Perubahan Ruang Sakral Wilayah ,

PERUBAHAN RUANG SAKRAL WILAYAH KUTA, BALI

Ari Djatmiko1) dan Zulphiniar Priyandhoko1)

1)Dosen Prodi Perencanaan Wilayah & Kota, Fakultas Teknik. Universitas Pasundan Bandung,

email : [email protected]; email ‘ [email protected]

Naskah diterima :8 Maret 2017 Naskah direvisi : 15 Maret 2017 Disetujui terbit : 20 Maret 2017

ABSTRAK Ruang sakral dinyatakan sebagai bangunan atau obyek utama yang memiliki nilai sakral. Perubahan ruang sakral dapat dinilai dari sisi internal sebagai adanya perubahan unsur-unsur fisik pada ruang atau obyek tersebut seperti perubahan fungsi baik penambahan ataupun pengurangan; perubahan tata letak dan orientasi serta perubahan luas ruang. Selain itu perubahan ruang sakral dapat dinyatakan pula dari sisi eksternal dengan mempertimbangkan perubahan ruang sekitarnya/berbatasan yang dapat mempengaruhi nilai kesakralan bangunan atau obyek sakralnya, seperti perubahan radius jarak dengan bangunan terdekat, perubahan ketinggian bangunan terdekat dan daya pandang bangunan terdekat ke arah bangunan/obyek sakralnya. Pentingnya mempertahankan ruang sakral sebagai bentuk menjaga pluralisme masyarakat tradisional dalam konteks perencanaan keruangan.Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan penelitian tentang perubahan ruang sakral Kuta dengan mempertimbangkan konsepsi ruang relasional. Dalam mencapai tujuan studi ini, maka dilakukan pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Teknik analisis yang melandasi penelitian ini adalah analisis deskriptif, dan interpretatif yang dilakukan sejak pengumpulan data dimulai.Berdasarkan kajian terhadap 7 (tujuh) jenis ruang-ruang sakral (Pura Dalem Kahyangan, Pura Dalem Tunon, Pura Pesanggaran, Sanggah, Pekarangan, Bale Banjar dan Catus Patha) pada 3 zona kesakralan (parahyangan, pawongan dan palemahan) di wilayah Desa Adat Kuta menunjukkan kecenderungan perubahan ruang. Terdapat beragam pola perubahan ruang sakral baik publik maupun privat terutama mencakup perubahan fungsi; perubahan tata letak dan orientasi; perubahan radius jarak dengan bangunan terdekat; perubahan ketinggian bangunan terdekat dan daya pandang bangunan terdekat ke arah bangunan/obyek sakralnya; serta perubahan lokasi ruang sakral. Perubahan tersebut mengindikasikan mulainya kemunculan kekuatan dominasi ekonomi dan politik yang mempengaruhi nilai-nilai sosial budaya lokal.

Kata Kunci : Ruang Sakral, Perkembangan dan Perubahan Ruang Sakral

PENDAHULUAN

Latar Belakang Perubahan budaya dapat mempengaruhi perubahan ruang [1]. Ruang merupakan simbolisasi dari kesepakatan bersama sebagai wadah untuk beraktivitas baik bekerja, rekreasi, ataupun bertempat tinggal, serta aspirasi/cara pandang hidup masyarakat dalam mengelola ruang secara bersama-sama. Perubahan ruang dapat memberikan pengaruh terjadinya perubahan pandangan dan pola aktivitas masyarakat serta timbulnya dam pak sosial ekonomi dan sosial budaya yang bersifat menguntungkan maupun merugikan. Ruang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian sesuai dengan aktivitas masyarakat yang memanfaatkannya, yakni ruang sakral (berkaitan dengan kegiatan agama) dan ruang profan (berkaitan dengan kegiatan sosial) [2[ dan [3]. Perubahan ruang sakral dapat digambarkan sebagai relasi dari triad ruang menurut pandangan Levebvre [4], yakni relasi tiga elemen berupa ruangpersepsi (perceived space) atau praktek ruang (spatial practice)1; ruang

1Persepsi ruang dan praktik ruang merujuk pada ruang manusia yang relatif obyektif dan nyata yang dihadapi dalam lingkungan sehari- hari [5] [6]. Elemen ini digunakan untuk mengeksplorasi dasar pertimbangan, persepsi masyarakat dalam merubah atau mempertahankan ruang, aktivitas dalam memanfaatkan ruang dan respon/upaya dalam mempertahankannya.

ISBN : 978-602-73463-1-4 477 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota Ari Djatmiko dan Zulphiniar Priyandhoko konsep (conceived space) atau representasi ruang (representation of space)2 dan ruang hidup (lived space) dan ruang representasi (representational space)3. Ketiga elemen tersebut saling berelasi dan saling mempengaruhi dalam mewujudkan perubahan ruang sakral. Menurut Sukawati [1], dalam konteks Bali, perubahan ruang sakral sangat terkait dengan Konsep Tri Hita Karana. Konsep tersebut mengandung maksud filosofis berupa pencapaian keselarasan hidup dalam tiga hubungan, yaitu (1) manusia dengan Tuhan, (2) manusia dengan alam, dan (3) manusia dengan manusia, yang secara umum juga diterapkan pada tata ruang dan arsitektur tradisional Bali. Trilogi ini diberlakukan sebagai pedoman pembagian ruang wilayah pemukiman (kawasan) yang dipilah menjadi tiga privacy sebagaimana azas dasar dari konsep Tri Hita Karana, yaitu spasial parhyangan (tempat suci desa), spasial pawongan (wilayah pemukiman penduduk desa) yang dalam penelitian ini ditransformasikan menjadi spasial pawongan dalam bentuk ruang-ruang atau wadah sosial, dan spasial palemahan (wilayah pendukung kehidupan/mata pencaharian penduduk desa). Pentingnya mempertahankan ruang sakral sebagai bentuk menjaga pluralisme masyarakat tradisional dalam konteks perencanaan keruangan diungkapkan oleh Sudaryono [5]. Sudaryono [5] menyampaikan pula bahwa pendekatan keruangan yang selama ini bersifat deterministik-rasionalistik telah banyak menuai kritik, khususnya karena ketidakmampuan mengakomodasi nilai-nilai pluralisme dan kepentingan masyarakat pada skala komunitas dan lokal. Oleh karena itu, Sudaryono [5] mengungkapkan perhatiannya terhadap konsep penguatan ruang lokal termasuk ruang sakral sebagai sebagai bagian dari ruang-ruang lokal.

Tujuan dan Sasaran Berdasarkan uraian sebelumnya maka tujuan penelitan ini adalah menjawab permasalahan penelitian tentang perkembangan dan perubahan ruang sakral Kuta. Adapun sasaran dalam penelitian ini yakni mengidentifikasi pola perubahan ruang sakral yang terjadi pada ketiga zona (zona parahyangan, zona pawongan, dan zona palemahan).

METODOLOGI

Penelitian ini berupa studi kasus. Dari segi tempat pelaksanaannya, penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) sehingga dapat ditemukan realitas atau fenomena yang terjadi pada ruang sakral Desa Kuta dalam bentuk gejala atau proses sosial. Lokasi penelitian ini adalah wilayah Desa Adat Kuta yang diarahkan sebagai salah satu kawasan wisata. Pemilihan lokasi penelitian didasari oleh pertimbangan-pertimbangan bahwa kawasan Kuta telah menunjukkan perkembangan yang pesat. Pada penelitian ini, ruang sakral yang dikaji mencakup 7 jenis ruang terdiri atas 4 jenis pada zona parahyangan, 2 jenis pada zona pawongan dan 1 jenis pada zona palemahan. Penentuan informan dilakukan dengan teknik purposif (bertujuan), yaitu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan perubahan ruang sakral di Desa Adat Kuta.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Kawasan Kuta Menurut Wicakasana [7], perkembangan kawasan Kuta dimulai sejalan dengan invasi Majapahit yang dipimpin Gajahmada sekitar tahun 1343. Dalam rangka mempersatukan Nusantara, Gajahmada berusaha menaklukan Bali melalui pengiriman pasukan ke beberapa pantai di Bali, salah satunya ke pantai yang kini disebut Kuta. Pasukan Gajahmada tersebut yang disebut sebagai para arya juga bermukim dan mengembangkan kawasan Kuta. Pada periode selanjutnya sampai tahun 1846, perkembangan kawasan Kuta terkait dengan perkembangan kerajaan di Bali secara keseluruhan. Pada periode tersebut terdapat fase perkembangan kerajaan mulai dari Dinasti Gelgel, Dinasti Klungkung dan pecahnya Kerajaan Klungkung menjadi beberapa kerajaan kecil. Pada periode berikutnya yakni 1846 sampai 1945 merupakan fase penjajahan Belanda, Jepang dan terjadinya penyerahan kemerdekaan. Kemudian berlanjut sampai saat ini berupa fase paska kemerdekaan. Wicaksana [7] menambahkan pula bahwa perkembangan pemerintahan Kuta dipengaruhi pula perkembangan Kawasan Kuta. Pada periode awal invasi Majapahit tahun 1334 sampai dengan tahun 1839,

2Konsep ruang dan representasi ruang mengacu pada konstruksi mental ruang, dan ide-ide kreatif tentang dan representasi ruang [5] [6]. Elemen ini digunakan untuk memahami konsepsi rencana ruang menurut pemerintah serta upaya pemerintah dan pelaku usaha dalam mempertahankan atau melemahkan. 3Ruang hidup dan ruang representasional mengacu pada kombinasi kompleks dirasakan dan ruang dikandung [5] [6]. Ruang hidup merupakan ruang seseorang yang sebenarnya. Pengalaman ruang dalam kehidupan sehari-hari atau lebih elemen penyusun kehidupan sosial [5] [6].

478 ISBN : 978-602-73463-1-4 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota Perubahan Ruang Sakral Wilayah Kuta, Bali pemerintahan Kuta memiliki keterkaitan dengan pemerintahan kerajaan di Bali. Menurut Wicaksana (2014), menyebutkan bahwa kepala desa atau perbekel merupakan wakil raja di daerah. Pada tahun 1839, Raja Kesiman di Badung memberi kepercayaan Mads Johansen Lange, seorang warga negara Denmark sebagai prebekel (kepala desa) di Kuta, karena hubungan yang sangat baik dengan Raja Kesiman. Pada periode selanjutnya sampai jaman paska kemerdekaan, diketahui beberapa prebekel yang memimpin desa Kuta. Kemudian pada tahun 1980an, terdapat perubahan dari prebekel menjadi kelurahan. Selain pemerintahan dinas, Kawasan Kuta juga memiliki pemerintahan adat dalam wadah desa adat. Hubungan antara pemerintahan dinas dan pemerintahan adat bersifat koordinatif. Menurut sejumlah penelitian, organisasi desa adat di Bali diarsiteki oleh Mpu Kuturan pada abad 11. Khusus kawasan Kuta, pembentukan desa adat secara lebih terorganisir dimulai tahun 1916 dengan terbentuknya bendesa dan perangkat desa [7]. Menurut Wicaksana [7], perkembangan Desa Kuta pada sekitar 1334 M tersebut, juga sejalan dengan pembangunan fasilitas ibadah berupa purakahyangan tiga. Pembangunan pura kahyangan tiga merupakan salah satu syarat keabsahan desa adat [8]. Pola pembangunan nya mengikuti pola tata ruang tradisional Bali, yaitu pura puseh pada bagian hulu desa (bagian timur), puradesa (bale agung) di tengah-tengah desa, dan pura dalem di teben desa (bagian barat). Perkembangan kawasan Kuta terutama pada periode 1970-an, bersifat dukungan terhadap kebutuhan wisatawan pada skala terbatas. Kondisi tersebut mendorong pula perkembangan ruang-ruang kegiatan berbasis wisata, disamping keberadaan ruang tradisional Bali [9]. Pada periode tersebut sebelum icon pariwisata menjadi komoditas utama, tanah-tanah adat (aset desa) di kawasan Kuta berfungsi sebagai lahan-lahan pertanian khususnya perladangan/tegalan, yang ditanami tanaman jeruk, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan lain sebagainya. Tanah pertanian tersebut saat ini sudah tidak produktif lagi, karena merupakan tanah perbukitan dengan kontur yang berbatu. Oleh sebab itu tanah tersebut beralih fungsi sebagai penunjang obyek pariwisata seperti art shop, kafe, mall, pusat oleh-oleh, dan waralaba. Hal tersebut membuktikan terjadinya peralih fungsian lahan pertanian disebabkan oleh industri pariwisata yang sangat berkembang pesat di Kuta. Jika dihitung secara lebih luas merebaknya perkembangan pariwisata membawa pengaruh pada berkurangnya lahan pertanian yang beririgasi teknis rata-rata 1.000 Ha pertahunnya [9]. Seperti diuraikan oleh Darmadi [9], perkembangan pariwisata pada kawasan Kuta selama 1970-2014 menyebabkan kemunculan hotel-hotel yang tidak terkendali. Tetapi, sebelum menjadi pusat wisata pada tahun 1970-an kawasan Kuta dikenal pula sebagai perkampungan nelayan. Masyarakat Kuta hanya membuat penginapan sederhana dengan menyewakan sebagian kamar rumah mereka, dan juga membuat warung dengan struktur dasar bambu untuk kebutuhan makanan bagi wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke daerah tersebut. Kelengangan kawasan Kuta dari bangunan-bangunan hotel tampak jelas terlihat. Selain itu tergambarkan pula kondisi kawasan pada saat itu. Pada periode 1970-an tersebut, warga juga telah melakukan interaksi awal dalam memenuhi kebutuhan wisatawan/pengunjung. Lebih jauh, salah seorang mantan bendesa adat Kuta, yakni Made Wendra mengungkapkan bahwa penduduk Kuta ‘belajar’ dan mendapat ‘pengetahuan’ dari pengunjung/wisatawan tentang penyediaan sarana MCK pada rumah-rumah yang ditempati wisatawan. Selain itu penduduk juga mendapat keuntungan atas biaya sewa yang diberikan wisatawan atas rumah-rumah penduduk yang ditempati oleh mereka. Darmadi [9] menambahkan bahwa masa kemerdekaan hingga tahun 1970-an. Turisme tumbuh dari embrio hasil interaksi yang semakin lama antara warga desa dan pelancong asing. Dengan referensi artikel dan informasi di negaranya, para wisatawan menemukan sendiri pantai Kuta dengan datang sebagai pelancong yang datang ke Bali dan khususnya menyenangi pantai Kuta. Keadaan ini dapat digambarkan melaui perkembangan kepariwisataan Kuta yang cepat dan tanggapnya para wisatawan usia muda (young traveller) terutama yang berasal dari Australia yang datang ke Kuta semakin ramai pada masa-masa akhir dasa warsa 60- an.

Perubahan Ruang Kawasan Kuta

Pada bahasan di bawah ini diuraikan perubahan ruang pada obyek-obyek kajian di Kawasan Kuta dalam konteks salah satu desa adat di Bali.

A. Pura Dalem Kahyangan Pola perubahan ruang pada Pura Dalem Kahyangan menunjukkan terjadinya pengurangan radius jarak pura dengan bangunan terdekat, ketinggian bangunan terdekat melebihi batas, serta daya pandang bangunan terdekat yang tidak dibatasi dan menghadap langsung pura. Bangunan terdekat dengan pura tersebut berupa

ISBN : 978-602-73463-1-4 479 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota Ari Djatmiko dan Zulphiniar Priyandhoko ruko untuk kegiatan usaha. Kondisi ini menggambarkan adanya kecenderungan kemunculan dominasi ruang ekonomi, tetapi respon negatif masyarakat juga besar untuk mempertahankan ruang sakral. Dari uraian tersebut terdapat kecenderungan kontestasi ruang antara ruang sakral dan non sakral (jasa). Kontestasi ini menggambarkan pula masih lebih kuatnya pengaruh politik ekonomi yang mempengaruhi terjadinya perubahan ruang dan penurunan nilai sakral Pura Dalam Kahyangan dibandingkan dengan resistensi dari masyarakat adat dalam bentuk pemaknaan dan strategi dalam mempertahankan ruang sakralnya. Walaupun demikian struktur budaya dan adat serta aktivitas upacara masih tetap bertahan dilakukan di Pura Dalem Kahyangan. Dapat dikatakan bahwa ruang dominasi atau abstrak-yang dikembangkan Lefebvre sudah mulai terlihat, tetapi respon masyarakat sebagai bentuk apropiasi (penyelarasan) dan pertahanan niai lokal juga kuat.

B. Pura Dalem Tunon Pola perubahan ruang sakral di Pura Dalem Tunon menunjukkan terjadinya pengurangan radius jarak pura dengan bangunan terdekat, tetapi terjadi kesepakatan dengan pihak hotel mengenai radius jarak tersebut. Dominasi ruang ekonomi mulai muncul, tetapi terdapat kesepakatan dengan masyarakat mengenai radius jarak pura. Perubahan ruang fisik pura Dalem Tunon diindikasikan dengan pengurangan radius jarak dengan bangunan hotel terdekat. Radius jarak sekarang menjadi 15 m, dari semula yang lebih besar dari 15 m. Permasalahan yang timbul pada saat awal (sekitar tahun 2000), yakni keinginan pihak hotel untuk memperluas bangunan hotel berada pada jarak yang lebih dekat (5-10m). Dapat diungkapkan pula bahwa terdapat konsensus antara pihak puri dengan pihak pengelola pura keluarga mengenai keberadaan pura Dalem Tunon. Kondisi ditunjukkan dengan adanya kesepakatan tentang radius jarak pura dengan bangunan hotel terdekat.

C. Pura Pesanggaran Adapun pola perubahan ruang pura Pesanggaran menunjukkan terdapat perubahan radius jarak pura dengan bangunan terdekat (hotel). Keberadaan pura Pesanggaran ini seperti pura lainnya juga lebih dahulu berdiri dibandingkan dengan hotel Kartika Plaza sebagai hotel yang berada paling dekat dengan pura. Sejalan dengan waktu, saat ini pura Pesanggaran tersebut menjadi bagian areal hotel Kartika Plaza. Pada saat awal, radius jarak pura lebih besar dibandingkan saat ini, tetapi sejalan perkembangan hotel terjadi pengurangan radius pura. Saat ini berdasarkan wawancara dengan tokoh masyarakat diketahui bahwa jarak radius pura tersebut masih sesuai dengan aturan bishama, yakni bahwa pagar bangunan hotel terdekat berada tepat dengan penyengker/pagar pura. Selain itu, bangunan hotel Kartika Plaza tersebut juga masih sesuai dengan aturan bishama (maksimal 4 lantai).

D. Pura Keluarga ( Sanggah) Terdapat perubahan ruang sakral pada beberapa pura keluarga akibat peningkatan kebutuhan ruang hunian khususnya penambahan anggota keluarga juga dorongan ekonomi untuk mengembangkan kegiatan produktif. Terdapat kecenderungan pemindahan lokasi sanggah dari lantai 1 ke lantai 2 atau 3. Terdapatnya upaya menambah daya tampung lahan tersebut sebagai akibat dorongan kekuatan sosial dan ekonomi dari pemilik pekarangan dalam memaknai ruang sanggah, tidak mempengaruhi pemaknaan masyarakat terhadap ruang sakral melalui upaya tetap mempertahankan ruang sakral.

E. Pekarangan Pola perubahan ruang sakral berupa pekarangan menunjukkan peningkatan kebutuhan perumahan akibat penambahan anggota keluarga serta dorongan ekonomi yang berimplikasi pada pemfungsian sebagian lahan perumahan untuk kegiatan produktif. Dengan kata lain, terdapat beberapa perubahan fungsi hunian serta penambahan fungsi komersial pada lahan pekarangan. Walaupun demikian, fungsi keagamaan (parahyangan) tetap bertahan pada zona yang seharusnya.Berdasarkan penyebaran kuesioner dan wawancara diketahui bahwa perubahan ruang pekarangan dipengaruhi oleh perkembangan gaya hidup yang lebih modern (komersial) serta kebutuhan ruang tambahan akibat penambahan anggota keluarga. Secara umum terdapat perubahan ruang pekarangan tetapi dengan tetap mempertimbangkan tata aturan adat sehingga perubahan kesakralan dapat diminimasi. Terjadinya perubahan atau penurunan kesakralan diwujudkan dengan posisi pekarangan dan bangunan yang dilarang menurut aturan adat. Upaya meminimasi dampak buruk tersebut dilakukan dengan melakukan upacara atau usaha-usaha lain secara adat. Perubahan pekarangan akibat peningkatan kebutuhan penambahan ruang untuk kegiatan ekonomi, tetapi dengan tetap menjaga nilai kesakralan merupakan wujud warga adat yang masih teguh memegang aturan adat tetapi tetap adaptif terhadap perkembangan. Konsep desa- kala-patra menjadi dasar pertimbangan dalam perubahan ini.

480 ISBN : 978-602-73463-1-4 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota Perubahan Ruang Sakral Wilayah Kuta, Bali

F. Tempat pertemuanbanjar (Bale Banjar) Kajian pola perubahan ruang menunjukkan adanya dorongan menambah pembiayaan kegiatan banjar melalui pemanfaatan sebagian ruang bale banjar untuk kegiatan komersial. Terdapat penambahan fungsi komersial pada areal banjar. Walaupun demikian fungsi bale banjar sebagai kegiatan agama, sosial dan budaya tetap terjaga. Terdapat kemunculan ruang sebagai dorongan ekonomi, tetapi ruang sakral masih bertahan. Penambahan fungsi perdagangan pada bale banjar selain fungsi utamanya dalam bidang sosial budaya, menunjukkan adanya upaya dari warga adat menambah pendanaan untuk mendukung keberlangsungan kegiatan warga banjar termasuk kegiatan yang berhubungan dengan bale banjar. Upaya ini menunjukkan pula rasa memiliki warga banjar dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial budaya yang ada.

G. Catus Patha (pempatan agung)

Kajian pola perubahan ruang sakral,menunjukkan bahwa Catus Patha sekarang sebagai lokasi baru yang lebih layak dari segi adat dibandingkan pada lokasi sebelumnya. Pada Catus Patha tersebut keleluasaan ruang upacara masih terjaga, walaupun terdapat perkembangan ruang pada kawasan sekitarnya.Catus patha (pempatan agung) Kuta mengalami perpindahan lokasi sekitar tahun 1990 an. Perubahan ini dilakukan karena lokasi sebelumnya kurang memenuhi syarat adat sebagai pempatan agung. Lokasi yang sekarang di perempatan Bemo Corner dianggap lebih sesuai sebagai Catus Patha. Menurut Bagus Rai-sejarawan Kuta, perkembangan kegiatan jasa dan perdagangan di sekitar Catus PathaBemo Corner tidak menjadi masalah, justeru melalui upacara nangluk merana (tolak bala) yang dilakukan akan dapat menghilangkan berbagai energi negatif kegiatan-kegaitan yang ada. Hal yang perlu dipertahankan adalah keleluasan ruang pada saat pelaksanaan upacara nya sehingga memudahkan pencapaian dan penggunaan catus patha. Fungsi catus patha (pempatan agung) tidak berubah dan masih bertahan dapat digunakan untuk kegiatan upacara. Walaupun secara fisik kegiatan di sekitar perempatan yang termasuk pada kawasan pempatan agung tersebut berbeda dengan tata ruang adat yang lama.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini yakni :

1. Berdasarkan kajian terhadap 7 (tujuh) jenis ruang-ruang sakral (Pura Dalem Kahyangan, Pura Dalem Tunon, Pura Pesanggaran, Sanggah, Pekarangan, Bale Banjar dan Catus Patha) pada 3 zona kesakralan (parahyangan, pawongan dan palemahan) di wilayah Desa Adat Kuta menunjukkan kecenderungan perubahan ruang. Terdapat beragam pola perubahan ruang sakral baik publik maupun privat terutama mencakup perubahan fungsi; perubahan tata letak dan orientasi; perubahan radius jarak dengan bangunan terdekat; perubahan ketinggian bangunan terdekat dan daya pandang bangunan terdekat ke arah bangunan/obyek sakralnya; serta perubahan lokasi ruang sakral. 2. Pada zona parahyangan pola perubahan umumnya berupa perubahan fungsi, berkurangnya radius jarak dengan bangunan terdekat, ketinggian bangunan terdekat dan pandangannya ke arah obyek sakral yang melebihi batas serta orientasi arah. Pada zona pawongan berupa perubahan fungsi, perletakan bangunan, orientasi vertikal dan pada zona palemahan berupa perubahan lokasi (catus patha). Perubahan tersebut mengindikasikan mulainya kemunculan kekuatan dominasi ekonomi dan politik yang mempengaruhi nilai- nilai sosial budaya lokal. Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang Dapat dikatakan bahwa ruang dominasi atau abstrak-yang dikembangkan Lefebvre sudah mulai terlihat, tetapi respon masyarakat sebagai bentuk apropiasi (penyelarasan) dan pertahanan nilai lokal juga kuat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Sukawati, (2008): Perubahan Spasial Desa Adat Ubud, Gianyar Bali, dalam Era Globalisasi : Sebuah Kajian Budaya, Program Doktor Kajian Budaya, Unud, Bali [2] Sasongko, I. 2006. Pembentukan Ruang Berdasarkan Budaya Ritual. Disertasi. ITS: Surabaya [3] Santhyasa, I Komang Gede Dan Wahyudi Arimbawa (2010) : Perspektif Ruang Sebagai Entitas Budaya Lokal :Orientasi Simbolik Ruang Masyarakat Tradisional Desa Adat Panglipuran, Bangli-Bali, Local Wisdom-Jurnal Ilmiah Online, 2, (4) : 01-09.

ISBN : 978-602-73463-1-4 481 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota Ari Djatmiko dan Zulphiniar Priyandhoko

[4] Lefebvre, H. (1991): The Production of Space, Donald Nicholson-Smith traans, Oxford : Basil Blackwell, Originally published 1974 [5] Sudaryono, (2006) : Paradigma Lokalisme dalam Perencanaan Spasial, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 17/No 1, April 2006. [6] Purcell, M., (2002) : Excavating Lefebvre: The Right To The City And Its Urban Politics Of The Inhabitant, GeoJournal, 58, 99–108. [7] Wicaksana, I Nyoman Graha, (2014): Kuta Berdaya 2 :Jejak PengabdianLPM Kelurahan Kuta 2011- 2014, LPM Kelurahan Kuta. [8] Geriya, I Wayan. (2000): Transformasi Kebudyaan Bali Memasuki Abad XX1. : Unit Percetakan Daerah Bali [9] Darmadi, (2011): Representasi Budaya Masyarakat Lokal Dan Politik Identitas Desa Adat Kuta Dalam Poskolonialitas Kawasan Industri Pariwisata , Tesis, Bidang Kajian Budaya | Ubud, Bali.

482 ISBN : 978-602-73463-1-4 http://pasca.unand.ac.id/id/prosiding-seminar-nasional-perencanaan-pembangunan-inklusif-desa-kota