TIPOLOGI PENGGUNAAN LAHAN OLEH MASYARAKAT PADA ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA DI KABUPATEN TIMUR (Typology of Land Use by Community on Buffer Zone of Aketajawe Lolobata National Park in East Halmahera Regency)

Lis Nurrani12 , M. Bismark & Supratman Tabba 1 1Balai Penelitian Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura, Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget Kota Manado, , e-mail: [email protected]. 2Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Jl. Gunung Batu No 5 PO Box 165 Bogor, Indonesia; e-mail: [email protected] Diterima 4 April 2014, direvisi 17 Juli 2014, disetujui 4 Agustus 2014

ABSTRACT Role of buffer zone is vital for conservation and sustainability of a national park, because it can hinder from negative activity of the community to the conservation area. This research was conducted in Aketajawe Lolobata National Park buffer zone. Aimed to obtain the ideal model of land management based on land use patterns, biophysical condition and wildlife habitat parameters. Sample villages and respondents determined by purposive sampling, with sampling intensity 10%. Research methods using combination of semi-structured interview technique and field survei. Scrutiny results revealed that Aketajawe Lolobata National Park buffer zone composed of green lane, interaction pathways and cultivation pathways. This zone is dominated by interaction pathway in the form of mixed garden, monoculture garden and intercropping garden with coconut as a major plant. While teak community forests which should be the main plant species on interaction pathways, it was found on cultivation pathways. Wildlife on community land use consists of 39 species of birds, five species of mammals, seven species of reptiles, two species of amphibians and various of insects and other water animals. Mixed garden is the most ideal land use patterns based on the criteria of land biological conservation and environmental availability as a wildlife habitat. Keywords: Land use, local community, buffer zone, Aketajawe Lolobata National Park.

ABSTRAK Peran zona penyangga sangat vital bagi konservasi dan kelestarian sebuah taman nasional, wilayah ini merupakan penyangga bagi aktivitas negatif masyarakat ke dalam kawasan konservasi. Penelitian ini dilakukan pada zona penyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Bertujuan untuk memperoleh model pengelolaan lahan yang ideal berdasarkan parameter pola penggunaan lahan, kondisi biofisik lahan dan habitat satwa. Desa sampel dan responden ditentukan secarapurposive sampling , dengan intensitas sampling 10%. Metode pengambilan data menggunakan kombinasi teknik wawancara semi terstruktur dan survei lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zona penyangga Lolobata terdiri dari jalur hijau, jalur interaksi dan jalur budidaya. Wilayah ini didominasi oleh jalur interaksi berupa pola kebun campuran, kebun murni dan kebun tumpangsari dengan tanaman utama kelapa. Hutan rakyat jati yang seharusnya menjadi jenis tanaman utama penyusun jalur interaksi justru ditemukan pada jalur budidaya. Satwa yang diketahui melakukan aktivitas pada penggunaan lahan masyarakat yaitu sekitar 39 jenis burung, lima jenis mamalia, tujuh jenis reptilia, dua jenis amfibi dan selebihnya serangga dan satwa air lainnya. Kebun campuran merupakan pola penggunaan lahan paling ideal berdasarkan kriteria konservasi biologi lahan dan ketersediaan lingkungan sebagai habitat satwa. Kata kunci: Penggunaan lahan, masyarakat lokal, zona penyangga, Taman Nasional Aketajawe Lolobata.

I. PENDAHULUAN penting. Desakan ekonomi dan keperluan akan perluasan lahan pertanian di sekitar taman nasional Permasalahan yang dihadapi untuk mengaman- menjadi problematika kawasan konservasi dan kan kawasan hutan dari intervensi masyarakat merupakan legitimasi pentingnya optimalisasi dalam pengelolaan taman nasional, menyebabkan daerah penyangga. Daerah penyangga (buffer zone) keberadaan daerah penyangga menjadi sangat berperan sangat penting bagi kelestarian taman

223 Tipologi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat pada Zona Penyangga Taman Nasional ... (Lis Nurraniet al. ) nasional, sebab zona ini dapat menjadi pilar utama biofisik daerah penyangga sangat diperlukan guna dalam mengurangi tekanan penduduk terhadap mendapatkan model pengelolaan yang sesuai. kawasan. Menurut Beckman (2004) daerah Penelitian ini merupakan kajian yang dilakukan penyangga berfungsi untuk melindungi kawasan pada zona penyangga Lolobata dengan tujuan konservasi terhadap gangguan dari luar dan untuk memperoleh model pengelolaan yang ideal gangguan yang berasal dari wilayah pemukiman. berdasarkan parameter penggunaan lahan, kondisi Pengelolaan daerah penyangga adalah sinergi- biofisik lahan dan habitat satwa. sitas manajemen hutan dan pertanian sesuai dengan kondisi fisik daerah untuk mendapatkan hasil optimal guna menunjang sistem perekonomian II. METODE PENELITIAN masyarakat lokal. Penetapan kawasan konservasi dan pengelolaan daerah penyangga seyogyanya A. Waktu dan Lokasi Penelitian mengolaborasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat (Bismark & Sawitri, 2007), Penelitian dilakukan pada desa-desa yang sehingga daerah penyangga memiliki kontribusi berada di sekitar daerah penyangga Lolobata ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidup dan kawasan TNAL. Secara keseluruhan kawasan ini mampu membangun persepsi masyarakat untuk berada pada wilayah administrasi Kabupaten menjaga kelestarian kawasan konservasi, khususnya Halmahera Timur Provinsi Utara. Desa pada masyarakat desa sekitar kawasan yang Bangul di Kecamatan Maba Tengah dan Desa berinteraksi intensif terhadap kawasan hutan. Peka-ulang di Kecamatan Maba yang merupakan Kawasan Lolobata yang berada di Kabupaten wilayah SPTN II Maba, Desa Tutuling Jaya di Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara Kecamatan Wasile Timur dan Dusun Tukur-Tukur merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional di Kecamatan Wasile yang merupakan wilayah Aketajawe Lolobata (TNAL), dan menjadi salah SPTN III Subaim dipilih sebagai lokasi penelitian. satu wilayah konservasi potensial konflik dengan Pengambilan data hingga analisis data dilaksanakan masyarakat sekitarnya. Kawasan ini menjadi wilayah pada bulan Mei-September 2012. penting dan sumber mata air beberapa DAS di Pulau Halmahera yaitu Akelamo, Akegagaili, B. Bahan dan Alat Penelitian Aketutuling, Akedodaga, Ake-gau, Akeluwau, Alat yang digunakan adalah daftar pertanyaan, Akebawas, Akeonat, Akelili dan Akemabulan (Balai tally sheet, milimeter block , GPS, peta kerja TNAL, TNAL, 2011). Kawasan Lolobata telah dizonasi kamera, altimeter, papan data,personel use , ring namun masih berstatus penunjukan dan saat ini tanah, sekop mini, plastik sampel, teropong sedang menunggu keputusan dari Menteri dan alat tulis. Bahan yang menjadi obyek dalam Kehutanan (Simajuntak, 2012). kegiatan penelitian ini adalah lahan dan mas- Penguasaan lahan merupakan polemik yang yarakat yang berada di sekitar zona penyangga menjadi permasalahan pada TNAL, di mana Lolobata. masyarakat mengklaim batas dan sebagian wilayah kawasan tersebut sebagai lahan pertanian warisan C. Metode Penelitian leluhur. Sebagai contoh masyarakat melakukan pengavelingan lahan pada hulu Sungai Dodaga yang 1. Desa sampel dan responden ditentukan secara merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman purposive sampling berdasarkan pola pemanfaatan Nasional (SPTN) III Subaim (Balai TNAL, 2010). lahan masyarakat, dengan intensitas sampling Taman nasional rawan terhadap ancaman oleh 10% dari jumlah populasi kepala keluarga yang perubahan tata guna lahan atau gangguan lainnya, memanfaatkan lahan di dalam dan di sekitar sehingga harus dibentuk zona penyangga dan zona zona penyangga Lolobata. transisi untuk melindungi kawasan dari gangguan 2. Metode pengambilan data dilakukan dengan yang berasal dari luar maupun dari dalam taman menggunakan kombinasi teknik wawancara nasional (Wiratno,1994). semi terstruktur dan survei lapangan. Data dan informasi mengenai karakteristik 3. Untuk mengamati perbedaan kandungan sifat masyarakat dan bentuk-bentuk aktivitasnya dalam kimia tanah pada tiap pola penggunaan lahan mengelola lahan dan hasil hutan serta kondisi dilakukan pengambilan sampel tanah terusik.

224 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 223 - 235 Sumber (Source ): Nurraniet al . (2012). Gambar 1. Peta lokasi penelitian Figure 1. Research sites map

4. Untuk mengetahui perbedaan jenis-jenis satwa tanaman kehutanan yang tidak saja untuk meng- khususnya avifauna yang beraktivitas pada tiap hasilkan produk tunggal namun dikembangkan pola penggunaan lahan, dilakukan dengan untuk tujuan-tujuan yang multi produk, bukan pencatatan langsung di lapangan berdasarkan hanya menghasilkan kayu melainkan juga produk perjumpaan dan informasi dari masyarakat. non kayu (Suharjitoet al., 2000). Peng-amatan satwa dilakukan secara audio vi- Kebun campur adalah penggunaan lahan sual berdasarkan frekuensi pertemuan dan pada satu hamparan luas, yang ditanami berbagai identifikasi jenis menggunakan buku panduan macam tanaman keras tanpa pengaturan jarak (Coateset al. , 2000). tanam dan pembagian wilayah. Penggunaan lahan ini diterapkan sekitar 88,89% masyarakat D. Analisis Data Desa Woda yang merupakan penduduk lokal Pulau Halmahera di wilayah penyangga hutan Data hasil wawancara dan pengamatan satwa Aketajawe. Masyarakat mengombinasikan ber- ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif bagai tanaman pokok seperti pala (Myristica dan kualitatif. Analisis tanah dilakukan di lepidota), palem serdang ( Livistonia rotundifolia ), Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan kakao (Theobroma cacao ), nangka ( Arthocarpus Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas integra), pisang ( Musa paradisiaca ) dan langsat Hasanuddin Makassar. (Lansium domesticum ) dengan kelapa ( Cocos nucifera ) sebagai tanaman pokok (Nurraniet al. , III. HASIL DAN PEMBAHASAN 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebun A. Pola Penggunaan Lahan campur diterapkan oleh sebanyak 64,71% pen- Mayoritas masyarakat memanfaatkan lahan per- duduk di Desa Pekaulang, 44,44% penduduk Desa tanian sebagai kebun campur dan hanya sebagian Bangul, 33,33% masyarakat Desa Tutuling Jaya dan kecil yang mengetahui teknologi hutan rakyat. 66,67% masyarakat Tukur-Tukur. Tipologi peng- Hutan rakyat merupakan pola penggunaan lahan gunaan lahan daerah penyangga Lolobata disajikan masyarakat dengan mengembangkan jenis-jenis pada Tabel 1.

225 Tipologi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat pada Zona Penyangga Taman Nasional ... (Lis Nurraniet al. ) Tabel 1. Persentase tiap pola penggunaan lahan masyarakat. Table 1. Percentage of each community land use pattern. Pola penggunan lahan (Land use pattern) (%) Kebun Kebun Hutan rakyat Kebun murni Sawah Desa (Villages) campuran tumpangsari Hortikultura (Community (Monoculture (Rice (Mixed (Intercropping (Horticultural) forest) garden) field) garden) garden) Bangul 0 44,44 5,56 11,11 11,11 27,78 Pekaulang 17,65 64,71 11,76 5,88 0 0 Tutuling Jaya 0 33,33 7,41 11,11 29,63 18,52 Tukur-Tukur 0 66,67 0,00 33,33 0 0

Tabel 2. Jenis komoditas pada tiap pola penggunaan lahan. Table 2. Commodities of each land use patterns. Desa (Villages) Pola (Pattern) Bangul Pekaulang Tutuling Jaya Tukur-Tukur Hutan rakyat Jati Jati, pala - - (Community forest) Kebun campuran (Mixed Kelapa, pala, pisang, Kelapa, pala, pisang Kelapa, pala, Kelapa, pala, garden) rambutan, mangga, jeruk, dan sagu pisang, coklat, pisang, kasbi dan nangka dan sayuran sagu dan langsat batatas Kebun murni (Monoculture Kelapa Kelapa Kelapa dan jeruk - garden) Kebun tumpangsari Kelapa, kacang tanah Kelapa, jagung Kelapa, cabe, Kelapa, pala, (Intercropping garden) kedelai, jagung cengkeh, pisang, rica, tomat, kacang tanah, jagung Hortikultura Kacang tanah, kacang - Cabe, tomat, - (Horticultural) panjang, terong, terong, kol, ketimun, cabe bawang merah, pare. Sawah (Rice field) Padi - Padi -

Lahan hortikultura dan persawahan hanya nya. Vegetasi yang mempunyai struktur tajuk ditemukan pada Desa Bangul dan Desa Tutuling berlapis mampu menurunkan kecepatan terminal Jaya, sebab pola ini membutuhkan keterampilan dan air hujan dan memperkecil diameter tetesan air pengetahuan khusus yang tidak dimiliki oleh hujan, faktor vegetasi ini juga meningkatkan masyarakat lokal. Pengelolaan hortikultura dan infiltrasi, memperlambat laju limpasan, dan sawah merupakan ciri khas pertanian masyarakat di meningkatkan kondisi fisik, kimia dan biologi Pulau Jawa, sehingga penggunaan lahan ini hanya tanah (Asdak, 2004). dijumpai pada desa yang memiliki dominansi Pola kebun murni yang diterapkan masyarakat komunitas masyarakat Jawa. Jenis komoditas (kelapa dan jeruk) menggunakan cara pengelolaan tanaman yang diusahakan oleh para petani pada intensif, artinya bersih dari tumbuhan bawah. Dari masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat sisi perlindungan tanaman pola ini sangat rentan pada Tabel 2. terhadap serangan penyakit, begitu pula dari sisi Potensi vegetasi pola kebun campuran konservasi tanah dan air pola ini akan mendekati stratum vegetasi hutan sekunder dengan menyebabkan lahan pertanian rentan terhadap lebih banyak variasi tanaman seperti kelapa, pala, erosi permukaan karena tidak adanya tumbuhan pisang, rambutan, mangga, jeruk, nangka, sayuran bawah. Salah satu kelebihan pola pertanaman dan tumbuhancover crop seperti ubi rambat ( Ipomoea campuran dibanding sistem tanam monokultur batatas) , paku-pakuan ( Pterophyta ) serta herba lain- adalah pemberantasan hama dan penyakit. Sistem

226 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 223 - 235 ini menekan populasi hama dan penyakit karena hasil panen yang membusuk dalam jumlah besar memutuskan siklus hidup hama dan penyakit atau saat panen raya karena tidak langsung terdistri- mengurangi sumber makanan serta tempat hidup busikan ke pasar. Akibatnya masyarakat cen- hama dan penyakit (Arsyad, 1989). Dengan derung mengusahakan tanaman tahunan yang demikian tutupan lahan pada pola kebun campuran lebih awet dan dapat didistribusikan tidak hanya lebih baik dibandingkan dengan pola kebun murni lokal namun hingga keluar daerah. Hal ini dan kebun tumpangsari serta pola lainnya. memberikan pengaruh pada harga yang se- Beberapa argumentasi masyarakat yang makin tinggi pada hasil produksi jenis tanaman melatarbelakangi pemilihan pola penggunaan lahan tahunan. kebun campuran dan jenis tanamannya dibandingkan hutan rakyat adalah sebagai berikut: B. Tipologi Zona Penyangga Lolobata 1. Masih melimpahnya ketersediaan kayu di sekitar Berdasarkan hasil identifikasi bentuk-bentuk pemukiman dan hutan di sekitarnya sehingga penggunaan lahan, diketahui bahwa model daerah masyarakat mengambil kayu pada hutan penyangga kawasan Lolobata terdiri dari jalur produksi, hutan produksi terbatas, hutan lindung hijau, jalur interaksi dan jalur budidaya yang tertata bahkan seringkali mengambil kayu ke dalam sebagaimana Gambar 2. Jalur hijau terdiri dari kawasan taman nasional. hutan lindung dan hutan produksi terbatas. 2. Masih luasnya ketersediaan lahan di sekitar Tutupan lahan kedua kawasan ini masih cenderung pemukiman, sehingga masyarakat terus alami, sehingga sangat dimungkinkan berfungsi menambah lahan pertaniannya dalam rangka sebagai habitat bagi berbagai satwa liar dan meningkatkan pendapatan. Pembukaan lahan pengatur tata air (pemasok air bersih ke dilakukan pada areal penggunaan lain (APL), pemukiman dan lahan pertanian masyarakat). Jalur hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan ini berfungsi sebagai penyangga terhadap wilayah- lindung dan konservasi. wilayah sejauh 0-5,5 km dari batas kawasan. Jalur 3. Keterampilan dan pengetahuan petani lokal hijau diperuntukkan sebagai penyangga fisik yang cenderung lebih menguasai teknologi kawasan dari gangguan, pengaruh jenis eksotik budidaya tanaman tahunan dibanding tanaman tumbuhan dan sebagai perluasanhomerange satwa hortikultura dan sawah. (Bismark & Sawitri, 2007). 4. Pemasaran yang terbatas pada komoditi tertentu Jalur interaksi berfungsi sebagai penyangga saja, serta keterbatasan sarana transportasi yang kawasan konservasi dan jalur hijau dari perubahan mengakibatkan sulitnya distribusi hasil panen ekosistem yang drastis, gangguan satwa liar ke musiman. Hal ini berimplikasi pada banyaknya

Gambar 2. Model zona peyangga Lolobata di Kabupaten Halmahera Timur. Figure 2. Lolobata buffer zone model in East Halmahera regency.

227 Tipologi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat pada Zona Penyangga Taman Nasional ... (Lis Nurraniet al. ) kawasan budidaya dan mendukung peningkatan rakyat di Pulau Jawa, di mana masyarakat mencoba sosial ekonomi masyarakat (Bismark & Sawitri, untuk mempraktekkan pola ini pada lahan-lahan di 2007). Jalur ini diharapkan menjadi tempat sekitar lokasi pemukiman. Pengetahuan ini konservasi tumbuhan bernilai ekonomi dan ekologi didapatkan oleh beberapa masyarakat yang sempat melalui pengembangan sistem agroforestri ataupun mudik ke Pulau Jawa. hutan kemasyarakatan. Pada zona penyangga Lolobata jalur interaksi tersusun oleh pola kebun C. Kondisi Biologi Lahan campuran, kebun murni dan kebun tumpangsari Produktivitas lahan sangat tergantung pada dengan tanaman utama kelapa. Budidaya tanaman kandungan unsur hara tanah, sebagai media tum- kayu belum menjadi pilihan utama, karena buh paling vital bagi keberadaan sebuah lahan. masyarakat beranggapan bahwa pola ini tidak dapat Hasil panen juga sangat tergantung pada memberikan manfaat jangka pendek. kemampuan erosivitas dan erodibilitas tanah Jalur budidaya berfungsi mendukung peningkat- terhadap erosi permukaan dan pukulan air hujan. an sosial ekonomi masyarakat, pengembangan Tekstur pada pola penggunaan lahan didomina- wilayah dan wisata. Pada jalur ini dikembangkan si oleh lempung berdebu, hanya pada penggunaan program pertanian terpadu melalui pembukaan lahan kebun campuran kelapa, pala dan kakao serta lahan tanpa pembakaran, pemakaian herbisida kebun murni jeruk yang memiliki lempung liat tanpa dampak negatif serta penetapan pemukiman berdebu (Tabel 3). Tekstur merupakan perban- masyarakat yang tidak menimbulkan implikasi dingan relatif antara fraksi pasir, debu dan liat. negatif terhadap kawasan dan masyarakat akibat Selain itu tekstur juga mempengaruhi kapasitas gangguan satwa liar (Setyawati & Bismark, 2002). menahan air, permeabilitas tanah serta sifat kimia Jalur budidaya didominasi kebun tumpangsari, dan fisika tanah (Arsyad, 1989). Tekstur lempung hortikultura, sawah dan pemukiman penduduk. berdebu dan lempung berliat menunjukkan Jalur ini diperuntukkan sebagai lahan pemenuhan kemampuan mengikat air yang cukup besar. kebutuhan hidup utama masyarakat. Menariknya Menurut Kartasapoetra (2000), tanah dengan pada jalur ini adalah ditemukan hutan rakyat jati tekstur lempung baik untuk usahatani, sedangkan yang seharusnya berada pada jalur interaksi. kandungan debu dan liat tinggi mempunyai Berdasarkan keterangan masyarakat pola ini kemampuan yang tinggi untuk mengikat air. Pola merupakan adopsi dari pengembangan hutan penggunaan lahan yang memiliki kandungan liat

Tabel 3. Hasil analisis tanah pada tiap pola penggunaan lahan. Table 3. The results of soil analysis for each land use patterns. Tekstur tanah (Soil texture) Penggunaan lahan Pasir Kelas tekstur (Texture No pH (Land use) Liat Debu Pasir halus class) (Clay) (Silt) (Sand) (Fine sand) 1 Kebun campuran kelapa, pala 7,95 34 63 2 1 Lempung liat berdebu dan coklat (Coconut, nutmeg and (basa) cocoa mixed garden ) 2 Kebun campuran kelapa-pisang 6,69 (netral) 23 76 1 0 Lempung berdebu (Coconut and bana- na mixed garden) 3 Kebun murni jeruk (Orange 6,28 30 65 2 3 Lempung liat berdebu monoculture garden) (agak masam) 4 Kebun tumpangsari kelapa, 6,40 13 79 4 4 Lempung berdebu pisang dan cabe (Inter cropping (agak masam) coconut, banana and chili) 5 Hortikultura dan sawah (Rice 6,10 23 76 1 0 Lempung berdebu field and horticulture) (agak masam) 6 Kebun campuran Tukur-Tukur 7,71 (basa) 25 73 2 0 Lempung berdebu (Tukur-tukur mixed garden)

228 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 223 - 235 tertinggi yaitu kebun campuran kelapa, pala dan Berdasarkan klasifikasi USDA (1998) tipe tanah coklat sebesar 34% serta kebun murni jeruk utama pada kawasan Lolobata adalah Tropepts dan sebesar 30%. Kandungan debu yang paling tinggi Rendolls (Dirjen PHKA, 2012). Tropepts yaitu kebun tumpangsari kelapa, pisang, cabe merupakan bagian dari tanah Inseptisol yang dengan nilai 79% dan kebun campuran kelapa- hangat atau panas terus-menerus. Umumnya pisang dengan nilai 76%. Tekstur tanah kebun Inseptisol adalah tanah dengan horison campuran kelapa, pala, coklat memiliki per- pengubahan atau pemusatan yang berciri bandingan liat dan debu yang paling kecil, artinya pedogenik tetapi tanpa akumulasi material yang bahwa pada pola ini kemampuan menyerap airnya mengalami pemindahan selain karbonat atau silika lebih baik. Pada penggunaan lahan lainnya (Foth, 1994). perbandingan liat dan debunya cenderung lebih Rendolls adalah tanah yang berwarna gelap, besar. kejenuhan basah lebih dari 50%, memiliki Kondisi tanah masam pada kebun murni, kebun kandungan bahan organik lebih dari 1%, di tumpangsari dan hortikultura diprediksi akibat ba- bawahnya terdapat batuan kapur (Departemen nyaknya ion Al yang memfiksasi P yang mem- Kehutanan, 2006). Padanan Redolls pada sistem pengaruhi perkembangan mikroorganisme. Pada klasifikasi tanah berdasarkan pengategorian pakar pH yang terlalu masam, unsur P sulit diserap oleh tanah antara lain adalah Redzina, Chernozem, tanaman karena difiksasi oleh Al (Hardjowigeno, Brunizem dan Mollisol. 2007). Selain itu jenis tanaman pada lahan hortikultura merupakan jenis-jenis tanaman yang D. Habitat Satwa banyak mengambil bahan organik melalui penye- Peran dan fungsi satwa pada suatu ekosistem rapan unsur hara tanah ketika memproduksi buah. amatlah penting karena satwa merupakan mahluk Secara umum bahan organik dapat memelihara yang diciptakan sebagai penyeimbang siklus agregasi dan kelembaban tanah, penyediaan energi ekosistem dalam rantai makanan dan membantu bagi organisme tanah serta penyediaan hara dalam proses permudaan secara alamiah. Satwa tanaman. Bahan organik memiliki fungsi produktif merupakan binatang yang masih mempunyai sifat- yang mendukung produksi biomassa tanaman dan sifat liar, mempunyai peranan yang penting dalam fungsi protektif sebagai pemelihara kesuburan ta- keseimbangan ekosistem di suatu wilayah nah dan stabilitas biotik tanah (Widyasunu, 2002). (Achmad, 2011). Secara keseluruhan satwa yang Kondisi tanah yang dapat mempertahankan pH diketahui melakukan aktivitas pada lahan garapan yang netral juga dihasilkan oleh kebun campuran masyarakat yaitu sekitar 39 jenis avifauna, lima jenis kelapa dan pisang, sehingga kebun campuran mamalia, tujuh jenis reptilia, dua jenis amfibi dan merupakan pola yang dapat menjaga stabilitas selebihnya serangga serta satwa air lainnya. kandungan unsur hara tanah. Nilai pH tanah adalah Keberadaan satwa khususnya burung pada nilai yang menunjukkan sifat kemasaman atau lahan masyarakat memberi gambaran mengenai alkalinitas tanah. Nilai ini menunjukkan banyaknya stabilitas sebuah ekosistem kawasan penyangga konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam fase cairan taman nasional. Hal ini terlihat dari perbedaan jenis tanah. Semakin tinggi kadar ion H+ maka tanah burung yang dijumpai pada tipe penggunaan lahan semakin masam (Departemen Kehutanan, 2006). tiap desa, sebanyak 31 jenis avifauna dan lima Nilai pH tanah sangat penting untuk menentukan mamalia ditemukan pada pola kebun campuran. kemudahan penyerapan unsur hara oleh tanaman. Namun terdapat beberapa jenis yang hanya Selain itu pada pH yang terlalu rendah menye- ditemukan dan dominan pada penggunaan lahan babkan unsur hara mikro menjadi mudah larut dan tertentu (Tabel 4). tersedia dalam tanah. Unsur mikro dalam jumlah Kawanan srigunting jambul rambut (Dicrurus yang berlebih dalam tanah dapat menjadi racun bagi hottentottus) dan srigunting lencana ( D. bracteatus ) tanaman. Tanah yang terlalu masam dapat dine- banyak dijumpai pada lahan kebun campuran dan tralkan atau dinaikkan pH-nya dengan menambah- kebun murni kelapa di Desa Pekaulang. Dominasi kan kapur dalam tanah, sedangkan pada tanah basa kebun kelapa disinyalir merupakan faktor utama dapat diturunkan pH-nya dengan penambahan kehadiran satwa tersebut, sebab srigunting meru- belerang. pakan salah satu avifauna yang sangat menggemari

229 Tipologi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat pada Zona Penyangga Taman Nasional ... (Lis Nurraniet al. ) Tabel 4. Distribusi dan penyebaran jenis satwa pada lokasi penelitian. Table 4. Distribution and deployment wildlife species on research sites.

230 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 223 - 235 serangga sebagai pakan. Di sisi lain serangga cen- tasikan karena jenis ini sangat sensitif dan perge- derung senang hinggap pada kelapa untuk meng- rakannya sangat cepat. Burung ini mengindi- isap saripati bunga yang baru mekar, selain itu kasikan bahwa ekosistem kawasan penyangga kelapa juga mengeluarkan aroma wangi dan manis. cenderung masih baik karena karakteristik dan sifat Bidadari halmahera (Semioptera wallacei ) merupa- burung cenderawasih ini amat peka terhadap kan burung endemik Maluku Utara yang teramati perubahan habitat. Bidadari halmahera merupakan secara audio pada penggunaan lahan kebun jenis burung yang sangat sulit dijumpai pada campuran di Desa Pekaulang. Satwa ini memiliki kawasan TNAL, umumnya satwa ini dijumpai pada suara nyanyian sangat khas dan merupakan jenis kawasan yang masih belum mengalami gangguan. cenderawasih sejati yang tersebar paling barat dari Keberadaan dua marga monotipe burung cendera- Pulau Papua. Jenis ini hanya ditemukan di Pulau wasih yaituSemioptera wallacei dan Lycocorax Halmahera dan Pulau Bacan. Burung ini merupa- pyrrhopterus merupakan fakta adanya pengaruh kan satwa utama yang dilindungi taman nasional. elemen Papua di Kepulauan Maluku (Monket al. , Pakan burung ini terdiri dari serangga, artropoda 2000). dan buah-buahan (palem merah). Pengaruh karakteristik penggunaan lahan Keberadaan burung bidadari hanya diketahui terhadap kehadiran satwa juga dapat dilihat pada dari suara kicauan, namun sulit untuk didokumen- keberadaan burung bondol, mandar dan gosong.

231 Tipologi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat pada Zona Penyangga Taman Nasional ... (Lis Nurraniet al. ) Jenis mandar dan burung bondol umumnya tercatat di Pulau Halmahera. Menurut Poulsen et al. ditemukan pada dataran rendah seperti daerah rawa (1999) sebanyak 126 jenis merupakan burung dan lahan persawahan masyarakat. Jenis gosong ke- penetap, 26 jenis endemik Maluku Utara dan empat lam (Megapodius freycinet) memerlukan habitat jenis endemik Halmahera di mana satu di antaranya alamiah yang belum terganggu. Gosong kelam adalahH. wallacii . merupakan penghuni pola kebun campuran Tukur- Jenis mamalia seperti rusa (Cervus timorensis ) dan Tukur, avifauna ini sangat sensitif terhadap aktivitas babi hutan (Sus scrofa ) juga dapat menjadi indikator gangguan khususnya perusakan habitat, terutama untuk mengukur kualitas suatu habitat terkait baik- ketika akan bertelur. Perilaku unik burung gosong buruknya sebuah ekosistem. Kehadiran rusa dan saat bertelur adalah menggunakan sarang secara babi pada penggunaan lahan kebun campuran juga kontinu, namun akan ditinggalkan bila telah mengindikasikan kondisi wilayah penyangga yang mengalami gangguan. masih baik, karena perilaku rusa yang cukup SensitivitasM. freycinet juga terlihat saat peng- sensitif pada perubahan fungsi lahan. Beberapa ambilan data di lapangan, avifauna ini teridentifikasi jenis satwa yang juga teridentifikasi yaitu tikus, saat beraktivitas pada lantai hutan. Ketika tersadar kelelewar, ular sanca, biawak, kupu-kupu, satwa air karena mendengar langkah kaki peneliti seketika itu seperti belut dan udang sungai. juga burung ini berlari sangat kencang, bahkan da- Pola penggunaan lahan memiliki keterkaitan lam sekejap satwa tersebut sudah tidak terlihat. ekologis dengan keberadaan jenis satwa, karena Habitat gosong kelam pada pemukiman Tukur- satwa khususnya avifauna sangat tergantung pada Tukur mengindikasikan bahwa penggunaan lahan ketersedian pakan yang ada pada penggunaan di wilayah ini masih sangat baik. lahan. Variasi penggunaan lahan akan berimplikasi Keberadaan kakatua putih (Cacatua alba ) dan pada sebaran jenis-jenis burung sebab beragam- rangkong (Rhyticeros plicatus ) di Tukur-Tukur nya jenis pakan yang disediakan oleh penggunaan mengindikasikan masih baiknya kualitas kawasan lahan tersebut. penyangga di wilayah ini. Rangkong dan jenis burung paruh bengkok ukuran besar gemar E. Potensi Pemanfaatan Sumber Plasma melakukan aktivitas pada tajuk menengah hingga Nutfah ka-nopi pohon. Berdasarkan pengamatan di 1. Sumber Protein Hewani lapangan, kakatua putih dan rangkong cenderung senang mencari makan berupa buah dan saripati Hutan Lolobata mendukung kehidupan jenis- bunga serta bermain pada pohon-pohon yang ber- jenis mamalia besar antara lain rusa, babi hutan, diameter besar dan tinggi. Selain itu ketika musim kelelawar (Fooradoxous sp.) dan kuskus halmahera kawin kedua jenis avifauna ini membutuhkan (Cuscus ornatus). Rusa dan babi hutan merupakan pohon tinggi untuk membuat sarang guna meng- jenis introduksi (Poulsenet al. , 1999) yang sering hindari serangan predator. diburu oleh masyarakat untuk keperluan konsumsi Persamaan mendasar antara Desa Bangul dan dan hewan peliharaan. Daging rusa biasanya diolah Desa Tutuling Jaya adalah mudahnya dijumpai menjadi dendeng dan dijual dengan harga Rp jenis-jenis burung mandar dan bondol di wilayah 20.000-Rp 25.000 per lembar (± 2 kg). Masyarakat ini. Adanya lahan persawahan merupakan sumber juga seringkali memperdagangkan rusa yang masih bagi bondol rawa (Lonchura malacca ), bondol taruk hidup dengan harga jual berkisar antara Rp (Lonchura molucca ), mandar maluku ( Gymnocrex 500.000-Rp. 1.200.000 per ekor. plumbeiventris), mandar besar ( Porphyrio porphyrio ) dan Babi hutan biasanya dijual dalam kondisi hidup, mandar gendang (Habroptila wallacii ) untuk mencari harga babi muda berkisar antara Rp 200.000-Rp makan. Karakteristik burung mandar yang senang 500.000 sedangkan babi dewasa berkisar antara Rp mencari makan berupa molusca dan cacing pada 750.000-Rp 1.000.000. Kuskus halmahera atau daerah berlumpur serta ketersediaan pakan burung kuso (sebutan masyarakat Halmahera) juga sering bondol berupa biji-biji padi membuat kedua diburu untuk dikonsumsi oleh masyarakat. avifauna ini dominan pada kedua desa tersebut. 2. SumberPangandanObat-obatanTradisional Sebanyak 39 jenis burung yang teramati pada Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu oleh pola penggunaan lahan di lokasi penelitian masyarakat sangat tinggi, beberapa jenis yang di- merupakan bagian dari 213 jenis burung yang telah

232 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 223 - 235 manfaatkan oleh masyarakat antara lain rotan, woka kalangan masyarakat. Biasanya masyarakat (Livistonia rotundifolia ) , sagu ( Metroxylon sagu ), pala menggunakan sebanyak 2-3 ikat/penggal selama (Myristica frag-rans ), pandan ( Pandanus sp.), talas tiga hari, sedangkan pada perayaan hari tertentu se- (Xanthosoma sp.) dan tumbuhan obat. Rotan, daun perti hari raya dan acara hajatan penggunaan kayu pandan dan daunwoka dimanfaatkan sebagai bahan bakarpun menjadi meningkat. baku kerajinan, pembungkus serta atap rumah. 4. Sumber Buah-buahan dan Sayuran Sagu dan talas digunakan sebagai bahan makanan tradisional pengganti karbohidrat oleh masyarakat Zona penyangga Lolobata juga menjadi sumber suku asli Pulau Halmahera. penghasil buah-buahan dan sayuran bagi masya- Zona penyangga Lolobata menjadi sumber rakat. Sebagai tumbuhan penghasil kebutuhan pemanfaatan plasma nutfah bagi masyarakat yang serat manusia, sayuran digunakan untuk konsumsi bermukim di sekitarnya. Daerah ini menjadi sumber kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak jarang bebe- tumbuhan obat bagi masyarakat suku Togutil rapa jenis sayuran seperti rebung bambu (Bambusa Tukur-Tukur, Tutuling Jaya dan Toboino sp), kangkung (Ipomoea reptans ), daun kasbi (Totodoku) di Kabupaten Halmahera Timur. (Mannihot utilisima ), daun batatas ( Ipomoea batatas ) Masyarakat suku Togutil memanfaatkan sebanyak dan daun paku (Pterophyta sp.) diperjualbelikan oleh 49 jenis tumbuhan obat sebagai bahan obat masyarakat. Masyarakat juga seringkali me- tradisional (Karimet al., 2006). Pemanfaatan manfaatkan buah-buahan seperti langsat (Lansium tumbuhan sebagai bahan obat merupakan tradisi domesticum) dan rambutan ( Nephelum lappaceum ) turun-temurun yang sudah sejak lama dipraktekkan yang tumbuh pada daerah peyangga kawasan. oleh masyarakat suku Togutil. Selain untuk dikonsumsi sendiri dalam skala rumah tangga, umumnya buahbuahan diperdagangkan di 3. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pasar tradisional. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu sangat besar bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini dapat dilihat dari bahan utama perumahan yang IV. KESIMPULAN DAN SARAN hampir semuanya menggunakan kayu. Zona penyangga Lolobata merupakan sumber penghasil A. Kesimpulan bahan baku kayu bagi masyarakat, pengambilan Zona penyangga Lolobata terbagi menjadi tiga kayu tidak hanya terbatas pada pemenuhan jalur yaitu jalur hijau yang berada pada jarak 0-5,5 kebutuhan pribadi, namun telah mengarah untuk km dari batas kawasan, jalur interaksi pada 2,5-8 tujuan komersial. Untuk wilayah-wilayah tertentu km dan jalur budidaya pada 5,5-12 km. Jalur hijau TNAL telah memberikan toleransi terhadap terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi ter- masyarakat dalam mengambil kayu yang terbatas batas, jalur interaksi terdiri dari pola pemanfaatan pada kepentingan pembuatan dan renovasi peru- lahan kebun campuran, kebun murni dan kebun mahan, di mana pengambilan kayu pun terbatas tumpangsari, sedangkan jalur budidaya terdiri dari pada zona-zona tertentu saja. pola pemanfaatan lahan kebun tumpangsari, hutan Hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan rakyat, hortikultura, sawah dan pemukiman pen- konflik dengan masyarakat yang telah ada sebelum duduk. Pola kebun campuran merupakan pola adanya penetapan kawasan TNAL. Tindakan ini yang paling ideal di zona penyangga Lolobata, diharapkan menjadi solusi yang akan berdampak ditinjau dari konservasi biologi lahan, penggunaan pada berkurangnya eksploitasi kayu untuk ke- lahan dan banyaknya perjumpaan jenis avifauna. pentingan komersial yang masih dipraktekkan oleh masyarakat di sebagian besar wilayah TNAL. B. Saran Bahkan berdasarkan hasil wawancara dan temuan di lapangan diketahui bahwa beberapa kelompok Penggunaan lahan kebun campuran sebaiknya masyarakat menjadikan penebang kayu sebagai lebih disosialisasikan kepada masyarakat sehingga mata pencaharian utama ataupun pekerjaan sam- pola ini lebih banyak diterapkan, demi terjaganya pingan. Cara hidup tradisional disertai mahalnya ekosistem lahan dan kawasan taman nasional. bahan bakar minyak menyebabkan penggunaan Mengembangkan konsepagroforestry dan hutan ke- kayu sebagai bahan bakar masih sangat populer di masyarakatan, mengingat kurangnya adopsi ilmu

233 Tipologi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat pada Zona Penyangga Taman Nasional ... (Lis Nurraniet al. ) dan teknologi pola ini khususnya pada jalur inter- Departemen Kehutanan. (2006). Glossary aksi. Hal ini penting sebab fungsi jalur interaksi pengelolaan DAS. Makassar: Balai Litbang sebagai tempat konservasi tumbuhan bernilai Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia ekonomi dan ekologi. Diperlukan adanya penyuluh- Bagian Timur. an dan pelatihan bagi masyarakat setempat tentang Dirjen PHKA. (2012). Taman Nasional Aketajawe teknologi pengolahan pascapanen atas hasil-hasil Lolobata. Jakarta: Direktorat Jenderal produksi pemanfaatan lahan untuk meminimalkan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. kerusakan hasil panen sebelum pemasaran agar nilai Diunduh dari www.dephut.go.id.(3 Januari jual hasil produksi lebih tinggi. 2013). Foth, H.D. (1994).Dasar-dasar ilmu tanah (Edisi-6). DAFTAR PUSTAKA S. Adisoemarto, Trans. Jakarta: Erlangga. Hardjowigeno, S. (2007).Ilmu Tanah (Edisi Baru, Achmad, A. (2011). Rahasia ekosistem hutan Bukit Cetakan-6). Jakarta: Akademika Pressindo. Kapur (Cetakan-1). Surabaya: Brilian Internasional. Karim, K.A., Thohari, M., & Sumardjo. (2006). Pemanfaatan keanekaragaman genetik Arsyad, S. (1989).Konservasi tanah dan air . Bogor: . tumbuhan oleh masyarakat Togutil di sekitar Institut Pertanian Bogor Press Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Media Asdak, C. (2004). Hidrologi dan pengelolaan daerah Konservasi, XI (3), 1-12. aliran sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada Kartasapoetra, G., Kartasapoetra, A.G., & Sutedjo, University Press. M.M. (2000). Teknologi konservasi tanah dan air. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. (2010). Jakarta: Rineka Cipta. Buku statistik Taman Nasional Aketajawe Monk, K.A., Fretes, Y. D., & Lilley, G.R. (2000). Lolobata tahun 2010. : Direktorat Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku (Seri Eko- Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi logi Indonesia Buku V). Jakarta: Prenhallindo. Alam. Nurrani, L., Halidah, Tabba, S., & Patandi, S.N. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. (2011). (2012). Karakteristik kualitatif tipe Sekilas Taman Nasional Aketajawe Lolobata penggunaan lahan di zona peyangga Taman (Bagian 1). : Balai Taman Nasional Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Aketajawe Lolobata bekerjasama dengan Penelitian Kehutanan Wallacea, 1 (2), 227-244. Burung Indonesia Program Halmahera. Nurrani, L., Mayasari, A., Tabba, S., Asmadi, N., & Beckman, S. (2004). Mencari keseimbangan pengelolaan Mamonto, R. (2012). Kajian sosial ekonomi interaksi antara masyarakat dan kawasan Taman pemanfaatan lahan di kawasan penyangga Taman Nasional Alas Purwo (Program Acicis). Nasional Aketajawe Lolobata. (Laporan Hasil Malang: FISIP Universitas Muhammadiyah Penelitian). Manado: Balai Penelitian Malang. Kehutanan Manado. (Tidak diterbitkan). Bismark, M. & Sawitri, R. (2007). Pengembangan Poulsen, M.K., Lambert, F.R., & Cahyadin, Y. dan pengelolaan daerah penyangga daerah (1999). Evaluasi terhadap usulan Taman konservasi (pp. 1-11). Prosiding Ekspose Hasil- Nasional Lalobata dan Aketajawe dalam konteks Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sum- prioritas konservasi keanekaragaman hayati di berdaya Hutan, Padang 20 September 2006. Bogor: Halmahera. Bogor: Departemen Kehutanan, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bird Life International Indonesian Coates, B.J. & Bishop, K.D. (2000). Panduan lapangan Programme dan Loro Parque Fundacion. burung-burung di kawasan Wallacea: Sulawesi, Setyawati, T. & Bismark, M. (2002). Prioritas Maluku dan Nusa Tenggara. Bogor: Bird Life konservasi keanekaragaman tumbuhan di Internasional Indonesian Programme and Indonesia. Buletin Penelitian dan Pengembangan Dove Publication. Kehutanan 3(2), 131-144.

234 JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 11 No. 3 September 2014, Hal. 223 - 235 Simanjuntak, R. (2012, 24 November). Kebijakan Widyasunu, P. (2002). Manfaat pupuk organik bagi pengelolaan taman nasional dan masyarakat pertanian berkelanjutan. Makalah pendidikan adat. Harian Maluku Utara Post, p. 18. dan pelatihan pupuk terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Suharjito, D., Khan, A., Djatmiko, W.A., Sirait, Purwokerto. M.T., & Evelyna, S. (2000). Karakteristik pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat. Wiratno. (1994). Taman Nasional Gunung Gede Yogyakarta: FKM-Ford Foundation dan Pangrango menuju pengelolaan sebagai Aditya Media. biosphere reserve. Majalah Kehutanan Indonesia 12(1993/1994), 3-7. United State Department of Agriculture. (1998). Keys to soil taxonomy (Eight ed.). Washington D.C.: NRCS-USDA.

235 Tipologi Penggunaan Lahan oleh Masyarakat pada Zona Penyangga Taman Nasional ... (Lis Nurraniet al. )