KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI DALAM MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA (Relevansinya dengan Mashlahah)

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

RISKI ADE PUTRA UTAMA 11140440000010

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H/2018 M

ABSTRAK

Riski Ade Putra Utama. NIM 11140440000010. KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DALAM MEMBANGUN KETAHANAN KELUARGA (Relevansinya dengan Mashlahah). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440H/2018M. ix + 73 halaman + 28 halaman lampiran. Studi ini bertujuan untuk mengetahui apa saja kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga, mengetahui persfektif perundang-undangan terhadap kebijakan tersebut dan mengetahui implementasi kebijakan pemerintah DKI Jakarta tersebut. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode deduktif dengan pendekatan normatif empiris. Data diperoleh melalui buku atau literatur kepustakaan dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan beberapa pihak pemerintahan terkait kebijakan yang menjadi objek penelitian mengenai latar belakang dan sejauh mana implementasi kebijakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga diantaranya Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017. Kedua kebijakan tersebut telah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Implementasi dari kebijakan tersebut cukup baik namun belum sepenuhnya tercapai karena ada berbagai faktor penghambat.

Kata kunci: Kebijakan Pemerintah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ketahanan Keluarga, Calon Pengantin

Pembimbing : Ali Mansur, M.A

Daftar pustaka : 1985 s.d 2017

iv KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Swt, yang telah memberikan. Atas segala nikmatNya, nikmat kesehatan, kekuatan, kesempatan dan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan dalam skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw yang telah membimbing umatnya untuk menempuh kepada agama yang diridhai oleh Allah Swt. dan kepada jalan yang benar, guna meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Dr. H. Abdul Halim, MA. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI, MH yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini. 3. Ali Mansur, MA, Dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

v

4. Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA. Dosen penasehat akademik penulis, yang telah sabar mendampingi hingga akhir perkuliahan dan telah membantu penulis dalam menyusun proposal penelitian skripsi ini. 5. Seluruh dosen dan sivitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta penulis. 6. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 7. Imam Heykal, MH, Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta dan M. Husnul Fauji, MT, Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah DKI Jakarta serta drg. Chandrawati, MARS, Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang telah bersedia diwawancarai penulis dalam rangka penelitian sehingga dapat mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Terimakasih kepada kakek H. M. Ya’kub Marzuki, nenek Hj. Maisuroh dan mamah Yuliyani serta seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan pendidikan terbaik selama 6 tahun di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok hingga menyelesaikan studi strata satu di UIN Jakarta walaupun tanpa kehadiran ayahanda Umar Fahmi, yang meninggal sejak 3 bulan pasca kelahiran penulis. 9. Terima kasih kepada keluarga besar Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok terkhusus seluruh guru-guru yang telah memberikan pendidikan terbaik selama 6 tahun penulis mencari ilmu dan keberkahan. 10. Teman-teman seperjuangan penulis selama di Pondok Pesantren Al- Hamidiyah Depok M. Fahmi Fahrurrodzi, M. Mufid Hibatullah, M. Luthfie Aziz, Thias Anugrah Bintang P, Faris Hilmawan, M. Haikal Munzami, Rizky Ramadhana dan kawan-kawan (markas betmen) yang telah memberikan semangat dalam menjalani perkuliahan hingga penulisan skripsi ini.

vi

11. Teman-teman seperjuangan penulis Dhiya Adlianto, M. Arief Perdana, M. Alfi Ridho, M. Fajar A, Fabian HS dan kawan-kawan (kontrakan pocong) yang telah memberikan dorongan semangat dalam menjalani masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini. 12. Teman-Teman Hukum Keluarga A 2014 (Ahmad Syarkowi, Fajri Ilhami, M. Kurnia Putra, Alkautsar Anhar D, Zaki Hidayatullah, Putri Permata R, Luthfah Alifia, Sayyidah Luthfiyah, dkk) dan Hukum Keluarga 2014 (M. Ilham R, Rifqi Akbari, M. Lutfi, Taufik Hidayat, Ahmad Khoerul Muna, dkk) 13. Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Syariah dan Hukum (Komfaksyahum) Cabang Ciputat (Ketum Fahmi Dzakky dan Ketum Arif Fadhillah beserta anggota dan kadernya) dan Keluarga PMII SAS yang telah memberikan ruang dan waktu kepada penulis untuk berproses. 14. Teman-teman KKN LENSA 045 (Ahmad Fairuz, Heru, Danang, Fajar, Ilham, M. Yusup, Siti Sarah, Fitri, Zenna dan kawan-kawan) yang telah bekerjasama menyelesaikan tugas selama KKN Agustus 2017 di Desa Paku Alam, Kabupaten Tangerang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membaca, khususnya mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta, 20 September 2018

Penulis

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... i LEMBAR PERNYATAAN ...... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... iii ABSTRAK ...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... viii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 6 D. Review Studi Terdahulu ...... 6 E. Metode Penelitian...... 7 1. Jenis Penelitian ...... 8 2. Pendekatan Penelitian ...... 8 3. Data Penelitian ...... 8 4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...... 9 5. Metode Analisa Data ...... 10 6. Teknik Penulisan ...... 11 F. Sistematika Penulisan ...... 11 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN KETAHANAN KELUARGA ...... 12 A. Teori Kebijakan Pemerintah ...... 12 1. Kebijakan Publik ...... 12 2. Otonomi dan Pemerintah Daerah ...... 15 3. Kedudukan Kebijakan Menurut Perundang-Undangan 18 B. Konsep Ketahanan Keluarga ...... 19 1. Ketahanan dan Pembangunan Nasional ...... 19 2. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Perundang- Undangan ...... 22

viii

3. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam ...... 27 C. Mashlahah sebagai Dalil Hukum ...... 29 BAB III GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA ...... 32 A. Geografi dan Iklim ...... 32 B. Sejarah dan Perkembangannya ...... 34 C. Pemerintahan ...... 36 1. Pemilihan Kepala Daerah 2017 ...... 37 2. DPRD Provinsi DKI JAKARTA, 2014-2019 ...... 38 D. Kondisi Masyarakat ...... 39 E. Visi dan Misi DKI Jakarta...... 43 BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA ...... 45 A. Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam Membangun Ketahanan Keluarga ...... 45 1. Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga .... 45 2. Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 Tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin ...... 48 B. Persfektif Perundang-Undangan terhadap Kebijakan ...... 55 C. Implementasi Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam Membangun Ketahanan Keluarga ...... 59 D. Analisis Terhadap Kebijakan ...... 64 E. Relevansi Mashlahah dengan Ketahanan Keluarga ...... 66 BAB V PENUTUP ...... 68 A. Kesimpulan ...... 68 B. Saran ...... 69 DAFTAR PUSTAKA ...... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kebijakan publik dapat diartikan menjadi dua kelompok: pertama, bahwa semua tindakan pemerintah adalah kebijakan publik. Kedua, bahwa kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu dan memiliki akibat yang dapat diramalkan1. Termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah daerah sebagai kebijakan publik. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang tersebut yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

Memperhatikan definisi pemerintah daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom, bisa gubernur untuk provinsi dan bupati atau walikota untuk kabupaten atau kota.

Melalui UU No. 23 Tahun 2014 juga disebutkan dalam Pasal 10 ayat 1, pemerintahan pusat hanya memiliki kewenangan dalam 6 hal, antara lain politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Dengan demikian pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan 6 bidang urusan pemerintahan. Sedangkan kewenangan selain 6 bidang yang

1 Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012) h. 2. 1

2

telah disebutkan tersebut menjadi kewenangan daerah: Provinsi dan kabupaten/kota2. Otonomi daerah ini membuka peluang yang lebih luas kepada daerah Provinsi dan Kabupaten/kota dalam melaksanakan pemerintahannya secara mandiri. Diperkuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia tentunya membuat DKI Jakarta menjadi sebuah contoh dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pemerintah daerah otonom, pemerintah DKI Jakarta tetap harus mementingkan kepentingan pemerintah pusat diantaranya dalam hal ketahanan nasional dan pembangunan nasional.

Istilah “ketahanan nasional” berarti: kekuatan, kemampuan, daya tahan, dan keuletan, yang menjadi tujuan suatu bangsa untuk menghadapi tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang dating dari luar ataupun dalam, yang secara langsung atau tidak langsung membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.3 Sedangkan Hakekat pembangunan nasional Indonesia adalah mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berkedaulatan rakyat dalam suasana prikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta lingkungan pergaulan dunia yang merdeka bersahabat tertib dan damai4.

Pembangunan keluarga menjadi salah satu isu pembangunan nasional dengan penekanan pada pentingnya penguatan ketahanan keluarga. Hal tersebut dinyatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), DR. KH. Ma’ruf Amin bahwa keadaan keluarga yang kuat, sejahtera dan maju serta memiliki dasar keagamaan yang kokoh agar mampu menghadapi segala

2 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Jakarta: PT. Grasindo, 2005) h. 80. 3 Daoed Joesoef, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional (Jakarta: PT. Kompas, 2014) h. 19. 4Thahir Abdullah, Pembinaan Ketahanan Nasional yang Bertumpu kepada ketahanan pribadi (Jakarta: Lembaga Pertahanan Nasional, 1991) h. 6. 3

godaan dan serangan dari luar yang berpotensi merusak ketahanan keluarga5. Berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketahanan keluarga6:

يَا أَيُّ َها الَّ ِذ َين َآمنُوا قُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم َوأَ ْه ِل ُيك ْم َن ًارا َوقُ ُود َها النَّ ُاس َو ْال ِح َج َارةُ َعَل ْي َها َم ََلئِ َكة ِغ ََل ظ ِشدَاد ََل يَ ْع ُص َ ون ََّّللاَ َما أَ َم َر ُه ْم َويَ ْفعَلُ َون َما يُ ْؤ َم ُر َون Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim 66: 6)

Dengan memahami ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Islam pun memiliki penekanan terhadap ketahanan keluarga dalam menjaga diri pribadi dan keluarga dari perbuatan yang mengakibatkan seseorang masuk ke dalam neraka. Keluargalah yang membentuk karakter, akhlak dan kepribadian individu yang ditampilkan dalam sikap atau perilaku keagamaan baik dalam wujud keshalehan spiritual maupun keshalehan sosial.

Dalam pendapat lain, menurut Frankenberger dalam buku Pedoman Ketahanan Keluarga 2016, ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial7.

Secara yuridis, Undang- Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyebutkan bahwa “Ketahanan keluarga berfungsi sebagai alat untuk mengukur seberapa jauh keluarga telah melaksanakan peranan, fungsi, tugas- tugas, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anggotanya”.

5 Ma’ruf Amin dalam Pendahuluan Buku Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. 6 Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016, h. 18. 7 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 (Jakarta: KPPPA, 2016) h. 6. 4

Upaya peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting untuk dilaksanakan dalam rangka mengurangi atau mengatasi berbagai masalah yang menghambat pembangunan nasional.

Dalam beberapa media cetak, online dan lainnya membahas ketahanan keluarga. Pertama, Wakil Presiden Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla menyatakan, ketahanan keluarga sangat penting bagi ketahanan bangsa dan negara, jika ketahanan keluarga kuat maka ketahanan bangsa dan negara akan kuat begitupula sebaliknya8. Kedua, Menteri PPPA, Yohana Yembise, menyampaikan bahwa peningkatan ketahanan keluarga agar terciptanya keluarga yang sejahtera dan tantangan era globalisasi9. Demikian masih banyak lagi berita tentang pentingnya ketahanan keluarga di masa kini dan masa yang akan datang.

Berbagai kebijakan pemerintah yang muncul dalam membangun ketahanan keluarga tentunya menjadi semangat baru bagi upaya ketahanan keluarga Maka dari itu setelah mempertimbangkan latar belakang tersebut penulis merasa perlu adanya penelitian yang lebih mendalam terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga.

Dalam skripsi ini penulis membahas kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. Tentu hal seperti ini perlu dianalisis lebih lanjut terkait bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut dan pandangan perundang-undangan terhadap kebijakan serta tentunya implementasi kebijakan tersebut. Maka penulis tertarik ingin membahasnya menjadi skripsi dengan judul “Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dalam Membangun Ketahanan Keluarga”

8Wapres: Penting Ketahanan Keluarga untuk Ketahanan Bangsa, koran kompas.com,https://nasional.kompas.com/read/2009/06/13/00014890/Wapres.Nilai.Penti ng. Ketahanan.Keluarga 9 Menteri Yohana: Pentingnya Peningkatan Ketahanan Keluarga Menuju Keluarga Sejahtera, koran tribunnews.com, http://www.tribunnews.com/regional/2017/07/14/ menteri-yohana-pentingnya-peningkatan-ketahanan-keluarga-menuju-keluarga-sejahtera 5

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu: a. Apa saja kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? b. Bagaimana latar belakang diterbitkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? c. Apa tujuan diterbitkannya kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? d. Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga perfektif Perundang-Undangan? e. Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan luasnya masalah di atas dan mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah skripsi ini sebagai berikut: a. Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ialah kebijakan yang berkaitan dalam membangun ketahanan keluarga. b. Kebijakan tersebut dapat berbentuk Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, Peraturan Gubernur (Pergub) dan peraturan lainnya yang di bawahnya. c. Peraturan perundang-undangan ialah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. d. Implementasi dinilai melalui instansi terkait kebijakan. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga, Selanjutnya penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 6

a. Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? b. Bagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga persfektif perundang-undangan? c. Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. b. Untuk mengetahui persfektif perundang-undangan terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. c. Untuk mengetahui implementasi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. 2. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini sebagai berikut: a. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan khazanah keilmuan untuk kepentingan akademik; b. Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan teori dari peraturan perundangan-undangan; c. Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi masyarakat umum; d. Dapat juga dijadikan bahan acuan pada penelitian selanjutnya berkenaan dalam masalah yang terkait. D. Review Studi Terdahulu Dalam melakukan penelitian sebuah hal yang kontemporer dan menarik untuk dikaji tentunya akan menemukan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain: 7

1. Tesis yang berjudul, “Dampak Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG Terhadap Ketahanan Keluarga (Studi Kasus di Kota Administrasi Jakarta Timur)” oleh Agung Karyanto, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia tahun 2009 Jurusan Kajian Stratejik Ketahanan Nasional. Dalam tesisnya, terdapat perbedaan pembahasan olehnya yang membahas tentang dampak kebijakan konversi minyak tanah ke LPG terhadap ketahanan keluarga. 2. Tesis yang berjudul, “Peranan Program Siaran Televisi dalam Pembinaan Ketahanan Keluarga Masyarakat Pedesaan di Banten” oleh Andi Fachrudin M, mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2002 Jurusan Pengkajian Ketahanan Nasional. Dalam tesisnya, terdapat perbedaan pembahasan olehnya yang membahas tentang peranan program siaran televisi menjadi objeknya.

Peneliti rasa belum banyak mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum khususnya program studi Hukum Keluarga yang melakukan penelitian ini. Dari kedua review studi terdahulu, keduanya memiliki pembahasan dan objek yang berbeda dengan penelitian ini. Objek penelitian peneliti ialah kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. Dalam karya ini, penulis mencoba memaparkan topik yang terkini sebagai jawaban atas permasalahan/isu hukum baru di tengah masyarakat DKI Jakarta khususnya dan umumnya untuk Indonesia.

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.10 Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat dalam melakukan suatu penelitian. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2015) Cet. III, h. 3. 8

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum kualitatif yaitu dinyatakan dengan pernyataan dan tentu tidak dinyatakan dengan angka. Penelitian kualitatif merupakan strategi inquiry yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol maupun deskripsi tentang suatu fenomena.11 2. Pendekatan Penelitian Penulis dalam hal ini akan menggunakan pendekatan hukum normatif-empiris (terapan). Menurut penelitian hukum normatif-empiris mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang- undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan12. Penggunaan pendekatan secara normatif empiris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian hukum normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu dalam suatu masyarakat13. 3. Data Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang didefinisikan sebagai berikut: a. Data Primer adalah sumber data yang didapat langsung dari sumber asli. Dengan demikian, data primer merupakan data yang diperoleh dari lokasi penelitian yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan. Peneliti akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian, dengan cara mengumpulkan secara langsung keterangan pihak-pihak yang terkait.

11 A. Muri Yusuf. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan (Jakarta: Kencana, 2014) h. 329. 12 Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Peneletian Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004) h. 53. 13 Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Peneletian Hukum. h. 54. 9

b. Data sekunder adalah data yang mencakup peraturan perundang- undangan dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu data yang diambil dari sumber aslinya yang berupa peraturan perundang-undang yang memiliki otoritas tinggi yang bersifat mengikat yang berkaitan dengan penelitian. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer yang diperoleh dari literatur-literatur yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku - buku, laporan - laporan hasil penelitian, perundangundangan dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang ada14. Bahan Hukum Sekunder yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini diperoleh dari studi kepustakaan yang terdiri dari studi kepustakaan yang terdiri dari buku-buku yang berhubungan dengan kebijakan publik, perundang- undangan, otonomi daerah dan ketahanan keluarga. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang bersumber dari kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum dan bahan-bahan diluar bidang hukum, seperti majalah, surat kabar, serta bahan-bahan hasil pencarian melalui internet yang berkaitan dengan masalah yang ingin diteliti. 4. Metode dan Teknik Pengumpulan data Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh prosedur sebagai berikut:

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016) Cet. VI, h. 196. 10

a. Studi Kepustakaan (Library Research) Studi ini dilakukan dengan cara mempelajari, menelaah dan mengutip data dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku tentang kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi DKI Jakarta, ketahanan keluarga, makalah, internet, maupun sumber ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. b. Wawancara (Interview) Studi ini dilakukan dengan cara datang langsung ke Biro Hukum dan Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta serta Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dengan tujuan untuk memperoleh data primer yang akurat, lengkap, dan valid dengan melakukan wawancara (Interview). Wawancara yang dilakukan adalah wawancara langsung yang terpimpin, terarah, dan mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti guna memperoleh hasil berupa data dan informasi yang lengkap terkait dengan kebijakan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. Wawancara dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan terbuka menggunakan daftar pertanyaan yang sudah ditentukan dan akan dikembangkan pada saat wawancara berlangsung. 5. Metode Analisa Data Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel yang terkait dengan penelitian ini penulis uraikan dan gabungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan disertai wawancara dengan sumber terkait dalam memenuhi topik bahasan. Bahwa pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu 11

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.15 6. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini merujuk pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017. F. Sistematika Penulisan

Bagian ini adalah upaya untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi, oleh karena itu penulis menyusun suatu sistematika penulisan seperti yang dijelaskan dibawah ini.

Pada Bab I membahas tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Pada Bab II akan membahas tentang tinjauan umum tentang konsep kebijakan pemerintah, konsep ketahanan keluarga dan review kajian terdahulu.

Pada Bab III akan memuat tentang Gambaran Umum tentang daerah penelitian yaitu Provinsi DKI Jakarta.

Pada Bab IV akan membahas tentang kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga, persfektif perundang- undangan terhadap kebijakan, dan implementasi kebijakan menurut pihak terkait kemudian penulis memberikan interpretasi/analisis terhadap hasil penelitian.

Pada Bab V merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi penulis mengenai masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

15 Johnny Ibrahim, Teori Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006) Cet. II, h. 393. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN KETAHANAN KELUARGA

A. Teori Kebijakan Pemerintah 1. Kebijakan Publik Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari Bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis1. Pengertian ini memiliki arti kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Menurut Eystine dalam Abdul Wahab, merumuskan dengan pendek bahwa kebijakan publik ialah “the relationship of governmental unit to its environment” (antar hubungan yang berlangsung di antara unit/satuan pemerintahan dengan lingkungannya). Demikian pula didefinisi yang pernah disodorkan oleh Wilson yang merumuskan kebijakan publik sebagai berikut: “the actions, objectives, and pronouncements of governments on pasticular matters, the steps they take (or fail to take) to implement them and the explanations they give for what happens (or does not happen)” (tindakan- tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk diimplementasikan, dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi ))2.

1 Subarsono, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 1. 2 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik (Jakarta: Bumi Aksara, 2012) h. 13.

12

13

Dalam definisi lain Thomas R. Dye dalam Abdul Wahab, menyatakan bahwa kebiajakan publik ialah “whatever goverments choose to do or not to do” (pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah)3.

Dari perbincangan tentang definisi kebijakan publik di atas, kini disadari bahwa semua pembuatan kebijakan publik (public policymaking) itu akan selalu melibatkan pemerintah, dengan cara tertentu. Itulah sebabnya dalam buku kecil ini “kebijakan”, dalam bidang apapun dan untuk merealisasikan tujuan apapun, akan diberi makna sebagai “kebijakan publik” jika sebagian atau seluruhnya digagas, dikembangkan, dirumuskan, atau dibuat oleh instansi-instansi, serta melibatkan (langsung atau tak lansung) pejabat-pejabat pemerintah4. Dalam definisi lain, Rahardjo Adisasmita berpendapat bahwa kebijakan publik adalah kebijakan atau cara bagaimana yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan publik/masyarakat, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat5. Kebijakan publik itu pada hakikatnya merupakan sebuah aktivitas yang khas (a unique activity), dalam artian ia mempunyai ciri-ciri tertentu yang agaknya tidak dimiliki oleh kebijakan jenis lain. Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan-kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu lazimnya dipikirkan, didesain, dirumuskan dan diputuskan oleh mereka yang oleh David Easton disebut sebagai orang-orang yang memiliki otoritas (public authotiries) dalam sistem politik. Konsep kebijakan publik yang secara rinci dijelaskan sebagai berikut6: Pertama, kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan mengarah pada tujuan tertentu, daripada sekadar sebagai bentuk perilaku atau tindakan menyimpang yang serba acak (at random), asal-asalan, dan serba kebetulan. Kedua, kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-

3 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 14. 4 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 16. 5 Rahardjo Adisasmita, Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015) h. 1. 6 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 24. 14

tindakan yang saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga, kebijakan itu ialah apa yang nyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Hakikat kebijakan publik sebagai jenis tindakan yang mengarah pada tujuan tersebut, akan dapat dipahami dengan lebih baik lagi, apabila kebijakan itu kita perinci lebih lanjut ke dalam beberapa kategori antara lain adalah Policy demands (tuntutan kebijakan), Policy decisions (keputusan kebijakan), Policy statements (pernyataan kebijakan), Policy outputs (keluaran kebijakan), dan Policy outcomes (hasil akhir kebijakan)7. Terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. Tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu8 penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan. Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses kebijakan. Dalam bukunya Wayne Parsons mengutip pendapat Gordon secara definitif menetapkan variasi dalam analasis kebijakan terbagi menjadi tiga, analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, dan analisis untuk kebijakan9.

7 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, h. 24. 8 Sudarwan Danim, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Jakarta: TP, 2009) h. 20. 9 Wayne Parsons. Edward Elgar Publishing, Ltd. Penerjemah Tri Wibowo Budi Santoso. Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana, 2006, h. 56-57. 15

2. Otonomi dan Pemerintah Daerah Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan kepada masyarakat10. Dengan demikian, dampak pemberian otonomi ini tidak hanya terjadi pada organisasi/administratif pemerintahan daerah, tetapi berlaku pula pada masyarakat (publik) dan badan atau lembaga swasta dalam berbagai bidang. Demikian pula dengan otonomi ini terbuka kesempatan bagi pemerintah daerah secara langsung membangun kemitraan dengan publik dan pihak swasta daerah yang bersangkutan11. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat seusia dengan peraturan perundang- undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentuberwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada 3 asas dalam otonomi daerah, antara lain, asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Asas tugas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah

10 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) h. 17. 11 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, h. 18. 16

dengan kewajiban mempertanggung jawabkannya kepada yang memberi tugas12. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintahan (mutlak) meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama13. Tujuan otonomi daerah dapat diperinci, antara lain sebagai berikut. Pertama, tesebarnya demokraktisasi ke tingkat lokal (spread of democracy). Konsekuensi dari otonomi daerah adalah distribusi hierarki kekuasaan dari pusat ke daerah. Kedua, akibat dari tujuan yang pertama adalah masyarakat dapat melaksanakan proses pembelajaran politik dan latihan kepemimpinan politik. Ketiga, otonomi daerah mendorong terciptanya stabilitas politik. Keempat, cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat daerah dan akuntabilitas pemerintah dihadapan masyarakat. Kelima, fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik lebih efektif dan efisien14. Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi15. Dalam bingkai otonomi, penyelenggaraan pemerintah daerah adalah subsitem dari pemerintah nasional. Demikian juga penyelenggaraan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota adalah subsistem dari penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Diantara mereka ada hubungan fungsional yang terbungkus sebuah sistem (negara kesatuan). Tidak ada otonomi tanpa batas dan tanpa pengawasan

12 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pemerintah Daerah di Indonesia: Hukum Administrasi Daerah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 3-4. 13 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, h. 161. 14 Jazuli Juwaini, Otonomi Sepenuh Hati: pokok-pokok pikiran untuk perbaikan implementasi otonomi daerah (Jakarta: Al-I’tishom, 2007) h. 9-10. 15 HAW Wijaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002) h. 76. 17

pemerintah. Namun demikian, pengawasan bukan untuk mengekang, tapi untuk meningkatkan16. Selain distribusi kewenangan dari pusat ke daerah, salah satu konsekuensi penting dari implementasi otonomi daerah adalah tersedianya sumber-sumber keuangan yang memadai, termasuk di dalamnya adanya dana perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelengaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)17. Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Hal ini termasuk kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota18. Menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 15 dan No. 16 tahun 2006, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006, jenis produk hukum daerah terdiri atas sebagai berikut Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Bersama Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah. Semua produk hukum daerah tersebut dapat dibagi dua, yaitu produk hukum bersifat pengaturan dan penetapan. Produk hukum yang bersifat pengaturan adalah Peraturan Daerah atau sebutan lain, Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Bersama Kepala Daerah. Sedangkan produk hukum yang bersifat penetapan adalah Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah19.

16 HAW Wijaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, h. 11. 17 Jazuli Juwaini, Otonomi Sepenuh Hati, h. 13. 18 HRT Sti Soemantri M, Otonomi Daerah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014) h. 26. 19 Oyo Sunaryo Mukhlas. Ilmu Perundang-Undangan (Bandung: Pustaka Setia, 2012) h. 253. 18

3. Kedudukan Kebijakan Menurut Perundang-Undangan Dalam bukunya Maria Farida menyatakan, setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan Tehadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, maka Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Setelah melalui proses pembahasan, rancangan undang-undang tersebut kemudian disahkan dan diundangkan menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan20. Adapun undang-undang tersebut sudah digantikan dengan Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Diatur dalam Pasal 7 tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Selanjutnya dalam Pasal 8 Ayat (1) berbunyi: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk

20 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan 1. (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 97. 19

dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Dalam penjelasan undang-undang tersebut Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur termasuk dalam hierarki perundang-undangan. Maka kedua peraturan tersebut memiliki kedudukan hukum dalam perundang- undangan yang berlaku. Pada saat ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194521. Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, menggunakan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi22. Artinya kedudukan peraturan daerah lebih tinggi daripada kedudukan peraturan gubernur, maka peraturan gubernur tidak boleh bertolak belakang. Begitu pula peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, seperti undang-undang. B. Konsep Ketahanan Keluarga 1. Ketahanan dan Pembangunan Nasional Membahas tentang konsep ketahanan keluarga maka harus dimulai dari konsep paling umum yakni ketahanan nasional. Menurut S. Pamudji, sebagai konsepsi ketahanan nasional merupakan kondisi dinamik suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang dating dari dalam maupun dari luar, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas,

21 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah (Jakarta: Kemenkumham RI, 2010) h. 7. 22 Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) h. 30. 20

identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya23. Ketahanan nasional pada hakikatnya merupakan suatu konsepsi dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan kemakmuran serta pertahanan dan keamanan dalam kehidupan nasional. Dengan demikian jelaslah bahwa ketahanan nasioanl harus diwujudkan dengan mempergunakan baik pendekatan kesejahteraaan (prosperity approach) maupun pendekatan keamanan (security approach)24. Menurut Sutami, kemampuan untuk mewujudkan tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang harus dimiliki bangsa dan negara Indonesia agar dapat menghadapi tantangan pembangunan yang akan dating baik di lingkungan nasional, regional maupun internasional dinamakan ketahanan nasional25. Sejalan dengan itu Lemhanas dalam bukunya menyatakan, dalam pembangunan nasional, khususnya pada GBHN, ketahanan nasional telah ditetapkan sebagai pola dasar pembangunan nasional dalam memelihara kelangsungan hidup bangsa dan negara guna menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari luar maupun dari dalam negeri26. Menurut S. Pramudji juga menyatakan bahwa ketahanan nasional dapat juga dipandang sebagai suatu kondisi dan suatu strategi. Ketahanan nasional sebagai kondisi akan nampak apabila diajukan pertanyaan “bagaimana ketahanan nasional kita dewasa ini?” jelaslah bahwa yang ditanyakan bukan konsepsi, melainkan kondisi bangsa dan negara Indonesia. Ketahanan nasional sebagai strategi berpokok pangkal pada masalah kelangsungan hidup (survival) dari sesuatu bangsa27.

23 S. Pramudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional (Jakarta: Bina Aksara, 1985) h. 63. 24 S. Pramudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, h. 64. 25 Sutami, Pokok-Pokok Pemikiran dalam Pembangunan Nasional (Jakarta: T.P, 1978) h. 9. 26 Lembaga Pertahanan Nasional, Disiplin Nasional Mendukung Pembangunan Nasional (Jakarta: Lemhanas, 1989) h. 8-9. 27 S. Pramudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, h. 65. 21

Mantan Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro dalam kata pengantar buku Bambang Pranowo menyatakan bangsa Indonesia masih menghadapi ancaman ketahanan nasional, ancaman itu dapat dikategorikan dalam beberapa hal, yaitu28 ancaman terhadap ketahanan nasional karena bahaya alam seperti pemanasan global, banjir, tsunami dan lain sebagainya, ancaman terhadap ketahanan nasional karena penyakit seperti virus HIV/AIDS, flu burung, dan penyakit epidemik lainnya, ancaman terhadap ketahanan nasional karena kemiskinan dan pengangguran, ancaman terhadap ketahanan nasional karena narkotika dan zak adiktif lainnya, ancaman terhadap ketahanan nasional karena faktor sosial politik dan ancaman terhadap ketahanan nasional karena faktor militer Sedangkan hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, serta bangsa Indonesia Bersama-sama bangsa lain di dunia mengupayakan lingkungan pergaulan dunia yang bersahabat, tertib dan damai29. Hanya dengan pembangunan nasional yang berhasilah akan dapat menghasilkan ketahanan nasional yang dinamis. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan nasional adalah sumber daya manusia. Sasaran ini dicapai melalui kebijaksanaan dan strategi pembangunan sumberdaya manusia. Oleh karenanya dalam Repelita V berbagai program, antara lain: kesehatan, pendidikan, gizi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum, agama dan kebudayaan nasional30. Dengan demikian maka hubungan antara ketahanan nasional dengan pembangunan nasional bagaikan dua sisi mata uang yang saling menunjang dan tak dapat dipisahkan, dan harus dibangun dan dikembangkan secara bersama-sama, seimbang dan serasi31.

28 Bambang Pranowo, Multidimensi Ketahanan Nasional (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010) h. XII. 29 Bambang Pranowo, Multidimensi Ketahanan Nasional, h. 6. 30 Thahir Abdullah, Pembinaan Ketahanan Nasional yang Bertumpu kepada Ketahanan Pribadi (Jakarta: Lembaga Pertahanan Nasional, 1991) h. 63. 31 Sutami, Pokok-Pokok Pemikiran dalam Pembangunan Nasional, h. 8. 22

2. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Perundang-Undangan Ketahanan keluarga adalah bagian dari ketahanan nasional. Ketahanan nasional menjadi kuat bila ketahanan keluarga yang mendukungnya terjaga dengan baik. Ketahanan keluarga dapat diwujudkan melalui fungsi keluarga yaitu agama, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial, ekonomi dan pelestarian lingkungan. Definisi ketahanan keluarga menurut KBBI, arti kata ketahanan adalah perihal tahan (kuat), kekuatan (hati, fisik), daya tahan, sedangkan arti kata keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah. Jadi menurut KBBI, ketahanan keluarga adalah daya tahan sebuah keluarga yang terdiri dari ibu, bapak dan anak-anaknya. Definisi ketahanan keluarga menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yaitu pada Pasal 1 angka 11. Pada ayat tersebut dituliskan ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Menurut Frankenberger dalam buku Pedoman Ketahanan Keluarga 2016, ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial32. Pandangan lain mendefinisikan ketahanan keluarga sebagai suatu kondisi dinamik keluarga yang memiliki keuletan, ketangguhan, dan kemampuan fisik, materil, dan mental untuk hidup secara mandiri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994). Ketahanan keluarga juga mengandung maksud

32 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016 (Jakarta: KPPPA, 2016) h. 6. 23

sebagai kemampuan keluarga untuk mengembangkan dirinya untuk hidup secara harmonis, sejahtera dan bahagia lahir dan batin. Konsep ketahanan keluarga memiliki makna yang berbeda dengan konsep kesejahteraan keluarga, namun keduanya saling berkaitan erat. Keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi berpotensi lebih besar untuk dapat memiliki ketahanan keluarga yang lebih tangguh33. Kedua konsep tersebut dirumuskan menjadi satu kesatuan konsep dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Menurut Euis Sunarti dalam desertasinya, ketahanan keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam mengelola masalah yang dihadapinya, berdasarkan sumberdaya yang dimiliki, untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Diukur dengan menggunakan pendekatan sistem yang meliputi komponen input (sumberdaya fisik dan non fisik), proses (manajemen keluarga, salah keluarga, mekanisme penanggulangan) dan output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikososial). Jadi keluarga mempunyai tingkat ketahanan keluarga yang tinggi apabila memenuhi beberapa aspek yaitu: (1) ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan; (2) ketahanan sosial yaitu berorientasi pada nilai agama, komunikasi yang efektif, dan komitmen keluarga tinggi; (3) ketahanan psikologis meliputi kemampuan penanggulangan masalah nonfisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif, dan kepedulian suami terhadap istri34. Dalam perumusan ukuran ketahanan keluarga oleh Euis Sunarti dkk ada dua hal yaitu, antara lain35:

33 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016, h. 8. 34 Euis Sunarti, “Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan” (Bogor: disertasi Institut Pertanian Bogor, 2001) h. 53. 35 Euis Sunarti dkk, Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga (Bogor: Intitut Pertanian Bogor, 2003) h. 11. 24

a. Ukuran ketahanan keluarga yang dikembangkan melalui pendekatan sistem (input-proses-output) dengan 10 indikator fisik dan non fisik (sumberdaya fisik, sumberdaya non fisik, masalah keluarga fisik, masalah keluarga non fisik, kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial fisik, kesejahteraan sosial non fisik, serta kesejahteraan psikologi) cukup reliabel dan valid dengan dihasilakn tiga ketahanan laten: ketahanan fisik, ketahanan psikologis, dan ketahanan sosial. b. Kajian terhadap indikator dari ketahanan fisik, ketahanan sosial dan ketahanan psikologis, serta syarat tercapainya indikator ketahanan keluarga tersebut menunjukkan bahwa inti dari peningkatan ketahanan keluarga adalah pembangunan Pendidikan, pembangunan ekonomi dan pembangunanan keluarga sejahtera melalui optimalisasi fungsi keluarga, terutama fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi dan Pendidikan, fungsi cinta kasih, dan fungsi reproduksi. Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga mencakup: (1) Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga, (2) Ketahanan Fisik, (3) Ketahanan Ekonomi, (4) Ketahanan Sosial Psikologi, dan (5) Ketahanan Sosial Budaya. Oleh karena itu, pengukuran tingkat ketahanan keluarga akan mencakup kelima hal tersebut di atas, yang selanjutnya disebut sebagai dimensi pengukur ketahanan keluarga. KPPPA telah merumuskan 24 (dua puluh empat) ciri-ciri yang merepresentasikan tingkat ketahanan keluarga dalam buku Pedoman Ketahanan Keluarga 2016, sebagai berikut: a. Dimensi 1: Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga. Dimensi landasan legalitas dan keutuhan keluarga dijabarkan melalui 3 (tiga) variabel dan 7 (tujuh) indikator yaitu: 1) Variabel landasan legalitas diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu: legalitas perkawinan, dan legalitas kelahiran. 25

2) Variabel keutuhan keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: keberadaan pasangan suami-istri yang tinggal bersama dalam satu rumah. 3) Variabel kemitraan gender diukur berdasarkan 4 (empat) indikator, yaitu: kebersamaan dalam keluarga; kemitraan suami-istri; keterbukaan pengelolaan keuangan; dan pengambilan keputusan keluarga. b. Dimensi 2: Ketahanan Fisik. Dimensi ketahanan fisik dijabarkan melalui 3 (tiga) variabel dan 4 (empat) indikator yaitu: 1) Variabel kecukupan pangan dan gizi diukur berdasarkan 2 (dua) indikator, yaitu: kecukupan pangan, dan kecukupan gizi. 2) Variabel kesehatan keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: keterbebasan dari penyakit kronis dan disabilitas. 3) Variabel ketersediaan tempat/lokasi tetap untuk tidur diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: ketersediaan lokasi tetap untuk tidur. c. Dimensi 3: Ketahanan Ekonomi. Dimensi ketahanan ekonomi dijabarkan melalui 4 (empat) variabel dan 7 (tujuh) indikator, yaitu: 1) Variabel tempat tinggal keluarga diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: kepemilikan rumah. 2) Variabel pendapatan keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu: pendapatan perkapita keluarga, dan kecukupan pendapatan keluarga. 3) Variabel pembiayaan pendidikan anak diukur berdasarkan 2 (dua) indicator yaitu: kemampuan pembiayaan pendidikan anak, dan keberlangsungan pendidikan anak. 4) Variabel jaminan keuangan keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indicator yaitu: tabungan keluarga, dan jaminan kesehatan keluarga. d. Dimensi 4: Ketahanan Sosial Psikologis. Dimensi ketahanan sosial psikologis dijabarkan melalui 2 (dua) variabel dan 3 (tiga) indikator yaitu: 26

1) Variabel keharmonisan keluarga diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu: sikap anti kekerasan terhadap perempuan, dan perilaku anti kekerasan terhadap anak. 2) Variabel kepatuhan terhadap hukum diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: penghormatan terhadap hukum. e. Dimensi 5: Ketahanan Sosial Budaya. Dimensi ketahanan sosial budaya dijabarkan melalui 3 (tiga) variabel dan 3 (tiga) indikator yaitu: 1) Variabel kepedulian sosial diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: penghormatan terhadap lansia. 2) Variabel keeratan sosial diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: partisipasi dalam kegiatan sosial di lingkungan 3) Variabel ketaatan beragama diukur berdasarkan 1 (satu) indikator yaitu: partisipasi dalam kegiatan keagamaan di lingkungan. Penjelasan terkait dimensi, variabel, dan indikator ketahanan keluarga yang digunakan dijabarkan secara ringkas dalam gambar berikut ini.

Dimensi dan Variabel Pengukur Tingkat Ketahanan Keluarga 27

3. Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam Berbicara ketahanan keluarga tidak bisa dilepaskan dari persoalan individu-individu manusia dalam mempertahankan eksistesinya. Keluarga adalah kesatuan individu dalam masyarakat. Keluarga yang baik dan hidup di lingkungan yang baik akan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Keluarga merupakan institusi terkecil dari masyarakat atau bangsa, keluarga sekaligus menjadi pusat pendidikan paling pendting dalam pembangunan manusia seutuhnya. Keluargalah yang membentuk karakter, akhlak dan kepribadian individu yang ditampilkan dalam sikap atau perilaku keagamaan baik dalam wujud keshalehan spiritual maupun keshalehan sosial36. Adapun fungsi keluarga dalam perspektif Islam37: a. Fungsi Psikologis Maksud dari fungsi ini adalah bagaimana kita memberlakukan semua anggota keluarga secara wajar, apa adanya dan mereka mendapatkan kenyamanan serta dukungan untuk berkembang secara psikologis. b. Fungsi Sosiologis Maksudnya adalah bagaimana keluarga harus difungsikan untuk tempat semua anggota keluarga mendapatkan lingkungan yang terbaik dan sekaligus menjadi jembatan interaksi positif di antara mereka. c. Fungsi Fisiologis Fungsi ini memerankan bagaimana agar semua anggota keluarga mendapatkan tepat berteduh yang baik dan nyaman. d. Fungsi Tarbiyah dan Da’wah Maksudnya adalah keluarga merupakan obyek pertama yang harus menerima nilai-nilai da’wah untuk kemudian dijadikan sebagai model keluarga ideal bagi masyarakatnya dan memberikan kontrinusi da’wah secara aktif dan maksimal.

36 Ma’ruf Amin dalam Pendahuluan Buku Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam. 37 http://almanar.co.id/keluarga/membangun-ketahanan-keluarga.html 28

Agama telah memberikan tuntunan untuk kemaslahatan hidup manusia. Dalam Islam tuntunan tersebut berada pada ruang lingkup yang luas yang disebut syariat38. Syariat juga mengandung pengertian seperangkat peraturan- peraturan Allah, yang mencakup ahkam al-amaliyah, ahkam al-I’tiqadiyah dan ahkam al-khuluqiyah, yang diturunkan kepada Rasul-Nya untuk hamba yang mukallaf (baligh dan berakal), agar mengimani dan mempraktekkannya. Dengan demikian syariat dalam pengertian luas mencakup aqidah, hukum dan akhlak39. Berikut ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketahanan keluarga: يَا أَيُّ َها الَّ ِذ َين َآمنُوا قُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم َوأَ ْه ِل ُيك ْم َن ًارا َوقُ ُود َها النَّ ُاس َو ْال ِح َج َارةُ َعَل ْي َها َم ََلئِ َكة ِغ ََل ظ ِشدَاد ََل يَ ْع ُص َ ون ََّّللاَ َما أَ َم َر ُه ْم َويَ ْفعَلُ َون َما يُ ْؤ َم ُر َون Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim 66: 6)

َو ْليَ ْخ َش الَّ ِذ َين َل ْو تَ َر ُكوا ِم ْن َخ ْل ِف ِه ْم ذُ ِِّريَّةً ِضعَافًا َخافُوا َعَل ْي ِه ْم َف ْليَتَّقوا ُ ََّّللا َ َو ْليَقُولُوا َق ْو ًَل َس ِد ًيدا

Artinya:“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa’, 4: 9)

Dari kedua ayat Al-Qur’an tersebut memberikan penekanan pada menjaga ketahanan keluarga dengan membangun keluarga yang kuat, sejahtera dan maju serta memiliki dasar keagamaan yang kokoh agar mampu menghadapi segala godaan dan serangan dari luar yang berpotensi merusak ketahanan keluarga. Dari ayat pertama, menekankan agar keluarga selalu

38 Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016, h. 1. 39 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 5. 29

terpelihara dan terhindar dari siksaan di neraka kelak sedangkan dalam ayat kedua dijelaskan bahwa ketahanan keluarga dalam bentuk kesejahteraan keluarga dibutukan agar menjadikan keturunannya dalm keadaannya yang kuat. Islam sangat mementingkan keutuhan keluarga. Di dalam ajarannya jelaslah bahwa seorang ayah adalah pemimpin di dalam keluarga, yang selain wajib mencari nafkah, juga diperintahkan untuk berlaku sebaik-baiknya terhadap keluarganya. Artinya para ayah diperintahkan Allah SWT untuk peduli terhadap anak dan istrinya. Sebagaimana Rasulullah saw. Bersabda40: ِِ َخرْيُُك رم َخرْيُُك رم رألهل ،ه وأان َخرْيُُمك رألهلي Artinya: sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dengan keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik dengan keluargaku (HR. At-Tirmidzi (no. 3895) dan Ibnu Hibban (no.1447).

Berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an dan hadist tersebut, secara umum Islam mengatur bagaimana menata diri dan keluarga agar bisa menjadi keluarga yang kuat, sejahtera dan maju dalam urusan dunia dan akhirat. Maka dari itu, pentingnya membangun ketahanan keluarga pun dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan dibentuknya keluarga. C. Mashlahah sebagai Dalil Hukum Kata al-mashlahah adalah kata bahasa arab, dari akar al-shalah yang berarti kebaikan dan manfaat (guna). Kata al-mashlahah adalah bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan bentuk jamaknya al-mashalih. Sedangkan lawan dari kata al-mashlahah adalah kata al-mafsadah yaitu sesuatu yang banyak keburukannya41. Menurut ‘Izz ad-Din bin ‘Abdul-Salam sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan42 menjelaskan mashlahah dan mafsadah sering dimaksudkan

40 Amany Lubis, “Ketahanan Keluarga Dalam Legislasi Nasional dan Konvensi Internasional” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016, h. 229. 41 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 10. 42 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h. 261. 30

dengan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, bagus dan jelek, bermanfaat dan bagus sebab semua mashlahah itu baik, sedangkan mafsadah itu semuanya buruk, membahayakan dan tidak baik untuk manusia. Dalam Al-Qur’an kata al-hasanat (kebaikan) sering digunakan untuk pengertian al-mashalih (kebaikan) dan kata al-sayyi’at (keburukan) dipergunakan untuk pengertianal- mafasid (kerusakan-kerusakan). Menurut Sa’id Ramadan al-Buti sebagaimana dikutip oleh Azizah43 menjelaskan pengertian al-mashlahah sebagaimana diistilahkan ulama hukum Islam dapat didefinisikan menjadi manfaat yang dimaksudkan al-Syar’i untuk kepentingan hamba-hambaNya, baik berupa pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan maupun harta benda mereka sedangkan urutan tertentu yang terdapat di dalam kategori pemeliharaan tersebut. Hal tersebut sejala dengan Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Asmawi44 dijelaskan bawah al- mashlahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk hamba- hambaNya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa harta kekayaan mereka. Imam al-Syatibi menjelaskan, seluruh ulama sepakat menyimpulkan bahwa Allah SWT menetapkan berbagai ketentuan syari’at dengan tujuan memelihara lima unsur pokok manusia (al-dururiyyat al-khams). Kelima unsur itu ialah memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta mereka. Kelima unsur pokok tersebut disebut juga dengan tujuan syara’ (al-mawasid al-syar’i)45. Upaya muwujudkan pemeliharaan kelima unsur pokok tersebur, ulamam membaginya kepada tiga kategori dan tingkat kekuatan, yaitu: mashlahah daruriyyah (kemaslahatan primer), mashlahah hajiyyah (kemaslahatan sekunder) dan mashlahah tahsiniyyah (kemaslahatan tersier)46.

43 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 11. 44 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011) h. 128. 45 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 11. 46 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 12. 31

Al-mashlahah al-daruriyyah ialah kemaslahatan memelihara kelima unsur pokok yang keberadaannya bersifat mutlak dan tidak bisa diabaikan. Tercapainya pemeliharaan kelima unsur pokok tersebut akan melahirkan keseimbangan dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan. Jika kemaslahatan ini tidak ada, maka akan timbul kekacauan dalam hidup kegamaan dan keduniaan manusia47. Tingkatan al-mashlahah yang kedua adalah al-mashlahah al-hajiyyah (kemaslahatan sekunder) yaitu sesuatu yang diperlukan seseorang untuk memudahkannya menjalani hidup dan menghilangkan kesuliatn dalam rangka memelihara lima unsur pokok di atas. Dengan kata lain, jika tingkat kemaslahatan sekunder ini tidak tercapai, manusia akan mengalami kesulitan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Contoh al- mashlahah al-hajiyyah ialah adanya ketentuan rukhsah (keringanan) dalam ibadat, seperti rukhsah salat dan puasa bagi orang yang sedang sakit atau sedang bepergian (musafir)48. Tingkatan ketiga ialah al-mashlahah al-tahsiniyyah (kemaslahatan tersier) yaitu memelihara kelima unsur pokok dengan cara meraih dan menetapkan hal-hal yang pantas dan layak dari kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik, serta menghindarkan sesuatu yang dipandang sebaliknya oleh akal yang sehat. Apabila kemaslahatan tersier tidak tercapai, manusia tidak sampai mengalami kesulitan dalam memelihara kelima unsur pokoknya, tetapi mereka dipandang menyalahi aturan-aturan kepatutan dan tidak mencapai taraf “hidup bermartabat”. Contoh mashlahah tahsiniyyah di dalam ibadah ialah adanya syariat menghilangkan najis, bersuci, menutup aurat, mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) dengan bersedekah dan melaksanakan perbuatan-perbuatan sunnat lainnya49.

47 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 12. 48 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 14. 49 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 15. BAB III

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA

A. Geografi dan Iklim

DKI Jakarta terdiri dari lima wilayah Secara administrasi, Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah kota administrasi dan 1 kabupaten administrasi yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara dan Kabupaten Kepulauan Seribu. Wilayah administrasi di bawahnya terbagi menjadi 44 kecamatan dan 267 kelurahan dengan jumlah penduduk pada tahun 2017 sebesar 10,37 juta jiwa. Pada gambar ditampilkan Peta DKI Jakarta. Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terletak pada posisi 6°12’ LS dan 106°48’ BT serta terbentang pada hamparan tanah seluas 662,33 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Dengan luas wilayah kurang dari 0,04% dari total luas wilayah daratan Indonesia namun dihuni oleh 4% dari total penduduk Indonesia. DKI Jakarta juga memiliki 218 pulau yang terletak di Kabupaten Kepulauan Seribu, namun hanya sekitar setengahnya saja yang berpenghuni1. Secara geografis batas-batas Jakarta antara lain:

1. Sebelah Utara : Laut Jawa 2. Sebelah Timur : Provinsi Jawa Barat (Bekasi) 3. Sebelah Selatan : Provinsi Jawa Barat (Depok) 4. Sebelah Barat : Provinsi Banten (Tangerang)

Di bagian utara terbentang pantai sepanjang ± 35 km tempat bermuaranya 13 sungai dan 2 kanal. Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata +7 meter diatas permukaan laut. Data dari Dinas Pekerjaan Umum Pemprov DKI Jakarta menyatakan bahwa 73% kelurahan di

1 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017 (Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 3.

32 33

DKI Jakarta dilalui aliran sungai. Hal ini mengakibatkan tingginya potensi terjadinya bencana banjir khususnya pada musim penghujan2. Peta Provinsi DKI Jakarta

Secara jumlah wilayah administrasi DKI Jakarta memiliki 267 kelurahan dan 44 kecamatan. Pembagian wilayah administratif dapat dilihat pada tabel.

2 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 3. 34

No. Wilayah Jumlah Kecamatan Jumlah Kelurahan 1. Kepulauan Seribu 2 6 2. Jakarta Selatan 10 65 3. Jakarta Timur 10 65 4. Jakarta Pusat 8 44 5. Jakarta Barat 8 56 6. Jakarta Utara 6 31 DKI Jakarta 44 267

Suhu udara yang cukup menyengat terjadi pada sepanjang bulan Juli dan Agustus tahun 2017. Demikian halnya dengan curah hujan yang hanya turun sesekali dengan lokasi area yang tidak merata. Intensitas hujan di DKI Jakarta pada periode bulan Juli-Agustus 2017 menunjukkan penurunan yang signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu yaitu rata-rata hanya 70 mm. Tetapi perbedaan rata-rata suhu tidak sebesar tahun 20153. Menurut data BMKG, sepanjang tahun 2016, rata-rata suhu udara DKI Jakarta adalah sebesar 280C. Suhu yang relatif sedang untuk daerah tropis. Arah angin di DKI Jakarta rata-rata bertiup dari Utara. Sementara rata-rata kecepatan angin sepanjang tahun 2016 berkisar antara 1,4 sampai dengan 3 m/s. Temperatur Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2016 tertinggi di bulan Mei dan September (35,2OC) dan terendah di bulan Juni (23,4 OC), dengan kelembaban 59 sampai 93 persen. Curah hujan tertinggi di bulan Februari (451,75 mm2) dan terendah di bulan Desember (41,7 mm2)4. B. Sejarah dan Perkembangannya Nama-nama yang pernah diberi untuk kota Jakarta antara lain Sunda Kelapa (397–1527), Jayakarta (1527–1619), Batavia (1619–1942), Djakarta

3 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 3. 4 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017 (Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 4. 35

(1942-1945), Jakarta (1945-sekarang), Ibukota DKI Jakarta (1998-sekarang), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1998-sekarang)5. 1. Sunda Kelapa (397–1527)

Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Padjadjaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti "ibu kota") dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura (bahasa Sansekerta yang berarti "Kota Sunda").

2. Jayakarta (1527–1619) Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan pendudukan Pelabuhan

5 Profil Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Laman Resmi Wikipedia Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta 36

Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". 3. Batavia (1619–1942) Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. 4. Djakarta (Jakaruta Tokubetsu Shi) (1942–1945) Pendudukan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. 5. Jakarta (1945-sekarang) Sejak kemerdekaan sampai sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden . Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno. C. Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara, memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2007. Dengan menyandang status khusus, seluruh kebijakan mengenai pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat provinsi karena 37

lembaga legislatif hanya ada pada tingkat provinsi6. Dalam salah satu pasal lainnya mengatur Pemprov DKI dipimpin gubernur dan wakil gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan kepala daerah, untuk masa berlaku 5 tahun. 1. Pemilihan Kepala Daerah 2017 Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2017 diselenggarakan dua putaran yaitu pada Rabu, 15 Februari 2017 dan Rabu, 19 April 2017. Pilgub tersebut diikuti oleh tiga calon pasangan gubernur dan wakil gubernur. Kandidat pertama adalah Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, kandidat kedua adalah dan , dan kandidat yang ketiga adalah Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno. Pada putaran pertama perolehan suara nomor urut satu mendapat suara 937.955 (17.05 %), nomor ururt dua mendapatkan suara 2.364.577 (42.99 %) dan nomor urut tiga mendapatkan suara 2.197.333 (39.95 %)7. Berdasarkan Undang-undang no 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal 11 Ayat (1): “Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.” Ayat (2): “Dalam hal tidak ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), diadakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama”. Sehingga KPU Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan putusan yang menetapkan Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017 dilaksanakan dua putaran.

6 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017, h. 28. 7 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Politik DKI Jakarta 2017 (Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 11. 38

Pada putaran kedua Pilgub, warga DKI Jakarta yang terdaftar dalam DPT adalah sebanyak 7,3 juta jiwa yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih. Dari 7,3 juta jiwa yang terdaftar dalam DPT, 77 % menggunakan hak pilihnya dalam pilgub, sedangkan sisanya tidak menggunakan hak pilih mereka yaitu sebanyak 1,6 juta jiwa. Pilgub pada putaran kedua yang dilaksanakan pada tanggal 19 April 2017 ini, dimenangkan oleh pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno, dengan perolehan suara sebanyak 57,96 persen. Berdasarkan rekapitulasi tersebut, KPU Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 95/Kpts/KPU-Prov-010/2017 tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2017 Putaran Kedua tanggal 5 Mei 2017, ditetapkan pasangan Calon nomor urut 3 (tiga) Anies Rasyid Baswedan, Ph.D – Sandiaga Salahauddin Uno, MBA sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta Terpilih periode 2017 – 20228. 2. DPRD Provinsi DKI JAKARTA, 2014-2019 Pemilu legislatif yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 menghasilkan tiga partai yang memperoleh suara terbanyak untuk anggota legislatif. Tiga partai tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta telah menetapkan perolehan suara sah partai politik tersebut, serta menetapkan kursi untuk DPRD DKI Jakarta berdasarkan perolehan suara. Berdasarkan penetapan tersebut, jumlah suara sah tercatat sebanyak 4.537.227 suara. Jumlah kursi yang diperebutkan adalah 106 kursi di DPRD DKI Jakarta yang berhasil diisi 10 partai politik. Secara rinci: PDIP (28 kursi), Partai Gerindra (15 kursi), PPP (10 kursi), PKS (11) kursi, Partai Golkar (9 kursi), Partai Demokrat

8 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Politik DKI Jakarta 2017, h. 14. 39

(10 kursi), Partai Hanura (10 kursi), PKB (6 kursi), Partai Nasdem (5 kursi), dan PAN (2 kursi)9. D. Kondisi Masyarakat Dari sisi kependudukan, berdasarkan hasil Susenas, Penduduk DKI Jakarta Tahun 2017 mencapai 10.350.023 jiwa. Bila dibandingkan dengan tahun 2016, meningkat sebesar 0,95 persen atau sebesar 97.386 jiwa. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kota administrasi Jakarta Timur sebanyak 2.886.804 jiwa (27,88 %), sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebanyak 23.826 jiwa (0,23%)10. Setiap tahunnya jumlah penduduk DKI Jakarta menunjukkan tren yang terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 8,4 juta jiwa, tahun 2010 bertambah menjadi 9,6 juta jiwa dan pada tahun 2017 mencapai 10,35 juta jiwa. Selama periode 2010-2017 laju pertumbuhan penduduk mulai melandai dengan capaian 1,05 persen pada tahun 2017, sehingga jumlah penduduk pada tahun 2017 mencapai 10,35 juta jiwa atauselama tujuh tahun terakhir terjadi kenaikan penduduk sebesar 0,73 juta jiwa. Dengan luas wilayah 662,33 km2 dan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun, berakibat pada meningkatnya kepadatan penduduk di DKI Jakarta. Pada Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta 2017 tahun 2000, kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 12.603 jiwa/km2, meningkat menjadi 14.506 jiwa/km2 pada tahun 2010 dan pada tahun 2017 menjadi 15.629 jiwa/km211. Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan bahwa pembangunan manusia di Provinsi DKI Jakarta telah membuahkan hasil. Pada tahun 2016, IPM Provinsi DKI Jakarta telah mencapai level 79,60 atau meningkat sebesar 0,77% dibandingkan tahun 2015. Peningkatan ini di atas

9 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Politik DKI Jakarta 2017, h. 21. 10 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta (Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017) h. 17. 11 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta, h. 18. 40

rata–rata pertumbuhan IPM DKI Jakarta periode 2010 – 2016 yang mencapai 0,70% per tahun. Pada tahun 2016, pencapaian pembangunan manusia di tingkat Kab/Kota cukup bervariasi. IPM pada level kabupaten/kota berkisar antara 69,52 (Kepulauan Seribu) hingga 83,94 (Jakarta Selatan)12. Dalam sisi ketenagakerjaan, profil ketenagakerjaan di Jakarta pada tahun 2017, jumlah angkatan kerja mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2016 yaitu sebesar 2,85 persen (Sakernas, Februari 2016- 2017). Jumlah angkatan kerja pada tahun 2017 sebesar 5,5 juta jiwa, dimana 94,64 persen nya bekerja.13 Nilai upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tidak pernah mengalami penurunan dan terus menunjukkan tren meningkat. UMP DKI Jakarta tahun 2010 hanya sebesar Rp 1,12 juta kemudian meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 3,36 juta pada tahun 2017. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terus mengalami penurunan. TPT di DKI Jakarta tahun 2017 sebesar 5,36 persen, menurun dari tahun 2016. Dapat diartikan bahwa diantara 1000 orang penduduk DKI Jakarta terdapat sekitar 54 orang yang menganggur.14 Dalam indikator kesehatan, hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010 yaitu angka kematian bayi berada pada kisaran 18 dari 1000 kelahiran. Pada tahun 2015, angka kematian bayi laki-laki sebesar 22,40 lebih tinggi dari kematian bayi perempuan sebesar 13,70. Angka harapan hidup (AHH) Provinsi DKI Jakarta tahun 2016 mencapai 72,49 tahun. Artinya setiap bayi yang lahir akan mempunyai peluang hidup hingga umur 72-73 tahun15. Indikator lain untuk melihat derajat kesehatan penduduk adalah persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Selama tahun 2013-2015 penduduk yang mengalami keluhan kesehatan menunjukkan tren

12 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 7. 13 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 8. 14 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 9. 15 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 10. 41

meningkat, namun pada tahun 2016 penduduk yang mengalami keluhan kesehatan turun menjadi 30,45 persen. Penduduk DKI Jakarta yang mempunyai keluhan kesehatan sekitar 2.799.444 jiwa (27,05 %). Dari jumlah tersebut, sekitar 1.385.523 jiwa (49,49%) diantaranya adalah laki-laki dan 1.413.922 juta jiwa adalah penduduk perempuan (50,50 %). Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan tertinggi berada di Jakarta Utara, yaitu sebesar 29,60 persen. Sementara keluhan paling sedikit ada di Jakarta Timur, sebesar 23,91 persen16. Pemprov DKI Jakarta terus mengembangkan pelayanan kesehatan prima bagi warganya antara lain menyediakan fasilitas kesehatan selevel rumah sakit yaitu rumah sakit tipe D di 18 kecamatan dan puskesmas di setiap kelurahan. Dari segi biaya, warga juga dapat menikmati pelayanan secara gratis menggunakan Kartu Jakarta Sehat (KJS mulai diterapkan di DKI Jakarta pada November 2012, pemegang KJS bisa berobat di seluruh Puskesmas dan 88 Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Pemprov DKI Jakarta). Perkembangan fasilitas kesehatan di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 tidak mengalami perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2014. Fasilitas rumah sakit tahun 2015 sebanyak 159 unit. Pada 2015, jumlah dokter umum sebanyak 2.645 orang sedangkan dokter spesialis sebanyak 5.726 orang. Jumlah peserta KB baru di DKI Jakarta pada tahun 2016 sebanyak 518.547 orang.17 Dalam bidang pendidikan, pada tahun 2015, jumlah Taman Kanak- kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU) dan Sekolah Mengah Kejuruan (SMK) tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan tahun 2014. Terjadi penurunan pada jumlah murid SMU dan SMK, sedangkan jumlah murid TK, SD, dan SMP mengalami peningkatan. Rasio murid- sekolah tiap tingkatan pada tahun 2015 adalah 43 (TK), 278 (SD), 349

16 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta, h. 24. 17 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017, h. 98. 42

(SMP), 288 (SMU) dan 252 (SMK). Sedangkan rasio murid guru masing- masing 8 (TK), 20 (SD), 16 (SMP), 10 (SMU), dan 10 (SMK). Jumlah Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di DKI Jakarta pada tahun 2015 berturut-turut adalah 469, 244 dan 91 unit dengan jumlah murid sebanyak 191 512 orang. Perguruan tinggi negeri (PTN) tahun 2015/2016 di DKI Jakarta sebanyak 5 PTN dan terdapat 329 perguruan tinggi swasta. Mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi sebanyak 272.441 dengan jumlah tenaga pengajar 26.903 orang18. Rata-rata lama sekolah di Provinsi DKI Jakarta tahun 2016 meningkat menjadi 10,88 yang artinya penduduk usia 25 tahun ke atas secara rata-rata telah menempuh pendidikan selama 11 tahun. Indikator pendidikan lainnya yaitu harapan lama sekolah yang mencapai angka 12,7. Hal ini mengindikasikan bahwa anak usia 7 tahun memiliki peluang bersekolah hingga D-1. Rapor tersebut merupakan pencapaian yang memuaskan19. Pada tahun 2017, jumlah murid yang bersekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di DKI Jakarta (TK sampai dengan SLTA) mencapai 1,5 juta siswa. Lebih dari setengahnya adalah murid SD yang mencapai 779 ribu siswa. Diantara 1,5 juta siswa tersebut, sebagian besar bersekolah pada sekolah negeri yaitu sebanyak 57,6 persen. Sementara sisanya yaitu 42,4 persen mengenyam pendidikan pada sekolah swasta. Indikator yang dapat menggambarkan ketersediaan dan kelayakan sarana pendidikan antara lain rasio murid-guru. Menurut data dari Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta pada Tahun 2017, tercatat rasio murid-guru secara total adalah sebesar 1:14 yang artinya setiap satu guru di Jakarta mengajar sekitar 14 orang siswa. Angka ini sekaligus mengindikasikan bahwa ketersediaan atau kecukupan jumlah tenaga pendidik di DKI Jakarta cukup baik. Rasio murid-guru paling banyak ada pada jenjang pendidikan Sekolah Luar Biasa yaitu 1:4. Sementara, yang paling kecil rasionya adalah pada

18 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Jakarta Dalam Angka 2017, h. 98. 19 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 12. 43

jenjang SD yaitu sebesar 1:19. Bila dibedakan menurut status pengelolaan sekolah, maka sekolah swasta memiliki rasio yang lebih baik yaitu 1 guru mendampingi 11 orang siswa20. Dalam permasalahan kemiskinan terjadi peningkatan angka Garis Kemiskinan berdampak pada naiknya persentase penduduk miskin di DKI Jakarta. Tercatat GK DKI Jakarta pada Maret 2017 sebesar Rp. 536 ribu per kapita per bulan, lebih tinggi dibandingkan GK pada Maret 2016 sebesar Rp. 510 ribu per kapita per bulan. Peningkatan GK sebesar Rp. 26 ribu ini menambah jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta sebanyak 5,39 ribu orang21. GK makanan menyumbang sebesar 64,7 persen dimana komoditi beras, rokok kretek filter, daging ayam ras, dan telur ayam ras menyumbang peranan terbesar. Sedangkan GK non-makanan menyumbang sebesar 35,3 persen dari total GK DKI Jakarta yang didominasi oleh komoditi perumahan. Indeks kedalaman kemiskinan sebesar 0,488 meningkat 0,031 poin dibandingkan Maret 2016. Sedangkan indeks keparahan meningkat sebesar 0,014 poin yaitu sebesar 0,097 pada Maret 2017. Penanggulangan kemiskinan seharusnya juga harus dapat mengurangi kedua masalah tersebut. E. Visi dan Misi DKI Jakarta Visi Pemerintah DKI Jakarta seperti dilansir dalam laman resminya adalah “Jakarta kota maju, lestari, dan berbudaya yang warganya terlibat dalam mewujudkan keberadaban, keadilan dan kesejahteraan semua”. Pemahaman lebih lanjut terhadap visi tersebut, dijabarkan dalam misi-misi sebagai berikut22: 1. Menjadikan Jakarta kota yang aman, sehat, cerdas, berbudaya, dengan memperkuat nilai-nilai keluarga dan memberikan ruang kreativitas

20 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 13. 21 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017, h. 15. 22 Visi dan Misi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Laman Resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, https://jakarta.go.id/pemimpin-daerah 44

melalui kepemimpinan yang melibatkan, menggerakkan dan memanusiakan. 2. Menjadikan Jakarta kota yang memajukan kesejahteraan umum melalui terciptanya lapangan kerja, kestabilan dan keterjangkauan kebutuhan pokok, meningkatnya keadilan sosial, percepatan pembangunan infrastruktur, kemudahan investasi dan berbisnis, serta perbaikan pengelolaan tata ruang. 3. Menjadikan Jakarta tempat wahana aparatur negara yang berkarya, mengabdi, melayani, serta menyelesaikan berbagai permasalahan kota dan warga, secara efektif, meritokratis dan beritegritas. 4. Menjadikan jakarta kota yang lestari, dengan pembangunan dan tata kehidupan yang memperkuat daya dukung lingkungan dan sosial. 5. Menjadikan Jakarta ibukota yang dinamis sebagai simpul kemajuan Indonesia yang bercirikan keadilan, kebangsaan dan kebhinekaan. BAB IV

ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA A. Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam Membangun Ketahanan Keluarga Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan yang menjadi wewenang mutlak pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama1. Adapun kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga merupakan di luar kebijakan yang menjadi wewenang mutlak pemerintah pusat. Kebijakan tersebut dapat berupa peraturan daerah dan peraturan gubernur atau yang setingkat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berikut kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga antara lain sebagai berikut: 1. Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga Peraturan gubernur ini merupakan peraturan awal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Maka dapat diketahui bahwa maksud dari peraturan gubernur ini adalah untuk memberikan pedoman operasional bagi pelaksana dalam pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga untuk menjamin kelangsungan kesertaan ber-KB dengan mengoptimalkan penyelenggaraan kelompok kegiatan BKB, BKR,

1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

45 46

BKL dan UPPKS sebagai upaya pengendalian kependudukan dari segi kualitas dan kuantitas2. Dalam pasal 4 dijelaskan tujuannya sebagai berikut: a. Membantu kelancaran pelaksanaan pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui kelompok BKB, BKR, BKL dan UPPKS; b. Meningkatkan kesertaan, pembinaan dan kemandirian ber-KB bagi pasangan usia subur anggota kelompok kegiatan; dan c. Menetapkan prosedur pelaksanaan kegiatan pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Adapun sasaran pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga yaitu anggota kelompok BKB, BKR dan BKL yaitu: a. Anggota kelompok BKB yaitu keluarga yang mempunyai anak berusia 0 (nol) sampai dengan 5 (lima) tahun; b. Anggota kelompok BKR yaitu keluarga yang m~mpunyai remaja usia 10 (sepuluh) sampai dengan 24 (dua puluh empat) tahun dan/atau remaja itu sendiri; c. Anggota kelompok BKL yaitu keluarga yang mempunyai anggota keluarga berusia lanjut dan/atau lansia itu sendiri; dan Adapun teknis pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “Pembinaan ketahanan keluarga dilaksanakan melalui kelompok kegiatan BKB, BKR dan BKL”. Dijelaskan lebih detail dalam pasal selanjutnya: a. Kegiatan kelompok BKB diselenggarakan dengan pemberian penyuluhan oleh Kader BKB kepada anggota, materi penyuluhan yang disampaikan meliputi wawasan Kependudukan dan Keluarga Berencana serta pembinaan tumbuh kembang anak; dan dilaksanakan minimal sekali dalam sebulan. b. Kegiatan kelompok BKR diselenggarakan dengan pemberian penyuluhan oleh Kader BKR kepada anggota; materi penyuluhan yang disampaikan meliputi wawasan Kependudukan dan Keluarga Berencana serta

2 Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 47

pembinaan tumbuh kembang remaja; dan dilaksanakan minimal sekali dalam sebulan. c. Kegiatan kelompok BKL diselenggarakan dengan pemberian penyuluhan oleh Kader BKL kepada anggota; materi penyuluhan yang disampaikan meliputi wawasan Kependudukan dan Keluarga Berencana, pembinaan fisik dan mental bagi lansia serta pembinaan kesehatan reproduksi lansia; dan dilaksanakan minimal sekali dalam sebulan; Dalam pasal 9 dijelaskan kelompok kegiatan BKB, BKR dan BKL dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki surat keputusan dari pemerintah setempat tentang pembentukan kelompok beserta pengurus; b. Memiliki pengurus dan/atau pengelola yang bertanggung jawab dalam operasional kegiatan; c. Memiliki ruangan untuk kegiatan pertemuan dan penyuluhan; d. Memiliki kader-kader penyuluh; e. Memiliki program kerja dan pengembangan kegiatan yang meliputi program jangka pendek untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan program jangka panjang minimal 3 (tiga) tahun berikutnya; dan f. Memenuhi persyaratan administratif dan sarana. Sebagai bentuk keterpaduan antara BKB, BKR dan BKL dengan Lembaga yang sudah ada terlebih dahulu maka diatur sebagai berikut3: a. Pelaksanaan kegiatan BKB dapat dipadukan dengan kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Posyandu. b. Pelaksanaan kegiatan BKR dapat dipadukan dengan kegiatan Majelis Taklim dan Karang Taruna. c. Pelaksanaan kegiatan BKL dapat dipadukan dengan kegiatan Posyandu Lansia. Selain itu optimalisasi kegiatan BKB, BKR dan BKL dapat dimitrakan dengan Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas

3 Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 48

Sosial, Dinas Olahraga dan Pemuda, Perguruan Tinggi, Tim Penggerak PKK, LSOM, CSR dan/atau sektor lain yang terkait. Mengenai pembiayaan, biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan kegiatan pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui BKB, BKR, BKL dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BPMPKB. Begitupula pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur ini dilakukan oleh Kepala BPMPKB. Hasil pelaksanaan pengendalian dilaporkan kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Evaluasi kinerja kelompok kegiatan ketahanan keluarga dilakukan oleh PPLKB di tingkat Kecamatan. Laporan penyelenggaraan kelompok kegiatan ketahanan keluarga dilakukan oleh pengelola kelompok dan disampaikan kepada BPMPKB melalui PPLKB Kecamatan. 2. Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 Tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin Peraturan gubernur ini merupakan peraturan terbaru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dan juga sebagai peraturan lanjutan dari Peraturan Gubernur No.186 Tahun 2012. Menurut Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta bahwa naskah akademik menjadi pengantar produk hukum daerah yang sifatnya harus memerlukan persetujuan DPRD yaitu peraturan daerah sedangkan peraturan gubernur yang menjadi kewenangan eksekutif daerah. Peraturan Gubernur yang menjadi peraturan teknis tidak membutuhkan naskah akademik dan tidak memiliki naskah akademik4. Peraturan gubernur ini tidak didasari dengan naskah akademik namun dalam Petunjuk Teknis No. 185 Tahun 2017 dijelaskan latar belakang dibentuknya peraturan gubernur ini antara lain adalah dalam lingkup pelayanan

4 Imam Heykal, Staff Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Biro Hukum, Interview Pribadi, Jakarta, 16 Juli 2018. 49

kesehatan reproduksi, masalah kesehatan ibu selama kehamilan, persalinan dan nifas menjadi masalah utama pada kesehatan reproduksi perempuan. Data SDKI 2012 menunjukkan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), dengan AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. AKB sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup, dan angka kelahiran pada perempuan usia 15-19 tahun (Age Specific Fertility Rate/ASFR) sebesar 48 per 1000 perempuan usia 15-19 tahun. Hasil kajian lanjut Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa 6,9% kematian ibu terjadi pada perempuan usia kurang dari 20 tahun dan 92% meninggal saat hamil atau melahirkan anak pertama pada rentang usia yang sama (Kajian Lanjut Hasil SP 2010). Data rutin Direktorat Bina Kesehatan Ibu mencatat sejumlah 4823 kematian ibu di tahun 2015, dengan penyebab kematian yaitu perdarahan (30%), hipertensi pada kehamilan (25,5%), infeksi (5,6%), gangguan sistem peredaran darah (6,6%), gangguan metabolik (1,1%), dan penyebab lainnya (27,4%). Masalah gizi juga menjadi masalah utama yang mempengaruhi kesehatan ibu dan bayi, diantaranya adalah anemia dan Kurang Energi Kronis (KEK) pada Wanita Usia Subur (WUS). Perbandingan antara data Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi anemia pada kelompok WUS dari 19,7% pada tahun 2007 menjadi 22,7% pada ahun 2013. Tingginya kenaikan prevalensi anemia tersebut menunjukkan bahwa anemia dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius jika tidak ditanggulangi segera. Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi risiko KEK pada WUS 15-49 tahun sebesar 20,8%, dengan prevalensi pada ibu hamil sebesar 24,2%. Prevalensi tertinggi ditemukan pada kelompok usia remaja (15- 19 tahun) sebesar 38,5% dan pada kelompok usia 20-24 tahun sebesar 30,1%5. Hal tersebut sejalan dengan hasil wawancara penulis dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, diantara latar belakang terbentuknya peraturan gubernur ini adalah salah satu bagian dari continuum of care dalam

5 Lihat Petunjuk Teknis Pemberian Konseling Dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin Dalam Rangka Pembinaan Ketahanan Dan Kesejahteraan Keluarga. 50

mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs) generasi emas, dimulai sejak masa subur bagi yang memasuki masa pra nikah. Memang harapan kami dalam bentuk skrining awal, kemudian ada konseling, kemudian terakhir apabila perlu dirujuk maka akan dirujuk tetapi juga dalam pelayanan ini bisa dilihat dalam pengembangannya bisa bermacam-macam pasti ada perbaikan- perbaikan. Pada saat membuat peraturan tersebut kita duduk bersama banyak pihak di luar keilmuan kami. Perjalanan menjadi peraturan gubernur hampir 2 tahun karena pengkajiannya yang panjang yang melibatkan banyak orang dan pihak berbeda-beda6. Prosesnya baru selesai setelah perubahan 3 gubernur, karena saat itu prosesnya ternyata memiliki banyak kendala baik dari internal maupun eksternal termasuk dari kalangan agama kemudian dari pihak SKPD lain termasuk pencatatan kependudukan7. Maksud dari peraturan gubernur ini adalah untuk memberikan pedoman operasional bagi sektor terkait dalam pelaksanaan Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan bagi Calon Pengantin Dalam Rangka Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sedangkan dalam Pasal 3 dijelaskan tujuan penyusunannya, antara lain: a. Memberikan acuan kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin Dalam Rangka Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta secara terintegrasi yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan pemantauan dan pembinaan serta evaluasi atas kebijakan/ program/kegiatan pada sektor terkait, termasuk penganggararmya. b. Meningkatkan keterpaduan pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi terutama program kesehatan calon pengantin diseluruh sektor terkait.

6 Chandrawati, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 7 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 51

c. Menetapkan prosedur pelaksanaan program pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin dalam Rangka Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. d. Meningkatkan peran serta masyarakat dan kemandirian lembaga yang menangani upaya kesehatan pelaksanaan Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan bagi Calon Pengantin Dalam Rangka Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta sebagai penanggung jawab memiliki tanggung jawab memfasilitasi ketersediaan pelayanan informasi dan pelaksanaan pelayanan yang aman, bermutu dan terjangkau masyarakat. Selain itu Pemerintah DKI Jakarta, pemangku kepentingan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta dan orang tua turut bertanggung jawab dalam melakukan edukasi dan informasi mengenai pelaksanaan peraturan gubernur ini8. Dalam hal kebijakan Pemerintah DKI Jakarta merumuskan kebijakan, strategi dan pedoman pelaksanaan dapat melibatkan unsur masyarakat dan LSM serta sektor terkait lainnya. Pemerintah DKI Jakarta berwenang menyelenggarakan kegiatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, monitoring dan evaluasi serta pengendalian kegiatan dalam pelaksanaannya. Selain itu, berwenang menyelenggarakan komunikasi, informasi, edukasi dan advokasi serta sosialisasi tentang pelaksanakannya. Pemerintah DKI Jakarta, pemangku kepentingan dan masyarakat yang terlibat, menjamin ketersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaannya. Setiap anggota masyarakat yang akan menikah di wilayah Provinsi DKI Jakarta termasuk di dalamnya masyarakat miskin yang ada dalam data BDT termutakhir mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin yang

8 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 52

berkualitas termasuk pelayanan informasi dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Dalam Pasal 9 terkait strategi pemeriksaan dijelaskan sebagai berikut9: a. Setiap calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan, yang pencatatannya di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, dapat memeriksakan kesehatannya secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta. b. Puskesmas membentuk tim untuk pemeriksaan kesehatan calon pengantin yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, analis gizi, pengelola program HIV, IMS, Hepatitis dan lain-lain yang dianggap perlu. c. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh Tim setelah calon pengantin menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atau surat pengantar permohonan pemeriksaan kesehatan dari Kelurahan yang dilengkapi data calon pengantin dan surat validasi yang ditanda tangani oleh Lurah bagi penerima rnanfaat kategori miskin berdasarkan data BDT termutakhir. d. Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tanggal perkawinan ataupun pencatatan pernikahan. e. Dalam menyampaikan hasil pemeriksaan kesehatan calon pengantin tetap dikedepankan hak kerahasiaan pasien. f. Apabila calon pengantin yang berdasarkan hasil pemeriksaan dokter sebagaimana dimaksud pada poin (d) dinyatakan tidak sehat atau memerlukan penata laksanaan lanjutan dari segi medis kesehatan- diberikan surat rujukan untuk melanjutkan proses pengobatan dan dianjurkan berobat sampai sehat. g. Hasil pemeriksaan di verifikasi oleh Ketua Tim pemeriksa untuk selanjutnya diterbitkan surat keterangan pemeriksaan kesehatan calon pengantin.

9 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 53

h. Untuk pemeriksaan kesehatan yang dilakukan secara mandiri di fasilitas kesehatan swasta maka hasil pemeriksaan wajib diserahkan kepada Ketua Tim pemeriksaan untuk diverifikasi dan dilakukan konseling pemeriksaan kesehatan pra nikah. i. Biaya pengobatan sebagaimana dimaksud pada poin (f) diserahkan kepada program kesehatan masing-masing. j. Surat keterangan telah melakukan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin sebagaimana dimaksud pada poin (c) dan surat keterangan- rujukan sebagaimana dimaksud pada poin (f) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan. k. Petunjuk Teknis Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin tercantum dalam Lampiran Peraturan Gubernur ini. Peran serta SKPD/UKPD terkait dalam peraturan Gubernur ini dijelaskan dalam Bab V secara detail dan terperinci, adapun pihak-pihak terkait antara lain, Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah DKI Jakarta, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, DPAPP, Lurah, UP PTSP Kelurahan dan Puskesmas dan Fasilitas Layanan Kesehatan Pertama. Ada 6 pihak terkait yang tercantum dalam peraturan gubernur ini dengan masing-masing tugas dan fungsi masing-masing. Dalam hal pembiayaan, biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan program bersumber dari BLUD, UKPD dan yang rnasuk dalam kategori masyarakat miskin/BDT berdasarkan data yang selalu diperbaharui, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan10. Diatur dalam peraturan gubernur ini bahwa pembinaan dan pengawasan pelaksanaannya kepada masyarakat dan jajaran yang ada di wilayah kerjanya dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD masing-masing serta dilakukan secara terpadu melalui lintas program dan lintas sektor dengan

10 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 54

melibatkan sektor swasta serta LSM, yang disesuaikan dengan peran dan kompetensi masing-masing sektor. Pengawasan dan monitoring terhadap pelaksanaan pelaksanaannya dikoordinasikan melalui Biro Kesos selaku koordinator bidang kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terkait evaluasi penyelenggaraan pelaksanaannya dilakukan oleh masing-masing sektor penyelenggara Program dengan dikoordinasikan oleh Biro Kesos. Evaluasi dilakukan terhadap keseluruhan proses pelaksanaan dalam rangka pencapaian tujuan penyelenggaraan untuk rnengetahui perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan dilakukan setiap akhir tahun. Hasil evaluasi tersebut digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan dan program serta kegiatan untuk tahun berikutnya. Terkait laporan penyelenggaraan program dan hasil evaluasi pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh Dinas Kesehatan kepada Gubernur melalui Biro Kesos. Pelaporan tersebut dilakukan secara berkala dan/atau apabila sewaktu-waktu diperlukan11. Setelah dijabarkan mengenai kedua peraturan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua peraturan tersebut memiliki perbedaan-perbedaan diantaranya, sebagai berikut: 1. Kedua peraturan berbeda tahun dan masa kepala daerah diundangkannya. Pergub No. 186 diundangkan pada tahun 2012, ketika dipimpin oleh Gubernur sedangkan Pergub No. 185 diundangkan pada tahun 2017, ketika dipimpin oleh Gubernur Anies Rasyid Baswedan. 2. Kedua peraturan memiliki muatan yang berbeda. Pergub No. 186 tahun 2012 mengatur tentang Pembinaan Ketahanan Keluarga dan menjadi landasan awal bagi kebijakan ketahanan keluarga di DKI Jakarta, sedangkan Pergub No. 185 tahun 2017 tentang pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin yang menjadi kebijakan terkini dalam hal membangun ketahanan keluarga.

11 Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 55

3. Kedua peraturan memiliki fokus dan sasaran yang berbeda. Pergub No. 186 Tahun 2012 terfokus pada bidang kesehatan (tumbuh kembang) dan kesejahteraan (ekonomi) dan sasarannya pada 3 kalangan (balita, remaja, lansia) sedangkan Pergub No. 185 Tahun 2017 hanya fokus pada kesehatan yang disasarkan pada calon pengantin (dalam masa subur/masa keemasan dalam menciptakan keturunan/generasi emas). 4. Kedua peraturan memiliki instansi pelaksana yang berbeda. Pergub No. 186 tahun 2012 dilaksanakan di posyandu, karang taruna, dan posyandu lansia sedangkan Pergub No. 185 Tahun 2017 dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan dengan Dinas Kesehatan sebagai pelaksananya.

B. Persfektif Perundang-Undangan terhadap Kebijakan Berdasarkan kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta yang telah diuraikan sebelumnya, dalam penulisan skripsi ini akan membahas bagaimana persfektif perundang-undangan di atasnya yaitu Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga yang berbentuk peraturan gubernur. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa peraturan gubernur memiliki kedudukan dalam hierarki perundang-undangan, kedudukan peraturan gubernur berada di bawah Undang-Undang. Artinya, peraturan gubernur tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, salah satunya ialah Undang- Undang. Dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa dalam penyelenggaraan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, setiap penduduk mempunyai hak, diantaranya12: 1. Membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah

12 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 56

2. Mendapatkan perlindungan, untuk mempertahankan keutuhan, ketahanan, dan kesejahteraan keluarga 3. Menetapkan keluarga ideal secara bertanggung jawab mengenai jumlah anak, jarak kelahiran, dan umur melahirkan 4. Membesarkan, memelihara, merawat, mendidik, mengarahkan dan membimbing kehidupan anaknya termasuk kehidupan berkeluarga sampai dengan dewasa Diatur dalam Undang-Undang tersebut mengenai wewenang pemerintah daerah menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang yang berkaitan dengan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing dan harus mengacu pada kebijakan nasional. Dalam Pasal 13 dijelaskan Pemerintah provinsi bertanggung jawab dalam13: 1. Menetapkan kebijakan daerah 2. Memfasilitasi terlaksananya pedoman meliputi norma, standar, prosedur, dan kriteria 3. Memberikan pembinaan, bimbingan dan supervisi 4. Sosialisasi, advokasi, dan koordinasi pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakat setempat. Dalam Pasal 16 dijelaskan bahwa pembiayaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga di daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Alokasi anggaran disediakan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. Dalam Pasal 38 dijelaskan bahwa pengembangan kualitas penduduk untuk mewujudkan kondisi perbandingan yang serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan kependudukan dengan lingkungan hidup dilakukan melalui pengembangan kualitas penduduk. Pengembangan kualitas penduduk

13 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 57

dilakukan untuk mewujudkan manusia yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Pengembangan kualitas sebagaimana dimaksud dilakukan melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, nilai agama, perekonomian dan nilai sosial budaya. Mengenai pembangunan keluarga yang diatur dalam Pasal 47 dijelaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal. Selanjutnya dalam Pasal 48 dijabarkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dilaksanakan dengan cara, diantaranya14: 1. Peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak; 2. Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga; 3. Peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga; Mengacu pada Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga dalam peraturan gubernur no. 186 tahun 2012 dan peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 telah sesuai dan tidak bertentangan dengan norma yang terdapat dalam Undang-Undang. Dalam dijelaskan sebagai berikut: 1. Sebagai wujud pemenuhan hak bagi setiap penduduk DKI Jakarta yaitu mendapatkan perlindungan untuk mempertahankan keutuhan, ketahanan, dan kesejahteraan keluarga.

14 Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 58

2. Sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan dan program yang berkaitan dengan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. 3. Pembiayaan kebijakan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 4. Sebagai wujud pengembangan kualitas penduduk melalui peningkatan kesehatan, pendidikan dan perokonomian. 5. Sebagai wujud pemerintah daerah menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dengan cara peningkatan kualitas anak (BKB), kualitas remaja (BKR) dan kualitas hidup lansia (BKL) dalam peraturan gubernur no. 186 tahun 2012 sedangkan dalam peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 peningkatan kualitas anak dan kualitas remaja dengan pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. DJ.II/542 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah memiliki keterkaitan dengan kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga dalam peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kedua kebijakan tersebut ialah kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2. Keterkaitan kedua peraturan dengan sasaran calon pengantin dalam masa pra nikah, namun berbeda muatannya. Peraturan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/542 Tahun 2013 menekankan pada pemberian bekal pengetahuan, peningkatan pemahaman dan ketrampilan tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga sedangkan peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 menekankan pada aspek kesehatan dari calon pengantin dan keluarganya di masa yang akan datang. 3. Perbedaan pelaksana dari kedua peraturan tersebut, dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/542 Tahun 2013 dijelaskan bahwa penyelenggara kursus pra nikah adalah Badan Penasihatan, Pembinaan, 59

dan Pelestarian Perkawinan (BP4) atau lembaga/organisasi keagamaan Islam lainnya sebagai penyelenggara kursus pra nikah yang telah mendapat Akreditasi dari Kementerian Agama sedangkan dalam peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 dijelaskan bahwa pemeriksakan kesehatannya secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta. 4. Persamaan dari kedua peraturan tersebut, dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II/542 Tahun 2013 dijelaskan bahwa remaja usia nikah yang telah mengikuti Kursus Pra Nikah diberikan sertifikat sebagai tanda bukti kelulusan dikeluarkan oleh BP4 atau organisasi keagamaan Islam penyelenggara kursus dan menjadi syarat kelengkapan pencatatan perkawinan dan dalam peraturan gubernur no. 185 tahun 2017 dijelaskan bahwa Puskesmas/ Fasilitas Layanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) mengeluarkan sertifikat/surat keterangan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin untuk dibawa oleh calon pengantin dalam rangka mendapatkan formulir N1, N2 dan N4 di UP PTSP Kelurahan.

C. Implementasi Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam Membangun Ketahanan Keluarga Kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga berupa dua peraturan gubernur yaitu Peraturan Gubenur No. 186 tahun 2012 dan Peraturan Gubernur No. 185 tahun 2017. Dalam penulisan skripsi ini akan membahas bagaimana implementasi dari kebijakan- kebijakan yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam menilai implementasi kebijakan maka digunakan teori efektivitas hukum untuk menentukan faktor pendukung dan faktor penghambat. Teori efektivitas hukum merupakan teori yang mengkaji, menganalisis kegagalan dan faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. 60

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu15:

1. Faktor hukumnya Sendiri (undang-undang). 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang disandarkan pada manusia di dalam pergaulan hidup.

Peraturan Gubernur No. 186 tahun 2012 secara efektif mulai diberlakukan pada tanggal 9 Oktober 2012, Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga, menjadi kebijakan awal Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. Dengan peraturan gubernur ini melaksanakan pembinaan ketahanan keluarga melalui kelompok BKB, BKR, BKL untuk meningkatkan kesertaan, pembinaan dan kemandirian ber-KB bagi pasangan usia subur anggota kelompok kegiatan serta menetapkan prosedur pelaksanaan kegiatan pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Jika dilihat dari muatan Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 yang menegaskan bahwa pembinaan ketahanan keluarga dilaksanakan melalui kelompok kegiatan BKB, BKR dan BKL, maka dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta mempunyai perhatian yang cukup besar untuk membangun ketahanan keluarga. Namun pada tahapan implementasinya Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 belum sepenuhnya terlaksana. Hasil pelaksanaan pengendalian Peraturan Gubernur ini dilaporkan kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Melalui Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah DKI Jakarta dijelaskan bahwa respon keberadaan Peraturan

15 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8. 61

gubernur DKI Nomor 186 tahun 2012 sesuai survey tahun 2014 telah mencapai 65,83 % namun dapat disimpulkan bahwa peraturan telah cukup diketahui oleh pelaksana kegiatan16. Dalam pelaksanaannya upaya pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga oleh SKPD terkait di provinsi DKI Jakarta telah sesuai dengan amanah Peraturan gubernur Nomor 186 tahun 2012, meskipun masih memiliki berbagai hambatan diantaranya masih terdapat wilayah administrasi dengan UKPD pelaksana yang belum sepenuhnya memenuhi kriteria dasar dalam hal pembentukan kelompok kegiatan, persyaratan kelompok, serta persyaratan administrasi dan sarana17. Selain itu, menurut Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta kendala ada pada tahap sosialisasi tidak adanya alokasi dana untuk sosialisasi maka dari itu sosialisasi langsung melalui petugas di tingkat bawah yang berhubungan langsung di masyarakat seperti di kelurahan atau fasilitas kesehatan. Sosialisasi tersebut berjalan secara langsung berjalan terus menerus18. Dalam menanggapi berbagai hambatan tersebut, diperlukan solusi- solusi untuk mengoptimalkan peraturan ini diantaranya adalah diperlukan penguatan supervisi oleh seluruh pihak dan sektor terkait melalui satu sistem kerja yang konsisten. Supervisi tersistem di tingkat kota/kabupaten administrasi dan tingkat provinsi harus dibangun guna meningkatkan upaya monitoring dan evaluasi agar penyelenggaraan kegiatan secara kondusif dan dapat diciptakan dan perbaikan dalam siklus manajemen dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Serta diperlukan peran masyarakat DKI Jakarta untuk membangun ketahanan keluarga yaitu ikut berpartisipasi dalam 3B yaitu BKB, BKR, dan BKL. Namun dikarenakan minimnya informasi dan

16 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018. 17 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018. 18 Imam Heykal, Staff Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Biro Hukum, Interview Pribadi, Jakarta, 16 Juli 2018. 62

pemahaman masih kurangnya peminat kegiatan19. Respon masyarakat juga amat diperlukan dalam pelaksanaan sebuah peraturan di tengah kesibukan kota metropolitan seperti Jakarta. Selanjutnya Peraturan Gubernur Nomor 185 tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin secara efektif mulai diberlakukan pada tanggal 30 November 2017, menjadi kebijakan terkini Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga. Dengan dibuatnya peraturan gubernur ini meningkatkan keterpaduan pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi terutama program kesehatan calon pengantin diseluruh sektor terkait dan menetapkan prosedur pelaksanaan program pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin dalam Rangka Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jika dilihat dari muatan Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 yang menegaskan bahwa setiap calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan, yang pencatatannya di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, dapat memeriksakan kesehatannya secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta, maka dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta mempunyai perhatian yang cukup besar untuk membangun ketahanan keluarga. Hasil Evaluasi Pelaksanaan kebijakan, program dilakukan oleh Dinas Kesehatan kepada Gubernur melalui Biro Kesos. Melalui Biro Kesos dijelaskan bahwa untuk peraturan gubernur 185 tahun 2017 biro kesos belum melakukan monitoring dan evaluasi20. Hal ini pengaruh dari peraturan yang baru diundangkan pada akhir tahun 2017. Tetapi dalam wawancara dengan Dinas Kesehatan sebagai Dinas terkait dijelaskan bahwa selama waktu 6 bulan sudah tercatat ada sekitar 3000 pasang calon pengantin yang sudah memeriksakan

19 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018. 20 M. Husnul Fauji, Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Juli 2018. 63

dirinya di puskesmas/FTKP dan hanya ada sekitar 1% dari jumlah calon pengantin21. Pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 sudah dilakukan sesuai tugas pokok Puskesmas dan Fasilitas Layanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang ditunjuk dalam Pelaksanaan teknis di lapangan namun di lapangan ditemukan berbagai hambatan diantaranya sejauh ini ada beberapa kendala dalam berjalannya peraturan ini adalah laboratorium, kalau lebih kuat lagi agar memudahkan masyarakat. Selain itu, bagaimana ditemukan calon penganten di usia senja, di pernikahan ke 2 ke 3 dan seterusnya yg mana bukan lagi sebagai usia muda22. Adapula kendala pada waktu yang dimiliki calon pengantin yang bekerja untuk izin kerja mengurus persiapan nikah yang sulit dan sedikit. Ada sebagian terkendala sarana dan pra sarana puskesmas kecil yang belum bisa menyediakan ruangan khusus dan tenaga medis yang terbatas23. Selain itu, menurut Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta kendala ada pada tahap sosialisasi tidak adanya alokasi dana untuk sosialisasi maka dari itu sosialisasi langsung melalui petugas-petugas di tingkat yang berhubungan langsung di masyarakat seperti di kelurahan atau fasilitas kesehatan. Sosialisasi tersebut berjalan secara langsung berjalan terus menerus24. Dalam menanggapi berbagai hambatan tersebut, diperlukan solusi- solusi untuk mengoptimalkan peran peraturan ini diantaranya adalah dengan memperkuat peran dan fungsi laboratorium kesehatan daerah agar melatih di tingkat puskesmas kecamatan untuk penemuan tingkat dini talasemia serta diperlukan pemeriksaan kejiwaan dalam pemeriksaan calon pengantin. Selain itu juga kedepannya Dinas Kesehatan meminta dukungan dengan MUI dan

21 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 22 Chandrawati, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 23 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 24 Imam Heykal, Staff Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Biro Hukum, Interview Pribadi, Jakarta, 16 Juli 2018. 64

wali gereja. Agar kursus calon pengantin masing-masing bisa berdampingan dengan peraturan gubernur ini. Tentunya masih banyak membutuhkan dukungan dan pembelajaran dalam peraturan gubernur ini25. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dijelaskan bahwa kedepannya mereka berkeinginan peraturan gubernur ini menjadi peraturan daerah, agar tidak lagi harus memaksa masyarakat dan berbagai pihak karena dengan bentuk perda itu berlaku umum26. Dalam observasi yang dilakukan di 2 (dua) Puskesmas Kecamatan yaitu Puskesmas Kecamatan Makasar dan Puskesmas Kecamatan Condet. Ditemukan beberapa hal dalam pelaksanaan kebijakan peraturan gubernur nomor 185 tahun 2017. Di puskesmas kecamatan Makasar pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan darah dan konseling, pemeriksaan tersebut untuk masyarakat DKI tidak dikenakan biaya jika warga di luar DKI dikenakan biaya 120 ribu rupiah, hasil pemeriksaan darah dapat diambil satu hari setelah pemeriksaan dan sertifikat layak kawin. Uniknya, pemeriksaan ini diwajibkan pula bagi warga DKI yang ingin menikah di luar wilayah DKI sebagai syarat surat pengantar dari Kelurahan. Sedangkan di Puskesmas Kecamatan Condet dilakukan konseling dan pemeriksaan darah bagi calon pengantin, biayanya pun gratis bagi warga DKI dan dikenakan biaya bagi warga di luar DKI sebesar 168 ribu rupiah untuk pria dan 178 ribu rupiah untuk wanita. Uniknya, di puskesmas Condet hasil pemeriksaan darah bisa ditunggu hingga sore hari sehingga tidak menghabiskan waktu kembali untuk mengambil hasil dan sertifikat layak kawin. Pemeriksaan hanya dilakukan di hari Selasa dan Kamis. Sejauh ini pelaksanaan berjalan sesuai dengan pergub no 185 tahun 2017. D. Analisis Terhadap Kebijakan

Definisi ketahanan keluarga menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan

25 Chandrawati, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 26 Desi Prijanthy, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 23 Juli 2018. 65

Keluarga bahwa ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Dalam konteks terkini, ketahanan keluarga sangatlah penting untuk terus dijaga keberlangsungannya. Sebagai lingkungan terkecil dalam kehidupan, keluarga memiliki peran penting dalam pembangunan keluarga yang diamanatkan oleh undang-undang.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merespon amanat undang-undang dengan membuat beberapa kebijakan dalam membangun ketahanan keluarga diantaranya Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017. Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia tentunya kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi cerminan dan acuan bagi daerah lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang ketahanan keluarga. Karena sampai saat penelitian ini ditulis belum ada undang-undang maupun rancangan undang-undang tentang ketahanan keluarga.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 kebijakan tersebut sudah sesuai dengan undang-undang sebagai landasan peraturan tersebut. Namun dalam pengembangan kualitas penduduk yang harusnya dilakukan melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, nilai agama, perekonomian dan nilai sosial budaya. Sejauh ini menurut penulis, kebijakan tersebut baru mengatur pada peningkatan kesehatan dan perekonomian dan belum mengatur aspek lain pada pendidikan, nilai agama maupun nilai sosial budaya.

Mengacu pada Peraturan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga mencakup: (1) Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga, (2) Ketahanan Fisik, (3) Ketahanan Ekonomi, (4) 66

Ketahanan Sosial Psikologi, dan (5) Ketahanan Sosial Budaya yang kemudian dirumuskan menjadi 24 (dua puluh empat) ciri-ciri yang merepresentasikan tingkat ketahanan keluarga dalam buku Pedoman Ketahanan Keluarga 2016. Menurut penulis, kebijakan tersebut baru mencakup pada konsep ketahanan fisik dan ketahanan ekonomi, sedangkan belum mencakup secara menyeluruh tiga konsep lainnya. Artinya, masih perlu kebijakan yang lebih komprehensif dan menyeluruh dalam mencakup semua konsep karena konsep lainnya pun memiliki kedudukan yang sama pentingnya dalam tercapainya ketahanan keluarga.

Menurut tahap implementasi Peraturan Gubernur No. 186 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur No. 185 Tahun 2017 dianggap sudah terlaksana dengan baik namun diperlukan lagi perhatian dari pemerintah DKI Jakarta maupun masyarakat. Pemerintah DKI Jakarta masih perlu memperbaiki sarana dan pra sarana secara berkala dan terus menerus agar kendala-kendala yang ditemui dapat terselesaikan, terlebih dalam tahap sosialisasi pemerintah DKI Jakarta tentang penyebarluasan kebijakan tersebut yang dianggap kurang efektif dan kurang maksimal dengan berbagai alasan.

E. Relevansi Mashlahah dengan Ketahanan Keluarga

Dalam keluarga terdapat tanggungjawab yang harus dipikul suami istri dalam perkawinan. Suami dan istri mempunyai kewajiban menjaga keutuhan rumah tangga dengan cara masing-masing menjalankan peran, tugas dan fungsi ketahanan keluarga untuk mencapai kemaslahatan hidup. Fungsi agama, pendidikan, ekonomi, sosial budaya, cinta kasih, reproduksi dan lingkungan jika dijalankan dengan baik maka kemaslahatan akan terwujud27.

Untuk mewujudkan kemaslahatan dalam keluarga, maka setiap individu dalam keluarga menjalankan hak dan kewajibannya maisng-masing.

27 Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016, h. 16. 67

Jika dalam keluarga saling memelihara dan menjalankan hak dan kewajiban masing-masing secara baik dan benar, insya Allah kemaslahatan akan tercapai.

Hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dan istri. Kewajiban suami adalah hak bagi istri, demikian juga sebaliknya. Anak- anak harus pula mendapatkan hak-haknya secara benar, di samping melaksanakan kewajibannya terhadap orang tua. Jika masing-maisng individu dari anggota keluarga mengetahui tanggung jawabnya, maka merek asangat diyakini memiliki kemampuan menangkis hal-hal yang buruk yang menimpa mereka28.

Ketika terjadi pengingkaran terhadap hak-hak dan kewajiban masing- maisng individu dalam keluarga maka ketahanan keluarga akan goyah. Tidak terjalin lagi keharmonisan, ketangguhan, keuletan dalam mempertahankan keutuhan keluarga. Dalam hukum Islam pengingkaran terhadap hak-hak dan kewajiban berakibat pada beban dosa dan harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak29.

Menurut Penulis terbentuknya kebijakan tersebut dalam pandangan hukum Islam sebagai mashlahah. Kebijakan tersebut sebagai langkah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia sekarang dan masa depan yakni membangun ketahanan keluarga. Sebagaimana tujuan hukum Islam: pertama, hifdz al-din (memelihara agama), kedua, hifdz al-nafs (memelihara jiwa), ketiga, hifdz Al-Aql (memelihara akal), keempat, hifdz al-Nasb (memelihara keturunan) dan kelima, hifdz al-maal (memelihara harta). Kebijakan tersebut masuk dalam kategori memelihara jiwa dengan menjaga kesehatan, memelihara keturunan dengan melaksanakan perkawinan dan memelihara harta dengan upaya pengembangan ekonomi keluarga.

28 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 17. 29 Azizah, “Ketahanan Keluarga dalam Persfektif Islam”, h. 17. BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan tentang Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Membangun Ketahanan Keluarga, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga terbatas dalam bentuk peraturan gubernur, belum ada peraturan dalam bentuk peraturan daerah. Diantaranya Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga yang menjadi kebijakan awal dalam membangun ketahanan keluarga dan Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 Tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin menjadi kebijakan terkini dalam membangun ketahanan keluarga, umurnya kurang dari satu tahun sejak diundangkan hingga penelitian ini dilakukan. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga terhadap kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga dalam Peraturan Gubernur No. 186 tahun 2012 dan Peraturan Gubernur No. 185 tahun 2017 telah sesuai/tidak bertentangan dengan yang diatur dalam Undang-Undang antara lain pertama, sebagai wujud pemenuhan hak penduduk, kedua, sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah, ketiga, sebagai wujud pengembangan kualitas penduduk, keempat, sebagai wujud pembangunan keluarga. 3. Implementasi dari kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga ialah sudah terlaksana cukup baik namun belum sepenuhnya tercapai. Tercatat respon keberadaan Peraturan Gubernur DKI Nomor 186 tahun 2012 sesuai survey tahun 2014 telah

68 69

mencapai 65,83% dan Peraturan Gubernur DKI Nomor 185 tahun 2017 selama waktu 6 bulan sudah tercatat ada sekitar 3000 pasang calon pengantin yang sudah memeriksakan dirinya di puskesmas/FTKP. Berbagai hambatan ditemukan yang menjadi faktor-faktor penghambat terlaksananya peraturan gubenur ini dan terus diperbaiki dikemudian hari. B. Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut: 1. Hendaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kedepannya dapat membuat kebijakan dalam membangun ketahanan keluarga dalam bentuk peraturan daerah sebagai landasan hukum yang lebih kuat daripada peraturan gubernur sebagai peraturan teknis, agar dapat membawa perubahan yang lebih baik dan menyeluruh bagi masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya. 2. Hendaknya setiap peraturan tentang ketahanan keluarga kedepannya dapat melihat berbagai konsep dan berbagai aspek yang belum tercakup dalam peraturan sebelumnya, agar peraturan bisa menyeluruh dan mencakup kebutuhan-kebutuhan di masyarakat. 3. Kepala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Gubernur dan Wakil Gubernur bekerjasama dengan Pimpinan DPRD Provinsi DKI Jakarta harus lebih baik lagi dalam membuat peraturan-peraturan demi memecahkan masalah-masalah yang riil dan kompleks di masyarakat seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, keagamaan dan sosial budaya. DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdullah, Thahir. Pembinaan Ketahanan Nasional yang Bertumpu kepada ketahanan pribadi. Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata, 1991.

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam: Permasalahannya dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.

Adisasmita, Rahardjo. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2015.

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.

Azizah, “Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016.

Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta 2017. Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Dalam Angka 2017. Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: BPS Prov. DKI Jakarta, 2017.

Danim. Sudarwan. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: TP, 2009.

Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan 1. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Ibrahim, Johnny. Teori Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2006. Cet. II

Joesoef, Daoed. Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional. Jakarta: PT. Kompas. 2014.

Juwaini, Jazuli. Otonomi Sepenuh Hati: pokok-pokok pikiran untuk perbaikan implementasi otonomi daerah. Jakarta: Al-I’tishom, 2007.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. Pemerintah Daerah di Indonesia: Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah. Jakarta: Kemenkumham RI, 2010.

70

71

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pembangunan Ketahanan Keluarga. Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, 2016.

Lubis, Amany. “Ketahanan Keluarga Dalam Legislasi Nasional dan Konvensi Internasional” dalam Amany Lubis, eds., Ketahanan Keluarga Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Pustaka Cendikiamuda, 2016.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2016. Cet. VI

Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Peneletian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Mukhlas, Oyo Sunaryo. Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik: Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Grasindo, 2005.

Parsons, Wayne. Edward Elgar Publishing. Ltd. Penerjemah Tri Wibowo Budi Santoso. Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana, 2006.

Pramudji, S. Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional. Jakarta: Bina Aksara. 1985.

Pranowo, Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2015. Cet. III

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Soemantri, HRT Sti. Otonomi Daerah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.

Subarsono. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Sunarti, Euis, dkk. Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga. Bogor: Intitut Pertanian Bogor, 2003.

Sutami. Pokok-Pokok Pemikiran dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: T.P, 1978.

72

Syamsuddin, Aziz. Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara. 2012.

Wibawa, Samodra. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Wijaya, HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.

Wijaya, HAW. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif. Kualitatif dan Penelitian Gabungan Jakarta: Kencana, 2014.

2. Disertasi

Sunarti, Euis. “Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan” Disertasi S3 Institut Pertanian Bogor, 2001.

3. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 185 Tahun 2017 Tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin

4. Internet http://almanar.co.id/keluarga/membangun-ketahanan-keluarga.html

73

Profil Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Laman Resmi Wikipedia Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta Visi dan Misi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Laman Resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. https://jakarta.go.id/pemimpin-daerah

Wapres: Penting Ketahanan Keluarga untuk Ketahanan Bangsa. koran kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2009/06/13/00014890/Wapres.Nilai.Pen ting. Ketahanan.Keluarga

Menteri Yohana: Pentingnya Peningkatan Ketahanan Keluarga Menuju Keluarga Sejahtera. koran tribunnews.com. http://www.tribunnews.com/regional/2017/07/14/ menteri-yohana- pentingnya-peningkatan-ketahanan-keluarga-menuju-keluarga-sejahtera

5. Wawancara dan Data

Interview Pribadi dengan Imam Heykal, SH, MH. Staff Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Biro Hukum. Jakarta. 16 Juli 2018.

Interview Pribadi dengan drg. Chandrawati, MARS. Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Jakarta. 23 Juli 2018.

Interview Pribadi dengan Desi Prijanthy, Apt. M.Sc. Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Jakarta. 23 Juli 2018.

Interview Pribadi dengan M. Husnul Fauji, MT. Staff Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial Jakarta. 19 Juli 2018.

Daftar Pertanyaan Wawancara Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta

1. Mengenai topik penelitian tentang ketahanan keluarga, sejauh ini apa saja kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? 2. Berkenaan dengan kedua pergub tersebut, bagaimana latar belakang yang mendasari terbentuknya peraturan tersebut? Jika berkenan, bisakah peneliti meminta naskah akademik keduanya? 3. Terkait pergub no. 185 tahun 2017 cenderung peraturan yang baru disahkan, lalu apakah ada masa sosialisasi peraturan gubernur tersebut? Jika ada, berapa lama masa sosialisasi tersebut? Bagaimana langkah sosialisasi peraturan gubernur kepada masyarakat luas? 4. Sejauh ini, peneliti baru menemukan peraturan mengenai ketahanan keluarga hanya dalam bentuk peraturan gubernur dan belum menemukan dalam bentuk peraturan daerah (perda). Mengapa sampai saat ini tidak ada dalam perda? Adakah rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengajukan perda tentang ketahanan keluarga? 5. Terkait kedua pergub tersebut, bagaimana kaitannya dengan UU No. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga? 6. Menurut bapak/ibu, peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? 7. Terakhir, adakah pesan/saran dalam penelitian ini? Biro Kesejahteraan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta 1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di provinsi DKI Jakarta? 2. Bagaimana peran pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Bagaimana pula peran masyarakat DKI Jakarta? 3. Apa saja kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? 4. Bagaimana respon mengenai kedua pergub tersebut? Apakah sudah menjadi kebijakan yang tepat dalam membangun ketahanan keluarga? 5. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? 6. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi kedua kebijakan tersebut? 7. Peraturan apa yang diperlukan kedepan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? 8. Terakhir, adakah pesan/saran terhadap penelitian ini? Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta 1. Terkait pergub no. 185 tahun 2017, Bagaimana menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta latar belakang terbentuknya pergub tersebut? 2. Bagaimana tanggapan Dinas Kesehatan DKI Jakarta terhadap pergub tersebut? 3. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? Walaupun masih tergolong peraturan yang baru disahkan. 4. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi terkait peraturan tersebut? 5. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga?

Bagian Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan DKI Jakarta 1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di Provinsi DKI Jakarta menurut Dinas kesehatan provinsi DKI Jakarta? 2. Adakah kebijakan Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Bagaimana peran Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam kebijakan tersebut? 3. Bagaimana respon masyarakat terhadap peraturan baru ini? Apakah masyarakat antusias dalam mengikuti tahapan demi tahapan dalam peraturan ini? 4. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? Walaupun masih tergolong peraturan yang baru disahkan. 5. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi terkait peraturan tersebut? Seperti kendala-kendala yang ada. 6. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga? 7. Lalu sejauh ini sudah bisa dipastikan di setiap puskesmas kecamatan sudah bisa melayani?

Daftar Wawancara Nama : Imam Heykal, SH, MH Jabatan : Bagian Peraturan Perundang-undangan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Wawancara dilakukan di Biro Hukum lt. 9 pada 16 Juli 2018 pukul 10.40

1. Mengenai topik penelitian tentang ketahanan keluarga, sejauh ini apa saja kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Jawaban: selain 2 pergub no. 16/2012 dan 185/2017, kalau pergub itu bersifat teknis banyak selain 2 peraturan ini dan harus dicari terkait hubungan secara spesifik. Kalau peraturan secara umum, perda, kita masih menyusun untuk memayungi seluruh bidang ketahanan keluarga itu belum ada, langsung ada pergub teknis. Masih mengikuti pemerintah pusat kalau masalah ini bisa dari kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak maupun dari kementerian sosial. Masing kementerian sering mengeluarkan peraturan Menteri, untuk melaksanakan peraturan Menteri itu di tingkat daerah kita buat pergub. Dari berbagai kebijakan yang ada, peneliti terfokus pada 2 peraturan gubernur yaitu pergub no. 186 tahun 2012 tentang pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dan pergub no. 185 tahun 2017 tentang konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin. 2. Berkenaan dengan kedua pergub tersebut, bagaimana latar belakang yang mendasari terbentuknya peraturan tersebut? Jika berkenan, bisakah peneliti meminta naskah akademik keduanya? Jawaban : baik, mulai yang pergub 186/2012 saya belum ikut menangani karena tahun 2012, sepengetahuan saya dari forum diskusi rapat, sebagai upaya pemerintah DKI khusus untuk membuat peraturan yang mengatur pembinaan ketahanan dan kesejahteraaan keluarga secara umum memang tidak ideal dibuat dalam pergub teknis harusnya dalam bentuk peraturan daerah dahulu karena luas itu, nanti bagian-bagian nya kita breakdown menjadi pergub. Kemudian pergub 185/2017 fokusnya pada masalah konseling dan pemeriksaan kesehatan karena sebelumnya belum ada peraturan yang mewajibkan bagi calon pengantin. Kita untuk mengontrol memastikan pintu awal dari institusi pernikahan kita buat peraturan ini agar sebelum mendapatkan surat pengantar dari kelurahan harus disertai bukti sudah menjalani konseling dan pemeriksaan kesehatan di fasilitas kesehatan milik pemprov DKI. Kalau untuk naskah akademik itu pengantar produk hukum daerah yang sifatnya harus memerlukan persetujuan DPRD yaitu peraturan daerah kalau peraturan gubernur itu sudah menjadi kewenangan eksekutif daerah, dalam hal ini gubernur karena peraturan teknis tidak membutuhkan naskah akademik dan tidak memiliki naskah akademik. 3. Terkait pergub no. 185 tahun 2017 cenderung peraturan yang baru disahkan, lalu apakah ada masa sosialisasi peraturan gubernur tersebut? Jika ada, berapa lama masa sosialisasi tersebut? Bagaimana langkah sosialisasi peraturan gubernur kepada masyarakat luas? Jawaban : jadi kita kan pakai fiksi hukum, bahwa peraturan yang sudah berlaku semua warga siap tahu, kebetulan di DKI dari zaman gubernur sebelumnya sedang menghemat anggaran mengenai masalah sosialisasi karena dahulu anggaran sosialisasi banyak diselewengkan. Sosialisasi khusus kita buat cara itu tidak ada, karena kita pergub setahun ada sekitar 300an kalau kita sosialisasikan tentu memakan biaya. Kita sosialisasikan caranya itu dengan petugas-petugas di tingkat yang berhubungan langsung di masyarakat seperti di kelurahan atau fasilitas kesehatan. Kita beritahu kalau mau mengurus ini, ini ada pergubnya ini harus melakukan konseling dan pemeriksaan kesehatan. Sejauh ini sudah berjalan belum ada keluhan dari masyarakat yang mendasar dan berdampak besar. Sosialisasi berjalan secara langsung berjalan terus menerus. 4. Sejauh ini, peneliti baru menemukan peraturan mengenai ketahanan keluarga hanya dalam bentuk peraturan gubernur dan belum menemukan dalam bentuk peraturan daerah (perda). Mengapa sampai saat ini tidak ada dalam perda? Adakah rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengajukan perda tentang ketahanan keluarga? Jawaban : memang idealnya di daerah itu produk hukum yang paling ideal itu adalah dibentuk dengan perda karena legitimasinya kuat, satu, sudah dikaji secara mendalam, dua, dibahas Bersama dengan rakyat dalam hal ini direpresentasikan oleh DPRD, namun ada beberapa kendala dalam beberapa urusan daerah ini adalah karena kita mengikuti juga program-program pemerintah pusat kadang suka berubah-berubah kalau tidak diatur dalam undnag-undang hanya di peraturan Menteri itu sering berubah-ubah entah itu menterinya ganti atau periode kpresidenan ganti.

Kita sudah berusaha dalam 2 tahun inilah, Cuma karena loadnya banyak. Bidang ketahanan keluarga belum menjadi prioritas pembahasan di dewan, kadang waktunya sudah habis. Kalau beberapa kali dengan dinas, mereka mendorong kita punya desain. Kita harus koordinasikan dengan kementerian dalam negeri, kementerian sosial dan kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Saat ini belum tapi kita segerakan karena pak gubernur ingin mendorong adanya program perbaikan ketahanan keluarga. 5. Terkait kedua pergub tersebut, bagaimana kaitannya dengan UU No. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga? Jawaban : kalau secara teknis kita kurang paham, tapi kalau secara peraturan kami berusaha memenuhi amanat undang-undang. Kalau fungsi biro hukum disini menjaga agar produk hukum yang diusulkan oleh perangkat daerah agar sesuai/ harmonis dengan undang-undang. 6. Menurut bapak/ibu, peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Jawaban : harus ada peraturan daerah yang mengatur secara umum tapi menyeluruh semua aspek masuk ke dalam perda. Paling ideal memang membentuk perda, jadi dari dewan menyetujui dari pemerintah daerah mau tidak mau karena sudah amanat perda itu harus menjalankan tidak dalam pergub 186 atau 185 dan dengan sanksi-sanksi yang lebih tinggi yang misalnya mengancam ketahanan keluarga itu bias lebih enak dimasukkan kedalam perda. 7. Terakhir, adakah pesan/saran dalam penelitian ini? Jawaban : saran saya coba dilihat lagi tidak hanya di level daerah tapi dilihat peraturan Menteri teknis terkait.

Daftar Wawancara Nama : M. Husnul Fauji, MT Jabatan : Bagian Pemberdayaan Masyarakat Biro Kesejahteraan Sosial Wawancara dilakukan di Biro Kesos lt. 13 pada 19 Juli 2018 pukul 10.00

1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di provinsi DKI Jakarta? Jawaban : pembinaan ketahanan keluarga dilaksanakan melalui kelompok Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Kleuarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL). Mengingat besarnya masalah yang disebabkan oleh perilaku beresiko akibat kesalahan sejak penanganan tumbuh kembang balita dan remaja, maka dapat digarisbawahi bahwa kelompok kegiatan BKB dan BKR merupakan dua hal yang memiliki urgensi tinggi. Oleh karena itu bukan hanya dampak jangka pendek melainkan juga dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari masalah terkait keduanya, maka upaya penanggulangan yang tepat merupakan investasi yang besar bagi pembangunan manusia yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan penguatan kemitraan antar seluruh sektor, baik negeri, swasta, maupun swadaya masyarakat. Dengan kuatnya kemitraan yang dibangun, diharapkan pembaharuan dan atau pengembangan strategis terutama dalam pelaksanaan kelompok kegiatan BKB dan BKR dilakukan. 2. Bagaimana peran pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Bagaimana pula peran masyarakat DKI Jakarta? Jawaban : pelaksanaan upaya pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga oleh SKPD terkait di provinsi DKI Jakarta telah sesuai dengan amanah Pergub Nomor 186 tahun 2012, meskipun masih terdapat wilayah administrasi dengan UKPD pelaksana yang belum sepenuhnya memenuhi kriteria dasar dalam hal pembentukan kelompok kegiatan, persyaratan kelompok, serta persyaratan administrasi dan sarana. Oleh karena itu, diperlukan penguatan supervisi oleh seluruh pihak dan sektor terkait melalui satu sistem kerja yang konsisten. Supervisi tersistem di tingkat kota/kabupaten administrasi dan tingkat provinsi harus dibangun guna meningkatkan upaya monitoring dan evaluasi agar penyelenggaraan kegiatan secara kondusif dan dapat diciptakan dan perbaikan dalam siklus manajemen dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Peran masyarakat DKI Jakarta untuk membangun ketahanan keluarga yaitu ikut berpartisipasi dalam 3B yaitu BKB, BKR, dan BKL. Namun dikarenakan minimnya informasi dan pemahaman masih kurangnya peminat kegiataa 3. Apa saja kebijakan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Jawaban : 1. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 186 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga 2. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 167 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Pengendalian Pertumbuhan Penduduk Melalui Pembinaan Keluarga Berencana 3. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 191 tahun 2015 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif 4. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 185 tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin. Dari berbagai kebijakan yang ada, peneliti terfokus pada 2 peraturan gubernur yaitu pergub no. 186 tahun 2012 tentang pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dan pergub no. 185 tahun 2017 tentang konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin. 4. Bagaimana respon mengenai kedua pergub tersebut? Apakah sudah menjadi kebijakan yang tepat dalam membangun ketahanan keluarga? Jawaban : a. respon keberadaan Pergub DKI Nomor 186 tahun 2012 sesuai survey tahun 2014 telah mencapai 65,83 % maka dapat disimpulkan bahwa peraturan telah cukup diketahui oleh pelaksana kegiatan. b. pada dasarnya kebijakan ketahanan keluarga melalui BKB, BKR, dan BKL dirasa sangat tepat karena mencakup semua aspek yaitu: 1) Tumbuh kembang anak 2) Wawasan kependudukan dan KB 3) delapan fungsi keluarga 4) penundaan usia perkawinan 5) kesejahteraan keluarga 6) 7 aspek perkembangan balita 7) Kesehatan Reproduksi remaja 8) Olahraga 9) karang taruna 10) generasi perencanaan 11) komunikasi aktif remaja 12) penimbangan lansia 13) posyandu lansia 14) majelis taklim lansia 5. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? Jawaban : bias lihat hasil kegiatan, pergub nomor 186 tahun 2012 sesuai point 1, 2 dan 3 6. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi kedua kebijakan tersebut? Jawaban : bisa lihat hasil kegiatan, namun untuk pergub 185 tahun 2017 biro kessos belum melakukan monitoring dan evaluasi 7. Peraturan apa yang diperlukan kedepan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Jawaban : kebijakan yang dibuat oleh biro kessos untuk mengakomodasi kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Dinas terkait, oleh karena itu peraturan yang diperlukan adalah untuk mengikat dan menjaga kegiatan tersebut agar berlangsung sesuai ketentuan serta kebutuhan 8. Terakhir, adakah pesan/saran terhadap penelitian ini? Jawaban : peneliti agar lebih akurat dalam mencari data yang dibutuhkan sehingga data tersebut sebagai bahan rekomendasi ke Pemprov DKI Jakarta

Daftar Wawancara Nama : drg. Chandrawati, MARS Jabatan : Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Wawancara dilakukan di Dinas Kesehatan Jakarta lt. 7 pada 23 Juli 2018 pukul 10.00

1. Terkait pergub no. 185 tahun 2017, Bagaimana menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta latar belakang terbentuknya pergub tersebut? Jawaban : Pergub caten ini adalah salah satu bagian dari continuum of care dalam mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs) generasi emas, mungkin saja nanti subur yang sedang memasuki masa pra nikah. Memang harapan kami dalam bentuk skrining awal, kemudian ada konseling, kemudian baru terakhir apabila perlu dirujuk maka dirujuk tapi juga dalam pelayanan ini kami melihat bahwa dalam pengembangannya bisa bermacam-macam pasti ada perbaikan-perbaikan. Pada saat membuat peraturan tersebut kita duduk Bersama banyak pihak diluar keilmuan kami. Perjalanan menjadi pergub hampir 2 tahun karena pengkajiannya luar biasa banyak orang dan pihak berbeda-beda. Hingga konsep hasil dengan barcode karena hal itu hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan. 2. Bagaimana tanggapan Dinas Kesehatan DKI Jakarta terhadap pergub tersebut? Jawaban: pergub ini sangat membantu, salah satunya menemukan penyakit Tuberkulosis (TB), stunting. Kalau seandainya kita bisa menemukan penyakit menular. Sangat bermanfaat bagi pasien. Penemuan dini sangat meningkat sejak dilakukan peraturan gubernur ini. 3. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? Walaupun masih tergolong peraturan yang baru disahkan. Jawaban : pada tahap kami melatih di tingkat puskemas kecamatan dulu walaupun di DKI ada puskesmas kelurahan, karena ketenagaan ada di puskemas kecamatan karena tingkat kelengkapan laboratorium ada disana kemudian tim program utama koordinator ada di mereka. Koordinasi pertama ada di kelurahan tapi untuk pembinaan KUA ada di kantor camat makanya posisi pemeriksaan lebih sinergi kecamatan dengan kecamatan. Di kelurahan sebagai pihak yang memberikan info pada tahap awal mendaftar sebagai calon pengantin bawah disarankan untuk pemeriksaan, nanti dari sana kita keluarkan sertifikat yang berbarcode karena kita menjaga rahasia hasil pemeriksaan, kepada pasangannya pun harus dengan izin yang bersangkutan. Dari pemeriksaan dini kita bisa periksa rhesus, talasemia dan lain-lain penyakit genetik yang paling dasar. Namun untuk talasemia harus dirujuk ke laboratorium kesehatan daerah agar menghindari biaya yang tinggi di rumah sakit tersier. Saya sedang memperkuat lagi ke labkesda agar melatih di puskesmas kecamatan untuk penemuan tingkat dini talasemia. Seluruh pemeriksaan gratis kecuali talasemia masih dalam penghitungan karena begitu tinggi biayanya. 4. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi terkait peraturan tersebut? Jawaban : sejauh ini ada beberapa kendala dalam berjalannya peraturan ini adalah laboratorium, kalau lebih kuat lagi memudahkan masyarakat. Selain itu, bagaimana ditemukan calon penganten diusia senja, di pernikahan ke 2 ke 3 dan seterusnya yg mana bukan lagi sebagai usia muda. 5. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga? Jawaban : kedepannya pimpinan meminta dukungan dengan MUI dan wali gereja. Agar kursus caten masing-masing bisa berdampingan dengan peraturan kita. Masih banyak membutuhkan dukungan dan pembelajaran. Juga diperlukan pemeriksaan kejiwaan dalam pemeriksaan caten. Hasil Wawancara Nama : Desi Prijanthy, Apt., M.Sc Jabatan : Kepala Seksi Kesehatan Keluarga Bidang Kesejahteraan Masyarakat Wawancara dilakukan di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta lt. 7 pada 23 Juli 2018 pukul 12.00

1. Bagaimana kondisi ketahanan keluarga di Provinsi DKI Jakarta menurut Dinas kesehatan provinsi DKI Jakarta? Jawaban : jadi kondisi kota metropolitan itu berbeda dengan kota yang tidak metropolitan, metropolitan ini semua ada, semua bisa dilakukan semua bisa terjadi. Kita dari sisi kesehatan memiliki data angka kematian ibu kita tinggi, data kematian anak kita tinggi, data kekerasan pada anak dan perempuan tinggi, angka penyakit tinggi. Ini bukan menurun tapi setiap tahun menaik padahal jaminan kesehatan kita jauh lebih baik daripada sebelumnya tapi sampai seberapa lama pemerintah mampu membentengi pembiayaan kesehatan yang terus naik karena ada slogan “lebih baik mencegah daripada mengobati”, mengobati itu selain mahal akan ada banyak yang dirugikan. Maka dari itu kita ambil langkah preventif dan promotif. 2. Adakah kebijakan Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta dalam membangun ketahanan keluarga? Bagaimana peran Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam kebijakan tersebut? Jawaban : Pergub No. 185 tahun 2017 adalah satu peraturan terbaru yang digagas Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Prosesnya kita mulai dari pemeriksaan kesehatan sebelum menikah meskipun pergub ini berjalannya umurnya 3 gubernur, setahun prosesnya. Karena waktu itu berproses ini ternyata kendalanya banyak sekali baik dari internal, kemudian kita mulai mengundang eksternal termasuk dari kalangan agama kemudian dari pihak SKPD lain termasuk pencatatan kependudukan, kita kaji setiap habis rapat, ini solusinya seperti apa sih, kalau mentok kita diskusi lagi ke pimpinan ada gak jalan tengahnya. Kita cari jalan tengah kita undang lagi mereka. Termasuk waktu mau di tandatangani pak Anies itu dari Kepala Deputi Gubernurnya, ini harusnya pergub bukannya perda supaya semua orang mau mengikuti ini. Kalau pergub orang bisa gak mau. Tapi kalau mau buat perda betapa susahnya, kalau mengacu kesana tidak selesai-selesai setelah itu kita mengacu kesana. Sebenarnya pergub ini banyak sekali yang menentang termasuk dari kalangan agama, tak mungkin membatalkan pernikahan seperti kanwil agama karena tugas mrk mengawinkan. Ternyata adanya di PTSP dan kami libatkan disitu sebelum mereka meminta surat pengantar. Sebelum orang minta formulis N1 N2 N4 tolong suruh mereka kepuskesmas dlu untuk memeriksa kesehatan. Banyak orang gamau, orang yang merasa ngabisin waktu aja padahal cuma satu hari dibutuhkan untuk skrining ini mereka diberikan konseling dan mereka diambil darah hasil pemeriksaannya hari itu atau 2-3 hari mereka sudah dapat hasilnya, kalau mereka ternyata harus mendapat tindak lanjut. Jadi sebenernya dengan skrining ini banyak sekali baiknya bagi kesehatan, meskipun nanti menderita penyakit menular disampaikan tolong berobat dulu. 3. Bagaimana respon masyarakat terhadap peraturan baru ini? Apakah masyarakat antusias dalam mengikuti tahapan demi tahapan dalam peraturan ini? Jawaban : jadi secara garis besar ini datayang sudah masuk sudah sekitar 3000 yang diperiksa calon pengantin, yang menolak tidak sampai 1% sangat sedikit sekali, kadang mereka merasa mereka harus keluar dari kantor itu yg mereka jadi kendala. Kami bilang gak harus di puskesmas, mereka boleh periksa di swasta tapi hasilnya itu disampaikan ke puskesmas, nanti puskesmas akan mengeluarkan sertifikat, Namanya sertifikat layak kawin, sertifikat itu yg dibawa ke PTSP 4. Sejauh mana penerapan/implementasi kebijakan tersebut hingga saat ini? Walaupun masih tergolong peraturan yang baru disahkan. Jawaban : begitu pergub ini disahkan, sebelumnya ini bukan barang baru ini pemeriksaan kesehatan caten sudah ada sejak 2009 sudah mulai ada, cuma yang berani menggratiskan itu cuma kita. Implementasinya kalau dlu karena gak ada peraturannya, orang gak merasa perlu pemeriksaan kesehatan, jadi kita hanya bilang ke KUA kalau ada yang mau menikah kami diundang ya pak, itu juga cuma vaksin kami tidak dapat tindakan, orang yang bermasalah tidak ada penyelesaian. Tapi dengan kami melakukan skrining banyak yang bisa kami kerjakan disitu. Baru 3 bulan kami melakukan skrining itu kami sudah dapat data lumayan banyak, ada yang sudah tertangkap HIV, Sipilis, kemudian penyakit- penyakit yang kami takutkan sudah mulai tertangkap. Jadi sebenarnya pergub ini membantu sekali kami memecahkan permasalahan. 5. Dalam tiap peraturan tentu memiliki evaluasi dalam pelaksanaannya, bagaimana evaluasi terkait peraturan tersebut? Seperti kendala-kendala yang ada. Jawaban : kendalanya mulai dari waktu, mereka harus spare waktu, kantor KUA 2 hari, periksa kesehatan 1 hari, sementara izin dari kantor susah bahkan dipotong gaji. Makanya ini harus berupa perda, karena kewajiban baik swasta maupun negeri harus mengijinkan untuk karyawannya yang akan menikah diberikan waktu 1-2 hari untuk menyelesaikan urusa-urusanbegini, ada orang yang merasa gak ada gunanya saya tidak mau diperiksa kesehatannya. Calon pengantin itu juga diperiksa kesehatan mentalnya. Jadi bukan hanya fisik kami juga memasukkan skrining kejiwaan. 6. Menurut Dinas Kesehatan provinsi DKI Jakarta peraturan yang bagaimanakah yang diperlukan kedepan dalam membangun ketahanan keluarga? Jawaban : kami sangat ingin jadi perda, jadi kami tidak capek-capek memaksa orang, krn dengan perda itu berlaku umum, sekarang semua penduduk DKI yang kami bayarin tapi kalo perda mungkin nanti yang menikah di DKI bukan cuma orang yang mau menikah. Sebenernya sekarang banyak yang bukan penduduk DKI Kami pasang di billboard pokoknya segala upaya kami sosialisasikan selain kami panggil pak lurah, PTSPnya, kami juga bikin jingle kami pasang di kantor lurah camat RS dan billboard pemerintah kami tidak bisa masuk tv radio kami tdk punya anggaran jd hanya yg gratis. 7. Lalu sejauh ini sudah bisa dipastikan di setiap puskesmas kecamatan sudah bisa melayani? Jawaban: Sudah, kami punya laporannya setiap 6 bulan, sudah dikisaran angka 3 ribu pasang calon. Semua sudah menjalankannya ya cuma yang jadi kendala mungkin ada puskesmas yang besar ada puskesmas yang kecil, kami waktu itu menyarankan agar dilakukan dalam satu ruangan terpisah tidak gabung dengan pasien. Tapi ada puskesmas yang tempatnya tidak memungkinkan jadi mereka tetap harus keliling ruang pemeriksaan, itulah yang masyarakat keluhkan kenapa mesti kaya gitu. Masalah ruangan, tenaga medis, dll. DOKUMENTASI WAWANCARA

Wawancara dengan Bapak M. Husnul Fauji, MT, Biro Kesos Setda DKI Jakarta

Wawancara dengan Bapak Imam Heykal, MH, Biro Hukum Setda DKI Jakarta

Wawancara dengan Ibu drg. Chandrawati, MARS, Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

Wawancara dengan Ibu Desi Prijanthy, Apt., M.Sc, Bagian Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

Contoh Sertifikat hasil dari pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin