Konsep Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Satu Syarat Menggapai Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh: Imam Arifin (1113033100021)
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018/1439 H
LEMBAR PERESTUJUAN PEMBIVIBING
Konsep Masyarakat Nladani Menurut Nurcholish Nlladjid
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddil untuk Meutenulii Satr-r Syarat Menggapai Gelar Sarjana Agama (S Ag)
Oleh: Imam Arifin (1113033100021)
Dosen Per-nbirnbing:
MA
NIP.19670918 199703 I 001
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 20r8n439 H
LEVIBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KONSBP MASYAR;\K,4.T NIADANI h'IENURUT NURCHOLISH NIADJID telah diujikan clalam siclang rluna.lasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsatat UIN S),arif Hiclayatullah Jakarta pada 28 Maret 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat menteroleh Gelar Sar-iana Agama (S.Ag.) pada Prograrn Stucli Aqiclah clan Filsafat Islam.
Ciputat,2S Mairet 2018
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota.
Dra. Tien Rahmatin. M.A Dr. Abciul Hakim Wahid. SI.A NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 19780424 201503 I 001
Anggota,
Ilanafi. S.Ag. M.A 2t220112681 NIP: 19691216 199603 I 002
196709t8
111 PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Arab Indonesia ṭ ط a ا ẓ ظ b ب ‘ ع t ت gh غ ts ث f ف j ج q ق ḥ ح k ك kh خ l ل d د m م dz ذ n ن r ر w و z ز h ه s س ’ ء sy ش y ي ṣ ص h ة ḍ ض
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia
Ā ﭐ
Ī اى
Ū او
iv
ABSTRAK
Imam Arifin (1113033100021)
Konsep Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid
Penelitian ini memilki tujuan dalam rangka menemukan kumpulan data, guna memperoleh hasil berupa jawaban mengenai pandangan kerangka dalam masyarakat madani menurut Nurcholish Madjid, terutama pada persoalan implementasi dari spiritualitas Islam di tengah kehidupan masyarakat telah modern.
Metode yang digunakan adalah dokumentasi baik di perpustakaan atau di luar perpustakaan dalam pengambilan data. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian dengan metode studi kepustakaan dan metode pembahasannya berupa analitis deskriptif. Dari kedua metode tersebut dimaksud untuk menguraikan persoalan yang sedang dibahas secara sistematis mengenai seluruh pandangan dari Nurcholish Madjid tentang masyarakat madaninya. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa konsep masyarakat madani menurut Nurcholish adalah masyarakat yang berperadaban yang meneladani contoh Nabi Muhammad dalam membentuk dan membina masyarakat di Madinah. Masyarakat madani adalah masyarakat yang memegang asas toleransi dan pluralisme pertama di dalam sejarah peradaban. Masyarakat yang mentaati akan hukum, menghargai perbedaan pendapat dan hak berpendapat orang lain, dan memiliki kepedulian terhadap rasa kemanusiaan. Dengan hal demikianlah masyarakat madani menurut Nurcholish dapat ditegakkan dalam bentuk nyata.
Kata kunci: Nurcholish, Masyarakat Madani, Toleransi dan Pluralisme.
v KATA PENGANTAR Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Assalāmu‟alaikum warahmatullāh wabarakātuh
Segala puji dan rasa syukur terlimpah-curahkan kepada Allah Swt, dan hanya kepada-Nya saya berusaha dan berserah diri. Memohon pertolongan dan petunjuk-Nya dalam mengambil berbagai macam pilihan di perjalanan hidup saya. Saya juga menyukuri salah satu nikmat-
Nya, yang bagi saya nikmat itu begitu indah, yaitu berkesempatan sekolah
(menuntut ilmu) hingga mencapai jenjang pendidikan di perguruan tinggi, khususnya jenjang akademisi berbasis Islami.
Kemudian, shalawat beserta salam saya sampaikan kepada Nabi akhir zaman, Muhammad Saw, karena di dalam budi pekerti beliaulah, saya belajar betapa pentingnya umat Islam dalam menuntut ilmu. Lebih daripada itu, ilmu yang dimiliki pun mesti diajarkan dan diamalkan sampai benar-benar terasa manfaatnya terhadap sesama.
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillāh Rabb al-„Ālamīn, atas rahmat serta kasih-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang mengambil judul: “Spiritualitas Islam Dalam Masyarakat Modern
Menurut Nurcholish Madjid.”
Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) strata 1 pada Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini dengan segala hormat saya
vi
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang telah memberikan masukan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyusun skripsi ini hingga selesai, terutama kepada yang saya hormati:
1. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.A selaku Pembimbing yang telah membantu penulisan skripsi ini. Baik berupa masukan dan wawasan baru yang telah beliau berikan, semoga Allah Swt, membalasnya dengah hal yang lebih baik lagi.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Dra. Tien Rahmatin, M.A selaku Ketua Jurusan Aqidah dan
Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A selaku Sekretaris Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Terimah kasih juga kepada seluruh dosen-dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Saya juga berterima kasih kepada kedua orang tua tercinta yang sangat mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini: Bapak H.
Martius, Ibu Isisma Murni. S. Tr. Keb, yang selalu memberikan doanya
vii dan dukungan, baik berupa finansial dan secara sepritual kepada saya, anaknya ini, semoga keduan selalu berada dalam naungan rahmat-Nya.
8. Special Thanks to Yuninda Nurbaeti, yang telah mendukung dan memotivasi, bahkan mengingatkan saya selalu akan pentingnya menata masa depan.
9. Rekan seperjuagan semasa di IMM; Kolik Koiruddin. S.Ag,
Novita, Aldina, Zakiyah, Sahri, dan adek-adek; Fajar, Nia, Labib dan lainnya.
10. Kawan seperjuangan semasa di kelas; Faisal (Jun), Muhammad
Mufid, Robby, Jaenal, Imur, Fajri Azizah, Fitroh and Gengs, dan adek- adek AFI, Iis, Laras, Reynaldi, Fany, dkk.
Akhir kata saya mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak dan apabila ada yang tidak tersebutkan dalam kata pengantar ini mohon maaf, dan dengan besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya sendiri dan umumnya bagi semua pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu dalam penulisan ini semoga segala amal kebaikan langsung mendapat balasan yang sangat berlimpah dari Allah Swt.
Wassalāmu‟alaikum warahmatullāh wabarakātuh
Ciputat, Februari 2018
Imam Arifin
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...... i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI...... ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI...... iii PEDOMAN TRANSLITERASI...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Batasan Masalah...... 8 C. Rumusan Masalah ...... 8 D. Tujuan Penelitian ...... 8 E. Manfaat Penelitian ...... 9 F. Tinjauan Pustaka ...... 9 G. Metode Penelitian ...... 12 H. Sistematika Penulisan ...... 13 BAB II BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID A. Latar belakang...... 14 B. Karya-karya...... 25 C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran...... 28 BAB III TEORI-TEORI MASYARAKAT MADANI A. Teori Anwar Ibrahim...... 34 B. Teori Dawam Rahardjo...... 37 C. Teori Din Syamsuddin...... 41 D. Teori Azyumardi Azra...... 44 BAB IV MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF CAKNUR A. Definisi Masyarakat Madani...... 48 B. Karakteristik Masyarakat Madani...... 57 C. Metode Mencapai Masyarakat Madani...... 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...... 82 B. Saran...... 83 DAFTAR PUSTAKA ...... 84
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nurcholish Madjid, (atau yang biasa dipanggil Cak Nur), merupakan
tokoh yang sangat berpengaruh dalam berkontribusi terhadap masyarakat,
apalagi di masa sekarang yang sedang menjalani proses perubahan tatanan
di masyarakat dan menyadarkan kembali sebagian masyarakat yang telah
kehilangan spiritualitasnya. Masyarakat yang mesti diingatkan dalam
pilihan terbaiknya.
Oleh karenanya, Nurcholish merupakan seorang intelektual Islam,
yang menurut penulis, memiliki relevansi cukup kuat dan berpengaruh
sebagai tokoh pembaharuan juga dengan sikap responsifnya terhadap
dinamika yang ada di dalam masyarakat. Terutama dengan mendidik
demokrasi sebagai bahasan yang hidup dan hangat di masyarakat. Di mana
demokrasi adalah pemilihan umum yang bebas dan pemberian suara yang
rahasia. Hal ini benar-benar dapat dimengerti, karena hak untuk memberi
suara secara bermakna dan bebas dari pemaksaan. Jika demokrasi harus
memiliki “rumah”, maka rumahnya ialah civil society atau “masyarakat
madani”, yang mana berbagai macam perserikatan, klub, gilda, sindikat,
federasi, persatuan, partai dan kelompok bergabung untuk menjadi perisai
antara negara dan warga-negara.1
1 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 145
1
2
Sisi lain dari Nurcholish, sampai kepada John L. Esposito yang
mengatakan bahwa Nurcholish Madjid dari Indonesia (sanggup
menyelesaikan perkara) langsung mendarat ke persoalan inti dari
permasalahan, dengan tegas mendesak umat Islam untuk merombak tradisi,
untuk membedakan antara yang universal dan yang partikular, antara
wahyu Tuhan nan tak berubah dengan budaya dan tradisi umat Islam yang
dapat berubah. 2 Nurcholish dipuji dan dinilai mempunyai gaya
penyelesaian yang mengakar dan langsung menuju inti dari permasalahan.
Karakteristik Nurcholish, dikatakan lagi oleh John L. Esposito,
sebagai seorang pembaharu yang menghargai tradisi, namun
menganjurkan perpaduan kreatif antara keulamaan tradisional dengan
modern. Nurcholish dianggap sebagai orang yang gencar menggemakan
semangat perubahan ke arah masyarakat modern, akan tetapi keislaman
tradisionalnya tetap dijaga. Bahkan oleh sahabatnya, Harun Nasution,
dikatakan bahwa selama seseorang itu masih terikat pada tradisi dan
agamanya, selama itu pula ia tidak akan sanggup mengadakan perubahan
dan pembaharuan dalam cara hidupnya.3
Itu artinya sama seperti yang melekat pada diri Nurcholish, yaitu
menentang kepasifan atas perkembangan yang bergolak di masyarakat.
Nurcholish mengatakan bahwa merombak dan melawan tradisi-tradisi
yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan kenyataan yang ada
dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain
2 John L. Esposito, Masa Depan Islam, Terj. Eva. Y. Nukman dan Edi Wahyu SM, hal. 151
3 Harun Hasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 189 3
juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian
mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai
kebenaran.4
Realita di zaman sekarang, berbagai krisis menghampiri kehidupan
manusia, mulai dari krisis sosial, krisis struktural, hingga krisis
spiritualitas. Dan semuanya berkumpul pada persoalan yang lebih
mendasar, yaitu makna hidup bagi manusia. Modernitas memberi segenap
kemajuan teknologi dan meningkatnya industrialisasi sampai menjadikan
manusia kehilangan orientasi. Kekayaan kian menumpuk, tetapi jiwa
mengalami kekeringan. Bersamaan dengan logika modern dan orientasi
yang kian modern, upaya dan materi lantas menjadi aktualisasi di
kehidupan masyarakat. Akibatnya, manusia bagaikan sebuah mesin.
Semuanya diukur atas dasar materi.5
Manusia pun perlahan harus mengatur dimensi-dimensi wujudnya
dalam berbagai arah sedemikian rupa supaya memungkinkan ia memenuhi
semua tuntutan material dan spiritualnya, dan hidup secara pantas dengan
mendasarkan hidupnya pada suatu rencana yang dibangun secara tepat dan
akurat. 6 Meskipun tak jarang masih ada sebagian yang terjebak dalam
kesedihan yang berlarut-larut akibat kesulitan hidup, kegembiraan yang
berlebihan akibat sukses duniawi pun akhirnya akan memicu masalah.7
4 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 210
5 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 48
6 Sayid Mujtaba Musawi, Etika dan Pertumbuhan Spiritual, (Jakarta: Lentera Bastritama, 2001), hal. 3
7 Hamdy, Telaga Bahagia Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Jakarta: Republika, 2015), hal. 16 4
Wujud dalam diri masyarakat secara umum tersusun dari suatu kumpulan gejolak yang berasal dari berbagai dorongan. Dorongan- dorongan ini dalam keadaan yang natural dan berimbang tidaklah sia-sia atau merugikan, bahkan setiap bagian darinya memainkan peranan vital dalam bangunan spiritual masyarakat.
Oleh karena itu, sebagaimana naluri fisik muncul dari watak manusia, demikian pula kesan-kesan positif, ramah dan pencari kebenaran dapat keluar dari dalam wujudnya, menimbulkan kekuatan spiritual yang melimpah, besar, yang itu mampu melahirkan kesucian, kehormatan, kekuasaan, dan kesalehan. Manusia hidup dalam keanekaragaman, ia hidup dan bertindak menurut berbagai kecenderungan dalam dirinya, beberapa diantaranya berasal dari keinginan hewani, beberapa lagi berasal aspek sentimental, rasional bahkan spiritual dalam dirinya.
Manusia menghadapi keanekaragaman dalam dirinya dan pada saat yang sama ia mesti hidup dalam masyarakat di mana ia menjadi bagian dan melakukan kontak serta hubungan yang tak terbatas dengan anggota masyarakat lain. 8 Untuk menjalani peran tersebut, manusia perlu melengkapi diri dengan pondasi spiritual.
Di mana jati diri manusia yang paling esensial adalah spiritualnya, atau ruhani dalam bahasa al-Qur’ān. Di mana di dalam al-Qur’ān menyebutkan bahwa ruhani (baca: spiritual) manusia itu secara esensi baik dan suci, sebagaimana tercipta dari asal yang baik dan suci pula. Allah meniupkan ruh-Nya kepada tubuh manusia sehingga dengan bekal ruh
8 Suddirman Tebba, Merengkuh Makrifat, (Ciputat: Putaka Irvan, 2006), hal. 7 5
ilahi itu juga kelak manusia dapat memiliki kemampuan untuk
berhubungan dengan Allah. Jadi, terang bahwa akses atau komunikasi
manusia dengan Allah merupakan gambaran hubungan spiritualitas,
meskipun aspek fisiknya menjelma dalam bentuk ibadah.9
Bila manusia ditelisik lebih lanjut, maka akan ditemukan bahwa
manusia mempunyai kebutuhan fisik dan kebutuhan jiwa yang harus
dipenuhi. Kebutuhan dan dorongan spiritual ini telah ditetapkan oleh
tangan penciptaan pada kedalaman jiwa.10 Karena hakikat kemanusiaan
kita bertumpu pada realitas spiritual, maka dimensi spiritualitas itu ibarat
sebuah pohon yang akan tumbuh dan berkembang, lalu berbuah banyak
ketika memperoleh asupan vitamin, yaitu dengan jalan mengasosiasikan
diri kita dengan Dzat yang Maha Spiritual.11
Berbeda dengan bangsa Barat yang sudah mulai bosan dengan segala
kemewahan yang materialistik. Dikarenakan hidup dengan kemewahan
tidak sepenuhnya mengantarkan pada kebahagiaan yang berumur panjang.
Hari ini gembira dengan material yang didapat, besok resah dan gelisah
karena setelah mendapatkan, otomatis ia merasa kehilangan sesuatu, tetapi
dia tidak tahu apa yang sebenarnya sesuatu yang hilang itu.12
Mereka mulai mencari-cari apa yang ada dibalik fakta kehidupan yang
tidak pernah membuat hidup ini merasakan ketenangan yang hakiki.
9 Komarudin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2011), hal. 8
10 Sayid Mujtaba Musawi, Etika dan Pertumbuhan Spiritual, hal. 159
11 Komarudin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat, hal. 9
12 Saifuddin Aman, Tren Spiritualitas Millenium Ketiga, (Tangerang: Ruhama, 2013), hal. 12 6
Terutama bagi orang Islam, syariat saja belum cukup mampu menciptakan harmonisasi antara manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan semesta alam.13 Dunia tidak akan pernah menghasilkan kedamaian jika semua manusia hanya memburu keinginan jasmani dan mengabaikan spiritualitas. Yang ada, orang tidak akan menikmati hidup, kalau tidak menemukan makna hidup.14
Selanjutnya rasa keterasingan itu membuat manusia tidak nyaman dalam menjalani hidup. Alam tidak lagi dipandang sebagai apa pun kecuali tempat tinggal dan objek yang harus ditundukkan demi kepentingan dan kenyamanan bahkan kemewahan yang terdapat di kehidupan masyarakat modern. 15 Di dalam masyarakat modern ditunjukkan dengan adanya peningkatan dalam bagian pembagian kerja dan spesialisasi. Masing-masing para anggota masyarakat memiliki jenis pekerjaan tertentu dalam masyarakat. Misalnya seperti petani, buruh, guru, ulama, atau pegawai, pengusaha, dan sebagainya. Dengan menyebut istilah-istilah di depan, maka dapatlah kita mengetahui jenis-jenis pekerjaan mereka. Jikalau petani, maka kita mengetahui pekerjaannya pada ranah tanah pertanian, buruh mengerjakan pekerjaan yang telah ditentukan sesuai dengan di mana ia bekerja.
Tiap di dalam anggota masyarakat yang mempunyai jenis dari pekerjaan tertentu memiliki peranan yang berbeda dengan anggota masyarakat lain yang mempunyai pekerjaan yang berbeda meskipun bisa
13 Saifuddin Aman, Tren Spiritualitas Millenium Ketiga, hal. 13
14 Saifuddin Aman, Tren Spiritualitas Millenium Ketiga, hal. 14
15 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Penerbit Erlangga, 2006), hal. 268 7
dalam bidang yang sama. Semisal, dalam dunia perusahaan peranan buruh
peranan buruh akan nampak berbeda dengan peranan pengusaha.
Perbedaan itu dapat diketahui dalam hak-hak atau wewenang dan
kewajiban-kewajiban buruh dan pengusaha.16
Mengingat gejolak yang ditimbulkan dari suasana perubahan di
masyarakat modern adalah penting untuk dipikirkan. Di mana selalu ada
masalah-masalah baru dan penanganannya tidak bisa tidak menyesuaikan
dengan kebutuhan saat ini. karenanya mengikuti perkembangan global
dengan cara tidak peduli terhadap proses yang berjalan maju hanya akan
mengantarkan umat Islam ke dalam jurang keterpurukan dan menjadi
budak di era perbudakan modern.17
Pemikiran-pemikiran Nurcholish, jika dikemukakan dan diambil
untuk kemudian dipahami, dapat menjadi pemicu kembalinya kesadaran
umat Islam saat ini, terutama di dalam kerangka yang bersifat spiritual
sebagai bentuk respon pada persoalan yang di atas.
Sebagaimana yang Nurcholish katakan, bahwasanya dapat dipastikan
hanya sedikit saja dari mereka, para pemeluk Islam, benar-benar mengenal
dan mengerti jalan pikiran para sarjana Islam klasik tersebut, apalagi
merasakan denyut nadi perjuangan dinamika alam pikiran Islam dalam
sejarah, di mana para sarjana itu hidup dan mendapatkan pengalaman
nyata.18 Terutama soal pengalaman itu yang ada korelasi perkembangan
16 H. Hartomo, MKDU: Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hal. 26
17 Sudarto, Wacana Islam Progresif Reinterpretasi Teks Demi Membebaskan Yang Tertindas, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), hal. 177
18 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007), hal. V 8
ilmu pengetahuan (ilmu rasional) dengan spiritualitas sebagai bukti penghayatan yang mendalam tentang esoterik Islam.
Dari hal itu, penulis merasa perlu untuk merekonstruksi pemikiran- pemikiran Nurcholish pada aspek masyarakatnya, yang kondisinya perlu sekali mendapat perhatikan dengan bijak oleh kebanyakan pembaca, apalagi pada Nurcholish menaruh kepedulian terhadap laju proses pengembangan masyarakat tanpa melepas bagian penting darinya, yaitu unsur spiritualitas yang diajarkan oleh Islam. Maka daripada itu, penulis merasa tertarik untuk mengambil judul skripsi “Konsep Masyarakat
Madani Menurut Nurcholish Madjid”.
B. Batasan Masalah
Setelah dipaparkannya latar belakang di atas, dan supaya pembahasan skripsi tidak melebar dan meluas, maka penulis membatasi dan memfokuskan pada pokok bahasan seperti Masyarakat Madani menurut
Nurcholish Madjid.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana Konsep Masyarakat Modern menurut Nurcholish Madjid ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini yaitu: a. Memperoleh informasi atau pemahaman tentang Masyarakat Madani
menurut Nurcholish Madjid. 9
b. Mendapatkan gelar Sarjana Strata 1 (S1) fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. c. Mengenalkan kembali pemikiran Nurcholish Madjid tentang Konsep
Masyarakat Madani kepada khalayak umum dengan harapan bisa
menjadi rujukan dan paradigma maju bagi masyarakat. d. Menambah khazanah baru mengenai pemikiran keislaman Indonesia
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini yaitu ditujukan: a. Penelitian ini juga dapat menambah khazanah kepustakaan atau
literatur di Indonesia khususnya tentang pemikiran Nurcholish Madjid
yang dirasa kurang dan diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat
turut melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. b. Mengetahui pemikiran-pemikiran dari intelektual Muslim Indonesia
yang menginspirasi, salah satunya Nurcholish Madjid. c. Meneladani pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh Nurcholish
Madjid, terutama tentang Masyarakat Madani.
F. Tinjauan Pustaka
Seorang tokoh pemikir Islam dan pembaharu di Indonesia, Nurcholish
Madjid telah menarik perhatian para sarjana di dalam dan di luar negeri hanya untuk menelitinya. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beberapa mahasiswa telah meneliti tentangnya. Salah satunya adalah Fauzi membahas Hubungan Islam dan Negara Perspektif Nurcholish Madjid 10
(Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Penulis skripsi ini memaparkan dari sudut hubungan Islam dan negara ada sejak bersamaannya agama Islam muncul. Selama itu juga hubungan antara keduanya menunjukkan pola beragama. Di masa Rasulullah dan para sahabat Khulafa’ al-Rāsyidīn, hubungan Islam dan negara bersifat integral, di mana Islam adalah aturan-aturan dan hukum yang mengikat seluruh umatnya. Sedangkan negara adalah bagian sarana untuk menjalankan hukum-hukum dan aturan itu. Pasca masa Rasulullah dan sahabatnya berlalu, hubungan yang bersifat integral sudah tidak ditemui lagi, termasuk di Indonesia. Namun, di dalam Skripsi tersebut pemikiran dari Nurcholish hanya terbatas pada pembahasan mengenai hubungan Islam dan Negara.
Di satu sisi, tidak ada bahasan yang memunculkan mengenai peran masyarakat madani secara spesifik Nurcholish yang pada Skripsi tersebut.
Kemudian, Anwar Sodik dengan judul Tauhid dan Nilai-nilai
Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Skripsi, Aqidah
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Pada karyanya, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak akan memperoleh pengakuan bertauhid, kecuali jika diliputi dengan sikap pasrah (Islam) dan keimanan yang murni, yaitu tidak menyekutukan Tuhan kepada sesuatu yang pada dirinya tidak memiliki kualitas Ilāhiyyah. Dengan model pemahaman dan sikap bertauhid seperti itu, maka secara esensial akan berimplikasi pada kualitas, sehingga tauhid itu akan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Akan tetapi, Skripsi tersebut tidak terdapat secara khusus mengenai 11
bahasan pemikiran esoteris Islam Nurcholish, melainkan tendensi kepada sikap-sikap yang diperoleh dari jalur ketauhidan.
Berikutnya adalah Fandi Rosadi dengan judul Pandangan Nurcholish
Madjid pada Etika Beragama (Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010). Membahas tentang pemikiran Nurcholish yang berkaitan dengan etika beragama dalam berbagai karya Nurcholish karena memang tidak ditemukan secara spesifik karya yang membahas secara khusus etika beragama. Di dalam etika beragama yang dimaksud ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya diperbuat oleh seseorang penganut agama kepada selainnya, menyatakan tujuan apa yang harus dituju oleh penganut agama dalam aktivitas mereka dan menunjukkan jalan apa yang seharusnya diperbuat.
Adapun beragama ialah bagaimana mengerjakan suatu sistem keyakinan yang telah dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci. Di
Skripsi ini pemikiran Nurcholish mengarah pada pembahasan kerukunan umat beragama, terutama soal perilaku yang harus dipegang oleh masing- masing pemeluk agama. Namun, ternyata pemikiran dari esoteris Islam
Nurcholish tidak dimunculkan sebagai landasan dasar dominan beretika.
Oleh karena itu, di pembahasan kali ini, penulis mencoba untuk membahas Konsep Masyarakat Madani menurut Nurcholish Madjid. Hal ini penulis lakukan, karena topik ini belum pernah dibahas sebelumnya.
12
G. Metode Penelitian
Tahap penyusunan skripsi ini, penulis menerapkan metode studi kepustakaan (library research). Dalam hal ini, (studi kepustakaan) yang menggunakan sumber-sumber pustaka yang penulis gunakan sebagai rujukan dalam mengumpulkan informasi dan mengumpulkan data-data, adalah dalam bentuk buku-buku, jurnal, e-book, yang berkaitan dengan penelitian ini.
Rujukan utama (primary source) dalam penelitian ini ialah buku
Nurcholish Madjid, yaitu Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:
Paramadina, 1999), Pintu-Pintu menuju Tuhan, (Jakarta Timur: PT Dian
Rakyat, 2008), Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2013), Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: PT Dian
Rakyat, 2008), dan Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
2007). Sedangkan buku-buku sekunder dari penelitian ini adalah buku- buku yang membahas pemikiran dari Nurcholish Madjid, khususnya tentang Masyarakat Madani
Adapun teknik pembahasan skripsi ini ialah analitis deskriptif, yaitu melakukan analisis terhadap karya-karya yang membahas tentang
Spiritualitas Islam Nurcholish Madjid, kemudian mendeskripsikan hasil analisis tersebut. Teknik penulisan di dalam penulisan sripsi ini disesuaikan dengan standar berdasarkan pedoman penulisan skripsi, tesis dan desertasi yang termuat dalam buku Pedoman Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014. 13
Transliterasinya menggunakan pedoman jurnal Ilmu Ushuluddin diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu bab pertama pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
Berikutnya bab dua tentang biografi Nurcholish Madjid, yang membahas tentang latar belakang, karya-karya, dan perkembangan dan pengaruh pemikiran. Kemudian bab tiga, membahas tentang teori-teori Masyarakat
Madani, yang terdiri dari bahasan teori Anwar Ibrahim, teori Dawam
Rahardjo, teori Din Syamsuddin, teori Azyumardi Azra, Bab empat, sudah mulai masuk pembahasan mengenai telaah Masyarakat Madani menurut
Nurcholish Madjid, Definisi Masyarakat Madani, Karakteristik
Masyarakat Madani, Metode Mencapai Masyarakat Madani. Terakhir penutup, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Latar Belakang
Tahun 1939 1 merupakan awal kelahiran dari Nurcholish Madjid.
Nurcholish lahir dari kedua orang tua yang bernama H. Abdul Madjid dan
Hj. Fathonah. Semula nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya
adalah Abdul Malik, yang mempunyai arti “hamba Allah”2. Pergantian
nama menuju “Nurcholish Madjid” dilakukan saat usianya genap enam
tahun sebab sewaktu kecil sering sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, anak
yang sering menderita sakit dianggap “kabotan jeneng”3, dan karena itu
diharuskan ganti nama.4 Pergantian nama yang berasal dari kata Arab, Nur
berarti “cahaya” dan Cholish berarti “murni” atau “bersih”. Sedangkan
nama belakang, Madjid, ditambah dari nama belakang ayahnya, “Abdul
Madjid”5.
Seiring berjalannya waktu, di tahun 1946, H. Abdul Madjid
mendirikan Madrasah Diniyah al-Wathaniyah yang secara harfiah berarti
“patriotisme”, karena dibangun pada saat masa revolusi.6 Madrasah yang
didirikan H. Abdul Madjid berupaya mengimbangi pendidikan sekuler
1 Tanggal lahir lengkapnya: Jombang (Mojoanyar) , 17 Maret 1939. 2 Malik merupakan nama sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asmaul Husna, nama- nama Allah yang Indah. 3 Kabotan Jeneng mempunyai arti Keberatan Nama. 4 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 1 5 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 2 6 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 3
14
15
(Sekolah Rakyat/SR). Kekosongan lembaga pendidikan agama menjadi
penyebab bagi anak-anak muda di sini mewarisi kebiasaan buruk; mabuk-
mabukan dan bermain judi. Madrasah al-Wathaniyah membekali anak-
anak muda dengan pendidikan ilmu agama yang memadai, yang tidak
terjangkau oleh SR. Untuk Nurcholish sendiri, ia mengenyam pendidikan
yang rangkap. Karena di pagi hari Nurcholish bersekolah di SR, lalu pada
sorenya ia belajar di Madrasah al-Wathaniyah.
Dengan alasan mendirikan al-Wathaniyah, H. Abdul Madjid berharap
dapat mengimbangi pendidikan berbasis sekuler, sebab pengetahuan
umum tetap penting. Karena itu ia membiarkan Nurcholish belajar di SR.
Ia juga tidak melihat anaknya kesulitan menerima pelajaran pagi dan sore
hari. Bahkan, terlihat dari nilai-nilainya, terutama ilmu hitung yang selalu
mendapat nilai tinggi.7
Tahun 1953, Nurcholish melanjutkan pendidikannya ke Pesantren
Darul Ulum, yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Rejoso8. Pondok
Darul Ulum, masuk kategori salah satu Pondok Pesantren besar di
Jombang yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU. Akan tetapi, belum
berselang lama nyantri di Darul Ulum, Nurcholish merasa tidak betah. Ia
diejek oleh sebagian orang, “Kok anak tokoh Masyumi, mondok di
pesantren (NU) yang santrinya dan guru-gurunya pakai sarung?”. 9
7 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 7
8 Sebab Pesantren itu terletak di Desa Rejoso, Kecamatan Peterongan. Di Pesantren ini H. Abdul Majid mempunyai kawan dekat, Kiai Romli. 9 Marwan Saridjo, Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Penamdani, 2005), hal. 3 16
Meskipun begitu, Nurcholish pada tahun pertama menikmati kegiatan
belajar. Sebagian besar karena ia telah mendapatkan pengetahuan dasar di
al-Wathaniyah. Nurcholish juga aktif dalam kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler, bahkan pernah menjadi juara satu lomba pidato bahasa
Indonesia saat duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah10 Namun, ketika
mendengar Nurcholish mendapat perlakuan yang kurang berkenan lantaran
saat belajar ia sering disindir itu, oleh ayahnya menanggapi dengan
menarik Nurcholish dari Pesantren Rejoso dan memindahkan ke Pesantren
Gontor.11
Pondok Darus Salam12, di Gontor, Ponorogo Jawa Timur. Di Pondok
inilah Nurcholish menempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam,
terutama dalam mendalami bahasa Arab dan Inggris. Adapun kesan
Nurcholish terhadap Pondoknya, pernah mengatakan:
“Gontor memang sebuah pondok pesantren yang modern, malah sangat modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuat demikian adalah berbagai kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodologi pendidikan, serta pengajarannya. Kemodernannya juga tampak pada materi yang diajarkannya. Dalam soal bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa Inggris, bahasa Arab, termasuk bahasa Belanda sebelum akhirnya dilarang. Para santri diwajibkan bercakap sehari-hari dalam bahasa Arab atau Inggris..”13
10 Jenjang pendidikan setingkat SMP
11 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 15
12 Pesantren Gontor didirikan pada 1926 adalah Pesantren yang bercorak modern. Lalu pendirinya adalah Kiai Zarkasyi yang pernah belajar di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang melahirkan pujangga kenamaan Ronggowarsito. Salah satu indikasi modernnya ialah penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab yang diwajibkan, yakni bahasa Inggris. 13 Budi Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hal. 2-3 17
Di dalam prosesnya, ternyata Nurcholish lebih meletakan minat pada pembelajaran bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Di lain itu, Nurcholish juga menyukai kesenian meski hanya menjadi penonton, khususnya musik dan drama yang berkembang pesat di Pesantren Gontor. 14 Salah satu kegemaran Nurcholish ketika ia belajar di Gontor adalah berkirim surat kepada kedutaan-kedutaan besar asing di Jakarta. Karena perpustakaan di
Gontor tidak bisa diakses oleh santri. Sehingga dari mereka Nurcholish mendapat banyak buku berbahasa Inggris. Ia juga berlangganan koran bahasa Inggris yang terbit di Jakarta, Jakarta Time, dan majalah bulanan bahasa Inggris, Reader’s Diggest.
Namun, ada hal yang menarik dari sosok pribadi Kiai Zarkasyi, yaitu beliau selalu mengundang para santri kelas lima dan enam15, dan memberi tugas untuk membaca buku-buku tertentu. Kemudian oleh Nurcholish, kesempatan yang baik itu dimanfaatkan dengan membaca buku karangan
Buya Hamka Tasawuf Modern. Tidak puas dengan itu, Nurcholish juga membaca buku-buku karangan sarjana Barat, seperti Civilization on Trial karya Arnold Toynbee, dan Psikologi Pribadi karya Firtz Kunkle.
Progresif di dalam bacaan-bacaannya, Nurcholish pernah menjadi anggota
PII (Pelajar Islam Indonesia), cabang Gontor. Kegiatan di PII tidak banyak memakan waktu, sehingga ia tetap menekuni tugas utamanya di Gontor, yaitu belajar.16
14 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 19 15 Jenjang pendidikan setingkat 2 dan 3 SMA/SMK
16 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 21 18
Tahun 1960, Nurcholish tamat dari Gontor, dan berencana ingin
melanjutkan kuliah ke Fakultas Kejuruan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Muhammadiyah, di Solo. Akan tetapi, karena Nurcholish tidak memiliki
ijazah SMA, ia pun mengurungkan niatnya untuk kuliah. Dan oleh Kiai
Zarkasyi, Nurcholish dirayu untuk mengabdi di Gontor dengan iming-
iming mendapat beasiswa ke Mesir. Setahun lamanya Nurcholish
mengajar di Gontor, dan belum mendapat kepastian dari beasiswanya itu,
ia memutuskan untuk kuliah di IAIN 17 Jakarta dengan restu Kiai
Zarkasyi.18
Tahun 1961, Nurcholish mengambil jurusan Sastra Arab di Fakultas
Adab, dikarenakan minatnya besar pada bidang ini. Selama perkuliahan itu,
Nurcholish masuk HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat19
yang karena ia mengetahui di situ ada A. M. Fatwa yang namanya akrab
sebagai aktivis PII dan HMI yang dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi.
Ditambah, Nurcholish ingat pesan dari ayahnya agar menjalin hubungan
baik dengan tokoh-tokoh Masyumi. Karena Nurcholish pikir cara praktis
merealisasikan itu adalah lewat berkenalannya dengan Fatwa. 20 Tahun-
tahun pertama tinggal di Ciputat, Nurcholish harus menghadapi kenyataan
dengan kondisi keuangan membayar kos, jadinya ia selalu berpindah
17 Sekarang UIN (Universitas Islam Negeri).
18 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 23
19 HMI Cabang Ciputat, pada awalnya hanya komisariat dari HMI Cabang Jakarta. Komisariat ini dirintis oleh Fatwa bersama tiga temannya: Abu Bakar, Salim Umar, dan Komarudin. Fatwa sendiri sebelumnya kuliah di Universitas Ibnu Khaldun, lalu mendapat beasiswa ikatan dinas dari Angkatan Laut. 20 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 26 19
tempat tinggal, yang itu disesuaikan dengan kesanggupan kantongnya.
Maka, semula dari sekitar komplek IAIN, ke Legoso21, bahkan sampai ke
Kebayoran Lama. Setelah berkenalan dengan Fatwa dan mendengar kondisi Nurcholish. Fatwa mengajak Nurcholish untuk tinggal bersamanya di rumah kosong milik Ketua Umum Masyumi, Prawanto Mangkusasmito, di daerah Kebayoran Baru. 22 Semenjak tinggal di kediaman itu, Fatwa memperhatikan Nurcholish tidak lepas dari buku. Bahkan, ketika mengantri ke toilet pun masih ada luang baginya untuk membaca buku.
Ketika pimpinan HMI yang berada di Ciputat ingin menjadi Cabang dari semula Komisariat, Nurcholish masuk ke dalam formatur dan terpilih menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ciputat. Di mana aktivitas
Nurcholish bertambah padat. Kurang dari dua tahun, Nurcholish terpilih menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.
Tahun 1963, Nurcholish dilantik menjadi Ketua IV Badko (Badan
Koordinai) HMI Jawa Barat, yang fokus pada bidang pengkaderan. 23
Berselangnya beberapa waktu, Nurcholish pindah dan tidak serumah lagi dengan Fatwa menuju asrama Masjid Agung al-Azhar, diajak oleh Zaidi
Malik, alumni Gontor yang kuliah di Muhammadiyah di jalan limau,
Kebayoran Baru. Berkat perantara Zaidi, Nurcholish berkenalan dengan
Buya Hamka, tokoh Masyumi yang waktu itu menjadi Imam Besar Masjid
Agung al-Azhar. Dalam periode yang cukup lama Nurcholish menjalin
21 Lokasinya di seberang agak jauh dari kampus IAIN Jakarta.
22 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 29
23 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 31 20
hubungan baik dengan Buya Hamka. Pernah waktu itu Nurcholish
menyimak ceramah Hamka dan merasa terjemahan ayat al-Qur‟ān yang
disampaikan kurang pas. Dan sambil mengiringinya pulang, Nurcholish
menyampaikan terjemahan menurutnya, dan dibenarkan oleh Hamka.24
Tahun 1965, Nurcholish meraih gelar sarjana muda (BA) bidang Sastra
Arab di IAIN Jakarta. Tiga tahun berikutnya (1968) ia menyelesaikan studi
strata satu (S1)-nya dengan menyandang gelar doktorhandus di bidang
Sastra Arab di lembaga yang sama. Di antara periode tersebut, Nurcholish
tepilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
(PB-HMI) dalam Kongres ke-8 di Solo, September 1966. Kemudian pada
Mei 1969, dalam Kongres ke-9 di Malang, ia terpilih kembali sebagai
Ketua Umum PB-HMI, sehingga ia di dalam sejarah organisasi tersebut
menjadi satu-satunya orang yang berhasil terpilih untuk memimpin
organisasi mahasiswa Islam yang paling terkenal selama dua periode.25
Ketika tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PB-HMI, Nurcholish
mempunyai banyak waktu untuk tinggal di rumah. Selama dua setengah
tahun Nurcholish menjalani house husband 26 , sebelum akhirnya ia
menyibukan kembali aktivitas diskusi pembaruan. Dengan bantuan
aktivisnya Nurcholish mendirikan LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu
Kemasyarakatan, 1972), lalu LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi,
24 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 32
25 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 79 26 Sebutan untuk Suami yang sibuk di rumah. Seperti yang dilakukan oleh Nurcholish menemani anak-anaknya bermain, mengantar Istri ke pasar, membetulkan atap yang bocor dan alat-alat listrik yang rusak, dan merawat tanaman ruamah. 21
1974). Pada 1973, Dr. Taufik Abdullah, Direktur Leknas Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengajak untuk aktif dalam kegiatan-
kegiatan penelitian lembaga tersebut. Di LIPI, Nurcholish juga
memperdalam ilmu-ilmu sosial kepada Taufik Abdullah. Kemudian, The
Ford Foundation membiayai sebuah proyek berjudul “Islam and Social
Change” yang dipimpin oleh Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Leonard
Binder dari Universitas Chicago, AS. 27 Bahkan oleh Ruben Smith dari
Ford Foundation mendorong untuk Nurcholish menjadi peserta, berikut
Taufik Abdullah membantu proses persyaratan tersebut.
Tahun 1976, Nurcholish berangkat ke Universitas Chicago sebagai
junior participant dalam program seminar/lokakarya Islam and Social
Change yang berlangsung selama 8 bulan. April 1977, Nurcholish izin
pulang untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum (Pemilu). Nurcholish
terlibat mendukung dan berkampanye untuk kemenangan PPP. Sikap
Nurcholish itu banyak membuat orang tidak memahami apa maksud di
balik tindakan kampanyenya untuk PPP. Tidak sedikit orang mengecam
Nurcholish sebagai orang yang tidak konsisten dengan pernyataannya
sendiri. 28 Di lain itu, mentornya Prof. Binder telah mengusahakan
beasiswa dari Ford Foundation untuk program doktoral.29 Setelah Pemilu,
Nurcholish mulai mengurus keperluan beasiswa doktoral yang telah
27 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 137
28 Pendapatnya adalah ketika Nurcholish mengeluarkan pernyataan penuh sihir “Islam, yes; Partai Islam, No”, namun ternyata Nurcholish mengubah pendiriannya menjadi “Islam yes; Partai Islam, yes”. Lihat Muhammad Wahyuni Nafis, “Nurcholish Madjid, Sosok Pribadi Pengimbang”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 3, no. 2 (Juni 2011): hal. 31
29 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 139 22
dijanjikan kepadanya oleh mentornya Prof. Binder. Maka pada Maret 1978,
Nurcholish berangkat dengan beasiswa dari Ford Foundation.30 Nurcholish
masuk ke Departemen Ilmu Politik. Ia juga mengambil materi falsafah
Islam dari Departemen Ilmu-ilmu Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Nurcholish menganggap cukup
mempelajari ilmu politik. Karena ilmu itu hanya sekadar instrumental,
Nurcholish pindah ke filsafat dan pemikiran Islam yang dianggap lebih
intrinsik.31
Tahun 1980, Nurcholish pindah ke Departemen Ilmu-ilmu Bahasa dan
Peradaban Timur Dekat.32 Berkah dari hal itu, Nurcholish pertama kali
berada langsung di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman. 33 Hingga
menyelesaikan studinya dengan disertasi doktor (1984) yang berjudul, Ibn
Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in
Islam, dan pulang ke Indonesia. Nurcholish lulus dengan predikat
cumlaude. Bahkan, atas prestasi dan sumbangan pemikirannya bagi Islam,
di kemudian hari Nurcholish cukup intens diminta menjadi dosen terbang
di berbagai universitas terkemuka yang membuka kajian keislaman seperti
Universitas Montreal dan Universitas Mc Gill, di Kanda.34
30 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 141
31 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 142
32 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 146
33 Fazlur Rahman adalah seorang ahli Islam asal Pakistan yang hijrah ke Amerika.
34 Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaludin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hal. 128 23
Tahun 1986, Yayasan Paramadina diresmikan sekaligus menjadi tempat bagi Nurcholish untuk mengembangkan pusat kegiatan keagamaan yang memadukan unsur tradisi dan modernitas. Karena dari Paramadina itu Islam yang ada di Indonesia dipahami sebagai kekuatan moral dan kekuatan budaya. 35 Secara strategis ide-ide dari Paramadina tidak dimaksudkan untuk bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, sebab pendekatan yang dibawakannya, yakni rasional, ilmiah, dan akademik. Di mana yang paham dengan pola semacam itu tidak lain adalah kelas menengah. Paramadina hanya mengambil peran pemberdayaan intelektual pada lapisan masyarakat menengah.36
Tahun 1992, Paramadina mendirikan divisi penerbitan, dengan buku yang pertamanya, Islam: Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, karya
Nurcholish. Selanjutnya buku-buku dari Nurcholish mulai diterbitkan dan menjadi konsumsi berharga bagi kalangan generasi muda Islam yang dikatakan “pewaris” pemikiran Nurcholish. Antara lain, Ulil Abshar
Abdalla, Abd Moqsith Ghazali, Sukidi, Neng Dara Affiah, Mun‟im A.
Sirry, Zuhairi Misrawi, Burhanuddin Muthadi, Piet H. Khaidir, dan lain- lain.37
Tahun 1994, Paramadina menggandeng Yayasan Pondok Mulya, milik seorang konglomerat, Sudwikatmono. Karena sebelumnya, Nurcholish
35 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 155
36 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 158
37 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 167 24
adalah penceramah di keluarga Sudwikatmono hingga keduanya punya
hubungan yang cukup dekat. Pada 1995, kolaborasi dua yayasan menjadi
Yayasan Paramadina-Mulya (YPM). Hasil kerjasama yang dijalankan
Nurcholish itu terwujud dalam pendirian Universitas Paramadina-Mulya
(UPM). Dan Nurcholish menjabat sebagai Rektor. Perkuliahan 38 terus
berjalan, bahkan membuka program-program studi baru. Sekitar tahun
1999-2000, dibuka beberapa program untuk Pasca Sarjana. Pada tahun
2002, YPM telah bertransformasi menjadi Universitas Paramadina.
Nurcholish menjadi Rektor (2003) di Universitas Paramadina.39 Setahun
kemudian (2004), kesehatan Nurcholish memburuk, dan
kepemimpinannya digantikan oleh Sudirman Said.
Tahun 2005, Sudirman Said mengundurkan diri selaku Rektor
Universitas Paramadina karena telah aktif di Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) Aceh setelah tsunami, Desember 2004.40 Kemudian
kedudukannya diganti oleh Sohibul Iman selaku Rektor Universitas
Paramadina. Akan tetapi, kabar duka pun tiba dari Nurcholish. Tepat pada
hari Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok
Indah (RSPI), Jakarta Selatan, Nurcholish menghembuskan napas terakhir
38 Perkuliahan berlangsung di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Membuka empat program studi, yaitu Teknik Informatika, Desain Produk, Manajemen, Falsafah dan Agama, dengan mahasiswa sekitar 70 orang.
39 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 170
40 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 173 25
dengan wajah damai. Nurcholish meninggal dikarenakan penyakit hati
yang dideritanya.41
B. Karya-karya
Nurcolish merupakan seorang pemikir yang produktif dalam dunia
kepenulisan. Gagasan-gagasan Nurcholish banyak tertuangkan pada ranah
tulisan juga sebagai bukti intrinsik bahwa ia memang pantas disebut
seorang intelektual besar. Nurcholish memiliki beberapa karya yang telah
diterbitkan di Indonesia yang berisi kumpulan dari artikel, makalah bahan
kuliah, bahan sewaktu ceramah dan materi khutbah yang pernah dicatatnya.
Namun, dalam pembahasan ini, tidak semua karya-karya Nurcholish
diungkapkan secara keseluruhan, dan hanya sebagian dari karyanya yang
dianggap cukup untuk mewakilkan. Adapun karya-karyanya antara lain:
Pertama, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Pada karya ini Nurcholish ingin mengenalkan beberapa tokoh yang
memiliki sumbangsih pemikiran terhadap kejayaan Islam, khususnya yang
berkenaan dengan filsafat dan teologi. Nurcholish memetik nama tokoh-
tokoh pemikir Muslim seperti al-Kindī, al-Asy‟arī, al-Farābī, al-Afghānī,
Ibn Sīna, al-Ghazālī, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah, Ibn Khaldūn, dan
Muhammad „Abduh. Pembaasan yang terdapat pada karya ini menjadi
pengantar guna membuka dan memperluas wawasan tentang Islam dalam
sejarah keemasannya.
41 Tokoh Indonesia, “Guru Pluralisme Indonesia: Nurcholish Madjid”, artikel diakses pada 3 Desember 2017 dari www.Tokohindonesia.com 26
Kedua, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,
1988). Karya ini menyajikan gagasan-gagasan Nurcholish sejak masa- masa awal memasuki dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Oleh karena itu, pada karya ini pula terdapat tulisan-tulisan Nurcholish yang menghebohkan. Bahkan salah satu tulisannya, “Islam, Yes; Partai Islam,
No” berhasil mengundang berbagai perdebatan di waktu itu dengan antusiasme tinggi.
Ketiga, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina,
1992). Karya ini merupakan kumpulan dari sebagian makalah Klub Kajian
Agama (KKA) yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina,
Jakarta. Isinya tentang keimanan dan emansipasi manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat yang beretika serta seputar universalisme Islam dan kemodernan.
Keempat, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:
Paramadina, 1992). Nurcholish pada karya ini mencoba mengulas lembaga pendidikan tradisional, yakni pesantren. Nurcholish melihat materi tentang keagamaan mendominasi di lingkungan pesantren hanya seputar bahasa
Arab dan Fiqh. Akibatnya ilmu pengetahuan umum masih kurang dipahami dengan baik. Semestinya mempelajari agama tidak mesti melupakan ilmu-ilmu eksak. Maka di dalam karya itu Nurcholish menganalisa dan mencari titik temu dari masalah tersebut. 27
Kelima, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994). Di dalam karya ini merupakan kumpulan dari tulisan Nurcholish pada kolom
“Pelita Hati” yang dimuat pada harian Pelita antara 1989-1991 dan sebagian lagi pada majalah Tempo. Isinya Nurcholish mengajak para pembaca untuk menemukan agama sebagai podium yang memiliki pandangan yang luas dan menyeluruh guna mengisi setiap ruang kosong yang dibutuhkan manusia. Maka pemahaman agama harus terbuka dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Keenam, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Relevansi
Doktrin Islam dan Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995). Di dalam karya ini Nurcholish menerangkan agama sebagai doktrin juga peradaban dan menjelaskan berbagai corak keagamaan yang terjadi dari berbagai pengalaman di sekitar.
Ketujuh, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997). Karya yang berisi tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga
Muslim serta konsep mengenai eskatologis.
Kedelapan, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di
Masa Transisi (Jakarta Selatan: Paramadina, 2002). Pada karya ini merupakan kumpulan tulisan dari hasi percakapan antara jamaah shalat
Jumat dengan Nurcholish di aula Yayasan Wakaf Paramadina, Pondok
Indah, Jakarta, yang dilaksanakan sehabis shalat sampai sekitar jam satu 28
siang. Berisi tentang tendensi tanggapan Nurcholish terhadap suasana
transisi dan berbagai konflik sosial yang terjadi pada saat itu.
Kesembilan, 32 Khutbah Jumat Cak Nur: Menghayati Akhlak Allah
dan Khutbah-khutbah Pilihan Lainnya (Jakarta Selatan: Noura Books,
2016). Karya ini sebenarnya dokumentasi dari Khutbah-khutbah
Nurcholish sewaktu di Paramadina. Di samping itu, Nurcholish berbicara
banyak hal, mulai tema kesucian primordial manusia, penghormatan
humanisme, hakikat puasa, inti sari shalat, makna zikir dan ikhlas,
penyakit hati, substansi salam, kebangkrutan ruhani. Seluruhnya
berpangkal pada satu titik sentral, yaitu memupuk takwa.
Karya-karya yang pernah ditulis oleh Nurcholish, bermula dari
berbagai kegiatan dan refleksi filosofis terhadap kondisi umat Islam di
Indonesia mengalami fase transisi. Apa yang dilakukan oleh Nurcholish
berusaha menyajikan pemahaman alternatif agar Islam menjadi agama
yang benar-benar melekat dan mempunyai fungsi dalam kehidupan
individu maupun sosial.
C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran
Kelahiran bibit-bibit dari cikal-bakal perjalanan intelektual Nurcholish
sebagai pemikir Muslim, dimulai pada saat ia kuliah di IAIN Jakarta,
khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB-HMI, selama dua kali periode,
pada 1966-1968, dan 1969-1971. 42 Selama menjalani masa menjadi
seorang aktivis itu, Nurcholish membangun citra dirinya sebagai seorang
42 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, dalam Budi Munawar Rachman dan Elza Peldi Taher, ed., Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid, (Depok: Imania, 2013), hal. xv 29
pemikir. Nurcholish menulis karangan yang sangat mengguncang di
kelompok HMI pada saat itu, “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan
Westernisasi”. Dalam tinjauan Islam, menurut Nurcholish, modernisasi
berarti “berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah. Pemahaman
manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan,
sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia
melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula
rasional”. Rasional bagi Nurcholish merupakan aspek yang berkaitan
dengan “penerapan ilmu pengetahuan” yang menjadi keharusan, sebab
dengan itu pencapaian menuju Kebenaran Mutlak, yaitu Allah.43
Karena hal ini, Nurcholish dijuluki sebagai “Natsir Muda”. Setahun
kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pedoman pergerakan HMI, yang
dinamakan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai sekarang
masih digunakan sebagai buku dasar keislaman HMI. Risalah kecil yang
ditulis oleh Nurcholish dilatarbelakangi dengan tiga hal.
Pertama, adalah belum adanya bahan bacaan yang komprehensif dan
sistematis mengenai ideologi Islam. Kedua, adanya perasaan iri terhadap
anak-anak muda komunis. Yang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI),
mereka dikader dengan fasilitas berupa buku yang menjadi pedoman
bernama Pustaka Kecil Marxis (PKM). Ketiga, Nurcholish terkesan oleh
buku kecil karangan Willy Eichler44 yang berjudul Fundamental Values
43 Budi Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, hal. 9 44 Willy adalah seorang ahli dalam bidang teori sosialisme demokrat, dan bukunya berisi upaya perumusan kembali ideologi Partai Sosialis Demokrat (PSD) di Jerman. 30
and Basic Demands of Democratic Sosialism. 45 Dari karya NDP itu
Nurcholish mendapat banyak apresiasi bukan hanya dari kalangan HMI,
tapi juga banyak Muslim di luar HMI, terutama di kalangan intelektual
muda.
Namun, setelah Nurcholish meluncurkan tulisan yang berjudul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat”. 46 Kemudian menimbulkan reaksi perdebatan yang cukup besar
mengenai sekularisai dan sekularisme. Nurcholish dengan “sekularisasi”
dan “Islam, Yes; Partai Islam No” bermaksud mengajak umat Islam untuk
mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang
telah terkekang oleh kejumudan. Maka, Nurcholish menyarankan
kebebasan dalam berpikir (the idea of progress), sikap terbuka, dan
kelompok pembaharuan liberal, yang dapat memunculkan pikiran-pikiran
segar.47
Disusul dengan tulisan-tulisan yang lain, “Beberapa Catatan Sekitar
Masalah Pembaharuan Pemikiran Islam”, dan “Sekali Lagi tentang
Sekularisasi”, juga “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat
Islam Indonesia”, dan “Perspektif Pembaharuan Pemikiran dalam Islam”.
Artikel-artikel yang terbit ini sangat keras dan memicu kontroversi
berkepanjangan. Pengaruhnya terus menjadi bahasan yang menimbulkan
45 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. xvii 46 Tulisan ini disampaikan Nurcholish pada acara silahturahim antara aktivis, anggota, dan keluarga empat organisasi: Persami, HMI, GPI, dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta, di Jakarta, 3 Januari 1970. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan, hal. 386.
47 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. xxi 31
bermacam reaksi. Di samping reaksi-reaksi yang bersifat ucapan, yang disampaikan dalam ceramah keagamaan dan khutbah Jumat, bahkan dua buku meluncur untuk memberikan bantahan atau komentar terhadap gagasan Nurcholish mengenai pembaharuan atau reformasi Islam.48
Buku pertama, berjudul Pembaharuan Pemikiran Islam, berisikan tulisan Nurcholish dan komentar dari perwakilan organisasi-organisasi lain di luar HMI. Buku ini diterbitkan oleh Islamic Research Institute, tahun
1970. Lalu buku kedua, berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi, berisikan analisis yang tajam dan kritis terhadap gagasan-gagasan Nurcholish. Buku ini terbit pada tahun 1972 oleh Bulan Bintang. Reaksi cukup keras dari
Rasjidi memperlihatkan keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap perkembangan Islam di Indonesia, yang timbul dari generasi muda.
Meskipun demikian, Nurcholish tidak setuju dengan beberapa koreksi dan komentarnya karena isinya bersifat sangat personal, dan ia lebih memilih untuk tidak menanggapi balik. Bila menanggapi balik akan lebih mengundang polemik berkepanjangan, yang bisa saja ongkos sosial politik harus dikeluarkan terlalu besar.
Seiring berjalannya waktu, semenjak Paramadina didirikan hampir setiap bulan Nurcholish menulis makalah untuk keperluan diskusi di Klub
Kajian Agama (KKA), yang telah mencapai pertemuan ke-200 dalam 17
48 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. xxii 32
tahun (ketika Nurcholish mengisinya terakhir kali, 2004). 49 Nurcholish menerbitkan banyak buku yang berisi rekaman atau gagasannya pada kegiatan KKA (1986), sampai menjelang wafat (2005), selama hampir 20 tahun.
Gagasan-gagasan Nurcholis memang memiliki pengaruh kuat, terutama dalam pembentukan pemahaman sekaligus mengajarkan umat
Islam agar mempunyai sikap yang terbuka (inklusif). Nurcholish membuktikan dalam sejarah peradaban Islam, yang sangat menghargai minoritas non-Muslim (Yahudi-Kristen). Sebab sikap inklusivisme ini sejatinya ada pada al-Qur‟ān yang mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality). Sikap inklusivisme dan pluralisme inilah yang telah menjadi prinsip jaya Islam, dan telah mendasari kebijaksanaan politik kebebasan beragama.50
Oleh karena itu, meskipun sekarang Nurcholish telah tiada, namun berkat perjuangan yang ditempuh dengan kegigihan dan karya-karya yang ditinggalnya ini, menjadi sebuah pohon besar yang berbuah segar.
Sehingga bagi siapa pun dapat memetik buah segar itu dengan mudah.
Bahkan Abd. Moqsith Ghazali mengatakan, “Kini Cak Nur sudah tiada.
Tapi, pemikiran-pemikirannya kiranya akan tetap berguna dan bermanfaat
49 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. lxvii
50 Budi Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, hal. 44 33
tidak hanya pada lingkup terbatas di Paramadina, melainkan juga di
komunitas lain bahkan manca negara”.51
Kenyataannya merawat bukan termasuk perkara mudah tapi itu
merupakan solusi terbaik daripada membiarkan dan tidak peduli terhadap
suatu peninggalan. Maka, hanya dengan demikian peninggalan berharga
milik Nurcholish akan tetap diwarisi dan dikembangakan oleh generasi
pilihan, atau kandidat penerus gagasannya yang siap bersaing dengan
gagasan-gagasan lain.
51 Ihsan Ali-Fauzi, Ed., All You Need Is Love: Cak Nur di Mata Anak-anak Muda, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2008), hal. 163
BAB III
TEORI-TEORI MASYARAKAT MADANI
A. Teori Anwar Ibrahim
Pada wilayah Asia Tenggara, istilah “Masyarakat Madani”
dimunculkan pertama kalinya oleh cendekiawan Malaysia, Anwar Ibrahim.
Berbeda dengan prinsip masyarakat sipil di Barat yang memiliki orientasi
penuh pada kebebasan individu, bagi mantan Perdana Menteri Malaysia itu,
Masyarakat Madani adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh dan
berkembang berdasarkan prinsip-prinsip moral yang menjamin
seimbangnya antara kebebasan individu dengan kebebasan masyarakat.
Seperti inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni,
pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan
nafsu atau keinginan individu. Menurut Anwar, Masyarakat Madani
mempunyai ciri-ciri yang khas: kemajemukan budaya (multicultural),
hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan
menghargai.1
Jadi, Masyarakat Madani identik dengan kehidupan yang majemuk
dengan adanya jaminan akan kebebasan individu bersama masyarakat.
Sebab sejatinya manusia memang makhluk sosial yang oleh karenanya
mereka hidup bersama dalam berbagai kelompok yang terorganisasi dan
hal ini biasa disebut masyarakat. Ditambah manusia senantiasa
1 Ubaidillah dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 216
34
35
mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya.
Apabila dibandingkan dengan makhluk hidup lain seperti hewan, misalnya,
manusia tidak akan mungkin hidup sendiri. manusia tanpa manusia lainnya
pasti akan “mati”; manusia yang “dikurung” sendirian di suatu ruangan
tertutup, pasti akan mengalami gangguan pada perkembangan pribadinya
sehingga lama-kelamaan ia akan mati. Sebab manusia semenjak dilahirkan
sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan sehingga ia disebut juga
social animal.2
Maka dari itu, sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip
moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan
kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif
individu baik dari segi pemikiran, seni, ekonomi, dan teknologi. Sistem
sosial yang cekap dan saksama serta pelaksanaan pemerintahan mengikuti
undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan
keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sebagai
sistemnya.
Dikatakan bahwa Anwar mengamati fenomena sosial-politik di dunia
Islam. Ia mengakui bahwa kondisi umat Islam dewasa ini memang jauh
dari cita-cita masyarakat madani. Hal ini disebabkan karena sampai
sekarang masyarakat Muslim, khususnya di Asia dan Afrika, masih harus
berjuan menghadapi persoalan-persoalan serius seperti kemiskinan,
ketidakadilan, ketidaktoleranan, kerakusan ekonomi, kebejatan sosial,
2 Soerjono dan Sulistyowati, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 22
36
politik dan budaya serta kelesuan intelektual yang disebabkan oleh
kekuasaan otoriter, ketiadaan stabilitas politik dan peminggiran hak-hak
politik rakyat. Karena itu tugas kaum Muslimin adalah melakukan
pembenahan ke tubuh umat untuk menghapus kemiskinan, menciptakan
keadilan sosial dan demokrasi serta merangsang kemajuan intelektual.
Dari rumusan yang diperkenalkan oleh Anwar, terlihat bahwa ia tidak
menolak kenyataan civil society merupakan produk budaya Barat. Akan
tetapi wacana sosial-politik, cita-cita masyarakat yang didambakan
sebagaimana yang pernah terjadi di Barat itu tetap merupakan masalah
universal.3
Pada titik ini dapat diandaikan bahwa civil society adalah suatu cita-
cita ideal terciptanya bentuk kemitraan yang luwes, dengan batasan dan
tanggung jawab yang berbeda antara negara dan masyarakat yang
bersangkutan dalam mewujudkan tatanan sosial-politik yang demokratis
dan sistem ekonomi yang adil.
Dalam perspektif demikian, hubungan masyarakat madani dan negara
harus dibangun dalam kesalingpahaman, yakni keseimbangan antara
negara di satu sisi dan kemandirian masyarakat yang lain. Meskipun secara
tegas diisyaratkan bahwa masyarakat madani merupakan warisan dan
konstruksi sosial masyarakat Barat. Dikatakan Anwar melihat bahwa
3 Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 158
37
secara empiris elemen-elemen masyarakat madani sebenarnya dapat
ditemukan dalam sejarah umat Islam itu sendiri.4
Dikatakan Anwar menandaskan bahwa apa yang disebut dengan high
Islam merupakan bukti empiris dari perwujudan masyarakat madani yang
bersifat rasional, menghargai ilmu dan berasaskan budaya kota, mampu
meletakkan asas kemasyarakatan dan kenegaraan yang mementingkan
individu.5
B. Teori Dawam Rahardjo
Seorang pemikir alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), M.
Dawam Rahardjo, menyatakan bahwa Masyarakat Madani secara harfiah,
civil society yang merupakan terjemahan dari istilah Latin (civilis societas)
yang sudah ada Sebelum Masehi. Istilah ini mula-mula dicetuskan oleh
Cicero, seorang orator dan pujangga Roma, yang pengertiannya mengacu
kepada gejala budaya perorangan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya
sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang beradab dan
memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.6
Seperti yang dikutip Rahardjo, Cicero dalam filsafat politiknya
memahami civil society identik dengan negara, maka kini difahami
4 Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 158
5 Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, hal. 160
6 Masroer C Jb dan Lalu Darmawan, “Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia”, Sosiologi Reflektif V. 10, no. 2 (April 2016): hal. 37
38
sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat yang berhadapan dengan
negara, civil society lanjut Cicero adalah suatu komunitas politik yang
beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki
kode hukum sendiri. Konsep kewargaan (civility) dan budaya kota
(urbanity), maka kota dipahami bukan sekedar konsentrasi penduduk,
melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Masyarakat madani yang merupakan terjemahan dari civil society
secara ideal merupakan sebuah komunitas masyarakat yang tidak hanya
sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara,
melainkan terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat,
terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan pluralisme.7
Dawam lanjut menjelaskan bahwa masyarakat madani adalah sebuah
pergaulan yang sama sekali sudah berbeda dan karena itu dilawankan
dengan kehidupan asli atau kehidupan alami (state of nature). Yang
dimaksud masyarakat alami ini adalah semua masyarakat yang masih
sederhana, lugu, dan bebas, setidak-tidaknya mereka hidup denga
kebudayaan yang terbatas ruang lingkupnya.8
Adapun contohnya, menurut Dawam, yang jelas adalah masyarakat
Badui yang disebut al-Qur’an. Kontras dengan masyarakat sederhana,
masyarakat madani terdiri dari orang-orang yang telah meninggalkan
kehidupan keluarganya atau hubungan terbatas yang dipimpin oleh bapak
7 Masroer C Jb dan Lalu Darmawan, “Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia”, Sosiologi Reflektif V. 10, no. 2 : hal. 38
8 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 124
39
dan berdasarkan kekuasaan kebapakan (paternal authority) serta bergabung
dengan kumpulan masyarakat yang lebih luas, yang mempunyai ikatan-
ikatan baru, tetapi bukan lagi sebuah ikatan keluarga, melainkan ikatan
organisasi.
Masyarakat madani juga bergaul untuk memenuhi kebutuhannya yang
lebih banyak itu dengan melakukan produksi dan pertukaran dalam suatu
lembaga atau mekanisme penawaran dan permintaan yang disebut pasar
dengan mempergunakan uang sebagai alat tukar. Dengan perkataan lain,
Dawam mengatakan bahwa msayarakat madani adalah masyarakat
ekonomi (economic society) dan masyarakat uang (money society).
Di balik pertukaran tersebut, masyarakat madani telah
mengembangkan suatu teknologi guna memenuhi kebutuhan hidup yang
lebih banyak melakukan aktivitas pikir, bertukar-pikiran atau belajar satu
sama lain. Hal itu lantaran mencapai kemajuan-kemajuan (progress)
dalam hidup.9
Meskipun begitu, menurut Dawam, istilah civil society, yang di
Indonesia diterjemahkan dengan “masyarakat madani”, telah beredar
dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke 18 di Eropa Barat
dan masih berlanjut hingga akhir abad 19. Ia merupakan imbas dari
perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat tersebut, khususnya
di negara-negara industri maju di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dalam
9 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 125
40
perhatian mereka terhadap perkembangan ekonomi, politik, dan sosial
budaya di bekas Uni Sovyet dan Eropa Timur.10
Di sisi lain, masyarakat madani adalah masyarakat yang mengacu
kepada nilai-nilai kebajikan umum, yang disebut al-Khair. Masyarakat
seperti itu harus dijaga dan dipertahankan dengan membentuk
persekutuan-persekutuan, perkumpulan, perhimpunan atau asosiasi yang
memiliki pedoman perilaku. Sebab dasar utama masyarakat madani adalah
persatuan atau integrasi sosial yang didasarkan pada sutau pedoman hidup,
menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan
perpecahan dan hidup dalam suatu jalinan persaudaraan.11
Dengan mengupayakan kebaikan dan cara-cara ma’ruf dan sikap
menghindari yang munkar itu perlu ditegakkan. Selanjutnya dengan
melihat inti dari Konstitusi Madinah yang sekaligus juga merupakan
kontrak sosial dan perjanjian kemasyarakatan itu menegaskan; Pertama,
adanya pengakuan bahwa mereka merupakan satu kesatuan sosial yang
disebut al-ummah (umat). Kedua, mereka tunduk atau berorientasi pada
nilai-nilai luhur (virtue) yang disebut al-khair atau kebajikan. Ketiga,
mekanisme itu menegakkan yang baik (al-ma’ruf) dan mencegah yang
buruk (al-munkar).
Dalam kesepakatan itu ditetapkan pula, bahwa selain segala masalah
harus diselesaikan melalui proses musyawarah, akan tetapi jika tetap
10 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 133
11 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 152
41
terjadi pertikaian antar kabilah yang tak dapat diselesaikan, instansi
terakhir harus diserahkan kepada kebijaksanaan Nabi Muhammad. Bahkan
pengakuan terhadap otoritas Nabi Muhammad tersebut, tidak hanya
berasal dari kaum Muslimin, tetapi juga dari orang-orang Yahudi, Nasrani,
dan orang-orang Non-Muslim lainnya.12
C. Teori Din Syamsuddin
Din Syamsuddin mendefinisikan masyarakat madani dengan melihat
paradigma sosial politik Islam, dengan melacak sumber-sumber
doktrinalnya, sehingga terdapat dua kunci yang dapat menghampirkan kita
pada konsep masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan
“madinah”. Dua kata kunci ini memiliki eksistensi sosial kualitatif
(memiliki keutamaan-keutamaan tertentu) inilah yang menjadi nilai-nilai
pokok dan nilai-nilai pengiring bagi terbentuknya masyarakat madani.
Din menjelaskan lebih lanjut bahwa kata “ummah” misalnya, yang
biasanya dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti dalam
istilah-istilah “ummah Islamiyah”, “ummah wasathan”, “ummah
Muhammadiyah”, “ummah wahidah”, “khaira ummah”, dan lain-lain,
merupakan pranata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad
segera setelah hijrah di Madinah.13
12 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 154
13 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hal. 95
42
Terminologi “ummah” dalam bahasa Arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan agama yang sama. Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah dimaksudkan untuk membina lebih erat solidaritas di kalangan para pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan kaum Anshar). Khususnya bagi kaum Muhajirin, konsep “ummah” merupakan sistem sosial tradisional, sistem kekabilahan dan kesukuan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam.
Hal ini oleh Din, menunjukkan bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi politik. Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam dan memiliki konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah”, dan “hukumah”. Kendati demikian, sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditegaskan atas dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari rasa keprihatinan moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada nilai-nilai Islam.14
Konsep “ummah” merupakan piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat madani), maka konsep “madinah” merupakan piranti kerasnya (hardware). “Madinah” yang berarti kota berhubungan dan mempunyai akar kata yang sama dengan kata “tamaddun” yang berarti peradaban. Perpaduan pengertian ini merupakan suatu persepsi yang ideal bahwa “madinah” adalah lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah” juga merupakan kata-benda-tempat
14 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 97
43
dari kata “din” (agama). Hingga korelasi darinya menunjukkan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari umat
Islam.15
Namun, dalam mewujudkan masyarakat madani tersebut membutuhkan penekanan yang mencontoh al-Farabi, dalam al-madinah al-fadhilah yang masyarakatnya bertujuan untuk menegakkan persatuan dan kesatuan sehingga kebahagiaan dapat terwujud, Din pun menjelaskan bahwa “persyarikatan dimana masyarakat bekerjasama mewujudkan kebahagiaan hakiki” jadi perlu menjadi organ yang terbaik. Pencarian filosofis yang mengharuskan akan watak dari masyarakat madani sebagai cita-cita sosial Islam sebenarnya juga pernah dilakukan sekelompok filosof bawah tanah yang dikenal dengan “akhwan al-Safa” (Persaudaraan Suci) yang semasa hidupnya mereka masih merupakan problem sejarawan.
Dalam karyanya, Rasail Ikhwan al-Safa’, mereka membahas prinsip- prinsip dasar masyarakat utama yang disebut dengan istilah al-madinah al- fadhilah al-ruhaniyyah (Masyarakat Utama Spiritual).16
Menurut Din, adalah hal yang menarik bila dikaji adalah pemakaian
“madinah” oleh al-Farabi dan Ikhwan al-Safa’ untuk menunjukkan suatu bentuk masyarakat utama. Konsep “madinah” yang pernah digunakan oleh
Nabi Muhammad untuk mengidentifikasi suatu masyarakat yang ideal yang perlu dibangun relasi dari misi kenabian. Konsep “masyarakat
15Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 98
16 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 99
44
utama” dalam pandangan al-Farabi dan Ikhwan al-Safa’ di atas
mengisyaratkan perlu dua elemen penting yang saling berhubungan timbal
balik dalam mewujudkan masyarakat utama tersebut, yaitu dengan adanya
faktor instrumental dan adanya peran politik.
Cita-cita sosial Islam adalah himpunan manusia yang memadukan dua
struktur fisik dan non-fisik yang diibaratkan dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan satu sama lain, yaitu “ummah” dan “madinah”. Jika yang
pertama lebih berkonotasi sosial, maka yang kedua berkonotasi politik.
Oleh karena itu, bagi Din, untuk mengusahakan masyarakat madani yang
menjadi cita-cita sosial Islam dibutuhkan adanya suatu sistem sosial dan
sistem politik sekaligus.17
D. Teori Azyumardi Azra
Pandangan dari Azyumardi Azra tentang Masyarakat Madani adalah
lebih dari sekadar gerakan prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada
pembentukan masyarakat yang berkualitas dan ber-tamaddun (civility).18
Bahkan menurutnya, salah satu syarat penting bagi demokrasi untuk
tumbuh dan menguat dalam masyarakat adalah civil society (CS), yang
17 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 100
18 Ubaidillah dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, hal. 217
45
biasa diterjemahkan sebagai masyarakat sipil, masyarakat kewargaan atau
masyarakat madani.19
Di mana proses politik yang berlangsung disebut sebagai proses
demokratisasi, sedangkan pemikiran (inspirasi) plus subyek (aktor) yang
menggerakkan perubahan menuju demokratisasi tersebut digambarkan
sebagai masyarakat madani. Dan demokrasi dapat dianggap merupakan
hasil masyarakat yang menghendaki partisipasi dalam kehidupan para
anggotanya.20
Persoalan demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat
yang dapat mengungkapkan kehendaknya, dalam bentuk yang rasional,
dan tidak perlu harus mengacu pada nilai-nilai transenden melainkan pada
kehendak manusia. Sekalipun suatu pemikiran yang sulit dijangkau sudah
tentu oleh sebagian besar masyarakat di dunia baik mengenai ide maupun
realisasi apa yang dimaknai dengan demokrasi itu sehingga sebagai konsep
yang ideal dan universal, untuk tidak dapat menjadi abstrak, karena itu
dituntut sebaiknya direalisasikan terlebih dahulu kondisi-kondisi yang
memungkinkannya.21
Kendatipun banyak sudut pandang tentang konsep masyarakat madani,
tetapi pada dasarnya dapat disimpulkan, bahwa keseluruhannya sama-sama
19 Azyumardi Azra, “Masyarakat Madani”, artikel diakses pada 3 April 2018 dari http://opinikompas.blogspot.com/2013/10/masyarakat-madani.html
20 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 40
21 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, hal. 41
46
dihubungkan melalui satu definisi utama tentang masyarakat madani,
yakni sebagai kelompok-kelompok sosial dan politik atas arena
masyarakat di mana di dalamnya berkembang otonomi, atau menunjukkan
adanya perjuangan untuk meraih otonomi, kemampuan untuk bersikap
kritis tidak hanya terhadap negara namun juga terhadap masyarakat politik
beserta masyarakat ekonomi.22
Tetapi yang mesti diingat, menurut Azra, demokrasi memiliki batas
dan kelemahan tertentu; ia bukan sistem yang seratus persen tanpa
kelemahan. Pada satu sisi, demokrasi memberikan ruang yang sangat luas
bagi kebebasan politik dan partisipasi politik warga. Namun, pada saat
yang sama, kebebasan politik demokrasi yang berlangsung cenderung
kebablasan; beriringan dengan lambatnya pengambilan keputusan baik di
lingkungan eksekutif maupun legislatif.
Biar begitu, bagi Azra, demokrasi belum berhasil mencapai tujuan dan
proses-prosesnya juga masih kacau, tetapi demokrasi tetap merupakan
sistem politik yang lebih sedikit mudaratnya dibandingkan sistem-sistem
politik lain semacam monarki, teokrasi, atau oligarki. Dengan lingkup
sosial budaya dan agama yang majemuk, demokrasi menjamin ruang lebih
besar bagi ekspresi, akomodasi, dan kompromi bagi masyarakatnya yang
sangat multikultural.23
22 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, hal. 204
23 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 277
47
Di satu sisi, menurut Azra, sebenarnya prospek masyarakat madani
tidak sekelabu itu, karena masyarakat madani tidak identik dengan
kemunculan kelompok-kelompok, yang atas nama demokrasi dan
demokratisasi, berkeinginan mengubah status quo politik juga tidak selalu
terkait kepada kelas menengah tadi. Dengan kata lain, perkembangan
masyarakat madani lebih dari sekadar pertumbuhan gerakan-gerakan yang
pro terhadap demokrasi dan kelas menengah yang kritis dan operasional
terhadap rezim-rezim yang opresif.24
Sementara Azra mengatakan bahwa gerakan-gerakan prodemokrasi
merupakan salah satu prasyarat bagi pembentukan masyarakat madani.
Bahkan lebih jauh lagi, gerakan-gerakan prodemokrasi hampir diidentikan
dengna oposisi terhadap pemerintah.25 Masyarakat madani juga mengacu
ke kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamaddun (civility).
Yang meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk
menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.26
24 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal. vii
25 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, hal. 6
26 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, hal. 7
BAB IV
MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF CAKNUR
A. Definisi Masyarakat Madani
Nurcholish mendefinisikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang berperadaban dengan meneladani sikap Nabi Muhammad. 1 Kata
“madani” secara konvensional berasal dari perkataan “madīnah” yang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab “peradaban” memang dinyatakan dalam kata-kata “madanīyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “ḥaḍārah”. Karena itu tindakan Nabi Muhammad mengubah nama Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama pengikutnya yang terdiri dari kaum Muhājirīn dan kaum Anṣār hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.2
Kenyataan yang tidak terelakkan adalah manusia hidup bermasyarakat.
Sejak dahulu hubungan manusia, antara individu dan masyarakat sudah menjadi perdebatan di berbagai kalangan khususnya peminat dan penelaah sosiologi. Pertentangan pendapat banyak dimulai dari hal yang diutamakan pada hubungan antara individu dan masyarakat, yaitu apakah individu itu
1 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 163
2 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 164
48
49
merupakan realitas inti bagi terbentuknya suatu masyarakat? Atau apakah
keberadaan individu tergantung pada masyarakat.3
Namun, masalah tersebut mesti disikapi dengan cara yang arif.
Hubungan antara individu dan masayarakat sejatinya memiliki kesamaan
dan berkumpul pada titik kemanusiaan. Bentuk sikap yang didasarkan
pada penghormatan karena kemanusiaannya tanpa membedakan warna
kulit, bangsa, pintar-bodoh, maju-terbelakang. Oleh karena itu, apabila di
antara mereka ada yang terbelakang (kekurangan), maka bagi yang telah
maju (kelebihan) sudah semestinya membantu, bukan malah menjadikan
sebuah peluang untuk dimanfaatkan atau melanggar hak-haknya sebagai
konsekuensi dari kemanusiaannya.4
Sebagaimana di Madinah, Nabi Muhammad meletkakkan dasar-dasar
masyarakat madani, dengan semua unsur-unsur penduduk Madinah
menggariskan ketentuan untuk hidup bersama dalam suatu dokumen yang
dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsāq al-Madīnah). Dalam dokumen
itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain,
kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta
tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama.
Dan di Madinah juga sebagai pembelaan kepada masyarakat madani, Nabi
3 Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan, hal. 33
4 Muhammad Abu Zahra, Membangun Masyarakat Islami, terj. Shodiq Noor Rahmat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 14 50
Muhammad dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang
membela diri menghadapi musuh peradaban.5
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, pada mulanya Nurcholish
melihat persoalan yang dihadapi ini sebagai sebuah hal yang
menguntungkan. Masyarakat yang maju membawa dampak kemakmuran.6
Kemampuan dari produk material suatu masyarakat yang meningkat
adalah bernilai positif sekaligus mengangkat harkat kemanusiaan, baik
perseorangan maupun kelompok. Sebab, martabat kemanusiaan adalah
pusat kebahagiaan dan ia akan dipertemukan hanya dalam kondisi
seseorang memiliki kebebasan untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi,
kemakmuran yang diharapkan itu, ternyata meminta korban-korban yang
tidak kecil.7 Bahkan pengorbanan yang dimaksud adalah kemanusiaan itu
sendiri.
Kehidupan yang telah ditopang dengan kemajuan materi pada tubuh
masyarakat selalu mengalami perubahan, hubungan-hubungan politik yang
selalu mengalami perubahan, kesusilaan yang mengalami perubahan.
Maka dari itu, evolusi, kemajuan, pengetahuan, cara-cara berpikir,
problem-problem tingkah laku dan masyarakat menjadi tampil ke depan;
sama-sama membutuhkan sebuah usaha untuk memahami dunia di mana
kita hidup.8 Masyarakat yang telah bergerak mengikuti mekanisme cara
5 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 164
6 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 156
7 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 157
8 Wadjiz Anwar, Nilai Filsafat Dalam Dunia Modern Dewasa Ini, (Yogyakarta, 1979), hal. 21 51
kerja seperti mesin 9, tidak jarang mengakibatkan seseorang kehilangan
dirinya sendiri. Sehingga membawanya pada persoalan fundamental
tentang pandangan akan makna hidup.
Nurcholish menangkap dari hal tersebut mulai muncul sebuah krisis
akan makna hidup. Pertanyaan mendasar, “hidup ini untuk apa?” adalah
pertanyaan yang tidak menentramkan hati masyarakat yang telah maju
secara material. 10 Masyarakat akhirnya mengalami situasi yang serius,
yaitu dehumanisasi. Bahkan Nurcholish mengatakan bahwa kemajuan
meterial dinilai dapat menjadi ancaman terhadap agama. 11 Di lingkup
masyarakat, peranan kelompok sekunder 12 semakin menggeser
pengelompokan primer. Peranan orang tua (primer), khususnya peran ayah,
sebagai agen sosialisasi anak, menjadi semakin berkurang, digantikan
dengan bentuk-bentuk hubungan sosial (sekunder) yang lain, semisal,
sekolah dan lingkungan pergaulan.13
Nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh dan
berkembang pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga
masyarakat kehilangan keseimbangan. Al-Qur’ān menyindir masyarakat
9 Bagi Nurcholish, kehidupan mekanistik itu adalah kehidupan yang dalam segi fungsi sama seperti mesin, ia digunakan atau dicampakkan semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin dilakukan. Sedangkan segi kemanusiaan tidak menjadi bahan pertimbangan dalam fungsinya.
10 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 158
11 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 178
12 Sekunder yang dimaksud adalah unit dan organisasi kerja atau produksi. Sedangkan Primer yang dimaksud adalah keluarga, suku, agama, dan seterusnya.
13 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 179 52
tersebut seperti para pemintal benang yang kemudian merusak hasil
pintalannya.14
Allah berfirman:
ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi bercerai-berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan- Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (QS. al-Naḥl: 92).
Kendati demikian, Nurcholish menyarankan agar masyarakat pemeluk
agama tidak berupaya berdiri sendiri-sendiri sebagai pribadi yang terpisah.
Diharapkan dengan membentuk komunitas dapat menghasilkan sebuah
pranata 15 di masyarakat. Di mana pranata tersebut berdasarkan pada
pranata keislaman. Pranata yang memiliki nilai-nilai keislaman. Maka
dalam pranata keislaman, juga tidak selalu dan tidak berarti dapat
memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Namun, pranata keislaman dapat
14 Muhammad Qorib, Solusi Islam: Mencari Alternatif Jawaban Terhadap Problem Kontemporer, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal. 14
15 Pranata yang dimaksud adalah bentuk prosedur atau kondisi yang mapan, yang menjadi karakteristik suatu masyarakat. Pranata keislaman dapat menyangkut aspek material seperti Masjid, Madrasah, Pesantren, Kantor Urusan Agama (KUA), Departemen Agama (Depag), dan sebagainya. Dapat pula menyangkut segi keorganisasian seperti birokrasi Depag, hubungan Kiai-Santri, Gerakan Tarekat, Majelis Ta’lim atau kegiatan pengajian serupa lain, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Jama’ah Tabligh, dan seterusnya. Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal.4 53
merespon berbagai masalah atau isu (kontemporer) yang tengah dihadapi
masyarakat. Dengan menunjukan sikap yang akomodatif, memahami dan
menerima dari berbagai sumber pada persepsi akan nilai-nilai yang
menghasilkan sikap-sikap positif.
Oleh karena itu, Islam merupakan agama yang memposisikan
kesalehan seseorang dikatakan berhasil apabila telah memperhatikan dan
melaksanakan kesalehan dalam bermasyarakat. 16 Dalam konteks yang
lebih luas kesalehan bermasyarakat secara normatif, merupakan niat baik
seseorang guna menciptakan solidaritas, menjaga kebaikan bersama dan
pergerakan menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Sekalipun memang
sulit mengajak selalu berdialog atau berinteraksi dengan kenyataan.17
Kesalehan bermasyarakat dalam hal ini mengandaikan suatu semangat
kebersamaan yang kuat tapi tetap menjaga dan menghargai aturan,
sehingga kesan keadilan tidak terkontaminasi, fitrah satu kelompok atas
kelompok lainnya dijauhi dan malas serta iri hati. Sebaliknya, kesalehan
bermasyarakat menghargai usaha-usaha dan kerja keras, menjunjung
hukum dan membantu sesama.18
Suasana kehidupan bermasyarakat akan mengalami kerugian yang
mendalam, jika mengabaikan perbuatan-perbuatan buruk dan
16 Kusmana, “Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi al-Qur’ān tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat”, dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai: Islam dan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: IAIN Indonesian Social Equity Project, 2006), hal. 82
17 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal.5
18 Kusmana, “Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi al-Qur’ān tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat”, hal. 83 54
penyimpangan dari ajaran Islam. Karena Islam sangat menganjurkan amar
makruf nahi munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah
kemungkaran) dan menekankan adanya penasehat (dakwah) terpadu, agar
mampu mengontrol dan membimbing menuju masyarakat yang selalu
dalam kebaikan. Islam menganggap seluruh masyarakat berdosa apabila
mereka berdiam diri terhadap tersebarnya dosa yang bebas merajalela.19
Sebagaimana Allah beri contoh dalam firman-Nya tentang Bani Israil yang
berdosa karena meninggalkan amar makruf:
ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israi dengan lisan (Nabi) Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. al-Mā’idah: 78-79).
Dari peristiwa itu, Nurcholish, mengajak masyarakat agar
merenungkan lebih mendalam, bahwa tujuan paling penting dari amalan-
amalan keagamaan adalah mendidik masyarakat supaya mempunyai
pengalaman dan menanamkan spiritualitas yang sedalam-dalamnya. Sebab,
dari spiritualitas menjadi pangkal, bersumber, dan memancar seluruh sikap
hidup yang benar, dan sekaligus mendekatkan pada kesadaran ketuhanan,
19 Muhammad Abu Zahra, Membangun Masyarakat Islami, terj. Shodiq Noor Rahmat, hal. 19 55
sehingga seseorang akan dibimbing ke arah kebajikan atau amal saleh
yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.20 Sebagai antisipasi bagi
positif masyarakat modern, yang perlahan semakin membuka peluang
timbulnya perpecahan.
Meminjam teori dari Ted Robert, Sosiolog yang dikutip oleh
Syarifuddin, adalah deprivasi relatif. Di mana perasaan yang tidak sesuai
antara harapan yang terbentuk dengan kemampuan masyarakat untuk
meraih atau mempertahankannya. Akibatnya perubahan yang cepat dan
meluas terjadi, seperti perasaan tidak aman, frustasi, disorganisasi sosial,
dan lainnya.21 Namun, dengan adanya pendekatan spiritualitas yang intens,
berarti telah berupaya mengembangkan moralitas (akhlak, bud pekerti)
luhur, yang justru dianggap sebagai sesuatu yang kurang diperhatikan
dalam cara hidup bermasyarakat, dan telah menjadi kekecewaan banyak
orang, yang pada gilirannya, melahirkan frustasi keagamaan.
Nurcholish juga mengatakan bahwa kejayaan masyarakat bisa tegak
hanya dengan landasan moral yang luhur. Maka sesuai dengan sabda Nabi
Muhammad, “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk
menyempurnakan berbagai moralitas (akhlak) luhur”.22
20 Nurcholish Madjid, “Pengalaman Ketuhanan Melalui Amalan Sehari-hari” dalam Nurcholish Madjid, ed, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Penertbit Mediacita, 2001), hal. 104 21 Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Nusantara: Memahami Sosiologi Integralistik, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 327
22 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), hal. 186 56
Di samping itu, adanya moralitas yang luhur akan menjamin semua
pencapaian sains, teknologi, berjalan di jalur yang benar menuju
pencapaian tujuan-tujuan puncak kemanusiaan sekaligus dapat membawa
kesejahteraan hidup bagi alam semesta.23 Allah juga berfirman:
... ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ... ﯿ
“Dan bekerjasamalah kalian untuk kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bekerjasama untuk kedosaan dan permusuhan.” (QS. al- Mā’idah: 2).
Dalam interaksi bermasyarakat, kerjasama yang berlandaskan
kebaikan serta ketakwaan mesti dikedepankan. Seseorang saling
bekerjasama satu dengan yang lain dalam mengatasi musibah dan
kesulitan hidup dan mencapai kesejahteraan.24 Menurut Nurcholish, secara
historis tampilnya para Nabi memang selalu ditandai oleh perjuangan
melancarkan reformasi dunia, dengan perjuangan melawan kezaliman
sebagai salah satu bentuk yang paling dominan. 25 Dalam masyarakat,
sebagaimana yang Islam ajaran, perilaku menyimpang, kerusakan, bahkan
yang menghawatirkan dari masyarakat, mesti dihadapi dan dicegah.
Nurcholish menerangkan bahwa seseorang yang semakin dekat
hubungannya dengan Allah, secara pribadi, maka semestinya ia
memanifestasikan hubungan itu dalam hubungan kemanusiaan, secara
23 Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia, (Bandung: Mizan, 2017), hal. 229
24 Muhammad Abu Zahra, Membangun Masyarakat Islami, terj. Shodiq Noor Rahmat, hal. 19
25 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2008), hal. 345 57
sosial. Prinsip ini tergambarkan dari gerakan shalat: diawali dengan takbīrat al-iḥrām, dan diakhiri dengan taslīm, ucapan salām, dengan menengok ke kanan dan ke kiri atau lingkungan sekitar, sebagai bentuk isyarat akan kesadaran diri tentang dimensi sosial (masyarakat) hidup ini, dan sebagai lambang kemanusiaan.26
B. Karakteristik Masyarakat Madani
Masyarakat madani merupakan warisan Nabi Muhammad yang mempunyai karakteristik antara lain egaliterianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain) keterbukaan akan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.27
Nurcolish menjelaskan bahwa, keadaaan dunia Islam, terus menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negeri Muslim menerapkan konsep menerapkan negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menurut teladan Nabi Muhmmad justru mungkin lebih besar pada saat sekarang ini.28
26 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 346
27 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 170
28 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 171 58
Masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum. Menegakkan hukum adalah amanah Allah Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak. Juga keadilan mesti ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan mesti diimplementasikan sekalipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua atau sanak keluarga, bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meski sepintas keadilan itu akan merugikan kita.
Namun atas pertimbangan ajaran itulah Nabi Muhammad dalam rangka menegakkan masyarakat madani atau civil society, tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau pun keluarga sendiri.29 Ketulusan ikatan jiwa juga memerlukan sikap yang yakin pada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari- hari di dunia ini.30
Mengingat di saat yang bersamaan, bencana dehumanisasi menjadi salah satu agenda berjalan di balik layar kemajuan dan kecanggihan masyarakat, perlahan mulai dirasakan oleh diri manusia. Di mana kebebasan yang ada pada manusia, seakan lenyap dengan rutinitas makanistik. Kebebasan adalah nilai paling tinggi dari nilai-nilai
29 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 172
30 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 173 59
kemanusiaan, yakni di atas sifat kehewanan manusia dan nilai-nilai
material.31
Maka, dalam hal ini, Nurcholish melihat manusia yang mestinya
sebagai seorang kreatif, yang mampu menyatakan diri dan bakat-bakatnya
dalam tindakan penciptaan tanpa keterpaksaan, baik dalam hal pekerjaan
kerajinan tangan, kegiatan intelektual maupun seni, atau dalam hubungan-
hubungan persahabatannya dengan yang lain. Manusia yang bebas mampu
secara penuh merasakan dirinya dan masyarakat lain dalam waktu yang
bersamaan.32
Nurcholish menambahkan bahwa manusia yang tidak diharapkan itu
adalah manusia yang terasingkan (the alienated man). Karena seseorang
yang mengalami alienasi33 tidak sanggup berpikir dan berbuat sendiri; ia
senantiasa merujuk kepada tujuan hidup dari dunia seperti kekayaan,
kesenangan, simbol-simbol prestise ataupun sesuatu yang tidak terlampau
materi tetapi dijadikan sesuatu yang mutlak. 34 Kebebasan manusia
sejatinya sungguh berharga tapi banyak yang tidak menyadari, sehingga
31 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna: Nilai dan Kepribadian Manusia pada Intelektualitas, Spiritualitas, dan Tanggung Jawab Sosial, terj. Arif Mulyadi, (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2015), hal. 26
32 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 183
33 Terminologi alienasi (alienation) telah lama menjadi wacana populer di kalangan intelektual, terutama masyarakat Barat modern. Sebenarnya terminologi tersebut merupakan hasil dari kritik terhadap paham kemodernan itu sendiri, sehingga tidak heran bahwa yang banyak menggunakan perkataan alienasi itu adalah, semisal Marxisme; sebuah konsep ideologi atau intellectual discourse yang paling banyak memprodusir idiom-idiom yang menjadi kritik tajam terhadap modernisme. Lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta Selatan: Dian Rakyat, 2009), hal. 65
34 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 184 60
menurut Nurcholish, manusia mengalami alienasi karena sifat dasar masyarakat modern yang serba materi.35 Allah berfirman:
ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al- Isrā’: 70).
Padahal Allah telah menjadikan manusia sebagai makhluk terbaik.
Segala sesuatu yang terdapat di daratan dan di lautan diperuntukan manusia. Namun, manusia di lingkup masyarakat pun berubah dan mewarnai tujuan hidupnya yang lengkap dengan ketimpangan. Semisal, keberhasilan atau kesukesan telah diartikan dari segi material, sehingga tendensi memilih sekolah atau perguruan tinggi tidak didasarkan kemampuan dan bakat, tetapi atas dasar pertimbangan setelah tamat akan dapat bekerja di lingkungan yang mesti memberikan penghasilan besar.
Kemudian, dalam mengejar sukses akan semakin dominan perilaku mementingkan diri sendiri, tertutup dan rela mengurbankan orang lain.
Ambisi untuk unggul secara material, berakibat memperlemah dan bahkan meniadakan kepekaan sosial.36
35 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 186
36 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, hal. 163 61
Di mana agama, pendidikan, media atau keluarga berkembang secara
baik membutuhkan institusi ekonomi untuk mempengaruhi kemajuan
institusi-institusi tersebut. Misalnya, guru membutuhkan beberapa sarana
minimal terlaksananya pendidikan.37 Kehidupan yang penuh kepelikan itu
kemudian membuat manusia kehilangan keseimbangan. Dari hilangnya
keseimbangan sering membawa keputusasaan dan kekerasan, atau
perasaan dirinya mengkhianati tradisi dan nilainya sendiri. 38 Pada
hakikatnya manusia dengan sendirinya tidak mudah memperoleh
kesejahteraan hidup secara material, sebagaimana yang diinginkannya.
Tetapi bukan berarti manusia mesti pesimis, melainkan Nurcholish
menjelaskan, pondasi dari agama merupakan suatu cara manusia
menemukan makna hidup dan dunianya kembali. Di mana pada abad
modern nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, maka hal
ini menjadi persoalan yang menjadi tantangan bagi agama.39
Salain itu yang perlu disadari, tidak menutup kemungkinan di
seberang sana, wacana keagamaan sedang mengembangkan sebuah sistem
kepercayaan yang baru dan berbeda pula. Seperti adanya pandangan dari
William James40 , yang mengemukakan bahwa pengalaman keagamaan
(religious experience) sebagai sebuah pengalaman yang suci yang bersifat
37 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, hal. 75
38 Ali Allawi, Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan Dan Keruntuhan Total, terj. Pilar Muhammad Moctar, (Bandung: Mizan, 2015), hal. 420
39 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 189
40 Seorang Filsuf yang terkenal sebagai salah satu pendiri dari Mazhab Pragmatisme juga Seorang Psikolog Barat pada abad ke-20 M. 62
sementara (transient), dengan individu juga seringkali bersifat pasif.41 Itu
artinya spiritualitas yang bersumber dari agama dikatakan oleh William,
hanya pengalaman yang sifatnya mudah datang dan pergi (lepas), atau
sesaat semata. Namun, Islam menolak pandangan tersebut. Karena agama
memang tidak pernah bisa dilepaskan dari spiritualitas. Agama tanpa
spiritualitas bukanlah agama, melainkan hanya simbol-simbol tanpa makna.
Dalam hal ini, fisik manusia hanyalah kendaraan dalam menggali
makna-makna spiritual dalam perjalanan hidupnya di alam fisik (dunia).42
Karena pada puncak, yang esensial bagi manusia adalah makna di balik
pengalaman-fisiknya itu. Pengalaman spiritualitas pada agama seperti ini
paling baik disimbolkan dalam peristiwa pengurbanan Nabi Isma’il oleh
Nabi Ibrahim, ayahnya.
Nurcholish menerangkan bahwa kurban berasal dari kata-kata Arab,
Qurbān, yang artinya adalah “pendekatan”, yaitu pendekatan kepada Allah
sebagai tujuan hidup kita. Dalam prakteknya berkorban adalah tindakan
yang disertai pandangan jauh ke depan, yang menunjukkan bahwa kita
tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara,
kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selamanya.43
Sebagaimana Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya sebagai
lambang dari kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara itu, yakni
41 Ruslani, ed., Wacana Spiritualitaas Timur dan Barat, terj. Shafwan, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000), hal. 136
42 Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia, hal. 260
43 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 55 63
kesenangan duniawi. Oleh karena itu makna berkorban adalah pandangan hidup kita melihat jauh ke masa depan dan tidak terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami. 44 Allah pun membatalkan dan menggantikan korban anak manusia dengan seekor domba, membuktikan bahwa yang bersifat fisik hanyalah simbol belaka.45 Allah berfirman:
ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷﯸ ﯹ ﯺ ﯻ
“Daging-daging dan darah (hewan kurban) tak sekali-kali dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan (kesadaran keilahian) (yang mendasari ibadah kurban itu)-mu itulah yang akan mencapai-Nya.” (QS. al-Ḥaj: 37).
Makna berkorban, menurut Nurcholish, juga kita mesti sanggup menunda kenikmataan sesaat. Kita bersedia bersusah-payah, karena hanya dengan susah payah dan mujāhadah, sesuatu tujuan akan tercapai, dan cita-cita terlaksana. Semangat dari berkorban adalah konsekuensi takwa kepada Allah. Sebab takwa butuh dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan. Nurcolish mengajak untuk merenungi firman Allah berikut:
ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ
ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ
“Wahai sekalian orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok! Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (QS. al-Ḥasyr: 18).
44 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 56
45 Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia, hal. 261 64
Firman Allah ini, menurut Nurcholish mengandung perintah Ilahi
untuk bertakwa. Sekalipun demikian, Nurcholish mengakui bahwa
manusia memilki kelemahan pokok, yaitu kelemahan pandangan pendek,
tidak jauh ke depan. Allah berfirman:
ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ
“Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat.” (QS. al-Insān: 27).
Manusia juga tidak mudah merasa damai, tentram dan puas secara
psikologis. Manusia juga tidak dapat hanya dengan duduk dan diam, akan
memperoleh kesejahteraan spiritual dengan limpahan kasih dan sayang
Allah. Akan tetapi, semua kesejahteraan tersebut mesti dikejar dan diraih.
Justru di balik jerih payah, bagi Nurcholish, akan mendapatkan manis dan
nikmatnya keberhasilan dan kesuksesan. 46 Dalam usaha meraih,
menjangkau dan mengejar keberhasilan itu, tidak sedikit hambatan-
rintangan yang akan dihadapi. Oleh karena itu, maka wujud dari kehidupan
manusia pada dasarnya berbentuk perjuangan.47
Dengan adanya perjuangan itu, manusia dapat menuju jalan
sebagaimana fitrahnya. Karena Islam membenarkan apa yang terjadi
dalam kehendak fitrah yang suci dan selamat.48 Fitrah atau kesucian asal.49
46 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 57
47 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hal. 36
48 Abdul Aziz Syawisy, Islam Agama Fitrah, terj. Abdul Rahman, (Jakarta: Bumi Askara, 1996), hal. 3 65
Nabi Muhammad pernah bersabda “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orangtuanyalah yang membuatnya Yahudi,
Nasrani, dan Majusi.”.
Nurcholish menambahkan, adanya fitrah adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah. Ketika kita masih berada di alam ruhani.
Oleh karena itu juga disebut sebagai perjanjian azali, perjanjian di masa yang tidak terhingga di masa lalu, from all eternity. Yang dilukiskan dalam sebuah ayat suci, bahwa kita sebelum lahir dipanggil oleh Allah secara bersama-sama menghadap dan dimintakan kesaksian, bahwa kita akan ber-
Tuhan-kan Allah. Allah berfirman:
ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳﭴ ﭵ ﭶﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ
“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan Kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’” (QS. al-A’rāf: 172).
Berdasarkan firman Allah itu, Nurcholish menerangkan bahwa kita mesti memperhambakan diri atau beribadah kepada Allah sebagai konsekuensi akan perjanjian tersebut. Ibadah juga mengandung arti pengagungan yang sesungguhnya adalah hal yang fitrah, yaitu hal yang secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan alam
49 Nurcholish Madjid, 32 Khutbah Jumat Cak Nur, hal. 346 66
kejadian asalnya.50 Fitrah itu sendiri bersangkutan dengan salah satu ajaran
Islam yang amat penting, yaitu ajaran bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan asal yang suci dan bersih, sehingga manusia itu bersifat ḥanīf
(artinya secara alami merindukan dan mencari yang benar dan baik).51
Maka, sungguh beruntunglah bagi manusia-manusia yang masih mengenal
hakikat dirinya, dan dapat selamat dari kebuntuan arus yang dibawa oleh
masyarakat, terutama dalam proses menegakkan masyarakat madani.
C. Metode Mencapai Masyarakat Madani
Demi mencapai tegaknya masyarakat madani, Nurcholish
menekankan pentingnya sekali dengan menegakkan hukum. Sebab hukum
dan keadilan tidak hanya pada komitmen-komitmen pribadi. Komitmen
pribadi, yang menyatakan diri dalam bentuk “itikad baik”, memang mutlak
diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam bermasyarakat.52
Oleh sebab itu, iktikad yang baik saja tidak cukup untuk mewujudkan
masyarakat berperadaban. Iktikad baik yang merupakan buah keimanan itu
mesti diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan baik yang nyata dalam
hidup bermasyarakat, berupa “amal salih”, yang secara takrif adalah
tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia.53
50 Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Dian Rakyat, 2011), hal. 40
51 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, hal. 147
52 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 174
53 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 175 67
Itulah pentingnya ajaran agama diturunkan Allah untuk kepentingan
manusia. Dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapat
pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidup dan membangun
peradabannya. Sebab manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama
adalah jalan, dan bukan tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia
berjalan mendekati Allah dan mengharapkan keridaan-Nya melalui amal
baik yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan horisontal
(pengabdian masyarakat).54
Karena agama telah dan masih terus menjadi faktor penting dalam
membentuk identitas manusia sebagai sosok individual dan kelompok.
Adalah tugas kita untuk menemukan jalan bagaimana memanfaatkan
potensi positif agama guna memotivasi para penganutnya untuk berupaya
mewujudkan kedamaian, keadilan, dan toleransi dalam kehidupan
keseharian.55
Berpegang dengan dasar pandangan kemanusiaan yang optimis-positif
itu kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk
benar dan baik. Karena itu setiap orang memiliki hak untuk menyatakan
pendapat dan didengar. Sebab dari hal ini, menurut Nurcholish, sikap
rendah hati timbul. Dan keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak
54 Komarudin Hidayat, The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, (Jakarta: Kompas, 2008), hal. 3
55 Alwi Shihab, “Membangun Jembatan Melalui Dialog Antaragama” dalam Bernard Adeney-Risakotta, ed., Mengelola Keragaman di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 169 68
merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk mengambil dan mengikuti mana yang terbaik.56
Itulah masyarkat demokratis yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berasaskan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani, civil society. Berada di lubuk hati paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madanīyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Dari keadaban, Nurcholish menjelaskan bahwa lahir sikap yang tulus menghargai sesama manusia, betapapun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Bahkan bagi
Nurcholish, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme adalah kelanjutan dari keadaban itu sendiri.57
Kendati demikian, Nurcholish memperhatikan salah satu tema agama yang paling banyak dikemukakan oleh para penceramah, ulama dan khatib-khatib, yakni tentang persaudaran antara sesama kaum beriman, atau lebih akrab dengan istilah Ukhūwah Islāmīyah.58 Dan masih dapat dikatakan relevan dan sejalur untuk menegakkan masyarakat madani.
Nurcholish menilai bahwa dari sudut pandang ajaran keagamaan, persaudaraan berdasarkan iman adalah sangat sentral, dan tentu tepat sekali jika dipercaya sebagai solusi ampuh bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.
56 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 178
57 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 179
58 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 23 69
Namun, Nurcholish berpandangan, salah satu fitrah Allah yang perennial adalah bahwa manusia akan tetap selalu berbeda-beda sepanjang masa. Tidak mungkin umat manusia adalah satu dan sama dalam segala hal sepanjang masa.59
Pluralitas tidak saja mengajarkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati.60 Allah berfirman:
ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtaḥanah: 8).
Menurut Nurcholish, firman Allah ini jelas sekali akan menjamin manfaat besar dalam usaha menegakkan keadilan, tentunya bila pluralisme itu dapat ditanamkan dalam keadaan kesadaran kaum Muslim yang merupakan golongan terbesar warga negara. Sebab secara interen umat
Islam, pluralisme adalah persyaratan pertama dan utama Ukhūwah
Islāmīyah. Terutama demi merawat Ukhūwah Islāmīyah di tengah kemajemukan masyarakat.
59 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 25
60 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 596 70
Begitu pula ketika terjadi pertikaian antar sesama, maka, menurut
Nurcholish, penyelesaianya harus selaras dengan firman Allah:
ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ
ﯔ ﯕﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ
“Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduannya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Ḥujurāt: 9).
Bahkan dalam pandangan Islam, ikatan akidah dan keyakinan
dianggap sama kedudukannya dengan ikatan persaudaraan.61 Sebagaimana
hal itu ditegaskan dalam firman Allah:
ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. al- Ḥujurāt: 10).
Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa Ukhūwah Islāmīyah itu
disangkutkan dengan pluralisme, bukan monolitisme.62 Persaudaraan erat
61 Mahmoud Hamdi Zaqzouq, Islam Dihujat Islam Menjawab: Tanggapan Atas Tuduhan dan Kesalahpahaman, terj. Penerbit Lentera Hati, (Ciputat: Lentera Hati, 2008), hal. 193
62 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 597 71
hubungannya dengan pluralisme. Petunjuknya di dalam al-Qurān terdapat pada firman Allah:
ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄﰅ ﰆ
ﰇ ﰈ ﰉ ﰊﰋ ﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ
“Wahai sekalian orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkannya itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang paling buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Ḥujurāt: 11).
Di samping itu, dalam dunia ini, bahkan pada keseharian masyarakat modern, semua manusia menginginkan menjalani hidup dan kehidupan yang menyenangkan dan bahagia. Kehidupan seperti itu berarti jauh dari kesulitan yang tidak menyenangkan. Sudah menjadi tabiat manusia selalu berusaha mencari berbagai alternatif kemudahan, meskipun tidak ada manusia mendapat kesenangan tanpa sesuatu yang harus dikerjakannya, baik untuk mewujudkan sesuatu atau guna mengisi kekosongan maupun menyelesaikan masalah-masalah yang kecil atau besar yang sulit dan pelik.63 Pada akhirnya, manusia senantia berusaha dalam menjalaninya.
Sarana material yang telah memasuki hampir ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terutama untuk meningkatkan produktifitas dan
63 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, hal. 69 72
kemudahan kerja, di samping sarana material yang berfungsi untuk
memberikan kemudahan dan kenikmatan di luar kegiatan bekerja. 64
Tentunya hal tersebut dilakukan dengan mengharuskan adanya jalinan
kerjasama antar sesama. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendirian.
Justru dengan adanya orang tua, teman, tetangga, kesenangan manusia
akan terasa sekali di dalam bermasyarakat.65
Kemudian, supaya kesenangan yang telah tersebut tidak mudah luntur,
maka harus ada beberapa hal yang mesti dicermati. Sekitar empat faktor
penyebab umat Islam sering gagal mengimplementasikan Ukhūwah
Islāmīyah; Pertama, tendensi terhadap pemahaman Ukhūwah yang
terbatas pada “silaturahmi fisik”, saling mengunjungi, membantu yang
terkena musibah, menjenguk mereka yang sedang sakit, menghibur mereka
yang terkena musibah dan mendamaikan mereka yang bersengketa.
Dahulu, silahturahmi dalam interaksi kemanusiaan mempunyai nilai yang
agung dan sakral sebagai sarana kedamaian. Tetapi kini akibat arus
kepentingan dan efek globalisasi, maka silaturahmi mempunyai makna
yang lebih luas.66 Bahkan sampai mempunyai istilah silaturahmi politik,
silahturahmi turun bawah (turba) atau blusukan, dan sebagainya.67
Yang kesemuanya berdasarkan formalitas belaka bukan menjadi
sesuatu yang bernilai universal dan holistik. Kedua, ketidakmampuan
64 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, hal. 162
65 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 1985), hal.159
66 Piet Khaidir, Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2006), hal. 21
67 Piet Khaidir, Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial, hal. 22 73
sebagaian besar umat dalam melihat persoalan yang prinsipil dan dasar
dengan persoalan yang bersifat elementer dan teknis, sehingga dari
persoalan tersebut sering menyulut konflik horizontal antar umat Islam dan
memisahkan sebagiannya dari arus perjalanan dan perjuangan universal
Islam. Ketiga, pragmatisme membuat sebagian umat Islam tergoda dengan
kepentingan sesaat supaya memenuhi keperluan pragmatis dan domestik
sehingga merugikan, menyudutkan, menghianati kepentingan Islam yang
universal. Keempat, politisasi agama; ketika umat Islam dijadikan
komoditas politik dan kesatuan mereka dicabik-cabik, dibenturkan satu
sama lain hanya demi kepentingan sesaat.68
Dalam hal ini, Islam mengajarkan masyarakat di atas keseimbangan;
antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat, atara hak dan
kewajiban individu, antara hak dan kewajiban masyarakat.69 Karena tujuan
dari ajaran Islam adalah menerapkan prinsip persamaan secara konkret dan
umum di tengah-tengah manusia. 70 Tidak menjalankan ibadah akan
menimbulkan ketidakseimbangan pada spiritual manusia. Setiap
kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi akan membuat spiritual manusia
gelisah dan tidak tenang. Manusia yang sepanjang hidupnya hanya
memenuhi keinginan materi semata dan tidak mau sama sekali
68 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas, hal. 281
69 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 75
70 Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi, (Jakata: Sadra Press, 2011), hal. 47 74
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritualnya, maka senantiasa dalam
keadaan resah, memberontak dan menderita.71
Sementara penderitaan sendiri adalah sumber ketidaknyamanan, tetapi
pada saat yang sama ia memberikan suatu kesadaran dan keterjagaan
untuk mencari penyebabnya. 72 Manusia semakin menderita bila
spiritualitasnya menurun. Terutama saat merasa keberadaan Allah semakin
jauh. Karena manusia adalah hakikat yang dihasilkan melalui napas Allah
dan tidak sepenuhnya identik dengan segala material di dunia ini. Manusia
memiliki kecemasan yang terus-menerus dan menariknya menuju
mendekatkan diri kepada Allah. 73 Spiritualitas dalam Islam memiliki
kaitan yang sangat sedikit dengan emosi (amarah) dan hasrat kuat (ambisi),
tetapi sangat berkaitan dengan perjuangan sistematis untuk memahami
sifat-sifat Allah dan keharusan perilaku bermoral luhur yang dihasilkan.
Sebab pengetahuan spiritual yang sesungguhnya menggariskan bahwa
realisasi seseorang hanya sebatas persinggahan menuju tindakan konkret
di masyarakat.74
Sebagai antisipasi dari pengaruh masyarakat modern yang tidak
meyakini adanya realitas mutlak (the ultimate reality), atau sekadar
mempercayai-Nya tapi tidak merasakan kehadiran-Nya. Seluruh perspektif
spiritual dinilai tidak dapat dibuktikan secara empiris, dan karena itu tidak
71 Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, terj. Ahmad Sobandi, hal. 245
72 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terj. Arif Mulyadi, hal. 35
73 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terj. Arif Mulyadi, hal. 37
74 Ali Allawi, Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan Dan Keruntuhan Total, terj. Pilar Muhammad Moctar, hal. 423 75
relevan terhadap kehidupannya.75 Secara keagamaan, krisis akan spiritual
jelas terjadi akibat kurangnya wawasan dan penghayatan agama yang
dipeluk.76
Di mana keistimewaan al-Qur’ān merupakan ajaran yang terutama
berkepentingan untuk membina sikap moral yang benar bagi tindakan
manusia. Tindakan yang benar, apakah itu tindakan politik, keagamaan,
ataupun tindakan di masyarakat, tetap dipandang oleh al-Qur’ān sebagai
bentuk ibadah atau pengabdian kepada Allah. Sebab, al-Qur’ān
menekankan penanganan moral dan faktor psikologis yang membentuk
kerangka berpikir yang benar dalam bertindak.77
Nurcholish kembali menghimbau dan mengajak untuk merenungkan
bahwa petunjuk Ilahi tentang pentingnya Ukhūwah Islāmīyah yang
diteruskan dengan prinsip menghargai dan saling menghormati antara laki-
laki dan perempuan, dan antara bangsa-bangsa dan suku-suku sebagai
persaudaraan kemanusiaan.78 Dan Allah berfirman:
ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
75 Muhammad Ali, Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 278
76 Muhammad Ali, Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, hal. 279
77 Fazlur Rahmah, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, terj. Irsyad Rafsadie, hal. 363
78 Nurcholish Madjid, 32 Khutbah Jumat Cak Nur, hal. 140 76
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Ḥujurāt: 13).
Kontekstualisasi pada firman Allah tersebut, tertuang dalam usaha
Nabi Muhammad membentuk masyarakat baru di Madinah 79 , yang
dilengkapi dengan perjanjian dengan berbagai pihak (plural) penduduk
setempat, termasuk dan terutama kaum Yahudi. Maka lahirlah Ṣaḥīfat al-
Madīnah (Piagam Madinah) yang biasa disebut juga “Konstitusi Madinah”.
Dari semangat Piagam Madinah, hukum berjalan tertib dan tegas. Bahkan,
menurut Nurcholish, Nabi Muhammad pernah menjalankan hukum yang
tercantum dalam tawrāt, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibn Taymīyah
berkenaan dengan hukuman orang berzina, yakni hukum rajam.80
Dan nasionalisme dari Madinah tersebut terbukti membuahkan hasil
membangun masyarakat yang ideal, menggabungkan sekian banyak
kabilah, mereduksi semangat kesukuan dan mengutamakan semangat ke-
madinah-an. Semisal, kaum Muhājirīn, kaum Anshār, ahl bayt, begitu juga
kaum Yahudi melakukan dekonvensionalisasi demi terwujudnya Madinah
bersatu dan damai.
79 Dalam Hijrah, di antara tindakan Nabi Muhammad pertama setelah tiba di Yastrīb adalah mengubah nama kota itu menjadi Madīnah, atau lengkapnya, Madīnat al-Nabī, “Kota Nabi”. Pertama perkataan “madīnah” sendiri memang berarti “kota”. Kemudian, dari segi etimologis, perkataan itu berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “madanīyah” dan “tamaddun”, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka secara harfiah “madīnah” adalah tempat peradaban, atau suatu lingkungan hidup yang ber-“adab” (kesopanan, “civility”), tidak “liar”. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 305
80 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 309 77
Mereka sepakat kepentingan Madinah di atas kepentingan pribadi dan
suku. Nabi Muhammad bahkan menyuruh umatnya untuk selalu berbuat
baik dan berlaku adil kepada non-Muslim selama mereka mau
bekerjasama dan tidak menganggu umat Islam.81
Nasionalisme sejati dalam arti suatu paham yang memperhatikan
kepentingan seluruh warga bangsa tanpa kecuali, adalah bagian integral
konsep Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Beliau mengajarkan
nasionalisme yang egaliter dan partisipatif. Di mana konsep lama dahulu
egalitarianisme Madinah hanya menghargai dan menampung partisipasi
semua masyarakat baik laki-laki dan perempuan pada satu suku atau
berbeda suku.82 Namun, semuanya telah diganti dengan konsep baru yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad.
Di sisi lain, masyarakat Madinah (civil society) adalah masyarakat
dengan sistem sosial yang beradab, didasarkan kepada prinsip ketuhanan
dan moral, yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan
dengan kestabilan masyarakat. Memiliki kesadaran pluralitas yang tinggi,
menghargai ilmu pengetahuan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.83
Prakteknya telah dicontohkan Nabi Muhammad, lalu dilanjutkan oleh para
sahabatnya (al-Khulafā’ al-Rāsyidūn).84
81 Syamsir Salam, Menuju Islam Berkeadaban, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007), hal. 127
82 Syamsir Salam, Menuju Islam Berkeadaban, hal. 131
83 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan Kesalehan Modern, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 210
84 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas, hal. 211 78
Masyarakat yang sekiranya dapat mengambil kerangka yang terdapat pada masyarakat Madinah sebagai ciri yang menonjol; Pertama, egaliterianis yang memandang nilai dan kemanusiaan yang sama. Kedua, pemberian penghargaan kepada seseorang atas dasar prestasinya bukan prestisenya. Ketiga, adanya transparansi bagi seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengupayakan yang terbaik bagi kehidupannya secara individu dan bermasyarakat. Keempat, menentukan kepemimpinan melalui pilihan yang demokratis.85
Nurcholish menilai bahwa teladan pada diri Nabi Muhammad seperti kepribadian yang penuh pengertian dan toleransi serta lapang dada, yaitu pada firman Allah:
ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ
“Dan dengan adanya rahmat dari Allah maka engkau (Muhammad) bersikap lunak (lemah lembut) kepada mereka. Seandainya engkau kasar dan keras hati maka pastilah mereka akan menyingkir dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan (keduniaan). Dan apabila engkau telah berketetapan hati, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Cinta kepada orang-orang yang bertawakal.” (QS. ‘Āli ‘Imrān: 159).
Firman Allah ini, menurut Nurcholish, menjadi acuan dalam prinsip bermusyawarah untuk meneladani Nabi Muhammad. Sehingga ketika
85 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas, hal. 212 79
dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama
adalah atas dasar persamaan hak dan kewajiban serta kesetaraan dalam
harkat dan martabat sebagai manusia. 86 Mengingat begitu pentingnya
musyawarah, Islam tidak membatasi hanya untuk golongan dan lapisan
masyarakat tertentu, melainkan dapat dilaksanakan oleh semua lapisan dan
golongan masyarakat. 87 Dengan membiasakan perilaku demikian, maka
masyarakat yang awalnya kaku, perlahan akan bergeser menuju
masyarakat yang terbuka dan demokratis.
Sesungguhnya manusia apabila menyukuri akan hakikat hidupnya
yang terbatas ini, justru memperoleh kemuliaan. Disebabkan oleh
kenyataan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya daripada apa yang
menjadi milik makhluk-makhluk lainnya, baik dari sudut bentuk fisik88,
manusia memiliki bentuk yang sempurna. Akan tetapi, kelebihan manusia
dari makhluk lainnya adalah manusia memiliki akal yang menyanggupi
manusia dapat berpikir dan mengembangkan kehidupannya. Karena
manusia diberikan kemampuan berpikir dan dapat mengetahui sekaligus
membedakan mana yang baik dan buruk. Allah menjadikan manusia di
muka bumi sebagai khalifah, Allah berfirman:
86 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 27
87 Atang Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, hal. 224
88 Manusia berjalan menggunakan kedua kaki dan makan menggunakan tangan. Sedangkan makhluk lain ada yang berjalan menggunakan tangan dan kakinya, merayap, dan menyuap makanan menggunakan mulutnya. Lihat Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Logos, 2004), hal. 2 80
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30).
Makna ayat di atas menerangkan bahwa manusia dijadikan sebagai pengganti Allah di muka bumi dengan tugas menjalankan hukum secara adil dan bijaksana di antara semua makhluk Allah. Dari amanah yang telah diberi itu, manusia bertugas menggantikan Allah untuk mengatur dan memimpin bumi dengan baik sesuai dengan kualitas-kualitas dan sifat- sifat Allah sebatas kemampuan manusia. 89 Maka, di dalam masyarakat modern, mencermati kembali apa yang menjadi kebiasaan hidup kita adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Menurut Nurcholish, ketika mata hati seseorang yang tertutup oleh dosa tidak akan bersifat terang atau nurani (nūrānī), melainkan telah menjadi bersifat gelap atau zulmani
(ẓulmānī). Karena itu, bagi seseorang yang sudah tidak akan memiliki kepekaan yang fitrah, akibatnya tidak menjadi kesadaran untuk perilaku kebaikan, kebenaran dan kesucian.
89 Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, hal. 3 81
Dalam masyarakat sudah pasti selalu ada orang yang berhati zulmani,
sehingga selalu diperlukan adanya amar makruf nahi mungkar.90 Pelajaran
dari hal itu, yang paling berharga dan semestinya di hidupkan pada tubuh
masyarakat modern adalah membiasakan perilaku berbuat baik kepada
siapa pun. Bahkan, Nurcholish lebih sepakat bahwa membiarkan mereka
untuk tetap ber-fastabiqūl khairāt, saling berlomba-lomba dalam kebaikan.
Sekalipun dalam usahanya timbul kesalahan.
Lalu, supaya kesalahan itu dapat ditekan hingga sedikit mungkin,
maka jalannya adalah lewat bermusyawarah. Kerena pokok pangkal
kebijaksanaan adalah musyawarah.91 Sesungguhnya ajaran Islam seperti
lentera yang menerangi kabut tebal di kehidupan masyarakat modern,
masyarakat yang dilema akan makna hidup dan dehidrasi aspek
spiritualitas manusia. Akan tetapi, selama masih ada kesempatan, belum
ada kata terlambat untuk terus memperbaiki diri hanya semata karena-Nya.
90 Nurcholish Madjid, “Dakwah Khair, Amar Makruf, Nahi Mungkar: Sebuah Telaah atas Beberapa Pengertian Dasar Tiga Tingkat Pemerintah”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 7, no. 1 (Desember 2014): hal. 34
91 Nurcholish Madjid, “Menegakkan Paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah “Baru”, dalam Haidar Bagir, ed., Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung,: Mizan, 2012), hal. 47 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai konsep masyarakat madani menurut
Nurcholish Madjid, agaknya dapat ditarik hal-hal penting sebagai
kesimpulan. Konsep yang dikemukakan oleh Nurcholish adalah
meneladani konstitusi yang terdapat di Madinah. Di mana umat Islam
mampu hidup damai bersama kelompok agama yang berbeda (Muslim,
Kristen, dan Yahudi), diakui banyak kalangan sebagai potret pertama di
dalam sejarah yang berusaha meletakkan dasar-dasar masyarakat yang
berasaskan pluralisme dan toleransi.
Masyarakat madani juga dikatakan oleh Nurcholish sebagai
masyarakat yang berperadaban. Oleh karenanya, Nurcholish
menginginkan konsep demikian untuk ditegakkan. Dengan langkah-
langkah seperti membiasakan diri dalam menaati aturan-hukum,
menghargai perbedaan dan hak berpendapat setiap orang, dan peduli
terhadap rasa kemanusiaan. Maka dipastikan, masyarakat madani akan
dapat diraih. Sebagaimana kondisinya yang begitu harmonis, pada zaman
Nabi Muhammad, kelak dapat terulang kembali, guna hidup saling
menjaga kerukunan dan persaudaraan.[]
82
83
B. Saran
Demikian pembahasan yang penulis paparkan mengenai “Konsep
Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid”. Pasti terdapat kaitan
yang menarik untuk diteliti lebih lanjut dan menjadi bahan diskusi yang
hangat mengenai masyarakat madani menurut Nurcholish tersebut.
Terutama kepada masyarakat yang dapat mengambil berbagai contoh
untuk menjadikan sumber dalam pembenahan maupun pembentukan
pranata yang baru dan relevan di lingkungannya. Begitu juga dengan para
tokoh agama, yang bekerja keras menyiarkan ajaran-ajaran suci, agaknya
memperhatikan kembali apa yang hendak ingin disampaikan dengan cara
menemukan perbandingannya dari bahasan ini guna memperluas materi
keagamaan. Dan tidak lupa, kepada pemerintah, lebih bagus bila
mengadakan intropeksi batin, dengan cara memahami sajian keislaman
yang khas dalam bahasan ini, sehingga diharapkan mampu teresegarkan
kembali spiritual yang mungkin telah lama redup dan menambah motivasi
baru dalam langkah-langkah pada saat menjalankan amanah kenegaraan,
yakni hidup bahagia serta damai dalam masyarakat madani.
Tidak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa masih
terdapat berbagai kekurangan dalam kepenulisan skripsi ini. Maka, penulis
mengharapkan kritik serta koreksian yang membangun guna memperbaiki
dan melengkapi penulisan skripsi ini berikutnya. Dan semoga skripsi ini
mampu bermanfaat dan diamalkan hal baik yang terdapat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
AF, Ahmad Gaus. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas, 2010.
Ali, Muhammad. Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Kompas, 2003.
Allawi, Ali. Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan Dan Keruntuhan Total. terj. Pilar Muhammad Moctar. Bandung: Mizan, 2015.
Aman, Saifuddin. Tren Spiritualitas Millenium Ketiga. Tangerang: Ruhama, 2013.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004.
Anwar, Wadjiz. Nilai Filsafat Dalam Dunia Modern Dewasa Ini. Yogyakarta, 1979.
Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.
Azra, Azyumardi. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi. Jakarta: Kencana, 2016.
Bagir, Haidar. Islam Tuhan, Islam Manusia. Bandung: Mizan, 2017.
Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Fauzi, Ihsan Ali. Ed. All You Need Is Love: Cak Nur di Mata Anak-anak Muda. Jakarta Selatan: Paramadina, 2008.
Hamdy. Telaga Bahagia Syaikh Abdul Qadir Jailani. Jakarta: Republika, 2015.
Harahap, Syahrin. Islam dan Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan Kesalehan Modern. Jakarta: Kencana, 2015.
Hartomo. MKDU: Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Hidayat, Komarudin. Tuhan Begitu Dekat. Jakarta: Dian Rakyat, 2011.
______, Komarudin. The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama. Jakarta: Kompas, 2008.
Ikhwan. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Logos, 2004.
84
85
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit Erlangga, 2006.
Kusmana. “Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi al-Qur’ān tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat”, dalam Kusmana ed. Bunga Rampai: Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: IAIN Indonesian Social Equity Project, 2006.
Madjid, Nurcholish. “Menegakkan Paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah “Baru”, dalam Bagir, Haidar ed. Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia. Bandung,: Mizan, 2012.
______, Nurcholish. “Pengalaman Ketuhanan Melalui Amalan Sehari-hari” dalam Madjid, Nurcholish ed. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Jakarta: Penertbit Mediacita, 2001.
______, Nurcholish. Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi. Jakarta Selatan: Dian Rakyat, 2009.
_____, Nurcholish. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999.
______, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007.
______, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: PT Dian Rakyat, 2008.
______, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.
______, Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
______, Nurcholish. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Dian Rakyat, 2008.
Malik, Dedy Djamaludin dan Ibrahim, Idi Subandy. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaludin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Masyhur, Kahar. Membina Moral dan Akhlak. Jakarta: Kalam Mulia, 1985.
Muhsin, Djauhari. Kuliah Iman Yang Qur’ani: Suatu Pemahaman Baru. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.
Musawi, Sayid Mujtaba. Etika dan Pertumbuhan Spiritual. Jakarta: Lentera Bastritama. 2001. 86
Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi. Jakata: Sadra Press, 2011.
______, Murtadha. Manusia Sempurna: Nilai dan Kepribadian Manusia pada Intelektualitas, Spiritualitas, dan Tanggung Jawab Sosial. terj. Arif Mulyadi. Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2015.
Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi. Manusia Berkualitas. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994.
Prasetyo, Hendro. dkk. Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Qorib, Muhammad. Solusi Islam: Mencari Alternatif Jawaban Terhadap Problem Kontemporer. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Salam, Syamsir. Menuju Islam Berkeadaban. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007.
Saridjo, Marwan. Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab. Jakarta: Penamdani, 2005.
Shihab, Alwi. “Membangun Jembatan Melalui Dialog Antaragama” dalam Risakotta, Bernard Adeney ed. Mengelola Keragaman di Indonesia. Bandung: Mizan, 2012.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan, 2006.
Soerjono dan Sulistyowati. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Sudarto. Wacana Islam Progresif Reinterpretasi Teks Demi Membebaskan Yang Tertindas. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.
Sudiarja. Pendidikan dalam Tantangan Zaman. Depok: Kanisius, 2014.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Logos, 2000.
Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Nusantara: Memahami Sosiologi Integralistik, (Jakarta: Kencana, 2013.
Syawisy, Abdul Aziz. Islam Agama Fitrah, terj. Abdul Rahman Jakarta: Bumi Askara, 1996. 87
Rachman, Budi Munawar. “Kata Pengantar”, dalam Rachman, Budi Munawar dan Taher, Elza Peldi, ed. Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid. Depok: Imania, 2013.
______, Budi Munawar. Membaca Nurcholish Madjid. Jakarta: Democracy Project, 2011.
Rahardjo, Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.
Ruslani ed. Wacana Spiritualitaas Timur dan Barat, terj. Shafwan. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000.
Tebba, Sudirman. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa. Jakarta: Dian Rakyat, 2011.
_____, Suddirman. Merengkuh Makrifat. Ciputat: Putaka Irvan, 2006.
Ubaidillah dan Razak, Abdul. Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana, 2013.
Zahra, Muhammad Abu. Membangun Masyarakat Islami. terj. Shodiq Noor Rahmat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Zaqzouq, Mahmoud Hamdi. Islam Dihujat Islam Menjawab: Tanggapan Atas Tuduhan dan Kesalahpahaman. terj. Penerbit Lentera Hati. Ciputat: Lentera Hati, 2008.
ARTIKEL
Tokoh Indonesia, “Guru Pluralisme Indonesia: Nurcholish Madjid”, artikel diakses pada 3 Desember 2017 dari www.Tokohindonesia.com
Azyumardi Azra, “Masyarakat Madani”, artikel diakses pada 3 April 2018 dari http://opinikompas.blogspot.com/2013/10/masyarakat- madani.html
JURNAL
Masroer C Jb dan Lalu Darmawan, “Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia”, Sosiologi Reflektif V. 10, no. 2 April 2016.
Madjid, Nurcholish. “Dakwah Khair, Amar Makruf, Nahi Mungkar: Sebuah Telaah atas Beberapa Pengertian Dasar Tiga Tingkat Pemerintah”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 7, no. 1 Desember 2014.
Nafis, Muhammad Wahyuni. “Nurcholish Madjid, Sosok Pribadi Pengimbang”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 3, no. 2 Juni 2011.