Pandangan Rosihan Anwar Dan Mochtar Lubis Dalam Menanggapi Perkembangan Politik Di Indonesia, 1950-1965
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dalam Menanggapi Perkembangan Politik di Indonesia, 1950-1965 IKHTISAR: Artikel ini, dengan menggunakan metode sejarah, mengkaji pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis terhadap perkembangan politik di Indonesia tahun 1950-1965. Hasil penelitian menunjukan bahwa Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, sehingga hal itu mempengaruhi karakter dan pandangan mereka. Perubahan politik yang terjadi di Indonesia direspon oleh kedua tokoh tersebut. Rosihan Anwar menyambut baik pemberlakuan konsep Demokrasi Liberal di Indonesia, namun Mochtar Lubis memandang pesimis pemberlakuan konsep tersebut. Orientasi politik kedua tokoh tersebut juga berbeda, yakni Rosihan Anwar mendukung PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan mengagumi Sutan Sjahrir. Sedangkan Mochtar Lubis hanya sebatas bersimpati kepada partai-partai politik, dan bahkan mendukung tentara Indonesia untuk berpolitik. Mengenai kebebasan pers, kedua tokoh memiliki pandangan yang sama, walaupun Mochtar Lubis – dibandingkan dengan Rosihan Anwar – sangat keras dalam mengkritik Presiden Soekarno, yang dinilai membatasi kebebasan pers di Indonesia. Akhirnya, baik surat kabar “Pedoman” milik Rosihan Anwar maupun “Indonesia Raya” milik Mochtar Lubis, keduanya dibredel oleh pemerintah Indonesia. KATA KUNCI: Pandangan Politik; Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis; Kebebasan Pers. ABSTRACT: “The Views of Rosihan Anwar and Mochtar Lubis in Responding to Political Development in Indonesia, 1950-1965”. This article, using the historical method, examines the views of Rosihan Anwar and Mochtar Lubis on political developments in Indonesia in 1950-1965. The results showed that Rosihan Anwar and Mochtar Lubis had different life backgrounds, so that it affected their characters and views. The political changes that took place in Indonesia were responded to by these two figures. Rosihan Anwar welcomed the implementation of the Liberal Democracy concept in Indonesia, but Mochtar Lubis felt pessimistic about the implementation of the concept. The political orientation of the two figures is also different, namely Rosihan Anwar supports to PSI (Indonesian Socialist Party) and admiring Sutan Sjahrir. Mochtar Lubis, on the other hand, was limited to sympathizing with political parties, and even supported the Indonesian army for politics. Regarding press freedom, the two figures shared the same views, although Mochtar Lubis – compared to Rosihan Anwar – was very strict in criticizing President Soekarno, who was seen as limiting press freedom in Indonesia. Finally, both the “Pedoman” newspaper owned by Rosihan Anwar and “Indonesia Raya” owned by Mochtar Lubis, both were banned by the Indonesian government. KEY WORD: Political Views; Rosihan Anwar and Mochtar Lubis; Press Freedom. About the Authors: Desi Rusmiati, S.Pd. adalah Alumni Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS UPI (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia), Jalan Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154, Jawa Barat, Indonesia. Andi Suwirta, M.Hum. dan Moch Eryk Kamsori, S.Pd. adalah Dosen Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Korespondensi penulis: [email protected] Suggested Citation: Rusmiati, Desi, Andi Suwirta & Moch Eryk Kamsori. (2018). “Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dalam Menanggapi Perkembangan Politik di Indonesia, 1950-1965” in SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September, pp.117-134. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press and UBD Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ISSN 2302-5808. Article Timeline: Accepted (May 20, 2018); Revised (July 3, 2018); and Published (September 30, 2018). © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 117 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis PENDAHULUAN dalam keadaan darurat perang (cf Perkembangan politik di Indonesia Feith, 1995 dan 2007; Muhaimin, merupakan satu aspek yang menarik 2005; dan Ricklefs, 2008). untuk dikaji, terutama ketika Indonesia Dikeluarkannya status tersebut, menerapkan sistem Demokrasi Liberal sedikit demi sedikit, menunjukan (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin bahwa Indonesia sudah mulai (1959-1966). Sistem Demokrasi menjauh dari konsep Demokrasi Liberal merupakan titik awal dalam Liberal, yang diberlakukan sejak tahun menentukan nasib sendiri, dimana 1950. Terutama ketika Konstituante para politisi di Jakarta sepakat (badan pembentuk Undang-Undang bahwa Indonesia merupakan negara Dasar) belum dapat menyelesaikan demokrasi dan untuk mewujudkannya, tugasnya dalam meyusun Konstitusi maka Indonesia menggunakan Indonesia. Keadaan tersebut konsep Demokrasi Liberal seperti mendorong pemerintah untuk mulai yang diterapkan oleh negara-negara mengatur kehidupan negara dengan Barat. Cita-cita kehidupan yang lebih dikeluarkannya Dekirit Presiden pada baik ketika diterapkannya sistem tanggal 5 Juli 1959. Dekrit Presiden Demokrasi Liberal ternyata belum ini menandai bahwa sistem Demokrasi dapat terwujud. Masalah yang pertama Liberal yang selama ini diberlakukan, muncul, ketika pemberlakuan sistem kini sudah digantikan dengan Konsepsi Demokrasi Liberal, adalah tentara Presiden, atau yang dikenal dengan yang menuntut agar parlemen segera konsep Demokrasi Terpimpin (Lev, dibubarkan dan berkembang menjadi 1990; Nasution, 1995; dan Feith, 1995 konflk internal dalam tubuh tentara. dan 2007). Didalam pemerintahan sendiri, Sistem Demokrasi Terpimpin, yang kabinet sering mengalami pergantian diharapkan oleh Presiden Soekarno, yang mempengaruhi stablitas politik merupakan demokrasi yang dipimpin Indonesia (Compton, 1993; Feith, oleh seseorang dan dapat bekerjasama 1995 dan 2007; Maarif, 1996; Hakiki, dengan berbagai golongan yang ada di Saiman & Suri, 2011; dan Wijaya, 2014). Indonesia, seperti golongan Tentara, Pada tahun 1955, Indonesia golongan Islam, golongan Komunis, dan menyelenggarakan PEMILU (Pemilihan juga golongan Nasionalis. Kerjasama Umum) pertamanya, dengan harapan antar golongan, yang diharapkan agar masalah-masalah politik yang dapat berjalan dengan lancar, pada terjadi dapat selesai sesegera mungkin kenyataannya memperjelas peta (Suhadi, 1981; Sanit, 1997; Feith, politik yang ada pada waktu itu, 1999; Wardaya, 2004; dan Permadi, karena kekuataan yang kini muncul, 2014). Namun pada kenyataannya, ketika Demokrasi Terpimpin, adalah menurut M.C. Ricklefs (2008), hal TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia – tersebut hanya memperjelas peta Angkatan Darat), Soekarno, dan PKI politik dan tidak menyelesaikan (Partai Komunis Indonesia). Ketiga masalah (Ricklefs, 2008:521). Selian kekuatan tersebut sama-sama memiliki itu, di daerah terjadi protes terhadap kepentingan politik masing-masing pemerintahan pusat yang dinilai (Feith, 1995 dan 2007; Muhaimin, terlalu sibuk mementingkan elite 2005; dan Ricklefs, 2008). politik, sedangkan daerah tidak begitu Dalam konteks ini, baik TNI-AD diperhatikan. Keadaan tersebut maupun PKI sama-sama mempercayai diperparah dengan adanya krisis tentang akan adanya suatu periode ekonomi, yang mendorong pemerintah kepemimpinan setelah Presiden pusat mengeluarkan SOB (Staat van Soekarno (Anwar, 1981:41). Dalam Oorlog en Beleg) atau status negara pertarungan kekuataan antara TNI-AD 118 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 dan PKI tersebut, Presiden Soekarno (Atmakusumah ed., 1997:xix). berperan sebagai penyeimbang Dengan adanya fenomena personal dari keduanya, sehingga boleh juga jornalism dalam dunia pers di dikatakan bahwa pada tahun 1960- Indonesia, maka menarik untuk an terjadi fenomena Triangle Struggles mengkaji bagaimana pandangan- (pertarungan segi tiga) di Indonesia, pandangan politik dari kedua tokoh yakni antara PKI, Presiden Soekarno, tersebut, yakni Rosihan Anwar dan dan TNI-AD (Feith, 1995 dan 2007; Mochtar Lubis, selama tahun 1950- Muhaimin, 2005; dan Ricklefs, 2008). 1965. Selain itu, kajian ini juga untuk Perkembangan politik demikian melengkapi penelitian sebelumnya menarik media massa untuk yang memang sudah ada, tetapi dalam mengamati dan memberitakan periode yang berbeda, serta belum bagaimana keadaan politik di Indonesia ada penelitian yang membandingkan pada zamannya. Bagi media massa, pandangan politik dari kedua terutama surat kabar, periode ini tokoh tersebut (cf Anwar, 1981; merupakan zaman yang tidak pernah Atmakusumah ed., 1992; Said ed., sepi dalam membicarakan masalah 1992; Hadimadja ed., 1995; Semma, politik (Smith, 1986; Hutauruk, 2008; 2008; dan Hill, 2011). Sehingga, dan Suwirta, 2008). Termasuk bagi dua masalah utama dalam penelitian ini tokoh pers Indonesia, yaitu Rosihan adalah bagaimana pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis, yang Anwar dan Mochtar Lubis dalam memiliki pandangan tersendiri dalam menanggapi perkembangan politik di melihat kondisi politik tersebut. Kedua Indonesia pada tahun 1950-1965? tokoh ini memiliki sikap yang kritis Tulisan ini, dengan demikian, mengenai kondisi politik di Indonesia, mengkaji bagaimana pandangan yang dituangkan melalui tulisan- Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tulisan mereka dalam surat kabarnya terhadap pelaksanaan