<<

TINJAUAN YURIDIS BATAS-BATAS DAN LUAS ENKLAVE TERHADAP HAK TANAH ULAYAT DALAM KAWASAN KEHUTANAN/KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DOLOK SURUNGAN I MENURUT HUTAN REGISTER TAHUN 1974(STUDI DI DAERAH SIBARGOT KECAMATAN PINTU POHAN MERANTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir

Dalam Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NINIR SIAGIAN NIM : 140200105

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas karunia, berkat dan rahmat yang diberikanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan program S1 pada Universitas Sumatera Utara Medan diwajibkan menyusun karya tulis/skripsi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka penulis menyusun skripsi yang diberi judul : TINJAUAN YURIDIS BATAS-BATAS DAN LUAS ENKLAVE

TERHADAP HAK TANAH ULAYAT DALAM KAWASAN

KEHUTANAN/KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DOLOK

SURUNGAN I MENURUT HUTAN REGISTER TAHUN 1974(STUDI DI

DAERAH SIBARGOT KECAMATAN PINTU POHAN MERANTI

KABUPATEN TOBA SAMOSIR).

Berpedoman pada judul tersebut penulis menyadari bahwa dalam pelaksanaan penulisan karya tulis/skripsi ini banyak mengalami kesulitan- kesulitan dan hambatan-hambatan, namun berkat bimbingan, arahan serta petunjuk dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang masih ada dalam banyak hal dalam penulisan skripsi ini. Maka dari itu saya mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H.,M.Hum., sebagai Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati S.H.,M.Hum., sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.Jelly Leviza, S.H.,M.Hum., sebagai Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H.,M.Hum., sebagai Ketua Departemen

Hukum Keperdataan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Maria Kaban, S.H.,M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan ilmu kepada penulis selama perkuliahan maupun di luar

perkuliahan melalui diskusi-diskusi dan sharing pandangan.

8. Orang tua penulis, Ayah Buka Siagian dan Ibu Elpe Napitupulu yang

selalu berdoa dan memberikan dukungan kepada penulis dalam

mengarungi kehidupan yang penuh kebahagiaan dan untuk segala hal baik

Universitas Sumatera Utara materi, motivasi, dorongan, cinta kasih yang tidak bisa penulis nilai

dengan apapun.

9. Abang penulis, Eliab Jeremia Siagian yang telah menjadi pemimpin yang

baik dan selalu memberikan contoh untuk adik-adiknya.

10. Adik penulis, Holong Romida Siagian dan Nurtrihot Siagian yang selalu

menjadi adik yang baik, dan selalu memberikan masukan yang positif bagi

penulis.

11. Kepada Narasumber/Informan yaitu Bapak Kaliamas Siagian, yang telah

bersedia memberikan keterangan yang berhubungan dengan penulisan

skripsi ini.

12. Kepada rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan semangat dan

menjadi sahabat dan saudara selama menempuh perkuliahan di kampus

yang kita cintai, dan pada saat penulisan skripsi ini, terkhususnya grup D

stambuk 2014, terkhusus lagi buat Intani Kristin Manullang dan Yunisa

Riana Panggabean.

13. Teman-teman parbataks: Nia Anasti, Sahriyani br Sir, Putri Nurmala Sari

Siahaan, Ririn Chintia br Damanik, Annisa Wahyuni, dan yang lainnya

yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Medan, Maret 2018

Ninir Siagian

Universitas Sumatera Utara SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

NAMA : NINIR SIAGIAN NIM : 140200105 DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW JUDUL SKRIPSI: TINJAUAN YURIDIS BATAS-BATAS DAN LUAS ENKLAVE TERHADAP HAK TANAH ULAYAT DALAM KAWASAN KEHUTANAN/KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DOLOK SURUNGAN I MENURUT HUTAN REGISTER TAHUN 1974 (STUDI DI DAERAH SIBARGOT KECAMATAN PINTU POHAN MERANTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR) Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak

merupakan ciplakan dari skripsi atau karya orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut ciplakan, maka segala

akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun

Medan, Maret 2018

Ninir Siagian NIM: 140200105

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...... i

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI...... iv

DAFTAR ISI...... v

ABSTRAK...... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...... 1

B. Permasalahan...... 9

C. Tujuan Penulisan...... 10

D. Manfaat Penulisan...... 11

E. Metode Penulisan...... 12

F. Keaslian Penulisan...... 15

G.SistematikaPenulisan...... 16

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT

A.Pengertian Hak Ulayat

1. Menurut Perundang-undangan...... 19

2. Menurut Pendapat Ahli...... 23

B.Sistem Hukum Pertanahan Nasional

1. Sistem Hukum Tanah Nasional...... 26

2. Konsepsi Hukum Tanah Nasional...... 38

3. Objek Hukum Tanah Nasional...... 43

Universitas Sumatera Utara 4. Prinsip-prinsip Hukum Tanah Nasional...... 46

C.Masyarakat hukum adat

1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat...... 49

2. Hak-hak Penguasaan atas Tanah...... 50

3. Subyek dan Obyek Hak Ulayat...... 54

BAB III TINJAUAN UMUM KAWASAN KEHUTANAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 REPUBLIK TENTANG KEHUTANAN

A.Pengertian Hutan dan Hukum Kehutanan...... 57

B.Sejarah Perkembangan Undang-Undang Kehutanan...... 61

C.Peralihan Fungsi Hutan di Luar Bidang Kehutanan...... 73

D.Pengertian Enklave...... 75

E.Sistem Hukum Pengaturan Enklave di Indonesia...... 76

F.Objek Tanah Enklave...... 87

BAB IV PENGATURAN MENGENAI BATAS-BATAS DAN LUAS ENKLAVE TERHADAP HAK TANAH ULAYAT DALAM KAWASAN KEHUTANAN/KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DOLOK SURUNGAN I MENURUT HUTAN REGISTER TAHUN 1974 DI DAERAH SIBARGOT KECAMATAN PINTU POHAN MARANTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR

A.Gambaran Umum tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dolok Surungan I...... 89

B.Kepastian hukum batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/Konservasi Sumber Daya Alam Dolok Surungan I menurut hutan register tahun 1974 di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir...... 97

Universitas Sumatera Utara C.Syarat dan dasar penentuan batas-batas dan luas enklave terhadap hak ulayat dalam kawasan kehutanan/Konservasi Sumber Daya Alam...... 102

D.Hambatan dalam penentuan batas-batas dan luas enclave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/Konservasi Sumber Daya Alam Dolok Surungan I menurut hutan register 1974 untuk kepastian hukum...... 107

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...... 114

B. Saran...... 116

DAFTAR PUSTAKA...... 118

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK *Rosnidar Sembiring **Maria Kaban ***Ninir Siagian Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Negara Republik Indonesia yang menyatakan, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Dan pada Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menyatakan, bahwa hak-hak masyarakat hukum adat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Maka keberadaan tanah ulayat dan juga enklave harus diakui di Indonesia sepanjang menurut kenyataannya masih ada, namun pada saat ini banyak tanah ulayat dan enklave yang keberadaannya tidak diakui oleh pemerintah akibatnya muncul saling klaim antara pihak kehutanan dan masyarakat. Permasalahan yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah terhadap batas hutan dan Konservasi Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut KSDA, membutuhkan penyelesaian dan payung hukum yang jelas untuk dijadikan landasan agar terwujud tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian yuridis empiris atau lapangan (field research) dan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan (library research).Dimana pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai pengaturan batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/konservasi sumber daya alam Dolok Surungan I menurut hutan register tahun 1974 (Studi di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Maranti Kabupaten Toba Samosir. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak ulayat ini dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi daerah yang melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan. Dengan ini maka dapat diambil kesimpulan dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria kolonial, maka tercapailah unifikasi (kesatuan) hukum agraria yang berlaku di Indonesia. Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.Dalam pengukuran batas-batas dan status hutan harus menggunakan fakta yang ada dilapangan dengan melibatkan masyarakat adat setempat dan kearifan lokal adat setempat, ini merupakan realisasi amanat yang terdapat dalam UUPA. Kata Kunci: Enklave, Hak Ulayat, Hutan, Konservasi Sumber Daya Alam. * Dosen Pembimbing I **Dosen Pembimbing II ***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Lingkungan hidup Indonesia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha

Esa kepada bangsa Indonesia merupakan modal dasar pembangunan yang menempati posisi yang sangat strategis untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.

Hal ini sejalan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD

Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat.”1

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa perkataan

“dikuasai oleh negara” bukan berarti dimiliki, tetapi pengertian yang memberikan kewenangan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia yang menyatakan bahwa negara mempunyai kewenangan untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peraturan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya;

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air,

dan ruang angkasa;

1Irene Mariane, Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya, segala sesuatu dengan tujuan untuk

mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan masyarakat adil dan

makmur.

Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) menyatakan, bahwa hak-hak masyarakat hukum adat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara.

Rumusan yang terdapat dalam pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut ternyata menimbulkan perbedaan penafsiran, terutama tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan nasional dan negara, dan siapakah sebenarnya yang tepat menentukan kepentingan nasional dan negara tersebut bagi masyarakat setempat. Sebaliknya masyarakat adat berpedapat, bahwa memiliki hak ulayat atas tanah tersebut sudah sejak lama bahkan sebelum negara Indonesia ada.2

Keragaman hayati merupakan sumber daya penting baik bagi kehidupan sosial ekonomi dan kebudayaan masyarakat Indonesia maupun bagi negara secara keseluruhan. Hampir sebagian besar penduduk Indonesia hidupnya ditopang langsung oleh keanekaragaman hayati ini dengan menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan, pesisir, laut ataupun pertanian.3

2Rosnidar Sembiring, Hukum Penyelesaian Sengketa Hak atas Tanah Adat di Simalungun,(Medan:CV.Dharma Persada,2017),hal.17. 3Irene Mariane, Op.Cit, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara Sejak tahun 1998 dengan bergulirnya gerakan reformasi telah terjadi perubahan dalam konstitusional di negara ini, yakni salah satunya dengan diamandemennya UUD 1945. Amandemen terhadap UUD 1945 ini tidak terlepas dari ketentuan berkaitan dengan keberadaan masyarakat adat, yakni pasca

Amandemen UUD 1945, pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat semakin ditingkatkan. Tepatnya setelah Amandemen Kedua pada tahun 2000, nilai-nilai tersebut diangkat ke dan dijadikan rumusan pasal tersendiri dalam Batang Tubuh karena pasca Amandemen UUD tidak mengenal lagi penjelasan. Terdapat dua pasal penting dalam UUD tentang pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya pasca amandemen, yakni sebagai berikut:

a. Ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 (amandemen kedua)

yang memuat pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak adat yang

berbunyi sebagai berikut.

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan di atas memisahkan antara persoalan tata pemerintah yang

bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan UU [Pasal 18B ayat (1)]

dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya [Pasal 18B ayat (2)].

Selama ini, persoalan ulayat sering dikaitkan denagn hak-hak atas sumber

daya alam yang ditarik dari sistem kerajaan pada masa lalu. Pemisahan

Universitas Sumatera Utara antara Pasal 18B ayat (1) dengan Pasal 18B ayat (2) memberikan penting

untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat (hukum) adat

dengan pemerintah “Kerajaan” lama yang masih dan dapat bersifat

intimewa. Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan

masyarakat hukum adat beserta hak adatnya secara deklaratif.

Pasal 18B ayat (2) mencantumkan beberapa persyaratan yang harus

dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat

hukum adat beserta hak adat yang dapat dinikmati secara aman.

Persyaratan-persyaratan itu secara akumulatif adalah:

1) sepanjang masih hidup; 2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; 3) sesuai dengan prinsip NKRI; 4) diatur dengan undang-undang.4 b. Lebih jauh dikemukakan kembali ketentuan tentang pengakuan dan

penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat dalam Pasal 28

UUD 1945 (amandemen kedua) yang semula hanya terdiri dari satu ayat

berubah menjadi Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Ketentuan tentang

pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat

tersebut tepatnya dalam Pasal 28I ayat (3), yang menyatakan, “Indentitas

budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.”5

Ciri-ciri tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan

4Irene Mariane, Ibid, 67-68. 5Irene Mariane, Ibid, hal. 69

Universitas Sumatera Utara menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun- temurun masih berada di lokasi daerah tersebut, dan mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol berupa makam, patung, rumah- rumah adat, dan bahasa daerah sesuai dengan daerah yang ada di Negara Republik

Indonesia.6

Kata ”enklave” (enclave) berasal dari kata Perancis, lingua franca kosakata bidang diplomasi, yang aslinya berasal dari kata Latin inclavatus ( artinya’terkurung, terkunci’). Kata tersebut menjadi jargon diplomasi bahasa

Inggris pada 1868. Enklave bisa pula timbul karena berbagai alasan sejarah, politis, dan geografis.7 Di dalam kawasan hutan adalah desa/kelurahan yang letaknya di tengah atau dikelilingi kawasan hutan, termasuk desa enclave.Enclaveadalah pemilikan hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan yang dapat berupa pemukiman dan atau lahan garapan.8

Jelaslah kebijakan mengenai tanah-tanah adat dan hak ulayat ini selalu menjadi permasalahan karena belum tuntasnya bagaimana mengatasi tanah-tanah adat dan hak ulayat, akibat pemerintah belum dapat menetapkan bagaimana mekanisme penyelesaian tanah hak ulayat tersebut.9 Hukum adat harus dapat

6Rosnidar Sembiring,Hukum Penyelesaian Sengketa Hak atas Tanah Adat di Simalungun, Op.Cit, hal. 47. 7Wikipedia, Enklave atau Daerah Kantong, https://id.m.wikipedia.org/wiki/Enklave diakses Jumat 15 September 2017. Jam 17.54 WIB. 8Tapanuli Selatan dalam Angka, Desa di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan di Tapanuli Bagian Selatan, http://akhirmh.blogspot.co.id/2011/02/desa-di-dalam-dan-sekitar-kawasan- hutan.html?m=1 diakses Jumat 15 September 2017. Jam 18.00 WIB. 9A.P.Parlindungan, Hukum Agraria Beberapa Pemikiran dan Gagasan,(Medan:Penerbit Universitas Sumatera Utara,1999),hal.29.

Universitas Sumatera Utara menjawab tantangan hukum modern dan ini dengan dikembangkannya ketentuan pasal 3 UUPA (tentang ulayat) dan pasal 5 UUPA (tentang pengertian hukum adat nasional versi UUPA).10 Sampai saat ini pemerintah belum saja mampu untuk membuat suatu rumusan yang kemudian harus dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah, bagaimana pengertian dan cakupan hukum adat, istimewa di suatu daerah dan bagaimana batas-batas dan hak ulayatnya.11 Pasal 56 UUPA telah memberikan legalitas kepada ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya, dan demikian pula pasal 58 UUPA telah memberikan aturan peralihan menyebutkan segala peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis diakui dan berlaku pada UUPA. Akan halnya tanah ulayat perlu pemerintah daerah membuat Perda, mana yang dinamakan hak ulayat serta mana yang bukan hak ulayat serta batas-batas dari kawasan hak ulayat juga atas nama siapa hak ulayat itu. Apakah dalam kaitannnya dengan sesuatu kaum ataukah dalam ikatan suatu desa.12

Keberadaan tanah enklave di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan

Meranti Kabupaten Toba Samosir menurut masyarakat yang menempati daerah tersebut sudah ada sejak lama, keberadaan tanah enklave masih ada sampai saat ini dengan dibuktikan masih adanya perkampungan di daerah tanah enklave, dan masyarakat juga mengelola tanah untuk memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat setempat dengan bertani, masyarakat di daerah tanah enklve menanam pohon karet, tanaman nilam, padi, dan lain-lain sebagainya di daerah

10A.P.Parlindungan, Ibid. hal.63. 11A.P.Parlindungan,Ibid. hal.67. 12A.P.Parlindungan, Ibid. hal.68.

Universitas Sumatera Utara tanah enklave. Dibuktikan di daerah Sibargot ada pohon Hariara, yang menurut sejarahnya ditanam oleh masyarakat setempat membuktikan bahwa adanya perkampungan di daerah Sibargot dijadikan sebagai pelindung tempat tersebut.

Hal ini dijelaskan oleh keturunan langsung dari orang yang pertama sekali menempati daerah tanah enklave tersebut. Permasalahannya adalah setelah perubahan registrasi tahun 1974 tentang perubahan status tanah yang sebelum perubahan registrasi 1974 masih jelas batas-batas daerah kehutanan dan status hutan yang diketahui oleh masyarakat, namun setelah perubahan registrasi pada tahun 1974 masyarakat menjadi tidak mengetahui batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut hutan register tahun 1974. Setelah perubahan registrasi tahun 1974 hutan disekitar daerah enklave di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Maranti

Kabupaten Toba Samosir menjadi tidak jelas status dan fungsi hutan tersebut apakah termasuk hutan negara atau hutan hak, dan apakah masyarakat sekitar dapat mengelola dan mengambil hasil dari hutan tersebut. Sementara menurut data di balai pemantapan Medan, gambaran yang ada pada mereka bahwa kawasan daerah Sibargot dan sekitarnya seluruhnya hutan dengan tidak mencantumkan daerah enklave yang ada di daerah Sibargot, maka hal ini menjadi sangat cocok untuk dikaji kebenarannya antara pihak yang saling klaim yaitu pihak masyarakat dan pihak kehutanan.

Dalam perspektif hukum tanah adat maupun dalam hukum nasional pengakuan hak ulayat tidak dapat dipisahkan dari masyarakat hukum adat. Oleh karena itu setiap penggunaan tanah untuk kepentingan apa saja, dan oleh siapa

Universitas Sumatera Utara saja yang bukan anggota persekutuan hukum, harus menghormati keberadaan hak ulayat. Hak ulayat adalah ciptaan pemerintah kolonial Belanda, namun karena sudah bagian kehidupan adat dan hukum adat, maka harus digunakan sebagai alat untuk memakmurkan masyarakat yang nyata-nyata masih ada. Di mana hak ulayat itu harus tetap berorientasi pada sifatnya yang publik.13

Kehidupan tradisional terbukti lebih mampu melestarikan lingkungan bila dibandingkan dengan lingkungan kehidupan modern. Di lain pihak, Otto

Soemarwoto menegaskan pula bahwa masyarakat tradisional mempunyai kearifan ekologi dan nilai budaya yang luhur. Mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang flora dan fauna di daerahnya masing-masing, yang digunakan untuk mengelola sumber daya dengan sebaik-baiknya. Ini terjadi karena kelangsungan hidup mereka tergantung dari flora dan fauna tersebut.

Mereka tidak akan menebang pohon atau membunuh binatang untuk mencari kesenangan. Cara-cara mereka berburu atau menebang pohon telah diatur secara ketat untuk menjamin tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Begitu pula kegiatan berladang berpindah. Perladangan berpindah yang banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional bukanlah suatu cara bertani yang tidak rasional dan merusak lingkungan. Akan tetapi, karena kondisi geologi yang dihadapi, itulah cara yang terbaik untuk dapat mengatasi kehidupan mereka.14

Masalah ini patut menjadi perhatian dalam penentuan Tata Guna Hutan

Kesepakatan (TGHK) agar tidak terjadi tanah-tanah adat dimasukkan dalam

13A.P.Parlindungan,Ibid. hal.167. 14Irene Mariane,Op.Cit,hal.13.

Universitas Sumatera Utara lingkungan hutan yang dikuasai negara. Rakyat masih mengharapkan suatu sikap yang tegas dari pemerintah, karena ada hutan desa yang diperuntukkan bagi sesuatu masyarakat hukum adat kita. Disamping itu pengawasan yang selalu dilakukan dan dengan dari laporan instansi yang terkait, bahwa hutan yang diberikan dengan Hak Penguasaan Hutan, ataupun Penguasaan Hasil Hutan, ataupun Hutan Tanaman Industri, patutlah mendapat perhatian dari pemerintah daerah agar kelestarian lingkungan tidak terganggu.15

Penelitian ini penulis akan mendeskripsikan bagaimana pengaturan dan status batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut hutan register tahun 1974 dalam berbagai literarur peraturan perundang-undangan, melakukan pengkajian penerapan peraturan tersebut dalam masyarakat.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul:

”TINJAUAN YURIDIS BATAS-BATAS DAN LUAS ENKLAVE TERHADAP HAK TANAH ULAYAT DALAM KAWASAN KEHUTANAN/KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DOLOK SURUNGAN I MENURUT HUTAN REGISTER TAHUN 1974 (STUDI DI DAERAH SIBARGOT KECAMATAN PINTU POHAN MERANTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR)” B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

15Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,2006), hal.72.

Universitas Sumatera Utara 1. Bagaimana gambaran umum tentang konservasi sumber daya alam Dolok

Surungan I?

2. Bagaimana pengaturan batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah

ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut hutan

register tahun 1974 saat ini?

3. Bagaimana status tanah kawasan kehutanan setelah hutan register tahun

1974 terhadap hak pengelolaan masyarakat dengan hak tanah ulayat?

4. Bagaimana hambatan dalam penentuan batas-batas dan luas enklave

terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok

Surungan I menurut hutan register 1974 untuk kepastian hukum?

C.Tujuan Penulisan

Selain untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui gambaran umum tentang KSDA Dolok Surungan I.

2. Untuk mengetahui pengaturan batas-batas dan luas enklave terhadap hak

tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut

hutan register tahun 1974 saat ini.

3. Untuk mengetahui status tanah kawasan kehutanan setelah hutan register

tahun 1974 terhadap hak pengelolaan masyarakat dengan hak tanah ulayat.

Universitas Sumatera Utara 4. Untuk mengetahui hambatan dalam penentuan batas-batas dan luas

enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA

Dolok Surungan I menurut hutan register 1974 untuk kepastian hukum.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan diatas, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan

manfaat di bidang pengetahuan baik melalui pengembangan teori dan

analisisnya untuk kepentingan penelitian di masa yang akan datang

khususnya mengenai batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah

ulayat.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan peneliti serta

menambah ilmu pengetahuan di bidang pertanahan dan kehutanan

dalam menentukan batas-batas dan luas enklave terhadap hak ulayat.

b. Bagi pihak kehutanan/konservasi sumber daya alam Dolok Surungan I

di Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir.

Sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam melaksanakan

penentuan daerah kawasan kehutanan dan daerah tanah hak ulayat

untuk lebih baik.

Universitas Sumatera Utara c. Bagi Universitas Sumatera Utara

Untuk menambah koleksi pustaka dan bahan bacaan bagi mahasiswa

program studi Hukum Keperdataan pada khususnya, mengenai

kejelasan batas-batas dan luas enklave antara pihak kehutanan dan

masyarakat adat.

E.Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.16 Adapun metode penelitian yang dilakukan penulis dengan berbagai cara, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian yuridis empiris atau lapangan (field research) dan yuridis normatif atau penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian ini mendapatkan data primer dan mengidentifikasikan hukum sebagai perilaku yang mempola. Dimana pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai pengaturan batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan

16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal.42.

Universitas Sumatera Utara kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut hutan register tahun 1974 (Studi di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Maranti Kabupaten Toba Samosir.

Penulis juga menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menunjukkan perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian. Pada pendekatan bersifat yuridis normatif ini, hukum diidentifikasikan sebagai norma peraturan atau undang-undang yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Melalui pendekatan normatif ini diharapkan kita dapat memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khususnya dalam penelitian ini merujuk pada peraturan perundang- undangan yang membahas tentang hak tanah ulayat.

2.Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penyelesaian skripsi ini meliputi:

a. Data Primer

Data yang diperoleh langsung melalui penelitian di Daerah Sibargot

Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir.

b. Data Sekunder

Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur yang

relevan dengan judul ini, dokumen-dokumen, pendapat para ahli hukum

dan hasil penelitian.

3.Metode Pengumpulan Data

Universitas Sumatera Utara Sebagaimana telah diketahui, maka di dalam penelitian lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview. Ketiga jenis alat pengumpulan data tersebut, dapat dipergunakan masing-masing, maupun secara bergabung utuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin.17 Dalam mengumpulkan data-data, penulis melakukan beberapa metode yaitu:

a. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan informasi dan data dengan cara

mengajukan sejumlah pertanyaan langsung kepada keturunan Oppung

Pardekkas yang pertama kali membuka perkampungan di Daerah Sibargot.

b. Dokumentasi

Metode dokumentasi pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh

data berkaitan dengan penentuan batas-batas dan luas enklave terhadap

hak tanah ulayat .

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data dari referensi-

referensi yang mendukung terhadap penelitian ini berupa dokumen,

literatur, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel yang

memiliki kaitan dengan permasalahan. Kemudian menjadi bahan masukan

dalam melengkapi analisa dalam permasalahan ini.

4.Analisis Data

17Soerjono Soekanto, Ibid, hal. 66.

Universitas Sumatera Utara Analisis data merupakan suatu proses untuk menafsirkan, merumuskan, atau memaknai suatu data. Analisis data merupakan tindak lanjut proses pengelolaan data yang dilakukan peneliti yang membutuhkan kecermatan, ketelitian, dan pencurahan daya pikir yang optimal. Hasil analisis data ini diharapkan mampu memberikan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara lengkap kualitas dan karakteristik dari data-data yang sudah terkumpul dilakukan pengelolaan data kemudian disimpulkan.

F.Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran penulis di Perpustakaan

Universitas Sumatera Utara, penulis tidak menemukan adanya judul skripsi mengenai”TINJAUAN YURIDIS BATAS-BATAS DAN LUAS ENKLAVE

TERHADAP HAK TANAH ULAYAT DALAM KAWASAN

KEHUTANAN/KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DOLOK

SURUNGAN I MENURUT HUTAN REGISTER TAHUN 1974 (STUDI DI

DAERAH SIBARGOT KECAMATAN PINTU POHAN MERANTI

KABUPATEN TOBA SAMOSIR)”. Sehingga penulis dapat menjamin keaslian penulisan yang dilakukan oleh penulis.

G.Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan

kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh

Universitas Sumatera Utara manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini berupa satu kesatuan yang

saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat

sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Bab ini berisikan tentang hal-hal dasar yang akan dijelaskan pada bab-

bab berikutnya yaitu latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian,

manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian, sistematika

penulisan.

BAB II Tinjauan Yuridis tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Bab ini berisikan mengenai tinjauan yuridis tentang pengertian hak ulayat

menurut perundang-undangan dan menurut pendapat para ahli, sistem

hukum pertanahan nasional, konsepsi hukum tanah nasional, objek

hukum tanah nasional, prinsip-prinsip hukum tanah nasional, masyarakat

hukum adat, hak-hak penguasaan tanah, subjek dan objek hak ulayat

BAB III Tinjauan Umum Kawasan Kehutanan menurut Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 Republik Indonesia tentang Kehutanan

Bab ini berisikan mengenai tinjauan yuridis tentang pengertian hutan dan

hukum kehutanan, sejarah perkembangan Undang-undang kehutanan,

peralihan fungsi hutan di luar bidang kehutanan, pengertian enklave,

sistem hukum pengaturan enklave di Indonesia, objek tanah enklave.

Universitas Sumatera Utara BAB IV Pengaturan Mengenai Batas-batas dan Luas Enklave Terhadap Hak

Tanah Ulayat dalam Kawasan Kehutanan/Konservasi Sumber

Daya Alam Dolok Surungan I Menurut Hutan Register Tahun 1974

di Daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Maranti Kabupaten

Toba Samosir.

Bab ini membahas gambaran umum tentang konservasi sumber daya

alam Dolok Surungan I, kepastian hukum batas-batas dan luas enklave

terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/konservasi sumber

daya alam Dolok Surungan I menurut hutan register tahun 1974 di daerah

Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Maranti Kabupaten Toba Samosir,

Syarat dan dasar penentuan batas-batas dan luas enklave terhadap hak

ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA, hambatan dalam penentuan

batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan

kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut hutan register 1974 untuk

kepastian hukum.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan tentang rangkuman dari seluruh pembahasan yang

dilakukan penulis pada bab-bab sebelumnya. Bab ini berisikan

kesimpulan dan akhirnya penulis mencoba memberikan beberapa saran

kepada pihak-pihak yang terkait sehingga dapat mendorong pengaturan

dasar penentuan batas-batas dan luas enklave terhadap hak ulayat dalam

kawasan kehutanan/KSDA, penentuan kepastian hak terhadap hak ulayat

Universitas Sumatera Utara dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut hutan regsiter tahun 1974 untuk kepastian hukum.

Universitas Sumatera Utara

BAB II

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT

HUKUM ADAT

A. Pengertian Hak Ulayat

1. Menurut Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan di Indonesia, Hak Ulayat diakui, dihormati dan dilindungi, artinya keberadaan/eksistensi Hak Ulayat itu diakui dan dilindungi dari semua tindakan yang mengganggu Hak Ulayat oleh siapa pun.

