Bab I Krisis Film

Jatuh Bangun Perfilman Indonesia Film Indonesia telah berumur kurang lebih seratus tahun sejak kemunculannya yang pertama. Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ (1926) adalah film cerita pertama yang diproduksi di Hindia Belanda berlatar legenda Sunda. Pertunjukan besar pertama tanggal 5 Desember 1960 dilakukan di Tanah Abang, dengan harga karcis 2 gulden Belanda untuk kelas 1, 1 gulden untuk kelas 2, dan 0,50 gulden untuk kelas 3. Film ―Loetoeng Kasaroeng‖ merupakan campuran pertunjukan antara wayang dan sandiwara, satu bentuk kesenian yang sudah cukup dikenal masyarakat sebelumnya. Pertunjukan film ini cukup berhasil di kala itu, karena penonton lebih suka film cerita daripada film dokumenter yang biasa diputar oleh bangsa penjajah (Biran, M.Y., 2009). Industri film di Indonesia masih belum banyak berkembang dan berubah sejak film pertamanya di era penjajahan. Perfilman nasional mengalami titik-titik kritis mulai dari produksi pertamanya di era penjajahan, pasca kemerdekaan, menjelang reformasi tahun 1998, dan era reformasi tahun 2000-an. Sampai kini, industri perfilman nasional belum memiliki fungsi yang lengkap sebagai sebuah industri. Industri film Indonesia sempat mengalami mati suri, bagaikan hidup segan, mati tak mau. Beberapa titik kritis berhasil dilalui, namun usaha dan perjuangan untuk terus bangkit dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, masih terus berlanjut. Berdasarkan studi pendahuluan tentang film Indonesia di tahun 2007 yang merangkum film-film Indonesia berdasarkan genre dari tahun 1989-2006; dan kemudian dilanjutkan kembali di tahun 2014-2015 untuk data film

1 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Indonesia Pasca Reformasi sampai tahun 2015. Kedua studi pendahuluan tersebut dirangkum pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Produksi Film Indonesia Tahun 1989-2015 Tahun Horor Komedi Action Drama Animasi Anak Thriller Total 1989 16 22 31 34 0 1 0 104 1990 7 25 26 52 0 0 0 110 1991 2 10 19 30 0 0 0 61 1992 2 10 5 14 0 0 0 31 1993 2 4 9 11 0 0 0 26 1994 2 4 4 23 0 0 0 33 1995 0 0 2 20 0 0 0 22 1996 1 0 1 31 0 1 0 34 1997 1 0 1 30 0 0 0 32 1998 0 0 3 1 0 0 0 4 1999 0 0 1 1 0 1 1 4 2000 0 0 0 10 0 1 0 11 2001 1 0 0 1 0 0 1 3 2002 5 1 0 8 0 0 0 14 2003 1 0 1 10 0 3 0 15 2004 4 0 0 25 0 2 0 31 2005 4 0 1 18 0 2 0 25 2006 8 0 0 27 0 1 0 36 2007 21 6 0 33 0 2 0 62 2008 21 19 1 52 0 2 4 99 2009 26 16 1 42 0 1 1 87 2010 23 23 3 45 0 0 1 95 2011 16 16 2 55 0 2 2 93 2012 23 21 1 54 1 3 5 108 2013 16 6 0 70 2 2 5 101 2014 27 18 10 42 2 2 1 112 2015 29 20 0 64 2 5 2 115 Sumber: Katalog Film Indonesia Tahun 2007, dan http://filmindonesia.or.id Ada 1.468 film Indonesia yang ditemukan datanya. Dari keseluruhan data tersebut tidak semua film ditonton, sebagian besar hanya dibaca sinopsisnya saja. Ketika data-data kuantitatif tersebut dipetakan dalam bentuk grafik, maka dinamika produksi film Indonesia sepanjang tahun 1989 sampai 2015, tampak pada Gambar 1.1.

2 Krisis Film Indonesia

Gambar 1.1. Dinamika Film Indonesia Tahun 1989-2015 Penjelasan lebih detil tentang data-data perfilman di atas, dapat dilihat di Bab tiga. Dinamika film Indonesia sepanjang duapuluh tujuh tahun terakhir menunjukkan posisi yang turun naik. Satu dekade sebelum reformasi, kondisi perfilman menurun tajam. Pemerintah turut campur dalam menentukan film mana yang boleh atau tidak boleh diputar, ekspresi kebebasan dibatasi. Tumbangnya rezim Orde Baru mengakibatkan industri perfilman nasional mengalami babak baru Pasca Reformasi. Era Reformasi adalah era di mana beberapa peristiwa besar juga menandai perubahan dalam perfilman Indonesia. Adanya aksi protes bulan Januari tahun 2007 di Taman Ismail Marzuki yang diinisiasi oleh pembuat film yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI)1, merupakan tonggak awal yang ditancapkan generasi baru pembuat film Indonesia. Mereka yang tergabung dalam MFI ini – , , Nia Dinata dan kawan-kawan—berorasi di TIM, mereka protes dengan pemilihan film ―Ekskul‖ sebagai film

1 Masyarakat Film Indonesia (MFI) terdiri dari para movie-maker muda yang tidak setuju dengan keputusan dewan juri di FFI 2006 yang memilih film ―Ekskul‖ sebagai film terbaik. Film tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran hak cipta karena menggunakan ilustrasi musik dari film lain. Sebanyak 31 sineas menandatangani surat protes dan pengembalian piala Citra secara simbolik di Taman Ismail Marzuki, piala yang pernah mereka terima selama tiga tahun terakhir sejak 2007 tersebut. Selain protes terhadap kinerja penyelenggaraan festival film dalam negeri --dianggap tidak kredibel, mereka juga protes dengan kinerja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak serius menata-kelola perfilman di Indonesia (Gatra, 2007). 3 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia terbaik FFI 2006, dan mengembalikan piala-piala Citra yang pernah mereka dapatkan. Di kantor Miles Production Jakarta, Riri Riza menyatakan bahwa sudah saatnya mereka (MFI) menyatakan sikap: ―Sekarang, saya dan teman-teman menyatakan sikap. Puncaknya di 2006, Ekskul dimenangkan, sebuah film yang jelas-jelas melakukan pelanggaran hak cipta, merendahkan martabat kami sebagai pembuat film. Kami membuat film, membuat musiknya satu per satu, memikirkannya baik- baik,..‖ (Wawancara dengan Riri Riza, 11 April 2007). Sesudah peristiwa itu, gelombang pemain-pemain baru dalam industri perfilman nasional makin banyak muncul. Mereka tergolong ke dalam generasi muda movie-maker sesudah Mira Lesmana, Riri Riza, dan Nia Dinata; antara lain adalah Rizal Mantovani, , Ari Sihasale dan Nia Zulkarnain, Sheila (Lala) Timothy, Atid Sammaria, , dan lain-lain. Pemain-pemain baru tersebut memberi dinamika, warna baru dalam perfilman Indonesia. Perubahan dimulai dari film ―Kuldesak‖ (1998-1999) sebuah film independen yang diproduseri oleh Mira Lesmana, Rizal Mantovani, Riri Riza, dan Nan Achnas. Film lain sesudahnya seperti ―Petualangan Sherina‖, ―Ada Apa Dengan Cinta‖ (AADC), dan ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ memberi kesegaran, cerita dan warna yang baru dalam film Indonesia. Film ―Petualangan Sherina‖ dan ―AADC‖ bahkan berhasil memperoleh apresiasi yang tinggi dari penonton. Fenomena tersebut membuat peta perfilman Indonesia berubah (Manurung, E. M., 2008). Perubahan yang diinisiasi oleh generasi muda pembuat film itu tidak berjalan mulus, satu dekade sesudah Reformasi industri film mengalami penurunan kembali, baik dari segi variasi, namun terutama dari segi penontonnya. Film Indonesia seperti kehilangan daya tarik. , dalam sebuah wawancara di Institut Kesenian Jakarta, mengemukakan bahwa secara konten film Indonesia belum banyak berubah: ―kalo saya boleh jujur, udara bebas ini membuat anak-anak muda itu memiliki bandingan-bandingan yang banyak, sehingga secara teknis mereka bagus. Tetapi secara content- 4 Krisis Film Indonesia

wise, tunggu dulu! Banyak juga yang mengeluh bahwa film Indonesia kehilangan sukma…temanya maksud saya, dari dulu surealis itu ada, Pak Asrul Sani dengan ‗Jam Malam‘- nya, saya membuat ‗Rembulan dan Matahari‘, Bachtiar Siagian dengan dialog-dialog intelektualnya, semuanya ngga kalah‖ (Rahardjo, S., 3 Mei 2007). Perfilman Indonesia kembali dihadapkan pada suatu kondisi yang dilematis, tegangan-tegangan yang menaik atau menurun, dari segi peningkatan jumlah produksi, variasi tema cerita dan genre, dengan jumlah penonton yang malah turun; demikian juga dengan pendapat sineas muda dan seniornya yang tampak bertentangan. Temuan senada tentang naik turunnya film Indonesia dalam dinamika perfilman sepanjang tahun 1926-2010 diungkapkan oleh Barker, Thomas (2011) pada Gambar 1.2.

Sumber: Barker, T.A.C., 2011 Gambar 1.2. Dinamika Film Indonesia Tahun 1926-2010 Sebelas tahun sesudah reformasi, yaitu tahun 2009-2013, di saat era kebebasan dan berekspresi terbuka lebar, film Indonesia

5 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia sempat mengalami penurunan dan stagnasi kembali. Data menunjukkan bahwa sekalipun jumlah film dan jumlah bioskop bertambah, penonton film Indonesia justru menurun, terutama di tahun 2012 ke 2013, seperti tampak di Gambar 1.3. Film Indonesia di setiap masa/era senantiasa mengalami kondisi yang jatuh bangun.

Sumber: filmindonesia.or.id, 2014 Gambar 1.3. Grafik Data Penonton Film Indonesia Tahun 2010-2013

Fenomena FFI 2015 Tanggal 28 November tahun 2015, Festival Film Indonesia (FFI) telah diselenggarakan kembali. Festival tersebut menunjukkan hasil yang berbeda dari FFI-FFI sebelumnya karena para pemenangnya sejalan dengan kategori pemenang di festival film yang sama di negara lain. Film ―Siti‖ terpilih sebagai film terbaik pada FFI 2015. Ketua dewan juri FFI 2015, Olga Lydia, menjelaskan penjurian dilaksanakan secara terpisah. Masing-masing juri bebas memilih filmnya sendiri dan memasukkan pilihannya secara online pada basis data tanpa ada diskusi dan tekanan dari pihak tertentu. Selain seratus orang juri yang kredibel di bidangnya, dipilih juga limabelas juri yang memiliki pengetahuan di luar film, seperti pakar budaya, pakar musik, dan kritikus film (Antara News, 13 November 2015). Salah seorang juri, Garin Nugroho2 mengatakan, Festival Film Indonesia kali ini menjadi peta baru sinema Indonesia. Di saat

2Garin Nugroho adalah seorang produser dan sutradara yang mumpuni di bidangnya. Garin adalah pelopor avant-grade yang menjadi ruang tumbuh bagi bibit-bibit baru movie-maker Indonesia, generasi pasca 1998. Karya-karyanya yang beragam 6 Krisis Film Indonesia organisasi film baik dari aspek profesi, produksi, maupun distribusi, belum menumbuhkan sistem yang memberi hidup sinema Indonesia Pasca Reformasi, FFI 2015 menjadi peta baru yang menunjukkan bahwa sinema Indonesia diselamatkan oleh kreator-kreator (movie- maker)-nya, bukan oleh sistem. Terpilihnya film terbaik ―Siti‖ dan sutradara terbaik yaitu Joko Anwar, membuktikan bahwa apresiasi film saat ini berada dalam pemahaman apresiasi yang sama dengan festival film dunia. Sudah terlalu lama pilihan FFI bertolak-belakang dengan pilihan festival film dunia. Film ―Siti‖ karya meraih Arte Award di Busan Film Festival, sebuah penghargaan bergengsi dari rumah produksi dan distributor di Perancis, di samping juga menembus festival Telluride Amerika. Sementara Joko Anwar telah berhasil membawa filmnya ―A Copy of My Mind‖ ke beberapa deret festival bergengsi di Venesia, Toronto, serta Busan. Awal Desember 2015, Joko Anwar juga berhasil menggandeng rumah produksi di Korea untuk menyiarkan serial terbaru garapannya di saluran HBO Asia, sebuah serial dark-thriller yang diberi judul ―Halfworlds‖. Film ―Siti‖ merupakan film independen yang diproduseri oleh Ifa Isfansyah di tahun 2014. Film ini dibuat dengan anggaran rendah sebesar Rp 150 juta (seratus limapuluh juta rupiah) dan memang tidak ditujukan untuk konsumsi penonton layar lebar di dalam negeri. Ifa mengatakan, produksi film ―Siti‖ adalah suatu keharusan berkarya bagi ia dan teman-temannya. Mereka tergabung dalam komunitas ―Four Colours‖ selalu ingin berkreasi menciptakan sesuatau yang baru dalam perfilman Indonesia. Tujuan Ifa dan teman-temannya membuat film ―Siti‖ yang hitam-putih adalah untuk pasar khusus di negara lain yang mendorong kebangkitan film di tahun 1990-an. Ia lahir tanggal 6 Juni 1961 di Yogyakarta dari keluarga penulis dan penerbit novel berbahasa Jawa, lulus dari Fakultas Film dan Televisi IKJ dan Fakultas Hukum UI. Karya-karyanya dikenal sangat luas mulai dari film, iklan, dokumenter, video musik, teater, seni instalasi art, dan sudah dipamerkan di Espace Culturel Louis Vuitton Paris,Haus der Kuns Munchen, hingga museum Quai Branly Paris. Garin turut merintis JAFF (Jogja NETPAC Asian Film Festival) dan LA Indie Movie, serta membangun komunitas film dan seni di sejumlah kota besar di Indonesia. Film-filmnya telah menembus berbagai festival internasional, seperti Cannes, Venisia, dan Berlin. Film Garin banyak menekankan persoalan sosial-politik-budaya di daerah marjinal di Indonesia antara lain di Papua, Aceh, Sumba, dan Jawa (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015). 7 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia punya ruang apresiasi bagi film-film macam itu, misalnya di Perancis dan negara lain yang memiliki penikmat film berseni (Wawancara dengan Ifa, tanggal 10 Agustus 2016). Di samping bersifat ―art‖ dan belum tentu bisa diterima oleh penonton di dalam negeri –ada anggapan bahwa film-film yang art- house tidak akan laku dijual di dalam negeri3, Ifa juga mengatakan untuk diputar di layar lebar harus lolos sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF) dulu. Ini disebabkan, LSF di Indonesia masih lebih mengedepankan norma-norma yang bertumpu pada kesopanan dan kesusilaan, sedangkan adegan-adegan yang mengedepankan ―art‖ belum tentu sesuai dengan kriteria LSF. Film ―Siti‖ menurut Ifa mengalami pemotongan beberapa adegan, seperti ketika anak Siti sedang mandi, kemudian adegan Siti berganti pakaian sebelum berangkat ke karaoke, dan adegan ciuman antara Siti dengan Gatot di kamar mandi (seorang pelanggannya di kareoke). Ifa mengatakan bahwa film ―Siti‖ pada awalnya memang tidak ditujukan untuk diputar di layar lebar, karena film yang tayang di layar lebar harus bebas sensor dulu sedangkan film ―Siti‖ ini justru berbeda perspektif dalam menghadirkan setiap adegan-adegannya. Kreatifitas sang sutradara ketika mengambil adegan Siti hendak ganti baju misalnya, dijelaskan, ingin menunjukan pergulatan batin – sehingga di-shoot cukup lama—bagaimana Siti harus mengenakan pakaian karaokenya di malam hari, meninggalkan suaminya yang sedang sakit dan anaknya yang sedang tidur. Adegan-adegan yang sarat filosofis atau art memang bukan kriteria utama LSF. Film ―Siti‖ merupakan film hitam-putih tentang orang pinggiran. Film itu dibuat hitam-putih karena keterbatasan dana ketika

3 Ada dua istilah yang kerap digunakan para sineas dan pengamat film tentang film Indonesia, yang pertama adalah film komersil, sedangkan yang kedua film berjenis ―art-house‖. Film bagus dan tidak laku di pasaran dianggap sebagai film idealis yang dikategorikan sebagai film ―art-house‖, dan film-film yang laku namun kurang bermutu dikategorikan sebagai film komersil. Eric Sasono, dalam buku Sejarah Film 1900-1950, Bikin Film di Jawa karya (Komunitas Bambu, 2009) menuliskan pengantar yang mempertanyakan asumsi tentang ―film idealis‖ dan ―film komersial‖.(www.kompas.com, diunduh 23 November 2015). 8 Krisis Film Indonesia membuatnya, malah memberi kesan artistik dan menuai pujian dari kritikus film. Didukung oleh dialog-dialog ringan keseharian, yang didominasi bahasa Jawa, film ―Siti‖ sarat makna dan pesan tentang masyarakat yang terpinggirkan. Realitas kehidupan yang dirasakan oleh orang-orang ―kecil‖ yang kurang berpendidikan dan tidak punya banyak pilihan. Ketika penulis menyaksikan film ini, pesan dan makna disampaikan secara indah dan mengharukan. Seorang perempuan bernama ―Siti‖ mewakili perempuan Indonesia kebanyakan. Pergulatan batinnya untuk berjuang melawan ketidakadilan dan kondisi ekonomi keluarga yang sulit, lebih banyak ditunjukkan dalam diam. Suatu sikap perempuan yang terkungkung oleh norma-norma kepatuhan dan tanggung jawab. Kepatuhan terhadap suaminya yang terbaring sakit, terhadap ibu mertuanya yang tak lelah berjualan keripik, dan rasa tanggung jawabnya terhadap anak lelaki satu-satunya yang ia sayangi. Siti mewakili kebanyakan perempuan dengan latar budaya timur yang terpaksa bekerja membanting-tulang, melupakan cita-cita dan impiannya, untuk memenuhi kodratnya sebagai perempuan yang telah menikah dan memiliki anak. Sebuah film khas perempuan Indonesia yang dikemas apik dan menarik. Sayangnya, tidak semua penonton bisa mengapresiasi film seperti ini. Di tengah-tengah pemutaran film, misalnya, ada sebagian penonton yang keluar dari studio XXI tempat penulis menonton. Mereka mengeluhkan filmnya tidak menarik, dialognya membosankan. Penulis melihat bahwa kebanyakan penonton berusia remaja memang lebih menyukai film- film ringan, mudah dicerna. Pada tanggal 28 Januari 2016, film ―Siti‖ akhirnya ditayangkan di bioskop ―Grup XXI‖. Menurut berita yang dipublikasikan oleh theatersatudotcom, sesudah empat hari diputar di bioskop, film ―Siti‖ memperoleh penonton sebanyak 4.771 orang, tidak termasuk ke dalam 10 film Indonesia yang laris di periode tersebut. Film ―Siti‖ termasuk yang paling rendah penontonnya dari semua film Indonesia yang rilis di waktu yang hampir bersamaan. Informasi dari website yang sama, menunjukan bahwa film ―Single‖ yang rilis sejak pertengahan Desember 2015 berhasil memperoleh 1.086.808 penonton, diikuti oleh

9 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia film ―Ngenest‖ di akhir Desember 2015 dengan jumlah 639.117 penonton, dan ―London Love Story‖ dengan jumlah 610.977 penonton. Berikutnya ada film ―Petualangan Singa Pemberani Atlantos‖ dengan 124.466 penonton, ―Surat dari Praha‖ dengan 55.032 penonton, dan ―A Copy of My Mind‖ film Joko Anwar yang rilis belakangan dengan jumlah 18.657 penonton. Di saat yang sama, film ―Star Wars: The Force Awakens‖ dari Hollywood yang rilis bersamaan dengan film ―Single‖ berhasil memperoleh penjualan tiket sebesar Rp 39 miliar, atau setara dengan jumlah 1.300.000 penonton hanya dalam jangka waktu 5 hari pemutaran di bioskop-bioskop Indonesia (www.theatersatu.com, diunduh tanggal 9 Maret 2016). Saat melakukan wawancara dengan Ifa, penulis memperoleh informasi tentang perolehan pendapatan dari penjualan tiket bersih sesudah dipotong pajak, dibagi rata (50:50) antara pengusaha bioskop dengan produser. Jika diambil harga tiket terendah adalah Rp 30.000,00 maka pendapatan yang diperoleh dari penjualan tiket selama empat hari atas film ―Siti‖ sebanyak 4.771 tiket adalah harga tiket dikali jumlah tiket yang terjual, dipotong pajak, lalu dibagi dua, kurang-lebih sebesar Rp 64.000.000,-.Ifa sendiri mengatakan bahwa pengembalian dari total pendapatan dari film ―Siti‖ saat wawancara, sudah mencapai 200% dari total biayanya. Ini dimungkinkan karena adanya pendapatan lain dari pemutaran film ―Siti‖ di luar negari (Perancis dan lain-lain), dan hadiah-hadiah yang ia peroleh dan menangkan melalui beberapa festival film di luar negeri.

Problematika Terpilihnya film ―Siti‖ sebagai film terbaik pada FFI 2015 merupakan fenomena yang menandakan bahwa industri film Indonesia mulai berubah. Seperti halnya FFI 2006 yang menuai aksi protes sineas-sineas muda Indonesia–demi menyelamatkan perfilman Indonesia yang dianggap ―rusak‖ oleh para kreator yang tidak memahami orisinalitas, FFI 2015 ini pun diakui oleh Garin Nugroho sebagai FFI yang ‗diselamatkan oleh movie-maker‘-nya, bukan oleh

10 Krisis Film Indonesia sistem. Secara industri perfilman, sebenarnya kondisi FFI 2015 tak banyak berubah dari FFI 2006 dan FFI-FFI sebelumnya. Industri perfilman Indonesia masih tetap pada kondisi yang sama: hidup segan mati tak mau-jika tak ingin dibilang mati suri. Film Indonesia yang memenangkan penghargaan sebagai film terbaik malah kurang penonton di negerinya sendiri. Film Indonesia senantiasa mengalami posisi yang aneh dan dilematis di negerinya sendiri. Di satu sisi, perfilman nasional banyak memunculkan ide-ide baru yang segar dan kreatif oleh movie-maker-nya, terbukti dari banyaknya film Indonesia yang memenangkan berbagai penghargaan bergengsi festival film internasional. Namun di sisi yang lain, industri film di dalam negeri masih tetap tidak berpihak pada perfilman nasional, baik dari segi penontonnya maupun dari segi tatanan dan aturan tentang perfilman. Ada masalah ketika ide-ide baru yang segar dan kreatif ini bermunculan, sepertinya tidak mendapat tempat yang layak, tidak disediakan tatanan yang sesuai seperti yang diinginkan para pembuatnya supaya film-film mereka diapresiasi. Situasi dilematis juga muncul ketika film dihadapkan dengan aturan sensor misalnya, atau aturan harus terjual minimal sekian tiket jika ingin filmnya tetap diputar di layar lebar. Hal yang sama terjadi ketika ada penonton dalam negeri yang secara ekonomi mampu membeli tiket bioskop, namun tidak ingin menonton film Indonesia yang sedang diputar, mereka lebih suka menikmati film-film Hollywood. Tatanan dan aturan perfilman dalam negeri dan selera penonton, terlihat seperti membatasi ide-ide kreatif para pembuat film. Ada kontradiksi di sana, chaos dan order berjalan beriringan. Kreativitas yang seringkali bersifat divergen terkesan harus sejalan dan diusahakan untuk konvergen, apalagi ketika berhadapan dengan selera mayoritas penonton. Film ―Siti‖ bukanlah satu-satunya yang membuat prihatin karena kurang diapresiasi di negeri sendiri. Ada banyak film Indonesia lain yang kondisinya sama, antara lain misalnya, film ―Denias Senandung di Atas Awan‖ produksi Nia Zulkarnaen, film ―Tabula Rasa‖ karya Lala Timothy, atau ―Toba Dreams‖ karya sutradara Benni 11 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Setiawan. Film-film tersebut bukanlah film yang dibuat asal jadi, namun justru menampilkan keindahan dan kekayaan/beragamnya budaya Indonesia, akan tetapi tidak mendapat apresiasi yang cukup baik di dalam negeri. Kondisi ini membuat miris mengingat Indonesia justru sangat kaya dengan budayanya, dan film adalah produk budaya sekaligus salah satu sektor industri kreatif yang paling menonjol dari segi kreativitas dan inovasinya. Pertanyaan besar di atas telah mengawali penelitian ini yakni jatuh bangunnya perfilman Indonesia. Penulis ingin tahu bagaimana perkembangan film Indonesia sejak pertama kali muncul. Dengan demikian ada dua pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Mengapa film-film Indonesia selalu mengalami jatuh-bangun di setiap masa/rezim? 2. Film Indonesia bisa unggul dan diapresiasi secara artistik di luar negeri, namun secara ekonomi tidak laku di dalam negeri. Apa yang terjadi dengan industri film Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan besar di atas, telah dikembangkan beberapa pertanyaan pendukung sebagai berikut: a. Bagaimana riwayat perjalanan atau trayektori industri film Indonesia? b. Bagaimana produksi sebuah film berjalan, mulai dari tema atau ide cerita, penulisan skrip, penyutradaraan, dan negosiasi-negosiasi yang terjadi di sepanjang prosesnya? c. Bagaimana pemasaran dan distribusinya? d. Dari segi pasar dan konsumen, bagaimana apresiasi penonton terhadap film Indonesia? e. Bagaimana film Indonesia sebagai sebuah industri kreatif dikelola dan ditata sehingga tumbuh menjadi industri kreatif yang unggul dan kompetitif?

12 Krisis Film Indonesia

Metodologi Penelitian Penelitian dilaksanakan secara induktif menggunakan metode kualitatif yang dinamakan Grounded. Penelitian Grounded mula-mula diperkenalkan oleh Glaser dan Strauss tahun 1967. Pada awalnya metodologi ini hanya diperuntukkan bagi para sosiolog yang terlatih secara profesional. Namun dalam perkembangannya, metode Grounded dikembangkan untuk aplikasi dalam ilmu politik, kesejahteraan sosial, kesehatan masyarakat, sosiologi pendidikan, keperawatan, perencanaan kota, bisnis dan administrasi, serta antropologi. Adaptabilitas penelitian Grounded yang semakin luas dikemukakan oleh Straus dan Corbin (1998) sebagai satu set metodologi penelitian untuk bidang-bidang lain seperti komunikasi, psikologi, dan pekerjaan sosial yang lain (Sudira, P., 2009). Langkah-langkah penelitian dilakukan sistematis untuk mengumpulkan data dan melakukan analisis secara mendalam dari wawancara, serta membangun konsep-konsep yang dapat menjelaskan data tersebut. Secara umum, penelitian Grounded bertujuan untuk mengkonstruksi teori dalam memahami suatu fenomena, sebagaimana kutipan definisi dari Glaser dan Strauss sebagai berikut: ―Grounded Theory is an inductive theory discovery methodology that allow researcher to develop a theoritical account of the general features of the topics while simultaneously grounding account in empirical observations of data... GT is a methodology that seeks to construct theory about issues of importance in people‘s lives‖ (Glaser and Strauss, 1976; Glaser, 1978; Strauss and Corbin, 1998). Namun demikian, pada perkembangannya metode ini mengalami beberapa perubahan dan gagasan-gagasan baru. Dimulai dengan Classical Grounded Theory (CGT) yang diinisiasi oleh Glaser dan Strauss, ini disebut Glaserian; pendekatan GT kemudian dikembangkan ke dalam apa yang disebut dengan Qualitative Data Analysis ala Straussian. Selanjutnya, metode ini dikembangkan oleh para konstruktivis menjadi Constructivist Grounded Theory (Charmaz, 2000) dan pendekatan berikutnya dari metodologi ini dinamakan Feminist Grounded Theory. 13 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Alih-alih mengikuti metode klasik ala Glaserian, peneliti melihat bahwa sebuah temuan atas pengetahuan seharusnya didapat melalui sebuah proses membangun ide-ide dan gagasan di sepanjang perjalanan penelitian. Ada proses menginterpretasikan sejumlah fenomena menjadi makna-makna. Peneliti tidak menampik bahwa di awal penelitian, sudah ada kerangka pengetahuan dasar yang berasal dari studi literatur sebelumnya tentang fenomena yang akan dia teliti-- dibawa masuk ke dalam penelitian. Penulis berkeyakinan bahwa suatu konsep ada dan muncul dari sebuah proses konstruksi, bukan ditemukan begitu saja seperti yang diinisiasi oleh Glaser. Penulis juga menyakini bahwa pengetahuan diproduksi dari pengalaman atas dunia dan pengamatannya, yang disusun dalam bentuk skema, kategori-kategori, dan tertuang dalam konsep-konsep. Adalah Gimbatissta Vico (1970) dari Italia yang awalnya mencetuskan filsafat konstruktivisme secara epistemologi. Epistemologi berarti mempelajari asal mula pengetahuan, sumber, struktur, metode, dan sahnya (validitas) ilmu pengetahuan. Dia menjelaskan bahwa pengetahuan mengindikasikan atau berarti mengetahui bagaimana sesuatu dibentuk. Sekian lama gagasan Vico tersebut digunakan dan diperdebatkan, akhirnya Jean Piaget-lah (2008) yang kemudian menyempurnakan gagasan konstruktivisme ini khususnya dalam cara pembelajaran. Termasuk di dalamnya, membedakan antara pengetahuan a priori dengan a posteriori.

Sejarah Penelitian Grounded Teori Grounded dikembangkan oleh Barney Glaser dan Anselm Strauss di awal tahun 1960-an. Penemuan ini merupakan sebuah metodologi kualitatif untuk menghasilkan teori. Definisi Glaser mengenai grounded theory (GT) adalah metodologi umum tentang analisis atas koleksi data yang berhubungan, yang menggunakan sekumpulan metode secara sistematis untuk menghasilkan teori secara induktif di area yang penting (Glaser, 1992).

14 Krisis Film Indonesia

GT memilliki kemampuan menginterpretasi fenomena- fenomena kompleks dan isu-isu sosial. GT penting untuk munculnya pengalaman yang dikonstruksi secara sosial, dan tidak melibatkan pengetahuan tendensius (tanpa asumsi awal). Kemampuan metode ini bermanfaat untuk berbagai tipe peneliti. Penelitian Grounded menolong peneliti untuk berurusan dengan lingkungan yang kompleks sehingga bisa mendapatkan konsep-konsep yang muncul belakangan, yaitu konsep-konsep baru yang bermakna. Menurut Glaser dan Corbin Strauss, keunikan GT terletak pada 2 unsur: a. Kemunculan teori didasarkan pada pola data empiris, bukan dari penyimpulan prasangka, atau pengkaitan ide-ide. b. Mengulang sebelumnya: ada perbandingan tiada henti antara teori yang muncul (codes and construct) dengan data baru. Perbandingan yang konstan ini menyatakan bahwa construct theoritical ditemukan di antara data, yang mendorong pengumpulan data tambahan/baru sampai peneliti merasa teori sudah jenuh. Sementara definisi ini diterima oleh para peneliti, kekuatan koleksi data, penanganan dan analisis atas data tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda antara Glaser and Strauss. Strauss mengem- bangkan metodologi riset yang lebih linear (Strauss & Corbin 1990). Seiring penggunaan GT yang makin populer di antara para peneliti, perbedaan substansi di antara penciptanya muncul. Kedua pembuat aslinya mencapai perbedaan yang tajam atas tujuan, prinsip dan prosedur yang berhubungan dengan implementasi metodenya. Hal ini ditandai oleh Strauss and Corbin‘s (1990) dalam publikasi mereka: Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques. Publikasi ini direspon Glaser secara keras dengan dakwaan penyimpangan atas tujuan inti dan kemunculan teoritis. Pandangan Glaser didukung oleh peneliti lain yang setuju bahwa publikasi Strauss tersebut adalah erosi atau penyimpangan dari metodologi dan publikasi asli tahun 1967 (Stern, 1994). Selama bertahun-tahun setelah debat 15 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia awal GT, sejumlah peneliti dengan teguh mendukung metode GT yang klasik (Bowen, 2005; Clark and Lang, 2002; Davis, 1996; Efinger, Maldonado and Mc Ardie, 2004; Holton, 2007; and, Schreiber, 2001). Berbagai akademisi telah mengedepankan sebuah strategi dan pedoman untuk proses coding (Charmaz, 2006; Goulding, 2005; Partington, 2002; Patton, 2002; Strauss and Corbin, 1990, 1998). Proses dan metode coding telah menciptakan debat tingkat tinggi bagi pengguna GT , beberapa peneliti mengkombinasikan bentuk-bentuk kuantitatif dan kualitatif ketika mengumpulkan data menggunakan GT. Meskipun tidak ada yang melarang kombinasi tersebut, tujuannya haruslah jelas, jika tidak kekacauan metodologi akan terjadi (Baker, West and Stern, 1992; Wells, 1995). Meskipun proses coding itu penting dalam GT, struktur yang terlalu kaku akan membuat blok yang membatasi kemampuan peneliti untuk merampungkan analisis (Glaser, 1978; Katz, 1983). Fernandez (2012) mengidentifikasi empat model GT yang berbeda, yaitu: Classic Grounded Theory (Glaser, 1978), The Strauss and Corbin (1990) Qualitative Data Analysis/QDA yang sering disebut Straussian Grounded Theory, berikutnya adalah The Constructivist Grounded Theory (Charmaz, 2000), dan yang terakhir adalah Feminist Grounded Theory (Wuest, 1995). Meskipun ada varian-varian lain di luar itu yang kurang terkenal, namun keempat metode GT ini merupakan metode-metode utama yang secara luas telah digunakan di dalam penelitian akademik.

Perkembangan Penelitian Grounded Penulis akan menjelaskan tiga pemikiran utama dari empat aliran GT yang dikemukakan Fernandez (2000) yaitu (i) Glaserian, (ii) Straussian, dan (iii) Constructivist. Ketiga aliran tersebut, diuraikan di bawah ini.

16 Krisis Film Indonesia

Classic Grounded TheoryVersus Qualitative Data Analysis Metodologi CGT berawal dari pekerjaan Glaser dan Straus (1965-1967). Mereka membuat pedoman evaluasi atas sebuah GT yang empiris, yang diringkas sebagai berikut : 1. Kesesuaian (Fit): Apakah teori cocok dengan area substantif yang akan digunakan? 2. Dapat dipahami (Understandability): Apakah non-profesional yang tertatir dengan area substantif akan mengerti teori ini? 3. Dapat diperlebar ke hal yang umum (Generalizability): Apakah teori masih aplikatif, jika diperlebar situasinya? 4. Pengendalian (Control): Apakah teori mengijinkan pengguna untuk mengendalikan struktur dan proses keseharian situasi dengan berjalannya waktu? (Glaser dan Strauss, 1967) Ada dua tipe coding dalam CGT, yaitu coding substantif dan teoritis. Pengkodean yang substantif mendahului yang teoritis. Holton (2007) menyarikan proses coding substantif sebagai berikut: 1. Dalam coding substantif, peneliti bekerja secara langsung, memecah–mecah dan menganalisis, diawali dengan coding terbuka untuk kemunculan sebuah kategori inti, dan konsep– konsep terkait, kemudian diakhiri melalui sampling teoritis dan coding selektif. Coding selektif data bertujuan untuk secara teoritis menjenuhkan inti dalam konsep terkait, 2. Proses perbandingan terus–menerus menyangkut 3 tipe perbandingan : a. Insiden ke insiden untuk kemunculan konsep – konsep b. Konsep–konsep ke lebih banyak insiden untuk elaborasi penjenuhan dan densifikasi konsep–konsep teoritis c. Konsep–konsep ke konsep–konsep untuk kemunculan integrasi teoritikal, dan melalui coding teoritis (Glaser dan Strauss, 1967; Holton, 2007). 17 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

―Semua adalah data‖ merupakan sebuah ucapan Glaser yang terkenal, artinya semua penelitian dilihat sebagai data, tidak seperti QDA yang punya struktur deskriptif yang spesifik. Peneliti GT perlu membandingkan data pada dimensi yang sebanyak mungkin. Peneliti GT mempertimbangakan semua data termasuk artikel di koran, hasil kuesioner, pengamatan sosial, struktur dan interaksi, interview, komentar–komentar, pernyataan–pernyataan global maupun kultural, dokumen–dokumen historis, serta apa saja yang tersedia yang memungkinkan peneliti untuk menggali semua aspek teori. Jadi grounded theory menghasilkan abstraksi, bukan deskripsi. Proses memoing membantu peneliti dalam menentukan kode teoritis mana yang memberi model relasional terbaik untuk mengintegrasikan kode–kode substantif dengan kode–kode teoritis. Memo–memo teoritis menangkap arti dan ide untuk teori yang muncul (Glaser, 1998). Glaser tidak mendukung jenis catatan yang berbeda. Penggunaan catatan lapangan dan kebebasan coding, adalah elemen– elemen kunci CGT. Catatan–catatan lapangan, mengijinkan peneliti untuk fokus pada apa yang benar–benar terjadi, dan memfasilitasi coding pada tingkat konseptual yang tinggi tanpa distraksi deskripsi yang panjang dan detil berlebihan (Glaser, 2011). Perbandingan atau komparasi yang berkelanjutan memungkinkan kategori utama muncul, tidak seperti Straussian dan konstruktivis, CGT memandang bahwa inti inilah yang menjadi sebuah fokus untuk tinjauan literatur dan koleksi data selektif selanjutnya (Glaser, 2011). Dalam CGT, catatan–catatan lapangan menjadi dasar konstruksi memo, memo berperan dalam pengembangan teori (Mongomery dan Bailey, 2007). Dalam menggunakan CGT tidak ada format set tunggal dalam catatan lapangan. Bisa saja formatnya berubah sepanjang penelitian. Coding teoritis muncul atau terjadi sebagai tahap terakhir untuk mengkonseptualisasikan bagaimana kode–kode substantif mungkin berhubungan satu sama lain, sebagaimana hipotesa diintegrasikan ke dalam teori (Holton, 2007). Bagi banyak peneliti, tantangan dalam GT adalah mendapatkan konsep dengan ―dekat‖ 18 Krisis Film Indonesia terhadap data (Scott,2009). Kode–kode teoritis mengkonseptualisasikan bagaimana kode–kode substantif bisa berhubungan satu sama lain, sebagaimana hipotesa diintegrasikan ke dalam teori (Glaser, 1978). Kode–kode substantif merinci data, sementara kode–kode teoritis menggabungkannya sebagai suatu teori yang komplit (Glaser, 1978). Kode–kode teoritis adalah implisit sekaligus eksplisit. Aliran Glaserian menganut paham bahwa peneliti berangkat dengan kepala kosong dan membawa pertanyaan-pertanyaan netral. Kemunculan teori ada dan bisa terjadi karena teori tertanam dalam data. Sementara itu, penganut Straussian berpendapat peneliti tidak berangkat dengan kepala yang benar-benar kosong, ada penjelasan konseptual dari situasi awal sehingga pertanyaan-pertanyaan penelitian lebih terstruktur. Secara singkat, perbedaan antara Glaserian dan Straussian ditunjukkan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Perbedaan Aliran Glaserian dan Straussian Glasserian Straussian Pengembangan teori secara Sensitifitas datang dari metode dan alat konseptual, ada sensitifitas teoritikal yang digunakan (kemampuan untuk melihat variabel dan hubungan) Mulai dengan pikiran kosong, Dimulai dengan penjelasan konseptual dengan pertanyaan-pertanyaan dari situasi/fenomena awal. Ada ide untuk netral mulai, pertanyaan-pertanyaan lebih terstruktur Teori tertanam dalam data, Teori diinterpretasi oleh peneliti, kredibilitas teori merupakan verifikasi kredibilitas teori datang dari metode yang dari ‘grounding’-nya data digunakan Proses dasar harus diidentifikasi Proses dasar tidak perlu diidentifikasi Ada 2 fase coding: Ada 3 fasecoding: (i) simpel : data dipecah dan (i) open:tahap mengidentifikasi, dikumpulkan, memberi nama dan (ii) substantif: terbuka dan selektif mengelompokkan, serta dalam menghasilkan kategori menjelaskan fenomena, (ii) axial: proses merelasikan kode- kode, (iii) selektif: pilih satu kategori inti, lalu kaitkan kategori yang lain pada kategori inti Dipandang sebagai GT sejati Dipandang sebagai QDA (qualitative data analysis)

19 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Constructivist Grounded Theory Aliran kontruksivis diawali di bidang sosiologi--bagaimana observasi membentuk refleksi dunia secara akurat—dan akhir-akhir ini memiliki dampak yang besar bagi peneliti yang memilih GT sebagai metodologinya. Andrew (2012) mengkritisi Charmaz (2000, 2006) yang memimpin debat mengenai penggunaan konstruktivisionisme dan menyatakan bahwa ia menggunakan istilah tersebut yaitu social constructivism tanpa penjelasan yang cukup. Kata yang pertama fokus pada yang tunggal, sedangkan kata yang lain fokus pada dunia. Di dasar/akar teori konstruktivis ada keyakinan bahwa konsep itu muncul karena dibangun, bukan ditemukan –seperti kata Glaser. Bagi para konstruktivis, peneliti akan mulai dengan pertanyaan spesifik pada area penting tertentu. Kontras sekali jika CGT mulai dengan keinginan untuk mengetahui tentang area substantif tetapi tanpa ada pertanyaan awal. Mirip dengan Straussian, konstruktivis akan mulai dengan studi literatur untuk mengetahui apa yang telah dilakukan sebelumnya di area yang akan diteliti. Perbedaan dalam waktu dan pendekatan literatur adalah kunci perbedaan kedua pendekatan Straussian dan konstruktivis. Proses coding untuk Constructivist GT, menggunakan tiga jenis coding, yaitu: coding (i) terbuka, (ii) terfokus, dan (iii) teoritis. Ini dibandingkan dalam dua tingkat: substantif dan teoritis. Seperti coding aksial dan selektifnya dalam aliran Straussian. Meskipun istilahnya mirip, tetapi pengertian coding teoritisnya sangat berbeda. Untuk pendekatan konstrutivis, coding teoritis adalah penggabungan konsep– konsep ke dalam kelompok–kelompok. Ini terjadi di seluruh proses, sementara untuk CGT, coding teoritis adalah bagian dari proses selektif yang digunakan untuk mengintegrasikan grounded theory. Bringer dkk. (2006) mengemukakan bahwa, Constructivist GT dan menjelaskan dengan detil bagaimana menggunakan metode konstruktivis untuk pengkodean variabel–variabel ke dalam software NVivo. Dalam perkembangannya, Bringer merujuk secara selektif kepada Glaser (1978), Straus dan Corbin (1990), dan Charmaz (2000) –

20 Krisis Film Indonesia yang mencoba mengilustrasikan penggunaan GT. Seperti dikemukakan sebelumnya, kombinasi metode yang berbeda–beda ini, cenderung mengurangi kualitas riset, dan bukan meningkatkannya. Cupchik (2001) mengemukakan bahwa, realisme konstruktivis menunjukkan peran membantu yang dilakukan oleh metode kuantitatif dan kualitiatif, dalam menganalisa fenomena sosial. Glaser (2012) menyatakan bahwa Charmaz dan lainnya melakukan QDA dan penggunaan metodologi dengan sempurna, namun membalikkan semua prinsip GT. Dia berargumen bahwa peneliti–peneliti yang menggunakan pendekatan konstruktivis melakukan QDA, bukan grounded theory (Glaser, 2012). Hernandez dan Andrew (2012) masih lebih murah hati dalam analisisnya, mereka menjelaskan bahwa perbedaan akhir dalam produk/hasil, ialah Constructivist GT menciptakan sebuah teori deskriptif, yang merupakan sebuah teori eksplanatori. Jika peneliti–peneliti menerima, bahwa Straussian dan konstruktivis adalah bentuk QDA, maka tidaklah heran, bahwa bentuk gorunded theory ini punya hubungan yang dekat dengan program komputer (software) yang lebih terstruktur sifatnya.Glaser (1978, 2012) menunjukkan bahwa ClassicGT mengijinkan data dikembangkan tanpa ide awal, dan akan mengintegrasikan penelitian sebelumnya selama analisis perbandingan (komparatif). Andrew (2012) menge- depankan bahwa argumen inti terhadap konstruksivionis adalah dalam konseptualisasi awal realisme dan relativisme, dan bahwa argumennya memiliki sebuah perspektif yang epistemologis, bukan ontologis. Bryan, seorang pendukung dan rekan pengurus Charmaz melihat metodologi konstruktivisme sebagai usaha untuk mengatasi konflik bias potensial peneliti, dan bukan serangan terhadap filosofi GT. Konstruktivis melihat Glaser sebagai seorang objectivist dan CGT sebagai sebuah ontologi post-positivist tentang realisme kritikal. Hallberg (2006) melihat perkembangan konstruktivis GT lebih sebagai perkembangan evolusioner dari GT. Mulai dari CGT 1960 sampai Straussian di 1990 dan constructivist model di tahun 2000-an, dan pendekatan antara positivism dan post-modernism. 21 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Howell (2013) menunjukkan bahwa bagi konstruktivis ―pengetahuan, kebenaran, realitas, dan teori dipandang sebagai kontingen (tergantung waktu) dan didasarkan pada persepsi pengalaman manusia.‖ Setiap metodologi datang dengan sebuah filosofi yang memengaruhi mindset dan seluruh aspek bagaimana sebuah metodologi digunakan. Secara umum, penerapan GT dalam penelitian dijelaskan pada Gambar 1.4.

Sumber: Lowe (1995), Pigeon & Henwood (1976), Dey (1999) dalam Whitman, M.E., and Woszczynski, A. B., 2004 Gambar 1.4. Skema Pendekatan Grounded Theory

22 Krisis Film Indonesia

Skema tersebut mempelihatkan bahwa metodologi ini juga memiliki keterbatasan. Sebagai penelitian interpretif yang memiliki fokus pada refleksi kesadaran diri sang peneliti, selalu ada kemungkinan bias, tidak netral. Ini disebabkan peneliti sangat dekat dengan subyek yang diteliti, dan peneliti dipengaruhi nilai-nilai diri yang subyektif dan bahkan mengeksplorasi ide atas nilai-nilai tersebut. Peneliti memutuskan sendiri kapan data sudah jenuh (saturation has been reached) sebelum interpretasi final dibuat. Namun demikian, pada proses open coding dan analisis, terjadi proses berulang (bolak- balik) pada saat menyaring kategori inti, dan antara pengumpulan data dengan sintesis dan penyusunan bakal teori. Ini menunjukkan terjadinya constant comparison antara konsep-konsep (bakal teori) yang muncul dengan data baru.

Aplikasi Grounded Theory pada Area Bisnis Grounded Theory bukan hal yang baru untuk penlitian bisnis. Mintzberg menekankan pentingnya grounded research untuk pengambilan data kualitatif di dalam konteks organisasi: ―measuring in real organizational terms means first of all getting out, into real organizations. Questionnaires often won‘t do. Nor will laboratory simulations… The qualitative research designs, on the other hand, permit the researcher to get close to the data, to know well all the individuals involved and observe and record what they do and say‖ (Mintzberg, 1979). GT adalah suatu metode riset yang penting untuk karakter- karakter atau topik-topik sosial, yang dalam lingkup tertentu –seperti sistem informasi-- disebut socio-technique. Ada kalanya pengetahuan yang dikonstruksi secara sosial memerlukan pendekatan mendasar sehingga GT cocok digunakan. Dalam fenomena socio-technique, data ada dalam bentuk konstruksi berbentuk bilangan yang memiliki orde- orde. Ada orde yang dianggap sebagai fakta, ada orde lain yang dikonstruksi oleh peneliti yang mengarah pada teori untuk fenomena yang diteliti. Penelitian grounded telah berhasil dilaksanakan dalam

23 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia lingkup sistem informasi sebuah industri film di Australia (Jones, M, dan Alony, I., 2011). Semua modifikasi GT untuk konteks bisnis, adalah untuk menemukan konsep dan gagasan-gagasan, bukan untuk menguji atau menduplikasinya. Peneliti terus-menerus melakukan coding, perbandingan, analisis, mencatat sambil mempertanyakan kategori data. Riset bisnis biasanya dilaksanakan untuk merespon kebutuhan sebuah bisnis atau organisasi. Ini disebut masalah yang dipersepsikan. Orang bisa saja berargumen bahwa menggunakan nomenklatur penelitian kualitatif akan memotong sejumlah persoalan yang muncul dengan penggunaan GT dalam konteks bisnis. Biasanya penelitian kualitatif lebih sederhana. Penelitian kualitatif khususnya dalam kategori fenomenologi, interaksi simbolik, etnometodologi, perspektif teoritis, masih akan mempertahankan karakteristik kemunculan GT. Bukan hanya GT yang sering memunculkan persoalan riset, selain persoalan yang sudah dirumuskan peneliti di awal. Data kualitatif juga mengalami hal yang sama, contohnya organisasi yang memandang keterlambatan secara terus-menerus sebagai persoalan yang serius. Metode riset interpretif yang baik bisa memunculkan persoalan lain yang lebih relevan. Melalui data grounded, persoalan awal tadi ternyata hanyalah sebuah gejala (symptom) ketimbang masalah. Masalah yang sejatinya adalah iklim organisasi yang memunculkan keterlambatan. Penelitian interpretatif didisain dengan baik juga akan menggunakan pendekatan sistimatik, transparan dan peniruan yang menggunakan teknik analisis konten yang sesuai dengan teorinya. Semua itu masih memerlukan coding. Definisi coding bisa bermacam- macam. Peneliti kualitatif dalam berurusan dengan tipe-tipe spesifik analisis juga akan melakukan pengkodean dan mengkategorisasi. Perbandingan akan dibuat dengan mengkaitkan kategori dengan teori dan model yang ada. Dalam kerangka struktural, ada banyak kategori ―meaning‖ yang berfungsi sebagai lensa bagi responden. Jika riset ingin menjawab isu dalam bisnis, pengurangan pembatasan perlu

24 Krisis Film Indonesia dipertimbangkan. Menurunkan atau menaikkan kategori-kategori lain menjadi gejala ketimbang persoalan adalah ciri GT dan riset kualitatif. Jika prinsip dan prosedur hanya bisa dipenuhi secara parsial, maka pertimbangan (judgement) harus dibuat dengan mengacu kepada Glaser dan Strauss dengan alasan mengacu atau tidak ke teori. Solusi yang diusulkan adalah jika pertimbangan tidak terpenuhi, alternatifnya adalah Grounded Research. Ada beberapa pedoman dalam menjalankan GT pada penelitian kualitatif: 1. Buatlah proses pengumpulan data dan analisis yang eksplisit, jelas, untuk diri sendiri dan orang lain melalui tulisan. Sediakan informasi yang cukup agar pembaca dapat melihat temuan-temuan penelitian, dan mengikuti analisis data. 2. Buat/sediakan sebuah jejak audit dengan menyusun jurnal penelitian dan dengan menyimpan semua dokumen analisis (termasuk analisis awal). 3. Secara eksplisit, ungkapkan dan integrasikan pengaruh dari sumber-sumber literatur, pemahaman awal diri sendiri, dan inspirasi teoritis (insight) yang muncul kebetulan. 4. Tuliskan di dalam memo-memo formal, pertanyaan-pertanyaan konstruksi dan bangunan teori. Terapkan diagram jaringan kategori dan pembenaran teori secara tertulis agar yang implisit menjadi eksplisit. 5. Secara kontinyu, definisikan dan ulang-ulang lagi sasaran teori secara detil. Contoh, gambaran awal bisa dituliskan seperti ini: ―saya mau menghasilkan sebuah teori yang menjelaskan apa/mengapa/bagaimana a/b/c karena saya percaya bahwa d/e/f adalah penting dalam situasi ini‖ 6. Hendaklah dipahami bahwa akan ada kebutuhan yang konstan untuk perbandingan dan kejenuhan teori, untuk memastikan adanya iterasi (siklus, pengulangan) yang cukup kuat antara pengumpulan data, analisis dan seleksi data, dan untuk 25 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

menghindari kesimpulan yang supervisial dan induktif (tidak harus sama dengan teori sebelumnya) 7. Secara teratur menilai bersama teman atau kolega yang kritis atas konstruksi-konstuksi yang muncul 8. Secara terus-menerus menggunakan jurnal penelitian dan bertanya secara eksplisit pada diri sendiri (reflektivitas diri yang eksplisit) 9. Bisa menerima atau memahami terbatasnya validitas dan kemampuan men-generalisasi yang bisa dibuat ketika menggunakan GT 10. Kenalilah, bahwa proses penelitian tidak akan pernah seperti yang dirancang sebagaimana literatur sering menggiring peneliti untuk mempercayainya. Bebaskan dari memper- tahankan penelitian sesuai rencana. Klaine mengusulkan bahwa pengetahuan justru didapat dalam pergumulan antara positivism dan anti-positivism. Teori didapat dari pendukung kedua pendekatan tersebut (klaim-klaim yang bertentangan). Sebuah sintesa muncul dari pertentangan-pertentangan tersebut yang menghasilkan sebuah pendekatan dominan yang baru, yang nanti akan memunculkan oposisi baru dan seterusnya. GT tidak disarankan jika peneliti tidak benar-benar antusias dengan topiknya. Peneliti harus kritis dan realistis. Untuk dapat menggunakan GT secara efektif, harus mengadopsi cara berpikir non tradisional (modern) yang mengandung 7 prinsip Glaser, yaitu: 1. Toleransi/terbuka dengan kebingungan adalah hal yang biasa, tidak perlu tahu semuanya, tidak perlu apriori (menyimpulkan dari awal) 2. Toleransi dengan regression (sebentar-sebentar bisa tersesat) karena justru tidak ada pola, dapat menimbulkan kebingungan 3. Percaya data yang muncul tanpa mengkhawatirkan justifikasi (kebenarannya) jika si peneliti kuat metodenya

26 Krisis Film Indonesia

4. Di dalam GT ini harus ada seseorang untuk diskusi dan ada momen untuk tenggelam (kontemplasi), salah satu caranya adalah diskusi dengan pakar 5. Terbuka dengan bukti yang muncul yang mengubah pikiran peneliti tentang subyek dan bertindak dengan bukti baru itu 6. Membangun abstraksi untuk membangun teori dari data 7. Jadilah kreatif, khususnya dalam cara baru mencari data. Kritik yang paling sering dilontarkan terhadap GT adalah, yang pertama adalah kuatnya pengaruh positivism/objectivism (metode ini menghasilkan teori namun berasal dari pemikiran obyektif); kedua, induksi dalam GT cenderung naif, tanpa kontrol. Apriori pengetahuan sangat dibatasi; dan yang ketiga, berhubungan dengan fenomenologi dan paradoks teori, serta yang keempat, generalisasi secara teoritis terbatas.

Tahapan Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti selama penelitian menggunakan metode grounded ini, dilakukan secara garis besar meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Codes, yaitu tahap mengidentifikasi keywords dan key points dari hasil wawancara, 2. Concepts, yaitu mengumpulkan kode-kode (key points) yang serupa atas hasil wawancara tersebut, untuk dimasukkan ke dalam grup, 3. Categories, yaitu tahap memberi makna dan memperluas konsep-konsep dalam grup yang sama, untuk dijadikan dasar teori, dan 4. Theory, yang merupakan hasil dari kumpulan konsep-konsep dan kategori-kategori yang telah dimaknai, diinterpretasi, dan mengacu pada teori tertentu.

27 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Keseluruhan tahapan penelitian tersebut dijelaskan pada Gambar 1.5.

Inisiasi Penelitian diawali pertanyaan atas fenomena (studi dokumen), dan mengakui pengaruh dari literatur

Berdasarkan pada Pengumpulan Data pemahaman peneliti Memilih dan melakukan wawancara dengan nara sumber perfilman, studi dokumen, memberi kode atas catatan wawancara

Konsep yang dihasilkan Klasifikasi Data belum tentu berhubungan Mengklasifikasi hasil wawancara dengan topic utama dan studi dokumen, ke dalam (pertanyaan awal konsep-konsep berdasarkan kode- penelitian) kode/keywords

Analisis Data Menggabungkan konsep-konsep yang sama ke dalam kategori yang sesuai, lakukan konfirmasi ulang dengan nara sumber ybs

Ulasan data sekunder dari Sintesis dan Teori literatur Interpretasi terhadap kategori-kategori dengan cara : Menyaring kategori utama

Konstruksi memo teoritis Kejenuhan data sudah tercapai

Publikasi Penelitian

Sumber: Manurung, E. M., 2016 Gambar 1.5. Tahap-tahap Penelitian

28 Krisis Film Indonesia

Penjelasan atas tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tahap I: Inisiasi Penelitian Penelitian dimulai ketika pertanyaan awal muncul, yaitu ―mengapa film-film Indonesia selalu mengalami jatuh-bangun di setiap masa/rezim?‖ dan ―apa yang terjadi dengan industri film Indonesia?‖ Ketika pertanyaan awal ini muncul, peneliti sudah memiliki beberapa pengetahuan tentang film Indonesia. Studi awal telah dimulai pada tahun 2007-2008, yang kemudian dilanjutkan di tahun 2014-2015. Studi awal mencakup studi literatur, studi dokumen, dan wawancara mendalam dengan narasumber terpilih pada periode yang lalu. Di samping itu, penulis juga menambah data awal dari perkembangan terkini tentang film Indonesia melalui tayangan di televisi, bioskop dan media cetak.

2. Tahap II: Pengumpulan Data Mulai akhir tahun 2014 sampai pertengahan tahun 2016, peneliti mulai mengontak beberapa narasumber yang telah dikenal dan diwawancarai di studi awal/pendahuluan tahun 2007-2008 untuk mengadakan janji temu wawancara. Mereka adalah Key Simangunsong, Dewi Dee Lestari, Bapak Garin Nugroho, Bapak Chand Parwez, dan lain-lain. Di tahun 2015-2016 peneliti mendapatkan beberapa narasumber utama baru –sebagai hasil perkenalan dari narasumber lama—yang kemudian berhasil dikontak melalui twitter dan whatsapp. Narasumber yang baru tersebut adalah: Motulz (penata artistik), Sheila Timothy (produser), Joko Anwar (penulis skrip, sutradara), Sammaria /Atid Simanjuntak (produser), Nia Dicky Zulkarnaen (produser), Ardi (produser), Ifa Isfansyah (produser), Bapak Bambang Sugiharto (pengamat budaya dan kritikus film), Bapak Toni Masdiono (komikus, dosen STDI Bandung), Bapak Triawan Munaf (Ketua BEKRAF), dan Bapak Boy (Deputi Bidang Riset dan Pengembangan), Ibu 29 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Dian Soenardi (Program Manager CGV Blitz), dan Ibu Catherine Keng (Corporate Secretary XXI). Beberapa kutipan wawancara dengan narasumber lama, seperti Bapak Garin Nugroho, Bapak Slamet Rahardjo, Riri Riza, serta Ariani Darmawan, masih tetap digunakan untuk memperlihatkan gambaran awal yang dimiliki penulis ketika memulai penelitian. Jika narasumber utama dan pertama yang diwawancarai adalah kaum movie-maker, maka para penonton menjadi narasumber berikutnya pada penelitian ini. Sejumlah penonton dari berbagai rentang usia –remaja (pelajar SMA), mahasiswa, karyawan, dan orang tua—dari beberapa kota di Indonesia dipilih sebagai sampel yang mewakili untuk diwawancarai. Penonton yang membaca ―teks‖ sebuah film, diharapkan dapat menjadi pihak yang menilai secara kritis, apakah film Indonesia baik atau buruk, apakah mereka mau/bersedia menonton film Indonesia lagi atau tidak. Beberapa kota dipilih mewakili pulau-pulau di Indonesia dari barat ke timur, sesuai jaringan pertemanan yang dimiliki oleh peneliti, yaitu Kota Bandung, Jakarta, Salatiga, Denpasar (Bali), Lombok, Nias, serta Kabupaten Jatinangor dan Kabupaten Sidikalang di Sumatera Utara. Responden diharapkan mencapai jumlah lebih dari dua ratus orang, supaya komentar-komentar yang didapatkan lebih bervariasi dan berbeda-beda. Pengusaha bioskop adalah narasumber ketiga yang juga penting dan berperan dalam perkembangan industri film Indonesia. Oleh karena itu, peneliti berusaha mencari kontak dan mewawancarai perwakilan dari dua bioskop terbesar di Indonesia. Wawancara terhadap pemilik saluran distribusi, yaitu pengusaha bioskop, juga perlu dilakukan untuk memperoleh informasi tentang jumlah penonton, film Iindonesia yang laku dan yang tidak laku (gagal).Wakil yang pertama dari Grup XXI adalah Ibu Catherine Keng, yang merupakan sekretaris chairman sekaligus anggota komisaris; 30 Krisis Film Indonesia

dan wakil kedua dari Grup ―CGV Blitz‖ adalah Ibu Dian Soenardi selaku pengelola program (programming manager). Untuk melengkapi hasil wawancara terhadap ketiga narasumber utama tadi, masih diperlukan informasi tentang kebijakan-kebijakan oleh pemerintah dalam industri film Indonesia. Untuk itu, perwakilan pemerintahan seperti wakil BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) yang dibentuk di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang, menjadi narasumber terakhir yang ingin diwawancarai. Dengan demikian, wawancara terstruktur dan semi-terstruktur dilakukan terhadap beberapa kelompok narasumber yaitu : a. 20 orang pembuat film (movie maker), yaitu produser, penulis skrip, sutradara, pemain/aktor, dan kru b. 253 orang penonton di beberapa kota di Indonesia, c. 2 perwakilan pengusaha bioskop dari ―Grup XXI‖ dan ―CGV Blitz‖, d. 3 orang wakil pemerintah pusat di BEKRAF/Badan Perfilman, atau wakil pemerintah daerah.

3. Tahap III: Klasifikasi Data Wawancara dengan para narasumber di atas kemudian dibuat transkripnya oleh penulis, lalu dibaca dan dipelajari. Bagian- bagian yang menurut peneliti berhubungan dengan pertanyaan awal yang ingin dicari jawabannya, akan diberi tanda–biasanya menggunakan warna tertentu—oleh peneliti. Bagian-bagian lain yang tidak langsung menjawab pertanyaan besar di awal, namun menurut penulis cukup menarik dan memberi pengetahuan baru, juga diberi tanda. Beberapa contoh hasil wawancara ditampilkan di bawah ini untuk menunjukkan pemberian tanda-tanda tersebut, seperti tampak pada contoh di bawah ini.

31 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Contoh Klasifikasi Data pada Transkrip Wawancara dengan Lala Timothy

34 Krisis Film Indonesia

Contoh Klasifikasi Data pada Transkrip Wawancara dengan dan Motulz Key

35 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Anwar Contoh Klasifikasi Data pada Transkrip Wawancara dengan Joko pada Transkrip Data Wawancara Contoh Klasifikasi

36 Krisis Film Indonesia

4. Tahap IV: Analisis Data Pada tahap ini, kategori hasil temuan-temuan akan dianalisis. Sebagai contoh, melalui studi dokumen terhadap film Indonesia dari masa ke masa, peneliti kemudian membuat suatu trayektori film Indonesia (halaman 152) dan menuliskan interpretasi atas trayektori tersebut (halaman 159-162). Di setiap wawancara berikutnya dengan para pembuat film dan penonton, peneliti selalu melakukan analisis atas kategorisasi hasil temuan. Misalnya, ketika Lala Timothy, Motulz dan Key sama-sama membicarakan tentang proses produksi dan pendanaan sebuah film, maka kutipan wawancaranya akan digabung dan diberi judul yang sama seperti tampak pada Bab lima. Keseluruhan kategori kemudian akan dianalisis di akhir bab. Pada bagian terakhir, peneliti kembali melakukan analisis terhadap hasil temuan-temuan sebelumnya, dan menarik (mengabstraksikan) hasilnya ke dalam sebuah konsep baru, seperti tampak di Bab tujuh. Pada tahap ini kemungkinan penafsiran atas teks-teks wawancara bisa jadi membingungkan, karena masing-masing narasumber memiliki perspektif sendiri. Untuk itu, peneliti akan berusaha mencari referensi dari pihak lain yang dianggap netral, seperti pengamat dan kritikus film atau budaya.

5. Tahap V: Sintesis dan Teori Tahap ini, menurut peneliti, adalah tahap terakhir yang paling krusial dan cukup ―memeras otak‖. Pada tahap ini, seluruh hasil analisis diarahkan menuju konsep teoritis. Peneliti senantiasa berusaha mencari hubungan yang relevan atas beberapa konsep dari kategorisasi yang telah ditemukan, meskipun begitu, ada kalanya hubungan antar kategori yang dianggap relevan tidak menghasilkan sesuatu konsep yang kokoh (menurut anggapan peneliti) yang dapat menjawab pertanyaan di awal. 37 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Berkenaan dengan itu, peneliti melakukan pengecekan berulang-ulang atas konsep dan kategorisasi tersebut; adakalanya sembari melakukan konfirmasi ulang kepada narasumber atas temuan kategori yang dianggap penting. Dengan demikian, sangat dimungkinkan bagi peneliti melakukan wawancara-wawancara tambahan dalam rangka mendapatkan ketegasan atas konfirmasi ulang tersebut. Peneliti akan berhenti melakukannya ketika data dianggap sudah jenuh, artinya tidak ditemukan lagi hal yang baru atas hasil wawancara. Pada tahap ini, peneliti beranggapan pentingnya daya imajinasi dan abstraksi untuk membangun (mengkonstruksi) sebuah konsep teoritis atas temuan- temuan. Menurut peneliti, ini adalah tahap tersulit dan hanya dapat dilangsungkan jika tersedia referensi yang cukup memadai dalam kepala setiap peneliti. Pencarian literatur tambahan juga diperlukan untuk merangsang munculnya daya imajinasi dan abstraksi tersebut. Ada dua sumber data yang digali dan diperoleh dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data utama yaitu data primer berasal dari wawancara dengan narasumber, ditambah dengan menonton langsung film- film Indonesia yang diputar di layar lebar pada saat penelitian berlangsung. Sedangkan data kedua yaitu data sekunder berasal dari dokumen-dokumen perfilman yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain kaleidoskop perfilman Indonesia, website film Indonesia, buku-buku tentang film Indonesia dan buku-buku lain yang berhubungan dengan film, budaya, dan politik di Indonesia selama penelitian berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan semi-terstruktur digunakan dalam mewawancarai penonton, seperti: (i) apakah suka menonton film Indonesia?, (ii) jika suka, genre apa yang paling disukai dan mengapa?, (iii) jika tidak suka, 38 Krisis Film Indonesia

mengapa?, (iv) seberapa sering/frekuensi menonton selama satu tahun?, dan (v) adakah hambatan dalam menonton film Indonesia di layar lebar? Peneliti juga menyusun beberapa pertanyaan semi- terstruktur yang ditujukan kepada para pembuat film dan pengusaha bioskop, seperti: (i) apa yang melandasi mereka membuat film? (ii) tantangan-tantangan apa saja yang mereka hadapi selama proses produksi?, (iii) berapa biaya produksi yang dikeluarkan, dan bagaimana jika film yang dibuat tidak laku?, (iv) bagaimana mengelola ide-ide kreatif dalam pembuatan film yang nantinya akan dihadapkan dengan kebutuhan pasar? Beberapa pertanyaan yang penulis ajukan kepada para pengusaha bioskop, antara lain: (i) film Indonesia apa yang paling laku selama ini? (ii) berapa banyak penontonnya, dan (iii) bagaimana pendapat pengusaha bioskop terhadap film-film Indonesia yang tidak sanggup bertahan di layar lebar?

6. Tahap VI: Publikasi Penelitian Tahap ini merupakan puncak hasil penelitian, yaitu ketika peneliti sudah memiliki hasil yang utuh, kokoh, dan dielaborasi dengan baik dan lengkap. Publikasi hasil penelitian grounded yang baik, menurut peneliti, adalah jika sudah disosialisasikan dan mendapat tanggapan (entah itu masukan atau sanggahan) dari para peneliti lain yang mumpuni dalam topik yang diteliti.

Garis Sistimatika Disertasi Penulisan hasil penelitian akan disusun sebagai berikut: 1. Bagian pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, 39 Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

metodologi penelitian, tahap-tahap penelitian, serta garis sistimatika disertasi. 2. Bagian kedua berisi tentang pengetahuan awal yang dimiliki peneliti yang berasal dari studi terdahulu atas film Indonesia dan studi literatur atas topik-topik yang berhubungan dengan film, kreativitas, dan situasi dilematis atau paradoks yang terjadi dalam industri film. 3. Bagian ketiga mengulas tentang studi dokumen tentang perfilman Indonesia sejak kemunculan yang pertama hingga saat ini, untuk disusun dalam bentuk trayektori. 4. Bagian keempat membahas tentang seluk-beluk perfilman Indonesia mulai dari produksi, pendanaan, strategi pemasaran sampai ekshibisi di layar lebar, serta interpretasi terhadap temuan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. 5. Bagian kelima menguraikan pendapat penonton tentang perfilman Indonesia, yang dikumpulkan melalui wawancara terstruktur di media sosial (via line dan whatsapp) beserta interpretasinya. 6. Bagian keenam berisi tentang pendapat movie-maker, pengusaha bioskop, dan wakil pemerintah tentang film Indonesia beserta interpretasinya. 7. Bagian ketujuh merupakan penjelasan atas transkrip wawan- cara yang telah dikategorisasi dan hubungan-hubungan yang relevan antara kategori untuk penyusunan konsep teoritis. 8. Bagian kedelapan merupakan sintesis dari seluruh data yang diperoleh selama penelitian dan interpretasinya, yang terkandung dalam Bab satu sampai tujuh.

40