Jurnal komunikasi, ISSN 1907-898X Volume 7, Nomor 2, April 2013

TV Publik dan Lokalitas Budaya: Urgensinya di Tengah Dominasi TV Swasta

Puji Rianto Direktur Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP)

Intania Poerwaningtias Peneliti pada Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP)

Abstract This article discusses about public service broadcasting and the urgency of culture program, especially the local culture program. This discussion based on the argument that broadcasting in is dominated by private television that considered rating as the principal goal. In the other hand, local culture programs are ignored as the result of sentralized broadcasting system. In fact, local culture program is very required. It is showed by the popularity of culture program “Pangkur Jenggleng” that shows on TVRI Jogja. For public service broadcasting, culture program is one of their duty and mission that must be carried on. Keyword : public service broadcasting, private domination, local culture

Abstrak Artikel ini membahas lembaga penyiaran publik dan urgensi program budaya, terutama yang bermuatan budaya lokal. Bahasan ini didasarkan pada argumen bahwa penyiaran di Indonesia didominasi oleh stasiun televisi swasta yang menganggap rating adalah segalanya. Di sisi lain, program budaya lokal menjadi diabaikan, sebagai hasil dari sistem penyiaran yang sentralistik. Pada faktanya, program budaya lokal sangatlah penting. Ini ditunjukkan dengan popularitas program budaya “Pangkur Jenggleng” yang ditayangkan oleh TVRI Jogja. Bagi lembaga penyiaran publik, program budaya adalah salah satu tugas dan misi yang harus dipenuhi. Kata Kunci: lembaga penyiaran publik, dominasi swasta, budaya lokal

Pendahuluan Indikasinya, baik media cetak maupun

Reformasi 1998 telah mengubah elektronik tidak lagi dikenakan sedemikian rupa sistem ekonomi politik di pembredelan, dan pihak manapun Indonesia, yang terimbas satu di dilarang menghalangi wartawan menggali antaranya adalah sistem penyiaran. Jika informasi. Media benar-benar berorientasi pada masa Orde Baru sistem penyiaran untuk melayani publik dan juga pasar. diorientasikan untuk melayani negara Namun dominasi televisi swasta— (baca penguasa), maka setelah Orde Baru terutama televisi swasta Jakarta yang tumbang menjadi jauh lebih demokratis. siaran nasional menunjukkan bahwa

163

Jurnal komunikasi, Volume 7, Nomor 2, April 2013

kondisi pertelevisian Indonesia tengah informasi yang relevan. Bahkan, dalam bergerak dari otoritarianisme negara kasus tertentu, kandidat Gubernur di menuju otoriarianisme pasar. Saat ini, ada suatu daerah harus beriklan di televisi 11 stasiun televisi siaran nasional, yakni Jakarta, begitu pula debat kandidatnya. TVRI, RCTI, SCTV, , MNC TV, Hal ini membuat masyarakat di daerah Global TV, Trans TV, Trans 7, ANTEVE, lain harus mendapati informasi yang tidak TVOne, dan Metro TV . Di antara kesebelas relevan dengan kehidupan politiknya lembaga siaran tersebut, hanya TVRI yang sehari-hari. Sementara, televisi swasta merupakan televisi publik. Selebihnya, lokal tidak mampu berbuat banyak karena televisi swasta komersial yang sangat tersedotnya seluruh sumber daya di sentralistik karena dikuasai oleh beberapa daerah oleh televisi-televisi swasta yang pemilik saja. siaran nasional.

Terlalu kuatnya dominasi televisi Dalam situasi semacam ini, swasta dalam dunia penyiaran tentu akan keberadaan lembaga penyiaran publik mengundang masalah. Pertama , demi seperti TVRI—terlepas dari persoalan mengejar iklan dan keuntungan yang melilitnya—sangat dibutuhkan perusahaan, televisi-televisi swasta itu karena beragam alasan pula. Pertama , visi akan jauh lebih mementingkan rating lembaga penyiaran publik sangat berbeda dibandingkan dengan membuat program dibandingkan dengan televisi swasta. acara yang bagus. Akibatnya, tayangan Eksistensi lembaga penyiaran publik televisi banyak dipenuhi oleh “tayangan- adalah menciptakan program yang tayangan sampah” yang hanya mempunyai nilai edukasi dan budaya yang menekankan nilai hiburan dibandingkan tinggi, sedangkan televisi swasta demi edukasi. Kedua , tayangan berita dan rating dan keuntungan. Kedua , lembaga informasi yang penting dalam mendorong penyiaran publik seyogianya tidak demokrasi akan teracuni oleh motif-motif bergantung pada iklan karena dana mengejar rating dan keuntungan. disediakan oleh negara (atau bisa juga Market-driven journalism (lihat license fee ) sehingga lembaga penyiaran McManus, 1994) akan mengalahkan publik lebih bisa diandalkan sebagai public-driven journalism sehingga dunia sumber informasi. Ketiga , dalam konteks pemberitaan akan dipenuhi berita-berita Indonesia, lembaga penyiaran publik politik yang penuh skandal, sensasional, seyogianya menjadi penyeimbang lembaga dan dangkal. Ketiga , tergerusnya penyiaran swasta yang sangat komersial. demokrasi lokal. Berita dan informasi Dengan demikian, budaya populer yang adalah prasyarat penting demokrasi. berkembang tidak semata budaya pasar, Dominasi televisi Jakarta di daerah tapi juga budaya yang mempunyai “nilai membuat publik tidak mendapatkan pencerahan”.

164

Puji Rianto & Intania Poerwaningtias , TV Publik dan Lokalitas Budaya: Urgensinya di Tengah Dominasi TV Swasta Jakarta

Berangkat dari beragam argumen Mendefinisikan Lembaga Penyiaran di atas, tulisan ini ingin menyoroti Publik bagaimana program-program budaya Gazali dan Manayang (Gazali, lokal diminati oleh masyarakat. Tulisan 2002) mengemukakan bahwa lembaga ini akan mengambil contoh kasus acara penyiaran publik adalah lembaga Pangkur Jenggleng Ayom Ayem yang penyiaran yang mempunyai visi untuk tayang di TVRI Jogja (selanjutnya memperbaiki kualitas kehidupan publik, disingkat menjadi Pangkur Jenggleng ). kualitas kehidupan suatu bangsa, dan juga Sebagai lembaga penyiaran publik, kualitas hubungan antarbangsa pada menjaga identitas kebudayaan adalah umumnya. Selain itu, lembaga penyiaran salah satu tugas utama TVRI , dan publik mempunyai misi untuk menjadi Pangkur Jenggleng kemudian menjadi forum diskusi, artikulasi, dan pelayanan salah satu program kebudayaan yang kebutuhan publik. Menurut Gazali dan dimaksud. Program ini diangkat sebagai Manayang, lembaga penyiaran publik suatu kajian karena setidaknya dua memberikan pengakuan secara signifikan alasan. Pertama , hasil survei menyatakan terhadap peran supervisi dan evaluasi oleh bahwa Pangkur Jenggleng merupakan publik dalam posisinya sebagai khalayak tayangan budaya yang paling populer di dan partisipan yang aktif, karena itu , bahkan mampu menembus lembaga penyiaran publik bukanlah dominasi televisi - televisi Jakarta yang lembaga penyiaran pemerintah serta sangat profit oriented . Ini menunjukkan bukan pula lembaga penyiaran yang kuatnya kebutuhan masyarakat akan semata-mata mendasarkan dirinya pada program budaya yang bersifat sangat hukum-hukum pasar. lokal. Kedua , dengan menunjukkan Acuan lembaga penyiaran publik betapa program kebudayaan seperti juga bisa disimak dalam undang-undang Pangkur Jenggleng diminati khalayak, penyiaran. Pasal 14 ayat (1) undang- tulisan ini ingin menunjukkan bahwa undang tersebut menyatakan bahwa dominasi siaran televisi Jakarta di seluruh lembaga penyiaran publik sebagai Indonesia, bukan saja keliru jika dilihat lembaga penyiaran yang berbentuk badan dari aspek hukum, tapi juga menegasikan hukum yang didirikan oleh negara, kebutuhan masyarakat di tingkat lokal. bersifat independen, netral, tidak Kebudayaan lokal hanya mungkin dilayani komersial, dan berfungsi memberikan oleh siaran televisi lokal, dan lebih-lebih layanan untuk kepentingan masyarakat. lembaga penyiaran publik. Secara khusus, Pasal 4 PP No. 13

Tahun 2005, mengenai tugas TVRI adalah sebagai berikut.

165

Jurnal komunikasi, Volume 7, Nomor 2, April 2013

TVRI mempunyai tugas harus melayani banyak komunitas. Oleh memberikan pelayanan informasi, karena itu, daya jangkau menjadi sangat pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta penting dalam lembaga penyiaran publik melestarikan budaya bangsa untuk karena jangkauan akan sangat kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui menentukan banyaknya komunitas yang penyelenggaraan penyiaran televisi mampu dilayani. yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Di titik ini, lembaga penyiaran Indonesia. publik tidak berkait erat dengan pasar, Sasa Djuarsa Sendjaja (2006: 498- dan tidak berkait dengan rating. Sejauh 500) mengemukakan empat alasan komunitas itu eksis dalam suatu wilayah mengenai pentingnya lembaga penyiaran layanan, maka komunitas itu harus publik dalam sistem demokrasi. Pertama , dilayani berapapun banyaknya. Ketiga , dalam konteks kehidupan demokrasi dan penyiaran publik merupakan entitas penguatan masyarakat sipil, publik berhak penyiaran yang memiliki concern lebih mendapatkan siaran yang lebih terhadap identitas dan kultur nasional. mencerdaskan, lebih mengisi kepala Keberadaan lembaga penyiaran publik dengan sesuatu yang lebih bermakna penting dalam rangka menjaga identitas dibandingkan sekadar menjual kepala dan kultur nasional yang bersifat dinamis. kepada pemasang iklan melalui logika Keempat , demokrasi media niscaya rating . Kedua , warga berhak memperoleh memerlukan lembaga penyiaran yang siaran yang mencerdaskan tanpa adanya bersifat independen, baik dilihat dari batasan geografis, lebih-lebih sosio-politis. kepentingan negara maupun komersial. Lembaga penyiaran swasta akan selalu Lembaga penyiaran yang dikontrol negara berpikir dalam kerangka besaran jumlah akan cenderung menjadi ideological state penduduk dan potensi ekonomi untuk aparatus , sedangkan lembaga penyiaran membuka jaringannya sehingga daerah- yang dikontrol swasta akan daerah yang miskin dan secara ekonomi mengakibatkan penggunaan logic of tidak menguntungkan tidak akan accumulation and exclusion sebagai mendapatkan layanan siaran swasta. Oleh penentu apa dan bagaimana sesuatu karena itu, beberapa pihak mengatakan ditayangkan. bahwa perbedaan lembaga penyiaran komunitas dan lembaga penyiaran publik

terletak pada banyaknya komunitas yang Urgensi Program Budaya dilayani (Gazali, 2002; lihat juga Higgins, Lukas Ispandriarno, dalam 2008). Lembaga penyiaran komunitas kesaksian di Mahkamah Konstitusi, 1 melayani hanya satu komunitas,

sedangkan lembaga penyiaran publik 1 Risalah Sidang Perkara Nomor 78/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 166

Puji Rianto & Intania Poerwaningtias , TV Publik dan Lokalitas Budaya: Urgensinya di Tengah Dominasi TV Swasta Jakarta mengemukakan bahwa kemajemukan demokrasi, kebudayaan, dan seterusnya budaya bangsa tidak mendapatkan tempat akan didominasi oleh cara pandang pasar. sama sekali dalam layar televisi swasta. Dilihat dari sistem politik Sebaliknya, yang muncul justru sajian demokrasi, kuatnya dominasi pasar ini infotainment yang dangkal, tidak jelas tidak akan menguntungkan. Dalam mengembangkan nalar, tidak Rich Media Poor Democracy , Chesney menumbuhkan cita rasa yang baik, jauh mengemukakan bahwa dari suasana reflektif, dan sebagainya. Hal hiperkomersialisasi dan oligopoli dalam yang kurang lebih sama dikemukakan oleh sistem media telah mengancam demokrasi Hanif Suranto dari Lembaga Studi Pers dan opini publik. Douglas Kellner juga 2 dan Pembangunan (LSPP). Menurutnya, menyampaikan keberatan-keberatan yang selain bahwa media-media lokal sangat sama menyangkut kuatnya kapitalisasi bias Jakarta, konsentrasi kepemilikan penyiran dan implikasinya bagi pada akhirnya berimbas pada demokrasi. Sebagaimana dikemukakan homogenisasi isi, dan pada upaya Kellner (Ibrahim, 2011: 7), fondasi dari penunggalan opini publik. imperatif kapitalis dalam ‘sistem Dominannya neoliberalisme dalam penyiaran’ komersial sebagai antitesis bagi penyelenggaraan penyiaran di Indonesia demokrasi itu sendiri. Ini disebabkan oleh akan berimplikasi serius bagi masa depan kurangnya tanggung jawab korporat, demokrasi dan kebudayaan di Indonesia. akses gelombang udara