<<

STRUKTUR KOMUNITAS BULU BABI (ECHINOIDEA) YANG BERASOSIASI DENGAN EKOSISTEM LAMUN DI PULAU BARRANG LOMPO, SULAWESI SELATAN

SKRIPSI

NURUL HUDA MUSFIRAH

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

1 STRUKTUR KOMUNITAS BULU BABI (ECHINOIDEA) YANG BERASOSIASI DENGAN EKOSISTEM LAMUN DI PULAU BARRANG LOMPO, SULAWESI SELATAN

NURUL HUDA MUSFIRAH L211 12 253

Laporan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

2

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Nurul Huda Musfirah yang

merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Terlahir

dari pasangan Tarsudi dan Yayuk Hernanik. Penulis lahir di

Takalar pada tanggal 30 September 1994. Penulis telah

melewati pendidikan formal sekolah taman kanak – kanak di

TK Aisyiah Kec. Mariso Kota Makassar pada tahun 1999, lanjut sekolah dasar di

SD. Kakak tua pada tahun 2000 dan di SD. Inpres Panaikang II / I Kota

Makassar pada tahun 2001, lanjut sekolah menengah pertama di SMP Negeri

29 Makassar pada tahun 2006, lanjut sekolah menengah atas di SMA Nasional

Makassar pada tahun 2009 dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Hasanuddin di program strata satu Manajemen

Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Kelautan dan Perikanan melalui jalur ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM–PTN).

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengabdikan diri pada masyarakat selama kurang lebih dua bulan di Kelurahan Melayu Baru,

Kecamatan Wajo, Kota Makassar dalam rangka Kuliah Kerja Nyata (KKN)

Tematik Infrastruktur Pemukiman Angkatan 93 tahun 2016 yang merupakan salah satu tugas akhir sebelum meraih gelar sarjana, melakukan Praktek Kerja

Lapang (PKL) / magang di Desa Mandalle, Kecamatan Mandalle, Kabupaten

Pangkajene dan Kepulauan, kemudian penulis pernah mengabdi sebagai asisten pada mata kuliah Ikhtiologi, Ekologi Perairan, dan Limnologi.

Penulis melakukan penelitian dengan judul “Struktur Komunitas Bulu

Babi (Echinoidea) yang berasosiasi pada ekosistem lamun di Pulau Barrang

Lompo, Sulawesi Selatan” di bawa bimbingan Dr. Ir. Nadiarti M.Sc. dan Moh.

Tauhid Umar, S.Pi., M.P.

4 ABSTRAK

Nurul Huda Musfirah, L21112253. Struktur Komunitas Bulu Babi (Echinoidea) yang berasosiasi dengan Ekosistem Lamun di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan (dibimbing oleh Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc. sebagai pembimbing utama dan Moh. Tauhid Umar, S.Pi., M.P. sebagai pembimbing anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis bulu babi, kepadatan individu dan kepadatan relatif, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi, dan kepadatan bulu babi (Echinoidea) yang berasosiasi dengan ekosistem lamun (seagrass) di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan informasi mengenai kepadatan bulu babi (Echinoidea) di perairan Pulau Barrang Lompo, serta dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya di lokasi yang sama. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2017 di Pulau Barrang Lompo dan dianalisis di Laboratorium Kualitas Air Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin. Pada penelitian ini stasiun di tentukan berdasarkan sebaran dan tutupan lamun sehingga terdapat dua stasiun yaitu stasiun I berada pada daerah lamun jarang (SS = Seagrass Sparse), sedangkan stasiun II berada pada daerah lamun padat (SD = Seagrass Dense). Pengambilan sampel dilakukan pada saat air surut terendah di kedua stasiun dan dianalisis dengan menggunakan komposisi jenis, kepadatan jenis, kepadatan relatif, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi. Hasil dari penelitian ditemukan 6 jenis bulu babi yang tergolong dalam 3 family yaitu , Temnopleuridae, dan Toxopneustidae. Kepadatan bulu babi tertinggi terdapat pada jenis Diadema setosum (2,52 ind/m2) di stasiun I (lamun jarang) sedangkan yang terendah terdapat pada jenis (0,01 ind/m2) di kedua stasiun. Untuk kepadatan relatif tertinggi berada pada jenis Diadema setosum yaitu 99% di stasiun I sedangkan yang terendah pada jenis Echinothrix calamaris yaitu 0% di stasiun I. Struktur komunitas bulu babi di Pulau Barrang Lompo menunjukkan bahwa pada stasiun II memiliki kualitas perairan lebih bagus daripada stasiun I karena memiliki indeks keanekaragaman tinggi, sebaran individu relatif sama dan indeks dominansi rendah. Dari hasil uji t yang diperoleh menunjukkan kepadatan bulu babi pada daerah lamun jarang (SS) lebih besar dari pada daerah lamun padat (SD) (t hitung (1.8707) > t tabel (1,7396)). Indeks keanekaragaman bulu babi di daerah lamun padat lebih tinggi di bandingkan dengan di daerah lamun jarang.

Kata kunci : Pulau Barrang Lompo, bulu babi, komposisi jenis, kepadatan, struktur komunitas

5 ABSTRACT

Nurul Huda Musfirah, L21112253. The Community Structure of (Echinoidea) in association with the Seagrass Ecosystem at Barrang Lompo Island, South Sulawesi Province (under direction of Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc. as the first suvervisor and Moh. Tauhid Umar, S.Pi., MP as the second suvervisior.

This study aims to determine the composition of the of sea urchin, individual density and relative density, diversity index, uniformity index, dominance index, and density of sea urchins (Echinoidea) associated with seagrass ecosystems in Barrang Lompo Island, South Sulawesi Province. The usefulness of this research is as information about the density of sea urchin (Echinoidea) in the waters of Barrang Lompo Island, and can be a reference for further research in the same location. The implementation of this research was conducted from August to October 2017 on Barrang Lompo Island and analyzed at Water Quality Laboratory of Fisheries Department of Hasanuddin University. In this research station is determined based on the distribution and seagrass cover so that there are two stations : station I is in seagrass sparse area (SS), while station II is in seagrass dense area (SD). Sampling was conducted at the lowest tide at two stations and analyzed using species composition, density type, relative density, diversity index, uniformity index, and dominance index. The results of the study found 6 types of sea urchins belonging to 3 families namely Diadematidae, Temnopleuridae, and Toxopneustidae. The density of the sea urchins in the Diadema setosum (2.52 ind/m2) in station I (seagrass sparse) whereas in the type of Echinothrix calamaris (0.01 ind/m2) in two stations. For the highest relative density is in the type of Diadema setosum that is 99% in station I while the lowest in the type of Echinothrix calamaris is 0% in station I. Community structure of sea urchins in Barrang Lompo Island shows that at station II has better water quality than station I because it has a high diversity index, relatively equal individual distribution and low dominance index. From the results of the t test, it was found that the density of sea urchins in the seagrass sparse area (SS) was greater than in the seagrass dense (SD) area (t arithmetic (1.8707)> t table (1.7396)). The index of the diversity of sea urchins in areas of seagrass dense is higher than in seagrass sparse areas.

Keywords: Barrang Lompo Island, sea urchin, species composition, density, community structure

6 KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabill Alamin, tiada kata yang pantas diucapkan selain mengucap syukur kehadirat Allah SWT atas segala kebesaran nikmat dan karunianya, tak lupa kami panjatkan salawat dan salam bagi junjuganku

Muhammad Rasulullah SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Struktur komunitas bulu babi (Echinoidea) yang berasosiasi dengan ekosistem lamun di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan”.

Skripsi ini dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Pulau Barrang

Lompo, Propinsi Sulawesi Selatan dan merupakan persyaratan untuk kelulusan bagi mahasiswa program studi Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP)

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ayahanda Tarsudi dan Ibunda Yayuk Hernanik yang telah memberikan

dukungan moril maupun material, serta segenap do’a, restu dan kasih

sayangnya selama ini yang senantiasa ada bersamaku.

2. Dr. Ir. Nadiarti, M.Sc., selaku penasehat akademik dan sebagai pembimbing

utama yang telah memberi bimbingan, arahan, dan ilmu pengetahuan demi

terselesaikannya penelitian dan skripsi ini.

3. Moh. Tauhid Umar, S.Pi., M.P., sebagai pembimbing anggota yang telah

memberi bimbingan, arahan, dan ilmu pengetahuan demi terselesaikannya

skripsi ini.

4. Dody Priosambodo, S.Si., M.Si., dan Yayu Anugrah La Nafie, ST., M.Sc.,

Ph.D., selaku dosen pendamping yang telah banyak meluangkan waktu dan

membantu dalam pengambilan sampel mulai dari awal penelitian sampai

akhir penelitian.

7 5. Dr. Sri Wahyuni Rahim, selaku dosen penguji yang telah bersedia

meluangkan waktu.

6. Muh. Fakar Putra, yang telah banyak membantu baik dari segi material

maupun tenaga mulai dari awal berlangsungnya penelitian hingga

terselesaikannya penelitian dan skripsi ini.

7. Raflianto Pratama dan Azie, yang telah membantu dari segi material untuk

menyelesaikan skripsi ini.

8. Tidak lupa juga saya ucapakan terima kasih kepada teman penelitian (Ade

dan Desti) dan rekan-rekan seperjuangan Manajemen Sumberdaya

Perairan Angkatan 2012. Kepada Yayu Andira, Purwati Badaruddin, dan

Magfirah F A R atas dorongan semangat, do’a, serta bantuan dan

kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu melalui kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat untuk kepentingan bersama dan segala amal baik serta jasa dari pihak yang turut membantu penulis diterima oleh Allah SWT dan mendapat berkah serta karunia-

Nya. Aamiin.

