturalism and Australian Identity, h. 28.

77

yang tidak diuntungkan karena budaya dan etnisitasnya, dan sebuah kebutuhan untuk melawan diskriminasi atas mereka yang berasal dari enik minoritas. Terms of reference yang telah diperbaiki untuk AIMA tidak hanya menunjukkan suatu upaya memperluas definisi multikulturalisme dari sekedar pendorong keanekaan budaya sehingga pengertian itu juga bisa mengenai kepentingan-kepentingan sosial ekonomi kaum migran. Ini adalah awal dari tahap utama yang kedua dalam perkembangan multikulturalisme.

2. Perkembangan Kedua dari Definisi Asli Arti multikulturalisme meluas lagi ketika kebutuhan pada dimensi keadilan sosial ditekankan dan dikembangkan dengan diterbitkannya Laporan Jupp tahun 1986.80 Evolusi dari sebuah definisi yang lebih menyeluruh tentang multikulturalisme mengambil langkah signifikan ketika the House of Representatives menerima penuh tanpa penolakan sebuah mosi untuk mendukung multikulturalisme. Ada Mosi yang disampaikan tanggal 17 Maret 1988 yang berisi sebuah pernyataan ringkas tentang prinsip-prinsip multikulturalisme yang berasal dari pertimbangan mendalam Lembaga

Masalah Multikultural Australia. Parlemen mendeklarasikan keyakinannya bahwa: a. Orang Australia dari semua latar belakang merdeka dan dapat ikut ambil bagian di semua tingkat kehidupan negara yang bersifat politis, administratif, legal, ekonomis, kultural dan seni; b. Juga diperlukan kebebasan untuk memeliharta warisan budaya orang seorang dalam konteks hukum dan sistem politik, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa yang diterima; c. Semua orang Australia hendaknya dibebaskan dari dikriminasi berdasar ras, etnisitas, agama atau kebudayaan dan harus mendapat kesempatan dan akses yang sama pada program-program dan jasa-jasa; d. Program- program dan jasa-jasa seyogyanya disediakan seluas mungkin bagi masyarakat secara menyeluruh dan dapat di akses semua orang Australia yang bisa menyesuaikan diri dengan baik dan juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus mereka yang lahir di luar negeri dan yang lebih menyukai memakai bahasa yang bukan bahasa Inggris, sebagaimana mereka yang lahir dari lingkungan berbahasa

80Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, 1989, h. 18.

78

Inggris, namun bila diperlukan dan sepantasnya demikian, pelayanan-pelayanan jasa terpisah dan khusus seharusnya disediakan; e. program-program dan pelayanan-pelayanan harus dirancang dan dikembangkan dengan berkonsultasi dengan semua kelompok klien potensial, termasuk mereka yang lahir di Australia dan di luar negeri, dan harus mencakup partisipasi aktif mereka, dan; f. Suatu masyarakat yang adil dan merata seharusnya mempromosikan siapa saja dari mereka tanpa memperdulikan latar belakang etnis dan budayanya.81

Prinsip-prinsip ini kemudian diperkuat dengan keluarnya proklamasi yang disebut the National Agenda for a Multicultural Australia di tahun 1989 oleh Pemerintah Buruh federal.82 Pada khususnya, untuk pertama kali, multikulturalisme dispesifikasikan dalam pengertian tiga dimensi sebagai berikut: a. identitas kultural: hak semua orang Australia, dalam batas-batas yang ditentukan dengan hati-hati, untuk mengekspresikan dan memberlakukan warisan budaya pribadi mereka, termasuk bahasa dan agama mereka. b. Keadilan sosial: hak semua orang Australia untuk perlakuan dan kesempatan yang sama, dan pembuangan batas-batas ras, etnisitas, budaya, agama, bahasa jender atau tempat kelahiran; serta c. Efisiensi ekonomi: kebutuhan untuk memelihara, mengembangkan dan menggunakan secara efektif keahlian-keahlian dan bakat-bakat semua orang Australia, tanpa melihat latar belakangnya.

Arti multikulturalisme selanjutnya diperbaiki dalam laporan di the National Agenda yang diajukan pada Pemerintah di bulan Juli 1995. Laporan ini disesuaikan dengan tujuan-tujuan tahun 1989 dan mengadopsi sepuluh prinsip-prinsip yang telah diperbaiki untu multikultural Australia, namun sasaran-sasaran umumnya tetap sama. Dengan demikian telah terjadi evolusi dalam definisi multikulturalisme Australia, dengan penekanan yang semakin kuat pada dimensi keadilan sosial. Evolusi definisi ini, bagaimanapun, merupakan bagian dari sebuah drama yang lebih luas dalam pengembangan filosofi, kebijakan, dan praktek multikultural di Australia. Satu

81Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. 36. 82Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, h. vii.

79

dari aspek-aspek kunci di sini merupakan pengembangan pemikiran tentang kewarganegaraan. Kesimpulan dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa perkembangan multikulturalisme di Australia dapat dilihat dari dua tahap.

a. Tahap Pertama: Penekanan pada Keanekaan Budaya Tahap pertama melihat multikulturalisme sebagai penegasan positif keanekaan budaya; ia menekankan pada pentingnya pemeliharaan budaya, agar memberi dorongan orang mempertahankan warisan budaya mereka dan menghargai tradisi- tradisi budaya yang beraneka. Prinsip paling penting yang diperhalus dalam tahap ini adalah prinsip toleransi, berdasarkan pandangan bahwa masyarakat harus memberi penghargaan yang sama pada tradisi budaya orang lain, dan suatu penerimaan bahwa tradisi-tradisi ini seharusnya bergerak maju dalam konteks sebuah masyarakat yang demokratis yang menghormati hak-hak tiap individu. Multikulturalisme, dalam pengertian ini, dilihat sebagai kepanjangan hak-hak sipil dan politik orang yang hidup dalam suasana demokrasi yang mengabsahkan hak- hak tersebut dan di mana orang berhak untuk melindungi bentuk-bentuk budaya yang berbeda bagi diri merke sendiri, bentuk-bentuk budaya yang berdasarkan pada latar belakang pribadi dan sejarah mereka. Basis ikatan sosial dalam sebuah masyarakat yang berkebudayaan beraneka, selama tahap ini, dianggap sebagai prinsip-prinsip dasar yang klasik dan liberal. Dalam konteks ini, kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan prinsip yang sangat penting bila diberi penekanan pada hak-hak semua orang untuk hidup menurut budaya dan/atau bentuk-bentuk agama yang beraneka. Tahap pertama dalam perkembangan multikulturalisme di Australia memeriksa definisi asli multikulturalisme sebagaimana mula-mula diajukan dan bergerak maju selama periode Pemerintahan Whitlam dan Fraser, dan kemudian ke awal Pemerintahan Hawke. Definisi asli multikulturalisme berkembang untuk memberi penekanan pada perlindungan dan pemeliharaan keanekaan budaya di Australia. Tujuan kebijakan ini adalah untuk meyakinkan bahwa kelompok-kelompok etnik dan budaya berkesempatan untuk berperan serta dalam tradisi budaya dan praktek-praktek mereka sendiri. Dengan kata lain, definisi awal dikembangkan

80

sebagai jawaban pada penekanan pasca Perang Dunia II atas assimilasi budaya dan pengembangan sebuah masyarakat monokultural di Australia sebagai kelanjutannya. Pengenalan filosofi dan kebijakan multikulturalisme merupakan salah satu kebijakan yang paling berpandangan ke depan dari Pemerintahan Whitlam. Pemerintahan itu akan tetap dikenang karena upayanya membalikkan Politik Putih Australia. Hal itu juga menjadi sebuah hasil kerja besar menumbangkan kebijakan- kebijakan assimilasi masa lalu melalui perkenalan dengan suatu kerangka pengembangan kebijakan dan program yang mengakui hak-hak sosial dan budaya masyarakat migran dan latar belakang etnik, dan yang memungkinkan mereka berperan serta lebih besar dalam kehidupan komunitas Australia. Sebagai tambahan pada kebijakan-kebijakan multikulturalismenya, Pemerintahan Whitlam juga bertanggung jawab pada pemasukan Undang-Undang Diskriminasi Rasial (the racial Discrimination Act) tahun 1975. Undang-Undang ini mewakili satu dari berbagai upaya menghadapi ketimpangan sosial dan diskriminasi rasial melalui hukum. Menjelang pemilihan Malcolm Fraser di bulan November 1975, istilah ‘multikulturalisme’ telah menembus kehidupan politik dan telah dipakai oleh komunitas-komunitas etnik paling mayoritas, juga pada bagian-bagian signifikan dari penduduk non etnik. Menjadi sebuah keterkejutan bagi para pendukungnya, Pemerintahan Liberal Fraser memutuskan mengakui dan mengembangkan multikuilturalisme di Australia. Fraser cenderung melepaskan Pemerintahannya dari kebijakan imigrasi Koalisi pra-1972 yang telah memberi penekanan pada ‘kebutuhan’ adanya suatu komunitas yang homogen secara rasial dan kultural di Australia. Pemerintahan Fraser dengan cepat menyatakan keanekaan budaya sbagai prinsip inti multikulturalisme, dsan secara khusus menegaskan program-program yang menjadi keanekaan budaya. Pada periode Fraser, Laporan Galbally dilahirkan. Dokumen penting ini menekankan hak atas identifikasi budaya sebagai hal yang esensial untuk menjamin keberhasilan kebijakan-kebijakan multikultural dan program-programnya, dan pada gilirannya, suatu masyarajat yang kohesif. Hal itu memberi pengaruh pada perekatan konsep multikulturalisme ke dalam sistem politik Australia dan telah menjadi sebuah

81

peristiwa yang signifikan dalam perkembangannya. Namun di samping Laporan Galbally yang menunjukkan bentuk positif dari definisi asli multikulturalisme, ia juga merefleksikan kekurangan-kekurangan definisi itu. Seperti nanti akan penulis permasalahkan, ia tidak memberi pengakuan yang memadai pada ketidak samaan struktural yang mencegah orang dari latar belakang bukan berbahasa Inggris agar dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Khususnya, hal itu gagal memperhitungkan ketidak samaan sosial dan ekonomi masyarakat Australia yang secara tidak proporsional dirasakan oleh orang yang berlatar belakang bukan berbahasa Inggris. Hal ini tidak menyuburkan dimensi keadilan sosial. Setelah pemilihan Pemerintahan Hawke tahun 1983, definisi asli multikulturalisme muncul di bawah tekanan dan menjelang 1985, Australia mulai memasuki sebuah tahap di mana konsep multikulturalisme meluas dengan memasukkan hak-hak sosial dan ekonomi kaum migran, yang kemudian ditambahkan dalam hak-hak mereka atas indentifikasi budaya.

b. Tahap kedua: Dimensi Keadilan Sosial Seperti diindikasikan, tahap kedua dalam perkembangan multikulturalisme dengan memasukkan dimensi keadilan. Menurut pandangan ini, multikulturalisme bukan hanya mengenai pemberian kemerdekaan pribadi perorangan, tetapi juga tentang keadilan sosial murni bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakang ras, budaya, etnis atau agamanya. Prinsip mendasar di sini adalah bahwa orang di Australia dari latar belakang beraneka, berhak memperoleh persamaan sosial yang murni, terutama persamaan dalam memperoleh akses memperoleh pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan. Di bawah definisi yang telah diperbaharui ini, apa yang diperlukan bukan hanya kebebasan politik, tetapi keadilan sosial bagi semua orang, tak perduli apa ras atau latar belakang budayanya. Dimensi keadilan sosial dalam multikulturalisme ( Tinjauan Program-Program dan Jasa-Jasa Kaum Migran dan Multikultural: Jangan Bertahan Pada Yang Kurang). Review of Migrant and Multicultural programs and Services: Don’r Settle For Less ini mendapat dorongan melalui terbitan Laporan Jupp. Laporan ini merupakan sebuah pembalikan definisi multikulturalisme karena ia menumbuhkan mata rantai antara isu-

82

isu kaum migran dan etnik serta tujuan-tujuan keadilan sosial. Rekomendasi utama laporan ini bahwa Pemerintah Federal harus melaksanakan sebuah strategi yang menjamin , partisipasi yang sama oleh kaum penetap yang lahir di luar negeri dalam masyarakat Australia. Laporan itu mengusulkan pengubahan sistem-sistem yang sudah ada dan struktur-struktur yang bisa membikin mereka menjadi lebih bisa dipercaya untuk memenuhi kebutuhan orang dari latara belakang yang bukan berbahasa Inggris, juga memberilkan program-program yang lebih bersifat etno spesifik serta pelayanan-pelayanannya. Laporan itu mendukung penguatan Akses dan program Kesama rataan dengan tujuan membuang batas-batas ras, budaya, bahasa dan agama, serta menjamin bahwa aprogram-program dan pelayanan-pelayanan itu dirancang dengan baik dan disampaikan pada orang Australia kelahiran luar negeri secara konsisten dengan memenuhi tujuan keadilan sosial; Dimensi-dimensi keadilan sosial ini juga menjadi dasar dari Laporan akhir Lembaga Masalah Multikultural Australia (the Final Report of the Australian Institute for Multicultural Affairs atau AIMA) yang dikeluarkan tahun 1986. Laporan ini membuah sederet rekomendasi dengan memberi penghargaan pada pelayanan-pelayanan termasuk permukiman awal, penyediaan sarana informasi, kesejahteraan sosial dan lapangan kerja. Apa yang jelas dari semua ini adalah bahwa filosofi multikultural Australia, dalam evolusinya, telah memasukkan sejumlah tahapan-tahapan. Dengan demikian, multikulturalisme menjadi dewasa sampai pada kedudukan yang memungkinkan untuk menjadi optimistik tentang hasil multikulturalisme sebagai sebuah percobaan sosial. Masih ada, betapapun, beberapa isu menonjol yang masih perlu diputuskan, seperti masalah arti dan makna multikulturalisme Australia.

83

BAB III ISLAM DI AUSTRALIA: LATAR BELAKANG SEJARAH DAN SOSIO-DEMOGRAFI

A. Latar Belakang Sejarah Sejarah kedatangan kelompok Muslim di Australia telah berumur panjang, jauh sebelum datangnya kelompok kulit putih ke daerah tersebut. Namun data tentang sejarah kedatangan kelompok Muslim Makassar untuk pertama kali ke Australia ini

84

tidak dapat dibuktikan, karena hanya merupakan catatan-catatan yang bersifat spekulatif saja. Karena tiadanya catatan sejarah secara tertulis mengenai kedatangan orang-orang Islam pada awal sejarah Muslim di Australia telah membuat kesulitan bagi para peneliti untuk menentukan keakuratan atau kebenaran data-data tersebut. Secara umum, sejarah Muslim di Australia terbagi dalam 4 (empat) periode. Periode pertama ditandai dengan terjalinnya kontak antara penduduk suku Australia di bagian Utara dan para nelayan Makassar yang ingin menangkap trepang. Orang-orang Makassar tidak meninggalkan pengaruh yang signifikan terhadap hubungan sosial tersebut. Sementara itu pengaruh kaum Kulit Putih Eropa yang datang kemudian semakin lama semakin menguasai benua Australia dan akibatnya peran orang-orang Makassar semakin menghilang. Periode berikutnya, orang-orang Inggris menjadikan Australia sebagai daerah jajahan, di mana orang-orang Muslim memainkan peranan yang marginal. Tempat tinggal mereka yang berpencar dan sedikitnya jumlah komunitas menyebabkan tiadanya informasi tentang identitas mereka. Baru pada periode ketiga berikutnya ditandainya dengan datangnya kelompok penunggang onta dari Afghanistan memberi pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di benua tersebut. Peranan mereka sampai sekarang masih diakui pemerintah Australia sebagai perintis pembukaan daerah pemukiman orang-orang Eropa. Pengembangan eksplorasi daerah Australia Tengah tidak akan pernah ada tanpa peran mereka, khususnya dalam pembuatan jalur telegraf yang menghubungkan komunikasi antar kota. Namun peran mereka sebagai penunggang onta semakin menyurut saat dibangunnya jalur-jalur kereta api sehingga mereka semakin terdesak dan terpaksa meninggalkan Australia, terlebih lagi setelah kolonial Inggris mengeluarkan peraturan imigrasi yang ketat bagi siapa pun yang ingin masuk ke Australia (Immigration Restriction Act) pada tahun 1911. Dan pada periode keempat merupakan masa-masa manis masuknya kembali kaum Muslim dari berbagai manca negara sehingga periode ini disebut sebagai periode dimulainya sejarah keberadaan komunitas Muslim di Australia. Pada periode ini pulalah keberadaan mereka semakin diakui, khususnya ditetapkannya kebijakan Multikulturalisme sebagai ideologi negara oleh Pemerintah Australia.83

83Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 3.

85

Periode Pertama: Kaum Muslim dari Makassar Lebih dari 200 tahun lalu, perahu-perahu nelayan Makassar telah mengunjungi pantai Marege, pantai yang terdapat di antara timur laut Darwin dan Teluk Carpentaria untuk menangkap dan memproses trepang (beche de mer) dan kemudian dijual di pasar komunitas Cina. Setiap tahun pada bulan Desember mereka meninggalkan Makassar dan dalam empat bulan berikutnya kembali ke Makassar. Mereka bermukim di pantai sebagai tempat tinggal sementara, di antaranya daerah Tamarind. Kunjungan tahunan ke daerah tersebut sudah dimulai paling tidak sebelum tahun 1650. Dan pada tahun 1907, perdagangan trepang oleh orang-orang Makassar sama sekali terhenti, karena semakin sulitnya masuk ke pantai Darwin. Suku Aborigin yang terdapat di daerah Arnhem Land mengenang masa-masa kontak dengan orang- orang Makassar sebagai zaman keemasan dan hal ini bertolak belakang dengan masa- masa kekuasaan kolonial kaum kulit Putih. Perbauran budaya dan perkenalan dengan gagasan-gagasan serta teknologi baru ini menyebabkan beberapa bentuk budaya Makassar menyusup dalam kehidupan kaum Aborigin. Benda-benda yang menawarkan bentuk teknologi yang lebih maju dan yang dapat dengan mudah di adaptasikan oleh komunitas-komunitas Aborigin adalah yang paling cepat diperkenalkan. Salah satu di antara yang paling cepat di ambil alih secara inovatif adalah bentuk kano (perahu kayu) yang dicungkil dari sebatang kayu, yang dikenal orang Makassar dengan nama lipa-lipa. Pertukaran barang dengan kapak-kapak, pisau, dan potongan-potongan besi datar yang dapat dipukul menjadi kepala pacul, ujung harpun (panah seruit) atau mata kail, merupakan barang-barang yang umum.84 Kebutuhan untuk berkomunikasi berakibat pada masuknya istilah-istilah Makassar ke dalam bahasa Aborigin. Banyak kata-kata yang dipinjam untuk menjelaskan konsep-konsep atau obyek-obyek fisik yang sebelumnya tak dikenal oleh kaum aborigin. Contoh yang paling penting ditemui dalam

84Mary L. Jones, ‘Muslim Impact on Early Australian Life’, dalam Mary L. Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, Law Printer, Melbourne, 1993, h. 34.

86

deretan perbendaharaan kata yang berhubungan dengan perahu-perahu orang Makassar. Ahli bahasa berargumentasi bahwa hal ini memperkuat kecenderungan alami terhadap dominasi bahasa Makassar dan hal itu menjadi penting bagi komunikasi antara komunitas-komunitas Aborigin. Ada juga bukti fisik tentang pengaruh kaum Muslim terhadap kehidupan kaum aborigin. Gambar-gambar dari batu dan patung-patung di Tanah Arnhem Barat biasanya berwujud perahu dan api yang mendidih. Karakteristik bentuk perahu juga banyak terdapat di berbagai lukisan-lukisan di batang pohon dan batu-batu karang. Namun subyek-subyek rinci yang halus dari karya-karya ini diasosiasikan dengan legenda, lagu-lagu dan benda-benda tua. Mereka merupakan bagian dari keseluruhan pengetahuan tentang keberadaan manusia, dewa-dewa atau roh-roh, serta kejadian-kejadi- an dan tempat-tempat yang berhubungan dengan mereka. Ada indikasi yang mengatakan bahwa nelayan-nelayan Makassar dari selatan pulau Sulawesi berlayar secara teratur ke kawasan Utara Australia sejak awal abad- 16. Beberapa di antaranya telah menempati bagian-bagian kawasan Utara Australia, menikah dengan anggota komunitas Aborigin lokal dan mungkin sambil memperkenalkan agama Islam pada mereka. Makam-makam Islam dari periode awal masih bisa ditemui kini di pulau Arhhem.85 Secara keseluruhan, kehadiran pendatang Muslim awal datang ke pantai- pantai untuk berinteraksi dengan sejumlah kecil komunitas yang mendiami pantai utara. Mereka datang berturut-turut sebagai pengunjung (visitors), yang hanya membuka sebagian dari budaya agama dan dunia sosial mereka. Sementara kontak keseharian membuat kaum Aborigin sadar tentang waktu sembahyang kaum Muslim dan praktek-praktek keislaman. Pada dasarnya hubungan yang tercipta adalah antar kelompok etnis yang hidup saling tak tergantung satu sama lain. Islam sebagai suatu cara hidup dan filsafat agama masih memberi pengaruh pada Australia. Namun demikian, pohon-pohon asam yang tumbuh sporadis sepanjang daerah yang

85Bilal Cleland, ‘The Historry of Muslims in Australia’, dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 12.

87

ditinggalkan di kawasan pantai utara merupakan saksi tentang kehadiran orang-orang Makassar. Kelangkaan sumber-sumber masa-masa awal keberadaan masyarakat Islam mempersulit penelitian kelompok Muslim di Australia. Beberapa buku yang pernah diterbitkan tentang sejarah awal Australia lebih banyak merujuk kepada orang-orang Afghanistan sebagai penunggang onta.

PERIODE KEDUA: KAUM MUSLIM DARI AFGHANISTAN Sejarah kedatangan Islam di Australia yang tercatat dalam dokumentasi Australia adalah diawali dengan orang-orang Afghanistan. Pada bulan Juni 1860, sebuah kapal kerajaan Chinsurah dari Karachi merapat di pelabuhan Melbourne. Di dalamnya terdapat 24 onta dan 3 orang penunggangnya. Tidak diketahui secara persis, apakah mereka memang berasal dari Afghanistan, meski diyakini mereka dari India, Pakistan, dan beberapa dari Afghanistan, Persia, Mesir, dan Turki. 86 Kedatangan kaum Muslim dari luar Australia berkaitan dengan meluasnya pertanian di koloni-koloni Australia dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang memerlukan tambahan tenaga kerja, sedangkan tenaga kerja yang berasal dari para narapidana yang dibawa secara paksa dari Inggris tidak bisa memenuhi kuota tersebut. Mulai tahun 1840 sampai tahun 1880, permukiman Eropa meluas dari lahan-lahan di tenggara menyeberangi benua. Ini adalah periode eksplorasi ke pedalaman negeri yang berakibat pada pemusnahan sejumlah besar masyarakat asli Aborigin dan rencana pintu terbuka imigrasi serta era meledaknya industri wool. Permintaan wool dari pabrik-pabrik di Inggris sangat luar biasa besarnya dan seberat sepuluh juta pounds wool dihasilkan oleh Australia di tahun 1840 kemudian membengkak menjadi tiga ratus juta pounds menjelang tahun 1880. Sepanjang periode yang sama jumlah domba membesar dari 4.000.000 menjadi 8.000.000.87 Perburuan Emas (the Gold Rush) yang terjadi tahun 1850-an semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus melakukan eksplorasi tambang- tambang mineral. Hal itu berakibat pada pertumbuhan kependudukan di koloni-

86Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 5. 87

88

koloni. Populasi di Victoria meningkat dari 97,489 di tahun 1851 menjadi 539,764 di tahun 1861. Hal ini berpengaruh pula pada pembukaan perkebunan dan perkembangan pertanian.88 Eksplorasi awal di bagian tenggara benua dipimpin oleh Major Mitchell yang melintasi bagian selatan New South Wales dan distrik barat Victoria di tahun 1836 dengan membuka kawasan-kawasan lahan baru untuk pondok-pondok penetap dan kambing-kambing mereka. Penggunaan kuda sebagai alat transportasi untuk melakukan eksplorasi di tengah kering kerontang daerah bagian barat dan tengah benua sangat terbatas dan tidak layak. Onta sebagai alat transportasi dianggap lebih cocok di daerah ini, maka atas saran Gubernur Gawler dari Australia Selatan, the Colonial Commissioner di London membeli 6 onta di Tenerife, namun hanya tersisa 1 onta yang tetap hidup selama dalam perjalanan itu dan mendarat di Adelaide pada bulan Oktober 1840.89 Daerah Melbourne yang kaya dengan emas di tahun 1850-an memiliki peran sebagai pemimpin masa depan ekonomi Australia. Di tahun 1858, Komite Eksplorasi Victoria meminta George Landells, yang secara teratur mengantar kuda-kuda Australia ke India, membeli onta dan merekrut penunggang-penunggang onta pada kunjungan mereka berikutnya. Ia membeli duapuluh-empat hewan dan menyewa tiga penunggang onta, yaitu Samla, penganut agama Hindu dan dua orang Muslim bernama Esan Khan dan Dost Mahomet. Mereka tiba tahun 1860 kemudian ditempatkan di gedung Parlemen dan kedua hewan serta pengawal mereka ditempatkan di kandang-kandang di tempat itu. Kehidupan mereka sangat menderita karena tidak adanya perhatian dari kelompok ekspedisi. Akibatnya, Dost Mahomet dan Esan Khan terpaksa menyembelih hewan persediaan ekspedisi agar tidak mati kelaparan dengan cara halal seperti yang disyaratkan dalam al-Qur’an’. Meskipun menderita sakit yang hebat akibat disentri, mereka tetap dengan setia menjalankan lima kali shalat sehari dan bertahan dengan keimanan mereka selama masa penantian di Menindie. Dost Mahomet digigit seekor onta dalam perkemahan itu, lengannya hancur. Ia menjadi cacat seumur hidup pada usia

88Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 18.

89

duapuluh-tiga. Lepas dari tuntutannya pada Pemerintahan Victoria, ia dianugerahi kompensasi sebesar 200 pounds, namun tak pernah melihat rumah atau kampung halamannya lagi. Ia juga meminta pembayaran seperti yang dijanjikan semula. Ia diberitahu bahwa ia dapat menerima jumlah bayaran yang sama seperti anggota tim eksplorasi lainnya, sepuluh pounds tiap bulan. Namun janji ini tak dihormati. Ia dan Esan Khan hanya dibayar tiga pounds tiap bulannya, kemudian naik jadi empat pounds lima shillings tiap bulan setelah Landells berhenti dari kumpulan itu. Orangt- orang Afghanistan bukan orang kulit putih dan bukan orang Kristen. Dost Mahomet meninggal tak lama setelah penolakannya dan dikuburkan di Menindie. Berbagai kelompok eksplorasi yang pergi ke pedalaman tergantung pada onta- onta dan penunggang dari orang-orang Islam, namun saat itu kontribusi mereka tidak dihargai sebagaimana mestinya. Sebaliknya, para pemimpin ekspedisi yang berkulit putih menerima penghargaan dan kegagah- beranian mereka dicatat sejarawan kulit putih. Ada sedikit penghormatan yang diberikan kepada seorang Muslim bernama Kamran, yang saat itu bersama anggota ekspedisi bernama Gosse di bulan Juli 1873 menemukan batu karang besar di daerah Uluru, yang kemudian dinamakan Ayers Rock, mengambil nama Gubernur Australis Selatan Sir Hendry Ayers. Atas penemuannya itu, Goose memberi nama sebuah sumur di tempat itu dengan nama ‘Sumur Kamran’ dan ia merupakan orang non-kulti putih pertama yang dicatat dalam dokumentasi sejarah Australia. Penghormatan lain diberikan kepada seorang Muslim bernama Allanah dengan memberi nama ‘Bukit Allanah’ yang terletak 28 mil arah tenggara Uluru. Ekspedisi Giles tahun 1875-76 yang juga diikuti salah seorang Muslim bernama Saleh, menyeberangi dataran Nullabor dan kemudian ke Perth dan kembali lewat Geraldton ke Australia Selatan.Ia diberi kehormatan penamaan ‘Kolam Ikan Saleh’ yang memakai namanya di dekat Bukit Gould pada jalur balik timur dari Geraldton. Ia terkenal sangat taat melaksanakan shalat lima waktu sendirian. Karena ketaatannya itu, ia sering disindir oleh anngota ekspedisi lainnya. Terkadang ia

89Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L, Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 52.

90

bertanya pada Giles, pemimpin ekspedisi, tentang arah timur, maka ia kemudian akan menunjuk ke arah yang berlainan. Ekspedisi-ekspedisi ini bukan hanya bersifat cerita kegagah beranian yang jantan, namun mempunyai motif-motif ekonomi. Giles didukung oleh pengimpor utama onta-onta bernama Thomas Elder dan di ekspedisi ini ia telah menyetujui untuk meneliti sebuah negeri dekat Fowlers Bay sebagai calon hunian orang Inggris. Ekspedisi yang diikuti Saleh beberapa tahun kemudian setelah 1886, meneliti Perbatasan Territori Utara Queensland, membawa serta kelompoknya dengan harapan bisa menemui kekayaan tambang yang baru. Ekspedisi Horn tahun 1894 juga diikuti oleh beberapa orang penunggang onta yang beragama Islam bernama Moosha Balooch dan Guzzie Balooch yang ingin mencari bahan-bahan tambang di antara Macdonnell Ranges dan Oodnadatta sambil mempelajari bahan-bahan biologi, botani, dan etnologi. Dua pengendara onta Muslim terkenal lainnya, Bejah Dervish dan Said Ameer menemani Ekspedisi Calvert tahun 1896. Selama eksplorasi, dua dari anggota-anggota berkebangsaan Eropa tersesat dan mati kelaparan. Kesediaan orang-orang Afghanistan untuk mencari mereka selama berhari-hari dalam kondisi sulit dan tawaran dari pemilik onta Faiz Mahomet untuk mengirim onta-onta dan orang-orangnya untuk mencari telah memberi kesan yang baik tentang kepedulian mereka dalam pembentukan opini pada masyarakat Australia. Larry Wells, pemimpin ekspedisi, menamai sebuah tengaran (landmark) di padang pasir itu ‘Bukit Bejah’ dan memberinya sebuah kompas. Ia juga diberi julukan nama ‘Sang Setia’ (‘the Faithful’). Abdul atau ‘Jack’ Dervish, putra Bejah, juga sangat menonjol ketika mengikuti Ekspedisi Madigan menyeberangi Padang Pasir Simpson di tahun 1939. Ini adalah eksplorasi besar terakhir ke pedalaman. Orang-orang Muslim Afghanistan tinggal di aderah itu sejak tahun 1860. Orang Afghanistan kedua dalam ekspedisi ini, Nurie Nur Mohamed Moosha, adalah putra dari Moosha Balooch yang menemani Ekspedisi Horn selama lebih dari empat puluh tahun sebelumnya. Namun sesuai dengan perjalanan waktu, keadaan pun ikut berubah, menjelang tahun 1930-an kesadaran dan ketaatan keagamaan sudah mulai menyusut. Generasi kedua pengendara onta telah memakan daging yang sama seperti orang-orang Eropa.

91

Keimanan Muslim telah mencair dan daging yang dibunuh secara halal tidak lagi jadi persyaratan bagi orang-orang muda.90

Periode Ketiga: Tahun-Tahun Kemerosotan Muslim Australia 1900-1940 Mary Lucille Jones menyebutkan bahwa fajar abad baru menandai bermulanya sebuah kemerosotan kaum Muslim di Australia. Hal ini berkaitan dengan terbentuknya pemerintahan Commonwealth baru dan kemudian mengeluarkan Kebijakan Kulit Putih Australia di tahun 1901. Pemerintah mengeluarkan undang- undang naturalisasi (the Naturalisation Act) yang mengatur bahwai orang-orang non- Eropa dikeluarkan dari hak memperoleh naturalisasi dan tidak diizinkan membawa keluarga mereka ke negeri itu. Peraturan ini membawa akibat pada komunitas Islam Australia.91 Karena kebijakan ini sangat rasis dan diskriminatif terhadap kelompok masyarakat yang bukan kulti putih (berwarna). Ditolaknya perolehan kewarganegaraan dan semakin mengecilnya kesempatan kerja, membuat banyak orang-orang Muslim awal memilih untuk pulang ke negeri asal mereka. Yang lain menetap dan membentuk sebuah kelompok tua dan cahaya Islam terus berkedip berkat dedikasi individu-individu dan menciptakan sebuah masa depan dan sebuah harapan untuk Islam di Australia. Pada tanggal 13 Nopember 1905, sisa-sisa komunitas Muslim di Australia Barat ingin membangun sebuah mesjid dan ingin membuat fondasi Mesjid di kota Perth. Kebutuhan akan adanya sebuah tempat peribadatan yang cocok telah disadari sejak tahun 1895, dengan cara memperoleh lahan di kota, seperti yang diperoleh penganut agama lain bagi gereja dan sinagog mereka masing-masing. Namun permintaan sarana ibadah dengan latar agama Islam ternyata ditolak pemerintah. Pembangunan tempat shalat di Australia Barat disyaratkan harus sepenuhnya diperoleh kesepakatan dari komunitas yang bertempat tinggal di area tersebut. Bentuk intoleransi agama dan sikap rasialis di atas membentuk semacam sikap diskriminatif terhadap kelompok Muslim. Di kota-kota pertambangan khususnya,

90Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L, Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 54. 91Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 63.

92

diskriminasi sosial dan legal muncul bersamaan dengan kebijakan-kebijakan keimigrasian yang ketat. Orang-orang India, Afghanistan, dan Turki terdorong datang ke kota-kota dengan harapan mendapat pekerjaan. Orang-orang Muslim awal tampak berbeda, hidup dalam gaya yang lain dan tidak dapat dimengerti dengan mudah. Pengertian yang tidak memadai terhadap sistem peraturan Australia di pihak kaum Muslim, ditambah lagi kesulitan bahasa, semakin memperkuat dinding pembatas yang sudah ada. Sejak awal tahun 1898, muncul opini di Parlemen Australia Barat yang berargumentasi hendak mengeluarkan orang-orang Afghanistan dari ladang-ladang emas atas dasar bahwa mereka ‘cenderung berkhianat’ (traitorously disposed). Diberitakan bahwa orang-orang Muslim di Australia bekerjasama dengan Sultan Turki untuk ber-jihad atau Perang Suci dan deklarasi pun telah dibuat. Pada waktu yang sama di New South Wales, Organisasi Pegawai Tukang Potong Daging Australia (the Australian Federated Butchers Employees’ Union) memperoleh dukungan polisi untuk menentang orang-orang Muslim yang memotong daging di lahan pribadi. Ini biasa dilakukan di perkemahan-perkemahan onta untuk meyakinkan cara pemotongan hewan sesuai peraturan agama. Pecahnya Perang Dunia I berakibat pada semakin kecilnya kesempatan lapangan kerja dan bersamaan dengan itu muncul rasa nasionalisme dan jingoisme di kalangan masyarakat kulti putih sehingga semakin memperburuk ketegangan rasial dan agama. Pada hari tahun Baru 1915, dua orang laki-laki mengacungkan bendera Turki menghadang sebuah kereta api piknik di yang menyebabkan empat orang tewas. Serangan rasial berikutnya menyebabkan terjadinya pembakaran Club orang-orang Jerman. Tuduhan tidak setia kelompok Muslim terhadap negara Australia menyebar ke dalam masyarakat. Polisi mencegah perusakan yang dilakukan sebagian masyarakat terhadap permukiman ‘Ghan’ (Afghanistan), dan didapatkan fakta bahwa penunggang-penunggang onta ikut mendukung polisi ketika menahan dua penyerang. 92

92Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 64.

