KAJIAN HUKUM PERSAINGAN TERHADAP PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI DALAM NEGERI (STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-I/2019)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
GABRIELA GEXIA SIHALOHO
170200209
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2021
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus yang oleh karena anugerah-Nya dan kasih setia-Nya yang melimpah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Kajian Hukum Persaingan
Terhadap Pelanggaran Penetapan Harga Pada Jasa Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri (Studi Kasus : Putusan
KPPU No. 15/KPPU-I/2019)”. Penulisan skripsi ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaikan pendidikan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak khususnya dalam bidang ilmu hukum.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang-orang yang penulis hormati dan cintai yang membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembuatan skripsi ini.
Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Oloan Sihaloho dan Ibu Lince Natalia
yang selalu memberi semangat, doa, dukungan dan nasehat kepada
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan sampai
saat ini;
i
Universitas Sumatera Utara 2. Saudara tersayang, Kakak Lydia Lionita Sihaloho dan Adik Nicholas
Nathalius Sihaloho yang juga memberikan semangat dan dukungan
agar penulis bisa menyelesaikan skripsi ini;
3. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara;
4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Prof. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen
Penasehat Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara;
8. Bapak Prof. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Ketua Departemen
Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H selaku Sekretaris Departemen Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
10. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI selaku Dosen
Pembimbing I yang telah memberikan waktunya dengan memberikan
bimbingan, arahan, masukan dan motivasi yang sangat berguna kepada
penulis dalam menyusun skripsi ini;
ii
Universitas Sumatera Utara 11. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing
II yang juga telah meluangkan waktu, tenaga dam pemikiran dalam
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
12. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang selama ini menuntun dan membimbing penulis dalam mengikuti
perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini;
13. GMKI Koms. FH USU yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk
berproses dan mengenali arti kata pelayanan;
14. Antek-Antek yang selalu siap sedia berada dalam kehidupan Penulis
dalam memberikan pundi-pundi tawa yang cukup untuk Penulis
bertahan menjalani kehidupan. Terima kasih Kak Hera, Kak Chatrine,
Dyssa Novita, Gabriella Sablina. Love you guys!
15. Team BSR “buat yang tau tau aja” yang senantiasa memiliki pemikiran
yang sama dalam mempertahankan argumen maupun rasionalisasi
pada waktu lampau;
16. Feny Yolanda Silalahi selaku partner Penanggung Jawab Komisariat
yang senantiasa berada dalam radar dan membantu Penulis untuk tetap
berpengharapan;
17. Pengurus Komisariat GMKI Koms. FH USU Masa Bakti 2020-2021
yang terdiri dari manusia-manusia terbaik dan unik yang Penulis
temukan antara lain Feny, Putri, Bakti, Marco, Sablina, Chelsya,
Oktaviani, Sarah, Immanuel, Cindy, Christo, Goldanio, Randyaga,
Yudha. Makasih selalu ada, NKCTHI.
iii
Universitas Sumatera Utara
iv
Universitas Sumatera Utara ABSTRAK
KAJIAN HUKUM PERSAINGAN TERHADAP PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI DALAM NEGERI (STUDI KASUS : PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-I/2019) Gabriela Gexia Sihaloho*) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI**) Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum***)
Perjanjian penetapan harga merupakan suatu perjanjian yang dilarang yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelau usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang dapat menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Pengaturan mengenai perjanjian penetapan harga terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku Persekongkolan Tender adalah sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011. Penelitian skripsi ini ditujukan untuk menganalisis ketentuan penetapan harga menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembuktian pelanggaran penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan penerapan hukum dalam putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019. Metode penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dikumpulkan dengan metode studi pustaka. Analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Putusan No. 15/KPPU-I/2019 dinilai telah sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2011, yaitu sepanjang mengenai telah terpenuhinya unsur-unsur terjadinya pelanggaran dalam perjanjian penetapan harga tersebut. Putusan Majelis Komisi telah dihasilkan melalui adanya pembuktian bukti tidak langsung berdasarkan pada Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019 yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Putusan Majelis Komisi didasarkan pada kondisi persaingan usaha industri penerbangan dalam situasi pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung sehingga memunculkan adanya pertimbangan ekonomi. Kata kunci: penetapan harga, indirect evidence, KPPU *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II
v
Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...... i
ABSTRAK ...... v
DAFTAR ISI ...... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ...... 1
A. Latar Belakang ...... 1
B. Rumusan Masalah ...... 14
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...... 14
D. Keaslian Penulisan ...... 16
E. Tinjauan Pustaka ...... 20
F. Metode Penulisan ...... 24
G. Sistematika Penulisan ...... 28
BAB II PERJANJIAN PENETAPAN HARGA BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 ...... 31
A. Perjanjian yang Dilarang Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ...... 31
B. Perjanjian yang Dikecualikan Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ...... 44
C. Pengertian Penetapan Harga ...... 50
D. Pengaturan Penetapan Harga ...... 52
E. Tindakan yang disebut sebagai Penetapan Harga...... 57
BAB III PEMBUKTIAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA ...... 63
A. Penegakan Hukum Persaingan Usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha ... 63
B. Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga ...... 79
1. Bukti Tidak Langsung dalam Pembuktian Hukum Persaingan Usaha Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) ...... 80
2. Standar Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Menurut Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 ...... 83
vi
Universitas Sumatera Utara BAB IV KAJIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU- I/2019 TENTANG DUGAAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI DALAM NEGERI ...... 90
A. Kasus Posisi Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri ...... 91
B. Kajian Hukum terhadap Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri ...... 107
BAB V PENUTUP ...... 129
A. Kesimpulan ...... 129
B. Saran ...... 133
DAFTAR PUSTAKA ...... 136
vii
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem hukum nasional Indonesia mengenal adanya hukum persaingan
usaha setelah mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun
1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang disertai juga dengan
kondisi perekonomian dunia yang menurun.1 Disamping faktor krisis
ekonomi maka Indonesia dalam waktu singkat dipaksa keadaan untuk
melakukan berbagai deregulasi peraturan perekonomian untuk menyelesaikan
ekonominya.2
Liberalisasi perdagangan memimpikan ada perlakuan yang adil bagi
para pelaku usaha dengan tidak lagi mengenal batas-batas negara. Untuk itu
iklim persaingan usaha mutlak perlu karena akan mampu mengurangi beban
negara, menguntungkan konsumen, dan memberi kepastian bagi investor.3
Namun begitu, perekonomian Indonesia berupaya menghindarkan diri dari
sistem free fight liberalism4 yang mengeksploitasi manusia atau dominasi
perekonomian oleh negara serta persaingan curang dalam berusaha dengan
melakukan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu saja.5
Persaingan usaha adalah salah satu faktor yang penting dalam menjalankan
1 Ningrum Natasya Sirait, 2004, Hukum Persaingan di Indonesia UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press), hal 5 2 Ibid. 3 Shidarta, Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha, (https://business- law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha/, Diakses pada 10 Oktober 2020 pukul 15:05) 4 Free Fight Liberalism adalah kebebasan usaha yang tidak terkendali sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah, diakses dari https://brainly.co.id/tugas/14606853 pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.55 WIB 5 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 1
1
Universitas Sumatera Utara 2
roda perekonomian suatu negara dan persaingan ditentukan oleh kebijakan
persaingan (competition policy6). Negara memang tidak dapat berjalan dan
maju tanpa adanya dunia usaha yang berkembang secara cepat dan efisien.7
Oleh sebab itu walaupun proses persaingan akan mengakibatkan adanya
masyarakat yang kalah dalam proses bersaing dan akan menjadi tanggungan
sosial dalam ekonomi secara keseluruhan, tetapi persaingan tetap dianggap
sebagai cara yang paling tepat dalam ekonomi untuk mencapai kesejahteraan
secara keseluruhan melalui alokasi sumber daya yang maksimum.8
Dasar-dasar pengelolaan perekonomian negara Indonesia diatur dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan
bahwa perekonomian nasional harus dibangun atas dasar falsafah demokrasi
ekonomi dalam wujud ekonomi kerakyatan.9 Oleh karena itu, sejalan dengan
proses menuju sistem ekonomi pasar maka Indonesia juga telah
memberlakukan undang-undang Hukum Persaingan Usaha yang diatur dalam
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.10
Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah
mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair
6 Competition Policy mengacu pada kebijakan umum dan arah pemerintahan umum yang bertujuan untuk memperkenalkan, meningkatkan dan / atau mempertahankan persaingan, diakses dari https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14669/2/T1_312013058_BAB%20II.pdf pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.57 WIB 7 Ahmad Yani, dan Gunawan Wijaya, 1999, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal 1 8 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 28 9 Rachmadi Usman, S.H., 2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal 10 10 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 22
Universitas Sumatera Utara 3
competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar
pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para
pesaingnya.11 Kelahiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama
kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha. Perlindungan dan kepastian
hukum yang diberikan dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya. Harapannya
dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, yang mana setiap pelaku usaha
dapat secara wajar dan sehat.12
Maka dari itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dibentuk agar
pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum.13 Lebih lanjut dijelaskan secara rinci
dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 bahwasanya tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
11 Hermansyah, 2008, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), hal 13 12 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 8 13 Bab II Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara 4
Dua dari tujuan kebijakan kompetisi usaha Indonesia menjadi dasar
fundamental bagi implementasi tujuan tersebut, yaitu penekanan pada
kepentingan umum, kesejahteraan rakyat serta efisiensi (maximation of
consume welfare14 and efficiency15) dimana upaya untuk mencapai tujuan
tersebut dilakukan melalui proses persaingan.16 Dunia usaha sekarang ini
sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan
usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap pihak yang
ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan dalih pemeliharaan persaingan
yang sehat. Terjadinya hal yang demikian itu antara lain disebabkan
kurangnya pemahaman kalangan pelaku usaha terhadap Undang-undang No. 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.17
Oleh karena itu, untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang
tidak sehat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah ditentukan secara
jelas dan terstruktur mengenai perjanjian yang dilarang, kegiatan yang
dilarang dan posisi dominan.18 Ketiga hal ini memang secara substansial
berpotensi atau membuka peluang besar untuk terjadinya praktik monopoli
14 Consume Welfare atau kesejahteraan rakyat merupakan keadaan sentosa dan makmur yang diartikan sebagai keadaan yang berkecukupan atau tidak kekurangan, yang tidak saja memiliki dimensi fisik atau materi, tetapi juga dimensi rohani, diakses dari https://www.academia.edu/10150418/Consumer_Surplus_and_Consumer_Welfare pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.00 WIB 15 Efficiency adalah sesuatu sistem yang mencapai produktivitas maksimum dengan usaha atau pengeluaran biaya yang seminimum mungkin, diakses dari https://medium.com/@naomitambunan77/efficiency-13e09b018b55 pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.00 WIB 16 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 22 17 Hermansyah, Op. Cit., hal 23 18 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 24
Universitas Sumatera Utara 5
dan persaingan usaha tidak sehat, apalagi sebagian besar transaksi bisnis
memang didasarkan pada perjanjian antara pelaku usaha.19
Adapun perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara lain meliputi20:
1. Perjanjian Oligopoli 2. Penetapan Harga 3. Pembagian Wilayah 4. Pemboikotan 5. Kartel 6. Trust 7. Oligopsoni 8. Integrasi Vertikal 9. Perjanjian Tertutup
Penelitian skripsi ini secara khusus akan membahas mengenai
perjanjian penetapan harga yang merupakan salah satu perjanjian yang
dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Perjanjian penetapan
harga ini dilarang karena akan menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum
pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan.21
Pelaku usaha yang mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya,
guna menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang dan/atau jasa yang
akan diperdagangkan pada pasar bersangkutan merupakan perbuatan anti
persaingan. Sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan persaingan usaha
diantara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.22
19 Hermansyah, Op. Cit., hal 24 20 Suyud Margono, 2009, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika), hal 77-78 21 Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana), hal 136 22 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal. 44
Universitas Sumatera Utara 6
Dalam hukum persaingan usaha dikenal beberapa pendekatan dalam
penerapannya, yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Kedua
metode pendekatan ini memiliki perbedaan ekstrim dalam Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999, yakni biasanya penerapan pendekatan rule of reason
pencantuman kata “yang dapat mengakibatkan” dan “patut diduga”. Kata
tersebut menyiratkan perlunya dilakukan penelitian secara mendalam, apakah
suatu tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat
antipersaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya
digunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang” tanpa anak
kalimat “yang dapat mengakibatkan”.23
Perjanjian penetapan harga dapat dilakukan secara terbuka maupun
disamarkan, yang pada dasarnya mencederai asas persaingan. Dalam
pendekatan perilaku, penetapan harga/horizontal price fixing termasuk per se
illegal. Per se illegal yang sering juga disebut dengan per se violation, dalam
hukum persaingan adalah istilah yang mengandung maksud bahwa jenis-jenis
perjanjian tertentu, atau perbuatan-perbuatan tertentu dianggap secara inheren
bersifat anti kompetitif dan merugikan masyarakat tanpa perlu dibuktikan
bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak persaingan.24
Penegakan hukum dan pembuktian hingga pengawasan terhadap
adanya perilaku pelaku usaha yang tidak sesuai seperti pelanggaran ketentuan
perjanjian yang dilarang tentunya harus dilakukan oleh lembaga pengawas
tertentu. Maka berdasarkan perintah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 15
Tahun 1999, dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang
23 Andi Fahmi Lubis II dkk, 2017, Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)), hal 66 24 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 693
Universitas Sumatera Utara 7
selanjutnya disebut dengan KPPU. KPPU ini dikatakan sebagai suatu lembaga
independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak
lain.25 Implementasi daripada Undang-Undang Persaingan Usaha diserahkan
kepada KPPU, suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pihak lain yang berwenang melakukan pengawasan
persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi.
KPPU dalam penegakan hukum persaingan usaha Indonesia
mempunyai posisi sentral tetapi bukan menjadi back bone (tulang punggung)
dalam pengembangan hukum persaingan usaha. Posisi sentral tersebut
berkaitan dengan kedudukan KPPU yang diamanatkan oleh Bab IV Undang-
Undang Persaingan Usaha. Meskipun berdasarkan Pasal 1 angka 18 jo Pasal
30 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha, KPPU dinyatakan sebagai
lembaga pengawas pelaksanaan Undang-Undang oleh para pelaku usaha yang
bersifat independen, tetapi Undang-Undang Persaingan Usaha memperinci
pengawasan tersebut ke dalam tugas dan wewenang.26 KPPU dapat dikatakan
memiliki kewenangan yang besar meliputi penyelidikan, penuntutan,
konsultasi, memeriksa, mengadili dan memutus perkara, meskipun KPPU
mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya persaingan usaha namun
KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Kedudukan
KPPU merupakan lembaga administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan
merupakan sanksi administratif.27
25 Suyud Margono, Op. Cit., hal.136 26 Wisny, 2015, Penerapan Sanksi Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Terhadap Pelaku Usaha yang Melakukan Persekongkolan dalam Tender, (Pakuan Law Review Volume 1, Nomor 2), hal 371-372 27 Devi Meyliana, 2013, Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian Terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha, (Malang: Setara Press), hal 31-32
Universitas Sumatera Utara 8
Perkembangan industri jasa penerbangan di Indonesia, khususnya
untuk penerbangan komersial berjadwal semakin marak sejak dikeluarkannya
deregulasi yang mengatur transportasi udara pada tahun 1999, berupa
serangkaian paket deregulasi, salah satunya adalah Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 81 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan
Penerbangan di Indonesia. Banyaknya jumlah maskapai penerbangan yang
beroperasi di Indonesia secara langsung menciptakan persaingan yang cukup
ketat.28
Persaingan usaha yang sehat diharapkan dapat terjadi dalam industri
penerbangan. Pemerintah menilai, tidak ada persaingan usaha yang sehat
dalam industri penerbangan lokal. Penyebabnya, hanya dua pelaku usaha yang
dominan. Industri penerbangan di dalam negeri didominasi Grup Garuda
Indonesia dan Grup Lion Air. Kelompok pertama terdiri dari Garuda dan anak
anak usahanya, Citilink, serta Grup Sriwijaya, mitra kerjasama operasinya
sejak tahun 2018. Sedang Grup Lion Air terdiri dari Lion Air, Batik Air, dan
Wings Air. Grup Lion menguasai pasar domestik, dengan pangsa sekitar
50%.29
Dilihat dari aspek penyelenggaraan penerbangan angkutan udara
terdapat dua bentuk kegiatan penerbangan, yaitu penerbangan komersial dan
penerbangan bukan komersial. Penerbangan komersial atau niaga merupakan
bentuk transportasi udara yang mengenakan biaya bagi penggunanya. Jenis
28 Nurul Safitri dan Wibowo Kuntjoroadi, Analisis Strategi Bersaing dalam Persaingan Usaha Penerbangan Komersial, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi (FISIP UI), Volume 16 Nomor 1, Jan-Apr 2009, hal 45 29 Thomas Hadiwinata dkk, Pemerintah Ingin Sehatkan Persaingan di Pasar Penerbangan dengan Undang Pemain Baru, diakses dari https://insight.kontan.co.id/news/pemerintah-ingin-sehatkan-persaingan-di-pasar-penerbangan- dengan-undang-pemain-ba pada tanggal 07 April 2021 pukul 22.53 WIB
Universitas Sumatera Utara 9
penerbangan ini dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu penerbangan niaga
berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal.30
Salah satu potensi hadirnya tindakan persaingan usaha yang tidak sehat
dapat terjadi dalam industri angkutan udara domestik yang terdapat dalam 8
(delapan) maskapai besar yang saat ini beroperasi pada rute domestik
mengerucut pada empat maskapai penerbangan yang besar. Pertama, Group
Garuda dengan Garuda Indonesia di Full Service Airline31 (FSA) dan Citilink
dikelas Low Cost Carrier32 (LCC). Kedua, Lion dengan 3 (tiga) maskapai
utama yakni Lion Air untuk Low Cost Carrier, Batik Air di kelas FSA dan
Wings Air untuk rute penerbangan jarak pendek yang menjangkau wilayah
terluar Indonesia. Ketiga, Sriwijaya Group dengan 2 (dua) maskapai yakni
Sriwijaya dan NAM Air. Keempat, Air Asia Indonesia yang berinduk pada
perusaaan Malaysia. Kelima, 4 (empat) maskapai yang terdaftar yakni Tri
Gana, Travel Express, Trans Nusa dan ASI Pudjiastuti yang mana hanya
menjadi maskapai perintis dan menerbangi sebagian kecil rute di wilayah
terluar Indonesia. Peta bisnis penerbangan di Indonesia kian mengerucut
dengan fenomena dimana PT Garuda Indonesia Tbk (Garuda), melalui anak
usaha PT Citilink Indonesia, mengambil alih operasional dan finansial dari
Sriwijaya Air Group (Sriwijaya) yang terdiri dari maskapai Sriwijaya dan
30 Ahmad Zalili, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, hal 1, diakses dari https://core.ac.uk/download/pdf/11716219.pdf pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 16.05 WIB 31 Konsep Full Service Airline adalah penerbangan yang mengutamakan pelayanan penuh kepada penumpang baik dari segi kenyamanan hingga keamanan, pelayanan konsumsi yang berkualitas, entertainment, kelebihan bagasi, serta pelayanan-pelayanan lainnya yang tidak terdapat pada maskapai penerbangan yang berkonsep Low Cost Carrier (LCC), diakses dari https://www.muhammadyamin.com/tag/full-service/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.03 WIB 32 Konsep Low Cost Carrier adalah konsep penerbangan dengan biaya murah dan pelayanan yang terbatas, diakses dari https://www.muhammadyamin.com/tag/full-service/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 14.03 WIB
Universitas Sumatera Utara 10
NAM Air pada tanggal 09 November 2018. Saat ini, bentuk dari
pengambilalihan itu adalah adanya Kerjasama Operasi33(KSO).34
Berdasarkan data jumlah penumpang angkutan niaga berjadwal
domestik Indonesia dikuasai oleh dua grup besar, yaitu Garuda Indonesia
Group dan Lion Air Group. Garuda Indonesia Group memiliki Market Share35
sebesar 46% (empat puluh enam persen) sedangkan Lion Air Group memiliki
pangsa pasar terbesar dalam pasar penerbangan domestik di Indonesia dengan
penguasaan Market Share mencapai 50% (lima puluh persen).36 Minimnya
pemain dalam penyediaan usaha jasa angkutan udara di Indonesia dapat
diduga sebagai salah satu indikator kenaikan harga tiket pesawat. Tiket
pesawat penerbangan domestik seringkali mengalami kenaikan yang cukup
drastis sekitar 30% (tiga puluh persen) sampai 50% (lima puluh persen).
Dampak kenaikan harga tiket pesawat adalah jumlah penumpang pesawat
yang turun drastic, sekitar 18.5% (delapan belas koma lima persen) sejak
tahun 2019.37
Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa kenaikan jasa
angkutan udara niaga berjadwal merupakan penyumbang dalam kenaikan
inflasi tahun 2019. Data dari BPS mencatat harga tiket pesawat kerap
33 Kerjasama Operasi (KSO) adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk bersama- sama melakukan suatu kegiatan usaha guna mencapai suatu tujuan tertentu (berdasarkan pada Pasal 1 angka (14) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 740/KMK.00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara) 34 Anonim, Menhub Beri Lampu Hijau Garuda Caplok Sriwijaya Air, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181115164924-92-346875/menhub-beri-lampu-hijau- garuda-caploksriwijaya-air, pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 16.16 WIB 35 Market Share atau Pangsa Pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu (berdasarkan pada Pasal 1 angka (13) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999) 36 Taufik Ahmad, Polemik Harga Tiket Pesawat dalam Perspektif Hukum, Bisnis dan Investasi, Seminar Nasional, Thamrin Jakarta, 09 Agustus 2019 37 Ibid.
Universitas Sumatera Utara 11
berkontribusi pada inflasi, penurunan sekitar 0.03% (nol koma nol tiga persen)
dari Juni 2019. Indonesia National Air Carrier Association (INACA)
mengakui rata-rata kenaikan harga tiket pesawat sebesar 40 persen sampai 120
persen beberapa waktu terakhir. Kenaikan itu terjadi sejak November tahun
2018 atau jelang momen Natal dan Tahun Baru (Nataru).38 Kenaikan harga
tersebut meliputi harga tiket ekonomi yang dianggap masih cukup tinggi
meskipun peak season39 sudah berakhir.
Berkaitan dengan hal ini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah
merilis aturan baru terkait tarif pesawat. Aturan tersebut yaitu Peraturan
Menteri Nomor PM 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi
Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi
Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Adanya peraturan tersebut
tentunya menciptakan batasan perilaku bagi pelaku usaha terkhususnya
maskapai penerbangan, dalam hal menetapkan harga tiket yang diberlakukan
bagi konsumen. Terkait tarif batas atas dan tarif batas bawah, di dalam
Peraturan Menteri Perhubungan ini tarif batas bawah ditetapkan sebesar 35%
dari tarif batas atas dengan tetap memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat konsumen pengguna moda transportasi udara. Akan tetapi dalam
hal ini pemerintah juga ingin melindungi keberlangsungan usaha Badan Usaha
Angkutan Udara.40
38 Anonim, Kenaikan Harga Tiket Pesawat Sempat Tembus 120 Persen, Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/kenaikan-harga-tiket-pesawat-sempat-tembus-120- persen, pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 15.30 WIB 39 Peak Season adalah tahun ketika banyak orang berpergian dan harga biasanya berada pada titik paling tinggi, diakses dari https://www.globalkomunika.com/blog/2018/12/apa-itu-high- season-low-season-&-peak-season pada tanggal 21 Februari 2021 pukul 20.15 WIB 40 Fadhly Fauzi Rachman, Daftar Lengkap Tarif Batas Atas dan Bawah Tiket Pesawat, Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4490086/daftar-lengkap-tarif-batas- atas-dan-bawah-tiket-pesawat pada tanggal 31 Januari 2021 pukul 15.40 WIB
Universitas Sumatera Utara 12
KPPU sebagai lembaga administratif dengan wewenang untuk menerima laporan terkait adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 juga menerima laporan terkait maskapai penerbangan yang diduga melakukan pelanggaran perjanjian penetapan harga. Pelaporan kasus dugaan terjadinya pelanggaran Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 terkait adanya dugaan penetapan harga terkait Jasa Angkutan
Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri diterima oleh KPPU pada penghujung bulan Januari 2019. Adapun perusahaan maskapai penerbangan yang melayani jasa angkutan udara niaga yaitu PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT
NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari dan PT Wings Abadi yang dinyatakan oleh KPPU terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pengaturan mengenai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat telah diberlakukan, begitu juga dengan peraturan penerbangan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 yang disertai dengan peraturan pendukung lainnya. Namun begitu, tak dapat dipungkiri seringkali pelaku usaha melanggar apa yang menjadi ketentuan dalam peraturan yang dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, seperti pada kasus pada putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019. Perjanjian penetapan harga memiliki beberapa penyebab untuk mendistorsi pasar karena menimbulkan kenaikan harga yang sangat tinggi. Harga yang mahal akibat perjanjian penetapan harga dikarenakan harga yang terbentuk tidak melalui
Universitas Sumatera Utara 13
mekanisme pasar atau hukum supply41 dan demand42 sebagaimana mestinya
perjanjian penetapan harga mengakibatkan tidak terjadinya mekanisme
penyesuaian secara otomatis43 (automatic adjustment).44 Akibatnya konsumen
tidak mempunyai pilihan lain selain harus membayar pada level harga yang
telah ditentukan.45
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam skripsi ini penulis akan
membahas mengenai pelanggaran perjanjian penetapan harga (price fixing)
Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam
Negeri yang dilakukan oleh tujuh perusahaan maskapai penerbangan pada
Putusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019 berdasarkan Undang-Undang No 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat dengan judul “KAJIAN HUKUM PERSAINGAN TERHADAP
PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA JASA ANGKUTAN
UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS EKONOMI
DALAM NEGERI (STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-
I/2019)”.
41 Supply adalah sejumlah barang atau jasa yang ditawarkan oleh produsen atau penjual pada berbagai tingkat harga dan pada periode/waktu tertentu, diakses dari https://www.ilmu- ekonomi-id.com/2015/12/penawaran-supply.html pada tanggal 21 Februari 2021 pukul 20.26 WIB 42 Demand adalah jumlah keseluruhan barang dan jasa yang ingin dibeli atau diminta oleh konsumen pada tingkat harga dan waktu tertentu, diakses dari https://www.linovhr.com/permintaan-dan-penawaran/ pada tanggal 21 Februari 2021 pukul 20.30 WIB 43 Automatic Adjustment adalah penyeimbangan atau penyesuaian yang berjalan secara otomatis berjalan sendiri oleh pergerakan neraca pembayaran itu sendiri, sehingga tidak ada intervensi atau kebijakan dari pemerintah, diakses dari http://ecosnomies.blogspot.com/2011/04/ekonomi-international.html pada tanggal 22 Februari 2021 pukul 01.37 WIB 44 Dendi Ramdani, Analisis Persaingan Usaha Industri Penerbangan, Jurnal Hukum Persaingan Usaha, Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Volume 1, Mei 2004, hal 10 45 R.S Khemani dan D. M. Shapiro, 1996, Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law, Paris: OECD, hal 51
Universitas Sumatera Utara 14
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka penulis dapat
merumuskan masalah yang ada antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan penetapan harga menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999?
2. Bagaimana pembuktian pelanggaran penetapan harga oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999?
3. Bagaimana analisis hukum terhadap Putusan KPPU No. 15/KPPU-
I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa
Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam
Negeri?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Dalam rangka penyusunan dan penulisan skripsi ini, adapun yang
menjadi tujuan dan pembahasan dalam skripsi dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan penetapan harga
yang diatur menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian pelanggaran
penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hukum
persaingan dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang
Universitas Sumatera Utara 15
Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan
Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam
Negeri.
2. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan yang dapat dikutip dari skripsi ini
antara lain:
1. Secara Teoritis:
a. Dapat memberikan pandangan yang benar terhadap Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999).
b. Dapat memberikan pengetahuan, pemahaman serta memicu sikap
kritis mengenai persoalan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha khususnya dalam hal
perjanjian penetapan harga, pembuktian adanya perjanjian
penetapan harga serta akibat hukum yang ditimbulkan.
c. Dapat memberikan masukan dan saran bagi ilmu pengetahuan serta
memberikan tambahan dokumentasi karya tulis, literatur dan
bahan-bahan informasi ilmiah lainnya.
2. Secara Praktis:
Penulisan skripsi ini secara praktis diharapkan dapat memberikan
masukan dan saran bagi para pembaca ataupun dijadikan sebagai
bahan kajian, bagi pelaku usaha negara maupun pelaku usaha swasta
agar memahami pengaturan hukum persaingan usaha di Indonesia
terkhususnya mengenai perjanjian yang dilarang, demi terwujudnya
Universitas Sumatera Utara 16
persaingan usaha yang sehat di dalam dunia usaha serta dapat
memberikan dampak positif bagi keberlangsungan perekonomian
negara.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil penelusuran perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara “Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran
Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang
Kelas Ekonomi Dalam Negeri (Studi Kasus: Putusan KPPU No. 15/KPPU-
I/2019)” yang diangkat menjadi judul skripsi penulis ini, belum pernah
diangkat menjadi judul skripsi lain namun, ada beberapa penelitian
sebelumnya yang membahas mengenai perjanjian penetapan harga, antara
lain:
1. Nama : Reggie Priscilla Napitupulu Tahun : 2020 Almamater : Universitas Sumatera Utara Judul : Kajian Hukum Tentang Perjanjian Penetapan Harga Jasa Freight Container pada Rute Surabaya Menuju Ambon dalam Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus Putusan KPPU Nomor 08/KPPU- I/2018). Permasalahan : a. Bagaimana pengaturan perjanjian yang dilarang dalam Undang- Undang No 5 Tahun 1999? b. Bagaimana standar pembuktian perjanjian penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam UndangUndang No 5 Tahun 1999? c. Bagaimana kajian hukum penetapan harga (price fixing) pada putusan KPPU Nomor 08/KPPU-L/2018 tentang Jasa freight container pada rute Surabaya menuju Ambon? Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang Pengaturan Perjanjian Penetapan Harga sebagai perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini membahas mengenai Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri pada studi kasus yang berbeda yaitu Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019.
2. Nama : Dea Yufiana Asril
Universitas Sumatera Utara 17
Tahun : 2016 Almamater : Universitas Indonesia Judul : Analisis Yuridis Penetapan Harga LPG Oleh Hiswana Migas DPC Pada Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-I/2014. Permasalahan : Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang adanya Perjanjian Penetapan Harga yang dilakukan oleh pelaku usaha sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini bukan hanya membahas mengenai Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran Penetapan Harga dengan kasus yang berbeda tetapi juga membahas mengenai pembuktian pelanggaran perjanjian penetapan harga oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
3. Nama : Evan Richardo Tahun : 2011 Almamater : Universitas Tarumanegara Judul : Analisis Terhadap Dugaan Kartel dan Penetapan Harga pada Perjanjian Penetapan Fuel Surcharge oleh 9 Maskapai Penerbangan Menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Permasalahan : Persamaan dalam penelitian ini yaitu membahas Dugaan Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga yang dilakukan oleh maskapai penerbangan sedangkan perbedaannya dalam penelitian ini hanya membahas perjanjian penetapan harga yaitu Pasal 5 Undang- Undang No. 5 Tahun 1999 dan bukan perjanjian kartel pada Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan studi kasus putusan KPPU yang berbeda.
4. Nama : Dendinar Badrusalam Tahun : 2019 Almamater : Universitas Pasundan Bandung Judul : Dugaan Praktik Kartel Dalam Kenaikan Harga Tiket Pesawat Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Permasalahan : Persamaan dalam penelitian ini adalah pembahasan mengenai kenaikan harga tiket pesawat yang diduga sebagai perilaku pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sedangkan perbedaannya terletak pada fokus pembahasan perjanjian dimana penulis membahas khusus hanya mengenai perjanjian penetapan harga.
5. Nama : Ni Putu Tryana Trisna Dewi Tahun : 2019 Almamater : Universitas Udayana Judul : Kajian Yuridis Terhadap Perjanjian Penetapan Harga Dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 14/KPPU-I/2014. Permasalahan : a. Bagaimanakah pemenuhan unsur perjanjian penetapan harga oleh Perusahaan Distributor LPG Wilayah Bandung dan Sumedang dalam
Universitas Sumatera Utara 18
Putusan KPPU Perkara Nomor 14/KPPU-I/2014 ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999? b. Bagaimanakah penggunaan pendekatan yang digunakan KPPU dalam memutus perkara dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 14/KPPU- I/2014 ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999?
6. Nama : Marsella Tridarani Tahun : 2020 Almamater : Universitas Airlangga Judul : Relevansi Perjanjian Penetapan Harga Dengan Praktek Kartel Harga Tiket Dalam Dugaan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Industri Jasa Angkutan Udara Domestik. Permasalahan : a. Apa karakteristik hubungan perjanjian penetapan harga dan kartel dalam praktek persaingan usaha tidak sehat di Indonesia? b. Apa upaya hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha Terhadap Pelaku Usaha Angkutan Udara Domestik Yang Melakukan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
7. Nama : Rizky Rumondang Tahun : 2021 Almamater : Universitas Sumatera Utara Judul : Perlindungan Hukum Bagi Kosumen dari Praktik Kartel Tarif Tiket Pesawat Terbang Maskapai Penerbangan Dalam Negeri (Studi Putusan Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri). Permasalahan : a. Bagaimana dasar hukum perlindungan konsumen terhadap praktek kartel tarif tiket pesawat terbang? b. Bagaimana penegakan hukum yang dilakukan oleh KPPU terhadap praktek kartel tarif tiket pesawat terbang? c. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap praktek kartel tarif tiket pesawat terbang dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 Terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri? 8. Nama : Widya Naseva Tuslian Tahun : 2015 Almamater : Universitas Indonesia Judul : Tinjauan Hukum Persaingan Usaha Pada Penetapan Tarif dan Perilaku Pelaku Usaha Pada Jasa Penerbangan Niaga Berjadwal di Indonesia. Permasalahan : a. Bagaimana Pengaruh Hukum Persaingan Usaha pada Regulasi Penetapan Harga Usaha Jasa Penerbangan di Indonesia? b. Bagaimanakah Pengaruh Hukum Persaingan Usaha Terhadap Perilaku Pelaku Usaha Pada Industri Jasa Penerbangan Niaga Berjadwal di Indonesia?
9. Nama : Tadeus Adam Sianturi Tahun : 2020
Universitas Sumatera Utara 19
Almamater : Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Judul : Perjanjian Penetapan Harga Dalam Industri Jasa Uang Tambang Kontainer (Freight Container) : Studi Putusan KPPU Nomor 8/KPPU-L/2018. Permasalahan : a. Bagaimana Bentuk Perjanjian Penetapan Harga Pada Jasa Uang Tambang Kontainer Dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 8/KPPU- L/2018? b. Bagaimana Dampak Perjanjian Penetapan Harga yang Terjadi pada Industri Jasa Uang Tambang Kontainer (Freight Container) dalam Putusan KPPU Nomor 8/KPPU-L/2018?
10. Nama : Arini Pratiwi Tahun : 2018 Almamater : Universitas Hasanuddin Judul : Penerapan Pendekatan Per Se Illegal Dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Terhadap Perkara Penetapan Harga di Indonesia. Permasalahan : a. Apakah perkara penetapan harga dalam putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat diselesaikan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda? b. Apakah penggunaan pendekatan rule of reason dalam penyelesaian perkara penetapan harga yang seharusnya menggunakan pendekatan per se illegal oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan kepastian hukum?
Namun berbeda dengan permasalahan tersebut, penelitian ini membahas permasalahan yang berbeda dengan judul-judul skripsi sebelumnya yakni mengenai Kajian Hukum Persaingan Terhadap Pelanggaran Penetapan
Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas
Ekonomi Dalam Negeri (Studi Kasus: Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019).
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil dari pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan peraturan hukum yang diperoleh dari referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Universitas Sumatera Utara 20
E. Tinjauan Pustaka
1. Persaingan Usaha Tidak Sehat
Defenisi persaingan usaha tidak sehat dirumuskan dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 6 yaitu:
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan tau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Istilah lain persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan curang atau
praktik bisnis yang tidak jujur. Praktik bisnis yang tidak jujur dapat diartikan
sebagai segala tingkah laku yang tidak sesuai dengan itikad baik dan kejujuran
di dalam berusaha sehingga perbuatan ini dilarang karena dapat mematikan
persaingan usaha dan merugikan konsumen.46
Defenisi Monopoli adalah suatu keadaan dimana seseorang menguasai
pasar, dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau produk
substitusi potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk
menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi tanpa mengikuti hukum
persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.47 Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa
defenisi Monopoli adalah penguasaan atau produksi dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Dalam Hukum Persaingan Usaha dikenal ada dua cara untuk
menentukan adanya suatu pelanggaran, yaitu melalui pendekatan secara per se
illegal dan pendekatan rule of reason. Per se illegal adalah suatu pendekatan
46 Rahmadi Usman II, 2013, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Banjarmasin: Sinar Grafika), hal. 89 47 Ibid, hal 83
Universitas Sumatera Utara 21
yang menyatakan suatu perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai perbuatan
yang dilarang tanpa dibuktikan lebih lanjut dampak yang ditimbulkan oleh
perjanjian atau kegiatan tersebut.48 Pendekatan secara Per se illegal ini
dikatakan apabila suatu aktivitas jelas maksud/ tujuannya mempunyai akibat
merusak persaingan maka hakim tidak perlu harus mempermasalahkan masuk-
akal atau tidaknya (analogi) sebelum menentukan bahwa peristiwa tersebut
merupakan pelanggaran hukum persaingan.49 Sehingga, penegak hukum dapat
langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan
perjanjian penetapan harga tanpa harus mencari alasan-alasan mereka
melakukan perbuatan tersebut atau tidak diperlukan membuktikan perbuatan
tersebut menimbulkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha
tidak sehat.50
Pendekatan secara rule of reason adalah suatu pendekatan yang
dipergunakan oleh KPPU untuk membuat evaluasi mengenai akibat suatu
perjanjian atau kegiatan tertentu, apakah perbuatan atau kegiatan tersebut telah
menimbulkan akibat yang dapat disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.51 Pendekatan ini menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai
efisiensi guna mengetahui dengan pasti, apakah suatu tindakan pelaku usaha
memiliki implikasi kepada persaingan.52
48 Ningrum Natasya Sirait dkk., 2010, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: The Indonesia Netherlands Legal Reform Program), hal 172 49 Ningrum Natasya Sirait, 2017, Hukum Persaingan Usaha, (Medan: Modul Kuliah Program Sarjana (S1)). 50 Andi Fahmi Lubis II dkk., Op.Cit., hal 92 51 Ningrum Natasya Sirait dkk., Op.Cit., hal 172 52 Andi Fahmi Libis I dkk., Op.Cit., hal 66
Universitas Sumatera Utara 22
2. Perjanjian yang Dilarang
Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mendefenisikan
istilah Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.53
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat 11 macam
perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lain, sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai pasal 16. Perjanjian-perjanjian
yang dilarang dibuat tersebut dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Apabila Perjanjian-perjanjian yang dilarang ini
ternyata tetap dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian
diancam batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada, karena yang
dijadikan sebagai objek perjanjian adalah hal-hal yang tidak halal yang
dilarang oleh undang-undang.54
Perjanjian yang dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
terdiri dari oligopoli, penetapan harga, diskriminasi harga dan diskon
pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal,
perjanjian tertutup dan perjanjian dengan luar negeri.
3. Penetapan Harga
Defenisi Perjanjian Penetapan Harga diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa
53 Knud Hansen dkk, 2002, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: GTZ & Katalis), hal 79 54 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 40
Universitas Sumatera Utara 23
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. Suatu perjanjian yang didasarkan Undang-undang yang berlaku.
Jenis jenis perjanjian penetapan harga yang dilarang dimaksud terdapat
dalam pasal 5 sampai dengan pasal 8 yaitu:55
1. Penetapan harga antar pelaku usaha (Pasal 5)
2. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan/atau jasa yang
sama (Pasal 6)
3. Penetapan harga dibawah harga pasar dengan pelaku usaha lain
(Pasal 7)
4. Penetapan harga jual kembali (Pasal 8)
Dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dikatakan
perjanjian penetapan harga horizontal dilarang tanpa melihat efek negatif dari
perjanjian tersebut terhadap persaingan. Perjanjian price fixing, ini per se
illegal, tinggi-rendahnya harga yang ditetapkan menjadi tidak relevan. Dengan
kata lain, walaupun efek negatif terhadap persaingan usaha kecil, perjanjian
price fixing tetap dilarang. Hal ini berarti pula bahwa market power56 para
55 Suyud Margono, Op. Cit., hal 84 56 Market Power atau Kekuatan Pasar adalah kemampuan perusahaan untuk mempengaruhi harga produknya di pasar, diakses dari https://cerdasco.com/kekuatan-pasar- perusahaan/aver pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.51 WIB
Universitas Sumatera Utara 24
pihak juga tidak relevan, walaupun kenaikan harga lebih mungkin terjadi
apabila market share mereka besar.57
Penetapan harga (Price Fixing) antar pelaku usaha dilarang oleh pasal
5 Undang-Undang Anti Monopoli, sebab penetapan harga secara bersama-
sama dikalangan pelaku usaha selanjutnya dapat menyebabkan tidak
berlakunya hukum pasar mengenai harga yang terbentuk dari adanya
penawaran dan permintaan.58
Melihat rumusan pasal ini, pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya. Pesaing disini berarti pihak yang juga
melakukan kegiatan ekonomi, bukan pembeli. Pelaku usaha tersebut berada
pada pasar bersangkutan faktual yang sama baik secara vertikal maupun
horizontal.59
F. Metode Penulisan
Penulisan skripsi memerlukan metode penelitian yang digunakan
sebagai suatu tipe acuan pemikiran secara sistematis yang bertujuan untuk
mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Adapun metode yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode penelitian hukum
normatif melalui studi kepustakaan (library research). Menurut Abdul
Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian
yang mengunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan
57 Rachmadi Usman I, Op., Cit., hal 45 58 Suyud Margono, Op., Cit., hal 85 59 Rahmadi Usman II, op.cit, hal. 213
Universitas Sumatera Utara 25
menempatkan fasilitas yang ada di perpustakaan, seperti buku, majalah,
dokumen, catatan kisah-kisah sejarah.60 Dalam hal ini hukum normatif
dilakukan melalui kajian terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di
perpustakaan yang dapat menunjang pemecahan permasalahan dan
dijadikan acuan dalam bentuk teori dan landasan berpikir, seperti
peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berkaitan
dengan pembahasan skripsi ini. Bahan-bahan hukum yang berkaitan
dengan penulisan yang dibahas yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat serta beberapa Peraturan dan Pedoman Komisi Pengawas Persaingan
Usaha.
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan
mempertegas hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau
membuat teori baru.61 Metode penelitian deskriptif ini dilakukan untuk
mengetahui keberadaan variabel mandiri, baik hanya pada satu variabel
atau lebih (variabel yang berdiri sendiri atau variabel bebas) tanpa
membuat perbandingan variabel itu sendiri dan mencari hubungan dengan
variabel lain.62 Oleh karena itu metode penelitian deskriptif ini digunakan
dengan tujuan untuk menarik sebuah kesimpulan berdasarkan data yang
ada.
60 Abdul Rahman Sholeh, 2005, Pendidik an Agama dan Pengembangan untuk Bangsa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal 63 61 Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), hal 10 62 Sugiyono, 2017, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, CV), hal 35
Universitas Sumatera Utara 26
2. Sumber Data
Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder
sebagai data utama. Data sekunder yang digunakan oleh penulis yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan
yang terkait, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2. Putusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri. 3. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Penetapan Harga). 4. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 6. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47. 7. Policy Brief oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan
dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian,
wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana hukum
Universitas Sumatera Utara 27
dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak
maupun media elektronik.
c. Bahan hukum tertier, yaitu mencakup bahan yang memberi
petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,
jurnal ilmiah, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat
digunakan sebagai referensi untuk melengkapi data yang
diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui
teknik studi pustaka (library research) dan studi dokumen dari berbagai
sumber yang dianggap relevan, antara lain terkait perjanjian penetapan
harga (price fixing) yang merupakan salah satu perjanjian yang dilarang
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus : Putusan
KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019). Penulisan skripsi ini berlangsung pada
masa pandemic COVID-19 sehingga menyulitkan penulis untuk
melakukan studi kepustakaan secara fisik. Maka dari itu, penulisan skripsi
ini didukung dengan studi kepustakaan yang dilakukan secara online.
Sumber bahan hukum sekunder yang berupa jurnal ilmiah, website
resmi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, bahan kuliah dan buku-buku
hukum yang berkaitan dengan judul penulis didapat melalui Perpustakaan
Fakultas Hukum dan/atau Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara
maupun referensi jurnal ilmiah dari berbagai perguruan tinggi di
Universitas Sumatera Utara 28
Indonesia. Bahan-bahan yang penulis dapat kemudian akan dikumpulkan,
dipadukan untuk kemudian dibandingkan dengan bahan-bahan yang
berkaitan dengan judul penulis.
4. Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan oleh penulis adalah
pendekatan kualitatif, yaitu dengan:
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier
yang relevan dengan pembahasan yang terdapat dalam
penelitian ini.
b. Melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum terkait agar
sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c. Mengolah, mengkaji dan menginterpretasikan serta
menganalisis data guna mendapat kesimpulan dari
permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah
kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam
bentuk pernyataan dan tulisan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan karya ilmiah penelitian ini memiliki sistematika yang teratur
dan berkaitan dengan maksud dan tujuan agar mudah untuk dimengerti dan
dipahami. Oleh karena itu, penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab
dan sub-bab yang berkaitan antara satu dengan yang lain karena isi dari skripsi
ini bersifat berkesinambungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara 29
Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Uraian tersebut masing-masing berkaitan dengan penetapan harga yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
BAB II : KETENTUAN UMUM MENGENAI PENETAPAN HARGA
Didalam BAB II ini terdiri dari 5 bagian yaitu mengenai perjanjian yang dilarang menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, perjanjian yang dikecualikan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, pengertian penetapan harga, pengaturan penetapan harga serta tindakan yang disebut sebagai penetapan harga.
BAB III : PEMBUKTIAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA OLEH
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Pada bab ini yang diangkat menjadi pembahasan adalah mengenai penegakan hukum persaingan usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha serta pembuktian pelanggaran perjanjian penetapan harga yang dibagi dalam dua perspektif pengaturan. Pembuktian hukum persaingan usaha yang pertama mengacu pada bukti tidak langsung menurut OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) dan yang kedua adalah standar pembuktian pelanggaran perjanjian penetapan harga oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha menurut Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019.
Universitas Sumatera Utara 30
BAB IV : KAJIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-
I/2019
Pembahasan yang dibawakan oleh penulis dalam bab ini adalah mengenai Kasus Posisi Pelanggaran Penetapan Harga dan menganalisis Kajian
Hukum Penetapan Harga dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang
Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri.
BAB V : PENUTUP
Pada bab terakhir ini, penulis akan mengemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga akhir penulisan skripsi yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini. Bagian ini juga akan memuat saran-saran penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
PERJANJIAN PENETAPAN HARGA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999
A. Perjanjian yang Dilarang Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa Perjanjian
adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.63 Sedangkan dalam Black‟s Law Dictionary yang dimaksud
dengan perjanjian atau kontrak itu adalah “An agreement between two or more
person’s which create’s an obligation to do or not to do a paticular thing.”64
Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal
1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud
dalam Pasal 1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak
(toestemming) dari semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu
mereka yang mengadakan persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.65
Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka. Artinya setiap
orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum
diatur. Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang
63 Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari https://kbbi.web.id/perjanjian pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 20.49 WIB 64 Hermansyah, Op. Cit., hal 24 65 Komar Andasasmita, 1990, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat), hal 430
31
Universitas Sumatera Utara 32
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:66
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Sejalan dengan amanat dan cita-cita Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, maka Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan jelas memiliki
tujuan yang nyata terkait ekonomi Indonesia dimana pembangunan bidang
ekonomi Indonesia diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat yang
adil dan makmur.67 Oleh karena itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
mengatur secara khusus perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan
posisi dominan untuk menghindari perilaku pelaku usaha yang dapat memicu
persaingan usaha tidak sehat. Di antara larangan yang dilakukan pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
larangan untuk mengadakan perjanjian-perjanjian tertentu yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.68
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diatur secara khusus
pengertian dari perjanjian, yaitu pada Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5
Tahun 1999: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
66 Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim, Bahan Kuliah Hukum Perikatan, (Fakultas Hukum : Universitas Djuanda Bogor), hal 5 67 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 89 68 Ibid, hal 187
Universitas Sumatera Utara 33
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.” Berdasarkan pada pengertian
tersebut, maka unsur-unsur perjanjian menurut konteks Undang-Undang No. 5
Tahun 1999, meliputi:69
1. Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
2. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak
dalam perjanjian;
3. Perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis;
4. Tidak menyebutkan tujuan perjanjian
Dengan adanya defenisi ini maka Undang-undang ini menyatakan
bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, keduanya
diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha.70
Perjanjian yang didefenisikan pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 juga merupakan perjanjian sepihak yang berarti bahwa perjanjian
sepihak saja sudah dapat terkena undang-undang ini.
Kelemahan defenisi perjanjian menurut Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 ini tidak bisa dianggap tidak penting karena ia akan memungkinkan
lebih mudahnya orang terkena pidana di dalam perjanjian-perjanjian yang per
se illegal.71 Apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap
dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian diancam batal demi
hukum atau dianggap tidak ada karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian
adalah hal-hal yang dilarang oleh undang-undang.72
69 Ibid, hal 187-188 70 Andi Fahmi Lubis dkk, 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha), hal 86 71 Ningrum Natasya Sirait, 2003, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press), hal 77 72 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 40
Universitas Sumatera Utara 34
Adapun perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat, antara lain:
1. Perjanjian Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen pembekal barang
hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat
memengaruhi harga pasar atau keadaan pasar yang tidak seimbang karena
dipengaruhi oleh sejumlah pembeli.73
Perjanjian Oligopoli yaitu dimana pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.74
2. Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing)
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk
melakukan perjanjian dengan pesaingnya untuk menetapkan harga atas
suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar konsumen atau
pelanggannya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 membagi perjanjian
penetapan harga ke dalam beberapa jenis yaitu:
a) Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement).
Pasal 5 Ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 merumuskan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atau suatu barang dan/atau jasa
73 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 117 74 Bab III Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara 35
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama.
b) Perjanjian Diskriminasi Harga (Price Discrimination Agreement)
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 melarang setiap perjanjian
diskriminasi harga, dimana bunyi Pasal tersebut antara lain: “Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga
yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang
sama”.
c) Harga Pemangsa atau Jual rugi (Predatory Pricing)
Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang
dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga
dibawah biaya produksi (average cost75 atau marginal cost76). Tujuan
utama dari predatory pricing untuk menyingkirkan pelaku usaha
pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi
menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.
d) Penetapan Harga Jual Kembali (Resale Price Maintenance77) –
(Vertical Price Fixing)
75 Average Cost atau biaya rata-rata adalah rata-rata biaya produksi per unit, atau dengan perkataan lain: total biaya (total costs) dibagi dengan banyaknya barang dan jasa yang dihasilkan, diakses dari https://www.coursehero.com/file/p18qhaoe/Perhatikan-Average-Cost-dan-Marginal- Cost-Biaya-rata-rata-average-cost-adalah/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.52 WIB 76 Marginal Cost atau adalah tambahan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu unit produk, atau dengan perkataan lain: tambahan biaya untuk menambah produksi satu unit (additional unit) produk, diakses dari https://www.coursehero.com/file/p18qhaoe/Perhatikan-Average-Cost-dan-Marginal-Cost-Biaya- rata-rata-average-cost-adalah/ pada tanggal 01 Februari 2021 pukul 13.52 WIB 77 Resale price maintenance adalah praktek pabrikan yang berusaha mengendalikan harga jual produk di tingkat ritel, diakses dari https://cerdasco.com/resale-price-maintenance/ pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 21.44 WIB
Universitas Sumatera Utara 36
Pasal 8 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa
tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang
diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang
telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.”
e) Perjanjian Pembagian Wilayah (Market Division)
Prinsipnya perjanjian antara pelaku usaha untuk membagi
wilayah pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi
terhadap konsumen, dimana konsumen tidak mempunyai pilihan yang
cukup baik dari segi barang maupun harga. Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 melarang perbuatan tersebut dalam Pasal 9 yang
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
3. Pemboikotan
Larangan membuat perjanjian pemboikotan ini diatur dalam
ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. Tahun 1999, yang menetapkan:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
Universitas Sumatera Utara 37
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri
maupun pasar luar negeri.
b. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa
dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
i. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha
lain; atau
ii. Membatasi pelaku usaha lainya dalam menjual atau
membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar
bersangkutan.
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan para pelaku usaha untuk mengeluarkan pelaku usaha lain dari pasar yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan usaha yang terlibat dalam perjanjian itu.78 Pemboikotan yang diatur dalam Pasal 10 ini dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lainnya. Namun dari ketentuan pasal ini,
Indonesia tidak mengatur secara mutlak. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak mensyaratkan adanya dampak negatif sebagai adanya perjanjian pemboikotan tersebut. Namun pada ayat (2) mensyaratkan kerugian yang diderita pelaku usaha lain sebagai akibat pemboikotan atau halangan perdagangan barang dan/atau jasa di pasar bersangkutan.79
78 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 107 79 Rachmadi Usman I, Op. Cit., hal 280
Universitas Sumatera Utara 38
4. Kartel
Kartel merupakan salah satu bentuk monopoli yang mana para
pelaku usaha mengadakan perjanjian untuk mengontrol produksi,
menentukan harga dan/atau wilayah pemasaran atas suatu barang dan/atau
jasa sehingga diantara mereka tidak ada lagi persaingan.80
Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara
mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat. Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa
karakteristik:81
1. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.
2. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat. Para
senior eksekutif inilah biasanya yang menghadiri pertemuan-
pertemuan dan membuat keputusan.
3. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan
mereka.
4. Melakukan price fixing atau penetapan harga Agar penetapan harga
berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau
pembagian wilayah atau alokasi produksi. Biasanya kartel akan
menetapkan pengurangan produksi.
80 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 19 81 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Draft Pedoman Kartel, diakses dari https://www.kppu.go.id/docs/Pedoman/draft_pedoman_kartel.pdf pada 24 Oktober 2020 pukul 00.00 WIB
Universitas Sumatera Utara 39
5. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian.
Apabila tidak ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan
terhadap penyelewengan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih
besar daripada anggota kartel lainnya. Adanya distribusi informasi
kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika memungkinkan dapat
menyelenggarakan audit dengan menggunakan data laporanproduksi
dan penjualan pada periode tertentu. Auditor akan membuat laporan
produksi dan penjualan setiap anggota kartel dan kemudian
membagikan hasil audit tersebut kepada seluruh anggota kartel.
6. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya
lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya
kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan
usahanya. Sistem kompensasi ini tentu saja akan berhasil apabila para
pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan
dengan apabila mereka melakukan persaingan. Hal ini akan membuat
kepatuhan anggota kepada keputusan-keputusan kartel akan lebih
terjamin.
5. Trust
Dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999, trust diartikan sebagai
suatu bentuk kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan yang
menjadi anggotanya, dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa. Ketentuan Pasal 12 Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara 40
No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dalam
bentuk perjanjian trust yang berdampak kepada terciptanya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.82
Untuk dapat dilarang suatu perjanjian yang membentuk trust, harus
terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:83
a. Adanya suatu perjanjian.
b. Perjanjian tersebut dibuat dengan pelaku usaha lain.
c. Dengan perjanjian tersebut dibentuk suatu kerja sama dengan
cara membentuk perusahaan yang lebih besar.
d. Tujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas
barang dan/jasa.
e. Perusahaan anggota tetap eksis.
f. Tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
6. Oligopsoni
Larangan membuat perjanjian oligopsoni yang dibuat oleh pelaku
usaha ialah bertujuan secara bersama-sama, menguasai pembelian dan/atau
penerimaan pasokan atas suatu barang dan/atau jasa tertentu, dapat
mengendalikan harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang
bersangkutan, menguasai lebih dari 75% pangsa pasar jenis barang atau
jasa tertentu. Perjanjian yang dibuat tersebut ternyata dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.84
Namun, perjanjian yang besifat oligopsoni tidak akan dilarang sepanjang
82 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 308-309 83 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 202 84 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 19-20
Universitas Sumatera Utara 41
tidak menimbulkan monopolisasi dan tetap menciptakan pasar kompetitif
dan/atau tidak merugikan masyarakat.85
7. Integrasi Vertikal
Integrasi vertikal adalah perjanjian antara pelaku usaha yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu, yang mana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. Maksudnya adalah
penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari
hulu sampai pada hilir atau proses yng berlanjut suatu layanan jasa tertentu
oleh pelaku usaha tertentu.86
Perusahaan tertarik untuk melakukan integrasi vertikal didasarkan
atas alasan:87
a. Dapat menciptakan “barrier to entry88” bagi pendatang baru;
b. Dapat memberikan fasilitas investasi;
c. Menjaga kualitas produk; dan
d. Memperbaiki penjadwalan.
Praktik integrasi vertikal dapat menghasilkan barang dan/atau jasa
dengan harga namun dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Integrasi Vertikal
memiliki efek precompetitive dan anti-competitive sehingga hanya
85 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 204 86 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 205 87 Ibid, hal 207 88 Hambatan masuk (barriers to entry) adalah sesuatu yang menghalangi atau memperkecil peluang perusahaan baru untuk memasuki sebuah pasar, diakses dari https://cerdasco.com/hambatan-masuk/ pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 22.14 WIB
Universitas Sumatera Utara 42
integrasi vertikal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan
merugikan masyarakat yang dilarang.89
8. Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku
usaha agar dapat menjadi sarana dan upaya bagi pelaku usaha lain secara
vertikal, baik melalui pengendalian harga maupun melalui pengendalian
non-harga.90 Perjanjian yang temuat dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun
1999 disebut juga sebagai perjanjian tertutup. Sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 15 tentang perjanjian tertutup yaitu:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan
memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan/atau pada suatu tempat tertentu (exclusive
distribution agreement91), diatur dalam Pasal 15 ayat (1). Pengertian
memasok disini termasuk menyediakan pasokan, baik barang
maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli,
dan sewa guna usaha (leasing92).
89 Ibid. 90 KPPU, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal 3 91 Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53df5457a0849/apakah-setiap-perjanjian- eksklusif-termasuk-pelanggaran-persaingan-usaha/ pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 22.43 WIB 92 Leasing atau sewa guna usaha merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang atau modal yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu, diakses dari https://www.merdeka.com/trending/leasing-adalah-sewa-guna-usaha-ketahui-jenis-dan- manfaatnya.html pada tanggal 03 Maret 2021 pukul 22.46 WIB
Universitas Sumatera Utara 43
b. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus
bersedia untuk membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok (tying agreement), diatur dalam Pasal 15 ayat (2).
c. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai pemberian
harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang
memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang
dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok (agreement on discount):
1) Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok; atau
2) Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis
dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok (Pasal 15 ayat (3)).93
9. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur bahwa:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar
negeri yang membuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Artinya,
membuat perjanjian dengan pihak luar negeri adalah merupakan hal yang
sah dalam praktik bisnis, hanya saja yang dilarang adalah jika perjanjian
tersebut mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
bisnis yang tidak sehat.94
93 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2006, Anti Monopoli, (Jakarta: Raja Grafindo), hal 27 94 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 361
Universitas Sumatera Utara 44
Dalam penjelasan Pasal 16 Undang-Undang No 5 Tahun 1999
tidak dijumpai mengenai perjanjian dengan pihak luar negeri yang
bagaimanakah yang dilarang oleh Undang-Undang No 5 Tahun 1999,
apakah pihak lain diluar negeri itu pelaku usahanya BUMN asing ataukah
pihak swasta asing maupun pelaku usaha perseorangan atau mungkin
pelaku usaha asing yang berdomisili di Indonesia, semua ini tidak diatur
dalam penjelasan Pasal 16 Undang-Undang No 5 Tahun 1999.95
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dikenal perjanjian yang dilarang yang
dapat diklasifikan antara lain perjanjian oligopoli, perjanjian penetapan
harga, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian
tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Berbagai bentuk
perjanjian yang dilarang ini masih diatur secara normatif dengan diberikan
tambahan pada bagian Penjelasan Undang-Undang. Klasifikasi yang jelas
tentunya akan mempermudah kinerja KPPU dalam menyelesaikan perkara
dugaan pelanggaran perjanjian yang dilarang.
B. Perjanjian yang Dikecualikan Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Undang-Undang hukum persaingan berupaya untuk mengatur
mengenai berbagai kegiatan, maupun perjanjian yang dilarang yang dapat
menghambat proses persaingan.96 Segala bentuk regulasi yang dibuat juga
harus difokuskan pada hal lain seperti perlindungan terhadap pihak yang
lemah dalam proses persaingan yang sangat keras karena pada akhirnya akan
95 Ibid, hal 362 96 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 213
Universitas Sumatera Utara 45
mengakibatkan juga sebagian pelaku tersingkir dari proses persaingan.
Dengan kata lain, mekanisme pasar tidak memerlukan berbagai regulasi bila berfungsi dengan baik, sebaliknya bila terjadi kegagalan dan pasar menjadi terdistorsi, maka regulasi adalah salah satu cara yang dibutuhkan untuk memperbaikinya.97
Kebijakan persaingan dalam pasar yang diatur (regulated market) dapat difasilitasi dengan 2 cara yaitu:98
a. Pembuatan regulasi dengan tujuan peningkatan proses mekanisme pasar.
b. Memberlakukan hukum persaingan dengan tujuan berperan mengatur
perilaku dan tindakan dalam persaingan atau untuk menggantikan atau
mendukung peraturan yang telah ada.
Hukum persaingan diberlakukan dengan tujuan untuk mengatasi kegagalan pasar dengan memberikan ruang yang tidak bertentangan dengan tujuan dari undang-undang itu sendiri, misalnya memberlakukan pengecualian
(exemption).99 Sebagaimana biasanya suatu kaidah hukum, disamping ketentuan yang berlaku umum, terdapat pengecualiannya. Dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 secara cukup terperinci telah mengatur pengecualian terhadap perjanjian atau perbuatan yang dilarang. Artinya sungguhpun kelihatannya ada perbuatan atau perjanjian yang bersifat anti persaingan atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
97 Ibid, hal 214 98 Ibid, hal 215 99 Ibid, hal 217
Universitas Sumatera Utara 46
persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi dengan berbagai pertimbangan, undang-undang memberikan pengecualiannya.100
Pengecualian dalam hukum persaingan umumnya didasarkan pada adanya instruksi yang berasal dari UUD, adanya instruksi dari UU ataupun peraturan negara lainnya dan instruksi atau pengaturan berdasarkan pengaturan dari suatu badan administrasi. Pengecualian dapat diberikan berdasarkan 2 alasan, yaitu:101
a. Industri atau badan yang dikecualikan umumnya telah diregulasikan
atau diatur oleh badan pemerintah yang lain dengan tujuan
memberikan perlindungan khusus atas nama kepentingan umum
(public interests), misalnya: transportasi, air minum, listrik dan lain-
lain.
b. Suatu industri membutuhkan adanya perlindungan khusus karena
praktek kartelisme tidak dapat lagi dihindarkan dan lebih baik
memberikan proteksi yang jelas kepada suatu pihak daripada berupaya
memberlakukan undang-undang.
Adapun Pasal 50 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur
perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan yang dikecualikan sebagai
pelanggaran undang-undang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
yaitu:102
100 Susanti Adi Nugroho, Op, Cit., hal 757 101 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit, hal 217-218 102 Susanti Adi Nugroho, Op, Cit., hal 758-759
Universitas Sumatera Utara 47
1. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, diatur dalam
Peraturan KPPU No 5 Tahun 2009. Pasal 50 huruf a Undang-
Undang No 5 Tahun 1999 tidak memberi penjelasan yang lebih
mengenai pasal tersebut. Para penyusun undang-undang mungkin
tidak sadar bahwa ketidakjelasaan tersebut dikhawatirkan akan
disalahgunakan. Pengalaman zaman Orde Baru membuktikan
bahwa perjanjian untuk melaksanakan peraturan perundang-
undangan dapat disalahgunakan oleh pemerintah ataupun pelaku
usaha untuk mengadakan kolusi dengan pemerintah dengan cara
membuat peraturan yang sangat menguntungkan beberapa pelaku
usaha tertentu.103
2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual
seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk
industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Waralaba adalah hak
khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha
terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas
usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah
terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh
pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.104 Perjanjian ini telah
diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPPU No 6 Tahun 2009.
103 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 108 104 Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1 tentang Waralaba
Universitas Sumatera Utara 48
3. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa
yang tidak mengekang merintangi dan/atau menghalangi
persaingan. Perjanjian ini dikecualikan karena untuk mengamankan
mengamankan produksi dalam negeri baik mutu maupun teknis
untuk kepentingan konsumen dan pelaku usaha.105
4. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan
harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan,
diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPPU No 7 Tahun 2010.
5. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan
standar hidup masyarakat luas. Perjanjian kerjasama jenis ini
sering dilakukan oleh perusahaan yang tergabung dan menjadi
anggota asosiasi suatu industri. Rasionalnya adalah bahwa
penelitian sering membutuhkan dana yang besar sehingga
kerjasama dalam penelitian sering dilakukan secara patungan dan
kemudian penemuan atau hak patennya akan dinikmati bersama.
Hampir seluruh penelitian ataupun penemuan hak atas kekayaan
intelektual akan membawa dampak positif bagi peningkatan atau
perbaikan standar hidup masyarakat luas, karenanya diperlukan
standarisasi jenis perjanjian yang bagaimanakah yang diijinkan
untuk dikecualikan. Bila terdapat perjanjian seperti ini, maka harus
dilihat apakah klausulanya kemudian memberikan hak eksklusif
105 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 152
Universitas Sumatera Utara 49
memonopoli hak atas kekayaan intelektual yang juga diijinkan dan
diproteksi oleh undang-undang.106
6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia.
7. Perjanjian dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang
tidak mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri.
8. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil, telah diatur dalam
Peraturan KPPU No. 9 Tahun 2011.
9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya. Ketentuan Pasal 50 huruf I Undang- Undang
No 5 Tahun 1999 juga memberikan pengecualian terhadap
kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya, namun yang harus diperhatikan bahwa tidak
semua koperasi bertujuan untuk melayani anggotanya tetapi kepada
kepada orang lain atau perusahaan, dalam hal ini sudah bukan lagi
merupakan hak yang dikecualikan karena kegitannya bukan untuk
melayani anggota koperasi tersebut.107
Berdasarkan pada penjelasan diatas, Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 juga menerapkan adanya pengecualian terkait perjanjian yang dapat dibuat oleh pelaku usaha dengan mengacu pada instruksi yang berasal dari
UUD. Perjanjian yang dikecualikan diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999. Namun dalam pengaturannya dalam UU terdapat kekurangan dimana tidak semua poin dijelaskan lebih rinci dalam bagian
106 Andi Fahmi Lubis I dkk, Op, Cit., hal 274 107 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 172
Universitas Sumatera Utara 50
penjelasan Undang-Undang ini. Maka dari itu, KPPU menerbitkan suatu
pedoman yang diatur melalui Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
guna menjelaskan lebih rinci dan jelas terkait perjanjian yang dikecualian.
Dengan begitu, KPPU akan dipermudah dalam menganalisis apakah perjanjian
perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha termasuk ke dalam perjanjian
yang dilarang atau dikecualikan.
C. Pengertian Penetapan Harga
Penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap
hukum persaingan karena perilaku kesepakatan harga akan secara langsung
menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara perusahaan-
perusahaan di pasar. Dalam kondisi persaingan, harga akan terdorong turun
mendekati biaya produksi dan jumlah produksi di pasar juga meningkat dan
lebih efisien sehingga kesejahteraan pun akan meningkat. Namun ketika
perusahaan-perusahaan melakukan kesepakatan harga maka harga akan naik
jauh diatas produksi. Tentu kenaikan harga ini akan berpengaruh akan
penurunan kesejahteraan konsumen.108
Pada prinsipnya tujuan utama atau target yang ingin dicapai produsen
dengan cara menetapkan harga, adalah untuk menguasai atau mendominasi
pasar secara bersama sambil memaksimalisasi keuntungan sebesar mungkin
karena dengan menetapkan harga para produsen sadar bahwa produk mereka
dibutuhkan oleh konsumen, dan kebutuhan itu sedemikian besar serta praktis
tidak ada pesaing baru yang akan memproduksi produk tersebut dalam waktu
dekat. Dengan demikian, pada kondisi permintaan dan penawaran produk
108 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 46
Universitas Sumatera Utara 51
yang tidak elastis tersebut, produsen-produsen yang terlibat dalam perjanjian penetapan harga dapat menikmati keuntungan dan dominasi pasar secara maksimal. Keuntungan itu diperoleh dengan cara menetapkan harga jual diatas harga pasar yang sebelumnya tidak ada terjadi perjanjian penetapan harga.109
Pada literatur ilmu ekonomi, perilaku penetapan harga (price fixing) antara pelaku usaha yang sedang bersaing di pasar merupakan salah satu bentuk kolusi. Kolusi tersebut dilakukan dalam bentuk koordinasi dan digunakan untuk menyepakati beberapa hal, diantaranya:110
a. Kesepakatan penetapan harga tertentu yang lebih tinggi dari harga
yang diperoleh melalui mekanisme persaingan;
b. Kesepakatan penetapan kuantitas tertentu yang lebih rendah dari
kuantias dalam situasi persaingan;
c. Kesepakatan pembagian pasar.
Price fixing bisa terjadi secara vertikal dan horizontal dan sangat dianggap sebagai hambatan perdagangan karena membawa akibat buruk terhadap persaingan harga. Jika price fixing dilakukan, kebebasan untuk menentukan harga secara independen menjadi kurang.111 Secara khusus penulis membahas mengenai penetapan harga atau price fixing secara horizontal yang dilakukan oleh 7 (tujuh) perusahaan maskapai penerbangan yang seharusnya merupakan pesaing.
109 Andi Fahmi Lubis II, Op. Cit., hal 68 110 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 225 111 Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hal 40
Universitas Sumatera Utara 52
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.112 Perjanjian
penetapan harga ini dilarang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,
karena penetapan harga secara bersama-sama ini akan menyebabkan tidak
dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya
penawaran dan permintaan, sebab perjanjian seperti itu akan meniadakan
persaingan usaha di antara pelaku usaha yang mengadakan perjanjian
tersebut.113
D. Pengaturan Penetapan Harga
Undang-Undang Antimonopoli mengatur batas-batas para pelaku
usaha dalam bertindak. Salah satu yang diatur oleh Undang-undang
Antimonopoli adalah dilarangnya perjanjian-perjanjian yang dianggap dapat
menimbulkan monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.114 Perjanjian-
perjanjian tersebut diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No. 5
Tahun 1999.
Perjanjian penetapan harga horizontal (price fixing) diatur secara tegas
dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan:
1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaing untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
112 Bab III Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 113 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 136 114 Suyud Margono, 2013, Hukum Antimonopoli, (Jakarta : Sinar Grafika), hal 77
Universitas Sumatera Utara 53
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a) Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b) Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) menyatakan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaing. Artinya, perjanjian- perjanjian penetapan harga bersama-sama merupakan sebuah perilaku yang sangat terlarang dalam hukum persaingan usaha, karena penetapan harga bersama-sama selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada di atas harga yang bisa dicapai melalui persaingan usaha yang sehat.115
Sedangkan Pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian terhadap perjanjian tertentu. Ketentuan ini menyatakan, bahwa ketentuan larangan price fixing sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku atau dikecualikan bagi:116 a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint
venture), contohnya PT. X dan PT. Y mengadakan suatu usaha
patungan dengan mendirikan PT. A, dimana PT. X dan PT. Y
diperkenankan untuk menentukan sendiri besarnya harga jual barang
yang diproduksi PT. A tersebut; b. Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku,
contohnya penentuan harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang
dilakukan oleh pemerintah.
115 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 213 116 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 142
Universitas Sumatera Utara 54
Lebih lanjut, KPPU mengeluarkan Peraturan Komisi Nomor 4
Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, sebagai pedoman dalam memeriksa perkara perjanjian penetapan harga. Peraturan komisi ini merupakan standar minimum bagi komisi dalam melaksanakan tugasnya, yang menjadi satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan dan mengikat semua pihak.117
Adapun tujuan pembuatan pedoman Pasal 5 ini adalah:
1. Memberikan pengertian yang jelas dan tepat tentang larangan
penetapan harga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5.
2. Memberikan dasar pemahaman yang sama dan arah yang jelas dalam
pelaksanaan Pasal 5.
3. Memberikan landasan bagi semua pihak untuk berprilaku tidak
melanggar Pasal 5.
4. Memberikan pemahaman tentang pendekatan yang dilakukan oleh
KPPU dalam melakukan penilaian atas perjanjian tentang penetapan
harga.
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5
(Penetapan Harga) mencoba mengakomodasi perkembangan- perkembangan yang terjadi dengan begitu dinamis, dengan harapan akan terjadi pemahaman yang sama terhadap pelaksanaan Undang- Undang
117 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 4 Tahun 2011
Universitas Sumatera Utara 55
Nomor 5 Tahun 1999.118 Adapun unsur-unsur terjadinya penetapan harga
secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:119
1. Unsur Pelaku Usaha
Sesuai dengan Pasal 1 Angka 5 dalam Ketentuan Umum
Undang-Undang No 5 Tahun 1999, Pelaku usaha adalah “Setiap
orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.”
2. Unsur Perjanjian
Sesuai dengan Pasal 1 Angka 7 dalam Ketentuan Umum
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 “Perjanjian adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun,
baik tertulis maupun tidak tertulis.”
3. Unsur Pelaku Usaha Pesaing
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar
bersangkutan yang sama.
118 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 46 119 KPPU, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hal 6-7
Universitas Sumatera Utara 56
4. Unsur Harga Pasar
Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi
barang dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak dipasar
bersangkutan.
5. Unsur Barang
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
dipedagangkan, dipakaim dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.
6. Unsur Jasa
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
7. Unsur Konsumen
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain.
8. Unsur Pasar Bersangkutan
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan
jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas
barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari
barang dan atau jasa tersebut.
Universitas Sumatera Utara 57
9. Unsur Usaha Patungan
Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang
dibentuk melalui perjanjian oleh dua pihak atau lebih untuk
menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para pihak
bersepakat untuk membagi keuntungan den menanggung kerugian
yang dibagi secara proposional berdasarkan perjanjian tersebut.
E. Tindakan yang disebut sebagai Penetapan Harga
Berdasarkan pada Undang-undang No. 5 Tahun 1999, perjanjian
penetapan harga yang dilarang adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian penetapan harga antar pelaku (Pasal 5 UU No.5 Tahun 1999)
Dalam hal dua pihak atau lebih membuat perjanjian untuk secara
bersama-sama menentukan harga jual barang yang akan dijual. Perjanjian
dapat dilakukan dengan tertulis ataupun lisan, bahkan pada pasar yang
bersifat oligopolis ataupun pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang
memiliki posisi dominan penentuan harga bisa dilakukan hanya dengan
memberikan tanda kepada pelaku usaha lainnya dengan bentuk menaikkan
harga yang biasanya akan selalu diikuti oleh pelaku usaha lainnya.
Cara lain dalam menentukan harga adalah dengan membuat
pengumuman atau artikel di media masa yang mengindikasikan bahwa
perlu kenaikan harga, sehingga pelaku usaha lainnya tahu bahwa mereka
harus ikut menaikkan harga. Hal ini merupakan bentuk kolusi yang
disamarkan (tacit collusion).120
120 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 144
Universitas Sumatera Utara 58
2. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan/atau jasa yang sama -
price discrimination (Pasal 6 UU No.5 Tahun 1999)
Penetapan harga merupakan salah satu bentuk kegiatan yang
banyak dilaporkan dan diputus KPPU. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5
sampai Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999. Namun, perkara yang banyak
ditangani KPPU adalah perkara penetapan harga yang terkait dengan
pelanggaran Pasal 6 yang menyatakan “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli
lain untuk barang dan/atau jasa yang sama”.
Dalam hal ini yang dilarang adalah membuat perjanjian yang
memberlakukan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen yang satu
dengan konsumen yang lainnya, dengan jalan memberikan harga yang
berbeda-beda terhadap barang atau jasa yang sama.121
Dalam praktik, Pasal 6 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 ini tidak
mudah dibuktikan karena menurut teori diskriminasi harga selalu
dimungkinkan jika ada perbedaan volume pembelian, waktu, dan jarak
antara penjual dengan pembeli dan di dalam pasal tersebut juga tidak
dijelaskan dengan siapa pelaku usaha membuat perjanjian, apakah dengan
sesama pelaku usaha ataukah dengan pembeli.122
3. Perjanjian Penetapan Harga dibawah harga Pasar - Predatory Price /
Dumping (Pasal 7 UU No 5 Tahun 1999)
121 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 146 122 Ibid, hal 150
Universitas Sumatera Utara 59
Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga dibawah biaya
produksi yang bertujuan untuk mematikan pelaku usaha pesaing dari pasar
dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk
masuk ke dalam pasar yang sama.123 Penetapan harga dibawah harga pasar
merupakan suatu strategi yang biasa dilakukan oleh perusahaan yang
dominan untuk menyingkirkan pesaingnya di suatu pasar dengan cara
menetapkan harga atau harga penjualan yang sangat rendah dan umumnya
di bawah biaya variable. Sering juga disebut sebagai suatu kebijakan
penetapan harga yang dilakukan oleh sebuah atau banyak perusahaan
dengan tujuan untuk merugikan para pemasok pesaing atau untuk memeras
memeras konsumen.124
Predatory Pricing ini sebenarnya merupakan hasil dari perang
harga tidak sehat antara pelaku usaha dalam rangka merebut pasar yang
mengakibatkan prodesen pesaing akan kehilangan pangsa pasarnya dan
pada waktu yang lebih panjang, produsen pelaku predatory pricing akan
dapat bertindak sebagai monopoli.125
4. Perjanjian Penetapan Harga Jual Kembali - Resale Price Maintenance
(Pasal 8 UU No 5 Tahun 1999)
Perjanjian penetapan harga jual kembali dengan harga terendah
merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilarang diadakan antar
pelaku usaha dalam konteks Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pasal 8
123 Rezmia Febrina, Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) yang dilakukan Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha, (Jurnal Selat : Vol 4 No 2, Mei 2017), hal 243 124 Rachmadi Usman II, Op. Cit., hal 248 125 Ibid, hal 249
Universitas Sumatera Utara 60
berbunyi, “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Pasal ini dirumuskan secara rule of reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.126
Terkait Pasal 8, KPPU mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha No 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 8. Terdapat tiga macam resale price maintenance yaitu: a. Maximum resale price adalah pengaturan harga jual kembali produk
yang ditentukan dalam kontrak dengan harga lebih tinggi dari harga
yang dipersyaratkan di dalam kontrak. b. Specified resale price adalah pengaturan harga jual kembali yang mana
pemasok atau produsen mensyaratkan kepada pembelinya untuk
menjual kembali produk yang ditentukan dalam kontrak dengan harga
tertentu sesuai dengan yang dipersyaratkan di dalam kontrak.
126 Andi Fahmi Lubis II dkk, Op. Cit., hal 102
Universitas Sumatera Utara 61
c. Minimum resale price adalah pengaturan harga jual kembali yang
mana pemasok atau produsen mensyaratkan kepada pembelinya untuk
tidak menjual kembali produk yang ditentukan dalam kontrak dengan
harga lebih rendah dari harga yang dipersyaratkan di dalam kontrak.
Sedangkan menurut Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:127
1. Kesepakatan menaikkan atau menurunkan harga.
2. Kesepakatan memakai suatu formula standart sebagai dasar
perhitungan harga.
3. Kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga yang
dipersaingkan dengan suatu perbandingan tetap antara harga yang
dipersaingkan dengan suatu produk tertentu.
4. Kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon.
5. Kesepakatan persyaratan pemberian kredit kepada konsumen.
6. Kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah
di pasar, sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi.
7. Persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan.
8. Kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak dipenuhi.
9. Kesepakatan menggunakan harga yang seragam sebagai langkah awal
untuk negoisasi.
127 Andi Fahmi Lubis II, Op. Cit., hal 97
Universitas Sumatera Utara 62
Berdasarkan pada beberapa penjelasan diatas mengenai penetapan harga, penetapan harga merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hukum persaingan yang dilakukan dengan cara menyepakati harga untuk menguasai atau mendominasi pasar secara bersama demi memaksimalisasi keuntungan sebesar mungkin. Penetapan harga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan kemudian terdapat juga pengecualian terhadap perjanjian penetapan harga yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. KPPU juga telah mengatur lebih lanjut mengenai pengaturan penetapan harga melalui
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011
(Pedoman Pasal 5). Didalam pedoman tersebut diatur secara rinci mengenai unsur-unsur penetapan harga yang terdiri dari unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur pelaku usaha pesaing, unsur harga pasar, unsur barang, unsur jasa, unsur konsumen, unsur pasar bersangkutan dan unsur usaha patungan.
Adanya pengaturan mengenai unsur-unsur penetapan harga ini memudahkan
KPPU untuk menentukan perilaku pelaku usaha dalam melakukan perjanjian termasuk ke dalam perjanjian penetapan harga atau tidak.
Berbagai tindakan-tindakan yang termasuk sebagai penetapan harga sebagai perjanjian yang dilarang juga telah diatur dalam Undang-Undang No.
5 Tahun 1999. Namun untuk menambah acuan bagi KPPU dalam menganalisis perkara-perkara yang masuk sebagai laporan maupun inisiatif, pedoman Pasal 5 yang diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 turut mengatur bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam Pasal
5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
PEMBUKTIAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA OLEH KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
A. Penegakan Hukum Persaingan Usaha oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
dibentuk suatu komisi. Pembentukan ini berdasarkan pada Pasal 34 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 yang menginstruksikan bahwa pembentukan
sususan organisasi, tugas, dan fungsi komisi ditetapkan melalui keputusan
presiden (Keppres). Komisi ini kemudian dibentuk berdasarkan Keppres
Nomor 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU).128
KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda
selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk
menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif.
Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya hukum
persaingan usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus
persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan
sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan
lembaga administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi
administratif.129
Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha diatur dengan jelas dalam
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, meliputi:
128 Devi Meyliana, Op. Cit., hal 31 129 Ibid, hal 31-32
63
Universitas Sumatera Utara 64
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagai mana diatur dalam Pasal 36; e. Memberikan saran dan mempertimbangkan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; dan g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan DPR. Tugas Komisi dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, juga menugaskan Komisi untuk memberikan saran dan pertimbangan terhadap pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Selain itu Komisi juga ditugaskan untuk menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat. Jika Komisi melihat pasal-pasal yang ada dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak memadai menunjang tugas dan wewenangnya, maka Komisi hendaknya mengajukan saran dan pertimbangan kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang mendukung tugas dan wewenang Komisi.130 Komisi Pengawas Persaingan
Usaha diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif sehingga dapat dikatakan bahwa KPPU bersifat multifungsi karena memiliki wewenang
130 Ningrum Natasya Sirait II dkk, Op. Cit., hal 124
Universitas Sumatera Utara 65
sebagai investigator, penyidik, pemeriksa, penuntut, pemutus maupun fungsi sebagai konsultatif.131
Adapun yang menjadi wewenang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha telah diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang No 5 Tahun 1999, meliputi:
a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan
atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus
dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang
ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini;
131 Ningrum Natasya Sirait I, Op. Cit., hal 109
Universitas Sumatera Utara 66
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e
dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya
dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini;
i. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang
diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini.
Berdasarkan perintah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pada
Pasal 38 ayat (4) maka hukum acara di KPPU ditetapkan oleh KPPU dan sejak berdiri di tahun 2000, hukum acara tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan dari SK No 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang Tata
Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran
Terhadap UU No 5 Tahun 1999 (SK 05) kemudian berganti menjadi
Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, berganti lagi menjadi Peraturan Komisi No 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara dan terakhir menjadi Peraturan
Universitas Sumatera Utara 67
Komisi No 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat.132
Tata cara penanganan perkara persaingan usaha diatur dalam Pasal
38 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Sebagai
lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang
Persaingan Usaha, KPPU berwenang melakukan pemeriksaan terhadap
pelaku usaha, saksi maupun pihak lain. Ada 2 jenis perkara yang akan
diperiksa oleh KPPU yaitu133:
a. Perkara berdasarkan Laporan
Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang
dilakukan oleh KPPU, karena adanya laporan yang disampaikan
baik oleh masyarakat yang dirugikan maupun atas dasar laporan
dari pelaku usaha yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha yang
dilaporkan.134 Komisi akan melakukan pemeriksaan setelah
menerima laporan bahwa diduga terjadinya pelanggaran terhadap
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.135 Setiap orang yaitu orang
perseorangan atau badan hukum (pihak-pihak yang dirugikan,
maupun pihak pelaku usaha yang dirugikan, bahkan masyarakat)
dapat melaporkan kepada Komisi, sesuai ketentuan dalam Bab II
Pasal 3 ayat (1) Perkom Nomor 1 Tahun 2019 jelas dikatakan
bahwa: “Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut
132 Andi Fahmi Lubis I dkk, Op, Cit. hal 324 133 Bab II Pasal 2 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 134 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 588 135 Bab VII Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara 68
diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang dapat
melaporkan kepada Komisi”. Laporan yang diberikan harus dibuat
dalam bentuk tertulis dan memenuhi syarat yaitu menyertakan
identitas pelapor atau terlapor, menguraikan secara jelas mengenai
dugaan pelanggaran Undang-Undang dan harus memuat alat bukti
dugaan pelanggaran.136
Berdasarkan pada Perkom Nomor 1 Tahun 2019, terdapat
Unit kerja yang menangani laporan yang harus melaporkan
perihal diterimanya laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang
kepada Ketua Komisi.137 Unit kerja yang menangani laporan harus
melakukan klarifikasi terhadap setiap laporan yang masuk dan
ditujukan kepada Ketua Komisi. Klarifikasi dilakukan untuk
menyatakan bahwa laporan yang ada telah memenuhi syarat138
untuk dapat dilanjutkan ke tahap penyelidikan.
Pelapor wajib melengkapi laporannya paling lama 14
(empat belas) hari sejak laporan dinyatakan tidak memenuhi
ketentuan persyaratan oleh Unit kerja yang menangani laporan.139
Apabila dalam jangka waktu tersebut, laporan tidak dilengkapi
oleh pelapor, maka laporan dinyatakan tidak lengkap dan
136 Pasal 3 ayat (4) Perkom Nomor 1 Tahun 2019: a. Identitas Pelapor dan Terlapor b. Uraian secara jelas mengenai dugaan pelanggaran Undang-Undang; dan c. Alat bukti dugaan pelanggaran. 137 Pasal 5 Perkom Nomor 1 Tahun 2019 138 Pasal 6 ayat (4) Perkom Nomor 1 Tahun 2019: a. Kelengkapan administrasi laporan; b. Kejelasan dugaan pasal Undang-Undang yang dilanggar; c. Kesesuain kompetensi absolut Komisi; dan d. Terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) alat bukti. 139 Bab II Pasal 7 ayat (2) Perkom Nomor 1 Tahun 2019
Universitas Sumatera Utara 69
penanganannya dihentikan.140 Status hukum pihak yang
dilaporkan dalam perkara akan disebut sebagai terlapor, dan
bentuk dari perkara yang berasal dari laporan dapat dilihat dari
pada putusan KPPU yang berkode penomoran huruf L.141
b. Perkara berdasarkan inisiatif Komisi
Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku
usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran terhadap Undang-
Undang meskipun tanpa adanya laporan.142 KPPU memiliki tugas
untuk melakukan pengawasan terhadap setiap pelaku usaha, dan
menilai apakah usaha tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.143 Artinya, dalam proses
menjalankan tugasnya sebagai Komisi pengawas, KPPU boleh
secara inisiatif melakukan pemeriksaan apabila KPPU
menemukan adanya perjanjian atau kegiatan yang berpotensi
merusak persaingan.
Pelaku usaha jenis inisiatif yang sedang diperiksa oleh
KPPU mempunyai status hukum yang berbeda dengan jenis
perkara laporan. Untuk perkara yang berdasarkan inisiatif, pelaku
usaha yang diperiksa disebut “saksi”.144 Perkara yang berasal dari
inisiatif Komisi ditandai dengan kode penomoran huruf I.
140 Bab II Pasal 8 ayat (1) Perkom Nomor 1 Tahun 2019. 141 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 588 142 Bab VII Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 143 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 144 Andi Fahmi Lubis II dkk, Op. Cit., hal 396
Universitas Sumatera Utara 70
Prosedur penegakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
yang dilaksanakan oleh Komisi terdiri dari beberapa tahap yaitu:
b. Prosedur Pemeriksaan dan Pemutusan perkara oleh KPPU
Adapun tahapan-tahapan dalam penanganan perkara
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat antara
lain:145
1. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan disebutkan dalam
ketentuan Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No 5 Tahun
1999 yang mana jangka waktunya adalah 30 hari sejak
tanggal surat penetapan dimulainya suatu pemeriksaan
pendahuluan. Dalam memulai suatu pemeriksaan
pendahuluan, baik untuk perkara atas dasar adanya laporan
dan perkara atas dasar inisiatif, KPPU akan menetapkannya
terlebih dahulu dengan surat keputusan atau penetapan
untuk dapat dimulainya suatu pemeriksaan pendahuluan,
apabila pemeriksaan didasarkan atas dasar inisiatif jangka
waktu pemeriksaan pendahuluan dihitung sejak tanggal
surat penetapan Majelis Komisi untuk memulai
pemeriksaan lanjutan dan apabila pemeriksaan dilakukan
atas dasar adanya laporan, KPPU berdasarkan laporan
tersebut wajib terlebih dahulu melakukan penelitian
terhadap kejelasan laporan. Laporan yang dinyatakan telah
145 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara 71
lengkap dan jelas, KPPU melalui surat penetapan, akan
menentukan dimulainya waktu pemeriksaan
pendahuluan.146 Jangka waktu Pemeriksaan Pendahuluan
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari dimulai sejak persidangan pertama yang dihadiri oleh
Terlapor.147
2. Perubahan Perilaku
KPPU dapat menghentikan sebuah perkara pada
tahap pemeriksaan pendahuluan apabila Terlapor mengakui
dan menerima tuduhan dalam Laporan Dugaan Pelanggaran
(LDP) yang diajukan oleh Tim Investigator KPPU dan
Terlapor berkomitmen untuk menghentikan perilaku anti
persaingan. Komitmen ini dilakukan Terlapor dengan
menandatangani Pakta Integritas Perubahan Perilaku148,
apabila selama masa pengawasan yaitu lamanya jangka
pengawasan 60 hari tidak ditemukan adanya
penyimpangan, maka KPPU akan menerbitkan sebuah
penetapan untuk menghentikan perkara.149
146 Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, 2005, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hal 18 147 Pasal 30 ayat (1) dan (2) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 148 Pasal 34 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 149 Pasal 36 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara 72
3. Tahap Pemeriksaan Lanjutan
KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap
pelaku usaha yang dilaporkan dalam proses pemeriksaan
lanjutan.150 KPPU akan terlebih dahulu menetapkan dengan
surat keputusan untuk dimulainya pemeriksaan lanjutan,
ataupun perpanjangannya. Walaupun berdasarkan ketentuan
ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No 5 Tahun
1999 KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku
usaha yang dilaporkan pada saat pemeriksaan lanjutan,
namun dalam praktiknya, KPPU sudah mulai melakukan
pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pelaku usaha pada
waktu pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan lanjutan
biasanya dilakukan apabila KPPU telah menemukan
indikasi adanya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat, atau apabila hal KPPU memerlukan
waktu yang lama untuk melakukan penyelidikan dan
pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang
ada.151 Pasal 43 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Nomor 1 Tahun 2019 mengatur bahwa pemeriksaan
lanjutan berakhir dalam jangka waktu paling lama 60 hari
sejak pemeriksaan dimulai dan apabila diperlukan jangka
waktu pemeriksaan lanjutan dapat diperpanjang paling lama
30 hari.
150 Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 151 Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, Op. Cit., hal 19
Universitas Sumatera Utara 73
4. Tahap Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat dilakukan oleh Majelis
Komisi untuk memeriksa objek perkara yang tujuannya
untuk membuat jelas keterangan dan/atau alat bukti yang
terdapat dalam persidangan.152
5. Tahap Pelaksanaan Putusan Komisi
Apabila Putusan Komisi menyatakan terbukti
adanya perbuatan melanggar ketentuan Undang-Undang No
5 Tahun 1999, maka proses selanjutnya akan berlanjut
kepada tahap eksekusi putusan Komisi. Berdasarkan pasal
47 Undang-Undang No 5 Tahun 1999, Komisi memiliki
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif dalam
bentuk-bentuk pembatalan perjanjian, perintah penghentian
suatu kegiatan, penghentian penyalahgunaan posisi
dominan, pembatalan merger, konsolidasi, akuisisi, maupun
penetapan pembayaran ganti rugi dan denda. Tahap
eksekusi bertujuan untuk memastikan bahwa pihak yang
dikenakan sanksi memenuhi kewajibannya.153
c. Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU
Pelaku usaha yang tidak menerima putusan Komisi
dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
152 Pasal 59 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 153 Hikmahanto Juwana dkk, 2003, Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha, (Jakarta: Partnership for Business Competition (PBC)), hal 14
Universitas Sumatera Utara 74
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah mendapat
pemberitahuan putusan Komisi.154 Pemeriksaan Keberatan
dilakukan tanpa melalui proses mediasi dan pemeriksaan
keberatan hanya atas dasar putusan dan berkas perkara.155
Pengadilan Negeri tidak lagi memeriksa ulang pokok
perkaranya namun hanya memeriksa mengenai penetapan
hukumnya saja.156
Majelis Hakim Pengadilan Negeri dapat meminta untuk
dilakukan Pemeriksaan Tambahan oleh komisi apabila dirasa
perlu. Perintah tersebut dituangkan dalam Putusan Sela yang
memuat hal-hal yang harus diperiksa dengan alasan-alasan
yang jelas dan jangka waktu Pemeriksaan Tambahan yang
diperlukan.157
Majelis hakim harus membacakan putusan paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan Keberatan
dalam sidang yang terbuka untuk umum.158 Putusan KPPU
baik yang tidak diajukan keberatan maupun yang telah
diperiksa dan diputus melalui prosedur Keberatan, serta
berkekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan secara sukarela
oleh Terlapor paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
154 Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 155 Bab IV Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 156 Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, Op. Cit., hal 56 157 Pasal 69 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 158 Bab V Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Universitas Sumatera Utara 75
pembacaan putusan atau sejak Terlapor menerima
pemberitahuan putusan.159
d. Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan KPPU
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 masih
memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk mencari
keadilan dengan melakukan “upaya hukum terakhir” yang
dapat diajukan kepada Mahkamah Agung. Hal tersebut
ditetapkan dalam ketentuan Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, bahwa apabila pelaku
usaha tidak menerima atau menolak putusan Pengadilan
Negeri, maka pihaknya dalam tenggang waktu 14 hari dapat
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah
Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak
permohonan kasasi diterimanya.160
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019
Pasal 15 juga telah menjelaskan bahwa terhadap putusan
Keberatan, upaya hukum terakhir adalah kasasi sehingga
penyelesaian kasus KPPU maksimal adalah Kasasi dan tidak
terbuka upaya Peninjauan Kembali baik oleh Terlapor maupun
KPPU.
Berdasarkan pada penjelasan diatas mengenai tata cara penanganan
perkara persaingan usaha, perkara yang akan diperiksa oleh KPPU terdiri dari
159 Bab VI Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung No 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 160 Rachmadi Usman III, 2013, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), hal 192
Universitas Sumatera Utara 76
perkara berdasarkan laporan dan perkara berdasarkan inisiatif. Prosedur yang
digunakan dalam penegakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pun sudah
diatur dengan rinci dan jelas. Namun seiring dengan perkembangan produk
hukum yang diciptakan dalam melengkapi pengaturan hukum yang ada di
Indonesia, pada tahun 2020 diciptakanlah Undang-Undang No. 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat
perubahan terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).
Perubahan beberapa pasal dalam UU Anti Monopoli tersebut diatur dalam Bab
VI tentang Kemudahan Berusaha, tepatnya Bagian Kesebelas tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pasal
118.161
Secara rinci, perubahan-perubahan terhadap Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 yang terjadi karena adanya Undang-Undang Cipta Kerja diubah
sebagai berikut162:
1. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. 2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambatlambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
161 Fitria Novia Heriani, 2020, 4 Poin Penting Terkait Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam UU Cipta Kerja, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fa38acac9fab/4-poin-penting-terkait-penegakan- hukum-persaingan-usaha-dalam-uu-cipta-kerja/ pada tanggal 07 Maret 2021 pukul 21.37 WIB 162 Pasal 118 Bagian Kesebelas Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara 77
3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi. 4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 2. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 1) Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut. 2) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. 3) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini. 2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27; d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau g. pengenaan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Universitas Sumatera Utara 78
4. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda.” 5. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
Secara garis besar terdapat empat poin penting perubahan terkait penegakan hukum anti monopoli. Pertama, perubahan upaya keberatan dari
Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembuktian di pengadilan, mengingat hakim di Pengadilan Niaga umumnya telah terbiasa berurusan dengan aspek bisnis atau komersil. Kedua, penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah
Agung. Penghapusan dimaksud adalah penghapusan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi. Ketiga, penghapusan batasan denda maksimal.
Dalam hal ini KPPU masih ketentuan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut perubahan dalam UU Ciptaker. Karena terkait dengan kriteria, jenis dan besaran denda akan di atur dalam peraturan tersebut. Dan keempat adalah terkait penghapusan sanksi pidana dengan mengutamakan sanksi administratif.
Namun sanksi pidana tetap berlaku untuk pelaku usaha yang tidak kooperatif dalam penegakan persaingan usaha.163
Berdasarkan pada keterangan diatas, tata cara penanganan perkara di
KPPU semakin diperbaharui. KPPU sebagai lembaga yang bergerak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan ini semakin memiliki pedoman yang jelas sehingga dalam prakteknya dapat mengedepankan
163 Ibid.
Universitas Sumatera Utara 79
keseimbangan antara peningkatan kemudahan berusaha pelaku usaha dalam
melakukan investasi dengan penegakan hukum persaingan yang berkualitas
dalam upaya penciptaan persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
B. Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga
Dalam ilmu pengetahuan hukum acara pidana dikenal tiga teori tentang
tentang sistem pembuktian yang meliputi:164
1) sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijs theorie);
2) sistem pembuktian menurut keyakinan hakim; dan
3) sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk bewijs theorie).
Prinsip pembuktian tentang adanya pelanggaran dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 sama dengan prinsip pembuktian dalam perkara
pidana yang berlaku dalam KUHAP yaitu dengan berpedoman pada Pasal 183
KUHAP yang mengatur bahwa untuk menentukan kesalahan seorang harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.165
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak mengatur tentang bagaimana
cara membuktikan adanya suatu perjanjian sehingga berkaitan dengan
perjanjian penetapan harga, apabila tidak terdapat bukti langsung, misalnya
perjanjian tertulis atau lisan maka KPPU tidak dapat menggunakan Undang-
164 Salim & Nurbani, E.S, 2016, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi & Tesis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hal 228 165 Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori & Praktik serta Penerapan Hukumnya. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group) hal 603
Universitas Sumatera Utara 80
undang ini. Oleh karena itu, KPPU mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan
KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Peraturan ini menjelaskan mengenai bukti langsung (direct evidence)
dan bukti tidak langsung (indirect evidence) untuk menyelesaikan perkara
pelanggaran yang dapat memicu praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
1. Bukti Tidak Langsung dalam Pembuktian Hukum Persaingan Usaha
Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development)
OECD merupakan sebuah organisasi internasional yang didirikan
untuk mempererat kerjasama dan pembangunan ekonomi antar negara
untuk mewujudkan stabilitas ekonomi. Organisasi ini bertujuan agar
pemerintah dapat memahami perkembangan-perkembangan dan persoalan
baru yang berkaitan dengan kebijakan dalam negeri dan internasional.166
Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) dalam Policy Brief June 2007, Prosecuting Cartels without
Direct Evidence of Agreement, menjelaskan alat bukti yang digunakan
dapat membuktikan terjadinya perjanjian kartel yang terdiri dari bukti
langsung dan bukti tidak langsung.
Alat bukti untuk membuktikan terjadinya perjanjian kartel menurut
OECD adalah sebagai berikut:167
1) Bukti langsung
166 OECD, Toolkit Penilaian Persaingan Usaha Jilid I: Prinsip –Prinsip, hal 3 167 OECD, 2007, Policy brief prosecuting cartels without direct evidence of agreement, diakses dari http://www.oecd.org/competition/cartels/38704302.pdf, hal 1-3
Universitas Sumatera Utara 81
Bukti langsung adalah bukti yang menunjukkan adanya pertemuan atau komunikasi antar pelaku usaha serta menggambarkan isi dari perjanjian antar pelaku usaha tersebut. Bentuk dari bukti langsung yaitu:
a. dokumen (baik dalam bentuk cetakan maupun elektronik) yang
menunjukkan isi perjanjian serta para pihak dalam perjanjian
tersebut; dan
b. pernyataan lisan maupun tertulis oleh para pelaku usaha kartel
yang menggambarkan pelaksanaan dari kartel tersebut.
2) Bukti tidak langsung
Bukti tidak langsung adalah bukti yang tidak secara langsung menggambarkan isi dari perjanjian atau para pihak dalam perjanjian tersebut. Bukti tidak langsung terdiri dari bukti komunikasi antar para pelaku usaha yang dicurigai melakukan kartel dan bukti ekonomi tentang pasar serta perilaku dari para pelaku usaha kartel yang terlibat di dalamnya yang mengusulkan tindakan bersama tersebut. Bukti tidak langsung adalah merupakan alat untuk mendeteksi bahwa ada indikasi praktik kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha, yaitu berupa perjanjian antara pelaku usaha yang menetapkan harga jual barang atau jasa tertentu kepada konsumen.
Bentuk dari bukti tidak langsung adalah:
a) Bukti komunikasi
Bukti komunikasi terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara 82
1. Rekaman pembicaraan telepon (namun tidak
menggambarkan isi pembicaraan) antar pelaku usaha
pesaing, atau catatan perjalanan ke tempat tujuan yang
sama atau keikutsertaan dalam pertemuan tertentu seperti
konferensi dagang;
2. Bukti lain di mana para pelaku usaha berkomunikasi
antara lain, berita acara atau catatan pertemuan yang
menunjukkan pembahasan tentang harga, permintaan, atau
penggunaan kapasitas; dokumen internal perusahaan yang
menunjukkan pengetahuan atau pemahaman tentang
strategi penetapan harga oleh pelaku usaha pesaing seperti
pengetahuan tentang peningkatan harga oleh pelaku usaha
pesaing di kemudian hari.
b) Bukti ekonomi
Bukti ekonomi terdiri dari:
a. structural evidence (bukti struktural)
Bukti ekonomi struktural adalah seperti konsentrasi pasar
yang tinggi, rendahnya konsentrasi pasar sebaliknya,
tingginya hambatan masuk pasar, homogenitas produk
menunjukkan apakah struktur pasar memungkinkan untuk
pembentukan suatu kartel.168
b. conduct evidence (bukti perilaku)
168 Udin Silalahi, 2013, Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha, (Jurnal Hukum Bisnis 32(5)), hal 382
Universitas Sumatera Utara 83
Bukti perilaku adalah seperti peningkatan harga yang
paralel, dan pola penawaran yang mencurigakan yang
menunjukkan apakah pesaing di pasar berperilaku tidak
bersaing.169
2. Standar Pembuktian Pelanggaran Perjanjian Penetapan Harga oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Menurut Peraturan Komisi No. 1
Tahun 2019
Proses pemeriksaan perkara di KPPU memerlukan bukti-bukti
bahwa pelaku usaha yang bersangkutan melanggar Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 dan peraturan pelaksananya. Adapun alat-alat bukti yang
digunakan oleh KPPU berbeda dengan alat-alat bukti yang digunakan
hukum acara perdata tetapi mirip dengan alat-alat bukti yang tercantum
dalam KUHAP.170
Terhadap konsep pembuktian terhadap perjanjian penetapan harga
dalam persaingan usaha, ada tiga hal yang menjadi fokusnya yaitu
bagaimana konsep pembuktiannya, hal-hal apa saja yang digunakan oleh
KPPU untuk membuktikan, dan apa saja yang digunakan oleh KPPU
untuk membuktikan, dan apa saja yang menjadi kendala bagi KPPU dalam
membuktikan suatu perbuatan perjanjian penetapan harga yang
menghambat persaingan usaha.171
Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019 dikeluarkan oleh KPPU
untuk mengakomodasi apabila tidak terdapat bukti langsung, misalnya
169 Ibid, hal 383 170 Susanti Adi Nugroho II, Op. Cit., hal 601 171 Devi Meyliana, Op, Cit, hal 42
Universitas Sumatera Utara 84
seperti perjanjian tertulis atau lisan. Dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 45 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019,
alat-alat bukti pemeriksaan KPPU terdiri dari:172
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat dan/atau dokumen;
4. Petunjuk;
5. Keterangan pelaku usaha.
Peraturan ini menyatakan bahwa pembuktian terjadinya
perilaku/strategi yang paralel bukan merupakan bukti yang cukup untuk
menyatakan adanya perjanjian penetapan harga. Masih dibutuhkan analisis
tambahan (plus factor) untuk membedakan parallel business conduct
dengan illegal agreement seperti rasionalitas harga, analisis pasar dan
anilisis data kinerja, analisis penggunaan fasilitas kolusi. Peraturan ini
menyatakan bahwa pembuktian yang terbaik adalah pembuktian yang
menggunakan baik bukti langsung maupun bukti tidak langsung. Namun
apabila sulit untuk mendapatkan bukti langsung seharusnya digunakan
bukti tidak langsung, yakni dengan mengkombinasikan bukti komunikasi
dengan bukti ekonomi.173
Bukti langsung (direct evidence) adalah bukti yang dapat diamati
(observable elemens) dan dapat menunjukkan bahwa telah terjadinya suatu
perjanjian penetapan harga atau barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha
yang bersaing. Di dalam bukti tesebut terdapat kesepakatan dan substansi
172 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 601 173 Andi Fahmi Lubis, 2013, Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 32 No 5), hal 391
Universitas Sumatera Utara 85
dari kesepakatan tersebut. Sedangkan bukti tidak langsung (indirect evidence) merupakan suatu bukti yang secara tidak langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga. Bukti tidak langsung ini dapat digunakan terhadap terjadinya suatu keadaan/kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan suatu perjanjian yang tidak tertulis.174
Adapun yang termasuk bukti tidak langsung adalah:175
1. Bukti komunikasi yang secara tidak langsung menyatakan
kesepakatan,
2. Bukti ekonomi yang bertujuan sebagai “upaya untuk
mengeyampingkan kemungkinan terjadinya perilaku penetapan harga
yang bersifat independen”.
Sedangkan analisis plus faktor yang dikemukakan sebelumnya pada dasarnya merupakan suatu analisis ekonomi yang diperlukan untuk:176
1. Membuktikan apakah perilaku perusahaan rasional meskipun tanpa
adanya kolusi. Hal ini diperlukan untuk mengesampingkan
kemungkinan perilaku yang konsisten dengan kondisi persaingan.
2. Membuktikan apakah struktur pasar mendukung terjadinya suatu
kolusi.
3. Membuktikan apakah karakteristik pasar konsisten sebagai fasilitas
kolusi.
4. Membuktikan apakah kinerja di pasar merupakan dugaan atas
perjanjian penetapan harga.
174 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal 141 175 Andi Fahmi Lubis II, Op. Cit., hal. 75 176 Devi Meyliana, Op, Cit, hal 48
Universitas Sumatera Utara 86
5. Membandingkan kondisi yang terjadi akibat adanya suatu perjanjian
kolusi dengan kondisi yang muncul dari persaingan.
Penggunaan alat analisis ekonomi menjadi salah satu kunci penting dalam penggunaan bukti tidak langsung untuk membuktikan adanya suatu pembuktian.177 Pembuktian dari analisis ekonomi digunakan untuk menyimpulkan apakah kondisi di pasar mendukung untuk kesuksesan sebuah kolusi. Bukti-bukti tidak langsung dapat digunakan untuk menduga adanya koordinasi di pasar sehingga dapat dijadikan petunjuk adanya pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.178
Pada akhirnya, alat bukti tetap harus mengacu pada Pasal 42 UU
No 5 Tahun 1999, karena bukti tidak langsung ini merupakan bukti petunjuk.179 Disamping itu, suatu pendekatan yang sangat kental dalam hukum persaingan adalah dibutuhkannya analisis ekonomi yang komprehensif untuk memutuskan apakah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu perusahaan merupakan tindakan yang rasional dalam menghadapi perubahan pasar atau dalam rangka menghadapi persaingan ataupun sebagai konsekuensi keikutsertaan dalam konspirasi yang bersifat anti persaingan.180
Menurut definisi, lembaga persaingan tidak dapat secara langsung membuktikan bahwa tindakan tersebut merupakan hasil kesepakatan.
Hampir ada kesepakatan universal bahwa dari dua jenis bukti tidak langsung yang diuraikan di atas, bukti komunikasi adalah yang paling
177 Ibid. 178 Ibid. 179 Susanti Adi Nugroho I, Op. Cit., hal 607 180 Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit., hal 124
Universitas Sumatera Utara 87
probatif dari sebuah persetujuan. Sebuah tinjauan kasus kartel yang diadili
di negara-negara OECD, dimana bukti tidak langsung penting
menunjukkan bahwa di hampir semua kasus yang berhasil ada bukti
komunikasi. Bukti ekonomi, di sisi lain bisa ambigu. Oleh karena itu
dibutuhkan analisa yang cermat.181
Indonesia sendiri telah mengambil bagian di dalam OECD. OECD
telah meluncurkan Program Kerjasama Tingkat Lanjut (Enhanced
Engagement) pada bulan Mei 2007 dengan Indonesia dan empat negara
lainnya (Brasil, Republik Rakyat Tiongkok, India, dan Afrika Selatan).
Dengan berpartisipasi dalam survei ekonomi dan kajian obyektif OECD,
Indonesia dapat memperoleh manfaat dari evaluasi mendalam terhadap
kinerja ekonomi dan sosialnya berdasarkan praktik-praktik terbaik
internasional (international best practices). Dihasilkan melalui kerjasama
yang erat dengan pemerintah, kajian ini memfasilitasi dialog obyektif
(peer dialogue) dan pembelajaran dengan negara lain dan menghasilkan
rekomendasi kebijakan praktis.182
Perkara-perkara yang masuk ke dalam KPPU bukanlah perkara
yang mudah untuk dibuktikan terutama yang berkaitan dengan pembuktian
perjanjian yang dilarang. Pembuktian yang ada haruslah terbuka bagi bukti
tidak langsung yang berpotensi dilakukan oleh pelaku-pelaku usaha dalam
menjalankan perjanjian yang dilarang yang dapat menimbulkan
persaaingan yang tidak sehat. Maka dari itu, bukti tidak langsung seperti
yang telah dijelaskan diatas juga secara jelas dan rinci telah diatur oleh
181 OECD, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence, 2006 182 OECD, http://www.oecd.org/globalrelations/46261208.pdf, diakses pada tanggal 08 Maret 2021
Universitas Sumatera Utara 88
OECD dalam aturannya Prosecuting Cartels Without Direct Evidence yang diterbitkan pada tahun 2006. Pembuktian pelanggaran penetapan harga yang cenderung sulit dibuktikan jika hanya didasarkan pada bukti langsung pun dapat dibuktikan dengan menggunakan bukti tidak langsung.
Partisipasi Indonesia dalam kajian yang diselenggarakan oleh
OECD tentunya membuka pintu bagi Indonesia untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh OECD mengenai hal-hal yang berkaitan dengan larangan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu, KPPU tentu lebih dimudahkan dalam menganalisis perkara-perkara yang sulit dibuktikan akibat adanya kecenderungan bukti- bukti tidak langsung yang memerlukan pedoman dalam pembuktiannya.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur mengenai alat bukti yang salah satunya ialah alat bukti petunjuk. Lebih lanjut mengenai alat bukti petunjuk telah diatur didalam Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berdasarkan pada keterangan diatas, KPPU dalam menjalankan proses pemeriksaan perkara tentu tidak hanya berpedoman pada Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 saja akan tetapi terdapat peraturan-peraturan komisi dalam bentuk pedoman yang juga dijadikan acuan bagi KPPU dalam melakukan pembuktian.
Adanya partisipasi Indonesia yang juga turut serta dalam kajian yang diberlangsungkan oleh OECD memungkinkan KPPU untuk menerapkan Indirect Evidence sebagaimana yang diatur dalam Policy
Universitas Sumatera Utara 89
Brief 2007. Namun begitu, KPPU juga telah mengatur mengenai bukti tidak langsung dalam Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 yaitu pada
Pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan menurut ketentuan Undang-Undang, menandakan bahwa telah terjadi suatu perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bukti ekonomi dan/atau bukti komunikasi yang oleh Majelis Komisi diyakini kebenarannya. (3) Bukti ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penggunaan dalil-dalililmu ekonomi yang ditunjang oleh metode analisis data kuantitatif dan/atau kualitatif serta hasil analisis Ahli, yang semuanya bertujuan untuk memperkuat dugaan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. (4) Bukti komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemanfaatan data dan/atau dokumen yang menunjukkan adanya tukar menukar informasi antar pihak yang diduga melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 57 memuat bukti tidak langsung yang terdiri dari bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Oleh karena itu, pembuktian pelanggaran penetapan harga sebagai perjanjian yang dilarang dengan pendekatan per se illegal sulit untuk dibuktikan jika hanya didasarkan pada bukti langsung, tetapi dengan adanya Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 yang menjelaskan mengenai bukti tidak langsung, KPPU lebih dimudahkan dalam menangani perkara kasus pelanggaran penetapan harga ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KAJIAN HUKUM TERHADAP PUTUSAN KPPU NO. 15/KPPU-I/2019
TENTANG DUGAAN PELANGGARAN PENETAPAN HARGA PADA
JASA ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL PENUMPANG KELAS
EKONOMI DALAM NEGERI
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan tujuh maskapai terbukti melakukan pelanggaran persaingan usaha karena dianggap melakukan perjanjian bersama-sama dalam menetapkan harga tiket pesawat.
Ketujuh maskapai tersebut PT Garuda Indonesia, PT Citilink Indonesia, PT
Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari dan PT Wings
Abadi. Majelis Komisi KPPU yang terdiri dari Kurnia Toha sebagai Ketua
Majelis Komisi dan Kodrat Wibowo serta Yudi Hidayat, masing-masing sebagai
Anggota Majelis menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada tujuh maskapai tersebut untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada KPPU setiap kebijakan mereka yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat sebelum kebijakan tersebut dilakukan.
Majelis Komisi berpendapat terdapat juga hambatan masuk yang tinggi dari sisi modal dan regulasi yang mengakibatkan jumlah pelaku usaha sedikit dalam industri penerbangan. Persaingan harga di industri tersebut diatur melalui peraturan pemerintah melalui batasan tertinggi dan terendah dari penetapan tarif atau harga penumpang pelayanan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri, sehingga masih terdapat ruang persaingan harga diantara rentang batasan tersebut.
90
Universitas Sumatera Utara 91
Berdasarkan persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa telah terdapat concerted action atau parallelism183 para Terlapor, sehingga telah terjadi kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds184) dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar.
Hal ini mengakibatkan terbatasnya pasokan dan harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia.
A. Kasus Posisi Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan
Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri
Pada tahun 2019, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
melakukan inisiatif untuk memeriksa perkara mengenai terjadinya
pelanggaran Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait
adanya dugaan penetapan harga terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri, yang dilakukan oleh 7 perusahaan
penerbangan antara lain:
1. Terlapor I yaitu PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, yang
beralamat kantor di Gedung Garuda Indonesia, Jalan Kebon Sirih
Nomor 44, Jakarta Pusat 10110.
183 Concerted Action adalah tindakan yang diambil bersama-sama oleh para pelaku usaha. (Katrina Marcellina, 2011, Penggunaan Analisa Ekonomi Dalam Pembuktian Kasus-Kasus Kartel Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok) 184 Meeting of Minds adalah titik temu diantara para pihak tentang kepentingan- kepentingan yang berbeda, diakses dari https://www.legalakses.com/perjanjian/ pada tanggal 08 Maret 2021 pukul 00.16 WIB
Universitas Sumatera Utara 92
2. Terlapor II yaitu PT Citilink Indonesia, yang beralamat kantor di
Komplek Ruko Juanda JBC Blok C1 Nomor 02, Jalan Raya
Juanda, Desa Sawotratap, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo 61254.
3. Terlapor III yaitu PT Sriwijaya Air, yang beralamat kantor di Jalan
Pangeran Jayakarta 68, Blok C Nomor 15-16, Sawah Besar, Jakarta
Pusat 10160.
4. Terlapor IV yaitu PT NAM Air, yang beralamat kantor di Jalan
Gunung Sahari Raya Nomor 13, Blok B/8-10, Kelurahan
Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara 14420.
5. Terlapor V yaitu PT Batik Air, yang beralamat kantor di Jalan A.
M. Sangaji Nomor 19, RT 002 RW 006, Kelurahan Petojo,
Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
6. Terlapor VI yaitu PT Lion Mentari, yang beralamat kantor di Jalan
Gajah Mada Nomor 7, Gambir, Jakarta Pusat.
7. Terlapor VII yaitu PT Wings Abadi, yang beralamat kantor di Jalan
A. M. Sangaji Nomor 17, Gambir, Jakarta Pusat.
Pemeriksaan perkara ini berawal dari adanya keluhan oleh masyarakat
yang merasakan keresahan akibat harga tiket pesawat penumpang kelas
ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri yang dirasa masih
cukup tinggi meskipun masa peak season185 sudah berakhir. Pada bulan
Desember 2017 hingga pertengahan bulan Januari 2018, harga tiket pesawat
terbang cenderung naik (lebih tinggi), namun akan kembali normal setelah
185 Peak Season dapat terjadi beberapa kali dalam satu tahun kalender seperti Hari Raya Idul Fitri, liburan sekolah, libur Hari Natal dan Tahun Baru dan libur long weekend, weekend dan Hari Raya Imlek.
Universitas Sumatera Utara 93
melewati masa peak season. Namun, pada kenyataannya hingga minggu kedua kedua Januari 2019, masyarakat selaku konsumen masih merasakan tingginya harga tiket pesawat yang mengakibatkan pemerintah meminta maskapai menurunkan harga tiket.
Adapun yang menjadi pertimbangan hakim berkaitan dengan dugaan pelanggaran perjanjian penetapan harga, maka selanjutnya diuraikan pemenuhan unsur-unsur ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan: a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan
yang sama. b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
1) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
2) suatu perjanjian yang didasarkan undangundang yang berlaku.
Berdasarkan analisis dari Tim Investigator tujuh perusahaan maskapai penerbangan ini terbukti melakukan penetapan harga. Adapun analisis dari
Tim Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha terhadap pemenuhan unsur-unsur pelanggaran ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat diuraikan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara 94
a. Unsur Pelaku Usaha
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan mengenai pengertian pelaku usaha dengan definisi sebagai
berikut: “setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
Bahwa pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara a quo adalah:
a. PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk (Terlapor I);
b. PT Citilink Indonesia (Terlapor II);
c. PT Sriwijaya Air (Terlapor III) ;
d. PT Nam Air (Terlapor IV);
e. PT Batik Air Indonesia (Terlapor V);
f. PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan
g. PT Wings Abadi (Terlapor VII).
Bahwa para Terlapor tersebut merupakan badan usaha berbentuk
badan hukum sebagaimana telah diuraikan pada butir 1.1 sampai dengan
butir 1.7 (identitas terlapor) sehingga secara mutatis mutandis menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dengan penjelasan pemenuhan unsur ini.
Bahwa para Terlapor tersebut merupakan pelaku usaha sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Atas dasar
ketentuan tersebut maka unsur Pelaku Usaha dalam perkara a quo
terpenuhi.
Universitas Sumatera Utara 95
b. Unsur Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan mengenai pengertian perjanjian yaitu sebagai berikut:
“suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan
diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik
tertulis maupun tidak tertulis.”
Bahwa dalam perkara kartel hampir tidak pernah terdapat
perjanjian yang dilakukan secara tertulis. Para pelaku usaha dalam
melakukan kartel lebih banyak menggunakan perjanjian dengan
“understanding” atau perjanjian tidak tertulis yang dipahami oleh para
anggota kartel.
Bahwa “agreement” di Amerika Serikat yang mencakup
“contract”, “combination”, atau “conspiracy” yang menurut section I dari
the sherman act mengharuskan adanya tindakan bersama-sama dari dua
orang atau lebih untuk membentuknya, sedangkan Tindakan Bersama
(Concerted Action) hanya bisa dibenarkan apabila mereka mempunyai
unity of purpose, atau understanding, atau telah terjadi meeting of minds
diantara mereka.
Bahwa definisi Concerted Action dikenal sebagai suatu tindakan
yang direncanakan diatur dan disepakati oleh para pihak secara bersama-
sama dengan tujuan yang sama, masing-masing yang melakukan
perbuatan itu tidak mengikatkan diri baik tertulis maupun lisan namun
mereka memiliki tujuan yang sama. Pelaku Concerted Action akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan bersama walaupun sekalipun dia
Universitas Sumatera Utara 96
tidak mengikatkan diri. Concerted Action selalu diidentikkan dengan konspirasi sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun
1999, yaitu kerja sama pelaku usaha satu dengan yang lain melakukan kesepakatan untuk mengusai pasar yang mengakibatkan adanya monopoli.
Bahwa Concerted Action tidak dipersyaratkan bahwa ada suatu perjanjian tertulis yang mensyaratkan pihak-pihak yang melakukan
Concerted Action tidak perlu dibuktikan seperti itu. Dalam Concerted
Action itu yang penting terjadi komunikasi. Atas dasar hal tersebut, maka dalam perkara a quo telah terjadi perbuatan mengikatkan diri pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain (dalam hal ini pesaingnya) secara tidak tertulis atau Concerted Action yang dibuktikan dengan perilaku para
Terlapor sebagaimana telah diuraikan pada bagian Perilaku dan selanjutnya diperkuat dengan bukti ekonomi adanya implementasi penetapan harga sebagaimana telah diuraikan pada sub bab penetapan harga.
Bahwa perjanjian yang dimaksud dalam unsur ini adalah meliputi perjanjian-perjanjian tertulis dan/atau kesepakatan-kesepakatan lain yang tidak tertulis yang dilakukan oleh para Terlapor yang merupakan pelaku usaha yang saling bersaing pada pasar bersangkutan. Bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam perkara a quo adalah perjanjian yang dilakukan para Terlapor untuk menetapkan harga dengan cara menjual hanya tiket ekonomi subclass yang harganya tinggi dan/atau
Universitas Sumatera Utara 97
penghilangkan dan/atau mengurangi tiket ekonomi subclass harga rendah
dan/atau promo.
Berdasarkan bukti dan analisis yang telah dilakukan bahwa
perjanjian tersebut tidak dilakukan dalam suatu usaha patungan dan/atau
didasarkan undang-undang yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan bahwa perilaku penetapan harga (price fixing) antara
perusahaan yang sedang bersaing di pasar merupakan salah satu dari
bentuk kolusi. Kolusi merujuk pada situasi dimana perusahaan-
perusahaan yang ada di pasar melakukan koordinasi atas tindakan-
tindakan mereka yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang
lebih tinggi.
Koordinasi di dalam kolusi tersebut digunakan untuk menyepakati
beberapa hal, diantaranya:
2) Kesepakatan penetapan harga tertentu yang lebih tinggi dari harga
yang diperoleh melalui mekanisme persaingan;
3) Kesepakatan penetapan kuantitas tertentu yang lebih rendah dari
kuantitas dalam situasi persaingan;
4) Kesepakatan pembagian pasar.
Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 tersebut dinyatakan bahwa bentuk-bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam
Universitas Sumatera Utara 98
aturan pelarangan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah berikut ini
(namun tidak terbatas pada):
a. kesepakatan menaikkan atau menurunkan harga;
b.kesepakatan memakai suatu formula standard sebagai dasar
perhitungan harga;
c. kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga
yang dipersaingkan dengan suatu produk tertentu;
d.kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman
diskon;
e. kesepakatan persyaratan pemberian kredit kepada konsumen;
f. kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga
murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara
harga tinggi;
g.persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan;
h.kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak
dipenuhi;
i. kesepakatan menggunakan harga yang seragam sebagai langkah
awal untuk negosiasi.
Bahwa untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 maka pembuktian adanya perjanjian diantara pelaku usaha independen yang sedang bersaing dalam menetapkan harga atas barang dan atau jasa menjadi hal yang sangat penting. Perilaku penetapan harga para pelaku usaha di pasar tersebut dilakukan secara bersama-sama (concerted).
Universitas Sumatera Utara 99
Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 tersebut bentuk perjanjian tertulis tidak menjadi keharusan dalam membuktikan adanya suatu perjanjian perilaku penetapan harga sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999. Yang diperlukan adalah bukti bahwa penetapan harga secara bersamasama disepakati dan para pelaku usaha mematuhi (conformed) kesepakatan tersebut.
Bahwa kesepakatan Para Terlapor untuk menetapkan harga dengan cara menjual hanya tiket ekonomi subclass yang harganya tinggi atau mengurangi tiket ekonomi subclass harga rendah atau promo merupakan bentuk penetapan harga berupa kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi sebagaimana telah diuraikan pada butir 10.2
(Pengurangan Frekuensi dan Perubahan Penerbangan), butir 10.3
(Pengurangan Subclass) dan butir 10.4 (Kenaikan Harga Tiket) Bagian
Perilaku para Terlapor, sehingga secara mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penjelasan pemenuhan unsur pasal ini.
Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 dinyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun
1999 dengan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah bahwa perilaku penetapan harga akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila terdapat jabatan rangkap pada perusahaan yang saling bersaing. Melalui jabatan rangkap inilah yang akhirnya justru akan memfasilitasi proses penetapan harga. Hal tersebut terbukti dengan adanya kerja sama operasi dan/atau manajemen yang dilakukan Garuda Group (PT Garuda Indonesia
Universitas Sumatera Utara 100
(Persero), Tbk dan PT Citilink Indonesia) dengan PT Sriwijaya Air dan PT
NAM Air dimana dalam implementasinya selain adanya kerja sama
operasional dan pemasaran, juga terdapat rangkap jabatan sebagaimana
telah diuraikan pada butir 10.1 (Kerja sama Operasi/Manajemen Antara
Garuda Group dengan Sriwijaya Group) Bagian Perilaku para Terlapor,
sehingga secara mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari penjelasan pemenuhan unsur pasal ini.
Atas dasar fakta, bukti dan analisis tersebut maka Tim
menyimpulkan bahwa perilaku para Terlapor dapat dikategorikan sebagai
perjanjian dan/atau kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Atas dasar hal tersebut maka unsur
adanya perjanjian dalam perkara a quo terpenuhi. c. Unsur Pelaku Usaha Pesaing
Bahwa pelaku usaha pesaing yang dimaksud dalam perkara a quo
adalah pelaku usaha sebagaimana telah diuraikan dalam unsur pelaku
usaha sebelumnya karena para Terlapor merupakan pelaku usaha
merupakan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang melayani
penumpang (khususnya kelas ekonomi) di dalam wilayah Indonesia.
Bahwa dalam perkara a quo Terlapor satu merupakan pesaing bagi
Terlapor yang lain khususnya apabila dilihat dari sisi konsumen pada
pasar bersangkutan. Bahwa para Terlapor merupakan pelaku usaha
sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Dengan demikian maka unsur Pelaku Usaha Pesaing dalam perkara a quo
terpenuhi.
Universitas Sumatera Utara 101
d. Unsur Menetapkan Harga
Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang
Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan bahwa penetapan harga yang dimaksud dalam ketentuan
tersebut tidak hanya penetapan harga akhir, melainkan juga perjanjian
atas struktur atau skema harga. Karena di dalam ayat tersebut, penetapan
harga tidak berarti penetapan harga yang sama.
Bahwa penetapan harga yang dilakukan oleh para Terlapor diduga
dilakukan dengan cara:
1) Mengurangi frekuensi dan/atau merubah dan/atau menghilangkan
rute-rute penerbangan tertentu sebagaimana telah diuraikan pada
butir 10.2 Bagian Perilaku Terlapor; dan/atau
2) Mengurangi dan/atau menutup akses penjualan subclass tiket
dengan harga rendah atau murah sebagaimana telah diuraikan pada
butir 10.3 Bagian Perilaku Terlapor; dan/atau
3) Menaikan harga tiket sebagaimana telah diuraikan pada butir 10.4
Bagian Perilaku Terlapor, dimana kenaikan harga tiket tersebut
secara langsung maupun tidak langsung merupakan akibat perilaku
huruf a dan huruf b tersebut.
Bahwa perilaku para Terlapor tersebut diduga dilakukan pada
periode bulan November 2018 hingga bulan Mei 2019 atau setidak-
tidaknya dilakukan sejak bulan November 2018. Bahwa oleh karena itu,
fakta, bukti dan analisis berkaitan dengan perilaku para Terlapor tersebut
secara mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
Universitas Sumatera Utara 102
penjelasan dan mendukung pemenuhan unsur pasal ini dengan
mempertimbangan fakta dan analisis yang memperkuat sebagai berikut:
1) Rasionalitas Penetapan Harga, dimana secara faktual pasar
layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas
ekonomi rute penerbangan dalam negeri terkonsentrasi pada
beberapa pelaku usaha saja sebagaimana telah diuraikan pada
butir 8 Bagian Struktur Pasar. Oleh karena itu keuntungan
maksimum hanya dinikmati oleh beberapa pelaku usaha yang
menguasai pasar bersangkutan tersebut;
2) Produk para Terlapor saling bersubstitusi, dimana meskipun
layanan produk pada pasar bersangkutan terbagi dalam 3 (tiga)
kelompok yaitu full service, medium service186 dan no frills187,
namun tetap saling bersubstitusi sebagaimana hasil pengujian
price correlation188, pengakuan Terlapor, keterangan Saksi dan
keterangan Ahli sebagaimana telah diuraikan pada butir 5.9
(Bagian Pasar Produk);
3) Standardisasi harga (standardized prices), dimana apabila
produk yang diperdagangkan di pasar memiliki standar harga,
maka kesepakatan penetapan harga akan lebih mudah
dilaksanakan; Dalam perkara a quo terdapat standar harga yang
186 Medium Service adalah pelayanan dengan standar menengah, diakses dari https://www.biaya.net/2015/10/tarif-batas-atas-dan-batas-bawah-tiket.html pada tanggal 08 Maret 2021 pukul 00.33 WIB 187 No Frills memiliki arti yang sama dengan konsep Low Cost Carrier (LCC) 188 Price Correlation is a statistic that measures the degree to which two securities move in relation to each other, diakses dari https://www.investopedia.com/terms/c/correlation.asp pada tanggal 08 Maret 2021 pukul 00.43 WIB
Universitas Sumatera Utara 103
terbagi dalam beberapa subclass yang mencerminkan tingkat
harga dari tertiggi hingga terendah dengan kode tertentu
sehingga adanya kesepakatan pengurangan jumlah subclass
yang dipasarkan otomatis akan berdampak lanjut pada
perubahan harga produk yang dipasarkan pada pasar
bersangkutan.
4) Hambatan masuk pasar tinggi (high barriers to entry), dimana
semakin tinggi tingkat hambatan untuk masuk pasar, maka
semakin besar insentif bagi perusahaan-perusahaan di pasar
untuk melakukan kesepakatan harga, karena tidak ada
„ancaman‟ dari perusahaan baru yang dapat menggagalkan
kesepakatan harga perusahaan-perusahaan di pasar
(incumbents); Bahwa hambatan masuk pasar bersangkutan
cukum tinggi sebagaiamana telah diuraikan pada butir 8.2
Bagian Struktur Pasar.
5) Penggunaan Fasilitas Kolusi (Facilitating Devices) dan
Kecepatan informasi mengenai penyesuaian harga (readily
observed price adjustments), dimana untuk memastikan
kesepakatan kolusi dapat dijalankan dan dimonitor, maka para
pelaku usaha yang terlibat dalam suatu kolusi akan
menggunakan beberapa instrumen untuk memfasilitasi
keberhasilan suatu kolusi.
Semakin mudah mendapatkan informasi mengenai perubahan- perubahan harga yang dilakukan oleh pelaku usaha maka semakin besar
Universitas Sumatera Utara 104
insentif untuk melakukan kesepakatan penetapan harga. Apabila informasi
ini sulit dan lambat diketahui, maka akan ada kecenderungan untuk
melakukan kecurangan (cheating) terhadap kesepakatan kolusi.
Bahwa faktor ini terbukti terjadi dalam perkara a quo sebagaimana
telah diuraikan pada butir 10.5 (Facilitating Devices) sehingga secara
mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penjelasan
pemenuhan unsur pasal ini. Atas dasar fakta, bukti dan analisis tersebut
maka Tim menyimpulkan bahwa perilaku para Terlapor tersebut dapat
dikategorikan sebagai perjanjian dan/atau kesepakatan untuk menetapkan
harga sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun
1999. Dengan demikian maka unsur menetapkan harga dalam perkara a
quo terpenuhi. e. Unsur Barang/Jasa
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 UU Nomor 5 Tahun 1999
disebutkan:
“Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU Nomor 5 Tahun 1999
disebutkan:
Universitas Sumatera Utara 105
“Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.”
Bahwa produk yang dimaksud dalam perkara a quo adalah layanan
jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute
penerbangan dalam negeri sebagaimana telah diuraikan sebelum pada
butir 5 (Pasar Bersangkutan) Bagian Pasar Bersangkutan sehingga secara
mutatis mutandis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penjelasan
pemenuhan unsur pasal ini.
Bahwa produk tersebut merupakan jasa sebagaimana dimaksud
pada ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999. Atas dasar
fakta, bukti dan analisis atas ketentuan tersebut maka unsur produk
berupa Jasa dalam perkara a quo terpenuhi. f. Unsur Konsumen/Pelanggan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5 Tahun 1999
disebutkan:
“Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan
atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
pihak lain.”
Bahwa konsumen yang dimaksud dalam perkara a quo adalah
pemakai dan/atau pengguna dan/atau pelanggan layanan jasa angkutan
udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute penerbangan dalam
negeri. Bahwa konsumen atau pelanggan tersebut merupakan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5
Universitas Sumatera Utara 106
Tahun 1999. Atas dasar hal tersebut maka unsur konsumen atau
pelanggan dalam perkara a quo terpenuhi. g. Unsur Pasar Bersangkutan yang Sama
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 5 Tahun 1999
diatur definisi mengenai pasar bersangkutan yaitu:
“pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau
sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”
Bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah layanan
jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute
penerbangan dalam negeri.
Bahwa para Terlapor yang diduga melakukan pelanggaran dalam
perkara a quo berada pada pasar bersangkutan sebagaimana telah
diuraikan sebelum pada butir 5 (Pasar Produk) dan butir 6 (Pasar
Geografis) Bagian Pasar Bersangkutan dan selanjutnya berkorelasi
dengan perilaku sebagaimana telah diuraikan sebelumnya pada butir 10
(Perilaku Terlapor) sehingga secara mutatis mutandis menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari penjelasan pemenuhan unsur pasal ini. Atas
dasar fakta, bukti dan analisis tersebut maka unsur Pasar Persangkutan
Yang Sama dalam perkara a quo terpenuhi. Dengan demikian, seluruh
unsur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
terpenuhi.
Berdasarkan pada keterangan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa KPPU dalam menganalisis perkara dugaan pelanggaran perjanjian
Universitas Sumatera Utara 107
penetapan harga yang dilakukan oleh 7 maskapai penerbangan telah
berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999. KPPU menganalisis pemenuhan unsur-unsur pelanggaran ketentuan
Pasal 5 yang terdiri dari unsur pelaku usaha, unsur perjanjian, unsur
pelaku usaha pesaing, unsur menetapkan harga, unsur barang/jasa, unsur
konsumen/pelanggan, unsur pasar bersangkutan yang sama, yang
kemudian dinyatakan terpenuhi seluruhnya. KPPU dalam hal ini telah
melakukan apa yang menjadi kewenangannya dalam hal melakukan
penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
B. Kajian Hukum terhadap Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019 tentang
Dugaan Pelanggaran Penetapan Harga pada Jasa Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri
Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan diatas, kajian hukum
terhadap Putusan KPPU Nomor 15/KPPU-I/2019 adalah sebagai berikut:
Pembuktian terhadap kasus-kasus pelanggaran perjanjian di KPPU
tidak terlepas pada adanya alat bukti. Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999
mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat dan atau dokumen;
d. Petunjuk;
e. Keterangan pelaku usaha.
Universitas Sumatera Utara 108
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berwenang untuk melakukan pengawasan persaingan usaha sebagai bentuk implementasi
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 serta peraturan pelaksananya agar dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya. Salah satu tugas berdasarkan Pasal
35 huruf a, yaitu melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 dalam Bab III
Perjanjian yang Dilarang. Perjanjian yang dilarang tersebut diantaranya mengatur mengenai penetapan harga dan kartel. Berdasarkan hal tersebut, maka Majelis Komisi memiliki kewenangan absolut untuk melakukan pemeriksaan.
Berkaitan dengan pembuktian, Indonesia mengenal asas unus testis nullus testis (satu bukti bukanlah bukti). Berdasarkan asas ini, diperlukan tambahan bukti lain yang akan menjadi pendukung bagi bukti yang lain.
Berkaitan dengan bukti yang terdapat dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999, terhadap perkara pelanggaran penetapan harga yang termasuk dalam kategori per se illegal diperlukan adanya bukti tambahan salah satunya adalah petunjuk.
Berdasarkan pada Pasal 57 Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 keterangan mengenai petunjuk adalah sebagai berikut:
(1) Petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan menurut ketentuan Undang-Undang, menandakan bahwa telah terjadi suatu perjanjian dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan dan siapa pelakunya.
Universitas Sumatera Utara 109
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa bukti ekonomi dan/atau bukti komunikasi yang oleh Majelis Komisi diyakini kebenarannya. (3) Bukti ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penggunaan dalil-dalililmu ekonomi yang ditunjang oleh metode analisis data kuantitatif dan/atau kualitatif serta hasil analisis Ahli, yang semuanya bertujuan untuk memperkuat dugaan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. (4) Bukti komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemanfaatan data dan/atau dokumen yang menunjukkan adanya tukar menukar informasi antar pihak yang diduga melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Pada kasus dalam Putusan KPPU No. 15/KPPU-I/2019, pelanggaran
perjanjian penetapan harga (price fixing) yang terjadi dianalisis dengan
mencari bukti tambahan yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi sebagai
petunjuk bagi KPPU dalam memutus perkara. Sejalan dengan pengertian
bahwa bukti yang cukup189 adalah pemenuhan sekurang-kurangnya 2 (dua)
alat bukti yang sah. Maka dari itu, pembuktian perkara in tidak terlepas pada
pembuktian pemenuhan unsur-unsur dari pasal 5 Undang-Undang No. 5
Tahun 1999.
Adapun pemenuhan unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Unsur Pelaku Usaha
Unsur ini terpenuhi dikarenakan para Terlapor yakni PT Garuda
Indonesia (Persero), PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Nam Air,
PT Batik Air Indonesia, PT Lion Mentari, PT Wings Abadi merupakan
badan usaha berbentuk badan hukum sehingga para Terlapor tersebut
merupakan pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999.
189 Lihat Pasal 1 Angka 13 Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara 110
2. Unsur Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan mengenai pengertian perjanjian yang berbunyi: “suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Berkaitan dengan unsur perjanjian ini, tim investigator menyatakan bahwa dalam perkara a quo telah terjadi perbuatan mengikatkan diri pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain (dalam hal ini pesaingnya) secara tidak tertulis atau Concerted Action yang dibuktikan dengan perilaku para
Terlapor dalam bentuk kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia.
Hal ini juga diperkuat dengan bukti ekonomi adanya implementasi penetapan harga sehingga dinyatakan bahwa unsur perjanjian telah terpenuhi. Perjanjian yang dilakukan para Terlapor untuk menetapkan harga dengan cara menjual hanya tiket ekonomi subclass yang harganya tinggi atau mengurangi tiket ekonomi subclass harga rendah atau promo merupakan bentuk penetapan harga berupa kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi.
Universitas Sumatera Utara 111
Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 dinyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dengan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah bahwa perilaku penetapan harga akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila terdapat jabatan rangkap pada perusahaan yang saling bersaing.
Melalui jabatan rangkap inilah yang akhirnya justru akan memfasilitasi proses penetapan harga. Hal tersebut terbukti dengan adanya kerja sama operasi dan/atau manajemen yang dilakukan Garuda Group (PT Garuda
Indonesia (Persero), Tbk dan PT Citilink Indonesia) dengan PT Sriwijaya
Air dan PT NAM Air dimana dalam implementasinya selain adanya kerja sama operasional dan pemasaran, juga terdapat rangkap jabatan.
3. Unsur Pelaku Usaha Pesaing
Para Terlapor merupakan pelaku usaha yaitu badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang melayani penumpang (khususnya kelas ekonomi) di dalam wilayah Indonesia serta merupakan pesaing bagi
Terlapor yang lain khususnya apabila dilihat dari sisi konsumen pada pasar bersangkutan. Sehingga Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999, unsur
Pelaku Usaha Pesaing terpenuhi.
4. Unsur Menetapkan Harga
Berdasarkan Peraturan KPPU Nomor: 4 Tahun 2011 Tentang Pedoman
Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penetapan harga yang dimaksud dalam ketentuan tersebut tidak hanya penetapan harga akhir, melainkan juga perjanjian atas struktur atau skema harga. Penetapan harga yang dilakukan oleh para terlapor diduga
Universitas Sumatera Utara 112
dilakukan pada periode bulan November 2018 hingga bulan Mei 2019 atau setidak-tidaknya dilakukan sejak bulan November 2018 yang antara lain adalah dengan mengurangi frekuensi dan/atau merubah dan/atau menghilangkan rute-rute penerbangan tertentu, mengurangi dan/atau menutup akses penjualan subclass tiket dengan harga rendah atau murah, menaikan harga tiket. Atas dasar fakta, bukti dan analisis tersebut maka
Tim menyimpulkan bahwa perilaku para Terlapor tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian dan/atau kesepakatan untuk menetapkan harga sehingga ketentuan unsur Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.
5. Unsur Barang/Jasa
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 16 UU Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan: “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.” Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU Nomor 5
Tahun 1999 disebutkan: “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.” Bahwa produk yang ada merupakan layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi rute penerbangan dalam negeri sehingga memenuhi unsur produk berupa jasa.
Universitas Sumatera Utara 113
6. Unsur Konsumen/Pelanggan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5 Tahun 1999
disebutkan: “Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain.” Konsumen yang dimaksud adalah pemakai
dan/atau pengguna dan/atau pelanggan layanan jasa angkutan udara niaga
berjadwal penumpang kelas ekonomi rute penerbangan dalam negeri. Oleh
karena itu, unsur konsumen atau pelanggan sebagaimana dimaksud pada
ketentuan Pasal 1 angka 15 UU Nomor 5 Tahun 1999 terpenuhi.
7. Unsur Pasar Bersangkutan yang Sama
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 5 Tahun 1999
diatur definisi mengenai pasar bersangkutan yaitu: “pasar yang berkaitan
dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas
barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan
atau jasa tersebut.” Bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah
layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi
rute penerbangan dalam negeri dan pelanggaran yang dilakukan berada
pada pasar bersangkutan sebagaimana telah diuraikan sebelum pada butir 5
(Pasar Produk) dan butir 6 (Pasar Geografis) Bagian Pasar Bersangkutan
dan selanjutnya berkorelasi dengan perilaku. Atas dasar fakta, bukti dan
analisis tersebut maka unsur Pasar Persangkutan Yang Sama terpenuhi.
Berdasarkan pada unsur-unsur pelanggaran penetapan harga sebagaimana yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa semua unsur dinyatakan telah terpenuhi. Pembuktian dalam pemenuhan unsur-unsur
Universitas Sumatera Utara 114
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dilakukan dengan pendekatan
per se illegal dan merupakan syarat yang bersifat kumulatif. Pembenaran
subtantif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta atau asumsi dan
apabila satu saja unsur tidak terpenuhi maka tidak dapat dikatakan bahwa
suatu perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan
dalam Pasal 5 tersebut. Selain daripada pemenuhan unsur-unsur Pasal 5
(Penetapan Harga) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU juga telah
mempertimbangkan adanya bukti ekonomi dengan mendengarkan keterangan-
keterangan daripada saksi maupun ahli. Oleh karena itu, penulis sepakat
dengan putusan Majelis Komisi yang menyatakan bahwa, Pihak Terlapor I
sampai dengan Terlapor VII terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
kesepakatan terkait penetapan harga tiket Jasa Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi.
Penanganan perkara tentunya akan menghasilkan sanksi sebagai tindak
lanjut dari adanya pelanggaran yang terjadi. Sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU berwenang
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif bagi pelaku pelanggaran
ketentuan undang-undang ini. Namun apabila dilihat lebih lanjut, KPPU
seringkali menjatuhkan sanksi diluar daripada ketentuan yang telah diatur
dalam Pasal 47 misalkan saja pada beberapa kasus pelanggaran perjanjian
penetapan harga.
Berikut data kasus pelanggaran perjanjian penetapan harga
berdasarkan situs resmi KPPU dari tahun 2003 sampai tahun 2021:190
190 Database Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, diakses dari http://putusan.kppu.go.id/ pada tanggal 05 Januari 2021 pukul 14.00 WIB
Universitas Sumatera Utara 115
No Putusan Tentang Sanksi PN MA PK 1 02/KPPU -I/2003 Penetapan Tarif Uang Tambang 1. Menetapkan Pembatalan - - - Petikemas Jakarta Pontianak Perjanjian yang Jakarta dituangkan dalam bentuk 1. PT Perusahaan Pelayaran Kesepakatan Bersama Nusantara Panurjwan yaitu Tarif Uang 2. PT Pelayaran Tempuran Tambang Peti Kemas Emas, Tbk Jakarta Potianak Jakarta 3. PT Tanto Intim Line 4. PT Perusahaan Pelayaran Wahana Barumakhatulistiwa Terlapor I – Terlapor IV terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 2 03/KPPU -I/2003 Persaingan Bisnis Transportasi 1. Memerintahkan untuk - - - Udara, Laut dan Kereta Api membatalkan dan (Kargo Surabaya – Makasar mengumumkan 1. PT Pelayaran Meratus pembatalan kesepakatan 2. PT Tempuran Emas Tbk. tarif dan kuota kargo 3. PT (Persero) Djakarta Surabaya menuju Lloyd Makasar 4. PT Jayakusuma Perdana 2. Terlapor I sampai Lines Terlapor VII masing - 5. PT Samudera Indonesia masing membayar denda Tbk. sebesar 6. PT Tanto Intim Line Rp.1.000.000.000,00 7. PT Lumintu Sinar Perkasa Terlapor I – Terlapor VII terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 1999 3 05/KPPU -I/2003 Penyesuaian Tarif Bus 1. Menetapkan pembatalan - - - Pengusaha Angkutan Jalan Raya kesepakatan penyesuaian kota Patas AC tarif bus kota Patas AC 1. PT Steady Safe, Tbk 2. PT Mayasari Bakti 3. Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta (Perum PPD) 4. PT Bianglala Metropolitan 5. PT Pahala Kencana 6. PT AJA Putra Terlapor I– Terlapor VI terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 4 08/KPPU -I/2005 Penyediaan Jasa Survey Gula 1. Memerintahkan untuk Mem Men - Impor oleh PT. Sucofindo dan membatalkan kerjasama batal guatk PT. Surveyor Indonesia antara Terlapor I dan kan an 1. PT Surveyor Indonesia Terlapor II mengenai Putus Putus (Persero) Pelaksanaan Verifikasi an an 2. PT Superintendi ng Teknis Impor Gula KPP PN Company Of Indonesia 2. Terlapor I dan Terlapor II U (Persero) masing-masing Terlapor I dan Terlapor II membayar denda sebesar terbukti secara sah melanggar Rp 1.500.000.000,00 Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 5 10/KPPU -L/2005 Kartel Perdagangan Garam ke 1. Terlapor I, Terlapor II - - - Sumatera Utara dan Terlapor III masing- 1. PT Garam masing membayar denda 2. PT Budiono Madura sebesar
Universitas Sumatera Utara 116
Bangun Perkasa Rp 2.000.000.000,00 3. PT Garindo Sejahtera Abadi 4. PT Graha Reksa Manunggal 5. PT Sumatera Palm Raya 6. UD Jangkar Waja 7. UD Sumber Samudera Terlapor I – Terlapor III terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 6 16/KPPU -L/2006 Tender pekerjaan SKTM (Kabel 1. Terlapor XXII Terlapor Men - - Tegangan Menengah) di PT. XXIX masing-masing guatk PLN Distribusi Jakarta Raya dan membayar denda sebesar an Tanggerang Memiliki 30 Rp 1.000.000.000,00 dan Putus Terlapor Terlapor XXII – Terlapor XXX membayar an Terlapor XXX terbukti secara denda sebesar KPP sah melanggar Pasal 5 Undang- Rp 1.500.000.000,00 U Undang No 5 Tahun 1999 7 26/KPPU-L/2007 Kartel SMS 1. Terlapor I dan Terlapor II Men Men - 1. PT Excelcomin do Pratama masing-masing olak guatk Tbk membayar denda sebesar Putus an 2. PT Telekomunikasi Selular Rp 25.000.000.000,00 an Putus 3. PT Indosat, Tbk Terlapor IV membayar KPP an 4. PT Telekomuni kasi denda sebesar U KPP Indonesia, Tbk Rp 18.000.000.000,00 U 5. PT Hutchison CP Terlapor VI membayar Telecommu nication denda sebesar 6. PT Bakrie Telecom, Tbk Rp 4000.000.000,00 7. PT Mobile - 8 Telecom, Terlapor VII membayar Tbk denda sebesar 8. PT Smart Telecom Rp 5.000.000.000,00 9. PT Natrindo Telepon Seluler Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VII dan Terlapor VIII terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 8 28/KPPU -L/2007 Jasa Pelayanan Taksi di kota 1. Memerintahkan kepada - - - Batam Memiliki 28 Terlapor terlapor untuk mencabut Terlapor XII - Terlapor XXII tarif taksi yang berlaku dan Terlapor XXVI -XXVIII dan memberlakukan tarif terbukti secara sah melanggar taksi sesuai dengan Pasal 5 Undang - Undang No 5 peraturan perundang - Tahun 1999 undangan yang berlaku 2. Menghukum Terlapor masing - masing membayar denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 9 32/KPPU -L/2008 Kesepakatan Tarif All -In 1. Memerintakan kepada - - - Ekspedisi Muatan Kapal Laut para Terlapor untuk (EMKL) di Pelabuhan Sorong. membatalkan 1. PT Sabar Jaya Perkasa kesepakatan tarif all In 2. PT Pelangi Intim Antar EMKL dipelabuhan Nusa Sorong 3. PT Citra Irian Jaya 4. PT Rabani Tembalo 5. PT Bhina Tirta 6. PT Samudra Irian Permai 7. PT Pelni 8. PT Samudera Tirta Mega 9. PT Waihury Makmur
Universitas Sumatera Utara 117
10. PT Marisonta Iriana 11. PT Samudra Makmur Sentosa 12. PT Sumber Tirta Samudera 13. PT Sarana Nusa Persada Terlapor I – Terlapor XIII terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 10 10/KPPU -L/2009 Fee Tiket Asatin NTB 1. Memerintahkan kepada - - - 1. Asosiasi Agen Ticketing para Terlapor untuk 2. PT Alam Multi Nasional membatalkan 3. PT A&T Holidays kesepakatan besaran 4. PT Bidy Tour komisi dari agen kepada 5. PT Citra Mulia Antar Nusa sub agen 6. PT Gady Angkasa Nusa 7. PT Jasa Wisata 8. PT Lombok Karya Wisata 9. PT Luana Jaya 10. PT Biro Perjalanan Wisata Satriavi 11. PT Sindo Surya Cemerlang Asri 12. CV Global Enterpreneur Terlapor II - Terlapor XII terbukti secara sah melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 11 14/KPPU -L/2009 Jasa Pemeriksaan Kesehatan 1. Memerintahkan kepada - - - Calon Tenaga Kerja Indonesia Terlapor untuk ke Timur Tengah Memiliki 26 membatalkan Terlapor Terlapor II – Terlapor kesepakatan tarif XXVI terbukti secara sah pemeriksaan kesehatan melanggar Pasal 5 Undang- CTKI ke Timur Tengah Undang No 5 Tahun 1999 2. Memerintahkan kepada Terlapor untuk mengumumkan pembatalan kesepakatan tarif pada surat kabar Nasional 12 24/KPPU -I/2009 Dugaan Praktik Monopoli dan 1. Membayar denda Mem Men - Persaingan Usaha Tidak Sehat masing-masing: batal guatk yang berkaitan dengan Industri Terlapor I sebesar kan an Minyak Goreng Sawit di Rp 25.000.000.000,00 Putus Putus Indonesia. Memiliki 21 Terlapor Terlapor II sebesar an an Terlapor I, Terlapor II, Terlapor Rp. 20.000.000.000,00 KPP PN IV, Terlapor X, Terlapor XV, Terlapor IV sebesar U Terlapor XVI, Terlapor XVII, Rp.25.000.000.000,00 Terlapor XVIII dan Terlapor Terlapor X sebesar XXI terbukti secara sah Rp 20.000.000.000,00 melanggar Pasal 5 Undang- Terlapor XV sebesar Undang No 5 Tahun 1999 Rp. 25.000.000.000,00 Terlapor XVI sebesar Rp. 25.000.000.000,00 Terlapor XVII sebesar Rp. 25.000.000.000,00 Terlapor XVIII sebesar Rp 10.000.000.000,00 Terlapor XXI sebesar Rp 10.000.000.000,00 13 25/KPPU -I/2009 Penetapan Harga Fuel 1. Memerintahkan Mem Men - Surcharge dalam Industri Jasa pembatalan perjanjian batal guatk Penerbangan Domestik. penetapan fuel surcharge. kan an 1. PT Garuda Indonesia 2. Membayar denda masing Putus Putus
Universitas Sumatera Utara 118
2. PT Sriwijaya Air -masing: an an 3. PT Merpati Nusantara Terlapor I sebesar KPP PN Airlines Rp 25.000.000.000,00 U 4. PT Mandala Airlines Terlapor II sebesar 5. PT Riau Airlines Rp 9.000.000.000,00 6. PT Travel Express Aviation Terlapor III sebesar Services Rp 8.000.000.000,00 7. PT Lion Mentari Airlines Terlapor IV 8. PT Wings Abadi Airlines Rp 5.000.000.000,00 9. PT Metro Batavia Terlapor VI sebesar 10. PT Kartika Airlines Rp 1.000.000.000,00 11. PT Linus Airways Terlapor VII sebesar 12. PT Trigana Air Service Rp 17.000.000.000,00 13. PT Indonesia Air Asia Terlapor VIII sebesar Terlapor I, Terlapor II, Terlapor Rp 5.000.000.000,00 III, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor IX sebesar Terlapor VII, Terlapor VIII, Rp 9.000.000.000,00 Terlapor IX, Terlapor X Terlapor X sebesar Tebukti secara sah melanggar Rp 1.000.000.000,00 Pasal 5 Undang - Undang No 5 3. Membayar Ganti Rugi Tahun 1999 sebesar : Terlapor I sebesar Rp 162.000.000.000,00 Terlapor II sebesar Rp 60.000.000.000,00 Terlapor III sebesar Rp 53.000.000.000,00 Terlapor IV sebesar Rp 31.000.000.000,00 Terlapor VI sebesar Rp 1.900.000.000,00 Terlapor VII sebesar Rp 107.000.000.000,00 Terlapor VIII sebesar Rp 32.500.000.000,00 Terlapor IX sebesar Rp 56.000.000.000,00 Terlapor X sebesar Rp 1.600.000.000,00 14 29/KPPU-I/ 2009 Pelayanan Jasa Taksi di Kota - - - - Semarang, Kota Surakarta, Kota Tegal, dan Kota Purwokerto Jawa Tengah Terdapat 23 Terlapor Terlapor I sampai Terlapor XXIII Tidak Terbukti melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 15 01/KPPU -L/2010 Penetapan Harga dan Kartel - - - - dalam Industri Semen 1. PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk 2. PT Holcim Indonesia, Tbk 3. PT Semen Baturaja 4. PT Semen Gresik, Tbk 5. PT Semen Andalas Indonesia 6. PT Semen Tonasa 7. Semen Padang 8. PT Semen Bosawa Maros Terlapor I sampai Terlapor VIII Tidak Terbukti melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun 1999 16 17/KPPU -I/2010 Industri Farmasi kelas Terapi 1. Menyatakan perjanjian Mem Men Men
Universitas Sumatera Utara 119
Amlodipine Supply Agreement batal batal guatk guat 1. PT Pfizer Indonesia demi hukum kan an kan 2. PT Dexa Medica 2. Memerintahkan kepada Putus Putus Putu 3. Pfizer Inc Terlapor untuk an an san 4. Pfizer Overseas LLC menghentikan KPP PN PN 5. Pfizer Global Trading komunikasi yang berisi U 6. Prizer Corporation Panama informasi harga, jumlah Terlapor I, Terlapor II, Terlapor produksi dan rencana III, Terlapor IV, Terlapor V, produksi kepada pesaing Terlapor VI Terbukti melanggar 3. Membayar denda masing Pasal 5 Undang-Undang No 5 masing sebesar: Tahun 1999 Terlapor I Rp 25.000.000.000,00 Terlapor II Rp 20.000.000.000,00 Terlapor III Rp 25.000.000.000,00 Terlapor IV Rp 25.000.000.000,00 Terlapor V Rp 25.000.000.000,0 Terlapor VI Rp 25.000.000.000,00 17 06/KPPU -I/2013 Penentuan Tarif Angkutan 1. Membayar denda masing Mem Men Men Kontainer Ukuran 20 kaki, 40 masing sebesar: batal guatk olak kaki dan 2A20 kaki di rute dari Terlapor I kan an PK dan menuju Pelabuhan Belawan Rp 828.400,948,00 Putus Putus Pada 2011 dan 2012 Memiliki Terlapor II an an 15 Terlapor Rp 174.618.438,00 KPP KPP Terlapor I sampai Terlapor XIV Terlapor III U U Terbukti melanggar Pasal 5 Rp 463.024.531,00 Undang-Undang No 5 Tahun Terlapor IV 1999 Rp 247.120.284,00 Terlapor V Rp 72.759.127,00 Terlapor VI Rp 145.626.835,00 Terlapor VII Rp 108.720.126,00 Terlapor VIII Rp 293.253.670,00 Terlapor IX Rp 237.696.452,00 Terlapor X Rp 166.208.037,00 Terlapor XI Rp 24.165.695,00 Terlapor XII Rp 22.000.000,00 18 11/KPPU -L/2013 Jasa Pemasangan Instalasi 1. Memerintahkan untuk - - - Listrik di Wilayah Kabupaten membatalkan Nunukan Memiliki 15 Terlapor kesepakatan harga Terlapor I sampai Terlapor XV instalasi listrik Terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 19 08/KPPU -I/2014 Industri Otomotif terkait Kartel 1. Terlapor I sampai Men Men Men Ban Kendaraan bermotor roda Terlapor VI masing- guatk guatk olak empat masing membayar denda an an dilak 1. PT Bridgestone Tire sebesar Putus Putus ukan Indonesia Rp 25.000.000.000,00 an an PK 2. PT Sumi Rubber Indonesia KPP PN 3. PT Gajah Tunggal, Tbk U 4. PT Goodyear Indonesia,
Universitas Sumatera Utara 120
Tbk 5. PT Elang Perdana Trye Industry 6. PT Industri Karet Deli Terlapor I – Terlapor VI Tebukti melanggar Pasal 5 Undang- Undang No 5 Tahun 1999 20 14/KPPU -I/2014 Penjualan Liquefied Petroleum 1. Membayar denda masing Men - - Gas (LPG) di wilayah Bandung -masing: olak dan Sumedang Memiliki 17 Terlapor I sebesar Putus Terlapor Rp 10.904.174.600,00 an Terlapor 1 sampai Terlapor Terlapor II sebesar KPP XVII Tebukti melanggar Pasal 5 Rp 256.502.400,00 U Undang - Undang No 5 Tahun Terlapor III sebesar 1999 Rp 1.987.143.400,00 Terlapor IV sebesar Rp 888.696.600,00 Terlapor V sebesar Rp 94.398.800.00 Terlapor VI sebesar Rp 1.790.247.800,00 Terlapor VII sebesar Rp 23.338.400,00 Terlapor VIII sebesar Rp 34.639.000,00 Terlapor IX sebesar Rp 1.122.979.000,00 Terlapor X sebesar Rp 83.182.600,00 Terlapor XI sebesar Rp 135.141.000,00 Terlapor XII sebesar Rp 125.450.600,00 Terlapor XIII sebesar Rp 522.007.200,00 Terlapor XIV sebesar Rp 1.100.184.800,00 Terlapor XV sebesar Rp 45.016.200,00 Terlapor XVI sebesar Rp 874.365.800,00 Terlapor XVII sebesar Rp 159.464.000,00 21 04/KPPU -I/2016 Industri Sepeda Motor Jenis 1. Membayar Denda Men Men - Skuter Matik 110-125 CC di masing-masing; guatk guatk Indonesia Terlapor I sebesar an an 1. PT Yamaha Indonesia Rp 25.000.000.000,00 Putus putus 2. PT Astra Honda Motor dan Terlapor II sebesar an an Terlapor I dan Terlapor II Rp 22.500.000 .000,00 KPP PN Tebukti melanggar Pasal 5 U Undang-Undang No 5 Tahun 1999 22 20/KPPU -I/2016 Penerapan Tarif Handling yang - - - - dilakukan oleh PT Artha Samudra Kontindo dan PT Sarana Gemilang pada Kawasan Tempat Penimbunan Pabean (TPP) KPP Bea Cukai Belawan 1. PT Artha Samudra Kontindo 2. PT Sarana Gemilang Terlapor I dan Terlapor II Tidak Tebukti melanggar Pasal 5 Undang - Undang No 5 Tahun
Universitas Sumatera Utara 121
1999 23 08/KPPU -L/2018 Dugaan Pelanggaran Pasal 5 1. Membayar denda masing - - - ayat (1) Undang -Undang -masing : Nomor 5 Tahun 1999 tentang Terlapor I sebesar Larangan Praktik Monopoli dan Rp 7.154.000.000,00 Persaingan Usaha Tidak Sehat Terlapor II sebesar dalam Industri Jasa Freight Rp 5.642.000.000,00 Container pada Rute Surabaya Terlapor III sebesar menuju Ambon oleh 4 Rp 6.580.000.000,00 Perusahaan Pelayaran Terlapor IV sebesar 1. PT Tanto Intim Line Rp 1.415.000.000,00 2. PT Pelayaran Tempuran Indonesia Lines Emas, Tbk Terlapor I sampai 3. PT Meratus Line Terlapor IV Tebukti 4. PT Salam Pasific melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 24 15/ Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan 1. Menyatakan bahwa Mem - - KPPU-I/2019 Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun Terlapor I, Terlapor II, batal 1999 terkait Jasa Angkutan Terlapor III, Terlapor IV, kan Udara Niaga Berjadwal Terlapor V, Terlapor VI, Putus Penumpang Kelas Ekonomi dan Terlapor VII terbukti an Dalam Negeri oleh 7 perusahaan secara sah dan KPP penerbangan meyakinkan melanggar U 1. PT Garuda Indonesia Pasal 5 Undang-Undang (Persero), Tbk (Terlapor I); Nomor 5 Tahun 1999; 2. PT Citilink Indonesia (Terlapor II); 3. PT Sriwijaya Air (Terlapor III) ; 4. PT Nam Air (Terlapor IV); 5. PT Batik Air Indonesia (Terlapor V); 6. PT Lion Mentari (Terlapor VI); dan 7. PT Wings Abadi (Terlapor VII). Tebukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 25 Updated191 Sampai saat ini, tidak terdapat - - - - Juni 2019-Februari kasus pelanggaran penetapan 2021 harga yang terdaftar pada KPPU.
Dari tabel diatas KPPU telah menerima 24 kasus pelanggaran
perjanjian penetapan harga (Pasal 5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dari
tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pelanggaran pasal 5 yang terjadi
mencakup hampir semua bidang usaha, mulai dari industri pengiriman barang
melalui kargo, industri garam, kartel, industri otomotif, tender, industri semen,
jasa pelayanan taksi, industri minyak goreng, jasa pemeriksaan kesehatan,
191 Database Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terhitung dari bulan Juni 2019 hingga Februari 2021, diakses dari http://putusan.kppu.go.id/
Universitas Sumatera Utara 122
penjualan LPG, pemasangan instalasi listrik, industri farmasi dan industri penerbangan domestik.
Berdasarkan pada beberapa kasus KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar perjanjian penetapan harga. Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No.
5 Tahun 1999 mengatur dengan jelas tindakan administratif yang dapat dilakukan oleh KPPU dari penetapan pembatalan perjanjian hingga pada pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Namun begitu, penerapan sanksi denda dirasa masih kurang mampu memberikan efek jera bagi pelaku usaha untuk tidak melakukan perjanjian penetapan harga yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Sehingga
KPPU dalam beberapa perkara yang ditanganinya, seringkali menjatuhkan putusan dengan sanksi di luar daripada ketentuan yang telah diatur dalam
Pasal 47. Seperti pada Putusan No. 15/KPPU-I/2019 dimana KPPU meminta para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada Komisi Pengawas
Persaingan Usaha sebelum mengambil setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat selama 2 (dua) tahun.
Perkara pelanggaran perjanjian yang harus diperiksa dengan pendekatan per se illegal ini tentunya membutuhkan pembuktian dengan standar menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pembuktian ini tidak jauh daripada adanya bukti tidak langsung yang didasarkan kepada Peraturan
Universitas Sumatera Utara 123
KPPU No. 1 Tahun 2019. Pada beberapa kasus yang terdapat dalam tabel diatas, upaya hukum berupa keberatan diajukan terhadap 11 kasus diantaranya. Penulis berpendapat bahwa putusan KPPU tidak semerta-merta menjadi suatu putusan yang absolut tetapi bukti tidak langsung yang menjadi bagian pembuktian perkara perjanjian penetapan harga, dapat juga diajukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri sehingga pelaku usaha dapat memperoleh suatu kepastian hukum. Upaya keberatan atau upaya banding yang diajukan dapat menghasilkan perubahan bagi putusan KPPU yaitu dalam bentuk pembatalan ataupun penguatan putusan KPPU yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat antara KPPU dengan Pengadilan Negeri.
Pada putusannya Majelis Komisi menyatakan bahwa 7 industri penerbangan secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Pasal 5
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang kemudian tertuang dalam Putusan
KPPU No. 15/KPPU-I/2019. Adapun Majelis Komisi memutuskan dalam amarnya, sebagai berikut;
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII tidak terbukti melanggar Pasal
11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
3. Memerintahkan kepada Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV,
Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII untuk memberitahukan secara
tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebelum mengambil
Universitas Sumatera Utara 124
setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta
persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan
masyarakat selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini memiliki kekuatan
hukum tetap.
Berdasarkan pada putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Komisi
tersebut, penulis sepakat bahwa Terlapor I sampai dengan Terlapor VII telah
melakukan pelanggaran perjanjian penetapan harga atau melanggar ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi, pada amar putusan
berikutnya yang mengharuskan pelaku usaha untuk memberitahukan secara
tertulis kebijakan-kebijakan pelaku usaha, penulis beranggapan bahwa dengan
segala kewenangan yang dimiliki oleh KPPU, kepastian hukum masih saja
terabaikan.
Ketentuan Pasal 47 dengan jelas telah mengatur kewenangan KPPU
yaitu menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terlepas dari
adanya perubahan yang diakibatkan adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang
mengubah substansi pada Pasal 47 pada poin pengenaan denda dengan hanya
mengatur denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tanpa
adanya batas denda tertinggi. Oleh karena itu, meminta pelaku usaha untuk
memberitahukan segala kebijakan yang diambil kepada KPPU bukan
merupakan tindakan administratif yang menjadi kewenangan KPPU192.
Penulis berpendapat bahwa dalam hal ini KPPU telah melampaui
kewenangannya dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha pelanggar.
192 Lihat Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Universitas Sumatera Utara 125
Tugas dan kewenangan KPPU sebagai lembaga administratif penegak hukum persaingan usaha yang telah diatur sedemikian rupa seakan-akan terabaikan sebab didalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPPU masih saja melakukan hal-hal diluar ketentuan Undang-Undang seperti yang tercermin dalam Putusan No. 15/KPPU-I/2019. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap KPPU serta citra KPPU sebagai lembaga pengawas di mata komunitas pengusaha dapat berkurang yang dapat mengakibatkan pengusaha ragu terhadap KPPU dalam menangani pertikaian di dunia usaha.
Namun begitu, pertimbangan-pertimbangan Majelis Komisi dalam memutus putusan tidak terlepas dari situasi pandemi COVID-19 yang sedang terjadi dalam masa penyelidikan hingga putusan. Meskipun dalam putusannya
Majelis Komisi seakan-akan menjatuhkan putusan yang tidak sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, perlu diketahui bahwa
KPPU memiliki kewenangan diskresi sesuai yang diatur dalam Pasal 43 jo. 47
Undang-Undang Antimonopoli. Putusan Komisi telah didasarkan pada pembuktian dengan bukti tidak langsung yang kemudian disimpulkan sebagai sah dan meyakinkan telah terjadinya perjanjian penetapan harga.
Bukti tidak langsung antara lain bukti ekonomi yang terdiri dari structural evidence (bukti struktural) dan conduct evidence (bukti perilaku) serta bukti komunikasi. Oleh karena itu, dalam pembuktian perkara ini Majelis
Komisi juga melihat pada bukti komunikasi dan bukti ekonomi yang muncul dan teridentifikasi selama proses pemeriksaan. Berdasarkan pada putusan No.
15/KPPU-I/2019, bukti tidak langsung merupakan bagian daripada bukti
Universitas Sumatera Utara 126
petunjuk maka dari itu meskipun terdapat banyak penemuan terkait bukti tersebut, bukti ini hanya dihitung sebagai satu alat bukti yaitu petunjuk.
Kementerian Perhubungan sebagai patron bagi maskapai penerbangan dalam menentukan kebijakan ikut mendatangkan pertimbangan bagi Majelis
Komisi dalam menjatuhkan putusan. Majelis Komisi yang menjatuhkan putusan bukan berupa denda disebabkan oleh adanya biaya produksi terkait
Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam
Negeri yang dipengaruhi oleh keadaan ekonomi pada masa itu. Biaya produksi tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor PM 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi
Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang
Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri dan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 20 Tahun
2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas
Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Dalam Negeri.
Biaya produksi terdiri dari biaya operasional langsung dan biaya operasional tidak langsung dengan struktur biaya produksi airline antara lain biaya avtur, biaya kebandarudaraan (ground handling), maintenance, biaya sewa pesawat, SDM, biaya asuransi, biaya navigasi, catering, allowances crew dan lain lain. Adanya biaya produksi sebagai penunjang keberlangsungan maskapai penerbangan menjadi pertimbangan dalam bentuk bukti ekonomi bagi Majelis Komisi. Maka dari itu dengan melihat situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung yang serta merta memberikan
Universitas Sumatera Utara 127
dampak bagi perekonomian negara, Majelis Komisi dengan kewenangan diskresinya tidak menjatuhkan sanksi denda bagi 7 (tujuh) maskapai penerbangan meskipun telah terbukti melakukan perjanjian yang dilarang
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Maka dari itu, terkhusus pada perkara putusan No. 15/KPPU-I/2019 mengenai Dugaan Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi
Dalam Negeri, diperlukan koordinasi yang baik dari Kementerian
Perhubungan dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan jasa angkutan udara niaga khususnya pada tarif batas atas dan tarif batas bawah sehingga pelaku usaha memperoleh kepastian dalam menentukan harga tiket yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Majelis Komisi menjatuhkan putusan yang tentunya mempertimbangkan kondisi pelaku usaha sehingga segala kegiatan di dunia usaha dapat berjalan tanpa terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
KPPU berada dalam posisi yang memiliki kewenangan yang sempurna namun tidak didukung dengan aturan yang kuat dalam menjalankan kewenangannya tersebut. KPPU selama ini menjalankan kewenangannya dengan berdasarkan pada Peraturan Komisi yang dikeluarkan oleh KPPU itu sendiri. Kewenangan yang dimiliki seharusnya didasari dengan aturan setara dengan undang-undang sehingga kepastian hukum dapat terjamin baik bagi KPPU sebagai lembaga yang berwenang dan bagi para pelaku usaha. Hal ini untuk menghindari timbulnya ketidakpercayaan terhadap KPPU serta pandangan bahwa KPPU
Universitas Sumatera Utara 128
menjatuhkan keputusan yang melampaui kewenangan yang sudah diatur oleh
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Berdasarkan pada keterangan diatas, penulis berpendapat bahwa KPPU telah menjalankan kewenangannya selama proses pemeriksaan perkara dengan berpedoman pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Berkaitan dengan pembuktian, KPPU juga telah berpedoman pada Peraturan KPPU No. 1 Tahun
2019 untuk bukti tidak langsung (indirect evidence) yang diatur dalam Pasal
57 angka (3) dan (4) yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Segala pertimbangan KPPU yang memang merupakan lembaga yang menangani perkara bidang persaingan usaha telah mempertimbangkan faktor ekonomi yang turut memberikan dampak bagi terjadinya perilaku ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam skripsi ini, maka Penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dunia usaha bergerak dikarenakan terdapat pelaku usaha yang bersaing
untuk mendapatkan keuntungan. Dalam dunia persaingan ini, pelaku usaha
tentunya menginginkan keuntungan sebesar-besarnya yang dapat diperoleh
dengan melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lain. Perjanjian
semacam ini dimata hukum persaingan merupakan perjanjian yang
dilarang. Salah satunya adalah perjanjian penetapan harga. Penetapan
harga merupakan salah satu perjanjian yang dilarang dalam Undang-
Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan harga baik yang terjadi secara
vertikal ataupun horizontal dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap
hukum persaingan karena perilaku kesepakatan harga akan secara
langsung menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara para
pelaku usaha pesaing. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur
mengenai perjanjian penetapan harga dalam Pasal 5 dimana pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaing namun terdapat
ketentuan yang mengecualikan apabila perjanjian yang terjadi dibuat
dalam suatu usaha patungan atau didasarkan pada undang-undang yang
berlaku. Ketentuan penetapan harga juga lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan
129
Universitas Sumatera Utara 130
Harga) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagai peraturan pelaksana
dan pedoman dalam memeriksa perkara perjanjian penetapan harga.
Penerapan hukum oleh Majelis Komisi dan Majelis Hakim terhadap
perkara dugaan pelanggaran perjanjian penetapan harga pada jasa
angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi dalam negeri
tersebut sudah sesuai dengan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, yaitu
dengan menyatakan bahwa Terlapor I hingga Terlapor VII adalah
bersalah. Putusan tersebut sudah sesuai dengan bukti-bukti yang
dielaborasikan dengan unsur-unsur sebagaimana tertuang pada Pasal 5
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dikaitkan pada fakta-fakta serta hasil
penemuan pada kasus tersebut.
2. Prinsip pembuktian pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
menganut berpedoman pada Pasal 183 KUHAP yang mengatur bahwa
kesalahan seseorang hanya dapat dibuktikan dengan didasarkan pada
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh keyakinan
bahwa suatu pelanggaran terjadi. Maka dari itu, untuk menyatakan bahwa
suatu pelaku usaha telah sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran
perjanjian penetapan harga, Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
jo Pasal 45 Peraturan Komisi No 1 Tahun 2019 telah mengatur alat bukti
pemeriksaan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen,
petunjuk dan keterangan pelaku usaha. Selain itu, Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) sebagai organisasi
pembangunan ekonomi juga telah mengeluarkan Policy Brief June 2007
yang menjelaskan lebih lanjut mengenai alat bukti yaitu bukti langsung
Universitas Sumatera Utara 131
dan bukti tidak langsung. Namun begitu, pembuktian terjadinya perilaku
atau strategi yang parallel bukan merupakan bukti yang cukup untuk
menyatakan adanya perjanjian penetapan harga sehingga masih
dibutuhkan analisis tambahan. Adanya pedoman sebagai acuan
memudahkan KPPU dalam menganalisis perkara-perkara yang sulit
dibuktikan akibat adanya kecenderungan bukti-bukti tidak langsung yang
memerlukan pedoman dalam pembuktiannya. Pedoman ini telah
dituangkan dalam bentuk Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
No. 1 Tahun 2019 pada Pasal 57 yang menjelaskan mengenai bukti tidak
langsung yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi.
3. Terdapat beberapa kajian hukum terdapat putusan KPPU No. 15/KPPU-
I/2019 mengenai dugaan pelanggaran perjanjian penetapan harga pada jasa
angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi dalam negeri
yang menyatakan bahwa PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk (Terlapor I),
PT Citilink Indonesia (Terlapor II), PT Sriwijaya Air (Terlapor III), PT
Nam Air (Terlapor IV), PT Batik Air Indonesia (Terlapor V), PT Lion
Mentari (Terlapor VI) dan PT Wings Abadi (Terlapor VII) terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Berdasarkan penelitian, tindakan KPPU
dalam melakukan pemeriksaan kasus sebagaimana dalam Putusan KPPU
No 15/KPPU-I/2019 telah tepat menggunakan pendekatan per se illegal
karena kesepakatan harga yang dilakukan para pelaku usaha jelas
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat tanpa perlu dibuktikan dampak dari adanya kesepakatan harga
Universitas Sumatera Utara 132
tersebut. Dalam perkara ini pemberian sanksi berupa denda seringkali tidak dapat memberikan efek jera namun begitu putusan KPPU yang meminta para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada
KPPU setiap kebijakan yang hendak diambil pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat selama 2 (dua) tahun dirasa melampai batas kewenangan yang dimiliki oleh KPPU itu sendiri. Hal ini dapat mencegah terjadinya tindakan yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat tetapi memiliki dampak buruk pada citra KPPU sebagai lembaga pengawas serta dapat menghilangkan kepercayaan para pelaku usaha
(pengusaha) dan masyarakat terhadap kinerja KPPU yang melakukan tindakan diluar yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1999. Akan tetapi bila diteliti kondisi yang terjadi telah memasuki pandemi Covid-19, maka pertimbangan yang telah diberikan oleh Majelis
Komisi merupakan pertimbangan ekonomi sehingga pada putusan No.
15/KPPU-I/2019 tidak dijatuhkan sanksi administratif berupa denda.
KPPU menjalankan kewenangan tetapi tidak didasari dengan peraturan yang kuat dan mengikat yang setara dengan undang-undang sehingga dalam putusan tersebut KPPU menggunakan kewenangan diskresi untuk menjatuhkan putusan yang tidak memberatkan pelaku usaha atau pihak terlapor.
Universitas Sumatera Utara 133
B. Saran
Dari pemaparan penulisan dan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang dapat disarankan Penulis, yaitu:
1. Perilaku pelaku usaha yang bersaing secara tidak sehat dengan pelaku
usaha pesaing dengan membuat perjanjian penetapan harga merupakan
tindakan yang berdampak negatif dikarenakan dapat menghilangkan
persaingan dan merugikan masyarakat sebagai konsumen. Dalam
membuat suatu perjanjian, sebaiknya pelaku usaha yang ingin membuat
perjanjian berpedoman pada unsur persaingan artinya tetap didasarkan
pada Undang-Undang No 5 Tahun 1999 beserta dengan Peraturan Komisi
yang mengatur sehingga pelaku usaha dapat bersama-sama menciptakan
persaingan usaha yang sehat dan tidak merugikan pelaku usaha lain serta
tidak memberi dampak buruk bagi stabilitas perekonomian di Indonesia.
Berkaitan dengan penetapan harga pada jasa angkutan, Kementerian
Perhubungan memiliki peran yang penting maka dari itu Kementerian
Perhubungan diharapkan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif
batas atas dan batas bawah yang dapat ditinjau setiap tahun sehingga
formulasi yang digunakan dapat melindungi masyarakat sebagai
konsumen dan pelaku usaha dalam industri dan efisiensi nasional dimana
batas bawah adalah diatas sedikit dari marginal cost pelaku usaha dan
batas atas adalah batas keuntungan yang wajar dan dalam batas
keterjangkauan kemampuan membayar konsumen.
2. Pembuktian yang dilakukan oleh KPPU harus dilakukan dengan
berdasarkan pada undang-undang dan peraturan lain yang mendukung.
Universitas Sumatera Utara 134
KPPU harus mengikuti perkembangan penanganan perkara penetapan
harga yang dinamis sehingga Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 5 (Penetapan harga) yang sudah memiliki umur kurang
lebih 9 tahun dapat diperbaharui dan disempurnakan kembali.
Terkhususnya, dalam pembuktian bukti tidak langsung, KPPU
berpedoman pada Policy Brief 2007 yang dikeluarkan oleh OECD serta
Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019. Melihat kondisi perekonomian yang
bergerak dinamis terutama setelah adanya pandemi Covid-19, pemerintah
bersama dengan KPPU harus melakukan penyempurnaan dalam
pengaturan mengenai penggunaan pembuktian indirect evidence terhadap
perjanjian penetapan harga sebab Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak
mengatur mengenai pembuktian perjanjian serta peraturan komisi yang
dijadikan sebagai pedoman masih mengatur mengenai bukti tidak
langsung sebagai bagian dari alat bukti petunjuk. Pembaharuan dan
penyempurnaan harus dilakukan agar Indonesia memiliki produk hukum
terkhusus pada bukti tidak langsung sehingga dapat menimbulkan adanya
kepastian hukum bagi pelaku usaha dan masyarakat.
3. Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan lembaga yang
diamanatkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun untuk mengawasi pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Maka dari itu, sebagai
lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, KPPU haruslah
bergerak dalam koridor hukum yang telah diatur. KPPU sebaiknya tidak
menjatuhkan sanksi di luar daripada kewenangannya agar tidak
Universitas Sumatera Utara 135
menimbulkan pernyataan bahwa KPPU melampaui batas kewenangannya.
Oleh karena itu, terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran perjanjian penetapan harga KPPU haruslah menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 agar pelaku usaha tidak mengulangi pelanggaran yang sama dan mengandung efek jera yang cukup kepada pelaku usaha. Namun, dunia persaingan usaha yang bersifat dinamis mengharuskan KPPU untuk mengikuti perkembangan perekonomian negara. Oleh karena itu, pemerintah haruslah membentuk produk hukum berupa undang-undang yang dapat mewadahi KPPU dalam menjalankan kewenangannya sebagai lembaga pengawas persaingan usaha sehingga kepastian hukum dapat terjamin bagi pelaku usaha demi menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Hansen, Knud dkk. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Jakarta: GTZ & Katalis. 2002.
Hermansyah. Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2008.
Juwana, Hikmahanto dkk. Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara
Persaingan Usaha. Jakarta: Partnership for Business Competition
(PBC). 2003.
Lubis, Andi Fahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.
Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2009.
Lubis, Andi Fahmi dkk. Hukum Persaingan Usaha Buku Teks Edisi Kedua.
Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 2017.
Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Margono, Suyud. Hukum Antimonopoli. Jakarta : Sinar Grafika. 2013.
Meyliana, Devi Meyliana. Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian
Terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha.
Malang: Setara Press. 2013. Nugroho, Susanti Adi. Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2012.
Nugroho, Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori &
Praktik serta Penerapan Hukumnya. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group. 2012.
Roestamy, Martin & Aal Lukmanul Hakim. Bahan Kuliah Hukum Perikatan.
Fakultas Hukum : Universitas Djuanda Bogor
136
Universitas Sumatera Utara 137
Salim & Nurbani, E.S. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi &
Tesis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2016.
Sirait, Ningrum Natasya. Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan:
Pustaka Bangsa Press. 2003.
Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan di Indonesia UU No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Medan: Pustaka Bangsa Press. 2004.
Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 2014.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta
CV. 2017.
Usman, Rachmadi. Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2004.
Usman, Rahmadi Usman. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Banjarmasin:
Sinar Grafika. 2013.
Usman, Rachmadi. Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2013.
Wibowo, Destivano & Harjon Sinaga. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2005.
Yani, Ahmad dan Gunawan Wijaya. Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 1999.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. Anti Monopoli. Jakarta: Raja Grafindo.
2006.
Universitas Sumatera Utara 138
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan
Keberatan terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No 5 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47.
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
C. JURNAL/ARTIKEL/INTERNET
Febrina, Rezmia. “Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) yang
dilakukan Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha”.
Jurnal Selat. Vol 4 No 2, Mei 2017
Universitas Sumatera Utara 139
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Draft Pedoman Kartel.
https://www.kppu.go.id/ diakses pada 24 Oktober 2020
Lubis, Andi Fahmi. Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel. Jurnal Hukum
Bisnis (Volume 32 No 5). 2013.
OECD. Toolkit Penilaian Persaingan Usaha Jilid I: Prinsip –Prinsip
OECD. 2007. Policy brief prosecuting cartels without direct evidence of
agreement. diakses dari http://www.oecd.org/
Safitri, Nurul dan Wibowo Kuntjoroadi. Analisis Strategi Bersaing dalam Persaingan
Usaha Penerbangan Komersial. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi
(FISIP UI). Volume 16 Nomor 1. 2009.
Shidarta. Catatan Seputar Hukum Persaingan Usaha. https://business-
law.binus.ac.id/ diakses pada 10 Oktober 2020
Silalahi, Udin. Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Hukum
Bisnis 32(5). 2013.
Wisny. 2015. Penerapan Sanksi Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) Terhadap Pelaku Usaha yang Melakukan
Persekongkolan dalam Tender. Pakuan Law Review (Volume 1
Nomor 2)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara