KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI DAN KONTRIBUSINYA DALAM PROSES KONSELING

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Bimbingan Penyuluhan Fakultas Dakwah

Oleh

HANA MUKAROMAH

NIM: UB 150093

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

TAHUN 2019

MOTTO

أَ

“Ketahuilah, di dalam jasad itu ada segumpal daging, Jika ia baik, baik pula seluruh tubuh, tetapi jika buruk, buruk pula seluh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”(HR.Bukhari dan Muslim) [HR.Bukhari No.2051 dan Muslim No. 1599] 1

1 Abu Zur‟ah ath-Thaybi, Hadits Arbain Nawawi Matan dan Terjemah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Arba’in Nawawi, oleh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an- Nawawi ad-Dimasqi (Surabaya: Pustaka Syabab Surabaya, tt), 10.

PERSEMBAHAN

Segala puji bagi yang telah memberikan nikmat dan kasih sayangnya disetiap hariku. Engkau adalah pendengar terbaik bagiku dan telah memberikan yang terbaik untukkku.Tempatku bersandar ketika hatiku rapuh, dan yang selalu kuharapkan limpahan cinta untukku.

Tidak mudah bagiku untuk sampai dititik ini, begitu banyak episode-episode yang harus kulalui. Tapi kuyakin sesuatu yang terjadi padaku adalah jalan terbaik yang telah dipilihkan oleh-Nya.

Kupersembahkan skripsi ini kepada Ibuku Marpuah dan Bapakku Miswandi. Karena mereka telah memberikan kasih sayangnya dan berusaha memberikan yang terbaik untukku, mendo‟akanku dan mencukupi segala kebutuhanku dengan kerja keras tanpa lelah.

Kuucapkan terima kasih kepada Kakekku Mbah Hadi, Nenekku Mbah Suti Serta Bibiku Sri Lestari S,Si yang telah menjadi orangtua kedua untukku. Terima kasih telah mengisi masa kecilku, memberikan kasih sayang, pelajaran dan perhatiannya untukku.

Selanjutnya kuucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuanganku yang telah memberikan semangat hingga sampai pada tujuan perkuliahan ini. Khususnya untuk BPI VIIIA yang telah bersama kurang lebih selama 4 tahun, begitu banyak hal yang telah kita lalui. Terkhusus untuk sahabatku Sauqi Rahma Putri, Eli Sukmawarni, Rizkha Armely, Suci Rosmaida dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kerja samanya, nasihatnya, tegurannya, semangatnya serta pelajaran-pelajaran hidup yang kudapatkan dari kalian semua.

ABSTRAK

Nama : Hana Mukaromah Nim : UB 150 093 Judul : Konsep Kepribadian Menurut Al-Ghazali dan Kontribusinya dalam Proses Konseling Penelitian ini dilatarbelakangi karena tidak seharusnya fenomena perilaku umat Islam dinilai dengan kacamata teori kepribadian barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realitas. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Hal inilah yang mendorong penulis untuk menelusuri lebih dalam konsep kepribadian menurut al-Ghazali, karena dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan secara mendalam tentang hakikat manusia serta komponen yang membentuk perilaku seorang manusia.

Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah (library research) dengan menekankan pada sumber tertulis terutama karya al-Ghazali “ihya‟ ulumuddin” serta buku-buku terjemahan yang menjelaskan isi buku ini secara lebih gamblang. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan buku-buku yang berkaitan dengan bahasan ini, dengan menerapkan metode analisis historis, deskriptif dan isi.

Hasilnya penulis menemukan bahwa konsep kepribadian menurut al- Ghazali ini berkontribusi dalam proses konseling. Dalam konseling, konselor haruslah memiliki kualitas pribadi yang menunjang keberhasilan proses konseling. Konsep ini dapat dipelajari dan dipahami konselor agar memiliki kualitas pribadi yang baik. Konselor juga dapat mengetahui kejelasan-kejelasan dirinya, jiwa apa yang mendominasinya dan hal-hal apa saja yang bisa dilakukannya agar memiliki jiwa muthma‟innah. Dengan konsep ini konselor dapat mengenal dirinya lebih dalam, dan ketika seorang konselor telah mengenal dirinya maka konselor juga dapat mengajarkan hal ini kepada kliennya.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat, hidayahnya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan judul “Konsep Kepribadian Menurut Al-Ghazali dan Kontribusinya dalam Proses Konseling”. Shalawat dan salam semoga tetap telimpah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya kejalan yang benar dan dapat dirasakan manifestasinya dalam wujud Imam, Islam dan amal nyata yang shalih likulli zaman wa makan. Penelitian dan penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik yang bersifat moril maupun materi. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Samin Batubara, M.HI selaku Pembimbing I dan Bapak Massuhartono,S,Pd.I.,MA.SI selaku Pembimbing II yang telah membantu dan membimbing dalam penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Pirhat Abbas, M.Ag selaku dosen pembimbing Akademik. 3. Bapak Sya‟roni, S.Ag.,M.Pd. selaku ketua prodi Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) dan Ibu Neneng Hasanah, S.Ag., M.Pd. selaku sektetaris prodi Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) 4. Bapak Samsu S.Ag.,M.Pd.I.,Ph.D. selaku dekan Fakultas Dakwah UIN STS Jambi. 5. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,M.Hum. selaku wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Dakwah UIN STR Jambi. 6. Bapak Dr. H. Hadri Hasan. MA selaku Rektor UIN STS Jambi. 7. Bapak Prof. Dr. H. Su‟aidi MA. Ph.D. sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Pendidikan, Bapak Dr. H. Hidayat, M,Pd sebagai Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, perencanaan dan Keuangan, dan Ibu Dr. Hj. Fadillah M.Pd. Sebagai Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja UIN STS Jambi. 8. Kepala Perpustakaan UIN STS Jambi Beserta Stafnya dan serta Kepala Perpustakaan Daerah Jambi. 9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. 10.Bapak dan Ibu karyawan/karyawati di lingkungan Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. 11.Teman-teman seperjuangan angkatan 2015 Prodi Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI).

Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT membalasnya.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... NOTA DINAS ...... SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ...... PENGESAHAN ...... MOTTO ...... PERSEMBAHAN ...... ABSTRAK ...... KATA PENGANTAR ...... i DAFTAR ISI ...... iii PEDOMAN TRANSLITERASI ...... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 6 C. Batasan Masalah ...... 7 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...... 7 E. Tinjauan Pustaka ...... 8 F. Metode Penelitian ...... 10 G. Sistematika Penulisan ...... 12 BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI A. Riwayat Hidup ...... 13 B. Kemasyhurannya ...... 17 C. Perkembangan Pemikiran al-Ghazali ...... 21 D. Hasil-Hasil Karyanya ...... 24 BAB III KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI A. Hakikat Manusia ...... 27 B. Kedudukan Hati, Ruh, Akal dan Jiwa ...... 29 C. Jiwa Manusia ...... 38

D. Akhlak Baik ...... 46 BAB IV KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI SERTA KONTRIBUSINYA DALAM PROSES KONSELING A. Pengertian Konseling ...... 49 B. Kualitas Pribadi Konselor ...... 53 C. Proses Konseling ...... 59 D. Bentuk-Bentuk Kontribusi Konsep Kepribadian Menurut al-Ghazali dalam Proses Konseling ...... 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 72 B. Saran ...... 73

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN CURICULUM VITAE

TRANSLITERASI2

A. Alfabet

Arab Indonesia Arab Indonesia ` Th

B Zh

T `a

Ts Gh

J F

Ch Q

Kh K

D L

Dz M

R N

Z W

S H

؍ Sy

Sh Y

Dh

B. Vokal dan Harkat

Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia

2Tim Penyusun, PanduanPenulisanKaryaIlmiahMahasiswaFakultasUshuluddin IAIN STS Jambi (Jambi :Fak.Ushuluddin Iain STS JAMBI, 2014),136-137.

aa Aa

uu

C. Ta’ Marbutah Transliterasi untuk ta’ marbutah ini ada macam: 1. Ta’ Marbutah yang mati atau mendapat harakatsukun, maka transliterasinya adalah /h/. contoh: Arab Indonesia Salaah Mir‟ah

2. Ta’Marbutah hidup atau yang mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, maka transliterasinya adalah /t/. Contoh: Arab Indonesia Wizaarat al-Tarbiyah Mir‟at al-zaman

3. Ta’ Marbutah yang berharakat tanwin maka translaterasinya adalah /tan/tin/tun. Contoh: Arab Indonesia Fajannatan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Konsep tentang manusia sangat penting artinya di dalam sistem pemikiran dan di dalam kerangka berfikir seorang pemikir. Konsep tentang manusia menjadi penting karena ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dimengerti secara utuh, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti. Lahirnya berbagai mazhab kepribadian dalam dunia psikologi modern merupakan sebuah representasi dari upaya ilmiah manusia modern untuk memahami kedirian manusia seutuhnya, disamping menunjukan pula keterbatasan pengetahuan para teoritikus kepribadian barat dalam merumuskan struktur internal manusia. Oleh karena kerangka keilmiahan yang menjadi basis penelusuran para teoritikus kepribadian barat, maka merekapun mengalami keterbatasan dalam proses analisis dan sintesis akan konsepsi kepribadian manusia secara menyeluruh. Mereka mengalami banyak kesulitan dalam mengurai hal-hal yang berada di luar rasionalitas manusia, yakni hal-hal yang berbau metafisik. Hal tersebut tampak dalam tiga aliran mainstream psikologi modern; aliran Psikoanalisa (Freud), aliran Behaviorisme (Skinner), dan aliran psikologi Humanistik.3 Pentingnya arti konsep manusia di dalam sistem pemikiran dan kerangka berfikir seorang pemikir, terutama sekali adalah karena hakikat manusia adalah subjek yang mengetahui. Daya-daya yang dipunyai manusia mempunyai efektivitas pada dirinya, dalam pandangan para filosof. Manusia mempunyai kehendak yang bebas dan kemampuan dalam mewujudkan segala perbuatannya.4 Pembicaraan tentang manusia lebih sering menyangkut aspek tertentu saja dari

3 Septi Gumiandari, “Kepribadian Manusia Dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah Kritis Atas Psikologi Kepribadian Modern)”, Holistik, Volume 12 Nomor 01, (2011), 267. 4 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali (Jakarta: Rajawali, 1988), 1-3.

1

2

manusia, seperti perbuatan-perbuatannya, tanpa dilihat koherensi dengan hakikat manusia.5 Kepribadian secara harfiah dapat diartikan dengan tingkah laku, yaitu tingkah laku individu yang menjadi ciri uniknya. Tingkah laku di sini diasumsikan dari konsep manusia yang normal dan bukan yang sakit. Artinya, studi tentang kepribadian adalah studi yang beranjak dari tingkah laku yang sehat dan bukan sakit. Konsep ini diasumsikan dari pemahaman bahwa pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang fitri, suci dan baik.6 Para psikolog dalam melakukan interpretasi tes-tes psikologi terhadap klien terkadang memerankan diri sebagai Tuhan melalui alat yang disebut dengan instrumen atau alat tes tertentu, padahal ia hanya tahu kulit luarnya saja. Tes kepribadian dalam konteks ini tidak akan mampu menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya.7 Al-Ghazali mengatakan bahwa manusia itu suci (fitrah). Hal ini ditujukan dengan sabda Rasulullah:

“Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Seorang bayi tidaklah dilahirkan melainkan dalam kesucian (fitrah). Ke mudian kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi”.8

Konsep sentralnya manusia memiliki watak dasar baik dan buruk, yang menentukan baik atau tidak adalah keadaan spiritualnya. Manusia dalam asal fitrah dan bentuknya telah berkumpul padanya empat sifat, yakni hewan buas, binatang, setan serta rabbani (ketuhanan). Pada saat marah sedang menguasainya, maka dia pun melakukan perbuatan-perbuatan hewan buas, pada saat setan telah menguasainya ia telah melakukan perbuatan-perbuatan binatang, serta akan

5 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 9. 6 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta : PT Rajagrafindo, 2006), 38. 7 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 12. 8Elly Lathifah, Ringkasan Shahih Muslim, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Shahih Muslim, oleh M. Nashiruddin Al-Albani (Jakarta:Gema Insani Press, 2005), 938.

3

memiliki kedua sifat ini.9 Jika kedua sifat ini tergabung di dalam dirinya dan melahirkan kecintaan pada kejahatan, kesewenangan, penaklukan, penipuan maka ia ada dalam kendali setan.10 Menurut al-Ghazali memandang manusia haruslah total, mulai dari struktur eksistensinya, hakikatnya atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya.11 Dalam karyanya ihya’ ulumuddin, al-Ghazali menggunakan empat istilah dalam membentuk tentang esensi manusia, yaitu: hati, ruh, jiwa dan akal.12 Al-Ghazali berpendapat bahwa hati (al-) adalah alam ketuhanan, ia mengetahui apa yang tidak dapat dicapai pikiran dan memancarkan keimanan dan keyakinan. Ruh merupakan lathifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani,13 ruh merupakan nyawa manusia. Prinsipnya baik dan bersifat keakhiratan.14 Jiwa () bermakna lathifah, Ia merupakan substansi manusia yang membedakannya dari hewan lain. Kalau ia bersih dan dihiasi zikir kepada Allah Swt serta bersih dari noda syahwat dan sifat-sifat tercela, ia disebut al-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang).15. Akal (Aql) adalah sesuatu yang kauketahui, ilmu menjadi sifat akal.16 Akal adalah ladang ilmu, berkat akal manusia bisa memahami ilmu-ilmu

9 Labib, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali (Surabaya: Himmah Jaya Surabaya, 2004), 306. 10 Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), 206. 11 Erit Aswadi, “Perbandingan Konsep Al-Ghazali dan Sigmund Freud Tentang Kepribadian Manusia Ditinjau Dari Prespektif Konseling”, Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), 8. 12Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali (Jakarta: PT Serambi Semesta Distribusi, 2017), 309. 13 Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 195-196. 14 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 75. 15 Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ ‘Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 312. 16 Ibid, 313.

4

agama yang menghantarkan kepada qurb (berdekatan diri dengan ibadah) kepada Allah.17 Al-Ghazali dijuluki sebagai seorang The Proof Of Islam (Hujjatul Islam), The Ornament Of Faith (Zaini Al-Din), dan The Renewer Of Religion (Mujaddid) karena di dalam dirinya terkumpul hampir semua jenis pemikiran dan berbagai gerakan intelektual dan keagamaan yang berkembang pada masanya.18 Al-Ghazali adalah orang yang sangat cerdas, berwawasan luas, kuat hapalannya, berpandangan mendalam, menyelami makna, dan memiliki hujjah-hujjah yang akurat.19 Beliau secara mendalam mengkaji empat disiplin ilmu yang menunjukkan berbagai corak pemikirannya, yaitu ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu kebatinan dan ilmu tasawuf. Al-Ghazali aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus. Fenomena perilaku yang menimpa umat Islam akhir-akhir ini tidak mungkin dapat dianalisis dengan teori-teori psikologi kepribadian barat. Boleh jadi dalam teori psikologi kepribadian barat perilaku tersebut merupakan patologis, sementara dalam psikologi kepribadian Islam diyakini sebagai perilaku yang mencerminkan aktualisasi diri atau realisasi diri. Konsep atau teori kepribadian Islam harusnya segera tampil untuk menjadi acuan normatif bagi umat Islam. Perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori kepribadian barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realitas. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma’ruf), tetapi lebih mengutamakan tuntutan agama yang baik (khayr).20 Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan sempurna. Sehingga ia mempunyai potensi untuk kembali kesempurnaannya, apabila ia mengalami

17Ahmadie Thaha, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Manhaj al-Bahtsi’an al-Ma’rifah ‘inda al-Ghazali, oleh Victor Said Basir (Jakarta: Pustaka Panji Mas Jakarta, 1990), 21. 18 Ahmad Ali Riyadi, Psikologi Sufi Al-Ghazali (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008), 7. 19 Irwan Kurniawan, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukasyafah Al-Qulub: Al-Muqarrib Ila Hadhrah ‘Allam Al-Ghuyub Fi ‘Ilm At- Tashawwuf, oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Pustaka , 1999), 12. 20 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 12.

5

beberapa masalah dalam dirinya. Dengan kesempurnaannya, ia dibekali akal untuk bertindak sesuai dengan kemampuan dan kondisi dirinya.21 Sebagaimana termaktub dalam QS.Al-Isra‟, ayat 70:

         . 

      “Dan sesungguhnya, kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkat mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. (QS. Al-Isra: 17).22

Manusia mempunyai sifat berkeluh-kesah, rasa tidak berdaya. Keraguan dalam bertindak, atau tergesa-gesa dalam bertindak. Semua itu akibat ketidakmampuannya mengambil suatu keputusan. Ketidakmampuan mengambil keputusan karena ia ketidakfahaman terhadap dirinya dan ketidakmengertian terhadap lingkungan di sekitarnya. Bagi mereka yang tersebut di atas akan timbul berbagai macam masalah. Masalah ini akan menjadi masalah selama individu masih terus mempermasalahkannya, tanpa ia berusaha untuk menyelesaikannya karena kita ketahui bahwa dari masalah yang satu akan muncul masalah yang lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa setiap kali ada kesulitan atau kesalahan, maka akan datang kemudahan dan perbaikan. Selama manusia itu mau berusaha dan mencapai jalan dan cara untuk menyelesaikannya. Cara dan jalan untuk dapat menyelesaikannya yaitu dengan konseling. Hakikat konseling tidak akan terlepas dan sangat berhubungan dengan hakikat manusia itu sendiri. Karena konseling marupakan suatu proses yang membantu permasalahan yang dialami dan dirasakan manusia.23 Dalam proses konseling, kepribadian seorang konselor sangat berperan. Dengan kepribadian

21 Abubakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling (Jakarta: Studia Press, 2006), 27. 22 Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985) 23 Abubakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, 28-29.

6

yang baik juga akan menjadikan hubungan konseling akan tercipta sangat harmonis.24 Al-Ghazali mengajukan tentang konsep manusia yaitu al-Nafs, al-Qalb, al- Ruh, dan al-Aql yang membentuk suatu kepribadian manusia. Dengan pendapat yang dikemukakan oleh al-Ghazali dapat menjadi rujukan seorang konselor agar konselor dapat memahami kepribadian dirinya, kepribadian klien berpatokan dengan hakikat manusia seutuhnya, mewujudkan kepribadian baik dan tidak melihat masalah klien dari kulit luarnya saja. Mengenal diri adalah kunci untuk mengenal Tuhan, sesuai dengan hadits:

“Siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya,” 25 Ketahuilah, tidak ada yang lebih dekat kepadamu kecuali dirimu sendiri. Jika kamu tidak mengetahui dirimu sendiri, bagaimana bisa mengetahui segala sesuatu yang lain.26Diharapkan setelah melalui proses konseling seorang klien bisa mengembangkan kepribadian muslim yang sempurna atau optimal (kaffah dan insan kamil) sesuai dengan tujuan konseling Islam itu sendiri.27 Penulis dalam hal ini mengangkat pemikiran al-Ghazali dengan mempertimbangkan bahwa pemikirannya dapat diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia. Keunikan pemikiran ini tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh lain. Karena itu penulis tertarik untuk menelisik lebih jauh tentang konsep kepribadian menurut al-Ghazali dan kontribusinya dalam proses konseling.