93

Menjelang keesokan harinya pertambangan Broken Hill mengusir semua karyawan atas dasar Undang-Undang Peringatan Perang Persemakmuran, karena dianggap sebagai ‘musuh asing’ (enemy aliens). Insiden ini semakin bertolak belakang. Atas anjuran Jaksa Agung Billy Hughes, semua ‘musuh asing’ di Australia dibuang selama perang berlangsung. Keadaan khas dari insiden Broken Hill cenderung diabaikan. Karena hanya perbuatan dua orang Muslim, Australia telah ‘menyatakan perang’ dengan cara yang menyakitkan dan putus asa. Pada masa berakhirnya penutup abad ke-19, kaum Muslim telah tersingkirkan ke Victoria, jauh dari pusat-pusat tambang dan dimusuhi. Pedagang kelililng adalah cara lain untuk melanjutkan kehidupan d Australia, dan dengan sedikit uang serta kemampuan bahasa Inggris merupakan bagian dari sedikit kesempatan kerja yang terbuka untuk orang-orang Muslim. Sebagian besar dari mereka berasal dari India, mengayuh barang-barang dagangan mereka di seantero daerah pedesaan, membawa perlengkapan yang dibutuhkan dan barang-barang baru ke stasiun-stasiun yang terisolir. Nama-nama seperti Gulap Deen, Amir Ali atau Mitta Bulosh dikenal baik di daerah-daerah sekitar Dookie, Ballarat, , Euroa, dan the Mallee.93 Cara berjualan keliling ini, membuat kaum Muslim menyebar di seluruh kawasan Victoria dan mayoritas dari mereka tetap teguh berpegang pada tradisi dan praktek-praktek keagamaan. Selama bulan Ramadhan orang-orang ini berkumpul di Melbourne selama satu bulan untuk berpuasa dan melakukan shalat serta merayakan Idul Fitri. Di sana mereka bisa bertemu dengan keluarga-keluarga dan sebagian kecil dari mereka telah menikah. Kaum wanitanya kebanyakan lahir di Australia yang beralih agama mengikuti suami mereka. Mereka beserta keluarga menyewa pondok-pondok berteras di daerah kota – di Carlton Utara atau Fitzroy – di sekitar toko pemotongan hewan atau toko karpet India. Bagi para penunggang onta Afghanistan, Idul Fitri adalah peristiwa istimewa. Dengan menyewa kereta-kereta dari istal di Burton’s Livery di Jalan La Trobe, orang- orang Muslim pergi ke taman-taman di belakang pondok kapal di seberang Jembatan Prince. Setelah shalat, diedarkan buah-buahan dan manisan untuk semua orang,

93Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 36.

94

makanan kecil yang tampak aneh dan eksotik bagi orang yang lewat. Pada kesempatan-kesempatan yang lebih khidmat anggota komunitas bertemu di rumah- rumah masing-masing untuk shalat berjemaah. Usaha-usaha komunitas juga menyangkut perolehan lahan di Kuburan Fawkner sebagai lahan kuburan. Sumbangan dikumpulkan untuk membangun sebuah bangunan kecil di dekat lapangan untuk tempat melakukan shalat jenazah. Pada umumnya kaum laki-laki jarang berada di rumah. Kebanyakan tugas mengajarkan tentang Islam dan nilai-nilainya untuk generasi selanjutnya diserahkan pada kaum wanita. Harapan regenerasi melalui imigrasi Asia selanjutnya dihapus oleh kebijakan migrasi diskriminatif Australia. Menjelang 1921 hanya ada kurang dari tiga ribu warga penetap (resident) Muslim di Australia. Ketidak seimbangan perbandingan menyeluruh antara wanita dan pria menyulitkan pemeliharaan identitas keislaman di Australia. Mereka diasingkan baik secara keagamaan dan rasial dari masyarakat kulit putih Anglo-Celtic yang dominan sehingga banyak dari generasi kedua ini memilih tak beragama. Proses degradasi yang lambat ini berlangsung selama tiga puluh tahun berikutnya. Namun di tengah komunitas yang hampir mati ini ada kaum Muslim yang melanjutkan komunitas Muslim dari sebuah gelombang kedua, yaitu kaum imigran Albania yang bekerja sebagai pekerja kasar di Australia Barat, Queensland, dan Victoria selama tahun 1920-an dan 1930-an. Mereka datang dengan yang lainnya dari Eropa Tengah dan Selatan sebagai akibat sedikit terbukanya kebijakan resmi Australia yang juga berkulit putih, tetapi beragama Islam. Meskipun jumlahnya kecil, kaum Muslim ini menjadi penentu yang kelak datang setelah Perang Dunia I untuk mencari kehidupan yang lebih baik di lahan yang baru serta membawa kebangkitan Islam di Australia. Semula Australia adalah tempat tujuan yang tak dikenal bagi orang-orang Albania. Perjalanan dari Eropa memakan waktu empat puluh hari dengan kapal laut, karena umumnya berupa kapal-kapal kargo yang berhenti di pelabuhan-pelabuhan untuk mengambil dan menurunkan barang-barang kiriman. Pilihan orang-orang Albania untuk meninggalkan tanah air mereka sebagian merupakan penolakan atas kepasrahan pada nasib. Selama beberapa ratus tahun, orang-orang Albania telah

95

meninggalkan desa-desa mereka untuk bekerja di negeri-negeri tetangga. Mereka ingin melarikan diri dari stagnasi ekonomi yang telah menghancurkan negeri mereka sejak abad ke-15, ketika Albania jatuh ke tangan kekuasaan kekaisaran Usmani.94 Pekerjaan seperti itu sering berarti bahwa para lelaki harus meninggalkan keluarga mereka selama ber-bulan-bulan. Para wanita secara tradisional tetap tinggal untuk mengurus bagian-bagian kecil lahan yang tak cukup untuk menghidupi sekalipun penduduknya berjumlah kecil. Imigrasi ke Australia berarti perpanjangan cara hidup berpindah-pindah, tetapi jarak yang begitu jauh membuat migrasi ini tak mungkin hanya bersifat sementara. Masa berpisah harus dihitung dalam bilangan tahun, bahkan sering berarti seumur hidup seseorang. Orang-orang Muslim Albania yang datang ke Australia pada tahun 1920-an sebagian besar masih bujangan dan berjenis kelamin pria, kerap masih dalam usia muda --delapan belas tahun, terkadang juga limabelas tahun. Dipenuhi semangat berkelana dan harapan yang besar, mereka berupaya mencari uang yang cukup agar bisa kembali ke Albania untuk membeli sepotong lahan pertanian dan mempersiapkan masa depan. Karena sedikitnya pengetahuan tentang Australia, surat-surat ke rumah dari sejumlah kecil pendatang awal menceritakan adanya kesempatan-kesempatan dan memberi petunjuk sekedarnya. Benang-benang tipis pengetahuan ini membentuk sebuah jaringan komunikasi yang vital dan kasat mata bagi para pendatang baru. Imigrasi ke Australia dikuatkan ketika Perang Dunia I melahirkan persepsi bahwa negara berpenduduk kecil ini membuka kesempatan sebuah invasi. Australia menginginkan orang untuk datang dan bekerja di daerah-daerah pedesaan yang kurang tenaga kerja. Betapapun, orang-orang Muslim yang datang belakangan, bersama dengan kedatangan orang-orang non-Inggris lainnya, mendapatkan status mereka tidak jelas. Mereka bukanlah jenis migran yang diharapkan.95 Mereka bukan sebagai keturunan Asia, karena itu mereka tidak terkena kecaman-kecaman seperti yang dialami orang-orang Muslim sebelumnya oleh

94Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.59.

95Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 59.

96

‘kebijakan Australia putih’. Selama abad ke-20, betapapun, Pemerintahan Persemakmuran memperkenalkan prosedur-prosedur yang membatasi masuknya orang-orang Eropa ke Australia. Menjelang tahun 1928 suatu sistem quota diberlakukan. Hambatan selanjutnya pada pemasukan orang non-Inggris, atau ‘imigran asing’, yaitu setiap orang diminta pada saat mereka datang memperlihatkan sebuah surat jaminan tertulis dari seorang sponsor atau sejumlah empat puluh pounds sebagai semacam jaminan tertulis sementara pekerjaan belum diperoleh. Kebalikannya, para pemukim-pemukim Inggris yang masuk ke Australia lewat Program Bantuan Pemasukan Kerajaan Inggris (the United Kingdpm Assisted Passage Scheme), hanya diminta membayar tiga pounds. Sistem yang diberlakukan mempunyai pembatasan yang paling keras adalah ‘tes dikte’. Pada tingkat yang lebih taktis bagi mereka, seperti Hekuran Emil, ketika datang ke Australia merasa lebih baik mengadopsi nama versi Australia untuk dirinya.96 Yang pertama dari imigran-imigran ini harus membawa pinjaman uang. Tingkat suku bunga tinggi- dihitung dari satu bulan pada tingkat antara 6 dan 8 persen. Lepas dari kesukaran selama dua bulan perjalanan yang jauh, sangat penting memiliki uang begitu mereka mendarat. Karena pekerjaan di ladang dan pertanian membentuk ikatan dengan tanah tumpah darah para migran, mereka umumnya mendapat pekerjaan di daerah-daerah pedesaan. Kondisi di Australia, tidak sebaik tanah yang mereka tinggalkan. Sebagian besar dari mereka mendarat di Fremantle di tahun 1925, di mana beberapa pekerjaan diperoleh dalam industri gandum dan pembukaan lahan. Hal ini semakin menyulitkan karena keterbatasan bahasa dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat, meskipun Refik Sulejman, salah seorang dari kelompok pemula berhasil menguasai bahasa isyarat dan mendapat pekerjaan di perkebunan. Sebagaimana migran lainnya yang hidup jauh dari tanah air mereka, sedikit dari orang-orang Albania yang pendiam sedikit demi sedikit mulai membangun sebuah kehidupan. Penghasilan mereka bisa membiayai migrasi Albania selanjutnya.

96Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.46.

97

Pada umumnya kaum imigran ini berasal dari kota-kota dan desa- desa kecil. Mereka pada umumnya bertalian darah – saudara laki-laki dan sepupu laki-laki. Yang lainnya berasal dari desa yang sama. Di antara yang pertama kali tiba kelompok migran ini adalah anggota-anggota dari keluarga Ahmet, Sali dan Sherif, Hekuran Emin, Kamber Jafer, Selim Shaloli, Estrif Shemshed Sulejman, dan Demir Rustem. Mereka datang pertama kalinya di Australia Barat dan memilih bekerja di Queensland memotong tebu, memetik kapas dan bekerja di ladang-ladang tembakau di sekitar Cairns, Mareeba, dan di pinggir kota Brisbane. Pekerjaan itu banyak menimbulkan penderitaan di tubuh, seperti cidera tulang belakang. Serikat Organisasi dalam hal ini tidak begitu memperhatikan penderitaan yang dialami tenaga kerja Muslim hingga saat pabrik gula merosot selama era Depresi, Bagi para imigran, penindasan atas keberadaan mereka selama bertahun-tahun pada umumnya tak terhindarkan. Sebagian dari mereka saat itu meninggalkan cerita yang panjang. Cerita-cerita tentang udara panas dan debu di perkebunan, kerja tujuh hari seminggu, ‘sedih dan kesepian dan bercucuran air mata’ adalah bagian dari penderitaan mereka. Tak ada mesin, sedang penghasilan untuk kerja seharian sangat minimal. Pekerjaan pun jarang dan orang-orang Albania terpaksa menerima tawaran bekerja apa saja dari pagi hingga malam hanya untuk memperoleh upah delapan shilling sehari. Tanpa uang lebih, kondisi kehidupan hanya sebatas memenuhi kebutuhan dasar. Gubuk-gubuk didirikan dari bahan apa saja yang ada dan biasanya dari tiang- tiang kayu dan keranjang-keranjang hessian. Bahkan sebuah gubuk tua telah cukup. Pengalaman-pengalaman ini menjadi bagian kenangan kolektif bagi kelompok ini. Betapapun, sejarah sebuah migrasi dan pengalaman hidup telah tertanam selama berabad-abad menyaksikan survival mereka.97 Hekuran Emin mengingat betapa ia bertahan selama periode depresi yang membuatnya semakin yakin dari sebelumnya untuk tetap bertahan pada pekerjaannya dan pergi ke sebuah tanah pertanian kecil miliknya. Ia menabung dengan susah payah dan mengenang perasaannya yang bak seorang raja ketika ia memasukkan tujuh belas dollar dan enam pence ke bank. Namun apa yang menjadi pusat kesuksesan bagi

97Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h.59.

98

orang Albania terletak pada kenyataan bahwa industri tempat mereka bekerja merupakan hal yang vital bagi ekonomi negeri ini dan insentif untuk mendorong pekerja masuk ke industri-industri dan hadiah lahan ditawarkan pada mereka yang siap mengerjakan tanah pertanian dengan cara bagi hasil. Orang Albania juga bergabung dengan konsentrasi pekerja Italia yang lebih besar jumlahnya di Queensland untuk mengambil kesempatan yang ditawarkan berupa lahan bebas. Kesempatan selanjutnya muncul di Victoria. Pekerjaan didapati sebagian di daerah-daerah perkebunan di sekitar Shepparton. Yang pertama dari orang-orang Muslim yang datang ke area ini di pertengahan tahun 1920-an. Kemudian ke distrik Queensland terus masuk ke distrik-distrik lainnya. Sekali lagi cara hidup yang kooperatif yang menjadi wujud lahan rumah mereka memungkinkan banyak dari mereka membeli properti dan membangun usaha yang menguntungkan sebagai pengelola kebun dan ahli taman. Menjelang pecahnya Perang Dunia II, hanya 10 persen dari mereka yang menaturalisasikan diri, sedangkan sebagian besar masuk Kristen. Meskipun tenaga kerja menjadi tulang punggung bagi kesuksesan, kehidupan kekeluargaan dilihat sebagai bagian kehidupan menetap di Australia. Ymer bersaudara di tahun 1938 pulang ke kampung halamannya untuk menikah, sedang yang lain mengambil alih tanggung jawab mengurus 300 acre lahan pertanian di Queensland selama kepergiannya.. Berkumpul kembalinya sebuah keluarga atau mencari isteri ke Albania, betatapun penuh dengan frustrasi, pejabat-pejabat imigrasi Australia meyakinkan bahwa keberadaan sponsor yang memadai bisa diperoleh dan juga uang yang diminta sebagai pas masuk. Adapun mereka yang tetap tinggal, banyak yang memilih untuk menikahi wanita Australia. Anak-anak pergi ke sekolah dasar lokal, berbaur denga anak-anak berkebangsaan lain – Yunani, Italia, Australia dan Jerman sehingga merefleksikan karakter yang kosmopolitan pada lokalitas di mana mereka tinggal. Banyak di antara mereka yang pulang lebih cepat, kerap mengecewakan guru-guru mereka, tetapi tenaga kerja diperlukan bagi kehidupan keluarga. Hal ini berlaku terutama pada para

99

gadis-gadis dan banyak dari mereka tetap bersekolah hanya selama hukum memungkinkan. Kedatangan para isteri dan sanak saudara memberi arti perubahan dalam pola hidup. Rumah dan keluarga menjadi bagian kehidupan kaum laki-laki dan rutinitas keseharian. Karena tak ada organisasi sosial atau keagamaan yang resmi, adat dan tradisi tidak dijaga ketat di dalam keluarga dan terkadang perayaan-perayaan peristiwa keagamaan – hanya membawa potongan kecil dunia Muslim ke pedesaan Australia. Tahun-tahun peperangan menyaksikan imigrasi mengarah ke titik beku. Orang-orang Albania yang negaranya di aneksasi oleh Italia sebagai anggota kekuatan Poros, termasuk di antara mereka yang diasingkan sebagai musuh asing (enemy alien). Dalam retrospeksi ini merupakan pernyataan bahwa prosedur ini telah melakukan diskriminasi. Di antara orang Albania yang diasingkan di perkemahan pengintipan di Monte di Queensland, masih anak-anak, berusia sekitar enambelas tahunan bersama beberapa perorangan yang telah di naturalisasikan. Penerbitan The Aliens Tribunal di tahun 1940 menjadi semacam pengakuan resmi pada keberadaan tempat pengasingan itu. Hal ini tetap berlangsung terus sampai periode pasca perang yang membawa sejumlah besar kaum Muslim penetap ke Australia.98

Periode Keempat: Membangun Basis Sebuah Populasi Fase berikutnya merupakan masa bulan madu bagi kaum muslim. Hal ini diawali dengan persoalan internal dan eksternal masyarakat Australia itu sendiri yang terjadi sebelum dan setelah perang Dunia II. Secara internal, pertumbuhan jumlah populasi Australia sangatlah lambat (9 juta jiwa), sedangkan pertumbuhan ekonomi meningkat dengan cukup signifikan sehingga memerlukan tenaga kerja baru yang harus diimpor dari luar negeri. Secara eksternal, Australia menghadapi sikap permusuhan dari invasi tentara Jepang ke Asia Tenggara yang telah menduduki Papua Nugini dan sempat memborbardir pertahanan Australia di Darwin serta munculnya negara-negara baru kawasan Asia, yang sebagian merupakan tetangganya, seperti

98Mary L. Jones, ‘The Years of Decline Australians Muslim’, dalam Mary L. Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 86.

100

Indonesia, Malaysia, Singapura, Pakistan, dan India. Kedua situasi yang tak menguntungkan ini, pemerintah Australia segera mempercepat pertambahan populasi dalam kerangka pertahanan nasional jangka panjang dengan cara memperlunak seleksi kriteria imigrasi kedatangan para migran dan refugee, sekaligus dapat memperkuat proses industrialisasi yang sedang berlangsung. Menurut Gary D. Bouma, sampai tahun 1947 kaum immigran Muslim terdiri dari para pelajar, profesional, pemimpin bisnis dan tokoh pemerintahan yang terbawa karir mereka ke Australia atas dasar berbagai alasan. Baru pada akhir tahun 1960-an, dengan diperbaharuinya kebijakan immigrasi Australia diteruskan dengan pecahnya perang saudara di Libanon, mulai datang immigran Muslim dalam jumlah yang cukup besar. Kelompok terbesar imigran Muslim datang dari Turki (14.5 persen) atau Libanon (17..4 persen). Immigrasi Muslim Libanon dapat dibagi dalam dua periode pra 1975 (tahun pecahnya perang saudara Libanon) dan paska 1975. Yang terdahulu ditandai dengan rantai imigrasi keluarga-keluarga Sunni-Muslim’. Setelah tahun 1975 muncul gelombang immigrasi Muslim Libanon, terdiri dari keluarga-keluarga Shi’ite dan Sunni. Keluarga adalah satuan dasar immigrasi. Gelombang terbesar adalah immigrasi orang-orang Turki yang dimulai akhir tahun 1960an dan berlanjut ke tahun 1980an dan meliputi sejumlah orang dewasa dalam usia kerja dalam proporsi tinggi. Orang-orang Muslim Turki dari kedua jenis kelamin dipekerjakan terutama dalam pekerjaan-pekerjaan pemropsesan.99 Fase terakhir ini bisa disebut sebagai pembentukan basis komunitas muslim di tengah masyarakat Australia, khususnya sejak tahun 1960-an sampai 1970-an. Secara umum masyarakat Islam Australia adalah masyarakat perkotaan (urban), seperti terlihat dalam sensus Australia (1996), mayoritas muslim (50%) menetap di Sydney dan Melbourne (32%) serta sebagian kecil lainnya tersebar di kota-kota utama lainnya. Basis komunitas muslim dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kelompok yang berbasiskan pada etnisitas. Pada umumnya etnis Turki merupakan jumlah terbanyak yang bertempat tinggal di Sydney, diikuti etnis Libanon, dan Banglades. Etnis Indonesia juga termasuk yang paling banyak mendiami kota ini. Begitu pula, di

99Gary D. Bouma, and Muslim Settlement in Australia, h. 22.

101

negara bagian Victoria, banyak didiami etnis Turki dan Albania. Dan pada umumnya mereka menganut paham Sunni dan Syi’ah, sebagian kecil aliran Ismailiah, dan Ahmadiah baik Lahore maupun Qadyan. Kedua, berbasiskan pada lokalitas (tempat tinggal). Banyak masyarakat muslim yang menempati suatu tempat sehingga cukup untuk membentuk suatu komunitas, seperti daerah Preston di Melbourne dan daerah Lakemba di Sydney. Sayangnya kesatuan komunitas muslim yang sudah terbentuk belum berfungsi menyatukan berbagai komunitas etnis Islam, namun terfragmentasi dalam berbagai etnis. Faktor kesetiaan etnis masih tetap dipelihara sehingga interaksi sosial di antara mereka sangat terbatas. Etnis Turki, Libanon, dan Albania sangat menonjol bagaikan sebuah festival lansekap Islam Australia, yang masih berjalan sendiri-sendiri. Mungkin dapat dimengerti, fragmentasi etnis muslim ini merupakan sebuah konsekuensi yang tidak dapat terelakkan bagi psikologi masyarakat yang menempati ‘rumah baru’ yang masih asing. Pola kedatangan immigran dalam jumlah kecil sebelum Perang Dunia kedua, beberapa diantara tahun 1947 dan pertengahan tahun 1960-an, dengan penambahan jumlah mendasar sejak saat itu hingga 1991, menjadi karakteristik hampir semua kebangsaan orang Muslim di Ausrtralia. Di antara orang Muslim yang dipekerjakan hanya 18 persen yang telah tiba di Australia sebelum tahun 1971. Tabel 1 memperlihatkan tahun-tahun kedatangan orang Muslim yang dipekerjakan sehingga terefleksi dalam pola ini.

Tabel 1: Karakteristik Muslim di Australia pada Census tahun 1991 (khusus yang dipekerjakan saja), berdasarkan tahun kedatangan.

102

Muslim yg Prosentase bekerja Tahun kedatangan Sebelum 1971 18.54 1971-75 19.29 1976-80 14.35 1981-86 13.10 1988-89 11.34 1990-91 3.74 Tidak terdapat (not applicable) 10.58 Tidak dinyatakan 2.09 Sumber: matrix table sensus 1991 CSC 6033 (di luar pengunjung luar negeri)

B. Negara-negara Asal Muslim Australia Menurut sensus 1986, sekitar dua pertiga orang Muslim lahir di luar negeri. Salah satu realisasi paling penting yang dapat ditarik dari sini adalah bahwa satu pertiga dari orang Muslim Australia lahir di Australia. Prosentase orang Muslim yang lahir di luar negeri lebih sedikit dari orang-orang Hindu (72 persen) dan Buddhis (85 persen), tapi lebih besar dari orang Yahudi (51 persen), Katholik (25 persen) dan Uniting (7 persen). Lebih sedikit dari 10 persen orang Muslim lahir di Australia berasal dari orang tua yang lahir di Australia atau di Inggris. Kelompok besar orang Muslim di Australia datang dari Turki, Libanon, Yugoslavia (paling akhir dari tempat- tempat bekas negara Yugoslaviaseperti Bosnia, Makedonia dan Kosovo) serta Siprus, lebih dari 50 persen lahir di tempat-tempat ini. Tak ada negeri lain yang merupakan tempat asal orang Muslim Australia lebih dari 5 persen. Kelompok Muslim lainnya yang lebih dari 1 persen adalah Malaysia, Indonesia, Mesir dan Fiji..100

100Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, Australian h. 23. Lihat juga ABS 1991.

103

Sensus tahun 1991 memberi informasi rinci tentang negeri asal penduduk Muslim Australia. Orang-orang ditanya tentang negeri asal lahir mereka. Jawaban dari orang yang lahir di negeri yang bukan menjadi tujuan tempat tinggal mereka memberi indikasi jelas tentang keragaman etnis Muslim di Australia. Penetap Muslim di Australia tercatat lebih dari 67 negeri yang berbeda sebagai negeri tempat lahir. Hal ini menunjukkan mereka sebagai kelompok etnis agama yang paling tersebar di Australia. Seperti halnya dua kelompok terbesar, terdiri dari hampir satu pertiga dari keseluruhan, lahir di Libanon (17.4 persen) atau Turki (15.5 persen). Kelompok terbesar Muslim adalah kelahiran Australia (35%). Persentase ini akan terus bertambah dengan semakin besarnya jumlah orang Muslim di masa depan lebih karena kelahiran daripada karena faktor imigrasi. Lapisan selanjutnya negeri asal, terdiri dari 24.1 persen Muslim Australia, termasuk mereka yang dicatat sebesar 1 persen atau lebih. Yugoslavia (3.5 persen), Indonesia (3.3 persen), Asia selatan Lainnya (2.8 persen), Siprus (2.5 persen),Iran (2.4 persen), Pakistan (2.3 persen), Fiji (2.2 persen), Mesir (1.6 persen), Malaysia (1.4 persen), Afrika Utara Lainnya dan Timur Tengah (1.1 persen), Syria (1.0 persen). Sisanya yang 8 persen terdiri dari lebih 53 negara. Tabel 2: Karakteristik Muslim di Australia menurut Sensus 1991 berdasar tempat lahir

Tempat lahir Orang Persentasi Australia 51.321 35.007 Oseania Pulau Chrismas 464 Kokos/Pulau2 Keeling 372 Selandia Baru 211 Papua New Guinea 33 Fiji 3.253 Oseania lain/Antartika 33 Total...... 4.155 2.834

104

Eropa Inggris 759 0.518 Irlandia 21 0.014 Siprus 3.669 2.503 Yunani 415 0.283 Italia 66 0.045 Malta 15 0.010 Portugal 12 0.008 Spanyol 12 0.008 Yugoslavia 5.160 3.519 Austria 60 0.041 Perancis 27 0.018 Jerman 227 0.155 Belanda 49 0.033 Cekoslowakia 12 0.008 Hongaria 6 0.004 Polandia 18 0.012 Rumania 33 0.023 Eropa lain 801 0.546 Uni Sovyet lain 75 0.051 Latvia 3 0.002 Ukraina 6 0.004 Jumlah ...... 11.446 7.808

Timur Tengah Jalur Gaza 12 0.008 Iran 3.514 2.397 Irak 285 0.194 Israel 82 0.056 Jordania 449 0.306 Libanon 25. 507 17.399

105

Siria 1.498 1.022 Turki 21. 306 14.533 West Bank 18 0.012 Mesir 2.329 1.589 Timur Tengah lain & Afrika Utara 1.662 1.134 Jumlah ...... 56. 662 38.651

Asia Tenggara Kamboja 9 0.006 Indonesia 4.782 3.262 Laos 9 0.006 Malaysia 2.051 1.399 Birma 157 0.107 Filipina 72 0.049 Singapur 1.118 0.763 Vietnam 120 0.082 Asia Tenggara lain Cina (bukan Taiwan) 234 0.159 Hong Kong 86 0.059 Jepang 36 0.025 Korea 10 0.007 Makau 3 0.002 Taiwan 3 0.002 India 1.180 0.805 Pakistan 3.339 2.278 Srilangka 555 0.379 Asia Tenggara lain 4.055 2.766 Jumlah ...... 9.501 6.481

Amerika

106

Kanada 69 0.047 Amerika Serikat 128 0.087 Argentina 15 0.010 Cili 9 0.006 Amerika & Karibia lain 61 0.042 Jumlah ...... 282 0.192

Afrika (bukan Afrika Utara) Mauritius 107 0.073 Afrika selatan 1.376 0.939 Zimbabwe 87 0.059 Afrika lain (bukan Afrika Utara) 1.364 0.930 Jumlah ...... 2.934 2.001

Respons lain 134 0.091 Tidak menyatakan 1.355 0.924 Jumlah ...... 146.600

Sumber: Matriks Tabel Sensus CSC6015 (di luar pengunjung luar negeri)

Latar belakang imigran Muslim sangat beragam, kedatangan mereka relatif baru dan jumlah mereka relatif besar di antara kelompok-kelompok immigran yang baru tiba.

Bahasa Seperti yang bisa diduga dari begitu bervariasinya etnik-etnik kelompok, berbagai jenis bahasa dipakai di rumah-rumah orang Muslim Australia. Tabel 3

107

memperlihatkan urutan bahasa yang dipakai dengan perbandingan jumlah penduduk Australia. Tabel 3: Karakteristik Muslim di Australia berdasarkan Sensus 1991 menurut bahasa yg dipakai di rumah-rumah (%)

Bahasa yg dipakai di rumah Muslim Penduduk Australia Hanya bahasa Inggris 7.72 82.6 Bahasa Aborigin - 0,3 Bahasa Arab termasuk Libanon 38.42 0.9 Bahasa Cina 0.18 1.6 0.32 0.4 Kroasia 0.03 0.3 Belanda 0.04 - Bahasa Filipina 0.06 - Bahasa Fiji 0.21 0.3 Bahasa Perancis 0.18 0.7 Bahasa Jerman 0.22 1.8 Bahasa Yunani 1.76 - Bahasa Hindi 6.59 - Bahasa Indonesia/Melayu 0.16 2.6 Bahasa Italia 0.26 0.4 Bahasa Makedonia - 0.3 Bahasa Malta - 0.4 Bahasa Polandia 0.08 - Bahasa Rusia 0.57 0.1 Bahasa Serbia 0.04 0.6 Bahasa Spanyol 0.10 - Bahasa Tamil 25.34 0.2 Bahasa Turki 2.68 - Bahasa Urdu 0.09 0.7

108

Bahasa Vietnam 1.45 0.3 Bahasa Yugoslavia & Serbo-Kroasia 12.52 3.1 Bahasa lainnya 0.91 2.4 Tidak menyatakan

 Menandakan jumlah yg terlalu sedikit untuk bisa dihitung secara terpisah dan dimasukkan dalam ‘lainnya’.  Termasuk ‘bahasa lain yg diinikasikan tapi tidak dinyatakan’ dan ‘kurang bisa di catat’. Sumber: Matriks tabel sensus tahun 1991 CSC6015 dan profil komunitas dasar, Katalog ABS No. 2722.0 tabel B11.

Dampak Imigrasi Orang Muslim Ada dua dampak yang nyata dari imigrasi Muslim ke Australia, yaitu suatu perubahan dalam mosaik komposisi kagamaan Australia dan berdirinya sebuah komunitas Muslim yang signifikan lengkap dengan struktur sosial dan budayanya.101 Dampaknya pada komposisi keagamaan di Australia ditelaah berdasarkan hasil Sensus tahun 1991 dan dijabarkan lebih lanjut dalam sebuah profil komunitas Muslim secara khusus pada bab berikutnya. Sebagai hasil imigrasi paska perang, khususnya dalam hal imigrasi Muslim, mosaik keagamaan di Australia berubah untuk selamanya. Menurut Biro Statistik Australia, jumlah orang yang dicatat beragama non-Kristen bertambah mendekati 187,000 (150 persen) antara tahun 1976 dan 1986. Tujuh puluh persen dari kenaikan ini berasal dari imigrasi. Selama waktu ini lebih dari 36,000 orang Muslim datang ke

101Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 10.

109

Australia. Tabel 4 menunjukkan perubahan proporsi relatif antara kelompok beragama kristedn dan non-Kristen di Australia. Perubahan-perubahan ini memperlihatkan dampak imigrasi. Tabel 4: Kelompok-kelompok Kristen dan Non-Kristen di Australia, 1911-91 (%) Kelompok agama 1911 1933 1947 1966 1976 1986 1991 Kristen 98.5 86.4 88.0 88.2 73.0 73.0 74.0 Non kristen 1.0 0.5 0.7 0.7 2.0 2.0 2.6 Tidak menyatakan 0.5 13.1 10.3 12.2 12.3 12.3 10.2 Tidak beragama - - 0.8 8.3 12.7 12.7 12.9

Sumber: laporan sensus ABS Secara demografis Australia adalah negara Kristen. Tujuh-puluh empat persen penduduknya menganut berbagai aliran agama Kristen. Selalu ada 10-12 persen yang tidak memberi jawaban (sebelum 1933 dikenakan denda bila tak menjawab pertanyaan tentang agama). Ketika diberi izin untuk menyatakan bahwa seorang tak punya agama sejumlah proporsi penduduk muncul. Orang-orang ini umumnya muncul dari kalangan kategori beragama Kristen dan sebagian besar dari Kristen Anglikan (Gereja Inggris). Kelompok-kelompok non Kristen menurun dari tahun 1911 sampai 1933, barangkali bersamaan dengan menurunnya populasi orang Cina, kemudian naik lagi secara signifikan dari tahun 1966 hingga sekarang. Di tahun 1947 orang yang non Kristen termasuk kurang dari 0.5 persen dari penduduk Australia. Sensus tahun 1947 melaporkan adanya 411 orang beragama Buddha, 32,019 Yahudi, dan 4,132 beragama ‘bukan non-Kristen’. Tak ada jumlah Muslim yang dilaporkan. Perubahan satu-satunya menjelang tahun 1966 adalah meningkatnya orang beragama Yahudi menjadi 63,275 dan 13,647 untuk ‘bukan non- Kristen’. Sensus tahun 1971 adalah sensus pertama yang menunjukkan jumlah besar orang Muslim yang dilaporkan secara terpisah. Banyak yang meragukan akurasitas sensus ini di kalangan kelompok agama minoritas dan juga di kalangan kelompok minoritas lain. Tak diragukan bahwa jumlah kaum Muslim diabaikan dalam sensus itu. Hal Ini sebagian disebabkan oleh kurang memadainya formulir sensus dan

110

prosedur-prosedur lainnya, sebagian lagi disebabkan oleh kesulitan bahasa bagi orang yang bukan berbahasa Inggris, dan sebagian lagi pada ketidak tahuan orang tentang bagaimana cara menjawab pertanyaan tentang agama yang dianut. Bagaimanapun, sensus itu tetap menjadi alat terbaik untuk membandingkan besaran relatif berbagai kelompok dalam sebuah masyarakat. Tanpa sensus itu akan sama halnya dengan negara lain seperti Amerika serikat atau Inggris tak ada perkiraan yang bisa dipercaya mengenai ukuran relatif kelompok-kelompom agama. Menurut hasil sensus tahun 1971, ada 22311 orang Muslim di Australia yang besarnya 0.2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Tabel 4.5 memperlihatkan rincian pola pertumbuhan di kalangan kelompok non-Kristen sejak tahun 1971. Naiknya jumlah pertumbuhan penduduk Muslim sangat meyakinkan. Faktor pendorong pertambahan ini adalah imigrasi. Faktor lain disebabkan oleh tingkat perkawinan dan kesuburan yang tinggi orang-orang Muslim di Australia.102 Hampir semua wanita Muslim telah menikah di awal usia duapuluhan dan banyak yang mempunyai keluarga besar. Hanya relatif kecil pertumbuhan yang disebabkan pergantian agama dari kelompok lain. C. Interaksi Komunitas Muslim dengan Masyarakat Australia 1. Masalah dan Isu Minoritas Muslim Australia Sejak kehadiran kelompok Muslim di Australia dulu dan sekarang tidak terlepaskan dari berbagai himpitan masalah dan isi-isu.103 Di antara masalah-masalah itu, yaitu: a. Hambatan Sosial, Budaya dan Bahasa Kaum Muslim yang datang ke Australia membawa beragam kekayaan budaya dan latar belakang ke dalam masyarakat yang masih baru dan asing bagi mereka. Banyak di antara mereka merasa tercerabut dan mengalami trauma ketika mendapati diri mereka sebagai sebuah minoritas agama berada dalam situasi yang tidak dikenal dan dipaksa untuk mengadopsi berbagai nilai-nilai dan norma-norma yang tidak pernah mereka kenal. Pada mulanya, tidak ada negara atau komunitas lokal yang mau

102 Pengolahan data berdasarkan ABS 1991. 103Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria, h. 36-45.

111

memberi dukungan, apalagi menawarkan pengakuan pada keyakinan mereka atau pada praktek-praktek keagamaan yang mengidentifikasikan mereka sebagai sebuah komunitas. Namun, sebagai pendatang baru, mereka merasa dihitung kecil dan menghadapi sikap-sikap yang masih bersifat streotip yang mengandung kebencian. Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakan respon yang biasa terjadi pada saat tiba di sebuah daerah di mana cara hidup lokal kelihatan begitu membosankan, kosong, ikatan kekeluargaaan lemah dan tak berkembang. Hambatan tersebut di atas berkaitan erat dengan latar belakang pengalaman hidup dan pendidikan mereka di negara asal. Pendidikan mereka di masa lalu telah menanamkan sebuah kesetiaan buta atau fanatisme pada agama mereka (Islam) sehingga membatasi kemampuan mereka untuk memahami Islam dalam perspektif yang lebih luas dan visi mereka tentang masa depan serta komunitas Islam yang kohesif di Australia. Mereka tidak dibekali dengan kemampuan bahasa Inggris yang memadai atau pengetahuan yang luas tentang kepercayaan mereka untuk mampu menjelaskannya pada anak keturunan mereka yang tumbuh di tengah lingkungan yang berbeda dari ayah-ayah mereka. Namun pada perkembangan terakhiri, hambatan bahasa semikin berkurang, khususnya di kalangan generasi kedua dan ketiga yang lahir di Australia. karena interaksi dan pendidikan mereka yang intensif dan formal di tengah masyarakat Australia. Tidak demikian halnya, bagi pendatang baru yang pada umumnya lahir di negara asal, tampak masih lemah dalam berbahasa Inggris dan kurang berinterkasi dengan penduduk setempat. b. Kurangnya Jumlah Pemeluk Jumlah yang kian mengecil dari kaum Muslim pada suatu tahap dalam sejarah Islam di Australia juga menampilkan sebuah masalah pada para orang tua Muslim ketika akan menetapkan agama bagi anak keturunan mereka. Kasus Jalal Deen menjadi sebuah kasus ilustratif, ia menjadi sumber informasi penting tentang keadaan kaum Muslim yang pertama datang. Sebagai seorang Muslim yang taat dan rajin beribadah, Jalal Deen memberi pilihan pada putera satu-satunya untuk menjalankan

112

ibadah Kristen. Ia dan isterinya yang kelahiran Inggris mengambil keputusan ini karena mereka tidak ingin putera mereka tumbuh di tengah agama yang tengah sekarat di Australia. Mereka melihat Islam sebagai faktor pengisolasi dari komunitas yang lebih besar bagi putera mereka.104 c. Pembangunan Mesjid Orang Muslim keturunan Afganistan merupakan perintis dalam pembangunan mesjid di Australia. Perhatian pertama mereka adalah bagaimana memperoleh sebuah tempat untuk menjalankan ibadah dan kegiatan keagamaan lainnya seperti halnya pada kelompok lain di Australia. Dari buku karangan Musa Khan diketahui bahwa dari tahun 1895 komunitas Muslim di Perth, membutuhkan perlunya sebuah tempat yang cocok untuk beribadah, mulai mencari lahan di kota Perth dari Pemerintah. Upaya ini tidak berhasil. Komunitas itu kemudian merubah kegiatan mereka dan mencari dana dari anggota-anggotanya. Di tahun 1901, sejumlah dana mesjid terkumpul sehingga memungkinkan mereka untuk membeli sebidang tanah di pinggir kota Perth. Penyelesaian mesjid di tahun 1905 menimbulkan sebuah masalah yang lain lagi. Sebuah keretakan serius terjadi antara keturunan Afghanistan dan India selama masa pengelolaan mesjid Perth. Kedua kelompok mengklaim hak mereka atas berbagai dasar dengan tidak mengindahkan kenyataan bahwa tujuan keagamaan bersama mereka sebenarnya sudah tercapai. d. Diskriminasi Meskipun multikuturalisme sudah menjadi kebijakan negara untuk seluruh masyarakat Australia, namun dalam kenyataan sehari-hari masih ditemui praktek- praktek diskriminatif. Hal ini berkaitan dengan kurang komunikasi dan miskonsepsi antara warga masyarakat dan para penddatang. Sebagai contoh adalah masalah izin bagi sebuah proyek mesjid senilai dua juta dollar di Keysborough, Melbourne, yang diurus oleh masyarakat Islam Turki. Izin itu tidak dipenuhi karena alasan-alasan menganggu lingkungan masyarakat setempat yang berbeda dengan kelompok Islam.

104Hanifa Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, h. 25.

113

Contoh-contoh prasangka terhadap Islam dan kaum Muslim juga banyak ditemui dalam berbagai media cetak dan elektronik. Peranan media sangat dominan di dalam memberikan citra negatif terhadap opini publik baik menyangkut masalah dalam negeri maupun luar negeri. e. Kurangnya Jumlah Imam Keterbatasan finansial juga menjadi faktor penting yang membatasi kegiatan komunitas Muslim di Australa dalam upaya mencapai tujuan mereka. Peran Imam di sini tidak hanya sebagai pemimpin shalat. Ia bisa memberikan pendidikan Islam dan memberi bimbingan, menghubungi antar kelompok dan membantu mereka memecahkan masalah perbedaan-perbedaan agar bersatu dan menampakkan kepercayaan dengan baik pada masyarakat tuan rumah. Pemimpin agama pada komunitas Muslim berasal dari para Imam yang telah merupakan kebiasaan sejak kedatangan umat Islam ke negara ini. Kekurangan jumlah Imam yang terlatih akan menyebabkan kemunduran dalam komunitas Muslim Australia.105 Demikian pula pemimpin-pemimpin agama yang di ‘impor’ dari masing-masing daerah asal etnik, pada umumnya belum mengenal lingkungan mereka yang baru. Akibatnya terjadi kesenjangan informasi dan dakwah yang ingin mereka sampaikan. f. Status Ekonomi Wacana tentang status ekonomi kaum Muslim di Australia adalah sangat mendasar. Tidak ada data yang spesifik untuk menggambarkan kegiatan ekonomi kaum Muslim di negeri ini. Namun demikian, seperti diindikasikan oleh Hussein, beberapa informasi tak langsung bisa diperoleh dari hasil studi Pemerintah yang baru- baru ini diterbitkan mengenai penduduk atas dasar asal negeri para pekerja. Ia mengkonfirmasikan bahwa ‘sebagian besar tenaga kerja Muslim di New South Wales dan Victoria bekerja menjadi ‘buruh pabrik’ (factory work). Selanjutnya, sebagai konsekuensi menurunnya manufaktur industri, kaum Muslim ini juga menghadapi kenyataan besarnya jumlah pengangguran secara relatif.

105Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.

114

Satu dari faktor-faktor utama di atas adalah masalah kompetensi dalam berbahasa Inggris. Latar belakang ekonomi kaum Muslim memberi pengaruh besar pada sikap mereka terhadap pendidikan dan Islam. g. Etnisitas Masalah-masalah yang timbul dari aspek etnisitas kaum Muslim muncul di tengah keberadaan dua kelompok Muslim di Australia seperti digambarkan dalam kasus mesjid Perth. Perbedaan-perbedaan berasal dari etnisitas di antara kaum Muslim merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi Muslim di Australia.106 Keanekaan etnik di dalam komunitas Islam di Australia tidak menjadikan mereka menjadi sebuah komunitas yang homogen dan kuat. Perbedaan-perbedaan bahasa menambah keanekaan dan membatasi cakupan interaksi sosial di antara kaum Muslim. Umpamanya, seorang Muslim Turki dan seorang Muslim Arab bisa hidup di daerah perumahan lingkungan yang sama, shalat berdampingan di mesjid yang sama, namun tidak mengadakan kontak sosial akibat adanya batasan bahasa. Ini juga terjadi pada Muslim yang lain. Pengetahuan bahasa Inggris sebagai sebuah bahasa umum sangat vital dalam hal ini. Namun seperti telah diuraikan sebelumnya, kompetensi berbahasa Ingggris merupakan kekurangan utama di kalangan kaum migran Muslim. Keanekaan etnik menciptakan masalah utama bagi Muslim Australia. Hal itu menimbulkan friksi, ketidak percayaan dan jurang komunikasi antar individu dan antar berbagai kelompok masyarakat. Sampai sejauh ini telah menimbulkan frustrasi dalam upaya mengorganisasi dan merencanakan kaum Muslim menjadi satu komunitas. Kelekatan emosi kaum migran pada kelompok etniknya yang tertentu lebih mengatasi sentimen Islami mereka. Akibatnya dalam banyak kasus, faktor etnisitas mendahului faktor agama. Hal ini telah menumbuhkan sebuah perasaan tidak percaya antara berbagai masyarakat khususnya dalam hubungan mereka dengan Dewan Negara dan organisasi AFIC. Umpamanya, seorang Turki pertama kali merasa menjadi seorang Turki baru kemudian menjadi seorang Muslim. Ia akan lebih

106 Wawancara penullis dengan Pengurus AFIC Victoria dan tokoh-tokoh masyarakat Islam sesudah shalat Jum’at, September 2000 di Melbourne, memperkuat pernyataan bahwa sampai saat ini orientasi kelompok Muslim Australia lebih kepada etnik daripada Islam itu sendiri.

115

memilih menjadi anggota masyarakat Muslim Turki daripada masuk dalam masyarakat Muslim lainnya. Berlawanan dengan ini adalah sebuah gambaran lain yang muncul dalam konteks yang lebih luas. Di sini kaum Muslim adalah bersaudara, karena kitab Qur’an menekankan pada kesatuan umat Islam (al-umma) Keyakinan inilah yang membawa mereka pada persatuan di depan masyarakat tuan rumah yang asing. Persaudaraan Islam menumbuh suburkan sentimen mereka dalam berbagi rasa dengan Muslim di seluruh dunia. Terlepas dari keanekaan internal mereka dalam hal etnisitas, mereka masih menganggap diri mereka sebagai bagian dari komunitas Muslim Dunia.107 h. Perilaku Religius dan Masalah Organisasi Salah satu masalah utama lainnya yang dihadapi kaum Muslim di negeri ini berkaitan dengan latar belakang agama mereka. Masalah yang serupa muncul di antara kaum Muslim sebagai minoritas di Inggris, Amerika, dan New Zealand. Ini adalah akibat dari kurangnya organisasi, koordinasi, kepemimpinan, dan perilaku terhadap Islam. Kekurangan pelatihan dalam hal organisasi dan kepemimpinan bisa ditelusuri ke belakang pada sejarah Islam yang tidak membedakan antara negara dan agama. Dalam agama Kristen masalah negara dan gereja diselesaikan melalui pemisahan dan penerimaan sekularisme. Gereja telah mengembangkan organisasinya sendiri. Sementara itu, dalam Islam penyesuaian seperti itu tidak terjadi. Dalam sebuah negara Muslim, tidak ada organisasi selain mesin negara untuk mengurus kebutuhan keagamaan. Oleh karena itu, ketika seorang Muslim tiba di sebuah negeri sekuler seperti Australia, ia menemui hal yang baru. Berdasarkan pengalaman masa lalunya di sebuah negara Muslim, ia mengharapkan bahwa negara akan memberi perhatian pada kebutuhan keagamaannya. Ketika hal ini tidak terjadi, seorang akan merasa diabaikan dan merasa diperlakukan secara diskriminatif. Kedua, kurangnya kepemimpinan organisasi yang menempatkan kaum Muslim dalam situasi tak menguntungkan ketika sampai pada masalah bagaimana

107Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 67.

116

mengorganisir diri mereka sendiri dan menyediakan fasilitas untuk kebutuhan beragama.108 Pandangan di atas menggambarkan bentuk organisasi yang dibutuhkan kaum Muslim dalam situasi minoritas. Namun demikian, organisasi Muslim di Australia semakin berkembang dan berusaha untuk memayungi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Perilaku yang diperlihatkan kaum Muslim terhadap pendidikan juga menimbulkan masalah penyesuaian. Kondisi ini tidak terlepaskan dengan latar belakang mereka yang berasal dari daerah pedesaan (rural). Kaum Muslim di Australia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang berpandangan moderat dan fleksibel dan yang telah melakukan penyesuaian-penyesuaian di negeri tuan rumah; dan mereka yang konservatif, tidak fleksibel dan dengan memegang teguh Islam tanpa berdarakan pada nilai-nilai dasar Islam. Hampir semua dari kaum Muslim dengan pandangan yang konservatif ini telah bermigrasi dari negeri-negeri di mana Islam telah dimodernisir atau dikalahkan, seperti Turki, Mesir, Albania, Yugoslavia, dan Libanon. Pada umumnya mereka tidak mam[pu menyerap perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat baru dan asing bagi mereka. Aspek signifikan lain tentang perilaku religius kaum Muslim berkenaan dengan interpretasi mereka tentang ideologi keislaman. Seperti diungkapkan oleh Doueihi (1979:11) ‘Muslims in Australia differ in many ways, icluding interpretation of the Koran’ (“Muslim di Australia berbeda dalam berbagai cara, termasuk interpretasi kitab Qur’an). Hendaknya dicatat bahwa keanekaan interpretasi ideologi kebanyakan bersumber dari perbedaan latar belakang etnik mereka. Bagi kaum Muslim di Australia hal ini telah menjadi sebuah faktor yang amat krusial karena ia menambah perbedaan lain pada mereka di samping faktor bahasa dan kebangsaan.109

2. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Masyarakat Australia

108Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 73.

109Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 73. Lihat juga Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 207.

117

Lepas dari fakta bahwa seolah-olah Australia adalah sebuah negara yang mayoritas memeluk agama Kristen, ia adalah negara sekuler dan pada umumnya minat pada praktek ibadah keagamaan sangat kecil. Dalam interaksi sosial, kaum Anglo-Celtic atau Euro-Australia jarang bertemu dengan kaum Muslim kecuali pada kesempatan-kesempatan khusus. Mereka menemui kelompok Muslim sebagai individu yang mereka identitaskan sebagai ‘orang Asia’, seperti orang Indonesia, Pakistan, Filipina, atau Cina. Denominasi agama pada tingkat pergaulan yang demikian tidak selalu relevan. Etos publik Australia secara menyeluruh bersifat sekuler. Merujuk kepada Tuhan di depan umum dianggap hal yang memalukan. Kaitan dengan agama dilepaskan dari semua formulir lamaran kerja dan tidak perlu diindikasikan dalam formulir sensus nasional --afiliasi keagamaan bisa diindikasikan untuk tiket masuk ke rumah sakit supaya pelayanan yang tidak melanggar agama bisa diberikan atau ritus pemakaman yang pantas bisa dilaksanakan. Di Australia praktek agama adalah masalah pribadi, lepas dari ritus-ritus sewaktu-waktu seperti pembacaan doa pada Tuhan pada pembukaan sidang Parlemen, dan bahkan bisa dianggap sebagai bukti ketebelakangan sosial dan keterbelakangan intelektual tertentu. Sebagian kecil orang Muslim merasa nyaman dengan arus utama komunitas Australia yang sekuler. Partisipasi aktif bisa bervariasi mulai dari sekedar identifikasi sebagai seorang Muslim sampai partisipasi penuh dalam kegiatan sosial dan keagamaan komunitas. Beberapa di antaranya tidak tertarik, sedangkan yang lain, menghadapi tantangan kekosongan agama mereka dengan menemukan kembali sebuah identitas Muslim yang telah mati suri. Bagi banyak orang Muslim, pengalaman hidup dan bekerja dalam apa yang secara publik disebut sebuah masyarakat sekuler menghadirkan masalah yang nyata. Islam adalah sebuah agama dengan sebuah peraturan ritus yang memiliki simbol-simbol sebagai representasi komunitas. Jadi, isu pelaksanaan ibadah agama muncul tak terelakkan, termasuk shalat, puasa, berpakaian, dan peraturan yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Islam mempunyai kalendar 12 bulan menurut perhitungan bulan (Kamariyah) nya sendiri yang ditandai dengan hari-hari tertentu yang sakral dan

118

upacaranya sendiri. Praktek-praktek seperti ini bagian dari identitas Muslim sebagai ‘sebuah masyarakat yang terpisah’. Bagi sebuah dunia yang sekuler, atau bahkan bagi tradisi agama yang tidak begitu banyak mempunyai aturan ritual bisa menimbulkan rasa hormat atau bisa menimbulkan penolakan.110 Lima kali ritus shalat setiap hari, puasa, dan hari-hari besar Islam dalam kehidupan komunitas Muslim memberi implikasi pada tempat kerja. Melalui wawancara dengan responden Muslim, Bouma melaporkan bahwa sering para pekerja dan rekan sekerja memberi respon pada masalah keagamaan ini dengan rasa hormat yang meningkat pada pekerja Muslim dan pada Islam, walaupun sukar meyakinkan sejauh apa mereka bisa mewakili kelompoknya.111 Tanpa suatu pengakuan yang layak di tempat kerja tentang cara hidup kaum Muslim, mereka akan merasa menjadi anggota kelompok pinggiran di Australia. Festival tradisional Kristen Natal dan Paskah ditandai sebagai hari libur umum masyarakat Australia tradisional sebagai hal yang secara agamis diangap netral. Namun ini tidak membantu kaum Muslim yang mempunyai hari-hari perayaan agamanya sendiri. Menunda waktu kerja harian sejenak untuk melakukan shalat adalah sebuah masalah baru bagi pihak majikan. Masalahnya bukan hanya soal waktu, tetapi juga kebutuhan tersedianya sebuah ruang pribadi khusus untuk melakukan shalat, juga fasilitas lain untuk melaksanakan penyucian (wudhu) bagi kaum perempuan dan laki-laki, yang memerlukan saluran air khusus.112 Puasa menimbulkan masalah yang lebih besar. Hal itu mengesankan sebuah beban yang berat, terutama selama bulan-bulan musim panas ketika siang hari rata- rata berlangsung selama sampai tujuh belas jam untuk berpuasa, membuatnya semakin berat dengan suhu udara tang tinggi. Ini menuntut beberapa keringanan atau setidaknya pengakuan di pihak pengelola managemen perusahaan. Meskipun

110Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 207. 111Anthony H. John and Abdullah Saeed,, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 208. Lihat juga Gary D. Bouma, Religiuos Tolerance in Australia, The World Conference on Religion and Peace, 1995, h. 27. 112Masih banyak para pemilik pabrik yang mempekerjakan penganut Islam yang tidak mau tahu tentang peranan dan makna hari-hari libur bagi kaum Muslim. Namun sebagian lagi sangat toleran dan menganggap hal itu secara moral dan integritas akan meningkatkan produktifitas kerja.

119

peraturan-peraturan Fikih mengenai puasa mempunyai kelenturan yang realistis, bagi kebanyakan orang Muslim, puasa merupakan hal yang harus diterima, tak peduli betapapun besarnya kesulitan yang timbul. Akhir puasa merupakan salah satu perayaan besar dalam kalendar Muslim. Hari itu dan perayaan yang menandai puncak upacara haji di Mekkah merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup komunitas Muslim, dan ketidak mampuan berperan dalam upacara uitu, apapun alasannya, akan merusak kehidupan keluarga dan menyebabkan kehilangan rasa tenteram secara psikologis. Pekerja-pekerja Muslim membutuhkan berpartisipasi dalam ritus-ritus dan festival ini tanpa mengalami kehilangan atau kerugian keuangan. Persyaratan makanan menimbulkan sebuah masalah. Tidak semua kantin di tempat kerja yang dapat menyediakan daging yang halal dan meskipun ikan, telur, dan porsi vegetarian tersedia. Bagi mereka, kedekatan dengan piring berisi babi dengan piring yang bisa mereka makan sudah menimbulkan persoalan. Alkohol memainkan peran besar dalam kehidupan sosial kebanyakan orang Australia selama acara rekreasi dan relaksasi setelah kerja. Bentuk gaya hidup ’berteriak’ saat meminta minuman merupakan bagian penting dalam ikatan sosial. Sementara minuman non alkohol dan kumpul bersama-sama dalam keadaan setengah ’mabuk’ sebagai bagian dari effek alkohol merupakan hal yang sukar diterima orang Muslim.113 Kemudian, ada lagi soal pakaian. Secara umum, hal ini lebih menyangkut perempuan daripada kaum laki-laki. Bagi beberapa perempuan, suatu penutupan total tubuh selain bagian wajah atau tangan dianggap sebagai tanda komitmen pada Islam dan merupakan suatu kesadaran. Gaya berpakaian ini bisa tampak terlalu merupakan dandanan yang tidak bisa ditolerir, secara potensial mengasingkan calon majikan atas dasar kecurigaan atau melalui perhatian bahwa umum akan melihatnya sebagai hal yang memalukan. Situasi ini berulang ketika anak-anak pergi ke sekolah. Para orang tua ingin melihat anak-anak mereka mendapat kesempatan melakukan shalat dengan fasilitas

113Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, Departement of Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and Australian Multicultural Foundation in Assotiation with The University of Melbourne, 2004, h. 52.

120

untuk wudhu, dan bahwa makanan halal bisa tersedia. Beberapa isi roti sandwich yang paling populer di kalangan anak-anak Australia termasuk produk daging babi. Masalah akan muncul dalam keikut sertaan dalam kegiatan sosial seperti kunjungan ke McDonald’s, ekskursi, atau barbecuqes, atau tidur dengan teman. Bagi para gadis yang telah mencapai usia pubertas, masalah bisa menjadi runcing: apakah mereka harus ‘menutup‘ atau berada dalam kelas campuran, pakaian bagaimana yang harus mereka pakai untuk olah raga, atau bila mereka harus berenang dalam acara gabungan laki-laki dan perempuan. Anggota komunitas Muslim lebih merisaukan hal- hal itu bagi anak-anak mereka daripada untuk diri mereka sendiri, karena anak-anak membutuhkan dukungan dan perlindungan keimanan mereka dan sangat rapuh tidak seperti halnya orang dewasa. Sejumlah sekolah ada yang menyediakan fasilitas yang diperlukan. Beberapa guru meminta pedoman bagaimana caranya agar anak-anak Muslim bisa berintegrasi di sekolah dan membantu mereka agar tahu di mana shalat bisa dilaksanakan. Tak ada formula yang instan untuk menyelesaikan isu-isu ini, terutama disebabkan kaum Muslim merupakan minoritas memiliki cara mereka sendiri dan ada perbedaan-perbedaan di kalangan Muslim sendiri tentang bagaimana mereka seharusnya diperlakukan, Ada yang lebih suka berdekatan dengan komunitas Australia yang lebih besar serta memiliki sikap terbuka dan percaya diri pada dunia luar. Ada yang merasa membutuhkan suatu ruang Islami khusus dalam komunitas mereka sendiri, di mana mereka dapat menjadi diri mereka sendiri. Beberapa lebih suka menginterpretasikan secara luas, yang lainnya lebih cenderung pada norma- norma yang lebih konservatif, norma-norma sikap yang diatur dalam tradisi Islam tertentu. Semua, satu sama lain, mencari cara sendiri untuk menjawab situasi yang baru, namun tetap menjaga apa yang disebut sebagai inti nilai-nilai transendental Islam. Yang cukup menghebohkan adalah isu tentang nikah antar agama, terutama pernikahan seorang perempuan Muslim dengan seorang non Muslim, yang mempunyai risiko perpecahan keluarga yang tak dapat disatukan kembali.114

114Michael Humphrey, ‘Islam, Immigration and the State: Religion and Cultural Politics in Australia’, dalam Alan Black (ed.), Religion in Australia: Sociological Perspectives, Allen and Unwin, Sydney 1991, h. 179. Lihat juga Michael Humprey, Islam: A Test in Multiculturalism in Australia, Asian Migrant, vol. II, no.2, April-June, 1989, h. 49-51.

121

Pertautan orang Muslim dan non-Muslim Australia merupakan suatu proses yang terus berlangsung. Banyak dari apa yang telah berlalu sebagai dokumentasi tentang kemajuan atau tidak adanya kemajuan terkadang berdasarkan hasil wawancara, yang bisa atau bisa juga tidak mewakilkan yang sebenarnya, atau bersifat anekdot saja. Namun, dalam beberapa kasus, ada suatu dasar hukum perlindungan bagi agama minortitas. Dinas Pelayanan Umum Negara Bagian New South Wales (The New South Wales Public Service), umpamanya, telah menerbitkan sebuah edaran pada kepala-kepala departemen untuk meyakinkan bahwa tidak ada satu orang pun yang ditolak menggunakan waktu untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Banyak majikan swasta juga bersikap yang sama. 3. Persepsi Masyarakat Australia terhadap Komunitas Islam Penilaian populer tentang agama-agama di Australia bisa mengundang sikap positif, tetapi sebaliknya bisa juga bersifat negatif dan streotif. Buddhisme diangga penganut agama yang secara intelektual necis dan terdidik dan ada apresiasi terhadap tapak-tapak sakral dan roh-roh serta perlakuan hormat pada lahan dan alam spiritualitas Aborigin. Islam, di pihak lain, secara luas dipandang melalui kacamata yang stereotip dan pindah agama ke Islam (berlawanan dengan Buddhisme, umpamanya) dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Ada rasa simpati sampai batas tertentu pada beberapa aspek tertentu dalam sufisme. Ada sebab lain yang menimbulkan sikap di atas terhadap Islam. Islam sebagai sebuah stereotip yang sarat politik berdasar pada citra media yang mendominasi kesadaran publik. Tidak disadari secara luas bahwa Islam berarti penyerahan diri pada kehendak Tuhan dalam segala hal, seorang Muslim adalah seorang yang melakukan sikap penyerahan diri dan bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral serta kebajikan sosial seperti yang dicontohkan dalam al-Qur’an. Ini bukan untuk menggambarkan bahwa ada rasa permusuhan pribadi yang meluas terhadap pribadi- pribadi Muslim di Australia, namun memang cukup ada rasa kebencian terpendam mengenai hal ini. Ada keberatan-keberatan yang disuarakan terhadap pertumbuhan pendidikan Islam di Australia, sebagian tentunya, atas dasar semakin membesarnya pendanaan bagi sekolah-sekolah swasta dan akhirnya akan mengganggu pembiayaan

122

sistem sekolah pemerintah.115 Mereka yang merasa syak wasangka tentang multikulturalisme pada umumnya juga tidak senang dengan diberlakukannya dukungan negara pada sekolah-sekolah agama. Ada yang merasa bahwa kritik terhadap Muslim dan sekolah Islam bisa menjadi bagian laten dalam diskursus rasis, menciptakan suatu bentuk masyarakat yang kurang toleran dengan menuduh mereka yang tampil beda secara kultural. Hanifa Deen memberi sejumlah contoh rasa permusuhan itu pada tingkat pribadi.116 Ia menceritakan tentang sepasang manusia yang ditemuinya di sebuah kafe di Sydney ketika mengetahui bahwa ia sedang menulis buku tentang Muslim di Australia, mulai mencela sikap arogansi permpuan Muslim yang mengenakan cadar. ‘Memangnya mereka pikir mereka itu apa?’ ‘Mereka kira mereka tinggal di mana?’ Hanifa Deen menceritakan lagi pengalaman seorang perempuan Libanon, yang secara teratur menggunakan cadar, mendaftar di sebuah kursus pembangunan masyarakat di sebuah college di daerahnya. Dia menyangka akan bisa bertemu dan berbicara dengan perempuan non Muslim. Namun tiap kali dia datang ke kelas, dia ditanyai pertanyaan- pertanyaan seperti, ‘Bagaimana rasanya memakai tas gantungan itu?’ ‘Apakah suamimu tidak ingin mengambil isteri kedua , kemudian yang ketiga, waktu kamu mulai menjadi tua?’ atau ‘Apa kamu memakai itu di tempat tidur?’ Dalam sebuah kelas diskusi mengenai hubungan kaum gay dan masalah adopsi, ia mengatakan bahwa ia bisa membayangkan sepasang orang lesbian yang mengangkat anak, namun mendapat kesulitan dengan sepasang laki-laki yang melakukan hal yang sama. Seorang teman kelas yang lesbian kemudian keluar, melaporkan apa yang telah dilihatnya pada pimpinan college, dan sang dosen menyuruh dia membaca peraturan- peraturan tentang bagaimana menghargai kepercayaan orang lain’. Di pihak lain, orang Muslim kerap dianggap sebagai sekte ’minoritas pinggiran’ dengan segala konotasi bahwa asosiasi seperti itu menggambarkan, ketiadaan sejarah atau peradaban; di pihak lain, mereka bisa dilihat sebagai kelompok

115Lihat juga Stephen J. Rimmer, The Cost of Multiculturalism, h. 11. 116Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 226. Lihat juga Hanifa Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, the AustraliaCouncil, Sydney, 1995, 12-13.

123

yang potensial menjadi anggota komplotan konspirasi internasional yang berbahaya. Nilai-nilai yang dicontohkan dalam kehidupan Muslim berlalu tanpa diperhatikan. Di bawah sadar, orang Muslim juga menanggung derita akibat kecurigaan orang Australia yang cukup meluas mengenai segala sesuatu yang bukan Anglo/Celtic/Eropa Utara, yang dalam saat-saat tegang, bisa meletus secara tak diduga. Perang Teluk, peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, dan Bom Bali 2002, merupakan beberapa contoh. Hal ini merupakan beberapa kasus khusus, tetapi telah memprovokasi sikap irasional dalam kantong tertentu masyarakat Australia, termasuk di beberapa distrik di Sydney, ketika beberapa orang yang mungkin keturunan Arab muncul kemudian disiksa di tengah jalan.117 Kecurigaan masyarakat Australia terhadap Islam dan kaum Muslim sebagian dipengaruhi oleh informasi-informasi media Australia baik cetak maupun elektronik yang memberikan citra negatif dan bernada menghasut. Di antara pencitraan itu adalah Islam sebagai sebuah kata benda abstrak, digunakan sebagai sebuah istilah portmanteau (bermakna ganda) untuk menghindari reaksi kecurigaan dan ketakutan, tanpa merujuk pada Islam sebagai agama yang mempunyai komitmen dan dedikasi pada nilai-nilai agung dan kemanusiaan. Dan dalam kenyataan, mereka menganggap bahwa ada sejumlah kelompok Muslim ’eksklusif’ yang memiliki kebencian ideologis pada masyarakat Australia (dan Kristen), yang dalam berbagai kesempatan, menyatakan pandangannya.118

Sikap Positif pada Islam dan Muslim Sejauh yang terkait dengan gereja-gereja arus besar di Australia, sektarianisme dari paruh pertama abad ke-20 sebagian besar digantikan oleh kesadaran tentang

117Kasus terakhir adalah peristiwa penganiayaan terhadap sekelompok pemuda keturunan Asia di pinggir sebuah pantai kota Sydney yang kemudian menimbulkan gelombang protes terhadap sikap yang rasis. Memang sikap masyarakat Australai sangat mudah terpancing oleh peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan Islam dalam konteks baik domestik maupun internasional. Di lain pihak, sebagian dari mereka juga akan membela, bila ada peristiwa yang menyangkut masalah kemanusiaan dan keadilan, seperti penyerangan Israel terhadap kamp-kamp Palestina dan Libanon.

124

keberadaan satu sama lain sebagai komunitas yang dihormati, bukannya yang disaingi, dalam kaitan perjalanan keimanan. Kehangatan dan persahabatan sebagian besar menggantikan persaingan dan kebencian lama. Perubahan sikap ini meluas ke tradisi-tradisi agama di luar Kristen. Bagi banyak orang, termasuk Yudaisme dan juga secara keseluruhan, dengan tumbuh dan pentingnya komunitas imigran dari luar Eropa, agama-agama seperti Islam, Hindu, Buddha, Sikh, dan semacamnya – menjadi kepercayaan baru selain dari apa yang sudah menjadi arus besar Australia selama ini. Gambaran ini juga terjadi di beberapa gereja negara-negara Eropa dengan meningkatnya kesadaran atas eksistensi kaum imigran sebagai kelompok minoritas. Hal ini bisa dilihat poster-poster di depan pintu gereja yang mengumumkan penyelenggaraan kuliah tentang Islam: ‘Kenalilah tetanggamu’ (Get to know your neighbours). Banyak komunitas Kristen di Australia dewasa ini berusaha untuk mengerti dan menghargai teologi, nilai-nilai moral, dan disiplin sosial dalam ajaran Islam. Mereka merujuk pada orang Muslim sebaga anggota dari suatu komunitas monoteisme yang lebih besar, mengakui orang Muslim sebagai bagian dari umat Tuhan dalam apa yang disebut doa penawar (bidding prayers) dalam liturgi Minggu yang mengangkat suatu komunitas yang memperoleh berkah dari Tuhan. Bilamana ada tamu Muslim dalam acara-acara yang diikuti komunitas campuran agama seperti acara pernikahan, pembaptisan, dan pemakaman, ayat-ayat dari Qur’an juga terkadang dikumandangkan. Sejumlah organisasi yang bertujuan untuk mencapai pengertian agama secara timbal balik, memberi kaum Muslim semacam perasaan terikat dengan Australia. Di antaranya adalah the World Conference on Religion and Peace (WCRP), yang telah merintis peran mendorong pemberian dukungan kelompok pada kaum imigran baru. Organisasi ini menyelenggarakan sejumlah konferensi dan mengeluarkan berbagai booklet yang memberi dasar-dasar pengertian antar agama dan penghormatan satu sama lain dalam hal-hal yang praktis, umpamanya membantu pemukiman masyarakat dan memeriksa kelayakan persiapan pemerintah untuk pendatang baru. Judul-judul publikasi mereka menunjukkan tujuan organisasi: With Other Faiths—A Guide to

118Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.

125

Living with other Religions; Religious Pluralism in a Liberal Society; Faith to Faith – Belief in a Pluralist Society and Guidelines on Dialogue with People of Living Faiths.119 Booklet yang pertama menggambarkan dua inisiatif daerah, satu di antaranya berkaitan dengan hubungan masyarakat di kota Springvale, dekat kota Melbourne. Satu lagi, sekelompok pemimpin agama mengorganisir sejumlah pertemuan dalam bentuk rapat bulanan secara teratur. Yang lain berupa serangkaian program diskusi diselenggarakan di mesjid Preston di Melbourne. Salah satunya, dipimpin seorang Muslim dan seorang Kristen, dengan mengambil tema ‘Kepahaman Agama sebagai Keanggunan Manusiawi’ (Religious Understandings of Human Dignity). Pimpinan mesjid dan pendeta lokal serta anggota kongregasi bersama membuat sebuah komitmen untuk mendukung pertemuan-pertemuan ini. Di New South Wales dan Victoria, pimpinan-pimpinan komunitas agama melakukan pertemuan dua kali setahuan untuk menbicarakan isu-isu lokal seperti rasisme dan pencemaran rasial, dan di Victoria, sekelompok lain menggarap pendekatan bersama pada euthanasia (pelaksanaan kematian secara lunak pada kasus penyakit yang tak tersembuhkan). Satuan-satuan antar agama, atas nama UNICEF, membahas isu yang berkaitan dengan anak-anak di Pasifik dan Asia Tenggara. Sekitar enam tahun yang lalu, WCRP mengundang seorang profesor Malaysia, Chandra Muzaffar, ke Australia untuk memberi sambutan pada pertemuan tentang ‘Agama dan Kehormatan Manusia: Hak-hak dan Tanggung Jawab’ (Religious and Human Dignity: Rights and Responsibilities). Namun demikian, hingga saat ini tidak banyak pertemuan yang ditujukan pada dialog teologis, sebagian disebabkan pada kenyataan bahwa komunitas Muslim di Australia pada saat ini lebih memusatkan perhatian pada isu-isu survival dan juga kalangan cendekiawan kelas menengah Muslim. Meskipun jumlahnya masih kecil, namun ada pertumbuhan kesadaran di Australia tentang nilai-nilai dan kepahaman agama dalam teologi tradisi agama minoritas, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan dan nilai sosial yang tercermin dalam tradisi budaya mereka. Satu indikasi dari hal ini tampak dengann masuknya tema-

119Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, in Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 211 . Lihat juga Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.

126

tema dan motif-motif budaya sastra Islam dalam literatur Australia berbahasa Inggris. Pengertian terhadap unsur-unsur biasa dalam tradisi beragam ditanamkan melalui sistem pendidikan, dan para guru agama mempunyai tanggung jawab khusus, bersama dengan para pengarang buku teks, atas penyelenggaraan kuliah-kuliah di berbagai tingkatan. Ini dilakukan di luar batas toleransi kawasan keragaman sampai pada suatu penyadaran bahwa ada unsur-unsur yang bisa diendapkan bersama.

