PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A. WAHID HASYIM (Menteri Agama RI 1949-1952)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

Oleh

MULYANTI NIM: 106011000116

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A. WAHID HASYIM (Menteri Agama RI 1949-1952) Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pendidikan Islam Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan

Oleh:

Mulyanti NIM: 106011000116

Di Bawah Bimbingan:

Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag

NIP: 19580707 1987031005

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-078 UIN JAKARTA FORM (FR) Tgl. Terbit : 08 Juli 2010 FITK No. Revisi: : 002 Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Hal : 1/1 SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Mulyanti Tempat/ Tgl. Lahir : Jakarta, 25 Mei 1989 NIM : 106011000116 Jurusan/ Prodi : Pendidikan Agama Islam Judul Skripsi : “Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama RI 1949-1952)” Dosen Pembimbing : Dr. H. Abd. Madjid Khon, M. Ag

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, 03 Maret 2011 Mahasiswa Ybs.

Materai 6000

Mulyanti NIM 106011000116

ABSTRAK

Skripsi dengan judul “Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama RI 1949-1952)”, ditulis oleh Mulyanti (1060110000116) di bawah bimbingan Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag. Skripsi ini mendeksripsikan mengenai Pembaruan yang dilakukan KH. A. Wahid Hasyim dalam rangka memajukan pendidikan Islam di Indonesia ketika menjabat sebagai Menteri Agama RI. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriftif dan pendekatan historis, melalui kajian pustaka (kualitatif) yakni mencari data dari berbagai buku-buku referensi dan wawancara. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui, mengidentifikasi dan mengungkap usaha-usaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim dalam pendidikan Islam pada masanya. Hasil penelitian yang ditemukan terdapat banyak pembaruan yang dilakukan KH. A. Wahid Hasyim dalam memajukan pendidikan agama Islam yang sampai sekarang kita rasakan, seperti masuknya pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, masuknya pelajaran umum di Madrasah, mendirikan lembaga pendidikan keguruan; Pendidikan Guru Agama (PGA) dan terlebih lagi terciptanya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian sekarang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan kemudian sebagian berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang banyak memberikan manfaat terhadap pembaruan pendidikan Islam di Nusantara.

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Disamping itu, izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, serta para pembantu dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Bahrissalim, M.Ag, dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Sapiudin Shidiq, M.Ag, beserta seluruh staffnya. 3. Bapak Dr. H. Abd. Madjid Khon, M.Ag, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari. 5. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda H. Mursan Ubab dan Ibunda Hj. Ani Hasan serta kakak dan adik penulis yang dengan segala pengorbanannya tak akan pernah penulis lupakan atas jasa-jasa mereka. Doa restu, nasihat dan petunjuk dari mereka

iii

kiranya merupakan dorongan moril yang paling efektif bagi kelanjutan studi penulis hingga saat ini. 6. Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim, terkhusus Bapak KH. (Gus Sholah) yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk mendapatkan informasi mengenai biografi dan pemikiran dari KH. A. Wahid Hasyim yang mendukung penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini. 8. Kawan-kawanku Mahasiswa UIN khususnya kawan-kawan seperjuangan Jurusan Pendidikan Agama Islam 2006 Kelas C dan peminatan Sejarah, Jaka Lelana, Ephee, Fuzie, Hasmidar, Yunie, Lesti, Ida Afandi, beserta kawan- kawan jejaring sosial (Facebook, Twitter, Yahoo), yang selalu memberikan support kepada penulis. 9. Seseorang terdekat dan terkasih, suami dari penulis: Muhammad Arif, yang selalu mendukung penyelesaian skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal a’lamin.

Jakarta, 03 Maret 2011

Mulyanti

iv

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ...... i ABSTRAK ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v DAFTAR TABEL ...... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...... 1 B. Permasalahan ...... 6 1. Identifikasi Masalah ...... 6 2. Pembatasan Masalah ...... 6 3. Perumusan masalah ...... 7 C. Tujuan dan Manfaat ...... 7 D. Metodologi Penelitian ...... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Pembaruan 1. Pengertian Pembaruan ...... 10 2. Pengertian Kaum Pembaru ...... 13 3. Peran Kaum Pembaru ...... 17 4. Gagasan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20 ...... 19 5. Faktor-faktor Pendukung Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20 ...... 24 B. Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam ...... 25 2. Tujuan pendidikan Islam ...... 27 3. Fungsi Pendidikan Islam ...... 32

v BAB III BIOGRAFI KH. A. WAHID HASYIM A. Latar Belakang Keluarga ...... 35 B. Pendidikan Wahid Hasyim ...... 37 C. Ciri Fisik dan Kepribadian Wahid Hasyim ...... 40 D. Aktivitas Sosial dan Politik Wahid Hasyim ...... 43 E. Pemikiran KH. A. Wahid Hasyim...... 47 1. Bidang Agama ...... 47 2. Bidang Sosial ...... 49 3. Bidang Pendidikan...... 51 4. Bidang Politik ...... 58

BAB IV PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A. WAHID HASYIM A. Pembaruan Pendidikan Islam 1. Mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri ...... 62 2. Memasukkan Pendidikan Agama di Sekolah Umum ...... 73 3. Pendidikan Guru Agama ...... 78 B. Respon Terhadap Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid Hasyim ...... 83 1. Pemikiran Pendidikan Islam ...... 83 2. Respon Masyarakat ...... 91

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 93 B. Saran ...... 94

DAFTAR PUSTAKA ...... 96 LAMPIRAN

vi

Daftar Tabel

Tabel 1 Jumlah IAIN se-Indonesia ...... 71

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Dalam lingkup pemikiran pendidikan Islam, kita temukan tokoh- tokoh besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan oleh mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok . Semua itu adalah lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah mereka. Umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia merupakan hal penting dalam pembangunan Indonesia. Peningkatan taraf hidup umat Islam merupakan upaya meningkatan sebagian besar taraf hidup bangsa Indonesia. Dengan demikian, potensi umat Islam dalam mendukung pembangunan

1

2

bangsa Indonesia sangat besar sekali. Begitu pula dengan dunia pendidikan dan pengetahuan, pendidikan Islam merupakan sumber dasar yang tidak kecil artinya bagi pendidikan Nasional. Itu berarti bahwa pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pendidikan Nasional.1 Demikian dalam kaitan pembangunan bangsa, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan bangunan dasar dari moral bangsa. Ketentraman hidup sehari-hari di dalam masyarakat tidak hanya semata-mata ditentukan oleh ketentuan hukum semata, tetapi juga dan terutama didasarkan atas ikatan moral nilai-nilai kesusilaan serta sopan santun yang didukung dan dihayati bersama oleh seluruh masyarakat. Peranan agama menjadi demikian penting bagi tata kehidupan pribadi maupun masyarakat (kelompok), maka dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya haruslah bertumpu di atas landasan keagamaan yang kokoh. Jalan untuk mewujudkannya tidak bisa dengan jalan lain kecuali hanyalah dengan menempatkan pendidikan agama sebagai faktor dasar yang paling penting.2 Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Agar mampu berperan di masa yang akan datang maka diperlukannya peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting. Salah satu peran penting pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan perubahan zaman agar tidak terjadi kesenjangan antara realitas dan idealitas. Berkenaan dengan hal tersebut umat Islam telah mengenal berbagai jenis macam ilmu pengetahuan baik itu ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Dan Islam pada hakikatnya tidak mengenal diskriminasi atau sikap membeda-bedakan di dalam segala hal juga dalam lapangan ilmu pengetahuan.

1 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 183 2 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 102

3

Pada masa kolonial sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Bahkan, pemerintah kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi bahkan mematikan sekolah-sekolah partikelir dengan mengeluarkan peraturan yang terkenal wilde schoolen ordonantie pada tahun 1933. Berbeda ketika masa penjajahan Jepang. Dunia pendidikan secara umum (tidak hanya pendidikan Islam) terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya diperintahkan gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti paksa (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Hal ini diperuntukkan agar kekuatan umat Islam dan Nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang. Namun yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan pondok pesantren masih dapat berjalan agak wajar.3 Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah dan pondok pesantren sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu, madrasah dan pondok pesantren pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.4 Dengan melihat sikap bangsa Indonesia tersebut, menjadikan bangsa ini memiliki rendahnya kualitas sumber daya manusia di kalangan umat Islam di masa itu. Bangsa Indonesia di masa awal kemerdekaan kerap kali masih mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anak mereka harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”. Akibatnya, kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk ikut berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern. Dan harus dipahami bahwa Indonesia yang pada saat itu sedang membangun

3 Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidkan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), Cet.IX, h. 152 4 Djamaliddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, Februari, 1998), h. 23.

4

membutuhkan tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu pengetahuan umum lainnya. Juga sebaliknya, pembangunan yang sedang berlangsung juga membutuhkan agama agar terhindar dari dekadensi moral. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah ada di masa sebelumnya sampai pada saat itu di biarkan hidup meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan hidup apa adanya. Kalaupun pada masa itu ada perhatian, hanyalah sebatas dorongan moral seperti pada: a. Maklumat BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) 22 Desember 1945 No. 15 Berita RI tahun No. 4 dan No. 5 halaman 20 kolom 1 (agar pendidikan di langgar-langgar dan madrasah berjalan terus dan diperpesat). b. Keputusan BPKNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian dan bantIan dari pemerintah). c. Laporan Panitia Penyelidik Pengajaran RI tanggal 2 Mei 1946 (Pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi bantuan berupa biaya sesuai dengan keputusan BPKNIP.5

Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada baru hanya sebatas madrasah dan pondok pesantren. Umat Islam belum memiliki sekolah yang mengajarkan dan memelihara pendidikan agama Islam dengan dasar pengetahuan setingkat universitas yang nantinya akan melahirkan sarjana yang menguasai dua lapangan ilmu sekaligus yaitu ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Sementara, kelompok minoritas (non-muslim) sudah mempunyainya, dalam bentuk sekolah-sekolah tinggi pada masa itu.6 Selanjutnya pendidikan Islam mengalami modernisasi lanjutan dimana sebelumnya sudah banyak madarasah dan pondok pesantren di Indonesia yang didirikan para tokoh pembaru pendidikan Islam sebelum kemerdekaan untuk selanjutnya dihadirkannya setelah lima bulan Indonesia merdeka tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946 dengan berdirinya Departemen Agama. Walau pada masa itu dipandang motivasi pendiriannya bernuansa politis, tapi lembaga ini menjadi salah satu pelaku pembaruan pendidikan Islam yang

5 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah…, h. 22. 6 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), h. 90.

5

paling penting. Karena salah satu bidang garapan Departemen Agama adalah bidang pendidikan Islam. Pembinaan pendidikan Agama tersebut yang secara formal institusional di percayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayan oleh karena itu dikeluarkanlah berbagai peraturan bersama berupa kebijakan antar kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.7 Selanjutnya, peranan Departemen Agama menjadi sangat penting dalam melakukan pembaruan di bidang pendidikan Islam berkaitan dengan kekurangan-kekurangan di masa itu karena pembangunan bangsa, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan bangunan dasar dari moral bangsa. Untuk kemudian muncul berbagai kebijakan-kebijakan baru sebagai pembaruan dari pendidikan Agama Islam yang dilakukan oleh Departemen Agama. Kemudian hadir KH. A. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama RI yang menjabat pada tahun 1949-1952 untuk melakukan pembaruan di bidang pendidikan agama Islam sebagai salah satu bidang garapan Departemen Agama. Semenjak KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama, pendirian madrasah di pesantren-pesantren (sebagai simbol dari pendidikan Islam) semakin menemukan momentumnya.8 Kemudian atas dasar kesimpatikan penulis terhadap KH. A. Wahid Hasyim dan rasa ingin tahu yang mendalam tentang pembaruan yang dilakukannya dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia maka penulis bermaksud untuk menulisnya dalam bentuk skripsi yang berjudul: PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A.WAHID HASYIM (Menteri Agama RI 1949-1952).

7 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Maret, 1999), h.76-77. 8 Hanun, Sejarah…, h. 189

6

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka diidentifikasi masalah diantaranya yaitu: a. Pendidikan agama sebagai faktor dasar yang paling penting dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. b. Banyaknya kebijakan-kebijakan dari kolonial Belanda dan Jepang yang pada saat itu yang sangat merugikan pendidikan Islam. c. Pendidikan Islam pada masa awal kemerdekaan (Orde Lama) kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Padahal madrasah dan pondok pesantren sebagai cermin dari pendidikan Islam sudah banyak terdapat di Indonesia. d. Pendidikan Islam di masa itu diyakini hanya mampu melahirkan generasi yang hanya mampu di bidang agama saja dan tidak mampu melahirkan generasi yang mampu di bidang agama dan umum. e. Pentingnya peran Departemen Agama pada masa itu secara maksimal dalam membangun kembali pendidikan Islam menjadi lebih baik lagi.

2. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas maka penulis merasa perlu membatasi pembahasan pada tiga permasalahan yaitu: Pembaruan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah upaya untuk melakukan perubahan dengan pembaruan dalam pendidikan Islam ke arah yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan zaman dengan tetap berpedoman pada asas-asas keislaman. Pendidikan Islam yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pendidikan Islam yang ditangani oleh Departemen Agama meliputi berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), Kurikulum/Pengajaran Agama di sekolah-sekolah umum, dan Pendidikan Guru Agama (PGA). Pembaruan Pendidikan Islam yang dilakukan KH. A. Wahid Hasyim selama menjabat Menteri Agama RI Tahun 1949-1952.

7

3. Perumusan Masalah Berdasarkan dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana pembaruan pendidikan Islam KH. A. Wahid Hasyim dalam pendidikan Islam di Indonesia ketika menjabat sebagai Menteri Agama 1949-1952?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menngungkap usaha- usaha pembaruan yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim dalam pendidikan Islam di Indonesia pada masanya. Manfaat yang diambil dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambahkan pembendaharaan kepustakaan bagi UIN Jakarta, khususnya mengenai kontribusi KH. A. Wahid Hasyim dalam pembaruan pendidikan Islam. 2. Secara pragmatis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber bagi generasi muda Indonesia dalam melanjutkan cita-cita KH. A. Wahid Hasyim. 3. Menumbuhkan semangat berusaha untuk lebih memajukan pendidikan Islam.

D. Metodologi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deksriptif yaitu penenlitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan dari obyek yang diteliti.9 Dan untuk mengkaji riwayat hidup atau biografi Wahid Hasyim serta aktifitas- aktifitasnya yang berkaitan dengan pendidikan, peneliti menggunakan pendekatan historis.10

9 Kountur Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), h.105 10 M. Subana dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), cet. 2, h. 88

8

Dengan metode di atas penulis akan menggambarkan mengenai gagasan pemikiran KH. A.Wahid Hasyim dalam pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.

1. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data akurat dalam penulisan ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data: a. Studi Dokumentasi Menginventaris hasil pemikiran KH. A.Wahid Hasyim yang tertuang dalam karya pemikirannya maupun dalam literatur lain yang berkaitan dengan masalah penelitian. b. Wawancara Yaitu melakukan dialog atau tanya jawab secara lisan dengan dua orang atau lebih dengan bertatapan muka secara langsung informasi- informasi atau keterangan.11 Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi objektif dari yang diwawancarai. Wawancara dilakukan kepada bagian dari keluarga KH. A. Wahid Hasyim yaitu Salahuddin Wahid (anak ketiga dari Wahid Hasyim).

2. Teknik Pengolahan Data Setelah melalui tahap pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data, sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Langkah-langkah pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai berikut: a. Pemeriksaan Data Data yang terkumpul diperiksa kembali apakah masih terdapat kekurangan atau ada yang tidak cocok dengan masalah penelitian. b. Klasifikasi Data Klasifikasi data dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisa.

11 S. Nasution, Metode Research, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), Cet. Ke-8, h. 113

9

c. Penyusunan Data Penyusunan data dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan permasalahan.

3. Teknik Analisa Data Teknik analisisnya menggunakan Content Analisys yaitu menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. Seluruh data akan dibahas dan dianalisis secara analisa kualitatif dengan melalui proses: a. Reduksi Data Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terperinci. Laporan yang disusun kemudian direduksi, dirangkum, dipilih hal- hal pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting dan dicarikan temanya. b. Display Data Data yang telah diperoleh diklasifikasikan menurut pokok permasalahan dan dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat hubungan suatu data dengan data yang lainnya. c. Mengambil Kesimpulan/Verifikasi Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses melalui reduksi dan display data. 12

E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah merujuk pada “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”. Sedangkan kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an dan terjemahnya, berasal dari terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2010.

12 S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 1988), h. 129-130

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pembaruan 1. Pengertian Pembaruan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembaruan berasal dari kata “Baru” yang artinya proses, cara, perbuatan membarui, dan proses mengembangkan kebudayaan terutama di lapangan teknologi dan ekonomi.1 Sedangkan kata modern diartikan sebagai terbaru, mutakhir, sikap dan cara berpikir serta cara bertidak sesuai dengan tuntutan zaman.2 Dalam bahasa Arab, yang memiliki kesepadanan makna dengan kata ,maknanya antara lain: renewal, innovation ,( ﺘَ ﺠْ ﺪِ ﻴْﺪ) pembaruan adalah tajdîd reorganization, reform, dan modernization.3 Kata tersebut berasal dari kata yang berarti to renew, to modernize5, yaitu 4( ﺠَﺪََّ ﺪَ - ﻴُ ﺠَﺪِّ ﺪُ - ﺘَ ﺠْ ﺪِ ﻴْ ﺪًﺍ) kerja memperbarui atau memodernkan. Tajdîd bisa juga diartikan sebagai islah (memperbaiki) dan reformasi (menyusun kembali) sehingga gerakan pembaruan disebut pula gerakan tajdîd, gerakan islah, maupun gerakan reformasi.

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 109 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h.751 3 J. Milten Cowan (ed.) Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: t.t, 1971), h.114 4 Ibrahim Anis, al-Mu‟jam al-Wasit, Juz I, (Kairo: t.t, 1972), h. 109 5 Noah Webster, Webster‟s New Twentieth Century Dictionary of English Language, (The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980), h. 186

10

11

Istilah pembaruan atau tajdîd dalam sebuah hadis:

حَّدَثٌََا سُليْواىُ اتْيُ داوُدَ الوَهزِّيُ اخْثَزًَا اتيُ وَهْةِ اخْثزًِي سَعيّدُ اتيُ اّيُىبَ عيْ شَزاحِيْلَ اتيِ ّيزّيّدَ هُعافِزِّيِ عي اتي عَلْقوح عي اتىِ هزّيزجَ فيْوَا اعْلنُ عيْ رسىلِ اهللِ ص.م قال:اِىَ اهللَ ّيَثْعَثُ ِلهذٍِِ األُّْوح علَى رَأْسِ كلِ هِا ئَحِ سٌَحٍ هَيْ ّيُجَّدِدُ لهَا دِّيٌَْهَا 6

“Telah menceritakan kepada kami Sulaimân ibn Dâwud al-Mahriyyu telah mengabarkan kepada kami ibn Wahb telah mengabarkan kepadaku Sa‟îd ibn Abî Ayyûb dari Syarâhîl ibn Yazîd al-Mu‟âfiriyi dari „Alqamah dari Abî Hurairah, sejauh yang aku tahu, dari Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah akan membengkitkan untuk umat ini pada setiap seratus tahun orang-orang yang akan memperbarui agamanya.” (hadis riwayat Abû Dâwud).

Sedangkan menurut , pembaruan atau modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, istiadat, isntitusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh perubahan dan keadaan, terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.7 Selanjutnya kata modern erat kaitannya dengan kata modernisasi yang berarti pembaruan atau tajdîd dalam bahasa Arabnya (jadi lebih pada prosesnya). Menurut Harun Nasution, modernisme dalam Islam lebih digunakan kata pembaruan dalam arti memperbarui hal-hal lama yang dianggap menyeleweng dari yang sebenarnya. Hal ini disebabkan istilah modernism sendiri dianggap mengandung arti negatif disamping arti positifnya. Yang dimaksud Harun Nasution dalam arti negatif di sini ialah kecenderungan adanya konotasi Barat yang ada pada kata itu, karena dapat

6 Abû Dâwud Sulaimân ibn al-Asy‟ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud, hadis no. 4291, (Beirut: Dâr ibn Hazm, 1988), h. 647 7 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), Cet. Ke-10, h.11

12

muncul kesan bahwa gerakan modernisme diilhami dari modernism yang tumbuh di Barat.8 Sedangkan, menurut Arkoun, istilah modernitas berasal dari bahasa latin, yaitu “modernus”. Kata ini pertama kali dipakai di dunia Kristen pada masa antara tahun 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Modernitas masa klasik Eropa sendiri telah berjalan abad ke-16 hingga tahun 1950-an. Begitupun menurut ahli sejarah kenamaan, Arnold Toynbee, mengatakan bahwa modernitas telah mulai menjelang akhir abad ke-15 Masehi.9 Bila dilihat dari beberapa pendapat di atas, memang pembaruan identik dengan modernisasi dan reformasi. Dari semua itu, tergantung muatan yang diberikan masing-masing pakar. Namun yang terpenting kandungan yang tersirat dari simbol tersebut, selalu mengandung aplikasi ke arah perbaikan. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa di dalam pembaruan terdapat syarat pokok tertentu. Permbaruan dapat terlaksana akibat pemahaman dan penghayatan nilai-nilai al-Qur‟an, serta kemampuan memanfaatkan dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah (lihat: Q.S. 33:62 ; 35:43). Dari ayat-ayat al-Qur‟an tersebut dipahami bahwa pembaruan baru dapat terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: (a) adanya nilai atau ide; dan (b) adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut.10 Jika dilihat dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pembaruan adalah suatu proses perubahan ke arah perbaikan dalam rangka memperbaiki tatanan atau sistem lama yang dianggap tidak relevan lagi baik berupa fisik maupun mentalitasnya, agar dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang ini. Kaitannya dengan pengertian pembaruan pendidikan Islam dalam skripsi ini berarti upaya untuk melakukan perubahan dengan pembaruan dalam

8 Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), Cet. I, h. 350 9 Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. I, h. 43 10 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), Cet.II, h. 245-246

13

pendidikan Islam ke arah yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan zaman dengan tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan Sunnah.

