BAB IV
Upacara Serentaun Komunitas Masyarakat Adat Sunda Wiwitan
Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan
A. Upacara Serentaun Komunitas Masyarakat Adat Sunda Wiwitan
1. Sejarah Upacara Serentaun
Upacara serentaun merupakan tradisi masyarakat agraris yang sudah ada
dari nenek moyang atau leluhur terdahulu hingga sekarang. Secara harfiah
serentaun memiliki arti “seren” yang berarti “menyerahkan” dan “tahun” yang
berarti “tahunan”, atau dengan kata lain dapat didefinisikan dengan penyerahan
tahunan masyarakat agraris. Secara filosofis yakni, pengungkapan rasa syukur
kepada Sang Hyang Kersa setelah kita melalui satu tahun, dan akan menyongsong
tahun yang baru. Sebab manusia sejatinya tidak memiliki daya apa-apa kecuali
atas kehendakNya.139
Upacara serentaun dilaksanakan di akhir tahun dengan hitungan tahun Saka
Sunda, pada bulan Raya Agung. Dalam bahasa Sunda, Raya Agung sendiri
memiliki arti merayakan atau memuliakan keagungan Sang Pencipta. Upacara
serentaun sendiri memang diadakan dengan tidak mengikuti hitungan panen raya
yang sekitar bulan Juni-Juli, tetapi lebih kepada saat penutupan tahun Saka Sunda.
Sebutan serentaun sendiri pada mulanya adalah sedekah bumi, lalu pada tahun
1930 diaganti dengan sebutan gandrong, kemudian pada tahun 1960-1970 adalah
nutu, setelahnya kemudian sebutan serentaun yang dipakai. Nutu diambil dari
139 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
86
bahasa Sunda, yaitu menumbuk padi, sedangkan gandrongan diambil dari suara
hentakan proses menumbuk tersebut.140
Serentaun tercatat dalam sejarah mulai sejak tahun 734 Masehi. Pada saat
itu terjadi perjanjian galuh antara Ciung Wanara dengan Rahyang Banga.
Perjanjian tersebut sebagai cikal bakal dari lahirnya kerajaan Galuh dan
Padjajaran. Okky Satrio menuturkan, kita dapat mengakses cerita ini di naskah
Wansekerta.
Lebih detil Okky Satrio berbagi ilmunya. Ia menceritakan;141
“Begitu Ciung Wanara menjadi raja di kerajaan Galuh, ia diantar oleh Patih bernama Balangantrang. Dalam cerita rakyat biasa diceritakan, Aki Balangantrang menemukan seorang anak, dia memelihara ayam bernama ciung wanara. Ayamnya selalu menang saat diadu, kemudian suatu saat ia mendapatkan kerajaan. Cerita yang dimaksud lebih tepatnya, Aki Balangantrang merupakan Patih dari kakek Ciung Wanara bernama Purbasora. Purbasora dikalahkan oleh Sanjaya –Raja Mataram Hindu dan juga Raja Sunda ke dua. Karena Purbasora dikalahkan oleh Sanjaya, Sanjaya menaruhkan anaknya bernama Tamperan Barmawijaya. Ibu dari Ciung Wanara diambil oleh Tamperan, bapaknya dibuang karena kesukaanya terhadap tirakat atau betapa. Pada suatu ketika, akhirnya Ciung Wanara mengalahkan Tamperan, dan ditahan anak Tamperan bernama Banga. Begitu Ciung Wanara naik menjadi raja, Aki Balangantrang menjadi Resik Pangebon. Resik Pangebon bertugas kalau di suatu wilayah panenya gagal, maka dia yang mengurus. Nah, ketika ada di suatu wilayah panennya gagal, kemudian beliaulah yang membuat upacara serentaun pertama kali.”
140 Wawancara dengan Bapak Gumirat Barna Alam, 11, November, 2015 141 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015
87
Berangkat dari cerita tersebut, acara serentaun digagas sebagai gambaran
dari keeratan masyarakat agraris dengan komoditas pertanian. Sebuah hubungan
yang integral yang saling terkait, dan saling mempengaruhi. Tatacara, tradisi, dan
kepercayaan kemudian dibentuk sebagai metode dialog terus-memerus dengan
alam dan lingkungan sekitarnya. Berharap, agar hasil dari laku pertanian yang
dihasikan sesuai dengan harapan yang dicita-citakan.
Serentaun merupakan tradisi yang dipercayai oleh komunitas masyarakat
adat Sunda Wiwitan untuk mensyukuri tahun yang telah lewat dan berharap agar
tahun berikutnya lebih baik. Masyarakat Sunda Wiwitan memperbesar
cakupannya, dengan bukan sekedar masyarakat pertanian tapi masyarakat agraris.
Dengan maksud, agar saat serentaun digelar bukan saja masyarakat yang
berprofesi sebagai petani yang dapat merayakannya. Tapi, seluruh masyarakat
yang hidup di kawasan agararis, apapun profesinya, dan apapun agamanya.142
Kepatuhan terhadap ajaran nenek moyang atau leluhur sebagai landasan
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan untuk melakukan kegiatan upacara
serentaun. Sebagaiamana laku Aki Balangantrang yang mengadakan serentaun
yang juga terinspirasi oleh leluhurnya bernama Ratu Pwah Aci, masyarakat adat
Sunda Wiwitan pun demikian. Mereka terinspirasi oleh laku leluhurnya bernama
Ratu Pwah Aci.
Ratu Pwah Aci adalah manusia, putri dari Akik Tirem atau yang biasa
dikenal sebagai Ki Sunda yang hidup pada tahun 125 M. Pwah Aci merupakan
ratu pertama di tataran Sunda yang menahkodai kerajaan bernama Salaka Negara,
pada tahun 125 M. Di banyak cerita rakyat, setelah meninggal dunia dari mata dan
beberapa indera ratu Pwah Aci keluar benih-benih. Cerita sejarahnya, pada saat itu
142 Wawancara dengan Bapak Yayan, 10, November, 2015
88
leluhur kita sebenarnya telah memiliki sistem pertanian. Bukan sekedar ladang
pertanian berpindah, tapi ladang berpindah yang memiliki sistem pertanian.
Dengan sistem pertanian yang maju, maka dengan itu kerajaan Salaka Negara
menjadi kerajaan yang makmur dan sejahtera.143
Idealisasi terhadap kondisi kesejahteraan, atau kemakmuran yang pernah
diraih oleh leluhur, tertanam erat di lanskap nalar komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan. Ratu Djuwita salah satu putri dari Pangeran Djati Kusuma
misalnya yang terheran-heran dengan kondisi masyarakat zaman sekarang yang
selalu takjub dengan fenomena modern. Tapi di sisi lain, mereka hanya bisa ikut-
ikutan, tidak ada proses kreatif.
“Kita sedang menghadapi situasi sulit. Kita dihadapkan pada kondisi tumpang tindih dengan modernisasi. Kadang saya berpikir, modern itu apa sih. Ada yang tau, apa arti modernisasi? Bukan berarti modern hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki gaya barat, maju, kaya. Belum tentu loh. Saya melihat bahwa leluhur kita itu, malah lebih modern. Penemuan-penemuan orang-orang zaman dahulu, menemukan obat-obatan, teknologi dari alam, itu lebih progresif, daripada kita yang sekarang cuma bisa diam. Terlena dengan kondisi seperi ini, masyarakat lebih terlena dengan makanan dan kebutuhan hidup lainya yang semuanya menggunakan bahan- bahan kimiawi misalnya.”144 Tentu pandangan masyarakat umum terhadap fenomena modern,
sebagaimana disebutkan oleh Ratu Djuwita di atas, tidak secara tiba-tiba. Ia
mencoba melihat lebih jauh bahwa ketakjuban masyarakat didukung juga oleh
regulasi pemerintah yang melarang upacara serentaun selama 17 (tujuh belas)
tahun. Hingga berakibat pada betapa sulitnya mencari simbol-simbol pangan yang
digunakan saat upacara serentaun.
143 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015 144 Wawancara dengan Djuwita, 29, Januari, 2015
89
“Dulu saat saya masih kecil, yang namanya cigugur sejalan- jalan banyak sekali yang menjemur padi menggunakan grebek. Masih kompak masyarakat di sini untuk bercocok tanam. Tapi kini setalah 17 tahun vakum upacara serentaun, untuk mendapatkan padi saja, kita harus mencari di kota Garut.”145 Senada dengan yang dikatakan oleh Ratu Djuwita, Bapak Kento selaku
kokolot adat (sesepuh) menambahkan. Kelangkahan simbol-simbol upacara
serentaun diakibatkan juga oleh program pemerintah tentang Peningkatan
Produksi Hasil Beras Nasional (PPHBN). Sebuah program turunan dari revolusi
hijau saat era Presiden Soeharto. Bagian ini, akan dijelaskan oleh penulis di
tulisan berikutnya.
Upacara serentaun setelah kemerdekaan Indonesia sempat dilarang selama
17 (tujuh belas) tahun. Baru pada saat era pemerintahan Abdurrahman Wahid atau
biasa dikenal dengan Gus Dur, upacara serentaun baru dapat dilaksanakan
kembali. Pada tahun 2000, Gus Dur ingin ziarah ke Karang Kamulyan, Ciamis.
Sebuah tempat di mana Ciung Wanara membuat kerajaan Galuh. Okky Satrio,
salahsatu menantu dari Pangeran Djati Kusuma, menyampaikan kepada Gus Dur
lewat Letkol Juanda bahwa sejarah Karang Kamulyan tidak akan pernah ada, jika
tidak ada penjanjian galuh.