Makassar, November 2017

Nurul Huda Musfirah

8 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN………………………………………...…….. 3 RIWAYAT HIDUP…………………………………………………...……... 4 ABSTRAK…………………………………………………………...……… 5 KATA PENGANTAR……………………………………………………..... 7 DAFTAR ISI……………………………………………………………...…. 9 DAFTAR TABEL…………………………………………………………… 11 DAFTAR GAMBAR…………………………………………...………...... 12 DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. 13 BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 14 A. Latar Belakang……………….………………………………….... 14 B. Tujuan dan Kegunaan………….……………………………….... 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………...…. 16 A. Bulu Babi (Echinoidea)……………………………….………...… 16 1. Morfologi dan bentuk tubuh bulu babi………...……...... … 16 2. Habitat bulu babi………...……………………………....…… 18 3. Reproduksi dan siklus hidup bulu babi……...…..……….... 18 4. Jenis – jenis bulu babi di Pulau Barrang Lompo……………………….. 19 B. Ekosistem Lamun…………………………………………………. 22 C. Parameter Fisika – Kimia Perairan………...……………………. 23 D. Jenis Substrat……………………………………………………… 24 E. Bahan Organik dalam Sedimen…………………………………. 25 F. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks 25 Dominansi…………………………………………………….……. BAB III METODE PENELITIAN………………………………..………... 29 A. Waktu dan Tempat…………………..……………………………. 29 B. Alat dan Bahan Penelitian……..…………………………………. 29 C. Tahapan Penelitian……………………………………………..… 30 D. Analisis Data……………………...……………………………..… 32 1. Komposisi Jenis……….……………………………….... 32 2. Kepadatan……………………………………………………... 32 3. Kepadatan relatif……………………………………………… 33 4. Indeks keanekaragaman…………………………………….. 33 5. Indeks keseragaman…………………………………………. 34 6. Indeks dominansi……………………………………………... 35

9 E. Analisis Statistik……………………………………………………. 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………………………….………... 36 A. Komposisi Jenis Bulu Babi……………………………………..… 36 B. Kepadatan Individu dan Kepadatan Relatif……………..……... 38 C. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi………………………………………………………….. 41 D. Hubungan Antara Bulu Babi dengan Ekosistem Lamun……… 43 E. Parameter Kualitas Air dan Substrat…………………………….. 45 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….……………………..…….. 47 A. Kesimpulan…………………………………………………….…… 47 B. Saran…………………………………………………………….….. 47 DAFTAR PUSTAKA………………………...………….…...…………….. 48

10 DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Indeks Keseragaman…… 26 2 Komposisi Jenis Bulu Babi yang Ditemukan di Pulau Barrang Lompo…………………………………………………. 36

3 Kepadatan Jenis pada Stasiun I di Daerah Lamun Jarang.. 38

4 Kepadatan Jenis pada Stasiun II di Daerah Lamun Padat... 38 5 Angka Interprestasi…………………………………………….. 43

6 Hubungan antara bulu babi dengan ekosistem lamun pada Stasiun I di Daerah Lamun Jarang (SS).…………….……… 44 7 Hubungan antara bulu babi dengan ekosistem lamun pada Stasiun II di Daerah Lamun Padat (SD).…..……….……… 44 8 Nilai Kisaran Pengukuran Kualitas Air di Pulau Barrang Lompo…………………………………………………………… 45

9 Nilai Kisaran Pengukuran Substrat di Pulau Barrang Lompo………………………………………………………..…. 45

11 DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Morfologi Bulu Babi……………………………………………. 17

2 Segitiga Tekstur Sedimen…………………………………….. 24

3 Peta Lokasi Penelitian………………………………………… 29

4 Lokasi Penelitian………………………………………………. 31 5 Komposisi Jenis (%) pada Stasiun I di Daerah Lamun Jarang(SS)…..………………………………………………… 37

6 Komposisi Jenis (%) pada Stasiun II di Daerah Lamun Padat (SD)...……………………………………………………. 37

7 Kepadatan Relatif (%) pada Stasiun I di Daerah Lamun Jarang (SS)..…………………………………………………… 40

8 Kepadatan Relatif (%) pada Stasiun II di Daerah Lamun Padat (SD)...……………………………………………………. 40

9 Nilai Indeks Ekologi pada Kedua Stasiun…………………... 41

12 DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Kepadatan lamun di Pulau Barrang Lompo, Provinsi 53 Sulawesi Selatan…………….………………………...... ……

2 Komposisi jenis bulu babi yang di temukan di Pulau 55 Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan………………..

3 Kepadatan jenis bulu babi di Pulau Barrang Lompo, 56 Provinsi Sulawesi Selatan………………………….………...

4 Hasil analisis kepadatan bulu babi dengan uji t…………... 57

5 Kepadatan relatif bulu babi di Pulau Barrang Lompo, 58 Provinsi Sulawesi Selatan…………………………………....

6 Perhitungan indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi bulu babi di Pulau 59 Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan……..……..……

7 Uji t indeks keanekaragaman yang di bandingkan pada kedua stasiun di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi 61 Selatan………………………………………………………...…

8 Gambar dan klasifikasi bulu babi yang di temukan di Pulau 62 Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan……………...….

13 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fauna Echinodermata di dunia terdapat sebanyak kurang lebih 6000 jenis dan diperkirakan 950 jenis diantaranya adalah bulu babi, yang terbagi atas

15 ordo, 46 famili dan 121 genera (Suwignyo et al., 2005). Di Indonesia, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 famili dan 48 genera (Clark dan Rowe, 1971). Pada umumnya setiap jenis bulu babi memiliki sebaran habitat yang spesifik. Bulu babi tersebar mulai dari daerah intertidal yang dangkal hingga ke laut dalam (Jeng, 1998). Bulu babi pada umumnya menghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun serta menyukai substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun yang merupakan campuran dari pasir dan pecahan karang (Aziz, 1994).

Echinodermata merupakan salah satu biota yang berasosiasi kuat dengan ekosistem padang lamun dan berperan dalam siklus rantai makanan di ekosistem tersebut. Tingginya tutupan vegetasi lamun di perairan memungkinkan kehadiran berbagai biota yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun termasuk bulu babi untuk mencari makan, tempat hidup, memijah dan tempat berlindung untuk menghindari predator (Supono dan Arbi, 2010).

Bulu babi di padang lamun bisa hidup soliter atau hidup mengelompok, tergantung kepada jenis dan habitatnya. Misalnya, jenis Diadema setosum,

Diadema antillarium, Tripneustes gratilla, Tripneustes ventricosus, Lytechinus variegates,Temnopleurus toreumaticus, dan Strongylocentrotus spp. Cenderung hidup mengelompok, sedangkan jenis Mespilia globules, Toxopneustes pileolus,

Pseudoboletia maculate, dan Echinothric diadema cenderung hidup menyendiri

(Aziz, 1994).

14 Pulau Barrang Lompo termasuk wilayah kecamatan Ujung Tanah, dan terletak di sebelah Barat Laut, serta berada di sebelah utara Pulau Barrang

Caddi, memiliki jarak ± 11 km dari Makassar. Secara geografis, pulau ini berada pada posisi 119°19°48” Bujur Timur dan 05°02°48” Lintang Selatan (FDC

UNHAS, 2016). Pulau Barrang Lompo merupakan bagian dari kepulauan

Spermonde yang kaya akan biota laut salah satunya dari jenis Echinodermata seperti bulu babi, bintang laut, teripang dan lain – lain. Penelitian tentang bulu babi ini belum pernah dilakukan di lokasi tersebut. Sehubung dengan masih kurangnya informasi menganai sebaran komunitas bulu babi khususnya di Pulau

Barrang Lompo, maka penelitian di bidang tersebut perlu dilakukan.Penelitian mengenai struktur dan sebaran komunitas bulu babi dilakukan di habitat lamun

Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan.

B. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis bulu babi, kepadatan individu dan kepadatan relatif, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi, dan kepadatan bulu babi (Echinoidea) yang berasosiasi dengan ekosistem lamun (seagrass) di Pulau Barrang Lompo,

Provinsi Sulawesi Selatan.

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalahsebagai bahan informasi mengenai kepadatan bulu babi (Echinoidea) di perairan Pulau Barrang Lompo, serta dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya di lokasi yang sama.

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Bulu babi (Echinoidea)

1. Morfologi dan bentuk tubuh bulu babi

Bulu babi merupakan fauna dari filum Echinodermata yang paling melimpah dan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Menurut Radjab (2001) secara morfologi, bulu babi terbagi menjadi dua kelompok yaitu bulu babi regularia atau bulu babi beraturan (regular sea urchin) dan bulu babi iregularia atau bulu babi tidak beraturan (irregular sea urchin).

Bulu babi memiliki bentuk tubuh segilima, mempunyai lima pasang garis kaki tabung dan duri panjang yang dapat digerakkan. Kaki tabung dan duri memungkinkan binatang ini merangkak di permukaan karang dan juga dapat digunakan untuk berjalan di atas pasir. Cangkang luarnya tipis dan tersusun dari lempeng – lempeng yang berhubungan satu sama lain. Diadema setosum merupakan salah satu jenis dari bulu babi yang memiliki nilai konsumsi penting di

Indonesia (Aziz, 1993).

Suwignyo et al. (2005) menyebutkan bahwa bentuk tubuh bulu babi berbentuk bulat atau pipih bundar, tidak bertangan, mempunyai duri – duri panjang yang dapat digerakkan. Semua organnya umumnya terdapat di dalam tempurung, yang terdiri dari 10 keping pelat ganda, biasanya bersambung dengan erat, yaitu pelat ambulakral selain itu terdapat pelat ambulakral yang berlubang – lubang tempat keluarnya kaki tabung. Pada permukaan tempurung terdapat tonjolan – tonjolan pendek yang membulat, tempat menempelnya duri.

Kebanyakan bulu babi mempunyai dua duri, duri panjang atau utama dan duri pendek atau sekunder. Selanjutnya, mulut bulu babi terletak di daerah oral, dilengkapi dengan lima gigi tajam dan kuat untuk mengunyah yang dikenal

16 sebagai aristotle’s latern. Anus, lubang genital dan madreporit terletak di sisi aboral. Dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi bulu babi (Sumber: Hickman, 2001)

Salah satu diantara keping genital yang berukuran paling besar merupakan temapat bermuaranya sistem pembuluh air (waste vascular system).

Sistem ini menjadi ciri khas filum Echinodermata, berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi. Pada sistem peristomial terdapat pada selaput kulit tempat menempelnya organ “lentera aristotle”, yakni semacam rahang yang berfungsi sebagai alat pemotong dan penghancur makanan. Organ ini juga mampu memotong cangkang teritip, moluska ataupun jenis bulu babi lainnya

(Aziz, 1987).

Sugiarto dan Supardi (1995) menjelaskan bahwa umumnya bulu babi berkelamin terpisah, dimana jantan dan betina merupakan individu – individu tersendiri (gonochorik / dioecious). Spesies gonochorik secara khusus memiliki rasio seks sendiri dan jarang bersifat hemafrodit. Munculnya hemafrodoitisme pada Tripneustes gratilla adalah 1 dari 550 individu. Pembelahan bulu babi terjadi secara eksternal, dimana sel telur dan sel sperma di lepas ke dalam air laut di sekitarnya. Gonad jantan dan betina pada bulu babi juga sulit dibedakan

17 tanpa menggunakan mikroskop. Secara kasar hanya warna yang digunakan untuk membedakan gonad. Misalnya pada bulu babi Paracentrotus livindus, gonad jantan berwarna kuning sedangkan betina berwarna orange.

2. Habitat bulu babi

Bulu babi banyak ditemukan di daerah padang lamun dan terumbu karang. Mereka ditemukan di daerah yang berpasir atau pasir berlumpur biasa juga didapatkan di atas pecahan karang. Mereka menyukai perairan yang jernih dan tenang (Aziz, 1994). Bulu babi hidup di ekosistem terumbu karang (zona pertumbuhan alga) dan lamun.

Bulu babi biasanya hidup berkelompok tergantung dari jenis habitatnya.

Di sepanjang perairan pantai hewan ini memiliki variasi spesies yang cukup besar dan melimpah (Arakaki dan Uehara, 1991). Grazing bulu babi mempunyai pengaruh biologi dan ekologi yang penting pada komunitas terumbu karang

(Lawrence, 1975), beberapa spesies bulu babi menyebabkan bioerosi bersubstrat kapur di daerah rataan terumbu karang dan bersubstrat keras

(berbatu), daerah intertidal dan subtidal.

Dalam penelitian Gunarto dan Setiabudi (2002) dilaporkan bahwa perkembangan gonad bulu babi pada musim kemarau tidak dalam satu stadium, tetapi terdapat gonad dalam periode berkembang, matang, pijah.