2. Pengertian Kaum Pembaru Berbicara tentang pembaruan tidak akan terlepas dari orang yang melakukan pembaruan itu sendiri. Pembaru adalah sebutan bagi orang yang melakukan pembaruan. Seorang pembaru, menurut Abdul Hakim bin Amir Abdat, haruslah seorang yang berilmu dan memahami betul ilmu agama secara zahir maupun batin. Selain itu, dia juga harus senantiasa menghidupkan dan mengajak umat kepada al-Quran dan sunnah. Dan dalam amaliyahnya bersih dari syirik dan bid‟ah.11 Dr. Mochtar Pobotinggi merumuskan bahwa kaum pembaru adalah anggota masyarakat yang lebih mampu menyatakan perasaan dalam ucapan yang jelas (bijak).12 Sementara itu, Dr. Taufik Abdullah menyatakan bahwa kaum pembaru bukanlah kedudukan yang diangkat, dan juga bukan berdasarkan pilihan orang banyak. Pembaru adalah bagaimana seseorang yang mau menghubungkan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karenanya pembaru pemikiran itu dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seseorang kaum modernis dituntut untuk dapat menganalisis permasalahan masyarakat secara jujur dan objektif, apa adanya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Penilaian yang jujur dan objektif itu diharapkan akan lahir analisis-analisis yang bermanfaat bagi masyarakat.13 Istilah kaum pembaru atau kaum modernis sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur‟an surat Ali Imran:

11 Abdul Hakim bin Amir Abdat, al-Masâil; Masalah-masalah Agama, vol.2, (Jakarta: Darul Qalam, 2001), h. 171 12 Mochtar Pobotinggi, Kaum Intelektual Pemimpin dan Aliran-aliran Idiologi di Indonesia sebelum Revolusi dalam Peristiwa, (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 40 13 Taufik Abdullah, Misi Intelektual, dalam Panji Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981), h. 13

14

          

          

             

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (serayal berkata), “Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau. Maka lindungilah kami dari azab neraka” (Q.S. Ali Imran: 190-191).14

”lub yaitu “saripati (ﻟﺐ) al-Albâb adalah bentuk jamak dari (ﺍﻷﻟﺑﺎﺐ) Kata sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lub. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut idea yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Orang yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt.15 Di dalam al-Qur‟an masih banyak ayat yang memanggil daya observasi ulil albab, supaya memperhatikan apa yang terjadi dalam lingkungannya, dari lingkungan yang dekat, sampai pada lingkungan yang luas di ruang angkasa. Dan salah satu ayat al-Qur‟an lainnya yang menyangkut pembaruan yang dilakukan dengan perubahan dan pelakunya adalah yang dirumuskan dalam firman Allah: … sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka)… (Q.S. 13:11).

14 Kementerian Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelengara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 2010), h. 96 15 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Cet.I, Jilid 2, h.291

15

Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dalam pembaruan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah swt. dan kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Allah terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang diterapkannya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu masyarakat atau kelompok lain.16 Menurut Ziadudin Sardar bahwa yang dimaksud dengan kaum pembaru adalah golongan Muslim berpendidikan yang memiliki kelebihan istimewa menyangkut nilai-nilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin. Orang-orang yang berependidikan saja tidak dengan sendirinya dapat disebut pembaru, sebab mereka sering tidak begitu tahu tentang hal-hal lain di luar masalah teknik mesin, akuntansi dan obat-obatan. Cara pemikiran yang menandai pada pembaru itu bukanlah cabang ilmu atau teologi melainkan ideologi. Suatu ideologi mengungkapkan pandangan dunia serta nilai-nilai budaya mereka. Pembaru adalah golongan masyarakat pendidikan yang pegangannya atas ideologi Islam tak diragukan lagi. Individu semacam itu sulit untuk dicari.17 Ahmad Watik Praktiknya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembaru adalah orang-orang yang karena pendidikannya, baik formal maupun informal, mempunyai perilaku cendekiawan. Kecendekiawanan tersebut tercemin dan merespons lingkungan hidupnya dengan sifat kritis, kreatif, objektif, analitis dan bertanggung jawab, karena sikap kecendekiawanan itu. Ia mempunyai wawasan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Belum tentu seorang yang ilmuwan atau akademikus adalah seorang cendekiawan atau pembaru pemikiran. Selain itu, kategori cendekiawan atau pembaru dapat pula dimasukkan budayawan, seniman, ulama atau siapa pun yang mempunyai perilaku cendekiawan di atas. Cendekiawan Muslim, secara tentatif dan sederhana dapat dilukiskan sebagai Muslim yang mempunyai kualitas perilaku pembaru pemikiran seperti

16 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur‟an…, h. 246 17 Ziaudin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjelang Informasi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 88

16

tersebut di atas, bermain dan senantiasa Committed pada Dienul Islam sebagai pandangan hidupnya. Ulil albâb yang diungkapkan oleh al-Qur‟an merupakan gambaran yang paling tepat untuk melukiskan sifat-sifat cendekiawan Muslim.18 Berdasarkan ungkapan Praktiknya di atas, setiap orang dapat dikategorikan sebagai pembaru dengan tidak dibatasi jenjang pendidikan formal, asal mereka mempunyai pandangan dan wawasan luas, yang diekspresikan sewaktu melihat, menafsirkan, dan merespons berbagai masalah kehidupan disekitarnya. Kemampuan tersebut lebih berarti bagi kehidupan di sekitarnya, apabila mereka memiliki sifat kritis, kreatif, objektif, analitis dan penuh tanggung jawab atas segala aktifitas yang dilakukan. Sifat- sifat yang dimiliki tersebut tidak hanya diperuntukkan pada masalah sosial, melainkan juga pada masalah agama. Mereka mampu menafsirkan ayat-ayat Allah dengan berusaha mengaplikasikan dalam berbagai sektor kehidupan. Di samping itu para pembaru harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:19 a. Pikiran yang jernih b. Wawasan yang luas c. Sikap yang konsisten d. Kemampuan menganalisa hal-hal mana yang melampaui batas dan yang akan mengantarkan kepada tujuan e. Mampu memelihara keseimbangan f. Memiliki kekuatan berpikir g. Berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman h. Memiliki kemampuan memimpin i. Memiliki kemampuan berijtihad j. Memiliki kemampuan untuk membagun dan membina masyarakat k. Dapat membedakan ajaran Islam dan ajaran jahiliyah l. Seorang Muslim yang rnemiliki keimanam, pandangan, pemahaman, dan perasaan yang benar tentang Islam.

Selain itu, menurut Imam al-Suyûtî, sebagaimana dikutip oleh Syamsu al-Haq, bahwa seorang pembaru adalah orang yang hidup di tengah berbagai

18 Amin Rais, Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: CV.Rajawali, 1989), h. 3-4 19 Abul A‟la Maududi, Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihyaihi, terjemahan H.D. Kahmad dan Afif Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 43

17

golongan. Dirinya dikenal karena ilmu yang dimilikinya, dan senantiasa menolong sunnah melalui ucapannya.20 Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa yang dimaksudkan dengan kaum pembaru adalah seorang Muslim yang karena pendidikannya, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non-formal, mempunyai kedalaman berbagai disiplin keilmuan, keluasan pandangan yang disertai kebijakan dan keadilan, sehingga bisa bergerak dalam multidimensi aktivitas kehidupan masyarakat; tidak terbenam dan terbawa arus perubahan, kemajuan dan perkembangan zaman. Namun, mengarahkan perubahan masyarakat dengan mengubah pola pikir masyarakat dari tradisi berpikir konvensional yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman dengan pola pikir yang berorientasi kepada kemajuan mengikuti perkembangan zaman yang berdasarkan nilai-nilai Islam.

3. Peran Kaum Pembaru Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam bahasa Inggrisnya, memang diambil dari kata dramaturgy atau seni teater. Dalam seni teater seorang aktor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan plot-nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya. Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.21

20 Abî al-Tayyib Muhammad Syamsu al-Haq, „Aunu al-Ma‟bûd Syarhu Sunan Abî Dâwud, vol. II, (Madinah al-Munawarah: Maktabat al-Salafiyah, 1969), h. 386 21 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h.854

18

Dalam bahasa Inggris kata “peran” atau “role” di dalam kamus oxford dictionary diartikan : Actor‟s part; one‟s task or function. Yang berarti aktor; tugas seseorang atau fungsi.22 Jadi, peran adalah hal-hal yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki posisi penting dalam masyarakat untuk tercapainya suatu tujuan. Menurut Imam Bawani dan Isa Anshari ada tiga peran yang bisa dilakukan oleh pembaru, pertama, melalui “kaderisasi”, kedua, melalui “kerja kemanusiaan,” dan ketiga, melalui “konsepsi keilmuan”. Ketiga peran tersebut dilandasi dan dinapasi oleh prinsip-prinsip ajaran Islam. Lebih lanjut Imam Bawani dan Isa Anshari mengatakan bahwa “peran pertama, merupakan upaya pembaru pemikiran untuk mencetak kader-kader umat yang mampu berbuat bagi kepentingan Islam dalam kehidupan di masa mendatang, dan peran ini berkaitan dengan “pendidikan”. Untuk berhasilnya kaderisasi tersebut diperlukan penggarapan yang serius, perencanaan yang matang, dan waktu yang cukup panjang, serta dapat dilakukan melalui wadah lembaga pendidikan formal maupun nonformal.”23 Peran pembaru pemikiran yang kedua, menurut Imam Bawani dan Isa Anshari, adalah untuk mendarmabaktikan dirinya dalam proses perjalanan kehidupan, melibatkan diri secara langsung dalam aktifitas bermasyarakat, dengan segala kemampuan yang dimiliki. Mereka mencoba mengubah tatanan dan praktik kehidupan yang tidak mencerminkan kebebasan, keadilan dan kebenaran, kemudian menggantinya dengan tatanan yang membawa keharmonisan hidup dalam masyarakat secara sempurna yang bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk merealisasikan peran tersebut, dibutuhkan kecakapan dan kecekatan bertindak.24 Peran ketiga, dari pembaru menurut Imam Bawani dan Isa Anshari adalah untuk merubah praktik kehidupan yang tidak benar dan

22 The New Oxford Illustrated Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1982),h. 1466 23 Fuad Anshari, Prinsip-prinsip Dasar Konsep Sosial Islami, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 37 24 Fuad, Prinsip-prinsip …, h. 37

19

meluruskannya ke jalan yang benar, mengemukakan gagasan kreatif mengenai berbagai sektor pembangunan, menemukan dan mengembangkan konsep ilmiah tentang kebudayaan dan peradaban, sehingga dapat membuka cakrawala berpikir masyarakat, menyadarkan untuk mengikuti dan menerapkan dalam kehidupan menuju kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran bersama yang dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam.25 Menurut Edward Mortinor peran pembaru direlevankan dengan peran seorang Muslim semata-mata, yaitu membantu orang yang membutuhkan dan membangun masyarakat di mana hukum Tuhan diberlakukan.26 Menurut Ali Shariati peranan kaum pembaru adalah membangkitkan dan membangun masyarakat yang terletak dalam usahanya, dalam kehidupannya yang selalu dinamik.27 Berdasarkan beberapa pendapat tentang peran kaum pembaru di atas, Penulis menyimpulkan bahwa tugas pembaru adalah membawa masyarakat ke arah kemajuan dalam rangka membebaskan dari belenggu kehidupan, dan mengajak bersama-sama untuk mengangkat dan mempertahankan eksistensi kemanusiaan, mengubah tatanan kehidupan dan praktik kehidupan yang tidak benar menjadi benar, mengubah tradisi berpikir konvensional yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman, menjadi pola pikir yang menuju kesejahteraan, ketentraman dan kemakmuran bersama yang berdasarkan nilai- nilai Islam.

4. Gagasan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20 Timbulnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia baik dalam bidang agama, sosial, dan pendidikan di awali dan dilatarbelakangi oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul di belahan dunia Islam lainnya, terutama oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki, dan India. Latar

25 Fuad, Prinsip-prinsip …, h. 37 26 Edward Mortinor, Islam and Power, Terj. Islam dan Kekuasaan, Oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1984), h. 383 27 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Penterjemah: M. , (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 260

20

belakang pembaruan yang timbul di Mesir dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir. Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibukota dengan Universitas al- Azhar yang didirikan pada abad kesepuluh, merupakan pusat peradaban Islam dan kekuatan politik yang besar pengaruhnya di dunia Islam pada masa lampau. Sultan-sultan Mesir turut berperang dalam mengalahkan kaum salib dan dapat mematahkan kekuatan Hulagu di „Ain Jalut sehingga Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol Islam selamat dari kehancuran sebagaimana dialami dunia Islam di bagian Timur. Di samping itu, mulai dari abad keenam belas Mesir merupakan bagian dari kerajaan Turki „Utsmani dan mengikuti dari dekat kemajuan-kemajuan yang dicapai kerajaan ini di Eropa. Mesir sadar akan kelemahan dunia Barat dibandingkan dengan supremasi dunia Islam zaman itu. Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga Negara besar di dunia Islam abad-abad keenam belas sampai abad kedelapan belas, ketika Eropa, Inggris dan Prancis belum muncul sebagai negara yang berpengaruh dalam politik internasional. Bahkan kerajaan „Utsmani menguasai daratan Eropa dari Istanbul sampai ke pintu gerbang kota Wina. Adapun India, dengan berdirinya di sana kerajaan Mughal, merupakan negara kedua dari tiga negara besar tersebut di atas. Delhi merupakan pusat kekuasaan dan kebudayaan Islam di dunia Islam bagian Timur.28 Pemikiran-pemikiran yang ditimbulkan pemimpin modernisasi di Timur Tengah itu kemudian mempengaruhi pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia dan timbullah pula di kalangan kita usaha-usaha modernisasi yang dimulai pada permulaan abad kedua puluh ini.29 Gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam mempunyai akar historis dalam gagasan tentang pembaruan pendidikan dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, pembaruan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam.

28 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. IV, h. 151-152 29 Harun Nasution, Islam Rasional…, h. 185

21

Kerangka dasar yang berada dibalik pembaruan Islam secara keseluruhan adalah bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan umat Muslim di masa modern. Oleh karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam ─termasuk pendidikan— haruslah diperbarui. Mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan umat Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.30 Pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi. Dalam konteks ini, pendidikan di negara-negara yang tengah menjalankan program modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, dan arena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itulah pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi, sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Seperti halnya umat Islam di negara-negara Timur Tengah, perlawanan terhadap kolonialisme telah mendorong umat Islam untuk mengadakan berbagai pembaruan. Gerakan pembaruan ini tidak mungkin berjalan bila tidak diikuti perubahan di bidang pendidikan. Dengan otomatis perubahan Islam berjalan seiring dengan pembaruan pendidikan Islam. Fenomena ini berlaku di seluruh negara-negara Islam, termasuk Indonesia.31 Gagasan pembaruan yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20, telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun pencerahan dengan munculnya beberapa tokoh- tokoh pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Para pembaru itu banyak bergerak di bidang organisasi sosial, pendidikan dan politik. Diantaranya Syekh , Syekh Thaher Jalaluddin, Haji Karim Amirullah, Haji , Syekh Ibrahim Musa, Zainuddin Labai al- Yunusi, yang kesemuanya berasal dari Minangkabau. Di jawa muncul tokoh H. , dengan gerakan , H. Hasan, dengan gerakan Persatuan Islam (Persis), Haji

30 , Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), Cet. Ke-2, h. 31 31 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997), h. 155

22

Abdul Halim dengan gerakan Perserikatan Ulama, KH. Hasyim Asy‟ari dengan organisasi . Tokoh-tokoh ini semuanya banyak bergerak di bidang pendidikan. Muncullah upaya-upaya untuk memperbarui pendidikan Islam di Indonesia. Ada beberapa indikasi pendidikan Islam sebelum dimasuki oleh ide-ide pembaruan: a. Pendidikan yang bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidak dibatasi atau ditentukan lamanya belajar seseorang berdasarkan tahun. Jadi seseorang bisa tinggal di suatu pesantren, satu tahun atau dua tahun, atau boleh jadi beberapa bulan saja, bahkan mungkin juga belasan tahun. b. Mata pelajaran adalah semata-mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Tidak diajarkan mata pelajaran umum. c. Metode yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan, dan muzakarah. d. Tidak mementingkan ijazah sebagai bukti yang bersangkutan telah menyelesaikan atau menamatkan pelajarannya. e. Tradisi kehidupan pesantren amat dominan di kalangan dan kiai. Ciri dari tradisi itu adalah antara lain kentalnya hubungan antara kiai dan santri. Hubungan bathin ini berlangsung terus sepanjang masa. Kontak- kontak pribadi itulah yang terpelihara sepanjang masa. Santri yang telah menyelesaikan pelajaran di suatu pesantren bisa jadi pindah ke pesantren lain atau mendirikan pesantren baru, namun kontak pribadinya dengan kiai, di mana dia pernah berguru masih tetap terpelihara. Dipandang dari sudut masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperbarui. Pertama, metode yang tidak puas hanya dengan metode tradisional pesantren saja, tetapi diperlukan metode-metode baru yang lebih merangsang untuk berpikir. Kedua, isi atau materi pelajaran sudah perlu diperbarui, tidak hanya mengandalkan mata pelajaran agama semata-mata yang bersumber dari kitab- kitab klasik. Ketiga, manajemen. Manajemen pendidikan adalah keterkaitan antara sistem lembaga pendidikan dengan bidang-bidang lainnya di

23

pesantren.32 Ketiga macam ini adalah merupakan tuntutan terhadap kebutuhan dunia pendidikan Islam di kala itu. Dengan demikian, jika ide-ide pembaruan itu diterapkan dalam dunia pendidikan Islam, maka merupakan salah satu jalan menuju perbaikan pendidikan Islam di Indonesia. Secara ideal, pendidikan Islam berfungsi dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas tinggi, baik dalam penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam hal karakter, sikap moral, penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan anak didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi, dan sekaligus beriman dan beramal shaleh. Dalam rangka perwujudan fungsi idealnya untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia tersebut, sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi dari perubahan.

5. Faktor-faktor Pendukung Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia Abad 20 Steenbrink, menyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad ke-20, yaitu: a. Sejak tahun 1900, telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur‟an dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Tema sentralnya adalah menolak taklid. Dengan kembali ke al-Qur‟an dan Sunnah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama. b. Dorongan kedua, adalah sifat perlawanan Nasional terhadap penguasa kolonial Belanda. c. Dorongan ketiga, adalah adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi.

32 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana:2007), h. 57-58

24

d. Dorongan keempat, berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari al-Qur‟an dan studi agama.33 Usaha-usaha pembaruan pendidikan Islam di Indonesia yang telah dimulai sejak awal abad ke-20. Dimotivasi oleh kondisi intern umat Islam maupun faktor ekstern. Dari uraian yang dikemukakan terdahulu dapat dimaklumi bahwa pembaruan itu terkonsentrasi kepada dua hal yaitu sistemnya, dan materi pelajaran. Sistemnya yang ada pada mulanya sebelum masuk ide-ide pembaruan adalah sistem klasikal. Materi pelajaran sebelum masuk ide-ide pembaruan terpusat kepada mata pelajaran agama melulu, dengan berpedoman kepada kitab-kitab klasik, dan setelah diinspirasi oleh ide-ide pembaruan mata pelajarannya telah berimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.34 B. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Sebelum membahas pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu penulis mengemukakan pengertian pendidikan secara umum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan berasal dari kata “didik” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” yang artinya proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, perbuatan, cara mendidik.35 Istilah pendidikan adalah terjemah dari bahasa Yunani yaitu paedagogie yang berarti “pendidikan‟ dan paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak.” Sedangkan orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut paedagogos. Istilah paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).36

33 Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 26-28 34 Haidar, Sejarah …, h. 49 35 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar…, h. 232 36 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), h. 17

25

Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.37 Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.38 Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses kegiatan bimbingan sikap dan tata laku baik jasmani maupun rohani yang dilakukan secara sadar dan terencana yang dilakukan oleh pendidik kepada seseorang atau sekelompok orang melalui pengajaran atau pelatihan dengan tujuan membentuk kepribadian yang utama. Mengacu pada pembahasan yang dimaksud, bahwa yang dimaksud pendidikan di sini adalah pendidikan Islam, Zuhairini dkk, mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik mereka supaya sesuai dengan ajaran Islam.39 H. M. Arifin berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.40 Menurut Ahmad D.

37 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1980), Cet. Ke-4, h. 19 38 Kementerian Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Nasional, 2003), h.3 39 Zuhairini, dkk., Metodik Pendidikan Agama Dilengkapi dengan Sistem Modul dan Permainan Simulasi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1977) h. 77 40 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. Ke-1, h.8

26

Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam.41 Menurut Abdul Rachman Saleh, pendidikan Islam merupakan usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.42 Sedangkan pengertian pendidikan Islam yang tercantum dalam GBPP PAI Departemen Pendidikan Nasional adalah: upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur‟an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman, dibarengi tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannnya dengan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.43

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses kegiatan bimbingan sikap dan tata laku baik jasmani maupun rohani yang dilakukan secara sadar dan terencana yang dilakukan oleh pendidik kepada seseorang atau sekelompok orang melalui pengajaran atau pelatihan berdasarkan hukum-hukum Islam dengan tujuan agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.

2. Tujuan Pendidikan Islam Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab dinyatakan dengan istilah ghayat, ahdaf, atau maqasid. Sedangkan dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan istilah goal, purpose, objective, atau aim.

41 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1980), Cet. Ke-4, h. 23 42 Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, (Jakarta: PT. Gemawaindu Pancaperkasa, 2000), Cet. Ke-1, h. 2 43 Departemen Pendidikan Nasional, GBPP Pendidikan Agama Islam SMP, h. 2

27

Secara umum istilah-istilah itu mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu target tertentu atau arah yang hendak dicapai melalui serangkai upaya atau aktivitas. Sedangkan secara istilah, Zakiah Darajat mengemukakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai dilaksanakan.44 Dan menurut M. Arifin, tujuan itu menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu.45 Meskipun terdapat keragaman tentang definisi tujuan, namun pada pengertian itu berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk mencapai atau meraih suatu maksud tertentu. Tujuan pendidikan agama Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat.46 Menurut Mahmud Yunus bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah mendidik anak-anak, pemuda-pemudi ataupun orang dewasa supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang masyarakat yang sanggup hidup di atas kakinya sendiri.47 Selanjutnya, dalam penerapannya pada pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam dibagi menjadi tiga poin, yaitu: A. Tujuan Akhir Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Dalam pendidikan Islam, tujuan akhir ini pada akhirnya

44 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 29 45 M. Arifin, Ilmu…, h. 54 46 Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama bagi Anak Putus Sekolah, (Jakarta: Binbaga Islam, 2003), h. 10 47 Mahmud Yunus, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: al-Hidayah, 1974), h.11

28

sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah, yaitu: 1. Menjadi Hamba Allah Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup dan penciptaan manusia, yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Firman Allah swt.,:

   .    “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat:56).48

2. Mengantarkan anak didik menjadi khalifah fi al-Ardh (pemimpin di bumi) dan melestarikannya, lebih jauh lagi mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya sesuai dengan tujuan penciptaannya. Firman Allah swt.,:

...          

“ Dan (ingatlah) Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”…” (Q.S. al-Baqarah: 30)49

3. Memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, baik secara individu maupun sosial. Firman Allah swt.,:

          

... 

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia”... (Q.S. al-Qasas: 77)50

Ketiga tujuan akhir itu pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena pencapaian tujuan yang satu memerlukan

48 Kementerian Agama RI, al-Qur‟an …, h. 756 49 Kementerian Agama RI, al-Qur‟an …, h.6 50 Kementerian Agama RI, al-Qur‟an …, h.556

29

pencapaian tujuan yang lain, bahkan secara ideal ketiga-tiganya harus dicapai secara bersamaan melalui proses pencapaian yang seimbang. Ketiga tujuan tertinggi tersebut, berdasarkan pengalaman aktivitas pendidikan dari masa ke masa, belum pernah tercapai seluruhnya baik secara individu maupun kolektif. Apalagi kebahagiaan dunia dan akhirat, kedua hal itu sulit diketahui tingkat pencapaiannya secara empirik. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa tujuan akhir tersebut diyakini sebagai sesuatu yang ideal dan dapat memotivasi usaha pendidikan dan bahkan dapat menjadikan aktivitas pendidikan lebih bermakna. B. Tujuan Umum Tidak berbeda jauh dengan tujuan akhir, tujuan umum pun belum diukur secara empirik taraf pencapaiannya. Salah satu formulasi tujuan umum pendidikan adalah rumusan yang dibuat oleh Konferensi Pendidikan Islam Internasional yang pertama di Mekkah pada tahun 1977, yang menyatakan: Education should aim balanced growth of the total personality of man through the training of men‟s spirit, intellect, the rational self, feelings, and bodily sense. There fore, education should cater for the growth of man in all its aspect, spirituall, intellectual, imaginative, physical, linguistic, both individuality and collectively and motivate all these aspect toward goodness the attainment of profection. The ultimate aim of Islamic education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community, and humanity at large. (sic).51

Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melaui latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan panca indera. Oleh karena itu, pendidikan harus mencakup kehidupan manusia dalam segala aspeknya baik spiritual, intelektual, imajinatif, jasmaniah, keilmiahannya, dan bahasanya baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.

51 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, h.57

30

Sedangkan menurut Zuhairini dkk., Tujuan umumnya ialah membimbing peserta didik agar menjadi seorang muslim sejati beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama dan negara.52

C. Tujuan Khusus Tujuan khusus adalah pengkususan atau operasionalisasi tujuan akhir dan tujuan umum (pendidikan Islam). Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan jika diperlukan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan akhir dan tujuan umum itu. 53 Pengkhususan tujuan tersebut dapat didasarkan pada: 1. Kultur dan cita-cita suatu bangsa Setiap bangsa umumnya memiliki tradisi dan budaya sendiri- sendiri. Perbedaan antara berbagai bangsa inilah yang memungkinkan adanya perbedaan cita-cita, sehingga terjadi pula perbedaan dalam merusmuskan tujuan yang dikehendaki di bidang pendidikan. 2. Minat, bakat, dan kesanggupan anak didik Islam mengakui perbedaan individu dalam hal minat, bakat, dan kemampuan. Untuk mencapai prestasi sebagaimana yang diharapkan, kesusaian tujuan khusus dengan minat, bakat, dan kemampuan anak didik sangat menentukan. 3. Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu Apabila tujuan khusus pendidikan tidak mempertimbangkan faktor situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu, maka pendidikan akan kurang memiliki daya guna. Dasar pertimbangan ini

52 Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Edisi 1, Cet. Ke-2, h. 47 53 Abu Ahmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), h. 63-70

31

sangat penting terutama bagi perencanaan pendidikan. Dalam hal ini, harus mengantisipasi perkembangan di masa depan.54 Untuk melengkapi uraian di atas, ada baiknya kita simak juga rumusan tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para ilmuwan Muslim, yaitu: a. Imam Ghazali, berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama adalah untuk beribadah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan mencapai insan yang tujuannya kebahagiaan dunia dan akhirat. b. Shaleh Abdul Aziz dan Abdul Aziz Abdul Najid, mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan mengusahakan penghidupan. c. Musthafa Amin, mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mempersiapkan seseorang bagi amalan dunia dan akhirat. 55 d. Athiyah al-Abrasyi, merumuskan tujuan pendidikan Islam ke dalam lima pokok, yaitu: 1. Pembentukan akhlak al-karimah. 2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. 3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan dapat membawa manusia kepada kesempurnaan. 4. Menumbuhkan ruh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu. 5. Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga mudah untuk mencari rezeki.56 Kalau diperhatikan rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para pemikir pendidikan Islam tersebut, ternyata tujuan pendidikan Islam bukanlah hanya sekedar berorientasi mencari kesenangan dunia atau materi semata, tetapi menyangkut masalah duniawi dan ukhrawi yang seimbang.

54 Abu Ahmadi, Islam…, hal. 63-70 55 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), cet. Ke-4, h. 71-72 56 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Dar al-Fikr, t.t), h. 34

32

3. Fungsi Pendidikan Islam Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan yang dimaksud berjalan dengan baik dan lancar penyediaan fasilitas dalam arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional, yaitu terbentuknya struktur organisasi yang mengatur perjalanan proses pendidikan, baik vertikal maupun horizontal, dan melembagakan struktur organisasi untuk menjamin proses pendidikan yang konsisten, berkesinambungan dan dapat mengikuti perkembangan zaman.57 Namun demikian, secara institusional, lembaga-lembaga pendidikan Islam berfungsi melakukan proses transmisi dan transformasi nilai-nilai kebudayaan Islam dari generasi ke generasi, serta nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban manusia secara selektif, demi kesinambungan hidup Islam dan umat Islam. Proses transmisi dan transformasi kultural itu dapat berlangsung dengan baik, apabila didukung oleh proses pendidikan yang terorganisasi dan terlembaga dengan baik pula. Pendidikan Islam, dengan bertitik tolak dari prinsip iman- Islam- ihsan atau akidah- ibadah- akhlak untuk menuju suatu sasaran kemuliaan manusia dan budaya yang diridhai oleh Allah SWT setidak-tidaknya memiliki fungsi- fungsi berikut ini: a. Individualisasi nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin (manusia taqwa) dalam bersikap, berpikir dan berperilaku. b. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam. c. Rekayasa kultur Islam demi terbentuk dan berkembangnya peradaban Islam. d. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi dan keterampilan demi terbentuknya para manajer dan manusia profesional.

57 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional, (Bandung: Tri Genda karya, 1993), h.136

33

e. Pengembangan intelektual Muslim yang mampu mencari, mengembangkan serta memelihara ilmu dan teknologi. f. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi, fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olahraga, kesehatan, dan sebagainya. g. Pengembangan kualitas Muslim dan warga sebagai anggota dan Pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.58 Sedangkan fungsi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah: a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. b. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. c. Penyesuaian mental, yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan dan kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari. e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari dirinya dan menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya. f. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang Agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain. 59 Jadi, fungsi pendidikan Islam adalah untuk membina dan menanamkan nilai-nilai Islam kepada peserta didik menuju terbentuknya pribadi muslim yang sejati serta memiliki berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan manusia dan alam sekitar.

58 Jusuf A. Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 95-96 59 Fadlan Mudhafir, Crisis in Muslim Education, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2000), h. 50

BAB III BIOGRAFI KH. A. WAHID HASYIM A. Latar Belakang Keluarga KH. A. Wahid Hasyim dilahirkan pada hari Jum’at, tanggal 5 Rabi’ul Awwal 1333 H (1 Juni 1914 M) di Tebuireng, Jombang (Jawa Timur). Wahid Hasyim datang dari keluarga yang sangat dihormati. Ayahnya adalah KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama kharismatis yang terkenal ahli dalam bidang hadits dan tafsir. Bagi kalangan santri di Jawa dan pulau-pulau lain, nama Hasyim Asy’ari sangat dikenal luas dan dihormati. Bukan saja karena dia adalah pendiri dan sekaligus pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Tapi, karena ilmunya memang sangat dalam, pengaruh KH. Hasyim Asy’ari makin meluas karena banyak santrinya yang kemudian mendirikan pesantren setelah berguru dengan beliau. KH. M. Hasyim Asy’ari lahir dari keluarga elit Kyai Jawa pada 24 Dzul Qa’dah 1287 H/14 Februari 1871 di desa Gedang, sekitar dua kilometer sebelah utara Jombang.1 Ayahnya, Asy’ari adalah seorang pendiri Pesantren Keras di Jombang sementara kakeknya, Kyai Usman, adalah Kyai terkenal dan pendiri pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19 dan sementara itu moyangnya, Kyai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambak Beras, Jombang.

1 Solichin Salam, KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indonesia, (Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1962), h. 19

34

35

KH. Hasyim Asy’ari memiliki lebih dari satu istri. Tapi istri yang melahirkan Wahid Hasyim, adalah Nafiqah putri Kyai Ilyas, pemimpin Pesantren Sewulan Madiun. Ini berarti dari kedua jalur, Wahid Hasyim adalah keturunan Kyai. Meski bukan satu-satunya yang membentuk kepribadiannya, faktor genealogis ini menjadi cukup penting untuk memahami pribadi Wahid Hasyim, khususnya dalam hal kekentalannya dengan tradisi pesantren dan kecerdasannya yang luar biasa.2 Ibarat pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, itulah barangkali ungkapan yang sesuai untuk Wahid Hasyim. Ibu dari Wahid Hasyim juga sangat berperan dalam mendidik sang putra. Ibunya, Nafiqah, adalah seorang ulama dan juga sekaligus menjabat sebagai penghulu pemerintah. Jabatan penghulu pada saat itu sudah merupakan salah satu jabatan yang terpandang. Sebagai putri seorang Kyai sekaligus bangsawan, Nafiqah adalah sosok terpelajar yang menguasai pengetahuan hokum dan agama, sebuah prestasi yang teramat langka untuk generasi seangkatannya. Nafiqah juga lancar berbahasa Belanda yang dianggap bahasa pengantar dalam mengikuti jenjang karirnya dan ia juga mempunyai banyak teman dari kalangan orang elit. Wahid Hasyim adalah anak kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan Nafiqah. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya, sehingga menjadi A. Wahid Hasyim. Dan kemudian hari, dia lebih dikenal dengan Wahid Hasyim. Ada cerita menarik sekitar masa bayi Wahid Hasyim. Ibunya setiap kali mengandung selalu payah. Kepayahan tersebut dirasakan lebih parah ketika dia mengandung Wahid Hasyim, sehingga dia khawatir jika bayi yang sedang dikandungnya itu tidak sempurna. Dalam suasana seperti itu, dia bernazar: seandainya bayinya itu selamat dan tidak kurang suatu apapun, dia akan bawa berkunjung ke Kyai Kholil, di Bangkalan, Madura, yang juga guru KH. Hasyim Asy’ari. Tradisi nazar memang suatu hal yang biasa dalam tradisi pesantren,

2 Saiful Umam, “KH. Wahid Hasyim: Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik, (Jakarta: INIS, PPIM, dan Balitbang Depag RI, 1998), h. 99

36

begitu juga mengunjungi rumah kyai terkenal. Nazar ini dilaksanakan ibunya ketika Wahid Hasyim berusia sekitar 3 (tiga) bulan. Ketika mereka sampai di rumah Kyai Kholil, hari telah malam dan turun hujan. Namun apa yang terjadi? Mereka tidak diperbolehkan masuk ke rumah tapi juga tidak diijinkan pergi dari situ. Mereka diminta untuk tetap di depan rumah sambil kehujanan. Ketika hujan makin deras, sang Ibu meletakkan anaknya di lantai halaman rumah Kiyai Kholil, agar terlindung dari hujan, karena khawatir anaknya yang masih kecil itu akan sakit. Tapi Kiyai Kholil melarang hal ini dan memerintahkan sang Ibu untuk mengambil kembali anaknya. Kejadian ini diyakini sebagai pertanda bahwa sang bayi akan menjadi orang yang luar biasa.3 Wahid Hasyim mengakhiri masa lajangnya pada usia sekitar 25 tahun dengan menikahi Sholehah binti KH. Bisyri Syamsuri seorang pendiri dan pemimpin Pesantren Denanyar Jombang serta salah satu pendiri Nahdlatul Ulama dan pernah juga menjadi Rais Aam PBNU. Dari perkawinan ini Wahid Hasyim dikaruniai 6 anak, 4 putra dan 2 putri. Masing-masing adalah Abdurrahman Ad-Dachil (sekarang lebih dikenal dengan atau Gus Dur), Aisyah, Salahuddin al-Ayyubi, Umar, Chadijah, dan Hasyim. Sangat disayangkan, Wahid Hasyim tidak sempat mendidik anak-anaknya lebih lama karena ia meninggal dunia dalam usia relatif muda, 39 tahun, tepatnya pada 19 April 1953, saat perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat pengurus Nahdlatul Ulama. Bahkan anak bungsunya lahir setelah Wahid Hasyim meninggal. Namun kecerdasannya yang luar biasa dan kepandaiannya berorganisasi paling tidak diwarisi oleh anak sulungnya yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU namun beliau juga telah wafat pada 31 Desember 2009 yang lalu.

B. Pendidikan Wahid Hasyim Sebagai anak seorang kiyai terkenal, Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang dalam lingkungan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai

3 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A .Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 141

37

keagamaan. Pendidikan dasarnya dilalui di lingkungan rumahnya. Sejak usia 5 tahun, Wahid Hasyim sudah belajar al-Qur’an yang dibimbing langsung oleh ayahnya. Wahid Hasyim juga menempuh pendidikan madrasah. Saat itu memang sudah ada sekolah modern yang diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah penjajah dan diikuti organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah. Tapi mereka yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di lembaga pendidikan modern tersebut masih sangat terbatas. Selain itu, jenis pendidikan tersebut, ketika Wahid Hasyim kecil, belum menyentuh pesantren. Tidak aneh bila dia tidak pernah duduk di bangku sekolah umum dan hanya belajar di madrasah yang ada di lingkungan pesantren orangtuanya pada pagi hari ditambah belajar langsung dengan ayahnya di malam hari. Kegiatan ini dijalaninya sampai usia 12 (dua belas) tahun. Sebagai anak tokoh, Wahid Hasyim tidak pernah mengeyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. dia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Wahid Hasyim mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik. Kitab-kitab klasik yang dipakai di pesantren, seperti Fath al-Qarib (kemenangan bagi yang dekat) dan al-Minhaj al-Qowim (jalan yang lurus), sudah beliau pelajari di usia 7(tujuh) tahun. Buku tentang kesusastraan, seperti Diwan asy-Syu’ara (kumpulan penyair dan syair-syairnya), juga dilahapnya.4 Wahid Hasyim kecil adalah anak yang sangat cerdas dan gemar membaca. Dia tidak pernah mondok dalam pengertian yang sebenarnya, sebagaimana kebiasaan anak-anak kiyai saat itu dan bahkan sampai sekarang. Dia memang sempat mondok di pondok Siwalan Pandji, Sidoarjo, tahun 1927, tapi hanya dalam hitungan hari. Demikian pula yang terjadi ketika dia mencoba mondok di Lirboyo, Kediri. Tapi berkat kecerdasan dan kegemarannya membaca, dia belajar banyak hal secara otodidak. Jadi, meski tidak pernah mondok, pada usia

4 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), Cet. I, h. 34-35

38

16 (enam belas) tahun dia sudah mampu mengajar beberapa kitab, seperti al- Durar al-Bahiya dan Kafrawi. Belajar secara otodidak juga dia lakukan dalam bidang-bidang lain. Misalnya, meski dia tidak pernah belajar di sekolah umum, Wahid Hasyim sudah bisa baca tulis huruf Latin. Demikian pula dalam bahasa Belanda dan Inggris. Dia belajar sendiri ketiga bidang tersebut dengan jalan berlangganan majalah-majalah dan membaca buku-buku yang ditulis dalam huruf Latin, baik berbahasa Melayu, Belanda dan Inggris. Di antara majalah yang dia berlangganan adalah Penjebar Semangat, Daulat Rakjat, Pandji Pustaka, Sumber Pengetahuan, di samping majalah-majalah berbahasa Arab, seperti Ummul Qurra dan Shautul Hijaz. Dalam usia 15 (lima belas) tahun, Wahid Hasyim betul-betul mulai keranjingan membaca. Dan karena hobinya inilah matanya menjadi agak rusak sehingga harus memakai kacamata. Namun hal itu tidak mengurangi kebiasaannya membaca, bahkan makin bertambah. Beruntung, dia adalah anak seorang kiyai yang terkenal yang secara ekonomi berkecukupan, sehingga kebiasaannya ini tentu saja tidak menjadi masalah. Bagi banyak orang, dalam masa itu, mendapatkan bacaan-bacaan seperti tersebut di atas jelas bukan suatu hal yang mudah dan murah. Tapi dia bisa mendapatkannya secara berkala. Dan pengaruh banyak membaca ini ternyata cukup besar terhadap sikap dan tingkah laku Wahid Hasyim dalam kehidupan sehari-hari.5 Dengan bermodalkan pengetahuan yang dia miliki, Wahid Hasyim muda pun telah berpikir secara sistematis untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan umat, dengan melakukan studi komperatif dengan berbagai tingkatan kehidupan di luar umat Islam. Sehingga membuat Wahid Hasyim bisa berpikir modern pada zamannya dan mampu berperan aktif dalam pembangunan Indonesia. Sebagai anak seorang anak pengasuh pesantren yang berpengaruh,

5 Saiful Umam, “KH. Wahid Hasyim: …, h. 101

39

Wahid Hasyim mempunyai posisi yang strategis untuk mengarahkan perkembangan pendidikan pesanntren-pesantren di Jawa.6 Ketika berusia 18 tahun Wahid Hasyim ke Mekkah bersama pamannya, Muhammad Ilyas. Kepergiannya disamping untuk menunaikan ibadah haji dan juga juga untuk menuntut ilmu. Muhammad Ilyas juga merupakan anak yang cerdas, sehingga KH. Hasyim Asy’ari banyak berharap kepada keduanya. Bahkan keduanya sejak di Tebuireng sudah saling bersaing masalah pelajaran. Namun belum begitu lama di Makkah, Wahid Hasyim sudah kembali ke tanah air, sementara pamannya tetap tinggal disana sendirian. Dari beberapa literatur yang ada, tak begitu jelas siapa yang membina Wahid Hasyim selama di Mekkah. Namun dia termasuk sosok yang pandai bergaul. Sehingga kawannya cukup banyak yang datang dari berbagai mancanegara. Dan hal itu pun otomatis mempunyai dampak yang cukup positif dalam meningkatkan cakrawala berpikirnya. Selama dia di Mekkah dia tidak mengalami kesulitan, baik membaca literatur maupun berkomunikasi dengan sesamanya.7 Hal ini dikarenakan sebelumnya dia sudah gemar membaca buku- buku dan majalah-majalah dengan berbagai bahasanya.

C. Ciri Fisik dan Kepribadian Wahid Hasyim Wahid Hasyim bertubuh agak pendek, sedikit gemuk dengan kulit sawo matang dan berhidung mancung. Lehernya sedikit pendek dan dadanya bidang, dengan tahi lalat di dada, bahu kiri sebelah atas, dan salah satu ujung jarinya.8 Sejak kecil Wahid Hasyim sudah mengenal dan meresapi kehidupan pesantren yang berorientasi ingin memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Di lingkungan pesantren dia menyaksikan kehidupan santri yang sederhana, bergotong royong tetapi penuh aktifitas belajar untuk mencapai cita-cita. Sejak usia kanak-kanak Wahid Hasyim bias menempatkan diri dengan teman yang

6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES), 1982, hal.105 7 Zamakhsyari, Tradisi…, h. 106 8 Saifullah Ma’shum (ed.), Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. I, h.307

40

sebayanya, bermain bersama dengan anak tetangga sekitar pesantren. Pada sewaktu ketika keluarganya mempunyai hajat (baik resepsi untuk pesantren/keluarga dengan menyediakan makanan dalam jumlah besar), dia selalu mengajak teman-temannya untuk ikut menikmati. Sebaliknya, dia juga selalu menghadiri resepsi yang diselenggarakan oleh tetangga dekatnya atau kerabat lain yang mempunyai hajat, baik dengan teman sebayanya maupun dengan orang tuanya. Walaupun dengan demikian waktu untuk bermain sangat sedikit jika dibandingkan dengan waktu belajar. Seolah-olah kehidupannya diwarnai kedisiplinan belajar di pesantren. Cara Wahid Hasyim untuk mengatasi mengantuk ketika asyik membaca yaitu dengan cara mandi dan berwudhu.9 Ini dikarenakan bacaan tersebut mendesak untuk dipahami. Selain pandai dan gemar membaca, Wahid Hasyim juga dikenal peramah dan pandai mengambil hati orang. Dia juga suka bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang keturunan, pangkat dan jabatan dan suka menolong kawan. Hidupnya sederhana, ilmunya mendalam, dan cara berpikirnya moderat. Karena itu menjadi mudah baginya untuk melakukan sesuatu dalam kondisi apa pun. Tidak menjadi soal baginya kalau suatu waktu harus mengenakan kain pantalon, atau jas berdasi tanpa mengenakan kopiah hitam, sementara di kesempatan yang lain dia mesti mengenakan kain sarung atau baju takwa. Ketika berada din Jombang, untuk menunjang aktifitasnya sehari-hari, KH. A. Wahid Hasyim memiliki kendaraan pribadi mobil merk Chevrolet Cabriolet berwarna putih. Sedangkan di Jakarta, dia biasa menyetir sendiri mobil Fiatnya. Salah satu kebiasaan yang melekat pada diri Wahid Hasyim adalah kegemaran berkirim surat kepada kawan-kawannya. Berkirim surat menjadi salah satu media silaturahim yang dipilih di kala yang bersangkutan tidak banyak kesempatan untuk bersilaturahim secara langsung. Surat-surat itu umumnya berisi pandangan politik, arah perjuangan, dan cita-citanya. Segalanya ditulis dengan bahasa yang menarik, lancar, dan tak lupa dibumbui humor segar.

9 A. Sarwani, Metode dan Teknik Membaca, (Jakarta: Panitia Diklatran Patinas Dep. Tenaga Kerja dan Dep. Agama RI, 1976), h. 4-5

41

Wahid Hasyim terkenal memiliki cita rasa humor yang tinggi. Kepada siapa saja dia bias melemparkan joke-joke segar, untuk mencairkan suasana sehingga komunikasi bisa berjalan lancar dan akrab. Kepada sopirnya hal yang sama juga berlaku. “Wah ini ikan gurame, Rasyad!” serunya kepada sopirnya, Rasyad. “Ente tahu, orang yang suka makan gurame otaknya akan bertambah cerdas. Percaya apa tidak?” ujar Wahid Hasyim. “Saya percaya. Tentu saja menjadi cerdas karena orang selalu berpikir, bagaimana mendapatkan uang agar bias makan ikan gurame setiap hari…,” jawab Rasyad setengah berseloroh. Serentak meledaklah tawa mereka. Mereka setuju karena ikan gurame dikenal lezat. Di mata keluarga, Wahid Hasyim adalah sosok ayah yang sangat baik. Di tengah-tengah kesibukan beliau, sempat mengajar mengaji, nyisirin anak perempuannya, mengajak jalan-jalan, mengantar sekolah. Seperti umumnya seorang ayah. Pada waktu itu Kota tak begitu besar, lalu lintas sangat lengang. Beliau adalah orang yang sibuk bahkan super sibuk, dari pagi sampai malam menerima tamu, ganti-ganti kegiatan. Tapi menyempatkan diri untuk anak- anaknya. Jadi, beliau adalah ayah yang sangat baik. Beliau juga seorang yang cerdas secara intelektual dan spiritual. Beliau selalu berpuasa, kecuali pada hari- hari tertentu yang tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Beliau hafal al-Qur’an. Hidupnya relatif sederhana.10 Di mata H.M. Isa Anshary, salah satu pimpinan Persatuan Islam (Persis) saat itu, Wahid Hasyim adalah sosok pemimpin yang tenang dan dapat menyatukan berbagai aspirasi. Dia adalah organisator yang ulung, pandai dan bijaksana dalam memainkan “kartu” perjuangan. Kalau M. Natsir, di mata Isa Anshary, memiliki kejernihan dan ketajaman analisa, maka Wahid Hasyim memiliki pengetahuan dan kemampuan berorganisasi. Salah satu kebiasaan baik Wahid Hasyim yang dicatat Isa Anshary adalah dia selalu membalas surat-surat yang diterima dari siapa saja dan menyimpannya dengan rapi.

10 Wawancara Pribadi dengan Salahuddin Wahid (Gus Sholah) adalah anak ke-3 dari Wahid Hasyim, Tgl. 03 November 2010 di Kediaman Responden

42

D. Aktivitas Sosial dan Politik Wahid Hasyim Setelah pulang dari Mekkah, Wahid Hasyim memulai aktifitasnya di dunia pendidikan, yaitu di pesantren Tebuireng. Secara berhati-hati dia menguasai dan mengembangkan ide-idenya tentang pengembangan pendidikan Islam. Di samping itu, dia juga banyak melakukan perjalanan dalam rangka studi komperatif tentang berbagai model pendidikan yang berkembang di lingkungan pesantren maupun di sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial. Dia juga banyak menggunakan waktunya untuk menulis di Suara NU yang berbahasa Melayu, khususnya menyuarakan liku-liku pendidikan Islam di dunia. Di majalah Soeloeh NU, dimana dia yang menjadi penerbit sekaligus pemimpinya, juga milik umat Islam waktu itu, di halaman depan sering membahas persoalan-persoalan tentang pendidikan Islam untuk menyebarluaskan ide-ide pembaruan dalam pendidikan Islam. Wahid Hasyim lebih tepat jika disebut sebagai wartawan dari pada menyebutnya sebagai pengarang buku. Dalam dunia kewartawanan dia mempunyai kedudukan yang tidak dapat diabaikan karena kecekatannya dan kecepatannya dia menuliskan buah-buah pikiran yang berharga, yang kebanyakan tidak dapat disangkal kebenarannya. Bahkan kadang-kadang sesudah beberapa waktu kemudian barulah diakui orang kebenaran pendapat dan kebenaran peninjauan Wahid Hasyim dalam suatu masalah. Dia menulis hampir dalam segala bidang agama, baik mengenai sejarah maupun hukum, bidang politik, terutama yang mengenai dunia keIslaman, tetapi juga banyak bersangkut paut dengan kebangsaan Indonesia dalam bidang pendidikan dan pengajaran,, dalam soal-soal mengenai perjuangan dan organisasi umat Islam, mengenai mistik, sosial sekitar persoalan kewanitaan, dan sebagainya. Karangan-karangan itu tersiar dalam berbagai harian, majalah, dan surat kabar, mulai sejak zaman Belanda, zaman Jepang, zaman revolusi, dan zaman pembangunan. Kadang- kadang karangan itu hanya ditulis sebagai kata pendahuluan dari sebuah buku yang akan diterbitkan orang lain, tetapi isinya sangat luas dan berharga untuk

43

dijadikan bahan pemikiran. Begitu juga terkadang dia menulis khutbah-khutbah panjang atau sekedar sambutan-sambutan dalam sebuah acara penting.11 Pengaruh lain yang datang dari kesukaan membaca sejak kecil adalah partisipasi aktif Wahid Hasyim dalam dunia pergerakan. Sebagaimana diketahui, pada masa itu telah tumbuh dan berkembang berbagai perkumpulan, seperti Budi utomo, , Muhammadiyah, al-Irsyad, dan NU. Hal ini terjadi khususnya setelah diikrarkannya Sumpah pemuda 1928. Salah satu hal penting yang dipahami Wahid Hasyim dari munculnya berbagai perkumpulan saat itu adalah pentingnya berorganisasi. Dengan berorganisasi, sekelompok manusia disatukan berdasarkan latar belakang dan tujuan yang sama dan selanjutnya secara bersama-sama berusaha mencapai tujuan tersebut. Hal inilah yang kemudian mendorong Wahid Hasyim mendidrikan Ikatan Pelajar-pelajar Islam pada 1936. Meski sifatnya lokal, anggotanya mencapai lebih dari 300 orang. Tujuan utama pembentukan organisasi ini adalah, untuk memasyarakatkan budaya baca di kalangan para anggotanya. Dari organisasi kecil ini Wahid Hasyim melanjutkan keterlibatannya dalam organisasi-organisasi berskala Nasional, seperti NU dan Masyumi.12 Di usia 20-an tahun, Wahid Hasyim sudah menghabiskan waktunya untuk aktifitas Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan oleh, antara lain, ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari. Meski anak sang pendiri, tapi karir di ormas terbesar pengikutnya ini beliau rintis dari bawah, dari ranting Tebuireng sampai menjadi Ketua Pendidikan Ma’arif NU. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik, tahun 1950, Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Biro Politik NU.13 Pada 1939 NU masuk menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang kemudian berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) berdiri pada 1937 dalam kongres Islam adalah federasi organisasi-organisasi Islam yang sangat anti kolonial dan non-koperatif terhadap

11 Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 192 12 Saiful Umam, “KH. Wahid Hasyim: …, h. 105 13 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh …, h. 35

44

penjajah. Sedangkan Masyumi sendiri pertama kali didirikan pada Oktober 1943.14 Pos pertama yang diduduki Wahid Hasyim ketika NU bergabung dengan Masyumi adalah sebagai Wakil Ketua Masyumi, sementara Ketua Masyumi saat itu dijabat ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari. Karena KH. Hasyim Asy’ari tetap memilih di Jombang, memimpin pondok pesantrennya, maka yang menjalankan tugas sehari-hari adalah Wakil Ketua yaitu Wahid Hasyim. Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang, Wahid Hasyim menjadi Wakil Kepala Kantor Urusan Agama Pusat, Shumubu. Sekali lagi, di sini yang menjabat sebagai kepalanya adalah KH. Hasyim Asy’ari. Shumubu dapat dikatakan kelanjutan dari Kantoor vor Inlandse Zaken (Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda. Lembaga Shumubu pertama kali dipimpin orang jepang, Kol. Horie, kemudian digantikan Hoesain Djajadiningrat. Sesuai dengan perubahan kebijakan Jepang yang lebih konsiliatori terhadap kalangan Islam, lembaga ini mengalami reorganisasi; KH. Hasyim Asy’ari kemudian diangkat sebagai Kepala Shumubu. Karir Wahid Hasyim dalam pentas politik Nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan penting telah disandang, baik kepengurusan NU maupun Masyumi. Bahkan ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 7 Desember 1944, Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro, dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun. Sebagai tokoh muda, dia juga diangkat menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dia juga merupakan tokoh termuda dari Sembilan tokoh Nasional yang menandatangani Piagam Djakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara.15

14 Untuk lebih mengetahui sejarah dari MIAI dan Masyumi, Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: PT Pustaka Grafiti, 1987), Cet.I, h.26-28&45-71 15 Saifullah Ma’shum (ed.), Karisma Ulama: …, h. 311-312

45

Setelah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk sebagai ganti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hanya dua wakil Islam yang duduk di sana. Mereka adalah Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo (wakil dari Muhammadiyah) dan berhasil turut menyelamatkan persatuan bangsa Indonesia dari perpecahan karena perbedaan aspirasi tentang dasar negara. Di dalam kabinet pertama, dibentuk presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950, dia diangkat menjadi Menteri Agama, tepatnya pada tanggal 20 Desember 1949. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman. Langkah pertama yang diambil Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama adalah menentukan di mana kantor kementerian tersebut. Karena memang belum punya gedung, dia akhirnya menyewa ruangan di Hotel Des Indes di Jl. Gajah Mada Jakarta (yang sekarang menjadi Duta Merlin). Dikamar No.4 hotel tersebut, Wahid Hasyim memulai tugasnya sebagai Menteri Agama. Sekitar sebulan kemudian, berkat jasa Menteri Dalam Negeri, Anak Agung Gde Agung, kantor kementerian ini pindah ke sebuah paviliun di Jl. Merdeka Utara No.7. Meski ruangannya tidak besar, dia cukup memadai mengingat personil mengingat personil Kementerian Agama RIS waktu itu hanya tujuh orang, termasuk Menteri. Dalam urusan kementerian ini pun, paling tidak dia sudah memiliki pengalaman pada masa Jepang. Namun, keberadaan Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama pada masa kemerdekaan menjadi khusus, jika dilihat dari konteks situasi saat itu dan apa yang dihasilkan Wahid Hasyim dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama. Ada dua hal yang dianggap dua concerns utama Wahid Hasyim ketika dia menjabat Menteri Agama. Pertama, pemantapan peran lembaga ini dalam konteks Negara dan bangsa, sehingga dia tidak dicurigai sebagai departemen

46

orang Islam dan sekaligus menjadikannya sejajar dengan departemen- departemen teknis lainnya. Kedua, peningkatan apresiasi terhadap pentingnya menguasai ilmu pengetahuan umum dan Islam secara seimbang. Dari perhatian kedua ini, kita dapat melihat dari lahirnya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)─yang di kemudian hari berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)─sebagai lembaga pendidikan tinggi agama yang modern, dan pengajaran pelajaran agama di sekolah-sekolah umum. Selain kedua hal tersebut tentu masih banyak kebijakan-kebijakan penting Wahid Hasyim selaku Menteri Agama. Jika pada umumnya kematangan prestasi dan karir seseorang baru dimulai pada usia 40, Wahid Hasyim justru telah merengkuhnya pada usia di bawah itu.

E. Pemikiran KH. A. Wahid Hasyim 1. Bidang Agama Wahid Hasyim seorang yang fanatik kepada Islam dan cara kehidupannya sudah diketahui banyak orang. Bahkan dia sendiri menganjurkan sifat fanatik ini kepada pemuda-pemuda Islam dan menyuruh mempergunakannya dengan tidak segan-segan dan malu-malu sebagaimana tertulis dalam salah satu karangannya yang berjudul “Fanatisme Fanatisme”.16 Meski Kementerian Agama sudah berdiri pada tahun 1946, tapi goyangan terhadap kementerian ini terus melaju di era Wahid Hasyim menjadi menterinya. Berbagai argumen tentang tidak pentingnya kementerian ini bergulir terus. Tapi Wahid Hasyim, dengan berbagai argumentasinya, berusaha mempertahankan dan mengembangkan Kementerian Agama. Bagi mereka yang tak setuju dengan Kementerian Agama, punya argumentasi bahwa Negara tidak mengurusi soal-soal agama. Argumen ini dijawab oleh Wahid Hasyim, bahwa, meski Negara kita bukan Negara agama. “Hanya negara Ateis yang melepaskan diri dari agama,” paparnya. Departemen ini penting, menurut Wahid Hasyim, untuk mengurusi masalah-masalah

16 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), h. 42-43

47

keumatan. Dari pernyataan terakhir ini, Wahid Hasyim menegaskan bahwa Kementerian Agama bukanlah Kementerian bagi umat Islam saja, tapi bagi semua pemeluk agama. Ada juga yang mengkritik bahwa lebih banyak mengurusi kepentingan umat Islam. Hal ini dengan mudah dijawab oleh Wahid Hasyim, bahwa jumlah umat Islam di Indonesia itu mayoritas, karena itu wajar bila pemerintah memberikan perhatian lebih kepada mereka. Ketika menjabat sebagai Menteri Agama, salah satu pemikiran dia dalam hal keagamaan misalnya memindahkan pusat peribadatan agama budha dari Candi Borobudur ke Candi Mendut. Akhirnya candi Borobudur hanya berperan sebagi monumen kebesaran budaya bangsa dan sebagai tempat rekreasi. Dalam bidang ibadah, Wahid Hasyim menetapkan kebijakan bahwa pelaksanaan ibadah haji sepenuhnya ditangani pemerintah, yakni oleh Bagian Urusan Haji dari Kementerian Agama. Dalam pelaksanaannya, bagian ini bekerjasama dengan Yayasan PHI (Perjalanan Haji Indonesia). Lembaga terakhir ini merupakan hasil dari resolusi Kongres Muslimin Indonesia pada Desember 1949. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penyelenggaraan ibadah haji dan juga menyelamatkan calon jamaah dari tipuan pihak-pihak tertentu yang ingin mengeksploitasi mereka. Penipuan pernah terjadi pada 1949 terhadap jamaah haji dari Jawa Barat. Banyak dari mereka yang terlantar ketika di Arab dan kemudian menimbulkan kekacauan. Kemudian ditetapkan juga beberapa persyaratan yang harus dipenuhi calon jamaah haji. Antara lain, di samping harus berbadan sehat dan sudah baligh, mereka juga harus mengetahui ilmu agama Islam, khususnya berkaitan dengan ibadah haji. Mereka juga harus mempunyai bekal yang cukup, tidak hanya bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji tapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan, yang menjadi tanggungjawab mereka. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menjual harta kekayaan yang menjadi gantungan hidup, demi melaksanakan haji. Selain itu, ada juga persyaratan bahwa calon jamaah haji tidak boleh buta huruf. Untuk ukuran saat itu, ketika tingkat buta huruf masih tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, persyaratan ini menimbulkan kesan

48

menghambat orang yang ingin pergi haji. Tetapi Wahid Hasyim memiliki alasan sendiri. Dengan mencantumkan syarat-syarat ini, dia ingin mendorong umat Islam untuk belajar yang pada gilirannya nanti akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Memang, suli mengetahui apakah syarat-syarat tersebut dilaksanakan secara penuh. Kebijakan yang diambil Wahid Hasyim tersebut jelas menunjukkan bahwa dia mempunyai keinginan kuat untuk meningkatkan kualitas umat Islam. 17 Selain berkaitan ibadah haji ini, satu lagi kebijakan Wahid Hasyim yang perlu dicatat ketika menjadi Menteri Agama adalah dimulainya pelaksanaan perayaan hari besar Islam secara kenegaraan, tepatnya adalah Peringatan Maulid Nabi yang diadakan di Istana Negara pada 2 Januari 1950. Sejak saat itu, peringatan tersebut selalu diadakan di tempat yang sama dan dihadiri Kepala Negara.

2. Bidang Sosial Pada 22 Desember 1951, sebuah majalah ibu kota memuat artikel yang secara keras mengeritik para tokoh Islam. Penulisnya adalah Ma’mun Bingung. Di bawah judul tulisan “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, tetapi Pemimpin-pemimpinnya Tidak Tahu”, Ma’mun Bingung menguraikan dua peristiwa yang dinilai mengandung isyarat penting. Peristiwa pertama adalah adanya konferensi yang dihadiri para professor Kristen se-Asia yang berlangsung di Priangan. Dan kedua, peristiwa peletakan batu pertama pembangunan kampus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang dilakukan oleh presiden (rektor) universitas negeri itu, Prof. Dr. Sardjito. Dalam pertemuan Professor se-Asia, secara terbuka disampaikan rencana menjadikan Indonesia sebagai negara Kristen. Sedangkan dalam kegiatan peletakan batu pertama kampus UGM, ada seseorang tokoh yang mengusulkan sesuatu yang dinilai aneh. Karena kampus UGM terletak di antara

17 Laporan Sejarah Departemen Agama (Jakarta: Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama RI, 1980/1981), h. 48

49

Candi Borobudur dan Candi Prambanan, maka demikian, usulnya, kelak dia harus bias menjelmakan (reinkernasi) kedua candi itu. Dalam tulisan itu Ma’mun Bingung tidak memprotes ide menjadikan Indonesia sebagai negara Kristen atau kampus UGM sebagai jelmaan Candi Borobudur atau candi Prambanan. “Di dalam negara demokrasi seperti Indonesia, tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang dikehendaki, boleh mengemukakan pendapat dan pikiran dengan sebebas-bebasnya asal di dalam bebas-batas undang-undang,” demikian tulisnya. “Hanya kepada umat Islam yang menurut hukum demokrasi mempunyai hak hidup dan mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan kritik ini. Terutama kepada para pemimpin Islam. Kami menyesal karena adanya peristiwa demikian itu tidak ada seorang pun dari pemimpin tergerak hatinya untuk menunjukkan kepada umat Islam di Indonesia agar jangan tetap dalam tidur nyenyaknya dan mabuk politik yang membahayakan,” kata Ma’mun Bingung melalui tulisannya.18 Siapa Ma’mun Bingung, penulis artikel pedas itu? Dia tidak lain adalah KH. A. Wahid Hasyim. Nama Ma’mun Bingung merupakan salah satu saja dari sekian nama samara yang dipakainya ketika menulis artikel. Cuplikan pendek artikel itu, setidak-tidaknya menampakkan tiga hal mendasar yang memperlihatkan sosok penulisnya. Pertama, betapa KH. A. Wahid Hasyim memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan paham dan bersikap proporsional dalam menyikapi setiap persoalan yang dihadapi. Kedua, besarnya kepedulian terhadap peningkatan kualitas hidup umat Islam. Dan ketiga adalah sikap kritisnya yang tak pernah padam meskipun menyangkut umat Islam sendiri. Melalui tulisannya, kita menangkap getaran keprihatinan yang sangat dari dari KH. A. Wahid Hasyim, setiap dia menyaksikan kondisi umat Islam pada saat itu. Sungguh aneh di mata Wahid Hasyim. Banyak pemimpin Islam waktu itu yang secara verbal sering menggembar-gemborkan perjuangan Islam melalui berbagai jalur, terutama jalur politik, justru

18 Artikel ini dimuat dalam Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h 125- 129

50

membiarkan umat Islam hidup dalam kualitas serba memprihatinkan. Menurutnya, banyak orang membawa bendera Islam untuk kepentingan yang sebenarnya bertolak belakang dengan semangat Islam.

3. Bidang Pendidikan Dalam pemikirannya di bidang pendidikan, Wahid Hasyim memulainya dari perubahan secara perlahan-lahan pada Pondok Pesantren Tebuireng. Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M ini pada awalnya hanya berupa sebuah bedeng berbentuk bujur sangkar, dibagi menjadi dua ruangan. Bagian belakang berfungsi sebagai tempat tinggal Kyai dan keluarganya, sedangkan yang lainnya untuk tempat shalat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Pendidikan semula berlangsung secara pengajian sorogan dan bandongan. Sejak tahun 1916 mulai dirintis pendidikan dalam bentuk klasikal, meskipun masih sangat sederhana. Baru pada tahun 1926 pendidikan banyak mengalami penyempurnaan baik kurikulum maupun metodenya, termasuk adanya tambahan pelajaran umum yang meliputi Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi dan berhitung. Sebagaimana diketahui, memang pada dasarnya pesantren memiliki kultur yang khas yang berbeda dengan budaya sekitarnya─dan cara pengajarannya yang unik. Sang kyai, yang biasanya adalah pendiri sekaligus pemilik pesantren, membacakan manuskrip-manuskrip keagamaan klasik berbahasa Arab (dikenal dengan sebutan “”), sementara para santri mendengarkan sambil member catatan pada kitab yang sedang dibaca. Metode ini disebut bandongan atau layanan kolektif. Selain itu, para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara kyai atau ustadz yang sudah mumpuni menyimak sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaan dan performance seorang santri. Metode ini dikenal dengan istilah sorogan atau layanan individual. Kegiatan belajar-mengajar tersebut berlangsung tanpa adanya penjenjangan kelas dan kurikulum yang ketat, dan biasanya dengan memisahkan jenis kelamin siswa19, antara laki-laki dengan perempuan. Selain itu, jumlah teks klasik yang diterima di pesantren sebagai

19 Mastuki HS., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), cet.II, h.3

51

ortodoks (al-kutub al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah; hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tidak berubah. Melihat itu semua, ada kekhawatiran akan adanya kemunduran atau kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Karena materi yang diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu-ilmu keagamaan. Anak didik atau santri akan lebih senang mengikuti pemikiran ulama terdahulu dari pada berusaha melahirkan penemuan-penemuan baru, mereka terpesona terhadap buah pikiran masa lampau sehingga merasa cukup dengan apa yang sudah ada, dan pada akhirnya mereka tidak mampu untuk memunculkan gagasan-gagasan keagamaan yang cemerlang.20 Guna meningkatkan pendidikan di Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari telah menunjuk kepada Wahid Hasyim dan Muhammad Ilyas (sebelumnya telah diutus untuk belajar di Mekkah) untuk mengembangkan pendidikan di Tebuireng. Kesempatan baik ini, dimanfaatkan oleh mereka berdua untuk mengadakan pembaruan dalam tiga bidang yakni: a) memperluas pengetahuan para santri, b) memasukkan pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah, dan c) meningkatkan sistem pengajaran bahasa Arab secara aktif. Karena disadari, bahwa pendidikan menentukan adanya objek yang menjadi permasalahan, dan membawa suatu proses kearah tercapainya tujuan yang telah terlebih dahulu ditetapkan. Dengan keadaan seperti tersebut di atas , sebagai orang yang ditunjuk untuk melanjutkan usaha pendidikan yang dibangun oleh ayahandanya, Wahid Hasyim kemudian mengajukan beberapa usulan pembaruan pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng. Di antaranya mengenai metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar dan tujuan atau harapan santri belajar di pesantren dan pengenalan mata pelajaran dari Barat. Mendudukkan para santri dalam posisi sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak

20 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet.I, h.121

52

usia muda. Wahid Hasyim tidak ingin melihat santri berkedudukkan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah langsung membina pondok pesantren asuhan ayahandanya. Keterbukaan terhadap segala hal yang baru dan pemikiran yang cukup maju dari Wahid Hasyim dapat dilihat ketika beliau mengusulkan adanya perubahan kurikulum di pondok pesantren. Ide yang ditawarkan adalah memasukkannya ilmu pengetahuan “sekuler” dalam kurikulum pesantren. Hal ini dimaksudkan agar santri tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat. Dengan dikuasainya kedua ilmu tersebut, santri, dalam pandangan Wahid Hasyim akan menjadi manusia yang sempurna.21 Meski tidak pernah mengeyam pendidikan modern, wawasan berpikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Hal ini dapat diduga sebagai hasil dari luasnya bacaan dia, sebagaimana telah disinggung pada latar belakang pendidikan beliau di atas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan- kegiatan sosial dan pendidikan. Pada 1935 misalnya, bersama KH. Ilyas─yang kemudian juga menjadi Menteri Agama─ Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nizhamiyah yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tapi juga ilmu-ilmu umum, termasuk bahasa Belanda dan Inggris. Apa yang dilakukan Wahid Hasyim bersama teman karibnya ini jelas merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap hal tabu oleh pesantren karena dipandang identik dengan Barat atau penjajah yang memperkenalkan ilmu tersebut ke Indonesia. Kebencian mendalam terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti memakai dasi dan topi, di samping ilmu pengetahuan umum tersebut. Tidak mengherankan bila Wahid Hasyim, khususnya, dan pesantren Tebuireng, umumnya, mendapat kritikan banyak pesantren karena langkah baru tadi. Namun Wahid Hasyim dengan yakin melanjutkan usahanya ini, karena dia

21 Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1974), h. 72; lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979), h. 63 dan 268

53

melihat bahwa tidak semua yang datang dari Barat itu jelek atau tercela, apalagi dalam hal ilmu pengetahuan. Usaha Wahid Hasyim ini juga dapat dilihat sebagai pengaruh dari perkembangan pendidikan saat itu. Sejak diperkenalkannya “politik etis” oleh Belanda─yang kemudian memberikan kesempatan belajar bagi sebagian kecil masyarakat Indonesia─dan didorong semangat pembaruan yang berasal dari Timur Tengah, umat Islam Indonesia pada akhir abad 19 dan awal abad 20 mulai mengembangkan sistem pendidikan moderen. Para pengelola pendidikan Islam tidak hanya mengubah pendidikan tradisional, seperti pesantren, ke bentuk madrasah atau pendidikan klasikal; sebagian mereka mengembangkan sistem pendidikan Barat yang dimuati nilai-nilai Islam, seperti dilakukan Muhammadiyah. Pada 1930-an telah dijumpai banyak sekolah moderen Islam yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum ditambah dengan pelajaran- pelajaran agama. Hal inilah yang tampaknya ikut mempengaruhi Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nizhamiyah di atas. Dalam intitusi baru yang didirikan Wahid Hasyim ini, dia menggunakan ruang kelas dengan kurikulum 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Pelajaran sekuler yang diajarkan di Madrasah Nizhamiyah adalah aritmatika, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan alam. Sebagai tambahan, santri diajari pelajaran bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda. Keterampilan mengetik juga diberikan untuk meningkatkan kualitas keterampilan santri. Mengenai keefektifan metode yang digunakan di pesantren, Wahid Hasyim mengusulkan untuk mengadopsi sistem tutorial, sebagai ganti dari metode bandongan. Menurutnya, metode bandongan sudah sangat tidak efektif dalam mengembangkan inisiatif santri. Hal ini disebabkan di mana metode bandongan diterapkan, santri dating hanya untuk mendengar, menulis dan menghafal pelajaran yang diberikan; tidak ada kesempatan bagi santri untuk mengajukan pertanyaan atau bahkan mendiskusikan pelajaran. Wahid Hasyim secara jelas menyimpulkan bahwa metode bandongan membuat santri pasif. Wahid Hasyim juga mencoba untuk mengoreksi harapan santri belajar di pesantren. Dia mengusulkan agar kebanyakan para santri yang datang ke

54

pesantren tidak berharap menjadi ulama. Oleh karena itu, mereka tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam mengakumulasikan ilmu agama melalui teks-teks Arab. Mereka dapat memperoleh ilmu agama dari buku-buku yang ditulis dengan huruf Latin, dan menghabiskan sisa waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan menguasai keterampilan yang berguna secara langsung di tengah masyarakat di mana mereka berada. Hanya sebagian kecil saja yang memang disiapkan menjadi ulama yang diajari bahasa Arab dan karya-karya klasik. Langkah yang diambil, di samping untuk latihan mengoperasionalkan ilmu pengetahuan juga untuk mencoba menjajaki kondisi pendidikan yang sebenarnya sedang berkembang di masyarakat Islam pada waktu itu. Selanjutnya usaha meningkatkan ilmu pengetahuan, Wahid Hasyim merintis perpustakaan pribadi yang dipenuhi koleksi buku-buku agama dan ilmu pengetahuan umum. Dia juga berlangganan majalah-majalah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang mengungkap masalah-masalah agama, pendidikan, politik dan kehidupan yang dialami oleh berbagai umat Islam di dunia.22 Semua buku dan majalah yang beliau punyai ditempatkan dalam perpustakaan dan beliau menganjurkan kepada santrinya untuk membacanya. Apa yang dilakukan Wahid Hasyim ini adalah untuk mendukung idenya bahwa umat Islam, khususnya generasi muda, harus banyak membaca. Di samping itu, pada tahun 1936 didirikanlah Ikatan Pelajar-pelajar Islam (IKPI) yang dipimpin oleh Wahid Hasyim sendiri. Bahkan ketika Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama (1949-1952) banyak hal pembaruan dalam usaha dan jasa di bidang pendidikan dan pengajaran Islam, yang kebetulan pada waktu itu yang menjadi penghubung pendidikan agama kantor Pusat Kementerian Agama adalah Mahmud Yunus. Di antara jasa-jasanya itu adalah sebagai berikut: a. Mengeluarkan peraturan tentang: susunan dan tugas kewajiban Kantor Pusat Kementerian Agama, Jawatan Pendidikan Agama dan Jawatan

22 Zamakhsyari, Tradisi…, h. 106

55

Penerangan Agama. (Peraturan Menteri Agama No.2 tahun 1951 tanggal 12 januari 1951). b. Mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri PPK dan Menteri Agama tentang: Pendidikan Agama di sekolah-sekolah Negeri dan Partikelir pada 20 Januari 1951. c. Menyusun top formasi pegawai Kantor Pendidikan Agama di Propinsi- propinsi dan Kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia (pada tanggal 27 Januari 1951). d. Mendirikan kantor-kantor pendidikan agama di propinsi-propinsi dan kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia (pada tanggal 30 Januari 1951). e. Mendirikan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri di Kotaraja (Aceh) pada tanggal 13 Februari 1951. f. Mendirikan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri di Bukit Tinggi (Sumatera Tengah) pada tanggal 31 Februari 1951. g. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Tanjung Pinang (Sumatera Tengah) pada tanggal 31 Mei 1951. h. Mengusahakan keluarnya Putusan Menteri PPK dan persetujuan Menteri Agama tentang penghargaan ijazah-ijazah madrasah (pada tanggal 17 Juli 1951). i. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Kotaraja (pada tanggal 14 Agustus 1951). j. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Padang (pada tanggal 16 Agustus 1951). k. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Banjarmasin (pada tanggal 16 Agustus 1951). l. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Jakarta (pada tanggal 16 Agustus 1951). m. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Tanjung Karang (Sumatera Selatan) pada tanggal 16 Agustus 1951). n. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Bandung (pada tanggal 02 Agustus 1951).

56

o. Mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri di Pamekasan (pada tanggal 08 Agustus 1951). p. Mendirikan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) Negeri di Bandung (pada tanggal 02 Agustus 1951). q. Menetapkan rencana pendidikan Islam di sekolah-sekolah Rakyat dari kelas IV—VI (pada tanggal 06 Mei 1951). r. Menetapkan rencana pelajaran agama Islam di Sekolah-sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (pada tanggal 31 Agustus 1951). s. Mengeluarkan peraturan bersama Menteri PPK dan Menteri Agama tentang peraturan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta (pada tanggal 21 Oktober 1951). t. Dan lain-lain, yang berhubungan dengan pendidikan agama. Maksud dari itu semua, bahwa beliau juga menyadari, sejak sistem pendidikan Nasional mengadopsi sistem Barat yang memfokuskan pendidikan pada pelajaran sekuler, banyak hal yang hilang dari pendidikan terutama yang berkaitan dengan nilai dan moral. Hal ini menjadi perhatiannya karena, pendidikan yang menjadi motor penggerak kemajuan Indonesia tidak hanya persoalan perkembangan akal atau badan dan keterampilan belaka, akan tetapi juga persoalan perkembangan spirit yang hanya dapat dicapai melalui pendidikan agama. Oleh karena itu, beliau menekankan bahwa sistem pendidikan Nasional harus memasukkan pelajaran agama dan harus diberikan secara seimbang dengan pelajaran umum. Perdebatan mengenai apakah pelajaran agama harus diberikan di sekolah pemerintah (Negeri) atau tidak, akhirnya mengeluarkan SK bersama antara Kementrian Agama dengan Kementrian Pendidikan yang menyatakan bahwa pelajaran agama harus diberikan sejak kelas IV, dan sekolah menengah selama dua jam dalam seminggunya. Berkat usaha Wahid Hasyim dalam kabinet, pemerintah mengeluarkan peraturan tertanggal 21 Januari 1951 yang mewajibkan pelajaran agama harus diajarkan di sekolah “sekuler”. Pendeknya, pada masa Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama dan Mahmud Yunus sebagai Penghubung Pendidikan Agama, banyaklah usaha-

57

usaha yang dilaksanakan untuk kemajuan pendidikan agama seluruh Indonesia. Pada masa itulah (1951), lahir SGHA dan PGA di luar pulau Jawa, dengan rencana pelajaran yang sama; dan pada masa itu, lahirlah persatuan rencana pelajaran agama di sekolah-Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (rencana Panitia, kemudian disahkan oleh Menteri Agama dan Menteri PPK). 23 Pada masa itu, 1951, telah ada jawatan Pendidikan Agama yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebab itulah diadakan Penghubung Pendidikan Agama di Pusat Kementerian Agama di Jakarta yang dikepalai oleh Mahmud Yunus.

4. Bidang Politik Ketika Wahid Hasyim menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini mengadakan dua kali rapat. Pertama, tanggal 28 Mei sampai 1 Juni 1945 dan kedua pada 10-17 Juli 1945. Dalam siding pertama, badan ini membicarakan dasar-dasar negara Indonesia yang akan lahir. Dalam rapat ini, Wahid Hasyim adalah salah satu peserta yang menghendaki agar negara yang akan dibentuk berdasarkan Islam mengingat Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia. Mereka dikenal dengan golongan Islam. Sementara itu, sebagian peserta lain menghendaki agar negara yang akan dibentuk tidak berdasarkan pada agama tertentu karena adanya fakta bahwa selain umat Islam terdapat pula penganut agama lain di nusantara ini. Yang terakhir ini dikenal dengan golongan Nasional─meski sebagian besar anggota golongan ini juga beragama Islam. Rapat ini berakhir dengan dibentuknya Panitia Sembilan, dimana Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya, yang bertugas merumuskan hasil akhir berdasarkan usulan-usulan peserta sidang. Panitia inia akhirnya berhasil merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar yang kemudian lebih dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam piagam tersebut, tercantum satu kalimat yang di

23 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), h. 369-371

58

kemudian hari menimbulkan kontroversi, yakni sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Rapat kedua yang mestinya membicarakan isi Undang-Undang Dasar sempat diawali perdebatan sekitar Piagam Jakarta tersebut tadi. Sekali lagi, Wahid Hasyim yang menjadi bagian dari mereka mengusulkan agar negara berdasarkan Islam dan Presiden harus orang Indonesia asli dan beragama Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang gigih mengusulkan agar Indonesia menjadi negara yang berdasarkan Islam. Namun Islam bukanlah harga mati bagi dia. Ini terbukti ketika pada suatu hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Wahid hasyim tanpa berbelit-belit dapat menerima usulan yang diajukan agar segala rumusan yang memuat Islam secara eksplisit dihapuskan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar, karena disinyalir ada keberatan dari penduduk Indonesia bagian Timur yang tidak ingin bergabung dengan Indonesia merdeka jika berdasarkan Islam.24 Apa yang dilakukan Wahid Hasyim kemudian justru adalah bagaimana menempatkan aspirasi kalangan agama, tidak hanya Islam, dalam negara Indonesia modern melalui institusi Kementerian Agama. Sama halnya ketika Wahid Hasyim berada di tubuh organisasi yang dinaunginya, NU. Setelah NU keluar dari Masyumi, Wahid Hasyim menulis sepucuk surat kepada PB Masyumi yang menyatakan alasan betapa pentingnya Masyumi mengubah struktur organisasi menjadi sebuah federasi. Dengan struktur demikian, semua organisasi yang berdasarkan Islam dapat menjadi anggotanya dan dapat dipersatukan kembali potensi umat Islam dalam melakukan perjuangan. Namun seruan itu ternyata tidak ditanggapi, tetapi justru hal tersebut mendapat respon positif dari Paartai Sarikat Islam Indonesia dan Partai Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah).

24 Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah Wahid Hasyim hadir dalam rapat tanggal 18 Agustus 1945 itu. Prawoto mengatakan tidak karena Wahid Hasyim sedang berada di luar Jakarta, sementara Hatta yakin dia ada dalam rapat tersebut. Lihat Deliar Noer, Partai Islam …, h. 39-43

59

Kemudian dibentuklah badan persiapan federasi. Dalam rapat badan persiapan federasi, disetujui federasi itu dinamakan Liga Muslimin Indonesia. Peresmiannya dilakukan di serambi Gedung Parlemen Pejambon (sekarang Gedung Kemenlu) pada 30 Agustus 1952, bertepatan dengan hari wukuf di Arafah pada musim haji tahun itu. Menurut anggaran dasarnya, federasi ini dibentuk untuk mewujudkan masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum Allah dan Rasulullah. Untuk mewujudkan tujuan itu, federasi ini berusaha mengatur rencana bersama mengenai langkah-langkah besar bagi kepentingan umat Islam di Indonesia dalam segala lapangan kehidupan.

BAB IV PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. A. WAHID HASYIM

A. Pembaruan Pendidikan Islam Wahid Hasyim adalah seorang yang memberikan perhatian besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Latar belakang pendidikan pesantren yang ia miliki ditambah dengan bacaannya yang luas, sebagaimana telah diketahui dalam biografi beliau, menjadikan Wahid Hasyim sebagai pribadi yang sadar akan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan, agama dan umum sekaligus. Beliau sangat memahami bahwa Indonesia yang sedang membangun membutuhkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan umum. Sebaliknya, pembangunan yang sedang berlangsung juga membutuhkan agama agar terhindar dari dekadensi moral. Dalam kesempatan lain, dia mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dikurung perasaan keagaamaan yang sempit. “Tiap-tiap Muslim sejati… memandang pengetahuan dari sudut logika semata-mata; perasaan dan batin dalam lapangan mencari pengetahuan dan mengadu kebenaran harus dikesampingkan.” Demikian pula, ilmu harus bebas dari pertimbangan- pertimbangan politik.1

1 Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957), h. 813-814

60

61

Untuk mewujudkan hal tersebut, ada tiga hal yang dilakukan Wahid Hasyim ketika menjabat Menteri Agama. Pertama, lahirlah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) pada tahun 1950—yang kemudian hari berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pada tahun 1960—sebagai lembaga pendidikan tinggi agama yang modern. Kedua, memasukkan kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Ketiga, mendirikan Pendidikan Guru Agama—sebagai konsekuensi dari adanya pengajaran agama di sekolah-sekolah umum. Wahid Hasyim memberikan kontribusi pembaruan dalam pendidikan Islam dari ketiga hal di atas; mendirikan PTAIN, memasukkan pendidikan agama di sekolah umum, dan mendirikan PGA di kancah pendidikan nasional ketika menjabat sebagai Menteri Agama.

1. Mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Keinginan sebagian pemimpin Islam di negeri ini untuk memiliki lembaga perguruan tinggi sendiri sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai Islam sudah tumbuh menjelang periode akhir era kolonialisme, lebih-lebih setelah melihat kiprah para tamatan lembaga perguruan tinggi yang diprakarsai pemerintah penjajah. Kota Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan pusat pemerintahan Republik Indonesia, diberi penghargaan dengan menetapkan Kota Yogyakarta sebagai kota universitas. Karena telah didirikanlah di Yogyakarta Universitas Gajah Mada yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950. Sehubungan dengan itu kepada umat Islam diberikan pemerintah pula Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dinegerikan dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia (UII) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950 dan di tanda tangani oleh Presiden RI bertanggal 14 Agustus 1950. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan No. K/I/14641

62

Tahun 1951 (Agama) dan No. 28665/ Kab. Tahun 1951 (Pendidikan tertanggal 1 September 1951). PTAIN berasal dari fakultas Agama dari Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Dengan demikian Universitas Islam Indonesia (UII) tidak mempunyai fakultas Agama lagi. Hanya tersisa fakultas Hukum, fakultas Ekonomi dan fakultas Paedagogik (Pendidikan). a. Sejarah Berdirinya Salah satu jasa Wahid Hasyim selama dia menjadi Menteri Agama ialah menerima pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam Kementerian Agama. Sejarahnya adalah sebagai berikut: Pada petengahan tahun 1950, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.34/1950 tanggal 14 Agustus 1950, dimulailah langkah- langkah pertama untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Kemudian atas keputusan Kabinet dibentuklah suatu panitia bernama Panitia Perguruan Tinggi Agama, kemudian diganti dengan nama Panitia Perguruan Tinggi Islam, diketuai oleh KH. Faturrahman Kafrawi (mantan Menteri Agama RI) dan terdiri dari 11 anggota yaitu: 1. KH. Fathurrahman Kafrawi sebagai Ketua 2. Prof. Drs. Abdullah Sigit sebagai Anggota 3. Prof. Mr. A. G. Pringgidigdo sebagai Anggota 4. Muchtar Yahya sebagai Anggota 5. Prof. Abd. Kahar Muzakkir sebagai Anggota 6. Mahmud Yunus sebagai Anggota 7. KH. Faried Ma’ruf sebagai Anggota 8. KH. Abdullah Efendi sebagai Anggota 9. Prof. Mr. Notosusanto sebagai Anggota 10. Mr. Rusbandi sebagai Anggota 11. M. Sulaiman sebagai Anggota

63

Dalam waktu tiga setengah bulan panitia tersebut menyusun Rencana Peraturan yang selanjutnya mendapat pengesahan dari Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Dan berkenaan dengan hal itu disusun pula rencana calon-calon anggota Dewan Pengawas (Dewan Kurator) dan calon-calon pendidiknya. Kemudian KH. Fathurrahman Kafrawi diberikan tugas oleh Wahid Hasyim selaku Menteri Agama, untuk melaksanakan segala persiapan penyelenggaraan keperluan Perguruaan Tinggi Agama Islam Negeri ini. Diantara hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah: a. Gedung perkuliahan, b. Sekretariat, c. Perlengkapan, d. Dosen, e. Dewan Kurator (Dewan Penasehat), f. Kegiatan pendaftaran dan lainnya. 2 Dana yang dikeluarkan untuk melaksanakan pendirian PTAIN ini bukanlah jumlah yang kecil pada saat itu sebesar Rp. 548.500 (Lima ratus empat puluh delapan ribu lima ratus rupiah). Barulah pada bulan September 1951 telah selesai dibangun gedung untuk PTAIN di Yogyakarta. Gedung tersebut telah dilengkapi dengan kebutuhan yang sesuai pada masanya. Dan untuk mengisi koleksi perpustakaan PTAIN maka disediakan 2.000 buah judul buku. Mulailah dibuka penerimaan pendaftaran mahasiswa pada tanggal 1 Juli 1951 sampai dengan 25 Agustus 1951 dan terkumpul 100 calon mahasiswa. Namun sehubungan dengan belum tersedianya Ketua Fakultas dan Dosen, maka para calon mahasiswa tersebut diadakan “penyaringan” oleh Panitia Ujian yang diketuai oleh Hertog Jojonegoro dan beranggotakan 11 orang. Calon mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat, seperti SGHA, SMA Negeri atau yang dipersamakan dengan

2 Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 665

64

Sekolah Kejuruan Sejarah SGA, STM, serta Madrasah Menengah Tinggi dengan terlebih dahulu dilaksanakan ujian. Untuk memberikan jalan bagi pelajar-pelajar lulusan Madrasah Menengah Atas (Tinggi) yang berminat ke PTAIN namun tingkat pengetahuan umumnya kurang memadai, disediakan sekolah persiapan dengan menempuh ujian masuk dengan mata pelajaran: Pengetahuan Agama Islam, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Bumi, Sejarah Umum dan Indonesia. Mata pelajaran di Sekolah Persiapan sama dengan mata pelajaran yang diberikan di SMA Negeri kelas III jurusan Sastra (A) ditambah dengan pelajaran Agama Islam. PTAIN pada tanggal 26 September 1951 telah resmi dibuka dan dihadiri oleh Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama dengan menyampaikan pidato yang berjudul “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”.3 Pelaksanaan penyelengaraannya diatur bersama oleh Menteri Agama dan Menteri PP&K tertanggal 21 Oktober 1951 yang ditandatangani oleh A. Wahid Hasyim dan Mr. . b. Latar Belakang Berdirinya Dalam sebuah sambutan Wahid Hasyim ketika membuka PTAIN ini dia menyebutkan: jika pada saat ini (baca: saat pembukaan itu) mungkin timbul pertanyaan yang disebabkan karena adanya dugaan, seakan-akan dengan pembukaan PTAIN ini terdapat maksud bahwa golongan Islam lebih diperhatikan melebihi golongan agama lainnya, maka hal tersebut tidaklah benar. Karena untuk golongan Islam sekolah agama yang mengajajarkan dan memelihara pendidikan agama dengan dasar pengetahuan yang bernilai universitas belumlah ada di Indonesia. Wahid Hasyim menegaskan bahwa walaupun PTAIN ini memakai nama suatu agama tertentu, yaitu Islam, tetapi diantara tenaga-tenaga yang memajukannya baik di kalangan pengajar maupun pelajarnya terdapat orang-orang dari macam-macam golongan

3 Naskah Pidato ini dimuat dalam Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), h.84-90

65

agama. Maka perasaan saling menghargai dan kerja sama yang baik itu dapat dipelihara.4 Selanjutnya masih dalam sambutannya ketika meresmikan perguruan tinggi ini, Wahid Hasyim menjelaskan bahwa pendirian lembaga ini dilatar belakangi beberapa hal. Antara lain, keprihatinan dia akan rendahnya kualitas sumber daya manusia di kalangan umat Islam. Padahal, mereka adalah kelompok terbesar. Karena kelemahan kualitas yang mereka hadapi, kelompok mayoritas ini tidak mampu menyukseskan pembangunan yang dilakukan dalam waktu yang cepat. Selain itu, pendirian ini juga didorong oleh fakta bahwa umat Islam belum memiliki sekolah yang mengajarkan dan memelihara pendidikan agama Islam dengan dasar pengetahuan setingkat universitas. Sementara kelompok minoritas sudah memilikinya, dalam bentuk Sekolah-sekolah Tinggi Theologia. Disamping kedua latar belakang tersebut, dia juga mengemukakan bahwa dalam masyarakat saat itu dijumpai dua pimpinan Islam. Pertama, pemimpin politik Islam yang umumnya berpendidikan Barat tapi tidak punya pengetahuan agama yang cukup. Kedua, pemimpin agama Islam, yakni para ulama yang pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan umum dan politik. Sebab itu, Wahid Hasyim mengharapkan bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam tersebut mampu melahirkan cendekiawan yang tidak hanya mendalami ilmu pengetahuan agama dan umum serta takwanya kepada Allah, tetapi juga memahami persoalan-persoalan politik. Dengan demikian, tidak akan terjadi adanya ulama yang karena tidak sadar, menundukkan ilmu pengetahuan pada politik.5 Dalam pandangan Islam bahwa ilmu pengetahuan tidaklah dianggap sebagai satu syarat hidup yang dapat berdiri sendiri. Disamping pengetahuan, diletakkan syarat lain yaitu takwa dalam artian takut kepada Allah dan menjaga diri dari kesalahan. Kedua syarat hidup tersebut haruslah lengkap, bahkan ketakwaan harus melebihi pengetahuan itu sendiri. Sebab jika ilmu

4 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h.82 5 Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 812-818

66

pengetahuan yang tidak disertai dengan ketakwaan maka akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam hidup.6 Jadi dengan hadirnya PTAIN yang dilatarbelakangi dari beberapa hal tersebut menjadikan PTAIN kelak menghasilkan generasi yang berpengetahuan luas serta memiliki ketakwaan kepada Allah swt. Sehingga terhindar dari dekadensi moral. c. Tujuan Dari latar belakang berdirinya PTAIN yang telah dikemukakan terdapat tujuan didirikannya PTAIN. Tujuan PTAIN adalah untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam dan untuk tujuan tersebut diletakkan asas untuk membentuk manusia susila dan cakap serta mempunyai kesadaran dalam bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia dan dunia umumnya atas dasar Pancasila, Kebudayaan, Kebangsaan Indonesia dan kenyataan. Masyarakat sangat mengharapkan dengan adanya PTAIN ini kelak dapat menghasilkan orang-orang pandai dan ulama yang memiliki ketakwaan, perasaan takut kepada Allah swt dan dengan sendirinya menimbulkan rasa tanggung jawab kepada-Nya lebih besar dari pada segala pertanggung jawaban terhadap lainnya, dengan demikian maka akan mucul sikap jujur serta berani membela kebenaran.7 Pada Pasal 2 dari Peraturan Pemerintah No.34 tahun 1950, bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam bermaksud untuk memberikan pelajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam. Di samping tujuan ideal di atas, dibentuknya PTAIN tidak luput dari tujuan praktis, yakni untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam. Dapat dimaklumi bahwa pada ketika itu

6 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 87 7 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 89

67

telah banyak lulusan tingkat menengah sekolah atau madrasah yang belum tersalurkan minat studi mereka ke tingkat perguruan tinggi disebabkan lembaganya sebelum berdiri PTAIN belum ada. Selain dari itu kebutuhan tenaga ahli dalam bidang agama yang dapat menyahuti perkembangan zaman amat diperlukan dalam rangka membangun Indonesia yang baru merdeka. Di sisi lain, selama ini sebelum berdirinya PTAIN masyarakat Indonesia yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan keagamaannya mesti berangkat ke luar negeri ke Mesir atau ke . Selain itu PTAIN ini juga dapat diharapkan menjadi pusat untuk mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman seperti halnya al-Azhar di Kairo Mesir. d. Kurikulum PTAIN yang berdirinya diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah mahasiswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya adalah KH. Muhammad Adnan. PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama belajar 4 tahun pada tingkat Bakalaureat dan Doktoral. Mata pelajaran agama didampingi mata pelajaran umum terutama berkenaan dengan jurusan. Mahasiswa jurusan Tarbiyah diberikan pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, dan begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya. Dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri P.P.K pada Peraturan Pemerintah No.34/1950 tanggal 14 Agustus 1950 pasal 1 tersebut demikian: 1. Pelajaran PTAIN lamanya 4 tahun mempunyai susunan bertingkat-tingkat yang bulat terdiri atas: a. Tingkat pertama bernama Propaedeus selama 1 tahun yang diakhiri dengan ujian Propaedeus.

68

b. Tingkat kedua jenis Kandidat dan berjenis Bacalaureat selama sedikitnya satu tahun yang masing-masing diakhiri dengan ujian Kandidat dan Bakalaureat. c. Tingkat ketiga bernama Doktoral selama dua tahun yang diakhiri dengan ujian Doktoral. 2. Tingkat pelajaran Bakalaureat dan tingkat pelajaran Doktoral masing- masing mempunyai jurusan Tarbiyah, jurusan Qadha dan jurusan Dakwah. Sedangkan dalam pasal 3 ditegaskan, bahwa Pelajaran tingkat Propaedeus terdiri atas mata pelajaran: Bahasa Arab, Pengantar Ilmu Agama, Fiqh dan Usul Fiqh, Tafsir, Hadits, dan Ilmu Kalam. Pelajaran tingkat Kandidat terdiri atas mata pelajaran: Bahasa Arab, Mantiq, Filsafat, Akhlak, Tasawuf, dan Perbandingan Agama. Dan Pelajaran tingkat Doktoral terdapat: a. Jurusan Tarbiyah terdiri atas: Bahasa Arab, Tafsir, Hadits, Ilmu Pendidikan dan Pengajaran dan Satu mata pelajaran pilihan: Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat, Akhlak, dan Tasawuf. b. Jurusan Qadha terdiri atas: Pengantar Hukum, Fiqh dan Ushul Fiqh, Tafsir, Asas-asas Hukum Publik dan Hukum Privat, dan Satu mata pelajaran pilihan: Ethnologi, Sosiologi, Ekonomi, dan Bahasa Arab. c. Jurusan Dakwah terdiri atas: Bahasa Arab, Fiqh dan Ushul Fiqh, Tafsir, Hadits, Dakwah dan Satu mata pelajaran pilhan: Tarikh Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, Ilmu Jiwa, dan Sosiologi. Selain daripada itu pada PTAIN diberi juga pengajaran dalam mata pelajaran yang bersifat umum untuk memberikan dasar dan kesadaran akan pendirian hidup yang luas dan kuat kepada para mahasiswa selaras dengan tugas dan tujuannya. Dan pada pasal 4 ditegaskan, bahwa mereka yang lulus dalam: 1. Ujian Bakalaureat memperoleh sebutan Bakalaureat Ilmu Pengetahuan Agama Islam. 2. Ujian Doktoral memperoleh sebutan Doktorandus Ilmu Pengetahuan Agama Islam.

69

Keunggulan pada Perguruan Tinggi Agama Islam adalah ciri khas yang menandai perguruan tinggi agama Islam terlihat secara jelas pada beban studi yang ditawarkan kepada mahasiswa dan produk yang dihasilkannya. Sebagai wahana pengembangan sumber daya Manusia (SDM), perguruan tinggi agama Islam secara konsisten berupaya menghasilkan produk yang memiliki berbagai kompetensi. Diantaranya kompetensi akademik yang berkaitan dengan metodologi keilmuan, kompetensi professional yang menyangkut dengan kemampuan penerapan ilmu dan teknologi dalam realitas kehidupan, kompetensi intelektual yang berkaitan dengan kepekaan terhadap persoalan yang berkembang.8 Pada masa Orde Lama, kurikulum nasional dalam hal ini UU RI No. 21 tahun 1950 tentang pendidikan dan pengajaran masih bersifat umum. Aturan- aturan yang terdapat di dalamnya masih tertuju pada setiap jenjang pendidikan secara nasional. Sehingga jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi belum memiliki aturan/perundang-undangan yang lebih spesifik. Dengan demikian, kurikulum PTAIN pada masa Orde Lama sesungguhnya masih merupakan “perpanjangan tangan” dari pesantren-pesantren yang ada pada waktu itu. Hal ini disamping karena kesamaan materi yang diberikan, juga karena figur-figur yang terlibat dalam proses pendirian perguruan tinggi ini pun masih tergolong orang-orang pesantren. d. Perkembangannya Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950 tentang pengembangan Fakultas Agama dari Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Guna melaksanakan peraturan ini dibentuklah Panitia Perguruan Tinggi Islam, beranggotakan sebelas orang dan diketuai oleh KH. Faturrahman Kafrawi, yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembukaan perguruaan tinggi tersebut. Dalam waktu

8 Syahrin Hararap (ed.), H.A. Yakub Matondang: Perguruan Tinggi Islam sebagai Subyek dan Obyek Moral Akademik di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 1998), h. 4

70

yang tidak terlalu lama, tepatnya pada 15 September 1951, lembaga ini resmi dibuka dengan nama PTAIN dan berkedudukan di Yogyakarta. Pendirian PTAIN ini merupakan salah satu peninggalan Wahid Hasyim paling penting. Lembaga ini kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN) yang sekarang berjumlah 14 di seluruh Indonesia, dan mampu menyerap lebih dari 15 persen dari keseluruhan mahasiswa Indonesia. Bertepatan pada ulang tahun (Dies Natalis) ke IX Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri pada tanggal 26 September 1959 berdasarkan Ketetapan Menteri Muda Agama No. 41 Tahun 1959 dibentuklah suatu panitia dengan nama “Panitia Perbaikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri” yang diketuai Prof. Mr. RHA. Soenarjo. Setelah mengadakan sidang beberapa kali, maka disepakatilah bahwa PTAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dengan ADIA9 yang berkedudukan di Jakarta digabungkan menjadi Institut Agama Islam Negeri “Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukmiyah”. Keputusan panitia tersebut disetujui oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No.11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1960.10 Dalam perekembangan berikutnya penggabungan kedua lembaga perguruan tinggi tersebut diberi nama IAIN Yogyakarta ini berkembang menjadi 16 fakultas yang tersebar di beberapa kota seperti Banjarmasin, Palembang, Surabaya, Serang, Aceh, Jambi, dan Padang. Hingga sampai sekarang ini perkembangan IAIN maupun UIN semakin meningkat sejalan dengan respon positif masyarakat terhadap produk yang

9 ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) adalah realisasi dari Departemen Agama yang bertugas untuk menyiapkan tenaga-tenaga guru agama dalam rangka kesuksesan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Didirikan pada tanggal 15 Mei 1957 di Jakarta tepatnya 12 kilometer dari Jakarta arah ke Selatan berdasarkan ketetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957 tertanggal 1 Januari 1957 yang dipimpin oleh Mahmud Yunus. 10 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 125-126

71

dihasilkan dari Pendidikan Tinggi Islam ini.11 Dari data yang didapatkan sampai pada tahun 1973 telah berdiri 14 IAIN di seluruh Indonesia yaitu:

Tabel 1 Jumlah IAIN se-Indonesia Tahun Jumlah Landasan No. Nama Lokasi Berdiri Fakultas Hukum Peraturan IAIN Sunan 1 Yogyakarta 1960 8 Presiden No. Kalijaga 11/1960 IAIN Syarif SK Menag No. 2 Jakarta 1963 10 Hidayatullah 49/1963 SK Menag No. 3 IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1963 6 89/1963 IAIN Raden SK Menag No. 4 Palembang 1964 6 Fattah 87/1964 SK Menag No. 5 IAIN Antasari Banjarmasin 1964 9 89/1964 Ujung SK Menag No. 6 IAIN Alauddin 1965 13 Pandang 79/1965 IAIN Sunan SK Menag No. 7 Surabaya 1965 18 Ampel 20/1965 IAIN Imam SK Menag No. 8 Padang 1966 8 Bonjol 77/ 1966 IAIN Sultan SK Menag No. 9 Thaha Jambi 1967 4 84/ 1967 Saefuddin IAIN Sunan SK Menag No. 10 Bandung 1968 7 Gunung Jati 57/ 1968

11 Direkttori Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri tahun 2000/2001, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, h. 4

72

IAIN Raden Tanjung SK Menag No. 11 1968 5 Intan Karang 189/1968 IAIN Wali SK Menag No. 12 Semarang 1970 7 Songo 31/1970 IAIN Sultan SK Menag No. 13 Pekanbaru 1970 3 Syarif Qosim 194/1970 IAIN Sumatera SK Menag No. 14 Medan 1973 4 Utara 97/1973

Selanjutnya, upaya-upaya peningkatan IAIN terus dilaksanakan. Di antaranya upaya peningkatan pendanaan, peningkatan peranan organisasi IAIN, kurikulum peningkatan mutu dosen, penigkatan sarana fisik. Kemudian dengan dilakukannya upaya-upaya peningkatan IAIN, selanjutnya dalam perkembangan IAIN menjadi UIN telah dimulai sejak tahun 2002 telah terjadi perubahan bagi sebagian IAIN menjadi UIN, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2002 Tanggal 20 Mei 2002. Seterusnya diikuti oleh beberapa IAIN menjadi UIN, yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Syarif Qasim Pekanbaru, UIN Alauddin Makassar, dan UIN Sunan Gunung Jati Bandung.

2. Memasukkan Pendidikan Agama di Sekolah Umum Pelajaran agama di sekolah umum dapat dikategorikan sebagai bagian dari pendidikan Islam, dalam kaitannya dengan tujuan mengembangkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Kategori sebagai pendidikan Islam ini terutama dilihat dari pengertian pendidikan Islam dari sudut filosofinya, bahwa esensi pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan pribadi muslim yang memahami ajaran agamanya dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengabdian kepada Allah, Sang Pencipta. Peningkatan iman dan takwa merupakan unsur dari tujuan pendidikan nasional, mempunyai makna yang sangat dalam bagi pembentukan manusia

73

Indonesia seutuhnya. Keimanan dan ketakwaan tidak dapat terwujud tanpa agama, karena hanya agamalah yang dapat menuntun manusia Indonesia menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian dalam kaitan pembangunan bangsa, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan bangunan bawah dari moral bangsa. Ketentraman hidup sehari-hari didalam masyarakat tidak hanya semata-mata ditentukan oleh ketentuan hukum semata tetapi juga dan terutama didasarkan atas ikatan moral nilai-nilai kesusilaan serta sopan santun yang didukung dan dihayati bersama oleh seluruh masyarakat. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang berpegang pada moralitas tidak bisa lain kecuali dengan pendidikan, khususnya pendidikan agama. Sebab moralitas yang mempunyai daya ikat masyarakat bersumber dari agama, nilai-nilai agama dan norma-norma agama. Agama yang berdimensi kedalam pada kehidupan manusia membentuk daya tahan untuk menghadapi sikap dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ucapan dan batinnya. Peranan agama demikian penting bagi tata kehidupan pribadi maupun masyarakat, maka dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya haruslah bertumpu di atas landasan keagamaan yang kokoh. Jalan untuk mewujudkannya tidak bisa lain kecuali hanyalah dengan menempatkan pendidikan agama sebagai faktor dasar yang paling penting.12 Pendidikan agama dewasa ini merupakan bagian dari kurikulum wajib yang diselenggarakan di sekolah umum pada semua jenjang pendidikan. Dalam sistem pendidikan nasional pendidikan agama memiliki fungsi yang sangat fundamental terutama bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk membentuk watak dan kepribadian siswa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Karena itu, pendidikan agama tidak semata- mata diarahkan kepada transfer of knowledge pada tataran kognitif semata, tetapi meliputi ranah pendidikan, termasuk aspek afektif dan psikomotorik.

12 Abdul Rachman Shaleh, “Aktualisasi Politik Pendidikan di Lingkungan Departemen Agama”, Pidato Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Bid. Pendidikan Agama BALITBANG Agama Depag”, (Jakarta: BALITBANG Agama Depag, 1999), h. 11

74

Dengan demikian, muara dari seluruh proses pendidikan agama adalah terbentuknya penghayatan, sikap, dan perilaku sebagai seorang Muslim yang beriman dan mampu mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari- hari. Sosok pribadi demikian yang menjadi tujuan dari penyelenggaraan pendidikan Islam. Menurut Abudin Nata pendidikan agama secara sederhana adalah pendidikan yang materinya terdiri dari pengetahuan agama seperti tauhid/akidah, fiqih, al-Qur’an, ibadah, dan akhlak yang ditujukan untuk menghasilkan anak didik yang berjiwa agamis (religius) yang terlihat dari akidahnya yang kuat, kepatuhannya dalam menjalankan ibadah, akhlaknya mulia, kepedulian sosialnya tinggi serta gemar membaca al-Qur’an.13 Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan Islam, maka pendidikan agama haruslah mengantarkan peserta didik kepada terbinanya tiga aspek. Pertama, aspek keimanan mencakup seluruh arkanul iman. Kedua, aspek ibadah, mencakup seluruh arkanul Islam. Ketiga, aspek akhlak, mencakup akhlakul karimah. Untuk tujuan itulah pendidikan agama diarahkan pada terbentuknya manusia Indonesia beridentitas dan berkepribadian Pancalilais, moralitas agamis yang kondusif serta ketegaran dan keteguhan pribadi dalam menghadapi pasang surut pembangunan bangsa. Wahid Hasyim dikenal sebagai seorang yang mencurahkan perhatiannya dalam menyeimbangkan pengetahuan umum dan agama. Selain mendirikan PTAIN, hal tersebut juga diimplementasikan dalam bentuk lain, yakni memberikan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Menyusul ditetapkannya UU Pendidikan No. 4/1950, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Bersama pada 1951, yang intinya menegaskan bahwa pelajaran agama harus diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu, keputusan bersama ini juga menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapatkan pengakuan dari Kementerian Agama dianggap telah memenuhi wajib belajar.

13 Abudin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 28

75

Keputusan No.1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan) dan No. K.I/651. Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) merupakan realisasi dari UU Pokok Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Ayat 2: Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan bersama- sama dengan Menteri Agama. Keputusan tersebut terdiri dari 11 pasal, yang intinya adalah: Pendidikan Agama diberikan di sekolah rendah dan lanjutan. Di sekolah rendah pendidikan agama dimulai di kelas 4 sebanyak 2 jam dalam 1 minggu. Sedangkan di lingkungan istimewa pendidikan agama dapat dimulai pada kelas satu dan lamanya belajar tidak boleh lebih dari 4 jam seminggu. Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas baik di sekolah- sekolah umum maupun sekolah-sekolah vak diberikan pendidikan agama 2 jam tiap-tiap minggu. Pendidikan agama yang diberikan sesuai agama murid dan jumlah murid yang mengikuti pelajaran agama dalam satu kelas sekurang-kurangnya sepuluh orang untuk agama tertentu. Selama berlangsung pendidikan agama, murid yang beragama lain boleh meninggalkan kelas. Guru-guru agama diangkat oleh Menteri Agama dan begitu juga pembiayaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Bahan pelajaran ditetapkan oleh Kementerian Agama setelah mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.

Dengan dimasukkannya pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah umum ini menunjukkan bukti betapa Wahid Hasyim menganggap pentingnya pendidikan ketuhanan/agama. Menurut Wahid Hasyim pada dasarnya setiap manusia adalah makhluk yang beragama. Jika didapati ada manusia yang menganggap bahwa agama itu tidak penting dan menganggap dirinya sebagai penentang agama, maka pada hakikatnya hati orang tersebut selalu merasa kosong dan telah menukar agamanya, dari yang lama kepada agama yang baru bernama anti-agama. Wahid Hasyim menegaskan bahwa di Belanda yang dahulu menjadi “kiblat”nya sebagian kaum terpelajar bangsa Indonesia, kini kurang dari 84% sekolah-sekolah rendah diisi dengan pendidikan agama. Akan tetapi di

76

Indonesia, orang masih berkeras kepala menganggap bahwa pendidikan agama itu akan menghambat kemajuan.14 Menurut Azyumardi Azra bahwa Islam sebagai agama universal dan berlaku sepanjang zaman, bukan hanya mengatur urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Demikian pula Islam mengatur ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Tuhan, dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduniaan. Islam mengatur keduanya secara integrated.15 Jika di dalam bidang keilmuan dirumuskan upaya peintegrasian yang menyatu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, maka penyatuan itu hendaknya tidak hanya mencakup dengan memasukkan mata pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum dan mata pelajaran umum ke pesantren dan madrasah karena hal tersebut tidak sesuai dengan konsep pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek-aspek manusia dalam satu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadinya dikotonomi. Kemudian dalam rangka kesatuan sistem agar secara teknis tidak ada dikotonomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum diwujudkan melalui kebijaksanaan Wahid Hasyim untuk memasukkan tujuh mata pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu mata pelajaran membaca-menulis (latin), berhitung, Bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olahraga. Kebijaksanaan tersebut, kemudian lahir Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dalam Pasal 10 Ayat 2 disebutkan bahwa: “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. 16 Selanjutnya kebijakan tersebut berkembang ketika KH. Moh. Ilyas menjadi Menteri Agama setelah Wahid Hasyim yaitu dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Tujuannya

14 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 27 15 Azyumardi Azra, dalam Abudin Nata et.al., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. viii 16 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 26

77

diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa, yaitu untuk kemajuan di bidang ekonomi, industri dan trasmigrasi dengan kurikulum yang menyelaraskan tiga perkembangan, yaitu perkembangan otak, perkembangan hati dan keterampilan tangan atau Three H (heart, head, hand).

3. Pendidikan Guru Agama (PGA) a. Latar Belakang Keberadaan dan peran guru dalam suatu proses pendidikan sangat penting. Sebab guru berperan besar dalam menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan yang dijalankan. Abuddin Nata mengistilahkan guru sebagai salah satu komponen pendidikan yang terpenting dari suatu sistem pendidikan17 secara keseluruhan. Dengan demikian, keberadaan dan peran guru dalam upaya melahirkan manusia yang tangguh baik secara intelektual maupun moral dan spiritual sangatlah diharapkan keberadaannya. Oleh karena itu, guru sebagai faktor pendidikan yang sangat penting sebab di tangan guru lahir metode, kurikulum, alat pembelajaran lainnya akan hidup dan berperan. Ibrat manusia yang mengendalikan senjata itulah yang menentukan bukan senjatanya (the man behind the gun). Atas asumsi itulah maka salah satu yang paling pokok dibenahi oleh pemerintah di dalam membenahi dunia pendidikan adalah guru dalam hal ini guru agama. Munculnya lembaga pendidikan guru agama ini, didasari kebutuhan yang meningkat dengan berdiri dan berkembangnya lembaga pendidikan yang membutuhkan guru-guru baru. Pendirian Pendidikan Guru Agama (PGA) di lingkungan Departemen Agama didorong oleh tugas untuk memenuhi dan merealisir rekomendasi BPKNIP dan Panitia Penyelidik Pengajaran mengenai pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum. Tugas menyiapkan calon guru agama di sekolah umum menjadi semakin mendesak, setelah ditetapkannya UU No. 20 tahun 1950 tentang Dasar-dasar

17 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), cet. 1, h. 132

78

Pendidikan dan Pengaajaran di sekolah. Pasal 20 ayat 1 dan 2 dalam Undang- Undang tersebut menentukan bahwa dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama. Orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak. b. Sejarah Sejarah munculnya Pendidikan Guru Agama (PGA), akarnya sudah dimulai sejak masa sebelum kemerdekaan khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi dengan pendirian PGA oleh Departemen Agama, kelanjutan lembaga pendidikan Islam di Indonesia mendapat jaminan yang lebih strategis. Mengingat semakin besarnya tugas penanganan masalah pendidikan Islam, maka bagian pendidikan dalam Departemen Agama dikembangkan menjadi Jawatan Pendidikan Agama pada tahun 1950 (ketika Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama). Badan ini memiliki peran yang sangat penting dan strategis di lingkungan Departemen Agama mengingat tugas pengembangan pendidikan merupakan lahan garapan yang sangat luas dan menantang. Beberapa tokoh yang pernah menjabat posisi ini adalah Drs. Abdullah Sigit, Mahmud Yunus, dan Arifin Tamyang. Hampir semua perubahan dan pengembangan pendidikan agama pada masa pemerintahan Orde Lama tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Jawatan itu kemudian disetuji oleh Menteri Agama.18 Sejarah PGA pada masa Orde Lama bermula dari program Departemen Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggungjawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950 itu pula, bagian dari Departemen Agama tersebut membuka dua lembaga pendidikan yang dapat dikatakan sebagai lembaga profesional keguruan: 1. Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Terdiri dari dua jenjang:

18 Maskum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 125

79

a. Jenjang jangka panjang yang ditempuh selama 5 tahun19 dan diperuntukkan bagi siswa tamatan Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), b. Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun dan diperuntukkan bagi tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). 2. Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI) ditempuh selama 4 tahun dan diperuntukkan bagi tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Terdiri dari 4 bagian: a. Bagian A mencetak guru kesusastraan, b. Bagian B mencetak guru ilmu alam dan ilmu pasti, c. Bagian C mencetak guru agama, dan d. Bagian D mencetak tenaga administrasi peradilan agama.20 Bagi calon guru agama pada sekolah umum ditekankan untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang sama dengan guru umum (lulus Sekolah Guru Bantu) di samping memiliki pengetahuan ilmu agama. Hal ini dimaksudkan agar calon-calon guru agama tidak merasa rendah diri dan diremehkan oleh guru umum di sekolahnya. Di samping itu, dimaksudkan agar guru agama mempunyai pengetahuan yang luas sehingga dapat mengajarkan agama melalui pendekatan ilmu pengetahuan umum. Dengan kata lain, ilmu agama yang diajarkan sejalan dengan ilmu umum dan tidak menimbulkan pertentangan antara agama dan umum. Dengan adanya rencana dua lembaga ini yang diajukan oleh Drs. Sigit secara tegas membedakan kemampuan yang harus dimiliki oleh calon guru agama pada sekolah umum dan calon guru untuk madrasah.

19 Mata pelajaran selain agama juga diberikan. Pelajaran umum yang diberikan setingkat dengan Sekolah Guru Bantu (SGB) ditambah ilmu agama dan bahasa Arab. Jika di SGB lama belajar 4 tahun maka di SGAI lama belajar 5 tahun. Dengan langkah ini guru agama diharapkan mempunyai kemampuan seperti guru umum lulusan SGB ditambah kemampuan khusus agama (SGB Plus). Lihat: Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005), h. 141 20 Maskum, Madrasah;…, h. 124

80

Mula-mula rencana ini hanya dijalankan di daerah Yogyakarta saja. Barulah setelah Kementrian Agama RI di Yogyakarta digabung dengan Kementrian Agama RIS di Jakarta dalam Negara kesatuan RI berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama No. 10 A.11/2/2175 tanggal 10 Agustus 1950, maka Menteri Agama Wahid Hasyim ketika itu hendak menjalankan rencana tersebut ke seluruh Indonesia. Ini tercermin dalam Surat Edaran Menteri Agama No. 277/C/C-9 tanggal 15 Agustus 1950 yang menganjurkan agar setiap daerah karesidenan di Indonesia membuka Sekolah Guru Agama Islam (SGAI), dengan perubahan nama, yaitu SGAI diubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI) diubah menjadi Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA). Pengaruh surat edaran ini ternyata sangat besar, terbukti kemudian PGA berkembang pesat dan dapat dijumpai, tidak hanya di tiap Karesidenan, tapi hampir tiap kabupaten. PGA tersebut adalah: a. PGAN di Tanjung Pinang, Sumatera Tengah didirikan pada 31 Mei 1951. b. PGAN di Kotaraja, Aceh didirikan pada 14 Agustus 1951. c. PGAN di Padang didirikan pada 16 Agustus 1951. d. PGAN di Banjarmasin didirikan pada 16 Agustus 1951. e. PGAN di Tanjung Karang, Sumatera Selatan didirikan pada 16 Agustus 1951. f. PGAN di Bandung didirikan pada 2 Agustus 1951. g. PGAN di Pamekasan didirikan pada 8 Agustus 1951. Dengan hadirnya PGA ini diharapkan dapat menghasilkan guru agama yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya sebagai tenaga profesional. Sedangkan seorang yang professional memiliki ciri: 1. Memiliki keahlian di bidang yang dikerjakannya. 2. Menggunakan waktunya untuk bekerja dalam bidang pekerjaannya. 3. Hidup dari pekerjaannya tersebut.

81

4. Pekerjaan tersebut bukanlah sebagai hobi.21 Dengan makin banyaknya lulusan PGA—di samping Madrasah Aliyah, tentu saja—yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi, maka semakin banyak pula kebutuhan akan IAIN, karena bagaimanapun IAIN merupakan tempat yang tepat bagi mereka.22 Untuk pembinaan dan pengembangannya mereka berhimpun dalam satu wadah Peratuan Pendidikan Guru-Guru Agama seluruh Indonesia. c. Perkembangan Ketika Jawatan Pendidikan Agama dipegang oleh Arifin Tameyang (1952- 1958), di bawah Menteri Agama Fakih Usman, struktur lembaga keguruan Pendidikan Guru Agama (PGA) ditata ulang yang terkesan mengurangi eksistensi PGA tersebut. Pendidikan Guru Agama (PGA) yang semula ditempuh cukup dengan 5 tahun, dirubah menjadi 6 tahun yang terdiri dari 4 tahun tingkat Pertama dan 2 tahun tingkat Atas. Kebijakan Arifin juga menegaskan dihapuskannya PGA jangka pendek 2 tahun. Jadi untuk mencetak guru agama hanya disediakan Pendidikan Guru Agama 6 tahun. Sementara itu, perubahan drastis juga terjadi pada Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) dirubah menjadi Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), yang tidak lagi membuka jurusan keguruan seperti guru kesusasteraan dan guru ilmu alam.23 Berikut rencana dari Arifin Tameyang: 1. PGA jangka pendek (2 tahun) dan PGA jangka panjang 5 tahun dihapuskan (Penetapan Menteri Agama tanggal 21 Nopember 1953). Sebagai gantinya PGA tersebut diubah menjadi 6 tahun yang terdiri dari Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) 4 tahun dan Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) 2 tahun. 2. SGHA dihapuskan (Penetapan Menteri Agama tanggal 9 Mei 1954) terutama bagian A, B, dan C. Bagian D dianggap masih diperlukan. Sebagai ganti dari bagian D didirikan Pendidikan Hakim Islam (PHI) yang

21 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam …, h. 76 22 Zamakhsyari Dhofier, “KH. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern ”, dalam Prisma, No. 8, 1984, h. 78 23 Maskum, Madrasah;…, h. 125

82

lama belajarnya 3 tahun dengan murid-murid pilihan dari Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) 4 tahun. Kalau SGHA tadinya 4 buah, PHI tinggal 1 buah di Yogyakarta. Atas diberlakukannya hal tersebut, Mahmud Yunus mensiyalir bahwa adanya penurunan mutu lulusan PGA belakangan ini (1957) dibandingkan dengan lulusan PGA yang terdahulu.24 Pendapat ini ada benarnya bila ditilik bahwa kalau dalam rencana Drs. Sigit dibedakan secara tegas antara kurikulum PGA dan SGHA bagian C karena masing-masing mempunyai spesifikasi khusus yang harus disiapkan, sedangkan dalam rencana Arifin kurikulumnya disamakan. Hal itu yang berakibat adanya mata pelajaran tertentu di SGHA bagian C dihapuskan padahal berguna untuk menunjang tugasnya. Saat sekarang ini tidak ada lagi sekolah-sekolah dinas25 yang disebutkan di atas. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Departemen Agama menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang diberlakukan secara nasional.

B. Respon Terhadap Pembaruan Pendidikan Islam KH. A. Wahid Hasyim 1. Pemikiran Pendidikan Islam a. Pentingnya Ilmu Agama dan Umum Bangsa Indonesia di masa awal kemerdekaan kerap kali masih mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anak mereka harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”. Akibatnya, kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa,

24 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), h. 365 25 Sekolah-sekolah dinas yang dimaksud adalah lembaga-lembaga pendidikan keguruan; PGAP/PGAA dan PHIN, yang kemudian setelah lulus dari sekolah tersebut diangkat menjadi pegawai negeri dan karena itu murid-murid di kedua sekolah dinas ini harus berikatan dinas sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1951. Namun karena kekurangan anggaran Negara sejak tahun 1969 tidak lagi disediakan ikatan dinas.

83

untuk ikut berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern. Menurut Wahid Hasyim bahwa untuk menjadikan orang beragama tidaklah perlu orang tersebut diharuskan (ditentukan) mempunyai ilmu agama terlalu dalam dan luas. Sebaliknya, seorang yang berpengetahuan agama tidak semua menjadi orang yang beragama dengan baik. Karena sering kali didapati seseorang yang tidak berpengetahuan agama dengan luas dan mendalam, kemudian beragama lebih sempurna dari orang yang berpengetahuan agama, dalam arti yang luas dan mendalam. Juga sebaliknya, sering didapati orang yang sangat mengerti ilmu-ilmu agama yang mendalam, perbuatannya tidak memberikan nama baik sebagaimana seharusnya seorang yang beragama. Oleh karena itu, pengetahuan tidak boleh dikungkung oleh perasaan keagamaan yang sempit, tiap-tiap Muslim sejati, sebagai seorang demokrat memandang pengetahuan dari sudut logika semata-mata; perasaan dan batin dalam lapangan mencari pengetahuan dan mengadu kebenaran, harus dikesampingkan. Tiap-tiap Muslim diajar oleh al- Qur’an berlaku tenang di dalam menghadapi lawannya dalam menguji argumen dan alasan serta dalil. Sampai pun yang sudah dilewati batas kesopanan, harus tetap dihadapi dengan tenang, agar tidak merusakkan persoalan. Bukan saja pengetahuan harus bebas dari kungkungan perasaan keagamaan yang sempit, tetapi juga menurut pandangan Islam ilmu harus bebas dari pertimbangan-pertimbangan politik. Dengan mengutamakan ilmu sebagai dasar hidup itu, serta menundukkan politik pada pengetahuan, maka perjuangan hidup ummat Islam, walaupun dari sudut bersifat individualitis (perseorangan lawan perseorangan), tetapi dari lain sudut dialaskan pada persaudaraan yang mewajibkan tiap-tiap individu (perseorangan Muslim) memandang sesama individunya tidaklah sebagai lawan, tetapi saudara.

84

Berkali-kali Wahid Hasyim menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan, atau dalam bahasa Wahid Hasyim, logika atau akal. Dia mengatakan bahwa Islam bukan saja menghargai akal dan otak yang sehat, tetapi menganjurkan orang supaya menyelidiki, memikirkan dan mengupas segala ajaran Islam.26 Lebih jauh dia mengatakan. Dalam Islam… logika adalah pokok yang penting bagi menentukan benar atau salah. Suatu hal atau suatu kejadian atau suatu peristiwa yang menurut logika tidak dapat diterima, di dalam anggapan Islam tidak bisa juga diterima. …Islam tidak mengakui segala yang tidak tunduk pada logika.27 Namun, Wahid Hasyim juga mengingatkan akan keterbatasan akal. Karena itu, meski tidak harus dikungkung agama, ilmu pengetahuan tetap harus dilengkapi dengan agama. Dengan agama itulah, menurut Wahid Hasyim, manusia bisa membedakan antara akal sehat dan hawa nafsu.28 “Kemajuan otak yang tidak disertai dengan kemajuan budi pekerti atau takwa telah menyebabkan nilai dan pandangan manusia jadi berubah banyak, tidak ke atas tapi ke bawah.”29 Menurut Wahid Hasyim, Islam memandang bahwa ilmu pengetahuan tidaklah dianggap sebagai satu syarat hidup yang dapat berdiri sendiri. Di samping pengetahuan, diletakkan syarat lain yaitu takwa, dan takwa ditafsirkan menjaga diri dengan arti takut dengan Allah, juga takwa ditafsirkan menjaga diri dari kesalahan. Dua syarat hidup tersebut, ilmu pengetahuan dan takwa dalam pandangan Islam tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup lengkap. Bahkan Islam memandang lebih condong pada takwa dari pada kepada ilmu. Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan takwa sebagai isi hati. Kemajuan otak yang tidak disertai dengan kemajuan (atau naiknya) budi pekerti atau takwa, telah menyebabkan nilai dan

26 Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 681 27 Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 634 28 Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 687-688 29 Aboebakar, Sejarah Hidup …, h. 815

85

pandangan manusia jadi berubah banyak, bukannya ke atas, tetapi ke bawah, sehingga sesuatu kejahatan kecil seperti merusakkan jiwa/nyawa seseorang, dianggap perbuatan jahat, tetapi merusakkan jiwa/nyawa satu bangsa seluruh negeri, tidaklah dianggap kejahatan, bahkan orang yang membuatnya mendapat penghormatan dan nama. b. Perguruan Tinggi Islam Dalam pembukaan PTAIN, Wahid Hasyim menyampaikan pidatonya, mengungkapkan bahwa dia sangat bergembira sekali dengan hadirnya PTAIN ini, karena akan menambah tenaga kehidupan kepada umat Islam Indonesia dan dia juga menegaskan seandainyapun dia bukanlah seorang Muslim sekalipun hanya berbangsa Indonesia dia akan tetap bergembira dan berbesar hati dengan pembukaan Perguruan Tinggi Agama Islam ini. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, karena umat Islam Indonesia adalah golongan terbesar dari pada bangsa Indonesia, dan bukanlah rahasia lagi, bahwa tenaga kehidupan mereka ukuran-ukuran sekarang (baca: saat itu) lemah sekali. Maka satu langkah untuk menambah tenaga kehidupan mereka, pasti akan disambut dengan gembira oleh tiap-tiap putra bangsa Indonesia yang demokrat, walaupun bukan Muslim. Kedua, karena umat Islam Indonesia sebagai golongan terbesar di dalam keadaan seperti sekarang (baca: saat itu), tidak mungkin dibangunkan sebagai jembatan untuk membangun rakyat dan negara dengan cepat dan tepat. Kecuali dengan cara-cara yang dapat menggerakkan jiwanya dengan jitu. Ketiga, karena dengan usaha menyempurnakan pendidikan tinggi bagi umat Islam Indonesia sebagai golongan terbesar dari bangsa Indonesia, akan tercegahlah suatu bahaya yang hingga kini mengancam, walaupun banyak tidak disadari orang. Yaitu bahaya terbelahnya generasi bangsa. Dalam hubungan ini, dalam pidatonya tersebut Wahid Hasyim menegaskan bahwa perguruan tinggi ini kelak dapat menghasilkan manusia cerdik pandai dan ulama yang mempunyai takwa, perasaan takut pada Allah swt dan dengan sendirinya menimbulkan rasa tanggung jawab

86

pada kehadirat-Nya lebih besar dari pada segala pertanggungjawaban yang lainnya; dan dengan demikian lalu sikap jujur serta berani membela kebenaran, menunjukkan politik kepada ilmu pengetahuan sebagaimana halnya ulama-ulama yang benar adalah ulama-ulama seperti itu. Dari pandangannya itu dapat disimpulkan bahwa Wahid Hasyim adalah sosok yang moderat, dalam pengertian tidak menganggap salah satu ilmu lebih unggul daripada lainnya, atau akal lebih utama daripada akhlak. Moderasi tersebut diimplementasikan dalam beberapa kebijakannya sebagai Menteri Agama. Salah satu implementasi dari pandangannya ini adalah keputusannya untuk mendirikan sebuah perguruaan tinggi Islam yang baik. Dari pendidikan ini diharapkan akan lahir sarjana yang mengusai dua lapangan ilmu sekaligus yaitu ilmu agama dan umum. Lembaga pendidikan yang beliau bayangkan adalah tempat untuk mempelajari Islam dengan menggunakan sistem pendidikan modern yang menekankan pentingnya rasionalitas. c. Prinsip Pendidik Dalam perspektif pendidikan Islam keberadaan dan peranan guru merupakan suatu keharusan yang tak dapat diingkari. Peran dan tanggung jawab guru dalam proses pendidikan yang berkualitas tidak hanya sebatas menyampaikan materi kepada peserta didik, tetapi guru juga harus memiliki kepribadian luhur yang dapat memberikan contoh atau ketauladanan bagi murid-muridnya. Keteladanan seorang guru merupakan sifat dasar dari kegiatan pembelajaran.30 Tauladan dipandang sebagai suatu cara yang ampuh untuk membina akhlak dan menanamkan prinsip-prinsip terpuji pada jiwa anak didik. Menjadi seorang guru agama yang baik juga harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Dalam hal ini, Athiyah al-Abrasyi menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang guru agama, yaitu:

30 Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), cet.1, h. 127

87

1. Memiliki ilmu agama yang cukup luas, memahami dan mengamalkannya. 2. Memiliki sifat zuhud, yaitu niat mengajar semata-mata mencari keridhaan Allah swt. 3. Bersih jasmani dan rohani, guru agama harus menampilkan kebersihan pakaian, tempat tinggal, dan lingkungan (bersih jasmani) dan juga terhindar dari sifat iri, degki, permusuhan, dosa kecil dan besar (bersih rohani). 4. Memiliki sifat pemaaf dan penyabar, serta sifat-sifat terpuji lainnya. Guru agama harus berkepribadian yang baik, memiliki harga diri, sabar, dan dapat menahan diri dari marah. 5. Guru agama tidak asal mengajar saja, tetapi harus mengethaui tabiat, adat, kebiasaan, dan kemampuan berpikir agar dapat menentukan bahan pelajaran yang tepat bagi mereka.31 Menurut Wahid Hasyim beberapa prinsip pendidikan yang harus diterapkan oleh seorang pendidik dalam mendidik yaitu: a. Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian. b. Kesabaran. c. Pendidikan adalah proses bukan serta merta menjadi hasil. d. Keberanian. e. Prinsip tanggung jawab dalam menjalankan tugas. 32 Dengan demikian, tidak akan lahir murid yang berbudi luhur dari guru yang tidak mempunyai kepribadian luhur juga. Sebab guru adalah orang yang digugu dan ditiru sehingga kepribadiaannya akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya. d. Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa Dalam sebuah tulisan Wahid Hasyim yang berjudul ”Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa”, dia mengungkapkan bahwa pada saat itu

31 M. Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyatul Islamiyah, Terj. dari Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Oleh Bustami a. Ghani dan Djohar Bahri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. I, h. 136 32 Aboebakar, Sejarah Hidup…, h. 850

88

muncul fenomena dimana putra-putri bangsa ini sangat ”tergila-gila” pada bahasa asing sehingga bahasa ”Ibu” mereka lupakan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kemajuan bahasa berarti kemajuan bangsa ini. Namun Wahid Hasyim sangat menyayangkan dengan sikap generasi bangsa yang melupakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari dengan sesama bangsa Indonesia. Hal ini bukanlah menunjukkan bahwa Wahid Hasyim tidak setuju kepada mereka yang belajar bahasa asing, karena Wahid Hasyim sangat mendukung kepada mereka yang belajar bahasa asing dan dituntut untuk memiliki kepandaian dalam berbagai ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Akan tetapi Wahid Hasyim menginginkan selama kita belajar itu, bangsa Indonesia harus tetap beranggapan dan percaya bahwa sebagai anak bangsa, kita juga memiliki bahasa sendiri. Suatu ketika dalam sebuah rapat, berkata: ”tidaklah saya merasa heran jika melihat seorang dari bangsa ini berjalan beriringan dengan orang asing, kemudian bercakap-cakap menggunakan bahasa asing itu pula. Tetapi saya sangat heran melihat seorang dari bangsa ini yang berjalan beriringan dengan bangsanya, kemudian bercakap-cakap, dan percakapannya itu bukanlah memakai bahasa Indonesia, tetapi menggunakan bahasa orang lain.” Dalam sejarah dunia, Wahid Hasyim menyebutkan nama Nevile Chamberlain seorang Perdana Menteri Kerajaan Inggris yang cinta kepada perdamaian dan nama Adolf Hilter yang juga merupakan seorang pemuka Jerman. Ketika keduanya bertemu dalam sebuah pertemuan Internasional, masing-masing menggunakan bahasa bangsanya sendiri. Adolf Hilter dengan bahasa Jermannya sedang Nevile Chamberlain juga dengan memakai bahasa Inggrisnya. Pada hal ini diketahui masing-masing dari keduanya bisa dan pandai berbahasa; Chamberlain pandai berbahasa Jerman dan Hilter pun sangat lancar berbahasa Inggris. Karena itu walaupun dalam pertemuan tersebut masing-masing kedua orang tersebut

89

mengerti bahasa yang dipergunakan namun tetap tidak meninggalkan juru bahasa dan perundingan berjalan melalui perantaraan juru bahasa tersebut. Dari hal di atas menurut Wahid Hasyim terdapat teladan dari mereka yang mengerti dengan harga sebuah bahasa dan menunjukkan sikap saling menghormati terhadap bahasa mereka masing-masing. Jadi, dalam hal ini Wahid Hasyim menegaskan betapa pentingnya arti sebuah bahasa dan dia berpesan hendaklah percakapan yang kita lakukan sehari-hari kepada sesama bangsa ini dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan begitu menurut Wahid Hasyim akan terhindar dari kerusakan bahasa Indonesia yang pada masa itu sudah banyak terjadi dan belum terwujudnya sebuah kamus dalam bahasa Indonesia yang lengkap pada masa itu. Namun untuk menghindari kesalahpahaman atas penegasannya tersebut, Wahid Hasyim mengungkapkan bahwa maksud dari pemikirannya tersebut bukanlah memaknai cara yang sama dipergunakan di Turki; Qur’an diganti dengan bahasa tanah air Indonesia, azan diganti dengan bahasa ”Ibu”, dan doa shalat disalin dengan bahasa persatuan. Dengan tidak seperti itu, biarkan Qur’an dengan bahasa Arab yang fasih, azan dan shalat tetap sama sesuai dengan tuntunannya karena hal tersebut merupakan hubungan antara makhluk dengan Tuhan, sedangkan Wahid Hasyim hanya menghendaki hubungan manusia dengan manusia; dalam hal ini bangsa Indonesia dengan sesama bangsa Indonesia. 33 Dari beberapa pendapatnya menunjukkan bahwa Wahid Hasyim merupakan seseorang yang sangat memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan khususnya pendidikan Islam pada zamannya. Segala kebijakan-kebijakan penting yang berkaitan langsung demi pembaruan pendidikan Islam yang dia lakukan merupakan realisasi dari pemikiran- pemikirannya di atas. Sehingga ada tiga hal pembaruan pendidikan Islam yang sangat menonjol ketika dia memipin Kementerian Agama RI yaitu dengan mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam, memasukkan

33 Buntaran Sanusi dkk. (Ed.), KH. A. Wahid Hasyim; …, h. 65-69

90

pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan umum di sekolah madrasah agar seimbang, dan menyiapkan guru-guru agama untuk ditempatkan di sekolah-sekolah umum.

2. Respon Masyarakat Pembaruan pendidikan yang digagas oleh Wahid Hasyim tersebut tidak luput dari kritik yang tajam dari para ulama dan masyarakat. Ide pembaruan Wahid Hasyim sering menjadi sasaran kritik yang dilontarkan oleh para ulama sebagai upaya mencampuradukkan ajaran agama yang suci dengan ilmu-ilmu keduniawian, yang mana ilmu-ilmu sekuler tersebut masih dianggap sebagai produk bangsa kolonial. Pada akhirnya, walaupun memakan waktu yang lumayan cukup lama, Wahid Hasyim mampu meyakinkan mereka akan manfaat yang dapat diperoleh dengan ide pembaruannya tersebut. Setiap ada kesempatan, dia selalu menggunakannya untuk menjelaskan tujuan dan keuntungan dari ide pembaruannya. Sebagai bukti, ia menunjukkan hasil yang positif dari sistem baru yang dia gagas tersebut, menunjukkan kemampuan yang dimiliki oleh para siswa, termasuk penguasaan ilmu agama dan sekuler sekaligus kemampuan berbahasa asing santri yang belajar di Madrasah Nidzamiyah. Melalui upaya penyadaran tersebut, kyai dan masyarakat secara perlahan dapat memahami dan menerima gagasan Wahid Hasyim tersebut. Sebagai bukti penerimaan ide pembaruan pendidikan Wahid Hasyim, jumlah siswa yang ingin belajar di Pondok Pesantren Tebuireng dan Madrasah Nidzamiyah meningkat secara drastis─jumlah siswa Tebuireng sebanyak dua ribu, jumlah tersebut adalah sepuluh kali lipat dari jumlah siswa yang belajar di Tebuireng sepuluh tahun yang lalu. Perubahan yang terjadi di Tebuireng menjadikannya sebagai pusat pendidikan bagi kader Nahdlatul Ulama. Indikasi lain penerimaan ide pembaruan Wahid Hasyim adalah banyaknya para kyai yang mengadopsi sistem tersebut. Di samping mempertahankan sistem pesantren, mereka juga mendirikan madrasah yang memuat ilmu agama dan umum.

