Prosiding Seminar Nasional Dan Call for Papers KLASIFIKASI DAN

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Prosiding Seminar Nasional Dan Call for Papers KLASIFIKASI DAN Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5 Bidang 6: Rekayasa sosial, pengembangan pedesaan, dan pemberdayaan masyarakat KLASIFIKASI DAN EKSPRESI BAHASA SERTA BUDAYA MASYARAKAT BANYUMAS MENGENAI PENAMAAN MAKHLUK METAFISIKA Erwita Nurdiyanto1, Gita Anggria Resticka1 1Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ABSTRAK Bahasa merupakan komponen terpenting dalam komunikasi. Melalui bahasa dalam hal ini leksikon, manusia dapat mengidentifikasikan segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Leksikon sangat berguna untuk menandai segala sesuatu yang dikenal manusia baik yang konkret maupun yang abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mendeskripsikan leksikon-leksikon mengenai makhluk metafisika, serta mengungkap bagaimanakah gambaran masyarakat Banyumas mengenai konsep penamaan makhluk metafisika. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang menelaah hubungan bahasa dengan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat komunikasi dalam suatu kelompok masyarakat. Perkembangan budaya mempengaruhi perkembangan leksikon yang berhubungan dengan budaya tersebut. Dapat dikatakan bahwa perkembangan dalam suatu aspek kebudayaan tercermin pada leksikonnya. Data penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis komponensial untuk menemukan fitur-fitur semantik leksikon tersebut, selain itu digunakan pula metode etnosemantik untuk mengetahui pengaruh-pengaruh budaya terhadap adanya keragaman leksikon-leksikon tersebut. Satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas memiliki bentuk-bentuk yang cukup bervariasi. Bentuk-bentuk itu dapat diklasifikasikan atas dasar a) satuan lingualnya, b) sumber leksikonnya, c) pembidangannya. Temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini yaitu secara teoretis, penelitian ini bermanfaat dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kebahasaan (linguistik) yang dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat Banyumas dalam ranah etnolinguistik atau linguistik antropologi. Kata Kunci : Etnolinguistik, Etnosemantik, Leksikon, Metafisika, Banyumas ABSTRACT Language is the most important component of communication. Through language in this lexicon, man can identify everything in his environment. Lexicon is very useful for marking everything that man knows both concrete and abstract. This research aims to inventory and describe the lexicon of metaphysical beings, as well as to uncover how banyumas people describe the concept of naming metaphysical beings. This research uses an ethnolinguistic approach as one of the branches of linguistic science that studies the relationship of language with culture especially to observe how the language is used colloquially as a means of communication in a community. Cultural development affects the development of lexicon related to that culture. It can be said that developments in an aspect of culture are reflected in the lexicon. The data of this study was analyzed using componental analysis methods to find the semantic features of the lexicon, in addition to the ethnoemantic method of knowing the cultural influences on the diversity of the lexicon. The unit of expression in the naming of metaphysical beings in banyumas society has quite varied forms. The forms can be classified on the basis of a) the lingual 154 Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5 unit, b) the source of the lexicon, c) its fielding. The findings targeted in this study are theoretical, this research is useful in science, especially in the field of linguistics that is associated with banyumas culture in the realm of ethnolinguistic or linguistic anthropology.. Keywords : Ethnolinguistics, Ethnoemantics, Lexicon, Metaphysics, Banyumas PENDAHULUAN Bahasa merupakan komponen terpenting dalam komunikasi. Melalui bahasa dalam hal ini leksikon, manusia dapat mengidentifikasikan segala sesuatu yang ada di lingkungannya. Kridalaksana (2005) menyatakan bahwa leksikon adalah 1) komponen bahasa yang memuat semua formasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa, 2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau suatu bahasa, 3) daftar kata yang disusun seperti kamus tetapi dengan penjaelasan singkat dan praktis. Leksikon sangat berguna untuk menandai segala sesuatu yang dikenal manusia baik yang konkret maupun yang abstrak. Foley (2001) menjelaskan bahwa linguistik antropologi (anthropological linguistics) merupakan disiplin ilmu yang bersifat interpretatif yang lebih jauh mengupas bahasa untuk mengemukakan pemahaman budaya. Dapat dikatakan bahwa kajian bahasa dan budaya sebagai bidang utama dari antropologi atau cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan kebudayaan dalam suatu masyarakat (Duranti, 1997). Sehubungan dengan hal tersebut, perkembangan budaya mempengaruhi perkembangan kata atau istilah yang berhubungan dengan budaya tertentu. Budaya yaitu pikiran, akal budi. Dalam hal ini adat istiadat yang menyangkut pola pikir, pandangan dunia, pandangan hidup masyarakat Banyumas (Purwadarminta, 1982 dalam Abdulllah, 2014). Budaya pada hakikatnya adalah sistem simbolik atau konfigurasi sistem perlambang, selanjutnya untuk memahami perangkat lambang budaya tertentu orang harus melihat keseluruhan tempat sistem lambang itu. Bahasa, budaya dan folklore saling berkaitan. Budaya ada dalam pikiran manusia dan bentuk organisasi pikiran berupa fenomena material yaitu berupa ekspresi verbal dan nonverbal. Jalan yang paling mudah untuk memperoleh budaya adalah melalui bahasa, khususnya daftar kata yang ada dalam suatu bahasa (Abdullah, 2014). Dapat dikatakan bahwa proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa serta bagaimana kebudayaan yang terbentuk tersebut terus menerus mengalami perubahan baik disadari maupun tidak disadari oleh para pendukung kebudayaan itu sendiri sebagaimana tercermin dari bahasa yang mereka gunakan (Baehaqie, 2013). Sebuah kata muncul seiring dengan kebutuhan manusia untuk mengidentifikasikan hasil budaya yang ada. Sehubungan dengan hal tersebut, penamaan makhluk metafisika antara daerah yang satu dengan daerah yang lain mempunyai perbedaan. Akan tetapi, kita juga dapat menemukan beberapa kesamaan penamaan makhluk metafisika yang digunakan di daerah lain. Setiap masyarakat mempunyai cara tersendiri untuk mengimajinasikan makhluk metafisika yang pernah diketahuinya. Cerita mengenai makhluk metafisika berkembang melalui tradisi lisan. Setiap masyarakat memiliki kekayaan kosakata untuk merujuk pada hal-hal abstrak salah satunya yaitu kosakata dalam bidang metafisika khususnya mengenai makhluk halus atau hantu. Dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Banyumas mengenal berbagai bentuk kosakata yang merujuk pada makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, dhemit, pocong, sundelbolong. Tidak semua orang dapat melihat wujud makhluk halus, bahkan orang yang mempercayai keberadaan makhluk metafisika, belum tentu pernah melihat wujud makhluk metafisika secara langsung (Blundel,2001). Kalaupun ada yang mengaku dapat melihat perwujudannya bisa jadi pengakuan antara pihak yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan dan tidak dapat 155 Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers ”Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan X” 6-7 Oktober 2020 Purwokerto ISBN 978-602-1643-65-5 dibuktikan secara ilmiah (Sulaiman,2005). Akan tetapi, merujuk dari keterangan pihak-pihak yang mengaku dapat melihat makhluk metafisika, kemudian diperoleh gambaran umum yang diwujudkan melalui kosakata-kosakata baik yang menerangkan perwujudan makhluk halus maupun yang pada akhirnya digunakan untuk menamai jenis makhluk halus tersebut. Latar belakang penamaan bagaimana masyarakat Banyumas menggambarkan makhluk metafisika tersebut berhubungan dengan filosofi kehidupan yang mengatur nilai dan norma yang harus dianut tiap masyarakat. Oleh karena itu, penamaan makhluk metafisika khususnya yang berkembang di masyarakat Banyumas dapat dijadikan sebagai sumber penelitian untuk dapat mengetahui bagaimana latar belakang penamaan. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu data yang diteliti dan hasil analisisnya diperoleh dari sumber data sekunder, wawancara melalui teleconference dan pengamatan lainnya yang berupa ungkapan kebahasaan. Secara teoretis, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan etnolinguistik. Etnolinguistik merupakan cabang linguistik yang fokus telaahnya bahasa dalam hubungannya dengan kebudayaan yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor etnis atau budaya (Baehaqie, 2013). Data penelitian ini berupa seluruh satuan ekspresi dalam penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas. Sumber data penelitian ini ialah tuturan tentang penamaan makhluk metafisika dalam masyarakat Banyumas. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode penelusuran data sekunder / studi pustaka dan literature review yang ada di majalah, surat kabar, novel dan buku-buku lainnya. Kemudian, data sekunder tersebut diuji validitas datanya dengan bertanya kepada informan melalui wawancara dengan teleconference. Penelaahan data dilakukan dengan metode kualitatif ini yaitu bahwa kegiatan analisis atau telaah yang dilakukan berkaitan dengan pola-pola umum
Recommended publications
  • The Islamic Traditions of Cirebon
    the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims A. G. Muhaimin Department of Anthropology Division of Society and Environment Research School of Pacific and Asian Studies July 1995 Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry Muhaimin, Abdul Ghoffir. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims. Bibliography. ISBN 1 920942 30 0 (pbk.) ISBN 1 920942 31 9 (online) 1. Islam - Indonesia - Cirebon - Rituals. 2. Muslims - Indonesia - Cirebon. 3. Rites and ceremonies - Indonesia - Cirebon. I. Title. 297.5095982 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Cover design by Teresa Prowse Printed by University Printing Services, ANU This edition © 2006 ANU E Press the islamic traditions of cirebon Ibadat and adat among javanese muslims Islam in Southeast Asia Series Theses at The Australian National University are assessed by external examiners and students are expected to take into account the advice of their examiners before they submit to the University Library the final versions of their theses. For this series, this final version of the thesis has been used as the basis for publication, taking into account other changes that the author may have decided to undertake. In some cases, a few minor editorial revisions have made to the work. The acknowledgements in each of these publications provide information on the supervisors of the thesis and those who contributed to its development.
    [Show full text]
  • Bab Iv Gambaran Umum Objek Penelitian
    BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN 4.1 Profil Film Arwah Goyang Karawang 4.1.1 Poster Gambar 4.1 1 Poster Film Arwah Goyang Karawang Sumber : https://www.wowkeren.com/berita/tampil/00007705.html 4.1.2 Profil Film Arwah Goyang Karawang Film Arwah Goyang Karawang merupakan garapan dari sutradara Helfi Kardit. Film ini seperti film horror pada umumnya, dengan mengcasting pemain seksi yakni Dewi Perssik dan juga Alm. Julia Perez. Film ini menjadi konsumsi publik setelah munculnya adegan perkelahian di antara pemainnya yakni Depe dan Jupe. Adegan tersebut di masukkan ke dalam film untuk 32 menarik penonton. Awal mula judul film dalam Wikipedia adalah Arwah Goyang Karawang, namun mendapatkan kritik dai masyarakat Karawang sendiri, kemudian film ini diganti menjadi Arwah Goyang Jupe-Depe. Akibat kejadian perkelahian tersebut, film ini dikecam langsung oleh masyarakat Karawang. Namun, di akhir perilisan film ini, poster tetap ada nama Karawang namun ada unsur nama Jupe Depe. Film Arwah Goyang Karawang ini mendapatkan apresiasi dari penonton Indonesia, terbukti dengan jumlah penonton yang mencapai 698.960 dengan mencetak rekor jumlah penonton paling banyak di tahun 2011 dan bertahan pada puncak bioskop hingga awal April. Akumulasi jumlah penonton ini diperbaharui setiap pekannya. Berikut data jumlah penonton yang dikutip dari filmindonesia.or.id, di mana sumber data dihimpun dari PPFI, Blitzmegaplex, produser film, dan sumber-sumber lainnya: 1. Arwah Goyang Karawang 698.960 2. Pocong Ngesot 353.506 3. Kalung Jelangkung 286.878 4. Love Story 283.337 5. Pelukan Janda Hantu Gerondong 251.100 6. Virgin 3: Satu Malam Mengubah Segalanya 225.582 7. Jenglot Pantai Selatan 155.477 Keberhasilan film ini tak lain karena bumbu dari pemain tersebut yakni adanya adegan perkelahian yang di munculkan dalam film tersebut.
    [Show full text]
  • Bab 2 Tinjauan Teori Dan Data Perancangan
    BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN DATA PERANCANGAN 2.1. Wisata Hiburan Wisata Hiburan adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang bukan perihal pekerjaan. Kegiatan yang umum dilakukan untuk melakukan wisata hiburan adalah berpariwisata , melakukan permainan, dan atau bias juga menikmati hobi. Kegiatan wisata hiburan umumnya dilakukan pada akhir pekan atau hari libur. Banyak ahli mengatakan bahwa aktivitas wisata hiburan adalah kegiatan untuk melepas penat atau mengisi waktu senggang. 2.1.1 Wisata Menurut UU RI 10 th (2009) wisata adalah suatu kegiatan perjalanan yang dilakukan manusia perorangan atau kelompok untuk mengunjungi tempat tertentu dengan tujuan rekreasi memepelajari keunikan daerah wisata atau sementara waktu. Menurut Gamal (2004) wisata merupakan suatu proses berpergian yang hanya bersifat sementara yang di lakukan oleh seseorang untuk menuju tempat di luar tempat tinggal nya ,tujuan kepergian nya tersebut tersebut ,bias karena kepentingan ekonomi, pekerjaan atau liburan dan lainnya 2.1.2 Hiburan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hiburan merupakan suatu aktivitas atau perbuatan yang dapat menghibur hati untuk bertujuan melupakan kesedihan dan sebagainya Hiburan merupakan kebutuhan manusia yang tidak lagi di katakan Sebagai kebutuhan sekunder lagi. Setiap orang pasti akan membutuhakan hiburan dei sela-sela kesibukan yang menumpuk di keseharian nya. 2.1.3 Mini Galeri Menurut Pusat Bahasa Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003), galeri merupakan suatu wadah untuk memarekan suatu karya seperti karya hasil
    [Show full text]
  • The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema
    The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema Ekky Imanjaya Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of East Anglia School of Art, Media and American Studies December 2016 © This copy of the thesis has been supplied on condition that anyone who consults it is understood to recognise that its copyright rests with the author and that use of any information derived there from must be in accordance with current UK Copyright Law. In addition, any quotation or extract must include full attribution. 1 Abstract Classic Indonesian exploitation films (originally produced, distributed, and exhibited in the New Order’s Indonesia from 1979 to 1995) are commonly negligible in both national and transnational cinema contexts, in the discourses of film criticism, journalism, and studies. Nonetheless, in the 2000s, there has been a global interest in re-circulating and consuming this kind of films. The films are internationally considered as “cult movies” and celebrated by global fans. This thesis will focus on the cultural traffic of the films, from late 1970s to early 2010s, from Indonesia to other countries. By analyzing the global flows of the films I will argue that despite the marginal status of the films, classic Indonesian exploitation films become the center of a taste battle among a variety of interest groups and agencies. The process will include challenging the official history of Indonesian cinema by investigating the framework of cultural traffic as well as politics of taste, and highlighting the significance of exploitation and B-films, paving the way into some findings that recommend accommodating the movies in serious discourses on cinema, nationally and globally.
    [Show full text]
  • Penafsiran Di Balik Penamaan Hantu Di Majalengka Jawa
    PENAFSIRAN DI BALIK PENAMAAN HANTU DI MAJALENGKA JAWA BARAT Oleh: Rawinda Fitrotul Mualafina E-mail: [email protected] Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang ABSTRACT Local wisdom is one of culture product which appear from interpretation of social phenomenon, including language phenomenon. One of them is that found in Majalengka. On that society was found some ghost names lexicon that are believed to be around them. In this article entitled “Interpretatin Behind Majalengka West Java Ghost Naming” presented a number of interpretations related to ghost names lexicon are not only being present as a series of its vocabularies, but also as series of local wisdom which held by the community. This is evident from other education and other culture interpretation implicity contained behind the ghost naming. Keyword: ghosts lexicon, ghost name, majalengka, education INTISARI Kearifan lokal merupakan satu produk budaya yang lahir dari hasil penafsiran terhadap fenomena yang muncul dalam masyarakat, tak terkecuali fenomena bahasa. Salah satunya adalah yang ditemukan pada masyarakat Majalengka berupa sejumlah leksikon nama-nama hantu yang dipercaya hidup di sekitar mereka. Dalam tulisan yang berjudul “Penafsiran di Balik Penamaan Hantu di Majalengka Jawa Barat” ini dipaparkan sejumlah penafsiran berkaitan dengan fenomena bahasa berupa leksikon nama hantu yang tidak sekadar hadir sebagai rangkaian kosakata yang dimilki, tetapi juga serangkaian kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat tersebut. Hal ini tampak dari adanya edukasi dan penafsiran budaya lainnya yang terkandung secara tersirat di balik penamaan hantu itu. Kata kunci: leksikon hantu, nama hantu, majalengka, edukasi 1. Pendahuluan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:480), hantu didefinisikan dengan ‘roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu)’.
    [Show full text]
  • Ghost-Movies in Southeast Asia and Beyond. Narratives, Cultural
    DORISEA-Workshop Ghost-Movies in Southeast Asia and beyond. Narratives, cultural contexts, audiences October 3-6, 2012 University of Goettingen, Department of Social and Cultural Anthropology Convenor: Peter J. Braeunlein Abstracts Post-war Thai Cinema and the Supernatural: Style and Reception Context Mary Ainslie (Kuala Lumpur) Film studies of the last decade can be characterised by escalating scholarly interest in the diverse film forms of Far East Asian nations. In particular, such focus often turns to the ways in which the horror film can provide a culturally specific picture of a nation that offers insight into the internal conflicts and traumas faced by its citizens. Considering such research, the proposed paper will explore the lower-class ‘16mm era’ film form of 1950s and 60s Thailand, a series of mass-produced live-dubbed films that drew heavily upon the supernatural animist belief systems that organised Thai rural village life and deployed a film style appropriate to this context. Through textual analysis combined with anthropological and historical research, this essay will explore the ways in which films such as Mae-Nak-Prakanong (1959 dir. Rangsir Tasanapayak), Nguu-Phii (1966 dir. Rat Saet-Thaa-Phak-Dee), Phii-Saht-Sen-Haa (1969 dir. Pan-Kam) and Nang-Prai-Taa-Nii (1967 dir. Nakarin) deploy such discourses in relation to a dramatic wider context of social upheaval and the changes enacted upon rural lower-class viewers during this era, much of which was specifically connected to the post-war influx of American culture into Thailand. Finally it will indicate that the influence of this lower-class film style is still evident in the contemporary New Thai industry, illustrating that even in this global era of multiplex blockbusters such audiences and their beliefs and practices are still prominent and remain relevant within Thai society.
    [Show full text]
  • C NTENT 2018 L
    17-30 SEPTEMBER C NTENT 2018 www.contentasia.tv l www.contentasiasummit.com Sony kicks off new HBO counts down to 7 Oct horror debut AGT season Series goes live with int’l film fest stamp of approval David Foster, Anggun & Jay Park return Folklore: Tatami (Japan) David Foster, Anggun and Jay Park Three international film festivals – includ- Ratanaruang (Samui Song). Sony Pictures Television Networks Asia ing the Toronto International Film Festival Folklore: A Mother’s Love is about a kicked off the third season of Asia’s Got (TIFF) – have given their stamp of ap- single mother and her young son who Talent at the weekend with a Facebook proval to HBO Asia’s original Asian horror discover dirty and underfed children liv- Live judges session at the Pinewood Is- series, Folklore, which premieres on the ing in a mansion’s attic. Returning them kandar Malaysia Studios. All three judges regional service on Sunday, 7 October to their families stirs the wrath of their from last year – David Foster, Anggun and at 10pm. adopted mother, Wewe Gombel. Jay Park – are back, along with hosts Alan The six episodes of the anthology, each Folklore: Pob is about a journalist who Wong and Justin Bratton. helmed by a different director, debuted meets with Thai ghost Pob, who con- The show airs on AXN across Asia in in pairs at three festivals. In addition fesses to a murder. Finally finding an early 2019. to TIFF, which wrapped this weekend, outlet for complaint, Pob explains how The announcement of this year’s judges episodes will screen at Spain’s SITGES the murder happened.
    [Show full text]
  • Ausstellungstexte (Pdf)
    Bima, Kasper und Dämon Das Figurentheater zieht weltweit Gross und Klein in seinen Bann. Es hat seinen festen Platz in den darstellenden Künsten, neben dem Personentheater und dem Maskentheater. Sein Ursprung liegt im Dunkeln, doch schon im antiken Ägypten und Griechenland wie auch im China der Tang-Dynastie (7.-10. Jh.) wird davon berichtet. Das Theater – Ein Merkmal vieler Figurentheaterformen ist die vereinfachte und typisierte Abbildung der Welt. Dazu kommt die oft überspitzte Darstellung der auftretenden Figuren. Damit wird die aufgeführte Geschichte verständlicher und die Handlung pointierter – im Gegensatz zur oftmals unüberschaubaren Welt, die uns umgibt. Trickster und Dämonen – Oft treten ganz spezielle Charaktere auf: Zum einen sind dies Diener, Spassmacher oder Narren – sogenannte Trickster. Sie haben die Funktion von Untergeordneten, aber dennoch einen grossen Einfluss auf die Machthabenden. Sie sind meist ungebildet, aber trotzdem weise. Sie reissen Witze und führen derbe Reden. So können sie kritisieren und auf Missstände hinweisen – ohne dafür bestraft zu werden. Zum anderen sind dies Dämonen und Bösewichte. Sie verdeutlichen, dass überall Gefahr lauert, ständig Vorsicht geboten ist und jedes Handeln Konsequenzen hat. Puppenspieler – Die Puppenspielerinnen und Puppenspieler bringen Magie ins Figuren- theater. Sie erwecken die Figuren zum Leben und lassen sie real werden. Mit ihrem Können werden sie zu Mittelspersonen zwischen der Welt der Geschichten und der Welt des Publikums. Dies macht sie vielerorts zu besonderen Menschen. Manchmal haben sie die Funktion von Ritualspezialistinnen und -spezialisten und manchmal – fällt ihre Kritik zu heftig aus – werden sie von der Obrigkeit in die Schranken gewiesen oder bestraft. 1 Bima; Schattenspielfigur; Region Cirebon, Nordküste Java, Indonesien; 1.
    [Show full text]
  • Visualisasi Karakter Pocong, Kuntilanak, Dan Tuyul Pada Film Animasi Keluarga Hantu Indonesia
    Vol.7, No.1, September-Desember 2019, pp. 1-11 p-ISSN: 2339-0107, e-ISSN: 2339-0115 http://dx.doi.org/10.30998/jurnaldesain.v7i1.5468 VISUALISASI KARAKTER POCONG, KUNTILANAK, DAN TUYUL PADA FILM ANIMASI KELUARGA HANTU INDONESIA Aji Dwi Saputra1), Edo Galasro Limbong2) Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Indraprasta PGRI Jl. Nangka No. 58. Tanjung Barat, Jakarta Selatan. 12530 Abstrak. Hantu merupakan bagian dari sebuah legenda menurut sebagian masyarakat. Dikatakan sebagai legenda karena berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau kepercayaan masyarakat. Contoh legenda ini yaitu adanya kepercayan terhadap hantu, seperti pocong, kuntilanak, dan tuyul. Bagi orang-orang tertentu, hantu justru dianggap sebagai tantangan hidup (memedi) dan bagi sebagian lain hantu justru akan dapat mendatangkan sebuah keuntungan. Bagi yang takut, jangankan meneliti mendengar saja membuat. Walau begitu, cerita dan wujud hantu bisa menjadi daya tarik dalam dunia hiburan, baik dibuat menjadi film bergenre horor, animasi atau bahkan dibuatkan wahana rumah hantu. Hal ini merupakan kelebihan dari objek hantu jika diangkat menjadi sebuah hasil karya. Dalam penelitian ini, metode yang dilakukan untuk melakukan riset ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi literatur dari jurnal dan beberapa website resmi. Adapun tujuan dari penulisan ini, peneliti ingin merancang visual karakter pocong, kuntilanak, dan tuyul pada cerita “Keluarga Hantu Indonesia” yang diambil dari penggambaran mitos hantu yang berkembang di masyarakat. Kata Kunci: Hantu, Animasi, Karakter Abstract. Ghosts are part of a legend according to some people. It is said as a legend because it is in the form of a story that is considered truly happened and has been experienced by someone.
    [Show full text]
  • Permainan Video Game Modern Sebagai Media Penunjang Kelestarian Budaya Lisan Pamali
    PERMAINAN VIDEO GAME MODERN SEBAGAI MEDIA PENUNJANG KELESTARIAN BUDAYA LISAN PAMALI Shienny Megawati Sutanto, S.Sn., M.M. Universitas Ciputra, Surabaya, 60219, Indonesia [email protected] ABSTRACT The Pamali is a form of oral or unwritten tradition. This tradition is manifestation from Indonesians cultural wealth, which consists of guidelines, standards, and unwritten ethics carried out by the community. In this modern era, pamali is often regarded as a myth or superstition. Whereas in Pamali’s oral tradition there are actually positive things that are good for social life. StoryTale Studio, a local game developer from Bandung trying to reintroduce Pamali traditions to the the young generation of Indonesia through their work entitled “Pamali”, released December 28, 2018. This research intends to observe this phenomenon and find out how to use video game as media to sustain the oral tradition of Pamali. Keywords: Game design, Indonesian tradition, oral tradition, Pamali, cultural sustainability ABSTRAK Tradisi Pamali adalah salah satu bentuk budaya lisan atau tidak tertulis. Tradisi ini merupakan wujud dari kekayaan budaya masyarakat Indonesia, yang berupa pedoman, pakem, dan etika tak tertulis dilakukan oleh masyarakat. Di jaman modern ini, pamali sering kali dianggap mitos atau tahayul. Padahal di dalam tradisi lisan pamali sebenarnya ada hal-hal positif yang baik untuk kehidupan bermasyarakat. StoryTale Studio, developer game lokal asal Bandung berusaha mengenalkan kembali generasi muda Indonesia akan tradisi lisan Pamali melalui karya mereka yang berjudul “Pamali”, game ini dirilis 28 Desember 2018. Penelitian ini bermaksud mengamati fenomena tersebut dan mengetahui bagaimana menggunakan media video game sebagai media penunjang kelestarian tradisi lisan Pamali.
    [Show full text]
  • Analisis Elemen Visual Game “Pamali” Dengan Menggunakan Pendekatan Teori Mimesis Plato
    Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya e-ISSN:2623-0305 Vol. 2 No. 02, Januari-April 2020 Hlm. 89-95 ANALISIS ELEMEN VISUAL GAME “PAMALI” DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN TEORI MIMESIS PLATO Fachry Fauzhan1, Eric Alvian2, Septian Andreanto3, Nurulfatmi Amzy4 Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI Jl. Nangka No. 58 C, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, 12530, Indonesia [email protected] Abstrak Game merupakan sebuah jenis media hiburan yang diminati berbagai kalangan masyarakat pada saat ini. Di balik perannya yang semakin diminati, game memiliki elemen-elemen pendukung yang membantu perannya sebagai media hiburan yang paling diminati. Salah satu elemen penting dalam sebuah game adalah elemen visualnya. Hal ini disebabkan elemen visual memiliki daya untuk bisa memberikan koneksi antara pesan atau cerita yang ingin disampaikan oleh pembuat game kepada para pemain game tersebut. Yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Game “Pamali”, salah satu game yang memiliki elemen visual menarik untuk di bahas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan teori filsafat seni, yaitu seni sebagai mimesis (imitasi) yang diusung oleh Plato. Penelitian ini akan menunjukkan bahwa visual game “Pamali” adalah sebuah imitasi (tiruan) dari konsep ideal yang ada di kepala desainer game tersebut. Kata kunci: Game, Elemen,Visual, Realitas, Mimesis Abstract Game is a kind of entertainment media that is gaining so much interest among people nowadays. That is supported by elements applied in it. One of the important things in a game is the visual element. It has the potency to give a connection between the game’s storyline made by its designer and the player.
    [Show full text]
  • Taboo Words in Hate Speech Through Social Media
    Vol. 17, 2021 A new decade for social changes ISSN 2668-7798 www.techniumscience.com 9 772668 779000 Technium Social Sciences Journal Vol. 17, 510-523, March, 2021 ISSN: 2668-7798 www.techniumscience.com Taboo words in hate speech through Social Media Azizah Husda Universitas Prima Indonesia [email protected] Elza Leyli Lisnora Saragih UniversitasHKBP Nomensen [email protected] Mulyadi Universitas Sumatera Utara [email protected] Abstract. This research is on taboo words used in hate speech through social media to find out the classification of taboo words and to describe the social functions of taboo words in hate speech. The method applies descriptive qualitative by describing taboo words. The data were obtained through documents from social media about recently updated hate speech. The synthesis of some previous theories and relevant studies support the research. The approaches used is socio-semantics as the combination ofboth sociolinguistics and semantics, because it studies the meanings and perspectives of using taboo words among society in hate speech. The findings showed that there are taboo words classified into epithets, profanity, vulgarity, obscenity, cursing and supernatural beings. The functions of using taboo words were also found to draw people's attention, to show contempt, to provoke, and to mock authority. This research finally provides some contributions and references for any further research related to the use of taboo words within any language and also as communication guidance especially for speakers to avoid using taboo words which lead to hate speech. Keywords. Taboo, Words, Hate Speech, Social Media 1. Introduction In conveying ideas or thoughts in language, humans must always pay attention to the terms and conditions in which they are.
    [Show full text]