“Kalau tidak percaya silakan baca naskah Wansekerta,
penjanjian galuh itu berada di Saunggala, tepatnya di cigugur
Kuningan. Jika Gus Dur ingin ke Karang Kamulyan silakan
berkunjung juga ke masyarakat adat Sunda Wiwitan. Merekalah yang
selama ini berada di tempat tersebut,”146 ucapan beliau seakan
mengajak penulis untuk kembali pada percakapan antara Okky Satrio
145 Wawancara dengan Djuwita, 29, Januari, 2015 146 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015
90
dan Letkol Juanda. Meski Gus Dur tidak dapat hadir, tapi
perwakilannya, Bondan Gunawan selaku Mensesneg dapat hadir.
Dengan tanpa pengawalan protokol kepresidenan, Bondan Gunawan
mengunjungi komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Dengan legitimasi kehadiran pemerintah nasional, acara serentaun yang
tadinya sudah direncanakan untuk dibubarkan oleh pemerintah daerah, kemudian
dibatalkan. Hingga kini, acara serentaun sudah secara rutin diselenggarakan tiap
tahunnya. Legalitas upacara serentaun yang telah diraih, tidak disia-siakan oleh
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan. Selama 7 hari berturut-turut secara
gegap gempita upacara serentaun dilaksanakan, terhitung dari tanggal 17 hingga
22 Raya Agung.
Pada era Ki yai Madrais sendiri, upacara tersebut tidak semegah itu, lebih
simpel dan sederhana. Sebagaimana diungkap oleh putra Pangeran Djati Kusuma,
Rama Gumirat Barna Alam bahwa saat era Ki yai Madrais dan Tedjabuana
upacara serentaun dilaksanakan cuma dua hari saja. Terhitung pada tanggal 18
Raya Agung yang diawali dengan ritual Ngajayak, dan kemudian pada saat
tanggal 22 Raya Agung diadakan numbuk padi. Baru pada era Pangeran Djati
Kusuma pada tahun 1960, upacara serentaun mengalami modifikasi, termasuk di
dalamnya beberapa tari-tarian, dan simbol-simbol yang digunakan, hingga rentan
waktu upacara yang semakin lama dalam pelaksanaanya, yaitu selama tujuh
hari.147
2. Pelaksanaan Upacara Serentaun
Rangkaian upacara serentaun berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu
wilayah adat tertentu yang merayakan dengan wilayah adat yang lain. Meski
147 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 11, November, 2015
91 demikian, semuanya memiliki tujuan yang sama. Di komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan sendiri, pelaksanaan tersebut sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Enam bulan sebelum pelaksaan upacara serentaun dimulai, masyarakat sudah bergotong-royong, bahu-membahu mempersiapkan keperluan serentaun.
Hal yang sangat terlihat dari persiapan upacara serentaun berupa perbaikan beberapa bangunan yang berada di Taman Sari Paseban, yaitu Saung Batik. Ada juga masyarakat yang mempersiapkan beberapa tanaman hias di sekitaran taman sari Paseban. Mang Kundang adalah salahsatu masyarakat adat Sunda Wiwitan yang memiliki tugas mengatur tanaman hias di sekitaran Taman Sari Paseban.
Baru saat beranjak tiga bulan menjelang akan dilaksanakan upacara, padi pareranggean telah sampai dari Kabupaten Garut. Bertumpuk deretan padi di pelataran Taman Sari Paseban. Instrumen padi menempati posisi simbol dominan dalam upacara serentaun. Beberapa komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan kemudian mulai mengumpulkan dahan padi satu dengan dahan padi yang lainnya dalam satu ikatan. Secara keselurahan untuk prosesi upacara serentaun dibutuhkan padi sebanyak 22 kwintal.
a. Rangkain Upacara Serentaun
Upacara serantaun berlangsung mulai dari tanggal 18 Raya Agung
hingga pada tanggal 22 Raya Agung, bulan terakhir dalam perhitungan
tahun Sunda (Saka), atau 18-22 Dzulhijjah dalam hitungan Hijriah. Pada
tahun 2015 atau dengan hitungan Saka Sunda yakni 1948 S, upacara
serentaun jatuh pada tanggal 1 Oktober. Tepat pada pukul 19.00 WIB, pada
tanggal 1 oktober, atu 17 Raya Agung, acara serentaun dimulai di pelataran
gedung Paseban, kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan.
92
Diawali dengan
penyalaan obor besar yang
berada di halaman depan
gedung Paseban Tri Panca
tunggal oleh seorang pemuda
yang menunggangi kuda.
1. Prosesi Damar Sewu Setelah obor besar menyala, kemudian pemuda tersebut membawa obor dan
dibagikan kepada pemuda berkuda lainya untuk dinyalakan di obor-obor
kecil di sepanjang jalan Cigugur. Obor-obor kecil sebelumnya sudah
disiapkan terlebih dahulu oleh panitia serentaun. Sepanjang jalan Cigugur
dihiasi oleh obor kecil. Setelah obor kecil semuannya menyala, pemuda
berkuda kembali menuju halaman depan gedung Paseban Tri Panca
tunggal. Acara ini dinamai dengan pagelaran Damar Sewu.
Setelah pelaksaan Damar Sewu, dilanjutkan dengan Tari Puragabaya
Gebang. Sebuah tarian yang menggambarkan kegagahan prajurit dari
kerajaan Gebang yang pernah ada di bagian sebelah Timur Cirebon. Usai
pelaksanaan pagelaran tarian Puragabaya Gebang, anak-anak kecil sekitaran
umur 1-10 tahun sudah rapih berbaris. Mereka kemudian berjalan menuju
halaman depan Gedung Paseban. Dengan wajah ceria, anak-anak kecil
meragakan permainan anak-anak zaman dahulu yang saat ini sudah tak
dimainkan oleh anak-anak seusianya.
Alunan musik yang bersumber dari Goong Renteng, kecapi, termasuk
Gamelan dari Kuningan selalu mengiringi tiap pagelaran pada acara
serentaun. Sekitaran 7-10 berada di panggung musik, memainkan musik
93 tradisional untuk mengiring tiap kali diadakan pagelaran dalam upacara serentaun. Acara berjalan sangat meriah, tiap selesai pagalaran, ayunan tepuk tangan selalu dilontarkan dari pengunjung. Usai pagelaran pembukaan serentaun, acara kemudian di lanjutkan di Taman Sari Paseban dengan hiburan Kecapi Lawak Garut yang dibawakan oleh Segar Group.
Pada tanggal 2 oktober, atau 18 Raya Agung, acara kembali dilaksanakan. Tepat pada pukul 08.30 WIB, komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan sudah berjalan menuju Situ Hyang. Sebuah situs yang pernah menjadi tempat betapa, atau tirakat dari Ki yai Madrais yang bertempat di taman kota Mayasih. Acara yang bertempat Situ Hyang tersebut dinamakan acara Pesta Dadung. Acara ini dipimpin oleh putra dari
Pangeran Djati Kusuma, yakni Rama Gumirat Barna Alam dan dihadiri oleh beberapa perwakilan pemerintah daerah, salahsatunya wakil Bupati
Kuningan.
Pesta dadung
merupakan upacara sakral,
yang bertujuan untuk
meruwat dan menjaga
keseimbangan antara positif,
dan negatif energi yang ada di
2 Prosesi Pesta Dadung alam. Di mana dalam pelaksanaanya para sesepuh adat berkumpul dalam lingkaran yang sudah disediakan, dengan diiringi musik tradisional mereka membaca doa. Kemudian, satu-persatu dari mereka menari mengelilingi lingkaran orang tersebut. Setalah upacara sakral selesai, kemudian dilanjut
94 dengan pembungan hama dan penanaman pohon secara simbolis oleh Rama
Gumirat Barna Alam. Persis di sebelah tempat penanaman pohon, Rama
Gumirat Barna Alam kemudian menabuh kentong berukuran besar yang terbuat dari kayu. Dan diikuti oleh masyarakat lain dengan menabuh kentongan yang sudah di sediakan oleh panitia sebanyak satu mobil pick up.
Setelah rangkaian acara di Situ Hyang selesai, secara bersama-sama masyarakat kemudian kembali menuju Gedung Paseban sembari menabuh kentongan dalam perjalanan. Sebelum para peserta pesta dudung meninggalkan Situ Hyang, beberapa pemuda komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan melepas mereka dengan membunyikan Angklung Buncis.
Yang berada persis di pinggir-pinggir jalan. Dengan bapak-bapak yang setia memakai pakaian panjang serba hitam dan ada juga yang memakai pakaian serba putih yang biasa disebut dengan pangsi, disertai dengan pengikat kepala bermotif batik, dan ibu-ibu yang memakai pakaian kebaya lengkap, membuat pemandangan tak jauh berbeda indahnya dengan tabuhan kentongan yang mereka pukul. Penabuhan kentongan memiliki arti sebagai pengingat pada asal muasal hukum kodarati manusia ketika diciptakan di bumi ini.
Sesampainya di halaman gedung Paseban, masyarakat yang mengikuti acara di Situ Hyang disambut dengan tarian Rampak Gendang.
Sebuah pagelaran seni yang dilakukan oleh belasan pemudi dengan menabuh-nabuh gendang saat melakukan tari. Setelah selesai, disambung dengan pentas silat yang dilakukan oleh murid-muri Sekolah Menengah
Pertama Trimulya. Murid-murid mengenakan tongkat besi melakukan bela diri secara lihai. Bak seorang pendekar yang ditugaskan untuk menumpas
95 kejahatan mereka melakukan adegan-adegan yang sulit dipercaya dilakukan oleh anak seumuran mereka.
Acara kembali dilanjutkan pada pukul 19.00 WIB di gedung paseban dengan acara Ruwatan Nonoman dan Panglawungan Tembang Sunda.
Ruwatan Nonoman dan Panglawungan Tembang Sunda semacam lagu berbahasa sunda yang di dalamnya memuat doa, atau biasa disebut dengan
Rajah, Kidung oleh masyarakat Sunda Wiwitan. Dengan diiringi musik tradisional acara berlangsung khusuk hingga larut malam.
Meski acara serentaun dilakukan secara tujuh hari berturut-turut, tetapi hanya pada tanggal 17, 18, 21, dan 22 Raya Agung saja yang memuat acara-acara sakral serentaun. Pada tanggal 19 dan 20, biasaanya digunakan oleh masyarakat adat Suda Wiwitan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial, dialog bersama masyarakat, bakti sosial dan lain sebagianya. Bahkan dalam momen-momen tertentu, biasaanya hari-hari tersebut diisi untuk memberikan panggung bagi pemerintah pusat ataupun daerah.
Pemberian panggung tersebut sebagai strategi untuk menjamin keberlangsungan eksistensi komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan itu sendiri. Sebagaimana diketahui, upacara perayaan serentaun pernah dilarang selama 17 tahun dan keberadaan atas komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan sendiri sering mengalami diskriminasi. Selama ini, komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan banyak menerima tamu dari
Kementerian, Jendral Tentara Nasioanal Indonesia, tokoh-tokoh partai politik, dan tentunya Pemerintah Daerah Kuningan sendiri.
Tertanggal 5 oktober, atau 21 Raya Agung, pada pukul 19.30 WIB acara serentaun kembali dimulai. Di awali dengan sambutan oleh Pangeran
96
Djati Kusuma, beliau memberikan ucapan syukur sebesar-besarnya sehingga dapat terselenggara acara serentaun. Bukan ciri khas dari
Pangeran Djati Kusuma, bila dalam sambutannya tidak terselip kata-kata mutiara yang berguna sebagai penuntun dalam menjalani kehidupan.
Kemudian acara dilanjutkan dengan Tari Batik. Tari Batik. Tari Batik dilakukan oleh tiga orang pemudi. Para pemudi berlenggak-lenggok mengibas-ibas batik yang dibawannya. Tarian batik diciptakan sebagai wujud dari penjagaan atas identitas kebudayaan. Bukan saja bentuk tarian yang dilakukan oleh komunitas mayarakat adat Sunda Wiwitan untuk menjaga identitas kebudayaan. Tapi, mereka juga memberi pemberdayaan bagi siapa saja yang ingin belajar menulis batik. Bapak Wahyono merupakan salah satu dari komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan yang menekuni dan juga bertugas untuk mengajarkan masyarakat untuk membatik. Meski umurnya yang sudah terlampau lanjut (70 tahun), ia dengan tekun menulis batik lembar- demi lembar terhadap kain polos di pojokan Saung Batik.
Tiba waktunya untuk doa bersama, satu-persatu tokoh agama maju memanjatkan doa. Lantaran upacara serentaun, bukan saja diperuntukan untuk komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan, tapi untuk seluruh umat manusia yang berada di kawasan agraris. Di ruang Jinem, Gedung Paseban terdapat beberapa tokoh agama dari Islam, Katholik, Kristen, Budha, dan
Hindu, sementara Kong Hu Cu tidak hadir dalam malam itu. Acara doa bersama ditutup dengan Kidung Spritual yang dilakukan oleh beberapa sesepuh adat. Mengenakan baju berwarna putih dengan barisan yang sangat rapi, mereka berjalan ke depan untuk memanjatkan doa.
97
Kemudian, tiba waktunya pada tari Pwah Aci. Tari Pwah Aci merupakan salah satu tari spritual yang di dalamnya tersirat ungkapan rasa hormat terhadap leluhur, yang telah menghantarkan pada kondisi kemakmuran. Tari Pwah Aci ini tidak bisa dibawakan oleh orang sembarangan, hanya orang-orang khusus yang dapat menarikan tari ini.
Putri dari Pangeran Djati kusuma, yaitu Ratu Djuwita adalah aktor dari penari Pwah Aci.
Ratu Djuwita tidak pernah belajar menari sebelumnya, ia ditunjuk langsung oleh sang ayah untuk menari tari Pwah Aci. Tapi, sebelum menari, biasanya ia mengalami muntah pada saat malam harinya. Kesan mistik tidak dipisahkan dari tari ini, ditambah dengan aroma dupa dan kemenyan yang menyelinap di hidung saat tari sedang berjalan.
Ritual selanjutnya
yang terbilang sakral adalah
Ngareremokeun. Ritual
ngareremokeun merupakan
laku mempertemukan dan
mengawinkan benih padi
jantan dengan benih padi
3. Prosesi Ngareremokeun betina yang dilakukan oleh
Masyarakat Baduy. Sekitar 10 orang masyarakat Baduy melakukan ritual dengan dibantu oleh Rama Gumirat Barna Alam. Tiga orang dari mereka melakukan ritual perkawinan benih, dan yang lainnya mengelilingi dengan membunyikan alat musik Angklung Kanekes. Semakin keras alunan musik angklung, semakin cepat pula gerakan dalam mengelilinginya.
98
Acara Ngareremokeun sendiri di kalangan masyarakat Baduy, tidak sembarang orang dapat menyaksikan. Tapi, di komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan, acara tersebut dipertujunkan di ruang Jinem secara terbuka.
Inilah kemudian yang membuat penulis mengajukan pertanyaan ke sesepuh adat Bapak Kento. Bagi Bapak Kento, ritual Ngareremokeun diperlihatkan untuk umum bertujuan agar resonasi dari Angklung Kanekes yang dimainkan oleh masyarakat Baduy berikut doa-doanya, dapat mempengaruhi masyarakat yang melihat dan mendengarkan. Mengingat karena manusia memiliki peran dominan dalam mengatur alam ini.
Secara substansial masyarakat Baduy dengan komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan sebenarnya memiliki ajaran yang sama. Apalagi, jika ditilik secara sejarah mereka tergabung dalam satu leluhur yang sama.
Komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan biasa memanggil masyarakat
Baduy dengan sebutan “sedulur”. Perbedaan dari mereka secara selintas hanya beda di pakaian saja. Jika masyarakat Baduy mengenakan ikat berwarna biru dengan celana sepanjang seperempat, sedangkan komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan mengenakan ikat berwarna bebas dan mengenakan celana yang panjang hingga mata kaki.
Setelah beberapa ritual sakral terlewati, hingga larut malam, masyarakat kemudian disajikan Wayang Cepak. Wayang cepak berasal dari
Cirebon, yang secara otomatis bahasanya pun mengenakan bahasa Jawa
Cirebon. Maka tak heran, banyak masyarakat yang tidak mengerti maksud yang diceritakan oleh seni wayang tersebut. Padahal wayang tersebut sendiri sengaja diadakan agar masyarakat mengenal cerita Kerajaan
Gebang. Sebuah kerajaan yang melatarbelakangi ajaran Sunda Wiwitan.
99
Sayangnya, hanya ada beberapa dalang saja yang dapat memaparkan, dan
hapal terhadap cerita tersebut. Itulah alasan, mengapa Wayang Cepak tetap
diadakan meski menggunakan bahasa Cirebon. b. Acara Puncak Upacara Serentaun
Saat matahari masih malu-malu untuk menampakan sinarnya,
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan sudah mulai bersiap-siap di
rumah masing-masing. Tertanggal 6 Oktober, atau 22 Raya Agung pada
pukul 06.00 WIB, masyarakat adat Sunda Wiwitan sudah mulai berjalan
menuju pelataran gedung Paseban. Meski acara akan diadakan pada jam
08.00 WIB, masyarakat telah bersiap semenjak pagi buta. Hal itu
dikarenakan, jarak tempuh dari rumah menuju gedung paseban cukup
jauh,dan sekarang mereka harus berjalan kaki.
Belasan orang berbaris
memanjang yang terdiri dari
pemuda-pemudi, bapak-bapak,
ibu-ibu. Paling depan di tempati
oleh dua pemudi cantik dengan
membawa hasil bumi berupa;
padi, ubi-ubian, dan buah-
buahan. Sedangkan para 4. Prosesi Ngajayak pemudannya berada dibelakang dengan memayungi pemudi dengan janur
yang telah dimodifikasi dengan berbagai macam biji-bijian dan makanan
lainya. Barisan setelahnya, baru pemuda-pemudi berdampingan, pemuda
membawa payung, sedangkan perempuan membawa hasil bumi.
100
Setelah barisan anak muda, kemudian disusul dengan ibu-ibu yang menyuhun (membawa sesuatu di atas kepala) hasil bumi. Berbeda dengan pemudi yang membawa hasil bumi dengan kedua tangan, ibu-ibu membawanya dengan cara menyuhun. Tak kuatir tumpah, ibu-ibu dengan tenang membawa hasil bumi. Ada juga dari mereka yang membawa hasil bumi yang sudah diolah, nasi tumpeng misalnya.
Barisan selanjutnya, kemudian di susul dengan bapak-bapak yang memikul padi di pundaknya. Padi dirancang dengan diikatkan pada bambu panjang, yang akan dipinggul oleh bapak-bapak. Selain itu, ada juga bapak- bapak yang memikul peti berisi buah-buahan. Dan, bapak-bapak yang lain bahu-membahu memikul beberapa replika hewan yang hidup di kawasan agraris, yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Yang sangat unik, ada bapak-bapak yang memikul semacam rumah adat mini berwarna hitam, tepatnya tempat benih.
Baik dari barisan pemuda-pemudi, bapak-bapak, dan ibu-ibu terbagi dalam empat formasi, yaitu barat, timur, utara dan selatan. Pembagian tersebut berdasarkan dari letak rumah komunitas masyarakat adat Sunda
Wiwitan. Setelah tiba di pelataran gedung paseban, masyarakat yang sudah bersiap dari pagi buta tidak langsung menghadap sesepuh adat untuk memberikan secara simbolis hasil bumi. Akan tetapi, mereka cukup lama menunggu daftar penampilan.
Penampilan dalam upacara serentaun yang berkaiatan dengan persiapan sekomplit ini dinamakan sebagai acara Ngajayak, yaitu acara menjemput padi. Sedangkan, acara Ngajayak sendiri menurut jadwal yang didapatkan oleh penulis, terletak di akhir acara, sebelum menuju acara
101 puncak. Kira-kira ada waktu sekitaran 2-3 jam lagi, meraka akan tampil. Di tengah terik matahari pagi menjelang siang, mereka cukup bersabar ketika menanti giliran maju.
