SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018

DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI Pandangan Rosihan Anwar dan dalam Menanggapi Perkembangan Politik di , 1950-1965

IKHTISAR: Artikel ini, dengan menggunakan metode sejarah, mengkaji pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis terhadap perkembangan politik di Indonesia tahun 1950-1965. Hasil penelitian menunjukan bahwa Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, sehingga hal itu mempengaruhi karakter dan pandangan mereka. Perubahan politik yang terjadi di Indonesia direspon oleh kedua tokoh tersebut. Rosihan Anwar menyambut baik pemberlakuan konsep Demokrasi Liberal di Indonesia, namun Mochtar Lubis memandang pesimis pemberlakuan konsep tersebut. Orientasi politik kedua tokoh tersebut juga berbeda, yakni Rosihan Anwar mendukung PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan mengagumi Sutan Sjahrir. Sedangkan Mochtar Lubis hanya sebatas bersimpati kepada partai-partai politik, dan bahkan mendukung tentara Indonesia untuk berpolitik. Mengenai kebebasan pers, kedua tokoh memiliki pandangan yang sama, walaupun Mochtar Lubis – dibandingkan dengan Rosihan Anwar – sangat keras dalam mengkritik Presiden Soekarno, yang dinilai membatasi kebebasan pers di Indonesia. Akhirnya, baik surat kabar “Pedoman” milik Rosihan Anwar maupun “Indonesia Raya” milik Mochtar Lubis, keduanya dibredel oleh pemerintah Indonesia. KATA KUNCI: Pandangan Politik; Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis; Kebebasan Pers.

ABSTRACT: “The Views of Rosihan Anwar and Mochtar Lubis in Responding to Political Development in Indonesia, 1950-1965”. This article, using the historical method, examines the views of Rosihan Anwar and Mochtar Lubis on political developments in Indonesia in 1950-1965. The results showed that Rosihan Anwar and Mochtar Lubis had different life backgrounds, so that it affected their characters and views. The political changes that took place in Indonesia were responded to by these two figures. Rosihan Anwar welcomed the implementation of the Liberal Democracy concept in Indonesia, but Mochtar Lubis felt pessimistic about the implementation of the concept. The political orientation of the two figures is also different, namely Rosihan Anwar supports to PSI (Indonesian Socialist Party) and admiring Sutan Sjahrir. Mochtar Lubis, on the other hand, was limited to sympathizing with political parties, and even supported the Indonesian army for politics. Regarding press freedom, the two figures shared the same views, although Mochtar Lubis – compared to Rosihan Anwar – was very strict in criticizing President Soekarno, who was seen as limiting press freedom in Indonesia. Finally, both the “Pedoman” newspaper owned by Rosihan Anwar and “Indonesia Raya” owned by Mochtar Lubis, both were banned by the Indonesian government. KEY WORD: Political Views; Rosihan Anwar and Mochtar Lubis; Press Freedom.

About the Authors: Desi Rusmiati, S.Pd. adalah Alumni Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS UPI (Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia), Jalan Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154, Jawa Barat, Indonesia. Andi Suwirta, M.Hum. dan Moch Eryk Kamsori, S.Pd. adalah Dosen Departemen Pendidikan Sejarah FPIPS UPI di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Korespondensi penulis: [email protected] Suggested Citation: Rusmiati, Desi, Andi Suwirta & Moch Eryk Kamsori. (2018). “Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dalam Menanggapi Perkembangan Politik di Indonesia, 1950-1965” in SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September, pp.117-134. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press and UBD Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ISSN 2302-5808. Article Timeline: Accepted (May 20, 2018); Revised (July 3, 2018); and Published (September 30, 2018).

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 117 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis

PENDAHULUAN dalam keadaan darurat perang (cf Perkembangan politik di Indonesia Feith, 1995 dan 2007; Muhaimin, merupakan satu aspek yang menarik 2005; dan Ricklefs, 2008). untuk dikaji, terutama ketika Indonesia Dikeluarkannya status tersebut, menerapkan sistem Demokrasi Liberal sedikit demi sedikit, menunjukan (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin bahwa Indonesia sudah mulai (1959-1966). Sistem Demokrasi menjauh dari konsep Demokrasi Liberal merupakan titik awal dalam Liberal, yang diberlakukan sejak tahun menentukan nasib sendiri, dimana 1950. Terutama ketika Konstituante para politisi di sepakat (badan pembentuk Undang-Undang bahwa Indonesia merupakan negara Dasar) belum dapat menyelesaikan demokrasi dan untuk mewujudkannya, tugasnya dalam meyusun Konstitusi maka Indonesia menggunakan Indonesia. Keadaan tersebut konsep Demokrasi Liberal seperti mendorong pemerintah untuk mulai yang diterapkan oleh negara-negara mengatur kehidupan negara dengan Barat. Cita-cita kehidupan yang lebih dikeluarkannya Dekirit Presiden pada baik ketika diterapkannya sistem tanggal 5 Juli 1959. Dekrit Presiden Demokrasi Liberal ternyata belum ini menandai bahwa sistem Demokrasi dapat terwujud. Masalah yang pertama Liberal yang selama ini diberlakukan, muncul, ketika pemberlakuan sistem kini sudah digantikan dengan Konsepsi Demokrasi Liberal, adalah tentara Presiden, atau yang dikenal dengan yang menuntut agar parlemen segera konsep Demokrasi Terpimpin (Lev, dibubarkan dan berkembang menjadi 1990; Nasution, 1995; dan Feith, 1995 konflk internal dalam tubuh tentara. dan 2007). Didalam pemerintahan sendiri, Sistem Demokrasi Terpimpin, yang kabinet sering mengalami pergantian diharapkan oleh Presiden Soekarno, yang mempengaruhi stablitas politik merupakan demokrasi yang dipimpin Indonesia (Compton, 1993; Feith, oleh seseorang dan dapat bekerjasama 1995 dan 2007; Maarif, 1996; Hakiki, dengan berbagai golongan yang ada di Saiman & Suri, 2011; dan Wijaya, 2014). Indonesia, seperti golongan Tentara, Pada tahun 1955, Indonesia golongan Islam, golongan Komunis, dan menyelenggarakan PEMILU (Pemilihan juga golongan Nasionalis. Kerjasama Umum) pertamanya, dengan harapan antar golongan, yang diharapkan agar masalah-masalah politik yang dapat berjalan dengan lancar, pada terjadi dapat selesai sesegera mungkin kenyataannya memperjelas peta (Suhadi, 1981; Sanit, 1997; Feith, politik yang ada pada waktu itu, 1999; Wardaya, 2004; dan Permadi, karena kekuataan yang kini muncul, 2014). Namun pada kenyataannya, ketika Demokrasi Terpimpin, adalah menurut M.C. Ricklefs (2008), hal TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia – tersebut hanya memperjelas peta Angkatan Darat), Soekarno, dan PKI politik dan tidak menyelesaikan (Partai Komunis Indonesia). Ketiga masalah (Ricklefs, 2008:521). Selian kekuatan tersebut sama-sama memiliki itu, di daerah terjadi protes terhadap kepentingan politik masing-masing pemerintahan pusat yang dinilai (Feith, 1995 dan 2007; Muhaimin, terlalu sibuk mementingkan elite 2005; dan Ricklefs, 2008). politik, sedangkan daerah tidak begitu Dalam konteks ini, baik TNI-AD diperhatikan. Keadaan tersebut maupun PKI sama-sama mempercayai diperparah dengan adanya krisis tentang akan adanya suatu periode ekonomi, yang mendorong pemerintah kepemimpinan setelah Presiden pusat mengeluarkan SOB (Staat van Soekarno (Anwar, 1981:41). Dalam Oorlog en Beleg) atau status negara pertarungan kekuataan antara TNI-AD

118 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 dan PKI tersebut, Presiden Soekarno (Atmakusumah ed., 1997:xix). berperan sebagai penyeimbang Dengan adanya fenomena personal dari keduanya, sehingga boleh juga jornalism dalam dunia pers di dikatakan bahwa pada tahun 1960- Indonesia, maka menarik untuk an terjadi fenomena Triangle Struggles mengkaji bagaimana pandangan- (pertarungan segi tiga) di Indonesia, pandangan politik dari kedua tokoh yakni antara PKI, Presiden Soekarno, tersebut, yakni Rosihan Anwar dan dan TNI-AD (Feith, 1995 dan 2007; Mochtar Lubis, selama tahun 1950- Muhaimin, 2005; dan Ricklefs, 2008). 1965. Selain itu, kajian ini juga untuk Perkembangan politik demikian melengkapi penelitian sebelumnya menarik media massa untuk yang memang sudah ada, tetapi dalam mengamati dan memberitakan periode yang berbeda, serta belum bagaimana keadaan politik di Indonesia ada penelitian yang membandingkan pada zamannya. Bagi media massa, pandangan politik dari kedua terutama surat kabar, periode ini tokoh tersebut (cf Anwar, 1981; merupakan zaman yang tidak pernah Atmakusumah ed., 1992; Said ed., sepi dalam membicarakan masalah 1992; Hadimadja ed., 1995; Semma, politik (Smith, 1986; Hutauruk, 2008; 2008; dan Hill, 2011). Sehingga, dan Suwirta, 2008). Termasuk bagi dua masalah utama dalam penelitian ini tokoh pers Indonesia, yaitu Rosihan adalah bagaimana pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis, yang Anwar dan Mochtar Lubis dalam memiliki pandangan tersendiri dalam menanggapi perkembangan politik di melihat kondisi politik tersebut. Kedua Indonesia pada tahun 1950-1965? tokoh ini memiliki sikap yang kritis Tulisan ini, dengan demikian, mengenai kondisi politik di Indonesia, mengkaji bagaimana pandangan yang dituangkan melalui tulisan- Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tulisan mereka dalam surat kabarnya terhadap pelaksanaan sistem masing-masing (Said ed., 1992; Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Suwirta, 2008; dan Hill, 2011). Demokrasi Terpimpin (1959-1966); Pada tahun 1948, Rosihan Anwar orientasi politik pada masa itu; serta mendirikan surat kabar Pedoman yang tentu saja sebagai seorang wartawan, terbit di Jakarta (Anwar, 1983:161). mereka akan melihat bagaimana Setahun kemudian Mochtar Lubis konsep dan implementasi kebebasan mendirikan surat kabar Indonesia pers di Indonesia pada masa itu. Raya, yang juga terbit di Jakarta Penelitian ini diharapkan dapat (Lubis, 1992). Kedua surat kabar menambah khazanah pengetahuan dan tersebut merupakan representasi dari penulisan mengenai sejarah nasional kedua tokoh berkenaan, karena pada dalam bidang pers, khususnya tokoh- periode itu berkembang istilah personal tokoh pers yang memiliki peranan journaslism, yakni apa yang terdapat penting dalam perkembangan media dalam pemberitaan dan pandangan massa di Indonesia (Soebagijo, 1981; sebuah surat kabar adalah sesuai Said ed., 1992; Suwirta, 2004; dan Hill, dengan visi, misi, dan kepentingan dari 2011). Selain itu, kajian ini diharapkan pemimpin redaksinya (Atmakusumah menjadi salah satu materi ajar bagi ed., 1997; dan Suwirta, 2004). Dalam guru dalam pembelajaran sejarah konteks ini, Atmakusumah ed. (1997) mengenai perkembangan pers dan mengungkapkan bahwa di masa perkembangan politik di Indonesia lalu, personal journalism di Indonesia pada tahun 1950-1965 (Said, 1988; merupakan suatu tradisi yang biasa Supriatna, 2006; dan Suwirta, 2008 dilakukan oleh pemimpin redaksi dan 2010). dalam menuliskan tajuk rencananya Pers tidak hanya berperan dalam

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 119 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis menyampaikan beragam informasi (Gosttchlak, 1985; Ismaun, 2005; dan dan opini yang dinilai penting pada Abdurahman, 2007). zamannya, tetapi pers juga dalam Sumber sejarah yang digunakan kondisi tertentu dituntut untuk adalah sumber tertulis, baik berupa menentukan sikap dan menerima buku, jurnal, dan surat kabar maupun konsekuensinya, seperti yang tercermin sumber-sumber lainnya. Tahapan dalam pandangan-pandangan yang selanjutnya adalah melakukan kritik disampaikan Rosihan Anwar dan terhadap sumber-sumber yang telah Mochtar Lubis sebagai seorang diperoleh dan akan digunakan. pemimpin redaksi dari surat kabar Sumber-sumber sejarah yang tersedia Pedoman dan Indonesia Raya di tidak dipercayai begitu saja untuk Jakarta (Surjomihardjo ed., 2002; dijadikan referensi, tetapi perlu Suwirta, 2008; Laily, 2016; dan dipertimbangkan sumber-sumber Aprianto, 2018). tersebut tentang layak atau tidak layak Penelitian ini menggunakan melalui tahapan kritik (Kuntowijoyo, beberapa konsep yang dinilai relevan 1995; Abdurahman, 2007; dan dengan pembahasan, yaitu konsep Sjamsuddin, 2007:132). mengenai biografi. Karena penelitian ini Kritik sumber dalam disiplin membahas dua tokoh penting dalam ilmu sejarah, dengan demikian, bidang pers, yakni Rosihan Anwar dan dibagi menjadi dua tahapan, Mochtar Lubis, maka kajiannya juga yaitu: (1) kritik eksternal, yang menggunakan konsep tokoh dalam menitikberatkan kepada keaslian dimensi sejarah. Selain itu, dalam sumber yang diperoleh dan harus tulisan ini juga menggunakan konsep menjawab beberapa pertanyaan individu dan perubahan sosial, politik, yang menunjukan bahwa sumber serta media massa dan kebebasan tersebut dapat membantu peneliti pers. Konsep-konsep tersebut berperan dalam mengkaji suatu permasalahan, dalam menganalisis topik kajian seperti siapa yang menulis sumber mengenai bagaimana perkembangan tersebut, apa tujuan dari penulisan, politik di Indonesia pada tahun 1950- dan sebagainya; serta (2) kritik internal, 1966 dalam sudut pandang dua tokoh yang berkaitan dengan isi atau pers (Soebagijo, 1981; Anwar, 1983; substansi dari sumber tersebut, yakni Amri, 2008; Hill, 2011; dan Daud, 2013). apakah dapat diandalkan atau tidak (Gosttchlak, 1985; Kuntowijoyo, 1995; METODE Abdurahman, 2007; dan Sjamsuddin, Penelitian ini menggunakan 2007). Dalam konteks ini, Ismaun metode sejarah, yang merupakan (2005) menyatakan bahwa kritik cara untuk menggambarkan suatu internal berfokus kepada kredibilitas peristiwa sejarah dengan mengkaji sumber-sumber sejarah yang telah secara kritis dan analitis berdasarkan dipeloleh melalui tahapan heuristik bukti-bukti dan data peninggalan (Ismaun, 2005:50). masa lampau, yang disebut dengan Tahapan selanjutnya adalah sumber-sumber sejarah (Ismaun, interpretasi, yang disertai dengan 2005:34; Ali, 2005; dan Abdurahman, menggunakan konsep-konsep dan/ 2007). Metode sejarah merupakan atau teori-teori dari ilmu-ilmu sosial cara untuk melakukan rekonstruksi lainnya untuk dijadikan alat analisis terhadap kehidupan manusia di masa dari interpretasi. Interpretasi juga lampau. Metode sejarah juga memiliki dilakuan dengan menggunakan beberapa tahapan yang harus dilalui, pendekatan interdisipliner dan yaitu heuristik atau mengumpulkan multidimensional, yang memiliki peran sumber yang relevan dengan kajian dalam menyusun berbagai informasi

120 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 yang telah peroleh (Hamid, 2004; kebebasan dalam menentukan setiap Sjamsuddin, 2007; Burke, 2008; pilihan dalam hidup, dan harus dan Kartodirdjo, 2014). Tahapan menerima konsekuensinya, termasuk terakhir dalam metode sejarah adalah ketika mulai bersekolah di HIS (Holland historiografi atau penulisan sejarah. Inlandsche School atau Sekolah Dalam penulisan sejarah ini disajikan Dasar Belanda) sampai dengan AMS penulisan yang bercorak analitis-kritis (Algemene Middelbare School atau untuk menjawab permasalahan utama Sekolah Menengah Belanda) – Bagian dalam penelitian, dengan teknik studi A di , dengan bidang yang pustaka dan studi dokumentasi yang dipilihnya adalah Sastra Klasik Barat komprehensif (Kuntowijoyo, 1995; (Said ed., 1992:295). Sjamsuddin, 2007; dan Zed, 2008). Mochtar Lubis juga mengenyam pendidikan dasar yang sama di HIS, HASIL PENELITIAN DAN namun karena ayahnya memiliki PEMBAHASAN prinsip bahwa cukup dia saja yang Pandangan tokoh dalam melihat bekerja kepada pemerintah kolonial suatu permasalahan tidak terbentuk Belanda, sehingga ketika melanjutkan begitu saja, tetapi ada beberapa hal pendidikan pun Mochtar Lubis yang melatarbelakanginya, termasuk bersekolah di INS (Indonesisch latar belakang kehidupan dari tokoh- Nederlandsche School atau Sekolah tokoh bersangkutan, termasuk dalam Swasta Indonesia) Kayutanam di hal ini Rosihan Anwar dan Mochtar Sumatera Barat (Hill, 2011:26). Lubis. Dalam konteks ini, Rosihan Meskipun semasa sekolah di sana, Anwar – sebagaimana terpapar didalam Mochtar Lubis kurang menyukai otobiografinya, mengungkapkan sekolah tersebut, tetapi di sanalah bahwa ia lahir di Kubang Nan Dua, jugalah Mochtar Lubis remaja Sumatera Barat, pada tanggal 10 mendapatkan berbagai pengetahuan Mei 1922, dari seorang ibu bernama dan pengalaman yang kelak Siti Safiah dan ayah yang bernama bermanfaat bagi dirinya. Hal tersebut Maharadja Soetan, yang bekerja juga dipengaruhi oleh para pendidik kepada pemerintah kolonial Belanda di INS Kayutanam, khususnya sebagai Asisten Demang (Anwar, dari S.M. Latif, pendiri Sekolah 1983:19). Manakala Mochtar Lubis Ekonomi di INS Kayutanam, yang juga lahir di tahun yang sama dengan tidak bosan-bosannya mengingatkan Rosihan Anwar, tepatnya pada tanggal para siswa agar terus belajar dan 7 Maret 1922, di Sumatera Barat. didukung dengan menyediakan Mochtar Lubis merupakan anak berbagai macam buku, yang menjadi keenam dari pasangan Mara Husein koleksi perpustakaan sekolah Lubis dengan gelar Raja Pandapotan (Lubis,1980:201). dan Siti Madinah Nasution (dalam Hill, Proses pendidikan dan lingkungan 2011:19). tersebut mempengaruhi pandangan Kedua tokoh pers tersebut, dengan kedua tokoh dalam melihat demikian, berasal dari keluarga yang suatu masalah, termasuk ketika bekerja kepada pemerintah kolonial pemberlakuan sistem Demokrasi Belanda, yakni bahwa ayah dari Liberal dan Demokrasi Terpimpin di masing-masing mereka adalah seorang Indonesia, dari tahun 1950 hingga pamong praja. Meskipun sama-sama tahun 1966. Rosihan Anwar dan mengabdi kepada pemerintah kolonial Mochtar Lubis, dengan demikian, Belanda, tetapi pendidikan yang dilalui memiliki cara pandang tersendiri oleh Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis terhadap konsep dari demokrasi, baik jauh berbeda. Rosihan Anwar diberikan yang bersifat universal maupun yang

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 121 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis kontekstual di Indonesia. Rosihan berlangsung sampai tahun 1959 (Anwar, Anwar (1983), misalnya, menyatakan 1983:170). sebagai berikut: Sementara itu, Mochtar Lubis Demokrasi menuju pada hidup damai, sendiri juga memiliki cara pandang tertib dengan dan atas pesetujuan. yang berbeda mengenai konsep Di negara kita sama artinya dengan demokrasi, terutama sistem Demokrasi hidup gotong-royong atas keinginan dan kehendak sendiri, dengan tiada paksaan. Liberal, yang diterapkan di Indonesia. Lebih luas dan sempurna terselenggara Mochtar Lubis berpendapat bahwa kerakyatan akan menyebabkan pula konsep Demokrasi Liberal yang kurangnya sifat-sifat paksaan dan apa diterapkan di Indonesia tidak akan yang dirasakan sebagai gencetan dan membuat negara ini maju, karena pembatasan. Orang yang bekerja keras atas kehendak dan keyakinannya sendiri setiap kabinet yang berkuasa tidak […] (Anwar, 1983:185). bertahan lama dan terus berganti dalam waktu yang sangat singkat, Pernyataan di atas merupakan sehingga apa yang menjadi program konsep demokrasi yang ada dalam suatu kabinet tidak dapat berjalan pemikiran Rosihan Anwar. Namun secara optimal. Keresahan lain timbul, sayangnya, ketika awal pemberlakuan menurut Mochtar Lubis, karena konsep demokrasi ini, mulai mendapat parlemen berada di tangan orang-orang tantangan dan sebagian golongan yang yang tidak bertanggung jawab (dalam meragukan penerapan konsep tersebut. Atmakusumah ed., 1992; Semma, Konsepsi mengenai Demokrasi 2008; dan Hill, 2011). Lebih lanjut, Liberal, misalnya, yang diharapkan Mochtar Lubis menyatakan sebagai dapat memberikan perubahan lebih berikut: baik untuk negara yang belum Karena cemas akan prospek adanya lama merdeka, namun apa yang kekacauan publik, Mochtar mendukung menjadi harapan ternyata terhalang militer sebagai benteng untuk melawan dengan pembentukan kabinet yang keresahan. Ia ingin parlemen dibubarkan tidak berjalan mulus, sehingga dan syarat-syarat lebih ketat ditetapkan mempengaruhi kelancaran dari untuk pembentukan partai politik guna menghentikan kelompok-kelompok pelaksanaan konsep Demokrasi Liberal kecil dengan kepentingan-kepentingan dan menyusul beberapa permasalahan kawasan sempit untuk membentuk partai lainnya (Anwar, 1983; Ali, 1993; politik independen (dalam Hill, 2011:55). dan Laily, 2016). Meskipun konsep Demokrasi Liberal yang diterapkan di Masalah awal yang muncul dan Indonesia menuai beragam masalah, menjadi perbincangan publik ketika tetapi Rosihan Anwar (1983) menilai diterapkannya sistem Demokrasi bahwa tidak seutuhnya demokrasi Liberal adalah peristiwa 17 Oktober dengan kata “liberal” memiliki makna 1952, yakni demonstrasi TNI-AD yang tidak baik. Rosihan Anwar (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan (1983), kemudian, menyatakan sebagai Darat) di depan Istana Presiden berikut: di Jakarta, yang menuntut agar Parlemen dibubarkan dan segera Bagaimana dia sampai kepada penamaan dilaksanakan PEMILU (Pemilihan demikian dan apa yang dimaksudnya Umum) di Indonesia (Crouch, 1999; dengan “liberal” tidaklah jelas bagi saya. “Liberalisme”, aliran kebebasan, Feith, 1999 dan 2007; Wardaya, 2004; tidak selalu mempunyai konotasi jelek Muhaimin, 2005; dan Permadi, 2014). seperti digambarkan oleh . Dalam sebuah wawancara, pada Tetapi ya sudahlah, yang jelas Sukarno tanggal 27 Januari 1981, Mochtar tidak senang dengan “demokrasi liberal” Lubis mengenang kembali apa yang yang berlaku setelah tahun 1949 dan

122 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 terjadi dalam peristiwa tersebut dan Bulan-bulan cepat lewatnya, keadaan mengungkapkan bahwa dukungan di negeri kita tidak bertambah baik, perekonomian mundur terus-menerus, yang diberikannya kepada militer Soekarno masih maju dalam usahanya bukan tanpa alasan, karena sistem untuk membina kekuasaan pribadinya di partai liberal tidak akan memberikan tanah air kita. Kaum Komunis dapat angin kemajuan kepada Indonesia yang baik sekali dan bertambah hari bertambah sering mengganti kabinet, sehingga berhasil menjalankan infiltrasinya kemana-mana (Lubis, 1980:147). menimbulkan kekacauan terhadap pemerintahan (dalam Hill, 2011:54). Pelaksanaan sistem Demokrasi Para politikus yang duduk dalam Terpimpin di Indonesia (1959-1966) Parlemen justru berpendapat bahwa memang tidak disambut baik oleh menentukan urusan militer adalah hak mereka. Namun sebagian perwira Mochtar Lubis, yang merupakan TNI-AD menentangnya, karena urusan pendukung kehidupan yang bebas, internal militer harus diselesaikan demokratis, dan bertanggung jawab, oleh pimpinan militer sendiri, tidak sehingga ia melihat konsepsi Presiden boleh dicampuri oleh para politisi tersebut telah menimbulkan sosok sipil. Dalam pandangan pihak TNI- pemimpin yang otoriter. Mochtar AD pula bahwa sejarah militer di Lubis (1980) juga mengkritisi apa Indonesia memiliki peran yang penting yang dimaksud dengan “Demokrasi dalam merebut dan mempertahankan Terpimpin” dan “Demokrasi kemerdekaan, lebih-lebih ketika para Bertanggung Jawab”, seperti yang pemimpin sipil, termasuk Presiden dikemukakan oleh Mohamad Hatta, dan Wakil Presiden, menyerah kepada Belanda pada bulan Desember 1948. mantan Wakil Presiden RI (Republik Jadi hanya pimpinan TNI-AD yang Indonesia) yang pertama dan telah tidak menyerah kepada musuh mengundurkan diri pada tahun 1956 dan berjuang mempertahankan (cf Lubis, 1980; Noer, 1990; Hatta, kemerdekaan Indonesia, bukan 2004; Alfarisi, 2010; dan Hill, 2011). politikus sipil (Crouch, 1999; Mochtar Lubis (1980) melihat Muhaimin, 2005; dan Ricklefs, bahwa konsep Demokrasi Terpimpin 2008:498). yang digagas oleh Presiden Soekarno Dalam konteks ini, Mochtar Lubis menimbulkan kecenderungan yang semula mendukung TNI-AD “pemimpin di atas segalanya”, dalam untuk berpolitik, nampaknya tidak artian bahwa rakyat harus mengikuti semuanya bersetuju ketika Indonesia dan tunduk kepada pemimpinnya menggunakan konsep Demokrasi (Lubis, 1980:127-128). Manakala Terpimpin pada tahun 1957-1959, Mohamad Hatta (2004) melihat tentang yang digagas oleh Presiden Soekarno perlunya sosok pemimpin yang dan malah didukung oleh pimpinan muncul dari bawah, melalui proses TNI-AD sendiri. Mochtar Lubis (1980) pendidikan dan kaderisasi yang baik, tidak sepakat dengan keputusan sehingga pemimpin dapat bertanggung Presiden dan meragukan kehidupan jawab untuk dirinya sendiri dan yang lebih baik, termasuk bagi dirinya kepada rakyat kebanyakan (Hatta, sendiri, yang harus tinggal dalam 2004). Dalam konteks perbandingan rumah tahanan tanpa tahu kapan pandangan tersebut, sosok Mochtar akan bebas (cf Lubis, 1980; Legge, Lubis (1980) nampaknya memiliki 1996; Muhaimin, 2005; Hill, 2011; dan kecenderungan yang sama dan setuju Adams, 2014). Sikap pesimis Mochtar dengan apa yang digagaskan oleh Lubis terhadap sistem Demokrasi Mohamad Hatta (2004), karena dengan Terpimpin tersebut ditunjukkan konsep kepemimpinan tersebut akan dengan pernyataannya, sebagai melahirkan sistem demokrasi yang berikut: sejati (Lubis, 1980, Noer, 1990; Hatta,

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 123 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis

2004; Alfarisi, 2010; dan Hill, 2011). seperti menjebloskan lawan-lawan Sikap pesimis terhadap sistem dan politik kedalam penjara tanpa alasan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan peradilan yang jelas; padahal di Indonesia (1959-1966) ternyata tindakan pemimpin seperti itu tidak hanya diperlihatkan oleh tidak dibenarkan dalam kehidupan Mochtar Lubis, karena Rosihan demokrasi yang sehat (Anwar, Anwar juga memiliki pandangan yang 1983:127; Said ed., 1992; dan Laily, sama mengenai ketidaksetujuannya 2016). Lebih lanjut, Rosihan Anwar dengan konsepsi Presiden tersebut. (1983) menyatakan sebagai berikut: Rosihan Anwar (1981 dan 1983) melihat bahwa periode Demokrasi Tidak adanya standar yang jelas di negara-negara berkembang tersebut telah Terpimpin bukanlah awal yang memberikan peluang kepada penguasa baik bagi kehidupan demokrasi di untuk melakukan tindakan-tindakan yang Indonesia yang sebenarnya (Anwar, cenderung otorier. 1981 dan 1983). Hal tersebut juga Sang diktator mengontrol posisi-posisi Pedoman kunci pada pimpinan, suatu kombinasi terlihat dalam surat kabar di elite sosial dan kumpulan-kumpulan Jakarta, yang memuat berita dan opini kekuasaan yang terdiri dari unsur-unsur dengan judul “Demokrasi Terpimpin seperti tentara, polisi, birokrasi, golongan atau Meletjehkan Demokrasi?”, bangsawan, kelas yang punya uang dan yang ditulis oleh Mohamad Hatta harta, dan kelompok-kelompok dominan dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Sang dan berpendapat bahwa Demokrasi diktator mengusahakan tercapainya Terpimpin merupakan suatu konsepsi suatu keseimbangan kekuasaan di antara yang muncul karena melihat krisis elite-elite tadi, atau dia menghadapkan demokrasi dan krisis kewibawaan kelompok-kelompok yang mendukungnya Pedoman jadi saling bertentangan (Anwar, ( , 27/8/1957:1). 1983:129). Latar belakang pendidikan Rosihan Anwar, yang bergaya Barat, telah Pernyataan yang dikemukakan mendorong ia membaca berbagai oleh Rosihan Anwar tersebut, apabila referensi mengenai apa yang dimaksud dianalisis lebih jauh, maka kondisi dengan “demokrasi”. Demokrasi yang politik itulah yang muncul dan ia melihat di negara-negara maju berkembang di Indonesia selama adalah demokrasi yang seringkali penerapan konsep Demokrasi memiliki standar tertentu, seperti Terpimpin (1959-1966). Manipol adanya pemilihan umum yang bebas; USDEK (Manifesto Politik tentang adanya kompetisi yang sehat dalam Undang-Undang Dasar 1945, partai-partai politik; sampai dengan Sosialisme, Demokrasi, dan Ekonomi adanya sistem perwakilan dalam suatu Terpimpin, serta Kepribadian Bangsa), pemerintahan. Tetapi Rosihan Anwar misalnya, menjadi propaganda juga menyadari bahwa di negara- pemerintah untuk melanggengkan negara dunia ketiga dan berkembang, kekuasaannya (Anwar, 1981 dan hal tersebut sulit untuk diterapkan, 2006; Feith, 1995; Legge, 1996; termasuk juga di Indonesia (Anwar, dan Adams, 2014). Namun dalam 1983 dan 1992; Said ed., 1992; dan catatan Rosihan Anwar (1981), sistem Laily, 2016). Demokrasi Terpimpin dengan arah Berdasarkan pemikiran itulah, politik pemerintah tersebut tidak maka Rosihan Anwar melihat bahwa membuat kondisi Indonesia lebih baik, perkembangan demokrasi di Indonesia, tetapi semakin terpuruk, baik dalam antara tahun 1960-1965, merupakan elite politik maupun dalam kehidupan periode yang menguntungkan bagi rakyat banyak (Anwar, 1981:3). penguasa untuk melakukan segala Pandangan Rosihan Anwar dan hal yang sesuai dengan keinginannya, Mochtar Lubis mengenai sistem dan

124 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018 pelaksanaan Demokrasi Liberal dan dimana menjunjung derajat manusia Demokrasi Terpimpin di Indonesia yang menghargai pribadi manusia dari berpengaruh juga dalam orientasi segala cita-cita kerakyatan, sehingga politik mereka selama tahun 1950- hal itulah yang dipandang sebagai 1965. Rosihan Anwar (1983), misalnya, Sosialisme yang sesungguhnya di mata sebagaimana dinyatakan juga oleh PSI, terutama Sutan Sjahrir (Anwar, Salim Said (2006), merupakan salah 1983:119; Legge, 1993; Gaffar, 2000; satu pengagum tokoh Sutan Sjahrir, Hutauruk, 2008; dan Laily, 2016). atau disebut juga dengan Sjahririan. Orientasi politik tersebut juga Kekaguman tersebut telah berpengaruh terlihat ketika MASYUMI (Majelis dalam membentuk orientasi politik Syuro Muslimin Indonesia) dan PSI dari Rosihan Anwar sendiri, tetapi hal dibubarkan oleh pemerintah Soekarno tersebut tidak serta-merta lahir begitu berdasarkan Keputusan No.200 Tahun saja (Anwar, 1983; dan Said, 2006:xiii). 1960 dan Keputusan No.201 Tahun Bagaimana awal Rosihan Anwar 1960 untuk membubarkan kedua kagum terhadap Sutan Sjahrir partai tersebut (Kartasasmita et al., digambarkan secara baik oleh William 1981:160; Noer, 2000; dan Ricklefs, Frederick & Soeri Soeroto eds. (2005), 2008). Dengan pembubaran kedua yang mengungkapkan mengenai partai politik tersebut, surat kabar orientasi politik dari Rosihan Anwar Pedoman di Jakarta, mepertanyakan sendiri. Sejak masa pergerakan kenapa MASYUMI dan PSI harus nasional di Indonesia (1908-1945), dibubarkan? Rosihan Anwar (1981 Rosihan Anwar melihat bahwa ada tiga dan 1983) juga mempertanyakan tokoh utama yang berjuang pada masa alasan dari penangkapan tokoh-tokoh tersebut, yaitu Mohamad Hatta, Sutan PSI yang sangat mengencewakannya, Sjahrir, dan Soekarno. Namun ketika karena apabila alasan penangkapan Soekarno dipenjara oleh pemerintah itu disebabkan oleh tokoh-tokoh partai kolonial Belanda, maka pandangannya telah ikut dalam pemberontakan PRRI hanya tertuju kepada dua tokoh (Pemerintahan Revolusioner Republik yang ada, yaitu Mohamad Hatta Indonesia), bagaimana dengan dan Sutan Sjahrir, yang memegang PARKINDO (Partai Kristen Indonesia), peranan penting dalam perjuangan yang pada waktu itu juga Sekretaris bangsa Indonesia agar mencapai Jenderalnya ikut dalam Kabinet PRRI kemerdekaannya (Anwar, 1983; dan dan masih ada anggota partai tersebut Frederick & Soeroto, 2005:446). yang menjadi bagian dari PRRI? Orientasi politik yang lebih (Anwar, 1981 dan 1983; Mahmud, 1992; menitikberatkan kepada tokoh Ricklefs, 2008; dan Solehuddin, 2015).1 Mohamad Hatta dan Sutan Sjahrir, Pernyataan di atas juga menunjukan yang memegang faham Sosialisme itu, bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh terus berlanjut ketika diberlakukannya pemerintah Presiden Soekarno, dengan sistem Demokrasi Liberal dan adanya pembubaran MASYUMI dan Demokrasi Terpimpin di Indonesia PSI, memperlihatkan keberpihakan (1950-1966). Faham Sosialismenya penguasan kepada sekelompok Rosihan Anwar semakin kokoh dengan tertentu, yang dapat diamati dari menerbitkan majalah Siasat, bersama kebijakannya terhadap PARKINDO Soedjatmoko, yang merupakan sarana sendiri, yang tidak mengalami nasib dan media bagi PSI (Partai Sosialis sama dengan kedua partai yang telah Indonesia) dalam menyalurkan dibubarkan tersebut. Dukungan gagasan-gagasan politiknya. Faham Sosialisme yang diusung oleh PSI 1Lihat juga, misalnya, berita “Soal Pengakuan: Pembubaran Partai2” dalam surat kabar Pedoman. ini adalah “sosialisme-kerakyatan”, Djakarta: 7 Djuli 1960, hlm.3.

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 125 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis

Rosihan Anwar, dengan surat kabar Fenomena yang menunjukan Pedoman-nya, tidak hanya diberikan orientasi politik Mochtar Lubis untuk partai-partai politik yang mendukung militer di Indonesia adalah dibubarkan oleh pemerintah saja, peristiwa 17 Oktober 1952, dimana ia tetapi juga mendukung tokoh-tokoh berpendapat bahwa kejadian tersebut sentralnya, terutama dalam PSI, yang merupakan salah satu perkara yang tidak lain adalah Sutan Sjahrir sendiri. menggambarkan pertentangan antara Rosihan Anwar (1981 dan 1983) terus wakil-wakil rakyat dari kalangan mengikuti perkembangan politik yang politisi sipil di Parlemen dan kalangan dilalui oleh Sutan Sjahrir selama militer mengenai program rasionalisasi pemerintahan Soekarno. Mantan Angkatan Bersenjata yang tidak Perdana Menteri Republik Indonesia disetujui oleh sebagian perwira pertama (1945-1947) itu, Sutan militer (Compton, 1993; Feith, 2007; Sjahrir, mendapat perhatian khusus Ricklefs, 2008; dan Hill, 2011). Dalam dari Rosihan Anwar. Bahkan Salim konteks ini, Abdul Haris Nasution Said (2006) mengungkapkan bahwa (1992) mengungkapkan bahwa penulisan mengenai Sutan Sjahrir peristiwa 17 Oktober 1952 adalah dicatat oleh Rosihan Anwar secara masalah internal tentara, namun rinci dan emosional, tanpa melupakan dieksploitasi secara politis oleh para tahanan politik lainnya (Anwar, 1981 politisi sipil di Parlemen. Mochtar dan 1983; dan Said, 2006:xiii). Lubis juga sependapat dengan apa Sementara itu, orientasi politik yang diungkapkan oleh Abdul Haris Mochtar Lubis juga tidak dapat Nasution, yakni bahwa rencana dilepaskan dari PSI dan Sutan Sjahrir rasionalisasi tentara tersebut memang di satu sisi; tetapi di sisi lain, Mochtar harus dilakukan agar diperoleh tentara Lubis bersimpati kepada TNI-AD yang profesional, yang nampaknya (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan tidak disetujui oleh Parlemen, terutama Darat). Dalam hal ini, Mochtar Lubis dari kalangan politisi sipil yang telah menjadikan orientasi politiknya bergabung dalam PNI atau Partai tidak hanya condong kepada PSI, Nasional Indonesia (cf Nasution, namun juga kepada militer di 1992:160; dan Hill, 2011:53). Indonesia. Mochtar Lubis yakin dan Orientasi politik Mochtar Lubis, percaya bahwa militer juga memiliki yang memberikan dukungan kepada hak yang sama untuk berperan militer di Indonesia, juga terlihat dalam administrasi dan pemerintahan dalam peristiwa pemberontakan para Indonesia. Kedekatan dengan kalangan perwira militer di daerah. Mochtar militer ini telah membuat surat Lubis melihat bahwa kekacauan kabar yang dipimpinnya, Indonesia di daerah itu timbul karena sikap Raya, sering dianggap sebagai surat pemerintah Pusat yang terlalu kabar militer, meskipun tidak secara berfokus kepada masalah-masalah langsung para perwira militer terlibat elite yang ada di Jakarta; dan retaknya didalamnya, tetapi sokongan dana dwi-tunggal antara Soekarno dan dan bantuan lainnya jelas tidak dapat Mohamad Hatta juga menjadi alasan disangkal bahwa surat kabar yang kekacauan di daerah, yang melihat dipimpin oleh Mochtar Lubis tersebut bahwa Mohamad Hatta merupakan ada peranan dan bantuan dari pihak perwakilan pemimpin dari daerah yang militer di Indonesia. Bahkan ada yang berada di Pusat (Noer, 1990; Ricklefs, menyebut bahwa Indonesia Raya 2008; dan Hill, 2011). Ketika pada merupakan surat kabar para komando tanggal 21 Desember 1956 terjadi tentara (cf Feith, 1995; Haryanto, 1996; penentangan daerah-daerah kepada Muhaimin, 2005; dan Hill, 2011:50). pemerintah Pusat di Jakarta, Mochtar

126 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018

Lubis (1980) meresponnya melalui pandangan Mochtar Lubis, adalah peryataan sebagai berikut: partai yang memang mengusung faham Sosialisme, yang menghargai […] dan mengambil kesimpulan bahwa dan menjunjung tinggi martabat peristiwa ini pasti tidak akan terbatas di Sumatra Tengah belaka, tapi akan manusia. Namun, di sisi lain, tindakan berakibat pula ke daerah-daerah lain. tokoh-tokoh yang ada di dalam partai Juga saya tulis, bahwa kabinet Ali-Rum- tersebut khas seperti intelektual Idham tidaklah akan dapat mengatasinya, perkotaan yang tidak menunjukan demikian pula Presiden Soekarno sendiri, mereka bisa bergaul dengan rakyat tanpa Bung Hatta, ataupun KSAD [Kepala Staf Angkatan Darat] Nasution saja. kebanyakan, karena memiliki gaya Tajuk Rencana itu jelas menganjurkan hidup yang berbeda (Lubis, 1980 dan agar Kabinet sebaiknya mundur, dan 1993; Legge, 1993; Ricklefs, 2008; dan jika perlu untuk kepentingan yang lebih Hill, 2011). Hal tersebut tergambar besar, maka Presiden Soekarno dan KSAD Nasution harus pula bersedia dalam sebuah petikan wawancara meninggalkan kedudukan mereka Mochtar Lubis, yang mengungkapkan (Lubis, 1980:2). bahwa:

Mochtar Lubis (1980) bersimpati Saya memang tertarik, ya, pada ide-ide sosialisme, keadilaan, pemerataan. Tapi kepada pemberontakan yang dilakukan saya nggak pernah jadi anggota PSI. Saya oleh para perwira di daerah, karena tidak suka melihat tingkah-laku teman- ia melihat bahwa pemberontakan teman yang aktif di sana. Saya dekat para perwira itu terjadi, mengingat dengan almarhum Pak Sjahrir dan Djohan, pemerintah di Jakarta lebih fokus Sekjennya, secara pribadi. Namun, saya sering kritik di depan mereka (dalam terhadap urusan di pusat, sehingga Hadimadja ed., 1995:112). masalah-masalah yang muncul di daerah tidak begitu diperhatikan. Mochtar Lubis (1980) mengetahui Dalam konteks peristiwa PRRI dan sadar tentang bagaimana PSI (Pemerintahan Revolusioner Republik (Partai Sosialis Indonesia) sebenarnya Indonesia), Mochtar Lubis memang ingin ikut dalam pemerintahan sempat diajak untuk menjadi bagian Presiden Soekarno, karena mereka dari mereka, tetapi Mochtar Lubis memiliki teori untuk “menumpang – yang pada waktu itu menjadi pada pemerintahan, jika rezim seorang tahanan rumah – tidak ingin Soekarno ambruk”. Meskipun bergabung dan berjuang dengan niatnya baik, menurut Mochtar cara-cara kekerasan. Mochtar Lubis Lubis (1980), namun juga tidak lebih memilih untuk berjuang melalui dapat mengesampingkan kekuatan pena, bukannya senjata (Lubis, 1980; PKI (Partai Komunis Indonesia) yang Hadimadja ed., 1995:112; dan Hill, semakin kokoh; dan PSI sendiri tidak 2011). Namun pada akhirnya, Mochtar memiliki kekuatan di tengah-tengah Lubis tetap dianggap terlibat dalam rakyat banyak (Lubis, 1980:337). pemberontakan yang dilakukan oleh Mochtar Lubis juga dekat dengan Kolonel Zulkifli Lubis, berdasarkan tokoh-tokoh MASYUMI (Majelis Syuro pemberitaan oleh surat kabar Indonesia Muslimin Indonesia). Kedekatan Raya, yang memuat surat-surat pribadi dengan MASYUMI dibangun secara Kolonel Zulkifli Lubis kepada pemimpin personal, seperti hubungan yang redaksi Indonesia Raya di Jakarta dibangun dengan Mohammad Natsir, (Haryanto, 1996; Ricklefs, 2008; dan salah seorang tokoh MASYUMI, yang Hill, 2011:62). sama-sama berasal dari Sumatera Selain itu, Mochtar Lubis juga Barat. Pekerjaannya sebagai wartawan, dinilai menaruh simpati kepada PSI menuntut Mochtar Lubis, adalah (Partai Sosialis Indonesia). PSI, dalam untuk melakukan konfirmasi kepada

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 127 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tokoh-tokoh yang diberitakan dalam terlepas dari keinginan pasar, yang surat kabarnya, yakni Indonesia tergantung kepada pembaca berita Raya. Ketika bulan puasa, misalnya, dan menghidari seminimal mungkin Mochtar Lubis selalu datang kepada konfrontasi dengan pemerintah, Mohammad Natsir. Menjelang berbuka sehingga sampai pada kesimpulan, puasa, Mochtar Lubis selain dapat meskipun menginginkan adanya mengkonfirmasi suatu pemberitaan, kebebasan, pers harus mengikuti garis ia juga dapat berdialog dengan kebijakan pemerintah (Anwar, 1983 dan Mohammad Natsir mengenai berbagai 1992; Said ed., 1992; dan Laily, 2016). masalah yang dihadapi oleh bangsa Wartawan yang berjiwa demokratis Indonesia (Lubis, 1992:464; Noer, harus melancarkan perjuangannya 2000; dan Hill, 2011). dari daerah operasi manapun, yang Kedekatan Mochtar Lubis dengan disediakan baginya oleh rezim yang tokoh-tokoh partai politik, terutama tengah berkuasa. Soal yang pokok dari PSI dan MASYUMI, ternyata ialah dia harus terus berjuang. Menjadi diamati dan dijadikan bukti oleh tugas kewajiban pers yang berjiwa pemerintah Orde Lama (1959-1966), demokratis dan wartawan-wartawan sehingga pada saat terjadi pembubaran yang mengabdi kepada cita-cita PSI dan MASYUMI pada tahun 1960, kemerdekaan pers untuk menyalakan tidak berapa lama kemudian, Mochtar terus aspirasi-aspirasi demokrasi Lubis juga ditangkap dengan alasan berhadapan dengan tekanan dari pihak bahwa ia merupakan simpatisan pemerintah dan mengobarkannya dari kedua partai politik tersebut. dengan memperkuat kepercayaan Penangkapan yang dialamatkan rakyat akan hak-haknya serta kepadanya dinilai, dalam pandangan kesediaannya berjuang untuk hak-hak Mochtar Lubis, bukanlah sesuatu yang itu (Anwar, 1983:246-247; Lubis, 1992; tepat, karena ia bukanlah anggota dari Hill, 2011; dan Laily, 2016). kedua partai politik tersebut (Lubis, Sikap yang diambil oleh Rosihan 1978 dan 1980; Haryanto, 1996; Anwar dalam memperjuangkan Ricklefs, 2008; dan Hill, 2011). kebebasan pers tidak jarang Perkembangan politik yang terjadi mendorong dia harus berhadapan di Indonesia bukan saja mendorong dengan teman sejawat lainnya, yang kedua tokoh ini, Rosihan Anwar dan tidak sepakat dengan tindakannya Mochtar Lubis, mengambil sikap dalam memperjuangkan kebebasan dalam merespon setiap hal yang pers. Tindakan yang dilakukan terjadi selama zaman Demokrasi oleh Rosihan Anwar memang tidak Liberal (1950-1959) dan Demokrasi disepakati oleh Mochtar Lubis, karena Terpimpin (1959-1966), tetapi ia tetap memegang teguh kebebasan sebagai seorang wartawan, mereka pers tanpa kompromi. Mochtar Lubis juga memiliki pandangan tersendiri melihat bahwa kebebasan pers pada mengenai kebebasan pers di Indonesia. masa pemerintahan Soekarno (1959- Kebebasan pers, dalam pandangan 1966) merupakan kebebasan pers yang kedua tokoh ini, hendaknya adalah semu, tidak jelas bagaimana kebebasan kebebasan pers yang bertanggung yang diberikan oleh pihak penguasa itu jawab; tetapi keduanya juga memiliki (Anwar, 1983; Lubis, 1992; Hill, 2011; cara pandang yang berbeda dalam dan Laily, 2016). Lebih lanjut, Mochtar memperjuangkan hal tersebut (Said Lubis (1992) menyatakan sebagai ed., 1992; Compton, 1993; Feith, 1995; berikut: dan Hill, 2011). Rosihan Anwar, misalnya, melihat Tugas dan tanggung jawab berat ini hanya dapat dilaksanakan dengan baik bahwa kebebasan pers tidak dapat oleh wartawan dan pers Indonesia dalam

128 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018

iklim kebebasan pers Indonesia yang tidak yang sesungguhnya memang sulit semu, tetapi terang dan jernih. Tanpa diwujudkan di Indonesia (Lubis, kebebasan pers tidak mungkin menuntut tanggung jawab kepada pers. Sebaliknya, 1980; Anwar, 1981 dan 1983; dan tanpa tanggung jawab, kebebasan Hill, 2011). Hal tersebut didasarkan pers dan wartawan akan kehilangan pada keberlangsungan kehidupan maknanya (Lubis, 1992:477). pers itu sendiri, yang harus bisa bertahan hidup pada zaman Demokrasi Berdasarkan pendapat tersebut Liberal (1950-1959) dan Demokrasi terlihat jelas bahwa Mochtar Lubis Terpimpin (1959-1966) di Indonesia, (1992) merupakan pribadi yang dan dalam kenyataannya – baik surat menginginkan kebebasan dalam kabar Pedoman milik Rosihan Anwar bidang pers, tetapi harus bertanggung maupun Indonesia Raya milik Mochtar jawab, sehingga perjuangan mengenai Lubis – masih mendapat kekangan, kebebasan pers tidak akan kehilangan dan bahkan pembredelan, dari pihak maknanya. Namun, pengalamannya penguasa (Smith, 1986; Haryanto, selama tahun 1950-an sampai dengan 1996; Surjomihardjo ed., 2002; dan tahun 1960-an, harapan tersebut hanya Suwirta, 2008). sekedar cita-cita karena perjuangan kebebasan pers dilakukan di balik KESIMPULAN 2 tahanan penjara. Mochtar Lubis (1992) Latar belakang kehidupan Rosihan menilai bahwa yang dilakukan oleh Anwar dan Mochtar Lubis, keduanya pemerintah kepada dirinya sangatlah merupakan tokoh pers yang berasal membatasi ruang gerak dalam dari Sumatera, dengan suku yang memperjuangkan kebebasan pers berbeda. Rosihan Anwar berasal dari (Lubis, 1992; dan Hill, 2011). suku Minangkabau di Sumatera Barat, Hal tersebut terlihat dalam yang memiliki darah keturunan Jawa; pernyataan yang mempertanyakan manakala Mochtar Lubis berasal dari alasan dibalik penahanan Mochtar suku Mandailing di Sumatera Utara. Lubis di akhir bulan Desember Keduanya merupakan anak dari 1956; dan tindakan pemerintah ayah yang bekerja sebagai pamong yang tidak memperbolehkan dirinya praja pada masa pemerintah kolonial untuk membaca surat kabar serta Belanda. Kedua orang tuanya memiliki mengirimkan tulisan untuk surat perhatian terhadap bidang pendidikan kabarnya, yakni Indonesia Raya. anak-anaknya. Rosihan Anwar Mochtar Lubis membandingkan mendapatkan pendidikan bergaya kondisi dirinya yang ditahan pada Barat milik pemerintah kolonial waktu itu, 1960-an, dengan ketika Belanda; dan Mochtar Lubis juga Soekarno ditahan oleh pemerintah mengenyam pendidikan di sekolah kolonial Belanda pada tahun 1930- yang bergaya Barat juga, tapi milik an, tetapi Soekarno masih mendapat 2 kesempatan untuk membaca, menulis, Sebuah Pengakuan: Artikel ini – sebelum diubah-suai dan direvisi dalam bentuknya sekarang dan mengirimkan karangannya – merupakan Ringkasan Skripsi Sarjana dari Penulis kepada surat kabar milik PARTINDO I (Desi Rusmiati), yang dibimbing oleh Penulis II (Andi Suwirta) dan Penulis III (Moch Eryk Kamsori). Penulis (Partai Indonesia), sehingga tindakan I mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang pemerintah kepadanya pada tahun tinggi kepada semua pihak yang telah membimbing 1960-an dinilai tidak adil (Lubis, 1980:36; dan membantu dalam proses penelitian, penulisan, dan penyelesaian Skripsi Sarjana di Departemen Hill, 2011; dan Aprianto, 2018). Pendidikan Sejarah FPIPS UPI (Fakultas Pendidikan Meskipun memiliki sudut Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan pandang yang berbeda, baik Rosihan Indonesia) di Bandung; dan lulus Sarjana Pendidikan Sejarah pada tahun 2016. Walau bagaimanapun, Anwar maupun Mochtar Lubis semua isi dan interpretasi dalam artikel ini menjadi menyadari bahwa kebabasan pers tanggung jawab akademik kami bertiga, selaku Penulis I, II, dan III.

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 129 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis pihak swasta, pada zaman kolonial Pandangan Rosihan Anwar dan Belanda di Indonesia. Mochtar Lubis terhadap kebebasan Pandangan Rosihan Anwar dan pers di Indonesia, sama-sama Mochtar Lubis terhadap konsep dan menyatakan bahwa jika pers ingin pelaksanaan sistem Demokrasi Liberal menjalankan fungsinya dengan (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin baik, maka harus ada kebebasan (1959-1966) di Indonesia memiliki yang diberikan kepada pers disertai segi-segi perbedaan dan persamaan dengan rasa tanggung jawab. Rosihan sekaligus. Rosihan Anwar, misalnya, Anwar, misalnya, memperjuangkan menilai bahwa konsep Demokrasi kebebasan pers dengan melihat situasi Liberal tidak selalu memiliki makna dan kondisi di Indonesia. Meskipun ia yang negatif, karena ia melihat bahwa berjuang untuk kebebasan pers, tetapi untuk mencapai cita-cita menjadi jangan sampai pers merugikan pihak negara yang demokratis harus lain, sebagaimana dintunjukkan oleh ditempuh dengan langkah-langkah pers yang dikelolanya, yakni surat yang demokratis pula. Sementara itu, kabar Pedoman di Jakarta. Mochtar Lubis tidak sepakat dengan Sedangkan Mochtar Lubis, sebagai pemberlakuan konsep Demokrasi pemimpin redaksi surat kabar Liberal, karena Indonesia belum Indonesia Raya di Jakarta, tidak memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) segan-segan untuk memberitakan yang siap untuk menjalankan syarat- dan memberi pandangan (news and syarat sebagai negara yang demokrasi. views) yang tidak diharapkan dan Namun dalam banyak hal, baik tidak disenangi oleh pemerintah, Rosihan Anwar maupun Mochtar Lubis pejabat-pejabat negara, bahkan tidak setuju dengan penerapan sistem termasuk Presiden Soekarno sendiri, Demokrasi Terpimpin di Indonesia, sehingga konsekuensi yang harus karena kedua tokoh ini menilai bahwa diterima dalam memperjuangkan dengan menggunakan konsep tersebut kebebasannya itu, ia harus mendekam maka menghilangkan cita-cita negara didalam rumah tahanan dan sering demokrasi. mengalami siklus tangkap dan lepas. Orientasi politik Rosihan Anwar Sikap Mochtar Lubis yang tegas dan memberikan dukungannya terhadap keras dalam membela kebebasan faham Sosialisme, yang dipelopori pers di Indonesia itu acapkali memicu oleh PSI (Partai Sosialis Indonesia) konflik antara dirinya dengan pihak dengan tokoh sentral yang ada di penguasa, yang alergi dengan kritik partai tersebut tidak lain adalah Sutan dan kebebasan pers di Indonesia.3 Sjahrir. Sedangkan Mochtar Lubis tidak hanya bersimpati kepada PSI, tetapi juga MASYUMI (Majelis Syuro Referensi Muslimin Indonesia), walaupun ada beberapa catatan dan kritik mengenai Abdurahman, Dudung. (2007). Metodologi kedua partai tersebut darinya. Mochtar Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Penerbit Ar- Ruzz. Lubis juga memberikan dukungannya Adams, Cindy. (2014). Bung Karno: Penyambung kepada TNI-AD (Tentara Nasional Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Indonesia – Angkatan Darat), karena Bung Karno, Terjemahan. ia menilai bahwa tentara juga memiliki kemampuan untuk mengelola negara. 3Pernyataan: Kami, dengan ini, menyatakan bahwa Hal itu tidak terlepas dari lingkungan artikel ini adalah karya kami bertiga; ianya bukan hasil plagiat, sebab sumber-sumber yang kami rujuk pergaulan Mochtar Lubis, yang dan dijadikan bahan analisis kajian, sangat jelas dekat dengan para perwira tentara di tercantum dalam Referensi atau Daftar Pustaka. Kami juga menyatakan bahwa artikel ini belum pernah Indonesia. direviu dan diterbitkan oleh jurnal ilmiah lainnya.

130 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018

Alfarisi, Salman. (2010). Mohammad Hatta: 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Biografi Singkat, 1902-1980. Jogjakarta: Populer Gramedia, terjemahan Nugroho Penerbit Garasi. Katjasungkana et al. Ali, Fachry. (1993). “Pengantar: Dinamika Feith, Herbert. (2007). The Decline of Sosial-Politik Indonesia Tahun Lima Constitusional Democracy in Indonesia. Puluhan” dalam Boyd R. Compton. Kemelut Jakarta: Equinox Publishing. Demokrasi Liberal: Surat-surat Rahasia. Frederick, William & Soeri Soeroto [eds]. (2005). Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Terjemahan. Sesudah Revolusi. Jakarta: Penerbit LP3ES, Ali, Moh. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah edisi revisi. Indonesia. Yogyakarta: Penerbit LKiS. Gaffar, Affan. (2000). Politik Indonesia: Transisi Amri, M. (2008). “Auto/Biografi Indonesia: Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Sejarah dan Telaah Singkat” dalam Jurnal Pelajar. Bahasa dan Seni, Volume 36(1), hlm.49-58. Gosttchlak, Louis. (1985). Mengerti Sejarah. Anwar, Rosihan. (1981). Sebelum Prahara: Jakarta: Penerbit UI [Universitas Indonesia] Pergolakan Politik Indonesia, 1961-1965. Press. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Hadimadja, R.K. [ed]. (1995). Mochtar Lubis Anwar, Rosihan. (1983). Menulis dalam Air: Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Sebuah Otobiografi. Jakarta: Penerbit Sinar Wartawan. Jakarta: Penerbit YOI [Yayasan Harapan. Obor Indonesia]. Anwar, Rosihan. (1992). “Wartawan, Demokrasi, Hakiki, Paizon, Marwoto Saiman & Syofyan dan Pembangunan Nasional” dalam Tribuana Suri. (2011). “Sistem Pemerintahan pada Said [ed]. H. Rosihan Anwar: Wartawan Masa Demokrasi Liberal, Tahun 1949-1959”. dengan Aneka Citra. Jakarta: Penerbit Tersedia secara online di: https://media. Kompas, hlm.217-230. neliti.com/media/publications/206618- Anwar, Rosihan. (2006). Soekarno-Tentara-PKI: none.pdf [diakses di Bandung, Jawa Barat, Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, Indonesia: 3 Juli 2018]. 1961-1965. Jakarta: Penerbit YOI [Yayasan Hamid, I. (2004). Kontruksi Realitas Politik Obor Indonesia]. dalam Media Massa. Jakarta: Penerbit Granit. Aprianto, Bangkit. (2018). “Sejarah Haryanto, Ignatius. (1996). Pembredelan Pers Perkembangan Surat Kabar Indonesia di Indonesia: Kasus Koran Indonesia Raya. Raya, 1949-1974”. Skripsi Sarjana Tidak Jakarta: Penerbit LSPP [Lembaga Studi Pers Diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi dan Pembangunan]. Pendidikan Sejarah FKIP USD [Fakultas Hatta, Mohamad. (1957). “Demokrasi Terpimpin Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas atau Meletjehkan Demokrasi?” dalam surat Sanata Dharma]. Tersedia secara kabar Pedoman. Djakarta: 27 Agustus. online juga di: http://repository.usd. Hatta, Mohamad. (2004). Demokrasi Kita: ac.id/31540/2/131314002_full.pdf [diakses Idealisme dan Realitas serta Unsur yang di Bandung, Jawa Barat, Indonesia: 17 Memperkuatnya. Jakarta: Penerbit Balai Agustus 2018]. Pustaka. Atmakusumah [ed]. (1992). Mochtar Lubis: Hill, David T. (2011). Jurnalisme dan Politik Wartawan Jihad. Jakarta: Harian Kompas. Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis Atmakusumah [ed]. (1997). Tajuk-tajuk (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya, Pengarang. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Jilid I. Jakarta: Penerbit YOI [Yayasan Obor Indonesia, Terjemahan. Indonesia]. Hutauruk, A. (2008). “Media sebagai Kontrol Burke, Peter. (2008). Sejarah dan Teori Sosial. Sosial: Tajuk-tajuk tentang Politik dalam Jakarta: Penerbit YOI [Yayasan Obor Warta Sepekan SIASAT, 1950-1957”. Tesis Indonesia]. Magister Tidak Diterbitkan. Jakarta: Program Compton, Boyd R. (1993). Kemelut Demokrasi Pascasarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Liberal: Surat-surat Rahasia. Jakarta: PT Ilmu Pengetahuan Budaya UI [Universitas Pustaka LP3ES Indonesia, Terjemahan. Indonesia]. Crouch, Harold. (1999). Militer dan Politik di Ismaun. (2005). Pengantar Belajar Sejarah Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan. Terjemahan. Bandung: Historia Utama Press. Daud, S. (2013). “Antara Biografi dan Kartasasmita, G. et al. (1981). 30 Tahun Historiografi” dalamJurnal Analisis, Volume Indonesia Merdeka. Jakarta: Penerbit Setneg 13(1), hlm.243-270. RI [Sekertaris Negara Republik Indonesia]. Feith, Herbert. (1995). Sokarno-Militer dalam Kartodirdjo, Sartono. (2014). Pendekatan Ilmu Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Sinar Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Harapan, Terjemahan. Penerbit Ombak. Feith, Herbert. (1999). Pemilihan Umum Kuntowijoyo. (1995). Metodologi Sejarah.

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 131 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis

Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Pendidikan Sejarah FIS UNY [Fakultas Laily, Hamidah Izzatu. (2016). “Rosihan Anwar Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta]. dan Pers Indonesia: Studi Eksploratif pada Tersedia secara online juga di: https:// Pemikiran Rosihan Anwar Terkait Pers di eprints.uny.ac.id/21750/9/ringkasan.pdf Indonesia”. Skripsi Sarjana Tidak Diterbitkan. [diakses di Bandung, Jawa Barat, Indonesia: Malang: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP 3 Juli 2018]. UNIBRAW [Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern, Politik, Universitas Brawijaya]. Tersedia 1200-2008. Jakarta: Penerbit Serambi, secara online juga di: https://www.academia. Terjemahan. edu/34525641/ROSIHAN_ANWAR_DAN_ Said, Salim. (2006). “Dari Permainan Segitiga PERS_INDONESIA [diakses di Bandung, Jawa ke sebuah Prahara” dalam Rosihan Anwar. Barat, Indonesia: 3 Juli 2018]. Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Legge, John D. (1993). Kaum Intelektual dan sebelum Prahara Politik, 1961-1965. Jakarta: Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Penerbit YOI [Yayasan Obor Indonesia], Sjahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hlm.x-xiv. Terjemahan. Said, Tribuana. (1988). Sejarah Pers Nasional Legge, John D. (1996). Soekarno: Sebuah dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta: Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Sinar CV Haji Masagung. Harapan, Terjemahan. Said, Tribuana [ed]. (1992). H. Rosihan Anwar: Lev, Daniel S. (1990). Hukum dan Politik di Wartawan dengan Aneka Citra. Jakarta: Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Penerbit Kompas. Jakarta: Penerbit LP3ES, Terjemahan. Sanit, Arbi. (1997). Partai, Pemilu, dan Lubis, Mochtar. (1978). Senja di Jakarta. Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jakarta: Pustaka Jaya. Semma, M. (2008). Negara dan Korupsi: Lubis, Mochtar. (1980). Catatan Subversif. Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Lubis, Mochtar. (1992). “Etos Pers Indonesia” Jakarta: Penerbit YOI [Yayasan Obor dalam Atmakusumah [ed]. Mochtar Lubis: Indonesia]. Wartawan Jihad. Jakarta: Penerbit Kompas, Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. hlm.459-484. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Lubis, Mochtar. (1993). Budaya, Masyarakat, Smith, Edward C. (1986). Sejarah Pembredelan dan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Pers di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama YOI [Yayasan Obor Indonesia]. Grafiti Pers, terjemahan Atmakusumah. Maarif, Ahmad Syafii. (1996).Islam dan Politik: “Soal Pengakuan: Pembubaran Partai2” dalam Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, surat kabar Pedoman. Djakarta: 7 Djuli 1959-1965. Jakarta: Gema Insani Press. 1960, hlm.3. Mahmud, M. (1992). “Pembredelan Pedoman: Soebagijo, I.N. (1981). Jagat Wartawan Sirnanya suatu Harapan” dalam Tribuana Indonesia. Jakarta: Penerbit Gunung Agung. Said [ed]. H. Rosihan Anwar: Wartawan Solehuddin, A. (2015). “Jargon Politik Masa dengan Aneka Citra. Jakarta: Penerbit Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1965” Kompas, hlm.111-128. dalam Jurnal Pendidikan Sejarah, Volume Muhaimin, Yahya A. (2005). Perkembangan 3(1), hlm.69-81. Militer dalam Politik di Indonesia, 1945-1988. Suhadi, Imam. (1981). Pemilihan Umum 1955, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1971, dan 1977: Cita-cita dan Kenyataan Nasution, Abdul Haris. (1992). “Mochtar Lubis: Demokrasi. Yogyakarta: Penerbit FH-UII Wartawan Pejuang” dalam Atmakusumah [Fakultas Hukum – Universitas Islam [ed]. Mochtar Lubis: Wartawan Jihad. Jakarta: Indonesia]. Penerbit Harian Kompas, hlm.156-166. Supriatna, Nana. (2006). Sejarah Nasional dan Nasution, Adnan Buyung. (1995). Aspirasi Dunia untuk SMA Kelas III. Bandung: PT Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Grafindo. Studi Sosio-Legal atas Konstituante, 1956- Surjomihardjo, Abdurrachman [ed]. (2002). 1959. Jakarta: Penerbit Grafiti Pers. Beberapa Segi Perkembangan Surat Kabar Noer, Deliar. (1990). Mohammad Hatta: Biografi di Indonesia. Jakarta: Kompas Media Politik. Jakarta: Penerbit LP3ES. Nusantara. Noer, Deliar. (2000). Partai Islam di Pentas Suwirta, Andi. (2004). “Atang Ruswita, Pikiran Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Rakyat, dan Kritik Sosial” dalam Asmawi Politik Indonesia, 1945-1965. Bandung: Zainul & Didin Saripudin [eds]. 50 Tahun Pustaka Mizan. Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI, 1954- Permadi, Singgih Bambang. (2014). “Proses 2004: Mozaik Pemikiran tentang Sejarah, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia”. Skripsi Pendidikan Sejarah, dan Budaya. Bandung: Sarjana Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Historia Utama Press. Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Suwirta, Andi. (2008). “Dinamika Kehidupan

132 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Volume 6(2), September 2018

Pers di Indonesia pada Tahun 1950-1965: Wardaya, Baskara T. (2004). “Membuka Kotak Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Pandora Pemilu 1955” dalam Jurnal Basis, Nasional” dalam SOSIOHUMANIKA: Jurnal No.03-04 [Maret-April]. Yogyakarta: Penerbit Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, Kanisius. Volume 1(2), hlm.47-85. Wijaya, A. (2014). “Demokrasi dalam Sejarah Suwirta, Andi. (2010). “Dua Negara-Bangsa Ketatanegaraan Republik Indonesia” dalam Melihat Masa Lalunya: Konfrontasi Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Indonesia – Malaysia (1963-1966) Volume 4(1), hlm.137-158. sebagaimana Dikisahkan dalam Buku- Zed, Mestika. (2008). Metode Penelitian buku Teks Sejarahnya di Sekolah” dalam Kepustakaan. Jakarta: Penerbit YOI [Yayasan SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Obor Indonesia]. Sosial dan Kemanusiaan, Volume 3(2), hlm.243-258.

© 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam 133 ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur DESI RUSMIATI, ANDI SUWIRTA & MOCH ERYK KAMSORI, Pandangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis

Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis dengan Surat Kabarnya (Sumber: Koleksi Pribadi Penulis, 9/10/2017)

Meskipun memiliki sudut pandang yang berbeda, baik Rosihan Anwar maupun Mochtar Lubis menyadari bahwa kebabasan pers yang sesungguhnya memang sulit diwujudkan di Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada keberlangsungan kehidupan pers itu sendiri, yang harus bisa bertahan hidup pada zaman Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) di Indonesia, dan dalam kenyataannya masih mendapat kekangan, dan bahkan pembredelan, dari pihak penguasa.

134 © 2018 by Minda Masagi Press, Bandung, Indonesia; and UBD, BS Begawan, Brunei Darussalam ISSN 2302-5808 and www.journals.mindamas.com/index.php/susurgalur