127

BAB IV: DINAMIKAPEMBANGUNAN KOMUNITAS ISLAM AUSTRALIA

Penggambaran yang begitu mencolok tentang perayaan Idul Adha di Lakemba tahun 1994 dilukiskan oleh A.H. John dan Abdullah Saeed, dalam tulisannya tentang kehidupan minoritas Muslim Australia. Keduanya mengatakan, bahwa betapa hidupnya dinamika komunitas Muslim di Australia dan peran dari salah satu mesjid yang paling dikenal di kawasan Australia.120

‘Belum pernah saya ikut dalam perayaan Idul-adha yang begitu meriah seperti yang diadakan di Lakemba. Saya tertegun melihat banyaknya pengunjung, suara-suara dan dengungan di udara. Panorama itu menampung berbagai kenangan tadinya tekubur dalam ingatan saya. Saya bergegas memanggil kenangan nostalgia yang kikuk, begitu ingatan tentang masa muda muncul. Saya menikmati ritus pembacaan doa dan dorongan emosi yang senantiasa menempel dari perbauran aneh antara kerapuhan, penyerahan dan solidaritas. Orang-orang telah mulai berkumpul sejak terbitnya matahari.... Menjelang jam 7 pagi Jalan Wangee dipenuhi kerumunan orang yang bergembira ria. Kerumunan manusia meluber sampai ke taman depan rumah-rumah dan ke balkon-balkon atau menjorok ke luar dari tembok-tembok pembatas. Semua ingin bersama merayakan Idul Adha. Besoknya,koran-koran melaporkan bahwa lebih dari 7.000 orang memenuhi mejlis Lakemba . . . Saya terpesona. Dari titik yang menguntungkan di seberang mesjid, saya bisa melihat dari atas kepala-kela yang berseliwerab. Pemandangan itu jauh berbeda dari apapun yang pernah saya bayangkan. Di dalam mesjid, aspek-aspek keagamaan dan politik kehidupan Lakemba mulai terkuak. Para pembesar, pemimpin kelompok dan politisan memberi hormat (dan terlihat memberikan penghormatan itu), dan ada doa-doa serta khotbah- khotbah yang khusuk. Namun di luar yang terlihat adalah sebuah festival (keramaian) – sebuah keramaian kaum muda di luar suasana kerja ditingkah gelombang demi gelombang berisi tawa dan

120Penulis juga menyaksikan hal yang serupa ketika dipercaya menjadi khatib dan imam pada shalat ‘Iedul Fitri’ di Monash University, Melbourne, 2000, yang dihadiri oleh warga Muslim Australia yang datang dari berbagai latar belakang negara.

128

celotehan orang-orang. Magnit yang begitu mempesona dan nyata dari peristiwa itu betul-betul tak dapat tak terkirakan’121

Komunitasnya sendiri tidak begitu besar, begitu juga pembentukannya sebagai salah satu dari agama yang hidup di benua itu, tidaklah berjalan mudah. Seperti halnya penganut agama monoteistik yang berimigrasi ke berbagai bagian dunia non-Muslim, peralihan selalu dihadapi dengan penuh kesulitan, belum lagi masalah kecurigaan dan tidak adanya penerimaan yang baik dari pihak warga negara asli. Muslim di Australia di tahun 2000 membentuk sebuah jaringan masyarakat yang kohesif dan membentuk sebuah kelompok masyarakat yang berbeda di tengah populasi yang beragam. Di tahun 2004, hampir 300.000 orang Muslim menjadi residen di Australia, yang merupakan lenih dari sekitar 1,5% dari populasi. Keakuratan jumlah ini belum pasti, sebagian dikarenakan adanya keengganan kaum imigran dari bagian dunia tertentu untuk memberikan informasi yang lebih bersifat pribadi tentang diri mereka sendiri dibanding sebatas yang diperlukan undang- undang. Angka-angka pengunjung mesjid dan keanggotaan dalam organisasi Islam menunjukkan bahwa jumlah 400.000 merupakan angka yang lenih realistis. Namun angka 300,000 pun sudah menunjukkan Islam sebagai agama terbesar di Australia setelah Kristen, meskipun lebih sedikit dalam jumlah dibanding hampir tiga juta orang yang menyatakan diri tidak menganut agama, lebih dari 16% penduduk. Angka ini hanya memberi sedikt informasi tentang atau memberi gambaran pada dimensi kemanusiaan komunitas Muslim di Australia, tantangan-tantangan yang mereka hadapi, dan kepedihan serta kegembiraan yang mereka alami. Ini perlu dilihat dalam konteks latar belakang dan sejarah migrasi Muslim, struktur Australia sebagai sebuah nation-state, dan penyebaran kaum Muslim di dalamnya. Australia terdiri dari 6 negara bagian yang luas dan dua teritorial. Populasinya sebagian besar perkotaan (urban), dan kesetiaan dinyatakan dalam persaingan antara ibukota-ibukota negara bagian dan derah teritorial: Adelaide, Brisbane. Canberra (Ibu Kota Negara Federal), Darwin, Hobart, Perth, Melbourne, dan Sydney. Tiap negara

121Anthony H. John, Anthony and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yazbeck

129

bagian memiliki sejumlah besar kota-kota kecil, desa-desa, dan pemukiman di pedalaman. Sydney dan Melbourne dianggap hampir meliputi sepertiga pupulasi Australia dan mendekati menjadi megacities dengan kebanggaan dan karakter korporasinya. Kota-kota ini juga merupakan gabungan satuan-satuan yang terdiri dari bagian-bagian kecil identifikasi dan kesetiaan, kerap dibedakan berdasarkan etnisitas, kelas sosial, profesi, pola pekerjaan, dan status sosial penduduknya. Di dalam celah- celah struktur inilah jumlah 1.5 persen kaum muslim menempatlkan diri mereka. Meskipun tidak besar, angka ini jelas bila dibandingkan dengan angka sensus tahun 1947,122 di mana tidak ada orang Muslim terindikasikan, dan hanya 0,5 persen dari populasi yang tercatat tidak masuk golongan berdoniminasi Kristen. Baru di tahun 1971 kaum residen Muslim dicatat, jumlah mereka mencapai jumlah 0,2 persen dari jumlah populasi. Angka tahun 1996 yang lebih 1,1, persen mencerminkan kurva pertumbuhan yang cukup berarti. Sama pula pentingnya, perorangan yang ditampilkan dalam anggka di atas itu tidak tersebar secara merata, dan dalam hal inilah pembagian Australia ke dalam negara-negara bagfian dan kota-kota menjadi signifikan. Separuh orang Muslim Australia ada di Sydney, 32 persen di Melbourne, dan hanya 4,3 persen tinggal di luar kota-kota besar. Dibandingkan dengan sisa populasi, kaum Muslim menduduki 2,1 persen dari jumlah penduduk Sydney dan 1,6 persen dari penduduk Melbourne. Namun di beberapa distrik Sydney, orang Muslim mencapai 5 persen dari populasi, dan, dalam jumlah kecil, sampai dengan 10 persen, cukup besar untuk dapat dilihat dan diidentifikasikan sebagai sebuah komunitas Muslim. Kenyataannya mereka telah menciptakan sebuah kepentingan massa kritikal, sebuah kenyataan visual, sebuah demografi, secara sosial dan industrial, dan berkapasitas membuat seorang individu dan memberi kontribusi nyata dalam pembentukan sebuah Australia. Inipun belum terhitung sejumlah orang Muslim di Australia yang menduduki posisi strategis sebagai profesional. Banyak dari orang Muslim hanya mengadakan hubungan utama dengan rekan sejawat dalam profesinya saja, sedangkan hubungan mereka dengan

Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 195.

130

orang Muslim lainnya mungkin masih dalam tahap marginal atau bahkan sangat insidental terkait dengan etnisitas atau komitmen keagamaan mereka. 123 Menurut sensus tahun 1996, 72,161 atau 35,9 persen komunitas Muslim Australia yang lahir di negeri ini merupakan kelompok tungal terbesar.124 Mereka yang dilahirkan di luar negeri, sebagian besar lahir di Libanon, 27,125 (13,5%), diikuti Turki pada angka 22,270 (11,1%). Dalam susunan besaran angka menurun, 6,939 dari Indonesia, 6,651 dari Bosnia-Herzegovina, dan 5,221 dari Iran, diikuti orang Muslim yang lahir di Fiji, Siprus, Malaysia, Mesir, Makedonia, India, dan Singapura, sampai Amerika Serikat, diwakili jumlah sampai 242. Mereka yang lahir di Australia sebagian besar tetap menjaga komunitas etnik dengan orang tua mereka. Tidak semua merupakan anak-anak dari generasi pertama kaum migran, ada sejumlah kecil keluarga-keluarga Muslim hasil bentukan lama, demikian juga mereka yang berasal dari peralihan dari orang Australia. Namun karakteristik orang Muslim yang lahir di Australia relatif muda, stabil dalam kehidupan kekeluargaan, jumlah anak, dan tingkat perkawinan luar agamanya paling rendah di Australia merupakan indikator pertumbuhan komunitas Muslim yang kuat dan berlanjut, dan berakar Islam sebagai agama di Australia.125 Sementara itu, pertumbuhan komunitas Muslim Australia juga sangat beraneka. Headline surat kabar, stereotip, dan klise-klise populer tentang Islam menggambarkan bahwa di sana ada sebuah entitas tunggal Muslim, ketika dalam kenyataannya banyak komunitas-komunitas Muslim yang ‘merajut’ kesatuan Islam Australia.

A. Inkubasi Lembaga Kepemimpinan Munculnya kepemimpinan Muslim di Australia tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan pusat-pusat ibadat dan kegiatan sosial di mesjid-mesjid di satu pihak dan

122Philip Huges, ‘Australia’s Religious Profile’, dalam Bouma, Gary D. Bouma (ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Identity and Cultural Diversity, h. 29-30. 123Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, ‘Searching for Identity; Muslims in Australia’, dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, UNSW Press, Sydney, 2003, h. 3. 124 Angka-angka ini merupakan perkembangan dari data ABS 1991 125Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, ‘Searching for Identity; Muslims in Australia’, dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 5. ,

131

etnisitas di pihak lain. Kedua aspek telah mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin yang berusaha dan mengatur kebutuhan-kebutuhan umat Islam Australia dengan pembentukan berbagai lembaga atau organisasi baik dalam skala kecil maupun besar. Lebih dari 200 mesjid yang terpusat di perkotaan dan tersebar di berbagai kota yang sangat sedikit jumlah populasi Muslimnya, namun memiliki pemimpin masing- masing yang memainkan peran penting dalam membentuk kemusliman Australia, khususnya dalam bidang pendidikan agama.

1. Mesjid sebagai Pusat Agama dan Aktifitas Sosial Mesjid memiliki peran sentral dalam kehidupan sebuah komunitas Muslim baik dalam kehidupan sosial maupun ibadat. Mesjid menjadi pusat ibadat dan tempat ekspresi, interpretasi, penanaman, perayaan upacara-upacara keagamaan, dan praktek keagamaan. Ia menjadi sebuah rujukan komunitas dan menjadi alat identifikasi diri di ranah rumah yang baru.126 Sampai akhir tahun 1960-an, tidak cukup banyak kaum Muslim di Australia bisa mendirikan semacam lembaga-lembaga yang bisa mengatur dasar-dasar kehidupan Islami bagi komunitas. Muslim di Australia hanya punya sumberdaya di dalam ruang yang kecil untuk memulai dan memerlukan pembentukan sebuah tempat untuk diri mereka sendiri di antara komunitas lain dengan cara-cara hidup dan prioritas spiritual yang berlainan. Upaya membangun diri sendiri dan mendefinisikan identitas mereka sendiri, kerap harus dilakukan di tengah suasana kebencian terbuka di pihak orang Australia lainnya. Ada dua sumber dukungan dalam menghadapi tantangan ini. Pertama, pergantian (shfit) ideologi yang telah dikemukakan sebelumnya dari ‘assimilasi’ ke ‘multikulturalisme’. Kedua, dukungan yang diberikan komunitas Muslim dari luar negeri untuk membangun mesjid-mesjid dan fasilitas sembahyang, penyediaan imam, dan pembinaan faslitas pendidikan bagi anak-anak Muslim. Secara kebetulan, ini bersamaan dengan waktu ketika terjadi meledaknya harga minyak dan apa yang

126Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.

132

disebut ’petro-dollars’ untuk proyek-proyek bantuan yang melimpah; berbagai komunitas Muslim mengambil manfaat penuh kesempatan-kesempatan ini. 127 Gary Bouma memberi sebuah pandangan yang simpatik tentang mesjid-mesjid di Australia. Ia mencatat pada saat penulisan buku itu, ada lima puluh tujuh mesjid di negeri ini. Mesjid pertama yang dibangun mungkin di luar Adelaide tahun 1887 oleh orang Afgan; yang lainnya muncul di New South Wales sekitar 1891 di broken Hill. Sejumlah mesjid Australia berusia seratus tahun. Sebuah yang dibangun di ibu kota nasional Canberra selama tahun 1950-an sebagai tempat bagi staff diplomatik dasar kedutaan-kedutaan negara Islam dan mahasiswa Muslim dari luar negeri. Mesjid pertama di Sydney dibangun akhir tahun 1960-an; di Sydney dan New South Wales terdapat lebih dari dua puluh mesjid, sebagian besar dibangun sejak tahun 1968. Dari itu semua, yang terbesar dan bagi sebagian orang dianggap yang tercantik, adalah Mesjid Imam Ali di Lakemba, yang lain adalah Mesjid Raja Faisal, dibangun oleh Masyarakat Islam New South Wales.128 Kota Melbourne memiliki lebih dari dua puluh lima mesjid. Yang terbesar, di Preston, Victoria, dibuka tahun 1976 oleh Asisten Sekretaris Jenderal the World Muslim League disaksikan wakil pribadi Perdana Menteri Malcolm Fraser, yang kemudian menjadi Pemimpin Kelompok Oposisi Gough Whitlam, dan para pemuka agama, termasuk Archbishop Katolik Roma Melbourne. Peristiwa itu dianggap hal yang signifikan dalam pembangunan Australia sebagai sebuah negara dan diterima baik oleh pemerintah dan masyarakat, juga oleh agama yang lebih tua di Australia. Mesjid-mesjid ini sebagian besar merupakan hasil dukungan komunitas lokal, meskipun dalam beberapa kasus, bantuan datang dari pemerintah negara-negara Islam. (Lihat tabel 5).

Tabel 5: Estimasi Distribusi Terbaru Mesjid-mesjid di Australia129

127Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 210. 128Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 56-57

133

Teritori Ibu Kota Australia 1 New South Wales 28 Queensland 10 4 Tasmania 1 Victoria 29 7 TOTAL (2000) 80

Menurut data terakhir, seperti yang disebutkan Abdullah Saeed130, ada lebih dari 100 mesjid dan sejumlah besar fasilitas shalat lainnya di seantero Australia. Mesjid tidak hanya ada di Sydney dan Melbourne, tetapi semua ibu kota di Australia punya mesjid. Pada umumnya mesjid adalah non sektarian (tidak terikat pada satu sekte/aliran); artinya mereka tidak terikat ada satu kelompok aliran agama tertentu atau sekolah resmi tertentu. Biasanya, tiap orang Muslim, tak peduli apapun etnis, budaya, orientasi keagamaannya, atau sekolahnya, bisa datang dan melaksanakan shalat di mesjid mana saja. Pada suatu mesjid tertentu, memang terlihat terlihat praktek shalat Sunni berlangsung bersamaan dengan cara Muslim Shi’ah atau seorang dari Afrika sembahyang bersebelahan dengan seorang yang kelahiran Australia. Sebuah mesjid bisa dijalankan oleh sebuah masyarakat yang didominasi oleh sebuah kelompok etnik tertentu, seperti orang Pakistan, Bosnia atau Afganistan. Bagaimanapun, kegiataan berjamaah ini bukan dilakukan oleh hanya satu kelompok etnik. Orang Muslim yang berdiam di kawasan itu, tak peduli apapun latar belakang etniknya, biasanya datang ke mesjid setempat. Di Australia ada tiga jenis mesjid yang berbeda. Mesjid terbesar mempunyai beberapa fasilitas seperti, ruang kelas, sebuah toko buku, dan kantor-kantor. Ada juga

129Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck and Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206. 130Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53. Lihat juga Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 49. Micheal Humphrey, ‘Community, Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, Spectrum Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988, h. 258-259.

134

mesjid-mesjid kecil yang tidak punya fasilitas ekstra, dan lainnya ada ruang shalat, seperti pada ruang kerja dan di universitas-universitas.131 Persetujuan pembangunan mesjid tidak selalu mudah diperoleh. Beberapa orang mengeluh pada penguasa lokal, di antaranya karena masalah kemacetan lalu- lintas selama waktu shalat atau gangguan ketenangan di pagi hari karena suara azan. Di tahun 1995 sebuah gereja Prebysterian yang tidak dipakai di didistrik kota Sydney dibeli oleh sebuah organisasi Pusat Islam Bangladesh (the Bangladesh Islamic Centre). Dewan Daerah Bankstown, yang telah memberikan izin pembangunan gereja di tahun 1954, menolak pemanfaatannya sebagai mesjid. Di tahun 1998 masalah ini masuk ke Pengadilan Lahan dan Lingkungan (Land and Environment Court), yang mendukung penolakan itu, menegaskan bahwa, sebuah mesjid, meskipun juga sebuah tempat beribadah, bukan sebuah gereja, yang didefinisikan sebagai tempat memuja dalam tradisi Kristen. Penegasan ini berhasil ditentang atas dasar pihak hakim tidak mampu menilai definisi kamus secara lebih luas, di antaranya yang memasukkan sebuah mesjid atau sebuah kuil ke dalam pemaknaan kata ‘gereja’, dan karena itu, sejauh sebagai ‘gereja’ merujuk pada sebuah tempat untuk beribadah bukan sebuah struktur fisik, sehingga sebuah mesjid termasuk dalam deskripsi tersebut. Saat keputusan itu dibatalkan bertepatan dengan perayaan ‘Id al-Adha.132

2. Organisasi-organisasi Muslim Australia Etnik atau orang Muslim membentuk sejumlah kelompok masyarakat Islam, pusat-pusat dan perserikatan di Australia. Beberapa di antaranya berbasiskan etnik tertentu. Di tiap negara bagian, banyak kelompok masyarakat ini yang masuk dalam dewan Islam negara bagian, yang menjadi payung organisasi bagi masyarakat di negara bagian tersebut.

131Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53. 132Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck and Jane I. Smith (eds.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 203.

135

Di tahun 1960-an, upaya-upaya dilakukan untuk mengorganisir ikatan-ikatan masyarakat Muslim Australia dan sebuah langkah utama dalam proses mendirikan AFIS (the Australian Federation of Islamic Societies) sebagai sebuah organisasi nasional. Didirikan tahun 1964 oleh pemuka Islam seperti Fehmi al-Imam, Abdul Khaliq Kazi dan Ibrahim Dellal. AFIS bekerja sebagai organisasi payung yang mengkoordinasikan berbagai kegiatan Muslim yang penting. Organisasi ini mewakili kaum Muslim dari berbagai latar belakang etnik berbeda: orang India, Pakistan, Mesir, Libanon dan Turki semua berpartisipasi. Pada akhirnya AFIS bergabung ke dalam AFIC (The Australian Federation of Islamic Councils) pada tahun 1976. Semua Dewan Islam merupakan anggota dari organisasi payung nasional yang dinamai AFIC. Tidak semua kelompok di sebuah negara bagian masuk dalam dewan Islami negara bagian, karena sangat bersifat opsional (pilihan), sehingga sukar untuk mengatakan bahwa AFIC mewakili semua Muslim atau mayoritas masyarakat Muslim di Australia. Orang Muslim membentuk sejumlah kelompok masyarakat Islam, pusat-pusat dan perserikatan di Australia. Beberapa di antaranya berbasiskan etnik tertentu. Di tiap negara bagian, banyak kelompok masyarakat ini yang masuk dalam dewan Islam negara bagian, yang menjadi payung organisasi bagi masyarakat di negara bagian tersebut.133 Latar belakang pendirian AFIC terjadi di tahun 1973, ketika diselenggarakan sebuah Konferensi pemimpin-pemimpin Muslim dari negara-negara minoritas di Mekkah. Dr.M.Ali Kettani, seorang Muslim Marokko, ditunjuk sebagai Ketua Dewan Minoritas yang merekomendasikan agar Islam tidak dapat hidup di sebuah negara minoritas, kecuali bila hanya ada satu suara. Isi rekomendasi tersebut: 1. Komunitas Muslim harus mandiri (self-sufficient). 2. Islam harus diteruskan ke generasi kedua dengan menanamkan pendidikan.

133Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland dan Pengurus AFIC di Melbourne, 25 Oktober 2000.

136

3. Seharusnya ada pertukaran dan komunikasi antara satu negara dengan yang lain.134

Di tahun 1974, Raja Faisal dari Saudi Arabia mengirim sebuah delegasi terdiri dari Dr. Kettani, mewakili Liga Dunia Muslim (The World Muslim League) dan Mr.I.Mosley mewakili Saudi dari Kementerian Luar Negeri ke Australia dalam sebuah misi khusus. Tujuan utama delegasi ini adalah untuk menyelidiki pertikaian antara dua kelompok Muslim di Sydney yang masing-masing meminta bantuan dana bagi proyek masing-masing dan saling mengeluhkan yang lainnya. Setelah tiba di Sydney, delegasi mengadakan tur ke semua negara bagian kecuali Tasmania dan Northern territory. Dalam laporannya Dr, Kettani mengedepankan beberapa gagasan dan rekomendasi mengenai organisasi dan kesejahteraan kaum Muslim di Australia. Ia merekomendasikan 1,2 juta dollar bantuan untuk berbagai proyek bagi kaum Muslim di Australia dan mendesak pemerintah Saudi Arabia untuk mengakui AFIC sebagai satu-satunya organisasi mewakili Muslim di Australia. Ia juga menyarankan agar semua makanan halal yang di impor ke Saudi Arabia diberi sertifikasi oleh organisasi tersebut. Semua rekomendasi diterima oleh Liga Dunia Muslim dan pemerintah Saudi Arabia dan di tahun 1976 AFIC menetapkan anggaran dasarnya yang baru.135

Struktur dan fungsi Organisasi Muslim di Australia Dalam sebuah newsletter AFIC (1976) diumumkan reorganisasi dari struktur lama AFIS dengan dalih berikut ini. Organisasi kelompok-kelompok dan masyarakat yang ada sekarang kekurangan dalam koordinasi dan ini mempengaruhi kemajuan dan keberfungsian yang lancar dari organisasi Muslim dan tujuan-tujuannya.

134Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria, h. 51. Lihat juga Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 139. 135Zubaida Begum, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria, h. 51.

137

Di bulan April 1976, di sebuah Konperensi di Brisbane, wakil-wakil kaum Muslim dari semua bagian Australia bertemu dan memutuskan untuk menerima bentuk struktur organisasi dan administrasi berlapis tiga. Pada tingkat lokal masyarakat Islam berdasarkan lokalitas atau kebangsaan akan berfungsi independen untuk menyediakan sarana pelayanan bagi anggotanya. Pada tingkat tertinggi Dewan Islam di semua Negara Bagian akan membentuk badan Federal berupa the Federation of Islamic Councils. Masyarakat Islam lokal mempunyai sebuah jurisdiksi lokal. Dewan Negara bagian (the State Councils) yang terdiri dari masyarakat setempat yang mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan masyarakat di negara bagiannya masing- masing. Mereka memecahkan masalah-masalah di tingkat negara bagian dan bila perlu mewakili mereka di AFIC. Organisasi AFIC sendiri berjalan di tingkat Federal atau Nasional, menjadi pemimpin keseluruhan. Ia mewakili Muslim Australia pada Pemerintah federal dan organisasi Muslim luar negeri serta menerima semua bantuan dana. Fungsi utama AFIC adalah pembangunan mesjid-mesjid dan sekolah-sekolah dan sertifikasi makanan halal. Kegiatan yang terakhir ini memberi sumbangan berarti secara finansial pada organisasi. Daging dalam jumlah cukup besar di ekspor ke negara-negara Muslim seperti Arab Saudi, Malaysia, dan Indonesia. Sebelum di ekspor, daging itu harus diberi sertifikat halal, dan karena sertifikat itu diberikan atas dasar biaya tertentu, penghasilan cukup besar menjadi dana dari kegiatan ini. Demikian pula, AFIC bekerja sebagai kelompok advokasi Muslim kunci dengan pemerintah federal dan telah aktif berperan sejak tahun 1970-an. Kini, ketegangan- ketegangan di dalam masyarakat Muslim dan tantangan-tantangan pada otoritas AFIC telah melemahkan pengaruhnya. Lebih lanjut lagi, desentralisasi sertifikasi daging halal telah mengambil monopoli samar yang pernah dinikmati AFIC dulunya. Di luar itu, AFIC masih berfungsi sebagai organisasi payung bagi banyak orang Muslim, meskipun tidak lagi seberhasil dulu dalam membawa bersama beberapa masyarakat Muslim bebas untuk menciptakan sebuah gerakan bersatu yang kuat untuk melakukan lobi demi kepentingan kaum Muslim di Australia.136

136Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland di Melbourne, 3 Nopember 2000.

138

B. Kepemimpinan Kelompok dan Individual dalam Komunitas Islam

Munculnya kepemimpinan dalam komunitas Islam di Australia terkait dengan lembaga mesjid, keberadaan etnik, profesi, dan AFIC sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Bila ditelusuri lebih lanjut hingga saat ini, tidak ada satu pemimpin tunggal agama di seluruh Australia, meskipun ada upaya-upaya belakangan ini untuk mengembangkan hal itu. Di negara bagian Victoria dan New South Wales ada sebuah Dewan Imam (Board of Imams) yang mewakili semua atau mungkin hampir semua imam di negara bagian tersebut. Secara resmi, the Board of Imams ini mewakili pandangan-pandangan keagamaan masyarakatnya. Dalam prakteknya, secara relatif hanya sedikit imam yang aktif terlibat di Dewan itu. Ini berarti bahwa, meskipun ada pada tingkat negara bagian, belum ada kepemimpinan agama yang telah menyatu. Karena itu diperlukan waktu yang lama untuk menciptakan sebuah kepemimpinan agama yang menyatu di Australia. Salah satu kesulitannya adalah kenyataan terlalu beranekanya keberadaan umat Muslim secara etnik, agama, teologis, legal dan spiritual, dan biasanya sulit untuk menyetujui satu orang atau satu badan sebagai perwakilan resmi pandangan-pandangan agama dari keseluruhan masyarakat itu. Saat ini beberapa macam kepemimpinan yang tumbuh di antara kaum Muslim di Australia yang memainkan peran sebagai para pemimpin Muslim. Karena adanya perbedaan itu, maka peran kepemimpinan mereka juga berbeda di tengah masyarakat Islam.137 Secara umum peta asal-usul kepemimpinan kelompok Islam Australia dapat dibagi dua, yaitu pertama, lahir secara individual karena inisiatif sendiri untuk memberi kontribusi kemuslimannya kepada umat Islam. Biasanya mereka datang dari kelompok profesional dan mahasiswa internasional yang sedang menuntut ilmu di Australia dari berbagai latar belakang keilmuan, tetapi memiliki pengetahuan agama

137Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 132-134. Lihat juga Micheal Humphrey, ‘Community, Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, Spectrum Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988, h. 261.

139

yang cukup. Kedua, pemimpin yang muncul dari kelompok etnik, AFIC, dan negara bagian.

1. Asal-usul Kepemimpinan Individu Model kepemimpinan individu pada umumnya muncul dari hasil inisiatif sendiri dalam usahanya untuk memberikan sumbangsihnya pada pengembangan umat Islam di tengah masyarakat yang sekuler. Kemunculannya mereka biasa dimulai saat pembangunan sebuah mesjid atas hasil inisiatif individual, seseorangg atau sekelompok kecil orang, yang kemudian memainkan peran sebagai pemimpin dalam menjalankan kegiatan mesjid. Orang yang terlibat dalam hal ini belum tentu otomatis menjadi ‘pemimpin’ agama.. Mereka bisa saja berasal dari orang biasa di kalangan komunitasnya -- para profesional seperti akontan, pengacara, dokter, guru, dan sebagainya-- yang berniat mendirikan sebuah mesjid dan menyelenggarakan jasa peribadatan bagi komunitas Muslim setempat. Dalam kenyataannya, bentuk kepemimpinan seperti ini banyak terdapat di Australia dan banyak mesjid yang difungsikan dengan cara ini. Beberapa mesjid dibangun berasal dari dana yang diberikan sebuah pemerintahan asing, seperti negara Turki atau Arab Saudi, atau melalui bantuan organisasi luar negeri. Dalam kasus-kasus seperti itu, pihak perwakilan yang bekerja atas nama pemerintahan asing atau penyandang dana bisa terus menjadi bagian dari kepemimpinan mesjid. Mesjid-mesjid lainnya dijalankan oleh masyarakat atau asosiasi dengan sebuah anggaran dasar yang memberi semacam sistem kepemimpinan bergilir, untuk mencegah dominasi pribadi satu orang atau sekelompok orang pada mesjid atau masyarakatnya. Pemimpin individu lainnya yang muncul dengan kehadiran mahasiswa- mahasiswa internasional yang sedang melakukan studi di berbagai universitas, sekolah tinggi (college), akademi, dan institut. Mereka berdatangan dari berbagai belahan dunia, seperti Indonesia, Malaysia, Bosnia, Singapura, Iran, dan negara- negara Timur Tengah. Menurut sensus Departemen Pendidikan Australia tahun 1999, terdapat 83.111 mahasiswa yang sedang belajar di 13 perguruan tinggi Australia.138

138Irene Donohue Clyne, ‘A Community on Campus: Muslim Students in Australian Universities’, dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (eds.), Muslim Communities in Australia, h. 145.

140

Menurut Sensus 1996, terdapat 10.498 mahasiswa Muslim yang menuntut ilmu di Australia. Mereka melakukan aktifitas sosial dan keagamaan di kala waktu senggang dan di tengah kesibukan kuliah mereka. Ada pula yang melakukannya secara reguler. Mereka pada umumnya melakukan kegiatan tersebut saat diminta oleh sekelompok pengajian tertentu yang telah mengenal mereka baik secara etnik maupun latar belakang negara yang sama. Kegiatan tersebut dilakukan pada hari-hari libur yang bertempat di rumah-rumah warga Muslim atau dalam gedung pertemuan. Para pendakwah mahasiswa ini berasal dari perguruan tinggi umum dan agama. Dalam kasus Indonesia, mahasiswa dari perguruan tinggi umum berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajahmada, dan lain-lainnya. Nama-nama seperti Dedi Mulyana, Antonio Syafi’i, Budi Faisal, , dan lain-lainnya merupakan pemimpin agama dari perguruan tinggui umum ketika mereka sedang menuntut ilmu. Sedangkan dari perguruan tinggi agama, kebanyakan berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Nama-nama yang dikenal sebagai pemimpin dari perguruan tinggi agama ini antara lain Bambang Pranowo, Fachry Ali, Shirazi, Arskal Salim, dan lain-lainnya.139 Mereka pada umumnya diminta untuk memberikan pengajian agama, cara baca tulis al-Qur’an untuk anak-anak, dan membantu proses pernikahan. Acara pengajian dihadiri oleh warga Muslim yang mempunyai latar belakang etnik yang sama dan kadangkala dari etnik lain dengan menggunakan dua bahasa yang berbeda. Kepemimpinan individu seperti ini tidak bersifat permanen, tetapi bersifat temporal. Kegiatan yang dilakukan pemimpin individu akan berakhir ketika kuliahnya selesai. Namun kepemimpinan tersebut akan berlanjut dengan digantikan oleh mahasiswa internasional lainnya yang selalu datang belajar setiap tahunnya.

2. Asal-usul Kepemimpinan Kelompok Kepemimpinan kelompok berasal dari mesjid, etnik, organisasi sosial Islam, organisasi mahasiswa internasional, dan kelompok yang mewakili negara bagian.

139Wawncara pribadi dengan Dedi Mulyana di Jakarta, 14 Februari 2006.

141

Salah satu pemimpin itu adalah pemimpin agama. Mereka disebut imam dari sebuah mesjid yang berfungsi memberi pelayanan sehari-hari di mesjid dalam berbagai kegiatan keagamaan. Di Australia seorang imam secara garis besar dapat disamakan dengan seorang ‘menteri agama’. Menurut Standar Penggolongan Pekerjaan Australia (the Australian Standard Classification of occupations) atau disingkat ASCO, para ‘menteri agama’ melaksanakan fungsi-fungsi spiritual terkait dengan kepercayaan dan praktek keyakinan agama dan memberi motivasi, pedoman serta pelatihan kehidupan keagamaan bagi masyarakat kelompoknya, kelompok pengajian atau komunitas. Persyaratan akademik untuk bisa masuk ke dalam satuan kelompok ini adalah minimal bergelar akademik tingkat bakaloriat atau yang lebih tinggi. Ada persyaratan terkait dengan komitmen pribadi yang tinggi dan peminatan, disamping kualifikasi atau pengalaman formal lainnya. Tugas seorang imam mencakup: 140  melaksanakan shalat secara teratur;  menyiapkan dan memberi ceramah (umpamanya, di hari Jum’at) dan tugas- tugas khusus lainnya,  memberi nasehat dan pengarahan spiritual,  ikut serta da;am kegiatan-kegiatan sosial dan kesejahteraan masyarakat, mendorong orang agar lebih menyadari tanggung jawabnya, dan mengorganisir proyek-proyek partisipasi masyarakat;  Melaksanakan kelas pelajaran agama, mengawasi shalat; dan kelompok- kelompok diskusi,  Melaksanakan penasehatan pra perkawinan dan keluarga dan merujuk pada dinas-dinas profesional terkait yang diperlukan,  Melaksanakan nikah dan upacara kematian sesuai peraturan agama dan undang-undang sipil serta menyimpan catatannya sesuai persyaratan undang- undang yang berlaku.

Sheikh Fehmi adalah salah satu contoh pemimpin Muslim Australia yang paling aktif dalam dialog antar agama dan salah satu dari direktur eksekutif dari the

142

World Conference on Religion and Peace of Australia. Ia menganut paham moderat dalam menginterpretasikan Islam dan amat yakin bahwa kaum Muslim harus hidup harmonis di tengah multikultural Australia. Untuk karyanya dalam bidang ini, ia menerima satu dari penghargaan tertinggi Australia, the Order of Australia.141 Di Australia, hampir semua imam pada umumnya hasil ‘impor’ dari luar negeri, di mana mereka memperoleh pelatihan disiplin keagamaan. Banyak para imam ini merupakan lulusan lembaga pendidikan Islam di India, Pakistan atau Indonesia, atau dari universitas seperti Universitas Azhar di Mesir, atau Universitas Islam Arab Saudi. Bila sebuah mesjid dijalankan oleh sekelompok etnik tertentu – umpamanya, orang Turki, Pakistan, Afganistan, Mesir atau Iran – maka sang imam pada umumnya juga diambil dari orang yang berlatar belakang sama dan dibawa ke Australia dari negeri ‘asal’ nya. Tidak semua mesjid dengan jelas memisahklan garis-garis etnik, sehingga cara memilih imam juga bervariasi. Dalam hampir semua kasus, suara terbesar untuk membawa seorang imam dari sebuah komunitas yang paling dekat kaitannya dengan diri mereka sendiri. Jenis kepemimpinan agama yang diimpor ini mempunyai masalahnya sendiri, di mana ada di antara iman tersebut yang ternyata tidak atau kurang memahami budaya Australia bahkan ada yang tidak menguasai bahasa Inggris. Masalah ini bisa menjadi berkurang, bila sang imam hanya berurusan dengan sekelompok jamaah mesjid dari etnik tertentu saja, saat sang imam maupun jamaahnya bisa berbagi bahasa ‘ibu’ dan menganut cara pandang keagamaan yang sama. Namun demikian, perbedaan dalam bahasa dan budaya bisa menciptakan masalah pelik, terutama bila berkenaan dengan para mualaf atau generasi kedua atau ketiga kaum Muslim Australia yang tidak bisa berbicara dengan bahasa yang dikuasai sang imam – apakah itu bahasa Persia, Arab, Turki atau lainnya – dan bisa menampilkan perbedaan perspektif dan cara pandang yang cukup besar. Dalam kasus ini, akan sukar menjada

140Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 134. 141Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 135. Lihat juga Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53.

143

komunikasi terbuka antara pemimpin agama impior dan bagian-bagian penting komunitasnya. Oleh karena itu, muncul perasaan di kalangan kaum Muslim akan pentingnya membangun lembaga-lembaga Australia untuk mendidik para pemimpin agama dari negeri asal. Ini masih menjadi impian yang berlum terlaksana, karena memakan waktu bagi sebuah komunitas untuk mengembangkan program pelatihan, terutama sumber daya besar yang diperlukan untuk hal itu. Ini berati bahwa, di masa depan, para pemimpin agama di Australia akan terus diimport dari luar negeri. Baru belakangan ini saja mulai terlihat munculnya beberapa orang Muslim Australia yang berkunjung ke negeri-negeri Muslim seperti Indonesia dan Malaysia untuk mendapat pelatihan agama, agar kelak bisa kembali pulang dan memainkan peran penting dalam masalah- masalah komunitas lokal setempat. Kaum Muslim inilah, yang bisa bicara bahasa Inggris, yang merasa nyaman dan kenal dengan lingkungan Australia, yang dapat memainkan peran semakin signifikan dalam kehidupan komunitas Muslim Australia, namun jumlah pemimpin seperti itu masih kecil. Muncul sejajar dengan dengan pelatihan luar negeri orang Muslim kelahiran Australia adalah jenis lain dari otoritas keagamaan, yang dapat dirujuk sebagai jenis kepemimpinan ‘biasa’. Ini adalah orang yang melalui pelatihan agama Islam tradisional yang formal, namun telah membaca dengan baik dalam area Islam atau studi keislaman. Beberapa di antaranya telah mengambil peran sebagai pemimpin agama atau imam (tidak penuh waktu) di beberapa mesjid atau komunitas Muslim dan kemasyarakatan. Efektifitas mesjid sebagai sebuah lembaga tergantung pada kualifikasi dan kualitas kepemimpinan yang bisa diberikan seorang imam. Tahun 1980-an menunjukkan, di antara mereja yang masuk ke Australia ada sejumlah signifikan sarjana dalam disiplin kajian Islam, terutama dari universitas-universitas Islam di Timur Tengah dan subkontinen India. Secara formal, mereka layak untuk bertindak sebagai profesional keagamaan, meskipun seringkali mereka tidak terbiasa dengan kondisi di Australia. Sejumlah mereka disponsori perpindahannya ke Australia oleh pemerintah negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi. Memang sejak awal migrasi besar-besaran orang Turki di akhir tahun 1960-an, ada minat resmi orang Turki pada

144

bentuk kehidupan beragama bagi komunitas expatriat di Australia. Pemerintah Turki menyatakan minat ini dengan mengirikan para imam ke sejumlah mesjid Turki dan menyediakan dana untuk pembangunan mesjid. Arab Saudi juga luar biasa aktif mendanai proyek-proyeks serupa. Bahkan saat harga minyak dunia merosot, dana yang signifikan disediakan bagi masyarakat di akhir tahun 1980-an dan 1990-an untuk membangun infrastruktur ini.142 Imigrasi yang relatif berskala besar kaum Muslim di tahun 1980-an, juga di tahun 1990-an, berarti para pemimpin agama berdatangan dari sejumlah komunitas dan budaya. Kebijakan multikulturalisme mempermudah bagi para pemimpin agama yang mendapat dukungan dari komunitas mereka masing-masing untuk mendapatkan visa, dan pemerintah dari negara-negara seperti Mesir dan Turki mendukung para Imam melayani masyarakat dari komunitas sebangsa dengan mereka. Kepemimpinan agama yang efektif sangat mendasar bagi terciptanya rasa identitas keagamaan. Bila hal itu tidak dapat ditumbuhkan di halaman rumah, maka itu harus diimpor. Walaupun para pimpinan yang ‘diimpor’ ini pada umumnya menyediakan kepemimpinan yang hebat,143 yang lainnya yang tidak terbiasa dengan kondisi di Australia, termasuk budaya lokal dan tuntutan yang dimninta komunitas lokal dala sebuah lingkungan yang sekuler, menjadi hal yang kontroversial.144 Ketidakbiasaan itu terkadang menimbulkan kesulitan-kesulitan dengan komunitas agama juga dengan beberapa segmen masyarakat yang lebih luas. Kenyataannya, sebuah masalah yang terus berlanjut bagi komunitas muslim di Australia adalah yang terkait dengan evolusi kepemimpinan agama yang profesional yang berpengetahuan cukup tentang budaya Islam dan budaya Australia. Beberapa imam yang terbina baik telah menghabiskan waktu cukup lama di Australia dan bisa memahami adanya ketegangan antara pemeliharaan identitas dan adaptasi pada budaya yang lebih luas. Para pemimpin agama yang sudah ada menggunakan pengetahuan lokal mereka dan kefasihan berbahasa Inggris untuk

142 Wawncara dengan Bilal Cleland di Melbourne, 5 Nopember 2000. 143Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 53. 144 Dalam wawancara penulis dengan Bilal Cleland, mantan Sekjen AFIC dan aktifis Muslim berlatar belakang Anglo-Saxon, dan beberapa Pengurus AFIC lainnya, 8 Oktober tahun 2000, mengatakan sulitnya perkembangan Islam di Australia karena Imam yang lebih berorientasi etnis dan tidak mengenal lingjkungan baru yang ditempatinya.

145

bertindak aktif pada tingkat lokal, negara dan federal dalam memperomosikan kebutuhan kaum Muslim dan dalam memainkan peran signifikan menengarai dan memfasilitasi antara masyarakat yang lebih luas, pemerintah, dan komunitas Muslim. Di samping itu muncul pula pemimpin kelompok di kalangan kaum Muslim Australia yang berasal dari tiga tingkatan atau lapisan. Menurut Abdullah Saeed, hal Ini dapat dilihat pada:

 Masyarakat Islam di tiap negara bagian atau teritori;  Dewan Islam di tiap negara bagian dan teritori; dan  Federasi Dewan-Dewan Islam Australia (AFIC – the Australian Federation of Islamic Councils).145

Masyarakat dan asosiasi Muslim, setidaknya dalam teori, terjaring melalui dewan Islam negara bagian terkait. Semua dewan negara bagian kemudian diwakili di tingkat nasional oleh AFIC. Ketiga lapis ini diatur oleh undang-undang. Keanggotaan bergilir pada badan korporasi ini sebagian besar terdiri dari pemimpin-pemimpin kalangan biasa, bukan kaum imam yang telah mendapat pelatihan khusus tentang disiplin keagamaan islami. Ini sebagian diakibatkan oleh jarak yang sering muncul antara imam dan budaya lokal serta bahasa setempat. Karena itu, pihak pemimpin kalangan biasalah yang memainkan peran cukup substansial dalam mewakili kaum Muslim dalam berhubungan dengan para politisi, pemerintah, media, dan organisasi-organisasi komunitas non-Muslim lainnya.146 Sejauh apa suatu hubungan yang produktif bisa muncul dari antara tiga pelapisan organisasi korporasi masyarakat Muslim ini masih bisa diperdebatkan. Ketegangan- ketegangan antara masyarakat Muslim dapat dicerminkan pada area kepemimpinan dan bisa melibatkan pertengkaran-pertengkaran etnis, politis, dan keagamaan dalam sebuah masyarakat atau dewan negara, antara satu masyarakat dengan yang lainnya,

145Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 138. 146Lihat Gary D. Bouma et al (ed.), ‘Muslims Managing Religuos Diversity’, dalam lAbdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 63.

146

antara sebuah masyarakat dan sebuah dewan, atau bahkan antara sebuah dewan dan AFIC. Meskipun ada beberapa posisi pemimpin yang ada pada masyarakat Muslim di Australia, tidak banyak upaya signifikan yang dilakukan untuk menyatukan pencalonan pemimpin-pemimpin agama atau satu pemimpin agama sebagai wakil seluruh penduduk Muslim Australia, meskipun beberapa komunitas menginginkan posisi seperti itu. Sebagai akibat banyaknya perbedaan etnis, politis, dan teologis yang muncul di antara kaum Muslim Australia, maka sangat sulit sekali bagi orang untuk memilih seseorang yang dapat diterima mewakili keseluruhan komunitas Muslim.147

Bagi sementara orang, tokoh yang mendekati persyaratan itu adalah Taj al-Din al-Hilali, seorang imam berbasis di Sydney. Ia dianggap oleh sebagian kaum Muslim dan non-Muslim sebagai ‘Muftinya Australia’. Gelar ‘Mufti’148 dengan jelas diberikan oleh Kongres AFIC pada Taj al-Din, sementara terjadi kampanye di tahun 1980-an oleh sekelompok Muslim dan masyarakat Libanon yang minta ia di deportasikan dan kemudian Menteri Imigrasi, Hurford, mengabulknnya lalu memutuskan untuk mendeportasikannya. Tidak semua orang Muslim di Australia yang menganggap dia sebagai sang ‘Mufti dari Australia’, juga mereka tidak mengakui fatwa-fatwa yang dikeluarkannya. Seperti halnya imam manapun di Australia, dia mempunyai pengikut yang kuat di bagian-bagian tertentu dalam komunitas Muslim, khususnya di daerah Lakemba, Sydney. Di tahun 1990-an, kepemimpinan religius kolektif mulai muncul dengan berdirinya sebuah Dewan Para Imam (Board of Imams) di berbagai negara bagian Australia, seperti di New South Wales dan Victoria. Tiap Dewan mengumpulkan para imam mesjid untuk berdiskusi dan membuat keputusan-keputusan tentang masalah- masalah yang menjadi perhatian kaum Muslim. Meskipun secara teoritis sebuah Dewan mewakili para imam dari semua mesjid di negara bagiannya, dalam prakteknya hanya sejumlah kecil yang benar-benar berperan dalam pertemuan- pertemuan mingguan atau bulanan dan memberi kontribusi selama proses

147 Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 55. 148Seorang yang berhak mengeluarkan fatwa atau dekrit-dekrit agama.

147

pengambilan keputusan. Apakah Dewan para Imam ini akan berkembang menjadi sebuah kepemimpinan religius kolektif pada level nasional atau tidak belum jelas benar. Ini merupakan sebuah bentuk kemungkinan, yang pada saat ini tidak mungkin bisa terjadi. Sebuah konferensi nasional para imam diselenggrakann oleh AFIC di tahun 1998 untuk membentuk ikatan (kohesi) nasional pada kepemimpinan para imam, namun inisiatif ini belum dilanjutkan dalam konferensi-konferensi selanjutnya. Kepemimpinan agama juga muncul dari organisasi mahasiswa internasional yang sedang belajar di Australia. Mereka memainkan peran yang cukup signifikan bersama masyarakat Islam dalam kegiatan keagamaan dan informasi yang bersifat umum di Australia. Mereka mendirikan The Muslim Student Association (MSA) dan Federation of Australian Muslim Students and Youth (FAMSI). Sasaran dakwah mereka tidak hanya terbatas pada internal kampus, tetapi juga pada masing-masing etnis Muslim Australia. Karena itu, mereka kerap diangkat sebagai pemimpin agama. Pertanyaan tentang siapa yang berbicara atas nama siapa? Dalam isu keagamaan, apakah ada sebuah otoritas yang dapat menjadi acuan kaum Muslim? Meskipun ada Mufti Australia yang dapat memberikan fatwa, namun belum tentu semua orang akan mengkutinya. Salah satu yang dapat menjadi sumber representasi kelompok Islam adalah Dewam-Dewan Para Imam; namun pada umumnya para imam berbicara atas nama komunitas agamanya sendiri, atau setidaknya beberapa anggota dari komunitas tersebut. Sejak peristiwa pemboman tanggal 11 September 2001 dan serangan balik yang diakibatkannya pada kaum Muslim di Australia, ada permintaan untuk menyatukan suara kaum Muslim tentang isu-isu keagamaan. Terlepas dari bisa tidaknya hal ini menjadi kenyataan, adalah tidak mungkin untuk mencegah pihak komunitas lainnya mengutarakan opini mereka, khususnya para pemimpin kalangan biasa yang berpengaruh. Berdasarkan hal ini, bisa dikemukakan bahwa tidak seorangpun atau satu kelompok masyarakat pun yang bisa berbicara atas nama seluruh komunitas Muslim, apalagi mengenai masalah-masalah keagamaan. Komunitas dibagi secara teologis, dalam orientasi religiusnya, dan dalam paham etnisitas dan pendekatan pada Islam di Australia. Selanjutnya, ada kaum Muslim yang bervariasi bentuk komitmen nya pada

148

Islam mulai dari yang secara total mengikat diri sampai yang secara total menolak. Jadi, seorang pemimpin agama secara satu persatu tidak bisa berbicara atas nama sekian banyak masyarakat yang berbeda. Secara historis, komunitas Muslim telah menerima dan memanifestasikan keanekaan dalam batasan mereka, dan lebih dasri ini menjadi kasus di Australia. Satu-satunya kesimpulan yang bisa dicapai adalah bahwa kepemimpinan agama di kalangan masyarakat Muslim Australia akan tetap terbagi selama waktu ke depan yang tak terperkirakan.149

C. Latar belakang Sosio-Ekonomi Komunitas Muslim Australia Sebagai hasil imigrasi, pembentukan keluarga di Australia, tingkat fertilitas yg tinggi, dan upaya luar biasa untuk mendirikan sekolah-sekolah, kelompok kemasyarakatan, perserikatan-perserikatan, mesjid dan pusat-pusat kebudayaan ada komunitas Muslim yang bisa diidentifikasikan. Gambaran sejak sensus tahun 1991 bisa memberi sebuah gambaran yang dinamis tentang sosio-ekonomis komunitas ini. Asal kebangsaan, tanggal kedatangan dan bahasa seperti telah dibicarakan sebelumnya, namun ada korelasi lebih lanjut dengan profil kaum Muslim, yaitu distribusi geografis di Australia, usia-jenis kelamin, dan partisipasi dalam pendidikan serta tenaga kerja.

Distribusi Geografis Gary D. Bouma dalam bukunya tentang Mesjid dan Pemukiman Muslim di Australia,150 menguraikan sebagian besar kelompok Muslim sebagian besar menetap di Sydney, negara bagian New South Wales (51,02 persen) dan Melbourne, negara bagian Victoria (33,38 persen). Sebagian kecil (15,60 persen) hidup di luar sebuah dari kota-kota utama Australia. Tabel 6 memperlihatkan distribusi geografis populasi Muslim di Australia menurut negara bagian dan jenis kelamin dibandingkan dengan populasi lainnya (Sensus 1996).

149Wawancara pribadi dengan Bilal Cleland di Melbourne, 4 Nopember 2000. 150Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 28.

149

Tabel 6: Populasi Orang Muslim Menurut Negara Bagian dan Jenis Kelamin Dibanding dengan Sisa Populasi lainnya (Sensus 1996)

150

Muslim Muslim Muslims as % Proportion of population population of State total Muslim of State of State population population for /Territory /Territory Australia residing in New South State/Territory Wales (%) Male 1,80 Female 53 734 2 983 447 1,59 51,02 Total 48 554 3 055 249 1,69 50,80 102 288 6 038 696 50,92 Victoria Male 1,62 Female 34 930 2 150 301 1,44 33,17 Total 32 117 2 223 219 1,53 33,61 67 047 4 373 520 33,38 Western Australia 0,76 Male 6 594 862 645 0,69 6,26 Female 5 989 863 450 0,73 6,27 Total 12 583 1 726 095 6,26

Queensland 0,30 Male 5 022 1 673 220 0,26 4,77 Female 4 399 1 695 630 0,28 4,60 Total 9 421 3 368 850 4,69

South 0,37 Australia 2 566 702 215 0,31 2,44 Male 2 232 725 721 0,34 2,34

151

Female 4 798 1 427 936 2,39 Total

Australia 0,87 Capital 1 280 147 830 0,78 1,22 Territory 1 186 151 413 0,82 1,24 (ACT) 2 466 299 243 1,23 Male Female 0,20 Total 442 226 338 0,16 0,42 365 233 321 0,18 0,38 Tasmania 807 459 659 0,40 Male Female 0,38 Total 390 101 370 0,40 0,37 378 93 731 0,39 0,40 Northern 768 195 101 0,38 Territory Male 19,11 Female 355 1 858 24,03 0,34 Total 352 1 465 21,28 0,37 707 3 323 0,35 Other territories* 1,19 Male 105 313 8 849 224 1,06 100,00 Female 95 572 9 043 199 1,12 100,00 Total 200 885 17 892 423 100,00

Total Australia Male

152

Female Total

* Cocos Islands, Christmas Island and Jervis Bay Territory. Source: Australian Bureau of Statistics (ABS) 1996 Census of Population and Housing. Table Compiled from ABS data by Lici Inge and Christine Asmar, , 2000.

153

1. Profil Usia dan Jenis Kelamin Sebagaimana hampir semua penduduk imigran di awal tahapan imigrasi dan permukiman, imigran Muslim cenderung lebih banyak dari kalangan laki-laki muda. Mayoritas Muslim (54%) di Australia di bawah usia 25 dan perbandingan jumlah pria melebihi wanita di tiap kelompok. Perbandingan pria/wanita adalah 1:12, sedangkan dengan penduduk Australia perbandingannya 0.985. Penjelasan umumnya adalah bahwa pria lebih banyak berinisiatif melakukan imigrasi daripada wanita. Pria lebih mudah diterima berimigrasi daripada wanita. Pria lebih mungkin pergi lebih dahulu dan kemudian membawa anggota keluarga yang lain. Mereka yang berimigrasi dalam usia muda mempunyai tingkat perkawinan kecil. Kecenderungan ini mungkin tak begitu nyata di kalangan orang Libanon, di mana imigrasi beserta keluarga telah menjadi norma yang biasa. Terlebih lagi, dengan adanya ideologi pro-keluarga dalam Islam, komunitas Islam sekarang menjadi semakin terfokus dengan keluarga, berada di antara yang paling tinggi tingkat perkawinan dan fertilitasnya. Ini nyata pada kelompok usia yang lebih muda di mana perbandingan pria – wanita lebih mendekati rata-rata nasional bagi Australia.151

Aktifitas Masyarakat Muslim Masyarakat Muslim Australia secara umum terbagi dua. Pertama, kelompok Muslim yang berbasiskan etnisitas. Di Victoria sebagai contoh, ada 10 macam kelompok keturunan Turki, 1 di Geelong, dan satu lainnya di dan Moroopana. Begitu juga 2 kelompok Albania dan satu kelompok Croasia. Mayoritas mayarakat Islam yang bertempat tinggal di Victoria menganut paham Sunni, ada dua kelompok Syi’ah. Begitu pula di negara bagian New South Wales, kelompok Turki merupakan jumlah terbanyak. Ada juga dari kelompok Libanon dan Bangladesh. Kedua kelompok terakhir ini memiliki organisasi berdasarkan etnis. Kelompok kedua, adalah berbasiskan pada lokalitas (tempat tinggal). Banyak ditemukan masyarakat Islam yang menempati suatu tempat sehingga cukup untuk

151Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 29.

154

membentuk suatu komunitas dan biasanya di suatu tempat yang tersedia tanah yang cukup untuk membangun atau suatu bangunan yang dijual dan kemudian ditempati bersama-sama. Hal ini terlihat di area Mesjid Preston di Melbourne dan daerah Lakemba di Sydney.152 Di Sydney, masyarakat Islam bertempat tinggal daerah pinggiran (suburbs), seperti Auburn, Smithfield dan Greenacre. Di Lakemba terdapat Pusat Kebudayaan Islam dan Nerwork Informasi. Lembaga ini menyediakan jasa kepada masyarakat Muslim, seperti tempat pertemuan dan informasi. Tempat-tempat ini kadang-kadang bergaya Islam. Mereka juga menyediakan daerah pekuburan Muslim. Di Melbourne, daerah pekuburan Muslim terdapat di Fawkner dan Springvale. Organisasi Islam juga terdapat di Australia baik yang berafiliasi kepada etnis maupun negara bagian. AFIC yang berbasis di Sydney merupakan representasi perwakilan umat Islam di Australia. Lembaga ini tidak membawahi kelompok- kelompok Islam lainnya melainkan sebagai wahana pemersatu kepentingan umat Islam secara menyeluruh dalam bidang politik, media, dan jasa lainnya.153

2. Pemukiman Secara historis, kaum penunggang onta dari Afganistan dibawa ke Australia antara tahun 1860 dan 1910 merupakan orang terawal dari kelompok etnik lainnya yang datang dan menyebabkan kehadiran kaum Muslim in Australia masa kini; mereka telah menjadi bagian dari sejarah dan cerita rakyat Australia. Ceritanya dimulai ketika Thomas Elder dan Samuel Stuckey menyadari kelayakan menggunakan binatang onta sebagai alat transportasi dan eksplorasi ke pedalaman Australia, dan di tahun 1866 mengimpor 124 onta dan tiga puluh empat penunggang berkebangsaan Afganistan. Mengomentari pentingnya penunggang onta Afganistan ini, ditulis oleh Christine Stevens sbb.: Selama hampir lima pulun tahun kaum lelaki Muslim dan binatang mereka menyeberangi tiga perempat kawasan benua Australuia untuk memberi pelayanan dan menyambung hidup serta industri di pedalaman yang keras. Tanpa keahlian yang istimewa dan pemeliharaan orang-orang Muslim yang berguna ini – di antara

152Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 4. 153 Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 4.

155

orang-orang pertama Muslim yang menjadi bagian dari campuran kebudayaan masyarakat kontemporer Australia – akan banyak kekayaan tradisional Australia yang tetap tidak tergali selama berbagai dekade.154 Tim yang pertama menetap di stasiun biri-biri Beltana di penggembalaan Flinders (Flinders Ranges).155 Laporan-laporan menunjukkan bahwa, selama periode ini (1860 – 1910), antara 2,000 dan 4,000 orang laki-laki dibawa ke Australia untuk bekerja di industri transportasi onta ini. Orang-orang Afganistan ini bekerja di padang pasir di pedalaman dari kawasan yang kemudian menjadi koloni terpisah dari Australia Selatan (termasuk teritorial Utara), Australia Barat, Queensland, new South wales, dan Victoria, memberi garis kehidupan yang vital antara pembangunan pemukiman yang bertebaran di sepanjang benua dan pemukiamn-pemukiman utama di selatan dan timur pantai negeri ini. Orang-orang Afganistan membentuk komunitas yang kuat, namun terisolasi di pinggiran kota-kota pedalaman. Mereka dipandang sebagai pendatang sementara saja (dan memang sebagian besar mereka hanya berniat tinggal beberapa tahun saja untuk mengumpulkan uang guna dibawa pulang ke negara asalnya) dan mereka tidak ditemani keluarga mereka. Pada mulanya, berdasarkan kecurigaan terhadap orang luar, mereka tidak diterima baik di kalangan wanita Aborigin maupun Eropa. Belakangan, beberapa di antara mereka berhasil mendapat isteri dari kelompok- kelompok wanita yang termarginalkan: isteri-isteri yang diasingkan atau wanita Aborigin yang diusir dari kelompok budaya mereka atau mereka yang tidak memiliki tanah. Hanifa Deen, seorang keturunan asli dari kaum Muslim Afganistan ini, menceritakan apa yang ia dengar dari ayahnya tentang kekayaan orang-orang Afganistan ini dalam bukunya Caravanserai – Journey Among Australian Muslims. Ketika mereka kembali pulang setelah beberapa tahun tinggal di Australia, beberapa orang asal Punjab Utara, dari mana mereka dulu di rekrut, mengisahkan kehidupan mereka di Kawasan selatan yang luas. Mereka menjadi sumber inspirasi bagi yang

154Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L, Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 62. 155Christine Stevens, ‘Afghan Camel Drivers: Founders of Islam in Australia’, dalam Mary L, Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 52.

156

lain yang tengah menderita kesulitan ekonomi untuk pergi mencari keberuntungan ke sana. Pekerja-pekerja baru ini menuju Australia melalui Singapura dan Hong Kong. Akhirnya, di tahun 1880-an, mereka mulai mendiami Perth, Syndey, dan Melbourne, mengumpul di beberapa distrik tertentu, termasuk Redfern di Sydney. Banyak dari mereka bekerja sebagai penjaja. Banyak dari mereka bekerja sebagai penjaja. Sambil menjajakan dagangan mereka di jalan, menyediakan barang-barang yang dibutuhkan di luar pusat-pusat utama penduduk, mereka menumbuhkan suatu sistem perkreditan timbal balik di kalangan petani di pedalaman. Sementara menurut Steven, mereka dibenci di beberapa tempat, Hanifa Deen justru mengatakan bahwa mereka disenangi dan dihormati karena kejujuran dan peran yang mereka mainkan itu. Setelah tiba sebelum diberlakukannya Kebijakan Australia Putih, mereka juga mampu menghidupkan diri mereka di kawasan pedesaan, umpamanya di lembah La trobe, sebagai pekerja pertanian; beberapa di antara mereka mengurus perkebunan pisang di Queensland.156 Dalam skala kecil bentuk interaksi ini merupakan contoh awal hubungan sosial yang bermanfaat antara kaum imigran Muslim dan pemukim Kristen di Australia yang telah lebih dahulu datang. Pengenalan trasnportasi mekanik di akhir abad ke-16 membawa kehancuran alat angkut onta. Ketika di tahun 1901, sebuah Federasi didirikan di bekas-bekas koloni di mana benua Australia pernah menjadi bagiannya, komitmen awalnya pada Kebijakan Australia Putih telah mengeluarkan hampir semua orang non-Eropa dari hak-hak untuk mengajukan permohonan naturalisasi dan semakin memarginalkan orang-orang Afganistan. Penolakan kewarga-negaraan, dan dengan semakin mengecilnya kesempatan mendapat pekerjaan, menyebabkan banyak dari mereka yang masih tinggal memilih untuk pulang ke negeri asal mereka.157 Namun, ada juga yang tetap tinggal di daerah-daerah seperti Wyndham, di pantai barat laut (north-west) Australia. Penciutan jumlah ini semakin mempersulit mereka yang masih menetap utnuk mempertahankan identitas keislaman mereka. Menjelang tahun 1921, tinggal hanya kurang dari tiga ribu penetap Muslim di Australia. Diasingkan dalam

156Hanifa Deen, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, h. 23. 157Mary Lucille Jones, ‘Muslim Impact on Early Australian Life’ dalam Mary Lucille Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 46.

157

keagamaan dan ras oleh kelompok dominan masyarakat Anglo-Celtic putih, banyak keturunan Muslim ini kehilangan keyakinan keIslaman mereka. Namun, mereka tidaklah lenyap tanpa bekas. Onta-onta yang mereka tinggalkan di pedalaman Australia berkembang biak dan secara teratur di ekspor ke Saudi Arabia dan negara-negara Teluk untuk lomba balap. Lebih penting lagi, beberapa mesjid yang telah mereka bangun tetap hidup. Salah satu yang tertua , dibangun tahun 1889 dan masih dipakai, ada di Adelaide; yang lain, dibangun tahun 1891 di Broken Hill, New South Wales, sekarang menjadi sebuah museum dibawah pengurusan the Broken Hill Historical Society.158 Sisa sejumlah mesjid lainnya masih bisa dilihat di jalur lama ke arah barat laut (north-west) antara Adelaide dan Brisbane. Pedagang-pedagang onta meninggalkan jejak mereka dalam lansekap Australia dengan cara yang lain. Sekarang, di Alice Springs, masih ada jalan bernama Mahomet, Jalan Khalick, juga ada the Charlie Sadadeen School. Nama populer bagi Trans Australian Railway adalah Ghan, berasal dari nama pengendara onta Afganistan yang membantu pendirian sistem transportasi pertama melintasi kawasan tengah Australia yang gersang tahun 1879.159 Dan memang, seorang Afganistan asli yang datang tahun 1886, tingggal di sini sampai kematiannya di tahun 1962 pada usia 106 tahun.160 Namun demikian, sebuah penghormatan kecil pada kaum Muslim dari sub- kontinen India berlanjut selama tahun-tahun berlakunya Kebijakan Kulit Putih Australia. Di tahun 1920 ada sedikit angin tenang dalam penerapan undang-undang imigrasi (the Immigration Act), yang memungkinkan terjadinya reuni sejumlah kecil keluarga. Dengan merdekanya sub-kontinen India dan terciptanya negara Pakistan, sejumlah orang Muslim ini atau keturunan mereka kembali ke tempat asal mereka, namun yang lain tetap tinggal di Australia. Secara umum, federasi di tahun 1901 menandai masa akhir masuknya orang Muslim ke Australia. Kebanyakam kaum imigran berasal dari Inggris dan Eropa; secara agama, mereka membawa tradisi Judeo-Kristiani dan memberi kontribusi pada

158Lihat Micheal Humphrey, ‘Community, Mosque and Ethnic Politics’, dalam Wade Abe Ata (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, h. 258-259. 159Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 20. 160Bilal Cleland, The Muslims in Australia: A Brief History, h. 32.

158

perkembangan sebuah Australia yang homogen. Sebuah pengecualian adalah sejumlah kecil orang Albania, tadinya berkewarga-negaraan Kekaisaran Usmani (Ottoman), yang masuk ke Australia selama tahun 1920-an dan 1930-an. Sebagai orang Eropa, mereka tidak terkena pembatasan-pembatasan yang diberlakukan pada kaum Muslim sebelumnya akibat Kebijakan White Australia. Mereka ibaratnya sebuah gemercik air bukan sebuah alur jeram. Antara tahun 1930 dan 1939 hanya sekitar empat ratusan dari mereka tiba di Australia, kebanyakan laki-laki belum menikah, bahkan ada yang baru berusia lima belas tahunan. Mereka bekerja sebagai pekerja kasar (casual laborers) di Australia Barat, dan Queensland, juga di Victoria. Sejumlah kecil menetap di Melbourne. Mesjid Albania yang paling terkenal ada di Jalan Drummond di distrik Carlton di tengah kota Melbourne.161 Sebuah arus besar yang baru mulai menggulir di tahun 1940-an, berupa rombongan imigrasi sekala kecil terdiri dari orang Turki-Siprus yang Muslim, dibekali kenyataan bahwa mereka berkewarganegaraan Inggris menurut data paspor mereka. Namun, tidak ada peningkatan yang signifikan dalam gerak imigrasi kaum Muslim sampai akhir tahun 1960, meskipun keadaan sudah memungkinkan segera setelah berakhirnya Perang Dunia II. Kebutuhan untuk membangun kembali ekonomi Australia mendorong munculnya kebijakan imigrasi yang baru dan kuat dengan slogan ‘populate or perish’ (‘diami atau tanggung derita’). Menteri Keimigrasian Arthur Calwell, mengatasi kecurigaan dari perserikatan dagang dengan memprakarsai sebuah kebijakan yang membawa ribuan kaum imigran ke Australia. Mereka pertama kali datang dari Inggris, yangs ecara ekonomi lemah setelah perang. Seorang imigran Inggris dapat berlayar ke Australia dengan £10. Kaum imigran direkrut secara aktif dari Italia dan kawasan Eropa lainnya. Penerapan skema ‘Snowy Moontains’ (Gunung Buatan Salju) telah membawa ribuan kaum imigran ke negeri ini, termasuk menggantikan orang- orang dari Yugoslavia, Bulgaria, Siprus, Polandia, Hongaria, dan Rusia. Di antara mereka mungkin termasuk kaum Muslim Eropa, yang tidak bisa dikeluarkan oleh

161Mesjid yang indah ini terletak di tengah kota yang strategis dan di tengah perumahan kelompok Kulit Putih. Setiap Jum’at, khutbah disampaikan dalam bahasa Albania dan disimpulkan dalam bahasa Arab. Menurut pengamatan penulis, yang sering shalat Maghrib di mesjid ini tampak lebih berorientasi pada masyarakat Muslim pada umumnya ketimbang etnik (moderat).

159

kebijakan Australia Putih, namun urutan latar belakang etnik mereka jauh di luar campuran Anglo-Celtic campuran yang telah menjadi tulang punggung utama populasi Australia.

3. Pendidikan Peningkatan pendidikan Islam di Australia sangat berkaitan AFIC. Organissasi ini mendirikan lembaga-lembaga pendidikan modern Islam dari tingkat dasar sampai menengah di tahun 1980-an, yang dibiayai oleh Saudi Arabia. Antara lain, The King Khalid Islamic College di Melbourne dan The Malik Fahd Islamic School di Sydney, dan Islamic College di Perth. Kurikulum yang diajarkan tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga pelajaran umum. Alumni-alumni sekolah ini diakui bermutu dengan diterimanya mereka di pendidikan tinggi Australia. Kelanjutan finansial sekolah-sekolah Islam ini dan sekolah Islam lainnya didukung dan disubsidi oleh pemerintah Australia dari pungutan pembayar pajak Australia. Bandingkan dengan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris yang tidak memiliki sistem sekolah Islam yang didanai oleh negara.162 Pentingnya lembaga-lembaga pendidikan modern Islam sangat mendukung kelanjutan proses pendidikan generasi kedua dan ketiga warga muslim yang datang dan lahir di Australia. Karena latar belakang mereka yang datang dari negara berkembang dan sedang diamuk perang saudara, maka sebagian besar dari mereka berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian. Hanya sebagian kecil yang memiliki kualifikasi pendidikan akademi/tinggi dan keahlian sehingga mau tidak mau mereka termajinalkan dalam berbagai akses yang dituntut dalam struktur sosial masyarakat Australia yang sudah mapan. Bagaimanakah partisipasi orang-orang Muslim lebih lanjut dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan pendidikan? Sensus tahun 1991 memberi informasi tentang kualifikasi yang diterapkan dan usia lepas sekolah. Perbandingan dengan gambaran nasional memang penting, namun sebuah gambaran yang lebih lengkap bisa diperoleh dengan membandingkan orang-orang Muslim dengan profil

162Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.

160

kelompok immigran dari agama minoritas lainnya yang baru datang, seperti orang- orang Hindu atau Buddha. Pola menyeluruh tentang perolehan kualifikasi bagi kaum Muslim cukup sama dengan pola-pola nasional. Orang-orang Muslim ternyata sangat berlebihan keterwakilannya dalam kelompok berpendidikan tinggi. Hal ini tidak mengherankan bila diingat nilai tinggi yang diberikan pada pendidikan dan pengetahuan dalam Islam dan dari kenyataan bahwa para pelamar imigrasi kebanyakan lebih disukai yang berkualifikasi tinggi selama proses seleksi. Para pria Muslim khususnya kurang terwakilkan di kalangan yang berkualifikasi ahli kejuruan. Apakah orang-orang Muslim terhambat dalam hal keahlian magang? Lepas dari keadaan terwakilkan secara berlebihan di kalangan penyandang gelar perguruan tinggi dan di kalangan tanpa kualifikasi keahlian, para pria dan wanita Muslim kurang terwakilkan dalam tiap jenis kualifikasi lainnya.163

Fasilitas Pendidikan Awal tahun 1950-an, terjadi gerakan-gerakan di antara generasi Muslim yang lebih tua, sedikit saja jumlahnya, ke arah terciptanya sebuah kerangka kerja terorganisir untuk memelihara Islam di Australia. Pendirian ‘Sekolah Minggu’ menandai pengakuan para orang tua akan kebutuhan penyediaan pendidikan Islami bagi anak-anak mereka. Satu dari sekolah- sekolah awal yang dibuka di Melourne di tahun 1957 memiliki limabelas anak-anak.164 Baru pada awal tahun 1980-an sekolah- sekolah reguler Islam yang pertama didirikan.

Tabel 7: Karakteristik Muslim di Australia menurut Sensus tahun 1991 (hanya orang yang berusia 15 tahun keatas), berdasarkan perolehan kualifikasi (%) Muslim Jumlah Muslim Jumlah Kualifikasi Pria pria Wanita Wanita

163Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 33. 164Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 30.

161

Gelar lebih tinggi 3.09 1.43 1.02 0.54

Ijazah magister 0.45 0.73 0.40 1.18

Gelar Bakaloriat 5.85 6.31 3.89 5.07

Ijazah sarjana S1 1.71 2.27 2.02 5.51

Ijazah associate 0.77 1.53 0.55 2.57

Kejuruan ahli 8.79 18.66 1.37 2.19

Kejuruan dasar 1.69 2.50 2.69 4.05

Catatan tidak tepat 1.56 1.06 1.18 0.75

Tidak berkualifikasi 64.21 55.02 75.04 67.01

Tidak menyatakan 11.83 10.49 11.83 12.61

Sumber: Tabel matriks sensus 1991 CSC 6037 dan ABS Cat. No. 2722.0, tabel B15.

Pemerintah Australia (persemakmuran dan negara bagian) mendukung sekolah berbasis masyarakat dan menyediakan insentif yang kuat bagi kaum Muslim untuk mendirikan sekolah Islam mereka sendiri. Tidak seperti negara-negara Barat lainnya seperti Amerika Serikat, yang tidak memiliki sistem sekolah Islam yang didanai dari hasil pembayaran pajak, dan Inggris, Australia memberikan dukungan substansial pada sekolah-sekolah swasta, selama mereka memenuhi persyaratan tertentu. Sebagai hasil adanya dukungan ini, yang pertama kali dimenangkan sistem sekolah Katholik di tahun 1960-an, sekolah-sekolah swasta dari bermacam jenis menjadi berlipat ganda

162

jumlahnya. Termasuk di dalamnya sekolah-sekolah elit sekuler, sekolah-sekolah berbasis etnik, dan sejumlah sekolah Kristen fundamentalis. Jumlah anak-anak dalam sekolah-sekolah ini tumbuh sampai lebih dari 50% antara tahun 1986 dan 1994. Tingkat pendaftaran baru dapat diharapkan semakin tumbuh sejak pemerintah federal mengakhiri batas minimum dan maksimum penerimaan di sekolah-sekolah swasta, menyesuaikan rumus pendanaan pendidikan menurut selera mereka.165 Dalam konteks inilah, sejak awal 1980-an, kaum Muslim mampu memulai pendirian sekolah-sekolah dasar dan menengah untuk mengajarkan kurikulum inti negara, di mana mereka berdomisili, sejalan dengan pengajaran bahasa Arab dan pelajaran agama Islam. Dengan kata lain, mereka menyediakan pendidikan sekuler di dalam sebuah lingkungan Islami. Dengan infrastruktur awal bagi sekolah-sekolah yang sebagian besar datang dari sumber-sumber di luar, pendanaan lanjutan dari pemerintah persemakmuran dan negara bagian digunakan untuk memperluas sistenm pendidikan islami secara memadai. Sejumlah sekolah-sekolah ini menjalankan pendidikan akhir dua tahun untuk tingkat menengah, dan beberapa di anataranya mampu memasukkan pelajaran bahasa seperti bahasa Turki dalam kurikulumnya. Lepas dari kesulitan-kesulitan awal, standar kurikulum mulai membaik secara bertahap, dan sekolah yang telah berhasil, seperti the King Khalid Islamic College di Melbourne, the Malik Fahd Islamic School di Sydney, dan the Islamic College of Perth, bersaing dengan sekolah-sekolah bergengsi yang telah mapan lainnya dalam penyediaan pendidikan bermutu.166 Di King Khalid Islamic College of Victoria, umpamanya, semua pelajar yang lulus di tahun 1998 mendapat tempat di universitas, sebuah tingkat keberhasilan yang jauh berada di atas rata-rata di Victoria dan sebuah contoh mencolok yang mendongkrak mobilitas sosial di kalangan generasi baru imigran Muslim. Kini ada dua puluh tiga sekolah Islam yang ada, dengan jumlah populasi pelajar sekitar 10,000. Sebagai tambahan, banyak sekolah Islam akhir minggu dan kelas-kelas Baca Qur’an dilakukan di hampir semua mesjid dan sekolah-sekolah Islam.

165Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 205.

166Lihat juga Abdullah Saeed, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, h. 56.

163

Sejalan dengan diberlakukannya program pemerintah tentang pendidikan multikultural di Australia di tahun 1981, maka setiap sekolah Islam memasukkan kurikulum ini dalam pelajaran-pelajaran mereka. Tujuan program ini sesuai dengan kebijakan multikulturalisme yang ingin menciptakan suatu identitas nasional dalam realitas mayarakat Australia yang multi-etnis dan bangsa. Dalam konteks komunitas Muslim di Australia, program ini juga bertujuan agar mereka meninggalkan pandangan mereka yang sempit, khususnya kelompok konservatif yang ekslusif, menjadi inklusif dan menerima pluralisme budaya dan agama di tengah dominasi budaya Australia. Pertentangan ideologis antara ideologi politik Islam dan multikulturalisme yang selama ini ’mengganjal’ interaksi sosial di antara kedua belah pihak bisa diminimalisir sehingga secara perlahan akan terbentuk identitas nasional yang kuat dalam meciptakan kehidupan yang harmonis. Di luar dukungan sekolah, banyak organisasi lain, yang membicarakan isu- isu lain yang berkaitan dengan berbagai kebutuhan masyarakat dalam ideologi multikulturalisme. Ada komite-komite untuk mendiskusikan dan merumuskan kebijakan atas isu-isu penting, seperti pendidikan multikultural, pernyataan awal dan akhir bulan Ramadhan atau menjediakan makanan yang halal. Brunswick167, umpamanya, sebuah kawasan tengah kota, distrik kelas pekerja di Melbourne, menghadirkan kelab-kelab halal Turki, restoran, coffee house, dan toko roti. Juga ada komite-komite yang dibentuk untuk mendiskusikan isu–isu tentang pakaian dan apakah wajib bagi perempuan untuk memakai jilbab. Ada organisasi persahabatan, seperti the El-Sadeaq Society, berpusat di Melbourne. Organisasi ini mempunyai sebuah pusat komunitas dan mesjid kecil untuk aggotanya yang kebanyakan berkebangsaan Mesir, dan berfungsi sebagai keluarga perwalian, mencakup orang Mesir dari segala usia, ditujukan untuk memberi pelayanan keagamaan, pendidikan, rekreasi, dan kebutuhan sosial yang tidak disediakan oleh negara bagian atau oleh masyarakat. Kelompok lain, seperti the Arabic Speaking Welare Workers Association, dan the Arab Women’s Solidarity Foundation, ditujukan untuk fungsi kesejahteraan

167Distrik Brunswick merupakan kawasan tempat tinggal kelompok Muslim dari berbagaii negara, termasuk para mahasiswa internasional, umumnya dari Indonesia karena akses yang dekat dengan beberapa kampus, tempat mereka belajar.

164

sosial, dukungan komunitas, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah masyarakat.168 Yang cukup mencolok, oleh karena berpusat di ibu kota nasional, adalah the Canberra Islamic Centre. Organisasi ini dibentuk di bulan Desember 1993 melambangkan budaya Islam dan gaya hidup Islam, menyediakan fasilitas-fasilitas sosial dan budaya, dan menjadi penghubung dengan pemerintah Australia dan kedutaan-kedutaan negara-negara Islam di Canberra atas nama kaum Muslim. Oleh karena organisasi the Islamic Centre tidak tergantung pada kedutaan negara Muslim manapun untuk dukungan dana tetapi bertujuan untuk bisa membiayai diri sendiri, organisasi itu terdaftar sebagai sebuah sumbangan di mana dari donasinya bisa dipotong pajak. Organisasi ini bukan anggota dari AFIC, meskipun ada kontak dengan organisasi itu. Anggaran dasarnya menjamin bahwa tidak ada kelompok etnik tertentu yang mendominasi di sana. Organisasi ini mendapat lokasi yang bagus dari pemerintah ibukota, the ACT (Australian Capital Territory), rencana denah disetujui, dan konstruksi pembangunannya sudah dimulai. Di sini akan tercakup sebuah Perpustakaan Islam Nasional Australia, di mana ribuan buku telah dikoleksi, juga berbagai fasilitas rekreasi seperti kolam renang bagi perempuan. Diresmikan dengan sambutan pembukaan dari Gubernur Jenderal di tahun 1997, Pusat ini melakukan rapat-rapat bulanan, dan mempunyai sekitar dua ribu anggota. Organisasi Muslim satu sama lain aktif di semua negara bagian dan kawsan (teritorial) Australia, termasuk kelompok pendukung peralihan (convert support groups) dan lembaga pendidikan. Banyak lembaga sosial dan pendidikan Muslim yang mengambil insiatif bekerja sama dengan agen perjalanan uuntuk mengorganisir kelompok tur bagi mereka yang berniat menjalankan ibadah Haji atau ‘Umra dengan biaya yang layak.169 Berbagai komunitas juga telah mendirikan bank-bank Islam dalam skala kecil,

168Untuk mengetahui jumlah lembaga atau kelompok sosial keagamaan Islam di Australia, lihat lampiran. 169Setiap tahun kelompok-kelompok tur ini memberangkatkan ummat Islam yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Dan jumlah perseta yang berangkat setiap tahunnya mengalami peningkatan.

165

meskipun hanya ada satu pemberi dana lokal yang Islami. Koperasi Komunitas Muslim Australia (the Moslem Community Co-operative of Australia), yang dalam proses menaikkan statusnya menjadi sebuah lembaga perkreditan (a credit union). Banyak organisasi perempuan telah terbentuk untuk maksud-maksud pengabdian atau pendidikan, sebagai kelompok pendukung dan membantu kaum perempuan mengurus kehidupan di Australia. Sebuah Jaringan Nasional Wanita Muslim se-Australia (Muslim Women’s National Network of Australia) menerbitkan sebuah newsletter secara reguler. Sambil berpartisipasi dalam arus besar media, kaum Muslim menjalankan stasiun-stasiun radio berskala kecil di kawasan-kawasan utama metropolitan Melbourne dan Sydney. Koran dan majalah Muslim lokal juga ikut serta. Australian Muslim News adalah sebuah publikasi jangka panjang di bawah panji AFIC. Penerbitan lain termasuk majalah Salam, Nida’ al-Islam, dan serangkaian newsletter mahasiswa. Hampir semua berbasis di Sydney atau Melbourne.

Tabel 8: Sekolah-Sekolah Islam170 1982- 1990-1995 1996-2000 % 1989 primer Kawasan Ibukota 0 0 0 Australia 3 1 6 4,000 65% New South Wales 0 1 0 250 100% Queensland 0 0 1 100 100% Australia Selatan 0 0 0 0 Tasmania 2 2 3 3,000 65% Victoria 1 2 1 1,900 65% Australia Barat 6 6 11 9,250 TOTAL

4. Pekerjaan

170Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 206.

166

Secara umum status sosial ekonomi kelompok Islam masih pada tingkat marginal, karena berbagai hambatan latar belakang sosial, budaya, dan pendidikan. Sebagian kecil dari mereka ada yang menduduki posisi ‘upper class’, namun sebagian besar menempati posisi ‘lower class’. mereka Gary D. Bouma171 dalam penelitiaannya tentang pemukiman dan pekerjaan kaum Muslim Australia, menguraikan bahwa distribusi kerja kaum Muslim yang dipekerjakan memberi gambaran lain tentang caranya komunitas Muslim membentuk diri. Banyak dari kaum imigran yang tiba lebih awal dilaporkan memasuki dunia kerja di bidang pekerjaan proses dan industri. Tabel 9 menggambarkan dari Sensus 1991, bagaimana pola itu berkembang pada semua Muslim yang bekerja pada saat itu. Tabel 9 memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti namun kerap ditemui antara pola pekerjaan laki-laki dan perempuan, di mana lebih banyak buruh administrasi perempuan dan tenaga penjual (sales) atau pemberi jasa (service personnel) dan lebih banyak seniman laki-laki. Karena 13.1 persen dari total tenaga kerja di Australia terlibat dalam perburuhan atau kerja sejenis, kaum Muslim ditampilkan secara berkelebihan dalam kategori ini. Suatu bentuk penampilan berkelebihan juga tampak dalam kategori operator pabrik dan mesin serta supir (12.7 persen) dan penjual (7 persen). Muslim kurang ditampilkan dalam jenis kerja lainnya. Status tenaga kerja dari suatu komunitas imigran merupakan satu dari indikator yang paling sensitif tentang bagaimana ia menyatu dengan masyarakat yang dimasukinya. Tabel 10 menunjukkan data ini bagi kaum Muslim. Angka-angka yang dibandingkan dengan total penduduk Australia adalah: Yang bekerja – 54,3 persen; Tidak bekerja – 7,1 persen dan Tidak bekerja – 36,2 persen (ABS Cat. No. 2722.0, tabel B20). Sebagai perbandingan 48 persen Kaum Laki-Laki Muslim dan 25 persen Muslim wanita yang telah bekerja, dengan jumlah tingkat menyeluruh 37,5 persen. Data ini berada di bawah rata-rata nasional.

171Sebagai bahan perbandingan, dalam menganalisis status sosial ekonomi masyarakat Islam Australia bisa dilihat dalam Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 30-34, dan Wafia Omar and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, h. 36-40.

167

Tabel 9: Characteristics of Muslims in Australia at the 1991 Census (employed persons over 15 only) by industry (%)

Industry Muslim Total Muslim male male female

Agriculture, forestry, fishing, hunting 1.09 5.49 0.80 Mining 0.09 1.88 0.21 Manufacturing 28.96 16.45 22.25 Electricity, gas and water 0.79 1.95 0.35 Construction 4.09 8.90 0.53 Wholesale or retail trade 16.69 17.95 19.82 Transport and storage 9.18 6.23 1.67 Communication 1.48 2.02 1.32 Finance, property and business 7.09 9.77 11.86 Public administration and defence 2.74 6.26 3.94 Community service 6.37 10.43 16.56 Recreation, personal other services 5.73 5.42 6.97 Not classifies 0.56 0.42 0.37 Not stated 11.35 6.83 13.33

Source: Census matrix table CSC6033 and Basic Community Profile Cat. No.

168

2722.0. table B21

Industri Sekali lagi, tabel 11 menunjukkan bahwa kaum Muslim secara tidak proporsional terlibat dalam industri manufaktur. Dengan 13 persen tenaga kerja Australia yang masuk dalam dunia manufaktur, kaum Muslim tampak ditampilkan secara berlebihan di sana. Orang Muslim ditampilkan agak sedikit dalam jasa pelayanan masyarakat, administrasi umum, konstruksi, dan komunikasi.

Table 10: Charcteristics of Muslims in Australia at the 1991 Census (persons aged 15 and over only), by labour force status

Muslim male Muslim female

Labour force Status Persons % Persons %

Waged or salaried 20.095 36.67 9. 579 21.91 Self-employed 2.733 5.39 1.075 2.46 Employer 1.428 2.82 482 1.10 Unpaid helper 172 0.34 265 0.61 Unemployed 11. 231 22.17 6.141 14.04 Not in labour force 14 236 28.10 24.504 56.04 Not stated 764 1.51 1.683 3.85 Total 15+ 350. 659 100.00 43.729 100.00

Source: 1991 Census matrix table CSC 6034 (excludes overseas visitors)

169

Table 11: Characteristics of Muslims at the 1991 Census (employed persons over 15 only), by occupation group (%)

Occupation group Muslim Total Muslim Total male male female female Labourers and related workers 21.08 13.26 20.51 11.19 Plant and machine operators and drivers 18.79 10.39 11.78 2.54 Salespersons and personal service 8.31 8.86 17.03 20.56 Clerks 4.39 5.96 18.44 27.30 Tradesperson 17.53 20.89 3.98 3.52 Para-professionals 2.98 6.39 3.89 7.25 Professionals 9.58 12.17 7.79 13.02 Managers and administrators 6.89 15.24 4.47 7.92 Inadequately described 1.83 1.52 1.53 0.80 Not stated 8.61 5.32 10.57 5.89

Source: 1991 Census matrix table CSC 6033 and Basic Community Profile, ABS Cat. No. 2722.0, table B22

Pendapatan (Income) Distribusi pendapatan orang Muslim dapat diamati untuk memperoleh profil komunitas dan lokasinya di tengah masyarakat Australia. Dalam hal ini data yang ada berasal dari data penghasilan keluarga dan ini ditampilkan dalam tabel 12. Komunitas Muslim itu muda, energik, dan menumbuhkan dirinya sendiri di Australia. Dilihat dari Sensus tahun 1991, profil komunitas ini menampakkan kesamaan secara garis besar dengan pola nasional dengan menampilkan beberapa fitur

170

berbeda, dengan semua komunitas imigran baru telah dan akan memakan waktu bagi orang Muslim untuk bisa membentuk profil mereka sendiri. Sebagaimana halnya beberapa grup etnik nasional di Australia yang telah mempunyai profil komunitinya yang berbeda. Wajar bila diharapkan bahwa beberapa kelompok agama itu juga akan memiliki profil yang khusus (berbeda). Profil seperti itu tak mungkin bisa dibuat pembandingan. Sensus Australia memasukkan pertanyaan tentang ‘agama’ sehingga memungkinkan pembandingan ini. Menurut penelitian Bouma, angka yang tidak bekerja 22 persen untuk laki-laki dan 14 persen untuk wanita keduanya ada di atas angka nasional. Kesulitan yang dihadapi kaum Muslim ketika mencari kerja. Kesulitan untuk mendapat kerja khususnya dinyatakan oleh mereka yang datang setelah tahun 1980, dan sebagian besat terletak pada keterpurukan ekonomi. Ini ada di luar dari kenyataan bahwa mereka sebenarnya bisa memperoleh sumberdaya dari komunitas Muslim yang lebih terorganisir untuk membantu mereka mencarikan pekerjaan. Data ini merupakan indikasi yang semakin membesar.172 Table 12: Family Income of Muslims in Australia at the 1991 Census (%) Family income Muslim All families families

$0-$3000 0.72 0 $3000-$8000 1.31 1.2 $80001-$12 000 2.57 2.2 $12001-$16 000 9.31 9.3 $16 001-$25 000 15.92 13.7 $25 001-$30 000 7.71 7.4 $30 001-$35 000 4.96 5.7 $35 001-$40 000 5.72 6.2 $40 001-$50 000 8.31 11.7 $50 001-$80 000 7.38 16.0

172Gary D. Bouma, Mosques and Muslim Settlement in Australia, h. 14.

171

$80 001-$100 0000 0.99 2.8 $100 001-$150 000 0.75 2.6 Over $150 000 0.16 0.6 Partial income stateda 31.01 17.2 No income statedb 3.25 2.7

a. Comprises families where at least one, but not all member(s) aged 15 years or more did not state an income and/or at least one spouse or child was temporarily absent. b. Comprises families where no members present stated an income. Source: 1991 Census matrix table CSC6043 and Basic Community Profile Cat. No. 2722.0, yable B31. dari dampak resesi pada kelompok ini. Di pihak lain, 41 persen yang tidak bekerja ada sedikit di bawah rata-rata nasional, dan mungkin mewakili mereka dari struktur usia muda dalam populasi kaum Muslim.

172

BAB V ‘DUNIA SIMBOLIK’: ISLAM DAN IDE MULTIKULTURALISME

Manusia sebagai makhluk hidup yang berkebudayaan, menandai baik fisik maupun non fisik berwujud dalam bentuk simbol berupa sekolah-sekolah, mesjid, aturan-aturan, larangan, dan lain-lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa definisi kebudayaan tergabung dalam suatu dimensi simbol. Dengan demikian terlihat bahwa kebudayaan dapat merupakan simbol yang menyatakan makna tertentu dari suatu representasi. Menurut Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures, menyebutkan bahwa simbol merupakan segala sesuatu – seperti benda-benda, orang, peristiwa, tingkah laku, ucapan-ucapan – yang mengandung pengertian tertentu tentang kebudayaan yang bersangkutan. Simbol juga dapat berupa gambar, tulisan, atau bentukan tertentu yang masing-masing telah diberi suatu arti tertentu. Dalam melihat simbol, antara obyek yang diberi arti dan representasinya memiliki hubungan arbitrer. Simbol juga menandai atau mewakili sesuatu yang lain, atau segala sesuatu yang telah diberi arti, atau makna tertentu.173 Geertz juga menganggap bahwa simbol merupakan unsur penting dalam kajian kebudayaan, bahkan kebudayaan itu sendiri dikatakannya sebagai kumpulan simbol. Lebih lanjut, menurut Geertz, kebudayaan merupakan suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep- konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan

173Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc., New York, 1973, h. 91.

173

mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Simbol digunakan untuk mengacu pada banyak hal, bahkan seringkali dipakai sejumlah hal sekaligus.174 Simbol-simbol yang ada cenderung dibuat atau dimengerti oleh para warga pemiliknya berdasarkan konsep-konsep yang mempunyai arti tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Seseorang biasanya menggunakan simbol berdasarkan pengetahuan mengenai pola-pola yang terdiri atas serangkaian aturan untuk membentuk serta mengkombinasi bermacam-macam simbol dan menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya Karena sebuah simbol merupakan suatu hasil arbitration (kesepakatan), maka simbol yang dimaksudkan oleh suatu kebudayaan akan berbeda dari makna suatu simbol pada kebudayaan yang lain, tergantung dari kesepakatan antar pendukung kebudayaan tersebut. Kebudayaan merujuk pada suatu pola pemahaman yang ditransmisikan secara historis mencakup simbol-simbol, sebuah sistem yang diwariskan dalam konsep yang diekspresikan berupa bentuk-bentuk simbolik yang digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi, mengabadikan dan mengembangkan pengetahuan mereka dan bersikap terhadap kehidupan. Istilah seperti ‘makna’, ‘simbol’, dan ‘konsepsi’ merupakan dunia nilai-nilai yang ditafsirkan oleh masyarakat Islam Australia berbeda dengan pemeluk agama Islam di tempat lainnya. Mereka menafsirkan sendiri nilai-nilai Islam di tengah pergumulannya dengan masyarakat Australia yang pada umumnya bersifat individualistik dan sekularistik. Dengan demikian, aktualisasi keislaman mereka merupakan hasil suatu interaksi timbal balik antara pengalaman hidup keberagamaan mereka dan pandangan masyarakat Australia di dalam memahami simbol-simbol agama. Simbol-simbol agama tersebut oleh banyak peneliti Australia sebagai mulainya era kebangkitan umat Islam Australia sejak tahun 1990-an, seperti peran AFIC yang sangat sentral dalam komunitas Islam, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah Islam, dan klausul agama yang masuk dalam agenda nasional kebijakan multikulturalisme.

174Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 89-91.

174

A. Interaksi Islam dan Multikulturalisme Australia Penduduk Muslim di seluruh dunia berjumlah lebih dari 1.300 juta jiwa, dan sebagian besar dari mereka (80%) bukan berasal dari keturunan Arab. Tujuh puluh lima persen atau 2/3 dari jumlah kaum Muslim tersebut berdiam di negara-negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam; sedangkan selebihnya (25%) menyebar di sisa bagian dunia yang lain. Jumlah ini menjadikan mereka kelompok yang signifikan di negara-negara yang sebagian besar non-Muslim, seperti di India, Cina, Rusia, negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Ada sekitar 20.000.0000 Muslim berdiam di Eropa dan Amerika, dan di Australia jumlahnya mencapai lebih dari 281.578 orang.175 Kehadiran komunitas Muslim merupakan salah satu faktor utama yang mengubah komposisi demografis dan politik negara Australia, dan ini berlangsung sejak akhir Perang Dunia II. Di tahun 1945, ia merupakan sebuah negara satu warna (monochromatic), satu bahasa (monolingual) dengan penduduk kurang dari sembilan juta. Secara politis, negara ini sukar melepaskan diri dari ikatan dengan Inggris; secara rasial, ia sebagian besar terdiri dari orang Anglo-Celtic yang pikmentasi kulitnya dilindungi oleh Kebijakan Australia Putih. Secara agama, negeri ini didominasi oleh tiga tradisi yang saling bersaing dalam agama Nasrani: Katholik Roma, Anglikan, dan Protestan. Di tahun 2000, Australia telah memiliki populasi lebih dari dua kali lipat hingga lebih dari 19.000.000 orang. The White Australian policy kini telah dihapus sehingga negeri ini telah menjadi rumah bagi serangkaian etnik, bahasa, dan tradisi agama yang hak-hak dan tradisinya diakui di bawah payung kebijakan yang mengatasnamakan multikulturalisme. Kelompok Muslim Australia turut memberi kontribusi sebagai mitra sejajar, di mana mereka mendapat dorongan untuk mengembangkan dan memperluas tradisi etnik mereka dengan cara mereka sendiri. Gambaran simbolik di atas merupakan salah satu kekuatan luar biasa dari kelompok Muslim yang juga diterima baik oleh warga negara yang telah lebih lama menetap. Ada secercah harapan bahwa jumlah pertemuan antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda yang sekarang ikut berbagi sebuah tanah air bersama

175 Disusun berdasarkan ABS 2001.

175

akan terus menuju sebuah persepsi yang lebih jernih tantang nilai-nilai dasar bersama di balik bentuk-bentuk budaya yang beraneka. Masing-masing kelompok berupaya mencapai keserasian lintas tradisi budaya satu sama lain guna lebih menyadari nilai- nilai dan harapan yang mereka miliki bersama Dengan demikian, seluruh masyarakat Australia dapat menyadari bahwa keragaman tradisi agama ini justru bisa menghasilkan sebuah otoritas tertinggi dan transenden (mencerahkan) pada nilai-nilai kelompok serta memberi peluang pada terciptanya prinsip-prinsip ketertiban dalam kehidupan sosial.176 Manfaat dari kebijakan multikulturalisme ini telah dirasakan oleh kaum Muslim Australia dengan dperolehnya sebuah suara dan sebuah identitas. Untuk menghargai potensi dan kenyataan kontribusi mereka pada Australia, dapat dilihat dari aspek kekayaan dan keragaman mereka. Keberadaan orang Muslim menyebar di berbagai aspek profesi dan lapangan kerja dalam beragam tingkat pendidikan, kesempatan, dan dorongan untuk memajukan mobilitas. Namun demikian, kesetiaan etnik masih tetap dipelihara, dan ini menjadi karakteristik tradisi ke-Islaman. Oleh karena itu, selalu ada pembauran (fusi) dalam bentuk-bentuk universal dengan doktrin-doktrin Islam, kepercayaan, serta gaya hidup lokal, dengan etnisitas yang tetap menjadi unsur penting dalam komposisi umat Islam di Australia. Kaum Muslim Australia membawa sederet kekayaan budaya dan keragaman latar belakang yang dicerminkan dalam aneka respon mereka pada lingkungan yang baru. Banyak yang merasa tercerabut dan mengalami trauma ketika mendapati diri mereka sebagai sebuah minoritas agama berada dalam situasi yang tidak dikenal dan dipaksa untuk mengadopsi berbagai strategi hidup yang berbeda. Pada mulanya, tidak ada negara atau komunitas lokal yang mau memberi dukungan, apalagi menawarkan pengakuan pada keyakinan mereka atau pada ritus-ritus yang mengidentifikasikan mereka sebagai sebuah komunitas. Mereka membawa sebuah keyakinan (keimanan) yang diekspresikan melalui budaya dengan akar sejarah yang dalam, sebuah ragam kekerabatan dan jaringan dukungan asosiasi, dan sebuah kesadaran, betapapun samar formulasinya, sebagai pendukung sebuah tradisi besar dalam pembelajaran, seni dan

176Hambatan utama pembauran ummat Islam Australia dengan kelompok lain, khususnya Kaum Kulit Putih adalah masalah bahasa. Meski praktek Multikulturalisme memberi akses pada training

176

budaya. Namun, sebagai pendatang baru, mereka merasa dihitung kecil dan menghadapi sikap-sikap yang masih bersifat streotip yang mengandung kebencian. Keterkejutan budaya (cultural shock), kebingungan, dan disorientasi merupakan respon yang biasa terjadi pada saat tiba di sebuah daerah di mana cara hidup lokal kelihatan begitu membosankan, kosong, ikatan kekeluargaan lemah dan tak berkembang. Masyarakat Muslim di Australia pada umumnya bersifat perkotaan dan sedang mengalami tahap perkembangan dalam membina hubungan-hubungan yang kompleks antar berbagai komunitas. Islam di Australia hadir dengan semua tradisi utamanya (Suni dan Syiah) serta komunitas yang lebih kecil seperti aliran Ismailiah dan Ahmadiah, baik dari Lahore maupun Qadiani. Keragaman ini terdapat dalam gaya, intensitas pengamalan ibadah, corak penafsiran teks kitab suci, dan cara interaksi sosial mereka dengan komunitas non-Muslim. Semua komunitas ini bergerak dalam berbagai cara dan kecepatan yang berbeda dalam sebuah proses menyesuaikan diri dengan budaya dominan Australia. Secara umum, ini merupakan sebuah cerita sukses dari sebuah pencapaian yang nyata. Dalam kurun waktu kurang dari 40 tahun, komunitas Muslim telah mulai meningkatkan diri mereka dan menciptakan struktur sosial dan kemasyarakatan untuk mendukung suatu cara hidup Islam. Terpaut masa sejarah satu abad atau lebih, mesjid-mesjid telah tampil dengan keindahan arsitekturnya yang khas, dan tidak lagi menjadi sekedar penampilan eksotik di tengah lanskap Australia. Tempat-tempat ini menjadi sarana untuk melakukan shalat dan merayakan identitas keislaman.177 Kesuksesan cerita komunitas umat Islam di Australia adalah memerlukan suatu proses yang panjang dan mendapat perhatian pemerintah federal Australia. Selama tahun 1970-an dan 1980-an, imigran yang baru, terbagi dalam kelompok penetap dan menurut negara (by residence and by state). Australia sebagai sebuah negara federal, mulai melakukan konsolidasi posisi mereka yang terdiri dari berbagai etnis. Kelompok-kelompok Islam bermekaran, masing-masing berlokasi di sekitar area mesjid atau fasilitas sembahyang dan diatur agar memenuhi kebutuhan dan

bahasa, namun hal ini tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh kelompok etnik Muslim.

177

tuntutan masyarakat. Kelompok-kelompok itu secara defininitif telah bersifat suatu rintisan dan organisasi yang tidak jelas. Namun menjelang tahun 1980-an mereka menjadi terbina dengan baik dan efektif. Di setiap negara bagian, beraneka kelompok mendirikan Dewan Islam Negara Bagian untuk mengupayakan kesejahteraan, pendidikan dan fasilitas keagamaan, serta berkoordinasi dengan tingkat pusat. The Islamic Council of Victoria, umpamanya, memiliki dewan para imam, mekanisme perwakilan kaum Muslim di tingkat pemerintahan negara dan sederet kegiatan termasuk dialog antar agama. Terbentuknya struktur dewan-dewan Islam dari semua negara bagian dan organisasi etnis yang diwakili oleh Dewan Federasi Islam Australia (AFIC) pada tingkat negara federal sejak tahun 1970-an, menurut Mary Lucille Jones sebagai simbol kebangkitan Islam di Australia.178 Organisasi ini telah berhasil membangun kesatuan umat Islam di Australia dan sebagai mediator dan fasilitator kebutuhan masyarakat dan perpanjangan tangan dengan pemerintah federal Australia. Wadah ini telah mendirikan lebih dari ratusan mesjid dan fasilitas ibadat di berbagai kota negara bagian dan sekolah-sekolah Islam sejak awal tahun 1980-an. Organisasi ini dibiayai dengan dukungan dari masyarakat lokal, dari negara- negara Muslim kaya minyak, dari dana yang diperoleh dari penerbitan sertifikat halal, dan, dan, dengan meningkatnya sumber modal dari permodalannya sendiri. Memanfaatkan dana-dana ini, AFIC mampu menyediakan biaya yang memadai untuk mendukung berbagai kegiatan komunitas Muslim, baik di tingkat lokal maupun nasional, dan membuat kontribusi ke arah pembangunan lanjutan mesjid-mesjid dan fasilitas sembahyang, penyediaan uman, dan pendirian fasilitas pendidikan untuk anak-anak Muslim. Organisasi ini tetap hidup ketika harga minyak dunia merosot di akhir tahun 1980-an, dan akibat lanjutan berupa pengurangan petro dollar yang tersedia untuk ‘propagasi Islam’ sedunia dengan bersyukur pada bantuan melimpah

177Anthony H. John and Abdullah Saeed, “Muslims in Australia”, dalam Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, h. 212. 178Mary Lucille Jones, ‘To Rebuild What was Lost: The Post-War Years and Beyond’, dalam Mary Lucille Jones (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeenth Century, h. 98.

178

yang telah diperoleh dalam dekade sebelumnya. Dalam mempertahankan semua kegiatan organisasi, Kerajaan Saudi memainkan peranan khusus.179 Organisasi AFIC telah memainkan peran penting dalam merubah sikap mental kelompok Islam yang baru datang dengan membawa alam pemikiran fanatik dan konservatif tersebut sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebijakan multikuralisme yang diterapkan pemerintah. Mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan ibadat sekaligus tempat identifikasi diri dan inetraksi sosial masing-masing etnis Muslim telah melahirkan pemahaman-pemahaman baru, seperti nilai demokrasi, filosofi ideologi multikulturalisme, modernitas, dan sekularisasi. Selain itu sekolah-sekolah juga berperan dalam mensosialisasikan pendidikan multikultural dalam menghayati makna toleransi dalam pluralisme agama dan menerima kehadiran identitas nasional Australia yang hidup berdampingan dengan pendidikan Islam. Sekolah-sekolah Islam telah mencapai keberhasilan nyata bila diukur dari standar komunitas yang lebih luas, meskipun masih ada masalah-masalah dalam pengembangan kurikulum berbahasa Arab yang baik dan bahan-bahan pengajaran tambahan serta rekrutmen guru-guru yang kompeten dan terbiasa dengan metode modern dalam mengajar. Sekolah-sekolah ini telah memfasilitasi cara mempertahankan dan memperkuat agama dan tradisi budaya orang Muslim dalam konteks Australia sebagai bagian dari misi untuk menumbuh suburkan generasi Muslim yang hidup selaras dengan masyarakat Australia di samping tradisi islami.180 Di tengah proses integrasi umat Islam dalam masyarakat Australia , Islam masih belum dimengerti dengan baik oleh sebagian masyarakat Australia. Kaum Muslim diakui sebagai bagian dari lanskap keagamaan yang telah banyak memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi Australia, namun masih tetap dianggap sebagai orang asing. Meskipun ’kantong-kantong’ intoleransi masih ada, komunitas Australia pada umumnya tidak saja toleran, tapi juga menerima orang Muslim sebagai manusia,

179Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 139.

180Dalam konteks kasus generasi di Amerika Serikat, para pemuka agama mengkhawatirkan generasi ketiga akan mengalami distorsi keagamaan, khususnya Islam. Hal serupa juga dijumpai oleh kalangan pemuka Islam di Australia.

179

seperti halnya individu dari latar belakang etnik atau warna kulit manapun. Penerimaan ini dudukung sejumlah undang-undang dan lembaga yang melindungi kelompok minoritas etnik. Dalam Undang-Undang Persemakmuran (the Commonwealth Act) yang terkait di sini adalah Equal Employment Opportunity (Commonwealth Authorities) Act 1987, the Human Rights and Equal Opportunity Commission Act 1986, the Racial Discrimination Act 1975, the Racial Hatred Act 1995. Pengakuan tentang peran agama dalam masyarakat multikultural Australia telah menjadi bagian dari simbol betapa pentingnya penting pertimbangan dan masukan agama pada tingkat politik Australia. Kebijakan-kebijakan multikultural Australia selalu menyebut agama, seperti tercantum dalam buku putih Agenda Nasional 1989 tentang multikulturalisme yang mengidentifikasikan tiga dimensi dasar kebijakan multikultural, yaitu identitas budaya, keadilan sosial, dan efisiensi ekonomi. Identitas budaya didefinisikan sebagai ‘hak semua orang Australia, dalam batas-batas yang ditentukan dengan hati-hati untuk menyatakan dan membagi warisan budaya individual mereka, termasuk bahasa dan agama’. Keadilan sosial diidentifkasikan sebagai ‘hak semua orang Australia untuk mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama, dan penghapusan hambatan-hambatan dalam bentuk ras, etnisitas, budaya, agama, bahasa, jender atau tempat lahir’. Bouma berpendapat bahwa pertimbangan tentang isu-isu agama justru menjadi masukan yang sangat diperhitungkan di saat kebijakan-kebijakan multikultural Australia dirumuskan.181 Sebuah masyarakat multikultural, menurut Bouma, adalah yang dicirikan oleh pluralitas agama, yaitu kesediaan untuk hidup bersama antara organisasi-organisasi agama, sebuah semangat (spirit) saling menghormati antar agama, dan kesediaan bekerja sama antara pihak pemerintah dan aparatnya di semua lapisan dengan organisasi agama. Negara Australia dan pemerintah federal berkomitmen pada kebijakan-kebijakan multikultural untuk mengurangi diskriminasi atas dasar agama. Ketika tidak ada perundangan yang bisa dikategorikan sebagai ‘Bill of Rights’, undang-undang melawan pelecehan dan diskriminasi atas berbagai dasar

180

diberlakukan. Ketika banyak kemajuan telah tercapai ada banyak ruang untuk melangkah lebih maju. Ada kasus-kasus pelecehan, intimidasi, pemanggilan-nama, penolakan kerja, penolakan persetujuan membangun mesjid dan kuil, masalah- masalah perumahan atau akses kepada jasa pelayanan berdasarkan perbedaaan agama di Australia. Bagaimanapun, tidak ada rasa antipati yang berdasarkan kesepakatan bersama, atau diakui agama, atau dinyatakan secara terbuka terhadap kelompok lain.182 Bouma mengidentifikasikan faktor demografi dan faktor struktur sosial sebagai kontributor kunci pada keberhasilan Australia sebagai sebuah masyarakat multikultural, yaitu kurangnya (tiadanya) situasi tumpang tindih antara perbedaan etnik dan agama; kurangnya (tiadanya) ghettonisasi masyarakat agama dan etnik; depolitisasi perbedaan agama, penyelesaian konflik agama/etnik yang tanpa kekerasan (non violent) sebagian besar melalui perundangan dan sidang pengadilan, eksistensi organisasi-organisasi yang secara efektif mempromosikan hubungan antar kelompok secara positif; dan ukuran kelompok minoritas yang relatif kecil. Bouma menganggap bahwa realitas sosial kelompok minoritas bukanlah sebuah tantangan nyata pada kelompok-kelompok agama dominan, karena jumlah mereka dibandingkan dengan mayoritas kelompok etnik Australia kurang dari empat persen. Di samping itu, kelompok-kelompok non-Kristen juga mempunyai keanekaan etnik yang menyebabkan semakin kecilnya kemungkinan terjadi tantangan yang signifikan bagi terciptanya konflik. Kenyataan di atas dllihat berbeda dengan pandangan Michael Humphrey, salah seorang peneliti Islam Australia. Menurutnya, tantangan agama dalam kehidupan multikulturalisme di Australia masih menghadapi berbagai persoalan. Ia menganggap formulasi ‘Islam di Barat’ menggambarkan pertemuan dua kebudayaan yang tidak cocok dan menyamaratakan (homogenising), yang satu agama dan yang lainnya sekuler. Dari perspektif Barat, kehadiran Islam yang muncul lewat imigrasi, dimunculkan sebagai sebuah kasus percobaan (as a test) bagi masa depan sebuah

181 Miichel Spuler, ‘The Impact of Multiculturalism on Australian Religious Traditions’, in Jounal DISKUS, vol. 5, 1999, h. 1. Pendapat ini banyak didukung oleh para akademisi. Diakses dari www.uni.marburg.de/religionswissenschaft/journal/diskus, tanggal 28 Pebruari 2005.

181

negara sekuler. Islam di Australia sebagai sebuah masalah bagi ‘multikulturalisme’, sementara di Perancis, ‘Islam’ dilihat sebagai penghambat sekularisme nasional. Nilai-nilai agama Islam , kepercayaan, dan prakteknya dipandang sebagai sesuatu yang berada dalam situasi konflik dengan organisasi dan irama kehidupan masyarakat di kota-kota Barat. Praktek-praktek keislaman berupa shalat, puasa, dan kerudung (hijab) menantang kompromi ruang publik sekuler dan nilai-nilainya dalam hal persamaan gender yang berhubungan dengan sosial dan hak-hak individu. Kehadiran Islam yang dihasilkan imigrasi tetap dipandang sebagai ‘yang lain’ (other), sesuatu yang secara esensi budaya tidak sesuai dan menolak untuk menjadi bagian masyarakat nasional di Barat.183 Kritik terhadap Islam, seperti disebutkan oleh Michael Humphrey, adalah representasi sebuah ‘resistensi permanen’ kelompok Muslim Australia terhadap modernitas, sekularisasi dan assimilasi. Dalam wacana multikulturalisme, sebuah kritik terhadap Islam, sebagian berupa kritik terhadap sikap resistensi budaya. Sebagai konsekuensinya, perbedaan budaya tidak hanya menjadi sekedar masalah pluralisme; tapi jugai memberi tanda adanya jarak dari assimilasi atau jarak sebagai warganegara.184 ‘Resistensi’ kaum imigran Muslim yang menjadi wacana masyarakat Australia tampak berfokus pada modernitas yang mempunyai garis sejajar secara internasional dengan ketakutan pada politik Islam. Barat melihat politik Islam sebagai sesuatu yang anti-modern dan reaksioner, terutama dalam bentuk Iran yang revolusioner. Politik Islam belum siap untuk turut berpartisipasi di dunia yang berbasiskan globalisasi sebagai sesuatu yang berbasiskan pasar dan ‘konsumerisme’ demokratik. Resistensi budaya yang dikemukakan oleh Humphrey, tidak sepenuhnya bisa disalahkan, tapi sedang berproses di tengah keragaman umat Islam itu sendiri yang mempunyai corak penafsiran sendiri-sendiri terhadap sumber-sumber ajaran Islam. Hal ini tak terlepaskan oleh latar belakang sosial, budaya, dan agama kaum Muslim yang pada umumnya datang dari daerah pedesaan (rural) yang memiliki pemahaman

182Miichel Spuler, ‘The Impact of Multiculturalism on Australian Religious Traditions’, dalam Jounal DISKUS, 2004, h. 2. 183Michael Humphrey, ‘An Australian Islam? Religion in the Multicultural City’, dalam Abdullah Saeed and Shahram Akbarzadeh, (ed.), Muslim Communities in Australia, h. 33.

182

keagamaan yang tradisional, kemudian masuk ke tempat baru yang asing dan bersifat ‘mega cities’. Beberapa isu kelompok Muslim yang menjadi perhatian dalam kerangka resistensi budaya, antara lain politik Islam, sistem perundangan sendiri, dan demokrasi. Persoalan politik Islam yang menyangkut negara Islam adalah menyangkut penafsiran umat Islam yang berbeda. Pada umumnya masyarakat Islam Australia yang menganut paham ini sangat sedikit dan ide tentang kekhalifahan atau pan-Islamisme telah berakhir sejak tahun 1924 pada masa dinasti Usmani runtuh. Kelompok ini juga tidak memiliki keinginan untuk mempunyai sistem perundang- perundangan sendiri, karena hampir semua tampak cukup nyaman dengan sistem perundangan Australia, yang tidak membatasi pelaksanaan ibadah agama sebagai individu. Dalam aspek demokrasi, masyarakat Islam cenderung menolak ketika paham ini diperkenalkan ke dunia Islam oleh Barat, karena paham ini dianggap bertentangan dengan konsep Islam tentang negara dan pemerintahan. Namun sekarang, mayoritas umat Islam mendukung demokrasi dan di banyak negara Muslim, paham ini telah diberlakukan sebagai bagian dari bentuk pemerintahan tanpa mengingkari masih adanya rezim yang otoriter di beberapa negara. Pandangan di atas dapat menjelaskan bahwa resistensi permanen umat Islam Australia yang menganggap Islam sebagai agama yang bertentangan dengan nilai- nilai dasar orang Australia tidak dapat dijadikan landasan yang kuat. Arus utama (mainstream) kelompok Muslim Australia beranggapan bahwa mereka juga terikat dengan nilai-nilai dasar Australia sama dengan orang Australia lainnya. Nilai-nilai itu mencakup komitmen pada negara Australia, kepentingan dan masa depannya, penerimaan terhadap struktur dan prinsip-prinsip masyarakat Australia, seperti Konstitusi (undang-undang), aturan hukum (rule of law), demokrasi parlementer, kebebasan beragama, kesamaan gender, dan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional.

184Wawancara pribadi dengan Adis Dudireja via internet, 10 Juli 2006.

183

B. Refleksi Islam terhadap Multikulturalisme Multikulturalisme merupakan sebuah sejarah baru sebagai jawaban atas mengalirnya para imigran ke negara-negara Barat setelah pecahnya Perang Dunia II. Ini memuncak pada tahun 1960-an, yang berakibat pada perubahan komposisi demografis baik secara etnik, sosial maupun budaya. Pada gilirannya hal ini memunculkan sejumlah problem migrants tentang adanya perbedaan budaya mereka dengan prinsip nilai-nilai budaya demokrasi liberal. Hal ini memerlukan pengambilan kebijakan yang tepat oleh negara-negara Barat untuk menjaga integrasi sosial para imigran agar dapat menyesuaikan diri dengan budaya dominan dan pandangan hidup di tempat mereka yang baru. Masalah berikutnya adalah bagaimana memelihara warisan kultural dan identitas kelompok yang telah dibawa kaum migran dari kampung halaman masing-masing (cultural baggage). Permasalahan di atas sebenarnya muncul berdasarkan keraguan Barat pada kelompok Muslim yang dianggap tidak mampu meyesuaikan diri di tengah nilai-nilai masyarakat Barat karena latar belakang nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan mereka yang masih bersifat tradisional. Kelompok Muslim masih menganggap bahwa demokrasi, hak asasi, persamaan (kesetaraan), dan lain-lain bukanlah merupakan bagian ajaran Islam, melainkan sesuatu yang di ‘impor’ dan ‘asing’ dalam tradisi Islam. Bila menggunakan pendekatan Islam historis baik secara sosio-kultural, tekstual maupun kontekstual, wacana di atas sebenarnya bukanlah sesuatu yang ‘asing’ dalam ajaran Islam. Demokrasi, kesetaraan, dan lain sebagainya merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri. Al-Qur’an sebagai rujukan teks suci yang utama menyebutkan, bahwa semua manusia yang ada di permukaan bumi adalah ‘al- khulafa’, kehadirannya merupakan representasi dari Tuhan. Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dan dianugerahi pengetahuan (laqad khalaqnā al- insāna fi ahsāni taqwīm). Mereka diberi amanah untuk memberdayakan seluruh sumber daya alam sesuai dengan sunnah Allah agar dapat mengambil manfaat untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Keragaman etnis dan rasial menurut al-Qur’an, adalah kehendak Allah sebagai Pencipta alam semesta (wa min ayātihi khalqu al-samāwati wa al-ardhi wa ikhtilāfu

184

al-sinatikum wa alwanikum –QS al-30:22) dan di mata Tuhan keutamaan manusia adalah pada nilai ketakwaannya (Inna akramakum ‘indal Illahi atqākum –QS al- Hujurat 49:13). Al-Qur’an tidak hanya memperhatikan ekpresi pluralisme agama (Allazhīna Amanū wa al-lazhīna hādū wa al-nashāra wa al-sab’īna...-QS al-Baqarah 2:62)) yang didasarkan pada keimanan kepada Tuhan dan amal baik, Tuhan berkehendak Allah untuk menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal (Innā ja’alnākum min zhakarin wa unsyā wa ja’alnākum syu’ubā wa qabbaila li ta’ārafū –QS al-Hujurat 49:13) dengan tujuan agar masing- masing berlomba-lomba dalam kebajikan dan kebaikan (Fastabiqū al-khairāt –QS al-Baqarah 2:148) serta kata sepakat (kalimat sawa’ –QS Ali ‘Imran 3:64) di tengah kemajemukan komunitas agama.185 Esensi ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an yang menyangkut hubungan antar manusia berpusat pada dimensi keadilan. Dimensi keadilan itu terlihat dalam wahyu Tuhan yang pertama pada periode-periode awal Mekkah tentang perlunya keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat. Beberapa cendekiawan menganggap bahwa komponen keadilan sosial merupakan salah satu katalisator utama penciptaan kejadian dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menerangkan tentang keseimbangan dalam penciptaan lingkungan alam dan menggunakan fenomena alam sebagai tanda (ayat) tentang Kekuasaan Tuhan, Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Kuasa. Dengan cara itu secara tidak langsung, al- Qur’an memberi penekanan, bahwa ras manusia perlu memanfaatkan sumber daya alam ini dengan cara yang selaras, berkelanjutan dan bertanggung jawab. Dari analisis tersebut di atas, jelaslah bahwa Qur’an telah dengan tegas mendorong perlunya kerjasama antar manusia dan kelompok manusia serta kepahaman timbal balik atas dasar prinsip-prinsip keadilan dalam definisinya yang paling luas. Dengan demikian ada dua kandungan tujuan al-Qur’an dalam hubungan dengan keberagaman budaya, yaitu: - Penghargaan pada hak-hak dasar kemanusiaan - Menjunjung tinggi keadilan.

185Wawancara pribadi dengan Adis Dudireja, 10 Juli 20006. Lihat juga tulisanya berjudul Debates Among Muslims about the Nature of Prophetic Authority –Implications for the Role of Islam in the

185

Prinsip ajaran Islam di atas tampak sejalan dan sesuai dengan dua tahap perkembangan dan tujuan dari multikulturalisme Australia, yaitu fase pertama, penekanan pada keanekaan budaya atas dasar prinsip penghargaan pada hak-hak asasi manusia. Pada fase ini, perlindungan dan pemeliharaan budaya merupakan salah satu faktor kunci untuk dapat memberi dorongan orang untuk mempertahankan warisan budaya mereka dan menghargai tradisi budaya yang beraneka dengan tujuan untuk memperkuat identitas nasional bangsa dan pengayaan (enrichment) budaya. Prinsip paling penting dalam hal ini adalah toleransi (tasamuh). Berdasarkan pandangan itu, masyarakat harus memberi penghargaan yang sama pada tradisi budaya orang lain. Di samping itu, perlu adanya kesediaan masyarakat untuk mendorong tradisi-tradisi lain agar bergerak maju dalam konteks sebuah masyarakat demokratis yang menghormati hak-hak setiap individu. Prinsip kebebasan berbicara dan berekspresi merupakan hak semua individu tanpa memperdulikan latarbelakang etnik, budaya, dan agama. Di Australia, ini diperkuat melalui kebijakan pemerintah dengan diberlakukannya undang-undang anti diskriminasi sosial (The Racial Discrimination Act). Undang- undang ini merupakan legitimasi dalam kerangka rule of law. Fase kedua, memasukkan dimensi keadilan sosial sebagai inti dari prinsip multukulturalisme. Ini berarti ideologi ini tidak hanya menekankan pada kemerdekaan pribadi perorangan, tetapi juga tentang keadilan sosial bagi semua. Prinsip dasar di sini adalah setiap orang berhak memperoleh persamaan sosial (social equity), terutama persamaan untuk mendapatkan akses dan pelayanan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup, seperti pemukiman awal, penyediaan sarana informasi, kesejahteraan sosial, dan lapangan kerja. Demikian pula, kebijakan multikulturalisme tidak hanya berkait dengan masalah toleransi, tetapi juga penerimaan pada budaya lain sebagai sesuatu yang mempunyai nilai yang sama untuk dikembangkan masyarakat itu sendiri, seperti terlihat dalam konsep al-maslahat dan al-masāwah dalam ajaran Islam. Hal ini terlihat dalam tujuan multikulturalisme,186 yaitu pertama, perekat sosial (social cohesion), yang bertujuan agar aneka kelompok dapat berinteraksi dengan berbagai

World Today, diakses via internet 7 Nopember 2006. 186Mark Lopez, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, h. 34.

186

cara guna mencapai kebutuhan bersama; kedua, identitas budaya (cultural identity), yaitu hak masyarakat dijamin dan diperbolehkan untuk mengekspresikan dan mewarisi budaya masing-masing, termasuk bahasa dan agama; ketiga, persamaan kesempatan dan akses (equality and access) di mana masyarakat diberi kesempatan dan akses yang sama dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi dan pekerjaan; keempat, kesamaan tanggungjawab (equal responsbility), komitmen dan partisipasi yang sama (commitment and participation) yang mensyaratkan kelompok minoritas setia kepada negara melalu rasa tanggungjawab dan partisipasi dalam kegiatan masyarakat dan berpegang teguh kepada ideologi multikultural. Hubungan agama dan multikulturalisme dalam masyarakat Australia memang menjadi wacana perdebatan, karena terlihat adanya perbedaan nilai-nilai satu sama lain. Ideologi multikulturalisme sebagai sebuah kebijakan Pemerintah Australia dianggap sebagai sebuah idealisme sekuler. Di kepala banyak politisi dan pemimpin- pemimpin akademik Australia tampaknya ada semacam keyakinan  atau katakanlah sebuah harapan  bahwa komponen agama dalam kebudayaan itu bersifat urusan pribadi. Pada saat kebijakan multikulturalisme harus berhadapan dengan nilai-nilai publik; bagi kaum politisi Australia umumnya, agama diletakkan di ‘belakang pintu yang tertutup.’ Namun demikian, agama merupakan bagian dari budaya Australia. Agama sebagai bagian dari budaya yang tak terpisahkan dari sistem nilai masyarakat Australia yang sedang mengalami perubahan. Agama mempengaruhi kehidupan orang – dalam pengertian baik ataupun buruk – sejak pertama kali orang Eropa datang ke daratan ini. Agama orang Aborigin Australia sekarang mulai mempengaruhi cara berfikir sebagian orang Australia khususnya dalam lingkup keadilan ekologis (ecojustice) dan spiritualitas. Untuk membahas agama dalam konteks multikulturalisme, menurut Robert Crotty, harus dimulai dari pembahasan mengenai makna kebudayaan. Meminjam definisi budaya Geertz, Crotty beranggapan bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah sebuah sistem simbol yang diwariskan turun temurun. Kebudayaan bersifat dinamis dan dapat menyesuaikan diri, bukannya statis atau deterministik. Kebudayaan

187

memberikan ketertiban di dunia di mana baik kelompok maupun individu bisa memperoleh maknanya sendiri-sendiri. Multikulturalisme adalah sebuah kebijakan yang mencari cara memelihara berbagai bentuk budaya dalam sebuah masyarakat tertentu.187 Tiap agama harus dilihat sebagai sebuah sistem budaya yang menawarkan ketertiban dan pemaknaan pada titik-titik kritis munculnya ancaman kekacauan (chaos). Kebenaran yang Mutlak (Ultimacy) adalah representasi simbolik ketertiban dunia dan maknanya harus tercermin dalam ketertiban yang kita jumpai sehari-hari. Tiap individu dalam masyarakat dunia sekuler dihadapkan dengan sederet budaya agama dan budaya dunia sekuler yang bisa saja mempunyai pandangan-pandangan dunia yang saling bertabrakan. Keragaman ini memungkinkan munculnya pluralisme agama di mana semua budaya agama diakui sebagai sebuah variabel, namun juga menjadi simbolisasi Kebenaran yang Mutlak (the Ultimate). Crotty lebih lanjut memperkenalkan sebuah kerangka nilai besar yang bisa disandang bersama oleh budaya dominan dan budaya-budaya minoritas dalam sebuah masyarakat tertentu. Dalam konteks ini, assimilasi berupaya merubah secara bertahap semua budaya minoritas agar bisa cocok dengan adonan dalam budaya dominan. Multikulturalisme sebagai sebuah altrernatif, menawarkan sebuah kebijakan interaksi dan pengayaan timbal balik baik pada budaya dominan maupun budaya minoritas yang terkait. Pluralisme agama menawarkan sebuah kebijakan yang analog dengan kebijakan interaksi. Para pengamat agama berpendapat setidaknya terdapat tiga sikap mental dalam kehidupan beragama. Pertama, eksklusivisme, yaitu pandangan bahwa budaya agama tertentu memonopoli kebenaran, karena ia satu-satunya yang mempunyai kebenaran simbol yang hakiki dan cara-cara yang tepat untuk memelihara hubungan dengan kebenaran mutlak itu. Kedua, inklusivisme, yaitu pandangan yang mengatakan bahwa agama yang mereka anut merupakan agama yang benar, namun demikian budaya agama lain bisa saja memiliki kebenaran meskipun hanya sebagian - dibanding dengan budaya mereka. Ketiga, pluralisme, yang berpendapat bahwa

187Robert Crotty, ‘Multiculturalism and Religious Pluralism: Interaction and Overlap’, dalam Norman C. Habel (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, h. 31-32.

188

semua budaya agama itu benar, semua agama dianggap mempunyai kebenaran sejauh menyangkut simbol yang Mutlak. Dalam konteks masyarakat multikultural Australia, sikap mental keberagamaan kelompok Islam masih dibayangi oleh sikap pencarian jati diri (search for identity) antara identitas Islam dan identitas nasional Australia. Terlepas dari wacana perdebatan kedua bentuk ini, pada kenyataannya masyarakat Islam Australia tengah berproses untuk menegaskan terjadinya pembauran di antara keduanya melalui pengalaman keseharian dalam interaksi sosial mereka di tengah manstream penduduk Australia. Memang, kata Azyumardi Azra, kompatibilitas Islam dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut Barat tidaklah mudah untuk dipertemukan. Namun demikian, diperlukan perumusan konseptual untuk dapat diterapkan dalam tingkat wacana dan praksis.188 Citra diri dalam suatu masyarakat tidaklah statis. Identitas adalah relatif dan tergantung situasi, selalu berubah dan menyesuaikan diri pada lingkungan-lingkungan sosial yang tengah bergerak. Identitas seseorang pada umumnya merupakan sebuah kombinasi kesetiaan dan rasa tanggung jawab. Identitas kelompok dapat berubah dalam setting sosial yang beragam, dan hal ini tampak pada identitas kaum Muslim Australia. Kelopok minoritas Muslim Australia tidak mungkin dapat berintegrasi dan ‘survive’ di dalam masyarakat Australia tanpa membuat paradigma baru yang membentuk sebuah identitas baru. Identitas baru tersebut adalah hasil kombinasi dua nilai yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama. Percampuran ini disebut dengan cultural hybridity, yaitu masyarakat Islam yang mempunyai sebuah identitas berdasarkan komitmen pada norma-norma sekuler masyarakat Australia dan tradisi Islam/etnis. Proses ini pada dasarnya sedang berlangsung dalam kehidupan Muslim Australia, khususnya dalam generasi kedua dan ketiga. Sebuah generasi yang tidak lagi mempertentangkan persoalan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, ideologi politik Islam, dan lain sebagainya. Di sisi lain, pihak tuan rumah dengan sungguh-sungguh dapat menghilangkan sikap yang rasis dan ethnosentris baik dalam

188Azyumardi Azra, Indonesia, Islam, and Democracy: Dinamics in a Global Context, International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta, 2006, h. 148-149. Lihat juga Azyumardi Azra dalam ‘Kata Pengantar’ buku karangan Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, alihbahasa Zubair dan Ilham B. Saenong, Teraju, Jakarta, 2003, h. xvi.

189

bentuk fisik maupun kebudayaan yang menjadi ciri kebijakan assimilasi dan menggantinya dengan multikulturalisme. Munculnya multikulturalisme sebagai kebijakan ideologi politik Australia merupakan sebuah politik kebudayaan baru. Politik ini dibangun atas dasar bahwa pluralisme budaya tidak cukup hanya dengan penghargaan terhadap perbedaan- perbedaan kebudayaan, khususnya terhadap kelompok minoritas Islam dan kelompok lainnya. Ini perlu diikuti dengan suatu pembentukan identitas baru berupa etnisitas baru dengan segala representasi simbol budaya warga pendatang, yang disebut oleh McGuigan sebagai ‘kesadaran ganda’ atau ‘identitas campuran’ (hybridity). Konstruksi kesadaran ganda muncul di tempat mereka yang baru melalui proses migrasi global. Mereka menciptakan diaspora-diaspora baru di mana mereka harus belajar untuk menempati paling sedikit dua identitas, berbicara dua bahasa budaya, dan menterjemahkan serta bernegosiasi di antara keduanya.189 Hasil rekonstruksi percampuran berbagai elemen bertujuan untuk menciptakan identitas baru sekaligus cara untuk bertahan hidup (survive) dan berjuang dalam kondisi krisis dan transisi. Sebuah perjuangan untuk representasi yang melibatkan demistifikasi, yaitu untuk menentang streotip yang negatif dan merendahkan serta marginalisasi pada orang berkulit berwarna secara sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, hibriditas adalah sebuah konsep yang menekankan ‘posisi- antara’ dan interkultural serta melibatkan semacam kreolisasi. Syarat utama keberhasilan identitas baru yang bersifat campuran tersebut haruslah sejalan dengan prinsip dasar multikultralisme Australia dan ajaran Islam itu sendiri, yaitu adanya pemahaman yang inklusif dan terbuka terhadap keragaman sosial, budaya, dan agama. Ada beberapa model hubungan negara dengan multikuratulisme. Model pertama adalah Negara sekularisme yang mendukung eksistensi dan kebebasan untuk melaksanakan kewajiban agama dalam ideologi multikulturalisme. Model agama ini tumbuh dalam alam multikulturalisme sebagai bentuk yang menekankan multi-religi dan tetap berada di wilayah sekuler. Agama diyakini sebagai tindakan individu dan

190

merupakan ritual budaya yang tetap dipelihara, namun tidak esensial. Model ini seperti terlihat pada bagan di bawah.190 Model 1. Agama non-Esensialistik/Semangat Multikulturalisme Multikulturalisme

Multi-agama Sekuler

Model kedua berpendapat bahwa pandangan agama yang esensialistik biasanya didukung oleh sebuah masyarakat yang digerakkan oleh ideologi tunggal dan tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Dalam hal ini, agama menjadi esensial dan mendikte jalannya negara.

Model 2: Esensialistik dan Supremasi Agama

Ideologi Tunggal

Agama Established Anti Sekuler

Model ketiga menempatkan agama dalam pandangan esensialistik, namun berada dalam wilyah sekuler dengan menggunakan agama sebagai alat negara.

Model 3: Esensialistik dan Supremasi Negara

189Thung Ju Lan, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan Budaya, Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002, h. 56-57.

191

Ideologi Tunggal

Agama Established Sekuler

Ada juga model keempat yang menekankan multi-agama, tetapi tidak dalam wilayah semangat multikulturalisme. Model 4: Agama Essensialistik/Semangat Multi-Religi/non-Multikultural Komunalisme

Agama Established Multi-agama

Pengaruh Serangan 11 September 2001 dan Bom Bali terhadap Komunitas Muslim di Australia Bagi masyarakat Australia dan negara-negara Barat yang menganut paham sekuler pada umumnya, citra ekslusif kerap dialamatkan kepada masyarakat Muslim, karena mereka dianggap memiliki potensi konflik yang membahayakan multikulturalisme. Akibatnya, sebagaimana terlihat dalam perkembangan terakhir ini, multikulturaslisme mengalami degradasi, khususnya setelah peristiwa pemboman 11 September 2001 pusat perdagangan kota New York dan kantor pusat keamanan Pentagon serta bom Bali di tahun 2003. Degradasi itu ditandai dengan bangkitnya

190Model ini dipinjam dari Maloty Nye, yang dikutip oleh Gadis Arivia dalam, ‘Multikulturalisme: Re-imagining Agama’, dalam Refleksi, vol. VII, no. 1, Fakultas Uhsuluddin dan Filsafat, UIN Jakarta,

192

kembali aspirasi ideologi assimilasi (monokulturalisme) di Inggris dan Australia.191 Peristiwa itu merupakan hari-hari yang terburuk bagi masyarakat Muslim di Australia. Suasana Islamophobia mendadak diacungkan kepada kelompok minoritas Muslim Australia. Ini menjadi alasan lain mengapa orang Muslim menjadi sasaran ancaman bernuansa kematian, peledakan bom, ancaman fisik dan surat pos bernuansa kebencian . Orang-orang yang menampakkan kemuslimannya, khususnya wanita, diludahi, mendapat perlakuan kekerasan, jilbab mereka dirobek. Di Brisbane sebuah bis yang membawa anak-anak dari sebuah sekolah Muslim dilempari batu ketika lewat.192 Akibat buruk setelah peristiwa 11 September 2001 dan bom Bali, termasuk dengan menambahnya jumlah pencari suaka yang merapat di pantai-pantai Australia selama beberapa tahun yang lalu menjadi sebuah perdebatan memanas di Australia— baik di surat-surat kabar, perbincangan radio dan juga di layar televisi – tentang kehadiran Islam dan kaum Muslim di Australia. Sebagian orang menanggap bahwa kini tiba saatnya bagi Australia untuk melihat dengan keras pada Islam dan potensi ancaman yang dibawanya pada Australia, masyarakatnya dan nilai-nilainya. Sebagian lain beranggapan bahwa cara penyama-rataan (generalisasi) seperti itu tak dapat dipakai mengingat keragaman yang luar biasa dalam masyarakat Muslim di praktek Islam – tidak mungkin orang menempatkan seluruh masyarakat Muslim dunia yang jumlahnya 1200 juta dalam satu keranjang untuk kemudian menamai mereka semua sebagai teroris. Dasar keimanan, nilai-nilai dan norma-norma serta lembaga keagamaan mereka tiba-tiba menjadi titik pusat pembicaraan media dan dinas-dinas keamanan orang Australia. ‘Islam’ dan ‘Muslim’ telah menjadi label yang bermuatan masalah. Simbol-simbol Islam telah menjadi target kebencian, yang kerap diarahkan pada orang Islam, oleh sekelompok kecil masyarakat Australia yang vokal. Juga ada sejumlah dokumentasi kasus-kasus kekerasan terhadap orang Muslim dalam masyarakat.193

2005, h. 11-12. 191Tahir Abbas, Religion, Radicalism and Multiculturalism: Indonesia and UK Experience, International Seminar Paper, Muhammadiyah dan British Council, Jakarta, 30 Januari, 2006, h. 26 192Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. 191. 193Abdullah Saeed, Islam in Australia, h. iv-v.

193

Dengan menguaknya kejadian-kejadian di New York dan Washington serta keterlibatan orang Muslim pada penyerangan itu menjadi semakin jelas, khususnya mereka yang sebelumnya belum pernah mengadakan kontak dengan masyarakat Muslim di Australiai atau di luar negeri, menjadi curiga pada Islam dan Muslim. Orang Muslim perlu menjelaskan apa arti Islam bagi mereka, khususnya dalam konteks kehidupan orang Australia. Mereka perlu menguakkan konsep-konsep keliru seperti soal jihad dan hijab serta meyakinkan masyarajat yang kini semakin skeptis bahwa Islam itu sendiri tidak bisa disalahkan sebagai kebencian yang dilakukan kaum ekstrimis dan radikal di antara mereka. Pembahasan tentang tentang Islam dalam konteks Australia agak sulit untuk dilakukan. Sebagian kesulitannya adalah karena Islam bukan satu hal, seperti yang biasanya dipandang. Islam diyakini dan menjadi jalan hidup dalam berbagai cara berbeda oleh kaum Muslim di dunia. Benar bahwa ada sejumlah pemikiran, keimanan, praktek-praktek dan nilai-nilai fundamental yang sudah menjadi hal yang biasa bagi semua orang Muslim, namun di hampir semua kawasan yang melaksanakannya di banyak negeri yang berbeda, hal-hal seperti itu berjumlah relatif sedikit. Orang Muslim sering tidak setuju pada sejumlah tafsir/interpretasi dan rinciannya. Mereka juga, seperti halnya pada tradisi agama lainnya, punya berbagai bentuk orientasi teologis, aliran-aliran hukum dan bagian-bagian politik-keagamaan. Mereka juga terbagi-bagi dalam berbagai bentuk aliran yang bersifat konservatif, liberal, tradisionalis, modernis dan post-modernis. Orang Muslim hanya satu dari beraneka kelompok etnik beragama di Australia. Orang Muslim Australia datang dari hampir seluruh penjuru dunia, membawa gaya bahasa dan perbedaaan budaya dari negeri asal mereka dan juga cara- cara menerjemahkan Islam yang beerbeda-beda. Menambah kerumitan ini adalah pada kenyataan bahwa lebih dari 36 persen orang Muslim Australia lahir dan dibesarkan di negeri ini serta pengalaman keIslaman mereka hanya dalam konteks Australia – banyak yang beralih menjadi Islam di kalangan orang Eropa dam latar belakang lainnya, sementara yang lain hanya merupakan generasi kedua, ketiga, dan bahan keempat dari orang Muslim Australia yang bagi mereka tidak ada ‘rumah’ lain selain Australia.

194

Dalam tabel berikut ini, digambarkan adanya tantangan-tantangan besar yang bernuansa konflik dari kelompok Muslim di Australia bagi kelangsungan kehidupan masyarakat multikultural yang dihadapi negara-negara demokrasi liberal dan negara-negara lainnya, khususnya Australia.194

Tabel 13: Perbedaan antara Tiga Model Identitas Muslim Australia MODEL ORIENTASI DASAR HUBUNG- MENTAL- IDENTITAS WAKTU LOYALITAS AN ITAS SOSIAL Skriptualis Dulu, Sekarang, Agama (Islam) Muslim Ekslusif dan Masa depan dan Formalistik Essensialis Dulu, Sekarang, Negara Baru, tapi Orang Inklusif dan dan Masa Depan masih Australia Substansiali berorientasi pada dan Negara s Budaya, Agama, Asal dan negara asal Kosmopolitan Utamakan Masa Universal Antar Pluralisme Depan Bangsa

Dalam hal ini, kasus Muslim Australia mungkin bisa menjadi gambaran konflik antara identitas multikulturalisme sebagai identitas bangsa dan sikap ekslusif agama. Menurut pengamatan penulis, terdapat polarisasi identitas migran etnis Muslim Australia. Polarisasi tersebut berdasarkan citra, pengalaman hidup, sikap mental, dan perilaku mereka dalam hubungan sosial mereka dengan masyarakat dan pemerintah Australia yang bersifat multikulturalistik. Dalam kaitan ini, terlihat

194Tabel ini dilihat melalui pengamatan dan wawancara penulis dengan mengadopsi tabel penelitian Dedi Mulyana yang disesuaikan dengan objek kajian penulis. Lihat Dedi Mulyana, Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and Transformation of Ethnic Identity, unpublished dissertatation, Monash University, Melbourne, 1995, h. 263-270.