Pasalnya, ada beberapa pentas kesenian yang akan tampil terlebih dahulu. Di awali dengan Tari Jamparing Apsari, acara puncak serentaun dimulai. Tari Jamparing Apsari merupakan tarian yang diperagakan oleh tiga pemudi cantik bak pengatin dengan membawa busur dan panah, dengan bernari-nari manja. Ribuan mata para penonton melihat tiap pentas kesenian yang ditampilkan. Setelah Tari Jamparing Apsari, ada beberapa kesenian yang sudah ditampilkan, tapi akan ditampilkan kembali, seperti Angklung
Kanekes, Angklung Buncis, dan Tari Kaulinan Barudak Lembur.
Namun, ada tarian yang sebelumnya belum pernah ditampilkan, yaitu
Tari Buyung. Tari Buyung merupakan tari buatan Ratu Emelia, istri dari
Pangeran Djati Kusuma. Yang menarik dari Tari Buyung, ia menceritakan kehidupan masyarakat cigugur zaman dahulu saat pengambilan air di
Balong Dalem, sebelum ada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), atau mesin air. Berjumlah sekitar puluhan, yang di atas kepala penari terdapat sebuah kendi, kemudian mereka menari dengan gemolek. Selain itu, mereka juga menari di atas kendi serasa sedang berdiri di atas tanah biasa.
Setelah semua rangkaian kesenian selesai, secara bertahap empat formatur barisan orang-orang yang sejak pagi membawa hasil bumi maju ke depan. Pengaman sempat kualahan saat acara ini sedang dilaksanakan, lantaran setiap detik penonton semakin maju ke depan. Dua pemudi dan satu pemuda mewakili tiap barisan untuk memberikan hasil bumi secara
102 simbolis kepada Pangeran Djati Kusuma. Setelah serah-terima hasil bumi selesai, barisan kemudian secara bertahap menuju Taman Sari.
Pasca acara ini, kemudian dilanjutkan sambutan oleh pemerintah daerah. Tampaknya, antusiasme penonton sudah beranjak. Mereka tidak mempedulikan apa yang dibicarakan oleh pemerintah daerah. Penonton tertuju pada Taman Sari Paseban, tempat diadakan acara berikutnya.
Dengan penjagaan ketat, Taman Sari sudah dijaga oleh pihak keamanan.
Pihak keamanan memakai pakaian bak pengawal dari kerajaan.
Setelah sambutan, para tamu undangan kemudian memasuki Taman
Sari Paseban dengan pengawalan ketat dari pihak keamanan. Baru setalah penumbukan padi di lesung secara simbolis dilakukan oleh Pangeran Djati
Kusuma, dan beliau kembali memasuki gedung Paseban, Taman Sari kemudian dibuka untuk umum. Banyak dari masyarakat yang berebut bahan-bahan pangan yang sebelumnya dijadikan simbol. Tapi, ada juga masyarakat yang langsung ikut berpartisipasi menumbuk padi di lesung.
Lesung berukuran
memanjang yang sudah berisi
padi, kemudian ditumbuk secara
beramai-ramai hingga kerap kali
menimbulkan suara yang sudah
jarang terdengar. Masyarakat
menumbuk padi dengan cara 5. Numbuk Padi memutari lesung. Bagi masyarakat yang sudah capek, masih banyak masyarakat yang menunggu giliran numbuk. Memang tidak mudah untuk menyelesaikan penumbukan padi sebanyak 22 kwintal. Padi 20 kwintal
103
yang sudah disiapkan oleh panitia, dan 2 kwintal lagi dari masyarakat yang
mengikuti prosesi Ngajayak.
Beberapa panitia, ada yang sibuk memunguti bulir-bulir padi yang
jatuh akibat prosesi penumbukan, ada pula yang memasukan dan
mengelurkan padi dari karung. Sedangkan komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan yang lain, yang memiliki tanggung jawab di luar acara
penumbukan dengan nikmat sedang menyantap tumpeng yang dibawah
oleh barisan ibu-ibu Ngajayak. Hingga sore, tepatnya pukul 16.00 WIB,
hanya tinggal ibu-ibu lansia yang sedang menumbuk di lesung.
Setiap masyarakat yang telah selesai dari acara penumbukan, banyak
di antaranya yang membawa dahan bekas tumbukan. Dahan tersebut
diperca dapat memberikan berkah bagi orang yang membawannya. Bahkan,
ada juga masyarakat yang membawa secara utuh dahan padi yang belum
ditumbuk. Dahan-dahan padi tersebut, biasannya banyak terpampang di
ruang tamu mayarakat Cigugur setiap kali penulis bertamu. Secara simbolis,
dahan padi tersebut dipercaya sebagai simbolisasi bibit-bibit berkualitas
pada kehidupan. Calon-calon yang akan membangun rumah tangga, dan
anak yang diharapkan lebih baik. Sebab genarasi yang akan datang
tergantung dengan tatanan sebelum lahir.148
Acara penumbukan merupakan acara inti dari prosesi acara serentaun.
Dulu saat serentaun masih dilarang oleh pemerintah, Pangeran Djati
Kusuma mengganti acara serentaun ini, dengan mencekin “mengupas” bulir
padi menggunakan tangan selama 20 hari.149 Biasannya dilakukan sejak
terbenamnya matahari, dengan jumlah bulir padi yang dikupas sebanyak
148 Wawancara dengan Bapak Kento, 20, November 2015 149 Wawancara dengan Dewi Kanti, 11, Oktober, 2015
104
mungkin. Meski kini acara serentaun telah mendapat lampu hijau dari
pemerintah, akantetapi, pada tahun 2015, atau dalam hitungan tahun Saka
Sunda yang berarti 1948, Pangeran Djati Kusuma kembali mengintruksikan
kepada anaknya, Ratu Dewi Kanti berserta Suami, Okky Satrio, untuk
kembali mengupasi bulir padi sebanyak 20 biji setiap malam selama acara
serentaun berlangsung.
B. Ketersediaan Simbol Pangan dan Artinya dalam Upacara Serentaun
1. Ketersediaan Simbol Pangan dalam Upacara Serentaun
Upacara serentaun, dalam pelaksanaanya banyak megunakan simbol-
simbol pangan. Simbol pangan merupakan hasil-hasil pertanian yang dalam
fungsinya digunakan untuk asupan pangan masyarakat. Simbol-simbol pangan
dalam upacara serentaun didapatkan dari partisipasi masyarakat Komunitas
masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Bapak Kento mencoba merinci dari mana saja sebenarnya simbol- simbol pangan dalam upacara serentaun didapatkan. “Ada tiga sumber simbol pangan didapatkan, pertama, masyarakat berpartisipasi dalam bentuk uang, kemudian panitia serentaun membelikannya. Kedua, masyarakat menanam, yang memang diniatkan untuk diberikan pada acara serentaun. Meski masa panen telah tiba, masyarakat sengaja tidak memanennya, seperti ubi-ubian besar yang terpampang di tiap pojokan pintu. Ketiga, murni dari hasil panen masyarakat.”150 Apabila dikalkulasi antara simbol pangan yang dihasilkan oleh masyarakat
dan diberi oleh panitia perbandingnya cukup tinggi. Yakni, sekitar 70% dihasilkan
dengan membeli dan 30% dihasilkan dari masyarakat. Dulu simbol-simbol pangan
tersebut memang banyak dihasilkan dari masyarakat, khususnya wilayah Cigugur,
150 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
105
tapi mulai dari tahun 2010, ada sebuah pergeseran.151 Kebutuhan terhadap simbol-
simbol upacara serentaun harus didapatkan dengan cara membeli, bahkan harus
mencari hingga ke luar kota.
Ketika simbol-simbol pangan tersebut didapatkan dengan cara membeli,
maka yang akan timbul adalah simbol-simbol pangan tersebut tidak dapat
dipastikan kealamihannya. Rama Gumirat Barna Alam mengakui bahwa simbol-
simbol yang digunakan dalam upacara serentaun tidak semuannya alami. “Ada di
antarannya yang sudah menggunkan kimiawi. Buah-buahan, banyak yang sudah
mengenakan kimiawi, tapi kalau singkong, ubi jalar, ketela pohon, talas, masih
alami.” Meski semisal singkong, ubi jalar, ketela pohon, talas yang didapatkan
dengan cara membeli sekalipun, biasanya dibeli dari masyarayakat Adat Sunda
Wiwitan sendiri yang sengaja menanam, yang diperuntukan agar dibeli oleh
panitia serentaun.
Secara geografis, simbol-simbol pangan bukan saja bersumber dari daerah
Cigugur atau lebih luasnya Kota Kuningan, banyak di antaranya didapatkan dari
beberapa kota di daerah Jawa Barat. Ketidaktersediaan simbol pangan di kota
Kuningan, membuat komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan mencarinya
hingga ke luar kota. Padi pareranggean misalnya sebagai simbol yang sangat
dominan dalam upacara serentaun didapatkan dari kota Garut.
Dengan ini, maka persiapan serentaun dari jauh-jauh hari menjadi logis.
Karena, secara pemasangan simbol-simbol pangan sendiri di Taman Sari dan
Gedung Paseban baru berlangsung sekitar tiga hari menjelang upacara. Bahkan,
untuk persiapan simbol secara gerombolan yang berada di taman sari, baru
dipasang saat acara prosesi serentaun sedang berlangsung.
151 Wawancara dengan Okky Satrio, 10, November, 2015
106
Ada tiga penyebab yang ditemukan
oleh penulis, mengapa simbol-simbol
pangan tersebut sulit didapatkan, atau
setidaknya gampang didapat, tapi harus
dengan membeli. Pertama, faktor alam
sekitar yang tidak mendukung untuk
tumbuhnya bahan-bahan pangan yang
dibutuhkan untuk simbol upacara 6. Pemasangan simbol pangan serentaun.152 Sebagaimana dikuatkan oleh
Bapak Kento, Padi Pareranggean yang banyak macamnya seperti Rojolele, Gepe,
Mayor Jambon, dan lain sebagainya itu hanya tumbuh di dataran tinggi yang
dingin sebagaimana di Garut mislanya. Dulu di Cigugur banyak yang menanam
Padi Pareranggean, hingga berakibat sangat terkenalnya beras Cigugur di
wilayah Jawa Barat.153
Kedua, karena program pemerintah dalam mengejar peningkatan hasil
produksi beras. Sebagaimana dikeluhkan oleh Bapak Kento ketika mencoba
merefleksikan bagaimana simbol-simbol pangan dalam upacara serentaun
didapatkan;
“Dulu, dalam keseharian masyarakat, masyarakat dapat menenam dan mengkonsumsi padi pareranggean, bukan hanya untuk upacara. Tapi, kemudian dalam perkembangannya, dengan program pemerintah dalam mengejar peningkatan hasil produksi beras. Yang biasa disebut dengan Peningkatan Produksi Hasil Beras Nasional (PPHBN), sehingga litbang pertanian kemudian mengadakan percobaan-percobaan dengan pola hibrida. Bagaimana memperpendek usia panen yang biasanya kalau padi pareranggean
152 Wawancara dengan Bapak Yayan, 10, November, 2015 153 Wawancara dengan Bapak Kento, 20, November 2015
107
dalam satu tahun, dua kali panen, tapi kalau dengan bibit hibrida sampai empat kali panen. Selain itu, kendala menanam padi pareranggean juga selalu menjadi incaran hama, terutama burung. Karena umur panennya yang lama, di saat padi jenis lain sudah panen, padi pareranggean belum. Maka terjadilah konsentrasi hama. Dampaknya kini, masyakarat di Cigugur sendiri sudah jarang menanam padi jenis pareranggean, makannya kita untuk upacara serentaun mencari sampai Garut.154 Sejak saat masa orde baru dengan program revolusi hijau, secara bertahap kemudian orang- orang di Cigugur menjelang serentaun yang dibawa sekarang adalah uang, kalau dulu masyarakat masih membawa padi untuk diserahkan kepada panitia serentaun. Padi pareranggean yang berasal dari garut didapatkan dengan menghubungi
7. Masyarakat adat Sunda Wiwitan di salahsatu masyarakat Sunda Cigugur pada tahun 2015 kembali menenam padi pareranggean. Wiwitan yang biasa memborong padi para petani Garut. Sumbernya dari mana saja, baik itu petaninya Sunda Wiwitan, atau bukan sama sekali. Dengan begitu sulit dipastikan, apakah padi tersebut ditanam melalui bantuan bahan-bahan kimiawi atau tidak. Kembali lagi kepada kesadaran petani tersebut. Saya contohnya, mulai tahun ini akan menanam padi jenis padi pareranggean di Cibunut seluas satu hektar. Dengan kondisi tanah yang selama ini telah rusak akibat sistem pertanaman yang menggunakan bahan-bahan kimiawi, tentu saya dalam menenam padi pareranggean juga tidak serta merta
154 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
108
langsung organik. Tapi, secara bertahap dengan mengurangi takaran pupuk kimiawi dengan pupuk organik terlebih dahulu. Sebenarnya semuanya itu kembali lagi kepada pola pikir masyarakat kita. Kalau sekarang teralalu banyak orang yang memandang instan. Masalah pupuk misalnya, kalau oraganik itu kan butuh beberapa kilo kotoran hewan untuk diprementasi dan membutuhkan banyak waktu, sekarang orang tidak mau capek dengan laku demikian. Mereka lebih memilih pupuk kimiawi yang cukup dengan tiga kilo sudah dapat menghidupi tanaman. Apalagi jika ditambah dengan keterbatasan alat pemotong padi tradisional (ani-ani) yang digunakan untuk memanen padi pareranggean, bagi petani sulit untuk mendapatkannya. Meski harga jual padi pareranggean itu lebih mahal daripada jenis hibrida dengan selisih dua puluh ribu rupiah tidak menggoyahkan petani. Yakni padi pareranggean sekilo bisa sampai tujuh puluh ribu, sedangkan jenis hibrida hanya lima puluh ribu rupiah.” 155 Sedangkan yang ketiga disebabkan karena pelarangan upacara serentaun
selama 17 tahun dan lebih luasnya karena pelarangan ajaran Ki yai Madrais itu
sendiri. Dampak dari pelarangan upacara serentaun selama 17 tahun, sudah
dijelaskan oleh penulis dalam bagian tulisan di atas, saat mewancarai Ratu
Djuwita. Akan tetapi, secara lebih luas yaitu tentang pelarangan Ajaran Ki yai
Madrais sendiri belum dipaparkan oleh penulis. Awalnya, penulis memandang
seakan penyebab ini melenceng dari kelangkahan simbol pangan. Akan tetapi,
penulis mencoba secara utuh untuk merekam realitas yang terjadi di lapangan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab III, penyebab dari penolakan dari
ajaran Ki yai Madrais adalah politik pemecah belah Belanda (devide et impera),
hingga sampai sekarang pasca kemerdekaan, persoalaan ini tidak berdiri tunggal
dalam memberi dampak. Kebebasan beragama dalam bernegara misalnya, tapi
155 Wawancara dengan Bapak Kento, 20, November 2015
109
juga pada ketersediaan simbol pangan dalam upacara serentaun. Okky Satrio saat
meminum kopi bersama penulis memaparkan;156
“Kamu tahu, apa yang selama ini terjadi pada masyarakat di sini? Saya, dan istri tidak memiliki akta nikah, kalau saya sih cuek, toh persoaaln sepele, kalau kamu mau tahu apa yang dialami oleh saya, belum seberapa dibanding dengan apa yang dialami oleh masyarakat di sini. Saat baru lahir, persis di belakang rumah saya, keluarga saya dibunuh, disangka komunis. Tapi, yan, saya dan istri saya di sini akan terus berjuang untuk masyarakat Sunda Wiwitan. Mereka sulit untuk mendapatkan akta nikah, sehingga berujung ketika memiliki anak, si anak sulit memiliki akta lahir. Dan akhirnya sulit untuk mendapatakan akses (ekonomi-politik-budaya-sosial) untuk kehidupan dirinya. Kalau saya melihat, masyarakat adat Sunda Wiwitan menuntut persoalaan ini untuk segera diselesaikan. Karena kita menyadari, kita bukan masyarakat adat yang ada di pedalaman sana yang tanpa hak- hak politik dari negara sekalipun, mereka masih bisa hidup. Sedangkan kita di sini, berada di tengah kota. Yang sesuatunya, pasti harus dijalankan melalui administratif negara. Bagaimana kita dapat hidup sejahterah, bila akses untuk menggapainya saja dipersulit. Bagaimana kita dapat menanam pangan untuk simbol upacara serentaun tahun misalnya, tapi kita di sisi lain tidak memiliki akses. Coba kamu pelajarin, sebelum kemerdekaan bahkan setelah kemerdekaan sekalipun, berapa kali masyarakat adat Sunda Wiwitan yang keluar masuk agama versi negara. Apa kamu kira ketika mereka keluar masuk agama lain itu tidak merubah pola mikir mereka tentang pangan, sehingga mempengaruhi sumber daya pangan yang mereka miliki. Atau apa kamu kira, ketika orang-orang didiskriminasi secara stuktur seperti itu masih juga terpikirkan sumber daya pangan? Ketika ajaran adat terus-menerus terkuliti oleh proses tersebut, maka jangan heran, bila sekarang untuk mencari simbol pangan saja yang
156 Wawancara dengan Okky Satrio, 1, Febuari, 2015
110
digunakan dalam upacara serentaun bisa dikatakan sulit. Lah, terus mau ngandelin apa, sumber daya pangannya saja sudah tidak ada. ” Apa yang dikatakan oleh Okky Satrio di atas, seolah melerai benang kusut
yang ada di otak penulis selama kini. Di tengah kebimbangan, bagaimana
mungkin merayakan serentaun dengan dalih masyarakat agraris dengan
bermegah-megahan di tengah simbol-simbol pangannya saja sulit untuk dicari.
Hingga pada level dimana penulis terheran-heran dengan jumlah pengeluaran
uang yang sangat tinggi untuk upacara serentaun, sekitar delapan puluh enam juta
rupiah.
Sejumlah pertanyaan, kemudian berangsur-angsur terpecahkan. Bahwa
keberadaan atas simbol yang digunakan dalam upacara serentaun itu sendiri tidak
berada di ruang kedap sejarah. Sejarah tentang masa penjahahan hingga masa
kemerdekaan sekarang, menjadi jawaban atas kelangkahan simbol-simbol pangan
yang digunakan dalam acara ritual serentaun. Jika sudah dipastikan betapa sulit
mendapatkan simbol-simbol pangan, maka sudah dapat dipastikan seberapa kuat
sistem pangan komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan itu sendiri. Lantas apa
sebenaranya arti atas simbol-simbol tersebut, sehingga masih saja dipertahankan
dalam upacara serentaun.
2. Arti Simbol Pangan dalam Upacara Serentaun
Dalam setiap rangkaian upacara serentaun, hingga beranjak pada acara
puncak, tidak semuannya menggunakan simbol pangan. Simbol pangan didapati
pada acara doa bersama para tokoh agama tertanggal 5 oktober atau 21 Raya
Agung, malam hari menjelang acara puncak. Dan pada acara puncak pada tanggal
6 oktober atau 22 Raya Agung.
Sedangkan, jika ditilik dalam letak penempatan simbol-simbol pangan, kita
dapat melihatnya di sekitaran Gedung Paseban, yakni ruang Jinem, Pendopo, dan
111
di luar gedung Paseban, yakni di Taman Sari. Secara penempatan, simbol-simbol
pangan diletakan di setiap tiang dan samping-samping pintu. Secara bergerombol,
simbol-simbol pangan dapat dilihat di dua tempat; di sebelah timur taman sari
paseban, atau persisnya di tempat acara numbuk padi pada acara puncak, dan di
tempat acara berdoa bersama, ruang Jinem.
8 Simbol Pangan Bergerombol di Taman Sari 9 Simbol Pangan Bergerombol di Ruang Paseban Jinem
Adapun simbol-simbol pangan yang terpampang berupa;
1. Padi
2. Palawija yang meliputi; Jagung, Sorghum, Kacang Hijau, Kacang
Tunggak, Kedelai, Singkong, Kentang, Ubi, Wortel, Talas, Mentimun,
Kacang Panjang, Mentimun, Terong, dan Tebu.
3. Buah-buahan, yang meliputi; Kelapa, Jeruk, Mangga, Nagka, Jambu
Air, Jambu Biji, Apel, Tomat, Sirsak, Delima, Pepaya, Anggur, Sukun,
Semangka, Jeruk, Salak, Nanas, Bengkuang, Manggis, Alpokat,
Belimbing, Blewah, Mentimun, Labuh.
Tidak semua simbol-simbol pangan terpampang ditempatkan di setiap tiang
dan samping-samping pintu. Yang ditempatkan di tiang dan samping-samping
pintu berupa; Pisang, Kelapa untuk jenis buah-buahan dan untuk palawija berupa
112
Singkong dan Ubi yang memiliki bentuk yang besar. Sedangkan simbol-simbol pangan lainnya ditempatkan secara bergerombol di dua tempat, ruang yang dijadikan acara numbuk padi, dan di ruang Jinem.
Dalam upacara serentaun, Padi
merupakan simbol utama di antara jenis
simbol-simbol pangan yang lain. Di lihat
dari setiap acara yang dilakukan dalam
upacara serentaun, acara yang
menggunakan simbol padi cukup banyak.
Pertama, acara Ngareremokeun, atau biasa
disebut dengan acara menikahkan benih
padi jantan dengan benih padi betina. 10.Simbol pangan yang terpampang di tiang Kedua, acara Ngajayak, atau bisa disebut dengan acara penjemputan padi kepada ketua adat. Ketiga, acara penumbukan padi yang dilakukan pasca acara Ngajayak saat acara puncak. Berbeda dengan keberadaan simbol pangan lain, yang tidak direpresentasikan secara khusus dalam acara.
Selain itu, jika di lihat dari perbandingan antara jumlah simbol pangan, kebutuhan serentaun atas padi paling banyak, yaitu 22 kwintal. Sedangkan yang lain masih dapat di hitung dengan jari. Bilangan 22 kwintal ini mengikuti tanggal upacara puncak serentaun itu sendiri, yakni 22 Raya Agung dalam hitungan tahun
Saka Sunda. Rama Gumirat Barna Alam menyebutkan, bahwa bilangan 22 memiliki arti yang melingkupi;
Bilangan 20 sebagai perwakilan wujud dari keutuhan fisik manusia. Yang terdiri dari: 1. darah, 2. daging, 3. bulu, 4. urat, 5. rambut, 6. kulit, 7. kuku, 8. empedu, 9. paru, 10. hati, 11. limpa, 12.
113
maras, 13. otak, 14. tulang, 15. sumsum, 16. lemak, 17. jantung. 18. usus. 19. ginjal dan 20. lambung. Di mana dari sekian organ tubuh manusia ini dapat berfungsi dengan sendirinnya, tanpa harus kita kendalikan. Dapat diambil pengertian bahwa kita sebagai manusia harus tunduk pada hukum kondrati. Ketika kita tunduk pada hukum adikodrati maka kita akan dapat menyempurnakan kedua sifat yang ada di dunia ini. Dua sifat tersebut adalah representasi dari bilangan 2, yang artinya di kehidupan dunia ini hanya ada siang dan malam, suka duka, baik buruk, laki-perempuan, dan seterusnya.157 Dan ditambah dengan,
kebutuhan simbol padi dalam acara
serentaun hanya boleh menggunakan
Padi Pareranggean, atau padi jenis
varietas lama, juga kian memberi
daftar panjang pandangan bahwa
simbol padi menempati posisi utama
dalam kacamata komunitas
11. Padi Pareranggean masyarakat adat Sunda Wiwitan. Bagi
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan, bentuk simbol padi pareranggean
sendiri memiliki arti yang sangat filosofis. Bulir-bulir padi pareranggean yang
kuat dan runut pada dahan-dahannya, memiliki arti bahwa hakikat dari manusia di
lahirkan di bumi ini itu memiliki silsilah yang runut.158
Oleh karena manusia memiliki silsilah, maka dari itu manusia harus paham
akan silsilah cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa sebagai landasan bagaimana
mereka hidup. Cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa ini yang kemudian bagi
penulis akan dijadikan landasan karakteristik untuk melihat bagaimana komunitas
157 Wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 11, November, 2015 158 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
114
masyarakat adat Sunda Wiwitan memberikan arti simbol pangan dalam upacara
serentaun secara mendalam, tidak hanya terfokus pada padi semata. Dengan
maksud agar penggalian arti simbol, tidak terjebak pada jawaban yang bersifat
logos. Yaitu, tanpa memperhatikan sejarah, pengalaman, stuktur dalam komunitas
masyarakat adat Sunda Wiwitan itu sendiri.
a. Simbol Pangan dan Cara-Ciri Manusia
Meski simbol padi menempati posisi penting dalam upacara
serentaun, bukan berarti simbol pangan yang lainnya sebatas menjadi
pernak-pernik belaka. Betapa penting simbol padi, berangkat dari apa yang
selama ini menjadi makanan pokok bagi komunitas masyarakat adat Sunda
Wiwitan. Sebagaimana dikatakan oleh pelakasana tugas Tari Pwah Aci,
Ratu Djuwita.159 “Karena padi merupakan makanan pokok dari kita, ya
sampai saat ini masih padi yang digunakan sebagai perlambang. Mungkin
karena saat ini makanan pokoknya masih padi, mungkin kalau gandum,
bisa saja kita simbolkan,” katanya tegas.
Simbol-simbol pangan yang lain, dan termasuk padi, dalam kacamata
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan dipandang sebagai Roh Hurip
Tanah Pakumpulan. Kata “Roh Hurip Tanah Pakumpulan” sering disebut-
sebut oleh moderator tiap kali ada pagelaran acara dalam serentaun, dengan
iringan musik yang berasal dari Goong Renteng, kecapi, dan Gamelan
Kuningan. Roh Hurip Tanah Pakumpulan adalah suatu ciptaan Gusti
Sikang Sawiji-wiji atau Tuhan yang dapat menyokong kehidupan manusia,
termasuk di dalamnya adalah pangan “tumbuhan dan binatang”.160
159 Wawancara dengan Djuwita, 29, Januari, 2015 160 Gumilang, Op. Cit., hal. 29
115
Komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan mempercayai bahwa
pangan tersebut memiliki karakter dan dapat mempengaruhi manusia ketika
dikonsumsi. Sebagaimana Bapak Kento menyebutkan;161
“Di dalam pemahaman kita, ada tiga macam kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan, ada hidup nabati, hewani dan insani. Dalam visualiasi ini yang harus kita cermati, dan waspadai adalah selama ini kita ditunjang oleh kehidupan hewani dan nabati. Sedangkan yang harus kita waspadai, di setiap kehidupan itu memiliki karakter. Kita manusia, sebagai makhluk paling sempurna, harus mampu menyempurnakan, jangan sampai terpengaruh oleh sifat-sifat dasar hidup nabati dan hewani. Yang hanya berdasarkan insting, tanpa menilik benar-dan salah, sebagaimana dimiliki oleh tumbuhan dan hewan. Nabati bersifat pasif dan hewani bersifat aktif.” pungkasnya. Sebagaimana dikatakan oleh Bapak Kento, dalam pandangan
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan, selain pangan atau Roh Hurip
Tanah Pakumlan dapat menunjang hidup manusia, ia juga dapat
memberikan pengaruh terhadap karakter manusia. Standar ganda yang
dimiliki oleh pangan tersebut dipengaruhi oleh dzat hidup yang di bawah
olehnya. Karakter, dzat hidup atau sifat yang ada di setiap Roh Hurip Tanah
Pakumpulan inilah yang kemudian disebut oleh komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan sebagai Acina Hurip.
Standar ganda yang dimaksud oleh penulis meliputi, pertama, pangan
yang memberikan kehidupan bagi manusia yang diakibatkan Acina Hurip,
dibuktikan oleh Okky Satrio melalui ilustrasi puasa. Ia seolah ingin
mengajak penulis untuk menarik persoalaan yang sangat abstrak kepada
161 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
116
persoalan yang dialami oleh penulis. Dengan sedikit sindiran, bahwa
penulis itu tidak percaya akan mitos, berpikir liar.
“Kalau kamu puasa, pasti ketika siang kamu udah lemes, saat berbuka puasa, baru minum teh dan singkong, terus kamu langsung seger, pusingnya hilang. Kemudian pertanyaanya, yang membuat kamu seger apa, makanan? Bohong. Karena motabolisme tubuh itu tiga setengah jam. Yang membuat seger kamu itu adalah Acina Hurip yang ada dalam setiap makanan dan minuman yang kamu konsumsi. Kalau orang Jepang bilang “Khi”, orang China bilang “Chi”. Orang Cina menggambarkannya dengan naiknya uap di atas lautan, orang Jepang menggambarkannya dengan uap nasi. Itulah Inti, yang ada dari setiap makanan yang dikonsumsi,”162 pungkasnya mencoba memberikan ilustrasi agar mudah dicerna akal. Berbeda dengan Kang Okky yang menjawab pertanyaan penulis
melalui pendekatan manusia dengan pangan an sich, Bapak Kento
menyodorkan jawaban melalui pendekatan antara manusia, Tuhan dan
pangan. Sebagai seorang sesepuh adat yang memang sangat dekat dengan
laku tirakat, agaknya itu cukup mempengaruhi cara berpikirnya. Ia
menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan manusia terlebih dahulu,
kemudian digiring kepada simbol pangan.
