BAB II

CIREBON SEBELUM ISLAMISASI

A. Kondisi Geografis Cirebon

Sebelum lahirnya Cirebon sebagai kota seperti saat ini, Cirebon adalah sebuah pedukuhan yang berkembang menjadi negeri kemudian menjadi sebuah kerajaan. Kerajaan Cirebon yang saat ini merupakan bagian dari wilayah administratif Provinsi Jawa Barat terletak diujung timur Pantai Utara Jawa Barat dan berbatasan dengan wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah.1 Batas wilayahnya adalah sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Brebes, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan, sebelah barat dengan Kabupaten

Majalengka, dan sebelah utara dengan Kabupaten Indramayu.

Sebutan Negeri Caruban atau Cerbon itu adalah menurut nama ibukotanya, ialah Caruban yang berasal dari istilah “Sarumban” berarti pusat tempat percampuran penduduk.2 Hal ini karena Letak Cirebon yang merupakan kota pelabuhan yang sejak abad XV M sudah ramai sebagai jalur perdagangan internasional. Kebanyakan para pedagang biasanya berlabuh untuk kemudian menunggu musim berlayar kembali hingga membentuk koloni dan lama-kelamaan membaur dengan pribumi.

Kondisi geografis Kesultanan Cirebon tidak jauh berbeda dengan kondisi

Kota Cirebon sekarang, yaitu terletak pada lintang 108º 35 Bujur Timur dan 9º 30

1 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. (: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hlm. 5.

2 Aria Carbon, Purwaka Caruban Nagari, terj. P. S. Sulendraningrat, (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm. 9.

24

25

Lintang Selatan.3 Letak Cirebon sebelum kekuasaan Islam memimpin adalah dibawah kekuasaan kerajaan Galuh yang berada dibawah kerajaan besar yaitu

Pajajaran. Dibawah kerajaan Pajajaran, Cirebon biasa mengirimkan bukubekti/upeti setiap tahunnya berupa hasil bumi yaitu beras, terasi, garam, dan petis.

Dalam buku Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, letak Pelabuhan

Cirebon berada di teluk yang terlindung dari gangguan alam seperti gelombang laut. Pelabuhan Cirebon juga terletak cukup jauh dari Pelabuhan besar lainnya, ditengah Pulau Jawa bagian utara diantara Pelabuhan Jepara, Tuban, dan Surabaya didaerah timur dan Pelabuhan (Jayakarta) dan disebelah

Barat. Oleh karena itu, Pelabuhan Cirebon menjadi mata rantai dalam jalur perdagangan di Kepulauan Nusantara dan Perairan Asia.4 Peran Pelabuhan

Cirebon inilah yang menyebabkan Sejak abad ke IX M Pelabuhan Cirebon sudah ramai oleh para pedagang lokal maupun internasional.

Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam dibawah kepemimpinan

Sunan Gunung Jati, wilayah Cirebon dapat dikelompokkan atas dua daerah yaitu daerah pesisir disebut dengan nama Cirebon Larang dan daerah pedalaman yang disebut Cirebon Girang.5 Cirebon Larang adalah sebuah daerah bernama Dukuh

Pesambangan dan Cirebon Girang adalah Lemah Wungkuk. Dari Cirebon

3 Fajar Gunawan, Peranan Sunan Gunung Jati dalam Kesultanan Cirebon 1479-1568. Skripsi, (tanpa penerbit: UNY, 2010), hlm. 26.

4 Adeng, dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra. (Jakarta: CV. Eka Darma, 1998), hlm. 71.

5 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm. 6. 26

Larang/Dukuh Pesambangan inilah perdagangan melalui jalur laut berlangsung dan menjadi jalur masuknya Islam di Cirebon.

Cirebon Larang mempunyai pelabuhan yang sudah ramai dan mempunyai mercusuar untuk memberi petunjuk tanda berlabuh kepada perahu-perahu layar yang singgah dipelabuhan yang disebut Muara Jati (sekarang disebut Alas

Konda).6 Kebanyakan pedagang ini adalah pedagang Islam yang singgah dan menetap di Cirebon. Pedagang-pedagang yang menetap membangun daerah komunitas Islam di sekitar pelabuhan Muara Jati.

B. Sekilas Kemunculan Cirebon

Pada tahun 1302 AJ (Anno Jawa)/1389 M, dipantai Pulau Jawa yang sekarang disebut Cirebon, ada tiga daerah otonom bawahan kerajaan Pajajaran yang diketuai oleh Mangkubumi yaitu Singapura, Pesambangan, dan Japura.7

Setiap daerah memiliki pemimpin sendiri, Singapura/Mertasinga dikepalai oleh

Mangkubumi Singapura, Pesambangan dikepalai Ki Ageng Jumajan Jati, dan

Japura dikepalai Ki Ageng Japura. Dari ketiga daerah otonom ini, salah satunya adalah Dukuh Pesambangan yang dalam perkembangannya berubah menjadi

Cirebon.8

6 P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), hlm. 16.

7 Ibid., hlm. 16.

8 Dukuh Pesambangan adalah dukuh yang mengawali lahirnya pemukiman di Cirebon, kemudian dibuka pedukuhan baru dikenal dengan nama Lemah Wungkuk (Kebon Pesisir). Pada masa Pangeran Cakrabuana/Walangsungsang menjabat Kuwu Cerbon ke II, Ibukota Caruban Larang yang tadinya di Pesambangan dipindah ke daerah Caruban (Kebon Pesisir) yang kemudian disebut 27

Cirebon pada awalnya adalah sebuah daerah yang bernama Tegal Alang-

Alang yang kemudian disebut Lemah Wungkuk dan setelah dibangun oleh

Pangeran Walangsungsang diubah namanya menjadi Caruban.9 Nama Caruban sendiri terbentuk karena diwilayah Cirebon dihuni oleh beragam masyarakat.

Sebutan lain Cirebon adalah Caruban Larang. Pada perkembangannya Caruban berubah menjadi Cirebon karena kebiasaan masyarakatnya sebagai nelayan yang membuat terasi udang dan petis, masakan berbahan dasar air rebusan udang (cai rebon).10

Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, Cirebon dulunya bernama

Dukuh Caruban. Dukuh Caruban adalah dukuh yang dibangun oleh putra mahkota

Pajajaran, Pangeran Cakrabuana/Raden Walangsungsang yang dibantu oleh adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Indang Geulis. Pangeran

Cakrabuana membuka pedukuhan atas perintah gurunya, Syekh Nurul Jati/Syekh

Datuk Kahfi.11

Pada tanggal 1 Sura tahun 1358 AJ/1445 M12, Pangeran Cakrabuana membuka lahan di daerah Tegal Alang-Alang.13 Pedukuhan yang dibuka oleh

Sarumban/Caruban, Carbon, Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon (lihat ibid., hlm. 17-18.)

9 Susanto Zuhdi, op. cit., hlm. 9.

10 Aria Carbon, op. cit., hlm. 14.

11 Aria Carbon, op. cit., hlm. 11-12.

12 Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon menjadikan tanggal 1 Sura tahun 1358 AJ/1445 M sebagai hari Jadi Kotamadya Cirebon dan seluruh wilayah Cirebon (lihat Sulendraningrat, 1978: 18).

13 P. S. Sulendraningrat, op. cit., hlm. 18. 28

Pangeran Walangsungsang dikenal dengan nama Lemah Wungkuk. Pedukuhan ini sebenarnya telah dihuni oleh seorang nelayan bernama Ki Gedheng Alang-

Alang/Ki Danusela yang kemudian menjadi Kuwu Cerbon pertama. Lama- kelamaan dukuh ini berkembang dan ramai dikunjungi para pedagang dan berubah nama menjadi Caruban. Syekh Datuk Kahfi juga memberi julukan pada Pangeran

Cakrabuana dengan nama Ki Somadullah. Ki Somadullah ini kemudian menggantikan Kuwu Cerbon pertama, Ki Gedeng Alang-Alang sebagai Kuwu

Cerbon kedua dan membangun Keraton Pakungwati dengan gelar Sri Mangana.14

Secara kronologis, sosialisasi para pedagang Islam mulai dari kontak hingga terjadi Islamisasi adalah melalui tiga tahapan sebagai berikut :

1) Awal abad Masehi s/d abad IX M. Fase awal-awal kontak komunitas- komunitas Nusantara dengan para pedagang dan musafir dari Arab, Persia, Turki, Syiria, India, Pegu, Cina, dan lain-lain. 2) Antara abad IX-XI M, adanya kontak dari para pedagang Islam dengan pribumi Nusantara. Selanjutnya sekitar abad XI-XII M berdiri kantong- kantong pemukiman Islam di Nusantara baik di pesisir maupun dipedalaman dengan bukti yang tersebar di Nusantara, antara lain di Pesisir Sumatra, Jawa Timur, Ternate, dan Tidore. 3) Abad XIII-XVI M mulai berkembang kekuatan politik dan kerajaan- kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan yang berkembang di Nuantara mulai mengadakan hubungan dengan Eropa dalam bidang perdagangan terutama rempah-rempah.15

Perkembangan Cirebon sebenarnya melalui tahap yang panjang hingga memasuki era Islam. Sejak awal masehi, mulai berkembang perdagangan internasional. Perdagangan internasional yang terjadi diberbagai belahan dunia

14 Aria Carbon, op. cit., hlm. 14.

15 Susanto Zuhdi, Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah). (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), hlm. 37. 29

berdampak pula bagi daratan Nusantara. Pengaruh Hindu-Budha lebih dahulu masuk dan memengaruhi masyarakat Nusantara.

Termasuk di Cirebon, di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh pengaruh

Hindu sangat melekat pada kehidupan masyarakatnya. Pada tahun 1475-1482 M, kedudukan wilayah Cirebon berada di bawah kekuasaan Prabu Anggalarang

(Tohaan) di Galuh.16 Prabu Anggalarang adalah ayah dari Prabu Siliwangi yang kemudian menjadi Raja Pajajaran. Ketika Prabu Siliwangi berkuasa, daerah

Cirebon mulai ramai didatangi para pedagang dari luar Nusantara. Sekitar abad ke

XV M, Pelabuhan Cirebon sudah banyak didatangi pedagang muslim. Seperti yang dikatakan Tome Pires bahwa Kerajaan Sunda Pajajaran melarang pedagang muslim terlalu banyak masuk.17 Pembatasan terhadap masuknya pedagang muslim ke Cirebon tidak terlalu berjalan lancar, karena pada tahun 1531 sudah banyak orang-orang muslim yang bertempat tinggal di Cirebon.

Hingga pada abad ke XV Cirebon berubah menjadi sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat di Nusantara. Menurut sumber dari manuskrip Babad Cirebon,

Purwaka Caruban Nagai, dan Negara Kertabhumi pendiri Kerajaan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati, seorang tokoh Islam yang dikenal menjadi salah satu anggota dari Walisongo. Dalam buku Cirebon Dari Kota Tradisional ke Kota

Kolonial dijelaskan adanya pembukaan lahan untuk pemukiman para pedagang muslim sebelum era Sunan Gunung Jati.

16 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm. 6.

17 Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional II. (Jakarta: Depdikbud, 1988), hlm. 113. 30

Cirebon pada mulanya adalah sebuah desa nelayan yang tidak berarti yang pada awalnya bernama Dukuh Pasambangan. Dukuh Pasambangan terletak kurang lebih 5 Km disebelah utara Kota Cirebon sekarang, sedangkan Kota Cirebon sekarang dahulunya adalah Lemah Wungkuk, suatu desa dimana Ki Gedeng Alang-Alang membuat pemukiman masyarakat Muslim. Tokoh ini kemudian diangkat oleh penguasa Pajajaran sebagai kepala pemukiman baru tersebut dengan gelar Kuwu Cerbon.18

Menurut sumber di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum

Kerajaan Cirebon berdiri di bawah Kekuasaan Sunan Gunung Jati pada 1479 M, sudah ada pemukiman Islam di Cirebon. Kuwu Cerbon yang diberi kuasa oleh

Raja Pajajaran menggambarkan bahwa tetap ada toleransi kepada para pedagang

Muslim yang menetap di Cirebon hingga akhirnya membaur dengan masyarakat pribumi. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Kerajaan Cirebon di bawah

Sunan Gunung Jati di Cirebon yang menyatukan wilayah Pesambangan dan

Lemah Wungkuk di bawah kedaulatan Kerajaan Cirebon.

Keraton Pakungwati Cirebon dibangun pada masa peralihan Hindu-Budha ke Islam. Oleh karena itu, menurut staf ahli Sultan Sepuh ke-XIV Keraton

Kasepuhan Cirebon Tatang Subandi, banyak ornamen-ornamen khas Hindu dikeraton ini yaitu adanya gapura, bentuk limasan pada bangunan, dsb.19

Ornamen keraton diisi oleh unsur-unsur Islam, tujuannya adalah agar pembangunan keraton menyimbolkan lahirnya Islam disatu sisi dan toleransi disisi lain. Bangunan-bangunan yang menjadi ciri khas jaman Hindu-Budha disatukan dengan tujuan penyelenggaraan Islam.

18 Zaenal Masduqi, Cirebon Dari Kota Tradisonal Ke Kota Kolonial. (Cirebon: Nurjati Press, 2011), hlm. 3.

19 Wawancara dengan Tatang Subandi, 22 april 2014, Keraton Kasepuhan Cirebon. 31

Keraton Pakungwati terletak disebelah barat Keraton Kasepuhan sekarang.

Nama keraton ini sebenarnya adalah Dalem Agung Pakungwati (lihat lampiran 1), yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun Tahun 1430 M.20

Pembangunan keraton Pakungwati sendiri adalah untuk mendukung kegiatan ekonomi Cerbon yang berkembang pesat selain fungsi utamanya sebagai sarana dakwah Islam di Cirebon. Pembangunan Keraton Pakungwati selanjutnya dilakukan oleh Sunan Gunung jati dibangun setelah menikah dengan Purti

Pangeran Cakrabuana, Nyimas Pakungwati.21

C. Kondisi Sosio-Kultural Masyarakat Cirebon

Perkembangan Nusantara menurut data prasejarah setelah masa Hindu-

Budha adalah masa Islam. Pada masa Hindu-Budha kehidupan masyarakat

Nusantara menjadi faktor perkembangan agama Hindu-Budha. Masuknya agama baru memengaruhi berbagai bidang kehidupan, misalnya saja dalam bidang politik, kesenian, dan sudah barang tentu dalam bidang kepercayaan.22 Pada masuknya pengaruh Islampun tidak jauh berbeda dengan masuknya agama Hindu yaitu melalui jalur yang beragam, antara lain dari perdagangan, pendidikan, pernikahan, dan lain-lain.

Abad ke XIII-XVI M merupakan bentangan waktu terjadinya proses sosialisasi dan institusionali Islam di Nusantara.23 Pelabuhan Muara Jati menjadi

20 Ibid.

21 Ibid.

22 Uka Tjandrasasmita, op. cit., hlm. 8.

23 Zaenal Masduqi, op. cit., hlm. 1. 32

pintu masuk Islam di Cirebon, dimana menjadi pelabuhan yang strategis bagi perdagangan internasional. Dalam buku Sejarah Umat Manusia, Hal ini terjadi karena pada sekitaran abad ke XIII M terjadi degradasi di pusat-pusat peradaban

Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah akibat serangan dari bangsa Mongol

(Tartar), sehingga terjadi pengembaraan para ulama hingga ke Nusantara. Cirebon dengan pelabuhan Muara Jatinya tidak lepas dari mata rantai bagi perdagangan internasional dan ekspansi Islam di Nusantara, apalagi karena posisi Cirebon yang ada diantara pelabuhan besar lainnya di Nusantara. Kebanyakan dari para pedagang di Nusantara melalui jalur laut untuk masuk berdagang di Nusantara, sehingga perkembangan wilayah pesisir-pesisir mengalami perkembangan yang cepat.

Diantara kota-kota pesisir yang mengalami perkembangan yang pesat pada zamannya adalah Cirebon.24 Sebagai pelabuhan yang ramai, Muara Jati menjadi salah satu pelabuhan tempat berkumpulnya pedagang Muslim di Jawa. Hal ini terbukti dari adanya Dukuh Pesambangan yang merupakan tempat tinggal para pedagang Muslim di Cirebon. Selain itu, Cirebon memiliki banyak peninggalan purbakala yang berbentuk fisik maupun peninggalan non-fisik sebagai bukti masuknya ragam budaya dari berbagai penjuru dunia antara lain, Arab, India,

Cina bahkan Eropa.

Proses pengislaman yang terjadi di Nusantara kebanyakan bersifat terbuka, terutama dari jalur perdagangan antara pribumi dan pedagang Islam. Menurut pendapat Niemann dan de Holander, Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh para

24 Ibid., hlm. 2. 33

pedagang dari Timur Tengah.25 Para pedagang Islam ini kemudian menetap dan mulai mengenalkan Islam pada penduduk Cirebon. Selain jalur perdagangan, perkawinan antara orang muslim dengan masyarakat Cirebon juga menjadi salah satu cara efektif dalam memperkuat fondasi Islam di Cirebon.

Sebelum Kesultanan Cirebon berdiri, wilayah Cirebon adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, kerajaan yang bercorak Hindu-Budha. Prabu

Siliwangi, adalah raja dari Kerajaan Pajajaran ketika mencapai zaman keemasannya menjadikan Pajajaran Kerajaan Hindu yang besar dan kuat.

Meskipun begitu, cikal bakal Islam sudah masuk diwilayah Cirebon, dibuktikan dengan menikahnya Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang.

Prabu Siliwangi ini menikahi seorang putri Mangkubumi Singapura/Mertasinga Caruban bernama Lara Subang Larang, yang telah memeluk agama Islam dan beberapa tahun mesantren di Pengguron Islam Syekh Kuro Karawang, dengan syarat menikah secara Islam, yang mana Syekh Kuro yang bertindak sebagai penghulunya dan didudukkan di Kraton Pakuan Pajajaran sebagai Permaisuri dan diperkenankan tetap melakukan sembahyang lima waktu.26

Hasil dari pernikahan antara Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang adalah Pangeran Cakrabuana/Raden Walangsungsang, Ratu Mas Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang/Raja Sengara.27 Ketiga anak Prabu Siliwangi telah masuk Islam dan menjadi bakal pendiri lahirnya Kesultanan Cirebon. Dari

25 Bonnie Triyana, Islam Arab Atau Islam Cina?, historia.co.id/ artikel/modern/845/25/majalah-historia/Islam_Arab_Atau_Islam_Cina?, diakses pada tanggal 27 Mei 2014 pukul 01:16 WIB.

26 P. S. Sulendraningrat, op. cit., hlm. 15.

27 Ibid. 34

penjelasan diatas, bisa dikatakan bahwa di dalam kerajaan sendiri sudah ada toleransi antar agama, yaitu antara Hindu-Budha dan Islam.

Pengaruh kebudayaan Hindu Jawa Barat baru nampak pada pertengahan abad ke V M.28 Melalui Prasasti dari Kerajaan Tarumanegara, hindu di Jawa

Barat mulai masuk di kalangan kerajaan. Prasasti-prasasti itu antara lain Kebon

Kopi, Muara Jambu, dsb. Prasasti yang ditemukan berbahasa Sansekerta berhuruf

Pallawa, ciri khas kerajaan bercorak Hindu.

Pengaruh Hindu di Nusantara pada awalnya hanya menggeliat dikalangan kerajaan, karena dari bukti prasasti belum bisa dikatakan bahwa pengaruh Hindu belum meresap dikalangan masyarakat biasa.29 Sebagian besar prasasti hanya menceritakan tentang kemahsyuran suatu kerajaan, sebagai bentuk legitimasi.

Sebagai contoh, prasasti Tugu di era Kerajaan Tarumanegara yang menceritakan tentang pembuatan Sungai Gomati oleh Raja Purnawarman yang memberikan

1000 ekor sapi pada Kaum Brahmana sebagai hadiah. Oleh karena itu, kemungkinan besar hanya sebagian kecil masyarakat biasa saja yang memeluk agama Hindu, sebagian besar masyarakat masih memuja arwah nenek moyang.30

Memasuki era jaman Kerajaan Pajajaran, suasana kehinduan sudah menjadi keseharian dikalangan masyarakat biasa. Meskipun dalam Hindu hanya diperbolehkan dipeluk anggota kerajaan, masyarakat biasa sudah terbiasa dengan suasana kehinduan. Jawa Barat sebagai tempat Kerajaan Pajajaran, budaya Hindu

28 Proyek Penulisan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah Jawa Barat. (Jakarta: Depdikbud, 1978), hlm. 56.

29 Ibid.

30 Ibid. 35

memengaruhi hampir disemua aspek kehidupan seperti di bidang politik, sastra dan seni.31

Masuknya pengaruh Hindu di Nusantara menandai suatu era baru dimana

Nusantara memasuki zaman sejarah, zaman ketika telah mengenal tulisan.

Prasasti-prasasti yang ditemukan pada sekitaran abad ke V M hingga abad ke XVI di Nusantara kebanyakan menggunakan Bahasa Sansekerta, Bahasa Agama Hindu yang berasal dari India. Prasasti yang ditemukan juga biasanya digunakan sebagai bentuk legitimasi sebuah kerajaan yang berkuasa, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam bidang politik pun mengalami perkembangan signifikan.

Karena sistem pemerintahan kerajaan pertama kali ada di Nusantara setelah adanya pengaruh Hindu dari India.32

Pada masa Kerajaan Pajajaran pengaruh Hindu sudah meluas hingga dikalangan masyarakat biasa. Terlibatnya masyarakat dalam proses beragama tidak lepas dari peran pedagang India yang mulai mengenalkan ajaran mereka.

Kota-kota pelabuhan adalah tempat yang sangat terbuka bagi terbentuknya suatu komunitas asing yang kemudian membaur dengan komunitas lokal. Tidak lepas pula bagi Pelabuhan Muara Jati di Cirebon, proses akulturasi antara kebudayaan

Hindu yang dibawa pedagang dengan kebudayaan lokal masyarakat Cirebon mulai membumi. Sama halnya ketika Islam masuk, akulturasi budaya Islam dan

31 Ibid.

32 Sistem ini masuk ke Indonesia setelah persaingan antara India dan China diseparuh millennium kedua sebelum masehi yang saling menyebarkan pengaruh bahasa dan institusinya diwilayah Asia Tenggara continental dan Indonesia (Lihat Toynbee Arnold, 2006: 533). 36

Hindu bisa terlihat dalam berbagai aspek diantaranya, adalah upacara-upacara adat yang mulai memuja Dewa bukan arwah nenek moyang lagi diubah memuja

Allah, menganggap makam ditempat yang tinggi akan lebih dekat dengan kesempurnaan, mempercayai bahwa Raja adalah titisan Dewa. 33

Selain itu, proses Islamisasi tidak lepas dari kepercayaan Hindu-Budha yang sudah melekat sejak lama di Cirebon. Melalui perdagangan, perkawinan, ajaran-ajaran tasawuf, cabang seni dsb. adalah cara yang paling umum dilakukan pembawa Islam.34 Oleh karena itu, Islam yang masuk ke Nusantara tidak secara keseluruhan menghapus kebudayaan lama, akan tetapi dengan mengambil jalan tengahnya. Percampuran antara kebudayaan lama (Hindu-Budha) dan kebudayaan baru (Islam) menjadikan proses Islamisasi yang ada di Nusantara umumnya dan

Cirebon khususnya memiliki ciri yang khas.

Menurut bukti sejarah, ciri Islam yang ada di Nusantara sangat khas, dengan memadupadankan ajaran Hindu-Budha dan ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah Keraton Kasepuhan, Masjid Agung Sang Ciptarasa, dan Makam

Sunan Gunung Jati. Kesemua bangunan itu mencirikan tekhnik bangunan pada masa Hindu-Budha tetapi untuk tujuan penggunaan bagi kaum muslim. Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa proses Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung Jati di

33 Woodward, Mark R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Harius Salim dari judul asli, Islam in Jawa: Normative Piety and Misticsm in The Sultanate of Yogyakarta. (Yogyakarta: LKis, 1999). hlm. 90-91.

34 Marwati Joened dkk, Sejarah Nasional Indonesia II. (Jakarta: Depdikbud, 1992), hlm. 109. 37

Cirebon tidak dilakukan secara revolusioner, melainkan dengan memadukan yang sudah ada, tujuannya tentu saja agar mudah diterima oleh masyarakat.35

Menurut penelitian Uka Candrasasmita, bangunan Keraton Kasepuhan

Cirebon dan Keraton pada masa pra-Islam memiliki bentuk yang relatif sama. Hal ini dilihat dari denah Keraton yang memiliki Langgar Pangrawit, tiap tiang tunggalnya (saka) memiliki ukiran yang sudah menjadi ciri saat zaman pra-Islam.

Bentuk ukiran ini sudah ada pada Candi Jawi dan Kedaton, oleh karena itu, sangat besar kemungkinannya Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung Jati sangat toleran terhadap budaya lama. Bahkan menurut Pemandu Keraton Kasepuhan

Cirebon, Pak Elang Haryanto, pembangunan Keraton Kasepuhan oleh arsitektur dari Majapahit yaitu Raden Sepat. Pembangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa pada Zaman Sunan Gunung Jati pula di arsitekturi oleh Raden Sepat, dibantu para

Wali. Penamaan denah di Keraton Cirebon juga tidak lepas dari budaya Hindu-

Budha, yakni adanya Bangsal Sitiinggil (lihat lampiran 1) yang bernama

Simangan dan Brapayeksa, seperti penamaan bagian pada masa sebelum Islam.36

Selain bentuk bagian Keraton Kasepuhan, Masjid Panjunan juga memiliki ciri bangunan masa Hindu-Budha. Masjid Panjunan memiliki atap tumpang dan bentuk alas persegi. Dari denah bangunan Masjid yang berbentuk persegi, memperlihatkan bahwa seni bangunan pada masa pertumbuhan dan

35 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 22.

36 Uka Tjandrasasmita, Sepintas Mengenai Peninggalan Kepurbakalaan Islam di Pesisir Utara Jawa. (: Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan, 1979), hlm. 130. 38

perkembangan Islam di Indonesia bukan merupakan bentuk baru yang dibawa oleh orang-orang Islam dari luar Indonesia, sebab denah persegi ini sangat dikenal pemakaiannya dalam seni bangunan candi dari masa kebudayaan Indonesia

Hindu.37 Masjid Panjunan memiliki atap bertumpuk, ciri khas bangunan pada masa Hindu-Budha dengan istilah meru. Bangunan-bangunan yang ada di Cirebon menjadi bukti kuat bahwa antara budaya Hindu dan budaya Islam memiliki kesinambungan.38

Kehinduan masyarakat Cirebon sebelum 1470 M mewarnai segala aspek kehidupan. Cara Hindu masuk pun tidak dengan jalan kekerasan, melainkan dengan jalan yang relatif toleran, melalui interaksi dengan pribumi hingga jalan perkawinan. Maka dengan jalan perkawinan itu kebudayaan Hindu mudah menyebar.39 Meskipun masyarakat pedalaman memiliki perkembangan penyebaran Hindu relatif lambat, tetapi dengan jalan persuasif Hindu bisa masuk ke masyarakat pribumi.

Begitupun ketika Islam masuk ke Nusantara, melalui jalan persuasif perlahan para penyebar Islam menemukan jalan untuk diterima masyarakat pribumi. Proses Islamisasi yang terjadi di Nusantara memiliki ciri khas yang tidak jauh berbeda dengan Hinduisasi yang terjadi di Nusantara. Akulturasi diantara budaya Hindu dan budaya pribumi saat Hinduisasi sangat terasa dalam semua

37 G. F. Pijper, Penelitian Tentang Agama Islam di Indonesia 1930-1950. (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 24.

38 Wawancara dengan Elang Haryanto, 23 april 2014, Keraton Kasepuhan Cirebon.

39 N. J. Krom, Zaman Hindu. terj. Arif Effendi, (Jakarta: Pembangunan, 1954), hlm. 89. 39

aspek kehidupan, termasuk dalam politik, kesenian, pendidikan, hingga dalam tradisi. Sama halnya ketika terjadi Islamisasi, kesinambungan antara budaya Islam yang dibawa para penyebar Islam di Cirebon dengan budaya pribumi yang bercorak Hindu bertujuan untuk menarik perhatian pribumi dengan ajaran baru yang masuk.40

Menurut Tome Pires, sebenarnya Cirebon sudah memiliki pedukuhan

Islam pertama di Jawa Barat, berarti bisa dikatakan bahwa Cirebonlah pintu gerbang masuknya Islam di Jawa Barat.41 Pedukuhan Islam itu tidak jauh dari

Pelabuhan Muara Jati di Cirebon Girang. Maka sangat jelaslah bahwa pengaruh perdagangan internasional ini telah membawa dampak bagi sebagian besar masyarakat Cirebon hingga saat ini.

Sebelum adanya Islamisasi yang dilakukan dengan terkoordinir, islamisasi yang diusahakan di Cirebon dengan menggunakan simbol-simbol Hindu sangat berguna. Hal ini dilakukan agar para pribumi tertarik dengan ajaran yang baru dan kemudian memeluknya. Salah satu contohnya adalah seorang tokoh Islam yang menggunakan nama khas Hindu dengan gelar Islam yaitu Haji Purwa. Seperti yang di jelaskan oleh Edi S. Ekajati:

Adanya penganut Islam di Jawa Barat sebelum 1470 diberitahukan oleh sumber sejarah lokal. Menurut sumber sejarah lokal yang ditulis oleh Hageman, penganut agama Islam yang pertama datang di Tanah Sunda

40 Musyrifah Sunanto, loc. cit.,

41 Jakiyatul Miskiya, Proses Islamisasi di Cirebon Tahun 1479-1568, Skripsi, (tanpa penerbit: UNY, 2002), hlm. 1. 40

kiranya adalah Haji Purwa, putra Prabu Kudalelahan pada tahun 1250 Jawa atau tahun 1337 M di Galuh dan Cirebon Girang.42 Menurut J. Hageman J. Cn, Haji Purwa adalah seorang pemeluk agama

Islam yang pertama kali datang ke Galuh (Jawa Barat) pada tahun 1337 M.43 Haji

Purwa di Islamkan oleh seorang pedagang Arab ketika sedang berniaga di India.

Saat kembali ke Jawa Haji purwa berusaha mengislamkan adik dan kakaknya di

Cirebon, akan tetapi gagal. Kegagalan ini tidak membuat keretakkan antar keluarga sehingga mengindikasikan bahwa toleransi antar agama saat itu telah ada.

Orang pertama yang mengenalkan Islam di Cirebon sebelum Sunan

Gunung Jati adalah Syekh Idlofi Mahdi atau Syekh Datuk Kahfi di Dukuh

Pesambangan.44 Sejak menetap di Cirebon, Syekh Datuk Kahfi mendirikan pesantren, dengan begitu proses Islamisasi lebih nyata dan terkoordinir. Karena sebelumnya Islamisasi hanya dilakukan di kerabat-kerabat terdekat saja. Akan tetapi, Islamisasi pada masa Syekh Datuk Kahfi tidak sampai keluar Cirebon, hal ini karena beberapa faktor diantaranya adalah karena Cirebon berada dibawah

Kerajaan Pakuan Pajajaran yang bercorak Hindu-Budha.

Setelah Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Walangsungsang adalah penyebar

Islam di Cirebon selanjutnya. Pangeran Walangsungsang adalah anak dari Sri

Baduga Prabu Siliwangi, penguasa Raja Pajajaran, kerajaan Hindu-Budha yang menguasai sebagian besar daerah Jawa Barat, termasuk Cirebon. Setelah pindah di

42 Edi S. Ekajati, Masyarakat Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah Sampai Masa Penyebaran Islam. (Jakarta: Gramedia, 1975), hlm. 57.

43 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm.18.

44 Jakiyatul Miskiya, op.cit., hlm. 4. 41

Cirebon, Raden Walangsungsang membangun sebuah pedukuhan di Pesisir

Lemah Wungkuk dan pembangunan masjid Jalagrahan.45 Melalui pesantren di

Pesambangan dan di Lemah Wungkuk, Islamisasi Cirebon menjadi semakin meluas di Cirebon. Masjid Jalagrahan sendiri merupakan masjid pertama yang dibangun di Cirebon. Dalam pengsilamannya di Cirebon, Pangeran

Walangsungsang dibantu adiknya, Nyimas Lara Santang, dan istrinya Nyai

Endang Geulis.

Pedukuhan yang dibangun Walangsungsang kemudian disebut Tegal

Alang-Alang, terletak di bagian selatan Gunung Jati.46 Dalam waktu singkat, perdagangan di dukuh ini mengalami perkembangan pesat. Banyak pedagang- pedagang asing membuka pasar. Akibat dari interaksi dari pedagang yang berbeda-beda bangsa, agama, dan ras ini lama kelamaan Tegal Alang-Alang berbubah nama menjadi Caruban.

Kata Caruban berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya campuran. Dalam konteks sejarah Cirebon bercampurnya penduduk yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara dan luar Nusantara dalam proses akulturasi kebudayaan. Interaksi yang sangat intensif tersebut dimungkinkan di Cirebon saat itu, karena lokasinya yang strategis baik dari jalur pelayaran antar pantai dan juga perjalanan darat dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Sedangkan Cirebon berasal kata dari Ci yang berarti air atau aliran sungai, dan Rebon yang berarti ikan atau udang kecil.47

45 Ibid., hlm. 4.

46 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op.cit., hlm. 21.

47 Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 137. 42

Setelah Tegal Alang-Alang berdiri, Walangsungsang kemudian dipilih sebagai Kuwu Cerbon dan dijuluki pangeran Cakrabuana.48 Pangeran

Walangsungsang menjadi Kuwu Cerbon kedua menggantikan Ki Gedeng Alang-

Alang. Karena sebagian masyarakat Tegal Alang-Alang berprofesi sebagai nelayan pembuat petis yang berbahan dasar air udang, lama-lama disebut Cirebon.

Jadi bisa disimpulkan bahwa awal mula Cirebon adalah Tegal Alang-Alang kemudian Caruban dan berkembang lagi menjadi Cirebon.

Selanjutnya pada masa Sunan Gunung Jati, Islamisasi di Cirebon benar- benar memasuki era kejayaan. Cirebon menjelma menjadi kerajaan Islam terbesar yang berada di Jawa Barat. Dibantu oleh para penyebar Islam utama yang dikenal dengan istilah Wali Sanga, Sunan Gunung Jati mampu memperluas jaringan

Islam. Sebagai salah satu tokoh Walisongo, Sunan Gunung Jati membawa peranan penting dalam pengislaman di Jawa Barat. Karena setelah berdirinya Kesultanan

Cirebon dibawah kuasa Sunan Gunung Jati, Cirebon telah menjadi Negara berdaulat, tidak berada dibawah Kerajaan Pajajaran lagi.

Kondisi masyarakat Cirebon saat sebelum masuknya Islam dipengaruhi oleh adanya sistem kasta yang membuat perbedaan golongan kelas bawaan budaya Hindu.49 Sistem kasta Hindu membagi masyarakatnya ke dalam empat kelompok yaitu, Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Pembedaan kasta ini membuat kasta Sudra sebagai kasta terendah sering mengalami ketidakadilan dan

48 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, loc. cit.

49 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm. 18. 43

tertindas. Kasta Sudra biasanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para kaum kasta diatasnya.

Perbedaan kehidupan mulai terasa ketika agama Islam mulai di anut oleh masyarakat Cirebon. Setelah ajaran Islam masuk dan tersebar ditengah masyarakat, perlahan perbedaan golongan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis dan dimulailah suatu tatanan masyarakat baru tanpa penindasan atas hak asasi manusia karena adanya kasta.50 Karena tak ada sistem kasta pula Islam mudah diterima oleh masyarakat Cirebon.

Perkembangan Islam yang didasari toleransi dan tidak memaksakan kehendak membuat Islam cepat merubah suasana kehinduan di Cirebon dengan ajaran Islam. Proses Islamisasi di Cirebon pun menurut Pak Elang Haryanto dilakukan dengan cara yang penuh toleransi. Beragam tradisi hingga gaya arsitektur yang ada di Cirebon menunjukkan adanya akulturasi dengan gaya bangunan zaman Hindu-Budha. Kebanyakan dari peninggalan menunjukkan pola kehinduan dengan unsur filosofis Islam dan dipadupadankan secara seksama.51

50 Ibid, hlm. 19.

51 Wawancara dengan Elang Haryanto, 23 april 2014, Keraton Kasepuhan Cirebon.