Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

Bidang 6: Rekayasa sosial, pengembangan pedesaan, dan pemberdayaan masyarakat

KLASIFIKASI DAN EKSPRESI BAHASA SERTA BUDAYA MASYARAKAT BANYUMAS MENGENAI PENAMAAN MAKHLUK METAFISIKA

Erwita Nurdiyanto1, Gita Anggria Resticka1 1Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRAK

Bahasa merupakan komponen terpenting dalam komunikasi. Melalui bahasa dalam hal ini leksikon, manusia dapat mengidentifikasikan segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Leksikon sangat berguna untuk menandai segala sesuatu yang dikenal manusia baik yang konkret maupun yang abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mendeskripsikan leksikon-leksikon mengenai makhluk metafisika, serta mengungkap bagaimanakah gambaran masyarakat Banyumas mengenai konsep penamaan makhluk metafisika. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang menelaah hubungan bahasa dengan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat komunikasi dalam suatu kelompok masyarakat. Perkembangan budaya mempengaruhi perkembangan leksikon yang berhubungan dengan budaya tersebut. Dapat dikatakan bahwa perkembangan dalam suatu aspek kebudayaan tercermin pada leksikonnya. Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis komponensial untuk menemukan fitur-fitur semantik leksikon tersebut, selain itu digunakan pula metode etnosemantik untuk mengetahui pengaruh-pengaruh budaya terhadap adanya keragaman leksikon-leksikon tersebut. Satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas memiliki bentuk-bentuk yang cukup bervariasi. Bentuk-bentuk itu dapat diklasifikasikan atas dasar a) satuan lingualnya, b) sumber leksikonnya, c) pembidangannya. Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini yaitu secara teoretis, penelitian ini bermanfaat dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kebahasaan (linguistik) yang dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat Banyumas dalam ranah etnolinguistik atau linguistik antropologi.

Kata Kunci : Etnolinguistik, Etnosemantik, Leksikon, Metafisika, Banyumas

ABSTRACT

Language is the most important component of communication. Through language in this lexicon, man can identify everything in his environment. Lexicon is very useful for marking everything that man knows both concrete and abstract. This research aims to inventory and describe the lexicon of metaphysical beings, as well as to uncover how banyumas people describe the concept of naming metaphysical beings. This research uses an ethnolinguistic approach as one of the branches of linguistic science that studies the relationship of language with culture especially to observe how the language is used colloquially as a means of communication in a community. Cultural development affects the development of lexicon related to that culture. It can be said that developments in an aspect of culture are reflected in the lexicon. The data of this study was analyzed using componental analysis methods to find the semantic features of the lexicon, in addition to the ethnoemantic method of knowing the cultural influences on the diversity of the lexicon. The unit of expression in the naming of metaphysical beings in banyumas society has quite varied forms. The forms can be classified on the basis of a) the lingual

154

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

unit, b) the source of the lexicon, c) its fielding. The findings targeted in this study are theoretical, this research is useful in science, especially in the field of linguistics that is associated with banyumas culture in the realm of ethnolinguistic or linguistic anthropology..

