Bunyi Merdeka Edisi Pertama, Ebook, Juli 2017, 122 Hlm, 14,8 X 21 Cm
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
SejarahBunyi Sosial dan Merdeka Tinjauan Musikologi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Astika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kesenian 2017 Bunyi Merdeka Edisi Pertama, ebook, Juli 2017, 122 hlm, 14,8 x 21 cm Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kesenian Komp. Kemdikbud Gedung E Lt. 9 Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, 10270, 021 5725578 – 021 5725035 - 021 5725572 Penanggung Jawab Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid Pengarah Direktur Kesenian Restu Gunawan Panitia Pelaksana Edi Irawan Ibnu Sutowo Farida Berliana S. Oktavia Yulliea Susanto Penulis Dirdho Adithyo & I Gusti Agung Anom Astika Editor M. Fauzi Penata Letak dan Perancang Sampul Alit Ambara Daftar Isi Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan vii I Overture 1 1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda 1 1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya 26 1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi 32 II Musik Sebelum Indonesia Raya 39 2.1. Etude Syailendra 41 2.2. Musik Barat di Hindia Belanda 51 2.3. Musik Modern, Nyanyian Perjuangan, dan Indonesia Raya 54 III Indonesia Raya dan Kemerdekaan Dalam Bunyi 62 3.1. Detik-detik Kelahiran Indonesia Raya 62 3.2. Aransemen Musikal Indonesia Raya 69 3.3. Mengeja dan Menala Lagu Indonesia Raya 87 IV Sesudah Indonesia Raya 98 4.1. Indonesia Raya Sebagai Musik Anti-Kolonial 102 4.2. Crescendo Lagu-lagu Perjuangan 103 4.3. Decrescendo Lagu-lagu Perjuangan 109 V Coda Kebangsaan 117 5.1. Keaslian dan Kebangsaan 117 5.2. Titi Nada Kebangsaan 120 vi BUNYI MERDEKA Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan Seorang perwira intelejen kolonial mencatat dalam laporannya pada bu- lan Desember 1928 mengenai Kongres Pemuda Kedua: “28 Oktober 1928 diterima dengan antusiasme luar biasa. Setelah penutupan kongres itu, bahkan sampai sekarang, pada pertemuan para pribumi masih terdengar siulan melodi lagu ini, khususnya di kalangan pramuka.” Sang perwira te- ngah berbicara tentang lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan untuk pertama kali dalam Kongres itu. Lagu yang diciptakan W.R. Supratman untuk menggambarkan semangat dan cita-cita kaum pergerakan kebangsaan itu menerbitkan kegelisahan di mata kolonialisme. Melodinya disiulkan dari bibir ke bibir kaum terjajah hingga membentuk imajinasi bersama yang menghimpun mereka semua sebagai suatu bangsa. Di situ nampak bagaimana musik bisa punya andil dalam kelahiran sebuah bangsa dan merawat jiwanya menghadapi segala rintangan penjajahan. Peran lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai pengejawantahan jiwa bang- sa pun masih terekam dengan baik dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Ta- hun 1958 yang menyatakan bahwa lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai “pernyataan perasaan nasional”. Semangat ini dilandasi oleh visi tentang bangsa sebagai suatu usaha poli- tik bersama, yakni suatu usaha bantu-binantu bersama untuk mewujudkan kebudayaan nasional sendiri, suatu kebudayaan yang mau mengakhiri se- gala bentuk penjajahan dan melahirkan manusia baru. Inilah usaha besar kebangsaan kita: menegaskan kedaulatan politik, mewujudkan kemandi- rian ekonomi dan mengambil sikap kebudayaan yang berpribadi. Itulah imajinasi kebangsaan kita. Kendati begitu, perikehidupan kebangsaan memang tak bisa dipisahkan vii dari upacara, prosedur dan protokol. Hal itu dapat saja membiakkan rutini- tas yang punya risiko memadamkan semangat pemerdekaan yang semula mengiringi terbentuknya bangsa Indonesia. Api kebangsaan harus dijaga nyalanya dengan pemaknaan-pemaknaan baru atas praktik kebangsaan dan kenegaraan kita. Untuk merawat api kebangsaan itulah Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan perekaman ulang lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam versi tiga stanza yang asli. Usaha ini dilandasi oleh keyakinan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam imajinasi kebangsaan bersama, hak untuk memetik buahnya kebudayaan nasional. Dengan menghadirkan Indonesia Raya versi tiga stanza yang selama ini cenderung terlupakan kepada seluruh warga bangsa, Direktorat Jenderal Kebudayaan mau membuka akses seluas-luasnya pada salah satu sumber imajinasi kebangsaan kita. Dalam rangka itulah, buku ini diterbitkan. Buku Bunyi Merdeka ini akan menjadi panduan yang membantu kita semua mengakses pandangan hi- dup yang tertuang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya versi tiga stanza. Lewat pemaparan sejarah sosial dan tinjauan musikologi, buku ini dapat mengantarkan kita pada rahasia bunyi yang membawa kita pada ke- merdekaan. Semoga buku ini dapat berperan memperkuat rasa kebangsaan kita dan memelihara komitmen bersama kita sebagai bangsa merdeka. Hilmar Farid Direktur Jenderal Kebudayaan viii I Overture Indonesia Raya, sebagai sebuah lagu kebangsaan negara Republik Indonesia sebenarnya memiliki sulur-sulur akar sejarah yang panjang. Indonesia Raya lahir di tengah bara sekam perlawanan rakyat bumiputera yang tak hangus ditindas oleh kolonialisme Belanda. Pun ia tumbuh sebagai bentuk perju- angan yang baru, refleksi dari perjuangan-perjuangan di periode abad ke-19. Karena itu penting kemudian untuk menempatkan lagu Indonesia Raya dalam konteks sejarah politik dan kebudayaan bangsa Indonesia. 1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda 1.1.1. Suita Tetabuhan Nusantara Sampai dengan akhir abad ke-19, nama Indonesia belum menjadi. Ia baru se- rupa kawasan yang sedang dalam proses penaklukan yang sepenuh-penuh- nya oleh kolonialisme Belanda. Negeri Hindia Timur sebutan awalnya, lalu berubah menjadi Hindia Belanda kemudian. Sebuah kawasan seluas 1.905 juta km2 yang terdiri dari belasan ribu pulau tempat beragam suku, bangsa, dan bahasa, yang saling berinteraksi, dan bermukim sejak periode awal Masehi. Narasi sejarah tentangnya merangkum berbagai kisah tentang peradaban yang bergerak maju, yang berjaya di sepanjang Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan sampai saat pedagang-pedagang besar Eropa tiba di abad ke-17. Setelah itu, sejarah tentang kawasan yang kemudian dikenal sebagai Nu- santara ini lebih banyak bercerita tentang monopoli perdagangan rempah, penaklukan bandar perdagangan dan kerajaan, peperangan dan kekerasan. Peradaban bergerak mundur seiring dengan kekalahan raja-raja Nusantara yang berulang kali diperdaya dan ditundukkan oleh yang kemudian disebut sebagai kolonialisme. Massa rakyat pun dilanda ketakutan dan pemiskinan, oleh karena raja-raja mereka tak lagi menjadi pimpinan mereka. Malah seba- liknya, raja-raja itu menjadi boneka kolonial untuk memeras rakyat. Hingga sepertinya tak ada jalan keluar lain kecuali bangkit melawan kolonialisme. Karenanya, menjelang abad ke-20 adalah sebuah masa yang penuh dengan pergolakan melawan panji suci gemilang kolonialisme. Di sepanjang garis pantai barat dan timur belahan utara Pulau Sumatra, derap juang rakyat Aceh bertahan dari siram desing mesiu pasukan marsose Belanda. Kenda- ti satu demi satu pimpinan perjuangan rakyat Aceh gugur di medan laga, gerak berlawan tak henti. Setelah Tjoet Njak Dhien ditangkap pada 1904, perlawanan rakyat Aceh bergerak ke selatan, sebagian bergabung dengan pasukan Sisingamangaraja di wilayah Sumatra Utara. Mereka terus berla- wan hingga 1907. Sementara, di sisi selatan Nusantara golak-golak keresahan kaum tani di Jawa akibat pemberlakuan pajak tanah yang tinggi oleh kolonial memba- wa kobar-kobar api pemberontakan di lahan-lahan perkebunan. Ciomas, di tahun 1886 sekelompok rakyat yang dipimpin oleh Muhamad Idris menyerang sebuah acara pesta tahunan yang dihadiri oleh para pegawai tuan tanah. Puluhan tahun sebelumnya, di Pekalongan, Jawa Tengah, Haji Ahmad Rifai menuliskan syair-syair protes baik terhadap pemerintah ko- lonial, maupun kepada aparat birokrasi feodal yang dianggapnya kaki ta- ngan kolonial. Seperti syair berikut, yang meresahkan penguasa kolonial, hingga membuang beliau ke Ambon pada 1860: Bahasa Jawa Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur Iku amar naha ora gugur Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur Uga bisa ghalib derajate luwih luhur Bahasa Indonesia Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa Berjuang mencegah selalu diharapkan Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh kemuliaan Tiga minggu pemberontakan petani di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail pada 1888, berlanjut kemudian pemberontakan Ciomas di belah barat Pulau Jawa; lalu syair Haji Rifai, dan gerakan tolak bayar pajak a la Samin di sekitaran Jawa Tengah, semuanya adalah ekspresi perlawanan 2 BUNYI MERDEKA terhadap kolonialisme. Lepas pantai utara dan timur dari Pulau Jawa, perlawanan terhadap kolo- nialisme berkembang di wilayah Pulau Kalimantan dan Bali. Oleh karena persengketaan hak tawan karang antara pemerintah kolonial dan raja-ra- ja di Bali, Benteng Jagaraga Buleleng sepanjang tahun 1846-1849 berha- dap-hadapan dengan pasukan kolonial Belanda. Perselisihan ini kembali muncul di tahun 1906 yang berujung pada peristiwa Puputan Badung. De- mikian juga dengan perlawanan rakyat Kalimantan di sepanjang periode 1859-1906, yang menolak intervensi Belanda dalam suksesi kerajaan. Se- muanya merupakan reaksi terhadap upaya kolonialisme di dalam men- cengkeram lebih jauh lembaga-lembaga adat masyarakat setempat. Semua paparan di muka menyimpulkan, kolonialisme Belanda tak pernah seu- tuhnya menundukkan bangsa-bangsa Nusantara. 1.1.2. Elegi Tanam Paksa Bagi kolonialisme yang maju dan beradab adalah yang taat pada hukum kolonial dan gerak industri. Para penguasa tradisional, sebagai akibat dari perang-perang penaklukkan, kehilangan tanah-tanah luas nan subur mi- liknya. Tanah-tanah itu diambil