“Di sini yang harus kita sadari, bahwa Tuhan itu sangat abstrak, yang konkrit adalah hasil karyanya. Sehingga dalam hal ini, patut yang kita lakukan adalah bagaimana mengahargai hasil karya sang pencipta. Memang yang menanam itu adalah manusia, tapi untuk mengisi bulirnya, manisnya, sehatnya, dan berhasilnya itu di luar kempuan kita. Bagaimana kita dapat membangun hubungan kita dengan alam, dengan antar manusia. Bagaimana kita dapat membangun alam ini agar
162 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015
117
dapat selaras dan seimbang. Dan menjadi jalan kesejahteraan untuk kita semua,”163 ucap Bapak Kento. Kedua, selain Acina Hurip dapat menunjang kehidupan manusia, ia
juga berdampak untuk mempengaruhi sifat insani manusia. Lantaran ia
membawa sifat hewani dan insani. Ketika karakter hewani itu mendominasi
sifat manusia, maka sifat insani manusia berubah bak hewan yang
dimakannya. Begitupun ketika manusia memakan tumbuhan, tapi ia tidak
dapat menyempurnakannya, maka ia akan sangat pasif.
Ratu Djuwita mengilustrasikan, bagaimana Acina Hurip dalam
pangan tersebut dapat mempengaruhi karakteristik manusia. “Apa yang kita
makan, apa yang kita minum, apa yang kita dengar, apa yang kita lihat,
jangan sampai mempengaruhi diri kita. Kita makan kambing, tapi kelakuan
jangan seperti kambing, kita makan cabai tapi ngomong jangan pedes,”
pungkasnya memberi contoh.164
Sama halnya dengan Okky Satrio yang merupakan adik ipar dari Ratu
Djuwita, juga mengemukakan hal serupa. Tapi ia lebih kepada berbagi
pengalaman pribadi yang sifatnya sangat personal. Ia pernah bercerita
tentang bagaimana ia dapat merasakan penderitaan dari hasil buruan dari
hutan yang dibunuh dengan cara ditombak ketika ia memakan dagingya.
Seketika itupun juga, ia merasa apa yang diderita oleh binatang tersebut
dirasakan oleh tubuhnya. Ia berani memakan daging tersebut, lantaran ia
tidak mengetahui, alias dikerjai oleh kawannya.
“Kalau kamu, sering meditasi, kamu bisa merasakan saat kamu makan satu gigit saja, apakah daging hasil buruan tersebut dibunuh karena dikeroyok oleh anjing, atau ditembak.
163 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015 164 Wawancara dengan Djuwita, 29, Januari, 2015
118
Maka akan berdampak langsung pada tubuh kamu. Karena apa? di saat hewan itu mati, inikan hewani, mereka memiliki jiwa. Kalau kamu menggunakan perspektif Islam, mestinya kamu harus bismillah dulu, harus disepurnain dulu. Dia tidak setuju, jika mati dengan dikeroyok, atau ditembak misalkan.165 Di tengah sifat pangan yang memiliki standar ganda, kemudian, yang
harus ditekankan adalah bagaimana manusia itu dapat menyempurnakan
apa yang didapati dari pangan untuk dikembalikan kepada Gusti Sikang
Sawiji-wiji. Sebagai dzat yang memiliki kuasa atas kehidupan ini. Dalam
proses penyempurnaan ini yang kemudian diajarkan oleh Ki yai Madrais
dengan sebuatan “Anjawat lan anjawat roh susun-susun kangden tunda”.166
Yang artinya, menyaring dan menyempurnakan rangkaian getaran, roh-roh
yang bertumpuk di badan kita.
Okky Satrio menjelaskan;167
“Yang dimaksud dengan Anjawat lan anjawat roh susun- susun kangden tunda itu sebuah rangkaian keinginan yang disempurnakan. Agar supaya karakter yang keluar adalah karakter kemanusiaan. Kenapa harus disempurnakan, karena kita sebagai manusia seringkali terkecoh oleh indra kita. Makannya di sini tidak mempersoalkan Royyan yang senang minum kopi, Ardi senangnya minumnya susu. Di tempat lain, mungkin dipersoalkan. Karena di sini, mereka semua lebih mempersoalkan, yang dibutuhkan oleh manusia itu adalah H2o. Kamu seneng kopi karena campurannya, itukan cuma panca indera. Kita sering mempersolakan sesuatu karena indra kita. Kita sering mempersoalkan sesuatu karena kecerdasan sukma kita.
165 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015 166 “Anjawat lan anjawat roh susun-susun kangden tunda” di beberapa refrensi disebut sebagai latar belakang dari sebutan nama Agama Djawa Sunda, atau sering disebut dengan ADS. Baca, Anas Saidi, et al., “Menekuk Agama Membangun Tahta; Kebijakan Agama Orde Baru”, Depok, Desantara, 2004, hal. 307 167 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015
119
Sebagaimana yang sudah dicontohkan dari daging hasil pemburuan di atas. Karena hewan yang dibunuh memiliki jiwa, sedangkan jiwa itu muncul dari keinginan yang terus menumpuk. Maka ketika daging itu dimakan oleh manusia, dan manusia tidak dapat menyempurnakannya, maka yang akan terjadi adalah berubahnya karakter insani manusia itu sendiri. Bukan hanya pangan yang bentuk hewani saja, tumbuhanpun demikian, intinya semua yang termasuk dalam “Roh Hurip Tanah
Pakumpulan”.
Manusia akan teruji dalam memilih dan menyaring pengaruh yang ditimbulkan oleh berbagai sifat yang mempengaruhi hidup dan kehidupannya. Sifat yang baik diangkat ke taraf kemanusiaan sejati sedangkan sifat kurang baik harus diolah, disempurnakan sebelum diangkat ke taraf kemanusiaan sejati. Taraf kemanusiaan sejati inilah yang diberi nama Pwah Aci. Selain sebagai leluhur, bagi komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan Pwah Aci juga diungkap sebagai gambaran ideal dari sifat kemanusiaan sejati.
Pwah Aci bagi komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan, bukan sebagai dewa layaknya sebutan yang sering dikonotasikan padanya. Karena pemahaman Siwaisme di nusantara berbeda dengan pemahaman Siwaisme di india. Kalau di india siwaisme sebagai Shidanta, atau Dewa, sedangkan kalau di nusantara Siwa sebagai Lingga. Yakni, Siwa sebagai seorang leluhur yang diagungkan oleh manusia. Di cerita-cerita wayang kemudian di ceritakan, Dewi Sri menikah dengan Dewa Wisnu. Dewi Sri di sini adalah Pwah Aci, sedangkan Dewa Wisnu adalah seorang suami Pwah Aci bernama Warman. Sebuatan Dewa ini muncul, lantaran Warman
120
merupakan pelarian pertama dari India, Palawa, dan Warman sendiri
memiliki arti pemuja Waisnama, atau dewa Wisnu.168
Ketika manusia telah sampai pada tahap sifat kesejatian, maka
denganya ia akan dapat menyembah Tuhan melalui perlindungan dan
penghargaan terhadap segala ciptaanNya. Melalui simbol pangan,
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan, mengungkap adanya rantai
ketergantungan antara manusia, Tuhan, dan pangan. Dengan simbol dalam
upacara serentaun, diharapkan akan lahir rasa syukur kepada Gusti Kang
Sawiji-wiji.
Berbeda metode yang disampaikan oleh Okky Satrio saat
menggambarkan kesejatian manusia, Ratu Djuwita lebih melihat simbol-
simbol pangan yang terdapat dalam acara serentaun diartikan melalui dasar
ajaran. Ia mengartikan simbol-simbol pangan yang terpampang, yang
kemudian disandarkan kepada cara-cari manusia. Perbedaan ini, tentu akan
memiliki dampak signifikan terhadap cara pandang komunitas masyarakat
adat Sunda Wiwitan itu sendiri saat mengartikan simbol-simbol pangan.
Sebagaimana akan dijelaskan oleh penulis di dalam bagian tulisan
selanjutnya. Meski, demikian, cara pandang antara Okky Satrio dan Ratu
Djuwita, sejatinya memiliki maksud yang sama, yaitu simbol-simbol
pangan diartikan untuk mencapai kesejatiaan manusia.
“Cara-cari manusia berupa Welasasih, Undak-usuk, Tatakrama, Budi Daya, Budi Basa, Wiwaha Yudhana Raga. Apa artinya? Manusia pada dasarnya, memiliki rasa cinta kasih, kemudian manusia juga satu-satunya makhluk yang memiliki undak-usuk. Artinya, dia sadar siapa ibunya, siapa bapaknya, siapa neneknya, siapa kakeknya dan lain-lain, maka dari itu
168 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015
121
munculah tata krama, di makhluk lain tidak ada. Tata krama diaplikasikan melalui Prangai; Budi Daya, dan Budi Basa. Bagaimana kita bisa bertatakrama kepada yang lebih tua. Hal ini berguna untuk Wiwaha Yudhana Raga, mengusai nafsu, memerangi ego, dari manusia itu sendiri. Kalau manusia belum bisa menahan ego, nafsu, maka itu di luar cara-ciri manusia.”169 Cara-ciri manusia sebagai landasan ajaran bagi komunitas masyarakat
adat Sunda Wiwitan untuk menjalani kehidupan di bumi ini. Sebab,
sekarang banyak sekali manusia-manusia yang lupa. Sebagaimana
dikuatirkan oleh Bapak Kento selaku sesepu adat, “sekarang banyak sekali
illegal loging, eksploitasi sumber daya alam, atau hal-hal yang hanya
menuruti nafsu sesaat, mengejar untung sesaat, tanpa memikirkan
bagaimana dampak selanjutnya bagi generasi-generasi penerus. Inilah
contoh dari manusia yang mudah sekali dipengaruhi oleh sifat-sifat
keserakahan.”170
b. Simbol Pangan dan Cara-Ciri Bangsa
Selain cara-ciri manusia, dasar dari ajaran komunitas masyarakat adat
Sunda Wiwitan yang lain adalah cara-ciri bangsa. Cara-ciri bangsa ini, tentu
sangat berkaiatan erat dengan konteks ajaran Sunda Wiwitan yang dibawa
oleh Ki yai Madrais dulu. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh penulis pada
bab III, bagaimana penjajah merasa kuatir dengan ajaran Ki yai Madrais,
kemudian, penjajah dengan strategi politik adu domba dapat melemahkan
kelompok ajaran Ki yai Madrais. Dengan cara mengadu domba antara
ajaran Ki yai Madrais dengan ajaran agama yang lebih besar Indonesia
yaitu Islam dan Katholik.
169 Wawancara dengan Djuwita, 29, Januari, 2015 170 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
122
Sebagai landasan ajaran, cara-ciri bangsa kemudian diterjemahkan ke
dalam bentuk-bentuk nyata. Cara ciri bangsa meliputi, budaya, bahasa,
aksara, dan warna. Sebagaimana Ratu Djuwita menjelaskan, bagaimana
landasan ajaran tersebut berkerja.171
“Tuhan tidak menciptakan masing-masing manusia dengan
budaya, bahasa, warna, warna dan aksara, tanpa tujuan yang
diharapkan oleh sang pencipta. Saya menjadi orang Cigugur,
anaknya Pak Djati, orang Sunda, itu bukan kemauaan saya. Ada
tujuan yang diharapkan oleh Tuhan, itu bukan keinginan kita
loh. Akan tetapi sekarangkan banyak orang ingin inilah, ingin
itulah. Kalau kita orientasinnya ke sana, apa yang menjadi
tugas, harapan Tuhan, tidak akan tercapai.”
Landasan ajaran ini yang kemudian berpengaruh terhadap cara
pandang komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan dalam mengartikan
simbol-simbol pangan upacara serantuan. Beberapa pertanyaan kritis,
sering dilemparkan oleh penulis ketika menjalani riset ini. Penulis mencoba
mempertanyakan kaitan antara cara-ciri bangsa dengan simbol pangan di
tengah kemerdekaan Indonesia sekarang ini. Tapi, anehnya mereka selalu
mengembalikan pada cara-ciri manusia. Ada tiga versi, yang penulis
tangkap dari data, terkait bagaimana komunitas masyarakat adat Sunda
Wiwitan mengkaitkan antara cara-ciri bangsa dengan simbol pangan.
Pertama, komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan melihat simbol
pangan serentaun di tengah kemerdekaan Indonesia, yang lagi-lagi
dikaitkan dengan cara-ciri manusia. Kebanyakan data yang diperoleh
171 Wawancara dengan Djuwita, 29, Januari, 2015
123
penulis, terkait dengan ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Kento,
ketika penulis bertanya tentang cara-ciri kebangsaan untuk melihat simbol
di tengah kemerdekaan Indonesia sekarang.
“Ya, diri kita sendiri, agar dapat membentengi diri dari godaan-godaan dunia. Itu yang paling berbahaya, yang ada dalam diri kita sendiri setelah kemerdekaan. Di sini, dalam ciri- ciri bangsa, bagaimana kita dapat melihat manusia yang hanya berpikiran parsial, menjauhakan diri dari yang direncanakan oleh Tuhan. Guna memenuhi keserakahannya semata. Chevron misalnya, yang kemarin ingin datang ke sini. Merekakan, hanya memikirkan bagaimana dapat mencari untung semata, parsial”.172 Dengan cara pandang demikian, seolah cara-ciri bangsa untuk melihat
simbol pangan dalam upacara serentaun di tengah kemerdekaan sekarang
ini tak tampak. Adapun, cara-ciri bangsa terlihat, itupun hanya menjadi
dampak dari ketidak patuhan manusia terhadap cara-ciri manusia. Bagian
ini, selanjutnya akan dijelaskan oleh penulis pada bagian bab berikutnya.
Kedua, komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan, tidak melihat
adanya keterkaiatan antara cara-ciri bangsa dengan simbol pangan,
sebagaimana dijelaskan oleh Ratu Djuwita di atas. Cara-ciri bangsa hanya
terkait dengan budaya, bahasa, aksara, dan warna. Dan, kemudian
karakteristik cara-cari bangsa berguna untuk menunjang dengan cara-ciri
manusia semata.
Adapun menyentuh simbol pangan serentaun, komunitas masyarakat
adat Sunda Wiwitan biasanya mengkaitkan dengan upacara gegap gempita
upacara serentaun secara luas. Yakni, dengan dalih mempertahankan
172 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
124
budaya. Sebagaimana yang Bapak Kento ucapkan,173 “di sini, dalam ciri-
ciri bangsa, bagaimana kita dalam budaya ini dapat mengimplementasikan
sesuatu melalui tradisi. Dalam upacara serentaun merupakan visualisasi
dari kehidupan kesuburan masyarakat agraris, bagaimana masyarakat
agraris bersukur.”
Penulis memaparkan data berupa cara pandang komunitas masyarakat
adat Sunda Wiwitan dalam mengartikan simbol serentaun yang dikaitkan
dengan cara-ciri bangsa, dengan maksud untuk melihat apakah ada
perbedaan cara pandang di tengah konteks Indonesia yang telah merdeka.
Mengingat ajaran cara-ciri bangsa tersebut digunakan oleh Ki yai Madrais
ketika melawan penjajah, dan kini Indonesia telah merdeka. Dan bukankah
komunitas masyarakat adat Sunda Wiwitan sendiri mempercayai Ngidung
kajaman, ngabapa kawaktu. Ngabapak kajaman dan ngindung kawaktu.
Yang artinya, masyarakat Sunda Wiwitan siap dengan perubahan apapun,
tidak membebani sesuatu dengan dahulu kala.174
Meski demikian, ada beberapa komunitas masyakatat adat Sunda
Wiwitan yang lain yang mengartikan cara ciri bangsa secara lebih luas.
Mereka melihat cara-ciri bangsa sebagai pengembangan dari keesaan
Tuhan, bahwa kemaha agungan, kemaha besaran dalam cipta karsanya dan
keanekaragamanya dengan masing-masing menjaga dan melestarikan
hukum adi kondrati.175 Landasan ajaran cara-ciri bangsa yang diartikan
melalui hukum kodrati ini, yang kemudian dapat membedakan dengan
pandangan sebelumnya.
173 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015 174 Wawancara dengan Bapak Yayan, 10, November, 2015 175 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015
125
Mereka melihat adanya keterkaitan cara-cari bangsa dengan simbol
serentaun di tengah kemerdekaan sekarang, bahwa tidak semuanya pangan
memberikan Acina Hurip bagi masyarakat di suatu bangsa tertentu.
Salahsatu dari mereka adalah Okky Satrio. Ia menggambarkan
ketidakfungsian Acina Hurip dalam pangan ketika diapatkan dari negara
lain.
“Kalau kita makan beras dari Vietnam dan Thailand, itu susunan kesehatan kita berubah. Dia menyerap kandungan yang hanya cocok di Vietnam dan Thailand sana, tidak di sini. Makannya, sekarang banyak masyarakat yang penyakitnya aneh-aneh. Mengapa? Karena Acihnya beda.”176 Menyambut apa yang dikatakan oleh Okky Satrio, kemudian Dewi
Kanti selaku istri beliau, di waktu dan tempat berbeda menyatakan, bahwa
Acina Hurip terbentuk atas unsur tanah, air, angin dan api. Ketika tanah, air,
angin dan api di suatu negara membentuk Acina Hurip, kemudian
dikonsumsi oleh manusia di negara berbeda, sudah barang tentu tidak akan
cocok. Selain itu, beliau juga menyinggung tentang intervensi manusia
terhadap pangan. “Intervensi manusia atas bahan-bahan kimia terhadap
tumbuhan dapat mempengaruhi Acina Hurip dari tumbuhan itu sendiri.
Sudah barang tentu, ketika dikonsumsi oleh manusia, maka akan
berpengaruh terhadap sifat insani manusia,”177 pungkasnya.
Hukum adikodrati menjadi prasyarat –bukan hanya pada manusia,
tapi juga pada pangan yang dikonsumsi oleh manusia itu sendiri. Dengan
hukum adikotradi manusia akan hidup secara selaras dan seimbang dengan
Roh Hurip Tanah Pakumpulan, bak cita-cita dari kesejatian manusia dalam
176 Wawancara dengan Okky Satrio, 28, Januari, 2015 177 Wawancara dengan Dewi Kanti, 11, Oktober, 2015
126
cara-ciri manusia. Ketika keseimbangan terjadi, maka upaya-upaya untuk
menghantarkan Acina Hurip kepada Gusti Kang sawaji-wiji, akan terus
tercipta.
Untuk apa hanya memikirkan cara-ciri bangsa dalam hal ini
berkaiatan dengan simbol pangan, tapi di sisi lain kesejatian manusia itu
sendiri malah dilupakan. Bapak Kento menasihati, “Kedaulatan spritulitas
dan kedaulatan pangan, harus seimbang. Sebagaimna kita beribadah tanpa
ada pangan yang memadai, kita tidak bisa tenang. Juga, ketika kita hanya
memikirkan pangan, tanpa memikirkan spritualitas, maka tidak sempurna.
Kemudian, yang ada hanya kerakusan semata.”178
178 Wawancara dengan Bapak Kento, 6, Oktober, 2015
127