Pandangan Rosihan Anwar Dan Mochtar Lubis Dalam Menanggapi Perkembangan Politik Di Indonesia, 1950-1965

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pandangan Rosihan Anwar Dan Mochtar Lubis Dalam Menanggapi Perkembangan Politik Di Indonesia, 1950-1965 SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dalam Menanggapi Perkembangan Politik di Indonesia, 1950-1965 IKHTISAR: Artikel ini, dengan menggunakan metode sejarah, mengkaji pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis terhadap perkembangan politik di Indonesia tahun 1950-1965. Hasil penelitian menunjukan bahwa Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, sehingga hal itu mempengaruhi karakter dan pandangan mereka. Perubahan politik yang terjadi di Indonesia direspon oleh kedua tokoh tersebut. Rosihan Anwar menyambut baik pemberlakuan konsep Demokrasi Liberal di Indonesia, namun Mochtar Lubis memandang pesimis pemberlakuan konsep tersebut. Orientasi politik kedua tokoh tersebut juga berbeda, yakni Rosihan Anwar mendukung PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan mengagumi Sutan Sjahrir. Sedangkan Mochtar Lubis hanya sebatas bersimpati kepada partai-partai politik, dan bahkan mendukung tentara Indonesia untuk berpolitik. Mengenai kebebasan pers, kedua tokoh memiliki pandangan yang sama, walaupun Mochtar Lubis – dibandingkan dengan Rosihan Anwar – sangat keras dalam mengkritik Presiden Soekarno, yang dinilai membatasi kebebasan pers di Indonesia. Akhirnya, baik surat kabar “Pedoman” milik Rosihan Anwar maupun “Indonesia Raya” milik Mochtar Lubis, keduanya dibredel oleh pemerintah Indonesia. KATA KUNCI: Pandangan Politik; Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis; Kebebasan Pers. ABSTRACT: “The Views of Rosihan Anwar and Mochtar Lubis in Responding to Political Development in Indonesia, 1950-1965”. This article, using the historical method, examines the views of Rosihan Anwar and Mochtar Lubis on political developments in Indonesia in 1950-1965. The results showed that Rosihan Anwar and Mochtar Lubis had different life backgrounds, so that it affected their characters and views. The political changes that took place in Indonesia were responded to by these two figures. Rosihan Anwar welcomed the implementation of the Liberal Democracy concept in Indonesia, but Mochtar Lubis felt pessimistic about the implementation of the concept. The political orientation of the two figures is also different, namely Rosihan Anwar supports to PSI (Indonesian Socialist Party) and admiring Sutan Sjahrir. Mochtar Lubis, on the other hand, was limited to sympathizing with political parties, and even supported the Indonesian army for politics. Regarding press freedom, the two figures shared the same views, although Mochtar Lubis – compared to Rosihan Anwar – was very strict in criticizing President Soekarno, who was seen as limiting press freedom in Indonesia. Finally, both the “Pedoman” newspaper owned by Rosihan Anwar and “Indonesia Raya” owned by Mochtar Lubis, both were banned by the Indonesian government. KEY WORD: Political Views; Rosihan Anwar and Mochtar Lubis; Press Freedom. About the Authors: Desi Rusmiati, S.Pd. adalah Alumni Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS UPI (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia), Jalan Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154, Jawa Barat, Indonesia. Andi Suwirta, M.Hum. dan Moch Eryk Kamsori, S.Pd. adalah Dosen Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Korespondensi penulis: [email protected] Suggested Citation: Rusmiati, Desi, Andi Suwirta & Moch Eryk Kamsori. (2018). “Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dalam Menanggapi Perkembangan Politik di Indonesia, 1950-1965” in SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September, pp.117-134. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press and UBD Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ISSN 2302-5808. Article Timeline: Accepted (May 20, 2018); Revised (July 3, 2018); and Published (September 30, 2018). © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 117 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis PENDAHULUAN dalam keadaan darurat perang (cf Perkembangan politik di Indonesia Feith, 1995 dan 2007; Muhaimin, merupakan satu aspek yang menarik 2005; dan Ricklefs, 2008). untuk dikaji, terutama ketika Indonesia Dikeluarkannya status tersebut, menerapkan sistem Demokrasi Liberal sedikit demi sedikit, menunjukan (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin bahwa Indonesia sudah mulai (1959-1966). Sistem Demokrasi menjauh dari konsep Demokrasi Liberal merupakan titik awal dalam Liberal, yang diberlakukan sejak tahun menentukan nasib sendiri, dimana 1950. Terutama ketika Konstituante para politisi di Jakarta sepakat (badan pembentuk Undang-Undang bahwa Indonesia merupakan negara Dasar) belum dapat menyelesaikan demokrasi dan untuk mewujudkannya, tugasnya dalam meyusun Konstitusi maka Indonesia menggunakan Indonesia. Keadaan tersebut konsep Demokrasi Liberal seperti mendorong pemerintah untuk mulai yang diterapkan oleh negara-negara mengatur kehidupan negara dengan Barat. Cita-cita kehidupan yang lebih dikeluarkannya Dekirit Presiden pada baik ketika diterapkannya sistem tanggal 5 Juli 1959. Dekrit Presiden Demokrasi Liberal ternyata belum ini menandai bahwa sistem Demokrasi dapat terwujud. Masalah yang pertama Liberal yang selama ini diberlakukan, muncul, ketika pemberlakuan sistem kini sudah digantikan dengan Konsepsi Demokrasi Liberal, adalah tentara Presiden, atau yang dikenal dengan yang menuntut agar parlemen segera konsep Demokrasi Terpimpin (Lev, dibubarkan dan berkembang menjadi 1990; Nasution, 1995; dan Feith, 1995 konflk internal dalam tubuh tentara. dan 2007). Didalam pemerintahan sendiri, Sistem Demokrasi Terpimpin, yang kabinet sering mengalami pergantian diharapkan oleh Presiden Soekarno, yang mempengaruhi stablitas politik merupakan demokrasi yang dipimpin Indonesia (Compton, 1993; Feith, oleh seseorang dan dapat bekerjasama 1995 dan 2007; Maarif, 1996; Hakiki, dengan berbagai golongan yang ada di Saiman & Suri, 2011; dan Wijaya, 2014). Indonesia, seperti golongan Tentara, Pada tahun 1955, Indonesia golongan Islam, golongan Komunis, dan menyelenggarakan PEMILU (Pemilihan juga golongan Nasionalis. Kerjasama Umum) pertamanya, dengan harapan antar golongan, yang diharapkan agar masalah-masalah politik yang dapat berjalan dengan lancar, pada terjadi dapat selesai sesegera mungkin kenyataannya memperjelas peta (Suhadi, 1981; Sanit, 1997; Feith, politik yang ada pada waktu itu, 1999; Wardaya, 2004; dan Permadi, karena kekuataan yang kini muncul, 2014). Namun pada kenyataannya, ketika Demokrasi Terpimpin, adalah menurut M.C. Ricklefs (2008), hal TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia – tersebut hanya memperjelas peta Angkatan Darat), Soekarno, dan PKI politik dan tidak menyelesaikan (Partai Komunis Indonesia). Ketiga masalah (Ricklefs, 2008:521). Selian kekuatan tersebut sama-sama memiliki itu, di daerah terjadi protes terhadap kepentingan politik masing-masing pemerintahan pusat yang dinilai (Feith, 1995 dan 2007; Muhaimin, terlalu sibuk mementingkan elite 2005; dan Ricklefs, 2008). politik, sedangkan daerah tidak begitu Dalam konteks ini, baik TNI-AD diperhatikan. Keadaan tersebut maupun PKI sama-sama mempercayai diperparah dengan adanya krisis tentang akan adanya suatu periode ekonomi, yang mendorong pemerintah kepemimpinan setelah Presiden pusat mengeluarkan SOB (Staat van Soekarno (Anwar, 1981:41). Dalam Oorlog en Beleg) atau status negara pertarungan kekuataan antara TNI-AD 118 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 dan PKI tersebut, Presiden Soekarno (Atmakusumah ed., 1997:xix). berperan sebagai penyeimbang Dengan adanya fenomena personal dari keduanya, sehingga boleh juga jornalism dalam dunia pers di dikatakan bahwa pada tahun 1960- Indonesia, maka menarik untuk an terjadi fenomena Triangle Struggles mengkaji bagaimana pandangan- (pertarungan segi tiga) di Indonesia, pandangan politik dari kedua tokoh yakni antara PKI, Presiden Soekarno, tersebut, yakni Rosihan Anwar dan dan TNI-AD (Feith, 1995 dan 2007; Mochtar Lubis, selama tahun 1950- Muhaimin, 2005; dan Ricklefs, 2008). 1965. Selain itu, kajian ini juga untuk Perkembangan politik demikian melengkapi penelitian sebelumnya menarik media massa untuk yang memang sudah ada, tetapi dalam mengamati dan memberitakan periode yang berbeda, serta belum bagaimana keadaan politik di Indonesia ada penelitian yang membandingkan pada zamannya. Bagi media massa, pandangan politik dari kedua terutama surat kabar, periode ini tokoh tersebut (cf Anwar, 1981; merupakan zaman yang tidak pernah Atmakusumah ed., 1992; Said ed., sepi dalam membicarakan masalah 1992; Hadimadja ed., 1995; Semma, politik (Smith, 1986; Hutauruk, 2008; 2008; dan Hill, 2011). Sehingga, dan Suwirta, 2008). Termasuk bagi dua masalah utama dalam penelitian ini tokoh pers Indonesia, yaitu Rosihan adalah bagaimana pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis, yang Anwar dan Mochtar Lubis dalam memiliki pandangan tersendiri dalam menanggapi perkembangan politik di melihat kondisi politik tersebut. Kedua Indonesia pada tahun 1950-1965? tokoh ini memiliki sikap yang kritis Tulisan ini, dengan demikian, mengenai kondisi politik di Indonesia, mengkaji bagaimana pandangan yang dituangkan melalui tulisan- Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tulisan mereka dalam surat kabarnya terhadap pelaksanaan
Recommended publications
  • PART 2 Culture and the Nation
    PART 2 Culture and the nation Els Bogaerts - 9789004253513 Downloaded from Brill.com10/06/2021 10:22:01PM via free access Els Bogaerts - 9789004253513 Downloaded from Brill.com10/06/2021 10:22:01PM via free access 9 ‘Whither Indonesian culture?’ Rethinking ‘culture’ in Indonesia in a time of decolonization Els Bogaerts When Claire Holt returned to Indonesia in 1969 after an absence of twelve years,1 signs of ‘“cultural change,” “economic develop- ment or “modernization,”[...] could be seen and felt everywhere, not least in the sphere of the arts.’ The bitter debate between pro- ponents of nationalism and of internationalism was no longer rag- ing, she wrote. ‘If it continued simmering below the surface, signs of it were not discernible’ (Holt 1970:163). Recalling her observations of the world of the Indonesian arts in the 1950s and 1960s, Holt (1970:163) wrote: among individuals and groups consciously concerned with the cul- tivation of the arts [...], love of the past, awareness of the present, and aspirations for the future produced efforts in three different directions. There were those who strove to preserve traditional art forms in their classical purity, as in music, dance and dance drama; those who tried to meet the challenges of modern times by grafting new elements upon the solid body of tradition or even modifying some of its basic principles; and those who, turning away from tradi- tion entirely, were introducing new inventions or adapting borrow- ings from outside. (Sometimes all three of these directions were pursued by one individual or were the declared policy of one orga- nization.) This, as far as I could judge, remained true in the sixties, but the lines seemed more sharply drawn.
