BATU TETERUGA DAN CERITA RAKYAT SUKU SOBEY

(Batu Teteruga and The Sobey Tribe Folktale)

Rini Maryone Balai Arkeologi Jl. Isele Waena Kampung, Heram, Kota , Provinsi Papua Pos-el : [email protected]

INFO ARTIKEL ABSTRACT Histori Artikel Megalithic dwellings in Papua related to folktale are very much traced Diterima : 1 Juni 2021 from each region. These folktale are not only told by the community Direvisi : 16 Juni 2021 but there is historical evidence in the form of natural stone buildings. Disetujui : 27 Juni 2021 Which according to archaeology is called megalithic buildings. The

Keywords: stone is believed to be a deformed turtle. This research was conducted The Sobey Tribe, in Kampung Bagaiserwar Sarmi Kota district, Sarmi , Papua Province. In this paper the author uses the method of

Folktale, Stones ethnoarkeological approach. This research is also conducted in two

stages, namely data collection and data processing. Data collection is

Kata kunci: done in several ways, namely: surveys, interviews and conducting Batu teteruga, cerita library studies. The final stage is data processing, after all the collected data is then described, analyzed and interpreted. By using rakyat, Suku Sobey this method, you can also find out the megalithic remains of the suspect stone /turtle and folktale of the Sobey tribe in Sarmi Regency and can know what cultural values are contained in the megalithic dwellings and folktale of teteruga/ turtles / in the Sobey tribe in Sarmi Regency. ABSTRAK

Tinggalan megalitik di Papua yang berkaitan dengan cerita rakyat sangat banyak kalau ditelusuri dari setiap daerah. Cerita-cerita rakyat tersebut tidak hanya diceritakan begitu saja oleh masyarakat tetapi ada bukti sejarahnya berupa bangunan batu-batu alam. Yang menurut ilmu arkeologi disebut bagunan megalitik. Batu tersebut dipercaya sebagai teteruga/ penyu yang berubah wujud. Penelitian ini dilakukan di Kampung Bagaiserwar distrik Sarmi Kota, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode pendekatan etnoarkeologi. Penelitian ini pula, dilakukan dengan dua tahap yaitu pengumpulan data dan pengolahan data. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu : survei, wawancara dan melakukan studi pustaka. Tahap akhir adalah pengolahan data, setelah semua data terkumpul kemudian dideskripsikan, dianalisis dan diinterpretasikan. Dengan menggunakan metode ini pula dapat mengetahui tinggalan

megalitik batu teteruga/penyu dan cerita rakyat Suku Sobey di Kabupaten Sarmi serta dapat mengetahui nilai-nilai budaya apa yang terkandung dalam tinggalan megalitik dan cerita rakyat teteruga/penyu/

pada Suku Sobey di Kabupaten Sarmi.

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 95

PENDAHULUAN orang meninggal. Kemudian muncul dikenal sebagai bangsa kepercayaan bahwa roh-roh tersebut masih yang memiliki kekayaan warisan budaya selalu berhubungan dengan orang yang yang bernilai tinggi. Warisan budaya masih hidup, dan dianggap mempunyai tersebut ada yang berupa bangunan atau pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan monumen, kesenian, naskah-naskah kuno masyarakat. Pengertian megalit sebagai batu dan jenis-jenis budaya lainya (Sumarsih, besar dalam kenyataannya tidak selalu 1985 : 5). Warisan budaya berupa bangunan diterapkan sesuai dengan arti yang atau monumen yang dikenal yaitu tinggalan sebenarnya. Namun menurut Wagner dalam megalitik. Warisan budaya tersebut Indonesia: The Art of an Island Group menyatakan bahwa bangunan megalitik merupakan kebudayan Nusantara yang lekat tidak hanya batu besar akan tetapi batu kecil dengan tradisi megalitik. Warisan budaya dan bahkan tanpa monumen dapat dikatakan megalitik ini tak berhenti pada zaman berciri megalitik apabila benda tersebut prasejarah saja, namun tradisi tersebut terus dimaksud untuk pemujaan arwah nenek berkembang hingga zaman sejarah (Hoop, moyang (Wagner, 1962: 72). 1932 : 101). Tradisi megalitik merupakan tradisi yang mencerminkan perjalanan Tradisi megalitik di dunia ini peradaban suatu masyarakat. terkandung dalam alam pikiran yang bersifat

Tradisi megalitik adalah salah satu religius. Kepercayaan tersebut juga dimiliki bentuk ciptaan manusia yang dicirikan oleh oleh bangsa-bangsa lainnya di Asia benda-benda megalit berupa bangunan dari Tenggara dan Pasifik. Bangunan-bangunan batu. Istilah megalitik berasal dari megalitik tersebar hampir di seluruh kata mega yang berarti besar, Kepulauan Indonesia. Geldern (1984 : 306- dan lithos yang berarti batu. Pendirian 312). Geldern berpendapat, bahwa tradisi ini bangunan megaltik selalu berdasarkan pada dibawa oleh penutur Austronesia. Diduga, kepercayaan akan adanya hubungan antara bahwa Indonesia yang menerima tradisi yang hidup dan yang sudah meninggal. megalitik dalam dua gelombang, yaitu Kepercayaan ini menganggap bahwa roh sebagai berikut: Megalitik Tua yang diwakili seseorang tidak lenyap pada saat orang antara lain oleh menhir, undak batu, dan meninggal. Roh dianggap mempunyai patung-patung simbolis-monumental kehidupan di alamnya tersendiri sesudah

