JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018 https://doi.org/10.18196/hi 61108

Pengelolaan Perbatasan dan Hubungan Antaretnis di Bengkayang

Cahyo Pamungkas Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710 [email protected] Submitted: 04 January 2018, Accepted: 02 March 2018

Abstract This article aims to describe the cultural dimension in the management of territorial border between Indonesia and Malaysia in Bengkayang. To explain the cultural approach, this article shed a light on the history of the border between Indonesia and Malaysia, problems of socio-cultural appeared in the border, and border management approach accommodating to the interests of cultural communities. This article is resulted from a field research in Bengkayang, in 2015. Findings of this study conclude that the political approach in viewing border issue is not in accordance with the dynamics of inter-ethnic relations. The cultural dimension is often forgotten in the political analysis of border management due to the state border, in the conventional approach, is seen as a political borderline. Keywords: territorial borders, politics, cultural approach, inter-ethnic relations.

Abstrak Tulisan ini merupakan suatu deskripsi mengenai dimensi sosial-kebudayaan dalam pengelolaan perbatasan darat RI-Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat. Pertanyaan yang ingin dijawab oleh kajian ini adalah (i) bagaimanakah sejarah pembentukan perbatasan di Kalimantan Barat? (ii) Bagaimanakah persoalan relasi antaretnik di daerah tersebut? Dan (iii) Bagaimana relasi antaretnik tersebut dipengaruhi oleh konflik pada masa lalu? Untuk menjelaskan pendekatan kebudayaan dalam melihat perbatasan, akan diuraikan perubahan perspektif perbatasan, sejarah pembentukan perbatasan, persoalan-persoalan sosial-budaya yang muncul di kawasan perbatasan, dan pendekatan pengelolaan perbatasan yang akomodatif terhadap kepentingan masyarakat perbatasan. Persoalan utama dalam kajian perbatasan adalah masih kuatnya pendekatan keamanan negara dalam pengelolaan perbatasan dan masih diabaikannya realitas kehidupan masyarakat perbatasan yang bersifat kompleks dalam pengelolaan perbatasan. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan di Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat pada tahun 2015. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan politik keamanan yang digunakan dalam melihat persoalan perbatasan kurang sesuai dengan dinamika hubungan antaretnis masyarakat perbatasan yang longgar. Dimensi kebudayaan seringkali dilupakan dalam analisis politik pengelolaan perbatasan karena perbatasan negara, dalam pendekatan konvensional, dipandang sebagai garis perbatasan politik. Kata kunci: perbatasan darat, politik, pendekatan kebudayaan, hubungan antaretnisitas.

PENDAHULUAN Selama ini studi mengenai perbatasan, orang Dayak yang tinggal di Jagoi Babang dan Serikin- terutama Bengkayang, sudah banyak dilakukan, Malaysia mendorong transaksi ekonomi antara kedua misalnya Sulehan dkk. (2013), Muawanah (2015), komunitas tersebut. Sedangkan Halim (2015) lebih Halim (2015) dan Rahmaniah (2015). Studi banyak menyoroti peran kapital budaya dalam Muawanah (2015) menjelaskan mengenai penanaman membentuk spirit nasionalisme orang Dayak di nasionalisme Indonesia terhadap para pelajar di perbatasan Jagoi Babang. Sementara, Rahmaniah daerah perbatasan Kalimantan Barat serta sikap (2015) menyoroti bagaimana peran generasi muda nasionalisme yang tumbuh di kalangan pelajar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat perbatasan. tersebut. Penelitian Sulehan dkk. (2013) Dari sejumlah studi tersebut, belum membahas menunjukkan bahwa relasi sosial dan budaya antara pengelolaan perbatasan Indonesia dan Malaysia yang

dihubungkan dengan relasi antaretnik di perbatasan. di Distrik Bau. Di beberapa tempat juga dapat Masalah ini penting mengingat Pemerintahan ditemukan komunitas suku Dayak Bekatik walaupun Presiden Jokowi telah berusaha mengubah paradigma jumlahnya relatif lebih kecil. Selain itu, juga banyak perbatasan dengan slogan membangun dari pinggir. penduduk transmigran yang berasal dari Jawa dan Namun persoalannya, pembangunan tersebut lebih Madura. Bahasa yang digunakan di kawasan menekankan pada infrastruktur fisik belum perbatasan adalah Bahasa Indonesia baik antaretnis menyentuh infrastruktur sosial, yakni memperkuat ataupun antarkelompok suku Dayak yang berbeda- masyarakat adat di perbatasan. Pertanyaan yang ingin beda. Misalnya orang Dayak Bekatik dengan Bidayuh dijawab dalam artikel ini adalah (i) Bagaimanakah memiliki bahasa yang berbeda. Demikian juga antara sejarah pembentukan perbatasan Republik Indonesia suku Bidayuh yang tinggal di Desa Jagoi dengan yang (RI)-Malaysia di Kalimantan Barat? (ii) Bagaimanakah menetap di Desa Sebujit, Bengka, memiliki bahasa relasi antaretnis dan konflik yang terjadi di daerah yang berbeda. perbatasan tersebut? (iii) Bagaimanakah pengelolaan perbatasan yang sesuai dengan upaya penguatan METODE PENELITIAN masyarakat adat di perbatasan? Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan Penelitian ini dilakukan di Bengkayang yang dilakukan di Jagoi Babang, Kabupaten terutama daerah perbatasan Kecamatan Jagoi-Babang. Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat pada bulan Jagoi merupakan daerah yang penting dalam jalur April 2015. Pendekatan penelitian yang digunakan perlintasan ilegal antara Indonesia dan Malaysia di adalah kualitatif, dengan menggunakan metode Kalimantan Barat sejak sebelum masa kolonial, pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan, bahkan disebut sebagai zona bebas perlintasan barang dan Focus Group Discussion (FGD) di Kabupaten (Prasojo, 2013: 423). Karena jaraknya yang sangat jauh Bengkayang. Narasumber yang diwawancarai adalah dari pusat pemerintahan Belanda di Sambas dan camat beserta pimpinan Organisasi Pemerintahan pemerintahan British-Malaya di Serawak, diduga Daerah (OPD) yang terkait seperti Bappeda, Badan masyarakat di daerah ini belum lama mengenal Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), dan Badan konsep batas negara, yakni sejak 1970-an. Jagoi Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Babang merupakan salah satu kecamatan di Selain itu, juga tokoh-tokoh masyarakat seperti Kabupaten Bengkayang yang berbatasan langsung organisasi masyarakat adat dan organisasi non- dengan Distrik Bau, division, negara bagian Pemerintah. Pengamatan dilakukan di pos perbatasan . Sedangkan dua desa yang berbatasan Jagoi-Babang dan Serikin serta kunjungan ke pasar langsung adalah Desa Jagoi (Jagoi Babang) dan tradisional di Serikin Malaysia. Hasil studi literatur Kampung Serikin (Bau). Masyarakat yang menetap di dikombinasikan dengan hasil penelitian lapangan Desa Jagoi (Indonesia) dan Serikin (Malaysia) berasal kemudian dianalisa dengan analisa deskriptif. dari tradisi dan subsuku Dayak yang sama, Dayak Hadiwijoyo (2009, c.f. Bangun, 2017) Bidayuh. membedakan dua aspek yang dikaji dalam definisi Status jalur lintas batas di Jagoi Babang sampai perbatasan yakni boundary dan frontier. Istilah pertama saat ini masih dikategorikan sebagai ilegal, artinya merujuk pada fungsi garis perbatasan yang membatasi belum dibuka secara resmi sebagai jalur lintas batas suatu negara dengan negara lain, sedangkan istilah internasional seperti Entikong. Namun, Pemerintah kedua merupakan perspektif dalam melihat posisi telah mendirikan sebuah Pos Lintas Batas (PLB) suatu daerah perbatasan yang terletak paling depan untuk memfasilitasi lintas batas tradisional. Hanya atau paling belakang dari suatu negara. Dalam kajian masyarakat yang menetap di Desa Jagoi yang diijinkan ini perbatasan didefinisikan mencakup keduanya melaluinya dengan menggunakan Pas Lintas Batas yakni dimensi garis batas dan posisinya yang paling (PLB) yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi setempat. depan dalam suatu negara, yang merupakan arena Kebanyakan penduduk Jagoi Babang adalah Dayak interaksi antara kelompok-kelompok masyarakat yang Bidayuh yang juga merupakan mayoritas masyarakat bersifat global.

Menurut Martinez (1994), daerah perbatasan yang merupakan hasil dari perundingan atau dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yakni persetujuan dengan negara yang berbatasan. Tahap alienated, co-exsistent, interdependent, dan integrated terakhir adalah pengelolaan daerah perbatasan secara borderland. Kategori pertama adalah daerah perbatasan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam yang tidak menjadi tempat interaksi antarkelompok pengelolaan daerah perbatasan ini, terdapat dua masyarakat sebagai akibat dari konflik kekerasan antar paradigma besar yakni pendekatan yang berpusat pada negara, etnik, atau agama. Konflik tersebut tidak negara dan yang berpusat pada masyarakat. memungkinkan anggota-anggota kelompok untuk Pendekatan pertama merujuk pada pandangan Weber saling bertemu atau melakukan transaksi ekonomi. (1965) bahwa negara adalah pemegang monopoli Daerah ini dapat dijumpai di perbatasan negara- penggunaan kekerasan fisik dalam teritori tertentu. negara yang sedang berperang. Kategori kedua adalah Klaim ini menuntut negara melakukan kontrol daerah perbatasan yang ditandai oleh interaksi terhadap daerah perbatasan karena kontrol ini antarkelompok masyarakat tapi bersifat minimal merupakan simbol dari kedaulatan negara terhadap karena konflik kekerasan masih belum terselesaikan. wilayahnya. Pendekatan kedua berpusat pada Dalam daerah perbatasan seperti ini, kedua kebudayaan bahwa relasi-relasi sosial dan budaya komunitas yang dipisahkan oleh perbatasan negara antara penduduk yang dipisahkan oleh perbatasan saling hidup di komunitasnya masing-masing dan negara telah terjadi sebelum adanya batas negara. meminimalisir interaksi yang terjadi untuk Penelitian Sassen (2005) menunjukkan bahwa dalam menghindari konflik. Kondisi ini terjadi di perbatasan dunia yang semakin terglobalkan maka perbatasan antara negara-negara yang sedang bermusuhan. menjadi ruang yang menghubungkan banyak tempat Kategori ketiga adalah wilayah perbatasan yang dan para pelaku sosial daripada arena pengendalian ditandai oleh relasi damai, kelompok-kelompok terhadap penduduk. masyarakat dari kedua negara dapat melakukan interaksi sosial, budaya, dan ekonomi tanpa gangguan. HASIL DAN PEMBAHASAN Walaupun masih ada pos-pos perbatasan, namun SEJARAH PEMBENTUKAN PERBATASAN RI- kerja sama ekonomi semakin meningkat dan MALAYSIA DI KALIMANTAN BARAT masyarakat dari dua negara semakin tergantung satu Perbatasan negara-negara di Asia pada sama lain. Kategori ke-empat adalah wilayah umumnya merupakan warisan pemerintah kolonial perbatasan antara kedua negara yang kegiatan melalui perjanjian internasional yang tidak ekonomi penduduknya merupakan suatu kesatuan melibatkan subjek yang dijajah. Penentuan batas dan kedua negara bergabung ke dalam sebuah negara antara RI-Malaysia merujuk pada perjanjian- persekutuan. Kondisi ini dapat dijumpai di negara- perjanjian antara Inggris dan Belanda, yakni Traktat negara anggota Uni Eropa, di mana perbatasan London mengenai batas-batas wilayah koloni, yang antarnegara dibiarkan longgar, tanpa adanya pos-pos ditandatangi pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian penjagaan di perbatasan. ini menyebutkan bahwa wilayah Kepulauan Melayu, Sedangkan pengelolaan perbatasan menurut Singapura, dikuasai oleh Inggris dan kawasan di Jones (1946, c.f. Bangun, 2017) dapat dibedakan sebelah selatannya dikuasai oleh Belanda. Batas antara menjadi empat tahap yakni: allocation, delimitation, kedua daerah koloni didasarkan pada pemisahan demarcation dan administration/management. Alokasi aliran sungai atau gunung, deretan gunung, batas merupakan penetapan ruang teritorial sebuah negara alam dalam bentuk punggung pegunungan sebagai hasil dari keputusan politik para penyelenggara negara tanda pemisah. yang bersangkutan. Sedangkan delimitasi adalah Konvensi Inggris-Belanda 1891 kemudian proses penetapan garis batas negara dengan mengatur prosedur penentuan batas-batas koloni. pemerintah negara lain. Setelah itu baru dilakukan Kesepakatan antara kedua negara kolonial tersebut proses demarkasi, yakni pengesahan garis batas negara ditandatangani pada 17 Februari 1913 di Tawao oleh J.H.G Schepers dan E.A. Vreede yang mewakili

Belanda, dan H.W.I Bunbury dan G.ST.V. Keddel sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian berikut. yang mewakili Inggris. Selanjutnya kesepakatan Masyarakat adat, memiliki konsepsi dan landasan tersebut disahkan kedua pemerintah di London pada filosofis yang berbeda mengenai perbatasan negara. 28 September 1915. Berdasarkan perjanjian ini, batas Mereka pada umunnya berpandangan bahwa RI-Malaysia di Camar Wulan melengkung seperti meskipun negara telah memisahkan komunitas tapal kuda, namun berganti menjadi garis lurus menjadi dua negara dengan perbatasan, mereka tetap setelah adanya MOU di Kota Kinabalu, Malaysia pada menjaga kesatuan kebudayaan dan kekeluargaan yang tahun 1974 dan di Semarang, Provinsi Jawa Tengah melampui konsepsi politik negara bangsa. pada tahun 1978. Penentuan garis batas RI-Malaysia pada segmen Jagoi diselesaikan melalui Konvensi Relasi Sosial Antaretnis di Perbatasan Inggris-Belanda 1928 yang diratifikasi pada 6 Agustus Penelitian sebelumnya tentang dimensi 1930. Konvensi tersebut menyebutkan bahwa batas kebudayaan masyarakat perbatasan di Bengkayang antara kedua wilayah di antara Gunung Api dan telah dilakukan John Haba (2005) Hasil studinya Gunung Raya sebagaimana disebutkan pada Konvensi menyatakan bahwa masyarakat perbatasan terutama 1891 (Jayanti, 2014:9-10). Dayak masih mempertahankan hubungan Jagoi Babang pada awalnya adalah bagian dari kekeluargaan walaupun tempat tinggalnya telah British-Malaya, sedangkan Hindia Belanda berkuasa dipisahkan di dua negara. Ikatan kekeluargaan sampai daerah Seluas. Tradisi lisan menuturkan tersebut dapat terjaga karena adanya komitmen untuk bahwa Belanda mendidik seorang di Seluas sehingga saling mengunjungi pada momen-momen tertentu. banyak orang Dayak di Seluas dan Jagoi berdatangan Hal ini diperkuat dengan temuan dalam diskusi untuk memutuskan masalah kemasyarakatan. Hal ini kelompok terbatas yang dilakukan oleh Tim membuat pemerintah British-Malaya keberatan dan Perbatasan IPSK LIPI di Bengkayang dan mengajukan protes kepada Belanda. Akhirnya (Propinsi Kalimantan Barat) pada tahun 2015. disepakati bahwa mereka akan bernegosiasi di mana Beberapa peserta diskusi menyebutkan bahwa tempat mereka bertemu akan menjadi garis hubungan budaya dapat dilihat pada upacara gawai perbatasan yang memisahkan British-Malaya dan yang diselenggarakan baik di Serawak maupun di Hindia Belanda. Pejabat Belanda memulai perjalanan Sambas dengan saling mengundang komunitas di malam hari menyusuri hutan dan menebus rawa- masyarakat adat di seberang. Hampir setiap bulan, rawa dari Seluas menuju Distrik Bau, Serawak tempat masyarakat adat yang menetap di 7 kecamatan Kapuas Inggris berada. Akhirnya mereka bertemu di suatu Hulu pergi menyeberang perbatasan Malaysia baik tempat yang dikenal sebagai Serikin untuk Malaysia melalui jalur imigrasi ataupun jalur tradisional (FGD dan Jagoi untuk Indonesia. Di batas antara kedua Pengelolaan perbatasan, 16 Mei 2015). tempat itu ditetapkan batas negara hingga sekarang Dayak Bidayuh adalah salah satu sub-etnis di (Surya, 26 Juni 2015). Kecamatan Jagoi Babang dan Siding yang berbatasan Dampak dari pembentukan perbatasan negara langsung dengan Serikin, Malaysia. Saudara-saudara yang merupakan warisan kolonial adalah pembatasan mereka juga banyak yang menetap di Serikin, disebut terhadap masyarakat adat di perbatasan untuk Bidayuh Serawak. Meskipun terdapat pemisahan melakukan aktifitasnya. Oleh karena itu, pembatasan perbatasan negara, kedua komunitas tersebut tetap ini mengakibatkan illegal crossing dalam perspektif berusaha untuk menyatu. Namun upaya-upaya untuk negara. Padahal bagi masyarakat adat yang lebih dulu bertemu melalui jalur lintas batas formal eksistensinya, tindakan tersebut telah dilakukan oleh menggunakan pas lintas batas seringkali menemukan nenek moyang mereka. Selain itu, sejarah kendala, karena perlintasan yang dijaga aparat pembentukan perbatasan ini tidak menghilangkan keamanan tersebut tidak dapat dilalui selama 24 jam sejarah masyarakat perbatasan karena kedua (Wawancara Sekretaris Dewan Adat Dayak komunitas masyarakat adat yang terpisah ini masih Bengkayang, 22 Mei 2015). mempertahankan relasi sosial dan kebudayaan mereka

Ikatan kekeluargaan yang kuat antara membangun pos di wilayahnya Serikin. Pelintas batas masyarakat perbatasan dua negara RI-Malaysia dapat tradisional dari kedua negara memiliki kartu pas lintas dilihat dari ilustrasi antara masyarakat Dayak Kenayan batas, dengan syarat bertempat tinggal dan memiliki di Kalimantan Barat dengan Dayak Kenayan di Kartu Tanda Penduduk di daerah Jagoi Babang. Serawak digambarkan oleh Pak Obaja, Kepala Mereka hanya melaporkan diri pada petugas imigrasi Bappeda Kabupaten Bengkayang. Adik dari ayah Pak dan kemudian melintasi perbatasan. Jumlah hari Obaja, yang bernama Simon pergi meninggalkan kunjungan dan lokasi yang dikunjungi di Malaysia tanah kelahirannya di Sintang (Kalimantan Barat) dibatasi maksimal 2 hari dan hanya sampai distrik untuk bekerja di Serawak pada tahun 1958. Simon terdekat perbatasan sehingga tidak boleh sampai ke kemudian bekerja di perkebunan dan berkeluarga Serawak. dengan penduduk Malaysia. Walaupun tinggal di dua Apabila pemerintah lebih berurusan dengan tempat yang berbeda negara, hubungan kekeluargaan kebijakan-kebijakan nasional dan kurang tetap terjaga dengan cara saling mengunjungi pada memperhatikan masalah kultural beserta sistem nilai hari Natal ataupun ketika ada acara keluarga. adat masyarakat lokal, maka masyarakat adat dan Walaupun belum ada pos lintas batas tradisional, penduduk lain yang menetap di perbatasan juga tidak mereka dapat menyeberang perbatasan dengan bebas terlalu memusingkan masalah makro batas-batas melalui jalan yang belum diaspal atau menyusuri negara yang membelah keluarga mereka. Perbedaan aliran sungai di perbatasan (Wawancara dengan konsep perbatasan antara negara dan masyarakat adat Kepala Bappeda Bengkayang, 23 Mei 2015). seperti ini memunculkan konsekuensi hukum yang Contoh lain dapat dilihat dalam cerita asal-usul dikonsepsikan sebagai pelintas batas legal dan pelintas Dayak Kenya yang menetap di Desa Long Ana, batas ilegal. Negara pada satu pihak cenderung Kabupaten Kutai Kartanegara. Kampung tersebut mengabaikan dimensi kebudayaan dan persepsi lokal merupakan kampung ke-13 dari suku Dayak Kenya, di mengenai social space dan cultural space. Sementara, mana kampung yang pertama berada di wilayah masyarakat perbatasan masih berpegang teguh pada Serawak, Malaysia. Mereka bergeser dari utara ke tradisi kebudayaan mereka dan tidak menjadikan selatan secara kolektif menerobos perbatasan peraturan negara sebagai satu-satunya yang ditaati. Kalimantan Utara-Malaysia. Dalam perspektif Dengan demikian, nilai-nilai dan tradisi kebudayaan kewarganegaraan Indonesia, suku Dayak Kenya ini sesama orang Dayak baik yang tinggal di Kalimantan masih dianggap suku dayak pendatang dari Serawak. Barat maupun Malaysia memiliki arti strategis untuk Hal yang sama juga ditemukan di Suku Dayak Ngaju, menjaga ikatan kekeluargaan maupun relasi pekerjaan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Pada setiap upacara dengan penduduk di seberang perbatasan (Haba, perkawinan mempelai laki-laki diharuskan membawa 2005). uang logam ringgit dan disebutkan nominalnya. Jika Dalam mengelola perbatasan negara di daerah tidak memiliki, maka ia harus membawa rupiah yang yang didominasi oleh satu etnis, pemerintah dihitung berdasarkan nilai ringgit dan disebut seharusnya memberikan perlakuan khusus kepada nominalnya dalam ringgit (FGD Perbatasan dalam masyarakat adat setempat untuk memudahkan dalam perspektif sosial-budaya di Jakarta, 2 Desember 2015). melalui lintas batas ketika mereka akan melakukan Pengamatan di perbatasan Jagoi Babang pada kunjungan keluarga atau upacara adat. Sedangkan bulan April 2015 menunjukkan bahwa Pemerintah kepada warga yang non-masyarakat adat, pemerintah telah melakukan pembenahan terhadap daerah dapat menerapkan aturan-aturan hukum yang berlaku perbatasan di daerah ini dan juga telah nasional seperti mewajibkan membawa paspor atau mengakomodasi kepentingan masyarakat dengan pas lintas batas (Wawancara Sekretaris Dewan Adat memberikan pas lintas batas. Pos Lintas Batas Negara Bengkayang, 22 Mei 2015). Kegagalan pemerintah (PLBN) terutama imigrasi dan bea cukai, sudah dalam memberikan perlakuan khusus memunculkan dibangun di Jagoi dan difungsikan. Namun pihak banyaknya jalan setapak, disebut sebagai jalan tikus, Malaysia belum melakukan hal yang sama yaitu yang banyak digunakan masyarakat adat untuk

melewati garis perbatasan negara yang berupa hutan, mereka dan barang yang diperdagangkan sampai gunung, atau aliran sungai. Hal ini dilakukan pasar. Tidak jelas di situ apakah para pedagang ini masyarakat adat untuk tetap menjaga ikatan memiliki paspor atau pas lintas batas. Ketika kekeluargaan dan kesukuan dengan kerabat mereka ditanyakan masalah itu, mereka pada umumnya yang menetap di Malaysia. Kampanye Negara mengatakan sudah mendapatkan ijin dari pihak-pihak Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati yang tertentu baik dari Indonesia maupun Malaysia. dipropagandakan pada masyarakat perbatasan Pembagian kerja berdasarkan aspek etnisitas sebenarnya tidak menjadi masalah ketika negara dapat dilihat di Kabupaten Bengkayang. Penduduk mengakui budaya serumpun juga harus dijaga seperti asli Kabupaten Bengkayang diperkirakan mencapai menjaga integrasi nasional. 60% terdiri atas 5 suku Dayak yakni Bekatik, Penyelundupan di perbatasan melalui jalan Kenayan, Benyado, Bidayuh, dan Iban. Mereka tikus, yang disebut dengan istilah smokel, merupakan bekerja sebagai petani, pekerja kebun, peladang, akibat logis dari pengelolaan perbatasan negara yang tukang, dan pegawai negeri sipil. Adapun penduduk belum mengakomodasi kebutuhan ekonomi pendatang terdiri atas Melayu, Tionghoa, Jawa, dan masyarakat setempat. Sebelum merdeka, beras selalu Minangkabau. Orang Melayu kebanyakan menjadi didatangkan dari Serawak melalui Bengkayang karena petani dan nelayan, orang Tionghoa bekerja sebagai jaraknya lebih dekat. Setelah Indonesia merdeka, pengusaha dan pedagang. Sedangkan orang Jawa pada kegiatan perdagangan ini disebut sebagai smokel. Jika umumnya menjadi pekerja kebun sawit dan penjual negara ingin menghilangkan penyelundupan, maka makanan. Orang Minangkabau kebanyakan bekerja di aktifitas perdagangan tradisional yang dilakukan sektor makanan. masyarakat adat juga seharusnya diberikan landasan Masuknya penduduk pendatang karena hukum. Misalnya dengan memperbanyak pasar kegiatan perdagangan dan perkebunan di Kalimantan tradisional yang mudah dijangkau, nyaman, dan bebas Barat pada tingkatan tertentu telah mendistorsi relasi- pungutan seperti di Serikin. Pasar perbatasan yang relasi sosial masyarakat perbatasan. Pola-pola relasi dibangun di Entikong, Sambas, tidak berkembang sosial yang sebelumnya dibangun berdasarkan karena banyaknya pungutan dari berbagai macam kesamaan nilai dan norma serta kesadaran sebagai institusi pengelola perbatasan, aparat keamanan, dan warga masyarakat adat sudah bergeser dari sentrifugal organisasi-organisasi masyarakat sipil terhadap para ke sentripetal. Kelompok suku-suku bangsa Batak, pedagang. Jawa, Bugis, dan Makassar yang sekarang menetap dan Pengamatan di pasar perbatasan di Serikin berdagang di perbatasan membuktikan adanya proses Malaysia menunjukkan bahwa para pedagang yang pergeseran-pergeseran dalam relasi sosial. Hal ini berjualan sebagian besar berasal dari Indonesia. menyebabkan tergesernya kebanyakan penduduk lokal Mereka berasal dari berbagai daerah di Kalimantan ke dalam posisi ekonomi yang lebih marjinal, di mana Barat seperti Pontianak, Sambas, Sanggau, dan mereka tetap bekerja di sektor pertanian. Sedangkan Bengkayang. Bahkan, etnis mereka beraneka ragam penduduk yang memiliki kesempatan memasuki yang mencakup Melayu, Padang, Jawa, Bugis, dan sektor non-pertanian cenderung bernasib lebih baik orang setempat. Para pembeli pada umumnya adalah karena masuk ke dalam komunitas yang multietnis. penduduk Malaysia dan berasal dari berbagai kota Masuknya perkebunan-perkebunan besar di seperti Serawak, Kota Kinabalu, dan Kuala Lumpur. Bengkayang misalnya mendorong penduduk lokal Mereka kebanyakan menyebutkan alasan berbelanja di tinggal di pemukiman-pemukiman sendiri yang perbatasan adalah harganya relatif murah dan sambil terpisah dengan pemukiman pendatang. Sebagai melakukan perjalanan ke luar kota. Para pedagang akibatnya tidak disadari muncul segregasi sosial pada umumnya berjualan pada hari Sabtu dan berdasarkan atas etnisitas dan agama. Minggu, mereka datang sampai perbatasan Jagoi dan Kehadiran perkebunan besar, di samping memarkir kendaraannya di sana. Setelah itu, ojek atau berdampak positif, juga menimbulkan dampak negatif kendaraan rental dari Serikin datang menjemput terhadap eksistensi masyarakat adat. Misalnya

kehadiran PT. Ledo Lestari, perkebunan karet, di masyarakat adat dan memberdayakan masyarakat yang Desa Semunying Jaya, Bengkayang, tahun 2006 ada di sekitarnya. Misalnya situs di Sekayan, Entikong, berdampak pada beberapa hal berikut. Warga dipercaya sebagai tempat lahirnya suku Dayak yang masyarakat adat Dusun Semunying Bungkang kemudian menyebar ke seluruh Kalimantan. Tradisi tergusur dan direlokasi karena tanahnya diklaim oleh lisan menceritakan bahwa pada masa lalu, muncul PT Ledo Lestari. Selain itu, perusahaan ini telah bencana yang sangat besar yang ditimbulkan oleh menggusur 16 kuburan tua yang merupakan leluhur binatang yang menyerang manusia, sehingga nenek masyarakat adat dan menghilangkan sumber obat moyang orang Dayak melarikan diri ke seluruh pulau tradisional yang selama ini menjadi obat bagi besar menjadi ratusan sub-sub suku Dayak Barat masyarakat di sekitar hutan. Dampak lainnya adalah (Wawancara dengan Yusnono, 28 Mei 2015). adanya kriminalisasi warga yang aktif membela dan Jika kita melihat rumah-rumah panjang di memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, seperti perbatasan, dapat dengan mudah ditemukan penangkapan dan intimidasi terhadap kepala desa dan peralatan rumah tangga modern, seperti kompor gas, wakil Badan Permusyawaratan Desa Semunying Jaya televisi, telepon, dan lain-lain, karena orang-orang (AMAN, 30 November 2015). Kalau hal ini dibiarkan Dayak telah berhubungan dengan penduduk yang terus menerus, maka ke depan tidak ada lagi tinggal di Malaysia. Sekarang mereka harus bekerja masyarakat Dayak asli yang tinggal di perbatasan, lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup karena daerah perbatasan didominasi oleh pendatang dengan menyesuaikan diri dengan perkembangan yang datang untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja teknologi. Untuk itu, seringkali orang Dayak di perkebunan. perbatasan menyeberang ke Malaysia baik untuk Jika ditelusuri lebih jauh, konsep bernegara bekerja maupun mendapatkan barang-barang yang bagi komunitas suku Dayak yang menetap di dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. perbatasan berbeda dengan konsep bernegara modern Realitas yang sekarang terjadi adalah adanya yang diproduksi oleh pengetahuan Barat. Konsep distorsi kebudayaan karena pengaruh media televisi bernegara dalam pandangan filosofis orang Dayak terhadap gaya hidup yang materialistis. Sebelumnya, adalah konsep kekerabatan etnis yang sama, sub-suku gaya hidup seperti ini tidak dikenal dalam tradisi yang sama yang dibentuk oleh garis keturunan yang orang Dayak yang hidup dalam nilai-nilai kolektivitas. sama. Dengan demikian konsep kekeluargaan orang Sebagian anggota masyarakat adat belum mampu Dayak masih cukup kental dan melampui garis batas mengidentifikasi nilai atau norma apa yang sesuai atau negara-bangsa. Hal ini membantu kita memahami tidak sesuai dengan kebudayaan orang Dayak. Sebagai mengapa ikatan kekeluargaan orang-orang Dayak akibat globalisasi budaya di perbatasan, sekarang ini masih tetap terjaga walaupun dipisahkan oleh banyak orang Dayak di pedesaan pergi ke karaoke perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat ataupun menggelar pertunjukan musik dangdut. (Wawancara dengan Yusnono, 25 Mei 2015). Walaupun adat-istiadat, seperti penghormatan kepada Terkait dengan hal tersebut, pengelolaan orang tua, masih dihormati di kalangan orang Dayak, perbatasan hendaknya tidak hanya memfokuskan alam tempat mereka hidup perlahan-lahan dirusak pada pembangunan institusi-institusi negara yang oleh perusahaan kelapa sawit dan karet yang mengelola perbatasan, namun juga memperkuat menuntut banyak tanah dan tenaga profesional dari perspektif kebudayaan masyarakat perbatasan. Hal ini masyarakat non-Dayak. Kerusakan lingkungan dapat dapat dilakukan dengan memetakan persoalan- menyebabkan mereka mengalami pergeseran dalam persoalan sosial budaya masyarakat perbatasan, yang modus produksi yang selanjutnya bermuara kepada pada akhirnya dapat memperkuat lembaga-lembaga pergeseran nilai-nilai kebudayaan, yakni dari adat maupun keagamaan yang berperan penting kolektivitas ke individualistik. Sekarang ini, banyak dalam menjaga tradisi kebudayaan masyarakat sekali kampung-kampung orang Dayak yang hilang perbatasan. Selain itu, juga mengelola dan digantikan dengan kebun karet dan kelapa sawit yang melestarikan tempat-tempat yang dianggap sakral oleh

menghampar sangat luas sepanjang perbatasan Konflik dan Trauma Masyarakat Perbatasan Kalimantan Barat. Relasi antaretnik di perbatasan Bengkayang Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan juga masih dipengaruhi oleh sejarah konflik pada Barat harus dikelola dengan menitikberatkan budaya masa lalu, terutama pergolakan pada tahun 1950 dan masyarakat perbatasan, dalam hal ini masyarakat konflik Dayak-Madura pada tahun 1978. Konfrontasi Dayak. Perbatasan hendaknya tidak dieksploitasi Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1964 untuk kepentingan politik dan ekonomi, yakni memunculkan trauma bagi masyarakat perbatasan. menciptakan proyek-proyek pemerintah pusat di Peristiwa ini diakui telah berpengaruh dalam daerah. Perbatasan memang harus dibangun agar memandang Indonesia, Malaysia maupun terhadap wajah Indonesia merupakan wajah yang berbudaya, komunitas adat mereka. Menurut Mackie dan termasuk budaya masyarakat adat yang hidup dengan Davidson, Kalimantan Barat memperoleh perhatian alam harus dijaga oleh negara. Namun, akses terhadap yang sangat besar dari Pemerintah Presiden Soekarno sumber daya dan kebutuhan mereka akan ketika berdiri negara Malaysia pada 1961. Presiden transportasi, pendidikan, dan kesehatan juga harus Soekarno mengklaim bahwa Malaysia adalah negara tetap diperhatikan agar dapat menyesuaikan diri boneka kolonial bentukan Inggris yang merupakan dengan proses modernisasi yang berjalan dengan bentuk ancaman imperialisme barat terhadap sangat cepat di perbatasan. Pemerintah di Kalimantan Indonesia. Oleh sebab itu, Presiden Soekarno Barat, disarankan agar tidak hanya mengembangkan melawan pembentukan negara Malaysia dan perkebunan kelapa sawit seluas 1,5 juta Ha di menetapkan kebijakan Dwi Komando Rakyat sepanjang perbatasan tetapi juga menjaga hutan (Dwikora), yakni menggagalkan negara Malaysia dan perawan tempat hidup masyarakat adat Dayak. mengajak mobilisasi umum untuk membantu Pembangunan jalan-jalan paralel seharusnya mampu perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Sebagai menghubungkan antarkampung dan antara kampung akibatnya, Kalimantan Barat dijadikan basis militer dengan kota sehingga mendorong pemberdayaan dan Indonesia dalam konfrontasi dengan Malaysia pada percepatan pembangunan ekonomi. Jalan dibangun tahun 1963 sampai berakhir pada bulan Agustus 1966 harus menghubungkan manusia dengan manusia, (Yusnon, 2002). bukan semata untuk kepentingan pertahanan dan Namun, implikasinya dari peristiwa tersebut ekonomi. Pemerintah menambah panjang jalan yang masih berlanjut hingga kini di sekitar wilayah beraspal dan kebun kelapa sawit agar masyarakat perbatasan karena melahirkan konflik kekerasan perbatasan lebih berbudaya. Kalau masyarakat antara orang Dayak dengan komunitas Tionghoa. perbatasan sejahtera, maka mereka akan semakin Setelah operasi militer Dwikora dihentikan oleh mencintai Indonesia dan membela tanah airnya. Pemerintah Orde Baru, sebagian pasukan yang Tuduhan penyelundupan terhadap masyarakat bertugas di perbatasan Kalimantan, terutama pasukan perbatasan sesungguhnya tidak benar. Menurut tentara sukarelawan dan pasukan-pasukan lainnya Yusnono, peneliti Institut Dayakologi, masyarakat yang loyal terhadap Presiden Soekarno tidak bersedia kecil hanya membawa barang dari Malaysia atau dari mengundurkan diri dari perbatasan. Mereka Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- mempertahankan posisinya di perbatasan Indonesia hari. Mereka menyeberang ke perbatasan lebih banyak dan Malaysia dan menamakan dirinya PGRS/Paraku untuk acara keluarga dan upacara adat daripada (Persatuan Gerakan Rakyat Serawak/Pasukan Rakyat kegiatan yang bersifat perdagangan gelap. Pemerintah Kalimantan Utara). Gerakan ini seringkali dapat mengidentifikasi masyarakat adat yang sering melancarkan serangan-serangan bersenjata baik menyeberang ke perbatasan dan memudahkan mereka kepada TNI maupun Tentara Diraja Malaysia. Para dengan pas lintas batas. Penduduk kategori ini tidak sukarelawan tersebut sebenarnya tidak puas dengan perlu membayar pajak apapun ketika masuk dan kebijakan Pemerintah Orde Baru yang seolah-olah keluar perbatasan (Wawancara dengan Yusnono, 28 berdamai dengan kekuatan imperialisme. Mei 2015).

Kesulitan dalam menghadapi serangan-serangan dibantu orang-orang Dayak. Peristiwa ini dikenal PGRS/Paraku menyebabkan rejim militer Orde Baru dengan Perang Kenceng yang mengakibatkan orang memobilisasi orang Dayak untuk melawan orang- Tionghoa terusir dan mengungsi ke tempat baru yang orang Tionghoa yang diduga mendukung gerakan sekarang ini dikenal sebagai Kota Bengkayang tersebut. Militer meminta Gubernur Kalimantan (Wawancara Sekretaris Dewan Adat Dayak Barat Oevang Oeray agar memobilisasi suku Dayak Bengkayang, 22 Mei 2015). untuk menumpas gerakan separatis ini. Militer Selain konflik Dayak-Tionghoa, konflik etnis di Indonesia kemudian melakukan propaganda di perbatasan Kalimantan Utara yang seringkali terjadi komunitas Dayak bahwa orang komunis tidak adalah antara suku Dayak dengan Madura. Yunita menyukai tradisi orang Dayak. Juga disebutkan dalam (2014) menulis bahwa konflik Dayak-Madura di propaganda ini bahwa anggota-anggota gerakan Kalimantan Barat terjadi di Bengkayang karena PGRS/Paraku adalah kaum komunis yang atheis dan kesalahpahaman memahami budaya satu sama lain orang Dayak tidak dapat hidup bersama komunis. dan adanya marjinalisasi masyarakat Dayak dalam Orang Dayak diprovokasi bahwa para Tionghoa ekonomi yang dikuasai oleh warga pendatang Madura Serawak ingin mengambil wilayah Indonesia dengan (Yunita, 2012). Gambaran penyebab konflik etnis ini mendirikan negara perbatasan Kalimantan Utara. argumen budaya, argumen marginalisasi, dan Setelah pertemuan mantan gubernur Oeray dengan argumen manipulasi politik. Selain itu juga tokoh-tokoh Dayak, kemudian dilancarkan gerakan identifikasi simbol-simbol budaya seperti istilah-istilah, pembersihan etnis Tionghoa di perbatasan Indonesia- mitos, dan konsep budaya tertentu. Misalnya, —nyawa Malaysia. Seluruh kepala kampung di Kewedanan ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi“ di Bengkayang diminta datang ke Samalantan kalangan masyarakat Dayak, adat pati nyawa. Apabila menghadiri pertemuan dengan mantan Gubernur seorang Dayak telah dilukai atau dibunuh, maka Oevang yang memerintahkan operasi pembersihan komunitas tersebut akan mengedarkan mangkok (Purmintasari, 2015). merah yang dimaknai sebagai ajakan berperang untuk Berbagai cerita menyebutkan orang Tionghoa membunuh salah satu anggota musuh yang telah dipaksa untuk meninggalkan desa-desanya di melukai atau membunuh. Sementara Suku Madura pedalaman Kalimantan untuk pindah ke perkotaan. memiliki budaya carok dengan semboyan: —Ango‘an Alasannya adalah untuk mengontrol dan poteya tolang, etembhang poteya mata“ yang artinya mengendalikan orang Tionghoa agar mereka tidak kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup mendukung gerakan PGRS/Paraku. Gerakan dengan perasaan malu (Yunita, 2012). pembersihan terhadap orang Tionghoa berlangsung Yuanita menuliskan konflik antara Suku Dayak selama 3 bulan dan mengakibatkan kurang lebih 3000 dan Suku Madura di Bengkayang, yakni di Kecamatan orang Tionghoa terbunuh. Sebagian besar mereka Samalantan dan Monterado pada tahun 1979 (Yunita, kemudian mengungsi ke pantai-pantai barat 2012). Konflik berawal dari terbunuhnya salah Kalimantan, terutama Pontianak dan Singkawang seorang dari suku Dayak oleh salah seorang suku (Tirtosudarmo, 2005). Madura. Pelaku dari Madura telah dianggap Tradisi lisan di Bengkayang menuturkan bahwa melanggar adat pati nyawa dan memunculkan konflik berdarah dengan etnis Tionghoa ini juga kemarahan orang Dayak karena adat-istiadatnya telah pernah terjadi dalam sejarah Kerajaan Sambas. Pada direndahkan oleh komunitas Madura. Pada saat yang akhir abad ke-17, sekumpulan penambang Tionghoa sama, hubungan sosial antara kedua suku ini masih diijinkan Sultan Sambas untuk mengeksplorasi bijih ditandai dengan prasangka negatif dan persaingan. emas di Monterado. Lama kelamaan jumlah mereka Orang Madura dianggap telah melanggar perjanjian bertambah banyak dan memiliki pasukan keamanan. damai dari konflik sebelumnya dengan mengulangi Karena merasa terancam akan kehilangan melakukan pembunuhan terhadap orang Dayak. kedaulatannya, Sultan Sambas bekerjasama dengan Berita pembunuhan ini menyebar ke seluruh suku Belanda menyerang para penambang Tionghoa Dayak dan Madura sehingga hampir menyulut

kerusuhan etnis. Bahkan, Suku Dayak di Samalantan dari beberapa informan, salah satu penyebab dan Monterado telah meminta bantuan kepada Suku utamanya berakar dari kesalahpahaman budaya. Dayak yang lainnya di daerah lain dengan Misalnya, orang Madura seringkali membawa senjata mengedarkan —Mangkok Merah“, sementara Suku tajam ketika mereka bepergian. Meskipun sudah Madura meminta bantuan ke Bangkalan Madura. menjadi budaya Madura, namun suku lain termasuk Pemerintah segera mengamankan dan melokalisir Melayu dan Dayak menganggap bahwa senjata tajam daerah konflik dengan dukungan aparat militer dan yang dibawa orang Madura membuat orang dari suku kepolisian. Selama dua hari, kerusuhan yang telah lain merasa terancam dan tidak aman. Selain itu juga menjalar ke beberapa daerah di Bengkayang dapat pandangan orang Madura mengenai batas kebun yang diredam. Kemudian, proses mediasi berhasil dengan selalu ditandai dengan tumbuh-tumbuhan yang perdamaian di antara kedua suku dan pendirian tugu mereka tanam. Hal ini seringkali menimbulkan perdamaian atau dikenal dengan Tugu Pancasila di konflik perebutan tanah dengan suku-suku lain Samalantan. Di Monterado dibangun tugu (Wawancara dengan Sekretaris Dewan Adat Dayak perdamaian yang disebut dengan Tugu Bendera Bengkayang, 22 Mei 2015). dengan lima pilar dan bendera merah putih. Pada tahun 1980, pemerintah melakukan KESIMPULAN pemindahan penduduk di pedalaman yang dianggap Beberapa kesimpulan lainnya dapat diuraikan terpencar-pencar ke dalam pemukiman yang menetap. sebagai berikut. Masyarakat perbatasan di Bengkayang Menurut Davidson, melalui program ”Penataan dan Serawak pada dasarnya memiliki kesamaan aspek- Kembali Desa-desa‘ dilakukan penggabungan dari aspek kebudayaan seperti tradisi dan bahasa. Kedua desa-desa yang jarang penduduknya itu sehingga dari komunitas ini dipisahkan oleh batas-batas politik 4362 menjadi 1297 desa baru yang lebih besar administratif, namun masih termasuk masyarakat adat (Tirtosudarmo, 2002: 42). Motivasi program ini yang sama. Mereka memiliki identitas kebudayaan adalah kepentingan untuk memudahkan yang sama, serta berbagi sejarah pada masa lalu. dilancarkannya program-program pembangunan dan Kegiatan lintas batas sosial budaya terutama untuk kepentingan militer yakni memudahkan kunjungan keluarga berlangsung hampir setiap hari di kontrol dan mobilisasi penduduk dalam perbatasan Jagoi Babang. Pemerintah menerapkan memenangkan Golkar. Kebijakan ini telah mengubah penggunaan Pas Lintas Batas di kedua daerah struktur kepemimpinan masyarakat adat di perbatasan tersebut untuk memudahkan masyarakat Kalimantan Barat. Kekuasaan para pemimpin adat melakukan kegiatan lintas batas. dipindahkan oleh pemerintah kepada kepala desa Terkait dengan pengelolaan perbatasan negara, yang secara administratif merupakan alat kepentingan masyarakat adat di kedua daerah tersebut juga pemerintah. Dalam realitasnya, masalah yang diurusi memiliki masalah yang hampir sama, di mana oleh kepala adat seperti perkawinan dan pelanggaran kegiatan lintas batas tradisional masih dibatasi, hanya adat istiadat seringkali juga ditangani oleh pada siang hari, karena petugas imigrasi di perbatasan Pemerintah, sehingga hukum adat sulit diterapkan di jumlahnya terbatas dan pos imigrasi tidak sebanding perbatasan Kalimantan Barat (Tirtosudarmo, 2002: dengan panjang perbatasan dan jumlah penduduk 42). perbatasan. Sebagai akibatnya, seringkali lintas batas Pada tahun 1996 muncul konflik kekerasan tradisional berlangsung tanpa melalui pos perbatasan antara etnik Melayu dan Madura yang terjadi di resmi. Masyarakat sudah biasa berjalan menyusuri Kabupaten Sambas, induk dari Kabupaten sungai, lembah, atau gunung ataupun dengan Bengkayang, memakan ratusan korban jiwa. Sebagai menggunakan sepeda motor melintas perkebunan akibatnya seluruh komunitas sukubangsa Madura kelapa sawit untuk kunjungan kekeluargaan dan diusir dari Kabupaten Sambas dan dilarang kembali. upacara adat. Masyarakat perbatasan masih Orang-orang Madura kemudian mengungsi ke Kota menyimpan trauma masyarakat yang muncul dari Pontianak dan daerah-daerah lain. Menurut informasi

sejarah konflik kekerasan penumpasan PGRS/Paraku wilayah adat mereka. Pemerintah dapat memperluas di Kalimantan Utara. jangkauan penerima PLB dan memperbaiki kualiatas Perbatasan negara tidak dipandang sebagai pelayanan PLB, serta menambah jumlah PLB di sesuatu yang statis dan pendekatan tunggal keamanan sepanjang daerah yang selama ini dianggap sebagai negara sudah tidak lagi relevan digunakan untuk jalan setapak. melakukan kontrol dan pembatasan terhadap Jika kita merujuk pada kerangka konsep yang penduduk perbatasan. Globaliasi telah melahirkan telah dijelaskan di muka, maka daerah perbatasan di agen-agen lintas batas negara yang tidak lagi dibatasi Kabupaten Bengkayang termasuk kategori saling oleh negara bangsa. Penempatan aparat-aparat bergantung (interdependent), menurut Martinez (1994). keamanan dan imigrasi hendaknya ditujukan bukan Masyarakat adat di Jagoi Babang dan Serikin-Malaysia, untuk menghambat arus keluar masuk penduduk di saling melakukan transaksi yang bersifat ekonomi dan perbatasan tetapi melayani dan memudahkan kegiatan relasi sosial-budaya yang berkelanjutan. Namun, lintas batas penduduk. Masyarakat adat seharusnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang berlangsung ini diberi ruang yang lebih luas untuk berperan dalam dalam jumlah yang relatif terbatas. Hal ini disebabkan pengelolaan perbatasan. Misalnya dapat dilakukan oleh infrastruktur yang terbatas dan peraturan dengan mengangkat perwakilan mereka dalam Badan perdagangan internasional yang masih berorientasi Pengelola Perbatasan Daerah atau pada Pos Lintas pada Pusat. Konsep perbatasan yang ideal yakni, Batas. Hal ini karena masyarakat perbatasan terintegrasi secara ekonomi, nampaknya masih sesungguhnya yang memiliki kedaulatan di perbatasan memerlukan waktu.

REFERENSI Research on Humanities and Social Sciences: 5(20): 9- Bangun, B.H. (2015). Konsepsi dan Pengelolaan Wilayah 15. Perbatasan Negara: Perspektif Hukum Internasional Hermansyah, Hermansyah (2014). "Islam dan Toleransi Budi Hermawan Bangun. Tanjungpura Law Journal: Beragama dalam Masyarakat Muslim Kanayatn Dayak 1(1): 52-63. di Kalimantan Barat." ISLAMICA: Jurnal Studi Elisa, R., Mering, A., dan Sanulita, H. (2015). Kajian tentang Keislaman Vol. 7, No. 2, 2014, hlm. 340-359. Musik Maniamas Dayak Bidayuh Kabupaten Jayanti, Y.D. (2014). Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Bengkayang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran 4 (6). Darat antara Indonesia dan Malaysia (Studi Kasus di FGD “Pengelolaan Perbatasan” yang diselenggarakan oleh Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat). Jurnal Tim Perbatasan IPSK LIPI di Bengkayang, 21 Mei Mahasiswa Fakultas Hukum. 2015. Jonses, S.B., (1945). Boundary-making: A Handbook for FGD “Pengelolaan Perbatasan” yang diselenggarakan oleh Statesmen, Treaty Editors, and Boundary Tim Perbatasan IPSK LIPI di Pontianak, 26 Mei 2015. Commissioners. Washington: Carnegie Endowment FGD “Pengelolaan Perbatasan” yang diselenggarakan oleh for International Peace. Tim Perbatasan IPSK LIPI di Jakarta, 17 September Kifli, G.C. (2007). Strategi Komunikasi Pembangunan 2015. Pertanian pada Komunitas Dayak di Kalimantan Barat. Haba, John (Ed) (2007). Potret Desa-Desa Perbatasan di Agricultural Development Communication Strategy of Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Pusat Dayak Community in West Kalimantan. Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI dan King, V.T. (1993). The People of Borneo. Oxford: Blackwell. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna Muawanah, S. (2015). Nasionalisme Melalui Pendidikan LIPI. Agama pada Peserta Didik SMA/SMK/MA di Wilayah Habba, John (2005). Hubungan Etnis: Jagoi Babang dan Perbatasan Kalimantan Barat. Jurnal SMART (Studi Entikong. Di Riwanto Tirtosudarmo dan John Habba Masyarakat, Agama dan Tradisi): 1(2):137-150. (Eds.). Dari Entikong Sampai Nunukan. Jakarta: Pustaka Martinez, O. J. (1994). The Dynamics of Border Interaction: Sinar Harapan. New Approaches to Border Analysis. Dalam C.H. Hadiwijoyo, S.S. (2009). Batas Wilayah Negara Indonesia: Schofield (Ed.), Global Boundaries, World Dimensi, Permasalahan, dan Strategi Penanganan. 'Boundaries, (1: 1-15). London: Routledge. Yogyakarta: Gava Media. Prasojo, Z.H. (2013). "Dinamika Masyarakat Lokal Di Halim, A. (2015). Cultural Capital to Establish Spirit Perbatasan." Walisongo 21 (2). Nationalism Study of Values Local Dayak Purmintasari, Y.D. (2015). “Peristiwa Pemberantasan PGRS- Communities Border Region in Sub Jagoi Babang, Paraku di Kalimantan Barat Tahun 1967.” Jurnal Socia , West Kalimantan Province. 12 (1).

Rahmaniah, S.E. (2015). Peran Generasi Bina Bangsa (GNBI) Wawancara dengan sekretaris Dewan Adat Dayak dalam Memberdayakan Masyarakat Perbatasan Jagoi Bengkayang, 22 Mei 2015. Babang Kabupaten Bengkayang. Inferensi: 9 (1): 183- Wawancara dengan Yusnono, Institut Dayakologi, 28 Mei 208. 2015. Sassen, S. (2005). When National Territory is a Home to the Weber, M. (1965). The Theory of Social and Economic Global: Old Border to Novel Borderings. New Political Organization. New York: Free Press. Economy: 10 (4). Wuryandari, Ganewati (Ed.) (2009). Keamanan di Perbatasan Septariani, Muthia (2014). Sengketa-Sengketa Perbatasan di Indonesia Timor Leste: Sumber Acuan dan Kebijakan Wilayah Darat Indonesia. Al Adl Jurnal Hukum 6 (11). Pengelolaannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sulehan, J., Bakar, N.R.A., Awang, A.H., Yusof, M & Liu, O.P. Yunita, F.A. (2014). Peristiwa Sendoreng di Kecamatan (2013). Development at the Margins: Livelihood and Samalantan Kabupaten Bengkayang (Kajian Historis Sustainability of Communities at Malaysia - Indonesia Tentang Konflik Etnis Dayak-Madura Terbesar Pertama Borders. Sociologija i prostor, 51 (2013) 197 (3): 547- di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 1979). Disertasi 562. pada Universitas Negeri Yogyakarta. Tanasaldy, Taufiq (2008). Politik Identitas di Kalimantan Barat. Resume Kesaksian Jamaludin Semunying Kalbar. Di Henk S. Norholdt dan Gerry Van Klinken (Eds.), http://www.aman.or.id/wp- Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV dan Obor. content/uploads/2014/05/Resume-Kesaksian- Tirtosudarmo, Riwanto (2002). Kalimantan Barat sebagai Jamaludin-Semunying-Kalbar.pdf, (Diunduh pada 30 “Daerah Perbatasan”: Sebuah Tinjauan Demografi November 2015). Politik. Antropologi Indonesia 67. Surya, A. (2015, 26 Juni). Wilayah Malaysia yang diambil Tirtosudarmo, Riwanto. (2005). Wilayah Perbatasan dan Indonesia. Dalam Tantangan Indonesia Abad 21: Sebuah Pengantar. Di http://www.kompasiana.com/suryakelana/wilayah- Riwanto Tirtosudarmo dan John Habba (Eds), Dari malaysia-yang-diambil- Entikong Sampai Nunukan. Jakarta: Sinar Harapan. Indonesia_55001974a33311a96f50fe1e (Diunduh 1 Wawancara dengan Kepala Bappeda, Bengkayang, 23 Mei Agustus 2015). 2015.