3. Reproduksi dan siklus hidup bulu babi

Siklus hidup dari bulu babi diawali dengan terjadinya pembuahan yang terjadi diluar tubuh. Induk jantan membuahi telur – telur dari induk betina. Telur bulu babi dibungkus dengan semacam gelatinous yang biasa disebut dengan jelly coat (Guidice, 1986). Setelah itu terbentuklah embrio, dimana embrio ini akan membelah dengan frekuensi yang sangat tinggi. Setelah mencapai tahap embrio terus masuk fase morula dan embrio muda disebut blastula. Selama 10 jam setelah terbuahi sejak fase blastula, maka embrio tersebut mulai aktif

18 berenang. Setelah itu muncullah anakan bulu babi, bulu babi sudah dapat dikatakan telah menjadi anakan bila sudah terdapat tentakel – tentakel, duri – duri dan pediselaria (Czihak, 1971).

Semakin bertambahnya waktu, anakan bulu babi menjadi dewasa. Bulu babi dewasa telah memiliki organ tubuh yang lengkap mulai dari tubuh bagian dalam sampai pada organ tubuh bagian luar semuanya telah tampak dengan jelas. Namun bulu babi dikatakan dewasa betul apabila telah mencapai ukuran cangkang 60 mm. Selain itu, bulu babi dewasa memiliki organ lengkap secara morfologi. Bulu babi dewasa telah memiliki kulit (cangkang) yang keras, jari-jari dan duri – duri (spine) yang sudah dapat berfungsi dengan sempurna, misalnya jari – jari yang sudah dapat memegang pada substrat.

4. Jenis-jenis Bulu Babi di Pulau Barrang Lompo

1. Diadema cetosum

Diadema cetosum merupakan bulu babi yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Diadema cetosum memilik ciri khas berupa memiliki duri-duri yang panjang, tajam dan rapuh disekujur tubuhnya, memiliki tubuh bulat, warna berwarna hitam pekat, memiliki Gonopore sebabnyak 5 buah serta sangat jelas seperti mengkilap atau menyala. Habitat di karang, alga, pasir dan lamun, dimana mereka dapat melekatkan kaki ambulakral mereka.

2. Tripneustes gratilla

Tripneustes gratilla (Linneaus 1758) adalah bulu babi perairan dangkal yang tersebar luas di Indo-Pasifik tropis (Lawrence & Agatsuma, 2001, Lessios, dkk., 2003). Hewan ini memiliki ciri khas seperti bentuk bulat denan duri-duri yang pendek berwarna orange di sekujur tubuh, diantara lempengan-lempengan duri terdapat lempengan kaki ambulakral yang tersusun rapi dimana kaki-kaki ambulakral berukuran lebih besar serta terlihat jelas dengan warna putih pada daerah ujung, hitam di tengah dan hijau totska di pada pangkal ambulakral.

19 Tripneustes gratilla ditemukan pada kedalaman sampai 20 m.

Habitat Tripneustes gratilla di padang lamun, alga, dan karangdengan dasar perairan berpasir, berlumpur atau substratyang memiliki pecahan karang. Hal ini seperti temuan beberapa ahli. Radjab (2004) menemukan Tripneustes gratilla pada habitat berpasir atau pasir berlumpur yang ditumbuhi lamun pada kedalaman 0,5–20 m. Lawrence & Agatsuma (2007) menemukan Tripneustes gratilla di perairan sangat dangkal hingga kedalaman 75 m. Spesies ini mendiami berbagai jenis habitat termasuk padang lamun (Sammarco, 1987; Sumitro, dkk.,1992; Aziz, 1994; Susetiono, 2004), alga dan mikroalga (Ogden, dkk., 1989), pasir dengan pecahan karang, danrataan terumbu (Lawrence & Agatsuma,

2007).

3. Mespilia globulus

Mespiilia globulus merupakan bulu babi yang biasa di kenal dengan bulu babi globe, hal ini dikarenakan bentuknya menyerupai globe. Mespilia globulus memiliki sebutan nama latin yaitu Blue Tuxedo Urchin. Mespilia globulus memiliki ciri khas berupa tubuh yang lebih kecil dari Tripneustes geratilla, memiliki 5-10 celah tanpa duri sebanyak 5-10 dengan warna hitam atau biru tua, memiliki duri berwarna merah coklat serta di celah-celah duri terdapat kaki-kaki ambulakral. Pada sisang hari akan bersembunyi di celah-celah bebatuan atau dibawah tanaman dengan substrat berpasir.

4. Tripneustes ventricosus

Tripneustes ventricosus memiliki pelengkap eksternal yang sangat berkembang. Bentuk tubuhnya berwarna coklat tua, berbentuk hemispherically yang bisa tumbuh hingga diameter horisontal setinggi 150 mm. Tiga macam duri pendek dengan pewarnaan putih menonjol serta pedicellaria yang melonjak yang tertutup lapisan jaringan cokelat tebal. (Alender dan Russell, 1966; Hendler, et al,

1995; Lawrence, 1987).

20 Tripneustes ventricosus dapat ditemukan di dua tempat yang berbeda.

Yang pertama ada di dasar pasir dan ganggang yang padat. Yang kedua ada di terumbu, batuan terumbu karang, dan di antara bebatuan di sepanjang garis pantai. Tripneustes ventricosus seringkali hidup berdampingan dengan spesies lain, Lytechinus variegatus. Habitat ini juga hidup di daerah tropis dengan suhu hampir sampai hangat sepanjang tahun (Hendler, et al., 1995; Moore, 1966).

5. Echinometra mathei

Echinometra mathei merupakan bulu babi yang masuk kedalam pencil urcin, Echinometra mathei memiliki ciri-ciri berupa duri yang besar serta padat serta agak panjang dengan ujung runcing, durinya berwarna cokelat pada pangkal duri berwarna agak putih serta cangkangnya berwarna hitam kemerahan. Habitatnya di daerah karang pada perairan yang dangkal.

6. Echinothrix calamaris

Echinothrix calamaris dikenal juga dengan Banded urchin, Echinothrix calamaris memiliki ciri khas berupa duri-duri, dimana terbagai atas dua duri yaitu duri halus berwarna hitam kemerahan dan duri besar atau kasar berwarna dasar putih di mana di balut warna hitam bermotif berupa cincin, jadi terlihat belang- belang. Habitat pada daerah karang, serta lamun berpasir.

7. Maretia planulata

Dengan habitatnya, Tripneustes ventricosus dapat ditemukan di dua tempat yang berbeda. Yang pertama ada di dasar pasir dan ganggang yang padat. Yang kedua ada di terumbu, batuan terumbu karang, dan di antara bebatuan di sepanjang garis pantai. Tripneustes ventricosus seringkali hidup berdampingan dengan spesies lain, Lytechinus variegatus. Habitat ini juga hidup di daerah tropis dengan suhu hampir sampai hangat sepanjang tahun (Hendler, et al., 1995; Moore, 1966).

21 B. Ekosistem Lamun

Lamun (seagrass) adalah satu – satunya kelompok tumbuhan berbunga, berbuah dan menghasilkan biji yang terdapat di lingkungan laut, mempunyai tunas, berdaun tegak dan tangkai – tangkai yang merayap efektif untuk berbiak, mereka juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkat gas – gas dan zat – zat hara (Romimohtarto, 1991). Lamun pada umumnya terdiri atas satu bunga jantan dan satu bunga betina yang penyerbukannya di lakukan di dalam air kecuali Enhalus mempunyai bunga yang mencapai permukaan dan penyerbukannya di bantu oleh angin dan serangga (Nontji, 1993).

Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir dan sering dijumpai di terumbu karang. Lamun merupakan ekosistem yang produktivitas organiknya cukup tinggi dan dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan perairan di sekitarnya menjadi lebih tenang (Whitten et al., 1987).

Lamun dapat berkembang biak pada lingkungan perairan laut dangkal, estuaria yang mempunyai kadar garam tinggi, substrat pasir, pantai berlumpur lunak dan karang, serta ditemukan melimpah di daerah sub litoral bahkan sampai kedalaman 50 – 60 meter (Nybakken, 1992).

Habitat lamun dapat pula dipandang sebagai suatu ekosistem, dalam hal ini interaksi tumbuhan dan bintang di pandang sebagai proses – proses tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh interaksi dan faktor – faktor tunggal biologi dan fisik kimiawi. Padang lamun berfungsi sebagai daerah asuhan, pelindung dan tempat makan ikan, avertebrta, dugong, bulu babi dan lain – lain.

Padang lamun juga mengikat dan berinteraksi dengan terumbu karang dan mangrove dalam mengurangi energi gelombang serta mengatur aliran air

(Romimohtarto, 1991).

22 C. Parameter Fisika – Kimia Perairan

Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola kehidupan organisme perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat (Nybakken,

1992). Effendi (2003), menjelaskan bahwa peningkatan suhu perairan akan meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, sehingga konsumsi oksigen menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C, menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat.

Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993).

Gastropoda yang hidupnya berpindah-pindah seperti halnya bulu babi mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan

Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos adalah 15 - 35‰.

pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum,

1993). Effendi (2003) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.

Dissolved oxygen adalah banyaknya oksigen yang terlarut di dalam air.

Oksigen di dalam badan perairan dapat berasal dari oksigen atmosferik dan hasil

23 dari fotosintesis. Oksigen tidak terdistribusi secara merata didalam badan perairan. Oksigen terlarut tertinggi biasanya terdapat pada permukaan hingga kedalaman 10 – 20 m. Semakin dalam badan perairan, DO akan berkurang karena berkurangnya fotosintesis akibat terbatasnya penetrasi cahaya matahari, dan mencapai kadar terendah pada kedalaman 500 – 1000m. Di bawah zona tersebut kadar oksigen akan kembali meningkat. Hal yang dapat mengurangi kandungan oksigen di badan perairan antara lain adalah proses metabolisme organisme laut dan proses penguraian (Suantika, 2007).

D. Jenis Substrat

Nybakken (1992) menjelaskan bahwa substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi struktur komunitas makrobenthos. Penyebaran makrobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Bulu babi biasanya menempati substrat berupa lamun dan karang. Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos (Odum, 1994). Tekstur substrat dikelompokkan dalam segitiga tekstur sedimen, pengelompokan tersebut berdasarkan presentase pasir, liat dan debu (Gambar 2).

Gambar 2. Segitiga tekstur sedimen (Madjid, 2010)

24 Tekstur pasir memiliki laju peresapan air yang baik, kapasitas menahan air rendah, dan kandungan hara rendah. Tekstur liat kapasitas pengikatan air tinggi, aerasi kurang baik dan kandungan hara tinggi. Tekstur debu memiliki sifat antara pasir dan liat. Sedangkan tanah geluh adalah tanah yang memiliki kandungan pasir, debu dan liat hampir sama dan apabila ditetesi air sampai teksturnya agak melekat, maka akan mudah dibentuk seperti sosis dan akan retak atau patah jika dibengkokkan (Sutanto, 2005).

E. Bahan Organik dalam Sedimen

Sedimen merupakan padatan yang dapat langsung mengendap jika air didiamkan dan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap tersebut terdiri dari partikel – partikel padatan yang mempunyai ukuran relatif besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya.

Debu dan liat merupakan padatan yang dapat mengendap dengan sendirinya terutama jika airnya tidak terguncang (Fardiaz, 1992).

Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan substrat. Bahan organik di dalam ekosistem perairan dapat berasal dari dalam perairan itu sendiri (autochtonous) maupun berasal dari luar (allochtonous). Bahan organik yang berasal dari luar didapat dari adanya proses alami yang terbawa oleh air tanah dan air permukaan tanah serta berasal dari aktivitas manusia yang langsung memasukkan bahan organik ke dalam suatu perairan. Laju dan pertambahan kandungan bahan organik memiliki pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar

(Effendi, 2003).

F. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi

Indeks keanekaragaman diartikan sebagai suatu gambaran secara matematik tentang jumlah spesies suatu organisme dalam suatu populasi. Indeks keanekargaman akan mempermudah dalam menganalisa informasi – informasi

25 mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Cara yang paling sederhana dalam menentukan indeks keanekaragaman yaitu dengan menghitung persentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragamannya walaupun nilai ini juga sangat bergantung dari jumlah total individu masing – masing spesies (Kaswadji, 1974).

Untuk menggambarkan jumlah spesies atau yang mendominansi dan bervariasi maka digunakan indeks keseragaman (E). Semakin kecil nilai E, maka keseragaman populasi semakin kecil, artinya penyebaran individu setiap spesies tidak sama serta ada kecenderungan suatu spesies mendominansi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai E, maka populasi menunjang keseragaman, dimana jumlah individu setiap spesies atau genus sama atau hampir sama (Nurwahyuni (2007) dalam Syamsidar, 2013). Data penilaian kualitas air berdasarkan nilai indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria kualitas air berdasarkan indeks keseragaman Nilai Indeks Kondisi Komunitas Keseragaman 0,00 – 0,50 Komunitas berada pada kondisi tertekan 0,50 – 0,75 Komuniitas berada pada kondisi labil 0,75 – 1,00 Komunitas berada pada kondisi stabil

Indeks dominansi adalah penggambaran mengenai perubahan struktur dari komunitas suatu perairan untuk mengetahui peranan suatu sistem komunitas serta efek gangguan pada komposisi, struktur, dan laju pemulihannya. Untuk menegtahui apakah suatu komunitas didominansi oleh organisme tertentu, maka dapat diketahui dengan mnghitung indeks dominansi (C). Apabila nilai C menghampiri 1, maka ada organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan dan apabila nilai C mendekati nilai 0 maka tidak ada organisme yang mendominasi.

26 Clark and Rowe, (1971) dalam Radjab (2014) menyatakan bahwa

Echinodermata dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai, mulai dari daerah pasang surut sampai perairan dalam dengan kedalaman antara 0,5 sampai 40 meter. Echinodermata lebih menyukai perairan yang jernih dan relatif tenang. Pada umumnya setiap jenis memiliki habitat yang spesifik, seperti

EChinodermata pada ekosistem pasir, lamun dan terumbu karang. Aziz, (1995) menyatakan bahwa bulu babi sangat umum ditemui di perairan dangkal, penghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun. Yusron dan Susetino,

(2006) menyatakan bahwa bulu babi (Echinoidea) merupakan anggota kelompok

Echinodermata yang kehadirannya cukup banyak di zona lamun dan rumput laut.

Sebaran fauna Echinodermata pada ketiga habitat tersebut diduga terutama dipengaruhi oleh faktor makanan dan cara makan tiap jenisnya.

Menurut Arakaki dan Uehara, (1991) dalam Moningkey (2010) 6 bahwa bulu babi biasanya hidup mengelompok tergantung dari jenis habitatnya. Di sepanjang perairan pantai hewan ini memiliki variasi spesies yang cukup besar dan melimpah. Pertumbuhan bulu babi cukup tinggi pada daerah karang, hal ini disebabkan karena adanya dukungan berbagai faktor makanan antara lain banyaknya mikroorganisme yang menempel pada karang yang merupakan makanan bulu babi. Selain itu karang merupakan tempat berlindung jenis organisme termasuk bulu babi (Nybakken, 1992).

Aziz, (1994) menyatakan bahwa genus Diadema merupakan kelompok bulu babi herbivora yang dapat dijumpai di daerah pertumbuhan algae

(ekosistem terumbu karang) Hal ini disebabkan karena disamping memakan daun lamun, bulu babi jenis ini memakan algae. Aziz, (1996) menyatakan bahwa pada zona pertumbuhan algae, Diadema setosum bisa hidup mengelompok atau menyendiri, beberapa jenis bulu babi lainnya cenderung hidup menyendiri di

27 zona ini seperti bulu babi Echinotrix calamaris, Echinotrix diadema, dan kadang juga di temukan Mespilia globulus.

Sugiarto dan Supardi, (1995) dalam Purwandatama (2014) bahwa

Diadema setosum memiliki tempat hidup di ekosistem terumbu karang, dimana jenis ini bisa menempati rataan pasir, daerah pertumbuhan algae, pecahan karang dan karang mati, serta rataan karang dan daerah tubir karang. Bulu babi yang hidup di zona rataan pasir, daerah pertumbuhan algae, dan rataan karang biasanya hidup secara mengelompok dalam kelompok besar sedangkan di daerah tubir karang bulu babi ini hidup dalam kelompok kecil atau hidup menyendiri dalam lubang karang mati dan pecahan karang.

Aziz, (1994) menyatakan bahwa bulu babi Tripenustes gratilla lebih sering dijumpai di daerah padang lamun dibandingkan dengan daerah terumbu karang

Tripneustes gratilla lebih menyukai daun lamun ketimbang algae. Radjab, (2004) mengemukakan bahwa Tripneustes gratilla menjadikan daerah padang lamun sebagai habitat paling baik untuk perkembangan dan berlindung. Menurut Aziz,

(1996) bahwa Tripneustes gratilla melindungi diri dari hempasan ombak, serangan 33 predator, dan sengatan terik matahari berusaha untuk melapisi dirinya dengan potongan algae, lamun atau dengan serpihan kerang.

28 BAB III METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada pada bulan Agustus – Oktober 2017 di dua habitat lamun yang berbeda yaitu lamun padat (tutupan > 80 %) terletak di sebelah Timur Lautdengan posisi 05°02’47.19” - 199°19’34.93” dan pada lamun jarang (tutupan 20-40%) terletak di sebelah Barat Lautdengan posisi

05°03’50.17” - 199°19’58.54” di Pulau Barrang Lompo (Gambar 3).

Nurul Huda Musfirah L211 12 253

Pe ri ka na n U ni ve rs it a s H as a nuddin Ma ka s s ar 2 0 1 7 Gambar 3. Peta lokasi penelitian (Google earth, 2017)

B. Alat dan Bahan Penelitian

Adapun alat yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu alat snorkeling untuk mengamati sampel, GPS untuk menentukan titik stasiun lokasi penelitian, patok untuk penyangga tali, tali untuk membantu menandai wilayah pengamatan atau garis transek, meteran untuk mengukur jarak transek yang ditarik dari garis pantai, kantong sampel untuk menyimpan sampel, pompa yabbie untuk mengambil sampel substrat dan sedimen, refraktometer untuk pengukuran salinitas air laut, water quality checker untuk mengukur (suhu, pH, konduktivitas,

29 turbiditas, dan DO perairan), kamera untuk dokumentasi, sabak untuk mencatat jumlah dan jenis bulu babi dan lamun. Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu aquades untuk menetralisir alat.

C. Tahapan Penelitian

Penelitian ini memiliki empat tahapan yaitu tahap persiapan, tahap observasi, tahap penentuan lokasi dan stasiun penelitian, dan tahap pengamatan dan pengambilan sampel.

1. Tahap Persiapan

Rangkaian kegiatan sebelum memulai penelitian seperti konsultasi, pengumpulan referensi, dan menyiapkan peralatan yang di gunakan untuk penelitian.

2. Tahap Observasi

Setelah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam penelitian, langkah selanjutnya yaitu melakukan observasi ke lapangan untuk mendapatkan lokasi penelitian yang sesuai.

3. Tahap Penentuan Lokasi dan Stasiun Penelitian

Penentuan lokasi dan stasiun penelitian dilakukan setelah tahap observasi. Pada penelitian ini stasiun ditentukan berdasarkan sebaran dan tutupan lamun sehingga terdapat dua stasiun yaitu stasiun Iberada pada daerah yang lamun jarang (SS = Seagrass Sparse), sedangkan stasiun II berada pada daerah yang lamun padat (SD = Seagrass Dense). Titik stasiun di tentukan dengan menggunakan GPS.

4. Tahap Pengamatan dan Pengambilan Sampel a. Pengambilan data bulu babi

Pengamatan dilakukan pada saat air surut terendah dengan bantuan peralatan snorkeling. Pengamatan dan pengambilan sampel bulu babi dan lamun dilakukan dengan metode observasi dan metode transek kuadrat. Transek

30 kuadrat berukuran 10 x 10 m dipasang di sepanjang area stasiun I di dalam 100 m sejajar dengan garis pantai dan 50 m dari pantai ke arah laut dengan menggunakan jumlah langkah kaki yang di peroleh dari RNI (Gambar 4) sebanyak 10 kali ulangan, begitupun untuk stasiun II.

Lamun Jarang

rat 150 m 100 m

Pulau Lamu 10x10m Barrang n Padat

Transek Kuad Transek Lompo

100 m Transek Kuadrat 50 m 10x10m

Gambar 4. Lokasi Penelitian

Bulu babi yang terdapat di dalam transek kuadrat 10 x 10 m akan di identifikasi jenisnya dan dihitung jumlahnya, tetapi apabila ditemukan bulu babi yang tidak dapat di identifikasi secara langsung maka akan di bawa ke laboratorium untuk di identifikasi lebih lanjut dengan menggunakan buku identifikasi Fauzan (2015). b. Pengamatan lamun dan pengambilan data

Pengamatan lamun di lapangan dengan menggunakan transek kuadrat

50 x 50 cm yang di lempar secara acak sebanyak 2 kali lemparan di dalam transek kuadrat 10 x 10 m. Pengambilan data lamun meliputi jenis lamun, menghitung jumlah tegakan, pengukuran persen penutupan lamun dan pengamatan terhadap vegetasi asosiasi. Pengambilan lamun ini dibatasi hanya pada transek kuadrat dan pengamatan dilakukan dengan menggunakan snorkeling. Hasil data pengamatan lamun disajikan pada Lampiran 1.

Penutupan spesies lamun diestimasi berdasarkan standar presentase penutupan yang digunakan dalam monitoring lamun oleh Seagrass Watch.

31 Penggunaan standar ini sangat penting untuk menghindari bias karena estimasi didasarkan pada pengamatan visual yang bersifat kualitatif atau semi kualitatif.

Presentasi penutupan lamun sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti spesies lamun, kerapatan lamun dan sebaran lamun (Short et al, 2004). c. Pengambilan data kualitas air

Pengukuran kualitas air dilakukan bersamaan saat pengambilan data bulu babi dan lamun dengan menggunakan alat water quality checker. Pengukuran kualitas air meliputi pengambilan suhu, salinitas, derajat keasaman (N pH),dan oksigen terlarut (DO). Sedangkan pengambilan data sedimen dan substrat menggunakan pompa yabbie yang dimasukkan sedalam 10 – 20 cm.

D. Analisis Data

 Komposisi Jenis

Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis dihitung dengan menggunakan rumus (English et al., 1997).

= 100% Dimana :

Ki = Komposisi jenis ke – i (%)

ni = Jumlah individu jenis ke – i (ind)

N = Jumlah total individu (ind)

 Kepadatan

Kepadatan jumlah individu per unit area (Brower J.E. et al., 1989) dapat diketahui dengan rumus berikut seperti yang digunakan oleh peneliti lain (contoh

: Soegianto, 1994) :

=

32 Dimana :

Di = Kepadatan untuk spesies i

ni = Jumlah individu setiap spesies

A = Luas total habitat yang di sampling (ind/m2)

 Kepadatan Relatif

Kapadatan relatif (relative species density = RSD) adalah proporsi dari jumlah individu suatu spesies terhadap jumlah individu seluruh spesies (Omar,

2013).

= Dimana : Ʃ

RSDi = Kepadatan relative spesies ke - i

Di = Kepadatan spesies ke - i

ƩD = Jumlah total kepadatan dari semua spesies

 Indeks Keanekaragaman

Untuk mengetahui indeks keanekaragaman digunakan formula Shannon

– Winner (Odum, 1993).

2 = − Ʃ = Dimana :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon

Pi = Proporsi kelimpahan dari individu ke I (ni / N)

ni = Jumlah individu setiap spesies

N = Total individu seluruh spesies

Dengan kriteria,

H’ < 1 : Keanekaragaman rendah

1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang

H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi

33 Untuk menghitung perbedaan indeks keanekaragaman antar stasiun dihitung dengan rumus t.hitung berdasarkan Bengen (2000) dalam Ismail (2015).

1 − 2 ℎ = √ 1 + 2

Dimana :

H’1 dan H’2 = Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun yang

diperbandingkan

Var H’1 dan Var H’2 = Varians pada stasiuan yang diperbandingkan

Varians dihitung dengan rumus Bengen (2000) dan Jayaraman (1999) dalam Ismail (2015).

2 2 Ʃ ( ) − (Ʃ ) − 1 = + Dimana : 2

H’ = Indeks diversitas Shannon – Wienner

Pi = ni / N (Proporsi jenis ke – i)

ni = Jumlah individu jenis ke – i (ind)

N = Jumlah total individu

S = Jumlah spesies

Derajat bebas dihitung dengan menggunakan :

( 1 + 2) = ( ) ( ) +  Indeks Keseragaman

Keseragaman bulu babi pada masing – masing stasiun dihitung menggunakan formula Shannon – Winner (Odum, 1993),

′ = 2

34 Dimana :

E = Indeks keseragaman

H’ = Indeks keanekaragaman

S = Jumlah spesies

Dengan kriteria,

E mendekati 0 : Penyebaran jenis tidak merata

E mendekati 1 : Penyebaran jenis relatif merata

 Indeks Dominansi

Indeks dominansi menunjukkan keseimbangan dalam suatu pembagian jumlah individu tiap jenis dan dihitung dengan indeks dominansi Simpson

(Magguran, 1988).

Ʃ ( − 1) = Dimana : ( − 1)

D = Indeks dominan Simpson

ni = Jumlah individu setiap spesies

N = Total individu seluruh spesies

Dengan kategori indeks dominansi :

D mendekati 0 (D< 0,5) : tidak ada jenis yang mendominasi

D mendekati 1 (D> 0,5) : ada jenis yang mendominasi

 Analisis statistik

Adapun analisis statistik yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis korelasi dan uji t.

35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Komposisi Jenis Bulu babi

Komposisi jenis bulu babi yang di depatkan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 2.

Tabel 2. Komposisi jenis bulu babi yang di temukan di Pulau Barrang Lompo Spesies Seagrass Sparse (SS) Seagrass Dense (SD) Diadema setosum √ √ Mespilia globules √ √ Echinothrix calamaris √ √ Tripneustes gratilla - √ Lytechinus variegates - √ Tripneustes ventricosus - √ Jumlah 3 6 Keterangan = √ : ada - : tidak ada

Komposisi jenis bulu babi ditemukan sebanyak 6 jenis terdiri atas tiga family yaitu family Diadematidae (Diadema setosum dan Echinothrix calamaris), family Temnopleuridae (Mespilia globulus), dan family Toxopneustidae

(Tripneustes gratilla, Lytechinus variegates, dan Tripneustes ventricosus). Pada

Tabel 2 terlihat bahwa jumlah jenis bulu babi terbanyak di temukan pada stasiun I dikarenakan berada di daerah yang padat lamun (SS).

Pada penelitian di Pulau Sapudi Kab. Sumenep Prov. Jawa Timur, jenis bulu babi yang ditemukan sebanyak 8 jenis terdiri atas empat family yaitu family

Diadematidae (, Diadema setosum, Diadema savignyi, dan

Echinothrix calamaris), family Temnopleuridae (Mespilia globulus dan

Temnopleurus alaxandri), family Echinometridae (Echinometra mathaei), dan family Toxopneustidae (Tripneustes gratilla) (Mistiasih, 2013). Sedangkan pada perairan pesisir Pantai Teluk Nibung Kec. Pulau Banyak Kab. Aceh Singkil Prov.

Banda Aceh, jenis bulu babi yang ditemukan sebanyak 4 jenis yaitu Diadema

36 setosum, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, dan Arbacia lixula

(Ibrahim, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga jenis bulu babi yang di temukan pada lamun jarang dan enam jenis bulu babi yang di temukan pada lamun padat. Komposisi jenis pada keduastasiun dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Komposisi Jenis (%) pada stasiun I di daerah lamun jarang (SS)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga jenis yang paling banyak ditemukan yaitu jenis Diadema setosum yang memiliki komposisi jenis sebesar 98,82%, sedangkan pada jenis Mespilia globulus sebesar 0,78%, dan yang paling sedikit ditemukan yaitu jenis Echinothrix calamaris yaitu sebesar

0,39%. Dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 6. Komposisi jenis (%) pada stasiun II di daerah lamun padat (SD)

37 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keenam jenis yang paling banyak ditemukan yaitu jenis Diadema setosum yang memiliki komposisi jenis sebesar 28,46%, pada jenis Mespilia globulus sebesar 43,09%, pada jenis

Tripneustes gratilla sebesar 10,57%, pada jenis Lytechinus variegates sebesar

9,76%, pada jenis Tripneustes ventricosus sebesar 7,32% dan yang paling sedikit ditemukan yaitu jenis Echinothrix calamaris yaitu sebesar 0,81%. Dapat dilihat pada Lampiran 2.

B. Kepadatan Individu dan Kepadatan Relatif

1. Kepadatan Jenis Bulu Babi

Hasil analisis kepadatan jenis pada kedua stasiun dapat dilihat pada

Tabel 7 dan 8, serta Lampiran 3.

Tabel 7. Kepadatan jenis pada stasiun I di daerah lamun jarang (SS) Luas Stasiun Kepadatan Bulu Babi Spesies ni (A (m²)) (ind/m²) Diadema setosum 252 100 2.52 Mespilia globulus 2 100 0.02 Echinothrix calamaris 1 100 0.01

Tabel 8. Kepadatan jenis pada stasiun I di daerah lamun padat (SD) Luas Stasiun Kepadatan Bulu Babi Spesies ni (A (m²)) (ind/m²) Diadema setosum 35 100 0.35 Mespilia globulus 53 100 0.53 Tripneustes gratilla 13 100 0.13 Lytechinus variegates 12 100 0.12 Tripneustes ventricosus 9 100 0.09 Echinothrix calamaris 1 100 0.01

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan bulu babi tertinggi terdapat pada jenis Diadema setosum (2.52 ind/m2) pada stasiun I daerah lamun jarang, sedangkan kepadatan paling kecil terdapat pada jenis Echinothrix calamaris (0,01 ind/m2) yang ditemukan pada kedua stasiun. Dari hasil uji t menunjukkan kepadatan bulu babi pada daerah lamun jarang (SS = Seagrass

38 Sparse) lebih besar dari pada daerah lamun padat (SD = Seagrass Dense)

(t hitung (1.8707) > t tabel (1,7396)) (Lampiran 4).

Di Pulau Sapudi Kab. Sumenep Prov. Jawa Timur yaitu stasiun I kepadatan bulu babi tertinggi terdapat pada jenis Echinometra mathaei sebesar

5,08 ± 3,26 ind/m2 dan terendah pada jenis Tripneustes gratilla sebesar 2,25 ±

1,16 ind/m2, stasiun II kepadatan bulu babi tertinggi terdapat pada jenis Diadema setosum sebesar 12,70 ± 12,48 ind/m2 dan terendah pada jenis Echinothrix calamaris sebesar 1,33 ± 0,58 ind/m2, stasiun III kepadatan bulu babi tertinggi terdapat pada jenis Echinometra mathaei sebesar 7,56 ± 7,14 ind/m2 dan terendah pada jenis Echinothrix diadema sebesar 1,00 ± 0,00 ind/m2, dan stasiun

IV kepadatan bulu babi tertinggi terdapat pada jenis Diadema setosum sebesar

14,51 ± 10,83 ind/m2 dan terendah pada jenis Echinothrix calamaris sebesar 1,50

± 0,71 ind/m2 (Mistiasih, 2013). Sedangkan kepadatan bulu babi pada perairan pesisir Pantai Teluk Nibung Kec. Pulau Banyak Kab. Aceh Singkil Prov. Banda

Aceh adalah berkisar 0,079 ind/m2 sampai dengan 0,193 ind/m2 (Ibrahim, 2017).

Ini disebabkan karena bulu babi jenis Diadema setosum bisa hidup di ekosistem terumbu karang (zona pertumbuhan alga) dan ekosistem lamun. Bulu babi ini ditemukan di daerah intertidal sampai kedalaman 10 m dan merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30 – 40‰ (Aziz, 1995 dalam Hasan, 2002). Kebanyakan bulu babi beraturan hidup pada substrat keras, yakni batu – batuan atau terumbu karang dan hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan lumpur, karena pada kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat.

2. Kepadatan relatif bulu babi

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga jenis bulu babi yang di temukan pada lamun jarang dan enam jenis bulu babi yang di

39 temukan pada lamun padat. Kepadatan relatif pada masing – masing jenis di kedua stasiun dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Kepadatan relatif (%) pada stasiun I di daerah lamun jarang (SS)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga jenis yang paling banyak ditemukan yaitu jenis Diadema setosum yang memiliki kepadatan relatif sebesar 99%, sedangkan yang paling sedikit ditemukan yaitu jenis Mespilia globulus sebesar 1% dan Echinothrix calamaris sebesar 0%. Ini disebabkan karena kebanyakan jenis Diadema setosum hidup pada substrat keras dan berpasir. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 5.

1%

7% Diadema setosum 10% 28% Mespilia globulus

11% Tripneustes gratilla Lytechinus variegates

43% Tripneustes ventricosus Echinothrix calamaris

Gambar 10. Kepadatan Relatif (%) pada stasiun II di daerah lamun padat (SD)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keenam jenis yang paling banyak ditemukan yaitu jenis Mespilia globulus yang memiliki kepadatan relatif sebesar 43%, pada jenis Diadema setosum sebesar 28%, pada jenis Tripneustes gratilla sebesar 11%, pada jenis Lytechinus variegates sebesar 10%, pada jenis

Tripneustes ventricosus sebesar 7% dan yang paling sedikit ditemukan yaitu

40 jenis Echinothrix calamaris yaitu sebesar 1%. Ini disebabkan karena kebanyakan jenis Mespilia globulus hidup pada lamun. Dapat dilihat pada Lampiran 2.

C. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi

Nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi pada kedua stasiun yaitu stasiun I daerah lamun padat (SD) dan stasiun II daerah lamun jarang (SS), dapat terlihat pada Gambar 11 dan

Lampiran 6.

Gambar 11. Nilai indeks ekologi pada kedua stasiun

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada kedua stasiun terdapat pada stasiun II (lamun padat) yaitu 1,4154, sedangkan yang terkecil / terendah terdapat pada stasiun I (lamun jarang) yaitu

0,0715. Dari hasil uji t menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman jenis di daerah lamun padat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah lamun jarang

(t hit > t tabel) (Lampiran 7).

Indeks keanekaragaman di Pulau Sapudi Kab. Sumenep Prov. Jawa

Timur yaitu keanekaragaman rendah berkisar 0,42 – 0,73 (Mistiasih, 2013).

Begitu pun pada perairan pesisir Pantai Teluk Nibung Kec. Pulau Banyak Kab.

Aceh Singkil Prov. Banda Aceh yaitu keanekaragaman rendah berkisar 0,145 –

0,309 (Ibrahim, 2017).

41 Hal ini berdasarkan kriteria Shanon – Wienner (1949) dalam Dahuri

(1994) menyatakan nilai keanekaragaman dikategorikan bahwa jika H’ < 1 yaitu keanekaragaman spesies, penyebaran individu, kestabilan komunitas rendah, jika 1 < H’ < 3 menandakan keanekaragaman spesies, penyebaran individu, kestabilan komunitas sedang, jika H’ > 3 menandakan keanekaragaman spesies, penyebaran individu, kestabilan komunitas tinggi.

Indeks keseragaman jenis pada kedua stasiun berkisar 0,0650 - 0,7900.

Indeks keseragaman tertinggi (E>0,5) terdapat pada stasiun II (lamun padat), ini disebabkan stasiun tersebut memiliki sebaran individunya merata / jumlah individu tiap spesies hamper sama. Sedangkan indeks keseragaman rendah

(E<0,5) yaitu pada stasiun I (lamun jarang), ini disebabkan stasiun tersebut memiliki jenis tertentu yang melimpah yaitu hanya satu jenis bulu babi.

Indeks keseragaman di Pulau Sapudi Kab. Sumenep Prov. Jawa Timur yaitu berkisar 0,47 – 0,80 (stasiun I sebesar 0,80 berarti memiliki komunitas stabil, stasiun II sebesar 0,54 dan stasiun III sebesar 0,56 berarti memiliki komunitas labil, dan stasiun IV sebesar 0,47 berarti berada pada komunitas tertekan) (Mistiasih, 2013). Sedangkan indeks keseragaman pada perairan pesisir Pantai Teluk Nibung Kec. Pulau Banyak Kab. Aceh Singkil Prov. Banda

Aceh yaitu berkisar antara 40 – 80 % (Ibrahim, 2017).

Hal ini berdasarkan pendapat Odum (1993), apabila nilai indeks keseragaman (E) mendekati 1 (E>0,5), maka sebaran individu antara jenis relatif sama, tetapi jika E mendekati 0 (E<0,5), maka terdapat sekelompok jenis spesies tertentu yang jumlahnya relatif melimpah daripada jenis lainnya.

Nilai indeks dominansi (D) yang menunjukkan dominan terdapat pada stasiun I (lamun jarang) sebesar 0,9766, dan stasiun yang nilai indeks dominansi rendah berada pada stasiun II (lamun padat) sebesar 0,2870. Melihat besar nilai dominansi pada stasiun I (lamun jarang), dapat dikatakan bahwa stasiun tersebut

42 terdapat sekelompok spesies bulu babi yang jumlahnya relatif berlimpah

(dominan) yaitu spesies Diadema setosum.

Indeks dominansi di Pulau Sapudi Kab. Sumenep Prov. Jawa Timur yaitu pada stasiun I (0,21), stasiun II (0,44) dan stasiun III (0,46) memiliki dominansi rendah dengan kriteria 0 < C ≤ 0,50, pada stasiun IV (0,53) memiliki dominansi sedang dengan kriteria 0,50 < C ≤ 0,75 (Magurran, 1988). Hal ini menandakan bahwa komunitas bulu babi di Pulau Sapudi berada dalam kondisi yang relative stabil dengan dominansi yang rendah (Dobo, 2009) (Mistiasih, 2013).Sedangkan pada perairan pesisir Pantai Teluk Nibung Kec. Pulau Banyak Kab. Aceh Singkil

Prov. Banda Aceh yaitu indeks dominansi berkisar 0,863 – 0,936 (Ibrahim, 2017).

Hal ini berdasarkan (Dahuri, 1994) bahwa nilai dominansi (D) berada antara 0 sampai 1, jika nilai D mendekati angka 1, maka terdapat sekelompok jenis spesies tertentu yang jumlahnya relatif berlimpah (dominan) sedangkan jika nilai D mendekati angka 0 maka sebaran individu antara spesies merata.

D. Hubungan Antara Bulu babi dengan Ekosistem Lamun

Hasil analisis regresi dan korelasi antara bulu babi dan ekosistem lamun dapat dilihat kekuatan hubungannya dengan panduan menurut Sugiyono (2007) pada Tabel 5, 6, dan 7.

Tabel 5. Angka Interprestasi Angka Interprestasi Hubungan Korelasi 0 - 0,199 Sangat lemah 0,20 - 0,399 Lemah 0,40 - 0,599 Sedang 0,60 - 0,799 Kuat 0,80 - 1,0 Sangat Kuat

43 Tabel 6. Hubungan antara bulu babi dengan ekosistem lamun di daerah lamun jarang (SS) Ds Mg Ec Cymodocea rotundata -0.18 -0.11 -0.26 Thallasia hemprichii -0.13 0.33 0.28 Enhalus acoroides -0.54 0.15 0.35 Keterangan : Ds = Diadema setosum; Mg = Mespilia globulus; Ec = Echinothrix calamaris.

Hasil analisis korelasi bulu babi dan ekosistem lamun menunjukkan bahwa bulu babi jenis Diadema setosum, Mespilia globulus dan Echinothrix calamaris tidak memiliki hubungan keterkaitan dengan lamun jenis Cymodocea rotundata dan Thallasia hemprichii, serta bulu babi jenis Mespilia globulus dan

Echinothrix calamaris tidak memiliki hubungan keterkaitan dengan lamun jenis

Enhalus acoroides karena nilai korelasi jauh dari angka 1. Hal ini berdasarkan dengan panduan menurut Sugiyono (2007) yang menyatakan bahwa jika angka interprestasi 0 sampai 0,199 yaitu sangat lemah. Dan jika angka interprestasi

0,20 sampai 0,399 yaitu lemah. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai kepadatan lamun akan diikuti dengan pengurangan nilai kepadatan bulu babi, artinya tingkat kepadatan lamun tidak berasosiasi atau berkorelasi dengan bulu babi.

Sedangkan bulu babi jenis Diadema setosum memiliki hubungan keterkaitan atau asosiasi sedang dengan lamun jenis Enhalus acoroides meskipun menunjukkan arah negative. Hal ini di karenakan jenis Diadema setosum banyak ditemukan di daerah yang bersubstrat keras yakni batu – batuan atau terumbu karang.

Tabel 7. Hubungan antara bulu babi dengan ekosistem lamun di daerah lamun padat (SD) Ds Mg Tg Lv Tv Ec Cymodocea rotundata 0.13 0.45 0.10 0.53 0.43 0.27 Thallasia hemprichii 0.22 0.49 0.17 0.48 0.26 0.41 Enhlus acoroides -0.36 0.71 0.57 0.75 0.51 0.51 Syringodium isotifolium -0.21 -0.31 -0.24 -0.47 -0.37 -0.25 Holodule uninervis -0.22 -0.39 0.19 -0.40 -0.27 -0.27 Keterangan : Ds = Diadema setosum; Mg = Mespilia globulus; Tg = Tripneustes gratilla; Lv = Lytechinus variegates; Tv = Tripneustes ventricosus; Ec = Echinothrix calamaris.

44 Hasil analisis korelasi bulu babi dan ekosistem lamun menunjukkan bahwa bulu babi jenis Mespilia globulus, Lytechinus variegates dan Tripneustes ventricosus memiliki hubungan keterkaitan atau asosiasi sedang dengan lamun jenis Cymodocea rotundata karena nilai korelasi 0,40 – 0,599. Pada bulu babi jenis Mespilia globulus, Lytechinus variegates dan Echinothrix calamaris juga memiliki hubungan keterkaitan atau asosiasi sedang dengan lamun jenis

Thallasia hemprichii karena nilai korelasi 0,40 – 0,599. Pada bulu babi jenis

Tripneustes gratilla, Tripneustes ventricosus, dan Echinothrix calamaris juga memiliki hubungan keterkaitan atau asosiasi sedang dengan lamun jenis Enhalus acoroides karena nilai korelasi 0,40 – 0,599. Sedangkan pada bulu babi jenis

Mespilia globulus dan Lytechinus variegates memiliki hubungan keterkaitan atau asosiasi kuat dengan lamun jenis Enhalus acoroides karena bulu babi tersebut memperoleh makanan (sebagai grazer di ekosistem lamun) yang cukup, kondisi substratnya yang cocok serta kondisi perairan yang baik untuk kelangsungan hidupnya.

E. Parameter Kualitas Air dan Substrat

Berdasarkan pengukuran parameter kualitas air dan substrat selama penelitian di Pulau Barrang Lompo telah didapatkan perhitungan dengan hasil rata – rata yang dapat dilihat di bawah ini (Tabel 4 dan Tabel 5).

Table 6. Nilai kisaran kualitas air di Pulau Barrang Lompo Kisaran Nilai Kualitas Air Temperature (°C) 28 - 31.5 Sailnity (‰) 32 – 33 pH 7.4 - 7.8 DO (ppm) 3.6 - 4.9

Table 5. Nilai kisaran substrat di Pulau Barrang Lompo Tekstur Sedimen Komposisi (%) Pasir (sand) 92 – 95 Silt (lanau) 2 – 6 Liat 2 – 4

45 Suhu berada pada kisaran 28 - 31.5°C, hal ini menunjukkan suhu di perairan tersebut adalah baik untuk pertumbuhan bentos sebagaimana menurut

Suhada (1991) menyatakan suhu yang baik untuk pertumbuhan bentik di perairan tropis berkisar antara 25°C sampai 30°C.

Salinitas berada pada kisaran 32 – 33 ppt, sesuai menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobentos adalah 15 - 35‰.

pH berada pada kisaran 7.4 – 7.8, nilai ini menunjukkan sesuai dengan hewan bentos sebagaimana menurut Effendi (2003) bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5.

