JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018 https://doi.org/10.18196/hi 62110

Pengelolaan Perbatasan dan Hubungan Antaretnis di Bengkayang

Cahyo Pamungkas Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710 [email protected] Submitted: 04 January 2018, Accepted: 02 March 2018

Abstract This article aims to describe the cultural dimension in the management of territorial border between Indonesia and Malaysia in Bengkayang. To explain the cultural approach, this article shed a light on the history of the border between Indonesia and Malaysia, problems of socio-cultural appeared in the border, and border management approach accommodating to the interests of cultural communities. This article is resulted from a field research in Bengkayang, in 2015. Findings of this study conclude that the political approach in viewing border issue is not in accordance with the dynamics of inter-ethnic relations. The cultural dimension is often forgotten in the political analysis of border management due to the state border, in the conventional approach, is seen as a political borderline. Keywords: territorial borders, politics, cultural approach, inter-ethnic relations.

Abstrak Tulisan ini merupakan suatu deskripsi mengenai dimensi sosial-kebudayaan dalam pengelolaan perbatasan darat RI-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat. Pertanyaan yang ingin dijawab oleh kajian ini adalah (i) bagaimanakah sejarah pembentukan perbatasan di Kalimantan Barat? (ii) Bagaimanakah persoalan relasi antaretnik di daerah tersebut? Dan (iii) Bagaimana relasi antaretnik tersebut dipengaruhi oleh konflik pada masa lalu? Untuk menjelaskan pendekatan kebudayaan dalam melihat perbatasan, akan diuraikan perubahan perspektif perbatasan, sejarah pembentukan perbatasan, persoalan-persoalan sosial-budaya yang muncul di kawasan perbatasan, dan pendekatan pengelolaan perbatasan yang akomodatif terhadap kepentingan masyarakat perbatasan. Persoalan utama dalam kajian perbatasan adalah masih kuatnya pendekatan keamanan negara dalam pengelolaan perbatasan dan masih diabaikannya realitas kehidupan masyarakat perbatasan yang bersifat kompleks dalam pengelolaan perbatasan. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat pada tahun 2015. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan politik keamanan yang digunakan dalam melihat persoalan perbatasan kurang sesuai dengan dinamika hubungan antaretnis masyarakat perbatasan yang longgar. Dimensi kebudayaan seringkali dilupakan dalam analisis politik pengelolaan perbatasan karena perbatasan negara, dalam pendekatan konvensional, dipandang sebagai garis perbatasan politik. Kata kunci: perbatasan darat, politik, pendekatan kebudayaan, hubungan antaretnisitas.

PENDAHULUAN Selama ini studi mengenai perbatasan, orang Dayak yang tinggal di Jagoi Babang dan Serikin- terutama Bengkayang, sudah banyak dilakukan, Malaysia mendorong transaksi ekonomi antara kedua misalnya Sulehan dkk. (2013), Muawanah (2015), komunitas tersebut. Sedangkan Halim (2015) lebih Halim (2015) dan Rahmaniah (2015). Studi banyak menyoroti peran kapital budaya dalam Muawanah (2015) menjelaskan mengenai penanaman membentuk spirit nasionalisme orang Dayak di nasionalisme Indonesia terhadap para pelajar di perbatasan Jagoi Babang. Sementara, Rahmaniah daerah perbatasan Kalimantan Barat serta sikap (2015) menyoroti bagaimana peran generasi muda nasionalisme yang tumbuh di kalangan pelajar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat perbatasan. tersebut. Penelitian Sulehan dkk. (2013) Dari sejumlah studi tersebut, belum membahas menunjukkan bahwa relasi sosial dan budaya antara pengelolaan perbatasan Indonesia dan Malaysia yang

CAHYO PAMUNGKAS 125 PENGELOLAAN PERBATASAN DAN HUBUNGAN ANTARETNIS DI BENGKAYANG

dihubungkan dengan relasi antaretnik di perbatasan. melaluinya dengan menggunakan Pas Lintas Batas Masalah ini penting mengingat Pemerintahan (PLB) yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi setempat. Presiden Jokowi telah berusaha mengubah paradigma Kebanyakan penduduk Jagoi Babang adalah Dayak perbatasan dengan slogan membangun dari pinggir. Bidayuh yang juga merupakan mayoritas masyarakat Namun persoalannya, pembangunan tersebut lebih di Distrik Bau. Di beberapa tempat juga dapat menekankan pada infrastruktur fisik belum ditemukan komunitas suku Dayak Bekatik walaupun menyentuh infrastruktur sosial, yakni memperkuat jumlahnya relatif lebih kecil. Selain itu, juga banyak masyarakat adat di perbatasan. Pertanyaan yang ingin penduduk transmigran yang berasal dari Jawa dan dijawab dalam artikel ini adalah (i) Bagaimanakah Madura. Bahasa yang digunakan di kawasan sejarah pembentukan perbatasan Republik Indonesia perbatasan adalah Bahasa Indonesia baik antaretnis (RI)-Malaysia di Kalimantan Barat? (ii) Bagaimanakah ataupun antarkelompok suku Dayak yang berbeda- relasi antaretnis dan konflik yang terjadi di daerah beda. Misalnya orang Dayak Bekatik dengan Bidayuh perbatasan tersebut? (iii) Bagaimanakah pengelolaan memiliki bahasa yang berbeda. Demikian juga antara perbatasan yang sesuai dengan upaya penguatan suku Bidayuh yang tinggal di Desa Jagoi dengan yang masyarakat adat di perbatasan? menetap di Desa Sebujit, Bengka, memiliki bahasa Penelitian ini dilakukan di Bengkayang yang berbeda. terutama daerah perbatasan Kecamatan Jagoi-Babang. Jagoi merupakan daerah yang penting dalam jalur METODE PENELITIAN perlintasan ilegal antara Indonesia dan Malaysia di Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan Kalimantan Barat sejak sebelum masa kolonial, yang dilakukan di Jagoi Babang, Kabupaten bahkan disebut sebagai zona bebas perlintasan barang Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat pada bulan (Prasojo, 2013: 423). Karena jaraknya yang sangat jauh April 2015. Pendekatan penelitian yang digunakan dari pusat pemerintahan Belanda di Sambas dan adalah kualitatif, dengan menggunakan metode pemerintahan British-Malaya di Serawak, diduga pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan, masyarakat di daerah ini belum lama mengenal dan Focus Group Discussion (FGD) di Kabupaten konsep batas negara, yakni sejak 1970-an. Jagoi Bengkayang. Narasumber yang diwawancarai adalah Babang merupakan salah satu kecamatan di camat beserta pimpinan Organisasi Pemerintahan Kabupaten Bengkayang yang berbatasan langsung Daerah (OPD) yang terkait seperti Bappeda, Badan dengan Distrik Bau, division, negara bagian Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), dan Badan . Sedangkan dua desa yang berbatasan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. langsung adalah Desa Jagoi (Jagoi Babang) dan Selain itu, juga tokoh-tokoh masyarakat seperti Kampung Serikin (Bau). Masyarakat yang menetap di organisasi masyarakat adat dan organisasi non- Desa Jagoi (Indonesia) dan Serikin (Malaysia) berasal Pemerintah. Pengamatan dilakukan di pos perbatasan dari tradisi dan subsuku Dayak yang sama, Dayak Jagoi-Babang dan Serikin serta kunjungan ke pasar Bidayuh. tradisional di Serikin Malaysia. Hasil studi literatur Status jalur lintas batas di Jagoi Babang sampai dikombinasikan dengan hasil penelitian lapangan saat ini masih dikategorikan sebagai ilegal, artinya kemudian dianalisa dengan analisa deskriptif. belum dibuka secara resmi sebagai jalur lintas batas Hadiwijoyo (2009, c.f. Bangun, 2017) internasional seperti Entikong. Namun, Pemerintah membedakan dua aspek yang dikaji dalam definisi telah mendirikan sebuah Pos Lintas Batas (PLB) perbatasan yakni boundary dan frontier. Istilah pertama untuk memfasilitasi lintas batas tradisional. Hanya merujuk pada fungsi garis perbatasan yang membatasi masyarakat yang menetap di Desa Jagoi yang diijinkan suatu negara dengan negara lain, sedangkan istilah

126 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

kedua merupakan perspektif dalam melihat posisi antarnegara dibiarkan longgar, tanpa adanya pos-pos suatu daerah perbatasan yang terletak paling depan penjagaan di perbatasan. atau paling belakang dari suatu negara. Dalam kajian Sedangkan pengelolaan perbatasan menurut ini perbatasan didefinisikan mencakup keduanya Jones (1946, c.f. Bangun, 2017) dapat dibedakan yakni dimensi garis batas dan posisinya yang paling menjadi empat tahap yakni: allocation, delimitation, depan dalam suatu negara, yang merupakan arena demarcation dan administration/management. Alokasi interaksi antara kelompok-kelompok masyarakat yang merupakan penetapan ruang teritorial sebuah negara bersifat global. hasil dari keputusan politik para penyelenggara negara Menurut Martinez (1994), daerah perbatasan yang bersangkutan. Sedangkan delimitasi adalah dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yakni proses penetapan garis batas negara dengan alienated, co-exsistent, interdependent, dan integrated pemerintah negara lain. Setelah itu baru dilakukan borderland. Kategori pertama adalah daerah perbatasan proses demarkasi, yakni pengesahan garis batas negara yang tidak menjadi tempat interaksi antarkelompok yang merupakan hasil dari perundingan atau masyarakat sebagai akibat dari konflik kekerasan antar persetujuan dengan negara yang berbatasan. Tahap negara, etnik, atau agama. Konflik tersebut tidak terakhir adalah pengelolaan daerah perbatasan secara memungkinkan anggota-anggota kelompok untuk politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam saling bertemu atau melakukan transaksi ekonomi. pengelolaan daerah perbatasan ini, terdapat dua Daerah ini dapat dijumpai di perbatasan negara- paradigma besar yakni pendekatan yang berpusat pada negara yang sedang berperang. Kategori kedua adalah negara dan yang berpusat pada masyarakat. daerah perbatasan yang ditandai oleh interaksi Pendekatan pertama merujuk pada pandangan Weber antarkelompok masyarakat tapi bersifat minimal (1965) bahwa negara adalah pemegang monopoli karena konflik kekerasan masih belum terselesaikan. penggunaan kekerasan fisik dalam teritori tertentu. Dalam daerah perbatasan seperti ini, kedua Klaim ini menuntut negara melakukan kontrol komunitas yang dipisahkan oleh perbatasan negara terhadap daerah perbatasan karena kontrol ini saling hidup di komunitasnya masing-masing dan merupakan simbol dari kedaulatan negara terhadap meminimalisir interaksi yang terjadi untuk wilayahnya. Pendekatan kedua berpusat pada menghindari konflik. Kondisi ini terjadi di perbatasan kebudayaan bahwa relasi-relasi sosial dan budaya antara negara-negara yang sedang bermusuhan. antara penduduk yang dipisahkan oleh perbatasan Kategori ketiga adalah wilayah perbatasan yang negara telah terjadi sebelum adanya batas negara. ditandai oleh relasi damai, kelompok-kelompok Penelitian Sassen (2005) menunjukkan bahwa dalam masyarakat dari kedua negara dapat melakukan dunia yang semakin terglobalkan maka perbatasan interaksi sosial, budaya, dan ekonomi tanpa gangguan. menjadi ruang yang menghubungkan banyak tempat Walaupun masih ada pos-pos perbatasan, namun dan para pelaku sosial daripada arena pengendalian kerja sama ekonomi semakin meningkat dan terhadap penduduk. masyarakat dari dua negara semakin tergantung satu sama lain. Kategori ke-empat adalah wilayah HASIL DAN PEMBAHASAN perbatasan antara kedua negara yang kegiatan SEJARAH PEMBENTUKAN PERBATASAN RI- ekonomi penduduknya merupakan suatu kesatuan MALAYSIA DI KALIMANTAN BARAT dan kedua negara bergabung ke dalam sebuah Perbatasan negara-negara di Asia pada persekutuan. Kondisi ini dapat dijumpai di negara- umumnya merupakan warisan pemerintah kolonial negara anggota Uni Eropa, di mana perbatasan melalui perjanjian internasional yang tidak melibatkan subjek yang dijajah. Penentuan batas

CAHYO PAMUNGKAS 127 PENGELOLAAN PERBATASAN DAN HUBUNGAN ANTARETNIS DI BENGKAYANG

negara antara RI-Malaysia merujuk pada perjanjian- Hindia Belanda. Pejabat Belanda memulai perjalanan perjanjian antara Inggris dan Belanda, yakni Traktat di malam hari menyusuri hutan dan menebus rawa- London mengenai batas-batas wilayah koloni, yang rawa dari Seluas menuju Distrik Bau, Serawak tempat ditandatangi pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian Inggris berada. Akhirnya mereka bertemu di suatu ini menyebutkan bahwa wilayah Kepulauan Melayu, tempat yang dikenal sebagai Serikin untuk Malaysia Singapura, dikuasai oleh Inggris dan kawasan di dan Jagoi untuk Indonesia. Di batas antara kedua sebelah selatannya dikuasai oleh Belanda. Batas antara tempat itu ditetapkan batas negara hingga sekarang kedua daerah koloni didasarkan pada pemisahan (Surya, 26 Juni 2015). aliran sungai atau gunung, deretan gunung, batas Dampak dari pembentukan perbatasan negara alam dalam bentuk punggung pegunungan sebagai yang merupakan warisan kolonial adalah pembatasan tanda pemisah. terhadap masyarakat adat di perbatasan untuk Konvensi Inggris-Belanda 1891 kemudian melakukan aktifitasnya. Oleh karena itu, pembatasan mengatur prosedur penentuan batas-batas koloni. ini mengakibatkan illegal crossing dalam perspektif Kesepakatan antara kedua negara kolonial tersebut negara. Padahal bagi masyarakat adat yang lebih dulu ditandatangani pada 17 Februari 1913 di Tawao oleh eksistensinya, tindakan tersebut telah dilakukan oleh J.H.G Schepers dan E.A. Vreede yang mewakili nenek moyang mereka. Selain itu, sejarah Belanda, dan H.W.I Bunbury dan G.ST.V. Keddel pembentukan perbatasan ini tidak menghilangkan yang mewakili Inggris. Selanjutnya kesepakatan sejarah masyarakat perbatasan karena kedua tersebut disahkan kedua pemerintah di London pada komunitas masyarakat adat yang terpisah ini masih 28 September 1915. Berdasarkan perjanjian ini, batas mempertahankan relasi sosial dan kebudayaan mereka RI-Malaysia di Camar Wulan melengkung seperti sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut. tapal kuda, namun berganti menjadi garis lurus Masyarakat adat, memiliki konsepsi dan landasan setelah adanya MOU di Kota Kinabalu, Malaysia pada filosofis yang berbeda mengenai perbatasan negara. tahun 1974 dan di Semarang, Provinsi Jawa Tengah Mereka pada umunnya berpandangan bahwa pada tahun 1978. Penentuan garis batas RI-Malaysia meskipun negara telah memisahkan komunitas pada segmen Jagoi diselesaikan melalui Konvensi menjadi dua negara dengan perbatasan, mereka tetap Inggris-Belanda 1928 yang diratifikasi pada 6 Agustus menjaga kesatuan kebudayaan dan kekeluargaan yang 1930. Konvensi tersebut menyebutkan bahwa batas melampui konsepsi politik negara bangsa. antara kedua wilayah di antara Gunung Api dan Gunung Raya sebagaimana disebutkan pada Konvensi Relasi Sosial Antaretnis di Perbatasan 1891 (Jayanti, 2014:9-10). Penelitian sebelumnya tentang dimensi Jagoi Babang pada awalnya adalah bagian dari kebudayaan masyarakat perbatasan di Bengkayang British-Malaya, sedangkan Hindia Belanda berkuasa telah dilakukan John Haba (2005) Hasil studinya sampai daerah Seluas. Tradisi lisan menuturkan menyatakan bahwa masyarakat perbatasan terutama bahwa Belanda mendidik seorang di Seluas sehingga Dayak masih mempertahankan hubungan banyak orang Dayak di Seluas dan Jagoi berdatangan kekeluargaan walaupun tempat tinggalnya telah untuk memutuskan masalah kemasyarakatan. Hal ini dipisahkan di dua negara. Ikatan kekeluargaan membuat pemerintah British-Malaya keberatan dan tersebut dapat terjaga karena adanya komitmen untuk mengajukan protes kepada Belanda. Akhirnya saling mengunjungi pada momen-momen tertentu. disepakati bahwa mereka akan bernegosiasi di mana Hal ini diperkuat dengan temuan dalam diskusi tempat mereka bertemu akan menjadi garis kelompok terbatas yang dilakukan oleh Tim perbatasan yang memisahkan British-Malaya dan Perbatasan IPSK LIPI di Bengkayang dan

128 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

(Propinsi Kalimantan Barat) pada tahun 2015. Contoh lain dapat dilihat dalam cerita asal-usul Beberapa peserta diskusi menyebutkan bahwa Dayak Kenya yang menetap di Desa Long Ana, hubungan budaya dapat dilihat pada upacara gawai Kabupaten Kutai Kartanegara. Kampung tersebut yang diselenggarakan baik di Serawak maupun di merupakan kampung ke-13 dari suku Dayak Kenya, di Sambas dengan saling mengundang komunitas mana kampung yang pertama berada di wilayah masyarakat adat di seberang. Hampir setiap bulan, Serawak, Malaysia. Mereka bergeser dari utara ke masyarakat adat yang menetap di 7 kecamatan Kapuas selatan secara kolektif menerobos perbatasan Hulu pergi menyeberang perbatasan Malaysia baik Kalimantan Utara-Malaysia. Dalam perspektif melalui jalur imigrasi ataupun jalur tradisional (FGD kewarganegaraan Indonesia, suku Dayak Kenya ini Pengelolaan perbatasan, 16 Mei 2015). masih dianggap suku dayak pendatang dari Serawak. Dayak Bidayuh adalah salah satu sub-etnis di Hal yang sama juga ditemukan di Suku Dayak Ngaju, Kecamatan Jagoi Babang dan Siding yang berbatasan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Pada setiap upacara langsung dengan Serikin, Malaysia. Saudara-saudara perkawinan mempelai laki-laki diharuskan membawa mereka juga banyak yang menetap di Serikin, disebut uang logam ringgit dan disebutkan nominalnya. Jika Bidayuh Serawak. Meskipun terdapat pemisahan tidak memiliki, maka ia harus membawa rupiah yang perbatasan negara, kedua komunitas tersebut tetap dihitung berdasarkan nilai ringgit dan disebut berusaha untuk menyatu. Namun upaya-upaya untuk nominalnya dalam ringgit (FGD Perbatasan dalam bertemu melalui jalur lintas batas formal perspektif sosial-budaya di Jakarta, 2 Desember 2015). menggunakan pas lintas batas seringkali menemukan Pengamatan di perbatasan Jagoi Babang pada kendala, karena perlintasan yang dijaga aparat bulan April 2015 menunjukkan bahwa Pemerintah keamanan tersebut tidak dapat dilalui selama 24 jam telah melakukan pembenahan terhadap daerah (Wawancara Sekretaris Dewan Adat Dayak perbatasan di daerah ini dan juga telah Bengkayang, 22 Mei 2015). mengakomodasi kepentingan masyarakat dengan Ikatan kekeluargaan yang kuat antara memberikan pas lintas batas. Pos Lintas Batas Negara masyarakat perbatasan dua negara RI-Malaysia dapat (PLBN) terutama imigrasi dan bea cukai, sudah dilihat dari ilustrasi antara masyarakat Dayak Kenayan dibangun di Jagoi dan difungsikan. Namun pihak di Kalimantan Barat dengan Dayak Kenayan di Malaysia belum melakukan hal yang sama yaitu Serawak digambarkan oleh Pak Obaja, Kepala membangun pos di wilayahnya Serikin. Pelintas batas Bappeda Kabupaten Bengkayang. Adik dari ayah Pak tradisional dari kedua negara memiliki kartu pas lintas Obaja, yang bernama Simon pergi meninggalkan batas, dengan syarat bertempat tinggal dan memiliki tanah kelahirannya di Sintang (Kalimantan Barat) Kartu Tanda Penduduk di daerah Jagoi Babang. untuk bekerja di Serawak pada tahun 1958. Simon Mereka hanya melaporkan diri pada petugas imigrasi kemudian bekerja di perkebunan dan berkeluarga dan kemudian melintasi perbatasan. Jumlah hari dengan penduduk Malaysia. Walaupun tinggal di dua kunjungan dan lokasi yang dikunjungi di Malaysia tempat yang berbeda negara, hubungan kekeluargaan dibatasi maksimal 2 hari dan hanya sampai distrik tetap terjaga dengan cara saling mengunjungi pada terdekat perbatasan sehingga tidak boleh sampai ke hari Natal ataupun ketika ada acara keluarga. Serawak. Walaupun belum ada pos lintas batas tradisional, Apabila pemerintah lebih berurusan dengan mereka dapat menyeberang perbatasan dengan bebas kebijakan-kebijakan nasional dan kurang melalui jalan yang belum diaspal atau menyusuri memperhatikan masalah kultural beserta sistem nilai aliran sungai di perbatasan (Wawancara dengan adat masyarakat lokal, maka masyarakat adat dan Kepala Bappeda Bengkayang, 23 Mei 2015). penduduk lain yang menetap di perbatasan juga tidak

CAHYO PAMUNGKAS 129 PENGELOLAAN PERBATASAN DAN HUBUNGAN ANTARETNIS DI BENGKAYANG

terlalu memusingkan masalah makro batas-batas Penyelundupan di perbatasan melalui jalan negara yang membelah keluarga mereka. Perbedaan tikus, yang disebut dengan istilah smokel, merupakan konsep perbatasan antara negara dan masyarakat adat akibat logis dari pengelolaan perbatasan negara yang seperti ini memunculkan konsekuensi hukum yang belum mengakomodasi kebutuhan ekonomi dikonsepsikan sebagai pelintas batas legal dan pelintas masyarakat setempat. Sebelum merdeka, beras selalu batas ilegal. Negara pada satu pihak cenderung didatangkan dari Serawak melalui Bengkayang karena mengabaikan dimensi kebudayaan dan persepsi lokal jaraknya lebih dekat. Setelah Indonesia merdeka, mengenai social space dan cultural space. Sementara, kegiatan perdagangan ini disebut sebagai smokel. Jika masyarakat perbatasan masih berpegang teguh pada negara ingin menghilangkan penyelundupan, maka tradisi kebudayaan mereka dan tidak menjadikan aktifitas perdagangan tradisional yang dilakukan peraturan negara sebagai satu-satunya yang ditaati. masyarakat adat juga seharusnya diberikan landasan Dengan demikian, nilai-nilai dan tradisi kebudayaan hukum. Misalnya dengan memperbanyak pasar sesama orang Dayak baik yang tinggal di Kalimantan tradisional yang mudah dijangkau, nyaman, dan bebas Barat maupun Malaysia memiliki arti strategis untuk pungutan seperti di Serikin. Pasar perbatasan yang menjaga ikatan kekeluargaan maupun relasi pekerjaan dibangun di Entikong, Sambas, tidak berkembang dengan penduduk di seberang perbatasan (Haba, karena banyaknya pungutan dari berbagai macam 2005). institusi pengelola perbatasan, aparat keamanan, dan Dalam mengelola perbatasan negara di daerah organisasi-organisasi masyarakat sipil terhadap para yang didominasi oleh satu etnis, pemerintah pedagang. seharusnya memberikan perlakuan khusus kepada Pengamatan di pasar perbatasan di Serikin masyarakat adat setempat untuk memudahkan dalam Malaysia menunjukkan bahwa para pedagang yang melalui lintas batas ketika mereka akan melakukan berjualan sebagian besar berasal dari Indonesia. kunjungan keluarga atau upacara adat. Sedangkan Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan kepada warga yang non-masyarakat adat, pemerintah Barat seperti Pontianak, Sambas, Sanggau, dan dapat menerapkan aturan-aturan hukum yang berlaku Bengkayang. Bahkan, etnis mereka beraneka ragam nasional seperti mewajibkan membawa paspor atau yang mencakup Melayu, Padang, Jawa, Bugis, dan pas lintas batas (Wawancara Sekretaris Dewan Adat orang setempat. Para pembeli pada umumnya adalah Bengkayang, 22 Mei 2015). Kegagalan pemerintah penduduk Malaysia dan berasal dari berbagai kota dalam memberikan perlakuan khusus memunculkan seperti Serawak, Kota Kinabalu, dan Kuala Lumpur. banyaknya jalan setapak, disebut sebagai jalan tikus, Mereka kebanyakan menyebutkan alasan berbelanja di yang banyak digunakan masyarakat adat untuk perbatasan adalah harganya relatif murah dan sambil melewati garis perbatasan negara yang berupa hutan, melakukan perjalanan ke luar kota. Para pedagang gunung, atau aliran sungai. Hal ini dilakukan pada umumnya berjualan pada hari Sabtu dan masyarakat adat untuk tetap menjaga ikatan Minggu, mereka datang sampai perbatasan Jagoi dan kekeluargaan dan kesukuan dengan kerabat mereka memarkir kendaraannya di sana. Setelah itu, ojek atau yang menetap di Malaysia. Kampanye Negara kendaraan rental dari Serikin datang menjemput Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati yang mereka dan barang yang diperdagangkan sampai dipropagandakan pada masyarakat perbatasan pasar. Tidak jelas di situ apakah para pedagang ini sebenarnya tidak menjadi masalah ketika negara memiliki paspor atau pas lintas batas. Ketika mengakui budaya serumpun juga harus dijaga seperti ditanyakan masalah itu, mereka pada umumnya menjaga integrasi nasional. mengatakan sudah mendapatkan ijin dari pihak-pihak tertentu baik dari Indonesia maupun Malaysia.

130 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

Pembagian kerja berdasarkan aspek etnisitas berdampak pada beberapa hal berikut. Warga dapat dilihat di Kabupaten Bengkayang. Penduduk masyarakat adat Dusun Semunying Bungkang asli Kabupaten Bengkayang diperkirakan mencapai tergusur dan direlokasi karena tanahnya diklaim oleh 60% terdiri atas 5 suku Dayak yakni Bekatik, PT Ledo Lestari. Selain itu, perusahaan ini telah Kenayan, Benyado, Bidayuh, dan Iban. Mereka menggusur 16 kuburan tua yang merupakan leluhur bekerja sebagai petani, pekerja kebun, peladang, masyarakat adat dan menghilangkan sumber obat tukang, dan pegawai negeri sipil. Adapun penduduk tradisional yang selama ini menjadi obat bagi pendatang terdiri atas Melayu, Tionghoa, Jawa, dan masyarakat di sekitar hutan. Dampak lainnya adalah Minangkabau. Orang Melayu kebanyakan menjadi adanya kriminalisasi warga yang aktif membela dan petani dan nelayan, orang Tionghoa bekerja sebagai memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, seperti pengusaha dan pedagang. Sedangkan orang Jawa pada penangkapan dan intimidasi terhadap kepala desa dan umumnya menjadi pekerja kebun sawit dan penjual wakil Badan Permusyawaratan Desa Semunying Jaya makanan. Orang Minangkabau kebanyakan bekerja di (AMAN, 30 November 2015). Kalau hal ini dibiarkan sektor makanan. terus menerus, maka ke depan tidak ada lagi Masuknya penduduk pendatang karena masyarakat Dayak asli yang tinggal di perbatasan, kegiatan perdagangan dan perkebunan di Kalimantan karena daerah perbatasan didominasi oleh pendatang Barat pada tingkatan tertentu telah mendistorsi relasi- yang datang untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja relasi sosial masyarakat perbatasan. Pola-pola relasi perkebunan. sosial yang sebelumnya dibangun berdasarkan Jika ditelusuri lebih jauh, konsep bernegara kesamaan nilai dan norma serta kesadaran sebagai bagi komunitas suku Dayak yang menetap di warga masyarakat adat sudah bergeser dari sentrifugal perbatasan berbeda dengan konsep bernegara modern ke sentripetal. Kelompok suku-suku bangsa Batak, yang diproduksi oleh pengetahuan Barat. Konsep Jawa, Bugis, dan Makassar yang sekarang menetap dan bernegara dalam pandangan filosofis orang Dayak berdagang di perbatasan membuktikan adanya proses adalah konsep kekerabatan etnis yang sama, sub-suku pergeseran-pergeseran dalam relasi sosial. Hal ini yang sama yang dibentuk oleh garis keturunan yang menyebabkan tergesernya kebanyakan penduduk lokal sama. Dengan demikian konsep kekeluargaan orang ke dalam posisi ekonomi yang lebih marjinal, di mana Dayak masih cukup kental dan melampui garis batas mereka tetap bekerja di sektor pertanian. Sedangkan negara-bangsa. Hal ini membantu kita memahami penduduk yang memiliki kesempatan memasuki mengapa ikatan kekeluargaan orang-orang Dayak sektor non-pertanian cenderung bernasib lebih baik masih tetap terjaga walaupun dipisahkan oleh karena masuk ke dalam komunitas yang multietnis. perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat Masuknya perkebunan-perkebunan besar di (Wawancara dengan Yusnono, 25 Mei 2015). Bengkayang misalnya mendorong penduduk lokal Terkait dengan hal tersebut, pengelolaan tinggal di pemukiman-pemukiman sendiri yang perbatasan hendaknya tidak hanya memfokuskan terpisah dengan pemukiman pendatang. Sebagai pada pembangunan institusi-institusi negara yang akibatnya tidak disadari muncul segregasi sosial mengelola perbatasan, namun juga memperkuat berdasarkan atas etnisitas dan agama. perspektif kebudayaan masyarakat perbatasan. Hal ini Kehadiran perkebunan besar, di samping dapat dilakukan dengan memetakan persoalan- berdampak positif, juga menimbulkan dampak negatif persoalan sosial budaya masyarakat perbatasan, yang terhadap eksistensi masyarakat adat. Misalnya pada akhirnya dapat memperkuat lembaga-lembaga kehadiran PT. Ledo Lestari, perkebunan karet, di adat maupun keagamaan yang berperan penting Desa Semunying Jaya, Bengkayang, tahun 2006 dalam menjaga tradisi kebudayaan masyarakat

CAHYO PAMUNGKAS 131 PENGELOLAAN PERBATASAN DAN HUBUNGAN ANTARETNIS DI BENGKAYANG

perbatasan. Selain itu, juga mengelola dan modus produksi yang selanjutnya bermuara kepada melestarikan tempat-tempat yang dianggap sakral oleh pergeseran nilai-nilai kebudayaan, yakni dari masyarakat adat dan memberdayakan masyarakat yang kolektivitas ke individualistik. Sekarang ini, banyak ada di sekitarnya. Misalnya situs di Sekayan, Entikong, sekali kampung-kampung orang Dayak yang hilang dipercaya sebagai tempat lahirnya suku Dayak yang digantikan dengan kebun karet dan kelapa sawit yang kemudian menyebar ke seluruh Kalimantan. Tradisi menghampar sangat luas sepanjang perbatasan lisan menceritakan bahwa pada masa lalu, muncul Kalimantan Barat. bencana yang sangat besar yang ditimbulkan oleh Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan binatang yang menyerang manusia, sehingga nenek Barat harus dikelola dengan menitikberatkan budaya moyang orang Dayak melarikan diri ke seluruh pulau masyarakat perbatasan, dalam hal ini masyarakat besar menjadi ratusan sub-sub suku Dayak Barat Dayak. Perbatasan hendaknya tidak dieksploitasi (Wawancara dengan Yusnono, 28 Mei 2015). untuk kepentingan politik dan ekonomi, yakni Jika kita melihat rumah-rumah panjang di menciptakan proyek-proyek pemerintah pusat di perbatasan, dapat dengan mudah ditemukan daerah. Perbatasan memang harus dibangun agar peralatan rumah tangga modern, seperti kompor gas, wajah Indonesia merupakan wajah yang berbudaya, televisi, telepon, dan lain-lain, karena orang-orang termasuk budaya masyarakat adat yang hidup dengan Dayak telah berhubungan dengan penduduk yang alam harus dijaga oleh negara. Namun, akses terhadap tinggal di Malaysia. Sekarang mereka harus bekerja sumber daya dan kebutuhan mereka akan lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup transportasi, pendidikan, dan kesehatan juga harus dengan menyesuaikan diri dengan perkembangan tetap diperhatikan agar dapat menyesuaikan diri teknologi. Untuk itu, seringkali orang Dayak di dengan proses modernisasi yang berjalan dengan perbatasan menyeberang ke Malaysia baik untuk sangat cepat di perbatasan. Pemerintah di Kalimantan bekerja maupun mendapatkan barang-barang yang Barat, disarankan agar tidak hanya mengembangkan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. perkebunan kelapa sawit seluas 1,5 juta Ha di Realitas yang sekarang terjadi adalah adanya sepanjang perbatasan tetapi juga menjaga hutan distorsi kebudayaan karena pengaruh media televisi perawan tempat hidup masyarakat adat Dayak. terhadap gaya hidup yang materialistis. Sebelumnya, Pembangunan jalan-jalan paralel seharusnya mampu gaya hidup seperti ini tidak dikenal dalam tradisi menghubungkan antarkampung dan antara kampung orang Dayak yang hidup dalam nilai-nilai kolektivitas. dengan kota sehingga mendorong pemberdayaan dan Sebagian anggota masyarakat adat belum mampu percepatan pembangunan ekonomi. Jalan dibangun mengidentifikasi nilai atau norma apa yang sesuai atau harus menghubungkan manusia dengan manusia, tidak sesuai dengan kebudayaan orang Dayak. Sebagai bukan semata untuk kepentingan pertahanan dan akibat globalisasi budaya di perbatasan, sekarang ini ekonomi. Pemerintah menambah panjang jalan yang banyak orang Dayak di pedesaan pergi ke karaoke beraspal dan kebun kelapa sawit agar masyarakat ataupun menggelar pertunjukan musik dangdut. perbatasan lebih berbudaya. Kalau masyarakat Walaupun adat-istiadat, seperti penghormatan kepada perbatasan sejahtera, maka mereka akan semakin orang tua, masih dihormati di kalangan orang Dayak, mencintai Indonesia dan membela tanah airnya. alam tempat mereka hidup perlahan-lahan dirusak Tuduhan penyelundupan terhadap masyarakat oleh perusahaan kelapa sawit dan karet yang perbatasan sesungguhnya tidak benar. Menurut menuntut banyak tanah dan tenaga profesional dari Yusnono, peneliti Institut Dayakologi, masyarakat masyarakat non-Dayak. Kerusakan lingkungan dapat kecil hanya membawa barang dari Malaysia atau dari menyebabkan mereka mengalami pergeseran dalam Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-

132 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

hari. Mereka menyeberang ke perbatasan lebih banyak tentara sukarelawan dan pasukan-pasukan lainnya untuk acara keluarga dan upacara adat daripada yang loyal terhadap Presiden Soekarno tidak bersedia kegiatan yang bersifat perdagangan gelap. Pemerintah mengundurkan diri dari perbatasan. Mereka dapat mengidentifikasi masyarakat adat yang sering mempertahankan posisinya di perbatasan Indonesia menyeberang ke perbatasan dan memudahkan mereka dan Malaysia dan menamakan dirinya PGRS/Paraku dengan pas lintas batas. Penduduk kategori ini tidak (Persatuan Gerakan Rakyat Serawak/Pasukan Rakyat perlu membayar pajak apapun ketika masuk dan Kalimantan Utara). Gerakan ini seringkali keluar perbatasan (Wawancara dengan Yusnono, 28 melancarkan serangan-serangan bersenjata baik Mei 2015). kepada TNI maupun Tentara Diraja Malaysia. Para Konflik dan Trauma Masyarakat Perbatasan sukarelawan tersebut sebenarnya tidak puas dengan Relasi antaretnik di perbatasan Bengkayang kebijakan Pemerintah Orde Baru yang seolah-olah juga masih dipengaruhi oleh sejarah konflik pada berdamai dengan kekuatan imperialisme. masa lalu, terutama pergolakan pada tahun 1950 dan Kesulitan dalam menghadapi serangan-serangan konflik Dayak-Madura pada tahun 1978. Konfrontasi PGRS/Paraku menyebabkan rejim militer Orde Baru Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1964 memobilisasi orang Dayak untuk melawan orang- memunculkan trauma bagi masyarakat perbatasan. orang Tionghoa yang diduga mendukung gerakan Peristiwa ini diakui telah berpengaruh dalam tersebut. Militer meminta Gubernur Kalimantan memandang Indonesia, Malaysia maupun terhadap Barat Oevang Oeray agar memobilisasi suku Dayak komunitas adat mereka. Menurut Mackie dan untuk menumpas gerakan separatis ini. Militer Davidson, Kalimantan Barat memperoleh perhatian Indonesia kemudian melakukan propaganda di yang sangat besar dari Pemerintah Presiden Soekarno komunitas Dayak bahwa orang komunis tidak ketika berdiri negara Malaysia pada 1961. Presiden menyukai tradisi orang Dayak. Juga disebutkan dalam Soekarno mengklaim bahwa Malaysia adalah negara propaganda ini bahwa anggota-anggota gerakan boneka kolonial bentukan Inggris yang merupakan PGRS/Paraku adalah kaum komunis yang atheis dan bentuk ancaman imperialisme barat terhadap orang Dayak tidak dapat hidup bersama komunis. Indonesia. Oleh sebab itu, Presiden Soekarno Orang Dayak diprovokasi bahwa para Tionghoa melawan pembentukan negara Malaysia dan Serawak ingin mengambil wilayah Indonesia dengan menetapkan kebijakan Dwi Komando Rakyat mendirikan negara perbatasan Kalimantan Utara. (Dwikora), yakni menggagalkan negara Malaysia dan Setelah pertemuan mantan gubernur Oeray dengan mengajak mobilisasi umum untuk membantu tokoh-tokoh Dayak, kemudian dilancarkan gerakan perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Sebagai pembersihan etnis Tionghoa di perbatasan Indonesia- akibatnya, Kalimantan Barat dijadikan basis militer Malaysia. Seluruh kepala kampung di Kewedanan Indonesia dalam konfrontasi dengan Malaysia pada Bengkayang diminta datang ke Samalantan tahun 1963 sampai berakhir pada bulan Agustus 1966 menghadiri pertemuan dengan mantan Gubernur (Yusnon, 2002). Oevang yang memerintahkan operasi pembersihan Namun, implikasinya dari peristiwa tersebut (Purmintasari, 2015). masih berlanjut hingga kini di sekitar wilayah Berbagai cerita menyebutkan orang Tionghoa perbatasan karena melahirkan konflik kekerasan dipaksa untuk meninggalkan desa-desanya di antara orang Dayak dengan komunitas Tionghoa. pedalaman Kalimantan untuk pindah ke perkotaan. Setelah operasi militer Dwikora dihentikan oleh Alasannya adalah untuk mengontrol dan Pemerintah Orde Baru, sebagian pasukan yang mengendalikan orang Tionghoa agar mereka tidak bertugas di perbatasan Kalimantan, terutama pasukan mendukung gerakan PGRS/Paraku. Gerakan

CAHYO PAMUNGKAS 133 PENGELOLAAN PERBATASAN DAN HUBUNGAN ANTARETNIS DI BENGKAYANG

pembersihan terhadap orang Tionghoa berlangsung memiliki budaya carok dengan semboyan: “Ango’an selama 3 bulan dan mengakibatkan kurang lebih 3000 poteya tolang, etembhang poteya mata” yang artinya orang Tionghoa terbunuh. Sebagian besar mereka kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup kemudian mengungsi ke pantai-pantai barat dengan perasaan malu (Yunita, 2012). Kalimantan, terutama Pontianak dan Singkawang Yuanita menuliskan konflik antara Suku Dayak (Tirtosudarmo, 2005). dan Suku Madura di Bengkayang, yakni di Kecamatan Tradisi lisan di Bengkayang menuturkan bahwa Samalantan dan Monterado pada tahun 1979 (Yunita, konflik berdarah dengan etnis Tionghoa ini juga 2012). Konflik berawal dari terbunuhnya salah pernah terjadi dalam sejarah Kerajaan Sambas. Pada seorang dari suku Dayak oleh salah seorang suku akhir abad ke-17, sekumpulan penambang Tionghoa Madura. Pelaku dari Madura telah dianggap diijinkan Sultan Sambas untuk mengeksplorasi bijih melanggar adat pati nyawa dan memunculkan emas di Monterado. Lama kelamaan jumlah mereka kemarahan orang Dayak karena adat-istiadatnya telah bertambah banyak dan memiliki pasukan keamanan. direndahkan oleh komunitas Madura. Pada saat yang Karena merasa terancam akan kehilangan sama, hubungan sosial antara kedua suku ini masih kedaulatannya, Sultan Sambas bekerjasama dengan ditandai dengan prasangka negatif dan persaingan. Belanda menyerang para penambang Tionghoa Orang Madura dianggap telah melanggar perjanjian dibantu orang-orang Dayak. Peristiwa ini dikenal damai dari konflik sebelumnya dengan mengulangi dengan Perang Kenceng yang mengakibatkan orang melakukan pembunuhan terhadap orang Dayak. Tionghoa terusir dan mengungsi ke tempat baru yang Berita pembunuhan ini menyebar ke seluruh suku sekarang ini dikenal sebagai Kota Bengkayang Dayak dan Madura sehingga hampir menyulut (Wawancara Sekretaris Dewan Adat Dayak kerusuhan etnis. Bahkan, Suku Dayak di Samalantan Bengkayang, 22 Mei 2015). dan Monterado telah meminta bantuan kepada Suku Selain konflik Dayak-Tionghoa, konflik etnis di Dayak yang lainnya di daerah lain dengan perbatasan Kalimantan Utara yang seringkali terjadi mengedarkan “Mangkok Merah”, sementara Suku adalah antara suku Dayak dengan Madura. Yunita Madura meminta bantuan ke Bangkalan Madura. (2014) menulis bahwa konflik Dayak-Madura di Pemerintah segera mengamankan dan melokalisir Kalimantan Barat terjadi di Bengkayang karena daerah konflik dengan dukungan aparat militer dan kesalahpahaman memahami budaya satu sama lain kepolisian. Selama dua hari, kerusuhan yang telah dan adanya marjinalisasi masyarakat Dayak dalam menjalar ke beberapa daerah di Bengkayang dapat ekonomi yang dikuasai oleh warga pendatang Madura diredam. Kemudian, proses mediasi berhasil dengan (Yunita, 2012). Gambaran penyebab konflik etnis ini perdamaian di antara kedua suku dan pendirian tugu argumen budaya, argumen marginalisasi, dan perdamaian atau dikenal dengan Tugu Pancasila di argumen manipulasi politik. Selain itu juga Samalantan. Di Monterado dibangun tugu identifikasi simbol-simbol budaya seperti istilah-istilah, perdamaian yang disebut dengan Tugu Bendera mitos, dan konsep budaya tertentu. Misalnya, “nyawa dengan lima pilar dan bendera merah putih. ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi” di Pada tahun 1980, pemerintah melakukan kalangan masyarakat Dayak, adat pati nyawa. Apabila pemindahan penduduk di pedalaman yang dianggap seorang Dayak telah dilukai atau dibunuh, maka terpencar-pencar ke dalam pemukiman yang menetap. komunitas tersebut akan mengedarkan mangkok Menurut Davidson, melalui program ‘Penataan merah yang dimaknai sebagai ajakan berperang untuk Kembali Desa-desa’ dilakukan penggabungan dari membunuh salah satu anggota musuh yang telah desa-desa yang jarang penduduknya itu sehingga dari melukai atau membunuh. Sementara Suku Madura 4362 menjadi 1297 desa baru yang lebih besar

134 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

(Tirtosudarmo, 2002: 42). Motivasi program ini dan Serawak pada dasarnya memiliki kesamaan aspek- adalah kepentingan untuk memudahkan aspek kebudayaan seperti tradisi dan bahasa. Kedua dilancarkannya program-program pembangunan dan komunitas ini dipisahkan oleh batas-batas politik untuk kepentingan militer yakni memudahkan administratif, namun masih termasuk masyarakat adat kontrol dan mobilisasi penduduk dalam yang sama. Mereka memiliki identitas kebudayaan memenangkan Golkar. Kebijakan ini telah mengubah yang sama, serta berbagi sejarah pada masa lalu. struktur kepemimpinan masyarakat adat di Kegiatan lintas batas sosial budaya terutama Kalimantan Barat. Kekuasaan para pemimpin adat kunjungan keluarga berlangsung hampir setiap hari di dipindahkan oleh pemerintah kepada kepala desa perbatasan Jagoi Babang. Pemerintah menerapkan yang secara administratif merupakan alat kepentingan penggunaan Pas Lintas Batas di kedua daerah pemerintah. Dalam realitasnya, masalah yang diurusi perbatasan tersebut untuk memudahkan masyarakat oleh kepala adat seperti perkawinan dan pelanggaran melakukan kegiatan lintas batas. adat istiadat seringkali juga ditangani oleh Terkait dengan pengelolaan perbatasan negara, Pemerintah, sehingga hukum adat sulit diterapkan di masyarakat adat di kedua daerah tersebut juga perbatasan Kalimantan Barat (Tirtosudarmo, 2002: memiliki masalah yang hampir sama, di mana 42). kegiatan lintas batas tradisional masih dibatasi, hanya Pada tahun 1996 muncul konflik kekerasan pada siang hari, karena petugas imigrasi di perbatasan antara etnik Melayu dan Madura yang terjadi di jumlahnya terbatas dan pos imigrasi tidak sebanding Kabupaten Sambas, induk dari Kabupaten dengan panjang perbatasan dan jumlah penduduk Bengkayang, memakan ratusan korban jiwa. Sebagai perbatasan. Sebagai akibatnya, seringkali lintas batas akibatnya seluruh komunitas sukubangsa Madura tradisional berlangsung tanpa melalui pos perbatasan diusir dari Kabupaten Sambas dan dilarang kembali. resmi. Masyarakat sudah biasa berjalan menyusuri Orang-orang Madura kemudian mengungsi ke Kota sungai, lembah, atau gunung ataupun dengan Pontianak dan daerah-daerah lain. Menurut informasi menggunakan sepeda motor melintas perkebunan dari beberapa informan, salah satu penyebab kelapa sawit untuk kunjungan kekeluargaan dan utamanya berakar dari kesalahpahaman budaya. upacara adat. Masyarakat perbatasan masih Misalnya, orang Madura seringkali membawa senjata menyimpan trauma masyarakat yang muncul dari tajam ketika mereka bepergian. Meskipun sudah sejarah konflik kekerasan penumpasan PGRS/Paraku menjadi budaya Madura, namun suku lain termasuk di Kalimantan Utara. Melayu dan Dayak menganggap bahwa senjata tajam Perbatasan negara tidak dipandang sebagai yang dibawa orang Madura membuat orang dari suku sesuatu yang statis dan pendekatan tunggal keamanan lain merasa terancam dan tidak aman. Selain itu juga negara sudah tidak lagi relevan digunakan untuk pandangan orang Madura mengenai batas kebun yang melakukan kontrol dan pembatasan terhadap selalu ditandai dengan tumbuh-tumbuhan yang penduduk perbatasan. Globaliasi telah melahirkan mereka tanam. Hal ini seringkali menimbulkan agen-agen lintas batas negara yang tidak lagi dibatasi konflik perebutan tanah dengan suku-suku lain oleh negara bangsa. Penempatan aparat-aparat (Wawancara dengan Sekretaris Dewan Adat Dayak keamanan dan imigrasi hendaknya ditujukan bukan Bengkayang, 22 Mei 2015). untuk menghambat arus keluar masuk penduduk di perbatasan tetapi melayani dan memudahkan kegiatan KESIMPULAN lintas batas penduduk. Masyarakat adat seharusnya Beberapa kesimpulan lainnya dapat diuraikan diberi ruang yang lebih luas untuk berperan dalam sebagai berikut. Masyarakat perbatasan di Bengkayang pengelolaan perbatasan. Misalnya dapat dilakukan

CAHYO PAMUNGKAS 135 PENGELOLAAN PERBATASAN DAN HUBUNGAN ANTARETNIS DI BENGKAYANG

dengan mengangkat perwakilan mereka dalam Badan (Eds.). Dari Entikong Sampai Nunukan. Jakarta: Pustaka Pengelola Perbatasan Daerah atau pada Pos Lintas Sinar Harapan. Hadiwijoyo, S.S. (2009). Batas Wilayah Negara Indonesia: Batas. Hal ini karena masyarakat perbatasan Dimensi, Permasalahan, dan Strategi Penanganan. sesungguhnya yang memiliki kedaulatan di perbatasan Yogyakarta: Gava Media. wilayah adat mereka. Pemerintah dapat memperluas Halim, A. (2015). Cultural Capital to Establish Spirit jangkauan penerima PLB dan memperbaiki kualiatas Nationalism Study of Values Local Dayak Communities Border Region in Sub Jagoi Babang, pelayanan PLB, serta menambah jumlah PLB di , West Kalimantan Province. sepanjang daerah yang selama ini dianggap sebagai Research on Humanities and Social Sciences: 5(20): 9- jalan setapak. 15. Hermansyah, Hermansyah (2014). "Islam dan Toleransi Jika kita merujuk pada kerangka konsep yang Beragama dalam Masyarakat Muslim Kanayatn Dayak telah dijelaskan di muka, maka daerah perbatasan di di Kalimantan Barat." ISLAMICA: Jurnal Studi Kabupaten Bengkayang termasuk kategori saling Keislaman Vol. 7, No. 2, 2014, hlm. 340-359. bergantung (interdependent), menurut Martinez (1994). Jayanti, Y.D. (2014). Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Darat antara Indonesia dan Malaysia (Studi Kasus di Masyarakat adat di Jagoi Babang dan Serikin-Malaysia, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat). Jurnal saling melakukan transaksi yang bersifat ekonomi dan Mahasiswa Fakultas Hukum. relasi sosial-budaya yang berkelanjutan. Namun, Jonses, S.B., (1945). Boundary-making: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors, and Boundary kegiatan-kegiatan ekonomi yang berlangsung ini Commissioners. Washington: Carnegie Endowment dalam jumlah yang relatif terbatas. Hal ini disebabkan for International Peace. oleh infrastruktur yang terbatas dan peraturan Kifli, G.C. (2007). Strategi Komunikasi Pembangunan perdagangan internasional yang masih berorientasi Pertanian pada Komunitas Dayak di Kalimantan Barat. Agricultural Development Communication Strategy of pada Pusat. Konsep perbatasan yang ideal yakni, Dayak Community in West Kalimantan. terintegrasi secara ekonomi, nampaknya masih King, V.T. (1993). The People of Borneo. Oxford: Blackwell. memerlukan waktu. Muawanah, S. (2015). Nasionalisme Melalui Pendidikan Agama pada Peserta Didik SMA/SMK/MA di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat. Jurnal SMART (Studi REFERENSI Masyarakat, Agama dan Tradisi): 1(2):137-150. Bangun, B.H. (2015). Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah Martinez, O. J. (1994). The Dynamics of Border Interaction: Perbatasan Negara: Perspektif Hukum Internasional New Approaches to Border Analysis. Dalam C.H. Budi Hermawan Bangun. Tanjungpura Law Journal: Schofield (Ed.), Global Boundaries, World 1(1): 52-63. 'Boundaries, (1: 1-15). London: Routledge. Elisa, R., Mering, A., dan Sanulita, H. (2015). Kajian tentang Prasojo, Z.H. (2013). "Dinamika Masyarakat Lokal Di Musik Maniamas Dayak Bidayuh Kabupaten Perbatasan." Walisongo 21 (2). Bengkayang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 4 (6). Purmintasari, Y.D. (2015). “Peristiwa Pemberantasan PGRS- FGD “Pengelolaan Perbatasan” yang diselenggarakan oleh Paraku di Kalimantan Barat Tahun 1967.” Jurnal Socia Tim Perbatasan IPSK LIPI di Bengkayang, 21 Mei 12 (1). 2015. Rahmaniah, S.E. (2015). Peran Generasi Bina Bangsa (GNBI) FGD “Pengelolaan Perbatasan” yang diselenggarakan oleh dalam Memberdayakan Masyarakat Perbatasan Jagoi Tim Perbatasan IPSK LIPI di Pontianak, 26 Mei 2015. Babang Kabupaten Bengkayang. Inferensi: 9 (1): 183- FGD “Pengelolaan Perbatasan” yang diselenggarakan oleh 208. Tim Perbatasan IPSK LIPI di Jakarta, 17 September Sassen, S. (2005). When National Territory is a Home to the 2015. Global: Old Border to Novel Borderings. New Political Haba, John (Ed) (2007). Potret Desa-Desa Perbatasan di Economy: 10 (4). Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Pusat Septariani, Muthia (2014). Sengketa-Sengketa Perbatasan di Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI dan Wilayah Darat Indonesia. Al Adl Jurnal Hukum 6 (11). Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna Sulehan, J., Bakar, N.R.A., Awang, A.H., Yusof, M & Liu, O.P. LIPI. (2013). Development at the Margins: Livelihood and Habba, John (2005). Hubungan Etnis: Jagoi Babang dan Sustainability of Communities at Malaysia - Indonesia Entikong. Di Riwanto Tirtosudarmo dan John Habba

136 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

Borders. Sociologija i prostor, 51 (2013) 197 (3): 547- Wuryandari, Ganewati (Ed.) (2009). Keamanan di Perbatasan 562. Indonesia Timor Leste: Sumber Acuan dan Kebijakan Tanasaldy, Taufiq (2008). Politik Identitas di Kalimantan Barat. Pengelolaannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Di Henk S. Norholdt dan Gerry Van Klinken (Eds.), Yunita, F.A. (2014). Peristiwa Sendoreng di Kecamatan Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV dan Obor. Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis Tirtosudarmo, Riwanto (2002). Kalimantan Barat sebagai Tentang Konflik Etnis Dayak-Madura Terbesar Pertama “Daerah Perbatasan”: Sebuah Tinjauan Demografi di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1979). Disertasi Politik. Antropologi Indonesia 67. pada Universitas Negeri Yogyakarta. Tirtosudarmo, Riwanto. (2005). Wilayah Perbatasan dan Resume Kesaksian Jamaludin Semunying Kalbar. Tantangan Indonesia Abad 21: Sebuah Pengantar. Di http://www.aman.or.id/wp- Riwanto Tirtosudarmo dan John Habba (Eds), Dari content/uploads/2014/05/Resume-Kesaksian- Entikong Sampai Nunukan. Jakarta: Sinar Harapan. Jamaludin-Semunying-Kalbar.pdf, (Diunduh pada 30 Wawancara dengan Kepala Bappeda, Bengkayang, 23 Mei November 2015). 2015. Surya, A. (2015, 26 Juni). Wilayah Malaysia yang diambil Wawancara dengan sekretaris Dewan Adat Dayak Indonesia. Dalam Bengkayang, 22 Mei 2015. http://www.kompasiana.com/suryakelana/wilayah- Wawancara dengan Yusnono, Institut Dayakologi, 28 Mei malaysia-yang-diambil- 2015. Indonesia_55001974a33311a96f50fe1e (Diunduh 1 Weber, M. (1965). The Theory of Social and Economic Agustus 2015). Organization. New York: Free Press.