Konsep Masyarakat Madani Menurut

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Satu Syarat Menggapai Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh: Imam Arifin (1113033100021)

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

2018/1439 H

LEMBAR PERESTUJUAN PEMBIVIBING

Konsep Masyarakat Nladani Menurut Nurcholish Nlladjid

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddil untuk Meutenulii Satr-r Syarat Menggapai Gelar Sarjana Agama (S Ag)

Oleh: Imam Arifin (1113033100021)

Dosen Per-nbirnbing:

MA

NIP.19670918 199703 I 001

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 20r8n439 H

LEVIBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KONSBP MASYAR;\K,4.T NIADANI h'IENURUT NURCHOLISH NIADJID telah diujikan clalam siclang rluna.lasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsatat UIN S),arif Hiclayatullah Jakarta pada 28 Maret 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat menteroleh Gelar Sar-iana Agama (S.Ag.) pada Prograrn Stucli Aqiclah clan Filsafat Islam.

Ciputat,2S Mairet 2018

Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota.

Dra. Tien Rahmatin. M.A Dr. Abciul Hakim Wahid. SI.A NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 19780424 201503 I 001

Anggota,

Ilanafi. S.Ag. M.A 2t220112681 NIP: 19691216 199603 I 002

196709t8

111 PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Arab Indonesia ṭ ط a ا ẓ ظ b ب ‘ ع t ت gh غ ts ث f ف j ج q ق ḥ ح k ك kh خ l ل d د m م dz ذ n ن r ر w و z ز h ه s س ’ ء sy ش y ي ṣ ص h ة ḍ ض

VOKAL PANJANG

Arab Indonesia

Ā ﭐ

Ī اى

Ū او

iv

ABSTRAK

Imam Arifin (1113033100021)

Konsep Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid

Penelitian ini memilki tujuan dalam rangka menemukan kumpulan data, guna memperoleh hasil berupa jawaban mengenai pandangan kerangka dalam masyarakat madani menurut Nurcholish Madjid, terutama pada persoalan implementasi dari spiritualitas Islam di tengah kehidupan masyarakat telah modern.

Metode yang digunakan adalah dokumentasi baik di perpustakaan atau di luar perpustakaan dalam pengambilan data. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian dengan metode studi kepustakaan dan metode pembahasannya berupa analitis deskriptif. Dari kedua metode tersebut dimaksud untuk menguraikan persoalan yang sedang dibahas secara sistematis mengenai seluruh pandangan dari Nurcholish Madjid tentang masyarakat madaninya. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa konsep masyarakat madani menurut Nurcholish adalah masyarakat yang berperadaban yang meneladani contoh Nabi Muhammad dalam membentuk dan membina masyarakat di Madinah. Masyarakat madani adalah masyarakat yang memegang asas toleransi dan pluralisme pertama di dalam sejarah peradaban. Masyarakat yang mentaati akan hukum, menghargai perbedaan pendapat dan hak berpendapat orang lain, dan memiliki kepedulian terhadap rasa kemanusiaan. Dengan hal demikianlah masyarakat madani menurut Nurcholish dapat ditegakkan dalam bentuk nyata.

Kata kunci: Nurcholish, Masyarakat Madani, Toleransi dan Pluralisme.

v KATA PENGANTAR Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Assalāmu‟alaikum warahmatullāh wabarakātuh

Segala puji dan rasa syukur terlimpah-curahkan kepada Allah Swt, dan hanya kepada-Nya saya berusaha dan berserah diri. Memohon pertolongan dan petunjuk-Nya dalam mengambil berbagai macam pilihan di perjalanan hidup saya. Saya juga menyukuri salah satu nikmat-

Nya, yang bagi saya nikmat itu begitu indah, yaitu berkesempatan sekolah

(menuntut ilmu) hingga mencapai jenjang pendidikan di perguruan tinggi, khususnya jenjang akademisi berbasis Islami.

Kemudian, shalawat beserta salam saya sampaikan kepada Nabi akhir zaman, Muhammad Saw, karena di dalam budi pekerti beliaulah, saya belajar betapa pentingnya umat Islam dalam menuntut ilmu. Lebih daripada itu, ilmu yang dimiliki pun mesti diajarkan dan diamalkan sampai benar-benar terasa manfaatnya terhadap sesama.

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillāh Rabb al-„Ālamīn, atas rahmat serta kasih-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang mengambil judul: “Spiritualitas Islam Dalam Masyarakat Modern

Menurut Nurcholish Madjid.”

Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) strata 1 pada Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini dengan segala hormat saya

vi

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang telah memberikan masukan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyusun skripsi ini hingga selesai, terutama kepada yang saya hormati:

1. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.A selaku Pembimbing yang telah membantu penulisan skripsi ini. Baik berupa masukan dan wawasan baru yang telah beliau berikan, semoga Allah Swt, membalasnya dengah hal yang lebih baik lagi.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Dra. Tien Rahmatin, M.A selaku Ketua Jurusan Aqidah dan

Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. Abdul Hakim Wahid, M.A selaku Sekretaris Jurusan

Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

5. Terimah kasih juga kepada seluruh dosen-dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Saya juga berterima kasih kepada kedua orang tua tercinta yang sangat mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini: Bapak H.

Martius, Ibu Isisma Murni. S. Tr. Keb, yang selalu memberikan doanya

vii dan dukungan, baik berupa finansial dan secara sepritual kepada saya, anaknya ini, semoga keduan selalu berada dalam naungan rahmat-Nya.

8. Special Thanks to Yuninda Nurbaeti, yang telah mendukung dan memotivasi, bahkan mengingatkan saya selalu akan pentingnya menata masa depan.

9. Rekan seperjuagan semasa di IMM; Kolik Koiruddin. S.Ag,

Novita, Aldina, Zakiyah, Sahri, dan adek-adek; Fajar, Nia, Labib dan lainnya.

10. Kawan seperjuangan semasa di kelas; Faisal (Jun), Muhammad

Mufid, Robby, Jaenal, Imur, Fajri Azizah, Fitroh and Gengs, dan adek- adek AFI, Iis, Laras, Reynaldi, Fany, dkk.

Akhir kata saya mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak dan apabila ada yang tidak tersebutkan dalam kata pengantar ini mohon maaf, dan dengan besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya sendiri dan umumnya bagi semua pembaca. Bagi para pihak yang telah membantu dalam penulisan ini semoga segala amal kebaikan langsung mendapat balasan yang sangat berlimpah dari Allah Swt.

Wassalāmu‟alaikum warahmatullāh wabarakātuh

Ciputat, Februari 2018

Imam Arifin

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...... i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI...... ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI...... iii PEDOMAN TRANSLITERASI...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Batasan Masalah...... 8 C. Rumusan Masalah ...... 8 D. Tujuan Penelitian ...... 8 E. Manfaat Penelitian ...... 9 F. Tinjauan Pustaka ...... 9 G. Metode Penelitian ...... 12 H. Sistematika Penulisan ...... 13 BAB II BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID A. Latar belakang...... 14 B. Karya-karya...... 25 C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran...... 28 BAB III TEORI-TEORI MASYARAKAT MADANI A. Teori Anwar Ibrahim...... 34 B. Teori Dawam Rahardjo...... 37 C. Teori Din Syamsuddin...... 41 D. Teori Azyumardi Azra...... 44 BAB IV MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF CAKNUR A. Definisi Masyarakat Madani...... 48 B. Karakteristik Masyarakat Madani...... 57 C. Metode Mencapai Masyarakat Madani...... 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...... 82 B. Saran...... 83 DAFTAR PUSTAKA ...... 84

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nurcholish Madjid, (atau yang biasa dipanggil Cak Nur), merupakan

tokoh yang sangat berpengaruh dalam berkontribusi terhadap masyarakat,

apalagi di masa sekarang yang sedang menjalani proses perubahan tatanan

di masyarakat dan menyadarkan kembali sebagian masyarakat yang telah

kehilangan spiritualitasnya. Masyarakat yang mesti diingatkan dalam

pilihan terbaiknya.

Oleh karenanya, Nurcholish merupakan seorang intelektual Islam,

yang menurut penulis, memiliki relevansi cukup kuat dan berpengaruh

sebagai tokoh pembaharuan juga dengan sikap responsifnya terhadap

dinamika yang ada di dalam masyarakat. Terutama dengan mendidik

demokrasi sebagai bahasan yang hidup dan hangat di masyarakat. Di mana

demokrasi adalah pemilihan umum yang bebas dan pemberian suara yang

rahasia. Hal ini benar-benar dapat dimengerti, karena hak untuk memberi

suara secara bermakna dan bebas dari pemaksaan. Jika demokrasi harus

memiliki “rumah”, maka rumahnya ialah civil society atau “masyarakat

madani”, yang mana berbagai macam perserikatan, klub, gilda, sindikat,

federasi, persatuan, partai dan kelompok bergabung untuk menjadi perisai

antara negara dan warga-negara.1

1 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 145

1

2

Sisi lain dari Nurcholish, sampai kepada John L. Esposito yang

mengatakan bahwa Nurcholish Madjid dari Indonesia (sanggup

menyelesaikan perkara) langsung mendarat ke persoalan inti dari

permasalahan, dengan tegas mendesak umat Islam untuk merombak tradisi,

untuk membedakan antara yang universal dan yang partikular, antara

wahyu Tuhan nan tak berubah dengan budaya dan tradisi umat Islam yang

dapat berubah. 2 Nurcholish dipuji dan dinilai mempunyai gaya

penyelesaian yang mengakar dan langsung menuju inti dari permasalahan.

Karakteristik Nurcholish, dikatakan lagi oleh John L. Esposito,

sebagai seorang pembaharu yang menghargai tradisi, namun

menganjurkan perpaduan kreatif antara keulamaan tradisional dengan

modern. Nurcholish dianggap sebagai orang yang gencar menggemakan

semangat perubahan ke arah masyarakat modern, akan tetapi keislaman

tradisionalnya tetap dijaga. Bahkan oleh sahabatnya, Harun Nasution,

dikatakan bahwa selama seseorang itu masih terikat pada tradisi dan

agamanya, selama itu pula ia tidak akan sanggup mengadakan perubahan

dan pembaharuan dalam cara hidupnya.3

Itu artinya sama seperti yang melekat pada diri Nurcholish, yaitu

menentang kepasifan atas perkembangan yang bergolak di masyarakat.

Nurcholish mengatakan bahwa merombak dan melawan tradisi-tradisi

yang terang-terang tidak benar, tak sesuai dengan kenyataan yang ada

dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain

2 John L. Esposito, Masa Depan Islam, Terj. Eva. Y. Nukman dan Edi Wahyu SM, hal. 151

3 Harun Hasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 189 3

juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian

mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai

kebenaran.4

Realita di zaman sekarang, berbagai krisis menghampiri kehidupan

manusia, mulai dari krisis sosial, krisis struktural, hingga krisis

spiritualitas. Dan semuanya berkumpul pada persoalan yang lebih

mendasar, yaitu makna hidup bagi manusia. Modernitas memberi segenap

kemajuan teknologi dan meningkatnya industrialisasi sampai menjadikan

manusia kehilangan orientasi. Kekayaan kian menumpuk, tetapi jiwa

mengalami kekeringan. Bersamaan dengan logika modern dan orientasi

yang kian modern, upaya dan materi lantas menjadi aktualisasi di

kehidupan masyarakat. Akibatnya, manusia bagaikan sebuah mesin.

Semuanya diukur atas dasar materi.5

Manusia pun perlahan harus mengatur dimensi-dimensi wujudnya

dalam berbagai arah sedemikian rupa supaya memungkinkan ia memenuhi

semua tuntutan material dan spiritualnya, dan hidup secara pantas dengan

mendasarkan hidupnya pada suatu rencana yang dibangun secara tepat dan

akurat. 6 Meskipun tak jarang masih ada sebagian yang terjebak dalam

kesedihan yang berlarut-larut akibat kesulitan hidup, kegembiraan yang

berlebihan akibat sukses duniawi pun akhirnya akan memicu masalah.7

4 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 210

5 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 48

6 Sayid Mujtaba Musawi, Etika dan Pertumbuhan Spiritual, (Jakarta: Lentera Bastritama, 2001), hal. 3

7 Hamdy, Telaga Bahagia Syaikh Abdul Qadir Jailani, (Jakarta: Republika, 2015), hal. 16 4

Wujud dalam diri masyarakat secara umum tersusun dari suatu kumpulan gejolak yang berasal dari berbagai dorongan. Dorongan- dorongan ini dalam keadaan yang natural dan berimbang tidaklah sia-sia atau merugikan, bahkan setiap bagian darinya memainkan peranan vital dalam bangunan spiritual masyarakat.

Oleh karena itu, sebagaimana naluri fisik muncul dari watak manusia, demikian pula kesan-kesan positif, ramah dan pencari kebenaran dapat keluar dari dalam wujudnya, menimbulkan kekuatan spiritual yang melimpah, besar, yang itu mampu melahirkan kesucian, kehormatan, kekuasaan, dan kesalehan. Manusia hidup dalam keanekaragaman, ia hidup dan bertindak menurut berbagai kecenderungan dalam dirinya, beberapa diantaranya berasal dari keinginan hewani, beberapa lagi berasal aspek sentimental, rasional bahkan spiritual dalam dirinya.

Manusia menghadapi keanekaragaman dalam dirinya dan pada saat yang sama ia mesti hidup dalam masyarakat di mana ia menjadi bagian dan melakukan kontak serta hubungan yang tak terbatas dengan anggota masyarakat lain. 8 Untuk menjalani peran tersebut, manusia perlu melengkapi diri dengan pondasi spiritual.

Di mana jati diri manusia yang paling esensial adalah spiritualnya, atau ruhani dalam bahasa al-Qur’ān. Di mana di dalam al-Qur’ān menyebutkan bahwa ruhani (baca: spiritual) manusia itu secara esensi baik dan suci, sebagaimana tercipta dari asal yang baik dan suci pula. Allah meniupkan ruh-Nya kepada tubuh manusia sehingga dengan bekal ruh

8 Suddirman Tebba, Merengkuh Makrifat, (Ciputat: Putaka Irvan, 2006), hal. 7 5

ilahi itu juga kelak manusia dapat memiliki kemampuan untuk

berhubungan dengan Allah. Jadi, terang bahwa akses atau komunikasi

manusia dengan Allah merupakan gambaran hubungan spiritualitas,

meskipun aspek fisiknya menjelma dalam bentuk ibadah.9

Bila manusia ditelisik lebih lanjut, maka akan ditemukan bahwa

manusia mempunyai kebutuhan fisik dan kebutuhan jiwa yang harus

dipenuhi. Kebutuhan dan dorongan spiritual ini telah ditetapkan oleh

tangan penciptaan pada kedalaman jiwa.10 Karena hakikat kemanusiaan

kita bertumpu pada realitas spiritual, maka dimensi spiritualitas itu ibarat

sebuah pohon yang akan tumbuh dan berkembang, lalu berbuah banyak

ketika memperoleh asupan vitamin, yaitu dengan jalan mengasosiasikan

diri kita dengan Dzat yang Maha Spiritual.11

Berbeda dengan bangsa Barat yang sudah mulai bosan dengan segala

kemewahan yang materialistik. Dikarenakan hidup dengan kemewahan

tidak sepenuhnya mengantarkan pada kebahagiaan yang berumur panjang.

Hari ini gembira dengan material yang didapat, besok resah dan gelisah

karena setelah mendapatkan, otomatis ia merasa kehilangan sesuatu, tetapi

dia tidak tahu apa yang sebenarnya sesuatu yang hilang itu.12

Mereka mulai mencari-cari apa yang ada dibalik fakta kehidupan yang

tidak pernah membuat hidup ini merasakan ketenangan yang hakiki.

9 Komarudin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2011), hal. 8

10 Sayid Mujtaba Musawi, Etika dan Pertumbuhan Spiritual, hal. 159

11 Komarudin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat, hal. 9

12 Saifuddin Aman, Tren Spiritualitas Millenium Ketiga, (Tangerang: Ruhama, 2013), hal. 12 6

Terutama bagi orang Islam, syariat saja belum cukup mampu menciptakan harmonisasi antara manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan semesta alam.13 Dunia tidak akan pernah menghasilkan kedamaian jika semua manusia hanya memburu keinginan jasmani dan mengabaikan spiritualitas. Yang ada, orang tidak akan menikmati hidup, kalau tidak menemukan makna hidup.14

Selanjutnya rasa keterasingan itu membuat manusia tidak nyaman dalam menjalani hidup. Alam tidak lagi dipandang sebagai apa pun kecuali tempat tinggal dan objek yang harus ditundukkan demi kepentingan dan kenyamanan bahkan kemewahan yang terdapat di kehidupan masyarakat modern. 15 Di dalam masyarakat modern ditunjukkan dengan adanya peningkatan dalam bagian pembagian kerja dan spesialisasi. Masing-masing para anggota masyarakat memiliki jenis pekerjaan tertentu dalam masyarakat. Misalnya seperti petani, buruh, guru, ulama, atau pegawai, pengusaha, dan sebagainya. Dengan menyebut istilah-istilah di depan, maka dapatlah kita mengetahui jenis-jenis pekerjaan mereka. Jikalau petani, maka kita mengetahui pekerjaannya pada ranah tanah pertanian, buruh mengerjakan pekerjaan yang telah ditentukan sesuai dengan di mana ia bekerja.

Tiap di dalam anggota masyarakat yang mempunyai jenis dari pekerjaan tertentu memiliki peranan yang berbeda dengan anggota masyarakat lain yang mempunyai pekerjaan yang berbeda meskipun bisa

13 Saifuddin Aman, Tren Spiritualitas Millenium Ketiga, hal. 13

14 Saifuddin Aman, Tren Spiritualitas Millenium Ketiga, hal. 14

15 Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Penerbit Erlangga, 2006), hal. 268 7

dalam bidang yang sama. Semisal, dalam dunia perusahaan peranan buruh

peranan buruh akan nampak berbeda dengan peranan pengusaha.

Perbedaan itu dapat diketahui dalam hak-hak atau wewenang dan

kewajiban-kewajiban buruh dan pengusaha.16

Mengingat gejolak yang ditimbulkan dari suasana perubahan di

masyarakat modern adalah penting untuk dipikirkan. Di mana selalu ada

masalah-masalah baru dan penanganannya tidak bisa tidak menyesuaikan

dengan kebutuhan saat ini. karenanya mengikuti perkembangan global

dengan cara tidak peduli terhadap proses yang berjalan maju hanya akan

mengantarkan umat Islam ke dalam jurang keterpurukan dan menjadi

budak di era perbudakan modern.17

Pemikiran-pemikiran Nurcholish, jika dikemukakan dan diambil

untuk kemudian dipahami, dapat menjadi pemicu kembalinya kesadaran

umat Islam saat ini, terutama di dalam kerangka yang bersifat spiritual

sebagai bentuk respon pada persoalan yang di atas.

Sebagaimana yang Nurcholish katakan, bahwasanya dapat dipastikan

hanya sedikit saja dari mereka, para pemeluk Islam, benar-benar mengenal

dan mengerti jalan pikiran para sarjana Islam klasik tersebut, apalagi

merasakan denyut nadi perjuangan dinamika alam pikiran Islam dalam

sejarah, di mana para sarjana itu hidup dan mendapatkan pengalaman

nyata.18 Terutama soal pengalaman itu yang ada korelasi perkembangan

16 H. Hartomo, MKDU: Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hal. 26

17 Sudarto, Wacana Islam Progresif Reinterpretasi Teks Demi Membebaskan Yang Tertindas, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2014), hal. 177

18 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007), hal. V 8

ilmu pengetahuan (ilmu rasional) dengan spiritualitas sebagai bukti penghayatan yang mendalam tentang esoterik Islam.

Dari hal itu, penulis merasa perlu untuk merekonstruksi pemikiran- pemikiran Nurcholish pada aspek masyarakatnya, yang kondisinya perlu sekali mendapat perhatikan dengan bijak oleh kebanyakan pembaca, apalagi pada Nurcholish menaruh kepedulian terhadap laju proses pengembangan masyarakat tanpa melepas bagian penting darinya, yaitu unsur spiritualitas yang diajarkan oleh Islam. Maka daripada itu, penulis merasa tertarik untuk mengambil judul skripsi “Konsep Masyarakat

Madani Menurut Nurcholish Madjid”.

B. Batasan Masalah

Setelah dipaparkannya latar belakang di atas, dan supaya pembahasan skripsi tidak melebar dan meluas, maka penulis membatasi dan memfokuskan pada pokok bahasan seperti Masyarakat Madani menurut

Nurcholish Madjid.

C. Rumusan Masalah

Bagaimana Konsep Masyarakat Modern menurut Nurcholish Madjid ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini yaitu: a. Memperoleh informasi atau pemahaman tentang Masyarakat Madani

menurut Nurcholish Madjid. 9

b. Mendapatkan gelar Sarjana Strata 1 (S1) fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. c. Mengenalkan kembali pemikiran Nurcholish Madjid tentang Konsep

Masyarakat Madani kepada khalayak umum dengan harapan bisa

menjadi rujukan dan paradigma maju bagi masyarakat. d. Menambah khazanah baru mengenai pemikiran keislaman Indonesia

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu ditujukan: a. Penelitian ini juga dapat menambah khazanah kepustakaan atau

literatur di Indonesia khususnya tentang pemikiran Nurcholish Madjid

yang dirasa kurang dan diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat

turut melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. b. Mengetahui pemikiran-pemikiran dari intelektual Muslim Indonesia

yang menginspirasi, salah satunya Nurcholish Madjid. c. Meneladani pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh Nurcholish

Madjid, terutama tentang Masyarakat Madani.

F. Tinjauan Pustaka

Seorang tokoh pemikir Islam dan pembaharu di Indonesia, Nurcholish

Madjid telah menarik perhatian para sarjana di dalam dan di luar negeri hanya untuk menelitinya. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beberapa mahasiswa telah meneliti tentangnya. Salah satunya adalah Fauzi membahas Hubungan Islam dan Negara Perspektif Nurcholish Madjid 10

(Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Penulis skripsi ini memaparkan dari sudut hubungan Islam dan negara ada sejak bersamaannya agama Islam muncul. Selama itu juga hubungan antara keduanya menunjukkan pola beragama. Di masa Rasulullah dan para sahabat Khulafa’ al-Rāsyidīn, hubungan Islam dan negara bersifat integral, di mana Islam adalah aturan-aturan dan hukum yang mengikat seluruh umatnya. Sedangkan negara adalah bagian sarana untuk menjalankan hukum-hukum dan aturan itu. Pasca masa Rasulullah dan sahabatnya berlalu, hubungan yang bersifat integral sudah tidak ditemui lagi, termasuk di Indonesia. Namun, di dalam Skripsi tersebut pemikiran dari Nurcholish hanya terbatas pada pembahasan mengenai hubungan Islam dan Negara.

Di satu sisi, tidak ada bahasan yang memunculkan mengenai peran masyarakat madani secara spesifik Nurcholish yang pada Skripsi tersebut.

Kemudian, Anwar Sodik dengan judul Tauhid dan Nilai-nilai

Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Skripsi, Aqidah

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Pada karyanya, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak akan memperoleh pengakuan bertauhid, kecuali jika diliputi dengan sikap pasrah (Islam) dan keimanan yang murni, yaitu tidak menyekutukan Tuhan kepada sesuatu yang pada dirinya tidak memiliki kualitas Ilāhiyyah. Dengan model pemahaman dan sikap bertauhid seperti itu, maka secara esensial akan berimplikasi pada kualitas, sehingga tauhid itu akan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Akan tetapi, Skripsi tersebut tidak terdapat secara khusus mengenai 11

bahasan pemikiran esoteris Islam Nurcholish, melainkan tendensi kepada sikap-sikap yang diperoleh dari jalur ketauhidan.

Berikutnya adalah Fandi Rosadi dengan judul Pandangan Nurcholish

Madjid pada Etika Beragama (Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2010). Membahas tentang pemikiran Nurcholish yang berkaitan dengan etika beragama dalam berbagai karya Nurcholish karena memang tidak ditemukan secara spesifik karya yang membahas secara khusus etika beragama. Di dalam etika beragama yang dimaksud ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya diperbuat oleh seseorang penganut agama kepada selainnya, menyatakan tujuan apa yang harus dituju oleh penganut agama dalam aktivitas mereka dan menunjukkan jalan apa yang seharusnya diperbuat.

Adapun beragama ialah bagaimana mengerjakan suatu sistem keyakinan yang telah dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci. Di

Skripsi ini pemikiran Nurcholish mengarah pada pembahasan kerukunan umat beragama, terutama soal perilaku yang harus dipegang oleh masing- masing pemeluk agama. Namun, ternyata pemikiran dari esoteris Islam

Nurcholish tidak dimunculkan sebagai landasan dasar dominan beretika.

Oleh karena itu, di pembahasan kali ini, penulis mencoba untuk membahas Konsep Masyarakat Madani menurut Nurcholish Madjid. Hal ini penulis lakukan, karena topik ini belum pernah dibahas sebelumnya.

12

G. Metode Penelitian

Tahap penyusunan skripsi ini, penulis menerapkan metode studi kepustakaan (library research). Dalam hal ini, (studi kepustakaan) yang menggunakan sumber-sumber pustaka yang penulis gunakan sebagai rujukan dalam mengumpulkan informasi dan mengumpulkan data-data, adalah dalam bentuk buku-buku, jurnal, e-book, yang berkaitan dengan penelitian ini.

Rujukan utama (primary source) dalam penelitian ini ialah buku

Nurcholish Madjid, yaitu Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:

Paramadina, 1999), Pintu-Pintu menuju Tuhan, (Jakarta Timur: PT Dian

Rakyat, 2008), Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: PT

Mizan Pustaka, 2013), Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: PT Dian

Rakyat, 2008), dan Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

2007). Sedangkan buku-buku sekunder dari penelitian ini adalah buku- buku yang membahas pemikiran dari Nurcholish Madjid, khususnya tentang Masyarakat Madani

Adapun teknik pembahasan skripsi ini ialah analitis deskriptif, yaitu melakukan analisis terhadap karya-karya yang membahas tentang

Spiritualitas Islam Nurcholish Madjid, kemudian mendeskripsikan hasil analisis tersebut. Teknik penulisan di dalam penulisan sripsi ini disesuaikan dengan standar berdasarkan pedoman penulisan skripsi, tesis dan desertasi yang termuat dalam buku Pedoman Akademik Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014. 13

Transliterasinya menggunakan pedoman jurnal Ilmu Ushuluddin diterbitkan oleh HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu bab pertama pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

Berikutnya bab dua tentang biografi Nurcholish Madjid, yang membahas tentang latar belakang, karya-karya, dan perkembangan dan pengaruh pemikiran. Kemudian bab tiga, membahas tentang teori-teori Masyarakat

Madani, yang terdiri dari bahasan teori Anwar Ibrahim, teori Dawam

Rahardjo, teori Din Syamsuddin, teori Azyumardi Azra, Bab empat, sudah mulai masuk pembahasan mengenai telaah Masyarakat Madani menurut

Nurcholish Madjid, Definisi Masyarakat Madani, Karakteristik

Masyarakat Madani, Metode Mencapai Masyarakat Madani. Terakhir penutup, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID

A. Latar Belakang

Tahun 1939 1 merupakan awal kelahiran dari Nurcholish Madjid.

Nurcholish lahir dari kedua orang tua yang bernama H. Abdul Madjid dan

Hj. Fathonah. Semula nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya

adalah Abdul Malik, yang mempunyai arti “hamba Allah”2. Pergantian

nama menuju “Nurcholish Madjid” dilakukan saat usianya genap enam

tahun sebab sewaktu kecil sering sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, anak

yang sering menderita sakit dianggap “kabotan jeneng”3, dan karena itu

diharuskan ganti nama.4 Pergantian nama yang berasal dari kata Arab, Nur

berarti “cahaya” dan Cholish berarti “murni” atau “bersih”. Sedangkan

nama belakang, Madjid, ditambah dari nama belakang ayahnya, “Abdul

Madjid”5.

Seiring berjalannya waktu, di tahun 1946, H. Abdul Madjid

mendirikan Madrasah Diniyah al-Wathaniyah yang secara harfiah berarti

“patriotisme”, karena dibangun pada saat masa revolusi.6 Madrasah yang

didirikan H. Abdul Madjid berupaya mengimbangi pendidikan sekuler

1 Tanggal lahir lengkapnya: Jombang (Mojoanyar) , 17 Maret 1939. 2 Malik merupakan nama sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asmaul Husna, nama- nama Allah yang Indah. 3 Kabotan Jeneng mempunyai arti Keberatan Nama. 4 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 1 5 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 2 6 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 3

14

15

(Sekolah Rakyat/SR). Kekosongan lembaga pendidikan agama menjadi

penyebab bagi anak-anak muda di sini mewarisi kebiasaan buruk; mabuk-

mabukan dan bermain judi. Madrasah al-Wathaniyah membekali anak-

anak muda dengan pendidikan ilmu agama yang memadai, yang tidak

terjangkau oleh SR. Untuk Nurcholish sendiri, ia mengenyam pendidikan

yang rangkap. Karena di pagi hari Nurcholish bersekolah di SR, lalu pada

sorenya ia belajar di Madrasah al-Wathaniyah.

Dengan alasan mendirikan al-Wathaniyah, H. Abdul Madjid berharap

dapat mengimbangi pendidikan berbasis sekuler, sebab pengetahuan

umum tetap penting. Karena itu ia membiarkan Nurcholish belajar di SR.

Ia juga tidak melihat anaknya kesulitan menerima pelajaran pagi dan sore

hari. Bahkan, terlihat dari nilai-nilainya, terutama ilmu hitung yang selalu

mendapat nilai tinggi.7

Tahun 1953, Nurcholish melanjutkan pendidikannya ke Pesantren

Darul Ulum, yang lebih dikenal dengan nama Pesantren Rejoso8. Pondok

Darul Ulum, masuk kategori salah satu Pondok Pesantren besar di

Jombang yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU. Akan tetapi, belum

berselang lama nyantri di Darul Ulum, Nurcholish merasa tidak betah. Ia

diejek oleh sebagian orang, “Kok anak tokoh Masyumi, mondok di

pesantren (NU) yang santrinya dan guru-gurunya pakai sarung?”. 9

7 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 7

8 Sebab Pesantren itu terletak di Desa Rejoso, Kecamatan Peterongan. Di Pesantren ini H. Abdul Majid mempunyai kawan dekat, Kiai Romli. 9 Marwan Saridjo, Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, (Jakarta: Penamdani, 2005), hal. 3 16

Meskipun begitu, Nurcholish pada tahun pertama menikmati kegiatan

belajar. Sebagian besar karena ia telah mendapatkan pengetahuan dasar di

al-Wathaniyah. Nurcholish juga aktif dalam kegiatan-kegiatan

ekstrakurikuler, bahkan pernah menjadi juara satu lomba pidato bahasa

Indonesia saat duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah10 Namun, ketika

mendengar Nurcholish mendapat perlakuan yang kurang berkenan lantaran

saat belajar ia sering disindir itu, oleh ayahnya menanggapi dengan

menarik Nurcholish dari Pesantren Rejoso dan memindahkan ke Pesantren

Gontor.11

Pondok Darus Salam12, di Gontor, Ponorogo Jawa Timur. Di Pondok

inilah Nurcholish menempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam,

terutama dalam mendalami bahasa Arab dan Inggris. Adapun kesan

Nurcholish terhadap Pondoknya, pernah mengatakan:

“Gontor memang sebuah pondok pesantren yang modern, malah sangat modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuat demikian adalah berbagai kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodologi pendidikan, serta pengajarannya. Kemodernannya juga tampak pada materi yang diajarkannya. Dalam soal bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa Inggris, bahasa Arab, termasuk bahasa Belanda sebelum akhirnya dilarang. Para santri diwajibkan bercakap sehari-hari dalam bahasa Arab atau Inggris..”13

10 Jenjang pendidikan setingkat SMP

11 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 15

12 Pesantren Gontor didirikan pada 1926 adalah Pesantren yang bercorak modern. Lalu pendirinya adalah Kiai Zarkasyi yang pernah belajar di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, yang melahirkan pujangga kenamaan Ronggowarsito. Salah satu indikasi modernnya ialah penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab yang diwajibkan, yakni bahasa Inggris. 13 Budi Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hal. 2-3 17

Di dalam prosesnya, ternyata Nurcholish lebih meletakan minat pada pembelajaran bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Di lain itu, Nurcholish juga menyukai kesenian meski hanya menjadi penonton, khususnya musik dan drama yang berkembang pesat di Pesantren Gontor. 14 Salah satu kegemaran Nurcholish ketika ia belajar di Gontor adalah berkirim surat kepada kedutaan-kedutaan besar asing di Jakarta. Karena perpustakaan di

Gontor tidak bisa diakses oleh santri. Sehingga dari mereka Nurcholish mendapat banyak buku berbahasa Inggris. Ia juga berlangganan koran bahasa Inggris yang terbit di Jakarta, Jakarta Time, dan majalah bulanan bahasa Inggris, Reader’s Diggest.

Namun, ada hal yang menarik dari sosok pribadi Kiai Zarkasyi, yaitu beliau selalu mengundang para santri kelas lima dan enam15, dan memberi tugas untuk membaca buku-buku tertentu. Kemudian oleh Nurcholish, kesempatan yang baik itu dimanfaatkan dengan membaca buku karangan

Buya Hamka Tasawuf Modern. Tidak puas dengan itu, Nurcholish juga membaca buku-buku karangan sarjana Barat, seperti Civilization on Trial karya Arnold Toynbee, dan Psikologi Pribadi karya Firtz Kunkle.

Progresif di dalam bacaan-bacaannya, Nurcholish pernah menjadi anggota

PII (Pelajar Islam Indonesia), cabang Gontor. Kegiatan di PII tidak banyak memakan waktu, sehingga ia tetap menekuni tugas utamanya di Gontor, yaitu belajar.16

14 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 19 15 Jenjang pendidikan setingkat 2 dan 3 SMA/SMK

16 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 21 18

Tahun 1960, Nurcholish tamat dari Gontor, dan berencana ingin

melanjutkan kuliah ke Fakultas Kejuruan Ilmu Pendidikan (FKIP)

Muhammadiyah, di Solo. Akan tetapi, karena Nurcholish tidak memiliki

ijazah SMA, ia pun mengurungkan niatnya untuk kuliah. Dan oleh Kiai

Zarkasyi, Nurcholish dirayu untuk mengabdi di Gontor dengan iming-

iming mendapat beasiswa ke Mesir. Setahun lamanya Nurcholish

mengajar di Gontor, dan belum mendapat kepastian dari beasiswanya itu,

ia memutuskan untuk kuliah di IAIN 17 Jakarta dengan restu Kiai

Zarkasyi.18

Tahun 1961, Nurcholish mengambil jurusan Sastra Arab di Fakultas

Adab, dikarenakan minatnya besar pada bidang ini. Selama perkuliahan itu,

Nurcholish masuk HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat19

yang karena ia mengetahui di situ ada A. M. Fatwa yang namanya akrab

sebagai aktivis PII dan HMI yang dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi.

Ditambah, Nurcholish ingat pesan dari ayahnya agar menjalin hubungan

baik dengan tokoh-tokoh Masyumi. Karena Nurcholish pikir cara praktis

merealisasikan itu adalah lewat berkenalannya dengan Fatwa. 20 Tahun-

tahun pertama tinggal di Ciputat, Nurcholish harus menghadapi kenyataan

dengan kondisi keuangan membayar kos, jadinya ia selalu berpindah

17 Sekarang UIN (Universitas Islam Negeri).

18 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 23

19 HMI Cabang Ciputat, pada awalnya hanya komisariat dari HMI Cabang Jakarta. Komisariat ini dirintis oleh Fatwa bersama tiga temannya: Abu Bakar, Salim Umar, dan Komarudin. Fatwa sendiri sebelumnya kuliah di Universitas Ibnu Khaldun, lalu mendapat beasiswa ikatan dinas dari Angkatan Laut. 20 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 26 19

tempat tinggal, yang itu disesuaikan dengan kesanggupan kantongnya.

Maka, semula dari sekitar komplek IAIN, ke Legoso21, bahkan sampai ke

Kebayoran Lama. Setelah berkenalan dengan Fatwa dan mendengar kondisi Nurcholish. Fatwa mengajak Nurcholish untuk tinggal bersamanya di rumah kosong milik Ketua Umum Masyumi, Prawanto Mangkusasmito, di daerah Kebayoran Baru. 22 Semenjak tinggal di kediaman itu, Fatwa memperhatikan Nurcholish tidak lepas dari buku. Bahkan, ketika mengantri ke toilet pun masih ada luang baginya untuk membaca buku.

Ketika pimpinan HMI yang berada di Ciputat ingin menjadi Cabang dari semula Komisariat, Nurcholish masuk ke dalam formatur dan terpilih menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ciputat. Di mana aktivitas

Nurcholish bertambah padat. Kurang dari dua tahun, Nurcholish terpilih menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.

Tahun 1963, Nurcholish dilantik menjadi Ketua IV Badko (Badan

Koordinai) HMI Jawa Barat, yang fokus pada bidang pengkaderan. 23

Berselangnya beberapa waktu, Nurcholish pindah dan tidak serumah lagi dengan Fatwa menuju asrama Masjid Agung al-Azhar, diajak oleh Zaidi

Malik, alumni Gontor yang kuliah di Muhammadiyah di jalan limau,

Kebayoran Baru. Berkat perantara Zaidi, Nurcholish berkenalan dengan

Buya Hamka, tokoh Masyumi yang waktu itu menjadi Imam Besar Masjid

Agung al-Azhar. Dalam periode yang cukup lama Nurcholish menjalin

21 Lokasinya di seberang agak jauh dari kampus IAIN Jakarta.

22 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 29

23 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 31 20

hubungan baik dengan Buya Hamka. Pernah waktu itu Nurcholish

menyimak ceramah Hamka dan merasa terjemahan ayat al-Qur‟ān yang

disampaikan kurang pas. Dan sambil mengiringinya pulang, Nurcholish

menyampaikan terjemahan menurutnya, dan dibenarkan oleh Hamka.24

Tahun 1965, Nurcholish meraih gelar sarjana muda (BA) bidang Sastra

Arab di IAIN Jakarta. Tiga tahun berikutnya (1968) ia menyelesaikan studi

strata satu (S1)-nya dengan menyandang gelar doktorhandus di bidang

Sastra Arab di lembaga yang sama. Di antara periode tersebut, Nurcholish

tepilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam

(PB-HMI) dalam Kongres ke-8 di Solo, September 1966. Kemudian pada

Mei 1969, dalam Kongres ke-9 di , ia terpilih kembali sebagai

Ketua Umum PB-HMI, sehingga ia di dalam sejarah organisasi tersebut

menjadi satu-satunya orang yang berhasil terpilih untuk memimpin

organisasi mahasiswa Islam yang paling terkenal selama dua periode.25

Ketika tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PB-HMI, Nurcholish

mempunyai banyak waktu untuk tinggal di rumah. Selama dua setengah

tahun Nurcholish menjalani house husband 26 , sebelum akhirnya ia

menyibukan kembali aktivitas diskusi pembaruan. Dengan bantuan

aktivisnya Nurcholish mendirikan LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu

Kemasyarakatan, 1972), lalu LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi,

24 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 32

25 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 79 26 Sebutan untuk Suami yang sibuk di rumah. Seperti yang dilakukan oleh Nurcholish menemani anak-anaknya bermain, mengantar Istri ke pasar, membetulkan atap yang bocor dan alat-alat listrik yang rusak, dan merawat tanaman ruamah. 21

1974). Pada 1973, Dr. Taufik Abdullah, Direktur Leknas Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengajak untuk aktif dalam kegiatan-

kegiatan penelitian lembaga tersebut. Di LIPI, Nurcholish juga

memperdalam ilmu-ilmu sosial kepada Taufik Abdullah. Kemudian, The

Ford Foundation membiayai sebuah proyek berjudul “Islam and Social

Change” yang dipimpin oleh Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Leonard

Binder dari Universitas Chicago, AS. 27 Bahkan oleh Ruben Smith dari

Ford Foundation mendorong untuk Nurcholish menjadi peserta, berikut

Taufik Abdullah membantu proses persyaratan tersebut.

Tahun 1976, Nurcholish berangkat ke Universitas Chicago sebagai

junior participant dalam program seminar/lokakarya Islam and Social

Change yang berlangsung selama 8 bulan. April 1977, Nurcholish izin

pulang untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum (Pemilu). Nurcholish

terlibat mendukung dan berkampanye untuk kemenangan PPP. Sikap

Nurcholish itu banyak membuat orang tidak memahami apa maksud di

balik tindakan kampanyenya untuk PPP. Tidak sedikit orang mengecam

Nurcholish sebagai orang yang tidak konsisten dengan pernyataannya

sendiri. 28 Di lain itu, mentornya Prof. Binder telah mengusahakan

beasiswa dari Ford Foundation untuk program doktoral.29 Setelah Pemilu,

Nurcholish mulai mengurus keperluan beasiswa doktoral yang telah

27 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 137

28 Pendapatnya adalah ketika Nurcholish mengeluarkan pernyataan penuh sihir “Islam, yes; Partai Islam, No”, namun ternyata Nurcholish mengubah pendiriannya menjadi “Islam yes; Partai Islam, yes”. Lihat Muhammad Wahyuni Nafis, “Nurcholish Madjid, Sosok Pribadi Pengimbang”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 3, no. 2 (Juni 2011): hal. 31

29 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 139 22

dijanjikan kepadanya oleh mentornya Prof. Binder. Maka pada Maret 1978,

Nurcholish berangkat dengan beasiswa dari Ford Foundation.30 Nurcholish

masuk ke Departemen Ilmu Politik. Ia juga mengambil materi falsafah

Islam dari Departemen Ilmu-ilmu Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Nurcholish menganggap cukup

mempelajari ilmu politik. Karena ilmu itu hanya sekadar instrumental,

Nurcholish pindah ke filsafat dan pemikiran Islam yang dianggap lebih

intrinsik.31

Tahun 1980, Nurcholish pindah ke Departemen Ilmu-ilmu Bahasa dan

Peradaban Timur Dekat.32 Berkah dari hal itu, Nurcholish pertama kali

berada langsung di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman. 33 Hingga

menyelesaikan studinya dengan disertasi doktor (1984) yang berjudul, Ibn

Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in

Islam, dan pulang ke Indonesia. Nurcholish lulus dengan predikat

cumlaude. Bahkan, atas prestasi dan sumbangan pemikirannya bagi Islam,

di kemudian hari Nurcholish cukup intens diminta menjadi dosen terbang

di berbagai universitas terkemuka yang membuka kajian keislaman seperti

Universitas Montreal dan Universitas Mc Gill, di Kanda.34

30 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 141

31 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 142

32 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 146

33 Fazlur Rahman adalah seorang ahli Islam asal Pakistan yang hijrah ke Amerika.

34 Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaludin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hal. 128 23

Tahun 1986, Yayasan Paramadina diresmikan sekaligus menjadi tempat bagi Nurcholish untuk mengembangkan pusat kegiatan keagamaan yang memadukan unsur tradisi dan modernitas. Karena dari Paramadina itu Islam yang ada di Indonesia dipahami sebagai kekuatan moral dan kekuatan budaya. 35 Secara strategis ide-ide dari Paramadina tidak dimaksudkan untuk bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, sebab pendekatan yang dibawakannya, yakni rasional, ilmiah, dan akademik. Di mana yang paham dengan pola semacam itu tidak lain adalah kelas menengah. Paramadina hanya mengambil peran pemberdayaan intelektual pada lapisan masyarakat menengah.36

Tahun 1992, Paramadina mendirikan divisi penerbitan, dengan buku yang pertamanya, Islam: Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, karya

Nurcholish. Selanjutnya buku-buku dari Nurcholish mulai diterbitkan dan menjadi konsumsi berharga bagi kalangan generasi muda Islam yang dikatakan “pewaris” pemikiran Nurcholish. Antara lain, Ulil Abshar

Abdalla, Abd Moqsith Ghazali, Sukidi, Neng Dara Affiah, Mun‟im A.

Sirry, Zuhairi Misrawi, Burhanuddin Muthadi, Piet H. Khaidir, dan lain- lain.37

Tahun 1994, Paramadina menggandeng Yayasan Pondok Mulya, milik seorang konglomerat, Sudwikatmono. Karena sebelumnya, Nurcholish

35 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 155

36 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 158

37 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 167 24

adalah penceramah di keluarga Sudwikatmono hingga keduanya punya

hubungan yang cukup dekat. Pada 1995, kolaborasi dua yayasan menjadi

Yayasan Paramadina-Mulya (YPM). Hasil kerjasama yang dijalankan

Nurcholish itu terwujud dalam pendirian Universitas Paramadina-Mulya

(UPM). Dan Nurcholish menjabat sebagai Rektor. Perkuliahan 38 terus

berjalan, bahkan membuka program-program studi baru. Sekitar tahun

1999-2000, dibuka beberapa program untuk Pasca Sarjana. Pada tahun

2002, YPM telah bertransformasi menjadi Universitas Paramadina.

Nurcholish menjadi Rektor (2003) di Universitas Paramadina.39 Setahun

kemudian (2004), kesehatan Nurcholish memburuk, dan

kepemimpinannya digantikan oleh Sudirman Said.

Tahun 2005, Sudirman Said mengundurkan diri selaku Rektor

Universitas Paramadina karena telah aktif di Badan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi (BRR) Aceh setelah tsunami, Desember 2004.40 Kemudian

kedudukannya diganti oleh Sohibul Iman selaku Rektor Universitas

Paramadina. Akan tetapi, kabar duka pun tiba dari Nurcholish. Tepat pada

hari Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok

Indah (RSPI), Jakarta Selatan, Nurcholish menghembuskan napas terakhir

38 Perkuliahan berlangsung di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Membuka empat program studi, yaitu Teknik Informatika, Desain Produk, Manajemen, Falsafah dan Agama, dengan mahasiswa sekitar 70 orang.

39 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 170

40 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, hal. 173 25

dengan wajah damai. Nurcholish meninggal dikarenakan penyakit hati

yang dideritanya.41

B. Karya-karya

Nurcolish merupakan seorang pemikir yang produktif dalam dunia

kepenulisan. Gagasan-gagasan Nurcholish banyak tertuangkan pada ranah

tulisan juga sebagai bukti intrinsik bahwa ia memang pantas disebut

seorang intelektual besar. Nurcholish memiliki beberapa karya yang telah

diterbitkan di Indonesia yang berisi kumpulan dari artikel, makalah bahan

kuliah, bahan sewaktu ceramah dan materi khutbah yang pernah dicatatnya.

Namun, dalam pembahasan ini, tidak semua karya-karya Nurcholish

diungkapkan secara keseluruhan, dan hanya sebagian dari karyanya yang

dianggap cukup untuk mewakilkan. Adapun karya-karyanya antara lain:

Pertama, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).

Pada karya ini Nurcholish ingin mengenalkan beberapa tokoh yang

memiliki sumbangsih pemikiran terhadap kejayaan Islam, khususnya yang

berkenaan dengan filsafat dan teologi. Nurcholish memetik nama tokoh-

tokoh pemikir Muslim seperti al-Kindī, al-Asy‟arī, al-Farābī, al-Afghānī,

Ibn Sīna, al-Ghazālī, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah, Ibn Khaldūn, dan

Muhammad „Abduh. Pembaasan yang terdapat pada karya ini menjadi

pengantar guna membuka dan memperluas wawasan tentang Islam dalam

sejarah keemasannya.

41 Tokoh Indonesia, “Guru Pluralisme Indonesia: Nurcholish Madjid”, artikel diakses pada 3 Desember 2017 dari www.Tokohindonesia.com 26

Kedua, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,

1988). Karya ini menyajikan gagasan-gagasan Nurcholish sejak masa- masa awal memasuki dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan. Oleh karena itu, pada karya ini pula terdapat tulisan-tulisan Nurcholish yang menghebohkan. Bahkan salah satu tulisannya, “Islam, Yes; Partai Islam,

No” berhasil mengundang berbagai perdebatan di waktu itu dengan antusiasme tinggi.

Ketiga, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina,

1992). Karya ini merupakan kumpulan dari sebagian makalah Klub Kajian

Agama (KKA) yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina,

Jakarta. Isinya tentang keimanan dan emansipasi manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat yang beretika serta seputar universalisme Islam dan kemodernan.

Keempat, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta:

Paramadina, 1992). Nurcholish pada karya ini mencoba mengulas lembaga pendidikan tradisional, yakni pesantren. Nurcholish melihat materi tentang keagamaan mendominasi di lingkungan pesantren hanya seputar bahasa

Arab dan Fiqh. Akibatnya ilmu pengetahuan umum masih kurang dipahami dengan baik. Semestinya mempelajari agama tidak mesti melupakan ilmu-ilmu eksak. Maka di dalam karya itu Nurcholish menganalisa dan mencari titik temu dari masalah tersebut. 27

Kelima, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994). Di dalam karya ini merupakan kumpulan dari tulisan Nurcholish pada kolom

“Pelita Hati” yang dimuat pada harian Pelita antara 1989-1991 dan sebagian lagi pada majalah Tempo. Isinya Nurcholish mengajak para pembaca untuk menemukan agama sebagai podium yang memiliki pandangan yang luas dan menyeluruh guna mengisi setiap ruang kosong yang dibutuhkan manusia. Maka pemahaman agama harus terbuka dan mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Keenam, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Relevansi

Doktrin Islam dan Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995). Di dalam karya ini Nurcholish menerangkan agama sebagai doktrin juga peradaban dan menjelaskan berbagai corak keagamaan yang terjadi dari berbagai pengalaman di sekitar.

Ketujuh, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997). Karya yang berisi tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga

Muslim serta konsep mengenai eskatologis.

Kedelapan, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di

Masa Transisi (Jakarta Selatan: Paramadina, 2002). Pada karya ini merupakan kumpulan tulisan dari hasi percakapan antara jamaah shalat

Jumat dengan Nurcholish di aula Yayasan Wakaf Paramadina, Pondok

Indah, Jakarta, yang dilaksanakan sehabis shalat sampai sekitar jam satu 28

siang. Berisi tentang tendensi tanggapan Nurcholish terhadap suasana

transisi dan berbagai konflik sosial yang terjadi pada saat itu.

Kesembilan, 32 Khutbah Jumat Cak Nur: Menghayati Akhlak Allah

dan Khutbah-khutbah Pilihan Lainnya (Jakarta Selatan: Noura Books,

2016). Karya ini sebenarnya dokumentasi dari Khutbah-khutbah

Nurcholish sewaktu di Paramadina. Di samping itu, Nurcholish berbicara

banyak hal, mulai tema kesucian primordial manusia, penghormatan

humanisme, hakikat puasa, inti sari shalat, makna zikir dan ikhlas,

penyakit hati, substansi salam, kebangkrutan ruhani. Seluruhnya

berpangkal pada satu titik sentral, yaitu memupuk takwa.

Karya-karya yang pernah ditulis oleh Nurcholish, bermula dari

berbagai kegiatan dan refleksi filosofis terhadap kondisi umat Islam di

Indonesia mengalami fase transisi. Apa yang dilakukan oleh Nurcholish

berusaha menyajikan pemahaman alternatif agar Islam menjadi agama

yang benar-benar melekat dan mempunyai fungsi dalam kehidupan

individu maupun sosial.

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran

Kelahiran bibit-bibit dari cikal-bakal perjalanan intelektual Nurcholish

sebagai pemikir Muslim, dimulai pada saat ia kuliah di IAIN Jakarta,

khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB-HMI, selama dua kali periode,

pada 1966-1968, dan 1969-1971. 42 Selama menjalani masa menjadi

seorang aktivis itu, Nurcholish membangun citra dirinya sebagai seorang

42 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, dalam Budi Munawar Rachman dan Elza Peldi Taher, ed., Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid, (Depok: Imania, 2013), hal. xv 29

pemikir. Nurcholish menulis karangan yang sangat mengguncang di

kelompok HMI pada saat itu, “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan

Westernisasi”. Dalam tinjauan Islam, menurut Nurcholish, modernisasi

berarti “berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah. Pemahaman

manusia terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan,

sehingga modern berarti ilmiah. Dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia

melalui akalnya (rasionya), sehingga modern berarti ilmiah, berarti pula

rasional”. Rasional bagi Nurcholish merupakan aspek yang berkaitan

dengan “penerapan ilmu pengetahuan” yang menjadi keharusan, sebab

dengan itu pencapaian menuju Kebenaran Mutlak, yaitu Allah.43

Karena hal ini, Nurcholish dijuluki sebagai “Natsir Muda”. Setahun

kemudian, 1969, ia menulis sebuah buku pedoman pergerakan HMI, yang

dinamakan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai sekarang

masih digunakan sebagai buku dasar keislaman HMI. Risalah kecil yang

ditulis oleh Nurcholish dilatarbelakangi dengan tiga hal.

Pertama, adalah belum adanya bahan bacaan yang komprehensif dan

sistematis mengenai ideologi Islam. Kedua, adanya perasaan iri terhadap

anak-anak muda komunis. Yang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI),

mereka dikader dengan fasilitas berupa buku yang menjadi pedoman

bernama Pustaka Kecil Marxis (PKM). Ketiga, Nurcholish terkesan oleh

buku kecil karangan Willy Eichler44 yang berjudul Fundamental Values

43 Budi Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, hal. 9 44 Willy adalah seorang ahli dalam bidang teori sosialisme demokrat, dan bukunya berisi upaya perumusan kembali ideologi Partai Sosialis Demokrat (PSD) di Jerman. 30

and Basic Demands of Democratic Sosialism. 45 Dari karya NDP itu

Nurcholish mendapat banyak apresiasi bukan hanya dari kalangan HMI,

tapi juga banyak Muslim di luar HMI, terutama di kalangan intelektual

muda.

Namun, setelah Nurcholish meluncurkan tulisan yang berjudul

“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi

Umat”. 46 Kemudian menimbulkan reaksi perdebatan yang cukup besar

mengenai sekularisai dan sekularisme. Nurcholish dengan “sekularisasi”

dan “Islam, Yes; Partai Islam No” bermaksud mengajak umat Islam untuk

mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang

telah terkekang oleh kejumudan. Maka, Nurcholish menyarankan

kebebasan dalam berpikir (the idea of progress), sikap terbuka, dan

kelompok pembaharuan liberal, yang dapat memunculkan pikiran-pikiran

segar.47

Disusul dengan tulisan-tulisan yang lain, “Beberapa Catatan Sekitar

Masalah Pembaharuan Pemikiran Islam”, dan “Sekali Lagi tentang

Sekularisasi”, juga “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat

Islam Indonesia”, dan “Perspektif Pembaharuan Pemikiran dalam Islam”.

Artikel-artikel yang terbit ini sangat keras dan memicu kontroversi

berkepanjangan. Pengaruhnya terus menjadi bahasan yang menimbulkan

45 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. xvii 46 Tulisan ini disampaikan Nurcholish pada acara silahturahim antara aktivis, anggota, dan keluarga empat organisasi: Persami, HMI, GPI, dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta, di Jakarta, 3 Januari 1970. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan, hal. 386.

47 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. xxi 31

bermacam reaksi. Di samping reaksi-reaksi yang bersifat ucapan, yang disampaikan dalam ceramah keagamaan dan khutbah Jumat, bahkan dua buku meluncur untuk memberikan bantahan atau komentar terhadap gagasan Nurcholish mengenai pembaharuan atau reformasi Islam.48

Buku pertama, berjudul Pembaharuan Pemikiran Islam, berisikan tulisan Nurcholish dan komentar dari perwakilan organisasi-organisasi lain di luar HMI. Buku ini diterbitkan oleh Islamic Research Institute, tahun

1970. Lalu buku kedua, berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi, berisikan analisis yang tajam dan kritis terhadap gagasan-gagasan Nurcholish. Buku ini terbit pada tahun 1972 oleh Bulan Bintang. Reaksi cukup keras dari

Rasjidi memperlihatkan keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap perkembangan Islam di Indonesia, yang timbul dari generasi muda.

Meskipun demikian, Nurcholish tidak setuju dengan beberapa koreksi dan komentarnya karena isinya bersifat sangat personal, dan ia lebih memilih untuk tidak menanggapi balik. Bila menanggapi balik akan lebih mengundang polemik berkepanjangan, yang bisa saja ongkos sosial politik harus dikeluarkan terlalu besar.

Seiring berjalannya waktu, semenjak Paramadina didirikan hampir setiap bulan Nurcholish menulis makalah untuk keperluan diskusi di Klub

Kajian Agama (KKA), yang telah mencapai pertemuan ke-200 dalam 17

48 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. xxii 32

tahun (ketika Nurcholish mengisinya terakhir kali, 2004). 49 Nurcholish menerbitkan banyak buku yang berisi rekaman atau gagasannya pada kegiatan KKA (1986), sampai menjelang wafat (2005), selama hampir 20 tahun.

Gagasan-gagasan Nurcholis memang memiliki pengaruh kuat, terutama dalam pembentukan pemahaman sekaligus mengajarkan umat

Islam agar mempunyai sikap yang terbuka (inklusif). Nurcholish membuktikan dalam sejarah peradaban Islam, yang sangat menghargai minoritas non-Muslim (Yahudi-Kristen). Sebab sikap inklusivisme ini sejatinya ada pada al-Qur‟ān yang mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality). Sikap inklusivisme dan pluralisme inilah yang telah menjadi prinsip jaya Islam, dan telah mendasari kebijaksanaan politik kebebasan beragama.50

Oleh karena itu, meskipun sekarang Nurcholish telah tiada, namun berkat perjuangan yang ditempuh dengan kegigihan dan karya-karya yang ditinggalnya ini, menjadi sebuah pohon besar yang berbuah segar.

Sehingga bagi siapa pun dapat memetik buah segar itu dengan mudah.

Bahkan Abd. Moqsith Ghazali mengatakan, “Kini Cak Nur sudah tiada.

Tapi, pemikiran-pemikirannya kiranya akan tetap berguna dan bermanfaat

49 Budi Munawar Rachman, “Kata Pengantar”, hal. lxvii

50 Budi Munawar Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, hal. 44 33

tidak hanya pada lingkup terbatas di Paramadina, melainkan juga di

komunitas lain bahkan manca negara”.51

Kenyataannya merawat bukan termasuk perkara mudah tapi itu

merupakan solusi terbaik daripada membiarkan dan tidak peduli terhadap

suatu peninggalan. Maka, hanya dengan demikian peninggalan berharga

milik Nurcholish akan tetap diwarisi dan dikembangakan oleh generasi

pilihan, atau kandidat penerus gagasannya yang siap bersaing dengan

gagasan-gagasan lain.

51 Ihsan Ali-Fauzi, Ed., All You Need Is Love: Cak Nur di Mata Anak-anak Muda, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2008), hal. 163

BAB III

TEORI-TEORI MASYARAKAT MADANI

A. Teori Anwar Ibrahim

Pada wilayah Asia Tenggara, istilah “Masyarakat Madani”

dimunculkan pertama kalinya oleh cendekiawan Malaysia, Anwar Ibrahim.

Berbeda dengan prinsip masyarakat sipil di Barat yang memiliki orientasi

penuh pada kebebasan individu, bagi mantan Perdana Menteri Malaysia itu,

Masyarakat Madani adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh dan

berkembang berdasarkan prinsip-prinsip moral yang menjamin

seimbangnya antara kebebasan individu dengan kebebasan masyarakat.

Seperti inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni,

pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan

nafsu atau keinginan individu. Menurut Anwar, Masyarakat Madani

mempunyai ciri-ciri yang khas: kemajemukan budaya (multicultural),

hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan

menghargai.1

Jadi, Masyarakat Madani identik dengan kehidupan yang majemuk

dengan adanya jaminan akan kebebasan individu bersama masyarakat.

Sebab sejatinya manusia memang makhluk sosial yang oleh karenanya

mereka hidup bersama dalam berbagai kelompok yang terorganisasi dan

hal ini biasa disebut masyarakat. Ditambah manusia senantiasa

1 Ubaidillah dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 216

34

35

mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya.

Apabila dibandingkan dengan makhluk hidup lain seperti hewan, misalnya,

manusia tidak akan mungkin hidup sendiri. manusia tanpa manusia lainnya

pasti akan “mati”; manusia yang “dikurung” sendirian di suatu ruangan

tertutup, pasti akan mengalami gangguan pada perkembangan pribadinya

sehingga lama-kelamaan ia akan mati. Sebab manusia semenjak dilahirkan

sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan sehingga ia disebut juga

social animal.2

Maka dari itu, sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip

moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan

kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif

individu baik dari segi pemikiran, seni, ekonomi, dan teknologi. Sistem

sosial yang cekap dan saksama serta pelaksanaan pemerintahan mengikuti

undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan

keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sebagai

sistemnya.

Dikatakan bahwa Anwar mengamati fenomena sosial-politik di dunia

Islam. Ia mengakui bahwa kondisi umat Islam dewasa ini memang jauh

dari cita-cita masyarakat madani. Hal ini disebabkan karena sampai

sekarang masyarakat Muslim, khususnya di Asia dan Afrika, masih harus

berjuan menghadapi persoalan-persoalan serius seperti kemiskinan,

ketidakadilan, ketidaktoleranan, kerakusan ekonomi, kebejatan sosial,

2 Soerjono dan Sulistyowati, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 22

36

politik dan budaya serta kelesuan intelektual yang disebabkan oleh

kekuasaan otoriter, ketiadaan stabilitas politik dan peminggiran hak-hak

politik rakyat. Karena itu tugas kaum Muslimin adalah melakukan

pembenahan ke tubuh umat untuk menghapus kemiskinan, menciptakan

keadilan sosial dan demokrasi serta merangsang kemajuan intelektual.

Dari rumusan yang diperkenalkan oleh Anwar, terlihat bahwa ia tidak

menolak kenyataan civil society merupakan produk budaya Barat. Akan

tetapi wacana sosial-politik, cita-cita masyarakat yang didambakan

sebagaimana yang pernah terjadi di Barat itu tetap merupakan masalah

universal.3

Pada titik ini dapat diandaikan bahwa civil society adalah suatu cita-

cita ideal terciptanya bentuk kemitraan yang luwes, dengan batasan dan

tanggung jawab yang berbeda antara negara dan masyarakat yang

bersangkutan dalam mewujudkan tatanan sosial-politik yang demokratis

dan sistem ekonomi yang adil.

Dalam perspektif demikian, hubungan masyarakat madani dan negara

harus dibangun dalam kesalingpahaman, yakni keseimbangan antara

negara di satu sisi dan kemandirian masyarakat yang lain. Meskipun secara

tegas diisyaratkan bahwa masyarakat madani merupakan warisan dan

konstruksi sosial masyarakat Barat. Dikatakan Anwar melihat bahwa

3 Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 158

37

secara empiris elemen-elemen masyarakat madani sebenarnya dapat

ditemukan dalam sejarah umat Islam itu sendiri.4

Dikatakan Anwar menandaskan bahwa apa yang disebut dengan high

Islam merupakan bukti empiris dari perwujudan masyarakat madani yang

bersifat rasional, menghargai ilmu dan berasaskan budaya kota, mampu

meletakkan asas kemasyarakatan dan kenegaraan yang mementingkan

individu.5

B. Teori Dawam Rahardjo

Seorang pemikir alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), M.

Dawam Rahardjo, menyatakan bahwa Masyarakat Madani secara harfiah,

civil society yang merupakan terjemahan dari istilah Latin (civilis societas)

yang sudah ada Sebelum Masehi. Istilah ini mula-mula dicetuskan oleh

Cicero, seorang orator dan pujangga Roma, yang pengertiannya mengacu

kepada gejala budaya perorangan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya

sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang beradab dan

memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.6

Seperti yang dikutip Rahardjo, Cicero dalam filsafat politiknya

memahami civil society identik dengan negara, maka kini difahami

4 Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 158

5 Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, hal. 160

6 Masroer C Jb dan Lalu Darmawan, “Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia”, Sosiologi Reflektif V. 10, no. 2 (April 2016): hal. 37

38

sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat yang berhadapan dengan

negara, civil society lanjut Cicero adalah suatu komunitas politik yang

beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki

kode hukum sendiri. Konsep kewargaan (civility) dan budaya kota

(urbanity), maka kota dipahami bukan sekedar konsentrasi penduduk,

melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.

Masyarakat madani yang merupakan terjemahan dari civil society

secara ideal merupakan sebuah komunitas masyarakat yang tidak hanya

sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara,

melainkan terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat,

terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan pluralisme.7

Dawam lanjut menjelaskan bahwa masyarakat madani adalah sebuah

pergaulan yang sama sekali sudah berbeda dan karena itu dilawankan

dengan kehidupan asli atau kehidupan alami (state of nature). Yang

dimaksud masyarakat alami ini adalah semua masyarakat yang masih

sederhana, lugu, dan bebas, setidak-tidaknya mereka hidup denga

kebudayaan yang terbatas ruang lingkupnya.8

Adapun contohnya, menurut Dawam, yang jelas adalah masyarakat

Badui yang disebut al-Qur’an. Kontras dengan masyarakat sederhana,

masyarakat madani terdiri dari orang-orang yang telah meninggalkan

kehidupan keluarganya atau hubungan terbatas yang dipimpin oleh bapak

7 Masroer C Jb dan Lalu Darmawan, “Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia”, Sosiologi Reflektif V. 10, no. 2 : hal. 38

8 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 124

39

dan berdasarkan kekuasaan kebapakan (paternal authority) serta bergabung

dengan kumpulan masyarakat yang lebih luas, yang mempunyai ikatan-

ikatan baru, tetapi bukan lagi sebuah ikatan keluarga, melainkan ikatan

organisasi.

Masyarakat madani juga bergaul untuk memenuhi kebutuhannya yang

lebih banyak itu dengan melakukan produksi dan pertukaran dalam suatu

lembaga atau mekanisme penawaran dan permintaan yang disebut pasar

dengan mempergunakan uang sebagai alat tukar. Dengan perkataan lain,

Dawam mengatakan bahwa msayarakat madani adalah masyarakat

ekonomi (economic society) dan masyarakat uang (money society).

Di balik pertukaran tersebut, masyarakat madani telah

mengembangkan suatu teknologi guna memenuhi kebutuhan hidup yang

lebih banyak melakukan aktivitas pikir, bertukar-pikiran atau belajar satu

sama lain. Hal itu lantaran mencapai kemajuan-kemajuan (progress)

dalam hidup.9

Meskipun begitu, menurut Dawam, istilah civil society, yang di

Indonesia diterjemahkan dengan “masyarakat madani”, telah beredar

dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke 18 di Eropa Barat

dan masih berlanjut hingga akhir abad 19. Ia merupakan imbas dari

perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat tersebut, khususnya

di negara-negara industri maju di Eropa Barat dan Amerika Serikat, dalam

9 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 125

40

perhatian mereka terhadap perkembangan ekonomi, politik, dan sosial

budaya di bekas Uni Sovyet dan Eropa Timur.10

Di sisi lain, masyarakat madani adalah masyarakat yang mengacu

kepada nilai-nilai kebajikan umum, yang disebut al-Khair. Masyarakat

seperti itu harus dijaga dan dipertahankan dengan membentuk

persekutuan-persekutuan, perkumpulan, perhimpunan atau asosiasi yang

memiliki pedoman perilaku. Sebab dasar utama masyarakat madani adalah

persatuan atau integrasi sosial yang didasarkan pada sutau pedoman hidup,

menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan

perpecahan dan hidup dalam suatu jalinan persaudaraan.11

Dengan mengupayakan kebaikan dan cara-cara ma’ruf dan sikap

menghindari yang munkar itu perlu ditegakkan. Selanjutnya dengan

melihat inti dari Konstitusi Madinah yang sekaligus juga merupakan

kontrak sosial dan perjanjian kemasyarakatan itu menegaskan; Pertama,

adanya pengakuan bahwa mereka merupakan satu kesatuan sosial yang

disebut al-ummah (umat). Kedua, mereka tunduk atau berorientasi pada

nilai-nilai luhur (virtue) yang disebut al-khair atau kebajikan. Ketiga,

mekanisme itu menegakkan yang baik (al-ma’ruf) dan mencegah yang

buruk (al-munkar).

Dalam kesepakatan itu ditetapkan pula, bahwa selain segala masalah

harus diselesaikan melalui proses musyawarah, akan tetapi jika tetap

10 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 133

11 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 152

41

terjadi pertikaian antar kabilah yang tak dapat diselesaikan, instansi

terakhir harus diserahkan kepada kebijaksanaan Nabi Muhammad. Bahkan

pengakuan terhadap otoritas Nabi Muhammad tersebut, tidak hanya

berasal dari kaum Muslimin, tetapi juga dari orang-orang Yahudi, Nasrani,

dan orang-orang Non-Muslim lainnya.12

C. Teori Din Syamsuddin

Din Syamsuddin mendefinisikan masyarakat madani dengan melihat

paradigma sosial politik Islam, dengan melacak sumber-sumber

doktrinalnya, sehingga terdapat dua kunci yang dapat menghampirkan kita

pada konsep masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan

“madinah”. Dua kata kunci ini memiliki eksistensi sosial kualitatif

(memiliki keutamaan-keutamaan tertentu) inilah yang menjadi nilai-nilai

pokok dan nilai-nilai pengiring bagi terbentuknya masyarakat madani.

Din menjelaskan lebih lanjut bahwa kata “ummah” misalnya, yang

biasanya dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti dalam

istilah-istilah “ummah Islamiyah”, “ummah wasathan”, “ummah

Muhammadiyah”, “ummah wahidah”, “khaira ummah”, dan lain-lain,

merupakan pranata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad

segera setelah hijrah di Madinah.13

12 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, hal. 154

13 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hal. 95

42

Terminologi “ummah” dalam bahasa Arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan agama yang sama. Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah dimaksudkan untuk membina lebih erat solidaritas di kalangan para pemeluk Islam (kaum Muhajirin dan kaum Anshar). Khususnya bagi kaum Muhajirin, konsep “ummah” merupakan sistem sosial tradisional, sistem kekabilahan dan kesukuan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam.

Hal ini oleh Din, menunjukkan bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi politik. Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam dan memiliki konotasi politik adalah “khilafah”, “dawlah”, dan “hukumah”. Kendati demikian, sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditegaskan atas dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari rasa keprihatinan moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada nilai-nilai Islam.14

Konsep “ummah” merupakan piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat madani), maka konsep “madinah” merupakan piranti kerasnya (hardware). “Madinah” yang berarti kota berhubungan dan mempunyai akar kata yang sama dengan kata “tamaddun” yang berarti peradaban. Perpaduan pengertian ini merupakan suatu persepsi yang ideal bahwa “madinah” adalah lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah” juga merupakan kata-benda-tempat

14 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 97

43

dari kata “din” (agama). Hingga korelasi darinya menunjukkan bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu masyarakat kosmopolitan yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari umat

Islam.15

Namun, dalam mewujudkan masyarakat madani tersebut membutuhkan penekanan yang mencontoh al-Farabi, dalam al-madinah al-fadhilah yang masyarakatnya bertujuan untuk menegakkan persatuan dan kesatuan sehingga kebahagiaan dapat terwujud, Din pun menjelaskan bahwa “persyarikatan dimana masyarakat bekerjasama mewujudkan kebahagiaan hakiki” jadi perlu menjadi organ yang terbaik. Pencarian filosofis yang mengharuskan akan watak dari masyarakat madani sebagai cita-cita sosial Islam sebenarnya juga pernah dilakukan sekelompok filosof bawah tanah yang dikenal dengan “akhwan al-Safa” (Persaudaraan Suci) yang semasa hidupnya mereka masih merupakan problem sejarawan.

Dalam karyanya, Rasail Ikhwan al-Safa’, mereka membahas prinsip- prinsip dasar masyarakat utama yang disebut dengan istilah al-madinah al- fadhilah al-ruhaniyyah (Masyarakat Utama Spiritual).16

Menurut Din, adalah hal yang menarik bila dikaji adalah pemakaian

“madinah” oleh al-Farabi dan Ikhwan al-Safa’ untuk menunjukkan suatu bentuk masyarakat utama. Konsep “madinah” yang pernah digunakan oleh

Nabi Muhammad untuk mengidentifikasi suatu masyarakat yang ideal yang perlu dibangun relasi dari misi kenabian. Konsep “masyarakat

15Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 98

16 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 99

44

utama” dalam pandangan al-Farabi dan Ikhwan al-Safa’ di atas

mengisyaratkan perlu dua elemen penting yang saling berhubungan timbal

balik dalam mewujudkan masyarakat utama tersebut, yaitu dengan adanya

faktor instrumental dan adanya peran politik.

Cita-cita sosial Islam adalah himpunan manusia yang memadukan dua

struktur fisik dan non-fisik yang diibaratkan dua sisi mata uang yang tak

terpisahkan satu sama lain, yaitu “ummah” dan “madinah”. Jika yang

pertama lebih berkonotasi sosial, maka yang kedua berkonotasi politik.

Oleh karena itu, bagi Din, untuk mengusahakan masyarakat madani yang

menjadi cita-cita sosial Islam dibutuhkan adanya suatu sistem sosial dan

sistem politik sekaligus.17

D. Teori Azyumardi Azra

Pandangan dari Azyumardi Azra tentang Masyarakat Madani adalah

lebih dari sekadar gerakan prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada

pembentukan masyarakat yang berkualitas dan ber-tamaddun (civility).18

Bahkan menurutnya, salah satu syarat penting bagi demokrasi untuk

tumbuh dan menguat dalam masyarakat adalah civil society (CS), yang

17 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, hal. 100

18 Ubaidillah dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, hal. 217

45

biasa diterjemahkan sebagai masyarakat sipil, masyarakat kewargaan atau

masyarakat madani.19

Di mana proses politik yang berlangsung disebut sebagai proses

demokratisasi, sedangkan pemikiran (inspirasi) plus subyek (aktor) yang

menggerakkan perubahan menuju demokratisasi tersebut digambarkan

sebagai masyarakat madani. Dan demokrasi dapat dianggap merupakan

hasil masyarakat yang menghendaki partisipasi dalam kehidupan para

anggotanya.20

Persoalan demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat

yang dapat mengungkapkan kehendaknya, dalam bentuk yang rasional,

dan tidak perlu harus mengacu pada nilai-nilai transenden melainkan pada

kehendak manusia. Sekalipun suatu pemikiran yang sulit dijangkau sudah

tentu oleh sebagian besar masyarakat di dunia baik mengenai ide maupun

realisasi apa yang dimaknai dengan demokrasi itu sehingga sebagai konsep

yang ideal dan universal, untuk tidak dapat menjadi abstrak, karena itu

dituntut sebaiknya direalisasikan terlebih dahulu kondisi-kondisi yang

memungkinkannya.21

Kendatipun banyak sudut pandang tentang konsep masyarakat madani,

tetapi pada dasarnya dapat disimpulkan, bahwa keseluruhannya sama-sama

19 Azyumardi Azra, “Masyarakat Madani”, artikel diakses pada 3 April 2018 dari http://opinikompas.blogspot.com/2013/10/masyarakat-madani.html

20 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 40

21 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, hal. 41

46

dihubungkan melalui satu definisi utama tentang masyarakat madani,

yakni sebagai kelompok-kelompok sosial dan politik atas arena

masyarakat di mana di dalamnya berkembang otonomi, atau menunjukkan

adanya perjuangan untuk meraih otonomi, kemampuan untuk bersikap

kritis tidak hanya terhadap negara namun juga terhadap masyarakat politik

beserta masyarakat ekonomi.22

Tetapi yang mesti diingat, menurut Azra, demokrasi memiliki batas

dan kelemahan tertentu; ia bukan sistem yang seratus persen tanpa

kelemahan. Pada satu sisi, demokrasi memberikan ruang yang sangat luas

bagi kebebasan politik dan partisipasi politik warga. Namun, pada saat

yang sama, kebebasan politik demokrasi yang berlangsung cenderung

kebablasan; beriringan dengan lambatnya pengambilan keputusan baik di

lingkungan eksekutif maupun legislatif.

Biar begitu, bagi Azra, demokrasi belum berhasil mencapai tujuan dan

proses-prosesnya juga masih kacau, tetapi demokrasi tetap merupakan

sistem politik yang lebih sedikit mudaratnya dibandingkan sistem-sistem

politik lain semacam monarki, teokrasi, atau oligarki. Dengan lingkup

sosial budaya dan agama yang majemuk, demokrasi menjamin ruang lebih

besar bagi ekspresi, akomodasi, dan kompromi bagi masyarakatnya yang

sangat multikultural.23

22 Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, hal. 204

23 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 277

47

Di satu sisi, menurut Azra, sebenarnya prospek masyarakat madani

tidak sekelabu itu, karena masyarakat madani tidak identik dengan

kemunculan kelompok-kelompok, yang atas nama demokrasi dan

demokratisasi, berkeinginan mengubah status quo politik juga tidak selalu

terkait kepada kelas menengah tadi. Dengan kata lain, perkembangan

masyarakat madani lebih dari sekadar pertumbuhan gerakan-gerakan yang

pro terhadap demokrasi dan kelas menengah yang kritis dan operasional

terhadap rezim-rezim yang opresif.24

Sementara Azra mengatakan bahwa gerakan-gerakan prodemokrasi

merupakan salah satu prasyarat bagi pembentukan masyarakat madani.

Bahkan lebih jauh lagi, gerakan-gerakan prodemokrasi hampir diidentikan

dengna oposisi terhadap pemerintah.25 Masyarakat madani juga mengacu

ke kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamaddun (civility).

Yang meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk

menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.26

24 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), hal. vii

25 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, hal. 6

26 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, hal. 7

BAB IV

MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF CAKNUR

A. Definisi Masyarakat Madani

Nurcholish mendefinisikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang berperadaban dengan meneladani sikap Nabi Muhammad. 1 Kata

“madani” secara konvensional berasal dari perkataan “madīnah” yang diartikan sebagai “kota”. Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna “peradaban”. Dalam bahasa Arab “peradaban” memang dinyatakan dalam kata-kata “madanīyah” atau “tamaddun”, selain dalam kata-kata “ḥaḍārah”. Karena itu tindakan Nabi Muhammad mengubah nama Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama pengikutnya yang terdiri dari kaum Muhājirīn dan kaum Anṣār hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.2

Kenyataan yang tidak terelakkan adalah manusia hidup bermasyarakat.

Sejak dahulu hubungan manusia, antara individu dan masyarakat sudah menjadi perdebatan di berbagai kalangan khususnya peminat dan penelaah sosiologi. Pertentangan pendapat banyak dimulai dari hal yang diutamakan pada hubungan antara individu dan masyarakat, yaitu apakah individu itu

1 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 163

2 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 164

48

49

merupakan realitas inti bagi terbentuknya suatu masyarakat? Atau apakah

keberadaan individu tergantung pada masyarakat.3

Namun, masalah tersebut mesti disikapi dengan cara yang arif.

Hubungan antara individu dan masayarakat sejatinya memiliki kesamaan

dan berkumpul pada titik kemanusiaan. Bentuk sikap yang didasarkan

pada penghormatan karena kemanusiaannya tanpa membedakan warna

kulit, bangsa, pintar-bodoh, maju-terbelakang. Oleh karena itu, apabila di

antara mereka ada yang terbelakang (kekurangan), maka bagi yang telah

maju (kelebihan) sudah semestinya membantu, bukan malah menjadikan

sebuah peluang untuk dimanfaatkan atau melanggar hak-haknya sebagai

konsekuensi dari kemanusiaannya.4

Sebagaimana di Madinah, Nabi Muhammad meletkakkan dasar-dasar

masyarakat madani, dengan semua unsur-unsur penduduk Madinah

menggariskan ketentuan untuk hidup bersama dalam suatu dokumen yang

dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsāq al-Madīnah). Dalam dokumen

itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain,

kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta

tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama.

Dan di Madinah juga sebagai pembelaan kepada masyarakat madani, Nabi

3 Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan, hal. 33

4 Muhammad Abu Zahra, Membangun Masyarakat Islami, terj. Shodiq Noor Rahmat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal. 14 50

Muhammad dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang

membela diri menghadapi musuh peradaban.5

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, pada mulanya Nurcholish

melihat persoalan yang dihadapi ini sebagai sebuah hal yang

menguntungkan. Masyarakat yang maju membawa dampak kemakmuran.6

Kemampuan dari produk material suatu masyarakat yang meningkat

adalah bernilai positif sekaligus mengangkat harkat kemanusiaan, baik

perseorangan maupun kelompok. Sebab, martabat kemanusiaan adalah

pusat kebahagiaan dan ia akan dipertemukan hanya dalam kondisi

seseorang memiliki kebebasan untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi,

kemakmuran yang diharapkan itu, ternyata meminta korban-korban yang

tidak kecil.7 Bahkan pengorbanan yang dimaksud adalah kemanusiaan itu

sendiri.

Kehidupan yang telah ditopang dengan kemajuan materi pada tubuh

masyarakat selalu mengalami perubahan, hubungan-hubungan politik yang

selalu mengalami perubahan, kesusilaan yang mengalami perubahan.

Maka dari itu, evolusi, kemajuan, pengetahuan, cara-cara berpikir,

problem-problem tingkah laku dan masyarakat menjadi tampil ke depan;

sama-sama membutuhkan sebuah usaha untuk memahami dunia di mana

kita hidup.8 Masyarakat yang telah bergerak mengikuti mekanisme cara

5 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 164

6 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 156

7 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 157

8 Wadjiz Anwar, Nilai Filsafat Dalam Dunia Modern Dewasa Ini, (Yogyakarta, 1979), hal. 21 51

kerja seperti mesin 9, tidak jarang mengakibatkan seseorang kehilangan

dirinya sendiri. Sehingga membawanya pada persoalan fundamental

tentang pandangan akan makna hidup.

Nurcholish menangkap dari hal tersebut mulai muncul sebuah krisis

akan makna hidup. Pertanyaan mendasar, “hidup ini untuk apa?” adalah

pertanyaan yang tidak menentramkan hati masyarakat yang telah maju

secara material. 10 Masyarakat akhirnya mengalami situasi yang serius,

yaitu dehumanisasi. Bahkan Nurcholish mengatakan bahwa kemajuan

meterial dinilai dapat menjadi ancaman terhadap agama. 11 Di lingkup

masyarakat, peranan kelompok sekunder 12 semakin menggeser

pengelompokan primer. Peranan orang tua (primer), khususnya peran ayah,

sebagai agen sosialisasi anak, menjadi semakin berkurang, digantikan

dengan bentuk-bentuk hubungan sosial (sekunder) yang lain, semisal,

sekolah dan lingkungan pergaulan.13

Nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh dan

berkembang pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga

masyarakat kehilangan keseimbangan. Al-Qur’ān menyindir masyarakat

9 Bagi Nurcholish, kehidupan mekanistik itu adalah kehidupan yang dalam segi fungsi sama seperti mesin, ia digunakan atau dicampakkan semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin dilakukan. Sedangkan segi kemanusiaan tidak menjadi bahan pertimbangan dalam fungsinya.

10 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 158

11 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 178

12 Sekunder yang dimaksud adalah unit dan organisasi kerja atau produksi. Sedangkan Primer yang dimaksud adalah keluarga, suku, agama, dan seterusnya.

13 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 179 52

tersebut seperti para pemintal benang yang kemudian merusak hasil

pintalannya.14

Allah berfirman:

ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi bercerai-berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan- Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (QS. al-Naḥl: 92).

Kendati demikian, Nurcholish menyarankan agar masyarakat pemeluk

agama tidak berupaya berdiri sendiri-sendiri sebagai pribadi yang terpisah.

Diharapkan dengan membentuk komunitas dapat menghasilkan sebuah

pranata 15 di masyarakat. Di mana pranata tersebut berdasarkan pada

pranata keislaman. Pranata yang memiliki nilai-nilai keislaman. Maka

dalam pranata keislaman, juga tidak selalu dan tidak berarti dapat

memenuhi semua kebutuhan masyarakat. Namun, pranata keislaman dapat

14 Muhammad Qorib, Solusi Islam: Mencari Alternatif Jawaban Terhadap Problem Kontemporer, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal. 14

15 Pranata yang dimaksud adalah bentuk prosedur atau kondisi yang mapan, yang menjadi karakteristik suatu masyarakat. Pranata keislaman dapat menyangkut aspek material seperti Masjid, Madrasah, Pesantren, Kantor Urusan Agama (KUA), Departemen Agama (Depag), dan sebagainya. Dapat pula menyangkut segi keorganisasian seperti birokrasi Depag, hubungan Kiai-Santri, Gerakan Tarekat, Majelis Ta’lim atau kegiatan pengajian serupa lain, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Jama’ah Tabligh, dan seterusnya. Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hal.4 53

merespon berbagai masalah atau isu (kontemporer) yang tengah dihadapi

masyarakat. Dengan menunjukan sikap yang akomodatif, memahami dan

menerima dari berbagai sumber pada persepsi akan nilai-nilai yang

menghasilkan sikap-sikap positif.

Oleh karena itu, Islam merupakan agama yang memposisikan

kesalehan seseorang dikatakan berhasil apabila telah memperhatikan dan

melaksanakan kesalehan dalam bermasyarakat. 16 Dalam konteks yang

lebih luas kesalehan bermasyarakat secara normatif, merupakan niat baik

seseorang guna menciptakan solidaritas, menjaga kebaikan bersama dan

pergerakan menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Sekalipun memang

sulit mengajak selalu berdialog atau berinteraksi dengan kenyataan.17

Kesalehan bermasyarakat dalam hal ini mengandaikan suatu semangat

kebersamaan yang kuat tapi tetap menjaga dan menghargai aturan,

sehingga kesan keadilan tidak terkontaminasi, fitrah satu kelompok atas

kelompok lainnya dijauhi dan malas serta iri hati. Sebaliknya, kesalehan

bermasyarakat menghargai usaha-usaha dan kerja keras, menjunjung

hukum dan membantu sesama.18

Suasana kehidupan bermasyarakat akan mengalami kerugian yang

mendalam, jika mengabaikan perbuatan-perbuatan buruk dan

16 Kusmana, “Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi al-Qur’ān tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat”, dalam Kusmana, ed., Bunga Rampai: Islam dan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: IAIN Indonesian Social Equity Project, 2006), hal. 82

17 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal.5

18 Kusmana, “Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi al-Qur’ān tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat”, hal. 83 54

penyimpangan dari ajaran Islam. Karena Islam sangat menganjurkan amar

makruf nahi munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah

kemungkaran) dan menekankan adanya penasehat (dakwah) terpadu, agar

mampu mengontrol dan membimbing menuju masyarakat yang selalu

dalam kebaikan. Islam menganggap seluruh masyarakat berdosa apabila

mereka berdiam diri terhadap tersebarnya dosa yang bebas merajalela.19

Sebagaimana Allah beri contoh dalam firman-Nya tentang Bani Israil yang

berdosa karena meninggalkan amar makruf:

ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israi dengan lisan (Nabi) Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. al-Mā’idah: 78-79).

Dari peristiwa itu, Nurcholish, mengajak masyarakat agar

merenungkan lebih mendalam, bahwa tujuan paling penting dari amalan-

amalan keagamaan adalah mendidik masyarakat supaya mempunyai

pengalaman dan menanamkan spiritualitas yang sedalam-dalamnya. Sebab,

dari spiritualitas menjadi pangkal, bersumber, dan memancar seluruh sikap

hidup yang benar, dan sekaligus mendekatkan pada kesadaran ketuhanan,

19 Muhammad Abu Zahra, Membangun Masyarakat Islami, terj. Shodiq Noor Rahmat, hal. 19 55

sehingga seseorang akan dibimbing ke arah kebajikan atau amal saleh

yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.20 Sebagai antisipasi bagi

positif masyarakat modern, yang perlahan semakin membuka peluang

timbulnya perpecahan.

Meminjam teori dari Ted Robert, Sosiolog yang dikutip oleh

Syarifuddin, adalah deprivasi relatif. Di mana perasaan yang tidak sesuai

antara harapan yang terbentuk dengan kemampuan masyarakat untuk

meraih atau mempertahankannya. Akibatnya perubahan yang cepat dan

meluas terjadi, seperti perasaan tidak aman, frustasi, disorganisasi sosial,

dan lainnya.21 Namun, dengan adanya pendekatan spiritualitas yang intens,

berarti telah berupaya mengembangkan moralitas (akhlak, bud pekerti)

luhur, yang justru dianggap sebagai sesuatu yang kurang diperhatikan

dalam cara hidup bermasyarakat, dan telah menjadi kekecewaan banyak

orang, yang pada gilirannya, melahirkan frustasi keagamaan.

Nurcholish juga mengatakan bahwa kejayaan masyarakat bisa tegak

hanya dengan landasan moral yang luhur. Maka sesuai dengan sabda Nabi

Muhammad, “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk

menyempurnakan berbagai moralitas (akhlak) luhur”.22

20 Nurcholish Madjid, “Pengalaman Ketuhanan Melalui Amalan Sehari-hari” dalam Nurcholish Madjid, ed, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Penertbit Mediacita, 2001), hal. 104 21 Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Nusantara: Memahami Sosiologi Integralistik, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 327

22 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), hal. 186 56

Di samping itu, adanya moralitas yang luhur akan menjamin semua

pencapaian sains, teknologi, berjalan di jalur yang benar menuju

pencapaian tujuan-tujuan puncak kemanusiaan sekaligus dapat membawa

kesejahteraan hidup bagi alam semesta.23 Allah juga berfirman:

... ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ... ﯿ

“Dan bekerjasamalah kalian untuk kebaikan dan ketakwaan dan janganlah bekerjasama untuk kedosaan dan permusuhan.” (QS. al- Mā’idah: 2).

Dalam interaksi bermasyarakat, kerjasama yang berlandaskan

kebaikan serta ketakwaan mesti dikedepankan. Seseorang saling

bekerjasama satu dengan yang lain dalam mengatasi musibah dan

kesulitan hidup dan mencapai kesejahteraan.24 Menurut Nurcholish, secara

historis tampilnya para Nabi memang selalu ditandai oleh perjuangan

melancarkan reformasi dunia, dengan perjuangan melawan kezaliman

sebagai salah satu bentuk yang paling dominan. 25 Dalam masyarakat,

sebagaimana yang Islam ajaran, perilaku menyimpang, kerusakan, bahkan

yang menghawatirkan dari masyarakat, mesti dihadapi dan dicegah.

Nurcholish menerangkan bahwa seseorang yang semakin dekat

hubungannya dengan Allah, secara pribadi, maka semestinya ia

memanifestasikan hubungan itu dalam hubungan kemanusiaan, secara

23 Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia, (Bandung: Mizan, 2017), hal. 229

24 Muhammad Abu Zahra, Membangun Masyarakat Islami, terj. Shodiq Noor Rahmat, hal. 19

25 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2008), hal. 345 57

sosial. Prinsip ini tergambarkan dari gerakan shalat: diawali dengan takbīrat al-iḥrām, dan diakhiri dengan taslīm, ucapan salām, dengan menengok ke kanan dan ke kiri atau lingkungan sekitar, sebagai bentuk isyarat akan kesadaran diri tentang dimensi sosial (masyarakat) hidup ini, dan sebagai lambang kemanusiaan.26

B. Karakteristik Masyarakat Madani

Masyarakat madani merupakan warisan Nabi Muhammad yang mempunyai karakteristik antara lain egaliterianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain) keterbukaan akan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.27

Nurcolish menjelaskan bahwa, keadaaan dunia Islam, terus menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negeri Muslim menerapkan konsep menerapkan negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menurut teladan Nabi Muhmmad justru mungkin lebih besar pada saat sekarang ini.28

26 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 346

27 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 170

28 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 171 58

Masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang pada hukum. Menegakkan hukum adalah amanah Allah Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak. Juga keadilan mesti ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan mesti diimplementasikan sekalipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua atau sanak keluarga, bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meski sepintas keadilan itu akan merugikan kita.

Namun atas pertimbangan ajaran itulah Nabi Muhammad dalam rangka menegakkan masyarakat madani atau civil society, tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau pun keluarga sendiri.29 Ketulusan ikatan jiwa juga memerlukan sikap yang yakin pada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari- hari di dunia ini.30

Mengingat di saat yang bersamaan, bencana dehumanisasi menjadi salah satu agenda berjalan di balik layar kemajuan dan kecanggihan masyarakat, perlahan mulai dirasakan oleh diri manusia. Di mana kebebasan yang ada pada manusia, seakan lenyap dengan rutinitas makanistik. Kebebasan adalah nilai paling tinggi dari nilai-nilai

29 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 172

30 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 173 59

kemanusiaan, yakni di atas sifat kehewanan manusia dan nilai-nilai

material.31

Maka, dalam hal ini, Nurcholish melihat manusia yang mestinya

sebagai seorang kreatif, yang mampu menyatakan diri dan bakat-bakatnya

dalam tindakan penciptaan tanpa keterpaksaan, baik dalam hal pekerjaan

kerajinan tangan, kegiatan intelektual maupun seni, atau dalam hubungan-

hubungan persahabatannya dengan yang lain. Manusia yang bebas mampu

secara penuh merasakan dirinya dan masyarakat lain dalam waktu yang

bersamaan.32

Nurcholish menambahkan bahwa manusia yang tidak diharapkan itu

adalah manusia yang terasingkan (the alienated man). Karena seseorang

yang mengalami alienasi33 tidak sanggup berpikir dan berbuat sendiri; ia

senantiasa merujuk kepada tujuan hidup dari dunia seperti kekayaan,

kesenangan, simbol-simbol prestise ataupun sesuatu yang tidak terlampau

materi tetapi dijadikan sesuatu yang mutlak. 34 Kebebasan manusia

sejatinya sungguh berharga tapi banyak yang tidak menyadari, sehingga

31 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna: Nilai dan Kepribadian Manusia pada Intelektualitas, Spiritualitas, dan Tanggung Jawab Sosial, terj. Arif Mulyadi, (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2015), hal. 26

32 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 183

33 Terminologi alienasi (alienation) telah lama menjadi wacana populer di kalangan intelektual, terutama masyarakat Barat modern. Sebenarnya terminologi tersebut merupakan hasil dari kritik terhadap paham kemodernan itu sendiri, sehingga tidak heran bahwa yang banyak menggunakan perkataan alienasi itu adalah, semisal Marxisme; sebuah konsep ideologi atau intellectual discourse yang paling banyak memprodusir idiom-idiom yang menjadi kritik tajam terhadap modernisme. Lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, (Jakarta Selatan: Dian Rakyat, 2009), hal. 65

34 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 184 60

menurut Nurcholish, manusia mengalami alienasi karena sifat dasar masyarakat modern yang serba materi.35 Allah berfirman:

ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al- Isrā’: 70).

Padahal Allah telah menjadikan manusia sebagai makhluk terbaik.

Segala sesuatu yang terdapat di daratan dan di lautan diperuntukan manusia. Namun, manusia di lingkup masyarakat pun berubah dan mewarnai tujuan hidupnya yang lengkap dengan ketimpangan. Semisal, keberhasilan atau kesukesan telah diartikan dari segi material, sehingga tendensi memilih sekolah atau perguruan tinggi tidak didasarkan kemampuan dan bakat, tetapi atas dasar pertimbangan setelah tamat akan dapat bekerja di lingkungan yang mesti memberikan penghasilan besar.

Kemudian, dalam mengejar sukses akan semakin dominan perilaku mementingkan diri sendiri, tertutup dan rela mengurbankan orang lain.

Ambisi untuk unggul secara material, berakibat memperlemah dan bahkan meniadakan kepekaan sosial.36

35 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 186

36 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, hal. 163 61

Di mana agama, pendidikan, media atau keluarga berkembang secara

baik membutuhkan institusi ekonomi untuk mempengaruhi kemajuan

institusi-institusi tersebut. Misalnya, guru membutuhkan beberapa sarana

minimal terlaksananya pendidikan.37 Kehidupan yang penuh kepelikan itu

kemudian membuat manusia kehilangan keseimbangan. Dari hilangnya

keseimbangan sering membawa keputusasaan dan kekerasan, atau

perasaan dirinya mengkhianati tradisi dan nilainya sendiri. 38 Pada

hakikatnya manusia dengan sendirinya tidak mudah memperoleh

kesejahteraan hidup secara material, sebagaimana yang diinginkannya.

Tetapi bukan berarti manusia mesti pesimis, melainkan Nurcholish

menjelaskan, pondasi dari agama merupakan suatu cara manusia

menemukan makna hidup dan dunianya kembali. Di mana pada abad

modern nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, maka hal

ini menjadi persoalan yang menjadi tantangan bagi agama.39

Salain itu yang perlu disadari, tidak menutup kemungkinan di

seberang sana, wacana keagamaan sedang mengembangkan sebuah sistem

kepercayaan yang baru dan berbeda pula. Seperti adanya pandangan dari

William James40 , yang mengemukakan bahwa pengalaman keagamaan

(religious experience) sebagai sebuah pengalaman yang suci yang bersifat

37 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, hal. 75

38 Ali Allawi, Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan Dan Keruntuhan Total, terj. Pilar Muhammad Moctar, (Bandung: Mizan, 2015), hal. 420

39 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 189

40 Seorang Filsuf yang terkenal sebagai salah satu pendiri dari Mazhab Pragmatisme juga Seorang Psikolog Barat pada abad ke-20 M. 62

sementara (transient), dengan individu juga seringkali bersifat pasif.41 Itu

artinya spiritualitas yang bersumber dari agama dikatakan oleh William,

hanya pengalaman yang sifatnya mudah datang dan pergi (lepas), atau

sesaat semata. Namun, Islam menolak pandangan tersebut. Karena agama

memang tidak pernah bisa dilepaskan dari spiritualitas. Agama tanpa

spiritualitas bukanlah agama, melainkan hanya simbol-simbol tanpa makna.

Dalam hal ini, fisik manusia hanyalah kendaraan dalam menggali

makna-makna spiritual dalam perjalanan hidupnya di alam fisik (dunia).42

Karena pada puncak, yang esensial bagi manusia adalah makna di balik

pengalaman-fisiknya itu. Pengalaman spiritualitas pada agama seperti ini

paling baik disimbolkan dalam peristiwa pengurbanan Nabi Isma’il oleh

Nabi Ibrahim, ayahnya.

Nurcholish menerangkan bahwa kurban berasal dari kata-kata Arab,

Qurbān, yang artinya adalah “pendekatan”, yaitu pendekatan kepada Allah

sebagai tujuan hidup kita. Dalam prakteknya berkorban adalah tindakan

yang disertai pandangan jauh ke depan, yang menunjukkan bahwa kita

tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara,

kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selamanya.43

Sebagaimana Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya sebagai

lambang dari kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara itu, yakni

41 Ruslani, ed., Wacana Spiritualitaas Timur dan Barat, terj. Shafwan, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000), hal. 136

42 Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia, hal. 260

43 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 55 63

kesenangan duniawi. Oleh karena itu makna berkorban adalah pandangan hidup kita melihat jauh ke masa depan dan tidak terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami. 44 Allah pun membatalkan dan menggantikan korban anak manusia dengan seekor domba, membuktikan bahwa yang bersifat fisik hanyalah simbol belaka.45 Allah berfirman:

ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷﯸ ﯹ ﯺ ﯻ

“Daging-daging dan darah (hewan kurban) tak sekali-kali dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan (kesadaran keilahian) (yang mendasari ibadah kurban itu)-mu itulah yang akan mencapai-Nya.” (QS. al-Ḥaj: 37).

Makna berkorban, menurut Nurcholish, juga kita mesti sanggup menunda kenikmataan sesaat. Kita bersedia bersusah-payah, karena hanya dengan susah payah dan mujāhadah, sesuatu tujuan akan tercapai, dan cita-cita terlaksana. Semangat dari berkorban adalah konsekuensi takwa kepada Allah. Sebab takwa butuh dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan. Nurcolish mengajak untuk merenungi firman Allah berikut:

ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ

ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ

“Wahai sekalian orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok! Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (QS. al-Ḥasyr: 18).

44 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 56

45 Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia, hal. 261 64

Firman Allah ini, menurut Nurcholish mengandung perintah Ilahi

untuk bertakwa. Sekalipun demikian, Nurcholish mengakui bahwa

manusia memilki kelemahan pokok, yaitu kelemahan pandangan pendek,

tidak jauh ke depan. Allah berfirman:

ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ

“Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat.” (QS. al-Insān: 27).

Manusia juga tidak mudah merasa damai, tentram dan puas secara

psikologis. Manusia juga tidak dapat hanya dengan duduk dan diam, akan

memperoleh kesejahteraan spiritual dengan limpahan kasih dan sayang

Allah. Akan tetapi, semua kesejahteraan tersebut mesti dikejar dan diraih.

Justru di balik jerih payah, bagi Nurcholish, akan mendapatkan manis dan

nikmatnya keberhasilan dan kesuksesan. 46 Dalam usaha meraih,

menjangkau dan mengejar keberhasilan itu, tidak sedikit hambatan-

rintangan yang akan dihadapi. Oleh karena itu, maka wujud dari kehidupan

manusia pada dasarnya berbentuk perjuangan.47

Dengan adanya perjuangan itu, manusia dapat menuju jalan

sebagaimana fitrahnya. Karena Islam membenarkan apa yang terjadi

dalam kehendak fitrah yang suci dan selamat.48 Fitrah atau kesucian asal.49

46 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 57

47 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hal. 36

48 Abdul Aziz Syawisy, Islam Agama Fitrah, terj. Abdul Rahman, (Jakarta: Bumi Askara, 1996), hal. 3 65

Nabi Muhammad pernah bersabda “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orangtuanyalah yang membuatnya Yahudi,

Nasrani, dan Majusi.”.

Nurcholish menambahkan, adanya fitrah adalah sebagai kelanjutan dari perjanjian kita dengan Allah. Ketika kita masih berada di alam ruhani.

Oleh karena itu juga disebut sebagai perjanjian azali, perjanjian di masa yang tidak terhingga di masa lalu, from all eternity. Yang dilukiskan dalam sebuah ayat suci, bahwa kita sebelum lahir dipanggil oleh Allah secara bersama-sama menghadap dan dimintakan kesaksian, bahwa kita akan ber-

Tuhan-kan Allah. Allah berfirman:

ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳﭴ ﭵ ﭶﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ

“Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan Kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’” (QS. al-A’rāf: 172).

Berdasarkan firman Allah itu, Nurcholish menerangkan bahwa kita mesti memperhambakan diri atau beribadah kepada Allah sebagai konsekuensi akan perjanjian tersebut. Ibadah juga mengandung arti pengagungan yang sesungguhnya adalah hal yang fitrah, yaitu hal yang secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan alam

49 Nurcholish Madjid, 32 Khutbah Jumat Cak Nur, hal. 346 66

kejadian asalnya.50 Fitrah itu sendiri bersangkutan dengan salah satu ajaran

Islam yang amat penting, yaitu ajaran bahwa manusia dilahirkan dalam

keadaan asal yang suci dan bersih, sehingga manusia itu bersifat ḥanīf

(artinya secara alami merindukan dan mencari yang benar dan baik).51

Maka, sungguh beruntunglah bagi manusia-manusia yang masih mengenal

hakikat dirinya, dan dapat selamat dari kebuntuan arus yang dibawa oleh

masyarakat, terutama dalam proses menegakkan masyarakat madani.

C. Metode Mencapai Masyarakat Madani

Demi mencapai tegaknya masyarakat madani, Nurcholish

menekankan pentingnya sekali dengan menegakkan hukum. Sebab hukum

dan keadilan tidak hanya pada komitmen-komitmen pribadi. Komitmen

pribadi, yang menyatakan diri dalam bentuk “itikad baik”, memang mutlak

diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam bermasyarakat.52

Oleh sebab itu, iktikad yang baik saja tidak cukup untuk mewujudkan

masyarakat berperadaban. Iktikad baik yang merupakan buah keimanan itu

mesti diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan baik yang nyata dalam

hidup bermasyarakat, berupa “amal salih”, yang secara takrif adalah

tindakan yang membawa kebaikan untuk sesama manusia.53

50 Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: Dian Rakyat, 2011), hal. 40

51 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, hal. 147

52 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 174

53 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 175 67

Itulah pentingnya ajaran agama diturunkan Allah untuk kepentingan

manusia. Dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapat

pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidup dan membangun

peradabannya. Sebab manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama

adalah jalan, dan bukan tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia

berjalan mendekati Allah dan mengharapkan keridaan-Nya melalui amal

baik yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan horisontal

(pengabdian masyarakat).54

Karena agama telah dan masih terus menjadi faktor penting dalam

membentuk identitas manusia sebagai sosok individual dan kelompok.

Adalah tugas kita untuk menemukan jalan bagaimana memanfaatkan

potensi positif agama guna memotivasi para penganutnya untuk berupaya

mewujudkan kedamaian, keadilan, dan toleransi dalam kehidupan

keseharian.55

Berpegang dengan dasar pandangan kemanusiaan yang optimis-positif

itu kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk

benar dan baik. Karena itu setiap orang memiliki hak untuk menyatakan

pendapat dan didengar. Sebab dari hal ini, menurut Nurcholish, sikap

rendah hati timbul. Dan keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak

54 Komarudin Hidayat, The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, (Jakarta: Kompas, 2008), hal. 3

55 Alwi Shihab, “Membangun Jembatan Melalui Dialog Antaragama” dalam Bernard Adeney-Risakotta, ed., Mengelola Keragaman di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 169 68

merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk mengambil dan mengikuti mana yang terbaik.56

Itulah masyarkat demokratis yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berasaskan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani, civil society. Berada di lubuk hati paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madanīyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Dari keadaban, Nurcholish menjelaskan bahwa lahir sikap yang tulus menghargai sesama manusia, betapapun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Bahkan bagi

Nurcholish, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme adalah kelanjutan dari keadaban itu sendiri.57

Kendati demikian, Nurcholish memperhatikan salah satu tema agama yang paling banyak dikemukakan oleh para penceramah, ulama dan khatib-khatib, yakni tentang persaudaran antara sesama kaum beriman, atau lebih akrab dengan istilah Ukhūwah Islāmīyah.58 Dan masih dapat dikatakan relevan dan sejalur untuk menegakkan masyarakat madani.

Nurcholish menilai bahwa dari sudut pandang ajaran keagamaan, persaudaraan berdasarkan iman adalah sangat sentral, dan tentu tepat sekali jika dipercaya sebagai solusi ampuh bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.

56 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 178

57 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, hal. 179

58 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 23 69

Namun, Nurcholish berpandangan, salah satu fitrah Allah yang perennial adalah bahwa manusia akan tetap selalu berbeda-beda sepanjang masa. Tidak mungkin umat manusia adalah satu dan sama dalam segala hal sepanjang masa.59

Pluralitas tidak saja mengajarkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati.60 Allah berfirman:

ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtaḥanah: 8).

Menurut Nurcholish, firman Allah ini jelas sekali akan menjamin manfaat besar dalam usaha menegakkan keadilan, tentunya bila pluralisme itu dapat ditanamkan dalam keadaan kesadaran kaum Muslim yang merupakan golongan terbesar warga negara. Sebab secara interen umat

Islam, pluralisme adalah persyaratan pertama dan utama Ukhūwah

Islāmīyah. Terutama demi merawat Ukhūwah Islāmīyah di tengah kemajemukan masyarakat.

59 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 25

60 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 596 70

Begitu pula ketika terjadi pertikaian antar sesama, maka, menurut

Nurcholish, penyelesaianya harus selaras dengan firman Allah:

ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ

ﯔ ﯕﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ

“Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduannya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Ḥujurāt: 9).

Bahkan dalam pandangan Islam, ikatan akidah dan keyakinan

dianggap sama kedudukannya dengan ikatan persaudaraan.61 Sebagaimana

hal itu ditegaskan dalam firman Allah:

ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. al- Ḥujurāt: 10).

Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa Ukhūwah Islāmīyah itu

disangkutkan dengan pluralisme, bukan monolitisme.62 Persaudaraan erat

61 Mahmoud Hamdi Zaqzouq, Islam Dihujat Islam Menjawab: Tanggapan Atas Tuduhan dan Kesalahpahaman, terj. Penerbit Lentera Hati, (Ciputat: Lentera Hati, 2008), hal. 193

62 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 597 71

hubungannya dengan pluralisme. Petunjuknya di dalam al-Qurān terdapat pada firman Allah:

ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄﰅ ﰆ

ﰇ ﰈ ﰉ ﰊﰋ ﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ

“Wahai sekalian orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkannya itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang paling buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Ḥujurāt: 11).

Di samping itu, dalam dunia ini, bahkan pada keseharian masyarakat modern, semua manusia menginginkan menjalani hidup dan kehidupan yang menyenangkan dan bahagia. Kehidupan seperti itu berarti jauh dari kesulitan yang tidak menyenangkan. Sudah menjadi tabiat manusia selalu berusaha mencari berbagai alternatif kemudahan, meskipun tidak ada manusia mendapat kesenangan tanpa sesuatu yang harus dikerjakannya, baik untuk mewujudkan sesuatu atau guna mengisi kekosongan maupun menyelesaikan masalah-masalah yang kecil atau besar yang sulit dan pelik.63 Pada akhirnya, manusia senantia berusaha dalam menjalaninya.

Sarana material yang telah memasuki hampir ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia, terutama untuk meningkatkan produktifitas dan

63 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, hal. 69 72

kemudahan kerja, di samping sarana material yang berfungsi untuk

memberikan kemudahan dan kenikmatan di luar kegiatan bekerja. 64

Tentunya hal tersebut dilakukan dengan mengharuskan adanya jalinan

kerjasama antar sesama. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendirian.

Justru dengan adanya orang tua, teman, tetangga, kesenangan manusia

akan terasa sekali di dalam bermasyarakat.65

Kemudian, supaya kesenangan yang telah tersebut tidak mudah luntur,

maka harus ada beberapa hal yang mesti dicermati. Sekitar empat faktor

penyebab umat Islam sering gagal mengimplementasikan Ukhūwah

Islāmīyah; Pertama, tendensi terhadap pemahaman Ukhūwah yang

terbatas pada “silaturahmi fisik”, saling mengunjungi, membantu yang

terkena musibah, menjenguk mereka yang sedang sakit, menghibur mereka

yang terkena musibah dan mendamaikan mereka yang bersengketa.

Dahulu, silahturahmi dalam interaksi kemanusiaan mempunyai nilai yang

agung dan sakral sebagai sarana kedamaian. Tetapi kini akibat arus

kepentingan dan efek globalisasi, maka silaturahmi mempunyai makna

yang lebih luas.66 Bahkan sampai mempunyai istilah silaturahmi politik,

silahturahmi turun bawah (turba) atau blusukan, dan sebagainya.67

Yang kesemuanya berdasarkan formalitas belaka bukan menjadi

sesuatu yang bernilai universal dan holistik. Kedua, ketidakmampuan

64 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Manusia Berkualitas, hal. 162

65 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 1985), hal.159

66 Piet Khaidir, Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2006), hal. 21

67 Piet Khaidir, Nalar Kemanusiaan Nalar Perubahan Sosial, hal. 22 73

sebagaian besar umat dalam melihat persoalan yang prinsipil dan dasar

dengan persoalan yang bersifat elementer dan teknis, sehingga dari

persoalan tersebut sering menyulut konflik horizontal antar umat Islam dan

memisahkan sebagiannya dari arus perjalanan dan perjuangan universal

Islam. Ketiga, pragmatisme membuat sebagian umat Islam tergoda dengan

kepentingan sesaat supaya memenuhi keperluan pragmatis dan domestik

sehingga merugikan, menyudutkan, menghianati kepentingan Islam yang

universal. Keempat, politisasi agama; ketika umat Islam dijadikan

komoditas politik dan kesatuan mereka dicabik-cabik, dibenturkan satu

sama lain hanya demi kepentingan sesaat.68

Dalam hal ini, Islam mengajarkan masyarakat di atas keseimbangan;

antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat, atara hak dan

kewajiban individu, antara hak dan kewajiban masyarakat.69 Karena tujuan

dari ajaran Islam adalah menerapkan prinsip persamaan secara konkret dan

umum di tengah-tengah manusia. 70 Tidak menjalankan ibadah akan

menimbulkan ketidakseimbangan pada spiritual manusia. Setiap

kebutuhan manusia yang tidak terpenuhi akan membuat spiritual manusia

gelisah dan tidak tenang. Manusia yang sepanjang hidupnya hanya

memenuhi keinginan materi semata dan tidak mau sama sekali

68 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas, hal. 281

69 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 75

70 Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi, (Jakata: Sadra Press, 2011), hal. 47 74

memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritualnya, maka senantiasa dalam

keadaan resah, memberontak dan menderita.71

Sementara penderitaan sendiri adalah sumber ketidaknyamanan, tetapi

pada saat yang sama ia memberikan suatu kesadaran dan keterjagaan

untuk mencari penyebabnya. 72 Manusia semakin menderita bila

spiritualitasnya menurun. Terutama saat merasa keberadaan Allah semakin

jauh. Karena manusia adalah hakikat yang dihasilkan melalui napas Allah

dan tidak sepenuhnya identik dengan segala material di dunia ini. Manusia

memiliki kecemasan yang terus-menerus dan menariknya menuju

mendekatkan diri kepada Allah. 73 Spiritualitas dalam Islam memiliki

kaitan yang sangat sedikit dengan emosi (amarah) dan hasrat kuat (ambisi),

tetapi sangat berkaitan dengan perjuangan sistematis untuk memahami

sifat-sifat Allah dan keharusan perilaku bermoral luhur yang dihasilkan.

Sebab pengetahuan spiritual yang sesungguhnya menggariskan bahwa

realisasi seseorang hanya sebatas persinggahan menuju tindakan konkret

di masyarakat.74

Sebagai antisipasi dari pengaruh masyarakat modern yang tidak

meyakini adanya realitas mutlak (the ultimate reality), atau sekadar

mempercayai-Nya tapi tidak merasakan kehadiran-Nya. Seluruh perspektif

spiritual dinilai tidak dapat dibuktikan secara empiris, dan karena itu tidak

71 Murtadha Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman, terj. Ahmad Sobandi, hal. 245

72 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terj. Arif Mulyadi, hal. 35

73 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terj. Arif Mulyadi, hal. 37

74 Ali Allawi, Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan Dan Keruntuhan Total, terj. Pilar Muhammad Moctar, hal. 423 75

relevan terhadap kehidupannya.75 Secara keagamaan, krisis akan spiritual

jelas terjadi akibat kurangnya wawasan dan penghayatan agama yang

dipeluk.76

Di mana keistimewaan al-Qur’ān merupakan ajaran yang terutama

berkepentingan untuk membina sikap moral yang benar bagi tindakan

manusia. Tindakan yang benar, apakah itu tindakan politik, keagamaan,

ataupun tindakan di masyarakat, tetap dipandang oleh al-Qur’ān sebagai

bentuk ibadah atau pengabdian kepada Allah. Sebab, al-Qur’ān

menekankan penanganan moral dan faktor psikologis yang membentuk

kerangka berpikir yang benar dalam bertindak.77

Nurcholish kembali menghimbau dan mengajak untuk merenungkan

bahwa petunjuk Ilahi tentang pentingnya Ukhūwah Islāmīyah yang

diteruskan dengan prinsip menghargai dan saling menghormati antara laki-

laki dan perempuan, dan antara bangsa-bangsa dan suku-suku sebagai

persaudaraan kemanusiaan.78 Dan Allah berfirman:

ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-

75 Muhammad Ali, Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 278

76 Muhammad Ali, Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, hal. 279

77 Fazlur Rahmah, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, terj. Irsyad Rafsadie, hal. 363

78 Nurcholish Madjid, 32 Khutbah Jumat Cak Nur, hal. 140 76

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Ḥujurāt: 13).

Kontekstualisasi pada firman Allah tersebut, tertuang dalam usaha

Nabi Muhammad membentuk masyarakat baru di Madinah 79 , yang

dilengkapi dengan perjanjian dengan berbagai pihak (plural) penduduk

setempat, termasuk dan terutama kaum Yahudi. Maka lahirlah Ṣaḥīfat al-

Madīnah (Piagam Madinah) yang biasa disebut juga “Konstitusi Madinah”.

Dari semangat Piagam Madinah, hukum berjalan tertib dan tegas. Bahkan,

menurut Nurcholish, Nabi Muhammad pernah menjalankan hukum yang

tercantum dalam tawrāt, sebagaimana yang dituturkan oleh Ibn Taymīyah

berkenaan dengan hukuman orang berzina, yakni hukum rajam.80

Dan nasionalisme dari Madinah tersebut terbukti membuahkan hasil

membangun masyarakat yang ideal, menggabungkan sekian banyak

kabilah, mereduksi semangat kesukuan dan mengutamakan semangat ke-

madinah-an. Semisal, kaum Muhājirīn, kaum Anshār, ahl bayt, begitu juga

kaum Yahudi melakukan dekonvensionalisasi demi terwujudnya Madinah

bersatu dan damai.

79 Dalam Hijrah, di antara tindakan Nabi Muhammad pertama setelah tiba di Yastrīb adalah mengubah nama kota itu menjadi Madīnah, atau lengkapnya, Madīnat al-Nabī, “Kota Nabi”. Pertama perkataan “madīnah” sendiri memang berarti “kota”. Kemudian, dari segi etimologis, perkataan itu berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “madanīyah” dan “tamaddun”, yang artinya “peradaban”, “civilization”. Maka secara harfiah “madīnah” adalah tempat peradaban, atau suatu lingkungan hidup yang ber-“adab” (kesopanan, “civility”), tidak “liar”. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 305

80 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 309 77

Mereka sepakat kepentingan Madinah di atas kepentingan pribadi dan

suku. Nabi Muhammad bahkan menyuruh umatnya untuk selalu berbuat

baik dan berlaku adil kepada non-Muslim selama mereka mau

bekerjasama dan tidak menganggu umat Islam.81

Nasionalisme sejati dalam arti suatu paham yang memperhatikan

kepentingan seluruh warga bangsa tanpa kecuali, adalah bagian integral

konsep Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Beliau mengajarkan

nasionalisme yang egaliter dan partisipatif. Di mana konsep lama dahulu

egalitarianisme Madinah hanya menghargai dan menampung partisipasi

semua masyarakat baik laki-laki dan perempuan pada satu suku atau

berbeda suku.82 Namun, semuanya telah diganti dengan konsep baru yang

diterapkan oleh Nabi Muhammad.

Di sisi lain, masyarakat Madinah (civil society) adalah masyarakat

dengan sistem sosial yang beradab, didasarkan kepada prinsip ketuhanan

dan moral, yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan

dengan kestabilan masyarakat. Memiliki kesadaran pluralitas yang tinggi,

menghargai ilmu pengetahuan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.83

Prakteknya telah dicontohkan Nabi Muhammad, lalu dilanjutkan oleh para

sahabatnya (al-Khulafā’ al-Rāsyidūn).84

81 Syamsir Salam, Menuju Islam Berkeadaban, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007), hal. 127

82 Syamsir Salam, Menuju Islam Berkeadaban, hal. 131

83 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan Kesalehan Modern, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 210

84 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas, hal. 211 78

Masyarakat yang sekiranya dapat mengambil kerangka yang terdapat pada masyarakat Madinah sebagai ciri yang menonjol; Pertama, egaliterianis yang memandang nilai dan kemanusiaan yang sama. Kedua, pemberian penghargaan kepada seseorang atas dasar prestasinya bukan prestisenya. Ketiga, adanya transparansi bagi seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengupayakan yang terbaik bagi kehidupannya secara individu dan bermasyarakat. Keempat, menentukan kepemimpinan melalui pilihan yang demokratis.85

Nurcholish menilai bahwa teladan pada diri Nabi Muhammad seperti kepribadian yang penuh pengertian dan toleransi serta lapang dada, yaitu pada firman Allah:

ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ

“Dan dengan adanya rahmat dari Allah maka engkau (Muhammad) bersikap lunak (lemah lembut) kepada mereka. Seandainya engkau kasar dan keras hati maka pastilah mereka akan menyingkir dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan (keduniaan). Dan apabila engkau telah berketetapan hati, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Cinta kepada orang-orang yang bertawakal.” (QS. ‘Āli ‘Imrān: 159).

Firman Allah ini, menurut Nurcholish, menjadi acuan dalam prinsip bermusyawarah untuk meneladani Nabi Muhammad. Sehingga ketika

85 Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas, hal. 212 79

dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama

adalah atas dasar persamaan hak dan kewajiban serta kesetaraan dalam

harkat dan martabat sebagai manusia. 86 Mengingat begitu pentingnya

musyawarah, Islam tidak membatasi hanya untuk golongan dan lapisan

masyarakat tertentu, melainkan dapat dilaksanakan oleh semua lapisan dan

golongan masyarakat. 87 Dengan membiasakan perilaku demikian, maka

masyarakat yang awalnya kaku, perlahan akan bergeser menuju

masyarakat yang terbuka dan demokratis.

Sesungguhnya manusia apabila menyukuri akan hakikat hidupnya

yang terbatas ini, justru memperoleh kemuliaan. Disebabkan oleh

kenyataan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya daripada apa yang

menjadi milik makhluk-makhluk lainnya, baik dari sudut bentuk fisik88,

manusia memiliki bentuk yang sempurna. Akan tetapi, kelebihan manusia

dari makhluk lainnya adalah manusia memiliki akal yang menyanggupi

manusia dapat berpikir dan mengembangkan kehidupannya. Karena

manusia diberikan kemampuan berpikir dan dapat mengetahui sekaligus

membedakan mana yang baik dan buruk. Allah menjadikan manusia di

muka bumi sebagai khalifah, Allah berfirman:

86 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, hal. 27

87 Atang Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, hal. 224

88 Manusia berjalan menggunakan kedua kaki dan makan menggunakan tangan. Sedangkan makhluk lain ada yang berjalan menggunakan tangan dan kakinya, merayap, dan menyuap makanan menggunakan mulutnya. Lihat Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Logos, 2004), hal. 2 80

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30).

Makna ayat di atas menerangkan bahwa manusia dijadikan sebagai pengganti Allah di muka bumi dengan tugas menjalankan hukum secara adil dan bijaksana di antara semua makhluk Allah. Dari amanah yang telah diberi itu, manusia bertugas menggantikan Allah untuk mengatur dan memimpin bumi dengan baik sesuai dengan kualitas-kualitas dan sifat- sifat Allah sebatas kemampuan manusia. 89 Maka, di dalam masyarakat modern, mencermati kembali apa yang menjadi kebiasaan hidup kita adalah keharusan yang tidak bisa ditawar. Menurut Nurcholish, ketika mata hati seseorang yang tertutup oleh dosa tidak akan bersifat terang atau nurani (nūrānī), melainkan telah menjadi bersifat gelap atau zulmani

(ẓulmānī). Karena itu, bagi seseorang yang sudah tidak akan memiliki kepekaan yang fitrah, akibatnya tidak menjadi kesadaran untuk perilaku kebaikan, kebenaran dan kesucian.

89 Ikhwan, Hak Asasi Manusia dalam Islam, hal. 3 81

Dalam masyarakat sudah pasti selalu ada orang yang berhati zulmani,

sehingga selalu diperlukan adanya amar makruf nahi mungkar.90 Pelajaran

dari hal itu, yang paling berharga dan semestinya di hidupkan pada tubuh

masyarakat modern adalah membiasakan perilaku berbuat baik kepada

siapa pun. Bahkan, Nurcholish lebih sepakat bahwa membiarkan mereka

untuk tetap ber-fastabiqūl khairāt, saling berlomba-lomba dalam kebaikan.

Sekalipun dalam usahanya timbul kesalahan.

Lalu, supaya kesalahan itu dapat ditekan hingga sedikit mungkin,

maka jalannya adalah lewat bermusyawarah. Kerena pokok pangkal

kebijaksanaan adalah musyawarah.91 Sesungguhnya ajaran Islam seperti

lentera yang menerangi kabut tebal di kehidupan masyarakat modern,

masyarakat yang dilema akan makna hidup dan dehidrasi aspek

spiritualitas manusia. Akan tetapi, selama masih ada kesempatan, belum

ada kata terlambat untuk terus memperbaiki diri hanya semata karena-Nya.

90 Nurcholish Madjid, “Dakwah Khair, Amar Makruf, Nahi Mungkar: Sebuah Telaah atas Beberapa Pengertian Dasar Tiga Tingkat Pemerintah”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 7, no. 1 (Desember 2014): hal. 34

91 Nurcholish Madjid, “Menegakkan Paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah “Baru”, dalam Haidar Bagir, ed., Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia, (Bandung,: Mizan, 2012), hal. 47 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan mengenai konsep masyarakat madani menurut

Nurcholish Madjid, agaknya dapat ditarik hal-hal penting sebagai

kesimpulan. Konsep yang dikemukakan oleh Nurcholish adalah

meneladani konstitusi yang terdapat di Madinah. Di mana umat Islam

mampu hidup damai bersama kelompok agama yang berbeda (Muslim,

Kristen, dan Yahudi), diakui banyak kalangan sebagai potret pertama di

dalam sejarah yang berusaha meletakkan dasar-dasar masyarakat yang

berasaskan pluralisme dan toleransi.

Masyarakat madani juga dikatakan oleh Nurcholish sebagai

masyarakat yang berperadaban. Oleh karenanya, Nurcholish

menginginkan konsep demikian untuk ditegakkan. Dengan langkah-

langkah seperti membiasakan diri dalam menaati aturan-hukum,

menghargai perbedaan dan hak berpendapat setiap orang, dan peduli

terhadap rasa kemanusiaan. Maka dipastikan, masyarakat madani akan

dapat diraih. Sebagaimana kondisinya yang begitu harmonis, pada zaman

Nabi Muhammad, kelak dapat terulang kembali, guna hidup saling

menjaga kerukunan dan persaudaraan.[]

82

83

B. Saran

Demikian pembahasan yang penulis paparkan mengenai “Konsep

Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid”. Pasti terdapat kaitan

yang menarik untuk diteliti lebih lanjut dan menjadi bahan diskusi yang

hangat mengenai masyarakat madani menurut Nurcholish tersebut.

Terutama kepada masyarakat yang dapat mengambil berbagai contoh

untuk menjadikan sumber dalam pembenahan maupun pembentukan

pranata yang baru dan relevan di lingkungannya. Begitu juga dengan para

tokoh agama, yang bekerja keras menyiarkan ajaran-ajaran suci, agaknya

memperhatikan kembali apa yang hendak ingin disampaikan dengan cara

menemukan perbandingannya dari bahasan ini guna memperluas materi

keagamaan. Dan tidak lupa, kepada pemerintah, lebih bagus bila

mengadakan intropeksi batin, dengan cara memahami sajian keislaman

yang khas dalam bahasan ini, sehingga diharapkan mampu teresegarkan

kembali spiritual yang mungkin telah lama redup dan menambah motivasi

baru dalam langkah-langkah pada saat menjalankan amanah kenegaraan,

yakni hidup bahagia serta damai dalam masyarakat madani.

Tidak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa masih

terdapat berbagai kekurangan dalam kepenulisan skripsi ini. Maka, penulis

mengharapkan kritik serta koreksian yang membangun guna memperbaiki

dan melengkapi penulisan skripsi ini berikutnya. Dan semoga skripsi ini

mampu bermanfaat dan diamalkan hal baik yang terdapat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

AF, Ahmad Gaus. Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas, 2010.

Ali, Muhammad. Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Kompas, 2003.

Allawi, Ali. Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan Dan Keruntuhan Total. terj. Pilar Muhammad Moctar. Bandung: Mizan, 2015.

Aman, Saifuddin. Tren Spiritualitas Millenium Ketiga. Tangerang: Ruhama, 2013.

Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004.

Anwar, Wadjiz. Nilai Filsafat Dalam Dunia Modern Dewasa Ini. Yogyakarta, 1979.

Azra, Azyumardi. Menuju Masyarakar Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.

Azra, Azyumardi. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi. Jakarta: Kencana, 2016.

Bagir, Haidar. Islam Tuhan, Islam Manusia. Bandung: Mizan, 2017.

Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Fauzi, Ihsan Ali. Ed. All You Need Is Love: Cak Nur di Mata Anak-anak Muda. Jakarta Selatan: Paramadina, 2008.

Hamdy. Telaga Bahagia Syaikh Abdul Qadir Jailani. Jakarta: Republika, 2015.

Harahap, Syahrin. Islam dan Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan Kesalehan Modern. Jakarta: Kencana, 2015.

Hartomo. MKDU: Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Hidayat, Komarudin. Tuhan Begitu Dekat. Jakarta: Dian Rakyat, 2011.

______, Komarudin. The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama. Jakarta: Kompas, 2008.

Ikhwan. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Logos, 2004.

84

85

Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Penerbit Erlangga, 2006.

Kusmana. “Islam dan Kesalehan Sosial: Relevansi al-Qur’ān tentang Filantropi dalam Pengembangan Masyarakat”, dalam Kusmana ed. Bunga Rampai: Islam dan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: IAIN Indonesian Social Equity Project, 2006.

Madjid, Nurcholish. “Menegakkan Paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah “Baru”, dalam Bagir, Haidar ed. Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia. Bandung,: Mizan, 2012.

______, Nurcholish. “Pengalaman Ketuhanan Melalui Amalan Sehari-hari” dalam Madjid, Nurcholish ed. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Jakarta: Penertbit Mediacita, 2001.

______, Nurcholish. Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi. Jakarta Selatan: Dian Rakyat, 2009.

_____, Nurcholish. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999.

______, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007.

______, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: PT Dian Rakyat, 2008.

______, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.

______, Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

______, Nurcholish. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Dian Rakyat, 2008.

Malik, Dedy Djamaludin dan Ibrahim, Idi Subandy. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaludin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.

Masyhur, Kahar. Membina Moral dan Akhlak. Jakarta: Kalam Mulia, 1985.

Muhsin, Djauhari. Kuliah Iman Yang Qur’ani: Suatu Pemahaman Baru. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.

Musawi, Sayid Mujtaba. Etika dan Pertumbuhan Spiritual. Jakarta: Lentera Bastritama. 2001. 86

Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman: Rasionalitas Islam dalam Dialog Teks yang Pasti dan Konteks yang Berubah, terj. Ahmad Sobandi. Jakata: Sadra Press, 2011.

______, Murtadha. Manusia Sempurna: Nilai dan Kepribadian Manusia pada Intelektualitas, Spiritualitas, dan Tanggung Jawab Sosial. terj. Arif Mulyadi. Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2015.

Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi. Manusia Berkualitas. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994.

Prasetyo, Hendro. dkk. Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Qorib, Muhammad. Solusi Islam: Mencari Alternatif Jawaban Terhadap Problem Kontemporer. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Salam, Syamsir. Menuju Islam Berkeadaban. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007.

Saridjo, Marwan. Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab. Jakarta: Penamdani, 2005.

Shihab, Alwi. “Membangun Jembatan Melalui Dialog Antaragama” dalam Risakotta, Bernard Adeney ed. Mengelola Keragaman di Indonesia. Bandung: Mizan, 2012.

Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan, 2006.

Soerjono dan Sulistyowati. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Sudarto. Wacana Islam Progresif Reinterpretasi Teks Demi Membebaskan Yang Tertindas. Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.

Sudiarja. Pendidikan dalam Tantangan Zaman. Depok: Kanisius, 2014.

Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Logos, 2000.

Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Nusantara: Memahami Sosiologi Integralistik, (Jakarta: Kencana, 2013.

Syawisy, Abdul Aziz. Islam Agama Fitrah, terj. Abdul Rahman Jakarta: Bumi Askara, 1996. 87

Rachman, Budi Munawar. “Kata Pengantar”, dalam Rachman, Budi Munawar dan Taher, Elza Peldi, ed. Satu Menit Pencerahan Nurcholish Madjid. Depok: Imania, 2013.

______, Budi Munawar. Membaca Nurcholish Madjid. Jakarta: Democracy Project, 2011.

Rahardjo, Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.

Ruslani ed. Wacana Spiritualitaas Timur dan Barat, terj. Shafwan. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000.

Tebba, Sudirman. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa. Jakarta: Dian Rakyat, 2011.

_____, Suddirman. Merengkuh Makrifat. Ciputat: Putaka Irvan, 2006.

Ubaidillah dan Razak, Abdul. Pendidikan Kewarga(negara)an (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana, 2013.

Zahra, Muhammad Abu. Membangun Masyarakat Islami. terj. Shodiq Noor Rahmat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Zaqzouq, Mahmoud Hamdi. Islam Dihujat Islam Menjawab: Tanggapan Atas Tuduhan dan Kesalahpahaman. terj. Penerbit Lentera Hati. Ciputat: Lentera Hati, 2008.

ARTIKEL

Tokoh Indonesia, “Guru Pluralisme Indonesia: Nurcholish Madjid”, artikel diakses pada 3 Desember 2017 dari www.Tokohindonesia.com

Azyumardi Azra, “Masyarakat Madani”, artikel diakses pada 3 April 2018 dari http://opinikompas.blogspot.com/2013/10/masyarakat- madani.html

JURNAL

Masroer C Jb dan Lalu Darmawan, “Wacana Civil Society (Masyarakat Madani) di Indonesia”, Sosiologi Reflektif V. 10, no. 2 April 2016.

Madjid, Nurcholish. “Dakwah Khair, Amar Makruf, Nahi Mungkar: Sebuah Telaah atas Beberapa Pengertian Dasar Tiga Tingkat Pemerintah”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 7, no. 1 Desember 2014.

Nafis, Muhammad Wahyuni. “Nurcholish Madjid, Sosok Pribadi Pengimbang”, Titik Temu: Jurnal Dialog Peradaban V. 3, no. 2 Juni 2011.