Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan (IPLBI) 2, B074-082, Maret 2018 https://doi.org/10.32315/sem.2.b074

Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan

Dini Rosmalia

Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Pancasila Korespondensi : [email protected]

Abstrak

Keraton Kasepuhan merupakan salah satu keraton unik dan bersejarah yang berada di Kota Cirebon. Sejarah keraton ini terkait erat dengan Kerajaan Cerbon yang pernah berjaya (abad ke-15 hingga ke-17), dan perkembangan Islam pada era para wali (abad ke-15 hingga ke-18) di Nusantara. Dalam pembangunannya, Keraton Kasepuhan menggunakan konsep hasil akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu-Budha. Penerapan ini dapat dilihat pada pola ruang lanskap, seperti orientasi, dan pembagian zona ruang, serta makna yang disematkan pada ruang tersebut. Metode yang dilakukan dalam makalah ini, yaitu membandingkan konsep ruang lanskap keraton di Jawa Tengah yang telah diungkap oleh para peneliti, dengan hasil pengamatan ruang lanskap Keraton Kasepuhan dan wawancara dengan beberapa informan. Dari hasil telaah tersebut terungkap, bahwa pola ruang lanskap Keraton Kasepuhan terbagi menjadi empat zonasi dengan orientasi menghadap ke arah Utara, selain karena alasan pragmatis, terbatasnya lahan, juga sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimuliakan, yaitu guru dari Sunan Gunung Jati.

Kata-kunci : Keraton Cirebon, lanskap keraton, makna ruang, orientasi, zonasi

Pendahuluan

Awal abad ke-15 merupakan titik awal dimulainya para walisanga, penyebar ajaran Agama Islam di Nusantara, memberi pengaruh terhadap kebudayaan lokal, tempat di mana mereka singgah atau menetap. Hal ini seperti disampaikan oleh Ambary (1998), bahwa sejak walisanga mengembangkan Islam di Pulau Jawa, khususnya di pesisir Utara Pulau Jawa, pada abad ke-15 hingga ke-16 M, kebudayaan lokal yang bercorak Hindu-Budha, sangat besar dipengaruh oleh kebudayaan Islam yang dibawanya. Diantaranya pada kesenian (sastra, pahat, tari, lukis, pertunjukan, dan lainnya), sistem kehidupan sosial kebudayaan masyarakat, dan perkembangan arsitektur bangunan dan pola lanskap kawasan, serta lainnya. Dalam perkembangan arsitektur bangunan dan lanskap, pengaruh terlihat pada keraton-keraton yang berkembang selama era walisanga di Pulau Jawa. Perpaduan kebudayaan Islam dan Hindu Budha tidak hanya pada bentuk fisik dan ragam hias/ornamen bangunan-bangunan di dalam kompleks keratonnya saja, tetapi juga pada tata ruang lanskapnya.

Berdasarkan hasil kajian Magnis-Suseno (1997) dan Ahmad (2010), dikatakan bahwa keraton mempunyai makna secara fisik maupun mitologi. Kedua makna tersebut dipengaruhi oleh Kebudayaan Hindu-Budha. Secara fisik keraton merupakan tempat tinggal raja, keluarganya dan para abdi, terdiri dari kumpulan bangunan yang dikelilingi oleh pagar tembok serta parit (Magnis- Suseno, 1997; Ahmad, 2010). Selain sebagai tempat tinggal raja, keraton juga berfungsi sebagai kantor, tempat raja bekerja dan menerima tamu, serta tempat penyelenggaraan tradisi ritual. Adapun secara mitologi, keraton bersifat sakral sebagai manifestasi dari kosmos, gambaran atau

Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Departemen Arsitektur ITS, Surabaya Prosiding Semarnusa IPLBI | B 074 ISBN 978-602-51605-1-6 E-ISBN 978-602-51605-2-3 Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon reproduksi alam semesta, yang berfungsi sebagai jembatan antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (alam manusia). Kesakralan tempat tinggal Dewa atau Tuhan direpresentasikan dengan singgasana raja. Raja yang tinggal di keraton dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, bertugas melindungi dan menjaga harmonisasi serta keseimbangan wilayah kekuasaan sebagai manifestasi dari keseimbangan alam semesta (Behrend, 1989; Lombard, 2000; Ahmad, 2010).

Konsep lanskap-lanskap keraton di Nusantara pada umumnya juga dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha. Hal ini dapat terlihat dari tatanan hirarki, orientasi elemen, makna, dan filosofi yang terkandung pada ruang lanskapnya. Tata ruang diperhitungkan dalam rangka menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan alam tempat tinggalnya (Ahmad, 2010). Sesuai temuan Munandar (1999), Santosa (2006), Ahmad (2010), Wardani, dkk. (2013), dan Rosmalia (2016) pola-pola ruang keraton di wilayah Jawa mengacu pada pola ruang keraton dari era Kerajaan , yang dibagi dalam 3 (tiga) tingkat secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal tingkatan dibagi berdasarkan posisi gunung dan laut/sungai. Tingkat pertama, yaitu kepala (utama), menunjukan wilayah yang paling suci dan sakral, dipercaya sebagai tempat tinggal para Dewa. Tingkat kedua, badan (madya) atau tengah sebagai daerah perantara antara mikrokosmos (bumi/alam manusia) dan makrokosmos (alam Dewa/Tuhan). Adapun bagian kaki (nista) sebagai perwujudan dari area terrendah dan kotor, sebagai tempat pembersihan yang bersifat umum atau publik. Pada umumnya, posisi area ini berada di laut, dimana air sebagai elemen yang disukai untuk para Dewa bermain. Seperti halnya hierarkhi secara vertikal, pada pembagian secara horizontal, pola ruang juga mengacu pada konsep (1) tri angga. dan (2) arah mata angin (catur gatra tunggal1). Dalam konsep tri angga, ruang dibagi dalam kepala (utama), badan (madya), dan kaki (nista), sedangkan pada catur gatra tunggal, perletakan elemen keraton keraton yang berada diluar kompleks, seperti alun-alun, masjid, dan pasar diletakan berdasarkan arah mata angin. Gambar 1 memperlihatkan konsep ruang lanskap keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di .

UTARA Gunung Gambar 1. Ilustrasi penggunaan konsep

catur gatra tunggal dan orientasi pada gunung (manifestasi Mahameru) serta

KEPALA laut pada tatanan lanskap Keraton Yogyakarta (modifikasi dari Munandar, Pasar 1999; Rosmalia, 2016). Sumber Gambar: sourceflame.blogspot.com, dipetik 21 Mei Masjid Agung 2015. BADAN

Keraton

KAKI

SELATAN Laut (Pantai

1 Catur gatra tunggal, adalah konsep berasal dari era Kerajaan Majapahit, di mana alun-alun berada di Utara Keraton, dan posisi keraton menghadap ke arah Utara (alun-alun), lalu masjid berada di sebelah Barat alun-alun, dan pasar di sebelah Timur alun- alun (Munandar, 1999). B 075 | Prosiding Semarnusa IPLBI Dini Rosmalia Sebagaimana disampaikan diatas, dapat dilihat bahwa kajian hasil akulturasi Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Hindu-Budha pada bangunan dan ruang lanskap keraton di wilayah Jawa telah banyak dilakukan dalam lingkup Nasional maupun Internasional. Sebagian besar dari kajian tersebut, umumnya membahas tentang keraton-keraton di Jawa Tengah, seperti Keraton Surakarta Hadiningrat, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Pura Mangkunagaran, sedangkan pola ruang lanskap keraton-keraton di wilayah Jawa Barat, khususnya di Kota Cirebon masih sangat terbatas. Sementara itu, secara kesejarahan dua dari tiga keraton di Kota Cirebon dibangun pada era walisanga, yaitu antara abad ke-15 hingga ke-17, lebih awal dari keraton-keraton di Jawa Tengah yang dibangun pada abad ke-18 hingga ke-19.

Salah satu dari keraton yang dibangun pada era walisanga di Kota Cirebon, adalah Keraton Kasepuhan. Keraton tertua yang dibangun dalam dua tahap, yaitu pada abad ke-15 dan abad ke-16. Saat ini, keraton berfungsi sebagai tempat tinggal dan keluarganya, serta sebagai pusat adat tradisi kebudayaan. Secara sejarah, Keraton Kasepuhan terkait erat dengan Kerajaan Cerbon yang pernah berjaya pada abad ke-15 sampai ke-17. Pola ruang dan elemen lanskap keraton yang terkandung didalamnya sebagai hasil adaptasi Kebudayaan Islam terhadap Kebudayaan Hindu- Budha, maka telaah tentang hasil akulturasi terhadap pola ruang lanskap keraton perlu dikaji lebih dalam. Untuk itu makalah ini akan membahas pola ruang lanskap keraton, berupa pembagian dan orientasi ruang luar Keraton Kasepuhan sebagai gambaran pola ruang lanskap keraton yang dibangun pada era walisanga. Untuk mengunkap pola ruang tersebut, metode yang digunakan dengan membandingkan konsep ruang lanskap keraton di Jawa Tengah dari hasil studi literatur, dengan hasil pengamatan ruang lanskap Keraton Kasepuhan dan wawancara dengan beberapa informan.

Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan a. Sejarah Keraton Kasepuhan

Keraton-keraton bersejarah di Kota Cirebon merupakan keraton pecahan dari Kerajaan Cerbon yang pernah berjaya pada era (ke-15 sampai ke-16 M). Posisi ketiga keraton berada di Selatan Kota Cirebon. Keraton pertama, yaitu Keraton Kasepuhan kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan. Kompleks keraton ini terdiri dari dua tahap pembangunan yaitu Dalem Agung Pakungwati didirikan oleh Pangeran Cakrabuwana pada era Cerbon Nagari, abad ke-15 M (Atja, 1986; Sunardjo, 1983). Posisi bangunan ini berada di bagian Timur kompleks keraton saat ini, dan berfungsi sebagai tempat tinggal dan pusat perkembangan ajaran Agama Islam (Gambar 2).

Sejalan dengan perkembangan ajaran Agama Islam di wilayah Cirebon, Nagari Cerbon pun berkembang menjadi Kerajaan Cerbon. Pada tahun 1529 Masehi dibangun keraton yang lebih besar, bernama Keraton Pakungwati (sekarang dikenal sebagai Keraton Kasepuhan) yang dibangun oleh Syekh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunungjati, Susuhunan Kerajaan Cerbon (Atja, 1986; Sunardjo, 1983). Pada masa ini keraton berfungsi sebagai tempat tinggal Susuhunan, dan pusat penyebaran, perkembangan ajaran Agama Islam, selain itu keraton juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Setelah Kerajaan Cerbon terpecah menjadi Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Kanoman pada tahun 1667, maka Keraton Pakungwati ditempati oleh Sultan Sepuh dan namanya berubah menjadi Keraton Kasepuhan. Selanjutnya, Sultan Anom yang merupakan adik dari Sultan Sepuh, membangun Keraton Kanoman di Kelurahan Lemah Wungkuk, sekitar 1 (satu) kilometer dari Keraton Kasepuhan.

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 076 Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon

Gambar 2. Posisi Keraton Pakungwati di Keraton Kasepuhan sampai dengan Legenda: tahun 2018. A.Alun-alun Sumber: Keraton Kasepuhan (2013); B. Siti Inggil C.Masjid Sang Cipta Rasa D.Keraton Pakungwati/ Keraton Kasepuhan E E. Dalem Agung

b. Pola Ruang Lanskap Keraton

Zonasi Ruang Keraton

Keraton Kasepuhan merupakan keraton terbesar di Kota Cirebon. Berupa kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan dengan luas lahan sebesar 25 ha. Terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, di Selatan Kota Cirebon, Jawa Barat. Tata ruang kompleks Keraton Kasepuhan terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yang dibatasi oleh dinding 2 bagian luar dan bagian dalam kompleks. Bagian luar kompleks keraton terdapat Masjid Sang Cipta Rasa, alun-alun, bangunan Pancaratna dan Pancaniti (Gambar 2). Bagian dalam kompleks keraton yang berada di dalam dinding kuta (kuta kosod) terbagi dalam 4 (empat) zona. Setiap zona dibatasi oleh dinding dan pintu. Zona pertama sebagai area publik, untuk masuk area ini harus melewati jembatan (kreteg) dan gerbang Pangrawit. Zona kedua sebagai area transisi dimasuki melalui pintu/regol Penggada. Pada area ini terdapat Langgar Agung sebagai tempat penyelenggaraan beberapa ritual tradisi yang bersifat sakral. Selanjutnya adalah zona semi privasi, sebagai tempat Sultan bekerja dan menerima tamu. Untuk masuk ke area ini harus melewati oleh Pintu Gledegan. Zona terakhir, merupakan area privat, tempat tinggal Sultan dan keluarganya. Area ini hanya boleh dimasuki oleh orang-orang tertentu saja. Untuk masuk ke area ini, harus melewati Pintu Buk Bacem (Rosmalia, 2016). Gambar 3 menunjukan pola pembagian tata ruang di keraton Kasepuhan.

2 Dinding kuta atau disebut juga sebagai kutakosod merupakan dinding bata yang dibangun untuk membatasi bagian luar dan bagian dalam kompleks keraton (Atja, 1986). Berdasarkan wawancara dengan Sultan Sepuh Kasepuhan XIV (2015), pembangunan kuta (dinding sekeliling keraton) di Keraton Kasepuhan pernah dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, pertama pada masa pemerintahan Panembahan Ratu (saat itu masih bernama Keraton Pakungwati). Kuta Keraton meliputi keliling keraton Alun-alun dan Masjid Sang Ciptarasa. Selanjutnya pada tahun 1936 dilakukan pembangunan kembali kuta disekeliling kompleks Keraton Kasepuhan. Hasil pembangunan tersebut membuat luas keraton menjadi lebih kecil menjadi 25 ha (Atja, 1986; Keraton Kasepuhan, 2012; Rosmalia, 2016) B 077 | Prosiding Semarnusa IPLBI Dini Rosmalia

Gambar 3. Blok plan dan tata ruang Kompeks Keraton Kasepuhan Sumber: Keraton Kasepuhan

(2013)

Orientasi Ruang Lanskap Keraton

Telah disampaikan pada bagian sejarah Keraton Kasepuhan, bahwa di dalam kompleks Keraton Kasepuhan terdapat Dalem Agung Pakungwati dan Keraton Pakungwati. Kedua keraton ini mempunyai orientasi bangunan yang berbeda. Dalem Agung Pakungwati yang dibangun lebih dahulu menghadap ke Barat. Menurut Atja (1986), konsep orientasi Dalem Agung Pakungwati ini adalah menghadap gunung (Gunung Ceremai) dan membelakangi laut (Laut Jawa)”. Gunung Ceremai sebagai manifestasi dari Gunung Mahameru yang dipercaya sebagai tempat yang subur, tempat tinggal para Dewa Hindu, sedangkan laut dan sungai (badan air) dipercaya sebagai tempat para dewa bersenang-senang (Atja, 1986; Falah, 1998).

Adapun, Keraton Pakungwati yang dibangun kemudian oleh Sunan Gunungjati berorientasi ke arah Utara mempunyai konsep yang berbeda. Berdasarkan hasil wawancara dengan P.R. Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh Kasepuhan XIV (2014) dan Asteja (2016), sebelumnya orientasi keraton menghadap ke arah Utara (ke arah Bukit Gunungjati), pada abad ke-16 Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan) menghadap ke arah Selatan di mana sungai dan laut berada. Pada waktu itu sungai dan laut menjadi jalur sirkulasi utama dari/ke wilayah pedalaman/daratan yang disebut Cirebon Girang. Seiring waktu, kegiatan di Kerajaan Cerbon semakin bertambah banyak, sehingga membutuhkan masjid yang lebih luas dan alun-alun. Guna keperluan tersebut, dibangun alun-alun di Utara keraton dan masjid di bagian Barat Laut keraton, dan dilanjutkan dengan pembangunan jalan Karanggetas. Sejak itu, orientasi keraton pun berubah ke arah Utara (Gambar 2).

Di pihak lain, orientasi keraton ke arah Utara sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan kepada para sultan dan para tokoh agama Islam ini. Seperti yang disampaikan oleh Pangeran Komisi Keraton Kanoman (2013), bahwa posisi orientasi keraton ke arah Utara sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, yaitu Syekh Nurjati (guru Pangeran Cakrabuwana, dan Syekh Syarif Hidayatullah) yang tinggal di Gunung Jati (Bukit Amparan Jati). Pemahaman ini terbentuk karena banyak dari para sultan dan para tokoh Islam setingkat wali yang bermukim dan dimakamkan di bukit-bukit menyerupai gunung3.

3 Bukit Amparan Jati yang kemudian dikenal sebagai Gunung Jati merupakan tempat tinggal dan tempat dimakamkan Syekh Nur Jati, sedangkan Gunung Sembung sebagai tempat dimakamkan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan para sultan keturunannya. Prosiding Semarnusa IPLBI | B 078 Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon

Gunung Jati Gambar 5. Pola Orientasi Laut Jawa Keraton Kasepuhan Sumber: Keraton Kasepuhan

(2013)

Diskusi

Sesuai sejarah, Keraton Kasepuhan yang dibangun pada masa awal penyebaran ajaran Agama Islam, sehingga pola ruang dan bentuk bangunannya banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha. Para peneliti, seperti Falah (1998) dan Adeng, dkk. (1998) mencoba menggali pengaruhi kebudayaan tersebut pada keraton, dan menyandingkan dengan pola dari keraton-keraton di Jawa Tengah. Dalam hal pola ruang, seperti yang telah disampaikan pada bagian zonasi dan orientasi ruang keraton, keraton Kasepuhan memiliki beberapa kemiripan dengan keraton-keraton di Jawa. Pada zonasi catur gatra tunggal yang menempat alun-alun, masjid, dan pasar pada posisi Utara, barat, dan timur memiliki kemiripan dengan keraton-keraton di Jawa Tengah. Makna yang terkandung didalamnya juga memiliki persamaan, yaitu alun-alun sebagai tempat rakyat memuliakan sultannya yang tinggal di keraton, lalu sultan membangun pasar di Timur untuk tujuan mensejahterakan rakyatnya, selanjutnya sultan membangun masjid di Barat sebagai tempat ibadah yang bertujuan menjaga harmonisasi alam manusia dengan alam Tuhan.

Walau antara Keraton Kasepuhan dan keraton-keraton di Jawa Tengah mempunyai kemiripan dalam pola orientasi, namun kandungan makna dalam pola orientasi tersebut memiliki perbedaan. Diantaranya, yaitu pada pola orientasi Utara-Selatan. Apabila pada Keraton-keraton di Jawa Tengah orientasi Utara-Selatan dipengaruhi oleh adanya Gunung dan Laut yang dikaitkan dengan keberadaan para Dewa, sedangkan pada Keraton Kesepuhan hanya arah Utara yang memiliki makna tertentu. Arah hadap Keraton Kasepuhan ke Utara mengandung 2 (dua) alasan, pertama sebagai penghormatan terhadap Syekh Nurjati yang pernah bermukim dan dimakamkan di Bukit Gunungjati. Beliau merupakan wali dan tokoh penyebar Agama Islam di wilayah Cirebon, serta guru dari Sunan Gunungjati. Kedua, karena alasan yang bersifat pramatis, yaitu (1) adanya perubahan jalur sirkulasi sungai dari sungai ke jalur darat; (2) adanya perluasan lahan untuk memenuhi kebutuhan keraton yang semakin banyak. Dengan demikian, dapat dilihat pola orientasi keraton Kasepuhan ke arah Utara tidak serta merta sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh penting penyebar ajaran Agama4, hasil adaptasi Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Hindu-Budha saja, akan tetapi juga karena alasan kebutuhan.

4 . Berdasarkan konsep Geofrroy dalam Henry Chambert-Loir dan Claude Guillot (2010) bahwa di wilayah Timur Tengah para wali selalu memilih tempat di atas bukit, atau tempat yang paling tinggi di wilayah teritorinya, mereka bermukim hingga meninggal dan dimakamkan di tempat tersebut. Pemilihan lokasi di atas bukit karena tempat yang tinggi dianggap sebagai tempat yang B 079 | Prosiding Semarnusa IPLBI Dini Rosmalia Berbeda dengan pola orientasi dan pola ruang luar (catur gatra tunggal) Keraton Kasepuhan sebagai hasil adaptasi Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Hindu-Budha, pada pola zonasi ruang lanskap kompleks keraton, pengaruh kebudayaan Hindu-Budha hanya terlihat di area Siti Inggil. Empat Zona ruang keraton dibagi berdasarkan adanya kebutuhan keraton saat itu. Batas zona dibuat untuk mengakomodir kegiatan pemerintahan dan adat tradisi keraton, selain itu demi menjaga keamanan keraton. Setiap ruang memiliki makna yang bersifat pragmatis, seperti halnya pada orientasi ruang keraton. Makna disisipkan sesuai dengan kegiatan yang ditampung di dalam ruang tersebut, tetapi tidak menghubungkan dengan hal-hal yang bersifat filosofis. Sebagai contoh, pada area kedua, area semi publik, para tamu yang akan bertemu sultan harus melapor sebelum masuk ke area utama keraton, dia area ke tiga. Demikian juga di area ketiga yang merupakan area semi privat. Pada area ini para tamu akan menunggu di area ini sebelum dipanggil dan masuk ke Jinem Pangrawit dan bertemu dengan sultan.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa pola ruang lanskap Keraton Kasepuhan, tidak seluruhnya mendapat pengaruh dari Kebudayaan Hindu-Budha seperti yang dipahami oleh beberapa peneliti keraton-keraton di Jawa Tengah. Pengaruh Sunan Gunungjati, yang selain sebagai wali, tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Cirebon dan juga berjasa membesarkan Kerajaan Cerbon pada pertengahan abad ke-15 hingga awal abad ke-16, cukup memberi pengaruh pada pembangunan keraton dan kegiatan tradisi yang ditampung didalamnya. Pola ruang diadopsi dari kebudayaan Hindu-Budha dengan adaptasi sesuai kebutuhan kegiatan keraton, seperti pada makna ruang tidak mengandung filosofi Hindu-Budha, tetapi lebih bersifat pragmatis dan disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Adapun bahwa Sunan Gunungjati, yang saat itu sebagai raja, dipercaya sebagai wali Allah, membuat keraton yang dibangunnya menjadi bernilai sakral, dan dipercaya sebagai manifestasi dari alam makro, serta memberi gambaran bahwa raja sebagai pengayom rakyatnya.

Penutup

Keraton Kasepuhan merupakan keraton bersejarah, yang telah berusia hampir lima abad. Keraton ini masih terawat dan digunakan sebagai tempat tinggal sultan dan tempat penyelenggaraan adat tradisi kebudayaan. Sebagian besar ruang-ruang yang terbentuk di Keraton Kasepuhan telah dibangun sejak awal. Pola zonasi yang terbagi dalam empat hirarki dibangun lebih karena untuk memisahkan antara kegiatan pemerintahan dan penyebaran agama/pengembangan ajaran Agama Islam, dengan kegiatan sultan yang bersifat pribadi. Adapun pola orientasi ruang keraton menghadap ke arah Utara lebih karena adanya perubahan akses dari jalus Sungai ke jalur darat, jalan Karanggetas penghubung antara keraton dengan Bukit Gunung jati, dan sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimuliakan (Syekh Nurjati, guru Sunan Gunungjati). Adapun, konsep catur gatra tunggal yang diterapkan pada bagian luar Utara keraton, selain karena adanya kebutuhan, pola peletakan masjid, alun-alun, dan pasar lebih karena adanya pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha pada masa itu masih sangat kuat, dengan makna yang disesuaikan dengan filosofi ajaran Agama Islam.

Baik pada ruang dalam maupun luar kompleks Keraton Kasepuhan, dalam pola zonasi maupun pada orientasi ruang, penyematan makna ruang hampir selalu mengandung kesakralan yang dikaitkan dengan Sunan Gunungjati sebagai tokoh yang berjasa membesarkan Cirebon hingga menjadi terkenal seperti saat ini. Pemahaman kesakralan bersifat embeded/menyatu dengan ruang sebagai aman, sepi dan dekat dengan Sang Pencipta, selain itu tempat tersebut juga merupakan tempat yang strategis untuk melihat situasi sekitar (pada masa perkembangan Islam masih sering terjadi peperangan dan bukit sebagai tempat untuk memantau situasi). Selanjutnya, bukit tersebut menjadi pusat orientasi dari para pengikutnya, terutama saat kegiatan tradisi diselenggarakan. Prosiding Semarnusa IPLBI | B 080 Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon tempat kegiatan tradisi keraton yang menjadi bagian dari kehidupan mereka. Kesakralan makna terus dipelihara oleh para sultan yang merupakan keturunan Sunan Gunungjati, beserta masyarakat pengikut Keraton Kasepuhan, dan terus diwariskan dari generasi ke generasi di lingkungan masyarakat Keraton Kasepuhan, Cirebon.

Dengan demikian, dapat direkomendasikan bahwa ruang-ruang sakral keraton, baik yang berada di dalam maupun di luar keraton sebaiknya dijaga keberadaannya. Dengan demikian kesakralan ruang- ruang tersebut tidak luntur. Konsep catur gatra tunggal yang telah diterapkan di beberapa wilayah di Cirebon sebagai bentuk pengakuan masyarakat pengikut keraton, juga sebaiknya dipreservasi. Demikian juga dengan Bukit Gunungjati yang menjadi pusat orientasi Keraton Kasepuhan. Bentuk preservasi yang dapat direkomendasikan, yaitu (1) ruang-ruang tersebut harus masuk dalam kebijakan tata ruang sebagai ruang yang perlu dipreservasi; (2) perencanaan pengembangan kawasan harus mempertimbangkan kesakralan, seperti membuat jalur interpretasi yang mengangkat kesakralan ruang.

Acknowledgement

Makalah ini merupakan bagian dari Penelitian Strategi Nasional yang dibiayai oleh Direktorat Perguruan Tinggi, Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Dalam menyusun makalah ini saya sampaikan terimakasih Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan, Lurah Keraton Kasepuhan, serta Bapak Mustakim Asteja yang telah bersedia membantu memperkaya makalah ini.

Daftar Pustaka

Adeng, Wiwi, K., Wiryono, H., & Erwantoro, H. (1998). Kota DagangCirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ahmad, J. J. (2010). The Javanese Perceptions of Landscape. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. Ambary, H. M. (1998). Peranan Cirebon sebagai Pusat Pengembangan dan Penyebaran Islam. In S. Zuhdi (Ed.), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah (hal. 141-162). : (II ed., pp. 35-54). Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Atja. (1986). Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Jawa Barat: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat. Behrend, T. (1989). and Cosmos in Tradition . Archipel, 37(II), 173-187. Falah, W. A. (1998). Tinjauan Konsepsi Seni Bangunan Istana Peninggalan Masa Islam di Kesultanan Cirebon dalam Konteks Kesinambungan Budaya. In S. Zuhdi (Ed.), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah (II ed., pp. 141-162). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Keraton Kasepuhan. (2012). Kesultanan Kasepuhan. Cirebon: Keraton Kasepuhan. Lombard, D. (2000). Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II, Jaringan Asia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Magnis-Suseno, F. (1997). Javanese Ethics and World-View, The Javanese Idea of the Good Life. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Munandar, A. A. (1999). Pelebahan: Upaya Pemberian Makna pada Puri Abad 14 - 19 M. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Pascasarjana Universitas Indonesia, Arkeologi. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Rosmalia, D. (2016). Pengaruh Kebudayaan Keraton terhadap Pola Ruang Lanskap Budaya Cirebon. Institut Teknologi Bandung, Program Studi Doktor Arsitek. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Santosa, I. (2006). Kajian Estetik dan Unsur pembentuk pada Keraton Surakarta. ITB. Bandung: Program Doktor Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Sunardjo, U. (1983). Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintaha kerajaan Cerbon 1479 - 1809. Bandung: Penerbit Tarsito. Wardani, L. K., Soedarsono, R. M., Haryono, T., & Suryo, D. (2013). City Heritage of Mataram Islamic Kingdom in Indonesia (Case Study of Yogyakarta ). International Journal of Social Sciences, 09(1), 104-118.

B 081 | Prosiding Semarnusa IPLBI Dini Rosmalia Wiryomartono, A. B. (1995). Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia: Kajian mengenai konsep, struktur, dan elemen fisik kota sejak peradaban Hindhu-Budha Islam hingga sekarang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sumber Wawancara

Asteja, M. (2016). Orientasi keraton. (D. Rosmalia, Interviewer). Kota Cirebon, Jawa Barat, Indonesia Sultan Sepuh XIV (2015). Pola Ruang Keraton Kasepuhan. (D. Rosmalia, Interviewer) Kota Cirebon, Jawa Barat, Indonesia.

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 082