Hari/ Tanggal : Senin, 4 Juni 2018

Waktu : 14.30 WITA

Tempat : Ruang Departemen Ilmu Sejarah

Peran Aji Muhammad Idris di Kerajaan Wajo

(Kajian Sejarah Sosial 1732-1739)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada

Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

OLEH

Zulkifli Lismana Saputra

F81111262

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018

i ii

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan

Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penulisan skirpsi ini merupakan upaya penulis untuk memenuhi salah satu syarat ujian akhir guna memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Ada banyak masalah yang penulis lalui dalam perampungan skripsi ini, tetapi melalui ketekunan dan kerja keras serta doa kepada Allah SWT, akhirnya penulisan Skripsi ini dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis senantiasa membuka diri untuk menerima saran atau kritik yang sifatnya konstruktif dari berbagai pihak sebagai upaya penyempurnaan skripsi ini. Saran dan kritik tidak saja berguna untuk karya penulis, tetapi juga berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang penulis geluti selama ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikanku nikmat kesehatan sehingga saya dapat

menyelesaikan skripsi ini.

2. Kedua orang tua Penulis, Ayah dan Ibu serta adik saya yang atas doa, penyediaan

fasilitas, motivasi, nasehat, dan tidak pernah Lelah dalam mendidik dan memberi

cinta yang tulus dan ikhlas serta berbagai macam hal yang tak ternilai harganya

sampai penulis berhasil menyelesaikan studi di Departemen Ilmu Sejarah Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

iv

3. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas

Hasanuddin beserta stafnya atas bantuan dan pelayanan yang diberikan selama

penulis menempuh studi.

4. Bapak Prof.Dr.Akin Duli, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin beserta stafnya, atas bantuan dan pelayanan yang diberikan kepada

penulis selama penulis mengikuti studi.

5. Ibu Dr. Nahdia Nur, M,Hum selaku ketua Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajaran Dosen yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Bapak Dr. Suriadi Mappangara, M,Hum sebagai pembimbing I dan bapak Dr.

Amrullah Amir, M.Hum Sebagai pembimbing II, yang telah meluangkan

waktunya untuk mengarahkan dan membimbing penulis dan penyusunan dan

penulisan skripsi ini.

7. Bapak Udji Usman S.Sos yang selalu setia meluangkan waktunya untuk

melengkapi berkas-berkas yang kurang.

8. Ners Angriany Sukri S.Kep yang juga selalu setia menemani saya begadang di

warkop untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Awaluddin S.Sos dan Dedi Darmawan yang selalu memberikan semangat agar

bisa cepat sarjana hehee..

10. Dan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun tidak

dapat disebut namanya satu persatu.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, olehnya itu saran dan kritik yang bersifat membangun

v senantiasa penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.

Makassar, 4 Juni 2018

Penulis

vi

ABSTRAK

ZULKIFLI LISMANA SAPUTRA. PERAN SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS DI WAJO TAHUN 1732-1739 (dibimbing oleh Dr. Suriadi Mappangara M.Hum dan Dr.Amrullah Amir M.A.)

Penelitian ini akan membahas mengenai Peranan Sultan Aji Muhammad Idris di Wajo tahun 1732-1739. Ini berkaitan dengan penjajahan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, yang mana Kerajaan Kutai membawa pasukannya ke Wajo untuk membantu Kerajaan Wajo melawan Hindia Belanda. Hal inilah yang kemudian akan dianalisis.

Penulisan ini menggunakan empat metode penelitian, yakni pertama metode heuristik yaitu penulis mengumpulkan sumber melalui wawancara, kedua metode kritik sumber, ketiga metode interpretasi, keempat metode historiografi. Setelah dilakukan metode tersebut diperoleh hasil bahwa alasan kuat Kerajaan Kutai membantu Kerajaan Wajo karena Sultan Aji Muhammad Idris merupakan menantu dari Raja Wajo La Maddukkelleng.

Kata kunci: Sultan Aji Muhammad Idris, La Maddukkelleng, Kerajaan Kutai, Kerajaan Wajo.

vii

ABSTRACT

ZULKIFLI LISMANA SAPUTRA. THE ROLE OF AJI SUMTAN MUHAMMAD IDRIS IN WAJO YEAR 1732-1739 (guided by Dr. Suriadi Mappangara M.Hum and Dr.Amrullah Amir M.A.)

This research will discuss about the role of Sultan Aji Muhammad Idris in Wajo in 1732-1739. This relates to the colonial period of the Government, in which the Kingdom of Kutai brought troops to Wajo to help the Wajo Kingdom against the Dutch East Indies. This is what will then be analyzed.

This writing uses four research methods, namely the first heuristic method that the authors collect the sources through interviews, the two methods of source criticism, the three methods of interpretation, the four methods of historiography. Having done that method obtained the result that the strong reason Kutai Kingdom help the Kingdom of Wajo because Sultan Aji Muhammad Idris is the son-in-law of King Wajo La Maddukkelleng.

Keywords: Sultan Aji Muhammad Idris, La Maddukkelleng, Kingdom of Kutai, Kingdom of Wajo.

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ......

Halaman Pengesahan ......

Halaman Penerimaan......

Abstrak ...... i

Kata Pengantar ...... iii

Daftar Isi ...... vi

BAB I. PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 8 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...... 9 D. Tinjauan Pustaka ………………………………………………………… 9 E. Metode penelitian ……………………………………………………….. 12 F. Sistematika Penelitian ………………………………………………….. . 14

BAB II GAMBARAN KERAJAAN WAJO ...... 16

A. Sejarah Kerajaan Wajo ...... 16 B. Keadaan Geografis ...... 19 C. Kondisi Sosial Budaya ...... 20 D. Sistem Ekonomi ...... 26 E. Sistem Kepercayaan ...... 30

BAB III PERANAN SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS ...... 31

A. Sekilas kerajaan Kutai...... 31 B. Kerajaan Kutai dan La Maddukelleng ...... 35 C. Sepak terjang Sultan Aji Muhammad Idris …………………………….. . 41 D. Peran Sultan Aji Muhammad Idris ……………………………………… 43

BAB IV SULTAN AJI MENENTANG BELANDA ……………...... 46

ix

A. Latarbelakang Perjuangan Sultan Aji ……………………………………….. 46 B. Menentang VOC ...... 49 C. Akhir hayat Sang Pejuang………………………………………………. . 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….. . 59

A. Kesimpulan...... 59 B. Kritik dan Saran...... 60

Daftra Pustaka ...... 61

Lampiran…………………………...... 65

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

Dalam lintas sejarah sejak zaman purba masyarakat Kutai telah mengalami berbagai tahap dan bentuk pemerintahan. Melayu nusantara asli sebelum zaman

Hindu sudah mengenal sistem kedatuan yang merupakan suatu kelanjutan dan satuan kelompok masyarakat yang berupa keluarga-keluarga besar.

Makkedai Arumpone / Iana takduppang massiAdjing / Madecengi tapasseAdjing tellu tanae/ Mappada worowane se ina seama/Makkedai Arung Matowa / Napekkona Arumpone? MasseAdjing tanata tellu/Atae sia Wajo ri / NasseAdjing sia tanae ri Bone ri Gowa / Nakkeda Arumpone / Madeceng adammu Arung Matowa / Nae taroi sia masseAdjing tellu / Bone / Wajo / Soppeng / Bone na masseAdjing Gowa / Nae dekko maelok / mui Gowa poatai Wajo taronik siwuno / Tattellui wi masseAdjing / Makkado Arung Matowae / Nakkeda Pollipuk e ri Soppeng / Madeceng adammu Arumpone / Pada woroane tana ta ia tellu Naiasa uwellu ellau anak e tana e ri Soppeng na ina tana e ri Bone ri Wajo / Apa iapa tau mappada woroane senraja raja e. Artinya:

Berkata Arumpone, “Adapun tujuan pertemuan kita bersaudara ialah mari kita persaudarakan negeri kita bertiga. Bersaudara kandung se-ayah se-ibu”. Berkata Arung Matowa, “Bagaimana gerangan caranya, tanah kita bersaudara tiga wahai Arumpone, sedangkan Wajo adalah taklukan dari Luwu, sementara Bone bersekutu dengan Gowa”.Berkata Arumpone, “Betul katamu wahai Arung Matowa. Namun demikian, biarkanlah negeri kita bersaudara tiga: Bone-Wajo- Soppeng. Biarkanlah Bone bersaudara dengan Gowa. Sekiranya pihak Gowa nekat juga ingin mencengkeram Wajo, biarlah kita bertarung. Kita tiga bersaudara menghadapinya”. Arung Matowa dari Wajo pun setuju. Berkata Pollipuk dari Soppeng, “Sungguh bijak ucapanmu wahai Arumpone bahwa tanah kita bertiga adalah bersaudara. Namun yang saya harapkan ialah Soppeng menjadi anak, sedangkan tanah Bone dan Wajo adalah induk. Sebab tidak

1

mungkin terjadi persaudaraan, kecuali bagi mereka yang sama besar”. Dialog yang terjadi antara Raja-raja dari Bone, Wajo, dan Soppeng

tersebut di atas memperlihatkan kedudukan masing-masing kerajaan dalam

hubungannya dengan Kerajaan Wajo. Dialog itu juga seolah-olah menunjukkan

bahwa aliansi yang mereka buat untuk menyatukan kerajaan mereka dalam satu

persekutuan, lebih disebabkan karena kekhawatiran ketiga kerajaan itu terhadap

Kerajaan Gowa, karena sikap-sikap agresif yang ditunjukkan oleh Kerajaan

Gowa pada waktu itu.1

Jaringan diaspora Bugis pada Abad ke-19, sebenarnya adalah “hasil

perkembangan” dari “embrio” diaspora Bugis yang dirintis oleh tokoh

La

Madukelleng pada tahun 1726. Seperti dituliskan dalam salah satu sumber lokal

tentang migrasi orang Bugis ke yaitu naskah lotar sukun wjo

(Lontara

Sukku‟na Wajo) atau biasa disingkat LSW.12 Dalam LSW diceritakan tentang

La

Maddukkelleng.2 adalah seorang bangsawan kelahiran Wajo, Selatan,

pada tahun 1700 dan wafat di Wajo, tahun 1765. La Maddukkelleng sering

disebut Arung Singkang dan Arung Peneki karena gelar dari orang tuanya. La

Maddukkelleng diperkirakan merantau pada tahun 1714 dengan hanya berbekal

1 Suriadi Mappangara. Perjanjian Tellumpoccoe 1582 Tindak Balas Kerajaan Gowa Terhadap Tiga Persekutuan Kerajaan di Sulawesi Selatan. Jurnal Pendidikan Sains dan Kemanusiaan SOSIOHUMANIKA 1 Mei 2014. Hlm.47.

2 La Maddukelleng adalah Pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan Yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 109/TK/198 tanggal 6 November 1998.

2

atau tellu cappa (tiga ujung) yang akan dibawa serta yaitu pertama “lemahnya

lidahku”, kedua tajamnya “ujung kerisku” dan yang ketiga “ujung kelaki-

lakianku.3

Dapatlah dikatakan bahwa akar-akar penjajahan Barat sudah ada sejak

VOC sebagai kongsi dagang orang Belanda melakukan aktivitasnya di Nusantara sejak awal abad ke 17 untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Gejala itu sudah dirasakan diberbagai bagian Nusantara sebagai akibat dari penerapan hak monopoli di daerah-daerah penghasil rempah-rempah. Pemaksaan kehendak sesungguhnya merupakan unsur-unsur dari praktik penjajahan. Tidak mengherankan kemudian munculnya banyaknya perlawanan daerah terhadap penerapan monopoli VOC/ Belanda. Di kepulauan Maluku, VOC melakukan

Hongie Tochten yakni menghancurkan pohon-pohon rempah yang sangat merugikan penduduk. Tindakan itu diambil untuk mempertahankan harga agar tetap menguntungkan. Maka perang Pattimura, hanya salah satu contoh saja dari perlawanan orang-orang Maluku tidak mau dibelenggu oleh monopoli VOC.4

Pada abad ke-17, Islam mulai mulai masuk dan diterima dengan baik di

Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Islam menjadi agama resmi di kerajaan

3 Naskah Lontara Sukku‟na Wajo (LSW)”, hlm. 2, lihat juga J. Noorduyn, “Een Boeginees geschriftje over Arung Singkang” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV & Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1953), hlm.144-152. Dalam masyarakat Bugis istilah tiga ujung atau tellu cappa diaplikasikan dalam melakukan proses adaptasi di perantauan (penduduk yang didatangi). Pertama menggunakan cappa lila (ujung lidah) disini ditekankan kemampuan melakukan diplomasi. Jika dip lomasi dianggap tidak mempan maka dilakukan langkah kedua cappa laso (ujung kemaluan), yakni orang Bugis melakukan proses perkawinan dengan pendudukan asli. Kalau pada akhirnya kedua ujung itu tidak mempan, maka ditempuhlah jalan terakhir menggunakan cappa kawali (ujung badik) atau melakukan perang.

4 John A. Pattikayhatu dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Imprealisme dan Kolonialisme di Darah Maluku 1983/1984, Hlm. 80.

3 ini, dan gelar raja diganti dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Adji Muhammad Idris (1732-1739).

Sultan Adji Muhammad Idris lahir di Pemarangan Jembayan tahun 1697

M, ia adalah putra Pangeran Anum Panji Mendapa, Sultan Kutai Kertanegara ke-

13 dari permaisuri Adji Ratu. Beliau adalah Sultan Kutai Kertanegara ke-14.

Sultan Adji Muhammad Idris menikah dengan Adji Doya (Duyah).

Di era pemerintahan Sultan Adji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo

Lamaddukelleng yang juga menantunya itu, berperang melawan VOC Belanda.

Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun

1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Adji

Muhammad Idris, tahta kerajaan direbut oleh Adji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta kerajaan. Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota

Adji Imbut yang masih kecil terpaksa dilarikan ke Wajo, tanah kakeknya. Sejak itu, Adji Kado secara resmi berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Adji

Muhammad Aliyeddin.

Sultan Adji Muhammad Idris selama memerintah tergolong sebagai raja yang sangat adil, bijak dan ramah. Karena sifatnya ini sehingga rakyat sangat menyukai Sultan Adji Muhammad Idris. Tidak hanya itu, ketika rakyat ditimpa bencana maka ia tidak akan segan-segan untuk membantu. Adji Begawan

4 berinisiatif untuk mencarikan jodoh bagi Sultan Adji Muhammad Idris dengan menjodohkannya dengan seorang putri dari tanah Bugis.5

Sejak merantau ke luar dari tanah Wajo/ Sulawesi Selatan tujuan La

Maddukellng adalah ke wilayah sekutu Gowa yaitu kerajaan Pasir dan Kutai yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan untuk mendapat pengaruh dan dapat mempersiapakan kekuatan perjuangannya melawan VOC di wilayah perairan nusantara bahkan sampai ke Malaka. Kekuatan yang diperolehnya di Pasir dan di

Kutai memungkinkannya menjadi tokoh pejuang yang tangguh dan ditakuti oleh

VOC.6

Menyadari kekuatan VOC terlampau kuat tersebut yang tidak mungkin dihadapi sendiri, maka diajaknya bekas kapiten lautnya La Banna To Assak untuk bergabung, yang pernah dipecatnya karena sering membajak dilaut dan pernah menyerang Banjarmasin, Kapitan Laut itu berpangkalan di Mandar. La

Maddukelleng juga mengajak menantunya, Sultan Adji Muhammad Idris, Sultan

Kutai ke XIV (1732-1739) untuk membantunya melawan VOC karena selama

VOC berkuasa di Sulawesi Selatan maka kerajaan-kerajaan di tidak mungkin dapat berdagang secara bebas seperti halnya sebelum Sultan

Hasanuddin. Raja Gowa dikalahkan pada tahun 1667. Sultan Adji Muhammad

Idris memang sudah lama mengetahui cita-cita dan tujuan La Maddukelleng yang tidak dipahami oleh kawan-kawan La Maddukelleng yang lain seperti Daeng

5 D.Adham. Salasilah Kutai. (Kalimantan Timur:Bagian Kehumasan dan keprotokolan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, 1979)., Hlm.211-212.

6 Fred Wetik. Sejarah Perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris Raja Kutai Kartanegara Salah Satu Putra Terbaik Nusantara.(Kutai Kartanegara: Kisik art study club bersama Yayasan Lanjong, 2004).hlm.25.

5

Mamuntuli Arung Kaju suami Bataritoja Daeng Talaga, yang ingin memerdekakan Bone dan sudah lama ingin menjadi Raja Bone.7

Dengan kekayaan Sultan Adji Muhammad Idris serta komoditas niaga bumi Kutai, Sultan Adji Muhammad Idris membantu sepenuhnya pembelian persenjataan dan mesiu yang diselundupkan dari , Solok dan Mindanao untuk perjuangan guna siap memerangi VOC Belanda.8

La Maddukelleng dibekali sejumlah senjata api dan disuruh pulang ke

Sulawesi Selatan untuk menyusun kekuatan kembali guna melawan VOC, tanpa pikir panjang Sultan Adji Muhammad Idris menyatakan kesiapannya untuk berangkat bersama-sama La Maddukelleng sekalipun ia memperoleh informasi, bahwa salah seorang saudara seayahnya bernama Sultan Aliyeddin Adji Kado berniat untuk menyatakan Coupd‟ serta istri beliau sedang mengandung/hamil besar.9

Ditahun-tahun tersebut Sultan Adji Muhammad Idris dengan pengaruh kekuasaan dan pengaruh diplomasi dan kewibawaannya berhasil mengkoordinir kekuatan pasukan tempur yang direkrutnya menjadi pasukan yang dipimpinnya sendiri dari warga Kutai, Pasir, Sambaliung dan Pagatan. Pasukan berkekuatan kurang lebih 800 orang termasuk perwira dan prajurit Sepangan Kesultanan Kutai siap dengan armada lautnya di berangkatkan ke Wajo untuk bersama pasukan La

7 Siardin Andi Djemma & Sudirman Sabang. Sejarah dan Perjuangan La Maddukelleng Arung Matoa Wajo-Sultan Pasir. (Sengkang: Lampena Intimedia, 2010).,Hlm.49.

8 Ibid.Hlm.26.

9 Ibid.hlm.49.

6

Maddukelleng bertempur melawan VOC dan sekutu-sekutunya di medan juang

Sulawesi Selatan hingga ke benteng Belanda di Ford Rotterdam di .

Pasukan Kutai dipimpin oleh Sultan Adji Muhammad Idris yang masuk ke daerah Peneki, melalui sungai Peneki dikawal oleh armada La Maddukelleng.

Menurut cerita rakyat Peneki menuju Tosora kalau sudah terdesak armada La

Maddukelleng diperintahkan untuk menembaki pasukan-pasukan musuh yang akan mendarat sepanjang teluk Bone dengan meriam.10

Sultan Adji Muhammad Idris sebagai partner juang dan menantu dari La

Maddukelleng aktif membantu saat kerajaan Wajo meminta La Maddukelleng pada tahun 1736 untuk kembali membantu perjuangan Wajo melawan musuh- musuhnya yang mulai menjalankan agresinya dari kota Makassar.

Setelah pasukan VOC kembali ke Makassar, maka dengan bala bantuan dari Mandar, Ternate, Bone, Soppeng akhirnya pertahanan VOC juga gagal.

Mappasempek daeng Mamaro, Karaeng Bonto Langkasa yang berhasil lolos mengadakan konsolidasi pasukannya di Tallok. Setelah Addatuang Sidenreng menyerah maka pasukan La Maddukelleng dan Sultan Adji Muhammad Idris menyerang Baraka, Enrekang, Rappang, Lettak, Kassak, dan Batulappak karena kerajaan-kerajaan itu telah membantu VOC.11

Masa pemerintahan Sultan Adji Muhammad Idris sebagai sultan dari kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martapura dari tahun 1732 dan gugurnya dimedan perjuangan Sulawesi Selatan pada tahun 1739 dijalankan dengan bakti, gigih dan

10 Ibid.hlm.57.

11 Ibid.hlm.62.

7 militan sepenuhnya adalah semangat dan daya juang serta pengorbanan diri lahir batin sepenuhnya.

Sultan Adji Muhammad Idris tahun 1739 menemui ajalnya dalam perjalanan perang menuju Sidenreng yaitu saat kuda yang ditumpanginya terperosok masuk jurang sehingga beliau tidak dapat tertolong. Menjelang ajalnya

Sultan Adji Muhammad Idris menitipkan Keris Buritkang (Pusaka kerajaan

Kutai) kepada La Barru dan berpesan agar keris tersebut disampaikan kepada

Adji Puteri Agung di Tanah Kutai kelak diserahkan kepada puteranya yang berhak menjadi raja. Saat ini situs makam Sultan Adji Muhammad Idris tersebut berada dalam Komplek Makam Pahlawan Nasional La Maddukkelleng di

Sengkang, Kabupaten Wajo.12

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Setiap tulisan tentunya memiliki rumusan permasalahan, adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peran Sultan Adji Muhammad Idris di Kerajaan Wajo?

2. Apa yang melatarbelakangi perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris

dalam Melawan VOC?

Adapun batasan temporal dari penelitian ini penulis memulai dari tahun

1732 sebab tahun ini Sultan Adji Muhammad Idris mulai berperang melawan

VOC dibawah naungan kerajaan Wajo dan berakhir pada tahun 1739 sebab Sultan

Adji Muhammad Idris menemui ajalnya sehingga perjuangannya terhenti di tahun itu. Batasan spasial dari tulisan ini yakni daerah Wajo.

12 http://www.kaltimprov.go.id/berita-hubungan-kekerabatan-raja-kutai-dan-raja-pasir-2- habis.html

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui peran Sultan Adji Muhammad Idris di kerajaan

Wajo.

2. Untuk mengetahui latarbelakang perjuangan Sultan Adji Muhammad

Idris dalam menentang VOC.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan literature dan perbandingan dalam penulisan karya

perjuangan raja-raja lokal di nusantara.

2. Bahan koleksi arsip dan perpustakaan dalam melengkapi khazanah

penulisan sejarah Kerajaan Wajo.

D. Tinjauan Pustaka

Siardin Andi Jemma dan Sudirman Sabang dalam tulisannya yang berjudul Sejarah dan Perjuangan La Maddukelleng Arung Matoa Wajo-Sultan

Pasir, menyatakan Bahwa dalam perjuangan La maddukelleng melawan VOC di tanah Sulawesi ia tidak hanya berjuang sendiri ia dibantu oleh kedua sahabatnya dan menantunya yang bernama Sultan Adji Muhammad Idris. Dalam perang ini salah satu pemimpin pasukan yang berasal dari Bone yakni Daeng Mamuntuli gugur dalam perang.

Suriadi Mappangara dalam sebuah jurnal SOSIOHUMANIKA berjudul

Perjanjian Tellumpoccoe 1582 Tindak Balas Kerajaan Gowa Terhadap Tiga

Persekutuan Kerajaan di Sulawesi Selatan menekankan bahwa Perjanjian

Tellumpoccoe ini juga telah menghambat jalannya usaha yang dilakukan oleh

9 penguasa dari Kerajaan Gowa untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Usaha yang dilakukan oleh penguasa dari Kerajaan Gowa itu dipandang sebagai kedok semata, karena ketiga kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe (Bone, Wajo, dan Soppeng) melihat bahwa usaha itu hanyalah strategi Gowa untuk memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaannya.

Persekutuan Tellumpoccoe ini tidak lagi dapat dipertahankan karena keterlibatan pihak luar, utamanya pihak VOC (Vereenigde Oost-Indische

Compagnie) atau Kompeni Belanda, yang terus-menerus melakukan upaya memecah-belah rasa persatuan antara kerajaan-kerajaan yang ada di daerah

Sulawesi Selatan. Semuanya itu dilakukan agar peran VOC sebagai penengah, dalam segala hal, dapat terlaksana. Sebagai penengah, penguasa VOC mendapatkan keuntungan yang banyak dari kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah

Sulawesi Selatan.

Mattulada dalam Latoa, pengkajian masalah politik dan kekuasaan, penelitiannya terarah pada bagaimana konstruksi tatanan berpikir orang Bugis yang didasari dari hasil penafsiran terhadap konsepsi Latoa yang didalamnya terkandung beberapa cara orang Bugis dalam sistem politik dan kekuasaannya dimasa lampau, memahami penerimaan suatu kelompok individu atas suatu kekuasaan, ketaatan, dan respon yang diberikannya kepada suatu bentuk kepemimipinan, serta sifat-sifat kepemimpinan yang ditaatinya berdasarkan suatu sistem nilai yang hidup dalam kebudayaannya. Dengan mengungkap dan menelaah naskah-naskah dalam Lontara‟ yang dilakukan Mattulada yang secara fundamental memberikan relasi yang ketat antara sejarah dengan kondisi

10 sosial-budaya dalam perpolitikan dimana terlihat adanya upaya pemahaman orientasi penelitiannya tentang kedudukan, peranan, jalan pikiran dan sikap hidup orang Bugis dalam bernegara.

Dalam penelitian ini ditemukan suatu fenomena politik dimana simbol- simbol kebangsawanan sisa dari bekas kerajaan masih efektif sebagai modal dalam pertarungan politik. Bahkan berbagai strategi ditunjukkan para elit penguasa lokal dalam mengukuhkan identitas mereka melalui tatanan kultural yang masih berlaku selain legitimasi tersebut yang justru didukung oleh adanya mainset masyarakat di kabupaten Wajo yang masih memiliki budaya menghormati para patron mereka di masa lalu. Implikasinya kemudian, sistem tata pemerintahan kita hari ini yang mengenal otonomi daerah turut menyuburkan pertarungan elit-elit lokal yang tidak lain merupakan keturunan dari penguasa sebelumnya. Dengan cara yang tak jauh berbeda pada masa lampau, elit lokal sekarang ini melakukan berbagai pendekatan-pendekatan kepada masyarakat guna mengokohkan kekuasaan „raja-raja lokal‟ ini.

Kecenderungan ini sudah cukup terlihat pada bagaimana tatanan budaya yang masih mengenal konsepsi patron-klien yang berorientasi politis. Dan pada momentum tertentu, seperti Pilkada misalnya, karakteristik praktik seperti ini selalu saja muncul, meski dari berbagai kalangan hal ini dinilai mengurangi nilai- nilai kebebasan individu dalam berdemokrasi, tetapi pada posisi penghargaan terhadap suatu golongan etnis, penelitian ini tidak menafikan pengaruh budaya lokal dalam sistem perpolitikan di Indonesia.

E. Metode Penelitian

11

1) Heuristik

Penulis mengumpulkan sumber sekunder, seperti buku, skripsi, artikel dan karya ilmiah lainnya. Pada awal penelitian ini, penulis/peneliti melakukan observasi awal sambil sesekali mewawancarai beberapa orang yang dapat penulis temui di lapangan. Sambil tetap mengkaji beberapa bahan-bahan yang terkait dan mendiskusikannya dengan beberapa pihak yang berkompeten dengan lokasi dan tema yang peneliti minati. Hal ini terasa penting, untuk menentukan tema dan arah penelitian ini dirancang. Selepas diskusi dan kajian-kajian terkait, peneliti melakukan langkah-langkah sesuai dengan yang dirancang sebelumnya.

Dengan melakukan studi pustaka, peneliti melakukan pembacaan terhadap beberapa buku-buku terkait dengan kajian-kajian antropologi dan politik dan literatur lainnya yang berkenaan dengan fokus penelitian guna dijadikan bahan dan acuan penelitian lapangan. Selain itu, dengan teknik ini penulis berupaya mengelaborasi dan membangun pemahaman tentang pendekatan sejarah kerajaan untuk mendapatkan perbandingan dan acuan untuk penulisan nantinya.

Buku-buku yang mendeskripsikan dan yang mengkaji tentang orang Bugis Wajo, serta buku-buku dan dokumen yang menceritakan sejarah Orang Bugis terkait masalah perilaku dan peristiwa-peristiwa yang dialami pada masa lalu. Dengan pembacaan terhadap buku dan tulisan tersebut penulis bisa mendapatkan gambaran tentang berbagai fenomena berupa peristiwa, bagaimana orang-orang

Bugis Wajo pada masa lampau membangun serta membentuk pranata-pranatanya

12 dalam kondisi sosial-budayanya yang banyak terdapat dalam dokumen- dokumen dalam bentuk naskah-naskah Lontara‟ (apalagi pada saat ini telah ada beberapa buku yang merupakan hasil terjemahan dan transliterasi Lontara‟ kedalam bahasa Indonesia). Artikel, Makalah, tulisan dalam Internet serta ulasan dalam Surat Kabar yang memberitakan informasi tentang peristiwa- peristiwa aktual yang terkait masalah politik di Kabupaten Wajo yang umumnya banyak mengulas, mengkaji, serta kritik terhadap kebijakan-kebijakan politik menjadi perhatian penulis dalam penyusunan tulisan ini.

2) Kritik Sumber

Setelah sumber dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah kritik sumber untuk menentukan otensitas dan kredibilitas sumber sejarah. Semua sumber sejarah yang telah dikumpulkan terlebih dahulu diverifikasi sebelum digunakan dalam penulisan. Penulis memilih semua sumber yang sekiranya berkaitan dengan penelitian penulis. Data yang dipilih pada periode 1700-1800 agar masih dalam satu periode yang sama dengan penelitian ini.

3) Interpertasi

Tahap ketiga dalam metode sejarah ialah interpertasi. Pada tahap ini dituntut kecermatan dan sikap objektif sejarawan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui watak-watak peradaban, atau dengan kata lain kondisi umum yang sebenarnya dan menggunakan nalar yang lain. Setelah semua data telah melalui kritik sumber, maka penulis mulai menganalisis semua sumber tersebut dan

13 membuat suatu gambaran tentang temuannya dengan berdasar pada data yang tersedia.

4) Historiografi

Berbagai pernyataan mengenai masa silam yang telah disintesakan selanjutnya ditulis dalam bentuk kisah sejarah atau historiografi. Historiografi merupakan puncak dari segal-galanya dalam metode penelitian sejarah. pada tahap ini penulis mulai membuat hasil dari penelitian dan menyajikannya dalam bentuk data yang dinarasikan.

F. Sistematika Penulisan

Sistemaika penulisan dalam penyusunan penelitian ini agar menjadi sebuah tulisan yang sistematis akan disusun sebagai berikut:

Pada Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan

Pada Bab dua berisi tentang gambaran umum, yang memuat tentang sejarah singkat berdirinya Wajo yang dilukiskan dari berbagai cerita dan dokumen-dokumen dalam naskah lontara‟ orang Bugis Wajo serta catatan- catatan KTLV (pemerintah Belanda pada masa itu) yang banyak diulas dalam beberapa buku-buku dan memberikan penggambaran tentang bagaimana asal- muasal terbentuknya struktur sosial masyarakat Wajo (masalah kekuasaan, pembagian wilayah atau wanua dan hubungan antara penguasa dengan rakyat serta kelompok-kelompok penguasa lainnya) sampai Wajo pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Kemudian bab tiga tersebut memuat tentang

14 keadaan geografis di kabupaten Wajo; pemerintahan di Wajo ketika mulai diberlakukannya sistem pembagian wilayah kabupaten; struktur pemerintahan; tatanan nilai dalam sistem pemerintah dan masyarakat Wajo; dan terakhir tentang karakteristik informan yang diwawancara.

Bab Tiga menitikberatkan pada latarbelakang hubungan Sultan Adji

Muhammad Idris dan kerajaan Wajo, hal yang melatarbelakangi perjuangannya.

Bab empat, berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan muatan-muatannya yakni, penggambaran dan penjelasan tentang sejarah Sultan

Adji Muhammad Idris.

Bab lima, atau bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, yang diharapkan nantinya dapat memberikan implikasi teoritis dan refleksi dari keseluruhan penggambaran mengenai peran Sultan Adji Muhammad Idris di

Kerajaan Wajo.

15

BAB II

GAMBARAN KERAJAAN WAJO

A. Sejarah Kerajaan Wajo

Pada beberapa wilayah Bugis di Sulawesi Selatan yang merupakan bekas- bekas kerajaan, proses pendiriannya diawali dengan kemunculan sosok misterius yaitu To Manurung seperti yang diceritakan dalam epos La Galigo, ini berbeda dengan Wajo yang terbentuk dari bekas kerajaan lama. Namun senantiasa kontrak sosial terbangun antara pemerintah dan rakyat. Hal ini menandakan ciri hubungan kekuasaan yang bercorak demokratis antara pemimpin dan yang dipimpin meski bentuk pemerintahan yang dianut bukan republik hingga selama

600 tahun lebih mengalami proses perubahan pasang surut dalam pemerintahan di

Wajo. Mulai dengan digunakannya gelar Kebataraan dimana raja adalah penguasa yang mutlak berdasar genetik dengan menggunakan sistem monarki absolut.

Kemudian lahirnya perjanjian di Lapaddeppa di mana muncul konstitusi kemerdekaan orang Wajo dan masuknya pada fase Arung Matowa, dimana terjadi pembatasan kekuasaan raja terhadap rakyat.

Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan.

Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau ri kadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo. Yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya

16 mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung.

Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tata cara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke

Saebawi. Setelah Puangri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri

Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli.

Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang riTimpengeng.

Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La

Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung

Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We

Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung

Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV.

Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La

17

Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng

(kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE. La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah Sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah Takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingengri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar

Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanrengri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama.1

Wajo mencapai zaman keemasan pada pemerintahan Arung Matowa

Latadampare Puangrimaggalatung, dimana pada masa kepemimpinannya berhasil memperluas wilayah kerajaan Wajo, jauh dibanding batas yang kita kenal hari ini. Disamping itu, dalam masa kekuasaannya sebagai Arung Matoa yang dalam catatan sejarahnya sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan mengajarkan kearifan dalam kepemimpinan. Pada fase Arung Matowa, Wajo mengalami pasang surut. Titik nadir pemerintahan kerajaan Wajo ketika perang tahun 1669 yang menyebabkan perlakuan sewenang-wenang dan kemiskinan terhadap rakyat Wajo. Pemerintahan Arung Matowa menyikapi dengan

1https://www.scribd.com/document/360472430/Sejarah-Kerajaan-Wajo

18 mengeluarkan kebijakan pembentukan lembaga ekonomi yang menyerupai koperasi yang berfungsi memberikan pendanaan terhadap pedagang sehingga memicu munculnya lapis to sugi pada struktur masyarakat dan menguatnya ekonomi masyarakat sehingga menaikkan posisi Wajo dari segi pembangunan ekonomi dibandingkan pada kerajaan tetangganya dalam hubungan luar negerinya.2

B. Keadaan Geografis Wajo

Wajo terletak di bagian tengah jazirah Sulawesi Selatan tepatnya pada

3.39‟-4.16 LS dan 119.53‟-120.27‟ BT. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap. Sebelah timur berbatasan dengan

Teluk Bone, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sidrap. Bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng. Luas wilayah kabupaten Wajo sekitar 2.506,19 km² (250.619 ha) atau 4,01% dari luas wilayah provinsi Sulawesi Selatan, dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 86.142 ha (34,37%) dan lahan kering 164.77 ha (65,63%).3

Karakteristik dan potensi lahan di Kabupaten Wajo dalam khasanah

Lontara Sukkuna Wajo‟ diungkapkan sebagai daerah yang terbaring dengan posisi

“mangkangulu ribulue, Massulappe ripotanangange, mattoddang ritasie/tappareng” yang artinya Wajo memiliki lahan dengan tiga dimensi, yakni: tanah berbukit yang berjejer dari selatan Kecamatan Tempe ke utara semakin tinggi, utamanya di Kecamatan Maniangpajo, Kecamatan Gilireng dan

2 Ibid. Hlm. 67.

3 Data BPS Kab. Wajo 2009

19

Kecamatan Pitumpanua yang merupakan hutan dan tanaman industri, perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete, serta pengembalaan ternak. Tanah dataran rendah yang merupakan hamparan sawah dan perkebunan/tegalan pada wilayah bagian timur, selatan, tengah dan barat. Danau Tempe dan sekitarnya, serta hamparan laut terbentang di pesisir Teluk Bone disebelah timur merupakan potensi untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak. Potensi sumber daya air yang cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan yang terdapat di danau dan sungai-sungai besar yang ada, seperti Sungai Bila, Sungai

Walennae, Sungai Cenrana, Sungai Gilireng, Sungai Siwa, dan Sungai Awo.

C. Kondisi Sosial Budaya

Sejarah masyarakat Bugis dulu dikenal tellumpoccoe adalah gabungan tiga kerajaan besar (Bone, Soppeng, dan Wajo) yang memiliki konsep paseng toriolo, memuat nasihat leluhur yang mengandung nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman budaya dalam menuntun kehidupan, termuat dalam dua kitab secara tertulis, dikenal dengan nama Sureq Galigo dan Sureq Lontara.

Siri‟ sebagai sistem sosiokultural dan kepribadian suku Bugis Makassar dan merupakan pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Ia mengandung dua nilai budaya yang tampil dominan, yakni nilai “malu” serta nilai “harga diri” (martabat). Keduanya merupakan komponen yang menyatu dan larut dalam sistem nilai budaya siri‟.4

Siri‟ dapat diklasifikasikan dalam berbagai wujud, yaitu:

4 Leonard. Y. Andaya, A.Village Perception Of Arung Palakka and the Makassar War of 1666 -1669, dalam Anthony Reid dan David Marr (eds.), Perception of the Past in South East Asia, (Singapore: Asian Studies of Australia, 1979), h. 360-378. Lihat Muhammad Laica Marsuki, “Siri: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makasar”, Disertasi, Universitas Padjajaran Bandung, 1995, h. 65.

20

1. Siri‟ masirii/ malu dalam memiliki rasa malu

2. Siri‟ Mappakasiiri/ malu dalam hal mempermalukan

3. Masiri-siiri, passsiri-siriiseng /malu-malu

4. Mate siri‟/ Tabbe -siri‟ Habis atau punah rasa malunya/hilang

malunya

5. Nakkasiriiseng/ ikut mengambil bagian untuk menegakkan rasa

malu

6. Siasiri‟/saling menahan diri karena malu

7. Temma-siri‟/Dee siriina/tidak punya rasa malu

8. Makurang-siri‟/ kurang rasa malunya

9. Maega-siri‟na/banyak rasa malunya5

Selanjutnya tata susunan strata masyarakat bugis yang dipandang menurut kepercayaan sebagian orang-orang bangsawan dalam Lontarak, bahwa raja-raja dahulu asal muasalnya berasal dari To-Manurung (yang bahkan tidak dapat ditelusuri nama dan asal mulanya, hanya terdapat keterangan bahwa antara lain berasal dari kayangan; maddara Takku maddeppaa Lappa Tellang = berdarah putih dan berkembang biak dari asal batangan bambu) yang berasal dari dewata langit karena hadir secara tiba-tiba, muncul tanpa diketahui dari mana datangnya dalam proses gaib. Anggapan rakyat pada umumnya bahwa To Manurung adalah sumber kekuatan magis, perhiasan kerajaan, dan lambang kekuasaan kerajaan yang mempunyai kekuatan ghaib. Pribadi To Manurung adalah sebagai pemegang arajang atau benda sakti (ornament) serta arajang inilah yang dipandang sebagai

5Nurnaningsih. Rekonstruksi Falsafah Bugis Dalam Pembinaan Karakter Bugis Kajian Naskah Pappaseng Toriolo Tellumpoccoe. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 393 – 416. Hlm. 403-404.

21

Maha pemilik kerajaan, dan yang berhak menyimpan atau memiliki arajang adalah Raja yang berkuasa.6

Pada umumnya Toriolo sebagian berkedudukan sebagai Raja, orang bijak, dan didampingi oleh kelompok pemangku adat yang masing-masing kerajaan memiliki pemangku yang bercorak tersendiri. Misalnya Wajo dikenal dengan pemerintah kerajaan Arung Patappuloe, artinya empat puluh orang yang harus bersepakat dalam penentuan suatu tata aturan kebijakan, Raja Bone X (1602-

1611) yang merubah status menjadi Adek/Arung Pitue. Para raja dan pendamping kerajaan yang biasanya terdiri dari orang bijak, cerdas, dan berani semuanya telah memberi petuah dan nasihat yang dapat menjadi pedoman tata nilai dalam kehidupan manusia Bugis Tellumpoccoe dalam menjalani kehidupan di masyarakat.

Sistem kekerabatan orang Bugis karena menganut sistem kekerabatan bilateral, tidak mengarah pada pembentukan kelompok kekerabatan yang ketat, juga tidak mengenal kelompok bilateral yang mengakui nenek moyang bersama seperti yang dianut dalam sistem kekerabatan orang-orang di Toraja. Sebaliknya dalam sejarahnya, orang Bugis terstruktur oleh sistem jaringan patron-klien yang dibarengi dengan pola kekerabatan yang begitu meresap dan saling berpautan.

6 A. Andaya dalam Andi Rasdiyanah menjelaskan bahwa orang merebut takhta kerajaan selalu lebih dahulu merampas benda Arajang itu. Contoh Laoddang Riuk Daeng Mattinrik Karaeng Tanete, saudara We Tenri leleang, datu Luwu Tahun merampas arajang Soppeng dan Arajang Bone, Memecat Raja Bone We Batari Toja Daeng Talaga. Arung Pone/Datu Soppeng lalu menyuruh orangorang Bone mengangkat dirinya sebagai Arumpone. Terjadilah dua Kelompok terhadap untuk pengakuan Dua Raja dalam satu kerajaan, yakni: 1) kalangan masyarakat yang masih tinggal di Bone mengakui Latenrioddang, dan mengangkat cucu Lapatauk Matinroe Rinagauleng Bernama Sitti Naafisah Karaeng Langelok menjadi Raja Bone; dan 2) sebaliknya orang-orang Bone, Soppeng, dan Luwuk, yang berada di Makassar tetap mengakui Webatari Toja Daeng Talaga sebagai Arumpone, Datu Soppeng dan Datu Luwuk hal yang sama terjadi ketika I Sangkilang merampas Kalompoang (di Bugis dan Arajang) Gowa dan mengangkat dirinya sebagai Batara Gowa.

22

Pada dasarnya, sifat dari hubungan antara seorang pemimpin dan pengikutnya adalah hubungan antara individu.7

Meskipun ade' atau pangaderrang tetap menjadi pegangan masyarakat, namun kedatangan lslam menjadi rujukan utama dalam kehidupan sebagaimana tercermin dalam himbauan Arung Matoa Wajo yaitu: Aringkalingan manekko ri- ase, orai alau maniang, manorang; Lesuga panngali patolaku matuddu solo, nalesu gau maia'ku, natudduange solo, sininna gau nappesangkannge puang Allahu-

Taala, naharangengnnge"'Muhammad". Andi paramata dalam Taufik Abdullah,

(1983: 251). Pengaruh lslam dalam mengatur tatanan masyarakat tersimpul dalam semboyan "ade' bersendikan syara' dan syara, bersumberkan Al-quran dan Hadist

Shahih". Pada awal penglslaman, Arung Matoa dan masyarakat menyerahkan

Dato Sulaeman mengorganisasikan sara' sectra langsung dalam struktur pemerintahan beserta pejabat-pejabat pelaksananya di pusat kerajaan sampai tingkat paling rendah.

Ajaran lslam tidak mengenal pelapisan social sebagaimana ade' yang berlaku sebelumnya di Wajo, akan tetapi tetap proporsional dalam mengatur tatanan interaki sosial masyarakat dan pemerintahannya. Posisi pejabat syara' dalam pemerintahan tercermin dalam uraian berikut:

Puang riwajo dan para peiabat syara' dalam upacara resmi dan lainnya: (a) satu baris tempat duduk Arung Matoa sebelah kanan disusul paddanreng Eettengpola, Talottenreng dan Tuwa' dibelakangnya lagi Botolompoa, Pilla Pattola dan Cukkuridi. Selanjutnya 30 orang Aruppabicara (masing-masing 10 jari dari tiap limpo) dan tiga orang Bate caddi dan tiga orang pajukku, semua limpo diwakili masing-masing 1 orang; (b) pada baris

7 Lihat ulasan Pelras tentang tradisi modernitas orang Bugis (dalam Robinson & Mukhlis Paeni, 2005:46).

23

sebelah kiri Arung Matoa wajo, ada Kadhi, khatib, bilal, penghulu, amil dan seterusnya menurut urutan sampai ke belakang dengan masing-masing limpo terwakili (Abdullah,1983:254).

Secara sepintas susunan tersebut menunjukkan berlangsungnya mobilitas birokrasi yang bernuansa lslam (sara') di Kerajaan wajo. Akan tetapi, hal demikian bukan berarti tidak menimbulkan ekes, yaitu perpecahan internal pejabat sara' dan internal Pejabat ade‟, serta antar pejabat sara' dengan pejabat ade‟ yang menggoyahkan kerajaan. Seperti tercatat dalam sumber ini bahwa peringatan

Maulid Nabi Muhammad SAW di mesjid Tosora, terjadi pertentangan antara

Amil Limpo Tuwa dengan Bettengpola Kadhi Wajo. Akhir sengketa dengan pemecatan pejabat syara' serta diganti oleh semua yang termasuk puang ri Wajo

(1983:257).

Terkait masalah pelapisan sosial, dalam kebudayaan Bugis yang sarat dengan pengaruh tradisi dalam dinamika kesejarahannya lebih memunculkan adanya pelapisan sosial berdasarkan kekerabatan. Pada periode tertentu dalam sejarahnya dimana kemunculan stratifikasi sosial ini diuraikan dalam cerita epos

La Galigo8yang menceritakan tentang mitos nenek moyang orang Bugis yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia. Pertama, mereka yang “berdarah putih” yang keturunan déwata dan kedua adalah jenis manusia yang ”berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak. Ditekankan kemudian bahwa stratifikasi sosial ini mutlak dan tidak boleh tercampur. Meskipun konsepsi aturan strata dalam kebudayaan Bugis ini sudah semakin longgar bahkan sudah tidak ditemukan lagi seiring waktu bergulir.

8 Pelras. Opcit. Hlm. 196-206.

24

Tentang etos kerja orang Wajo merupakan bagian makna siri' dalam penerapannya. Dalam pelaksanaan makna siri" bagi raja-raja Wajo, tercermin dalam pesan Puang ri Maggalatung:

Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e Gau-gau lalo'tennga-e Pari tenngai bicara ri tennga-e Terjemahan bebas: Perbaiki cara bicara jika berbicara, Perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat Gerak langkah sederhana (tidak angkuh dan tidak sombong) Tempatkan ditengah untuk pembicaraan di tengah Tidak melebihi, Tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya Salim, 1985:35-39) Lontara Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri

Maggalatung di muka, pada uraian yang lain menyatakan secara tersirat bahwa siri" menjadi pedoman hidup orang Wajo. Untuk perbuatan baik bagi diri dan masyarakat dimulai dari tutur kata yang baik, perbuatan yang bermanfaat

(berpahala), tingkah laku sederhana dan berani menempatkan sesuatu dalam proporsinya tanpa tendensi emosional, keberpihakan, dan memutuskan secara berat sebelah.

25

D. Sistem Ekonomi

Abad ini memberikan gambaran tentang perubahan kehidupan sosial, politik, ekonomi di kawasan Sulawesi Selatan, yang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi budidaya padi, dan perluasan wilayah berbagai kerajaan yang diikuti dengan pembukaan lahan besar-besaran dan pembangunan banyak pemukiman baru. Proses peralihan menuju kondisi baru yang mungkin mulai terjadi pada abad ke-14 berlangsung tidak selamanya mulus, berlangsung tersendat-sendat, diwarnai dengan konflik kepentingan yang dikemas dalam bentuk persaingan antar bangsawan dari berbagai kerajaan. Akibat dari perubahan ini adalah lahirnya sistem piramida feodal yang didasarkan atas hubungan kontraktual antar sesama kerajaan utama dengan kerjaaan bawahan, dan hubungan antar individu.

Awal abad ke-16, pelabuhan Makassar telah mempertukarkan beras, bahan makanan, emas dengan tekstil Gujarat, Benggali, dan Coromandel. Kapal-kapal dari Makassar berlayar ke Jawa, Malaka, Kalimantan, dan Siam dan semua tempat di antara Pahang dan Siam. Satu setengah abad kemudian, sebelum penaklukkan

Belanda, Makassar sudah berkembang menjadi satu mata rantai perdagangan regional rempah-rempah Maluku dan hasil laut dan hutan. Makasar menjadi pelabuhan penting untuk mengapalkan berbagai komoditas dari wilayah Timur

Kepulauan Indonesia. Komoditas penting seperti lilin, tempurung penyu, budak belian, kayu cendana, diekspor keberbagai Negara melalui pelabuhan Makassar.

Abad 17-18 Makassar sebagai kota pelabuhan penting bagi Pemerintahan Hindia

Belanda mengalami dinamika yang luarbiasa dalam perdagangan dengan negara-

26 negara lain. Makassar berkembang menjadi kota yang multi etnis dengan etnis utama Makassar, Bugis, Cina, Melayu atau peranakan yang kesemuanya memainkan peranan vital dalam sejarah Makassar, dan interaksi di antara mereka menciptakan identitasnya.9

Kerajaan Wajo berdiri sejak tahun 1436. Kegiatan menenun di Wajo diperkiraan sudah ada sejak abad ke-13 atau hampir dengan terbentuknya

Kerajaan Wajo. Tenun mulai berkembang pada abad ke-15 pada saat Islam masuk di Sulawesi Selatan. Orang Wajo pada awalnya menenun untuk memenuhi kebutuhan di lingkungan keluarga. Kain sarung dibuat untuk dipakai sehari-hari, kemudian menghadiri upacara adat, misalnya perkawinan dan kenduri. Para penenun menjalankan aktivitasnya di rumah.

Di antara hasil tenun tersebut, terdapat juga untuk kebutuhan pelayaran, misalnya kain layar perahu.10 Bahan tenun awalnya diperoleh dari serat batang pisang dan serat nenas. Kemudian mereka mengenal kapas yang dipilih sendiri.

Sementara benang sutera baru dikenal di Nusantara pada sekitar abad ke 15-16, ketika pedagang-pedagang dari luar membawa benang sutera.

Menelusuri jejak sejarah pertenunan Wajo, maka Tosora merupakan ruang yang tidak dapat diabaikan. Diyakini oleh orang Wajo bahwa pertenunan di Wajo sebagaimana yang ada sekarang ini bermula dari Tosora, kemudian menyebar ke berbagai tempat di Wajo. Hal ini berdasarkan sejarah bahwa Tosora

9 Muhammad ziddanSofjanSjaf. SejarahPerkembanganDesaBugis-Makassar Sulawesi Selatan. JurnalSejarahLontar Vol.6 No.2 Juli-Desember 2009. Hlm.39-40.

10 Kartiwa, Suwandi. 2007. Ragam Kain Tradisional Indonesia: Tenun Ikat, (Jakarta: PT. Gramedia, 2007)., Hlm.120.

27 merupakan Ibukota Kerajaan Wajo pada masa lalu sehingga aktivitas ekonomi berpusat di Tosora11.

Kegiatan monopoli perdagangan kain di Sulawesi Selatan terjadi ketika diadakannya penjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667 antara pihak

Kerajaan Gowa-Makassar dan pihak Belanda. Salah satu butir isi perjanjian

Bongaya tersebut disebutkan bahwa seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh bertempat tinggal di sini atau melakukan perdagangan. Tidak ada orang Eropa (kecuali Belanda) yang boleh masuk berdagang di Makassar. Orang India atau Moor (muslim India), Jawa,

Melayu, Aceh, Siam, tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari

Koromandel, Persia, dan Bengal, atau barang-barang dari Cina, karena hanya kompeni yang boleh melakukannya. Rakyat Makassar dan Bugis tidak boleh berlayar, kecuali ke Bali, Pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan dan harus meminta izin dari komandan Belanda di Makassar.12

Karakteristik dan potensi lahan di Kabupaten Wajo dalam khasanah

Lontara Sukkuna Wajo‟ 13 diungkapkan sebagai daerah yang terbaring dengan posisi “ mangkangulu ribulue, Massulappe ripotanangange, mattoddang ritasie/tappareng” yang artinya Wajo memiliki lahan dengan tiga dimensi, yakni: tanah berbukit yang berjejer dari selatan Kecamatan Tempe ke utara semakin

11 Lembaran Berita Sejarah Lisan. Nomor 9 Maret 1982.

12 Leonard Andaya. Warisan Arung Palakka Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke 17. (Makassar: Ininnawa, 2004)., Hlm. 387-388.

13 Indar Arifin.“Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik di Kabupaten Wajo”.(Makassar: Pustaka Refleksi. 2010. Hlm. 59.

28 tinggi, utamanya di Kecamatan Maniangpajo, Kecamatan Gilireng dan Kecamatan

Pitumpanua yang merupakan hutan dan tanaman industri,perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete, serta pengembalaan ternak. Tanah dataran rendah yang merupakan hamparan sawah dan perkebunan/tegalan pada wilayah bagian timur, selatan, tengah dan barat. Danau Tempe dan sekitarnya, serta hamparan laut terbentang di pesisir Teluk Bone di sebelah timur merupakan potensi untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak. Potensi sumberdaya air yang cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan yang terdapat di danau dan sungai-sungai besar yang ada, seperti Sungai Bila, SungaiWalennae, Sungai

Cenrana, Sungai Gilireng, Sungai Siwa, dan Sungai Awo.

E. Sistem Kepercayaan

Masuknya islam di Indonesia tidak bersamaan waktunya karena kondisi geografis berupa kepulauan sehingga setiap wilayah memiliki perbedaan tentang kapan masuknya islam. Seperti halnya Sulawesi Selatan pengaruh islam sangat kuat yang dituangkan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya yang berasaskan ajaran islam.

Setelah kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa Tallo, Kerajaan Gantarang di

Selayar menerima Islam. Kerajaan Soppeng pun diajak untuk menganut agama islam oleh sultan kerajaan Gowa. Namun ajakan itu ditolak oleh Soppeng yang kemudian berakibat fatal. Kerajaan Gowa memutuskan untuk menyerang

29 kerajaan-kerajaan yang bernaung dalam persekutuan Tellumpoccoe.14 Pada umumnya islam berkembang di Sulawesi Selatan dengan damai. Para dai muslim juga terhitung cepat dalam beradaptasi dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat suku Bugis. Memang terdapat kerajaan yang mulanya enggan menerima agama islam sebagai agama kerajaan, namun itu tidak banyak.

Disamping gencarnya dakwah yang dilakukan oleh kerajaan Gowa dan Tallo, kerajaan ini juga memiliki pasukan tempur yang tangguh dan tak tertandingi oleh kerajaan manapun di daearh Sulawesi Selatan.15

14 Mansur Hamid. Musu Selleng ri Tana Ugi dan Awal keberadaan Islam di Tana Wajo Dalam Bingkisan Bungai Rampai Budaya No. 1. Ujungpandang: YKSS, 1989. Hlm. 15-16.

15 Ahmad M Sewang. Islamisasi Kerajaan Gowa abad XVI sampai abad XVII. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003). Hlm. 2-3.

30

BAB III

PERAN SULTAN ADJI MUHAMMAD IDRIS DI KERAJAAN WAJO

A. Sekilas Sejarah Kerajaan Kutai

Peperangan antara Kutai Kartanegara melawan Kutai Martadipura merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Setelah gugurnya Raja Darma

Setia, wilayah kekuasaan Kutai Martadipura disatukan oleh Raja Sinum Panji dengan wilayah Kutai Kartanegara.1 Beliau pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara kedua kerajaan tersebut.2

Beberapa peran Raja Sinum Panji terhadap Kerajaan Kutai Kartanegara bisa dikatakan sangat membantu dalam penyebaran syi‟ar agama Islam, yaitu:

1. Perubahan Corak Pemerintahan Setelah Masuknya Islam

Masuknya penyiaran Islam, maka membawa perubahan baru bagi kerajaan

Kutai Kartanegara. Sejak awal masuknya Islam, budaya Islam memang belum begitu terasa berpengaruh. Tetapi secara perlahan mulai mempengaruhi kehidupan kerabat Keraton. Maka denyut kehidupan Islam mulai mewarnai lingkungan istana.

Tanpa disadari nilai-nilai Islam masuk mewarnai sistem pemerintahan. Unsur-unsur tata nilai lama yang mendominasi corak pemerintahan Hindu, sedikit demi sedikit digeser oleh nilai-nilai yang

1 Ibid.hlm.48.

2 Krisna Bayu Adji, Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Yogyakarta: Araska, 2014), Hlm.87.

31 bernafaskan Islam. Kesemuanya itu merupakan fase dari perkembangan sistem

Islamisasi di Kerajaan Kutai Kartanegara.

Dalam hal ini peranan kaum sufi dan para guru Tarekat menjadi inti kekuatan yang sangat penting. Kaum sufi dan mursid membina budaya Islam melalui pembentukan kader-kader mubaligh agar bisa menyebar luaskan ajaran

Islam. Disamping itu juga berperan besar dalam menyusun karya-karya sastra dan seni, serta peranan dalam memberikan konsep kehidupan sosial berdasar hukum

Islam.3

Fase pertama dimulainya corak pemerintahan Islam di Kerajaan Kutai

Kartanegara mulai terjadi perubahan yang cukup penting pada sistem pemerintahan. Kalau dulu Pemerintahan Kutai Kartanegara disebut

Kerajaan, maka setelah masuknya Islam berubah menjadi Kesultanan.

Penguasa tertinggi adalah seorang Raja yang bergelar Sultan.4Namun pada masa awal berdirinya Kerajaan Islam, gelar Sultan belum dipakai. Gelar Sultan baru mulai dipakai saat masa pemerintahan Sultan Adji Muhammad Idris (1732-1739

M).

Seorang Raja yang hendak naik tahta terlebih dahulu harus didoakan dan diberkati oleh para Alim Ulama. Dengan demikian legitimilasi Ulama dalam memberkati seorang Raja sangat penting. Seorang Raja baru mendapatkan pengakuan luas dari masyarakat jika penobatannya telah mendapatkan restu dari para Alim Ulama. Baik restu itu dilakukan secara

3 Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), Hlm. 212.

4 Ibid. Adham, Salasilah Kutai, Hlm. 265-267

32 formal dalam suatu prosesi penobatan, ataupun dilakukan secara informal diluar prosesi.

Pada masa selanjutnya peranan para Ulama tetap penting dalam suatu

Pemerintahan. Sultan mengangkat para Ulama menjadi penanggung jawab Agama yang bertugas memecahkan hukum-hukum Islam. Termasuk memberikan fatwa-fatwa hukum atas perselisihan dalam syariat dalam fiqih. Dengan demikian para Ulama secara langsung telah menjadi bagian fungsi infrastruktur dari

Kesultanan kutai Kartanegara.5

Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik.

Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.

Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-

Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam

5 Ibid. Hlm224-226.

33 bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka.

Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh

Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia

Tenggara pada masa itu.6

Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja

Mulawarman dengan kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan bagaimana Raja Mulawarman memberi persembahan emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Waprakeswara adalah tempat suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah suci ini disebut Baprakeswara.

Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.

Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa dilihat dari prosesi penghinduan (pemberkatan memeluk agama

Hindu), atau disebut juga upacara Vratyastoma yang telah dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan pertama kalinya di era pemerintahan

Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut para ahli adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman, kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan

6Http:// www.rajaebookgratis.com

34 mereka telah memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana mensyaratkan penguasaan bahasa Sansekerta.

Selain itu, dari berbagai benda purbakala yang berhasil ditemukan di

Kalimantan Timur, menunjukkan di kawasan tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban yang cukup tinggi. Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat menarik adalah goa-goa di Kalimantan

Timur, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400 kilometer utara Balikpapan.

Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan perkakas tembikar dan sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal ini juga dilengkapi dengan hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman prasejarah yang telah berusia 10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju. Dalam penggalian lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak, seperti reruntuhan candi berupa peripih, manik- manik, gerabah, patung perunggu dan keramik yang sangat indah.7

B. Kerajaan Kutai dan La Maddukelleng

Keberadaan kantong-kantong suku Bugis di daerah Kutai dan

Samarinda di Kalimantan Timur, dan kemudian di daerah dan Pagatan,

Kalimantan bagian Tenggara yang berkembang hingga Abad ke-19 dan abad ke-20, memunculkan banyak dugaan dan pendapat. Pendapat pertama diungkapkan pakar Bahasa, Roger F. Mills. Dalam penelitiannya tentang asal

7 www.KutaiKartanegara.com

35 nenek moyang orang Bugis, Mills menyimpulkan orang Bugis yang ada di

Sulawesi Selatan merupakan gelombang migrasi Austronesia yang berasal dari

Kalimantan Timur, yaitu daerah Kutai dan atau dari bagian tenggara pulau Kalimantan, yakni Pagatan atau Pulau Laut (wilayah Tanah

Bumbu). Wilayah tersebut, mudah dijangkau dengan perahu dari pesisir barat

Sulawesi Selatan. Makassar hanya berjarak satu atau dua hari naik perahu layar dari Pulau Laut.8

Selain spirit massompe‟, diaspora Bugis juga didukung peristiwa pada abad sebelumnya yakni jatuhnya Makassar ke pendudukan VOC pada tahun 1667.

Terutama adanya perjanjian Bongaya atau Cappaya Bongaya tanggal 18

November

1667 yang ditandatangani Sultan Hasanuddin dan Cornelis Speelman yang tidak memuaskan. Dalam mempertahankan eksistensi dan kedaulatan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, maka masing-masing kerajaan melakukan persekutuan sebagai upaya untuk memperkuat ikatan diplomasi dalam rangka menghindari hegemoni kekuasaan kerajaan lain. Persekutuan-persekutuan politik yang pernah diantara kerajaan-kerajaan di Jasirah Sulawesi Selatan, seperti Perjanjian

Tellumpoccoe yang melibatkan Kerajaan Bone, Kerajaan Wajo dan Kerajaan

Soppeng. Persekutuan Tellu Limpoe yang terjadi antara Kerajaan Bulo-Bulo,

Tondong dan Lamatti. dan Persekutuan Limae Ajattappareng yang mencakup

Sawitto, Suppa, Alitta, Sidenreng dan Rappang serta berbagai persekutuan atau

8 Roger F Mills, “The Recontruction of Proto South Sulawesi”, Archipel, vol. 10, 1975, hlm.205-224; lihat juga Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Nalar, 2006), hlm.45-46.

36 perjanjian yang tercipta antara Kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lainnya.

Upaya persekutuan dengan cara perjanjian persaudaraan, bagi masing-masing kerajaan memiliki keuntungan tersendiri baik bagi kerajaan yang dianggap memiliki kekuatan yang cukup besar ataupun kerajaan yang kecil atau dengan kata lain persekutuan yang simbiotis.9

Beberapa pihak, terutama sekutu Kesultanan Gowa-Tallo, seperti

Kerajaan Bugis Wajo.10 Untuk menghindari kondisi yang mengecewakan atau tidak memuaskan karena ditandatanganinya Perjanjian Bongaya tahun 1667 dan pertikaian antar kerajaan di Sulawesi Selatan tersebut, mendorong banyak kelompok bangsawan

Bugis Makassar merantau, bermigrasi atau keluar Sulawesi Selatan. Migrasi bahkan meningkat di tahun-tahun berikutnya ke berbagai wilayah di Asia

Tenggara.Adapun kelompok bangsawan Bugis yang bermigrasi ke luar daerahnya dengan tujuan membangun strategi baru untuk melawan VOC atau membangun harapan guna memulihkan kembali keadaan yang kacau di Sulawesi

Selatan. Namun ada juga kelompok yang merintis jalur perdagangan niaga

(dagang) yang baru.

9 Bahri. Perebutan Panggadereng di Kerajaan LOkal di Jazirah Sulawesi Selatan Abad XV-XVII. Jurnal Volume 12 No 1 tahun. (Makassar: UNM, 2012). Hlm.1.

10 Jacqueline Linneton, op.cit., hlm. 173, hlm. 174, lihat juga Leonard Y. Andaya, “The Bugis Makassar Diasporas”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 68, part I. lihat juga L. Andaya, “Treaty Conceptions and Misconceptions; A Case Study from South Sulawesi”, Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde 134 (Leiden: KITLV, 1978), hlm.290.

37

Sementara itu, di pulau Sulawesi telah terjadi peperangan antara Kerajaan

Wajo dan Bone. Peperangan tersebut terjadi karena perebutan kekuasaan.

Kerajaan Wajo mendapat serangan dari pihak musuhnya, yaitu Kerajaan Bone.

Pasukan Kerajaan Wajo yang semakin lemah setelah menyelesaikan peperangan yang lain dengan Kerajaan Gowa, dengan begitu mudahnya pasukan dari Kerajaan Bone mengalahkan tentara dari Kerajaan Wajo. Sedangkan keluarga

Kerajaan dari Wajo menyingkir keluar dari istana untuk menyelamatkan diri, menyusul adanya perjanjian “Bongayya” yang isinya tidak memuaskan rakyat

Wajo.11

Jaringan diaspora Bugis pada Abad ke-19, sebenarnya adalah “hasil perkembangan” dari “embrio” diaspora Bugis yang dirintis oleh tokoh

La

Madukelleng pada tahun 1726. Seperti dituliskan dalam salah satu sumber lokal tentang migrasi orang Bugis ke Kalimantan yaitu naskah lotar suku na Wajo

(Lontara

Sukku‟na Wajo) atau biasa disingkat LSW.12 Dalam LSW diceritakan tentang La

Maddukkelleng adalah seorang bangsawan kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan, pada

11 Agus Suprapto, dkk, Sejarah Pergerakan Kebangsaan Rakyat Samarinda (Samarinda: Olah Babaya, 1993),. Hlm.5.

12 Naskah lotr sukun wjo (Lontara Sukku‟na Wajo) atau LSW) ditulis oleh La Sangaji Puanna La Sengngeng, Arung Bettempola Wajo' (1764-1767), lihat Andi Zainal Abidin, The Emergence Of Early Kingdoms In South Sulawesi, A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century, dalam Southeast Asian Studies, Vol. 20, No.4, March 1983, hlm.476. Isi naskah Lontara Sukku‟na Wajo tentang La Madukelleng diunduh dari “La Madukelleng” (online) (http:// repository.univ pancasila.ac.id/ index. php,), hlm.1.

38 tahun 1700 dan wafat di Wajo, tahun 1765. La Maddukkelleng sering disebut

Arung

Singkang dan Arung Peneki karena gelar dari orang tuanya. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada tahun 1714 dengan hanya berbekal atau tellu cappa

(tiga ujung) yang akan dibawa serta yaitu pertama “lemahnya lidahku”, kedua tajamnya “ujung kerisku” dan yang ketiga “ujung kelaki- lakianku”.14

Setelah malang melintang menjadi bajak laut di wilayah Johor dan Selat

Malaka pada tahun 1726, La Maddukelleng kemudian berlayar menuju ke wilayah

Pasir, Kalimantan bagian timur melalui Selat Makassar. Dalam perjalanan rombongan tersebut, La Maddukkelleng bertindak sebagai pimpinan dan mengangkat To

Assa sebagai panglimanya. Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La

Pallawa

Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng

Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa.13

Rombongan Kerajaan Wajo yang melarikan diri tersebut terdapat Putra

Mahkota Kerajaan Wajo yang bernama La Maddukkelleng beserta iparnya yang bernama Pua Ado Lamohang Daeng Mangkona. Beserta dengan pasukannya, mereka menyingkir keluar dari Kerajaan Wajo. Dengan 18 perahu layar, mereka

13 Lontara Sukunna Wajo. Hlm.3.

39 menyeberangi selat Makassar ke arah Barat hingga memasuki muara sungai

Mahakam.14

Dengan hati-hati mereka menyusuri alur sungai Mahakam hingga sampai di ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara yang berada di Jahitan Layar

(Kutai Lama). Dengan penuh kepasrahan La Maddukkelleng dan Pua Ado meminta bantuan perlindungan kepada Raja Kutai, yaitu Adji Pangeran

Sinum Panji. Dengan rasa iba atas permohonan tersebut, Raja Kutai tidak keberatan untuk menampung para pelarian dari Kerajaan Wajo tersebut. Bahkan dengan senang hati, raja memberikan tempat kepada mereka di Jahitan Layar.

Karena banyaknya rombongan dari Kerajaan Wajo tersebut, maka La

Maddukelleng meminta kepada Raja Kutai untuk memberikan sebidang tanah untuk dihuni oleh anggota rombongan. Raja memenuhi permintaan tersebut dengan memberikan syarat, yaitu:

a) Putra Mahkota La Maddukelleng dan iparnya Pua Ado Lamohang

Daeng Mangkona akan setia kepada Raja Kutai Kartanegara secara

turun temurun.

b) Orang-orang Bugis akan ikut membantu Kerajaan Kutai

Kartanegara jika diserang musuh.

c) Raja Kutai tidak mencampuri atau mengubah adat istiadat orang-

orang

Bugis.

14Ibid. Hlm. 5.

40

d) Raja Kutai tidak akan mengangkat pimpinan orang-orang Bugis

selain

suku asli keturunan Bugis.15

Setelah cukup lama menetap di kerajaan Pasir karena pelariannya dari kerajaan Wajo La Maddukelleng kemudian mendapat angin segar. Ia menerima sepucuk surat dari Raja Wajo yang dibawa oleh salah seorang utusan Wajo.

Dalam suratnya La Salewangeng To Tenriua menyampaikan beberapa hal yang harus dituruti oleh La Maddukelleng. Isi Surat Matoa Wajo itu adalah:

1) La Maddukelleng diminta kembali ke Wajo dan Matoa Wajo akan

mengusahakan pengampunannya sehubungan dengan peristiwa yang

terjadi pada tahun 1713 yang membuat La Maddukelleng

meninggalkan Tanah Wajo.

2) Penguasa kerajaan Wajo akan membela La Maddukelleng dalam setiap

masalah sehubungan dengan kedatangannya di Tanah Wajo.

3) Keberangkatan La Maddukelleng harus dirahasiakan agar tidak

membuat kegaduhan sebelum dirinya menginjakkan kakinya di Tanah

Wajo.

4) Surat harus dibakar sehabis dibaca.16

Setelah membaca isi surat dari utusan Matoa Wajo La Maddukellng kemudian mengerti langkah apa yang harus diambilnya. Keputusanya semakin bulat untuk kembali ke tanah Wajo sebagai tanah kelahirannya. Mengingat pada

15 Ibid.Hlm.6-7. 16 Ibid. Suriadi Mappangara dkk. Hlm.55.

41 saat itu dominasi kuasa dari VOC semakin besar. Maka harus segara dilakukan perlawanan.

C. Sepak Terjang Sultan Adji Muhammad Idris

Kerajaan Kartanegara Ing Martapura. Setelah penaklukan kerajaan Hindu

Martapura, Kerajaan Kutai Kartanegara mendapat predikat baru, yakni memiliki

wilayah yang bertambah luas, dibawah Adji Pangeran Sinum Panji Mendapa.

Berikut beberapa Raja yang pernah dinobatkan menjadi raja Kutai Kartanegara

dari awal berdirinya sampai raja yang terakhir memerintah di kerajaan Kutai

Kartanegara :

1) Adji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)

2) Adji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)

3) Adji Maharaja Sultan (1360-1420)

4) Adji Raja Mandarsyah (1420-1475)

5) Adji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)

6) Adji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)

7) Adji Dilanggar (1610-1635)

8) Adji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)

9) Adji Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)

10) Adji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)

11) Adji Ragi gelar Ratu Agung (1686-1700)

12) Adji Pangeran Dipati Tua (1700-1730)

13) Adji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)

14) Adji Muhammad Idris (1732-1739)

42

15) Adji Marhum Muhammad Muslihidin atau Marhum Air mawar

(1739-1782).

16) Adji Sultan Muhammad Salehuddin atau Marhum air mawar

(1782-1845).

17) Adji Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899)

18) Adji Sultan Muhammad Alimuddin (1899-1920)

19) Adji Sultan Muhammad Parikesit (1920-1960)17

D. Peran Sultan Adji Muhammad Idris

Sultan Adji Muhammad Idris dikatakan juga sebagai Raja yang membantu dalam pengembangan agama Islam didalam kawasan kerajaan. Peran beliau adalah:

a) Merubah Status dari Kerajaan Menjadi Kesultanan

Pemimpin pertama Kerajaan Kutai Kartanegara yang memakai gelar

“Sultan” adalah Adji Muhammad Idris. Karena pada masa Raja-raja sebelumnya, pengaruh Islam sudah sangat kuat. Indikator kuatnya pengaruh Islam saat itu adalah dengan digunakannya syariat Islam pada Undang-undang Dasar Kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Selaten” dan “Undang-undang Baraja Nanti”.

Kedua Undang-undang tersebut berisi peraturan yang disandarkan pada Hukum

Islam Sebutan Kesultanan memang sudah sepantasnya diberikan kepada

Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, mengingat Islam memang

17 Suriadi Mappangara dkk. Perjuangan sultan Aji Muhammad Idris Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura XIV di Sulawesi Selatan. (Jakarta: Halaman Muka, 2016) Dalam Musni, dkk. Sejarah Kebudayaan Kalimantan (Jakarta: depdikbud,1994) Hlm.24.

43 memegang peranan penting dalam pembentukan fondasi hukum dan pemerintahan.18

b) Menjadi Panglima Perang

Sekembalinya Sultan Adji Muhammad Idris Ke Kutai, ia mengambil pucuk pemerintahan kerajaan Kutai dari Sultan Adji Kado. Ia memerintah dengan adil dan bijak, Rakyat hidup sejahtera dan bahagia. Sultan Adji memimpin

Kerajaan Paser cukup lama hingga datang Utusan dari kerajaan Paniki bernama

La Palebbai Daeng Mannaga. Utusan ini dikirim oleh Petta Sebengareng untuk menyampaikan berita agar Sultan segera berangkat ke Kerajaan Paniki sebab disana sedang berkecamuk peperangan besar. Di tanah Bugis telah berkecamuk peperangan dahsyat antara kerajaan Bone melawan kerajaan Paniki, Soppeng dan

Mallusetasi Sidenreng. Pimpinan dari lima kerajaan itu ialah Laparussi Petta

Buranti, namun panglima perang ini telah terluka parah sehingga dibutuhkan panglima baru untuk memimpin perang.19

Hasil dari musyawarah lima Raja-raja yang ikut berperang memutuskan untuk memilih Sutan Adji Muhammad Idris sebagai menantu dari Petta

Seberengareng untuk menjadi panglima perang menggantikan Laparussi Petta

Buranti. Hal ini dikarenakan Sultan Adji Muhammad Idris dianggap cukup kuat dan mampu untuk memimpin peperangan.

Setelah mendengar laporan dari utusan kerajaan Paniki maka Sultan Adji

Muhammad Idris menerima tawaran tersebut dan untuk berangkat ke

18 http://melayuonline.com/ind/history/dig/494/kesultanan-kutai-kartanegara-ing- martadipura. 19 Salasilah Kutai. Bagian Administrasi Humas dan Protokol Kabupaten Kutai Kartanegara 2013. Hlm.415-416.

44 kerajaan Paniki dengan menggunakan perahu layar, perbekalan dibawa secukupnya, serta membawa pengiring dan pasukan yang kuat untuk menghadapi perang.

Dalam perajalanan ke Tanah Bugis Sultan Adji Muhammad Idris tidak didampingi sang istri hal ini dikarenakan permaisurinya sedang hamil besar.

Sedangkan tampuk kekuasaan raja untuk sementara dipindahkan ke Adji Kado kemenakan dari raja Pantun yang bernama Maharaja Dipati Sura Mendasar.20

Laskar gabungan lima kerajaan di tanah Bugis mendapat semangat baru dalam perjuangannya melawan Bone setelah kedatangan Sultan Adji Muhammad

Idris beserta delapan puluh pasukannya yang terdiri dari empat puluh pemagasari.

Dibawah komando Sultan Adji Muhammad Idris laskar pejuang melanjutkan peperangannya melawan kerajaan Bone. Dalam setiap pertempuran yang dilakukan kemenangan selalu berpihak pada Sultan Adji Muhammad Idris, hal ini mengakibatkan kerajaan Bone menyerah dan mengadakan perjanjian perdamaian.

Hal ini kemudian disetujui oleh lima raja-raja yang bersekutu karena mereka memang tidak menghendaki permusuhan.21

Perjanjian perdamaian pun dilakukan ditandai dengan bedil senapan dan meriam yang tak lagi meletus serta keris telah dimasukkan kembali ke sarungnya.

Masing-masing anggota laskar pulang dengan perasaan gembira. Hal lain terjadi pada Sultan Adji Muhammad Idris sebab ia tak dapat pulang ke Kutai dengan segera sebab ia belum mendapat izin dari mertuanya. Hal ini dikarenakan La

20 Ibid.416. 21 Ibid.hlm.417.

45

Maddukelleng masih ingin berkumpul lebih lama dengan Sultan Adji Muhammad

Idris.

46

BAB IV

SULTAN ADJI MUHAMMAD IDRIS MENENTANG VOC

A. Latarbelakang Perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris

Akar-akar penjajahan Barat sudah ada sejak VOC sebagai kongsi dagang orang Belanda melakukan aktivitasnya di Nusantara sejak awal abad ke 17 untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Gejala itu sudah dirasakan di berbagai bagian Nusantara sebagai akibat dari penerapan hak monopoli di daerah-daerah penghasil rempah-rempah. Pemaksaan kehendak sesungguhnya merupakan unsur-unsur dari praktik penjajahan. Tidak mengherankan kemudian muncul banyaknya perlawanan daerah terhadap penerapan monopoli

VOC/ Belanda. Di kepulauan Maluku, VOC melakukan Hongie Tochten yakni menghancurkan pohon-pohon rempah yang sangat merugikan penduduk.

Tindakan itu diambil untuk mempertahankan harga agar tetap menguntungkan.

Maka perang Pattimura, hanya salah satu contoh saja dari perlawanan orang- orang Maluku tidak mau dibelenggu oleh monopoli VOC.1

Kedatangan Bangsa-bangsa Eropa termasuk Inggris dan Belanda ingin melakukan persabahatan dan kerjasama dalam perdagangan dengan kerajaan

Kutai akan tetapi sultan bersama panglimanya Awang Long sangat membenci imprealisme dan kolonialisme karena dianggapnya adalah bangsa yang tidak tahu

“Adat Istiadat”. Lagi pula adanya perampokan terhadap kapal-kapal dagang dilautan selat Makassar yang membawa barang dagang yang dilakukan oleh

Bangsa lain.

1 John A. Pattikayhatu dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Imprealisme dan Kolonialisme di Darah Maluku 1983/1984, hlm. 80.

47

Dari beberapa tulisan tentang sejarah Kutai Kartanegara disebutkan bahwa kedatangan bangsa Barat ke Kalimantan Timur dimulai sejak pusat pemerintahannya berada di kota lama, Pemarangan dan . Diawali dengan kedatangan kompeni Belanda di Kutai dan Paser pada tahun 1634 M, untuk mengadakan monopoli perdagangan dengan VOC, kemudian yang kedua pada tahun 1635 M, dengan mengirimkan misi perdagangan yang dipimpin oleh

Gerrit Tomassen Pool. Kedatangan yang ketiga tahun 1667 mengirimkan misi dagang yang dipimpin oleh Paulus De Back. Tahun 1747 Van Der Heyden kembali mengirim misi dagangnya yang keempat ke kerajaan Islam Kutai

Kartanegara maupun kerajaan Islam Paser. Namun hingga keempat kalinya misi dari kompeni Belanda tidak pernah berhasil.2 Bagi kita sesuatu yang luar biasa, karena raja Kutai dan Paser dapat menolak keinginan Belanda dan tetap bertahan sebagai kerajaan Islam yang berdaulat. Keinginan Belanda untuk memonopoli perdagangan dan mengusir pedagang-pedagang Makassar maupun pedagang dari

Jawa, menurut raja adalah melanggar prinsip dasar hubungan antara Kutai

Kartanegara dengan kerajaan Gowa dan kerajaan- kerajaan di Jawa yang sudah terjalin sejak lama. Begitu juga dengan sikap VOC yang selalu mengadu domba dan memaksakan kehendak, membuat raja sangat menentang keras keinginan

Belanda tersebut. Sehingga untuk kedatangan-kedatangan kompeni selanjutnya prinsip raja Kutai tetap sama tidak mau melakukan perjanjian dengan pihak

Belanda. Sejak dahulu kerajaan Islam Kutai Kartanegara melakukan kontrak perdagangan dengan daerah-daerah yang ada di Nusantara seperti Gowa, Wajo,

2 Amir Hamzah Idar, Sultan Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845), Samarinda, Pemprop. Kaltim, Bappeda, 2000, h. 44-45

48

Berau, Singasari, Kediri dan dan juga melakukan hubungan dagang dengan Cina, India, Eropa, Rusia dan Asia. Hubungan ini semakin berkembang pesat terutama setelah pusat pemerintahan dipindahkan dari Kutai Lama ke

Tenggarong.3

Hubungan yang terjadi selama ini selalu didasari oleh saling hormat menghormati kedaulatan masing-masing negara maupun daerah. Berbeda dengan kompeni Belanda memaksakan kehendak dan keinginan untuk memonopoli perdagangan. Hal yang menarik mengapa raja Kutai berani untuk menentang

Belanda, hal ini didukung oleh kekuatan yang dimiliki oleh Kutai Kartanegara yaitu hubungan yang erat dengan kerajaan Wajo pada masa pemerintahan La

Madukelleng Arung Matowa Wajo (1736-1754). Ketenaran La Madukelleng

Arung Matowa Wajo juga diakui oleh residen Bone La Emanuel sebagai “ Bajak

Laut” yang menguasai Selat Makassar dengan 40 kapal dan beratus anak buah. 4

Bantuan juga datang dari La Mokang Daeng Mangkona yang menguasai perairan

Paser dan Puanna Dekko yang menguasai perairan pulau laut dan Pegatan, dan juga La Siredjo Daeng Manembong dan La Mandja Daeng Lebbi.

Hubungan persahabatan kerajaan Wajo dengan Kutai Kartanegara diperkuat dengan pertalian perkawinan dimana kakek dari Sultan Adji

Muhammad Salehuddin yaitu Sultan Adji Muhammad Idris menikah dengan keturunan La Madukelleng. Sehingga antara kedua kerajaan Islam ini saling bantu membantu dalam melawan musuh-musuh mereka. Seperti yang terjadi saat

3 Fidi Finandar dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialism danImprealisme di Kaltim (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991), hlm.43.

49 penyerangan kerajaan Islam Wajo terhadap Benteng Ford Roterdam (di Ujung pandang) pada 1739, Adji Muhammad Idris dengan gagah berani ikut dalam penyerangan tersebut.4

B. Menentang VOC

Pada tahun 1595, pedagang-pedagang Belanda yang berada dibawah pimpinan Cornelis de Hotman berangkat menuju Kepulauan Nusantara melalui

Tanjung Harapan, Afrika Selatan dan tiba pertama kali di Pelabuhan Banten pada tahun 1596. Berbeda dengan bangsa Portugis yang motif kedatanganya untuk mendapatkan kekayaan (gold), melakukan petualangan (glory) dan menyebarkan agama Kristen (gospel).5 Motif kedatangan pedagang Belanda ini awalnya lebih kepada motif ekonomi, yakni melakukan perdagangan dan mendapatkan rempah- rempah dengan harga murah.6

Sebagai wakil dari Kerajaan Belanda, maka VOC mendapatkan berbagai hak istimewa (octroi) sebagaimana layaknya suatu pemerintahan negara. Hak-hak tersebut adalah; hak mengadakan perjanjian dengan negara lain, hak untuk memerintah daerah-daerah di luar Belanda, hak mendirikan badan-badan pengadilan, hak membentuk tentara dan mendirikan benteng, hak untuk

4 Samsir. Strategi Panglima Awang Long Dalam Menghadapi Imperialisme dan Kolonialisme Kerajaan Islam Kutai Kartanegara. Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamamaan. Vol XIV. No.1 Januari 2014.

5 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, ed., Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1981/1982), hlm. 31.

6 John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848, (Sydney: Oughtershaw Press, 1982), hlm. 1

50 mengeluarkan dan mengedarkan mata uang.7 Dilain pihak, VOC mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pemerintah Kerajaan Belanda, yaitu; bertanggung jawab kepada Staten Generaal (Parlemen Belanda), dan kewajiban membantu pemerintah dengan uang dan angkatan perang apabila terjadi perang antara Kerajaan Belanda dengan bangsa lain.

Kerajaan Gowa mengalami kemerosotan hingga akhir abad XVI. Sampai abad XVII, konflik antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone, Wajo, dan

Soppeng berlanjut sampai Portugis datang melakukan penaklukan. Konflik yang dilakukan oleh elite di Kerajaan Gowa, dalam upayanya memperluas kekuasaan, juga dilakukan oleh elite di Kerajaan Bone pada abad XVI.

Keberhasilan pemerintah kolonial Belanda menaklukkan kerajaan dan membangun benteng pertahanan di seluruh Sulawesi Selatan menyebabkan kekuatan kerajaan-kerajaan lokal semakin menurun. Konflik yang selama ini terjadi, baik dengan pihak kolonial Belanda maupun antar sesama kerajaan di

Sulawesi Selatan, membuat kekuatan pertahanan mengalami kelumpuhan. Suatu hal yang wajar kalau pemimpin setiap kerajaan di Sulawesi Selatan memilih tunduk pada penjajah, sambil menyusun strategi perlawanan. Lumpuhnya kekuatan setiap kerajaan dan adanya ikrar bersama untuk patuh pada Perjanjian

Bungaya yang diperbaharui, membuat konflik antar elite politik di Sulawesi

Selatan semakin menurun. Konflik antar elite lokal yang berkategori besar, seperti yang terjadi pada abad XVII dan XVIII, praktis tidak muncul ke permukaan.

Konflik elite yang terjadi lebih bersifat internal kerajaan dan dapat dikategorikan

7 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Jilid 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm.16.

51 tidak berarti. Konflik antar elite yang terjadi di internal kerajaan pun bersifat temporer, yakni pada saat pergantian kekuasaan. Pertengahan abad XIX, di

Kerajaan Wajo terjadi konflik antara dua orang bersaudara se-bapak untuk menduduki tahta kekuasaan di Sidenreng. La Panguriseng, yang sudah menjabat sebagai Addatuang Sidenreng, berkonflik dengan saudaranya yang bernama La

Patongai Datu Lempulle‟, yang berusaha merebut kekuasaannya.8

Pada tanggal 7 November 1635 ekspedisi VOC dibawah pimpinan Kapten

Gerrit Thommassen Pool dengan lima buah kapal serta dua buah kapal pemburu dari Banjarmasin, tiba di Kutai menemui Sultan Adji Pangeran Sinum Panji

Mendapa. Belanda membawa misi menjalin hubungan dagang, akan tetapi memberi peringatan kepada kerajaan Kutai untuk membayar upeti kepada kerajaan Banjarmasin, pemerintah tersebut ditolak mentah-mentah oleh Adji

Pangeran sinum Panji Mendapa. Pada tahun 1653-1669 VOC mendapatkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan yang bersekutu dengan Gowa seperti Bone,

Wajo dan Luwu. Kerajaan Kutai Kartanegara secara historis merupakan sahabat dari kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya. Pada tahun 1672 saat kerajaan Kutai

Kartanegara dibawah pimpinan Adji Pangeran.9

Fakta dan data sejarah perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris yang gigih melawan penjajah kolonialis Belanda di awal abad XVIII cukup mendukung untuk ditetapkan sebagai seorang Pahlawan Nasional seperti yang telah dianugerahkan sebelumnya kepada La Maddukelleng, seorang

8Jayadi Nas.Konflik Antar Elit Lokal di Sulawesi selatan Sebuah Perspektif Sejarah.( UNHAS dan UNIPA Surabaya: Jurnal Sosiohumanika 2 November 2014). Hlm.204-205. 9 Ibid. Hlm.29.

52 putra Indonesia asal Kabupaten Wajo. Oleh karena fakta perjuangan tersebut

Pemerintah Kabupten Kutai Kartanegara dan Pemerintah Provinsi

Kalimantan Timur, serta Pemerintah Kabupaten Wajo mengusulkan Sultan

Adji Muhammad Idris sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana yang disandang oleh mertuanya La Maddukelleng.

Sultan Adji Muhammad Idris dikenal sebagai tokoh yang sangat penting dalam sejarah perjuangan kerajaan Kutai Kartanegara. Ia adalah satu-satunya raja dan pemimpin dari kerajaan Kutai yang berjuang dengan gigih, militan dan tanpa kompromi mengusir penjajah Belanda. Dibawah pimpinan Sultan Adji

Muhammad Idris dengan kekayaan yang dimiliki kerajaan Kutai. Kutai membeli senjata dan mesiu yang diselundupkan dari Brunei, Solok, dan Mindanau.

Persenjataan tersebut merupakan persiapan untuk memerangi VOC Belanda. Pada masa kekuasaan Sultan Adji Muhammad Idris, berkat kekuasaan dan pengaruh diplomasi dan kewibawaannya ia berhasil mengkoordinir kekuatan pasukan tempur yang direkrutnya dari pejuang Kutai , Pasir, Sambaliung, dan Pangatan.

Pasukan kekuatan tersebut berkekuatan kurang lebih 800 orang termasuk perwira dan prajurit Sepangan Raja Kesultanan Kutai.10

Setelah persoalan kerajaan-kerajaan yang berada di daerah pedalaman

Bugis dapat diatasi, La Maddukelleng dan pasukan dari kerajaan Kutai, serta para pemimpin pasukan perang lainnya, bersiap-siap untuk melakukan serangan ke

VOC di Fort Rotterdam. Pasukan kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng

Bontolangkasa juga sudah siap. Balasan surat dari Karaeng Bontolangkasa

10 Ibid.Hlm.30.

53 dibawah langsung ke Tosora oleh anaknya I Bondak. Surat itu adalah jawaban dari rencana La Maddukelleng yang yang akan datang ke Makassar untuk menyerang VOC di Fort Rotterdam. Jawaban itu menunjukkan semua rencana sudah berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Bahkan Karaeng Bontolangkasa telah menyampaikan bahwa benteng perlindungan dan pertahanan telah dibangun dari Jongaya sampai Panampu.11

C. Akhir Hayat Sang Pejuang

Keberadaan Sultan Adji Muhammad Idris di tanah Bugis ternyata menjadi ancaman tersendiri untuk kerajaan Gowa Tallo. Mereka menganggap La

Maddukelleng bisa saja menjadikan Sultan Adji Muhammad Idris sebagai senjata untuk melawan kerajaan Gowa Tallo. Untuk mencegah hal ini maka kerajaan

Gowa-Tallo mengatur siasat untuk membunuh Sultan Adji Muhammad Idris.

Adji Kado sebagai raja sementara yang memegang tampuk kekuasaan kerajaan Kutai juga merasa tak senang dengan Sultan Adji Muhammad Idris, maka dari itu ia mengirim surat rahasia kepada raja Gowa Tallo agar kiranya membunuh Sultan Adji Muhammad Idris agar ia tak dilengserkan dari jabatannya saat ini sebagai raja pengganti.

Raja Gowa Tallo kemudian memerintahkan pasukannya untuk membuat lubang besar sedalam sepuluh meter dengan lebar lima meter di hutan tempat berburu dimana Sultan Adji Muhammad Idris dan pengiring-pengiringnya selalu berburu rusa. Didalam lubang itu ditancapkan bambu-bambu dan besi runcing yang mendongak ke atas. Kemudian lubang itu ditutupi dengan ranting-ranting

11 Ibid. Hlm.88.

54 dengan lapisan atasnya daun-daun hijau seolah-olah daun-daun hijau itu baru saja jatuh dari ranting pohon sekitar. Sehingga jebakan lubang itu benar-benar sempurna untuk menjebak Sultan Adji Muhammad Idris.

Sultan Adji Muhammad Idris seperti biasa melakukan perburuan dengan beberapa pengiringnya yang berada dibelakang. Sultan Adji Muhammad Idris menunggang kuda sehingga bisa mengejar buruannya. Seekor menjangan menjadi hewan buruannya kala itu. Para pengiring dan anjing pemburu berteriak sorak sorai menemani perburuan Sultan Adji Muhammad Idris, ia terus memacu kudanya dengan sangat kencang demi mengejar rusa buruannya hingga pengiringnya tertinggal jauh dibelakang. Sultan Adji Muhammad Idris tak lagi terlihat sebab ia melaju cukup kencang, para pengiringnya kemudian mempercepat laju kudanya hingga menemukan sebuah lubang besar dan memeriksanya. Salah seorang prajurit kemudian menarik kuda yang ditunggangi oleh Sultan Adji Muhammad Idris dan turun ke dasar lubang. Betapa kagetnya mereka ketika menjumpai tubuh sang Sultan Adji Muhammad Idris telah terkoyak habis karena tusukan bambu dan besi runcing didalam lubang. Para pengiring pun berusaha mengangkat tubuh Sultan Adji Muhammad Idris ke atas permukaan tanah, ia merintih kesakitan darah tak henti-hentinya keluar dari tubuhnya. Wajah

Sultan Adji Muhammad Idris semakin pucat pasi. Ia kemudian memanggil La

Barru seorang kepercayaannya dengan suara lemah dan terputus-putus dan menyuruhnya untuk mengambil keris Burit Kang dipinggangnya dan ikat kepala

Sultan Adji Muhammad Idris, ia berpesan bahwa keris Burit Kang harus dibungkus dengan ikat kepala Sultan Adji Muhammad Idris dan supaya

55 disampaikan kepada permaisurinya Adji Putri Agung ditanah Kutai. Ia berkata bahwa barang siapa ingin menjadi raja di Kutai ia harus memiliki keris Burit

Kang, Kalung Uncal dan Kalung Siwa serta kura-kura emas.12

Sultan Adji Muhammad Idris tahun 1739 menemui ajalnya, yaitu saat kuda yang ditumpanginya terperosok masuk lubang jebakan yang dibuat oleh suruhan Aji Kado dan Kerajaan Gowa Tallo sehingga beliau tidak dapat tertolong.

Menjelang ajalnya Sultan Adji Muhammad Idris menitipkan Keris Buritkang

(Pusaka kerajaan Kutai) kepada La Barru dan berpesan agar keris tersebut disampaikan kepada Adji Puteri Agung di Tanah Kutai kelak diserahkan kepada puteranya yang berhak menjadi raja.

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat Sultan Adji Muhammad Idris menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia dimakamkan di daerah Peniki sedangkan para pengikutnya tidak ingin kembali ke Kutai dan tinggal menetap di

Kerajaan Wajo sebab ingin merawat Makam sang Raja yang telah mangkat. Para pengikut Sultan Adji Muhammad Idris kemudian diberikan sebidang tanah untuk dihuni dan membuat sebuah perkampungan.

Kepergian Sultan Adji Muhammad Idris yang begitu tragis membawa kesedihan yang mendalam bagi rakyat Peneki dan rakyat kerajaan Bugis lainnya seperti Soppeng, Mullesetasi, dan Sidenreng. Dengan penuh hormat rakyat kelima kerajaan itu menyambut almarhum Petta Arung Kute Petta Matinro Ri Kawanne dan menguburnya dengan perasaan penuh haru.

12 Ibid. Hlm.418-420.

56

Saat ini situs makam Sultan Adji Muhammad Idris tersebut berada dalam

Komplek Makam Pahlawan Nasional La Maddukkelleng di Sengkang,

Kabupaten Wajo.13

Atas wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris, maka tahta Kerajan secara sepihak diambil alih oleh Sultan Aliyeddin (1774-1780). Tahta Kesultanan ini dilakukan secara tidak sah dan menyalahi ketentuan adat istiadat Kerajaan.

Menurut garis keturunan, seharusnya yang menjabat sebagai Sultan adalah Adji

Imbut yang merupakan putra dari Sultan Muhammad Idris yang tengah mengungsi ke Kerajaan Peniki, di Sulawesi. Sejak kecil ia diasuh oleh neneknya raja Peniki yang merasa cemas jika cucunya akan dicelakakan oleh Sultan

Aliyeddin yang telah mencelakakan orang tuanya, Sultan Adji Muhammad Idris.

Sultan Aliyeddin yang merebut tahta Kerajaan dengan cara tidak sah mendapat tentangan keras orang-orang Bugis Samarinda. Mereka tidak mau mengakui Adji

Aliyeddin sebagai Sultan Kertanegara. Orang-orang Bugis menganggap bahwa

Sultan Aliyeddin tidak berhak menduduki tahta Kerajaan. Akibatnya, ketika terjadi kekacauan serangan bajak laut Solok, orang-orang Bugis Samarinda yang biasanya setia membantu raja-raja Kutai Kartanegara jika diserang musuh, kini tidak bersedia membantu Sultan Aliyeddin. Akibatnya para bajak laut secara leluasa menjarah harta benda, wanita dan benda-benda berharga milik kerajaan.

Ketidakmampuan Sultan Aliyeddin melindungi rakyatnya dari serangan bajak laut

Solok, menyebabkan dia kehilangan kewibawaannya.

13 http://www.kaltimprov.go.id/berita-hubungan-kekerabatan-raja-kutai-dan-raja-pasir-2- habis.html.

57

Sepeninggal Sultan Adji Muhammad Idris, utusannya yang bernama La

Barru berangkat ke kerajaan Kutai guna menyampaikan wasiat terakhir kepada

Adji Puteri Agung bahwa suaminya telah mangkat di Tanah Bugis akibat jebakan yang dibuat oleh kerajaan Gowa Tallo. La Barru menyampaikan keris Burit Kang yang dibungkus dengan ikat kepala Sultan Adji Muhammad Idris yang berlumuran darah, ketika menerima bungkusan tersebut Adji Puteri Agung langsung jatuh pingsan dan seisi kerajaan menjadi ribut karena berita tersebut.

Setelah siuman Adji Puteri Agung menangis terisak-isak memeluk tubuh puterinya yang diberi nama Adji Putri Dayang. Keris Burit Kang tidak diserahkan kepada Adji Kado tapi disimpan ditempat yang aman. Seluruh rakyat Kutai berduka atas meninggalnya sang raja, sedangkan Adji kado berpura-pura sedih untuk menutupi rencananya. Sebagai tanda berkabung diumumkan bahwa selama empat puluh hari empat puluh malam di kerajaan Kutai tidak boleh ada keramaian dan berpakaian berwarna-warni. Pada hari ketiga, ketujuh, kedua puluh lima dan hari ke empat puluh mangkatnya Sultan Adji Muhammad Idris diperintahkan untuk mengadakan tahlilan di mesjid dan di mushollah.14

Setelah hari berkabung selesai Adji Kado mulai menyusun rencana agar dapat menduduki tahta kerajaan Kutai Kartanegara. Tepatnya sebelum Adji Imbut,

Adji Kingseng dan Adji Dayang harus dibunuh karena selama keturunan Sultan

Adji Muhammad Idris masih hidup maka Adji Kado tidak akan pernah menjadi raja. Adji Putri Agung menyadari akan bahaya yang akan menimpa puterinya oleh

14 Ibid. Hlm.423.

58 karena itu ia berusaha secara diam-diam mengirim putrinya ke kerajaan Wajo agar dapat dirawat oleh kakeknya. Tugas ini diserahkan kepada Nahkoda La Tojeng dan Nahkoda Labai, Keris Burit Kang dibawa serta ke Wajo, sesampainya di

Wajo putri Sultan Adji Muhammad Idris dijemput dengan suka cita. Ketika ketiga anak Sultan Adji Muhammad Idris menghilang maka jalan Adji Kado menjadi

Raja semakin mulus. Ia kemudian dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sultan

Adji Muhammad Aliyeddin dan kemudian menikahi Adji Putri Agung. Dari pernikahan ini lahir seorang putra yang beri nama Ajo Tobo.15

15 Ibid.Hlm.423-424.

59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sultan Adji Muhammad Idris dikenal sebagai tokoh yang sangat penting dalam sejarah perjuangan kerajaan Kutai Kartanegara. Ia adalah satu-satunya raja dan pemimpin dari kerajaan Kutai yang berjuang dengan gigih, militan dan tanpa kompromi mengusir penjajah Belanda. Dibawah pimpinan Sultan Adji

Muhammad Idris dengan kekayaan yang dimiliki kerajaan Kutai. Kutai membeli senjata dan mesiu yang diselundupkan dari Brunei, Solok, dan Mindanau.

Persenjataan tersebut merupakan persiapan untuk memerangi VOC Belanda. Pada masa kekuasaan Sultan Adji Muhammad Idris, berkat kekuasaan dan pengaruh diplomasi dan kewibawaannya ia berhasil mengkoordinir kekuatan pasukan tempur yang direkrutnya dari pejuang Kutai , Pasir, Sambaliung, dan Pangatan.

Sultan Adji Muhammad Idris merupakan seorang pejuang yang tidak kenal menyerah dalam melawan imperialisme Belanda. Kehadiran Belanda sejak abad ke XVI yang memberikan tekanan psikis dan materil terhadap kerajaan- kerajaan taklukannya memicu timbulnya semangat juang di hati Sultan Adji

Muhammad Idris. Ia dengan sukarela membantu La Maddukelleng yang tak lain adalah mertuanya dalam menentang Belanda di kerajaan Wajo.

Peranan Sultan Adji Muhammad Idris di kerajaan Wajo ditandai dengan pertama; menerima dengan senang hati La Maddukelleng di kerajaan Pasir sebagai pelarian dari kerajaan Wajo, kedua; menikah dengan anak La

Maddukelleng yang secara otomatis menjadikannya sebagai menantu La

60

Maddukelleng, ketiga adanya gerakan perlawanan yang dilakukan bersama dengan La Maddukelleng menentang kehadiran dan monopoli yang dilakukan

Belanda di kerajaan Wajo.

Sultan Adji Muhammad Idris tahun 1739 menemui ajalnya dalam perjalanan perang menuju Sidenreng yaitu saat kuda yang ditumpanginya terperosok masuk jurang sehingga beliau tidak dapat tertolong.

B. Kritik dan Saran

a) Kritik

Beberapa sejarawan hanya fokus pada toko sentral saja sehingga tokoh kedua atau ketiga sangat sulit untuk diidentifikasi sebab kurangnya sumber dan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Maka dari itu pemerintah setempat sebaiknya membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para peneliti agar mudah dalam mengakses sumber sejarah.

b) Saran

Dalam setiap penulisan sejarah tentu saja tak dapat dipungkiri terdapat beberapa kekurangan. Maka dari itu penulis dengan lapang dada menerima semua saran yang dapat membuat penulisan ini semakin baik kedepannya.

61

Daftar Pustaka

Abdullah. Taufik. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.

Adji. Krisna Bayu . 2014. Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara. Yogyakarta: Araska.

Adham.D.1979. Salasilah Kutai. Kalimantan Timur:Bagian Kehumasan dan keprotokolan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.

Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa.

Andaya, Leonard. Y. 1979. A.Village Perception Of Arung Palakka and the Makassar War of 1666 -1669, dalam Anthony Reid dan David Marr (eds.), Perception of the Past in South East Asia. Singapore: Asian Studies of Australia. Lihat Muhammad Laica Marsuki, 1995. “Siri: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makasar”, Disertasi, Universitas Padjajaran Bandung.

Andi Djemma. Siardin & Sabang. Sudirman. 2010. Sejarah dan Perjuangan La Maddukelleng Arung Matoa Wajo-Sultan Pasir. Sengkang: Lampena Intimedia.

Ball, John. 1982. Indonesian Legal History 1602-1848. Sydney: Oughtershaw Press.

BPS. Kabupaten Wajo. 2009.

Finandar, Fidi dkk. 1991. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialism danImprealisme di Kaltim, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Hamid, Mansur. 1989. Musu Selleng Ri Tana Ugi dan Awal Keberadaan Islam di Tana Wajo. Dalam Bingkisan Bungai Rampai Budaya No 1. Ujungpandang:YKSS. http://www.kaltimprov.go.id/berita-hubungan-kekerabatan-raja-kutai-dan-raja- pasir-2-habis.html http://melayuonline.com/ind/history/dig/494/kesultanan-kutai-kartanegara-ing- martadipura. http://www.kaltimprov.go.id/berita-hubungan-kekerabatan-raja-kutai-dan-raja- pasir-2-habis.html.

Http:// www.rajaebookgratis.com

62 http://melayuonline.com/ind/history/dig/494/kesultanan-kutai-kartanegara-ing- martadipura.

Http://www.Scribd.Com/Document/360472430/sejarah-kerajaan-Wajo

Idar, Amir Hamzah. 2000. Sultan Adji Muhammad Salehuddin 1816-1845. Samarinda: Pemprop. Kaltim, Bappeda.

Kartiwa, Suwandi. 2007. Ragam Kain Tradisional Indonesia: Tenun Ikat. Jakarta, PT. Gramedia.

Lembaran Berita Sejarah Lisan. Nomor 9 Maret 1982.

Linneton, Jacqueline op.cit., hlm. 173, hlm. 174, lihat juga Leonard Y. Andaya, “The Bugis Makassar Diasporas”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 68, part I. lihat juga L. Andaya, “Treaty Conceptions and Misconceptions; A Case Study from South Sulawesi”, Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde 134 (Leiden: KITLV, 1978).

Lontara Sukunna Wajo.

Lontaraq Akkarungeng ri Wajo. 2007. Transliterasi dan terjemahan. Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan: Makassar.

Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang.

Mappangara. Suriadi. 2014.Perjanjian Tellumpoccoe 1582 Tindak Balas Kerajaan Gowa Terhadap Tiga Persekutuan Kerajaan di Sulawesi Selatan. Jurnal Pendidikan Sains dan Kemanusiaan SOSIOHUMANIKA 1 Mei.

Mappangara, Suriadi. Nur, Nahdia. Bora, Safarady. 2016. Perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura XIV di Sulawesi Selatan. Jakarta:Halaman Moeka.

Mills, Roger F. 1975. “The Recontruction of Proto South Sulawesi”, Archipel, vol. 10 lihat juga Christian Pelras, 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar.

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20, Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius.

Naskah lontara sukuna wjo (Lontara Sukku‟na Wajo) atau LSW) ditulis oleh La SangAdji Puanna La Sengngeng, Arung Bettempola Wajo' (1764-1767), lihat Andi Zainal Abidin, The Emergence Of Early Kingdoms In South Sulawesi, A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the

63

Thirteenth to the Fifteenth Century, dalam Southeast Asian Studies, Vol. 20, No.4, March 1983, hlm.476. Isi naskah Lontara Sukku‟na Wajo tentang La Madukelleng diunduh dari “La Madukelleng” (online) (http:// repository.univ pancasila.ac.id/ index. php,).

Naskah Lontara Sukku‟na Wajo (LSW)”, hlm. 2, lihat juga J. Noorduyn, “Een Boeginees geschriftje over Arung Singkang” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV & Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1953.

Nurnaningsih. 2015. Rekonstruksi Falsafah Bugis Dalam Pembinaan Karakter Bugis KAdjian Naskah Pappaseng Toriolo Tellumpoccoe. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2.

Pattikayhatu. John A. dkk. 1983/1984. Sejarah Perlawanan Terhadap Imprealisme dan Kolonialisme di Darah Maluku.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis (terj). Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta- Paris, EFEO: Jakarta.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho ed. 1981/1982 Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Sabang, Sudirman & Djemma Andi Siardin. 2010. Sejarah dan Perjuangan La Maddukelleng Arung Matoa Wajo Sultan Pasir. Sengkang: Lampena Intimedia.

Samsir. 2014. Strategi Panglima Awang Long Dalam Menghadapi Imperialisme dan Kolonialisme Kerajaan Islam Kutai Kartanegara. Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamamaan. Vol XIV. No.1.

Sewang, M Ahmad. 2003. Islamisasi kerajaan Gowa Abad XIV sampai abad XVII. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sjaf, Sofyan Ziddan Muhammad. 2009. Sejarah Perkembangan Desa Bugis Makassar Sulawesi Selatan. Jurnal Sejarah Lontar Vol 6 No 2 Juli.

Suprapto, Agus dkk. 1993. Sejarah Pergerakan Kebangsaan Rakyat Samarinda. Samarinda: Olah Babaya. Wetik. Fred. 2004. Sejarah Perjuangan Sultan Adji Muhammad Idris Raja Kutai Kartanegara Salah Satu Putra Terbaik Nusantara.Kutai Kartanegara: Kisik art study club bersama Yayasan Lanjong.

64

Yusuf, Muhammad Andi. 2012. Reproduksi Status Tradisional Dala Praktik Politik di Kabupaten Wajo. Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Jurusan Antropologi.

65

Lampiran I Foto Sultan Adji Muhammad Idris

66

Lampiran 2

Foto La Maddukkelleng

67

Lampiran 3

Foto Andi Makkaraka Datu Liu Ranreng Betteng Pola Wajo

68

Lampiran 4

Susunan Pemerintahan Kerajaan Wajo

69