B. Permasalahan Pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana konsep kepribadian menurut al-Ghazali, agar seorang konselor memahami

24Abubakar Baraja, Psikologi Konseling dan Teknik Konseling, 55. 25 Dedi Slamet Riyadi dan Fauzi Bahreisy, Fauzi. Kimiya’ Al-Sa’adah (Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi), Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The Alchemy of Happiness” dengan merujuk pada edisi bahasa Arab, “Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah” oleh Imam Al- Ghazali (Jakarta: Penerbit Zaman, tt), 9. 26 Haidar Bagir, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The Alchemy of Happiness al-Ghazali, oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), 9. 27 Tohirin, Bimbingan dan Konseling Di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi) (Jakarta Rajawali Pers 2014), 36.

7

kepribadian dirinya, kepribadian klien untuk mewujudkan kepribadian baik melalui proses konseling? Pokok masalah ini lebih jauh dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana konsep kepribadian menurut al-Ghazali? 2. Bagaimana kontribusi konsep kepribadian al-Ghazali dalam proses konseling?

C. Batasan Masalah Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka penelitian ini di fokuskan pada satu permasalahan. Dimana hal ini untuk menghindari objek bahasan yang keluar dari koridor yang diharapkan. Oleh karena itulah dalam penelitian penulis membatasi masalah yang akan dibahas hanya tentang bagaimana konsep kepribadian menurut al-Ghazali dan kontribusinya dalam proses konseling. Penelitian ini hanya berbicara tentang konsep kepribadian menurut al- Ghazali dan bagaimana bentuk kontribusinya dalam proses konseling. Selain itu penelitian ini dibatasi dalam konteks pemikiran al-Ghazali.

D. Tujuan dan Kegunaan penelitian Penelitian ini secara umum diupayakan untuk mengetahuai konsep kepribadian menurut al-Ghazali dan kontribusinya dalam proses konseling. sedang secara khusus, penelitian ini diujukan untuk: 1. Mengetahui konsep kepribadikan menurut al-Ghazali. 2. Mengetahui bagaimana kontribusi konsep kepribadian menurut al-Ghazali dalam proses konseling. Lebih lanjut, penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai kegunaan yang bersifat teoritis dan juga praktis, yaitu: 1. Memberikan sumbangan yang berharga dalam memperkaya khazanah keilmuan Islam tentang konsep kepribadian menurut al-Ghazali. 2. Menambah pengetahuan bagi penulis baik itu secara teori dan praktek dalam penelitian.

8

3. Menjadi kontribusi keilmuan penulis terhadap UIN STS Jambi yang tengah mengembangkan paradigma keilmuan yang berwawasan global dalam bentuk Universitas Jambi. 4. Untuk melengkapi persyaratan guna untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam UIN STS Jambi.

E. Tinjauan Pustaka Al-Ghazali yang merupakan pemikir Islam ini secara mendalam telah mengkaji empat disiplin ilmu yang menunjukkan corak pemikirannya, yaitu ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu kebatinan dan ilmu tasawuf. Tidak heran jika banyak sekali tulisan-tulisan yang merujuk pada pemikiran al-Ghazali. Karya Muhammad Yasir Nasution yang berjudul Manusia Menurut al- Ghazali, yang memaparkan tentang rumusan al-Ghazali tentang manusia sebagai suatu realitas yang ada. Adapun masalah yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Hakikat dan struktur keberadaan manusia dalam pandangannya dan alasan yang mendasari pandangan itu. 2. Potensi yang paling esensial di dalam struktur keberadaan manusia. 3. Kemampuan manusia untuk mengetahui dan mewujudkan perbuatannya berdasarkan potensi yang dimilikinya. 4. Kesempurnaan manusia dan jalan yang harus ditempuh untuk mencapainya. 5. Hubungan antar substansi material manusia (badan) dan substansi immaterialnya (jiwa).28 Karya Imam al-Ghazali yang berjudul Mukhtashar Ihya Ulumuddin yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan dalam Mutiara Ihya Uhumuddin. Ini merupakan kitab yang paling popular di antara kitab-kitab klasik-tradisional dan menjadi rujukan utama bagi para penempuh jalan sufi. Ihya Ulumuddin atau Al- Ihya merupakan kitab yang membahas tentang kaidah dan prinsip dalam

28 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 6.

9

menyucikan jiwa yang membahas perihal penyakit jiwa, pengobatannya, dan mendidik hati.29 Karya Erit Aswadi yang berjudul Perbandingan Prespektif al-Ghazali dan Sigmund Freud Tentang Kepribadian Manusia Ditinjau dalam Prespektif Konseling. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep kepribadian manusia menurut al-Ghazali dan Sigmund Freud, serta kontribusinya dalam keilmuan konseling. Dalam pelaksanaan konseling, konsep al-Ghazali dan Sigmund Freud penting untuk diketahui serta dipahami oleh seorang konselor. Konsep ini adalah pengetahuan dasar bagi konselor.30 Karya Muhammad Shazlan Faidz Bin Roselan yang berjudul Konsep Bimbingan Kepribadian Tazkiyah Al-Nafs dalam Perspektif al-Ghazali. Karya ini mengkaji tentang nilai-nilai pembentukan karakter dan bimbingan kepribadian dengan konsep Tazkiyah Al-Nafs karya al-Ghazali yang berisikan tentang bimbingan, pengetahuan dan pelatihan.31 Karya Arianes yang berjudul Konsep al-Nafs dan al-Ruh Sebagai Media Pembinaan Akhlak al-Ghazali. Penelitain ini dilatar belakangi oleh sering terjadinya gangguan-gangguan dalam kehidupan masyarakat, hal ini tidak jarang muncul dari perbuatan-perbuatan manusia. Dalam karya ini penulis ingin mengemukakan konsep al-Nafs dan al-Ruh sebagai media pembinaan akhlak. Hasilnya penulis menemukan bahwa untuk mengurangi dan mengatasi antar gejolak pada media pembinaan akhlak ini terdapat hubungan antar pembinaan akhlak terahadap konsep al-Nafs dan al-Ruh menurut al-Ghazali. Sebab, di dalam konsep tersebut diajukan untuk mendekati diri kepada Allah melalui mujahad, riyhadat al-Nafs, dan tahzib al-akhlak.32

29 Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 5. 30 Erit Aswadi, “Prespektif al-Ghazali dan Sigmund Freud Tentang Kepribadian Manusia Ditinjau dalam Prespektif Konseling”, Skripsi (yogyakarta: universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta, 2012) 31 Muhammad Shazlan Faidz Bin Roselan, “Konsep Bimbingan Kepribadian Tazkiyah Al- Nafs dalam Perspektif al-Ghazali”, Skripsi (Jambi: UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018) 32 Arianes, “Konsep al-nafs dan al-ruh Sebagai Media Pembinaan Akhlak al-Ghazali”, skripsi (Jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2014).

10

Sebagai mana terlihat dari studi relevan ini bahwa belum ada diantara kajian ini yang membahas tentang Konsep Kepribadian Menurut al-Ghazali dalam Prespektif Konseling. Artinya, karya penulis tidaklah sama dengan karya di atas, penulis menyoroti konsep kepribadian menurut al-Ghazali saja dan bagaimana kontribusinya dalam proses konseling. Dengan demikian penelitian penulis adalah berbeda dan dapat ditinjau lebih jauh.

F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitain ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka.33 Menurut Abdul Rahman Sholeh, penelitian kepustakaan ialah penelitian yang menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di perpustakaan.34 Penelitian kepustakaan mengandalkan data-datanya hampir sepenuhnya dari perpustakaan sehingga penelitian ini lebih populer dikenal dengan penelitian kualitatif deskriptif kepustakaan atau penelitian bibliografis dan ada juga yang mengistilahkan dengan penelitian non reaktif, karena ia sepenuhnya mengandalkan data-data yang bersifat teoritis dan dokumentasi yang ada di perpustakaan.35 2. Sumber dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, karena itu sumber data dalam penelitian ini bersumber dari perpustakaan, seperti buku-buku yang ada relevansinya dengan penelitian ini, dokumen, catatan kisah-kisah sejarah, jurnal ataupun skripsi. Jenis data digunakan dalam penelitian ini dapat peneliti klasifikasikan dalam dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang secara langsung memiliki keterkaitan dan hubungan langsung dengan topik

33 Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 31. 34 Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangan untuk Bangsa (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 63. 35 Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif (Jakarta: Referensi, 2013), 6.

11

bahasan penelitian. Adapun sumber sekunder merupakan karya yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini. a. Data primer Penyuguhan data primer penulis menggunakan karya-karya al-Ghazali, salah satunya yaitu Mutiara Ihya‟ Ulumuddin terjemahan Irwan Kurniawan dan Ihya‟ Ulumiddin Jiwa Agama terjemahan Ismail Yakub cetakan Kuala Lumpur, kimiya’ al-sa’adah terjemahan Dedi Slamet Riyadi dan Fauzi Bahreisy. b. Data sekunder Adapun sumber data sekunder penulis menggunakan yang berkaitan dengan bahasan, seperti Manhaj al-Bahtsi’an al-Ma’rifah ‘Inda al-Ghazali (al-Ghazali mencari makrifah) terjemahan Ahmadie Thaha, Tahdzib Al-Akhlaq Wa Mu’alajat Amradh Al-Qulub (mengobati penyakit hati membentuk akhlak mulia) terjemahan Muhammad Al-Baqir, Manusia Menurut al-Ghazali Karya Muhammad Yasir Nasution, Kepribadian dalam Psikologi Islam karya Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam karya Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, dan buku tentang konseling. 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Menela‟ah buku yang berkaitan dengan konsep kepribadian karya al-Ghazali. b. Memisahkan antara data primer dan sekunder. c. Menela‟ah buku-buku tokoh yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti dengan merujuk kepada referensi yang tersedia dilingkungan akademik UIN STS Jambi. 4. Metode Analisis Data Setelah data dikumpulkan, maka diadakan analisis data-data. Oleh karena itu, penulis menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis sebagai berikut: a. Analisis historis adalah menjelaskan tentang sejarah masa lampau. Dalam hal ini penulis menganalisis sejarah yang berkaitan dengan riwayat hidup al- Ghazali dan pemikirannya.

12

b. Analisis deskriptif adalah menjelaskan apa adanya dengan mengutip dan menyalin beberapa pemikiran al-Ghazali dan para tokoh yang menelaah pemikiran al-Ghazali, Kemudian memaparkan permasalahan yang lebih konkrit. c. Analisis isi adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media masa.

G. Sistematika Penelitian Untuk mensistematisasikan penelitian dan menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, maka penelitian merujuk pada tekhnik penelitian yang disepakati pada fakultas dakwah UIN STS Jambi. Penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab. Bab I membahas tentang latar belakang masalah, permasalahan, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penelitian. Bab II membahas tentang riwayat hidup al-Ghazali, kemasyhurannya, perkembangan pemikiran al-Ghazali, karya-karya al-Ghazali. Bab ini diarahkan untuk melihat latar belakang kehidupan dan pemikiran al-Ghazali. Bab III membahas tentang hakikat manusia, kedudukan hati, ruh, akal dan jiwa, jiwa manusia menurut al-Ghazali serta mengetahui akhlak baik. Bab IV merupakan bahasan inti, yang diuraikan untuk menjelaskan tentang konseling dan bagaimana kontribusi konsep kepribadian menurut al-Ghazali dalam proses konseling. Bab V, merupakan penutup penelitian, berisikan bahasan tentang kesimpulan akhir penelitian, saran-saran, yang akan mengakhiri penelitian.

BAB II BIOGRAFI AL-GHAZALI

Bab ini akan membahas tentang riwayat hidup al-Ghazali, yang akan mengulas perjalanan hidup al-Ghazali hingga akhir hayatnya. Kemudian akan membahas kemasyurannya untuk mengetahui pihak yang pro dan yang kontra terhadap pemikirannya. Selanjutnya perkembangan pemikiran al-Ghazali, dan yang terakhir akan menyebutkan karya yang dihasilkan dari pemikirannya.

A. Riwayat Hidup Al-Ghazali dengan nama Zainuddin, Hujjatul Islam Abu Hamid, Muhammad Bin Muhammad al-Ghazali Ath-Thusi An-Nasysaburi, Al-Faqih Ash- Shufi, Asy-Syafi‟i, Al-Asy-Ari.36 Terkenal dengan nama Muhammad bin Ahmad al-Ghazali mendapat gelar imam besar Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam. Al- Ghazali berasal dari kata Ghazalah nama kampung al-Ghazali dilahirkan, adapun pendapat lain al-Ghazali berasal dari kata Ghazzal al-Shuf berarti pemintal benang wool, profesi ayah al-Ghazali.37 Dilahirkan di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia pada tahun 450 H/ 1058 M. Ia keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu ayahnya selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar urain alim ulama itu maka ayah al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah Swt. Kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu.38 Akan tetapi belum sempat menyaksikan (menikmati)

36 Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Al-Ghazali, 9. 37 Ahmadie Thaha, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 7. 38 Ismail Yakub, Ihya’ Ulumiddin Jiwa Agama Jilid 1, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Ihya’Ulumiddin, oleh Imam Al-Ghazali , 24.

13

14

jawaban Allah (karunia) atas doanya, ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih usia anak-anak. Sejarah sendiri tidak memberikan keterangan dan takdir telah membuat ibu al-Ghazali tidak dikenal masa. Akan tetapi sang ibu menyaksikan apa yang tidak disaksikan oleh suaminya ketika anaknya menjadi matahari dunia yang terbit di ufuk kejayaan dan keagungannya, serta sang anak kala itu menduduki posisi yang terhormat di bidang ilmu pengetahuan.39 Sebelum meninggal dunia, ayah al-Ghazali pernah menitipkan kedua anaknya (seorang di antara adalah Muhammad, yang kemudian dijuluki al- Ghazali), kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengungkap kalimatnya bernada menyesal: “[N]asib saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anak- anakku ini, peliharalah mereka dan pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar mereka”. Kasih sayang ibu menjadi modal utama pendorong moral bagi mereka untuk belajar terus. Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi sang sufi untuk memberi nafkah kepada mereka berdua, sang sufi pun berkata: “[K]etahuilah bahwa saya telah membelanjakan bagi kalian, seluruh harta peninggalan ayahmu. Saya seorang miskin dan bersahaya dalam hidupku. Saya kira hal yang terbaik yang dapat kalian lakukan ialah masuk ke dalam sebuah madrasah sebagai . Dengan jalan ini kalian akan mendapatkan gambaran untuk kelangsungan hidupmu”. Kedua anak tersebut berlaku demikian dan ini menjadi sebab dari kebahagiaan dan tercapainay cita-cita luhur mereka.40Pada masa kecilnya al- Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad Bin Muhammad Ar-Razikani41 dan mempelajari ilmu tasawuf kepada yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian al-Ghazali memasuki sekolah tinggi

39 Sulaiman Dunya, Al Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2002), 38. 40 Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 7-8. 41 Ismail Yakub, Ihya’ Ulumiddin Jiwa Agama Jilid 1, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Ihya’Ulumiddin, oleh Imam Al-Ghazali , 24.

15

Nidhamiyah, dan di sinilah ia bertemu dengan Imam Haramain. Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut: [A]l-Ghazali mempelajari ilmu fiqih, mantiq, dan ushul, dan dipelajarinya antara lain: filsafat dari risalah-risalah Ihwanus Shofa karangan Al-Farabi, Ibnu Maska Waih. Sehingga dengan melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, al- Ghazali dapat menyelami paham-paham Aristoteles dan pemikir Yunani yang lain. Juga ajaran-ajaran Imam Syafi‟i, Harmalah, Jambad, Al-Muhasidi dan lain-lain, bukan tidak berbekas pada pendidikan al-Ghazali. Begitu juga Imam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-Qusyairi yang terkenal dan sahabat As- Subkhi, besar jasanya dalam mengajar ilmu tasawuf pada al-Ghazali. Ia mempelajari juga agama-agama lain seperti agama Masehi.

Al-Ghazali sanggup bertukar pikiran dengan segala aliran dan agama, serta menulis beberapa buku di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, sehingga keahliannya itu diakui dapat mengimbangi gurunya yang sangat dihormatinya itu. Dalam usianya yang baru mencapai 28 tahun, al-Ghazali telah menggemparkan kaum sarjana dan ulama dengan kecakapannya yang luar biasa. Di Naishabur ia telah menghidupkan paham skeptisme yang dianut oleh para sarajan Eropa pada masa berikutnya.42 Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang yang cinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa kesulitan. Al-Ghazali hidup dimasa kacau dan situasi genting, pertentangan antar golongan semakin menjadi-jadi dan gerakan Bathini (kebatinan) semakin leluasa. Sementara itu golongan Syi’ah telah menguasai kota Baghdad yang dipimpin Thaghr Al-Baughd. Perdana menteri Nidzam al-Mulk mendirikan beberapa lembaga pendidikan. Terbesar diantaranya Universitas Nidhamiyah. Nidzam al- Mulk berusaha menyeberluaskan ilmu-ilmu agama dan filsafat.43 Kemudian pada tahun 483 H/ 1090 M, di angkat menjadi guru besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tugas dan tanggung jawabnya itu ia laksanakan dengan sangat baik. Selama di Baghdad. selain mengajar, ia juga mengadakan bantahan-batahan terhadap pikiran-pikiran golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat, dan lain-lainnya.

42 Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 8. 43 Ahmadie Thaha, al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 1.

16

Para mahasiswa sangat gemar dengan kuliah-kuliah yang disampaikan al- Ghazali karena begitu dalam dan luas ilmu pengetahuan yang ia miliki. Para mahasiswa dan sarjana yang tidak kurang jumlahnya dari 300 sampai 500 orang seringkali terpukau pada kuliah-kuliah yang disampaikan. Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan pandangannya, sehingga tidak heran jika ia menjadi sangat masyhur dan popular dalam waktu yang relatif tidak lama. Al-Ghazali telah menelan seluruh paham, aliran dan ajaran-ajaran firqah, thaifah, dan filsafat. Kesemuanya itu menimbulkan pergolakan dalam otaknya sendiri, karena tidak ada yang memberikan kepuasan batinnya, sehingga ia ragu kepada kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi untuk mengetahui hakikatnya.44 Naiklah derajatnya di kalangan para penguasa, para menteri, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pemegang kendali kekhalifahan saat di Bagdad. Kemudian di sisi lain, keadaannya terbalik. Maka ia meninggalkan Bagdad, meninggalkan semua kedudukannya, dan menyibukkan dirinya dengan ketakwaan. Pada tahun 489 H ia pergi ke Damaskus dan tinggal di situ selama beberapa waktu. Kemudian, dari Damaskus ia pergi ke Bait Al-Maqdis, dan mulai menulis bukunya, Al-Ihya. Ia mulai berjihad melawan nafsu, mengubah akhlak, memperbaiki watak, dan menempa hidupnya45. Setelah itu bergeraklah hatinya untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian ia pulang ke Negara kelahiranya. Al-Ghazali di samping rumahnya mendirikan madrasah untuk para fukaha dan kamar-kamar untuk para sufi. Ia membagi waktunya untuk mengkhatamkan al-Qur‟an, berdiskusi dengan ulama lain, mengkaji ilmu, sambil terus melaksanakan salat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya hingga kembali ke rahmatullah. Ia wafat di Thus pada hari senin tanggal 14 Jumadil akhir 505 H/ 19 Desember 1111 M, pada umur 55 tahun. Abu Al-Faraj Al-Jawzi dalam kitabnya, Ats-Tsabat ‘Inda Al-Mamat, mengatakan bahwa Ahmad, adik Imam al-Ghazali berkata:

44Zainuddin, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 9. 45 Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 10.

17

[P]ada hari Senin subuh, kakaku, Abu Hamid, berwudhu dan salat, lalu berkata, „ambilkan untukku kain kafan.‟ Ia mengambilnya dan menciumnya, lalu melakukannya di atas kedua matanya. Ia berkata, „aku mendengar dan aku taat untuk menemui al-Malik.‟ Kemudian, ia menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. Tak lama, ia meninggal dunia menjelang matahari terbenam”.46

Al-Ghazali meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid yang telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya al-Ghazali, karena anak inilah, ia digelarkan “Abu Hamid” (bapak si Hamid).47

B. Kemasyhurannya Sesuatu yang wajar dan menjadi kebiasaan umat manusia sepanjang sejarah, bahwa seorang pemikir yang kontroversial adalah dikutuk dan dipuji. Demikian pula al-Ghazali, ia adalah seorang tokoh dan pemikir dalam berbagai disiplin (universalist) yang terkenal sepanjang masa, banyak kawan yang sepaham dan banyak pula lawan yang menentang, diagungkan dan dicaci maki, dibela dan dibenci. Mereka yang menyanjung setinggi langit memberikan komentar; tanpa kehadirannya, ilmu-ilmu agama, akhlak dan tasawuf pada abad belakang ini telah lama pudar cahayanya. Oleh karena itu al-Ghazali biasa dipanggil dengan beberapa nama julukan, di antaranya: Hujjatul Islam, bapak ahli tasawuf, pembela ahli sunnah Wal jama‟ah dan pemelihara tauhid pemusnah syirik.48 Dr. Zwemmer, mustasyrid (orientalis) Inggris yang cukup berpengaruh pernah menempatkan al-Ghazali sebagai salah satu dari empat orang pilihan pihak Islam dari zaman Rasulullah Saw, sampai zaman kita sekarang ini, yakni: pertama Muhammad sendiri, kedua al-Bukhari, ketiga al-Asy-Ari dan keempat al- Ghazali. Demikian itu masih banyak para sarjana, ulama maupun pengikutnya

46 Mahfudli Sahli, Dibalik Ketajaman Mata Hati, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukasyafatul Qulub, oleh Imam Al-Ghazali (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), 13. 47 Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 10. 48 Ibid, 11.

18

yang berlebih-lebihan dalam memujanya, sehingga hanya ditampilkan kebaikan, kebesaran dan kelebihannya saja dengan cara yang melampaui batas kewajaran. Sebaliknya, mereka yang amat tajam mengkritik al-Ghazali mengatakan: “[D]osa besar, kemunduran umat Islam dalam bidang duniawi dan ilmu filsafat adalah atas tanggung jawab beliau, karena menganjurkan hidup secara sufi dan zuhud serta uslah”. Oleh karena itu, al-Ghazali dikecam dengan kata-kata yang tajam dan pedas, seumpama: Ghazali musuh dan musuh ahli pikir, pengebiri kemerdekaan bepikir yang berani, dari zaman Ghazali-lah bertolak kemunduran Islam, al-Ghazali anti ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu kimia, matematika dan filsafat, karena semuanya menurut pendapat al-Ghazali menjurus ke arah anti Tuhan atau atheisme. Tidak sedikit pula ulama-ulama besar yang juga memberi kecaman yang tajam terhadap al-Ghazali dari berbagai segi, antara lain: Ibnu Rusyd (filosof sekaligus ulama) menghantamnya habis-habisan di lapangan ilmu filsafat, karena bukunya Tahafut Al Falasifah, Ibnu Taimiyah (ulama salaf) mengupas pendiriannya di lapangan ilmu tasawuf dan dianggapnya sangat menyesatkan, Ibnu Qoyyim (pakar fiqh Islam) menyalahkannya di lapangan ilmu-ilmu hukum, karena fatwa-fatwanya yang banyak menolak dan berlawanan dengan Syari‟at.49 Pertentangan al-Ghazali dan filosof-filosof Islam adalah pertentangan penafsiran teolog dan penafsiran filosof. Penafsiran yang diberikan filosof-filosof Islam tentang beberapa soal keagamaan berbeda dengan yang diberikan al- Ghazali, penafsiran filosof Islam lebih liberal dari penafsiran al-Ghazali yang menganut Asy‟ariyah. Simposium tentang al-Ghazali yang diselenggarakan oleh BKSPTIS (Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta) di Jakarta, tanggal 26 Januari 1985, telah menjawab kecaman-kecaman dan sebagai kritik-kritik tersebut, antara lain: Prof. Dr. Harun Nasution berkesimpulan: maka sebab tidak berkembangnya pemikiran filsafat di dunia Islam sunni sesudah jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII, tidaklah bisa diletakkan pada serangan al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof sebagai terkandung dalam Tahafut Al Falasifah itu.

49 Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 12.

19

Dr. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif pada kesempatan itu juga menyatakan: al- Ghazali bukanlah tokoh yang menyebarkan benih anti intelektualisme, sebab ia hanyalah menyerang dengan tuntas aspek metafisik dari filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina, terutama diserangnya dari aspek metafisik ini. Ia tidak pernah menantang logika atau penggunaan penalaran, yang ia tentang adalah klaim akal untuk mengetahui seluruh kebenaran.50 Terlepas dari itu semuanya, baik kawan maupun lawan, yang pro maupun yang kontra, yang memuji atau yang mencaci, al-Ghazali tetap memiliki sosok kepribadian yang mulia, penuh kharismatik, kehidupan yang shaleh, ketakwaan yang tinggi dan jasanya yang besar. Banyak orang besar dalam sejarah, tetapi ia besar hanyalah dalam (satu spesialisasi) bidangnya, sedangkan bidang lainnya dia tidak tahu sama sekali. Al-Ghazali tidaklah demikian halnya, ia memiliki keahlian dan kepandaian, otoritasnya pada disiplin ilmu sangat representatif dalam segala bidang, ketenarannya sempat menerobos dunia musyik hingga maghrib. Syekh Musthofa Al-Maraghi mengakui al-Ghazali ahli di dalam berbagai lapangan pengetahuan, yaitu ahli ilmu ushul yang mahir, ahli fiqih yang berpikiran merdeka, ahli teologi yang menjadi iman ahli sunnah, ahli sosiologi yang luas pengetahuannya tentang masyarakat, ahli psikologi yang luas pandangannya tentang rahasia jiwa manusia, ahli filsafat yang berani membongkar segala kesalahan filsafat, ahli pendidikan yang ulung, dan seorang sufi yang sangat zuhud. Bahkan, kalangan ilmuan Barat sekarang, masih tetap mengakui jasa dari al-Ghazali beserta pemikir-pemikir muslim lainnya dalam peranannya terhadap peradaban Barat. Oleh karena itu al-Ghazali sering diberi gelar Mujaddin atau pembaru sekaligus pembangun Agama.51 Menurut pengkajian Abul A‟la Al-Maududi, ada delapan segi amaliah pembaruan yang dilakukan al-Ghazali pada masa hidupnya yaitu: 1. Pengkajian filsafat Yunani dengan cara yang mendalam dan teliti lalu mengemukakan kritik yang tajam, yang kemudian dimasukkannya ke dalam hati dan jiwa kaum muslim.

50 Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 13. 51 Ibid, 14.

20

2. Meluruskan kekeliruan yang terjadi akibat upaya perbaikan yang dilakukan oleh ulama mutakallimin yang kurang menguasai logika. 3. Menjelaskan akidah-akidah Islam dan prinsip-prinsip melalui logika yang tidak bertentangan dengan filsafat dan ilmu logika yang berkembang saat itu. Al- Ghazali juga berusaha menjelaskan berbagai hikmah dan rahasia syari‟at dan ibadat dalam rangka meluruskan pendapat masyarakat, yang selama ini diracuni suatu keyakinan bahwa agama mereka sudah tidak sesuai lagi dengan akal. 4. Menentukan semua aliran keagamaan yang ada pada masanya, serta berusaha mempertemukan segi-segi perbedaan mereka 5. Memperbarui pemahaman keagamaan umat dan menyatakan ketidakbergunaan keimanan seseorang yang tidak disertai dengan komitmen batin, mengikis habis taklid buta di kalangan mereka dan berusaha mendorong umat agama agar kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah yang bersih serta menghidupkan kembali semangat ijtihad. 6. Melakukan kritik terhadap sistem pendidikan dan pengajaran yang telah usang, menggantikannya sistem baru. Dalam sistem pendidikan dan pengajaran lama itu terdapat dua kelemahan; pertama, polarisasi ilmu agama dan ilmu umum yang tidak mustahil akan menyebabkan umat akan menerapkan sekularisasi, pandangan dikotomi semacam ini, menurut al-Ghazali jelas amat keliru. Kedua, masuknya berbagai hal yang di atas memiliki syari‟at yang pada hakikatnya tidak memiliki kaitan apa pun dengan syari‟at, yang bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keagamaan dalam masyarakat yang menjurus pada kesesatan. 7. Mengkaji moral umat dengan pengkajian yang mendalam, al-Ghazali memang memiliki kesempatan yang amat luas untuk mengungkapkan kehidupan para ulama, tokoh-tokoh agama, umara, pangeran-pangeran dan orang awam.52 Gelar hujjatul Islam dari dunia Islam kapada al-Ghazali, dapat diartikan bahwa umat Islam umumnya mengakui bahwa amal dan ilmu al-Ghazali selama

52 Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 15-16.

21

hidupnya merupakan suatu hujjah, pembelaan yang berhasil menentang anasir luar yang membahayakan kepercayaan umat Islam. Melalui pengetahuan mistiknya yang mendalam ia berhasil mengawinkan prinsip-prinsip filsafat dan mistik ke dalam sistem teologinya. Atau barangkali di sinilah letak kebesaran dan kemasyhuran al-Ghazali, yakni dalam mencari suatu sintesa yang mantap antara unsur-unsur yang bertentangan dalam khazanah intelektual skolastik Islam. Segala sesuatu apabila telah mencapai kesempurnaan dan kebesarannya, maka tampaknyalah ia di mana kekurangannya. Abul A‟la Al- Maududi mengoreksi gerakan pembaruan yang dilakukan al-Ghazali dari segi pandangan ilmiah memiliki tiga kelemahan utama: pertama, kelemahan beliau dalam segi pemahaman ilmu hadits (segi selektifitas pemakain hadits). Kedua, kuatnya pengaruh logika dalam dirinya. Ketiga, terlihat terlalu dalam amaliah yang mengarah pada tasawuf.53

C. Perkembangan Pemikiran al-Ghazali Sejarah hidup al-Ghazali yang menarik perhatian adalah kedahagaan terhadap segala pengetahun serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencapai hakikat kebenaran segala sesuatu yang tidak pernah puas. Pengalaman pengembangan intelektual dan spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu kalam ke filsafat, kemudian ke dunia batiniah dan akhirnya membawanya kepada tasawuf. Inilah sebabnya untuk memahami kejelasan pola pemikiran dan corak hidupnya, sering mengalami kesulitan sebagaimana dinyatakan A. Hanafi, M.A: oleh karena itu pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan semasa hidupnya dan penuh keguncangan batin sehingga sukar diketahui kejelasan corak pemikirannya, seperti terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran akidah pada masanya. Kontradiksi pikiran al-Ghazali juga sangat di pengaruhi oleh perkembangan pikirannya, seperti yang dikatakan oleh Dr. Zaki Mubarak, yaitu: perbedaan tersebut disebabkan perkembangan pikiran al-Ghazali mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi

53 Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 17.

22

guru, bahkan guru yang benar-benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus kuat, menguasai dan menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya. Al-Ghazali hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat perkembangannya yang tinggi. Pemikiran-pemikiran tidak berhenti sebagai hasil olah-budi individual, tetapi berkembang menjadi aliran-aliran dengan metode dan sistemnya masing-masing. Pemikir yang sezaman dengan al-Ghazali, menggambarkan betapa banyaknya aliran pemikiran di dunia Islam pada waktu itu. Setiap aliran, menurut al-Ghazali mengklaim kebenaran pada dirinya, yang dengan sendirinya menempatkan aliran yang lain pada kedudukan yang tidak benar.54 Al-Ghazali menggolong-golongkannya berdasarkan cara masing-masing menemukan kesimpulan (kebenaran). Berdasarkan ini, menurutnya ada empat aliran yang popular pada masanya, yaitu: mutakallimun, para filosof, al-ta’lim, dan para sufi. Dua yang pertama dalam usaha mencapai kebenaran, menggunakan akal, walaupun antara keduanya terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal itu; golongan yang ketiga menekankan orientasi imam; dan yang terakhir menggunakan al-dzawq (intuisi).55 Al-Ghazali memperhatikan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya, ia merasa bahwa pengetahuan-pengetahuan itu tidak mencapai tingkat kebenaran dan keyakinan, kecuali (mungkin) yang tergolong al-hissiyyat (yang diperoleh melalui indera) dan al-dharurriyah (yang bersifat a priority dan aksiomatis). Sebab, kedua jenis pengetahuan ini tidak berasal dari orang lain, tetapi berasal dari diri subjek sendiri.56 Al-Ghazali menguji pengetahuan inderawi dan melihat bahwa pengetahuan itu tidak terlepas dari kemungkinan tersalah. Akal, ternyata dapat membuktikan kesalahan-kesalahan inderawi. Bayangan-bayangan benda yang dalam pandangan mata, diam, ternyata dengan pengamatan dan eksperimen, akal menyimpulkan bahwa bayangan-bayangan itu bergerak. Dengan demikian, kepercayaan al-

54 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 17-18. 55 Ibid, 19. 56 Ibid, 33.

23

Ghazali kepada pengetahuan inderawi hilang. Kepercayaan selanjutnya tertumpu pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal, seperti pengetahuan aksiomatis yang bersifat a priori sebab, akal telah berhasil memperlihatkan kelemahan indera. Kepercayaan terhadap akal goncang kembali ketika ia memikirkan apa dasar yang membuat akal dipercaya. Kalau ada dasar yang membuat akal percaya, maka dasar itulah sesungguhnya yang lebih dipercaya, sebagaimana halnya akal menjadi dasar kepercayaan terhadap indera. Ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan yang sulit diselesaikan dengan akal. Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang bertentangan itu. Ketika itu ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual.57 Kemungkinan adanya sumber pengetahuan supra-rasional itu diperkuat oleh al-Ghazali dengan adanya pengakuan para sufi bahwa pada situasi-situasi tertentu, mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal, dan dengan hadits yang menyatakan bahwa manusia sadar dari tidurnya sesudah mati. Jadi, berdasarkan pengetahuan para sufi dan hadits, ada situasi di luar situasi normal di mana kesadaran manusia lebih tajam. Ia berhadapan dengan dua kemungkinan tentang ada atau tidaknya sumber pengetahuan yang lain di dunia ini. Al-Ghazali mengalami puncak kesangsiannya, ia tidak lagi mempunyai sumber-sumber pengetahuan yang dapat dipercayai untuk menemukan jalan keluar, sebab ia telah menyangsikan segalanya; taqlid, indera dan akal. Menurut pengakuan al-Ghazali sendiri, hampir dua bulan ia mengalami kekacauan psikologis tanpa kemampuan menyelesaikannya. Hanya dengan cahaya yang diberikan Tuhan dengan tiba-tiba ke dalam hatinya, ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis itu kembali.58 Pengakuan al-Ghazali tentang proses kesangsiannya adalah rasionalisasi dari perkembangan pemikirannya. Semangat yang menawarkannya adalah

57 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 33. 58 Ibid, 34.

24

semangat al-Ghazali sesudah perkembangan pemikirannya yang terakhir yaitu tasawuf, yang ingin dikemukakannya dengan menceritakan proses kesangsian ini adalah bahwa intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Pengetahuan yang lebih tinggi kebenarannya adalah yang diperoleh melalui cahaya (nur) yang dilimpahkan Tuhan ke dalam hati manusia. Sumber pengetahuan tertinggi tersebut disebutnya juga al-nubuwwat yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham. Hakikat al-nubuwwat tidak dapat digambarkan, sebab ia hanya dapat dimengerti melalui pengalaman langsung. al-nubuwwat sifatnya sangat individual dan tergantung kepada kepercayaan. Artinya, orang yang mengalaminya dapat meyakini kebenarannya secara mutlak, tetapi orang lain belum tentu mempercayainya. Dengan demikian, al-nubuwwat adalah hasil pengalaman individu untuk kepentingan individual pula. 59 Tasawuf, dalam pencarian hakikat tidak akan tercapai dengan pengetahuan saja, tetapi selain itu harus dengan pengalaman langsung. Kesimpulannya, dengan tasawuflah pengenalan langsung tentang hakikat itu dapat dicapai. Sufilah yang lebih dekat dengan Tuhan; akhlak merekalah yang lebih bersih; cara hidup merekalah yang lebih benar; gerak dan diam mereka lahir dari jiwa yang disinari nur nubuwwat.60

D. Hasil-hasil karyanya Al-Ghazali telah menulis puluhan buku, meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan antara lain: filsafat, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh, tafsir, tasawuf, akhlak dan otobiografinya. Di dalam muqaddimah kitab Ihya’ Ulumuddin, Dr. Badawi Thabana, menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab, yang penulis susun menurut kelompok ilmu pengetahuan sebagai berikut:61 1. Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi: a. Maqashid Al Falasifah (tujuan para filosof)

59 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 36. 60 Ibid, 41. 61 Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 19-20.

25

b. Tahafut Al Falasifah (kerancuan para filosof) c. Al Iqtishod Fi Al-I’tiqad (moderasi dalam aqidah) d. Al Munqid Min Al-Dhalal (pembebas dari kesesatan) e. Al Maqashidul Asna Fi Ma’ani Asmillah Al-Husna (arti nama-nama Tuhan yang hasan) f. Faishalut Tafriqah Bainal Islam Waz Zindiqah (perbedaan antara Islam dan zindiq) g. Al Qishasul Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat) h. Al-Mustadhiri (penjelasan-penjelasan) i. Hujjatul Haq (argumen yang benar) j. Mufsiluk Khilaf Fi Ushuludin (memisahkan perselisihan dalam ushuluddin) k. Al Muntahal Fi ‘Ilmil Jidal (tata cara dalam ilmu diskusi) l. Al Madhnun Bin ‘Ala Ghairi Ahlihi (persangkaan pada bukan ahlinya) m. Mahkum Nadlar (metodelogika) n. Asraat ‘Ilmiddin (rahasia ilmu agama) o. Al Arba’in Fi Ushuluddin (40 masalah ushuluddin) p. Iljamul Awwam ‘An ‘Ilmil Kalam (menghalangi orang awam dari ilmu kalam) q. Al Qulul Jamil Fir Raddi Ala Man Ghayaral Injil (kata yang baik untuk orang-orang yang mengubah injil) r. Mi’yarul ‘Ilmi (timbangan ilmu) s. Al Intishar (rahasia-rahasia alam) t. Isbatun Nadlar (pemantapan logika). 2. Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqh, yang meliputi: a. Al Bastih (pembahasan yang mendalam) b. Al Wasith (perantara) c. Al Wajiz (surat-surat wasiat) d. Khulashatul Mukhthashar (intisari ringkasan karangan) e. Al Mustasyfa (pilihan) f. Al Mankhul (adat kebiasaan)

26

g. Syifakhul ‘Alil Fi Qiyas Wat Ta’lil (penyembuh yang baik dalam kiyas dan ta‟lil) h. Adz-Dzari’ah Ila Makarimis Syari’ah (jalan kapada kemuliaan syari‟ah) 3. Kelompok ilmu akhlak dan tasawuf, yang meliputi:62 a. Ihya ‘Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama) b. Mizanul Amal (timbangan amal) c. Kmiyaus Sa’adah (kimia kebahagiaan) d. Misykatul Anwar (relung-relung cahaya) e. Minhajul ‘Abidin (pedoman beribadah) f. Ad-Dararul Fakhirat Fi Kasyfi Ulumil Akhirat (mutaiara penyingkap ilmu akhirat) g. Al-Ainis Fil Wahdah (lembut-lembut dalam kesatuan) h. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wa Jalla (mendekatkan diri kepada Allah) i. Akhlah Al Abrar Wan Najat Minal Asrar (akhlak yang luhur dan menyelamatkan dari keburukan) j. Bidayatul Hidayah (permulaan mencapai petunjuk) k. Al Mahadi Wal Ghayyah (permulaan dan tujuan) l. Talis Al-Iblis (tipu daya iblis) m. Nashihat Al Mulk (nasihat untuk raja-raja) n. Al-‘Ulum Al Laduniyyah (ilmu-ilmu laduni) o. Al-Risalah Al Qudsiyah (risalah suci) p. Al-Ma’khadz (tempat pengambilan) q. Al Amali (kemuliaan). 4. Kelompok ilmu tafsir, yang meliputi: a. Yaaquutut Ta’wil Fi Tafsirit Tanzil (metodologi ta‟wil di dalam tafsir yang diturunkan) : terdiri 40 jilid b. Jawahir Al-Qur’an (rahasia yang terkandung dalam al-qur‟an).

62 Zainuddin, Seluk-Sebluk Pendidikan dari Al-Ghazali, 20.

27

BAB III KONSEP KEPRIBADIAN MENURUT AL-GHAZALI

Bab ini akan diawali dengan membahas hakikat manusia, pembahasan ini sebagai pengantar untuk pembahasan berikutnya. Dalam hal ini al-Ghazali menggunakan empat term untuk hakikat manusia yaitu hati (al-Qalb), ruh (al- Ruh), akal (al-Aql) dan jiwa (al-Nafs). Setelah mengetahui fungsi dan kedudukannya, selanjutnya akan membahas tentang jiwa manusia yang terbagi menjadi tiga yaitu, jiwa ammarah, jiwa lawwamah serta jiwa muthma’innah. Dan yang terakhir akan membahas tentang akhlak baik.

A. Hakikat Manusia Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakan dari yang lainnya. Manusia dipandang sebagai makhluk historis; karena mempunyai sejarahlah ia berbeda dengan makhluk-makhluk lainya. Al-Ghazali dalam buku-buku filsafatnya menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu al-Nafs (jiwanya). 63Yang dimaksud dengan al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat, dan merupakan tempat pengetahuan-pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) berasal dari alam al-malakut atau ‘alam al-amr. Ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab, fisik sesuatu yang mempunyai tempat dan fungsi, fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri; keberadaannya tergantung kepada fisik. alam al-malakut atau ‘alam al-amr adalah realitas-realitas (al-mawjudat) di luar jangkauan indera dan imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Dengan demikian, esensi manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subjek yang mengetahui.

63 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 50.

27 28

Pembuktian adanya substansi immaterial yang disebut al-nafs, al-Ghazali mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya, apabila al-nafs tidak ada. Sebab, seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (mawjud) yang dapat memahaminya.64 Yang mempunyai kemampuan memahami bukanlah fisik manusia, sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, objek-objek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami. Al-Ghazali juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesadaran langsung. Melalui pembuktian bahwa dengan kenyataan faktual, al- Ghazali memperlihatkan bahwa di antara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan al-Ghazali mengandaikan seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya, sehingga ia berbeda dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Menurut al-Ghazali ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya, yaitu kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada; bahwa ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut al-nafs al- insaniyyah. Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.65 Al-Ghazali menggunakan berbagai term untuk esensi manusia selain al- Nafs, ia juga menyebutnya al-Qalb, al-Ruh dan al-Aql. Ia menyebut keempat term itu sebagai al-alfazh al-mutaradifah (kata-kata yang mempunyai arti yang sama). Penggunaan term-term yang empat itu untuk menunjukkan esensi manusia, mungkin sekali didasarkan keinginan mempertemukan konsep-konsep filsafat, tasawuf, dan syara’ (sumber-sumber ajaran islam). Sebab, term al-Nafs dan al-Aql sering digunakan para filosof, sedangkan al-Ruh dan al-Qalb sering digunakan para sufi. Di dalam Al-Qur‟an, al-Ruh, al-Nafs dan al-Qalb dipergunakan untuk kesadaran manusia. Esensi manusia memang bersifat sangat rahasia dalam arti, kebanyakan akal manusia tidak dapat menangkap hakikatnya.66

64 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 51. 65 Ibid, 52. 66 Ibid, 60-61.

29

B. Kedudukan Hati, Ruh, Akal dan Jiwa 1. Hati (al-Qalb) Kata hati (al-Qalb) memiliki dua makna yaitu: pertama, hati berarti daging berbentuk pohon cemara yang ada di bagian kiri dada. Di dalamnya terdapat rongga yang dialiri darah berwarna hitam. Ia merupakan sumber dan pusat ruh. Dengan bentuk ini, daging tersebut juga ada di dalam tubuh hewan dan orang mati. Kedua, hati adalah sesuatu yang mengandung lathifah rabbaniyah ruhaniyah. Lathifah inilah yang mengetahui Allah Swt dan menjangkau sesuatu yang tidak bisa dijangkau kekuatan imajinasi dan ilusi manusia. Hati merupakan substansi manusia dan juru bicaranya. 67 Hati seumpama cermin, selama cermin itu bersih dari kotoran dan noda, maka segala sesuatu dapat terlihat padanya. Tetapi jika cermin itu dipenuhi noda, sementara tidak ada yang dapat menghilangkan noda darinya dan mengilapkannya, maka rusaklah cermin itu. 68 Hati merupakan bagian dalam Nafs(jiwa) yang bekerja memahami, mengolah, menampung realitas sekelilingnya dan memutuskan sesuatu. Sesuai dengan potensinya, hati merupaka kekuatan yang sangat dinamis, tetapi ia temperamental, fruktuatif, emosional, dan pasang surut.69 Al-Ghazali berpendapat bahwa hati diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Al-Ghazali berkata “[S]esungguhnya makanan hati adalah hikmah, ma’ifah dan mencintai Allah, akan tetapi kadang hati membelot dari tabiatnya karena ia sakit yang telah menyerangnya”. Al-Ghazali pun berbicara tentang penyakit hati yang disebut akal.70 Kebahagiaan hati sangat tergantung pada ma’rifat kepada Allah Swt. Ma’rifat pada Allah sangat tergantung pada perenungan terhadap ciptaan-Nya. Pengetahuan tentang ciptaan Allah hanya diperolah melalui bantuan indera. Dari uraian ini maka dapat dipahami bahwa

67 Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali , 320. 68Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 199. 69 Achmad Mubarok, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia (Sebuah Pendekatan Psikologi Islam)(Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 152. 70 Ahmadie Thaha, al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 86.

30

indera harus bersumber dari hati. Tanpa hati maka indera manusia tidak akan memperoleh puncak persepsi, terutama persepsi spiritual. Daya persepsi manusia akan terwujud apabila terjadi interaksi antara daya-daya qalbiyah dengan daya- daya indera. Hewan memiliki daya indera, tetapi inderanya tidak mampu mempersepsikan sesuatu, sebab ia tidak memiliki daya hati.71 Hati memiliki berbagai daya insani (manusia), yaitu daya inderawi seperti penglihatan dan pendengaran; dan daya psikologis seperti kognisi, emosi, konasi, meskipun daya emosi lebih dominan. Daya inderawi hati berbeda dengan daya inderawi biologis. Hati mampu melihat dengan mata hati dan meraba dengan sentuhan hati. Al-Ghazali menyebut fungsi inderawi hati sebagai indera keenam (al-hiss al-sadis) yang menjelma di dalam akal pikiran dan cahaya hati.72 Panca indera (al-hissi al-khams) mampu mencapai hal-hal yang inderawi, tetapi belum mampu merasakan keindahan-keburukan dan kecintaan-kemuakan. Daya emosi (al-infi’ali) hati sebagai daya yang paling dominan menimbulkan daya rasa (al-syu’ur). Emosi merupakan satu reaksi kompleks yang mengait satu tingkat tinggi kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam serta dibekali dengan perasaan (feeling) yang kuat atau disertai keadaan afektif. Daya emosi hati dalam al-Qur‟an dan Sunnah ada yang positif dan ada yang negatif. Emosi positif misalnya cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus (ikhlash), dan sebagainya. Sedangkan emosi negatif, seperti benci, sedih, ingkar (kurf), mendua (nifaq), dan sebaginya. Daya-daya emosi hati dapat teraktualisasi melalui rasa intelektual, rasa inderawi, rasa etika, rasa estetika, rasa sosial, rasa ekonomi, rasa religius, dan rasa yang lain. Daya kognisi hati bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakikat sesuatu. Hati mampu memperoleh pengetahuan (ma’rifat) melalui daya cita rasa (al-dzawqiyyah)73 dan intuitif (al-hadsiyyah).74 Hati akan memperoleh puncak

71 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), 50 72 Victor Said Basir, Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali (Beirut: Dar Al- Kitab Al-Libanani, Tt 73 Dzawq adalah cita rasa atau pengalaman spiritual langsung. Ia merupakan tahap pertama dalam pengalaman pengungkapan rahasia allah ().

31

pengetahuan apabila manusia telah menyucikan dirinya (tazkiyah al-nafs), sehingga ia dapat menghasilkan ilham(bisikan suci dari Allah) dan kasyf (terbukanya dinding yang menghalangi hati). Akal tidak mampu memperoleh pengetahuan yang sebenarnya mengenai Tuhan, sedangkan hati dapat mengetahui hakikat semua yang ada.75 Daya hati yang lain adalah konasi yang mana manusia mampu beraksi, berbuat, berusaha, berkemampuan dan berkehendak. Sumber konasi hati adalah sinergi antara pikiran (al-khatir), kemauan (iradah) dan kemampuan (qudrat). Hati juga mampu menangkap pesan, simbol, dan kenyataan mimpi. Al-Ghazali berkata, “[T]idur merupakan tertahannya ruh (aspek psikis struktur nafsani) dari dunia lahir untuk menuju pada dunia batin”. Ungkapan al-Ghazali tersebut menunjukkan bahwa ketika aspek fisik struktur nafsani istirahat (tidur) maka aspek psikisnya mampu beraktivitas secara batiniah. Aktivitas batiniah yang terkandung dalam tidur ini yang disebut dengan mimpi. Hati ketika terlepas dari jasad manusia dalam tidur maka ia mampu ke mana saja yang ia kehendaki. Oleh karena natur ini maka ia mampu berkomunikasi dengan simbol, kesan dan kenyataan bersifat ruhani. Hati mampu mengantarkan manusia ada tingkat spiritualitas, religiusitas, dan ketuhanan. Semua tingkatan itu merupakan tingkatan supra-kesadaran manusia, sebab kedudukannya lebih tinggi daripada kemampuan rasional manusia. Sifat rasional dapat ditangkap oleh akal manusia, sedang sifat supra- rasional hanya dapat ditangkap oleh hatinya. Dengan begitu, fungsi hati bukan sekedar merasakan sesuatu, melainkan juga berfungsi untuk memikirkan, menemukan, dan membenarkan sesuatu yang bersifat supra-rasional. Sebagai pusat kepribadian, hati harus sehat (al-shihhah al-qalbiyyah), sebab jika ia sakit maka seluruh kepribadian manusia mengalami kelainan (anomaly).76

74 Dalam Grolier Encyclopedia 2000, intuisi diartikan sebagai pengetahuan tentang konsep, kebenaran, atau pemecahan masalah, yang dicapai secara spontan, tanpa melalui tahapan-tahapan penalaran dan penyelidikan. 75 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), 77. 76 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 99.

32

Fungsi hati terhadap pembentukan kepribadian manusia ada dua disini: Pertama: menurut penulis hati dapat berfungsi sebagai “al-lathiifah al-I’itiraaf dan al-Lathiifah al-Akhlaak”(yaitu hati yang mampu membuat manusia sadar dan hati yang dapat membentuk kepribadian manusia). Kedua: hati dapat melahirkan sikap tawadhu’, baik dalam bermuamalah dengan sesama manusia pada umumnya atau berinteraksi dengan Al-Qur‟an pada khususnya dan Tark al-Ma’ashi yaitu menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.77 2. Ruh (al-Ruh) Kata ruh (al-ruh) memiliki dua makna yaitu: pertama, ruh dalam pengertian alami, yaitu uap yang bersumber dari darah berwarna hitam yang ada dalam rongga hati (dalam pengertian daging berbentuk pohon cemara). Ia beredar mengikuti peredaran darah yang mengalir melalui urat dan pembuluh darah ke seluruh anggota tubuh. Perumpamannya seperti pelita di dalam rumah yang menerangi seluruh bagian dan penjuru rumah. Ruh dalam pengertian inilah yang dimaksudkan oleh para dokter.78 Kedua, ruh dalam pengertian sebagai lathifah rabbaniyah (sesuatu yang sangat halus yang bersifat ketuhanan). Pengertian ruh yan kedua ini sama dengen pengertian hati. Dengan demikian, berarti ruh dan hati sama-sama bermakna lathifah rabbaniyah. Inilah yang diisyratkan dalam firman Allah Swt QS. al- Isra‟,ayat 85.

               “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. al-Isra‟:17)79

Ruh merupakan nyawa, ia aksiden (‘aradh), yaitu sesuatu yang baru dan singgah pada substansi jisim. Ia ada jika jisim ada dan menghilang apabila jasadnya rusak atau mati. Ruh sebagai substansi halus yang menyatu dengan

77 Duriana dan Anin Lihi, “Qalbu dalam Pandangan Al-Ghazali”. Mediasi, Volume, 9 Nomor. 2 (2015), 42-43. 78 Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 311. 79 Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)

33

badan manusia di dalam khalq. Ruh merupakan esensi (hakikat manusia yang bersaksi dan diberi amanah di dalam perjanjian (mitsaq). Ruh dapat keluar-masuk ke dalam tubuh manusia. Hal ini dapat dicontohkan ketika manusia sedang tidur dimana ruhnya mampu melepaskan diri dari jasad dan dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, atau dari suatu zaman (waktu) ke zaman yang lain, tanpa sedikit pun terhalang oleh hukum-hukum jasadi. Kematian jasad bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerima. Ruh pada prinsipnya memiliki natur yang baik, dan bersifat keakhiratan. Ia hidup melalui zatnya sendiri yang tidak butuh makan, minum serta kebutuhan jasmani lainnya. Ruh merasakan kenikmatan (surga) yang luar biasa apabila ia terlepas dari jasad. Kondisi ini berlaku jika ruh yang dimaksud merupakan ruh yang suci dan kesaksiannya diterima. Apabila ruh tersebut merupakan yang kotor maka ia mendapatkan siksaan (neraka). Ruh tercipta sebelum jasad manusia ada. Ruh bersifat kekal, walaupun kekalnya bukan seperti kekalnya pencipta-Nya. Kematian bukan pada ruh tetapi pada nafs dan badan. Kematian badan disebabkan oleh ajalnya telah tiba, dan kematian nafs disebabkan oleh badan terpisah dari ruh. Apabila ruh mati maka manusia tidak akan mengalami kenikmatan dan kesengsaraan.80 3. Akal (al-Aql) Akal juga memiliki dua makna. Pertama, akal merupakan substansi banyak hal. Kedua, akal adalah sesuatu yang kauketahui. Maka dalam pengertian ini ilmu menjadi sifat akal. Dalam pengertian ini, akal adalah lathifah rabbaniyah sebagaimana juga hati, ruh, dan jiwa.81 Al-Ghazali menggunakan empat pengertian pada akal pertama, akal adalah suatu sifat yang membedakan manusia dari binatang, yaitu gharizah (pembawaan dasar) yang siap menerima pengetahuan teoritis, dan seakan merupakan nur yang dipancarkan ke dalam hati, demikian itu pendapat Hatis Ibn Asad al-Muhasibi. Kedua, akal adalah ilmu atau pengetahuan tentang kemustahilan sesuatu yang mustahil, kemungkinan sesuatu yang mustahil dan kemestian sesuatu yang mesti,

80 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 74-75. 81 Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 313.

34

ini disebut hawiyyah ‘aqliyyah. Ketiga, akal adalah ilmu yang diusahakan (‘ulum muktasabah) yang dicapai melalui pengalaman dinamis. Pengertian ini sesuai dengan pengertian akal teoritis yang dikemukakan para filosof. Keempat, akal adalah segala pengetahuan dari gharizah yang mendorong manusia mencari kenikmatan praktis. Akal di buku ihya’ adalah sarana hidup yang tumbuh berkembang dan memancarkan sinarnya ketika sampai usia dewasa, dan itu senantiasa tumbuh sempurna sampai puncak perkembangannya. Kesempurnaan itu memancar ketika manusia mencapai usia empat puluh tahun.82 Akal merupakan daya dari jiwa atau salah satu fungsi jiwa, ini berarti jiwa bisa dibagi-bagi dan diuraikan, seperti badan terdiri dari bermacam anggota dengan fungsinya masing-masing. Sesungguhnya akal adalah jawhar (esensi) dan jiwa tidak mungkin merupakan ‘aradl (atribut), sebab ‘aradl akan hancur dan rusak dengan hancur dan rusaknya badan. Jiwa tetap tidak hancur setelah hancurnya badan. Dengan demikian jiwa pun jawhar.83 Akal merupakan hakikat manusia yang bisa mengenal inti kemanusiaan sendiri, dan dengan mengenal dirinya kemudian ia mengenal yang lain. Akal katanya pula adalah kesiapan fitri dari jiwa manusia untuk mengenal ilmu-ilmu hingga anak kecil disebut ‘aqil (berakal) sekalipun akalnya belum dipergunakan secara konkrit. Al-Ghazali membatasi akal dari sudut daya kerja dan objeknya kalau akal merupakan kehalusan ketuhanan (latifah rabbaniyah), ia disebut jiwa (nafs). Kalau akal mengukir ilmu-ilmu di dalam hati, ia disebut pena (qalam). Kalau akal mengantarkan manusia kepada perintah Allah ia disebut malaikat. Dan kalau akal menangkap inti terdalam dari sesuatu maka ia disebut akal teoritis. Jika akal memahami kebenaran agama, ia disebut penglihatan batin atau cahaya iman. Sebab di dalam hati ada gharizah yang disebut cahaya ketuhanan.84 Akal secara psikologis memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang mencakup

82 Ahmadie Thaha, al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 37. 83 Ibid, 27. 84Ibid,28.

35

mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan pandangan, mengasumsikan, berimajinasi, memprediksi, berpikir, mempertimbangkan, menduga, dan menilai.85 Al-Ghazali berpendapat bahwa akal memiliki banyak fungsi dan aktivitas. Fungsi dan aktivitas akal (al-af’al al-‘aqliyyah) yang dimaksud adalah:86 a. Al-nazhar (sight atau vision); secara bahasa berarti melihat mempertimbangkan, memperhatikan, mengawasi dan menyidik dengan pikiran. Secara istilah berarti daya akal yang mencapai penglihatan reflektif untuk mencapai berbagai kesimpulan yang konkret. Al-nazhar lazimnya menggunakan akal bantu indra mata, yang berhubungan dengan fenomena empiris, sehingga hasilnya belum mencapai pada taraf penyingkapan batin (kasyaf). b. Al-tadabbur; daya akal yang dapat memperhatikan sesuatu secara seksama dan teratur, yang mengikuti logika sebab akibat. Wilayahnya mencakup pemikiran yang kongkret maupun yang abstrak. c. Al-ta’ammul (contemplation); daya akal yang mampu merenungkan sesuatu yang abstrak dan tidak harus terkait dengan fakta-fakta empiris. Daya jangkaunya bersifat prediktif dan spekulatif. d. Al-istibshar (insight); daya akal yang mencapai wawasan, pengetahuan dan pengertian yang mendalam. Al-istibshar mampu memecahkan dan menyelesaiakan masalah-masalah yang rumit dengan metode yang baru. Proses perolehan pemecahan datang tiba-tiba tanpa pengalaman sebelumnya, sehingga keberadaannya ditandai dengan adanya pengertian yang tinggi, penyimpanan dan ingatan yang baik serta mengungkapkan atau transfer yang baik pula. e. Al-i’tibar; daya akal yang mampu mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa tertentu atau mengaitkan satu tanda (‘alamah) dengan peristiwa tertentu. f. Al-tafkir (thingking); secara bahasa berarti memikirkan. Menurut istilah berarti daya akal yang mampu memproses sesuatu secara simbolis; pemecahan

85 James. P chaplin, Kamus Lengkap Psikologi Terjemah Kartini Karntono (Jakarta: PT. Rajagrafindo, 1989), 90. 86 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 106.

36

masalah yang mencakup kegiatan ideasional yang didasarkan atas pendekatan argumentatif (istidhlaliyyah) dan logis (manthiqiyyah). Akal adalah persemaian dan ladang ilmu. Berkat akal diciptakan industri dan ilmu-ilmu lainnya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berkat akal manusia dapat menikmati kedudukan tinggi dan terhormatnya di dunia. Dan berkat akal pula manusia bisa memahami ilmu-ilmu agama yang menghantarkan kepada qurb (berdekat diri dengan ibadah) kepada Allah.87 4. Jiwa (al-Nafs) Kata jiwa (al-Nafs) memiliki dua makna yaitu: pertama, jiwa (al-Nafs) yang dimaknai sebagai kekuatan yang menghimpun amarah, hasrat, dan sifat-sifat tercela. Kedua, nafs adalah pengertian lathifah rabbaniyah. Dalam pengertian kedua ini, nafs juga memiliki arti yang sama dengan hati dan ruh. Dengan demikian, jiwa (nafs) bermakna lathifah. Ia merupakan substansi manusia yang membedakannya dari hewan lain. Kalau ia bersih dan dihiasi zikir kepada Allah Swt serta bersih dari noda syahwat dan sifat-sifat tercela, ia disebut al-Nafs al- Muthm’innah (jiwa yang tenang).88 Inilah yang diisyratkan dalam firman Allah Swt QS. al-Fajr, ayat 27:

 .  “wahai jiwa yang tenang”.(QS. Al-Fajr: 89).89

Jiwa (nafs) yang belum mencapai derajat ini bisa digolongkan ke dalam satu dari dua jenis nafs. Pertama, jiwa itu disebut al-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang selalu memaki atau mencela). Kedua, jiwa (nafs) yang selalu menyuruh (ammarah) pada kejahatan. Sebelum sampai pada derajat al-Nafs al-Lawwamah, jiwa selalu menyuruh kepada kejelekan sebagaimana ditujukkan dalam firman Allah QS.Yusuf, ayat 53:

87Ahmadie Thaha, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali oleh Victor Said Basil, 21. 88 Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 311-312. 89 Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)

37

   .  “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan”. (QS. Yusuf: 12).

Jiwa dalam tingkatan ini tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak mencela kejelekan. Ia tingkatan jiwa yang paling rendah. Sementara nafs Muthma’innah adalah tingkatan jiwa yang paling tinggi, dan di antara kedunya adalah nafs Lawwamah yang tidak senang pada kejahatan sehingga tidak cenderung padanya dan tidak pula dapat tenang dalam kebaikan, yaitu zikir kepada Allah Swt. Nafs adalah potensi jasad-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah ada sejak jasad manusia siap menerimanya, yaitu usia empat bulan dalam kandungan. Potensi ini terikat dengan hukum yang bersifat jasad-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada daya ini bersifat potensial, tetapi ia dapat mengaktual jika manusia mengusahakan. Aktualitas nafs ini merupakan citra kepribadian manusia, yang aktualisasi itu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor usia, pengalaman, pendidikan, pengetahuan, lingkungan dan sebagainya.90 Nafsu sebagai daya nafsani memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al- ghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Ghadhab dalam terminologi psikoanalisis disebut dengan defense (pertahanan, pembelaan, dan penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan dan rasa malu; perbuatan untuk melindungi diri sendiri; dan memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatan diri. Al-syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu). Prinsip kerja hawa nafsu mengikuti prinsip kenikmatan dan berusaha mengumbar impuls-impuls agresif dan seksualnya. Dalam prespektif psikologi, hawa nafsu memiliki daya konasi (daya karsa). Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat. Berusaha, berkemauan dan berkehendak. Apabila manusia

90Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 81.

38

mengumbar dominasi hawa nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi secara baik. Manusia model ini memiliki kedudukan sama dengan binatang bahkan lebih hina.91 Sebagaimana ditujukkan dalam firman Allah QS. al- A‟raf, ayat 179:

      .      

              

    

“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. al-A‟raf: 7)92

Hati, ruh, akal dan jiwa memiliki kesamaan, yakni bahwa semuanya lathifah rabbaniyah (sesuatu yang sangat halus yang bersifat ketuhanan). 93 Istilah rabbani berasal dari kata rabb yang dalam bahasa Indonesia berarti Tuhan, yaitu Tuhan yang memiliki, memperbaiki, mengatur, menambah, menunaikan, mengembangkan, memelihara, dan mematangkan sikap mental. Istilah rabbani dalam konteks ini memiliki ekuivalensi dengan istilah ilah yang berarti ke-Tuhan- an. Kepribadian rabbani atau kepribadian ilahi adalah kepribadian individu yang didapat setelah mentransformasikan asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Atau dalam bahasa sederhana, kepribadian rabbani adalah kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah).94

91 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, 55-56. 92 Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985) 93 Junaidi Ismaiel, Intisari Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhtashar Ihya’ Ulummudin, oleh Imam Al-Ghazali, 313. 94 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 188-189.

39

C. Jiwa Manusia Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dank arena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur‟an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.95Menurut al-Ghazali, jiwa itu dapat berfikir, mengingat, dan sebagainya. Sedangkan unsur jiwa merupakan unsur rohani sebagi penggerak jasad untuk melakukan kerjanya termasuk alam ghaib.96 Jiwa bukanlah sesuatu yang hitam putih seperti materi, melainkan suatu keadaan mental yang dinamis yang pasang dan surut seperti kualitas iman. Terbangunnya suatu kualitas jiwa berhubungan dengan bagaimana seseorang mengusahannya. Secara kronologis dapat dideskripsikan bahwa seseorang manusia dilahirkan hingga usia belum mukallaf jiwanya masih suci. Ketika sudah mencapai usia tanggung jawab (mukallaf) dan berinteraksi dengan lingkungan kehidupan yang menggoda, ia selalu aktif merespon lingkungan kadang positif kadang negatif. Akan tetapi ia berproses mencari jati diri, ia sering menyesali diri dan mencala dirinya. Maka, dalam kondisi kualitas seperti itu ia disebut sebagai nafs lawwamah, jiwa yang selalu menyesali diri. Jika dalam pencarian jati diri itu kemudian ia menemukan pola positif, lambat laun ia dapat mencapai tingkat nafs muthma’innah. Akan tetapi jika pola respons yang terbentuk itu negatif, maka ia dapat menurun menjadi nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya.97 1. Jiwa Ammarah (Nafs al-Ammarah) Jiwa ammarah adalah jiwa yang cenderung pada tabiat jasad dan mengajarkan pada prinsip kenikmatan. Ia menarik hati manusia untuk melakukan perbuatan-permuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitif, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan jiwa tercela. Jiwa ini tergolong manganiaya diri. Ciri jiwa ini adalah tidak membekali diri untuk menuju pada

95 Rudi Ahmad Suryadi, “Telaah Konseptual Mengenai Konsep Jiwa Manusia”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 14, Nomor.1 (2016), 45-44. 96 Ibid, 37. 97 Achmad Mubarok, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia (Sebuah Pendekatan Psikologi Islam)(Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), 152-153.

40

tujuan hidupnya, bahkan ia menyia-nyiakan dan berbekal dengan sesuatu yang justru menganggu perjalannya. Ciri umum dari nafs ini menurut Al-Qur‟an ada empat yaitu dengan mudah menentang dan menyalahi apa-apa yang dilarang Allah, selalu mengikuti dorongan hawa nafsu, melakukan maksiat, tidak mau memenuhi segala panggilan kebenaran. Nafs ammarah mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa, dan di antara ciri-ciri nafs yang sangat mudah melakukan dosa adalah diisyaratkan dalam Al-Qur‟an yaitu:98 a. Tidak mau mendengarkan nasihat b. Patuh kepada bisikan hawa nafsu c. Tidak memperdulikan larangan Tuhan d. Suka berdusta e. Suka bermusuhan f. Suka melakukan berbagai perbuatan dosa g. Suka melampaui batas h. Enggan berbuat baik i. Suka berkhianat j. Suka menyembunyikan kesaksian k. Buruk sangka Di dalam tujuan ia akan merugi dan menyesal. Ia dikendalikan oleh syahwat dan menjalar ke seluruh tubuhnya melalui hati. Syahwatnya lebih diutamakan daripada melayani hak-hak Tuhan. Ia melalukan dosa dan mengabaikan kebaikan. Ia memiliki iman dan tauhid, sekalipun perbuatan buruknya masih menyelimuti dirinya, Ia zalim terhadap: 1) Hak-hak pribadi dengan mengikuti nafsu syahwat dan melupakan Tuhannya. Kezaliman di sini ada yang sama sekali tidak menyisihkan keimanan, kesetiaan, dan kejujuran, sehingga ia tergolong kezaliman syirik dan kufur dan ada pula kezaliman yang masih menyisihkan keimanan, kesetiaan dan kejujuran;

98 Hasbullah Ahmad, Mewujudkan Ketenangan Jiwa (Jakarta: Gaung Persada (GP) Press Jakarta, 2012), 22-23.

41

2) Hak-hak sesamanya, sehingga orang lain mengalami kerugian; 3) Hak-hak Tuhannya dengan cara menyekutukan. Barangsiapa yang berjiwa ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Jiwa model ini rela menurunkan derajat asli manusia, merusak dirinya sendiri dan merusak orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan orang lain dan daya ghadhab yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh dan sebagainya.99 Eksistensi jiwa ammarah didorong oleh dua faktor dominan: a) Faktor internal, berupa hawa nafsu menusia yang memiliki natur hayawaniyyah (sifat-sifat binatang). b) Faktor eksternal berupa bisikan setan yag disebut dengan was-was. Karakternya membisikan jiwa manusia untuk berbuat maksiat, kekufuran, kefasikan, kemusyrikan dan perbuatan merusak. Bentuk-bentuk tipologi jiwa ammarah adalah syirik, kufur, riya‟, nifaq, zindiq, bid‟ah, sihir, membangga-banggakan kekayaan, mengikuti hawa nafsu dan syahwat, sombong dan ujub, membuat kerusakan, boros, memakan riba, mengumpat, pelit, durhaka atau membangkang, benci, pengecut dan takut, fitnah, memata-matai, angan-angan atau mengkhayal, hasud, khianat, senang dengan duka yang lain, ragu-ragu, buruk sangka, rakus, aniaya atau zalim, marah, menceritakan kejelekan orang lain, menipu, jahat atau fujur, dusta, sumpah palsu, berbuat keji, menuduh zina, makar, bunuh diri, dan adu domba. Jiwa ammarah dapat beranjak ke jiwa yang baik apabila ia telah diberi rahmat oleh Allah Swt. Pendakian jiwa ammarah menuju ke tingkat jiwa lawwamah. 2. Jiwa Lawwamah (Nafs al-Lawwamah) Lawwamah berasal dari kata al-talum yang berarti al-taraddud (bimbang dan ragu-ragu). Jiwa lawwamah adalah jiwa yang telah memperoleh cahaya hati, lalu ia bangkit untuk memperbaikinya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak gelap,

99 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 152-153.

42

tetapi kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya itu dan selanjutnya ia bertaubat dan memohon ampun (istighfar). Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa jiwa lawwamah berada di antara jiwa ammarah dan jiwa muthma’innah. Jiwa semacam ini telah berusaha meningkatkan kualitas dirinya yang telah dibantu oleh cahaya terang (nurani), tetapi watak gelapnya ikut campur dalam pembentukan jiwa, sehingga ia menjadi bimbang dan bingung. Kebimbangan itu pada akhirnya bermuara pada tiga kemungkinan:100 a. Ia akan tertarik dengan watak gelapnya, sehingga ia tetap dalam kualitas rendahnya, yang dalam hal ini berkoalisi dengan hawa nafsu. Menurut al- Ghazali, akal yang tertahan oleh syahwat dan ghadhab akan mengakibatkan al- intikas (jungkir-balik), padahal seharusnya akal mampu menahan syahwat dan ghadhab. b. Ia akan tertarik oleh nurani, sehingga ia bertaubat dan berusaha memperbaiki kualitasnya, yang dalam hal ini berkoalisi dengan hati. c. Ia berada dalam posisi netral, artinya perbuatan yang diciptakan tidak bernilai buruk atau bernilai baik, tetapi berguna bagi kelestarian eksistensi manusiawinya sendiri. Jiwa lawwamah merupakan jiwa yang didominasi oleh komponen akal. Akal yang baik adalah akal yang tunduk pada cahaya hati. Natur akal sendiri bukannya tidak baik, tetapi tidak memiliki nilai spiritual dan transendental. Manusia yang mau menggunakan akalnya secara baik boleh jadi ia memiliki jiwa sosialitas dan moralitas, tetapi jiwa ini hanya sekadar dimotivasi oleh nilai manusiawi tanpa melibatkan motivasi ibadah. Pengetahuan dan kebenaran yang dicapai oleh akal masih terbatas. Ia hanya mampu mencapai pengetahuan dan kebenaran rasional, tanpa menyentuh kebenaran dan pengetahuan yang suprarasional. Al-Ghazali sendiri menyatakan bahwa akal sering memutarbalikkan fakta, penuh kepalsuan dan khayalan. Akal tidak mampu menangkap hal-hal yang tersembunyi. Bahkan dalam mimpi pun akal tidak mampu menolak hal-hal yang irasional.

100 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 158-159.

43

Nafs ini sangat menyesali hilangnya peluang baik, dan untuk itu ia mencela dirinya sendiri. Nafs dalam tingkat ini merupakan keadaan batin yang bekerja mengawasi secara internal terhadap tingkahlaku, satu kondisi di mana orang- orang mukmin yang berada pada tingkat ini selalu mempertahankan dirinya, mengira amalnya serca mencela kekhilafan yang terlanjur diperbuatnya, baik perkataan maupun perbuatan.101 Sisi positif bagi jiwa lawwamah adalah masih bersifat pemula, artinya seseorang yang berjiwa lawwamah masih mulai beranjak dari jiwa yang baik. Peralihan jiwa ini ditandai dengan adanya taubat dan jihad melawan hawa nafsu. Oleh karena itu masih bersifat pemula maka jiwa lawwamah belum mampu menghantarkan manusia pada eksistensi yang sebenarnya. Bentuk-bentuk tipologi jiwa lawwamah sulit ditentukan yang bernilai netral. Maksud netral di sini dapat berarti: 1) Tidak memiliki nilai buruk atau nilai baik tetapi dengan gesekan motivasi netralitas suatu tingkah laku itu akan menjadi baik atau akan menjadi buruk. Baik buruk nilainya tergantung pada kekuatan daya yang mempengaruhi; 2) Ia bernilai baik menurut ukuran manusia, tetapi belum tentu baik menurut ukuran Tuhan, seperti rasionalitas, moralitas dan sosialitas yang dimotivasi oleh antroposentris (insaniyah). Eksistensi manusia yang sebenarnya akan terwujud apabila manusia telah melakukan jiwa muthma’innah. 3. Jiwa Muthma’innah (Nafs al-Muthma’innah) Jiwa muthma’innah adalah jiwa yang telah diberi kesempatan cahaya hati, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Jiwa ini selalu berorientasi ke komponen hati untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang dan tentram.102Jiwa muthma’innah bersumber dari hati manusia, sehingga hanya hati yang mampu merasakan ketenangan. Hati selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, mencintai, bertaubah, bertawakal, dan mencari ridha Allah Swt.

101 Hasbullah Ahmad, Mewujudkan Ketenangan Jiwa, 18. 102 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 162.

44

Jiwa muthma’innah merupakan jiwa atas sadar atau supra kesadaran manusia. Dikatakan demikian sebab jiwa ini merasa tenang dalam menerima keyakina fitrah. Al-Ghazali menyatakan bahwa daya hati (yang mendominasi jiwa muthma’innah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita rasa (dzawq) dan kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangkan penglihatan batin manusia). Dengan kekuatan dan kesucian daya hati maka manusia mampu memperoleh (pengetahuan) wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan kepada para nabi, sedangkan ilham diberikan pada manusia suci. Dalam prespektif Al-Qur‟an dapat dilihat bahwa tanda-tanda orang yang berjiwa muthma’innah adalah: a. Adanya keyakinan yang tidak tergoyahkan terhadap kebenaran dan tetap pada ketenangan iman. b. Memiliki rasa aman, terbebas dari rasa takut dan sedih di dunia dengan teguh pendirian atau istiqomah dalam menghadapi tantangan hidup walau apapun yang terjadi dalam ujian dan cobaan hidup terutamanya di akhirat kelak. c. Ketentraman hati yang di miliki adalah akibat dari selalu ingat Allah dalam setiap keadaan baik dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, kesemua aktivitas tidaklah pernah terlepas dari mengingat Allah Swt.103 Eksistensi jiwa muthma’innah didorong oleh dua faktor: 1) Faktor internal, berupa daya hati manusia yang memiliki natur ilahiyyah. Jika hati berkuasa maka ia mampu memberikan ketenangan dan keimanan; ketenangan karena mendapatkan pertolongan dan berita gembira dari Allah; ketenangan karena selalu ingat kepada-Nya. 2) Faktor eksternal berupa penjagaan dari malaikat dan hidayah dari Allah Swt. a) Jika setan mendorong manusia berbuat jahat melalui was-was, maka malaikat mendorong untuk berbuat baik melaui ilham. Karakter malaikat adalah membisikan manusia untuk berbuat taat, jujur dan ikhlas kepada Allah Swt, sehingga mengakibatkan selamat dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

103 Hasbullah Ahmad, Mewujudkan Ketenangan Jiwa,19.

45

b) Hidayah (petunjuk) dari Allah Swt. Hidayah sangat membantu manusia dalam menentukan jati dirinya. Manusia dengan kemampuannya sendiri tanpa diberi hidayah maka sulit menemukan jati dirinya.104 Jiwa mutma’innah adalah jiwa yang didominasi oleh daya hati (55%) yang dibantu oleh daya akal (30%) dan daya nafsu (15%). Jiwa lawwamah adalah jiwa yang didominasi oleh daya akal (40%) yang dibantu oleh daya hati (30%) dan daya nafsu (30%). Sedangkan jiwa ammarah adalah jiwa yang dominasi oleh daya nafsu (55%) yang dibantu oleh daya akal (30%) dan hati (15%). Dengan demikian masing-masing komponen memiliki prosentasi tersendiri dalam pembentukan jiwa.105 Untuk lebih mudah memahami konsep kepribadian menurut al-Ghazali bisa dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3.1 No Jenis Jiwa Pendominasiannya Ciri-Ciri 1 Nafs ammarah Jiwa yang dominasi Ciri jiwa ini adalah tidak oleh daya nafsu (55%) membekali diri untuk yang dibantu oleh daya menuju pada tujuan akal (30%) dan hati hidupnya, bahkan ia (15%) menyia-nyiakan dan berbekal dengan sesuatu yang justru menganggu perjalannya.Orang yang termasuk dalam golongan ini adalah orang yang sangat jelek sifat dan wataknya. 2 Nafs lawwamah Jiwa yang didominasi Ciri jiwa ini adalah selalu oleh daya akal (40%) mengeluh, kecewa, dan yang dibantu oleh daya menyalahkan dirinya. hati (30%) dan daya Seseorang yang berjiwa nafsu (30%) lawwamah masih mulai beranjak dari jiwa yang baik. Peralihan jiwa ini ditandai dengan adanya

104 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, 163-165. 105 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, 62.

46

taubat dan jihad melawan hawa nafsu. 3 Nafs Jiwa yang didominasi Ciri jiwa ini hatinya muth’mainnah oleh daya hati (55%) selalu tentram karena yang dibantu oleh daya ingat kepada Allah; yaitu akal (30%) dan daya seyakin-yakinnya nafsu (15%) terhadap apa yang diyakinkannya sebagai kebenaran. Oleh karena itu, ia tidak mengalami konflik batin. Emosinya stabil, tidak merasa cemas, dan tidak pula takut.

D. Akhlak Baik Akhlak yang baik adalah rupa hati yang baik, maka dengan terhapusnya dari sifat-sifat tercela terbentuklah sifat-sifat terpuji. Adapun tujuan utama dari akhlak yang baik adalah terhentinya kecintaan kepada dunia dalam hati seseorang dan sebagai gantinya makin mantap pula kecintaanya kepada Allah, maka tidak sesuatu pun yang lebih dinginkannya kecuali perjumpaan dengan Allah. Akhlak dapat diubah dengan tindakan, maka berusahalah menudukkan kemarahan, syahwat dan kejahatan. Jika pada asal fitrahnya tidak ada, misalnya kedermawanan maka biasakanlah hal itu walaupun dengan memaksakan diri. Demikian pula apabila tidak diciptakan sebagai orang yang mempunyai sifat rendah hati, maka lakukanlah hal itu (rendah hati) walaupun dengan memaksakan diri sehingga menjadi terbiasa. Seperti itu pula sifat-sifat yang lainnya diobati dengan kebalikan hingga tercapai tujuan.106 Ada dua macam di dalam kebaikan, yakni kebaikan berbentuk rupa serta kebaikan yang berbentuk akhlak. Kebaikan yang berbentuk rupa itulah yang dinamakan keindahan, sedangkan yang dinamakan kebaikan akhlak ialah

106 Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 213.

47

kebaikan hati; kemudian kebaikan hati itu sendiri adalah jika sifat-sifat terpuji telah mengalahkan sifat-sifat tercela. Akhlak baik ialah bentuk hati, sifat-sifat yang tercela akan digantikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Ia adalah akhlak yang baik. Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak baik yang sempurna adalah pada Rasulullah. Sebab beliau telah mencapai derajat yang sempurna. Rasulullah telah mengingatkan bahwa akhlak dapat berubah dengan terpengaruh dibawah tindakan manusia. Maka hendaknya manusia berusaha dapat menundukkan amarah serta syahwat dan sifat yang serakah.107 Langkah pertama untuk mengenal diri adalah menyadari bahwa diri, terdiri atas bentuk luar yang disebut hati dan ruh. Sebagian pemahaman mengenai hakikat hati atau ruh dapat diperoleh seseorang dengan menutup matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya selain dirinya sendiri. Dengan begitu, ia akan mengetahui keterbatasan sifat dirinya. Jika seseorang merenungkan dirinya, ia akan mengetahui bahwa sebelumnya ia tidak ada, Sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Insan, ayat 2:

          “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat”.(QS.Al-Insan: 76)108

Ia akan mengetahui bahwa ia terbuat dari setetes air yang tidak mengandung intelektual, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan seterusnya. Setinggi apa pun tingkat kesempurnaanya, ia tidak menciptakan dirinya, bahwa tidak kuasa untuk menciptakan meski hanya sehelai rambut. Wujudnya adalah pantulan dari kekuasaan, kebijakan, dan cinta sang pencipta. Bukan saja sifat-sifat manusia

107 Labib, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali , 313. 108 Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985)

48

merupakan pantulan sifat-sifat Allah, melainkan keberadaan ruhnya pun dapat mengantarkan manusia pada pemahaman tentang keberadaan Allah.109 Tidak ada seseorang pun yang benar-benar mengetahui tentang kecacatan dirinya. Karenanya, jika ia telah melakukan sendiri perjuangan melawan dirinya sehingga sempat meninggalkan perbuatan-perbuatan keji, mungkin saja ia mengira telah berhasil membaikkan akhlaknya dan menyempurnakan dirinya. Lalu ia akan merasa tidak perlu lagi melakukan mujahadah selanjutnya. Oleh sebab itu, diperlukan penjelasan tentang tanda-tanda akhlak yang baik yaitu, identik dengan keimanan sedangkan akhlak yang buruk adalah identik dengan kemunafikan. Seorang pengamat menulis tentang tanda-tanda orang yang baik akhlaknya, sebagai berikut “[I]a harus seorang pemalu, sangat jarang ganggunya, banyak kebaikannya, senantisa benar ucapannya, sedikit berbicara, banyak berbuat, sedikit kesalahan, tidak suka mencampuri hal-hal yang bukan urusannya, suka bebuat kebajikan, menjaga hubungan persahabatan, berwibawa, penyabar, selalu berterima kasih, berpuas hati, penyantun, lemah-lembut, menahan diri, serta penyayang. Bukan kebiasaanya untuk melaknat, memaki-maki, memfitnah, menggunjing, atau bersifat tergesa-gesa, dengki, bakhil ataupun penghasut. Selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, ridha demi Allah dan marah juga karena Allah.110Berkata Hatim Al- Ashamm: “[S]eorang mukmin senantiasa disibukkan dengan merenung dan mengambil pelajaran, sementara seorang munafik disibukkan dengan ketamakan dan angan-angan kosong. Seorang mukmin berputus asa dari siapa saja kecuali Allah, sementara seorang munafik mengharap dari siapa saja kecuali Allah. Seorang mukmin merasa aman kecuali karena Allah. Seorang mukmin menawarkan hartanya demi mempertahankan agamanya, sementara seorang munafik menawarkan agamanya demi mempertahankan hartanya. Seorang mukmin menangis (karena malunya kepada Allah) meskipun berbuat kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipun berbuat

109 Haidar Bagir, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The Alchemy of Happiness al-Ghazali, oleh Imam Al-Ghazali, 33. 110 Muhammad al-Baqir, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Tahzib Al-Akhlaq wa Mu’alajat Amradh Al-Qulub oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Karisma, 1997), 92-96.

49

keburukan. Seorang mukmin senang ber-khalwat dan menyendiri, sementara seorang munafik senang berkumpul-kumpul. Seorang mukmin menanam seraya takut merusak, sementara seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panenan. Seorang mukmin memerintah dan melarang sebagai siasat, sehingga berhasil memperbaiki, sementara seorang munafik memerintahkan dan melarang demi meraih jabatan, sehingga merusak”.

50

BAB IV KONSEP KEPRIBADIAN AL-GHAZALI SERTA KONTRIBUSINYA DALAM PROSES KONSELING

Bab selanjutnya akan menjelaskan tentang pengertian konseling, kualitas pribadi konselor, yang akan menyebutkan hal-hal yang perlu dimiliki seorang konselor agar tercapai proses konseling yang efektif. Kemudian akan menjelaskan proses konseling dari tahap awal, pertengahan (tahap kerja), hingga tahap akhir (tahap tindakan). Dan akan ditutup dengan membahas tentang bentuk-bentuk kontribusi konsep kepribadian menurut al-Ghazali dalam proses konseling.

A. Pengertian Konseling Istilah konseling yang berasal dari bahasa Inggris “counseling” di dalam kamus artinya dikaitkan dengan kata “counsel” yang mempunyai beberapa arti yaitu: nasihat (to obtain counsel), anjuran (to give counsel), dan pembicaraan (to take counsel). Berdasarkan arti di atas, konseling secara etimologi berarti pembicaraan dengan bertukar pikiran.111 Konseling merupakan situasi pertemuan tatap muka antara konselor dan klien yang berusaha memecahkan sebuah masalah dengan mempertimbangkannya bersama-sama sehingga klien dapat memecahkan masalahnya berdasarkan penentuan sendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa konseling merupakan suatu situasi pertemuan tatap muka antara konselor dengan klien di mana konselor berusaha menolong klien memecahkan masalah yang dihadapi klien berdasarkan pertimbangan bersama-sama, tetapi penentuan pemecahan masalah dilakukan oleh klien sendiri. Artinya bukan konselor yang memecahkan masalah klien.112 Hubungan dalam konseling bersifat interpersonal. Terjadi dalam bentuk wawancara secara tatap muka antara konselor dengan klien. Hubungan itu, melibatkan semua unsur kepribadian yang meliputi: pikiran, perasaan, pengalaman, nilai-nilai, kebutuhan, harapan, dan lain-lain. Dalam proses konseling kedua belah pihak hendaknya menunjukkan kepribadian yang asli. Hal

111 Tohirin, Bimbingan dan Konseling Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), 21. 112 Ibid, 22.

49

51

ini dimungkinkan karena konseling itu dilakukan secara pribadi dan dalam suasana rahasia. Menurut Achmad Mubarok, Konseling Islam dalam sejarah Islam dikenal dengan istilah hisbah, artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan mungkar yang jelas- jelas dikerjakan oleh klien (aml ma’ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan.113 Khalifah Umar Bin Khattab adalah orang pertama yang mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan mengorganisasi muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah. Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijakan Umar sehingga ketika itu jabatan muhtasib menjadi jabatan yang terhormat di mata masyarakat.114 Selain itu, praktek-praktek kehidupan sufi menunjukkan adanya aktivitas konseling Islam yang berlangsung dengan baik. Dengan demikian, konseling Islam telah memiliki landasan yang kukuh untuk terus dikembangkan dan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan manusia dalam menjalani kehidupannya. Tujuan umum dari konseling Islam ialah membantu klien agar ia memiliki pengetahuan tentang posisi dirinya dan memiliki keberanian mengambil keputusan untuk melakukan suatu perbuatan yang dipandang baik, benar, dan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia dan untuk kepentingan akhirat.115 Menurut Syamsu Yusuf tujuan konseling Islam adalah membantu individu agar memiliki sikap, kesadaran, pemahaman, atau perilaku sebagai berikut: 1. Memiliki kesadaran akan hakikat dirinya sebagai makhluk atau hamba Allah. 2. Memiliki kesadaran akan fungsi hidupnya di dunia sebagai khalifah Allah. 3. Memahami dan menerima keadaan dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) secara sehat. 4. Memiliki kebiasaan yang sehat dalam cara makan, tidur, dan menggunakan waktu luang.

113 Achmad Mubarok, Al-Irsyad An-Nafsiy Konseling Islam Teori dan Kasus (Jakarta: Bin Arena Perwira,2000), 79. 114 Ibid, 83. 115 Ibid, 89.

52

5. Bagi yang sudah berkeluarga seyogianya menciptakan iklim kehidupan keluarga yang fungsional. 6. Memiliki komitmen diri untuk senantiasa mengamalkan ajaran agama (beribadah) dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat habl min Allah maupun habl min al-nas. 7. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar atau bekerja yang positif. 8. Memahami masalah dan menghadapinya secara wajar, tabah atau sabar. 9. Memahami faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah atau stress. 10. Mampu mengubah persepsi atau minat. 11. Mampu mengambil hikmah dari musibah (masalah) yang dialami. 12. Mampu mengontrol emosi dan berusaha meredamnya dengan introspeksi diri. Tujuan konseling Islam tidak hanya diarahkan pada pemecahan masalah dari klien, melainkan juga ada indikator yang lebih konkret bagi klien yang sehat seperti yang diungkapkan oleh Syamsu Yusuf diatas.116Keefektifan konseling sebagian besar ditentukan oleh kualitas hubungan antara konselor dengan kliennya. Dilihat dari segi konselor, kualitas hubungan pada kemampuannya dalam menerapkan teknik-teknik konseling dan kualitas pribadinya.117 Konseling sebagai proses membantu individu agar berkembang, memiliki beberapa prinsip yang penting yaitu: a. Memberikan kabar gembira dan kegairahan hidup. Dalam hubungan konseling konselor sebaiknya jangan dulu mengungkap berbagai kesalahan, dan kesulitan klien. Akan tetapi berupaya membuat situasi konseling yang menggembirakan. Karena situasi seperti itu membuat klien senang, tertarik untuk melibatkan diri dalam pembicaraan, dan akhlaknya akan menjadi terbuka untuk membeberkan isi hati dan rahasianya118, sebagaimana termaktub dalam QS. Saba‟, ayat 28:

116 Syamsu Yusuf, Mental Hygiene (Bandung, Pusaka Bani Quraisy, 2004), 178 117 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 9. 118 Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek (Bandung: Alfabeta, 2013) ,23.

53

          

 “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Saba‟: 34).119

b. Melihat klien sebagai subjek dan hamba Allah Klien bukanlah objek konseling, melainkan sebagai subjek yang berkembang. Dan dia adalah hamba Allah yang menjadi tugas amanah bagi seorang konselor. Dia bukan objek konseling untuk diperlakukan tanpa nilai moral-religius, akan tetapi menghargainya sebagai pribadi yang merdeka karena itu di dalam hubungan konseling klien yang harus banyak berbicara mengenai dirinya dan bukan konselor. Sebab itu, upaya konselor adalah mengenali potensi dan kelemahan serta kesulitan klien, kemudian klien akan mengungkapkan segalanya dengan jujur dan terbuka. c. Menghargai klien tanpa syarat. Menghargai klien adalah syarat utama untuk terjadinya hubungan konseling yang gembira dan terbuka. Penghargaan ini dimaksudkan sebagai upaya konselor yang memberikan ucapan-ucapan serta bahasa badan yang menghargai. d. Dialog Islam yang menyentuh. Dengan hubungan yang akrab, konselor berupaya agar mengemukakan butir-butir dialognya yang menyentuh hati klien sehingga memunculkan rasa syukur, rasa cinta, bahkan perasaan dosa. Klien mengungkapkan perasaan- perasaan tersebut dengan tulus, jujur, dan terbuka.120 Keakraban dan keterlibatan klien adalah kata kunci dalam hubungan konseling untuk membuat klien terbuka perasaan keagamaan dan kemanusiaan. Banyak konselor menggunakan pendekatan agama untuk membuat klien tersentuh hatinya. Karena itu selayaknya konselor mempelajari ilmu agama.

119 Anonim,Al Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985) 120 Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek ,24.

54

Sebab manakala klien meminta informasi mengenai hal itu, dapat diberikan secara lengkap termasuk pengajaran agama seperti sholat, doa-doa, fikih dll e. Keteladanan pribadi konselor Keteladanan pribadi konselor dapat menyentuh perasaan klien untuk mengidentifikasi diri konselor. Hal itu merupakan sugesti bagi klien untuk berusaha kearah positif. Motivasi untuk berusaha disebabkan kepribadian, wawasan dan keterampilan serta amal kebajikan konselor terhadap klien. Konselor bersikap jujur, saleh, dan berpandangan luas, serta penuh perhatian terhadap klien. Seolah-olah kepribadian teladan adalah pesan rabbani, yang memancar dalam perilaku konselor.121

B. Kualitas Pribadi Konselor Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, di samping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan konseling. 1. Pemahaman diri (self-knowledge) Self-knowledge ini berarti bahwa konselor memahami dirinya dengan baik, dia memahami secara pasti apa yang yang dia lakukan, mengapa dia melakukan hal itu, dan masalah apa yang harus dia selesaikan. Pemahaman diri sangat penting bagi konselor, karena beberapa alasan berikut: a. Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cenderung akan memiliki persepsi yang akurat tentang orang lain atau klien (konselor akan lebih mampu mengenal diri orang lain secara tepat pula). b. Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga memahami orang lain. c. Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajar cara memahami diri itu kepada orang lain.

121 Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek ,25.

55

d. Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara jujur dengan klien pada saat proses konseling berlangsung. Konselor yang memiliki tingkat self-knowledge yang baik akan menunjukkan sifat-sifat berikut. 1) Konselor menyadari dengan baik tentang kebutuhan dirinya, sebagai konselor dia memiliki kebutuhan diri, seperti: kebutuhan untuk suskes, kebutuhan merasa penting, dihargai, superior dan kuat. 2) Konselor menyadari dengan baik tentang perasaan-perasaannya. Perasaan- perasaan itu seperti: rasa aman, takut, bermasalah, dan cinta. Ketidaksadaran konselor akan perasaannya dapat berakibat buruk terhadap proses konseling. 3) Konselor menyadari tentang apa yang membuat dirinya cemas dalam konseling, dan apa yang menyebabkan dirinya melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi kecemasan tersebut. 4) Konselor memahami atau mengakui kelebihan dan kekurangan dirinya.122 2. Kompeten (competent) Maksud kompeten di sini adalah bahwa konselor itu memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna. Kompetensi sangatlah penting bagi konselor, sebab klien yang dikonseling akan belajar dan mengembangkan kompetensi-kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang efektif dan bahagia. Dalam hal ini, konselor berperan untuk mengajar kompetensi-kompetensi tersebut kepada klien. Konselor yang lemah fisiknya, lemah kemampuan intelektualnya, sensitif emosinya, kurang memiliki kemampuan dalam berhubungan sosial, dan kurang memahami nilai-nilai moral maka dia tidak akan mampu mengajarkan kompetensi-kompetensi tersebut kepada klien. Konselor yang memiliki kompetensi melahirkan rasa percaya pada diri klien untuk meminta bantuan konseling terhadap konselor tersebut. Di samping itu kompetensi ini juga sangat penting bagi efisiensi waktu pelaksanaan konseling.

122 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 37-38.

56

Konselor yang senantiasa berusaha meningkatkan kualitas kompetensinya, akan menampilkan sifat-sifat atau kualitas perilaku sebagai berikut. a. Terus menerus meningkatkan pengetahuannya tentang tingakah laku dan konseling dengan banyak membaca atau menelaah buku-buku atau jurnal- jurnal yang relevan; menghadiri acara-acara seminar atau diskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan profesinya. b. Menemukan pengalaman-pengalaman hidup baru yang membentunya untuk lebih mempertajam kompetensi, dan mengembangkan ketrampilan konselingnya. Upaya itu ditempuhnya dengan cara menerima resiko, tanggung jawab, dan tentangan-tantangan yang dapat menimbulkan rasa cemas. Kemudian dia menggunakan rasa cemas itu untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya. c. Mencoba gagasan-gagasan atau pendekatan-pendekatan baru dalam konseling. Maka senantiasa mencari cara-cara yang paling tapat atau berguna untuk membantu klien. d. Mengevaluasi efektivitas konseling yang dilakukannya, dengan menelaah setiap pertemuan konseling, agar dapat bekerja lebih produktif. e. Melakukan kegiatan tindak lanjut terhadap hasil evaluasi yang telah dilaksanakan untuk mengembangkan atau memperbaiki proses konseling.

3. Kesehatan psikologis Konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari kliennya. Hal ini penting karena kesehatan psikologis (psikological health) konselor akan mendasari pemahamannya terhadap perilaku dan keterampilannya. Ketika konselor memahami bahwa kesehatan psikologisnya baik dan dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses konseling tersebut secara lebih positif. Apabila konselor tidak mendasarkan konseling tersebut kepada pengembangan kesehatan psikologis, maka ia akan mengalami kebimbangan dalam menetapkan arah konseling yang ditempuhnya.

57

Kesehatan psikologis konselor yang baik sangat berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor kurang sehat psikisnya, maka dia akan teracuni atau terkontaminasi oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-nilai yang keliru, dan kebingungan. Konselor yang kesehatan psikologisnya baik memiliki kualitas sebagai berikut: a. Memperolah pemuasan kebutuhan rasa aman, cinta, kekuatan dan seks. b. Dapat mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya. c. Menyadari kelemahan atau keterbatasan kemampuan dirinya. d. Tidak hanya berjuang untuk hidup, tetapi juga menciptakan kehidupan yang lebih baik. Konselor dapat menikmati kehidupan secara nyaman. Dia melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, seperti: membaca, menulis, bertamasya, bermain (berolahraga), dan berteman.123 4. Dapat dipercaya (trustworthiness) Kualitas ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut: a. Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya ini, maka rasa frustasi lah yang menjadi hasil konseling. b. Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya. c. Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri. Konselor yang dipercaya cenderung memiliki kualitas sikap dan perilaku sebagai berikut: 1) Memiliki pribadi yang konsisten.

123 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 40.

58

2) Dapat dipercaya oleh orang lain, baik ucapanya maupun perbuatannya. 3) Tidak pernah membuat orang lain (klien) kecewa atau kesal. 4) Bertanggung jawab, mampu merespon orang lain secara utuh, tidak ingkar janji, dan mau membantu secara penuh. 5. Jujur (honesty) Maksud jujur di sini adalah bahwa konselor itu bersikap transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuinei). Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut. a. Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih baik dekat satu sama lainnya di dalam proses konseling. Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan menimbulkan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien. b. Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien. Konselor yang jujur memiliki karakteristik sebagai berikut:124 1) Bersikap kongruen, artinya sifat-sifat dirinya yang dipersepsi oleh dirinya sendiri (real self) sama sebangun dengan yang dipersepsi oleh orang lain (public self). 2) Memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran. 6. Kekuatan (strengyh) Kekuatan atau kemampuan konselor sangat penting dalam konseling, sebab dengan hal itu klien akan merasa aman. Klien memandang konselor sebagai orang yang tabah dalam menghadapi masalah, dapat mendorong klien untuk mengatasi masalahnya, dan dapat menanggulangi kebutuhan dan masalah pribadi. Konselor yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku berikut.

124 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 40-41.

59

a. Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling. b. Bersifat fleksibel. c. Memiliki identitas diri yang jelas. 7. Bersikap hangat Hangat disini maksudnya adalah ramah, penuh pertimbangan dan memberikan kasih sayang. klien yang datang meminta bantuan konselor, pada umumnya yang kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan perhatian, dan kasih sayang. melalui konseling, klien ingin mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan sharing dengan konselor. Apabila hal itu diperoleh maka klien dapat mengalami perasaan yang nyaman. 8. Actives responsiveness Keterlibatan konselor dalam konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan klien. Di sini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang berguna mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi dengan klien tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.125 9. Sabar (patience) Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak tergesa-gesa. 10. Kepekaan (sensitivity) Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada diri klien maupun dirinya sendiri. Klien yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak

125 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 42.

60

menyadari bahwa dirinya bermasalah. Pada diri mereka hanya Nampak gejala- gelajanya, sementara yang sebenanya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa masalah sebenarnya yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku sebagai berikut: a. Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri. b. Mengetahui kapan, di mana, dan berapa lama mengungkap masalah klien (prosing). c. Mengajukan pertanyaan tentang persepsi klien tantang masalah yang dihadapinya. d. Sensitif terhadap sifat-sifat yang mudah teringgung dirinya. 11. Kesadaran holistik (holistic awareness) Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi-dimensi itu meliputi: fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral spiritual.126 Konselor yang memiliki kesadaran holistik cenderung menampilkan karakteristik sebagai berikut. a. Menyadari secara akurat tantang dimensi-dimensi kepribadian yang kompleks. b. Menemukan cara memberikan konsultasi yang tepat dan memperhatikan tentang perlunya referal (rujukan). c. Akrab dan terbuka terhadap berbagai teori.

C. Proses Konseling Proses konseling terlaksana karena hubungan konseling berjalan dengan baik. Menurut Brammer dalam Sofyan S.Willis proses konseling adalah peristiwa yang tengah berlangsung dan memberi makna bagi para peserta konseling tersebut (konselor dan klien).

126 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 43.

61

Setiap tahapan proses konseling membutuhkan keterampilan-keterampilan khusus. Namun keterampilan-keterampilan itu bukanlah yang utama jika hubungan konseling tidak mencapai rapport. Dinamika hubungan konseling ditentukan oleh penggunaan keterampilan konseling yang bervariasi. Dengan demikian proses konseling tidak dirasakan oleh peserta konseling (konselor-klien) sebagai hal yang menjemukan. Akibatnya keterlibatan mereka dalam proses konseling sejak awal hingga akhir dirasakan sangat bermakna dan berguna. Proses konseling pada dasarnya bersifat sistematis. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk sampai pada pencapaian konseling yang sukses. Secara umum proses konseling dibagi atas tiga tahapan:127 1. Tahapan awal konseling Tahap ini terjadi sejak klien menemui konselor hingga berjalan proses konseling sampai konselor dan klien menemukan definisi masalah klien atas dasar isu, kepedulian, atau masalah klien. Adapun proses konseling tahap awal dilakukan konselor sebagai berikut. a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien Hubungan konseling yang bermakna ialah jika klien terlibat berdiskusi dengan konselor. Kunci keberhasilan tersebut pada: pertama, keterbukaan konselor. Kedua, keterbukaan klien artinya dia dengan jujur mengungkapkan isi hati, perasaan, harapan, dan sebagainya. Namun keterbukaan ditentukan oleh faktor yakni dapat dipercayai klien karena dia tidak berpura-pura, akan tetapi jujur, asli, mengerti dan menghargai. Ketiga, konselor mampu melibatkan klien terus menerus dalam proses konseling. Karena dengan demikian, maka proses konseling akan lancar dan segera dapat mencapai tujuan konseling. b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah Jika hubungan konseling telah terjalin baik dimana klien telah melibatkan diri, berarti kerjasama antara konselor dengan klien akan dapat mengangkat isu, kepedulian, atau masalah yang ada pada klien. Sering klien tidak begitu menjelaskan masalahnya, walaupun mungkin dia hanya mengetahui gejala-gejala yang dialaminya. Demikian pula klien yang tidak memahami potensi apa yang

127 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling, 50.

62

dimilikinya, maka tugas konselorlah untuk membantu mengembangkan potensi, memperjelas masalah, dan membantu mendefinisikan masalah bersama-sama. c. Membuat penaksiran dan penjajakan Konselor berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan mengembangkan isu atau masalah, dan merencang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan dia menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah. d. Menegosiasi kontrak Kontrak artinya perjajakan antara konselor dengan klien. Kontrak menggariskan kegiatan konseling, termasuk kegiatan klien dan konselor. Artinya mengandung makna bahwa konseling adalah urusan yang saling ditunjang. Dan bukan pekerjaan konselor sebagai ahli, disamping itu juga mengandung makna tanggung jawab klien, dan ajakan untuk kerja sama dalam proses konseling.128 2. Tahap pertengahan (tahap kerja) Berangkat dari definisi masalah klien yang disepakati pada tahap awal, kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada penjelajahan masalah klien, bantuan apa yang akan diberikan berdasarkan penilaian kembali apa-apa yang telah dijelajahi tentang masalah klien. Menilai kembali masalah klien akan membantu klien memperoleh persepektif baru, alternatif baru, yang mungkin berbeda dengan sebelumnya, dalam rangka mengambil keputusan dan tindakan. Dengan adanya perspektif baru, berarti ada dinamika pada diri klien menuju perubahan. Tanpa perspektif maka klien sulit untuk berubah. Di saat manusia (klien) ataupun pemecahan atas permasalahan yang sedang dihadapinya, maka hendaknya ia mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Meyakini adanya permasalahan yang sedang dihadapi. Apakah permasalahan ini mempunyai kepentingan dalam hidupnya? Apakah permasalahan ini membutuhkan motivasi tertentu yang mengantarkan pada pemecahannya? b. Mengumpulkan banyak informasi sekitar permasalahan yang sedang dihadapi hingga permasalahan tersebut tampak jelas adanya serta dapat ditentukan nilai

128 Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek , 50-51.

63

dan batasannya secara mendetail hingga mempermudah dalam pencarian solusinya. c. Meletakkan opsi-opsi yang sekiranya bisa menjadi solusi atau pemecahan masalah. d. Rekomendasi opsi pemecahan masalah. Di saat seseorang berpikir untuk merumuskan suatu pemecahan permasalahan, maka hendaknya ia menganalisis terlebih dahulu opsi-opsi ini dan membahasnya sesuai dengan informasi yang didapatkannya disertai dengan bukti-bukti yang dapat menunjang terlaksananya opsi ini hingga menjadi kokoh dan bisa diaplikasikan. e. Pemeriksaan lebih lanjut mengenai opsi ini, dengan mengindahkan opsi-opsi yang dianggap tidak layak hingga dapat dipilih opsi terbaik dalam memecahkan permasalahan yang ada. Setelahnya barulah dikumpulkan banyak informasi yang lebih banyak dan lebih membantu merekonstruksi kembali opsi ini agar lebih aplikatif dalam berbagai kondisi.129 Adapun tujuan-tujuan tahap pertengahan ini yaitu: 1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, dan kepedulian klien lebih jauh. Dengan penjelajahan ini, konselor berusaha agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalahnya. Konselor mengadakan reassessment (penilaian kembali) dengan melibatkan klien artinya masalah itu dinilai bersama-sama. Jika klien bersemangat, berarti dia sudah begitu terlibat dan terbuka. Dia akan melihat masalahnya dari perspektif atau pandangan yang lain yang lebih objektif dan mungkin pula dengan berbagai alternaif. Dalam hal ini keterampilan eksplorasi perlu dimiliki klien. Eksplorasi bisa berarti penelusuran atau penggalian. Keterampilan eksplorasi adalah suatu keterampilan konselor untuk menggali perasaan, pikiran dan pengalaman klien. Keterampilan ini penting karena dalam konseling terkadang klien menyimpan rahasia, menutup diri, dan diam seribu bahasa atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya secara terus terang. Melalui keterampilan ini,

129 Muafir Bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 279- 280.

64

akan memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Eksplorasi ada tiga macam: yaitu pertama eksplorasi perasaan yaitu keterampilan konselor untuk menggali perasaan klien yang tersimpan. Kedua, eksplorasi pikiran, yaitu keterampilan atau kemampuan konselor untuk menggali ide, pikiran dan pendapat klien. Ketiga, eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan konselor untuk menggali pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan nonverbal klien. Tingkat terpenting konseling dalam Islam adalah sebagai berikut:130 a) Pengakuan. Apabila seseorang yang berdosa telah mengakui kesalahannya dan kezalimannya pada dirinya di hadapan Allah lah ia bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya, maka sesunggunya Allah akan menerima tobatnya tersebut dan mengampuni semua dosa dan kesalahannya dengan izin-Nya. Pengakuan berarti suatu pengaduan dan keluh kesah atas apa yang menimpa diri dengan niat untuk mengakhiri apa yang telah menimpanya. Hal ini dilakukan dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah yang mahakuasa hingga akhirnya dia berkenan menghapuskan dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan, meringankan siksaan batin, menjernihkan goncangan hati dan mengembalikan rasa aman dalam diri. Di saat seseorang mengakui suatu kesalahan, maka ia akan mengosongkan hati dari perbuatan serupa dan mempublikasikan hal tersebut kepada keadaan. Sehingga, ia akan mampu mempersiapkan diri dalam memperbaiki dirinya dan menjadi orang yang bermanfaat. b) Belajar. Dengannya mampu menghapuskan ataupun mengalihkan perilaku buruk dan juga menyerap perilaku baik. Selain itu, dengan belajar maka seseorang akan mulai menerima dirinya sendiri apa adanya, menerima orang lain dan mampu mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana ia tinggal dengan mengemban tanggung jawab dan membuat target dan tujuan yang realistis dalam kehidupan. Dengan belajar, maka seseorang akan mampu untuk konsisten, bekerja dan berproduktivitas hingga ia mampu menjadi orang yang berguna. Juga mampu mengembangkan

130 Muafir Bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, 84.

65

al-nafs lawwamah dan mendayagunakannya sebagai kekuatan internal dalam diri serta sebagai pengendali tinglah lakunya. c) Sadar. Yang dimaksud adalah adanya satu kesadaran dari seseorang akan penyebab yang mendorongnya melakukan kesalahan dan memahaminya dengan baik serta memahami permasalahan kejiwaan yang dihadapinya. Darinya ia mampu memahami semua hal yang baik baginya dan juga hal yang bisa membahayakannya. Dengan adanya kesadaran dalam diri inilah, maka seseorang dapat menyeimbangkan tingkah lakunya. Ia pun akan semakin merekatkan interaksinya dengan Tuhan dan juga sesamanya. d) Tobat. Ia adalah satu-satuya harapan bagi siapa pun yang berbuat kesalahan, agar kesalahan yang dilakukannya mendapatkan ampunan dari-Nya. Dengan adanya tobat ini, maka seseorang yang melakukan kesalahan ataupun dosa akan mendapatkan kembali keoptimisannya dalam menghadapi hidup. Juga akan mendapatkan ketenangan jiwa serta makin menambah kepercayaan dan kedekatannnya kepada Allah. e) Doa. Doa adalah memanjatkan suatu permohonan kepada Allah agar dia memberikan pertolongan dan bantuan-Nya. Hal inilah yang selalu dilakukan Rasulullah di saat beliau menghadapi kesulitan ataupun musibah yang sangat besar.131 Dapat dipahami bahwa konseling dalam Islam adalah gabungan dari berbagai proses seperti mengembalikan kesadaran, perbaikan, pengarahan, hidayah dan pendidikan hingga setiap individu dapat lebih mengenal dirinya sendiri dan juga Tuhannya. Juga dapat selalu konsisten dalam melakukan ibadah kepada-Nya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sehingga ia akan selalu dapat membentengi dirinya dan juga menghilangkan perasaan bersalahnya ataupun perasaan bahwa ia memiliki banyak kekuatan yang justru mengancam kestabilan jiwanya. Dengan konsisten dalam melakukan ibadahnya pun, ia akan mampu menerima dirinya apa adanya dan memenuhi segala kebutuhannya, baik berupa rasa aman, keberhasilan, penghargaan maupun kestabilan jiwa.

131Muafir Bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, 85-87.

66

2) Menjaga agar hubungan konseling selalu terpelihara. Hal ini terjadi jika: pertama, klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau wawancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri dan memecahkan masalahya. Kedua, konselor berupaya kreatif dengan keterampilan yang bervariasai, serta memelihara keramahan, empati, kejujuran, keikhlasan dalam memberi bantuan. Kreatifitas konselor dituntut pula untuk menyusun renacana bagi penyelesaian masalah dan pengembangan diri. 3) Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kontrak dinegosisasikan agar betul-betul memperlancar proses konseling. Karena itu konselor dan klien agar selalu menjaga perjanjian dan selalu mengingat dalam pikirannya. Pada tahap pertengahan konseling ada lagi beberapa strategi yang perlu digunakan konselor yaitu pertama, mengkomunikasikan nilai-nilai itu, yakni klien selalu jujur dan terbuka dan menggali lagi lebih dalam masalahnya. Kerana kondisi sudah amat kondusif, maka klien sudah merasa dekat, terundang dan tertantang untuk memecahkan masalahny. Kedua, menentang klien sehingga dia mempunyai strategi baru dan rencana baru, melalui pilihan dari beberapa alternatif, untuk meningkatkan dirinya.132 3. Tahap akhir (tahap tindakan) Konselor mengambil inti pokok pembicaraan selama proses konseling berlangsung. Dari kesimpulan pembicaraan akan diketahui bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, apa rencana klien selanjutnya dan pokok-pokok pembicaraan apa yang akan dibicarakan pada sesi selanjutnya. Menjelang sesi akhir wawancara konseling, konselor harus dapat membantu klien untuk dapat membuat rencana berupa suatu program untuk tindakan, yaitu rencana perbuatan nyata yang produktif bagi kemajuan klien. Kemudian konselor mengevaluasi keberhasilan proses konseling yang telah dilaksanakan. Konselor menetapkan sisi

132 Sofyan S. Willis, Konseling Individual, Teori dan Prektek , 52-52.

67

mana dari proses konseling yang telah dicapai dan sisi mana yang belum. Selain itu juga ditetapkan kendala apa yang menjadi penghambat proses konseling. Selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi ditentukan apa tindak lanjutnya (follow up- nya). Keterampilan mengakhiri konseling merupakan suatu kemampuan konselor menutup sesi konseling. Penutupan sesi konseling tidak harus dilakukan secara seragam oleh semua konselor. Masing-masing konselor tentu memiliki teknik tersendiri dalam menutup sesi konseling yang disesuaikan dengan kondisi klien, masalah klien, dan situasi konseling itu sendiri. Secara umum penutupan sesi konseling dilakukan oleh konselor dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mengatakan bahwa waktu konseling akan berakhir. b. Merangkum isi pembicaraan (isi wawancara konseling). c. Menunjukkan kepada klien tentang pertemuannya yang akan datang. d. Mengajak klien berdiri sambil menunjukkan isyarat gerak tangan. e. Menunjukkan catatan singkat kepada klien tentang hasil pembicaraan (hasil wawancara konseling). f. Memberikan tugas-tugas tertentu kepada klien apabila diperlukan.133 Pada Tahapan akhir konseling ditandai beberapa hal yaitu: 1) Menurunnya kecemasan klien. Hal ini ketahui setelah konselor menanyakan keadaan kecemahannya. 2) Adanya perubahan perilaku klien kearah yang lebih positif, sehat dan dinamis. 3) Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas. 4) Terjadinya perubahan sikap positif, yaitu mulai dapat mengoreksi diri dan meniadakan sikap dan suka menyalahkan dunia luar, seperti orangtua, guru, teman, keadaan tidak menguntungkan dan sebagainya.

D. Bentuk-Bentuk Kontribusi Konsep Kepribadian Menurut al-Ghazali dalam Proses Konseling

133 Tohirin, Bimbingan dan Konseling Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), 314- 315.

68

Konsep kepribadian yang dikemukakan oleh al-Ghazali dalam hal ini sangat berkontribusi dalam proses konseling, bentuk-bentuknya sebagai berikut: 1. Mengenal Diri Agar konselor memiliki kualitas pribadi seperti yang telah disebutkan diatas, maka konselor diharapkan mempelajari konsep kepribadian menurut al- Ghazali. Dengan mempelajarinya, konselor akan memahami hakikat dirinya yang akan mengantarkannya pada pemahaman atas jiwa apa yang mendominasinya dengan melihat ciri-ciri yang ditunjukan oleh perilakunya sendiri. Seperti yang telah disebutkan bahwa mengenal diri adalah kunci untuk mengetahui yang lain. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya ada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut ini: siapakah anda, dan dari mana datang? Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini, serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang lain adalah sifat- sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat. Mesti anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yang aksiden dan mana yang esensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tidak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.134 Mengenal diri adalah jalan mengenal Allah, hal ini bisa menjadi bahan renungan bagi seorang konselor untuk memahami tujuan hidupnya. Tujuan hidup adalah kesempurnaan yang mungkin diperoleh yang dirindukan oleh setiap orang. Kesempurnaan manusia adalah yang sesuai dengan substansi esensialnya, (al-Nafs). Kesempurnaan manusia berkaitan erat dengan keutamaan (al-fadha’il), yaitu berfungsinya daya-daya yang dimiliki manusia sesuai dengan tuntutan manusia. Dengan terwujudnya al-fadha’il pada diri seseorang, ia telah memiliki akhlak yang terpuji.135 Allah adalah sumber segala pengetahuan dan hakikat-hakikat, fitrah manusia adalah mengenal Allah dan percaya kepada-Nya. Mengingat-Nya akan memberikan ketenangan didalam

134 Haidar Bagir, Kimia Kebahagiaan, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, The Alchemy of Happiness al-Ghazali, oleh Imam Al-Ghazali, 9-10. 135 Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, 131-134

69

hati setiap orang dan hatinya pun akan lebih peka terhadap kesalahan yang mungkin diperbuatnya serta dengan mengenal-Nya seseorang akan memperoleh kebahagiaan akhirat. Al-Ghazali mempunyai konsep muhasabat al-nafs (koreksi diri) menjelang tidur pada setiap malam. Lain dari pada itu ada cara-cara yang bisa dilakukan oleh konselor untuk mengenal diri yaitu: a. Mencari seorang teman yang shaleh serta menjadikannya sebagai pengawasan keadaan-keadannya serta dapat mengingatkannya atas kejelekan-kejelekannya; b. Jika tidak menemukan seorang teman, maka dengarkanlah perkataanya orang-orang yang dengki dengan mencari kesalahan-kesalahanmu. Ambillah faedah darinya, jangan marah serta jangan memusuhinya jika seseorang telah mengingatkanmu atas suatu kejelekan; c. Jika ada seseorang yang mengingatkanmu ada ular di bajumu yang menyengatmu, maka terimalah segala peringatannya tersebut. Jikalau engaku memahaminya, maka hal tersebut menunjukkan kelemahan imanmu terhadap akhirat, jikalau memaafkan hal tersebut, maka hal itu menunjukkan kekuatan imanmu.136 2. Memperbaiki Diri Agar Tercapai Tingkatan Jiwa Muthma’innah Setelah konselor mengetahui dominasi jiwa yang ada pada dirinya, langkah selanjutnya yaitu melakukan pelatihan. Pelatihan bisa dilakukan melalui perjuangan melawan nafsu (mujahadah) dan latihan-latihan ruhani (riyadhah). Yaitu pada mulanya dengan memaksakan diri melakukan hal-hal yang timbulnya dari adanya akhlak yang baik agar pada akhirnya ia menjadi bagian dari sifat yang mapan. Dicontoh bagi seorang yang ingin memiliki bakat sebagai seorang ahli fiqih haruslah mempelajari dan mempelajari kembali, hukum-hukum fiqih, sampai akhirnya kecakapan tersebut tertanam di hatinya, dan jadilah ia seorang ahli fiqih. Demikian pula seorang yang ingin melakukan pensucian jiwa, tidak

136 Labib, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Mukhatshar Ihya’Ulumuddin, oleh Imam Al-Ghazali, 315-316.

70

mungkin ia mensucikannya, menyempurnakan dan menghiasinya dengan amalan-amalan mulia, hanya dengan melakukan ibadah pada satu malam saja, atau menghindarkan diri dari perbuatan maksiat selama satu hari saja.137 Jadi seseorang yang ingin menyucikan jiwanya harus berkelanjutan dalam prosesnya hingga tercapai jiwa muthma’innah. Dengan mempelajari, memahami dan mempraktekkan hal ini, konselor dapat mencapai kualitas pribadi seperti yang telah dikemukakan diatas, karena kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu agar tercapai konseling yang efektif. 3. Mengajarkannya Kepada Klien Konselor dalam proses konseling akan menemui klien yang berbeda- beda. Sebagaimana konselor, klien juga dilatarbelakangi oleh sikap, nilai-nilai, pengalaman, perasaan, budaya, sosial, ekonomi dan sebagainya. Semua itu membentuk kepribadiannya. Saat berhadapan dengan konselor didalam proses konseling, maka latar belakang tersebut akan muncul baik dengan sengaja dimunculkan maupun muncul dengan sendirinya, seperti sikap. Ada klien yang bersikap curiga terhadap konselor sehingga tidak mau terbuka dalam pembicaraan, ada lagi klien emosional, marah dan menyerang konselor dengan kata-kata. Dibalik itu ada yang diam saja, mengangguk- angguk saja dan sedikit sekali kalimat yang keluar dari mulutnya. Ada juga klien yang acuh tak acuh alias cuek tapi akan ditemukan pula yang angkuh, manja dan tergantung pada konselor dan banyak pula yang menolak. Ragam keadaan klien bukan berarti membuat konselor putuas asa, akan tetapi seharusnya belajar lebih banyak bagaimana cara mengantisipainya. Tujuan umum dari konseling Islam ialah membantu klien agar ia memiliki pengetahuan tentang posisi dirinya dan memiliki keberanian mengambil keputusan untuk melakukan suatu perbuatan yang dipandang baik, benar, dan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia dan untuk kepentingan akhirat. Salah satu upaya konselor adalah mengenali potensi dan kelemahan

137 Muhammad al-Baqir, Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia, Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul, Tahzib Al-Akhlaq wa Mu’alajat Amradh Al-Qulub oleh Imam Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Karisma, 1997), 55-56.

71

serta kesulitan klien, kemudian klien akan mengungkapkan segalanya dengan jujur dan terbuka. Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga memahami klien serta mampu mengajar cara memahami diri itu kepada klien. Keteladanan pribadi konselor dapat menyentuh perasaan klien untuk mengidentifikasi diri konselor. Diharapkan setelah klien menjalani proses konseling bisa lebih mengenal dirinya, berusaha untuk memperbaiki diri dengan mengoreksi diri dan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah dengan memperbaiki kualitas ibadahnya agar tercapai ma’rifah kepada Allah sehingga terwujud ketengan dalam hatinya. Untuk lebih mudah memahami bagaimana kontribusi konsep kepribadian menurut al-Ghazali dalam proses konseling bisa dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.1 No Bentuk Penjelasan Cara Kontribusi

1 Mengenal diri -Mengetahui - Muhasabat al-nafs pendominasian jiwa (koreksi diri) dalam diri konselor

dengan melihat ciri-ciri yang ditunjukan dari perilakunya yang berpatokan pada konsep kepribadian menurut al- Ghazali - Memahami tujuan hidupnya

2 Memperbaiki diri -Konselor melakukan -Melawan nafsu agar tercapai pelatihan-pelatihan (mujahadah) tingkatan jiwa secara berkelanjutan -Latihan-latihan ruhani muthma’innah hingga tercapai jiwa (riyadhah) pada mulanya muthma’innah dengan memaksakan diri melakukan hal-hal yang timbulnya dari adanya akhlak yang baik agar

72

pada akhirnya ia menjadi bagian dari sifat yang mapan

3 Mengajarkannya -Dalam proses -Menjelaskan dan Kepada Klien konseling seorang mengajarkan konsep konselor akan kepribadian menurut al- berhadapan dengan Ghazali secara runtut klien yang memiliki agar klien memiliki kualitas jiwa yang pemahaman akan dirinya berbeda-beda sendiri sehingga klien akan lebih peka terhadap -Tujuan umum dari apa yang terjadi pada konseling Islam ialah dirinya membantu klien agar ia memiliki pengetahuan tentang posisi dirinya dan memiliki keberanian mengambil keputusan untuk melakukan suatu perbuatan yang dipandang baik, benar, dan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia dan untuk kepentingan akhirat -Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga memahami klien serta mampu mengajar cara memahami diri itu kepada klien.

73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Permasalahan sekaligus hasil penelitian telah disajikan. Ada beberapa hal yang dapat ditarik kesimpulan mengenai konsep kepribadian menurut al-Ghazali dan kontribusinya dalam proses konseling. Adapun kesimpulan dari pemaparan penelitian di atas ialah sebagai berikut: 1. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakan dari yang lainnya. Al-Ghazali menggunakan berbagai term untuk esensi manusia yaitu hati (al-Qalb), ruh (al-Ruh), akal (al-Aql) dan jiwa (al- Nafs). Empat komponen ini adalah pembentuk jiwa manusia, baik itu jiwa Ammarah (jiwa yang selalu memaki atau mencela), Lawwamah (jiwa yang selalu memaki atau mencela), Muthma’innah (jiwa yang tenang). Pendominasiannya akan berbeda-beda pada setiap manusia tergantung usaha yang dilakukannya. 2. Adapun bentuk-bentuk kontribusi konsep kepribadian al-Ghazali dalam proses konseling adalah: a. Mengenal Diri Dengan mengacu pada konsep kepribadian al-Ghazali konselor bisa mengetahui pendominasian jiwanya dengan cara mengenal diri karena dengan cara inilah konselor bisa mengetahui yang lainnya. Al-Ghazali mempunyai konsep muhasabat al-nafs (koreksi diri) menjelang tidur pada setiap malam. Cara lain yaitu dengan mencari teman yag shaleh, mendengarkan perkataan orang dengki suka mencari kesalahan ataupun dengan menerima peringatan orang lain tentang diri walaupun itu menyakitkan. Mengenal diri adalah jalan untuk mengenal Allah, hal ini bisa menjadi bahan renungan bagi seorang konselor untuk memahami tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan akhirat. b. Memperbaiki diri agar tercapai tingkatan jiwa muthma’innah

73

74

Setelah konselor mengetahui dominasi jiwa yang ada pada dirinya, langkah selanjutnya yaitu melakukan pelatihan. Pelatihan bisa dilakukan melalui perjuangan melawan nafsu (mujahadah) dan latihan-latihan ruhani (riyadhah). Dengan cara memaksakan diri, hingga terwujud sifat yang usahakannya itu. c. Mengajarkannya kepada klien Dalam konseling, konselor akan menemui berbagai macam bentuk klien, ada yang cepat menerima perubahan ataupun sebalaiknya, untuk pemecahan masalahnya hal ini tergantung jiwa apa yang mendominasinya. Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia akan terampil juga memahami klien serta mampu mengajar cara memahami diri itu kepada klien. Keteladanan pribadi konselor dapat menyentuh perasaan klien untuk mengidentifikasi diri konselor. Dengan mempelajari, memahami dan mempraktekkan hal ini, konselor dapat mencapai kualitas pribadi seperti yang telah dikemukakan diatas, karena kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu tercapai konseling yang efektif.

B. Saran Konsep kepribadian menurut al-Ghazali sangatlah membantu konselor dalam proses konseling. Al-Ghazali memaparkan hakikat manusia secara mendalam, untuk mengetahui komponen apa saja yang membentuk suatu perilaku. Dari sini juga dapat diketahui pendominasian jiwa dalam diri, dengan cara mengenal diri karena dengan mengenal diri adalah kunci mengetahui hal yang lainnya. Al-Ghazali juga menyebutkan cara-cara yang dapat ditempuh seorang konselor untuk mengenal diri, konselor bisa mempraktekkan hal ini pada dirinya ataupun kepada klienya dalam proses konseling. Hal ini dilakukan agar konselor memiliki kualitas pribadi seperti yang telah dibahas. Konselor dapat merujuk pada buku-buku karangan al-Ghazali seperti ihya‘ ulumuddin, Kimiya’ Al-Sa’adah dan buku-buku pendukung yang lain. Bagi para penulis selanjutnya yang tertarik dengan bahasan ini, sebenarnya masih banyak yang bisa diperdalam dari bahasan ini untuk menambah keilmuan dan di terapkan untuk diri sendiri.

75

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Suryadi, Rudi. “Telaah Konseptual Mengenai Konsep Jiwa Manusia.” Jurnal Pendidikan Agama Islam. Volume 14, Nomor.1 (2016). Ahmad, Hasbullah. Mewujudkan Ketenangan Jiwa. Jakarta: Gaung Persada (GP) Press Jakarta, 2012. al-Baqir, Muhammad. Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Tahzib Al-Akhlaq wa Mu’alajat Amradh Al-Qulub” oleh Imam Al-Ghazali. Bandung: Penerbit Karisma, 1997. Ali Riyadi, Ahmad. Psikologi Sufi Al-Ghazali. Yogyakarta: Panji Pustaka, 2008. Arianes. “Konsep al-nafs dan al-ruh Sebagai Media Pembinaan Akhlak al- Ghazali”. skripsi. Jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2014. Aswadi, Erit. “Prespektif al-Ghazali dan Sigmund Freud Tentang Kepribadian Manusia Ditinjau dalam Prespektif Konseling”. Skripsi. (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012. Bagir, Haidar. Kimia Kebahagiaan. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “The Alchemy of Happiness al-Ghazali” oleh Imam Al-Ghazali. Bandung: Penerbit Mizan, 1995. Baraja, Abubakar. Psikologi Konseling dan Teknik Konseling. Jakarta: Studia Press, 2006. Bin Said Az-Zahrani, Muafir. Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Dunya, Sulaiman. Al Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2002. Gumiandari, Septi. “Kepribadian Manusia dalam Perspektif Psikologi Islam (Telaah Kritis Atas Psikologi Kepribadian Modern).” Holistik. Volume 12 Nomor. 1 (2011). Ismaiel, Junaidi. Intisari Ihya’ Ulumuddin. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Mukhtashar Ihya’ Ulummudin” oleh Imam Al-Ghazali. Jakarta: PT Serambi Semesta Distribusi, 2016. Kurniawan, Irwan. Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Mukasyafah Al-Qulub: Al-Muqarrib Ila Hadhrah

75

76

‘Allam Al-Ghuyub Fi ‘Ilm At-Tashawwuf” oleh Imam Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Kurniawan, Irwan. Mutiara Ihya’ Ulumuddin. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Mukhtashar Ihya’ Ulummudin” oleh Imam Al-Ghazali. Bandung: Penerbit Mizan, 1997. Labib. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Mukhatshar Ihya’Ulumuddin” oleh Imam Al-Ghazali. Surabaya: Himmah Jaya Surabaya, 2004. Lathifah, Elly. Ringkasan Shahih Muslim. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Mukhtashar Shahih Muslim” oleh M. Nashiruddin Al-Albani. Jakarta: Gema Insani Press. Mahmud. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2011. Mubarok, Achmad. Al-Irsyad An-Nafsiy Konseling Islam Teori dan Kasus. Jakarta: Bin Arena Perwira, 2000. Mubarok, Achmad. Sunnatullah dalam Jiwa Manusia (Sebuah Pendekatan Psikologi Islam). Jakarta: IIIT Indonesia, 2002. Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002. Mujib, Abdul. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo, 2006. Mukhtar. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Referensi, 2013. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1999. P chaplin, James. Kamus Lengkap Psikologi Terjemah Kartini Kartono. Jakarta: PT. Rajagrafindo, 1989. Rahman Sholeh, Abdul. Pendidikan Agama dan Pengembangan untuk Bangsa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005. S. Willis, Sofyan. Konseling Individual, Teori dan Prektek. Bandung: Alfabeta, 2013. Sahli, Mahfudli. Dibalik Ketajaman Mata Hati. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Mukasyafatul Qulub” oleh Imam Al-Ghazali. Jakarta: Pustaka Amani, 1997.

77

Said Basir, Victor. Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Libanani, Tt. Shazlan Faidz Bin Roselan, Muhammad. “Konsep Bimbingan Kepribadian Tazkiyah Al-Nafs dalam Perspektif al-Ghazali”. Skripsi. Jambi: UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, 2018. Slamet Riyadi, Dedi dan Fauzi Bahreisy. Fauzi. Kimiya’ Al-Sa’adah (Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi). Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “The Alchemy of Happiness” dengan merujuk pada edisi bahasa Arab, “Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah” oleh Imam Al-Ghazali. Jakarta: Penerbit Zaman, tt. Thaha, Ahmadie. Al-Ghazali Mencari Makrifah. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Manhaj Al-Bahats’an Al-Ma’rifat ‘Indra Al-Ghazali” oleh Victor Said Basil. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. Tohirin. Bimbingan dan Konseling Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: Rajawali Pers, 2014. Yakub, Ismail. Ihya’ Ulumiddin Jiwa Agama Jilid 1 dan 4. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Ihya’Ulumiddin” oleh Imam Al-Ghazali. Kuala Lumpur: Victory Ajensi, 1988. Yasir Nasution, Muhammad. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: Rajawali, 1988. Yusuf, Syamsu dan Juntika Nurihsan. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012. Yusuf, Syamsu. Mental Hygiene. Bandung: Pusaka Bani Quraisy, 2004. Zainuddin. Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

78

CURRICULUM VITAE

Nama : Hana Mukaromah TTL : Madiun, 15 Agustus 1997 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Fak/Jur : Dakwah/Bimbingan Penyuluhan Islam NIM : UB. 150093 Alamat Asal : Dusun Sungai Kemang, kel. Sungsang Kec. Senyerang Kab. Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi Alamat Sekarang : Pemondokan/Kost Cemara No.55 Rt.09, Rw. 08, Desa Mendalo darat, Kec. Jaluko, Kab. Muaro Jambi.

Riwayat Pendidikan SD : SD NEGERI SUKOREJO 02 (2003-2009) SMP : SMP NEGERI 01 KEBONSARI (2009-2012) SMA : SMA SWASTA AL-ARIEF (2012-2015) UNIVERSITAS : UIN STS JAMBI (2015-2019) Motto :Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan kemanfaatan bagi manusia yang lainnya