DO (oksigen terlarut) berada pada kisaran 3.6 – 4.9 ppm, sesuai menurut Swingle (1968) kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).

Kandungan oksigen ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme.

Fraksi substrat yang dihasilkan ada 3 yaitu pasir, debu, dan liat.Fraksi pasir mendominasi kedua stasiun pengamatan karena memiliki nilai fraksi tertinggi yaitu sebesar 92–95%, diikuti oleh fraksi debu yaitu sebesar 2–6% dan yang terkecil adalah nilai fraksi liat karena memiliki nilai fraksi sebesar 2–4%.

46 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Komposisi jenis bulu babi yang ditemukan di Pulau Barrang Lompo

sebanyak 6 jenis bulu babi yaitu dari family Diadematidae (Diadema

setosum dan Echinothrix calamaris), family Temnopleuridae (Mespilia

globulus), dan family Toxopneustidae (Tripneustes gratilla, Lytechinus

variegates, dan Tripneustes ventricosus);

2. Kepadatan bulu babi pada daerah lamun jarang lebih besar dari pada

daerah lamun padat;

3. Indeks keanekaragaman di daerah lamun padat lebih tinggi dibandingkan

dengan daerah lamun jarang;

4. Bulu babi Diadema setosum dominan ditemukan di daerah lamun jarang,

sedangkan pada daerah lamun padat tidak ditemukan spesies bulu babi

yang dominan.

5. Pada daerah lamun jarang kepadatan bulu babi tidak memiliki hubungan

keterkaitan atau asosiasi dengan ekosistem lamun. Namun pada lamun

padat kepadatan bulu babi memiliki hubungan keterkaitan atau asosiasi

dengan ekosistem lamun.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian mengenai tipe asosiasi tipe jenis bulu babi dengan jenis lamun. Selain itu juga perlu di teliti apakah keberadaan bulu babi di habitat lamun mengurangi populasi lamun terkait dengan bulu babi sebagai grazer di padang lamun.

47 DAFTAR PUSTAKA

Arakaki, Y dan T. Uehara. 1991. Physiological Adaptation of The Four Types of Echinometra Mathaei (Blainville). Dalam Yanagisawa, Yasuma, Oguro, Suzuki Dan Motokowa. (Eds.), Balkema, Roterdam.

Aziz, A. 1987.Makanan dan Cara Makan Berbagai Jenis Bulu Babi.Oseana.

Aziz, A. 1993. Beberapa Catatan Tentang Perikanan Bulu Babi. Balai Penelitian Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta.

Aziz, A. 1994.Tingkah Laku Bulu Babi di Padang Lamun.Oseana.

Azkab, M.H. 2006.Ada Apa dengan Lamun.Oseana.

Bengen, D.G. 2000.Sinopsis Teknis Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Brower J. E., J. H. Zar., and C. N. Von Ende. 1989. Field And Laboratory Methods for General Ekology.WCM.Brown Publisner. Dubuque. Indiana USA.

Clark, A.M and Rowe, F.W.E. 1971. Monograph of Shallow – Water Indo – West Pacific . Brithis Museum. London.

Czihak, G. 1971. Echinoids In :Experimental Embryology of Marine And Fresh Water Invertebrates. G. Reverberi (Eds.). North – Holland Publishing Company Amsterdam. London.

Dahuri, R. 1994. Analisi Biota Perairan Fakultas Perikanan Institute Pertanian Bogor.

Dahuri.1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta.

Dobo, J. 2009. Tripologi Komunitas Lamun Kaitannya dengan Populasi Bulu Babi di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Effendi, H. 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Perairan.Kanisius.Yogyakarta.

English, S., Wilkinson, C., and Baker, V. 1997. Survey Manual For Tropical Marine Resources, 2nd Edition. Townsville:Australian Institute Of Merine Science.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air Dan Udara.Kanisius. Jakarta.

Fisheries Diving Club Universitas Hasanuddin (FDC Unhas). 2016. (Online) Http://Www.Google.Co.Id/Amp/S/Fdcunhas98.Wordpress.Com/2016/06/ 25/Pulau-Barrang-Lompo-Kota-Makassar/Amp/. Diakses Pada Tanggal 30 Oktober 2017.

48 Guidice, G. 1986. The Sea Urchin Embryo : A Developmental Biological System. Springer London. London.

Gunarto dan Setabudi E. 2002.Pekembangan Gonad Bulu Babi(Tripneustes gratilla) di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jakarta : Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Hasan F. 2002. Pengaruh konsentrasi garam terhadap mutu produk fermentasi gonad bulu babi jenis Tripneustes gratilla (L). Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hickman, Larry S, and Allian L. 2001.Integrated Principles of Zoology.Elevent Edition. New York: The Mcgraw-Hill.

Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Ibrahim. 2017. Struktur komunitas Echinoidea (Bulu Babi) di Perairan Pesisir Pantai Teluk Nibung, Kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Skripsi. Fakultas Kaluatan dan Perikanan. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Ismail.2015. Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Bulu’ Poloe, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur.Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Jayaraman, K. 1999. Forestry Research Support Programme for Asia and the Pasific. A Stasistical Manual for Research FAO of The United Nations. Bangkok.

Jeng, M.S. 1998. Shallow – Water Echinoderms of Taiping Island in the South China Sea. Zoological Studies.

Kaswadji, R.F. et al. 1974. Produktifitas Primer dan Laju Pertumbuhan Fitoplankton di Perairan Pantai Bekasi.Jurnal. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan.

Kiswara W. dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara (Eds.). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan Kondisi Lingkungannya.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Lawrence E. 2005.Henderson’s Dictionary of Biology. Harlow, Pearson Prentice Hall.

Madjid, A. 2010. Bahan Kuliah Dasar – dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.

Magurran A. E. 1998. Ecological Diversity And Measurement. USA : Chapman and Hall.

Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. Princetown Press. New Jersey.

49 Mistiasih, W. D. 2013. Struktur dan Sebaran Komunitas Bulu Babi (Echinoidea) di Habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar – Dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T. Samingan.Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Odum, E. P. 1994. Dasar – Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Omar, S. B. A. 2013. Modul Praktikum Ekologi Perairan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Radjab, A. W. 2001. Reproduksi dan Siklus Hidup Bulu Babi.Oseana.

Romimohtarto. K. 1991. Ekosistem Laut dan Pantai. (Bahan Kuliah Mahasiswa S1). Jakarta.

Short F. T. and R. Coles. 2003. Global Seagrass Research Method. Elsevier Science, Amsterdam.

Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif, Usaha Nasional. Surabaya.

Suantika, G, Dkk. 2007. Biologi Kelautan. Jakarta : Universitas Terbuka

Sugiarto, H. dan Supardi. 1995. Beberapa Catatan Tentang Bulu Babi Marga Diadema. Oseana.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung. Alfabeta.

Suhada, A. 1991. Studi Makrozoobentos di Sungai Tallo Kota Madya Ujung Pandan.Skripsi. Jurusan Perikanan.

Supono Dan U. Y. Arbi. 2010. Struktur Komunitas Echinodermata di Padang Lamun Perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseanologi Dan Limnologi di Indonesia.

Sutanto, R. 2005. Dasar – Dasar Ilmu Tanah. Kanisius.Yogyakarta.

Suwignyo S., Widigdo B., Wardiatno Y., dan Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 2.Jakarta : Penebar Swadaya.

Swingle, H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis For Water and Pond Muds.F.O.A.Fish, Rep.

Syamsidar.2013. Perbandingan Kelimpahan dan Struktur Komunitas Fitoplankton di Pulau Lannyukang dan Pulau Kodingareng Makassar. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

50 Whitten, A.J, M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Gajah Mada University Press.Yogyakarta. www. Inaturalist.org/observations/77523. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2017,

pukul 21.00 WITA. Makassar. www. Sms.si.edu/irlspec/Lytech_varieg.htm. Diakses pada tanggal 30 Oktober

2017, pukul 21.00 WITA. Makassar. www. Zipcodezoo.com/indeks.php/Diadema_setosum. Diakses pada tanggal 30

Oktober 2017, pukul 21.00 WITA. Makassar. www. Zipcodezoo.com/indeks.php/Echinothrix_calamaris. Diakses pada tanggal

30 Oktober 2017, pukul 21.00 WITA. Makassar. www. Zipcodezoo.com/indeks.php/Lytechinus_variegates. Diakses pada tanggal

30 Oktober 2017, pukul 21.00 WITA. Makassar. www. Zipcodezoo.com/indeks.php/Mespilia_globulus. Diakses pada tanggal 30

Oktober 2017, pukul 21.00 WITA. Makassar. www. Zipcodezoo.com/indeks.php/Tripneustes_gratilla. Diakses pada tanggal 30

Oktober 2017, pukul 21.00 WITA. Makassar. www. Zipcodezoo.com/indeks.php/Tripneustes_ventricosus. Diakses pada

tanggal 30 Oktober 2017, pukul 21.00 WITA. Makassar.

51 LAMPIRAN

52 Lampiran 1. Kepadatan Lamun di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan

Plot Spesies Total SS1 SS2 SS3 SS4 SS5 SS6 SS7 SS8 SS9 SS10 Cymodocea rotundata 0 2 1 2 1 1 2 2 3 3 14 Thallasia hemprichii 18 9 17 13 15 13 9 1 4 4 99 Enhalus acoroides 2 3 7 3 6 3 7 3 1 4 38 Syringodium isotifolium 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Holodule uninervis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Total 20 13 24 17 21 17 17 6 7 10 150

Plot Spesies Total SD1 SD2 SD3 SD4 SD5 SD6 SD7 SD8 SD9 SD10 Cymodocea rotundata 43 48 21 35 35 19 51 29 40 26 344 Thallasia hemprichii 28 25 14 13 22 22 28 20 21 7 199 Enhalus acoroides 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 3 Syringodium isotifolium 6 2 32 21 34 24 0 3 12 16 147 Holodule uninervis 0 0 3 3 0 0 3 3 0 0 11 Total 78 75 69 71 90 64 82 55 72 49 703

Keterangan :

Seagrass Sparse (SS) : Lamun Jarang

Seagrass Dense (SD) : Lamun Padat

53 Lampiran 1. Lanjutan

Luas Stasiun Kepadatan Lamun Luas Stasiun Kepadatan Lamun Plot ni Plot ni (A (m²)) (ind/m²) (A (m²)) (ind/m²) SS1 20 0.25 78 SD1 78 0.25 310 SS2 13 0.25 52 SD2 75 0.25 300 SS3 24 0.25 96 SD3 69 0.25 274 SS4 17 0.25 68 SD4 71 0.25 282 SS5 21 0.25 84 SD5 90 0.25 358 SS6 17 0.25 68 SD6 64 0.25 256 SS7 17 0.25 66 SD7 82 0.25 328 SS8 6 0.25 22 SD8 55 0.25 220 SS9 7 0.25 26 SD9 72 0.25 288 SS10 10 0.25 40 SD10 49 0.25 194

Seagrass Sparse (SS) Seagrass Dense (SD) 120 400 100 y = -5.551x + 90.53 350 R² = 0.468 300 80 250 60 200 40 150 100 y = -8.254x + 326.4 20 50 R² = 0.263 0 0 0 2 4 6 8 10 12 0 2 4 6 8 10 12

