KERATON DAN POLITIK (Konflik Keraton Hadiningrat Pasca Wafatnya Paku Buwono XII)

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh

Muhammad Agus Salim Muharrom NIM: 109033200020

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2014

ABSTRAK

Masih adakah drama perebutan kekuasaan antar para bangsawan? Jawabannya masih, tidak hanya bisa disaksikan melalui tutur cerita orang tua atau kitab-kitab kuno saja. Meskipun dalam sekup yang berbeda, telah terjadi konflik berkepanjangan yang tak kunjung usai di Keraton Surakarta Hadiningrat, salah satu kerajaan dari dinasti Mataram Islam. Skripsi ini ingin menganalisa asal muasal konflik perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta Hadiningrat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan melalui wawancara kepada sentana dalem Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam penelitian ini ditemukan motivasi salah satu putra Paku Buwono XIII untuk naik sebagai raja tidak semata ingin mempertahankan tradisi, tapi juga ingin meraih kekuasaan sebagai raja yang sah di Keraton Surakarta Hadiningrat yang pada akhirnya bisa memiliki otoritas politik dan ekonomi terhadap semua yang berhubungan dengan keraton baik internal maupun eksternal. Argumen ini dirumuskan melalui susunan peristiwa demi peristiwa yang melanda keraton sejak Paku Buwono XII wafat hingga beberapa tahun lamanya yang selanjutnya dianalisa oleh penulis melalui beberapa kerangka teori, yaitu: teori monarki, teori kekuasaan, dan teori konflik. Dalam pemerintahan monarki, mutlak hukumnya pengganti raja adalah anak kandung dari raja itu sendiri. Angger-angger atau aturan tak tertulis di Keraton Surakarta Hadiningrat mengharuskan yang berhak menjadi raja adalah anak lelaki tertua, namun ada perbedaan persepsi bahwa pergantian kekuasaan tidak harus berpacu pada angger-angger. Perbedaan persepsi ini menimbulkan konflik perebutan kekuasaan antara satu putra dengan putra lainnya, yang selanjutnya akan dianalisa melalui teori kekuasaan dan teori konflik.

Keywords: keraton, konflik, suksesi, surakarta

iv KATA PENGANTAR

ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ

Alhamdulillahirabbil’ Alamin, segala puji dan syukur pada Allah SWT yang telah memberikan nikmat tak terhingga, sehingga dengan izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik sesuai waktu yang diharapkan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi

Muhammad SAW, yang telah menginspirasi seluruh umat muslim di muka bumi ini.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuannya saat proses penyusunan skripsi. Baik berupa bantuan moril dan materil. Terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Bahtiar Effendy selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ali Munhanif selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Armein Daulay, M.Si selaku dosen pembimbing bagi penulis,

ketegasan dan kesabarannya telah memberi dorongan semangat kepada

penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Bapak Idris Thaha, M.Si selaku dosen penasehat akademik, berkat arahan

beliau penulis dapat memulai skripsi ini.

5. Bapak Dr. Ali Munhanif dan Ibu Suryani, M.Si selaku dosen penguji.

v 6. Para dosen tercinta selama penulis belajar di ruang kelas, Pak Zaki Mubarak,

Pak Bakir Ihsan, Ibu Haniah Hanafie, Pak Agus Nugraha, dan bapak/ibu

dosen lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

7. Mama tercinta, Hj. Fauzah, dan almarhum bapa H. Leman Sulaeman, do’a,

dukungan, dan perjuanganmu tak pernah surut untuk keberlangsungan studi

anakmu ini. Semoga skripsi ini menjadi kado terindah untuk mama dan

almarhum bapa.

8. Ka Lia, Anopi, Ayubi, Mbak Eha, Bi Jaem, dan seluruh keluargaku yang

telah memberikan motivasi yang cukup besar kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

9. Pihak sentana dalem Keraton Surakarta Hadiningrat, KGPH PA Tedjowulan,

KGPH Puger, dan GPH Dipokusumo, pemerhati Keraton Surakarta

Hadiningrat, Bapak Eko Ismadi, yang telah berkenan menjadi narasumber

bagi penulis.

10. Redaktur Senior Solopos, Mulyanto Utomo, beserta jajarannya yang telah

berkenan menjadi narasumber serta memberikan data-data terkait penulisan

skripsi ini.

11. Pihak-pihak yang telah membantu operasional dan memberi tempat tinggal

selama penulis mengadakan penelitian ini, Ibu Encus, Bapak Taufik, Bapak

Titus Yanto Martono, biar Allah yang membalas jasa-jasa kalian semua.

12. Sahabat-sahabat terdekat sekaligus inspirator bagi penulis, Zakiya Rahmi

Lubis, S.Pd, Kevin Filsafat, Lina Sumaya S.Sos, Rizky Dwi Amy, Eko

vi Indrayadi S.Sos, Masrukhin, dan Ipul Cak. Sampai jumpa di puncak

kesuksesan.

13. Rekan-rekan di Penerbit Dolphin yang telah menjadi bagian dari hidup

penulis, Mas Salahuddin Gh, Abang Sihar, Mbak Noni Rafael, dan Mas Eko

Waluyo. Berkat bantuan kalian juga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman-teman kelas Ilmu Politik 2009 yang telah menjadi sahabat

seperjuangan bagi penulis, Mudhori, Filly, Mamet, Amizar, Rizqi, Rizky

Noor, Meutia, Ayu, Arep, Ghofur, Odit, Fikri, Algi, Elva, Zula, Agil, Fadhil,

Amin, Ali, Abdi, Ilham, Riben, Hasan, Ridwan, dan kawan-kawan lainnya

yang tidak bisa penulis sebutkan satu per-satu. Perjuangan kita masih

panjang.

Akhirnya penulis berdoa, semoga segala bantuan dan perhatian yang diberikan semua pihak mendapat balasan yang berlipat dari Yang Maha Kuasa.

Juga apa yang disampaikan penulis dari keseluruhan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar informasi dan data yang disampaikan terhindar dari kekeliruan. Sehingga dengan sepenuh hati penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan khilaf dalam penulisan. Saran dan kritik dibutuhkan bagi penulis demi membuat tulisan ini menjadi lebih baik lagi.

Jakarta, 11 April 2014

Muhammad Agus Salim Muharrom

vii DAFTAR ISI

Hal

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME...... i

LEMBAR PERSETUJUAN ...... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ...... iii

ABSTRAK ...... iv

KATA PENGANTAR...... v

DAFTAR ISI ...... viii

DAFTAR ISTILAH ...... xi

BAB I PENDAHULUAN...... 1

A. Pernyataan Masalah...... 1 B. Pertanyaan Penelitian ...... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...... 5 D. Tinjauan Pustaka ...... 6 E. Metode Penelitian...... 8 F. Sistematika Penulisan...... 8

BAB II KERANGKA TEORETIS...... 10

A. Teori Kekuasaan...... 10 B. Teori Konflik ...... 16

BAB III PROFIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT...... 21

viii A. Lingkungan Geografis ...... 21 B. Lingkungan Fisik Keraton Surakarta Hadiningrat...... 24 1. Lingkaran I: Kedhaton...... 24 2. Lingkaran II: Kompleks Bangunan di Baluwarti ...... 27 3. Lingkaran III: Paseban...... 28 4. Lingkaran IV: Alun-alun ...... 28 C. Stratifikasi Sosial Masyarakat ...... 29 1. Raja dan Keluarga Raja (sentana dalem) ...... 29 2. Pegawai dan Pejabat Kerajaan (abdi dalem) ...... 34 3. Rakyat Biasa (wong cilik, kawula dalem) ...... 35 D. Silsilah Penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat ...... 35 E. Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat...... 40 F. Kegiatan-Kegiatan Spiritual di Keraton Surakarta Hadiningrat ...... 43

BAB IV KONFLIK YANG TERJADI DI KERATON SURAKARTA HADININGRAT PASCA WAFATNYA PAKU BUWONO XII... 45

A. Wasiat Ibunda Paku Buwono XII dan Suksesi Keraton...... 45 B. Isu-isu Pasca Wafatnya Paku Buwono XII...... 50 C. Kasus Konflik Perebutan Kekuasaan di Keraton Surakarta Hadiningrat...... 57 D. Implikasi Konflik Terhadap Kehidupan Keraton ...... 70 1. Perpecahan Sentana Dalem Keraton ...... 70 2. Terhentinya Dana Hibah ...... 74 3. Pemberian Gelar di Keraton Surakarta Hadiningrat: Benarkah Diperjual Belikan? ...... 78 E. Proses Rekonsiliasi Antara Paku Buwono XIII Hangabehi dan Paku Buwono XIII Tedjowulan...... 83 F. Babak Baru Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat ...... 89

ix BAB V PENUTUP ...... 97

A. Kesimpulan...... 97 B. Saran ...... 99 DAFTAR PUSTAKA ...... 100

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Silsilah Raja-Raja Keraton Surakarta Hadiningrat...... xii

LAMPIRAN 2 Daftar Putra-putri Paku Buwono XII ...... xiii

LAMPIRAN 3 Gelar Kebangsawanan di Keraton Surakarta Hadiningrat .xiv

LAMPIRAN 4 Transkrip Wawancara ...... xvi

A. Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan ...... xvi B. Wawancara dengan KGPH Puger...... xxii C. Wawancara dengan GPH Dipokusumo ...... xxvi D. Wawancara dengan Mulyanto Utomo...... xxx

LAMPIRAN 5 Foto-foto Penulis Bersama Narasumber...... xxxii

x DAFTAR ISTILAH

Angger-angger : Hukum keraton tidak tertulis yang sudah

berlangsung turun- temurun

Biworo : Pengumuman

Feodal : Susunan Masyarakat yang dikuasai oleh kaum

bangsawan

Impersonal : Tidak berkaitan dengan seseorang

Islah : Berdamai

Jumenengan : Upacara penobatan raja atau ratu

Kejawen : Segala yang berhubungan dengan adat dan

kepercayaan Jawa

Keraton : Kerajaan

Ontran-ontran : Keonaran

Pengabekten : Sungkeman

Sabda Pandhita Ratu : Setiap ucapan raja (sabda raja) harus ditaati

Sak Megaring Payung : Sebesar lingkar payung mengembang

Sinkretisme : Aliran yang merupakan perpaduan dari beberapa

paham yang berbeda untuk mencari keserasian

dan keseimbangan

Tradisi : Adat kebiasaan turun-temurun yang masih

dijalankan

Wilujengan : Selametan

xi BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Dalam satu dekade terakhir, konflik internal keraton telah beberapa kali terjadi di . Sebagai pewaris kekuasaan feodal yang masih tersisa di era otonomi daerah, keraton tetap bertahan sebagai penjaga tradisi dan budaya dari kekuasaan masa lalu. Trah bangsawan yang melekat kepada keturunan dari raja yang ada telah menjadikan para pewarisnya merasa harus menggantikan takhta ayahnya sebagai raja, meskipun dengan perang saudara.

Dari beberapa konflik keraton misalnya di Keraton Kanoman (Cirebon), terjadi konflik antara Emirudin dan Pangeran Saladin. Sejak wafatnya

Sultan Kanoman, Sultan Djalaluddin, pada tahun 2002, Sultan Saladin bersikukuh bahwa dirinyalah yang pantas menggantikan takhta ayahnya sebagai sultan.

Karena ia bersama kedua saudaranya, Pangeran Amaludin dan Ratu Setiawati, merupakan putra dan putri dari Sultan Djalaluddin bersama Hajjah Suherni.

Terjadi konflik, berkaitan pengakuan dan penggunaan nama depan Pangeran

Saladin sebagai sultan yang ditentang keras oleh Sultan Emirudin dan kerabat

Keraton Kanoman, karena Pangeran Saladin bukanlah lahir dari keluarga bangsawan atau permaisuri. Karena bila ditelusuri, Hajjah Suhermi merupakan

1 masyarakat sipil biasa yang tinggal di luar lingkungan Keraton Kanoman.1 Sultan

Emirudin yang lahir dari seorang permaisuri, akhirnya mengusir keluarga

Pangeran Saladin dari lingkungan Keraton Kanoman karena dianggap tidak menghormati pepakem, bahwa seorang putra mahkota harus keturunan murni dari darah bangsawan Keraton Cirebon.2

Di Keraton Surakarta Hadiningrat3, pergantian kekuasaan dari Paku

Buwono XII kepada Paku Buwono XIII diiringi dengan sengketa. Sepeninggal

Paku Buwono XII yang wafat pada Juni 2004, dua orang putranya merasa sama- sama layak menggantikan takhta ayahnya sebagai raja, yaitu Kangjeng Gusti

Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan. Paku Buwono XII memang tidak mempunyai seorang permaisuri yang putranya kelak diharapkan menjadi putra mahkota, ia hanya memiliki enam garwa selir dan 35 orang anak.

Anak tertua laki-laki dari garwa selir, yaitu KGPH Hangabehi merasa berhak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja Keraton Surakarta Hadiningrat.

Di sisi lain, KGPH Tedjowulan yang merupakan adik KGPH Hangabehi dari garwa selir yang lain, juga merasa berhak menggantikan kedudukan yang sama karena ia merasa lebih banyak didukung oleh banyak sentana dalem dan kerabat. Bahkan penobatan Tedjowulan sengaja dilakukan lebih awal, yakni pada

1 Wawancara tertulis dengan Ratu Raja Arimbi, adik kandung sekaligus juru bicara Sultan Kanoman, Sultan Emirudin, 17 November 2012. 2“Pewaris takhta Kesultanan Kanoman merupakan anak Sultan yang terlahir dari Ratu atau permaisuri (istri sultan dari keturunan Bangsawan). Oleh karena itu, Pangeran Muhammad Emirudinlah yang berhak sebagai Sultan kanoman ke XII.” news.liputan6.com 7 Juni 2004, diakses pada 1 Maret 2013. 3 Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan pemerintahan monarki yang mana raja akan memegang kekuasaan pemerintahan seumur hidup, dan bila raja wafat, kekuasaan pemerintahan akan dilanjutkan oleh keturunan dari raja tersebut, tidak berdasarkan pemilihan umum oleh rakyat.

2

31 Agustus 2004. Sedangkan penobatan KGPH Hangabehi dilaksanakan pada 10

September 2004.4 Penobatan yang dilakukan lebih dulu kepada KGPH

Tedjowulan itu dipimpin oleh tiga Pengageng Keraton Surakarta Hadiningrat, yaitu Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Parentah Keputren, dan Pengageng

Sentana Dalem. Mereka mengangkat KGPH Tedjowulan karena sebelumnya ada klaim “paling berhak” dari pihak KGPH Hangabehi karena ia merupakan anak tertua Paku Buwono XII dari seluruh garwa selirnya.

Bahkan menurut adik kandung KGPH Hangabehi, Gusti Kangjeng Ratu

(GKR) Koes Moertiyah, beberapa hari sebelum wafat, Paku Buwono XII telah berwasiat agar KGPH Hangabehi menjadi raja. Namun karena kesehatannya memburuk, ia tidak mampu menuliskan surat wasiat itu. Akhirnya GKR Koes

Moertiyah menugaskan suaminya, Kangjeng Pangeran (KP) Edy Wirabumi untuk menuliskan wasiat itu dengan ditandatangani dan cap jempol Paku Buwono XII.

Secara tradisi, KGPH Hangabehi yang memang paling berhak karena merupakan anak tertua. Namun rakyat Surakarta yang menamakan sebagai

“Forum Bela Raos Abdidalem” mengatakan sudah waktunya rakyat Surakarta berdemokrasi dengan memilih raja yang memiliki kapabilitas, yaitu KGPH

Tedjowulan. Keduanya tetap sama-sama ngotot dan mengklaim diri sebagai yang paling berhak. Akhirnya sampai tahun 2012 lalu, Keraton Surakarta Hadiningrat mengalami dualisme kepemimpinan yang terjadi selama bertahun-tahun lamanya.

4 orgawam.wordpress.com, diakses pada 19 Februari 2013.

3

Dampak dari dualisme tersebut, berbagai masalah seakan menampilkan citra yang negatif bagi Keraton Surakarta Hadiningrat. Dari mulai perpecahan di antara sentana dalem, wisata keraton yang kurang menarik lagi bagi para wisatawan, terhentinya dana hibah dari pemerintah, serta isu jual beli gelar yang terjadi di

Keraton Surakarta Hadiningrat.5

Menelisik dampak dari timbulnya masalah-masalah tersebut di atas, seharusnya para pewaris takhta dapat mempertahankan tradisi dan meneladani perjuangan serta usaha-usaha nenek moyang6 mereka guna menyumbangkan segala pikiran, tenaga, dan harta bagi masyarakat Surakarta dan bangsa Indonesia.

Namun yang terjadi sebaliknya, putra dari almarhum Paku Buwono XII justru saling memperebutkan kekuasaan tinimbang melakukan sebuah aksi nyata bagi kesejahteraan rakyat Surakarta dan Bangsa Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis, maka dalam skripsi ini penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai akar dualisme dan konflik

Keraton Surakarta Hadiningrat. Apakah ada motivasi politik tertentu sehingga

5 www.solopos.com 12 April 2012, diakses pada 19 Februari 2013. 6 Kemajuan-kemajuan terjadi di kekuasaan Paku Buwono X ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang (1893-1939), Keraton Surakarta Hadiningrat mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Paku Buwono X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya. Selain itu infrastruktur modern kota Surakarta juga banyak dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwono X, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, kebun binatang ("Taman Satwataru") Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Ia meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. http://id.wikipedia.org/wiki/Kasunanan_Surakarta, diakses pada tanggal 4 Juni 2013.

4 mereka sama-sama mengklaim diri sebagai raja. Penulis juga akan meneliti implikasi konflik terhadap kehidupan Keraton Surakarta Hadiningrat pasca terjadinya konflik. Adapun konflik Keraton Kanoman yang diungkapkan penulis di awal hanyalah sebuah pengantar bahwa konflik yang hampir sejenis dengan

Keraton Surakarta Hadiningrat juga pernah terjadi di Keraton Kanoman.

B. Pertanyaan Penelitian

1. Apa motif utama perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta

Hadiningrat, disamping adanya perbedaan persepsi terhadap siapa yang

paling berhak mewariskan takhta Paku Buwono XII?

2. Bagaimana implikasi konflik terhadap kehidupan Keraton Surakarta

Hadiningrat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami akar konflik yang terjadi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini dikarenakan berbagai pihak mengklaim dirinya sebagai pewaris takhta yang sah, karena merupakan putra dari

Paku Buwono XII, sehingga tidak menutup kemungkinan ada motif-motif tertentu yang melatarbelakanginya. Atas dasar itu penulis ingin mengkaji lebih dalam bagaimana asal muasal konflik itu bermula serta bagaimana kehidupan keraton setelah terjadinya konflik.

Adapun manfaat penelitian ini bagi para akademisi ialah:

1. Mengetahui posisi kekuatan tradisionil keraton di era demokratisasi.

5

2. Mengetahui bentuk-bentuk konflik yang terjadi di keraton.

D. Tinjauan Pustaka

Sudah banyak studi yang membahas perjalanan Keraton Surakarta

Hadiningrat sejak awal berdirinya hingga perannya dalam dunia sastra dan perjuangannya dalam membantu Indonesia merebut kemerdekaan. Pertama, buku yang ditulis oleh Purwadi pada tahun 2008, ( Surakarta: Sejarah,

Pemerintahan, Konstitusi, Kesusastraan, dan Kebudayaan). Buku ini membahas secara luas Keraton Surakarta dari berbagai aspek. Tidak hanya pemerintahan dan tradisi di dalamnya, namun juga menceritakan kemunculan pujangga sastra baru,

Ronggowarsito.

Kedua, buku yang ditulis oleh Mulyanto Utomo, Wahyu Susilo, dan Farid

Achmadi, (Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat), merupakan kumpulan surat kabar harian Solopos yang dibukukan antara rentang waktu bulan

Juni sampai September 2004. Buku ini lebih menceritakan susunan peristiwa- peristiwa di Keraton Surakarta Hadiningrat sejak Paku Buwono XII wafat sampai kedua raja melakukan penobatan.

Ketiga, makalah yang ditulis oleh Thung Ju Lan, “Konflik lokal Nasional dalam Konteks ke-Jawaan di Solo” yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2000 dan dirangkum dalam buku

“Etnisitas dan Integrasi di Indonesia”. Secara khusus lebih meneliti akar konflik dan kesenjangan ekonomi yang terjadi antara etnis Cina dengan warga pribumi

6

Jawa di Solo yang menekankan hubungan antar etnik yang berkembang di Solo dalam kaitannya dengan isu „ke-Jawaan‟ dan „ke-non Jawa-an‟.

Keempat, buku yang ditulis oleh Drs. Surip Suwandi, (Upacara Selikuran

Keraton Surakarta Hadiningrat) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai

Tradisional pada tahun 1985. Buku ini secara khusus membahas tradisi yang terdapat di dalam Keraton Surakarta Hadiningrat, seperti Upacara

Selikuran, Upacara Thong-Thong Hik, dan Upacara Maleman. Tujuan buku ini untuk memberikan informasi tentang Upacara Tradisionil khususnya Upacara

Selikuran yang masih dihayati dan dilestarikan oleh masyarakat tradisional.

Kelima, skripsi yang ditulis oleh Aminudin, Mahasiswa Program Studi

Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berjudul: “Varian Keberagamaan Masyarakat di Sekitar Keraton Surakarta

Hadiningrat” yang telah diselesaikan pada tahun 2010. Skripsi ini mencoba menelusuri pengaruh Keraton Surakarta Hadiningrat terhadap keberagamaan masyarakat beserta corak dan varian yang ada di dalam masyarakat itu, dengan lebih difokuskan di wilayah Baluwarti, Pasar Kliwon, Surakarta.

Berdasarkan tinjauan referensi yang ditemukan penulis, penulis akan fokus mengkaji fenomena politik dan konfllik yang terjadi di lingkungan Keraton

Surakarta pasca wafatnya Paku Buwono XII serta implikasinya terhadap kehidupan keraton.

7

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis untuk mengkaji masalah ini yaitu menggunakan pendekatan kualitatif, yang didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.7 Peneliti diarahkan untuk berpikir secara induktif, yaitu menangkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena sosial, melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya lalu berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu.8

Sedangkan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data primer dari literatur-literatur berupa buku, artikel, arsip-arsip, dan media massa (surat kabar dan internet). Adapun data sekunder penulis peroleh melalui wawancara terhadap sentana dalem Keraton Surakarta Hadiningrat dan para pemerhati Keraton Surakarta Hadiningrat. Beberapa sumber data yang penulis peroleh kemudian dipahami dan diolah untuk diuraikan kembali dengan metode yang berbeda guna menghindari unsur plagiarisme.

Sebagai pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku terbitan

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dijadikan panduan penyusunan Proposal dan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu

Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menyusun pembahasan menjadi beberapa bagian dari sistematika penulisan sebagai berikut:

7 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (: Rosdakarya, 2006), 4. 8 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), 6.

8

1. Bab I: Pendahuluan, pada bab ini penulis berusaha menguraikan

permasalahan yang melatarbelakangi penulisan dengan pembahasan dan

perumusan masalah serta tujuan terkait dalam kasus Konflik Keraton

Surakarta Hadiningrat Pasca Wafatnya Paku Buwono XII.

2. Bab II: Pada bab ini berisi mengenai teori-teori sebagai pendekatan yang

menjelaskan pokok permasalahan konflik yang terjadi di Keraton

Surakarta Hadiningrat dengan teori yang penulis paparkan, yaitu teori

kekuasaan dan teori konflik.

3. Bab III: Pada bab ini penulis membahas sekilas tentang profil, stratifikasi,

dan sejarah raja Keraton Surakarta Hadiningrat sejak Paku Buwono II

sampai Paku Buwono XII berserta sumbangsih yang diberikan terhadap

Bangsa Indonesia.

4. Bab IV: bab ini merupakan bagian terpenting dari penulisan skripsi, karena

berisikan tentang permasalahan yang diangkat penulis. Penulis akan

menguraikan akar-akar konflik yang menyebabkan terjadinya perebutan

kekuasaan antara KGPH Hangabehi dan KGPH Tedjowulan. Serta

implikasi konflik terhadap kehidupan Keraton Surakarta Hadiningrat ke

depannya.

5. Bab V: Pada bab ini penulis berupaya untuk menyimpulkan pembahasan

mengenai skripsi ini sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan

Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat Pasca Wafatnya Paku Buwono

XII. Selanjutnya, di bab penutup ini terdapat saran dan kritik.

9

BAB II

KERANGKA TEORETIS

Dalam bab ini penulis akan mengaitkan kasus konflik Keraton Surakarta

Hadiningrat pasca wafatnya Paku Buwono XII dengan teori-teori yang memiliki hubungan erat dengan kasus tersebut. Penulis menganggap ada dua teori yang berkaitan erat dengan kasus yang akan dikaji. Kedua teori tersebut adalah teori kekuasaan dan teori konflik.

A. Teori Kekuasaan

Di dalam KBBI, kekuasaan berarti kemampuan orang atau golongan untuk menguasai dan mempengaruhi orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan fisik.9 Menurut Max Weber yang dikutip dalam Miriam Budiarjo:10 “Kekuasaan yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, apa pun dasar kemauan ini”.

Pendapat yang agak berbeda dikemukakan oleh Harold D. Laswell dalam Miriam

Budiarjo:11 “Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama”.

9Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 604. 10 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 60. 11 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 60.

10

Penulis menyimpulkan apabila seseorang bisa menguasai pihak lain, ia harus memiliki pengaruh. Tanpa adanya hal tersebut, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa, apa lagi kalau ia hanya berasal dari masyarakat atau golongan biasa yang tidak mempunyai nilai lebih. Harus ada yang ditonjolkan dari orang tersebut, apakah itu karena kharisma pribadinya, wewenangnya, atau karena adat yang melekat dalam masyarakat tersebut bahwa ia berasal dari keluarga atau keturunan terpandang. Klasifikasi-klasifikasi kekuasaan tersebut akan dijelaskan lebih lanjut oleh Max Weber.

Max Weber dalam April Carter dan Soerjono Soekanto lebih mengklasifikasikan tipe kekuasaan menjadi tiga jenis: tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Kekuasaan tradisional, adalah orde sosial yang bersandar pada kebiasaan-kebiasaan kuno yang status dan hak-hak para pemimpin juga sangat ditentukan oleh adat kebiasaan. Kekuasaan tradisional juga memerlukan adanya unsur-unsur kesetiaan pribadi yang menghubungkan hamba dengan tuannya

(patron-klien). Selanjutnya tipe rasional-legal, dalam tipe ini semua peraturan ditulis dengan jelas dan diundangkan dengan tegas, sedangkan batas-batas wewenang para pejabat ditentukan oleh aturan main dan kepatuhan serta kesetiaan yang tidak ditujukan kepada pribadi para pejabat melainkan kepada lembaga yang bersifat impersonal.12 Kemudian tipe kharismatik, merupakan kekuasaan yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang di sekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan

12 April Carter, Otoritas dan Demokrasi (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), 55.

11 karena mereka menganggap sumber kemampuannya merupakan sesuatu yang berada di atas kekuasaan dan kemampuan manusia pada umumnya. Kharisma semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang bersangkutan untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat, dan pengikutnya yang akan menikmatinya. Wewenang kharismatik dapat berkurang bila ternyata individu yang memilikinya berbuat kesalahan yang merugikan sehingga kepercayaan masyarakat terhadapnya menjadi berkurang.13

Klasifikasi-klasifikasi yang dikelompokkan oleh Max Weber sudah mewakili tipe-tipe kekuasaan yang ada di tiap-tiap negara di seluruh dunia. Baik itu kekuasaan rasional-legal, kekuasaan kharismatik, atau pun kekuasaan tradisional. Kekuasaan rasional-legal dimiliki oleh mereka yang berada di struktur pemerintahan, kekuasaan kharismatik oleh para agamawan dan cendekiawan, dan kekuasaan tradisional dimiliki oleh para bangsawan.

Selanjutnya Machiavelli dalam Ahmad Suhelmi mengungkapkan bahwa kekuasaan merupakan tujuan itu sendiri. Ia tidak sepakat bila kekuasaan hanya sebatas alat untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika, atau agama. Bagi

Machiavelli segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan, bukan sebaliknya. Oleh karenanya kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Penguasa yang baik menurut Machiavelli harus berusaha

13 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2010), 244.

12 mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.14

Untuk meraih kekuasaan itu, Machiavelli berpendapat bahwa penguasa negara bisa menggunakan cara binatang, terutama bila menghadapi lawan-lawan politiknya. Seorang penguasa bisa menjadi singa di suatu saat, dan menjadi rubah di saat lainnya. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan singa yang mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka dengan perangkap yang akan menjerat dirinya.15 Menjadi seorang penguasa seperti yang diungkapkan Machiavelli harus siap dengan segala risiko yang terjadi, apa lagi di era demokratisasi sekarang ini. Perlu cara yang brilian agar ambisi terhadap kekuasaan itu tidak terendus lawan-lawan politiknya dan bisa meyakinkan masyarakat pemilihnya. Dalam hal inilah seseorang harus menjadi rubah terlebih dahulu guna memuluskan jalannya. Dan bila kekuasaan sudah diraih, ia dapat menjadi serigala dengan menerkam siapapun yang mengancam posisinya.

Kemudian dalam buku Il Principe, Machiavelli mengungkapkan ada dua cara untuk menjadi penguasa, menjadi penguasa dengan cara jahat dan keji dan menjadi penguasa di kota kelahirannya sendiri atas persetujuan sesama warga masyarakatnya. Machiavelli mencontohkan Agathocles dari Sicilia, yang

14 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 132. 15 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, 137.

13 merupakan rakyat biasa dari kasta terendah dan sangat miskin, bangkit menjadi raja Syracuse. Dalam setiap jenjang kedudukannya, ia bertindak seperti seorang penjahat. Namun kejahatannya itu disertai dengan watak yang penuh keberanian dan fisik yang kuat, sehingga sewaktu ia masuk dalam angkatan perang, ia selalu naik pangkat dan menjadi panglima pasukan. Setelah ia ditunjuk untuk menduduki pangkat tersebut, ia bertekad bulat untuk menjadi penguasa dan mempertahankan kedudukannya tanpa mengindahkan dukungan orang lain sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya secara konstitusional.16 Bila seseorang sudah terlanjur memiliki pendirian bahwa kekuasaan harus diraih dengan cara apapun, berarti sekeras apapun perjuangannya akan ia lalui. Dengan demikian ia tidak perlu mempunyai banyak massa atau pun harta benda untuk memuluskan jalan meraih kuasa. Cukup memasuki komunitas dan berkembang di dalamnya asalkan sabar dengan waktu yang cukup lama dan perjuangan berdarah- darah. Memang akan rentan timbul tipu muslihat yang muncul dari seseorang itu sendiri, namun dalam dunia kompetisi hal itu harus dilakukan agar ia yang tidak tenggelam oleh lawannya.

Thomas Hobbes dalam S.P. Varma memperkuat bahwa hasrat umum dari semua umat manusia adalah suatu keinginan yang abadi dan tak pernah selesai untuk mendapatkan kekuasaan demi kekuasaan, yang terhenti hanya ketika mati.

Secara alamiah manusia akan saling memerangi manusia lainnya dengan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes). Selain itu

16 Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, terj. C. Woekirsari (Jakarta: PT. Gramedia, 1987), 34.

14 pengungkapan dari Michels bahwa, “dia yang telah memegang kekuasaan akan hampir selalu berusaha untuk mempertahankan dan memperbesarnya”.17 Padahal sekalipun ada seseorang ingin meraih kekuasaan dan mempertahankannya, ia tidak harus sampai membuat manusia di sekitarnya menderita karena ambisinya.

Prinsip homo homini lupus akan membuat penguasa tersebut ditakuti, tapi tidak dihormati. Lambat laun akan ada dendam-dendam kecil di dalam masyarakat sampai pengikut setianya hingga berujung pada pemberontakan. Cukuplah ia menjadi homo homini socius, manusia adalah makhluk sosial yang menjadi rekan bagi manusia lainnya.

Machiavelli dan Hobbes mendaulat bahwa kekuasaan harus diraih dengan cara apapun, karena kekuasaan merupakan tujuan itu sendiri bagi siapapun yang ingin meraih otoritas. Tidak pandang bulu, dengan cara apapun dan bagaimanapun, kekuasaan harus diraih dan direbut. Penguasa yang sudah memegang kekuasaan penuh dalam genggamannya tak perlu lagi mendapat pengakuan dari masyarakat, karena kelangsungannya sebagai seorang penguasa tidak lagi tergantung terhadap pengabdian setia rakyatnya, atas segala hal yang telah dimiliki oleh penguasa tersebut. Dari pendapat tokoh-tokoh tersebut penulis berpandangan bahwa kekuasaan merupakan suatu kendali dari seseorang atau kelompok terhadap kawan atau lawan guna mendapatkan apa yang diinginkan seseorang atau kelompok tersebut.

Kejadian seperti inilah yang terjadi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Dua kubu yang berbeda mempunyai kepentingan sama untuk menjadi pengganti raja.

17 S.P. Varma, Teori Politik Modern (Jakarta: Rajagrafindo, 2007), 250.

15

Mereka tidak hanya seorang diri, tapi menyertakan keluarga serta kerabat terdekat masing-masing guna tercapainya tujuan mereka untuk menjadi pewaris takhta sebagai penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat.

B. Teori Konflik

Konflik merupakan sebuah gejala sosial yang selalu terdapat dalam masyarakat di setiap kurun waktu. Menurut Maswadi Rauf,18 konflik dapat diartikan sebagai setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok. Konflik seperti ini dapat dinamakan konflik lisan atau konflik non-fisik. Bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan, ia dapat meningkat menjadi konflik fisik, yakni dilibatkannya benda-benda fisik dalam perbedaan pendapat.

Konflik juga dianggap sebagai perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang dapat memenuhi fungsi-fungsi positif. Misalnya, konflik dapat mendamaikan kelompok-kelompok yang saling bersaing, mengarahkan pihak-pihak yang sedang berjuang untuk mengekspresikan identitas mereka sendiri, mengurangi ketidakpastian dengan menjaga batas-batas kelompok, dan merangsang kelompok untuk mencari asumsi-asumsi serta nilai- nilai dasar umum atau lembaga-lembaga pengamanan.19

18 Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), 2. 19 Anton van Harskamp, Konflik-konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kanisius), 5.

16

Penulis akan melebarkan definisi ke dalam dua studi, konflik sosial dan konflik politik. Konflik sosial yaitu pertentangan atau pertikaian antar pribadi, mulai dari konflik lokal sampai tingkat nasional. Dalam kondisi konflik kelompok kepentingan akan saling bersaing dan bertikai untuk memenangkan kelompoknya.

Konflik sebagai gejala sosial yang melekat pada masyarakat bersumber dari permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial yang timbul dalam masyarakat karena dalam masyarakat ada unsur-unsur yang saling bertentangan.20

Sedangkan konflik politik memiliki perbedaan dengan konflik sosial, karena konflik politik selalu merupakan konflik kelompok. Konflik kelompok adalah konflik yang terjadi antara dua kelompok atau lebih. Konflik politik bukan merupakan konflik individu karena isu yang dipertentangkan adalah isu publik yang menyangkut kepentingan banyak orang, bukan kepentingan satu orang tertentu. Konflik politik terbentuk karena adanya penguasa politik. Karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa politik, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai konflik politik. Oleh karena itu unsur terpenting dalam konflik politik adalah penguasa politik. Penguasa politik memiliki wewenang untuk membuat ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan individu melalui berbagai peraturan perundangan demi kepentingan masyarakat banyak.

Kekuasaan yang besar ini membuka peluang bagi penguasa politik untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Akibatnya, penguasa politik tidak lagi menonjolkan perannya sebagai pengelola konflik di dalam masyarakat,

20 http://staff.uny.ac.id, diakses pada 21 Februari 2013.

17 tapi sudah menjadi salah satu pihak yang berkonflik. Kecenderungan penguasa politik untuk mempertahankan kekuasaannya menyebabkan penguasa politik terlibat dalam konflik dengan rakyatnya sendiri yang kecewa dengan kepemimpinannya.21

Dalam sebuah institusi, jumlah orang yang tergabung dalam elit yang berkuasa jauh lebih sedikit dari jumlah masyarakat atau anggota yang menjadi obyek kekuasaan politik. Hal ini tidak sebanding dengan banyaknya orang yang menginginkan jabatan tersebut. Dalam kaitannya dengan posisi penguasa politik, posisi tersebut bisa menjadi rebutan yang berujung konflik karena berbagai sebab.

Pertama, tingginya penghargaan yang melekat pada jabatan-jabatan politik.

Jabatan politik memberikan kekuasaan yang cukup besar pada penguasa politik terhadap masyarakat karena bisa membuat keputusan-keputusan penting yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Kedua, terbukanya kesempatan yang lebar untuk memperoleh sumber-sumber daya yang langka. Posisi politik membuka peluang bagi penguasa politik untuk memenuhi dan mewujudkan kepentingan serta aspirasinya.22 Dengan demikian faktor paling utama ketika terjadi konflik politik adalah posisi politik.

Paul Conn dalam Ramlan Surbakti membedakan konflik menjadi dua bagian. Konflik menang kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang

(non zero-sum conflict). Konflik menang-kalah bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak yang

21 Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional), 25. 22Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik, 28.

18 terlibat. Tidak ada kerja sama dalam situasi konflik seperti ini, yang mana hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja, sedangkan yang kalah tidak mendapatkan apa-apa.23 Sedangkan konflik menang-menang merupakan situasi konflik dimana pihak-pihak yang terlibat masih dapat melakukan kompromi yang dapat menguntungkan semua pihak agar pihak-pihak yang terlibat akan mendapat bagian dari konflik tersebut.24

Kasus konflik yang terjadi di Keraton Surakarta Hadiningrat, struktur konflik yang terjadi adalah menang-menang. Ada pertikaian dua pihak yang memperebutkan posisi politik di Keraton Surakarta Hadiningrat. Satu pihak berhasil menguasai tembok istana dengan segala kewenangan untuk menguasai seluruh yang ada di dalamnya. Sedangkan yang berkuasa di luar tembok keraton tidak memiliki kewenangan untuk menguasai apa pun yang ada di dalam keraton.

Ia hanya mendapat legitimasi dari pendukungnya di luar istana. Akhirnya pihak yang berada di luar keraton merasa perlu untuk mengadakan suatu kompromi dengan melepaskan simbolnya sebagai raja, guna tujuannya untuk memasuki keraton dapat tercapai.

Mack, Snyder, dan Gurr dalam M. Ridhah Taqwa merumuskan ada 4 syarat atau indikator konflik, yaitu: (1) Terdapat dua atau lebih pihak yang berkonflik;

(2) Pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi saling memusuhi

(mutually opposing actions); (3) Cenderung berperilaku koersif untuk memusuhi dan menghancurkan musuh; (4) Adanya ketegasan sikap masing-masing pihak,

23 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 1999), 154. 24 Ibid.

19 sehingga dapat terdeteksi pihak lain di luar arena konflik.25 Kasus konflik Keraton

Surakarta Hadiningrat sudah memenuhi indikator-indikator yang dimaksud Mack dkk. Pihak KGPH Tedjowulan dan KGPH Hangabehi saling beradu eksistensi bahwa merekalah raja yang sesungguhnya. Kedua belah pihak saling menonjolkan pertentangan satu sama lain hingga berujung pengusiran kepada KGPH

Tedjowulan dan para pendukungnya.

25 http://apssi-sosiologi.org/wp-content/uploads/2013/05/27.-Ridhah-Taqwa.pdf, diakses pada 1 Juli 2013.

20

BAB III

PROFIL KERATON SURAKARTA HADININGRAT

A. Lingkungan Geografis

Keraton Surakarta Hadiningrat terletak di Desa Baluwarti, Kecamatan Pasar

Kliwon, kota Surakarta, atau bisa juga disebut Solo, merupakan kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia, yang berpenduduk 503.421 jiwa (2010) dengan kepadatan penduduk 13.636/km². Kota Surakarta memiliki luas 44 km² berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah

Utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah Timur dan

Barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah Selatan. Sedangkan Keraton Surakarta

Hadiningrat memiliki luas 0,35 km².

Pada masing-masing batas kota ditandai dengan gapura keraton yang didirikan sekitar tahun 1931 – 1932 pada masa pemerintahan Paku Buwono X di

Surakarta Hadiningrat. Gapura keraton didirikan sebagai pembatas sekaligus pintu gerbang masuk ibu kota Kerajaan Surakarta Hadiningrat dengan wilayah sekitar.

Gapura keraton tidak hanya didirikan di jalan penghubung, namun juga didirikan di pinggir sungai Bengawan Solo yang pada waktu itu menjadi dermaga dan tempat penyeberangan (di Mojo / Silir).26

26 http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.

21

Surakarta terletak di dataran rendah di ketinggian 105 meter di bawah permukaan laut (mdpl) dan di pusat kota 95 mdpl. Selain itu Surakarta berada sekitar 65 km Timur laut Yogyakarta dan 100 km Tenggara Semarang serta dikelilingi oleh Gunung Merbabu dan Merapi (tinggi 3115m) di bagian Barat, dan

Gunung Lawu (tinggi 2806m) di bagian Timur.27 Di bawah ini digambarkan peta

Kota Surakarta sebagai berikut:

Gambar III.1. Peta Kota Surakarta

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.

Keraton Surakarta Hadiningrat dengan ibukotanya Sala merupakan penerus kerajaan Mataram yang didirikan pada tahun 1746 oleh Paku Buwono II.

27 http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013.

22

Berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat ini dapat disebut sebagai pengganti

Keraton Kartasura yang telah hancur sebagai akibat dari adanya gerakan bersenjata orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan menduduki Keraton

Kartasura.28 Peristiwa pendirian kota ini kemudian dikisahkan dalam Perjanjian

Giyanti,29 sebuah babat bersajak yang ditulis kira-kira akhir abad 18 oleh pujangga keraton Yogyakarta.30

Surakarta yang dipergunakan sebagai nama keraton yang baru dan tempat kediaman Paku Buwono II itu bernama Sala. Setelah pindah dari Kartasura, Desa

Sala kemudian diganti namanya menjadi Surakarta Hadiningrat. Alasan mengapa diberi nama menjadi Surakarta Hadiningrat, menurut J. Brandes, nama Surakarta ternyata merupakan nama varian atau nama alias dari Jakarta yang pada masa lalu

28 Ibu kota Mataram sebelumnya berkedudukan di Kartasura, sekitar 10 kilometer di sebelah Barat Surakarta. Pada masa itu telah terjadi Pemberontakan Cina (Geger Pacinan) di Batavia yang kemudian meluas sampai ke Jawa Tengah. Mula-mula Paku Bowono II ingin memanfaatkan kekacauan itu untuk melepaskan diri dari Belanda dengan membantu kaum pemberontak (orang-orang Cina dan rakyat yang bersatu melawan Belanda). Namun setelah kaum pemberontak terdesak, ia berbalik haluan dengan memihak Belanda. Kaum pemberontak, yang tidak senang dengan sikapnya, bersekutu dengan Mas Garendi, yang menyerang Keraton Kartasura. Para pemberontak dapat menguasai keraton sehingga pada tahun 1742 Paku Buwono II terpaksa melarikan diri ke Ponorogo. Namun dengan bantuan Belanda, para pemberontak dapat dipukul mundur, sehingga Paku Buwono II dapat kembali ke istananya. Dalam kerusuhan itu, bagian keraton yang disebut keputren sempat dijarah oleh kaum pemberontak. Karena itu Paku Buwono II menganggap bahwa kesucian Keraton Kartasura telah hilang. Setelah kerusuhan ditumpas, Paku Buwono II memerintahkan beberapa abdi dalem (pegawai keraton) untuk mencari tanah yang baik guna pembangunan keraton Mataram yang baru. Dipilihlah desa Solo, yang terletak 12 kilometer di Timur Kartasura, sekitar 3 kilometer dari tepi bengawan Solo. B. Setiawan et al, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991), 427. 29 Sebuah perjanjian yang diadakan di Desa Giyanti pada tahun 1755 antara Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi, untuk mengakhiri peperangan perebutan kekuasaan antara keduanya. Dalam perjanjian ini, VOC memegang peranan penting dan berhasil menerapkan politik pecah belahnya. Dalam perjanjian ini ditetapkan bahwa Mataram ditetapkan menjadi dua, yaitu Surakarta dan Ngayogyakarta. Kesultanan Surakarta tetap diperintah oleh Paku Buwono III, sedangkan kesultanan Ngayogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono. Wilayah Kesultanan Surakarta meliputi daerah seluas 86.450 cacah sebagai daerah pusat pemerintahan, ditambah dengan daerah Ponorogo, Kediri, dan Banyumas. Wilayah Kesultanan Ngayogyakarta meliputi daerah seluas 87.050 cacah sebagai pusat pemerintahan, ditambah dengan daerah Madiun, Kertasana, Jipang, Japan, dan Grobogan. B. Setiawan et al, Ensiklopedi Nasional Indonesia, 175. 30 Dwi Ratna Nurhajarini, Tugas Triwahyono, Restu Gunawan, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), 12.

23 juga disebut Jayakarta. Surakarta berasal dari gabungan kata Sura berarti berani, dan karta berarti sejahtera. Kemudian Hadiningrat berasal dari gabungan kata

Hadi berarti besar dan rat berarti negara.31

Nama Surakarta yang dipakai untuk nama keraton yang baru dimaksudkan sebagai imbangan dari nama Jakarta atau Jayakarta. Sebab Paku Buwono II memang mendambakan pusat kerajaan nantinya setara dengan Jakarta (Batavia) yang dapat berkembang dengan pesat terutama pada saat kompeni Belanda (VOC) menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan. Berdasarkan alasan itulah, Paku

Buwono II tidak lagi memakai nama Kartasura lagi bagi keratonnya yang baru itu, yang ternyata tidak banyak membawa keberuntungan, melainkan nama Surakarta sebagai imbangan nama Jakarta alias Jayakarta.32

B. Lingkungan Fisik Keraton Surakarta Hadiningrat

Di pusat ibukota terdapat bangunan inti kerajaan berupa keraton yang terdiri dari kompleks bangunan yang dikelilingi tembok, tempat kediaman raja, istri- istrinya, dan berbagai wanita terkemuka. Bangunan-bangunan tersebut yaitu:

1. Lingkaran I: Kedhaton

Kedhaton merupakan tempat yang paling keramat, dibatasi oleh dua pintu yaitu kori kamandhungan di sebelah Utara dan Selatan, serta jalan raya Baluwarti di sebelah Barat dan Timur. Untuk dapat mencapai kedhaton, dari arah Utara,

31 http://mursid.web.id/hari-jadi-ke-268-kota-solo.html, diakses pada 27 Maret 2014. 32Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 8.

24 orang harus melalui lima buah kori,33 yaitu kori gladag, amurakan, brajanala, kamandhungan, dan sri manganti.

Di dalam lingkaran tembok kedhaton terdapat tiga buah halaman, yaitu halaman sri manganti, pelataran kedhaton, dan halaman magangan. Halaman sri manganti terletak di sebelah Utara pelataran kedhaton, memiliki dua buah bangsal yang saling berhadapan, yaitu bangsal marakata di sebelah Barat dan bangsal marcukandha di sebelah Timur. Kedua bangsal itu berfungsi sebagai tempat abdi dalem yang akan menghadap raja. Bangsal marakata untuk abdi dalem lebet, sedangkan bangsal marcukandha untuk abdi dalem prajurit.

Berikutnya halaman magangan. Di tengah-tengah halaman magangan terdapat bangsal terbuka yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam barang seperti made rengga, yaitu peralatan khitan putra dan kerabat raja, juga berfungsi untuk menyiapkan barisan prajurit yang akan bertugas guna menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan seremoni religius keraton seperti pembuatan gunungan dan upacara grebeg serta tempat magang bagi calon prajurit keraton.34

Di seputar pelataran kedhaton terdapat kompleks bangunan yang bermacam- macam bentuknya. Secara ringkas, bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks istana (kedhaton) antara lain:

a. Di Pusat Istana:

1) Prabasuyasa.

2) Sasana parasdya, tempat pertunjukan wayang.

33 Pintu gerbang. P.J. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuna Indonesia (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011), 512. 34 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 15.

25

3) Sasana sewaka, tempat duduk raja dihadap oleh para abdi dalem

lebet.

4) Sasana handrawina, tempat pesta/makan raja beserta keluarganya.

Dibangun pada masa Paku Buwono VI.

5) Paningrat, teras dari pendapa sasana sewaka.

6) Maligi, tempat khitan putra raja. b. Di sebelah Timur halaman istana, terdapat tiga bangsal:

1) Bangsal bujana, tempat untuk menjamu para pengiring tamu

kerajaan.

2) Bangsal pradangga kidul, tempat gamelan, dibunyikan sewaktu

keraton mempunyai keperluan.

3) Bangsal pradangga lor, tempat alat-alat musik/orkestra. c. Sasana prabu, tempat kantor raja. Letaknya di sebelah Selatan

parasdya. Adapun di sebelah Utara parasdya sebagai kantor wakil raja. d. Bangunan yang mengelilingi istana:

1) Sasana wilapa, kantor sekretariat.

2) Panti wardaya, kantor perbendaharaan.

3) Reksa handana, kantor kas keraton.

4) Bale kretarta, kantor perlengkapan. e. Panggung sanggabuwana, bangunan berbentuk menara persegi

delapan, bertingkat empat, dan tingginya 30 meter. Menurut

26

kepercayaan, tempat ini digunakan untuk pertemuan antara raja

dengan Ratu Selatan, permaisurinya yang beristana di Parangtritis.35

2. Lingkaran II: Kompleks Bangunan di Baluwarti

Wilayah yang disebut Baluwarti (benteng) ini terletak di luar tembok kedhaton di kawasan bersisi empat yang luas, yang dikelilingi oleh tembok berukuran tebal dua meter dan tinggi 3-6 meter. Kompleks bangunan di Baluwarti merupakan kediaman para pangeran, kerabat raja, dan para abdi dalem.

Rumah-rumah kediaman yang berada di kompleks Baluwarti ini dapat diketahui status penghuninya antara lain dengan memperhatikan bentuk atau tipe rumah beserta alat perlengkapannya. Adapun tipe-tipe rumah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, tipe rumah Jawa lengkap berbentuk joglo dengan pendapa, paringgitan, dalem, dan ditambah dengan deretan rumah di kanan-kiri bangunan utama. Kelompok kedua, tipe rumah Jawa berbentuk limasan. Untuk tipe pertama dan kedua biasanya dihuni oleh para bangsawan dan priyayi tingkat tinggi. Ketiga, rumah kampung yang paling sederhana bentuknya. Tipe ini dihuni oleh para abdi dalem dan penduduk lainnya yang melakukan pekerjaan bebas, misalnya berdagang. Perumahan para abdi dalem biasanya terkumpul dalam satu kompleks hingga membentuk sebuah perkampungan yang ada dalam Baluwarti, antara lain: Wirengan, Lumbung,

Carangan, Tamtaman, Ksatriyan, Sasanamulya, Gedong Kereta, dan

Gambuhan.36

35 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 17. 36 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 21.

27

3. Lingkaran III: Paseban

Paseban merupakan lingkaran ketiga, yaitu balai yang digunakan untuk menghadap raja.37 Letaknya di sebelah Utara pelataran kamandhungan. Ada dua tempat paseban, yaitu sasana sumewa atau tatag rambat yang menghadap ke

Utara dan sitihinggil yang terletak menyatu di belakang (sebelah Selatan) sasana sumewa.

4. Lingkaran IV: Alun-alun

Alun-alun38 (lapangan) merupakan lingkaran keempat. Ada dua buah lapangan, yakni alun-alun lor (Utara) dan alun-alun kidul (Selatan). Alun-alun lor yang merupakan halaman depan keraton, berbentuk segi empat, berukuran 300 meter tiap-tiap sisinya. Di seputar alun-alun lor yakni di sebelah Utara, di sebelah

Timur dan Barat terdapat deretan bangunan yang disebut dengan kapalan.

Fungsinya sebagai tempat istirahat bagi para abdi dalem setelah melakukan gladhen watangan (latihan perang-perangan). Setelah tradisi itu tidak ada lagi sejak Paku Buwono XI, kapalan digunakan sebagai tempat istirahat para abdi dalem yang akan menghadap raja ke istana. Oleh karena itu nama kapalan kemudian disebut paseban.

Sebagai pasangan dari alun-alun lor adalah alun-alun kidul yang berperan sebagai alun-alun pangkeran (belakang), terletak dalam lingkup tembok keraton.

37 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), 834. 38 Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), dan pusat perdagangan rakyat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun) Di kerajaan Mataram Islam dulu alun-alun juga digunakan untuk “Tapa Pepe”, yaitu suatu bentuk unjuk diri dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian dari raja. Tapa Pepe dilakukan pada siang hari terik di antara dua Pohon Beringin oleh seseorang yang sedang memohon keadilan langsung kepada raja. (http://gudeg.net/id/directory/12/1750/Alun-Alun), diakses pada 22 Maret 2014.

28

Lalu di sisi Barat alun-alun lor masih ada sebuah bangunan yang cukup penting yakni Masjid Agung. Masjid ini terbuat untuk umum dan berada di bawah wewenang seorang pemuka agama yang relatif mandiri, yaitu seorang pengulu yang lazim dipilih di antara keluarga daerah kauman. Kauman sendiri adalah daerah pemukiman kaum muslim yang terletak di sekeliling masjid.39

C. Stratifikasi Sosial Masyarakat

Anggota/masyarakat/komunitas Keraton Surakarta Hadiningrat tersusun secara hierarki dan secara tradisional dibagi dalam tiga kelompok sosial, yaitu: raja dan keluarga raja (sentana dalem), pegawai dan pejabat kerajaan (abdi dalem), dan rakyat biasa (kawula dalem).

Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok tertentu, diperlukan dua kriteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam hierarki birokrasi. Seseorang yang mempunyai kriteria-kriteria tersebut dianggap termasuk golongan elite. Sedangkan mereka yang diluar golongan itu dianggap sebagai rakyat kebanyakan.

1. Raja dan Keluarga Raja (sentana dalem)

Raja merupakan satu-satunya orang yang berkuasa di suatu kerajaan. Ia pemimpin negara dan rakyatnya dengan kekuasaan mutlak. Maka sabda raja berarti undang-undang, ini tercermin dari Ungkapan Jawa Sabda Pandhita Ratu, yang artinya setiap ucapan raja (sabda raja) harus ditaati.

39 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional, 27.

29

Secara Etimologi, istilah raja berasal dari bahasa Sanskerta: raj, rajya yang berarti pemerintahan atau kerajaan. Dengan demikian raja adalah penguasa kerajaan. Peran utama raja adalah melindungi kerajaan dan rakyatnya dengan menjadi perantara antara dunia manusia dengan dunia dewa-dewa. Raja harus memiliki kekuasaan dan wibawa yang setara dengan dewa-dewa. Hubungan antara raja dengan rakyatnya ini merupakan suatu ikatan antara kawula-gusti atau abdi-tuan yang merupakan kaitan erat. Akrab, saling menghormati, dan bertanggung-jawab.

Seorang raja harus berasal dari keluarga yang agung, trahing kusuma, remembering madu, wijining atapa, tedaking andana warih, yang artinya turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia. Sehingga raja adalah orang yang terpilih karena kesucian, kesaktian, dan masih keturunan raja.40

Ketika Islam memasuki Jawa pada sekitar abad 15, kerajaan yang bersifat

Hinduistis masih berdiri. Dengan masuknya agama Islam, terjadilah proses akulturasi yang tidak dapat dihindari. Terlihat dengan dipakainya gelar susuhunan atau sultan. Dipakai gelar susuhunan menunjukkan pemakainya dengan dihiasi gelar yang paling tinggi adalah utusan Tuhan. Hal ini terlihat dari asal kata susuhunan suhu (pundhi atau sunggi) yang berarti diletakkan di atas kepala. Jadi susuhunan (pepundhen) artinya orang yang dijunjung tinggi, sangat dihormati.

Dengan gelar ini, sifat kedewaan dari raja-raja Hindu-Jawa dihidupkan kembali walaupun dengan nama yang baru dan dalam bentuk yang lain.

40 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 29.

30

Sesudah kerajaan Mataram pecah menjadi dua (1755), gelar susuhunan dipakai oleh raja-raja Surakarta, sedangkan raja-raja Yogyakarta memakai gelar sultan. Dengan demikian, sebutan bagi raja-raja Surakarta adalah Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga

Abdur Rahman Sayidin Panatagama. Adapun gelar raja Yogyakarta adalah

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati

Ing Alaga Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah.41

Menurut doktrin atau konsep kekuasaan Jawa, raja berkuasa mutlak.

Berkuasa atas wilayah yang dimilikinya dan terhadap seluruh jajarannya. Namun konsep kekuasaan raja-raja Jawa pada era demokratisasi ini berbeda dengan konsep kekuasaan raja-raja Jawa pada masa lalu, tepatnya ketika Majapahit masih berkuasa. Majapahit mutlak berdiri sendiri tanpa harus tunduk kepada siapapun, bahkan kekuasaannya disegani sampai wilayah Kamboja dan Champa. Majapahit juga membawahi kerajaan-kerajaan kecil di sebagian pulau jawa seperti Kediri,

Keling, Paguhan, Pamotan, dan Demak. Sedangkan raja-raja Jawa masa demokratisasi sekarang sudah harus taat pada aturan konstitusi dalam wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dipimpin oleh seorang presiden, orang yang berkuasa di sistem demokrasi terpimpin.

Raja-raja Jawa kecuali Keraton Yogyakarta, yaitu raja di Keraton Surakarta

Hadiningrat, Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, posisinya hanya sebagai pelestari budaya, yang wilayah kekuasaannya ada di wilayah Republik Indonesia.

41 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 32.

31

Sesudah posisi raja sebagai penguasa tertinggi, maka kerabat raja (sentana dalem) seperti putra-putri, menantu, atau ipar dari raja yang sedang memerintah juga termasuk dalam golongan yang mempunyai status sosial yang tinggi.

Hubungan-hubungan yang berasal dari raja-raja terdahulu tingkatannya dianggap lebih rendah. Sistem tingkat kebangsawanan sangatlah luas. Di mata rakyat, seorang bangsawan selalu dihargai menurut kemurnian pertalian darahnya dengan raja dari pihak ibu menurut jauh dekatnya hubungan ibu itu dengan raja.

Jumlah patokan gelar tingkat dan nama pada masyarakat Jawa sangat banyak. Gelar tertinggi di antara kaum bangsawan adalah pangeran, yang dianugerahkan kepada putra-putra raja dan sulung dari putra raja. Gelar ini juga dapat diberikan kepada kerabat raja atau kepada para pejabat-pejabat menurut jasa atau ikatan-ikatan sanak dengan penguasa. Ketiga macam pangeran ini dibedakan dengan nama gelar pangeran putra, pangeran sentana, dan pangeran sengkan.

Tingkat tertinggi di antara pangeran itu adalah putra mahkota, dengan gelar pangeran adipati anom. Cucu raja yang sudah dewasa boleh memakai raden mas haryo, sedangkan keturunan laki-laki dari generasi selanjutnya sampai generasi kelima mempunyai hak memakai gelar raden mas.42

Selanjutnya yang tidak kalah menarik dalam membicarakan status sosial dari kerabat raja selain yang telah disebut adalah tentang istri raja (permaisuri).

Pada zaman Mataram dan kerajaan-kerajaan penerusnya, istri raja umunya bergelar ratu. Dari permaisuri inilah cikal bakal lahirnya putra mahkota.43

42 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 33. 43 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 34.

32

Di samping permaisuri, raja juga mempunyai istri yang lain yaitu selir. Istri selir disebut pula dengan istilah garwa selir atau garwa ampil. Status sosial selir ini kedudukannya lebih rendah daripada permaisuri. Istri raja yang disebut selir adalah seorang wanita yang telah diikat oleh tali kekeluargaan, tetapi tidak berstatus sebagai istri dalam pengertian yang umum. Statusnya di bawah istri

(ampeyan) dan tugasnya membuat raja itu selalu senang (klangenan). Jika bangsawan tadi menurunkan anak dari seorang selir, ia akan dinikahi secara simbolis melalui pusaka yang menjadi simbol bangsawan tadi. Ini tidak berakibat bahwa wanita atau selir itu lalu menjadi istri, melainkan hanya menjamin status hukum dari anak yang dikandungnya menjadi anak bangsawan tadi. Sehingga kelak anak itu berhak mempergunakan titel kebangsawanan dan memperoleh hak warisan lainnya. Jadi yang menentukan status sosial anak tadi adalah ayahnya, bukan ibunya.44 Inilah yang terjadi pada pemerintahan Paku Buwono XII. Ia tidak memiliki seorang permaisuri, namun memiliki enam garwa selir. Anak-anak dari

Paku Buwono tidak mendapat wasiat secara langsung siapakah yang akan menggantikannya ketika ia wafat. Oleh karenanya, terjadi perselisihan yang tak kunjung usai selama bertahun-tahun tentang perebutan kekuasaan antara KGPH

Hangabehi dan KGPH Tedjowulan, anak dari masing-masing garwa selir Paku

Buwono XII yang merasa layak menjadi raja menggantikan takhta almarhum ayahnya.

44 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 36.

33

2. Pegawai dan Pejabat Kerajaan (Abdi Dalem)

Di bawah kelompok raja dan sentana dalem terdapat kelompok abdi dalem atau priyayi, yaitu seluruh pegawai raja dan kerajaan. Abdi dalem yang tertinggi tingkatannya terdiri atas delapan orang bupati, yaitu bupati nayaka. Mereka merupakan dewan kerajaan. Keempat orang di antara mereka itu disebut bupati njero (bupati dalam) dan yang empat orang lainnya bupati njaba (bupati luar).

Fungsi bupati njero terbagi sebagai berikut: bupati keparak kiwa dan bupati keparek tengen adalah bupati-bupati kepala rumah tangga yang disamping itu bertugas sebagai pengawal istana, polisi, dan pengadilan. Bupati gedong kiwa adalah bendaharawan dan bupati gedong tengen adalah kepala urusan keluar istana.

Kemudian empat orang bupati njaba, yaitu bupati gede dan bupati sewu sebagai “bupati kanan”, kemudian bupati penumping dan bupati bumi sebagai

“bupati kiri”. Bupati-bupati ini mengepalai administrasi dari berbagai provinsi kerajaan di luar ibukota. Kemudian menyusul lima orang bupati dari tingkat tiga: pembesar mahkamah pengadilan atau bupati pangrembe, bupati kadipaten anom yaitu kepala rumah tangga putra mahkota, bupati kalang adalah pengawas tertinggi gedung dan bangunan-bangunan istana, bupati gladag adalah pengawas tertinggi alat-alat pengangkutan, dan bupati jaksa pengawas tertinggi pengadilan.

Di bawah bupati masih ada lima jabatan birokrasi lainnya, yaitu kaliwon, panewu, mantri, lurah, dan jajar.45

45 Dwi Ratna Nurhajarini et al, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, 38.

34

3. Rakyat Biasa (wong cilik, kawula dalem)

Dalam budaya Jawa, penduduk dikenal sebagai kawula dalem (hamba raja, pelayan raja, atau wong cilik). Mereka adalah manusia milik raja. Raja berwenang menentukan nasib kawula dalem. Oleh karena itu sikap penduduk Jawa biasanya sangat sopan, rendah hati, sabar, dan nrima.

Kalau golongan penguasa (sentana dalem dan abdi dalem) adalah pendukung kebudayaan besar yang bersumber pada istana, maka wong cilik yang sebagian besar terdiri dari petani adalah pendukung kebudayaan kecil yang bersumber di pedesaan.

Dalam istilah lain menurut Vincent J. H. Houbent, elit kerajaan pada kurun waktu 1830-1870 terdiri dari tiga kelompok. Pertama, aristokrasi kesatria

(satriya), dalam derajat yang berbeda-beda memiliki hubungan keluarga dengan penguasa. Kedua, sekelompok pejabat atau pegawai aristokratis (priyayi), yang batasannya saling bertumpang tindih dengan kelompok pertama, bertanggung jawab menjaga keadilan (kadilan) dan memelihara ketertiban (njaga tata- tentreming praja) di luar ibu kota kerajaan. Mereka juga memastikan masuknya sejumlah pekerja serta sejumlah pendapatan tetap dari pertanian dan perdagangan ke ibu kota. Ketiga, ada sekelompok aristokrasi religius yang terdiri dari petugas- petugas Muslim yang khusus bertugas mengelola masjid di ibu kota, menjaga makam para raja dan orang-orang suci, serta memberikan instruksi-instruksi agama.46

D. Silsilah Penguasa Keraton Surakarta Hadiningrat

46 Vincent J. H. Houbent, Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870 (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), 12.

35

Pada mulanya, tanah Mataram dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan dengan membabat Alas Mentaok sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya, raja Pajang.

Setelah Pajang surut dari gelanggang kekuasaan, maka Mataram menjadi penggantinya, berhubung Sutawijaya, anak kandung Ki Ageng Pamanahan, yang juga anak angkat Sultan Pajang, telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang.

Kemudian Sutawijaya menjadi Raja Mataram pertama dengan gelar Panembahan

Senopati.47

Panembahan Senopati inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya raja-raja

Mataram hingga raja-raja Keraton Surakarta Hadiningrat. Adapun riwayat singkat raja-raja Keraton Surakarta Hadiningrat dapat dilihat di bawah ini:48

1. Paku Buwono I

Salah seorang putra Amangkurat I bernama Raden Mas Drajat. Naik takhta pada tahun 1704, diangkat oleh Belanda dengan gelar Kangjeng Susuhunan Paku

Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama Ingkang

Sepisan I. Setelah berhasil mendesak dan dan menjatuhkan takhta keponakannya,

Sunan mangkurat III di Kartasura, Paku Buwono I menggantikan tampuk kepemimpinan di Keraton Kartasura selama 15 tahun hingga 1719.

2. Amangkurat IV

Bernama Gusti Raden Mas Surya Putra, sulung lelaki dari 12 putra-putri

Paku Buwono I. Naik Takhta tahun 1719 di Keraton Kartasura. Ia tak memakai gelar Paku Buwono seperti ayahnya, tapi lebih memilih gelar raja-raja Mataram

47 Purwadi, Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintahan, Konstitusi, Kesusastraan, dan Kebudayaan (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008), 2. 48 Bram Setiadi, Qamarul Hadi, Tri Handayani, Raja di Alam Republik (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000), 197.

36 seperti kakek-kakeknya, yakni Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senopati

Ing Ngalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama, atau populer disebut Sunan

Amangkurat Jawi.

3. Paku Buwono II

Bernama Raden Mas Gusti Prabu Suyasa, putra ke 10 dari Amangkurat IV dengan permaisuri Kangjeng Ratu Kencana. Naik takhta pada 15 Agustus 1726 dalam usia 15 tahun. Ia bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng

Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin

Panatagama Ingkang Kaping II ing Nagari Kartasura. Berkuasa selama 21 tahun.

Pada 17 Februari 1745, Paku Buwono II memindahkan ibu kota pemerintahannya ke Surakarta Hadiningrat setelah Keraton Kartasura rusak akibat pemberontakan

Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning karena berkolaborasi dengan laskar Cina.

4. Paku Buwono III

Bernama Raden Mas Gusti Soerjokusumo, putra kelima Paku Buwono II dengan permaisuri Kangjeng Ratu Mas. Berkuasa selama 39 tahun. Ia naik takhta pada 15 Desember 1749, dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun

Kangjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman

Sayidin Panatagama Ingkang Kaping III.49

5. Paku Buwono IV

Bernama Raden Mas Gusti Subadya, putra nomor 17 Paku Buwono III dengan permaisuri Kangjeng Ratu Kencana. Berkuasa selama 33 tahun. Naik takhta pada 21 September 1788.

49 Selanjutnya gelar ini dipakai oleh Paku Buwono IV hingga raja saat ini (Paku Buwono XIII), dengan perbedaan dalam urutan yang berdasarkan silsilah keturunan raja sebelumnya.

37

6. Paku Buwono V

Bernama Raden Mas Gusti Sugandi, sulung Paku Buwono IV dari permaisuri Kangjeng Ratu Adipati Anom. Berkuasa selama 3 tahun. Naik takhta pada 10 Oktober 1820.

7. Paku Buwono VI

Bernama Raden Mas Sapardan, putra nomor 11 Paku Buwono V dari selir

Raden Ayu Sosrokoesoemo. Berkuasa selama 6 tahun. Naik takhta pada 18

September 1823. Paku Buwono VI dikenal sebagai seorang pahlawan, penentang rezim kekuasaan kolonial Belanda, yang amat suka mendalami olah semadi di tempat-tempat angker, sehingga memperoleh julukan Sinuhun Mbangun Tapa.

8. Paku Buwono VII

Bernama Raden Mas Gusti Maliki Salikin, putra nomor 23 Paku Buwono IV dengan permaisuri Kangjeng Ratu Kencana. Berkuasa selama 28 tahun. Naik takhta pada 14 Juni 1830.

9. Paku Buwono VIII

Bernama Raden Mas Kusen, putra keempat Paku Buwono IV dengan garwa selir Raden Ayu Rantamsari. Berkuasa selama 3 tahun. Naik takhta 17 Mei 1858.

10. Paku Buwono IX

Bernama Raden Mas Gusti Duksina, putra kelima Paku Buwono VI dengan permaisuri Kangjeng Ratu Hemas. Berkuasa selama 32 tahun. Naik takhta pada

30 Desember 1861.

11. Paku Buwono X

38

Bernama Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Husna, putra nomor 21 Paku

Buwono IX dengan permaisuri Kangjeng Ratu Paku Buwono. Berkuasa selama 46 tahun. Naik takhta pada 30 Maret 1893. Paku Buwono X disebut sebagai pembaharu dan peletak dasar sistem perekonomian keraton modern. Prinsip- prinsip bisnis (antara lain dengan mendirikan berbagai perusahaan) mulai ia terapkan guna mengimbangi semakin melebarnya wilayah keraton yang dikontrak

Belanda untuk berbagai kepentingan. Semasa pemerintahannyalah keraton memperoleh tambahan bangunan-bangunan baru. Paku Buwono X juga telah banyak menerima penghargaan dari banyak negara, paling tidak 30 bintang penghargaan telah diterima, diantaranya: Bintang Orde van Leopold dari raja

Belgia, bintang Grootkruis Oranye Nassau dari negeri Belanda, dan bintang penghargaan dari Italia, Prancis, Denmark, Swedia, Tunisia, dan Cina.50

12. Paku Buwono XI

Bernama Raden Mas Hanantasena, sulung Paku Buwono X yang lahir dari garwa selir Raden Ayu Mandayaretna. Berkuasa selama 6 tahun. Naik takhta pada

26 April 1939.

13. Paku Buwono XII

Bernama Raden Mas Gusti Suryo Guritno, putra bungsu Paku Buwono XI dengan permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Paku Buwono. Berkuasa selama 59 tahun. Naik takhta pada 12 Juli 1945. Awal pemerintahan Paku Buwono XII bertepatan dengan masa perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan.

Hanya sebulan setelah naik takhta, RI memproklamasikan diri sebagai negara

50 Purwadi et al, Sri Susuhunan Paku Buwono X (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), 108.

39 merdeka, sehingga Paku Buwono XII disebut pula sebagai Sinuhun Hamardika yang artinya raja di zaman kemerdekaan.

E. Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat

Berbicara Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat, perlu disinggung bagaimana proses masuknya Islam di pulau Jawa, yang terjadi di masa akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit hingga awal mula Kesultanan Demak berdiri.

Banyak legenda menyebutkan Islam masuk melalui jalur perdagangan di pesisir pantai pulau Jawa yang berasal dari China dan Gujarat. Guna mendapat gambaran mengenai bagaimana penyebaran agama Islam di Jawa, penulis mencoba mengutip pemaparan sejarah dari H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud.51 Sebuah legenda menyebutkan, Islam masuk kemudian disebarkan oleh seorang pemuda keturunan negeri Champa (sekarang Vietnam) bernama Sayyid Ali Rahmad atau

Bong Swi Hoo pada tahun 1446. Awal mula ia meninggalkan Champa dan hijrah ke tanah Jawa karena ia mendapat ancaman dari bangsa Annam yang hendak menyerang Champa. Ia menuju Jawa bersama kakaknya, Sayyid Ali Murtadho.

Tak lama setelah sampai di Jawa mereka berhasil menjadi pemuka agama Islam di

Gresik dan Surabaya.

Kehadiran mereka dalam menyebarkan ajaran baru itu pun diterima dengan baik oleh raja Majapahit saat itu, Bhre Kertabumi atau Brawijaya V. Masyarakat

Jawa yang saat itu masih memeluk agama Hindu banyak yang memeluk agama

Islam karena penyampaian dan penyebaran ajaran-ajaran yang cukup bersahaja

51 H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, terj. Eko Endarmoko, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), 27.

40 dari Sayyid Ali Rahmad. Desa di mana ia mendirikan pesantren bagi pemeluk baru agama Islam ialah desa Ngampel Denta yang berada di Surabaya. Kelak dari nama Ngampel Denta itu ia dijuluki sebagai Sunan Ampel. Menurut cerita orang

Jawa, Sayyid Ali Rahmad mempunyai banyak keturunan dan murid, yang berabad-abad lamanya menguasai perkembangan agama Islam di pulau Jawa.

Islamisasi di Jawa terus berlanjut dan diterima dengan tangan terbuka.

Periode munculnya kekuatan Islam di istana ditandai hancurnya Kerajaan

Majapahit oleh penyerbuan yang dilakukan oleh Adipati Demak, Raden Patah, karena saat itu Brawijaya V menolak memeluk agama Islam.52 Majapahit runtuh pada tahun 1478 dan Raden Patah diakui oleh golongan Islam fanatik sebagai sultan Islam pertama menggantikan kekuasaan agama Hindu di tanah Jawa.53

Pendamping spiritual Raden Patah saat itu, Sunan Giri, dianggap telah memainkan peranan penting dalam penaklukkan Majapahit.54 Sejak saat itu, kekuasaan Islam di tanah Jawa silih berganti hadir hingga Kesultanan Mataram Islam muncul yang diprakarsai oleh Panembahan Senopati.

Dalam perkembangannya, pengaruh ajaran Islam di Kesultanan Mataram hingga Keraton Surakarta Hadiningrat telah menyentuh berbagai aspek.

Diantaranya penggunaan gelar raja: Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin

Panatagama Khalifatullah, yang bermakna “Penata Agama dan Khalifah Allah yang Berjiwa Pemurah Serta Bijaksana”, gelar itu bersifat keilahian dengan

52 Damar Shashangka, Darmagandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia (Jakarta: Dolphin, 2011), 59. 53 H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, terj. Eko Endarmoko, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 10. 54 M.C. Ricklefs, terj. Tim Penerjemah Serambi, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: Serambi, 2008), 76.

41 memposisikan hamba sebagai wakil Sang Pencipta yang bertugas menjadi pembimbing agama dan pemimpin bagi rakyatnya. Berdirinya Masjid Agung dan pelaksanaan kegiatan spiritual keraton juga menjadi penanda bahwa Keraton

Surakarta Hadiningrat merupakan sebuah kerajaan dengan ideologi Islam.

Meskipun pada praktiknya tata cara yang dilakukan lebih kepada sinkretisme seperti pengkultusan benda pusaka dan kepercayaan terhadap nenek moyang. Hal itu tidak bisa dipisahkan dari proses Islamisasi di Jawa yang masuk tidak melalui murni hukum syariah, tapi bercampur dengan sufisme atau mistik.55 Dikatakan demikian karena kepercayaan lokal di Jawa pada awalnya sangat beragam:

Animisme, Hindu, maupun Budha. Penyebarannya pun beragam, melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, sampai politik.56 Maka proses islamisasi di Jawa merupakan sebuah proses yang dinamis dan bervariasi bila ditinjau dari beragamnya penyebaran dan perbedaan penyerapan di tiap kelompok masyarakatnya.57 Proses itu melahirkan aliran yang dominan di istana kerajaan

Islam serta mayoritas penduduk yang sudah memeluk Islam yaitu sinkretisme antara Islam dengan kepercayaan lokal masyarakat Jawa yang kemudian dinamakan aliran kejawen.

Melalui sinkretisme Islam di Keraton Surakarta Hadiningrat muncullah berbagai karya yang mengedepankan aspek tasawuf dan mistik seperti Serat

Wulangreh pada masa Paku Buwono IV, Serat Centhini pada masa Paku Buwono

55 http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/islam-dan-kraton-kasunanan-surakarta-masa-sunan- pakubuwana-iv-bagian-1/, diakses pada 27 Maret 2014. 56 Ahmad Khalil, Islam Jawa (Malang: UIN Malang Press, 2008), 75. 57 Agus Iswanto, “Islamisasi dan Jawanisasi dalam Naskah-naskah di Keraton Yogyakarta.” Mimbar: Jurnal Kajian Agama dan Budaya (Volume 29, nomor 3, 2012), 170.

42

V, dan Wirid Hidayat Jati yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito pada masa Paku Buwono IX.

Tiga dari sekian banyak karya itu kemudian disebut dengan nama

“Kepustakaan Islam Kejawen”. Meskipun ciri kepustakaan Islam kejawen menggunakan bahasa Jawa dan sangat sedikit dalam memperhatikan syariat dengan lebih mengedepankan mistik dan tasawuf, namun bentuk kepustakaan tersebut masih tetap termasuk kepustakaan Islam, karena dikarang oleh dan untuk orang-orang yang menerima Islam.58

F. Kegiatan-kegiatan Spiritual di Keraton Surakarta Hadiningrat

Sebagai penjaga gawang budaya, Keraton Surakarta Hadiningrat masih menjaga tradisi spiritual keraton yang masih rutin dilaksanakan. Inilah pembeda suatu lembaga yang bernama “keraton”, dengan segenap peninggalan budaya yang terkandung di dalamnya yang masih tetap lestari hingga saat ini. Di antara kegiatan spiritual yang menjadi hajat besar Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu:

1. Tinggalan Dalem Jumenengan, hari peringatan naik takhta seorang raja

dengan dipergelarkan tari Bedhaya Ketawang. Upacara ini merupakan

upacara tertinggi yang membuktikan seorang raja masih berkuasa.

2. Kirab Pusaka Keraton, pameran benda-benda pusaka dan kerbau keramat

bernama Kyai Slamet milik keraton pada malam 1 Asyura.

3. Grebeg Maulud, memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

58 Agus Iswanto, “Islamisasi dan Jawanisasi dalam Naskah-naskah di Keraton Yogyakarta.”, 70.

43

4. Malem Selikuran, diselenggarakan setiap malam ke-21 Bulan Ramadhan

untuk menyambut Lailatul Qadar. Ditandai dengan kirab 1000 tumpeng dari

halaman keraton menuju Taman Sriwedari diiringi barisan prajurit keraton.

5. Grebeg Pasa untuk mengungkapkan rasa syukur atas datangnya hari Idhul

Fitri. Gunungan Kembar Jaler dan estri diarak dari keraton menuju Masjid

Agung untuk didoakan, kemudian dibagikan kepada masyarakat.

6. Grebeg Besar untuk menyambut Hari Raya Idhul Adha. Berlangsung di

depan Masjid Agung dengan ditandai keluarnya gunungan yang merupakan

pemberian raja atau hajad dalem dari Keraton Surakarta Hadiningrat.

7. Wilujengan Nagari Mahesa Lawung pada hari Senin atau Kamis terakhir di

bulan Rabiul Akhir, berupa pembacaan do‟a yang dimulai di Pendapa

Sasana Sewaka hingga hutan Kren-dhawahana di Gondangrejo,

Karanganyar. Krendhawana merupakan tempat yang dianggap sakral dan

menjadi tempat semadi leluhur Dinasti Mataram.

8. Wilujengan Hangadeging Keraton Surakarta Hadiningrat atau peringatan

pindahnya Keraton Kartasura ke Surakarta pada setiap tanggal 17 Asyura.59

59 GRAy Koes Ismaniyah, Mau Ke Mana Keraton Surakarta Hadiningrat (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2013), 112.

44

BAB IV

KONFLIK YANG TERJADI DI KERATON SURAKARTA

HADININGRAT PASCA WAFATNYA PAKU BUWONO XII

Timbulnya konflik yang berkepanjangan di Keraton Surakarta Hadiningrat tentu ada sebabnya. Pada bab inilah penulis akan menguraikannya lebih jauh dengan menguraikannya menjadi beberapa bagian. Berawal dari mengapa Paku

Buwono XII (selanjutnya disebut PB XII) tidak mengambil seorang permaisuri.

Sehingga tidak ada seorang putra yang mutlak menjadi seorang raja ketika beliau wafat. Lalu mengenai wasiat dari PB XII menjelang wafat, tentang adanya kesimpangsiuran terhadap salah satu pihak yang mengaku mendapatkan wasiat ia adalah penerus takhta dari PB XII. Kemudian konflik-konflik yang terjadi setelah penobatan, mengapa bisa timbul dua pihak yang mengaku raja dan masing-masing tidak mau mengakui keabsahannya. Lalu proses rekonsiliasi yang dianggap telah mengakhiri konflik berkepanjangan ini, apakah semua pihak dapat menerima keputusan rekonsiliasi yang dimotori oleh Pemerintah Kota Solo.

A. Wasiat Ibunda PB XII dan Suksesi Keraton

Semasa kecilnya, PB XII dikirim ke luar keraton untuk mengenyam pendidikan. Hal yang lazim dilakukan raja-raja muda sebelum ia menginjak usia dewasa. Sekembalinya dari keraton, PB XII jatuh cinta kepada seorang wanita.

Saat itu PB XII telah beristri seorang selir, namun sebagai seorang raja ia harus

45 sesegera mungkin meminang permaisuri demi melestarikan keturunannya. Dan sosok yang bergelar Bandara Raden Ajeng adalah sosok yang telah memenuhi syarat bila ditelusuri dari trah dan garis keturunan. Seperti yang telah diperkirakan oleh seluruh kerabat keraton, hubungan itu hampir dipastikan akan berakhir di pelaminan. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Belakangan, PB XII membeberkan sebab-sebab kegagalan percintaannya.

Ibundanya, Permaisuri PB XI, mewasiatkannya sesuatu. Ia tidak boleh mengambil seorang permaisuri. Suatu wasiat yang tak pernah didengar raja-raja pendahulunya.60

Suatu waktu sekitar tahun 1960-an Presiden Soekarno sempat bertamu ke keraton guna mengajak PB XII duduk dalam pemerintahan. Namun PB XII menolaknya. Kabar yang beredar justru berbeda, dalam pertemuan tersebut dikatakan bahwa Presiden Soekarno menawarkan sekretaris pribadinya untuk dijadikan permaisuri oleh PB XII. Kenyataan itu mengundang reaksi keras dari

Kangjeng Ratu Paku Buwono, ibundanya. Sedemikian hebat penolakan Kangjeng

Ratu sampai-sampai ia mengancam akan mendoakan anaknya tidak lestari menjadi raja jika menerima wanita tawaran tersebut.61

Sebagai seorang tradisi yang dibesarkan oleh adat Jawa, ia mempercayai pesan tersebut mengandung makna amat dalam. Maka mau tidak mau, senang atau tidak senang, titah keramat itu haruslah ditaati. PB XII mengaku di usia tuanya ia baru menemukan makna tersembunyi dari wasiat almarhumah yang semuanya mengarah pada arti konsepsi keratuan di zaman baru. Zaman di mana ia

60 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 118. 61 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 119.

46 diangkat menjadi seorang raja adalah zaman peralihan kekuasaan dari tradisional ke zaman demokratisasi. Sehingga sulit bagi keraton untuk menutup diri dari perkembangan modernisasi. Kesadaran akan nilai-nilai baru bakal mempengaruhi kebijakan keraton, termasuk dalam mempersiapkan suksesi.62

Putra mahkota kelak dipersyaratkan mampu beradaptasi dan mengantisipasi perubahan zamannya tanpa harus kehilangan watak, sikap, serta kepribadiannya sebagai seorang pemangku adat tradisi Jawa. Ini, mengisyaratkan seluruh pangeran putra raja, tak terkecuali yang lahir dari selir, berpeluang tampil ke singgasana. Berbeda halnya jika PB XII mengangkat permaisuri, sumber calon pengganti menjadi sangat terbatas. Sebab, pengangkatan putra tertua dari permaisuri sebagai pewaris takhta merupakan “angger-angger” atau hukum keraton yang tak memungkinkan dilanggar apapun alasannya. Beruntung jika memperoleh putra mahkota yang mumpuni. Namun bila sebaliknya, sulit dibayangkan bagaimana keraton di masa depan. Menurut PB XII, kepekaan naluri ibunya seolah-olah mampu mendahului zamannya. Ia menyadari telah dihadapkan untuk menyantap buah simalakama. Ditaati, bukan saja berarti harus mengorbankan seluruh hatinya yang telah ia percayakan kepada seorang wanita yang dicintai. Tetapi juga membuang impiannya untuk tidak berpermaisuri selamanya. Sebaliknya kalau dilanggar ia akan terbebani perasaan berdosa terhadap ibu, disamping kemungkinan rusaknya keraton.63

Sampai pada akhir hayatnya, PB XII memang tidak mengambil seorang permaisuri. Juga tidak mengangkat salah satu dari enam garwa selirnya menjadi

62 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 120. 63 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 120.

47 permaisuri. Hal itu berdampak pada tata cara suksesi, cara seperti apakah yang akan diambil oleh putra-putrinya dan para sentana dalem sepeninggalnya PB XII?

Apa lagi, semasa hidupnya PB XII tidak pernah sekalipun membicarakan siapakah kelak yang akan meneruskan tonggak kepemimpinannya. Bila mana putra-putrinya hendak membuka pembicaraan mengenai suksesi saat PB XII masih hidup, hal itu tidak diperkenankan, karena dalam kepribadian budaya Jawa, pembicaraan seputar suksesi merupakan hal yang tabu untuk dibahas mengingat

PB XII masih segar bugar.64

Angger-angger mengenai suksesi, dalam sistem monarki absolut, mutlak hukumnya bahwa pengganti raja selanjutnya adalah putra raja itu sendiri yang lahir dari permaisuri. Dialah pewaris resmi takhta ayahnya, putra lelaki tertua.

Kedudukan anak lelaki memang paling diutamakan karena Keraton Surakarta

Hadiningrat adalah kerajaan Islam yang mana wajib hukumnya suatu institusi dipimpin oleh seorang lelaki, bukan perempuan.65

Menurut Penyuluh Kebudayaan Keraton Surakarta Hadiningrat, almarhum

KRMH Yosodipuro, ada tiga syarat utama seorang anak bisa menggantikan ayahandanya sebagai seorang raja. Pertama, calon putra mahkota harus anak lelaki pertama dari seorang permaisuri. Kedua, jika ternyata permaisuri hanya mempunyai anak perempuan, maka calon putra mahkota dapat diambil dari anak lelaki tertua dari garwa selir yang ada. Ketiga, jika raja tidak mempunyai permaisuri dan hanya mempunyai garwa selir, maka putra mahkota diambil dari

64 Mulyanto Utomo, Wahyu Susilo, Farid Achmadi, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat (Solo: Aksara Solopos, 2004), 128. 65 Wawancara penulis dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, Kangjeng Raden Ayu (KRAy) Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat.

48 anak lelaki tertua garwa selir. Bukan yang tertua garwa selirnya, melainkan anak lelaki dari garwa selir yang nomor berapapun, yang lahirnya lebih dahulu dari pada yang lainnya.66 Peraturan itu tidak pernah tertulis dalam kitab manapun, tetapi sudah menjadi angger-angger yang telah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam oleh raja-raja terdahulu, baik oleh Kesultanan Mataram Islam (Surakarta,

Nagyogyakarta, Mangkunegaran, Pakualaman) maupun Kerajaan Hindu-Budha seperti Singasari hingga Majapahit.

Semasa hidup, PB XII mempunyai enam garwa selir dan 35 orang anak.

Bila mereka semua harus mengambil keputusan, maka pilihannya hanya ada dua: tetap berpegang kepada angger-angger dengan mengikuti naluri tradisi atau menyatu dengan alam demokratisasi. Pilihan-pilihan itu akan membuat para garwa selir, sentana dalem, abdi dalem, dan pihak yang berkepentingan terhadap keraton terbelah menjadi dua kubu, mau atau tidak mau, terencana atau tidak terencana. Bila kembali melihat 3 syarat utama seorang anak bisa menggantikan kedudukan ayahnya, maka posisi PB XII ada pada syarat yang ketiga. PB XII tidak memiliki permaisuri dan hanya memiliki enam garwa selir. Maka yang harus diangkat adalah putra yang lahir lebih dulu dari garwa selir yang ke berapapun.

Bagi kerabat keraton yang hendak mempertahankan sisa-sisa tradisi leluhur mereka terdahulu, angger-angger inilah yang harus dipatuhi. Ketika keraton sudah bergabung dengan alam modernisasi, tradisinya tidak boleh ikut tertelan zaman. Inilah yang menjadi acuan pihak kerabat yang tetap memegang tradisi, tidak memperbolehkan mengubah angger-angger dengan alasan apapun dan di

66Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 135.

49 zaman apapun. Keyakinan ini menjadi pembeda dan diferensiasi antara keraton dengan institusi modern lainnya.

Sedangkan di sisi lainnya, mereka yang mengatas-namakan “penyelamat keraton”. Kelompok ini berpendirian bahwa keraton harus dipimpin oleh orang yang mempunyai visi ke depan yang bisa berkomunikasi dengan segala zaman.

Keraton harus lepas dari buaian kejayaan masa silam. Dengan legitimasi keraton yang kini hanya sak megaring payung, tidak relevan bila suksesi harus dijalankan sesuai aturan adat yang telah ditetapkan. Seluruh sentana dan abdi dalem mempunyai peluang yang sama dalam memberi tafsirannya masing-masing. Pun bila harus sampai mengambil keputusan. Apa lagi dengan situasi yang mengambang dengan tidak adanya permaisuri, sudah jelas wasiat yang tersirat dari Kangjeng Ratu Paku Buwono XI bahwa bila saatnya sudah tiba, seluruh kerabat keraton harus menyatu dengan alam modernisasi. Dan wasiat itu dikutip sendiri oleh PB XII.

B. Isu-isu Pasca Wafatnya PB XII

Pada hari Jumat (Wage), 11 Juni 2004 pukul 08.10, Sinuwun PB XII yang telah bertakhta selama 60 tahun meninggal dunia. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Panti Kosala karena sakit yang dideritanya. Ia dimakamkan di Astana Pajimatan, , sebuah kompleks makam kerajaan

Mataram. PB XII dimakamkan tepat di samping makam ayahnya, Paku Buwono

XI.67 Sri Susuhunan PB XII adalah raja terlama dalam Dinasti Mataram. Raja

67 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat , 122.

50

Keraton Surakarta Hadiningrat yang bernama Raden Mas Gusti Suryo Guritno itu dinobatkan menjadi raja tanggal 12 Juli 1945, pada usia 20 tahun, dengan gelar

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalago

Abdurahman Sayidinan Panatagama XII.68 Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam tidak hanya bagi kerabat keraton, tetapi juga warga Solo serta seluruh masyarakat yang memiliki keterikatan batin dengan beliau. Mereka merasa kehilangan sosok pemangku adat titisan raja-raja Mataram yang telah banyak berjasa sejak zaman kemerdekaan Indonesia.

Wafatnya PB XII memunculkan dua isu. Pertama, isu mengenai penetapan

PB XII kepada dirinya sendiri sebagai Sinuwun Wekasan (raja yang terakhir).69

Dari pernyataannya bila di analisis, PB XII ingin mencukupi kekuasaan keraton hanya sampai pada dirinya. Kelak putranya tidak akan ada yang bergelar PB XIII dan seterusnya. Keraton masa kini sudah jauh berbeda dengan keraton ketika sebelum zaman kemerdekaan hingga ia mulai naik takhta 60 tahun silam saat kemerdekaan sudah di pintu gerbang. Ketika Belanda masih menduduki daerah- daerah di Nusantara, Keraton Surakarta merupakan negeri berpemerintahan sendiri/asli (Zelfbesturende Landschappen) atas dasar Politik Kontrak jangka panjang (Lang Politiek Contract) dengan Pemerintah Belanda, sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1939 no. 614 jo. No. 671.70 Kemudian beberapa bulan

PB XII berkuasa, tepat saat Indonesia baru merdeka, Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi yang menetapkan Negeri Surakarta Hadiningrat

68 http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2165-raja-terlama- dinasti-mataram, diakses pada 1 Februari 2014. 69 AM. Hadisiswaya, Filosofi Wahyu Keraton (Klaten: Sahabat, 2009), 3. 70Sri Juari Santosa, Suara Nurani Keraton Surakarta (Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika, 2006), 29.

51 sebagai daerah pemerintahan asli dan bersifat istimewa beserta kedudukan PB XII sebagai kepala daerah dan kepala kerabat istana (raja) dengan semua kekuasaan

Negeri Surakarta Hadiningrat ada di tangan PB XII.71

Kemudian akibat belum stabilnya keadaan pemerintah RI pasca kemerdekaan yang disebabkan oleh pemberontakan penentang Keistimewaan

Surakarta,72 turut membuat wilayah Surakarta Hadiningrat berada dalam kondisi darurat. Pemberontakan dan penculikan dialami oleh kerabat keraton. Hal ini memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat nomor 1 tertanggal 28 Juni

1946 yang berisi perintah pengambil-alihan kekuasaan sepenuhnya sampai kondisi dinilai berjalan normal kembali. Tanggal 15 Juli 1946 keluarlah PP nomor

16/SD 1946, yaitu Penetapan Pemerintah yang mengatur tentang pemerintahan di

Surakarta. Presiden Soekarno menunjuk Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai residen yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan daerah Surakarta.

Dengan demikian, era kekuasaan Keraton Surakarta Hadiningrat secara de facto dapat dikatakan sudah berakhir.73

Dari gambaran singkat mengenai status Keraton Surakarta Hadiningrat di masa-masa terdahulu, dapat dikatakan bahwa keraton di masa ini sudahlah tidak

71 Sri Juari Santosa, Suara Nurani Keraton Surakarta, 31. 72 Menurut RM Koes Rahardjo, anggota komisi III DPRD Surakarta, semua bermula dari adanya gerakan barisan pelopor yang dipimpin dr . Barisan pelopor bersama Barisan Tani Indonesia (BTI) yang berafilisasi dengan PKI, PNI, Murba, PSI, dan Barisan Benteng Surakarta yang melakukan kongres di Gedung Habipraja, Singosaren pada bulan September 1945. Dari hasil kongres tersebut akhirnya melahirkan Panitia Anti Swapraja (PAS) di awal bulan Oktober 1945, yang dipimpin Tan Malaka yang berhaluan kiri. Dari situlah akhirnya meletus kerusuhan anti swapraja, yang memakan banyak korban jiwa. Gerakan tersebut merangsek masuk ke Keraton Surakarta Hadiningrat, dan menahan PB XII, Kangjeng Ratu Paku Buwono, serta Pangeran Suryohamijoyo selama hampir lebih dari seminggu di dalam Keraton. Tak berhenti sampai disitu, pada tanggal 17 Oktober 1945, Patih Keraton Surakarta KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. http://www.soloblitz.co.id/2013/08/22/sepenggal- kisah-buram-daerah-istimewa-surakarta/, diakses pada 20 Maret 2014. 73 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 94.

52 memiliki kekuasaan apa-apa. Sesuai yang termaktub melalui Surat Keputusan

Presiden no. 23/1988, raja hanya sebatas Pimpinan Istana yang kekuasaannya hanya pada pengelolaan lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat beserta pusaka-pusaka yang ada di dalamnya sebagai peninggalan budaya bangsa dengan pengawasan dari Kementerian Pariwisata.74 Sehingga dapat ditafsirkan asbabun nuzul penetapan Sinuwun Wekasan adalah tidak diperlukannya lagi penerus takhta karena kekuasaan hanya tinggal sak megaring payung. Bila saat PB XII naik takhta memiliki keyakinan perjuangannya terhadap keberlangsungan kekuasaan keraton terhadap wilayah Surakarta akan terus berlangsung, di milenium baru ini hal itu tidak akan mungkin terjadi. Apa lagi PB XII sama sekali tidak pernah membicarakan siapakah penerusnya kelak jika ingin kekuasaan keraton terus berlangsung. Mungkin yang perlu dilestarikan cukup tradisi-tradisi keraton sebagai pengingat kepada generasi mendatang bahwa peninggalan budaya

Keraton Surakarta masih ada.

Analisa lain mengenai makna sinuwun wekasan, PB XII merasa dirinya raja terakhir yang memiliki legitimasi penuh atas wilayah yang didudukinya sebelum berubah status. Sama seperti raja-raja terdahulu, seorang raja menguasai wilayah- wilayah tertentu, dan kawula (rakyat) harus patuh terhadap perintahnya dan menjalankan kewajibannya sebagai kawula. Hierarki terlihat jelas antara patron

(raja) dan client (hamba) kepada seluruh kasta dalam negeri keraton. PB XII menyadari bahwa sejak menyatunya keraton dengan NKRI, semua legitimasi mutlak itu akan punah, dan dirinya adalah yang terakhir, yang mungkin tersisa

74http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/1398/KEPPRES%20NO%2023%20TH%201988.pdf, diakses pada 1 Februari 2014.

53 hanyalah legitimasi terhadap adat keraton itu sendiri. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan PB XII ingin raja-raja Keraton Surakarta Hadiningrat akan terus lahir meskipun kelak tidak lagi memiliki kewenangan penuh seperti dirinya dan raja-raja pendahulunya.

Selanjutnya isu lain yang muncul adalah isu mengenai suksesi, sekaligus menjawab dan „menenggelamkan‟ isu sinuwun wekasan bahwa PB XII adalah raja yang terakhir. Seluruh kerabat keraton berpendapat regenerasi kepemimpinan di keraton harus dilaksanakan. Jika tidak, kebudayaan Jawa yang sudah berabad- abad berkembang dan dipertahankan keraton, dicemaskan akan terurai sebelum akhirnya musnah. Tanpa raja, Tari Bedaya Ketawang tak mungkin digelar. Juga

Grebeg Maulud maupun Sekaten.75 Serta upacara-upacara spiritual simbolik serupa lainnya akan saling susul mati, karena tidak lagi mendapat tempat di tanah di mana ia pernah berjaya.

Maka ketika PB XII wafat, seluruh kerabat yang memiliki rasa peduli terhadap kelestarian keraton merasa mutlak harus diadakannya sebuah suksesi.

Menurut Pengageng Parentah Keraton Gusti Pangeran Haryo (GPH)

Dipokusumo, suksesi yang dilakukan di tiap masa pemerintahan seorang raja selalu merujuk pada catatan sejarah zaman-zaman sebelumnya, tidak ada fatwa tertulis mengenai pengangkatan yang resmi. Sehingga sejak dulu tiap kali akan diadakannya suksesi, subyektivitas selalu muncul melalui hukum-hukum yang tidak tertulis dengan apa yang disebut angger-angger.76

75 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 314. 76 Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.

54

Pendapat Kangjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger mengenai angger-angger yaitu:

“Dalam sejarah, aturan perjanjian raja dan pejabat, penasbihan putra-putri, sentana dalem, itu ada aturannya. Angger-angger, aturan, hukum adat, itu sudah ada dan berjalan secara alami. Analoginya tidak perlu ditulis berupa rambu-rambu bahwa lampu hijau harus berangkat dan merah berhenti. Anak tertua dari raja, entah dari istri ke berapapun yang lahir tertua laki-laki dialah yang berhak. Dan itu sudah menjadi tatanan rambu-rambu, bilamana tidak ditulis, orang-orang sudah harus mengerti, itulah proses suksesinya, yang harus dijalankan sampai kapanpun.”77

Berbeda dengan KGPH Puger, Kangjeng Gusti Pangeran Haryo

Panembahan Agung (KGPH PA) Tedjowulan mengungkapkan:

“Angger-angger merupakan aturan dan acuan orang Jawa berbudaya yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun. Sehingga bila dikaitkan dengan perkembangan dan situasi sekarang, tentu tidaklah rasional. Bila ingin berpikir secara mendalam, angger-angger bisa dipertahankan bisa juga tidak perlu dipertahankan. Bila angger-angger berada dalam posisi yang lemah, tidak memiliki visi ke depan sama sekali, keraton tinggal menuju kehancuran saja, artinya tidak perlu dijalankan demi menyelamatkan keraton.”78

Angger-angger yang menjadi acuan kala itu adalah ditetapkannya Kangjeng

Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi, putra pertama PB XII dari garwa selir ketiga KRAy Pradapaningrum, sekaligus putra lelaki yang lebih tua dari seluruh putra para garwa selir, untuk ditetapkan menjadi PB XIII. KGPH Puger yang merupakan adik kandung dari KGPH Hangabehi, bersama delapan saudara kandungnya yang lain diantaranya GKR Koes Moertiyah, GRAy Koes Indriyah,

KGPH Kusumayudha, dan saudara iparnya yaitu KP Edy Wirabumi, KP Satrio,

77 Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat. 78 Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan, putra kedua PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 28 Januari 2014, di Hotel Kartika Chandra.

55 memiliki pendirian bahwa angger-angger harus tetap dijalankan sebagai simbol bahwa keraton masih mempertahankan tradisi. Di lain sisi, seluruh pihak sentana dalem di luar dari saudara-saudara kandung KGPH Hangabehi dan forum yang mengatasnamakan bela raos abdi dalem mendorong KGPH Tedjowulan untuk maju menyelamatkan keraton. Menurut mereka yang mendukung, keraton akan kehilangan kesuciannya bila sampai dipimpin oleh KGPH Hangabehi. Mengapa mereka tidak ingin KGPH Hangabehi yang berkuasa? Karena dari sisi intelektual, pengelolaan, dan karakter, KGPH Hangabehi dianggap tidak mampu mengurus keraton bila dilihat dari latar belakangnya.79

Kemudian mengapa sampai muncul wacana KGPH Tedjowulan? Karena menurut para sentana dalem saat itu, KGPH Tedjowulan dianggap figur yang mampu menjawab krisis kepemimpinan karena kecakapan dan ketegasannya dalam memimpin. KGPH Tedjowulan adalah seseorang yang berdinas di tentara, dan beliau adalah satu-satunya putra PB XII yang berdinas di tentara. Secara gradual, syarat seorang pemimpin adalah ia yang mampu berdiri terdepan di medan perang.80 Dalam hal lain, KGPH Tedjowulan pernah hangat diperbincangkan karena ia pernah diminta oleh PB XII untuk mewakili memberikan sambutan pada pemberian penghargaan kepada PB XII sebagai

“Bapak Simbol Perdamaian Dunia” dari Sri Chinmoy Institute, sebuah lembaga internasional yang bergerak pada bidang perdamaian dunia.81 Beberapa hal itu menjadi salah satu dasar pemikiran dari sekian banyak pertimbangan mengapa

79 Wawancara dengan Redaktur Senior Harian Solopos, Mulyanto Utomo, 21 Januari 2014, di Kantor Harian Solopos. 80 Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat. 81 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 142.

56 sebagian besar kerabat istana mendorong KGPH Tedjowulan untuk maju sebagai raja dengan tidak perlu menggunakan angger-angger dalam suksesi kali ini.

Bila harus mengacu kepada angger-angger pun, wacana suksesi Keraton

Surakarta Hadiningrat tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan adat. Tidak adanya seorang permaisuri dan tidak adanya wasiat secara langsung dari PB XII membuat keadaan terlihat mengambang. Hal ini akan menimbulkan subyektivitas pribadi yang berujung pada munculnya berbagai kepentingan baik dari pihak yang mengklaim “setia terhadap tradisi” (KGPH Hangabehi) atau pun pihak yang mengklaim sebagai “penyelamat keraton” (KGPH Tedjowulan). Mereka yang mendukung KGPH Hangabehi adalah adik-adik kandungnya sendiri, mereka bisa leluasa menguasai aset dan kewenangan keraton bila kakak kandungnya yang naik sebagai raja. Begitu pun KGPH Tedjowulan, dari sisi ketentuan adat dia bukanlah anak laki-laki tertua yang sesungguhnya mustahil bisa naik sebagai raja bila mengacu kepada angger-angger. Namun karena ia merasa didukung oleh sebagian besar kerabat keraton, adalah hal yang menguntungkan baginya bila kesempatan itu ia ambil demi menorehkan keluarga dan keturunannya tertera dalam sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat. Baik pihak KGPH Hangabehi maupun KGPH Tedjowulan, apa pun alasannya, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan untuk meraih kekuasaan.

C. Kasus Konflik Perebutan Kekuasaan di Keraton Surakarta

Hadiningrat

57

Sebelum wafat, pada hari Kamis 3 Juni 2004, PB XII sempat tetirah di

Tawangmangu. Di tempat peristirahatan itu, beliau mengundang sembilan orang putra-putrinya. GKR Koes Moertiyah yang saat itu turut serta mengaku KGPH

Hangabehi digenggam erat-erat sinuhun (panggilan keluarga istana terhadap raja) dan bahunya ditepuk-tepuk saat PB XII bicara di saat-saat terakhirnya. Menurut pengakuan GKR Koes Moertiyah, PB XII terlihat memberi wasiat kepada KGPH

Hangabehi bahwa ia sebagai anak paling tua harus kuat dan bisa mengayomi adik- adiknya.

Kemudian, PB XII menyuruh suami GKR Koes Moertiyah, KP Edy

Wirabumi untuk menuliskan wasiatnya bahwa keraton harus tetap mengikuti naluri tradisi dengan memberikan restu kepada anak laki-laki tertua untuk naik sebagai raja, yang tak lain adalah KGPH Hangabehi. Setelah wasiat itu dibuat, beliau membubuhkan cap jempol yang menandakan bahwa surat wasiat itu absah.82 Mereka semua yang hadir83 bersaksi bahwa PB XII telah berwasiat demikian. KP Edy Wirabumi yang ketika itu menulis surat wasiat sekaligus merekam pembicaraan menegaskan bahwa PB XII cukup sehat dan bugar untuk berbicara dan membubuhkan cap jempolnya. Sehingga, wasiat untuk mengikuti naluri angger-angger dari PB XII benar adanya.84

Menindaklanjuti keabsahan surat wasiat itu, Kapolwil Surakarta Kombes

Pol Drs. H. Abdul Madjid mengatakan hasil uji Laboratorium Forensik (Labfor)

82 Harian Solopos, Kamis 26 Agustus 2004. 83 Mereka yang hadir dalam pertemuan itu adalah lima putra-putri, dua menantu, dan dua abdinya, KGPH Hangabehi beserta istri, GPH Puspo Hadikusumo, GKR Galuh Kencana, GRAy Koes Isbandiyah, GKR Koes Moertiyah bersama suami KP Edy Wirabumi, sekretaris pribadi RM Yuli Sulistyo Wibowo, dan abdi dalem keraton RT Secodipuro. 84 http://news.detik.com/read/2004/06/11/142814/162322/10/, diakses pada 6 Februari 2014.

58

Polda Jawa Tengah mengenai cap jempol PB XII pada testament yang ditulis KP

Edy Wirabumi identik dengan sampel lain sidik jari PB XII. Namun tidak diketahui kapan sidik jari itu dibubuhkan pada surat yang disampaikan kepada

Labfor, sebelum atau sesudah PB XII wafat.85

Menanggapi hal itu GPH Suryowicaksono, putra PB XII dari garwa selir

KRAy Pujaningrum, mempertanyakan keaslian surat wasiat yang diklaim sah oleh pihak KGPH Hangabehi dan saudara-saudaranya. Bila memang cap jempolnya itu asli milik PB XII, ia mempersoalkan ada proses paksaan dalam proses pembubuhan saat sinuhun sedang sakit atau tidak sadarkan diri. Kalaupun sinuhun berkenan membuat surat wasiat, beliau juga akan membubuhkan tanda tangan dan cap stempel keraton. Selain itu pembuatan surat semestinya dilakukan oleh

Panitera Keraton. keabsahan sebuah surat wasiat baru bisa diakui jika pihak penerima wasiat menunjukkan keberadaan surat itu kepada seluruh ahli waris,86 yang mana ahli waris dari PB XII bukan saja putra-putri dari garwa selir KRAy

Pradapaningrum, tapi juga putra-putri kelima garwa selir lainnya.

Polemik surat wasiat itu menjadi masalah yang berkepanjangan karena terjadi di luar dari yang sudah diprediksi. Di masa-masa akhir hidup PB XII, isu suksesi yang muncul di tengah kerabat muncul dari beberapa nama yang pantas naik menjadi raja. Bila berdasarkan penghayatan dari seluruh kerabat istana, mereka yang berpeluang ialah yang terdekat garis keturunannya dari garis keturunan raja sebelumnya berdasarkan yang lahir lebih dulu, yaitu: KGPH

Hangabehi diisukan yang paling utama karena ia merupakan anak laki-laki tertua.

85 Harian Solopos, Kamis 26 Agustus 2004. 86http://news.detik.com/read/2004/11/18/203959/241263/10/ahli-waris-pb-xii-pertanyakan- keaslian-surat-wasiat, diakses pada 6 Februari 2014.

59

KGPH Hadiprabowo, sosok yang dinilai sederhana di lingkungan keraton, pernah diutus oleh PB XII pada tahun 1985 ke Hutan Donoloyo untuk mencari kayu jati guna keperluan renovasi keraton, kemudian pada tahun 1987 pernah ke perusahaan pertambangan marmer di Tulungagung juga untuk pembangunan keraton. Selanjutnya KGPH Kusumayudha, pengelola Pesanggrahan Langenharjo, salah satu peninggalan Paku Buwono X. Terakhir KGPH Tedjowulan, yang riwayatnya telah dijelaskan di bagian sebelumnya. Selain berdasarkan urutan, hanya mereka berempat yang saat PB XII wafat telah bergelar Kangjeng Gusti

Pangeran Haryo.87

Ketika PB XII dimakamkan, ada kepercayaan Jawa yang menyebutkan bahwa wahyu kedhaton tidak akan mengikuti layon. Artinya, ia yang akan menjadi raja tidak akan ikut mengantar ayahandanya ke pemakaman. Teka-teki ini muncul ke permukaan ketika prosesi pemakaman Senin (14/6/2004) di Imogiri, dari sekian jumlah putra laki-laki PB XII hanya empat orang yang tampak hadir di lokasi pemakaman, yaitu: KGPH Tedjowulan, KGPH Hadiprabowo, GPH

Benowo, dan GPH Cahyaningrat. Selebihnya, putra lainnya tidak tampak. Lebih dari itu sosok-sosok putra PB XII yang selama ini mendapat sorotan dari masyarakat seperti putra laki-laki tertua almarhum PB XII, KGPH Hangabehi juga tidak tampak hadir. Hal itu menguatkan dugaan bahwa KGPH Hangabehi yang akan dinobatkan sebagai pengganti PB XII. Ketika dulu PB XI wafat, BRM

87 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 137.

60

Suryo Guritno diangkat menjadi PB XII setelah tidak mengikuti prosesi pemakaman ayahandanya di pemakaman Imogiri.88

Selain itu, ada suatu keyakinan dari Kepala Museum Radya Pustaka Solo,

KRHT Darmodipuro. Ia mengatakan mangkatnya Paku Buwono XII pada Jumat

Wage (11/6/2004) menandakan preseden buruk dalam proses suksesi di Keraton

Surakarta Hadiningrat. Proses pergantian tampuk pimpinan dari PB XII oleh putra dalem itu diprediksi bakal berjalan alot, tidak semulus yang dibayangkan.

Hari Jumat Wage memiliki wuku landhep aras pepet dan merupakan hari yang jelek atau tali wangke. Aras pepet yang dimaksud adalah upaya dari pihak di dalam keraton untuk menghalang-halangi salah satu putra dalem yang akan meneruskan takhta dari PB XII. Para putra dalem yang selama ini mengklaim mendapatkan isyarat menggantikan posisi raja dari PB XII akan saling berebut takhta. Kondisi itu disebabkan oleh belum jelasnya siapa putra dalem yang secara tegas ditunjuk menggantikan posisi PB XII.89

GPH Dipokusumo mengungkapkan penetapan pengganti raja harus mempertimbangkan setidaknya sembilan komponen yang sudah digunakan oleh raja-raja sebelumnya, yaitu: permintaan raja (yang akan digantikan), Penghulu

Keraton, Pujangga Keraton, komandan prajurit, patih, penguasa (pemerintah kolonial), Pengageng Sentana Dalem, Pengageng Parentah Keraton, serta

Pengageng Parentah Keputren. Tiga lembaga terakhir merupakan institusi yang dibentuk oleh PB X yang dilanjutkan penerusnya hingga PB XII untuk membantu tugas-tugas raja. Sebelum masa kemerdekaan persetujuan penguasa pada saat itu

88 Harian Solopos, Selasa 15 Juni 2004. 89 Harian Solopos, Jumat 18 Juni 2014.

61 harus didapat dari yang masih berkuasa, yaitu Pemerintah Belanda, yang kini sudah beralih menjadi kewenangan Pemerintah Indonesia.90

Kini, secara struktural, tidak ada lagi patih, prajurit, dan penghulu keraton.

Pengageng Sentana Dalem, Pengageng Parentah Keraton, dan Pengageng

Parentah Keputren adalah tiga lembaga yang dibuat oleh PB X untuk membantu raja menjalankan pemerintahan di keraton. Sehingga bila raja, saat itu PB XII telah wafat, ketiga pengageng harus bertanggung jawab terhadap semua urusan keraton dan mencari jalan keluarnya. Jadi bila ada yang mengatasnamakan wasiat raja dalam bentuk apapun, lebih lanjut menurut GPH Dipokusumo, hal itu adalah suatu bentuk pelanggaran karena melangkahi kewenangan ketiga pengageng sebagai lembaga yang sah secara adat menjalani roda pemerintahan di keraton.91

Sejak wafatnya PB XII sampai menjelang 40 hari kematiannya, putra-putra

PB XII terus menggelar rapat yang melibatkan seluruh sentana dan abdi dalem.

Terhitung sudah tiga kali rapat, pertama 12 Juni 2004 di Kamar Nyonya Keraton,

13 Juni 2004 di Sasana Narendra, dan 16 Juni 2004 Kamar Nyonya Keraton.

Hingga puncaknya pada Kamis 24 Juni 2004 Keraton mengeluarkan biworo yang menetapkan KGPH Hangabehi sebagai pengganti PB XII dan akan bergelar

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) melalui ritual wilujengan di

Sasana Parasedya, Keraton Surakarta Hadiningrat. Biworo itu disampaikan di

Sasana Sewaka oleh KGPH Kusumayudha. Setelah penyampaian biworo,

Hangabehi menjalani serangkaian ritual yaitu wilujengan dan pengabekten kepada ibundanya, KRAy Pradapaningrum.

90 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 123. 91 Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.

62

Penyampaian biworo itu dihadiri oleh KGPH Puger, GPH Benowo, GKR

Galuh Kencana, GKR Koes Moertiyah, GRAy Isbandiyah, GRAy Handariyah,

GRAy Raspiyah, dan GPH Kusumoyudha, yang sebagian besar adalah saudara kandung Hangabehi sendiri. Tidak nampak ketiga pengageng sebagai pejabat tinggi keraton, yakni: Pengageng Parentah Keraton KGPH Dipokusumo,

Pengageng Sentana Dalem KGPH Hadiprabowo, dan Pengageng Parentah

Keputren GKR Alit. Putra dalem yang lain seperti KGPH Tedjowulan dan sesepuh keraton KGPH Haryo Mataram juga tidak hadir.92 GPH Dipokusumo saat itu mengecam biworo yang disampaikan tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Selain tanpa ada persetujuan dari ketiga pengageng, biworo itu secara tak langsung telah memutus mekanisme musyawarah di tingkat keluarga yang terus digelar. Biworo yang berkop lambang Radya Laksana Keraton Kasunanan itu pun dianggap tidak sah karena tak ada institusi resmi yang menandatanganinya.93

KGPH Puger menjelaskan bahwa ketidakhadiran ketiga pengageng sebab ada miss comunication dikarenakan masing-masing pengageng sudah mendapat tugas untuk mesosialisasikan hasil rapat kepada seluruh sentana dalem yang tinggal di Jakarta. Ia membantah telah terjadi perpecahan dalam keluarga keraton.

Ketidakhadiran ketiga pengageng dan sebagian besar sentana dalem juga tidak berpengaruh terhadap keputusan, karena yang mereka lakukan sudah sesuai dengan ketentuan adat.94

92 Harian Solopos, Jumat 25 Juni 2004. 93 Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat. 94 Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy Pradapaningrum 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat.

63

GPH Dipokusumo sebagai juru bicara pengageng membenarkan bahwa ketiga pengageng tengah mensosialisasikan hasil rapat terhadap seluruh sentana dalem yang ada di luar keraton khususnya di Jakarta. Namun tidak pada menyampaikan keputusan bahwa KGPH Hangabehilah yang akhirnya naik sebagai raja, tapi langkah apa yang semestinya ditempuh selanjutnya untuk menyelamatkan keraton. Dalam rapat-rapat sebelumnya, KGPH Tedjowulan menyarankan bagaimana jika keraton tetap pada naluri tradisi dengan menunjuk

KGPH Hangabehi sebagai raja. Namun seluruh sentana dalem di luar saudara kandung KGPH Hangabehi menolak karena sosok KGPH Hangabehi dinilai tidak akan membawa kemajuan bagi keraton, mereka masih butuh waktu untuk berpikir karena hal ini menyangkut wibawa dan kehormatan keraton untuk masa-masa mendatang.95 Hingga akhirnya keluarga KGPH Hangabehi melakukan pengukuhan lebih dulu karena naluri untuk mengikuti tradisi tidak perlu ditunda terlalu lama.

Munculnya pro kontra terhadap suksesi keraton memunculkan forum yang mengatas-namakan “Forum Bela Raos Abdi Dalem”. Forum ini dideklarasikan pada Kamis 15 Juli 2014 di Wisma Niekmat Rasa Surakarta sebagai wujud kepedulian mereka terhadap Keraton Surakarta Hadiningrat yang merupakan kelompok eksternal struktural keraton, seperti Brayat Ageng Surakarta, Trah

Gagatan Surakarta, Paguyuban Lesanpura Surakarta, Paguyuban Mekar Kusuma

Surakarta serta Penghayat Kepercayaan Surakarta. Mereka menggunakan dasar substansi surat PB XII kepada Menteri Dalam Negeri no. 233/N tertanggal 12

95 Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.

64

Agustus 1958, serta wulangdalem Paku Buwono IV yang tertulis dalam kitab

Serat Wulangreh yang intinya konsep manunggaling kawula gusti atau bersatunya raja dan rakyat dalam sejarah perjalanan dinasti kerajaan Mataram perlu dipertimbangkan dalam penetapan raja, di mana legitimasi kekuasaan juga harus mendapatkan dukungan dari kalangan abdi dalem dan tidak bisa mutlak diputuskan oleh putra-putri raja saja. Mereka ingin pengganti PB XII harus memiliki kapabilitas dan kualitas sesuai dengan kondisi zaman.96

Forum Bela Raos Abdi Dalem dan sentana dalem yang menolak penetapan

KGPH Hangabehi, akhirnya mendesak ketiga pengageng untuk membuat pernyataan. Sampai pada 3 Agustus 2004, dari hasil rapat putra-putri dalem beserta sentana yang diadakan BRAj Mooryati Soedibyo di Jakarta, ketiga pengageng secara resmi menolak rencana jumenengan KGPH Hangabehi menjadi raja yang akan berlangsung pada 10 September 2004. Selain merasa kewenangan mereka telah dilangkahi, mereka perlu menyelamatkan kehormatan keraton, karena keraton bukan hanya milik putra-putri raja, tapi juga milik bangsa. Nama

KGPH Tedjowulan yang sering didengungkan di rapat-rapat sebelumnya dianggap sebagai figur alternatif setelah para sentana tidak menyetujui KGPH

Hangabehi. Sejak saat itu KGPH Tedjowulan terus dipersiapkan menuju penobatan, hingga pada Jum‟at Legi 27 Agustus 2004, tiga pengageng keraton resmi mengukuhkan Tedjowulan sebagai pengganti PB XII berdasarkan Surat

Keputusan No Kep/01/2004 yang ditandatangani oleh tiga pengageng. Dan pada

31 Agustus 2004 di Dalem Purnama, Badran, Solo, KGPH Tedjowulan

96 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 126.

65 dinobatkan menjadi “raja rakyat” yang ditandai dengan pengalungan janur oleh rakyat, melambangkan perjuangan dan wujud konsep manunggaling kawula gusti atau bersatunya raja dengan rakyat. Upacara diawali dengan sungkeman KGPH

Tedjowulan kepada ibundanya, KRAy Retnodiningrum serta dua kakak tirinya,

KGPH Hadiprabowo dan GKR Alit. Setelah itu dibacakan surat keputusan No

Kep/01/2004 oleh KGPH Hadiprabowo, dilanjutkan pengucapan atas nama Tuhan dan leluhur untuk menjadi putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran

Adipati Anom Hamengkunagoro Sudibyarajaputra Narendra Ing Mataram.

Setelah bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, Tedjowulan menyampaikan pidato singkat, yang intinya telah menggantikan PB XII sebagai

PB XIII bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku

Buwono XIII Khalifatullah Ing Tanah Jawi.97

Penetapan KGPH Tedjowulan secara otomatis memang mendahului rencana pengangkatan KGPH Hangabehi sebagai putra mahkota. Pasalnya, dalam penyampaian biworo pada Kamis, 24 Juni 2004, KGPH Hangabehi belum bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom. Biworo yang disampaikan

KGPH Kusumayudha hanya menetapkan pengganti PB XII tanpa menyebut sebagai putra mahkota. Gelar Kangjeng Gusti Adipati Anom sendiri baru akan dilaksanakan menjelang jumenengan pada 10 September di Krobongan Dalem

Prabasuyasa.98

Jumenengan di dalam tembok Keraton Surakarta Hadiningrat akhirnya diselenggarakan pada 10 September 2004 di Krobongan Dalem Agung

97 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 147. 98 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 150.

66

Prabasuyasa. Diawali tari Bedaya Ketawang, KGPH Hangabehi menyampaikan pidato singkatnya yang intinya ia telah menggantikan PB XII bergelar Sampeyan

Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan PB XIII Khalifatullah Ing Tanah

Jawi.99

Sejak saat itu, Keraton Surakarta Hadiningrat diduduki oleh dua raja. PB

XIII Hangabehi dari dalam keraton, serta PB XIII Tedjowulan dari luar tembok keraton. Tidak ada kesepakatan atau kontrak politik di antara mereka, yang ada rivalitas yang makin menjadi hingga beberapa waktu lamanya. Aksi saling dukung di antara sentana dalem dan abdi dalem di sekitar keraton pun mulai terlihat. Ada di antara mereka yang tidak diperkenankan lagi memasuki tembok keraton. Pintu untuk mereka telah ditutup rapat-rapat.

Menanggapi tindakan Tedjowulan yang menjadi raja di luar keraton, KGPH

Puger menanggapi Tedjowulan dan para pendukungnya telah kehilangan kesadarannya sebagai trah penguasa Mataram. Mereka telah melanggar apa yang telah ditetapkan sejak dahulu kala. Jika ada pengganti raja yang dianggap kurang mampu, seharusnya saudara-saudaranya siap membantu di garis terdepan. Bukan malah mendobrak tradisi. Sekalipun misalnya PB XII menuliskan surat wasiat bahwa yang akan menggantikannya harus putra yang paling cakap dan pintar, hal itu tidak bisa diterima karena bertentangan dengan angger-angger. Dalam agama ahli waris sudah tidak bisa dinegosiasi. Ketetapan agama dan adat tidak boleh

99 Mulyanto Utomo et al, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, 154.

67 diganggu-gugat dengan alasan apapun. Ia yang telah menodainya berarti telah menghina Tuhan dan leluhur.100

Sebenarnya perlu diketahui sejauh apa ketiga pengageng memiliki kewenangan. Apakah mereka adalah lembaga yang memiliki kewenangan membuat surat keputusan atau tidak. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat tugas dari lembaga-lembaga berikut ini:101

1. Parentah Keraton

Dipimpin seorang pengageng, lembaga ini membawahi 3 sub bidang, yakni

Sitoradyo (Sekretariat), Marduyagnyo (Pemerintahan), dan Pantiwardoyo

(Perbendaharaan), yang masing-masing juga diketuai seorang pengageng.

a. Sitoradyo, tugas-tugasnya meliputi: personalia dan ganjaran,

pesanggrahan dan rumah-rumah milik raja, kesehatan, dan ekspedisi

(pengiriman surat-surat umum).

b. Marduragnyo, bertanggung jawab atas: urusan umum, pranatan

(peraturan-peraturan keraton), pengawasan (wismayana), keamanan

keraton, dan kebersihan lingkungan keraton.

c. Pantiwardoyo, mengelola: anggaran keuangan, potongan gaji, pensiunan

abdi dalem dan janda abdi dalem, dan kas keraton.

2. Parentah Keputren, bertanggung jawab atas kegiatan: sesaji dan dapur

keraton, bedaya (wanita penari), pesinden atau waranggana, reksawanita

(semacam polisi wanita keraton, dan jururawat.

100 Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat. 101 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 310.

68

3. Kasentanan, urusan pekerjaannya meliputi:

a. Segala urusan yang menyangkut keperluan putra-putra raja.

b. Menyelenggarakan surat-surat keputusan yang berkaitan dengan

kepentingan putra-putra raja.

Dilihat dari struktur dan pembagian beban tanggung jawab, kedudukan

Parentah Keraton dapat dikatakan paling pokok. Namun lembaga ini hanya semata mengelola teknis adminstratif kerumahtanggaan keraton.102 Tidak ada tugas pokok yang menyebutkan parentah keraton dan kedua lembaga lainnya memiliki wewenang untuk membuat surat keputusan yang berkenaan dengan proses pengesahan seorang raja. Masa PB XI dan sebelumnya raja disahkan oleh

Pemerintah Belanda, kemudian PB XII disahkan oleh Presiden Soekarno pada saat naik takhta. Ketiga pengageng sebagai lembaga rumah tangga keraton harusnya juga memiliki inisiatif untuk meminta legitimasi dari pemerintah pusat bila ingin calon raja yang diusungnya dikatakan legal secara hukum.

Begitu pula dengan kubu yang melakukan penobatan di dalam keraton.

Jangankan pemerintah pusat, pemerintah keraton saja tidak satu pun yang mendukung mereka. Mereka tidak memperkenankan kubu yang terlibat dalam penobatan kubu seberang untuk ikut masuk ke dalam keraton. Penobatan hanya dilakukan oleh saudara-saudara kandungnya sendiri juga abdi dalem setianya.

Kunci mereka ada pada wasiat PB XII bahwa apa yang diwasiatkan PB XII sudah jelas. Meskipun proses pengesahan wasiat itu memang akan terus dipertanyakan.

Kubu PB XIII Hangabehi seharusnya tidak gegabah mengumumkan surat wasiat

102 Bram Setiadi et al, Raja di Alam Republik, 312.

69 dan biworo Hangabehi yang akhirnya menjadi raja. Hal itu terbukti menjadi cikal bakal kemelut dengan seluruh sentana dalem keraton. Kubu Hangabehi bisa lebih bersabar dengan tetap pada kesepakatan rapat-rapat sebelumnya dengan tiga pengageng bahwa masih banyak yang perlu dimusyawarahkan.

Kedua kubu ini telah mencapai apa yang dikatakan Machiavelli: the end justifies the mean (tujuan menghalalkan cara).103 Masing-masing dari mereka bertujuan merebut kekuasaan sebagai raja. Namun cara-cara yang ditempuh secara inskontitusional. Jika memang tidak ada cara yang mengaturnya, satu-satunya jalan adalah kembali kepada jalan musyawarah hingga mendapat titik temu.

Karena negara dalam hal ini tidak mempunyai hak untuk ikut campur masalah internal keraton. Adalah kewajiban keraton untuk membuat undang-undang resmi yang secara khusus membahas tata cara suksesi jika keadaannya seorang raja tidak memiliki seorang permaisuri.

D. Implikasi Konflik Terhadap Kehidupan Keraton

1. Perpecahan Sentana Dalem Keraton

Perseteruan di Keraton Surakarta Hadiningrat antara kubu PB XIII

Hangabehi dengan PB XIII Tedjowulan tak kunjung menemukan jalan keluar, bahkan terkesan kian tajam. Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta GKR

Koes Moertiyah melakukan “pembersihan” terhadap mereka-mereka yang berpihak kepada PB XIII Tedjowulan. Menurutnya pembersihan itu dilakukan guna menjaga keharmonisan dalem keraton. Ia yang mendapat sanksi itu ialah

103 Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, terj. C. Woekirsari, xxxi.

70 putra Pengageng Parentah Keputren GKR Alit, Bandara Raden Mas (BRM)

Wisnu Suryo Wandoro. Menurut suami GKR Koes Moertiyah, KP Edy

Wirabumi, ada tiga alasan mengapa BRM Wisnu diperintahkan meninggalkan keraton. Pertama, untuk menegakkan konvensi adat di mana keputren merupakan tempat tinggal kaum putri bangsawan Keraton. BRM Wisnu sendiri adalah seorang lelaki dan usianya sudah 30 tahun pada saat itu. Sudah sepantasnya ia tidak tinggal di dalam keputren. Kedua, ibu kandungnya, GKR Alit secara adat juga dinyatakan telah keluar dari komunitas keluarga besar Keraton Surakarta

Hadiningrat karena melakukan penobatan raja di luar keraton dengan mengangkat

KGPH Tedjowulan, Agustus 2004 silam. Ketiga, ia sering keluar-masuk kompleks keraton dengan tidak melalui pintu utama, namun lewat pagar belakang keraton. Tindakan tersebut tentu dikhawatirkan bisa menimbulkan gangguan keamanan di dalam Keraton. BRM Wisnu, menurut penjelasan GPH

Suryowicaksono, memang sengaja tinggal di tembok keraton untuk membantu ibunya menjaga aset-aset keraton, seperti tempat penyimpanan pusaka. BRM

Wisnu sendiri bersedia untuk tinggal di dalam keraton menggantikan ibunya karena ibunya sudah tidak tinggal lagi di dalam tembok keraton.104

Tugas GKR Alit sebagai penjaga aset dan pusaka keraton rawan untuk dipolitisasi oleh pihak yang merasa berkuasa. Tidak tinggalnya GKR Alit di dalam keraton dan diusir putranya dari dalam keraton akan membuat pihak dalem keraton makin leluasa menguasai aset-aset dan pusaka yang ada di keraton. Apa lagi beberapa waktu kemudian GKR Alit beserta putranya mendatangi keraton

104 Harian Solopos, Sabtu 29 Januari 2005.

71 untuk mengecek keberadaan benda-benda pusaka yang dikabarkan hilang.

Kekhawatiran itu dipicu oleh kabar dari abdi dalem bahwa ada pengrusakan gembok tempat penyimpanan pusaka, sedangkan kuncinya sendiri masih ada padanya, yang mana kewenangan itu sudah ia dapatkan sejak PB XII masih hidup.

Usahanya untuk mengecek keberadaan pusaka itu ditolak oleh juru bicara

PB XIII Hangabehi, KP Satryo Hadinagoro. Menurutnya ia ingin menerima kedatangan GKR Alit berserta putranya saja. Namun yang terlihat saat itu ia didampingi KP Padmokusumo, KP Gempol, GRAy Koes Raspiyah, dan GPH

Suryowicaksono. Saat itu juga terlihat beberapa sentana dan abdi dalem pendukung PB XIII Tedjowulan. Kedatangan GKR Alit saat itu menjadi momen bagi pendukung PB XIII Tedjowulan untuk mencoba memasuki keraton, jumlahnya sekitar seratusan orang yang tak hanya berasal dari Solo, tapi juga

Sukoharjo, Pati, Kudus, Jepara, dan Yogyakarta. Dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, pihak Kapolresta Solo akhirnya menyebarkan 40 personelnya di sekitar keraton sehingga situasi tetap kondusif sampai mereka membubarkan diri.105

Di antara sentana dalem pendukung PB XIII Tedjowulan yang terlihat ikut dalam aksi bersama GKR Alit ialah GRAy Koes Ismaniyah. Hal itu membuat gerah pihak keraton karena sampai saat itu ia masih tinggal di dalam keputren.

Akhirnya nasib serupa yang dialami BRM Suryo juga dialami GRAy Koes

105 Harian Solopos, Rabu 21 Agustus 2005.

72

Ismaniyah. Melalui Pengageng Sasana Wilapa GKR Koes Moertiyah, GRAy

Koes Ismaniyah diberikan surat untuk segera pergi meninggalkan keraton.106

Kekisruhan tidak semata pengusiran sentana dalem keraton, tapi juga sampai adu kontak fisik di antara mereka. Diawali aksi unjuk rasa ratusan warga

Baluwarti yang menuntut penyelesaian konflik dua raja di Keraton, PB XIII

Tedjowulan bersama para pendukungnya datang mendobrak pagar Kamandungan.

Situasi semakin panas saat rombongan GPH Suryowicaksono juga menjebol pintu

Sasana Putra yang berada di barat Kori Kamandungan. Begitu pintu Kori

Kamandungan dibuka dari dalam, Tedjowulan menuju Bangsal Sri Manganti dan duduk di sana bersama istri dan Padmokusumo serta Praptokusumo. Sementara para pendukungnya memagari keempat orang tersebut. Setelah itu, masuklah adik

PB XIII Hangabehi GRAy Koes Indriyah didampingi beberapa kerabat, sambil memaki-maki PB XIII Tedjowulan. Bahkan dia sempat bersitegang dan meludahi

GPH Suryowicaksono. Putra-putri PB XII beda ibu tersebut sempat saling pukul.

Setelah GRAy Koes Indriyah, muncullah BRM Suryo Herbanu (putra GRAy

Koes Isbandiyah) yang mengejar dan berusaha memukul GPH Suryowicaksono, namun berhasil dilerai aparat kepolisian. Selanjutnya GRAy Koes Indriyah duduk di Bangsal Smarakata sambil terus menangis dan memaki-maki PB XIII

Tedjowulan.107

PB XIII Tedjowulan memberikan pernyataan terkait aksinya tersebut. menurutnya, kedatangannya ke keraton untuk bertemu dengan PB XIII Hangabehi

106 Harian Solopos, Senin 5 September 2005. 107 Harian Solopos, Selasa 30 Agustus 2005.

73 guna menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan. Namun sambutan yang di dapat tidaklah seperti yang diharapkan.108

Peristiwa pengusiran sentana dalem, laporan hilangnya pusaka keraton, serta pendukung PB XIII Tedjowulan yang berusaha menjebol tembok keraton menjadi episode berikutnya sejak kasus suksesi keraton beberapa waktu silam. Kubu PB

XIII Hangabehi tidak ingin mengambil risiko akan adanya “penumpang gelap” di dalam tembok Keraton Surakarta Hadiningrat. Mereka tak segan mengusir siapa saja dari dalam keraton yang mendukung PB XIII Tedjowulan meskipun ia putra

PB XII.

2. Terhentinya Dana Hibah

Perseteruan kedua “raja kembar” itu berdampak juga pada kelangsungan hidup keraton yang lebih banyak bergantung pada pemerintah daerah. Berbagai bantuan untuk perawatan dan pengembangan budaya yang selama ini diterima, baik dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah maupun Pemerintah Kota

(Pemkot) Solo, menjadi terhenti. Pemprov dan Pemkot selalu meminta agar persoalan dua raja itu diselesaikan terlebih dahulu sebelum dana bantuan dapat dicairkan.109 Perlu diketahui besarnya dana hibah yang diberikan Pemkot Solo adalah sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) per tahun dan dari

Pemprov Jawa Tengah sebesar Rp. 1.200.000.000,- (satu miliar dua ratus juta) per tahun. Sejak konflik, dana hibah keraton dapat dicairkan hingga tahun 2010 lalu.

108 Harian Solopos, Minggu 4 September 2005. 109 http://alimu.staff.ipb.ac.id/2010/12/02/berebut-takhta-setelah-raja-tiada/, diakses pada 14 Februari 2014.

74

Namun, karena tidak ada kejelasan laporan pertanggungjawaban penggunaannya, dana hibah mulai tahun 2011 tidak bisa dicairkan.110

Guna dana hibah itu sendiri untuk menjalani peringatan yang wajib dilaksanakan Keraton Surakarta Hadiningrat, seperti Jumenengan, Kirab Pusaka,

Grebeg Maulud, Selikuran, dan Grebeg Pasa, juga untuk pemeliharaan lingkungan dan pusaka yang dimiliki keraton. Pihak yang menerima dan mengelola adalah pihak PB XIII Hangabehi yang berdiam di dalam tembok keraton. Keputusan

Pemkot dan Pemprov untuk menghentikan sementara dana hibah bukan saja karena ada dua raja yang berseteru dan sama-sama mengklaim diri sebagai raja sesungguhnya. Tapi di internal PB XIII Hangabehi, terjadi perseteruan di antara mereka mengenai siapakah yang berhak menandatangani pencairan dana tersebut.

Apakah Sinuhun PB XIII Hangabehi sendiri atau Pengageng Sasana Wilapa sebagai lembaga administrasi keuangan keraton yang dijabat oleh GKR Koes

Moertiyah sejak PB XIII Hangabehi berkuasa, dan lembaga itu adalah lembaga yang selalu mengajukan proposal dana ke Pemkot dan Pemprov.111 Desas- desusnya pengelolaan dana yang dilakukan Sasana Wilapa tidak transparan dan dilakukan secara sepihak. PB XIII Hangabehi selaku pucuk pimpinan keraton tidak dilibatkan. Ia yang merasa tersinggung karena kewenangannya dilangkahi akhirnya mengajukan bantuan dana hibah ke Pemerintah Kota Solo pada tahun

2010 lalu untuk tahun anggaran 2011 atas nama PB XIII, bukan lagi Sasana

Wilapa seperti sebelum-sebelumnya. Hal yang sama juga tetap dilakukan Sasana

110http://jogja.tribunnews.com/2012/05/29/dewan-evaluasi-penganggaran-dana-hibah- keraton/, diakses pada 14 Februari 2014. 111http://edisicetak.joglosemar.co/berita/kabut-tebal-masih-menggelayuti-keraton- 63082.html, diakses pada 14 Februari 2014.

75

Wilapa di periode yang sama. Pemkot Solo yang sebelumnya selalu mencairkan dana hibah ke Sasana Wilapa, akhirnya mencairkan dana hibah ke PB XIII

Hangabehi. Namun setelah itu PB XIII Hangabehi juga tidak memberikan laporan pertanggung-jawaban, sehingga sejak saat itu dana hibah dari Pemkot Solo dan

Pemprov Jateng menjadi terhenti.112

Memang sudah sepatutnya bila pemerintah memberikan dana meskipun itu hibah, tetap harus ada laporan pertanggung-jawabannya. Karena ketika mereka sudah membuat anggaran, alur ke mana dana itu akan mengalir sudah ada, dan mereka juga harus bertanggung jawab untuk itu.113 Dengan demikian langkah pemerintah untuk menghentikan sementara alokasi dana hibah sudah tepat.

Pemerintah tidak lagi mencairkan dana untuk Sasana Wilapa atau pun PB XIII

Hangabehi karena keduanya tidak bisa memberi laporan pertanggungjawaban.

Penundaan itu juga mempunyai maksud dari pemerintah agar manajemen keraton diperbaiki terlebih dahulu baru dana hibah itu akan dapat dicairkan kembali.

Sejak terhentinya dana hibah itu, pihak keraton melalui GKR Koes

Moertiyah berusaha mencari dana bantuan ke UNESCO (United Nations

Educational, Scientific, and Cultural Organitation). Keputusan keraton mengajukan bantuan ke lembaga di bawah naungan PBB adalah demi kelestarian keraton. Mereka geram pemerintah tak kunjung mencairkan dana. GKR Koes

Moertiyah menegaskan Keraton Surakarta Hadiningrat selama ini mempunyai andil besar terhadap pemerintah. Namun keberadaan keraton seolah tidak

112http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/hangabehi-Moertiyah-rebutan-dana- 79218.html, diakses pada 14 Februari 2014. 113 Wawancara dengan Redaktur Senior Harian Solopos, Mulyanto Utomo, 21 Januari 2014, di Kantor Harian Solopos.

76 dihargai. Hal itu diketahui dari keengganan pemerintah yang tak kunjung mengucurkan dana hibah kepada keraton.114

Namun menurut Ketua Pusat Studi Kawasan UMS, Mohammad Toha

Rudin, butuh enam bulan bagi keraton untuk proses pengajuan karena ada ratusan cagar budaya dunia yang diajukan ke UNESCO. Ia menambahkan persyaratan yang harus dipenuhi juga cukup sulit, antara lain legalitas dari pemerintah sebagai situs cagar budaya serta deskripsi mengenai sejarah keraton dari awal berdiri hingga sekarang. Jika kelak keraton dinyatakan lolos, keraton tidak perlu lagi mengharap dana hibah dari pemerintah. Sebab UNESCO akan membantu dalam bentuk pembenahan fisik, bukan materi, di mana kisarannya bisa mencapai miliaran rupiah.115

GPH Dipokusumo menjelaskan sejak terhentinya sementara dana hibah dari pemerintah, seluruh sentana dalem dan kerabat keraton “patungan” untuk membiayai seluruh kegiatan keraton dan menggaji para abdi dalem yang berjumlah 518 orang. Mengakomodir seluruh kegiatan yang ada di keraton tanpa bantuan pemerintah memang butuh dana besar, namun sudah diperingatkan oleh para budayawan, jika tradisi-tradisi itu sampai hilang, untuk menghidupkannya kembali tentu lebih mahal.116

Baik Sasana Wilapa maupun PB XIII Hangabehi mempunyai motivasi masing-masing terhadap tindakan mereka. Menurut hemat penulis, Pengageng

114 http://www.solopos.com/2013/03/12/dana-hibah-geram-dana-hibah-tak-cair-keraton- ajukan-bantuan-ke-unesco-387074, diakses pada 14 Februari 2014. 115 http://www.soloblitz.co.id/2013/03/16/keraton-butuh-6-bulan-untuk-ajukan-dana-ke- unesco/, diakses pada 14 Februari 2014. 116 Wawancara dengan GPH Dipokusumo, putra ketiga PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat.

77

Sasana Wilapa, GKR Koes Moertiyah merasa sudah berhasil memenangkan kakak kandungnya sendiri PB XIII Hangabehi untuk menjadi raja di dalem Keraton

Surakarta Hadiningrat. Oleh karenanya ia merasa perlu meminta kewenangan lebih dengan mengelola sendiri dana hibah dari pemerintah. Tak menutup kemungkinan ia ingin lebih berwenang dalam segala hal dengan meminta PB XIII

Hangabehi tetap “diam”. Di satu sisi PB XIII Hangabehi sebagai seorang raja juga ingin “menikmati” wewenangnya sebagai penguasa tertinggi di keraton. Ia tidak ingin terus tunduk pada adik kandungnya sendiri, sehingga berinisiatif menggunakan legitimasinya dengan mengajukan dana hibah atas nama Raja

Keraton Surakarta Hadiningrat.

Masing-masing pihak yang bersangkutan yaitu Lembaga Sasana Wilapa dan

PB XIII Hangabehi seharusnya bisa bersikap layaknya seorang birokrat tradisional yang bertanggung jawab dan bijaksana. Jika mereka telah dipercaya untuk mengelola dana hibah untuk kepentingan keraton, mereka harus memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan laporannya. Anggota kabinet dalam hal ini Sasana Wilapa juga tidak seharusnya bersikap egois dengan melampaui kewenangan raja. Mereka seharusnya bekerja sama dan taat terhadap makna

Sabda Pandhita Ratu (perkataan raja harus ditaati). PB XIII Hangabehi pun juga harus menjaga wibawanya sebagai seorang raja dengan tidak gegabah melakukan hal serupa. Semua ini demi kehormatan mereka atas nama pribadi dan atas nama keturunan penguasa Mataram yang masih tersisa di era modern.

3. Pemberian Gelar di Keraton Surakarta Hadiningrat: Benarkah Diperjual

Belikan?

78

Gejolak konflik yang terjadi telah melahirkan fenomena baru di Keraton

Surakarta Hadiningrat. Pemberian gelar kebangsawanan kepada sejumlah kerabat dipertanyakan. Hal itu didasari dengan asumsi bahwa gelar telah diberikan kepada orang yang kurang tepat.

Menurut Pangeran sepuh Keraton Surakarta Hadiningrat KP Panji Wijaya

Adiningrat, ada dua jenis gelar yang diberikan pihak keraton, yaitu gelar kasentanan dan gelar kekerabatan. Gelar kasentanan adalah gelar untuk mereka yang masih mempunyai keturunan secara genetik dari Raja Keraton Surakarta

Hadiningrat, dan gelar kekerabatan adalah gelar bagi mereka yang dianggap mempunyai jasa terhadap keraton.117 Untuk gelar kekerabatan, keraton pernah memberikannya kepada sejumlah public figure, diantaranya: Syahrini dengan gelar Kangjeng Mas Ayu Syahrini, Rossa dengan gelar Kangjeng Mas Ayu

Tumenggung Sri Rossa Swara Kaloka, dan Julia Perez dengan gelar Nimas Ayu

Tumenggung Yuli Rachmawati.118 Alasan mengapa gelar itu diberikan kepada mereka adalah karena mereka dianggap telah mengharumkan nama Indonesia dalam bidangnya masing-masing.

Namun yang jadi pertanyaan, apakah mereka yang menerima gelar itu telah banyak berjasa terhadap kelestarian budaya Jawa dan Keraton Surakarta

Hadiningrat? Secara khusus tidak ada di antara public figure yang disebutkan penulis pernah mengharumkan Keraton Surakarta Hadiningrat ataupun adat

117 http://www.soloblitz.co.id/2013/01/09/pemberian-gelar-harus-di-keraton-tanpa-jual- beli/, diakses pada 12 April 2014. 118 http://www.timlo.net/baca/2997/syahrini-dan-julia-perez-peroleh-gelar-kehormatan/, diakses pada 15 April 2014.

79 budaya Jawa di kancah internasional. Bahkan tidak ada yang bisa memberikan sumbangsih untuk membuat nama Keraton Surakarta Hadiningrat semakin terhormat di tengah gejolak konflik yang terjadi. Ketua Dewan Kesenian

Surakarta KRT Murtidjono terus terang mengatakan sudah terjadi pergeseran fungsional di keraton, bila dulu keraton menjadi lembaga adat dan budaya, saat ini dkhawatirkan telah bergeser menjadi institusi yang bertindak komersial.119

Semula, berbagai pihak memang masih menerka-nerka ada apa di balik pemberian gelar tersebut. Apakah murni sudah melalui mekanisme baku dengan penyeleksian secara ketat yang dilakukan oleh pejabat keraton, atau memang benar ada imbalan yang harus diberikan oleh orang yang menerima gelar. Dugaan yang kedua belum bisa dibuktikan kebenarannya, karena di samping tidak ada bukti yang cukup kuat, pihak keraton sendiri tidak pernah membenarkan adanya praktik jual beli gelar di keraton.

Namun, isu jual beli gelar di Keraton Surakarta Hadiningrat sedikit terkuak, dengan adanya gugatan dari seorang laki-laki berkewarganegaraan Malaysia bernama Lim Kim Ming, yang merasa telah ditipu oleh seorang kerabat keraton.

Ia merasa gelar kebangsawanan Kangjeng Pangeran (KP) yang telah diterimanya palsu, bukan gelar yang resmi disahkan oleh PB XIII Hangabehi. Padahal menurut pengakuannya, ia telah menghabiskan dana sebesar Rp. 200.000.000,- untuk gelar kebangsawanan itu. Kerabat keraton yang tak lain adalah orang terdekat PB XIII

Hangabehi, KPH Hari Sulistyono Sosronagoro, telah dilaporkan secara resmi oleh

119 http://www.detikpos.net/2009/07/gelar-keraton-solo-untuk-manohara.html, diakses pada 14 April 2014.

80

Lim Kim Ming ke Kapolresta Surakarta.120 Di sisi lain, pihak keraton tidak terima dengan gugatan itu, KPH Hari Sulistyono Sosronagoro justru menggugat balik

Lim Kim Ming atas dugaan yang sama, menjual gelar palsu terhadap sejumlah pengusaha di Malaysia atas nama raja Keraton Surakarta Hadiningrat, PB XIII

Hangabehi.121 Namun pasca pelaporan kedua belah pihak, kasus ini tidak terlihat bagaimana kelanjutannya, apakah kedua belah pihak telah bersepakat untuk tidak melanjutkannya ke jalur hukum atau bagaimana. Tapi yang jelas, indikasi jual beli gelar yang dapat “dinikmati” abdi dalem telah menimbulkan spekulasi bahwa praktik jual beli gelar ini telah menjadi rahasia bersama di antara sentana dalem dan abdi dalem keraton.

Terlepas dari pro kontra apakah gelar yang didapatkan murni karena jasa atau tidak, penulis ingin mengutip artikel yang ditulis oleh sejarawan Universitas

Gadjah Mada, Heri Priyatmoko, yang berjudul “Mendadak Priyayi”122. Priyayi merupakan elit pegawai negeri yang ujung akar-akarnya terletak pada keraton

Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang halus, kesenian yang sangat kompleks dalam tarian, sandiwara, musik, sastra, serta mistisisme Hindu. Gelar kebangsawanan yang diperoleh para priyayi tidak harus didapatkan melalui keturunan, apakah ia anak seorang bupati atau pejabat tinggi kerajaan lainnya. Mereka yang berasal dari rakyat kebanyakan pun dapat menjadi priyayi karena jasa dan kesetiannya pada penguasa. Namun ada

120 http://news.detik.com/read/2013/01/06/153510/2134368/10/tertipu-gelar-palsu- pengusaha-malaysia-polisikan-kerabat-keraton-solo, diakses pada 15 April 2014. 121 http://news.detik.com/read/2013/01/11/182120/2140065/10/2/digugat-soal-jual-beli- gelar-keraton-solo-ancam-gugat-balik-wn-malaysia, diakses pada 15 April 2014. 122 http://kabutinstitut.blogspot.com/2010/01/mendadak-priyayi.html, diakses pada 15 April 2014.

81 tahap yang mesti ditempuh, yaitu suwita (mengabdi) dan magang. Dalam tahap ini mereka diajarkan kebudayaan priyayi seperti pusaka, kesusastraan, tari, dan gamelan. Simbol status ini menjadi diferensiasi di kalangan masyarakat biasa bahwa ia memiliki derajat lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya. Saat ini justru kebalikannya, gelar prestisius yang masa lalu didapatkan melalui suwita dan magang, kini bisa didapat secara prematur.

Bila kembali berkaca terhadap konflik yang terjadi, keraton tengah mengalami “puasa kucuran dana” dari pemerintah akibat konflik dan manajemen yang kurang baik. Hal ini membuat keraton kehilangan sumber pendapatannya yang biasa digunakan untuk pemeliharaan keraton, gaji abdi dalem, dan kegiatan- kegiatan spiritual keraton yang rutin dilaksanakan. Sehingga perlu bagi keraton untuk mencari aliran dana lain guna mempertahankan keraton agar tetap survive dalam melanggengkan tradisi. Tidaklah cukup bila hanya mengandalkan

“patungan” dari seluruh sentana dalem (seperti yang diungkapkan GPH

Dipokusumo) dan pariwisata keraton untuk membiayai seluruh kebutuhan keraton yang tidak sedikit jumlahnya. Maka tidak menutup kemungkinan, pemberian gelar dengan “imbalan” telah menjadi legitimasi tersembunyi diantara seluruh kerabat keraton.

Heri Priyatmoko menyarankan agar keraton tidak mengambil jalan tengah untuk mendapatkan dana dengan cara menjual gelar. Jika keraton tetap bersikeras mengumpulkan dana dengan cara menjual gelar, itu sama saja dengan mencoreng

82 muka sendiri.123 Maka sudah seharusnya mekanisme pemberian gelar dikembalikan ke jalur yang tepat. Jika ingin mencari orang yang layak diberikan penghargaan, mereka yang telah mengharumkan nama bangsa-lah yang patut diapresiasi, yaitu bagi pemuda-pemudi yang telah banyak berkontribusi di bidang budaya, pendidikan, dan olahraga di dunia internasional. Apa lagi sebagai pihak yang berkuasa di dalem keraton, keniscayaan untuk melimpahkan penghargaan kepada orang yang tepat akan menjadi tolak ukur sejauh mana mereka benar- benar setia mempertahankan tradisi.

E. Proses Rekonsiliasi Antara PB XIII Hangabehi dan PB XIII

Tedjowulan

Sejak penobatannya, PB XIII Tedjowulan menjadi raja di luar istana.

Menurut pendukungnya ia tetaplah sebagai raja, PB XIII yang sesungguhnya, meskipun tidak memiliki kewenangan di dalam keraton. PB XIII Tedjowulan sendiri bukan tanpa upaya untuk berusaha islah dengan pihak istana. Ia sudah beberapa kali berusaha masuk keraton dan meminta bertemu dengan PB XIII

Hangabehi, namun usaha itu selalu gagal sehingga berujung ontran-ontran yang terjadi selama bertahun-tahun. Usaha untuk mencari suatu kesepakatan itu bahkan pernah dilakukan PB XIII Tedjowulan beberapa hari setelah jumenengan PB XIII

Hangabehi. Itu berarti setelah keduanya sama-sama sudah bergelar raja menurut mereka masing-masing. PB XIII Tedjowulan ingin bertemu dan berembuk secara pribadi dengan PB XIII Hangabehi. Namun ia selalu sulit untuk bertemu kakak

123 http://joglosemar.co/2013/10/dana-dicoret-keraton-jangan-jual-gelar.html, diakses pada 15 April 2014.

83 tirinya itu. Bila pun ada pihak ketiga, ia tidak yakin pihak ketiga akan bersikap netral. Ia ingin sesegera mungkin meng-clear-kan masalah yang terjadi. PB XIII

Tedjowulan tidak setuju dengan sebutan “raja kembar”. Karena kembar berarti identik atau sama. Sedangkan menurutnya tidak ada kesamaan antara dirinya dengan PB XIII Hangabehi.124

Di sisi lain kubu PB XIII Hangabehi lebih tegas menanggapi istilah tersebut.

Bagi mereka “raja kembar” itu tidak ada, karena raja hanya ada satu, di dalem

Keraton Surakarta Hadiningrat. Oleh karenanya tidak ada kata damai bagi mereka yang telah menentang adat.125

Meski demikian, PB XIII Tedjowulan tidak menghilangkan cirinya sebagai seorang raja di luar keraton. Ia tetap menyelenggarakan kegiatan keraton sendiri bersama para rakyat yang mendukungnya. Salah satunya tradisi Malam Selikuran, saat PB XIII Hangabehi menyelenggarakan di dalam keraton, PB XIII

Tedjowulan menyelenggarakan di kediamannya, Keraton Badran, Kotabarat,

Solo. Dan itu rutin dilaksanakan di Keraton Badran setiap tahun bersama kegiatan lainnya.126

PB XIII Tedjowulan menyadari keraton tidak akan mengalami kemajuan jika tak kunjung ada kerukunan diantara putra-putra PB XII. Kehormatan keraton akan semakin buruk bagi dunia luar. Perlu langkah yang cukup dewasa dari dirinya bila ingin kewibawaan keraton kembali lagi. Oleh karenanya, sebagai saudara yang lebih muda, ia memutuskan untuk mengalah. Langkah itu diapresiasi

124 Harian Solopos, Selasa 14 September 2004. 125 Wawancara dengan KGPH Puger, putra keenam PB XII dari garwa selir ketiga, KRAy Pradapaningrum, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat. 126http://edisicetak.joglosemar.co/berita/dua-raja-gelar-malem-selikuran-23632.html, diakses pada 15 Februari 2014.

84 oleh Pemkot Solo. Atas rencananya itu, Pemkot akan menjadi mediator antara dirinya dengan PB XIII Hangabehi.127

Saat itu Pemkot Solo melalui Joko Widodo melakukan langkah awal yaitu memfasilitasi pertemuan antara dua pihak di keraton yang berkonflik. Campur tangan Pemkot, menurut Joko Widodo, tidak salah mengingat Keraton Surakarta

Hadiningrat adalah simbol kebudayaan di Kota Solo. Sehingga pemkot merasa harus membantu penyelesaian konflik internal Keraton Surakarta Hadiningrat demi menjaga kelestarian jati diri budaya Kota Solo. Lebih lanjut Joko Widodo menilai apabila konflik di internal Keraton Surakarta Hadiningrat tidak diselesaikan, hal itu makin mempersulit keraton dalam upaya memperoleh bantuan dari pemerintah kota maupun provinsi. Padahal bantuan itu sangat bermanfaat bagi kepentingan keraton.128

Terkait bagaimana keraton ke depan setelah ada rekonsiliasi, PB XIII

Tedjowulan berharap ia akan menjadi dwitunggal PB XIII Hangabehi. Ia siap menjadi wakil, patih, atau apapun istilahnya asalkan dapat rukun kembali dengan

PB XIII Hangabehi dan seluruh sentana di dalem keraton. Menanggapi hal itu,

Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Solo, KP Edy Wirabumi, mengaku tak begitu percaya atas rekonsiliasi yang disampaikan Tedjowulan. Ia menilai pernyataan Tedjowulan tersebut hanya sepihak dan belum tentu disepakati PB

XIII Hangabehi. Bahkan jika PB XIII Hangabehi bersedia rekonsiliasi dan menjadikan Tedjowulan sebagai wakilnya, hal itu juga belum bisa serta-merta disetujui keluarga keraton, oleh karena keraton memiliki aturan yang harus

127 Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan, putra kedua PB XII dari garwa selir kedua, KRAy Retnodiningrum, 28 Januari 2014, di Hotel Kartika Chandra. 128 Harian Solopos, Senin 19 September 2011.

85 dipatuhi semua keluarga, termasuk raja. Apa lagi Tedjowulan sudah dikeluarkan dari keraton karena tindakannya yang dinilai makar. Jadi, tidak bisa begitu saja diampuni lalu kembali ke keraton dan menduduki wakil raja.129

Namun berbagai usaha tak menyurutkan langkah PB XIII Tedjowulan untuk melakukan proses rekonsiliasi. PB XIII Tedjowulan akhirnya berhasil membuat kesepakatan dengan PB XIII Hangabehi. Kesepakatan itu tertuang dalam “Nota

Kesepahaman” dan “Maklumat” yang ditandatangani oleh dua raja, yakni PB XIII

Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan, Rabu (16/5/2012), di Hotel Mahakam,

Jakarta. Dengan ditandatanganinya dua dokumen tersebut, kini tidak ada lagi dualisme raja di Keraton Surakarta Hadiningrat. PB XIII Hangabehi tetap berkuasa sebagai raja, sementara gelar PB XIII Tedjowulan berubah menjadi

Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung (KGPH PA) Tedjowulan.

Selanjutnya, KGPH PA Tedjowulan akan menempati posisi sebagai Patih atau

Wakil Raja di dalem Keraton Surakarta Hadiningrat.130

Beberapa hari kemudian perdamaian dua raja itu diumumkan secara resmi di Kota Solo. Di Balaikota Solo, Kamis (25/5/2004), berlangsung silaturahmi Dwi

Tunggal Raja Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Musyawarah Pimpinan

Daerah (Muspida) Solo. Hadir dalam silaturahmi ini PB XIII Hangabehi, KGPH

PA Tedjowulan, Walikota Solo Joko Widodo, serta sejumlah perwakilan Muspida lainnya. Dalam kesempatan ini, juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara PB XIII Hangabehi dengan KPGH PA Tedjowulan. Mereka menyepakati pelestarian Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai peninggalan

129 Harian Solopos, Rabu 16 Mei 2012. 130 http://timlo.net/baca/28481/kerabat-keraton-beberkan-isi-rekonsiliasi/, diakses pada 16 Februari 2014.

86 budaya bangsa. Walikota Joko Widodo bertindak sebagai saksi dan memberikan stampel resmi Walikota di atas nota kesepahaman itu.131

Beberapa hari kemudian, acara peresmian tersebut disambut oleh aksi GKR

Koes Moertiyah bersama ratusan anggota Paguyuban Kawula Keraton Surakarta

(Pakasa) yang menggeruduk kediaman pribadi PB XIII Hangabehi di Sasana

Putra. Mereka berjalan sambil membentangkan spanduk dengan pesan agar PB

XIII Hangabehi lekas kembali ke dalam Keraton dan duduk di singgasana. Selain itu, mereka juga membawa sejumlah poster berisi penolakan atas hasil rekonsiliasi antara Hangabehi-Tejdowulan serta penolakan campur tangan pemerintah atas konflik Keraton.132 KGPH Puger menanggapi kondisi di Keraton Solo saat ini juga terjadi di berbagai keraton Nusantara. Penyebabnya adalah adanya perbedaan pandangan mengenai posisi masing-masing. Oleh sebab itulah NKRI seharusnya bersyukur karena telah mendapat peringatan dari alam mengenai posisi keraton.

Maka untuk bisa menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keraton, pemerintah seharusnya tidak boleh terburu-buru. Pemerintah harus memiliki team work untuk menentukan posisi masing-masing, menciptakan kesamaan pemahaman supaya semua pihak bisa saling mengerti. Sebaliknya apabila konflik ditanggapi dengan saling lempar wacana dan rencana, kemungkinan yang terjadi hanyalah saling menyakiti serta saling merugikan satu sama lain.133

Seperti apapun tanggapan dari luar, pemerintah tetap melakukan proses rekonsiliasi. Setelah peresmian di Pemkot Solo, selanjutnya diadakan

131 http://www.solopos.com/2012/05/24/masyarakat-saksikan-proses-rekonsiliasi-raja- kembar-298111, diakses pada 16 Februari 2014. 132 Harian Solopos, Sabtu 2 Juni 2012. 133Harian Solopos, Rabu 6 Juni 2012.

87 penandatanganan MoU Rekonsiliasi yang akan ditandatangani oleh Dwitunggal

Keraton Surakarta Hadiningrat dan beberapa pejabat kementerian yang bertempat di gedung DPR RI. Saat hari yang ditetapkan tiba, GKR Koes Moertiyah sempat membuat keributan, ia masih terus menghalang-halangi PB XIII Hangabehi untuk tidak menandatangani kesepakatan. Alasannya ialah kesepakatan rekonsiliasi tidak pernah ada dalam adat keraton. Ia sebagai dewan adat berhak untuk tidak menyetujuinya dan mencegah raja PB XIII Hangabehi untuk menandatangani.

Menurutnya PB XIII Hangabehi saat itu sedang kurang sehat dan telah dipengaruhi banyak pihak agar ia bersedia.134 Namun acara terus berlanjut dan

GKR Koes Moertiyah dapat diamankan ke luar ruangan. Perwakilan kementerian di antaranya dari Kemendagri dan Kemenbudpar pun menandatangani MoU tentang rekonsiliasi atas terjadinya konflik Keraton Solo yang sudah berlangsung delapan tahun. Penandatanganan itu disaksikan oleh Ketua DPR Marzuki Ali,

Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, dan Walikota Solo Joko Widodo.135

Proses mendamaikan dua raja yang dimotori oleh Pemkot Solo memang tidak semulus yang dibayangkan. Saat satu pihak sudah bersedia untuk mengalah dan melebur dengan raja yang ada di dalam tembok keraton, ada pihak lain yang dengan tegas tidak menyetujuinya. Artinya, mengalah atau tidak mengalah KGPH

PA Tedjowulan tidak akan diterima kembali di keraton. Tidak mengalah dengan tetap pada pendirian tidak akan merubah situasi, malah akan semakin menajamkan permusuhan. Mengalah pun ada sesuatu yang harus ia korbankan,

134 http://www.antaranews.com/berita/314053/gusti-Moertiyah-protes-mou-keraton- surakarta, diakses pada 18 Februari 2014. 135 http://www.solopos.com/2012/06/04/konflik-keraton-4-mentri-akhirnya-tanda-tangani- mou-rekonsiliasi-pb-xiii-tedjowulan-191119, diakses pada 18 Februari 2014.

88 gelar seorang raja yang juga sudah diakui oleh para pengikutnya. Namun setidaknya ada situasi yang dapat ia ubah, terutama dengan PB XIII Hangabehi, ia dapat kembali berbaikan setelah delapan tahun berseteru.

F. Babak Baru Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat

Bersatunya dua raja telah memberi harapan baru bagi Keraton Surakarta

Hadiningrat. Intrik-intrik, ontran-ontran, saling serang, diharap akan segera usai pasca rekonsiliasi. Para kedua pendukung kedua belah pihak, sentana dan seluruh abdi dalem, dapat melebur dalam keharmonisan di dalam tembok keraton yang keberadaannya begitu dikultuskan oleh masyarakat luas. Namun, kenyataannya belum seperti yang diharapkan.

Lembaga Dewan Adat keraton, yang dibentuk oleh GKR Koes Moertiyah pada tahun 2011, beranggotakan KGPH Puger, KP Edy Wirabumi, dan sejumlah adik kandung PB XIII Hangabehi, menolak rekonsiliasi antara PB XIII Hangabehi dengan KGPH PA Tedjowulan. Bahkan dengan tegas mereka siap menurunkan

PB XIII Hangabehi dari posisinya sebagai seorang raja dengan beberapa pertimbangan. Pertama, raja sudah melenceng dari aturan adat sehingga dianggap lemah dalam memimpin. Kedua, raja dianggap tak bisa menjalankan paugeran karena faktor kesehatan. Berbagai kekurangan pada diri sang raja membuat dirinya gagal menjaga martabat keraton. Ketiga, raja telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemegang kekuasaan. Raja pernah membeli mobil pribadi dengan memakai uang hibah dari Pemkot Solo pada tahun 2010, yang sedianya untuk operasional keraton seperti membayar gaji abdi dalem. Hal-hal inilah yang

89 membuat Lembaga Dewan Adat akhirnya memutuskan menarik mandat

Hangabehi sebagai seorang raja.136

Di lain sisi, PB XIII melalui wakilnya KGPH PA Tedjowulan bereaksi atas penyanderaan dan pembekuan wewenang yang telah dilontarkan Lembaga Dewan

Adat terhadap PB XIII Hangabehi. Ia malah mempertanyakan bagaimana

Lembaga Dewan Adat dulu bisa berdiri dan sekarang bicara seakan-akan mampu melengserkan kekuasaan seorang raja. Untuk itu, atas izin PB XIII, ia berencana mengajukan permintaan kepada Pemkot Solo untuk segera membubarkan

Lembaga Dewan Adat dari struktur Keraton Surakarta Hadiningrat.137

Ini berarti, drama konflik di Keraton Surakarta Hadiningrat telah memasuki episode baru. Tidak lagi antara kubu PB XIII Hangabehi dengan PB XIII

Tedjowulan. Tapi antara Dwitunggal PB XIII Hangabehi-KGPH PA Tedjowulan dengan saudara kandung PB XIII Hangabehi sendiri yang mengatasnamakan

Lembaga Dewan Adat. Lembaga Dewan Adat lupa bahwa merekalah yang telah susah-payah memperjuangkan PB XIII Hangabehi menjadi seorang raja. Atau lebih tepatnya PB XIII Hangabehi lupa bahwa ia telah diperjuangkan oleh saudara-saudara kandungnya hingga bisa bertakhta sebagai seorang raja. Timbul indikasi pemenuhan kepentingan di antara mereka tidak berjalan dengan baik.

Sehingga, menjadikan kawan sebagai lawan adalah salah satu pilihan terbaik.

Bila ditelusuri, saat suksesi PB XIII Hangabehi, GKR Koes Moertiyah menjabat sebagai Pengageng Sasana Wilapa. Seluruh sentana dalem menolak

136 http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=298320:lda- pecat-raja-keraton-solo&catid=95:nusantara&Itemid=146, diakses pada 19 Februari 2014. 137 http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja- surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014.

90 kenaikkan PB XIII Hangabehi menjadi seorang raja karena kekurangan yang dimilikinya. Tidak menutup kemungkinan GKR Koes Moertiyah, suami, dan saudara kandungnya yang lain juga memahami bahwa PB XIII Hangabehi tidak memiliki leadership yang cukup mumpuni sebagai seorang raja. Namun bila ia sepakat dengan seluruh sentana untuk menaikkan KGPH PA Tedjowulan, ia dan saudara-saudaranya tidak akan leluasa bergerak di keraton. Oleh karenanya, momentum memiliki kakak laki-laki tertua akan dimanfaatkan semaksimal mungkin hingga apa yang diperjuangkan berhasil. Soal bagaimana PB XIII

Hangabehi tidak memiliki kapabilitas yang cukup dalam memimpin, itu bagaimana nanti. Apakah terkait ingin menguasai dana hibah dan sejumlah aset keraton, belum bisa disimpulkan.

Kenyataannya, yang selalu mengajukan dana hibah setiap tahunnya sejak

PB XIII Hangabehi menjabat sebagai raja adalah GKR Koes Moertiyah. Hingga pada suatu titik, PB XIII Hangabehi merasa perlu menggunakan wewenangnya terkait dana hibah. Ketika dana itu dicairkan, Pemkot Solo mencairkan kepada PB

XIII Hangabehi, tidak lagi kepada GKR Koes Moertiyah. Dari sanalah kemungkinan polemik antara saudara kandung itu bermula. Dan pihak GKR Koes

Moertiyah yang kini di bawah nama Lembaga Dewan Adat, baru memunculkan kasus penyelewengan itu ke permukaan setelah dirasa PB XIII Hangabehi semakin berbuat serong dari yang sudah ditetapkan. Dalam situasi seperti itu pilihan ada pada PB XIII Hangabehi, berlindung kepada KGPH PA Tedjowulan yang sudah meminta maaf dan melebur kepadanya atau tetap menjadi “boneka kekuasaan” dari adik kandungnya.

91

Sejak saat itulah wacana pembubaran Lembaga Dewan Adat terus didengungkan. Bahkan warga Baluwarti, masyarakat sekitar keraton yang semula setia terhadap angger-angger dan dalem Keraton Surakarta Hadiningrat, risih terhadap keberadaan Lembaga Dewan Adat yang kondisi terakhir selalu membuat kekisruhan. Dimulai dari melakukan penyanderaan PB XIII Hangabehi, sampai membuat keributan dalam acara halal bi halal dan penobatan KGPH PA

Tedjowulan sebagai Maha Menteri Keraton Surakarta Hadiningrat.138 KGPH PA

Tedjowulan juga menyebut Lembaga Dewan Adat yang terdaftar sebagai ormas di

Pemkot Solo itu telah menguasai sebagian wilayah Keraton Surakarta. Padahal seharusnya pengelolaan wilayah Keraton Surakarta sepenuhnya merupakan wewenang PB XIII selaku raja yang diakui pemerintah. Hal ini menurutnya akan mengancam keberadaan Keraton Surakarta sebagai situs cagar budaya.139

Menanggapi gugatan Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Walikota Solo

FX Hadi Rudyatmo akan menindaklanjuti keberadaan Lembaga Dewan Adat.

Apakah menyimpang dari perannya sebagai ormas lembaga adat atau tidak, yang pasti, ia tidak ingin gegabah dengan terburu-buru membubarkan lembaga tersebut.140 Karena saat ini Lembaga Dewan Adat sudah terdaftar di Kesbangpol

Kota Solo dengan nomor (SKT) No. 220/151/II/2011.141

138 http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja- surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014. 139http://www.soloblitz.co.id/2013/11/04/tedjowulan-sinuhun-pb-xiii-telah-bubarkan- dewan-adat/, diakses pada 19 Februari 2014. 140 http://timlo.net/baca/68719518506/didesak-bubarkan-dewan-adat-walikota-enggan- buru-buru/, diakses pada 19 Februari 2014. 141 http://daerah.sindonews.com/read/2013/09/02/22/778355/pemkot-solo-bingung-sikapi- lembaga-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014.

92

Persoalannya, haruskah lembaga itu dibubarkan karena keinginan raja? Bila ditelusuri mengapa Lembaga Dewan Adat sampail lahir, menurut Pemerhati

Keraton Surakarta Hadiningrat, Eko Ismadi, Lembaga Dewan Adat dibentuk tahun 2004 namun secara resmi baru didaftarkan di Kesbangpol Kota Solo pada tahun 2011 oleh GKR Koes Moertiyah. Lembaga Dewan Adat terdiri dari trah

Paku Buwono II sampai putra dan putri PB XII. Tujuan dari dibentuknya

Lembaga Dewan Adat adalah untuk menegakkan dan menjaga kelestarian budaya dan adat tradisi Jawa sebagai pengemban fungsi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Salah satunya menjalankan ketetapan adat dengan melaksanakan suksesi sebagaimana mestinya ketika seorang raja wafat.

Maka sesuai namanya Lembaga Dewan Adat sepakat mengangkat Hangabehi sebagai PB XIII. Sebenarnya dengan adanya dewan adat ini raja lebih kuat. Hanya saja cara ini tidak menguntungkan semua pihak pada saat itu karena ada kelompok

Tedjowulan yang menyatakan diri sebagai PB XIII.

Dualisme ini menyebabkan perilaku organisasi Lembaga Dewan Adat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hingga PB XIII Hangabehi menerima perdamaian dengan KGPH PA Tedjowulan secara sepihak tanpa berkonsultasi kepada dewan adat dengan mengangkat KGPH Tejdowulan sebagai Mahapatih dengan gelar Panembahan Agung. Maka keputusan itu dianggap tidak mewadahi semua kepentingan Trah Keraton Surakarta Hadiningrat yang tergabung dalam

Lembaga Dewan Adat. Yang lebih mengherankan, setelah terjadi perdamaian

93 antara PB XIII Hangabehi dan KGPH PA Tedjowulan, PB XIII Hangabehi malah berpaling memusuhi dewan adat dan menggandeng Tedjowulan.142

Bila dilihat dari sudut pandang internal keraton, perilaku PB XIII Hangabehi tidak dibenarkan dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang raja. Seorang raja ibarat nakhoda dan keraton adalah kapalnya. Maka jika ia ingin berubah haluan ke mana ia akan menuju, para awak kapal harus disertakan dalam pengambilan keputusan agar tidak membahayakan seluruh penumpang yang ada di dalam kapal. Bila nakhoda tidak melibatkan seluruh awaknya, bisa timbul pemberontakan dari awak kapal bahkan bisa mengambil alih peran nakhoda. Oleh karenanya segala macam pengambilan keputusan dalam internal keraton sekalipun itu adalah proses rekonsiliasi, harus mendapat persetujuan dari pemegang adat.

Jika pemegang adat tidak menyetujuinya, rekonsiliasi itu tidak boleh dilakukan demi menjaga keutuhan internal keraton. Apa lagi alasan pemegang adat dengan tidak menerima rekonsiliasi karena yang mengajak untuk berdamai ialah ia yang berani menggunakan gelar raja padahal itu bukan haknya.

Namun pertanyaannya, apakah pemerintahan keraton adalah pemerintahan tunggal yang berdiri sendiri dengan memenuhi syarat berdirinya suatu negara?

Sudah dijelaskan di bagian awal, keraton saat ini hanyalah cagar budaya yang berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Bila ada suatu masalah dalam pengelolaannya dan masalah itu tak kunjung selesai, negara berhak untuk ikut campur dengan memberikan solusi penyelesaian.143 Dengan demikian yang sudah

142 Wawancara tertulis dengan Eko Ismadi, Pemerhati Keraton Surakarta Hadiningrat, 19 Februari 2014. 143 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 9 Tentang Cagar Budaya yang berbunyi: Yang Dimaksud dengan dikuasai oleh Negara adalah kewenangan

94 dilakukan oleh pemerintah baik itu Pemerintah Kota Solo, Pemerintah Provinsi

Jawa Tengah, sampai Pemerintah Pusat untuk terjun langsung menangani konflik di Keraton Surakarta Hadiningrat adalah suatu hal yang tepat dan itu merupakan suatu kewajiban demi menyelamatkan kehormatan keraton itu sendiri tanpa harus ada pihak atau kelompok yang dirugikan.

Usaha-usaha untuk menyelesaikan konflik telah sampai kepada Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun bentuk penyelesaiannya seperti apa belum bisa diketahui, karena SBY sendiri baru menjanjikan penanganan konflik akan dimulai pasca pemilu legislatif April nanti saat situasi dirasa sudah kondusif.

Pertemuan kepada SBY yang dicetus oleh Roy Suryo di Gedung Agung

Yogyakarta pada 23 Februari 2014 itu dihadiri oleh PB XIII Hangabehi, KGPH

PA Tedjowulan, GPH Dipokusumo, dan GPH Benowo. Secara resmi PB XIII

Hangabehi menulis surat kepada Presiden SBY untuk membantu menyelesaikan konflik di keraton agar rukun seperti sedia kala.144

Pertanyaan-pertanyaan baru terus bermunculan terkait keraton di masa mendatang. Apa yang akan terjadi selanjutnya jika PB XIII Hangabehi wafat?

Apakah sosok Tedjowulan akan muncul lagi (jika ia masih hidup) dengan kembali memakai gelar PB XIII seperti yang pernah digunakannya selama 8 tahun? Hal ini bisa saja terjadi jika di antara mereka berdua, antara PB XIII Hangabehi dan

KGPH PA Tedjowulan, telah membuat suatu kesepakatan yang tidak diketahui siapapun. Bahkan jika pertanyaannya belum sampai ke arah sana, sikap apa yang

tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya. 144 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/483610-sby-ambil-alih-penyelesaian-konflik- keraton-surakarta, diakses pada 25 Februari 2014.

95 akan ditempuh oleh saudara-saudara kandung PB XIII Hangabehi jika kelak PB

XIII wafat? Artinya drama antara kedua belah pihak, Hangabehi-Tedjowulan dengan Lembaga Dewan Adat, belum akan usai sampai suksesi berikutnya.

Tinggal menunggu apakah di sisa hidupnya PB XIII Hangabehi sebagai seorang raja bisa lebih tegas dan bijaksana dengan membuat keputusan yang sekiranya mampu diamini oleh seluruh kerabat keraton sehingga semua pihak dapat legowo menerima aturan adat yang sudah ditetapkan.

96

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan skripsi mengenai Konflik Keraton Surakarta Hadiningrat

Pasca Wafatnya Paku Buwono XII, ada beberapa catatan penting yang ditarik peneliti sebagai kesimpulan, diantaranya:

1. Tidak ada wasiat secara resmi dari PB XII selama hidupnya menjadi penyebab

utama timbulnya konflik perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta

Hadiningrat. Subyektivitas kelompok “penjaga tradisi” dan “penyelamat

keraton” lahir di tengah keadaan yang simpang siur. Masing-masing mencoba

mempertahankan apa yang sudah mereka raih: kekuasaan. Pihak yang ada di

dalam keraton mencoba menguasai aset keraton berupa lingkungan fisik,

legitimasi dari sentana dalem dan abdi dalem, serta kepentingannya dengan

Pemkot dan Pemprov. Pada akhirnya, motif ekonomi politik menjadi salah satu

aspek yang ingin dikuasai pihak yang berdiam di keraton, terkait pengelolaan

dana hibah dan aset keraton yang diperebutkan di internal mereka sendiri.

Akibat keadaan itu, hubungan dengan pemerintah selaku penyalur dana

menjadi kurang harmonis, karena penghentian sementara dana hibah dari

Pemkot maupun Pemprov telah diklaim pihak keraton bahwa pemerintah tidak

lagi memiliki kepedulian terhadap kelestarian keraton.

2. Namun terlepas dari apa yang telah terjadi, usaha-usaha untuk meredakan

konflik berkepanjangan di Keraton Surakarta Hadiningrat semakin mencapai

titik temu. Dualisme raja yang berlangsung selama bertahun-tahun telah

97

berakhir dengan diakuinya seorang raja yang sah yaitu PB XIII Hangabehi.

itikad baik dari kedua belah pihak untuk berdamai patut diapresiasi, egoisme

pribadi yang telah mereka pelihara bertahun-tahun telah mereka luluhkan demi

kepentingan bersama. Meski masih ada pihak yang berusaha melampaui segala

kewenangan raja dan patih sebagai Dwitunggal, hal itu sebagai penguji sekuat

apakah persatuan Dwitunggal PB XIII Hangabehi dan KGPH PA Tedjowulan

dalam menyelesaikan episode konflik yang masih berjalan. Semangat

rekonsiliasi mereka akan menjadi catatan, perebutan kekuasaan dalam sebuah

kerajaan tidak selalu berujung terhadap kudeta dan pelengseran. Tapi bisa

diselesaikan melalui kesepakatan dalam nota kesepahaman.

3. Di luar perpecahan yang terjadi selama hampir 10 tahun lamanya di Keraton

Surakarta Hadiningrat, masing-masing pihak telah bersikap menurut perannya

masing-masing, yang tak lain sama-sama ingin menjaga kelestarian Keraton

Surakarta Hadiningrat. Hanya saja perbedaan ideologi menyebabkan tujuan

mereka melestarikan keraton terbentur. Timbulnya konflik telah

membangunkan khalayak ramai bahwa drama perebutan kekuasaan monarki

masih bisa disaksikan di era sekarang. Berbagai lapisan masyarakat yang

tertarik sekaligus prihatin dengan kisah ini akan serta-merta terdorong kembali

membuka literatur-literatur sejarah masa lampau. Mencoba mengkomparasi

bahwa Keraton Surakarta Hadiningrat di masa lampau adalah sebuah wilayah

yang berdiri sendiri yang kekuasaannya di Pulau Jawa cukup besar. Sisa-sisa

peninggalannya kini tidak hanya berupa situs dalam bentuk bangunan dan

prasasti semata, para penerusnya pun masih hidup dengan tetap melestarikan

98

sistem pemerintahan monarki di tengah arus demokratisasi.

B. Saran

Dari penjelasan secara keseluruhan, skripsi ini lebih menitikberatkan pada latar belakang timbulnya konflik perebutan kekuasaan di Keraton Surakarta

Hadiningrat hingga konflik-konflik yang terjadi setelahnya. Penulis mengakui masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Penulis berharap di masa depan ada penelitian-penelitian lain yang mampu melengkapi kekurangan skripsi ini dengan meneliti kelanjutan dari perseteruan antara PB XIII Hangabehi dengan saudara- saudara kandungnya yang tergabung dalam Lembaga Dewan Adat.

Kemudian bagi pemerintah, proses rekonsiliasi yang sudah berjalan dengan baik harus tetap dalam pengawalan. Joko Widodo selaku pencetus rekonsiliasi meskipun kini sudah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta harus tetap bertanggung jawab hingga intrik-intrik di antara keluarga keraton selesai seutuhnya. Tak menutup kemungkinan kebijaksanaan Joko Widodo dalam penanganan saat itulah yang meluluhkan hati kedua belah pihak untuk berdamai.

Maka jangan sampai masyarakat beranggapan usaha Joko Widodo saat itu sebatas

„kendaraan politik‟ semata agar citranya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta semakin baik di mata masyarakat.

Lalu bagi keraton sendiri, guna meniti masa depan yang jelas, struktur birokrasi di dalam keraton perlu ditata ulang. Hal ini demi memantapkan dan melancarkan jalannya roda pemerintah di istana. Juga memudahkan proses suksesi agar tidak terjadi hal serupa di masa yang akan datang.

99

DAFTAR PUSTAKA

Buku Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Carter, April. 1985. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta: CV. Rajawali. Graaf, H.J. D dan TH. Pigeaud, terj. Eko Endarmoko. 2003. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hadisiswaya, AM. 2009. Filosofi Wahyu Keraton, Klaten: Sahabat. Harskamp, Anton van, ed. 2005. Konflik-konflik dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kanisius. Houbent, Vincent J. H. 2002. Keraton dan kompeni Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, Yogyakarta: Bentang Budaya. Ismaniyah, GRAy Koes. 2013. Mau Ke Mana Keraton Surakarta Hadiningrat. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Ju Lan, Thung., ed. 2000. Konflik Lokal Nasional dalam Konteks ke-Jawaan di Solo: Etnisitas dan Integrasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Khalil, Ahmad. 2008. Islam Jawa. Malang: UIN Malang Press. Machiavelli, Niccolo, terj. C. Woekirsari. 1987. Sang Penguasa. Jakarta: PT. Gramedia. Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Nurhajarini, Dwi Ratna, Tugas Triwahyono, dan Restu Gunawan. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Purwadi. 2008. Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintahan, Konstitusi, Kesusasteraan, dan Kebudayaan. Yogyakarta: Panji Pustaka. ______. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X. Jakarta: Bangun Bangsa.

100

Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Ricklefs, M.C, terj. Tim Penerjemah Serambi. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008. Santosa, Sri Juari Santosa. 2006. Suara Nurani Keraton Surakarta. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika. Shashangka, Damar. 2011. Darmagandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran- ajaran Rahasia. Jakarta: Dolphin. Setiadi, Bram, Qamarul Hadi, dan Tri Handayani. 2000. Raja di Alam Republik. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Setiawan, B. 1991. Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka. Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo. Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Utomo, Mulyanto, Wahyu Susilo, dan Farid Achmadi. 2004. Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat. Solo: Aksara Solopos. Varma, S.P. 2007. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajagrafindo.

Jurnal

Iswanto, Agus. 2012. “Islamisasi dan Jawanisasi dalam Naskah-naskah di Keraton Yogyakarta.” Mimbar: Jurnal Kajian Agama dan Budaya Volume 29, nomor 3, 2012.

Kamus Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Zoetmulder, P.J. 2011. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Kompas Gramedia.

Surat Kabar

101

Harian Solopos.

Undang-Undang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 Pasal 1 ayat 9 Tentang Cagar Budaya.

Wawancara Wawancara dengan GPH Dipokusumo, 18 Januari 2014, di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat. Wawancara dengan KGPH Puger, 20 Januari 2014, di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat. Wawancara dengan Redaktur Senior Harian Solopos, Mulyanto Utomo, 21 Januari 2014, di Kantor Harian Solopos. Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan, 28 Januari 2014, di Hotel Kartika Chandra. Wawancara tertulis dengan Ratu Raja Arimbi, adik kandung sekaligus juru bicara Sultan Kanoman, Sultan Emirudin, 17 November 2012. Wawancara tertulis dengan Eko Ismadi, Pemerhati Keraton Surakarta Hadiningrat, 19 Februari 2014.

Website http://orgawam.wordpress.com, diakses pada 19 Februari 2013. http://www.kerajaannusantara.com, diakses pada 3 Maret 2013. http://arsip.gatra.com//2004-09-08/ Gatra nomor 42, beredar Jumat 27 Agustus 2004, diakses 1 Juni 2013. http://apssi-sosiologi.org/wp-content/uploads/2013/05/27.-Ridhah-Taqwa.pdf, diakses pada 1 Juli 2013. http://staff.uny.ac.id diakses pada 21 Februari 2013 http://kbbi.web.id/, diakses pada 13 Desember 2013

102 http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta, diakses pada 20 September 2013. http://news.detik.com/read/2004/06/11/142814/162322/10/setelah-pb-xii- mangkat-muncul-klaim-surat-wasiat, diakses pada 16 Februari 2014. http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/1398/KEPPRES%20NO%2023%20TH%20198 8.pdf, diakses pada 1 Februari 2014 http://gudeg.net/id/directory/12/1750/Alun-Alun, diakses pada 22 Maret 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Alun-alun, diakses pada 22 Maret 2014. http://news.detik.com/read/2004/11/18/203959/241263/10/ahli-waris-pb-xii- pertanyakan-keaslian-surat-wasiat, diakses pada 6 Februari 2014. http://alimu.staff.ipb.ac.id/2010/12/02/berebut-takhta-setelah-raja-tiada/, diakses pada 14 Februari 2014. http://jogja.tribunnews.com/2012/05/29/dewan-evaluasi-penganggaran-dana- hibah-keraton/, diakses pada 14 Februari 2014. http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2165-raja- terlama-dinasti-mataram, diakses pada 1 Februari 2014. http://edisicetak.joglosemar.co/berita/kabut-tebal-masih-menggelayuti-keraton- 63082.html, diakses pada 16 Februari 2014. http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/hangabehi-murtiyah-rebutan-dana- 79218.html, diakses pada 14 Februari 2014. http://www.solopos.com/2013/03/12/dana-hibah-geram-dana-hibah-tak-cair- keraton-ajukan-bantuan-ke-unesco-387074, diakses pada 14 Februari 2014. http://www.soloblitz.co.id/2013/03/16/keraton-butuh-6-bulan-untuk-ajukan-dana- ke-unesco/, diakses pada 14 Februari 2014. http://edisicetak.joglosemar.co/berita/dua-raja-gelar-malem-selikuran-23632.html, diakses pada 16 Februari 2014. http://timlo.net/baca/28481/kerabat-keraton-beberkan-isi-rekonsiliasi/, diakses pada 16 Februari 2014. http://www.solopos.com/2012/05/24/masyarakat-saksikan-proses-rekonsiliasi- raja-kembar-298111, diakses pada 16 Februari 2014.

103 http://www.antaranews.com/berita/314053/gusti-murtiyah-protes-mou-keraton- surakarta, diakses pada 18 Februari 2014. http://www.solopos.com/2012/06/04/konflik-keraton-4-mentri-akhirnya-tanda- tangani-mou-rekonsiliasi-pb-xiii-tedjowulan-191119, diakses pada 18 Februari 2014. http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=298 320:lda-pecat-raja-keraton-solo&catid=95:nusantara&Itemid=146, diakses pada 19 Februari 2014. http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja- surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014. http://jogja.okezone.com/read/2013/08/30/511/858137/pasca-konflik-keraton-raja- surakarta-bubarkan-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014. http://www.soloblitz.co.id/2013/11/04/tedjowulan-sinuhun-pb-xiii-telah- bubarkan-dewan-adat/, diakses pada 19 Februari 2014. http://timlo.net/baca/68719518506/didesak-bubarkan-dewan-adat-walikota- enggan-buru-buru/, diakses pada 19 Februari 2014. http://daerah.sindonews.com/read/2013/09/02/22/778355/pemkot-solo-bingung- sikapi-lembaga-dewan-adat, diakses pada 19 Februari 2014. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/483610-sby-ambil-alih-penyelesaian- konflik-keraton-surakarta, diakses pada 25 Februari 2014. http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/islam-dan-kraton-kasunanan-surakarta-masa- sunan-pakubuwana-iv-bagian-1/, diakses pada 27 Maret 2014. http://mursid.web.id/hari-jadi-ke-268-kota-solo.html, diakses pada 27 Maret 2014. http://www.soloblitz.co.id/2013/01/09/pemberian-gelar-harus-di-keraton-tanpa- jual-beli/, diakses pada 12 April 2014. http://www.timlo.net/baca/2997/syahrini-dan-julia-perez-peroleh-gelar- kehormatan/, diakses pada 15 April 2014. http://www.detikpos.net/2009/07/gelar-keraton-solo-untuk-manohara.html, diakses pada 14 April 2014.

104 http://news.detik.com/read/2013/01/06/153510/2134368/10/tertipu-gelar-palsu- pengusaha-malaysia-polisikan-kerabat-keraton-solo, diakses pada 15 April 2014. http://news.detik.com/read/2013/01/11/182120/2140065/10/2/digugat-soal-jual- beli-gelar-keraton-solo-ancam-gugat-balik-wn-malaysia, diakses pada 15 April 2014. http://kabutinstitut.blogspot.com/2010/01/mendadak-priyayi.html, diakses pada 15 April 2014. http://joglosemar.co/2013/10/dana-dicoret-keraton-jangan-jual-gelar.html, diakses pada 15 April 2014.

105

LAMPIRAN 1: SILSILAH RAJA-RAJA KERATON SURAKARTA HADININGRAT

Ki Ageng Pemanahan

Panembahan Senopati (1575-1601)

Panembahan Krapyak (1601-1613)

Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645)

Hamangkurat I (1645-1677)

Hamangkurat II P. Puger (Paku Bowono I) (1677-1703) (1704-1719)

Hamangkurat III Hamangkurat IV (1703-1706, dibuang ke Sri Lanka) (1719-1727)

Mas Garendi (1742)

Pakubuwono II P. Mangkubumi P. Mangkunegara (1727-1747) (Hamengku Bowono I) (1755-1792)

(Mas Said) Hamengku Buwono II P. Natakusuma (Mangkunegara I) (1792-1828) (Paku Alam I) (1757-1796)

Raja-raja Raja-raja Pangeran Pangeran Surakarta Yogyakarta Pakualaman mangkunegaran

Sumber: Purwadi, Kraton Surakarta: Sejarah, Pemerintahan, Konstitusi, Kesusasteraan, dan Kebudayaan. (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008).

xii LAMPIRAN 2: DAFTAR PUTRA-PUTRI PAKU BUWONO XII

No Nama Tanggal Istri Selir Lahir Mandaya Retno Pradapa Kusuma Rogas Puja ningrum Diningru Ningrum ningrum mara ningrum m 1 Koes Ondowiyah 18-10-1947 1 (GKR Alit) 2 Suryo Partono 19-06-1948 1 (KGPH Hangabehi) 3 Suryo Suprapto 21-03-1949 1 (KGPH Hadiprabowo) 4 Koes Supiyah 23-03-1950 2 (GKR Galuh Kencana) 5 Suryono 19-07-1950 1 (GPH Puspohadikusumo) 6 GRAy Koes Rahmaniyah 6-10-1950 2 7 GRAy Koes Saparniyah 15-11-1950 2 8 GRAy Koes Handariyah 14-06-1951 3 9 GRAy Koes Kristiyah 15-06-1951 1 10 GRAy Koes Sapardiyah 19-05-1952 3 11 GRAy Koes Raspiyah 30-08-1952 1 12 Suryo Suseno 5-04-1953 4 (KGPH Kusumayuda) 13 GRAy Koes Triyah 17-05-1954 3 14 GRAy Koes Isbandiyah 24-07-1954 5 15 Suryo Sutejo 3-08-1954 2 (KGPH Tedjowulan) 16 GRAy Koes Sapartinah 3-05-1955 2 17 Suryo Bandono 22-12-1955 6 (GPH Puger) 18 Suryo Suparto 22-05-1956 3 (GPH Dipokusumo) 19 GPH Suryo Saroso 28-07-1957 3 20 Suryo Bandriyo 8-09-1957 7 (GPH Benowo) 21 GRAy Koes Niyah 29-10-1957 4 22 Suryo Sudiro 12-10-1958 4 (GPH Notokusumo) 23 Suryo Suharso 18-10-1958 8 (GPH Madukusumonagoro) 24 Suryo Darsono 18-05-1959 5 (GPH Wijoyosudarsono) 25 GKR Koes Moertiyah 1-11-1959 9 26 Suryo Sutrisno 22-11-1959 5 (GPH Suryowicaksono) 27 GRAy Koes Sabandiyah 19-08-1960 6 28 GRAy Koes Triniyah 17-11-1960 6 29 GRAy Koes Indriyah 19-10-1961 10 30 Nur Muhammad 22-02-1962 7 (GPH Nur Cahyaningrat) 31 GRAy Koes Suwiyah 5-11-1962 4 32 GRAy Koes Ismaniyah 1-08-1963 8 33 GRAy Koes Samsiyah 24-08-1964 9 34 GRAy Koes Saparsiyah 30-01-1969 10 35 GPH Suryo Wahono 22-06-1972 11 Sumber: Mulyanto Utomo, Wahyu Susilo, Farid Achmadi, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat (Solo: Aksara Solopos, 2004).

xiii LAMPIRAN 3: GELAR KEBANGSAWANAN DI KERATON SURAKARTA HADININGRAT

S.I.S.K.S. Sampeyan Dalem Ingkang Gelar untuk raja di Keraton Surakarta Sinuhun Kangjeng Susuhunan Hadiningrat

B.R.Aj. Bandara Raden Ajeng Cucu perempuan raja

B.R.M. Bandara Raden Mas Cucu laki-laki raja

G.K.R. Gusti Kangjeng Ratu Untuk istri permaisuri atau putri raja tertentu atas kehendak raja

G.P.H. Gusti Pangeran Haryo Putra pangeran yang sudah dewasa

G.R.M. Gusti Raden Mas Putra pangeran muda yang lahir dari istri selir

G.R.Ay. Gusti Raden Ayu Putri raja yang sudah bersuami

K.G.P.A.A. Kangjeng Gusti Pangeran Putra mahkota kerajaan atau pangeran Adipati Anom adipati anom, calon pengganti raja

K.G.P.H. Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Putra raja yang sudah sangat senior/sepuh

K.P. Kangjeng Pangeran Putra menantu

K.P.A. Kangjeng Pangeran Aryo Gelar bangsawan bukan dari sentana

K.P.H. Kangjeng Pangeran Haryo Putra pangeran tua, namun dalam waktu terakhir sering diberikan bukan kepada pangeran tua sesuai kehendak raja

K.R. Kangjeng Ratu Untuk istri permaisuri

K.R.A. Kangjeng Raden Adipati Patih

K.R.Ay. Kangjeng Raden Ayu Gelar untuk istri selir

K.R.H. Kangjeng Raden Haryo Sentana setingkat Riya Nginggil

K.R.M.H. Kangjeng Raden Mas Haryo Sentana setingkat Riya Nginggil untuk cucu, buyut, dan di bawahnya

K.R.H.T. Kangjeng Raden Haryo Setingkat Bupati Riya Nginggil bukan Tumenggung sentana (abdi dalem)

K.R.M.T.H. Kangjeng Raden Mas Abdi dalem Bupati Riya Nginggil Tumenggung Haryo

xiv R.Aj. Raden Ajeng Buyut atau canggah yang belum bersuami

R.Ay. Raden Ayu Buyut atau canggah yang sudah bersuami, atau mereka yang bersuamikan putra raja atau sentana

R.M.G. Raden Mas Gusti Putra raja yang lahir dari istri permaisuri

R.M. Raden Mas Canggah atau keturunan raja tingkat keempat atau lebih

R.T. Raden Tumenggung Abdi dalem setingkat Bupati Anom

xv LAMPIRAN 4: TRANSKRIP WAWANCARA

Wawancara dengan KGPH PA Tedjowulan

1. Acuan apa yang digunakan oleh keraton dalam mengadakan suksesi?

Unggah ungguh, sopan santun, tata krama, dan angger-angger. Jadi acuan dan aturan yang digunakan adalah acuan orang Jawa yang berbudaya. Dan itu sudah berlangsung ratusan tahun. Namun bila dikaitkan dengan perkembangan dan situasi sekarang, tentu itu tidak rasional. Seperti perubahan-perubahan yang terjadi di kerajaan-kerajaan Pulau Jawa. Sejak zaman Airlangga hingga sekarang, itu selalu ada masa perubahan. Majapahit berakhir, Demak muncul. Demak berakhir, muncul Pajang. Muncul Panembahan Senopati, lalu Amangkurat, baru muncul Paku Buwono (PB). Selalu digaris bawahi yang tertua. Sedangkan PB XII itu bukan anak tertua. Ia anak yang paling kecil. Hanya yang menetapkan beliau menjadi PB XII adalah Presiden Bung Karno. Itu era kemerdekaan. Era sebelumnya, harus mendapat persetujuan dari Belanda. Dulu penguasa di tanah Jawa pada khususnya adalah Belanda. Jadi kerangka berpikir itu harus menjadi acuan.

2. Bagaimana kondisi keraton saat ini?

Suksesi tahun 2004 lalu dimaknai juga harus patuh kepada angger-angger, juga yang tertua. Bila ingin berpikir secara mendalam, itu bisa dipertahankan tapi juga tidak bisa dipertahankan. Artinya bila angger-angger berada dalam posisi yang lemah, yang tidak memiliki visi ke depan sama sekali, tinggal menuju kehancuran saja. Kalau mau melihat dari tahun 2004 sampai 2014, apa yang terjadi di keraton? Itu kan sudah perpecahan. Tapi jangan ditujukan sasaran kepada saya, orang harus dibuka semua matanya. Karena saya sudah melakukan rekonsiliasi dengan PB XIII. Sekarang saya tidak pakai PB XIII, tapi Panembahan Agung (PA). Hikmahnya delapan tahun itu, bila melihat keraton terus seperti ini, hancur keraton ini. Maka pemerintah dalam hal ini memandang perlu saya perlu mengalah. Jadi yang muda mengalah, yang tua merangkul untuk perbaikan masa depan keraton. Tapi, saat saya dan Mas Behi sudah baikan, muncul namanya Koes

xvi Moertiyah, adik dari Mas Behi sendiri. Publik sudah tahu semua, tapi nama Tedjowulan yang selalu dikait-kaitkan sampai detik ini, dan itu dibentuk opini. Kalau mau jujur, siapakah yg mendesain? Ya menantu-menantunya itu, tidak perlu disebutkan pasti sudah tahu semua. Dan Sinuhun PB XIII itu tidak bisa berbuat apa-apa. Karena sudah berbeda, Mas Behi merasa raja tidak bisa ditentukan oleh siapapun juga. Karena dia mengikrarkan diri, menyatakan dirinya sebagai raja. Tetapi dari saudara-saudara kandungnya itu, mengatakan jadi raja karena dari saya. Kapan ketemunya? Jadi sudah berebut kekuasaan. Siapa? Antara Moertiyah dan Mas Behi. Yang saya heran, sinuhun kadang muncul keberaniannya, kadang lemah. Ketegasan dan keberanian ada, tapi hanya bersifat kontemporer. Jadi tidak betul-betul tegas. Raja tidak bisa seperti itu. Saya tidak bermaksud merendahkan siapapun juga. Tapi bila cara pengelolaannya seperti itu, dimotori yang bukan haknya, oleh para menantu, kapan mau selesainya?

3. Mengapa keraton bisa sampai seperti itu?

Karena manajemen tidak baik. Kenapa manajemen tidak baik, karena pemimpin tidak baik. Karena ada planning, organizing, actuating, budgeting, controling. Itu tidak jalan semuanya. Kenapa tidak jalan, karena tidak ada leadership. Leadershipnya apa, sabda pandhita ratu. Semua ucapan raja adalah titah, peraturan, undang-undang. Itu tidak terlaksana. Kenapa tidak terlaksana, karena sudah kehilangan kewibawaan serta kehilangan kepercayaan. Kasarnya, tidak berkemampuan. Dan misalkan didukung oleh semuanya, adik-adiknya dan semuanya, itu bisa berjalan. tetapi sekarang kan tidak, bertentangan. Sehingga bertanya, keadaan apakah seperti ini? Dulu saya yang disalahkan, karena Tedjowulan dan Tedjowulan. Sekarang?

Lalu saya diminta mengalah oleh pemerintah, yang muda mengalah, yang tua merangkul sehingga terjadi kerukunan. Kalau melihat kerajaan-kerajaan zaman dahulu hancur karena ketidakrukunan. Faktornya dari mana, dari dalam. Lalu sekup nasional, hancurnya NKRI, juga dari dalam. Pun pasti ada orang dari luar. Faktor X orang ketiga itu pasti ada. Kesimpulannya, pemerintah tetap harus

xvii berperan di dalam keraton. Karena punya hak dan undang-undang. Kalau saya presiden, sudah saya usir itu Lembaga Dewan Adat. Sampai semua beres. Jika sudah, silakan duduki keraton lagi. Tapi pemerintah kan punya tata krama, punya pancasila, punya kebhinekaan, punya budi pekerti. Sehingga dipolitisir ini masalah internal dan keluarga. Tapi internal keluarga tidak bisa apa-apa. Bilang tidak perlu dana tapi toh minta juga. Kekuasaan mana? Pada pemerintah. Bisa dibandingkan pemerintah sekarang seperti apa, pemerintah di keraton seperti apa. Kalau sudah melihat intern dan ekstern yang berada di keraton seperti itu, saya menyimpulkan lebih baik tidak usah ikut saja. Sehingga saya mendirikan Forum Silaturahmi Keraton Nusantara. Saya ketua umumnya, mengacu pada budaya- budaya yang berada di NKRI. Karena benteng dari NKRI adalah budaya. Itu pun masih perlu perjuangan.

4. Mengapa Gusti Tedjo memiliki motivasi untuk menjadi raja?

Pasca PB XII meninggal, saya yang memimpin rapat, terhitung lima kali rapat. Saya menetapkan sementara, mengajak saudara-saudara saya berembuk, ini yang menjadi raja siapa? Bicara angger-angger, angger-angger itu ditetapkan oleh raja yang menduduki saat itu. Dan secara filosofi yang tertua, tertua, dan tertua. Akhirnya saya mengusulkan Mas Behi saja, dan itu ditolak. Baik secara lahiriah maupun secara tertulis. Semua putra/i PB XII menolak, kecuali saudara Hangabehi sendiri. Juga sentana dalem, hampir 90% menolak. Abdi dalem, menolak. Akhirnya saya diminta maju untuk menyelamatkan keraton. Ada surat perintahnya dari Pengageng Sentana Dalem, Pengageng Parentah Keraton, dan Pengageng Parentah Keputren. Lembaga itu sudah ada sejak PB X, sah jika secara hukum. Dan bila menuntut secara hukum nanti akan ramai. Ini pun dipolitisir oleh semua orang, seolah yang benar itu mereka. Dan sekarang apa yang terjadi di keraton sudah terlihat bagi orang yang sadar, masalahnya berani atau tidak media menulis.

xviii 5. Adakah usaha-usaha dari Gusti Tedjo untuk meredakan perseteruan akhir-akhir ini, terutama antara PB XIII Hangabehi dengan Lembaga Dewan Adat?

Berbicara masalah keraton itu tiga: Histori, spiritual, dan religi. Dan kalau keraton dipimpin oleh orang yang tidak berkualitas bila dihadapkan pada situasi dan kondisi saat ini, apa lagi 10 tahun ke depan, habislah keraton. Kalau sudah habis, pemerintah akan ambil alih. Kalau diambil alih, yang rugi siapa? Semuanya rugi. Walaupun bukan berarti pemerintah itu jelek, tapi menyelamatkan keraton. Dan saya sudah menyerahkan surat kepada Mas Behi, mengajak Mas Behi membuat rencana-rencana ke depan. Kata Mas Behi, kita bicarakan saja dulu dengan saudara-saudara yang lain. Tapi kenyataannya beda, dan orang sudah tahu kelakuan saudaranya bagaimana. Jadi kejadian keraton tidak direncanakan seketika, tapi sudah dari dulu. Dan saya tidak bisa mengatasi itu seketika dikarenakan saya dinas di militer. Sekarang tinggal tunggu saja. Yang saya renungkan kalau PB XIII ini meninggal. Dan saya tidak akan ikut campur lagi, karena saya sudah cukup banyak memberikan masukan pada kakak saya PB XIII, solusi apa yang harus dijalankan dan harus dicari. Tapi sampai detik ini terjadi kemandegan. Karena terjadi kemandegan seperti itu, saya tidak mau dituduh penyebab ini semuanya. Orang biar lihat yang sesungguhnya terjadi. Saya sudah memberikan masukan-masukan apa yang harus dilakukan sampai masa yang akan datang di tahun 2025 karena ada kontak dengan pemerintah terkait rekonsiliasi berkenaan dengan bangunan dsb. Itu yang mesti harus disiapkan. Semua bisa menjadi raja, tapi yang bagaimana? Visinya apa? Kalau berpikir sekup yang lebih mendalam lagi, ini akan terjadi perubahan yang sangat besar.

6. Apakah peristiwa yang melanda keraton saat ini murni dimotori oleh aktor-aktor tertentu atau ada isyarat dari alam?

Secara spiritual, keadaan yang terjadi akhir-akhir ini, Gempa Jateng, Merapi meletus, memang alamiah. Semua juga alam. Tapi kenapa beruntun? Dari mulai sekup yang kecil sampai yang besar. Bagi orang yang beriman, itu adalah isyarat.

xix Jadi intelektual, spiritual, dan emosional raja dituntut untuk peka. Bicara masalah alam, harus spiritual. Karena itu hal yang gaib, tetapi spiritual juga harus menyatu dengan intelektualitas. Nama Mangkunegaran, Pakualaman, Hamengku Buwono, dan Paku Buwono jangan dilihat sebagai manusianya. Nama itu harus dikaji dan diambil filosofinya secara spiritual.

7. Berbicara mengenai Lembaga Dewan Adat, bagaimana Lembaga Dewan Adat bisa berdiri?

Lembaga dewan adat itu tidak ada, harusnya sinuhun PB XIII menolak. Lembaga dewan adat adalah ormas, tapi ada undang-undangnya di Kesbangpol. Yang mendirikan adalah Koes Moertiyah. Beberapa orang punya visi dan punya program, mengajukan dana ke pemerintah, itu Lembaga Dewan Adat. Kalau luar Jawa namanya Lembaga Adat. Mungkin karena adik-adiknya anggota dewan jadi seolah-olah yang menentukan raja adalah mereka. Lembaga Dewan Adat bisa ditiadakan jika sinuhun mau. Sekarang tinggal bagaimana sinuhunnya. Jika benar berlindung kepada saya, harus dikerjakan sama-sama.

8. Sebenarnya, seperti apa sosok PB XIII itu?

Saya punya kakak dan pengganti ayah, sebagai raja dia itu tidak sehat. Salah satu kelemahan yang paling menonjol adalah sabda: ucapan. Dan sinuhun ini sakit, ucapannya kadang-kadang dipahami kadang tidak. karena sakit, ia tidak bisa disegani ucapannya.

9. Bagaimana dengan keaslian surat wasiat PB XII?

Surat wasiat PB XII adalah palsu dan bohong-bohongan semua, dalangnya ya menantu-menantunya itu. Selama keraton tidak dijalankan dengan ikhlas dan kejujuran, keraton akan seperti itu. Keraton harus bersih dari politik dan akal- akalan. Jika prinsip manunggaling kawula gusti dijalani, tidak akan pernah terjadi hal-hal seperti itu. Karena kawulanya sudah kurang ajar semua sama raja. Dari sisi agama, kok bisa tunggal bapak tunggal ibu bertengkar? Apakah di dunia ada seperti itu? Banyak. Anak dibunuh dll. Karena keraton pusat kebudayaan dsb,

xx dianggap hal yang aneh. Hal yang tabu. Tapi manusia ya sama. Hanya kebetulan dilahirkan di situ. Harusnya manusia yang ada di keraton itu muncul tingkat kesadaran yang tinggi. Kalau sudah begitu akan mendapat pencerahan. Sehingga saya tidak lagi pakai PB XIII, tapi Panembahan Agung, yang memiliki makna hanya menyembah kepada Tuhan YME. Tetapi visi lahiriahnya adalah sinkritisme.

10. Terakhir, untuk kemajuan keraton ke depan, apa yang harus dilakukan oleh seluruh keluarga keraton?

Zaman ini secara spiritual Jawa adalah zaman kalabendu, zaman edan. Dan kita akan lepas dari zaman yang serba susah ini kalau kita mendapat seorang raja dan ratu yang benar. Kalau tidak kita tidak akan lepas dari zaman kalabendu. Dan kita bisa dikangkangi oleh negara lain. Ini ujian terakhir pada tahun 2014. Sama dengan keraton, salah memilih, habis. Negara lain, Jepang, pemimpinnya disiapkan dulu jadi Angkatan Laut. Dari kata ing alaga itu kan pemimpin perang, berarti kan panglima terdepan. Kalau mengatasi ini saja kok tidak bisa selesai, dan saling menyalahkan, ini yang akan tambah rusak. Raja-raja di tanah Jawa ini makanya mesti didampingi kaum spiritual. Raja Islam oleh ulama. Itu syarat kehidupan. Historis, spiritual, dan religi.

Sementara ini, keraton terjadi kemandegan lagi. Semua hanya bisa menunggu. Kecuali sinuhun sadar memanggil saya. Kalau tidak ya tidak. Nanti saya dikira ambisius. Jadi beban akan lebih kepada PB XIII, saya sudah merdeka. Harusnya beliau didampingi oleh guru spiritual. Bukan kerangka pribadi, tapi yang memahami spiritual keraton.

xxi Wawancara dengan KGPH Puger

1. Apa Pandangan Gusti mengenai ketetapan adat?

Dalam sejarah, aturan perjanjian raja dan pejabat, penasbihan putra-putri, sentono, itu ada aturannya. Angger-angger, aturan, hukum adat, itu sudah ada dan berjalan secara alami. Analoginya tidak perlu ditulis berupa rambu-rambu bahwa lampu hijau harus berangkat dan merah berhenti. Dan itu berjalan. dan perjalanannya dari awal, di nusantara ini, dulu adanya suku. Kalau buka di dalil, aku ciptakan kamu bangsa dan suku. Nusantara belum ada bangsa Indonesia. Suku ini adalah keputusan Allah, tidak ada dalil yang mengatakan keputusan Allah kalah dengan keputusan manusia. Negara indonesia sendiri adalah keputusan manusia, aklamasi membentuk sebuah negara. Dulu suku, kemudian bermetamorfosa. Di situlah ada yang disebut darah biru dan bangsawan. Ketika suku memilih kepala suku, anak turun keturunan kepala suku inilah yang ada sampai sekarang menjadi ratu dan raja adalah metamorfosa yang disebut kelompok darah biru yang ditasbihkan untuk bangsa ini. Bangsawan yaitu orang yang peduli, peduli kepada suku atau bangsa. ketika orang peduli, hartawan, cendikiawan, dermawan, relawan, adalah orang yang peduli. Jika bangsawan tidak peduli pada bangsa, ia bukanlah berdarah biru. Kebanyakan dari darah biru ini, dididik untuk peduli. Maka banyak darah biru menjadi bangsawan. Dan banyak menjadi pahlawan (super bangsawan). RA Kartini darah biru, dia bangsawan (peduli) juga pahlawan. Bangsawan juga bisa disematkan kepada peneliti, karena peduli terhadap ilmu. Tapi kebanyakan semua itu bisa disebut bangsa karena ia peduli terhadap keberadaan bangsa ini sendiri. muncullah aturan-aturan dan kesepakatan dari kepala suku yang turun-temurun itu. Agar yang peduli-peduli tadi bisa ditempatkan di grade-grade sesuai kemampuannya dan berdasarkan tingkat pengabdiannya.

Masa-masa dulu begitu, maka terjadi pertempuran antar suku. Jadi sejak abad ke 7, lalu abad ke 14 Zaman Majapahit, lalu Zaman Pajang, Mataram, dan pertengahan abad ke 18 ketika zaman Kartasura, undang-undang kerajaan sudah

xxii di amandemen, agar proses pengangkatan raja bisa berjalan mulus. Belum lagi masuknya VOC sehingga terjadi kepentingan politik. VOC mulai membuat wilayah Nusantara wilayah Blok Barat. Biarpun secara de facto VOC bekerjasama dengan sultan dan raja. Lalu bagaimana posisi raja dan sultan saat blok barat dan blok timur berseteru? Maka Belanda saat itu mengunci sultan supaya pandangannya hanya satu, ke Belanda. Secara de facto, memang ada kontrak kerja sama. Ketika perjanjian itu terjadi, maka rasanya Raja Mataram ini ada penasbihan berasal dari Belanda. Padahal tidak. Itu hanya memastikan raja dan sultan ini yang melanjutkan tampuk kepemimpinan. Sehingga dipastikan kerja samanya jalan. Jadi bukan penasbihan, tapi kerja sama. Namun karena kelicikan Belanda, dikurangi bahkan ditambah-tambahkan bagiannya, munculah opini bahwa Belanda itu penjajah. Namun sebetulnya tidak ada penjajahan, tapi Belanda selangkah lebih maju dari keraton. Penjajahan hanya move, karena ada Blok Barat dan Blok Timur. Akhirnya sistem diamandemen, bupati dan calon raja harus dimagangkan. Magang pun ada simbol-simbol lama, sampai terakhir yang ada di keraton, ada simbol yang tertua itu Hangabehi, atau dimagangkan dengan simbol putra permaisuri. Itulah bentuk-bentuk aturan yang tidak perlu ditulis lagi. Dan itu sudah menjadi simbol, bahwa putra raja harus diambil dari permaisuri. Ada yang istrinya banyak tapi dipermaisurikan. Kalau permaisuri punya anak laki-laki, maka anak laki-laki yg memiliki simbol anak lelaki tertua tadi gugur. Tapi kalau permaisuri tidak memiliki anak laki-laki, diambillah anak tertua dari raja itu. Meskipun itu anak dari garwa yang ke sekian, asal ia yang tertua, ialah yang pantas menjadi raja. Dan harus laki-laki. Mengapa laki-laki? Karena ini adalah Kerajaan Islam. Wali harus laki-laki. Anak tertua dari raja. Entah dari istri ke berapapun yang lahir tertua laki-laki dialah yang berhak. Dan itu sudah menjadi tatanan rambu-rambu, bilamana tidak ditulis, orang-orang sudah harus mengerti, itulah proses suksesinya.

Dulu, yang punya grade tua itu biasanya dinaikkan menjadi Pangeran Hangabehi. dulu dalam gelarnya ada nama Adipati KGPA karena memiliki wilayah, sekarang karena sudah tidak ada wilayah, maka bergelar KGPH.

xxiii Kadipaten dulu punya wilayah kekuasaan, ada abdi dalem, dsb. Banyak ahli sejarah dan ahli sastra keluaran dari kadipaten, contohnya Ronggowarsito. Lalu kenapa keraton harus sampai dikorbankan oleh Blok Barat dan Timur? Keraton kan punyanya adat, orang Jawa.

2. Pendapat Gusti terhadap ketiga pengageng yang mendeklarasikan Tedjowulan?

Itu adalah suatu pelanggaran. Walaupun PB XII memiliki wasiat sekalipun, tidak bisa dipenuhi karena cacat hukum. Misalnya ia ingin anak keduanya saja yang mendapat warisan, itu tidak bisa. Dalam agama jelas melanggar, karena tidak adil membagi warisan. Pakubuwono XII memiliki kakak laki-laki yg lebih tua, tapi dari garwa selir. Karena PB XII berangkat dari permaisuri. Harusnya pemerintah memanggil dan mencari ahli untuk mempelajari wawasan mengenai aturan itu, sehingga tidak ada yang melanggar ketentuan adat.

Mudah-mudahan yang menyimpang tadi disadarkan. Tidak boleh lupa dengan keputusan-keputusan Allah, apalagi dilanggar. Kalau tidak ada jalan keluar, kembalilah pada dalil.

3. Bagaimana situasi Keraton Surakarta Hadiningrat ketika Indonesia baru merdeka?

Setelah dipastikan bergabung, raja ditasbihkan menjadi kepala daerah, maka dibentuklah Daerah Istimewa Surakarta. Namun karena terjadi masalah politis lagi, sehingga terjadi pembunuhan, penculikan, dari pada lebih banyak korban lagi, lebih baik diamankan dulu.

4. Apakah benar legenda yang menyebutkan PB XII tidak boleh berpermaisuri karena menuruti wasiat ibundanya?

Legenda Ratu Paku Buwono memang berwasiat PB XII tidak boleh berpermaisuri memang dibenarkan, tapi bisa juga dikatakan Paku Buwono XII menjaga perasaan ibundanya sendiri, bila ia nanti mengambil permaisuri saat beliau masih hidup. Jadi ia mengorbankan dirinya untuk tidak berpermaisuri. Tapi

xxiv simbol pengangkatan itu ada, ketika ibu Hangabehi meninggal, iringan penghormatan menggunakan iringan permaisuri (monggang). Karena sudah ada aturannya juga untuk pengiringan jenazah. Tidak ada wasiat apa-apa, karena itu sudah peraturan tak tertulis.

5. Apakah di keraton sudah ada unsur demokrasi?

Dulu ada, di masa PB X. Keraton sudah memiliki Bale Agung, DPRnya keraton. Ada tokoh agama, tokoh masyarkat, cendekiawan, dan politisi. Juga ada rapat pleno di pagelaran, rakyat sudah bisa masuk.

6. Lalu mengapa terjadi penobatan-penobatan?

Itulah pelanggaran-pelanggaran oleh orang yang telah hilang kesadaran, mereka sudah berani mengamandemen ketetapan-ketetapan Allah.

xxv Wawancara dengan GPH Dipokusumo

1. Bagaimana struktur pemerintahan keraton di era demokratisasi sekarang ini?

Kini, secara struktural, keraton dikelola oleh 3 elemen: Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Parentah Keputren, dan Pengageng Sentana Dalem. Dahulu, ada 9 elemen, diantaranya ada Papatih Dalem, Penghulu Keraton, dan Prajurit. Kini, prajurit memang masih ada, tapi hanya sebagai kerangka budaya.

2. Bagaimana seharusnya keraton mengadakan suksesi?

Mengenai suksesi, seorang raja harus mengangkat putra mahkota yang lahir dari permaisurinya untuk meneruskan kekuasaan ayahnya. Hanya masalahnya, apakah anak raja dari permaisuri memiliki keterwakilan seorang anak laki-laki? Suatu contoh, di Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X berencana mengangkat adiknya sebagai pengganti jika nanti ia wafat, karena semua anaknya perempuan, tidak ada satu pun seorang lelaki.

Di Keraton Surakarta, PB XII tidak mengambil seorang permaisuri. Munculah subyektivitas melalui hukum-hukum yang tidak tertulis dengan apa yang disebut angger- angger. Suksesi yang dilakukan hanya merujuk pada catatan sejarah zaman-zaman sebelumnya, tidak ada fatwa tertulis mengenai pengangkatan yang resmi. Dalam struktur kelembagaan perangkat keraton, seorang permaisuri harus ada. Alasan internalnya, karakteristik sistem pemerintahan dan tradisi adat keraton yang turun menurun. Sedangkan alasan eksternalnya, sistem keraton yang ada di seluruh dunia, monarki konstitusional.

3. Benarkah wasiat yang dibacakan oleh saudara-saudara kandung Hangabehi adalah wasiat langsung dari PB XII?

Mengenai surat wasiat, Pihak Tedjowulan tidak percaya, karena pihak Hangabehi tidak bisa membuktikan. Dan penggunaan anger-angger untuk memperkuat legitimasi anak selir tertua, juga bukan hal yang tepat. Karena dari wasiat Kangjeng Ratu Paku Buwono dahulu, larangan kepada PB XII untuk tidak berpermaisuri sudahlah tersirat, keraton harus menyatu dengan alam modernisasi. Apa lagi, PB XII sendiri tidak berpesan

xxvi apa-apa mengenai siapakah penggantinya kelak. Maka, secara adat Hangabehi telah melanggar ketentuan tak tertulis yang sebenarnya harus dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat keraton. Yaitu, mengambil sebuah keputusan mengenai masa depan keraton dengan jalan musyawarah. Seluruh putra-dan putri dari garwa selir tanpa terkecuali. Dalam hal ini, ketiga pangageng yang merupakan lembaga paling bertanggung jawab dalam mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan administrasi keraton, harus mengambil tindakan preventif yang dapat merangkul semua pihak.

4. Lalu apakah tindakan menobatkan secara langsung Tedjowulan merupakan tindakan yang dapat dibenarkan? Mengapa sampai muncul nama Tedjowulan?

Satu tahun sebelum PB XII wafat, Gusti Haryo Mataram, putra dalem PB X, yang juga mantan rektor UNS, pada saat itu acara dies natalies UNS, ditanya oleh wartawan: Siapakah yang pantas menggantikan PB XII? Yang jadi tentara itulah yang pantas, yang tak lain adalah Tedjowulan. Sebuah ungkapan subyektif. Didengar PB XII. Ada sebuah pengertian, panglima tertinggi adalah tentara. maka ialah yang berhak memimpin pemerintahan keraton dengan menjadi raja. Didukung oleh rakyat dan pecinta budaya.

5. Lalu mengapa ada nama Hangabehi?

kembali pada angger-angger, karena ia anak lelaki tertua. Namun tidak semua Hangabehi (anak lelaki pertama) menjadi raja. Kakak PB XII juga bernama Hangabehi. tetapi adiknyalah yang menjadi raja.

6. Apa pendapat Gusti mengenai Biworo yang menetapkan Hangabehi menjadi putra mahkota sebelum akhirnya menjadi PB XIII?

Biworo KGPAA yang disampaikan itu tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Selain tanpa ada persetujuan dari saya dan dua pengageng lainnya, biworo itu secara tak langsung telah memutus mekanisme musyawarah di tingkat keluarga yang terus digelar.

7. Lalu alasan ketiga pengageng mengangkat Tedjowulan?

Ketiga pengageng merenungi betul wasiat seorang putra dari PB X, Gusti Haryo Mataram. Seorang intelektual, Mantan Rektor UNS, guru lemhanas, paman PB XII. Juga

xxvii menampung aspirasi dari seluruh sentana dalem. Apalagi tedjowulan seorang kolonel, yang secara gradual kepemimpinan sudah memenuhi.

8. Lalu jika yang didukung Tedjowulan, mengapa Hangabehi yang lebih kuat?

Karena selama ini Hangabehi tinggal di keraton. Sedangkan Tedjowulan di luar keraton. Jika Tedjowulan mencoba menerobos, maka akan terjadi konflik. Jika konflik, akan terjadi korban. Jika terjadi korban, yang berlaku adalah hukum negara. Karena keraton bagian dari negara.

9. Benarkah Hangabehi pernah terlibat kasus Child Traficking?

Pernah ada kasus child traficking yang dilakukan oleh Hangabehi, dan itu dibenarkan oleh Tedjowulan. Sebenarnya bisa dijadikan bargaining oleh kubu Tedjowulan untuk memperkuat kekuasaannya, tapi tidak dilakukan. Karena itu adalah aib, dan tidak akan digunakan demi kekuasaan. Biarlah proses hukum yang berjalan, tapi tidak perlu dipermalukan.

10. Apa yang sesungguhnya terjadi di internal keraton terkait rekonsiliasi pada tahun 2012 lalu?

Pihak pemkot melalui Joko Widodo sudah melakukan rekonsiliasi, tetapi pihak Koes Moertiyah tidak percaya. Surat dari Menteri Dalam Negeri dianggap palsu yang memutuskan hangabehi sebagai raja dan Tedjowulan sebagai wakil.

11. Apa saja komponen utama dari Keraton Surakarta Hadiningrat?

Keraton ada 3 hal, yaitu fisik, upacara, dan perawatan benda-bendanya. Secara fisik sudah tidak utuh lagi. Rumah-rumah bukan lagi milik keraton. Akhirnya mereka para abdi dalem hidup di luar keraton, meski ada sebagian yang masih bertahan karena loyalitas. Tiap tahun keraton mendapat 300 juta rupiah dari pemkot dan 1,2 Miliar dari Pemda. Namun biaya yang tertera tidaklah cukup untuk membiayai seluruh kegiatan keraton yang rutin per hari, per minggu, per bulan, per tiga bulan. Seperti kegiatan besar seperti Sekaten, Selikuran, Upacara Suro, Grebeg pasa, dan lain-lain. Untuk budaya memang besar, tapi sudah diperingatkan oleh budayawan, jika sampai hilang, untuk menghidupkan kembali lebih mahal. Akhirnya kerabat-kerabat berkontribusi. Sempat ada wacana bantuan dari pemerintah pusat, tapi meminta manajemen dibenahi dulu. Dan

xxviii sejak tahun 2012, bantuan mandeg karena pihak keraton tidak bisa memberikan pertanggungjawaban.

12. Mengapa pada akhirnya Tedjowulan mengalah?

Karena dalam Islam, seseorang harus berani merendahkan diri dan mengalah untuk menang. Selain itu juga menjadi momentum agar Tedjowulan dapat kembali ke dalam keraton.

xxix Wawancara dengan Mulyanto Utomo

1. Apa sebab timbulnya dua raja di Keraton Surakarta Hadiningrat?

Konflik itu karena kepentingan perebutan kekuasaan. PB XII belum menyiapkan putra mahkota, walaupun versi Gusti Mung (GKR Koes Moertiyah) sudah, yaitu anak tertua. Disamping ingin menguasai keraton, dalih mereka raja itu harus dari anak tertua. Tapi menurut Tedjowulan, tidak mampu jika Hangabehi yang jadi raja. Dari sisi intelektual, pengelolaan, dan karakter dianggap tidak mampu, karena Tedjowulan adalah seorang tentara, dan ini dianggap mampu. Inilah yang menjadikan konflik. Yang satu merasa mempunyai hak, Tedjowulan pun merasa punya hak, bila ditinjau dari kemampuannya. Tedjowulan akhirnya dalam tanda kutip mau mengalah. Meskipun dalam kubu Hangabehi akhirnya juga terjadi konflik, dari adik-adiknya, yaitu ingin menguasai. Gusti Mung ingin mengatur segalanya. Sejak PB XII masih hidup, ia terus mendampingi. Gusti Mung mempunyai kekuasaan yang kuat, legitimasi kepada abdi dalem pun kuat. Dan rumor yang berkembang sebelum PB XII wafat, yang didukung dan dinobatkan adalah Tedjowulan. Tedjowulan layak dalam memimpin, tapi menurut Gusti Mung bukan dalam adat keraton.

2. Berapa persen pihak sentana dalem dan abdi dalem yang mendukung Tedjowulan?

Persentase yg mendukung Tedjowulan itu 90%, bahkan Hangabehi sendiri kini berlindung pada Tedjowulan. Tedjowulan patihnya. Bisa diprediksi nanti Tedjowulan akan memiliki kemungkinan untuk menjadi raja.

3. Apa saja tugas pokok raja untuk masa sekarang ini?

Tugas pokok sebagai seorang raja sebagai pemangku adat saja di lingkungan keraton, tidak sampai keluar.

4. Kekuatan Keraton Surakarta Hadiningrat pada saat ini?

xxx Keraton Surakarta Hadiningrat pada kala itu sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi politik bangsa. Maka harus dilestarikan. Bahkan Keraton Surakarta Hadiningrat sangat berpengaruh bagi Belanda. Koran pertama kali ada di Solo. Demikian PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), terbit di Solo. Budi Utomo juga lahir di Solo. Salah satunya karena kekuasaan keraton saat itu. Menjadi pusat kerajaan yang luar biasa. Ketika kemerdekaan hilang, kekuasaannya hilang, sehingga kini hanya sisanya. Sisanya itulah kini yang disebut budaya adiluhung (luar biasa). Kebudayaan orang Jawa dan perilakunya paling tidak ada hubungannya dengan keraton masa lalu. Pengaruh itu yang harus dipertahankan, nguri-nguri (lestari). Keraton kini hanya simbol, pernah ada sebuah wilayah kerajaan pada masa lalu.

5. Benarkah Pemerintah Kota Solo untuk sementara menghentikan dana hibah karena Gusti Mung yang tidak transparan dalam mengelola dana hibah?

Pemerintah memberikan dana meskipun itu hibah, harus ada pertanggungjawaban dan laporannya. Laporan itu sudah ada alurnya. Mungkin Gusti Mung tidak bisa memberikan laporan seperti itu. Atau pemerintah bingung, ini mesti diberikan kepada siapa, karena ada dua raja. Akhirnya pemerintah menghentikan alokasi dana hibah untuk sementara waktu guna keraton memperbaiki manajemennya terlebih dahulu.

xxxi LAMPIRAN 5: Foto-foto Penulis Bersama Narasumber

Wawancara penulis bersama KGPH PA Tedjowulan di Hotel Kartika Chandra, 28 Januari 2014.

xxxii Wawancara penulis Bersama KGPH Puger di Sasana Pustaka Keraton Surakarta Hadiningrat, 20 Januari 2014.

xxxiii Wawancara penulis Bersama GPH Dipokusumo di Sasana Mulyo Keraton Surakarta Hadiningrat, 18 Januari 2014.

xxxiv Wawancara penulis bersama Mulyanto Utomo, Redaktur Senior di Kantor Harian Solopos, 21 Januari 2014.

xxxv