96 Batu Teteruga Dan Cerita Rakyat Suku Sobey Rini Maryone bersama-sama dengan pendukung Kepulauan Indonesia bagian selatan, kebudayaan beliung yang diperkirakan Maluku, selanjutnya memasuki Kepala berusia 2500 – 1500 Sebelum Masehi dan Burung; dan pengaruh megalitik juga dimasukkannya dalam masa Neolitik. menyebar melalui Mikronesia, sebelum Megalitik tua ini dibawa oleh para imigran menuju ke barat menuju Sepik di Papua melalui Tonkin menuju Malaysia Barat dan Nugini melalui Filipina, Sulawesi Utara, dan masuk ke Indonenia melalui Sumatera. Dari Halmahera (Soejono, 1984 : 30). Bentuk Sumatera sebagian berlanjut ke Jawa dan megalitik di Papua agak berbeda dengan terus ke Nusa Tenggara, sedangkan sebagian bentuk megalitik yang ditemukan di wilayah lagi menyebar ke Kalimantan terus ke utara. Indonesia bagian barat dan Sulawesi. Megalitik Muda yang diwakili antara lain Megalitik di Papua lebih dicirikan oleh pola oleh peti kubur batu, dolmen semu, yang sederhana yang mirip dengan bentuk- sarkofagus, yang berkembang dalam masa bentuk yang ada di Maluku dan Nusa yang telah mengenal perunggu dan berusia Tenggara Timur (Prasetyo, 2011: 88). sekitar awal millenium pertama Sebelum Tradisi megalitik di Papua Masehi hingga abad-abad pertama Masehi merupakan kegiatan ritual dengan (Soejono, 1984: 223 – 224). Megalitik muda menggunakan medium batu-batu alam ini diperkirakan datang bersama-sama seperti stalagmit dan stalagtit dalam gua- dengan kebudayaan Dong Son. gua, dolmen, batu pahatan dan batu-batu

Di Indonesia keberadaaan bengunan- alam lainnya yang dianggap sebagai jelmaan bangunan megalitik sangatlah umum. roh-roh nenek moyang, yang dilakukan baik Sampai saat ini belum dapat dihitung secara secara perorangan dan kelompok. Kegiatan pasti jumlahnya. Namun demikian hasil ritual ini menunjukkan adanya tradisi penelitian telah menunjukan sebaran yang berlanjut dan sekaligus dapat sangat luas, baik yang dimulai dari menggambarkan sistem religi masa lampau Sumatera, Jawa, Sulawesi, , Sumba, Papua yang masih bertahan ditengah Sumbawa, Flores, Timor, Sabu, Maluku, dan kehidupan masyarakat yang sudah Papua (Geldern, 1984: 306-312), berkembang dan sudah memiliki suatu kepercayaan hidup yaitu Kristen dan . Papua menerima pengaruh megalitik dari Asia Tenggara lewat rute barat melalui

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 97

Terkait dengan judul batu teteruga Sukun Mengungkapkan Cerita Rakyat di atau penyu dan cerita rakyat masyarakat Kampung Yapase” (Maryone, 2019 :71-79), Suku Sobey, adalah cerita pada masa lampau “Megalitik dan Cerita Rakyat Suku Baham yang menjadi ciri khas dari masyarakat di Gua Sosoraweru Fakfak” (Maryone. 2014 Sarmi yang memiliki kultur budaya yang : 113-120). Tinggalan-tinggalan megalitik beraneka ragam mencakup kekayaan budaya tersebut dapat mengungkapkan cerita rakyat dan sejarah. Cerita rakyat teteruga ini di beberapa daerah di wilayah Papua. merupakan sebuah kisah yang diangkat dari Pada umumnya cerita rakyat pemikiran fiktif dan kisah nyata dibarengi mengisahkan tentang suatu kejadian di suatu dengan pesan moral yang mengandung tempat atau asal muasal suatu tempat. makna kehidupan dan tata cara dalam Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam berinteraksi dengan makluk hidup. Cerita cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam rakyat ini menunjukan kepada cerita yang bentuk binatang, manusia maupun dewa. merupakan bagian dari rakyat, yaitu hasil Cerita rakyat dapat diartikan sebagai sastra yang termasuk ke dalam cakupan ekspresi budaya suatu masyarakat melalui foklor. Cerita rakyat tersebut merupakan bahasa dan susunan nilai sosial masyarakat pernyataan sesuatu budaya kelompok tersebut. Cerita rakyat itu sendiri manusia yang mengisahkan berbagai ragam mempunyai kegunaan dalam kehidupan peristiwa yang berkaitan dengan mereka, bersama, sebagai alat pendidikan, hiburan, baik secara langsung atau tidak. Cerita protes sosial dan proyeksi suatu keinginan rakyat ini juga merupakan suatu bentuk yang terpendam. Sedangkan cerita rakyat karya sastra lisan yang lahir dan bersifat pralogis yaitu logika yang khusus berkembang dari masyarakat tradisional dan kadang berbeda dengan logika umum. yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap Penelitian tentang cerita rakyat telah banyak dan di antara kolektif tertentu dari waktu dilakukan untuk berbagai macam tujuan yang cukup lama dengan menggunakan kata (Danandjaja dalam Lestari, 2012 : 21). klise (Danandjaja, 2007: 3-4). Cerita rakyat ini pula, dapat digali Batu teteruga dan cerita rakyat telah dari berbagai sumber, salah satu sumber ditulis dalam beberapa jurnal ilmiah seperti: yang penulis pakai di sini adalah berasal dari “Batu Mawe di Teluk Wondama” (Maryone, tinggalan megalitik yaitu batu-batu alam 2019:101-109), “Tinggalan Megalitik Batu yang disebut batu monolit. Dalam penulisan

98 Batu Teteruga Dan Cerita Rakyat Suku Sobey Rini Maryone ini ada dua permasalahan yang diangkat mendapatkan informasi tentang objek yang yaitu, bagaimana tinggalan mengalitik dan diteliti. Melakukan studi pustaka dengan cerita rakyat batu teteruga pada Suku Sobey menelaah beberapa pustaka yang berkaitan di Kabupaten Sarmi dan bagaimana nilai- dengan objek penelitian setelah semua data nilai budaya yang terkandung dalam yang dibutuhkan terkumpul. Tahap akhir tinggalan megalitik dan cerita rakyat batu adalah pengolahan data, setelah semua data teteruga. Tujuan penulisan ini adalah untuk terkumpul kemudian dideskripsikan, mengetahui tinggalan megalitik dan cerita dianalisis dan diinterpretasikan. rakyat batu teteruga dan mengetahui nilai- nilai budaya apa yang terkandung dalam PEMBAHASAN tinggalan megalitik dan cerita rakyat batu Nama Sarmi merupakan singkatan teteruga yang terdapat pada Suku Sobey di dari nama suku-suku besar, yakni Sobey, Kabupaten Sarmi. Armati, Rumbuai, Manirem, dan Isirawa. Dalam penelitian ini menggunakan Keberadaan suku-suku tersebut telah lama metode pendekatan etnoarkeologi. Menurut menjadi perhatian antropolog Belanda Van Sukendar dalam Wibowo (2015: 17) Kouhen Houven, yang kemudian etnoarkeologi adalah studi arkeologi sebagai memberikan nama kediaman mereka analogi untuk membantu memecahkan tersebut dengan singkatan nama Sarmi. masalah-masalah arkeologi. Kajian Walaupun singkatan Sarmi sebenarnya etnoarkeologi bukan untuk menjelaskan belum mencerminkan suku-suku disana gejala yang dapat diamati saat ini (data mengingat di wilayah ini terdapat 87 bahasa etnografi), tetapi sekedar memberikan yang dipergunakan dari bahasa yang ada, gambaran kemungkinan adanya persamaan paling tidak bisa disimpulkan terdapat 87 antara gejala budaya masa lampau dan masa suku, dan setiap suku mempunyai bahasa kini. Penelitian ini, dilakukan dengan dua sendiri-sendiri (Lekitoo, 2005 : 10). tahap yaitu pengumpulan data dan pengolahan data. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu: survei dengan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Wawancara dengan tokoh adat dan masyarakat guna

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 99

Gambar 1. Kabupaten Sarmi (Sumber: dokumentasi penelitian 2016)

Gambar 2: Batu Teteruga (Dokumentasi: Rini Bagaiserwar termasuk dalam Suku Maryone) Sobey suku ini tersebar di wilayah Distrik Sarmi kota, mereka juga disebut orang Biga Batu teteruga oleh masyarakat, yang juga mendiami daerah pantai utara dipercaya bahwa batu tersebut sebagai sebelah barat, yaitu di sebelah timur perubahan wujud teteruga yang menjadi Kabupaten Sarmi. Suku Sobey mendiami batu. Adapun kisah tentang batu teteruga desa-desa yaitu antara lain Sarmi, Sawar, atau lensau fatiafo diawali dari suatu Wakde, dan juga termasuk Bagiserwar. peristiwa di pesisir pantai di tempat batu teteruga berada. Pada waktu itu,

berkumpullah sejumlah binatang seperti Cerita Batu Teteruga kasuari, anjing, teteruga dan sejumlah binatang lainnya, dan dalam perkumpulan Batu teteruga disebut juga batu tersebut binatang-binatang ini mulai penyu atau Lensau fatiatu, ditemukan di bernyanyi, dan ketika anjing mulai Kampung Bagaiserwar, Distrik Sarmi Kota mengeluarkan suaranya membuat suasana Kabupaten Sarmi. Batu teteruga ini menjadi ricuh karena binatang lain tertawa merupakan batu pasir berwarna hitam mendengar suara anjing yang aneh itu, dan keabuan dengan panjang 160 cm, lebar 140 ini membuat anjing menjadi tersinggung dan cm dan tebal 70 cm. Bagian permukaan batu mulai mengigit, dan saat itu semua binatang cukup datar dan terdapat lubang-lubang lari terpencar termasuk kasuari yang dengan bulat di atasnya. kaki panjangnya mulai bergerak lari, namun ia menginjak kepala teteruga dan jarinya

100 Batu Teteruga Dan Cerita Rakyat Suku Sobey Rini Maryone tertancap ke mata teteruga sehingga secara umum. Berdasarkan hasil data mengakibatkan bola mata teteruga tercabut penelitian, secara umum resepsi masyarakat karena tersangkut di jari kaki kasuari yang Bagaiserwar terhadap batu teteruga dapat lari ke hutan dan membawa serta mata peneliti katakan masih berada dalam taraf teteruga tersebut, kemudian teteruga tersebut tahu dan percaya akan kebenaran cerita berubah menjadi batu. Batu teteruga beserta mitos-mitos tersebut. Meskipun tersebut hingga kini masih dipercaya oleh dalam tingkat pemahaman dan kepercayaan beberapa kelompok mayarakat dari Suku yang berbeda-beda. Menurut peneliti, faktor Sobey sebagai objek yang mendatangkan utama yang sangat berpengaruh terhadap rejeki teteruga saat mencari, yaitu dengan resepsi masyarakat Kampung Bagesserwar cara mereka memecahkan sedikit batu ini adalah faktor keyakinan agama yang tersebut untuk dibawa serta dalam pencarian mereka anut, menunjukkan bahwa seluruh teteruga sehingga mereka akan berhasil penduduk Kampung Bagaiserwar beragama (Maryone, 2016: 28). Kristen. Secara khusus tingkat pemahaman terhadap batu teteruga terbagi dalam dua Dalam cerita masyarakat setempat kategori yaitu masyarakat yang perhatian bahwa batu ini juga dipercaya sebagai objek yaitu masyarakat dengan kriteria mengerti, yang mendatangkan teteruga saat mencari. memahami, menguasai cerita dan pemakai Apabila mereka mau mencari teteruga mitos. Kedua masyarakat yang hanya mereka memecahkan sedikit bagian dari menempatkan cerita Kedung Wali batu batu tersebut untuk dibawa serta dalam teteruga sebagai cerita masa lalu saja dan aktivitas pencarian teteruga. Kepercayaan mitos-mitos tersebut sebagai hal yang tidak mereka bahwa apabila mereka membawa rasional. Pada pembahasan resepsi serta batu teteruga tersebut nantinya mereka selanjutnya hanya akan membahas akan berhasil mendapat teteruga yang masyarakat dengan kategori pertama. banyak. Konon batu tersebut cukup besar Resepsi masyarakat yang perhatian kepada dan bentuknya seperti teteruga, namun batu teteruga masih beragam sehingga perlu karna sering dipecahkan maka ukurannya diklasifikasikan. Perbedaan resepsi tersebut menjadi lebih kecil seperti yang tersisa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: sekarang ini. 1. Usia Persepsi Suku Sobey Kampung Usia merupakan faktor yang Bagaiserwar terhadap Cerita batu teteruga mempengaruhi tanggapan

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 101

masyarakat Kampung Bagaiserwar biasanya hanya terjadi dalam terhadap mitos batu teteruga. Hal ini lingkungan sempit yaitu berkisar disebabkan oleh kurun waktu, batu pada saat masyarakat yang mencari teteruga merupakan peristiwa masa teteruga/penyu yang dilakukan setiap lampau yang hanya dialami dan pencaharian teteruga saja. Itupun diceritakan oleh masyarakat tua, juga hanya dalam kapasitas yang maka menjadikan penguasaan cerita sangat minim menceritakan batu batu teteruga pada masyarakat teteruga. Itulah penyebab generasi muda sangat minim. Hal ini masyarakat generasi muda kurang dapat dimengerti, karena masyarakat memahami dan menguasai cerita generasi tua memiliki jarak lebih batu teteruga dengan baik dan hanya dekat dengan waktu terciptanya dianggap sebagai cerita masa lalu cerita. Sedangkan komunikasi dan saja. tradisi penurunan cerita dari 2. Pendidikan masyarakat generasi tua ke generasi Pendidikan merupakan salah satu muda kurang. Sebagian besar faktor utama yang berpengaruh pada pewaris cerita adalah masyarakat pola pikir masyarakat Suku Sobey dengan usia 40 tahun ke atas. Kampung Bagaiserwar, dalam Walaupun terdapat masyarakat muda memahami cerita dan hal-hal yang yang mengetahui cerita akan tetapi terkait dengan batu teteruga/penyu. tidak menguasai cerita. Hal itu Pendidikan yang dimaksud tidak disebabkan karena proses penurunan hanya pendidikan formal tetapi juga cerita sangat jarang dilakukan. pendidikan non formal khususnya Kalaupun ada itu hanya sebatas dalam hal ilmu agama. Masyarakat pengetahuan saja. Sesuai dengan dengan tingkat pendidikan formal pemikiran Jauss bahwa cerita dalam tinggi, tetapi pendidikan agamanya cerita lisan, sebuah pemahaman rendah menganggap cerita batu cerita yang didukung oleh teteruga sebagai cerita masa lalu dan penerimaan (di dalamnya penurunan menempatkan mitos-mitosnya hanya cerita) dari generasi ke generasi. sebagai tindakan biasa yang tidak Jauss menyebutkan hal itu dengan mempunyai makna tertentu, karena sebutan resepsi historis (Jauss, 1982: pola pikir mereka cenderung 22). Penurunan cerita teteruga/penyu rasional. Sedangkan masyarakat