Keywords : Ethnolinguistics, Ethnoemantics, Lexicon, Metaphysics, Banyumas

PENDAHULUAN Bahasa merupakan komponen terpenting dalam komunikasi. Melalui bahasa dalam hal ini leksikon, manusia dapat mengidentifikasikan segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Kridalaksana (2005) menyatakan bahwa leksikon adalah 1) komponen bahasa yang memuat semua formasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa, 2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau suatu bahasa, 3) daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjaelasan singkat dan praktis. Leksikon sangat berguna untuk menandai segala sesuatu yang dikenal manusia baik yang konkret maupun yang abstrak. Foley (2001) menjelaskan bahwa linguistik antropologi (anthropological linguistics) merupakan disiplin ilmu yang bersifat interpretatif yang lebih jauh mengupas bahasa untuk mengemukakan pemahaman budaya. Dapat dikatakan bahwa kajian bahasa dan budaya sebagai bidang utama dari antropologi atau cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan kebudayaan dalam suatu masyarakat (Duranti, 1997). Sehubungan dengan hal tersebut, perkembangan budaya mempengaruhi perkembangan kata atau istilah yang berhubungan dengan budaya tertentu. Budaya yaitu pikiran, akal budi. Dalam hal ini adat istiadat yang menyangkut pola pikir, pandangan dunia, pandangan hidup masyarakat Banyumas (Purwadarminta, 1982 dalam Abdulllah, 2014). Budaya pada hakikatnya adalah sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambang, selanjutnya untuk memahami perangkat lambang budaya tertentu orang harus melihat keseluruhan tempat sistem lambang itu. Bahasa, budaya dan folklore saling berkaitan. Budaya ada dalam pikiran manusia dan bentuk organisasi pikiran berupa fenomena material yaitu berupa ekspresi verbal dan nonverbal. Jalan yang paling mudah untuk memperoleh budaya adalah melalui bahasa, khususnya daftar kata yang ada dalam suatu bahasa (Abdullah, 2014). Dapat dikatakan bahwa proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa serta bagaimana kebudayaan yang terbentuk tersebut terus menerus mengalami perubahan baik disadari maupun tidak disadari oleh para pendukung kebudayaan itu sendiri sebagaimana tercermin dari bahasa yang mereka gunakan (Baehaqie, 2013). Sebuah kata muncul seiring dengan kebutuhan manusia untuk mengidentifikasikan hasil budaya yang ada. Sehubungan dengan hal tersebut, penamaan makhluk metafisika antara daerah yang satu dengan daerah yang lain mempunyai perbedaan. Akan tetapi, kita juga dapat menemukan beberapa kesamaan penamaan makhluk metafisika yang digunakan di daerah lain. Setiap masyarakat mempunyai cara tersendiri untuk mengimajinasikan makhluk metafisika yang pernah diketahuinya. Cerita mengenai makhluk metafisika berkembang melalui tradisi lisan. Setiap masyarakat memiliki kekayaan kosakata untuk merujuk pada hal-hal abstrak salah satunya yaitu kosakata dalam bidang metafisika khususnya mengenai makhluk halus atau hantu. Dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Banyumas mengenal berbagai bentuk kosakata yang merujuk pada makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit, , sundelbolong. Tidak semua orang dapat melihat wujud makhluk halus, bahkan orang yang mempercayai keberadaan makhluk metafisika, belum tentu pernah melihat wujud makhluk metafisika secara langsung (Blundel,2001). Kalaupun ada yang mengaku dapat melihat perwujudannya bisa jadi pengakuan antara pihak yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan dan tidak dapat

155

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

dibuktikan secara ilmiah (Sulaiman,2005). Akan tetapi, merujuk dari keterangan pihak-pihak yang mengaku dapat melihat makhluk metafisika, kemudian diperoleh gambaran umum yang diwujudkan melalui kosakata-kosakata baik yang menerangkan perwujudan makhluk halus maupun yang pada akhirnya digunakan untuk menamai jenis makhluk halus tersebut. Latar belakang penamaan bagaimana masyarakat Banyumas menggambarkan makhluk metafisika tersebut berhubungan dengan filosofi kehidupan yang mengatur nilai dan norma yang harus dianut tiap masyarakat. Oleh karena itu, penamaan makhluk metafisika khususnya yang berkembang di masyarakat Banyumas dapat dijadikan sebagai sumber penelitian untuk dapat mengetahui bagaimana latar belakang penamaan.

METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu data yang diteliti dan hasil analisisnya diperoleh dari sumber data sekunder, wawancara melalui teleconference dan pengamatan lainnya yang berupa ungkapan kebahasaan. Secara teoretis, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan etnolinguistik. Etnolinguistik merupakan cabang linguistik yang fokus telaahnya bahasa dalam hubungannya dengan kebudayaan yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor etnis atau budaya (Baehaqie, 2013). Data penelitian ini berupa seluruh satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas. Sumber data penelitian ini ialah tuturan tentang penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelusuran data sekunder / studi pustaka dan literature review yang ada di majalah, surat kabar, novel dan buku-buku lainnya. Kemudian, data sekunder tersebut diuji validitas datanya dengan bertanya kepada informan melalui wawancara dengan teleconference. Penelaahan data dilakukan dengan metode kualitatif ini yaitu bahwa kegiatan analisis atau telaah yang dilakukan berkaitan dengan pola-pola umum dan wujud perilaku data yang ada yang dipengaruhi dan hadir bersama dengan konteks-konteksnya. Teknik analisis data penelitian ini menggunakan metode padan dan metode agih (distribusional). Selanjutnya untuk memahami konteks ini digunakan metode padan. Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan identitas dan menganalisis data yang alat penentunya berada di luar bahasa, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa serta tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan atau diteliti (Moleong,2008). Tujuan analisis data dengan metode padan yaitu untuk menentukan identitas objek penelitian. Penelitian ini dianalisis dengan metode padan referensial yaitu metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Dalam penyajian hasil analisis data, pertama-tama dilakukan pendeskripsian bentuk-bentuk dan klasifikasi satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas dan selanjutnya disajikan hasil analisis data yang dikaitkan dengan latar belakang kultural kemunculan satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Wujud dan Variasi Satuan Ekpresi Penamaan Makhluk Metafisika dalam Masyarakat Banyumas Bahasa dapat dijadikan sebagai sarana untuk menguraikan hampir semua yang berkaitan dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa kepentingan hidup dapat dibahasakan atau diuraikan dengan kata-kata. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat terikat dengan bahasa.

156

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

Implikasinya, tidak ada masyarakat yang hidup tanpa bahasa. Dalam hal ini, bahasa memiliki fungsi interpersonal. Artinya, bahasa dapat dipakai untuk membangun dan memelihara hubungan sosial budaya, untuk pengungkapan peran sosial, termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Setiap kelompok masyarakat memiliki kekhasan dalam bahasa. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor linguistik dan nonlinguistik. Dalam hal ini faktor nonlinguistik adalah budaya. Bahasa dan budaya diibaratkan menjadi dua hal yang sama. Bahasa mengungkapkan budaya dan budaya mendorong perkembangan bahasa. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penamaan makhluk metafisika di wilayah-wilayah tertentu menggunakan satuan ekspresi yang khas juga. Satuan ekspresi adalah satuan yang ada di dalam bahasa yang dapat berupa kata dan frasa. Satuan ekspresi tidak memiliki hubungan alamiah dengan referennya. Referen adalah kenyataan luar bahasa yang bersifat eksternal dan tidak ada dalam bahasa. Hubungan antara satuan ekspresi dan referen cenderung arbitrer, meskipun kadang-kadang tidak demikian. Meskipun seringkali mencari-cari adanya hubungan antara kata dan frasa dan referen yang ditunjuknya, pada umumnya hubungan tidak ada. Hubungannya hanya bersandar pada kesepakatan para pemakainya. Satuan ekspresi tersebut dipandang lebih tepat untuk digunakan dalam istilah leksikon karena satua ekspresi dapat meliputi satuan lingual yang berupa kata atau frase sedangkan leksikon hanya mengacu pada kata / kelompok kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Kridalaksana bahwa lekikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa. Sebagai contoh pemakaian satuan ekspesi dalam masyarakat Banyumas berkaitan dengan penamaan makhluk metafisika seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit, pocong, sundelbolong dan lain-lain, sedangkan dari Eropa, Amerika lebih dikenal dengan , dracula, atau zombie. Berdasarkan satuan kebahasaannya, satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas pada umumnya berbentuk kata dan frasa. Satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas yang berbentuk kata sebagian besar berupa nomina. Satuan ekspresi yang berbentuk kata seperti misalnya thuyul, dhemit, pocong, memedi, iblis, setan, , , banaspati, danyang, genderuwo, jailangkung / jelangkung, jerangkong / jrangkong. Kemudian, satuan ekspresi yang berbentuk frasa seperti misalnya , / kolong wewe, , hantu pocong, hantu tanah, hantu sungai, hantu penjaga, suster ngesot, setan gundul, buto ijo. Sebagai contoh misalnya, memedi adalah makhluk gaib yang menakutkan bagi manusia. Memedi menurut masyarakat Banyumas dapat dibedakan menjadi setan gundul, genderuwo. Lelembut adalah makhluk gaib yang dapat menyusup ke dalam tubuh manusia baik melalui kaki maupun kepala, sering disebut dengan kesurupan. Tuyul adalah makhluk gaib yang diyakini berwujud anak kecil, telanjang dan rambutnya berkuncung. Tuyul dapat dimiliki dengan cara menjual roh sebagai tumbal kepada setan penguasanya. Bagi orang yang mempercayai, tuyul dapat digunakan untuk mendapatkan kekayaan. Di masyarakat Banyumas seringkali beredar berbagai tuduhan kepada orang-orang kaya bahwa mendapatkan kekayaan dengan cara memelihara tuyul. Dedemit adalah roh sakti yang menunggu tempat angker, tempat tersebut dikunjungi karena ingin meminta kekayaaan, jodoh atau keselamatan. 2. Latar Belakang Kultural Pemakaian Satuan Ekpresi dalam Penamaan Makhluk Metafisika dalam Masyarakat Banyumas Permasalahan mengenai kebahasaan tidak hanya terdapat pada masalah struktur internal kebahasaan saja, melainkan juga mempunyai hubungan erat dengan segala pengaruhnya dalam kehidupan manusia dan lingkungan alam sekitarnya atau lingkungan ekologisnya. Oleh karena itu,

157

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

berbagai aspek sosiokultural tidak dapat diabaikan karena hal tersebut berangkat dari aspek intralinguistik (di dalam bahasa). Selanjutnya, aspek ekstralinguistik / makrolinguistik (di luar bahasa) ini tidak dapat dilepaskan dari aspek intralinguistik. Sehubungan dengan hal tersebut, secara alami bahasa senantiasa berkaitan dengan pola pikir, pandangan hidup dan pandangan terhadap dunianya yang terangkum dalam sistem pengetahuan yang dimiliki masyarakat secara kolektif. Secara makrolinguistik, makna kultural dalam hal ini berusaha mempelajari bahasa dalam konteks budaya dan secara interpretatif mencoba mencari makna yang tersembunyi di balik pemakaian bahasa dan mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya yang secara empiris bermula dari fakta kebahasaan. Untuk mengidentifikasi persepsi masyarakat tertentu dalam rangka memahami lingkungan ekologisnya dapat tercermin dalam pemahaman mereka melalui bahasa dan budaya yang dimiliki. Melalui media bahasa dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dapat diinterpretasikan dalam rangka memformulasikan (merekonstruksi) secara komprehensif berbagai aspek aktualitas kehidupan masyarakat tertentu. Dalam hal ini yaitu persepsi masyarakat mengenai penamaan makhluk metafisika tecermin dalam setiap ekspresi verbal (kosakata/leksikon) maupuan nonverbal (tanda, simbol, lambang) yang dimiliki oleh komunitas yang ada di masyarakat Banyumas. Dapat dikatakan bahwa melalui data berupa fakta kebahasaan akan diperoleh dan dapat ditafsirkan informasi-informasi penting mengenai sistem pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Dari dimensi konsep pola pikir masyarakat Banyumas, untuk mengkaji hubungan antara bahasa dan budaya maayarakat mengenai penamaan makhluk metafisika dalam hal ini bahasa dapat dipahami sebagai manisfestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman. Oleh karena itu, melalui bahasa pengalaman penutur bahasa yang beragam dapat diklasifikasikan secara berbeda walaupun seringkali tidak selalu disadari oleh penutur. Dalam hal ini bahasa dipahami dapat merefleksikan pola pikir yang terkait dengan sistem pengetahuan manusia secara turun temurun. Pola pikir dalam hal ini yaitu integrasi konsep yang diperoleh melalui tindak klasifikasi yang hasilnya merupakan bentuk skemata dalam hal ini yaitu bentuk-bentuk satuan lingual tertentu. Pola pikir dalam hal ini yaitu pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi- klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa. Adapun, konsep pola pikir dapat mengacu pada pikiran kolektif masyarakat yaitu dipahami sebagai suatu gagasan yang telah dimiliki sebagai besar warga masyarakat yang sudah bukan lagi bentuk pikiran tunggal suatu hal yang khas, tetapi umumnya bermula telah berkaitan dengan gagasan lain sejenis sehingga menjadi suatu kompleks gagasan. Dapat dikatakan bahwa bahasa dan budaya dapat dipahami sebagai produk yang hakiki dari manusia memiliki korelasi erat. Sehubungan dengan hal tersebut, bahasa manusia tidak terlepas dari faktor sosial budaya penutur atau pemakai bahasa itu. Oleh karena itu, dari bahasa yang dikemukannya dapat diketahui latar belakang sosial budaya pemakai bahasa tersebut. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi munculnya penamaan makhluk metafisika antara lain yaitu sistem kepercayaan / keyakinan, tingkat usia, tingkat pendidikan, pekerjaan atau mata pencaharian. Sistem kepercayaan yang membangun kemunculan register metafisika adalah keyakinan yang berbasis budaya etnis. Agama yang dimaksudkan di sini adalah agama Islam dan Hindu, sedangkan budaya etnis di sini adalah budaya Jawa khususnya masyarakat Banyumas. Misalnya, dalam agama Islam ada tuntunan untuk mengimani sesuatu yang gaib, selain kepada kitab-kitab Allah. Pengertian yang gaib di sini adalah sesuatu yang tidak tampak yang termasuk dalam rukun iman yaitu Allah, malaikat-malaikat-Nya dan hari akhirat. Surga dan neraka sudah terangkum di sini. Selain itu, berdasarkan pada isi kitab Allah yang gaib itu bisa juga berupa jin. Namun demikian, di fenomena

158

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

kehidupan sehari-hari karena yang gaib itu adalah abstrak maka seringkali muncul dengan berbagai macam versi yang pada akhirnya melahirkan banyaknya penamaan makhluk metafisika. Dengan adanya sistem kepercayaan yang berbasis budaya etnis khususnya masyarakat Banyumas, bahwa masyarakat Banyumas percaya pada sesuatu yang gaib. Menurut masyarakat Banyumas, makhluk gaib atau makhluk halus dalam kepercayaan masyarakat Banyumas dapat meliputi lelembut, thuyul, dhemit, gederuwo, sundel bolong, kuntilanak dll. Selanjutnya, berkaitan dengan sistem kepercayaan bahwa masyarakat Banyumas memiliki kepercayaan bahwa weton atau hari kelahiran merupakan kunci baik buruknya nasib. Masyarakat Banyumas mempercayai bahwa jika weton tersebut dijadikan sebagai dasar atau pedoman seseorang ketika menentukan hari bahagia misalnya pernikahan, menentukan pembukaan bisnis atau ketika mencalonkan diri menjadi pejabat dan lain-lain Oleh karena itu, masyarakat Banyumas ketika menentukan hari-hari penting dalam kehidupannya biasanya berkonsultasi terlebih dahulu kepada paranormal ‘orang pintar’ atau tempat-tempat yang berkaitan dengan dunia supranatural. Berkaitan dengan kepercayaan mengenai suatu tempat, terdapat pula tempat- tempat tertentu yang kerapkali didatangi oleh banyak orang yang menginginkan sesuatu misalnya keinginan supaya disegerakan mendapatkan jodoh. Seseorang yang tertarik dengan dunia supranatural kemudian memiliki berbagai jenis usaha bagi yang percaya bisa dibantu dengan jasa tokoh spiritual atau paranormal. Konon, menurut masyarakat Banyumas tempat-tempat tersebut dihuni oleh makhluk halus. Dalam masyarakat Banyumas, terdapat beberapa masyarakat yang meyakini bahwa adanya keberadaan makhluk halus yang dijadikan sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan keuntungan. Keyakinan warga masyarakat Banyumas berkaitan dengan penamaan makhluk metafisika yaitu dengan pemujaan dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini terdapat cerita lelembut yang memperlihatkan adanya kepercayaan masyarakat Banyumas yang meminta kekayaan atau jabatan dengan memuja makhluk- makhluk metafisika tertentu. Nama yang lazim untuk makhluk halus dengan tempat tinggal tetap yang mungkin membantu keinginan orang adalah demit atau biasa disebut juga dengan dedemit. Demit mempunyai arti khusus dan arti luar. Dalam arti sempit, demit tinggal di tempat-tempat keramat yang disebut dengan punden yang mungkin ditandai oleh beberapa reruntuhan Hindu (berupa patung kecil yang rusak), pohon beringin besar, kuburan tua, sumber air yang nyaris tersembunyi atau kekhususan topografi semacam itu. Tempat keramat tersebut biasanya ditutup dengan pagar putih yang kuat supaya dijadikan sebagai identitas bawah tempat tersebut adalah tempat keramat. Tempat keramat dianggap mengandung makna gaib. Oleh karena itu masyarakat banyak yang mempercayai bahwa dapat dijadikan sebagai tempat semedi (bertapa) untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Masyarakat Banyumas cenderung mengunakan istilah seperti dhemit, danyang, lelembut dan setan. Sebagai contoh misalmya, salah satu tempat yang dianggap keramat oleh warga sekitar Banyumas yaitu Sumur Mas yang terletak di belakang komplek Dalem Kadipaten (Eks Kabupatan Lama). Sumur tersebut berdiameter 15 cm dengan kedalaman 3 m yang telah bertahan selama berabad- abad. Sumur Mas ini dipandang keramat karena menjadi tempat banyak orang dari berbagai tempat untuk bermunajat seperti misalnya para pejabat. Mereka datang untuk berdoa, kemudian lantas meminum air Sumur Mas tersebut. Tujuannya untuk menjaga atau meraih jabatan lebih tinggi, mengambil ruh kepemimpinan para leluhur Banyumas. Contoh tempat lainnya di Banyumas yang terkenal dengan tempat keramat adalah di Makam Dawuhan yaitu tempat makan para leluhur Banyumas. Makam tersebut seringkali didatangi oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan atau keinginan tertentu pada jabatan dan kekuasaan yaitu dengan cara berziarah. Selain makam dan tempat tertentu, tempat keramat lainnya yang diduga sebagai penghuni dhemit yaitu pohon beringin besar,

159

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

patung atau artefak lainnya yang menyimpan sejarah tertentu. Bagaimanapun asal usulnya, yang jelas termpat tersebut diisi atau dihuni oleh para dhemit. Sehubungan dengan hal tersebut, setiap kehidupan manusia mempunyai keyakinan dan religiusitas yang bersifat pribadi dan memiliki pola serta kadar yang berbeda-beda. Sebuah keyakinan dan religiusitas pribadi, sifatnya rahasia atau mistis. Mistisisme merupakan pengetahuan yang sifatnya rahasia serta berkaitan antara manusia dengan Tuhannya yang melibatkan kalbu. Dapat pula dikatakan bahwa mistik memiliki kedekatan terhadap hal-hal yang misterius, mengaburkan dan teka-teki (Mulder,2013). Penggambaran eksistensi mistisisme dalam masyarakat Banyumas dapat terlihat dari beberapa kejadian yang sangat dekat dengan kekuatan magis dan hal-hal yang berbau gaib seperti percaya adanya makhluk-makhluk gaib, percaya , kuburan, penunggu hutan dan melakukan praktik nyata dalam bentuk ritual atau upacara untuk mewujudkan keinginannya. Eksistensi mistisisme yang ada di masyarakat Banyumas yaitu mempercayai hal-hal gaib dan keberadaan roh atau makhluk halus ataupun benda-benda mitologi yang berupa dukun, keris dan tombak. Kepercayaan terhadap keberadaan makhluk halus yang ada di sekitar juga mempunyai perilaku-perilaku yang condong pada arwah-arwah leluhur ataupun perilaku yang condong pada pahlawan mitologi seperti dukun. Perilaku yang condong pada arwah leluhur dapat dilihat dari beberapa kegiatan yang dianggap penting oleh masyarakat Banyumas misalnya sedang akan melakukan hajatan dengan datang terlebih dahulu di kuburan. Meminta izin serta bertujuan menghormati orang yang telah mendahuluinya. Adapula yang diwujudkan dalam kegaiatan semedi untuk mencapai keinginannya.

KESIMPULAN Satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas memiliki bentuk-bentuk yang cukup bervariasi. Bentuk-bentuk itu dapat diklasifikasikan berdasarkan satuan lingualnya. Dari analisis data dapat diketahui bahwa satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika di masyarakat Banyumas ini mempunyai ciri khas atau makna kultural dari budaya masyarakat Banyumas. Dalam hal ini latar belakang kultural pemakaian satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian penamaan.

UCAPAN TERIMA KASIH Tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini, yaitu Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman, para informan masyarakat Banyumas, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA Baehaqie, Imam. 2013. Etnolinguistik Telaah Teoritis dan Praktis. Surakarta : Yuma Presindo Blundel, Nigel. 2001. Misteri-Misteri Terbesar di Dunia. Terjemahan Soewono Hadsoemato dari Judul Asli The World’s Greatest Mysteries. Jakarta : PT Pradnya Paramita Duranti, Alesandro. 1997. Linguistics Anthropology. Cambridge :Cambridge University Press. Foley, William A. 2001. Antrophological Linguistics. Oxford Blacwell Geertz, Clifford. 1960. The Religion of . Bandung : Dunia Pustaka Jaya

160

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik (Edsis Ketiga). Jakarta : Gramedia Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif (Catakan Ke-25). Bandung : Remaja Rosdakarya Rapar, Jan Hendrik. 2005. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Razak, Nasrudin. 1986. Dienul Islam : Penafsiran Kembali Islam sebagai Aqidah dan Way of Live. Bandung : Alma’arif Sulaiman, Umar. 2005. Misteri Alam Jin dan Setan. Terjemahan Abdul Muid Daman. Semarang : Pustaka Nun Suyanto, Budi. 2003. “Register Doa Masyarakat Tengger dalam Upacara karo dan Kasada : Sebuah Kajian Etnografi Komunikasi”. Tesis Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta

161