195

beberapa model identitas keagamaan Islam, yaitu Skriptualis, Essensialis, dan Kosmopolitan. Gambaran di atas menjelaskan bahwa model identitas Skriptualis yang tidak mengakomodasi sistem sosial politik Australia dalam kerangka kebijakan multikulturalisme sulit untuk mendapatkan pengakuan politik (poltical recognition), karena dianggap memiliki mentalitas yang ekslusif, formalistik, dan tekstual. Hal ini tentu menghambat bangunan integrasi dan mereka tidak bisa ‘survive’ di tempat mereka yang baru. Bila dibandingkan dengan penelitian Begum Zubaida di tahun 1984, kelompok ini merupakan mayoritas, sedangkan dalam penellitian ini sebaliknya, yaitu kelompok kecil. Perubahan pandangan ini disebabkan oleh pengaruh pendidikan multikultural dan meningkatnya pendidikan dan ekonomi mereka di tengah masyarakat Australia. Di pihak lain, kelompok essensialis dan kosmopolitan terlihat mampu menyesuaikan diri dan menyerap sistem politik tempat tinggal mereka yang baru tanpa harus kehilangan identitas keagamaan. Kedua kelompok terakhir ini menganggap bahwa multikulturalisme tetap menjamin kebebasan beragama di Australia, karena itu mereka tetap memiliki loyalitas kepada negara mereka yang baru dan dengan identitas baru pula, yaitu identitas nasional Australia. Ada beberapa kendala yang dihadapi masyarakat Muslim Australia di dalam merespon kebijakan tersebut, antara lain kurangnya kemampuan bahasa Inggris, kurangnya keahlian (skill), fragmentasi kelompok agama yang terpusat pada latar belakang etnis, dan dangkalnya interpretasi terhadap ajaran Islam, dikarenakan latar belakang negara asal yang dilanda peperangan (Libanon dan Irak). Diperlukan pemahaman baru bagi masyarakat Muslim Australia dalam menafsirkan ajaran-ajaran pokok Islam yang bersifat universalism transcendental atau universalism transculturalism sehingga bisa hidup berdampingan dengan multikulturalisme di negara-negara Barat. Mengutip pendapat Prof.Dr. Taufik Abdullah dalam seminar Islam and the West,195 11-12 September 2002, menegaskan bahwa multikulturalisme merupakan alternatif untuk memecahkan masalah “clash of civilization” antara Islam

195Prof.Dr. Taufik Abdullah dalam Pengantar Seminar Internasional Islam and the West, diselenggarakan oleh Pusat Bahasa-bahasa UIN Jakarta, 11-12 September 2002.

196

dan Barat. Dengan kata lain, perpaduan universalims transcedental dengan multikulturalism bisa menghindarkan konflik antara “religious culture dan secular culture”. Berangkat dari pengalaman negara-negara yang sudah menjadikan multikulturalisme sebagai ideologi, seperti Australia dan Canada yang penduduknya bersifat multi-etnis dan bangsa terlihat mampu meredam ketegangan-ketegangan dan kekerasan-kekerasan dalam bentuk konflik budaya dan agama, termasuk terorisme serta radikalisme. Kedua negara ini, khususnya Australia banyak dijadikan model multikulturalisme di banyak negara dunia dalam membangun suatu kesatuan sosial (social integration) dan kohesi sosial (social cohesiveness) hingga saat ini.

197

BAB VI KESIMPULAN / PENUTUP

A. Kesimpulan Kehadiran kelompok Muslim di Australia telah berlangsung lama dan mendahului invasi kaum kulit putih pada abad ke-18. Periode-periode kedatangan tersebut mengalami pasang surut sesuai dengan situasi perkembangan politik migrasi yang terjadi di Australia. Periode pertama ditandai dengan kedatangan kelompok nelayan Makassar ke pantai utara Australia untuk menangkap trepang, namun tidak meninggalkan bekas yang berarti bagi perkembangan Islam di daerah tersebut. Periode kedua dimulai di tahun 1860-an dengan kedatangan kelompok Muslim Afghanistan dengan membawa kenderaan onta untuk melakukan eksplorasi tambang- tambang mineral di daerah pedalaman yang sulit dan pembukaan lahan-lahan pertanian. Kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi Australia di masa-masa awal diakui secara luas oleh masyarakat Australia. Namun hal ini tidak berlangsung lama saat diberlakukannya Kebijakan Kulit Putih Australia di tahun 1901 tentang pembatasan naturalisasi kewargaa-negaraan yang berlaku hanya bagi kulit putih, sedangkan bagi warga non-kulit putih ditolak kehadirannya. Peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif ini mengakibatkan merosotnya jumlah penduduk Muslim di Australia. Meski masa tinggal mereka tidak berlangsung lama, kontribusi mereka terhadap perkembangan Islam diakui sejarah Australia sebagai fondasi kedatangan Islam di Australia seperti terlihat adanya pembangunan-pembangunan mesjid. Perkembangan Islam yang menurun di awal abad XX selama 47 tahun di Australia, kembali menampakkan keberadaannya setelah meletusnya Perang Dunia II. Perkembangan politik dalam dan luar negeri Australia secara tidak terduga membuka pintu imigrasi bagi masuknya para imigran Muslim dari berbagai negara tanpa peraturan yang sangat ketat. Kecilnya jumlah penduduk Australia di tengah

198

perkembangan ekonomi Australia yang meningkat tajam dan ancaman invasi tentara Jepang ke Asia Timur merupakan alasan utama pemberlakuan peraturan imigrasi tersebut. Gelombang besar imigrasi kaum Muslim dari Turki dan Libanon yang signifikan ke Australia terjadi di tahun 1960-an dan 1970-an, karena alasan ekonomi dan politik ke Australia telah membentuk basis populasi komunitas Islam di Australia yang menyebar di seluruh negara bagian, khususnya di kota-kota besar seperti Sydney dan Melbourne. Eksistensi komunitas Islam di Australia ditandai dengan maraknya pembangunan-pembangunan mesjid di berbagai kota negara federal dan berdirinya organisasi-organisasi etnik Islam serta payung organisasi komunitas Islam di tingkat pemerintahan pusat (AFIC). Fungsi mesjid bagi umat Islam di Australia secara simbolik bukan hanya tempat melakukan kegiatan ibadah, tetapi merupakan tempat ekspresi, interpretasi, dan perayaan upacara keagamaan. Ia menjadi rujukan komunitas dan alat identifikasi identitas kultural masyarakat Islam. Demikian pula organisasi AFIC yang memainkan peran sentral dalam memajukan kehidupan beragama dan pendidikan dan mewakili suara kelompok Muslim Australia. Seiring dengan tingginya fluktuasi penduduk imigran di Australia yang menyebabkan pertumbuhan penduduk Australia meningkat hingga dua kali lipat di tahun 1987 menimbulkan tekanan dari komunitas etnik dan sebagian penduduk Australia terhadap kebijakan pemerintah yang masih menerapkan pendekatan assimilaitif yang bersifat rasis dan diskriminatif. Masing-masing komunitas etnis dan bangsa yang berasal dari 170 negara menganggap ideologi ini gagal dalam mengakomodasi warisan kultural mereka, karena itu diperlukan adanya suatu kebijakan baru yang mengakui eksistensi komunitas etnis (political recognation). Tekanan ini mendapat respon yang positif dari Pemerintahan Whitlam di tahun 1973 dan didukung oleh masyarakat Australia secara luas dengan diberlakukannya kebijakan baru Multikulturaslime dan menghapus kebijakan lama. Kebijakan baru ini tidak hanya diberlakukan kepada masyarakat migran, tetapi mengikat kepada seluruh masyarakat Australia dalam membangun tatanan nilai ideal bagi identitas nasional Australia yang plural dan mengurangi ketegangan dan konflik.

199

Respon kelompok minoritas Muslim terhadap multikulturalisme, khususnya pendidikan multikultural, menurut Begum Zubaida, terpecah menjadi dua. Kelompok Konservatif yang mendominasi komunitas Muslim di tahun 1970 dan 1980 melihat ideologi Islam bertentangan dengan ideologi multikulturaslisme yang sekuler. Ideologi politik Islam yang masih dipegang kuat oleh kelompok yang baru datang ini menuntut sistem sistem syariat Islam, termasuk pengadilan Islam, harus diberlakukan bagi umat Islam di Australia. Sementara ideologi multikulturalisme menuntut loyalitas semua warganegara, tanpa pengecualian untuk tunduk dalam sistem politik dan kelembagaan yang terdapat dalam negara Australia. Pandangan kelompok minoritas Moderat berpendapat sebaliknya. Ideologi multikulturalisme tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena tujuan dari prinsip-prinsip multikulturalisme yang ingin menyatukan realitas masyarakat yang plural dalam suatu identitas nasional sejalan dengan kandungan isi al-Qur’an, yaitu toleransi dan keadilan. Sikap resistensi kultural kelompok Konsevatif tersebut di atas seakan mengokohkan ketakutan masyarakat Australia terhadap politik Islam yang selama ini mereka anggap tidak cocok dengan nilai-nilai budaya Barat. Islam di Australia dilihat sebagai salah satu masalah bagi keberhasilan multikulturalisme, seperti halnya Islam di Perancis yang menghambat sekularisme nasional. Nilai-nilai agama Islam, kepercayaan, dan praktek keagamaannya dipandang sebagai sesuatu yang berada dalam konflik dengan organisasi dan irama kehidupan masyarakat di kota-kota Barat. Praktek keislaman berupa hijab (cadar) dan tidak adanya kesetaraan jender merupakan tantangan yang nyata terhadap kompromi ruang publik yang sekuler. Karena itu, kehadiran Islam yang dihasilkan imigrasi selalu dipandang sebagai ’yang lain’ (the other), yang secara esensial bertententangan dengan budaya Barat dan menolak untuk menjadi bagian dari masyarakat nasional di Barat, khususnya Australia. Namun persoalan hambatan ideologis dan isu-isu lain yang dihadapi umat Islam di Australia di tahun 1980-an bukanlah yang statis melainkan bersifat dinamis. Mereka melakukan negosiasi kemusliman mereka dengan kehidupan masyarakat Australia dan lembaga-lembaga yang ada. Latar belakang mereka yang sebelumnya bersifat pedesaan masuk ke daerah perkotaan telah merubah pandangan-pandangan

200

mereka tentang lanskap Australia dengan segala pernik budayanya. Secara ekonomis, kehidupan mereka terangkat dengan meningkatnya penghasilan mereka setiap tahun. Begitu pula di bidang pendidikan, rata-rata generasi kedua dan ketiga lebih terdidik dengan berdirinya sekolah-sekolah Islam reguler yang juga disubsidi pemerintah Australia. Secara kultural, mereka mulai melakukan dialog dengan berbagai antar agama dalam memahami pluralisme agama yang diselenggarakan berbagai pimpinan etnis yang juga berbeda agama. Berbagai negosiasi kemusliman telah berhasil memenuhi tuntutan mereka seperti pemberian otorisasi dari negara dalam perkawinan menurut ajaran Islam melalui imam-imam yang ditunjuk negara, mendapatkan visa untuk mendatangkan pemimpin agama dari mancanegara, area pemakaman sesuai dengan tradisi Islam, izin pembangunan mesjid, pendirian sekolah-sekolah Islan dengan memasukkan kurikulum Islam disamping kurikulum nasional Australia. Dengan demikian, hak asasi seseorang untuk melaksanakan agama dijamin pemerintah. Setidaknya ada dua hal penting yang mempengaruhi kehidupan beragama etnis Muslim di Australia. Pertama adalah dukungan ideologi multikulturalisme. Ideologi ini tidak hanya menciptakan toleransi, tetapi lebih penting lagi mendorong terwujudnya rasa keadilan sesuai dengan tujuan multikulturalisme itu sendiri. Kedua, adanya dukungan komunitas Muslim luar negeri dengan pembangunan mesjid-mesjid dan fasilitas sembahyang, penyediaan imam, dan fasilitas pendidikan bagi anak-anak Muslim. Kedua faktor ini, khususnya ideologi multikulturalisme, telah merubah pandangan mereka yang tadinya mayoritas konservatif menjadi inklusif dan moderat. Reinterpretasi agama terhadap doktrin ajaran agama berlangsung di tengah pergumulan mereka dengan masyarakat yang heterogen sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi kelompok Muslim. Untuk menghindari terjadinya dikhotomi antara identitas kultural Islam dan prinsip-prinsip nilai multikulturalisme yang masih menjadi ‘hantu’ sebagian masyarakat Australia, maka identitas kelompok Islam haruslah melebur ke dalam identitas nasional Australia yang ditandai dengan adanya loyalitas terhadap negara dan bangsa. Perpaduan antara dua identitas Islam di satu pihak dan ideologi multikulturalisme sebagai ideologi sekuler di pihak lain, bisa diselesaikan dengan

201

pendekatan budaya campuran atau kesadaran ganda (cultural hybridity) sehingga terhindar dari konflik antara budaya Islam dan sekularisme. Cara pandang ini diperlukan agar masyarakat Muslim dapat berintegrasi dan ‘survive’ dalam dominasi masyarakat kulit putih yang menganut paham demokrasi liberal. Kesadaran ganda di atas memerlukan pemahaman yang bersifat universal dan transkultural di dalam memahami ajaran Islam agar dapat compatible dengan nilai- nilai Barat yang bersifat humanisitik, demokratis, dan rasional, di samping tentu saja menghindari aspek negatif di belakang nilai-nilai tersebut. Bila tidak, masyarakat Muslim akan terkungkung dalam etnis agama yang sempit dan dapat memberi pengertian salah sehingga dapat menimbulkan sifat prejudice dan stereotip negatif terhadap umat Islam. Sikap ini akan menjadikan seorang Muslim sebagai ‘a real Australian’, dan tidak harus menjadi ‘a typical Australian’. Bagi kelompok Muslim, ideologi multikulturalisme adalah ‘pintu gerbang’ untuk memperkenalkan pemahaman dan pengertian Islam yang sesungguhnya kepada khalayak masyarakat kulit putih yang selama ini ‘ignorance’ dan ‘intolerance’ terhadap Islam.

B. SARAN Keberhasilan multikulturalisme sering menjadi acuan negara-negara lain di dunia di dalam menerapkan ideologi tersebut. Belajar dari pengalaman Australia, mungkin bangsa Indonesia dapat meminjam konsep tersebut untuk diterapkan di Indonesia sebagai perwujudan dari Bihinneka Tungga Ika. Penerapan Konsep Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu, saat ini telah kehilangan daya gebrak tentang pentingnya hidup bersama dalam perbedaan. Tunggal Ika lebih ditekankan ketimbang Bhinneka, sehingga akhrnya melahirkan persatuan semu (pseudo-unity). Multikulturalisme pada hakekatnya tidak hanya sekedar mencari persatuan, tetapi juga menumbuhkembangkan budaya perbedaan dan keharmonisan. Di sini perlunya kebijakan multikulturalisme sebagai kebijakan politik negara Indonesia dalam kerangka pembentukan masyarakat multikultural yang sehat. Namun hal ini tidak bisa dilakukan secara taken for granted dan trial error, sebaliknya diupayakan secara sistematis , programatis, integrated, dan berkesinambungan. Beberapa langkah yang paling strategis untuk mengelola keragaman, tidak hanya

202

menyangkut persoalan agama, tetapi sekaligus etnik, antara lain, pertama, pembentukan institusi, seperti Lembaga Urusan Multikultural (Indonesian Institute of Multicultural Affairs) dan Kantor Urusan Multikultural (The Office of Multicultural Affairs). Kedua badan ini bertugas menciptakan kerangka Kebijakan Agenda Nasional, menerbitkan buku-buku, mengadakan bank of research, dan menyiapkan tenaga ahli sehingga memudahkan perolehan pengakuan kelembagaan dan terciptanya komitmen di pihak Pemerintah pada prinsip-prinsip multikulturalisme. Alternatif lain, pemerintah perlu membentuk Komisi Urusan Etnis dan Agama (Ethnic Affairs Commission) untuk dijadikan semacam social engineering untuk mereformasi multikulturalisme Indonesia dengan menyusun sebuah agenda Nasional bagi terwujudnya multikulturalisme bangsa. Kedua, langkah strategis lainnya adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat luas. Tahap pertama bentuk pendidikan ini bisa dalam bentuk pendidikan interkultural sebagai wujud cross-cultural untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda. Pada tahap ini, seperti yang diungkapkan Prof. Azyumardi Azra, bahwa pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu agar tidak meremehkan budaya atau kelompok lain, khususnya kalangan minoritas. Selain itu juga ditujukan untuk timbulnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain. Tahap berikutnya ditujukan bagaimana mengelola dan memelihara serta memperkaya warisan kultural yang terdapat dalam masyarakat sehingga masing- masing kelompok bisa saling berbagi (sharing) dan saling memiliki.

Daftar Bacaan Abbas, Tahir, Religion, Radicalism and Multiculturalism: Indonesia and UK Experience, International Seminar Paper, Muhammadiyah dan British Council, 30 Januari, Jakarta, 2006.

203

Adam, Enid and Philip Hughes, The Buddhists in Australia, Bureau of Immigration, Multicultural and Population Research, Canberra, 1996

Advisory Council on Multicultural Affairs, Towards a National Agenda for a multicultural Australia: A Discussion Paper, Commonwealth of Australia, Canberra, 1988

Ata, Wade Abe (ed.), Religion and Ethnic Identity: An Australian Study, Spectrum Publication Pty Ltd., Melbourne, Victoria, 1988

Australian Council on Population and Ethnic Affairs, Multiculturalism for all Australians: Our Developing Nationhood, Commonwealth of Australia, Canberra, 1982.

Azra, Azyumardi, Indonesia, Islam, and Democracy: Dinamics in a Global Context, International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta, 2006.

------‘Identitas dan Krisis Budaya: Membangun Multikulturalisme Indonesia’ dalam Kongres Budaya Indonesia, yang diadakan oleh Menbudpar RI. Diakses dari www.kongresbud.budpar.go.id, Desember 2006.

Bainbridge, Sims William, The Sociology of Religious Movements, Routledge, New York, 1997.

Barth, Frederick, Kelompok Etnik dan Batasannya, alihbahasa Nining I. Soesilo, UI- Press, Jakarta, 1988.

Basset-Burr, Sarah, Muslims in Australia: A Bibliography, Ecumenical Migration Centre, Melbourne, 1991.

Baubock, Reiner et all (eds.), The Challenge of Diversity: Integration and Pluralism in Societies of Immigration, Avebury, Vermont, 1996.

Baz, Ibn Shaykhs and Shaykh Uthaymeen, Muslim Minorities: Fatawa Regarding Muslim Living as Minorities, Message of Islam, United Kingdom, 1998.

Begum, Zubaida, Islam and Multiculturalism: With Particular Reference to Muslims in Victoria, unpublished dissertation, Monash University, Melbourne, 1984

Bell, Daniel, The Coming of Post-Industrial Society: A Venture in Social Forecasting, Basic Book, Inc., New York, 1973.

Bilimoria, Purushottama, The Hindus and Shikhs in Australia, Bureau of Immig- ration, Multicultural and Population Research, Canberra, 1996.

Binder, Leonard, Islamic Liberalism, A Critique of Development Ideologies, The University of Chicago Press, Chicago, 1988.

204

Black, Alan (ed.), Religion in Australia: Sociological Perspectives, Allen and Un win, Sydney, 1991.

Bouma, Gary D., Religion: Meaning, Transcendence and Community in Australia, Longman Checire, Melbourne, 1992.

------, Mosques and Muslim Settlement in Australia, Australian Government Printing Service, Canberra, 1994.

------, Religious Tolerance in Australia, World Conference on Religi on and Peace, Melbourne, 1995.

------, The Religious Factors in Australian Life, Marc Australia (World Vision), Melbourne, 1986.

------(ed.), Many Religions, All Australian: Religious Settlement, Iden tity and Cultural Diversity, The Christian Research Association, Melbourne, 1996

Burnley, Ian (ed.), Immigration and Ethnicity in the 1980s: Australian Studies, Longman Chesire, Melbourne, 1985

Castles, Stephen (ed.), Mistaken Identity: Multiculturalism and the Demise of Nationalism in Australia, Pluto Press, Sydney, 1988

Chauvel, Richard D., Budaya dan Politik Australia, Yayasan Obor Indonesia, Ja karta, 1982

Clark, Gordon L. et all (eds.), Multiculturalism, Difference and Postmodernism, Longman Chesire, Melbourne, 1993

Clark, Manning, A Short History of Australia, A. Mentor Book, New York, 1969

Cleland, Bilal, The Muslims in Australia: A Brief History, Islamic Council of Victoria, Melbourne, October 2002

Coughlan, James E., and Deborah J. McNamara (eds.), Asian in Australia: Patterns of Migration and Settlement, Macmillan Education Australia, Melbourne, 1997

Deen, Hanifa, Caravanserai, Journey among Australian Muslims, the Australia Council, Sydney, 1995

Department of Immigration and Ethnic Affairs, National Consultations on Multiculturalism and Citizenship, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1982

205

Department of the Prime Minister and Cabinet Office of Multicultural Affairs, National Agenda for a Multicultural Australia: Sharing Our Future, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1989

During, Simon (ed.), The Cultural Studies Readers, Routledge, London, 2000

Eliade, Mircea, Australian Religion: An Introduction, Cornell University Press, Ithaca, 1973

Engel, Frank, Australian Christians in Conflict and Unity, The Joint Board of Christian Education of Australia and New Zealand, Melbourne, 1984

Esman, J. Milton and Itamar Rabinovich, Ethnicity, Pluralism, and the State in the Middle East, Cornell University Press, Ithaca, 1988

Esposito, John L. (ed.), Islam in Asia: Religion, Politics, and Society, Oxford, Press, New York, 1987

Fawcett, Liz, Religion, Ethnicity and Social Change, Macmillan Press, London, 2000

Foster, Lois and David Stockley, Multiculturalism: The Changing Australian Paradigm, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, England, 1984

Foster, Lois and David Stockley, Australian Multiculturalism: A Documentary His tory and Critique, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, England, 1988

Geertz, Clifford, The Religion of Java, The Free Press Glencoe, London, 1960.

------, The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc., New York, 1973.

Goodman, David, D.J. O’Hearn and Chris Wallace-Crabbe (eds), Multicultural Australia: The Challenges of Change, Scribe, Victoria, 1991

Goosen, Gideon, Religion in Australian Culture: An Anthropological View, St. Pauls, Sydney, 1997

Goot, Murray, Multiculturalists, Monoculturalists and Many in between: Attitudes to Cultural Diversity and their Correlates, in Australian and New Zealand Journal of Sociology, vol. 29, no. 2 1993, 226-253

Graetz, Brian and McAllister, Dimensions of Australian Society, Macmillan Company of Australia, Melbourne, 1988

Gurry, Tim (ed.), An Emerging Identity: Focus on Australian History,Victoria,1987

206

Habel, Norman C. (ed.), Religion and Multiculturalism in Australia, Australian Association for the Study of Religious (AARS), Adelaide, 1992

Haddad, Yvonne Yazbeck (Ed.), Muslim in the West, Oxford University Press, London, 2002

Hage, Hassan and Rowanne Cough (eds.), The Future of Australian Multicultural ism, The University of Sydney, 1999

Hardjono, Ratih, Suku Putihnya Asia: Perjalanan Australia Mencari Jati Dirinya, Gramedia, Jakarta, 1992

Hiro, Philip, Islamic Fundamentalism, Paladin, London, 1988

Jaensch, Dean, The Politics of Australia, Macmillan Education Australia, Melbourne, 1992

Jones, Mary Lucille (ed.), An Australian Pilgrimage: Muslims Australian in Seventeen Century, Law Printer, Melbourne, 1993

John, H, Anthony and Saeed, Abdullah, “Muslims in Australia”, dalam Muslim Minorities in the West: Visible and Invisible, Yvonne Yazbeck Haddad & Jane I. Smith (ed.), Altamira Press, New York, 2002

Jonston, Marjorie, Australian History, Longman Cheshire, Melbourne, 1985

Juan, E. San Jr., Hegemony and Strategies of Transgression: Essays in Culltural Studies and Comparative Literature, State University of New York Press, New York, 1995

Jupp, James (ed.), The Challenge of Diversity: Policy Options for a Multicultural Australia, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1989

------, Ethnic Politics in Australia, George Allen and Unwin, Sydney, 1984

Kumar, Ranjit Research Methodology – A Step by-Step Guide for Beginners, Longman, London, 1996.

Lan, Thung Ju, ‘Politik Kebudayaan Baru tentang Perbedaan’, dalam Masyarakat dan Budaya, Vol. IV No.1 PMB-LIPI, Jakarta, 2002

Lawson, E. Thomas and Robert N. McCauley, Rethingking Religion: Connecting Cognition and Culture, Cambridge University Press, New York, 1993

Lerda, Valeria Gennaro (ed.), From ‘Melting Pot’ to Multiculturalism: The Evolution of Ethnic Relations in UN and Canada, Bulzoni Editore, Roma, 1990

207

Lopez, Mark, The Origins of Multiculturalism in Australian Politics 1945- 1975, Melbourne University Press, Melbourne, 2000

Macquarrie, John, Principles of Christian Theology, SCM Press, London, 1966

Malik, Iftikhar H., Islam and Modernity: Muslims in Europe and the US, Pluto Press, London, 2004

McConnochie, Keith, et al, Race and Racism in Australia, Social Science Press, Katoomba, Sydney, 1988 Martin, Jean I., The Migrant Presence: Australian Responses 1947-1977, George Allen & Unwin, Sydney, 1978

Mol, H., Religion in Australia, Longman Chesire, Melbourne, 1971

------, The Faith of Australians, Allen & Unwin, Sydney, 1985.

Mulyana, Deddy, Islam dan Orang Indonesia di Australia, Logos, Jakarta, 2000.

------, Twenty-Five Indonesians in Melbourne: A Study of the Social Construction and Transformation of Ethnic Identity, unpublished dissertatation, Monash University, Melbourne, 1995, h. 263-270.

Nile, Richard (ed.), Immigration and politics of Ethnicity and Race in Australia And Britain, Bureau of immigration Research (Australia) and the University of London, Melbourne and London, 1991

Nurdin, M. Amin, ‘Managemen Konflik Negara terhadap Masyarakat Multikultural: Kasus Komunitas Muslim Australia’, in Refleksi, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, vol. VII, no.1, 2005

------, ‘Kajian Multikulturalisme dan Kaitannya dengan Kerukunan di Indonesia’, makalah yang disampaikan pada seminar Strategi Sosialisasi Multikultural dalam Rangka Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan Litbang Depag RI, Jakarta, 10 Juli 2006.

Omar, Wafia and Kirsty Allen, The Muslims in Australia, Australian Government Service, Canberra, 1996

Parekh, Bhikhu, Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, Macmillan Press, London, 2000

Payne J. Richard and Jamal R. Nassau, Politics and Culture in Developing Wprld: The Impact of Globalization, Longman, New York, 2003

208

The Parliament of the Commonwealth of Australia, Australian Population ‘Carry ing Capacity’: One Nation – Two Ecologies, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1994

Ramadan, Tariq, Menjadi Modern Bersama Islam, alihbahasa Zubair dan Ilham B. Saenong, Teraju, Jakarta, 2003

Research Center for Regional Resources (PSDR), Identity, Multiculturalism and Formation of Nation States in Southeast Asia, The Indonesian Institute of Sciences (LIPI) and Japan Foundation, Jakarta, 2004

Ricklefs, M.C., ‘Culture, Ethnicity, and Religion as Process: Inter-culturally as the Key to the Future’, in KULTUR, vol. 1, no. 1, Center for Languages and Cultures of the State Institute for Islamic Studies (IAIN), Jakarta, 2000

Rimmer, Stephen J., The Cost of Multiculturalism, Stephen J. Rimmer, Bedford Park, 1991

Robertson, Roland and William R. Garrett (ed.), Religion and Global Order: Religion and the Political Order, Paragon, New York, 1991

Rubinstein D. William, Judaism in Australia, Bureau of Immigration, Multicultural and Population Research, Australia.

Saeed, Abdullah, Muslim Australians: Their Beliefs, Practices and Institutions, Departement of Immigration and Multicultural and Indigenous Affairs and Australian Multicultural Foundation in Assotiation with The University of Melbourne, 2004

------, Islam in Australia, Allen & Unwin, Sydney, 2003

------and Shahram Akbarzadeh, (eds.), Muslim Communities in Australia, UNSW Press, Sydney, 2003

Said, Edward W., Orientalism: Western Conceptions of the Orient, Penguin Books, New York, 1995

Siddiqui, Ataullah, Christian – Muslim Dialogue in Twentieth Century, Macmillan Press, London, 1997

Theophanous, Andrew C., Understanding Multiculturalism and Australian Identity Elikia Books Publication, Victoria, 1995

Vasta, Ellie, Multiculturalism and Ethnic Identity: Relationship between Racism and Resistance, in Australian and New Zealand Journal of Sociology, no.2, August 1993, 209-225

209

Youngman, Drew, Double Standar: An Independent View of Religiuos Dis crimination in Australia, Self-Published, Australia, 1995

Ward, Rowland and Robert Humphreys, Religious Bodies in Australia: A Comprehensive Guide, New Melbourne Press, Victoria, 1995

Wu, D.Y.H, et all (ed.), Emerging Pluralism in Asia and the Pacific, The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong, 1997

Yin, Robert K. Case Study Research Design and Methods, Sage Publications, Beverly Hills, London, 1985

- Sumber-sumber lain dari Jurnal, Majalah, harian, dan internet seperti Australian and New Zealand Journal of Sociology, Salam, al-Nida’, the Age, dan Sydney Heral Morning dari tahun 1980 sampai 1997.

- Lampiran-lampiran

Lampiran -1*

Daftar Mesjid Utama di Australia

Queensland

Darra Mosque West End Mosque Redfern Mosque 47 Ducie St 12-14 Princhester St 328 Cleveland St Darra 4076 West End 4101 Surry Hills 2010

Kotku Eagleby Mosque Woodridge Mosque 262 Fryer Rd Cnr Third Ave & Curtisii Crt of Campbelltown Eagleby 4207 Kindston 4114 44 Westmoreland Rd Lumeah 2560 Kuraby Mosque 1408 Beenleigh Rd New South Wales Rooty Hill Mosque Kuraby 4112 Cr Woodstock & Duke Sts Al Hijra Mosque Rooty Hill 2766 Gold Coast Mosque 45 Station St 2 Allied Dr West Tempe 2044 Rydalmere Mosque Arundel 4214 465 Victoria Rd Al Jihad Mosque Rydalmere 2116 Holland Park Mosque 12 South Creek rd 309 Nursery Rd Dee Why 2099 Smithfield Mosque Holland Park 4121 30 Bourke St Al-Imam Ali Mosque Smithfield 2164 Lutwyche Mosque 65-67 Wangee Rod 33 Fuller St Lakemba 2195 Suburban Islamic Asso- Lutwyche 4030 ciation of Campbelltown Auburn Gallipoli Mosque 44 Westmoreland Rd Mackay Mosque 15-17 North Parade Lumeah 2560 210

Victoria

Islamic Council of Fitzroy Mosque Springvale Mosque Victoria 144 Palmer Dr 68 Garnsworthy St South66-68 Jeffcott Australia St WesternFitzroy 3065 Australia AustralianSpringvale 3171 West Melbourne 3003 Footscray West Mosque CapiSunshinetal Territory Mosque Coburg Islamic Centre 294 Essex St 618 Ballarat Rd 31Adelaide Nicholson Mosque St’Coburg MaidstoneGeraldton 3012Mosque CanberraSunshine Islamic 3020 Centre 20 Little Gilbert St 67 George Rd 29 Goldfinch Cres 3058 Adelaide 5000 GeeloGeraldtonng Mosque 6530 TheodoreThomastown 2905 Mosque Turkish Cypriot Cnr Orr & Bostock Sts 157 Station St CommuniPark Holme-ty Mosque of Australia ManifoldKatanning Heights Mosque 3218 CanberraThomastown Mosque 3074 Lot658 IMarion Ballarat Rd Rd 24 Britannia St 130 Empire Circuit ParkDeer Holme Park 3023 5043 HeidelbergKatanning 6317 Mosque Yarralumla 2600 Cnr Lloyd & Elliot Sts Islamic Al-Khalil Society Mosque of WestNewman heidelberg Mosque 3081 FootscrayCnr Audley St & Torrens Rd Lot 1536 50Woodville Ealeigh NorthSt 5012 JaameAbydos Masjid Way Afghan Tasmania Footscray 3012 14Newman Photinia 6753 St Gilles Plains Mosque Doveton 3177 Hobart Islamic Centre

Islamic52-56 Wandana Society Aveof Perth Mosque 166 Warwick St VictoriaGilles Plains 5086 Lysterfield427 William Mosque St Hobart 7000 90 Cramer St 1273Pert 6805 Wellington Rd

PrestonWhyalla 3072 Islamic Society Lysterfield 3156 5 Morris Crs Port Hedland Mosque BroadmeadowsWhyalla Norrie North Mosque 5608 Maidstone34 Trumpet MosqueWay 45-55 King St 36South Studley Hedland St 6722 Northern Broadmeadows 3047 M aidstone 3012 Territory Rivervale Islamic Centre Brunswick Islamic Mildura7 Malvern Mosque Rd Alice Springs Islamic Centre 49Rivervale Tenth St 6103 Centre 660 Sydney Rd Mildura 3502 Lot 8130 Lyndavale Dr Brunswick 3056 Alice Springs 0871 Newport Mosque Campbellfield Mosque 1 Walker St Darwin Mosque 46 Mason St newport 3015 53-59 Venderlin Dr Campbellfield 3061 Casuarina 0810 211

______

*http://www.islamaustralia.com.au/Mosues/Aust_List_List/mosques_in_aust.htm.

Daftar Organisasi Muslim di Australia

The Australian Federation of Islamic Islamic Society of Victoria

Councils 90 Cramer St Mail Address Preston VIC 3072 PO Box 1185

Waterloo DC NSW 2017 Federation of Australian Muslim Students and Youth (FAMSY) 932 Bourke St PO Box 451

Zetland NSW 2017 Newport VIC 3015

Islamic Council of New South Wales Inc. Suite 2/108 Haldon Street

405 Waterloo Rd Lakemba NSW 2193 Chullora NSW 2190 Muslim Aid Australia

Islamic Council of Victoria Suite 15-16 66-68 Jeffcott St 168 Haldon St West Melbourne VIC 3003 Lakemba NSW 2195

Islamic Council of Queensland Muslim Women’s International network of Compton Rd (cnr Acacia Rd) Australia

Karawatha QlD 4117 PO Box 213 Granville NSW 2142 Islamic Society of South Australia 658 Marion Rd Islamic Women’s Welfare Council of Park Holme SA 5043 Victoria 169 Fitzroy St Islamic Council of Western Australia Fitzroy VIC 3065 7 Malvern St Rivervale WA 6103

Islamic Council of the Northern Territory 212

Lampiran -2**

Daftar Sekolah Islam di Australia

New South Wales Victoria Queensland

Al Noori Muslim Primary Werribee College Brisbane Muslim School School 201 Sayers Rd 6 Agnes St 75 Greenacre Rd Hoppers Crossing Buranda QLD 4102 Greenacre NSW 2190 VIC 3029 Islamic School of Brisbane Arkana College Darul-ulum College of 45 Acacia Rd 344 Stoney Creek Rd Victoria Karawatha QLD 4117 Kingsgrove NSW 2208 Baird St Fawkner VIC 3060 Malek Fahd Islamic School King Khalid Islamic South Australia 405 Waterloo Rd College Greenacre NSW 2190 Head Office Islamic College of South Merlynston Secondary Australia Noor Al Houda Islamic Campus 52 Wandana Ave College 56 Bakers Rd Cilles Plains SA 5086 2b Third Ave. Coburg North VIC 3058 Condell Park NSW 2200 Coburg Primary Campus Qibla College 653 Sydney Rd 44-48 Westmoreland St Coburg VIC 3058 Western Australia Minto NSW 2566 Minaret College Al-Hidayah Islamic King Abdul Aziz College Main Campus School 420 Woodstock Ave. 36 Lewis St Hedley St Rooty Hill NSW 2766 Springvale VIC 3171 Victoria Park WA 6100 213

** http://www.islam-australia.com.au/Schools/schools_in_aust.htm