54 Lampiran 2. Komposisi Jenis Bulu Babi yang Ditemukan di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan

Plot Spesies Total (Ni) Komposisi Jenis (%) SS1 SS2 SS3 SS4 SS5 SS6 SS7 SS8 SS9 SS10 Diadema setosum 45 22 12 39 16 15 16 56 31 0 252 98.82 Mespilia globulus 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 2 0.78 Echinothrix calamaris 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0.39 Total 45 22 12 40 18 15 16 56 31 0 255 100.00

Plot Spesies Total (Ni) Komposisi Jenis (%) SD1 SD2 SD3 SD4 SD5 SD6 SD7 SD8 SD9 SD10 Diadema setosum 3 3 4 0 0 6 7 0 8 4 35 28.46 Mespilia globulus 24 20 5 0 4 0 0 0 0 0 53 43.09 Tripneustes gratilla 6 0 1 3 0 0 0 3 0 0 13 10.57 Lytechinus variegates 5 7 0 0 0 0 0 0 0 0 12 9.76 Tripneustes ventricosus 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 9 7.32 Echinothrix calamaris 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0.81 Total 39 39 10 3 4 6 7 3 8 4 123 100.00

Keterangan :

Seagrass Sparse (SS) : Lamun Jarang

Seagrass Dense (SD) : Lamun Padat

55 Lampiran 3. Kepadatan Jenis Bulu Babi di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan

Kepadatan Jenis Bulu Babi per Plot

Luas Stasiun (A Kepadatan Bulu Babi Luas Stasiun (A Kepadatan Bulu Babi Plot ni Plot ni (m²)) (ind/m²) (m²)) (ind/m²) SS1 45 100 0.45 SD1 39 100 0.39 SS2 22 100 0.22 SD2 39 100 0.39 SS3 12 100 0.12 SD3 10 100 0.1 SS4 40 100 0.4 SD4 3 100 0.03 SS5 18 100 0.18 SD5 4 100 0.04 SS6 15 100 0.15 SD6 6 100 0.06 SS7 16 100 0.16 SD7 7 100 0.07 SS8 56 100 0.56 SD8 3 100 0.03 SS9 31 100 0.31 SD9 8 100 0.08 SS10 0 100 0 SD10 4 100 0.04

Seagrass Spase (SS) Seagrass Dense (SD) 0.6 0.5 0.5 y = -0.011x + 0.320 0.4 0.4 R² = 0.044 0.3 y = -0.033x + 0.307 0.3 R² = 0.506 0.2 0.2 0.1 0.1

0 0 0 2 4 6 8 10 12 0 2 4 6 8 10 12 -0.1

56 Lampiran 4. Hasil Analisis Kepadatan Bulu Babi dengan Uji T

F-Test Two-Sample for Variances Seagrass Sparse (SS) Seagrass Dense (SD) Mean 0.255 0.123 Variance 0.029472222 0.020312222 Observations 10 10 Df 9 9 F 1.450960013 P(F<=f) one-tail 0.294059921 F Critical one-tail 3.178893105

t-Test: Two-Sample Assuming Unequal Variances Seagrass Sparse (SS) Seagrass Dense (SD) Mean 0.255 0.123 Variance 0.029472222 0.020312222 Observations 10 10 Hypothesized Mean Difference 0 df 17 t Stat 1.870798869 P(T<=t) one-tail 0.039344524 t Critical one-tail 1.739606716 P(T<=t) two-tail 0.078689047 t Critical two-tail 2.109815559

57 Lampiran 5. Kepadatan Relatif Bulu Babi di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan

Spesies Di Kepadatan Relatif (%)

Diadema setosum 2.52 0.99 Mespilia globulus 0.02 0.01 Echinothrix calamaris 0.01 0.00 Total 2.55 1.00

Spesies Di Kepadatan Relatif (%)

Diadema setosum 0.35 0.28 Mespilia globulus 0.53 0.43 Tripneustes gratilla 0.13 0.11 Lytechinus variegates 0.12 0.10 Tripneustes ventricosus 0.09 0.07 Echinothrix calamaris 0.01 0.01 Total 1.23 1.00

58 Lampiran 6. Perhitungan Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi Bulu Babi di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan Lokasi Spesies ni ni(ni-1) ni / A ni/N In Pi pi In pi pi (ln pi)² H' /In S K. Relatif Diadema setosum 252 63252 2.52 0.9882 -0.0118 -0.0117 0.0001 -0.0106 0.9882 SS Mespilia globulus 2 2 0.02 0.0078 -4.8481 -0.0380 0.1843 -0.0346 0.0078 Echinothrix calamaris 1 0 0.01 0.0039 -5.5413 -0.0217 0.1204 -0.0198 0.0039 - Jumlah 255 63254 2.55 1.0000 -0.0715 0.3049 -0.0650 1.0000 10.4012 Kepadatan 2.55 Keanekaragaman 0.0715 Keseragaman 0.0650 Dominansi 0.9766 N*(N-1) 64770 S 1.0986

Indeks Keanekaragaman H’ = - Ʃ Pi log2 Pi = 0,0175

Indeks Keseragaman E = H’ / log2S = 0,0650

Indeks Dominansi D = Ʃ ni (ni – 1) / N (N – 1) = 0,9766

Ʃ Pi (log2 Pi)2- (Ʃ Pi log2 Pi)2 S-1 Varian H’ stasiun I Var H' = + = 0,0012 N 2N2

59 Lampiran 6. Lanjutan

Lokasi Spesies ni ni(ni-1) ni / A ni/N In Pi pi In pi pi (ln pi)² H' /In S K. Relatif Diadema setosum 35 1190 0.35 0.2846 -1.2568 -0.3576 0.4495 -0.1996 0.2846 Mespilia globulus 53 2756 0.53 0.4309 -0.8419 -0.3628 0.3054 -0.2025 0.4309 Tripneustes gratilla 13 156 0.13 0.1057 -2.2472 -0.2375 0.5337 -0.1326 0.1057 SD Lytechinus variegates 12 132 0.12 0.0976 -2.3273 -0.2271 0.5284 -0.1267 0.0976 Tripneustes ventricosus 9 72 0.09 0.0732 -2.6150 -0.1913 0.5003 -0.1068 0.0732 Echinothrix calamaris 1 0 0.01 0.0081 -4.8122 -0.0391 0.1883 -0.0218 0.0081 - Jumlah 123 4306 1.23 1.0000 -1.4154 2.5057 -0.7900 1.0000 14.1004 Kepadatan 1.23 Keanekaragaman 1.4154 Keseragaman 0.7900 Dominansi 0.2870 N*(N-1) 15006 S 1.7918

Indeks Keanekaragaman H’ = - Ʃ Pi log2 Pi = 1,4154

Indeks Keseragaman E = H’ / log2S = 0,7900

Indeks Dominansi D = Ʃ ni (ni – 1) / N (N – 1) = 0,2870

Ʃ Pi (log2 Pi)2- (Ʃ Pi log2 Pi)2 S-1 Varian H’ stasiun II Var H' = + =0,0041 N 2N2

60 Lampiran 7. Uji t Indeks Keanekaragaman yang Dibandingkan pada Kedua Stasiun di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan

Varians H’ stasiun I = 0,0012; N1 = 255

Varians H’ stasiun II = 0,0041; N2 = 123

 Stasiun I dan Stasiun II

2 Var H'1+Var H'2 db = 2 2 Var H'1 Var H'2 + N1 N2 db = ((0,0012 + 0,0041)) / ((0,00122 255) + (0,00412 123)) db = 195.9603 / /

H’ 1 = 0,0715

H’ 2 = 1,4154

H'1-H'2 t hit = Var H'1+Var H'2 t hit = (1,24154 – 0,0715) / (√0,0012 + 0,0041) t hit = 18,3911 t tabel = (0,05; 328,4848) t tabel = 1,9722

61 Lampiran 8. Gambar dan klasifikasi bulu babi yang di temukan di Pulau Barrang Lompo, Provinsi Sulawesi Selatan

Scientific classification Kingdom: Animalia Superphylum: Deuterostomia Phylum: Echinodermata Subphylum: Eleutherozoa Infraphylum: Echinozoa Class: Echinoidea Subclass: Euechinoidea Superorder: Diadematacea Order: Family: Diadematidae Genus: Diadema Species: D. setosum Binomial name Diadema setosum (Leske, 1778)

Sumber :

http://zipcodezoo.com/index.php/Diadema_setosum

62 Lampiran 8. Lanjutan

Scientific classification Kingdom: Animalia Superphylum: Deuterostomia Phylum: Echinodermata Subphylum: Eleutherozoa Infraphylum: Echinozoa Class: Echinoidea Subclass: Euechinoidea Superorder: Diadematacea Order: Diadematoida Family: Diadematidae Genus: Echinothrix Species: E. calamaris Binomial name Echinothrix calamaris

Sumber :

http://zipcodezoo.com/index.php/Echinothrix_calamaris

63 Lampiran 8. Lanjutan

Scientific classification Kingdom: Animalia Superphylum: Deuterostomia Phylum: Echinodermata Subphylum: Eleutherozoa Infraphylum: Echinozoa Class: Echinoidea Subclass: Euechinoidea Superorder: Echinacea Order: Camarodonta Family: Temnopleuridae Genus: Mespilia Species: M. globules Binomial name Mespilia globules (Linnaeus, 1758)

Sumber :

http://zipcodezoo.com/index.php/Mespilia_globulus

64 Lampiran 8. Lanjutan

Scientific classification Kingdom: Animalia Superphylum: Deuterostomia Phylum: Echinodermata Subphylum: Eleutherozoa Infraphylum: Echinozoa Class: Echinoidea Subclass: Euechinoidea Superorder: Echinacea Order: Camarodonta Family: Toxopneustidae Genus: Tripneustes Species: T. gratilla Binomial name Tripneustes gratilla (Linnaeus, 1758)

Sumber :

http://zipcodezoo.com/index.php/Tripneustes_gratilla

65 Lampiran 8. Lanjutan

Scientific classification Kingdom: Animalia Superphylum: Deuterostomia Phylum: Echinodermata Subphylum: Eleutherozoa Infraphylum: Echinozoa Class: Echinoidea Subclass: Euechinoidea Superorder: Echinacea Order: Camarodonta Family: Toxopneustidae Genus: Tripneustes Species: T. ventricosus Binomial name Tripneustes ventricosus (Lamarck, 1816)

Sumber :

http://zipcodezoo.com/index.php/Tripneustes_ventricosus

https://www.inaturalist.org/observations/77523

66 Lampiran 8. Lanjutan

Scientific classification Kingdom: Animalia Superphylum: Deuterostomia Phylum: Echinodermata Subphylum: Eleutherozoa Infraphylum: Echinozoa Class: Echinoidea Subclass: Euechinoidea Superorder: Echinacea Order: Camarodonta Family: Toxopneustidae Genus: Lytechinus Species: L. variegatus Binomial name Lytechinus variegates (Lamarck, 1816)

Sumber :

http://zipcodezoo.com/index.php/Lytechinus_variegatus

https://www.sms.si.edu/irlspec/Lytech_varieg.htm

67 68