KESENIAN REOG PONOROGO OLEH SANGGAR CIPTO BUDOYO DI PERBAUNGAN : ANALISIS PERTUNJUKAN DAN STRUKTUR MUSIK

TESIS

Oleh

DWI PRASETYO NUGROHO NIM. 167037004

PROGRAM STUDI MAGISTER PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

PERSETUJUAN

Judul Tesis : KESENIAN REOG PONOROGO OLEH SANGGAR CIPTO BUDOYO DI PERBAUNGAN : ANALISIS PERTUNJUKAN DAN STRUKTUR MUSIK. Nama : DWI PRASETYO NUGROHO Nomor Pokok : 167037004 Program Studi : Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dr. Panji Suroso, M.Si. NIP. 196512211991031001 NIP. 197412302006041002

Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Ketua, Dekan,

Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D. Dr. Budi Agustono, MS. NIP. 195812131986011002 NIP. 196008051987031001

Tanggal Lulus :

i

Telah diuji pada :

Tanggal : ______

PANITIA/PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( ...... )

Sekertaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( ...... )

Anggota : Dr. Panji Suroso, M.Si. ( ...... )

Anggota : Dr. Hariadi Susilo, M.Si. ( ...... )

Anggota : Drs. Kumalo Tarigan, MA., Ph.D. ( ...... )

Anggota : Dr. Dardanila, M.Hum. ( ...... )

ii

ABSTRACT

This research is about the performance of Art Reog Ponorogo by Cipto Budoyo studio in Perbaungan. The analysis of performance and music structure. The presence of cultural phenomena is about enthusiastic of Reog Ponorogo performance in the vilages where Javanese people lives in north Sumatera it is an interesting to observe and discuss. So many problems can be identified but not all of them can be answered because of limited time or maybe another thing, so this research just focused with two things which are the most important : They are how about the performance of Reog Ponorogo and how about the music structure for Reog Ponorogo in Perbaungan. This research will use some of relevant theory they are show art theory and music structure analysis theory. Besides of those two theories, it used another theory to support the first one like music function theory and another concept of show art and music structure and composition of music. This research used desciptive qialitatif method. It' describe about the fact in a real time. Observation and interview are the technique for collecting the data. From this research we conclude the structure of Reog Ponorogo performance in Cipto Budoyo studio are : a) The themes of performance about the legend of Javanese king, the models of Reog performance divide into two things, Pageant model and outdoor performance model. The structure of show divided into three phases : pra-show, show after-show. b) Music structure for Reog Ponorogo followed by scene, it describes clearly about how the structure of Gending Reog Ponorogo and singo nebah Gending accompany the Pageant, ganongan dance, singo barong dance. The structure of lancaran Ricik-ricik accompany jatilan persembahan dance. Gending sampak structure accompany war scene. Jaranan and Udan Mas Gending accompany ndadi and trance dance. All of Gending music structure related to scene, art and dance whis is played in Reog Ponorogo from Cipto Budoyo studio.

Keywords : analysis, music, performance, Reog, structure.

iii

ABSTRAK

Penelitian ini mangkaji tentang Kesenian Reog Ponorogo Oleh Sanggar Cipto Budoyo di Perbaungan : Analisis Pertunjukan dan Struktur Musik. Hadirnya sebuah fenomena budaya tentang semaraknya pertunjukan kesenian Reog Ponorogo di kampung-kampung tempat tinggal orang Jawa di Sumatera Utara sebagai hal yang menarik untuk dapat diamati dan dikaji. Banyaknya persoalan yang dapat diidentifikasi tentulah tidak akan dapat terjawab semuanya, karena adanya keterbatasan baik waktu maupun hal lainnya, maka untuk itu penelitian ini difokuskan dalam menelisik dua hal yang dianggap paling penting yaitu : Bagaimana struktur Kesenian Reog dan bagaimana struktur musik iringan Reog Ponorogo yang ada di Perbaungan. Penelitian ini akan dikaji dengan menggunakan teori-teori yang dianggap relevan untuk dapat digunakan. teori yang dianggap relevan tersebut dintaranya adalah teori seni pertunjukan dan teori analisis struktur musik. selain itu juga dalam penelitian ini akan dilakukan pencabaran teori-teori pendukung seperti teori fungsi musik dan berbagai konsep lainnya tentang seni pertunjukan dan kosnep-konsep analisis komposisi musik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi kualitatif yaitu dengan menggambarkan atau mengamati fakta-fakta yang sedang berlangsung. Tekhnik pengumpulan data dan penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Tekhnik pengolahan dan analisa data digunakan metode deskripsi kualitatif yaitu, menguraikan bagaimana struktur pertunjukan, dan struktur musik dari pertunjukan Reog Ponorogo di Perbaungan Sumatera Utara. dari hasil analisa yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa struktur pertunjukan Reog Ponorogo sangga Cipto Budoyo adalah: a) tema pertunjukan membawakan cerita legenda raja jawa, model pertunjukan Reog terbagi menjadi dua yaitu model arak- arakan dan pertunjukan di arena terbuka, struktur pertunjukan dibagi menjadi tiga fase yaitu fase pra pertunjukan, fase pertunjukan dan fase pasca pertunjukan. b). Struktur musik iringan Reog Ponorogo adalah secara berurutan mengikuti jalannya babakan pertunjukan dan tergambar secara jelas bagimana struktur gending Reog Ponorogo dan gending singo nebah dalam mengiringi arak-arakan, tarian ganongan, tarian singo barong, struktur gending lancaran Ricik-ricik dalam mengiringi tari persembahan jatilan, struktur gending sampak dalam mengirirngi adegan peperangan, struktur gending jaranan dan gending udan mas dalam mengiringi tarian ndadi atau kesurupan. Secara keseluruhan struktur musik gending iringan berkaitan dengan adegan dan gerakan tari yang diperagakan dalam Kesenian Reog Ponorogo sanggar Cipto Budoyo.

Kata kunci : analisis, musik, pertunjukan, Reog, struktur.

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, 24 Juli 2020

Dwi Prasetyo Nugroho NIM. 167037004

v

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat, rahmat dan karunia-Nya kepada Peneliti dan juga Shalawat berangkaikan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang membimbing dan menyertai peneliti dalam penyelesaian studi di Program Studi Magister Penciptaan dan

Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Tesis ini berjudul Kesenian Reog Ponorogo oleh Sanggar Copto Budoyo di Perbaungan

: Analisis Pertunjukan dan Struktur Musik. Tulisan dalam bentuk tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada

Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara Medan.

Tesis ini berisikan tentang hasil penelitian mengenai Analisis Struktur

Kesenian Reog Ponorogo oleh Sanggar Cipto Budoyo di Perbaungan dan Struktur

Musiknya. Pokok permasalahan yang dibahas adalah bagaimana struktur pertunjukan dalam Kesenian Reog Ponorogo serta bagaimana struktur musik pertunjukan tersebut.

Secara akademik peneliti mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.

Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, dan Bapak

Dr. Budi Agustono, MS., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberi fasilitas, sarana dan prasarana belajar bagi peneliti sehingga dapat menuntut ilmu di Kampus Universitas Sumatera Utara ini dengan baik.

Dalam kesempatan ini peneliti juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pembimbing yang telah banyak memberikan

vi

tuntunan, arahan serta bimbingan hingga akhirnya peneliti dapat menyelesaikan tulisan ini, yakni Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D., sebagai Dosen

Pembimbing I sekaligus sebagai Ketua Program Studi Penciptaan dan Pengkajian

Seni dan Bapak Dr. Panji Suroso, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing II. Peneliti juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Sekretaris Jurusan

Program Studi Pengkajian dan Penciptaan Seni, Bapak Drs. Torang Naiborhu,

M.Hum., atas bimbingan akademis dan arahan yang diberikan. Ucapkan terima kasih juga disampaikan kepada Dosen Penguji Bapak Dr. Hariadi Susilo, M.Si.,

Bapak Drs. Kumalo Tarigan, MA., Ph.D., dan Ibu Dr. Dardanila, M.Hum., yang telah memberikan saran serta masukannya untuk perbaikan penelitian tesis ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dosen Program Studi

Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, antara lain: Prof. Dr. Mauly Purba.

MA., Ph.D., Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution., M.Si., Dr. Asmyta Surbakti., M.Si.,

Dr. Ridwan Hanafiah., SH., MA., Dr. H. Muhizar Mukhtar, MA., Drs. Bebas

Sembiring, M.Si., Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Ph.D., atas ilmu yang telah diberikan selama ini. Begitu juga kepada Bapak Drs. Ponisan sebagai pegawai adminsitrasi, terima kasih atas segala bantuannya selama ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta,

Ayahanda Drs. Suparno., dan Ibunda tercinta Asnida, S.Pd., nasehat Ayah dan Ibu senantiasa mengiringi langkahku dimanapun peneliti berada. Segala yang Ayah dan Ibunda berikan (doa dan nasehat) membawaku mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, peneliti tidak mampu membalasnya dengan apapun. Tidak lupa pula peneliti mengucapkan terima kasih kepada Istri tercinta Ema Mailiana,

vii

S.Pd.I., Serta Ananda tersayang Muhammad Naufal Pradipta dan Ibrahim Syawal, yang selalu setia mendampingi serta memberikan dorongan, do‟a, semangat hingga akhirnya tesis ini dapat selesai.

Peneliti berharap kiranya tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Selain itu juga dapat menjadi sumbangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang

Penciptaan dan Pengkajian Seni, serta Etnomusikologi. Tentu tesis ini masih jauh dari kesempurnaannya, karena itu kepada semua pihak peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun pada tesis ini.

Medan, 24 Juli 2020 Peneliti

Dwi Prasetyo Nugroho NIM. 167037004

viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dwi Prasetyo Nugroho NIM : 167037004 Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 30 Juni 1987 Alamat : Jl. Perhubungan Dusun III Kenari No. 78 Desa Laut Dendang. Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Guru

Pendidikan Akademik :

1. SD Negeri No. 105289 Rukun Kolam Kec. Percut Sei Tuan (1995 - 2000)

2. SMP Negeri 1 Sungai Raya Pontianak (2000 - 2002)

3. SMA Negeri 11 Medan (2002 - 2005)

4. Jurusan Seni Drama Tari dan Musik, Universitas Negeri Medan (2005 - 2012)

Pengalaman Mengajar :

1. Ekstrakulikuler Musik di SMA Swasta Harapan II Medan tahun 2008 - 2010.

2. Guru Seni Budaya di SMA Swasta Dharmawangsa Medan tahun 2010 - 2014.

3. Guru Honorer Seni Budaya di SMA Negeri 3 Medan tahun 2015 - 2019.

4. PNS Guru Seni Budaya di MTs Negeri 3 Deli Serdang tahun 2019 - Sekarang.

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN ...... i ABSTRACT ...... iii INTISARI ...... iv PERNYATAAN ...... v PRAKATA ...... vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... ix DAFTAR ISI ...... x DAFTAR GAMBAR ...... xiv DAFTAR TABEL ...... xv DAFTAR NOTASI ...... xvi DAFTAR DIAGRAM ...... xvii DAFTAR BAGAN ...... xviii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8 1.3.1 Tujuan Penelitian ...... 8 1.3.2 Manfaat Penelitian ...... 8 1.4 Tinjauan Pustaka ...... 9 1.5 Teori dan Kerangka Konseptual ...... 16 1.5.1 Teori ...... 16 1.5.1.1 Teori seni pertunjukan ...... 17 1.5.1.2 Teori analisis musik ...... 26 1.5.2 Kerangka konsep penelitian ...... 31 1.6 Metode Penelitian ...... 33 1.6.1 Lokasi dan waktu penelitian ...... 34 1.6.2 Populasi dan sampel ...... 35 1.6.3 Teknik pengumpulan data ...... 36 1.6.3.1 Observasi ...... 36 1.6.3.2 Wawancara ...... 37 1.6.3.3 Dokumentasi ...... 37 1.6.3.4 Partisipan observer ...... 37 1.6.3.5 Kerja laboratorium ...... 38 1.6.4 Analisis data ...... 38 1.7 Sistematika Penelitian ...... 39

x

BAB II DESKRIPSI KELOMPOK MASYARAKAT JAWA DELI DI PERBAUNGAN SEBAGAI PELAKU REOG PONOROGO ...... 41 2.1 Sejarah Kedatangan Orang Jawa Ke Tanah Deli ...... 41 2.2 Agama, Kepercayaan dan Tradisi Ritual Masyarakat Jawa Deli ...... 48 2.2.1 Agama dan kepercayaan orang Jawa di Perbaungan...... 49 2.2.2 Tradisi Ritual Pernikahan ...... 51 2.2.3 Tradisi ritual memperingati tujuh bulan masa kehamilan ...... 57 2.2.4 Tradisi kepercayaan terhadap pantangan- pantangan pada masa kehamilan ...... 58 2.2.5 Tradisi pemberian nama ...... 63 2.2.6 Tradisi mengkhitan anak/sunatan ...... 71 2.2.7 Tradisi slametan ...... 73 2.2.8 Tradisi ngruat ...... 76 2.2.9 Tradisi selamatan yang berhubungan dengan peringatan kematian ...... 79 2.3 Jenis Kesenian Jawa Deli di Perbaungan ...... 80 2.4 Sistem Kekerabatan ...... 83 2.5 Bahasa...... 85 2.6 Organisasi Sosial Jawa Deli ...... 89

BAB III GAMBARAN UMUM SENI PERTUNJUKAN REOG PONOROGO PADA KELOMPOK MASYARAKAT JAWA DI PERBAUNGAN ...... 91 3.1 Pengertian Seni Pertunjukan Rakyat ...... 91 3.2 Pengertian Kesenian Reog Ponorogo ...... 92 3.3 Gambaran Umum Kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo di Perbaungan ...... 97 3.4 Unsur Pendukung Kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo ...... 101 3.4.1 Unsur pelaku atau pemain Reog Ponorogo Cipto Budoyo ...... 101 3.4.2 Unsur kostum atau pakaian pemain Reog Ponorogo Cipto Budoyo ...... 104 3.4.3 Peralatan dan instrumen musik Reog Ponorogo Cipto Budoyo ...... 107 3.4.4 Perlengkapan sound system ...... 115

xi

3.5 Tema atau Lakon Cerita Reog Ponorogo ...... 116 3.6 Sistem Manajemen Sanggar Cipto Budoyo ...... 116 3.7 Fungsi Pertunjukan Reog Bagi Masyarakat Pendukungnya ...... 121

BAB IV ANALISIS STRUKTUR PERTUNJUKAN REOG PONOROGO SANGGAR CIPTO BUDOYO ...... 126 4.1 Analisis Tema atau Lakon Cerita Reog ...... 127 4.2 Struktur Pertunjukan Reog Ponorogo ...... 131 4.2.1 Pra pertunjukan Reog Ponorogo ...... 132 4.2.1.1 Mempersiapkan dan membersihkan lokasi pertunjukan ...... 132 4.2.1.2 Memasang sesaji atau sajen ...... 133 4.2.1.3 Membakar kemenyan atau obong menyen ...... 145 4.2.2 Pertunjukan Reog Ponorogo...... 148 4.2.2.1 Strutur pertunjukan model arak- arakan Reog Ponorogo ...... 148 4.2.2.2 Struktur pertunjukan model di lapangan terbuka ...... 151 4.2.3 Pasca pertunjukan Reog...... 161

BAB V ANALISIS STRUKTUR MUSIK IRINGAN REOG PONOROGO SANGGAR CIPTO BUDOYO ...... 165 5.1 Struktur Bentuk Musik Arak-arakan Reog Ponorogo ...... 167 5.2 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Persembahan Jatilan ...... 172 5.3 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Ganongan Kecil ...... 178 5.4 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Ganongan Besar ...... 182 5.5 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Singo Barong ...... 185 5.6 Struktur Bentuk Iringan Tari Suka-suka / Nandi / Kesurupan ...... 201

xii

BAB VI PENUTUP ...... 212 6.1 Kesimpulan ...... 212 6.2 Saran ...... 226

DAFTAR PUSTAKA ...... 227 DAFTAR INFORMAN ...... 230 LAMPIRAN PENELITIAN ...... 231

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian ...... 34 Gambar 3.1 Pawai Reog Ponorogo dalam perayaan hari kemerdekaan ...... 100 Gambar 3.2 Kendhang ...... 107 Gambar 3.3 Demung ...... 108 Gambar 3.4 Saron...... 109 Gambar 3.5 Seperangkat Gong dan Kempul ...... 109 Gambar 3.6 Bonang ...... 110 Gambar 3.7 Kenong ...... 111 Gambar 3.8 Ketuk...... 112 Gambar 3.9 Selompret ...... 112 Gambar 3.10 Angklung...... 113 Gambar 3.11 Kendang Reog Ponorogo ...... 113 Gambar 3.12 Selompret Reog ...... 114 Gambar 3.13 Kempul dan Gayor Kempul ...... 114 Gambar 3.14 Kenong dan Ketuk ...... 114 Gambar 3.15 Sepasang Angklung Reog ...... 115 Gambar 4.1 Penari Jatilan...... 153 Gambar 4.2 Penari Ganongan Kecil ...... 155 Gambar 4.3 Bujang Ganong besar ...... 156 Gambar 4.4 Barongan Reog Ponorogo ...... 157

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jumlah Perkebunan di Sumatera Timur dari tahun 1864-1904 ...... 41 Tabel 2.2 Jumlah Populasi Kuli Kontrak 1884 Hingga 1929 ...... 44 Tabel 2.3 Populasi Etnik di Sumatera Timur Tahun 1930 ...... 44 Tabel 2.4 Persebaran Perkebunan Tembakau Deli 1865-1896 ...... 45 Tabel 5.1 Analisis Gending Iringan Arak-arakan ...... 170 Tabel 5.2 Analisis Gending Tari Persembahan Jatilan ...... 175 Tabel 5.3 Analisis Gending Iringan Tari Ganongan Kecil ...... 179 Tabel 5.4 Analisis Gending Iringan Tari Ganongan Besar...... 183 Tabel 5.5 Analisis Gending Singobarong ...... 186 Tabel 5.6 Analisis Unsur Musikal Gending Sampak ...... 190 Tabel 5.7 Analisis Gending Singa Nebah ...... 195 Tabel 5.8 Analisis Gending Jaranan ...... 201 Tabel 5.9 Analisis Gending Udan Mas ...... 206

xv

DAFTAR NOTASI

Notasi 1.1 Teori trinada atau akord, interval, kadens dan tekstrus menurut (Miller, 2002:89) ...... 30 Notasi 5.1 Motif Gending Reog Ponorogo ...... 169 Notasi 5.2 Motif Melodi Slompret ...... 169 Notasi 5.3 Motif Lancaran Ricik-ricik PL.BR ...... 174 Notasi 5.4 Motif Gending Sampak ...... 189 Notasi 5.5 Motif Gending Lancara Singa Nebah ...... 195 Notasi 5.6 Motif Gending Jaranan ...... 200 Notasi 5.7 Motif Gending Lancaran Udan Mas ...... 205

xvi

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1.1 Kerangka konsep penelitian Kesenian Reog Ponorogo oleh Sanggar Cipto Budoyo ...... 32

xvii

DAFTAR BAGAN

Bagan 4.1 Sekema Kirab Reog Ponorogo ...... 151 Bagan 4.2 Skema arena Pangung Terbuka Kesenian Reog Ponorogo ...... 152

xviii

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi .

Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut.

Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar di pulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda ditiap-tiap provinsi yang dimilikinya.

Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu provinsi yang ada di negara

Indonesia juga memiliki keaneka ragaman kebudayaan yang tidak hanya berasal dari budaya lokal saja, tetapi juga ada hadirnya budaya-budaya dari luar tradisi

Sumatera utara itu sendiri. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Sumatera Utara sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada. Bisa dikatakan bahwa Sumatera

2

Utara adalah salah satu provinsi dengan tingkat keanekaragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa asli Sumatera Utara seperti : Melayu, Batak Toba, Karo,

Simalungun, Mandailing, Pak-pak, Nias, peisir Sibolga, dan juga keanekaragaman budaya dari etnis Pendatang seperti : Tiong Hoa, Tamil, Arap, Jawa, Minang,

Aceh, dan suku budaya lainnya.

Sumatera Utara mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakatnya mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. berlabuhnya kapal-kapal Portugis di Pulau Sumatera pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Sumatera pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Pulau Sumatera.

Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas budaya masyarakat Sumatera Utara dalam berinteraksi dengan berbagai perbedaan. Disisi yang lain masyarakat di Sumatera Utara juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal dan budaya pendatang ditengah-tengah singgungan antar peradaban budaya saat ini.

Kebudayaan adalah hal yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan manusia, yang dihayati dan dimiliki bersama. Didalam kebudayaan terdapat kepercayaan, adat istiadat, sistem kepercayaan dan bentuk-bentuk kesenian. Kata

3 kebudayaan memiliki kata dasar “budaya” yang berarti pikiran, akal budi dan hasil. Menurut ilmu Antropologi yang disampaikan oleh Koentjaraningrat (1985)1 kebudayaan adalah seluruh kemampuan manusia yang didasarkan pada pemikirannya, tercemin pada perilaku dan pada benda-benda hasil karya mereka, yang diperoleh dengan cara belajar dan atas dasar pengalaman-pengalaman hidupnya.

Kehadiran sebuah bentuk kesenian rakyat sebagai sebuah karya cipta manusia tentu saja mengambarkan isi akal budi yang dituangkan kedalam karya seninya. Pada masyarakat etnis Jawa yang berada di Sumatera Utara sebagai etnis pendatang, memiliki berbagai jenis seni pertunjukan rakyat, diantaranya seperti : jenis kesenian Wayang Kulit, Wayang Orang, Ketoprak, Tayub (Ronggeng Jawa),

Kudang Kepang, Reog, dan jenis kesenian lainnya. Tentu saja jenis-jenis kesenian ini juga akan menggambarkan isi akal budi masyarakat pemilik budaya kesenian tersebut.

Kehadiran kesenian Jawa di Sumatera Utara tentu saja terkait dengan kedatangan orang-orang Jawa ke tanah Sumatera pada waktu yang lalu. Menurut historisnya orang Jawa atau yang sekarang lazim disebut dengan orang Jawa Deli memiliki pengalaman sejarah yang berbeda dengan orang Jawa yang datang tidak sebagai buruh perkebunan. Menurut Reid (2011:232)2 menjelaskan :

1 Koentjaraningrat,1995. Pengantar Ilmu Antropologi. : Rineka Cipta. 2 Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

4

“Perpindahan orang Jawa di Sumatera secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia yaitu sengaja didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880-an, bersama-sama dengan kuli orang Tionghoa mereka dibawa ke Sumatera Timur.”

Sedangkan menurut Said (1977:188)3 menjelaskan bahwa :

“Jumlah kuli kontrak pribumi adalah mencapai 40.000 jiwa sebagian besarnya adalah orang Jawa. Setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak lagi disebabkan untuk menggantikan orang Cina yang pada masa itu sudah tidak terlalu menguntungkan VOC.”

Menurut Suroso (9:2017) Orang Jawa Deli atau orang Jadel dalam sejarahnya menjadi objek penaklukan kepentingan kapitalisme perkebunan sebagai tenaga penggarap perkebunan Deli ketika itu. Para tenaga buruh kontrak orang Jawa didatangkan dari berbagai daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa

Timur (Breman:1997). Jumlah mereka yang sampai lebih dari 50.000 direkrut dari berbagai daerah seperti Semarang, Jogjakarta, Surakarta, Purworejo, dan

Banyumas (Stoler, 2005:41-47)4. Mereka itulah yang disebut sebagai kuli kontrak dan kemudian keturunannya saat ini disebut sebagai Jadel (Jawa Deli).

Tidak mengherankan kalau saat ini orang Jawa jumlahnya sangat banyak dan tersebar dihampir seluruh kabupaten yang ada di Sumatera Utara, dan orang- orang masih terus mengembangkan berbagai jenis keseniannya. Salah satu jenis seni pertunjukan kerakyatan yang mulai di idolakan oleh masyarakat Jawa saat ini adalah kesenian Reog. Kesenian Reog adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang bersal dari Jawa Timur. Sebuah seni pertunjukan yang sangat kental dengan

3 Said, Muhammad. 1977. Suatu zaman delap di deli : Koeli kontrak tempo doeloe dengan derita dan kemarahannya. Medan: Waspada 4 Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme Dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera. Yogyakarta: Karsa.

5 hal-hal berbau mistik dan ilmu kebatinan yang diketahui berasal dari Kabupaten

Ponorogo, oleh karena itu lebih populer dengan sebutan Reog Ponorogo.

Dari Hasil (field work) dan wawancara penulis terhadap narasumber menyatakan bahwa Reog merupakan sebuah seni pertunjukan tradisional yang dimiliki masyarakat suku jawa dan diangkat dari cerita rakyat. Reog dalam bentuk penyajian memiliki beberapa unsur yaitu teater, musik dan tari, ketiga unsur tersebut dikemas dalam suatu pertunjukan seni. Para pemain dalam pertunjukan reog memiliki peran nya masing-masing, diantaranya singobarong sebagai jelmaan seekor singa atau harimau buas yang memiliki kekuatan sakti, jatilan merupakan prajurit berkuda, patih bujang ganom memiliki peran sebagai orang kepercayaan raja prabu klono suwandono dan memiliki kesaktian yang tinggi, warok seorang penasehat yang juga memiliki kesaktian dan prabu klono suwandono sosok raja yang terkenal dan disegani rakyat.

Dalam penelitian ini yang akan menjadi fokus adalah sebuah seni pertunjukan Reog Ponorogo yang berada di kecamatan Perbaungan kabupaten

Serdang Bedage. Sebuah sanggar kesenian yang bernama Cipto Budoyo akan menjadi fokus lokasi pengamatan dalam penelitian ini, karena sanggar Cipto

Budoyo yang sangat eksis melakukan pertunjukan kesenian Reog baik dalam daerah hingga diberbagai daerah diluar kabupaten Serdang Bedage, dan menjadi perhatian penulis sendiri bagaimana konsep penyajian dalam pertunjukan Reog ponorogo oleh sanggar Cipto Budoyo. Pada umum nya pertunjukan reog itu sendiri memiliki beberapa instrument music yang digunakan, namun berbeda sanggar Cipto Budoyo memiliki penambahan seperti gamelan konvensional. Lalu

6 dari kostum yang digunakan juga berbeda dengan pertunjukan Reog pada umumnya, sanggar Cipto Bodoyo memiliki kostum atau aksesoris tambahan yang lebih banyak secara kuantitas. Dapat disimpulkan pertunjukan Reog ponorogo oleh sanggar Cipto Budoyo lebih variatif.

Jenis pertunjukan kesenian Reog Ponorogo dari sanggar Cipto Budoyo belakangan ini menjadi primadona seni pertunjukan bagi masyarakat dalam berbagai perhelatan kebudayaan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa di

Sumatera Utara. Perhelatan kebudayaan yang dilakukan antara lain pada perayaan hari-hari nasional, perayaan pesta pernikahan, perayaan ritual keadatan Jawa, dan perhelatan peresmian-peresmian institusi baik swasta maupun institusi negeri.

Bagaimana jenis kesenian mampu eksis ditengah-tengah gempuran budaya- budaya populer yang semakin canggih menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji.

Di era globalisai saat ini semakin banyak masyarakat yang menganggap kesenian tradisional khas daerah hanya sebuah kesenian masa lalu yang sudah usang dan dianggap kurang sesuai untuk dapat dinikmati sebagai sebuah hiburan atau tontonan masyarakat. Pada zaman yang semakin canggih saat ini, dengan hadirnya kecanggihan dihampir semua lini kehidupan termasuk pada industri hiburan, orang akan bisa bebas memilih secara instan budaya mana yang mau dikonsumsi. Berhubungan dengan hal tersebut ada sebuah fenomena semaraknya kesenian Reog Ponorogo di kampung-kampung tempat tinggal orang Jawa di

Sumatera Utara yang saat ini sedang bergeliat. Sekali lagi dapat ditegaskan bahwa fakta sosial budaya ini sangat menarik untuk diamati dan dikaji secara mendalam.

7

Bagaimana eksistensi dan kebertahanan seni pertunjukan Reog Ponorogo pada era yang serba canggih saat ini?, bagaimana Model seni pertunjukannya, yang akan di tinjau dari unsur-unsur pembentuk seni pertunjukannya seperti: kostum, gerak tari, musik iringannya, pelaku seninya, publik seninya dan unsur ritual-ritual yang dilibatkan dalam seni pertunjukannya menjadi bagian-bagian yang menarik untuk dicari tau bagaimana kejelasan kompleksitas kebudayaan dapat berlangsung ditengah-tengah masyarkat Sumatera Utara.

Dalam studi ini ditegaskan bahwa penelitian yang akan dilakukan hanya akan mengkaji bagaimana fakta keberlangsungan seni pertunjukan Reog Ponorogo yang ada di Sumatra Utara apa adanya. Banyaknya persoalan yang dapat di identifikasi pada latar belakang maslah ini tentulah tidak akan dapat terjawab semuanya karena adanya keterbatasan baik waktu maupun hal lainnya, maka untuk itu penelitian ini di fokuskan akan menelisik dua hal yang dianggap paling penting yaitu: Bagaimana struktur pertunjukan dari kesenian Reog Ponorogo yang ada di Kecamatan Perbaungan dan bagaimana struktur musik iringan Reog

Ponorogo yang ada di Kecamatan Perbaugan. Kedua hal ini akan dijadikan sebagai pokok pembahasan dalam penelitian yang akan dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana struktur pertunjukan dalam Seni Reog Ponorogo.

2. Bagaimana struktur musik pertunjukan Seni Reog Ponorogo.

8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan struktur pertunjukan dalam sebuah

pertunjukan seni Reog Ponorogo.

2. Untuk menganalisis struktur musik yang digunakan dalam

pertunjukan seni Reog Ponorogo.

1.3.2 Manfaat penelitian

1. Secara teoritik, hasil penelitian ini akan memberikan penjelasan yang

lebih kongkret atas fenomena budaya pertunjukan Reog Ponorogo di

Sumatera Utara yang dikaji dengan persoalan bagiamana struktur

pertunjukan dan bagaimana struktur musiknya. Selanjutnya manfaat

penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran

dan konsep-konsep baru untuk pengembangan ilmu pengetahuan

dalam kajian-kajian seni.

2. Secara praktis, studi ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi

pemangku kepentingan dalam memperhatikan keberlangsungan hidup

sebuah budaya kesenian, dan keterkaitannya dengan dinamika sosial

pada masyarakat luas sebagai salah satu varian kekayaan khazanah

seni tradisional Nusantara yang ada di Sumatera Utara. Hasil ini juga

diharapkan dapat menjadi inspirasi oleh peneliti lain untuk melakukan

kajian lebih lanjut pada bentuk-bentuk fakta sosial budaya kesenian

lainnya.

9

1.4 Tinjauan Pustaka

Berikut ini adalah beberapa deskripsi dan ulasan tinjauan pustaka dari berbagai hasil kajian penelitian terdahulu, serta literatur dari berbagai sumber untuk dapat membantu peneliti menggali informasi tentang kesenian Reog

Ponorogo di Sumatra Utara. Beberapa kajian pustaka dari berbagai sumber yang relevan berikut ini juga dimaksudkan untuk memperkaya sumber rujukan dalam memeriksa secara mendalam persoalan-persoalan seni pertunjukan yang menjadi fokus penelitian. Barbagai kajian tentang kesenian Reog Ponorogo dan pertunjukan kesenian lainnya di Sumatera Utara dalam paradigma teori-teori budaya serta kajian tentang orang Jawa di Sumatera Utara telah juga dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penelitian Eki Gunawan (2015)5 dengan judul penelitian Fungsi

Kesenian Reog Ponorogo di Desa Kolam (Kecamatan Percut Sei

Tuan, Kabupaten Deli Serdang Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui : (1) sejarah seni pertunjukan Reog Ponorogo di Desa

Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan, (2) Fungsi pertunjukan Reog

Ponorogo di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan dan (3) Peran

Kelompok dalam mempertahankan kesenian Reog Ponorogo di Desa

kolam, (4) Faktor-faktor kesenian Reog tetap bertahan. Penelitian

ini menggunakan metode penelitian deskripsif kualitatif yaitu

penelitian yang memaparkan data berdasarkan fakta yang ada di

lapangan. Populasinya masyarakat yang ada di Desa Kampung Kolam

5 Ibid.

10

Kecamatan Percut Sei Tuan, sedangkan sampel dalam penelitian ini dipilih secara purposiv yaitu dipilih berdasarkan kebutuhan dimana para sampel ini diambil dari masyarakat yang ada di Desa Kampung

Kolam dimana orang-orang yang akan dipilih meliputi : 1. Pemain

Reog Ponorogo, 2. Pemilik pertunjukan Reog Ponorogo, dan 3. Tokoh masyarakat desa. Data penelitian ini dikumpulkan dan diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara, observasi langsung ke lokasi penelitian dan studi kepustakaan pelengkap dalam memperoleh pengetahuan yang sifatnya teoritis. Hasil penelitian menunjukkan : 1.

Pertunjukan Reog Ponorogo di Desa Kampung Kolam sudah ada sejak dahulu yang dibawa oleh para kuli kontrak sebagai sarana hiburan, 2.

Kesenian Reog Ponorogo di desa Kolam memiliki beberapa Fungsi yaitu sebagai seni pertunjukan, fungsi sebagai pemersatu masyarakat, fungsi sebagai aspek ekonomi, fungsi sebagai aspek sosial budaya dan hiburan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan kesenian

Reog Ponorogo di desa kolam, 3. Peran kelompok Reog Ponorogo dalam mempertahankan kesenian Reog 4. Pertunjukan Reog Ponorogo dapat menghibur masyarakat sekaligus mengingatkan pada kampung halaman di daerah Ponorogo, (5) Ada 2 faktor mengapa kesenian reog dapat bertahan yaitu faktor internal dan eksternal, dan dengan dilihatnya masih banyak masyarakat yang melihat pertunjukan Reog, dan masyarakat menganggap bahwa pertunjukan Reog merupakan kesenian yang perlu dilestarikan. Penelitian yang dilakukan oleh Eki

11

Gunawan dianggap searah dengan penelitian yang akan dilakukan.

Dengan demikian data-data dalam penelitian akan dijadikan sebagai

salah satu rujukan dalam menelaah persoalan yang telah dirumuskan

dalam penelitian ini.

2. Dina damayanti Sitopu (2008)6 dengan judul penelitian Studi

Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo pada Upacara Perkawinan

Masyarakat Jawa Di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan

Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dilakukan

dengan metode deskriptif kualitatif dengan mempertanyakan :

bagaimana karakter Reog, kostum, pertunjukan tari yang meliputi pola

lantai dan gerak tari, durasi pertunjukan, dan musik pengiring. Hasil

penelitian menjelaskan secara detail tentang bentuk pertunjukan dan

unsur-unsur pendukungnya dalam tradisi perkawinan. Tentu saja hasil

kajian tersebut dianggap relevan dengan penelitian yang akan

dilakukan ini. data dan hasil penelitian tersebut akan dijadikan rujukan

dan pembanding dalam memahami persoalan-persoalan yang akan

dibahas dalam penelitian ini nantinya.

3. Kajian tentang seni pertunjukan lainnya yang dianggap relevan

adalah: Ninuk Kleden Probonegoro, Sutamat Aribowo, Yasmin Zaki

Shahab, Ipit S. Dimyanti (2004)7 dalam penelitian yang berjudul

“Pluralitas Makna Seni Pertunjukan dan Representasi Indentitas”.

6 Damayanti Dina 2008, Studi Deskriptif Kualitatif pertunjukan Reog Ponorogo pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan percut Sei Tuan. 7 Probonegoro, Ninuk Kleden. 2004. Pluralitas makna Seni Pertunjukan dan Representasi Identitas. Jakarta: PMB-LIPI.

12

Penelitian ini mengkaji seni pertunjukan sebagai tanda budaya yang meletakan persoalannya dalam semiotik Rolan Barthes.

Sebagai sebuah tanda budaya seni pertunjukan musik, tari dan teater Melayu menjadi penanda yang juga mempunyai petanda.

Makna seni pertunjukan timbul karena relasi antara penanda dan petanda, penanda dengan penanda-penanda lain dan penanda dengan petanda-petanda lain, yang ada dalam sistem sekunder. Penelitian yang dilakukan ini mengkaji tentang seni musik Panting dan Ghazal, seni tari Japin yang disebut juga Japen dan Ghazal, serta seni teater

Mamanda dan Makyong.

Hasil kajian terhadap pluralitas seni pertunjukan ini ternyata tidak hanya memperlihatkan adanya representasi indentitas provinsi sebagai petanda adanya kesadaran pluralitas kebudayaan setelah otonomi daerah dijalankan, tetapi justru kembali pada adanya suatu pemikiran tentang satu kebudayaan yang dikontruksikan, yaitu budaya seni pertunjukan Melayu bagaimana bentuk dan struktur pertunjukannya.

Kajian ini dianggap relevan karena data-data dari hasil penelitian tentang kajian yang dilakukan seperti representasi identitas etnis dan pemikiran tentang konsep kebudayaan yang dikontruksikan didalam seni pertunjukan dapat menjadi rujukan dan pengayaan serta pembanding dalam mengkaji seni pertunjukan Reog Ponorogo di

Kecamatan Perbaungan.

13

4. Nurwani (2016)8 dalam Disertasinya yang berjudul Ilau dari ritual ke

seni pertunjukan pada Masyarakat Minang Kabau (Strudi Tentang

Pemahaman dan interpretasi Makna). pada penelitian ini Nurwani

mengunakan teori Hermeniotik Gadamer untuk meneliti pemahaman

dan interpretasi makna Ilau.

Nurwani menjelaskan bahwa konsep utama Hermeniotik

Gadamer tentang Historikalitas, Dialektika, Linguistikalitas dan

kebenaran makna, lalu dengan memakai konsep utama Humastik

yaitu: Bildung, sensus comunis, pertimbangan dan selera digunakan

dalam melihat dan memeriksa makna teks dari budaya Ilau tersebut.

Kesimpulan dari penelitiaanya adalah bahwa ekspresi seni yang

terdapat pada ritual Ilau merupakan bentuk fakta yang terdapat dalam

kehidupan masyarakat Minangkabau. kehadiran Ilau baik ritual

maupun pertunjukan tidak terlepas dari adat istiadat sebagai dasar

melakukan pertimbangan-pertimbangan, baik oleh masyarakat, kaum

adat, kaum agama, maupun seniman dan pemerintah.

Relevansi dalam penelitian ini adalah dengan penyelidikan

tentang konsep bentuk pertunjukan Reog Ponorogo di Sumatera Utara,

konsep ritual maupun bentuk pertunjukan tersebut dapat juga

dijadikan sebagai rujukan dan pengayaan akademis dalam

penyelidikan konsep pertunjukan yang tersembunyi dibalik

8 Nurwani (2016) dalam Disertasinya yang berjudul Ilau dari ritual ke seni pertunjukan

14

pertunjukan Reog Ponorogo yang dipraktekan oleh orang-orang Jawa

Deli di Sumatera Utara.

5. Dalam mengamati isu-isu pergeseran budaya Jawa yang terus

berkembang di Sumatera Utara Hadiluwih Subanindio (2004)9 dalam

tulisannya “Pergeseran Peradaban dan Budaya Masyarakat Jawa di

Sumatera Utara” memaparkan tentang pergeseran budaya Jawa yang

terjadi pada masyarakat Jawa dalam masalah hakekat hidup, hakekat

kerja, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan

manusia, persepsi waktu dalam ranah budaya Jawa serta memuat

bahasan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada kesenian

tradisional Jawa di Sumatera Utara seperti kesenian pertunjukan

wayang, Ketoprak, kuda kepang dan Reog. Pemaparan pergeseran

nilai pada berbagai seni pertunjukan Jawa yang ada di Sumatera Utara

dalam catatan Hadiluwi Subanindio ini menjadi sumber penting yang

sangat singkron dan relevan dalam melihat seni pertunjukan bagi

masyarakat Jawa Deli saat ini.

6. Maura Dada (1997)10 membicarakan tentang kebudayaan suku-suku di

Sumatera Utara. Dalam tulisannya Maura Dada memberikan

kontribusi pemahaman dalam melihat berbagai perspektif pengaruh

kebudayaan suku-suku di Sumatera Utara terkait dengan keberadaan

suku Jawa sebagai bagian dari pluralitas masyarakat di Sumatera

9 Hadiluwih Subanindio (2004) “Pergeseran Peradaban dan Budaya Masyarakat Jawa di Sumatra Utara”Medan :Warta Darmawangsa 10 Dada Maura. Sejarah Kebudayaan Suku-Suku di Sumatera Utara. Yogyakarta : Ar- Ruzz Media : 1997.

15

Utara. Sumber ini dianggap penting sebagai pengayaan akademis

dalam untuk melihat bagaimana keterkaitannya dengan keberadaan

seni pertunjukan etnis Jawa sebagai bagian dari pluralitas masyarakata

di Sumatera Utara.

7. Anthony Reid yang berjudul “Menuju Sejarah Sumatera”, 201111,

Obor Indonesia. Buku ini berisikan tentang perkembangan masyarakat

Jawa di Sumatera Timur. Penulis mengambil bagian perkembangan

pekerja Jawa yang masuk ke sumatera pada tahun 1880 sampai tahun

1887 berjumlah 2.210 sebagai pekerja kuli kontrak sebagai pekebun

tembakau, kopi, teh dan karet bersama dengan pekerja Cina.

8. Pono Banoe yang berjudul “Kamus Musik”. 200312. Kanisius. Buku

ini berisi tentang istilah dan penjelasan mengenai istilah musik barat.

Dalam hal ini pembahasan didalam buku dapat di jadikan sebagai

pengayaan tentang istilah dan defenisi musik yang biasa digunakan

dalam sebuah penulisan komposis musik ataupun bentuk orkestrasi

seperti pembagian wilayah nada, instrumen, tanda dinamik, skala,

melodi, harmoni, dan persoalan penulisan musik lainnya.

9. Jamaes Danandjaja yang berjudul “Folklor Indonesia”. 198413. Grafiti

pers. Tulisan ini berisikan tentang penjelasan hakikat folklor sebagai

disiplin pengetahuan, sejarah perkembangan folklor di Indonesia.

Tulisan ini akan dijadikan sebagi sumber dalam memahami kesenian

11 Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 12 Bonoe, Pono. 2003. Kamus musik. Yogyakarta: Kanisius. 13 Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia : ilmu gosip, dongeng dan lain lain. Jakarta: Grafiti Pers.

16

Reog sebagai sebuah folklor yang lahir dari cerita-cerita masyarakat

Jawa.

10. Muhammad Sholikin “Ritual dan Tradisi Islam Jawa”, 2010. Tulisan

ini berisikan tentang bagaimana kebudayaan ritual dan kehidupan

sehari-hari masyarakat Jawa. tulisan ini akan dijadikan sebagai

rujukan dan pembanding dalam melihat sistem pola kehidupan

masyarakat Jawa di kehidupan sehari hari dalam menjalani tradisi

kesenian, sistem ekonomi dan lingkungan masyarakat.

11. Soetandyo yang berjudul “Kamus Istilah Karawitan”, 2002.

Wedatama Widya Sastra. Tulisan ini berisi tentang istilah dan

penjelasan mengenai istilah karawitan. Tulisan ini dianggap penting

sebagi rujukan dan pengayaan akademis dalam memahami pengertian

istilah musik yang biasa digunakan dalam karawitan Jawa dan istilah

karawitan lainnya.

1.5 Teori dan Kerangka Konsep Penelitian

1.5.1. Teori Dalam sebuah penelitian teori berfungsi sebagai landasan berpikir atau piasau bedah dalam mengurai masalah penelitian yang dianggap penting.

Seperangkat teori juga sangat perlu dijelaskan sebagai sebuah arahan atau pedoman peneliti untuk dapat mengungkapkan fenomena agar lebih terfokus.

Teori dalam sebuah penelitian juga dapat berkembang sejalan dengan penelitian ini berlangsung. Hal tersebut didasarkan pada suatu tradisi bahwa fokus atau masalah penelitian diharapkan berkembang sesuai dengan kenyataan dan fakta -

17 fakta dilapangan penelitian. Penelitian kualitatif mementingkan perspektif emik, dan bergerak dari fakta, informasi atau peristiwa menuju tingkat abstraksi yang lebih tinggi14.

Dalam sebuah penelitian yang mencabar beberapa teori yang dianggap relevan dapat dijelaskan bahwa antara teori dengan teori lainnya bukan sebagai suatu urutan dari “teori agung” (grand theory) “teori menengah” (middle theory) atau “teori terapan” (applied theory), melainkan sebagai suatu kumpulan teori yang saling mencabar dan saling dapat menjelaskan keterkaitannya satu sama lain.

Rencana penggunaan sejumlah teori dalam penelitian ini menurut pertimbangan peneliti sangat relevan dengan konteks dan fokus penelitian tentang seni pertunjukan Reog Ponorogo pada komunitas masyarakat Jawa di Perbaungan

Sumatera Utara.

Adapun teori-teori yang akan digunakan dan diharapkan dapat memberi arahan untuk dapat menjelaskan fenomena ini adalah sebagai berikut :

1.5.1.1 Teori seni pertunjukan

Persoalan-persoalan seni yang merupakan bagian dari pembahasan estetika seni, tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni (hasil atau produk) dan wujud seninya saja, tetapi juga aktifitas-aktifitas yang melatar belakangi manusia atas produk seni tersebut. Teori estetika, dengan kepustakaannya sejak masa plato mencoba menjawab pertayaan tentang keindahan dan nilai seni. Aneka jawaban yang diberikan oleh para filsuf berbeda-beda berdasarkan cara pandangnya masing-masing. Ada yang dengan mendekati pemahaman hakikat

14 Engkus Kuswarno 2013, Metodologi Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, konsepsi, pedoman dan contoh penelitian, Widya Padjadjaran, hal 108.

18 seni dari kualitas yang dikandung benda seni yang ideal, ada pula yang mencoba menjelaskannya dari sudut penciptanya yakni senimannya, ada yang mendekatinya dari publik seninya atau penikmat seni, dari konteks sosio budaya seninya dan dari berbagai pandangan-pandangan lainya. Pada dasarnya pandangan pandangan tersebut bersifat lebih dapat melengkapi dalam menjawab persoalan- persoalan yang dipertanyakan dalam persoalan seni tersebut.

Pandangan Sumarjo (29;2000)15 mengemukakan tentang 3 konsep pemikiran dalam melihat sebuah kesenian 1) pemikiran tentang produk benda seni dan wujud seni disebut sebagai estetika morfologi (estetika bentuk), 2) pemikirannya tentang pembuat benda seni dinamai estetika psikologi. Khusus pengguna karya seni disebut aksiologi estetik, yakni efek seni pada manusia.

Dengan demikian menurutnya hanya ada tiga pokok persoalan seni, yakni seniman sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni itu sendiri, dan penerima seni. Selanjutnya dari setiap instansi tadi akhirnya berkembang pokok- pokok baru, yakni dari benda seni muncul pokok soal nilai seni dan pengalaman seni, sedangkan dari masalah seniman seni akan muncul pokok konteks budaya seni. Dengan demikian, terdapat enam pembahasan pokok dalam wacana seni, yakni; 1) Benda seni, 2) Pencipta seni, 3) Publik seni, 4) Konteks seni, 5) Nilai- nilai seni, 6) Pengalaman seni.

- Benda seni

Pokok persoalan seni sebenarnya karya seni yang berwujud konkret

yang terindera dan teralami oleh manusia. Tanpa lahirnya benda seni tak

15 Jakob Sumarjo 2000. Filsafat Seni.

19 mungkin muncul persoalan-persoalan seni di atas. Seni terwujud berdasarkan medium tertentu, baik yang didengar (audio) maupun yang dilihat (visual) dan gabungan keduannya (seni audio visual). Ini akan melahirkan bidang seni tertentu misalnya seni visual (seni rupa, seni patung, seni arsitektur) dan seni audio (seni musik dan sastra) dan seni audio visual (seni teater atau drama, seni tari, seni film). Dalam persoalan benda seni ataupun karya seni ini biasanya juga dipermasalahkan apakah suatu karya seni merupakan peniruan kenyataan (mimesis) atau merupakan ekspresi jiwa seniman. Benda seni juga mempermasalahkan analisis bentuk seni dan isi seni.

- Pencipta seni (seniman).

Persoalan seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas, ekspresi, dan representasi. Akhir-akhir ini juga dipermasalahkan apakah pencipta seni ini berjenis kelamin wanita berbeda dengan yang berjenis kelamin pria. Dalam soal seniman dengan sendirinya juga dipermasalahkan pribadi seniman, yang tercemin dalam aneka karyanya dan ini menimbulkan soal gaya atau style dalam seni. Perdebatan mengenai pentingnya atau tidaknya mengetahui maksud seniman dalam karyanya bermula dari pokok soal pencipta seninya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persoalan motif, alasan dan tujuan apa seni itu diwujudkan dari pencipta seninya.

20

- Publik seni.

Seni bukan hanya masalah penciptaan karya seni, tetapi juga soal publik sebagai penikmatnya. Bagaimana seni mampu berkomunikasi dengan orang lain adalah persoalan seni ditengah-tengah publiknya. Suatu ciptaan disebut seni bukan oleh senimannya, tetapi oleh masyarakat pendukung seni dan masyarakat umumnya. Seni juga merupakan pengakuan umum. Seniman disebut seniman oleh masyarakatnya karena status yang diperjuangkan. Komunikasi seni dengan publiknya mengenai nilai-nilai seni menjadi persoalan seni dengan publiknya, hal didalamnya akan dipersoalkan bagaimana empati, wacana seni, nilai estetik, apresiasi seni, kritik seni dan institusi seni dalam masyarakat. Untuk persoalan ini sangatlah berperan bantuan kajian dari disiplin ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, dan antropologi.

- Nilai seni

Dengan cara ekstrem, filsuf seni Benedetto Croce mengatakan bahwa karya seni atau benda seni tidak pernah ada, sebab seni ada didalam jiwa manusia dan hanya ada dalam jiwa setiap penanggapnya. Persoalanya tentang seni sebenarnya adalah persoalan nilai-nilai tadi hingga dalam filsafat, kajian seni dikategorikan dalam kelompok kajian tentang nilai, sejajar dengan estetika dan logika.

Nilai selalu berhubungan dengan norma-norma yang esensial, juga dengan kepentingan (interest) yang sifatnya sangat kontekstual, dan dengan kualitas yang amat pribadi. Kandungan nilai benda seni yang

21 menyangkut kualitas seni itu sendiri, bersifat kontekstual dan esensial- universal (Sumardjo 29 ; 2000)16, karena seni juga menyangkut nilai-nilai setempat dan sezaman (kontekstual), maka pemahaman seni amat erat hubungannya dengan konteks zaman tersebut. Inilah sebabnya terdapat sejarah seni, dan setiap zaman memiliki fahamnya sendiri tentang apa yang disebut seni dan yang bukan seni (dalam arti seni yang kurang bermutu menurut zamannya).

Persoalan akan menjadi rumit ketika dalam suatu tempat dan zaman sebuah masyarakat terbagi-bagi menjadi berbagai kelompok nilai dasar

(menurut idelogi sosialnya) apa yang dihargai oleh suatu kelompok sebagai bernilai tertinggi, oleh kelompok lain justru tak dianggap berharga.

Begitu pula dalam soal nilai seni. Ada benda seni yang dalam suatu kelompok sosial disanjung sebagai bernilai seni, oleh kelompok lain diabaikan saja, dianggap bukan bagian dari keseniannya. Persoalan dalam konteks seni adalah persoalan tentang anutan nilai-nilai dasar kelompok dalam suatu masyarakat.

- Pengalaman Seni

Hakikat seni adalah pengalaman seni itu sendiri. Seni dikomunikasikan sebagai penyampaian imformasi tentang sesuatu yang dipikirkan oleh penciptanya berdasarkan atas apa yang dirasakan berdasarkan latar kehidupannya. Komunikasi seni adalah komunikasi nilai- nilai pengalaman hidup yang berkualitas, baik kualitas perasaan maupun

16 Ibid hal 29

22

kualitas medium seni itu sendiri. komunikasi seni adalah komunikasi

pengalaman yang melibatkan kegiatan penginderaan, nalar, emosi, dan

intuisi. Pengalaman seni berlangsung dalam proses yang berkaitan dengan

ruang dan waktu, kapan dan dalam situasi apa dia berlangsung.

Pengalaman seni bukan hanya menyangkut hubungan antara karya

seni dengan publik seni, tetapi juga pengalaman seni si seniman itu sendiri.

Dalam analisis pengalaman seni diperkenalkan pula pengalaman artistik,

empati, jarak estetik, ketidak tertarikan, serta unsur dan struktur

pengalaman seni (Sumarjo 37 : 2000)17

- Konteks Seni

Seni merupakan sebuah kesepakatan bersama masyarakat

pendukungnya. Seni juga merupakan konsep yang mendapat kesepakatan

masyarakat pada masing-masing jamannya. Persoalan seni juga akan

melekat diberbagai kondisi sosial dimana seni itu berlangsung. Dengan

demikian, hakikat seni pada kontektualnya tak dapat dipisahkan dari

ideologi sosial, masalah tradisi seni, dan sejarahnya, akulturasi budaya

seni, seni dan ekonomi, seni dan politik, seni dan elit budaya, masalah seni

kekinian, seni populer dan setrusnya. Persoalan konteks seni juga

berkaitan dengan persoalan nilai seni terkait dengan konteks seni pada

masyarakat pendukungnya (Sumarjo 32:2000).

Persoalan seni ternyata melibatkan berbagai pokok tinjauan satu sama lain yang amat berkaitan. Persoalan benda seni akan melibatkan pembicaraan tentang

17 Ibid hal 32

23 seniman, nilai-nilai dan pengalaman seni yang diperoleh, sedangkan persoalan nilai-nilai akan berkaitan dengan publik seni dan konteks sosial budaya.

Kesenian Reog Ponorogo adalah seni pertunjukan yang sarat dengan pesan-pesan sosial menyangkut berbagai hal tentang kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat seperti yang telah dijelaskan estetika seni di atas.

Berhubungan dengan hal tersebut Murgianto mengatakan pertunjukan seni adalah sebuah komunikasi yang di lakukan satu orang atau lebih, dalam hal ini pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan

(publik seni), dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas (Murgianto

1996:156)18.

Pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan ruang dan waktu, dan mempunyai bagian awal, tengah, dan akhir (Sechner:1998). Sejalan dengan pendapat tersebut Sediyawati mengutarakan bahwa seni pertunjukan dibagi ke dalam dua kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan sebagai tontonan, di mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton saling berhubungan satu sama lain (Sedyawati 2012)19.

Selain itu untuk menjawab keterkaitan tentang persoalan hubungannya dengan masyarakat pendukungnya dan persoalan keadatan ataupun ritual tradisi kesenian dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Brandon dan Soedarsono

18 Murgianto, Sal. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius 19 Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Rajagrafindo.

24 yang menjelaskan bahwa beberapa fungsi seni pertunjukan dalam lingkungan etnik di Indonesia, ialah: 1) Pemanggil kekuatan gaib, 2) Penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan, 3) Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, 4) Peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya, 5) Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang, 6) Pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu, 7) Perwujudan dari pada dorongan untuk mengungkapkan keindahan semata, 8) Sebagai ritual kesuburan,

9) Memperingati daur hidup manusia sejak kelahiran hingga ia mati, 10) Mengusir wabah penyakit, 11) Melindungi masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, 12)

Sebagai hiburan pribadi, 13) Sebagai representasi estetis (tontonan), 14) Sebagai media propaganda, 15) Sebagai penggugah solidaritas sosial, 16) Sebagai pembangun integritas sosial, 17) Sebagai pengikat solidaritas nasional, 18)

Sebagai alat komunikasi, dan sebagainya (1999:1-2). Pendapat ini digunakan dalam memeriksa dan melihat kembali seperti apakah pertunjukan Reog itu berfungsi pada kelompok masyarakat pendukungnya.

Selanjutnya hal diatas juga diperkuat oleh pendapat Pavis dalam Takari dan Heristina (2008:10-11)20 menyusun daftar pertanyaan yang lebih luas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu ialah yang mencakup : (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi : (a) unsur-unsur apa yang rnendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e)

20 Takari, Muhammad dan Heristina Dewi. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press.

25 kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan : (2) skenografi, yang meliputi : (a) bentuk ruang pertunjukan mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya, (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage dan off stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama : (3) sistem tata cahaya;

(4) properti panggung : tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain : (5) kosturn : bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain : (6) pertunjukan : (a) gaya individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pernain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik,

(e) bagaimana dialog dikembangkan : (7) fungsi musik dan efek suara : (8) tahapan pertunjukan:(a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kosturn, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba : (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan : (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya : (10) teks dalarn pertunjukan : (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji : (11) penonton : (a) dimana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan

26 terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan rnakna-makna : (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apa yang menjadi fokus : (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan : (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah- masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan. Secara teoritik pendapat para ahli diatas dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir yang melandasi bagaimana persoalan yang ada dalam penelitian tentang struktur pertunjukan Reog sebagai sebuah kesenian kerakyatan dapat ditelaah dengan tajam dan mendalam.

1.5.1.2 Teori analisis musik

Untuk mengkaji struktur musik dalam pertunjukan Reog Ponorogo di

Perbaungan, Penulis akan menggunakan teori analisi musik. berkaitan dengan hal tersebut dalam kegiatan menganalisis musik tidak lain merupakan kegiatan menelaah serta mengevaluasi bentuk musik atau lagu tersebut kedalam beberapa bagian. Seigmeister (1985:368) mengatakan bahwa:

“Together with percetive listening, musical analyis provide insight intro the strukture of music. By focusing on subtleties of contruction, on the fine detils of composer’s cratmanship, and above all on interrelanthip of the constituent elements, analysis reveals aspects of a compotition not apparent to the casual listener. Distinguishing the individual roles of melody, harmony, and rhytem, it reveals their organic interplay in the crwation of music structure.”

27

Dalam pengertian diatas adalah bahwa analisis dalam musik adalah mendengar untuk mengetahui sruktur musik. Fokus terhadap hal-hal terkecil dari unsur-unsur yang diciptakan komponisnya dan semua saling berkaitan dengan elemen pendukungnya, analisis membahas tentang aspek-aspek komposisi yang tidak dapat dilakukan orang awam. Dengan menitik beratkan pada melodi, harmoni, dan ritme yang saling mempengaruhi dan membentuk struktur musik.

Analisis sangat diperlukan untuk memahami struktur sebuah karya komposisi.

Selanjutnya pendapat Prier (1996)21 mengatakan bahwa:

“Analisis adalah memotong dan memperhatikan detail sambil melupakan keseluruhan dari sebuah karya musik. Keseluruhan berarti : memandang awal dan akhir dari sebuah lagu serta beberapa perhentian sementara ditengahnya; gelombang naik turun dan tempat puncaknya; denga kata lain dari segi struktur”.

Pendapat serupa juga dikemukakan Stanley dalam The Grove

Concise Dictionary Of Music (1988:97) :

“Analysis : the part of music which takes the music it self, rether than any external factor, as it is starting point. It normally involves resolution of musical in to reelatively simpler constituent elementsand the investigation of the roleof those element in the structure. There are many different and methods of analysis, including by fundamental stucture, by form, by phrase-structure and by information theory”.

Analisis merupakan bagian pembelajaran tentang musik dimana diambil dari musik itu sendiri dengan beberapa faktor dari luar yang mendukung. Analisis dilakukan dengan memperlihatkan struktur musik dalam bentuk yang sederhana serta meneliti aturan elemen-elemen dalam struktur itu. Struktur yang sangat

21 Prier, Karl-Edmund. 2009. Kamus Musik. Yogyakarta: Pusat musik liturgi.

28 mendasar dalam analisis komposisi yakni, tema, bentuk, struktur frase, dan informasi teori.

Bentuk musik merupakan suatu gagasan/ide yang tampak dalam pengolahan/susunan semua unsur musik dalam sebuah komposisi mencakup melodi, irama, harmoni dan dinamika”.

- Melodi

Melodi merupakan unsur yang paling penting dalam sebuah komposisi

musik. Melodi menjadi patokan yang paling banyak mendapat perhatian

dalam kajian bentuk suatu komposisi. Menurut (Miller, 2002:87)

“Melody is defined as a logical progression of tunes and rhythems, a tune set to a beat. But pay close attention to that word “logical.” A melody isn’t a random conglomeration of notes; the notes have to relate to and follow from each other words, a melody has to make sense, or else it’s just a bunch of noise”

Dalam pengertian diatas diartikan bahwa melodi didefenisikan sebagai

perkembangan kemampuan logika dari nada dan irama, lagu diatur sesuai

dengan tempo tetapi harus memperhatikan dengan logis. Melodi bukan

konglomerasi acak not, not harus saling berhubungan satu dengan yang

lain, melodi harus saling mengikuti atau itu hanya akan sebagai kebisingan

saja.

Menurut Politoske (1988:20) yang mengungkapkan bahwa: “melody

is generally the first thing people listen for in a piece music . it is the

“tune” that will rememmbered long after the music is over.” Yang

mengartikan bahwa melodi adalah hal pertama yang didengar orang dalam

29 potongan musik. Ini adalah nada yang akan lama dikenang setelah musik berhenti.

- Irama

Irama dibentuk oleh panjang pendeknya (durasi) not-not yang digambarkan dalam simbol-simbol not (Mudjilah, 2004:7). Sedangkan menurut Banoe (2003:198), irama adalah pola ritme tertentu yang dinyatakan dengan nama. Penggunaan istilah yang berhubungan dengan irama ini bermacam-macam dan berasal dari istilah-istilah bahasa asing.

Ritme berasal dari rhythme (Belanda), ritem atau rhythm (Inggris), ritmis dari rhythmische (Belanda), ritmik dari rhythmic. Dalam bahasa Indonesia istilah irama ialah sebagai unsur dasar musik, yang mencakup pulsa/ketukan, birama, dan pola irama.

- Harmoni

Harmoni merupakan perihal keselarasan bunyi. Secara teknis meliputi susunan, peranan dan hubungan dari sebuah paduan bunyi dengan sesamanya atau dengan bentuk keseluruhannya (Syafiq, 2003:133).

Sedangkan menurut Banoe (2003: 180), harmoni merupakan cabang ilmu pengetahuan tentang musik yang membahas dan membicarakan perihal keindahan komposisi musik sedangkan menurut Busroh (1992:89) mengemukakan bahwa: “harmoni atau paduan nada ialah bunyi nyanyian atau permainan musik yang menggunakan dua nada atau lebih, yang berbeda tinggi nadanya dan kita dengar serentak. Dasar harmoni ini ialah trinada atau akord, interval, kadens dan tekstrus”.

30

Notasi 1.1 Teori trinada atau akord, interval, kadens dan tekstrus menurut (Miller, 2002:89)

- Dinamik

Menurut Banoe (2003:116) Tanda dinamik merupakan keras

lembutnya dalam cara memainkan musik, Dalam komposisi piano Maple

leaf Rag tidak terlalu banyak variasi dinamik yang digunakan oleh Scott

Joplin. Berikut adalah beberapa contoh dinamik yang terdapat pada karya

yang akan diteliti : 1) Forte (f) = kuat, 2) Mezzo Forte(fz) = Agak Kuat, 3)

Piano (p) = lembut 4). Aksen (^) = penekanan yang lebih.

Berhubungan dengan paparan pendapat para ahli diatas tentang bagaimana menganalisa bentuk dan struktur sebuah komposisi musik, maka dalam penelitian ini konsep teori analisa musik ini dianggap sangat relevan dan akan dirujuk untuk menganalisis bagaimana struktur musik pertunjukan Reog Ponorogo dalam penelitian ini. Tujuan dari menganalisis musik ini yaitu untuk dapat mengerti serta memahami sebuah struktur komposisi musik yang ada. Dalam menganalisis musik haruslah dapat diuraikan bagian-bagian dari sebuah sususan karya musik sehingga dapat dimengerti dan dipahami bagaimana bentuk struktur musik secara keseluruhan.

31

1.5.2 Kerangka konsep penelitian

Kerangka konseptual ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara kongkrit konsep penelitian ini, dalam konsep ini dirancang secara general persoalan yang akan dibahas dan bingkai kerangka teori yang akan digunakan.

Kerangka konseptual ini merupakan konsepsi tahap-tahap penelitian dalam membangun sebuah kerangka berpikir yang sistematis. Berdasarkan latar belakang masalah, perumusan dan tujuan penelitian serta teori-teori yang telah dipaparkan pada bagian terdahulu, maka disusunlah sebuah kerangka berfikir sebagai peta berjalannya penelitian ini. adapun kerangka konsep penelitian tersebut adalah berikut :

32

Diagram 1.1 Kerangka konsep penelitian Kesenian Reog Ponorogo `

Temuan Struktur Temuan Struktur Musik Pertunjukan Reog Ponorogo Iringan Reog Ponorogo

Kesimpulan Penelitian 1. Struktur pertunjukan kesenian Reog Ponorogo 2. Struktur musik iringan Reog Ponorogo

33

1.6 Metode Penelitian

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan

(field work) dengan metode deskripsi kualitatif yaitu menggambarkan atau mengamati fakta - fakta yang sedang berlangsung. Tekhnik pengumpulan data dan penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Tekhnik pengolahan dan analisa data di gunakan metode deskripsi kualitatif yaitu, menguraikan bagaimana struktur pertunjukan, dan struktur musik dari pertunjukan Reog Ponorogo di

Perbaungan Sumatera Utara.

Menurut Kaelan (2012:94-95)22 menyatakan bahwa dalam konteks penelitian kebudayaan terdapat beberapa pendekatan metode seperti metode historis, hermeneutika, komparatif dan analitika bahasa yang bisa digunakan oleh

Peneliti agar penelitian lebih jelas dan memiliki data yang akurat. Hal ini sesuai dengan yang di katakan Arikunto, (2003:309-310)23, yaitu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang di maksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status, satu gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Adapun pengertian deskriptif menurut Sukardi (2009:15) adalah metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang di teliti sesuai dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat.

Analisis data dilakukan sejak berada di lapangan, yaitu dengan melakukan pengorganisasian data, dilanjutkan dengan menghubungkan data yang satu dengan

22 Kaelan, 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, budaya, filsafat seni agama dan humaniora. Yogyakarta: Paradima 23 Arikunito, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :Rineka Cipta.

34 yang lainnya berdasarkan persfektif teori, kemudian mengidentifikasi hakikat hubungan-hubungannya hingga memunculkan asumsi-asumsi baru yang perlu dibuktikan kebenarannya di lapangan. Hal ini dilakukan hingga akhir penelitian.

Pada bagian ini dibahas beberapa metode untuk menarik dan memverifikasi suatu fenomena dalam konteks terbatas yang membentuk suatu kajian kasus dari sekelompok masyarakat atau komunitas tertentu.

Setelah keseluruhan data selesai dikumpulkan dari lokasi penelitian, maka tahap akhir dari penelitian ini adalah mendeskripsikan data-data untuk menemukan beberapa kesimpulan tentang struktur pertunjukan dan struktur musik

Reog Ponorogo di Perbaungan Sumatera Utara.

1.6.1 Lokasi dan waktu penelitian

- Lokasi penelitian

Gambar 1.1 : Peta lokasi penelitian (Sumber : https://www.serdangbedagaikab.go.id/ )

Lokasi penelitian dilakukan di sanggar Cipto Budoyo yang berda di

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedage. Di dalam melakukan penelitian ini,

35 penulis berinteraksi dengan seniman dan masyarakat pengguna kesenian Reog

Ponorogo dan ikut bergabung secara langsung sebagai partisipan observer dengan narasumber untuk memperoleh data secara akurat.

- Waktu penelitian

Pemilihan waktu penelitian haruslah tepat dan matang agar penelitian dapat tercapai sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Adapun yang menjadi waktu penelitian untuk mendapatkan data-data yang diperlukan di dalam yaitu dari bulan November 2019 Februari 2020.

1.6.2 Populasi dan sampel

- Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda seni. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Seniman, masyarakat pengguna seni dan unsur-unsur kesenian Reog ponorogo yang terdapat disanggar Cipto budoyo.

- Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu

36

(Sugiyono, 2011:118). Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah bentuk Kesenian Reog Ponorogo yang ada di Perbaungan.

1.6.3 Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk mendapatkan data.

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara. Setting adalah teknik pengumpulan data yang diperoleh dari lapangan penelitian dengan berbagai responden, pada suatu seminar, diskusi dan lain-lain. Pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.

Teknik pengumpulan data juga akan dilakukan dengan observasi

(pengamatan), interview (wawancara), dokumentasi dan gabungan keempatnya.

Untuk itu dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data dengan empat tahapan yaitu :

1.6.3.1 Observasi

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dengan

menggunakan observasi (pengamatan). Dalam menggunakan metode

observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format

atau blangko pengamatan sebagai instrumentnya. Penulis melakukan

observasi dalam upaya memperoleh data secara langsung dari lapangan

37 penelitian untuk mengetahui seluruh aktivitas tentang pertunjukan kesenian Reog Ponoogo. Pengamatan dalam observasi yang dilakukan akan merekam hal-hal yang dianggap penting sebagai acuan data-data penelitian.

1.6.3.2 Wawancara

Wawancara digunakan sebagai upaya mengetahui secara mendalam tentang apa yang mereka alami dan mereka rasakan secara langsung.

Tehnik wawancara ini juga mendapatkan informasi langsung dari nara

Sumber yang dapat dipercaya. Pemilihan narasumber yang dapat dipercaya diharapkan dapat mengemukakan hal-hal yang sebenar-benarnya terjadi dalam peristiwa budaya tersebut. dalam hal ini penulis akan melakukan wawancara dengan beberapa orang narasumber yang dapat dipercaya seperti : tokoh adat yang mengetahui tentang kesenian Reog Ponorogo, seniman pelaku Reog ponorogo, masyarakat pengguna Reog Ponorogo.

1.6.3.3 Dokumentasi

Dokumentasi adalah untuk melakukan pendokumentasian berbagai persitiwa dan data yang berhubungan dengan persitiwa pertunjukan Reog

Ponorogo di Perbaungan berupa catatan, transkip, photo, video, dan sebagainya.

1.6.3.4 Partisipan observer

Dalam hal ini peneliti akan melibatkan diri dalam peristiwa budaya yang terjadi baik sebagai pelaku seni dalam memainkan salah satu alat

38

musik maupun ikut sebagai penyelengara kegiatan kesenian Reog

Ponorogo di lokasi.

1.6.3.5 Kerja laboratorium

Setelah pengumpulan data dilaksanakan, data penelitian ini diolah

dengan menggunakan teknik kualitatif yaitu, dengan mendeskripsikan

struktur pertunjukan, dan strutur musik dalam kesenian Reog Ponorogo

yang berada di Perbaungan. Semua kegiatan ini merupakan rangkaian dari

kerja laboratorium.

Analisis data dilakukan sejak berada di lapangan, yaitu dengan

melakukan pengorganisasian data, dilanjutkan dengan menghubungkan

data yang satu dengan yang lainnya berdasarkan perspektif teori, kemudian

mengidentifikasi hakikat hubungan-hubungannya hingga memunculkan

asumsi-asumsi baru yang perlu dibuktikan kebenarannya di lapangan. Hal

ini dilakukan hingga akhir penelitian. Pada bagian ini dibahas beberapa

metode untuk menarik dan memverifikasi suatu fenomena dalam konteks

terbatas yang membentuk suatu kajian kasus dari sekelompok masyarakat

atau komunitas tertentu.

1.6.4. Analisis data Informasi dan data-data yang telah diperoleh dilapangan penelitian melalui studi kepustakaan, wawancara, partisipan observer dan hasil penelitian lapangan kemudian diolah, diseleksi, dan disaring berdasarkan kebutuhan penelitian pada kerja laboratorium. Data yang dipergunakan untuk penelitian tesis ini adalah data-

39 data yang sesuai dengan kriteria disiplin ilmu etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan.

Setelah data dikumpulkan, proses selanjutnya adalah menganalisis data.

Menurut Burhan Bungin (2007:153), ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses perkembangan suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas tetang keberadaan struktur Reog Ponorogo; dan (2) menganalisis struktur musik iringan Reog

Ponrogo yang ada dibalik informasi, data dan proses suatu fenomena keberadaannya.

1.7 Sistematika Penelitian

Tesis ini ditulis ke dalam Enam bab dimana setiap bab memiliki keterkaitan satu dengan lainnya dalam rangka memecahkan pokok masalah yang sudah ditetapkan. Adapun sistematika penelitian atau pembahagian bab dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

Bab I merupakan Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Teori dan Kerangka

Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

Bab II berisi tentang gambaran umum masyarakat Jawa Deli sebagai pelaku Reog Ponorogo yang meliputi: sejarah kedatangan orang Jawa ke tanah

Deli, Agama, kepercayaan masyarakat jawa Deli di Perbaungan, tradisi Ritual masyarakat jawa Deli, tradisi pantangan-pantangan, pemberian nama, pernikahan, sunatan, selamatan, tradisi ruatan, jenis-jenis kesenian jawa Deli Sumatera Utara, sistem kekerabatan, sistem bahasa dan organisasi sosial Jawa Deli.

40

Bab III membahas Gambaran umum seni pertunjukan Reog Ponorogo pada kelompok masyarakat jawa di Sanggar Cipto Budoyo Perbaungan yang meliputi: penegertian seni pertunjukan, pengertian Reog Ponorogo, gambaran umum kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo di Perbaungan, unsur-unsur pendukung kesenian Reog Ponorogo, sistem manajemen sanggar Reog Ponorogo di Cipto

Budoyo, dan fungsi kesenian Reog Ponorogo bagi masyrakat pendukungnya.

Bab IV mengkaji tema atau lakon pertunjukan Reog Ponorogo Sanggar

Cipto Budoyo, analisis struktur pertunjukan Reog Ponorogo dari mulai fase pra pertunjukan, saat pertunjukan dan paska pertunjukan.

Bab V merupakan bab yang mengkaji tentang analisis struktur musik iringan Reog Ponorogo yang meliputi sistem nada, tehnik, dan keterkaitannya dengan adegan pada pertunjukan Reog Ponorogo sanggar Cipto Budoyo.

Bab VI merupakan bab penutup yang berisi tentang : Kesimpulan, dan

Saran.

41

BAB II DESKRIPSI KELOMPOK MASYARAKAT JAWA DELI SEBAGAI PELAKU REOG PONOROGO

2.1. Sejarah Kedatangan Orang Jawa ke Tanah Deli

Kedatangan orang Jawa ke tanah Deli sumatera Utara secara historis tidak terlepas dari sejarah pembukaan perkebunan di Deli oleh perusahaan-perusaahan kapitalis swasta Eropa dan Amerika. Perusahan-perusahaan ini mula-mula membuka perkebunan tembakau kemudian karet dan kelapa sawit. Tanah Deli kemudian benar-benar menjadi ajang petualangan besar kapitalis di Nusantara sepanjang zaman kolonial. Kolonialisasi ekonomi itu kemudian diikuti oleh masuknya pemerintah kolonial yang diikuti dengan campur tangan para misionaris.24

Dalam catatan sejarah menyebutkan bahwa pada tahun 1889 di Deli telah terdapat 170 perkebunan tembakau, meskipun jumlah tersebut menurun secara perlahan-lahan akibat persoalan-persoalan yang terjadi ketika itu. berikut adalah tabel jumlah perkebunan Deli dari tahun 1864-1904).

Tabel. 2.1 Jumlah Perkebunan di Sumatera Timur dari Tahun 1864-1904

Tahun Jumlah Perkebunan 1864 1 1873 13 1874 23 1876 40 1881 67 1883 74 1884 76

24 Baca Daniel Perret, kolonialisme dan etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur 2010.

42

1885 88 1886 104 1887 114 1888 141 1889 153 1891 169 1892 135 1893 124 1894 111 1900 139 1904 114 (Sumber: Breman dalam Damanik 1997:1)

Untuk mendongkrak produksi perkebunan dan perekonomian pihak kolonial segera mendatangkan tenaga ahli (pekebun, pengusaha, ilmuwan, petualang, pekerja dan lain-lain). Yang didatangkan dari jaringan internasioal wilayah Eropa dan jaringan internasional Asia25. Untuk perekrutan tenaga pekerja perkebunan mula-mula perkebun mendatangkan buruh Tionghoa dari Tiongkok terutama dari Guangzhou sebanyak 7000 buruh per tahun sejak tahun 1888 sampai dengan tahun 1930-an, dan jumlahnya hampir setengah juta orang pada tahun 1930-an. Karena persoalan pembayaran pajak imigrasi buruh Tionghoa dirasa terlalu tinggi akhirnya usaha mendatangkan buruh dari cina dihentikan26.

Kondisi tersebut membuat pemilik perkebunan akhirnya menggunakan jasa pencari kerja atau “werk” (dalam bahasa Inggris disebut broker) yang bernaung di bawah AVROS (Algemeene Vereniging Rubber planters Dost kust

Van Sumatra) untuk mencari dan mendatangkan tenaga kerja serta buruh Jawa yang tersedia dalam jumlah besar serta harganya yang relatif murah. Berdasarkan sifat dan produktivitasnya, buruh-buruh Jawa ini tidak jauh berbeda dengan buruh

25 Ibid. 26 Ibid.

43

Cina. Pengambilan buruh ini sebahagian dilakukan dengan cara menipu dengan menjanjikan upah yang besar. Ada pula yang dipaksa dengan menangkapi dan disuruh menandatangani perjanjian yang mereka tidak tahu isinya dan dijanjikan bujuk rayu dengan pemberian upah yang tinggi atau disebut dengan Penale

Sanctie27. Para tenaga buruh kontrak Jawa ini didatangkan dari berbagai daerah miskin Jawa Tengah dan Jawa Timur (Breman:1997)28. Jumlah mereka yang sampai lebih dari 50.000 direkrut dari berbagai daerah seperti Semarang,

Jogjakarta, Surakarta, Purworejo, dan Banyumas (Stoler, 2005:41-47)

Menurut catatan Veth29 pada “Het lanschap Deli”bahwa pada tahun 1870 sudah ada sekitar 150 kuli Jawa yang datang atas kehendak sendiri dari Semarang untuk bekerja di perkebunan Deli. Menurut Stoler tahun 1911 lebih dari 50.000 kuli “kontrak” didatangkan dari Jawa Tengah untuk dipekerjakan dan di tempatkan pada perkebunan Deli30. Orang Jawa yang bekerja di perkebunan Deli pada tahun-tahun berikutnya terus mengalami peningkatan dalam jumlah yang semakin besar. Menurut Antoni Reid dalam catatannya bahwa pada tahun 1929, kuli Jawa di perkebunan Sumatera Timur telah mencapai 239.281 jiwa, dan pada tahun 1930 total penduduk Jawa di daerah ini telah mencapai 589.836 jiwa atau

35% dari total penduduk Sumatera Timur.31 Jumlah ini melebihi jumlah penduduk pribumi (Melayu, Karo, Simalungun) yang berjumlah 580.879 jiwa (34,5%),

27 Penale Sanctie ialah istilah yang digunakan oleh kolonial Holland (Belanda) untuk para kuli kontrak yang disertai dengan peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka (kuli kontrak), lihat chatib (1995:10) 28 ibid 29 Baca Daniel Perret, kolonialisme dan etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur 2010, hlm.39. 30 stoler. 31 Anthony Reid, 1987: 85.

44 sedangkan jumlah orang Eropa hanya sekitar 11.079 Jiwa, Cina 192.882 jiwa, sedangkan India dan timur asing lainnya berjumlah 18.904 jiwa.

Tabel 2.2 Jumlah Populasi Pekerja (Kuli Kontrak) 1884-1929 Tahun 1884 1900 1916 1920 1925 1929 Cina 21.136 58.516 43.689 23.900 26.800 25.934 Jawa 1.771 25.224 150.392 212.400 168.400 239.281 dan lain-lain 1.528 2.460 – 2.000 1.500 1.019 (Sumber: Reid dalam Damanik 1987:299)

Pada tahun 1930-an Jumlah populasi etnik yang ada diSumatera Timur ketika itu di dominasi oleh etnik Jawa dalam jumlah mencapai (35%) melebihi dari seluruh etnik-etnik yang ada. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3 Populasi Etnik di Sumatera Timur Tahun 1930

BANYAKNYA JUMLAH (JIWA) PERSEN (%) Eropa 11.079 0,7 China 192.822 11,4 India dan lainnya 18.904 1,1 SUBTOTAL NON-PRIBUMI 222.805 13,2 Jawa 589.836 35 Batak Toba 74.224 4,4 Mandailing-Angkola 59.638 3,5 Minangkabau 50.677 3 Sunda 44.107 2,6 Banjar 31.266 1,8 Aceh 7.795 0,5 Lain-Lain 24.646 1,5 SUBTOTAL PENDATANG 882.189 52,3 Melayu 334.870 19,9 Batak Karo 145.429 8,6 Batak Simalungun 95.144 5,6 Lain-Lain 5.436 0,3 SUBTOTAL PRIBUMI 580.879 34,5 SUMATERA TIMUR JUMLAH SELURUHNYA 1.685.873 100 (Sumber: Antoni Reid dalam Suroso 2011:47)

45

Menurut Khairani32 bahwa pada tahun 1937 para kuli kontrak Jawa yang datang ke Deli sudah diwajibkan membawa keluarga suami, istri dan dua orang anak. Para kuli kontrak Jawa tersebut akan ditempatkan dibarak-barak perkebunan seperti di rumah panjang ataupun dibangsal-bangsal tempat pemeraman tembakau

Deli.

Keberadaan orang Jawa Deli sebagai kuli kontrak ditempatkan tersebar di seluruh kantong-kantong perkebunan yang berada di tanah Deli ketika itu.

Kantong-kantong perkebunan tersebut tersebar di 44 wilayah Sumatera Timur yang menjadi tempat-tempat penampungan para buruh yang direkrut dari berbagai tempat di pulau Jawa. berikut adalah tabel persebaran perkebunan tembakau Deli pada tahun 1865 sampai dengan 1896.

Tabel 2.4 Persebaran Perkebunan Tembakau Deli 1865-1896

No Tahun Derah Nama Perusahaan

1 1865 Saint Cyrus (Bekala) Geo Wehry & Co 2 1869 Martubung, Deli Maatschappij Sunggal, Deli Maatschappij Polonia, Langkat Association Padang Boelan, Amsterdam Deli Company Klambir Lima Arendsburg 3 1870 Bekalla Deli Maatschappij Gedong Johore Deli Batavia Maatschappij 4 1871 Petersburg (sukapiring) Deli Maatschappij Mariendal Estate Deli Maatschappij 5 1872 Two Rivers (Deli Toewa), Baron Baud Association Rotterdam (Sialang Muda) Deli Maatschappij& Ritgen Cremer Medan Estate Deli Maatschappij 6 1873 Soengai Sikambing, Si Putih MedanTabaksmaatschappij kemudian bekerja sama dengan Tabaks Maatschappi Franco Deli.

32 Leylia Khairani, Reproduksi Identitas Budaya jawa Deli dalam Ruang Sosial Masyarakat Lokal 2015, hal 127.

46

7 1874 Timbang Langkat Deli Batavia Maatschappij Helvetia Deli Batavia Maatschappij 8 1875 Sungai Beras dan Kloempang Onderneming Kloempang (Terdjoen) Deli Maatschappij Bandar Klippa (Timbang Deli) TabakMaatschappij Arendsburg Arendsburg Soengai Bras 9 1876 Patoembah (Patumbak) Senembah Maatschappij 10 1878 Amplas, Amsterdam Deli Company Tandjong Djati Langkat Deli Maatschappij 11 1879 Paija Bacon (Paya Bakong) Deli Maatschappij Tabaksonderneming Deli Deli Mij Toewa Toentoengan (Tuntungan) 12 1880 Gloegoer (Glugur) Bekri Amsterdam Deli Company Kwala Begumit Deli Maatschappij Tandem Langkat Deli-Batavia Maatschappij Belawan Deli Mij 13 1881 Gambir dan Leoning P en G de Guigne 14 1882 Loeboek Dalam Deli Maatschappij Mabar Oscar Eckels & Werner Weber Boeloeh Tjina (Buluh Cina) Deli Maatschappij 15 1883 Tandem Hilir Deli-Batavia Maatschappij 16 1884 Soengai Krio Arendsburg Tabaksonderneming Soengai Arendsburg Mentjirim (Sungai Mencirim) 17 1889 Poengai dan Tanjong Morawa Deli Mij Kala Hoen Pinang Amsterdam Deli Company 18 1890 Namoe Oekoer (Namu Ukur) Deli Maatschappij Sampali Deli Maatschappij 19 1896 Klambir Lima Deli Maatschappij (Sumber: www.tembakaudeli.blogspot.co.id)

Dari data tersebut sekiranya dapat menjelaskan mengapa di daerah-daerah tersebut hingga kini banyak dihuni oleh masyarakat yang bersuku Jawa. karena memang sejak masa lalu para pendahulu orang Jawa Deli yang notabennya adalah para pekerja perkebunan telah ditempatkan di lokasi-lokasi tersebut dan banyak dari mereka yang tidak bisa kembali ke daerah asalnya karena kondisi sosial yang memaksa mereka untuk tetap bertahan di daerah tersebut.

47

Selanjutnya setelah perkebunan Deli tidak lagi beroprasi seperti sebelumnya, dan para kuli “kontrak” yang habis masa kontraknya dengan perkebunan Deli tidak lagi kembali ke kampung halaman leluhurnya. Sebagian dari mereka ada yang masih tetap menempati rumah perkebunan pemberian dari pihak perkebunan dan sebagian ada juga yang bergeser ke daerah-daerah disekitar wilayah perkebunan-perkebunan Deli, atau bergeser ke pingiran kota-kota dibeberapa wilayah Sumatera Utara.

Kawasan hunian atau barak-barak perkebunan yang dulunya termasuk kedalam wilayah administratif perkebunan Deli, dan pada perkembangannya dengan berbagai alasan yang terjadi telah terlepas dari wilayah perkebunan Deli pada akhirnya menjadi kampung halaman bagi para keturunan eks kuli “kontrak” selanjutnya. Terbentuknya kampung-kampung di kawasan perbatasan perkebunan

Deli dapat dilihat pada catatan Stoler (2005:39), menjelang tahun 1903 sudah disadari oleh penjabat perkebunan bahwa telah bermunculan pemukiman- pemukiman ilegal para penyerobot tanah disepanjang perbatasan konsensi- konsensi perkebunan. Tempat-tempat tersebut dihuni oleh para pekerja perkebunan, orang Batak dari pegunungan dan juga orang Melayu. Pada perkembangannya menurut Khairani (2015:188) setelah dikeluarkannya izin kepemilikan tanah kampung didalam lahan konsensi perkebunan pada tahun 1977 areal tersebut diusahakan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal oleh para kuli kontrak dan keturunannya.

48

Kuli kontrak adalah sebutan untuk perjanjian contract koeli33. Sebutan ini kemudian lebih ditujukan kepada para pekerja kebun yang berasal dari

Jawa. Kuli kontrak memiliki konotasi orang rendah. Para kuli kontrak Jawa yang merupakan pekerja tua yang umumnya dari generasi pertama, yang sejak lima puluh tahun terakhir berusaha menjauhkan diri dari status kuli kontrak, dan kebanyakan dari mereka telah memusatkan usahanya membangun rumah dan pekarangan sendiri untuk produksi pertanian kecil-kecilan ditepi-tepi perkebunan atau di atas lahan yang diserobot dari perkebunan. Setelah selesai dari kontrak dengan perkebunan para bekas kuli banyak yang menjadi petani penyewa tanah atau menjadi tenaga kerja upahan di sekitar pingiran kota-kota di Sumatera Utara.

Hingga saat ini hampir diseluruh penjuru daerah di Sumatera Utara banyak terdapat orang Jawa dan banyak berdiri kampung-kampung orang Jawa Deli.

2.2 Agama, Kepercayaan dan Tradisi Ritual Masyarakat Jawa Deli

Masyarakat Jawa Deli di Sumatera Utara dalam menjalankan kehidupannya masih berpedoman pada aturan yang bersumber dari Agama dan tradisi kepercayaan yang telah diwariskan oleh pendahulu mereka. Sebagian besar dari mereka masih menjalankan ritual-ritual keadatan, seperti : dalam menjalankan upacara peringatan lingkaran hidupnya, mulai dari menjalankan ritual masa kelahiran, pemberian nama, masa menjelang kedewasaan, ritual pernikahan, ritual masa kehamilan, selamatan atas hal yang baik dan penolakan atas hal yang buruk hingga peringatan kematian.

33 Istilah Coentract koeli adalah nama perjanjian kerja yang isinya mengikat pekerja kebun untuk patuh pada pengusaha perkebunan di Deli, lihat avan (2012:126).

49

Bagi orang Jawa Deli (Jadel) menjalankan kehidupannya harus berpegang terhadap aturan agama dan adat istiadat, hal tersebut adalah sebuah sikap yang harus mereka pegang teguh sebagai manusia Jawa. Orang Jawa Deli pada umumnya tetap ingin mengedepankan simbol-simbol kejawaannya dalam kehidupan mereka dikampung-kampung Jawa Deli, menjalankan dan tetap melestarikan kebudayaan peninggalan leluhurnya.

2.2.1 Agama dan kepercayaan orang Jawa di Perbaungan

Menurut Koentjaraningrat (1995:295), suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara pengiku-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagaaman merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lain yaitu : (1) sistem keyakinan, (sistem upacara keagamaan), (c)suatu umat yang menganut religi itu. Mayoritas masyarakat Jawa di Sumatera Utara adalah pemeluk agama Islam. Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan agamanya, masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Wong Putihan, yaitu orang-orang Jawa yang taat menjalankan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang yakin terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankannya secara penuh, bahkan kadang- kadang mencampurkan unsur-unsur di luar Islam.

Dari penjelasan diatas sangat dapat dijelaskan bahwa mayoritas orang

Jawa di Sumatera Utara memeluk keyakinan terhadap agama Islam, namun ada sebagaian orang Jawa Deli yang mempraktekkan dengan cara yang berbeda yaitu dengan mempercampurkannya dengan adat istiadat Jawa. Bagi orang Jawa yang

50 disebut dengan wong putihan yaitu orang yang tekun menjalankan ajaran agama islam sebagai mana yang dianjurkan oleh Al-Qur‟an dan Hadis Nabi. Sedangkan wong lore adalah orang Jawa beridentitas agama Islam yang tidak terlalu tekun dan masih mencampurkan adat tradisi kedalam tatacara ibadah keagamaannya.

Menurut Panji Suroso (2011:36), orang Jawa Deli di Sumatera Utara juga melakukan berbagai kegiatan upacara-upacara keagamaan dan juga upacara- upacara adat Jawa. Kegiatan itu bisa dilakukan berdasarkan kemurnian agama maupun percampuran antara agama Islam dan budaya, misalnya seperti dalam pelaksanaa upacara perayaan perkawinan, upacara selametan siklus lingkaran hidup, dan lain-lain. Dalam hal-hal tersebut adakalanya orang Jawa Deli melakukan berdasarkan ajaran agama dan ada kalanya berdasarkan percampuran agama dan adat budaya Jawa. ciri ini mirip dengan apa yang dijelaskan oleh

Klifford Geertz tentang agama Jawa yang digolongkan kedalam 3 bentuk budaya yaitu abangan, santri dan priyayi34.

Pada umumnya orang Jawa Deli walau banyak yang sudah meninggalkan kepercayaan terhadap tahyul tetapi masih banyak pula yang percaya kepada kekuatan gaib yang melebihi kemampuan manusia, seperti kasakten (kekuatan dari arwah atau mahluk-mahluk halus). Kekuatan yang datang dari hal gaib ini dipercaya dapat mendatangkan kekuatan, kebahagian dan keberuntungan, atau dapat pula sebaliknya mendatangkan gangguan bahkan kematian.

Untuk mengatasi gangguan tersebut dilakukan upacara, berpantang, selamatan dan bersesaji dengan maksud agar terhindar dari gangguan-gangguan

34 Clifford Geertz:1960. Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya: Komunitas Bambu.

51 pikiran bahkan kemungkinan kematian yang diakibatkannya. Sedangkan kepercayaan berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan keyakinan dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.

Orang Jawa telah mengenal dan mengakui adanya tuhan jauh sebelum agama masuk ke Jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi sampai saat ini yaitu agama kejawen yang merupakan tatanan “pugaraning urip” atau tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur. Keyakinan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa pada tradisi Jawa diwujudkan berdasarkan pada sesuatu yang nyata lalu kemudian direalisasikan pada tata cara hidup dan aturan positif dalam kehidupan masyarakat Jawa, agar hidup selalu berlangsung dengan baik dan bertanggung jawab.

Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama yang dianut di pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di jawa. Ciri khas dari agama kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama hindu dan budha. Menurut Geetz (2013) penggolongan kepercayaan

Agama masyarakat Jawa terbagi menjadi 3 (tiga) tipe kebudayaan yaitu : 1) islam

Abangan . 2) Gololongan Santri. 3) golongan Priyayi35.

2.2.2 Tradisi ritual pernikahan

Pernikahan adalah momen yang terpenting dalam hidup seseorang, tanpa memandang suku dan kepercayaan yang dimilikinya. Orang Jadel (Jawa Deli)

35 Baca klifford Geertz, 2013, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi dalam kebudayaan Jawa.

52 mengenal penyelenggaraan acara pernikahan dengan sebutan “nduwe gawe” atau

“ewuh”. Hal ini (“nduwe gawe” atau “ewuh”) mengandung makna bahwa akan mengadakan suatu hajatan atau pekerjaan yang besar dengan melibatkan seluruh sanak keluarga tentangga dekat dan handai tolan. Dalam hidup orang Jadel (Jawa

Deli) ritual ini menunjukkan adanya pengaruh adat Melayu. Misalnya saja dalam hal melamar calon pengantin, pengaruh adat Melayu jelas terasa sangat menonjol.

Ditandai dengan adanya acara Maresek, yaitu acara melamar dan penentuan hari baik saat dilaksanakannya hari perkawinan.

Dalam acara melamar akan dilakukan acara “Hantaran” adalah sebuah kegiatan pertemuan antar keluarga laki-laki dan perempuan dimana keluarga laki- laki mangantarkan seperangkat barang. Barang yang telah ditetapkan sebagai antaran berdasarkan kesepakatan antara calon pengantin dan kedua belah pihak keluarga. Dalam acara hantaran ini, akan di sepakati waktu pelaksanaan pernikahan yang dihadiri oleh keluarga dan tetangga dekat kedua belah pihak.

Adapun barang - barang yang akan di hantarkan adalah :

1. Cincin pernikahan sebagai tanda ikatan tali kasih

2. Barang keperluan yang wajib untuk calon penganti wanita yaitu : kebaya,

perlengkapan pakaian dalam, pakaian tidur, sandal dan sepatu

perlengkapan penghias wajah, beberapa potong bakal kain. Keseluruhan

perlengkapan ini akan di atur dalam sebuah wadah agar kelihatan lebih

indah dan menarik.

3. Seperangkat perlengkapan untuk beribadah, mukena, kain sarung, jilbab,

Al-Qur’an dan sejadah.

53

4. Seperangkat tempat tidur, kasur dan bantal guling, lemari pakaian dan

meja rias.

5. Buah-buahan dan makanan seperti atau makanan ringan lainnya.

6. Uang hantaran atau uang hangus sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Bagi orang Jadel hal tersebut diatas tidak selalu menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak calon pengantin pria. Ada juga yang menyampaikan antran sesuai kemampuan yang dimiliki. Dalam hal menegosiasikan hal antaran pihak dari calon pengantin wanita akan merasa sungkan mengajukan permintaan baik barang antaran barang maupun jumlah uang hantaran yang kiranya dapat memberatkan pihak calon pengantian pria.

Selanjutnya setelah tiba pada waktu yang telah ditentukana dalam kesepakatan, akan dilaksanakan acara Ijab kabul. Acara Ijab kabul ini biasanya dilakukan oleh masyarakat Jadel sehari sebelum pelaksanaan pesta perkawinan.

Ijab kabul adalah kegiatan yang paling inti sebagai tanda terjadinya penyatuan pengantin pria dan pengantin wanita telah resmi dipersatukan secara agama dan negara. Biasanya setelah ini akan diadakan selametan atau acara kenduri dalam memohon keselamatan pada malam harinya. Bagi orang jadel kenduri merupakan bagaian yang penting, kenduri dimaknai sebagai pengantar memohon keberkahan bagi si pengantin, dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan serta pemujaan terhadap roh-roh leluhur yang telah meninggal. Orang jadel akan merasa bersalah kepada roh leluhur apa bila tidak melakukan kenduri. Dalam hal ini orang jadel akan menghadirkan berbagai simbol yang di interpretasikan dalam

54 sajian makanan yang disajikan dalam acara kenduri tersebut. Beberapa sajian makanan tersebut antara lain adalah :

1. Sajian atau nasi guruih yang disimbolkan sebagai nasi Rasul

sebagai wujud permohonan keselamatan dan kesejahteraan bagi

penyelenggara dan peserta ritual pesta pernikahan.

2. Sajian ayam ingkung atau ayam utuh yang di goreng atau dimasak dalam

keadaan lengkap dan dalam keadaan terikat namun telah di keluarkan isi

jeroannya. Hal ini menyimbolkan kepasrahan orang Jadel kepada Tuhan

yang maha Esa, dan penahanan diri oleh hawa nafsu dalam menjalani

mahligai rumah tangga yang baru.

3. Sajian bubur merah putih, yaitu terdiri dari tiga jenis bubur : merah, putih

dan gabungan dari bubur merah dan putih : yang putih seputar luar dan

yang merah dibagian dalam. Hal ini melambangkan bahwa yang merah

adalah air dari ayah dan yang putih air dari ibu. Bubur merah putih juga

disebut dengan bubur tolak bala yang bermakna dapat menolak segala

ganguan dari roh atau jin yang ingin mencelakai seseorang.

4. atau sajian buah-buahan dan atau makanan yang terdapat

di pasar, hal ini menyimbolkan harapan kemakmuran dan kemurahan

rezeki dalam kehidupan.

5. Pisang raja menyimbolkan pengharapan agar kelak dapat selalu berbuat

baik dan adil dalam kehidupan bermasyarakat.

55

6. Kembang telon yang terdiri dari bunga melati, bunga kenanga, bunga

kantil. Hal ini menyimbolkan pengharapan dalam menjalani kehidupan

akan dapat menjaga nama baik keluarga ditengah-tengah masyarakat.

7. Selain itu ada juga sajian “sajen” yang di khususkan untuk roh para leluhur

yang ditempatkan pada ruangan atau di tempat yang khusus di bagian

salah satu ruangan rumah si penyelengara pesta. Hal ini mengandung

makna penghormatan kepada para roh leluhur yang telah meninggal.

Kemudian selanjutnya pada saat pelaksanaan pesta pernikahan, adat

Melayu turut hadir dan menunjukkan pengaruh yang dominan. Keberadaan

“Marhaban36”, acara “tepung tawar37” terhadap pengantin dan keberadaan

“Bale38”, menjadi bukti pengaruh hadirnya budaya Melayu didalam ritual pernikahan tersebut.

Pada beberapa kasus pernikahan tidak selalu dilaksanakan atau sangat jarang di jumpai dalam pernikahan orang Jawa di Medan Sumatera Utara, yang melaksanakan adat pernikahan Jawa dengan mengikuti budaya pakemnya. Hal tersebut antara lain adalah masih terdapatnya (sangat jarang) orang Jawa yang menjalankan apa yang dinamakan panggih yaitu upacara temu pengantin yang dilanjutkan dengan acara Balangan suruh, yaitu lempar-lemparan sirih yang disebut Gantal, Kemudian acara Kacar-kucur, acara injak telur dan sungkeman

36 Kegiatan melagukan slawat yang dilakukan oleh sekelompok wanita dewasa dalam sebuah hajatan untuk memuhon doa restu dari sanak famili. 37 Merupakan upacara adat yang dilakukan dalam setiap kegiatan seremonial masyarakat Melayu. Dilengkapi dengan adanya perlengkapan upacara seperti : adanya ketan kuning, daun pandan, sirih, kapur sirih dan beberapjenis bunga tertentu. 38 Perlengkapan upacara dalam tradisi Melayu, balai merupakan sebuah wadah bertingkat 3 sampai 7 terbuat dari kayu dan berisikan makanan yang menyimbolkan makna-makna kesuburan, kemuliaan dan pengorbanan.

56 pada orang tua kedua pengantin. Dengan kata lain pada umumnya peristiwa pernikahan yang masih mengikuti pakem ini tidak lagi dijumpai pada beberapa upacara tersebut.

Hal lain yang dapat ditemui pada acara pesta pernikahan orang Jawa di

Medan Sumatera Utara yaitu adanya acara hiburan seperti: pertunjukan Reog,

Ketoprak Dor, pertunjukan keyboard atau organ tunggal, campur sari, tayub

(ronggeng Jawa, pertunjukan wayang orang, wayang kulit sebagai hiburan.

Biasanya dalam pesta pernikahan ini pertunjukan organ tunggal atau campur sari dengan dendang lagu-lagu Jawa dan diselingi dengan tari-tarian Jawa, dimulai pada siang hari hingga malam harinya. Hiburan wayang orang, wayang kulit, atau

Ketoprak Dor akan dilakukan malam hari pada pukul 9 malam sampai pukul 4 pagi. Untuk acara ronggeng Jawa akan diadakan pada siang hari sampai pada malam menjelang pagi. Hal ini dilakukan untuk memberikan hiburan kepada para tamu maupun hiburan untuk si pembuat pesta.

Setelah menikah atau Omah-omah, pasangan yang baru menikah akan menetap dulu di rumah orang tuanya, tergantung tempat yang lebih memungkinkan bagi keduanya. Biasanya dipilih tempat mana yang lebih memungkinkan. Namun adat menetap setelah perkawinan yang ideal bagi mereka adalah secara neolokal, yaitu hidup mandiri yang sesuai dengan arti Omah-omah39 yaitu membentuk rumah tangga sendiri tanpa pihak ketiga. Dalam mengharapkan kelahiran anak, orang Jadel sebagai keturunan orang Jawa masih banyak yang mempercayai dan menjalankan berbagai ritual adat istiaat budaya yang

39 Istilah orang Jawa yang telah berkeluarga atau berumah tangga.

57 diturunkan oleh leluhur mereka. Adapun hal tersebut akan dibahas pada sub bab berikut ini.

2.2.3 Tradisi ritual memperingati tujuh bulan masa kehamilan

Masa kelahiran didahului dengan masa kehamilan, pada usia tujuh bulan kehamilan biasanya dilaksanakan upacara tujuh bulan atau melakukan ritual

Kebo/tingkeban40 sebagai prilaku budaya yang mereka terima secara turun temurun. Kebo/tingkeban dilaksanakan dengan ritual bunga bagi sepasang suami istri, kemudian sang suami melakukan ritual membelah sepasang kelapa gading (kelapa kuning) yang telah bubuhi lukisan tokoh pewayangan Arjuna dan

Dewi Subadra. Ada sebuah kepercayaan dalam ritual membelah kelapa gading ini yaitu : apabila kelapa yang dibelah itu terbelah dengan keadaan lurus dan rata maka nanti anak yang akan dilahirkan adalah anak laki-laki, dan apa bila kelapa terbelah miring atau tidak lurus maka anak yang akan dilahitkan adalah berjenis kelamin perempuan. Selain itu juga lain yang diharapkan dalam hal ini adalah agar kelak anak yang dilahirkan berwatak kesatria seperti kedua tokoh wayang tersebut.

Beberapa perlengkapan yang turut disertakan adalah dengan mempersiapkan bunga tujuh warna, kain batik (jarik) tujuh helai, nasi , bubur merah putih, rujak manis dan es . Pada keluarga Jadel (Jawa Deli) yang ekonominya terbilang sederhana di Sumatera Utara, upacara ini dilakukan dengan sangat sederhana, dengan mengundang beberapa tetangga atau sanak Famili terdekat saja. Ada beberapa hal yang dilakukan dalam hal ini, biasanya keluarga

40 Salah satu ritual masa kehamilan adat Jawa yang diperuntukkan bagi wanita Jawa yang sedang hamil 7 bulan.

58 inti dan akan dibantu oleh beberapa orang tetangga terdekat untuk memasak nasi urap, bubur merah puti, membuat rujak dari barbagi jenis buah, dan membuat minuman es cendol. Kemudian makanan dan minuman tradisional itu akan disuguhkan untuk dimakan bersama oleh para tamu tetangga dekat yang datang untuk ikut memberikan doa keselamatan atas kandungan si ibu tersebut. Makan dan minuman itu juga akan dibagikan kepada para tamun tetangga dekat atau sanak famili untuk dibawa pulang sebagai sebuah berkat atau barokahnya.

Selama masa kehamilan anak pertama bagi sebagian calon ibu biasanya akan selalu banyak mendapat nasehat dari para orang tua, untuk selalu berhati-hati dalam segala hal yang dapat menggangu keselamatannya. Maka bagi orang Jawa yang masih percaya terhadap beberapa hal gaib akan melakukan penghindaran terhadap apa yang dipantangkan pada masa kehamilannya yang diterimanya secara terun temurun.

2.2.4 Tradisi kepercayaan terhadap pantangan-pantangan pada masa

kehamilan

Sebagian masyarakat Jawa Deli yang masih memegang teguh terhadap pantangan-pantangan pada masa kehamilan. Bagi seseorang yang sedang hamil sangat dianjurkan melihat hal yang baik-baik saja atau yang bagus-bagus, agar kelak anak yang dilahirkan adalah anak yang baik, cantik dan bagus-bagus pula.

Menurut Mbah Sur41 (wawancara 19 Oktober 2019) pada wanita Jawa yang sedang hamil sangat banyak sekali pantangan-pantangan yang harus

41 Beliau adalah seorang sesepuh orang Jawa yang dianggap mampu memberikan nasihat kepada warga jawa yang berada di Perbaungan. Wawancara dilakukan di kediamannya ketika beliau usai memijat seorang wanita hamil di ruangan pemijatan khusus.

59 dihindarkannya, hal ini tidak hanya berlaku kepada istrinya saja, tetapi juga ada pantangan-pantangan yang harus dipercaya dan dijaga oleh suaminya untuk menghindari kutukan dari roh gaib akibat pelanggaran terhadap pantangan- pantangan itu.

Kepercayaan terhadap pantangan-pantangan orang Jadel yang dapat mengakibatkan dampak tidak baik ini adalah hal yang diwariskan secara turun menurun seperti yang telah dijelaskan, maka bagi seseorang yang sedang hamil yang percaya akan hal ini sangat dianjurkan untuk tidak melanggar pantangan- pantangan tersebut. Pada masa sekarang hal ini sudah banyak ditinggalkan oleh orang-orang yang menganggapnya sebagai tahayul, walau demikian masih banyak pula yang tetap percaya akan hal ini. Bagi mereka yang percaya akan hal ini ada beberapa pantangan yang harus dijalani diantaranya adalah : tidak boleh membatin hal-hal yang buruk karena hal ini akan mengakibatkan anak yang dilahirkan nantinya lahir berwujud seperti yang dipikirkannya, misalnya seorang ibu yang sedang hamil membatin tentang keburukan seseorang maka keburukan itu akan turun kepada anak yang akan dilahirkannya.

Mbah Mus42 memaparkan beberapa hal pantangan yang harus dihindari pada masa kehamilan (wawancara 19 Oktober 2019) sebagai berikut :

- Tidak boleh berlaku kasar atau tidak baik kepada siapapun, contohnya bila

seorang ibu yang sedang hamil bertindak kasar atau menghina orang maka

anak yang akan dilahirkan nantinya akan berprilaku kasar atau berwujud

kasar atau jelek karena pantangan tersebut.

42 Beliau adalah seorang sesepuh orang Jawa yang dianggap mampu memberikan nasihat kepada warga jawa yang berada di Perbaungan. Wawancara dilakukan di kediaman narasumber.

60

- Tidak boleh membunuh binatang, apa bila seorang ibu yang sedang hamil

membunuh binatang seperti misalnya membunuh seekor monyet, maka

anak yang dilahirkan nantinya akan berwujud seperti seekor monyet pula

atau binatang lain seperti yang telah dibunuhnya.

- Tidak boleh berjalan keluar rumah sambil mengerai rambut pada waktu

magrib karena dikhawatirkan akan mengundang makhluk gaib, roh jahat

atau hantu seperti kuntilanak (hantu perempuan yang suka mengganggu

wanita hamil) atau hantu yang lainnya.

- Tidak boleh membantah nasehat dan perkataan orang tua hal ini dipercaya

akan mengakibatkan seorang yang sedang hamil akan kualat kepada orang

tuanya dan akan mengalami kesusahan saat akan melahirkan.

- Tidak boleh menghina seseorang karena anak yang dilahirkan akan

berwujud seperti yang dihinakannya.

- Tidak boleh menceritakan keburukan orang karena keburukannya akan

terjadi pada anaknya.

- Tidak boleh melangkahi atau melompati sebatang kayu yang melintang

dijalan karena dipercaya posisi bayi didalam kandungan akan melintang

seperti sebatang kayu yang dilompati dan susah untuk dilahirkan.

- Tidak boleh duduk di depan pintu atau di sekitar pintu karena dipercaya

akan membawa kutukan susahnya melahirkan banyi dari dalam

kandungan.

61

- Pada saat keluar rumah harus membawa gunting, paku, hal ini dipercaya

dapat menangkal kekuatan jahat yang akan menggangunya baik itu

ganguan dari hantu atau kekuatan gaib yang lain.

- Di sekitar tempat tidur harus disediakan sapu regel (sapu lidi yang sudah

sangat tua dan diikat dengan ijuk) hal ini dipercaya dapat menangkal

kekuatan gaib yang akan menggangunya baik hantu maupun kekuatan gaib

lainnya didalam kamar tidur.

- Tidak boleh makan di depan pintu atau di sekitar pintu bisa mendapat

kesusahan bila akan melahirkan seperti sulitnya bayi yang akan dilahirkan

keluar dari rahim ibu.

- Tidak boleh mandi pada waktu maghrib, apa bila mandi pada waktu

maghrib dihawatirkan akan diganggu oleh hantu atau kekuatan gaib

lainnya.

- Tidak boleh makan dengan disonggoh (meletakan piring ditelapak tangan)

dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan bila dewasa nanti tidak dapat

hidup mandiri.

- Tidak boleh makan sambil berjalan hal ini sangat pantang karena dapat

mempengaruhi perilaku bayi yang tidak baik pada saat terlahir nantinya.

- Tidak boleh makan udang, kepiting dan ikan cucut atau ikan yang besar,

karena dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan nantinya akan berperilaku

seperti udang dan kepiting suka mencubit dan seperti ikan cucut yang

muncungnya panjang.

62

- Tidak boleh makan buah nangka, tidak boleh makan gula merah, tidak

boleh makan tebu karena hal ini dipercaya akan mengakibatkan

pendarahan yang dapat mengangu keselamatan janin dan jiwanya pada

saat akan melahirkan. Hal itu dipercaya dikarenakan kekuatan gaib yang

bersemayam didalam hewan atau tumbuhan tersebut.

Selanjutnya menurut Mbah Sur (wawancara 19 Oktober 2019) Tanda pertama kehamilan adalah hasrat kuat dan tiba-tiba ingin memakan makanan yang pedas, asam terutama makanan dari buah-buahan mentah, rujak, dengan yang bagi lidah barat benar-benar membakar. Segera sesudah bayi lahir, si ibu tidak lagi boleh makan yang pedas-pedas selama masa bayi masih meminum air susu dari ibunya. Jika si ibu melanggar, bayi itu akan menjadi

"terkejut” oleh rasa yang menyengat.

Istilah Mengidam atu keinginan yang kuat terhadap makanan yang aneh-aneh (ngidam-idam kaworan) berlanjut terus selama kehamilan, dan si suami dituntut untuk berusaha memuaskan keinginan istrinya, tidak peduli apakah kewajiban yang harus ditunaikannya itu mustahil. Dia pun diharapkan agar berpantang bersetubuh dengan istrinya (walaupun kebanyakan tidak memenuhi pantangan ini). Barangkali dengan alasan yang sama mereka tidak mau bersetubuh selama hait, karena nafsu pemuasan itu akan menyebabkan bayi menjadi cacat.

Suami mempunyai tanggung jawab yang sama dengan istri di dalam melaksanakan serangkaian pantangan yang diperkirakan untuk mencegah dua bahaya besar : pertama, bahwa bayi akan susah lahir : kedua, bahwa bayi

63 akan lahir sebagai raksasa akibat dari perbuatan yang dipantangkan, ada beberapa hal yang dipantangkan oleh suami dan tidak boleh dilanggar, diantaranya adalah : tidak boleh membatin hal buruk, menghina orang, bersikap sombong, bertindak kasar, menyumpahi orang, menceritakan keburukan orang, tidak boleh duduk di depan pintu, tidak boleh membantah nasehat orang tua, tidak boleh membunuh binatang ataupun menyembelih hewan, tidak boleh menagkap hewan, tidak boleh makan sambil tidur-tiduran, tidak boleh makan sambil berjalan, tidak boleh makan di sekitar pintu atau di depan pintu, tidak boleh makan disonggoh atau meletakan piring makan di telapak tangan di saat sedang makan, hal ini dipercaya akan membawa dampak buruk bila dilanggar dan berdampak kepada istri yang sedang hamil dan jabang bayi yang akan dilahirkan nantinya.

2.2.5 Tradisi pemberian nama

Selanjutnya hal yang berkaitan dengan siklus kelahiran anak adalah pelaksanaan ritual pemberian nama . Waktu pemberian nama diatur dengan jarak

36 (tiga puluh enam) hari setelah kelahiran. Ritual pemberian nama dilakukan dengan sederhana hanya akan mengundang sanak saudara dan tetangga terdekat disekitar rumah. Undangan yang hadir akan disuguhi nasi urap dan bubur merah putih. Dalam tradisi yang berkenaan dengan pemberian nama bagi masyarakat

Jawa Deli menurut Mbah Poniem43 (wawancara 10 september 2019) bahwa membuat nama tidak hanya sekedar sebagai tanda pengenal saja, tetapi juga mengandung arti tertentu agar si pemilik nama selamat-sentosa dalam menjalani kehidupannya. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, pemberian nama

43 Mbah Poniem adalah seorang tokoh dan sesepuh Jawa Deli yang memahami berbagai tradisi orang jawa di Sumatera Utara.

64 yang tidak tepat kepada seorang anak akan mengakibatkan anak yang bersangkutan selalu sakit atau bernasib sial. Pemberian nama pada masyarakat

Jawa Deli umumnya bertepatan dengan upacara selamatan sepasaran si anak yang baru dilahirkan. Pemberian tersebut dapat dilakukan oleh ayah, ibu, nenek, atau boleh juga orang lain (misalnya kyai, dukun bayi atau lurah) dengan persetujuan orang tua si bayi.

Adapun dasar-dasar yang dipakai dalam pemberian nama bagi orang Jawa menurut Mbah Poniem antara lain adalah : menurut hari kelahiran, bulan kelahiran, neptu, nomor urut anak dalam keluarga, harapan atau cita-cita orang tua, peristiwa penting, tokoh pewayangan, gabungan ayah dan ibu, Rasul/para sahabatnya, dan Al-Qur’an.

1. Pemberian nama berdasarkan Hari Kelahiran (Weton)

Orang Jawa pada umumnya menganggap bahwa hari kelahiran

(weton) merupakan peristiwa penting yang tidak boleh dilupakan

sepanjang hidup. Menurut kepercayaan orang Jawa weton dianggap dapat

menentukan nasib seseorang dalam segala hal. Dan, salah satu jalan

untuk selalu mengingatnya, maka hari kelahiran itu dipakai sebagai dasar

untuk memberi nama bayi yang bersangkutan. Weton atau hari kelahiran

terdiri dari hari atau dino (Senen, Selasa, Rebo, Kemis, Jemuah, Setu,

Ngahat) dan pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Oleh karena

itu, nama-nama sebagian orang Jawa juga didasarkan pada dino (hari),

pasaran atau gabungan dari keduanya.

65 a. Contoh pemberian nama-nama yang memakai dasar dino (hari),

sebagai berikut :

- Senen, Senan, Saniman, Saniah, diberikan kepada anak yang lahir

pada hari Senin.

- Lasa, Lasimin, Lasiman, Lasiah, Lasmini, Lasman, diberikan

kepada anak-anak yang lahir pada hari Selasa.

- Rebo, Rebi, Rubino, Rubinah, Rubiyo, diberikan kepada anak

yang lahir pada hari Rabu.

- Kemis, Misman, Misiah, Kemin, diberikan kepada anak yang lahir

pada hari Kamis.

- Jumadi, Jumidi, Jumali, Jumini, Juminah, Jumiyo, diberikan

kepada anak yang lahir pada hari Jumat.

- Setu, Saptini, Sabeni, diberikan kepada anak yang lahir pada hari

Sabtu.

- Ngadi, Ngadiman, Ngadinah, Ngatiman, Ngatemi, Ngatino,

diberikan kepada anak yang lahir pada hari Ngahat (Minggu). b. Contoh nama-nama yang memakai dasar pasaran adalah sebagai

berikut :

- Legimin, Gino, Gito, Leginah, Ginah, diberikan kepada anak yang

lahir pada pasaran Legi.

- Paino, Painem, Paimah, Paijo, Paimin, diberikan kepada anak

yang lahir pada pasaran Paing.

66

- Ponirah, Poniman, Poinah, Ponijan, diberikan kepada anak yang

lahir pada pasaran Pon.

- Wagino, Wagiman, Waginah, Wagini, diberikan kepada anak

yang lahir pada pasaran Wage.

- Kliman, Klimin, Kliwon, diberikan kepada anak yang lahir pada

pasaran Kliwon.

- Tugino, Tuginah, Tugimin, Tugiman, diberikan kepada anak yang

dilahirkan pada hari Sabtu Legi.

2. Pemberian nama berdasarkan Bulan Kelahiran

Masyarakat Jawa pada umumnya, mengenal bulan Jawa (Suro, Sapar,

Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso,

Sawal, Dulkangidah, Besar) dan bulan nasional (Januari, Februari,

Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November,

Desember). Sebagai catatan, tidak semua bulan (Jawa maupun nasional)

dipakai sebagai dasar pemberian nama. Untuk nama-nama bulan Jawa

hanya beberapa saja yang secara umum dipakai antara lain : Suro, Sapar,

Maulud, Jumadil awal, Jumadil akir, Sawal, Besar. Sedangkan untuk

bulan nasional yang umum dipakai adalah bulan Januari, Maret, April,

Mei, Juni, Juli, Agustus, September dan November.

a. Contoh nama-nama yang memakai dasar bulan Jawa adalah:

- Surati, Suratmi, Suratinah, Suratmin, Suratman, diberikan kepada

anak yang lahir pada bulan Suro.

67

- Sapariah, Suparmi, Supardi, Suparno, diberikan kepada anak

yang lahir pada bulan Sapar.

- Mulyati, Mulyani, Mulyadi, Mulyono, diberikan kepada anak yang

lahir pada bulan Mulud.

- Jumadi, Jumali, Juminah, Juminem, diberikan kepada anak yang

lahir pada bulan Jumadilawal dan Jumadilakir.

- Sawal, Waluyo, Walgito, Walimin, Waluyan, diberikan kepada

anak yang lahir pada bulan Sawal.

- Besar, Sarjono, Saryanto, Saryanto, Sartini, Sarmini, Sarmina,

Saryati, diberikan kepada anak yang lahir pada bulan Besar. b. Contoh nama-nama yang memakai dasar bulan nasional adalah:

- Aryani, Aryana, diberikan kepada anak yang lahir pada bulan

Januari.

- Maryati, Maryani, Maryono, Maryoto, Margono, diberikan

kepada anak yang lahir pada bulan Maret.

- Apriati, Priatmi, Priono, Pribadi, diberikan kepada anak yang

lahir pada bulan April.

- Mei Hastuti, Meilani, diberikan kepada anak yang lahir pada

bulan Mei.

- Yuni, Yunawati, Yuniarti, diberikan kepada anak yang lahir pada

bulan Juni.

- Yuli Setyawati, Yuli Astuti, Yulianto, Yuliana, diberikan kepada

anak yang lahir pada bulan Juli.

68

- Agustin, Agustinah, Agus, diberikan kepada anak yang lahir pada

bulan Agustus.

- Septiani, Septianingsih, Saptoto, diberikan kepada anak yang lahir

pada bulan September.

- Nofianto, Novianti, diberikan kepada anak yang lahir pada bulan

November.

3. Neptu Seperti telah disebutkan di atas, orang Jawa pada umumnya

mengenal dino dan pasaran.

Dino pitu dan pasaran limo itu masing-masing mempunyai nilai yang

disebut neptu. Neptu dino: Senen (4), Selasa (3), Rebo (7), Kemis (8),

Jemuah (6), Setu (9), Ngahat (5) dan neptu pasaran: Legi (5), Pahing

(9), Pon (7), Wage (4), Kliwon (8). Jumlah neptu dino dan pasaran

tersebut nantinya akan dikaitkan atau disamakan dengan nomor urut

huruf Jawa yang jumlahnya 20 (ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa,

dha, ja, ya, ma, ga, ba, tha, nga).

Contoh : anak yang lahir pada hari Sabtu Legi. Sabtu Legi berneptu 14

yaitu berasal dari Sabtu berneptu 9 dan Legi berneptu 5. Sedang huruf

Jawa yang ke 14 adalah “ya”. Jadi nama anak tersebut akan memakai

huruf “ya”, misalnya Yata, Yana, Yani, Yati.

4. Nomor Urut Anak dalam Keluarga.

Untuk mengingat nomor anaknya, maka orang tua anak itu memakai

nomor urut anak tersebut (dari yang paling tua hingga termuda) sebagai

dasar untuk memberi nama contohnya :

69

- Nama yang memakai Eko diberikan kepada anak nomor satu.

Misalnya: Eko Pratiwi, Ekorini, Ekasari, Eko Budi Santoso.

- Nama yang memakai Dwi, diberikan kepada anak nomor dua.

Misalnya: Dwi Asih, Dwi Anto, Dwi Cahyono.

- Nama yang memakai Tri diberikan kepada anak nomor tiga.

Misalnya Triono, Trianah, Tri Puji Astuti.

- Nama yang memakai Catur diberikan kepada anak nomor empat.

Misalnya Catur Wikansari, Catur Putranto, Caturini, dan

seterusnya.

5. Haparan atau Cita-cita Orang Tua

Pemberian nama yang berdasarkan harapan atau cita-cita orang tua

adalah :

- Nama : Slamet, Widodo, Mulyono, Rahayu, mengandung harapan

supaya anak itu selamat.

- Nama : Prakoso, Santoso, Kuwato, mengandung harapan supaya

anak itu kuat atau perkasa.

- Nama : Margono, Sugiharto, Hartati, Hartini, Sri Rejeki

mengandung harapan supaya anak itu banyak rezekinya atau

menjadi orang kaya.

- Nama : Sabar, Trimo, Bariah, Sabarti, mengandung harapan

supaya anak itu menjadi orang sabar.

- Nama : Cahyono, Cahyadi, Kartikasari, Fajarini, mengandung

harapan agar anak itu cemerlang dalam hidupnya.

70

6. Peristiwa Penting

Pemberian nama berdasarkan suatu peristiwa penting pada saat anak

dilahirkan contohnya adalah :

- Nama : Merdekawati, Mardikani, Mardikoyuwono, diberikan

karena anak itu lahir pada saat kemerdekaan (tahun 1945).

- Nama : Linggarjati, karena anak itu lahir pada saat terjadi

perjanjian Linggarjati.

- Nama: Hariadi, Fitriani, karena anak itu lahir pada hari Raya Idul

Fitri.

- Irianto, Irawati, iriani, anak itu dilahirkan pada waktu pengusiran

Belanda dari Irian Barat.

- Prihatin, Suprihati, Prih Martini, karena anak itu ketika

dilahirkan keadaan orang tuanya sedang dalam kesulitan (dalam

keadaan prihatin).

7. Pewayangan

Pemberian nama berdasarkan nama-nama tokoh dalam pewayangan.

Maksudnya agar anak itu berjiwa dan berbudi luhur seperti para tokoh

pewayangan tersebut. Contohnya : Kunto Wibisono, Bimo Arioteja,

Harjuno, Endang Suprobowati, Siti Sundari, Sri Sukesi, Sri Lestari,

Sintawati dan lain sebagainya.

71

8. Gabungan Ayah dan Ibu.

Pemberian nama berdasarkan gabungan nama ayah dan ibu anak itu.

Contohnya : Seorang suami bernama Maryono dan isteri bernama

Sundari, setelah punya anak diberi nama Rinawati atau Daryono.

9. Rasul/Para Sahabatnya.

Pemberian nama berdasar nama-nama Nabi/Rasul atau para sahabat,

mengandung harapan supaya anak-anak yang diberi nama itu berjiwa

besar seperti Nabi/Rasul atau para sahabat tersebut. Contohnya : Dawut,

Ibrahim, Muhammad, Yusuf, Sulaiman, Yunus dan lain sebagainya.

10. Al-Qur-an.

Pemberian nama berdasarkan ayat suci Al-Qur’an. Contohnya :

Rachmat, Taufik, Hasanah, Umi Kulsum, Nurjanah, Siai Aisyah,

Hamidah dan lain sebagainya.

2.2.6 Tradisi mengkhitan anak/sunatan

Tradisi kitanan ini diselenggarakan terutama untuk anak laki-laki yang sudah memasuki masa akil baligh atau memasuki masa usia 9-12 tahun. Khitanan bagi anak laki-laki di kalangan orang Jawa Deli juga menyerupai pola perkawinan. Akan tetapi meniadakan unsur-unsur yang berhubungan dengan kedua pengantin, seperti nemokkan dan upacara bersanding bagi kedua pengantin.

Menurut kebiasaan orang Jawa Deli, duwe gawe khitanan dapat dilakukan pada hari sabtu ataupun pada hari minggu dengan memperhitungkan hari baik.

Pelaksanaan Khitanan atau penyunatan dilakukan oleh seorang dukun sunat

72 ataupun mantri sunat pria. Pelaksanaan penyunatan biasanya dilakukan seminggu sebelum diadakan pesta ataupun tiga hari sebelum pesta. Setelah anak dikhitan biasanya pada malam harinya akan di adakan selamatan.

Pada pelaksanaan pesta khitanan, anak yang dikhitan biasanya akan di dudukan di sebuah ruang utama yang dihiasi seperti sebuah pelaminan atau sebuah singgasana yang sederhana. Anak yang dikhitan juga akan di dandani atau dihiasi layaknya seorang raja dengan mengunakan dua buah model kostum yaitu :

1) kostum adat Jawa dan 2) kostum adat Melayu. Kostum atau pakaian adat Jawa yang sering Digunakan adalah pakaian raja Jawa, pakaian tokoh pewayangan seperti gatot kaca, arjuna ataupun kresna. Sedang pakaian adat melayu yang sering meraka sebut dengan pakaian nasional seperti misalnya : pakaian teluk belanga dan baju koko.

Dalam upacara khitanan ini juga biasanya akan di adakan kenduri atau selamatan pada malam harinya. Hidangan sajian pada acara kenduri, kurang lebih juga hampir sama dengan sajian makanan pada acara kenduri acara pernikahan.

Kehadiran adat melayu seperti marhaban atau acara tepung tawar dan kehadiran bale juga masih tetap ada pada acara khitanan seperti yang terdapat pada pesta perkawinan kembali menjadi bukti hadir dan dipakaiannya adat Melayu sebagai adat setempat yang cukup memberi pengaruh apada masyarakat Jawa Deli di berbagai lini tradisi kejawaannya.

Pada tradisi sunatan/khitanan ini, bagi orang Jawa Deli yang tergolong orang yang mampu (mempunyai uang dan harta yang banyak) akan mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk mengadakan pesta atau ndue gawe khitanan

73 anaknya. Dalam kesempatan ini akan di undang sebanyak 200 sampai 400 tamu undangan, dan akan diadakan hiburan atau tanggapan seperti pada acara pesta pernikahan. Pada hari pelaksanaan pesta juga ada sebagian orang Jawa Deli yang mengadakan acara arak-arakan untuk anak yang akan dikhitan. Biasanya dilakukan pada pagi hari pukul 10 atau siang hari pada pukul satu. Dengan mengundang kelompok kesenian Reog untuk melakukan arak-arakan keliling dusun dengan jarak tempuh yang diatur tidak terlalu jauh.

2.2.7 Tradisi slametan

Slametan menurut Koenjaraningrat (1960 : 95 ) adalah ritual pokok untuk melanjutkan, mempertahankan atau memperbaiki tatanan hidup”. Slametan yang dilakukan kelompok masyarakat Jadel (Jawa Deli) adalah melakukan sajian makan bersama yang bersifat sosio-relegius dimana tetangga, sanak famili berserta teman ikut serta di dalamnya. Tujuan slametan adalah ingin mencapai keadaan slamat, yaitu “suatu keadaan akan berjalan lancar dengan tidak ada gangguan atau terhalang dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Dalam kehidupan orang Jawa Deli slamatan semacam itu diadakan pada setiap kesempatan kalau terjadi krisis kehidupan yang mengganggu keseimbangan kehidupan mereka. Beberapa hal yang perlu mendapatkan ritual slamatan menurut

Mbah Sari (wawancara 19 oktober 2015) antara lain adalah: 1) selamatan penanggalan, yaitu selametan yang dilakukan berdasarkan penanggalan seperti, tradisi punggahan, tradisi salikuran, dan tradisi suroan. 2) Selamatan atas kesembuhan dari penyakit atau selamatan agar terhindarnya dari suatu musibah

74 yang terjadi atau selamat dari suatu kecelakaan yang hampir merenggut jiwanya.

3) Selamatan atas prestasi yang diraih.

Dalam pandangan kosmologi orang Jawa setiap masa peralihan dianggap sebagai suatu transisi yang dapat menciptakan kegaduhan, gangguan, dan ketidak tentraman, sehingga diperlukan suatu upacara khusus (meskipun sederhana) sebagai suatu upaya penyeimbang diantara masyarakat yang dapat membawa keharmonisan dan ketentraman sosial.

Tradisi punggahan adalah istilah untuk menyebut masuknya bulan ramadan. Tradisi punggahan sampai saat ini terus dilakukan oleh orang Jawa yang berada di Sumatera Utara. Tradisi punggahan dilaksanakan di mesjid atau di mushola dengan melibatkan seluruh umat islam atau satuan kolektif masyarakat dusun. Setiap anggota masyarakat datang ke mesjid atau mushola untuk berdoa bersama dan saling berbagi makanan yang telah dibawa antara sesama anggota masyarakat. Ritual punggahan dilakukan setelah selesai sholat magrib dengan berdoa dan makan bersama setelah itu mendengarkan tausiah dari pemuka agama.

Tradisi Salikuran adalah tradisi perayaan dalam menyambut masuknya malam ke tujuh belas ramadhan. Dalam tradisi ini masyarakat Jawa Deli akan membawa makanan yang berisi nasi dan lauk pauk untuk dibawa ke mesjid dan saling dipertukarkan dengan anggota masyarakat yang lain. Tradisi dilaksanakan dengan mengisi tausiah setelah selesai sholat tarawih.

Tradisi suroan dilaksanakan pada saat bulan Muharram untuk penanggalan Islam yang diperingati sebagai tahun baru Islam, orang Jawa Deli menyebutnya yaitu Bulan Suro atau Suroan. Suroan merupakan selametan yang

75 dilaksanakan dan masih dipertahankan dengan berbagai ragam aktivitas yang tidak selalu tetap. Dalam setiap tahun penyelenggaraan upacara slametan ini bisa saja berubah tergantung momen yang disepakati secara bersama oleh masyarakat setempat.

Tradisi Suroan adalah istilah yang digunakan oleh Orang Jawa Deli untuk kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperingati hari besar Islam yang dalam penanggalan Jawa jatuh di bulan Suro, orang Jawa selalu memperingati dengan mengadakan kegiatan kenduri slametan bersih desa bersama kolektif masyarakat jawa Deli, dan mengadakan wayang kulit semalam suntuk dengan mempertunjukan cerita yang bersesuaian dengan makna suroan tersebut. Kegiatan tersebut mempunyai tujuan yaitu mohon keselamatan pada masa transisi

(peralihan) dari suatu kehidupan yang lama ke kehidupan yang baru. Harapan dan permohonan agar segala sesuatu yang telah dilewati pada tahun sebelumnya akan menjadi lebih baik di tahun berikutnya. Selain permohonan kebaikan mereka juga memanjatkan doa-doa agar mereka dapat terhindar dari marabahaya dan bencana yang dapat menyebabkan mereka mengalami kesulitan hidup. Upacara ini dilakukan dengan melibatkan seluruh warga kampung yang biasanya terbatas pada wilayah dusun.

Ritual tradisi selamatan atas kesembuhan dari penyakit, atau selamatan agar terhindar dari suatu musibah yang terjadi atau selamat dari suatu kecelakaan yang hampir merenggut jiwanya dilakukan secara sederhana, yaitu dengan memohon doa perlindungan keselamatan atau menolak segala penyakit yang

76 dapat mebahayakan anggota masyarakat dengan mengundang sanak saudara terdekat dan tetangga terdekat saja.

Ritual tradisi selamatan atas pencapaian prestasi kehidupan yang diraih biasanya dilakukan genduri sederhana dengan mengundang anak yatim untuk diberikan santunan berupa uang sesuai kemampuan si pembuat hajat selamatan.

Dalam hal ini penyelenggara acara selamatan mengharap berkah dan keselamatan dari yang maha kuasa agar senantiasa diberi keselamatan dalam kehidupannya.

Tradisi ritual selamatan bagai orang Jawa Deli dalam pelaksanaanya akan selalu melibatkan anggota masyarakat, hal ini Menurut Geertz (1960 : 11) bahwa semua peserta slametan mempunyai status ritual yang sama, Oleh karena itu slametan berfungsi untuk menunjukan masyarakat yang rukun, yang merupakan prasarat untuk memohon secara berkat dari tuhan, roh halus dan arwah nenek moyang. Slametan bagi masyarakat juga untuk menunjukan keinginan agar selalu dilindungi terhadap sesuatu yang membayakan hidupnya di dunia ini.

2.2.8 Tradisi ngruat Dalam pengamatan dan hasil wawancara yang dilakukan penulis diketemukan bahwa sebagian masyarakat Jawa dikecamatan Perbaungan yang masih memiliki kepercayaan kuat dengan dunia mistis, yang kemudian memunculkan mitos-mitos yang hingga saat ini masih dipercaya sebagai kejadian yang pernah terjadi akan tetap dipandang merupakan sebuah kenyataan. Orang

Jawa yang hidupnya selalu ditimpa kemalangan sebaiknya harus diadakan upacara ruatan untuk membuang kesialan di dalam hidupnya. Karena kepercayaan ini

77 sudah mendarah daging dalam dirinya maka setiap generasinya juga akan selalu meneruskan kepercayaan ini kepada generasi berikutnya.

Sebagian masyarakat Jawa yang senantiasa mengilhami dan mempercayai mitos-mitos tersebut akan menjadikan acara ruatan sebagai acara yang wajib dilakukan dan menjadi hal yang bersifat sakral dalam menghubungkan diri manusia dengan tuhan dan dunia alam gaib. Namun pelaksanaan ritual ruatan yang ada dalam masyarakat Jawa di kelurahan ini sudah sangat jarang dilakukan pada zaman sekarang ini. Banyak masyarakat jawa sekarang mulai berfikir realistis, tetapi bukan berarti mesyarakat jawa pada jaman dulu tidak berfikir realistis. Banyak masyarakat Jawa pada sekarang juga sudah meninggakan adat- istiadat yang dianggap sebagai suatu hal yang berat untuk dilakukan atau terlalu rumit untuk dilakukan. Para pelaku ritualpun sebagian sudah ada yang mulai beranggapan dan merasakan bahwa acara ruatan bukan merupakan hal yang logis sehingga hal ini ditinggalkan oleh sebagian pelakunya sebagai bentuk kepercayaan, kebudayaan dan ritual. Tetapi bagi masyarakat Jawa yang masih memiliki kepercayaan tentang ruatan maka hal ini dianggap masih penting untuk dilakukan.

Menurut catatan Panji Suroso (2018 – 180)44 Ruwatan adalah upacara yang dilakukan untuk menghilangkan dampak yang bisa berbentuk kesialan menjauhkan segala kemungkinan yang buruk yang bisa terjadi jika seseorang tersebut termasuk orang yang harus diruat atau golongan anak sukerta (orang

44 Ketoprak Dor di Kampung Jadel Studi tentang Makna Subjektif kesenian ketoprak dor pada kelompok Masyarakat Jawa deli di Sumatera Utara dalam Persfektif Fenomenologi. Disertasi Program Doktor Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 2018. Hal 182.

78 yang akan mengalami kesialan). Jadi ruatan adalah upacara yang dilakukan dalam rangka menghilangkan kesialan atau mencari keberuntungan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan yang beragam. Seperti yang telah dilakukan masyarakat

Jawa sejak lama dan keturunannya tidak boleh melupakan mitologi Jawa tersebut untuk menjaga keseimbangan di dalam kehidupannya. Beberapa golongan anak yang termasuk kedalam golongan wong sukerta dan harus dilakukan upacara ruatan terhadap dirinya, menurut catatan Panji Suroso (2018)45 adalah sebagai berikut :

1. Ontang anting : Anak tunggal.

2. Gendono-gendini : Anak dua laki dan perempuan.

3. Kenbar : Dua anak lahir bersamaan.

4. Dhampit : Kembar anak laki-laki dan anak perempuan

lahir dalam satu hari.

5. Gindhang kasih : Anak kembar satu bule satu hitam.

6. Tawang gantung : Anak kembar lahir berselang hari.

7. Sakrendha : Anak kembar dua atau tiga

dalam satu bungkus lahir bersamaan.

8. Wungkus : Anak lahir bungkus.

9. Wungkul : Anak lahir tanpa ari-ari.

10. Tiba ungker : Anak lahir dililit usus.

11. Tiba sampir : Anak lahir kalung usus.

12. Jempina : Anak lahir belum waktunya.

45 Ibid hal 182 .

79

13. Wungle : Anak bule (albino).

14. Wahana : Anak lahir ditempat pesta.

15. Panca laputra : Lima anak laki-laki semua

16. Panca lapuri : Lima anak perempuan semua.

17. Pipilan : Lima anak, (empat anak perempuan

satu anak laki-laki)

18. Padangan : Lima anak, (empat anak laki-laki

satu anak perempuan)

19. Siwa : Anak mempunyai kelainan fisi atau mental.

20. Kresna : Anak berkulit hitam mulus.

2.2.9 Tradisi selamatan yang berhubungan dengan peringatan kematian

Di antara jenis-jenis selamatan tersebut, selamatan yang berhubungan dengan kematian sangat diperhatikan dan selalu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang meninggal. Jenis selamatan untuk menolong arwah orang di alam baka ini, antara lain :

1) Surtanah atau geblak, yaitu selamatan pada saat meninggalnya

seseorang.

2) Nelung dina, yaitu selamatan hari ketiga sesudah meninggalnya

seseorang.

3) Mitung dina, yaitu selamatan hari ketujuh sesudah meninggalnya

seseorang.

4) Matang puluh dina, yaitu selamatan hari ke 40 sesudah meninggalnya

seseorang.

80

5) Nyatus, yaitu selamatan hari ke 100 meninggalnya seseorang.

6) Mendak sepisan, yaitu selamatan satu tahun meninggalnya seseorang.

7) Mendak pindo, yaitu selamatan dua tahun meninggalnya seseorang.

8) Nyewu, yaitu selamatan genap 1000 hari meninggalnya seseorang. Jenis

selamatan ini kadang-kadang disebut juga nguwis-nguwisi, artinya yang

terakhir kali.

Selain selamatan, masyarakat Jawa juga mengenal upacara sesajen.

Upacara ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah kolong jembatan, di bawah tiang rumah, dan di tempat-tempat yang dianggap keramat. Bahan sesajen berupa: ramuan tiga jenis bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apam.

Bahan tersebut ditaruh di dalam besek kecil atau bungkusan daun pisang. Ada pula sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang wujudnya sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga macam bunga yang ditempatkan pada sebuah gelas yang berisi air, bersama sebuah pelita, dan ditempatkan pada sebuah meja. Tujuan menyediakan sesaji tersebut adalah agar roh-roh tidak mengganggu ketenteraman dan keselamatan anggota seisi rumah.

2.3 Jenis Kesenian Jawa Deli di Perbaungan

Keberadaan dan perkembangan kesenian Jawa Di Sumatera Utara memiliki perbedaan yang khas dengan kesenian Jawa pada yang ada di pulau

Jawa. Menurut catatan Panji Suroso (2018)46 hal tersebut tentu saja dipengeruhi

46 Ibid hal 184

81 oleh kondisi sosial yang dialami oleh orang Jawa yang selama keberadaannya sejak datang ketanah Deli telah menghadapi berbagai dinamika sosial yang beranaka macam. Berbagai jenis kesenian Jawa yang terdapat dibeberapa daerah perkebunan sejak jaman dahulu, baik itu yang sengaja didatangkan oleh pihak perkebunan maupun yang muncul atas inisiatif mereka sendiri hingga saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, dan hidup dikampung- kampung Jawa maupun dikota-kota Sumatera Utara.

Berbagai jenis kesenian Jawa tersebut antara lain adalah : 1. Wayang Orang 2. Wayang Kulit 3. Ketoprak Dor 4. Ludruk 5. Tayuban / Ronggeng Jawa 6. Kuda kepang 7. Reog 8. Angguk 9. Campur sari

Berbagai jenis kesenian tersebut tersebar luas di daerah-daerah yang menjadi hunian mayoritas orang Jawa atau dikampung-kampung Jawa di

Sumatera Utara. Kesenian-kesenian tersebut dapat menampilkan pertunjukannya melalui berbagai kegiatan yang direncanakan sendiri maupun dari undangan masyarakat atau instansi swasta dan pemerintah.

Kesenian seperti Reog, wayang orang, wayang kulit, Ketoprak, tayub, ludruk dan yang lainnya selalu akan hadir bila dipanggil dalam acara hajatan pernikahan atau pun pesta-pesta lainnya. Wayang orang atau wayang kulit sangat

82 jarang mendapat undangan karena pembiayaannya yang sangat mahal dalam sekali pertunjukan membutuhkan pembiayaan mencapai lima belas juta sampai dengan dua puluh juta rupiah. Berbeda dengan jenis Reog dan kuda lumping atau sejenis tarian Jawa lainya yang hanya membutuhkan pendanaan : satu juta hingga tiga juta rupiah saja. Kesenian yang menjadi idola saat ini adalah jenis kesenian campur sari, Reog dan jenis tari-tarian Jawa. Jenis kesenian ini tidak pernah sepi dari panggilan tanggapan masyarakat Jawa di Sumatera Utara.

Menurut catatan Panji Suroso (2018)47 Kesenian-kesenian Jawa yang diminati oleh orang-orang Jawa di Sumatera Utara awalnya berasal dari daerah perkebunan. Seluruh keperluan perlengkapan kesenian sebagian besar pada awal- awalnya diproduksi atau dikerjakan sendiri oleh para seniman-seniman pendukungnya. Setelah beberapa tahun kemudian seiring kemajuan jaman dan perekonomian barulah beberapa sanggar mulai dapat memesan perlengkapan kesenian Jawa langsung dari pulau Jawa.

Jenis kesenian yang banyak tumbuh hampir disetiap kampung-kampung

Jawa adalah jenis kesenian kuda kepang, menurut Yono USU (wawancara 16

September 2019) jumlahnya kini hampir ratusan kelompok. banyak kelompok kuda kepang yang jumlahnya saat ini mencapai seratusan, disatu desa saja kadang-kadang ada sampai sepuluh kelompok grup jarang kepangnya.

Kelompok-kelompok jarang kepang ini tanpa harus diundang saja pun mau menampilkan atraksi pertunjukannya di tanah-tanah lapang atau di depan pekarang rumah penduduk setiap hari libur, bahkan dalam satu minggu ada juga

47 Ibid. hal 186

83 yang sampai tiga atau empat kali main dengan membawa perlengkapan seadanya saja. Kesenian Reog di Sumatera Utara terbilang yang paling unik dan menarik banyak minar orang untuk dapat meyaksikannya diantara jenis kesenian Jawa yang ada di Sumatera Utara.

2.4 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan bilateral adalah prinsip keturunan yang dianut oleh orang Jawa, yang belum bercampur dengan suku lain akibat perkawinan, dimana hubungan kekerabatan dihitung dari pria dan wanita. Pada umumnya, pergaulan kekerabatan orang Jawa lebih mementingkan kerabat yang tinggal di dekatnya, bahkan tetangga yang di dekatnya dapat dianggap sebagai kerabat. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan orang Jawa dikenal istilah tangga teparo, yaitu tetangga yang ada di sebelah dan di sekitar rumah, dianggap sebagai saudara. Karena jika terjadi sesuatu hal yang mendadak dan mendesak, tetangga inilah yang pertama kali di sambati, dalam bahasa Indonesia “tempat mengadu” atau ”berkeluh kesah”.

Sistem kekerabatan pada orang Jawa Deli mengenal adanya istilah menyebut dan istilah menyapa. Seorang suami menyapa istrinya dengan langsung menyebut namanya, dalam bahasa Jawa njangkar. Jika sudah mempunyai anak istilah menyapa tersebut berubah menjadi ibu. Tetapi di luar rumah, di kalangan teman-temannya seorang suami menyebut istrinya dengan wong ngomah yang artinya “orang rumah” sebutan yang hanya terdapat di luar Jawa khususnya di

Medan dan sekitarnya. Di Jawa istilah menyebut istri diluar rumah adalah dengan

84 sebutan Ibune cah-cah atau Ibune bocah-bocah yang artinya ibunya anak-anak, atau dengan menyebut Ibune si….(nama anak tertua di keluarga tersebut).

Seorang istri biasa menyapa suaminya denga sebutan kang atau mas. Jika telah memiliki anak sebutan ini dapat berubah menjadi pak atau bapak, atau tetap dengan sebutan semula kang atau mas. Untuk menyebut suami di luar rumah di kalangan tetangga atau teman-teman digunakan istilah bapaknya anak-anak dengan menyebut bapaknya (nama anak tertua di keluarga tersebut).

Sapaan untuk anak laki-laki, pada beberapa keluarga masih mempertahankan sebutan “le” yang merupakan singkatan dari “thole”, yang di kalangan orang batak setara dengan “ucok”. Tetapi lebih banyak keluarga Jawa

Deli tersebut yang langsung menyebut nama anak laki-laki mereka. Demikian juga pada anak perempuan, ada yang menyapa dengan ndhuk, singkatan dari

“gendhuk”, setara dengan butet pada orang batak, tetapi lebih banyak yang langsung menyapa dengan namanya.

Panggilan untuk saudara sekandung sama dengan panggilan untuk saudara sepupu. Kepada yang lebih tua jika laki-laki disapa dengan “kang” atau “mas”, dan “mbak” atau “yu” jika perempuan. Kepada yang lebih muda baik laki-laki maupun perempuan biasanya langsung dengan menyebut namanya.

Sapaan pada saudara sepupu, hitungan lebih tua bukan dari faktor umur, tetapi dari orang tuanya. Misalnya jika Bambang lebih muda usianya dari Bagus, tetapi karena Bambang anak dari kakak ibu atau bapak, disapa dengan “mas atau

Kang” atau begitu juga dengan sepupu perempuan akan dipanggil “mbak” atau

“yu”.

85

Sapaan untuk saudara sekandung bapak dan ibu, sama. Jika ia lebih tua disapa dengan “bu dhe atau wawak wedok” (perempuan) dan “pak dhe atau wawak lanang” (laki-laki). Jika ia lebih muda, disapa dengan “bu lik ”

(perempuan) dan “pak lik atau mamang” (laki-laki).

Sapaan untuk anak dari saudara kandung seperti anak dari abang atau anak dari adik dipanggil dengan sebutan “ponakan”.

Sapaan untuk orang tua dari bapak atau ibu akan di panggil sama. “Mbah lanang atau pak tue” untuk yang laki-laki dan “Mbah wedok atau mamak tue” untuk yang perempuan.

Sapaan orang tua bapak dan ibu kepada anak-anaknya atau kepada cucunya adalah “putu lanang” untuk cucu laki-laki dan “putu wedok” untuk cucu perempuan.

2.5. Bahasa

Bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Bahasa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pergaulan dalam masyarakat. Tanpa bahasa, hubungan dalam masyarakat, baik hubungan yang bersifat vertikal maupun horizontal tidak akan berjalan dengan lancar. Bahasa merupakan sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa merupakan sebuah sistem , yang artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Setiap lambang dari bahasa itu mengandung makna atau konsep. Jadi apabila seseorang berbicara dengan orang lain, maka

86 orang lain tersebut akan mengerti tentang konsep atau makna yang disampaikan oarang yang bericara, karena dalam dialog tersebut menggunakan bahasa.

Selain digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa juga bisa mempunyai fungsi untuk membedakan tingkatan sosial yang ada di masyarakat. Misalnya dalam bahasa Jawa sendiri, mempunyai beberapa tingkatan-tingkatan bahasa untuk membedakan status sosial maupun membedakan dari segi usia lawan bicara

Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan berkembang atau selalu mengalami perubahan dari masa ke masa dan sampai saat ini masih digunakan di Jawa Tengah. Bahasa Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa banyak memiliki variasi, yaitu salah satunya adalah variasi dialek.

Suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Bahasa Jawa memiliki banyak tingkatan derajat penyampaian pada orang lain, tetapi sekarang di sederhanakan menjadi 3 tingkatan yaitu :

1. krama inggil (digunakan pada percakapan dengan orang yang lebih tua)

2. Kramal madya (digunakan untuk lebih sopan pada seumuran)

3. Ngoko (bahasa yg digunakan kepada orang seumuran)

Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya

Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat. Mayoritas orang Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa yang bercampur bahasa

87

Indonesia. Bahasa Jawa bisa dikatakan bahasa yang rumit karena selain memiliki tingkatan berdasarkan siapa yang diajak bicara, bahasa Jawa juga memiliki perbedaan dalam hal intonasi. Aspek bahasa ini mempengaruhi hubungan sosial dalam budaya Jawa. Bahasa Jawa sendiri memiliki berbagai macam variasi dialek atau pengucapan.

Dialek-dialek Bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pengelompokkan ini didasarkan pada dialek-dialek yang digunakan dalam masayarakat yang bersangkutan serta dari segi geografisnya. Pembagian kelompok-kelompok tersebut antara lain :

1) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat, yaitu Dialek Banten, Dialek

Cirebon, Dialek Tegal , Dialek Banyumasan, Dialek Bumiayu (peralihan

Tegal dan Banyumas). Kelompok di atas sering disebut bahasa Jawa

ngapak-ngapak.

2) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah, yaitu Dialek Pekalongan, Dialek

Kedu, Dialek Bagelen, Dialek Semarang, Dialek Pantai Utara Timur

(Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Dialek Blora, Dialek Surakarta,

Dialek Yogyakarta, Dialek Madiun Kelompok kedua di atas sering

disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan

Yogyakarta.

3) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur, yaitu Dialek Pantura Jawa Timur

(Tuban, Bojonegoro), Dialek Surabaya, Dialek Malang, Dialek Jombang,

Dialek Tengger, Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing).

88

Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.

Bahasa Jawa Dialek Solo-Yogya dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar. Hal ini di karenakan daerah Solo (Surakarta) dan Yogyakarta merupakan daerah kraton.

Di mana Kraton tersebut adalah dianggap simbol yang penuh makna oleh masyarakat Jawa secara umum.

Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta bahasa, yaitu: (1)

Ngoko (kasar), (2) Madya (biasa), (3) Krama (halus) yang penggunaan tingkatan bahasa tersebut tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap- cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika berkomunikasi dengan orang tuanya akan menggunakan bahasa halu (krama).

Secara umum masyarakat Jawa menggunakan dua bahasa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu Jawa ngoko dan krama. Bahasa Jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat sosialnya. Sebaliknya, bahasa Jawa krama dipergunakan untuk yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta derajat sosialnya.

Di kalangan masyarakat Jawa Deli, bahasa pengantar adalah bahasa Jawa ngoko dan krama tanpa variasi dan kombinasi yang rumit sebagaimana halnya di

Jawa. Namun, pada umumnya sebahagian besar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi baik antar sesama maupun dengan etnis lain.

89

2.6 Organisasi Sosial Jawa Deli

Organisasi sosial yang terdapat pada kelompok masyarakat Jawa Deli adalah sebuah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat Jawa atau keturunan Jawa yang berada di Sumatera Utara. Organisasi sosial tersebut sifatnya ada yang berbadan hukum dan ada yang tidak berbadan hukum.

Organisasi sosial ini difungsikan sebagai sarana partisipasi masyarakatnya dalam membangun rasa kebersamaan atau solidaritas untuk tujuan-tujuannya yang bersifat sosial kemasyarakatan ataupun politik, dengan mengusung isu-isu pelestarian dan pembangunan kebudayaan Jawa yang mereka bangun bersama melalui forum-forum formal dan non formal, organisasi ini selalu menghadirkan penggunaan simbol-simbol kejawaannya sebagai ciri persatuan keetnisitasannya.

Organisasi sosial yang formal/resmi yang dibentuk oleh sekumpulan orang/masyarakat Jawa di Sumatera Utara memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, yang menerangkan hubungan-hubungan otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawabnya, serta memiliki kekuatan hukum.

Struktur yang ada juga menerangkan bagaimana bentuk saluran-saluran melalui apa komunikasi berlangsung. Kemudian menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggotanya. Beberapa organisasi Formal maupun non formal yang ada pada Komunitas Jawa di Sumatera Utara antara lain adalah :

- Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera).

- PAJAR (Paguyuban Jawa Rembug)

- PJB (Paguyuban Jawa Bersatu)

- FKWJ (Forum Komunikasi Warga Jawa)

90

- Gema Jawa (Generasi Muda Jawa)

- Ikatan Keluarga Solo

- FMJSU (Forum Masyarakat Jawa Sumatera Utara)

- Laskar Joko Tingkir,

- Pendawa (Pemuda Darah Jawa)

- SEMAR (Semua Anak Rantau)

- IKJS (Ikatan Kerukunan Jawa dan Sekitarnya)

- AREMA (arek-arek Malang)

- Paguyuban KBDIY (keluarga Besar Daerah Istimewa Yogyakarta)

Dari beberapa organisasi sosial tersebut diatas menjadi sumber-sumber kekuatan politik yang mampu membawa perwakilan dari masyarakat keturunan

Jawa untuk menjadi pemimpin-pemimpin di beberapa tingkat Desa, Kecamatan, kabupaten kota bahkan menjadi pemimpin di tingkat provinsi.

91

BAB III

GAMBARAN UMUM SENI PERTUNJUKAN REOG PONOROGO SANGGAR CIPTO BUDOYO PADA KELOMPOK MASYARAKAT JAWA DI PERBAUNGAN

3.1 Pengertian Seni Pertunjukan Rakyat

Seni pertunjukan (performance art) adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok ditempat dan waktu tertentu. Seni pertunjukan

(performance art)biasanya melibatkan empat unsur: waktu, ruang, tubuh si seniman dan hubungan seniman dengan penonton. Seni pertunjukan Indonesia merupakan suatu cabang ilmu Etnomusikologi yang mempelajari berbagai bentuk seni pertunjukan yang ada di Indonesia, baik yang meliputi uraian tentang ciri-ciri dan karakteristik bentuk seni pertunjukan yang ada (meliputi musik,teater, dan lain-lain) baik dalam bentuk representasi tradisi maupun modern.

Menurut Mardianto (1996:67), pertunjukan adalah semua tingkah laku yang dilakukan seseorang didepan orang lain dan mempunyai pengaruh terhadap orang tersebut. Struktur dasar sebuah kesenian pertunjukan meliputi tahapan sebagai berikut :

1. Persiapan pemain atau penonton.

2. Pementasan

3. Apa dampaknya setelah pertunjukan selesai dan apa yang perlu di

evaluasi

92

Hal-hal yang harus ada dalam suatu seni pertunjukan adalah :

1. Waktu pertunjukan yaitu, awal hingga akhir

2. Acara kegitan yang terorganisasi.

3. Kelompok pemain

4. Kelompok penonton

5. Tempat pertunjukan

6. Kesempatan untuk mempertunjukkan

3.2 Pengertian Kesenian Reog Ponorogo

Reog Ponorogo merupakan nama sebuah seni pertunjukan tari tradisional kerakyatan yang menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa

(dhadhak merak) yang berukuran: tinggi 240 cm, dan lebarnya 190 cm berwujud kepala seekor macan dengan seekor merak yang bertengger diatasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang disusun menjulang keatas, (jathilan) adalah para penari perempuan yang memerankan sosok prajurit berkuda, (warok) adalah penari laki-laki berbadan gempal berseragam hitam berhias kumis dan jambang yang lebat, (prabu klono sewandono) adalah seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah, berhidung mancung, kumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja, (patih bujangganong) adalah pendamping raja yang juga bertopeng merah dengan hidung besar, mata melotot, mulut lebar dan rambut jabrig.

Menurut Saptika (2010:22) nama asli dari kesenian Reog Ponorogo adalah

Reyog. Huruf-huruf Reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat pocung yang berbunyi: (R) rasa kidung (E) engkang sukmo adi luhung

93

(Y) Yang Widhi, Yang Agung (O) olah kridaning Gusti (G) gelar gulung kersaneng Kang Moho Agung. Kemudian dalam perkembangannya, penulisan nama kesenian ini sedikit dirubah disesuaikan dengan motto dari kota Ponorogo yaitu (R) resik (E) endah (O) ombar (G) girang-gumirang.

Reog adalah salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya.

Reog merupakan sebuah seni pertunjukan tari tradisional yang menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa (dhadhak merak) berwujud kepala seekor macan dengan seekor merak yang bertengger diatasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang disusun menjulang keatas. Kesenian Reog Ponorogo pada umumnya selalu di iringi oleh seperangkat gamelan yang terdiri dari : kendang, sepasang angklung, sepasang kenong dan ketuk, sepasang kempul, gong, selompret, sepasang saron dan demung. Pemakaian instrumen musik dalam mengiringi Reog

Ponorogo juga terdapat pariasi lainnya ada yang menambah dengan instrumen perkusi lainnya ataupun menggunakan gamelan secara komplit.

Berdasarkan beberapa catatan legenda Reog juga mengacu pada beberapa legenda atau cerita rakyat Jawa atau yang sering disebut babad, salah satunya adalah babad Prabu Kelono Sewandono. Babad Prabu Kelana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan Reog. Pada cerita ini dikisahkan bahwa Prabu Klono Sewondono dari kerajaan Jenggala ingin meminang seorang

Putri yang bernama Dewi Sangga langit dari kerajaan Kediri. Sang putri mau menerima lamaran tersebut asalkan Prabu Swandana memenuhi permintaanya agar bisa memboyong seluruh isi hutan ke istana Kerajaan Kediri. Demi

94 memenuhi permintaan sang putri, Prabu Sewandono pun segera bergegas pergi kehutan yang dimaksud dengan membawa bala tentara berkudanya dan melaui beberapa pertempuran dengan penunggu hutan, yang bernama Singa Barong yang sangat sakti. Dan akhirnya Prabu Suwandana berhasil memenagkan pertempuran dan berhasil membawa seisi hutan termasuk Singgo Barong sebagai iring-iringan mas kawinya.

Cerita rakyat yang lain tentang asal usul kesenian Reog Ponorogo juga mengisahan tentang hal yang tidak jauh berbeda, dikisahkan bahwa pada

Kerajaan Kediri-Daha dengan rajanya yang sudah tua bernama Sri Gentayu, mempunyai dua orang anak yaitu seorang putri bernama Dewi Sanggalagit dan seorang putra bernama Raden Pujangga Anom. Sang raja ingin menyerahkan tahta kepada anak laki-lakinya, akan tetapi keinginan itu ditolak karena sang putra merasa belum mampu untuk naik tahta dan ingin memperdalam ilmu lagi sebelum naik tahta. Penolakan itu menyebabkan sang raja luar biasa marah, sehingga pada suatu malam sang putra melarikan diri sampai ke lereng gunung Lawu. Di situ dia berteman dengan saudara satu perguruan bernama Prabu Klono Sewandono yang sama-sama berguru pada seorang pertapa di gunung Lawu. Prabu Klana

Sewandana adalah seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang sakti mandraguna, memiliki senjata berupa cambuk bernama Pecut Samandiman atau

Gendir Wuluh Gading. Bujangganong akhirnya diajak ke kerajaan Bantarangin dan dijadikan patih.

Di kerajaan Bantarangin pada masa itu diceritakan sedang terjadi masa suram yaitu paceklik yang berkepanjangan. Menurut nasehat pendeta, kesusahan

95 ini bisa berakhir apabila sang raja segera kawin dengan putri dari kerajaan Kediri.

Maka diutuslah Pujangga Anom untuk melamar putri dari Kediri. Sesampainya di

Kediri, raja Sri Gentayu terkejut mengetahui maksud Pujanga Anom untuk melamar sang putri bagi rajanya. Pada saat itu Pujangga Anom menyamar dengan memakai topeng berwajah raksasa. Raja tidak percaya, karena kalau patihnya berwajah raksasa, demikian juga dengan rajanya. Karena ketidak percayaan sang raja, maka Bujangganong terpaksa mengaku bahwa dia adalah putra raja. Raja tidak percaya dan mengutuk Bujangganong menjadi raksasa, kutukan menjadi kenyataan sehingga berubah menjadi berwajah raksasa dan tidak bisa kembali ke bentuk semula. Atas kejadian itu, sang raja menyesal dan akhirnya meneriman lamaran tersebut, akan tetapi dengan tiga syarat, yaitu calon pengantin harus diiringi harimau dan hutan lainnya untuk mengisi taman. Kedua harus dicarikan gamelan yang di dunia belum pernah ada. Ketiga, diberikan persembahan berupa manusia yang berkepala harimau. Usai mendengar permintaaan itu,

Bujangganong kembali ke Wengker menyampaikan hasil yang didapat untuk diberitahukan dan dibicarakan dengan Prabu Klono Sewandono. Sepeninggal

Bujangganong, kerajaan Kediri didatangi oleh Singalodra dengan maksud yang sama. Raja dan putrinya tidak suka dan sebetulnya menolak, akan tetapi penolakannya disampaikan untuk tidak sampai menyinggung Singalodra, yaitu berterus terang bahwa sang putri sudah dilamar oleh raja dari Bantarangin. Oleh karena itu, apabila Singalodra dapat mengalahkan Prabu Klono Sewandono dengan bala tentaranya, maka lamarannya bisa diterima. Singalodra menyetujui hal itu dan menghadang di tengah hutan Roban yang menjadi perbatasan antara

96

Bantarangin dengan Kediri. Persyaratan yang diajukan membuat pihak Prabu

Klono Sewandono keberatan, akan tetapi Bujanganong bersedia untuk melengkapi persyaratan itu. Maka berangkatlah Bujangganong ke hutan Roban yang atas kesaktiannya mampu mengumpulkan seluruh hewan dalam sekejab. Syarat kedua dibuatlah gamelan yang berasal dari bambu bernada pentatonis, sedangkan syarat ketiga akan dicarikan kemudian. Rombongan dari Bantarangin berangkat ke

Kediri dan sesampai di hutan Roban dihadang oleh Singalodra. Terjadilah perang antara prajurit dari Bantarangin melawan Singalodra yang dimenangkan oleh pasukan dari Bantarangin. Singalodra masih juga mau melawan dengan menjelma menjadi harimau. Dengan dicambuk oleh senjata Pecut Samandiman atau Gendir

Wuluh Gading, hilanglah segala kesaktian dan kekuatan Singalodra. Dia memohon ampun dan menyerah kalah, namun tubuhnya tidak bisa berubah menjadi manusia lagi. Prabu Klono Sewandono berusaha menyembuhkan, akan tetapi tidak berhasil dengan sempurna, sehingga hanya badannya saja yang bisa kembali menjadi manusia dan kepalanya tetap harimau. Justru dengan demikian, tiga persyaratan yang diajukan oleh Raja Kediri menjadi terpenuhi. Rombongan meneruskan perjalanan ke Kediri untuk melamar sang putri. Iring-iringan yang menjadi persyaratan putri Kediri ini akhirnya menjadi satu bentuk kesenian yang disebut Reog Ponorogo.

Pada dasarnya legenda tentang kesenian Reog Ponorogo ini telah dijadikan acuan oleh masyarakat pendukungnya, bahkan masyarakat Jawa Deli yang ada di

Sumatera Utara juga memedomani legenda ini sebagai hal yang dipercaya sebagai asal-usul kesenian Reog Ponorogo.

97

3.3 Gambaran Umum Kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo di Perbaungan

Sanggar Cipto Budoyo di Kecamatan Perbaungan adalah sebuah sanggar yang bergerak dalam bidang kesenian tradisional Jawa sejak tahun 2014.

Keberadaanya di perbaungan menurut bapak Guntoro48 (wawancara 23 januari

2019) awalnya beliau mulai merintis menghidupkan kesenian Jawa sejak tahun

2014 dengan berbekal keahlian seni tari Jawa yang didapat dari lingkungan keluarga. Beliau adalah anak kedua dari seorang ibu yang berpropesi sebagai seorang penari jawa. Keahliannya dalam menari dan bermain karawitan didapatkan dari kakeknya yang juga seorang empu kebudayaan jawa di Sumatera

Utara. nama Cipto budoyo bukanlah nama yang baru tetapi meneruskan kembali nama sebuah sanggar yang dulu pernah ada di Medan dan dipimpin oleh kakek beliau yang bernama mbah Sari. Sanggar ini telah lama pakum sejak kematian kakek dan ibunya ditahun 1990-an. Atas keinginan dan keuletannya yang kuat, akhirnya beliau berhasil menghimpuan kekuatan dan menghidupkan kembali sanggar Cipto Budoyo di daerah Perbaungan.

Eksistensi sanggar ini juga didukung oleh warga Jawa sebagai masyarakat pendukungnya dan juga didukung oleh bapak Bupati Serdang Bedage yaitu bapak

Haji Sukirman. Murut bapak Guntoro (wawancara 23 januari 2020) bahwa sanggar ini telah beberapa kali mendapat suntikan dana dan bantuan sumbangan perlengkapan kesenian jawa seperti instrumen musik dan kostum yang butuhkan.

Sumbangan tersebut bukan didapatkan begitu saja, tetapi karena keaktipan dan keseriusan sanggar ini yang dipandang layak untuk mendapatkannya. Hal ini

48 Guntoro adalah pimpinan sanggar Cipto budoyo

98 dibuktikan dengan keaktipan sanggar ini dalam menyelanggaran pertunjukan baik secara mandiri maupun atas undangan beberapa pihak baik instansi pemerintah maupun pihak suwasta dari dalam kabupaten maupun diluar kabupaten Serdang

Bedage itu sendiri.

Sejak tahun 2014 hingga saat ini sanggar Cipto Budoyo telah banyak memperoleh prestasi, sehingga dalam hal ini menjadi satu catatan yang bagi

Bupati Serdang Bedage untuk mendapat perhatian yang khusus. Berbagai evant kebudayaan yang telah mereka ikuti, diataranya meliputi berbagai pestival kebudayaan yang ada di Sumatera Utara hingga ke propinsi Aceh dan Riau. Selain itu setiap bulan mereka selalu medapat undangan untuk pentas pertunjukan Reog

Ponorogo dari mulai acara resepsi pernikahan, sunatan dan acara ritual kebudayaan Jawa lainnya dan perayaan hari-hari besar lainnya. Untuk undangan pementasan yang mereka yang meliputi kampung-kampung tempat tinggal orang jawa yang ada di sekitar desa-desa di kecamatan Serdang Bedage, Deli serdang,

Simalungun, Asahan, Medan, Binjai, Langkat hingga daerah-derah lainya. Selain itu sanggar Cipto Budoyo juga sering di undang dalam perhelatan kebudayaan dikampus-kampus besar yang ada di Sumatera Utara Seperti Unimed, UMSU bahkan instansi pemerintah lainnya seperti Taman Budaya Sumatera Utara, dinas pariwisata dan yang lainya.

Sanggar Cipto Budoyo memiliki anggota tetap sebanyak 15 orang anggota tetap 10 orang anggota tidak tetap. Sanggar Cipto Budoyo dalam melaksanakan pertunjukannya, selain di dukung oleh anggota tetap di dukung juga oleh anggota tidak tetap yang berasal dari sanggar-sanggar lainya. Anggota tidak tetap berasal

99 dari sanggar lain seperti : sanggar Langen Boyo dari Marelan Deli Serdang, sanggar Senterewe dari Perbaungan, dan sanggar-sanggar lain. Sangar Cipto

Bodoyo sendiri juga sering membantu sanggar-sanggar lain bila dibutuhkan bantuannya. Diantara sesama sanggar yang ada dalam hal ini saling tolong- menolong bila mereka kekurangan anggota ketika melakukan pertunjukan.

Pada umumnya masyarakat Jawa pendukung kesenian Reog Ponorogo di

Kecamatan Perbaungan dan derah lain merasa sangat senang dengan adanya kesenian Reog ini. Menurut hasil wawancara dari bapak Kliwon49 (wawancara 12

September 2019) memaparkan keberadaan kesenian Reog Ponorogo sangat disenangi oleh masyarakat dari mulai yang berusia sangat muda hingga orang tua.

Hal ini dibuktikan dengan selalu ramainya masyarakat yang ikut mononton bila ada pertunjukan Reog di kampung mereka. Salah contohnya adalah ketika perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17-8-2019 yang lalu.

Di kampung saya mengundang kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo pimpinan

Mas Guntoro, penontonnya sangat ramai sekali, apa lagi ketika Reog melakukan pawai atau arak-arakan mengelilingi kampung, seluruh masyarakat juga ikut pawai mengirirngi Reog dengan sangat antusias. Hal ini sangat embuktikan bahwa kesenian tradisional ini masih cukup dicintai oleh masyarakat Jawa maupun masyarakat etnis lainnya.

49 Bapak Kliwon adalah seorang pengamat dan pemerhati kesenian Reog Ponorogo dari kecamatan pantai cermin

100

Gambar 3.1 Pawai Reog Ponorogo dalam perayaan hari kemerdekaan Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Dari dokumentasi yang diambil dilapangan penelitian diatas jelas terlihat bahwa eksistensis kesenian Reog Ponorogo masih mendapat tempat dihati para pendukung kesenian tersebut.

Menurut bapak Guntoro Sanggar Cipto budoyo dalam sekali melakukan pertunjukan akan memperoleh bayaran uang taggapan sekitar dua juta Rupiah hingga lima juta Rupiah. Hal ini tergantung dengan permintaan menu yang akan ditampilkan den disesuaikan dengan kemampuan pembayaran si penanggap. Jika ada salah seorang anggota yang ingin mengundang maka biasanya mereka hanya di kenakan biaya sekedernya hanya untuk biaya uang cuci pakaian Reog saja.

Selain uang yang di peroleh dari si penganggap tidak jarang pertunjukan reog ini mendapatkan uang tambahan dari penonton yang memberikan tips (saweran) ketika pertunjukan sedang berlangsung. Dalam hal pembagian honor setiap

101 pemain akan memperoleh bagian sesuai dengan tugas dan perannya masing- masing. Masing-masing pemain akan memperoleh bayaran sekitar dua ratus ribu rupiah hingga tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Menurut Sandri50 salah seorang anggota tetap Cipto Budoyo (wawancara 13 Oktober 2019) menuturkan bahwa dalam berkesenian ini bukanlah semata-mata ingin memperoleh uang, tetapi hal yang lebih dianggap penting adalah sebagai salah satu kewajiaban tradisi dan sebagai kesenangan bisa ikut mengembangkan kebudayaan jawa sebagai peninggalan leluhur mereka.

3.4 Unsur Pendukung Kesenian Reog Ponorogo Cipto Budoyo

Sanggar Reog Ponorogo Cipto Budoyo memiliki unsur perlengkapan pertunjukan yang dapat dikatan cukup lengkap, dari mulai peralatan musik dan peralatan pertunjukan lainnya dimiliki dan diperoleh secara mandiri dan juga sumbangan dari Bupati Serdang bedage. Selanjutnya pada bagian berikut dibawah ini akan dibahas unsur-unsur pendukung pertunjukan Reog Ponorogo yang ada di sanggar Cipto Budoyo.

3.4.1 Unsur pelaku atau pemain Reog Ponorogo Cipto Budoyo

Unsur pelaku kesenian Reog Ponorogo dalam hal ini terdiri dari masyarakat Jawa Deli yang notabennya adalah para keturunan kuli kontrak perkebunan Deli dari Kecamatan Perbaugan dan sekitarnya. Pada dasarnya para pelaku Reog kebanyakan bukanlah berasal dari sekolah kesenian formal tetapi dari sanggar-sanggar seni yang ada. Mereka berkumpul dan berinisiasi melakukan

50 Sandrik gareng adalah salah seorang seniman senior Reog Ponorogo yang memahami seluk beluk kesenian Reog di kecamatan Perbaungan.

102 praktek kesenian Reog secara bersama-sama. Pada awalnya kesenian Reog merupakan kesenian rakyat yang disajikan dalam bentuk tarian bebas dilakukan secara arak-arakan di sepanjang jalan atau tanpa ruang tempat tertentu, tetapi pada perkembangannya mulai dilakukan pertunjukan di suatu lapangan atau panggung tertentu. Berikut adalah komposisi pelaku Kesenian Reog Ponorogo yang meliputi

1. Kelompok pengawal

Kelompok ini terdiri dari tiga sampai empat orang yang berjalan

paling depan dan berfungsi sebagai pembuka jalan. Komando serta

seluruh tanggung jawab berada di tangan mereka. Sikap yang

ditunjukkan kelompok ini angkuh dan tegas.

2. Kelompok pendamping

Kelompok ini bertugas menjaga barisan penari Reog disamping

kanan dan kiri. Kelompok ini mempunyai anggota yang seimbang

dengan jumlah kelompok pengawal. Tugasnya memelihara situasi atau

keamanan dan menentukan hidupnya pertunjukan.

3. Kelompok penari

Penari Reog terdiri dari: penari Singobarong (Pembarong), penari

Bujangganong (Ganongan), penari Kuda Kepang (Jathil), kadang

disertai dengan penari Potrojoyo atau Penthul dan Potrotholo atau

Tembem.

103

4. Kelompok pemain alat musik atau penabuh gamelan

Kelompok ini berada di belakang kelompok penari. Anggotanya

terdiri dari : seorang pengendang, seorang penyelompret, seorang

penipung, seorang pengempul, 2 orang pengenong, 4 orang

pengangklung, dan 2 orang pemikul ungkek (alat bergantungnya kempul)

5. Kelompok pengiring

Kelompok ini berbaris paling belakang dengan jumlah anggota yang

tidak terbatas. Kelompok ini disamping bertugas sebagai pembantu

keamanan juga berfungsi sebagai kelompok yang membantu hidupnya

pertunjukan seperti halnya kelompok pendamping. Pada saat-saat

tertentu, kelompok ini juga ikut menari, menyanyi, dan bersorak, yang

kadang-kadang diikuti oleh penonton yang ada pada saat pertunjukan.

Unsur-unsur pemain dalam kesenian Reog ditampilkan secara lengkap.

Adapun unsur-unsur pelaku atau pemain Reog sanggar Cipto Budoyo meliputi :

1. Klono Sewandono ( satu orang )

2. Warok Tua ( satu orang )

3. Warok Muda ( satu orang)

4. Jathil ( 4 sampai 8 orang)

5. Bujangganong/ Ganongan ( dua orang)

6. Pembarong ( dua orang)

7. Pengrawit ( pemain gamelan delapan orang)

104

3.4.2 Unsur kostum atau pakaian pemain Reog Ponorogo Cipto Budoyo

Pada dasarnya, kostum pemain Reog tersebut masih berkembang sampai sekarang. Tetapi khusus Kostum yang digunakan masing-masing pemain Reog disanggar Cipto Budoyo adalah sebagai berikut :

1. Kostum penari jathil

Penari jathil merupakan penokohan pasukan berkuda dari Kerajaan

Bantarangin. Kostum yang digunakan meliputi: ikat kepala hitam,

kemeja warna putih lengan panjang, jarit loreng putih, celana bordir

sepanjang lutut dasaran hitam, samir, sabuk warna merah, sabuk epek

dasaran hitam, dan dua sampur warna merah dan kuning.

2. Kostum penari bujangganong

Penari bujangganong adalah penokohan dari patih Kerajaan

Bantarangin yang ditugaskan oleh Klono Sewandono untuk memimpin

lamaran ke Kerajaan Kediri. Pakaian dan tata rias dari Bujanganong

adalah sebagai berikut : kaos lorek warna merah-putih, celana sepanjang

lutut seret merah-kuning samping kanan-kiri dan bawah, serta embong

gombyok.

3. Kostum pembarong

Pembarong atau penari singobarong adalah tokoh yang jahat,

menghalangi perjalanan bujangganong untuk melamar putri Sekartaji.

Pakaian dan kostum yang digunakan meliputi: ikat kepala hitam, baju

105

kimplong warna merah polos, celana panjang warna hitam seret merah

samping kanan-kiri, sabuk warna hitam, dan embong gombyok.

4. Kostum warok tua

Warok tua merupakan sesepuh atau pemimpin kelompok warok.

Warok tua memakai kostum sebagai berikut : ikat kepala modang batik

pinggir jilit Ponoragan, baju waktung warna hitam, baju dalam warna

putih, jarit latar ireng, sabuk ubet cinde dasaran merah, sabuk epek

timang dasaran hitam, keris gabelan, celana panjang gejikan Ponoragan

warna hitam, kolor putih panjang 2 atau 3 m, tongkat, sandal kosek.

5. Kostum warok muda

Kostum yang digunakan warok muda adalah: ikat kepala hitam

(gadung) mondolan, baju waktung warna hitam, jarit latar ireng, sabuk

ubet cinde dasaran merah, sabuk epek timang dasaran hitam, keris

gabelan, celana panjang warna hitam kombor Ponoragan, kolor warna

putih panjang 2 atau 3 m.

6. Kostum klono sewandono

Klono Sewandono merupakan tokoh raja yang gagah dan tampan.

Tokoh Klono Sewandono memiliki perwatakan yang keras, mempunyai

ilmu kanuragan yang tinggi. Mempunyai senjata yang ampuh, dikenal

dengan pecut samandiman. Kostum yang digunakan : probo, uncal, ikat

bahu, keris blangkrak berhias ronce bunga, jarit loreng putih parang

barong, sabuk cinde dasaran merah, sabuk epek dasaran merah, dua

106

sampur warna merah dan kuning, celana panjang cinde dasaran merah,

kace dasaran merah, ulur dasaran merah, cakep dasaran merah, boro-

boro samir dasaran merah, binggel.

7. Kostum pembarong

Penari singobarong atau pembarong terdiri dari dua orang. Penari

ini memiliki perwatakan jahat. Penari singobarong kebanyakan terdiri

dari orang-orang yang memiliki tubuh yang kekar dan kuat.

Perlengkapan dari penari singobarong adalah sebagai berikut : ikat

kepala hitam (gadung), baju kimplong warna merah polos, sabuk cinde

dasaran merah, sabuk epek dasaran hitam, embong gombyok dari sayet,

dua sampur warna merah dan kuning, cakep, celana panjang jebug warna

hitam seret merah samping kanan-kiri dan bawah.

8. Kostum pengrawit

Pengrawit dalam kesenian Reog memiliki peranan yang tidak kalah

penting. Kelompok ini yang selalu dapat memeriahkan pertunjukan Reog

dengan tabuhan gamelannya yang sangat khas. Atribut dan pakaian yang

digunakan meliputi: ikat kepala hitam (gadung) jilit Ponoragan, baju

penadon lengan panjang warna hitam potong gulon, srempang jarit

loreng putih parang barong, celana panjang warna hitam kombor

Ponoragan.

107

3.4.3 Peralatan dan instrumen musik Reog Ponorogo Cipto Budoyo

a. Peralatan pemain Peralatan yang digunakan meliputi :

1. Topeng Singobarong Dhadak merak 2. Topeng Klono Sewandono 3. Topeng Bujangganong (topeng tembem dan topeng pentul) 4. Kuda Kepang (eblek). b. Peralatan musik pengiring atau gamelan

Peralatan musik yang digunakan Reog Ponorogo dapat dibagi

dalam dua kelompok, seperti : 1. Model iringan pementasan Reog dengan

menggunakan gamelan yang dimainkan secara lengkap untuk sebuah

pementasan yang bersifat panggung statis atau pemetasan Reog sedang

tidak pawai atau melakukan arak-arakan. 2. Model iringan gamelan yang

tidak lengkap tetapi mencukupi syarat utuk dapat mengiringi Reog ketika

sedang melakukan pawai Arak-arakan.

- Model iringan gamelan Reog secara lengkap meliputi dalam

pertunjukan tidak pawai atau melakukan arak-arakan meliputi.

1. Kendhang

Gambar 3.2 Kendhang (Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Kendang )

108

Terbuat dari kulit hewan (Sapi atau kambing) berfungsi utama

untuk mengatur irama. Kendhang ini dibunyikan dengan tangan, tanpa

alat bantu. Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah

disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi

bernama kendang gedhe biasa disebut kendang kalih. Kendang kalih

dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti

ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi. Bisa juga

dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama

tanggung. Untuk bermain kendhang, dibutuhkan orang yang sangat

mendalami budaya Jawa, dan dimainkan dengan perasaan naluri si

pemain, tentu saja dengan aturan-aturan yang ada.

2. Demung

Gambar 3.3 Demung (Sumber : http://benderari.blogspot.com/2011/10/alat-musik-demung.html )

Alat ini berbentuk bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu

oktaf ) posisi wilayah nada pada oktaf tengah. Wilahan demung

ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai

resonator. Instrumen ini ditabuh dengan tabuh dibuat dari kayu.

Demung difungsikan sebagai pembawa melodi lagu dan juga iringan.

109

3. Saron

Gambar 3.4 Saron (Sumber : https://www.pinterest.com/pin/366691594633815670/ )

Instrumen musik ini berukuran sedang dan beroktaf tinggi,

seperti demung, saron barung memainkan balungan dalam

wilayahnya yang terbatas. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua

saron memainkan lagu jalin-menjalin yang bertempo cepat.

Seperangkat gamelan mempunyai dua saron, tetapi ada gamelan yang

mempunyai lebih dan dua saron.

4. Gong dan Kempul

Gambar 3.5 Seperangkat Gong dan Kempul (Sumber : http://collections.nmmusd.org/Gamelan/9914/Gongs991499159917.html )

Gong didalam seni karawitan Jawa berfungsi dalam menandai

permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan

setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang. Ada dua

110 macam gong : 1. gong ageng (besar) dan gong suwukan atau gong siyem yang berukuran sedang. Untuk kempul sendiri adalah jenis gong yang berukuran lebih kecil dan bernada lebih tinggi dari nada gong ageng dan gong suwukan.

5. Bonang

Gambar 3.6 Bonang (Sumber : https://www.dictio.id )

Bonang dibagi menjadi dua jenis, yaitu bonang barung dan bonang panerus. Perbedaannya pada besar dan kecilnya saja, dan juga pada cara memainkan iramanya. Bonang barung berukuran besar, beroktaf tengah sampai tinggi, adalah salah satu dari instrumen- instrumen pemuka dalam ansambel. Khususnya dalam teknik tabuhan pipilan, pola-pola nada yang selalu mengantisipasi nada-nada yang akan datang dapat menuntun lagu instrumen-instrumen lainnya.

Pada jenis gendhing bonang, bonang barung memainkan pembuka gendhing dan menuntun alur lagu gendhing. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, bonang barung tidak berfungsi sebagai lagu penuntun, ia membentuk pola-pola lagu jalin-menjalin dengan bonang panerus, dan pada aksen-aksen penting bonang boleh membuat sekaran (lagu-lagu hiasan), biasanya di akhiran kalimat lagu. Bonang

111 panerus adalah bonang yang kecil, beroktaf tinggi. Pada teknik tabuhan pipilan, irama bonang panerus memiliki kecepatan dalam bermain dua kali lipat dari pada bonang barung. Walaupun mengantisipasi nada-nada balungan, bonang panerus tidak berfungsi sebagai lagu tuntunan, karena kecepatan dan ketinggian wilayah nadanya. Dalam teknik tabuhan imbal-imbalan, bekerja sama dengan bonang barung, bonang panerus memainkan pola-pola lagu jalin menjalin.

6. Kenong

Gambar 3.7 Kenong (Sumber : https://kerajinangamelanjawa.blogspot.com )

Kenong merupakan satu set instrumen jenis mirip gong berposisi horisontal, ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Dalam memberi batasan struktur suatu gendhing, kenong adalah instrumen kedua yang paling penting setelah gong. Kenong membagi gongan menjadi dua atau empat kalimat kalimat kenong. Di samping berfungsi menggaris-bawahi struktur gendhing, nada-nada kenong juga berhubungan dengan lagu gendhing : ia bisa memainkan nada

112 yang sama dengan nada balungan : ia boleh juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alur lagu gendhing.

7. ketuk

Gambar 3.8 Ketuk (Sumber : http://www.seasite.niu.edu/indonesian/.htm)

Kethuk sama dengan kenong, fungsinya juga sama dengan kenong. Kethuk dan kenong selalu bermain jalin-menjalin, perbedaannya pada nada dan irama bermainnya saja.

8. Selompret Reog

Gambar 3.9 Selompret Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Selompret adalah instrumen musik tiup yang terbuat dari kayu memiliki rit berfungsi sebagai pembawa melodi lagu dalam mengiringi tarian Reog, selompret juga menjadi ciri tersendiri didalam pertunjukan Reog Ponorogo.

113

9. Angklung

Gambar 3.10 Angklung Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Sepasang angklung yang terbuat dari Bambu dalam sebuah

pertunjukan Reog berfungsi sebagai pengiring ritme yang di mainkan

secara repetitif atau berulang-ulang dalam model ritme yang saling

interloking.

- Model iringan gamelan Reog ketika sedang pawai meliputi :

1. Satu Buah Kendang

Gambar 3.11 Kendang Reog Ponorogo Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

114

2. Satu Buah Selompret

Gambar 3.12 Selompret Reog Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

3. Satu buah Kempul

Gambar 3.13 Kempul dan Gayor Kempul Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

4. Kenong dan ketuk

Gambar 3.14 Kenong dan Ketuk Dokumentasi : Google

115

5. Dua buah Angklung

Gambar 3.15 Sepasang Angklung Reog Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

3.4.4 Perlengkapan Sound System

Akibat perkembangan teknologi yang sangat cepat juga berdampak terhadap kesenian-kesenian tradisional hampir di seluruh penjuru dunia. Pada perkembangan pertunjukan Reog ditanah air juga tidak terlepas dari dampak ini.

Pada masa lalu didalam pertunjukan Reog Ponorogo tidak menggunakan pengeras suara seperti seperangkat sound sistem. Para seniman pemusik hanya mengandalkan suara gamelan yang nyaring dalam melakukan pertunjukannya.

Pada masa sekarang tidak jarang juga mereka menggunakan alat bantu pengeras suara dalam melaukan pertunjukan Reog Ponorogo. Perlengkapan Sound system yag digunkan terdiri atas : mixer control, kabel jek, monitor serta microphone.

Dengan hal ini menurut bapak Guntoro (wawancara 20 Agustus 2019) para pemain Reog merasa terbantu dengan karena suara gamelan maupun suara kendhang lebih jelas untuk mengiringi pertunjukan mereka. Begitu juga manfaatnya untuk dapat didengar oleh penonton yang begitu ramai di arena pertunjukan.

116

3.5 Tema atau Lakon Cerita Reog

Di seluruh pulau Jawa, baik Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, kesenian Reog hidup dan berkembang menurut kedaerahannya masing-masing.

Dari daerah satu dengan yang lain masing-masing mempunyai cerita Reog yang bervariasi. Adapun mengenai sumber cerita Reog kebanyakan mengambil dari cerita rakyat (folklor) yang diambil dari cerita Panji yang terkenal di benua Asia.

Tentang nama-nama baik alat maupun paraga pun dari masing-masing daerah tidak sama karena sifat cerita itu sendiri. Tetapi pada hakikatnya, kebanyakan isi ceritanya masih sama ialah memaparkan pinangan seorang putri Kediri atau Daha oleh raja-raja yang berawal dan berakhir dengan peperangan.

Tema atau lakon cerita Reog yang di bawakan di sanggar Cipto budodyo tersebut adalah cerita lamaran seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang bernama Klono Sewandono terhadap seorang putri dari kerajaan Kediri yang bernama Dewi Songgolangit. Sang raja bersama patihnya yang bernama Pujonggo

Anom atau Bujangganong serta pasukan berkuda berangkat menuju kerajaan

Kediri. Di dalam perjalanan, rombongan tersebut dihadang oleh harimau jadi- jadian dari patih Kediri yang bernama Singolodro yang juga mencintai Dewi

Songgolangit. Terjadilah pertempuran di antara mereka yang dimenangkan oleh

Prabu Klono Sewandono karena kesaktian pusakanya pecut Samandiman.

3.6 Sistem Manajemen Sanggar Cipto Budoyo

Manajemen dimaksud adalah sistem kerjasama yang rasional dan terikat pada sistem kepemimpinan dalam mencapai tujuan dalam melakukan pekerjaan.

Dalam konteks manajemen seni, sebuah organisasi kesenian memiliki tujuan serta

117 aktivitasnya. Kalau seni pertunjukan melibatkan aktivitas seniman serta masyarakat pendukung karya seni tersebut yang meliputi penanggap penonton atau penikmatnya. Kelompok kesenian ini juga sebagai sebuah institusi tempat bekerjasamanya diantara seniman. Tanpa kerjasama tentu tak akan lancar perjalanan sebuah organisasi kesenian. Kerjasama ini dibangun dengan prinsip- prinsip koperatif dan masuk akal atau rasional. Tanpa ini sebuah grup kesenian akan mengalami berbagai permasalahan.Kemudian agar kelompok kesenian itu, dapat hidup dan berkembang, terutama untuk sinerjinya antara pendapatan dan pengeluaran, maka harus ada efisiensi manajemen.

Sanggar Cipto Budoyo memiliki sistem manajemen yang masih bersifat tradisional yaitu gagasan, kegiatan, atau benda-benda yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara teratur mengikuti norma-norma yang terjadi di dalam masyarakat itu. Tradisi ini erat kaitannya dengan budaya sebuah masyarakat atau sebuah kelompok etnik tertentu.

Menurut Takari (2008:64-73) manajemen tradisional memiliki 8 (delapan) ciri-ciri yakni :

1) Berkesenian bukan profesi utama tetapi kerja sampingan atau sambilan.

Hal yang paling mendasar, biasanya organisasi kesenian tradisi di

Nusantara, menetukan tujuan utamanya bukan sebagai organisasi bisnis

begitu juga dengan sanggar Cipto Budoyo, para anggotanya sekedar

meneruskan tradisi yang telah ada dengan istilah melestarikan atau

mengembangkannya. Jarang ditemukan sebuah organisasi seni sebagai

organisasi bisnis dan keutamaan pada profesionalisme, layaknya sebuah

118

perusahaan waralaba. Dengan tujuan sebagai kelompok yang mengusung

kesenian sebagai kerja sambilan, maka manajemennyapun ditangani

secara “sambilan” pula. Tujuan tidak akan diraih atau diusahakan untuk

berhasil dengan sebaik-baiknya. Waktu yang diluangkan untuk kegiatan

berkesenian juga adalah waktu sambilan, diluar kerja utama profesi

seseorang seniman. Sebagai contoh Bapak Guntoro sebagai seniman

Jawa Reog Ponorogo memiliki pekerjaan sebagai petani dan pembuat

batu bata. Begitu juga dengan anggota lainnya sebagai seorang seniman

sebagai sambilan dan pekerjaan utamanya kebanyakan sebagai petani,

kuli bangunan, tehnisi mesin ringan, guru dan pegawai perusahan.

2) Menonjolkan pimpinan yang biasanya juga sebagai seniman utama dan

pendukung dana utama organisasinya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa

pimpinan sanggar cipto budoyo merangkap posisi ganda sebagai seniman

dan pendukung dana organisani. Dalam hal ini pimpinan sanggar

melakukan managerial yang baik atas dana-dana yang diperoleh dari

berbagai undangan pertunjukan dan dikelola dalam mendanai kehidupan

sanggar.

3) Pembagian honorarium yang agak bersifat rahasia, dan biasanya

dicarikan kata-kata yang “manis” seperti “uang sabun”, “uang pupur”,

“uang lelah,” dan sejenisnya. Ciri manajemen seni secara tradisional di

Nusantara ini, adalah pembagian hasil jerih payah bersama, kurang

menghargai peran integral keseluruhan pelaku seni (seniman, kru, dan

pihak pimpinan). Biasanya honorarium ditentukan oleh seorang

119

pimpinan saja berdasarkan fungsi dan perannya. Rata-rata harga sekali

pertunjukan berkisar antara Rp.2.000.000 s.d. 5.000.000. Berdasarkan

harga sekali pertunjukan tersebut, biasanya para anggota mendapatkan

honor sekitar Rp.200.000 s.d Rp.300.000. Sisa uang pembagian biasanya

dimasukkan kas untuk pemeliharaan kostum dan peraltan lainnya.

4) Pembagian tugas tidak begitu spesifik. Ciri lainnya manajemen

kelompok seni tradisional adalah tugas tumpang tindih setiap orang

dalam organisasi tersebut. Jarang seorang pemain hanya memainkan satu

jenis tari atau musik atau peran teater. Kadang sebagai seniman, ia juga

harus mengangkat alat musik, properti tari, sebelum dan setelah

pertunjukan. Hal ini biasa terjadi dalam kelompok kesenian tradisional.

Pembagian kerja yang tidak spesifik ini biasanya akan pula mengurangi

tanggung Jawab dan tugas khususnya. Biasanya pendekatan semacam ini,

berdasar kepada asumsi mereka adalah keluarga besar, tanggung Jawab

dipikul bersama-sama. Kerja pun harus dikerjakan bersama-sama dalam

sistem gotong royong, dan seterusnya. Dengan cara kerja seperti ini,

biasanya para seniman muda dan yang berjenis kelamin laki-laki yang

diutamakan untuk bekerja ekstra keras, dengan alasan tenaganya masih

kuat, masih muda, dan masih jauh masanya berkarir di bidang seni.

5) Organisasi kesenian tradisional jarang yang dibentuk dengan

mendasarkan pada aspek yuridis. Artinya sebuah organisasi kesenian

biasanya dibentuk hanya berdasarkan musyawarah mufakat untuk

kelestarian budaya semata.

120

6) Perekrutan anggota dengan melakukan pengkaderan dari pihak keluarga

dan tetangga yang memiliki keinginan untuk menjadi pemain Reog. Pada

awalnya perekrutan anggota pada sanggar ini adalah atas inisiatif

bersama sesama seniman yang memiliki kegemaran kesenian Reog

kemudian menghubungi teman-teman yang lain untuk bergabung dalam

menghidupkan kesenian ini. Selanjutnya melakukan pengkaderan pada

generasi muda hingga mampu menjadi penari maupun pemain Reog

Ponorogo. Selain itu juga sesekali melakukan pemain cabutan dari

sanggar lainnya untuk dapat membantu dalam pertunjukan bila

mengalami kekurangan anggota.

7) Asas keluarga dan kekeluargaan. Sistem manajemen ini banyak

diterapkan oleh organisasi-organisasi kesenian di Nusantara. Sistem

manajemen ini memang ada kelebihannya di satu pihak, yaitu para

anggotanya merasa sebagai satu keluarga besar, yang terikat hubungan

kekerabatan dan darah, sehingga masalah yang timbul dengan mudah

dapat dipecahkan dengan landasan mereka satu keluarga yang

sesungguhnya baik di bidang kesenian maupun kekerabatan. Di sisi lain,

sistem ini agak kurang demokratis.

8) Sangat erat dengan ritual masyarakat. biasanya seniman Reog tidak

terlalu mengharapkan uang sebagai tujuan utamanya. Karena bagi

mereka sudah dapat melakukan yang terbaik untuk kebudayan Jawa itu

adalah hal yang dianggap luhur. Mereka bisa saja tidak akan keberatan

jika hanya diberi makanan secukupnya sebagai bayaran mereka ketika

121

melakukan pertunjukan tersebut. Hal ini atas nama gotong royong dalam

menghidupkan budaya jawa. Sangat jelas dalam hal ini uang atau honor

berkesenian bukan tujuan utamanya. Kebermaknaan konsep-konsep

kebudayaan dan aktivitas religius, yang memotivasi setiap senimannya

untuk melakukan tugasnya sebagai seorang pelaku seni.

3.7 Fungsi Pertunjukan Reog Bagi Masyarakat Pendukungnya

Menurut Rosmawaty (2011:36-38) fungsi seni pertunjukan teater berdasarkan realita terbagi menjadi 4 (empat), yaitu sebagai hiburan, sebagai media dakwah, sebagai media pendidikan/penerangan dan sebagai media ekspresi.

Sedangkan menurut Suroso (2012: 118-126) fungsi seni pertunjukan terdiri atas 8

(delapan) yang meliputi sebagai sumbangan integritas masyarakat, sebagai sumbangan untuk kesinambungan dan stabilitas kebudayaan, sebagai berhubungan dengan kritik sosial, sebagai media pendidikan, media hiburan, media ritual dan sebagai nilai ekonomi.

Menurut pengamatan Peneliti, kesenian Reog ponorogo bagi masyarakat pendukungnya memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi sebagai seni pertunjukan, hiburan, Fungsi pendidikan, fungsi sebagai pengungkapan emosional, fungsi ekonomi, dan fungsi ritual. Beberapa fungsi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Sebagai seni pertunjukan

Menurut Murgianto (1997:160) menjelaskan bahwa pertunjukan

ialah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang. Sebuah

pertunjukan mempunyai bagian awal, tengah dan akhir. Struktur dasar

122

pertunjukan meliputi tahapan-tahapan antara lain : persiapan bagi pemain

maupun penonton, pementasan serta apa-apa yang terjadi setelah

pertunjukan selesai.

Sesuai dengan pendapat tersebut maka dapat dijelaskan bahwa Reog

Ponorogo berfungsi sebagai sebuah seni pertunjukan untuk kelompok

masyarakat Jawa yang ada di Perbaungan dan sekitarnya, hal tersebut

sesuai dengan pendapat Murgianto yang menjelaskan bahwa Reog

Ponorogo dapat ditampilkan dihadapan penonton dan mempunyai tahapan

dan waktu tertentu serta mengandung unsur-unsur seni petunjukan.

2. Sebagai media hiburan

Dalam fungsinya sebagai hiburan sebuah seni pertunjkan tradisional,

Reog Ponorogo menampilkan cita rasa kehidupan raja-raja Jawa melalui

pertunjukan yang dibawakan berdasarkan foklore maupun dongeng-

dongen (mite) dan berbagai rangsangan lainnya. Secara keseluruhan

pertunjukan tersebut mampu memberikan hiburan dalam memeriahkan

suatu suasana yang lebih meriah, dari suasana yang benar-benar sakral dan

suci sebuah peristiwa budaya. Hal ini dapat terlihat dari antusias para

penonton yang menyaksikan pertunjukan Reog Ponorogo, mereka merasa

terhibur melalui berbagai bentuk tarian dan atraksi akrobatik yang

ditampilkan oleh para pemainnya.

123

3. Sebagai sarana ritual

Dalam catatan Panji Suroso51 (2012; 124) Pada awalnya bahwa

tumbuhnya seni tradisional bermula adanya keperluan-keperluan ritual

masyarakat pedesaan. Seni tradisional yang di analogikan dalam peristiwa

komunikasi melalui gerak maupun nyayian yang dihubungkan dunia roh

atau dunia gaib. Demikian halnya dengan pertunjukan Reog Ponorogo di

sanggar Cipto Budoyo menururt bapak Guntoro (wawancara 20 Januari

2020) juga di fungsikan sebagai sarana ritual. Sebelum maupun sesudah

melaksanakan pertunjukan akan diadakan ritual permohonan ijin atau

penghormatan terhadap roh leluhur dengan pemasangan sesaji atau sajen

yang dipersembahkan untuk roh para leluhur. Dalam hal ini ritual yang

dilakukan berhubungan dengan bagaimana mereka mengkomunikasikan

hal keselamatan dan keberkahan hidup yang dikomunikasikan melalui

ritual tersebut. Pertunjukan Reog adalah sebagai sebuah bagain yang tak

terpisahkan dari bentuk peristiwa ritual, pelaksanaan pawai budaya Jawa

atau dalam perayaan hari besar dan ritual lainnya yang saling berhubugan.

4. Sebagai kesinambungan kebudayaan Jawa

Kegiatan kebudayaan seperti pertunjukan kesenian Reog Ponorogo

yang di praktekan oleh sanggar Cipto Budoyo juga berfungsi dalam hal

kesinambungan kebuadayaan Jawa di Sumatera Utara. didalam

pertunjukan kesenian ini terkandung beberapa nilai budaya yang dianggap

luhur dan penting untuk dilestariakan. Nilai-nilai luhur seperti nilai

51 Panji Suroso : Ketoprak dor di helvetia, Unimed Pres 2012. Hal 124.

124

sejarah, mite atau legenda raja-raja jawa, nilai keteraturan hidup, sikap

kesatria, kesetiaan, tanggung jawab dan sikap bijak sana yang terkandung

didalam kesenian ini pada gilirannya akan mampu memberikan

sumbangan untuk kesinambungan dan stabilitas kebudayaan Jawa itu

sendiri. Melalui berbagai pertunjukan yang di praktekan akan

menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat pendukungnya.

Usaha untuk mewujudkan kesinambungan kebudayaan ini juga

dapatterlihat pada konsep-konsep yang mereka laksanakan dalam hidup

gotong royong, hidup tentram di lingkungan sosialnya. Kesenian Reog

Ponorogo adalah bentuk pengejawantahan aktivitas untuk

mengekspresikan nilai-nilai budaya Jawa yang di transformasikan dan

menyumbang bentuk kesinambungan budaya itu sendiri.

5. Sebagai media pendidikan/edukasi nilai-nilai kehidupan

Lakon atau cerita yang ditampilkan juga dapat mengedukasi para

masyarakat pendukungnya dalam memahami nilai-nilai kehidupan seperti

pentingnya gotong royong, nilai kejujuran, nilai kesetiaan, nilai tanggung

jawab, nilai ketugahan, berbuat kebajikan, tidak sombong, menjunjung

tinggi nilai-nilai kejujuran, disiplin, kerja keras, bersifat kesatria, dan lain

sebagainya.

6. Sebagai pengungkapan emosional atau ekspresi diri

Kecenderungan fungsi seni pertunjukan untuk pengungkapan

emosional atau ekspresi diri ini merupakan perwujudan dari semboyan

seni untuk seni. Tidak ada orang yang dapat mengganggu gugat ekspresi

125 seni dalam penampilannya. Kebebasan di sini lebih menekankan pada pencapaian tujuan tertentu yang diperjuangkan. Contoh seni instalasi, happening art, dan sejenisnya. Pertunjukan Reog Ponorogo yang dipraktekan oleh para pemainnya menunjukan sebuah ekspresi budaya oleh para senimannya. Para pemain dalam hal ini dapat mengungkapkan emosi kesenimannya dalam bingkai kesenian Reog dan dengan leluasa mengekpresikan diri menari berakrobatik melepaskan bentuk keahliannya sesuai kemapuan yang telah lama dilatihnya. Pengungkapan emosi atau mengekpresikan diri adalah bagian dari pengungkapan perasaan mereka tentang apa yang mereka ketahui dan rasakan selama menjalani menjaga kehidupan budaya peninggalan leluhur mereka.

126

BAB IV

ANALISIS STRUKTUR PERTUNJUKAN REOG PONOROGO

SANGGAR CIPTO BUDOYO

Dalam hal ini peneliti hanya fokus menganalisis struktur pertunjukan Reog

Ponorogo yang diperagakan oleh sanggar Cipto Budoyo berdasarkan data penelitian lapangan yang peneliti lakukan, dengan cara mengamati pertunjukan secara langsung maupun pengamatan tidak langsung, melalui wawancara dengan pelaku dan juga berdasarkan pengamatan rekaman vidio record.

Kesenian Reog Ponorogo adalah seni pertunjukan yang sarat dengan pesan-pesan sosial leluhur masyarakat jawa menyangkut berbagai hal tentang kehidupan manusia. Sebagai sebuah repor toar pertunjukan seni Reog Ponorogo adalah termasuk sebuah bentuk komunikasi yang di lakukan dalam menyampaikan pesan kepada kelompok masyarakat, dalam hal ini pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima pesan (publik seni), dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas.

Seni pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan ruang dan waktu, dan mempunyai bagian awal, tengah, dan akhir (Sechner:1998). Sejalan dengan pendapat tersebut Sediyawati mengutarakan bahwa seni pertunjukan dibagi ke dalam dua kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan sebagai tontonan, di mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan sebagai pengalaman bersama, dimana antara penyaji dan penonton saling berhubungan satu sama lain.

127

Pendapat konsep dan pemikiran ahli ini dirujuk dan digunakan sebagai pelengkap dan pengayaan pemikiran akademis dalam melihat seluruh proses, struktur pertunjukannya, ruang dan waktu pertunjukan dan keterkaitannya dengan penonton. Berikut adalah analisis struktur seni pertunjukan Reog Ponorogo oleh sanggar Cipto budoyo.

4.1 Analisis Tema atau Lakon Cerita Reog

Istilah atau kata lakon berasal dari bahasa Jawa yang artinya “laku” atau jalan cerita. Kata lakon mengacu pada „sesuatu yang sedang berjalan‟ atau „suatu peristiwa atau kehidupan manusia sehari-hari‟. Drama sebagai seni pertunjukan, menurut Tarigan (1985:73) ada empat perbedaan poko yakni :

1. Drama sebagai teks tertulis adalah hasil sastra milik pribadi (perorangan),

yaitu milik peneliti drama tersebut : sedang drama sebagai seni

pertunjukan adalah seni kolektif.

2. Teks lakon memerlukan pembaca soliter : sedang drama sebagai seni

pertunjukan memerlukan penonton kolektif. Penonton menjadi faktor

yang sangat penting dalam drama sebagai seni pertunjukan.

3. Teks lakon masih memerlukan penggarapan sebelum dipentaskan

menjadi seni pertunjukan

4. Teks lakon adalah bacaan sedang drama sebagai seni pertunjukan adalah

tontonan.

Perbedaan tersebut membawa berbagai konsekuensi, baik dalam hubungannya dengan peneliti maupun bagi pembaca atau penonton. Seorang

128 peneliti dalam mengamati prihal lakon harus senantiasa ingat pada kondisi- kondisi pementasan seni pertunjukan. Menurutnya, karya sastra atau seni yang berbentuk lakon belum bisa dikatakan telah mencapai kesempurnaan bentuk bila belum sampai dipentaskan sebagai sebuah seni pertunjukan.

Namun pada kenyataannya makna lakon sering menjadi sangat berbeda dengan makna drama sebagai teater atau seni pertunjukan drama tari, walaupun sumber awalnya (teks lakonnya) sama. Hal ini dikarenakan :

1. Terjadinya jurang pemisah antara pemaknaan oleh pembaca soliter

dengan pemaknaan oleh sejumlah pemain pertunjukan (pembaca

kolektif)

2. Terjadinya improvisasi di panggung oleh pemain tertentu.

3. Penggarapan teater menyimpang dari teks lakonnya, yang sengaja

dilakukan oleh sutradara dan para pemain pertunjukan drama.

Teks lakon sering dipentaskan dengan penggarapan yang menyimpang.

Hal ini antara lain dikarenakan :

1. Disesuaikan dengan latar belakang sosial budaya ditempat pementasan

drama tersebut.

2. Disesuaikan dengan visi dan misi sutradara atau kelompok yang

bersangkutan.

3. Karena permintaan dari pihak-pihak tertentu, misalnya penanggap seni

pertunjukan, kepolisian atau pemerintahan penguasa.

4. Karena pertimbangan nilai jual (mengacu pada penonton).

129

Oleh karena itu sering terjadi perubahan dari naskah atau lakon yang berisi cerita klasik dipentaskan dalam bentuk modern, dari naskah atau lakon yang serius dipentaskan menjadi komedi. Berdasarkan uraian diatas, kiranya menjadi jelas bahwa, sekali lagi, teks lakon harus dibedakan dengan teks pementasan, karena sistem dan tingkat pemaknaannya yang memang berbeda.

Dalam hal seni pertunjukan drama tari Reog ponorogo di seluruh pulau

Jawa, baik Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan termasuk Reog yang ada di

Sumatera Utara kesenian Reog hidup dan berkembang menurut kedaerahannya masing-masing. Dari daerah satu dengan yang lain masing-masing mempunyai cerita Reog yang bervariasi. Sesuai dengan kondisi sosial budaya yang ada.

Adapun mengenai sumber cerita atau lakon Reog kebanyakan mengambil dari

(folklor) cerita Panji yang terkenal di benua Asia. Tentang nama-nama baik alat maupun paraga dari masing-masing daerah tidak sama. Tetapi pada hakikatnya, kebanyakan isi ceritanya masih sama ialah memaparkan kisah seorang Raja yang ingin meminangan seorang putri Kediri atau Daha yang berawal dan berakhir dengan peperangan.

Tema atau lakon cerita Reog Ponorogo yang di bawakan di sanggar Cipto budoyo tersebut adalah cerita tentang persitiwa lamaran seorang raja dari kerajaan

Bantarangin yang bernama Klono Sewandono terhadap seorang putri dari kerajaan

Kediri yang bernama Dewi Songgolangit. Lakon ini telah distilasikan oleh sutradara dalam menyesuaikan dengan kondisi dan kemapuan dari para sutradara dan anggotanya, dalam lakon ini di kisahkan seorang raja yang bernama prabu

Klono Suwandono bersama patihnya yang bernama Pujonggo Anom atau

130

Bujangganong serta pasukan berkuda berangkat menuju kerajaan Kediri untuk melamar Dewi Songgo langit yang sangat cantik jelita. Di dalam perjalanan, rombongan tersebut dihadang oleh barongan atau harimau jadi-jadian yang sebenarnya adalah seorang patih Kediri yang bernama Singolodro yang juga mencintai Dewi Songgolangit. Terjadilah pertempuran di antara mereka yang dimenangkan oleh Prabu Klono Sewandono yang sangat sakti dengan senjata pusaka berupa cemeti atau pecut Samandiman.

Dalam mempertunjukan lakon ini sutradara atau pimpinan sanggar mempraktikan pertunjukan ini degan model pertunjukan sendra tari. Dalam praktiknya para pemain Reog Ponorogo hanya melakukan gerakan sendra tari saja, tidak ada dialog pengolahan sastra atau bahasa yang di peragakan diantara penari yang satu dengan penari yang lainnya, masing-masing tokoh hanya melakukan gerakan tarian sesuai dengan peran masing-masing penari yang telah latihkan.

Berikut adalah beberapa peran lakon yang meliputi peran para penari adalah sebagai berikut :

1. Penari atau tokoh Prabu Klono swandono membawakan peran atau lakon

tarian seorang raja yang bijaksana dalam memimpin rakyat dan para

patih serta prajurit berkudanya.

2. Penari tokoh Pujang anom memerankan lakon seorang patih yang

bersifat, kesatria menggambarkan kelincahan, ketanguhan dan

keberanian.

3. Penari dadak merak (pembarong) atau tokoh Reog menggambarkan

kebuasan dan keberingasan.

131

4. Penari tokoh warok menggambarkan watak yang setia, tegas dan sakti

mandraguna.

5. Penari atau tokoh jatil menggambarkan pasukan berkuda yang lincah dan

gagah berani dengan tunggangan kudanya.

Makna dari lakon yang dibawakan menurut bapak Guntoro wawancara (20

Desember 2019) adalah : bahwa dalam kesenian Reog Ponorogo membawa misi kebersamaan diantara sesama oarang jawa untuk sama-sama memahami dan menjaga nilai-nilai luhur yang ada didalam Reog ponorogo, seperti: 1. Nilai-nilai kebijaksanaan layaknya seorang Raja jawa 2. Nilai-nilai kesatria yang lincah, tangguh dan berani, 3. Nilai-nilai Perlawanan terhadap kebuasan dan keberingasan

(hal-hal yang tidak baik). Selain itu hal ini juga ditujukan dalam rangka menghormati kebudayaan, menghormati roh para leluhur, agar selalu memohon perlindungan dari Tuhan yang maha kuasa agar kehidupannya mendapat kesempurnaan.

4.2 Struktur Pertunjukan Reog Ponorogo

Dalam hal ini akan dijelaskan Struktur pertunjukan Reog Ponorogo disanggar cipto Budoyo berdasarkan hasil data yang diperoleh dilapangan penelitian. Dalam menjelaskan struktur pertunjukan ini dijelaskan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh seniman Reog dari mulai persipan hingga akhir pertunjukan dalam struktur seni pertunjukan. Pada dasarnya pertunjukan Reog

Ponorogo yang di praktikan oleh sanggar cipto budoyo ada dua model, yaitu : 1.

Model arak-arakan atau pawai Reog Ponorogo, dalam hal ini model pertunjukan

132 arak-arakan adalah sebuah adegan pawai yang menggambarkan arak-arakan singo barong, dan yang ke 2 adalah model pertunjukan di suatu tempat atau arena lapangan terbuka.

Rangkaian acara pertunjukan Reog Ponorogo pada sanggar Cipto Budoyo merupaka tanggung Jawab dari sipenyelenggara dan masyarakat pendukungnya yang pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan. Rangkaian seluruh pertunjukan secara berurutan terdiri dari tiga bagian penting yaitu: 1. Pra pertunjukan, 2. Proses pertunjukan, 3. Pasca pertunjukan.

4.2.1 Pra pertunjukan Reog Ponorogo

Pra pertunjukan adalah sebuah proses persiapan yang dilakukan sebelum dilakukannya pelaksanaan pertunjukan atau dapat juga disebut fase persiapan akan dilaksanakannya pertunjukan. Pada bagian pra pertunjukan ini meliputi beberapa hal diantaranya adalah a) Mempersiapkan dan membersihkan lokasi pertunjukan, b). ; pemasangan sajen atau sesaji, c). Obong kemenyan atau mebakar kemenyan.

4.2.1.1 Mempersiapkan dan membersihkan lokasi pertunjukan

Hal ini dilakukan oleh seorang pawang atau sesepuh jawa yang dipercaya dapat membersihkan segala macam ganguan baik hal yang nyata maupun dari hal yang gaib. Hal ini dilaksanakan pada hari dimana pertunjukan Reog dilaksanakan, beberapa jam sebelum pelaksanaan pertunjukan dimulai seorang pawang atau sesepuh akan melakukan bersih-bersih dan mohon ijin kepada roh para leluhur dan tuhan yang maha Esa, yaitu sebagai tanda untuk menghormati roh leluhur dan

133 bentuk perijinan akan dilaksanakannya supaya prosesi acara berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pemaparan hasil wawancara (12

Agustus 2019) dengan Bapak Agus yang mennyatakan sebagai berikut :

“Maksud dari bersih-bersih adalah untuk menghormati roh leluhur yang menjaga desa yaitu Nini Among dan Kaki Among, selain itu untuk memohon ijin akan dilaksanakannya pertunjukan Reog Ponorogo agar semua prosesi acara berjalan lancar dan semuanya waras slamet ” Akan tetapi ritual bersih- bersih ini hanya dapat dilakukan oleh pawang atau sesepuh orang jawa saja, karena dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa hanya orang-orang yang mempunyai kasekten (kasekten artinya kesaktian) apabila berdoa lewat perantaranya dipercaya dapat cepat terkabul.”

4.2.1.2 Memasang sesaji atau sajen

Sesaji merupakan sebuah keharusan yang pasti ada dalam setiap acara bagi orang yang masih teguh memegang adat Jawa. Pandangan masyarakat khususnya dalam masyarakat yang masih mengandung adat istiadat yang sangat kental, sesaji mengandung arti pemberian sesajian sebagai tanda penghormatan terhadap roh leluhur dialam gaib dan semua yang terjadi di dalam masyarakat, berikut adalah berbagai sesaji yang di sediakan meliputi :

1. Sego / nasi tumpeng

Nasi tumpeng adalah nasi gunungan yang terbuat dari nasi putih,

dibentuk seperti kerucut hingga menyerupai bentuk gunung. Tumpeng ini

melambangkan keselamatan, kesuburan, kesejahteraan dan

mengambarkan kemakmuran yang sejati.

Nasi tumpeng yang digunakan untuk sesaji diletakkan di atas

nampan dan dilengkapi dengan lauk pauk dan sayuran serta. Dari

134

masing-masing tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri yaitu nasi

putih yang berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan

merapat menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan semua menuju kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Dikatakan seperti itu karena nasi gunungan ini

berbentuk kerucut, sama halnya dengan ketika manusia berdoa kepada

Tuhan dengan cara merapatkan kedua tangannya sehingga kedua

tangannya berbentuk kerucut seperti halnya bentuk nasi gunungan. Sayur

dan lauk melambangkan segala sesuatu yang kita makan sehari-hari.

Tumpeng ini juga melambangkan keselamatan, kesuburan, kesejahteraan

dan mengambarkan kemakmuran yang sejati.

Menurut Bapak Bambang (wawancara 21 September 2019) makna

tumpeng yaitu: “Ketika manusia berdo‟a kepada Tuhan, dengan cara

merapatkan kedua tangannya sehingga kedua tangannya berbentuk

kerucut seperti halnya bentuk nasi gunungan. Salah satu bentuk rasa

syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Dari keseluruhannya

melambangkan agar kita semua selalu mendapatkan lindungan dari

Tuhan Yang Maha Esa, selamat jiwa raga maupun hartanya, dan

mendapatkan kelancaran rejeki dan kemakmuran.

2. Ayam panggang (ingkung)

Ayam panggang (ingkung) adalah berupa ayam kampung satu

bagian utuh dibagian dadanya dibelah dan ditusuk dengan sebilah bambu

sehingga bagian sayap dan kakinya dapat dikaitkan, kemudian direbus

setengah matang dan dilumuri dengan rempah-rempah setelah itu

135

dipanggang. Dalam memasaknyapun tidak boleh dirasakan atau dicicipi.

Ayam panggang (ingkung) bermakna kepasrahan manusia kepada Tuhan

Yang Maha Esa, juga mempunyai makna sebagai simbol permohonan

ampun seluruh warga masyarakat agar dijauhkan dari segala dan

kesalahan. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan oleh Mbah Musinem52

(wawancara 26 September 2019) sebagai berikut :

“Ayam ingkung maknane nyuwun ampun dhateng Gusti Allah supaya diadohke saka dosa lan kaluputan, sarta sifat pasrah, bekti lan tundhuk kaliyan Gusti Allah ”

Terjemahan :

“ Panggang maknanya adalah untuk memohon kepada Gusti Allah supaya dijauhkan dari dosa dan kesalahan, serta menunjukkan sifat pasrah, berbakti dan tunduk kepada Gusti Allah ”

3. Gedhang raja (pisang raja)

Pisang raja melambangkan kemuliaan seorang Raja yang dapat

menjunjung tinggi seluruh rakyatnya. Filosofi dari pisang raja ini adalah

agar manusia bisa memiliki sifat seperti raja yang adil bijaksana dan

berbudi luhur. Pemakaian pisang raja dalam sesaji ini dimaksudkan agar

orang yang melakukan tradisi ini mampu mencontoh watak seorang Raja

yang bersifat adil bijaksana, berbudi luhur, dan mampu mengayomi

seluruh warganya. Hal ini sejalan dengan pernyataan mbah Musinem

(wawancara 26 September 2019) sebagai berikut :

“Gedhang sing digunakake gawe sajen iki nganggo

52 Mbah Musinem adalah seorang sesepuh jawa yang menguasai persoalan adat istiadat Jawa.

136

gedhang raja, lha maknane supaya wong-wong kuwi bisa nduweni watak kaya Raja. Watak sing bijaksana lan berbudi luhu r”

Terjemahan :

“Pisang yang digunakan untuk sesaji adalah dengan menggunakan pisang raja, yang maknanya adalah supaya orang-orang bisa mempunyai watak seperti Raja. Watak yang bijaksana dan berbudi luhur ”

Selanjutnya sejalan dengan Bapak Agus (wawancara 25 September

2019) bahwa pisang raja mempunyai makna sebagai berikut “Pemakaian

pisang raja dalam sesaji ini dimaksudkan agar orang yang melakukan

tradisi ini mampu mencontoh watak seorang Raja yang bersifat adil

bijaksana, mempunyai sifat seperti Raja yang dapat memberikan suri

teladan yang baik bagi manusia lainnya” Dari pernyataan tersebut dapat

disimpulkan bahwa pemakaian pisang raja dalam sesaji ini mempunyai

makna agar manusia mempunyai sifat seperti Raja yang dapat

memberikan suri teladan yang baik bagi manusia lainnya.

4. Gemblong

Gemblong (jadah) adalah makanan yang dibuat dari beras ketan

dibumbui dengan garam dan santan kelapa kemudian ditanak, setelah

masak menjadi seperti nasi lalu ditumbuk. Gemblong (jadah) ini

disajikan dengan dibungkus daun pisang. Gemblong melambangkan

pemersatu atau perekat, dikatakan seperti itu karena gemblong ini lengket

dan proses pembuatannya ditumbuk menjadi satu, jadi diharapkan

pemakaian gemblong ini masyarakat dapat bersatu untuk mencapai

137

tujuan yang sama, yaitu tercapainya tujuan bersama dalam kehidupan

sehari-hari dalam lingkungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Mbah Musinem (wawancara 26 September 2019) sebagai

berikut :

“Gemblong iki digawe seko beras ketan, lha ketan kuwi rak pliket utawa kraket. Maksud sajen gemblong iki yaiku kabeh warga masyarakat bisa rumaket dadi siji guna ndadekake tujuan kanggo kepentingan bareng-bareng ”

Terjemahan :

“Gemblong ini dibuat dari beras ketan, nah beras ketan itu kan lengket. Maksud sesaji gemblong ini adalah semua warga masyarakat bisa bersatu padu dalam menciptakan tujuan bersama ”

5.

Wajik adalah makanan yang terbuat dari beras ketan dan diberi gula

Jawa, sehingga warnanya coklat dan rasanya manis. Makanan ini

memiliki sifat lekat atau dalam bahasa Jawa disebut pliket. makna kata

wajik dan pliket (lengket) tersebut, maka ini dimaksudkan agar hubungan

antara orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup senantiasa

lekat. Artinya yang masih hidup diharap selalu mengenang dan tidak

melupakan arwah orang-orang yang sudah meninggal. Hal ini seperti

yang diungkapkan oleh Mbah musinem (wawancara 26 september 2019)

berikut ini.

“Wajik kuwi rak panganan kangasale saka ketan lan nduweni sifat pliket, saengga maknane wajik iki yaiku hubungan antarane wong sing wis tilar donya karo wong sing isih urip tetep kraket, tegese sing isih urip ora lali

138

karo wong sing wis tilar donya, kejaba kuwi dongake supaya bisa katampa ing sisihe Gusti Allah ”

Terjemahan :

“Wajik adalah makanan yang dibuat dari ketan dan mempunyai sifat pliket (lengket), sehingga makna dari wajik ini adalah hubungan antara orang yang sudah meninggal dan dengan orang yang masih hidup tetap lekat, artinya bahwa orang yang masih hidup tidak melupakan orang yang sudah meninggal, selain itu juga selalu mendoakan supaya orang yang sudah meninggal bisa diterima disisiNya. ”

Menurut bapak Agus (wawancara 25 September 2019) makna

wajik adalah.: “ Untuk menghormati dan selalu mengingat para leluhur

yang sudah meninggal, hubungan antara orang yang sudah meninggal

dan dengan orang yang masih hidup tetap lekat, artinya bahwa orang

yang masih hidup tidak melupakan orang yang sudah meninggal, selain

itu juga selalu mendoakan supaya orang yang sudah meninggal bisa

diterima disisiNya. Wajik juga dimaksudkan agar kita selalu mendoakan

arwah orang yang sudah meninggal terbebas dari cengkraman setan dan

mereka selalu berada dekat dengan Tuhan YME dan diterima disisiNya.

6. Beras dan telur ayam kampung

Beras dan telur ayam kampung merupakan salah satu sesaji yang

disajikan dengan diletakkan di dalam takir (wadah yang terbuat dari daun

pisang). Telur ayam kampung disajikan di atas beras yang dimasukkan di

dalam takir. Menurut Mbah Musinem (wawancara 26 September 2019)

makna sesaji beras dan telur ayam adalah sebagai berikut :

139

“Sajen seng digunakake yaiku beras lan endhog pitik, endhog kang digunakake kanggo sajen yaiku endhog pitik Jawa sing nglambangake asal mulane saka urip kayadene lanang-wedhok, awan-wengi. Dene beras nglambangake ketuntasan lan kasampurnaning urip ”

Terjemahan :

“Sesaji yang digunakan yaitu beras dan telur ayam kampung. Telur yang digunakan untuk sesaji adalah telur ayam kampung yang melambangkan asal mula kehidupan, seperti adanya laki-laki-perempuan, siang-malam dll. Sedangkan beras melambangkan sebuah ketuntasan dan kesempurnaan hidup ”

Dengan demikian makna sesaji beras dan telur ayam kampung

melambangkan sebuah ketuntasan dan kesempurnaan hidup sedangkan

telur melambangkan asal mula kehidupan, seperti adanya laki-laki

perempuan, siang dan malam. Manusia harus mampu menjalani segala

rintangan hidup agar mencapai sebuah kesempurnaan.”

7. Kinang dan rokok

Perlengkapan kinang terdiri dari buah gambir, suruh (daun sirih)

dan kapur sirih, tembakau, dan rokok. Perlengkapan kinang untuk sesaji

diletakkan dalam wadah. Menururt Mbah Musinem sebagai berikut :

“Sajen kinang iki ana maceme yaiku gambir suruh, enjet (kapur sirih), tembakau, lan ditambahi rokok. Kabeh ubarampe iki rasane pait, getir, asin, sepet, dadi maknane kabeh yaiku manungsa kudu bisa nglakoni urip sing maneka warna kanthi sabar. Suruh uga bisa kanggo nolak bala kekuatan jahat sing nganggu ”

Terjemahan :

140

“Sajen kinang ini beraneka macam yang terdiri dari gambir daun sirih, kapur sirih, tembakau, dan ditambah dengan sebatang rokok. Semua sesaji ini mempunyai rasa yang getir, asin, pahit, sepah. Sehingga sesaji kinang ini mempunyai makna bahwa manusia harus bisa menjalani hidup yang beranekaragam dengan sabar. Selain itu daun sirih juga bisa digunakan untuk menolak kekuatan jahat yang mengganggu ”

Hal ini dapat diartikan “Bahwa manusia harus bisa menjalani hidup

yang beranekaragam dengan sabar baik dalam keadaan suka maupun

duka” Ubarampe kinang itu terdiri dari berbagai macam bahan, yaitu

daun sirih, kapur sirih, tembakau, gambir, dan ditambah dengan sebatang

rokok. Rasa pahit, getir, asin dan sepah ini mempunyai makna bahwa

kehidupan manusia tidak akan selalu berasa manis (bahagia), kadang kala

akan berasa pahit (kesusahan), maka dari itu manusia harus siap

menjalani hidup yang pahit (kesusahan) dengan kesabaran hati. Selain itu

perlengkapan kinang itu juga ditujukan kepada mahluk halus berjenis

kelamin perempuan dan sebagai penolak bala kekuatan jahat supaya tidak

mengganggu.

8. Wedang kopi, dan wedang teh

Wedang atau minuman menjadi piranti vital dalam interaksi di

semua belahan masyarakat. Wedang (minuman) merupakan simbol

keakraban, keluwesan dan keharmonisan. Orang Jawa mengenal wedang,

yaitu minuman hangat sejenis teh atau kopi. Ketika orang Jawa

kedatangan tamu yang pertama-tama disuguhkan adalah wedang. Konon,

141

istilah wedang merupakan akronim dari nggawe kadhang (membuat atau

menjalin persaudaraan).

Menurut Bapak Agus (wawancara 25 September 2019) wedang teh,

wedang kopi, mempunyai makna sebagai berikut.: “Wedang yaitu

nggawe kadhang yang berarti membuat atau menjalin persaudaraan bila

ada perkumpulan atau pertemuan” Wedang yang digunakan dalam sesaji

ini adalah wedang kopi, wedang teh. Wedang kopi memiliki rasa yang

sedikit agak pahit, wedang teh memiliki rasa yang sedikit manis. Dari

gambaran itu sesaji ini memiliki rasa yang berbeda-beda. Dari kedua

jenis wedang yang digunakan dalam sesaji itu mempunyai makna bahwa

elemen air merupakan salah satu kebutuhan manusia dan menjadi

lambang persaudaraan bila ada perkumpulan atau pertemuan. Hal

tersebut juga sesuai dengan pernyataan mbah Musinem (wawancara 26

September 2019) berikut :

“Wedang teh, lan wedang kopi ana ing sajen kuwi maknane paseduluran, keakraban, keluwesan lan keharmonisan ”

Terjemahan :

“Wedang asem, wedang teh, dan wedang kopi yang ada dalam sesaji jaran kepang mempunyai makna sebagai lambang persaudaraan, keakraban, keluwesan dan keharmonisan”

9. Bubur abang putih (bubur merah putih)

Bubur abang putih atau bubur merah putih adalah bubur yang

dibuat dari beras, gula Jawa dan campuran sedikit garam. Sesuai dengan

142 namanya bubur putih berwarna putih, memiliki makna sebagai simbol penghormatan dan harapan seseorang yang ditujukan kepada kedua orang tua khususnya kepada seorang ayah. bubur putih dimaksudkan sebagai lambang bibit ayah (sperma). Bubur abang atau bubur merah adalah bubur yang dibuat dari tepung beras dengan dibumbui sedikit garam dan dicampur dengan gula jawa sehingga berubah warna menjadi merah dimaksudkan sebagai penghormatan dan harapan seseorang yang ditujukan kepada kedua orang tuanya khususnya kepada seorang ibu.

Bubur abang atau bubur merah ini dimaksudkan lambang bibit dari ibu

(darah merah).

Bubur abang putih atau bubur merah putih ini dimaksudkan sebagai lambang kehidupan manusia yang tercipta dari air kehidupan orang tuanya. Dalam hal ini bersatunya darah putih atau sperma dengan darah merah atau sel telur. Manusia lahir ke dunia pasti memiliki ayah dan ibu yang harus dihormati dan dihargai. Bubur abang putih inilah simbol yang menggambarkan bentuk penghormatan manusia sebagai anak kepada ayah dan ibu. Hal ini sesuai dengan apa yang jelaskan oleh

Mbah Musinem (wawancara 26 September 2019) sebagai berikut :

“Jenang abang putih kuwi maksute kedadeane manungsa saka getihe bapak lan getihe ibu, mula wes dadi kuwajibane anak bekti lan hormat marang wong tuwane ” Terjemahan :

“Bubur merah putih itu maksudnya kejadian manusia yang tercipta dari air kehidupan Ayah dan ibu, jadi sudah menjadi kewajiban seorang anak harus berbakti dan hormat kepada kedua orang tuanya ”

143

10. Kembang dan kemenyan

Menurut bapak Agus (wawancara 25 September 2019) sesaji

Kembang dan kemenyan terdiri dari bunga mawar, bunga kenanga dan

kemneyan. Bunga memiliki aroma yang harum, makna yang terkandung

didalamnya supaya manusia mengagungkan nama Tuhan yang telah

memberikan kehidupan manjadi tentram dan damai. Selain itu kemenyan

sebagai sesaji dan ungkapan rasa hormat kepada arwah leluhur. makna

kembang dan kemenyan yaitu dengan momohon suatu harapan makhluk

halus tidak mengganggu jalannya pertunjukan selain itu juga makna

yang terkandung didalamnya supaya manusia mengagungkan nama

Tuhan yang telah memberikan kehidupan manjadi tentram dan damai.

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwasannya sesaji

kembang dan kemenyan mempunyai makna sebagai bentuk pengagungan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Serta selain itu juga agar roh-roh

leluhur dapat membantu permohonan mereka yang melaksanakan

pertunjukan. Dengan suatu harapan makhluk halus tidak mengganggu

jalannya pertunjukan.

11. Sekar setaman (bunga setaman)

Sekar setaman (bunga setaman) terdiri atas rangkaian beberapa

bunga, antara lain mawar, kenanga, kanthil, dan lain-lain. Bunga setaman

ini dimasukkan kedalam satu tempat yang terbuat dari anyaman bambu.

Bunga mempunyai aroma yang harum, yakni keharuman diri manusia.

144

Artinya manusia harus menjaga keharuman namanya agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang negatif. Manusia melakukan sesuatu yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk agar namanya tidak tercemar dan harum sepanjang masa. Hal ini sesuai dengan pemaparan Mbah

Musinem (wawancara 26 September 2019) berikut ini.

“Kembang setaman kuwi ana mawar, kenanga, kanthil lan sakwernane. Kembang nduweni aroma sing wangi. Nah,maknane kembang setaman iki yaiku manungsa kudu bias njaga wangine, artine kudu bisa njaga awake saka hal-ha sing negatif” Terjemahan :

“Bunga setaman itu ada mawar, kenanga, kanthil dan lainlain. Bunga itu mempunyai aroma yang harum. Nah, makna bunga setaman ini yaitu manusia menjaga harumnya, artinya harus bisa menjaga dirinya sendiri dari hal-hal yang bersifat negatif ” Dalam kepercayaan masyarakat Jawa bunga merupakan perantara yang paling baik untuk mengantarkan doa-doa kepada Tuhan dengan perantara para arwah leluhur. Mereka percaya bahwa para arwah menyukai hal-hal yang berbau harum. Dengan demikian arwah tidak akan mengganggu, bahkan sebaliknya akan membantu manusia.

Sebagaimana hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Guntoro

(wawancara 25 September 2019) sebagai berikut :

“Dalam kepercayaan masyarakat bunga merupakan perantara yang paling baik untuk mengantarkan doa-doa kepada Tuhan dengan perantara para arwah leluhur. Mereka percaya bahwa para arwah menyukai hal-hal yang berbau harum. Dengan demikian arwah tidak akan mengganggu”

145

12. Degan (kelapa muda)

Degan atau kelapa muda adalah salah satu sesaji yang digunakan

dalam pertunjukan Reog Ponorogo di sanggar Cipto Budoyo. Menurut

Guntoro (wawancara 15 Agustus 2019) bahwa Degan berasal dari kata

adegan atau ngadeg yang berarti berdiri. Degan itu melambangkan

bahwa orang itu diharapkan bisa berdiri atau berhasil dalam mencari

rejeki sehingga bisa gemah ripah loh jinawi. Ini sejalan dengan

pernyataan Mbah Musinem (wawancara 26 September 2019) sebagai

berikut :

“Degan, adegan kados njenengan niku saget ngadeg leh golek duwit utawa rejeki, gemah ripah loh jinawi ” Terjemahan : “Degan, adegan sosoknya seperti anda itu bisa berdiri dalam mencari uang atau rejeki, gemah ripah loh jinawi” Makna lain dari sesaji degan seperti yang dipaparkan maksudnya:

Degan itu melambangkan bahwa orang itu diharapkan dapat berhasil atau

sukses. Adegan sosok seperti anda itu harus bisa berdiri sendiri atau

mandiri dalam mencari uang atau rejeki. Supaya kebutuhan hidupnya

terpenuhi dan selalu bahagia sejahtera.

4.2.1.3 Membakar kemenyan atau obong menyen

Membakar kemenyan atau Obong menyan merupakan sebuah ritual yang dianggap sakral oleh masyarakat pendukung tradisi, terutama yang masih kental dengan nuansa kejawen. Hal tersebut terlihat dari orang yang obong menyan

(membakar kemenyan) yaitu bukan sembarang orang, melainkan orang yang

146 disepuhkan. Sebelum pertunjukan dimulai, seorang sesepuh (pawang) harus melaksanakan acara obong menyan (membakar kemenyan) dihadapan dadak merak pepundhen dan cemethi pepundhen kemudian pawang membawa obongan menyan kegamelan angklung dan kendhang serta ke sekeliling arena pertunjukan dan barisan jaranan yang lain. Obong menyan ini diiringi dengan tabuhan alat musik gending giro.

Menurut bapak Agus (Wawancara 12 Agustus 2019) Dalam ritual obong menyan seorang sesepuh atau pawang akan membacakan mantra atau doa-doa sebagai berikut :

Mantra atau doa : “Bismilallahirrahmaanirrahiim Sang linggar jati arane menyan, winurjati uripe menyan gebyar-gebyar manjingana swarga, tinampa para pepundhen sesepuh ingkang hamengkoni bumi” Terjemahan :“

Bismilallahirrahmaanir rahiim Sesungguhnya kemenyan ini menyepuhkan dan meminta izin kepada para leluhur (pepundhen) agar selalu mendapatkan kebaikan dan keselamatan. Hidupkan dan kobarkan kemenyan ini agar kepulan asapnya sampai ke surga. Tujuannya adalah sebagai permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan lewat perantara sesepuh yang tinggal di bumi”

Berhubungan dengan hal tersebut bahwa Obong menyan atau membakar kemenyan dilakukan sebelum pertunjukan dimulai, menurut bapak Sandre

(wawancara 20 oktober2019) hal ini bertujuan untuk mendatangkan roh-roh

(danyang) agar hadir dalam kesenian ini, danyang boleh saja ikut dalam prosesi pertunjukan tetapi tidak boleh mengganggu jalannya pertunjukan. Selain itu

147 obong menyan bertujuan untuk meminta izin kepada para leluhur agar pertunjukan berjalan lancar tanpa ada halangan. Hal ini sesuai dengan pemaparan

Bapak Sucipto sebagai berikut :

“Dalam obong menyan ini juga dilakukan pembacaan doa,maksud doa ini untuk meminta ijin terhadap para leluhur, setelah dilakukan pembakaran kemenyan kemudian obongan menyan dibawa ke alat musik angklung dan kendhang serta ke sekeliling barisan jaranan ”Obong menyan (membakar kemenyan) dilakukan oleh sesepuh dihadapan jaran pepundhen dan cemethi pepundhen, kemudian pawang membawa obongan menyan ke alat musik angklung dan kendhang serta ke sekeliling arena pertunjukan dan barisan jaranan yang lain, hal ini bertujuan untuk meminta izin kepada danyang yang ada di dalam jaranan tersebut agar roh (danyang) yang jahat tidak mengganggu.”

Selanjutnya menurut pemaparan bapak Paimin (wawancara 23 September

2019) berhubungan dengan membakar kemenyan /obong kemenyan: Pada intinya proses obong menyan ini dilakukan untuk meminta izin kepada leluhur dan roh- roh (danyang) yang berdiam di dalam perlatan Reog itu sendiri, diibaratkan untuk mengucapkan salam kula nuwun. Tujuan lain dari proses obong menyan ini adalah untuk mengundang roh-roh (danyang) agar hadir dalam pertunjukan Reog, selain itu untuk melindungi dan menghindarkan dari roh-roh (danyang) yang sifatnya negatif. Segala sesuatunya ditujukan untuk meminta izin agar semuanya berjalan dengan lancar dan diberikan keselamatan. Kepulan asap kemenyan yang berbau khas dimaksudkan agar makhluk halus membantu permohonan supaya cepat sampai kepada Tuhan. Harapan lainnya adalah arwah nenek moyang tidak mengganggu, tatapi membantu manusia. Menurut kepercayaan masyarakat,

148 apabila kemenyan yang dibakar tersebut padam sebelum selesai berdoa pertanda doanya tidak dikabulkan dan sebaliknya.

4.2.2 Pertunjukan Reog Ponorogo

Pelaksanaan pertunjukan Reog Ponorogo terbagi dalam dua model yaitu:

1) model pawai atau arak-arakan dan 2) model pertunjukan dilapangan terbuka.

Berikut akan dijelaskan struktur pertunjukan Reog Ponorogo yang dipraktikan oleh sanggar Cipto Budoyo.

4.2.2.1 Struktur pertunjukan model arak - arakan Reog Ponorogo

Araka-arakan Reog Ponorogo adalah suatu bentuk penyajian pertunjukan yang dilakukan dengan cara pawai dari suatu tempat berjalan menuju ketempat lainnya. Acara ini biasanya untuk mengiringi arak-arakan dalam acara khitanan atau pesta perkawinan. Selain itu juga untuk acara pesta budaya peringatan hari- hari besar tertentu, seperti hari kemerdekaan, hari pahlawan, acara bersih desa atau hari besar agama tertentu seperti Suroan, ataupun upacara adat ruatan.

Pertunjukan Reog Ponorogo ini didukung oleh 20 sampai dengan 25 orang dan seluruh anggota yang terlibat terbagi dalam beberapa kelompok yang meliputi : a). kelompok pengawal, b). kelopok pendamping, c). kelompok penari, d). kelompok pemusik atau pengrawit gamelan. e). Kelompok pengiring. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing kelompok para pendukung kesenian Reog

Ponorogo :

a. Kelompok pengawal

149

Kelompok ini terdiri dari tiga sampai empat orang yang berjalan

paling depan dan berfungsi sebagai pembuka jalan. Komando serta

seluruh tanggung jawab berada di tangan mereka. Sikap yang

ditunjukkan kelompok ini angkuh dan tegas. b. Kelompok pendamping

Kelompok ini bertugas menjaga barisan penari Reog di samping

kanan dan kiri. Kelompok ini mempunyai anggota yang seimbang

dengan jumlah kelompok pengawal. Tugasnya memelihara situasi atau

keamanan dan menentukan hidupnya pertunjukan. c. Kelompok penari

Penari Reog terdiri dari : penari Singobarong (Pembarong), penari

Bujangganong (Ganongan), penari Kuda Kepang (Jathil), penari

Potrojoyo atau Penthul dan Potrotholo atau Tembem. Penari Prabu

Klono Suwandono. d. Kelompok pemain alat musik atau penabuh gamelan

Kelompok ini berada di belakang kelompok penari. Anggotanya

terdiri dari : seorang pengendang, seorang penyelompret, seorang

pengempul, 2 orang pengenong, 2 orang pengangklung, dan 2 orang

pemikul ungkek (alat bergantungnya kempul). e. Kelompok pengiring

Kelompok ini berbaris paling belakang dengan jumlah anggota

yang tidak terbatas. Kelompok ini disamping bertugas sebagai pembantu

150

keamanan juga berfungsi sebagai kelompok yang membantu hidupnya

pertunjukan seperti halnya kelompok pendamping. Pada saat-saat

tertentu, kelompok ini juga ikut menari, menyanyi, dan bersorak, yang

kadang-kadang diikuti oleh penonton yang ada pada saat pertunjukan.

Skema formasi kirab Reog Ponorogo

POSISI BELAKANG

Pendamping Pendamping

KELOMPOK PENGRAWIT/PEMUSIK

KELOMPOK PENARI

KELOMPOK PENGAWAL

POSISI DEPAN

Bagan 4.1 Sekema kirab Reog Ponorogo

Keterangan : = Pengrawit/Pemusik

= Barongan

151

= Kuda Kepang/Jatil = Ganongan = Warok = Prabu Klono Suwandono = Pendamping/Pengawal

4.2.2.2 Struktur pertunjukan model di lapangan terbuka

Pertunjukan dilapangan terbuka adalah sebuah penampilan yang tidak membutuhkan sebuah bangunan panggung yang memisahkan antara penonton dan penampil. Pertunjukan dilapangan terbuka biasanya dilokasi halaman rumah yang luas atau di sebuah lapangan olah raga yang dapat digunakan sesuai kebutuhan pertunjukan. Arena pertunjukan diseting agar dapat menyatu dengan para penonton agar penonton dapat juga berpartisipasi pada saat-saat tertentu. apa bila ada penonton yang dapat larut tertarik dibawah alam sadarnya (ndadi atau kesurupan) didalam pertunjukan tersebut, maka dapat langsung bergabung didalam pertunjukan itu. Berikut adalah gambaran bentuk skema arena pertunjukan Reog Ponorogo.

A

Skema arena pertunjukan Reog

B

C (Bagan 4.2 Skema arena pangung terbuka Kesenian Reog Ponorogo)

152

Keterangan : A. : Arena pemain Musik

B. : Arena pemain Reog

C. : Arena Pertunjukan

Struktur pertunjukan dilapangan terbuka memiliki lima babakan yang meliputi :

1. Musik Pembuka.

2. Persembahan penari jathilan.

3. Tari ganongan Kecil dan ganongan besar.

4. Tari pertempuran singobarong dan Prabu Klono Suwandono.

5. Tari suka- suka / ndadi (kesurupan)

A. Babak pertama tari persembahan jathilan.

Gambar 4.1 Penari Jathilan Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Tari persembahan Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan dan kepiawaian prajurit berkuda yang sedang berlatih. Ketangkasan dan kepiawaian prajurit berkuda dalam berperang diatas kuda ditunjukkan dengan ekspresi dan semangat oleh sang penari. Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh

153 laki-laki yang berparas ganteng atau halus mirip dengan wanita yang cantik.

Namun sejak tahun 1980-an penari jathilan laki-laki digantikan dengan penari perempuan dengan alasan bahwa penari perempuan lebih feminim.

Tari jathilan ini ditarikan sebagai tarian pembuka pada pertunjukan Reog

Ponorogo. Gerakan tari jathilan pada pertunjukan Reog ponorogo lebih halus, lincah, dan genit dengan tempo kendang di kaki, gerakan buang tangan sesuai tempo musik pengiring. Pada pertunjukan Reog Ponorogo tarian ini di mainkan oleh 5 gadis remaja. Iringan musik pada tarian jathilan menggunakan gendhing yang berirama lincah. Bentuk gendhing dalam tempo yang lambat menandai sebagai pembukaan tari, dalam tempo sedang untuk mengiringi persiapan prajurit berkuda, dan dalam tempo yang cepat untuk mengiringi tari prajurit berkuda dalam peperangan sekaligus sebagai penutupan tari jathilan.

- Struktur persembahan tarian Jatilan

1. Sembahan pembuka tarian jatilan dengan praktik menghadap kedepan,

menghadap kesamping kiri dan kanan.

2. Gerakan Besut (posisi kuda-kuda dasar) A – B – C.

3. Gerakan Lumaksono jatil (gerakan rampak melangkah gagah perlahan

kedepan dan berputar menuju posisi semula).

4. Gerakan stilisasi mengambil Kuda (eblek).

5. Gerak kirab berkuda di awal dengan posisi mengelilingi arena.

6. Gerak tari Perang berpasangan diatas kuda.

7. Gerak kirab berkuda posisi berbaris mengelilingi arena pertunjukan

sekali gus sebagai gerakan penutup tari.

154

B. Babak kedua tarian ganongan kecil (bujangganong kecil)

Gambar 4.2 Penari Ganongan Kecil Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Pada pertunjukan Reog Ponorogo di sanggar Cipto Budoyo tarian bujangganong kecil dilakukan oleh anak laki-laki dengan usia berkisar antara 6-

12 tahun. Gerakan-gerakan tarian bujangganong kecil terdiri dari atraksi akrobatik sederhana dengan menunjukkan tehnik akrobatik yang menawan disesuaikan dengan irama tempo dari gendhing.

Bentuk gendhing iringan dalam tempo yang lambat menandai sebagai pembukaan tari. Pada irinan gendhing dalam tempo sedang untuk mengiringi tarian dan atraksi-atraksi akrobatik seperti melakukan kayang, jungkir balik, dan lain-lain. Sedangkan dalam tempo cepat sebagai penutupan atau berakhirnya babat ganongan kecil.

- Struktur pertunjukan tarian ganongan kecil

1. Gerakan sembahan pembuka dan memakai topeng.

2. Gerakan besut A – B – C.

3. Gerakan Lumaksono.

4. Gerakan kiprak ganongan.

5. Gerakan Akrobatik (impropisasi gerak kayang, salto, komedi)

6. Gerakan Sembahan penutup.

155

C. Babak ketiga tarian ganongan besar

Gambar 4.3 Bujang Ganong besar Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Ganongan atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang energik dalam seni Reog Ponorogo. Tokoh Ganongan memiliki sosok yang lucu sekaligus mempunyai keahlian lebih dalam seni beladiri. Dalam pertunjukan Reog

Ponorogo di sanggar Cipto Budoyo, tarian ini dilakukan oleh 2 orang remaja dengan menampilkan atraksi-atraksi akrobatik yang berbau mistik.

Bentuk gendhing dalam tempo yang sedang dalam tarian bujangganong besar untuk mengiringi pembukaan tari biasanya penari melakukan gerakan- gerakan tarian sederhana dan ada juga gerakan-gerakan tari yang mengandung unsur komedi. Dalam tempo sedang untuk mengiringi gerakan tari yang menunjukkan keahlian dalam hal seni beladiri. Dalam tempo yang cepat untuk mengiringi menampilkan atraksi-atraksi yang sangat akrobatik dan berbau mistik.

- Struktur gerakan tarian bujang ganong besar

1. Gerakan Sembahan pembuka dan memakai topeng.

2. Gerakan besut A – B – C.

3. Gerakan Lumaksono.

4. Gerakan kiprak ganongan.

5. Gerakan Akrobatik (impropisasi gerak kayang, salto, komedi).

6. Gerakan Sembahan penutup.

156

D. Babak yang keempat adalah tarian singobarong

Gambar 4.4 Barongan Reog Ponorogo Dokumentasi : Dwi Prasetyo Nugroho

Singobarongan merupakan tarian yang memiliki peranan paling penting dalam pertunjukan Reog Ponorogo. Dalam tarian singobarongan inilah penari akan membawa dhadak merak yang tingginya mencapai sekitar 1,5 meter dengan berat sekitar 50 kg. Seorang pembarong harus menggigit kayu dibagian dalam kepala macan untuk mengangkat dhadak merak. Pembarong haruslah orang yang terlatih karena dia harus bisa menundukkan dhadak merak hingga menyentuh lantai dan mengangkatnya lagi ke posisi tegak. Iringan musik dalam tarian singobarong menggunakan gendhing.

Bentuk gendhing dalam tempo yang lambat menandai sebagai masuknya pembarong/singobarongan ke pertunjukan diisi dengan tari-tarian yang sederhana dengan mempertontonkan kekuatan dalam mengangkat dhadak merak. Dalam tempo sedang untuk mengiringi pembarong melakukan tarian seperti gerakan- gerakan hewan singa ataupun biasanya berimprovisasi dengan penari lainnya seperti penari jathilan atau bisa juga penonton yang ingin ikut untuk bernari.

Dalam tempo yang cepat penari singobarongan (pembarong) biasanya melakukan

157 atraksi seperti mengangkat penonton atau pembarong lainnya kedhadak merak dengan hanya menggunakan kekuatan gigi ataupun atraksi-atraksi lainya dengan mengangkat dhadak merak.

- Strutur gerak pertunjukan tari barongan

1. Gerakan sembahan kepada roh gaib dan penonton.

2. Gerakan memakai barongan dari posisi tertidur hingga berdiri.

3. Gerakan tarian barongan dengan posisi kuda-kuda yang kuat.

4. Gerakan improvisasi dengan disertai kelompok penari Jatil dan atraksi

dua bujang ganong (pentul dan tembem).

5. Gerakan pertempuran dengan Prabu Suwandono.

6. Gerakan atau adegan tambahan improvisasi dengan melakukan

gerakan-gerakan akrobatik dalam rangka mencapai klimak pertunjukan.

Biasanya dalam hal ini ikut melibatkan penonton untuk dapat

bergabung didalam pertunjukan hingga pertunjukan selesai.

E. Tari ndadi atau kesurupan

Ndadi (Kesurupan) merupakan salah satu Ciri khas pada kesenian Reog adalah terjadinya kesurupan (ndadi) pada para penari. Ndadi atau kesurupan adalah keadaan dimana penari kemasukan jin atau danyang, maka penari yang kemasukan atau danyang tersebut tidak sadar lagi. Hal tersebut mengalami keadaan diluar kesadaran manusia kemudian tidak ingat apa-apa dan melakukan gerakan diluar kesadarannya, karena penari dikuasai oleh danyang yang masuk ke dalam jiwa penari.

158

Bunyi sebuah cemethi (cambuk) yang sengaja dikenakan para pemain jaranan menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran para pemainnya. Adegan ini menjadi bagian yang ditunggu oleh penonton.

Dalam masyarakat Jawa yang menganut kepercayaan kejawen (animisme dinamisme), seseorang mempercayai kehadiran danyang-danyang sebagai roh orang yang sudah meninggal. Danyang ini memiliki pemikiran, perasaan, dan nafsu yang hampir sama dengan manusia. Danyang ini kemudian masuk ke dalam tubuh para pemain dan memanfaatkan fisik para pemain untuk melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan oleh orang biasa. Tubuh para pemain sesaat menegang, kemudian menari, melompat, menjungkirkan badan, dan memakan apa saja yang ada dalam sesaji.

Pemain yang ndadi (kesurupan) akan melakukan hal-hal diluar kesadarannya atau melakukan atraksi yang sulit diterima akal sehat. Selain pemain, tidak sedikit anggota kesenian yang ikut ndadi (kesurupan). Pemain yang ndadi (kesurupan) ada yang memakan bunga setaman dengan dicampur air kelapa muda (degan ijo), memakan dupa dan kemenyan.

Proses penyadaran kembali pemain yang ndadi atau kesurupan seperti ini dibutuhkan seorang pawang atau sesepuh. Seorang pawang dalam pertunjukan

Reog bertindak sebagai penyembuh atau mengembalikan kesadaran seorang penari yang mengalami kesurupan. Proses penyadaran kembali ini menjadi tontonan yang tak kalah menarik. Penari yang kesurupan akan disembuhkan oleh seorang pawang dengan membacakan do‟a, selain itu jika ada salah seorang yang

159 akan disembuhkan, biasanya pemain yang ndadi akan meminta disembuhkan melalui jaran pepundhen, cemethi pepundhen, kendhang ataupun singa barong.

Kepercayaan bahwa danyang-danyang jaran kepang tersebut berdiam dalam jaran pepundhen, cemethi pepundhen, kendhang dan singa barong. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bapak Guntoro (wawancara 3 Januari 2020) sebagai berikut.

“Penari sing ndadi biasane ditambani nang pawange karo maca mantra, kejaba kuwi pemain sing ndadi biasane njaluk mari ndadi ana ing jaran pepundhen, cemethi pepundhen, kendhang karo singa barong. Kuwi amarga danyang-danyange manggon ana ing jaranpepundhen, cemethi pepundhen, kendhang karo singa barong ”

Terjemahan :

“Penari yang mengalami kesurupan biasanya disembuhkan oleh seorang pawing dengan membaca mantra, selain itu pemain jaran kepang yang kesurupan akan meminta kesembuhan di kuda pepundhen, cambuk pepundhen‟ kendhang atau singa barong. Itu disebabkan danyangnya berada dalam kuda pepundhen, cambuk pepundhen kendhang dan singa barong.”

Menurut bapak Guntoro (wawancara 3 januari 2020) Adapun mantra yang dibacakan pawang untuk membuat pemain jaran kepang sadar adalah sebagai berikut :

“Nggeh nyuwun ngapunten mbah, menawi wekdalipun sampun dangu gentosan kalih kancane ” Terjemahan :

“Mohon maaf eyang, berhubung waktunya sudah lama dimohon gantian dengan teman yang lainnya ”

160

4.2.3 Pasca pertunjukan Reog

Pasca pertunjukan Reog adalah situasi dimana pertunjukan telah usai.

Setelah babakan terakhir atau setelah tari ndadi, dan stelah semua penari yang kesurupan telah sadar kembali, maka akhirnya pertunjukan ditutup dengan penghormatan dan permohonan izin seluruh anggota kepada masyarakat dan ucapan terimaksih telah mengundang mereka kepada panitia penyelenggaranya.

Hal ini biasanya ditutup dengan di iringan musik giro dan gending sampak.

Situasi pasca pertunjukan ini dilakukan beberapa kegiatan yang meliputi :

1. Bersama-sama dengan seluruh anggota sanggar melakukan kegiatan

merapikan instrumen musik dan perlengkapan pertunjukan yang telah

digunakan untuk dapat dibawa pulang kembali kesanggar.

2. Setelah itu sang pawang kembali membersihkan lokasi pertunjukan dari

roh halus yang mungkin saja masih tertinggal di arena pertunjukan dan

sekaligus memohon izin kepada para roh leluhur.

3. Seluruh anggota melaksanakan istirahat makan dan minum bersama.

4. Ketua sanggar mewakili anggotanya memohon izin untuk kembali dan

telah menyelesaikan kewjibannya dalam melakukan pertunjukan sesuai

permintaan panitia penyelenggara.

5. Menerima pembayaran pertunjukan dari panitia sesuai kesepakatan. Hal

ini dilakukan dengan cara membayar sisa uang yang belum seratus persen

dibayar. Pada awalnya penyelengara mengundang sanggar untuk

melakukan pertunjukan dengan pembayaran tanda jadi atau memberi uang

161

panjar sesuai kesepakatan mereka. Satu kali tanggapan pertunjukan Reog

ponorogo sebesar 2,500.000 rupiah hingga lima juta rupiah.

6. Seluruh anggota kembali ke sanggar berkumpul sambil bercengkrama dan

menerima bagian pembayaran dari hasil yang diperoleh dari panitia

penyelengara. Dalam hal ini penerimaan honor tidak dibagikan secara

merata, tetapi berdasarkan tugas dan status senioritas anggotanya. Anggota

yang paling junior dan sedikit tugas serta tanggung jawabnya akan

memperoleh honor seratus ribu rupiah hingga seratus lima puluh ribu

rupiah, untuk anggota yang senior akan memperoleh honor dua ratus ribu

sampai dengan tiga ratus ribu rupiah.

Kesimpulan Analisis Struktur Pertunjukan Reog Setelah dilakukan analisis data pada bab ini maka dapat disimpulkan bahwa, struktur pertunjukan Reog ponorogo adalah :

1. Tema pertunjukan :

Tema atau lakon cerita pertunjukan Reog Ponorogo yang di

bawakan di sanggar Cipto budoyo adalah membawakan cerita legenda

Raja Jawa “tentang lamaran seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang

bernama Klono Sewandono terhadap seorang putri dari kerajaan Kediri

yang bernama Dewi Songgolangit. Lakon ini telah distilasikan oleh

sutradara untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kemapuan dari

sutradara dan para anggotanya. Lakon ini bertujuan untuk mengajarkan

nilai-nilai luhur diantaranya seperti : 1. Nilai - nilai kebijaksanaan

layaknya seorang Raja - Raja jawa, 2. Nilai - nilai kesatria yang lincah,

162

tangguh dan berani, 3. Nilai-nilai Perlawanan terhadap kebuasan dan

keberingasan (hal - hal yang tidak baik). Selain itu hal ini juga ditujukan

dalam rangka menghormati kebudayaan, menghormati roh para leluhur,

agar selalu memohon perlindungan dari Tuhan yang maha kuasa agar

kehidupannya mendapat kesempurnaan.

2. Struktur pertunjukan Reog Ponorogo

Strutur Pertunjukan Reog Ponorogo yang di praktikan oleh sanggar

Cipto Budoyo ada dua model, yaitu : 1. Model arak-arakan atau pawai

Reog Ponorogo, dan yang ke 2 adalah model pertunjukan di suatu tempat

atau arena lapangan terbuka. Rangkaian seluruh pertunjukan secara

berurutan terdiri dari tiga bagian penting yaitu : 1) Pra pertunjukan, 2)

Proses pertunjukan, 3) Pasca pertunjukan.

- Pra pertunjukan Reog Ponorogo

Pra pertunjukan adalah sebuah proses persiapan yang dilakukan

sebelum dilakukannya pelaksanaan pertunjukan atau dapat juga

disebut fase persiapan akan dilaksanakannya pertunjukan. Pada bagian

pra pertunjukan ini meliputi beberapa hal diantaranya adalah :

a. Mempersiapkan dan membersihkan lokasi pertunjukan.

b. Pemasangan sajen atau sesaji.

c. Obong kemenyan atau mebakar kemenyan.

- Proses pertunjukan Reog ponorogo

a. Struktur pertunjukan model arak-arakan

163

Araka - arakan Reog adalah suatu bentuk penyajian

pertunjukan yang dilakukan dengan cara pawai dari suatu tempat

berjalan beriringan menuju ketempat lainnya. Acara ini dibiasanya

untuk mengiringi arak-arakan dalam acara khitanan atau pesta

perkawinan. Selain itu juga untuk acara pesta budaya peringatan

hari-hari besar tertentu, seperti hari kemerdekaan, hari pahlawan,

acara bersih desa atau hari besar agama tertentu seperti Suroan,

ataupun upacara adat ruatan. Pertunjukan Reog ini didukung oleh

20 sampai dengan 25 orang dan seluruh anggota yang terlibat

terbagi dalam beberapa kelompok yang meliputi : a. kelompok

pengawal, b. kelopok pendamping, c. kelompok penari, d.

kelompok pemusik atau pengrawit gamelan. e. Kelompok

pengiring. b. Struktur pertunjukan dilapangan terbuka.

Struktur pertunjukan dilapangan terbuka memiliki empat

babakan yang meliput :

1. Persembahan penari jatilan.

2. Tari ganongan Kecil.

3. Tari ganongan Besar.

4. Tari singo barong.

5. Tari suka- suka / ndadi (kesurupan).

164 c. Pasca pertunjukan Reog Ponorogo.

Pasca pertunjukan Reog adalah situasi dimana pertunjukan

telah usai. Setelah babakan terakhir atau setelah tari ndadi, dan

stelah semua penari yang kesurupan telah sadar kembali. Situasi

pasca pertunjukan ini dilakukan beberapa kiegiatan yang meliputi:

1. Melakukan kegiatan merapikan instrumen musik dan

perlengkapan untuk dibawa pulang kembali kesanggar.

2. Membersihkan lokasi pertunjukan dari roh halus yang mungkin

saja masih tertinggal di arena pertunjukan dan sekaligus

memohon izin kepada para roh leluhur.

3. Istirahat makan dan minum bersama.

4. Memohon izin untuk kembali ketempat mereka kepada tuan

rumah.

5. Menerima pembayaran pertunjukan dari panitia sesuai

kesepakatan.

6. Seluruh anggota kembali ke sanggar dan menerima bagian

pembayaran dari hasil yang diperoleh dari panitia penyelengara.

165

BAB V ANALISIS STRUKTUR BENTUK MUSIK IRINGAN REOG PONOROGO SANGGAR CIPTO BUDOYO

Dalam menganalisis bentuk dan struktur musik iringan Reog Ponorogo disanggar Cipto Budoyo terlebih dahu penting untuk dijelaskan hubungan musik iringan tari dalam sebuah seni pertunjukan. Dalam hal ini musik sebagai pengiring, musik dapat dikreasikan dengan berbagai cara dan berbagai jenis musik yang disesuaikan dengan bentuk irama tari dalam gerak dan temanya. Iringan musik memiliki peran untuk memperjelas aksen pada gerak tari agar penonton dapat menangkap pesan yang tersirat melalui gerak tari. Iringan tersebut menjadi satu kesatuan dengan gerak dan langkah penari.

Tarian merupakan suatu gerak ritmis yang mana untuk memperkuat dan memperjelas gerak ritmis dari suatu bentuk tarian dapat dilaksanakan dengan iringan. Iringan tersebut pada umumnya berupa suara atau bunyi-bunyian.

Bangsa-bangsa primitif menari-nari dengan teriakan-teriakan sebagai musik pengiringnya. Namun, seiringnya perkembangan zaman sudah terdapat bermacam-macam alat bunyi-bunyian yang semuanya sesuai dengan tingkat perkembangan setiap daerah.

Walaupun musik berfungsi hanya sebagai pengiring atau membantu dalam menguatkan ekspresi ataupun penjiwaan dan tema dalam sebuah pertunjukan tari, tidak berarti keberadaan musik tidak penting dalam suatu pertunjukan tersebut, karena dalam prakteknya, perpaduan antara musik iringan dan seni tari adalah

166 suatu kesatuan yang utuh dan akan memberi dampak pada sebuah seni pertunjukan.

Kesenian Reog Ponorogo sebagai sebuah kesenian yang terlahir dikalangan Masyarakat Jawa tentu saja diiringi dengan menggunakan seperangkat gamelan Jawa sebagai iringan musiknya. Menurut Harsono (1982:9) Gamelan

Jawa dibagi menjadi 2 bagian. Pembagian ini berdasarkan perbedaan nada (laras) yang ada pada masing-masing gamelan tersebut, yaitu Gamelan Laras Slendro dan Gamelan Laras Pelog. Pada zaman dahulu instrument Gamelan Slendro sering dipakai untuk pagelaran Wayang Kulit Purwa (Parwa). Sedangkan

Gamelan Pelog dipakai untuk mengiring pagelaran Wayang Gedog (Panji).

Hal yang dilakukan dalam menganalisis musik iringan Reog Ponorogo ini tetap mengacu pada struktur pertunjukan Reog Ponorogo yang telah dibahas pada bab IV diatas secara runut dan teratur. Selanjutnya untuk memudahkan dalam menganalisis struktur musiknya dengan cara membuat transkripsi bentuk struktur iringan musiknya. Transkripsi dilakukan untuk menuliskan bunyi yang didengar menjadi simbol-simbol musikal yang dapat dibaca dan dipahami oleh masyrakat penggunanya. Langkah awal awal dalam transkripsi ini adalah perekaman langsung musik Reog Ponorogo dengan menggunakan kamera digital dan hand phone sebagai media rekam.

Setelah hasil rekaman didapat, selanjutnya dilakukan pengamatan mendalam berulang-ulang terhadap bentuk melodi, irama, ritme, tempo dan harmoni musik Reog Ponorogo. Dalam hal ini Peneliti mentranskripsikan struktur unsur-unsur musikalnya dengan menggunakan dua model, yaitu dengan

167 penulisan notasi karawitan Jawa dan sedikit meminjam model notasi balok.

Dalam mentranskripsikan bunyi musik iringan Reog Ponorogo kedalam bentuk notasi musik lebih banyak menggunakan model penulisan notasi karawitan Jawa. Hal ini bertujuan agar lebih mendapatkan ke originalan cara penulisan notasi yang dimainkan oleh para pengrawit atau pemain musiknya.

Notasi balok hanya digunakan pada sebagain kecil bentuk melodi yang dimainkan. Berikut adalah analisis bentuk struktur musik dalam pertunjukan

Reog Ponorogo sanggar Cipto Budoyo.

5.1 Struktur Bentuk Musik Araka - arakan Reog Ponorogo

Araka - arakan Reog Ponorog adalah suatu bentuk penyajian pertunjukan yang dilakukan dengan cara berjalan atau pawai dari suatu tempat berjalan beriringan menuju ketempat lainnya. Pertunjukan Reog ini didukung oleh 20 sampai dengan 25 orang dan seluruh anggota yang terlibat terbagi dalam beberapa kelompok yang meliputi : kelompok pengawal, kelopok pendamping, kelompok penari, kelompok pemusik atau pengrawit gamelan. Kelompok pengiring/Pemain musik yang dilibatkan dalam hal ini adalah berjumlah 4 sampai 5 orang, yaitu : 1) pemain kendang, 2) pemain selompret, 3) pemain kenong, 4). pemain gong. 5). dua orang pemain angklung yang masing masing mebawa tugas dan tanggung jawabnya terhadap instrumen musik yang dimainkan. Berikut adalah transkripsi bentuk struktur gending arak-arakan Reog Ponorogo yang dimainkan oleh

Sanggar Cipto budoyo dalam babakan arak-arakan atau pawai Reog.

168

Notasi 5.1 Motif Gending Reog Ponorogo Buka Kendang : d b b b b b b b b b b b b b b b Gong : . . . G . . . G . . . G . . . G Kenong : 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 1 : 2 . 2 . 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 2 : . 1 . 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

Keterangan : d : Bunyi dang b : Bunyi bem G : Bunyi gong

Notasi 5.2 Motif Melodi Slompret

Keterangan :

Melodi selompret di mainkan pada ulangan kedua gending atau bisa juga pada penguangan berikutnya. Sifat nada gending yang dimainkan secara repetitif memberikan kebebasan untuk instrumen selompret kapan akan dimainkan, tetapi biasanya melodi selompret tidak langsung dimainkan di awal gending dimainkan, tetapi lebih sering pada pertengahan atau pada pengulangan kedua gending ini.

Melodi selompret yang dapat dikatan pendek juga dimainkan berulang- ulang sepanjang gending dimainkan, terkadang juga melakukan improvisasi dengan mengeluarkan nada-nada panjang. Tetapi pada bagian ini yang

169 ditarnskripkan hanyalah melodi pokok yang menjadi dasar iringan musik Reog

Ponorogo di sanggar Cipto Budoyo.

Secara keseluruhan Gending ini dimainkan secara berulang-ulang sifatnya repetitif. Pengulangan gending ini dimainkan sesuai dengan kebutuhan seberapa jauh dan lama jarak yang ditempuh ketika melakukan pawai atau arak-arakan

Reog Ponorogo ini. Selanjutnya untuk mengetahui lebih jelas struktur unsur musikal yang terdapat pada gending ini, maka dilakukan analisis struktur musikal gending pada tabel analisis berikut ini :

Analisis struktur bentuk musik gending arak-arakan Tabel 5.1 Analisis gending iringan arak-arakan Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan dengan No musikal iringan kirap atau pawai Reog Ponorogo 1 Tempo 1. Sedang 1. Tempo sedang sebagai 2. Cepat pembuka gending dan berjalannya mengiringi kirab atau pawai Reog Ponorogo.

2. Tempo cepat sebagai iringan atraksi disepanjang jalan dan sebagai penutup dalam mengakhiri kirab atau pawai Reog Ponorogo.

3. dalam pengaturan tempo ini di tuntun oleh kendang sebagai pemberi aba-aba kapan gending harus lambat, sedang maupun cepat.

2 Susunan Setiap baris terdiri dari empat birama atau Susunan gatra atau birama birama atau gatra terkait dalam hal gatra pada pengaturan sabetan atau gending Arak- Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ketukan irama gerakan tari arakan dan langkah didalam kirab.

170

Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau sabetan

......

3 Susunan nada 1. pola melodi balungan terdiri dari nada ro Pola susunan melodi nada ji atau pola atau nada dua dan nada ji atau nada satu. [1] dan ro [2] yang melodi dimainkan secara berulang- balungan 2. pola melodi [2 1 2 1] dimainkan pada ulang lebih membentuk gending Arak- setiap gatra atau birama dan dimainkan ruang dimensi iringan arakan. secara repetitif atau berulang-ulang sesuai ekspresi gerak kirab yang kebutuhan pertunjukan. lebih luas bagi para pelaku Reog untuk dapat lebih 2121 2121 2121 2121 mengekspresikan gerak -

gerak lakon penari yang lebih lues lincah dan bebas.

4 Pola bentuk Pola irama gending Arak-arakan dibentuk Pola irama gending yang irama oleh pola pukulan gong, kenong, dan diikat dan dibentuk oleh gendingArak- angklung. struktur bentuk irama gending gong, kenong dan angklung arakan adalah : mempunyai karakter kuat, tegas dan lincah. Keajegan 1. Pukulan gong pada setiap ketukan / masing-masing instrumen sabetan ke empat. yang saling mengisi atau saling interloking 2. Pukulan melodi kenong terletak pada membentuk harmonisasi setiap ketukan / sabetan, balungan yang linier. Pukulan gong berdasarkan nada pada masing-masing yang selalu jatuh pada birama atau gatra. ketukan ke empat setiap gatra mengikat gerakan 3. Iringan angklung nada 2 pada setiap para penari dalam gerakan ketukan / sabetan ganjil yaitu ketukan mengankat atau menjatuhkan kaki, menganggugkan kepala dan 4. pertama dan ketiga pada masing-masing gerakan tangan yang harus gatra seirama dengan bunyi gong

5. iringan angklung nada 1 setiap pada ketukan / sabetan genap yaitu ketukan kedua dan ketukan ke empat

Gatra1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4

. . . G . . . G . . . G . . . G

2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . . 1 . 1 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 .

171

5 Pola Kendang Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Kendang sebagai pembawa Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, irama atau yang menuntun blang, tlung] tempo gending selama Pola isian kendang adalah edlibe atau pawai atau kirab. kendang impropisasi disesuaikan dengan pola tari juga sebagai pegaba gerakan gerakan penari untuk beratraksi disepanjang perjalanan pawai.

6 Struktur Bentuk struktur melodi selompret Reog Selompret sebagai melodi terdiri dari enam birama atau gatra dan pembawa melodi yang selompret terbagi dalam dua prase yaitu prase tanya progresif berfungsi dan prase jawab. Dalam setiap prase terdiri memberikan hiasan dalam dari beberapa motif yang selalu baru. Pada melilit nadanda gending. prase tanya terdapat 4 motif dan prase jawab Selompret juga memberi terdapat 2 motif. dampak penyemangat bagi Bentuk motif melodi secara keseluruhan para penari dan sebagai tergolong kedalam bentuk Progresive yaitu penciri yang khas dalam bentuk nyanyian yang terus berubah dengan iringan gending Reog menggunakan materi melodi yang selalu Ponorogo. baru.

Prase tanya

m 1 m 2 m3 m4

Prase Jawab

m 5 m6

172

5.2 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Persembahan Jatilan

Tari persembahan Jatilan adalah tarian pembuka pada pertunjukan Reog

Ponorogo. Gerakan tari jatilan pada pertunjukan Reog Ponorogo halus, lincah, dan genit. Pada pertunjukan Reog Ponorogo tarian ini di mainkan oleh lima orang gadis remaja. Iringan musik pada tarian jatilan menggunakan gendhing yang berirama lincah. Bentuk gendhing dalam tempo yang lambat menandai sebagai pembukaan tari, dalam tempo sedang untuk mengiringi persiapan prajurit berkuda, dan dalam tempo yang cepat untuk mengiringi tari prajurit berkuda dalam peperangan sekaligus sebagai penutupan tari. Bentuk struktur persembahan tarian Jatilan seperti gerak sembah, gerak besut, gerak lumaksno

(melangkah gagah), gerak kirab berkuda, gerak perang, dan gerakan penutup tarian, diiringi dalam bentuk gending lancaran. Bentuk gending lancaran adalah bentuk gending yang sederhana berwatak lincah. Berikut adalah bentuk gending lancaran yang mengiringi tari persembahan Jatilan.

173

Notasi 5.3 Motif lancaran “Ricik – Ricik”

Buka : 6 3 5 6 . 5 3 2 . 3 5 (6) . 1 . 6 A Demung : . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 7 . 6 Saron : 3 3 5 5 6 6 5 5 6 6 5 5 7 7 6 6 Bonang : 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 6/6 . 6/6 . Kenong : . . . 5 . . . 5 . . . 5 . . . 6 Kempul : . 3 . . . 6 . . . 6 . . . 6 . . Gong : ...... 6 B Demung : . 3 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 7 . 6 Saron : 3 3 5 5 6 6 5 5 6 6 5 5 7 7 6 6 Bonang : 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 6/6 . 6/6 . Kenong : . . . 5 . . . 5 . . . 5 . . . 6 Kempul : . 3 . . . 6 . . . 6 . . . 6 . . Gong : ...... 6 C. Demung : . 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 2 . 7 . 6 Saron : 3 3 2 2 3 3 2 2 3 3 2 2 7 7 6 6 Bonang : 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 6/6 . 6/6 . Kenong : . . . 2 . . . 2 . . . 2 . . . 6 Kempul : . 3 . . . 3 . . . 3 . . . 6 . . Gong : ...... 6 D. Demung : . 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 2 . 7 . 6 Saron : 3 3 2 2 3 3 2 2 3 3 2 2 7 7 6 6 Bonang : 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 6/6 . 6/6 . Kenong : . . . 2 . . . 2 . . . 2 . . . 6 Kempul : . 3 . . . 3 . . . 3 . . . 6 . . Gong : ...... 6

174

Analisis struktur bentuk musik gending tari persembahan jatilan

Tabel 5.2 Analisis gending tari persembahan jatilan Keterkaitan No Unsur musikal Analisis unsur musikal dengan iringan tari persembahan jatilan 1 Tempo gending 1. lambat 1. tempo lancara Ricik- 2. Sedang lambat Ricik 3. Cepat sebagai pembukaa gending

2. Tempo sedang sebagai iringan gerakan awal tarian gerak sembah, gerak besut, gerak lumaksno (melangka h gagah), gerak kirab berkuda.

3. Tempo cepat sebagai gerak perang, dan gerakan penutup tarian.

2 Susunan birama 1. Terdiri dari empat baris dan 16 gatra atau Susunan gatra atau gatra pada birama. atau birama gending lancaran terkait dalam Ricik – Ricik 2. Setiap baris terdiri dari empat gatra atau hal pengaturan birama. sabetan atau ketukan irama 3. Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau gerakan tari.

175

sabetan

A Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ......

B Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 ......

......

......

......

C Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 ......

D Gatra 13 Gatra 14 Gatra 15 Gatra 16 ......

3 Susunan nada 1. pola melodi balungan dimulai dari melodi Pola susunan atau pola struktur buka dan dilanjutkan dengan empat bentuk nada balungan pukulan melodi melodi balungan yaitu bentuk A, B, C, D demung, balungan gending yang dimainkan secara berurutan dan saron, bonang, Lancaran Ricik- berulang-ulang sesuai kebutuhan iringan tari. kenong, Ricik kempul dan 2. pola melodi buka gending dimainkan oleh gong yang instrumen bonang. dimainkan secara runtut 6 3 5 6 . 5 3 2 . 5 3 6 . 1 . 6 dan teratur lebih memberi 3. pola melodi balungan bentuk A yang ruang dimensi dimainkan instrumen demung dan saron penari untuk pada gatra atau birama 1,2,3,4. Adalah mengekspresik sebagai berikut an gerak tari

176

yang lebih Gatra 1 Gatra2 Gatra3 Gatra4 teratur dalam . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 7 . 6 berjalanya 33 55 66 55 33 55 77 66 pola iringan melodi 4. pola melodi balungan bentuk B yang balungan dimainkan pada gatra yang ke 5,6,7,8 adalah untuk dapat pengulangan pola melodi A. dirasa seirama sebagai iringan Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 yang sesuai. . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 7 . 6 33 55 66 55 33 55 77 66

5. pola melodi balungan bentuk C yang dimainkan instrumen demung dan saron pada gatra ke 9,10,11,12 adalah sebagai berikut :

Gatra 9 Gatr 10 Gatra 11 Gatra 12

. 3 . 2 . 3 .2 . 3. 2 . 7 . 6 33 22 33 22 33 22 77 66

6. pola melodi balungan bentuk D yang

dimainkan instrumen demung dan saron

pada gatra ke 13,14,15,16 adalah

pengulangan bentuk melodi balungan C :

Gatra 13 Gatra 14 Gatra 15 Gatra 16 . 3 . 2 . 3 .2 . 3. 2 . 7 . 6 33 22 33 22 33 22 77 66

4 Pola struktur 1. Pukulan dilakukan dengan tehnik gembyang pukulan irama pada setiap ketukan / sabetan ke 1 dan ke 3, bonang pada sifatnya mendahului nada ke empat pada gending Lancaran setiap gatra yang menjadi patokan nada Ricik-Ricik iringan melodi pokok balungan.

177

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 7 . 6 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 6/6 . 6/6 .

2. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra berikutnya

5 Pola struktur 1. Pola struktur pukulan irama kenong pada pukulan irama gending lancaran adalah ditabuh pada setiap kenong pada ketukan ke 4 mengikuti nada balungan. gending Lancaran Ricik- 2. Jumlah pukulan kenong pada gending Ricik lancaran pada setiap baris ada empat kali pukulan

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4

. 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 7 . 6

. . . 5 . . . 5 . . . 5 . . . 6

3. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra berikutnya.

6 Pola struktur Pola struktur pukulan irama kempul pada pukulan irama gending lancaran Ricik-ricik adalah ditabuh kempul pada pada setiap ketukan ke 2 setiap gatra mengikuti gending nada balungan : Lancaran Ricik- Ricik Jumlah pukulan kempul pada gending lancaran Ricik-ricik pada setiap baris ada empat kali pukulan.

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . 3 . 5 . 6 . 5 . 3 . 5 . 7 . 6

. 3 . . . 6 . . . 3 . . . 7 . .

7 Pola struktur Pola struktur pukulan irama gong pada gending Pukulan gong pukulan irama lancaran Ricik-ricik ditabuh satu kali setiap yang selalu gong pada sabetan atau ketukan ke 16 atau pada setiap jatuh pada gending lancaran gatra terakhir dalam setiap baris. ketukan ke Ricik-Ricik empat setiap Gatra 13 Gatra 14 Gatra 15 Gatra 16 gatra . 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 2 . 7 . 6 mengikat gerakan para ...... G penari dalam gerakan mengangkat atau menjatuhkan

178

kaki, menganggugk an kepala dan gerakan tangan yang harus seirama dengan bunyi gong sebagai penanda.

8 Pola Kendang Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Kendang Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, sebagai blang, tlung] pembawa irama atau Pola isian kendang adalah edlibe atau yang improvisasi disesuaikan dengan pola tari menuntun tempo gending, juga sebagai pengaba gerakan- gerakan penari untuk beratraksi.

5.3 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Ganongan Kecil

Tarian ganongan kecil dilakukan oleh anak laki-laki dengan usia berkisar antara 6-12 tahun. Gerakan-gerakan tarian bujangganong kecil terdiri dari atraksi akrobatik sederhana yang disesuaikan dengan irama tempo dari gendhing. Bentuk gendhing iringan dalam tempo yang lambat menandai sebagai pembukaan tari.

Pada irinan gendhing dalam tempo sedang untuk mengiringi tarian dan atraksi- atraksi akrobatik seperti melakukan kayang, salto, dan lain-lain. Sedangkan dalam tempo cepat sebagai penutupan atau berakhirnya babat ganongan kecil. Bentuk struktur gending adalah sebagai berikut :

179

Gending iringan tari ganongan

Gending Reog Ponororgo Buka Kendang : d b b b b b b b b b b b b b b b Gong : . . . G . . . G . . . G . . . G Kenong : 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 1 : 2 . 2 . 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 2 : . 1 . 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

Keterangan : d : Bunyi dang b : Bunyi bem G : Bunyi gong

Bentuk melodi selompret

Analisis struktur bentuk musik Gending

Tabel 5.3 Analisis Gending Iringan Tari Ganongan Kecil No Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan dengan musikal iringan tari ganongan 1 Tempo 1. Lambat 1. tempo lambat 2. Sedang sebagai pembukaa 3. Cepat gending.

2. Tempo sedang sebagai iringan gerakan awal tarian gerak sembah, gerak besut, gerak lumakso (melangkah gagah), kiprah ganongan, gerakan akrobatik.

180

3. Tempo cepat sebagai penutup tarian.

2 Susunan Setiap baris terdiri dari empat birama atau Susunan gatra atau birama atau gatra birama terkait dalam hal gatra pada pengaturan sabetan atau gending Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ketukan irama gerakan tari. Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau sabetan

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ......

3 Susunan 1. pola melodi balungan terdiri dari nada ro Pola susunan nada nada atau atau nada dua dan nada ji atau nada satu. balungan demung, dan pola melodi saron, yang dimainkan balungan 2. pola melodi [2 1 2 1] dimainkan pada secara repetitif dan gending setiap gatra atau birama dan dimainkan teratur lebih memberi secara repetitif atau berulang-ulang ruang dimensi penari sesuai kebutuhan pertunjukan. untuk mengekspresikan gerak tari yang lebih 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 teratur dalam berjalanya

pola iringan balungan untuk dapat dirasa seirama sebagai iringan yang sesuai.

4 Pola bentuk Bentuk gending adalah gending Sampak Pola irama gending yang irama Bentuk sampak mempunyai karakter kuat, diikat dan dibentuk oleh gending tegas dan lincah. struktur bentuk irama gong, kenong dan sampak adalah : angklung mempunyai karakter kuat, tegas dan 1. Pukulan gong pada setiap ketukan/ lincah. Keajegan sabetan ke empat. masing-masing instrumen yang saling 2. Pukulan melodi kenong terletak pada mengisi atau saling setiap ketukan / sabetan, balungan interloking membentuk berdasarkan nada pada masing-masing harmonisasi yang linier. birama atau gatra. Pukulan gong yang selalu jatuh pada 3. Iringan angklung nada 2 pada setiap ketukan ke empat setiap ketukan / sabetan ganjil yaitu ketukan gatra mengikat gerakan pertama dan ketiga pada masing-masing para penari dalam gatra. gerakan mengankat atau

181

menjatuhkan kaki, 4. Iringan angklung nada 1 setiap pada menganggugkan kepala ketukan / sabetan genap yaitu ketukan dan gerakan tangan yang kedua dan ketukan ke empat. harus seirama dengan bunyi gong

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . . . G . . . G . . . G . . . G 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . . 1 . 1 1. 1 . 1 . 1 . 1 . 1 .

5 Pola Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Kendang sebagai Kendang Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, pembawa irama atau blang, tlung] yang menuntun tempo gending, kendang juga Pola isian kendang adalah edlibe atau sebagai pegaba gerakan improvisasi disesuaikan dengan pola tari. gerakan penari untuk beratraksi.

6 Struktur Bentuk struktur melodi selompret Reog Selompret sebagai melodi terdiri dari enam birama atau gatra dan pembawa melodi yang selompret terbagi dalam dua prase yaitu prase tanya progresiv berfungsi dan prase Jawab dalam setiap prase terdiri memberikan hiasan dari beberapa motif yang selalu baru. Pada dalam melilit nada nada prase tanya terdapat 4 motif dan prase jawab gending. selompret juga terdapat 2 motif. memberi dampak Bentuk motif melodi secara keseluruhan penyemangat bagi para tergolong kedalam bentuk Progresiv yaitu penari dan sebagai bentuk nyanyian yang terus berubah dengan penciri yang khas dalam menggunakan materi melodi yang selalu iringan gending Reog baru. Ponorogo.

Prase tanya

m 1 m 2 m3 m4

Prase Jawab

182

m 5 m6

5.4 Strukutur Bentuk Musik Iringan Tari Ganongan Besar Tarian bujangganong atau ganongan besar strukturnya hampir sama dengan tari ganongan kecil, ditarikan oleh dua orang remaja yang telah memiliki keahlian khusus akrobatik yang handal. awalnya penari melakukan gerakan- gerakan tarian sederhana berdasarkan strukturnya dan sedikit disisipi dengan gerakan-gerakan tari yang mengandung unsur komedi. Iringan gendingnya diawali dengan tempo sedang untuk mengiringi gerakan tari yang menunjukkan keahlian dalam hal seni beladiri dan adegan komedi. Kemudian dilanjutkan dengan tempo yang cepat untuk mengiringi atraksi-atraksi akrobatik dan mengandung unsur mistik. Berikut adalah bentuk gending iringannya :

Gending iringan tari ganongan

Gending Reog Ponororgo Buka Kendang : d b b b b b b b b b b b b b b b Gong : . . . G . . . G . . . G . . . G Kenong : 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 1 : 2 . 2 . 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 2 : . 1 . 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

183

Keterangan : d : Bunyi dang b : Bunyi bem G : Bunyi gong

Bentuk melodi selompret

Analisis struktur bentuk musik gending tarian ganongan besar

Tabel 5.4 Analisis gending iringan tari ganongan besar No Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan dengan musikal iringan tari ganongan 1 Tempo 1. Lambat 1. tempo lambat 2. Sedang sebagai pembukaan 3. Cepat gending.

2. Tempo sedang sebagai iringan gerakan awal tarian gerak sembah, gerak besut, gerak lumaksno (melangkah gagah), kiprah ganongan, gerakan akrobatik.

3. Tempo cepat sebagai penutup tarian.

2 Susunan Setiap baris terdiri dari empat birama atau gatra Susunan gatra atau birama atau birama terkait dalam gatra pada Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 hal pengaturan sabetan gending atau ketukan irama Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau gerakan tari. sabetan

184

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ......

3 Susunan 1. pola melodi balungan terdiri dari nada ro atau Pola susunan nada nada atau nada dua dan nada ji atau nada satu. balungan demung, dan pola melodi saron, yang dimainkan balungan 2. pola melodi [2 1 2 1] dimainkan pada secara repetitif dan gending setiap gatra atau birama dan dimainkan secara teratur lebih memberi repetitif atau berulang-ulang sesuai kebutuhan ruang dimensi penari pertunjukan. untuk mengekspresikan 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 gerak tari yang lebih teratur dalam berjalanya pola iringan balungan untuk dapat dirasa seirama sebagai iringan yang sesuai.

4 Pola bentuk Bentuk gending adalah gending Sampak Bentuk Pola irama gending irama sampak mempunyai karakter kuat, tegas dan yang diikat dan gending lincah. struktur bentuk irama sampak adalah : dibentuk oleh gong, kenong dan angklung 1. Pukulan gong pada setiap ketukan/ sabetan ke mempunyai karakter empat kuat, tegas dan lincah. Keajegan masing- 2. Pukulan melodi kenong terletak pada setiap masing instrumen ketukan / sabetan, balungan berdasarkan nada yang saling mengisi pada masing-masing birama atau gatra. atau saling interloking membentuk 3. Iringan angklung nada 2 pada setiap ketukan / harmonisasi yang sabetan ganjil yaitu ketukan pertama dan linier. Pukulan gong ketiga pada masing-masing gatra. yang selalu jatuh pada ketukan ke empat 4. Iringan angklung nada 1 setiap pada ketukan / setiap gatra mengikat sabetan genap yaitu ketukan kedua dan gerakan para penari ketukan ke empat. dalam gerakan mengankat atau Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 menjatuhkan kaki, . . . G . . . G . . . G . . . G menganggugkan 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 kepala dan gerakan 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . tangan yang harus . 1 . 1 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . seirama dengan bunyi gong.

185

5 Pola Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Kendang sebagai Kendang Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, blang, pembawa irama atau tlung] yang menuntun tempo gending, kendang juga Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi sebagai pengaba disesuaikan dengan pola tari gerakan gerakan penari untuk beratraksi.

6 Struktur Bentuk struktur melodi selompret Reog terdiri Selompret sebagai melodi dari enam birama atau gatra dan terbagi dalam pembawa melodi yang selompret dua prase yaitu prase tanya dan prase Jawab progresiv berfungsi dalam setiap prase terdiri dari beberapa motif memberikan hiasan yang selalu baru. Pada prase tanya terdapat 4 dalam melilit nada- motif dan prase jawab terdapat 2 motif. nada gending. Bentuk motif melodi secra keseluruhan tergolong selompret juga kedalam bentuk Progresiv yaitu bentuk nyanyian memberi dampak yang terus berubah dengan menggunakan materi penyemangat bagi para melodi yang selalu baru. penari dan sebagai penciri yang khas dalam iringan gending Reog Ponorogo.

Prase tanya

m 1 m 2 m3 m4 Prase Jawab

m 5 m6

5.5 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Singobarong

Singobarongan merupakan tarian yang memiliki peranan paling penting dalam pertunjukan Reog Ponorogo. Dalam tarian singobarongan inilah penari

186 akan membawa dhadak merak yang tingginya mencapai sekitar 1,5 meter dengan berat sekitar 50 kg. Struktur tarinya adalah : 1. Gerakan sembahan kepada roh gaib dan penonton . 2. Gerakan memakai barongan dari posisi tertidur hingga berdiri 3. Gerakan tarian barongan dengan posisi kuda-kuda yang kuat. 4.

Gerakan improvisasi dengan disertai kelompok penari jatil dan atraksi dua bujang ganong (pentul dan tembem). 5. Gerakan pertempuran dengan Prabu Klono suwandono. 6. Gerakan atau adegan tambahan improvisasi dengan melakukan gerakan-gerakan akrobatik dalam rangka mencapai klimaks pertunjukan. Biasanya dalam hal ini ikut melibatkan penonton untuk dapat bergabung didalam pertunjukan hingga pertunjukan selesai. Dalam babak ini atau babak ketika keluarnya Reog Ponorogo menggunakan tiga bentuk iringan gending, yaitu 1.

Gending Reog Ponorogo, 2. Gending sampak, 3. Gending Singga Nebah, berikut adalah struktur bentuk gending :

I. Gending Reog Ponororgo

Gending Reog Ponororgo Buka Kendang : d b b b b b b b b b b b b b b b Gong : . . . G . . . G . . . G . . . G Kenong : 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 1 : 2 . 2 . 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Angklung 2 : . 1 . 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1

Keterangan : d : Bunyi dang b : Bunyi bem G : Bunyi gong

Bentuk melodi selompret

187

Analisis struktur bentuk musik gending singobarong

Tabel 5.5 Analisis gending singobarong No Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan musikal dengan iringan tari ganongan 1 Tempo 1. Sedang 1. Tempo sedang 2. Cepat sebagai iringan gerakan awal tarian gerak sembah, kepada roh gaib dan penonton. Gerakan memakai barongan dari posisi tertidur hingga berdiri Gerakan tarian barongan dengan posisi kuda-kuda yang kuat.

2. Tempo cepat gerakan improvisasi dengan disertai kelompok penari jatil dan atraksi dua bujang ganong (pentul dan tembem).

2 Susunan Setiap baris terdiri dari empat birama atau gatra Susunan gatra atau birama atau birama terkait gatra pada Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 dalam hal gending pengaturan sabetan Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau atau ketukan irama sabetan gerakan tari singo

188

barong. Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ......

3 Susunan 1. pola melodi balungan terdiri dari nada ro atau Pola susunan nada nada atau nada dua dan nada ji atau nada satu balungan demung, pola melodi dan saron, yang balungan 2. pola melodi [2 1 2 1] dimainkan pada setiap dimainkan secara gending gatra atau birama dan dimainkan secara repetitif repetitif dan teratur atau berulang-ulang sesuai kebutuhan lebih memberi pertunjukan. ruang dimensi penari untuk 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 mengekspresikan gerak tari yang lebih teratur dalam berjalanya pola iringan balungan untuk dapat dirasa seirama sebagai iringan yang sesuai.

4 Pola bentuk Bentuk gending adalah gending Sampak Bentuk Pola irama gending irama sampak mempunyai karakter kuat, tegas dan lincah. yang diikat dan gending struktur bentuk irama sampak adalah : dibentuk oleh gong, kenong dan 1. Pukulan gong pada setiap ketukan / sabetan ke angklung empat mempunyai karakter kuat, tegas 2. Pukulan melodi kenong terletak pada setiap dan lincah. ketukan / sabetan, balungan berdasarkan nada Keajegan masing- pada masing-masing birama atau gatra. masing instrumen yang saling mengisi 3. Iringan angklung nada 2 pada setiap ketukan / atau saling sabetan ganjil yaitu ketukan pertama dan ketiga interloking pada masing-masing gatra. membentuk harmonisasi yang linier. Pukulan 4. iringan angklung nada 1 setiap pada ketukan / gong yang selalu sabetan genap yaitu ketukan kedua dan ketukan jatuh pada ketukan ke empat ke empat setiap Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 gatra mengikat . . . G . . . G . . . G . . . G gerakan para penari 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 dalam gerakan 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . mengankat atau . 1 . 1 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . 1 . menjatuhkan kaki,

189

menganggugkan kepala dan gerakan tangan yang harus seirama dengan bunyi gong.

5 Pola Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Kendang sebagai Kendang Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, blang, pembawa irama tlung] atau yang menuntun tempo Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi gending, kendang disesuaikan dengan pola tari juga sebagai pegaba gerakan- gerakan penari untuk beratraksi.

6 Struktur Bentuk struktur melodi selompret Reog terdiri dari Selompret sebagai melodi enam birama atau gatra dan terbagi dalam dua pembawa melodi selompret prase yaitu prase tanya dan prase Jawab dalam yang progresiv setiap prase terdiri dari beberapa motif yang selalu berfungsi baru. Pada prase tanya terdapat 4 motif dan prase memberikan hiasan jawab terdapat 2 motif. dalam melilit nada Bentuk motif melodi secra keseluruhan tergolong nada gending. kedalam bentuk Progresiv yaitu bentuk nyanyian selompret juga yang terus berubah dengan menggunakan materi memberi dampak melodi yang selalu baru. penyemangat bagi para penari dan sebagai penciri yang khas dalam iringan gending Prase tanya Reog Ponorogo.

m 1 m 2 m3 m4 Prase Jawab

m 5 m6

190

II. Gending sampak

Notasi 5.4 Motif gending sampak

Bk: ...2

Demung : 2 2 2 2 1 1 1 1 5 5 5 5 Saron : 22 22 22 22 11 11 11 11 55 55 55 55 Bonang : 2/2 2/2 2/2 2/2 1/1 1/1 1/1 1/1 5/5 5/5 5/5 5/5 Kenong : 22 22 22 22 11 11 11 11 55 55 55 55 Kempul : . 2 . 2 . 1 . 1 5 . 5 . Gong : ...... 5

Demung : 2 2 2 2 6 6 6 6 2 2 2 2 Saron : 22 22 22 22 66 66 66 66 22 22 22 22 Bonang : 2/2 2/2 2/2 2/2 6/6 6/6 6/6 6/6 2/2 2/2 2/2 2/2 Kenong : 22 22 22 22 66 66 66 66 22 22 22 22 Kempul : . 2 . 2 . 6 . 6 2 . 2 . Gong : ...... 2

Demung : 6 6 6 6 3 3 3 3 6 6 6 6 Saron : 66 66 66 66 33 33 33 33 66 66 66 66 Bonang : 6/6 6/6 6/6 6/6 3/3 3/3 3/3 3/3 6/6 6/6 6/6 6/6 Kenong : 22 22 22 22 11 11 11 11 66 66 66 66 Kempul : . 2 . 2 . 1 . 1 6 . 6 . Gong : ...... 6

Demung : 6 6 6 6 1 1 1 1 5 5 5 5 Saron : 66 66 66 66 11 11 11 11 55 55 55 55 Bonang : 6/6 6/6 6/6 6/6 1/1 1/1 1/1 1/1 5/5 5/5 5/5 5/5 Kenong : 66 66 66 66 11 11 11 11 55 55 55 55 Kempul : . 6 . 6 . 1 . 1 5 . 5 . Gong : ...... 5

Demung 2 2 2 2 6 6 2 2 Saron 22 22 22 22 66 66 22 22 Bonang 2/2 2/2 2/2 2/2 6/6 6/6 2/2 2/2 Kenong 22 22 22 22 66 66 22 22 Kempul . 2 . 2 . 6 . . Gong ...... 2

191

Analisis struktur bentuk musik gending sampak dalam tarian singobarong

Tabel 5.6 Analisis unsur musikal gending sampak No Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan musikal dengan tari 1 Tempo 1. Cepat Tempo cepat gending sebagai gerak- sampak gerakan pertempuran dengan Prabu Klono Suwandono. Gerakan improvisasi dengan melakukan gerakan-gerakan akrobatik dalam rangka mencapai klimaks pertunjukan.

2 Susunan 1. Terdiri dari lima baris dan 14 gatra atau birama. Susunan gatra birama atau 2. Setiap baris 1,2,3,4 terdiri dari empat gatra atau atau birama gatra pada birama dan baris ke 5 terdiri dari dua gatra atau terkait dalam hal gending birama. pengaturan sampak 3. Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau sabetan atau sabetan ketukan irama gerakan tari. Baris 1 Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 ......

Baris 2 Gatra 4 Gatra 5 Gatra 6 ......

......

......

Baris 3

Gatra 7 Gatra 8 Gatra 9

192

......

Baris 4 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 ......

......

......

Baris 5 suwuk

Gatra 13 Gatra 14 ......

3 Susunan nada 1. pola melodi balungan dimulai dari melodi buka Pola susunan atau pola nada 2 secara unisono dan dilanjutkan dengan nada balungan struktur empat bentuk melodi balungan gending sampak demung, saron, pukulan dari mulai baris dan gatra yang pertama hingga bonang, kenong, melodi terakhir yang dimainkan secara berurutan dan kempul dan balungan berulang-ulang sesuai kebutuhan iringan tari. gong yang gending dimainkan sampak 2. pola melodi balungan bentuk pada baris 1 secara runtut dimainkan instrumen demung dan saron pada dan teratur lebih gatra atau birama 1,2,3, adalah sebagai berikut memberi ruang dimensi penari Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 untuk 2 2 2 2 1 1 1 1 5 5 5 5 mengekspresika 22 22 22 22 11 11 11 11 55 55 55 55 n gerak tari yang lebih 3. pola melodi balungan baris 2 yang dimainkan teratur dalam pada gatra yang ke 4,5,6, adalah sebagai berikut. berjalanya pola iringan melodi balungan untuk Gatra 4 Gatra 5 Gatra 6 dapat dirasa 2 2 2 2 6 6 6 6 2 2 2 2 seirama sebagai 22 22 22 22 66 66 66 66 22 22 22 22 iringan yang sesuai. 4. pola melodi balungan demung dan saron baris

193

3 yang dimainkan pada gatra yang ke 7,8,9, adalah sebagai berikut.

Gatra 7 Gatra 8 Gatra 9 6 6 6 6 3 3 3 3 6 6 6 6 66 66 66 66 33 33 33 33 66 66 66 66

5. pola melodi balungan demung dan saron pada baris 4 yang dimainkan pada gatra yang ke 10,11,12, adalah sebagai berikut.

Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 6 6 6 6 1 1 1 1 5 5 5 5 66 66 66 66 11 11 11 11 55 55 55 55

6. pola melodi balungan demung dan saron pada baris 5 (suwuk) yang dimainkan pada gatra yang ke 13,14, adalah sebagai berikut :

Gatra 13 Gatra 14 2 2 2 2 6 6 2 2

22 22 22 22 66 66 22 22

4 Pola struktur Pukulan dilakukan dengan tehnik gembyang pada Pola susunan pukulan irama setiap ketukan / sabetan. nada bonang, bonang pada kenong, kempul gending Baris 1 dan gong yang sampak Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 dimainkan 2 2 2 2 1 1 1 1 5 5 5 5 secara runtut 22 22 22 22 11 11 11 11 55 55 55 55 dan teratur lebih 2/2 2/2 2/2 2/2 1/1 1/1 1/1 1/1 5/5 5/5 5/5 5/5 memberi ruang dimensi penari Baris 2 untuk dapat Gatra 4 Gatra 5 Gatra 6 mengekspresika 2 2 2 2 6 6 6 6 2 2 2 2 n gerak tari 22 22 22 22 66 66 66 66 22 22 22 22 yang lebih 2/2 2/2 2/2 2/2 6/6 6/6 6/6 6/6 2/2 2/2 2/2 2/2 teratur dalam berjalanya pola Baris 3 iringan untuk dapat dirasakan Gatra 7 Gatra 8 Gatra 9 iramanya 6 6 6 6 3 3 3 3 6 6 6 6 sebagai iringan 66 66 66 66 33 33 33 33 66 66 66 66 yang disesuai 6/6 6/6 6/6 6/6 3/3 3/3 3/3 3/3 6/6 6/6 6/6 6/6

194

dengan gerakan Baris 4 tari. Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 6 6 6 6 1 1 1 1 5 5 5 5 66 66 66 66 11 11 11 11 55 55 55 55 6/6 6/6 6/6 6/6 1/1 1/1 1/1 1/1 5/5 5/5 5/5 5/5

Baris 5 Gatra 13 Gatra 14 2 2 2 2 6 6 2 2 22 22 22 22 66 6 22 2 2/2 2/2 2/2 2/2 6/6 6/6 2/2 2/2

5 Pola struktur Pola struktur pukulan irama kenong pada gending Pola susunan pukulan irama sampak adalah ditabuh pada setiap ketukan kenong, yang kenong pada mengikuti nada balungan : mengisi setiap gending gatra memberi sampak Baris 1 tanda kepada Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 gong yang 2 2 2 2 1 1 1 1 5 5 5 5 dimainkan 22 22 22 22 11 11 11 11 55 55 55 55 secara runtut 22 22 22 22 11 11 11 11 55 55 55 55 dan teratur juga lebih memberi Baris 2 ruang dimensi Gatra 4 Gatra 5 Gatra 6 pada penari 2 2 2 2 6 6 6 6 2 2 2 2 untuk dapat 22 22 22 22 66 66 66 66 22 22 22 22 mengekspresika 22 22 22 22 66 66 66 66 22 22 22 22 n gerak tari yang lebih Baris 3 teratur dalam berjalanya pola Gatra 7 Gatra 8 Gatra 9 iringan untuk 6 6 6 6 3 3 3 3 6 6 6 6 dapat dirasakan 66 66 66 66 33 33 33 33 66 66 66 66 iramanya 66 66 66 66 33 33 33 33 66 66 66 66 sebagai iringan yang disesuai Baris 4 dengan gerakan Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 tari. 6 6 6 6 1 1 1 1 5 5 5 5 66 66 66 66 11 11 11 11 55 55 55 55 66 66 66 66 11 11 11 11 55 55 55 55

Baris 5

195

Gatra 13 Gatra 14 2 2 2 2 6 6 2 2 22 22 22 22 66 6 22 2 22 22 22 22 66 66 22 22

6 Pola struktur Pola struktur pukulan irama kempul pada gending Pola susunan , pukulan irama sampak adalah ditabuh pada setiap ketukan setiap kempul yang kempul pada gatra dimainkan gending secara runtut sampak Baris 1 dan teratur lebih Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 memberi ruang 2 2 2 2 1 1 1 1 5 5 5 5 dimensi penari 22 22 22 22 11 11 11 11 55 55 55 55 untuk dapat 2 2 2 2 1 1 1 1 5 5 5 . mengekspresika n gerak tari Baris 2 yang lebih Gatra 4 Gatra 5 Gatra 6 teratur dalam 2 2 2 2 6 6 6 6 2 2 2 2 berjalanya pola 22 22 22 22 66 66 66 66 22 22 22 22 iringan untuk 2/2 2/2 2/2 2/2 66 66 66 66 2 2 2 . dapat dirasakan Baris 3 iramanya sebagai iringan Gatra 7 Gatra 8 Gatra 9 yang disesuai 6 6 6 6 3 3 3 3 6 6 6 6 dengan gerakan 66 66 66 66 33 33 33 33 66 66 66 66 tari. 6 6 6 6 3 3 3 3 6 6 6 .

Baris 4 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 6 6 6 6 1 1 1 1 5 5 5 5 66 66 66 66 11 11 11 11 55 55 55 55 6 6 6 6 1 1 1 1 5 5 5 .

Baris 5 Gatra 13 Gatra 14 2 2 2 2 6 6 2 2 22 22 22 22 66 6 22 2 2 2 2 2 6 6 2 .

7 Pola struktur Pola struktur pukulan irama gong pada gending Pukulan gong pukulan irama sampak ditabuh satu kali setiap baris 1,2,3,4 yaitu yang selalu gong pada pada gatra yang ke 3 ketkan ke 4 atau ketukan jatuh pada gending terakhir, dan pada baris ke 5 gatra yang ke 14. ketukan ke sampak empat setiap Baris 1 gatra mengikat Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 gerakan para ...... G penari dalam gerakan Baris 2 mengangkat Gatra 4 Gatra 5 Gatra 6 atau

196

...... G menjatuhkan kaki, Baris 3 menganggugkan Gatra 7 Gatra 8 Gatra 9 kepala dan ...... G gerakan tangan yang harus Baris 4 seirama dengan Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 bunyi gong ...... G sebagai penanda. Baris 5 suwuk Gatra 13 Gatra 14 ...... G

8 Pola Kendang Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Kendang Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, blang, sebagai tlung] pembawa irama atau yang Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi menuntun tempo disesuaikan dengan pola tari. gending, juga sebagai pegaba gerakan gerakan penari untuk beratraksi. III. Gending lancaran singa nebah

Notasi 5.5 Motif gending lancara singa nebah

Buka Bonang : . 5 3 2 . 5 3 2 3/3 . 3/3 (3) A Demung : . 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 6 . 7 Saron : 5 5 3 3 5 5 3 3 5 5 3 3 6 6 7 7 Bonang : 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 7/7 . 7/7 . Kenong : . . . 3 . . . 3 . . . 3 . . . 7 Kempul : . 5 . . . 5 . . . 5 . . . 6 . . Gong : ...... G B Demung : . 6 . 7 . 6 . 7 . 6 . 7 . 3 . 2 Saron : 6 6 7 7 6 6 7 7 6 6 7 7 3 3 2 2 Bonang : 7/7 . 7/7 . 7/7 . 7/7 . 7/7 . 7/7 . 2/2 . 2/2 . Kenong : . . . 7 . . . 7 . . . 7 . . . 2 Kempul : . 6 . . . 6 . . . 6 . . . 3 . . Gong : ...... G C Demung : . 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 2 . 5 . 3 Saron : 3 3 2 2 3 3 2 2 3 3 2 2 5 5 3 3

197

Bonang : 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 3/3 . 3/3 . Kenong : . . . 2 . . . 2 . . . 2 . . . 3 Kempul : . 3 . . . 3 . . . 3 . . . 5 . . Gong : ...... G

Analisis struktur bentuk musik gending singa nebah

Tabel 5.7 Analisis gending singa nebah No Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan musikal dengan tari 1 Tempo 1. Sedang Tempo sedang gending 2. Cepat sebagai lancara singa penetralisir nebah setelah adegan perang untuk masuk ke adegan kiprah singo barong dan atraksi – atraksi yang sifatnya ringan.

Tempo cepat sebagai gerak gerakan improvisasi dengan melakukan gerakan- gerakan akrobatik dalam rangka mencapai klimaks pertunjukan. Hinga penutupan tarian singo barong

2 Susunan 1. Terdiri dari tiga baris dan 12 gatra atau birama. Susunan gatra birama atau atau birama gatra pada 2. Setiap baris terdiri dari empat gatra atau terkait dalam gending birama. hal pengaturan lancaran singa sabetan atau nebah 3. Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau ketukan irama

198

sabetan gerakan tari. A Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ......

B Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 ......

......

......

......

C Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 ......

3 Susunan nada 1. pola melodi balungan dimulai dari melodi buka Pola susunan atau pola dan dilanjutkan dengan tiga bentuk melodi nada balungan struktur balungan yaitu bentuk A, B, C, yang dimainkan demung, pukulan secara berurutan dan berulang-ulang sesuai saron, bonang, melodi kebutuhan iringan tari. kenong, balungan kempul dan gending 2. pola melodi buka gending dimainkan oleh gong yang Lancaran instrumen bonang. dimainkan Singa nebah . . . . . 5 3 2 . 5 3 2 3/3 .3/3 . secara runtut dan teratur 3. pola melodi balungan baris 1 yang dimainkan lebih memberi instrumen demung dan saron pada gatra atau ruang dimensi birama 1,2,3,4. Adalah sebagai berikut : penari untuk mengekspresik Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 an gerak tari . 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 6 . 7 yang lebih 5 5 3 3 5 5 3 3 5 5 3 3 7 7 7 7 teratur dalam berjalanya 4. pola melodi balungan baris 2 yang dimainkan pola iringan pada gatra yang ke 5,6,7,8 adalah : melodi balungan Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 untuk dapat

199

. 6 . 7 . 6 . 7 . 6 . 7 . 3 . 2 dirasa seirama 6 6 7 7 6 6 7 7 6 6 7 7 3 3 2 2 sebagai iringan yang sesuai. 5. pola melodi balungan baris 3 yang dimainkan instrumen demung dan saron pada gatra ke 9,10,11,12 adalah sebagai berikut :

Gatra 9 Gatr 10 Gatra 11 Gatra 12 . 3 . 2 . 3 . 2 . 3 . 2 . 5 . 3 3 3 2 2 3 3 2 2 3 3 2 2 5 5 3 3

4 Pola struktur 1. Pukulan dilakukan dengan tehnik gembyang Pola susunan pukulan irama pada setiap ketukan / sabetan ke 1 dan ke 3, nada bonang, bonang pada sifatnya mendahului nada ke empat pada setiap kenong, gending gatra yang menjadi patokan nada iringan kempul dan Lancaran melodi pokok balungan. gong yang Singa Nebah dimainkan Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 secara runtut . 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 6 . 7 dan teratur 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 7/7 . 7/7 . lebih memberi ruang dimensi 2. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra penari untuk berikutnya. dapat mengekspresik an gerak tari yang lebih teratur dalam berjalanya pola iringan untuk dapat dirasakan iramanya sebagai iringan yang disesuai dengan gerakan tari.

5 Pola struktur 1. Pola struktur pukulan irama kenong pada Pola susunan pukulan irama gending lancaran adalah ditabuh pada setiap kenong, yang kenong pada ketukan ke 4 mengikuti nada balungan. mengisi setiap gending gatra memberi Lancaran 2. Jumlah pukulan kenong pada gending lancaran tanda kepada singa nebah pada setiap baris ada empat kali pukulan. gong yang Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 dimainkan . 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 6 . 7 secara runtut . . . 3 . . . 3 . . . 3 . . . 7 dan teratur juga lebih 3. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra memberi ruang berikutnya. dimensi pada penari untuk

200

dapat mengekspresik an gerak tari yang lebih teratur dalam berjalanya pola iringan untuk dapat dirasakan iramanya sebagai iringan yang disesuai dengan gerakan tari.

6 Pola struktur 1. Pola struktur pukulan irama kempul pada Pola susunan , pukulan irama gending lancaran adalah ditabuh pada setiap kempul yang kempul pada ketukan ke 2 setiap gatra mengikuti nada dimainkan gending balungan. secara runtut Lancaran dan teratur singa Nebah 2. Jumlah pukulan kempul pada gending lancaran lebih memberi pada setiap baris ada empat kali pukulan. ruang dimensi penari untuk Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 dapat . 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 6 . 7 mengekspresik . 5 . . . 5 . . . 5 . . . 6 . . an gerak tari yang lebih 3. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra teratur dalam berikutnya berjalanya pola iringan untuk dapat dirasakan iramanya sebagai iringan yang disesuai dengan gerakan tari. 7 Pola struktur Pola struktur pukulan irama gong pada gending Pukulan gong pukulan irama lancaran hanya ditabuh satu kali yaitu pada gatra yang selalu gong pada yang ke 16 pada ketukan yang ke 64 atau ketukan jatuh pada gending terakhir. ketukan ke lancaran singa empat setiap nebah Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 gatra . 5 . 3 . 5 . 3 . 5 . 3 . 6 . 7 mengikat ...... G gerakan para penari dalam gerakan mengangkat atau menjatuhkan

201

kaki, menganggugk an kepala dan gerakan tangan yang harus seirama dengan bunyi gong sebagai penanda.

8 Pola Kendang Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Kendang Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, blang, sebagai tlung] pembawa irama atau Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi yang disesuaikan dengan pola tari menuntun tempo gending, juga sebagai pengaba gerakan gerakan penari untuk beratraksi.

5.6 Struktur Bentuk Musik Iringan Tari Suka - suka / Ndandi / Kesurupan

Ndadi (Kesurupan) merupakan salah satu Ciri khas pada kesenian Reog adalah terjadinya kesurupan (ndadi) pada para penari. Ndadi atau kesurupan adalah keadaan dimana penari kemasukan jin atau danyang, maka penari yang kemasukan atau danyang tersebut tidak sadar lagi. Hal tersebut mengalami keadaan diluar kesadaran manusia kemudian tidak ingat apa-apa dan melakukan gerakan diluar kesadarannya, karena penari dikuasai oleh danyang yang masuk ke dalam jiwa penari. Iringan musik pada babakan tari ndandi atau kesurupan ini terdapat beberapa gending yang dimainkan. Biasanya juga bentuk iringan gending lagu ataupun gending lancaran yang bersifat lebih fleksibel dan berkarakter ceria.

202

Beberapa bentuk gending yang dimainkan dalam babakan tari ndadi ini adalah sebagai berikut :

I. Gending jaranan

Notasi 5.6 Motif gending jaranan

BUKA : 1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 • 1 2 3 2 (1) A Demung : • 2 3 5 • 6 5 3 1 2 3 • 5 3 2 1 Saron : • 2 3 5 • 6 5 3 1 2 3 • 5 3 2 1 Bonang : 5/5 . 5/5 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 1/1 . 1/1 . Kenong : . . . 5 . . . 3 . . . 3 . . . 1 Kempul : . 2 . . . 6 . . . 2 . . . 3 . . Gong : B Demung : i i i 6 5 6 i . i i i 6 . 5 4 5 Saron : i i i 6 5 6 i . i i i 6 . 5 4 5 Bonang : 1/1 . 6/6 . i/i . i/i . i/i . 6/6 . 5/5 . 5/5 . Kenong : . . . 6 ...... 6 . . . 5 Kempul : . 1 . . . 6 . . . 1 . . . 4 . . Gong : ...... G C Demung : • 6 6 5 • 6 6 5 1 2 3 . 5 3 2 1 Saron : • 6 6 5 • 6 6 5 1 2 3 . 5 3 2 1 Bonang : 6/6 . 5/5 . 6/6 . 5/5 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 1/1 . Kenong : . . . 5 . . . 5 . . . 3 . . . 1 Kempul : . 6 . . . 6 . . . 2 . . . 3 . . Gong : ...... G D Demung : 1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1 Saron : 1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1 Bonang : 1/1 . 1/1 . 1/1 . 1/1 . 5/5 . 1/1 . 3/3 . 1/1 . Kenong : . . . 1 . . . 1 . . . 1 . . . 1 Kempul : . 2 . . . 2 . . . . . 1 . . . . Gong : ...... G

203

E Demung : 1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1 Saron : 1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1 Bonang : 1/1 . 1/1 . 1/1 . 1/1 . 5/5 . 1/1 . 3/3 . 1/1 . Kenong : . . . 1 . . . 1 . . . 1 . . . 1 Kempul : . 2 . . . 2 . . . 5 . . . 3 . . Gong : ...... G Analisis struktur bentuk musik gending jaranan

Tabel 5.8 Analisis gending jaranan No Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan musikal dengan tari 1 Tempo 1. Lambat Tempo lambat gending 2. Sedang sebagai lancara 3. Cepat pembuka jaranan gending

Tempo sedang Sebagai iringan tari dalam tempo yang sedang

Tempo cepat sebagai iringan penutupan gending adegan kesurupan tari ndadi.

2 Susunan 1. Terdiri dari 5 baris dan 20 gatra atau birama Unsur musikal birama atau secara gatra pada 2. Setiap baris terdiri dari empat gatra atau birama keseluruhan gending yang secara ajeg jaranan 3. Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau dan teratur sabetan berjalan hanya sebagai A pengiring tarian Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 ndadi. Para ...... penari yang ...... kesurupan akan ...... berjalan ...... mengikuti irama ...... yang berjalan sesuai kehendak B mereka masing- masing atau

204

Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 sesuai selera ...... dengan ...... kehendang ...... danyang yang ...... merasuki jiwa ...... para penari. Kendang dalam C hal ini berperan Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 sangat penting ...... dalam mengatur ...... tempo irama iringan gending ...... tarian ndadi atau ...... kesurupan......

D Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 ......

E. Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 ......

3 Susunan nada 1. pola melodi balungan dimulai dari melodi buka atau pola dengan bonang dan dilanjutkan dengan lima struktur bentuk melodi balungan yaitu bentuk A, B, C, pukulan D, E yang dimainkan secara berurutan dan melodi berulang-ulang sesuai kebutuhan iringan tari. balungan gending 2. pola melodi buka gending dimainkan oleh Jaranan. instrumen bonang.

1 2 3 5 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1

3. pola melodi balungan baris A yang dimainkan instrumen demung dan saron pada gatra atau birama 1,2,3,4,5 adalah sebagai berikut

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . 2 . 3 5 . 6 5 3 1 2 3 . 5 3 2 1 . 2 . 3 5 . 6 5 3 1 2 3 . 5 3 2 1

205

4. pola melodi balungan baris B yang dimainkan pada gatra yang ke 5,6,7,8 adalah :

Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 i i i 6 5 6 i . i i i 6 . 5 4 5 i i i 6 5 6 i . i i i 6 . 5 4 5

5. pola melodi balungan baris C yang dimainkan instrumen demung dan saron pada gatra ke 9,10,11,12 adalah sebagai berikut :

Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 . 6 6 5 . 6 5 5 1 2 3 . 5 3 2 1 . 6 6 5 . 6 5 5 1 2 3 . 5 3 2 1

6. pola melodi balungan baris D yang dimainkan instrumen demung dan saron pada gatra ke 13,14,15,16 adalah sebagai berikut :

Gatra 13 Gatra 14 Gatra 15 Gatra16 1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1

1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1

7. pola melodi balungan baris D yang dimainkan

instrumen demung dan saron pada gatra ke

17,18,19,20 adalah sebagai berikut :

Gatra 17 Gatra 18 Gatra 19 Gatra 20

1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1 1 2 3 1 1 2 3 1 5 5 . 1 2 3 2 1

4 Pola struktur 1. Pukulan dilakukan dengan tehnik gembyang pukulan irama pada setiap ketukan / sabetan ke 1 dan ke 3, bonang pada sifatnya mendahului nada ke empat pada setiap gending gatra yang menjadi patokan nada iringan Jaranan melodi pokok balungan.

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . 2 3 5 . 6 5 3 1 2 3 . 5 3 2 1 5/5 . 5/5 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 3/3 . 1/1 . 1/1 .

2. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra berikutnya

5 Pola struktur 1. Pola struktur pukulan irama kenong pada pukulan irama gending Jarana adalah ditabuh pada setiap kenong pada ketukan ke 4 mengikuti nada balungan gending Jaranan 2. Jumlah pukulan kenong pada gending jaranan

206

pada setiap baris ada empat kali pukulan

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . 2 3 5 . 6 5 3 1 2 3 . 5 3 2 1 . . . 5 . . . 3 . . . 3 . . . 1

3. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra berikutnya

6 Pola struktur 1. Pola struktur pukulan irama kempul pada pukulan irama gending jaranan adalah ditabuh pada setiap kempul pada ketukan ke 2 setiap gatra mengikuti nada gending balungan. Jaranan. 2. Jumlah pukulan kempul pada gending Jaranan pada setiap baris ada empat kali pukulan.

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . 2 3 5 . 6 5 3 1 2 3 . 5 3 2 1 . 2 . . . 6 . . . 3 . . . 2 . .

3. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra berikutnya

7 Pola struktur Pola struktur pukulan irama gong pada gending pukulan irama lancaran hanya ditabuh satu kali yaitu pada gatra gong pada yang ke 16 pada ketukan yang ke 64 atau ketukan gending terakhir. jaranan Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 . 2 3 5 . 6 5 3 1 2 3 . 5 3 2 1 ...... G

8 Pola Kendang Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, blang, tlung]

Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi disesuaikan dengan pola tari

207

II. Gending lancaran udan mas

Notasi 5.7 Motif Gending Lancaran Udan Mas

Buka : . 7 7 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 (5) A. Demung : 6 5 3 2 6 5 3 2 . 3 2 3 6 5 3 2 Saron : 6 5 3 2 6 5 3 2 . 3 2 3 6 5 3 2 Bonang : 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 3/3 . 3/3 . 2/2 . 2/2 . Kenong : . . . 2 . . . 2 . . . 3 . . . 2 Kempul : . 2 . . . 2 . . . 3 . . . 5 . . Gong : ...... G

Demung : 6 5 3 2 6 5 3 2 . 3 2 3 6 5 3 2 Saron : 6 5 3 2 6 5 3 2 . 3 2 3 6 5 3 2 Bonang : 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 3/3 . 3/3 . 2/2 . 2/2 . Kenong : . . . 2 . . . 2 . . . 3 . . . 2 Kempul : . 2 . . . 2 . . . 3 . . . 5 . . Gong : ...... G

B. Demung : 7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5 Saron : 7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5 Bonang : 7/7 . 7/7 . 2/2 . 2/2 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . Kenong : . . . 7 . . . 2 . . . 5 . . . 5 Kempul : . 5 . . . 6 . . . 7 . . . 7 . . Gong : ...... G

Demung : 7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5 Saron : 7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5 Bonang : 7/7 . 7/7 . 2/2 . 2/2 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . Kenong : . . . 7 . . . 2 . . . 5 . . . 5 Kempul : . 5 . . . 6 . . . 7 . . . 7 . . Gong : ...... G

208

Analisis struktur bentuk musik gending udan mas

Tabel 5.9 Analisis gending udan mas No Unsur Analisis unsur musikal Keterkaitan musikal dengan tari 1 Tempo 1. Lambat Tempo lambat gending 2. Sedang sebagai lancara udan 3. Cepat pembuka mas gending. Tempo sedang Sebagai iringan tari dalam tempo yang sedang. Tempo cepat sebagai iringan penutupan gending adegan kesurupan tari ndadi. 2 Susunan 1) Terdiri dari 4 baris dan 16 gatra atau birama Unsur musikal birama atau 2) Setiap baris terdiri dari empat gatra atau birama secara gatra pada 3) Setiap gatra terdiri dari empat ketukan atau keseluruhan gending sabetan yang secara lancaran udan A ajeg dan mas Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 teratur berjalan ...... hanya sebagai ...... pengiring ...... tarian ndadi...... Para penari ...... yang B kesurupan Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 akan berjalan ...... mengikuti ...... irama yang berjalan sesuai ...... kehendak ...... mereka ...... masing- C masing atau Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 sesuai selera ...... dengan ...... kehendang ...... danyang yang ...... merasuki jiwa ...... para penari. D Gatra 13 Gatra 14 Gatra 15 Gatra 16 Kendang

209

...... dalam hal ini ...... berperan ...... sangat penting ...... dalam ...... mengatur tempo irama iringan gending tarian ndadi atau kesurupan. 3 Susunan nada 1. pola melodi balungan dimulai dari melodi buka atau pola dengan bonang dan dilanjutkan dengan lima struktur bentuk melodi balungan yaitu bentuk A, B, pukulan yang dimainkan secara berurutan dan berulang- melodi ulang sesuai kebutuhan iringan tari. balungan gending 2. pola melodi buka gending dimainkan oleh Lancaran instrumen bonang. udan mas . 7 7 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5

3. pola melodi balungan baris A yang dimainkan instrumen demung dan saron pada baris satu gatra atau birama 1,2,3,4,5,6,7,8 adalah sebagai berikut : Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2

Pengulangan pada baris satu Gatra 5 Gatra 6 Gatra 7 Gatra 8 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2

4. pola melodi balungan baris B yang dimainkan instrumen demung dan saron pada gatra yang ke 9,10,11,12,13,14,15,16 adalah :

Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12

7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5

7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5

Gatra 13 Gatra 14 Gatra 15 Gatra 16 7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5 7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5

4 Pola struktur Pukulan dilakukan dengan tehnik gembyang pada pukulan irama setiap ketukan / sabetan ke 1 dan ke 3, sifatnya bonang pada mendahului nada ke empat pada setiap gatra yang gending menjadi patokan nada iringan melodi pokok Lancaran udan balungan.

210

mas Baris A Gatra1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2

2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . 2/2 . Baris B Gatra 9 Gatra 10 Gatra 11 Gatra 12 7 5 6 7 5 6 7 2 . 7 6 5 6 7 6 5 7/7 . 7/7. 2/2 . 2/2 . 5/5 . 5/5 . 5/5 . 5/5 .

5 Pola struktur 1. Pola struktur pukulan irama kenong pada pukulan irama gending Lancaran Udan Mas adalah ditabuh kenong pada pada setiap ketukan ke 4 mengikuti nada gending balungan Lancaran Udan Mas. 2. Jumlah pukulan kenong pada gending Lancaran Udan Mas pada setiap baris ada empat kali pukulan

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 . . . 2 . . . 2 . . . . 2 . . . 2

3. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra berikutnya 6 Pola struktur 1. Pola struktur pukulan irama kempul pada pukulan irama gending Lancaran Udan Mas adalah ditabuh kempul pada pada setiap ketukan ke 2 setiap gatra mengikuti gending nada balungan Lancaran udan mas 2. Jumlah pukulan kempul pada gending Lancaran Udan Mas pada setiap baris ada empat kali pukulan.

Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 . 5 . . . 5 . . . . 5 . . . 5 . .

3. Pola seperti ini berlanjut sampai dengan gatra berikutnya 7 Pola struktur Pola struktur pukulan irama gong pada gending pukulan irama Lancaran Udan Mas hanya ditabuh satu kali yaitu gong pada pada gatra yang ke 16 pada ketukan yang ke 64 gending atau ketukan terakhir. lancaran udan mas Gatra 1 Gatra 2 Gatra 3 Gatra 4 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 6 5 3 2 ...... G

211

8 Pola Kendang Buka kendang [ dang, bem, bem, bem ] Pola bunyi silabi kendang [ dang, bem, tak, blang, tlung]

Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi disesuaikan dengan pola tari

212

BAB VI

P E N U T U P

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap bentuk struktur pertunjukan

Reog Ponorogo dan bentuk struktur musik iringan pertunjukan Reog Ponorogo yang dirumuskan dalam penelitian ini maka dapat diambil kesempulan sebagai berikut :

I. Tema dan Struktur pertunjukan Reog Ponorogo yang dipraktikan oleh

sanggar Cipto Budoyo adalah :

A. Tema pertunjukan :

Membawakan tema cerita legenda Raja Jawa “tentang lamaran

seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang bernama Klono

Sewandono terhadap seorang putri dari kerajaan Kediri yang bernama

Dewi Songgolangit. Lakon ini telah distilasikan oleh sutradara untuk

menyesuaikan dengan kondisi dan kemapuan dari sutradara dan para

anggotanya. Lakon ini bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai luhur

diantaranya seperti : 1. Nilai-nilai kebijaksanaan layaknya seorang

Raja-Raja jawa, 2. Nilai-nilai kesatria yang lincah, tangguh dan

berani, 3. Nilai-nilai Perlawanan terhadap kebuasan dan keberingasan

(hal-hal yang tidak baik). Selain itu hal ini juga ditujukan dalam

rangka menghormati kebudayaan, menghormati roh para leluhur,

agar selalu memohon perlindungan dari Tuhan yang maha kuasa agar

kehidupannya mendapat kesempurnaan.

213

B. Model pertunjukan Reog Ponorogo

Model Pertunjukan Reog Ponorogo yang di praktikan oleh

sanggar Cipto Budoyo ada dua model, yaitu :

1) Model arak-arakan atau pawai Reog Ponorogo.

2) Model pertunjukan di suatu tempat atau arena lapangan terbuka.

C. Struktur pertunjukan

Struktur pertunjukan Reog Ponorogo di bagi dalam 3 fase yaitu 1)

fase pra pertunjukan, 2) fase pertunjukan 3) fase pasca pertunjukan.

1) Pra pertunjukan Reog Ponorogo

Pra pertunjukan adalah sebuah proses persiapan yang

dilakukan sebelum dilakukannya pelaksanaan pertunjukan atau

dapat juga disebut fase persiapan akan dilaksanakannya

pertunjukan. Pada bagian pra pertunjukan ini meliputi beberapa hal

diantaranya adalah :

a. Mempersiapkan dan membersihkan lokasi pertunjukan.

b. Pemasangan sajen atau sesaji.

c. Obong kemenyan atau mebakar kemenyan.

2) Proses pertunjukan Reog ponorogo

a. Struktur pertunjukan model arak - arakan

Araka-arakan Reog adalah suatu bentuk penyajian

pertunjukan yang dilakukan dengan cara pawai dari suatu tempat

berjalan beriringan menuju ketempat lainnya. Acara ini dibiasanya

untuk mengiringi arak-arakan dalam acara khitanan atau pesta

214

perkawinan. Selain itu juga untuk acara pesta budaya peringatan

hari-hari besar tertentu, seperti hari kemerdekaan, hari pahlawan,

acara bersih desa atau hari besar agama tertentu seperti Suroan,

ataupun upacara adat ruatan. Pertunjukan Reog ini didukung oleh

20 sampai dengan 25 orang dan seluruh anggota yang terlibat

terbagi dalam beberapa kelompok yang meliputi : a. kelompok

pengawal, b. kelopok pendamping, c. kelompok penari, d.

kelompok pemusik atau pengrawit gamelan. e. Kelompok

pengiring.

b. Struktur pertunjukan dilapangan terbuka.

1. Persembahan penari jatilan.

2. Tari ganongan Kecil

3. Tari ganongan Besar.

4. Tari singo barong.

5. Tari suka- suka / ndadi (kesurupan)

3) Pasca pertunjukan Reog Ponorogo

Pasca pertunjukan Reog adalah situasi dimana pertunjukan

telah usai. Setelah babakan terakhir atau setelah tari ndadi, dan

stelah semua penari yang kesurupan telah sadar kembali. Situasi

pasca pertunjukan ini dilakukan beberapa kiegiatan yang meliputi :

1. Melakukan kegiatan merapikan instrumen musik dan

perlengkapan untuk dibawa pulang kembali kesanggar.

215

2. Membersihkan lokasi pertunjukan dari roh halus yang mungkin

saja masih tertinggal di arena pertunjukan dan sekaligus

memohon izin kepada para roh leluhur.

3. Istirahat makan dan minum bersama.

4. Memohon izin untuk kembali ketempat mereka kepada tuan

rumah.

5. Menerima pembayaran pertunjukan dari panitia sesuai

kesepakatan.

6. Seluruh anggota kembali ke sanggar dan menerima bagian

pembayaran dari hasil yang diperoleh dari panitia penyelengara.

II. Struktur musik iringan pertunjukan Reog Ponorogo

A. Struktur musik arak - arakan

Gending iringan adegan arak-arakan menggunakan gending Reog

Ponorogo.

Strutur bentuk gending adalah :

1. Instrumen yang digunakan [gong, kenong, 2 buah angklung,

kendang, selompret].

2. Tempo gending sedang dan cepat.

3. Terdiri dari 1 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan pawai/arak-arakan.

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dati 4 sabetan atau ketukan.

216

6. Pola melodi balungan terdiri dari 2 nada yaitu nada 1 [ji] dan 2

[ro] dimainkan secara repetitif.

7. Pola irama gong setiap sabetan/ketukan ke 4.

8. Pola irama kenong jatuh setiap sabetan/ ketukan.

9. Pola irama angklung nada 2 jatuh pada sabetan/ketukan ganjil.

10. Pola irama angklung nada 1 jatuh pada sabetan/ketukan genap.

11. Fungsi kendang sebagai pembuka gending, mengatur tempo

gending.

12. Bentuk struktur melodi selompret Reog terdiri dari enam birama

atau gatra dan terbagi dalam dua prase yaitu prase tanya dan

prase jawab. Dalam setiap prase terdiri dari beberapa motif yang

selalu baru. Pada prase tanya terdapat 4 motif dan prase jawab

terdapat 2 motif. Bentuk motif melodi secara keseluruhan

tergolong kedalam bentuk Progresiv yaitu bentuk nyanyian

yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang

selalu baru.

B. Struktur gending iringan adegan tari persembahan jatilan

menggunakan gending lancaran ricik - ricik.

1. Instrumen yang digunakan [demung, saron, bonang, kenong,

kempul, gong, kendang].

2. Tempo lambat, sedang dan cepat.

3. Terdiri dari 4 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan pertunjukan.

217

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dati 4 sabetan atau ketukan.

6. Gending dibuka dengan bonang.

7. Pola melodi balungan demung dan saron terdiri dari 4 bentuk

yaitu bentuk A, B, C, D.

8. Pola irama bonang di tabuh setiap sabetan/ketukan ke 2 dan ke 4.

9. Pola irama kenong ditabuh setiap sabetan/ketukan ke 4 mengikuti

nada balungan, dan dalam satu baris berisi 4 kali tabuhan kenong.

10. Pola irama kempul ditabuh pada sabetan/ketukan kedua setiap

gatra atau birama.

11. Pola irama gong ditabuh pada sabetan/ketukan 16 atau pada gatra

terakhir setiap baris yaitu gatra ke 4,8,12,16.

12. Pola kendang sebagai pengatur tempo gending dan pengabah

gerakan tari, bunyi silabi kendang [dang, bem, tak, blang, tlung].

Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi disesuaikan

dengan pola tari.

C. Struktur gending iringan adegan tari ganongan kecil menggunakan

gending Reog Ponorogo.

1. Instrumen yang digunakan [gong, kenong, 2 buah angklung,

kendang, selompret].

2. Tempo sedang dan cepat.

3. Terdiri dari 1 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan tari.

218

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dati 4 sabetan atau ketukan.

6. Pola melodi balungan terdiri dari 2 nada yaitu nada 1 [ji] dan 2

[ro] dimainkan secara repetitif.

7. Pola irama gong setiap sabetan/ketukan ke 4.

8. Pola irama kenong jatuh setiap sabetan/ketukan.

9. Pola irama angklung nada 2 jatuh pada sabetan/ketukan ganjil.

10. Pola irama angklung nada 1 jatuh pada sabetan/ketukan genap.

11. Fungsi kendang sebagai pembuka gending, mengatur tempo

gending.

12. Bentuk struktur melodi selompret Reog terdiri dari enam birama

atau gatra dan terbagi dalam dua prase yaitu prase tanya dan

prase jawab. Dalam setiap prase terdiri dari beberapa motif yang

selalu baru. Pada prase tanya terdapat 4 motif dan prase jawab

terdapat 2 motif. Bentuk motif melodi secara keseluruhan

tergolong kedalam bentuk Progresiv yaitu bentuk nyanyian

yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang

selalu baru.

D. Struktur gending iringan adegan tari ganongan besar menggunakan

gending Reog Ponorogo

1. Instrumen yang digunakan [gong, kenong, 2 buah angklung,

kendang, selompret].

2. Tempo sedang dan cepat.

219

3. Terdiri dari 1 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan tari.

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dati 4 sabetan atau ketukan.

6. Pola melodi balungan terdiri dari 2 nada yaitu nada 1 [ji] dan 2

[ro] dimainkan secara repetitiv.

7. Pola irama gong setiap sabetan/ketukan ke 4.

8. Pola irama kenong jatuh setiap sabetan/ ketukan.

9. Pola irama angklung nada 2 jatuh pada sabetan/ketukan ganjil.

10. Pola irama angklung nada 1 jatuh pada sabetan/ketukan genap.

11. Fungsi kendang sebagai pembuka gending, mengatur tempo

gending.

12. Bentuk struktur melodi selompret Reog terdiri dari enam birama

atau gatra dan terbagi dalam dua prase yaitu prase tanya dan

prase jawab. Dalam setiap prase terdiri dari beberapa motif yang

selalu baru. Pada prase tanya terdapat 4 motif dan prase jawab

terdapat 2 motif. Bentuk motif melodi secara keseluruhan

tergolong kedalam bentuk Progresiv yaitu bentuk nyanyian

yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang

selalu baru.

E. Struktur gending iringan adegan tari singo barong menggunakan 3

jenis gending yaitu : 1. gending reog ponorogo sebagai pembuka tari

hingga adegan pertengahan. 2. Gending Singa Nebah pada adegan

220 atraksi menuju kilmaks pertunjukan. 3 gending sampak pada adegan singo barong berperang dengan Prabu Klono Suwandono. Strutur bentuk gending adalah :

- Strktur gending Reog Ponorogo pada permulaan tari hingga

pertengahan.

1. Isntrumen yang digunakan [gong, kenong, 2 buah angklung,

kendang, selompret].

2. Tempo sedang dan cepat.

3. Terdiri dari 1 baris dan dimainkan berulang - ulang sesuai

kebutuhan iringan tari.

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dati 4 sabetan atau ketukan.

6. Pola melodi balungan terdiri dari 2 nada yaitu nada 1 [ji] dan 2

[ro] dimainkan secara repetitiv.

7. Pola irama gong setiap sabetan/ketukan ke 4.

8. Pola irama kenong jatuh setiap sabetan/ ketukan.

9. Pola irama angklung nada 2 jatuh pada sabetan/ketukan ganjil.

10. Pola irama angklung nada 1 jatuh pada sabetan/ketukan genap.

11. Fungsi kendang sebagai pembuka gending, mengatur tempo

gending.

12. Bentuk struktur melodi selompret Reog terdiri dari enam

birama atau gatra dan terbagi dalam dua prase yaitu prase

tanya dan prase jawab. Dalam setiap prase terdiri dari

221

beberapa motif yang selalu baru. Pada prase tanya terdapat 4

motif dan prase jawab terdapat 2 motif. Bentuk motif melodi

secara keseluruhan tergolong kedalam bentuk Progresiv yaitu

bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan

materi melodi yang selalu baru.

- Struktur gending sampak pada adegan tari perang Reog dengan

Prabu Klono Swandono.

1. Instrumen yang digunakan [demung, saron, bonang, kenong,

kempul,gong, kendang].

2. Tempo lambat, sedang dan cepat.

3. Terdiri dari 5 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan pertunjukan.

4. Baris ke 1,2,3,4 terdiri dari 4 gatra atau birama dan baris ke 5

terdiri dari 2 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dari 4 sabetan atau ketukan.

6. Gending dibuka dengan nada dua.

7. Pola irama balungan demung ditabuh sesuai jatuhnya

sabetan/ketukan dalam setiap gatra.

8. Pola irama balungan saron saron ditabuh dalam kelipatan 2

setiap sabetan/ketukan pada setiap gatra.

9. Pola irama bonang di tabuh pada setiap sabetan/ketukan

setiap gatra.

222

10. Pola irama kenong ditabuh dalam kelipatan 2 setiap sabetan/

ketukan pada stiap gatra.

11. Pola irama kempul ditabuh pada setiap sabetan/ketukan setiap

gatra.

12. Pola irama gong ditabuh pada sabetan/ketukan 3,6,9,12 dan 14

atau pada setiap gatra terakhir setiap baris.

13. Pola kendang sebagai pengatur tempo gending dan pengabah

gerakan tari, bunyi silabi kendang [dang, bem, tak, blang,

tlung]. Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi

disesuaikan dengan pola tari.

- Strktur gending Singo Nebah pada adegan atraksi barongan menuju

klimaks pertunjukan.

1. Instrumen yang digunakan [demung, saron, bonang, kenong,

kempul,gong, kendang].

2. Tempo sedang dan cepat.

3. Terdiri dari 3 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan pertunjukan.

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dari 4 sabetan atau ketukan.

6. Gending dibuka dengan bonang.

7. Pola melodi balungan, demung dan saron terdiri dari 3 bentuk

yaitu bentuk A, B, C.

223

8. Pola irama bonang di tabuh setiap sabetan / ketukan ke 2 dan

ke 4.

9. Pola irama kenong ditabuh setiap sabetan / ketukan ke 4

mengikuti nada balungan, dan dalam satu baris berisi 4 kali

tabuhan kenong.

10. Pola irama kempul ditabuh pada sabetan/ketukan kedua setiap

gatra atau birama.

11. Pola irama gong ditabuh pada sabetan/ketukan 16 atau pada

gatra terakhir setiap baris yaitu gatra ke 4,8,12.

12. Pola kendang sebagai pengatur tempo gending dan pengabah

gerakan tari, bunyi silabi kendang [dang, bem, tak, blang,

tlung]. Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi

disesuaikan dengan pola tari.

F. Struktur gending iringan adegan tari ndadi/kesurupan menggunakan 2

gending yaitu 1) gending jaranan dan 2) gending lancaran Udan Mas.

Strutur bentuk gending adalah :

- Struktur gending jaranan

1. Instrumen yang digunakan [demung, saron, bonang, kenong,

kempul,gong, kendang].

2. Tempo lambat, sedang dan cepat.

3. Terdiri dari 5 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan pertunjukan.

224

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dari 4 sabetan atau ketukan.

6. Gending dibuka dengan boning.

7. Pola melodi balungan demung dan saron terdiri dari 5 bentuk

yaitu bentuk A, B, C. D, E.

8. Pola irama bonang di tabuh setiap sabetan / ketukan ke 2 dan

ke 4.

9. Pola irama kenong ditabuh setiap sabetan / ketukan ke 4

mengikuti nada balungan, dan dalam satu baris berisi 4 kali

tabuhan kenong.

10. Pola irama kempul ditabuh pada sabetan/ketukan kedua setiap

gatra atau birama.

11. Pola irama gong ditabuh pada sabetan/ketukan 16 atau pada

gatra terakhir setiap baris yaitu gatra ke 4,8,12.16,20.

12. Pola kendang sebagai pengatur tempo gending dan pengabah

gerakan tari, bunyi silabi kendang [dang, bem, tak, blang,

tlung]. Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi

disesuaikan dengan pola tari.

- Struktur gending udan mas

1. Instrumen yang digunakan [demung, saron, bonang, kenong,

kempul,gong, kendang].

2. Tempo lambat, sedang dan cepat.

225

3. Terdiri dari 5 baris dan dimainkan berulang-ulang sesuai

kebutuhan iringan pertunjukan.

4. Tiap baris terdiri dari 4 gatra atau birama.

5. Setiap gatra/birama terdiri dari 4 sabetan atau ketukan.

6. Gending dibuka dengan bonang.

7. Pola melodi balungan demung dan saron terdiri dari 2 bentuk

yaitu bentuk A pada baris 1 dan 2 dan B pada baris 2 dan 4.

8. Pola irama bonang di tabuh setiap sabetan / ketukan ke 2 dan

ke 4.

9. Pola irama kenong ditabuh setiap sabetan / ketukan ke 4

mengikuti nada balungan, dan dalam satu baris berisi 4 kali

tabuhan kenong.

10. Pola irama kempul ditabuh pada sabetan/ketukan kedua setiap

gatra atau birama.

11. Pola irama gong ditabuh pada sabetan/ketukan 16 atau pada

gatra terakhir setiap baris yaitu gatra ke 4,8,12,16.

12. Pola kendang sebagai pengatur tempo gending dan pengabah

gerakan tari, bunyi silabi kendang [dang, bem, tak, blang,

tlung]. Pola isian kendang adalah edlibe atau improvisasi

disesuaikan dengan pola tari

226

6.2 Saran

Kesenian Reog Ponorogo saat ini sudah masuk kedalam zaman perkembangan teknologi komunikasi yang serbah canggih. saat ini semakin banyak muncul kesenian baru yang dilengkapi dengan gemerlap kecanggihan tehnologi tinggi yang sangat menarik minat banyak masyarakat secara umum,.

Jangan sampai kebudayaan dan kesenian tradisional ini menghilang akibat tersingkir dari pertarungannya dengan kesenian-kesenian yang baru. Walau kesenian ini terlihat banyak penontonnya tetapi masih ditemukan kekurangan kekurangan dalam pengemasan pertunjukaanya. Selain itu juga kurangnya pengkaderan generasi selanjutnya sebagai penerus keberlanjutan kesenian ini.

Selain itu juga kesenian ini masih dianggap kesenian kelas pinggiran oleh banyak kalangan masyarakat. Maka untuk itu penting di lakukan perbaikan-perbaikan terhadap apa yang dianggap kurang demi perkembangan dan eksistensinya kesenian Reog Ponorogo ditengah-tengah pertarungan industri kebudayaan dewasa ini.

227

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ahimsa, Dedy Shri, dkk. 2000. Ketika orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Press

Arikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Bandem, I Made dan Sal Murgianto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Bali: Kanisius

Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI Press

Barz, Gregory and Timothy J. Cooley. New Perspective for Fieldwork in ethnomusicology: second edition. 2008. London: Oxford University

Budilinggono, 1993. Bentuk dan Analisis Musik. jakarta : PT. Mahendra Sampana Bonoe, Pono. 2003. Kamus musik. Yogyakarta: Kanisius

Chase, Gilbert.1980. america’s Music. USE :Macmillan Publishers Carlson, Betty dan Jane Stuart Smith, 2003. Karunia Musik. Surabaya. Momentum.

Damayanti Dina 2008, Studi Deskriptif Kualitatif pertunjukan Reog Ponorogo pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan percut Sei Tuan.

Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia : ilmu gosip, dongeng dan lain lain. Jakarta: Grafiti Pers

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra

Dharsono. 2007. Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains

Djohan. 2010. Respons Emosi Musikal. Bandung: Lubuk Agung

Eargle, Jhon M. 1990. Music, Sound, & Technology. New York: Van Nostrand Reinhold

Endraswara, Suwardi. 2005. Buku Pintar Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung Orang Jawa.Yogyakarta: Gelombang Pasang,

228

Geertz, Clifford. 2014. Agama Jawa: Abangan, santri, priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok:Komunitas Bambu

Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta: Temprint

Gunawan Eki, 2015 Fungsi Kesenian Reog ponorogo di Desa Kolam.

Hadiluwih Subanindio (2004) “Pergeseran Peradaban dan Budaya Masyarakat Jawa di Sumatra Utara”Medan :Warta Darmawangsa. Haryanto,Sindung.2012. Spektrum Teori Sosial : Dari Klasik Hingga Postmodren. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.

Hidayah, Zulyani. 2015. Ensiklopoedi suku bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Jazuli. M. 2006. Manajemen Seni Pertunjukan. Jakarta: Graha Ilmu

Jenks, Chris. 2013. Culture : Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kaelan, 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, budaya, filsafat, seni , agama dan humaniora. Yogyakarta: Paradima

Kayam, Umar. 2000. Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan. Yogyakarta: Galang Press

Kuswarno Engkus. 2013. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi. Konsefsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjadjaran.

Koentjaraningrat, 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

Koentjaraningrat,1991.Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat,1995. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Kodijat, Latifah. 1994. Istilah-istilah musik. Jakarta: Djambatan

Malm, William P. 1967. Music Culture of the pasific, the Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall-Inc

Merriam. Allan P. 1964. The Antropology of Music. Chicago: Northwestren University Press

Murgianto, Sal. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius

229

Ninuk Kleden Probonegoro, Sutamat Aribowo, Yasmin Zaki Shahab, Ipit S. Dimyanti “Pluralitas Makna Seni Pertunjukan dan Representasi Indentitas”.

Nurwani 2016 Ilau dari ritual ke seni pertunjukan. Disertasi S3 Fisip Unair

Paeni, Mukhlis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia : Sistem Sosial. Jakarta: Rajagrafindo

Post, Jennifer C. 2003. Etnomusicology a Guide To Reserach. New York and London: Routledge

Prier, Karl-Edmund. 2009. Kamus musik. Yogyakarta: Pusat musik liturgi

Probonegoro, Ninuk Kleden. 2004. Pluralitas makna Seni Pertunjukan dan Representasi Identitas. Jakarta: PMB-LIPI

Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Said, Muhammad. 1977. Suatu zaman delap di deli : Koeli kontrak tempo doeloe dengan derita dan kemarahannya. Medan: Waspada

Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Rajagrafindo

Sj, Prier, Edmund, Karl. 2013, Ilmu Bentuk musik(cetakan kedua), Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi

Smart, Barry dan George Ritzer. 2011. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media

Soedarsono, R.M. 2002. Seni pertunjukan indonesia di era globalisasi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.

Sugiharto, Bambang. 2013. Untuk Apa Seni?. Bandung: Matahari

Supanggah, Rahayu. 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Bentang Budaya

Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan konfrontasi di sabuk perkebunan sumatera. Yogyakarta: Karsa

Takari, Muhammad dan Heristina Dewi. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press

230

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Guntoro Umur : 45 tahun Pekerjaan : Seniman Jawa Alamat : Perbaungan

2. Nama : Sandrik Gareng Umur : 54 Pekerjaan : Seniman Jawa Alamat : Perbaungan

3. Nama : Agus Tetuko Umur : 65 Pekerjaan : Tokoh adat Jawa Alamat : Medan Marelan

4. Nama : Mbah Musinem Umur : 75 Pekerjaan : Alamat : Desa pematang kasih kecamatan pantai Cermin

5. Nama : Bambang Pekerjaan : Petani / Seniman Reog Umur : 59 Alamat : Perbaungan

6. Nama : Sucipto Umur : 67 Pekerjaan : Petani / Seniman Reog Alamat : Perbaungan

7. Nama : Kliwon Umur : 60 Pekerjaan : Petani / Seniman Reog

231

LAMPIRAN PENELITIAN

Dokumentasi wawancara terhadap narasumber dan proses pra pertunjukan, saat pertunjukan dan pasca pertunjukan No. Kegiatan Keterangan 1. Wawancara terhadap pimpinan sanggar Cipto Budoyo yaitu bapak Guntoro mengenai Kesenian Reog Ponorogo yang ada di Perbaungan kabupaten Serdang Bedagai.

2. Bentuk syarat berupa sesaji yang dipersembahkan untuk seluruh perangkat/properti Reog yang digunakan setiap pertunjukan dan dipercaya sebagai bentuk rasa penghormatan terhadap leluhur serta menjauhkan dari marabahaya selama kegiatan berlangsung.

232

3. Perlengkapan tari dan perlengkapan alat musik yang digunakan sebagai media pertunjukan kesenian Reog Ponorogo oleh sanggar Cipto Budoyo di Perbaungan

233

4. Proses latihan Reog di wilayah Patai Cermin untuk kegiatan pertunjukan budaya dalam rangka menyambut HUT RI di daerah Serdang Bedagai.

234

5. Arak - arakan Kesenian Reog Ponorogo oleh sanggar Cipto Budoyo dalam rangka menyambut HUT Kemerdekaan RI di Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

6. Proses ritual Sebelum pertunjukan Reog dimulai yang bertujuan untuk penghormatan kepada leluhur dan meminta izin kepada mahluk gaib di lingkungan sekitar agar deberi kemudahan serta keselamatan pada saat kegiatan berlangsung.

235

7. Proses berlangsungnya pertunjukan Reog pada acara HUT kemerdekaan RI di arena terbuka Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai hingga malam hari.

8. Proses penanganan oleh sang pawang ketika terjadi kerasukan

236

pada salah satu pemain dan warga desa setempat saat pertunjukan Reog berlangsung.

9. Ritual proses pembersihan pasca kegiatan pertunjukan Reog berlangsung yang bertujuan untuk menghilangkan/menetralisir gangguan gaib dari daerah sekitar.