102 Batu Teteruga Dan Cerita Rakyat Suku Sobey Rini Maryone

dengan tingkat pendidikan formal dan pertolongan tetap kepada Tuhan. rendah, tetapi pendidikan agamanya Sedangkan masyarakat yang tinggi cenderung lebih yakin akan cenderung mempercayai hal-hal kebenaran cerita batu teteruga/penyu mistis menganggap mitos teteruga karena cara berfikir mereka masih sebagai kekuatan gaib, sehingga tradisional dan memposisikan tidak heran jika ada yang melebih- sebagai pedoman keteladanan batu lebihkan cerita yang ada dalam cerita teteruga yang pemberi rejeki. batu teteruga. Perilaku yang Mereka sangat menghargai ditunjukkan oleh masyarakat dengan peninggalan leluhur sehingga kategori demikian dapat terlihat pada percaya dan yakin akan mitos-mitos saat pengambilan batu teteruga saat tersebut serta tidak berani menjalani ritual yang dilaksanakan meremehkan atau merendahkan saat pencarian teteruga. Masyarakat mitos batu teteruga. dalam kategori ini yakin dengan mitos batu teteruga sehingga memperlakukan khusus ritual 3. Pengaruh keimanan dan ketaatan tersebut karena mereka menganggap beragama hal gaib berperan lebih dari Tuhan Keimanan dalam hal ini dibagi dalam mempermudah hajat mereka. menjadi dua kategori yaitu keimanan 4. Budaya kepada hal agama dan keimanan Budaya juga termasuk salah satu kepada hal-hal yang bersifat mistis. faktor penentu perbedaan resepsi Masyarakat dengan keimanan dan pada masyarakat Suku Sobey di ketaatan yang tinggi kepada Tuhan Kampung Bagaiserwar terhadap menempatkan mitos-mitos batu mitos batu teteruga. Masyarakat teteruga sebagai sebuah kebesaran Suku Sobey yang belum banyak Tuhan yang diberikan berwujud batu terpengaruh budaya luar akan teteruga yang memberikan menempatkan mitos batu teteruga tangkapan teteruga yang berlimpah. sebagai simbol yang mencerminkan Masyarakat dengan kategori ini kehidupan masyarakatnya dan percaya dengan mitos ini, tetapi menganggap tradisi dan mitos itu mereka menempatkannya sebagai perlu dilestarikan. Mereka akan perantara saja. Jadi meminta berkat mempercayai kebenaran mitos-mitos

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 103

tersebut dan menganggap cerita batu Menurut Danandjaja, dilihat dari sisi teteruga/penyu benar-benar terjadi. pendukungnya foklor mempunyai Sedangkan masyarakat yang sudah beberapa fungsi antara lain: terpengaruh budaya luar (biasanya 1. Sebagai sistem proyeksi, yakni masyarakat pendatang) akan sebagai alat pencermin angan-angan menempatkan mitos batu teteruga suatu kolektif. hanya sebagai aktivitas biasa. 2. Sebagai alat pengesahan pranata- Mereka tidak akan terpengaruh dan pranata dan lembaga-lembaga mempengaruhi keberadaan mitos- kebudayaan. mitos tersebut dalam kehidupannya. 3. Sebagai alat pendidik anak. Mereka juga akan menganggap cerita 4. Sebagai alat pemaksa dan batu teteruga sebagai cerita masa pengawas agar norma-norma lalu saja. Masyarakat yang sudah masyarakat akan selalu dipatuhi terpengaruh budaya luar ini termasuk anggota kolektifnya (Danandjaja, dalam kategori percaya tetapi tidak 1994:5). perhatian terhadap cerita batu Begitu juga dengan cerita dan teteruga. Masyarakat yang mitos batu teteruga yang dimiliki memberikan perhatian dikategorikan oleh masyarakat Suku Sobey. ke dalam kategori pertama karena Berdasarkan hasil wawancara, fungsi masyarakat tersebut sampai sekarang cerita dan mitos batu teteruga bagi masih melakukan pengambilan batu masyarakat Suku Sobey Kampung teteruga dalam mempermudah hajat Bagaiserwar sebagai pemilik cerita mereka, dalam pencarian teteruga. sekaligus penikmat mitos tersebut Hal ini membuktikan bahwa diantaranya adalah sebagai berikut: masyarakat Suku Sobey masih a. Sebagai alat persatuan dan merasa memilki dan memegang kesatuan, maksudnya adalah cerita teguh mitos batu teteruga. batu teteruga merupakan leluhur Masyarakat Suku Sobey. Dengan Fungsi Cerita batu teteruga bagi adanya rasa saling memiliki Masyarakat Suku Sobey Kampung cerita, mereka menjadi sadar Bagaiserwar. bahwa mereka masih dalam satu keluarga, sehingga akan menimbulkan rasa

104 Batu Teteruga Dan Cerita Rakyat Suku Sobey Rini Maryone

kesetiakawanan, kerukunan, kerja menyukseskan prosesi ritual sama, gotong-royong dan sikap tersebut. Secara tidak langsung saling menghormati diantara interaksi tersebut memperat warga masyarakat Suku Sobey. hubungan tali persaudaraan b. Sebagai alat pendidik, cerita dan diantara mereka yang merasa mitos batu teteruga yang ditokohi dirinya bagian dari masyarakat oleh teteruga melahirkan ritual Suku Sobey. pengambilan batu teteruga saat e. Sebagai sistem proyeksi, yakni mencari. Tradisi ini adalah sebagai alat pencermin angan- sebagai alat pendidikan bagi angan suatu kolektif, dalam hal ini generasi muda untuk selalu masyarakat Suku Sobey Kampung menghormati jasa-jasa orang Bagaiserwar. Maksudnya adalah terdahulu dan kepada orang yang cerita batu teteruga ini lebih tua. ditindaklanjuti dengan c. Sebagai alat pemaksa dan pengambilan batu teteruga pengawas agar norma-norma tersebut. Mayoritas Masyarakat masyarakat selalu dipatuhi Suku Sobey mempercayai bahwa anggota kolektifnya. Cerita batu batu teteruga adalah batu yang teteruga yang memiliki arti bahwa bertuah, berkhasiat. Dengan masyarakat harus selalu pengambilan batu teteruga/penyu, mengingat kepada Tuhan YME mereka berharap dapat membantu dengan melaksanakan apa yang hajat mereka. Tetapi bukan berarti menjadi perintahNya dan melakukan perbuatan syirik yang menjahui segala laranganNya. dilarang oleh ajaran agama d. Sebagai media mempererat Kristen karena mereka mengambil persaudaraan, artinya dari mitos batu teteruga tersebut hanya batu teteruga lahirlah ritual sebagai perantara saja, memohon pengambilan batu teteruga saat dan berdoanya tetap kepada mencari. Dari tradisi ini Tuhan YME. menyebabkan seluruh anggota Relasi dan keterkaitan antara cerita masyarakat Suku Sobey saling rakyat dan tinggalan megalitik batu teteruga, berinteraksi, berkomunikasi dan dinilai oleh Suku Sobey sebagai fenomena bekerja sama dalam rangka yang sama dan saling berkaitan. Pandangan

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 105 dan persepsi masyarakat yang berada di Bagaiserwar ini menunjukan gambaran Sarmi dan daerah sekitarnya, sangat adanya kemajuan teknologi dalam menyakini bahwa batu megalitik tersebut mengeksploitasi sumberdaya alam yang yang berada di daerah Bagaiserwar cukup banyak tersedia di sekitar mereka. merupakan wujud dari teteruga yang Konsep pemikiran ini dilandasi oleh berubah menjadi batu. Secara ilmiah pencapaian tujuan (baik religi maupun fenomena ini tentunya tidak bisa diterima sosial) yang mereka ciptakan sendiri untuk begitu saja tanpa didasari hipotesa dan memenuhi kebutuhannya. Keberadaan hasil analisa yang jelas. budaya megalitik batu teteruga ini tercipta oleh adanya kehidupan yang terorganisir. Untuk melihat hubungan antara cerita rakyat dan tinggalan megalit batu Wilayah Papua merupakan suatu teteruga diperlukan sebuah proses penelitian daerah yang memiliki bentuk budaya dan kajian menyeluruh yang didukung oleh megalitik dan tersebar di berbagai wilayah data-data etnografi yang kuat. Proses dasar termasuk di wilayah Kabupaten Sarmi. Baik tersebut diharapkan dapat mengungkap dan bentuk maupun korelasinya dengan sumber mengidentifikasi makna-makna yang daya alam serta berbagai nilai-nilai leluhur tersembunyi di dalam kisah cerita yang adalah data yang sangat mendasar untuk disampaikan, diperbandingkan dengan mengetahui berbagai bentuk aktivitas realita budaya yang ada dalam masyarakat manusia masa lampau. Kebudayaan pendukung legenda tersebut. Oposisi yang megalitik dengan berbagai corak dan nilai- muncul dapat membantu memetakan relasi nilai yang terkandung di dalamnya dari unsur-unsur yang ada. merupakan gambaran betapa kayanya Kebudayaan megalitik batu peninggalan arkeologis di daerah Papua teteruga ini menghasilkan bentuk budaya yang dapat dijadikan dasar dari bentuk- materi yang terbuat dari batu monolit. Batu bentuk awal peradaban manusia sekitar awal teteruga tersebut memberi pengetahuan Masehi. Kehadiran kebudayaan megalitik yang tinggi kepada kita mengenai bentuk memberi corak kehidupan tersendiri yang aktivitas masa lalu. Sejumlah budaya materi mengetengahkan nilai atau falsafah yang tercipta menyiratkan aktivitas yang masyarakat masa lampau yang senantiasa mengutamakan sumber daya alam diaktualisasikan melalui penataan budaya yang tersedia. Temuan batu megalitik di megalitik, yang terdiri atas pemikiran

106 Batu Teteruga Dan Cerita Rakyat Suku Sobey Rini Maryone penentuan pusat wilayah suatu daerah, Identitas bangsa Indonesia yang mengacu adanya relasi kuasa dalam pendirian pada adat ketimuran akan bergeser begitu monumen megalitik, dan corak masyarakat saja. Oleh sebab itu, perlu dilakukan adanya agraris. Situs-situs megalitik di Papua penanaman etika kepada generasi penerus, pernah menjadi tempat permukiman suatu melalui cerita-cerita rakyat. Cerita rakyat komunitas yang memiliki kemampuan salah satu media yang bisa dimanfaatkan mengadaptasi lingkungannya. sebagai sarana membangun karakter positif pada generasi muda, melalui nilai-nilai Secara logika dan ilmiah, memang moral dan pendidikan karakter yang sulit menerima cerita rakyat yang terkandung dalam cerita rakyat itu sendiri. dikategorikan dongeng atau mitos, dan bahkan dianggap sebagai hiburan pengantar Cerita rakyat batu teteruga ini tidur, dijadikan dasar yang mendukung apabila diwariskan dan ditanamkan pada sebuah analisa untuk menjawab proses generasi penerus akan membangun karakter, kemunculan tinggalan megalitik di yang mengarah pada hal-hal positif. Kampung Bagaserwar, Kabupaten Sarmi. Penanaman etika yang baik tentunya dapat Saat ini ada dua saluran yang digunakan membangun watak, sikap dan prilaku yang sebagai media pewarisan dan penyebaran memperkuat soft kill untuk menanamkan kisah legenda batu teteruga. Pertama adalah kebiasaan-kebiasaan baik. Melalui para cerita teteruga yang disampaikan melalui tokoh yang ada dalam cerita dapat tutur secara lisan. Kedua, cerita batu disampaikan sikap, prilaku dan tutur kata teteruga disampaikan melalui tulisan. tokoh yang mencerminkan etika maupun Terkait tinggalan megalitik yang moral. ditemukan di Kampung Bagaiserwar dapat Dari uraian cerita batu teteruga mengungkapkan cerita rakyat Suku Sobey di tersebut, ada khasanah nilai budaya yang Kabupaten Sarmi. Cerita batu teteruga tersirat, dan pesan moral yang dapat di petik tersebut merupakan cerita turun-temurun, diantaranya: yang memiliki nilai-nilai ajaran etika yang 1. Nilai budaya. sangat bermanfaat bagi proses terbentuknya Nilai budaya yang terkandung dalam karakter bangsa. Pada masa sekarang etika cerita rakyat batu teteruga ini generasi mudah mulai menurun, hal itu bila berkaitan dengan etos kerja yang dibiarkan membawa kehancuran bangsa. meliputi kerja keras, ketekunan,

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 107

ketaatan, dan kesabaran. Dalam makluk ciptaan Hidup selaras, kisah cerita batu teteruga ini mereka harmonis, dan saling menghargai. bekerja keras, tekun, taat dan sabar, Kesadaran akan pentingnya alam mencari atau menangkap teteruga sekitar seperti halnya peran sebuah sehingga dengan kerja kerasnya ia batu teteruga pada kehidupan dapat memiliki tangkapan yang manusia memberi kehidupan pada terbaik, atau banyak. Sehingga manusia, namun sebaliknya bila batu teteruga yang didapat tersebut dapat teteruga tidak dijaga tidak dinikmati oleh mereka bahkan dilestarikan maka batu tersebut akan masyarakat yang berada habis karena selalu diambil sedikit disekitarnya. demi sedikit untuk di bawah dalam 2. Nilai sosial. pencarian teteruga tersebut. Nilai sosial yang tercermin dari 4. Nilai Religi cerita batu teteruga ini, yang Selain itu cerita batu teteruga diyakini oleh masyarakatnya bahwa memiliki nilai religius, yakni cerita tempat batu teteruga ini benar- masyarakat percaya akan adanya benar ada. Batu monolit ini kekuatan gaib atau roh nenek dipercaya membawa rezeki melalui moyang yang mendiami batu pengambilan batu teteruga. Nilai teteruga tersebut. Mereka percaya sosial yang bisa di ambil yaitu dapat dengan mengambil dan mengadakan memberi kesejahteraan kepada orang ritual pada batu teteruga, mereka banyak. akan diberkati dengan mendapat 3. Nilai Konseptualisasi. tangkapan teteruga yang banyak. Nilai konseptual yang dimaksud adalah pengertian, pendapat atau Dari cerita tersebut merupakan penafsiran akan sesuatu yang inspirasi yang menarik untuk dieksplor mungkin terjadi. Demikian halnya dan diekspos pada khalayak umum dalam cerita batu teteruga ini dalam sebagai khasanah pengembangan ilmu konseptualisasi bahwa manusia budaya, yang merupakan perbendaharaan hidup sangat saling ketergantungan, pemikiran warisan nenek moyang yang baik antar individu, manusia dengan berguna juga untuk masa sekarang yang

108 Batu Teteruga Dan Cerita Rakyat Suku Sobey Rini Maryone

juga sebagai alat pendidik kepada pengokoh nilai-nilai sosial budaya, dan generasi muda dan masyarakat umumnya. pengontrol kehidupan sosial.

PENUTUP Tinggalan megalitik berkaitan dengan cerita rakyat batu teteruga/ penyu di temukan di kampung Bagaiserwar Distrik Sarmi Kota Kabupaten Sarmi Provinsi Papua. Batu tersebut adalah batu monolit, yang berada di pesisir pantai merupakan batu pasir berwarna hitam keabuan dengan panjang 160 cm, lebar 140 cm dan tebal 70 cm, bagian permukaan batu datar dan terdapat lubang-lubang bulat di atasnya. Batu tersebut dipercaya sebagai teteruga yang berubah wujud. Tinggalan megalit batu teteruga adalah kebudayaan materi (material culture) yang merupakan suatu produk manusia masa lampau yang mempunyai makna dan nilai, karena pernah “hidup” di tengah masyarakat, khususnya pada masyarakat Sarmi. Tinggalan tersebut didalamnya tergambar berbagai sistem diantaranya adalah sistem sosial dan religi yang harus diungkapkan. Dengan kajian yang mendalam terhadap kebudayaan materi melalui ceria rakyat, maka nilai-nilai yang melekat dapat diungkapkan. Cerita batu teteruga tersebut mempunyai kegunaan sebagai suatu bentuk hiburan, sarana pendidikan, penggalang rasa kesetiakawanan

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 109

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 2007. Folklore Indonesia, Ilmu gossip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta PT Temprint. Geldern, R. Von Heine. 1984. Prehistoric Research in The Netherland Indies, Science and Scientists in The Netherland Indie, P.124-167. Pieter Honing, PhD, and Frans Verdoor (ed) New York. Hoop, A.N.J. Th. Van der, 1932. Megalithik Remains in South Sumatra. Tranlated by W. Shirlaw, Zuthpen. W. J. Thieme & Cie. Lestari, Ria Fatimah Ummu. 2012. Mengungkapkan Cerita Rakyat Berdasarkan Temuan Purbakala di Pulau Ormu Kabupaten Jayapura. Jayapura Papua Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat. Vol 9 No 1 Juni. Balai Arkeologi Jayapura Kementerian Kebudayaan dan Pariwisat Lekitoo, Y. Hanro dan Djoht Djekky. 2004. Sejarah Kota Sarmi. Kerja sama pemerintah Kabupaten Sarmi dan Laboratoium Universitas Cenderawasih Maryone, Rini. 2016. Penelitian Arkeologi Peralatan Hidup Suku-Suku Yang Berada Di Kabupaten Sarmi, Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Papua. Maryone, Rini. 2014. Megalitik Dan Cerita Rakyat Suku Baham Di Gua Sosoraweru Fakfak. Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. Vol 6 Edisi 2 November. Balai Arkeologi Jayapura Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Maryone, Rini. 2019. Batu Mawe Di Teluk Wondama. Jurnal Penelitian Arkeologi Papua dan Papua Barat.Vol 11 No 2 November. Balai Arkeologi Jayapura Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Maryone, Rini. 2019. Tinggalan Megalit Batu Sukun Mengungkapkan Cerita Rakyat Di Kampung Yapase. Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. Vol 11 edisi 1 Juni Balai Arkeologi Jayapura Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Prasetyo, Bagyo. 2011. Yogyakarta. Budaya Pantai dan Pedalaman Masa Prasejarah di Papua dalam Austronesia dan Melanesia di Nusantara, mengungkapkan Asal-usul dan Jati diri dari Temuan Arkeologis. Yogyakarta: Penerbit Ombak kerjasama dengan Balai Arkeologi Jayapura. Prasetyo, Bagyo. 2015. Pernak-Pernik Megalitik Nusantara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Soejono, R.P. 1984. “Jaman Prasejarah di Indonesia,” dalam Sejarah Nasional Indonesia, Vol. I.PN Balai Pustaka, Jakarta.

Soejono, R.P. (ed.). (1984). Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka. Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 110

Sumarsih, S. 1985. Risalah Sejarah dan Budaya, Seri Terjemahan Naskah Kuno, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Yogyakarta. Wibowo, Bayu Ari. 2015. Pemakalah Lingga-Yuni dan masyarakat Jawa-Hindu di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Studi Etnoarkeologi. Skripsi. Denpasar. UNUD.

Jurnal Arkeologi Papua Vol. 13 Edisi No. 1 / Juni 2021 : 95-114 111