91

Adapun nama KH. A. Wahid Hasyim di Universitas Islam Negeri Jakarta akan diabadikan sebagai nama gerbang masuk atau keluar Kampus UIN Jakarta. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Jakarta mengatakan bahwa pengabadian nama ketiga tokoh agama (selain Wahid Hasyim; Prof. Dr. Harun Nasution dan Prof. Dr. HM Rasyidi) selain untuk menghormati jasa- jasa mereka, juga sebagai bentuk al-muhafadhatu ‘alâ qadimi al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîdî al-ashlah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).34 Nama Wahid Hasyim kini banyak dikenang oleh masyarakat Indonesia. Di samping sebagai pahlawan Nasional, ada beberapa lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang menggunakan namanya sebagai ciri bahwa lembaga tersebut dikelola oleh umat Islam, sekaligus mengenang jasa-jasa Wahid Hasyim. Bahkan di Jakarta, terdapat jalan KH. A. Wahid Hasyim yang menghubungkan pasar Tanah Abang dan Taman Cut Mutia. Namun jalan itu pendek, sependek umur nama pemiliknya. Tetapi jalan yang membelah jantung kota Jakarta itu penting bagi kehidupan Jakarta, sepenting nama itu dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia.

34 Nanang Syaikhu, “ Harun Nasution diusulkan Menjadi Nama Auditorium Utama”, dalam Berita UIN, Jakarta, April 2010, h. 7

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian hasil pengkajian dan pembahasan skripsi ini, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah penelitian, bahwa: Wahid Hasyim adalah seseorang yang memiliki jiwa kepedulian yang cukup modern terhadap pendidikan kaum Muslimin di Indonesia, khususnya dari kalangan masyarakat tradisional. Diantara bentuk kepeduliannya adalah: Perhatian Wahid Hasyim dalam memasukkan ilmu pengetahuan umum dan agama agar seimbang juga diimplementasikan dalam bentuk lain ketika menjadi Menteri Agama, yakni memberikan pelajaran agama di sekolah- sekolah umum dan pelajaran umum di Madrasah melalui Keputusan No.1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan) dan No. K.I/651. Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) yang merupakan realisasi dari UU Pokok Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Ayat 2. Kemudian atas dasar keputusan UU No. 20 tahun 1950 tentang Dasar- dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah umum maka dibentuklah lembaga pendidikan yang menghasilkan guru-guru Agama professional melalui pendirian Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) pada tahun 1950.

92

93

Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia kemudian berlanjut dengan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950 ini merupakan salah satu peninggalan Wahid Hasyim paling penting ketika menjadi Menteri Agama. Lembaga ini kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang berjumlah 14 tempat di seluruh Indonesia, dan kemudian beberapa IAIN telah berkembang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa Wahid Hasyim adalah orang yang sangat luar biasa pada masanya. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan seadanya yang dimiliki dia tidak pernah merasa “minder” untuk mewujudkan apa yang ada dipikirannya dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi. Semenjak pembaruan pemikiran yang dilakukannya selama menjadi Menteri Agama, dunia pendidikan Islam di Indonesia semakin lebih berkembang lagi dan memberikan warna tersendiri pada masanya. Dan jasa- jasanya sangat patut untuk diteladani para generasi penerus bangsa.

B. Saran Penulis adalah manusia yang tak luput dari kealpaan dan sangat menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam penulisan ini. Maka penulis memberikan saran untuk para pembaca umumnya dan peneliti khususnya, diantaranya sebagai berikut: Dengan diungkapnya beberapa hal dari pembaruan pemikiran Wahid Hasyim oleh peneliti hal ini juga ditujukan kepada lembaga Pemerintah yang menangani pendidikan Islam diharapkan agar dapat lebih memperhatikan kembali dan memperbarui kembali hal-hal yang sudah berkembang dalam pendidikan Islam sehingga terkesan tidak “mandeg” dalam perkembangannya seperti halnya yang dilakukan oleh Wahid Hasyim. Dan untuk para pembaca yang berkecimpung dalam organisasi yang pernah di naungi KH. A. Wahid Hasyim, yaitu Nahdlatul Ulama, penulis memberikan saran agar selalu memperhatikan dan mengoreksi hasil penelitian ini untuk kemudian dapat memberi tahu penulis jika terdapat

94

kesalahpahaman. Dan hendaknya senantiasa mengingat jasa-jasa KH. A. Wahid Hasyim khususnya dalam bidang pendidikan untuk kemudian diteladani para pemuda NU. Pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan oleh Wahid Hasyim tidaklah berhenti pada penelitian ini saja. Karena masih banyaknya hal-hal yang belum terungkap dari penelitian ini yang jika diungkap lebih banyak lagi oleh peneliti lainnya maka akan menambah wawasan para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 2002. ______, Misi Intelektual, dalam Panji Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981. Ahmadi, Abu, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 1992. Al-Abrasyi, M. Athiyah, At-Tarbiyatul Islamiyah, Terj. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Oleh Bustami a. Ghani dan Djohar Bahri, Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Al-Haq, Abî al-Tayyib Muhammad Syamsu, „Aunu al-Ma’bûd Syarhu Sunan Abî Dâwud, vol. II, Madinah al-Munawarah: Maktabat al-Salafiyah, 1969. Anis, Ibrahim, al-Mu’jam al-Wasit, Juz I, Kairo: t.t, 1972. Anshari, Fuad, Prinsip-prinsip Dasar Konsep Sosial Islami, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984. Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005. Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-1, 2003. Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997. Atjeh, Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. KH. A. Wahid Hasyim, 1957. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-2, 2000. Cowan, J. Milten (ed.) dan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, New York: t.t, 1971. Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Agustus, 2007. Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Agama bagi Anak Putus Sekolah, Jakarta: Binbaga Islam, 2003.

95

96

______, Laporan Sejarah Departemen Agama, Jakarta: Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama RI, 1980/1981. ______, Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri tahun 2000/2001, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI. Departemen Pendidikan Nasional, GBPP Pendidikan Agama Islam SMP. ______, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. II, 2002. Dhofier, Zamakhsyari, KH. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern , Prisma, No. 8, 1984. ______, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982. Djamaliddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, Februari, 1998. Faisal, Jusuf A. Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani, 1995. Hakim, Abdul, al-Masâil; Masalah-masalah Agama, vol.2. Hararap, Syahrin (ed.), H.A. Yakub Matondang: Perguruan Tinggi Islam sebagai Subyek dan Obyek Moral Akademik di Era Globalisasi, Yogyakarta: Tiara Kencana, 1998 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Maret, 1999. HS., Mastuki, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2005. Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelengara Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 2010. Maududi, Abul A‟la, Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihyaihi, terjemahan H.D. Kahmad dan Afif Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma‟arif, Cet. Ke-4, 1980. Maskum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.

97

Ma‟shum, Saifullah, Karisma Ulama (Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU), Bandung: Mizan, 1998 Mudhafir, Fadlan, Crisis in Muslim Education, Jakarta: al-Mawardi Prima, 2000. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional, Bandung: Tri Genda Karya, 1993. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet.1, 2007. Mohammad, Herry, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Bandung: Gema Insani, 2006. Mortinor, Edward, Islam and Power, Terj. Islam dan Kekuasaan, Oleh: Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1984. Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, Cet. IV, 1996. ______, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-10, 1994. Nasution, S., Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara, 2006. ______, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito, 1988. Nata, Abudin, et.al., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. ______, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. ______, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Grasindo, cet. 1, 2001. Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pustaka Grafiti, Cet.I, 1987. Oxford, Team, The New Oxford Illustrated Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1982. Putro, Suadi, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998. Pobotinggi, Mochtar, Kaum Intelektual Pemimpin dan Aliran-aliran Idiologi di Indonesia sebelum Revolusi dalam Peristiwa, Jakarta: LP3ES, 1992.

98

Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2005. Rais, Amin, Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: CV.Rajawali, 1989. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, cet. Ke-IV, 2004. Rony, Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003. Salam, Solichin, KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indonesia, Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1962. Sanusi, Buntaran dkk. (ed.), KH. A. Wahid Hasyim; Mengapa Memilih NU? Konsepsi tentang Agama, Pendidikan, dan Politik, Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985. Sardar, Ziaudin, Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjelang Informasi, Bandung: Mizan, 1996. Sarwani, Metode dan Teknik Membaca, Jakarta: Panitia Diklatran Patinas Dep. Tenaga Kerja dan Dep. Agama RI, 1976. Shaleh, Abdul Rachman, Aktualisasi Politik Pendidikan di Lingkungan Departemen Agama, Jakarta: Balitbang Agama, 1999. ______, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. ______, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: PT. Gemawaindu Pancaperkasa, Cet. Ke-1, 2000. Shariati, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, Terjemahan M. Amien Rais, Jakarta: Rajawali, 1987. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet.II, 1992. ______, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Ciputat: Lentera Hati, Cet.I, Jilid 2, 2000. Subana, M. dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: Pustaka Setia, cet. 2, 2005. Sulaimân, Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, Beirut: Dâr ibn Hazm, 1988.

99

Steenbrink, Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986. Syaikhu, Nanang, “ Harun Nasution diusulkan Menjadi Nama Auditorium Utama”, dalam Berita UIN, Jakarta, April 2010. Umam, Saiful, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik, Jakarta: INIS, PPIM, dan Balitbang Depag RI, 1998. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Nasional, 2003. Wahid, Salahuddin, Wawancara, Jakarta, 03 November 2010. Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of English Language, The United States of America: William Collin Publisher, INC, 1980. Yunus, Mahmud, Metode Khusus Pendidikan Agama, Jakarta: al-Hidayah, 1974. ______, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidkan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet.IX, 2008. ______, Metodik Pendidikan Agama Dilengkapi dengan Sistem Modul dan Permainan Simulasi, Surabaya: Usaha Nasional, 1977. ______, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Edisi 1, Cet. Ke-II, 1995.

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Responden : KH. Salahuddin al-Ayyubi/Wahid Jabatan : Anak KH.A. Wahid Hasyim Hari/Tanggal : Rabu, 03 November 2010 Tempat : Kediaman Responden

1. Berapa lama Anda merasakan hidup bersama Ayah Anda (KH. A.Wahid Hasyim)? 2. Bagaimana kehidupan keluarga KH. A. Wahid Hasyim pada saat beliau masih hidup? Bagaimana interaksi antara beliau dengan anak-anaknya? 3. Sosok kepribadian KH. A. Wahid Hasyim di mata anak-anaknya sebagai seorang Ayah yang sangat baik dan bagaimana jika di mata orang lain sebagai pemimpin? 4. Bagaimana cara KH. A. Wahid Hasyim mendidik anak-anaknya? Apakah terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya? 5. Dalam hal apa saja KH. A. Wahid Hasyim menuangkan pemikirannya? 6. Dalam hal agama, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? 7. Dalam hal sosial, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? Alasan apa yang mendasari pemikiran sosial Beliau? 8. Dalam hal pendidikan, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? Tahun 1950-1952 KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama, bagaimana peranan Beliau dalam hal melakukan pembaruan di bidang pendidikan Islam. Adakah perbedaannya? 9. Bagaimana respon dari masyarakat terhadap pemikiran-pemikiran Beliau? 10. KH. A.Wahid Hasyim adalah pahlawan Nasional, jasa-jasa apa saja yang menjadikan hal tersebut? 11. Keteladanan apa saja yang dapat dijadikan contoh kepada generasi muda Indonesia dari perjuangan-perjuangan atau jasa-jasa Beliau? HASIL WAWANCARA

Nama Responden : KH. Salahuddin al-Ayyubi/Wahid Jabatan : Anak KH. A. Wahid Hasyim Hari/Tanggal : Rabu, 03 November 2010 Tempat : Kediaman Responden

1. Tanya: Berapa lama Anda merasakan hidup bersama Ayah Anda (KH. A.Wahid Hasyim)? Jawab : Tidak lama yah, 10 tahun setengah atau sekitar 10 tahun 7 bulanlah.

2. Tanya: Bagaimana kehidupan keluarga KH. A. Wahid Hasyim pada saat beliau masih hidup? Bagaimana interaksi antara beliau dengan anak- anaknya? Jawab : Seperti keluarga yang lain, tidak ada sesuatu yang berbeda. Di tengah-tengah kesibukan beliau, sempat mengajar mengaji, nyisirin kakak saya (Ibu Aisyah), mengajak jalan-jalan, mengantar sekolah. Seperti umumnya seorang ayah. Pada waktu itu Kota tak begitu besar, lalu lintas sangat lengang. Beliau adalah orang yang sibuk bahkan super sibuk, dari pagi sampai malam menerima tamu, ganti-ganti kegiatan. Tapi menyempatkan diri untuk anak-anaknya. Jadi, beliau adalah ayah yang sangat baik. Beliau juga seorang yang cerdas secara intelektual dan spiritual. Beliau selalu berpuasa, kecuali pada hari-hari tertentu yang tidak diperbolehkan untuk berpuasa. Beliau hafal al-Qur’an. Hidupnya relatif sederhana.

3. Tanya : Sosok kepribadian KH. A. Wahid Hasyim di mata anak-anaknya sebagai seorang Ayah yang sangat baik dan bagaimana jika di mata orang lain sebagai pemimpin? Jawab : Sangat luar biasa. Tapi karena saya mengenal beliau begitu singkat (saya masih anak-anak), jadi saya mengenal beliau dari tulisan- tulisan. Saya jadi teringat ketika pada tahun 74, saya pergi haji bertemu dengan salah seorang santri Tebuireng yang pernah belajar kepada Ayah saya. Melihat saya, dia menangis. Karena saya sangat mirip sekali dengan Ayah, tekenang pendidikannya dan kebaikannya. Saya juga diceritakan oleh Mertua saya, Bapak Saifuddin Zuhri. Pada waktu itu, ayah sering di Jakarta atau di Jogya dan Pak Saifuddin ikut kegiatan pergerakan dengan Ayah, sedangkan Ibu Saifuddin di Purworejo. Sering sekali Ibu Saifuddin Zuhri menerima kiriman uang yang mengatasnamakan Bapak Saifuddin Zuhri, dan ternyata Bapak Saifuddin Zuhri tidak mengirimkan uang itu. Namun belakangan baru diketahui itu berasal dari Ayah. Ini menunjukkan bahwa Ayah sangat memperhatikan kehidupan anak buahnya (baca: muridnya) sampai seperti itu. Dalam hal ini putra/i-nya kalah termasuk Gus Dur pun kalah. Orang secara umum ada tiga tipe: Pertama, pekerja, Kedua mengandalkan proses, Ketiga pemikir. Pak Wahid ini tipe pekerja sekaligus pemikir. Dengan pemikirannya kemudian beliau mewujudkannya dalam hal yang nyata sesuai dengan pemikirannya.

4. Tanya : Bagaimana cara KH. A. Wahid Hasyim mendidik anak- anaknya? Apakah terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya? Jawab: Tidak. Dahulu itu saat kami kecil, kami tinggal di Jl. Jawa No.112, perempatan Cokroaminoto dan Kusuma Atmaja. Kami belajar di sekolah KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Sekolah ini bukan sekolah Islam bahkan banyak guru yang PKI. Kemudian rumah kami pindah ke Taman Matraman dan kemudian disekolahkan di PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia), terletak di Jl. Salemba Tengah tepatnya depan Universitas Indonesia, Salemba, yang sekali lagi bukan sekolah Islam. Dan itu menunjukkan bahwa beliau ingin kami bergaul dengan semua orang dari berbagai unsur di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini, dan ingin kami tidak memiliki sekat-sekat itu, ingin kami memiliki kedekatan dalam bergaul dan bersaing dengan sehat. Kemudian beliau meninggal, pendidikan diteruskan oleh Ibu. Dan pada dasarnya Ibu-lah yang mendidik kami, tapi saya pikir Ibu pun mendapatkan nilai-nilai yang ditanamkan dari Ayah. Itu saya yakin. Nah, itu cetakannya kami semua menjadi seperti sekarang ini. Sama tapi berbeda. Kami diajari untuk bergaul dengan siapa saja tanpa memandang tinggi-rendah, agama, suku, dan etnis, kami juga diajari bertanggung jawab, tidak mengejar jabatan, berani memperjuangkan keyakinan, kejujuran, dan tidak mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang banyak. Tapi tentunya satu sama lain berbeda dalam menangkap nilai-nilai itu, mana yang dianggap paling utama.

5. Tanya : Dalam hal apa saja KH. A. Wahid Hasyim menuangkan pemikirannya? Jawab : Melaui media, beliau mendirikan majalah Gema Muslimin. Tulisannya terkumpul dalam bukunya Aboebakar Atjeh “Karangan Tersiar”. Jadi, karya beliau hanya tertuang dalam media-media saja tidak ada satu buku yang khusus. Karya-karya beliau hanya berupa tulisan- tulisan pendek, makalah, atau pidato-pidato tapi itu sangat banyak sekali. Tapi jika dikumpulkan menjadi satu kesatuan yang relatif utuh. Dan Pak Wahid ini pandai mencari anak-anak muda NU yang memiliki potensi untuk kemudian dikembangkan dan dibina. Seperti yang pernah diceritakan oleh Bapak Saifuddin Zuhri, mertua saya, pernah menulis di majalah Anshor kemudian disurati oleh Ayah bahwa ingin bertemu. Kemudian keduaanya bertemu di stasiun Purwokerto, diajaklah oleh Ayah untuk ikut ke Jakarta. Jadi, ini menunjukkan bahwa ada upaya khusus untuk mencari bibit yang baik kemudian dibina menjadi orang. Itu menurut saya sangat luar biasa. Beliau tidak takut tersaingi oleh anak buah yang dibina beliau.

6. Tanya : Dalam hal agama, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? Jawab : Pemikiran agama misalnya dalam masalah fiqih, aqidah, tasawuf mengikuti NU. Walaupun Ayah tidak konservatif cukup progresif sampai pada titik tertentu. Kalau pemikiran politik, Anda bisa baca di buku “Dialog Gus Dur dan Gus Sholah Mengenai Pandangan Politik Keislaman Sang Ayah”.

7. Tanya : Dalam hal sosial, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? Alasan apa yang mendasari pemikiran sosial Beliau? Jawab : Mendirikan Yayasan Muamanah NU, dahulu memiliki percetakan, letaknya di Jl. Juanda samping rel kereta api. Untuk menghidupkan NU dananya berasal dari Yayasan itu. Beliau orang yang mempunyai konsep sekaligus mewujudkan konsepnya. Jadi, menurut saya kemampuan berorganisasinya tinggi. Dari situ, Yayasan tersebut menghasilkan uang untuk membiayai berbagai kegiatan di NU. Yamunu (Yayasan Muamanah NU) itu spektakuler, namun hilang sekitar tahun 70’an. Kalau diluar NU, ikut mendirikan Universitas Islam Indonesia, mendirikan Universitas Islam Sumatera Utara, mendirikan PTAIN bersama dengan sejumlah tokoh. Hubungan dengan kawan-kawan atau orang-orang sesama Islam itu baik sekali, dengan orang non Islam pun baik juga. Saya ingat ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, beliau itu menentang, setelah itu beliau dating sendiri ke Pak Natsir untuk menyampaikan berita itu. Jadi, beliau menjaga hubungan baik dengan siapapun juga.

8. Tanya : Dalam hal pendidikan, apa saja pemikiran KH. A. Wahid Hasyim? Tahun 1950-1952 KH. A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama, bagaimana peranan Beliau dalam hal melakukan pembaruan di bidang pendidikan Islam. Adakah perbedaannya? Jawab : Saya kurang tahu, mungkin Anda bisa membaca di literatur yang ada begitu. Selain PTAIN, UII dan UISU itu yang saya tahu. Beliau juga sangat mendorong dan memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk belajar. Dan menganggap bahwa antara pendidikan agama dan non agama itu sama pentingnya.

9. Tanya : Bagaimana respon dari masyarakat terhadap pemikiran- pemikiran Beliau? Jawab : Saya kurang tahu pasti, saya katakan tadi bahwa beliau ini adalah orang yang berpikir progresif, mestinya ada juga respon yang menolak. Mungkin bisa Anda baca di buku “Mengapa Saya Memilih NU?”

10. Tanya : KH. A.Wahid Hasyim adalah pahlawan Nasional, jasa-jasa apa saja yang menjadikan hal tersebut? Jawab : Boleh dikatakan, beliaulah yang mewakili NU dalam kancah pergerakan kemerdekaan, beliau dan beberapa lainnya, mungkin beliau termasuk yang menonjol karena dua hal: Pertama, karena kemampuan, Kedua karena Pak Wahid putranya Hadratusyaikh yang mewakili beliau di Shumubu pada waktu itu. Pak Wahid juga menjadi salah satu anggota Panitia Sembilan, yang merumuskan pembukaan Undang-Undang Dasar yang merupakan ruh bangsa Indonesia. Tetapi saya pun mengakui dibandingkan Bung Karno atau Bung Hatta, beliau masih di bawahnya: Pertama, usia beliau jauh berbeda, Kedua beliau tidak belajar ilmu non agama (khususnya politik) seintens mereka berdua, sehingga masih di bawah Bung Karno dan Bung Hatta dalam segi pemikiran. Kelihatan sekali dalam pembendaharaan kata-katanya, dan sekolah mereka juga berbeda dengan beliau.

11. Tanya : Keteladanan apa saja yang dapat dijadikan contoh kepada generasi muda Indonesia dari perjuangan-perjuangan atau jasa-jasa Beliau? Jawab : Percaya dirinya itu luar biasa sekali pada usia semuda itu beliau menjadi ketua MIAI pada usia 23 dengan pendidikan “madrasah kampung”lah. Tidak mudah, orang lain mungkin dibayang-bayangi dengan rasa minder tapi beliau tidak. Karakternya luar biasa, saya tidak melihat ada yang kurang. Beliau berani, pekerja keras, bertanggung jawab, ingin maju, pamrihnya kecil, komunikasinya bagus, tidak ambisius posisi, karena kedudukan atau posisi itu bukanlah suatu hal yang penting yang terpenting kerjanya. Tidak takut tersaingi oleh anak buah. Itu menurut saya sangat luar biasa.

Jakarta, 23 November 2010 Mengetahui,

KH. Salahuddin Wahid Pedoman Transliterasi

1. Konsonan

q = ﻕ z = ﺯ a = ﺃ k = ﻚ s = ﺱ b = ﺏ l = ﻞ sy = ﺵ t = ﺕ m = ﻡ sh = ﺹ ts = ﺙ n = ﻦ dh = ﺾ j = ﺝ w = ﻮ th = ﻁ h = ﺡ h = ﻫ zh = ﻅ kh = ﺥ y = ﻱ ‘ = ﻉ d = ﺩ g = ﻍ dz = ﺫ f = ﻑ r = ﺮ

2. Vokal qâla = ﻗﺎﻞ :Vokal (a) panjang = â, contoh

qîal = ﻗﻴﻞ :Vokal (i) panjang = î, contoh dûna = ﺪﻭﻥ :Vokal (u) panjang = û, contoh

Diftong au = ― ﻭ ai = ― ﻱ

i