    [Show full text]
  • Jacob Oetama
    www.rajaebookgratis.com JACOB OETAMA Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas dan Chief Executive Kelompok Kompas-Gramedia, melampiaskan keharuannya pada saat Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003, secara resmi memberinya anugerah kehormatan berupa gelar Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi. Dia adalah salah satu raksasa jurnalis di negeri ini yang menawarkan jurnalisme damai dan berhasil membuka horizon pers yang benar-benar modern, bertanggung jawab, non-partisan, dan memiliki perspektif jauh ke depan. Bulir air mata perlahan menetes di pipi tuanya yang mengeriput. Suaranya yang semula berat dan membahana di seisi ruangan, kontan berubah serak dan parau. Laki- laki tua yang siang itu berdiri di podium terhormat, tak lagi kuasa menahan rasa haru yang luar biasa. Dia menangis. Jakob Oetama, laki-laki tua itu, Pemimpin Umum Harian Kompas dan Chief Executive Kelompok Kompas-Gramedia, melampiaskan keharuannya. Pada saat Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003, secara resmi memberinya anugerah kehormatan berupa gelar Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi. Dalam pidato promosi untuk memperoleh gelar doktor honoris causa (HC) itu, ia mengemukakan bahwa pencarian makna berita serta penyajian makna berita semakin merupakan pekerjaan rumah dan tantangan media massa saat ini dan di masa depan. http://rajaebookgratis.wordpress.com 1 www.rajaebookgratis.com Jurnalisme dengan pemaknaan itulah yang diperlukan bangsa sebagai penunjuk jalan bagi penyelesaian persoalan-persoalan genting bangsa ini. Jakob Oetama adalah penerima doktor honoris causa ke- 18-yang dianugerahkan UGM-setelah pekan lalu gelar yang sama dianugerahkan UGM kepada Kepala Negara Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah. Promotor Prof Dr Moeljarto Tjokrowinoto dalam penilaiannya menyatakan, jasa dan karya Jakob Oetama dalam bidang jurnalisme pada hakikatnya merefleksikan jasa dan karyanya yang luar biasa dalam bidang kemasyarakatan dan kebudayaan.
    [Show full text]
  • Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11-Maret
    KISAH TIGA JENDERAL DALAM PUSARAN PERISTIWA 11‐MARET‐1966 Bagian (1) “Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama‐tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. 2014 Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa June dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan 21 melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia Saturday, bertindak akurat”. saved: Last TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret Kb) 1966 –Super Semar– muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi (89 yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu‐abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan 1966.docx ‐ karakter yang berbeda pula. Jenderal yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Maret ‐ 11 Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Peristiwa Perindustrian Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya. Pusaran Mereka semua mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali Dalam digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk Jenderal bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966.
    [Show full text]
  • Peran Media Massa Dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974
    PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.) Oleh Dicky Prastya 11140220000033 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M ii PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.) Oleh Dicky Prastya 11140220000033 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M iii iv LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dicky Prastya NIM : 11140220000033 Jurusan : Sejarah dan Peradaban Islam Judul Skripsi : Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974 Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain. Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan. Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudian hari menjadi tanggung jawab saya. Ciputat, 26 April 2019 Dicky Prastya v vi PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.) Oleh Dicky Prastya 11140220000033 Pembimbing Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A.
    [Show full text]
  • MEMAHAMI PENULISAN ARTIKEL DI HARIAN KEDAULATAN RAKYAT A. Pendahuluan
    MEMAHAMI PENULISAN ARTIKEL DI HARIAN KEDAULATAN RAKYAT Hamdan Daulay Dosen Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta A. Pendahuluan Menulis artikel di media massa adalah merupakan profesi yang menarik dan sekaligus penuh dengan tantangan. Menjadi seorang penulis artikel di media massa dituntut keahlian tersendiri. Mereka yang menjadi penulis tentu harus memiliki wawasan yang luas terkait dengan bidang keahlin yang ia tekuni, sehingga tidak bisa tidak, seorang penulis adalah sekaligus seorang pembaca yang rajin.1 Demikian pula halnya dengan menulis naskah keagamaan di media massa, dituntut memiliki keahlian dalam bidang tersebut, sehingga informasi yang disampaikan lebih menarik dan mudah dipahami oleh pembaca. 1 Mochtar Lubis, Pers dan Wartawan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 173 Jurnal Dakwah, Vol. XI, No. 1 Tahun 2011 53 Hamdan Daulay: Memahami Penulisan Artikel di Kedaulatan Rakyat Dewasa ini artikel-artikel keagamaan di media massa mendapat tempat yang cukup layak. Di tengah krisis moral yang semakin memprihatinkan saat ini, masyarakat membutuhkan artikel- artikel keagmaan yang diharapkan bisa menjadi pencerahan bagi mereka. Ketika media massa saat ini didominasi dengan pemberitaan yang kurang baik, mulai dari berita yang kurang jujur, fitnah, gosif hingga publikasi foto yang kurang beretika, maka kehadiran artikel- artikel kegamaan bisa menjadi penyejuk yang diharapkan bisa menjadi benteng moralitas bagi masyarakat. 2 Masyarakat dewasa ini juga mendapat banyak pilihan pada publikasi media massa, seiring dengan semakin banyaknya media massa. Dari sekian banyak media massa tersebut tentu tidak semua memiliki komitmen pada keagamaan dan pembinaan moral masyarakat. Ada media massa yang semata-mata mempunyai target komersial dengan tujuan mencari keuntungan yang sebanyak- banyak.
    [Show full text]
  • 9 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teori
    BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teori Pada bagian ini akan disajikan kerangka dan konsep yang nantinya sebagai tolak ukur dalam penelitian. Kerangka teoritis memuat teori dengan tujuan untuk memudahkan dalam menjawab secara teori. Teori merupakan seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis atau dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Teori tersusun dari asumsi, proposisi, dan aksioma dasar yang saling berkaitan, dan atau teorema (generalisasi yang diterima/terbukti secara empiris). 24 Kajian teori adalah gambaran terhadap seperangkat kumpulan konsep, definisi dan proposisi yang terkait secara sistematis untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena/gejala.25 1. Bahasa Jurnalistik a. Pengertian Bahasa Jurnalistik Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. 26 Dalam kamus jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk surat kabar, majalah. Jadi jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, 24 Jusuf Soewadji, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2012), h. 107. 25 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 65 26 AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2014), h, 2. 9 10 menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan televisi.27 Istilah journalism berasal dari kata journal yang artinya catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar. Dan journalisme adalah setiap orang yang pekerjaannya mengumpulkan, mengolah, dan kemudian menyiarkan catatan-catatan harian.
    [Show full text]
  • Download This PDF File
    Kaum Profesional dan Pemerintahan yang Bersih: Pandangan Seorang Jurnalis Ignatius Haryanto Pengantar tantangan menghadang kaum profesional untuk meretas jalan menuju pemerintahan Kaum profesional sering disebut se- yang bersih. Tulisan ini sekedar bercerita bagai baglan dari kelas menengah atas bidang yang penulis geiuti, yaitu dunia yang.diharapkan untuk menjadi agen jurnaiistik, dimana di daiamnya juga terjadi perubahan. Pertanyaanya lalu ber- tarik-menarik antara para jurnalis (yang bunyl, apakah betui demikian? Lantas juga mungkin masuk sebagai kaum profesional) perlu dipertanyakan, perubahan terhadap dengan pemerintahan atau birokrasi yang apa? Mungkin terutama perubahan terha diandaikan tidakbersih. dap pemerintahan yang korup, sentralistis, pandai menggunakan kekerasan, serta Sepintas tentang Jurnalis pada masa mengabaikan aspirasi masyarakat luas. Awal Kemerdekaan Pendeknya dalam ikiim yang tidak demo- kratls, peran kaum profesional banyak dl- Mengapa seorang Mochtar Lubis akhir- harapkan bisa membuka kebekuan yang nya memilih dirinya untuk menjadi seorang ditimbulkan oleh sistem politik yang tidak wartawan, adaiah karena bujuk rayunya dari terbuka. Contoh yang sering disebut untuk senior wartawan kawak yang kemudian konteks Asia misalnya apa yang terjadi di menjadi saiah satu wakil presiden, Adam Korea Selatan. Malik. Waktu itu Adam Malik yang memim- Apakah tema in! hanya sekedar ha- pin kantor berita Antara, mengatakan sudah rapan belaka, ataukah sudah terlihat ada banyak orang yang berjuang untuk mem- gejala yang dapat disimpulkan sebagai mu- bela negeri ini dengan mengangkat bambu lai tumbuhnya kekuatan para profesional runcing tapi belum banyak orang yang ber- untuk menjadi kelompok penekan (pressure pikir bahwa pena pun menjadi senjata yang group) yang efektif kepada kekuasaan, agar tak kaiah ampuh dengan bambu runcing. kekuasaan mulai membuka dirinya dan Dari situ Mochtar Lubis pun akhirnya me- menjadi lebih popular di mata masyarakat- mutuskan untuk menjadi seorang wartawan nya.
    [Show full text]
  • Power and Free Speech: the Elites’ Resistance to Criticism in Indonesia1 Ririn Radiawati Kusuma2
    Power and Free Speech: The Elites’ Resistance to Criticism in Indonesia1 Ririn Radiawati Kusuma2 Abstracts The fall of Suharto brought Indonesia onto a new path of democracy. However, after 19 years, Indonesia remains lacking in the exercise of free speech. In 2008, the government enacted a law which criminalizes defamation on the Internet. This law adds to the existing defamation law in the Penal Code in silencing criticism. This paper explores why the elites remain reluctant to allow open criticism despite the country’s practicing democracy. Using the method of political history, I track the behavior of the elites in different political regimes: Old Order (1945-1965), New Order (1965-1998), and post- Reformasi (1998-present). I observe the resistance against the imposed regulations and how the elites have used the regulations during each regime. In addition, I observe how the current political society interacts with previous regimes. I argue that the legacy of Dutch colonialization and the system of dictatorship which lasted more than three decades continue to influence the Indonesian political culture which justifies the elites’ attitude toward criticism. 1 This paper is part of the completion of the Arryman Fellowship Program 2016-2017 under Equality, Development, and Global Studies (EDGS) in Northwestern University. 2 Ririn Radiawati Kusuma is a pre-doctoral student at Political Science Department at Northwestern University. 1 “This step backwards has forced us to reflect anew upon the problems of democracy in these new states and has made many of us realize the necessity of having, first, to create the condition under which democratic institutions could properly function in these new states.” Rosihan Anwar, 1961.
    [Show full text]
  • The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo's
    Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema Umi Lestari Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia, Volume 4, Number 2, October 2020, pp. 313-345 (Article) Published by NUS Press Pte Ltd DOI: https://doi.org/10.1353/sen.2020.0014 For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/770704 [ Access provided at 25 Sep 2021 00:27 GMT with no institutional affiliation ] This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema UMI LESTARI Abstract Basuki Resobowo (1916–99) is known primarily as a painter, activist and head of Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute for People’s Culture). He was affil- iated with left-wing politics during Sukarno’s Old Order (1945–65) and first entered the film industry in the 1940s when he played the role of Basuki in Jo An Djan’s film Kedok Ketawa (1940). During the Japanese Occupation (1942–45), Resobowo was part of Keimin Bunka Shidoso (Culture Centre). Literature on Resobowo’s artistic practice has mostly referred to his background in painting. However, in the 1950s, he joined Perusahaan Film Negara Indonesia (Perfini) as an art director and scriptwriter, making seven films, includingDarah dan Doa (Blood and Prayer) in 1950, which is regarded as the firstfilm nasional (national film). This article, while devoting some space to Resobowo’s overall career, chiefly endeavours to revisit the early Perfini films and examine the influence of Reso- bowo’s ideas about art and theatre on cinematographic mise-en-scene.
    [Show full text]
  • Materialism in John Pasoss's the Big Money and Mochtar Lubis's Twilight in Jakarta
    MATERIALISM IN JOHN PASOSS’S THE BIG MONEY AND MOCHTAR LUBIS’S TWILIGHT IN JAKARTA: A COMPRATIVE LITERATURE. A THESIS BY: AVIANDANI AULIA NASUTION 140721024 DEPARTEMENT OF ENGLISH FACULTY OF CULTURAL STUDIES UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN 2017 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Materialism In Jhon Pasos’ The Big Money and Mochtar Lubis’ Twilight In Jakarta: A Comparative Literature A THESIS BY AVIANDANI AULIA NASUTION REG. NUMBER: 140721024 SUPERVISOR CO-SUPERVISOR Dr. Martha Pardede. MS Drs. Siamir Marulafau. M.Hum. NIP.195212291979032001 NIP. 195805171985031003 Submitted to Faculty of Cultural Studies University of Sumatera Utara Medan in partial fulfillment of the requirements for the degree of Sarjana Sastra From Department of English. DEPARTMENT OF ENGLISH FACULTY OF CULTURAL STUDIES UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN 2017 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Approved by the Department of English, Faculty of Cultural Studies University of Sumatera Utara (USU) Medan as thesis for The Sarjana Sastra Examination. Head, Secretary, Dr. Deliana, M.Hum Rahmadsyah Rangkuti, M.A., Ph.D NIP. 195711171983032002 NIP. 19750209 200812 1 002 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Accepted by the Board of Examiners in partial fulfillment of requirements for the degree of Sarjana Sastra from the Department of English, Faculty of Cultural Studies University of Sumatera Utara, Medan. The examination is held in Department of English Faculty of Cultural Studies University of Sumatera Utara on 25 July 2017 Dean of Faculty of Cultural Studies University of Sumatera Utara Dr. Budi Agustono, M.S. NIP. 19600805 198703 1 001 Board of Examiners Rahmadsyah Rangkuti, M.A., Ph.D. Dr. Martha Pardede, MS ___________________ Drs. Parlindungan Purba, M.Hum ___________________ UNIVERSITAS SUMATERA UTARA AUTHOR’S DECLARATION I, AVIANDANI AULIA NASUTION, DECLARE THAT I AM THE SOLE AUTHOR OF THIS THESIS EXCEPT WHERE REFERENCE IS MADE IN THE TEXT OF THIS THESIS.
    [Show full text]
  • Heirs to World Culture DEF1.Indd
    9 ‘Whither Indonesian culture?’ Rethinking ‘culture’ in Indonesia in a time of decolonization Els Bogaerts When Claire Holt returned to Indonesia in 1969 after an absence of twelve years,1 signs of ‘“cultural change,” “economic develop- ment or “modernization,”[...] could be seen and felt everywhere, not least in the sphere of the arts.’ The bitter debate between pro- ponents of nationalism and of internationalism was no longer rag- ing, she wrote. ‘If it continued simmering below the surface, signs of it were not discernible’ (Holt 1970:163). Recalling her observations of the world of the Indonesian arts in the 1950s and 1960s, Holt (1970:163) wrote: among individuals and groups consciously concerned with the cul- tivation of the arts [...], love of the past, awareness of the present, and aspirations for the future produced efforts in three different directions. There were those who strove to preserve traditional art forms in their classical purity, as in music, dance and dance drama; those who tried to meet the challenges of modern times by grafting new elements upon the solid body of tradition or even modifying some of its basic principles; and those who, turning away from tradi- tion entirely, were introducing new inventions or adapting borrow- ings from outside. (Sometimes all three of these directions were pursued by one individual or were the declared policy of one orga- nization.) This, as far as I could judge, remained true in the sixties, but the lines seemed more sharply drawn. While many of the contributions to this book explore aspects of the approaches to Indonesian art and culture Holt describes here, the following essay takes the discussion one step further back in time, to the very beginnings of Indonesian thinking about culture in an era of decolonization.
    [Show full text]
  • Buku Bindo C-3 Awal.Indd
    MODUL 3 MODUL 3 Keteladanan Sang Tokoh i Kata Pengatar Daftar Isi endidikan kesetaraan sebagai pendidikan alternatif memberikan layanan kepada mayarakat yang Judul Modul ............................................................................................ i karena kondisi geografis, sosial budaya, ekonomi dan psikologis tidak berkesempatan mengikuti Kata Pengantar ........................................................................................ ii pendidikan dasar dan menengah di jalur pendidikan formal. Kurikulum pendidikan kesetaraan P Daftar Isi .................................................................................................. iii dikembangkan mengacu pada kurikulum 2013 pendidikan dasar dan menengah hasil revisi berdasarkan Petunjuk Penggunaan Modul .................................................................. iv peraturan Mendikbud No.24 tahun 2016. Proses adaptasi kurikulum 2013 ke dalam kurikulum pendidikan Tujuan yang Diharapkan Setelah Mempelajari Modul ............................. vi kesetaraan adalah melalui proses kontekstualisasi dan fungsionalisasi dari masing-masing kompetensi Pengantar Modul ..................................................................................... vi dasar, sehingga peserta didik memahami makna dari setiap kompetensi yang dipelajari. Unit 1: Menilai dan Mengungkapkan Keteladanan Tokoh dalam Pembelajaran pendidikan kesetaraan menggunakan prinsip flexible learning sesuai dengan karakteristik Teks Biografi ..............................................................................
    [Show full text]