AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Agama dalam Bidang Pendidikan Bahasa Arab

Oleh: FATHURRAHMAN NIM. 07.2.00.1.13.08.0040

Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, M.A.

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama : Fathurrahman NIM : 07.2.00.1.13.08.0040 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul: “Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu‖ adalah benar merupakan hasil karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 25 Pebruari 2010 Penulis,

Fathurrahman

ii PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu‖ yang ditulis oleh: nama : Fathurrahman NIM : 07.2.00.1.13.08.0040 telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dibawa ke sidang ujian/penilaian tesis.

Jakarta, 25 Pebruari 2010 Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A.

iii PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu‖ yang ditulis oleh Fathurrahman, NIM. 07.2.00.1.13.08.0040, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, tanggal 8 Maret 2010, dan telah diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang/Penguji, Pembimbing/Penguji,

Dr. Udjang Tholib, M.A. Dr. Yusuf Rahman, M.A. Tanggal: ______2010 Tanggal: ______2010

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. Prof. Dr. Suwito, M.A. Tanggal: ______2010 Tanggal: ______2010

iv ABSTRAK

Tesis ini membuktikan bahwa menjadi Muslim bukanlah merupakan syarat utama bagi seseorang untuk dapat mengkaji al-Qur‘an. Kesimpulan tesis ini pada dasarnya menolak pendapat yang menyatakan bahwa non-Muslim tidak boleh mengkaji al-Qur‘an. Pendapat ini dikemukakan oleh Muẖammad Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân al- ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (1986), dan ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, al- Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977). Sebaliknya, tesis ini mendukung gagasan tentang kemungkinan bagi setiap orang dapat mengkaji al-Qur‘an tanpa dibatasi oleh agamanya, apakah ia Muslim atau bukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al- Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993). Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah karya- karya Toshihiko Izutsu tentang kajian al-Qur‘an, yaitu: God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, (2002), dan Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (2002). Sedangkan sumber sekunder di antaranya adalah: Ahmad Sahidah, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu, (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), dan karya-karya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Dalam pengumpulan data, penulis menempuh teknik studi literatur dan pencarian di internet. Sifat penelitian ini adalah deskriptif- analitis, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk memberikan gambaran sekaligus mengeksplorasi secara mendalam pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘an. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tekstual, yakni menyelami pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya guna menangkap nuansa makna dan pengertian yang dimaksud secara khas sehingga tercapai suatu pemahaman yang benar. Penulis juga menempuh langkah komparatif, dengan membandingkan pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dengan sarjana-sarjana lain baik Muslim maupun non-Muslim seputar objek pembahasan guna menangkap sisi persamaan dan perbedaannya.

v ABSTRACT

This thesis proves that to be a Muslim is not the main criteria to study al- Qur‘ân. Basically, the conclusion of this thesis refuses the statement of Muẖammad Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al- Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (1986), and ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al- Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977), who state that non-Muslim does not have authority to study the Holy Book. On the other side, this thesis strengthens the statement of Muẖammad Amin al-Khûlî on Manâhij al-Tajdîd fî al- Naẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) and Nashr Hâmid Abû Zaid on Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993), who suggest that everyone who are interested in studying al-Qur‘ân can study the Holy Book without seeing to his or her religion. The principal sources in this research are Toshihiko Izutsu‘s books on the Quranic studies, i.e.: ―God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung”, and ―Ethico-Religious Concepts in the al-Qur‟an”, whereas the secondary sources of the research are Ahmad Sahidah‗s article, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu, (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), and other books that have a correlation with this study. In collecting some data, the writer uses literary research and access to the internet. This research is a descriptive analysis that describes and explore deeply the view and approach of Toshihiko Izutsu‘s study in al-Qur‘ân. The writer uses the textual approach in understanding Toshihiko Izutsu‘s ideas that are written in his books in order to get the meaning that he intended. The writer also uses comparative approach, that compares view and approach between Toshihiko Izutsu and some scholars (Muslim or non-Muslim) to find their similarities and differences.

vi

(1987)

(1977)

God and Man in the Koran : Semantics ―ToshihikoIzutsu Ethico-Reliius Concepts in the of of the Koranic Weltanschanung (2002), Qur‟an (2002) Hubungan Allah, Manusia, Alam dalam al-Qur‟an Menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com)

Analisis Deskriptif Toshihiko Izutsu Toshihiko Izutsu

vii UNGKAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT., Rabb al-„Âlamîn, karena tatkala penulis berada dalam kondisi sulit selalu saja ada kemudahan yang Dia berikan melalui orang-orang terpilih-Nya. Demikian juga, shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi SAW. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan, dana, bimbingan, arahan, dan masukan. Oleh karena itu, penulis merasa wajib berterima kasih kepada jajaran Departemen Agama selaku pihak pemberi beasiswa, Kepala MAN Mandah, Bapak Said Sulaiman Daud, S.Pd.I. yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program beasiswa ini, dan rekan-rekan guru dan pegawai di MAN Mandah yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. Kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A.; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. , M.A.; dan para Deputi Direktur, yaitu: Prof. Dr. Suwito, M.A.; Dr. Fu‘ad Jabali, M.A.; dan Dr. Udjang Tholib, M.A., serta seluruh staf pengajarnya, penulis ucapkan terima kasih atas perkenannya untuk studi di lembaga ini dan atas kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan. Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan kepada penulis di tengah-tengah kesibukannya sebagai Dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Penanggung jawab Program Khusus serta Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sujud ta„zhîm untuk Ayahanda M. Asrori (al-Marẖûm) dan Ibunda Rusmini, yang dengan penuh kesabaran mendidik penulis dari kecil hingga dewasa, mengajari untuk mencintai ilmu pengetahuan, dan senantiasa mendo‘akan penulis supaya menjadi pribadi yang baik dan berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Juga kepada

viii Ayahanda Suroto, S.Ag., M.A. dan Ibunda Siti Asiyah, A.Ma., yang dengan ikhlas memberikan semangat, perhatian, dan dorongan baik moril maupun materil kepada penulis. Kepada adik-adik penulis, Ahmad Rifa‘i beserta istri, Ahmad Tarmuji, dan Lilik Jauharotul Wastiyah, terima kasih telah memberikan perhatian dan semangat dalam menyelesaikan studi ini. Di samping itu juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‘an (PSQ) Jakarta, dan Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta atas pelayanannya, baik dalam bentuk peminjaman maupun fotokopi data-data yang penulis butuhkan, semoga bantuannya mendapatkan balasan dari Allah SWT. Kepada sahabat-sahabatku peserta program beasiswa Departemen Agama angkatan 2007 dari PBA dan PAI di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang selalu memberikan semangat dan waktu berdiskusi untuk segera menyelesaikan Program Magister terutama dalam penulisan tesis ini dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu. Wa bi al khusûs, penghargaan yang paling istimewa penulis sampaikan kepada isteri tercinta, Leni Rohani Afifah, S.Pd.I, dan putri kami, Ghaida Aurellia Nabila, atas pengertian, kesabaran, dukungan, dan pengorbanannya demi studi suami dan bapaknya, sehingga rela ditinggalkan bahkan ketika proses persalinan sekalipun. Kepada mereka karya ilmiah ini penulis dedikasikan. Akhirnya, jazâ‟akum Allah aẖsana al-jazâ‟.

Jakarta, 20 Pebruari 2010

Fathurrahman

ix PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN

A. Konsonan Huruf Nama Huruf Latin Keterangan Arab Alîf Tidak dilambangkan Bâ‟ B, b Be Ta‟ T, t Te Tsâ‟ Ts, ts Te dan Es Jîm J, j Je Ha (dengan garis di Hâ‟ H, ẖ bawah) Kha‟ Kh, kh Ka dan Ha Dâl D, d De Dzâl Dz, dz De dan Zet Râ‟ R, r Er Zây Z, z Zet Sîn S, s Es Syîn Sy, sy Es dan Ye Shâd Sh, sh Es dan Ha Dhâd Dh, dh De dan Ha Thâ‟ Th, th Te dan Ha Zhâ‟ Zh, zh Zet dan Ha „Ain ‗ koma terbalik di atas Ghain Gh, gh Ge dan Ha Fâ‟ F, f Ef Qâf Q, q Ki Kâf K, k Ka Lâm L, l El Mîm M, m Em Nûn N, n En x

Wâw W, w We Hâ‟ H, h Ha Lâm alîf Lâ, lâ El dan A Hamzah ‘ Apostrof Yâ‟ Y, y Ye

B. Vokal 1. Vokal Pendek

Tanda Nama Huruf Latin Keterangan Fathah a A Kasrah i I Dhammah u U

2. Vokal Panjang

Tanda Nama Huruf Latin Keterangan Fathah dan Alîf Â, â a dan topi di atas Kasrah dan Yâ‟ Î, î i dan topi di atas Dhammah dan Wâw Û, û u dan topi di atas 3. Vokal Rangkap

Tanda Nama Huruf Latin Keterangan Fathah dan Yâ‟ ai a dan i Fathah dan Wâw au a dan u

C. Lain-lain

. Tâ‟ al-Marbûthah dilambangkan dengan /h/, sedangkan tâ‟ yang menunjukkan jama‟ mu‟annats sâlim dilambangkan dengan /t/. . Syaddah atau tasydîd dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

xi . Kata sandang ― ‖ ditransliterasikan dengan ―al‖ diikuti dengan tanda penghubung, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyah maupun dengan huruf syamsiyah. . Nama-nama atau kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.

xii DAFTAR ISI

Halaman Judul ...... i Lembar Pernyataan ...... ii Lembar Persetujuan Pembimbing ...... iii Lembar Pengesahan Tim Penguji ...... iv Abstrak ...... v Ungkapan Terima Kasih ...... viii Pedoman Transliterasi ...... x Daftar Isi ...... xiii BAB I : PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 15 1. Identifikasi masalah ...... 15 2. Pembatasan masalah ...... 15 3. Rumusan masalah ...... 15 C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...... 16 D. Tujuan Penelitian ...... 19 E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ...... 20 F. Metode Penelitian ...... 20 1. Jenis dan pendekatan penelitian ...... 20 2. Sumber data ...... 21 3. Teknik pengumpulan dan analisis data ...... 22 4. Teknik penulisan dan penyajian hasil penelitian ...... 23 G. Sistematika Pembahasan ...... 24

BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL-QUR‘AN ...... 26 A. Kajian al-Qur‘an oleh Non Muslim dalam Lintasan Sejarah ...... 26 B. Kategori dan Pendekatan Kesarjanaan Barat dalam Kajian al-Qur‘an ...... 35 1. Pendekatan sejarah ...... 39 2. Pendekatan fenomenologis ...... 41 3. Pendekatan strukturalisme linguistik ...... 43

xiii C. Respon Sarjana Muslim ...... 46

BAB III : AL-QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU ...... 51 A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu ...... 51 B. Status al-Qur‘an menurut Toshihiko Izutsu ...... 55 1. Al-Qur‘an: wahyu yang berasal dari Allah ...... 60 2. Bahasa al-Qur‘an ...... 71 3. Tekstualitas al-Qur‘an ...... 77 C. Kecenderungan dan Pendekatan Toshihiko Izutsu dalam Penafsiran al-Qur‘an ...... 82 D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu ...... 90

BAB IV : METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR‘AN DAN MEKANISME PENERAPANNYA ...... 96 A. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran ...... 97 1. Semantik sebagai Kajian terhadap Pandangan Dunia ...... 97 2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung ...... 105 3. Makna Dasar dan Makna Relasional ...... 111 B. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al-Qur‘an ...... 114 1. Konsep Allah ...... 114 2. Relasi Allah dan Manusia ...... 123 a. Relasi ontologis ...... 123 b. Relasi komunikatif ...... 126 c. Relasi tuan-hamba ...... 130 d. Relasi etik ...... 136 C. Perbandingan Metode Semantik Toshihiko Izutsu dengan Metode-metode lain dalam Penafsiran al-Qur‘an ...... 140

BAB V : PENUTUP ...... 151 A. Simpulan ...... 151 B. Saran-saran ...... 152 Daftar Pustaka Daftar Riwayat Hidup

xiv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kajian mengenai al-Qur‘an tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi juga oleh kalangan non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebutkan terakhir tidak memandang al-Qur‘an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum Muslim meyakini bahwa al-Qur‘an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad melalui perantaraan Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf dan membacanya dianggap ibadah.1 Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan dalam diri kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan al-Qur‘an, sehingga melahirkan karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab .2 Sementara non-Muslim pada umumnya memandang al-Qur‘an bukanlah firman Tuhan, tapi sebagai ucapan Muhammad.3 Pandangan yang secara diametral sangat bertentangan

1 Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern , (Leiden: E.J. Brill, 1974), h. 1-2; Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin Ltd., 1984), h. 42. 2 Salah satu indikatornya adalah penelitian yang dilakukan oleh Fuat Sezgin, Geschichte des Arabischen Schriftums, yang menunjukan banyaknya karya tafsir, baik yang telah dianotasi dan diterbitkan, maupun yang masih berupa manuskrip, dalam khazanah intelektual Islam klasik. Lihat Nur Kholis Setiawan, ―Al-Qur‘an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer; Keniscayaan Geisteswissenschaften,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 1, Januari 2006, h. 79. Lihat juga, Muẖammad Husain Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I-III, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000). Berkenaan dengan hal ini, Stefan Wild mengatakan bahwa sejarah kajian al-Qur‘an yang selalu menduduki peringkat utama, adalah sejarah penafsiran umat Islam terhadap al-Qur‘an. Lihat, Stefan Wild, ―Kata Pengantar‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. xxiii. 3 Charles J. Adams mengatakan: ―Virtually all western scholarship, almost without stopping to consider, considers Muhammad and his teaching to be the result of historical and personality factors rather than of divine activity.‖ Charles J. Adams, ―Islam‖ dalam A Reader‟s Guide to the Great Religious, (New York: The Free Press, 1975), h. 414. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 28. Pandangan demikian timbul karena didasarkan atas pra-anggapan Kristen bahwa wahyu (kitab suci) Kristen didasarkan atas kesaksian-kesaksian manusia yang bermacam-macam dan tidak langsung.

11

2

dengan keyakinan umat Muslim ini mendasari penelitian-penelitian terhadap al- Qur‘an yang mereka lakukan. Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an tentu saja tidak menimbulkan keheranan, karena al-Qur‘an adalah kitab suci dan pedoman hidup mereka, sehingga merupakan suatu kewajaran jika mereka mencurahkan segenap perhatian untuk memahami ajaran-ajarannya untuk membimbing diri mereka dalam menempuh kehidupan yang sesuai dengan tuntunan kitab suci tersebut. Sebaliknya, ketertarikan non-Muslim terhadap al-Qur‘an sering mengundang tanda tanya. Apa motivasi yang mendorong mereka mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti al- Qur‘an, sementara dalam hati mereka tidak ada keyakinan terhadap al-Qur‘an dan ajaran-ajarannya sebagai berasal dari Tuhan. Kajian non Muslim terhadap al-Qur‘an telah muncul sejak awal, yakni sejak kitab suci tersebut diwahyukan kepada Muhammad. Hal tersebut, menurut Andrew Rippin, secara diakui oleh al-Qur‘an sendiri, yakni ketika al-Qur‘an mengklasifikasi manusia kepada dua kelompok: orang-orang yang menerima ajaran-ajaran kitab suci tersebut dan orang-orang yang menolaknya. Pilihan terhadap sikap itu tentu didasarkan atas pengetahuan mengenai kitab suci tersebut.4 Kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim terus berlanjut, dan sejak abad pertengahan aktivitas ini tidak bisa dipisahkan dari orientalisme.5 Orientalisme ini memiliki akar historis sejak adanya polemik keagamaan antara kaum Yahudi dan

Lihat Maurice Bucaille, Bibel, al-Qur‟an, dan Sains Modern, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 18. 4 Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 236-237. 5 Joesoef Sou‘yb memberikan definisi orientalisme sebagai suatu paham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya. Lebih jauh ia juga mendefinisikan orientalisme dalam arti sempit sebagai kegiatan penyelidikan ahli-ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama Islam. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. III, h. 1-2. Sementara Edward W. Said memahami orientalisme sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pangalaman manusia Barat Eropa. Lihat Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet. IV, h. 2. 3

Kristen dengan kaum Muslim pada masa awal. Polemik ini berlangsung bersamaan dengan makin meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam ke Suriah, Yerusalem, dan Mesir di belahan Timur, dan sampai ke Afrika Utara, Spanyol, dan Sicilia di belahan Barat. Pada masa tersebut perdebatan teologis antara masing-masing pemuka agama sering berlangsung. Perdebatan tersebut meniscayakan para pemuka agama Yahudi dan Kristen memiliki pengatahuan tertentu mengenai doktrin Islam, meskipun dengan tujuan untuk menolaknya. Pandangan bahwa Islam adalah ―bentuk lain‖ atau penyimpangan dari Kristen tumbuh dari adanya polemik keagamaan tersebut. Hal ini, misalnya, dapat ditemukan dalam gagasan Yohanes dari Damaskus (650-754),6 yang bekerja sebagai pegawai dalam pemerintahan Bani Umayah. Ia adalah teolog Kristen pertama yang menaruh perhatian besar dalam mengkaji Islam. Dalam satu kesempatan ia menyatakan bahwa Islam memang meyakini adanya Tuhan, tetapi secara bersamaan Islam juga menolak kebenaran tertentu dalam agama Kristen, dan karena penolakan tersebut, maka seluruh doktrin agama Islam menjadi tidak bermakna.7 Dengan demikian, pada fase yang masih tergolong awal telah ada usaha untuk mengkaji Islam oleh sarjana-sarjana non-Muslim, meskipun dalam bentuk yang masih sangat kabur. Orientalisme mulai menemukan fokusnya yang lebih jelas pada abad ke-11, tepatnya seiring dengan pecahnya perang Salib (1096-1291). Akibat perang Salib, kelompok intelektual di Barat mulai menaruh perhatian terhadap Islam.8 Aktivitas

6 Seorang sarjana dari gereja Yunani. Ayahnya menjadi kepala keuangan pada dinasti Umayah dan ia sendiri pernah menjadi Perdana Menteri di dinasti tersebut. Setelah itu ia mulai menarik diri dan menulis berbagai karya yang bersifat polemik antara Islam dan Kristen. Lihat Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana IAIN , 1988), h. 6. 7 Ichsan Ali Fauzi, ―Pandangan Barat,‖ dalam Taufik Abdullah, dkk. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 236. 8 Menurut Joesoef Sou‘yb, perang Salib merupakan salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan orientalisme. Faktor-faktor lainnya adalah persentuhan antara Barat dengan perguruan tinggi di dunia Islam, penyalinan manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M. sampai dengan masa renaissance di Eropa pada abad ke-14 M., dan perkembangan kekuasaan maritim pihak Barat terutama pengaruh perlawatan Marco Polo (1254-1324) ke Tiongkok yang pada akhirnya mewariskan sebuah karya berjudul The Travels of 4

ilmiah yang menandai awal munculnya kajian orientalis terhadap Islam adalah penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Latin oleh Robert dari Ketton (Robertus Retenensis), yang selesai pada tahun 1143.9 Terjemahan ini, yang diberi nama Liber Legis Saracenorum quem Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut al- Qur‘an), merupakan terjemahan al-Qur‘an yang pertama dan dijadikan sumber utama oleh para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun ketika merujuk kepada al- Qur‘an.10 Dari terjemahan bahasa Latin inilah kemudian al-Qur‘an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.11 Di sisi lain perang Salib juga menimbulkan kesalahpahaman Barat terhadap Islam. Hal ini dapat dipahami karena dalam suasana konflik perang, dengan sendirinya akan sulit melahirkan pandangan yang positif satu sama lain. Kesalahpahaman Barat, yang menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam, dicirikan oleh tiga hal, yaitu: Pertama, memandang Timur sebagai bangsa dan agama inferior. Islam, menurut mereka, adalah agama teror, agama permusuhan, dan kaum Muslim sebagai gerombolan orang Barbar yang patut dibenci. Karena itu, Islam bagi Barat merupakan trauma.12 Mereka menggambarkan Muhammad dalam persepsi yang sangat negatif. Richard C. Martin mencatat bahwa pada saat itu banyak beredar cerita yang melukiskan Muhammad sebagai tuhan bagi orang Islam, pendusta,

Marco Polo. Faktor-faktor ini masing-masing tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling mendukung dan saling berkaitan satu sama lain. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, h. 36-37. 9 Kegiatan ini diprakarsai oleh Peter yang Agung (Petrus Venerabilis, 1094-1156) – kepala biara induk di Cluny (Perancis) – ketika mengunjungi Toledo (Spanyol) sekitar tahun 1141-1142. Di sana dia menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk menghasilkan karya-karya yang berkenaan dengan Islam. Lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 173. 10 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 20. 11 Terjemahan ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Schweigger di Nurenburg (Bavaria) pada tahun 1616, terjemahan ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Du Ryer yang diterbitkan di Paris pada tahun 1647, dan terjemahan ke dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776. Pembahasan selengkapnya, lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 173-186. 12 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 18. 5

penggemar wanita, orang Kristen yang murtad, tukang sihir, dan lain sebagainya.13 Sementara W. Montgomery Watt mengemukakan persepsi sarjana-sarjana Barat abad ke-19 yang negatif terhadap Muhammad, antara lain: Gustav Weil (1808-1889) menganggap Muhammad menderita penyakit epilepsi (penyakit ayan), Alloys Sprenger (1813-1893) mengatakan Muhammad mengidap penyakit histeria, Willian Muir (1819-1905) mengatakan bahwa ketika di Mekah Muhammad adalah seorang rasul yang sebenarnya dan memiliki jiwa yang tinggi tetapi setelah di Madinah dia mulai tergoda rayuan setan untuk memperoleh keberhasilan duniawi.14 Kedua, sikap apologis. Sikap ini terkait erat dengan pandangan mereka terhadap Timur, terutama Islam, sebagai inferior. Sikap apologis bertujuan untuk menyerang keyakinan dasar Islam dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen. Orang Barat menyebut Islam dengan ―Muhammadanisme‖ bertolak dari pandangan Kristen tentang Kristus sebagai basis dogma Kristen.15 Pemberian nama ―Muhammadanism‖ tersebut untuk menumbuhkan kesan bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad, bukan agama yang diturunkan oleh Allah. Karel A. Steenbrink menjelaskan bahwa penulis-penulis Barat pada abad pertengahan sampai dengan abad ke-18 menulis tentang Islam bukan untuk memberikan informasi yang sebenarnya mengenai Islam, akan tetapi untuk menanamkan misinformasi dengan maksud untuk memperkuat keyakinan agama Kristen yang mereka anut.16 Ketiga, memandang Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau Kristen yang sesat.17 Pandangan tersebut bermula dari persepsi Yohanes dari Damaskus. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dia memandang Islam tidak lain adalah

13 Richard C. Martin, ―Islamic Studies,‖ dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 2, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 325-331. 14 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinbrugh: University Press, 1970), h. 17. 15 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 18. 16 Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16. 17 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 19. 6

bid‘ah (heresy) Kristen. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Peter yang Agung (abad ke-12 M.), John Wycliffe (abad ke-14 M.), dan beberapa sarjana Barat yang lain di abad pertengahan. Mereka melihat bahwa dalam Islam banyak terdapat kebenaran yang juga terdapat dalam Kristen, tetapi karena keyakinan Islam menolak ajaran Tritunggal, maka hal ini menjadi sebab penolakan mereka untuk mengakui Islam sebagai kebenaran; mereka memandang Islam sebagai bid‘ah Kristen saja.18 Kesalahpahaman pandangan Barat terhadap Islam ini dalam perkembangan selanjutnya, menurut C. Cahen, menimbulkan usaha misionaris.19 Karena memandang Islam secara negatif, maka dengan sendirinya sarjana- sarjana Barat juga memandang negatif terhadap al-Qur‘an. Peter yang Agung dan Martin Luther (1483-1546) menyatakan bahwa al-Qur‘an tidak lain adalah buatan setan.20 Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320), seorang biarawan Dominikus, di samping memandang al-Qur‘an adalah karya setan juga mengklaim bahwa banyak terjadi penyimpangan terjadi dalam sejarah al-Qur‘an, susunan al-Qur‘an tidak sistematis karena tidak ada kronologi waktu, tidak ada periodisasi raja-raja, susunan kisahnya tidak teratur, subyek pembahasannya tidak memiliki relevansi antara yang satu dengan yang lainnya, dan logikanya tidak bersusun. Ricoldo da Monte Croce menyimpulkan pandangannya bahwa, pertama, al-Qur‘an hanyalah kumpulan bid‘ah- bid‘ah lama yang telah dibantah sebelumnya oleh otoritas Gereja; kedua, karena Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak memprediksi sebelumnya, maka al-Qur‘an tidak boleh diterima sebagai ―hukum Tuhan‖; ketiga, gaya bahasa al-Qur‘an tidak sesuai untuk disebut sebagai ―Kitab suci‖; keempat, klaim al-Qur‘an yang berasal dari Tuhan tidak memiliki basis di dalam tradisi Bibel; kelima, al-Qur‘an penuh dengan berbagai kontradisi internal; keenam, kebenaran al-Qur‘an tidak dibuktikan dengan

18 Norman Daniel, Islam and the West: The Making of An Image, (Edinburgh: University Press, 1966), h. 184, 19 Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 17. 20 Lihat Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, h. 25-33. 7

mukjizat; ketujuh, al-Qur‘an bertentangan dengan akal; kedelapan, al-Qur‘an mengajarkan kekerasan; kesembilan, sejarah al-Qur‘an tidak menentu; dan terakhir, peristiwa mi„râj adalah fiksi murni dan dibuat-buat.21 Pandangan sarjana-sarjana non-Muslim terhadap Islam tidak selamanya negatif. Di penghujung abad ke-16 sampai dengan abad ke-18, yang sering disebut sebagai abad pencerahan (enlightment ages), mulai terjadi pergeseran dalam cara pandang mereka. Kesan negatif yang tadinya mendominasi karya-karya mereka, mulai berkurang. Contoh konkrit dari fenomena ini adalah munculnya tokoh semacam Count de Boulainvilliers yang mengatakan bahwa Islam bukan agama yang salah; Islam bukan agama yang palsu. Ia juga menulis sebuah biografi Muhammad, di mana ia memuji kepribadian Muhammad dan Islam.22 Akan tetapi hingga abad ke-20, bahkan sampai abad ke-21 ini, masih terdapat corak prasangka dalam kajian-kajian Islam yang dilakukan oleh orientalis. Karel A. Steenbrink menjelaskan bahwa bagaimana pun juga, konfrontasi politik antara Barat dan Islam membawa pengaruh besar terhadap ilmuwan Barat dalam mempelajari dunia Timur, khususnya mengenai agama dan umat Islam. Ilmuwan Barat tersebut tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial-politiknya. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pengawal kolonial atau masuk ke dalam dinas gereja Kristen dalam usaha penyebara agama Kristen. Tetapi ada juga ilmuwan yang hanya tinggal di universitasnya, tidak terlihat dalam kegiatan politik praktis, akan tetapi tulisan-tulisan mereka sering sukar diterima oleh pembaca Muslim karena adanya prasangka tadi. Prasangka yang mencampuri tulisan-tulisan mereka dapat diklasifikasi kepada tiga macam, yaitu: (1) prasangka historisme, (2) prasangka Kristen, dan (3) prasangka superioritas ras.23

21 Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran‖ dalam Stefan Wild (ed.), The Qur‟ān as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 166. 22 W. Montgomery Watt, ―Studi Islam oleh para Orientalis,‖ diterjemahkan dari ―The Study of Islam by Orientalist,” oleh Alef Theria Wasim, dalam al-Jami‟ah, No. 53, 1997, h. 37. 23 Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16-20. 8

Kajian-kajian mereka terhadap Islam yang dicampuri dengan prasangka- prasangka tersebut pada gilirannya mendapat reaksi ―perlawanan‖ dan penolakan dari sarjana-sarjana Muslim, di antaranya yang dilakukan oleh Aẖmad al-Sanhaji (w. 1235) dengan al-Ajwibah al-Fakhirah „an As‟ilah al-Fajirah dan ibn Taimiyah, al- Jawâb al-Saẖîẖ li Man Baddala Dîn al-Masîẖ, sebagai jawaban terhadap sarjana Kristen Ortodoks Yunani, Paulus al-Rahib dari Antioch yang menulis Risâlah ilâ Aẖad al-Muslimûn. Di abad modern, sikap serupa ditunjukkan oleh Muẖammad ‗Abduh dengan bukunya al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma„a al-„Ilm wa al-Madâniyah, Jamâl al-Dîn al-Afghâni, al-Radd „alâ al-Dahriyîn, Ameer Ali, The Spirit of Islam, dan lain sebagainya.24 Penulis juga mencatat bahwa Parvez Manzoor menyatakan bahwa studi al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat, apapun manfaat dan gunanya, merupakan proyek yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan disusui dalam kedendaman, yaitu kedengkian penguasa terhadap kaum yang lemah, frustasi ―rational‖ terhadap ―superstitious‖, dan dendam “orthodoxy‖ terhadap ―non- conformist‖.25 Sinyalemen bahwa kajian Islam oleh sarjana-sarjana Barat tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sosial-politiknya dapat dikatakan mendekati kebenaran, ketika Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of the Qur‟an, menyebutkan tipologi kajian orientalis tentang al-Qur‘an. Menurutnya, ada tiga tipe, yaitu: pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an; kedua, kajian yang menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an; dan terakhir, kajian tentang tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.26

24 Lihat A. , Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), h. 17- 19. 25 Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.), dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45. 26 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi. 9

Sampai di sini terlihat bahwa umat Muslim pada umumnya merasa keberatan bila non-Muslim, melakukan kajian terhadap al-Qur‘an. Keberatan ini tidaklah secara serta merta karena gerakan orientalisme. Secara historis, menurut Hartmut Bobzin, berdasarkan apa yang disebut dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu dilarang untuk mengajarkan al-Qur‘an kepada anak-anak mereka.27 Keberatan umat Muslim semakin diperparah oleh pendekatan dan metode yang mereka pergunakan. Pendekatan dan metode tersebut dinilai ―sekuler‖ dan dianggap dapat menggoyang kemapanan „Ulûm al-Qur‟ân yang sekian abad lamanya eksis di dunia Islam sebagai sebentuk metodologi penafsiran kitab suci. Dalam konteks Asia Tenggara (khususnya dan Malaysia), sarjana-sarjana seperti , Adnin Armas, Hamid Fahmi Zarkasyi, Nasruddin Baidan, Syamsuddin Arif, dan Wan Mohd. Nor Wan Daud,28 dapat dikategorikan dalam kelompok ini.29 Pandangan demikian menemukan relevansinya dengan pandangan yang telah dimapankan oleh kelompok ulama konservatif sejak periode pertengahan.30 Bagi

27 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237. 28 Tulisan-tulisan mereka dapat dilihat misalnya: 1) Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 288-333, dan ―Problem Teks Bible dan Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Tahun I, No. 1, Maret 2004, h. 7-15; 2) Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur‟an; Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 35-80, dan ―Tafsir al-Qur‘an atau Hermeneutika al- Qur‘an,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, h. 38-45; 3) Hamid Fahmi Zarkasyi, ―Menguak Nilai di Balik Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, h. 16-29; 4) Nashruddin Baidan, ―Tinjauan Kritis terhadap Konsep Hermeneutika,‖ dalam Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 2, Juli 2001, h. 165-180; 5) Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), Cet. I, h. 176-184; dan 6) Wan Mohd. Nor Wan Daud, ―Tafsir sebagai Metode Ilmiah,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, h. 55. 29 Andrew Rippin, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, melihat pandangan kebanyakan umat Islam yang berpendapat bahwa setiap penggunaan metode kritis terhadap al-Qur‘an (juga tradisi- tradisi Islam lainya) sebagai serangan dari pihak luar. Lihat Yusuf Rahman, ―Al-Tafsîr al-Adabî fî al- Qur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to the Qur‘âan‖, dalam jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002. 30 Anwar Mujahidin, ―Antropologi al-Qur‘an (Dekonstruksi Nalar Bayani menuju Fiqh al- Qur‟ân) dalam Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), (Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007), h. 129. 10

sarjana-sarjana Muslim ini, mendekati al-Qur‘an dengan menghadirkan ilmu-ilmu bahasa, hukum, sastra, termasuk filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap makna al-Qur‘an adalah karya yang dilarang (ẖarâm) yang berarti mengikutinya juga ẖarâm. Hal tersebut dikarenakan ketepatan dan kebenaran suatu pendapat tidak meyakinkan dan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti ia telah mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui.31 Aẖmad Taqî al-Dîn ibn Taimiyah juga secara tegas mengklaim bahwa sebab-sebab kesesatan dalam penafsiran al-Qur‘an adalah adanya interaksi dengan para filosof.32 Lebih lanjut pendekatan dan metode yang dianggap ―sekuler‖ tersebut meniscayakan posisi al-Qur‘an sebagai teks (nashsh).33 Sebagai sebuah teks, menurut Andrew Rippin, al-Qur‘an harus dipandang sejajar dengan karya-karya lain.34 Penolakan ini sebagaimana direpresentasikan oleh Mohammed Abu Musa dengan pernyataannya bahwa dalam sejarah Islam terma teks tidak pernah digunakan untuk merujuk kepada al-Qur‘an, dan tidak ada ulama yang menganggap al-Qur‘an sebagai sebuah teks. Istilah teks, menurutnya, hanya dipakai oleh para orientalis dalam berhubungan dengan al-Qur‘an.35 Memang bagi sarjana-sarjana Muslim tersebut, al-

31 Lihat, Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrâh al-ʻAshr al- Hadîts, 1973), h. 352. 32 ʻAbd al-Raẖmân ibn Muẖammad ibn Qâsim al-ʻÂshim al-Najdi, Majmuʻ al-Fatawâ Syaikh al-Islâm Aẖmad ibn Taimiyah, (T.t.: T.Pn., 1398 H.), Juz XIII, Kitab Muqaddimah al-Tafsîr, h. 206. 33 Nashsh dimaksud di sini berbeda dengan pemahaman al-Syâfiʻî ataupun al-Zamakhsyarî, yaitu statemen Ilahiah yang tidak memerlukan interpretasi (ijtihâd). Baca Muẖammad ibn Idrîs al- Syâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 14, 21. 34 Andrew Rippin, ―The Qur‘an as Literature; Perils, Pitfalls and Prospects‖, British Society for Middle Eastern Studies Bulletin 10, 1 (1983); 40, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, ―Al- Tafsîr al-Adabî fî al-Qur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to the Qur‘ân‖, dalam jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 130. 35 Mohammed Abu Musa mengatakan: ―Dari keseluruhan sejarah Islam tidak ada seorangpun yang menggunakannya ketika merujuk kata-kata al-Qur‘an selain apa yang Tuhan sendiri gunakan dalam al-Qur‘an. Tidak satupun ulama yang pernah menghubungkan al-Qur‘an dengan teks, semoga Tuhan memafkan akan hal ini, karena demikianlah cara orang orientalis Eropa (bukan Islam atau Arab) berhubungan dengan al-Qur‘an.‖ Mohammed Abu Musa, al-Tashwîr al-Bayânî: Dirâsah Tahlîliyyah li al-Masâil al-Bayân [Figures of Speech: an Analytical Study of Aspects of Retoric], Edisi kedua, (Kairo: t.p., 1980), sebagaimana dikutip oleh Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan 11

Qur‘an adalah al-Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei),36 bukan kreasi Jibril atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan seorang utusan, yaitu malaikat Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawâtir, maka al- Qur‘an sebagaimana yang tertulis dalam mushẖaf adalah sama seperti yang diterima oleh Nabi, sehingga tidak dapat disejajarkan dengan teks-teks lain. Padahal apabila diperhatikan dengan sikap terbuka, tanpa kecurigaan akan motif-motif yang tersembunyi, kajian non-Muslim dapat membuka horizon baru dalam kajian al-Qur‘an.37 Untuk tujuan demikian, maka dalam tesis ini akan dilakukan penelurusan terhadap pendekatan dan karya-karya Toshihiko Izutsu (1914- 1993), seorang sarjana Jepang penganut Zen Budhism, tentang al-Qur‘an, yaitu: Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an dan God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. Dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an,38 Toshihiko Izutsu membahas konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an. Menurutnya, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-sifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli teologi menjadi teori tentang sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik

Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, (terj.), (Bandung: RQiS, 2003), h. 86. 36 Definisi-definisi Al-Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Muẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam al-Kutûb, 1985), Cet. I, h. 8, dan al-Zarqânî, Manâhil al-ʻIrfân fi ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 16. 37 Machasin, ―Kata Pengantar‖, dalam Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), Cet. I, h. xiii. 38 Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran. Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. iv. 12

dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama.39 Dari tiga konsep al-Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya – ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al-Qur‘an pada dasarnya bersifat teosentris. Kelompok kedua konsep al-Qur‘an mengenai etika pada akhirnya dapat dibagi lagi menjadi dua konsep dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata, yaitu: pertama, keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang sungguh-sungguh kepadanya. Dua konsep ini, yang disebut Toshihiko Izutsu sebagai saling berlawanan, merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap sifat-sifat Tuhan, yang menurutnya terbagi dalam dua kelompok yang juga saling berlawanan, yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha Memelihara, dan pada sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa mereka yang tidak patuh terhadap-Nya.40 Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung.41 Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik. Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta segala yang ada, termasuk manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi antara Tuhan dengan manusia

39 Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 40 Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. God and Man in the Qur‟an, h. 78. 41 Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. 13

adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua, antara Tuhan (pencipta) dan manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan komunikasi. Jalinan ini memiliki dua bentuk, yaitu: bersifat verbal atau linguistik, dan non linguistik. Komunikasi linguistik dilakukan melalui penggunaan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak. Sementara komunikasi non linguistik mengambil bentuk penggunaan tanda- tanda alam oleh Tuhan, dan isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Baik dalam komunikasi linguistik maupun non linguistik, inisiatif pada umumnya diambil oleh Tuhan, sedangkan manusia pada dasarnya hanya melakukan respon atau tanggapan terhadap inisiatif yang dilakukan oleh Tuhan. Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta dan pemelihara manusia, maka manusia harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya dengan sepenuh hati, sebagaimana seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan demikian relasi ini dapat digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat, menurut konsep al-Qur‘an, Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia dilakukan dengan cara yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa kepada pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki sifat etik dan merespon tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula.42 Relasi etik ini juga dibahas secara panjang lebar dalam buku pertama yang disebutkan di atas. Adapun pemilihan terhadap Toshihiko Izutsu, karena: Pertama, Tokoh merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki pengetahuan yang baik tentang Islam. Bahkan menurut Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat.43 Selain itu, Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam

42 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127-268. 43 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 14

dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.44 Sebagai pelengkap kecemerlangannya, ia menguasai lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi, Persia, Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa modern.45 Kedua, ia merupakan sarjana non Muslim yang dengan metode dan pendekatan yang dipakainya – kalau dipandang dengan sikap tebuka, tanpa kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi – dapat membuka cakrawala baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini terlupakan. Di antara sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim (outsiders) relatif dapat bersikap lebih netral terhadap data-data historis yang tersimpan dalam karya-karya kaum Muslim sendiri.46 Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penulis memandang bahwa penelitian terhadap pandangan dan pemikiran Toshihiko Izutsu dalam kaitannya dengan al- Qur‘an adalah menarik dan laik untuk dilakukan.47 Supaya penelitian ini memiliki arah dan obyek yang jelas dan sistematis, maka penulis memberi judul: ―AL- QUR‘AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU‖.

44 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 45 http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx. Diakses 3 Mei 2009. 46 Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. xiii. 47 Penelitian (Arab = al-bahts, al-dirâsah; Inggris = research, study) merupakan instrumen atau media untuk memperoleh dan menemukan kebenaran ilmiah. Posisi penelitian dalam dunia keilmuan sangat penting karena ilmu dapat berkembang jika diteliti secara ilmiah, terus-menerus, terprogram, dan komprehensif. Menurut David Nunan, penelitian adalah aktivitas akademik yang melibatkan proses dan produk inquiry (penemuan), investigation (investigasi), dan evalusi (termasuk pengujian) suatu asumsi atau hipotesis untuk memperoleh kebenaran dan solusi terhadap suatu persoalan. David Nunan, Research Methods in Language Learning, (New York: the Press Syndicate of the University of Cambridge, 1992), h. 2. 15

B. Permasalahan 1. Identifikasi masalah Permasalahan yang mungkin diteliti dari judul penulis tetapkan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana al-Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu?; Apa motif yang melatarbelakangi ketertarikan Toshihiko Izutsu terhadap studi al-Qur‘an?; Pendekatan apa yang digunakan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘an?; Apa sajakah perspektif baru yang diusulkan Toshihko Izutsu dalam metode penafsirannya?; Sampai sejauhmana orisinilitas metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dibandingkan para ahli semantik sebelumnya?; Apa yang mendasari terbentuknya metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?; Apakah metode analisis semantik Toshihiko Izutsu representatif untuk menjelaskan pandangan dunia al-Qur‘an? dan, Adakah pengaruh metode analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu terhadap kajian-kajian al-Qur‘an di Indonesia?

2. Pembatasan masalah Mengingat luasnya ruang lingkup obyek kajian, maka dalam tesis ini penulis membatasi permasalahan pada dua bagian: 1) Al-Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu; dan 2) Metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan penerapannya dalam penafsiran al-Qur‘an.

3. Rumusan masalah Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka pokok masalah dalam penelitian ini adalah: ―Bagaimanakah pemikiran Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an dan metode penafsirannya?‖ Pertanyaan pokok ini secara lebih terinci, terurai dalam pertanyaan-pertanyaan kunci berikut: bagaimanakah al-Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu?; dan apakah metode yang digunakannya memadai dalam mengungkap kandungan al-Qur‘an?

16

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan Ada beberapa tulisan yang membahas tentang kajian al-Qur‘an oleh non- Muslim, di antaranya adalah: Pertama, Muẖammad Husain ‗Alî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al- Qur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999). Buku ini menguraikan aktivitas orientalis dalam kajian yang bermacam-macam mengenai al-Qur‘an dan mendiskusikan kajian tematis yang mereka lakukan. Menurutnya, kajian al-Qur‘an oleh orientalis dilakukan di samping karena motivasi-motivasi negatif terhadap Islam, seperti upaya agar orang-orang Muslim meninggalkan agamanya dan imperialisme, juga karena murni motivasi ilmiah. Kedua, Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, al-Qur‟ân al-Karîm min al- Manzhûr al-Istisyrâqî: Dirâsah Naqdiyah Taẖlîliyah, (Kairo: Dâr al-Nasyr li al- Jâmi‗ât, 2002). Dalam tulisannya, Muẖammad Muẖammad Abû Lailah menunjukkan bahwa kajian terhadap al-Qur‘an oleh para orientalis dilakukan dengan tujuan untuk mendistorsi dan mereduksi pemahaman terhadap al-Qur‘an. Ketiga, Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi, menyebutkan tipologi kajian orientalis tentang al-Qur‘an, yaitu: pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an; kedua, kajian yang menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an; dan ketiga, kajian tentang tema-tema tertentu dari al-Qur‘an. Keempat, Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). Dalam tulisannya, Adnin Armas memaparkan hujatan tokoh-tokoh Kristen terkemuka – dan juga Yahudi –kepada al- Qur‘an. Hujatan yang dilontarkan sejak abad ke-8 Masehi tersebut didasari oleh keinginan untuk mempertahankan keyakinan mereka terhadap Bibel sebagai God‟s word. Menurut mereka, jika al-Qur‘an mengkritik Bibel, maka al-Qur‘an adalah karya setan; jika ada hal-hal dalam al-Qur‘an yang bertentangan dengan Bibel, maka 17

al-Qur‘an yang salah. Dengan demikian mereka menjadikan Bibel sebagai tolok ukur untuk menilai al-Qur‘an. Adnin Armas juga berusaha menolak penerapan metode-metode non „Ulum al-Qur‟ân yang disebutnya sebagai metodologi Bibel terhadap al-Qur‘an serta mengkritik sarjana-sarjana Muslim yang berusaha mengaplikasikannya seperti Mohammed Arkoun dan Nashr Hâmid Abû Zaid. Selain itu, Adnin Armas juga berusaha menanggapi kritikan para orientalis modern dan kontemporer yang menggunakan metodologi Bibel untuk mengkaji al-Qur‘an. Berdasarkan metodologi Bibel, mereka berkesimpulan bahwa al-Qur‘an Mushẖaf ‗Utsmânî telah mengalami berbagai taẖrîf (penyimpangan). Oleh sebab itu, menurut mereka, al-Qur‘an edisi kritis diperlukan. Terakhir, Adnin Armas juga memaparkan kajian-kajian sarjana- sarjana Yahudi dan Kristen mengenai adanya kosakata asing dalam al-Qur‘an yang dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran al-Qur‘an merupakan jiplakan dari ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen yang disusun oleh Muhammad. Kelima, Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997). Tulisannya mencoba untuk mengemukakan pandangan Barat tentang al-Qur‘an dengan menganalisis tiga metode pendekatan yang digunakan, yaitu: (1) pendekatan historisisme, (2) pendekatan fenomenologi, dan (3) pendekatan historisisme-fenomenologi. Ketiga metode pendekatan tersebut dianalisis dan dievaluasi dalam tiga segi, yaitu: (1) evaluasi historis, (2) evaluasi konsep-substansial, dan (3) evaluasi metodologis. Tujuan yang ingin dicapai dengan penulisan tersebut adalah untuk memahami perspektif Barat tentang al-Qur‘an yang menggunakan ketiga metode pendekatan tersebut di atas, kemudian melihat sisi perbedaan pandangan Islam dan Barat melalui studi evaluatif. Keenam, Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). Dalam tulisannya, Andrew Rippin 18

mendiskusikan term kesarjanaan Barat dalam kajian al-Qur‘an dengan mengemukakan kajian sarjana-sarjana Barat mulai dari abad pertengahan sampai dengan abad kontemporer. Menurutnya, pendekatan terhadap al-Qur‘an yang dapat diidentifikasi memiliki nilai kesarjanaan baru menemukan karakternya pada abad kesembilan belas. Ketujuh, Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Dalam buku ini, Dadan Rusmana memaparkan metodologi kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat. Tujuan yang hendak dicapai adalah menarik peneliti untuk mengembangkan kajian lebih lanjut mengenai studi al-Qur‘an di Barat, baik dari segi substansi maupun metodologi. Kedelapan, Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dan Studi al-Qur‘an‖ terj. Eva F. Amrullah dan Faried F. Saenong, dalam Jurnal Studi al- Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 45-74. Dalam artikel tersebut, S. Parvez Manzoor mengkritik habis-habisan kajian al-Qur‘an yang dilakukan oleh para orientalis. Ia menyatakan bahwa kajian mereka, terlepas dari manfaat yang dihasilkannya, merupakan proyek yang dilatarbelakangi oleh rasa kedengkian, superioritas, dan dendam terhadap umat Muslim. Tujuan yang ingin dicapai dari proyek tersebut adalah melemahkan keyakinan umat Muslim terhadap kitab sucinya (al-Qur‘an). Kesembilan, M. Quraish Shihab, ―Orientalisme‖ dalam Jurnal Studi al- Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 21-44. Dalam artikel ini, M. Quraish Shihab mengungkapkan bahwa orientalis, berdasarkan pandangan dan hasil penelitian mereka, terbagi kepada dua kelompok, yaitu: (1) para orientalis yang melakukan penelitian secara obyektif ilmiah. Mereka ini terbagi lagi menjadi dua: yang berhasil menemukan kebenaran bahkan menganut ajaran Islam dan yang gagal karena keterbatasan pengetahuan atau penggunaan kacamata yang keliru; (2) para orientalis yang melakukan penelitian secara subyektif, sehingga hasil yang mereka dapatkan tidak benar. Kelompok ini juga dapat dibagi menjadi dua: yang pertama seluruh hasil karyanya keliru dan yang kedua hasil karyanya sebagian keliru dan sebagian yang 19

lain benar. Keadaan ini memang mereka sadari, bahkan mereka pergunakan untuk memperdaya pembacanya dengan cara menonjolkan kebenaran yang mereka dapatkan, sehingga seolah-olah hasil penelitian mereka secara keseluruhan bersifat obyektif dan benar. Jika kekeliruan orientalis yang termasuk kelompok pertama adalah perbedaan kacamata yang digunakan dan kelemahan ilmu bantu, maka kekeliruan orientalis kelompok kedua adalah adanya pra-konsepsi. Orientalis kelompok kedua ini menarik simpulan dengan cara: pertama, menukil pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana Muslim, tetapi memilih apa yang dapat mereka jadikan bukti keinginan mereka; kedua, menukil dalam bentuk yang secara selintas terlihat sempurna, tetapi pada hakikatnya mengabaikan satu atau dua huruf yang amat berpengaruh dalam makna; ketiga, mengemukakan kritik-kritik yang terlihat sebagai kritik mereka, padahal sesungguhnya apa yang mereka kemukakan tersebut telah dikemukakan oleh para sarjana Muslim dan telah pula diberi jawabannya yang tepat. Berdasarkan pengamatan penulis, karya-karya di atas secara garis besar merefleksikan dua arus utama respon sarjana Muslim terhadap kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim, yaitu: pertama, pendapat yang tidak memperbolehkan non-Muslim mengkaji al-Qur‘an; dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur‘an terbuka bagi siapa saja yang mau mengkajinya. Adapun tesis ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendukung pendapat kedua, dengan meneliti pandangan dan metode Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘an.

D. Tujuan Penelitian Merujuk kepada rumusan masalah yang penulis sajikan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: pertama, mengidentifikasi dan menganalisis pandangan Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an; kedua, mengidentifikasi dan menganalisis metode analisis semantik yang dikembangkan Toshihiko Izutsu dalam penafsiran al-Qur‘an. 20

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara akademik, sosial, maupun praktis: Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khazanah studi al-Qur‘an yang tidak hanya berorientasi pada metodologi klasik, tapi juga studi yang membuka diri terhadap pemanfaatan teori hasil penelitian ilmiah modern, dalam hal ini semantik. Secara sosial, penelitian ini bermanfaat untuk membuka dialog yang lebih inklusif antara Islam dan non-Islam, sehingga diharapkan pula muncul solusi alternatif dalam pemecahan problem-problem kemanusiaan dewasa ini. Secara praktis, penelitian ini untuk memberi wawasan dan pedoman kepada para penafsir dalam menafsirkan al-Qur‘an dengan menggunakan teori semantik.

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan pendekatan penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian teks (dirâsat nushûsh), karena obyek penelitian ini adalah teks yang merupakan karya-karya Toshihko Izutsu. Peneliti dalam hal ini berupaya mengidentifikasi dan menganalisis pandangan Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an dan model pendekatannya dalam mengkaji al- Qur‘an melalui karya-karyanya tersebut. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan dan pemaknaan data adalah pendekatan kualitatif atau interpretatif. Paradigma yang mendasari penelitian ini adalah interpretivisme dan naturalisme. Realitas teks dipahami sebagai sebuah konstruksi pemikiran yang sarat makna, tafsir atau interpretasi.48 Teks-teks yang ditulis oleh Toshihiko Izutsu diperlakukan sebagai sebuah realitas pemikiran yang satu sama lain merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, peneliti memosisikan diri sebagai ―instrumen‖

48 A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet. I, h. 44-45. 21

yang bergumul dan berinteraksi langsung dengan teks yang diteliti dan berusaha memberi makna (kognisi, afeksi, intensi, nosi, interpretasi, dan sebagainya) terhadap realitas teks yang ada dan mempertautkan satu makna dengan lainnya dalam konteks ―pandangan dan pendekatan dalam kajian al-Qur‘an‖. Oleh karena itu, teks yang diteliti diperlakukan sebagai sebuah sistem aktual (actual system) yang berkaitan dengan persepsi dan metode pendekatan terhadap al-Qur‘an. Dari segi pemahaman teks sebagai realitas pemikiran, penelitian ini sesungguhnya berada dalam area textual linguistics („ilm al-lughah al-nashshî). Ilmu ini mengemban dua misi atau fungsi utama, yaitu: (1) textual description (al-washf al-nashshî), menggambarkan dan menarasikan fenomena-fenomena yang ditampilkan teks; meneropong dan memetakan pemikiran yang tersurat maupun tersirat dalam teks; dan (2) textual analysis (al-tahlîl al-nashshî), menganalisis dan menjelaskan realitas teks; memaknai isi dan substansi teks melalui pembacaan lintas-teks (intertextuality, al-tanâshsh).49 Dengan demikian, penelitian ini berbasis pendekatan tekstual.

2. Sumber data Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data itu dapat diperoleh. Sumber data dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya Toshihiko Izutsu, yaitu: God and Man in the Koran: Semantics of the Koran Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), dan Ethico-Religious Concepts in the Al-Qur‟an, (Canada: McGill Queen‘s University Press, 2002). Sedangkan sumber sekunder di antaranya: Ahmad Sahidah, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu, (http://www. ahmadsahidah.blogspot.com), dan karya-karya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‘an.

49 Subhî Ibrâhîm al-Faqî, „Ilm al-Lughah al-Nashshî Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq: Dirâsah Tathbîqiyyah „ala al-Suwar al-Makkiyah, (Kairo: Dâr Qubâ‘, 2000), h. 55. 22

3. Teknik pengumpulan dan analisis data Data penelitian ini dikumpulkan melalui studi teks (literatur) terhadap karya- karya Toshihiko Izutsu yang dapat ditemukan. Untuk melengkapi dan memperkaya wacana dan pemikirannya, penulis juga melakukan studi terhadap karya-karya yang ditulis oleh sarjana-sarjana lain berkenaan dengan pemikiran Toshihiko Izutsu. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi teks. Analisis isi teks ini menganut asas intertekstualitas (al-tanâshsh) karena, sebagaimana dijelaskan oleh Tammâm Hassân, teks itu saling menjelaskan dan menafsirkan satu sama lain.50 Teknik analisis ini mirip dengan metode tafsir tematik. Karena itu, membaca dan memahami pemikiran Toshihiko Izutsu perlu diletakkan pada satu kesatuan wacana dari keseluruhan karyanya yang dapat ditemukan dan dibaca ulang melalui penelitian ini. Jadi, intertektualitas merupakan model analisis yang berupaya menggabungkan atau membandingkan keseluruhan teks yang memiliki topik pembicaraan yang sama. Analisis intertekstual menunjukkan bagaimana teks secara selektif mempergunakan keteraturan wacana (orders of discourse), kekhususan konfigurasi teks (genre, wacana, narasi, dan sebagainya), dan prosedur, interpretasi, dan lingkungan sosial yang turut membentuk substansi teks. Analisis intertekstual juga memberikan perhatian terhadap dependensi teks atas masyarakat dan sejarah dalam bentuk sumber-sumber yang membuat keteraturan wacana:51 bagaimana secara

50 Dalam linguistik teks (‗ilm Lughat al-Nashsh), pemikiran yang ternarasikan dalam teks dapat dipahami dan diinterpretasikan dengan baik jika diposisikan sebagai satu kesatuan yang utuh (wahdah mutakâmilah atau al-nashsh ka kullin). Memperlakukan teks sebagai sebuah keseluruhan perlu melibatkan berbagai perspektif dan relasi teks dengan konteks sosial, psikologis, kultural, dan sebagainya sehingga dapat ditemukan pola-pola keteraturan dan kesimpulan alur pemikiran. Bandingkan dengan Sa‘îd Hasan Buhairî, ‗Ilm Lughat al-Nashsh, (Kairo: Muassasah al-Mukhtâr, 2003), Cet. I, h. 93. 51 Wacana adalah pembicaraan, diskursus, mengenai suatu topik bahasan. Komponen wacana dapat dibagi menjadi empat, yaitu: wacana referensi (khitâb al-ihâlah), wacana persuasif (khithâb iqnâî), wacana susastra (khithâb adabî), dan wacana ekspresif (khithâb ta‟bîrî). Wacana referensi meliputi wacana ilmiah, wacana informatif, dan wacana eksploratif. Cirinya adalah terdapat masalah, hipotesis, dan usaha memecahkannya berdasarkan data empiris yang dapat diuji melakui penelitian ilmiah. Kriteria wacana ini adalah logika ilmiah, penalaran deduktif dan induktif, aspek semantik, pemilihan kata, ketatabahasaan dan efektivitas kalimat berikut pengorganisasiannya. Lihat JOS. Daniel Parera, Linguistik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 119-120. 23

dinamis dan dialektif teks dapat merubah sumber-sumber sosial dan historis; dan bagaimana genre (wacana, narasi, catatan, dan sebagainya) dapat menyatu dalam teks?52 Adapun prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: a) mengidentifikasi pembahasan-pembahasan yang mengandung pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an dalam berbagai tulisannya yang dapat ditemukan; b) mengelompokkan pembahasan-pembahasan sesuai karangka pembahasan yang peneliti buat, yaitu: (1) konsep wahyu, sumber al-Qur‘an, dan penafsiran al-Qur‘an, (2) konsep-konsep metodologis penafsiran dan aplikasinya dalam penafsiran al-Qur‘an; d) menghubungkan materi dengan pendapat Toshihiko Izutsu pada karyanya yang lain, yang menyinggung pembahasan yang sama; e) menghubungkan dan membandingkan pendapat Toshihiko Izutsu dengan pendapat sarjana-sarjana yang lain, baik Muslim maupun non-Muslim; dan f) menyimpulkan hasil penelitian.

4. Teknik penulisan dan penyajian hasil penelitian Teknik penulisan tesis ini didasarkan pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah (2007) dengan sedikit pengecualian pada penulisan catatan kaki (footnote) dan transliterasi. Dalam penulisan catatan kaki, penulis tidak memakai istilah ibid, lok cit, dan op cit, tetapi menggantinya dengan penulisan nama penulis berikut judul atau judul besar buku tersebut. Sedangkan transliterasi yang digunakan mengacu pada transliterasi yang ditetapkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (2007) dengan beberapa modifikasi sebagai tercantum dalam Pedoman Transliterasi di bagian awal tesis ini. Hasil penelitian ini disajikan dalam semua pembahasan (bab) dalam tesis ini, dan tidak dikhususkan pada bab tertentu, karena tesis ini merupakan satu kesatuan

52 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, (London: Longman, Group Limited, 1995), h. 188-189. 24

yang utuh mengenai hasil pembacaan, penelusuran data, sistematisasi, validasi, dan konklusi terhadap pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an yang terdapat dalam karya-karyanya. Penyajian hasil penelitian ini juga diperkuat dan divalidasi dengan berbagai literatur atau referensi terkait yang diletakkan pada catatan kaki (footnote). Beberapa hal (istilah, konsep, dan ungkapan) yang dinilai perlu diberi penjelasan lebih lanjut juga diberikan penjelasan dalam dua tanda kurung dan/atau dalam catatan kaki.

G. Sistematika Pembahasan Hasil penelitian ini akan ditulis dalam lima bab dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II menguraikan non-Muslim dan kajian al-Qur‘an yang terdiri dari: pandangan non-Muslim terhadap al-Qur‘an dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan dalam mengkaji al-Qur‘an, serta respon sarjana Muslim terhadap kajian al- Qur‘an oleh sarjana-sarjana non-Muslim. Uraian-uraian dalam bab ini dimaksudkan untuk menganalisis perbedaan pandangan di antara sarjana-sarjana non-Muslim mengenai al-Qur‘an, dan untuk memetakan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan al-Qur‘an sehingga menghasilkan simpulan yang berbeda, serta menganalisis respon sarjana Muslim terhadap kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana non-Muslim. Bab III berisi uraian pandangan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an. Bab ini dimaksudkan untuk selain untuk mengungkap bagaimana pandangan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an, juga untuk menganalisis apakah pendekatan yang dipergunakan dalam mengkaji al-Qur‘an. 25

Bab IV berisi analisis terhadap metode penafsiran Toshihiko Izutsu yang terdiri dari: konsep-konsep metodologis, analisis perbandingan dengan metode lain, terutama metode semantik, dan kritik terhadap metode semantik Toshihiko Izutsu. Bab ini dimaksudkan untuk mengungkap dan menganalisis metode semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu dan mekanisme penerapannya, serta keunggulan dan kelemahannya dalam penafsiran al-Qur‘an. Bab V merupakan bab penutup yang meliputi: simpulan dan saran-saran. Simpulan yang akan penulis sajikan dalam tesis, merupakan respon konkret atas rumusan masalah yang dimajukan dalam penelitian. Sehingga semua problem yang muncul dalam penelitian ini dapat terjawab dengan jelas, dengan harapan bisa bermanfaat baik secara akademik, sosial, dan praktis.

26

BAB II NON MUSLIM DAN KAJIAN AL-QUR‘AN

Kajian mengenai al-Qur‘an oleh non-Muslim memberikan implikasi yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan umat Muslim. Dalam pandangan penulis, perdebatan tersebut menyangkut pendekatan non-Muslim dalam kajian al-Qur‘an, dan otoritas non-Muslim dalam penafsiran al-Qur‘an. Dalam kaitannya dengan tokoh yang pemikirannya menjadi fokus penelitian ini, kedua isu tersebut menjadi penting untuk diuraikan dalam bab II ini. Namun sebelumnya perlu juga diketengahkan sejarah aktivitas kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim agar dapat diketahui pencapaian-pencapaian mereka selama ini.

D. Kajian al-Qur‘an oleh Non-Muslim dalam Lintasan Sejarah Sebagai sebuah Kitab Suci, al-Qur‘an ternyata sangat menarik perhatian tidak saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Ketertarikan non-Muslim terhadap al- Qur‘an, menurut Hartmut Bobzin, diawali oleh satu kenyataan bahwa dalam al- Qur‘an banyak ayat yang berkaitan dengan ajaran-ajaran kitab suci umat terdahulu.53 Di samping hal itu, dalam al-Qur‘an juga terdapat beberapa bagian yang oleh kalangan non-Muslim, terutama umat Kristiani, dianggap mengkritik keyakinan agama mereka.54 Untuk membela ajaran mereka, sarjana-sarjana non-Muslim banyak melakukan kajian kitab suci umat Muslim dari pelbagai aspeknya. Debat polemik mendapat perhatian yang besar. Hal ini membentuk tahapan awal bagi penelitian al- Qur‘an yang lebih obyektif-saintifik, sebuah upaya-upaya yang dimulai pada abad modern. Karya-karya polemik yang menyerang Islam yang ditulis oleh orang-orang Yahudi dan Kristen, dalam pandangan Hartmut Bobzin, tidak menjadikan karakter al-

53 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, (Leiden: E.J. Brill, 2004), h. 235. 54 Lihat Q.S. al-Nisâ‘ (4): 157; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 72 dan 73; Q.S. al-Taubah (9): 30 dan 31.

40 27

Qur‘an sebagai wahyu Allah sebagai tema terpenting di dalamnya. Tema-tema seperti monoteisme, otentisitas kitab-kitab suci terdahulu, dan bukti-bukti kenabian Muhammad merupakan pokok bahasan dalam perdebatan mereka. Jika mereka menulis tentang al-Qur‘an, maka mereka lebih berhati-hati karena dapat menyentuh sensitivitas kaum Muslim. Maka tidaklah mengejutkan, jika karya-karya orang Yahudi dan Kristen tentang al-Qur‘an pada ketika itu relatif masih sangat sedikit.55 Kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim sejak abad ke-12 sampai sekarang tampaknya direpresentasikan oleh sarjana-sarjana Barat. Kajian ini dimulai dengan penerjemahan al-Qur‘an ke dalam berbagai bahasa Eropa. Usaha penerjemahan ini, menurut W. Montgomery Watt, dimulai pada pertengahan abad kedua belas. Ketika itu, Peter the Venerable (1094-1156) – kepala biara induk di Cluny (Perancis) – dengan tujuan mempersiapkan orang-orang Eropa berhubungan dengan orang-orang Islam, menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk menghasilkan karya-karya yang berkenaan dengan Islam. Salah satu hasilnya adalah penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton, yang selesai pada tahun 1143.56 Terjemahan ini, yang diberi nama Liber Legis Saracenorum quem Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut al-Qur‘an), merupakan terjemahan al-Qur‘an yang pertama dalam bahasa Latin. Terjemahan al-Qur‘an ini memiliki arti yang luar biasa bagi kaum intelektual dan agamawan di Barat. R.W. Southern, dalam bukunya yang berjudul Western Views of Islam in the Middle Ages, menyatakan bahwa dengan terjemahan tersebut Barat untuk pertama kalinya memiliki instrumen

55 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, h. 235-253. 56 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 173. Usaha yang dirintis oleh Peter the Venerable telah memunculkan tradisi pecia, yaitu tradisi penyalinan manuskrip ke dalam beberapa bagian. Tradisi, yang kemudian melembaga, ini muncul karena kurangnya jumlah orang yang mampu menyalin manuskrip, bukan karena hasrat untuk mencapai keakuratan dalam penyalinan. Franz Rosenthal, Etika Kesarjanaan Muslim, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Mizan, 1996), h. 101. 28

untuk mempelajari Islam secara serius.57 Terjemahan Latin tersebut pada gilirannya memiliki pengaruh besar di kalangan sarjana selama beberapa abad.58 Sebagai sumber utama studi al-Qur‘an, terjemahan Latin itu juga dimanfaatkan oleh sejumlah apolog Kristen seperti Nicholas of Cusa, Dionysius Carthusianus, Juan of Torquemada, Juan Luis Vives, Marthin Luther, Hugo Grotius, dan lainnya.59 Terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton dalam bahasa Latin tersebut, menurut Regis Blachere, mengandung banyak sekali penyimpangan di dalamnya.60 Hal ini juga disadari oleh Juan dari Segovia (1400-1458).61 Untuk itu itu, ia pada tahun 1454 berusaha untuk menggarap penerjemahan al-Qur‘an dengan harapan dapat memperbaiki sejumlah kekeliruan dari naskah terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton dengan mencari padanan yang tepat dalam bahasa Latin untuk dapat memindahkan konsep-konsep al-Qur‘an. Langkah Juan ini didukung oleh Nicholas dari Cusa, yang dalam Cibratio Alcoran (1460) berupaya menyajikan studi filologis dan historis yang memadai atas al-Qur‘an. Meskipun demikian, menurut Samuel Zwemer, terjemahan Robert of Ketton ini menjadi fondasi penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Italia, Jerman, dan Belanda.62 Pada abad ke-17 muncul berbagai usaha perjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Schweigger berusaha membuat terjemahan al-Qur‘an dalam bahasa Jerman yang dilakukan di Nurenburg (Bavaria) dan selesai pada tahun 1616.

57 ―With this translation, the West had for the first time an instrument for the serious study of Islam.‖ Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, h. 20. 58 Para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun menjadikan terjemahan Robert of Ketton sebagai sumber utama ketika merujuk kepada al-Qur‘an. Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 20. 59 Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran,‖ dalam Stefan Wild (ed.), The Qur‟an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 159. 60 Sebagaimana dikutip oleh Muẖammad Husain ‗Alî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999), h. 64. 61 Lihat Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 86. 62 Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, h. 20. 29

Du Ryer membuat terjemahan dalam bahasa Perancis yang diterbitkan di Paris pada tahun 1647. Terjemahan al-Qur‘an pertama ke dalam bahasa Inggris dilakukan oleh Alexander Ross (Skotlandia) pada tahun 1649. Terjemahan ini tidak dilakukan dari teks bahasa Arab, namun bersumber dari terjemahan al-Qur‘an dalam bahasa Perancis yang dilakukan oleh Du Ryer. Ludovicci Maracci (1612-1700), seorang pendeta Italia yang konon mengkaji al-Qur‘an selama 40 tahun, menghasilkan teks al-Qur‘an dari berbagai naskah dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin pada tahun 1698 di Padua. Ia tidak hanya menerjemahkan teks al-Qur‘an, tetapi juga menyelipkan penolakan-penolakan terhadap klaim-klaim al-Qur‘an ke dalam bagian-bagian dari terjemahan tersebut.63 Hal ini dilakukan untuk membuktikan kelemahan-kelemahan al-Qur‘an. Terjemahan al-Qur‘an oleh Ludovicci Maracci ini dianggap terjemahan yang terbaik di kalangan masyarakat Eropa ketika itu, karena mendukung upaya penciptaan citra negatif terhadap Islam. Pada abad ke-18, George Sale (1697-1736) menerjemahkan al-Qur‘an ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Alcoran of Mohammad: Translated from the Original yang terdiri dari dua jilid dan dianggap sebanding dengan terjemahan Ludovicci Maracci. Terjemahan yang muncul di London pada tahun 1734 ini dilengkapi dengan catatan penjelasan dan komentar yang berharga yang didasarkan atas karya tafsir penafsir Muslim terkemuka, al-Baidhâwî (w. 1268). Selain itu, George Sale juga sering merujuk Injil St. Barnabas.64 Terjemahan ini juga disertai preliminary discourse yang memberikan penjelasan singkat mengenai Islam, kenabian Muhammad, dan al-Qur‘an, meskipun masih menunjukan subyektifitas dan dan rivalitas ideologis Barat-Kristennya. Usaha penerjemahan George Sale ini tampaknya diarahkan untuk memperbaiki terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton.

63 Andrew Rippn, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 239. 64 George Sale, The Koran Interpreted, h. ix-x, sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 151. 30

Karya terjemahan ini dimasukkan ke dalam seri ―Chandos Classic‖ serta mendapat pujian dan restu dari Sir E. Denison Ross. Menurut W. Montgomery Watt, terjemahan George Sale ini kemudian dicetak ulang dengan tambahan komentar dari E.M. Wherry. Karya revisi ini berjudul A Comprehensive Commentary on the Qur‟an: Comprising Sale‟s Translation and Preliminary Discourse with Notes and Emendations, yang dicetak di London dan Boston pada tahun 1882-1886. Edisi ini merupakan edisi yang paling memuaskan secara tipografis dibanding edisi-edisi lainnya. Meskipun demikian, catatan-catatan tambahan yang dibuat oleh E.M. Wherry berkualitas rendah dan mengurangi nilai karya George Sale.65 Karya George Sale ini kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana Jerman dan Perancis. Terjemah al-Qur‘an ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Boysen pada tahun 1773, Wahl pada tahun 1828, dan Ullman pada tahun 1840. Terjemah al- Qur‘an ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Savary (1750-1788) dengan judul Le Coran, traduit de l‟arabe, accompagné de notes, et précédé d‟un abrégé de la vie de Mahomet, dan diterbitkan pada tahun 1783. Terjemahan ini muncul setelah disiapkan di Mesir di mana ia tinggal dalam kurun waktu 1776-1779. Savary mengaku bahwa ia beruntung dapat menerjemahkan al-Qur‘an ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat Muslim. Menurut Norman Daniel, terjemahan Savary ini cukup bersahabat.66 Kemudian disusul oleh Kasimiriski pada tahun 1840 yang terbit untuk pada tahun 1841 dan 1857.67 Salah satu faktor yang menyebabkan Perancis menaruh perhatian kepada penerjemahan al-Qur‘an adalah karena Perancis pada saat itu menduduki Aljazair dan Afrika Utara. Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776. Pada abad ke-19, kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat mengalami banyak kemajuan. Perhatian terhadap al-Qur‘an tidak hanya terbatas pada penerbitan

65 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 201. 66 Norman Daniel, Islam and the West, h. 313-320. 67 Najib al-‗Aqîqî, al-Musytasyriqûn, sebagaimana dikutip oleh Muẖammad Husain ‗Alî al- Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyah, h. 66. 31

teks al-Qur‘an dan terjemahannya. Kemajuan utama dalam kajian al-Qur‘an pada abad ini ditandai dengan usaha-usaha untuk melacak sumber-sumber al-Qur‘an. Abraham Geiger (1810-1874) dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi). Jejak Abraham Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh Hartwig Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur‘an), dan Manneval, La Christologie du Koran (Kristologi al-Qur‘an, 1887). Kemajuan lain juga ditunjukkan oleh sarjana-sarjana yang tertarik dengan kehidupan Muhammad. Gustave Weil (1808-1889) – yang terkenal dengan pendekatan historis-kritis terhadap sejarah Muhammad dalam karyanya, “Mohammed der Prophet: sein Leben und seine Lehre,‖ – menulis Historische-critische Einleitung in den Koran (Mukaddimah al-Qur‘an: kritis-historis, 1844), kemudian dilanjutkan oleh Alloys Sprenger (1813-1893) dan William Muir (1819-1905). Alloys Sprenger dan William Muir melakukan risetnya di India, dan menemukan sejumlah sumber orisinil tentang biografi Muhammad. Penerbitan dan penerjemahan al-Qur‘an pada abad ini masih tetap dilakukan. Gustave Flügel (1802-1870) mempublikasikan al-Qur‘an yang diberi judul Corani Textus Arabicus untuk pertama kali pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman).68 Ia juga membuat sebuah konkordansi al-Qur‘an pada tahun 1842 dengan judul Concordantie Corani Arabicae.69 Usaha ini disusul oleh J.M. Rodwell (1808-1900) menerjemahkan al-Qur‘an ke dalam bahasa Inggris berdasarkan teks bahasa Arab yang diedit oleh Gustave Flügel dan menyusunnya bukan menurut susunan tradisional, tetapi menurut kronologinya mulai dari Q.S. al-‗Alaq (96) hingga Q.S. al-Maidah (5) berdasarkan sejumlah hadits dengan merujuk kepada susunan William Muir dan juga berdasarkan

68 J.J.G Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), h. 3. 69 Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, h. 90. 32

pertimbangan hati-hati terhadap tema setiap surat dan hubungannya dengan sejarah, peristiwa, dan kehidupan Muhammad. Karyanya ini terbit pertama kali pada tahun 1861.70 Arthur J. Arberry, dalam The Koran Interpreted (1955), menilai bahwa karya ini jauh sekali dari konteks permusuhan abad XVII. J.M. Rodwell memang tidak ragu untuk mengatakan bahwa al-Qur‘an adalah karya Muhamamad, akan tetapi estimasinya terhadap karakter Muhammad tidak mengurangi kemurahhatian dan kekagumannya.71 Penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Inggris pada abad ini juga dilakukan oleh E.H. Palmer (1840-1882), yang diterbitkan pada tahun 1880,72 dengan judul The Qur‟an. Berbeda dengan J.M. Rodwell, ia melakukannya berdasarkan susunan tradisional surat-surat al-Qur‘an. Menurut catatan A.R. Nykl, ―Notes on E.H. Palmer‘s The Qur‘an,‖ dalam The Journal of American Oriental Society, 56 (1936), h. 77-84, terjemahan E.H. Palmer ini banyak mengandung kesalahan.73 Kajian al-Qur‘an di Barat pada abad ini tidak hanya terbatas pada penelitian- penelitian yang dilakukan oleh kaum intelektualnya secara individu. Pada 1857, Parisian Académie des Inscriptions et Bellers-Letters mengadakan kompetisi penelitian yang bertema ―A Critical History of the Text of the Qur‘ān‖.74 Tema ini menarik perhatian tiga sarjana terkemuka, yaitu: Alloys Sprenger, Michele Amari (1806-1889), dan Theodore Nöldeke (1836-1930). Sarjana yang terakhir disebutkan

70 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178. 71 Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 153. 72 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178. 73 Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 154. 74 Ditetapkan bahwa penelitian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: pertama, mengkaji bagian-bagian tahapan awal (primitif) dari komposisi al-Qur‘an dan menjelaskan karakteristik bagian-bagaian tersebut; kedua, mengkaji sedalam mungkin bagian-bagian al-Qur‘an itu untuk mencari tahapan-tahapan kehidupan Muhammad yang diceritakan di dalamnya, dengan bantuan karya-karya sejarawan Arab dan para penafsir Muslim yang telah meneliti bidang yang sama; ketiga, mengemukakan berbagai perubahan yang terdapat dalam al-Qur‘an sejak pembawaannya oleh Muhammad sampai resensi definitive yang memberikan bentuk al-Qur‘an seperti yang ada sekarang; keempat, mengkaji naskah-naskah paling tua untuk mengemukakan karakteristik variasi-variasi yang muncul dari resensi-resensinya. W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175. 33

inilah yang memenangkan kompetisi tersebut dengan karyanya Geschichte des Koran (Sejarah al-Qur‘an).75 Kecenderungan kajian abad ke-20 belum beranjak dari model kajian-kajian sebelumnya di abad kesembilan belas, meski dengan tekanan dan model yang sedikit berbeda. Hal ini dapat dilihat pada usaha Joseph Horovitz (1874-1931), Jewish Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam al-Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun 1964; Charles Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi Yahudi Agama Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967; dan Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al-Qur‘an), terbit pada tahun 1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasinya yang tragis dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002), Quranic Studies: Source and Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian al-Qur‘an: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977. Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des und das Christentum (Asal- usul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya kesarjanaan Kristen yang paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah yang ditulis oleh Richard Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian Environment (Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya, 1926). Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die Abhängigkeit des Koran von Judenthume und Christentum (Ketergantungan al-Qur‘an dari Yahudi dan Kristen, 1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran (Jejak- jejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam Islam, Leipzig, 1943);76 dan D. Masson,

75 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175. 76 Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h. 1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 3. 34

Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne (Al-Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen, dua jilid, 1958). Christoph Luxemberg (pseud.) yang telah mempublikasikan karyanya yang berjudul Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine Entschüsselung der Koransprache (Qira‘ah Syriak terhadap al-Qur‘an: Memecahkan Teka-teki Bahasa al-Qur‘an). Buku ini, dengan perbedaan-perbedaan seperti yang dituturkan oleh pengarangnya, merupakan babak lanjutan dari model kajian yang telah ditawarkan oleh Abraham Geiger dan sarjana-sarjana lainnya yang berusaha untuk membuktikan keterkaitan bahwa al-Qur‘an bersumber dari ajaran-ajaran kitab-kitab suci sebelumnya. Christoph Luxemberg menganggap bahwa mushhaf al-Qur‘an sekarang merupakan bentuk kesalahan salinan bahasa Arab fushẖâ dari bahasa Syria-Aramaik (bahasa Aramaik dengan dialek Syria). Oleh karena itu, banyak penerjemahan dan penafsiran kosakata al-Qur‘an yang tidak tepat. Ia juga menyatakan bahwa banyak kata dalam al-Qur‘an yang disalah-artikan oleh kalangan penafsir. Anggapan ini diperoleh dari investigasinya terhadap kosakata al-Qur‘an yang dibandingkan dengan bahasa Syria-Aramaik sebagai lingua franca masyarakat Arab ketika al-Qur‘an ―diturunkan‖. Menurutnya, bahasa Arab fushẖâ merupakan bahasa yang datang kemudian, setelah mantapnya bahasa Syria-Aramaik.77 Dalam perkembangan terakhir, menurut H.M. Nur Kholis Setiawan, terdapat aspek lain yang turut mewarnai kajian al-Qur‘an dalam kesarjanaan di Barat, yaitu mencari kesepahaman dalam perbedaan tradisi penafsiran kitab suci. Oleh karenanya, tren mencari kelemahan suatu kitab suci dan mencari pengaruh suatu kitab suci terhadap kitab suci lainnya telah ketinggalan jaman. Proyek-proyek prestisius yang sedang dikembangkan adalah bagaimana tradisi penafsiran kitab suci memiliki fungsi

77 M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, (t.tp.: Nawasea Press, 2007), h. 11. Lihat juga Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖ dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19. 35

dalam percaturan intelektial para pengimannya.78 Namun hal tersebut tidak berarti bahwa proyek riset mengenai sejarah teks dan ortografi al-Qur‘an telah selesai. Sejak tahun 2006, telah muncul proyek penelitian baru yang disponsori oleh Berlin Brandenburgische Akademie der Wissenschaft, sebuah lembaga riset milik pemerintah Negara bagian Berlin-Brandenburg, menganai edisi kritis teks al- Qur‘an.79 Uraian di atas menunjukan bahwa kajian al-Qur‘an dalam kesarjanaan non- Muslim cukup dinamis dan berkesinambungan. Temuan-temuan pendahulu mereka terus-menerus dielaborasi oleh sarjana-sarjana berikutnya dengan menggunakan berbagai pendekatan dan metode yang berkembang dalam lapangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pendekatan dan metode demikian meniscayakan al-Qur‘an diposisikan sebagai teks. Sebagai teks al-Qur‘an dipandang sejajar dengan teks-teks bahasa yang lain.

E. Kategori dan Pendekatan Non-Muslim dalam Kajian Al-Qur‘an Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of the Qur‟an, mencoba memetakan karya-karya sarjana Barat modern dalam studi al-Qur‘an sejak munculnya karya Gustave Flügel ini hingga paruh abad kedua puluh ke dalam tiga kategori: Pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an; Kedua, kajian yang menekankan pada

78 Salah satunya adalah proyek ―Hermeneutika Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai kritik Budaya‖ selama tiga tahun (dari 2002-2004) di Berlin. Tema yang ditawarkan adalah ―Midrash (tradisi tafsir Yahudi), (tradisi tafsir Kriten), dan Tafsîr (Islam). Sedang pada tanggal 3-13 Agustus 2003, dalam rangka proyek yang sama digelar ―International Summer Academy‖ dengan tema yang sama, melibatkan 24 doktor muda dari 14 negara untuk mencari kesepahaman tradisi penafsiran dalam agama. M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 38. 79 M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 38- 39. 36

pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an; dan Ketiga, kajian tentang tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.80 Karya kesarjanaan Barat yang memiliki kecenderungan tipe pertama diawali oleh Abraham Geiger (1810-1874), dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi). Sebuah karya yang ditulisnya dalam rangka mengikuti kompetisi masuk ke Universitas Bonn pada tahun 1832.81 Sebagaimana tercermin dari judulnya, karya ini memusatkan pada anasir Yahudi di dalam al-Qur‘an. Karya ini terdiri dari tiga bagian: Bagian awal dari buku ini mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah Muhammad berniat untuk mengambil dari Yahudi, bisakah Muhammad melakukan niatnya, jika bisa, bagaimana Muhammad melakukannya, dan apa yang sebanding dengan rencana Muhammad untuk mengambil dari Yahudi. Kemudian pada bagian kedua menghadirkan bukti-bukti historis untuk menopang argumen dan jawaban beberapa pertanyaan tersebut. Bagian terakhir merupakan appendix kelengkapan data bagi bagian kedua, sekaligus analisis mendalam untuk memperkuat asumsi yang dibangun sebagai tesis sekaligus jawaban-jawaban bagian pertama.82 Temuan yang dihasilkan Abraham Geiger dalam penelitiannya adalah bahwa seluruh ajaran Muhammad yang tertuang dalam al-Qur‘an sejak awal telah menunjukkan sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: mulai dari sebagian besar kisah para Nabi, sampai kepada ajaran-ajaran dan aturan-aturan al-Qur‘an.83 Jejak Abraham Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh Hartwig Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische Elemente im

80 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi. 81 Lihat Andrew Rippin (ed.), Introduction to the Qur‟an: Style and Contents, (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi. 82 M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 5. 83 Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 67. 37

Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur‘an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan- temuan pendahulunya tersebut. Setelah kemunculan dua karya tersebut, sejumlah besar sarjana Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur‘an. Terjadi semacam peperangan akademik antara sarjana-sarjana yang memandang al-Qur‘an tidak lebih dari tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berupaya keras membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Qur‘an secara penuh berasal dari tradisi Yahudi dan bahwa Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya- karya kesarjanaan semacam ini antara lain ditulis oleh Joseph Horovitz (1874-1931), Jewish Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam al-Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun 1964; Charles Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi Yahudi Agama Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967; dan Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al-Qur‘an), terbit pada tahun 1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasinya yang tragis dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002), Quranic Studies: Source and Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian al- Qur‘an: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977. Dalam buku ini John Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-Qur‘an merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dan pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang secara sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi.84 Sementara para sarjana Kristen juga melakukan upaya senada dan berusaha membuktikan bahwa al-Qur‘an tidak lain merupakan imitasi dari tradisi Kristen dan Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh agama Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-sumber

84 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004), h. 61. 38

Kristiani al-Qur‘an ditulis oleh Karl Friedrich Gerock, Versuch einer Darstellung der Chronologie des Korans (Upaya Pengungkapan Kronologi al-Qur‘an), terbit pertama kali pada tahun 1839. Setelah tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-karya kesarjanaan Kristen lainnya tentang topik ini, seperti Manneval, La Christologie du Koran (Kristologi al-Qur‘an, 1887); dan Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des Islams und das Christentum (Asal-usul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya kesarjanaan Kristen yang paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah yang ditulis oleh Richard Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian Environment (Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya, 1926). Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al-Qur‘an dalam salah satu tradisi keagamaan Semit, yakni Yahudi dan Kristen, terdapat pula karya- karya kesarjanaan Barat lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan tersebut secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslim. Karya-karya kategori terakhir ini antara lain ditulis oleh Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die Abhängigkeit des Koran von Judenthume und Christentum (Ketergantungan al- Qur‘an dari Yahudi dan Kristen, 1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran (Jejak-jejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam Islam, Leipzig, 1943);85 dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne (Al-Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen, dua jilid, 1958). Sementara sejumlah sarjana barat lain, seperti W. Montgomery Watt dan H.A.R Gibb, memperluas gagasan terakhir ini dengan menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al-Qur‘an adalah mileu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.

85 Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h. 1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 3. 39

Karya kesarjanaan Barat yang dapat dikategorikan tipe kedua adalah Historische-critische Einleitung in den Koran (Mukaddimah al-Qur‘an: kritis- historis) karya Gustav Weil yang diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1844, kemudian Geschichte des Koran (Sejarah al-Qur‘an) oleh Theodore Nöldeke (1836- 1930) yang diterbitkan pada tahun 1860. Buku Geschichte des Koran ini terdiri dari tiga jilid. Jilid pertama disusun oleh Theodore Nöldeke sendiri dan membahas kronologi turunnya surat-surat al-Qur‘an. Jilid kedua ditulis oleh muridnya, Friedrich Schwally (w. 1919), membahas sejarah pengoleksian al-Qur‘an. Jilid ketiga ditulis oleh Gotthelf Bergsträsser (1886-1933) dan Otto Pretzl membahas sejarah variasi qiraat.86 Pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non Muslim dalam mengkaji Islam, termasuk di dalamnya al-Qur‘an, di antaranya adalah pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi dan pendekatan strukturalisme linguistik.

1. Pendekatan sejarah Pendekatan sejarah yang sangat berperan dalam kajian al-Qur‘an adalah metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah merupakan pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung di dalamnya.87 Fakta dan nilai tersebut ditelusuri dalam sejumlah data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri. Jika data sejarah disajikan secara kronologis, maka ini disebut pendekatan kesejarahan. Kritik sejarah merupakan metode yang luas. Dalam metode ini tercakup beberapa jenis kritik yang saling terkait, di antaranya kritik teks (textual criticism), kajian filologis (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk

86 M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, ―Kata Pengantar‖ dalam Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. x. 87 W. Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York: Routledge, 1988), h. 68. 40

(form criticism), dan kritik redaksi (redaction criticism).88 Sebagai sebuah metode dalam penelitian sejarah Islam, kritik sejarah pertama kali dirintis oleh David S. Margoliuth (1858-1940), Ignaz Goldziher, Henry Lammens, Joseph Schacht, H.A.R. Gibb, H.J. Coulson, dan lain-lain. Penerapan metode ini terhadap aspek tertentu dalam sejarah Islam menghasilkan beberapa tesa yang menghebohkan masyarakat Muslim yang tradisional minded. Hal inilah yang menyebabkan metode kritik sejarah sama sekali tidak berkembang di kalangan pemikir Muslim sampai dengan pertengahan abad ke-20 M. Dalam studi al-Qur‘an, sarjana non Muslim yang termasuk pioner dalam menggunakan metode kritik sejarah adalah Abraham Geiger (1870-1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Karyanya adalah Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?, yang ditulis pada tahun 1833; Gustav Weil (1808-1889), dengan karyanya adalah Historische-Kritische Einletung in der Koran, yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1844; dan Theodor Nöldeke (1836-1930), dengan karyanya Geschichte des Qorans yang diterbitkan pada tahun 1860.89 Penerapan metode kritik sejarah dalam kajian al-Qur‘an mengantarkan para orientalis sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur‘an adalah ciptaan Muhammad. Ajaran-ajaran al-Qur‘an merupakan jiplakan dari ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen. Metode ini banyak digunakan oleh non Muslim pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20. Selanjutnya mulai paruh kedua abad ke-20, mereka mulai menerapkan pendekatan baru yang disebut dengan pendekatan fenomenologi.

88 Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975), h. 48- 54. 89 Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 239-241. 41

2. Pendekatan fenomenologi Pendekatan fenomenologi dalam studi agama merupakan pendekatan yang menjadikan agama sebagai obyek studi menurut apa adanya. Dengan kata lain, fenomenologi agama berusaha menjelaskan fenomena keagamaan sebagaimana ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini, kaum fenomenolog agama mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu menurut visi mereka sendiri.90 Fenomenologi agama, menurut Ursula King, bertujuan untuk meneliti pola dan struktur agama atau meneliti esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami peranan agama dalam sejarah dan kebudayaan manusia.91 Fenomenologi agama merupakan reaksi terhadap pendekatan sejarah. Menurut W. Brede Kristensen, pendekatan sejarah tidak dapat memahami karakteristik yang absolut terhadap data-data keagamaan, karena dalam pendekatan sejarah terdapat jarak antara peneliti dan obyek yang diteliti sehingga penelitian tersebut tidak dapat mengidentifikasi data keagamaan sebagaimana yang dihayati oleh orang-orang yang mengimaninya.92 Sementara dalam pendekatan fenomenologi, peneliti menyatu dengan obyek yang diteliti. Dalam ungkapan Poespoprodjo, dalam fenomenologi manusia menyatu dengan dunia.93 Berbeda dengan pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi mengakui adanya fenomena supranatural atau transhistoris. Dalam fenomenologi terdapat beberapa karakteristik wahyu, yaitu: a) dari segi asalnya, wahyu dipandang berasal dari Tuhan, nenek-moyang, atau kekuatan mana‘; b) instrumen atau sarananya adalah tanda-tanda yang suci di alam, binatang, tempat suci, mimpi, ekstasi, visi, dan lain-

90 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 74. 91 Ursula King, ―Historical and Phenomenological Approaches‖, dalam Frank Whaling (ed.), Contemporary Approaches to the Study of Religion, (Berlin, New York, Amsterdam: Mouton Publishers, 1984), h. 88. 92 Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 75. 93 Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung: Remadja Karya, 1987), h. 69. 42

lain; c) isi dan tujuannya adalah pendidkan, bantuan, hukum, perintah Tuhan, dan lain-lain; d) penerimanya adalah dukun, tukang sihir, shaman, tukang tenung, nabi, dan lain-lain; e) efek dan akibatnya menjadi pelajaran dan misi Tuhan.94 Salah seorang sarjana non-Muslim yang menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an adalah Charles J. Adams. Al-Qur‘an, menurutnya, adalah wahyu yang diterima Muhammad dari Tuhan.95 William A. Graham juga mengkaji al-Qur‘an dengan pendekatan fenonenologi. Ia menganalisis keunikan karakter kitab suci umat Islam dari segi sifat oral al-Qur‘an dan fungsinya sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, bukan dalam arti firman Tuhan yang ―tertulis‖ atau ―dibukukan‖. Sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, al-Qur‘an memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: pertama, al-Qur‘an merupakan umm al-Kitâb, ia mengakui adanya kitab suci sebelumnya dan menyatakan diri sebagai wahyu Tuhan yang final dan lengkap; kedua, dalam agama-agama Ibrahim (Abrahamic faith), yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, kitab suci menjadi pusat atau sumber peribadatan, kesalehan, dan ketaatan. Namun dalam Islam, al-Qur‘an lebih jelas lagi menjadi pusat transenden keimanan Muslim. Kalau dalam Yahudi, kehadiran Tuhan termanifestaikan dalam hukum Taurat, Kristen dalam pribadi Yesus, maka dalam Islam al-Qur‘an merupakan sarana langsung dalam perjumpaan dengan Tuhan; ketiga, konsep mengenai kitab suci yang dikoleksi dalam satu kitab merupakan ciri khas kitab suci Yahudi dan Kristen, sedang dalam Islam al-Qur‘an merupakan Divine Word; oleh karena itu bentuk primer dan paling otoritatif dari teks al-Qur‘an adalah bersifat oral, bukan tertulis.96

94 Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 356. 95 Charles J. Adams, ―Qur‘an,‖ dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 12, (1987), h. 158. 96 William A. Graham, ―Qur‘an as Spoken Word: An Islamic Contribution to the Understanding of Scripture,‖ dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of Arizona Press, 1985), h. 23-30. 43

Sarjana lain dari kalangan non-Muslim yang juga menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an adalah Marcel A. Boisard. Menurutnya, al- Qur‘an tidak lain adalah peringatan bagi seluruh umat manusia. Al-Qur‘an merupakan ekspresi terakhir kehendak Tuhan, ia menjamin otentisitas dan kebenaran wahyu sebelumnya, tetapi tidak menjamin keberlakuannya, karena masa berlakunya telah habis dengan kedatangan Islam.97 Penggunaan pendekatan fenomenologi dalam studi al-Qur‘an relatif dapat menghasilkan konklusi yang positif, karena fenomenologi memahami al-Qur‘an berdasarkan data dokumen keagamaan dan data dari penganut agama Islam sendiri.

3. Pendekatan Strukturalisme Linguistik Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam struktur.98 Dengan demikian, pelbagai unsur pembangun struktur itu memiliki koherensi atau pertautan yang erat. Mereka tidak otonom satu dengan yang lain, melainkan menjadi bagian dari situasi yang rumit, dan hanya dengan interaksi itulah ia mendapatkan arti.99 Strukturalisme linguistik memiliki akar-akarnya dalam semiologi Saussure, Mazhab Linguistik Praha dan Formalisme Rusia. Pengaruh de Saussure terhadap strukturalisme terletak pada pergeseran orientasi studi linguistiknya dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Dengan pendekatan sinkronik,

97 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 186-187. 98 Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 6-7. 99 Pemahaman strukturalisme demikian serupa dengan konsep nazhm yang dikembangkan ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî yang menyoal hubungan sintagmatis kata di dalam kalimat dan struktur teks yang lebih luas. Kata-kata individual, menurut al-Jurjânî, tidak memiliki nilai distingtif kecuali berada dalam struktur yang lebih luas. Lihat Aẖmad Sayyid Muẖammad ‗Ammâr, Nazhariyyat al-I„Jâz al- Qur‟ânî wa Atsaruhâ fî al-Naqd al-„Arabi al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‗âshir, 1998), h. 152. 44

studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya melainkan pada hubungan antarunsurnya. Dalam pendekatan struktural, masalah unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang krusial. Sebuah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan secara sistemik dan saling menentukan satu sama lain sehingga membentuk sebuah totalitas pada dirinya. Pengertian struktur, menurut Jean Piaget dalam bukunya Le Structuralisme (1968),100 adalah ditemukannya kesatuan yang meliputi tiga ide dasar: ide kesatuan (the idea of wholeness), ide transformasi (the idea of transformation), dan ide pengaturan diri sendiri (the idea of self- regulation). Ide kesatuan mengandaikan bahwa struktur adalah keseluruhan yang bulat, dan bahwa unsur-unsur pembentuknya tidak mungkin berdiri sendiri di luar struktur. Ide transformasi menyaran pada pemahaman bahwa struktur dimaksud bukanlah sesuatu yang statis melainkan mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional. Ide regulasi-diri menunjuk pada kemampuan struktur untuk melakukan proses transformasi tanpa bantuan dari luar, melainkan cukup dengan dirinya sendiri.101 Ketiga gagasan dasar dalam sebuah karya sastra demikian mengasumsikan bahwa sebuah teks dapat dipahami cukup melalui berbagai unsur yang membangunnya, berupa bahasa, ungkapan, dan sistem tanda lain yang tersurat, tanpa memerlukan bantuan lain dari luar dirinya, hal-hal non-bahasa. Dengan demikian, sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalis, adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya, yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan timbal balik dan saling menentukan. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, unsur-unsur tersebut tidak penting bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting

100 Sebagaimana dikutip oleh Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 5. 101 Rahmad Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. VII, 2000), h. 119. 45

setelah berada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya bersangkutan. Setelah menjelaskan fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, selanjutnya dijelaskan pula bagaimana hubungan antarusur tersebut secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi antarunsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan juga relasi intertekstual.102 Analisis mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam paragraf atau konteks wacana yang lebih besar. Analisis relasi intertekstual berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode maupun dalam periode- periode yang berbeda. Pendekatan struktural menawarkan kelebihan bahwa analisis karya sastra tidak lagi membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain—walau harus diakui bahwa hal- hal tersebut dapat memperkaya wawasan dan pemahaman—melainkan ―cukup‖ berbekal kemampuan bahasa, kepekaan sastra dan minat yang intensif.103 Sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang melakukan studi al-Qur‘an dengan pendekatan struktural belum banyak. Di antara yang sedikit tersebut adalah Toshihiko Izutsu (1914-1933) dan Richards C. Martin. Toshihiko Izutsu menerapkan pendekatan struktural terhadap al-Qur‘an untuk dapat menangkap pandangan dunia

102 Dick Hartoko dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h.136. 103 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 139. 46

Kitab Suci tersebut. Kajiannya tertuang dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an (terbit pertama kali pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran) dan God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung (terbit pertama kali pada tahun 1964). Sementara Richards C. Martin menerapkan pendekatan strukturalisme linguistik ini ketika menganalisis Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26). Tulisannya berjudul ―Structural Analysis and the Qur‟an: Newer Approaches to the Study of Islamic Text‖, dimuat dalam Jurnal of the American Academic of the Religion, Vol. XLVII (1979), No. 4.104 Pemahaman terhadap pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non Muslim dalam kajian al-Qur‘an dirasa perlu bagi umat Muslim, karena hal ini dapat membantu untuk memahami penyebab lahirnya pandangan sarjana-sarjana non Muslim tersebut terhadap al-Qur‘an. Bila umat Muslim hanya memahami konklusi dan konsep-konsep mereka saja, maka kemungkinan ―ketersinggungan iman‖ dapat terjadi yang pada gilirannya dapat menimbulkan bibit-bibit konflik dan perasaan antipati. Pemahaman terhadap pendekatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dapat menyelamatkan umat Muslim dari sikap emosional dan menuntutnya untuk berdialog secara sehat.

F. Respon Sarjana Muslim Jika ketertarikan umat Islam terhadap al-Qur‘an dipandang sebagai hal wajar bahkan suatu keharusan, karena al-Qur‘an memang Kitab Suci mereka dan sumber utama ajaran Islam, maka berbeda halnya jika non-Muslim melakukan hal yang sama terhadap Kitab Suci umat Muslim ini. Meskipun aktivitas ini sudah lama dilakukan, namun di kalangan umat Islam sampai saat sekarang masih timbul kecurigaan terhadap kajian-kajian mereka. Tidaklah mengherankan apabila pertanyaan- pertanyaan mengenai keabsahan kajian mereka sering dikemukakan: apakah mereka

104 Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an Kontemporer “a la” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 11. 47

pantas atau memiliki otoritas untuk mengkaji al-Qur‘an? Apa motif-motif yang mendorong mereka untuk melakukan kajian terhadap al-Qur‘an? Secara historis, menurut Hartmut Bobzin, berdasarkan apa yang disebut dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu dilarang untuk mengajarkan al-Qur‘an kepada anak-anak mereka. Dari sisi ini dapat diambil kesimpulan, bahwa umat Islam pada umumnya tidak tertarik untuk memperbolehkan non-Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an.105 Kondisi ini kelihatannya terwariskan dalam sebagian kalangan sarjana Muslim hingga sekarang. Penolakan terhadap aktivitas non-Muslim dalam kajian al-Qur‘an disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak motivasi dan tujuan yang tidak baik dari orientalisme kepada Islam. Beberapa studi terhadap kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat memang menunjukkan dominannya motivasi dan tujuan dimaksud. Beberapa hasil penelitian terhadap kajian-kajian orientalis seperti yang telah disampaikan oleh Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Qur‟an di atas, kemudian oleh Muẖammad Musthafâ al-Aʻzhamî, dalam The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, yang hampir memastikan bahwa semua orientalis, meskipun dengan kadar yang berbeda, memiliki motivasi dan tendensi yang berseberangan dengan tradisi Islam,106 demikian juga dengan Muẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, dalam al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al- Qur‟âniyyah, yang menyebutkan bahwa kajian orientalis terhadap al-Qur‘an, secara khusus, dan kajian terhadap Islam, pada umumnya, didorong oleh motivasi

105 Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237. 106 Muẖammad Musthafâ al-Aʻzhamî, The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, (terj.), (Jakarta: Gema Insani, 2005). h. 335-379. 48

penyebaran agama, imperialisme dan kolonialisme, di samping motivasi ilmiah,107 semakin memperkuat kekhawatiran tersebut. Di samping itu, karena kebanyakan sarjana non-Muslim tidak mengakui al- Qur‘an sebagai firman Allah. Adalah hal yang tidak mengherankan apabila dalam karya sarjana-sarjana non-Muslim ditemukan pernyataan seperti, ―Al-Qur‘an adalah perkataan atau ucapan Muhammad‖,108 dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Dan karena tidak mengakui al-Qur‘an sebagai firman Allah, mereka juga tidak memperlakukan al-Qur‘an sebagai kitab suci, melainkan sebagai dokumen literer.109 Yang demikian itu tentu saja melukai perasaan umat Islam karena secara fundamental bertentangan dengan keyakinan umat Islam itu sendiri. Secara metodologis, kajian Islam oleh non-Muslim memang akan selalu menghadapi resistensi, tantangan dan gugatan. Hal ini karena, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Rauf, berdasarkan data sejarah, agak susah – bahkan tidak mungkin – bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain.110 Fazlur Rahman mengakui kritik Abdul Rauf tersebut, namun ia menyatakan bahwa hal tersebut hanya berlaku bagi kalangan orientalis dan non-Muslim yang mendekati dan mengapresiasi Islam tanpa didukung oleh pengetahuan yang memadai, namun hanya berdasarkan atas praduga-praduga.111 Namun demikian, di tengah arus penolakan tersebut, beberapa sarjana Muslim seperti Muẖammad Amîn al-Khûlî (1895-1966) yang menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyya al-akbar wa atsaruhâ al-a„al-adabî

107 Lihat Muẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-ʻArabi, 1999), Cet. I, h. 13-18. 108 Lihat H.A.R. Gibb, Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950), h. 35. 109 Lihat Helmut Gätje, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and Modern Muslim Tradition, terj. Alford T. Welch, (London: Routledge & Kegal Paul, 1976), h. 42-43. 110 Muhammad Abdul Rauf, ―Outsider‘s Interpretation of Islam: A Muslim Point of View‖, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: The University of Arizona, 1985), h. 185. 111 Fazlur Rahman, ―Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay‖, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, h. 197. 49

al-a„zham),112 dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa al- Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia,113 secara terang ingin membuka ruang bagi setiap orang untuk mengkaji al-Qur‘an tanpa melihat latar keagamaannya, apakah ia Muslim atau bukan. Memang bila dicermati, dalam al-Qur‘an sendiri terdapat perintah yang ditujukan kepada kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya.114 Ini berarti terbuka kemungkinan bagi pemahaman yang benar dari mereka. Dan kenyataan membuktikan adanya orang-orang non-Muslim yang masuk Islam setelah mendengar atau mengkaji al-Qur‘an.115 Setiap Muslim harus dapat menerima pendapat yang baik dan benar dari siapa pun, karena Islam sangat terbuka dan mengingatkan bahwa kebenaran harus menjadi milik Muslim dari mana pun sumbernya. Kaum Muslim juga harus dapat menerima kritik yang dilontarkan oleh siapa pun dengan lapang dada, dan mendiskusikannya, lalu menerimanya selama tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip serta rincian ajaran

112 Lihat Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al- Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al- Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h. 12-13. 113 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, al-Nashsh, al-Shulthah, al-Haqîqah, terj. Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003), h. 86. 114 Baca Q.S. al-Taubah (9): 6. 115 Sebagai contoh adalah ʻUmar ibn al-Khattâb (w. 24/644) yang memeluk Islam setelah membaca Q.S. Thâhâ (20): 1-2. Labid ibn Rabiʻa, seorang maestro penyair Arab, yang menggantungkan syair-syair gubahannya di depan pintu Ka‘bah sebagai ajang unjuk kemampuan menggubah syair di kalangan masyarakat Arab, juga masuk Islam setelah membaca beberapa ayat yang digantung di atas pintu Ka‘bah oleh pengikut Nabi Muhammad. Navid Kermani, Gott ist Schön, Das Aesthetische Erleben des Koran, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. 74, 80-81. 50

agama yang bersifat pasti, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, non- Muslim dapat meraih kebenaran dari bacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur‘an.

51

BAB III AL-QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU

Sebuah pandangan tidak muncul dalam ruang yang hampa tetapi sangat dipengaruhi oleh subyektifitas dan historitas yang melingkupinya, maka pandangan tersebut harus dipahami melalui usaha pembaca atau penafsir untuk merekonstruksi atau membangun kembali pengalaman mental penulisnya atau mengulang proses kreatif penulis secara utuh.116 Demikian juga halnya dengan pandangan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an, sebelum membahasnya lebih detail harus dipahami terlebih dahulu pribadi tokoh dimaksud. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas secara singkat riwayat hidup Toshihiko Izutsu dari sisi pengalamannya sejak kecil, pendidikannya, kecenderungannya, dan karya-karyanya tentang al-Qur‘an.

A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993.117 Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diperolehnya di negaranya sendiri, Jepang. Setamat SMA, Toshihiko Izutsu melanjutkan ke fakultas ekonomi Universitas Keio, Tokyo, tetapi kemudian pindah ke jurusan sastra Inggris karena ingin dibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki.118 Setelah selesai, ia mengabdikan dirinya menjadi dosen di lembaga ini, dan mengembangkan karir sebagai seorang intelektual yang diakui dunia. Ia mengajar di sini dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar profesor pada tahun 1950. Antara tahun 1962-1968 ia menjadi profesor tamu di Universitas McGill

116 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 135; E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 31. 117 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 118 http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F. Diakses 3 Mei 2009.

65 52

Montreal Kanada atas permintaan Wilfred Cantwell Smith selaku direktur program kajian Islam di perguruan tinggi tersebut, dan selanjutnya menjadi profesor penuh antara tahun 1969-1975. Setelah lepas dari mengajar di McGill, ia hijrah ke Iran memenuhi undangan Seyyed Hossein Nasr untuk menjadi pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu, ia kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga akhir hayatnya.119 Toshihiko Izutsu berasal dari keluarga yang taat kepada ajaran Zen Buddhisme, bahkan ayahnya adalah seorang guru Zen. Oleh karena itu ia pun telah dibiasakan untuk mengamalkan ajaran tersebut sejak kecil. Sebagai seorang guru Zen, ayahnya mengajarkan Zen dengan menuliskan kata ―kokoro‖ yang berarti ―pikiran‖ pada sebuah kertas. Tulisan tersebut diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu tertentu setiap hari. Lalu pada suatu ketika, ayahnya memerintahkan untuk menghapus tulisan itu dan memintanya untuk melihat kembali tulisan tersebut di dalam pikiran – bukan kata yang tertera pada kertas – dengan cara memfokuskan perhatian kepada tulisan secara terus menerus. Berikutnya, ayahnya memerintahkan untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya, dan menatap pikiran yang hidup di balik kata yang tertulis. Pengalaman kontemplasi dalam mengamalkan Zen yang telah dilakukan sejak muda tersebut tampaknya turut mempengaruhi cara berfikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat dan mistisisme.120 Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak bahasa dunia.121 Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan penyelidikan terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara spesifik substansi berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya. Bidang kegiatan penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad

119 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 120 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 121 http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx. Diakses 3 Mei 2009. 53

pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasaan pengetahuannya memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu masalah.122 Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Toshihiko Izutsu terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo- Konfusianisme, dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur pembentuk kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu al-Qur‘an dan pemikiran Islam. Inilah yang membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang menghasilkan begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi Seyyed Hossein Nasr, karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam sesungguhnya menunjukkan betapa pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana dangkalnya tuduhan- tuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak sarjana Barat menurut pengertian mereka, baik disadari atau tidak, merupakan ―alasan‘ yang anti-metafisis, bersifat sekuler, dan rasionalisme Abad Pencerahan.123 Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam Jalâl al-Dîn Ashtiyani (et. al), Consciousness and Reality; Studies in Memory of Toshihiko Izutsu, (Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-batas kultural dan intelektual, Toshihiko

122 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 123 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 54

Izutsu dapat dengan mudah memasuki semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat. Dia adalah seorang tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam, tetapi juga warisan intelektualnya. Ia menulis dengan sangat kompeten tidak hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn ‗Arabi dan Mulla Sadra selain juga para ahli filsafat Barat.124 .Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.125 Berkaitan dengan bagaimana Toshihiko Izutsu memahami kajian teks-teks Islam, William C. Chittick memberikan testimoni bahwa hal ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masa kecilnya, yang dipaksa ayahnya untuk mempraktikkan zazen.126 Toshihiko merasa sangat tidak nyaman dengan pengalaman ini. Akibatnya, ia memutuskan untuk memasuki sebuah bidang yang sejauh mungkin dari pendekatan Zen dalam memahami realitas, dan oleh karena itu ia memilih linguistik. Sejak itulah, Toshihiko Izutsu mulai mempelajari beberapa bahasa asing.127 Sebagai seorang sarjana yang prolifik dan diakui dunia, Toshihiko Izutsu telah menghasilkan tidak kurang dari 120 karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun

124 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 125 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 126 Toshihiko Izutsu dalam Toward A Philosophy of Zen Buddhism, (Tehran: Imperian Iranian Academy of Philosophy, 1977), h. 5, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, menjelaskan bahwa zazen (坐禅) adalah meditasi yang dilakukan dengan duduk yang dilakukan untuk menenangkan tubuh dan pikiran untuk mencapai pengetahuan tentang hakikat eksistensi dan dengan demikian mendapatkan pencerahan (satori). http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 127 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 55

artikel.128 Dari sekian banyak tulisan Toshihiko Izutsu, ada dua karya yang patut mendapat perhatian khusus berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Yang pertama yaitu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an.129 Menurut Toshihiko Izutsu, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam.130 Dari tiga konsep al-Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya – ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al-Qur‘an pada dasarnya bersifat teosentris. Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung.131 Dari judul buku ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al- Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan- hamba, dan etik.132

B. Status al-Qur‘an Menurut Toshihiko Izutsu

128 Untuk lebih rincinya, lihat http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 129 Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran. Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. iv. 130 Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 131 Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. 132 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 127-268. 56

Pada bab I telah dikemukakan bahwa mayoritas non-Muslim mengingkari al- Qur‘an bersumber dari Allah. Hal ini tercermin dari pandangan pemuka agama Kristen abad pertengahan seperti Peter the Venerable (1094-1156), Martin Luther (1483-1546), dan Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320) yang menyatakan bahwa al- Qur‘an tidak lain adalah buatan setan. Pandangan demikian juga menjadi hal yang umum dalam karya sarjana-sarjana al-Qur‘an non-Muslim sampai abad ke-19 dan 20. Willian Muir (1819-1905), Richard Bell (1876-1953), dan John Wansbrough (1928- 2002), sebagai contoh, menunjukkan kecenderungan tersebut. Menurut Willian Muir, kepercayaan akan al-Qur‘an sebagai firman Tuhan hanya dipropagandakan oleh generasi sesudah Muhammad. Abû Bakr, salah seorang sahabat Muhammad yang utama dan menjadi khalifah pertama setelah Muhammad wafat, yang mula-mula memperkenalkan al-Qur‘an sebagai firman Tuhan. Ketertarikan Abû Bakr terhadap Muhammad sebagai pribadi yang sederhana dan konsisten yang menyebabkannya mengangkat derajat ucapan Muhammad sebagai firman Tuhan dan menghimpunnya untuk memelihara dari kehilangan. Sikap dan usaha yang sama diteruskan oleh ‗Umar ibn Khattâb untuk melakukan kompilasi dan mendeklarasikan sebagai firman Tuhan.133 Hal ini tentu bertentangan secara diametral dengan pandangan umat Muslim. Meskipun di kalangan teolog Muslimnya terdapat perdebatan mengenai status al-Qur‘an; apakah al-Qur‘an makhluk atau bukan, namun mereka sepakat bahwa al-Qur‘an adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya yang terakhir, yaitu Muhammad. Richard Bell berpendapat bahwa al-Qur‘an dibuat Muhammad berdasarkan ajaran-ajaran yang telah mapan saat itu, termasuk ajaran Yahudi dan Kristen.134 Sementara menurut John Wansbrough al-Qur‘an merupakan

133 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 97. 134 Contoh pengaruh ajaran Kristen adalah kisah tentang penolakan penyaliban Yesus. Dalam hal ini Muhamamd mengambil dari salah satu sekte Kristen Syria. Lihat Richard Bell, The Origin of Islam in Its Christian Environment, h. 67-68. 57

imitasi dari Taurat.135 Salah satu buktinya adalah pengambilan term setan.136 Umat Muslimlah, dalam pandangan John Wansbrough, yang menaikkan status dan kumpulan ucapan (logia) al-Qur‘an kepada derajat kitab suci yang bernilai mutlak.137 Yang lebih fatal lagi, dengan merujuk kepada Q.S. al-A‗râf (7): 71 dan al-Shaffât (31): 156, John Wansbrough memberi arti kata al-Kitâb/Kitâb Allâh yang ada dalam al-Qur‘an dengan ketetapan (decree), otoritas (authority), bukan dengan kitab suci.138 Keengganannya untuk menyebut al-Qur‘an dengan kitab suci tersebut tampaknya bertujuan untuk melepaskan al-Qur‘an dari jalinan yang transendental, yaitu wahyu Allah. Oleh karena itu dimunculkanlah anggapan akan adanya kata-kata yang disinyalir sebagai tambahan dari Muhammad. John Wansbrough menganggap bahwa kata qul dalam Q.S. al-An‗âm (6): 15, al-Ra‗d (13): 36, dan al-Ankabût (29): 52, yang menunjukkan bahwa Muhammad menerima perintah untuk menyampaikan suatu ayat kepada umatnya, sengaja disisipkan untuk menunjukkan bahwa al-Qur‘an adalah benar wahyu Allah. Keberadaannya justru menghilangkan struktur logis al-Qur‘an, karena tidak sejalan dengan homogenitas gaya bahasanya yang dipandang berlebihan.139 Dengan demikian, John Wansbrough melihat atau memperlakukan al- Qur‘an sebagai karya sastra berupa syair atau puisi yang harus konsisten dengan gaya bahasanya. Dalam keyakinan kaum Muslim, al-Qur‘an memang mengandung nilai

135 John Wansbrough mengatakan: ―That logia once collected and canonized might be granted enhanced status as the inimitable and uncreated world of God would not appear to have been either logical or necessary. Both qualities how ever may be seen as reflexes af Rabbinic attitudes toward the Mosaic revelation, possibly adobted and modified in the course of the Judeo-Muslim polemic.‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004), h. 78. 136 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h. 61. 137 John Wansbrough mengatakan: ―Whatever body of prophetical wisdom might from time to time have been regarded as supplementary to the contents of scripture, it was with an organized corpus of recognizable logia that the mainstream of Islamic theology was concerned, and not with a source of concealed wisdom for the elect.‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h. 61. 138 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h. 75-76. 139 John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h. 67-68. 58

sastra yang tinggi, yang diakui sendiri oleh bangsa Arab, namun al-Qur‘an bukan sebuah karya sastra yang harus tunduk kepada aturan sastra. Richard Bell, dalam The Origins of Islam in Its Christian Environment, berusaha keras membuktikan bahwa sumber utama al-Qur‘an adalah doktrin Kristen, meskipun ia juga mengakui kontribusi Yahudi dalam pembentukan doktrin Islam.140 Pengaruh Kristen memang belum terjadi pada fase awal kenabian, tetapi pada akhir periode Mekah sampai dengan awal periode Madinah.141 Ia menunjukan salah satu indikasinya, yaitu Q.S. al-Ikhlâsh (112) yang menurutnya bukan merupakan hasil polemik antara Muhammad dengan orang-orang Kristen, tetapi hasil polemik antara Muhammad dengan orang-orang musyrik yang mempunyai kepercayaan bahwa Allah mempunyai tiga anak perempuan (al-Lât, al-Uzza, dan Manât). Q.S. al-‗Alaq (96): 1- 5 yang menjelaskan penciptaan manusia dari segumpal darah juga bukan konsep yang diambil dari Bibel, karena dalam Bibel dinyatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Konsep yang diambil dari Bibel baru pada ayat-ayat yang muncul kemudian yang menyatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Pengaruh Kristen juga dapat dilihat melalui adanya persamaan antara kisah-kisah dalam al-Qur‘an dan Bibel seperti kisah penolakan penyaliban Yesus yang diambil dari salah satu sekte Kristen di Syria.142 Sementara itu Philip K. Hitti memandang bahwa sumber-sumber al-Qur‘an berasal dari campuran antara Kristen, Yahudi, dan Arab. Argumentasi yang diajukannya adalah bahwa di Hijaz ketika itu telah terdapat sejumlah budak dan pedagang Kristen, dan ada beberapa wilayah yang didiami oleh kaum Yahudi. Di antara isteri-isteri Muhammad ada yang beragama Kristen, yaitu Mariyah al-Qibtiyah, dan ada yang beragama Yahudi, yaitu Shâfiyah. Keadaan ini memungkinkan Muhammad menyerap gagasan-gagasan Yahudi dan Kristen. Selanjutnya karena Muhammad mendapatkan bahan dengan cara tidak langsung, yakni dari cerita-cerita

140 Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 13-14. 141 W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the , (Edinburgh: The University Press, 1991), h. 140. 142 Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 67-68. 59

orang, maka dalam al-Qur‘an tercampur-aduk antara wahyu dan kepalsuan. Kepalsuan ini tercermin, misalnya, dalam kisah Yusuf. Istri Potephar, Zulaikhâ, mengundang para wanita Mesir yang mempergunjingkan kisah cintanya dengan Yusuf ke suatu pesta. Ketika Yusuf dipanggil oleh Zulaikhâ untuk tampil di hadapan para wanita tersebut, maka mereka yang ketika itu sedang mengupas buah yang disajikan, tanpa menyadari mengiris tangannya sendiri karena terpana melihat ketampanan Yusuf.143 Adapun Toshihiko Izutsu, sarjana yang menjadi fokus kajian ini, berpendapat bahwa al-Qur‘an adalah wahyu yang berasal dari Tuhan.144 Pandangannya ini sejalan dengan mayoritas umat Muslim. Bagi umat Muslim al-Qur‘an adalah wahyu Allah dan Kitab di mana pesan-pesan-Nya kepada manusia terkandung. Ia adalah kalâm Allah yang diwahyukan kepada Nabi melalui Malaikat Jibril.145 Meskipun ia juga sempat mengatakan bahwa al-Qur‘an secara linguistik adalah sebuah karya asli Arab,146 namun hal ini tidak berarti Toshihiko Izutsu berpendapat bahwa al-Qur‘an adalah karya manusia. Pernyataannya lebih tepat dipahami sebagai pengakuannya bahwa bahasa al-Qur‘an adalah murni bahasa Arab, bukan bahasa langit sebagaimana yang dikemukakan oleh Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî dalam Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm,147 atau bahasa Aramaik dengan dialek Syria (Syrio- Aramaic) sebagaimana yang disimpulkan oleh Christoph Luxenberg (pseud.) dalam Die Syrio-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur‟ansprache.148 Oleh karena menggunakan bahasa Arab, maka menurut Toshihiko Izutsu, al-Qur‘an dapat didekati dengan melibatkan berbagai teori dalam lapangan

143 Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan Co., 1958), h. 107. 144 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 164. 145 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin Ltd., 1984), h. 42. 146 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38. 147 Lihat Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, (Riyad: t.p., 1409 H.), Cet. III, h. 13. 148 Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxenberg,‖ dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19. 60

ilmu sosial dan humaniora.149 Pendapatnya ini mengindikasikan bahwa Toshihiko Izutsu memperlakukan al-Qur‘an sebagai sebuah teks (nashsh). Berikut akan dielaborasi gagasan-gagasan Toshihiko Izutsu mengenai wahyu, bahasa, dan tekstualitas al-Qur‘an.

1. Al-Qur‘an: Wahyu yang berasal dari Allah Para orientalis menyatakan bahwa wahyu bukan merupakan suatu peristiwa supernatural, tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan kata lain, wahyu bukan berasal dari Tuhan, tetapi merupakan ide-ide dalam jiwa yang kemudian disabdakan. William Muir menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai wahyu tidak lain sesungguhnya adalah kata-kata Muhammad sendiri. Kata-kata tersebut dihimpun dari pengalaman-pengalaman Muhammad.150 Richard Bell juga menyatakan bahwa wahyu sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur‘an adalah sejenis komunikasi dari suatu ide dengan bisikan (suggestion) atau dorongan (promting) yang cepat melalui kilasan inspirasi. Wahyu demikian diperoleh dengan cara mempraktekkan kehidupan seperti kahin atau tukang tenung (soothsayer), hidup menyepi dan merenung. Argumen yang dikemukakannya adalah Q.S. al-Muzammil (73): 1-8, terutama ayat 6. Ayat ini dipahami Richard Bell sebagai gambaran usaha Muhammad untuk bangun di malam hari dalam rangka mendapatkan wahyu. Dalam suasana tengah malam lebih hening dan khusyu‟, wahyu lebih mudah didapat.151 Pernyataan William Muir dan Richard Bell tersebut mengindikasikan bahwa mereka menuduh Muhammad hanya mengaku mendapat wahyu dari Tuhan. Konsep wahyu itu sendiri, menurut Arthur Jeffery, telah dikenal oleh Muhammad melalui lingkungannya di masa kanak-kanak dan masa muda. Pengetahuan tentang wahyu, ilham, malaikat, kenabian, rasul, dan kitab suci sudah populer dalam masyarakat Arab sebelum atau menjelang kerasulan

149 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 1. 150 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 95. 151 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 95-96. 61

Muhammad. Ide mengenai wahyu lebih lanjut dipelajari oleh Muhammad melalui kontak dengan ahl al-kitâb. Sementara ajaran mengenai Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu diambil dari kitab Daniel dan Injil Lukas.152 Mengapa Muhammad mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan? Karena, menurut Arthur Jeffery, Muhammad mengumumkan dirinya sebagai nabi. Mengaku sebagai nabi harus mengetahui tentang Tuhan, mempunyai kitab suci, dan perlu bimbingan dari Tuhan, yang semuanya diperoleh melalui wahyu. Dalam hal ini Muhammad ingin menyerupai nabi-nabi dalam Perjanjian lama.153 Keinginan Muhammad untuk menjadi nabi, menurut Maxime Rodinson, karena ada kontradiksi-kontradiksi intern dalam jiwa dan faktor-faktor sosial yang kontradiktif dengan keadaan Muhammad yang mengakibatkan krisis nervous dalam dirinya.154 Muhammad di satu sisi memiliki pikiran sehat dan tenang. Dalam hidupnya selalu berpikir sebelum mengambil keputusan, melaksanakan kegiatan bisnisnya dengan efisien, mengetahui kapan harus mengulur waktu dan kapan harus memperketat serta kapan harus melakukan tindakan untuk keberhasilan rencananya. Muhammad mampu berdiplomasi dan mampu berpikir yang jelas dan logis. Tetapi di bawah dari apa yang nampak itu terdapat temperamen yang gugup, penuh gairah nafsu agresif, gelisah, tidak sabar, serta mengangankan sesuatu yang tidak mungkin. Keadaan jiwa yang demikian kontradiktif tersebut membawa kepada krisis nervous yang merupakan kasus patologis.155

152 Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah studi evaluatif), h. 93. Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 176. 153 Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah studi evaluatif), h. 93. 154 Maxime Rodinson menyatakan menggunakan Psikoanalisa Sigmund Freud dalam melihat kejiwaan Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91. 155 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91. 62

Menurut Maxime Rodinson, beberapa sifat Muhammad yang bisa memberikan kebahagiaan walaupun sedikit, misalnya, sikap pasrah terhadap keadaan yang ada. Akan tetapi sifat ini tidak bertahan lama, karena bertentangan dengan sifatnya yang lain, yaitu menginginkan sesuatu di luar dari hal biasa. Hal lain adalah karena ia tidak mempunyai anak laki-laki (anak laki-lakinya, Ibrahim wafat selagi masih kecil). Sebagaimana lazimnya pada masa itu, anak laki-laki menjadi kebanggaan, sementara anak perempuan merupakan bencana. Keadaan ini menyebabkan Muhammad merasa malu, yang oleh Maxime Rodinson diidentikkan dengan kata ―abtar‖ dalam Q.S. al-Kautsar (108): 3. Menurut pemahamannya, ayat tersebut diucapkan oleh Muhammad sebagai kompensasi dari rasa kecewa karena tidak mempunyai anak laki-laki. Di sisi lain, ketidakpuasan Muhammad juga disebabkan oleh tradisi masyarakat Arab yang menganggap pria beristri satu tidak pantas. Sementara itu, Muhammad tidak mungkin memadu Khadijah, istrinya yang berjasa itu, dengan wanita lain. Keadaan ini juga bisa membawa frustasi.156 Keadaan lain yang mengakibatkan ketidakpuasan Muhammad adalah karena famili-famili dan sahabat-sahabat karibnya adalah orang-orang kaya yang lebih cenderung pada politik yang ditunjang oleh kekayaan mereka. Sementara anggota masyarakat lainnya mempunyai kecenderungan pada masalah moral dan intelektual. Muhammad sendiri tidak seperti famili-familinya yang praktisian. Ia adalah seorang idealis yang tidak ofensif. Sementara itu, ia sejak kecil memiliki bakat seperti shaman atau ahli magis yang bisa membuat ramalan-ramalan. Dengan kemampuan tersebut, ia berusaha menarik simpati dari orang banyak dengan membuat ramalan-ramalan untuk perbaikan masyarakatnya. Keadaan ini membuat Muhammad melakukan pertapaan, kemudian berfatwa, dan lambat-laun menyatakan diri sebagai Nabi.157 Adapun menurut Arthur Jeffery, yang memotivasi Muhammad untuk mengaku

156 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91. 157 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 92. 63

seorang nabi adalah karena masyarakat Arab tidak pernah mempunyai nabi atau rasul dari bangsanya sendiri, sementara konsep kenabian sudah mereka ketahui melalui tradisi Yahudi dan Kristen.158 Sementara menurut Toshihiko Izutsu, wahyu yang diperoleh oleh Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya berasal Tuhan. Baginya, fenomena wahyu merupakan fenomena yang sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam sebagaimana terekam dalam syair-syair Jahiliyah.159 Dari beberapa contoh penggunaannya dalam syair Jahiliyah, kata ini secara semantik dapat dikelompokkan menjadi tiga persoalan. Pertama, ia merupakan proses komunikasi. Artinya, proses ini harus melibatkan dua orang, atau harus ada dua orang di arena agar peristiwa yang disebut wahyu benar- benar terwujud. Di sini tidak harus terjadi hubungan timbal balik, hubungan tersebut sepenuhnya merupakan komunikasi unilateral. Orang pertama berperan aktif dengan melakukan tindakan pengiriman kehendak dan pikirannya melalui isyarat kepada orang kedua, sementara orang kedua berperan sebagai penerima informasi dari orang pertama tanpa melakukan tindakan sebaliknya; Kedua, komunikasi tersebut tidak harus verbal. Artinya, media yang digunakan dalam penyampaian informasi tersebut tidak selalu berbentuk bahasa. Meskipun kadang kala menggunakan kata-kata, namun seringkali bersifat non-linguistik; dan Ketiga, komunikasi tersebut dilakukan dengan cara yang misterius, rahasia, dan mengandung hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam arti orang pertama menyampaikan informasi dengan sangat jelas kepada orang kedua, sehingga dengan demikian komunikasi tesebut terjadi dengan sempurna, namun karena dilakukan dengan cara yang rahasia, maka komunikasi tersebut tidak dapat

158 Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah studi evaluatif), h. 93. 159 Johannes Deninger mendeskripsikan wahyu sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan yang biasanya disampaikan melalui perantaraan malaikat Jibril. Wahyu tersebut menyangkut firman Tuhan, kehendak-Nya yang misterius, pernyataan mengenai hari kemudian, serta perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya. Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk definitif pada tahun 570-632 M. Lihat Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 361. 64

dipahami oleh orang-orang luar.160 Dengan demikian, makna sentral dari wahyu adalah pemberian informasi. Syarat pemberian informasi ini harus berjalan secara samar dan tersembunyi. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi (pesan) secara samar dan rahasia. Selain itu, konsep wahyu dalam masyarakat Arab pra-Islam terkait dengan puisi dan ramalan yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan kepada penyair dan peramal melalui proses pewahyuan (waẖy, tanzîl). Syair dan ramalan pada saat itu merupakan sumber kebenaran, karena keduanya digubah oleh para penyair dan peramal berdasarkan informasi yang didapat dari jin yang mampu mendengar atau mencuri informasi dari langit. Hal ini, menurut Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 10 Juli 1943), merupakan basis kultural fenomena wahyu keagamaan. Karena keyakinan ini, pemikiran Arab juga akrab dengan konsep malaikat (malâ‟ikah) yang berkomunikasi dengan seorang Nabi.161 Namun, dalam tahap selanjutnya al-Qur‘an mendekonstruksi konsep kultural wahyu pra-Islam itu dengan mengatakan bahwa para jin itu kini tidak bisa lagi mencapai langit, karena sebelum mencapainya mereka telah dilempari bintang berapi oleh para malaikat.162 Jadi, logika budayanya berarti bahwa syair dan ramalan bukan lagi merupakan sumber kebenaran, karena jin tidak lagi dapat mencuri informasi dari langit. Dengan demikian, teks al-Qur‘an menyatakan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena diwahyukan sendiri oleh Allah (bukan dengan cara dicuri) kepada Muhammad melalui Malaikat Jibril. Berkenaan dengan al-Qur‘an, wahyu, menurut Toshihiko Izutsu, adalah parole (kalâm/perkataan) Tuhan, yang termanifestasi dalam bahasa (lisân) Arab.163

160 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 169-178. 161 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (t.tp.: al-Hai‘ah al-Mishriyyah al-ʻÂmmâh li al-Kitâb, 1993), h. 38. 162 Q.S. al-Jinn (72): 8-9. 163 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 164. 65

Pendapatnya tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah (2): 75, yang secara kontekstual mengandung pengertian bahwa firman Tuhan mengacu kepada kata-kata yang telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi. Pendapat Toshihiko Izutsu secara linguistik memang cukup kokoh. Dalam kedua ayat tersebut, yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 75; dan Q.S. al-Taubah (9): 6, kata ―kalâm‖,164 yang berasal dari akar kata k-l-m, dirangkaikan dengan kata ―Allah‖.165 Al- Zamakhsyarî (w. 538 H./1143 M.)166 dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353 M.)167 juga menginterpretasikannya sebagai wahyu Tuhan. Sekarang problem sesungguhnya dari persoalan pewahyuan adalah ketika menyingkap tabir Tuhan yang berkomunikasi dengan Muhammad. Jelasnya, Bagaimana menjelaskan eksternalitas wahyu sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan? Apakah Tuhan berkomunikasi (menyampaikan wahyu) kepada Muhammad secara langsung atau melalui perantara (Ruh, Malaikat atau Jibrîl)? Harus disadari memang, situasi komunikasi dalam konteks wahyu al-Qur‘an memang berbeda dengan situasi komunikasi lainnya. Dua sisi komunikasi yang mendasar dalam konteks ini adalah Allah di satu pihak dan Muhammad yang manusiawi di pihak lain.

164 Menurut penelitian C.H.M. Versteegh, semenjak paruh awal abad kedua hijriah, para ilmuwan bahasa Arab mempergunakan kata ―kalâm‖, ―qaul‖, ―kalimah‖, dan yang senada sebagai istilah-istilah teknis dalam disiplin bahasa dan sastra Arab. Menurut pengertian teori bahasa Arab tersebut, kata ―kalâm‖ diartikan sebagai ungkapan yang memiliki fungsi, atau dengan kata lain, frase yang memiliki fungsi tertentu. Lihat, C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in Early Islam, (Leiden: 1993), h. 99-104. 165 Selain dalam kedua ayat tersebut, kasus serupa juga terdapat dalam dan Q.S. al-Fatẖ (48): 15. Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, h. 620. 166 Al-Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan al- Qur‘an. Lihat Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ʻUmar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân, 1998), h. 14-15. 167 Muẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖. Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻalâ nisbah isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân al- Andalusî, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2001), h. 435-439. 66

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, komunikasi antara Tuhan dan manusia ini memang mengalami masalah, karena keduanya berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. 168 Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai Dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural. Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, problem tersebut dapat diatasi dengan adanya perantara yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya).169 Hal inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn.170 Toshihiko Izutsu memperkuat penjelasannya dengan mengutip ayat al-Qur‘an yang menjelaskan tentang cara pengiriman wahyu.171 Berdasarkan ayat tersebut, diketahui ada tiga cara Tuhan berkomunikasi secara verbal kepada manusia, yaitu: pertama, komunikasi misterius; kedua, berbicara dari balik tabir; dan ketiga, melalui

168 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180. 169 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192. 170 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189. 171 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189. 67

pengiriman seorang utusan.172 Tipe pertama, menurut Toshihiko Izutsu masih gelap, karena tidak dijelaskan oleh ayat tersebut. Ia menduga kata wahy adalah semacam komunikasi langsung yang merupakan komunikasi khusus dari Allah yang diberikan kepada Musa sebagai pengecualian dari Nabi-nabi yang lain.173 Dalam bagian yang lain ia mengatakan, dari semua Nabi yang disebutkan dalam al-Qur‘an, Musa menempati posisi yang istimewa. Keistimewaannya ditandai oleh Tuhan ―berbicara‖ secara langsung dengannya.174 Tipe kedua, yang menggunakan ungkapan ―dari balik tabir‖, menegaskan bahwa komunikasi verbal benar-benar telah terjadi dalam keadaan pendengar tidak melihat sama sekali si pembicara. Dalam kasus ini, meskipun tidak melihat siapa-siapa, Muhammad memiliki kesadaran yang jelas bahwa di suatu tempat di dekatnya ada makhluk ghaib yang berbicara kepadanya dengan cara yang tidak biasa.175 Untuk menguatkan argumennya, Toshihiko Izutsu mengutip sebuah hadis yang berasal dari ‗Âisyah yang menceritakan bahwa pada suatu kesempatan al-Hârits ibn Hisyâm bertanya kepada Muhammad tentang cara wahy datang. Lalu Muhammad menjelaskan bahwa wahy kadang kala datang seperti suara gemerincing lonceng (mitsla shalshalah al-jaras).176 Tipe yang ketiga adalah komunikasi verbal melalui utusan khusus. Dalam kasus ini Muhammad, seperti ditegaskan oleh separuh lanjutan hadis ‗Âisyah,177 tidak hanya mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi juga melihat pembicara. Fakta yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan, menurut Toshihiko Izutsu, adalah penggunaan kata kerja ―wa„a”. Dalam bagian pertama muncul dalam bentuk perfektif (wa„aitu ―aku telah mengetahui‖). Ungkapan ini mengandung makna

172 Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. 173 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190. 174 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 174-175. 175 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190. 176 Lebih lanjut dalam hadis tersebut Muhammad menjelaskan bahwa cara ini merupakan cara yang paling berat. Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah al-Bukhârî al-Ja‗fî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, (Semarang: Penerbit Toha Putra, t.th.), h. 2-3. 177 Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah al-Bukhârî al-Ja‗fî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, h. 3. 68

bahwa pada saat makhluk ghaib tersebut berbicara, Muhammad tidak memiliki kesadaran untuk mengerti apa yang dibicarakan. Semua yang beliau dengar merupakan suatu misteri. Namun ketika momen tersebut berakhir dan beliau telah kembali kepada kesadaran manusia normal, beliau menyadari bahwa suara tersebut berubah menjadi kata-kata yang jelas maknanya. Sementara pada bagian kedua, kata tersebut muncul dalam bentuk imperfektif (a„i). Hal ini menunjukan dengan jelas bahwa dalam kasus kedua tersebut Muhammad mendengar kata-kata yang benar- benar diucapkan.178 Berdasarkan hal tersebut, Toshihiko Izutsu menyimpulkan bahwa Muhammad bukan saja seorang Nabi yang bertipe auditory tetapi juga bertipe visual.179 Hal ini berbeda dengan Tor Andrae. Setelah menganalisis wahyu yang diterima para Nabi yang menurutnya memiliki dua tipe, yaitu: Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory). Dalam bentuk ini, wahyu seperti suara yang berbicara ke telinga ataupun hati seorang nabi. Kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual). Menurut penjelasan ini, wahyu diterima dengan pandangan dan gambaran yang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Selanjutnya, Tor Andrae berpendapat, bahwa bentuk wahyu yang diterima oleh Muhammad adalah tipe yang pertama, di mana Jibril secara langsung mendiktekan kepada Muhammad wahyu- wahyu Tuhan yang menyatakan bahwa wahyu yang diterima Muhammad, didiktekan oleh suatu suara yang diatributkan kepada Malaikat Jibril. Dalam keadaan demikian, Muhammad tidak melihat sosok yang menditekan wahyu tersebut. Kesimpulannya, Tor Andrae memandang Muhammad sebagai Nabi yang hanya bertipe auditory.180 Teori wahyu sebagai komunikasi verbal dan adanya ―perantara‖ dalam pewahyuan al-Qur‘an sebagaimana yang dikemukakan Toshihiko Izutsu disanggah oleh Fazlur Rahman. Tegasnya, Fazlur Rahman menolak bahwa wahyu datang

178 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190-191. 179 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191. 180 Sebagaimana dikutip oleh , Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. II, h. 22. Juga Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 179. 69

melalui telinga Nabi Muhammad dan melalui proses eksternal. Proses pewahyuan, menurutnya, bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.181 Ia juga menolak malaikat Jibril sebagai perantara dalam proses pewahyuan. Penggambaran seperti ini biasanya disimbolkan sebagai proses mekanis perekaman suara. Tentang kehadiran figur malaikat Jibril sebagai agen eksternal, Fazlur Rahman secara tegas dan sejak dini menolaknya. ―Sekalipun ada kisah yang menceritakan kehadirannya,‖ ia menyebutnya, ―Sebagai kisah-kisah yang diadakan di kemudian hari‖ (must be regarded as later fictions).182 Penolakan Fazlur Rahman ini didasarkan atas al-Qur‘ân yang tidak menyebutkan malaikat apapun yang diutus untuk menyampaikan wahyu, kecuali kata yang sering disebut adalah rûh dan rûh al-amîn.183 Kesangsian Fazlur Rahman terhadap malaikat Jibrîl ini, bisa jadi disebabkan karena adanya pertentangan dengan ayat-ayat lainnya yang justru lebih banyak menyebutkan bahwa wahyu disampaikan langsung oleh Tuhan kepada para nabi melalui ruh-Nya. Memang banyak penafsir al-Qur‘an yang menganalogkan ruh tersebut sebagai Malaikat (Jibril). Malaikat sering didefinisikan sebagai makhluk spiritual yang

181 Sebagaimana Toshihiko Izutsu, Fazlur Rahman dalam menjelaskan pendapatnya juga bersandarkan kepada Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. Namun ia memahaminya sebagai ―God speak to no human (i.e. through “sound words”) exept through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or from behind the veil, or He may send a messenger (an angel) who speak through wahy … even thus have We inspired you with a spirit of Our command.‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), h. 30-31. 182 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. 141. Dalam konteks ini tidak ada penjelasan dari Fazlur Rahman mengenai kedudukan hadits-hadits, termasuk di dalamnya hadits qudsi, yang menjelaskan kehadiran Jibril, apakah benar-benar ia menolaknya atau tidak. Pandangan Rahman di atas didasarkan keterangan yang menyebutkan bahwa orang-orang Mekkah berulang kali mendesak agar diturunkan kepada Muhammad. Al-Qur‘ân berulang kali pula menyangkal desakan-desakan tersebut. Keterangan tersebut antara lain disebutkan dalam al-Qur‘ân, antara lain Q.S. al-Syu‗arâ (26): 193, al-Baqarah (2): 97, al- Syûrâ (42): 24, al-Hijr (15): 81, dan lain sebagainya. Keterangan dari ayat-ayat tersebutlah yang menjadi dasar argumen Rahman tentang penolakan Jibril sebagai figur penyampai wahyu. 183 Bahkan dalam cerita-cerita Nabi-nabi yang lain, Mûsa, Nûh dan Ibrâhîm, Tuhan seperti berbicara langsung kepada mereka. Atau dalam istilah yang cukup populer disebutkan al-Qur‘ân, ―Dia mengirimkan Ruh dari perintah-Nya kepada yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (Q.S. al-Mu‘min (40): 15). Beberapa Nabi memang mendapat manfaat dari kehadiran Ruh Tuhan ini, yang kepadanya mereka disampaikan wahyu. Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 139. 70

mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sekalipun kemudian berkembang doktrin teologis tentang pembagian tugas malaikat, itu terjadi di kemudian hari. Fazlur Rahman tidak menolak kalau Ruh Suci yang biasa menjumpai para Nabi ketika menyampaikan wahyu adalah Malaikat. Bisa jadi Ruh Suci itu adalah malaikat yang paling mulia dan paling dekat dengan Tuhan (It is probably that the Spirit is the highest form of the angelic nature and the closest to God).184 Namun penolakan Fazlur Rahman terhadap simbol-simbol atau figur-figur tersebut, harus dianggap sebagai kekhawatirannya yang justru akan mengaburkan Tuhan sebagai Sang Penyampai wahyu kepada para nabi-Nya. Selain itu, ia juga menolak reiifikasi material (personal) terhadap simbol-simbol spiritual sekedar untuk memberikan wadah bagi rûh yang menyampaikan wahyu.185 Patut dicatat, bahwa munculnya figur-figur eksternal penyampai wahyu (di luar Tuhan dan Muhammad) terjadi di belakang hari. Hal ini merupakan upaya untuk menjembatani kedudukan manusia yang menyejarah dengan Tuhan yang transenden. Karenanya dibutuhkan figur tertentu untuk menjembatani rentang ruang tersebut. Figur tersebut muncul, khususnya Jibrîl, diangkat dari sebuah hadis Nabi yang berjumpa dan berdialog dengannya. Pada satu sisi otentisitas hadits tersebut patut dipertanyakan. Namun di sisi lainnya merupakan keniscayaan historis, di mana umat Islam tengah berupaya membersihkan pengaruh tradisi Judea-Kristiani terhadap eksistensi wahyu. Dalam tradisi Kristen, wahyu (logos) identik dengan tubuh

Kristus.186 Wahyu (firman Tuhan) identik dengan dirinya, karena wahyu telah me- Logos dalam dirinya, hingga tidak ada pemisahan antara perkataannya dengan Kalam Tuhan itu sendiri. Islam menolak keidentikkan antara Muhammad dengan wahyu Tuhan. Seluruh perkataan atau tindakan aktual yang dilahirkan olehnya dianggap oleh umat Islam sebagai sunnah (tradisi). Sekalipun seluruh prilaku tersebut mendapat

184 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 140. 185 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The Chicago University Press, 1979), h. 1 186 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 88. 71

sinaran dari wahyu Tuhan, bagaimanapun keduanya tetap tidak identik. Dan tidak dapat dikatakan bahwa Muhammad adalah Logos Tuhan yang menyejarah, sebagaimana yang dipahami dalam doktrin Kristen. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Toshihiko Izutsu terhadap proses pewahyuan sejalan dengan mayoritas umat Muslim yang menyatakan bahwa wahyu diturunkan Tuhan melalui perantara Malaikat Jibril. Hal ini memang didukung oleh adanya keterangan (hadîts) yang menyatakan bahwa Muhammad berjumpa dengan Jibrîl dan bercakap-cakap. Bahkan ia pernah memperlihatkan wujud aslinya kepada Muhammad.

2. Bahasa al-Qur‘an Wahyu Tuhan termanifestasi dalam langue (lisân/bahasa), dan bahasa yang dipilih oleh Allah adalah bahasa Arab.187 Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al- Qur‘an bukan karena superioritas bahasa ini dibanding bahasa-bahasa lain sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Jalâl al-Dîn al-Suyuthî,188 tetapi lebih merupakan teknis penyampaian pesan. Penggunaan bahasa Arab untuk al-Qur‘an adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasul pun kecuali dalam bahasa kaumnya,189 yaitu masyarakat Arab yang menjadi audience langsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini Muhammad merupakan seorang rasul yang diutus kepada masyarakat Arab sebagai audience

187 Karena al-Qur‘an menggunakan bahasa Arab, dalam kalangan masyarakat Muslim timbul pandangan tentang adanya semacam ―kesejajaran‖ antara Islam dan Arab. Pandangan seperti ini dapat dilihat, misalnya, pada Abû Manshûr al-Tsa‗labî dalam mukaddimah bukunya ―Fiqh al-Lughah al- „Arabiyah,‖ mengatakan bahwa: ―Barang siapa mencintai Allah, dia harus mencintai rasul-Nya, Muhammad. Dan barang siapa mencintai rasul-Nya yang dari Arab itu, dia harus mencintai bangsa Arab. Barang siapa mencintai bangsa Arab, dia harus mencintai bahasa Arab. … Berupaya memahaminya adalah termasuk kewajiban agama, sebab bahasa Arab adalah merupakan alat dari ilmu pengetahuan dan kunci mendalami agama ….‖ Sebagaimana dikutip oleh Utsman Amîn, Falsafah al- Lughah, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-Ta‗lîf wa al-Tarjamah, 1965), h. 22. 188 Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 322. Salah satu keistimewaan bahasa Arab, menurutnya, adalah bahasa sorga. Pandangannya ini didasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh Adam untuk berkomunikasi ketika di sorga. Lihat Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa Anwâ„ihâ, h. 30-31. 189 Lihat Q.S. Ibrâhîm (14): 4. 72

langsung, maka al-Qur‘an ―turun‖ menggunakan bahasa Arab. Ia mendasarkan pandangannya atas Q.S. Ibrâhîm (14): 4, Q.S. Yûsuf (22): 2, Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 193-194, Q.S. Fushilat (41): 44, dan Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 198-199.190 Di sini timbul pertanyaan, siapa yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Di kalangan sebagian sarjana Muslim klasik setidaknya terdapat tiga pandangan yang berkembang, yaitu: pertama, al-Qur‘an disampaikan dengan lafadz dan makna. Mekanismenya adalah Jibril menghafalkan al-Qur‘an dari lauẖ al-maẖfûdz dan membawanya ke bumi; kedua, Jibril hanya menyampaikan maknanya secara khusus, lalu Nabi mempelajari dan mengartikulasikannya dengan bahasa Arab. Pendapat ini merujuk kepada literal Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 193-194; ―nazala bi hi al-rûẖ al-amîn „alâ qalbika‖; ketiga, bahwa Jibril menyampaikan makna kepada Nabi dan mengartikulasikannya ke dalam bahasa Arab. Jibril menyampaikannya dengan bahasa Arab sebagaimana makhluk yang ada di langit membacanya.191 Pendapat pertama dapat diartikan bahwa Tuhan mengirimkan pesan kepada Nabi Muhammad dengan bahasa Arab. Sedang menurut pendapat kedua dan ketiga komunikasi Tuhan tidak menggunakan sarana bahasa manusia, tetapi dengan bahasa langit yang tidak dapat diidentifikasi oleh manusia. Adapun Toshihiko Izutsu, dengan mengaitkan pendapatnya tentang proses pewahyuan di atas, dapat dipahami bahwa Tuhan sendirilah yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Pandangannya yang menyatakan bahwa al-Qur‘an diturunkan dalam bahasa Arab lagi-lagi menegaskan bahwa ia sama sekali tidak mempersoalkan otenstisitas kitab suci ini, sementara bagi sarjana lain hal ini menjadi isu yang menarik, baik untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an maupun untuk menunjukkan hal sebaliknya bahwa ia hanya jiplakan dari kitab suci sebelumnya.

190 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 199-201. 191 Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî,, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), h. 229; Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 44-45. 73

Sarjana yang menyatakan bahwa bahasa al-Qur‘an bukan bahasa Arab dengan tujuan untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an adalah Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî. Untuk menguatkan pendapatnya tersebut, ia mengemukakan beberapa contoh mukjizat yang diturunkan kepada utusan-utusan Tuhan sebelum Nabi Muhammad. Nabi Isa, misalnya, yang diberi mukjizat dapat menyembuhkan orang yang sedang sekarat bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Mukjizat ini meskipun ada kemiripan dengan ilmu kedokteran, namun tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu kedokteran. Dalam konteks al-Qur‘an, gaya bahasa (uslûb)-nya yang tidak dapat ditandingi oleh sastra gubahan penyair-penyair Arab, walau pun dapat dipahami oleh orang-orang Arab, menunjukkan bahwa bahasa al- Qur‘an berbeda dengan bahasa Arab.192 Sarjana-sarjana yang menyatakan bahasa al-Qur‘an sebagian bukan asli Arab untuk menunjukkan bahwa al-Qur‘an tidak lain adalah jiplakan dari kitab-kitab sebelumnya, di antaranya, adalah Abraham Geiger (1810-1874), Arthur Jeffery (1893-1959), dan Christoph Luxenberg (nama samaran). Bukti-bukti bahwa bahasa al-Qur‘an tidak otentik bahasa Arab, menurut Abraham Geiger adalah adanya empat belas kosakata al-Qur‘an yang berasal dari bahasa Ibrani atau tradisi Yahudi. Kempat belas kosakata tersebut adalah tâbût, taurâh, jannât „adn, jahannam, aẖbâr, darasa, rabbânî, sabt, sakînah, thâghût, furqân, mâ„ûn, matsânî, dan malakût.193 Sementara Arthur Jeffery menghimpun 317 kosakata yang diyakininya bukan asli bahasa Arab.194 Menurutnya, keberadaan kosakata serapan tersebut meniscayakan bahwa Muhammad selaku pengemban risalah al-Qur‘an banyak mempelajari fenomena budaya dari bahasa asal kosakata tersebut.195 Untuk mengukuhkan pandangannya tersebut, ia juga mengandalkan riwayat tentang ketidaktahuan ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs

192 Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, h. 13. 193 Lihat Abraham Geiger, ―What did Muhamamd Borrow from Judaism?‖ dalam Ibn Warraq (ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998), h. 166-172. 194 Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, (Leiden-Boston: Brill, 2007), h. 43-296. 195 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 2.

74

– sahabat Nabi yang paling alim yang digelari tarjumân al-Qur‟ân – mengenai makna kosakata tertentu dalam beberapa ayat al-Qur‘an, seperti makna kata fâthir ( ) yang terulang sebanyak enam kali dalam al-Qur‘an. ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs baru memahami makna kata tersebut setelah secara tidak sengaja mendengar perkataan salah seorang dari dua orang Arab yang sedang memperebutkan sebidang tanah. Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang tersebut adalah ana fathartuhâ ( ).196 Ketidaktahuan seperti ini, menurut Arthur Jeffery, menjadi bukti bahwa kosakata tersebut sebenarnya bukan asli dari bahasa Arab. Selain itu, Arthur Jeffery juga menyatakan bahwa kosakata yang terkait dengan aksesori, seperti istabraq ( ), sundus ( ), zanjabîl ( ), misk ( ), surâdiq ( ), dan abâriq ( ), tidak mungkin dikenal oleh masyarakat Arab yang pada ketika itu kehidupannya masih diselimuti kejahiliahan.197 Dengan mengutip Jalâl al-Dîn al- Suyûthî,198 ia mengklasifikasi sebelas bahasa asal kosakata serapan al-Qur‘an, yaitu: Ethiopia, Persia, Romawi, India, Syria, Ibrani, Nabathean, Koptik, Turki, Negro, dan Barbar.199 Dari bahasa-bahasa inilah bahasa Arab mengambil banyak kosakata yang terkait dengan keagamaan ataupun kebudayaan. Kemudian ia menguraikan kesebelas bahasa tersebut satu persatu untuk membuktikan kedekatan hubungannya dengan bahasa Arab disertai sejumlah contoh kosakata. Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa adanya kosakata serapan tersebut dalam al-Qur‘an menunjukkan adanya pengaruh luar, terutama dari ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap al-Qur‘an.200 Christoph Luxemberg, orientalis berkebangsaan Jerman asal Lebanon yang bernama asli Ephraem Malki, melalui bukunya Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine Entschüsselung der Koransprache, menyimpulkan bahwa bahasa al-Qur‘an sebenarnya bukan bahasa Arab, tetapi bahasa Aramaik dengan dialek Syria (Syrio-

196 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 7. 197 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 11. 198 Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al- Qur‟ân, Juz I, h.138-141. 199 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 12. 200 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 43. 75

Aramaic). Oleh karena itu, banyak kosakata dan ungkapan yang semula sering dibaca keliru atau sulit dipahami dapat diatasi dengan merujuk kepada bahasa Syrio-Aramaic yang diyakininya menjadi lingua franca pada saat itu. Ia juga berkesimpulan bahwa ajaran al-Qur‘an banyak mengambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen Syria.201 Di kalangan sarjana Muslim sendiri masalah kemurnian bahasa Arab al- Qur‘an ini juga sempat menjadi polemik; apakah ia berbahasa Arab secara murni atau ada unsur-unsur bahasa lain di dalamnya. Polemik seputar masalah ini melahirkan dua kelompok mainstream. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa semua kosakata yang ada dalam al-Qur‘an adalah bahasa Arab. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa sebagian kosakata al-Qur‘an merupakan kosakata bahasa asing. Sarjana-sarjana Muslim yang dapat dikategorikan termasuk dalam kelompok pertama adalah Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î (w. 204/820), Abû ‗Ubaidah (w. 209/825), Muẖammad ibn Jarîr al-Thabarî (w. 310/923), Abû al-Husain ibn Fâris al- Lughawî (w. 395/1004), dan Abû Bakr ibn al-Thayyib al-Bâqillânî (w. 403/1012).202 Mereka mendasarkan argumentasinya pada ayat-ayat al-Qur‘an yang menyebutkan bahwa al-Qur‘an diturunkan dengan bahasa Arab.203 Mereka menuduh orang-orang yang berpendapat bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat kosakata tertentu bukan bahasa Arab sebagai tindakan tergesa-gesa, karena ketidaktahuan terhadap kosakata tersebut lalu mengatakan sebagai bukan bahasa Arab, padahal sesungguhnya ia bahasa Arab. Adalah sebuah kewajaran jika kosakata tertentu dituturkan oleh beberapa orang dari penutur bahasa yang berbeda.204 Sementara itu, mereka yang berargumen bahwa di

201 Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖ dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19. 202 Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 287; Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 136. 203 Lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; al-Ra‗d (13): 37; al-Naẖl (16): 103; Thâhâ (20): 113; al-Syu‗arâ (26): 195; al-Zumar (39): 28; Fushshilat (41): 3 dan 44; al-Syûrâ (42): 3; al-Zukhruf (43): 3; dan al- Aẖqâf (46): 12. 204 Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 42.

76

dalam al-Qur‘an terdapat kosakata asing yang menjadikan al-Qur‘an tidak murni berbahasa Arab adalah ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs (w. 68 H.), ‗Ikrimah (w. 105 H.), dan lain-lain.205 ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs, ketika ditanya tentang Q.S. al-Muddatstsir (74): 51 ( ), menjelaskan bahwa kata qaswarah adalah bahasa Ethiopia, yang padanannya dalam bahasa Arab adalah al-asad, dalam bahasa Persia disebut syîr, dan dalam bahasa Nabathean disebut awiyâ.206 Di sisi lain, dalam tradisi kesarjanaan Muslim, kosakata asing dalam al- Qur‘an diistilahkan dengan al-gharîb atau gharîb al-Qur‟ân. Istilah ini mejadi bidang kajian tersendiri dalam disiplin ilmu tafsir yang menafsirkan kosakata yang samar dalam al-Qur‘an. Pembahasan tentang gharîb al-Qur‟ân didasarkan atas ẖadîst Nabi saw, disamping fakta bahwa kaum Muslim generasi awal juga tidak mengetahui makna beberapa kata dalam al-Qur‘an.207 Polemik sekitar kearaban al-Qur‘an ini di kalangan sarjana Muslim hanya membawa implikasi terhadap boleh tidaknya salat menggunakan bahasa selain Arab. Dengan kata lain, tidak sampai pada pendapat bahwa al-Qur‘an berasal dari kitab- kitab lain. Imam al-Syâfi‗î tidak membolehkan salat dengan menggunakan bahasa selain Arab, sementara Imam Abû Hanîfah memperbolehkannya dengan beberapa alasan, di antaranya adalah riwayat ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd yang pernah membimbing bacaan al-Qur‘an seorang non Arab („ajam). Ketika sampai pada bacaan pada [Q.S. al-Dukhân (44): 43-44] orang tersebut membacanya dengan , lalu oleh ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd diarahkan untuk membacanya dengan . Kemudian ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd mengatakan bahwa bukan merupakan suatu kesalahan jika seseorang mengganti kata dengan

205 Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 288. 206 ‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl ibn Katsîr al-Damsyîqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Jilid XIV, Taẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, 2000), h, 190. 207 Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî ʻUlûm al- Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 115-133. 77

, namun yang dimaksud dengan kesalahan adalah jika ayat yang bermakna azab diganti maknanya dengan kasih sayang.208 Pandangan Toshihiko Izutsu di atas sejalan dengan pandangan sarjana-sarjana Muslim secara umum, sebagaimana direkam oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthi dalam al- Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân.209 Pandangan tersebut mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur‘an. Dalam banyak tempat, al-Qur'an sendiri secara tegas mengatakan bahwa dirinya sebagai ʻarabîy. Hal ini terekam dalam setidaknya ada dalam enam ayat, salah satunya adalah Q.S. Thâhâ (20): 30, ―Kami menurunkan al-Qur‟an dalam bahasa Arab agar kamu memahaminya.‖210 Adalah hal yang aneh jika al-Qur‘an tidak memakai bahasa Arab, karena Nabi Muhammad adalah orang yang lahir, hidup, dan besar dalam kultur dan budaya sosial masyarakat Arab yang bahasa Arab menjadi alat komunikasinya.

3. Tekstualitas al-Qur‘an Teks dapat dipahami sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan.211 Toshihiko Izutsu memang tidak menyatakan secara eksplisit bahwa al-Qur‘an yang ada sekarang atau yang tertulis di antara dua sampul sebagai teks, tetapi dari pernyataannya di atas bahwa al-Qur‘an adalah sebuah karya asli Arab dan pendekatan yang digunakannya dalam mengkaji Kitab Suci ini, maka dapat disimpulkan bahwa ia memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks. Bagi kalangan tertentu dalam Islam, menggunakan istilah ―nashsh‖ untuk menyebut al-Qur‘an akan dianggap aneh, meskipun bagi orang yang hidup di luar tradisi Islam, pernyataan di atas justru biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Bagi mayoritas umat Islam, pernyataan tersebut bertentangan dengan keyakinan yang

208 Ibn Qudamah, al-Mughnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.th.), Cet. I, h. 527. 209 Lihat Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 127. 210 Ayat-ayat yang lain lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3; Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3. 211 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, h. 131. 78

selama ini dipegang yaitu bahwa al-Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei),212 bukan kreasi Jibril atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat. Meskipun dalam proses penyampaiannya kepada Nabi Muhammad, Allah melibatkan Jibril sebagai perantara,213 namun Jibril adalah jenis makhluk yang memang dirancang Tuhan untuk mematuhi semua perintah-Nya. Ia tidak diberi kemampuan untuk menolak dan berpikir. Sehingga merupakan suatu kemustahilan baginya memberikan interpretasi atas kalam Tuhan, apalagi melakukan penyimpangan dalam tugasnya. Dengan demikian kalam Allah tersebut sampai kepada Nabi Muhammad secara verbatim. Dengan kata lain, tidak ada dimensi profan dalam al-Qur‘an, karena seluruh rangkaian huruf dan maknanya bersifat transenden.214 Untuk memahami teorisasi al-Qur‘an sebagai teks, perlu dielaborasi pandangan Nashr Hâmid Abû Zaid yang merupakan sarjana Muslim yang secara tegas menyatakan bahwa al-Qur‘an adalah teks bahasa (nashsh lughawî),215 sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia.216 Menurut Nashr Hâmid Abû Zaid bahwa penyebutan al-Qur‘an sebagai teks berkaitan dengan tiga hal: Pertama, kata ―wahy‖ dalam al-Qur‘an secara semantik setara dengan perkataan Allah (kalâm Allah) dan al-Qur‘an sebagai sebagai sebuah pesan (al-risâlah). Sebagai

212 Definisi-definisi al-Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Muẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam al-Kutûb, 1985), h. 8. 213 Mengenai proses umum penyampaian kalam Tuhan kepada para Nabi-Nya dijelaskan dalam Q.S. al-Syûrâ: 51, yaitu dengan cara: 1) pemberitahuan secara langsung ke dalam hati Nabi; 2) pemberitahuan dari balik tabir; dan 3) melalui perantaraan Jibril. Hal ini didiskusikan lebih lanjut oleh Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi dalam al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, h. 45-46.. 214 Keyakinan tersebut mendapatkan pembenaran dari al-Qur‘an. Lihat Q.S. al-Anʻam (6): 114; Hûd (11): 1; dan Fushshilat (41): 1-2. 215 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, h. 27-28. 216 Lagi-lagi harus ditegaskan bahwa hal ini secara serta merta menjadikan orang yang berpendapat demikian menafikan asal-usul al-Qur‘an yang bersumber dari Allah. Nashr Hâmid Abû Zaid menegskan hal tersebut dengan mengatakan, “… anna al-nushûsh al-dinîyah nushûsh lughawîyah sya‟nuhâ sya‟n ayyah nushûsh ukhrâ fî al-tsaqâfah ….” Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sînâ li al-Nahsr, 1992), h. 197. Pernyataan tersebut muncul karena kalam Allah kemudian mewujud dalam bahasa manusia, supaya dapat dipahami oleh manusia yang menjadi sasaran kalam itu. Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections On Islam, (London: Westport, Connectitut, 2004), h. 97. 79

perkataan dan pesan, al-Qur‘an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah ―teks‖. Kedua, urutan tekstual surat dan ayat dalam teks al-Qur‘an tidak sama dengan urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis pewahyuan (tanjîm) al-Qur‘an merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan urutan yang sekarang merefleksikan tekstualitasnya. Ketiga, al-Qur‘an terdiri dari ayat-ayat yang sangat jelas (âyât muẖkamât) yang merupakan induk (backbone) teks dan ayat-ayat yang masih samar (âyât mutasyâbihât) yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat muẖkamât. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang pembaca bukan hanya untuk mengidentifikasi ayat-ayat mutasyâbihât, namun juga membuatnya menentukan bahwa ayat-ayat muẖkamât adalah kunci untuk melakukan penjelasan dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyâbihât.217 Argumen lain yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan sifat teks al- Qur‘an adalah dengan menganalisis kata-kata yang merujuk kepada al-Qur‘an, seperti ―qur‟ân”, ―kalâm‖, ―lisân‖, dan ―kitâb‖. Kata ―qur‟ân” dalam al-Qur‘an, menurut Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, disebut sebanyak enam puluh delapan kali: lima puluh kali dengan menggunakan artikel (al-qur‟ân), dan delapan belas kali tidak menggunakan artikel. Kemudian dari total enam puluh delapan kali tersebut, tiga puluh delapan kali terdapat dalam surat-surat Makkiyah dan sisanya, tiga puluh kali, terdapat dalam surat-surat Madaniyah.218 Namun, berdasarkan penelusuran terhadap al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, penulis menemukan bahwa kata ―qur‟ân” disebut sebanyak tujuh puluh kali: lima puluh satu kali dengan menggunakan artikel (al-qur‟ân), tujuh belas kali tanpa artikel (qur‟ân), dan dua kali dikaitkan dengan kata ganti (qur‟ânah).219

217 Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, terj. Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003)., h. 91. 218 Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, al-Qur‟ân al-Karîm min Manzhûr al-Istisyrâqî, (Kairo: Dâr al-Nasyr li al-Jâmiʻât, 2002), Cet. I, h. 34. 219 Lihat, Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al- Karîm, (Kairo: Mathbaʻah Dâr al-Kutûb al-Mishriyyah, 1363 H.), h. 539-540. 80

Selanjutnya, dari tujuh puluh kali penyebutan itu, beberapa di antaranya menunjukkan bahwa kata ―qur‟ân” dapat dimaknai sebagai sebuah teks. Hal ini terdapat dalam: Pertama, Q.S. Yâsîn (36): 69; Q.S. Qâf (50): 1; Q.S. al-Raẖmân (55): 2; Q.S. al-Jinn (72): 1-2; Q.S. al-Wâqiʻah (56): 77; Q.S. al-Muzammil (73): 4; dan Q.S. al-Burûj (85): 21. Kedua, kata ―qur‟ân” sebanyak enam belas kali didahului oleh kata tunjuk ―hâdzâ” (hâdzâ al-qur‟ân).220 Ketiga, dalam enam ayat, yaitu: Q.S. al- Araf (7): 204; Q.S. al-Naẖl (16): 98; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 45 dan 106; Q.S. al- Muzammil (73): 20; Q.S. al-Insyiqâq (84): 21, kata ―qur‟ân” merupakan obyek langsung dari kata kerja ―qara‟a”, sedang di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Naml (27): 92, merupakan obyek kata kerja ―talâ”, dan di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Muzammil (73): 4, sebagai obyek dari kata kerja ―rattalâ”, baik qara‟a, talâ, maupun rattala mengandung arti ―membaca‖. Pengertian yang dapat diperoleh dari ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa al-Qur‘an adalah teks definitif yang dapat dibaca dan bisa dipahami. Hal ini menunjukkan teksutalitas al-Qur‘an. Selain itu kata ―qur‟ân‖ juga dirangkai dengan ―ʻarabî”, sehingga menjadi ―qur‟ân ʻarabî”. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam al-Qur‘an sebanyak enam kali adalah Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. Thâhâ (20): 30; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3; Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3. Ayat-ayat tersebut menekankan bahwa al-Qur‘an diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab. Suatu kenyataan yang turut memperkokoh keberadaan al-Qur‘an sebagai teks, meskipun status kearaban al-Qur‘an itu sendiri menimbulkan perdebatan di antara para sarjana Muslim klasik, lantaran di dalam al-Qur‘an terdapat kosakata ―asing‖ (gharîb).221 Bukti lain yang menunjukan tektualitas al-Qur‘an adalah ungkapan “kalâm‖ dan ―lisân‖. Kata ―kalâm‖ yang berasal dari akar kata k-l-m dalam al-Qur‘an

220 Lihat Q.S. al-Anʻam (6): 19; Q.S. Yûnus (10): 37; Q.S. Yûsuf (12): 3; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 9 41, 88, dan 89 ; Q.S. al-Kahfi (18): 54; Q.S. al-Furqân (25): 30; Q.S. al-Naml (27): 76; Q.S. al-Rûm (30): 58; Q.S. al-Sabâ‘ (34): 31; Q.S. al-Zumar (39): 27; Q.S. Fushshilat (41): 26; Q.S. al-Zukhruf (43): 31; dan Q.S. al-Hasyr (59): 21. 221 Perdebatan mengenai hal ini direkam dengan sangat baik oleh Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 136. 81

dirangkaikan dengan kata ―Allah‖, yaitu dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, Q.S. al- Taubah (9): 6, dan Q.S. al-Fatẖ (48): 15.222 Dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al- Baqarah (2): 75, kata "kalâm‖ berarti wahyu Tuhan. Hal ini berdasarkan interpretasi para penafsir yang menggunakan analisis filologis gramatikal, seperti al-Zamakhsyarî (w. 538 H./1143 M.)223 dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353 M.).224 Dari paparan tentang ungkapan ―kalâm Allah‖ ini, terlihat dengan jelas bahwa ungkapan tersebut sangat mendukung identifikasi status al-Qur‘an. Kitab al-Qur‘an yang semula merupakan ungkapan dan sapaan Tuhan kepada umat manusia menjelma menjadi teks bacaan yang memiliki banyak dimensi, di antaranya estetika, susastra atau puitik. Dimensi-dimensi ini mengantarkan penetapan dan upaya untuk memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks. Sedangkan kata ―lisân‖ yang tersambung langsung dengan kata ―arabî‖ menjadi ―lisân arabî‖, disebut dalam al-Qur‘an sebanyak tiga kali dalam tiga kelompok ayat.225 Ketiga kelompok ayat tersebut adalah Q.S. al-Naẖl (16): 103; Q.S. al-Syuʻarâ‘ (26): 192-195; dan Q.S. al-Ahqâf (46): 12. Ketiga kelompok ayat tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa bahasa al-Qur‘an adalah bahasa Arab yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah kepada umat manusia. Kelompok ayat ini juga memiliki relasi yang erat, secara substansial, dengan Q.S. Thâhâ (20): 30, Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3; Q.S. al-Syûra

222 Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al- Karîm, h. 620. 223 Al-Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan al- Qur‘an. Lihat al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, h. 14-15. 224 Muẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖. Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻalâ nisbah isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân al- Andalusî, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, h. 435-439. 225 Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al- Karîm, h. 647. 82

(42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3, yang menyinggung dan mengokohkan bahasa yang dipakai oleh al-Qur‘an. Kata ―al-kitâb‖, yang merupakan salah satu nama lain dari al-Qur‘an,226 dalam leksikografi Arab berarti buku atau nama sesuatu yang ditulis.227 Kata ini disebut dua ratus dua puluh kali dalam al-Qur‘an.228 Meskipun tidak seluruhnya, penggunaan kata al-kitâb untuk merujuk kepada al-Qur‘an juga menunjukkan tekstualitas al-Qur‘an. Bukti lain adalah adanya ayat-ayat tantangan (taẖaddî) kepada manusia untuk membuat karya yang sebanding dengan al-Qur‘an.229 Hal ini, menurut M. Quraish Shihab,230 menunjukkan bahwa al-Qur‘an menginginkan dirinya diposisikan sejajar dengan karya manusia dan siap diposisikan menang atau kalah. Sebab, agar dapat dimungkinkan penilaian yang obyektif, maka obyek yang dinilai harus diletakkan dalam posisi sejajar. Dengan demikian, pernyataan bahwa al-Qur‘an sebagai teks bacaan berbahasa Arab menemukan fondasi yang qur‘anik. Pandangannya yang tidak mengingkari keyakinan umat Muslim terhadap transendensi al-Qur‘an mengantarkan kepada simpulan bahwa Toshihiko Izutsu merupakan sarjana non-Muslim yang dapat dikategorikan menggunakan pendekatan fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an, utamanya dalam memandang sumber al- Qur‘an.

226 Salah seorang sarjana Muslim kontemporer, Muẖammad Syaẖrûr, berpendapat bahwa al- Qur‟ân berbeda dengan al-Kitâb, atau al-Qur‟ân merupakan bagian dari al-Kitâb. Lihat Muẖammad Syaẖrûr, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Muʻâshirah, (Beirut: Syarikah al-Mathbûʻah li al-Tauzîʻ wa al-Nasyr, 2000), Cet. VI, h. 57. 227 Lihat Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), h. 3816. Daniel A. Madigan menolak jika kata kitâb dalam al-Qur‘an dipahami sebagai buku, tetapi lebih tepat diartikan sebagai tulisan. Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001), h. 82. 228 Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al- Karîm, h. 592-595. 229 Baca Q.S. al-Baqarah (2): 23; Q.S. Yûnus (10): 38; Q.S. Hûd (11): 13; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 88; dan Q.S. al-Thûr (52): 33-34. 230 M. Quraish Shihab, ―Orientalisme‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 44. 83

C. Kecenderungan dan Pendekatan Toshihiko Izutsu dalam Kajian al-Qur‘an Kajian sarjana-sarjana non Muslim terhadap al-Qur‘an pada umumnya banyak menyoroti sisi pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an serta sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an. Sementara kajian mengenai kandungan al-Qur‘an dapat dikatakan sangat minim. Karya-karya dalam bidang ini, menurut Parvez Manzoor, menempati posisi pinggiran dalam khazanah karya-karya mereka tentang kajian al-Qur‘an yang sangat melimpah.231 Hal ini mungkin karena, sebagaimana disinyalir oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, umat Muslim sendirilah dalam pandangan kaum intelek non-Muslim tersebut yang harus menggali kandungan al-Qur‘an untuk dapat menerangi hidup mereka.232 Adapun Toshihiko Izutsu dengan karyanya God and Man in the Koran: Semantics of the Koran Weltanschauung dan Ethico-Religious Concepts in the Al- Qur‟an berusaha untuk memahami kandungan al-Qur‘an. Usaha semacam ini dalam tradisi umat Islam disebut dengan tafsir,233 yang dapat dipahami sebagai aktivitas untuk memahami al-Qur‘an.234

231 Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dan Studi al-Qur‘an‖, terj. Eva F. Amrullah dan Faried F. Saenong, dalam Jurnal Studi al-Qur‘an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 59. 232 Fazlur Rahman, Tema Pokok the Qur‟an, h. xi. 233 Istilah ini merujuk kepada Q.S. al-Furqân (25): 33. Secara etimologis, tafsir berarti bayân syai‟ wa îdhâẖihih (menjelaskan) dan kasyf al-mughaththâ (membuka sesuatu yang tertutup). Lihat Musâ‗id ibn Sulaiman ibn Nâshir al-Thayyâr, al-Tafsîr al-Lughawî li al-Qur‟ân al-Karîm, (t.tp.: Dâr Ibn Jauzî, 1422 H.), h. 19. Lihat juga Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab, h. 3412. 234 Para sarjana Muslim mengemukakan beragam pendapat mengenai definisi tafsir. Di antaranya Muẖammad Husain al-Dzahabî yang mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia (sebagai penafsir). Muẖammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 14. al-Zarkasyî mendefinisikannya suatu ilmu yang mengantarkan pada pemahaman terhadap Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muẖammad saw., penjelasan makna-maknanya, dan penggalian hukum- hukum dan hikmahnya. Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ‗Abd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz. I, h. 13. Sementaraal-Zarqânî mengemukakan tiga buah definisi tafsir, yaitu: pertama, tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji al-Qur‘an dari segi indikasi-indikasi yang mengantarkan kepada yang dimaksud Allah sesuai dengan batas kemampuan manusia; kedua, tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang hal ikhwal al-Qur‘an dari segi sebab turunnya, sanad, tajwîd, lafadz-lafadz, dan makna-makna yang berkaitan dengan lafadz dan hukum-hukumnya; ketiga, tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara penuturan lafadz-lafadz al-Qur‘an, petunjuk-petunjuknya, hukum- 84

Sejak awal, umat Muslim memiliki antusiasme yang besar untuk memahami al-Qur‘an. Hal ini karena bagi kaum Muslim, al-Qur‘an di samping sebagai Kitab Suci juga sekaligus sebagai petunjuk. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau disiplin ini menempati urutan teratas dalam sejarah kajian al-Qur‘an. Penafsiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an bertujuan untuk menemukan pandangan dunia (weltanschauung) kitab suci ini. Suatu usaha yang menurut Fazlur Rahman belum pernah dilakukan secara sistematis oleh sarjana-sarjana Muslim sendiri sebelumnya. Kegagalan memahami al-Qur‘an sebagai kesatupaduan yang berjalin berkelindan yang menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti, telah mengakibatkan terjadinya bencana besar dalam lapangan pemikiran teologi. Paling tidak, hal ini pernah dialami oleh aliran Asy‗ariyah, sebuah aliran teologi Sunni yang dominan selama abad pertengahan, ketika berlangsungnya pengadopsian gagasan- gagasan asing dalam aspek teologi dengan ketiadaan wawasan yang padu tentang pandangan dunia al-Qur‘an.235 Untuk memenuhi tujuan tersebut, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan strukturalisme linguistik. Pemilihannya terhadap pendekatan ini dapat dilihat dari keyakinannya, bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.236 Berdasarkan paparan ini, Toshihiko Izutsu mengikuti hukumnya - baik ketika berdiri sendiri maupun ketika dirangkai dengan yang lainnya, makna-makna yang mungkin dicakupnya, dan hal-hal lain yang menyangkut pengetahuan tentang nasakh, sabâb al- nuzûl, dan aspek-aspek yang jelas seperti cerita dan perumpamaan. Dari ketiga definisi tersebut, al- Zarqânî cenderung memilih definisi yang pertama karena dianggap lebih sederhana dan semua rincian yang ada pada kedua definisi terakhir memerlukan kemampuan manusia untuk meyerapnya. Lihat Muẖammad ‗Abd al-‗Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Badî al-Sayyid al-Laẖẖâm, Jilid II, (t.tp.: Dâr al-Qutaibah, 1998), Cet. II, h. 7-9. 235 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4. 236 Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung, h. 3. Toshihiko Izutsu mengatakan: ―Semantics as I understand it is an analytic study of the key-terms of a language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the „weltanschauung‟ or world-view of the people who use that language as a tool not only of speaking and thinking, but, more important still, of contextualizing and interpreting the word that surrounds them.‖ 85

hipotesis Edward Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme,237 yang menyatakan bahwa bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat diinterpretasikan oleh kebiasaan bahasa.238 Dengan demikian, maka bahasa – menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan. Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia.239 Pendekatan linguistik ala Saussurian ini tampak lebih nyata apabila diperhatikan penjelasannya mengenai al-Qur‘an sebagaimana telah diuraikan di atas. Al-Qur‘an menurutnya adalah kalâm Tuhan yang termanifestaikan dalam lisân Arab. Ia menyamakan kalâm dengan parole, sementara lisân dengan langue.240 Istilah- istilah ini pertama kali digagas oleh Ferdinad de Saussure (1857-1913),241 salah seorang tokoh pendiri Strukturalisme yang melakukan diferensiasi terhadap istilah bahasa. Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa pada dasarnya memiliki dua aspek, yaitu: parole dan langue. Parole atau tuturan adalah apa yang diwujudkan seseorang ketika menggunakan bahasa dalam percakapan atau ketika menyampaikan pesan

237 Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e- Library, 2004), h. 6-7. 238 Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York: Harcourt Brace, 1921), h. 13. 239 Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd Revision, h. 439. 240 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 164. 241 Seorang sarjana berkebangsaan Swiss yang beberapa waktu pernah mengajar di Paris (Perancis) dan akhirnya menjadi Guru Besar di Jenewa. Selama hidupnya ia sedikit sekali mempublikasikan karyanya. Buku yang membuat namanya terkenal dalam bidang linguistik pada mulanya merupakan tiga seri kuliah tentang linguistik umum yang dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 1916 atau tiga tahun setelah kematiannya oleh tiga orang muridnya, yaitu C.H. Bally, A. Sechehaye, dan A. Riedlinger dan diberi judul Cours de Linguistique Generale. Lihat Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1996), h. 374. 86

tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut. Tuturan ini bersifat individual, sehingga mencerminkan atau menunjukkan kebebasan pribadi seseorang. Dengan demikian, parole atau tuturan merupakan sisi empirik, sisi konkrit dari bahasa.242 Langue diartikan sebagai keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat, sehingga memenuhi syarat sebagai fakta sosial.243 Jadi langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai suatu bahasa, seolah- olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara para penutur bahasa tersebut. Langue dan parole memang meskipun berbeda, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat diibaratkan bagai dua sisi mata uang. Oleh karena itu, agar informasi yang ingin disampaikan seseorang mencapai sasarannya atau dimengerti pihak lain maka parole harus diwujudkan dalam sistem langue tertentu. Diabaikannya langue akan membuat pesan yang ingin disampaikan tidak dapat dimengerti atau disalahmengertikan. Dengan kata lain, tanpa adanya langue, tidak aka nada parole. Sebaliknya, tanpa ada parole, langue juga tidak akan diketahui keberadaannya. Strukturalisme linguistik Toshihiko Izutsu semakin tampak nyata ketika ia juga sangat menekankan pembahasan semantik secara sinkronis terhadap data-data kebahasaan yang disediakan oleh al-Qur‘an. Meskipun demikian ia juga tidak mengabaikan pembahasan semantik secara diakronis.244 Menurut Toshihiko Izutsu, ada tiga alasan diperlukannya kajian historis terhadap istilah-istilah kunci al-Qur‘an, yaitu: pertama, pada umumnya kajian terhadap persoalan tersebut berdasarkan atas

242 Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, h. 80. 243 Martin Krampen, ―Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi‖, terj. Lucia Hilman, dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 57. 244 Pembahasan mengenai studi sinkronis dan diakronis terhadap bahasa dapat dilihat, Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), h. 46-47. 87

dua sudut pandang yang berbeda atau lebih, namun sangat berkaitan erat, dan biasanya berakhir dengan pandangan yang lebih dalam dan lebih komprehensif; kedua, dengan mengikuti mengikuti perkembangan semantik istilah-istilah kunci dalam al-Qur‘an melalui sistem non-al-Qur‘an yang muncul dalam Islam karena perkembangan jaman, maka dapat diketahui keistimewaan makna kata-kata yang ada dalam al-Qur‘an dengan sudut pandang yang baru; terakhir, analisis secara cermat terhadap persoalan kemungkinan dan signifikansi semantik historis, memperlihatkan secara jelas kelebihan dan kekurangan metode dan prinsip-prinsip khas semantik statis, sehingga memungkinkan penggabungan kedua semantik tersebut dengan cara yang sangat menguntungkan dalam menganalisis struktur kosakata al-Qur‘an.245 Berdasarkan sudut pandang diakronis, kosakata merupakan sekumpulan kata yang mengalami pertumbuhan dan perubahan semantik. Beberapa kata dalam kelompok tersebut berhenti tumbuh dalam pengertian tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat penuturnya dalam jangka waktu tertentu; sedang kata-kata yang lain dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Demikian pula pada masa tertentu muncul kata-kata baru, dan mulai dipergunakan sejak waktu itu. Kemudian apabila arus sejarah kosakata ini dipotong pada suatu periode tertentu, maka akan diperoleh sebuah lintas cross-section, yang dapat digambarkan sebagai permukaan datar yang dibentuk oleh sejumlah kata yang telah mampu bertahan hidup sampai ke titik waktu tertentu. Pada permukaan demikian kata-kata tersebut muncul dalam bentuk jaringan konsep yang rumit, yang memungkinkan untuk diteliti secara sinkronis.246 Dan bila untuk keperluan tertentu dibuat potongan-potongan sebanyak yang diinginkan, lalu dibandingkan antara suatu permukaan dengan permukaan yang

245 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 32-33. 246 Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa kosakata pada permukaan datar pada dasarnya merupakan sesuatu yang artifisial. Kosakata tersebut merupakan kondisi statis yang dihasilkan secara artifisial oleh suatu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua kata dalam sebuah bahasa pada suatu titik waktu tertentu. Lintas bagian yang dihasilkan memberikan kesan sebagai sesuatu yang statis. Kondisi statis ini hanya bila dilihat dari aspek makroskopik, sementara dari aspek mikroskopik permukaan tersebut menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 33-34. 88

lain, maka sesungguhnya hal itu disebut dengan semantik historis atau semantik diakronis.247 Dengan demikian, semantik diakronis yang dimaksud Toshihiko Izutsu bukanlah analisis historis terhadap kata-kata individual untuk melihat bagaimana kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalanan sejarah, tetapi analisis komparatif terhadap dua atau lebih permukaan statis suatu bahasa. Berkenaan dengan al-Qur‘an, Toshihiko Izutsu membagi permukaan semantik bahasa Arab, yaitu: (1) sebelum turunnya al-Qur‘an; (2) masa turunnya al-Qur‘an; dan (3) setelah turunnya al-Qur‘an, terutama pada periode Abbasyiah.248 Masing-masing permukaan atau sistem memiliki keunikan yang membedakan dengan sistem-sistem lainnya. Yang dimaksud dengan sistem sebelum al-Qur‘an tentu saja adalah pandangan dunia orang- orang Arab sebelum turunnya al-Qur‘an yang secara linguistik termanifestasikan dalam syair-syair jahiliyah. Sementara sistem sesudah al-Qur‘an merupakan sistem pemikiran yang timbul sebagai usaha untuk memahami al-Qur‘an. Sistem ini beragam, antara lain adalah teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf. Perbedaan sistem al-Qur‘an dengan sistem pra-al-Qur‘an adalah bahwa kosakata al-Qur‘an memiliki kata fokus tertinggi yaitu Allah, sementara sistem pra-al- Qur‘an tidak memiliki kata fokus demikian. Konsep ―Allah‖ dalam sistem jahiliyah berdiri sejajar dengan konsep ―âlihah‖ (bentuk jamak dari ilâh), yaitu konsep tentang politeisme.249 Dengan demikian, kata ―Allah‖ tidak menempati kedudukan sebagai kata fokus tertinggi, justru ia menempati tempat pinggiran (peripheral) dalam seluruh sistem konseptual jahiliyah. Demikian pula medan semantik konsep âlihah, terutama

247 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 34-35. 248 Pembagian ini memiliki kemiripan dengan pembagian yang dilakukan oleh Aẖmad al- Iskandârî dan Mushthafâ ‗Ananî. Keduanya membagi perkembangan bahasa dan sastra Arab ke dalam lima fase perkembangan, yaitu: (1) bahasa Arab pada masa Jahiliyah; (2) bahasa Arab pada masa permulaan Islam; (3) bahasa Arab pada masa dinasti Abbasiyah; (4) bahasa Arab pada masa kekuasaan Turki; dan (5) bahasa Arab pada masa kebangkitan akhir. Lihat Aẖmad al-Iskandârî dan Mushthafâ ‗Ananî, al-Wasîth fî al-Adâb al-ʻArab wa Târîkhihi, (Kairo: Dâr al-Maʻârîf, t.t.), h. 10. 249 Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Arab pra-al-Qur‘an atau pra-Islam adalah politeisme. Lihat Bernard Lewis, The Arab in History, (New York: Oxford University Press Inc., 2002), h. 20. 89

bila dibandingkan dengan medan penting lainnya yang lebih memiliki kaitan langsung dengan kehidupan kesukuan orang Arab, seperti perasaan mulia, kebajikan sosial dan individual, dan lain sebagainya yang tidak memiliki kaitan langsung dengan Tuhan dan agama.250 Berkenaan dengan konsep kata fokus tertinggi tersebut, Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa menurut sistem al-Qur‘an, tidak terdapat satu medan semantik pun yang tidak secara langsung berkaitan dengan dan diatur oleh konsep sentral Allah. Karena sistem bahasa mencerminkan pandangan dunia pemakainya, maka konsekuensi logis dari adanya konsep kata fokus tertinggi tersebut adalah bahwa di dalam pandangan dunia al-Qur‘an terdapat suatu koherensi konseptual yang tidak ditemukan di dalam sistem jahiliyah. Dengan kata lain, pandangan dunia al-Qur‘an dapat disebut sebagai ‗teosentrik‘, sementara pandangan dunia pra-al-Qur‘an bersifat ‗antroposentrik‘.251 Dalam sistem al-Qur‘an, semua medan semantik – termasuk di dalamnya semua istilah kunci – berada di bawah pengaruh kata fokus sentral dan tertinggi tersebut. Pengaruhnya tidak saja terhadap konsep-konsep yang secara langsung berhubungan dengan agama dan keimanan, tetapi juga semua gagasan moral, bahkan juga konsep-konsep yang mewakili aspek-aspek keduniaan, seperti perkawinan dan perceraian, warisan, perdagangan, dan lain sebagainya.252 Sementara itu, perbedaan antara sistem al-Qur‘an dengan sistem sesudahnya sangat halus. Hal ini, menurut Toshihiko Izutsu, dikarenakan secara linguistik sistem pasca al-Qur‘an sangat tergantung dan berdasarkan pada kosakata al-Qur‘an. Sebagai ilustrasi perbedaan antara kedua sistem ini, dapat diambil pasangan konseptual yang dibentuk oleh kata muslim, mu„min, dan kâfir. Dalam sistem al-Qur‘an, kata muslim merupakan konsep yang terlihat jelas sebagai kata yang berlawanan dengan kata

250 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38. 251 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 37. 252 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 37-38. 90

kâfir. Sementara kata mu„min merupakan konsep yang melengkapi kata muslim, kecuali hanya dalam kasus tertentu saja kata islâm (bentuk nominal dari muslim) berada dalam keadaan yang berlawanan dengan kata îman (bentuk nominal dari mu„min).253 Perlawanan konseptual yang fundamental antara muslim dan kâfir berlanjut dalam sistem teologi yang muncul pada periode pasca al-Qur‘an. Hal ini disebabkan, secara semantik, teologi Islam merupakan sistem konseptual yang pada hakikatnya didasarkan pada kosakata al-Qur‘an, maka ia mewarisi seluruh kesatuan kata dan konsep dari al-Qur‘an. Oleh karena itu, secara lahiriah tidak ada perobahan berkenaan dengan pasangan dasar muslim dan kâfir, namun jka ditelisik secara mendalam, telah terjadi pergeseran struktur batin pasangan tersebut dalam sistem yang baru ini. Pergeseran struktur makna batin ini terjadi dengan munculnya Khârijiyah (sekte Khawârij) di tengah-tengah dunia Islam.254 Pada dasarnya persoalan tersbut tidak lagi menyangkut hubungan antara orang-orang Islam dengan orang-orang di luar Islam, tetapi menyangkut perbedaan di dalam batas-batas orang-orang Islam itu sendiri. Menurut pandangan orang-orang Khawârij, seorang Muslim bila telah melakukan dosa besar, maka dia bukan lagi sebagai orang Muslim, tetapi dia harus dianggap sebagai seorang Kâfir yang akan masuk ke dalam neraka, sehingga dibenarkan untuk dibunuh. Konsep dosa besar sendiri merupakan konsep yang fleksibel. Dikatakan demikian karena sangat mudah diarahkan kemana saja, sehingga bisa mencakup apa saja yang tidak disukai seseorang.

253 Lihat Q.S. al-Hujurât (49): 14-15. 254 Nama Khawârij berasal dari kata kharaja artinya keluar. Nama ini diberikan kepada pengikut-pengikut ‗Alî ibn Abî Thâlib yang pergi meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan sikap ‗Alî ibn Abi Thâlib yang menerima taẖkîm (arbritase) sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan persengketaan tentang khâlifah dengan Muawwiyah ibn Abî Shufyân. Pendapat lain mengatakan bahwa nama demikian berdasarkan Q.S. al-Nisâ‘ (4): 100 yang di dalamnya disebutkan: ―keluar dari rumah lari menuju kepada Allah dan rasul-Nya.‖ Dengan demikian kaum Khawârij memandang dirinya sebagai orang yang keluar dari rumah demi mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta: Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1972), Cet. II, h. 11. 91

D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu Tafsîr merupakan salah satu ilmu yang dikembangkan di dalam kajian keislaman (dirāsat al-islamiyyah) selain fiqh, ushul al-fiqh, ushul al-dîn, dan hadîts. Dibandingkan dengan kajian-kajian lain, tafsîr memiliki nilai yang sangat strategis karena memberi jalan pada ilmu lain untuk menemukan rujukan yang sah. Karena demikian pentingnya, maka dalam khazanah pustaka Islam, termuat berbagai kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur‘an. Dalam Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk menyatakan ada lima belas kriteria yang harus dimiliki seorang penafsir al-Qur‘an, yaitu: pertama, memahami hadis dengan baik; kedua, mengetahui bahasa Arab; ketiga, menguasai gramatika bahasa Arab (naẖw); keempat, menguasai sistem konjugasi bahasa Arab (tashrîf); kelima, menguasai etimologi bahasa Arab (isytiqâq); keenam, ketujuh dan kedelapan, mempunyai kemahiran di dalam ilmu balâghah dan bagian-bagiannya seperti ma‗ânî, bayân, badî‗; kesembilan, menguasai ragam bacaan (qirâ‟ât) al- Qur‘an; kesepuluh, mengerti ilmu tauhîd; kesebelas, mengetahui ushûl al-fiqh; keduabelas, mengerti sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl); ketigabelas, memahami kisah-kisah yang ada di dalam al-Qur‘an; keempatbelas, memahami nâsikh dan mansûkh; dan terakhir, mengamalkan apa yang telah diketahui.255 Senada dengan hal tersebut, ʻAbd al-Hay al-Farmâwî menyatakan bahwa seorang penafsir harus memenuhi empat syarat:256 Syarat pertama dan utama adalah harus benar aqidahnya dan menjalankan sunah Nabi, kemudian benar tujuannya, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, menggunakan jalur naql (metode tafsîr bi al- ma‟tsûr), dan menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam penafsiran.257 Ini

255 Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (Beirut: Dâr al-Nafâis, 1986), h. 186-187. 256 ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 17-19. 257 Ada lima belas ilmu, yang meliputi linguistik, teologi, ushûl al-fiqh, asbâb al-nuzûl wa al- qashash, al-nâsikh wa l-mansûkh, hukum Islam, hadits, dan ʻilm al-mauhibah. Untuk lebih jelasnya, lihat ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 19-20. 92

menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur‘an harus dilakukan oleh orang-orang Muslim yang memiliki keahlian-keahlian khusus. Dengan demikian, muslim biasa (ʻawâm) tidak diperkenankan melakukan pengkajian terhadap kandungan al-Qur‘an, apalagi non-Muslim. Pendapat-pendapat di atas diperkuat pula oleh Abdullah Saeed.258 Ia secara tegas menyatakan bahwa non-Muslim tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al- Qur‘an. Baginya, penafsiran al-Qur‘an merupakan kerja kesalehan yang memerlukan persyaratan-persyaratan khusus. Di antara persyaratan tersebut yang paling utama adalah seorang penafsir harus Muslim dan menjalankan ajaran-ajaran Islam.259 Jadi, jika ada non-Muslim yang menafsirkan al-Qur‘an, maka penafsirannya dianggap tidak sah. Meskipun dipandang tidak memiliki otoritas, menurut Abdullah Saeed, non-Muslim dapat menyumbangkan usaha penafsirannya terhadap al-Qur‘an dalam kerangka akademis.260 Dalam artian penafsiran mereka secara ilmiah dapat diterima, hanya saja tidak dapat dijadikan landasan dan pegangan amalan bagi umat Islam. Apa yang dikemukakan oleh Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, ʻAbd al-Hay al- Farmâwî, dan Abdullah Saeed di atas merupakan pandangan mainstream kaum Muslim. Pendapat serupa telah digagas oleh para pendahulu dalam kajian al-Qur‘an, misalnya Ibn Jarîr al-Thabarî,261 yang secara ekplisit juga menyatakan keyakinan yang benar (Muslim) sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pengkaji al-Qur‘an. Berdasarkan hal tersebut, maka Toshihiko Izutsu tidak memiliki otoritas untuk menafsirkan al-Qur‘an, karena sampai akhir hayatnya ia adalah seorang pemeluk Zen

258 Abdullah Saeed adalah profesor Kajian Arab dan Islam Sultan Oman dan direktur Pusat Kajian Islam Kontemporer Universitas Melbourne, Australia. Dia telah banyak menulis tentang Islam dan dia juga mengarang dan menjadi editor sejumlah buku, di antaranya Approaches to Qur‟an in Contemporary Indonesia (2005), Freedom of Religion, Aposty and Islam (co-author, 2004), Islam and Political Legimacy (2003), Islam in Australia (2003), dan Islamic Bank and Interest, (1996). 259 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114. 260 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114. 261 Al-Thabarî menyatakan, min shartihi shiẖẖah al-iʻtiqâd wa luzûm sunnah al-dîn, fa inna man kâna maghmûsh ʻalaihi fî dînihi lâ yu‟tamanu ʻalâ al-dunyâ fa kaifa ʻala al-dîn. Lihat, Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz 2, h. 176. 93

Budhism. Namun dengan mencermati seruan Muẖammad Amîn al-Khûli (1895- 1966) yang menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyyah al-akbar wa atsaruhâ al-adabî al-a„zham),262 dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa al-Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia,263 dan perintah al-Qur‘an yang ditujukan kepada kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya,264 maka apa yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu dapat dipandang sebagai sesuatu yang sah-sah saja. Selain dipandang tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur‘an berdasarkan sudut pandang sarjana-sarjana „ulûm al-Qur‟ân, Toshihiko Izutsu juga tidak sepi dari kritik yang dilontarkan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu datang dari Fazlur Rahman yang menulis sebuah ulasan terhadap God and Man in the Qur‟an.265 Dalam beberapa bagian dari review tersebut, Fazlur Rahman mengkritik Toshihiko Izutsu yang terlalu bercita-cita tinggi untuk menjelaskan al-Qur‘an atas dasar pencarian ―struktur dasar‖ dan ―konsep-kunci‖ al-

262 Lihat Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al- Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al- Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h. 12-13. 263 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 86. 264 Baca Q.S. al-Taubah (9): 6. 265 Ulasannya dimuat dalam Jurnal Islamic Studies, Juni 1966, Vol. V, No. 2, Islamic Research Institute, Rawalpindi. Dan cantumkan dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. vii-xiv. 94

Qur‘an. Bagi Fazlur Rahman, tanpa pendekatan sejarah, kita tidak akan dapat berlaku adil terhadap evolusi konsep, khususnya konsep Allah.266 Kritik lain datang dari Harry Partin. Menurutnya, analisis Toshihiko Izutsu tidak memadai secara historis. Hal ini berdasarkan, pertama, mengabaikan peranan sejarah di dalam mempengaruhi perubahan makna, dan kedua Toshihiko Izutsu tidak menegaskan fakta bahwa surat-surat dalam al-Qur‘ān diturunkan selama masa lebih daripada dua puluh tahun dan beberapa kata yang terdapat di dalam surat-surat awal sangat berbeda maknanya dengan surat-surat terakhir. Dengan kata lain, ada sebuah sejarah semantik di dalam al-Qur‘an itu sendiri. Jelas, pendapat Harry Partin ini makin mengukuhkan kritik Fazlur Rahman terhadap Toshihiko Izutsu.267 Daniel A. Madigan juga mengkritik Toshihiko Izutsu. Ia keberatan dengan teori makna dasar dan makna relasional yang dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu. Premis dari teori tersebut adalah makna yang tepat dari suatu kata ditentukan oleh posisinya dalam suatu sistem.268 Pendekatan Toshihiko Izutsu didasarkan atas keyakinan bahwa orang dalam situasi budaya yang berbeda akan menggunakan kata- kata untuk mengelompokkan dan membagi realitas dengan cara yang beragam. Dengan demikian kebutuhan akan pemetaan bidang semantik masing-masing kata harus benar-benar dieksplorasi. Karena berdasarkan pemetaan dan hubungan dalam bidang semantik, makna berubah seiring waktu. Menurut Daniel A. Madigan, istilah ―makna yang tepat‖ dapat membahayakan. Tidak ada satupun makna yang dapat diklaim sebagai makna al-Quran. Mengutip Wilfred Cantwell Smith, makna Quran adalah ―sejarah makna-maknanya‖.269 Meskipun demikian, beberapa sarjana Muslim memberikan apresiasi yang positif. Parvez Manzoor, misalnya, sebagai seorang yang sangat keras menentang

266 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. x. 267 http://www.ahmadsyahidah.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 268 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 13. 269 Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture,, h. 80. 95

kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat dengan mengatakan bahwa apapun manfaat dan gunanya, studi al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat merupakan proyek yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan disusui dalam kedendaman,270 merekomendasikan karya-karya Toshihiko Izutsu bagi sarjana- sarjana Muslim. Dalam pandangannya, sarjana Jepang ini – sebagai orang luar orientalisme – tidak mewarisi prasangka sejarah atau ketakutan emosional. Oleh karena itu, meskipun karyanya ditopengi oleh metode orientalisme, namun bersinar dengan kilauan yang mempesona. Karya-karyanya sekaligus menyajikan argumentasi yang sangat meyakinkan dalam melawan klaim bahwa kebenaran sebuah kitab suci hanya dapat dicapai oleh mereka yang menjadi insider tradisi suci tersebut. Parvez Manzoor bahkan menganggap metode yang dipergunakan oleh Toshihiko Izutsu, yaitu membiarkan al-Qur‘an berbicara sendiri, sebagai metode terbaik untuk mengkaji al-Qur‘an.271 Demikian juga dengan Seyyed Hossein Nasr. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Selain itu, ia menambahkan bahwa Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.272

270 Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.), dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45. 271 Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.), dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 59-60. 272 http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 96

Terlepas dari polemik otoritatif tidaknya Toshihiko Izutsu dalam penafsiran al-Quran dan kritik-kritik yang dilontarkan oleh kalangan akedemisi, pendekatan dan metode yang dipakai oleh Toshihiko Izutsu dapat membuka cakrawala baru dalam studi al-Qur‘an.

97

BAB IV METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR‘AN DAN MEKANISME PENERAPANNYA

Metode merupakan sarana yang terpenting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini Norman Calder menulis,273 bahwa metode yang digunakan seorang penafsir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang digunakan oleh masing-masing penafsir.274 Dalam tradisi penafsiran al-Qur‘an, setidaknya ada empat metode yang biasa digunakan oleh penafsir, yaitu: pertama, metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah taẖlilî); ketiga, metode tematik (tharîqah maudhû„î); dan kempat, metode perbandingan (tharîqah muqârin). Pada bab ini, penulis akan menguraikan metode yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu, yaitu metode semantik dan mekanisme penerapannya dalam penafsiran al-Qur‘an. Selanjutnya, untuk melihat distingsi metode semantik Toshihiko Izutsu tersebut, akan dikomparasikan terutama dengan metode tematik. Hal ini karena terdapat kemiripan antara keduanya, terlebih apabila dilihat dari judul karya-karya Toshihiko Izutsu tentang kajian al-Qur‘an, dan oleh sebagian orang metode semantik Toshihiko Izutsu dianggap sebagai metode tematik.275

273 Lihat Norman Calder, ―Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a genre, illustrated with reference to the story of Abraham‖, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [eds.], Approaches to the Qur‟an, (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106. 274 Yusuf Rahman, ―The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur‟an‖, (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill University, 2001), h. 105-106; juga dalam ―The Qur‘ān in Egypt III: Naṣr Abū Zayd‘s Literary Approach‖, dalam Khaleel Mohammad dan Andrew Rippin (ed.), Coming Terms with the Qur‟an: A Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill University, (North Haledon: Islamic Publication International, t.th.,), h. 228. 275 Lihat misalnya disertasi Ahmad Sahidah, ―Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al- Qur‘ān Menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu‖, di Universiti Sains Malaysia. Dalam Bab I, ia mengatakan bahwa ―penafsiran Izutsu, iaitu kaedah semantik, dikategorikan sebagai tafsir maudu‗i yang berusaha untuk menangkap konsep al-Qur‘ān tentang sesuatu yang bersifat khusus seperti

111 98

D. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran 1. Semantik sebagai Metode Analisis Pandangan Dunia al-Qur‘an Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang sebagai puncak dari studi bahasa. Terma semantik atau dalam bahasa Inggrisnya semantics secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu sema dalam bentuk nominanya yang berarti ‗tanda‘ atau dalam bentuk verba semaino yang artinya ‗menandai‘ atau ‗melambangkan‘.276 Kata ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda dengan hal yang ditandainya. Jadi, semantik merupakan bidang studi linguistik yang obyek penelitiannya adalah makna bahasa.277 Dalam bahasa Arab kajian ini disebut „Ilm al-Dalâlah. Selain semantik, ada istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari tanda atau lambang seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, maupun semik. Namun, istilah semantik lebih sering digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah lainnya itu mempunyai cakupan obyek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya seperti rambu-rambu lalu-lintas, tanda dalam ilmu matematika, kode morse, dan lain-lain. Sedangkan semantik hanya mencakup makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.278

keadilan, kebahagian dan kepimpinan.‖ Selanjutnya dalam Bab III, ia menegaskan kembali pernyataannya dengan menulis ―Model pentafsiran lain adalah tematik, sebuah cara yang digunakan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘ān.‖ http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 276 Istilah ini sendiri muncul pada tahun 1894 yang diprakarsai dan dipopulerkan pertama kali oleh ‗American Philologial Association‘ Yang kemudian dipakai untuk ilmu bahasa yang mempelajari makna. Lihat, Muhammad Ali al-Khûlḭ, A Dictionary Of Theoretical Linguistics: English - Arabic, (Beirut: Library Du Liban, 1982), Cet. I, h. 250 dan 367, Harimuti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Edisi III, Cet. V, h. 193. 277 Lihat, Aẖmad Mukhtâr ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-‗Arûbah li Nasyr wa al-Tauzî‗, 1982), h. 11. J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), Cet. II, h. 13. Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 284. 278 Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. III, h. 3. 99

Kajian semantik secara sistematis baru mulai marak ketika Chomsky dengan buku keduanya Aspect of the Theory of Syntax, terbit pertama kali pada tahun 1965, memberi perhatian terhadap kajian semantik.279 Namun pada dasarnya kajian terhadap makna ini sudah ada sejak dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh para filosof Yunani. Aristoteles (384 – 322 SM.),280 misalnya, sudah menggunakan istilah makna untuk mendefinisikan kata, menurutnya kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna, yaitu makna referensial yang hadir dalam kata itu sendiri secara otonom dan makna yang hadir sebagai akibat dari proses gramatika. Di dunia Arab, studi mengenai makna ini sudah dimulai sejak abad kedua hijriyah dengan disusunnya kamus oleh al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farahidî (w. 175 H.) yang diberi nama kitab al-„Ain.281 Abû ‗Ubaidah (110-203 H.) menyusun kitab Gharîb al-Qur`ân pertama.282 Aktivitas ini pada periode berikutnya diikuti dengan

279 Lihat, Noam Chomsky, Aspects of Theory of Syntax, (Cambridge: The MIT Press, 1972), h. 1 – 2. 280 Aristoteles (384 – 322 SM.) ahli bahasa dan filosof Yunani, karyanya antara lain Peri Hermeias mengandung pembahasan tentang asal-usul bahasa; tentang peradaban antara anoma ‗subjek atau kata benda‘ dan rhema ‗predikat atau kata kerja‘ juga syndesmos ‗predikat‘ dan lain lain. Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 17. 281 Diberi nama demikian karana sesuai dengan kata pertama dari urutan entrinya yang disusun berdasarkan urutan makhraj bunyi dari halq (tenggorokan) sampai kebibir, dengan urutan sebagai berikut:

Pada sistematika penyusunan entri kamus ini, terdapat beberapa pengecualian dari prinsip awalnya (di atas); seperti peletakan entri (kitab) al-waw, al-alif, al-ya` dan al-hamzah di bagian akhir. Sebenarnya, apabila al-Khalîl mengikuti prinsip pertamanya saja, maka mu‘jam tersebut akan dimulai dengan kitab al-Hamz, baru al-Hâ`, namun pada identifikaasi awal ia menemukan karakter Hamzah sebagai, lambang bunyi yang seringkali berubah, seperti pada proses al-tashîl (mempermudah pengucapan) dan al-hadzf (pembuangan). Sedangkan al-Hâ`memiliki karakter bunyi hembusan yang tidak bersuara, oleh karena itu maka ia beralih pada posisi ke-3 yakni al-„Ain. Nama lengkap al- Khalil, Abû ‗Abd al-Raẖmân al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farahidî al-Azdî. al-Khalîl adalah orang pertama menulis kamus dalam bahasa Arab dengan bukunya ―al-„Ain‖, yang dicetak pertama tahun 1985 di Bagdad. Ia juga peletak ilm ‗Arûḍ dan Qawâfî, ia wafat di Baṣraḥ 175 H. Lihat, http://www.mawsoah.net, http://[email protected], diakses, 13 Maret 2008. Al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farâḥidî, Kitâb al-„Ain, Taẖqîq: Mahdî al-Maẖzumî dan Ibrâhîm al-Samirrâî, pengantar oleh Aẖmad ‗Abd al-Gafûr ‗Aththâr, (Baghdad: Dâr Mauqi‘al-Warrâq, 1985), h. 5-11 dan Aẖmad Mukhtâr ‗Umar, al-Bahs al-Lughawi „ind al-Arab, (Kairo: Dâr al-Miṣhr li al-Thabâʻah, 1985), h. 131- 132. 282 Nama lengkapnya Hafiz Abû ‗Ubaidah Ma‘mar ibn al-Matsnâ al-Tamîmî al-Bashrî. Banyak linguis dan mufassir Arab yang mengikuti langkah Abû ʻUbaidah menyusun Garîb al-Qur`ân; sebagaimana yang dilakukan al-Sudusî, Ibn Qutaibah, Abû ʻAbd al-Raẖmân al-Yazidî, Muẖammad ibn

100

penyusunan kitab tatabahasa Arab yang dipelopori oleh Sîbawaiḥ (148-188 H.) dengan menyusun al-Kitâb, yang tidak hanya memuat materi morfologi dan sintaksis, namun juga fonologi dan sastra.283 Setelah itu munculah para linguis yang menekuni kajian makna bahasa Arab dengan berbagai sistematika penyusunan entri, sumber, metode dan objek bahasannya. Usaha para linguis Arab itu mengambil berbagai teknik dan bentuk kajian bahasa, antara lain: Pertama, membedakan makna kata-kata kepada makna hakiki dan majâzî. Ini dilakukan al-Zamakhsyarî (467-538 H.)284 dalam kamusnya Asâs al-Balâghah. Usaha al-Zamakhsyarî ini tercatat sebagai pola baru yang belum dilakukan ahli bahasa sebelumnya;285 Kedua, teknik rolling huruf asal yang mungkin dan makna dasar yang dimiliki bentuk kata yang tersusun dari huruf-huruf tersebut. Umpamanya dari huruf akan terbentuk enam kata yaitu: / / / / / dan bagaimana urutannya dalam kata, maka kata-kata itu mengandung arti dasar ―kuat‖ dan ―keras‖;286 Ketiga, menghubungkan

Salâm al-Jumahî, Abî Ja‘far al-Thabarî, Abî ‗Ubaid al-Qâsim, Muẖammad ibn Dinâr, Abû Bakr ibn al- Anbari dan Abû Hayyan. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1982), Jilid 1, h. 322, Shiddîq ibn Hasan al-Qunûjî, Abjad al-„Ulûm li Wasyi al-Marqûm Fi Bayân Aẖwâl al-„Ulûm, Jilid 2, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-‗Ilmîyyah, 1978), h. 502, dan Mauqi‘ Ya‘sûb, al- Fihrasat, Jilid 1, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1979), h. 37. 283 Muẖammad ‗Ali Sulthânî, ketika men-taẖqîq Syarẖ al-Kitâb Sîbawaih mengklasifikasikan materi al-Kitâb dalam empat kelompok ilmu tersebut. Lihat, Abî Muẖammad Yûsuf ibn Abî Sa‘îd al- Sairafî, Syarẖ Abyât Sibawaih, Taẖqîq: Muẖammad ʻAli Sulthâniî (Suriah: Dâr al-‗Ashâma, 2001), h. 445 – 464. 284 Tentang deskripsi dan gambaran sistematika yang ditempuh al-Zamakhsyarî dalam pembahasan bukunya itu. Lihat, al-Babanî, Hidâyat al-„Ûrifîn, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-Warrâq, 1979), Jilid 2, h. 160 dan Edward Phandek, Iktifâ al-Qunû‟ Bimâ Hua Mathbû‟, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al- Warrâq, 1979), h. 114. 285 Sebagai contoh dari rangkaian huruf dirangkaikan makna hakiki dan majâz sebagai berikut:

Lihat, Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ‗Umar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, Asâs al-Balâgah, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1973), Cet. II, h. 138. 286 Dikalangan linguis dan leksikolog yang mengakui teknik rolling sendiri menyatakan, bahwa tidak semua kata yang diperoleh dari teknik rolling terpakai dalam keseharian ataupun karya 101

makna lafzhîyah dengan tuntutan siyâq atau ẖâl lughawî kalimat, upaya ini dilakukan oleh ‗Abd al-Qâḥir al-Jurjânî (wafat 476 H) sebagai bentuk ketidakpuasan dengan makna nahwî yang terkesan kaku dan terbatas, ia menyusun bukunya Asrâr al- Balâgah yang memperkenalkan „ilm al-Ma‟ânî dan al-Bayân. Oleh karena itu, para linguis menyebutnya sebagai pelopor madrasah al-Ma‟nâ dalam bahasa Arab.287 Di samping ketiga jenis kajian ini, banyak kajian-kajian lain yang disumbangkan para linguis Arab untuk memahami al-Qur`an, hadis dan buku-buku berbahasa Arab, yang kemudian dikembangkan dan diinovasi oleh generasi berikunya. Adanya perhatian terhadap studi mengenai makna muncul seiring dengan adanya kesadaran para ahli bahasa dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an disamping juga dalam rangka menjaga kemurnian bahasa Arab. Berbagai kajian tentang bahasa Arab, baik kajian tentang sistem bunyi, kajian bentuk kata, struktur kalimat, kajian sistem makna (dalâlah), ataupun kajian tentang uslûb dan ragam kalimat atas dasar kontekstual, pada mulanya hanya dimaksudkan untuk pengabdian kepada agama, yaitu untuk menggali isi kandungan al-Qur`an, mencegah kesalahan membacanya dan memahami hadis Rasul yang menjadi sumber hukum Islam dan konstitusi dasar bagi kaum muslimin.288 tulis komunitas Arab; oleh karena itu setelah kata dikembangkan dengan teknik tersebut, kemudian diidentifikasi kata yang muḥmal, agar ada kejelasan mengenai kata yang terpakai. Lihat materi tentang Isytiqâq al-Akbar, Ibn Jinnî, al-Khashâish, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1983), h. 136. 287 ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (wafat 471) dikenal sebagai ahli gramatikal Arab, dia belajar dari ‗Ali al-Fârisî pemegang riwayat al-Kitâb (karya Sibawaih), ia juga dikenal sebagai pelatak ‗ilm al- Bayân disebabkan ketidakpuasannya pada konsep makna nahwî khususnya ketika ia memberikan makna pada ayat al-Qur‘an, sebagaimana ketidakpuasan Chomsky pada konsep strukturalis De Sausure dan al-Ma‘ânî yang kemudian dikembangkan oleh al-Sakâkî. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1982), Jilid 1, h. 681, ‗Abd al-Qâhir al-Jurjanî, Asrâr al- Balâghah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), h. 1, dan http://www.ArabicEncyclopedia.com. Diakses, 13 Maret 2008. 288 Hal ini dirasakan urgen dilaksanakan karena tuntutan masyarakat muslim yang mulai banyak bergaul dengan non-Arab yang berpengaruh pada pergeseran kemurnian bahasa Arab dan mulai adanya problem dalam pemahaman terhadap al-Qur‘an. Bahkan ada banyak kasus lahn pada masa sahabat dan tabi‟în awal yang menuntut para ahli bahasa Arab mereka meletakkan dasar-dasar kaidah bahasa Arab. Seperti kasus juru tulis Abû Mûsâ al-Asy‘arî jaman ‗Umar ra., kasus yang dijumpai Abû al-Aswâd al-Dualî, kasus yang ‗Amr ibn al-‗Alâ dan kasus-kasus lainnya, Lihat, ‗Abd al-Karîm Muẖammad al-As‘ad, al-Wasîth Fi Târîkh al-Nahw al-„Arabî, (Riyaḍ: Dâr al-Syawq, 1992), 102

Oleh karena itu kajian agama Islam erat sekali hubungannya dengan bahasa Arab, dan agama menjadi motivasi para pakar bahasa Arab untuk memberikan perhatian besar terhadap usaha penghimpunan bukti-bukti kebahasaan dan membuat kaidah-kaidah bahasa, sehingga kebanyakan pakar linguistik Arab adalah juga orang- orang yang ahli dalam bidang agama, seperti dalam bidang tafsir, hadis, teologi dan fiqh. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa di antara bentuk praktis usaha para linguis Arab menghimpun ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung dalam kata atau ungkapan suatu ayat, untuk memahami dan menggali hukum-hukum dari al-Qur`an, agar dapat membantu orang-orang yang ingin memahami al-Qur`an dan hadis Nabi serta buku-buku lainnya.289 Kajian semantik, sebagai satu disiplin dalam linguistik, dalam penafsiran al- Qur‘an telah mulai dilakukan oleh Muqâtil ibn Sulaimân (w. 150 H./767 M.) dengan karyanya yang berjudul al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân al-Karîm dan Tafsîr Muqâtil ibn Sulaimân.290 Muqâtil ibn Sulaimân menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qur‘an di samping memiliki makna yang definite, juga memiliki beberapa

h. 23-25; al-Qifthî, Inbâh al-Ruwât „âlâ Anbaâh al-Nuhât, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1979), Cet. 2, h. 319. 289 Untuk mendapatkan arti yang tepat dan menetapkan suatu kaidah kebahasaan terhadap kata dalam ayat al-Qur`an umpamanya, mereka tidak segan-segan untuk mengadakan perjalanan jauh pergi ke daerah pedalaman jazîrah Arab yang bahasa Arabnya dinggap masih murni, terhindar dari pengaruh bahasa lain. Lihat, Hadzr Mûsa ‗Ali Maẖmûd, al-Nahw wa al-Nuhhât: al-Madâris wa al- Khashâish, (Kairo: Dâr ‗Alam al-Kutûb, t.t.), h. 46-55, dan Tammâm Hassan, al-Ushûl: Dirâsah Istimûlojiah li al-Fikr al-Lughwi „inda al-„Arab, (Kairo: Dâr ‗Âlam al-Kutub, 2000), h. 31-37. Tokoh linguis aliran Kûfî, al-Kisâî (wafat 198 H.) pernah bertanya kepada al-Khalîl ibn Aẖmad: ―Dari mana anda memperoleh ilmu bahasa ini? al-Khalîl menjawab, pedalaman Hijâz, Najd dan Tihâmah. Kemudian al-Kissâî keluar menuju pedalaman jazîrah Arab, dan baru kembali setelah menghabiskan kurang lebih lima belas botol tinta untuk mencatat tentang bahasa, selain yang telah dihafalnya. Lihat, Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb, Fushûl fi Fiqh al-„Arabîyyah, (Kairo: Maktabah al-Kanji, 1979), h. 230. Muṣṭafȃ ‗Abd al-‘Azȋz al-Sanjarjȋ, al-Madzȃḥib al-Nahwiyah, (Jeddah: al-Fashȋliyah, 1988), h. 38. Nama lengkap al-Kisâî adalah Abu al-Hasan ‗Ali ibn al-Hamzah al-Kissâî, lahir di Kufah, belajar gramatikal Arab dengan Mu‘az al-Harra‘, penulis pertama buku-buku gramatikal Arab dari aliran Kûfî, namun karya-karyanya tidak bertahan sampai sekarang. Lihat, Muẖammad al-Tanthawî, Nasy`ah al- Naẖw wa al-Tarîkh Asyhuri al-Nuhât, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1991), h. 70. 290 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. 169-170. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian Al-Qur‟an, (Jakarta: Kencana, 2008),h. 120. 103

alternatif makna lainnya.291 Berkenaan dengan adanya kemungkinan makna ini, Muqâtil menyatakan bahwa ―seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qur‘an sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al-Qur‘an tersebut.‖292 Selain Muqâtil, sarjana yang melakukan hal senada adalah Hârun ibn Mûsa (w. 170 H./786 M.) dalam karyanya al-Wujûh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân al- Karîm.293 Demikian juga al-Jâhiz dapat dikategorikan kelompok ini dengan pelbagai karya yang ditulisnya seperti al-Bayân wa al-Tabyîn, al-Hayawân, al-Bukhalâ‟, al- Utsmâniyyah, Rasâil al-Jâhiz, dan lain-lainnya.294 Tokoh lain yang juga mendiskusikan aspek makna adalah Ibn Qutaibah (w. 276 H./898 M.) dengan

291 Salah satu contohnya adalah kata ―yad‖ yang memiliki makna dasar atau leksikal ―tangan‖. Menurut Muqâtil, dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki tiga alternatif makna, yaitu: i) tangan secara fisik sebagai anggota tubuh, seperti dalam al-A‘râf (7): 108, wa nazaʻa yadahû fa idza hiya baydhâu li al-nâzhirîn; ii) kedermawanan, seperti dalam al-Isra (17): 29, wa lâ tajʻal yadaka maghlûlatan ilâ ʻunuqika wa lâ tabsuthha kulla al-basthi fa taqʻuda maluman mahsûran, juga dalam al-Mâidah (5): 64, wa qâlat al-yahûdu yad Allah maghlûlatan; iii) aktifitas atau perbuatan, seperti dalam Yâsîn (36): 35, li ya‟kulû min tsamarihî wa mâ „amilathu aidîhim afalâ yasykurûn, serta al-Hajj (22): 10, dzâlika bi mâ qaddamat yadâk. Muqâtil, al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân al- Karîm, (ed.), ʻAbd Allah Maẖmûd Syihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitâb, 1975), h. 321-322, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 170-171. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 121. 292 Nashr Hâmid Abû Zaid, al-Ittijâh al-„Aqli fi al-Tafsîr: Dirâsah fi Qadiyah al-Majâz inda al-Mu‟tazilah, (Kairo: al-Markaz al-Thaqafî al-‗Arabî, 1997), h. 98. 293 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 172. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 122. 294 Dalam Rasâil, Jilid III, h. 347-349, al-Jâẖizh, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, mendiskuskan beberapa contoh atau representasi ―nuansa makna‖ yang berbilang dari kosakata. Salah satunya yang menonjol adalah nafkh al-rûh dalam al-Nisâ‘ (4):171; al-Sajdah (32):9; Shâd (38):72; al-Taẖrîm (66):12. Al-Qur‘an meyebutkan kata ini dalam konteks yang berbeda-beda, yang oleh al-Jâẖizh diistilahkan dengan ―ruang semantis‖ yang bisa mempengaruhi makna tersebut. Pertama, al-Qur‘an menyebutkan kata ini dalam al-Nisâ‘ (4): 171; Kedua, dalam al-Sajdah (32):9; Shâd (38):72; al-Taẖrîm (66):12. Menurut al-Jâẖizh, kata al-rûh ketika dirangkai dengan kata ―Tuhan‖ berarti jiwa dan dzat Tuhan. Kata ini juga berarti al-Qur‘an itu sendiri, khususnya dalam konteks al- Syura (42):52, wa kadzâlika auẖainâ ilaika rûẖan min amrinâ, dan al-Qadr (97):4, tanazzal al- malâikatu wa al-rûẖ fî hâ. Meskipun kata tersebut oleh para mufassir dipahami sebagai jiwa dan ruh, bagi al-Jâhiz kata dalam konteks dua ayat tersebut tetap diartikan sebagai al-Qur‘an. Karena jiwa dalam kedua ayat tersebut bukan sembarang jiwa, melainkan memiliki aspek yang dalam dari wahyu yakni ruh Tuhan. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 173. Juga tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 123-124. 104

karyanya yang berjudul Ta‟wîl Musykil al-Qur‟ân.295 Ia tidak saja mengulas kosakata, akan tetapi juga sintaksis. Hal ini menunjukkan bahwa ia menekankan peranan penting konteks dalam pemaknaan.296 Kesibukan para ahli dan pengkaji al-Qur‘an dalam kurun waktu paruh pertama abad kedua hijrah ini menandakan pengembangan yang berarti dalam stadium embrional penafsiran al-Qur‘an, terutama dengan metode analisis semantik. Pada satu sisi, perhatian demikian pada masa awal, menjadi salah satu pelecut perhatian beberapa sarjana di era modern dan kontemporer untuk mengkaji al-Qur‘an dengan metode analisis yang sama. Salah satu sarjana yang menggunakan metode analisis semantik dalam kajian al-Qur‘an adalah Toshihiko Izutsu. Namun ia memandang bahwa semantik bukanlah analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian terhadap makna asli (makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata tersebut atau analisis etimologis, tetapi sebagai suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan maksud untuk akhirnya menangkap pandangan dunia (weltanschauung) dari orang-orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.297 Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa semantik dalam pengertian seperti itu adalah sejenis weltanschauunglehre, sebuah kajian terhadap sifat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci bahasa itu.298

295 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 124. 296 Lihat M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 124. 297 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 3. 298 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3. 105

Dari paparan ini Toshihiko Izutsu tampaknya setuju dengan hipotesis Edward Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme,299 yang menyatakan bahwa bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa.300 Dengan demikian, maka bahasa – menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan. Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia.301 Bahasa memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Di satu pihak bahasa dapat menjadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya, namun di lain pihak ia juga dapat membentuk realitas sosial itu sendiri. Kemampuan bahasa untuk membentuk realitas sosial, juga diungkapkan bahwa semua bahasa memiliki power untuk mengkonstruksi. Oleh karena itu, bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah sistem kode atau nilai yang sewenang-wenang menunjuk pada satu realitas yang monolitik. Secara sosial, ia lebih dikonstruksi dan direkonstruksi dalam setting sosial tertentu, daripada tertata menurut hukum dan kaedah secara ilmiah universal. Martin Heidegger (1889-1976) pernah mengungkapkan bahwa dalam bahasalah bersemayam ―sang ada‖.302 Oleh karena itu, sebagai representasi dari hubungan-hubungan sosial tertentu, simbol-simbol bahasa senantiasa membentuk subjek-subjek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana tertentu.

299 Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e- Library, 2004), h. 6-7. 300 Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York: Harcourt Brace, 1921), h. 13. 301 Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd Revision, h. 439. 302 W.J. Richardson, Martin Heidegger: Through Phenomenology to Thought. (The Hague: Nijhoff, 1964), h. 320-330. 106

Dari uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa semantik merupakan sebuah bidang kajian yang luas dan berkembang secara terus-menerus. Kalau dalam perkembangan awal semantik hanya berkaitan dengan makna sebuah teks, maka semantik modern juga menaruh perhatian pada hubungan bahasa dan pikiran.

2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung Toshihiko Izutsu mengaitkan metode semantik dengan weltanschauung.303 Secara sederhana, term ini sering diartikan sebagai filsafat hidup atau prinsip hidup. Setiap agama (kepercayaan), bangsa, dan kebudayaan, bahkan setiap orang mempunyai weltanscahuung masing-masing. Pada tataran wacana ilmiah, term ini dimaknai secara lebih kompleks. Menurut Ninian Smart, weltanschauung adalah kepercayaan, perasaan, dan apa saja yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.304 Sementara Thomas F. Wall memaknai weltanschauung sebagai sistem kepercayaan asasi manusia yang integral mengenai hakikat dirinya sendiri, realitas yang mengelilinginya, dan makna eksistensi.305 Pengertian-pengertian ini menunjukkan bahwa weltanschauung merupakan sumber kekuatan bagi keberlangsungan atau perubahan sosial dan moral, sekaligus merupakan landasan bagi pemahaman realitas dan aktifitas ilmiah. Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, term khusus untuk pengertian weltanscahauung, yang merupakan kata lain dari woldview, belum ada. Hal ini, menurut Fazlur Rahman, karena permasalahan ini belum pernah dirumuskan secara

303 Merupakan istilah Jerman untuk menyebut pandangan dunia. Term ini sinonim dengan worlview dalam bahasa Inggris. Edwin Hung menyamakannya dengan paradigma. Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (Belmont: Wardsworth Publishing Company, 1997), h. 368. 304 Ninian Smart, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sibner‘s Son, t.th.), h.1-2. 305 Thomas F. Wall, Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern Introduction, (Belmont: Wadsworth Thompson Learning, 2001), h. 532. 107

sistematis dalam sejarah Islam.306 Para sarjana Muslim abad ke-20 menggunakan istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada pengertian weltanschauung ini. Maulana al-Maududi mengistilahkannya dengan Islâmi Nazariat (Islamic Vision),307 Sayyid Quthb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision),308 Muẖammad Athif al-Zain menyebutnya dengan al-Mabda‟ al-Islami (Islamic Principle),309 sementara Naquib al-Attas menamakannya Ru‟yât al-Islâm li al-Wujûd (Islamic Vision).310 Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda, pada dasarnya para sarjana tersebut memiliki semangat yang sama, yaitu untuk menunjukkan bahwa Islam mempunyai cara pandang sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat ―Islam‖ menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya umum dan netral. Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, dari perspektif Islam, sebuah ―pandangan dunia‖ tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politik, dan budaya di dalamnya. Ia tidak berdasarkan pada spekulasi filsafat yang dirumuskan terutama dari penyelidikan terhadap data pengalaman dan penginderaan semata, karena semua itu terbatas dalam dunia materi saja. Pandangan dunia menurut Islam berhubungan dengan aspek alam akhirat. Segala sesuatu dalam Islam pada akhirnya difokuskan pada aspek akhirat, tanpa mengabaikan aspek dunia.311 Pandangan Syed Naquib al-Attas ini sejalan dengan Toshihiko Izutsu. Weltanschauung al-Qur‘an yang ingin diungkap Toshihiko Izutsu

306 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4. 307 Maulana al-Maududi, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967), h. 14 dan 41. 308 Sayyid Quthb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 41. 309 Muẖammad Athif al-Zain, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989), h. 13. 310 Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖ dalam Journal of Islamic Philosophy 1 (2005), h. 12. Diakses dari http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf pada tanggal 10 Agustus 2009. Tulisannya yang lebih lengkap terdapat dalam, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 2. 311 Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖, h. 11; Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, h. 1. 108

tidak hanya berkisar pada realitas yang tampak saja, namun juga realitas yang tidak tampak. Uraian di atas, selain menunjukkan keterpengaruhan Toshihiko Izutsu oleh hipotesis Edward Sapir, juga semakin memperjelas pengertian semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu. Semantik dimaksud adalah sejenis ontologi yang konkrit, hidup, dan dinamis, bukan semacam ontologi yang sistematis-statis yang merupakan hasil pemikiran seorang filosof. Menurut Toshihiko Izutsu, analisis semantik akan membentuk sebuah ontologi wujud (being) dan eksistensi pada tingkat konkrit sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat al-Qur‘an. Tujuannya adalah untuk memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‘an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang tampaknya memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan weltanschauung al-Qur‘an.312 Jadi, semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu tidak hanya untuk memahami makna, tetapi sekaligus budaya yang terkandung dalam bahasa itu. Menurut Toshihiko Izutsu, hal ini merupakan bukan pekerjaan yang mudah. Kata-kata atau konsep-konsep dalam al-Qur‘an tidak sederhana. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi memiliki ketergantungan yang sangat kuat antara satu dengan yang lain, dan makna konkret dihasilkan dari seluruh sistem yang saling berhubungan tersebut.313 Sebenarnya, menurut Toshihiko Izutsu, ada cara yang lebih mudah untuk memahami makna sebuah kata asing, yaitu dengan menerjemahkan kata tersebut ke dalam bahasa orang itu sendiri.314 Dengan cara ini, kata Arab ―kâfir‖ dapat dijelaskan

312 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3. 313 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4. 314 Kata terjemah secara etimologis berasal dari bahasa Arab (tarjamah), yang artinya: (a) menerangkan dan menjelaskan (bayyanahu wa wadhdhaẖahu); (2) memindahkan makna kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql al-kalâm min lughah ilâ ukhrâ); (3) biografi seseorang (sîratuhu wa ẖayâtuhu). Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: al-Maktabah al- Islâmiyah, t.th), h. 83. Hans Wehr, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III, h. 93. Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî menambahkan bahwa kata ini juga berarti menerangkan kalimat dengan bahasa lain (fassara al-kalâm bi lisân âkhar). Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî, Mukhtâr al-Shiẖâẖ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 108. Sementara 109

bahwa ia memiliki makna yang sama dengan kata Inggris ―misbeliever‖, ‖dzâlim‖ sama dengan ―evildoer‖, ―zhand‖ sama dengan ―sin‖, dan seterusnya. Namun dalam penilaian Toshihiko Izutsu, cara ini kurang dapat diandalkan.315 Memang tidak ada kata dari dua bahasa yang berbeda yang benar-benar memiliki muatan makna yang sama (sinonim), karena – sebagaimana telah dikemukakan di depan – setiap bahasa lahir dari pola pikir yang berbeda dalam memandang dunia. Dan ini merupakan salah satu problem yang mendasar dalam penerjemahan.316 Penerjemahan kata-kata asing ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, menurut Toshihiko Izutsu, hanyalah merupakan sebuah langkah pertama untuk mempelajari bahasa asing.317 Supaya tidak terjadi eliminasi dalam memahami konsep weltanschauung al- Qur‘an, Toshihiko Izutsu berusaha untuk membiarkan al-Qur‘an menjelaskan konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri.318 Caranya adalah dengan mengumpulkan semua kata-kata penting yang mewakili konsep-konsep penting

menurut Muẖammad Enani, kata ini mencakup semua hal yang terkait dengan penerjemahan, seperti proses penerjemahan („amaliyah al-tarjamah) dan teks yang diterjemahkan (al-nashsh al-mutarjam). Muẖammad Enani, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah, (Kairo: Longman, 2003), h. 5. Adapun secara terminologis, menerjemah berarti mengganti materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain. J.C. Catford, Linguistic Theory of Translation, (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 20. Lihat juga Eugene A. Nida dan Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden: E.J. Brill, 1982), h. 12. 315 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. 24. 316 Secara umum, problem penerjemahan dapat dibagi dua, yaitu: pertama, berkaitan dengan kosakata, dan kedua, berkaitan dengan susunan kalimat. Lihat Muẖammad Enani, Fann al-Tarjamah, (Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet. VII, h. 4. 317 Dalam pengajaran bahasa asing, terdapat banyak cara atau metode yang dikembangkan. Salah satunya adalah metode terjemah. Metode ini dalam prakteknya dikombinasikan dengan pengajaran tatabahasa, sehingga disebut dengan metode tatabahasa-terjemah (grammar-translation method). Lihat Rusydi Aẖmad Thu‗aimah, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ: Manâhijuhu wa Asâlibuhu, (Rabath: ISESCO, 1989), h. 127-129. Shalâh ‗Abd al-Majîd al-‗Arabî, Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ: Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1981), h. 40-41. Nâyif Kharmâ dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„îmuhâ wa Ta„allumhâ, (Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988), h. 169-172. Jack C. Richards dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language Theaching, (New York: Cambridge University Press, 1992), h. 3-5. Sri Utari Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Bahasa, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 11-14. Dan Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 43-44. 318 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4. 110

seperti Allah, Islâm, nabî, îmân, kâfir, dan lain sebagainya, lalu menelaah makna kata-kata itu dalam konteks al-Qur‘an. Kata-kata penting ini, oleh Toshihiko Izutsu, disebut sebagai istilah-istilah kunci. Konsep ini menunjukkan bahwa tidak semua kata-kata dalam suatu kosakata memiliki nilai yang sama dalam pembentukan struktur dasar konsepsi ontologis yang didasari kosakata tersebut. Istilah-istilah kunci merupakan pola umum kosakata yang mewakili kata-kata yang menjadi anggotanya. Istilah-istilah kunci tersebut memiliki hubungan antara satu dengan yang lain sebagai suatu hubungan yang sangat kompleks dan memiliki arah yang beragam.319 Berdasarkan eksposisi ini, sekarang dapat diketahui bahwa kosakata dalam pengertian ini bukanlah semata-mata jumlah totalitas kata dari suatu bahasa, dan bukan pula sekedar kumpulan acak sejumlah besar kata tersebut yang dikumpulkan tanpa aturan dan prinsip yang masing-masing berdiri sendiri tanpa ada hubungan dengan kata-kata yang lain.320 Kosakata adalah struktur multi-strata yang dibentuk secara linguistik oleh kelompok-kelompok istilah-istilah kunci.321 Istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang memainkan peranan yang sangat signifikan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia kitab suci ini, menurut Toshihiko Izutsu, tidak ada satu pun yang baru, termasuk kata Allah yang sekaligus berfungsi sebagai kata fokus tertinggi sebagaimana akan dikemukakan dalam bagian selanjutnya. Tidak hanya istilah-istilah kunci saja, bahkan semua kosakata yang digunakan oleh al-Qur‘an berasal dari kosakata pra-al-Qur‘an.322

319 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20. 320 Gambaran umum tentang kosakata pada umumnya adalah khazanah atau perbendaharaan kata suatu bahasa yang tersusun secara alfabetis. David Grambs, misalnya, mengatakan: ―Vocabulary is a list of words, usually defined and alphabetized, as in dictionary or specialized glossary; complete word stock of language; sum corpus of words used in a sublanguage by group, class, or individual scope of diction;command of words or range of expression.‖ David Grambs, Words About Words, (New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1979), h. 387. 321 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20. 322 Toshihiko Izutsu menegaskan: ―Since, the Qur‟an is, linguistically, a work of genuine Arabic, it will readily be seen that all the words used in this Scripture have a pre-Qur‟anic or Islamic background. Many of them came from the rank and file of pre-Islamic Arabic.‖ Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38-39. 111

Hanya saja kata-kata tersebut berada dalam sistem konseptual yang berbeda. Al- Qur‘an menggunakan kata-kata tersebut dan mengkombinasikannya dalam suatu kerangka konseptual yang secara total baru, dan dengan demikian belum dikenal pada masa pra-al-Qur‘an. Kata-kata yang menempati status sebagai istilah-istilah kunci dalam sistem al- Qur‘an, dilihat secara diakronis, memiliki dua tipe: Pertama, kata-kata tersebut berasal dari kata-kata umum yang kedudukannya jauh di bawah tingkatan istilah kunci. Kata taqwâ, misalnya, merupakan kata yang sangat penting dalam al-Qur‘an dan salah satu istilah kuncinya yang paling khas, tempat seluruh bangunan kesalehan dalam al-Qur‘an berpijak. Namun kata ini pada masa pra-al-Qur‘an merupakan kata umum yang mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perilaku binatang yang sangat umum, yakni sikap membela diri disertai dengan rasa takut.323 Kedua, istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang dalam sistem sebelumnya merupakan istilah-istilah kunci juga. Hanya saja struktur semantiknya sudah jauh berubah sebagai akibat dari perobahan sistem tersebut. Contohnya adalah kata karîm. Kata ini merupakan istilah kunci yang sangat penting pada masa jahiliyah, yang berarti kemuliaan garis keturunan, yakni seorang yang mulia semenjak lahir karena silsilahnya yang masyhur dan tak memiliki cela sedikitpun. Kata karîm, dalam konsepsi jahiliyah juga bermakna seseorang yang memiliki sifat dermawan yang luar biasa, yang menurut konsep sekarang sifat tersebut dikategorikan sebagai pemborosan. Dalam konsep al-Qur‘an, muatan makna kata ini harus mengalami perubahan drastis karena harus diletakkan dalam hubungan yang dekat dengan taqwâ.324 Untuk dapat menentukan kata-kata mana dari sekian banyak kata dalam al- Qur‘an yang patut disebut sebagai istilah-istilah kunci, maka seorang penafsir harus memiliki gambaran skematik umum terlebih dahulu terhadap seluruh obyek yang

323 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 39. 324 Q.S. al-Hujurât (49): 13 112

akan ditafsirkan. Untuk mendapatkan gambaran skematik umum ini, seorang penafsir disarankan untuk memahami al-Qur‘an secara langsung tanpa didahului oleh pembacaan-pembacaan terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim dalam rangka memahami dan menafsirkan kitab suci ini.325

3. Makna Dasar dan Makna Relasional Suatu tanda linguistik (dalam hal ini kata) memiliki dua sisi (two-sided sign) yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: signifie (signified: Inggris) yang merupakan konsep, pikiran, atau gambaran mental; dan signifiant (signifier: Inggris) yang merupakan citra akustik atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.326 Untuk kemudahan dalam tulisan ini, signifie disamakan dengan makna, dan signifiant dengan kata. Hubungan antara kata dan makna ini bukan merupakan hubungan yang kaku, dalam arti satu kata tidak hanya memiliki satu macam makna.327 Di antara ragam makna yang dimiliki oleh satu kata adalah makna denotatif dan makna konotatif.328 Menurut Toshihiko Izutsu, setiap kata memiliki makna dasar dan makna relasional.329 Makna dasar merupakan kandungan unsur semantik yang tetap ada pada bentuk kata tersebut di manapun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan. Sementara makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dan dalam bidang khusus pula.330 Dari pengertian ini, makna dasar dapat

325 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75. 326 Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa (dalam hal ini kata) merupakan signé linguistique (tanda linguistik) yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifiant (penanda, citra akustis, al-dâl) dan signifié (petanda, konsep, al-madlûl). Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 146-147. 327 Abdul Chaer menghimpun tiga belas ragam makna yang dikenal dalam semantik, yaitu: (1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna kontekstual, (4) makna referensial, (5) makna non-referensial, (6) makna denotatif, (7) makna konotatif, (8) makna konseptual, (9) makna asiosiatif, (10) makna kata, (11) makna istilah, (12) makna idiom, dan (13) makna peribahasa. Lihat Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 289-297. 328 Aẖmad Mukhtar ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, h. 37. 329 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 11-16. 330 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 12-13. 113

disamakan dengan makna leksikal, sementara makna relasional hampir mendekati makna kontekstual. Toshihiko Izutsu menggambarkan distingsi kedua makna ini dengan mengambil contoh kata ―kitâb‖. Kata ini memiliki makna dasar ―buku‖, namun dalam konteks al-Qur‘an kata ―kitâb‖ memperoleh makna yang luar biasa pentingnya sebagai isyarat konsep religius yang sangat khusus yang dilingkupi oleh cahaya kesucian. Ini dilihat dari kenyataan bahwa kata ―kitâb‖ terletak dalam hubungan yang sangat dekat dengan wahyu Ilahi, atau konsep-konsep yang cukup beragam yang merujuk langsung pada wahyu.331 Jadi, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, suatu kata ketika digunakan dalam kalimat atau suatu konsep tertentu maka ia memiliki makna baru yang diperoleh dari posisi dan hubungannya dengan kata-kata lain dalam struktur kalimat atau konsep tersebut. Kata ―kitâb‖ dalam konsep al-Qur‘an bermakna al-Qur‘an itu sendiri karena ia berhubungan erat dengan kata-kata Allah, wahyu, tanzîl, dan nabî.332 Dan bisa juga dimaknai sebagai Taurat atau Injil ketika ia, selain berhubungan erat dengan kata-kata Allah, wahyu, tanzîl, dan nabî, berhubungan dengan kata ahl. Sehingga ahl al-kitâb dapat dipahami sebagai masyarakat yang memiliki Taurat atau Injil.333

331 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 11. 332 Daniel A. Madigan menyatakan bahwa makna kitâb dalam al-Qur‘an bukan merujuk kepada sebuah mushẖaf ataupun buku. Dalam pandangannya, al-Qur‘an bukanlah sebuah buku yang umumnya diterima dengan makna mushẖaf tertutup (closed corpus). Ia lebih merupakan simbol dari sebuah proses keterlibatan Tuhan dan manusia yang berkesinambungan, suatu keterlibatan yang kaya dan beragam, namun langsung dan spesifik di dalam ucapannya yang hal tersebut tidak akan dapat dipahami di dalam sebuah kanon yang tetap atau terbatas di antara dua sampul. Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001), h. 165. 333 Menurut Fazlur Rahman, perkataan kitâb sering dipergunakan al-Qur‘an bukan dengan pengertian kitab suci tertentu, tetapi sebagai istilah umum yang mempunyai pengertian keseluruhan wahyu-wahyu Tuhan. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), h. 235. Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar, menegaskan bahwa di luar kalangan Yahudi dan Kristen juga terdapat ahli kitab. Ia menyebutkan tidak hanya kaum Majusi dan Sabiin saja sebagai ahli kitab, tetapi juga Hindu, Budha, dan Konfusius. Ini disebabkan karena kaum Majusi dan Sabiin berada dekat dengan mereka di Irak dan Bahrain. Selain itu, orang memang belum pernah melakukan perjalanan ke India, Jepang, dan Cina, sehingga mereka belum mengetahui golongan-golongan yang lain. Dalam hal ini, tujuan ayat suci sebenarnya sudah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal oleh orang-orang Arab, sehingga tidak perlu 114

Oleh karena itu, menurut Toshihiko Izutsu, kata-kata dalam al-Qur‘an harus dipahami dalam kaitannya dengan kata-kata lain yang mengelilinginya. Dengan kata lain, makna relasional memiliki kedudukan yang lebih penting dari pada makna dasarnya. Bahkan makna yang dibangun dari relasi antar kata itu dapat menghilangkan makna dasarnya. Peristiwa seperti ini menandai lahirnya sebuah kata baru. Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu mencontohkan transformasi semantik kata kerja kafara dalam al-Qur‘an. Kafara memiliki makna dasar ―tidak berterima kasih‖ atas pemberian orang lain, baik pemberian itu berupa jasa ataupun materi. Dengan demikian, kafara merupakan lawan dari syakara yang berarti ―berterima kasih‖. Namun dalam konteks teologi Islam, kata ini bermakna ―tidak percaya‖ kepada Allah. Dengan demikian, kata ini merupakan lawan dari ―âmana‖ yang artinya ―percaya‖. Kata kafara dalam pengertian dasarnya tetap digunakan oleh orang Arab Muslim maupun non-Muslim, dan tetap begitu sejak masa pra-Islam hingga sekarang.334 Transformasi semantik kafara dari ―tidak berterima kasih‖ kepada ―tidak percaya‖ tejadi secara gradual dan makna baru yang dimilikinya sesungguhnya tidaklah lepas sama sekali dari makna dasarnya. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa kafara dalam konteks teologi pertama bermakna ―tidak berterima kasih‖, tapi tidak dalam pengertian berterima kasih terhadap kebaikan orang lain. Tidak berterima kasih di sini adalah kepada kebaikan-kebaikan Allah atau apa saja yang dianggap baik menurut Allah. Dalam pandangan Islam, Allah-lah yang menciptakan manusia, memeliharanya, dan mencukupi segala kebutuhannya. Oleh karena itu adalah wajar jika Allah menyuruh manusia supaya berterima kasih kepada-Nya. Akan tetapi karena Allah tidak mewujud dalam materi, dan oleh karenanya tidak dapat dilihat, maka ada kelompok manusia yang tidak mematuhi perintah tersebut. Di sini kita dapat melihat pergeseran makna kafara dari ―tidak berterima kasih‖ menjadi ―tidak percaya‖.335

keterangan asing. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 188. 334 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 14. 335 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 14-15. 115

E. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al-Qur‘an Perumusan pandangan dunia al-Qur‘an, menurut Fazlur Rahman, sangat urgen karena dimensi metafisis ini merupakan latar belakang bagi elaborasi yang koheren atas pesan-pesan al-Qur‘an dalam berbagai bidang.336 Pada kesempatan lain Fazlur Rahman mengatakan bahwa dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur‘an, langkah yang harus dilakukan adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an yang berkaitan dengan Tuhan, hubungan Tuhan dengan alam dan manusia, dan peran-Nya dalam sejarah manusia dan masyarakat.337 Dengan menggunakan pendekatan semantik, Toshihiko Izutsu memperoleh kesan bahwa al-Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata besar yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masing- masing konsep tersebut merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang semantik, pandangan dunia al-Qur‘an dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip pertentangan konseptual. Pertentangan tersebut dibentuk oleh: Pertama, hubungan fundamental antara Tuhan dan manusia; Kedua, pembagian tempat hidup manusia yang terdiri dari alam ghaib („âlam al-ghaib) dan alam nyata („âlam al-syahadah); dan Ketiga, konsep kehidupan dunia (al-dunyâ) dan akhirat (al-âkhirah).338

1. Konsep Allah Pandangan dunia atau weltanschauung al-Qur‘an, menurut Toshihiko Izutsu, pada dasarnya bersifat teosentris. Gambaran tentang Tuhan meliputi seluruh sistem al-Qur‘an. Dan dengan demikian, dalam sistem ini, konsep Tuhan menguasai dan memaksakan pengaruhnya secara mendalam pada struktur semantik kata-kata kunci. Atas pertimbangan inilah Toshihiko Izutsu membahas secara khusus konsep Allah ini

336 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, h. 143. 337 Fazlur Rahman, ―Islam: Challenges and Opporunities,‖ sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II, h. 137. 338 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75-89. 116

dalam God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung,339 sebelum membicarakan secara terperinci mengenai hubungan Tuhan dan manusia. Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa konsep Tuhan dalam weltanschauung al- Qur‘an berbeda dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani. Tuhan dalam filsafat Yunani hidup dalam kemuliaan-Nya, mencukupi diri-Nya sendiri dengan kesunyian dan jauh dari manusia. Sementara Tuhan dalam weltanschauung al-Qur‘an melibatkan diri-Nya secara mendalam dalam urusan manusia, tidak hanya ketika dalam kehidupan dunia ini, tapi juga dalam kehidupan akhirat kelak.340 Pernyataan ini memiliki alur yang sejalan dengan pendapat Fazlur Rahman. Menurut Fazlur Rahman, keberadaan Tuhan dalam pandangan al-Qur‘an sesungguhnya bersifat fungsional. Artinya, Dia adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta dan manusia, terutama Dia-lah yang memberi petunjuk kepada manusia dan yang akan mengadili manusia kelak, baik secara individu maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh rahmat.341 Dengan kata lain, konsep Tuhan adalah fungsional. Yakni, Tuhan dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan.342 Pengamatan yang cermat terhadap al-Qur‘an akan mengungkapkan bahwa al- Qur‘an menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan: mulai dari hujan sampai ke proses jatuh-bangunnya bangsa-bangsa, dari kemenangan dan kekalahan dalam perang dan damai sampai ke revolusi yang teratur dari benda-benda kosmos, semuanya dikembalikan kepada Tuhan. Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan, tandas Fazlur Rahman, adalah menjelaskan keteraturan alam semesta. Keteraturan ini dapat dilihat dari tidak adanya pelanggaran hukum dalam jagat raya dan seluruh kosmos merupakan kesatuan yang organis. Sementara alam

339 Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, Bab IV, h. 100-124. 340 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 100. 341 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 1. 342 Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI, h. 91. 117

menurut al-Qur‘an merupakan sebuah tatanan (kosmos) yang berkembang dan dinamis. Ia diciptakan bukan untuk suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi secara serius. Manusia harus mempelajari hukum-hukumnya, yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan menjadikannya sebagai arena bagi aktifitas manusia yang punya tujuan.343 Tuhan dalam al-Qur‘an dikenal dengan nama Allah.344 Kata ini, menurut Toshihiko Izutsu, bukanlah nama yang asing dan aneh bagi orang-orang Arab pada masa pra-al-Qur‘an, tapi sudah dikenal luas, bukan saja di lingkungan Yahudi-Kristen yang monoteistik, tetapi juga di kalangan orang-orang nomaden murni.345 Sebagai buktinya, kata tersebut sudah digunakan dalam puisi-puisi pra-Islam, gabungan nama- nama orang, dan tulisan-tulisan kuno.346 Bahkan Toshihiko Izutsu menandaskan bahwa tanpa bantuan literatur non-al-Qur‘an sekalipun, dalam arti hanya dengan mengandalkan informasi dari al-Qur‘an semata, dapat diketahui bahwa konsep Allah tidak hanya ada dalam pandangan religius orang-orang Arab pra-Islam, bahkan lebih dari itu konsep tersebut sudah memiliki struktur makna batin tersendiri di kalangan orang-orang Arab pra-Islam tersebut.347Pandangan ini menegaskan apa yang telah dikemukakannya di depan, bahwa dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia al-Qur‘an tidak ada satu pun kata yang baru, termasuk kata Allah itu sendiri.

343 Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, h. 69. 344 Kata Allah menurut al-Râghib al-Asfahânî, diderivasi dari kata ilâh. Kata ―ilâh‖ ini dibuang huruf depannya, yaitu hamzah, lalu diberi artikel definitif (alif-lâm) menjadi ―Allah‖. Kata bentukan baru ini menjadi istilah khusus untuk menyebut Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan memelihara alam semesta serta satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Lihat al-Râghib al- Asfahâni, Muʻjam Mufradât Alfâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2004), h. 28. 345 Perlu diketahui bahwa, menurut Ali Mufrodi, para sejarawan Muslim tidak memberi prediket kepada orang-orang Arab pra-Islam itu dengan sebutan paganism, tetapi orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga memuja berhala-berhala. Mereka berkeyakinan bahwa menyembah berhala itu bukan menyembah wujudnya, tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 9. 346 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5. 347 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 106. 118

Berdasarkan fakta tersebut, maka – menurut Toshihiko Izutsu – perlu dielaborasi apakah konsep al-Qur‘an tentang Allah merupakan kelanjutan dari konsep pra-al-Qur‘an, ataukah merepresentasikan konsep yang sama sekali terputus dari konsep sebelumnya? Adakah kaitan esensial antara dua konsep tentang Tuhan yang ditandai dengan satu nama yang sama? Atau apakah ia merupakan sebuah persoalan tentang sebuah kata biasa yang digunakan untuk dua obyek yang berbeda?348 Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Toshihiko Izutsu menelusuri secara historis sikap orang-orang Arab ketika al-Qur‘an pertama kali menggunakan nama Allah ini. Ketika al-Qur‘an menyebut kata Allah, timbul perdebatan hangat antara orang-orang Muslim dan kafir tentang hakikat kata ini. Dari sudut pandang semantik, peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada dasar pemahaman yang sama antara kedua belah pihak. Sebab kalau tidak ada kesamaan, tentu tidak akan ada perdebatan. Kesamaan dasar pemahaman tersebut dibangun oleh adanya unsur-unsur umum yang melekat pada kata Allah tersebut. Unsur-unsur umum itu dapat diketahui berdasarkan pembedaan metodologis antara makna dasar dan makna relasional. Makna dasar kata ―Allah‖ dapat dibandingkan dengan kata Yunani ho theos, yang biasanya berarti ―Tuhan‖. Pada aras makna ini, kata tersebut dikenal oleh semua suku Arab pada masa pra Islam sebagai dewa lokal, karena masing-masing suku pada masa itu memiliki tuhan atau dewa lokal yang dikenali dengan nama diri. Orang Arab utara (Hijaz dan sekitarnya) memiliki tiga dewi, yaitu: al-Lat, al-Uzzâ, dan Manât yang dianggap sebagai anak-anak perempuan dewa agung (banât Allah). Kabilah Kinanah yang mempunyai hubungan intim dengan kabilah Quraisy baik dalam masalah politik maupun dalam soal pertalian darah, menyembah binatang aldoraban dan dewi al-Uzzâ yang dilambangkan sebagai sebuah pohon di Nakhla. Kabilah Hawazin yang berdiam di sebelah tenggara kota Mekah menyembah dewi al-Lat yang bertempat di Thaif dan dewi Manat yang dilambangkan sebagai sebuah batu di jalan

348 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 101. 119

kabilah antara Mekah dan Syiria.349 Sedangkan orang-orang Arab selatan percaya kepada dewi bulan yang berpasangan dengan dewi matahari. Perkawinan antara keduanya melahirkan Venus. Mereka menyembah sanam (adalah patung dalam bentuk manusia yang terbuat dari logam dan kayu), watan (patung yang terbuat dari batu), dan nusub (merupakan sesembahan dalam bentuk batu karang yang dianggap berasal dari langit).350 Makna dasar ini merupakan salah satu garis penghubung antara dua konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Arab pra-Islam dengan sistem al-Qur‘an. Hubungan lain didapat dari pengembangan makna relasional. Pemahaman tentang makna relasional kata Allah di kalangan orang-orang Arab pra-Islam perlu dibedakan ke dalam beberapa kasus yang berbeda, yaitu: Pertama, konsep Allah menurut orang-orang Arab musyrik. Masyarakat Arab pra-al- Qur‘an telah mengenal konsep Allah sebagai Pencipta dunia; Yang menurunkan hujan, atau dalam pengertian yang lebih umum, Allah sebagai Pemberi hidup terhadap segala sesuatu yang ada di bumi; Dalam keadaan tertentu, Allah diyakini sebagai Yang wajib ditaati; Tuhan Maha Agung yang mengawasi kesucian sumpah; Pendiri beberapa kebiasaan keagamaan lama; dan Penguasa Ka‘bah. Dalam al-Qur‘an ditemukan terdapat banyak bagian yang menginformasikan hal tersebut.351 Fakta ini tentunya cukup mengejutkan, karena konsep demikian memiliki kedekatan dengan konsep al-Qur‘an. Akan tetapi kondisi ini tidak sampai membawa mereka kepada monoteisme murni. Mereka tetap menyembah dewa-dewa yang mereka percayai dapat menghubungkan mereka dengan Allah, dalam kapasitasnya sebagai Tuhan Ka‘bah di Mekah. Jadi dalam konsep masyarakat Arab pra-Islam, hierarki politeisme tertinggi tampaknya diberikan kepada Allah.352 Konsepsi ini tampak dengan sangat

349 Syed Ameer Ali, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 83. 350 Muhammad Husein Haekaal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 14. 351 Lihat Q.S. al-Nisâ‘ (4): 139; Q.S. al-Mu‘minûn (23): 86-89; Q.S. al-‗Ankabût (29): 61, 63, dan 65; Q.S. Luqmân (31): 32; dan Q.S. al-Quraisy (106): 1-3. 352 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5. 120

jelas diungkap dalam al-Qur‘an.353 Al-Qur‘an juga merekam bahwa ide yang mendasari adanya tuhan-tuhan lain di samping Tuhan yang maha tinggi adalah qurbân, yang secara harfiah berarti sarana pendekatan, yaitu pengambil hati dan perantara.354 Hal yang sama dilontarkan oleh W. Montgomery Watt. Ia menuturkan bahwa kedudukan Allah dalam sistem kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam sebagai the High God, sementara dewi-dewi sebagai the lesser deities yang berfungsi sebagai perantara dalam menyembah Allah.355 Kedua, konsep Allah menurut orang-orang Yahudi dan Kristen. Pada masa itu, masyarakat Arab tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan Kristen yang besar.356 Kerajaan Bizantium,357 kerajaan Abyssina,358 dinasti Ghassaniyah,359 dan dinasti Lakhmid,360 semua merupakan kerajaan-kerajaan Kristen.

353 Dalam Q.S. al-Zumar (39): 3, sejumlah orang musyrik berkata: ―Kami hanya menyembah mereka (tuhan-tuhan lain) karena mereka membuat kami lebih dekat kepada Allah.‖ 354 Q.S. al-Ahqâf (46): 28. 355 W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, dalam Publications of the Nederlands Institute of Archeology and Arabic Studies in , No. 4, (Leiden: E.J. Brill, 1981), h. 329, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 172. 356 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 111-112. 357 Kerajaan Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur, dengan ibukota Konstantinopel, merupakan bekas Imperium Romawi di masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah imperium ini telah meliputi Asia kecil, Syria, Mesir, dan bagian tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di laut Tengah dan sebagian daerah Italia serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara juga berada di bawah kekuasaannya. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 11. 358 Kerajaan yang beribukota di Aksum dan beragama Kristen mazhab Monofisit ini merupakan agen Kerajaan Bizantium yang bertugas menghalau segala ancaman dari Kekaisaran Persia. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2008), h. 36. Sekitar abad ke-6 sampai dengan abad ke-7 sedang terjadi persaingan kekuasaan di Timur Tengah antara Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia. Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 11. 359 Kerajaan ini berfungsi sebagai pos luar Kerajaan Romawi Timur di Arab untuk membendung serangan orang-orang Arab Badui. Sebagaimana kerajaan Abyssina, kerajaan ini juga menganut Kristen mazhab Monofisit. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya, h. 36. Mazhab Monofisit memandang Yesus hanya memiliki satu hakikat, yaitu: manusia – Tuhan. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, catatan punggung, h. 51. 360 Kerajaan ini merupakan wakil Kekaisaran Persia di Arab. Didirikan oleh ‗Amr ibn ‗Adi ib Nashr ibn Rabi‘ah ibn Lakhm. Kerajaan ini disebut juga Nasrid, berdiri pada pertengahan abad ke-3 M. Aliran Kristen yang berkembang di wilayah ini adalah Nestorian, yaitu suatu aliran yang memandang bahwa Yesus adalah benar-benar Tuhan tetapi dilahirkan sebagai manusia dari rahim perawan Maria. Dengan demikian, pribadi Yesus menyatukan dalam dirinya dua hakikat: manusia dan 121

Bahkan orang-orang Arab sendiri ada yang beragama Kristen. Di Hijaz ada dua kabilah yang masuk Kristen, yaitu: kabilah Judham dan kabilah Udhra. Di kota Mekah agama Kristen dianut secara individual, bukan dalam satu kabilah.361 Penganut Kristen di Mekah adalah orang-orang dari klan Banû Asad ibn ‗Abd al- Uzzâ.362 Kristen masuk ke Arab utara melalui perantaraan kerajaan Nabatean yang dimulai pada masa apostelik. Nabatean membawahi wilayah Damaskus, tempat St. Paulus menerima Kristen. Kelompok-kelompok Kristen telah berada di Arab barat laut pada abad ke-3 M. Ketika kaisar Konstantin menerima agama Kristen, penyiaran Kristen semakin berkembang di daerah perbatasan imperium Romawi. Kaisar Konstantin bahkan mengutus para pekabar Injil ke beberapa wilayah, antara lain Theophillus – seorang pekabar Injil berkebangsaan India – untuk mengabarkan Injil ke wilayah Himyar (Arab selatan).363 Mengenai Yahudi, sejumlah suku Yahudi telah menetap di Arab. Mereka bertempat tinggal di Yatsrib (Madinah), Khaibar, Fadak, Taimâ‘, dan Wadî al-Qurra. Meskipun di Mekah secara praktis tidak tampak orang-orang Yahudi, ide-ide dan konsep Yahudi telah akrab dengan masyarakat Mekah.364 Tidak diketahui secara pasti sejak kapan agama ini masuk ke jazirah Arab. Menurut Alfred Guillaume ada tiga kemungkinan waktu agama Yahudi masuk ke jazirah Arab, yaitu: Pertama, abad ke-8 SM. Pada abad ini diketahui telah ada orang Yahudi di Arab, yaitu pada masa kejatuhan Samaria tahun 721 SM. Tetapi dugaan ini tidak begitu kuat, karena hampir dapat dipastikan bahwa koloni militer di Aswan, sebelah utara Mesir, didirikan setelah kejatuhan Samaria. Kedua, abad ke-6 SM. Abad ini ditandai dengan

Tuhan. Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168. 361 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168. 362 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112. 363 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168. 364 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112. 122

penyebaran secara besar-besaran orang Yahudi di berbagai wilayah. Di abad ini terdapat perkampungan Yahudi yang besar di Mesopotamia. Ketiga, abad ke-1 dan ke-2 SM. Yaitu ketika kerajaan Romawi begitu keras menekan orang-orang Yahudi di Palestina, kemudian orang-orang Yahudi ini diterima dengan baik oleh masyarakat Arab. Kemungkinan yang ketiga ini oleh Alfred Guillaume dianggap lebih tepat.365 Orang-orang Kristen dan Yahudi juga mengenal kata Allah sebagai Tuhan mereka.366 Kedua agama yang merupakan agama wahyu ini memiliki kepercayaan monoteistik yang diwarisi dari Ibrahim, yaitu mengakui dan menyembah Allah sebagai Tuhan yang Esa. Meskipun dalam doktrin Kristen,367 Allah menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus,368 namun menurut rumusan ajaran Kristen, keyakinan yang demikian tidak boleh disebut dengan politeisme, tetapi harus dikatakan sebagai suatu model dari monoteisme. Sebab oknum kedua (Putra) dan oknum ketiga (Roh Kudus) merupakan bagian dari Allah sang Bapa. Atau dengan istilah lain, bahwa ketiganya adalah dalam keesaan atau keesaan dalam ketigaan.369 Konsep tentang Allah yang berkembang di Arab pada waktu itu, menurut Toshihiko Izutsu, mempengaruhi kedua belah pihak, yaitu pihak Arab Jahiliyah di

365 Alfred Guillaume, Islam, (1982), sebgaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 166. Pendapat ini sama dengan Philip K. Hitti. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: MacMillan & Co., 1958), h. 61. 366 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 104. 367 Istilah Kristen diambil dari kata kristus, gelar kehormatan keagamaan untuk Yesus, pembawa agama ini. Kata kristus berasal dari bahasa Yunani (khristos) yang berarti diurapi, yaitu digosok dengan minyak suci sebagai suatu upacara konsekrasi atau pensucian. Jadi kata ―Kristen‖ mengandung arti orang yang telah dibaptis dengan perminyakan suci. Dengan pembabtisan tersebut, seseorang telah diakui sah sebagai pengikut Kristus. Lihat C.J. Bleeker, Pertumbuhan Agama-agama Dunia, terj. Barus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), h. 64. H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: P.T. Golden Terayon Press, 1997), h. 134. 368 Keyakinan seperti ini disebut trinitas atau tritunggal, yang berarti ada tiga oknum kekal dalam hakikat Allah yang Esa itu. Tiga oknum ini dapat dikatakan sebagai tiga kepribadian Allah. Ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan. Ketiganya adalah kesatuan yang merupakan satu kebenaran yang Esa. Tujuan pembedaan tersebut adalah supaya hamba-Nya mengenal-Nya dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Lihat Henry C. Theiessen dan Vermon D. Doerksen, Teologi Sistematika, (: Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV, h. 138. 369 H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h. 143. 123

satu sisi dan pihak Yahudi dan Kristen di sisi lain.370 Pendapat ini berbeda dengan Philip K. Hitti yang menolak adanya pengaruh Yahudi dan Kristen di Hijaz. Ia memandang bahwa meskipun wilayah dikelilingi oleh berbagai kebudayaan, peradaban, dan agama, tetapi tidak mampu mengubah peradaban dan agama penduduk asli Hijaz.371 Ketiga, Konsep Allah menurut orang-orang hanif. Konsep Allah juga dikenal dalam agama hanif. Dalam agama hanif ini, Allah adalah Tuhan alam semesta, Pencipta segala sesuatu dan dengan demikian semua makhluk adalah hamba-Nya, Raja langit dan bumi yang Mahabesar yang menguasai rakyat-Nya dengan kekuasaan yang absolut. Konsep demikian dalam agama hanif ini, menurut Toshihiko Izutsu, dapat ditelusuri dari syair-syair Umayyah ibn Abî Salt.372 Dengan demikian untuk sementara dapat disimpulkan bahwa beberapa konsep tentang Allah yang dimiliki oleh orang-orang Arab pra-al-Qur‘an memiliki kedekatan dengan konsep Islam.

370 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112. 371 Philip K. Hitti menyatakan: ―… it may be safely stated that al-Hijaz in the century preceding the mission of Muhammad was ringed about with influences intellectual, religious and material, radiating from Byzantine, Syrian (Aremean), Persian, Ghassanid, Lakhmid and Yamanite channels; but it cannot be asserted that al-Hijaz was in such vital contact with the higher civilization of the north as to transform its native cultural aspect. Then too, although Christianity did find a footing in Najran, and Judaism in Yaman and Hijaz, neither seems to have left much of an impresson on the North Arabian mind.‖ Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 107. 372 Umayyah ibn Abî Salt merupakan tokoh sastra Jahiliyah yang luar biasa. Ia merupakan salah seorang pemuka suku Tsaqif. Pada jaman Jahiliyah, ia dikabarkan mencari agama monoteistik sejati, menjauh dari semua penyembahan berhala, tapi merupakan pembangkang yang terisolir, tanpa menjadi Yahudi maupun Kristen, sekalipun atmosfir spiritual tempat ia tinggal hampir sepenuhnya Yahudi dan Kristen. Ia dikabarkan mempelajari bahasa Yahudi dan Syiria secara serius dan membaca bagian-bagian dari Kitab suci yang bisa diperoleh dalam kedua bahasa tersebut. Hal ini diperkuat dengan keberadaan sejumlah besar kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya yang sangat mengganggu para filologis periode Abbasiyah karena sangat aneh, sehingga Ibn Qutaibah menyatakan bahwa dia merupakan satu-satunya penyair Jahiliyah yang syair-syairnya tidak dapat digunakan sebagai ẖujjah dalam menafsirkan al-Qur‘an lantaran banyaknya kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya tersebut. Pakaiannya, dalam salah satu hadis, dinyatakan sebagai sarung atau kain yang terbuat dari bulu kasar, sebagai tanda orang yang seluruh waktunya digunakan untuk beribadah. Ia menyatakan bahwa anggur itu haram dan menyebut agama yang dicarinya sebagai al-dîn al-ẖanîfah (agama hanif) yang dikaitkan dengan Ibrahim dan Ismail. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 118-119. 124

2. Relasi Allah dan Manusia Relasi antara Tuhan dan manusia, menurut Toshihiko Izutsu, terdiri dari empat tipe, yaitu: relasi ontologis, relasi komunikatif, relasi tuan-hamba, dan relasi etik.373 a. Relasi ontologis Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi dan berulang-ulang adalah: ―Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di dunia ini?‖ Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq) dan yang diciptakan (makhlûq).374 Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam al-Qur‘an juga ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai dari malaikat,375 jin,376 langit dan bumi,377 matahari, bulan, siang dan malam,378 gunung dan sungai,379 pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan,380 hingga semua jenis binatang,381 dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat disebutkan satu persatu.382 Oleh karena itu kata khalq, khâlik, bâri‟, dan sebagainya dalam al-Qur‘an selalu dikaitkan dengan ―Allah‖.

373 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 77-78. 374 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127. 375 Q.S. al-Zukhrûf (40): 9. 376 Q.S. al-Raẖmân (55): 15. 377 Q.S. Ibrâhîm (14): 19. 378 Q.S. Fushilat (41): 37. 379 Q.S. al-Ra‗d (13): 3. 380 Q.S. al-Raẖmân (55): 11-12. 381 Q.S. al-Nûr (24): 45. 382 Q.S. al-An‗am (6): 102. 125

Konsep Allah sebagai pencipta alam semesta secara umum sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam. Meskipun ada juga beberapa orang penyembah berhala, sebagaimana yang dilansir oleh ayat al-Qur‘an, yang menghubungkan kekuatan penciptaan dengan berhala-berhala,383 namun pada umumnya, orang-orang Arab pagan itu menisbatkan segala bentuk aktivitas penciptaan kepada Allah, Tuhan yang maha tinggi. Toshihiko Izutsu membuktikan hal ini dengan adanya syair-syair Arab pra-Islam, misalnya karya Antarah yang menghubungan penciptaan burung dan penciptaan segala sesuatu dengan Tuhan. Bahkan dalam karya penyair serdadu terkenal, Baith ibn Suraim al-Yashkuri, konsepsi tentang Allah sebagai Dzat yang telah meninggikan langit dan bulan di sana sudah dikenal.384 Meskipun masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan Allah, akan tetapi konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap pola pikir mereka. Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh perhatian sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam urusan manusia. Dia tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah proses penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang disebut dahr.385 Dahr ini meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân, „ashr, ayyâm, dan „aud, namun gagasan yang mendasari konsep dahr selalu sama, ia merupakan tiran yang tidak memiliki belas kasihan dan berdarah dingin.386 Dahr ini, menurut Helmer Ringgren, melahirkan sifat fatalism bagi orang Arab.387 Pandangan ini sejalan dengan W. Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa menurut orang Arab, keuntungan dan kegagalan dalam usaha mereka sehari-hari

383 Lihat Q.S. al-Ra‗d (13): 16. 384 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 128-129. 385 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 131. 386 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 132. 387 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 173. 126

semata-mata disebabkan oleh dahr tersebut.388 Dahr bagi orang Arab dipandang sebagai penentu nasib mereka.389 Dalam hubungannya dengan Q.S. al-Jâtsiyah (45): 24 yang menyebutkan tentang dahr, W. Montgomery Watt berpendapat bahwa ayat tersebut menunjukkan sikap sebagian orang Arab yang tidak percaya kepada kekuasaan Tuhan yang menghidupkan dan mematikan, yang mematikan manusia bukan Tuhan, tetapi dahr tersebut. Kehidupan, menurut mereka, hanya di dunia saja. Mereka tidak percaya kepada adanya kehidupan akhirat. Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsep yang asing dan berada di luar benak orang Arab. Interpretasi ayat tersebut menurut W. Montgomery Watt adalah bahwa bagi orang Arab, peristiwa-peristiwa alam bukan ditentukan oleh kekuasaan Tuhan, tetapi oleh dahr. Oleh karena itu, setelah kedatangan Islam banyak ayat al-Qur‘an yang membantah kepercayaan tersebut dan menempatkan Tuhan yang berkuasa dan menentukan hidup dan kematian manusia.390 Dengan demikian, orang Arab menerima fakta alami yang terjadi tanpa mengaitkan dengan Allah ataupun kekuatan dewi-dewi.391 Sikap orang-orang Arab pra-al-Qur‘an yang tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri bertentangan dengan ajaran al-Qur‘an. Menurut al-Qur‘an, seorang Muslim harus selalu menyadari eksistensinya sebagai makhluk. Tanpa adanya kesadaran tersebut, seseorang akan tidak dapat dikatakan Muslim karena ia telah jatuh ke dalam dosa besar, yaitu kesombongan. Menurut sistem Islam, penciptaan Allah menandai awal kekuasaan-Nya terhadap segala

388 Menurut W. Montgomery Watt, dahr ekuivalen dengan the course of events (jalannya kejadian) atau the spatio-temporal process (proses ruang-waktu). W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al- Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 173. 389 W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, (Oxford: University Press, 1953), h. 26. 390 W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, h. 330. 391 Hal ini berbeda dengan Philip K. Hitti yang mengemukakan bahwa nasib manusia ditentukan oleh dewi manâh. Manâh dari kata maniyah (nasib yang ditentukan). Dengan demikian dewi manât merupakan dewi nasib. Lihat Philip K. Hitti, History of Arabs, h. 99. 127

sesuatu yang diciptakan. Urusan-urusan manusia semuanya dalam pengawasan ketat Allah.

b. Relasi komunikatif Dalam bagian relasi ontologis telah diketahui bahwa Allah adalah pencipta dan manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik. Komunikasi antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara, yaitu: pertama, melalui penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak; kedua, melalui penggunaan ―tanda-tanda alam‖ oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal.392 Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa wahyu merupakan perkataan (kalâm) Tuhan.393 Meskipun ia menyadari bahwa dalam komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan manusia sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu secara teoritik, tidak mungkin terjadi pertukaran kata (al-taẖawwur), pengajaran (al-ta„lîm), dan juga belajar (al-ta„llum).394 Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib

392 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 142. 393 Hal tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah (2): 75, yang secara kontekstual mengandung pengertian bahwa perkataan Tuhan mengacu kepada kata-kata yang telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 165. 394 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180. 128

atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non- natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.395 Problem tersebut, menurut Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya).396 Hal inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn.397 Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya. Sama seperti halnya wahyu, problem eksistensi ontologis antara Tuhan dan manusia juga menjadi kendala dalam komunikasi linguistik dari arah bawah ini. Menurut Toshihiko Izutsu, doa dapat menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi dalam situasi yang sangat istimewa, yakni ketika manusia mendapati dirinya berada dalam situasi yang tidak wajar.

395 Fazlur Rahman mengatakan: ―God speaks to no human (i.e. through “sound words”) exept through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or from behind the veil, or He may send a messenger (an angel) who speak through wahy … even thus have We inspired you with a spirit of Our command.‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), h. 30-31. 396 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192. 397 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189. 129

Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana hari-harinya, maka ia berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata secara langsung kepada Tuhan. Toshihiko Izutsu menegaskan bahwa hanya dalam situasi demikian saja hati manusia dapat sepenuhnya murni dari semua pikiran keduniaan. Dengan demikian, bahasa yang diucapkan manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa merupakan percakapan personal yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Situasi luar biasa itu pada umumnya disebabkan oleh rasa patuh yang mendalam terhadap Tuhan atau, yang lazim, karena bahaya kematian yang sudah mendekat.398 Dengan mengutip al-Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu manusia bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan diri menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya.399 Komunikasi non linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk pengiriman tanda-tanda alam dari Tuhan. Tanda-tanda ini, bagi orang-orang yang mau memperhatikan dan merenungkannya, dapat dilihat setiap saat, karena memang semua yang sering disebut sebagai peristiwa alam, seperti hujan, angin, susunan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, dan sebagainya pada dasarnya merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap kehidupan umat manusia di muka bumi, sekaligus merupakan bukti Ketuhanan-Nya.400 Sementara dari manusia berupa salat. Tentu saja di dalam salat di samping gerakan- gerakan tubuh, terdapat unsur-unsur verbal yang berupa kata-kata.401 Akan tetapi kata-kata di sini tidak sebagaimana dalam doa, yang digunakan untuk menyatakan ungkapan khusus yang bersifat pribadi. Ungkapan-ungkapan verbal dalam salat

398 Lihat Q.S. Yunus (10): 12 dan 22; juga Q.S. al-An‗am (6): 40-41. 399 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 209. 400 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 143. 401 Menurut Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î, salat terdiri dari perkataan (qaul), perbuatan („amal), dan tindakan-tindakan yang dilarang (imsâk). Lihat, al-Syâfiʻî, Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 121. 130

digunakan secara ritualistik, dalam arti kata-kata yang diucapkan tidak menggambarkan gagasan pribadinya sendiri, tapi bersifat simbol.402 Komunikasi antara Tuhan dan manusia, baik yang bersifat verbal maupun non-verbal, terjadi atas inisiatif dari Tuhan, sementara manusia pada dasarnya hanya menanggapi apa yang dilakukan Tuhan. Kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi langsung antara Dia dan manusia termanifestasi dalam bentuk pengiriman âyât (tanda-tanda).403 Âyât Ilahi yang dimaksud dalam al-Qur‘an merupakan pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal dan non- verbal. Dari kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol verbal (waẖy) dapat dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat konseptual dan analitis. Dengan demikian, waẖy dapat menyajikan kehendak Tuhan dalam yang mudah dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara dalam simbol non-verbal, kehendak Tuhan termanifestasikan secara global. Dan karena sifatnya yang tidak konseptual, maka pesan-pesan yang dibawa sangat tidak jelas atau kabur. Akan tetapi simbol non- verbal lebih terbuka, dapat diakses oleh siapa saja tanpa perantara, sedang simbol verbal hanya mungkin diketahui oleh umat manuisa melalui seorang perantara, yaitu Rasul.404 Respon yang dapat dilakukan manusia terhadap fakta adanya âyât Ilahi ini, menurut al-Qur‘an, ada dua, yaitu: tashdîq dan takdzîb. Secara harfiah, tashdîq bermakna ―menganggap dan menerima sebagai kebenaran,‖ sementara takdzîb bermakna ―menganggap sebagai kepalsuan.‖ Tashdîq merupakan langkah pertama menuju îmân, sementara takdzîb merupakan inti kekufuran. Di sini terlihat bahwa tashdîq dan takdzîb berada dalam perlawanan konseptual yang tajam. Pertentangan dasar ini lagi-lagi, menurut Toshihiko Izutsu, sebagai persoalan yang sangat penting

402 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 158. 403 Kata âyah (bentuk tunggal dari âyât), menurut Toshihiko Izutsu, pada masa pra-al-Qur‘an tidak dikenal dalam kosakata Badui, namun dikenal dalam dalam kosakata pedagang, hanya saja tidak pernah digunakan dalam pengertian religius; kata tersebut dipakai dalam pengertian alam, kecuali di kalangan kelompok ẖanîf. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 144. 404 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 145. 131

dalam memahami pandangan dunia al-Qur‘an.405 Berdasarkan hal ini, maka hubungan antara tashdîq dan takdzîb harus dilihat sebagai sumbu yang dikelilingi oleh medan semantik masing-masing, sehingga dengan demikian setiap istilah kunci dapat ditempatkan pada posisi yang tepat. Istilah kunci bagi timbulnya tashdîq adalah pemahaman terhadap âyât Ilahi. Tanpa pemahaman terhadap âyât, maka manusia tidak akan dapat menganggap bahwa âyât tersebut berasal dari Tuhan. Aktivitas memahami ini ditunjukan oleh al- Qur‘an dengan kata-kata seperti „aqala, fahima, faqiha, tafakkara, tadzakkara, dan tawassama. Perbuatan manusia untuk memahami tersebut sumbernya terletak pada kemampuan psikologis yang disebut dengan lubb atau qalb (hati). Dengan kata lain, hati bila berfungsi dengan baik merupakan sesuatu yang memungkinkan manusia untuk memahami makna âyât Ilahi. Bagi hati yang semacam ini, maka âyât merupakan simbol dari dua hal yang saling bertentangan. Beberapa âyât melambangkan kebaikan Tuhan, sementara yang lainnya melambangkan kemurkaan Tuhan. Bila manusia menerima karunia Ilahi yang disimbolkan oleh âyât yang melambangkan kebaikan Tuhan sebagai kebenaran, maka hasilnya adalah syukr. Dan jika ia juga menerima âyât yang melambangkan kemurkaan Tuhan, maka hasilnya adalah taqwâ.

c. Relasi Tuan-hamba Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba („abd). Sebagai hamba („abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.406 Inilah sebabnya, menurut

405 Di depan telah dikemukakan bahwa berdasarkan analisis semantik terhadap al-Qur‘an, Toshihiko Izutsu memperoleh kesan bahwa al-Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata besar yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masing-masing konsep tersebut merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang semantik, pandangan dunia al-Qur‘an dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip pertentangan konseptual. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75. 406 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 216. 132

Toshihiko Izutsu, al-Qur‘an sangat mementingkan kelompok istilah yang memiliki makna kepatuhan mutlak, penyerahan dan kerendahan diri, seperti thâ„ah (patuh),407 qunût (setia, berserah diri),408 khusu„ (penyerahan),409 tadharru„ (menghinakan diri).410 Akan tetapi, dari semua istilah-istilah tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, islâm merupakan istilah yang paling penting.411 Dengan menghubungkan kata islâm dengan kata kerjanya, yaitu aslama,412 maka islâm dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri kepada kehendak Allah dan memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian ini diperoleh berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh. Istilah islâm menjadi sangat penting karena fakta menunjukkan bahwa Tuhan sendiri memilihnya menjadi nama agama baru yang dibawa oleh Muhammad di Arab pada waktu itu.413 Pandangan ini senada dengan pandangan Wilfred Cantwel Smith yang menyatakan bahwa dari semua nama agama di dunia, istilah islâm merupakan satu-satunya nama agama yang built in (terpasang tetap). Kata islâm terdapat dalam al-Qur‘an, dan orang-orang Muslim teguh menggunakan istilah tersebut untuk mengenalkan sistem keimanannya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masyarakat keagamaan lain.414 Pandangan kedua tokoh ini menunjukkan bahwa agama Islam bukan Mohammedanism sebagaimana disebut oleh para orientalis. Penamaan demikian karena dikaitkan dengan pembawanya, yaitu Muhammad,

407 Q.S. al-Ma‘idah (5): 92 408 Q.S. al-Baqarah (2): 110 409 Q.S. al-Hadîd (57): 16 410 Q.S. al-An‗am (6): 42 411 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 217. 412 Dalam pandangan Arthur Jeffery, kata aslama bukan asli bahasa Arab, tetapi merupakan kata serapan. Pandangan ini tidak disertai dengan penjelasan yang memadai dari bahasa apa kata tersebut diserap. Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟ân, (Leiden - Boston: Brill, 2007), h. 62. 413 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 218. 414 Wilfred Cantwel Smith, The Meaning and End of Religion, (New York: The New American Library of the World Literature, 1964), h. 75. 133

sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lain. Nama Islam bukan nama yang lahir berdasarkan tokoh pendirinya atau pada tempat kelahiran tokoh tersebut.415 Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah karena ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-tiap orang, merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dimulainya penyerahan dan kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik balik yang menentukan dalam kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah al-Qur‘an lainnya yang bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan ambigu. Istilah-istilah tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang kepatuhan dan kerendahan diri sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur semantiknya tidak terdapat momentum keputusan eksistensial, momentum lompatan ke dalam bidang kehidupan yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang berimplikasi demikian. Seorang muslim, menurut pengertian asalnya, adalah orang yang memiliki keberanian untuk melakukan lompatan semacam itu. Baru setelah melakukan lompatan yang pasti, maka konsep semacam kepatuhan, penyerahan, dan kerendahan mulai muncul dan mengandung makna religius yang sesungguhnya. Kata-kata seperti khusu„, tadharru„, dan lain-lain, tidak memiliki makna kerendahan diri yang umum. Tapi semacam kerendahan diri khusus yang muncul dari tindakan pasti dalam islâm. Analisis semantik terhadap istilah islâm dalam al-Qur‘an oleh Tohihiko Izutsu ini menimbulkan perbedaan dengan penafsiran yang dilakukan sarjana lain. Muẖammad Syahrûr – misalnya, dengan mengelaborasi Q.S. al-Baqarah (2): 62, 111, dan 126; Q.S. al-Nisâ‘ (4): 125; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 44; Q.S. al-Anbiyâ‘ (21): 108; dan Q.S. Fushshilat (41): 33, islâm menurutnya adalah mengakui adanya Allah, beriman kepada hari Akhir, dan beramal saleh. Sehingga siapa pun yang memiliki ketiga sifat itu disebut sebagai seorang muslim tanpa melihat apakah dia termasuk pengikut Muhammad, pengikut Musa, pengikut Isa, atau umat-umat beragama lain.

415 Lihat Huston Smith, The Word‟s Religion, (San Fransisco: Harper Publishers, 1991), h. 221-222. 134

Islâm dengan pengertian inilah yang dimaksud dalam al-Qur‘an sebagai dîn yang diterima oleh Allah.416 Dalam pandangan Muẖammad Syahrûr, islâm bertentangan dengan ijrâm. Kata ijrâm dan turunannya disebutkan dalam al-Qur‘an sebanyak 68 kali. Secara etimologis, kata ijrâm berarti qath„ (memutus/memotong). Dalam kamus hukum, pelaku kejahatan, seperti pencuri, pembunuh, dan perampok disebut sebagai mujrim, karena dengan melakukan pencurian, pembunuhan, dan perampokan, pelakunya berarti ―memutuskan hubungannya dengan masyarakat dan aturan-aturan sosial dan bertindak sesuai dengan hawa nafsunya.‖ Dalam al-Qur‘an, kata tersebut berarti kondisi yang bertolak belakang dengan islâm. Ayat-ayat, seperti Q.S. al-Qashshâsh (28): 78; Q.S. Yâsîn (36): 59; Q.S. al-Rûm (30): 12; Q.S. al-Rahmân (55): 41-43; Q.S. al-Naml (27): 69; dan Q.S. al-Mursalât (77): 18-19, mengaitkan secara sintagmatis kata al-mujrimûn dengan sikap pengingkaran terhadap adanya Tuhan dan hari Akhir. Sementara islâm dalam pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan jahiliyah.417 Namun pada masa pra-al-Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak mempunyai konotasi religius. Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut hubungan manusia dengan sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang menjadi ciri khas masyarakat Arab pra-Islam.418 Konsep ini, bersama dengan

416 Muẖammad Syahrûr, al-Islâm wa al-Îmân: Mandhûmât al-Qiyam, (Damaskus: al-Ahâlî li al-Thiba‗ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‗, 1996), h. 37-38. 417 Term jahiliyah ini dalam al-Qur‘an terulang sebanyak empat kali, yaitu dalam Q.S. Âli ‗Imrân (3): 154; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 50; Q.S. al-Aẖzâb (33): 33; dan al-Fatẖ (48): 26.Lihat Muẖammad Fu‘âd ‗Abd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, h. 234. 418 Ada berbagai pandangan mengenai keadaan masyarakat Arab pada masa pra-Islam. Aẖmad Amîn menyatakan bahwa keadaan mereka sebagai masyarakat yang diliputi oleh kesombongan, kebanggaan, dan ketidaktahuan. Lihat Aẖmad Amîn, Fajr al-Islam, (Singapura: Sulaiman Mar‘I, 1965 ), h. 76. Hasan Ibâhîm Hasan menyebut mereka sebagai komunitas yang melecehkan fitrah manusia. Mereka adalah masyarakat yang suka berperang, gemar berjudi, mabuk- mabukan, melakukan seks bebas, memandang hina terhadap wanita, dan lain sebagainya yang merupakan perbuatan amoral. Hasan Ibâhîm Hasan mendasarkan pada informasi yang diklaim merupakan perkataan Ja‗far ibn Abî Thâlib yang mewakili sekelompok sahabat Muhammad ketika Raja Etiopia, Negus, menanyakan alasan mereka meminta perlindungan kepadanya. Hasan Ibâhîm Hasan, Târîkh al-Islâm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Jail, 1996), h. 164. Riwayat ini diragukan keasliannya 135

pasangannya – hilm, begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu, sehingga wajar jika kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah. Dalam al-Qur‘an, jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif, karena merupakan landasan tempat kata kufr.419 Di sini Toshihiko Izutsu memandang jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan sifat yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan, kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan penguasa manapun, baik manusia maupun Tuhan. Pandangan senada dikemukakan oleh sarjana Muslim asal Mesir sekaligus seorang tokoh gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn, yaitu Sayyid Quthb (1906-1966).420 Jahiliyah, dalam pandangan Sayyid Quthb, bukan merupakan bagian tertentu dalam suatu masa, tetapi ia adalah suatu kondisi yang bertentangan dengan Islam.421 Dengan demikian jahiliyah merupakan suatu keadaan yang boleh jadi dapat terjadi kapan saja, baik pada masa lalu, masa sekarang, atau masa akan datang, di setiap masyarakat apa saja, dan di mana saja. Meskipun Toshihiko Izutsu dan Sayyid Quthb sama-sama memandang jahiliyah bukan merupakan suatu periode sejarah, namun

karena di dalamnya tercantum ucapan yang menyebutkan kewajiban untuk berpuasa. Padahal perintah berpuasa baru diterima Muhammad dua tahun sesudah peristiwa hijrah. Lihat Muẖammad al-Khudhâri Bîk, Târîkh al-Tasyrî„ al-Islâmî, (Kairo: Mathba‗ah al-Sa‗âdah, 1964), h. 48. Sementara itu Khalîl ‗Abd al-Karîm menolak predikat-predikat keji yang mengilustrasikan fase pra-Islam dan deskripsi bangsa Arab di semenanjung Arabia ketika itu dengan gambaran-gambaran minor, sehingga membentuk image yang kuat bahwa era tersebut merupakan era kegelapan, kebodohan dan kesesatan, sehingga penduduknya tidak lebih dari kelompok orang-orang Barbar yang bengis, irasional, tak berbudaya, dan bermoral bejat. Menurutnya predikat-predikat dan deskripsi semacam ini tidak justru telah mendiskreditkan Islam itu sendiri, karena merupakan kekonyolan ketika al-Qur‘an mengajak berdialog dan berdebat dengan suatu kaum yang berada dalam keadaan yang sedemikian bodoh. Khalîl ‗Abd al-Karîm, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran As‘ad, (Yogyakarta: LKiS, 1990), h. ix. Pendapat senada dikemukaan oleh H. Lammens, ia mengatakan bahwa orang Arab sebenarnya adalah bangsa yang unggul, bersikap terbuka, memiliki sifat yang tegas dan pemberani. H. Lammens, Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1979), h. 6. 419 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 223. 420 Uraian selengkapnya mengenai biografi Sayyid Quthb dapat dilihat dalam Shalah ‗Abd al- Fattaâẖ al-Khâlidî, ―Pengantar memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân,‖ dalam Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 23-69. 421 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, Vol. VI, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 904. 136

terdapat perbedaan antara keduanya, Toshihiko Izutsu memandang jahiliyah sebagai sifat personal yang menganggap dirinya mulia sehingga tidak mau tunduk kepada siapa pun, sementara Sayyid Quthb memandangnya sebagai sifat suatu masyarakat, bangsa, atau negara yang tidak melaksanakan hukum Islam. Pandangan Toshihiko Izutsu maupun Sayyid Quthb tentang jahiliyah berbeda dengan Marshall G.S. Hodgson, Aẖmad Amîn, dan Hasan Ibâhîm Hasan. Marshall G.S. Hodgson memang mula-mula berpendapat bahwa jahiliyah merupakan sebutan untuk orang yang mempunyai sifat keras hati, namun kemudian ia berpendapat bahwa jahiliyah merupakan suatu masa kebodohan (the time of dark ignorance).422 Jahiliyah di sini tentu mengacu kepada masa pra-Islam. Dan orang-orang Arab yang hidup pada masa ini diasumsikan sebagai orang-orang yang jâhil (bodoh). Adapun Toshihiko Izutsu menyebut mereka sebagai ummîyûn (orang-orang yang tidak diberi kitab). Pandangan ini senada dengan Theodore Nöldeke dan Friedrich Schwally yang menyatakan bahwa konsep ummî di dalam al-Qur‘an adalah konsep yang bertentangan dengan ahl al-kitâb. Dengan demikian ummîyûn merupakan sebuah masyarakat tanpa wahyu.423 Sementara Joseph Horovitz memandang ummîyûn mempunyai dua pengertian: Pertama, berkenaan dengan Q.S. Âli ‗Imrân (3): 20, ummîyûn merupakan masyarakat yang tidak diberi kitab (ummōt hā-ōlām). Kedua, berkenaan dengan Q.S. al-Baqarah (2): 78, ummîyûn merupakan sekelompok Yahudi yang tidak mengikuti Taurat dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan sesuai dengan hawa nafsu mereka („am-ha-āreṣ).424 Lebih lanjut Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa jahl pada hakikatnya merupakan sifat cepat marah dan tidak sabar, yang mudah kehilangan kontrol

422 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 171. 423 Theodore Nöldeke dan Friedich Schwally, Gessichte des Qorāns, sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 150. 424 Joseph Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim: Georg Olms Verlagbuchandlung, 1964), h. 46-47. 137

meskipun dengan provokasi yang sangat kecil. Akibat yang ditimbulkan dari sifat ini adalah tindakan gegabah yang didorong oleh nafsu membabi buta tanpa kendali, tanpa memikirkan akibat buruk dari perbuatan yang dilakukan tersebut. Lawan dari sifat ini adalah hilm, yaitu perilaku tertentu yang didasari oleh kesadaran yang nyata terhadap keunggulan dan kekuatan diri sendiri. Di sini hilm merupakan bentuk ketenangan yang sangat khas yang di dalamnya tersimpan kekuatan yang luar biasa yang termanifestasikan dalam bentuk waqar. Sementara manifestasi dari jahl adalah zulm. Sifat jahl yang sedemikian rupa, sehingga bila dia aktif, maka dapat melemahkan kekuatan akal manusia. Sementara hilm mempunyai pengaruh yang positif terhadap akal. Dalam hal ini, orang Arab mengembangkannya ke arah kemampuan memimpin dan kebijaksanaan politik. W. Montgomery Watt melihat bahwa hilm yang dikembangkan menjadi kebijaksaan politik dan teknik memimpin inilah yang menjadi landasan kesuksesan usaha perdagangan orang-orang Quraisy.425 Pandangan Toshihiko Izutsu ini sejalan dengan Ignaz Goldziher yang menyatakan bahwa dalam bahasa Arab sekarang, istilah jahiliyah memang berarti bodoh, akan tetapi dalam syair-syair pra-Islam istilah tersebut memiliki makna berani, kasar, dan keras.426 Namun demikian Toshihiko Izutsu tidak menampik makna jahl sebagai bodoh. Dengan demikian lawan katanya bukan lagi hilm, tetapi „ilm (pengetahuan). Bahkan ia mengatakan ini merupakan makna jahl yang paling umum menurut bahasa Arab klasik. Hanya saja makna ini merupakan makna yang kalah penting dibandingkan dengan makna di atas.427

d. Relasi etik Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan

425 W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, h. 10-11. 426 Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Vol. I, (London: Allen & Unwin, 1967), h. 11. 427 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 234. 138

berkehendak terhadap makhluk-Nya.428 Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama, kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan; dan ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.429 Ketiga konsep etika ini pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat. Kelompok pertama terdiri dari nama-nama Tuhan (al-asmâ‟ al-ẖusnâ), seperti Maha Pemurah, Maha Baik, Maha Adil, atau Maha Agung. Nama-nama ini pada hakikatnya menggambarkan bahwa sifat dan tindakan Tuhan terhadap manusia adalah etik, dan oleh karena itu manusia harus bersikap seperti itu dalam merespon sifat dan tindakan Tuhan tersebut. Implikasi dari sikap etik manusia terhadap Tuhan tercermin dalam etika antar sesama manusia yang hidup dalam masyarakat yang sama. Relasi etis ini didasarkan pada dua aspek yang bertentangan secara fundamental mengenai konsepsi tentang Tuhan dalam al-Qur‘an. Allah di satu sisi disebutkan sebagai Tuhan yang penuh keadilan dan kebaikan.430 Dengan kata lain, Tuhan bertindak kepada manusia dengan tindakan-tindakan yang baik. Namun di sisi lain, Dia disebutkan sebagai Tuhan yang keras, yang akan membalas di Hari Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-„iqâb), Tuhan yang membalas dendam (dhu intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan

428 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. 3. Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh, mensinyalir bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat tiga konsep kunci yang secara simultan membentuk fondasi etika al-Qur‘an dan memberinya etos yang khas. Ketiga konsep ini, kendati berasal dari akar kata bahasa Arab yang berbeda, secara menakjubkan memiliki pengertian yang sama. Pertama, konsep îmân berasal dari kata a-m-n memuat arti pokok aman, bebas dari bahaya dan damai. Kedua, konsep islâm berasal dari kata s-l-m yang mengandung arti aman, integral, dan totalitas. Ketiga, konsep taqwâ berasal dari kata w-q-y, merupakan konsep etika al-Qur‘an yang paling utama, yang berarti takut kepada Allah atau kesalehan, melindungi (diri) dari bahaya, memelihara dari kemusnahan, tersia- siakan, dan disintegrasi. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, h. 142-143. 429 Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, h. 18. 430 Lihat misalnya, Q.S. al-Aẖzâb (33): 1; dan Q.S. al-Fâthir (35): 2. 139

melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan.431 Pandangan al-Qur‘an yang menunjukkan dua aspek yang secara fundamental bertentangan satu sama lain – menurut Toshihiko Izutsu – sangat sulit dipahami oleh logika orang-orang awam, bahkan para pemikir pun menghadapi kesulitan untuk mempertemukan kedua aspek tersebut satu sama lain, akan tetapi bagi orang-orang yang saleh dan beriman hal ini tidak menjadi problem.432 Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan dalam al-Qur‘an dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan hati), rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut Toshihiko Izutsu, fakta yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan menunjukkan semua kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan respon yang benar di pihak manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa terima kasih atas karunia yang telah dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini hanya mungkin timbul bila manusia sudah mengerti makna âyât tersebut.433 Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku Hudzail, syukr bermakna sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian (ni„mah) orang lain.434 Dan konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana, yakni bila seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian menganugerahkan ni„mah kepada anda, maka reaksi wajar yang harus anda tunjukkan adalah berterima kasih. Ini dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar dalam hubungan antar sesama manusia. Akan tetapi, respon manusia terhadap ni„mah tidaklah tunggal. Manusia kadang kala bahkan sering mengingkari (kufr) atau menyikapi ni„mah dengan tidak

431 Lihat misalnya, Q.S. al-Mâ‘idah (5): 2; dan Q.S. Thâhâ (20): 81. 432 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 254-255. 433 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 255. 434 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 256-257. 140

berterima kasih.435 Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni„mah yang telah diterima tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral dasar. Dengan demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia terhadap kebaikan yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang makna dasarnya adalah tidak berterima kasih. Al-Qur‘an menaikkan struktur semantik respon manusia terhadap ni„mah ke dalam tingkatan religius, yakni meletakkannya dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Sehingga ni„mah di sini merupakan karunia Ilahi yang direspon oleh manusia dengan sikap positif (syukr) maupun sikap negatif (kufr). Sehingga sangat wajar bila konsep syukr ini kemudian berkembang ke arah ―percaya‖ (îman), sementara kufr sebagai lawannya berkembang ke arah ―tidak percaya‖. Perlu dicatat di sini bahwa, menurut Toshihiko Izutsu, transformasi semantik kufr dari ―tidak berterima kasih‖ kepada ―tidak percaya‖ terjadi secara lebih menyeluruh apabila dibandingkan dengan transformasi semantik syukr dari ―berterima kasih‖ kepada ―percaya‖. Hal ini karena pada kasus syukr, terdapat kata îman yang menghalangi syukr ini menempati posisi semantik ―percaya‖. Sementara pada kasus kufr, tidak terdapat pra-eksistensi kata seperti itu, sehingga kufr dapat dikatakan muncul dan menempati posisi yang kosong. Dengan demikian, kufr dalam pengertian religius berada pada posisi yang bertentangan secara diametral dengan îman.436 Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-„iqâb), Tuhan yang membalas dendam (dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak untuk berserah diri ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan mutlak terhadap penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan kesadaran tentang

435 Lihat misalnya, Q.S. al-Zukhruf (43): 15; dan Q.S. al-‗Âdiyât (100): 6. 436 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 257-258. 141

Hari Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko Izutsu, merupakan makna asli taqwâ.437 Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga telah dikenal pada masa jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ yang merupakan salah satu kata favorit dalam syair-syair pra-Islam.438 Hanya saja pada masa jahiliyah, kata ini tidak dipergunakan dalam pengertian religius, kecuali mungkin di lingkungan khusus, yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan orang-orang yang secara nyata telah terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ bermakna menjaga diri dari bahaya yang mengancam keselamatan dengan sesuatu, baik berupa benda ataupun makhluk hidup.439 Dengan demikian, kata kerja ittaqâ dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian fisik atau material, atau paling tinggi diterapkan dalam konteks moral. Sementara dalam kasus al-Qur‘an, istilah ittaqâ hampir selalu muncul dalam konteks religius.

F. Perbandingan antara Metode Semantik Toshihiko Izutsu dengan Metode-metode lain dalam Penafsiran al-Qur‘an Dalam usahanya untuk memahami weltanschauung al-Qur‘an, Toshihiko Izutsu tidak menafsirkan seluruh ayat al-Qur‘an, namun hanya konsep-konsep tertentu dari al-Qur‘an yang menggambarkan pandangan dunia Kitab Suci ini. Hal ini tercermin dari judul bukunya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Yang pertama yaitu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran.440

437 Berdasarkan analisis terhadap Q.S. al-Mâ‘idah (5): 2, taqwâ merupakan konsep eskatologis, yang maknanya adalah ―takut kepada siksaan Ilahi di akhirat.‖ Dari makna yang asli ini kemudian muncul makna ―ketakutan yang patuh (kepada Allah),‖ kemudian akhirnya ―ketaatan‖ saja. Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 259. 438 Di antaranya adalah syair karya Antarah dan Zuhair. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 261-162. 439 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 260-261. 440 Menurut Toshihiko Izutsu, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat- sifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli teologi menjadi teori tentang 142

Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu menjelaskan konsep al-Qur‘an menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan. Hubungan ini terdiri dari dua konsep dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata, yaitu: pertama, keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang sungguh-sungguh kepadanya. Dua konsep ini merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap sifat-sifat Tuhan, yang menurut Toshihiko Izutsu terbagi dalam dua kelompok yang juga saling berlawanan, yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha Memelihara, dan pada sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa mereka yang tidak patuh terhadap-Nya.441 Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. Dari judul buku ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al- Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan- hamba, dan etik.442 Penafsiran yang hanya mengambil konsep atau tema tertentu dari al-Qur‘an, dalam tradisi kesarjanaan Muslim dikenal dengan Tafsir Tematik (al-tafsîr al- maudhûʻî).443 Menurut beberapa sarjana Muslim, seperti Mushthafâ Muslim, ʻAbd al- sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama.Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17. 441 Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. Juga dalam, God and Man in the Qur‟an, h. 78. 442 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127-268. 443 ‗Abd Hayy al-Farmawî mengemukakan ada empat metode yang biasa digunakan dalam penafsiran al-Qur‘an, yaitu: pertama, metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah taẖlilî); ketiga, metode perbandingan (tharîqah muqârin); dan kempat, metode tematik (tharîqah maudhû„î). Abd Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirâsah Manhajîyah Maudhû„îyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 23. Metode global (tharîqah ijmâlî) adalah penafsiran dengan mengemukakan arti dan maksud ayat secara singkat mengikuti urutan 143

Sattâr, dan Shalaẖ ʻAbd al-Fattâẖ al-Khâlidî, praktek penafsiran al-Qur‘an secara tematik telah dimulai sejak jaman Nabi Muhammad. Sementara Ziyad al-Daghâmîn menyatakan tidak setuju terhadap pendapat yang dikemukakan oleh tiga sarjana tersebut. Menurutnya tafsir yang ada pada jaman Nabi tidak mengindikasikan adanya bentuk kesatuan tema dalam seluruh al-Qur‘an atau dalam satu surat. Namun hanya mengumpulkan berbagai ayat yang mengandung satu tema tertentu. Ia berpendapat bahwa sarjana pertama yang menggunakan tafsir tematik adalah ʻUmar ibn Baẖr al- Jâhizh (w. 255 H.).444 Pemikiran dasar dari metode tematik diarahkan pada kajian pesan al-Qur‘an secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat al-Qur‘an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.445 Metode ini muncul

mushaf. Metode analitis (tharîqah taẖlilî) yaitu tafsir dengan mengurutkan ayat dari surat pertama dalam al-Qur‘an sampai surat terakhir dari berbagai aspeknya, seperti aspek naẖwu, balâghah, i„jâz, munâsabah dan sebagainya. Tafsir model ini akan dengan teliti merujuk riwayat Nabi, sahabat, ataupun cerita-cerita pra-Islam bahkan israiliyat. Metode tafsir perbandingan (tharîqah muqârin) adalah membandingkan beberapa penafsiran yang ada. Dengan metode ini diharapkan akan ditemukan kecenderungan dari para penafsir dalam menafsirkan suatu ayat. Metode ini juga digunakan untuk membahas ayat-ayat yang memiliki redaksi kata yang sama namun berbicara tentang topik yang berbeda atau sebaliknya, dengan topik yang sama dengan redaksi yang berbeda. Metode tematik (tharîqah maudhû„î) adalah tafsir secara tematik, artinya penafsir mengambil tema-tema tertentu yang dihubungkan dengan ayat sebagai penjelas. 444 Ziyâd Khalîl Muẖammad al-Daghâmîn, Manhajîyah al-Baẖts fî Tafsîr al-Maudhûʻî li al- Qur‟ân al-Karîm, (: Dâr al-Basyir, 1995), h. 15. Sementara menurut Mannâʻ al-Qaththân, penafsiran ayat al-Qur‘an secara tematis ini, meski berbeda dalam sistematika penyajian, sebenarnya telah dirintis dalam sejarah, misalnya: Majâz al-Qur‟ân oleh Abû ‗Ubaidah (w. 210/824), Mufradât al- Qur‟ân oleh Râghib al-Isfahânî (w.502/1108), Ibn Qayyîm al-Jauzîyah (w. 751 H.) menulis tentang sumpah dalam al-Qur‘an dalam karyanya al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur‟ân, dan sebagainya. Lihat Mannâʻ al-Qaththân, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrah al-ʻAshr al-Hadîts, 1973), h. 342. 445 Ide tentang keterpaduan ayat-ayat al-Qur‘an dan keserasiannya sebenarnya bukanlah hal baru. Orang yang pertama kali memperkenalkan ide ini adalah Abû Bakr al-Naisâbûrî (w. 324 H.) dan telah dibuktikan oleh banyak pakar, antara lain oleh al-Syâthibî melalui penafsirannya atas Q.S. al- Mu‘minûn (23). Ia mengatakan bahwa ―tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian dari suatu suatu pembicaraan kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kesatuan kata menurut etimologi, bukannya menurut maksud pembicaraannya. Kalau arti itu tidak dipahami, maka ia harus segera kembali memperhatikan seluruh pembicaraan‖. Tokoh utama yang mendiskusikan keserasian ayat-ayat al-Qur‘an adalah Ibrâhîm ibn ‗Umar al-Biqâʻî (w. 808 H.) dalam karyanya Nazm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwâr yang dipublikasikan dalam 22 jilid. Ide ini juga dibuktikan oleh Muẖammad ‗Abduh dalam Tafsîr al-Manâr. Dalam tafsirnya tersebut, ‗Abduh meletakkan keserasian ayat sebagai satu faktor penting dalam menetapkan arti dan sebagai pijakan dalam mengevaluasi pandangan yang berbea-beda. Selain itu, ide ini juga diterapkan dalam penafsiran 144

dari konsep ―al-qur‟ân yufassiru baʻdhuhu baʻdha‖ (sebagian ayat al-Qur‘an menafsirkan ayat yang lain). Metode tematik mulai menemukan bentuknya yang jelas ketika pada akhir 60- an, Ahmad Sayyid al-Kûmî, salah seorang guru besar dan ketua jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar sampai tahun 1981menggulirkan gagasan untuk menampilkan penafsiran pesan al-Qur‘an secara menyeluruh dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat al-Qur‘an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan. Ide tersebut tidak lain adalah kelanjutan dari metode Mahmûd Syaltût (1893-1962),446 dalam karyanya Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm: al-Ajza„ al-„Asyarah al-Ûlâ (terbit pada tahun 1960).447 Rintisan Ahmad Sayyid al-Kûmî ini mendapat sambutan hangat dari koleganya, terutama yang ditandai oleh kehadiran beberapa karya ilmiah yang mengimplementasikan metode tersebut, di antaranya al- Futûhât al-Rabbânîyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‟î li al-Âyât al-Qur‟ânîyah (2 jilid) karya al-Husaini Abû Farẖah, dan al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‟î (1977) karya ‗Abd al-Hayy al-Farmâwî.448 Metode ini tidak hanya dipopulerkan di kalangan penafsir Sunni, tetapi juga di kalangan penafsir Syi‘ah, di mana dalam pengembangan

ayat-ayat yang kurang mendapat perhatian para penafsir terdahulu. Lihat M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 27. 446 Dalam bukunya, Min Hudâ al-Qur‟ân, Mahmûd Syaltût secara khusus mengangkat sebuah sub judul tentang ―Metode yang ideal dalam menafsirkan al-Qur‘an‖. Dalam sub judul ini, ia menyebutkan bahwa ada dua metode dalam menafsirkan al-Qur‘an, yaitu: Pertama, penafsiran al- Qur‘an berdasarkan urutan surat dalam al-Qur‘an. Dalam hal ini penafsir menafsirkan kosakatanya, menjalin kaitan ayat, dan menjelaskan makna-makna yang ditunjukkannya; Kedua, penafsiran ayat- ayat yang berkenaan dengan topik tertentu. Dalam hal ini penafsir mengoleksi ayat-ayat yang dapat diletakkan di bawah satu topik, kemudian menganalisa dan memahami makna-maknanya, menjelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain sehingga dapat ditemukan suatu hikmah tertentu dan menerangkan tujuan ayat-ayat yang ada dalam topik tersebut. menurut Syaltût, metode yang terakhir ini merupakan metode yang ideal, terutama bagi penafsir yang ingin menginformasikan tentang kandungan al-Qur‘an yang memiliki nuansa hidayah terhadap berbagai peristiwa yang dialami manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Lihat, Mahmûd Syaltût, Min Hudâ al- Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‗Arabî li al-Thibâʻah wa al-Nasyr, t.t.), h. 322-324. 447 Mahmûd Syaltût dalam karyanya ini tidak mengomentari teks kata perkata, melainkan memfokuskan perhatian pada kata-kata kunci. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), h. 14. 448 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 74 dan 114. 145

metode ini, tokoh sekaliber Muhammad Baqir al-Sadr (w. 1980 M), seorang ulama Syi‘ah terkemuka asal Irak, tidak dapat diabaikan begitu saja.449 Secara umum, metode tematik ini memiliki dua bentuk kajian, yaitu: Pertama, pembahasan mengenai satu surat al-Qur‘an secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik, menerangkan kaitan antara berbagai persoalan yang dimuatnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang utuh dan cermat. Dalam hal ini, penafsir hanya menyampaikan pesan yang dikandung dalam satu surat itu saja, dan biasanya kandungan pesan tersebut tersirat dari nama surat yang ditafsirkan.450 Kedua, mengumpulkan sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat itu disusun berdasarkan urutan kronologis pewahyuan dan diletakkan di bawah satu topik bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik. Bentuk ini lahir atas kesadaran para pakar al-Qur‘an bahwa menafsirkan pesan yang dimuat dalam satu ayat saja acapkali tidak menyelesaikan persoalan. Bukan tidak mungkin pesan-pesan yang dikandung pada surat tersebut juga diutarakan pada surat-surat al-Qur‘an lainnya, sehingga tidak ada salahnya untuk menghimpun surat lain yang memuat pesan yang senada.451 Dari kedua bentuk kajian di atas, ulama kontemporer cenderung mempopulerkan istilah ―tafsîr maudhû‟î" terhadap bentuk kedua dengan

449 Di antara tulisannya yang membahas tentang tafsir tematik adalah al-Madrasah al- Qur‟ânîyah: al-Sunan al-Târîkhîyah fî al-Qur‟ân al-Karîm dan al-Tafsîr al-Maudhûʻî wa al-Tafsîr al- Tajzi‟î fî al-Qur‟ân al-Karîm. 450 Contoh tafsir tematik bentuk ini adalah Nahw Tafsîr Maudhûʻî li Suwâr al-Qur‟ân al- Karîm, karya Muẖammad al-Ghazalî yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Akhmad Syaikho dan Ervan Nurtawab dengan judul Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke Tema, 3 Jilid, (Jakarta: P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2007). 451 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h. xii-xiii. Muhammad Quraish Shihab mencontohkan bahwa mengkaji satu atau dua ayat tidak memberikan jawaban tuntas. Jika seseorang hanya mengkaji ayat tentang larangan atas orang-orang yang mendirikan salat dalam keadaan mabuk sampai menyadari apa yang mereka ucapkan (Q.S. al-Nisâ (4): 3), maka ia mungkin mengira bahwa minuman keras hanya dilarang menjelang pelaksanaan salat. Namun, apabila disajikan kepadanya seluruh ayat yang terkait (dalam surat yang berbeda-beda) dengan minuman keras, maka akan tergambar proses pemahaman sampai pada putusan akhir tentang minuman keras tersebut. 146

mendefinisikannya sebagai metode yang ―menghimpun ayat-ayat al-Qur‘an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian si penafsir mulai memberikan keterangan dan mengambil kesimpulan‖.452 Sementara bentuk pertama, oleh Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî, disebut sebagai ―al- tafsîr al-maudhi‟î‖.453 Prosedur penafsiran al-Qur‘an dengan metode tematik dapat dirinci sebagai berikut: Pertama, menentukan bahasan al-Qur‘an yang akan diteliti secara tematik; Kedua, melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai topik yang diangkat; Ketiga, menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan ayat makkîyah dari madanîyah, dan disertai dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya ayat; Keempat, mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut; Kelima, menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis; Keenam, melengkapi bahasan dengan hadits-hadits terkait; Ketujuh, mempelajari ayat-ayat itu secara tematik dan komprehensif dengan cara mengkoleksi ayat-ayat yang membuat makna yang sama, mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, menyinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nâsikh dan mansûkh, sehingga semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran.454

452 ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, h. 52. 453 Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-Nadzarîyah wa al- Tathbîq: Dirâsah Nadzarîyah wa Tathbîqîyah Murfaqah bi Namâzhij wa Lathâ‟if al-Tafsîr al- Maudhû‟î, (Oman: Dâr al-Nafâ‘is li al-Nasyr wa al-Tauzîʻ, 1997), h. 40. 454 ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 61-62. M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, ed. Azyumardi Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 193-194. Meskipun tidak semua prosedur ini diikuti, tetapi paling tidak ada kesepakatan untuk membahas persoalan berdasarkan tema yang diangkat. Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan dua contoh prosedur yang disajikan al-Farmâwî dengan analisis yang berbeda. Ketika mengkaji topik ―Memelihara Anak Yatim Piatu Menurut al-Qur‘an al-Karim‖, terlebih dahulu ia mengutarakan pemeliharaan anak yatim dan hartanya berdasarkan ayat-ayat periode Mekah, kemudian ia melanjutkan kajian tentang pembinaan moral dan pendidikan anak-anak yatim, perihal harta mereka, dan perintah menyantuni dan menyayangi mereka berdasarkan ayat-ayat periode Madinah. Sementara ketika mengkaji topik ―Ummiyah Bangsa Arab Menurut al-Qur‘an al-Karim‖, ia membahas konsep ummiyah dalam al- 147

Di antara karya tafsir yag menjadi representasi metode ini adalah al-Mar‟ah fi al-Quran dan al-Insân fi al-Qur‟an karya ‗Abbâs Mahmûd al-Aqqâd, al-Ribâ fî al- Qur‟ân al-Karîm karya Abu al-‗Alâ al-Maudûdî (W. 1979 M), al-Washâyâ al-Asyar karya Mahmûd Syaltût, Major Themes of the Qur‟an karya Fazlur Rahman (w. 1408/1988), Wawasan al-Qur‟an karya M. Qurash Shihab, al-‟Aqidah fi al-Qur‟ân al-Karîm karya M. Abû Zahrah dan Washâyâ Sûrat al-Isrâ karya ‗Abd al-Hayy al- Farmâwî. Perlu dicatat bahwa semua karya ini ada yang menerapkan sistematika metode tematik secara utuh, ada yang hanya sebagian, dan ada pula yang tidak memakainya sama sekali. Di Indonesia, metode penafsiran ini semakin digemari oleh para peminat studi Al-Qur‘an, utamanya pada dasawarsa 1990-an. Beberapa karya tafsir, umumnya lahir dari kepentingan akademik, menunjukkan hal ini, di antaranya adalah: Pertama, Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur‟an; Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),455 menelusuri terma- terma yang secara langsung menunjuk pada konsep kekafiran dengan pelbagai variasi makna dan konteknya: juhûd, inkâr, dan nakr, ilẖâd, syirk, serta terma-terma yang secara tidak langsung menunjuk kepada kekafiran: fusûq, dzulm, ijrâm, ʻisyan, dzalal, ghayy, isrâf, iʻtidâ‟, fasâd, ghaflat, kizhb, istikbâr, dan takabbur.

Qur‘an dengan menghimpun semua ayat-ayat yang terkait, kemudian memaparkan pengertian ummi menurut bahasa, dilanjutkan dengan batasan pengertian ummiyah menurut bangsa Arab dan terakhir ia mengemukakan pendapat ahli tentang konsep ummiyah bangsa Arab tersebut, dan mengritik pendapat tersebut sejauh yang dipahaminya. Berdasarkan hal ini, pada satu sisi, al-Farmâwî menafsirkan satu persoalan (pemeliharaan anak yatim) berdasarkan pada perkembangan konsep menyangkut pemeliharaan dan pembinaan anak yatim serta hartanya pada ayat-ayat periode Mekah dan Madinah. Dan pada sisi lain, ia menafsirkan persoalan ummiyah dengan mengacu pada pemahaman arti yang berkembang dalam al-Qur‘an, bahasa, dan pemahaman bangsa Arab, serta pendapat ahli terkait. Lihat ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 81-103. 455 Buku ini berasal dari disertasi Harifuddin Cawidu di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diujikan pada tanggal 27 Maret 1989, dengan promotor M. Quraish Shihab dan . 148

Kedua, Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qur‟an; Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),456 menelusuri terma- terma yang dipakai Al-Qur‘an yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Ada enam kata kunci yang dianalisis: al-fi‟l, al-ʻamal, al-saʻyu, al-shanʻu, al-iqtiraf, dan al- jarah. Kata-kata tersebut, menurut Jalaluddin Rahman, merupakan kata-kata yang searti dengan kata kasb. Ia juga mengungkap hubungan antara kata kasb dengan kata- kata lain yang searti tersebut. Ketiga, Muhammad Ghalib Mattalo, Ahl al-Kitâb, Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998),457 menganalisis pandangan Al-Qur‘an tentang Ahl al- Kitâb. Ia menguraikan terma-terma yang mengarah kepada pemahaman tentang Ahl al-Kitâb dengan merajut seluruh medan semantiknya, baik terma-terma yang sepadan maupun yang tidak secara langsung menunjuk Ahl al-Kitâb. Keempat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al- Qur‟an, (Jakarta: Paramadina, 1999),458 menganalisis kata-kata kunci yang mengungkapkan makna tentang identitas jender yang dipakai Al-Qur‘an dan medan semantiknya. Kata-kata kunci dimaksud adalah; al-rajul, al-nisâ‟, al-dzakar, dan al- untsâ,459 dan juga al-zauj, al-zaujah, al-ab dan al-umm sebagai gelas status yang berhubungan dengan jenis kelamin,460 untuk menemukan pandangan dunia Al-Qur‘an tentang relasi laki-laki dan perempuan secara utuh. Kelima, Delami, Analisis Semantik terhadap Ayat-ayat Jender, (Tesis: PPs UIN Jakarta, 2007), membahas ayat-ayat jender dengan menggunakan pendekatan semantik dan terfokus pada beberapa ayat yang banyak menjadi sorotan bagi para

456 Buku ini berasal dari disertasi Jalaluddin Rahman di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dipromotori oleh M. Quraish Shihab dan Agustiar. 457 Sama dengan tiga buku yang telah disebutkan sebelumnya, buku ini berasal dari disertasi Muhammad Ghalib Mattalo di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997). 458 Buku ini pada mulanya adalah disertasi Nasaruddin Umar di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam al-Qur‟an, di bawah bimbingan M. Quraish Shihab dan John Hendrik Meuleman. 459 Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 159-160. 460 Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173-191. 149

mufassir kontemporer dan para pemerhati jender. Dalam penelitiannya, Delami menemukan bahwa ayat-ayat tentang penciptaan manusia pertama, poligami, kepemimpinan dalam rumah tangga, dan pakaian perempuan dalam penafsirannya tidak terdapat bias jender. Bahkan, menurut pandangannya, yang menonjol dari ayat- ayat tersebut adalah pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Berdasarkan uraian ini, sekarang dapat diketahui perbedaan antara metode semantik Toshihiko Izutsu dengan metode tematik. Perbedaan tersebut tampak pada prosedur kerja dan tujuan yang hendak dicapai. Akan tetapi baik metode Toshihiko Izutsu maupun metode tematik merupakan proses penafsiran yang sama-sama terfokus teks, dan tidak menekankan pada pembacaan realitas. Penafsiran yang terfokus pada teks cenderung untuk memaksa realitas takluk kepada teks jika ada kesenjangan antara keduanya. Untuk saat sekarang, produk penafsiran demikian dirasa kurang menggairahkan, mengingat materi yang diajarkan tidak banyak berorientasi pada kebutuhan, meminjam istilah Fazlur Rahman, tidak selaras dengan tantangan modernitas. Dengan kata lain, penafsiran yang terfokus pada teks kurang sejalan dengan kebutuhan modern akan tafsir yang dapat merespon problem-problem baru yang muncul dari perubahan-perubahan politik, sosial, dan kultural dalam masyarakat Muslim yang disebabkan oleh pengaruh peradaban Barat. Menurut Rotraud Wielandt, problem krusial yang harus segera dicarikan jalan keluarnya adalah kesesuaian pandangan dunia al-Qur‘an dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan modern dan permasalahan tatanan politik dan sosial yang didasarkan atas prinsip-prinsip al-Qur‘an yang mungkin membuat umat Muslim dapat menghilangkan beban dominasi Barat.461 Rumusan-rumusan metode tafsir yang lebih menekankan kepada realitas datang dari sarjana-sarjana Muslim yang pada umumnya pernah mengecap

461 Rotraud Wielandt, ―Exegesis of the Qur‘ān: Early Modern and Contemporary‖, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 2, (Leiden-Boston-Köln: Brill, 2002), h. 124. 150

pendidikan Barat, di antaranya adalah Fazlur Rahman (1919-1988)462 dengan double movement-nya. Menurut Fazlur Rahman, dalam, Islam and Modernity, untuk dapat menjawab berbagai problem kontemporer, seorang penafsir harus melakukan dua langkah, yaitu: pertama, memahami makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan tersebut merupakan jawabannya; kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum.463 Setelah mengetahui apa yang menjadi ―ideal moral‖ dari ayat itulah seorang penafsir dapat menyelesaikan problem kontemporer tersebut. Selain Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun (lahir di Kabilia, Aljazair, pada tanggal 2 Januari 1928)464 termasuk dalam jajaran sarjana yang lebih menekankan

462 Pada tahun 1946, Fazlur Rahman nekat berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya pada program doktor di Universitas Oxford, karena pendidikan yang diperolehnya di Pakistan dirasa sangat tidak memuaskan dirinya. Ia prihatin melihat realitas pendidikan di negaranya yang kurang bermutu serta tidak mampu merangsang nalar kreatif-kritis. Keputusannya tersebut merupakan awal sikap kontroversi dari Fazlur Rahman. Karena, merupakan suatu yang dipandang ganjil oleh ulama- ulama Pakistan jika seseorang pelajar yang beragama Islam belajar Islam ke Barat. Bahkan lebih dari itu apapun bentuk sikap cenderung ke Barat dinilai negatif oleh para Ulama Pakistan, sekalipun sikap tertentu ditempuh demi kebaikan dan kemajuan umat Islam. Studinya rampung pada tahun 1950 dengan disertasi berjudul Avicenna‟s Psychology, yang merupakan sub bahasan yang dimuat dalam Kitâb al-Najât, karya Ibn Sina (w. 428/1037) di bawah bimbingan S. Van den Berg dan H.A.R. Gibb. Namun setelah menamatkan studinya, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke tanah airnya. Ia menyempatkan diri untuk menyambut tawaran mengajar di Universitas Durham, Inggris, untuk beberapa tahun (1950-1958). Setelah itu, tidak kurang dari tiga tahun (1958-1961), ia mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual, h. 81-82. 463 Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, h. 131-132. 464 Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Mohammed Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dansastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta member kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Mohammed Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Mohammed Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Mohammed Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi 151

penafsiran yang berangkat dari realitas. Ia menawarkan metode penafsiran dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial. Muhammed Arkoun menilai bahwa perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan belum diterima sepenuhnya di kalangan kaum Muslim, sehingga wacana ilmu-ilmu dalam Islam bernuansa kering dan terkesan melangit. Penilaian ini mengantarkannya menggunakan pendekatan dan metodologi ilmu-ilmu sosial, seperti: antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik, dan filsafat untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an.465 Sarjana lain yang juga menganjurkan penafsiran yang memperhatikan realitas adalah Nashr Hâmid Abû Zaid (lahir di Thantha, Mesir, pada 10 Juli 1943).466 Dengan meminjam hermeneutika E.D. Hirsch dalam merumuskan metode penafsiran al-Qur‘an, Nashr Hâmid Abû Zaid membagi makna al-Qur‘an menjadi dua, yaitu: makna obyektif dan makna signifikansi.467 Menurutnya, secara umum, kosakata al- Qur‘an mengambil dua unsur makna, yaitu: pertama, makna obyektif atau makna awal, yang terdiri dari dua bentuk: historis dan metaforik; dan kedua, unsur signifikansi, yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang berbeda dari kultur awal.468 Setelah makna obyektif atau makna awal kosakata al- Qur‘an ditemukan, maka dilanjutkan pada upaya mengaitkan al-Qur‘an dengan realitas kekinian supaya al-Qur‘an dapat memberikan jawaban atas persoalan yang dihadapi. Inilah unsur kedua makna al-Qur‘an yang dalam pandangan Nashr Hâmid Abû Zaid disebut dengan signifikansi.

keilmuan Perancis. Sulhani Hermawan, ―Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam‖, dalam jurnal Dinika, Vol. 3 No. 1, January 2004, h. 103. 465 Contoh lebih jelasnya dapat dibaca, Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur‟an, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), h. 35. 466 Pada tahun 1975-1977, Nashr Hâmid Abû Zaid mendapat beasiswa dari Ford Foundation Fellowship untuk studi di Universitas Amerika, Kairo. Hal yang sama diraihnya pada tahun 1978 sampai 1980 di Center for Middle East Studies, Universitas Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, inilah ia mulai mengenal teori-teori hermeneutika. Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, (Westport: Greenwood Publishing Group, 2004), h. 57. 467 Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sîna li al-Nasyr, 1994), Cet. II, h. 220. 468 Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, h. 210. 152

Akan tetapi apa yang telah dilakukan Toshihiko Izutsu tidak sepenuhnya dapat dikatakan sia-sia sama sekali. Penafsirannya, meminjam klasifikasi ayat al- Qur‘an Asghar Ali Engineer, memang tidak dalam domain ayat-ayat al-Qur‘an yang mengandung statemen kontekstual.469 Studi Toshihiko Izutsu patut diapresiasi, ia telah menunjukkan bahwa studi ilmiah terhadap kitab suci tidaklah mengurangi kesuciannya atau melecehkannya, justru menjadikan pembaca bisa memahaminya lebih baik.

469 Asghar Ali Engineer mengharuskan pemilahan antara ayat-ayat al-Qur‘an yang mengandung statemen normatif dan statemen kontekstual dalam menawarkan suatu pendekatan terhadap al-Qur‘an. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Farah Ciciek Assegaf, (Yogyakarta: LSSPA, 1994), h. 16. 153

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Keseluruhan pembahasan tesis ini paling tidak menunjukkan bahwa non- Muslim juga dapat berkontribusi untuk menafsirkan atau mengungkap kandungan al- Qur‘an. Dengan menggunakan pendekatan linguistik struktural, yang mempola bahasa menjadi dua bagian, yaitu: langue dan parole, Toshihiko Izutsu berhasil mengurai problem pewahyuan al-Qur‘an dari sudut pandang ilmiah. Berdasarkan pendekatan ini, wahyu adalah parole (kalâm/perkataan) Tuhan yang termanifestasi dalam bahasa (lisân) Arab. Wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu, yaitu Tuhan sebagai pengirim pesan, Muhammad sebagai penerima pesan, dan Jibril sebagai perantara (channel) dalam pengiriman pesan tersebut agar sampai kepada penerima, yaitu Muhammad. Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur‘an bukan karena superioritas bahasa ini dibanding bahasa-bahasa lain tetapi lebih merupakan teknis penyampaian pesan. Dengan demikian pendapat Toshihiko Izutsu terhadap proses pewahyuan sejalan dengan mayoritas umat Muslim yang menyatakan bahwa al-Qur‘an diturunkan Tuhan melalui perantara Malaikat Jibril dalam bahasa Arab. Di sisi lain, Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa pandangan dunia al-Qur‘an bersifat teosentris. Hal ini dibuktikan bahwa tidak ada satupun istilah kunci dalam al- Qur‘an yang tidak terkait dengan kata fokus tertinggi, yaitu Allah. Pembuktian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis semantik yang dipahaminya bukanlah analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian terhadap makna asli (makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata tersebut atau analisis

167 154

etimologis, tetapi sebagai suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan maksud untuk akhirnya menangkap pandangan dunia (weltanschauung) dari orang-orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.

B. Saran-saran Kajian terhadap pemikiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an, terutama pandangan dan pendekatannya, merupakan manifestasi ketertarikan akademis- intelektual sarjana-sarjana non-Muslim terhadap al-Qur‘an. Apa yang telah dilakukan oleh Toshihiko Izutsu tersebut merupakan kontribusi yang dapat membuka cakrawala baru dalam kajian al-Qur‘an, tentunya apabila diperhatikan dengan cara terbuka. Oleh karena itu perlu kiranya untuk diapresiasi. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian dalam tesis ini masih jauh dari bentuk yang diharapkan, apalagi ada semacam maksim bahwa suatu kajian pasti meninggalkan ruang dan celah permasalahan yang menuntut pengkajian berikutnya guna menutupi dan melengkapi cela dan kekurangan penelitian tersebut. Demikian juga dengan penelitian ini, yang memfokuskan pada pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu, masih banyak hal yang perlu ditelaah, dielaborasi, dan dikritisi lebih tajam, sehingga menghasilkan manfaat yang lebih baik lagi.

155

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku Abdullah, Amin, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), (Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007). Abdullah, Taufik, dkk. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Strukturalisme Lévi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel Press, 2006). Ali, A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970). Ali, Syed Ameer, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Alwasilah. A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002). Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005). ‗Ammâr, Aẖmad Sayyid Muẖammad, Nazhariyyat al-I„Jâz al-Qur‟ânî wa Atsaruhâ fî al-Naqd al-„Arabi al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‗âshir, 1998). Amîn, Aẖmad, Fajr al-Islam, (Singapura: Sulaiman Mar‘i, 1965). Amîn, Utsman, Falsafah al-Lughah, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-Ta‗lîf wa al- Tarjamah, 1965). al-‗Arabî, Shalâh ‗Abd al-Majîd, Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ: Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1981). Arif, Syamsuddin, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008). Arifin, H.M., Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: P.T. Golden Terayon Press, 1997). Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur‟an, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997). Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). al-ʻAkk, Khâlid ʻAbd al-Rahmân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (Beirut: Dâr al- Nafâis, 1986). 156

al-Andalusî, Abû Hayyân, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub al- ʻIlmîyah, 2001). al-As‘ad, ‗Abd al-Karîm Muẖammad, al-Wasîth Fi Târîkh al-Nahw al-„Arabî, (Riyaḍ: Dâr al-Syawq, 1992). al-Asfahâni, al-Râghib, Muʻjam Mufradât Alfâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al- ʻIlmîyah, 2004). al-Attas, Syed Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995). al-A‗zami, Muẖammad Mushthafâ, The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, (terj.), (Jakarta: Gema Insani, 2005). al-Babanî, Hidâyat al-„Ûrifîn, Jilid 2, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-Warrâq, 1979). al-Bâqî, Muẖammad Fûad ʻAbd, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al- Karîm, (Kairo: Mathbaʻah Dâr al-Kutûb al-Mishriyyah, 1363 H.). Bell, Richard, The Origin of Islam in Its Christian Environment, (London: Macmillan, 1968). Bîk, Muẖammad al-Khudhâri, Târîkh al-Tasyrî„ al-Islâmî, (Kairo: Mathba‗ah al- Sa‗âdah, 1964). Bleeker, C.J., Pertumbuhan Agama-agama Dunia, terj. Barus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1964). Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bucaille, Maurice, Bibel, al-Qur‟an, dan Sains Modern, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Catford, J.C., Linguistic Theory of Translation, (Oxford: Oxford University Press, 1969). Chaer, Abdul, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994). ------, Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet. III. Chomsky, Noam, Aspects of Theory of Syntax, (Cambridge: The MIT Press, 1972). al-Daghâmîn, Ziyâd Khalîl Muẖammad, Manhajîyah al-Baẖts fî Tafsîr al-Maudhûʻî li al-Qur‟ân al-Karîm, (Amman: Dâr al-Basyir, 1995). al-Dzahabi Muẖammad Husain, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I-III, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000). 157

Eliade, Mircea (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995). Enani, Muẖammad, Fann al-Tarjamah, (Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet. VII. ------, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah, (Kairo: Longman, 2003). Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Farah Ciciek Assegaf, (Yogyakarta: LSSPA, 1994). Fairclough, Norman, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, (London: Longman, Group Limited, 1995). al-Faqî, Subhî Ibrâhîm, „Ilm al-Lughah al-Nashshî Baina al-Nazhariyyah wa al- Tathbîq: Dirâsah Tathbîqiyyah „ala al-Suwar al-Makkiyah, (Kairo: Dâr Qubâ‘, 2000). al-Farâḥidî, al-Khalîl ibn Aẖmad, Kitâb al-„Ain, Taẖqîq: Mahdî al-Maẖzumî dan Ibrâhîm al-Samirrâî, (Baghdad: Dâr Mauqi‘al-Warrâq, 1985). al-Farmawî, ‗Abd Hayy, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirâsah Manhajîyah Maudhû„îyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997). Gadamer, Hans Georg, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd Revision. Gätje, Helmut, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and Modern Muslim Tradition, terj. Alford T. Welch, (London: Routledge & Kegal Paul, 1976). al-Ghazalî, Muẖammad, Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke Tema, terj. Akhmad Syaikho dan Ervan Nurtawab, Jilid 1-3, (Jakarta: P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2007). Gibb, H.A.R., Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950). Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, Vol. I, (London: Allen & Unwin, 1967). Grambs, David, Words About Words, (New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1979). Haekal, Muhammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Hartoko, Dick dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986). Hasan, Hasan Ibâhîm, Târîkh al-Islâm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Jail, 1996). 158

Hassan, Tammâm, al-Ushûl: Dirâsah Istimûlojiah li al-Fikr al-Lughwi „inda al- „Arab, (Kairo: Dâr ‗Âlam al-Kutub, 2000). Hawkes, Terence, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004). Hawting, G.R. dan Abdul-Kader A. Shareef [eds.], Approaches to the Qur‟an, (London dan New York: Routledge, 1993). Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996). Hitti, Philip K., History of the Arabs: From Earliest Times to the Present, (London: Macmillan Co., 1958). Horovitz, Joseph, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim: Georg Olms Verlagbuchandlung, 1964). Hung, Edwin, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (Belmont: Wardsworth Publishing Company, 1997). Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005). Ibn Jinnî, al-Khashâish, Jilid 2 (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1983). Ibn Katsîr, ‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Adhîm, Jilid XIV, Taẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah al- Qurthubah, 2000). Ibn Mandzûr, Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.). Ibn Qudamah, al-Mughnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.th.). Ibn Warraq (ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998). al-Iskandârî, Aẖmad dan Mushthafâ ‗Ananî, al-Wasîth fî al-Adâb al-ʻArab wa Târîkhihi, (Kairo: Dâr al-Maʻârîf, t.t.). Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill- Queen‘s University Press, 2002). ------, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002). ------, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997). al-Ja‗fî, Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, (Semarang: Penerbit Toha Putra, t.th.). 159

Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.). Jansen, J.J.G., The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974). Jeffery, Arthur, The Foreign Vocabulary of the Qur‟ân, (Leiden - Boston: Brill, 2007). John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 2, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995). al-Jurjanî, ‗Abd al-Qâhir, Asrâr al-Balâghah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982). al-Karîm, Khalîl ‗Abd, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran As‘ad, (Yogyakarta: LKiS, 1990). Kharmâ, Nâyif dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„lîmuhâ wa Ta„allumhâ, (Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988). al-Khâlidî, Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-Nadzarîyah wa al- Tathbîq: Dirâsah Nadzarîyah wa Tathbîqîyah Murfaqah bi Namâzhij wa Lathâ‟if al-Tafsîr al-Maudhû‟î, (Oman: Dâr al-Nafâ‘is li al-Nasyr wa al- Tauzîʻ, 1997). al-Khûlî, Muhammad Ali, A Dictionary Of Theoretical Linguistics: English - Arabic, (Beirut: Library Du Liban, 1982). al-Khûlî, Muẖammad Amîn, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al- Tafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961). Krentz, Edgar, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975). Kridalaksana, Harimuti, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Edisi 3, 2001), Cet. V. Lailah, Muẖammad Muẖammad Abû, al-Qur‟ân al-Karîm min Manzhûr al- Istisyrâqî, (Kairo: Dâr al-Nasyr li al-Jâmiʻât, 2002). Lammens, H., Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1979). Lewis, Bernard The Arab in History, (New York: Oxford University Press Inc., 2002). Madigan, Daniel A., The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001). Maẖmûd, Hadzr Mûsa ‗Ali, al-Nahw wa al-Nuhhât: al-Madâris wa al-Khashâish, (Kairo: Dâr ‗Alam al-Kutûb, t.t.). 160

Mahmud, Moh. Natsir, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997). al-Maududi, Maulana, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967). Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: al-Maktabah al-Islâmiyah, t.th). Martin, Richard C. (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of Arizona Press, 1985). McAuliffe, Jane Dammen (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 2, (Leiden- Boston-Köln: Brill, 2002). ------(ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 4, (Leiden: E.J. Brill, 2004). ------(ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). Mohammad, Khaleel dan Andrew Rippin (ed.), Coming Terms with the Qur‟an: A Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill University, (North Haledon: Islamic Publication International, t.th.,). Mubarak, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007). Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997). Nababan, Sri Utari Subyakto, Metodologi Pengajaran Bahasa, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993). al-Najdi, ʻAbd al-Raẖmân ibn Muẖammad ibn Qâsim al-ʻÂshim, Majmuʻ al-Fatawâ Syaikh al-Islâm Aẖmad ibn Taimiyah, Juz XIII, (t.tp.: t,p., 1398 H.). Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin Ltd., 1984). Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. II. ------, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta: Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1972), Cet. II. Nida, Eugene A. dan Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden: E.J. Brill, 1982). Nunan, David, Research Methods in Language Learning, (New York: the Press Syndicate of the University of Cambridge, 1992). Parera, JOS. Daniel, Linguistik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987). Phandek, Edward, Iktifâ al-Qunû‟ Bimâ Hua Mathbû‟, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al- Warrâq, 1979)). 161

Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung: Remadja Karya, 1987). Pradopo, Rahmad Djoko, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. VII, 2000). Purwo, Bambang Kaswanti, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990). al-Qaththân, Mannâʻ, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrah al-ʻAshr al- Hadîts, 1973). al-Qifthî, Inbâh al-Ruwât „âlâ Anbaâh al-Nuẖât, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al- Mishrîyah, 1979). al-Qunûjî, Shiddîq ibn Hasan, Abjad al-„Ulûm li Wasyi al-Marqûm Fi Bayân Aẖwâl al-„Ulûm, Jilid 2, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-‗Ilmîyyah, 1978). Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001). ------, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, Vol. VI, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992). ------, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.). al-Râzî, Muẖammad ibn Abî Bakr, Mukhtâr al-Shiẖâẖ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001). Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982). ------, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979). ------, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI. ------, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II. al-Rûmî, Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, (Riyad: t.p., 1409 H.), Cet. III. Richards, Jack C. dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language Theaching, (New York: Cambridge University Press, 1992). Richardson, W.J., Martin Heidegger: Through Phenomenology to Thought, (The Hague: Nijhoff, 1964). Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.). Rippin, Andrew (ed.), Introduction to the Qur‟an: Style and Contents, (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi. Rosenthal, Franz, Etika Kesarjanaan Muslim: dari al-Farabi hingga ke Ibn Khaldun, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Mizan, 1996). 162

Rusmana, Dadan, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Sa‘îd Hasan Buhairî, ‗Ilm Lughat al-Nashsh, (Kairo: Muassasah al-Mukhtâr, 2003). Said, Edward W., Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet. IV. al-Sairafî, Abî Muẖammad Yûsuf ibn Abî Sa‘îd, Syarẖ Abyât Sibawaih, Taẖqîq: Muẖammad ʻAli Sulthâniî (Suriah: Dâr al-‗Ashâma, 2001). Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II. al-Sanjarjȋ, Muṣṭafȃ ‗Abd al-‘Azȋz, al-Madzȃḥib al-Nahwiyah, (Jeddah: al- Fashȋliyah, 1988). Sapir, Edward, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York: Harcourt Brace, 1921). Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993). Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005). ------, Pemikiran Progressif dalam Kajian Al-Qur‟an, (Jakarta: Kencana, 2008). ------dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, (t.tp.: Nawasea Press, 2007). al-Shâbunî, Muẖammad ʻAlî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam al-Kutûb, 1985). al-Shaghîr, Muẖammad Husain ‗Alî, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999). Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992). ------, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994). ------, dkk., Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, ed. Azyumardi Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999). Smart, Ninian, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sibner‘s Son, t.th.). Smith, Huston, The Word‟s Religion: Islam, (San Fransisco: Harper Publishers, 1991). Smith, Wilfred Cantwel, The Meaning and End of Religion, (New York: The New American Library of the World Literature, 1964). 163

Sodiqin, Ali, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008). Sou‘yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. III. Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, (Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988). Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 57. Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999). al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr, al-Muzhhir fî „Ulûm al- Lughah wa Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.). ------, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.). al-Syâfiʻî, Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979). Syahrûr, Muẖammad, al-Islâm wa al-Îmân: Mandhûmât al-Qiyam, (Damaskus: al- Ahâlî li al-Thiba‗ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‗, 1996). ------, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Muʻâshirah, (Beirut: Syarikah al-Mathbûʻah li al-Tauzîʻ wa al-Nasyr, 2000), Cet. VI, h. 57. Syaltût, Mahmûd, Min Hudâ al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‗Arabî li al-Thibâʻah wa al-Nasyr, t.t.). al-Tanthawî, Muẖammad, Nasy`ah al-Naẖw wa al-Tarîkh Asyhuri al-Nuhât, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1991). al-Tawwâb, Ramadhân ‗Abd, Fushûl fi Fiqh al-„Arabîyyah, (Kairo: Maktabah al- Kanji, 1979). al-Thayyâr, Musâ‗id ibn Sulaiman ibn Nâshir, al-Tafsîr al-Lughawî li al-Qur‟ân al- Karîm, (t.tp.: Dâr Ibn Jauzî, 1422 H.). ‗Umar, Aẖmad Mukhtâr, „Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-‗Arûbah li Nasyr wa al-Tauzî‗, 1982). ------, al-Bahs al-Lughawi „ind al-Arab, (Kairo: Dâr al-Miṣhr li al-Thabâʻah, 1985). Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). Theiessen, Henry C. dan Vermon D. Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV. 164

Thu‗aimah, Rusydi Aẖmad, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ: Manâhijuhu wa Asâlibuhu, (Rabath: ISESCO, 1989). Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta: Paramadina, 1999). Verhaar, J.W.M., Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), Cet. II. Versteegh, C.H.M., Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in Early Islam, (Leiden: 1993). Wall, Thomas F., Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern Introduction, (Belmont: Wadsworth Thompson Learning, 2001). Wansbrough, John, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004). Watt, W. Montgomery, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970). ------, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York: Routledge, 1988). ------, Muhammad‟s Mecca: History in the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1988). Wehr, Hans, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III. Whaling, Frank (ed.), Contemporary Approaches to the Study of Religion, (Berlin, New York, Amsterdam: Mouton Publishers, 1984). Wild, Stefan (ed.), The Qur‟an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996). Ya‘sûb, Mauqi‘, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, Jilid 1, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1982). Zaid, Nashr Hâmid Abû, al-Ittijâh al-„Aqli fi al-Tafsîr: Dirâsah fi Qadiyah al-Majâz inda al-Mu‟tazilah, (Kairo: al-Markaz al-Thaqafî al-‗Arabî, 1997). ------, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, (terj.), (Bandung: RQiS, 2003). ------, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al- Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993). ------, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sîna li al-Nasyr, 1994), Cet. II. ------dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, (Westport: Greenwood Publishing Group, 2004). al-Zain, Muẖammad Athif, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989). 165

al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ‗Umar ibn Aẖmad, Asâs al-Balâgah, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1973), Cet. II. ------, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân, 1998). al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muẖammad ibn ‗Abd Allah, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr al- Turâts, t.th.). al-Zarqânî, Muẖammad ‗Abd al-‗Adzîm, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Badî al-Sayyid al-Laẖẖâm, Jilid II, (t.tp.: Dâr al-Qutaibah, 1998), Cet. II.

II. Tesis/Disertasi Rahman, Yusuf, ―The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur‟an‖, (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill University, 2001).

III. Majalah/Jurnal Jurnal al-Jami‟ah, No. 53, 1997. Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 2, Juli 2001. Jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002. Jurnal Dinika, Vol. 3 No. 1, Januari 2004. Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Tahun I, No. 1, Maret 2004. Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005. Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 1, Januari 2006. Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006.

IV. Internet http://ahmadsahidah.blogspot.com. http://www.ArabicEncyclopedia.com. http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F. http://www.mawsoah.net. http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx. 166

http://[email protected]. http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf.