Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, e-ISSN 2599-008X

Model Pembelajaran Berbasis Budaya Lokal dalam Membentuk Jiwa Profetik-Patriotik Peserta Didik

Sulistiani Program Studi Pendidikan dan Kewarganegaraan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Pos-el: [email protected]

Abstrak Derasnya arus globalisasi menjadi salah satu permasalahan yang serius terhadap pendidikan, budaya lokal dan pembentukan sikap generasi muda sebagai warga negara. Tanpa disadari arus globalisasi mengikis rasa cinta generasi muda terhadap budaya lokal, hal ini di khawatirkan akan berdampak terhadap generasi penerus dalam mengenal budaya lokalnya sendiri dan lebih mencintai budaya luar. Rasa cinta warga negara terhadap budaya luar akan menjadi salah satu hal yang mendorong warga negara untuk ikut mengambil peran dalam membangun negara-negara lain dan meninggalkan negara nya sendiri. Dengan demikian, menanamkan nilai-nilai budaya lokal merupakan salah satu faktor yang akan mendukung timbulnya rasa cinta terhadap tanah air. Menjadi warga negara yang setia, ikut aktif dalam berpartisipasi serta membangun kehidupan yang demokratis merupakan tujuan dari pendidikan pancasila dan kewarganegaraan. Peranan penting guru sebagai pendidik sangat di butuhkan untuk menumbuhkan dan membangun rasa cinta akan kebudayaan lokal dan membentuk jiwa yang patriotik terhadap peserta didik. Pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang selalu tampil monoton dengan berbagai teori membuat peserta didik menjadi jenuh dan menimbulkan rasa ketidaktertarikan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu library research. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu dengan menggunakan sistem belajar dengan budaya guru dapat menumbuhkan sikap profetik patriotik peserta didik. Menggunakan berbagai cara selama proses pembelajaran berlangsung seperti memakai model pembelajaran cooperative dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal dapat memberikan suasana dan hasil yang berbeda terhadap peserta didik. Kata kunci : model pembelajaran, budaya lokal, profetik-patriotik, globalisasi.

Pendahuluan secara lansung dengan lingkungan sekitar menjadikan masyarakat kehilangan nilai budaya dan agama yang Globaliasasi menjadi permasalahan yang serius seharusnya tetap di pegang erat. Menghilangkan ber- ketika melihatnya hanya dari sisi negatif. Ada dua bagai dampak negatif dari globalisasi bukanlah hal yang dampak yang diberikan oleh globalisasi yaitu dampak mudah, karena masyarakat harus bisa mengikuti per- positif dan negatif. Hidup yang terlalu transparan, kembangan zaman agar tidak tertinggal dengan individualistik, mengikuti trend yang bertolak dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang kian meningkat. nilai-nilai budaya dan agama merupakan dampak Ilmu pengetahuan yang kian meningkat berdampak negatif yang ditimbulkan dari globalisasi. (Abdullah, baik pada masyarakat yang terus menggali dan 2010: 96) Proses globalisasi ditandai dengan integrasi mengejar ilmu sampai menduduki jenjang pendidikan budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Masuk- di berbagai negara-negara maju dan berkembang, hal nya nilai-nilai kebudayaan luar dan ikut terbentuk ini dilakukan agar tidak kalah saing dari masyarakat dengan kebudayaan lokal menyebabkan timbulnya global, yang menjadi permasalahan utama yaitu kebudayaan baru seperti pembauran, hal ini dapat apakah masyakat yang terus meniti pendidikan diluar terjadi secara tidak sengaja seperti terjadinya per- negaranya akan kembali untuk membangun negaranya kawinan masyarakat antar negara, selain melalui sendiri? atau akan tetap menetap dengan kenyamanan perkawinan, budaya dapat ditularkan dari satu kebudayaan dan lingkungan di negara luar? Hal inilah budaya ke budaya yang lain ketika berkomunikasi, yang akan berkaitan dengan jiwa patriotik warga mempelajari bahasa, kesenian bahkan makanan khas negara yang akan tetap membangun negaranya dan yang berbeda merupakan salah satu cara untuk warga negara yang akan berpaling dan meninggalkan mengenal budaya yang kita inginkan. negaranya demi membangun negara lain. Dari dampak negatif yang ditimbulkan dari Di era sekarang penjajahan bukan hanya terjadi globalisasi secara perlahan akan membentuk kepri- secara kontak fisik tetapi persaingan ilmu penge- badian masyarakat yang tidak diinginkan. Seperti tahuan juga menjadi penjajahan secara halus. Bagi timbulnya sikap individualis yang bukan merupakan mereka yang tidak dapat bersaing maka mereka akan ciri dari kehidupan bermasyarakat, menjadi ingin tertinggal. Ilmu pengetahuan yang didapatkan bukan- menang sendiri, tidak mengenal dan berinteraksi lah yang hanya terlihat dalam ranah kognitif, hal yang

268

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

terpenting dari pendidikan adalah bagaimana peserta Model pembelajaran yang diterapkan sesuai didik dan masyarakat bisa lebih melibatkan aspek dengan materi yang akan diajarkan kepada peserta spiritual dalam pembentukan sikap. Aspek sikap lebih didik, ketidaksesuaian model pembelajaran yang berkaitan dengan nilai profetik yang dikembangkan, diterapkan juga akan berdampak kepada hasil pem- Fuadi, 2016:19) nilai profetik dalam pendidikan yang belajaran. Model pembelajaran memudahkan siswa dikemukakan oleh Kuntowijoyo yaitu humanis untuk dapat memahami, mengetahui, dan lebih te- sebagai kegiatan yang mampu mengembangkan psiko- rampil dalam proses belajar mengajar, sehingga guru motorik dan rasa kepedulian sosial, liberasi sebagai sebagai penyalur menjadi lebih mudah dalam me- pendidikan akal dan pikiran, transendensi sebagai nyampaiakan materi ajar. Guru merupakan kompo- pendidikan hati nurani yang berasal dari akidah dan nen yang sangat menentukan dalam implementasi pengalaman secara spiritual. Menanakan nilai-nilai suatu strategi pembelajaran. Tanpa adanya guru budaya lokal merupakan salah satu cara agar warga bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi maka negara tetap memegang erat warisan leluhur ter- strategi tersebut tidak dapat diaplikasikan, sehingga masuk kepada kepercayaan dan nilai-nilai yang profesi ini memerlukan suatu keahlian khusus yang terkadung didalamnya. Menanamkan nilai budaya menuntut seorang guru menguasai seluk beluk lokal akan menumbuhkan sikap cinta terhadap kebu- pendidikan dan pengajaran serta ilmu-ilmu lainnya, dayaan sendiri dan secara otomatis juga menum- dengan harapan dapat melaksanakan tugas-tugasnya buhkan rasa cinta terhadap negaranya. dengan baik secara otomatis akan mampu menghasilkan output yang baik. Menanamkan nilai budaya lokal dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun non formal. Dari Kegiatan mengajar sebagai aktivitas yang dilakukan pendidikan formal, pendidikan budaya lokal dan jiwa guru dalam menyiapkan berbagai konsep, fakta, patriotik dapat di berikan melalui pembelajaran masalah dan lingkungan belajar yang akan memberi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan merupa- kemudahan kepada siswa sebagai subyek dalam kan salah satu hal yang penting dalam memper- mencapai tujuan belajarnya. Kegiatan pembelajaran kenalkan kehidupan bernegara bagi generasi muda, tidak hanya berlangsung dalam konteks tatap muka mencintai budaya lokal serta menjadi pribadi yang antara guru dan siswa di dalam kelas, tetapi juga dapat aktif dalam membangun negaranya. Kompetensi berlangsung saat diluar kelas, hal ini lebih berkenaan kewarganegaraan akan terbentuk dalam diri peserta dengan interaksi yang dilakukan siswa dan guru. Siswa didik ketika guru sebagai pendidik memberikan juga dapat belajar melalui bahan ajar cetak, modul, pembelajaran dan pengetahuan mengenai kewarga- buku, LKS, acara televisi atau media lainnya. Tentu negaraan. Pendidikan kewarganegaraan menjadi saja guru tetap memainkan peran penting dalam sasaran empuk terhadap pembentukan kompetensi merancang setiap kegiatan pembelajaran. Guru bukan kewarganegaraan dan jiwa profetik patriotik peserta hanya berperan sebagai model tetapi juga sebagai didik. Permasalahan yang sering terjadi saat pengelola pembelajaran (manager of learning). Dengan pembelajaran PPKn berlangsung adalah pendidikan demikian, efektivitas proses pembelajaran terletak di kewarganegaraan lebih cenderung monoton karena pundak guru. keberhasilan suatu proses pembelajaran semua yang disampaikan berbentuk teori dan cerita. sangat ditentukan oleh kualitas dan kemampuan guru. Seperti penelitian yang dilakukan oleh (Zuriah, 2014: Oleh karena itu, bagaimana guru dapat memben- 178) metode pembelajaran yang digunakan dalam tuk jiwa profetik-patriotik peserta didik? menjadikan menyampaikan materi PPKn masih kurang bervariasi, peserta didik berwawasan luas dengan mengikuti dan materi yang diajarkan terlalu luas,pengajar juga perkembangan zaman tetapi tidak melupakan kebu- belum bisa mengajar secara enjoy atau menyenangkan dayaan lokal dan memiliki sikap yang baik. karena materi yang bersifat teori menyebabkan pengajar mengajar secara textbook. Hal inilah yang Metode menjadi faktor utama pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan menjadi membosankan bagi Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu para peserta didik. menggunakan metode kepustakaan (library research). (Zed, 2008:1) Riset pustaka memanfaatkan sumber Dalam proses pembelajaran, guru harus memiliki perpustakaan untuk memperoleh data penelitian, strategi, teknik maupun model serta menjadi lebih riset kepustakaan berkenaan dengan metode pe- profesional dalam pembelajaran, hal ini dilakukan agar ngumpulan data pustaka, membaca dan mencatat siswa dapat belajar dengan efektif dan efisien. Model serta mengolah bahan penelitian. pembelajaran merupakan kerangka dasar pembe- lajaran yang dapat diisi oleh beragam muatan mata Studi pustaka hanya memanfaatkan sumber- pelajaran, sesuai dengan karakteristik kerangka da- sumber pustakan sebagai bahan untuk memperoleh sarnya. Dewey (Majid, 2013:13) mendefinisikan hasil penelitian. Bahan yang digunakan dalam studi model pembelajaran sebagai “a plan or pattern that we kepustkaan ini dapat bersumber dari buku-buku, can use to design face to face teaching in the classroom jurnal ilmiah, majalah, tabloid maupun koran dan or tutorial setting and to shape instructional material”. dokumen. Dalam tulisan ini, literaur yang digunakan

269

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

berkenaan dengan model pembelajaran, budaya lokal, yang telah dibuat oleh orang lain seperti model profetik, patriotik dan era globalisasi. Teknik pembelajaran kooperatif, jigsaw, think talk write, pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan number head together dan lain sebagainya. berbagai literatur yang berkenaan dengan judul. Sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan Hakikat Kebudayaan dan Budaya Lokal mengumpulkan literatur atau bahan yang telah di- Menurut Ranjabar (2014:28), masyarakat adalah peroleh, membaca literatur, kemudian di susun serta orang yang hidup bersama yang menghasilkan dikaitkan antara satu sama lain dan pada akhirnya kebudayannya, keduanya tidak dapat dipisahkan dan akan mendapatkan suatu hasil atau kesimpulan dari selamanya merupakan dwitunggal, kebudayaan ditin- sebuah penelitian. jau dari sudut struktur dan tingkatannya meliputi superculture, culture, subculture dan counter-culture. Hasil dan Pembahasan Superculture merupakan kebudayaan yang berlaku Model Pembelajaran bagi seluruh masyarakat secara keseluruhan misalnya kebudayaan nasional. Culture kebudayaan yang ber- Pada garis besarnya mengembangkan model laku lebih khusus pada suatu keompok didalam pembelajaran memiliki beberapa langkah yaitu sebagai sebuah wilayah, etnik, suku misalnya budaya Kutai berikut (Suprijono, 2016:58). dan budaya Bugis. Subculture merupakan sebuah 1. Menetapkan tujuan yang akan dicapai. kebudayaan yang berada dalam culture dan tidak memiliki sisi yang bertentangan misalnya budaya 2. Menetapkan standar keberhasilan, standar kerjasama dan musyawarah sedangkan counter-culture keberhasilan meliputi standar kualitas kebalikan dari subculture walaupun memiliki tingkatan 3. Menetapkan sistem evaluasi, sistem evaluasi yang sama dengan subculture, counter-culture berbeda mencakup evaluasi proses dan evaluasi hasil dengan subculture, contoh dari counter-culture yaitu memiliki sifat yang menganggap bahwa kebudayaan 4. Menganalisis situasi dan kondisi yang terkait yang dimilikinya jauh lebih baik daripada kebudayaan dengan tujuan yang akan dicapai, analisis di yang lain. kebudayaan ditinjau dari sudut struktur dan aksentualisasikan pada pengungkapan faktor- tingkatannya dapat digambarkan sebagai berikut. faktor penunjang dan penghambat tercapainya tujuan pembelajaran

5. Menetapkan kegiatan belajar yang akan Superculture dilakukan untuk mencapai tujuan pembela- jaran 6. Menetapkan urutan hirarki dari kegiatan

belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran Culture (s) 7. Menetapkan alternatif kegiatan belajar lainnya untuk mengantisipasi kemungkinan tidak efektif dan tidak efisiennya kegaitan belajar yang telah ditetapkan

8. Mengalokasikan waktu yang diperlukan Subculture Counter-culture untuk menyelesaikan setiap kegiatan belajar.

Penggunaan model pembelajaran di dalam mau- Gambar 1 Kebudayaan ditinjau dari sudut pun di luar kelas bukan hanya dikaitkan dengan materi struktur dan tingkatannya ajar yang akan disampaikan, tetapi guru juga mengatur waktu, melihat usia serta kemampuan siswa dan Mariane (2014:115) membedakan budaya ke- keadaan sekolah sebelum menerapkan model pembe- lompok manusia yang satu dengan yang lainnya. lajaran tersebut. Waktu yang sedikit dengan meng- Kebudayaan bukan dipandang sebagai realitas keben- gunakan model pembelajaran yang terlalu rumit akan daan, tetapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk berdampak pada proses belajar mengajar, hasil dan melihat, menangkap dan bahasa manusia modern tujuan pembelajaran. Begitu juga halnya dengan ke- untuk melihat keberadaannya. Kebudayaan dapat adaan sekolah, sekolah yang berada di daerah peda- memberikan ciri khas pada setiap individu, membe- laman, pedesaan dengan perkotaan akan memiliki dakan secara fisik maupun perilaku yang terbentuk suasana dan lingkungan yang berbeda, sekolah di dari kebiasaan di dalam suatu kelompok. Harry perkotaan biasanya memiliki fasilitas yang jauh lebih (2002:3) culture is a shared pattern of beliefs, attitudes, baik dibandingkan sekolah yang berada di daerah norms, role perceptions, and values”. Di dalam budaya pedalaman. Guru dapat membuat model pembela- terdapat nilai, norma, keyakinan serta aturan yang jarannya maupun menerapkan model pembelajaran menjadi acuan bagi masyarakat yang menganut buda-

270

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

ya tersebut. Setiap budaya yang dianut masyarakat mengikuti perkembangan zaman tetapi makna me- tidaklah sama, biasanya budaya yang didapat berasal ngenai patriotisme tetaplah kekal sebagai perasaan dari turun temurun atau diciptakan. Misalnya cinta terhadap tanah air. Patriotik berkenaan dengan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat suku Gayo rasa atau emosional yang berasal dari dalam diri di wilayah dan hidup di daerah pegunungan akan setiap individu. Jiwa patriotik tidak hanya tumbuh dari berbeda dengan kebudayaan yang dianut oleh suku kesadaran dari masing-masing individu, tetapi patrio- Kutai yang ada di wilayah Kalimantan dan hidup di tik juga bisa tumbuh dengan adanya dorongan dari daerah tepi sungai. Perbedaan lainnya seperti Kaha- lingkungan, kelurga maupun sekolah. ringan yang berada di suku kutai tidaklah dimiliki di Di lingkungan sekolah patriotik berkaitan dengan suku Gayo, kaharingan merupakan salah satu ke- beberapa mata pelajaran seperti mata pelajaran percayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat kutai, sejarah, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan dalam kepercayaan ini masyarakat kutai mengenal dan muatan lokal. pelajaran sejarah dapat membe- adanya pembakaran mayat seperti kepercayaan dalam rikan gambaran tenatng masa lalu, perjuanagan para agama Hindu. pahlwan dalam memerdekakan negara , Walaupun mereka telah menganut satu agama, semangat patriotik dan berani berjuang demi negara. tetapi banyak kepercayaan, serta ritual-ritual yang Sedangkan pada pelajaran pendidikan pancasila dan mereka lakukan sesuai dengan ajaran leluhur dari kewarganegaraan siswa dapat mempelajari tentang suku yang mereka anut. Perbedaan tersebut tidak bagaimana seseorang menjadi warga negara yang baik hanya tampa pada sistem kepercayaan, tetapi juga dan benar. dari segi prilaku, makanan, cara berpakaian, bahasa dan lain sebagianya yang menjadi ciri khas setiap Globalisasi kelompok masyarakat. Kebudayaan lokal yang telah Globalisasi merupakan sebuah proses yang terjadi dimiliki oleh setiap suku dari setiap daerah harus bisa pada lapisan masyarakat dimana mereka tidak dipertahankan, jika tidak identitas itu sedikit demi mengenal adanya batas dan tidak terikat hanya pada sedikit akan hilang, seperti tarian, bahasa dan ruang lingkupnya saja. Globalisasi terjadi secara makanan daerah yang harus terus diajarkan kepada mendunia, setiap masyarakat dapat merasakan dan generasi berikutnya baik melalui pendidikan formal melihat antar satu wilayah dengan wilayah lain, antara maupun non formal. satu kejadian dengan kejadian lain secara cepat. (Buwono, 2007:52) Globalisasi menyediakan sebuah Profetik-Patriotik tempat yang lapang bagi onstruksi identitas, per- Di Indonesia istilah profetik pertama kali diper- tukaran benda-benda, simbol-simbol dan pergerakan kenalkan oleh Kuntowijoyo pada tahun 1991 yang antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasi- sering disebut sebagai ilmu sosial profetik, ilmu sosial kan dengan perkembangan tekhnologi komunikasi, tidak hanya mengkaji tentang fenomena sosial tetapi membuat percampuran dan pertemuan budaya juga juga memberi petunjuk ke arah mana tranformasi semakin mudah. dilakukan, untuk apa dan oleh sispa (Budiharto dan Dimulai dengan kemajuan alat transportasi, tele- Himam, 2006:136). Efendi (2012:81) realitas profetik komunikasi maupun trend dalam berbusana, hal ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu pada ranah humanis, menyebabkan adanya istilah saling ketergantungan. realitas profetik pada aspek liberasi dan terakhir Ketergantungan dengan apa yang telah dimiliki, pe- realitas profetik pada spek tran-sendensi. (Menurut ngaruh arus globalisasi juga dapat berdampak negatif Yusdani (2011:8) ketiga gagasan profetik yang maupun positif terhadap masyarakat. Misalnya ma- berpijak pada alemen humanisasi, liberasi dan tran- syarakat terus bergantung dengan apa yang telah ia sendensi merupakan suatu konsep yang berakar dari miliki, handphone sebagai alat telekomunikasi meru- kalimat “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahir- pakan hal yang begitu menonjol untuk saat sekarang kan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf ini, banyak digunakan sebagai alat interkasi antar satu dan mencegah dari yang mungkar dan beriman individu kepada individu yang lainnya. kepada Allah”. dari pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa profetik merupakan sesuatu yang lebih ber- Globalisasi tidak hanya memberikan dampak kenaan spiritual, kebenaran yang hakiki dan menuju negatif bagi masyarakat, tetapi juga memberikan perilaku yang baik. jika dikaitkan dengan pendidikan dampak positif seperti terjalinnya komunikasi secara maka profetik akan melihat pendidikan bukan hanya cepat tanpa memandang jarak. Bahkan, komunikasi dari segi pengetahuan tetapi pembentukan sikap antar masyarakat yang berbeda negara juga terjadi merupakan hal yang paling utama untuk peserta didik. begitu cepat. Jika dibandingkan dengan zaman sebe- lum memasuki era globalisasi, komunikasi begitu sulit Sedangkan pengertian patriotik menurut (Hanum, untuk dijangkau, jangankan antar negara, antar wila- 2015:6) bersifat cinta pada tanah air, sedangkan yah saja membutuhkan waktu yang cukup lama untuk patriotisme merupakan semangat cinta tanah air. Gill, bisa mencapai komunikasi antar satu masyarakat Dkk (2015:112) Bentuk patriotisme boleh berubah dengan masyarakat lainnya. Dengan adanya era globa-

271

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

lisasi dengan komunikasi yang semakin cepat juga benar. Pendidikan kewarganegaraan paradigma baru memicu masyarakat secara tidak disadari menjadi berorientasi pada terbentuknya masyarakat sipil (civil masyarakat yang individualis. society) dengan memberdayakan warga negara melalui proses pendidikan, agar mampu berperan serta Model Pembelajaran Berbasis Budaya Lokal secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang dalam Membentuk Jiwa profetik-patriotik demokratis. Umumnya, tujuan pendidikan kewarga- Peserta Didik negaraan yaitu menjadikan warga negara sebagai warga negara yang baik (a good citizen). Akan tetapi Kebudayaan terjadi di masyarakat melalui pewa- pengertian warga negara yang baik itu pada masa- risan dari satu generasi ke generasi yang lain. masa lalu lebih diartikan sesuai dengan tafsir penguasa. kebudayaan akan terus ada selama manusia itu ada, Sedangkan warga negara yang berjiwa revolusioner, kebudayaan yang satu akan hilang ketika manusia yang anti imperialisme, kolonialisme, dan neo kolonialisme memiliki kebudayaan itu memilih untuk mengadopsi merupakan warga negara yang baik selama masa orde kebudayaan yang lain atau kebudayaan baru. Rahardjo lama. Pada masa orde baru warga negara yang baik (2012: 161-162) enculturation dikenal sebagia proses adalah warga negara yang pancasilais, manusia pem- pewarisan tradisi budaya dari satu generasi ke genersi bangunan dan sebagainya. Sejalan dengan visi kewar- selanjutnya sedangkan aculturation dikenal sebagai ganegaraan paradigma baru, misi mata pelajaran ini adopsi tradisi budaya, proses enkulturasi biasanya adalah meningkatan kompetensi siswa/mahasiswa terjadi secara informal sedangkan proses akulturasi agar mampu menjadi warga negara yang berperan terjadi secara formal. serta secara aktif dalam sistem pemerintahan yang Setiap kebudayaan memiliki sisi nilai yang baik demokratis (Sunarso, 2006: 5). untuk pembentukkan karakter atau perilaku setiap Dalam praktinya, pendidikan pancasila dan ke- individu. Banyaknya pengaruh budaya luar menjadikan warganegaraan dipahami sebagai mata pelajaran yang nilai-nilai disetiap kebudayaan menjadi hilang satu memfokuskan pada pembentukan warganegara yang demi satu. Banyak mata pelajaran yang telah menga- memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan jarkan mengenai budaya, suku, adat istiadat seperti kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia dalam mata pelajaran antropologi, sosiologi, kesenian yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang di- dan muatan lokal, tetapi pendidikan kewarganegaraan amanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Budiansyah, juga bisa berperan andil dalam menyampaikan 2010: 9). pengetahuan mengenai budaya lokal ini, dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan biasanya di- Menurut Bahmueller & Patrick (1999:33) Pendi- muat dalam tema identitas nasional maupun bhineka dikan kewarganegaraan yang efektif memuat kom- tunggal ika. ponen kompetensi sebagai berikut. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar yang 1. Pengetahuan kewarganegaraan dan peme- dilakukan untuk menciptakan kehidupan warga ne- rintahan dalam sistem demokrasi gara yang melingkupi pengetahuan, sikap dan kete- 2. Keterampilan kognitif kewarganegaraan de- rampilan, pendidikan berusaha untuk menjadikan mokratis warga negara jauh dari sikap diskriminatif dan me- rugikan masyarakat sekitar maupun negara. Pendi- 3. Keterampilan partisipatori kewarganegaraan dikan memiliki peran yang sangat penting dalam demokratis meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta 4. Kebajikan/keutamaan karakter kewargane- mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tujuan untuk garaan demokratis mewujudkan kehidupan yang demokratis. Pendidikan melibatkan siswa, guru, metode, tujuan, kurikulum, Aspek kognitif (civic knowledge) berkaitan dnegan media, saran, kepala sekolah, pemerintah, masyarakat, kemampuan peserta didik dalam dalam berpikir, se- pengguna lulusan, lingkungan fisik dan sebagainya, perti memahami materi pelajaran yang diberikan oleh (Pratiwi, 2013:18). Pembentukan warga negara Indo- guru, menganalisis, dan menghafal. Aspek keteram- nesia yang demokratis dan ber-tanggungajawab, pela- pilan (civic skill) berkaitan dengan kemampuan peserta jaran pendidikan kewarganegaraan memiliki peranan didik dalam mengaitkan materi pelajaran yang di- yang strategis dan penting yaitu dalam membentuk berikan oleh guru dengan gerakan atau tindakan nyata, karakter dan sikap siswa dalam berperilaku yang akan misalnya keterampilan siswa dalam menyampaikan berkenaan dengan membentuk jiwa profetik peserta pidato tentang sumpah pemuda. Aspek sikap (civic didik, sehingga diharapkan setiap individu mampu dispositions) berkaitan dengan kemampuan siswa menjadi pribadi yang baik. dalam mengamalkan sikap serta nilai-nilai yang akan membentuk kepribadian siswa. PPKn merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat membentuk kepribadian siswa karena pendi- Komponen kewarganegaraan aspek knowledge, dikan kewarganegaraan mempelajari tentang bagai- aspek skill dan disposition dapat membantu guru dalam mana seseorang menjadi warga negara yang baik dan mengembangkan kemampuannya untuk membentuk

272

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

jiwa profetik-patriotik. Dari aspek knowledge guru kompetensi dasar PPKn SMP kelas VII, KD 3.2 dapat memberikan pengetahuan tentang tanah air, memahami norma-norma yang berlaku dalam kehi- sejarah perjuangan kemerdekaan, dan bela negara dupan bermasyarakat untuk mewujudkan keadilan. kepada peserta didik. Dari aspek sikap, guru dapat Dari KD 3.2 bisa diintegrasikan nilai budaya lokal menyadarkan peserta didik tentang pentingnya men- kedalam suatu model pembelajaran. Model pembe- cintai tanah air, mempertahankan negara kesatuan lajaran yang akan di gunakan yaitu model pem- republik Indonesia dan budaya lokal sedangkan dari belajaran cooperative learning, model cooperative aspek keterampilan guru daat mengajak peserta didik merupakan suatu model pengajaran dimana siswa be- untuk ikut melaksanakan upacara bendera, mencintai lajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki produk-produk dalam negeri, memperkenalkan kera- tingkat kemamampuan berbeda. Dalam menyele- gaman budaya lokal, serta memperkenalkan para saikan tugas kelompok, setiap anggota saling kerja pahlawan dengan mengunjungi makam para pahlawan sama dan membantu untuk memahami suatu bahan yang berada di daerah maupun di luar daerah. pembelajaran. fase pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut. Dengan cara tersebut guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan mengenai warga negara, perjuangan para pahlawan, sistem pemerintahan. Kegiatan awal

Tetapi, guru dapat memberikan suatu tindakan yang  Guru menyampaikan KD dan tujuan nyata agar pemahaman peserta didik dapat dipeloeh pembelajaran dengan maksimal. Selain itu, dengan menggunakan  Siswa menyampaikan ide/gagasan awal model pembelajaran juga dapat mempermudah mengenai kompetensi dasar yang akan peserta didik dalam memahami materi yang diberikan dipelajari oleh peserta didik. Beragam model pembelajaran yang dapat diberikan oleh guru seperti model pembelajaran cooperatif, problem based learning atau number head together.

Model pembelajaran dapat diberikan sesuai de- ngan materi yang akan diajarkan di dalam maupun di Kegiatan inti luar kelas. Hal yang menjadi permasalahan di era  Guru memberikan sedikit materi sekarang adalah munculnya era globalisasi yang tentang norma yang berlaku dalam mengikis nilai-nilai budaya lokal, jiwa patriotik atau masyarakat. rasa cinta terhadap tanah air salah satu faktor yang  Guru membagi siswa menjadi dapat mendukungnya yaitu penanamkan serta mem- beberapa kelompok yang terdiri pertahankan nilai-nilai budaya lokal kepada generasi dari muda. 4-5 siswa  Guru memberikan bahan ajar yang Pembelajaran berbasis budaya menurut Goldberg akan diselesaikan oleh kelompok (Mulyaningsih, 2013 :5) dibedakan menjadi tiga bagian  Siswa membaca dan mendiskusikan yaitu : tugas kelompok yang diberikan 1. Belajar tentang budaya, budaya ditempatkan oleh guru sebagai bidang ilmu seperti mata pelajaran  Salah satu siswa mewakili kelom- kesenian, melukis, sastra. Disini budaya poknya membacakan hasil diskusi mejadi mata pelajaran khusus yang diajarkan  Siswa berinteraksi dengan teman di sekolah. satu kelas untuk membahas isi dari hasil kelompok yang di tampilkan. 2. Belajar dengan budaya, terjadi saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai metode  Guru memberikan konfirmasi atau cara untuk mempelajari mata pelajaran terhadap hasil diskusi siswa tertentu. 3. Belajar melalui budaya, lebih menunjukkan pada pemahaman dan pencapaian siwa terhadap budaya atau makna yang diciptakan dalam suatu pelajaran yang diikutinya melalui Kegiatan penutup ragam perwujudan budaya.  Siswa menyimpulkan hasil pembelajaran  Guru menyampaikan doa bersama dan Model pembelajaran yang diperkenalkan dengan menutup pelajaran mengintegrasikan nilai-nilai budaya lokal ke dalam mata pelajaran tertentu merupakan salah satu sistem Gambar 3. Fase pembelajaran belajar dengan budaya, salah satu contoh diambil dari

273

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

Pada kegiatan inti, guru memberikan materi larangan ketika berjalan dengan yang bukan muhrim berupa norma yang berlaku dalam masyarakat yaitu salah satunya yaitu bergandengan tangan. Nilai pro- norma agama, kesopanan, kesusilaan dan hukum. fetik dapat di beri contoh kepada peserta didik Guru akan mengajak siswa untuk berdiskusi menge- melalui norma agama yang dikaitkan dengan nilai nai nilai-nilai budaya lokal dari salah satu suku yang profetik transendensi sebagai pendidikan hati nurani ada di Indonesia dikaitkan dengan norma-norma yang yang berasal dari akidah dan pengalaman secara berlaku dalam masyarakat. Misalnya, pada suku Gayo spiritual. Sehingga, dalam pembelajaran guru dapat yang berada di wilayah Aceh memiliki nilai budaya memberikan 3 aspek sekaligus yaitu menanamkan yang biasa disebut dengan sebutan “Sumang”. Suatu jiwa patriotik dengan cara nilai-nilai budaya lokal, tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan memberikan pemahaman akan materi yang diajarkan adat gayo disebut sumang. Terdapat empat macam dan menumbuhkan jiwa profetik peserta didik. bentuk sumang yaitu sumang pelangkahen, sumang Dengan mengaitkan nilai budaya lokal dalam proses penengonen, sumang perceraken dan sumang kekunulen. pembelajaran dapat memberikan peserta didk pemahaman, pengetahuan dan dapat mengimplemen- Sumang pelangkahen merupakan perbuatan yang tasikan apa yang telah didapatkan selama proses tidak boleh dilakuakn saat berjalan, seperti berjalan pembelajaran berlangsung dalam kehidupan berma- berdua, bergandengan tangan antara laki-laki dan syarakat. perempuan yang bukan muhrim. Sumang penengonen merupakan perbuatan yang berkaitan dengan peng- Kesimpulan lihatan misalnya melihat orang yang lebih tua dengan tatapan marah, atau bermain mata dengan maksud Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diperoleh untuk melakukan maksiat. Sumang perceraken meru- kesimpulan bahwa globalisasi merupakan sebuah pro- pakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan saat ses yang terjadi pada lapisan masyarakat dimana berbicara misalnya berbicara hal-hal yang berbau mereka tidak mengenal adanya batas dan tidak terikat negatif, porno dan tidak sopan kepada orang yang hanya pada ruang lingkupnya saja. Dampak negatif lebih tua tuturnya. Sedangkan sumang kekunulen yang ditimbulkan dari globalisasi dapat membentuk merupakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan kepribadian masyarakat. Dengan demikian dibutuh- berkaitan dengan cara duduk misalnya duduk dengan kan cara agar masyarakat tetap memegang erat mengangkat sebelah kaki di depan orang yang lebih budaya lokalnya di era globalisasi, dengan tujuan agar tua, sehingga dianggap seperti orang sombong. masyarakat sebagai warga negara tetap mencintai budaya lokal dan tidak menimbulkan hilangnya suatu Kaitan antara norma yang berlaku dalam masya- budaya lokal di tengah arus globalisasi, karena budaya 0rakat dan sumang dalam budaya gayo digambarkan lokal harus terus diteruskan kepada generasi selan- sebagia berikut : jutnya. Budaya lokal memiliki banyak nilai-nilai keper- cayaan dan nilai yang membentuk kepribadian masya- rakat yang berada dalam kelompok budayanya sendiri.

Norma yang Nilai budaya seperti memiliki ciri khas dan keunikannya masing- berlaku dalam Gayo “sumang” masing. masyarakat Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam dunia pendidikan yaitu meningkatkan kreatifitas dan penge-

Agama Pelangkahen tahuan guru sebagai pendidik selama proses pembe- lajaran berlangsung. Tidak semua pelajaran disekolah Kesusilaan Penengonen mengajarkan tentang patriotik, yang terlihat jelas hanya terdapat dalam pelajaran pendidikan pancasila Kesopanan Perceraken dan kewarganegaraan. Memiliki jiwa patriotik harus Hukum kekunulen diiringi dengan nilai profetik, seperti yang dinyatakan Kuntowijoyo profetik terbagi menjadi tiga bagian yaitu profetik humanisasi, liberasi dan transendensi. Hal ini untuk mencegah warga negara menjadi salah Gambar 4. Keterkaitan antara norma dan dalam membangun negara yang mereka cintai. sumang Gayo Menggunakan berbagai cara selama proses Ada keterkaitan antara norma yang berlaku dalam pembelajaran berlangsung seperti memakai model masyarakat dan nilai budaya lokal Gayo. Misalnya, pembelajaran cooperative dengan mengintegrasikan sumang pelangkahen yaitu perbuatan yang tidak nilai-nilai budaya lokal dapat memberikan suasana dan diperbolehkan saat berjalan, contoh yang telah hasil yang berbeda terhadap peserta didik. diisebutkan yaitu berjalan berdua dengan yang bukan muhrim, hal ini juga merupakan norma agama dalam masyarakat, yaitu dalam agama Islam ada beberapa

274

Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III p-ISSN 2598-5973 11 November 2017, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta e-ISSN 2599-008X

Daftar Pustaka http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikelfee 28c56e93cdf60efc3aad`a62628286.pdf. Abdullah, I. (2010). Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Rahardjo, M. (2012). Model pembelajaran inovatif. Yogyakarta : Gavamedia Bahmueller, C.F. & Patrick, J.J. (1999). Principles and practices of education for democratic citizenship Ranjabar, J. (2014). Sistem sosial budaya Indonesia. international perpectives and projecs. Indiana Bandung : Alfabeta University: ERIC adjunct clearinghouse for Sunarso, Dkk. (2006). Pendidikan kewragenagraan international civic education. buku pegangan mahasiswa paradigma baru. Budiansyah, D. (2010). Tantangan globalisasi terhadap Yogyakarta : UNY Press. pembinaan wawasan kebangsaan dan cinta tanah Suprijono, A. (2016). Model-model pembelajaran air di sekolah. Jurnal penelitian pendidikan. 1 (11), emansipatoris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 8-16. Yusdani. (2011). Pembumian misi profetik di tengah Budiharto, S. & Himam, F. (2006). Konstruk teoritis arus globalisasi perspektif islma humanis. Jurnal dan pengukuran kepemimpinan profetik. Jurnal STAIN Jurai Siwo Metro. I (16). psikologi. 2 (33). 133-145. Zuriah, N. (2014). Analisis teoritik tentang Buwono, S. H. X. (2007). Merajut Kembali Keindone- etnopedagogi pendidikan kewarganegaraan siaan Kita. : Gramedia Pustaka Utama sebagai wahana pendidikan budaya dan karakter Efendi, A. (2012). Realitas profetik dalam novel ketika bangsa di perguruan tinggi. Jurnal pendidikan sains cinta bertasbih karya Habiburrahman El-Shirazy. sosial dan kemanusiaan. 7 (2). 175-188. Jurnal UNY. 1 (11). Fuadi, H. (2016). Aktualisasi nilai-nilai profetik Kuntowijoyo di dalam pendidikan (studi kasus di SMP Birrul Walidain Muhammadiyah Sragen). Jurnal Tajdida. 2(14). 18-30. Gill, S.S. Dkk. (2015). Kesedaran patriotik dalam kalangan bella bandar di semenanjung Malaysia. Jurnal Sosial Ilmu Politik Universitas Hasanudin.1 (1), 111-120 Hanum, N.P. (2015). Pola komunikasi kelompok purna pasukan pengibar bendera pusaka () Indonesia kota Pekanbaru dalam pembinaan karakter patriotik calon PASKIBRAKA kota Pekanbaru tahun 2014. Jurnal Jom FISIP, 1 (2), 1-13. Harry. (2002). Subjective Culture. Journal Online Readings In Psychology And Culture. Vo. 2, No. 2, Hal : 1-12. Majid, A. 2013. Strategi pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya Mariane, I. (2014). Kearifan lokal pengelolaan hutan adat. Jakarta: RajaGrafindoPersada Mulyaningsih, S.S. Lasmawan,W. Sutama, M.. (2013). Pengaruh model problem solving berbasis budaya lokal terhadap motivasi berprestasi dan prestasi belajar IPS. Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 3, No._, Hal : 1-12 Pratiwi, A.D. Fatchan, A. Purwanto. (2013). Penerapan model pembelajaran think talk write (TTW) untuk meningkatkan kemampuan berkomuni- kasi siswa secara tertulis. Diunduh 28 april 2017, From:

275