KAJIAN HUKUM PERSAINGAN TERHADAP PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI DALAM NEGERI (STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-I/2019)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

GABRIELA GEXIA SIHALOHO

170200209

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena anugerah-Nya dan kasih setia-Nya yang melimpah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Kajian Hukum Persaingan

Terhadap Pelanggaran Penetapan Harga Pada Jasa Angkutan Udara Niaga

Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri (Studi Kasus : Putusan

KPPU No. 15/KPPU-I/2019)”. Penulisan skripsi ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaikan pendidikan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak khususnya dalam bidang ilmu hukum.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang-orang yang penulis hormati dan cintai yang membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan skripsi ini.

Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Oloan Sihaloho dan Ibu Lince Natalia

yang selalu memberi semangat, doa, dukungan dan nasehat kepada

penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan sampai

saat ini;

i

Universitas Sumatera Utara 2. Saudara tersayang, Kakak Lydia Lionita Sihaloho dan Adik Nicholas

Nathalius Sihaloho yang juga memberikan semangat dan dukungan

agar penulis bisa menyelesaikan skripsi ini;

3. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Prof. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen

Penasehat Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara;

8. Bapak Prof. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Ketua Departemen

Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H selaku Sekretaris Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI selaku Dosen

Pembimbing I yang telah memberikan waktunya dengan memberikan

bimbingan, arahan, masukan dan motivasi yang sangat berguna kepada

penulis dalam menyusun skripsi ini;

ii

Universitas Sumatera Utara 11. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing

II yang juga telah meluangkan waktu, tenaga dam pemikiran dalam

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

12. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang selama ini menuntun dan membimbing penulis dalam mengikuti

perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini;

13. GMKI Koms. FH USU yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk

berproses dan mengenali arti kata pelayanan;

14. Antek-Antek yang selalu siap sedia berada dalam kehidupan Penulis

dalam memberikan pundi-pundi tawa yang cukup untuk Penulis

bertahan menjalani kehidupan. Terima kasih Kak Hera, Kak Chatrine,

Dyssa Novita, Gabriella Sablina. Love you guys!

15. Team BSR “buat yang tau tau aja” yang senantiasa memiliki pemikiran

yang sama dalam mempertahankan argumen maupun rasionalisasi

pada waktu lampau;

16. Feny Yolanda Silalahi selaku partner Penanggung Jawab Komisariat

yang senantiasa berada dalam radar dan membantu Penulis untuk tetap

berpengharapan;

17. Pengurus Komisariat GMKI Koms. FH USU Masa Bakti 2020-2021

yang terdiri dari manusia-manusia terbaik dan unik yang Penulis

temukan antara lain Feny, Putri, Bakti, Marco, Sablina, Chelsya,

Oktaviani, Sarah, Immanuel, Cindy, Christo, Goldanio, Randyaga,

Yudha. Makasih selalu ada, NKCTHI.

iii

Universitas Sumatera Utara

iv

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

KAJIAN HUKUM PERSAINGAN TERHADAP PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI DALAM NEGERI (STUDI KASUS : PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-I/2019) Gabriela Gexia Sihaloho*) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI**) Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum***)

Perjanjian penetapan harga merupakan suatu perjanjian yang dilarang yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelau usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang dapat menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Pengaturan mengenai perjanjian penetapan harga terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku Persekongkolan Tender adalah sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011. Penelitian skripsi ini ditujukan untuk menganalisis ketentuan penetapan harga menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembuktian pelanggaran penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan penerapan hukum dalam putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019. Metode penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dikumpulkan dengan metode studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Putusan No. 15/KPPU-I/2019 dinilai telah sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011, yaitu sepanjang mengenai telah terpenuhinya unsur-unsur terjadinya pelanggaran dalam perjanjian penetapan harga tersebut. Putusan Majelis Komisi telah dihasilkan melalui adanya pembuktian bukti tidak langsung berdasarkan pada Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019 yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Putusan Majelis Komisi didasarkan pada kondisi persaingan usaha industri penerbangan dalam situasi pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung sehingga memunculkan adanya pertimbangan ekonomi. Kata kunci: penetapan harga, indirect evidence, KPPU *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II

v

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i

ABSTRAK ...... v

DAFTAR ISI ...... vi

BAB 1 PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1

B. Rumusan Masalah ...... 14

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...... 14

D. Keaslian Penulisan ...... 16

E. Tinjauan Pustaka ...... 20

F. Metode Penulisan ...... 24

G. Sistematika Penulisan ...... 28

BAB II PERJANJIAN PENETAPAN HARGA BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 ...... 31

A. Perjanjian yang Dilarang Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ...... 31

B. Perjanjian yang Dikecualikan Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ...... 44

C. Pengertian Penetapan Harga ...... 50

D. Pengaturan Penetapan Harga ...... 52

E. Tindakan yang disebut sebagai Penetapan Harga...... 57

BAB III PEMBUKTIAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA ...... 63

A. Penegakan Hukum Persaingan Usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha ... 63

B. Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga ...... 79

1. Bukti Tidak Langsung dalam Pembuktian Hukum Persaingan Usaha Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) ...... 80

2. Standar Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Menurut Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 ...... 83

vi

Universitas Sumatera Utara BAB IV KAJIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU- I/2019 TENTANG DUGAAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI DALAM NEGERI ...... 90

A. Kasus Posisi Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri ...... 91

B. Kajian Hukum terhadap Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri ...... 107

BAB V PENUTUP ...... 129

A. Kesimpulan ...... 129

B. Saran ...... 133

DAFTAR PUSTAKA ...... 136

vii

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem hukum nasional mengenal adanya hukum persaingan

usaha setelah mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun

1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang disertai juga dengan

kondisi perekonomian dunia yang menurun.1 Disamping faktor krisis

ekonomi maka Indonesia dalam waktu singkat dipaksa keadaan untuk

melakukan berbagai deregulasi peraturan perekonomian untuk menyelesaikan

ekonominya.2

Liberalisasi perdagangan memimpikan ada perlakuan yang adil bagi

para pelaku usaha dengan tidak lagi mengenal batas-batas negara. Untuk itu

iklim persaingan usaha mutlak perlu karena akan mampu mengurangi beban

negara, menguntungkan konsumen, dan memberi kepastian bagi investor.3

Namun begitu, perekonomian Indonesia berupaya menghindarkan diri dari

sistem free fight liberalism4 yang mengeksploitasi manusia atau dominasi

perekonomian oleh negara serta persaingan curang dalam berusaha dengan

melakukan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu saja.5

Persaingan usaha adalah salah satu faktor yang penting dalam menjalankan

1 Ningrum Natasya Sirait, 2004, Hukum Persaingan di Indonesia UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press), hal 5 2 Ibid. 3 Shidarta, Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha, (https://business- law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha/, Diakses pada 10 Oktober 2020 pukul 15:05) 4 Free Fight Liberalism adalah kebebasan usaha yang tidak terkendali sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah, diakses dari https://brainly.co.id/tugas/14606853 pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.55 WIB 5 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 1

1

Universitas Sumatera Utara 2

roda perekonomian suatu negara dan persaingan ditentukan oleh kebijakan

persaingan (competition policy6). Negara memang tidak dapat berjalan dan

maju tanpa adanya dunia usaha yang berkembang secara cepat dan efisien.7

Oleh sebab itu walaupun proses persaingan akan mengakibatkan adanya

masyarakat yang kalah dalam proses bersaing dan akan menjadi tanggungan

sosial dalam ekonomi secara keseluruhan, tetapi persaingan tetap dianggap

sebagai cara yang paling tepat dalam ekonomi untuk mencapai kesejahteraan

secara keseluruhan melalui alokasi sumber daya yang maksimum.8

Dasar-dasar pengelolaan perekonomian negara Indonesia diatur dalam

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan”. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan

bahwa perekonomian nasional harus dibangun atas dasar falsafah demokrasi

ekonomi dalam wujud ekonomi kerakyatan.9 Oleh karena itu, sejalan dengan

proses menuju sistem ekonomi pasar maka Indonesia juga telah

memberlakukan undang-undang Hukum Persaingan Usaha yang diatur dalam

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.10

Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah

mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair

6 Competition Policy mengacu pada kebijakan umum dan arah pemerintahan umum yang bertujuan untuk memperkenalkan, meningkatkan dan / atau mempertahankan persaingan, diakses dari https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14669/2/T1_312013058_BAB%20II.pdf pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.57 WIB 7 Ahmad Yani, dan Gunawan Wijaya, 1999, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, (: Raja Grafindo Persada), hal 1 8 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 28 9 Rachmadi Usman, S.H., 2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal 10 10 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 22

Universitas Sumatera Utara 3

competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar

pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para

pesaingnya.11 Kelahiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan

untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama

kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha. Perlindungan dan kepastian

hukum yang diberikan dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya. Harapannya

dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, yang mana setiap pelaku usaha

dapat secara wajar dan sehat.12

Maka dari itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dibentuk agar

pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan

demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan

pelaku usaha dan kepentingan umum.13 Lebih lanjut dijelaskan secara rinci

dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 bahwasanya tujuan

pembentukan undang-undang ini adalah untuk:

a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

11 Hermansyah, 2008, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hal 13 12 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 8 13 Bab II Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Sumatera Utara 4

Dua dari tujuan kebijakan kompetisi usaha Indonesia menjadi dasar

fundamental bagi implementasi tujuan tersebut, yaitu penekanan pada

kepentingan umum, kesejahteraan rakyat serta efisiensi (maximation of

consume welfare14 and efficiency15) dimana upaya untuk mencapai tujuan

tersebut dilakukan melalui proses persaingan.16 Dunia usaha sekarang ini

sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan

usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap pihak yang

ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan dalih pemeliharaan persaingan

yang sehat. Terjadinya hal yang demikian itu antara lain disebabkan

kurangnya pemahaman kalangan pelaku usaha terhadap Undang-undang No. 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.17

Oleh karena itu, untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang

tidak sehat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah ditentukan secara

jelas dan terstruktur mengenai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang

dilarang dan posisi dominan.18 Ketiga hal ini memang secara substansial

berpotensi atau membuka peluang besar untuk terjadinya praktik monopoli

14 Consume Welfare atau kesejahteraan rakyat merupakan keadaan sentosa dan makmur yang diartikan sebagai keadaan yang berkecukupan atau tidak kekurangan, yang tidak saja memiliki dimensi fisik atau materi, tetapi juga dimensi rohani, diakses dari https://www.academia.edu/10150418/Consumer_Surplus_and_Consumer_Welfare pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.00 WIB 15 Efficiency adalah sesuatu sistem yang mencapai produktivitas maksimum dengan usaha atau pengeluaran biaya yang seminimum mungkin, diakses dari https://medium.com/@naomitambunan77/efficiency-13e09b018b55 pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.00 WIB 16 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 22 17 Hermansyah, Op. Cit., hal 23 18 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 24

Universitas Sumatera Utara 5

dan persaingan usaha tidak sehat, apalagi sebagian besar transaksi bisnis

memang didasarkan pada perjanjian antara pelaku usaha.19

Adapun perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara lain meliputi20:

1. Perjanjian Oligopoli 2. Penetapan Harga 3. Pembagian Wilayah 4. Pemboikotan 5. Kartel 6. Trust 7. Oligopsoni 8. Integrasi Vertikal 9. Perjanjian Tertutup

Penelitian skripsi ini secara khusus akan membahas mengenai

perjanjian penetapan harga yang merupakan salah satu perjanjian yang

dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Perjanjian penetapan

harga ini dilarang karena akan menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum

pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan.21

Pelaku usaha yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya,

guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau jasa yang

akan diperdagangkan pada pasar bersangkutan merupakan perbuatan anti

persaingan. Sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha

diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.22

19 Hermansyah, Op. Cit., hal 24 20 Suyud Margono, 2009, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika), hal 77-78 21 Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana), hal 136 22 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal. 44

Universitas Sumatera Utara 6

Dalam hukum persaingan usaha dikenal beberapa pendekatan dalam

penerapannya, yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Kedua

metode pendekatan ini memiliki perbedaan ekstrim dalam Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999, yakni biasanya penerapan pendekatan rule of reason

pencantuman kata “yang dapat mengakibatkan” dan “patut diduga”. Kata

tersebut menyiratkan perlunya dilakukan penelitian secara mendalam, apakah

suatu tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat

antipersaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya

digunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang” tanpa anak

kalimat “yang dapat mengakibatkan”.23

Perjanjian penetapan harga dapat dilakukan secara terbuka maupun

disamarkan, yang pada dasarnya mencederai asas persaingan. Dalam

pendekatan perilaku, penetapan harga/horizontal price fixing termasuk per se

illegal. Per se illegal yang sering juga disebut dengan per se violation, dalam

hukum persaingan adalah istilah yang mengandung maksud bahwa jenis-jenis

perjanjian tertentu, atau perbuatan-perbuatan tertentu dianggap secara inheren

bersifat anti kompetitif dan merugikan masyarakat tanpa perlu dibuktikan

bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak persaingan.24

Penegakan hukum dan pembuktian hingga pengawasan terhadap

adanya perilaku pelaku usaha yang tidak sesuai seperti pelanggaran ketentuan

perjanjian yang dilarang tentunya harus dilakukan oleh lembaga pengawas

tertentu. Maka berdasarkan perintah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 15

Tahun 1999, dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang

23 Andi Fahmi Lubis II dkk, 2017, Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)), hal 66 24 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 693

Universitas Sumatera Utara 7

selanjutnya disebut dengan KPPU. KPPU ini dikatakan sebagai suatu lembaga

independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak

lain.25 Implementasi daripada Undang-Undang Persaingan Usaha diserahkan

kepada KPPU, suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh

pemerintah dan pihak lain yang berwenang melakukan pengawasan

persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi.

KPPU dalam penegakan hukum persaingan usaha Indonesia

mempunyai posisi sentral tetapi bukan menjadi back bone (tulang punggung)

dalam pengembangan hukum persaingan usaha. Posisi sentral tersebut

berkaitan dengan kedudukan KPPU yang diamanatkan oleh Bab IV Undang-

Undang Persaingan Usaha. Meskipun berdasarkan Pasal 1 angka 18 jo Pasal

30 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha, KPPU dinyatakan sebagai

lembaga pengawas pelaksanaan Undang-Undang oleh para pelaku usaha yang

bersifat independen, tetapi Undang-Undang Persaingan Usaha memperinci

pengawasan tersebut ke dalam tugas dan wewenang.26 KPPU dapat dikatakan

memiliki kewenangan yang besar meliputi penyelidikan, penuntutan,

konsultasi, memeriksa, mengadili dan memutus perkara, meskipun KPPU

mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya persaingan usaha namun

KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Kedudukan

KPPU merupakan lembaga administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan

merupakan sanksi administratif.27

25 Suyud Margono, Op. Cit., hal.136 26 Wisny, 2015, Penerapan Sanksi Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Terhadap Pelaku Usaha yang Melakukan Persekongkolan dalam Tender, (Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2), hal 371-372 27 Devi Meyliana, 2013, Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha, (Malang: Setara Press), hal 31-32

Universitas Sumatera Utara 8

Perkembangan industri jasa penerbangan di Indonesia, khususnya

untuk penerbangan komersial berjadwal semakin marak sejak dikeluarkannya

deregulasi yang mengatur transportasi udara pada tahun 1999, berupa

serangkaian paket deregulasi, salah satunya adalah Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor 81 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan

Penerbangan di Indonesia. Banyaknya jumlah maskapai penerbangan yang

beroperasi di Indonesia secara langsung menciptakan persaingan yang cukup

ketat.28

Persaingan usaha yang sehat diharapkan dapat terjadi dalam industri

penerbangan. Pemerintah menilai, tidak ada persaingan usaha yang sehat

dalam industri penerbangan lokal. Penyebabnya, hanya dua pelaku usaha yang

dominan. Industri penerbangan di dalam negeri didominasi Grup Garuda

Indonesia dan Grup . Kelompok pertama terdiri dari Garuda dan anak

anak usahanya, , serta Grup Sriwijaya, mitra kerjasama operasinya

sejak tahun 2018. Sedang Grup Lion Air terdiri dari Lion Air, , dan

Wings Air. Grup Lion menguasai pasar domestik, dengan pangsa sekitar

50%.29

Dilihat dari aspek penyelenggaraan penerbangan angkutan udara

terdapat dua bentuk kegiatan penerbangan, yaitu penerbangan komersial dan

penerbangan bukan komersial. Penerbangan komersial atau niaga merupakan

bentuk transportasi udara yang mengenakan biaya bagi penggunanya. Jenis

28 Nurul Safitri dan Wibowo Kuntjoroadi, Analisis Strategi Bersaing dalam Persaingan Usaha Penerbangan Komersial, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi (FISIP UI), Volume 16 Nomor 1, Jan-Apr 2009, hal 45 29 Thomas Hadiwinata dkk, Pemerintah Ingin Sehatkan Persaingan di Pasar Penerbangan dengan Undang Pemain Baru, diakses dari https://insight.kontan.co.id/news/pemerintah-ingin-sehatkan-persaingan-di-pasar-penerbangan- dengan-undang-pemain-ba pada tanggal 07 April 2021 pukul 22.53 WIB

Universitas Sumatera Utara 9

penerbangan ini dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu penerbangan niaga

berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal.30

Salah satu potensi hadirnya tindakan persaingan usaha yang tidak sehat

dapat terjadi dalam industri angkutan udara domestik yang terdapat dalam 8

(delapan) maskapai besar yang saat ini beroperasi pada rute domestik

mengerucut pada empat maskapai penerbangan yang besar. Pertama, Group

Garuda dengan di Full Service Airline31 (FSA) dan Citilink

dikelas Low Cost Carrier32 (LCC). Kedua, Lion dengan 3 (tiga) maskapai

utama yakni Lion Air untuk Low Cost Carrier, Batik Air di kelas FSA dan

Wings Air untuk rute penerbangan jarak pendek yang menjangkau wilayah

terluar Indonesia. Ketiga, Sriwijaya Group dengan 2 (dua) maskapai yakni

Sriwijaya dan NAM Air. Keempat, Air Asia Indonesia yang berinduk pada

perusaaan Malaysia. Kelima, 4 (empat) maskapai yang terdaftar yakni Tri

Gana, Travel Express, Trans Nusa dan ASI Pudjiastuti yang mana hanya

menjadi maskapai perintis dan menerbangi sebagian kecil rute di wilayah

terluar Indonesia. Peta bisnis penerbangan di Indonesia kian mengerucut

dengan fenomena dimana PT Garuda Indonesia Tbk (Garuda), melalui anak

usaha PT Citilink Indonesia, mengambil alih operasional dan finansial dari

Sriwijaya Air Group (Sriwijaya) yang terdiri dari maskapai Sriwijaya dan

30 Ahmad Zalili, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, hal 1, diakses dari https://core.ac.uk/download/pdf/11716219.pdf pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 16.05 WIB 31 Konsep Full Service Airline adalah penerbangan yang mengutamakan pelayanan penuh kepada penumpang baik dari segi kenyamanan hingga keamanan, pelayanan konsumsi yang berkualitas, entertainment, kelebihan bagasi, serta pelayanan-pelayanan lainnya yang tidak terdapat pada maskapai penerbangan yang berkonsep Low Cost Carrier (LCC), diakses dari https://www.muhammadyamin.com/tag/full-service/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.03 WIB 32 Konsep Low Cost Carrier adalah konsep penerbangan dengan biaya murah dan pelayanan yang terbatas, diakses dari https://www.muhammadyamin.com/tag/full-service/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.03 WIB

Universitas Sumatera Utara 10

NAM Air pada tanggal 09 November 2018. Saat ini, bentuk dari

pengambilalihan itu adalah adanya Kerjasama Operasi33(KSO).34

Berdasarkan data jumlah penumpang angkutan niaga berjadwal

domestik Indonesia dikuasai oleh dua grup besar, yaitu Garuda Indonesia

Group dan . Garuda Indonesia Group memiliki Market Share35

sebesar 46% (empat puluh enam persen) sedangkan Lion Air Group memiliki

pangsa pasar terbesar dalam pasar penerbangan domestik di Indonesia dengan

penguasaan Market Share mencapai 50% (lima puluh persen).36 Minimnya

pemain dalam penyediaan usaha jasa angkutan udara di Indonesia dapat

diduga sebagai salah satu indikator kenaikan harga tiket pesawat. Tiket

pesawat penerbangan domestik seringkali mengalami kenaikan yang cukup

drastis sekitar 30% (tiga puluh persen) sampai 50% (lima puluh persen).

Dampak kenaikan harga tiket pesawat adalah jumlah penumpang pesawat

yang turun drastic, sekitar 18.5% (delapan belas koma lima persen) sejak

tahun 2019.37

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa kenaikan jasa

angkutan udara niaga berjadwal merupakan penyumbang dalam kenaikan

inflasi tahun 2019. Data dari BPS mencatat harga tiket pesawat kerap

33 Kerjasama Operasi (KSO) adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk bersama- sama melakukan suatu kegiatan usaha guna mencapai suatu tujuan tertentu (berdasarkan pada Pasal 1 angka (14) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 740/KMK.00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara) 34 Anonim, Menhub Beri Lampu Hijau Garuda Caplok , diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181115164924-92-346875/menhub-beri-lampu-hijau- garuda-caploksriwijaya-air, pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 16.16 WIB 35 Market Share atau Pangsa Pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu (berdasarkan pada Pasal 1 angka (13) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999) 36 Taufik Ahmad, Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi, Seminar Nasional, Thamrin Jakarta, 09 Agustus 2019 37 Ibid.

Universitas Sumatera Utara 11

berkontribusi pada inflasi, penurunan sekitar 0.03% (nol koma nol tiga persen)

dari Juni 2019. Indonesia National Air Carrier Association (INACA)

mengakui rata-rata kenaikan harga tiket pesawat sebesar 40 persen sampai 120

persen beberapa waktu terakhir. Kenaikan itu terjadi sejak November tahun

2018 atau jelang momen Natal dan Tahun Baru (Nataru).38 Kenaikan harga

tersebut meliputi harga tiket ekonomi yang dianggap masih cukup tinggi

meskipun peak season39 sudah berakhir.

Berkaitan dengan hal ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah

merilis aturan baru terkait tarif pesawat. Aturan tersebut yaitu Peraturan

Menteri Nomor PM 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi

Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi

Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Adanya peraturan tersebut

tentunya menciptakan batasan perilaku bagi pelaku usaha terkhususnya

maskapai penerbangan, dalam hal menetapkan harga tiket yang diberlakukan

bagi konsumen. Terkait tarif batas atas dan tarif batas bawah, di dalam

Peraturan Menteri Perhubungan ini tarif batas bawah ditetapkan sebesar 35%

dari tarif batas atas dengan tetap memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh

masyarakat konsumen pengguna moda transportasi udara. Akan tetapi dalam

hal ini pemerintah juga ingin melindungi keberlangsungan usaha Badan Usaha

Angkutan Udara.40

38 Anonim, Kenaikan Harga Tiket Pesawat Sempat Tembus 120 Persen, Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/kenaikan-harga-tiket-pesawat-sempat-tembus-120- persen, pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 15.30 WIB 39 Peak Season adalah tahun ketika banyak orang berpergian dan harga biasanya berada pada titik paling tinggi, diakses dari https://www.globalkomunika.com/blog/2018/12/apa-itu-high- season-low-season-&-peak-season pada tanggal 21 Februari 2021 pukul 20.15 WIB 40 Fadhly Fauzi Rachman, Daftar Lengkap Tarif Batas Atas dan Bawah Tiket Pesawat, Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4490086/daftar-lengkap-tarif-batas- atas-dan-bawah-tiket-pesawat pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 15.40 WIB

Universitas Sumatera Utara 12

KPPU sebagai lembaga administratif dengan wewenang untuk menerima laporan terkait adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 juga menerima laporan terkait maskapai penerbangan yang diduga melakukan pelanggaran perjanjian penetapan harga. Pelaporan kasus dugaan terjadinya pelanggaran Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 terkait adanya dugaan penetapan harga terkait Jasa Angkutan

Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri diterima oleh KPPU pada penghujung bulan Januari 2019. Adapun perusahaan maskapai penerbangan yang melayani jasa angkutan udara niaga yaitu PT

Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT

NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari dan PT Wings Abadi yang dinyatakan oleh KPPU terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pengaturan mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah diberlakukan, begitu juga dengan peraturan penerbangan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 yang disertai dengan peraturan pendukung lainnya. Namun begitu, tak dapat dipungkiri seringkali pelaku usaha melanggar apa yang menjadi ketentuan dalam peraturan yang dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, seperti pada kasus pada putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019. Perjanjian penetapan harga memiliki beberapa penyebab untuk mendistorsi pasar karena menimbulkan kenaikan harga yang sangat tinggi. Harga yang mahal akibat perjanjian penetapan harga dikarenakan harga yang terbentuk tidak melalui

Universitas Sumatera Utara 13

mekanisme pasar atau hukum supply41 dan demand42 sebagaimana mestinya

perjanjian penetapan harga mengakibatkan tidak terjadinya mekanisme

penyesuaian secara otomatis43 (automatic adjustment).44 Akibatnya konsumen

tidak mempunyai pilihan lain selain harus membayar pada level harga yang

telah ditentukan.45

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam skripsi ini penulis akan

membahas mengenai pelanggaran perjanjian penetapan harga (price fixing)

Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam

Negeri yang dilakukan oleh tujuh perusahaan maskapai penerbangan pada

Putusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019 berdasarkan Undang-Undang No 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat dengan judul “KAJIAN HUKUM PERSAINGAN TERHADAP

PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN

UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI

DALAM NEGERI (STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-

I/2019)”.

41 Supply adalah sejumlah barang atau jasa yang ditawarkan oleh produsen atau penjual pada berbagai tingkat harga dan pada periode/waktu tertentu, diakses dari https://www.ilmu- ekonomi-id.com/2015/12/penawaran-supply.html pada tanggal 21 Februari 2021 pukul 20.26 WIB 42 Demand adalah jumlah keseluruhan barang dan jasa yang ingin dibeli atau diminta oleh konsumen pada tingkat harga dan waktu tertentu, diakses dari https://www.linovhr.com/permintaan-dan-penawaran/ pada tanggal 21 Februari 2021 pukul 20.30 WIB 43 Automatic Adjustment adalah penyeimbangan atau penyesuaian yang berjalan secara otomatis berjalan sendiri oleh pergerakan neraca pembayaran itu sendiri, sehingga tidak ada intervensi atau kebijakan dari pemerintah, diakses dari http://ecosnomies.blogspot.com/2011/04/ekonomi-international.html pada tanggal 22 Februari 2021 pukul 01.37 WIB 44 Dendi Ramdani, Analisis Persaingan Usaha Industri Penerbangan, Jurnal Hukum Persaingan Usaha, Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Volume 1, Mei 2004, hal 10 45 R.S Khemani dan D. M. Shapiro, 1996, Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law, Paris: OECD, hal 51

Universitas Sumatera Utara 14

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka penulis dapat

merumuskan masalah yang ada antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan penetapan harga menurut Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999?

2. Bagaimana pembuktian pelanggaran penetapan harga oleh Komisi

Pengawas Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999?

3. Bagaimana analisis hukum terhadap Putusan KPPU No. 15/KPPU-

I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa

Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam

Negeri?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Dalam rangka penyusunan dan penulisan skripsi ini, adapun yang

menjadi tujuan dan pembahasan dalam skripsi dapat diuraikan sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan penetapan harga

yang diatur menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian pelanggaran

penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

c. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hukum

persaingan dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang

Universitas Sumatera Utara 15

Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan

Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam

Negeri.

2. Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan yang dapat dikutip dari skripsi ini

antara lain:

1. Secara Teoritis:

a. Dapat memberikan pandangan yang benar terhadap Hukum

Persaingan Usaha di Indonesia (Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999).

b. Dapat memberikan pengetahuan, pemahaman serta memicu sikap

kritis mengenai persoalan praktik monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha khususnya dalam hal

perjanjian penetapan harga, pembuktian adanya perjanjian

penetapan harga serta akibat hukum yang ditimbulkan.

c. Dapat memberikan masukan dan saran bagi ilmu pengetahuan serta

memberikan tambahan dokumentasi karya tulis, literatur dan

bahan-bahan informasi ilmiah lainnya.

2. Secara Praktis:

Penulisan skripsi ini secara praktis diharapkan dapat memberikan

masukan dan saran bagi para pembaca ataupun dijadikan sebagai

bahan kajian, bagi pelaku usaha negara maupun pelaku usaha swasta

agar memahami pengaturan hukum persaingan usaha di Indonesia

terkhususnya mengenai perjanjian yang dilarang, demi terwujudnya

Universitas Sumatera Utara 16

persaingan usaha yang sehat di dalam dunia usaha serta dapat

memberikan dampak positif bagi keberlangsungan perekonomian

negara.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara “Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran

Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang

Kelas Ekonomi Dalam Negeri (Studi Kasus: Putusan KPPU No. 15/KPPU-

I/2019)” yang diangkat menjadi judul skripsi penulis ini, belum pernah

diangkat menjadi judul skripsi lain namun, ada beberapa penelitian

sebelumnya yang membahas mengenai perjanjian penetapan harga, antara

lain:

1. Nama : Reggie Priscilla Napitupulu Tahun : 2020 Almamater : Universitas Sumatera Utara Judul : Kajian Hukum Tentang Perjanjian Penetapan Harga Jasa Freight Container pada Rute Surabaya Menuju Ambon dalam Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 08/KPPU- I/2018). Permasalahan : a. Bagaimana pengaturan perjanjian yang dilarang dalam Undang- Undang No 5 Tahun 1999? b. Bagaimana standar pembuktian perjanjian penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam UndangUndang No 5 Tahun 1999? c. Bagaimana kajian hukum penetapan harga (price fixing) pada putusan KPPU Nomor 08/KPPU-L/2018 tentang Jasa freight container pada rute Surabaya menuju Ambon? Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang Pengaturan Perjanjian Penetapan Harga sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini membahas mengenai Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri pada studi kasus yang berbeda yaitu Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019.

2. Nama : Dea Yufiana Asril

Universitas Sumatera Utara 17

Tahun : 2016 Almamater : Universitas Indonesia Judul : Analisis Yuridis Penetapan Harga LPG Oleh Hiswana Migas DPC Pada Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-I/2014. Permasalahan : Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang adanya Perjanjian Penetapan Harga yang dilakukan oleh pelaku usaha sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini bukan hanya membahas mengenai Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran Penetapan Harga dengan kasus yang berbeda tetapi juga membahas mengenai pembuktian pelanggaran perjanjian penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

3. Nama : Evan Richardo Tahun : 2011 Almamater : Universitas Tarumanegara Judul : Analisis Terhadap Dugaan Kartel dan Penetapan Harga pada Perjanjian Penetapan Fuel Surcharge oleh 9 Maskapai Penerbangan Menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Permasalahan : Persamaan dalam penelitian ini yaitu membahas Dugaan Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga yang dilakukan oleh maskapai penerbangan sedangkan perbedaannya dalam penelitian ini hanya membahas perjanjian penetapan harga yaitu Pasal 5 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 dan bukan perjanjian kartel pada Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan studi kasus putusan KPPU yang berbeda.

4. Nama : Dendinar Badrusalam Tahun : 2019 Almamater : Universitas Pasundan Judul : Dugaan Praktik Kartel Dalam Kenaikan Harga Tiket Pesawat Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Permasalahan : Persamaan dalam penelitian ini adalah pembahasan mengenai kenaikan harga tiket pesawat yang diduga sebagai perilaku pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sedangkan perbedaannya terletak pada fokus pembahasan perjanjian dimana penulis membahas khusus hanya mengenai perjanjian penetapan harga.

5. Nama : Ni Putu Tryana Trisna Dewi Tahun : 2019 Almamater : Universitas Udayana Judul : Kajian Yuridis Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 14/KPPU-I/2014. Permasalahan : a. Bagaimanakah pemenuhan unsur perjanjian penetapan harga oleh Perusahaan Distributor LPG Wilayah Bandung dan Sumedang dalam

Universitas Sumatera Utara 18

Putusan KPPU Perkara Nomor 14/KPPU-I/2014 ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999? b. Bagaimanakah penggunaan pendekatan yang digunakan KPPU dalam memutus perkara dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 14/KPPU- I/2014 ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999?

6. Nama : Marsella Tridarani Tahun : 2020 Almamater : Universitas Airlangga Judul : Relevansi Perjanjian Penetapan Harga Dengan Praktek Kartel Harga Tiket Dalam Dugaan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Industri Jasa Angkutan Udara Domestik. Permasalahan : a. Apa karakteristik hubungan perjanjian penetapan harga dan kartel dalam praktek persaingan usaha tidak sehat di Indonesia? b. Apa upaya hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha Terhadap Pelaku Usaha Angkutan Udara Domestik Yang Melakukan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

7. Nama : Rizky Rumondang Tahun : 2021 Almamater : Universitas Sumatera Utara Judul : Perlindungan Hukum Bagi Kosumen dari Praktik Kartel Tarif Tiket Pesawat Terbang Maskapai Penerbangan Dalam Negeri (Studi Putusan Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri). Permasalahan : a. Bagaimana dasar hukum perlindungan konsumen terhadap praktek kartel tarif tiket pesawat terbang? b. Bagaimana penegakan hukum yang dilakukan oleh KPPU terhadap praktek kartel tarif tiket pesawat terbang? c. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap praktek kartel tarif tiket pesawat terbang dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 Terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri? 8. Nama : Widya Naseva Tuslian Tahun : 2015 Almamater : Universitas Indonesia Judul : Tinjauan Hukum Persaingan Usaha Pada Penetapan Tarif dan Perilaku Pelaku Usaha Pada Jasa Penerbangan Niaga Berjadwal di Indonesia. Permasalahan : a. Bagaimana Pengaruh Hukum Persaingan Usaha pada Regulasi Penetapan Harga Usaha Jasa Penerbangan di Indonesia? b. Bagaimanakah Pengaruh Hukum Persaingan Usaha Terhadap Perilaku Pelaku Usaha Pada Industri Jasa Penerbangan Niaga Berjadwal di Indonesia?

9. Nama : Tadeus Adam Sianturi Tahun : 2020

Universitas Sumatera Utara 19

Almamater : Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Judul : Perjanjian Penetapan Harga Dalam Industri Jasa Uang Tambang Kontainer (Freight Container) : Studi Putusan KPPU Nomor 8/KPPU-L/2018. Permasalahan : a. Bagaimana Bentuk Perjanjian Penetapan Harga Pada Jasa Uang Tambang Kontainer Dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 8/KPPU- L/2018? b. Bagaimana Dampak Perjanjian Penetapan Harga yang Terjadi pada Industri Jasa Uang Tambang Kontainer (Freight Container) dalam Putusan KPPU Nomor 8/KPPU-L/2018?

10. Nama : Arini Pratiwi Tahun : 2018 Almamater : Universitas Hasanuddin Judul : Penerapan Pendekatan Per Se Illegal Dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Terhadap Perkara Penetapan Harga di Indonesia. Permasalahan : a. Apakah perkara penetapan harga dalam putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat diselesaikan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda? b. Apakah penggunaan pendekatan rule of reason dalam penyelesaian perkara penetapan harga yang seharusnya menggunakan pendekatan per se illegal oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan kepastian hukum?

Namun berbeda dengan permasalahan tersebut, penelitian ini membahas permasalahan yang berbeda dengan judul-judul skripsi sebelumnya yakni mengenai Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran Penetapan

Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas

Ekonomi Dalam Negeri (Studi Kasus: Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019).

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil dari pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan peraturan hukum yang diperoleh dari referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Universitas Sumatera Utara 20

E. Tinjauan Pustaka

1. Persaingan Usaha Tidak Sehat

Defenisi persaingan usaha tidak sehat dirumuskan dalam Undang-

Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 6 yaitu:

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan tau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Istilah lain persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan curang atau

praktik bisnis yang tidak jujur. Praktik bisnis yang tidak jujur dapat diartikan

sebagai segala tingkah laku yang tidak sesuai dengan itikad baik dan kejujuran

di dalam berusaha sehingga perbuatan ini dilarang karena dapat mematikan

persaingan usaha dan merugikan konsumen.46

Defenisi Monopoli adalah suatu keadaan dimana seseorang menguasai

pasar, dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau produk

substitusi potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk

menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi tanpa mengikuti hukum

persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.47 Pasal

1 Angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa

defenisi Monopoli adalah penguasaan atau produksi dan atau atas penggunaan

jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.

Dalam Hukum Persaingan Usaha dikenal ada dua cara untuk

menentukan adanya suatu pelanggaran, yaitu melalui pendekatan secara per se

illegal dan pendekatan rule of reason. Per se illegal adalah suatu pendekatan

46 Rahmadi Usman II, 2013, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Banjarmasin: Sinar Grafika), hal. 89 47 Ibid, hal 83

Universitas Sumatera Utara 21

yang menyatakan suatu perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai perbuatan

yang dilarang tanpa dibuktikan lebih lanjut dampak yang ditimbulkan oleh

perjanjian atau kegiatan tersebut.48 Pendekatan secara Per se illegal ini

dikatakan apabila suatu aktivitas jelas maksud/ tujuannya mempunyai akibat

merusak persaingan maka hakim tidak perlu harus mempermasalahkan masuk-

akal atau tidaknya (analogi) sebelum menentukan bahwa peristiwa tersebut

merupakan pelanggaran hukum persaingan.49 Sehingga, penegak hukum dapat

langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan

perjanjian penetapan harga tanpa harus mencari alasan-alasan mereka

melakukan perbuatan tersebut atau tidak diperlukan membuktikan perbuatan

tersebut menimbulkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha

tidak sehat.50

Pendekatan secara rule of reason adalah suatu pendekatan yang

dipergunakan oleh KPPU untuk membuat evaluasi mengenai akibat suatu

perjanjian atau kegiatan tertentu, apakah perbuatan atau kegiatan tersebut telah

menimbulkan akibat yang dapat disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999.51 Pendekatan ini menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai

efisiensi guna mengetahui dengan pasti, apakah suatu tindakan pelaku usaha

memiliki implikasi kepada persaingan.52

48 Ningrum Natasya Sirait dkk., 2010, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: The Indonesia Netherlands Legal Reform Program), hal 172 49 Ningrum Natasya Sirait, 2017, Hukum Persaingan Usaha, (Medan: Modul Kuliah Program Sarjana (S1)). 50 Andi Fahmi Lubis II dkk., Op.Cit., hal 92 51 Ningrum Natasya Sirait dkk., Op.Cit., hal 172 52 Andi Fahmi Libis I dkk., Op.Cit., hal 66

Universitas Sumatera Utara 22

2. Perjanjian yang Dilarang

Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mendefenisikan

istilah Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk

mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama

apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.53

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat 11 macam

perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha

lain, sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai pasal 16. Perjanjian-perjanjian

yang dilarang dibuat tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat. Apabila Perjanjian-perjanjian yang dilarang ini

ternyata tetap dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian

diancam batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada, karena yang

dijadikan sebagai objek perjanjian adalah hal-hal yang tidak halal yang

dilarang oleh undang-undang.54

Perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

terdiri dari oligopoli, penetapan harga, diskriminasi harga dan diskon

pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal,

perjanjian tertutup dan perjanjian dengan luar negeri.

3. Penetapan Harga

Defenisi Perjanjian Penetapan Harga diatur dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu:

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa

53 Knud Hansen dkk, 2002, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: GTZ & Katalis), hal 79 54 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 40

Universitas Sumatera Utara 23

yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar

bersangkutan yang sama.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b. Suatu perjanjian yang didasarkan Undang-undang yang berlaku.

Jenis jenis perjanjian penetapan harga yang dilarang dimaksud terdapat

dalam pasal 5 sampai dengan pasal 8 yaitu:55

1. Penetapan harga antar pelaku usaha (Pasal 5)

2. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan/atau jasa yang

sama (Pasal 6)

3. Penetapan harga dibawah harga pasar dengan pelaku usaha lain

(Pasal 7)

4. Penetapan harga jual kembali (Pasal 8)

Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dikatakan

perjanjian penetapan harga horizontal dilarang tanpa melihat efek negatif dari

perjanjian tersebut terhadap persaingan. Perjanjian price fixing, ini per se

illegal, tinggi-rendahnya harga yang ditetapkan menjadi tidak relevan. Dengan

kata lain, walaupun efek negatif terhadap persaingan usaha kecil, perjanjian

price fixing tetap dilarang. Hal ini berarti pula bahwa market power56 para

55 Suyud Margono, Op. Cit., hal 84 56 Market Power atau Kekuatan Pasar adalah kemampuan perusahaan untuk mempengaruhi harga produknya di pasar, diakses dari https://cerdasco.com/kekuatan-pasar- perusahaan/aver pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.51 WIB

Universitas Sumatera Utara 24

pihak juga tidak relevan, walaupun kenaikan harga lebih mungkin terjadi

apabila market share mereka besar.57

Penetapan harga (Price Fixing) antar pelaku usaha dilarang oleh pasal

5 Undang-Undang Anti Monopoli, sebab penetapan harga secara bersama-

sama dikalangan pelaku usaha selanjutnya dapat menyebabkan tidak

berlakunya hukum pasar mengenai harga yang terbentuk dari adanya

penawaran dan permintaan.58

Melihat rumusan pasal ini, pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian

dengan pelaku usaha pesaingnya. Pesaing disini berarti pihak yang juga

melakukan kegiatan ekonomi, bukan pembeli. Pelaku usaha tersebut berada

pada pasar bersangkutan faktual yang sama baik secara vertikal maupun

horizontal.59

F. Metode Penulisan

Penulisan skripsi memerlukan metode penelitian yang digunakan

sebagai suatu tipe acuan pemikiran secara sistematis yang bertujuan untuk

mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Adapun metode yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode penelitian hukum

normatif melalui studi kepustakaan (library research). Menurut Abdul

Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian

yang mengunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan

57 Rachmadi Usman I, Op., Cit., hal 45 58 Suyud Margono, Op., Cit., hal 85 59 Rahmadi Usman II, op.cit, hal. 213

Universitas Sumatera Utara 25

menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan, seperti buku, majalah,

dokumen, catatan kisah-kisah sejarah.60 Dalam hal ini hukum normatif

dilakukan melalui kajian terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di

perpustakaan yang dapat menunjang pemecahan permasalahan dan

dijadikan acuan dalam bentuk teori dan landasan berpikir, seperti

peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berkaitan

dengan pembahasan skripsi ini. Bahan-bahan hukum yang berkaitan

dengan penulisan yang dibahas yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat serta beberapa Peraturan dan Pedoman Komisi Pengawas Persaingan

Usaha.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu

penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan

mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau

membuat teori baru.61 Metode penelitian deskriptif ini dilakukan untuk

mengetahui keberadaan variabel mandiri, baik hanya pada satu variabel

atau lebih (variabel yang berdiri sendiri atau variabel bebas) tanpa

membuat perbandingan variabel itu sendiri dan mencari hubungan dengan

variabel lain.62 Oleh karena itu metode penelitian deskriptif ini digunakan

dengan tujuan untuk menarik sebuah kesimpulan berdasarkan data yang

ada.

60 Abdul Rahman Sholeh, 2005, Pendidik an Agama dan Pengembangan untuk Bangsa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal 63 61 Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), hal 10 62 Sugiyono, 2017, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, CV), hal 35

Universitas Sumatera Utara 26

2. Sumber Data

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder

sebagai data utama. Data sekunder yang digunakan oleh penulis yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan

yang terkait, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2. Putusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri. 3. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Penetapan Harga). 4. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 6. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47. 7. Policy Brief oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan

dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian,

wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana hukum

Universitas Sumatera Utara 27

dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak

maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tertier, yaitu mencakup bahan yang memberi

petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,

jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat

digunakan sebagai referensi untuk melengkapi data yang

diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui

teknik studi pustaka (library research) dan studi dokumen dari berbagai

sumber yang dianggap relevan, antara lain terkait perjanjian penetapan

harga (price fixing) yang merupakan salah satu perjanjian yang dilarang

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus : Putusan

KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019). Penulisan skripsi ini berlangsung pada

masa pandemic COVID-19 sehingga menyulitkan penulis untuk

melakukan studi kepustakaan secara fisik. Maka dari itu, penulisan skripsi

ini didukung dengan studi kepustakaan yang dilakukan secara online.

Sumber bahan hukum sekunder yang berupa jurnal ilmiah, website

resmi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, bahan kuliah dan buku-buku

hukum yang berkaitan dengan judul penulis didapat melalui Perpustakaan

Fakultas Hukum dan/atau Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara

maupun referensi jurnal ilmiah dari berbagai perguruan tinggi di

Universitas Sumatera Utara 28

Indonesia. Bahan-bahan yang penulis dapat kemudian akan dikumpulkan,

dipadukan untuk kemudian dibandingkan dengan bahan-bahan yang

berkaitan dengan judul penulis.

4. Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan oleh penulis adalah

pendekatan kualitatif, yaitu dengan:

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier

yang relevan dengan pembahasan yang terdapat dalam

penelitian ini.

b. Melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum terkait agar

sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah, mengkaji dan menginterpretasikan serta

menganalisis data guna mendapat kesimpulan dari

permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah

kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam

bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan karya ilmiah penelitian ini memiliki sistematika yang teratur

dan berkaitan dengan maksud dan tujuan agar mudah untuk dimengerti dan

dipahami. Oleh karena itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab

dan sub-bab yang berkaitan antara satu dengan yang lain karena isi dari skripsi

ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.

Universitas Sumatera Utara 29

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Uraian tersebut masing-masing berkaitan dengan penetapan harga yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

BAB II : KETENTUAN UMUM MENGENAI PENETAPAN HARGA

Didalam BAB II ini terdiri dari 5 bagian yaitu mengenai perjanjian yang dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, perjanjian yang dikecualikan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, pengertian penetapan harga, pengaturan penetapan harga serta tindakan yang disebut sebagai penetapan harga.

BAB III : PEMBUKTIAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA OLEH

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

Pada bab ini yang diangkat menjadi pembahasan adalah mengenai penegakan hukum persaingan usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha serta pembuktian pelanggaran perjanjian penetapan harga yang dibagi dalam dua perspektif pengaturan. Pembuktian hukum persaingan usaha yang pertama mengacu pada bukti tidak langsung menurut OECD (Organization for

Economic Cooperation and Development) dan yang kedua adalah standar pembuktian pelanggaran perjanjian penetapan harga oleh Komisi Pengawas

Persaingan Usaha menurut Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019.

Universitas Sumatera Utara 30

BAB IV : KAJIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-

I/2019

Pembahasan yang dibawakan oleh penulis dalam bab ini adalah mengenai Kasus Posisi Pelanggaran Penetapan Harga dan menganalisis Kajian

Hukum Penetapan Harga dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang

Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga

Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri.

BAB V : PENUTUP

Pada bab terakhir ini, penulis akan mengemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga akhir penulisan skripsi yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini. Bagian ini juga akan memuat saran-saran penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

Universitas Sumatera Utara

BAB II

PERJANJIAN PENETAPAN HARGA BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

A. Perjanjian yang Dilarang Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa Perjanjian

adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau

lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam

persetujuan itu.63 Sedangkan dalam Black‟s Law Dictionary yang dimaksud

dengan perjanjian atau kontrak itu adalah “An agreement between two or more

person’s which create’s an obligation to do or not to do a paticular thing.”64

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal

1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

lain atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud

dalam Pasal 1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak

(toestemming) dari semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu

mereka yang mengadakan persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.65

Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka. Artinya setiap

orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum

diatur. Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang

63 Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari https://kbbi.web.id/perjanjian pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 20.49 WIB 64 Hermansyah, Op. Cit., hal 24 65 Komar Andasasmita, 1990, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat), hal 430

31

Universitas Sumatera Utara 32

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:66

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya

d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945, maka Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan jelas memiliki

tujuan yang nyata terkait ekonomi Indonesia dimana pembangunan bidang

ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang

adil dan makmur.67 Oleh karena itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

mengatur secara khusus perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan

posisi dominan untuk menghindari perilaku pelaku usaha yang dapat memicu

persaingan usaha tidak sehat. Di antara larangan yang dilakukan pelaku usaha

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah

larangan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian tertentu yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat.68

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diatur secara khusus

pengertian dari perjanjian, yaitu pada Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5

Tahun 1999: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk

mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama

66 Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim, Bahan Kuliah Hukum Perikatan, (Fakultas Hukum : Universitas Djuanda Bogor), hal 5 67 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 89 68 Ibid, hal 187

Universitas Sumatera Utara 33

apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Berdasarkan pada pengertian

tersebut, maka unsur-unsur perjanjian menurut konteks Undang-Undang No. 5

Tahun 1999, meliputi:69

1. Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;

2. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak

dalam perjanjian;

3. Perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis;

4. Tidak menyebutkan tujuan perjanjian

Dengan adanya defenisi ini maka Undang-undang ini menyatakan

bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, keduanya

diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha.70

Perjanjian yang didefenisikan pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 juga merupakan perjanjian sepihak yang berarti bahwa perjanjian

sepihak saja sudah dapat terkena undang-undang ini.

Kelemahan defenisi perjanjian menurut Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 ini tidak bisa dianggap tidak penting karena ia akan memungkinkan

lebih mudahnya orang terkena pidana di dalam perjanjian-perjanjian yang per

se illegal.71 Apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap

dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian diancam batal demi

hukum atau dianggap tidak ada karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian

adalah hal-hal yang dilarang oleh undang-undang.72

69 Ibid, hal 187-188 70 Andi Fahmi Lubis dkk, 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha), hal 86 71 Ningrum Natasya Sirait, 2003, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press), hal 77 72 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 40

Universitas Sumatera Utara 34

Adapun perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat, antara lain:

1. Perjanjian Oligopoli

Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen pembekal barang

hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat

memengaruhi harga pasar atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena

dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.73

Perjanjian Oligopoli yaitu dimana pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama

melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.74

2. Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk

melakukan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas

suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau

pelanggannya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 membagi perjanjian

penetapan harga ke dalam beberapa jenis yaitu:

a) Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement).

Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 merumuskan bahwa

pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga atau suatu barang dan/atau jasa

73 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 117 74 Bab III Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara 35

yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar

bersangkutan yang sama.

b) Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)

Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 melarang setiap perjanjian

diskriminasi harga, dimana bunyi Pasal tersebut antara lain: “Pelaku

usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli

yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga

yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang

sama”.

c) Harga Pemangsa atau Jual rugi (Predatory Pricing)

Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang

dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga

dibawah biaya produksi (average cost75 atau marginal cost76). Tujuan

utama dari predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha

pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi

menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.

d) Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance77) –

(Vertical Price Fixing)

75 Average Cost atau biaya rata-rata adalah rata-rata biaya produksi per unit, atau dengan perkataan lain: total biaya (total costs) dibagi dengan banyaknya barang dan jasa yang dihasilkan, diakses dari https://www.coursehero.com/file/p18qhaoe/Perhatikan-Average-Cost-dan-Marginal- Cost-Biaya-rata-rata-average-cost-adalah/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.52 WIB 76 Marginal Cost atau adalah tambahan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu unit produk, atau dengan perkataan lain: tambahan biaya untuk menambah produksi satu unit (additional unit) produk, diakses dari https://www.coursehero.com/file/p18qhaoe/Perhatikan-Average-Cost-dan-Marginal-Cost-Biaya- rata-rata-average-cost-adalah/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.52 WIB 77 Resale price maintenance adalah praktek pabrikan yang berusaha mengendalikan harga jual produk di tingkat ritel, diakses dari https://cerdasco.com/resale-price-maintenance/ pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 21.44 WIB

Universitas Sumatera Utara 36

Pasal 8 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain

yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa

tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang

diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang

telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.”

e) Perjanjian Pembagian Wilayah (Market Division)

Prinsipnya perjanjian antara pelaku usaha untuk membagi

wilayah pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi

terhadap konsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang

cukup baik dari segi barang maupun harga. Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 melarang perbuatan tersebut dalam Pasal 9 yang

menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah

pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga

dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat.

3. Pemboikotan

Larangan membuat perjanjian pemboikotan ini diatur dalam

ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. Tahun 1999, yang menetapkan:

a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk

Universitas Sumatera Utara 37

melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri

maupun pasar luar negeri.

b. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa

dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:

i. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha

lain; atau

ii. Membatasi pelaku usaha lainya dalam menjual atau

membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar

bersangkutan.

Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan para pelaku usaha untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan usaha yang terlibat dalam perjanjian itu.78 Pemboikotan yang diatur dalam Pasal 10 ini dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lainnya. Namun dari ketentuan pasal ini,

Indonesia tidak mengatur secara mutlak. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat

(1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak mensyaratkan adanya dampak negatif sebagai adanya perjanjian pemboikotan tersebut. Namun pada ayat (2) mensyaratkan kerugian yang diderita pelaku usaha lain sebagai akibat pemboikotan atau halangan perdagangan barang dan/atau jasa di pasar bersangkutan.79

78 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 107 79 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 280

Universitas Sumatera Utara 38

4. Kartel

Kartel merupakan salah satu bentuk monopoli yang mana para

pelaku usaha mengadakan perjanjian untuk mengontrol produksi,

menentukan harga dan/atau wilayah pemasaran atas suatu barang dan/atau

jasa sehingga diantara mereka tidak ada lagi persaingan.80

Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa

pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara

mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang

dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat. Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa

karakteristik:81

1. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.

2. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para

senior eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-

pertemuan dan membuat keputusan.

3. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan

mereka.

4. Melakukan price fixing atau penetapan harga Agar penetapan harga

berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau

pembagian wilayah atau alokasi produksi. Biasanya kartel akan

menetapkan pengurangan produksi.

80 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 19 81 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Draft Pedoman Kartel, diakses dari https://www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draft_pedoman_kartel.pdf pada 24 Oktober 2020 pukul 00.00 WIB

Universitas Sumatera Utara 39

5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian.

Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan

terhadap penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih

besar daripada anggota kartel lainnya. Adanya distribusi informasi

kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika memungkinkan dapat

menyelenggarakan audit dengan menggunakan data laporanproduksi

dan penjualan pada periode tertentu. Auditor akan membuat laporan

produksi dan penjualan setiap anggota kartel dan kemudian

membagikan hasil audit tersebut kepada seluruh anggota kartel.

6. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya

lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya

kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan

usahanya. Sistem kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para

pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan

dengan apabila mereka melakukan persaingan. Hal ini akan membuat

kepatuhan anggota kepada keputusan-keputusan kartel akan lebih

terjamin.

5. Trust

Dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999, trust diartikan sebagai

suatu bentuk kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau

perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan

kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan yang

menjadi anggotanya, dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan/atau

pemasaran atas barang dan/atau jasa. Ketentuan Pasal 12 Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara 40

No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dalam

bentuk perjanjian trust yang berdampak kepada terciptanya praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.82

Untuk dapat dilarang suatu perjanjian yang membentuk trust, harus

terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:83

a. Adanya suatu perjanjian.

b. Perjanjian tersebut dibuat dengan pelaku usaha lain.

c. Dengan perjanjian tersebut dibentuk suatu kerja sama dengan

cara membentuk perusahaan yang lebih besar.

d. Tujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas

barang dan/jasa.

e. Perusahaan anggota tetap eksis.

f. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

6. Oligopsoni

Larangan membuat perjanjian oligopsoni yang dibuat oleh pelaku

usaha ialah bertujuan secara bersama-sama, menguasai pembelian dan/atau

penerimaan pasokan atas suatu barang dan/atau jasa tertentu, dapat

mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang

bersangkutan, menguasai lebih dari 75% pangsa pasar jenis barang atau

jasa tertentu. Perjanjian yang dibuat tersebut ternyata dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.84

Namun, perjanjian yang besifat oligopsoni tidak akan dilarang sepanjang

82 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 308-309 83 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 202 84 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 19-20

Universitas Sumatera Utara 41

tidak menimbulkan monopolisasi dan tetap menciptakan pasar kompetitif

dan/atau tidak merugikan masyarakat.85

7. Integrasi Vertikal

Integrasi vertikal adalah perjanjian antara pelaku usaha yang

bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk

dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu, yang mana setiap

rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik

dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. Maksudnya adalah

penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari

hulu sampai pada hilir atau proses yng berlanjut suatu layanan jasa tertentu

oleh pelaku usaha tertentu.86

Perusahaan tertarik untuk melakukan integrasi vertikal didasarkan

atas alasan:87

a. Dapat menciptakan “barrier to entry88” bagi pendatang baru;

b. Dapat memberikan fasilitas investasi;

c. Menjaga kualitas produk; dan

d. Memperbaiki penjadwalan.

Praktik integrasi vertikal dapat menghasilkan barang dan/atau jasa

dengan harga namun dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat

yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Integrasi Vertikal

memiliki efek precompetitive dan anti-competitive sehingga hanya

85 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 204 86 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 205 87 Ibid, hal 207 88 Hambatan masuk (barriers to entry) adalah sesuatu yang menghalangi atau memperkecil peluang perusahaan baru untuk memasuki sebuah pasar, diakses dari https://cerdasco.com/hambatan-masuk/ pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 22.14 WIB

Universitas Sumatera Utara 42

integrasi vertikal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan

merugikan masyarakat yang dilarang.89

8. Perjanjian Tertutup

Perjanjian tertutup adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku

usaha agar dapat menjadi sarana dan upaya bagi pelaku usaha lain secara

vertikal, baik melalui pengendalian harga maupun melalui pengendalian

non-harga.90 Perjanjian yang temuat dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun

1999 disebut juga sebagai perjanjian tertutup. Sebagaimana yang

disebutkan dalam pasal 15 tentang perjanjian tertutup yaitu:

a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang memuat persyaratan

bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan

memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut

kepada pihak tertentu dan/atau pada suatu tempat tertentu (exclusive

distribution agreement91), diatur dalam Pasal 15 ayat (1). Pengertian

memasok disini termasuk menyediakan pasokan, baik barang

maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli,

dan sewa guna usaha (leasing92).

89 Ibid. 90 KPPU, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal 3 91 Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53df5457a0849/apakah-setiap-perjanjian- eksklusif-termasuk-pelanggaran-persaingan-usaha/ pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 22.43 WIB 92 Leasing atau sewa guna usaha merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang atau modal yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, diakses dari https://www.merdeka.com/trending/leasing-adalah-sewa-guna-usaha-ketahui-jenis-dan- manfaatnya.html pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 22.46 WIB

Universitas Sumatera Utara 43

b. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang memuat persyaratan

bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus

bersedia untuk membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha

pemasok (tying agreement), diatur dalam Pasal 15 ayat (2).

c. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai pemberian

harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang

memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang

dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok (agreement on discount):

1) Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku

usaha pemasok; atau

2) Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis

dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha

pemasok (Pasal 15 ayat (3)).93

9. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur bahwa:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar

negeri yang membuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Artinya,

membuat perjanjian dengan pihak luar negeri adalah merupakan hal yang

sah dalam praktik bisnis, hanya saja yang dilarang adalah jika perjanjian

tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan

bisnis yang tidak sehat.94

93 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2006, Anti Monopoli, (Jakarta: Raja Grafindo), hal 27 94 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 361

Universitas Sumatera Utara 44

Dalam penjelasan Pasal 16 Undang-Undang No 5 Tahun 1999

tidak dijumpai mengenai perjanjian dengan pihak luar negeri yang

bagaimanakah yang dilarang oleh Undang-Undang No 5 Tahun 1999,

apakah pihak lain diluar negeri itu pelaku usahanya BUMN asing ataukah

pihak swasta asing maupun pelaku usaha perseorangan atau mungkin

pelaku usaha asing yang berdomisili di Indonesia, semua ini tidak diatur

dalam penjelasan Pasal 16 Undang-Undang No 5 Tahun 1999.95

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dikenal perjanjian yang dilarang yang

dapat diklasifikan antara lain perjanjian oligopoli, perjanjian penetapan

harga, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian

tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Berbagai bentuk

perjanjian yang dilarang ini masih diatur secara normatif dengan diberikan

tambahan pada bagian Penjelasan Undang-Undang. Klasifikasi yang jelas

tentunya akan mempermudah kinerja KPPU dalam menyelesaikan perkara

dugaan pelanggaran perjanjian yang dilarang.

B. Perjanjian yang Dikecualikan Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Undang-Undang hukum persaingan berupaya untuk mengatur

mengenai berbagai kegiatan, maupun perjanjian yang dilarang yang dapat

menghambat proses persaingan.96 Segala bentuk regulasi yang dibuat juga

harus difokuskan pada hal lain seperti perlindungan terhadap pihak yang

lemah dalam proses persaingan yang sangat keras karena pada akhirnya akan

95 Ibid, hal 362 96 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 213

Universitas Sumatera Utara 45

mengakibatkan juga sebagian pelaku tersingkir dari proses persaingan.

Dengan kata lain, mekanisme pasar tidak memerlukan berbagai regulasi bila berfungsi dengan baik, sebaliknya bila terjadi kegagalan dan pasar menjadi terdistorsi, maka regulasi adalah salah satu cara yang dibutuhkan untuk memperbaikinya.97

Kebijakan persaingan dalam pasar yang diatur (regulated market) dapat difasilitasi dengan 2 cara yaitu:98

a. Pembuatan regulasi dengan tujuan peningkatan proses mekanisme pasar.

b. Memberlakukan hukum persaingan dengan tujuan berperan mengatur

perilaku dan tindakan dalam persaingan atau untuk menggantikan atau

mendukung peraturan yang telah ada.

Hukum persaingan diberlakukan dengan tujuan untuk mengatasi kegagalan pasar dengan memberikan ruang yang tidak bertentangan dengan tujuan dari undang-undang itu sendiri, misalnya memberlakukan pengecualian

(exemption).99 Sebagaimana biasanya suatu kaidah hukum, disamping ketentuan yang berlaku umum, terdapat pengecualiannya. Dalam Undang-

Undang No. 5 Tahun 1999 secara cukup terperinci telah mengatur pengecualian terhadap perjanjian atau perbuatan yang dilarang. Artinya sungguhpun kelihatannya ada perbuatan atau perjanjian yang bersifat anti persaingan atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau

97 Ibid, hal 214 98 Ibid, hal 215 99 Ibid, hal 217

Universitas Sumatera Utara 46

persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi dengan berbagai pertimbangan, undang-undang memberikan pengecualiannya.100

Pengecualian dalam hukum persaingan umumnya didasarkan pada adanya instruksi yang berasal dari UUD, adanya instruksi dari UU ataupun peraturan negara lainnya dan instruksi atau pengaturan berdasarkan pengaturan dari suatu badan administrasi. Pengecualian dapat diberikan berdasarkan 2 alasan, yaitu:101

a. Industri atau badan yang dikecualikan umumnya telah diregulasikan

atau diatur oleh badan pemerintah yang lain dengan tujuan

memberikan perlindungan khusus atas nama kepentingan umum

(public interests), misalnya: transportasi, air minum, listrik dan lain-

lain.

b. Suatu industri membutuhkan adanya perlindungan khusus karena

praktek kartelisme tidak dapat lagi dihindarkan dan lebih baik

memberikan proteksi yang jelas kepada suatu pihak daripada berupaya

memberlakukan undang-undang.

Adapun Pasal 50 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur

perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan yang dikecualikan sebagai

pelanggaran undang-undang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat

yaitu:102

100 Susanti Adi Nugroho, Op, Cit., hal 757 101 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit, hal 217-218 102 Susanti Adi Nugroho, Op, Cit., hal 758-759

Universitas Sumatera Utara 47

1. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, diatur dalam

Peraturan KPPU No 5 Tahun 2009. Pasal 50 huruf a Undang-

Undang No 5 Tahun 1999 tidak memberi penjelasan yang lebih

mengenai pasal tersebut. Para penyusun undang-undang mungkin

tidak sadar bahwa ketidakjelasaan tersebut dikhawatirkan akan

disalahgunakan. Pengalaman zaman Orde Baru membuktikan

bahwa perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-

undangan dapat disalahgunakan oleh pemerintah ataupun pelaku

usaha untuk mengadakan kolusi dengan pemerintah dengan cara

membuat peraturan yang sangat menguntungkan beberapa pelaku

usaha tertentu.103

2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual

seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk

industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta

perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Waralaba adalah hak

khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha

terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka

memasarkan barang usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas

usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah

terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh

pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.104 Perjanjian ini telah

diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPPU No 6 Tahun 2009.

103 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 108 104 Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1 tentang Waralaba

Universitas Sumatera Utara 48

3. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa

yang tidak mengekang merintangi dan/atau menghalangi

persaingan. Perjanjian ini dikecualikan karena untuk mengamankan

mengamankan produksi dalam negeri baik mutu maupun teknis

untuk kepentingan konsumen dan pelaku usaha.105

4. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat

ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan

harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan,

diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPPU No 7 Tahun 2010.

5. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan

standar hidup masyarakat luas. Perjanjian kerjasama jenis ini

sering dilakukan oleh perusahaan yang tergabung dan menjadi

anggota asosiasi suatu industri. Rasionalnya adalah bahwa

penelitian sering membutuhkan dana yang besar sehingga

kerjasama dalam penelitian sering dilakukan secara patungan dan

kemudian penemuan atau hak patennya akan dinikmati bersama.

Hampir seluruh penelitian ataupun penemuan hak atas kekayaan

intelektual akan membawa dampak positif bagi peningkatan atau

perbaikan standar hidup masyarakat luas, karenanya diperlukan

standarisasi jenis perjanjian yang bagaimanakah yang diijinkan

untuk dikecualikan. Bila terdapat perjanjian seperti ini, maka harus

dilihat apakah klausulanya kemudian memberikan hak eksklusif

105 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 152

Universitas Sumatera Utara 49

memonopoli hak atas kekayaan intelektual yang juga diijinkan dan

diproteksi oleh undang-undang.106

6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah

Republik Indonesia.

7. Perjanjian dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang

tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri.

8. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil, telah diatur dalam

Peraturan KPPU No. 9 Tahun 2011.

9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk

melayani anggotanya. Ketentuan Pasal 50 huruf I Undang- Undang

No 5 Tahun 1999 juga memberikan pengecualian terhadap

kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk

melayani anggotanya, namun yang harus diperhatikan bahwa tidak

semua koperasi bertujuan untuk melayani anggotanya tetapi kepada

kepada orang lain atau perusahaan, dalam hal ini sudah bukan lagi

merupakan hak yang dikecualikan karena kegitannya bukan untuk

melayani anggota koperasi tersebut.107

Berdasarkan pada penjelasan diatas, Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 juga menerapkan adanya pengecualian terkait perjanjian yang dapat dibuat oleh pelaku usaha dengan mengacu pada instruksi yang berasal dari

UUD. Perjanjian yang dikecualikan diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999. Namun dalam pengaturannya dalam UU terdapat kekurangan dimana tidak semua poin dijelaskan lebih rinci dalam bagian

106 Andi Fahmi Lubis I dkk, Op, Cit., hal 274 107 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 172

Universitas Sumatera Utara 50

penjelasan Undang-Undang ini. Maka dari itu, KPPU menerbitkan suatu

pedoman yang diatur melalui Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

guna menjelaskan lebih rinci dan jelas terkait perjanjian yang dikecualian.

Dengan begitu, KPPU akan dipermudah dalam menganalisis apakah perjanjian

perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha termasuk ke dalam perjanjian

yang dilarang atau dikecualikan.

C. Pengertian Penetapan Harga

Penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap

hukum persaingan karena perilaku kesepakatan harga akan secara langsung

menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara perusahaan-

perusahaan di pasar. Dalam kondisi persaingan, harga akan terdorong turun

mendekati biaya produksi dan jumlah produksi di pasar juga meningkat dan

lebih efisien sehingga kesejahteraan pun akan meningkat. Namun ketika

perusahaan-perusahaan melakukan kesepakatan harga maka harga akan naik

jauh diatas produksi. Tentu kenaikan harga ini akan berpengaruh akan

penurunan kesejahteraan konsumen.108

Pada prinsipnya tujuan utama atau target yang ingin dicapai produsen

dengan cara menetapkan harga, adalah untuk menguasai atau mendominasi

pasar secara bersama sambil memaksimalisasi keuntungan sebesar mungkin

karena dengan menetapkan harga para produsen sadar bahwa produk mereka

dibutuhkan oleh konsumen, dan kebutuhan itu sedemikian besar serta praktis

tidak ada pesaing baru yang akan memproduksi produk tersebut dalam waktu

dekat. Dengan demikian, pada kondisi permintaan dan penawaran produk

108 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 46

Universitas Sumatera Utara 51

yang tidak elastis tersebut, produsen-produsen yang terlibat dalam perjanjian penetapan harga dapat menikmati keuntungan dan dominasi pasar secara maksimal. Keuntungan itu diperoleh dengan cara menetapkan harga jual diatas harga pasar yang sebelumnya tidak ada terjadi perjanjian penetapan harga.109

Pada literatur ilmu ekonomi, perilaku penetapan harga (price fixing) antara pelaku usaha yang sedang bersaing di pasar merupakan salah satu bentuk kolusi. Kolusi tersebut dilakukan dalam bentuk koordinasi dan digunakan untuk menyepakati beberapa hal, diantaranya:110

a. Kesepakatan penetapan harga tertentu yang lebih tinggi dari harga

yang diperoleh melalui mekanisme persaingan;

b. Kesepakatan penetapan kuantitas tertentu yang lebih rendah dari

kuantias dalam situasi persaingan;

c. Kesepakatan pembagian pasar.

Price fixing bisa terjadi secara vertikal dan horizontal dan sangat dianggap sebagai hambatan perdagangan karena membawa akibat buruk terhadap persaingan harga. Jika price fixing dilakukan, kebebasan untuk menentukan harga secara independen menjadi kurang.111 Secara khusus penulis membahas mengenai penetapan harga atau price fixing secara horizontal yang dilakukan oleh 7 (tujuh) perusahaan maskapai penerbangan yang seharusnya merupakan pesaing.

109 Andi Fahmi Lubis II, Op. Cit., hal 68 110 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 225 111 Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hal 40

Universitas Sumatera Utara 52

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh

konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.112 Perjanjian

penetapan harga ini dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,

karena penetapan harga secara bersama-sama ini akan menyebabkan tidak

dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya

penawaran dan permintaan, sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan

persaingan usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian

tersebut.113

D. Pengaturan Penetapan Harga

Undang-Undang Antimonopoli mengatur batas-batas para pelaku

usaha dalam bertindak. Salah satu yang diatur oleh Undang-undang

Antimonopoli adalah dilarangnya perjanjian-perjanjian yang dianggap dapat

menimbulkan monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.114 Perjanjian-

perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No. 5

Tahun 1999.

Perjanjian penetapan harga horizontal (price fixing) diatur secara tegas

dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan:

1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaing untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang

112 Bab III Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 113 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 136 114 Suyud Margono, 2013, Hukum Antimonopoli, (Jakarta : Sinar Grafika), hal 77

Universitas Sumatera Utara 53

harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan

yang sama.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:

a) Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b) Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) menyatakan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaing. Artinya, perjanjian- perjanjian penetapan harga bersama-sama merupakan sebuah perilaku yang sangat terlarang dalam hukum persaingan usaha, karena penetapan harga bersama-sama selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada di atas harga yang bisa dicapai melalui persaingan usaha yang sehat.115

Sedangkan Pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian terhadap perjanjian tertentu. Ketentuan ini menyatakan, bahwa ketentuan larangan price fixing sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku atau dikecualikan bagi:116 a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint

venture), contohnya PT. X dan PT. Y mengadakan suatu usaha

patungan dengan mendirikan PT. A, dimana PT. X dan PT. Y

diperkenankan untuk menentukan sendiri besarnya harga jual barang

yang diproduksi PT. A tersebut; b. Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku,

contohnya penentuan harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang

dilakukan oleh pemerintah.

115 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 213 116 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 142

Universitas Sumatera Utara 54

Lebih lanjut, KPPU mengeluarkan Peraturan Komisi Nomor 4

Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat, sebagai pedoman dalam memeriksa perkara perjanjian penetapan harga. Peraturan komisi ini merupakan standar minimum bagi komisi dalam melaksanakan tugasnya, yang menjadi satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan dan mengikat semua pihak.117

Adapun tujuan pembuatan pedoman Pasal 5 ini adalah:

1. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan

penetapan harga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5.

2. Memberikan dasar pemahaman yang sama dan arah yang jelas dalam

pelaksanaan Pasal 5.

3. Memberikan landasan bagi semua pihak untuk berprilaku tidak

melanggar Pasal 5.

4. Memberikan pemahaman tentang pendekatan yang dilakukan oleh

KPPU dalam melakukan penilaian atas perjanjian tentang penetapan

harga.

Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5

(Penetapan Harga) mencoba mengakomodasi perkembangan- perkembangan yang terjadi dengan begitu dinamis, dengan harapan akan terjadi pemahaman yang sama terhadap pelaksanaan Undang- Undang

117 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 4 Tahun 2011

Universitas Sumatera Utara 55

Nomor 5 Tahun 1999.118 Adapun unsur-unsur terjadinya penetapan harga

secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:119

1. Unsur Pelaku Usaha

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 5 dalam Ketentuan Umum

Undang-Undang No 5 Tahun 1999, Pelaku usaha adalah “Setiap

orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi.”

2. Unsur Perjanjian

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 7 dalam Ketentuan Umum

Undang-Undang No 5 Tahun 1999 “Perjanjian adalah suatu

perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri

terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun,

baik tertulis maupun tidak tertulis.”

3. Unsur Pelaku Usaha Pesaing

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar

bersangkutan yang sama.

118 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 46 119 KPPU, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal 6-7

Universitas Sumatera Utara 56

4. Unsur Harga Pasar

Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi

barang dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak dipasar

bersangkutan.

5. Unsur Barang

Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat

dipedagangkan, dipakaim dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha.

6. Unsur Jasa

Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

7. Unsur Konsumen

Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang

dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk

kepentingan pihak lain.

8. Unsur Pasar Bersangkutan

Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan

jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas

barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari

barang dan atau jasa tersebut.

Universitas Sumatera Utara 57

9. Unsur Usaha Patungan

Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang

dibentuk melalui perjanjian oleh dua pihak atau lebih untuk

menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para pihak

bersepakat untuk membagi keuntungan den menanggung kerugian

yang dibagi secara proposional berdasarkan perjanjian tersebut.

E. Tindakan yang disebut sebagai Penetapan Harga

Berdasarkan pada Undang-undang No. 5 Tahun 1999, perjanjian

penetapan harga yang dilarang adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian penetapan harga antar pelaku (Pasal 5 UU No.5 Tahun 1999)

Dalam hal dua pihak atau lebih membuat perjanjian untuk secara

bersama-sama menentukan harga jual barang yang akan dijual. Perjanjian

dapat dilakukan dengan tertulis ataupun lisan, bahkan pada pasar yang

bersifat oligopolis ataupun pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang

memiliki posisi dominan penentuan harga bisa dilakukan hanya dengan

memberikan tanda kepada pelaku usaha lainnya dengan bentuk menaikkan

harga yang biasanya akan selalu diikuti oleh pelaku usaha lainnya.

Cara lain dalam menentukan harga adalah dengan membuat

pengumuman atau artikel di media masa yang mengindikasikan bahwa

perlu kenaikan harga, sehingga pelaku usaha lainnya tahu bahwa mereka

harus ikut menaikkan harga. Hal ini merupakan bentuk kolusi yang

disamarkan (tacit collusion).120

120 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 144

Universitas Sumatera Utara 58

2. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan/atau jasa yang sama -

price discrimination (Pasal 6 UU No.5 Tahun 1999)

Penetapan harga merupakan salah satu bentuk kegiatan yang

banyak dilaporkan dan diputus KPPU. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5

sampai Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999. Namun, perkara yang banyak

ditangani KPPU adalah perkara penetapan harga yang terkait dengan

pelanggaran Pasal 6 yang menyatakan “Pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar

dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli

lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”.

Dalam hal ini yang dilarang adalah membuat perjanjian yang

memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen yang satu

dengan konsumen yang lainnya, dengan jalan memberikan harga yang

berbeda-beda terhadap barang atau jasa yang sama.121

Dalam praktik, Pasal 6 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 ini tidak

mudah dibuktikan karena menurut teori diskriminasi harga selalu

dimungkinkan jika ada perbedaan volume pembelian, waktu, dan jarak

antara penjual dengan pembeli dan di dalam pasal tersebut juga tidak

dijelaskan dengan siapa pelaku usaha membuat perjanjian, apakah dengan

sesama pelaku usaha ataukah dengan pembeli.122

3. Perjanjian Penetapan Harga dibawah harga Pasar - Predatory Price /

Dumping (Pasal 7 UU No 5 Tahun 1999)

121 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 146 122 Ibid, hal 150

Universitas Sumatera Utara 59

Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan

oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya

produksi yang bertujuan untuk mematikan pelaku usaha pesaing dari pasar

dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk

masuk ke dalam pasar yang sama.123 Penetapan harga dibawah harga pasar

merupakan suatu strategi yang biasa dilakukan oleh perusahaan yang

dominan untuk menyingkirkan pesaingnya di suatu pasar dengan cara

menetapkan harga atau harga penjualan yang sangat rendah dan umumnya

di bawah biaya variable. Sering juga disebut sebagai suatu kebijakan

penetapan harga yang dilakukan oleh sebuah atau banyak perusahaan

dengan tujuan untuk merugikan para pemasok pesaing atau untuk memeras

memeras konsumen.124

Predatory Pricing ini sebenarnya merupakan hasil dari perang

harga tidak sehat antara pelaku usaha dalam rangka merebut pasar yang

mengakibatkan prodesen pesaing akan kehilangan pangsa pasarnya dan

pada waktu yang lebih panjang, produsen pelaku predatory pricing akan

dapat bertindak sebagai monopoli.125

4. Perjanjian Penetapan Harga Jual Kembali - Resale Price Maintenance

(Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999)

Perjanjian penetapan harga jual kembali dengan harga terendah

merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilarang diadakan antar

pelaku usaha dalam konteks Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 8

123 Rezmia Febrina, Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) yang dilakukan Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha, (Jurnal Selat : Vol 4 No 2, Mei 2017), hal 243 124 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 248 125 Ibid, hal 249

Universitas Sumatera Utara 60

berbunyi, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

Pasal ini dirumuskan secara rule of reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.126

Terkait Pasal 8, KPPU mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha No 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8. Terdapat tiga macam resale price maintenance yaitu: a. Maximum resale price adalah pengaturan harga jual kembali produk

yang ditentukan dalam kontrak dengan harga lebih tinggi dari harga

yang dipersyaratkan di dalam kontrak. b. Specified resale price adalah pengaturan harga jual kembali yang mana

pemasok atau produsen mensyaratkan kepada pembelinya untuk

menjual kembali produk yang ditentukan dalam kontrak dengan harga

tertentu sesuai dengan yang dipersyaratkan di dalam kontrak.

126 Andi Fahmi Lubis II dkk, Op. Cit., hal 102

Universitas Sumatera Utara 61

c. Minimum resale price adalah pengaturan harga jual kembali yang

mana pemasok atau produsen mensyaratkan kepada pembelinya untuk

tidak menjual kembali produk yang ditentukan dalam kontrak dengan

harga lebih rendah dari harga yang dipersyaratkan di dalam kontrak.

Sedangkan menurut Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:127

1. Kesepakatan menaikkan atau menurunkan harga.

2. Kesepakatan memakai suatu formula standart sebagai dasar

perhitungan harga.

3. Kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga yang

dipersaingkan dengan suatu perbandingan tetap antara harga yang

dipersaingkan dengan suatu produk tertentu.

4. Kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon.

5. Kesepakatan persyaratan pemberian kredit kepada konsumen.

6. Kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah

di pasar, sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi.

7. Persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan.

8. Kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak dipenuhi.

9. Kesepakatan menggunakan harga yang seragam sebagai langkah awal

untuk negoisasi.

127 Andi Fahmi Lubis II, Op. Cit., hal 97

Universitas Sumatera Utara 62

Berdasarkan pada beberapa penjelasan diatas mengenai penetapan harga, penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hukum persaingan yang dilakukan dengan cara menyepakati harga untuk menguasai atau mendominasi pasar secara bersama demi memaksimalisasi keuntungan sebesar mungkin. Penetapan harga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan kemudian terdapat juga pengecualian terhadap perjanjian penetapan harga yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. KPPU juga telah mengatur lebih lanjut mengenai pengaturan penetapan harga melalui

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011

(Pedoman Pasal 5). Didalam pedoman tersebut diatur secara rinci mengenai unsur-unsur penetapan harga yang terdiri dari unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur pelaku usaha pesaing, unsur harga pasar, unsur barang, unsur jasa, unsur konsumen, unsur pasar bersangkutan dan unsur usaha patungan.

Adanya pengaturan mengenai unsur-unsur penetapan harga ini memudahkan

KPPU untuk menentukan perilaku pelaku usaha dalam melakukan perjanjian termasuk ke dalam perjanjian penetapan harga atau tidak.

Berbagai tindakan-tindakan yang termasuk sebagai penetapan harga sebagai perjanjian yang dilarang juga telah diatur dalam Undang-Undang No.

5 Tahun 1999. Namun untuk menambah acuan bagi KPPU dalam menganalisis perkara-perkara yang masuk sebagai laporan maupun inisiatif, pedoman Pasal 5 yang diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 turut mengatur bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam Pasal

5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Universitas Sumatera Utara

BAB III

PEMBUKTIAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA OLEH KOMISI

PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

A. Penegakan Hukum Persaingan Usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan

Usaha

Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini berdasarkan pada Pasal 34 Undang-

Undang No. 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan

sususan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui keputusan

presiden (Keppres). Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres

Nomor 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha

(KPPU).128

KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda

selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk

menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif.

Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya hukum

persaingan usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus

persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan

sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan

lembaga administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi

administratif.129

Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha diatur dengan jelas dalam

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, meliputi:

128 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 31 129 Ibid, hal 31-32

63

Universitas Sumatera Utara 64

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagai mana diatur dalam Pasal 36; e. Memberikan saran dan mempertimbangkan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; dan g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan DPR. Tugas Komisi dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, juga menugaskan Komisi untuk memberikan saran dan pertimbangan terhadap pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu Komisi juga ditugaskan untuk menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat. Jika Komisi melihat pasal-pasal yang ada dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak memadai menunjang tugas dan wewenangnya, maka Komisi hendaknya mengajukan saran dan pertimbangan kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung tugas dan wewenang Komisi.130 Komisi Pengawas Persaingan

Usaha diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif sehingga dapat dikatakan bahwa KPPU bersifat multifungsi karena memiliki wewenang

130 Ningrum Natasya Sirait II dkk, Op. Cit., hal 124

Universitas Sumatera Utara 65

sebagai investigator, penyidik, pemeriksa, penuntut, pemutus maupun fungsi sebagai konsultatif.131

Adapun yang menjadi wewenang Komisi Pengawas Persaingan

Usaha telah diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang No 5 Tahun 1999, meliputi:

a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha

tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat;

b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan

atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus

dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang

ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang

ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat;

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang

yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan

undang-undang ini;

131 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 109

Universitas Sumatera Utara 66

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,

saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e

dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;

h. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya

dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha

yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini;

i. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat

bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di

pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;

k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang

diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat;

l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku

usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.

Berdasarkan perintah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pada

Pasal 38 ayat (4) maka hukum acara di KPPU ditetapkan oleh KPPU dan sejak berdiri di tahun 2000, hukum acara tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan dari SK No 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang Tata

Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran

Terhadap UU No 5 Tahun 1999 (SK 05) kemudian berganti menjadi

Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, berganti lagi menjadi Peraturan Komisi No 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara dan terakhir menjadi Peraturan

Universitas Sumatera Utara 67

Komisi No 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat.132

Tata cara penanganan perkara persaingan usaha diatur dalam Pasal

38 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Sebagai

lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang

Persaingan Usaha, KPPU berwenang melakukan pemeriksaan terhadap

pelaku usaha, saksi maupun pihak lain. Ada 2 jenis perkara yang akan

diperiksa oleh KPPU yaitu133:

a. Perkara berdasarkan Laporan

Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang

dilakukan oleh KPPU, karena adanya laporan yang disampaikan

baik oleh masyarakat yang dirugikan maupun atas dasar laporan

dari pelaku usaha yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang

dilaporkan.134 Komisi akan melakukan pemeriksaan setelah

menerima laporan bahwa diduga terjadinya pelanggaran terhadap

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.135 Setiap orang yaitu orang

perseorangan atau badan hukum (pihak-pihak yang dirugikan,

maupun pihak pelaku usaha yang dirugikan, bahkan masyarakat)

dapat melaporkan kepada Komisi, sesuai ketentuan dalam Bab II

Pasal 3 ayat (1) Perkom Nomor 1 Tahun 2019 jelas dikatakan

bahwa: “Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut

132 Andi Fahmi Lubis I dkk, Op, Cit. hal 324 133 Bab II Pasal 2 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 134 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 588 135 Bab VII Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Sumatera Utara 68

diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang dapat

melaporkan kepada Komisi”. Laporan yang diberikan harus dibuat

dalam bentuk tertulis dan memenuhi syarat yaitu menyertakan

identitas pelapor atau terlapor, menguraikan secara jelas mengenai

dugaan pelanggaran Undang-Undang dan harus memuat alat bukti

dugaan pelanggaran.136

Berdasarkan pada Perkom Nomor 1 Tahun 2019, terdapat

Unit kerja yang menangani laporan yang harus melaporkan

perihal diterimanya laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang

kepada Ketua Komisi.137 Unit kerja yang menangani laporan harus

melakukan klarifikasi terhadap setiap laporan yang masuk dan

ditujukan kepada Ketua Komisi. Klarifikasi dilakukan untuk

menyatakan bahwa laporan yang ada telah memenuhi syarat138

untuk dapat dilanjutkan ke tahap penyelidikan.

Pelapor wajib melengkapi laporannya paling lama 14

(empat belas) hari sejak laporan dinyatakan tidak memenuhi

ketentuan persyaratan oleh Unit kerja yang menangani laporan.139

Apabila dalam jangka waktu tersebut, laporan tidak dilengkapi

oleh pelapor, maka laporan dinyatakan tidak lengkap dan

136 Pasal 3 ayat (4) Perkom Nomor 1 Tahun 2019: a. Identitas Pelapor dan Terlapor b. Uraian secara jelas mengenai dugaan pelanggaran Undang-Undang; dan c. Alat bukti dugaan pelanggaran. 137 Pasal 5 Perkom Nomor 1 Tahun 2019 138 Pasal 6 ayat (4) Perkom Nomor 1 Tahun 2019: a. Kelengkapan administrasi laporan; b. Kejelasan dugaan pasal Undang-Undang yang dilanggar; c. Kesesuain kompetensi absolut Komisi; dan d. Terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) alat bukti. 139 Bab II Pasal 7 ayat (2) Perkom Nomor 1 Tahun 2019

Universitas Sumatera Utara 69

penanganannya dihentikan.140 Status hukum pihak yang

dilaporkan dalam perkara akan disebut sebagai terlapor, dan

bentuk dari perkara yang berasal dari laporan dapat dilihat dari

pada putusan KPPU yang berkode penomoran huruf L.141

b. Perkara berdasarkan inisiatif Komisi

Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku

usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran terhadap Undang-

Undang meskipun tanpa adanya laporan.142 KPPU memiliki tugas

untuk melakukan pengawasan terhadap setiap pelaku usaha, dan

menilai apakah usaha tersebut dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.143 Artinya, dalam proses

menjalankan tugasnya sebagai Komisi pengawas, KPPU boleh

secara inisiatif melakukan pemeriksaan apabila KPPU

menemukan adanya perjanjian atau kegiatan yang berpotensi

merusak persaingan.

Pelaku usaha jenis inisiatif yang sedang diperiksa oleh

KPPU mempunyai status hukum yang berbeda dengan jenis

perkara laporan. Untuk perkara yang berdasarkan inisiatif, pelaku

usaha yang diperiksa disebut “saksi”.144 Perkara yang berasal dari

inisiatif Komisi ditandai dengan kode penomoran huruf I.

140 Bab II Pasal 8 ayat (1) Perkom Nomor 1 Tahun 2019. 141 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 588 142 Bab VII Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 143 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 144 Andi Fahmi Lubis II dkk, Op. Cit., hal 396

Universitas Sumatera Utara 70

Prosedur penegakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

yang dilaksanakan oleh Komisi terdiri dari beberapa tahap yaitu:

b. Prosedur Pemeriksaan dan Pemutusan perkara oleh KPPU

Adapun tahapan-tahapan dalam penanganan perkara

praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara

lain:145

1. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan pendahuluan disebutkan dalam

ketentuan Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No 5 Tahun

1999 yang mana jangka waktunya adalah 30 hari sejak

tanggal surat penetapan dimulainya suatu pemeriksaan

pendahuluan. Dalam memulai suatu pemeriksaan

pendahuluan, baik untuk perkara atas dasar adanya laporan

dan perkara atas dasar inisiatif, KPPU akan menetapkannya

terlebih dahulu dengan surat keputusan atau penetapan

untuk dapat dimulainya suatu pemeriksaan pendahuluan,

apabila pemeriksaan didasarkan atas dasar inisiatif jangka

waktu pemeriksaan pendahuluan dihitung sejak tanggal

surat penetapan Majelis Komisi untuk memulai

pemeriksaan lanjutan dan apabila pemeriksaan dilakukan

atas dasar adanya laporan, KPPU berdasarkan laporan

tersebut wajib terlebih dahulu melakukan penelitian

terhadap kejelasan laporan. Laporan yang dinyatakan telah

145 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Sumatera Utara 71

lengkap dan jelas, KPPU melalui surat penetapan, akan

menentukan dimulainya waktu pemeriksaan

pendahuluan.146 Jangka waktu Pemeriksaan Pendahuluan

dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari dimulai sejak persidangan pertama yang dihadiri oleh

Terlapor.147

2. Perubahan Perilaku

KPPU dapat menghentikan sebuah perkara pada

tahap pemeriksaan pendahuluan apabila Terlapor mengakui

dan menerima tuduhan dalam Laporan Dugaan Pelanggaran

(LDP) yang diajukan oleh Tim Investigator KPPU dan

Terlapor berkomitmen untuk menghentikan perilaku anti

persaingan. Komitmen ini dilakukan Terlapor dengan

menandatangani Pakta Integritas Perubahan Perilaku148,

apabila selama masa pengawasan yaitu lamanya jangka

pengawasan 60 hari tidak ditemukan adanya

penyimpangan, maka KPPU akan menerbitkan sebuah

penetapan untuk menghentikan perkara.149

146 Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, 2005, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hal 18 147 Pasal 30 ayat (1) dan (2) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 148 Pasal 34 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 149 Pasal 36 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Sumatera Utara 72

3. Tahap Pemeriksaan Lanjutan

KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap

pelaku usaha yang dilaporkan dalam proses pemeriksaan

lanjutan.150 KPPU akan terlebih dahulu menetapkan dengan

surat keputusan untuk dimulainya pemeriksaan lanjutan,

ataupun perpanjangannya. Walaupun berdasarkan ketentuan

ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No 5 Tahun

1999 KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku

usaha yang dilaporkan pada saat pemeriksaan lanjutan,

namun dalam praktiknya, KPPU sudah mulai melakukan

pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pelaku usaha pada

waktu pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan lanjutan

biasanya dilakukan apabila KPPU telah menemukan

indikasi adanya praktik monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat, atau apabila hal KPPU memerlukan

waktu yang lama untuk melakukan penyelidikan dan

pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang

ada.151 Pasal 43 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha Nomor 1 Tahun 2019 mengatur bahwa pemeriksaan

lanjutan berakhir dalam jangka waktu paling lama 60 hari

sejak pemeriksaan dimulai dan apabila diperlukan jangka

waktu pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang paling lama

30 hari.

150 Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 151 Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, Op. Cit., hal 19

Universitas Sumatera Utara 73

4. Tahap Pemeriksaan Setempat

Pemeriksaan setempat dilakukan oleh Majelis

Komisi untuk memeriksa objek perkara yang tujuannya

untuk membuat jelas keterangan dan/atau alat bukti yang

terdapat dalam persidangan.152

5. Tahap Pelaksanaan Putusan Komisi

Apabila Putusan Komisi menyatakan terbukti

adanya perbuatan melanggar ketentuan Undang-Undang No

5 Tahun 1999, maka proses selanjutnya akan berlanjut

kepada tahap eksekusi putusan Komisi. Berdasarkan pasal

47 Undang-Undang No 5 Tahun 1999, Komisi memiliki

kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif dalam

bentuk-bentuk pembatalan perjanjian, perintah penghentian

suatu kegiatan, penghentian penyalahgunaan posisi

dominan, pembatalan merger, konsolidasi, akuisisi, maupun

penetapan pembayaran ganti rugi dan denda. Tahap

eksekusi bertujuan untuk memastikan bahwa pihak yang

dikenakan sanksi memenuhi kewajibannya.153

c. Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU

Pelaku usaha yang tidak menerima putusan Komisi

dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri

152 Pasal 59 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 153 Hikmahanto Juwana dkk, 2003, Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha, (Jakarta: Partnership for Business Competition (PBC)), hal 14

Universitas Sumatera Utara 74

selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah mendapat

pemberitahuan putusan Komisi.154 Pemeriksaan Keberatan

dilakukan tanpa melalui proses mediasi dan pemeriksaan

keberatan hanya atas dasar putusan dan berkas perkara.155

Pengadilan Negeri tidak lagi memeriksa ulang pokok

perkaranya namun hanya memeriksa mengenai penetapan

hukumnya saja.156

Majelis Hakim Pengadilan Negeri dapat meminta untuk

dilakukan Pemeriksaan Tambahan oleh komisi apabila dirasa

perlu. Perintah tersebut dituangkan dalam Putusan Sela yang

memuat hal-hal yang harus diperiksa dengan alasan-alasan

yang jelas dan jangka waktu Pemeriksaan Tambahan yang

diperlukan.157

Majelis hakim harus membacakan putusan paling lama

30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan Keberatan

dalam sidang yang terbuka untuk umum.158 Putusan KPPU

baik yang tidak diajukan keberatan maupun yang telah

diperiksa dan diputus melalui prosedur Keberatan, serta

berkekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan secara sukarela

oleh Terlapor paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal

154 Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 155 Bab IV Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 156 Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, Op. Cit., hal 56 157 Pasal 69 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 158 Bab V Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Universitas Sumatera Utara 75

pembacaan putusan atau sejak Terlapor menerima

pemberitahuan putusan.159

d. Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan KPPU

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 masih

memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk mencari

keadilan dengan melakukan “upaya hukum terakhir” yang

dapat diajukan kepada Mahkamah Agung. Hal tersebut

ditetapkan dalam ketentuan Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa apabila pelaku

usaha tidak menerima atau menolak putusan Pengadilan

Negeri, maka pihaknya dalam tenggang waktu 14 hari dapat

mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah

Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak

permohonan kasasi diterimanya.160

Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019

Pasal 15 juga telah menjelaskan bahwa terhadap putusan

Keberatan, upaya hukum terakhir adalah kasasi sehingga

penyelesaian kasus KPPU maksimal adalah Kasasi dan tidak

terbuka upaya Peninjauan Kembali baik oleh Terlapor maupun

KPPU.

Berdasarkan pada penjelasan diatas mengenai tata cara penanganan

perkara persaingan usaha, perkara yang akan diperiksa oleh KPPU terdiri dari

159 Bab VI Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 160 Rachmadi Usman III, 2013, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), hal 192

Universitas Sumatera Utara 76

perkara berdasarkan laporan dan perkara berdasarkan inisiatif. Prosedur yang

digunakan dalam penegakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pun sudah

diatur dengan rinci dan jelas. Namun seiring dengan perkembangan produk

hukum yang diciptakan dalam melengkapi pengaturan hukum yang ada di

Indonesia, pada tahun 2020 diciptakanlah Undang-Undang No. 11 Tahun

2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat

perubahan terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).

Perubahan beberapa pasal dalam UU Anti Monopoli tersebut diatur dalam Bab

VI tentang Kemudahan Berusaha, tepatnya Bagian Kesebelas tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pasal

118.161

Secara rinci, perubahan-perubahan terhadap Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 yang terjadi karena adanya Undang-Undang Cipta Kerja diubah

sebagai berikut162:

1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. 2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambatlambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

161 Fitria Novia Heriani, 2020, 4 Poin Penting Terkait Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam UU Cipta Kerja, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fa38acac9fab/4-poin-penting-terkait-penegakan- hukum-persaingan-usaha-dalam-uu-cipta-kerja/ pada tanggal 07 Maret 2021 pukul 21.37 WIB 162 Pasal 118 Bagian Kesebelas Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Sumatera Utara 77

3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi. 4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 2. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 1) Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut. 2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. 3) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini. 2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27; d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau g. pengenaan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Universitas Sumatera Utara 78

4. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda.” 5. Ketentuan Pasal 49 dihapus.

Secara garis besar terdapat empat poin penting perubahan terkait penegakan hukum anti monopoli. Pertama, perubahan upaya keberatan dari

Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembuktian di pengadilan, mengingat hakim di Pengadilan Niaga umumnya telah terbiasa berurusan dengan aspek bisnis atau komersil. Kedua, penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah

Agung. Penghapusan dimaksud adalah penghapusan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi. Ketiga, penghapusan batasan denda maksimal.

Dalam hal ini KPPU masih ketentuan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut perubahan dalam UU Ciptaker. Karena terkait dengan kriteria, jenis dan besaran denda akan di atur dalam peraturan tersebut. Dan keempat adalah terkait penghapusan sanksi pidana dengan mengutamakan sanksi administratif.

Namun sanksi pidana tetap berlaku untuk pelaku usaha yang tidak kooperatif dalam penegakan persaingan usaha.163

Berdasarkan pada keterangan diatas, tata cara penanganan perkara di

KPPU semakin diperbaharui. KPPU sebagai lembaga yang bergerak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan ini semakin memiliki pedoman yang jelas sehingga dalam prakteknya dapat mengedepankan

163 Ibid.

Universitas Sumatera Utara 79

keseimbangan antara peningkatan kemudahan berusaha pelaku usaha dalam

melakukan investasi dengan penegakan hukum persaingan yang berkualitas

dalam upaya penciptaan persaingan usaha yang sehat di Indonesia.

B. Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga

Dalam ilmu pengetahuan hukum acara pidana dikenal tiga teori tentang

tentang sistem pembuktian yang meliputi:164

1) sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief

wettelijke bewijs theorie);

2) sistem pembuktian menurut keyakinan hakim; dan

3) sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk bewijs theorie).

Prinsip pembuktian tentang adanya pelanggaran dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 sama dengan prinsip pembuktian dalam perkara

pidana yang berlaku dalam KUHAP yaitu dengan berpedoman pada Pasal 183

KUHAP yang mengatur bahwa untuk menentukan kesalahan seorang harus

didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.165

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur tentang bagaimana

cara membuktikan adanya suatu perjanjian sehingga berkaitan dengan

perjanjian penetapan harga, apabila tidak terdapat bukti langsung, misalnya

perjanjian tertulis atau lisan maka KPPU tidak dapat menggunakan Undang-

164 Salim & Nurbani, E.S, 2016, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi & Tesis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal 228 165 Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori & Praktik serta Penerapan Hukumnya. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group) hal 603

Universitas Sumatera Utara 80

undang ini. Oleh karena itu, KPPU mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan

KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Peraturan ini menjelaskan mengenai bukti langsung (direct evidence)

dan bukti tidak langsung (indirect evidence) untuk menyelesaikan perkara

pelanggaran yang dapat memicu praktek monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat.

1. Bukti Tidak Langsung dalam Pembuktian Hukum Persaingan Usaha

Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and

Development)

OECD merupakan sebuah organisasi internasional yang didirikan

untuk mempererat kerjasama dan pembangunan ekonomi antar negara

untuk mewujudkan stabilitas ekonomi. Organisasi ini bertujuan agar

pemerintah dapat memahami perkembangan-perkembangan dan persoalan

baru yang berkaitan dengan kebijakan dalam negeri dan internasional.166

Organization for Economic Cooperation and Development

(OECD) dalam Policy Brief June 2007, Prosecuting Cartels without

Direct Evidence of Agreement, menjelaskan alat bukti yang digunakan

dapat membuktikan terjadinya perjanjian kartel yang terdiri dari bukti

langsung dan bukti tidak langsung.

Alat bukti untuk membuktikan terjadinya perjanjian kartel menurut

OECD adalah sebagai berikut:167

1) Bukti langsung

166 OECD, Toolkit Penilaian Persaingan Usaha Jilid I: Prinsip –Prinsip, hal 3 167 OECD, 2007, Policy brief prosecuting cartels without direct evidence of agreement, diakses dari http://www.oecd.org/competition/cartels/38704302.pdf, hal 1-3

Universitas Sumatera Utara 81

Bukti langsung adalah bukti yang menunjukkan adanya pertemuan atau komunikasi antar pelaku usaha serta menggambarkan isi dari perjanjian antar pelaku usaha tersebut. Bentuk dari bukti langsung yaitu:

a. dokumen (baik dalam bentuk cetakan maupun elektronik) yang

menunjukkan isi perjanjian serta para pihak dalam perjanjian

tersebut; dan

b. pernyataan lisan maupun tertulis oleh para pelaku usaha kartel

yang menggambarkan pelaksanaan dari kartel tersebut.

2) Bukti tidak langsung

Bukti tidak langsung adalah bukti yang tidak secara langsung menggambarkan isi dari perjanjian atau para pihak dalam perjanjian tersebut. Bukti tidak langsung terdiri dari bukti komunikasi antar para pelaku usaha yang dicurigai melakukan kartel dan bukti ekonomi tentang pasar serta perilaku dari para pelaku usaha kartel yang terlibat di dalamnya yang mengusulkan tindakan bersama tersebut. Bukti tidak langsung adalah merupakan alat untuk mendeteksi bahwa ada indikasi praktik kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha, yaitu berupa perjanjian antara pelaku usaha yang menetapkan harga jual barang atau jasa tertentu kepada konsumen.

Bentuk dari bukti tidak langsung adalah:

a) Bukti komunikasi

Bukti komunikasi terdiri dari:

Universitas Sumatera Utara 82

1. Rekaman pembicaraan telepon (namun tidak

menggambarkan isi pembicaraan) antar pelaku usaha

pesaing, atau catatan perjalanan ke tempat tujuan yang

sama atau keikutsertaan dalam pertemuan tertentu seperti

konferensi dagang;

2. Bukti lain di mana para pelaku usaha berkomunikasi

antara lain, berita acara atau catatan pertemuan yang

menunjukkan pembahasan tentang harga, permintaan, atau

penggunaan kapasitas; dokumen internal perusahaan yang

menunjukkan pengetahuan atau pemahaman tentang

strategi penetapan harga oleh pelaku usaha pesaing seperti

pengetahuan tentang peningkatan harga oleh pelaku usaha

pesaing di kemudian hari.

b) Bukti ekonomi

Bukti ekonomi terdiri dari:

a. structural evidence (bukti struktural)

Bukti ekonomi struktural adalah seperti konsentrasi pasar

yang tinggi, rendahnya konsentrasi pasar sebaliknya,

tingginya hambatan masuk pasar, homogenitas produk

menunjukkan apakah struktur pasar memungkinkan untuk

pembentukan suatu kartel.168

b. conduct evidence (bukti perilaku)

168 Udin Silalahi, 2013, Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Hukum Bisnis 32(5)), hal 382

Universitas Sumatera Utara 83

Bukti perilaku adalah seperti peningkatan harga yang

paralel, dan pola penawaran yang mencurigakan yang

menunjukkan apakah pesaing di pasar berperilaku tidak

bersaing.169

2. Standar Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga oleh

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Menurut Peraturan Komisi No. 1

Tahun 2019

Proses pemeriksaan perkara di KPPU memerlukan bukti-bukti

bahwa pelaku usaha yang bersangkutan melanggar Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 dan peraturan pelaksananya. Adapun alat-alat bukti yang

digunakan oleh KPPU berbeda dengan alat-alat bukti yang digunakan

hukum acara perdata tetapi mirip dengan alat-alat bukti yang tercantum

dalam KUHAP.170

Terhadap konsep pembuktian terhadap perjanjian penetapan harga

dalam persaingan usaha, ada tiga hal yang menjadi fokusnya yaitu

bagaimana konsep pembuktiannya, hal-hal apa saja yang digunakan oleh

KPPU untuk membuktikan, dan apa saja yang digunakan oleh KPPU

untuk membuktikan, dan apa saja yang menjadi kendala bagi KPPU dalam

membuktikan suatu perbuatan perjanjian penetapan harga yang

menghambat persaingan usaha.171

Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019 dikeluarkan oleh KPPU

untuk mengakomodasi apabila tidak terdapat bukti langsung, misalnya

169 Ibid, hal 383 170 Susanti Adi Nugroho II, Op. Cit., hal 601 171 Devi Meyliana, Op, Cit, hal 42

Universitas Sumatera Utara 84

seperti perjanjian tertulis atau lisan. Dalam Pasal 42 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 45 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019,

alat-alat bukti pemeriksaan KPPU terdiri dari:172

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat dan/atau dokumen;

4. Petunjuk;

5. Keterangan pelaku usaha.

Peraturan ini menyatakan bahwa pembuktian terjadinya

perilaku/strategi yang paralel bukan merupakan bukti yang cukup untuk

menyatakan adanya perjanjian penetapan harga. Masih dibutuhkan analisis

tambahan (plus factor) untuk membedakan parallel business conduct

dengan illegal agreement seperti rasionalitas harga, analisis pasar dan

anilisis data kinerja, analisis penggunaan fasilitas kolusi. Peraturan ini

menyatakan bahwa pembuktian yang terbaik adalah pembuktian yang

menggunakan baik bukti langsung maupun bukti tidak langsung. Namun

apabila sulit untuk mendapatkan bukti langsung seharusnya digunakan

bukti tidak langsung, yakni dengan mengkombinasikan bukti komunikasi

dengan bukti ekonomi.173

Bukti langsung (direct evidence) adalah bukti yang dapat diamati

(observable elemens) dan dapat menunjukkan bahwa telah terjadinya suatu

perjanjian penetapan harga atau barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha

yang bersaing. Di dalam bukti tesebut terdapat kesepakatan dan substansi

172 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 601 173 Andi Fahmi Lubis, 2013, Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 32 No 5), hal 391

Universitas Sumatera Utara 85

dari kesepakatan tersebut. Sedangkan bukti tidak langsung (indirect evidence) merupakan suatu bukti yang secara tidak langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga. Bukti tidak langsung ini dapat digunakan terhadap terjadinya suatu keadaan/kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan suatu perjanjian yang tidak tertulis.174

Adapun yang termasuk bukti tidak langsung adalah:175

1. Bukti komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan

kesepakatan,

2. Bukti ekonomi yang bertujuan sebagai “upaya untuk

mengeyampingkan kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga

yang bersifat independen”.

Sedangkan analisis plus faktor yang dikemukakan sebelumnya pada dasarnya merupakan suatu analisis ekonomi yang diperlukan untuk:176

1. Membuktikan apakah perilaku perusahaan rasional meskipun tanpa

adanya kolusi. Hal ini diperlukan untuk mengesampingkan

kemungkinan perilaku yang konsisten dengan kondisi persaingan.

2. Membuktikan apakah struktur pasar mendukung terjadinya suatu

kolusi.

3. Membuktikan apakah karakteristik pasar konsisten sebagai fasilitas

kolusi.

4. Membuktikan apakah kinerja di pasar merupakan dugaan atas

perjanjian penetapan harga.

174 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 141 175 Andi Fahmi Lubis II, Op. Cit., hal. 75 176 Devi Meyliana, Op, Cit, hal 48

Universitas Sumatera Utara 86

5. Membandingkan kondisi yang terjadi akibat adanya suatu perjanjian

kolusi dengan kondisi yang muncul dari persaingan.

Penggunaan alat analisis ekonomi menjadi salah satu kunci penting dalam penggunaan bukti tidak langsung untuk membuktikan adanya suatu pembuktian.177 Pembuktian dari analisis ekonomi digunakan untuk menyimpulkan apakah kondisi di pasar mendukung untuk kesuksesan sebuah kolusi. Bukti-bukti tidak langsung dapat digunakan untuk menduga adanya koordinasi di pasar sehingga dapat dijadikan petunjuk adanya pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.178

Pada akhirnya, alat bukti tetap harus mengacu pada Pasal 42 UU

No 5 Tahun 1999, karena bukti tidak langsung ini merupakan bukti petunjuk.179 Disamping itu, suatu pendekatan yang sangat kental dalam hukum persaingan adalah dibutuhkannya analisis ekonomi yang komprehensif untuk memutuskan apakah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu perusahaan merupakan tindakan yang rasional dalam menghadapi perubahan pasar atau dalam rangka menghadapi persaingan ataupun sebagai konsekuensi keikutsertaan dalam konspirasi yang bersifat anti persaingan.180

Menurut definisi, lembaga persaingan tidak dapat secara langsung membuktikan bahwa tindakan tersebut merupakan hasil kesepakatan.

Hampir ada kesepakatan universal bahwa dari dua jenis bukti tidak langsung yang diuraikan di atas, bukti komunikasi adalah yang paling

177 Ibid. 178 Ibid. 179 Susanti Adi Nugroho I, Op. Cit., hal 607 180 Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hal 124

Universitas Sumatera Utara 87

probatif dari sebuah persetujuan. Sebuah tinjauan kasus kartel yang diadili

di negara-negara OECD, dimana bukti tidak langsung penting

menunjukkan bahwa di hampir semua kasus yang berhasil ada bukti

komunikasi. Bukti ekonomi, di sisi lain bisa ambigu. Oleh karena itu

dibutuhkan analisa yang cermat.181

Indonesia sendiri telah mengambil bagian di dalam OECD. OECD

telah meluncurkan Program Kerjasama Tingkat Lanjut (Enhanced

Engagement) pada bulan Mei 2007 dengan Indonesia dan empat negara

lainnya (Brasil, Republik Rakyat Tiongkok, India, dan Afrika Selatan).

Dengan berpartisipasi dalam survei ekonomi dan kajian obyektif OECD,

Indonesia dapat memperoleh manfaat dari evaluasi mendalam terhadap

kinerja ekonomi dan sosialnya berdasarkan praktik-praktik terbaik

internasional (international best practices). Dihasilkan melalui kerjasama

yang erat dengan pemerintah, kajian ini memfasilitasi dialog obyektif

(peer dialogue) dan pembelajaran dengan negara lain dan menghasilkan

rekomendasi kebijakan praktis.182

Perkara-perkara yang masuk ke dalam KPPU bukanlah perkara

yang mudah untuk dibuktikan terutama yang berkaitan dengan pembuktian

perjanjian yang dilarang. Pembuktian yang ada haruslah terbuka bagi bukti

tidak langsung yang berpotensi dilakukan oleh pelaku-pelaku usaha dalam

menjalankan perjanjian yang dilarang yang dapat menimbulkan

persaaingan yang tidak sehat. Maka dari itu, bukti tidak langsung seperti

yang telah dijelaskan diatas juga secara jelas dan rinci telah diatur oleh

181 OECD, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence, 2006 182 OECD, http://www.oecd.org/globalrelations/46261208.pdf, diakses pada tanggal 08 Maret 2021

Universitas Sumatera Utara 88

OECD dalam aturannya Prosecuting Cartels Without Direct Evidence yang diterbitkan pada tahun 2006. Pembuktian pelanggaran penetapan harga yang cenderung sulit dibuktikan jika hanya didasarkan pada bukti langsung pun dapat dibuktikan dengan menggunakan bukti tidak langsung.

Partisipasi Indonesia dalam kajian yang diselenggarakan oleh

OECD tentunya membuka pintu bagi Indonesia untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh OECD mengenai hal-hal yang berkaitan dengan larangan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu, KPPU tentu lebih dimudahkan dalam menganalisis perkara-perkara yang sulit dibuktikan akibat adanya kecenderungan bukti- bukti tidak langsung yang memerlukan pedoman dalam pembuktiannya.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur mengenai alat bukti yang salah satunya ialah alat bukti petunjuk. Lebih lanjut mengenai alat bukti petunjuk telah diatur didalam Peraturan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan

Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan pada keterangan diatas, KPPU dalam menjalankan proses pemeriksaan perkara tentu tidak hanya berpedoman pada Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 saja akan tetapi terdapat peraturan-peraturan komisi dalam bentuk pedoman yang juga dijadikan acuan bagi KPPU dalam melakukan pembuktian.

Adanya partisipasi Indonesia yang juga turut serta dalam kajian yang diberlangsungkan oleh OECD memungkinkan KPPU untuk menerapkan Indirect Evidence sebagaimana yang diatur dalam Policy

Universitas Sumatera Utara 89

Brief 2007. Namun begitu, KPPU juga telah mengatur mengenai bukti tidak langsung dalam Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 yaitu pada

Pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan menurut ketentuan Undang-Undang, menandakan bahwa telah terjadi suatu perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bukti ekonomi dan/atau bukti komunikasi yang oleh Majelis Komisi diyakini kebenarannya. (3) Bukti ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penggunaan dalil-dalililmu ekonomi yang ditunjang oleh metode analisis data kuantitatif dan/atau kualitatif serta hasil analisis Ahli, yang semuanya bertujuan untuk memperkuat dugaan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. (4) Bukti komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemanfaatan data dan/atau dokumen yang menunjukkan adanya tukar menukar informasi antar pihak yang diduga melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 57 memuat bukti tidak langsung yang terdiri dari bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Oleh karena itu, pembuktian pelanggaran penetapan harga sebagai perjanjian yang dilarang dengan pendekatan per se illegal sulit untuk dibuktikan jika hanya didasarkan pada bukti langsung, tetapi dengan adanya Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 yang menjelaskan mengenai bukti tidak langsung, KPPU lebih dimudahkan dalam menangani perkara kasus pelanggaran penetapan harga ini.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

KAJIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-I/2019

TENTANG DUGAAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA

JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS

EKONOMI DALAM NEGERI

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan tujuh maskapai terbukti melakukan pelanggaran persaingan usaha karena dianggap melakukan perjanjian bersama-sama dalam menetapkan harga tiket pesawat.

Ketujuh maskapai tersebut PT Garuda Indonesia, PT Citilink Indonesia, PT

Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari dan PT Wings

Abadi. Majelis Komisi KPPU yang terdiri dari Kurnia Toha sebagai Ketua

Majelis Komisi dan Kodrat Wibowo serta Yudi Hidayat, masing-masing sebagai

Anggota Majelis menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada tujuh maskapai tersebut untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada KPPU setiap kebijakan mereka yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat sebelum kebijakan tersebut dilakukan.

Majelis Komisi berpendapat terdapat juga hambatan masuk yang tinggi dari sisi modal dan regulasi yang mengakibatkan jumlah pelaku usaha sedikit dalam industri penerbangan. Persaingan harga di industri tersebut diatur melalui peraturan pemerintah melalui batasan tertinggi dan terendah dari penetapan tarif atau harga penumpang pelayanan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri, sehingga masih terdapat ruang persaingan harga diantara rentang batasan tersebut.

90

Universitas Sumatera Utara 91

Berdasarkan persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa telah terdapat concerted action atau parallelism183 para Terlapor, sehingga telah terjadi kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds184) dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar.

Hal ini mengakibatkan terbatasnya pasokan dan harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia.

A. Kasus Posisi Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan

Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga

Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri

Pada tahun 2019, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

melakukan inisiatif untuk memeriksa perkara mengenai terjadinya

pelanggaran Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait

adanya dugaan penetapan harga terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal

Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri, yang dilakukan oleh 7 perusahaan

penerbangan antara lain:

1. Terlapor I yaitu PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, yang

beralamat kantor di Gedung Garuda Indonesia, Jalan Kebon Sirih

Nomor 44, Jakarta Pusat 10110.

183 Concerted Action adalah tindakan yang diambil bersama-sama oleh para pelaku usaha. (Katrina Marcellina, 2011, Penggunaan Analisa Ekonomi Dalam Pembuktian Kasus-Kasus Kartel Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok) 184 Meeting of Minds adalah titik temu diantara para pihak tentang kepentingan- kepentingan yang berbeda, diakses dari https://www.legalakses.com/perjanjian/ pada tanggal 08 Maret 2021 pukul 00.16 WIB

Universitas Sumatera Utara 92

2. Terlapor II yaitu PT Citilink Indonesia, yang beralamat kantor di

Komplek Ruko Juanda JBC Blok C1 Nomor 02, Jalan Raya

Juanda, Desa Sawotratap, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo 61254.

3. Terlapor III yaitu PT Sriwijaya Air, yang beralamat kantor di Jalan

Pangeran Jayakarta 68, Blok C Nomor 15-16, Sawah Besar, Jakarta

Pusat 10160.

4. Terlapor IV yaitu PT NAM Air, yang beralamat kantor di Jalan

Gunung Sahari Raya Nomor 13, Blok B/8-10, Kelurahan

Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara 14420.

5. Terlapor V yaitu PT Batik Air, yang beralamat kantor di Jalan A.

M. Sangaji Nomor 19, RT 002 RW 006, Kelurahan Petojo,

Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.

6. Terlapor VI yaitu PT Lion Mentari, yang beralamat kantor di Jalan

Gajah Mada Nomor 7, Gambir, Jakarta Pusat.

7. Terlapor VII yaitu PT Wings Abadi, yang beralamat kantor di Jalan

A. M. Sangaji Nomor 17, Gambir, Jakarta Pusat.

Pemeriksaan perkara ini berawal dari adanya keluhan oleh masyarakat

yang merasakan keresahan akibat harga tiket pesawat penumpang kelas

ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri yang dirasa masih

cukup tinggi meskipun masa peak season185 sudah berakhir. Pada bulan

Desember 2017 hingga pertengahan bulan Januari 2018, harga tiket pesawat

terbang cenderung naik (lebih tinggi), namun akan kembali normal setelah

185 Peak Season dapat terjadi beberapa kali dalam satu tahun kalender seperti Hari Raya Idul Fitri, liburan sekolah, libur Hari Natal dan Tahun Baru dan libur long weekend, weekend dan Hari Raya Imlek.

Universitas Sumatera Utara 93

melewati masa peak season. Namun, pada kenyataannya hingga minggu kedua kedua Januari 2019, masyarakat selaku konsumen masih merasakan tingginya harga tiket pesawat yang mengakibatkan pemerintah meminta maskapai menurunkan harga tiket.

Adapun yang menjadi pertimbangan hakim berkaitan dengan dugaan pelanggaran perjanjian penetapan harga, maka selanjutnya diuraikan pemenuhan unsur-unsur ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut:

Bahwa ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan: a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang

harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan

yang sama. b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:

1) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

2) suatu perjanjian yang didasarkan undangundang yang berlaku.

Berdasarkan analisis dari Tim Investigator tujuh perusahaan maskapai penerbangan ini terbukti melakukan penetapan harga. Adapun analisis dari

Tim Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha terhadap pemenuhan unsur-unsur pelanggaran ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat diuraikan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara 94

a. Unsur Pelaku Usaha

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999

dinyatakan mengenai pengertian pelaku usaha dengan definisi sebagai

berikut: “setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara a quo adalah:

a. PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk (Terlapor I);

b. PT Citilink Indonesia (Terlapor II);

c. PT Sriwijaya Air (Terlapor III) ;

d. PT Nam Air (Terlapor IV);

e. PT Batik Air Indonesia (Terlapor V);

f. PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan

g. PT Wings Abadi (Terlapor VII).

Bahwa para Terlapor tersebut merupakan badan usaha berbentuk

badan hukum sebagaimana telah diuraikan pada butir 1.1 sampai dengan

butir 1.7 (identitas terlapor) sehingga secara mutatis mutandis menjadi

bagian yang tidak terpisahkan dengan penjelasan pemenuhan unsur ini.

Bahwa para Terlapor tersebut merupakan pelaku usaha sebagaimana

dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Atas dasar

ketentuan tersebut maka unsur Pelaku Usaha dalam perkara a quo

terpenuhi.

Universitas Sumatera Utara 95

b. Unsur Perjanjian

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999

dinyatakan mengenai pengertian perjanjian yaitu sebagai berikut:

“suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan

diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik

tertulis maupun tidak tertulis.”

Bahwa dalam perkara kartel hampir tidak pernah terdapat

perjanjian yang dilakukan secara tertulis. Para pelaku usaha dalam

melakukan kartel lebih banyak menggunakan perjanjian dengan

“understanding” atau perjanjian tidak tertulis yang dipahami oleh para

anggota kartel.

Bahwa “agreement” di Amerika Serikat yang mencakup

“contract”, “combination”, atau “conspiracy” yang menurut section I dari

the sherman act mengharuskan adanya tindakan bersama-sama dari dua

orang atau lebih untuk membentuknya, sedangkan Tindakan Bersama

(Concerted Action) hanya bisa dibenarkan apabila mereka mempunyai

unity of purpose, atau understanding, atau telah terjadi meeting of minds

diantara mereka.

Bahwa definisi Concerted Action dikenal sebagai suatu tindakan

yang direncanakan diatur dan disepakati oleh para pihak secara bersama-

sama dengan tujuan yang sama, masing-masing yang melakukan

perbuatan itu tidak mengikatkan diri baik tertulis maupun lisan namun

mereka memiliki tujuan yang sama. Pelaku Concerted Action akan

dipertanggungjawabkan atas tindakan bersama walaupun sekalipun dia

Universitas Sumatera Utara 96

tidak mengikatkan diri. Concerted Action selalu diidentikkan dengan konspirasi sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun

1999, yaitu kerja sama pelaku usaha satu dengan yang lain melakukan kesepakatan untuk mengusai pasar yang mengakibatkan adanya monopoli.

Bahwa Concerted Action tidak dipersyaratkan bahwa ada suatu perjanjian tertulis yang mensyaratkan pihak-pihak yang melakukan

Concerted Action tidak perlu dibuktikan seperti itu. Dalam Concerted

Action itu yang penting terjadi komunikasi. Atas dasar hal tersebut, maka dalam perkara a quo telah terjadi perbuatan mengikatkan diri pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain (dalam hal ini pesaingnya) secara tidak tertulis atau Concerted Action yang dibuktikan dengan perilaku para

Terlapor sebagaimana telah diuraikan pada bagian Perilaku dan selanjutnya diperkuat dengan bukti ekonomi adanya implementasi penetapan harga sebagaimana telah diuraikan pada sub bab penetapan harga.

Bahwa perjanjian yang dimaksud dalam unsur ini adalah meliputi perjanjian-perjanjian tertulis dan/atau kesepakatan-kesepakatan lain yang tidak tertulis yang dilakukan oleh para Terlapor yang merupakan pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar bersangkutan. Bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam perkara a quo adalah perjanjian yang dilakukan para Terlapor untuk menetapkan harga dengan cara menjual hanya tiket ekonomi subclass yang harganya tinggi dan/atau

Universitas Sumatera Utara 97

penghilangkan dan/atau mengurangi tiket ekonomi subclass harga rendah

dan/atau promo.

Berdasarkan bukti dan analisis yang telah dilakukan bahwa

perjanjian tersebut tidak dilakukan dalam suatu usaha patungan dan/atau

didasarkan undang-undang yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1999.

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang

Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999

dinyatakan bahwa perilaku penetapan harga (price fixing) antara

perusahaan yang sedang bersaing di pasar merupakan salah satu dari

bentuk kolusi. Kolusi merujuk pada situasi dimana perusahaan-

perusahaan yang ada di pasar melakukan koordinasi atas tindakan-

tindakan mereka yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang

lebih tinggi.

Koordinasi di dalam kolusi tersebut digunakan untuk menyepakati

beberapa hal, diantaranya:

2) Kesepakatan penetapan harga tertentu yang lebih tinggi dari harga

yang diperoleh melalui mekanisme persaingan;

3) Kesepakatan penetapan kuantitas tertentu yang lebih rendah dari

kuantitas dalam situasi persaingan;

4) Kesepakatan pembagian pasar.

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 tersebut dinyatakan bahwa bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam

Universitas Sumatera Utara 98

aturan pelarangan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah berikut ini

(namun tidak terbatas pada):

a. kesepakatan menaikkan atau menurunkan harga;

b.kesepakatan memakai suatu formula standard sebagai dasar

perhitungan harga;

c. kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga

yang dipersaingkan dengan suatu produk tertentu;

d.kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman

diskon;

e. kesepakatan persyaratan pemberian kredit kepada konsumen;

f. kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga

murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara

harga tinggi;

g.persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan;

h.kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak

dipenuhi;

i. kesepakatan menggunakan harga yang seragam sebagai langkah

awal untuk negosiasi.

Bahwa untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 maka pembuktian adanya perjanjian diantara pelaku usaha independen yang sedang bersaing dalam menetapkan harga atas barang dan atau jasa menjadi hal yang sangat penting. Perilaku penetapan harga para pelaku usaha di pasar tersebut dilakukan secara bersama-sama (concerted).

Universitas Sumatera Utara 99

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 tersebut bentuk perjanjian tertulis tidak menjadi keharusan dalam membuktikan adanya suatu perjanjian perilaku penetapan harga sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999. Yang diperlukan adalah bukti bahwa penetapan harga secara bersamasama disepakati dan para pelaku usaha mematuhi (conformed) kesepakatan tersebut.

Bahwa kesepakatan Para Terlapor untuk menetapkan harga dengan cara menjual hanya tiket ekonomi subclass yang harganya tinggi atau mengurangi tiket ekonomi subclass harga rendah atau promo merupakan bentuk penetapan harga berupa kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi sebagaimana telah diuraikan pada butir 10.2

(Pengurangan Frekuensi dan Perubahan Penerbangan), butir 10.3

(Pengurangan Subclass) dan butir 10.4 (Kenaikan Harga Tiket) Bagian

Perilaku para Terlapor, sehingga secara mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penjelasan pemenuhan unsur pasal ini.

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 dinyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun

1999 dengan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah bahwa perilaku penetapan harga akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila terdapat jabatan rangkap pada perusahaan yang saling bersaing. Melalui jabatan rangkap inilah yang akhirnya justru akan memfasilitasi proses penetapan harga. Hal tersebut terbukti dengan adanya kerja sama operasi dan/atau manajemen yang dilakukan Garuda Group (PT Garuda Indonesia

Universitas Sumatera Utara 100

(Persero), Tbk dan PT Citilink Indonesia) dengan PT Sriwijaya Air dan PT

NAM Air dimana dalam implementasinya selain adanya kerja sama

operasional dan pemasaran, juga terdapat rangkap jabatan sebagaimana

telah diuraikan pada butir 10.1 (Kerja sama Operasi/Manajemen Antara

Garuda Group dengan Sriwijaya Group) Bagian Perilaku para Terlapor,

sehingga secara mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari penjelasan pemenuhan unsur pasal ini.

Atas dasar fakta, bukti dan analisis tersebut maka Tim

menyimpulkan bahwa perilaku para Terlapor dapat dikategorikan sebagai

perjanjian dan/atau kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Atas dasar hal tersebut maka unsur

adanya perjanjian dalam perkara a quo terpenuhi. c. Unsur Pelaku Usaha Pesaing

Bahwa pelaku usaha pesaing yang dimaksud dalam perkara a quo

adalah pelaku usaha sebagaimana telah diuraikan dalam unsur pelaku

usaha sebelumnya karena para Terlapor merupakan pelaku usaha

merupakan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang melayani

penumpang (khususnya kelas ekonomi) di dalam wilayah Indonesia.

Bahwa dalam perkara a quo Terlapor satu merupakan pesaing bagi

Terlapor yang lain khususnya apabila dilihat dari sisi konsumen pada

pasar bersangkutan. Bahwa para Terlapor merupakan pelaku usaha

sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.

Dengan demikian maka unsur Pelaku Usaha Pesaing dalam perkara a quo

terpenuhi.

Universitas Sumatera Utara 101

d. Unsur Menetapkan Harga

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang

Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999

dinyatakan bahwa penetapan harga yang dimaksud dalam ketentuan

tersebut tidak hanya penetapan harga akhir, melainkan juga perjanjian

atas struktur atau skema harga. Karena di dalam ayat tersebut, penetapan

harga tidak berarti penetapan harga yang sama.

Bahwa penetapan harga yang dilakukan oleh para Terlapor diduga

dilakukan dengan cara:

1) Mengurangi frekuensi dan/atau merubah dan/atau menghilangkan

rute-rute penerbangan tertentu sebagaimana telah diuraikan pada

butir 10.2 Bagian Perilaku Terlapor; dan/atau

2) Mengurangi dan/atau menutup akses penjualan subclass tiket

dengan harga rendah atau murah sebagaimana telah diuraikan pada

butir 10.3 Bagian Perilaku Terlapor; dan/atau

3) Menaikan harga tiket sebagaimana telah diuraikan pada butir 10.4

Bagian Perilaku Terlapor, dimana kenaikan harga tiket tersebut

secara langsung maupun tidak langsung merupakan akibat perilaku

huruf a dan huruf b tersebut.

Bahwa perilaku para Terlapor tersebut diduga dilakukan pada

periode bulan November 2018 hingga bulan Mei 2019 atau setidak-

tidaknya dilakukan sejak bulan November 2018. Bahwa oleh karena itu,

fakta, bukti dan analisis berkaitan dengan perilaku para Terlapor tersebut

secara mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

Universitas Sumatera Utara 102

penjelasan dan mendukung pemenuhan unsur pasal ini dengan

mempertimbangan fakta dan analisis yang memperkuat sebagai berikut:

1) Rasionalitas Penetapan Harga, dimana secara faktual pasar

layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas

ekonomi rute penerbangan dalam negeri terkonsentrasi pada

beberapa pelaku usaha saja sebagaimana telah diuraikan pada

butir 8 Bagian Struktur Pasar. Oleh karena itu keuntungan

maksimum hanya dinikmati oleh beberapa pelaku usaha yang

menguasai pasar bersangkutan tersebut;

2) Produk para Terlapor saling bersubstitusi, dimana meskipun

layanan produk pada pasar bersangkutan terbagi dalam 3 (tiga)

kelompok yaitu full service, medium service186 dan no frills187,

namun tetap saling bersubstitusi sebagaimana hasil pengujian

price correlation188, pengakuan Terlapor, keterangan Saksi dan

keterangan Ahli sebagaimana telah diuraikan pada butir 5.9

(Bagian Pasar Produk);

3) Standardisasi harga (standardized prices), dimana apabila

produk yang diperdagangkan di pasar memiliki standar harga,

maka kesepakatan penetapan harga akan lebih mudah

dilaksanakan; Dalam perkara a quo terdapat standar harga yang

186 Medium Service adalah pelayanan dengan standar menengah, diakses dari https://www.biaya.net/2015/10/tarif-batas-atas-dan-batas-bawah-tiket.html pada tanggal 08 Maret 2021 pukul 00.33 WIB 187 No Frills memiliki arti yang sama dengan konsep Low Cost Carrier (LCC) 188 Price Correlation is a statistic that measures the degree to which two securities move in relation to each other, diakses dari https://www.investopedia.com/terms/c/correlation.asp pada tanggal 08 Maret 2021 pukul 00.43 WIB

Universitas Sumatera Utara 103

terbagi dalam beberapa subclass yang mencerminkan tingkat

harga dari tertiggi hingga terendah dengan kode tertentu

sehingga adanya kesepakatan pengurangan jumlah subclass

yang dipasarkan otomatis akan berdampak lanjut pada

perubahan harga produk yang dipasarkan pada pasar

bersangkutan.

4) Hambatan masuk pasar tinggi (high barriers to entry), dimana

semakin tinggi tingkat hambatan untuk masuk pasar, maka

semakin besar insentif bagi perusahaan-perusahaan di pasar

untuk melakukan kesepakatan harga, karena tidak ada

„ancaman‟ dari perusahaan baru yang dapat menggagalkan

kesepakatan harga perusahaan-perusahaan di pasar

(incumbents); Bahwa hambatan masuk pasar bersangkutan

cukum tinggi sebagaiamana telah diuraikan pada butir 8.2

Bagian Struktur Pasar.

5) Penggunaan Fasilitas Kolusi (Facilitating Devices) dan

Kecepatan informasi mengenai penyesuaian harga (readily

observed price adjustments), dimana untuk memastikan

kesepakatan kolusi dapat dijalankan dan dimonitor, maka para

pelaku usaha yang terlibat dalam suatu kolusi akan

menggunakan beberapa instrumen untuk memfasilitasi

keberhasilan suatu kolusi.

Semakin mudah mendapatkan informasi mengenai perubahan- perubahan harga yang dilakukan oleh pelaku usaha maka semakin besar

Universitas Sumatera Utara 104

insentif untuk melakukan kesepakatan penetapan harga. Apabila informasi

ini sulit dan lambat diketahui, maka akan ada kecenderungan untuk

melakukan kecurangan (cheating) terhadap kesepakatan kolusi.

Bahwa faktor ini terbukti terjadi dalam perkara a quo sebagaimana

telah diuraikan pada butir 10.5 (Facilitating Devices) sehingga secara

mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penjelasan

pemenuhan unsur pasal ini. Atas dasar fakta, bukti dan analisis tersebut

maka Tim menyimpulkan bahwa perilaku para Terlapor tersebut dapat

dikategorikan sebagai perjanjian dan/atau kesepakatan untuk menetapkan

harga sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun

1999. Dengan demikian maka unsur menetapkan harga dalam perkara a

quo terpenuhi. e. Unsur Barang/Jasa

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 UU Nomor 5 Tahun 1999

disebutkan:

“Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU Nomor 5 Tahun 1999

disebutkan:

Universitas Sumatera Utara 105

“Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi

yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha.”

Bahwa produk yang dimaksud dalam perkara a quo adalah layanan

jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute

penerbangan dalam negeri sebagaimana telah diuraikan sebelum pada

butir 5 (Pasar Bersangkutan) Bagian Pasar Bersangkutan sehingga secara

mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penjelasan

pemenuhan unsur pasal ini.

Bahwa produk tersebut merupakan jasa sebagaimana dimaksud

pada ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999. Atas dasar

fakta, bukti dan analisis atas ketentuan tersebut maka unsur produk

berupa Jasa dalam perkara a quo terpenuhi. f. Unsur Konsumen/Pelanggan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5 Tahun 1999

disebutkan:

“Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan

atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan

pihak lain.”

Bahwa konsumen yang dimaksud dalam perkara a quo adalah

pemakai dan/atau pengguna dan/atau pelanggan layanan jasa angkutan

udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute penerbangan dalam

negeri. Bahwa konsumen atau pelanggan tersebut merupakan konsumen

sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5

Universitas Sumatera Utara 106

Tahun 1999. Atas dasar hal tersebut maka unsur konsumen atau

pelanggan dalam perkara a quo terpenuhi. g. Unsur Pasar Bersangkutan yang Sama

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 5 Tahun 1999

diatur definisi mengenai pasar bersangkutan yaitu:

“pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran

tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau

sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”

Bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah layanan

jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute

penerbangan dalam negeri.

Bahwa para Terlapor yang diduga melakukan pelanggaran dalam

perkara a quo berada pada pasar bersangkutan sebagaimana telah

diuraikan sebelum pada butir 5 (Pasar Produk) dan butir 6 (Pasar

Geografis) Bagian Pasar Bersangkutan dan selanjutnya berkorelasi

dengan perilaku sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pada butir 10

(Perilaku Terlapor) sehingga secara mutatis mutandis menjadi bagian

yang tidak terpisahkan dari penjelasan pemenuhan unsur pasal ini. Atas

dasar fakta, bukti dan analisis tersebut maka unsur Pasar Persangkutan

Yang Sama dalam perkara a quo terpenuhi. Dengan demikian, seluruh

unsur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

terpenuhi.

Berdasarkan pada keterangan diatas maka dapat disimpulkan

bahwa KPPU dalam menganalisis perkara dugaan pelanggaran perjanjian

Universitas Sumatera Utara 107

penetapan harga yang dilakukan oleh 7 maskapai penerbangan telah

berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun

1999. KPPU menganalisis pemenuhan unsur-unsur pelanggaran ketentuan

Pasal 5 yang terdiri dari unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur

pelaku usaha pesaing, unsur menetapkan harga, unsur barang/jasa, unsur

konsumen/pelanggan, unsur pasar bersangkutan yang sama, yang

kemudian dinyatakan terpenuhi seluruhnya. KPPU dalam hal ini telah

melakukan apa yang menjadi kewenangannya dalam hal melakukan

penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat.

B. Kajian Hukum terhadap Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang

Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga

Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri

Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan diatas, kajian hukum

terhadap Putusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019 adalah sebagai berikut:

Pembuktian terhadap kasus-kasus pelanggaran perjanjian di KPPU

tidak terlepas pada adanya alat bukti. Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999

mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat dan atau dokumen;

d. Petunjuk;

e. Keterangan pelaku usaha.

Universitas Sumatera Utara 108

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berwenang untuk melakukan pengawasan persaingan usaha sebagai bentuk implementasi

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 serta peraturan pelaksananya agar dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya. Salah satu tugas berdasarkan Pasal

35 huruf a, yaitu melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 dalam Bab III

Perjanjian yang Dilarang. Perjanjian yang dilarang tersebut diantaranya mengatur mengenai penetapan harga dan kartel. Berdasarkan hal tersebut, maka Majelis Komisi memiliki kewenangan absolut untuk melakukan pemeriksaan.

Berkaitan dengan pembuktian, Indonesia mengenal asas unus testis nullus testis (satu bukti bukanlah bukti). Berdasarkan asas ini, diperlukan tambahan bukti lain yang akan menjadi pendukung bagi bukti yang lain.

Berkaitan dengan bukti yang terdapat dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 5

Tahun 1999, terhadap perkara pelanggaran penetapan harga yang termasuk dalam kategori per se illegal diperlukan adanya bukti tambahan salah satunya adalah petunjuk.

Berdasarkan pada Pasal 57 Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 keterangan mengenai petunjuk adalah sebagai berikut:

(1) Petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan menurut ketentuan Undang-Undang, menandakan bahwa telah terjadi suatu perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan dan siapa pelakunya.

Universitas Sumatera Utara 109

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bukti ekonomi dan/atau bukti komunikasi yang oleh Majelis Komisi diyakini kebenarannya. (3) Bukti ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penggunaan dalil-dalililmu ekonomi yang ditunjang oleh metode analisis data kuantitatif dan/atau kualitatif serta hasil analisis Ahli, yang semuanya bertujuan untuk memperkuat dugaan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. (4) Bukti komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemanfaatan data dan/atau dokumen yang menunjukkan adanya tukar menukar informasi antar pihak yang diduga melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pada kasus dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019, pelanggaran

perjanjian penetapan harga (price fixing) yang terjadi dianalisis dengan

mencari bukti tambahan yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi sebagai

petunjuk bagi KPPU dalam memutus perkara. Sejalan dengan pengertian

bahwa bukti yang cukup189 adalah pemenuhan sekurang-kurangnya 2 (dua)

alat bukti yang sah. Maka dari itu, pembuktian perkara in tidak terlepas pada

pembuktian pemenuhan unsur-unsur dari pasal 5 Undang-Undang No. 5

Tahun 1999.

Adapun pemenuhan unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

1. Unsur Pelaku Usaha

Unsur ini terpenuhi dikarenakan para Terlapor yakni PT Garuda

Indonesia (Persero), PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Nam Air,

PT Batik Air Indonesia, PT Lion Mentari, PT Wings Abadi merupakan

badan usaha berbentuk badan hukum sehingga para Terlapor tersebut

merupakan pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU

Nomor 5 Tahun 1999.

189 Lihat Pasal 1 Angka 13 Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Sumatera Utara 110

2. Unsur Perjanjian

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan mengenai pengertian perjanjian yang berbunyi: “suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”

Berkaitan dengan unsur perjanjian ini, tim investigator menyatakan bahwa dalam perkara a quo telah terjadi perbuatan mengikatkan diri pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain (dalam hal ini pesaingnya) secara tidak tertulis atau Concerted Action yang dibuktikan dengan perilaku para

Terlapor dalam bentuk kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia.

Hal ini juga diperkuat dengan bukti ekonomi adanya implementasi penetapan harga sehingga dinyatakan bahwa unsur perjanjian telah terpenuhi. Perjanjian yang dilakukan para Terlapor untuk menetapkan harga dengan cara menjual hanya tiket ekonomi subclass yang harganya tinggi atau mengurangi tiket ekonomi subclass harga rendah atau promo merupakan bentuk penetapan harga berupa kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi.

Universitas Sumatera Utara 111

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 dinyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 dengan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah bahwa perilaku penetapan harga akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila terdapat jabatan rangkap pada perusahaan yang saling bersaing.

Melalui jabatan rangkap inilah yang akhirnya justru akan memfasilitasi proses penetapan harga. Hal tersebut terbukti dengan adanya kerja sama operasi dan/atau manajemen yang dilakukan Garuda Group (PT Garuda

Indonesia (Persero), Tbk dan PT Citilink Indonesia) dengan PT Sriwijaya

Air dan PT NAM Air dimana dalam implementasinya selain adanya kerja sama operasional dan pemasaran, juga terdapat rangkap jabatan.

3. Unsur Pelaku Usaha Pesaing

Para Terlapor merupakan pelaku usaha yaitu badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang melayani penumpang (khususnya kelas ekonomi) di dalam wilayah Indonesia serta merupakan pesaing bagi

Terlapor yang lain khususnya apabila dilihat dari sisi konsumen pada pasar bersangkutan. Sehingga Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999, unsur

Pelaku Usaha Pesaing terpenuhi.

4. Unsur Menetapkan Harga

Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman

Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penetapan harga yang dimaksud dalam ketentuan tersebut tidak hanya penetapan harga akhir, melainkan juga perjanjian atas struktur atau skema harga. Penetapan harga yang dilakukan oleh para terlapor diduga

Universitas Sumatera Utara 112

dilakukan pada periode bulan November 2018 hingga bulan Mei 2019 atau setidak-tidaknya dilakukan sejak bulan November 2018 yang antara lain adalah dengan mengurangi frekuensi dan/atau merubah dan/atau menghilangkan rute-rute penerbangan tertentu, mengurangi dan/atau menutup akses penjualan subclass tiket dengan harga rendah atau murah, menaikan harga tiket. Atas dasar fakta, bukti dan analisis tersebut maka

Tim menyimpulkan bahwa perilaku para Terlapor tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian dan/atau kesepakatan untuk menetapkan harga sehingga ketentuan unsur Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.

5. Unsur Barang/Jasa

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 UU Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan: “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.” Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU Nomor 5

Tahun 1999 disebutkan: “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.” Bahwa produk yang ada merupakan layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute penerbangan dalam negeri sehingga memenuhi unsur produk berupa jasa.

Universitas Sumatera Utara 113

6. Unsur Konsumen/Pelanggan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5 Tahun 1999

disebutkan: “Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang

dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk

kepentingan pihak lain.” Konsumen yang dimaksud adalah pemakai

dan/atau pengguna dan/atau pelanggan layanan jasa angkutan udara niaga

berjadwal penumpang kelas ekonomi rute penerbangan dalam negeri. Oleh

karena itu, unsur konsumen atau pelanggan sebagaimana dimaksud pada

ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.

7. Unsur Pasar Bersangkutan yang Sama

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 5 Tahun 1999

diatur definisi mengenai pasar bersangkutan yaitu: “pasar yang berkaitan

dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas

barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan

atau jasa tersebut.” Bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah

layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi

rute penerbangan dalam negeri dan pelanggaran yang dilakukan berada

pada pasar bersangkutan sebagaimana telah diuraikan sebelum pada butir 5

(Pasar Produk) dan butir 6 (Pasar Geografis) Bagian Pasar Bersangkutan

dan selanjutnya berkorelasi dengan perilaku. Atas dasar fakta, bukti dan

analisis tersebut maka unsur Pasar Persangkutan Yang Sama terpenuhi.

Berdasarkan pada unsur-unsur pelanggaran penetapan harga sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa semua unsur dinyatakan telah terpenuhi. Pembuktian dalam pemenuhan unsur-unsur

Universitas Sumatera Utara 114

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dilakukan dengan pendekatan

per se illegal dan merupakan syarat yang bersifat kumulatif. Pembenaran

subtantif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta atau asumsi dan

apabila satu saja unsur tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan bahwa

suatu perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan

dalam Pasal 5 tersebut. Selain daripada pemenuhan unsur-unsur Pasal 5

(Penetapan Harga) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU juga telah

mempertimbangkan adanya bukti ekonomi dengan mendengarkan keterangan-

keterangan daripada saksi maupun ahli. Oleh karena itu, penulis sepakat

dengan putusan Majelis Komisi yang menyatakan bahwa, Pihak Terlapor I

sampai dengan Terlapor VII terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan

kesepakatan terkait penetapan harga tiket Jasa Angkutan Udara Niaga

Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi.

Penanganan perkara tentunya akan menghasilkan sanksi sebagai tindak

lanjut dari adanya pelanggaran yang terjadi. Sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU berwenang

menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif bagi pelaku pelanggaran

ketentuan undang-undang ini. Namun apabila dilihat lebih lanjut, KPPU

seringkali menjatuhkan sanksi diluar daripada ketentuan yang telah diatur

dalam Pasal 47 misalkan saja pada beberapa kasus pelanggaran perjanjian

penetapan harga.

Berikut data kasus pelanggaran perjanjian penetapan harga

berdasarkan situs resmi KPPU dari tahun 2003 sampai tahun 2021:190

190 Database Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, diakses dari http://putusan.kppu.go.id/ pada tanggal 05 Januari 2021 pukul 14.00 WIB

Universitas Sumatera Utara 115

No Putusan Tentang Sanksi PN MA PK 1 02/KPPU -I/2003 Penetapan Tarif Uang Tambang 1. Menetapkan Pembatalan - - - Petikemas Jakarta Pontianak Perjanjian yang Jakarta dituangkan dalam bentuk 1. PT Perusahaan Pelayaran Kesepakatan Bersama Nusantara Panurjwan yaitu Tarif Uang 2. PT Pelayaran Tempuran Tambang Peti Kemas Emas, Tbk Jakarta Potianak Jakarta 3. PT Tanto Intim Line 4. PT Perusahaan Pelayaran Wahana Barumakhatulistiwa Terlapor I – Terlapor IV terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 2 03/KPPU -I/2003 Persaingan Bisnis Transportasi 1. Memerintahkan untuk - - - Udara, Laut dan Kereta Api membatalkan dan (Kargo Surabaya – Makasar mengumumkan 1. PT Pelayaran Meratus pembatalan kesepakatan 2. PT Tempuran Emas Tbk. tarif dan kuota kargo 3. PT (Persero) Djakarta Surabaya menuju Lloyd Makasar 4. PT Jayakusuma Perdana 2. Terlapor I sampai Lines Terlapor VII masing - 5. PT Samudera Indonesia masing membayar denda Tbk. sebesar 6. PT Tanto Intim Line Rp.1.000.000.000,00 7. PT Lumintu Sinar Perkasa Terlapor I – Terlapor VII terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 3 05/KPPU -I/2003 Penyesuaian Tarif Bus 1. Menetapkan pembatalan - - - Pengusaha Angkutan Jalan Raya kesepakatan penyesuaian kota Patas AC tarif bus kota Patas AC 1. PT Steady Safe, Tbk 2. PT Mayasari Bakti 3. Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta (Perum PPD) 4. PT Bianglala Metropolitan 5. PT Pahala Kencana 6. PT AJA Putra Terlapor I– Terlapor VI terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 4 08/KPPU -I/2005 Penyediaan Jasa Survey Gula 1. Memerintahkan untuk Mem Men - Impor oleh PT. Sucofindo dan membatalkan kerjasama batal guatk PT. Surveyor Indonesia antara Terlapor I dan kan an 1. PT Surveyor Indonesia Terlapor II mengenai Putus Putus (Persero) Pelaksanaan Verifikasi an an 2. PT Superintendi ng Teknis Impor Gula KPP PN Company Of Indonesia 2. Terlapor I dan Terlapor II U (Persero) masing-masing Terlapor I dan Terlapor II membayar denda sebesar terbukti secara sah melanggar Rp 1.500.000.000,00 Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 5 10/KPPU -L/2005 Kartel Perdagangan Garam ke 1. Terlapor I, Terlapor II - - - Sumatera Utara dan Terlapor III masing- 1. PT Garam masing membayar denda 2. PT Budiono Madura sebesar

Universitas Sumatera Utara 116

Bangun Perkasa Rp 2.000.000.000,00 3. PT Garindo Sejahtera Abadi 4. PT Graha Reksa Manunggal 5. PT Sumatera Palm Raya 6. UD Jangkar Waja 7. UD Sumber Samudera Terlapor I – Terlapor III terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 6 16/KPPU -L/2006 Tender pekerjaan SKTM (Kabel 1. Terlapor XXII Terlapor Men - - Tegangan Menengah) di PT. XXIX masing-masing guatk PLN Distribusi Jakarta Raya dan membayar denda sebesar an Tanggerang Memiliki 30 Rp 1.000.000.000,00 dan Putus Terlapor Terlapor XXII – Terlapor XXX membayar an Terlapor XXX terbukti secara denda sebesar KPP sah melanggar Pasal 5 Undang- Rp 1.500.000.000,00 U Undang No 5 Tahun 1999 7 26/KPPU-L/2007 Kartel SMS 1. Terlapor I dan Terlapor II Men Men - 1. PT Excelcomin do Pratama masing-masing olak guatk Tbk membayar denda sebesar Putus an 2. PT Telekomunikasi Selular Rp 25.000.000.000,00 an Putus 3. PT Indosat, Tbk Terlapor IV membayar KPP an 4. PT Telekomuni kasi denda sebesar U KPP Indonesia, Tbk Rp 18.000.000.000,00 U 5. PT Hutchison CP Terlapor VI membayar Telecommu nication denda sebesar 6. PT Bakrie Telecom, Tbk Rp 4000.000.000,00 7. PT Mobile - 8 Telecom, Terlapor VII membayar Tbk denda sebesar 8. PT Smart Telecom Rp 5.000.000.000,00 9. PT Natrindo Telepon Seluler Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VII dan Terlapor VIII terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 8 28/KPPU -L/2007 Jasa Pelayanan Taksi di kota 1. Memerintahkan kepada - - - Memiliki 28 Terlapor terlapor untuk mencabut Terlapor XII - Terlapor XXII tarif taksi yang berlaku dan Terlapor XXVI -XXVIII dan memberlakukan tarif terbukti secara sah melanggar taksi sesuai dengan Pasal 5 Undang - Undang No 5 peraturan perundang - Tahun 1999 undangan yang berlaku 2. Menghukum Terlapor masing - masing membayar denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 9 32/KPPU -L/2008 Kesepakatan Tarif All -In 1. Memerintakan kepada - - - Ekspedisi Muatan Kapal Laut para Terlapor untuk (EMKL) di Pelabuhan Sorong. membatalkan 1. PT Sabar Jaya Perkasa kesepakatan tarif all In 2. PT Pelangi Intim Antar EMKL dipelabuhan Nusa Sorong 3. PT Citra Irian Jaya 4. PT Rabani Tembalo 5. PT Bhina Tirta 6. PT Samudra Irian Permai 7. PT Pelni 8. PT Samudera Tirta Mega 9. PT Waihury Makmur

Universitas Sumatera Utara 117

10. PT Marisonta Iriana 11. PT Samudra Makmur Sentosa 12. PT Sumber Tirta Samudera 13. PT Sarana Nusa Persada Terlapor I – Terlapor XIII terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 10 10/KPPU -L/2009 Fee Tiket Asatin NTB 1. Memerintahkan kepada - - - 1. Asosiasi Agen Ticketing para Terlapor untuk 2. PT Alam Multi Nasional membatalkan 3. PT A&T Holidays kesepakatan besaran 4. PT Bidy Tour komisi dari agen kepada 5. PT Citra Mulia Antar Nusa sub agen 6. PT Gady Angkasa Nusa 7. PT Jasa Wisata 8. PT Lombok Karya Wisata 9. PT Luana Jaya 10. PT Biro Perjalanan Wisata Satriavi 11. PT Sindo Surya Cemerlang Asri 12. CV Global Enterpreneur Terlapor II - Terlapor XII terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 11 14/KPPU -L/2009 Jasa Pemeriksaan Kesehatan 1. Memerintahkan kepada - - - Calon Tenaga Kerja Indonesia Terlapor untuk ke Timur Tengah Memiliki 26 membatalkan Terlapor Terlapor II – Terlapor kesepakatan tarif XXVI terbukti secara sah pemeriksaan kesehatan melanggar Pasal 5 Undang- CTKI ke Timur Tengah Undang No 5 Tahun 1999 2. Memerintahkan kepada Terlapor untuk mengumumkan pembatalan kesepakatan tarif pada surat kabar Nasional 12 24/KPPU -I/2009 Dugaan Praktik Monopoli dan 1. Membayar denda Mem Men - Persaingan Usaha Tidak Sehat masing-masing: batal guatk yang berkaitan dengan Industri Terlapor I sebesar kan an Minyak Goreng Sawit di Rp 25.000.000.000,00 Putus Putus Indonesia. Memiliki 21 Terlapor Terlapor II sebesar an an Terlapor I, Terlapor II, Terlapor Rp. 20.000.000.000,00 KPP PN IV, Terlapor X, Terlapor XV, Terlapor IV sebesar U Terlapor XVI, Terlapor XVII, Rp.25.000.000.000,00 Terlapor XVIII dan Terlapor Terlapor X sebesar XXI terbukti secara sah Rp 20.000.000.000,00 melanggar Pasal 5 Undang- Terlapor XV sebesar Undang No 5 Tahun 1999 Rp. 25.000.000.000,00 Terlapor XVI sebesar Rp. 25.000.000.000,00 Terlapor XVII sebesar Rp. 25.000.000.000,00 Terlapor XVIII sebesar Rp 10.000.000.000,00 Terlapor XXI sebesar Rp 10.000.000.000,00 13 25/KPPU -I/2009 Penetapan Harga Fuel 1. Memerintahkan Mem Men - Surcharge dalam Industri Jasa pembatalan perjanjian batal guatk Penerbangan Domestik. penetapan fuel surcharge. kan an 1. PT Garuda Indonesia 2. Membayar denda masing Putus Putus

Universitas Sumatera Utara 118

2. PT Sriwijaya Air -masing: an an 3. PT Merpati Nusantara Terlapor I sebesar KPP PN Airlines Rp 25.000.000.000,00 U 4. PT Mandala Airlines Terlapor II sebesar 5. PT Rp 9.000.000.000,00 6. PT Travel Express Aviation Terlapor III sebesar Services Rp 8.000.000.000,00 7. PT Lion Mentari Airlines Terlapor IV 8. PT Wings Abadi Airlines Rp 5.000.000.000,00 9. PT Metro Batavia Terlapor VI sebesar 10. PT Rp 1.000.000.000,00 11. PT Linus Airways Terlapor VII sebesar 12. PT Service Rp 17.000.000.000,00 13. PT Indonesia Air Asia Terlapor VIII sebesar Terlapor I, Terlapor II, Terlapor Rp 5.000.000.000,00 III, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor IX sebesar Terlapor VII, Terlapor VIII, Rp 9.000.000.000,00 Terlapor IX, Terlapor X Terlapor X sebesar Tebukti secara sah melanggar Rp 1.000.000.000,00 Pasal 5 Undang - Undang No 5 3. Membayar Ganti Rugi Tahun 1999 sebesar : Terlapor I sebesar Rp 162.000.000.000,00 Terlapor II sebesar Rp 60.000.000.000,00 Terlapor III sebesar Rp 53.000.000.000,00 Terlapor IV sebesar Rp 31.000.000.000,00 Terlapor VI sebesar Rp 1.900.000.000,00 Terlapor VII sebesar Rp 107.000.000.000,00 Terlapor VIII sebesar Rp 32.500.000.000,00 Terlapor IX sebesar Rp 56.000.000.000,00 Terlapor X sebesar Rp 1.600.000.000,00 14 29/KPPU-I/ 2009 Pelayanan Jasa Taksi di Kota - - - - , Kota Surakarta, Kota Tegal, dan Kota Purwokerto Jawa Tengah Terdapat 23 Terlapor Terlapor I sampai Terlapor XXIII Tidak Terbukti melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 15 01/KPPU -L/2010 Penetapan Harga dan Kartel - - - - dalam Industri Semen 1. PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk 2. PT Holcim Indonesia, Tbk 3. PT Semen Baturaja 4. PT Semen Gresik, Tbk 5. PT Semen Andalas Indonesia 6. PT Semen Tonasa 7. Semen Padang 8. PT Semen Bosawa Maros Terlapor I sampai Terlapor VIII Tidak Terbukti melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 16 17/KPPU -I/2010 Industri Farmasi kelas Terapi 1. Menyatakan perjanjian Mem Men Men

Universitas Sumatera Utara 119

Amlodipine Supply Agreement batal batal guatk guat 1. PT Pfizer Indonesia demi hukum kan an kan 2. PT Dexa Medica 2. Memerintahkan kepada Putus Putus Putu 3. Pfizer Inc Terlapor untuk an an san 4. Pfizer Overseas LLC menghentikan KPP PN PN 5. Pfizer Global Trading komunikasi yang berisi U 6. Prizer Corporation Panama informasi harga, jumlah Terlapor I, Terlapor II, Terlapor produksi dan rencana III, Terlapor IV, Terlapor V, produksi kepada pesaing Terlapor VI Terbukti melanggar 3. Membayar denda masing Pasal 5 Undang-Undang No 5 masing sebesar: Tahun 1999 Terlapor I Rp 25.000.000.000,00 Terlapor II Rp 20.000.000.000,00 Terlapor III Rp 25.000.000.000,00 Terlapor IV Rp 25.000.000.000,00 Terlapor V Rp 25.000.000.000,0 Terlapor VI Rp 25.000.000.000,00 17 06/KPPU -I/2013 Penentuan Tarif Angkutan 1. Membayar denda masing Mem Men Men Kontainer Ukuran 20 kaki, 40 masing sebesar: batal guatk olak kaki dan 2A20 kaki di rute dari Terlapor I kan an PK dan menuju Pelabuhan Belawan Rp 828.400,948,00 Putus Putus Pada 2011 dan 2012 Memiliki Terlapor II an an 15 Terlapor Rp 174.618.438,00 KPP KPP Terlapor I sampai Terlapor XIV Terlapor III U U Terbukti melanggar Pasal 5 Rp 463.024.531,00 Undang-Undang No 5 Tahun Terlapor IV 1999 Rp 247.120.284,00 Terlapor V Rp 72.759.127,00 Terlapor VI Rp 145.626.835,00 Terlapor VII Rp 108.720.126,00 Terlapor VIII Rp 293.253.670,00 Terlapor IX Rp 237.696.452,00 Terlapor X Rp 166.208.037,00 Terlapor XI Rp 24.165.695,00 Terlapor XII Rp 22.000.000,00 18 11/KPPU -L/2013 Jasa Pemasangan Instalasi 1. Memerintahkan untuk - - - Listrik di Wilayah Kabupaten membatalkan Nunukan Memiliki 15 Terlapor kesepakatan harga Terlapor I sampai Terlapor XV instalasi listrik Terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 19 08/KPPU -I/2014 Industri Otomotif terkait Kartel 1. Terlapor I sampai Men Men Men Ban Kendaraan bermotor roda Terlapor VI masing- guatk guatk olak empat masing membayar denda an an dilak 1. PT Bridgestone Tire sebesar Putus Putus ukan Indonesia Rp 25.000.000.000,00 an an PK 2. PT Sumi Rubber Indonesia KPP PN 3. PT Gajah Tunggal, Tbk U 4. PT Goodyear Indonesia,

Universitas Sumatera Utara 120

Tbk 5. PT Elang Perdana Trye Industry 6. PT Industri Karet Deli Terlapor I – Terlapor VI Tebukti melanggar Pasal 5 Undang- Undang No 5 Tahun 1999 20 14/KPPU -I/2014 Penjualan Liquefied Petroleum 1. Membayar denda masing Men - - Gas (LPG) di wilayah Bandung -masing: olak dan Sumedang Memiliki 17 Terlapor I sebesar Putus Terlapor Rp 10.904.174.600,00 an Terlapor 1 sampai Terlapor Terlapor II sebesar KPP XVII Tebukti melanggar Pasal 5 Rp 256.502.400,00 U Undang - Undang No 5 Tahun Terlapor III sebesar 1999 Rp 1.987.143.400,00 Terlapor IV sebesar Rp 888.696.600,00 Terlapor V sebesar Rp 94.398.800.00 Terlapor VI sebesar Rp 1.790.247.800,00 Terlapor VII sebesar Rp 23.338.400,00 Terlapor VIII sebesar Rp 34.639.000,00 Terlapor IX sebesar Rp 1.122.979.000,00 Terlapor X sebesar Rp 83.182.600,00 Terlapor XI sebesar Rp 135.141.000,00 Terlapor XII sebesar Rp 125.450.600,00 Terlapor XIII sebesar Rp 522.007.200,00 Terlapor XIV sebesar Rp 1.100.184.800,00 Terlapor XV sebesar Rp 45.016.200,00 Terlapor XVI sebesar Rp 874.365.800,00 Terlapor XVII sebesar Rp 159.464.000,00 21 04/KPPU -I/2016 Industri Sepeda Motor Jenis 1. Membayar Denda Men Men - Skuter Matik 110-125 CC di masing-masing; guatk guatk Indonesia Terlapor I sebesar an an 1. PT Yamaha Indonesia Rp 25.000.000.000,00 Putus putus 2. PT Astra Honda Motor dan Terlapor II sebesar an an Terlapor I dan Terlapor II Rp 22.500.000 .000,00 KPP PN Tebukti melanggar Pasal 5 U Undang-Undang No 5 Tahun 1999 22 20/KPPU -I/2016 Penerapan Tarif Handling yang - - - - dilakukan oleh PT Artha Samudra Kontindo dan PT Sarana Gemilang pada Kawasan Tempat Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan 1. PT Artha Samudra Kontindo 2. PT Sarana Gemilang Terlapor I dan Terlapor II Tidak Tebukti melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun

Universitas Sumatera Utara 121

1999 23 08/KPPU -L/2018 Dugaan Pelanggaran Pasal 5 1. Membayar denda masing - - - ayat (1) Undang -Undang -masing : Nomor 5 Tahun 1999 tentang Terlapor I sebesar Larangan Praktik Monopoli dan Rp 7.154.000.000,00 Persaingan Usaha Tidak Sehat Terlapor II sebesar dalam Industri Jasa Freight Rp 5.642.000.000,00 Container pada Rute Surabaya Terlapor III sebesar menuju Ambon oleh 4 Rp 6.580.000.000,00 Perusahaan Pelayaran Terlapor IV sebesar 1. PT Tanto Intim Line Rp 1.415.000.000,00 2. PT Pelayaran Tempuran Indonesia Lines Emas, Tbk Terlapor I sampai 3. PT Meratus Line Terlapor IV Tebukti 4. PT Salam Pasific melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 24 15/ Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan 1. Menyatakan bahwa Mem - - KPPU-I/2019 Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun Terlapor I, Terlapor II, batal 1999 terkait Jasa Angkutan Terlapor III, Terlapor IV, kan Udara Niaga Berjadwal Terlapor V, Terlapor VI, Putus Penumpang Kelas Ekonomi dan Terlapor VII terbukti an Dalam Negeri oleh 7 perusahaan secara sah dan KPP penerbangan meyakinkan melanggar U 1. PT Garuda Indonesia Pasal 5 Undang-Undang (Persero), Tbk (Terlapor I); Nomor 5 Tahun 1999; 2. PT Citilink Indonesia (Terlapor II); 3. PT Sriwijaya Air (Terlapor III) ; 4. PT Nam Air (Terlapor IV); 5. PT Batik Air Indonesia (Terlapor V); 6. PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan 7. PT Wings Abadi (Terlapor VII). Tebukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 25 Updated191 Sampai saat ini, tidak terdapat - - - - Juni 2019-Februari kasus pelanggaran penetapan 2021 harga yang terdaftar pada KPPU.

Dari tabel diatas KPPU telah menerima 24 kasus pelanggaran

perjanjian penetapan harga (Pasal 5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dari

tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pelanggaran pasal 5 yang terjadi

mencakup hampir semua bidang usaha, mulai dari industri pengiriman barang

melalui kargo, industri garam, kartel, industri otomotif, tender, industri semen,

jasa pelayanan taksi, industri minyak goreng, jasa pemeriksaan kesehatan,

191 Database Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terhitung dari bulan Juni 2019 hingga Februari 2021, diakses dari http://putusan.kppu.go.id/

Universitas Sumatera Utara 122

penjualan LPG, pemasangan instalasi listrik, industri farmasi dan industri penerbangan domestik.

Berdasarkan pada beberapa kasus KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar perjanjian penetapan harga. Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No.

5 Tahun 1999 mengatur dengan jelas tindakan administratif yang dapat dilakukan oleh KPPU dari penetapan pembatalan perjanjian hingga pada pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).

Namun begitu, penerapan sanksi denda dirasa masih kurang mampu memberikan efek jera bagi pelaku usaha untuk tidak melakukan perjanjian penetapan harga yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sehingga

KPPU dalam beberapa perkara yang ditanganinya, seringkali menjatuhkan putusan dengan sanksi di luar daripada ketentuan yang telah diatur dalam

Pasal 47. Seperti pada Putusan No. 15/KPPU-I/2019 dimana KPPU meminta para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada Komisi Pengawas

Persaingan Usaha sebelum mengambil setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat selama 2 (dua) tahun.

Perkara pelanggaran perjanjian yang harus diperiksa dengan pendekatan per se illegal ini tentunya membutuhkan pembuktian dengan standar menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pembuktian ini tidak jauh daripada adanya bukti tidak langsung yang didasarkan kepada Peraturan

Universitas Sumatera Utara 123

KPPU No. 1 Tahun 2019. Pada beberapa kasus yang terdapat dalam tabel diatas, upaya hukum berupa keberatan diajukan terhadap 11 kasus diantaranya. Penulis berpendapat bahwa putusan KPPU tidak semerta-merta menjadi suatu putusan yang absolut tetapi bukti tidak langsung yang menjadi bagian pembuktian perkara perjanjian penetapan harga, dapat juga diajukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri sehingga pelaku usaha dapat memperoleh suatu kepastian hukum. Upaya keberatan atau upaya banding yang diajukan dapat menghasilkan perubahan bagi putusan KPPU yaitu dalam bentuk pembatalan ataupun penguatan putusan KPPU yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat antara KPPU dengan Pengadilan Negeri.

Pada putusannya Majelis Komisi menyatakan bahwa 7 industri penerbangan secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Pasal 5

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang kemudian tertuang dalam Putusan

KPPU No. 15/KPPU-I/2019. Adapun Majelis Komisi memutuskan dalam amarnya, sebagai berikut;

1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,

Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

2. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,

Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII tidak terbukti melanggar Pasal

11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

3. Memerintahkan kepada Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,

Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII untuk memberitahukan secara

tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebelum mengambil

Universitas Sumatera Utara 124

setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta

persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan

masyarakat selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini memiliki kekuatan

hukum tetap.

Berdasarkan pada putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Komisi

tersebut, penulis sepakat bahwa Terlapor I sampai dengan Terlapor VII telah

melakukan pelanggaran perjanjian penetapan harga atau melanggar ketentuan

Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi, pada amar putusan

berikutnya yang mengharuskan pelaku usaha untuk memberitahukan secara

tertulis kebijakan-kebijakan pelaku usaha, penulis beranggapan bahwa dengan

segala kewenangan yang dimiliki oleh KPPU, kepastian hukum masih saja

terabaikan.

Ketentuan Pasal 47 dengan jelas telah mengatur kewenangan KPPU

yaitu menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha

yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terlepas dari

adanya perubahan yang diakibatkan adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang

mengubah substansi pada Pasal 47 pada poin pengenaan denda dengan hanya

mengatur denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tanpa

adanya batas denda tertinggi. Oleh karena itu, meminta pelaku usaha untuk

memberitahukan segala kebijakan yang diambil kepada KPPU bukan

merupakan tindakan administratif yang menjadi kewenangan KPPU192.

Penulis berpendapat bahwa dalam hal ini KPPU telah melampaui

kewenangannya dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha pelanggar.

192 Lihat Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Sumatera Utara 125

Tugas dan kewenangan KPPU sebagai lembaga administratif penegak hukum persaingan usaha yang telah diatur sedemikian rupa seakan-akan terabaikan sebab didalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPPU masih saja melakukan hal-hal diluar ketentuan Undang-Undang seperti yang tercermin dalam Putusan No. 15/KPPU-I/2019. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPPU serta citra KPPU sebagai lembaga pengawas di mata komunitas pengusaha dapat berkurang yang dapat mengakibatkan pengusaha ragu terhadap KPPU dalam menangani pertikaian di dunia usaha.

Namun begitu, pertimbangan-pertimbangan Majelis Komisi dalam memutus putusan tidak terlepas dari situasi pandemi COVID-19 yang sedang terjadi dalam masa penyelidikan hingga putusan. Meskipun dalam putusannya

Majelis Komisi seakan-akan menjatuhkan putusan yang tidak sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, perlu diketahui bahwa

KPPU memiliki kewenangan diskresi sesuai yang diatur dalam Pasal 43 jo. 47

Undang-Undang Antimonopoli. Putusan Komisi telah didasarkan pada pembuktian dengan bukti tidak langsung yang kemudian disimpulkan sebagai sah dan meyakinkan telah terjadinya perjanjian penetapan harga.

Bukti tidak langsung antara lain bukti ekonomi yang terdiri dari structural evidence (bukti struktural) dan conduct evidence (bukti perilaku) serta bukti komunikasi. Oleh karena itu, dalam pembuktian perkara ini Majelis

Komisi juga melihat pada bukti komunikasi dan bukti ekonomi yang muncul dan teridentifikasi selama proses pemeriksaan. Berdasarkan pada putusan No.

15/KPPU-I/2019, bukti tidak langsung merupakan bagian daripada bukti

Universitas Sumatera Utara 126

petunjuk maka dari itu meskipun terdapat banyak penemuan terkait bukti tersebut, bukti ini hanya dihitung sebagai satu alat bukti yaitu petunjuk.

Kementerian Perhubungan sebagai patron bagi maskapai penerbangan dalam menentukan kebijakan ikut mendatangkan pertimbangan bagi Majelis

Komisi dalam menjatuhkan putusan. Majelis Komisi yang menjatuhkan putusan bukan berupa denda disebabkan oleh adanya biaya produksi terkait

Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam

Negeri yang dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pada masa itu. Biaya produksi tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor PM 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi

Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang

Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 20 Tahun

2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas

Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal

Dalam Negeri.

Biaya produksi terdiri dari biaya operasional langsung dan biaya operasional tidak langsung dengan struktur biaya produksi airline antara lain biaya avtur, biaya kebandarudaraan (ground handling), maintenance, biaya sewa pesawat, SDM, biaya asuransi, biaya navigasi, catering, allowances crew dan lain lain. Adanya biaya produksi sebagai penunjang keberlangsungan maskapai penerbangan menjadi pertimbangan dalam bentuk bukti ekonomi bagi Majelis Komisi. Maka dari itu dengan melihat situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung yang serta merta memberikan

Universitas Sumatera Utara 127

dampak bagi perekonomian negara, Majelis Komisi dengan kewenangan diskresinya tidak menjatuhkan sanksi denda bagi 7 (tujuh) maskapai penerbangan meskipun telah terbukti melakukan perjanjian yang dilarang

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Maka dari itu, terkhusus pada perkara putusan No. 15/KPPU-I/2019 mengenai Dugaan Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi

Dalam Negeri, diperlukan koordinasi yang baik dari Kementerian

Perhubungan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan jasa angkutan udara niaga khususnya pada tarif batas atas dan tarif batas bawah sehingga pelaku usaha memperoleh kepastian dalam menentukan harga tiket yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Majelis Komisi menjatuhkan putusan yang tentunya mempertimbangkan kondisi pelaku usaha sehingga segala kegiatan di dunia usaha dapat berjalan tanpa terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.

KPPU berada dalam posisi yang memiliki kewenangan yang sempurna namun tidak didukung dengan aturan yang kuat dalam menjalankan kewenangannya tersebut. KPPU selama ini menjalankan kewenangannya dengan berdasarkan pada Peraturan Komisi yang dikeluarkan oleh KPPU itu sendiri. Kewenangan yang dimiliki seharusnya didasari dengan aturan setara dengan undang-undang sehingga kepastian hukum dapat terjamin baik bagi KPPU sebagai lembaga yang berwenang dan bagi para pelaku usaha. Hal ini untuk menghindari timbulnya ketidakpercayaan terhadap KPPU serta pandangan bahwa KPPU

Universitas Sumatera Utara 128

menjatuhkan keputusan yang melampaui kewenangan yang sudah diatur oleh

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Berdasarkan pada keterangan diatas, penulis berpendapat bahwa KPPU telah menjalankan kewenangannya selama proses pemeriksaan perkara dengan berpedoman pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Berkaitan dengan pembuktian, KPPU juga telah berpedoman pada Peraturan KPPU No. 1 Tahun

2019 untuk bukti tidak langsung (indirect evidence) yang diatur dalam Pasal

57 angka (3) dan (4) yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Segala pertimbangan KPPU yang memang merupakan lembaga yang menangani perkara bidang persaingan usaha telah mempertimbangkan faktor ekonomi yang turut memberikan dampak bagi terjadinya perilaku ekonomi.

Universitas Sumatera Utara

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam skripsi ini, maka Penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dunia usaha bergerak dikarenakan terdapat pelaku usaha yang bersaing

untuk mendapatkan keuntungan. Dalam dunia persaingan ini, pelaku usaha

tentunya menginginkan keuntungan sebesar-besarnya yang dapat diperoleh

dengan melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain. Perjanjian

semacam ini dimata hukum persaingan merupakan perjanjian yang

dilarang. Salah satunya adalah perjanjian penetapan harga. Penetapan

harga merupakan salah satu perjanjian yang dilarang dalam Undang-

Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan harga baik yang terjadi secara

vertikal ataupun horizontal dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap

hukum persaingan karena perilaku kesepakatan harga akan secara

langsung menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara para

pelaku usaha pesaing. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur

mengenai perjanjian penetapan harga dalam Pasal 5 dimana pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaing namun terdapat

ketentuan yang mengecualikan apabila perjanjian yang terjadi dibuat

dalam suatu usaha patungan atau didasarkan pada undang-undang yang

berlaku. Ketentuan penetapan harga juga lebih lanjut diatur dalam

Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan

129

Universitas Sumatera Utara 130

Harga) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagai peraturan pelaksana

dan pedoman dalam memeriksa perkara perjanjian penetapan harga.

Penerapan hukum oleh Majelis Komisi dan Majelis Hakim terhadap

perkara dugaan pelanggaran perjanjian penetapan harga pada jasa

angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi dalam negeri

tersebut sudah sesuai dengan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, yaitu

dengan menyatakan bahwa Terlapor I hingga Terlapor VII adalah

bersalah. Putusan tersebut sudah sesuai dengan bukti-bukti yang

dielaborasikan dengan unsur-unsur sebagaimana tertuang pada Pasal 5

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dikaitkan pada fakta-fakta serta hasil

penemuan pada kasus tersebut.

2. Prinsip pembuktian pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

menganut berpedoman pada Pasal 183 KUHAP yang mengatur bahwa

kesalahan seseorang hanya dapat dibuktikan dengan didasarkan pada

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh keyakinan

bahwa suatu pelanggaran terjadi. Maka dari itu, untuk menyatakan bahwa

suatu pelaku usaha telah sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran

perjanjian penetapan harga, Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

jo Pasal 45 Peraturan Komisi No 1 Tahun 2019 telah mengatur alat bukti

pemeriksaan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen,

petunjuk dan keterangan pelaku usaha. Selain itu, Organization for

Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai organisasi

pembangunan ekonomi juga telah mengeluarkan Policy Brief June 2007

yang menjelaskan lebih lanjut mengenai alat bukti yaitu bukti langsung

Universitas Sumatera Utara 131

dan bukti tidak langsung. Namun begitu, pembuktian terjadinya perilaku

atau strategi yang parallel bukan merupakan bukti yang cukup untuk

menyatakan adanya perjanjian penetapan harga sehingga masih

dibutuhkan analisis tambahan. Adanya pedoman sebagai acuan

memudahkan KPPU dalam menganalisis perkara-perkara yang sulit

dibuktikan akibat adanya kecenderungan bukti-bukti tidak langsung yang

memerlukan pedoman dalam pembuktiannya. Pedoman ini telah

dituangkan dalam bentuk Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

No. 1 Tahun 2019 pada Pasal 57 yang menjelaskan mengenai bukti tidak

langsung yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi.

3. Terdapat beberapa kajian hukum terdapat putusan KPPU No. 15/KPPU-

I/2019 mengenai dugaan pelanggaran perjanjian penetapan harga pada jasa

angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi dalam negeri

yang menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk (Terlapor I),

PT Citilink Indonesia (Terlapor II), PT Sriwijaya Air (Terlapor III), PT

Nam Air (Terlapor IV), PT Batik Air Indonesia (Terlapor V), PT Lion

Mentari (Terlapor VI) dan PT Wings Abadi (Terlapor VII) terbukti secara

sah dan meyakinkan melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan penelitian, tindakan KPPU

dalam melakukan pemeriksaan kasus sebagaimana dalam Putusan KPPU

No 15/KPPU-I/2019 telah tepat menggunakan pendekatan per se illegal

karena kesepakatan harga yang dilakukan para pelaku usaha jelas

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak

sehat tanpa perlu dibuktikan dampak dari adanya kesepakatan harga

Universitas Sumatera Utara 132

tersebut. Dalam perkara ini pemberian sanksi berupa denda seringkali tidak dapat memberikan efek jera namun begitu putusan KPPU yang meminta para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada

KPPU setiap kebijakan yang hendak diambil pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat selama 2 (dua) tahun dirasa melampai batas kewenangan yang dimiliki oleh KPPU itu sendiri. Hal ini dapat mencegah terjadinya tindakan yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat tetapi memiliki dampak buruk pada citra KPPU sebagai lembaga pengawas serta dapat menghilangkan kepercayaan para pelaku usaha

(pengusaha) dan masyarakat terhadap kinerja KPPU yang melakukan tindakan diluar yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1999. Akan tetapi bila diteliti kondisi yang terjadi telah memasuki pandemi Covid-19, maka pertimbangan yang telah diberikan oleh Majelis

Komisi merupakan pertimbangan ekonomi sehingga pada putusan No.

15/KPPU-I/2019 tidak dijatuhkan sanksi administratif berupa denda.

KPPU menjalankan kewenangan tetapi tidak didasari dengan peraturan yang kuat dan mengikat yang setara dengan undang-undang sehingga dalam putusan tersebut KPPU menggunakan kewenangan diskresi untuk menjatuhkan putusan yang tidak memberatkan pelaku usaha atau pihak terlapor.

Universitas Sumatera Utara 133

B. Saran

Dari pemaparan penulisan dan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang dapat disarankan Penulis, yaitu:

1. Perilaku pelaku usaha yang bersaing secara tidak sehat dengan pelaku

usaha pesaing dengan membuat perjanjian penetapan harga merupakan

tindakan yang berdampak negatif dikarenakan dapat menghilangkan

persaingan dan merugikan masyarakat sebagai konsumen. Dalam

membuat suatu perjanjian, sebaiknya pelaku usaha yang ingin membuat

perjanjian berpedoman pada unsur persaingan artinya tetap didasarkan

pada Undang-Undang No 5 Tahun 1999 beserta dengan Peraturan Komisi

yang mengatur sehingga pelaku usaha dapat bersama-sama menciptakan

persaingan usaha yang sehat dan tidak merugikan pelaku usaha lain serta

tidak memberi dampak buruk bagi stabilitas perekonomian di Indonesia.

Berkaitan dengan penetapan harga pada jasa angkutan, Kementerian

Perhubungan memiliki peran yang penting maka dari itu Kementerian

Perhubungan diharapkan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif

batas atas dan batas bawah yang dapat ditinjau setiap tahun sehingga

formulasi yang digunakan dapat melindungi masyarakat sebagai

konsumen dan pelaku usaha dalam industri dan efisiensi nasional dimana

batas bawah adalah diatas sedikit dari marginal cost pelaku usaha dan

batas atas adalah batas keuntungan yang wajar dan dalam batas

keterjangkauan kemampuan membayar konsumen.

2. Pembuktian yang dilakukan oleh KPPU harus dilakukan dengan

berdasarkan pada undang-undang dan peraturan lain yang mendukung.

Universitas Sumatera Utara 134

KPPU harus mengikuti perkembangan penanganan perkara penetapan

harga yang dinamis sehingga Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pasal 5 (Penetapan harga) yang sudah memiliki umur kurang

lebih 9 tahun dapat diperbaharui dan disempurnakan kembali.

Terkhususnya, dalam pembuktian bukti tidak langsung, KPPU

berpedoman pada Policy Brief 2007 yang dikeluarkan oleh OECD serta

Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019. Melihat kondisi perekonomian yang

bergerak dinamis terutama setelah adanya pandemi Covid-19, pemerintah

bersama dengan KPPU harus melakukan penyempurnaan dalam

pengaturan mengenai penggunaan pembuktian indirect evidence terhadap

perjanjian penetapan harga sebab Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak

mengatur mengenai pembuktian perjanjian serta peraturan komisi yang

dijadikan sebagai pedoman masih mengatur mengenai bukti tidak

langsung sebagai bagian dari alat bukti petunjuk. Pembaharuan dan

penyempurnaan harus dilakukan agar Indonesia memiliki produk hukum

terkhusus pada bukti tidak langsung sehingga dapat menimbulkan adanya

kepastian hukum bagi pelaku usaha dan masyarakat.

3. Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan lembaga yang

diamanatkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun untuk mengawasi pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Maka dari itu, sebagai

lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, KPPU haruslah

bergerak dalam koridor hukum yang telah diatur. KPPU sebaiknya tidak

menjatuhkan sanksi di luar daripada kewenangannya agar tidak

Universitas Sumatera Utara 135

menimbulkan pernyataan bahwa KPPU melampaui batas kewenangannya.

Oleh karena itu, terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran perjanjian penetapan harga KPPU haruslah menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 agar pelaku usaha tidak mengulangi pelanggaran yang sama dan mengandung efek jera yang cukup kepada pelaku usaha. Namun, dunia persaingan usaha yang bersifat dinamis mengharuskan KPPU untuk mengikuti perkembangan perekonomian negara. Oleh karena itu, pemerintah haruslah membentuk produk hukum berupa undang-undang yang dapat mewadahi KPPU dalam menjalankan kewenangannya sebagai lembaga pengawas persaingan usaha sehingga kepastian hukum dapat terjamin bagi pelaku usaha demi menciptakan persaingan usaha yang sehat.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU Hansen, Knud dkk. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Jakarta: GTZ & Katalis. 2002.

Hermansyah. Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group. 2008.

Juwana, Hikmahanto dkk. Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara

Persaingan Usaha. Jakarta: Partnership for Business Competition

(PBC). 2003.

Lubis, Andi Fahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.

Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2009.

Lubis, Andi Fahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua.

Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 2017.

Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

Margono, Suyud. Hukum Antimonopoli. Jakarta : Sinar Grafika. 2013.

Meyliana, Devi Meyliana. Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian

Terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha.

Malang: Setara Press. 2013. Nugroho, Susanti Adi. Hukum

Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2012.

Nugroho, Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori &

Praktik serta Penerapan Hukumnya. Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group. 2012.

Roestamy, Martin & Aal Lukmanul Hakim. Bahan Kuliah Hukum Perikatan.

Fakultas Hukum : Universitas Djuanda Bogor

136

Universitas Sumatera Utara 137

Salim & Nurbani, E.S. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi &

Tesis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2016.

Sirait, Ningrum Natasya. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan:

Pustaka Bangsa Press. 2003.

Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan di Indonesia UU No.5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat. Medan: Pustaka Bangsa Press. 2004.

Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 2014.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

CV. 2017.

Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. 2004.

Usman, Rahmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Banjarmasin:

Sinar Grafika. 2013.

Usman, Rachmadi. Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika. 2013.

Wibowo, Destivano & Harjon Sinaga. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada. 2005.

Yani, Ahmad dan Gunawan Wijaya. Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli. Jakarta:

Raja Grafindo Persada. 1999.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Anti Monopoli. Jakarta: Raja Grafindo.

2006.

Universitas Sumatera Utara 138

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan

Keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata

Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 5 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47.

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

C. JURNAL/ARTIKEL/INTERNET

Febrina, Rezmia. “Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) yang

dilakukan Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha”.

Jurnal Selat. Vol 4 No 2, Mei 2017

Universitas Sumatera Utara 139

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Draft Pedoman Kartel.

https://www.kppu.go.id/ diakses pada 24 Oktober 2020

Lubis, Andi Fahmi. Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel. Jurnal Hukum

Bisnis (Volume 32 No 5). 2013.

OECD. Toolkit Penilaian Persaingan Usaha Jilid I: Prinsip –Prinsip

OECD. 2007. Policy brief prosecuting cartels without direct evidence of

agreement. diakses dari http://www.oecd.org/

Safitri, Nurul dan Wibowo Kuntjoroadi. Analisis Strategi Bersaing dalam Persaingan

Usaha Penerbangan Komersial. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi

(FISIP UI). Volume 16 Nomor 1. 2009.

Shidarta. Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha. https://business-

law.binus.ac.id/ diakses pada 10 Oktober 2020

Silalahi, Udin. Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Hukum

Bisnis 32(5). 2013.

Wisny. 2015. Penerapan Sanksi Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) Terhadap Pelaku Usaha yang Melakukan

Persekongkolan dalam Tender. Pakuan Law Review (Volume 1

Nomor 2)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara