Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Terakreditasi A SK BAN –PT NO: 451/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

Peran Paus Fransiskus dalam Hubungan Amerika Serikat dan Kuba

Skripsi

Oleh Nadhif Ilyasa 2015330090

Bandung

2019

Universitas Katolik Parahyangan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Terakreditasi A SK BAN –PT NO: 451/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

Peran Paus Fransiskus dalam Hubungan Amerika Serikat dan Kuba

Skripsi

Oleh Nadhif Ilyasa 2015330090

Pembimbing Albert Triwibowo, S.IP., M.A.

Bandung 2019

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Tanda Pengesahan Skripsi

Nama : Nadhif Ilyasa Nomor Pokok : 2015330090 Judul : Peran Paus Fransiskus dalam Hubungan Amerika Serikat dan Kuba

Telah diuji dalam Ujian Sidang jenjang Sarjana Pada Senin, 22 Juli 2019 Dan dinyatakan LULUS

Tim Penguji Ketua sidang merangkap anggota Sapta Dwikardana, Ph.D. : ______

Sekretaris Albert Triwibowo, S.IP., M.A. : ______

Anggota Jessica Martha, S.IP., M.I.Pol. : ______

Mengesahkan, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dr. Pius Sugeng Prasetyo, M.Si.

i

PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Nadhif Ilyasa

NPM : 2015330090

Jurusan/Program Studi : Hubungan Internasional

Judul : Peran Paus Fransiskus dalam Hubungan Amerika Serikat

dan Kuba

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya tulis ilmiah sendiri dan bukanlah merupakan karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik oleh pihak lain. Adapun karya atau pendapat pihak lain yang dikutip, ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan bersedia menerima konsekuensi apa pun sesuai aturan yang berlaku apabila dikemudian hari diketahui bahwa pernyataan ini tidak benar.

Bandung,

Nadhif Ilyasa

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan hikmatnya sehingga penulis sanggup menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang berjudul “Peran Paus Fransiskus dalam Hubungan Amerika Serikat dan

Kuba”. Skripsi ini disajikan oleh penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik

Parahyangan, Bandung.

Penelitian ini memuat analisis yang berkenaan dengan upaya yang dilakukan oleh Paus Fransiskus dalam menengahi perbaikan hubungan yang hendak dilakukan oleh negara Kuba dan Amerika Serikat. Terutama peran apa yang hendak ia ambil dalam upayanya.

Penulis menyadari akan terdapatnya kekurangan dalam skripsi ini yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki penulis, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diterima oleh penulis sebagai perbaikan. Penulis berharap agar skripsi ini dapat membawa manfaat kepada para pembaca, khususnya dalam bidang ilmu hubungan internasional.

Bandung, 16 Juni 2019

Nadhif Ilyasa

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menerima dukungan yang terus- menerus dari beragam pihak. Sehingga penulis ingin mengutarakan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah meluangkan waktu dan energi demi menopang serta membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin berterima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa karena telah mengabulkan doa penulis dalam

memperlancar proses pengerjaan skripsi ini. Tanpa kehendak-Nya,

penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi dengan baik,

2. Albert Triwibowo, S.IP., M.A. (Mas Abe) sebagai dosen pembimbing

yang rela memberikan kritik dan saran di saat penulis sedang

membutuhkan petunjuk sepanjang penyusunan skripsi ini dilakukan,

3. Papa dan Mama, juga Mba Nami, yang selalu bersedia untuk

memberikan dukungan moral tanpa henti,

4. Teman-teman HI 2015, terutama Becky dan Darryl, yang mendorong

penulis untuk mengerjakan skripsi dengan semangat dan hendak saling

mengingatkan agar tidak ada yang tertinggal,

5. Sepupu-sepupu penulis, khususnya Yuqa, yang juga bersedia untuk

memberikan semangat dengan menemani penulis untuk lari pagi setiap

hari Minggu,

6. Serta segala pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu oleh penulis.

iv

ABSTRAK

Nama : Nadhif Ilyasa

NPM : 2015330090

Judul : Peran Paus Fransiskus Paus Fransiskus dalam Hubungan Amerika

Serikat dan Kuba

Keberhasilan Paus Fransiskus dalam membenahi hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba menjadi sorotan masyarakat dari kedua negara, pengamat politik, media internasional, dan para akademisi. Hal ini disebabkan oleh suatu kejanggalan yang ditemukan di dalamnya. Menurut pendekatan tradisional, interaksi yang ada dalam hubungan internasional biasanya hanya dilakukan oleh negara. Namun, Paus Fransiskus memberanikan diri untuk terjun langsung ke lapangan dan mengambil peran dalam memperbaiki hubungan di antara kedua negara tersebut. Melalui analisis terperinci, penelitian ini mencoba untuk menjawab pertanyaan penelitian: “Apa peran Paus Fransiskus dalam hubungan Amerika Serikat dan Kuba?”. Terdapat sebuah teori yang disebut sebagai Teori Policy Entrepreneur, di mana seorang Policy Entrepreneur memiliki tiga kualitas utama, yaitu kemampuan berbicara untuk orang lain, koneksi politik, serta kegigihan yang tinggi dalam upayanya. Didukung oleh konsep Diplomasi Ulang-Alik dan Diplomasi Multi Jalur, penelitian ini menemukan bahwa Paus Fransiskus telah mempraktikkan ketiga keterampilan tersebut dan terbukti berperan sebagai seorang policy entrepreneur selama upaya meleburkan ketegangan yang ada dalam hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba. Kemampuannya dalam berkomunikasi untuk orang lain ditunjukkan melalui pertemuannya dengan masing-masing negara, mengajak mereka untuk menjunjung tinggi perdamaian, menawarkan solusi yang unik, dan menunjukkan bahwa hubungan yang baik di antara mereka hanya akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak. Ada pun koneksi politik yang ia miliki selaku pemimpin Negara Kota Vatikan yang ia manfaatkan dalam bernegosiasi. Selain itu, kegigihannya dibuktikan melalui kesediaannya untuk berkomunikasi dengan masing-masing negara secara terpisah selama berbulan-bulan sebelum memutuskan untuk berdialog secara langsung. Bahkan Paus Fransiskus tidak hanya menggunakan satu jalur diplomasi dalam upayanya, melainkan tiga.

Kata Kunci: Paus Fransiskus; Kuba; Amerika Serikat; Policy Entrepreneur; hubungan internasional; diplomasi.

v

Abstract

Nama : Nadhif Ilyasa

NPM : 2015330090

Judul : Peran Paus Fransiskus dalam Hubungan Amerika Serikat dan

Kuba

The success of Pope Francis in mending the relations between the United States and Cuba has become the spotlight for the people of both countries, political observers, international media, and academics alike. This is caused by the abnormality of its nature. In a traditional sense, the interactions that exist in are usually carried out only by states. However, the Pope has went against the grain and proceeded to go directly into the field, taking part in resolving the existing problem. Through detailed analysis, this study tries to answer the research question: “What is the role of Pope Francis in the relations between the United States and Cuba?”. The Theory of Policy Entrepreneur states that a policy entrepreneur has three fundamental competences, namely the ability to speak for others, political connections, and a high tenacity in his efforts. Supported by the concepts of Shuttle and Multi-track Diplomacy, this study has found that Pope Francis has exhibited these three qualities in the efforts he has made, proving that he has been acting as a policy entrepreneur in his efforts. His ability to communicate for others is demonstrated through his meetings with each of the country’s leaders, inviting them to uphold peace, offering unique solutions, and showing that good relations between them will only bring benefits to both parties. There are also the political connections that he has as the head of the Vatican City State that he uses in negotiating. In addition, his perseverance was proven through his willingness to communicate with each country separately for months before deciding to converse with them directly. Furthermore, Pope Francis uses not only one diplomatic track in his endeavors, but three.

Keywords: Pope Francis; Cuba, the United States; Policy Entrepreneur; international relations; diplomacy.

vi

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ...... ii

KATA PENGANTAR ...... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ...... iv

ABSTRAK ...... v

DAFTAR ISI ...... vii

BAB I ...... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ...... 1

1.2. Identifikasi Masalah ...... 4

1.2.1. Pembatasan Masalah ...... 6

1.2.2. Perumusan Masalah ...... 6

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...... 7

1.3.1. Tujuan Penelitian ...... 7

1.3.2. Kegunaan Penelitian...... 7

1.4. Kajian Literatur ...... 8

1.5. Kerangka Pemikiran ...... 12

1.6. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ...... 17

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data ...... 18

1.7. Sistematika Pembahasan ...... 19

BAB II ...... 20

2.1. Sejarah Hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba ...... 20

2.2. Hubungan Politik antara Amerika Serikat dan Kuba ...... 22

2.2.1. Intervensi Politik Amerika Serikat ke Kuba ...... 25

2.2.2. Cuban Missile Crisis ...... 27

vii

2.3. Hubungan Ekonomi antara Amerika Serikat dan Kuba ...... 29

2.3.1. Sektor Perdagangan ...... 31

2.3.2. Sektor Pariwisata ...... 32

BAB III ...... 35

3.1. Paus Fransiskus dan Politik Internasional ...... 35

3.1.1 Paus sebagai Tokoh Religius dan Pemimpin Negara ...... 35

3.1.2 Terjun ke Ranah Politik Internasional ...... 37

3.1.3 Nilai-nilai yang Disebarkan oleh Paus Fransiskus ...... 39

3.2. Kunjungan Paus Fransiskus ke AS dan Kuba pada Tahun 2015 ...... 40

3.2.1. Misa Suci dan Pertemuan dengan Diktator Kuba ...... 41

3.2.2. Bertemu dengan Barack Obama dan Pidato di Depan Kongres AS,

UN General Assembly ...... 44

3.3. Tanggapan dan Pengakuan Internasional ...... 47

3.3.1. Tanggapan dari Masyarakat AS dan Kuba...... 47

3.3.2. Pengakuan Internasional ...... 50

3.4. Paus Fransiskus sebagai Policy Entrepreneur dalam Hubungan Amerika

Serikat-Kuba ...... 51

3.4.1. Paus Fransiskus sebagai Advokat Perdamaian antara AS-Kuba ...... 51

3.4.2. Koneksi Politik dan Kemampuan Paus Fransiskus dalam

Bernegosiasi ...... 56

3.4.3. Kegigihan Paus Fransiskus dalam Proses Normalisasi Hubungan

Amerika Serikat-Kuba ...... 58

BAB IV ...... 64

DAFTAR PUSTAKA ...... 67

viii 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perang Dunia Pertama dan Kedua, serta Perang Dingin, merupakan indikasi bahwa pengertian tradisional dari konsep hubungan internasional sangat relevan pada masanya. Di mana salah satu teori hubungan internasional paling dominan,

Teori Realisme, menyatakan bahwa karakter sebuah negara sebagai aktor internasional tunggal secara mendasar adalah egois. 1 Karena menurut paham

Realisme, sebuah negara tidak bisa mengandalkan negara lain dalam mempertahankan keamanan nasional mereka. Berdasarkan konsep self-help, tiap negara harus berusaha secara mandiri untuk menjadi yang paling kuat secara militer dan diplomatis atas nama kelanggengan negara.2 Maka masuk akal bagi negara- negara yang terlibat dalam peperangan dahulu untuk memulai menyerang satu sama lain, demi mempertahankan kelangsungan hidup negara masing-masing.

Selain Realisme, paham yang sering digunakan untuk mengulas hubungan internasional adalah Teori Liberalisme. Seorang Liberalis menganggap bahwa perilaku sebuah negara tidak dibatasi oleh keinginan mereka untuk menjadi yang paling kuat, tetapi juga didasari oleh nilai budaya, sistem ekonomi dan jenis

1 Jack Snyder, “One World, Rival Theories,” Foreign Policy, no. 145 (Desember, 2004): 53-62. 2 John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New York: W. W. Norton Company, 2014): 25-26.

2

pemerintahan. Jack Snyder, seorang ilmuwan politik asal AS, mengutarakan bahwa perbedaan di antara kedua teori tidak berhenti disitu. Menurutnya, Liberalisme juga menganggap hubungan internasional dilakukan demi menggapai perdamaian; yang dapat diraih melalui demokrasi dan kerja sama ekonomi antar negara.3

Contoh baik dari hubungan internasional yang bersinggungan dengan topik penelitian ialah hubungan antara Amerika Serikat dan Negara Kota Vatikan yang sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1797 di tingkat konsuler.4 Sejak merdeka dari Italia melalui Lateran Treaty pada tahun 1929,5 hubungan diplomatik antar pihak sudah mulai dibangun. Tahun 1939 merupakan periode yang bersejarah bagi

Vatikan, karena Presiden Franklin D. Roosevelt menyatakan bahwa beliau akan mulai mengirim utusan pribadi ke Vatikan. Praktik ini digunakan kembali oleh

Presiden Carter pada tahun 1977 dan para penerusnya.6 Pada tahun 1984, Vatikan mendirikan in the United States of America sebagai salah satu upaya misi diplomatik Negara Kota Vatikan dan jawabannya terhadap upaya diplomasi Amerika Serikat.7

Sedangkan, contoh buruk dapat ditemukan dalam hubungan yang tidak stabil antara Amerika Serikat dan Kuba. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1902. Iklim politik domestik yang penuh dengan korupsi dan kudeta hanya memperburuk

3 Jack Snyder, One World, Rival Theories, op. cit., 59. 4 Menurut The United States Department of State dalam laporan Background Note on the Holy See. 5 Lateran Treaty, 11 Februari 1929. 6 Stebbins, Timothy R. 2009. “US-Vatican Relations: 25th Anniversary and a New President,” The Institute of World Politics, diakses pada 2 September 2018, https://www.iwp.edu/news_publications/detail/us-vatican-relations-25th-anniversary-and-a-new- president. 7 “Apostolic Nunciature,” Apostolic Nunciature in the United States of America, diakses pada 2 September 2018, http://www.nuntiususa.org/.

3

integritas negara Kuba.8 Di samping itu, rezim yang didukung oleh AS juga berhasil digulingkan pada tahun 1959 oleh Fidel Castro.9 Deklarasi persekutuannya dengan

Uni Soviet juga hanya membawa malapetaka bagi Kuba, terutama karena embargo yang ditimpakan oleh AS pada tahun 1962 demi keamanan nasional.10 Embargo tersebut memaksa Kuba untuk bergantung kepada bantuan ekonomi Uni Soviet dalam bidang perdagangan. 11 Bantuan ekonomi tersebut terbukti tidak begitu menolong dan kerugian pun merambat ke bidang lainnya seperti sektor pariwisata.

Upaya pengurangan sanksi ekonomi yang sempat dilakukan di tahun 1970-an juga tidak membuahkan hasil.12 Relasi buruk yang dijalin oleh Kuba dengan Amerika

Serikat terus berlangsung selama 50 tahun lebih dan Kuba sendiri telah mengalami kerugian ekonomi sebanyak $130 miliar.13

Memang terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua contoh di atas, namun, keduanya sejalan dengan interpretasi tradisional dari hubungan internasional.

Karena interaksi yang terjadi selama ini terbatas kepada interaksi antar negara, hubungan di antara mereka mencerminkan sudut pandang Realisme dan

Liberalisme yang mengatakan bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional.

8 “Timeline: US-Cuba Relations,” BBC News, diakses pada 12 Maret 2019, https://www.bbc.com/news/world-latin-america-12159943. 9 Jane Franklin, Cuba and the U.S. Empire: A Chronological History, New York: NYU Press, 2016, 24-30. 10 “About the U.S. Embargo on Cuba,” Engage Cuba Coalition, diakses pada 12 Maret 2019, https://www.engagecuba.org/embargo. 11 Adolfo Leyva de Varona, Propaganda and Reality: a look at the U.S. embargo against Castro’s Cuba, Kuba: Cuban American National Foundation, 1994, 11. 12 Ibid, 2-6. 13 Nelson Acosta, 2018. “U.S. trade embargo has cost Cuba $130 billion, U.N. says,” Reuters, diakses pada 17 Maret 2019, https://www.reuters.com/article/us-cuba-economy-un/us-trade- embargo-has-cost-cuba-130-billion-un-says-idUSKBN1IA00T.

4

1.2. Identifikasi Masalah

Di saat negara-negara di dunia berhubungan dengan satu sama lain di tingkat negara, Herbert C. Kelman, seorang Profesor di Universitas Harvard, memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, peran individu di ajang hubungan internasional semakin besar. Peran seorang individu dapat membuat masing- masing negara lebih terbuka terhadap satu sama lain karena telah menyentuh tokoh- tokoh penting di dalam tiap negara. Sikap yang berubah di antara mereka akan memancing timbulnya keinginan untuk berkomunikasi dan mencari jalan keluar bagi tiap konflik yang muncul di masa mendatang. Ditambah lagi, dengan meningkatnya interaksi positif antara anggota dua negara yang ditengahi oleh seorang mediator akan menciptakan suasana di mana negosiasi dan resolusi permasalahan konflik dapat diselesaikan dengan lebih efektif. Oleh sebab itu, tingkat ketegangan di antara kedua negara kemungkinan akan berkurang. 14

Menurut Kelman, negara yang sudah menemukan kenyamanan di antara mereka akan berusaha untuk menjaga perdamaian dan kerja sama yang ada. Mereka akan terdorong untuk melakukan kerja sama tidak hanya di bidang-bidang yang umum seperti ekonomi. Kerja sama baru yang dijajaki di antara kedua negara akan bercabang ke sektor-sektor yang lebih spesifik seperti kerja sama atas nama kemanusiaan atau kesejahteraan masyarakat. Interaksi lintas batas negara seperti perdagangan dalam bidang pariwisata juga dapat meningkatkan komitmen masing- masing negara untuk terus memelihara hubungan yang baik. Pada akhirnya,

14 Herbert C. Kelman, “The Role of the Individual in International Relations: Some Conceptual and Methodological Considerations,” Journal of International Affairs 24, No. 1 (1970): 16-17.

5

interaksi di antara mereka – yang dimulai oleh seorang individu – akan berujung pada upaya kolektif untuk menjaga tatanan internasional dan perdamaian dunia.15

Sentimen yang dibangun oleh Herbert C. Kelman ini didemonstrasikan oleh

Paus Fransiskus dalam menengahi hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba.

Pada tahun 2015, mengunjungi kedua belah pihak sebagai pihak penengah yang berusaha mencairkan hubungan diplomatis di antara mereka. Upaya tersebut ia lakukan bukan sebagai tokoh politik dan berperilaku sebagai tokoh masyarakat yang menyebarkan nilai-nilai global yang positif. Dari langkah-langkah yang diambil oleh Paus Fransiskus, ia tidak melakukan ini untuk kepentingan Negara

Kota Vatikan, melainkan untuk menyebar perdamaian demi kebaikan umat dunia.

Yang mengejutkan adalah Paus Fransiskus berhasil membuahkan perkembangan yang cukup signifikan dalam hubungan di antara mereka, membuat masyarakat internasional takjub.

Penulis akan melihat peran apa yang hendak diambil oleh Paus Fransiskus dalam membantu proses normalisasi hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba.

Kemudian, penulis akan dan menyandingkannya upaya yang sudah dilakukan oleh

Paus Fransiskus dengan Teori Policy Entrepreneur, menilai apakah Paus

Fransiskus telah berperan sebagai seorang aktor yang telah meluangkan energi, waktu dan sumber daya untuk mengusulkan sebuah kebijakan.16

Topik ini dianggap penting untuk dibahas karena Paus Fransiskus yang memiliki ambisi yang besar dalam upayanya menyudahi permasalahan yang belum

15 Ibid. 16 Anne Marie Cammisa, “The Pope and the United States: Faith as Dialogue,” Palgrave Studies in Religion, Politics, and Policy (2018): 146-147.

6

pernah usai sebelumnya. Maka dari itu, menarik bagi penulis untuk membahas bagaimana seorang Paus – yang memiliki posisi unik sebagai pemimpin negara dan tokoh masyarakat – menyelesaikan persoalan tersebut. Dimulai dari sejarah hubungan antara Amerika Serikat dengan Kuba hingga dibuatnya kesepakatan baru di antara mereka, penulis melihat bagaimana Paus Fransiskus dapat berperan dalam mempengaruhi iklim politik melalui diplomasi dan negosiasi yang dilaksanakan dengan hati-hati.

1.2.1. Pembatasan Masalah

Penelitian dibatasi pada upaya yang telah dilakukan oleh Paus Fransiskus selaku mediator yang membantu membenahi hubungan antara Amerika Serikat dan

Kuba, terutama kunjungannya ke kedua negara pada bulan September tahun 2015.

Berkaitan dengan itu, penulis akan mengelaborasikan secara singkat sejarah hubungan yang semakin memburuk antara AS-Kuba. Dengan variabel-variabel tercantum, penulis akan menjabarkan korelasi di antara keduanya, dan menilai hasil yang dibuahkan oleh tindakan-tindakan yang telah dilakukan Paus Fransiskus di dalamnya.

1.2.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apa peran

Paus Fransiskus dalam hubungan Amerika Serikat dan Kuba ?”

7

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menampilkan peran apa yang telah berhasil didemonstrasikan oleh Paus Fransiskus dalam membenahi hubungan antara AS dan

Kuba dalam konteks hubungan internasional menurut teori-teori yang digunakan oleh penulis. Melihat bagaimana Paus Fransiskus sukses dalam upayanya dengan cara memosisikan diri sebagai tokoh masyarakat. Setelah memahami sejarah hubungan di antara Amerika Serikat dan Kuba secara singkat, penulis akan mengevaluasi upaya diplomasi Paus Fransiskus dalam mencoba membenahi hubungan di antara mereka; dan akan bermuara kepada jawaban dari pertanyaan penelitian.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang dapat diambil oleh para pembaca. Salah satunya adalah untuk memperluas wawasan pembaca mengenai peran aktor dalam masalah urusan luar negeri, bagaimana aktor internasional tidak hanya terbatas pada negara, tetapi juga dapat dipraktikkan oleh seorang tokoh masyarakat melalui metode yang non-tradisional.

Ada pun tujuan lain, yaitu untuk mengembangkan kapabilitas penulis dalam menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama jenjang perkuliahan untuk menguraikan sebuah kejadian yang berkenaan dengan bidang keilmuannya. Selain itu, penulis juga berharap bahwa karya tulis ini dapat digunakan sebagai referensi untuk peneliti yang mengambil topik yang serupa.

8

1.4. Kajian Literatur

Demi mengetahui hubungan serta potensi diplomatik antara Paus Fransiskus

dengan Amerika Serikat, literatur pertama adalah sebuah artikel berjudul “High

Hopes for U.S./Vatican Diplomacy”. Artikel terkait dipublikasikan dalam Volume

200 majalah America Magazine – yang dikelola oleh anggota perkumpulan Yesuit

asal AS – yang diterbitkan pada tanggal 9 Februari 2009. Artikel tersebut dibuka

dengan menjelaskan kekecewaan Paus Fransiskus serta keseluruhan Warga Negara

Kota Vatikan atas keputusan Presiden Obama untuk mengembalikan pendanaan

atas program-program aborsi di luar Amerika Serikat; kebijakan tersebut

diumumkan oleh Obama tidak lama setelah beliau naik ke kursi kepresidenan. 17

Akan tetapi, Fransiskus tetap menghadapinya dengan tenang hati dan

menunjukkan keinginan untuk meningkatkan hubungan yang positif administrasi

Presiden Barack Obama. Ia mempertegas pentingnya kerja sama karena adanya

ketertarikan yang serupa di sektor-sektor tertentu seperti perdamaian dan keadilan

sosial. Paus Fransiskus secara pribadi memiliki harapan yang tinggi bagi

pemerintahan baru AS. Karena Paus Fransiskus sendiri tidak nyaman dengan

pendekatan ‘war on terror’ Presiden Bush yang cenderung bersifat menindas.18

Maka dari itu, Fransiskus merasa bahwa Administrasi Obama perlu

menjunjung tinggi dua buah prinsip agar upaya mereka dalam menyebarkan

perdamaian dapat diterima dengan lebih positif. Pertama, menghormati hak-hak

hukum, misalnya untuk berhenti melakukan praktik penyiksaan kepada sandra atau

17 “Signs of the Times: Vatican City – High Hopes for U.S./Vatican Diplomacy,” America Magazine 200 (9 Feb 2009): 6. 18 Ibid.

9

perilaku kejam lainnya. Kedua, ada harapan bahwa Amerika Serikat dapat lebih

memberikan perhatian lebih terhadap penyebab-penyebab mendasar terorisme,

contohnya frustrasi politik dan ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan segala

harapan Vatikan atas keputusan diplomatik yang hendak diambil oleh Administrasi

Obama, dapat dikatakan bahwa Paus Fransiskus, dan Vatikan secara menyeluruh,

memiliki ketertarikan yang sangat tinggi untuk berdiplomasi dengan Amerika

Serikat.19

Dapat dikatakan bahwa Paus Fransiskus sangat bersedia untuk memelihara

hubungan diplomatik secara lebih lanjut dengan AS melihat dari sejumlah harapan

yang ia nyatakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Paus Fransiskus

memiliki potensi untuk berdiplomasi sebagai individu dengan salah satu negara

yang menjadi target bantuannya dalam topik penelitian ini.

Setelah membahas potensi hubungan diplomatik yang besar antara Paus

Fransiskus dan Amerika Serikat, pada literatur kedua ini penulis akan melihat bagaimana potensi yang sama juga dapat dijalin dengan negara-negara Amerika

Latin. Dalam sebuah artikel jurnal berjudul “The Pope and Latin America: Mission from the Periphery”, Christine A. Gustafson membuka pembahasan dengan menjelaskan bagaimana Paus Fransiskus bisa jadi berbeda dengan para pendahulunya karena ia merupakan Paus pertama yang berasal dari Amerika Latin.

Karena ia melewati pelatihan, pengalaman hidup dan keagamaan yang berbeda dibandingkan dengan Paus lainnya, Fransiskus memiliki pendekatan visi dan misi

Gereja Katolik Roma yang berbeda dengan Paus yang berasal dari Eropa atau

19 Ibid.

10

Amerika Utara. Ideologinya tidak sebatas kanan atau kiri, tidak sekedar Marxist atau Neo-Liberal, dan tidak Liberal maupun Konservatif; menekankan nilai- nilainya berbasis kepada perdamaian, kebersamaan, persamaan hak, dan pemberantasan kemiskinan. 20

Gereja Katolik Roma sudah ada di Amerika Latin sejak kedatangan Eropa pertama di kawasan ini di akhir abad ke-15, dan kepercayaan Katolik terus menyebar hingga tahun 1960-an. Pengaruh Protestan semakin lama semakin kuat semenjak itu karena berbagai alasan – misalnya pernikahan beda agama – dan angka penganut agama Katolik turun dari 90% di tahun 1960 ke 69% di tahun 2014.

Walaupun demikian, sebuah survei yang dilaksanakan dari tahun 2013 hingga 2015 menyatakan bahwa opini publik Amerika Latin terhadap Paus Fransiskus tetap sangat baik. Tidak mengejutkan, apa lagi ketika dipertanyakan mengapa, alasannya adalah karena ia merupakan anggota dari komunitas Amerika Latin. Di asal Paus

Fransiskus, , 73% responden mantan Katolik mengatakan opini yang sama, bahkan 53% dari mereka masih percaya bahwa Fransiskus akan membawa perubahan yang besar di kawasan ini. 21

Dengan menempatkan diri di kalangan masyarakat, dan mengajak gereja- gereja Katolik di kawasan Amerika Latin untuk menyebarkan ajaran mereka dengan cara yang lebih personal, Paus Fransiskus berhasil menjauhkan dirinya dari

Paus-paus sebelumnya yang cenderung suka mempolitisasi agama. Paus Fransiskus

20 Christine A. Gustafson, “The Pope and Latin America: Mission from the Periphery,” Palgrave Studies in Religion, Politics, and Policy (2018): 189-195. 21 Pew Research Center, “Religion in Latin America: Widespread Change in a Historically Catholic Region,” Pew Forum, diakses pada 15 Juni 2019, http://www.pewforum.org/2014/11/13/religion- in-latin-america.

11

mengajak kita untuk melihat dunia ini dari sudut pandang yang baru dan tidak terpaku oleh ideologi tradisional yang hitam-putih. Gustafson sendiri menyebut fenomena ini sebagai “the Francis factor”.22

Artikel ini menggambarkan seberapa besar pengaruh yang dapat ditanamkan oleh Paus Fransiskus di masyarakat Amerika Latin, tidak terkecuali Kuba.

Pandangan yang positif dan kepercayaan bahwa ia dapat membawa perubahan yang besar dalam kehidupan mereka kembali membuktikan bahwa Paus Fransiskus juga memiliki potensi untuk berdialog dengan negara-negara Amerika Latin; dibantu oleh latar belakangnya yang juga berasal dari kawasan tersebut.

Literatur yang ditulis oleh Katherine Lamb ini berjudul “Papacy and

Diplomacy: Pope Francis’ Role in Mediating International Relations” dan diterbitkan pada tanggal 17 April 2015 di Universitas Brown. Lamb berpendapat bahwa Paus Fransiskus memiliki peran yang besar dalam memperbaiki hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba setelah mengasingkannya selama 53 tahun.

Berkaitan dengan kemauan kedua negara untuk berdamai, Negara Kota Vatikan mengeluarkan sebuah pernyataan publik: “Paus Fransiskus ingin mengucapkan selamat dan salam yang hangat atas keputusan bersejarah ini. The Holy See akan terus menjamin dukungannya atas inisiatif yang akan dilakukan oleh kedua negara demi memperkuat hubungan bilateral mereka, … mempromosikan kesejahteraan dunia dan warga masing-masing,” Karenanya pernyataan ini, Paus Fransiskus

22 Christine A. Gustafson, “The Pope and Latin America: Mission from the Periphery,” op. cit., 207- 208.

12

mendapatkan sanjungan yang sebesar-besarnya dari para pengamat politik dalam bentuk pengakuan universal atas keterampilan komunikasinya.23

Artikel terakhir ini membantu penulis memahami bahwa Paus Fransiskus memiliki ambisi yang sangat besar dalam berdiplomasi dengan Amerika Serikat dan Kuba, meskipun memperbaiki hubungan mereka bukanlah tugas yang sepele.

Penting bagi tanggal publikasi artikel ini untuk diingat, karena bahkan sebelum terobosan politik antara kedua negara tercapai pun Paus Fransiskus telah mengagetkan dunia dengan kemauannya untuk menentang perselisihan politik yang sangat bersejarah ini.

1.5. Kerangka Pemikiran

Teori utama yang menjadi pedoman bagi penulis dalam mengulas topik penelitian ini ialah Teori Policy Entrepreneur oleh John W. Kingdon. Teori ini pertama kali diutarakan pada tahun 1984 dalam bukunya, Agendas, Alternatives, and Public Policies. Kingdon menjelaskan mengenai Multiple Streams Framework

(MFS), sebuah teori yang ia percaya menjadi salah satu faktor yang membuat sebuah agenda untuk mulai diperhatikan dalam sebuah proses pembuatan kebijakan publik. Dalam MFS, terdapat tiga jalur yang dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, yaitu Problem Stream, Political Stream, dan Policy Stream.24

23 Katherine Lamb, 2015, “Papacy and Diplomacy: Pope Francis’ Role in Mediating International Relations,” Brown Political Review, diakses pada 18 September 2018, http://www.brownpoliticalreview.org/2015/04/papacy-and-diplomacy-pope-francis-role-in- mediating-international-relations/. 24 Kingdon, John W. Agendas, Alternatives, and Public Policies (Harlow, Longman Publishing Group, 1984).

13

Dalam Problem Stream, sesuatu dapat dianggap sebagai fokus dalam proses pembentukan kebijakan ketika sebuah negara merasa bahwa ada yang harus dilakukan terhadap sebuah masalah yang baru muncul. Sedangkan dalam Political

Stream, dikatakan bahwa agenda sebuah negara dapat ditentukan oleh kebutuhan mereka untuk mengangkat sebuah permasalahan baru dan membatasi isu-isu lama.

Kebutuhan ini biasanya didesak oleh perubahan iklim politik yang dapat terjadi akibat sejumlah faktor, misalnya pergantian administrasi melalui cara formal atau pun melalui pemberontakan yang terorganisir. Ada pun Policy Stream yang mengatakan bahwa akan selalu ada pihak yang sudah memiliki solusi akan sebuah permasalahan sebelum masalah tersebut menjadi agenda sebuah negara. Solusi ini datang dari seorang policy entrepreneur.25

Seorang policy entrepreneur merupakan mereka yang meluangkan waktu, reputasi, uang, dan energi untuk mengusulkan sebuah kebijakan. Mereka dapat berasal dari dalam atau luar pemerintahan, pejabat politik, kelompok berkepentingan, atau organisasi lain, dan mereka memiliki potensi untuk memainkan peran yang sangat besar dalam diangkatnya sebuah agenda.26 Ada pun tiga kualitas utama dari seorang policy entrepreneur. Kualitas pertama adalah keahlian berkomunikasi untuk orang lain, bagaimana seseorang mampu menemukan sisi baik dari masing-masing pihak dalam konflik dan menyampaikan kebaikan tersebut ke pihak lainnya tanpa terdengar menghina. Karakteristik kedua adalah seorang policy entrepreneur harus memiliki koneksi politik yang bermutu tinggi, dan kemampuan bernegosiasi dengan rekan-rekan politiknya.

25 Ibid. 26 Anne Marie Cammisa, “The Pope and the United States: Faith as Dialogue,” Palgrave Studies in Religion, Politics, and Policy (2018): 146-147.

14

Kemampuan seorang individu untuk bernegosiasi akan semakin berguna dan berpengaruh semakin tinggi koneksi politik yang ia miliki. Selain memiliki keterampilan berkomunikasi dan koneksi politik yang baik, ia juga harus gigih dalam upaya mengusulkan sebuah agenda bila ia ingin menyelesaikan permasalahan tertentu. Karena jika tidak, maka pihak pembuat kebijakan tidak akan memahami pentingnya bagi isu tersebut untuk diselesaikan. 27

Seorang policy entrepreneur akan selalu siap dengan sebuah solusi, dan akan menunggu hingga sebuah permasalahan untuk menjadi perhatian sebuah negara, di mana mereka akan menawarkan solusi tersebut. Mereka akan menggunakan kekuatan, pengetahuan dan ketekunan mereka untuk ikut serta ke dalam sebuah perundingan saat datangnya policy window dan mereka dapat menawarkan solusi kepada para pembuatan kebijakan. Sebuah policy window atau jendela kebijakan merupakan peluang bagi penganjur proposal kebijakan untuk mendorong solusi mereka, atau menarik perhatian kepada masalah tersebut.28 Perlu diakui bahwa teori ini memiliki keterbatasan sendiri, yakni fakta bahwa masih belum banyak penelitian yang menggunakan teori ini dalam mengulas sebuah permasalahan.

Maka dari ini dibutuhkan sejumlah kerangka pemikiran pendukung yang dapat memperkuat argument penulis.

Ada pun konsep yang akan membantu menguatkan argumen penulis bahwa

Paus Fransiskus memiliki salah satu kualitas seorang policy entrepreneur, yaitu

Teori Shuttle Diplomacy oleh David A. Hoffman. Sering kali disebut sebagai

Diplomasi Ulang-Alik, Shuttle Diplomacy merupakan sebuah istilah yang dibuat

27 Kingdon, Agendas, Alternatives, and Public Policies, op. cit. 28 Ibid.

15

untuk menggambarkan upaya U.S. Secretary of State demi menengahi perdamaian di antara negara-negara Timur Tengah selama berlangsungnya Perang Yom Kippur pada tahun 1973. Dalam usahanya, Kissinger melakukan perjalanan bolak-balik atau “shuttling back and forth” di antara negara- negara tersebut demi bernegosiasi dengan pemimpin mereka. 29

Istilah Diplomasi Ulang-Alik didefinisikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seorang perunding yang melakukan perjalanan jauh secara bolak- balik untuk bertemu dengan pihak-pihak terkait secara terpisah demi memediasi gencatan senjata dan perjanjian perdamaian. 30 Mediasi sendiri merupakan sebuah dialog penyelesaian konflik yang didukung oleh pihak ketiga yang netral. Dalam mencapai perjanjian, mediasi dapat membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk meraih resolusi yang diterima secara konsensus dan memajukan kepentingan semua pihak.31

Dalam konflik tertentu, jenis diplomasi ini bisa jadi merupakan cara berdiplomasi yang lebih mudah untuk dilakukan. Karena terkadang para pemimpin yang sedang berseteru sering kali enggan untuk bertatap muka atau bahkan menolak untuk mengakui satu sama lain secara formal. Seperti halnya pemimpin-pemimpin negara Arab menolak untuk melakukan perundingan secara langsung selama

Perang Yom Kippur berlangsung. 32

29 Hoffman, David A. "Mediation and the Art of Shuttle Diplomacy." Negotiation Journal 27, no. 3 (07, 2011): 263-309. 30 Ibid. 31 Basics of Mediation: Concepts and Definitions, (Jerman, Federal Foreign Office & Initiative Mediation Support Deutschland, 2017). 32 “Shuttle Diplomacy and the Arab-Israeli Dispute, 1974–1975,” Office of the Historian, diakses pada 16 Juni 2019, https://history.state.gov/milestones/1969-1976/shuttle-diplomacy.

16

Model diplomasi ini juga dapat dilakukan meski kedua belah pihak harus memiliki hubungan yang berkelanjutan (misalnya akibat perbatasan yang sama).

Karena shuttle diplomacy tidak terbatas oleh permasalahan jarak, metode ini juga dapat diaplikasikan untuk mencapai persetujuan walaupun negosiasi cara komunikasi tidak langsung (misalnya persuratan, telepon, e-mail, dll.) atau dengan perundingan yang dilakukan dengan tiap-tiap pemimpin negara di ruangan terpisah.33

Terakhir, dalam memperjelas upaya-upaya Paus Fransiskus sebagai aksi diplomasi, penulis akan mengangkat Konsep Diplomasi Multi Jalur atau Multi- track Diplomacy. Paham yang dibuat oleh John W. McDonald dan Louise Diamond ini menjelaskan bahwa diplomasi dapat dilakukan melalui sembilan jalur. Namun, dalam penelitian ini penulis hanya akan fokus kepada tiga jalur:

1. Jalur 1 (Melalui aktor negara): Diplomasi, proses pembuatan kebijakan

dan pembuatan perdamaian dilaksanakan secara resmi antara pemerintah,

melalui proses formal yang biasa dilakukan di antara dua atau lebih negara,

2. Jalur 2 (Melalui aktor non-negara): Diplomasi informal yang dilakukan

oleh aktor non-negara atau profesional di luar saluran pemerintah untuk

demi mencapai perdamaian,

3. Jalur 7 (Melalui agama): Diplomasi yang dilaksanakan melalui aspek

agama/religius, di mana seorang tokoh dapat menyebarkan nilai

33 Hoffman, Mediation and the Art of Shuttle Diplomacy, op. cit.

17

perdamaian dengan menanamkan nilai-nilai moral seperti pasifisme dan

anti-kekerasan.34

McDonald menggarisbawahi bahwa Diplomasi Multi Jalur menantang stereotip dan hambatan lain untuk mencapai perdamaian dengan menyediakan solusi yang relevan bagi pihak yang saling bertentangan. Seorang individu yang berdiplomasi melewati jalur-jalur di atas dapat mengubah persepsi atau cara pihak yang sedang berseteru memandang satu sama lain. Selain itu, negosiasi yang dilakukan secara cermat dapat membantu kedua pihak untuk mengembangkan rasa saling pengertian dan kepercayaan, serta membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masa lalu.35

1.6. Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian, penulis memilih untuk menggunakan metode

penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono, metode kualitatif merupakan sebuah

pendekatan penelitian yang berusaha untuk menafsirkan dan menganalisis kondisi

dari sebuah objek yang disajikan sebagai variabel penelitian dan dipaparkan dalam

wujud deskripsi. Sebab itu, hasil dari penelitian yang menggunakan metode

tersebut berbentuk kata-kata yang menjelaskan kondisi dari objek yang

diperhatikan.36

34 John W. Mcdonald dan Louise Diamond, Multi-track Diplomacy: A Systems Approach to Peace (Michigan: Kumarian Press, 1996). 35 McDonald, John W. “The Institute for Multi-Track Diplomacy,” Journal of Conflictology 3, no. 2 (2012): 66-70. 36 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2007): 9.

18

Karakter alami dari metode penelitian kualitatif yaitu sifat interpretatif.

Analisis dan kesimpulan dari penelitian ini akan bersifat subjektif. Karena

memungkinkan bagi faktor-faktor tertentu seperti nilai-nilai, atau kepribadian

penulis dalam mempengaruhi pembentukan penafsiran. 37

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder untuk membantu penulis untuk memaparkan materi. Data primer sendiri merupakan data yang didapatkan dari sumber secara langsung tanpa ada pengolahan sedikit pun. 38

Contohnya adalah dokumen-dokumen negara seperti UU Amerika Serikat dan teks

Lateran Treaty yang digunakan pada penelitian ini. Sedangkan, data sekunder meliputi data olahan yang didapatkan dari sumber-sumber seperti artikel, jurnal, dan buku.39 Dalam memastikan keabsahan dari data-data tersebut, penulis telah menjalani sejumlah hal yang sepatutnya dilakukan dalam melakukan penelitian kualitatif, yaitu triangulasi data. Dengan cara mencocokkan data yang diperoleh dengan beberapa sumber data lainnya yang mendukung informasi yang sama, dapat dikatakan bahwa data yang disajikan oleh 40

37 John W. Cresswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (Thousand Oaks, California: SAGE Publications, 2014): 187. 38 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, op. cit,. 9. 39 Ibid. 40 John W. Cresswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, op. cit., 188-189.

19

1.7. Sistematika Pembahasan

Dalam tulisan ini, penulis akan menjabarkan topik permasalahan melalui beberapa bab dalam urutan berikut:

Bab I memuat pendahuluan dari penelitian ini yang kandungannya adalah kondisi dari permasalahan yang hendak dibahas oleh penulis di bagian tulisan selanjutnya. Di dalamnya akan tercantum beberapa sub-bab, yaitu latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik pengumpulan data, serta sistematika pembahasan.

Bab II menjelaskan sejarah dari hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba.

Di dalamnya akan dibahas sejarah dari hubungan tersebut, dimulai dari abad ke-19 saat Kuba masih dijajah oleh Spanyol, Amerika Serikat yang mulai ikut campur dalam bidang politik negara Kuba, dan perkembangan hubungan antara kedua negara sejak revolusi Kuba yang terjadi di pertengahan abad ke-20.

Bab III membahas peran yang diambil oleh Paus Fransiskus dalam hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba, khususnya serangkaian upaya yang ia lakukan demi membenahi hubungan di antara mereka. Selain itu, penulis akan melihat tanggapan dari masyarakat dan media internasional terkait kunjungan tersebut.

Selanjutnya, penulis juga akan menganalisis upaya mediasi Paus Fransiskus atas hubungan Amerika Serikat dan Kuba, dan menentukan peran apa yang telah ia ambil sebagai seorang konteks hubungan internasional. .

Bab IV adalah bagian kesimpulan.