, , : DAN POLITIK IDENTITAS KEBUDAYAAN JAWA

Oleh: Subair1

ABSTRACT

Javanese culture and Islam are the two entities that are difficult to be separated. Both meet and create co-existence singkretik so that discussion of can hardly be separated from Islam, including in the political field. The works on Islamic continue to emerge, especially in the sociological-anthropological perspective. Since Geertz conduct a study on The Religion of Java, the study continues, either agree with him or who reject it. This paper intentionally taking the starting point of Geertz’s Studieswith concept of trikhotomi. Regardless of excess or weakness Geertz's conception, but it should be underlined that Geertz conception about the Islamic Java much a source of inspiration for the study of Javanese culture and even . Even in its development, the conception was brought into the political arena into identity politics. Identity politics is political action to promote the interests of the members of a group have a similar identity or characteristics, whether based on race, ethnicity, gender, or religion. Identity politics is another formulation of political differences. The emergence of identity politics is a response to the implementation of human rights are often applied unfairly.

Keywords: Santri, Abangan, Priyayi, Agama Jawa, Islam Jawa, Politik Identitas

ABSTRAK

Kebudayaan Jawa dan Agama Islam adalah dua entitas yang sukar untuk dipisahkan. Keduanya bertemu dan menciptakan ko-eksistensi yang singkretik sehingga pembahasan tentang kebudayaan Jawa hampir tidak dapat dipisahkan dari Islam, termasuk dalam bidang politik. Karya-karya tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis. Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang disebabkan oleh konsep trikhotominya. Terlepas dari kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk kajian kebudayaan Jawa dan bahkan Indonesia. Bahkan pada perkembangannya, konsepsi itu dibawa ke arena politik menjadi politik identitas.Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Kemunculan politik identitas merupakan respon terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang seringkali diterapkan secara tidak adil.

Kata Kunci: Santri, Abangan, Priyayi, Agama Jawa, Islam Jawa, Politik Identitas

1 Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon 34 | DIALEKTIKA, Vol. 9, No. 2, Januari Desember 2015, hlm. 34-46 A. PENDAHULUAN saling bersaingan untuk memperoleh

Dinamika perkembangan politik di perlindungan pribadi dari pemegang 2 Indonesia bila dipandang dalam perspektif kekuasaan. Hal itu mempunyai kaitan erat sejarah, merupakan suatu mata-rantai proses dengan munculnya patrimonial, yaitu adanya yang berkesinambungan, dan ada hubung- ikatan pada sistem kesetiaan hubungan pribadi kaitnya. Oleh karena itu, dalam melihat situasi yang hirarchis dan otoriter. terbentuknya suatu birokrasi dalam kurun waktu R.W. Liddle berpendapat, bahwa karakter tertentu, tidaklah dapat dipisahkan dengan akar Jawa mempengaruhi politik Indonesia pada era budaya politik yang mendahuluinya. Hukum Orde baru, rezim yang berkuasa sekarang ini sejarah menjelaskan, bahwa masa kini adalah bersandar pada jaringan-jaringan pribadi antara produk dari masa lampau. Namun, dalam patronklien serta penyokongnya.3Oleh karena itu perkembangan selanjutnya terdapat pengaruh birokrasi yang berjalan merupakan bentuk zaman dalam proses sejarah, munculnya bentuk patrimonial, seperti halnya pada kerajaan Jawa, birokrasi baru. Bentuk birokrasi baru meskipun raja memberikan appanage kepada para berbeda dengan birokrasi masa lampau, namun pendukungnya, para klient dan keluarganya. masih sering tampak sisa-sisa lama tercermin Disamping sistem patrimonial, dalam dalam birokrasi baru. masyarakat Jawa juga terdapat pembagian Akar budaya politik di Indonesia kultural antara abangan dan santri. Antara dipengaruhi oleh ideologi dan struktur abangan dan santri sering terjadi persaingan perpolitikan penguasa, termasuk di dalamnya kekuatan dalam kekuasaan. Pada mulanya kaum kerajaan-kerajaan, penguasa kolonial, dan santri mempunyai kekuasaan tertinggi diatas penguasa pendudukan Jepang di Indonesia. kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Seperti Ketiganya memberikan andil sebagai akar kerajaan Giri, sebuah kerajaan yang dipimpin budaya politik, sehingga pada perkembangan oleh ulama, mempunyai wewenang untuk selanjutnya sering muncul dalam dinamika melantik dan memberi gelar raja-raja Jawa, perkembangan politik di Indonesia. sehingga disebut dengan Paus van Java.4 Namun setelah Mataram berdiri, tidak lagi mengakui Kerajaan-kerajaan di Indonesia pada umumnya memiliki sistem feodal yang sama. 2DonaldEmmerson, “Indonesia’s Elite; Khususnya di Jawa, antara pemegang kekuasaan Political Culture and Cultural Politics”’ makalah dalam seminar Departemen Politik, dan gejala kekuasaan dipandang sebagai suatu Monash University. Dimuat dalam Majalah kesatuan yang nyata. Oleh karena itu kegiatan Indonesia, no. 31, April 1981, h. 5. 3 R.W. Liddle, Cultural and Class politik dianggap berpusat pada si pemegang Politics in Indonesia(Singapore: kekuasaan, dan struktur politik menggantung Institue of Southeat Asian Studies, 1977). 4 Lihat CliffordGeertz, The Religion of dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang Java(New York:The Free Press, 1969).

Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa | 35 kekuasaan Giri, bahkan raja Mataram langsung B. POLITIK IDENTITAS SEBAGAI bergelar sebagai “Sayidin panatagama KONSTRUKSI SOSIAL kalifatullah ing Tana Jawa”, yaitu raja Politik identitas adalah tindakan politis merangkap penata agama dan wakil Tuhan di untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan Jawa. Para santri/ulama hanya diangkat sebagai dari anggota-anggota suatu kelompok karena aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, demikian itu sering menimbulkan konflik baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, atau kultural antara raja dan perangkat birokratnya keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan dengan santri yang ingin mengembalikan lain dari politik perbedaan. Kemunculan politik kekuatannya. Dalam hal ini raja identitas merupakan respon terhadap (birokrasi/priyayi) didukung oleh kaum abangan pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang dalam menentang kaum santri. seringkali diterapkan secara tidak adil. Jawa dan Islam adalah dua entitas yang Secara konkret, kehadiran politik identitas sukar untuk dipisahkan. Keduanya bertemu dan sengaja dijalankan kelompok- kelompok menciptakan ko-eksistensi yang singkretik masyarakat yang mengalami marginalisasi. Hak- sehingga pembahasan tentang kebudayaan Jawa hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan hampir tidak dapat dipisahkan dari Islam, mereka selama ini mendapatkan hambatan yang termasuk dalam bidang politik. Karya-karya sangat signifikan. tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama Menurut Young, politik identitas identitas dalam perspektif sosiologis-antropologis. berkaitan secara erat dengan gagasan atau ide Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The tentangterjadinya penindasan terhadap kelompok Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, -kelompok sosial berkaitan dengan identitas baik yang bersetuju dengannya ataukah yang mereka(baik berdasarkan ras, etnis, gender, menolaknya. Tulisan ini secara sengaja seksualitas, kelas, dll). Artinya, identitas mengambil titik tolak kajian Geertz yang seseorang sebagaiseorang wanita atau sebagai disebabkan oleh konsep trikhotominya. Terlepas seorang penduduk asli Amerika misalnya, dari kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, membuatnya rentanterhadap imperialisme namun perlu digarisbawahi bahwa konsepsi kultural (termasuk te rjadinya stereotipe atau Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi penyalahgunaan identitaskelompok), kekerasan, sumber inspirasi untuk kajian kebudayaan Jawa eksploitasi, serta marjinalisasi atau dan bahkan Indonesia. Bahkan pada ketidakberdayaaan.5 Gerakan-gerakan yang perkembangannya, konsepsi itu dibawa ke arena dipandang sebagai politik identitas, memandang politik menjadi politik identitas.

5http://plato.stanford.edu/entries/identity -politics, diakses 25 Maret 2015. 36 | DIALEKTIKA, Vol. 9, No. 2, Januari Desember 2015, hlm. 34-46 telah terjadi penindasan danberusaha penciptaan identitas yang dilakukan secara sadar merekomendasikan dilakukannya klaim ulang, dan melaui berbagai cara, bukandipandang deskripsi ulang, atau transformasi ulangterhadap sebagai sesuatu yang secara alami dianugerahkan catatan-catatan keanggotaan kelompok yang oleh Tuhan maupun sesuatu yangsifatnya sebelumnya distigmatisasikan. Stuart anatomis. Hallmenjelaskan identity politics sebagai the Jika pandangan Stuart Hall dikaitkan politics of location artinya politikmenempatkan dengan pandangan Madan Sarup, maka individu-individu pada lokasi-lokasi (realitas politikidentitas dapat dipahami sebagai produksi sosial) tertentu yang telah dengansengaja identitas -identitas melalui penciptaan tempat- dikonstruksi.6 Politik identitas selalu tempatatau posisi-posisi subyek dalam berhubungan dengan the definition of lingkungan sosial beserta tindakan-tindakan yang self/subjectdalam konstruksi tersebut. Dengan seharusnyadilakukan subyek sesuai dengan kata lain, politik identitas merupakan tempat dan posisinya tersebut. pemahaman bahwaidentitas-identitas individu Perbedaan kultur dan budaya dalam didasarkan pada tempat atau posisi dimana masyarakat kadang memunculkan sikap individu tersebutdiletakkan (place-based primodial dalam masyarakat, bahkan pula sikap identity). tersebut bisa menimbulkan konflik antar Sedangkan menurut Madan Sarup, politik masyarakat, hal ini diakibatkan karena adanya identitas atau identity politics merupakan perebutan sumberdaya dan kepentingan politik. “Aspolitics is about the production of identities— Ini dikarenakan sangat berkaitan dengan nilai- politic produces the subject of its action”.7 nilai budaya dalam masyarakat itu sendiri. Artinya politik identitas merupakan politik Geertz mengatakan bahwa nilai-nilai budaya tentang produksi identitas -identitas,penciptaan- memainkan peranan penting dalam konflik penciptaan subyek beserta tindakan dan nilai politik karena warga masyarakat akan kembali yang dipandang baik dan seharusnyadijalani ke nilai-nilai budaya dan kelompok primodial subyek tersebut sebagai sebuah kehidupan yang masing-masing bila terlibat konflik dengan pihak tidak bisa dipertanyakan. Dalamperspektif social lain karena merasa tidak puas dengan construction of reality, politik identitas 8 perkembangan politik. dipandang sebagai konstruksi sosial,usaha Dalam perjuangan politik, penggunaan

6StuartHall, “Introduction: Who Needs identitas memang membawa hasil yang ‘Identity’?”, dalam Stuart Hall dan Paul Du menjanjikan. Gejala ini terlihat pada gerakan Gay, (eds).1996. Question of Cultural Identity(London: Sage Publication, 1996), h. perempuan yang mendasarkan pada teori-teori 1.

7MadanSarup,Identity, Culture and The 8 , Politik Kebudayaan, Postmodern World(Athens: The University of (: Kanisius, 1994). Georgia Press, 1996), h. 48.

Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa | 37 feminisme. Ruang-ruang politik kaum Pengawetan identitas dalam langkah-langkah perempuan yang semula dibatasi pada domain politis mungkin saja mampu memberikan domestik (rumah tangga) mampu terkuak. rangsangan untuk mendulang dukungan massa Dengan menggunakan slogan the personal is dalam waktu sekejap. Namun, persoalan yang political (yang pribadi pada dasarnya juga lebih mendesak untuk dimanifestasikan dalam politis), kaum perempuan mampu merebut demokrasi adalah bagaimana menciptakan ruang-ruang publik untuk mempengaruhi inklusivitas ketimbang eksklusivitas. Pada kebijakan politis. Namun, dalam perjalanan inklusivitas itu bukan berarti segala perbedaan berikutnya, politik identitas justru dibajak dan yang muncul dari identitas primordial dipaksa direngkuh kelompok mayoritas untuk melebur menjadi serba seragam. Perbedaan itu memapankan dominasi kekuasaan. Melalui pola- tetap akan ada dan memang harus dibiarkan pola penggunaan identifikasi kita-lawan-mereka, berkembang, hanya saja diikat oleh komitmen mayoritas meneguhkan kembali superioritasnya. untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan

Penggunaan politik identitas untuk meraih bersama (common interests). Itulah kondisi yang kekuasaan, yang justru semakin mengeraskan dinamakan sebagai kewargaan (citizenship) perbedaan dan mendorong pertikaian itu, bukan dalam tatanan demokrasi. berarti tidak menuai kritik tajam. Politik identitas C. TRIKOTOMI GEERTZ TENTANG seakan-akan meneguhkan adanya keutuhan yang KEBUDAYAAN JAWA bersifat esensialistik tentang keberadaan Istilah santri, abangan, dan priyayi kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi merupakan kosakata yang dikenalkan secara luas primordialitas. Padahal, sebagaimana oleh Geertz lewat bukunya, The Religion of dikemukakan Stuart Hall, identitas merupakan Java. Buku itu ditulis Geertz saat masih menjadi sesuatu yang secara aktual terbentuk melalui mahasiswa S-3. Buku itu mengambil latar proses tidak sadar yang melampaui waktu, bukan belakang penelitianmasyarakat Pare, Kabupaten kondisi yang terberi begitu saja dalam kesadaran Kediri, Jawa Timur. Tapi, pada buku tersebut, semenjak lahir.9 Dalam identitas itu, terdapat Geertz menyamarkan nama Pare menjadi sesuatu yang bersifat “imajiner” atau Mojokuto. difantasikan mengenai keutuhannya. Identitas Apa sebenarnya pemikiran baru dari menyisakan ketidaklengkapan, selalu “dalam Geertz pada buku itu? Ia menyimpulkan bahwa proses”, “sedang dibentuk”. agama bagi manusia adalah urusan pribadi antara Identitas selalu dalam proses menjadi dan manusia dan Tuhan. Namun, di sisi lain, agama tidak akan pernah selesai secara tuntas. sangat dipengaruhi lingkungan sosial dan budaya sekitarnya. Simbol-simbol agama di masyarakat

9Stuart Hall, “Introduction: Who Needs muncul bukan karena urusan pribadi antara ‘Identity’…. 38 | DIALEKTIKA, Vol. 9, No. 2, Januari Desember 2015, hlm. 34-46 manusia dan Tuhannya, melainkan sengaja kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil- diciptakan manusia karena pengaruh lingkungan yang penuh dengan tradisi animisme upacara sosial dan budayanya. Sebab simbol bagi Geertz , kepercayaan terhadap makhluk halus, sebagai suatu kendaraan untuk menyampaikan tradisi pengobatan, sihir dan magi menunjuk suatu konsepsi tertentu. kepada seluruh tradisi keagamaan abangan.

Dalam laporannya, Geertz menyuguhkan Sementara pasar “terlepas dari penguasaan etnis fenomena Agama Jawa ke dalam tiga varian Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz- utama: abangan, santri, dan priyayi. Tentu bukan diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang Geertz yang menemukan istilah santri, abangan, besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi dan priyayi dalam The Religion of Java, karena historis dan sosial di agama Timur Tengah istilah-istilah itu sudah dipakai di kalangan yang berkembang melalui perdagangan dan kenyataan lebih terbatas. Namun, Geertz-lah yang pertama- yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah tama mensistematisasi istilah-istilah itu sebagai mereka memunculkan subvarian keagamaan perwakilan kelompok-kelompok kultural yang santri. Yang terakhir adalah subvarian priyayi. penting. Trikotomi Agama Jawa itulah yang Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme sampai sekarang terus disebut-sebut dalam lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia Sebagaimana halnya Keraton (simbol dan menjadikannya referensi induk atas upaya pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah menekankan pada kekuatan sopan santun yang tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan mengungkap fenomena Agama Jawa adalah potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kemampuan mendeskripsikan secara detail kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi ketiga varian tersebut dan menyusun ulang pemerintahannya. dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi 1. Varian Abangan yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut. Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan Pengamatan Geertz tentang Mojokuto merupakan pusat tradisi yang menjadi terkait profesi penduduk setempat, penggolongan perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana penduduk menurut pandangan masyarakat mereka berkumpul dalam satu meja Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga atau dikuduskan. Dalam tradisi slametan dikenal tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. adanya siklus slametan : (1) yang berkisar krisis Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola

Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa | 39 hari besar Islam namun mengikuti penanggalan wiwit, temanten, dukun petungan, dukun Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto biasa yang ingin dislameti. Semuanya secara umum mengakui adanya dukun, namun menunjukkan betapa slametan menempati setiap apakah mereka percaya kepada kemampuan proses kehidupan dunia abangan. Slametan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain berimplikasi pada tingkah laku social dan yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog). memunculkan keseimbangan emosional individu 2. Varian Santri karena telah dislameti.10 Mojokuto yang berdiri pada pertengahan Kepercayaan kepada roh dan makhlus akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal halus bagi abangan menempati kepercayaan dalam latar abangan yang umum. Sementara yang mendasari misalnya perlunya mereka mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan melakukan slametan . Mereka percaya adanya banyak petani muncul dari utara Jawa memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan memunculkan varian santri. Perbedaan yang bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas mencolok antara abangan dan santri adalah jika kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang abangan tidak acuh terhadap doktrin dan tak masuk akal. Semuanya melukiskan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih kemenangan kebudayaan atas alam, dan memiliki perhatian kepada doktrin dan 11 keunggulan manusia atas bukan manusia. 13 mengalahkan aspek Islam yang menipis. Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah sosial umat di sekeliling mereka. menjadi persawahan dan rumah, makhluk halus Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, yang utama; parpol Islam, sistem sekolah agama, dan Lautan Hindia. birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah Kalau kepercayaan mengenai roh dan masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik berbagai slametan merupakan dua sub katagori pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik daripada agama abangan, maka yang ketiga komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan yang berpusat pada peranan seorang dukun.12 keluarga penghulu/aristokrasi santri. Perbedaaan Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun sosial inilah yang menyebabkan timbulnya pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu

14 10Clifford Geertz, Abangan, Santri, dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri. Priyayi dalam Masyarakat Jawa(Jakarta: Pustaka Jaya.1989), h. 17. 11Ibid. h. 36. 13Ibid. h. 172. 12Ibid. h. 116. 14Ibid. h. 182. 40 | DIALEKTIKA, Vol. 9, No. 2, Januari Desember 2015, hlm. 34-46 Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara menyisakan beberapa orang SI yang asli dan konflik dalam Masyumi- antara kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan modernis tidak menjadi sekuler.17 organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit Untuk mempertahankan doktrin santri lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang mereka mengembangkan pola pendidikan yang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok sebagai organisasi sosial.15 (pola santri tradisional), langgar dan masjid Pembagian santri modern dan konservatif (komunitas santri lokal), kelompok tarekat oleh Geertz didasarkan pada lima perbedaan (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan diperkenalkan oleh gerakan modernis. lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, Pertemuan antara pola pondok dan sekolah pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam memunculkan varian pendidikan baru dan upaya sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada santri memasukkan pelajaran doktrin pada pengalaman religius lawan penekanan aspek sekolah negeri/sekuler. instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan Terkait ide negara Islam, santri konservatif madzhab lawan pembenaran purifikasi secara memahaminya sebagai teokrasi di mana para umum dan pragmatis.16 Sehingga pandangan kyailah yang berkuasa. Sementara modernis dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada berpandangan ada jaminan non muslim tidak abangan. Hubungan santri modernis dan menjadi kepala negara dan konstitusi yang konservatif lebih kepada penyikapan terhadap mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi al- dan Hadis dan menyerahkan dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. pemimpin agama kaum konservatif mencoba Geertz memandang DEPAG merupakan mengambil jalan tengah yang selaras dengan kompromi kedua santri terhadap keberadaan tradisi yang berlaku. negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas Pandangan keagamaan santri modernis vis kedua santri menguasai birokrasi di DEPAG. a vis konservatif mempolakan pengorganisasian Pola ibadat santri yang meliputi politik yang sama. Ada Masyumi- sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif- Mojokuto dalam beberapa masalah masih modernis dan NU yang konservatif. Jika NU terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan mengalami konflik antara generasi mudanya konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait

15Ibid. h. 199. 16Ibid. h. 271. 17Ibid. h. 227.

Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa | 41 shalat itulah yang secara tegas membedakan puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur antara santri dengan abangan dan priyayi. atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan 3. Varian Priyayi sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, Kebanyakan mereka berdiam di kota yang bertingkat dan formal. disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat Priyayi menganggap bahwa , mereka yang melihat ke dalam yang lebih , lakon, joged, tembang dan adalah menghargai prestasi mistik daripada perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya keterampilan politik, upaya Belanda merangkul dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu guru yang makan gaji. Priyayi mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota misalnya) mengundang ludrug untuk pesta selama hampir 16 abad, namun berkembang oleh pernikahan anaknya. campur tangan Belanda kepada kelompok Pandangan dunia priyayi terhadap aspek instrumen administrasi pemerintahan. religius disebut dengan mistik. Mistik yang

Priyayi memandang dunia ini dengan dimaksud adalah serangkaian aturan praktis konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada untuk memperkaya kehidupan batin orang yang murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, didasarkan pada analisa intelektual atau sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti alus. Lawan dari alus adalah kasar dan (menyatukan semua kekuatan individu dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, mengarahkannya langsung pada tujuan tunggal, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya 18 dengan abangan dalam hal alus dan kasar. ke arah satu tujuan yang sempit. Sementara titik kehidupan ‘keagamaan’priyayi Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam berpusat etiket, seni dan mistik. Yang bentuknya yang formal mengambil anggota dari menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa. pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari Ada empat prinsip pokok yang menjiwai kalangan priyayi. etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura- 18Ibid. h. 430. 42 | DIALEKTIKA, Vol. 9, No. 2, Januari Desember 2015, hlm. 34-46 Tentu ada banyak kritik terhadap kategori wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, Geertz ini. Misalnya, ia dianggap mencampurkan terdapat kekacauan dalam penggolongan istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) abangan, santri dan priyayi. dengan istilah santri dan abangan (kategori Tulisan yang bernada membela terhadap keagamaan). Orang menganggap Geertz kurang Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan memahami teks-teks normatif Islam sehingga Beatty. Tulisan ini mencoba untuk menyangka tradisi selamatan Jawa murni bersifat menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya lokal dan tidak berhubungan dengan pengaruh adalah Islam sinkretik atau paduan antara Islam, ajaran normatif Islam. Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Pada kenyataannya kategori itu kini sudah Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan pudar dan tidak relevan, apalagi jika ditarik bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan secara linier dengan afiliasi politik mereka. Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan Orang-orang yang berafiliasi ke ormas atau pemaduan dari berbagai unsur yang telah parpol yang selama ini dicap sebagai habitat menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali abangan tak kalah taatnya dengan santri. Mereka sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di shalat, berpuasa, membayar zakat, naik haji, luarnya saja, akan tetapi intinya adalah bahkan tidak jarang mendirikan lembaga sosial keyakinan-keyakinan lokal. Menurutnya inti ke- Islam-an. Klaim ini perlu direvisi karena agama Jawa ialah slametan yang di dalamnya yang disebut santri dan abangan lebih bersifat terlihat inti dari ritualtersebut adalah keyakinan- individual, bukan kategori sosial apalagi politik. keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Dikotomi ini juga membawa problem hierarki Hindu/Budha dan animisme. kesalehan dan otoritas keagamaan. Apalagi jika D. TRANSFORMASI TRIKOTOMI terminologi ini dijadikan amunisi politik.19 ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI KE Di antara yang menolak konsepsi Geertz DALAM POLITIK IDENTITAS adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang Terlepas dari kritik yang dilontarkan, karya mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz Geertz itu masih menjadi bacaan cukup penting dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang tentang asal muasal politik aliran. Trikotomi ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Jawa ke kategori ketaatan beragama. Abangan adalah dalam varian abangan, santri, priyayi menjadi lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan dasar pelembagaan organisasi politik berdasar beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian aliran. Sebelumnya, C. Poensen (1886) dan pula konsep priyayi juga berlawanan dengan Snouck Hurgronje (1899-1906), telah

memopulerkan istilah abangan dan putihan yang 19http://www2.kompas.com/kompas- cetak/0405/17/opini/1028660.htm.Diakses menjadi dasar sarjana Barat dalam melihat pada tanggal 29 Maret 2015.

Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa | 43 polarisasi masyarakat Jawa. Sebagai klasifikasi ideologis, meski pergeseran dari yang semula sosiologis dan antropologis semuanya tentu tidak abang-mbranang ke ijo royo-royo di akhir clear-cut. kekuasaannya amat jelas tergambar. Karena itu,

Pengalaman Pemilu 1955 menjelaskan partai ini, kini memiliki "kekenyalan" strategis polarisasi masyarakat Jawa ke dalam empat dan setidaknya memiliki beban ideologis secara partai besar: PKI ("abangan"), NU (santri historis. "tradisionalis), Masyumi (santri "modernis") dan Kedua, masyarakat Islam terbesar, PNI ("priyayi"). Di lima karesidenan di mana nahdliyin, memiliki modal kultural, seperti PKI amat besar-Kediri, Semarang, Yogyakarta, tahlilan yang amat mempengaruhi pengkaburan , Madiun-terjadi konflik horisontal ketegangan antara kaum santri dan abangan. yang dahsyat tahun 1965-1966. Institusi ini mampu menjadi jembatan antara

Pemilu pertama masa Orba tahun 1971, mereka yang "taat beragama" dan yang "tidak menjadi babak baru diskontinuitas sejarah politik taat" dalam pergaulan sosial sehari-hari. Dalam aliran. Dalam titik inilah sebenarnya baru bisa forum kultural itu kaum abangan secara tiba-tiba diperiksa kapan batas-batas kekaburan tercipta merasa dirinya di dalam (inside) komunitas dan apa saja yang mempengaruhinya. Aswab santri, tanpa harus kehilangan identitasnya awal Mahasin (1993) telah melakukan kajian proses sebagai abangan. pengkaburan (blurring) politik aliran. Dia E. PENUTUP mengajukan konsep "santrinisasi abangan" dan Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa "santrinisasi priyayi". Fakta kuatnya mobilitas menjadi tiga varian budaya yang dipengaruhi santrinisasi ke dalam politik kekuasaan juga oleh agama Islam dan Hindu-Budha. Sistem menunjukkan telah terjadi "priyayinisasi santri". “kasta” di Jawa merupakan hasil evolusi sistem Kuntowijoyo menyebut bahwa peran lembaga kasta yang dianut oleh orang Hindu. Sistem ini pendidikan agama yang diselenggarakan negara kemudian lebih dikenal dengan nama trikotomi memiliki andil besar dalam mengkaburkannya. masyarakat Jawa. Kelas yang berkedudukan Namun dua hal lain meski disebut, sesuatu paling tinggi adalah kelas priyayi. Para priyayi yang tidak kalah berpengaruh. Pertama, sebagian besar adalah keturunan raja-raja dan menciptakan lembaga politik yang amat canggih, prajurit zaman dahulu. Kelas yang berada di , yang menjadikan kian samarnya tengah adalah kelas santri, sedangkan kelas solidaritas ideologis. Memang dua partai lain paling bawah disebut kelas abangan. Ketiga masih dibangun atas dasar sentimen ideologis, kelas ini senantiasa berkonflik dalam sejarah partai-partai Islam ke PPP dan partai abangan perkembangan social budaya orang Jawa. dan non-Islam ke PDI. Golkar menjadi ruang Menurut Geertz, ada perbedaan ideologi yang baru yang ingin selalu keluar dari dikotomi menyebabkan terjadinya konflik dan ketegangan

44 | DIALEKTIKA, Vol. 9, No. 2, Januari Desember 2015, hlm. 34-46 antar-kelas tersebut. Ketegangan yang terjadi Slametan ” dalam The Journal of the Royal Anthropological institut 2, June 1996. pada umumnya melibatkan kelas santri dengan Benda, H.J. 1983. The Crescent and the Rising kelas priyayi dan abangan. Selain itu, yang Sun: Indonesian Islam under the Japanese terjadi di dalam dunia akademik adalah masih Occupation, 1942-1945. Leiden: KITLV. bertahannya beberapa kajian tentang Islam Berger, Arthur Asa, 1993. Media Analysis Techniques. London: Sage Publication. Indonesia yang masih menggunakan kerangka Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar konsep lama oleh karena kuatnya pengaruh Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. dikotomi klasik modern-tradisional Geertz. Emmerson, Donald. 1977. “Indonesia’s Elite; Kategori konsep budaya tertutup oleh Geertz Political Culture and Cultural Politics”’ makalah dalam seminar Departemen tersebut umumnya lebih cenderung memandang Politik, Monash University. Dimuat dalam Islam tradisional sebagai varian Islam yang Majalah Indonesia, no. 31, April 1981. kolot, tidak ideal karena dipenuhi unsur lokal. Geertz, Clifford. 1969. The Religion of Java. New York: The Free Press. Penggunaan konsep dikotomi modern-tradisional ------. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam model Geertz tersebut berimplikasi kepada Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya. munculnya justifikasi kebencian antara satu ------. 1994.Politik Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius kelompok dengan kelompok yang lain. Hall, Stuart. 1996. “Introduction: Who Needs Implikasinya pada tataran kehidupan sosial, ‘Identity’?”, dalam Stuart Hall dan Paul Du masyarakat menjadi secara tidak sadar Gay, (eds). 1996. Question of Cultural Identity, London: Sage Publication. mengidentifikasi diri dalam kategori-kategori Jackson, Karl D. 1978. “Bureaucratic Polity: A tersebut sehingga menjadi identitas yang friksis. Theoretical Framework for Analysis of Keadaan tersebut dimanfaatkan dan diperparah Power and Communication in Indonesia”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye oleh partai-partai politik untuk menggalang (eds.), 1978. In Political Power and dukungan ataupun melanggengkan dukungan Communication in Indonesia. Berkeley: University of California Press. politik yang sudah didapatkan. Kartodirdjo, Sartono dan A. Sudewo Suhardjo Akibatnya, trikotomi Geertz yang pada Hatmosuprobo. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Jogjakarta: Gadjah awalnya merupakan kategorisasi keberagamaan Mada University Press. orang Jawa bertransformasi menjadi kategorisasi Kleden, Ignaz. 1998. “Dari Etnografi ke politik identitas, yang tentu saja sangat rentan Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” dalam konflik sosial, baik vertikal maupun horizontal. Clifford Geertz, 1998. After the Fact. Yogyakarta: LKiS. DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Bachtiar, Harsya W. 1981. “Komentar” dalam Jakarta: Balai Pustaka. Clifford Geertz, 1981. Abangan, Santri, Kroeber, A.L. & Clyde Kluckhohn. Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: 1952.Culture: A critical Review of Balai Pustaka. Concepts and Definitions, Cambridge: The Beatty, Andrew. 1996. “Adam and Eve and Museum. Vishnu: Syncretism in The Javanese

Abangan, Santri, Priyayi: Islam dan Politik Identitas Kebudayaan Jawa | 45 Liddle, R.W. 1977. Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore: Institue of Southeat Asian Studies. Magnis-Suseno, Franz. 1985. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.. Rahardjo, Dawam. 1974. dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. Sarup, Madan. 1996. Identity, Culture and The Postmodern World. Athens: The University of GeorgiaPress.

46 | DIALEKTIKA, Vol. 9, No. 2, Januari Desember 2015, hlm. 34-46