Mengadili Korban Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
MENGADILI KORBAN PRAKTEK PEMBENARAN TERHADAP KEKERASAN NEGARA Samuel Gultom ELSAM 2003 Judul: Mengadili Korban, Praktek Pembenaran terhadap Kekerasan Negara Penulis: Samuel Gultom Pengantar: Prof. Soetandyo Wignjosoebroto Tim Studi: Samuel Gultom dan Amiruddin Pembaca Naskah: Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dan Eddie Riyadi Terre Editor: Irawan Saptono Layout: Cover Design Cetakan Pertama: Agustus 2003 Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia selain sebagai bagian dari upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Telp.: 021 – 797 2662; 7919 2564. Faks: 021-79192519 Email: [email protected] Website: www.elsam.or.id ISBN: Pencetak dan Distributor: Insist Press Yogyakarta Daftar Isi Bab I Pendahuluan 1 Bab II Negara, Kuasa dan Hukum: Konteks Politik Praktek Pembenaran 12 Bab III Anatomi Praktek Pembenaran 32 Bab IV Pengadilan Kasus G 30S: Prototipe Praktek Pembenaran 46 Bab V Perkara-Perkara Subversi di Masa Orde Baru 58 Ban VI Dari Kriminalisasi Politik Hingga Perkara Perdata 93 Bab VII Penutup 111 Daftar Pustaka 117 PENGANTAR PENERBIT Buku ini, yang merupakan “kompilasi” peradilan-peradilan sesat di zaman Orde Baru, berusaha menunjukkan kenyataan bahwa hukum telah disalahgunakan oleh penguasa untuk mengadili musuh-musuh politiknya. Semua perangkat hukum, undang-undang, sistem pengadilan dan sebagainya diciptakan, didayagunakan sedemikian rupa untuk membunuh gerakan demokrasi dan gerakan politik yang tidak disukai rezim, sekadar untuk menunjukkan bahwa kesewenangan rezim sah adanya, karena tindakan-tindakan anti demokrasi itu dilegitimasi pengadilan. Atau dengan kata lain, merupakan praktek pembenaran oleh penguasa. Sangat tepat jika buku ini diberi judul Mengadili Korban, karena sejak rezim Orde Baru muncul, para korban dari situasi politiklah yang selalu diadili di muka pengadilan, bahkan dikucilkan di kamp-kamp tahanan tanpa diadili. Ironis, bahwa korbanlah yang diadili, bukan pelakunya, karena pelakunyalah yang empunya hukum dan kekuasaan. Para korban sudah berusaha membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dan memang demikian adanya, namun para hakim Orde Baru kebanyakan tidak mau mendengar, dan memutuskan perkara yang sudah ditentukan bahkan jauh sebelum sidang pengadilan digelar. Suara kritis dan kritik dianggap kejahatan oleh rezim, apa yang kemudian disebut kriminalisasi politik. Ini semua merupakan salah satu bentuk kekerasan negara yang dalam buku ini diartikan sebagai tindakan rezim ketika penggunaan kekerasan melalui instrumen represi dilakukan di luar kewenangan negara. Kompilasi peradilan-peradilan politik yang sesat ke dalam sebuah buku, menjadi amat penting, untuk melihat kembali sebuah periode yang dalam sejarah negeri ini yang buram di bawah rezim yang jahat. Pada hakikatnya, buku ini berusaha menyusun kembali apa yang selama ini sudah mulai dilupakan orang: kediktatoran rezim Suharto. Di bawah rezim ini, anak-anak muda yang kritis ditangkapi, ditahan, diadili dan dipenjara. Musuh rezim Soeharto adalah anak-anak muda, dari Peristiwa Malari (1974), hingga kasus Suara Independen (1995), dari Peristiwa ITB, aksi menentang pemerintah (1989) hingga kasus pengkambinghitaman para aktivis Partai Rakyat Demokratik. Tentu saja, yang paling tidak bisa dilupakan adalah kekerasan negara kepada para pengikut Partai Komunis Indonesia. Akhirnya, agar tidak bermaksud menggurui pembaca, kami ucapkan selamat membaca dan mudah-mudahan bisa menentukan sikap dan langkah. (IS) Jakarta, Agustus 2003 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) KATA PENGANTAR Oleh Profesor (Emeritus) Soetandyo Wignjosoebroto Buku yang tengah disajikan dan dipujikan berikut ini adalah sebuah buku yang lahir dari tangan seorang peneliti muda, Saudara Samuel Gultom. Buku telah diberi judul “Mengadili Korban” oleh penulisnya, suatu judul yang sepertinya hendak dengan jelas menggambarkan sering terjadinya peristiwa ironis di negeri ini. Betapa tidak hendak dikatakan ada ironi di sini, mengingat kenyataan bahwa di negeri ini justru para korban yang dilanggar hak-haknya itulah yang sering diadili di depan sidang pengadilan politik atau di depan umum, dan bukan sang pelanggar hak. Di sinilah letak permasalahannya, mengapa kenyataan seperti itu dapat terjadi. Tidakkah di sini telah terjadi interpretasi-interpretasi yang keliru – atau setidak- tidaknya yang sungguh berselisih – mengenai pengertian hak? Haruskah pengertian ‘hak’ itu diterima lebih luas dari semestinya, ialah meliputi juga segala ‘kewenangan para pejabat pemerintahan untuk melakukan kontrol-kontrol terhadap warga yang (kalau perlu!) banyak menggunakan sarana pemaksa’? Ataukah apa yang disebut ‘hak’ itu harus tetap didefinisikan secara terbatas, ialah sebagai ‘norma in concreto yang membenarkan tuntutan atau gugatan warga negara untuk memperoleh jaminan akan kebebasannya berusaha dan berupaya demi terealisasinya kesejahteraan di dalam hidupnya’? Dalam kehidupan bernegara bangsa yang bernuansa otokratik, di mana fungsi kontrol akan lebih dominan dan lebih bermakna daripada fungsi kebebasan warga, tak pelak lagi penindakan-penindakan terhadap warga -- dengan dalih bahwa mereka ini telah melanggar peraturan hukum (yang dimaknakan sebagai pelanggaran terhadap hak publik) – akan lebih acap terjadi. Penggusuran pedagang-pedagang kaki lima adalah salah satu contohnya. Di sini para PKL ini akan disudutkan sebagai pelanggar hak kewenangan pemerintah kota, yang – berdasarkan aturan perundang-undangan yang telah dibuatnya – merasa di pihak yang benar untuk bertindak menertibkan dan menjaga kebersihan kota. Akan tetapi, diwawas dari perspektif lain yang lebih bernuansa demokratik, ialah wawasan yang hendak melihat hukum lebih sebagai norma-norma responsive yang fasilitatif daripada sebagai kaidah-kaidah control yang represif , penindakan- penindakan dengan kekerasan “demi terjaganya keindahan dan ketertiban kota” tentulah akan memberikan kesan yang lain. Dari perspektif ini, para PKL akan lebih termaknakan secara serta merta sebagai korban daripada sebagai pelaku-pelaku yang bersalah dan “jahat”. Dari perspektif ini, para PKL akan terkedepankan per definisi sebagai korban tindak kekerasan yang melanggar hak-haknya yang asasi. Ialah hak untuk memperoleh dan mempunyai suatu pekerjaan bebas, yang ditekuninya demi tercapainya taraf kehidupan keluarganya yang layak. Ialah juga hak atas modal dan harta miliknya (yang kini telah terampas dan/atau terusakkan) sekalipun yang namanya harta milik mereka itu cuma sebuah rombong, lapak ataupun becak reyot saja. Mereka yang dipandang sebagai pelanggar hak publik, yang kemudian daripada itu lalu seolah memberikan legitimasi kepada pejabat pemerintah untuk bertindak represif, umumnya terbilang golongan minoritas. Adapun yang dibilangkan sebagai golongan minoritas itu tidak hanya mereka yang berstatus sosial-ekonomik rendah – seperti para PKL, pemukim kumuh dan/atau tukang-tukang becak – yang oleh sebab itu mudah didiskriminasi dan dikriminalkan. Diskriminasi dan kriminalisasi seperti ini sering pula dilakukan terhadap mereka yang berposisi minoritas karena sikap-sikap politiknya yang serba oposan. Minoritas politik ini bisa saja lahiriahnya tidak berprofesi sebagai politikus melainkan sebagai penulis, ilmuwan atau seniman. Akan tetapi yang diekspresikan oleh mereka tak jarang merupakan pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat yang tidak hanya berada di side stream melainkan juga kontroversial, dan yang – ditilik dari kepentingan rezim yang berkuasa – “harus segera diwaspadai karena sifatnya yang subversif”. Mereka yang terbilang minoritas ini umumnya tidak berdaya – atau mungkin malah telah dibikin tak berdaya - untuk merebut akses guna ikut mempengaruhi jalannya pengambilan putusan politik-legislatif, juga dalam ihwal kriminalisasi dan dekriminalisasi. Tidak cukup berkeberdayaan untuk mempengaruhi jalannya proses, mereka ini amat rawan untuk menjadi korban sistem kekuasaan yang otokratik. Proses kriminalisasi menjadikan hak-hak ekonomik mereka untuk berusaha, dan/atau hak-hak politik mereka untuk berpendapat secara kritis, malah menjadi tidak atau kurang terlindungi. Alih-alih, realisasi hak-hak itu justru gampang dirambu oleh kebijakan legislatif atau eksekutif yang bertendens mempersempit ruang gerak berbagai upaya untuk mengimplementasi pemberian perlindungan hak kepada kelompok minoritas. Manakala rambu-rambu kian menyempit ruang gerak, dan batas-batas rambu gampang terinjak atau terlampaui yang termaknakan sebagai pelanggaran, tiba-tiba saja para penyandang hak berpotensi sebagai pelanggar kewenangan pejabat negara. Minoritas, kriminalisasi dan korban adalah sememangnya merupakan tiga realitas yang bisa menyatu dalam diri oknum-oknum yang telah tersudut ke posisi kehidupan yang tidak menguntungkan. Inilah realitas yang tengah banyak dijumpai di negeri-negeri yang boleh saja mengaku demokratik namun yang dalam praktiknya masih dikuasai oleh suatu rezim yang otokratik. Di negeri dengan rezim seperti ini, para penguasa – di jajaran legislatif maupun eksekutif (dan jangan-jangan juga di jajaran yudisial) – acapkali mendayagunakan hukum secara kolutif guna melegitimasi tindakan-tindakan yang sebenarnya bersubstansi ketidakadilan. Inilah realitas yang dicoba dipaparkan Saudara Samuel Gultom dengan data dan analisis teoretiknya. Besarlah harapan bahwa paparan seperti ini bisa mengundang perhatian dan keprihatinan publik, bukan sebatas untuk menyesali dan menagisi akan tetapi (lebih lanjut dari itu!) untuk ikut