Berbagai macam perundang-undangan tersebut adalah:

1. UUD 1945

UUD 1945 perubahan kedua (amandemen kedua), terdapat dua pasal yang mengakui dan menghormati Hak Ulayat masyarakat hukum adat yaitu, Pasal

18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3).

Pasal 18 UUD 1945 yang semula hanya terdiri dari satu ayat, berubah menjadi 7 ayat ditambah dengan Pasal 18 A terdiri dari dua ayat dan Pasal 18 B juga terdiri dari dua ayat. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 memuat ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap Hak Ulayat yang berbunyi sebagai berikut:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

Universitas Sumatera Utara sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Apa yang dimaksud dengan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, tidak ada penjelasan. Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen, juga memuat pernyataan dan penghormatam terhadap masyarakat hukum adat dan pemerintahan adatnya, sebagai berikut:

Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuerende landschappen dan Volsgemeenshappen, seperti desa di Jawa dan , negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebaginya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai negara yang istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan-peraturan yang mengenai daerah- daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan kata menghormati tersebut, maka negara Republik Indonesia harus menghormati (artinya mengakui dan menaati), keberadaan masyarakat hukum adat dan pemerintahan adatnya, dan hak-hak adat atas tanah yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat (Hak Ulayat) dan hak perorangan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah adat.

Pasal 28 yang semula juga hanya terdiri atas satu ayat, berubah menjadi

Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Pasal 28 I terdiri atas 5 ayat, ayat (3) memuat ketentuan tentang pengakuan dan penghormatan terhadap Hak Ulayat sebagai berikut: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Hak masyarakat tradisional itu di antaranya adalah Hak Ulayat.

Universitas Sumatera Utara Dari Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat disimpulkan bahwa:

a. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat dan hak-hak tradisionalnya.

Apa yang dimaksud dengan hak-hak tradisional kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat, dalam UUD 1945 tidak ada penjelasan. Menurut

hukum adat, hak-hak tradisional kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat itu misalnya, Hak Ulayat. Jadi, negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

misalnya Hak Ulayat.

Pengakuan dan penghormatam Hak Ulayat ini juga harus disertai dengan

pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat

yang melekat pada Hak Ulayat itu, yaitu hak-hak masyarakat hukum adat

terhadap tanah ulayatnya, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

b. Pengakuan dan penghormatan kesataun-kesatuan masyarakat hukum adat

dan hak-hak tradisionalnya tersebut, harus memenuhi dua syarat, yaitu:

1) Sepanjang masih hidup (syarat eksistensinya).

Syarat ini sama dengan syarat eksistensi Hak Ulayat, sebagaimana

telah dijelaskan di atas.

2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Universitas Sumatera Utara Apa yang dimaksud dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam UUD 1945 tidak

ada penjelasan.

3) Sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Apa yang dimaksud dengan perkembangan zaman dan peradaban, juga

tidak ada penjelasan.

Agar tidak membingungkan karena tidak jelas batas-batasnya,

persyaratan yang tidak jelas itu, dihilangkan. Sebagaimana telah

dijelaskan di atas, syarat yang dipertahankan adalah syarat

eksistensinya dan sesuai dengan kepentingan nasional.

c. Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat dan hak-hak tradisionalnya misalnya Hak Ulayat, akan diatur

dengan undang-undang.18

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak ulayat ini dapat ditemukan dalam

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5

Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi daerah yang melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan. Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan yang dimaksud dengan hak ulayat yang serupa dengan itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut

18Helmy Panuh, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi Pemerintahan di Sumatera Barat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 109-111.

Universitas Sumatera Utara hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.19

Istilah ”hak ulayat” dijumpai dalam Pasal 13 UUPA, namun tidak ada satu rumusan pengertian hak ulayat secara jelas. Di dalam Pasal 3 UUPA hanya memberikan kepastian bahwa hak ulayat dan hak yang serupa itu menurut kenyataannya masih diakui eksistensi sehingga lebih lanjut hak ulayat itu harus diperhatikan dan dihormati. Dalam penjelasan Pasal 3 UUPA hanya disebutkan bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah ”beschikkingrecht”. Demikian juga di dalam Penjelasan Umum II angka 3 UUPA, juga tidak ada penjelasan rinci tentang pengertian hak masyarakat hukum adat, di sini hanya menegaskan tentang pengakuan hak ulayat tersebut pada tempat yang sewajarnya.20

2. Menurut pendapat ahli

Mr. C.C.J.Maassen dan A.P.G. Hens dalam bukunya Agrarische regelingen voor het Gouvernementsgebied van Java en Madura (Peraturan- peraturan agraris di daerah Gubernemen Jawa dan Madura), Jilid I halaman 5,

19Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 52. 20Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat,(Jakarta: Rajawali Press, 2017), hal. 8.

Universitas Sumatera Utara menerangkan tentang hak ulayat sebagai berikut: ”Yang dinamakan hak ulayat

(beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasasi tanah dan lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota- anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggungjawab terhadap perkara- perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan”.21

Menurut Firsty Husbani, pada intinya, kelompok-kelompok adat masyarakat itu memiliki hukum adat mereka sendiri-sendiri. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, mereka memiliki berbagai kebijakan yang sesuai dengan filsafat hidup mereka. Misalnya saja konsep hak ulayat. Pada dasarnya hak ulayat merupakan pedoman dalam pengelolaan sumber daya alam, bagaimana kewenangan masyarakat hukum yang bersangkutan mengatur dan merencanakan penggunaan sumber daya alam, menetapkan hubungan-hubungan hukum anggota- anggotanya dengan sumber daya alam serta mengurus persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya oleh pihak luar.22

Menurut Moh.Koesnoe perkataan ”ulayat” pada dasarnya berarti suatu lingkungan tanah yang berada dalam kekuasaan yang sah suatu persekutuan.

Setiap lingkungan ulayat selalu meliputi 3 (tiga) bagian pokok, yaitu (a) lingkungan sebagai pusat persekutuan; (b) lingkungan usaha para warga, berupa sawah, kebun, ladang, dan hutan; dan (c) lingkungan tanah persediaan, berupa

21Eddy Ruchiyat,Politik Pertanahan Sebelum Dan Sesudah Berlakunya UUPA, (Bandung: Penerbit Alumni/1995/Bandung), hal .31. 22Irene Mariane, Op.Cit. hal.12.

Universitas Sumatera Utara hutan belukar di lingkungan usaha tersebut. Dengan demikian, secara harfiah hak ulayat diartikan sebagai kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah dalam lingkungan/wilayah/daerah tertentu untuk menguasai dalam arti mengambil dan memanfaatkan tanah untuk kepentingan masyarakat hukum dan anggota- anggotanya.23

Maria S.W Sumardjono mengatakan hak ulayat sebagai istilah teknik yuridis adalah hak yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan mengurus mengatur tanah sisinya, dengan daya berlaku ke dalam dan ke luar.24

Ter Haar merumuskan ”beschikkingrecht” adalah hak persekutuan hukum masyarakat, merupakan hak kolektif dan bukan hak individu yang dapat dimiliki oleh seseorang atau sekeluarga.

Hazairin merumuskan hak ulayat suatu masyarakat (hukum) adat

(rechsgemenschap) adalah hak atas seluruh wilayah masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan dan tidak pernah akan diasingkan pada orang-orang atau kelompok masyarakat lain, atau dicabut dari temurun tetap akan merupakan hak kolektif masyarakat hukum adat atas tanah seluas wilayah hukum adat tersebut.

Menurut J.T.C Simorangkir, dkk, hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum/masyarakat untuk menggunakan/mengolah tanah-tanah di sekeliling tempat kediaman/desa mereka guna kepentingan persekutuan hukum itu atau

23Rosnidar Sembiring,Hukum Pertanahan Adat,Op.Cit,hal 8. 24Ibid, hal 9.

Universitas Sumatera Utara kepada orang-orang luar yang mau mengerjakan tanah itu dengan memberikan sebagian dari hasilnya kepada masyarakat.

Menurut pendapat Ardiwilaga sebagaimana dikutip oleh Ida Nurlinda, pengertian hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum (masyarakat hukum adat) untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang merupakan hutan belukar dalam lingkungan wilayahnya guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, juga untuk kepentingan orang-orang di luar persekutuan hukum itu dengan izin terlebih dahulu dan membayar pengakuan/rekognisi. Dalam hal ini persekutuan hukum tetap dapat melakukan campur tangan atas tanah yang telah diusahakan orang luar yang terletak di lingkungan wilayahnya.25

B. Sistem Hukum Pertanahan Nasional

1. Sistem Hukum Tanah Nasional

Menurut Ludwig Von Bertalanffy, yang dimaksud sistem adalah complex of elements in mutual interaction. Sejalan dengan Ludwig Von Bertalanffy,

Geoffrey Samuel menyatakan bahwa system is method of comprehending an object, a global unity interrelationism and causality as such, but through, a global unity interrelation between elements. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa:

Hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem hukum suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-

25Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah, (Bandung: Rafika Aditama, 2016), hal. 95.

Universitas Sumatera Utara unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum, dan pengertian hukum. Lebih lanjut Sudikno Martokusumo menyatakan bahwa:

Sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yang kaedah apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain, sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan. Wu Min Aun memberikan ruang lingkup tentang unsur-unsur dalam sistem hukum, yaitu:

In legal system, the most important areas of social organization are the people’s attitude to the following:

a. political system; the way society is governed. b. economic system; the ownership, production and distribution of society’s resources. c. Moral standards; what cinstitutes acceptable and unacceptable behavior. d. Social intercourse; relationship between people. Tiga komponen utama yang dimiliki oleh sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman, yaitu legal Structure, legal Substance, and legal culture. Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian juga saling berpengaruh satu sama lainnya. B.F.Sihombing menjabarkan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum dalam kaitannya dengan sistem hukum, yaitu:

a. Struktur hukum merupakan representatisi dari aspek institusional (birokrasi) yang memerankan tugas pelaksanaan hukum dan pembuatan undang-undang; b. Substansi hukum merupakan refleksi dari aturan-aturan yang berlaku, norma, dan perilaku masyarakat dalam sistem tersebut; c. Budaya hukum dimaksudkan sebagai sikap atau apresiasi masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Ke dalam budaya hukum adalah

Universitas Sumatera Utara kepercayaan terhadap hukum, nilai (value), ide dan gagasan dan harapan- harapan. Riduan Syahrani memberikan pengertian tentang sistem hukum, yaitu: suatu kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian

(hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain tersusun sedemikian rupa menurut asas-asasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.

Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa dalam sistem hukum terdapat unsur-unsur hukum di mana antara unsur hukum yang satu dengan unsur hukum yang lain saling berkaitan dan saling berpengaruh serta tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, sehingga membentuk suatu pengertian tentang hukum.

Secara yuridis ruang lingkup agraria dimuat dalam UUPA meliputi bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Ruang lingkup agraria disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yaitu ”seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha

Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.

Pengertian hukum agraria dikemukakan oleh Sudikno Mertokusomo, yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria kaidah hukum yang tertulis adalah hukum agraria.

Agraria terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis terdapat hukum adat yang berkaitan dengan agraria.

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ruang lingkupnya, hukum agraria bukan merupakan satu perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber daya agraria. Boedi

Harsono menyatakan bahwa kelompok bidang hukum dalam hukum agraria, yaitu:

a. Hukum tanah

Hukum tanah mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti

permukaan bumi.

b. Hukum air

Hukum air mengatur hak-hak penguasaan atas air.

c. Hukum pertambangan

Hukum pertambangan mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan

galian.

d. Hukum perikanan

Hukum perikanan mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang

terkandung di dalam air.

e. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa

mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang

angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, hukum agraria pada dasarnya adalah suatu hukum yang mengatur perihal tanah beserta segala seluk beluk yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalnya hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara Dari pendapat Boedi Harsono dan Purnadi Purbacaraka menunjukkan bahwa hukum agraria tidak terdapat data bidang hukum, melainkan bidang hukum yang di dalamnya mangatur hal-hal yang berkaitan dengan pertanahan.

Bumi sebagai salah satu unsur dari agraria, meliputi permukaan bumi

(tanah), termasuk pula tubuh bumi di bawahnya, serta bagian bumi yang berada di bawah air. Tanah merupakan pengertian yuridis dari permukaan bumi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, sedangkan tanah dalam pengertian hak adalah hak atas tanah yang mempunyai batas-batas dan berdimensi dua yaitu panjang dan lebar.

Pengertian tanah dalam UUPA ada kesamaan dengan pengertian land dalam Pasal 5 National Land Code Malasya 1965, yaitu:

a. the surface of the earth and all substances forming thar surface; b. the earth below the surface and all substsnces there in; c. all vegetation and other natural product, ehether or nor requiring the periodical apllication of labour the their production, and whether on or below the surface; d. all thing attached to the earth or permanently fastened to any thing attached to the earth, wheter on or below the surface. Land covered by water

Salah satu bidang dalam hukum agraria dalam hukum tanah. Effendi

Perangin-angin menyatakan bahwa hukum tanah adalah keseluruhan peraturan- peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan- hubungan hukum yang konkrit dengan tanah. Pengertian hukum tanah yang lebih lengkap dikemukakan oleh Boedi Harsono, yaitu:

Universitas Sumatera Utara Keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum yang konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sitematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Hukum tanah sebelum Indonesia merdeka adalah hukum tanah Kolonial yang mempuyai sifat dualisme hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku hukum tanah Barat yang diberlakukan bagi orang-orang yang tunduk pada hukum Barat, dan hukum tanah adat. Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hukum, hukum adat tentang tanah dijadikan dasar bagi pembentukan hukum tanah nasional. Hukum adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga hukum adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan hukum tanah nasional. Supriadi menyatakan bahwa “pembangunan hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat menjadi sumber utama, sehingga bahan yang dibutuhkan dalam pembangunan hukum tanah nasional sumbernya tetap mengacu kepada hukum adat, baik berupa konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum, dan sistem hukumnya.

Selanjutnya berbicara mengenai sistem hukum adat ini Prof. Soepomo,

S.H., menyebutkan sebagai berikut:

Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran, begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistem

Universitas Sumatera Utara hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.26 Unsur-unsur hukum tanah nasional yang dimuat dalam UUPA, adalah”

1) Hukum adat

Ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum adat sebagai unsur hukum tanah nasional disebutkan dalam Pasal 5 UUPA, yaitu:

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hukum adat yang menjadi dasar pembentukan hukum agraria nasional bukan hukum adat yang murni, melainkan hukum adat dengan persyaratan dan pembatasan tertentu yang telah disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Ketentuan lain dalam UUPA yang menunjukkan bahwa hukum adat sebagai unsur dalam hukum tanah nasional, adalah Pasal 56, yaitu:

Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan- ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak atas tanah yang memberi wewenang, sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Pasal 50 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa “ketentuan- ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang”. Untuk mengisi

26Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 41.

Universitas Sumatera Utara kekosongan hukum tentang ketentuan hak milik ditetapkan oleh Pasal 56 UUPA, yaitu selama undang-undang tentang hak milik belum terbentuk, maka berlaku ketentuan hak milik menurut hukum adat setempat.

2) Hukum Barat

Ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum Barat sebagai unsur hukum tanah nasional disebutkan dalam diktum memutuskan UUPA di bawah perkataan

“dengan mencabut” angka 4, yaitu “buku II Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air dan serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini”. Pasal 57 UUPA menyatakan bahwa:

Selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190. Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 UUPA menetapkan bahwa hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Selanjutnya dalam Pasal 52 UUPA ditetapkan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang.

Hypotheek merupakan lembaga jaminan dalam hukum Barat yang objeknya dapat berupa tanah yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW).

Pemberlakuan hypotheek yang objeknya berupa tanah dengan maksud untuk

Universitas Sumatera Utara mengisi kekosongan hukum selama undang-undang tentang hak tanggungan belum terbentuk. Setelah berlangsung selama 36 tahun sejak berlakunya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960, diundangkan Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sejak diundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka hypotheek yang objeknya berupa tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikan, hypotheek yang objeknya berupa tanah berlaku selama 36 tahun sejak diundangkan UUPA.

3) Hukum Islam

Ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum Islam sebagai unsur dalam hukum tanah nasional disebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu

“Perwakafan tanah hak milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Hak atas tanah tidak hanya direncanakan dan dipergunakan untuk keperluan negara, tetapi juga dapat direncanakan dan dipergunakan untuk keperluan keagamaan, peribadatan, pendidikan, dan sosial. Lembaga wakaf tidak terdapat dalam hukum adat dan hukum Barat, melainkan ada di dalam hukum

Islam. Dalam wakaf tanah hak milik terdapat perbuatan hukum oleh pemiliknya untuk menyerahkan tanah hak milik selama-lamanya guna kepentingan peribadatan, sosial, dan pendidikan. Dengan wakaf, maka terputus sudah hubungan hukum untuk selama-lamanya antara pemilik tanah dengan tanahnya.

Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 49 ayat (3)

UUPA adalah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Universitas Sumatera Utara Tanah Hak Milik. Perwakafan tanah hak milik yang diatur dalam hukum Islam dimasukkan menjadi bagian dari hukum tanah nasional melalui, pendaftaran wakaf tanah hak milik kepada kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai tanda bukti pendaftaran wakaf tanah dan hak milik diterbitkan sertifikat wakaf tanah hak milik oleh kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.

Hukum pertanahan nasional berdasarkan atas dasar hukum adat yang nersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional.

Artinya, untuk menciptakan hukum pertanahan nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan hukum adat. Tentu saja tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum adat. Berpatokan kepada hukum adat sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum tanah nasional, maka tetap dimungkinkan untuk mengadopsi lembaga-lembaga yang baru yang belum dikenal dalam hukum adat.27

Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya, berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma- norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat. Hukum tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma hukumnya yang dituangkan dalam peraturan perundang-

27Nurus Zaman, Politik Hukum Pengadaan Tanah, Op.Cit,hal. 101.

Universitas Sumatera Utara undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah nasional positif yang tertulis, UUPA merupakan hasilnya yang pertama.28

Antara sistem hukum nasional, sistem hukum tanah nasional, hukum tanah nasional, dan hak pengelolaan mempunyai keterkaitan satu sama lain.

Keterkaitan itu dapat dijelaskan, yaitu pada mulanya sistem hukum nasional adalah sistem hukum adat yang bersifat tidak tertulis. Dengan masuknya agama

Islam di Indonesia, masyarakat hukum adat meresap agama Islam ke dalam hukum adanya. Selanjutnya dengan masuknya Belanda yang menjajah Indonesia, maka hukum Barat diberlakukan kepada masyarakat Indonesia. Dengan demikian, sistem hukumnya adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat. Setelah Indonesia merdeka berubalah sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari sistem hukum nasional itu wajib bersumber kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem hukum suatu bangsa- negara tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai yang terdapat dalam bangsa-bangsa yang bersangkutan. Lebih-lebih apabila bangsa dan negara itu mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan bangsa atau negara lain.

Sistem hukum nasional menurut Sudikno Mertokusumo adalah keseluruhan tata hukum nasional dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Kemudian masih dikenal sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara.

Selanjutnya dikenal sistem hukum keluarga, sistem hukum benda, sistem hukum

28Suryaman Mustari Pide, Hukum Adat,Op.Cit, hal. 138.

Universitas Sumatera Utara perikatan. Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, Riduan Syahrani mengemukakan bahwa:

Seluruh peraturan hukum dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai suatu sistem hukum, seperti sistem hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia terdapat berbagai macam bidang hukum yang masing- masing mempunyai sistem sendiri-sendiri, sehingga ada sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, dan sebagainya. Kemudian dalam sistem hukum perdata (Barat), misalnya terdapat lagi sistem hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan, sistem hukum pembuktian. Sistem hukum nasional, tidak hanya terdapat sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara, tetapi juga sistem hukum internasional, sistem hukum administrasi, dan sistem hukum agraria. Dalam sistem hukum agraria yang terdapat sistem hukum tanah, sistem hukum air, sistem hukum kehutanan, sistem hukum pengairan, sistem pertambangan. Dengan demikian, sistem hukum tanah nasional merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam sistem hukum tanah nasional yang merupakan bagian dari sistem hukum agraria tersebut terdapat hak penguasaan atas tanah, pendaftaran tanah, pencabutan hak atas tanah, dan landreform. Dalam sistem hukum tanah nasional terdapat penguasaan atas tanah yang di dalamnya terdapat hak menguasai negara atas tanah, hak atas tanah, dan hak pengelolaan. Dengan demikian, hak pengelolaan sebagai bagian dari hak penguasaan atas tanah merupakan unsur, dalam hukum tanah nasional.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem hukum tanah nasional, adalah keseluruhan dari unsur-unsur, bagian-bagian, atau elemen-elemen yang merupakan kaedah dari hukum tanah nasional yang berkaitan erat,

Universitas Sumatera Utara berinteraksi, atau bekerja sama satu dengan yang lain. Kaedah-kaedah dalam hukum tanah nasional sebagai unsur-unsurnya ada yang berasal dari hukum adat tentang tanah, hukum Islam khususnya wakaf tanah hak milik, dan hukum Barat dalam ketentuan-ketentuan mengenai hyphotheek yang berakhir sejak diundangkan Undang-undang No.4 Tahun 1996, tentang hak tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Teuku Mohammad Radhine pada tahun 1986 yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam kata pengantarnya pada saat mengantar buku “Politik Hukum Baru mengenai Kedudukan dan Peranan

Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional” karangan

Sajuti Thalib mengisyaratkan beberapa hal dalam kaitannya dengan pembinaan hukum tanah nasional yaitu:

1. Dalam pelaksanaan pembinaan hukum nasional perlu diperhatikan berbagai bahan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan tingkat kesadaran hidup masyarakat. 2. Bahan hukum itu secara seksama dipertimbangkan sebagai asas-asas hukum yang berlaku bagi semua lapisan masyarakat dalam rangka mewujudkan pembinaan hukum nasional. 3. Berharap agar tumbuhnya minat para ahli untuk mneyumbangkan pemikiran lebih lanjut yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum dan pembinaan hukum di tanah air kita29 2. Konsepsi Hukum Tanah Nasional

Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya.

Konsepsi hukum tanah adat adalah konsepsi asli Indonesia yang bertitik dari

29OK Saidin, Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), hal, 50.

Universitas Sumatera Utara keseimbangan antara kepentingan bersama dan kepentingan perseorangan. Oleh karena itu, dapat juga disebut sebagai konsepsi Pancasila karena memosisikan manusia dan masyarakat dalam posisi yang selaras, serasi, dan seimbang dan tidak ada pertentangan antara masyarakat dan individu.

Hubungannnya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari susuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman.

Artinya bukan hanya untuk kepentingan suatu generasi, tetapi untuk generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut.

Falsafah hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat mengenai pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional yang menurut Boedi Harsono terwakili dalam satu kata kunci, yaitu komunalistik religius. Konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius ini memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.

Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyebutkan: “seluruh wilayah

Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”. Sementara itu, sifat religius konsepsi hukum nasional terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyebutkan “seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya dalam wilayah

Universitas Sumatera Utara Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Mewujudkan unifikasi hukum, hukum adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan hukum agraria nasional. Hukum adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia sehingga hukum adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan hukum agraria nasional. Untuk itu perlu dicari persamaan-persamaan yaitu dengan merumuskan asas-asas/konsepsi, lembaga-lembaga hukum dan sistem hukumnya.

Hal inilah yang diambil dalam hukum adat untuk dijadikan dasar utama dalam pembentukan hukum agraria nasional.30

Asas ini mengandung arti bahwa penggunaan hak individu harus memerhatikan dan bahkan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat hukum adat terdapat asas gotong royong. Setiap usaha yang menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu dilakukan melalui gotong royong. Hal ini untuk mencegah adanya persaingan dan pemerasan antara golongan yang mampu. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 12 ayat (1)

UUPA.31

Konsepsi ini sedikit berbeda dengan hukum adat, yaitu hanya menyangkut wilayah cakupannya. Dalam hukum adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional, semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah

30Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 65. 31ibid, hal.67.

Universitas Sumatera Utara tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa

Indonesia.

Dibandingkan dengan konsepsi hukum tanah Barat dan konsepsi tanah

Feodal, konsepsi hukum tanah Barat berlandaskan konsepsi liberal yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada individu guna memenuhi kebutuhannya masing-masing. Keadaan itu menimbulkan paham individualisme yang ajarannya memberi tekanan pada nilai utama pribadi, sehingga masyarakat hanyalah merupakan suatu sarana mencari tujuan pribadi, di mana menurut konsep Burgerlijk Wetboek (BW) dalam sistem hukum Belanda, hak perorangan disebut hak eigendom sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Sebagai hak yang paling sempurna, pemilik eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut, baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain, artinya sebagian hak orang lain, hak eigendom atas tanah adalah merupakan hak prima yang bersumber pada kedudukan manusia sebagai makluk ciptaan Tuhan, yang mempunyai hak untuk menikmati dan memiliki kekayaan alam yang diciptakan Tuhan baginya. Konsepsi ini tersirat dalam kalimat kedua dari

Declaration of Independence Amerika Serikat, dinyatakan antara lain: “...that all men are created aqual...” dan dikaruniai hak-hak “Life, Liberty and pursuit of happiness”. Sedangkan konsepsi hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat yang jelas merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah Eropa yang didasarkan pada

Universitas Sumatera Utara semangat individualisme dan liberalisme tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang komunal dan religius.

Konsepsi tanah feodal juga tidak sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia karena hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak milik raja. Semua tanah yang terdapat di seluruh wilayah kekuasaan raja adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak lagi menganut bentuk kerajaan, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ada pada negara sebagai pengganti kedudukan raja.

Berdasarkan pembahasan tentang sejumlah konsepsi di atas, tentu tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa konsepsi hukum tanah nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia.

Penyempurnaan terhadap hukum tanah nasional selayaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan konsepsi yang lahir dan digali dari akar budaya nasional tanpa menutup diri dari perubahan-perubahan yang berlangsung sejak beberapa dasawarsa terakhir seperti era globalisasi, otonomi daerah, dan hak asasi manusia.

Menurut Arie Sukanti Hutagalung penyempurnaan hukum tanah nasional juga diperlukan dalam menghadapi era globalisasi, yang dewasa ini sudah terasa pengaruhnya di bidang kegiatan-kegiatan yang memerlukan penguasaan tanah, misalnya ada tuntutan untuk lebih dipermudah cara memperoleh tanah yang diperlukan dunia usaha. Tata cara perolehan tanah kini sudah dipermudah, dengan dimungkinkannya perubahan hak milik yang sudah bersertifikat menjadi hak, hak guna bangunan atau hak pakai secara langsung. Dalam hal suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas memerlukan tanah yang berstatus hak milik, tidak

Universitas Sumatera Utara lagi perlu ditempuh tata cara permohonan hak baru berupa hak guna bangunan yang diawali dengan acara pelepasan hak milik tersebut oleh pemiliknya yang memerlukan waktu dan biaya.

Konsepsi komunalistik religius yang telah dianut sejak 2 September

1960, di samping telah teruji hingga saat ini hendaknya perlu juga dilestarikan untuk mewujudkan cita-cita politik agraria nasional yang tercantum dalam Pasal

33 Undang-Undang Dasar 1945

3. Objek hukum tanah nasional

a. Hak bangsa Indonesia

Penjelasan UUPA disebutkan bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaanya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, juga menjadi hak bangsa Indonesia; jadi tidak semata-mata menjadi hak pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian hubungan bangsa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.

Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah

Indonesia adalah kesatuan tanah air dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia (beraspek perdata) yang bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat.

Universitas Sumatera Utara Hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur, yaitu sebagai berikut:

1) Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia yag telah bersatu menjadi bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). Pernyataan ini menunjukkan sifat komunalistik dari konsepsi hukum tanah nasional. 2) Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan memipin penguasaan dan pengunaan tanah yang dipunyai bersama tersebut. Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan kekuasaan politik untuk melaksanakannya, tugas kewajiban yang termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu, penyelenggaraannya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan kepada negara

Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Aspek publik yang tercermin dari adanya kewenangan negara untuk mengatur tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tugas wewenang ini dilaksanakan oleh negara berdasarkan hak menguasai negara yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945: “Bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Bagian-bagian atau bidang-bidang tanah hak bersama tersebut dapat diberikan kepada orang dan badan hukum dengan dikuasai dalam bentuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai.

Universitas Sumatera Utara Pemberian hak tersebut terkait dengan subjek pemegang haknya. Dalam hal ini menurut undang-undang kewarganegaraan yang dimaksud dengan orang- orang yang termasuk warga negara Indonesia atau rakyat Indonesia tidak dibedakan menurut asal keturunannya (asli atau keturunan asing) maupun tidak dibedakan jenis kelaminnya (pria dan wanita).

Hak bangsa adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang bersifat abadi dan merupakan kekayan nasional. Hak bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak penguasaan atas tanah yang lain yaitu hak, menguasai negara dan hak-hak perorangan atas tanah.

b. Hak menguasai negara

Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berarti bahwa bangsa

Indonesia membentuk negara Republik Indonesia untuk melindung segenap tanah air Indonesia dan melaksanakan tujuan bangsa Indonesia untuk memanjukan kesejahteraan umum.

Negara Republik Indonesia mempunyai hubungan hukum dengan tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia agar dapat memimpin dan mengatur tanah-

Universitas Sumatera Utara tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia atas nama bangsa Indonesia melalui peraturan perundang-undangan, yaitu UUPA dan peraturan pelaksanaannya.

Hubungan hukum tersebut dinamakan hak menguasai negara. Hak ini tidak memberi kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah karena sifatnya semata-mata sebagai kewenangan publik sebagaimana dirumuskan salam Pasal 2 UUPA.

Negara diberikan kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya yang merupakan kekayaan nasional. Dalam hal ini negara berwenang mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan dan pengggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah atas seluruh tanah di wilayah

Republik Indonesia dengan tujuan agar dapat dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Kewenangan tersebut dilaksanakan negara dalam kedudukannya sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia atau berkedudukan sebagai badan penguasa.

4. Prinsip-prinsip hukum tanah nasional

Prinsip hukum atau asas hukum yang dalam bahasa Belanda disebut rechts beginsel dan dalam bahasa Inggris disebut principle of law. Henry

Campbell Black memberikan pengertian tentang prinsip adalah “a fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others”. Bruggink J.J.H menyatakan bahwa asas/prinsip hukum adalah nilai-nilai yang melandasi norma hukum. Selanjutnya Bruggink J.J.H menyetir pendapat Paul Scholten yang mneyatakan bahwa asas hukum merupakan

Universitas Sumatera Utara pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan- putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan- keputusan individual. George Whitecross Paton menyatakan bahwa “ A principle is the broad reason, which lies at the base of rule of law”.

Hukum tanah nasional diatur dalam UUPA memuat prinsip hukum dan aturan hukum yang menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan di bidang pertanahan dan memutuskan kasus atau perkara di bidang pertanahan.

UUPA sebagai peraturan dasar yang mengatur pokok-pokok keagrariaan dan merupakan landasan hukum tanah nasional tidak memberikan pengertian yang tegas baik mengenai istilah “tanah” maupun istilah “agraria”. Untuk mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogiyanya bersifat holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi tujuan pembaruan agraria. Untuk mengoperasionalkan konsep pembaharuan agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Menurut Maria S.W. Sumardjono, prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria tersebut adalah:

a. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-sumber agraria merupakan hak ekonomi setiap orang; b. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasikan keanekaragaman hukum setempat (pluralisme); c. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antargenerasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya);

Universitas Sumatera Utara d. Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya; bahwa hak yang dipunyai seorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas; e. Penyelesaian sengketa pertanahan; f. Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-sumber agraria; g. Usaha-usaha produksi di lapangan agraria; h. Pembiayaan program-program pembaruan agraria. Menurut Maria S.W. Sumardjono, apabila arah kebijakan pembangunan dipandang sebagai raga, maka prinsip-prinsip pembaruan agraria perlu diakomodasi sebagai landasan yang akan berfungsi sebagai jiwa yang akan menjadi dasar untuk mencapai kesejateraan rakyat. Pembangunan yang berlandaskan pada konsep pembaruan agraria harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Cara pandang dan tindakan berkenaan dengan tanah. Tanah tidak boleh diperlakukan secara ekslusif, tetapi harus dilihat sebagai satu subsistem dari keseluruhan sistem berkenaan dengan penguasaan/pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam dan dikelola sesuai dengan prinsip- prinsip pembaruan agraria tersebut diatas. Dengan demikian, dapat dihindarkan tumpang tindih dan inkosistem antar peraturan perundang- undangan sektoral. Pembaruan agraria memerlukan reformasi di bidang hukum yang terkait dengan sumber daya agraria/sumber daya alam. b. Karena di masa yang akan datang kesempatan untuk menggantungkan hidup dari sumber-sumber pertanian akan semakin berkurang; maka untuk mendukung pembaruan agraria, pelaksanaan program pembaruan agraria perlu dilengkapi dengan penciptaan sumber pendapatan dan peluang kerja, disamping program pendukung lainnya. c. Berbagai konflik untuk memperebutkan sumber daya alam antara berbagai kelompok kepentingan akan semakin meningkat, baik dalam skala lokal maupun regional. Perlu diupayakan cara-cara penanggulangannya. d. Dengan semangat otonomi, perlu meningkatkan tanggung jawab daerah dalam merancang bersama alokasi dan penataangunaan tanah. e. Untuk mendorong pelaksanaan pembaruan agraria, diperlukan keberadaan suatu lembaga yang berkomitmen dan bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaannya, dengan dukungan pembiayaan yang memadai. f. Pendekatan, sikap, dan perlakuan terhadap hukum adat dan masyarakat hukum adat. Perlu pendekatan baru dalam menyikapi hukum adat pada saat kini dengan memperhatikan kecenderungan global, nasional, dan lokal

Universitas Sumatera Utara dalam upaya mengakomodasi prinsip-prinsip hukum adat ke dalam tatanan hukum positif. Hak masyarakat hukum adat atas tanah milik bersama, hak cipta serta hak-hak lain yang terkait dengan pengetahuan tradisional masyarakat hukum adat yang bersangkutan, harus dihormati dan dilindungi oleh hukum positif.32 C. Masyarakat hukum adat

1. Pengertian masyarakat hukum adat

Istilah masyarakat adat cukup sukar dilacak asal usulnya. Sebagian bahasa mengatakan bahwa istilah itu adalah terjemahan langsung dari istilah indigenous people, namun sebagian juga menganggapnya bukan merupakan terjemahan dari dari istilah tersebut. Definisi mengenai masyarakat adat pernah dirumuskan oleh Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Hukum Adat (Japhama) pada tahun 1993. Menurut Japhama, masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik budaya, dan wilayah sendiri. Definisi ini secara remi diadopsi oleh Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara (AMAN) pada kongres I di tahun 1999.

Konvensi ILO 169 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di negara-negara merdeka, yang dimaksud dengan masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka yang kondisi sosial, kultural, dan ekonominya berbeda dari kelompok masyarakat lain di negara tersebut dan statusnya diatur baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan pengaturan khusus.

32Rosnidar Sembiring, Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Adat di Simalungun, (Medan: CV. Dharma Persada, 2017), hal. 85-122.

Universitas Sumatera Utara Bank dunia atau World bank pun menyiapkan sejumlah kriteria untuk kelompok masyarakat adat, yaitu:

1. Kedekatan hubungan dengan wilayah keturunannya dan dengan sumber daya alam di wilayah itu; 2. Menentukan jati diri dan diidentifikasi oleh orang lain sebagai anggota suatu kelompok kultural yang berbeda; 3. Mempunyai bahasa asli yang kerap kali berbeda dengan bahasa nasional; 4. Mempunyai pranata adat di bidang sosial dan politik, dan 5. Produksinya terutama berorientasi subsistem. Hazairin dalam pemikirannya sering mengatakan bahwa masyarakat hukum adat seperti Desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di

Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan- kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, penguasa, dan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.33

Masyarakat adat sebagai salah satu kelompok dalam masyarakat juga memiliki peranan dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan kebijakan/kearifan lokal yang sesuai dengan filsafat hidup mereka sendiri. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Leonardo Viteri bahwa masyarakat adat sudah memiliki pengetahuan dalam mempertahankan keseimbangan ekologis dan sumber daya hayati yang ada di sekitar mereka.34

2. Hak-hak penguasaan atas tanah

Hukum tanah nasional sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Sedangkan hak-hak atas tanah

33Irene Mariane, Ibid, hal. 12. 34Irene Mariane, Ibid, hal.12.

Universitas Sumatera Utara adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Tanah yang diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaanya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya, dan air serta ruang yang ada di atasnya.

Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah yang diberikan itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya.Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas yang bersangkutan. Pemegang hak hanya boleh menggunakannya dalam batas-batas yang wajar. Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan berbagai hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak penguasaan atas tanah merupakan serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihaki. Dapat juga dikatakan sebagai suatu hubungan hukum yang memberi wewenang untuk berbuat sesuatu.

Sesuatu yang boleh, wajib, dan/atau dilarang untuk diperbuat itulah yang merupakan tolok ukur pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah negara yang bersangkutan. Kita juga mengetahui

Universitas Sumatera Utara bahwa hak-hak penguasaan atas tanah dapat juga merupakan hubungan hukum konkrit jika sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang haknya. Berdasarkan adanya pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit itulah serta penalaran mengenai isinya masing-masing akan pembahasan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dapat dilakukan dengan menggunakan sistematika yang khas. Dikatakan khas karena hanya dijumpai dalam hukum tanah dan tidak dijumpai dalam cabang-cabang hukum yang lain.

Adapun sistematika yang dimaksud adalah:

1. Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan

atas tanah sebagai lembaga hukum meliputi:

a. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan; b. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya; c. Mengatur hak-hak mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya; d. Mengatur hak-hak mengenai statusnya. 2. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum tanah yang mengatur hak-hak

penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum konkrit:

a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit; b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain; c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain; d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya; e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya. Menggunakan sistematika tersebut, ketentuan hukum tanah dapat dipelajari secara teratur.

Universitas Sumatera Utara Dalam UUPA diatur hierarki hak-hak penguasaan atas tanah menurut hukum tanah nasional, yaitu:

1. Hak bangsa Indonesia; 2. Hak menguasai dari negara; 3. Hak ulayat masyarakat hukum adat; 4. Hak-hak perorangan atas tanah yang terdiri dari: a. Hak-hak atas tanah; b. Hak jaminan atas tanah; c. Tanah wakaf. 35 Adanya dualisme hukum perdata tersebut diikuti pula dengan adanya dualisme hukum tanah, sehingga pada masa itu dikenal adanya:

a. Tanah-tanah Adat yang bersumber dari Hukum Adat Indonesia; dan b. Tanah-tanah Eropa yang bersumber pada Bugerlijk Wetboek/BW/Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kedua jenis hak atas tanah tersebut di atas, dalam praktik dan realitas perundang-undangan kolonial terdapat tanah-tanah dengan hak-hak yang lain, yaitu:

a. Hak-hak atas tanah ciptaan pemerintah Hindia Belanda, berupa Agrarisch

Eigendom (hak milik agraria) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 52

ayat (7) IS, yang pengaturannya terdapat dalam Staatblad (Stb.)1872

No.117, dan Landerijenbezitrecht (dikenal dengan sebutan “tanah-tanah

Tionghoa”, karena subjeknya terbatas pada golongan Timur Asing,

terutama golongan Cina) yang diatur dalam Stb.1926 no.121.

b. Hak atas tanah ciptaan Pemerintah Swapraja di daerah Sumatera Timur,

seperti:

35Bambang Sukmananto dan Acmad Sodiki, Hukum Agraria Kehutanan, (Jakarta:PT RajaGrafindo

Persada, 2014), hal. 11.

Universitas Sumatera Utara 1) grant sultan, diberikan oleh pemerintah Swapraja bagi bukan penduduk Swapraja, didaftar di kantor Pejabat Swapraja; 2) grant controleur, diberikan oleh pemerintah Swapraja bagi bukan penduduk Swapraja, didaftar di kantor perusahaan tersebut; 3) grant Deli Maatchappijk, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli Maatschappji, serta didaftarkan di kantor perusahaan tersebut; 4) hak konsesi untuk perusahaan kebun besar, diberikan oleh Pemerintah Swapraja dan didaftarakan di kantor residen.36 3. Subyek dan obyek hak ulayat

Pendapat para alhi hukum tentang istilah dan pengertian subjek Hak

Ulayat, yaitu:

a. Van Dijk menyebut “persekutuan hukum yang teritorial, karena corak sifat

persekutuan ialah dasar kesatuan anggota-anggotanya adalah bersama-

sama berhubungan di suatu daerah tertentu yakni daerah wilayah dari

suatu persekutuan desa dan daerah.

b. Ter Haar memakai istilah “masyarakat hukum”, dan mengartikan

masyarakat hukum adat adalah, gerombolan-gerombolan yang bertalian

satu sama lain; terhadap alam yang tak kelihatan mata, terhadap dunia luar

dan terhadap alam kebendaan, maka mereka bertingkah laku sedemikian

rupa, sehingga untuk mendapatkan gambaran yang jelas-jelasnya,

gerombolan tadi dapat disebut masyarakat-masyarakat hukum

(rechtsgemeenchappen).

36Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 23.

Universitas Sumatera Utara c. Roestandi Ardiwilaga menyebut “persekutuan hukum” yaitu, lingkungan-

lingkungan teratur yang bersifat kekal, yang mempunyai kekuasaan sendiri

dan kekayaan sendiri baik berupa kejasmanian maupun kerohanian.

d. Kusumadi Pudjosewojo juga memberi nama “masyarakat hukum” yaitu,

suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya sendiri bagi

masyarakat itu sendiri; dan oleh sebab itu turut serta sendiri kepada tata

hukum itu. Masyarakat hukum bermacam-macam, yang kecil, misalnya

desa, yang besar dalam bentuk modern ialah negara.

e. Dalam Konggres Masyarakat Adat Nusantara memakai istilah

“masyarakat adat” yaitu: kelompok masyarakat yang mempunyai asal-usul

leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki

sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan wilayah sendiri.

Undang-undang Pokok Agraria menyebut “masyarakat hukum adat” sebagaimana ketentuan yang termuat dalam Pasal 3, tanpa memberi penjelasan apa yang dimaksud masyarakat hukum adat itu. Pengertian masyarakat hukum adat dijelaskan pada Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian

Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yaitu: sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang hidup secara teratur, tunduk pada hukumnya

Universitas Sumatera Utara sendiri, mempunyai pemerintahan (kepala/ketua masyarakat hukum adat dan pembantu-pembantunya, dan mempunyai harta materiel dan immateriel.37

37Helmy Panuh, Op.Cit. hal. 99-101

Universitas Sumatera Utara

BAB III

TINJAUAN UMUM KAWASAN KEHUTANAN MENURUT UNDANG-

UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999

A. Pengertian Hutan dan Hukum Kehutanan

Hutan dalam bahasa Belanda disebut boss, bahasa Inggrisnya disebut forrest. Hutan/boss/forrest adalah merupakan dataran tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti pariwisata.

Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan tempat hidup binatang burung-burung hutan.

Menurut Dengler, hutan adalah: “sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menetukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal)

Definisi Dangler, sesuai dengan definisi yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok

Kehutanan. Dalam UUPK, Pasal 1 ayat (1) disebutkan pengertian hutan ialah:

“suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati seberta alam lingkungannya dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa,: “hutan sebagai suatu lapangan yang cukup luas, bertumbuhan kayu, bambu dan/atau

Universitas Sumatera Utara palem yang bersama-sama dengan tanahnya, beserta segala isinya baik berupa nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan dan manfaat-manfaat lainnya secara lestari”.

Menurut Kadri hutan merupakan lapangan yang dtumbuhi pepohonan, secara keseluruhan sebagai persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem.

Menurut Darjadi dan Hardjono hutan merupakan sutu kelompok pepohonan yang cukup luas dan cukup rapat, sehingga dapat menciptakan iklim mikro (micro climate) sendiri.

Menurut Arief hutan ialah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis.38

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1, dijelaskan tentang pengertian hutan, yaitu: “butir 2: “hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.39

38Idriyanto, Pengantar Budi Daya Hutan, (Jakarta: Bumi Aksara,2008), hal. 6. 39Bambang Daru Nugroho, Hukum Adat Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Kehutanan & Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2015), hal.132-133.

Universitas Sumatera Utara Pengertian hukum kehutanan tampaknya juga sama dengan pengertian hukum itu sendiri. Pendapat seorang ahli dapat berbeda dengan yang lainnya karena adanya sudut pandang yang berbeda dalam mencermati unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Memang hukum itu sulit diberikan definisi yang tepat karena materi dan dimensi hukum sangat luas dan kompleks. Oleh sebab itu, tidak mungkin suatu definisi dapat mencakup keseluruhan dimensi yang luas dan kompleks tadi.

Berikut kumpulan pendapat para ahli yang dapat dijadikan referensi dalam menafsirkan hukum kehutanan:

1. Black, hukum kehutanan adalah suatu sistem atau tatanan hukum lama yang berhubungan dan mengatur hutan-hutan kerajaan (the system or body old law relating to the royal forest). 2. Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, hukum kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut-paut dengan hutan dan pengurusannya. 3. Idris Sarong al Mar, hukum kehutanan adalah kaidah-kaidah/norma-norma (tidak tertulis) dan peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan kehutanan. 4. Pamulardi, hukum kehutanan adalah himpunan peraturan bidang kehutanan yang tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan sanksi kepada pelanggarannya, dan mengatur hubungan hukum antara pengelola hutan, pengguna hutan, dan hasil hutan beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 5. Salim, hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan hukum kehutanan adalah:

1. Serangkaian kaidah/peraturan tertulis dan tidak tertulis, yang mengatur tentang hutan dan kehutanan dengan segala aspeknya baik kepada lembaga

Universitas Sumatera Utara negara, badan usaha, maupun perseorangan, agar pengurusan hutan diselenggarakan secara terpadu dan lestari, atau 2. Serangkaian hukum tentang pengaturan dan pengurusan segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hutan, pengaturan dan penetapan hubungan hukum antar orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Dengan demikian, rumusan hukum kehutanan mengandung 3 (tiga) unsur yaitu:

1. Adanya kaidah hukum kehutanan, baik tertulis maupun tidak tertulis; 2. Mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan;dan 3. Mengatur hubungan antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan. Pengertian hukum kehutanan menurut Biro Hukum dan Organisasi

Departemen Kehutanan disebutkan adanya hukum tertulis dan tidak tertulis. Salim menyatakan bahwa hukum kehutanan tertulis adalah kumpulan kaidah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk itu mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan. Sedangkan hukum kehutanan tidak tertulis adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat setempat dan disebut hukum adat mengenai hutan.

Negara memiliki hubungan penting dengan hutan dan kehutanan karena negara melalui kelembagaannya berwenang menetapkan regulasi tentang hutan dan kehutaan, meliputi pengurusan, perencanaan, dan pengelolaan, termasuk pemanfaatan hasil hutan, serta penegakan hukumnya. Demikian individu

(perseorangan) juga memiliki keterkaitan hubungan dengan hutan dan kehutanan, karena individu (rakyat) memiliki peran penting dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan, termasuk melaksanakan kewajiban-kewajiban lain terhadap negara, seperti membayar iuran izin usaha, provisi sumber daya hutan,

Universitas Sumatera Utara dana reboisasi, dan dana jaminan kerja, serta pajak dan restribudi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.40

B. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Kehutanan

Pada masa kerajaan sistem politik yang terjadi adalah sistem politik sentarlistik yang terpusat pada raja. Raja mempunyai suatu kewenangan yang mutlak dan absolut dalam menjalankan pemerintahannya. Pola hubungan agraria yang terjadi pada masa kerajaan ini mengikuti pola hubungan feodal di dalam kerajaan, yaitu tanah adalah milik raja. Kekuasaan mutlak sang raja merupakan kewenangan yang menciptakan pertanahan pada masa itu hanya diperuntukkan bagi kepentingan sang raja.41

Pembicaraan sejarah dan perkembangan perundang-undangan kehutanan di Indonesia tidak lepas dari pembicaraan tentang perundang-undangan masa lampau. Hal ini disebabkan sistem hukum yang berlaku saat ini merupakan kelanjutan dari sistem hukum yang berlaku sebelumnya. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan

Pokok Kehutanan yang berbunyi:

Sambil menunggu keluarnya peraturan-peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini, segala peraturan dan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada sebelumnya, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu. Tujuan utama dicantumkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, semata-mata untuk mencegah

40Abdul Khakim, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia,(Bandung:PT.Sitra Aditya Bakti,2005), hal.31. 41Al Araf dan Awan Puryadi, Perebutan Tanah, (Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama, 2002), hal. 54.

Universitas Sumatera Utara kekosongan hukum di bidang kehutanan. Dengan demikian, peraturan yang ada sebelumnya, terutama peraturan produk Pemerintah Hindia Belanda masih tetap diberlakukan yang disesuaikan dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia.

Untuk mengetahui secara jelas tentang sejarah dan perkembangan perundang-undangan di bidang kehutanan, dibagi dalam tiga periode atau zaman, yaitu zaman Pemerintah Hindia Belanda, Zaman Jepang, dan Zaman kemerdekaan.

Zaman Pemerintah Hindia Belanda

Pada zaman pemerintah Hindia Belanda telah banyak produk hukum yang mengatur kehutanan. Momentum awal dari pembentukan hukum di bidang kehutanan dimulai dari diundangkannya reglemen 1865, pada tanggal 10

September 1865. Oleh karena itu, pembahasan tentang perundang-undangan

Hindia Belanda dimulai dari reglemen ini.

1. Reglemen Hutan 1865

Reglemen 1865 mengatur tentang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi

Hutan. Reglemen ini pada mulanya dirancang oleh sebuah komisi yang

terdiri dari tiga anggota, yaitu:

a. Mr. F.H. der Kindiren, yaitu Panitera pada Mahkamah Agung. b. F.G.Bloemen Waanders, yaitu seorang Inspektur Tanaman Budi Daya. c. E.Van Roessler, yaitu seorang Inspektur Kehutanan. Reglemen 1865 itu berlaku selama sembilan tahun karena tahun 1874 diganti dengan reglemen hutan baru.

2. Reglemen Hutan 1874

Universitas Sumatera Utara Reglemen hutan 1874 timbul disebabkan banyaknya masalah dalam pelaksanaan reglemen 1865.

Ini reglemen 1874, adalah seperti berikut: (1) diadakan perbedaan hutan jati dan hutan rimba; (2) pengelolaan hutan jati menjadi dua hutan jati yang dikelola secara teratur, dan yang belum ditata akan dipancang, diukur, dan dipetakan. Hutan ini dibagi dalam distrik hutan; (3) distrik hutan dikelola oleh

Houtsvester/Adspiran Houtsvester (caon houtsvester); (4) eksploitasi hutan sama yang tercantum dalam reglemen 1865; (5) untuk tujuan tertentu masyarakat dapat meminta surat izin penebangan/mengeluarkan kayu dalam jumlah yang terbatas.

Surat izin itu berwenang mengeluarkannya Direktur Binnenlands Bestuur

(pemerintahan dalam negeri); dan (6) pemangku hutan rimba yang tidak dikelola secara teratur berada di tangan residen, dan di bawah perintah Direktur

Binnenland Bestuur dibantu oleh seorang Houtsvester.

Reglemen hutan 1874 ini tidak hanya berlaku di Jawa dan Madura, tetapi berlaku juga di Virstenladen (tanah kasunan dan kesultanan) sepanjang pemerintah berhak atas kayu yang ada di hutan daerah itu., kecuali hutan pemangkuan dan manfaatnya sudah diserahkan kepada pihak ketiga.

3. Reglemen Hutan 1897

Reglemen hutan 1874 diubah dengan Ordonansi 26 Mei 1882 dan

Ordonansi 21 November 1894, tetapi akhirnya diganti dengan Ordonansi Kolonial

1897, secara singkat disebut Boschreglement (reglemen hutan) 1897. Resminya reglemen itu disebut “reglemen hutan untuk pengelolaan hutan-hutan negara di

Universitas Sumatera Utara Jawa dan Madura 1897”. Reglemen hutan 1897 dijabarkan lebih lanjut dalam

Keputusan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1897 tentang “reglemen untuk jawatan kehutanan Jawa dan Madura” atau disingkat Dienstreglemen (reglemen dinas) tertanggal 9 Februari 1897 Nomor 21 Tahun 1897. Dienstreglemen ini mengatur tentang organisasi jawatan kehutanan dan ketentuan pelaksanaan Boschreglement.

Reglemen hutan 1897 berbeda dengan reglemen 1874. Ketentuan yang penting reglemen 1897, yaitu (1) pengertian hutan negara, (2) pembagian hutan negara, (3) pemangkuan hutan, dan (4) eksploitasi hutan.

Hutan negara dibedakan menjadi dua macam, yaitu hutan jati yang sebagian besar terdiri dari pohon-pohon hati, dan rimba. Hutan rimba dibagi menjadi hutan tetap dan hutan tidak tetap. Alasan untuk penunjukan hutan tetap adalah: iklim, hidro-orologi, dan peruntukan bagi industri setempat atau pemerintah. Penujukan hutan rimba dilakukan oleh gubernur jenderal.

Yang disebut dengan pemangkuan hutan adalah suatu kegiatan pengurusan hutan yang mencakup dua kegiatan, yaitu: (1) penataan hutan, pemangkuan hutan dalam arti sempit (upaya mempertahankan dan eksploitasi hutan), dan (2) pengamanan hutan.

4. Reglemen Hutan 1913

Hal-hal yang diatur dalam reglemen hutan 1913, adalah sebagai berikut:

a. Pemangkuan hutan, yang mencakup penataan hutan, penelitian hutan, pemangkuan hutan dalam arti sempit, berikut pegelolaan perkebunan getah kautsjuk (getah susu) dari pohon-pohon tertentu, dan pengamanan hutan. b. Eksploitai hutan. c. Pengamanan hutan.

Universitas Sumatera Utara d. Pemberian izin kepada masyarakat untuk mengembala ternak dalam hutan negara, dan memungut pakan ternak, kecuali hutan atau nagian hutan tertentu, yang keadaannya tidak mengizinkan bagi tindakan demikian. Di samping itu, rakyat/masyarakat di sekitar hutan diizinkan memungut buah-buahan, rumput, alang-alang, rotan, dan pemungutan kulit kayu. e. Pemberian izin untuk berburu dan menyandang senapan di dalam hutan jati dan hutan rimba yang ditata. Izin itu dikeluarkan oleh kepala pemerintahan daerah Di dalam reglemen ini tidak diatur mengenai sanksi pidana. Padahal suatu aturan baru dikatakan mempunyai upaya pemaksa apabila ditentukan secara tegas tentang sanksi pidana di bidang kehutanan, karena dengan adanya sanksi tersebut masyarakat akan berpikir seratus kali untuk melakukan tindak pidana.

5. Ordonasi hutan 1927

Ordonansi hutan 1927 hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Apabila terjadi tindak pidana di bidang kehutanan di luar Jawa dan Manura, pelakunya dibebaskan, dengan pertimbangan tidak ada aturan hukumnya.

Misalnya, kasus yang terjadi pada tahun 1929 di Tapanuli tentang pembukaan tanah di dalam hutan tetap, yang terkenal dengan “perkara siporok” oleh hakim para tertuduh dibebaskan karena tidak ada aturan hukumnya. Apabila kasus itu terjadi di Jawa dan Madura pelakunya dapat dapat dihukum menurut ketentuan yang tercantum dalam Ordonansi hutan 1927.

Pada tahun 1937 rancangan Ordonansi hutan untuk di luar Jawa dan

Madura pernah diajukan kepada volkraad, tetapi sampai pecah perang dunia II rancangan tersebut belum selesai dibicarakan. Penyebab tidak diundangkannya rancangan tersebut karena berselimut “politik”, karena di dalam pasal 4 ayat (1)

Universitas Sumatera Utara rancangan itu mengatur bagian yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Hindia

Belanada kepada masyarakat hukum bumi putera dan hasil penebangan atau pemungutan di dalam daerahnya. Pemerintah Hindia Belanda menganggap bahwa hutan dan hasil hutan merupakan domein negara sesuai asas domeinverklaring. Di samping itu, menjadi penyebab tidak diundangkannya rancangan reglemen hutan

Jawa dan Madura, karena mengandung kelemahan seperti: (1) rancangan ini meliputi tidak lebih dari 50% daerah-daerah luar Jawa, sedangkan hutan Swapraja tidak dimasukkan dalam rancangan luar Jawa dan Madura: (2) rancangan ordonansi tersebut tidak memperhitungkan akan adanya perubahan tata pemerintahan (bestuurshervorming) dan pembagian propinsi di masa datang. Asas desentralisasi sudah tentu akan menyusup ke dalam sistem pemangkuan hutan di luar Jawa dan Madura: dan (3) dalam rancangan ordonansi tidak memperhitungkan kemungkinan perkembangan pemangkuan hutan di antaranya eksploitasi swakelola di objek dan kompleks perusahaan tertentu.

Pada masa penjajahan, politik agraria Belanda di Hindia Belanda

(Nederlandsch Indie) tercantum dalam Pasal 62 Regeringsreglement (RR)

Staatblad (Stb.) 1855 No. 2, yang isinya terdiri atas 3 ayat yaitu:

1. Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah. 2. Dalam larangan di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan- kegiatan usaha kerajinan. 3. Gubernur jenderal dapat menyewaan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan tanah, demikian juga tanah-tanah sebagai tempat pengembalaan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa (termasuk dalam desa).42

42Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan, hal. 9.

Universitas Sumatera Utara Zaman Jepang

Penyerbuan Jepang ke Indonesia adalah untuk mengeksploitasi sumber- sumber daya ekonomi. Politik agraria, pada jaman penguasaan Jepang, dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang.43

Pada tanggal 7 Maret 1942 pemerintah bala tentara dai nippon telah mengeluarkan undang-undang nomor 1 tahun 1942. Pasal undang-undang Nomor

1 Tahun 1942, berbunyi: “Semua badan-badan pemerintah, kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang terdahulu, tetap diakui dah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.”

Berdasarkan ketentuan di atas, jelaslah bahwa hukum dan undang- undang yang berlaku pada zaman pemerintah Hindia Belanda tetap diakui dah oleh pemerintah dai nippon, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechstvacuum). Dengan adanya ketentuan tersebut mempermudah pemerintah dai nippon untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dengan demikian, bahwa ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintah dai nippon di bidang kehutanan, adalah Ordonansi Hutan 1927 dan berbagai peraturan pelaksanaannya.

Zaman Kemerdekaan (1945- Sekarang)

Sejak bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang ternyata pemerintah dengan persetujuan DPR telah berhasil menetapkan

43Noer Fauzi Racman, Petani & Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, (Yogyakarta: INSISTPress, 2017), hal. 49.

Universitas Sumatera Utara peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam bidang kehutanan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud, adalah seperti berikut ini:

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria

Pada dasarnya undang-undang ini tidak mengatur secara khusus tentang kehutanan, tetapi yang diatur hanyalah hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan tanah semata-mata. Namun, ada satu ketentuan yang mengatur tentang kehutanan, terutama yang berkaitan dengan hasil hutan, yaitu yang tercantum dalam Pasal 46 Undang-Undang Pokok Agraria.

Pasal 46 UUPA berbunyi sebagai berikut:

(1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia

(terutama yang memenuhi syarat) untuk memungut hasil hutan, seperti kayu, rotan, getah, dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan, seperti kayu, rotan, getah, dan lain-lain. Kepada pemungut hasil hutan hanya diberikan hak untuk memungut hasil hutan semata-mata, sedangkan tanahnya tetap dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sehingga apabila sewaktu- waktu negara membutuhkan tanah itu untuk kepentingan umum, izin memungut hasil hutan dapat dicabut, sesuai dengan prosedur yang berlaku.

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kehutanan

Universitas Sumatera Utara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 merupakan undang-undang yang khusus mengatur tentang hutan dn kehutanan.

Pertimbangan ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, seperti seperti berikut ini.

a. Bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memeberikan manfaat yang serba guna yang mutlak dibutuhkan umata manusia sepanjang masa; b. Bahwa hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam dan salah satu unsur pertahanan nasional yang harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari; c. Bahwa peraturan-peraturan dalam bidang hutan dan kehutanan yang berlaku sampai sekarang sebagaian besar berasal dari pemerintah jajahan bersifat kolonial dan beraneka ragam coraknya, sehingga tidak sesuai lagi dengan tuntutan revolusi; d. Bahwa untuk menjamin kepentingan rakyat dan negara serta untuk menyelesaikan revolusi nasional diperlukan adanya undang-undang yang memuat ketentuan pokok tentang kehutanan yang bersifat nasional dan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan perundang- undangan dalam bidang hutan dan kehutanan. 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup terdiri atas 9 bab dan 24 pasal.

Pertimbangan ditetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah sebagai berikut.

a. Bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan bangsa Indonesia dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan nusanatara. b. Bahwa dalam mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum, seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu

Universitas Sumatera Utara diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang terpadu, dan menyeluruh serta memeperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. c. Bahwa kebijaksanaan melindungi dan mengembangkan lingkungan hidup dalam hubungan kehidupan antarbangsa adalah sesuai dan selaras dengan perkembangan kesadaran lingkungan hidup umat manusia. d. Bahwa dalam rangka mengatur pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh, perlu ditetapkan undang-undang yang meletakkan ketentuan pokok untuk menjadi landasan bagi pengelolaan lingkungan hidup. 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam dan Ekosistemnya.

Undang-undang ini yang selanjutnya disebut undang-undang Konservasi

Hayati (UUKH), diundangkan pada tanggal 10 Agustus 1990. Undang-Undang

Konservasi Hayati ditetapkan dengan pertimbangan sebagai berikut.

a. Bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan yang penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan. b. Bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. c. Bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling bergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling memperngaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. d. Bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. e. Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional.

Universitas Sumatera Utara f. Bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. g. Bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu undang-undang. 5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 merupakan ketentuan hukum yang menggantikan UU nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

Ada lima pertimbangan dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu sebagai berikut.

a. Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan nusantara. b. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. c. Dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan kelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. d. Penyelenggaran pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus berdasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. e. Kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dnegan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Universitas Sumatera Utara (LN Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. 6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan salah satu peraturan perundang-undangan kehutanan yang dibuat pada era reformasi. UU

Nomor 41 Tahun 1999 ini memuat ketentuan hukum yang menggantikan UU

Nomor 5 Tahun 1967.

Ada empat pertimbangan ditetapkannya UU Nomor 41 Tahun 1999, yaitu:

a. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai negara, memeberi manfaat serba guna bagi umat manusia, karennaya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. b. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya. Oleh karena itu, keberadaanya harus dipertahankansecara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat. c. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia harus menampung dinamika aspirasi masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. d. UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8 ) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tututan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti. e. Dari keenam peraturan perundang-undangan tersebut maka ada dua UU yang telah dicabut, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1967 dan UU Nomor 4 Tahun 1982. Sedangkan yang masih berlaku adalah UU Nomor 5 Tahun 1960, UU Nomor 23 Tahun 1997, dan UU Nomor 41 Tahun 1999. f. Keempat peraturan perundang-undangan yang masih berlaku di atas merupakan dasar hukum dalam pelaksanaan kegiatan kehutanan di Indonesia. Tetapi dari keempat peraturan tersebut hanya ada dua UU yang khusus mengatur tentang kehutanan, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1990 dan UU Nomor 41 Tahun 1999, sedangkan UU Nomor 5 Tahun

Universitas Sumatera Utara 1960 tentang UUPA dan UU Nomor 23 Tahun 1997 merupakan UU yang bersifat umum.44 C. Peralihan Fungsi Hutan di Luar Bidang Kehutanan

Pada prinsipnya pengunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Tetapi tidak menutup kemungkinan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dengan fungsi dan peruntukannya, dengan syarat ada persetujuan atau izin Menteri Kehutanan (Pasal 5 ayat (1) dan (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan). Ketentuan ini juga sesuai dengan bunyi Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang tentang

Kehutanan. Pasal 38 UU Nomor 41 Tahun 1999 berbunyi: “penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa kawasan hutan dapat diubah peruntukannya, apabila kawasan hutan itu dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Misalnya, untuk kepentingan waduk, jalan, pekuburan, instalasi “microwave”, dan lain-lain. Untuk mengalihkan fungsi dan peruntukannya itu harus ada izin Menteri Kehutanan. Contoh yang aktual adalah pelepasan kawasan hutan irigasi.

Sifat Penyerahan Penggunaan Fungsi Hutan

Ada dua sifat penyerahan penggunaan kawasan hutan kepada pihak lainnya, yaitu: (1) tetap, dan (2) sementara (tidak tetap).

44Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan,(Jakarta:Sinar Grafika,2006), hal.39.

Universitas Sumatera Utara Peyerahan pengunaan kawasan hutan bersifat tetap adalah kawasan hutan tersebut akan berubah status yuridisnya dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Penyerahan kawasan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk: (1) tukar-menukar (ruuslag), (2) pelepasan untuk budi daya pertanian, (3) pelepasan rahan kawasan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk: (1) tukar-menukar (ruuslag),

(2) pelepasan untuk budi daya pertanian, (3) pelepasan untuk lokasi transmigrasi, dan (4) pelepasan lainnya. Konsekuensi logis penyerahan ini adalah kawasan hutan yang diserahkan itu terlepas kesatuannya dengan kawasan hutan lainnya, dan kawasan itu dikuasasi sepenuhnya oleh pihak yang menerima penyerahan tersebut.

Yang dimaksud dengan penyerahan bersifat sementara adalah kawasan hutan yang diserahkan tersebut status yuridisnya masih tetap sebagai kawasan hutan. Penyerahan ini dapat dilakukan dalam bentuk: (1) pinjam pakai, (2) pinjam pakai dengan kompensasi, dan (3) pinjam pakai dengan ganti rugi letak bangunan.45

Pada tanggal 16 Juni 2013 yang lalu, Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia telah membacakan keputusan dari judicial review terhadap Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ang diajukan oleh AMANdan

2 komunitas masyarakat adat. Dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012,

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di

45Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan,Ibid,hal.112.

Universitas Sumatera Utara wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara.46 Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan pengujian terhdaap UU Kehutanan yang diajukan oleh 3 aliansi masyarakat hukum adat yalni Aliansi Adar Nusantara, Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Kesepuhan Cisitu. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal lain sehubungan dengan pengertian hukum adat menurut Mahkamah. Antara lain putusan penting adalah Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “hutan hak” harus dimaknai terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum, disamping terdapat kategori hutan negara disamping hutan hak. Hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara.47

D. Pengertian Enklave

Enklave berasal dari kata inclavatus yang artinya terkunci dalam bahasa

Yunani, atau bisa disebut juga daerah kantong suatu negara yang hanya berbatasan dengan satu negara. Contohnya adalah negara Vatikan yang dikelilingi oleh Italia, dan wilayah Oecussi Ambeno, daerah kantong milik Timor Leste yang dikelilingi oleh wilayah Indonesia.48

Kata ”enklave” (enklave) berasal dari kata Perancis, lingua franca kosakata bidang diplomasi, yang aslinya berasal dari kata Latin

46Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Berdaulat Mandiri Bermartabat, http://www.aman.or.id/petisi-mk-35-bahasa-indonesia/ diakses pada hari Senin, tanggal 19 Maret 2018 pukul 20.58 WIB. 47Mahkamah Konstitusi, Hutan Adat termasuk hutan Hak bukan hutan negara, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=8475#.Wq4ywj0xfqA Diakses pada Minggu tanggal 18 Maret 2018, pukul 15.00 WIB 48Pengertian Enkalve dan Eksklave, http://x-tremesains.blogspot.co.id/2012/10/pengertian- enklave-dan-eksklave.html?m=1 diakses Jumat 22 September 2017. Jam 20.08 WIB

Universitas Sumatera Utara inclavatus(artinya’terkurung,terkunci’). Kata tersebut menjadi jargon diplomasi bahasa Inggris pada 1868.

Beberapa enklave merupakan negara berdaulat yang seluruh wilayahnya dikelilingi oleh sebuah negara lain, sehingga tidak dapat dinamakan eksklave.

Hanya terdapat tiga negara enklave, yaitu: Republik San Marino, dikelilingi oleh

Italia, Vatikan dikelilingi oleh kota Roma,Italia, Kerajaan Lesotho, dikelilingi oleh Afrika Selatan.49

E. Sistem Hukum Pengaturan Enklave di Indonesia

Salah satu Permasalahan sekaligus potensi yang terdapat di kawasan

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diantaranya adalah adanya areal dengan status enklave, dimana menurut pengertian istilah “enklave” (enclave) berasal dari kata Perancis, lingua franca kosakata bidang diplomasi, yang aslinya berasal dari kata Latin inclavatus (artinya ‘terkurung, terkunci’). Kata tersebut menjadi jargon diplomasi bahasa Inggris pada tahun 1868. Sedangkan kata”ekslave” (exclave) merupakan perluasan kata yang logis yang diciptakan tiga abad kemudian. Enklave bisa pula timbul karena berbagai alasan sejarah, politis, atau geografis. Beberapa wilayah ditinggalkan saja menjadi enklave akibat perubahan aliran sungai. Enklave adalah pemilikan hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan yang dapat berupa pemukiman dan atau lahan garapan, untuk enklave di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)khususnya di

49Enklave,http://distrik-karimnagar.karya-ilmiah.web.id/ind/2366- 2248/Enklave_27813_umb_distrik-karimnagar-karya-ilmiah.html#Negara_enklave diakses Jumat September 2017.Jam 20.24 wib

Universitas Sumatera Utara Resort PTN Sarongge berada di Blok Pasir Malang Desa Galundra Kec.Cugenang

Kab.Cianjur.

Lokasi tersebut strategis dan terisolir namun berpotensi memperluas lahan pertaniannya maupun pemukimannya ke arah kawasan TNGGP, tetapi disisi lain kondisi masyarakat lebih kooperatif dan dapat berkerjasama dengan pihak

TNGGP maka harus ada upaya antisipasi pengembangan fasilitas umum

(PLN,Telkom,Jalan Masuk dll), maka dengan itu perlu diupayakan kegiatan pembinaan enklave.

Kegiatan pembinaan enclave yang dilaksanakan pada bulan April ini dimaksudkan untuk optimalisasi pengelolaan kawasan taman nasional dengan melibatkan masyarakat lokal berdasarkan kaidah–kaidah konservasi, sedangkan tujuannya adalah meningkatkan pemahaman konservasi kepada masyarakat daerah penyangga pada enklave Blok Pasir Malang Desa Galudra Kec.Cugenang wilayah kerja resort PTN Sarongge dan membangun kesepahaman antara masyarakat di lokasi enklave dengan TNGGP.

Kegiatan pembinaan enklave di kawasan TNGGP terdiri dari 3 tahapan yaitu tahap prakondisi, pemahaman persepsi dan pembuatan kesepakatan, dengan rincian kegiatan seperti di bawah ini:

1. Prakondisi

a. Penyusunan rancangan kegiatan

Universitas Sumatera Utara Kegiatan penyusunan rancangan dilakukan dengan maksud agar kegiatan dapat berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan yang diinginkan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu arah kegiatan yang baik.

b. Pengambilan data

Data sekunder diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kondisi awal terhadap sasaran kegiatan dimana kedepannya diharapkan akan menjadikan dasar untuk perbaikan atau pengembangan ke arah yang lebih baik.

c. Pertemuan internal

Kegiatan pertemuan intenal difokuskan untuk mengetahui sejauh mana progres rancangan kegiatan untuk penanganan pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan.

2. Sosialisasi dan pembangunan kesepahaman

a. sebagai implementasi dalam pelaksanaan kegiatan Pembinaan enklave di Resort PTN Sarongge diawali dengan pertemuan dengan para pihak yang terkait dan memiliki kepentingan terhadap lokasi tersebut diantaranya Balai Besar TNGGP, Pemerintah Daerah (Kecamatan dan Desa) serta masyarakat yang bermukim di lokasi tersebut. b. Sosialisasi informasi TNGGP terhadap masyarakat di kawasan enklave Setelah kegiatan prakondisi berjalan sesuai dengan harapan, hal yang paling penting adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat yang menjadi sasaran terkait dengan upaya yang akan dilakukan terkait kawasan yang merupakan potensi maupun ancaman bagi kawasan dan masyarakat itu sendiri. c. Peninjauan lapangan/batas antara kawasan hutan dengan lahan masyarakat Hal ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan kesepahaman antara batasan kepentingan antara kawasan TNGGP sebagai kawasan konservasi dengan pemukiman yang berstatus enklave. Pemetaan potensi objek, dalam hal peninjauan lapangan/batas antara TNGGP dengan pemukiman maka dimungkinkan untuk pemetaan potensi apabila terdapat

Universitas Sumatera Utara objek-objek yang memiliki daya tarik, baik bentang alam yang memiliki potensi wisata, kearifan lokal maupun hal-hal yang dapat dikembangkan.

Prakondisi penyusunan kesepahaman/pengembangan (Nota Kesepakatan, MoU dll), tahap selanjutnya untuk mendapatkan adanya kepastian secara tertulis dan memiliki kekuatan hukum dalam hak kesepakatan-kesepakatan antara para pihak yang memiliki kepentingan, maka dimungkinkan untuk membuat kesepakatan yang mengikat agar setiap kepentingan yang terkait kawasan maupun masyarakat memiliki payung hukum dan batasan serta kewenangan yang jelas.

3. Pemasangan plang informasi/larangan di batas kawasan TNGGP dengan

enklave

Diharapkan dengan kegiatan Pembinaan enklave di Resort Sarongge dapat menjadi dalah satu upaya untuk mendukung terlaksananya pengelolaan

TNGGP secara lestari yang mendapatkan dukungan dari masyarakat di sekitar kawasan.50

Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlaku secara timbal balik, hubungan yang kembang-kempis, desak-mendesak, batas-membatasi yang tiada henti. Di mana hak masyarakat hukum adat kuat di situ hak perorangan lemah; dan sebaliknya di mana hak perseorangan kuat di situ hak masyarakat adat lemah.

Misalnya, dengan pengusaha atau pengelolaan tanah yang dilakukan secara kontiniu dan terus-menerus, akan semakin memperkuat dan memperdalam hubungan perorangan atas sebidang tanah, karena itu akan semakin terdesaklah

50Kegiatan Pembinaan Enklave di Resort PTN Sarongge, http://www.gedepangrango.org/kegiatan- pembinaan-enclave-di-resort-ptn-sarongge/ diakses pada 22 September 2017, jam 21.13 wib

Universitas Sumatera Utara hak-hak masyarakat hukum atas tanah. Kalau hubungan persekutuan hukum/masyarakat hukum adat atas tanah berkurang maka semakin kuat dan pulihlah hak masyarakat hukum adat, selain itu, sifat istimewa yang dimiliki hak ulayat tidak boleh dialihkan atau dijual kepada pihak/orang lain. Dengan ketentuan ini bahwa kemungkinan hilang atau terdesaknya hak ulayat tidak akan ada.

Hubungan hak persekutuan dengan hak perorangan atas tanah digambarkan dengan ”mulur mungkret”. Ter Haar menyebutkan sebagai ”teori bola”. Mulur Mungkret menggambarkan suatu hubungan (interaksi) antara hak ualay dengan hak perorangan (milik pribadi) atas tanah tersebut, dalam hubungan ini hak ulayat bersifat “mungkret”, kalau tidak ada lagi tanda-tanda adanya seseorang memanfaatkan tanah, maka hak masyarakat hukum-hukum pulih kembali. Menurut teori bola, yang mengatakan bahwa semakin kuat hubungan antara masyarakat hukum atas tanah maka hak perorangan (individu) atas sebidang tanah semakin lemah, sebaliknya semakin kuat hak perorangan atas tanah maka ubungan masyarakat hukum atas tanah menjadi semakin lemah.

Berlakunya hak ke dalam maka tiap anggota persekutuan dapat mengusahakan tanah, dengan demikian dapat melahirkan hak-hak atas tanah, yang dinamakan hak perorangan. Hak perorangan atas tanah adalah hak yang lahir dari hubungan tanah dengan seseorang di luar hak uaayat dari masyarakat hukum adat.

Timbul atau lahirnya hak perorangan adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara 1. Apabila seorang pimpinan dari suatu lingkungan masyarakat yang menyatakan dirinya sebagai pendukung hak ulayat. Pimpinan itu disebut juga ”raja”, menyatakan dirinya karena kekuasaannya. Contoh: desa mijen (Jawa), kepala desa menjadi pemilik dari tanah persekutuan hukum. 2. Apabila anggota masyarakat menarik orang luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan. 3. Apabila dari anggota-anggota persekutuan ditarik biaya dari orang yang mau mengusahakan tanah. Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan hak persekutuan hukum dibatasi oleh hak perorangan. Apabila hak persekutuan luntur dapat melahirkan hak perorangan, dan dapat juga karena pengusahaan tanah oleh anggota masyarakat hukum secara terus menerus dan karena penarikan biaya dari anggota persekutuan yang mengusahakan tanah. Hak-hak perorangan yang dikenal adalah berupa hak milik, hak menikmati, hak wewenang beli, hak memungut hasil karena jabatan. Hak peroranagn ini bersumber dari hak ulayat (hak komunal). Karena itu, sesuai dengan corak hukum adat yang bersumber dari alam pikiran masyarakat

Indonesia bahwa tanah-tanah tidak mutlak dimiliki oleh perorangan secara mutlak sebagaimana hukum perdata Eropa.

1. Hak milik atas tanah yang dalam bahasa Belanda disebut Inlands

bezitsrecht, disebut juga dengan istilah “hak milik terikat”, yaitu hak yang

dibatasi oleh hak komunal. Yang dimaksud dengan Inlands ezitsrecht

adalah hak dari anggota masyarakat (hak perorangan) untuk menguasai

secara penuh atas tanah. Sifat berkuasa sepenuhnya adalah penguasaan

seperti milik sendiri, seperti dalam arti menguasasi rumah, ternak, dan

benda lain miliknya. Namun demikian, tetap dibatasi oleh hak-hak sebagai

berikut:

a) Hak ulayat masyarakat hukum;

Universitas Sumatera Utara b) Kepentingan-kepentingan lain yang memiliki tanah; c) Peraturan-peraturan/hukum adat seperti kewajiban memberi izin ternak orang lain selama tidak dipagari atau tidak dipergunakan. Individu sebagai warga suatu masyarakat hukum mempunyai hak untuk: a) Mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, dan lain sebagainya; b) Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan masyarakat hukum; c) Mengambil hasil dari pepohonan yang umbuh liar; d) Pengusahaan tanah dan pengurusan tanah. Dengan perbuatan-perbuatan tersebut khususnya perbuatan mengambil hasil hutan, membuka tanah, dan pengusahaan tanah serta pengurusan tanah, maka lahirlah suatu perhubungan perseorangan, yang biasanya diberi tanda pelarangan yang religius-magis, sehingga ia ditinggalkan dan tidak diurus lagi, maka tanah itu dikuasasi oleh hak ulayat.

Bentuk dari hak milik atas tanah ini di Jawa Barat biasanya “sawah yasa” atau “sawah milik”, di Jawa Tengah disebut “sawah yasa” atau “sawah pusaka”. Selain hak milik (Inlands bezitsrecht) dikenal juga hak milik terkekang atau terbatas atas tanah (ingeklemd inlands bezitsrecht), yaitu apabila pemilikan kekuasaan atas tanah tersebut dibatai oleh hak masyarakat hukum adat. Hak milik terkekang atau terbatas di Jawa disebut sawah pekulen atau sawah narawita, di Jawa Barat: kasikepon (Cirebon atau Kuningan), Ciamis: kanomeran, kacahan (Majalengka).

Meskipun diberi wewenang yang penuh, kewenangan atau kekuasaan tersebut tidak mutlak. Menurut Soedikno Mertokusumo bahwa pembatasan terhadap hak milik terjadi karena:

Universitas Sumatera Utara a. Terutama timbul dari peraturan, misalnya Stb. 1979:179 tentang Larangan Penjualan Tanah, Stb. 1906:8 tentang Peraturan Desa; b. Kewajiban menghormati hak menguasai dari masyarakat hukum (hak ulayat); c. Kewajiban menghormati kepentingan pemilik tanah orang lain; d. Kewajiban untuk menaati dan menghormati ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemilik-pemilik tanah. Hak milik atas tanah dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:

1) Membuka tanah hutan/tanah belukar; 2) Mewarisi tanah; 3) Pembelian, pertukaran, hadiah. 2. Hak Menikmati Hasil, (genotrecht) adalah hak yang diperoleh warga

masyarakat hukum ataupun orang lain, yaitu orang di luar warga

masyarakat hukum, yang dengan persetujuan pemimpin masyarakat

hukum, untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali

panen, misalnya di Jawa dan Minangkabau.

Di Jawa ada yang disebut hak memungut huma, berupa hak atau

wewenang untuk menanami tanah untuk sekali panen, tanahnya disebut

huma geblongan. Sedangkan di Minangkabau dan Minahasa, terdapat

sawah, yaitu sawah pusaka yang hak miliknya di tangan suatu suku/clan,

anggotanya samah seperut yang de facto menggarap, hanya mempunyai

hak menggarap, yang disebut gamgambauntqi, yaitu hak atas yang

diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menggunakan

atau memungut hasil tanah itu (tanah pusako).

Supomo menyebut hak usaha adalah sebidang tanah, yaitu suatu hak yang

dimiliki oleh seorang untuk menganggap sebidang tanah tanah tertentu

sebagai tanah miliknya, asal saja ia memenuhi kewajiban-kewajiban serta

menghormati pembatasan-pembatasan yang melekat pada hak itu,

Universitas Sumatera Utara berdasarkan peraturan untuk tanah partikelir disebelah barat sungai

Cimanuk,Stb. 1912 No. 422 Jo. 613. Van Vollenhoven menamakan hak

menggarap (bouwen bewerkingrecht), yang menurut si pemilik hak usaha

terhadap tanah yang mempunyai hak eigendom atas tanah partikelir adalah

sebagai berikut:

a. Membayar semacam pajak yang dinamakan “cukai”; b. Melakukan macam-macam pekerjaan untuk keperluan tuan tanah (seperti penjagaan desa di waktu malam, memelihara jalan-jalan raya). Bagi warga masyarakat hukum adat dimungkinkan untuk mengembangkan

hak menikmati menjadi hak milik, sehingga diperkenankan mengolah

tanahnya selama beberapa kali panen berturut-turut, tanpa mengolah

tanahnya selama beberapa kali panen berturut-turut, tanpa diselingi “hak

wenang pilih”. Sedangkan kepala orang luar/asing tidak diberikan

kemungkinan meningkatkan haknya menjadi hak milik. Bagi orang

luar/asing hak menikmati hasil panen pada umumnya hanya berjalan

sepanjang satu kali panen, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti

membayar mesi (Jawa), atau uang pemasukan (Aceh).

3. Hak Wewenang Pilih/Hak terdahulu

Hak wewenang pilih (voorkeursrecht) adalah hak yang diberikan kepada

seseorang untuk mengusahakan tanah dimana orang itu lebih diutamakan

dari orang lain. Selama masih ada hubungannya dengan orang yang akan

menggarapnya. Di Kalimantan hak wewenang pilih disebut

burukan.Wewenang pilih diberikan kepada:

Universitas Sumatera Utara a. Mereka yang melekat suatu tanah larangan atau mereka yang pernah

membuka tanah;

b. Orang yang terakhir mengusahakan tanah (burukan:Kalimantan);

c. Orang yang tanahnya berbatasan dengan tanah belukar (ekor tanah atau

hapuan (Sumatera Selatan).

Menurut Sekanto, hak wewenang pilih/hak terdahulu memberi kesempatan

kepada warga yang pertama kali membuka tanah dan yang mengerjakan

tanah itu, untuk lebih dahulu (artinya yang mendahului yang lain-lain)

kembali menggarap tanah-tanah yang dimaksud, apabila berhubungan

dengan suatu hal tanah itu ia tingalkan untuk sesuatu masa tertentu (tanah

burukan).

4. Hak Wewenang Beli

Hak weweang beli (naastingsrecht) adalah hak yang diberikan kepada

seseorang untuk membeli sebidang tanah dengan mengesampingkan orang

lain. Wewenang beli diberikan kepada:

a. Sanak saudara atau kerabat sipenjual; b. Pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya; dan c. Tetangga/warga atau anggota-anggota masyarakat hukum/desa. 5. Hak Karena Jabatan

Tanah/sawah jabatan dalam istilah daerah beraneka ragam dan dalam

bahasa Belanda (disebut ambtelijkpropijrecht). Pada umumnya, tanah

jabatan ini terdapat di seluruh Indonesia, misalnya :: saba nabolak;

Sulawesi Selatan: arajang; Ambon: dusun dati raja; Bali: bukti, di Jawa:

tanah bengkok/lungguh; Ciamis, Kuningan, Majalengka, Cirebon,

Universitas Sumatera Utara ditemukan tanah-tanah yang dimiliki para pejabat setelah pensiun: ”Sawah

kehormatan”, “sawah pensiun”.

Hak karena jabatan adalah hak dari pengurus atau pejabat masyarakat

hukum adat sebidang tanah untuk menikmati hasil selama ini memegang

jabatannya. Maksud pemberian hak itu adalah untuk menjamin

penghasilan pejabat tersebut. Isi hak itu adalah pejabat yang bersangkutan

boleh mengerjakan tanah jabatan itu atau menyewakannya kepada orang

lain, tetapi ia tidak boleh menjual atau menggadaikannya. Kalau yang

bersangkutan kembali kepada hak masyarakat hukum adat atau berpindah

ke tangan pejabat yang menggantinya.

6. Konversi Hak-Hak Tanah Adat

Dengan berlakunya UUPA maka hak atas tanah yang diatur atau yang

tunduk pada hukum adat dapat dikonversi sesuai dengan hak yang

tercantum dalam UUPA. Adapun pengaturan mengenai konversi hak-hak

atas tanah adat setelah berlakunya UUPA adalah sebagai berikut:

a. Hak milik yasan sesuai dengan ketentuan konversi Pasal II ayat (1) UUPA menjadi hak milik EX Pasal 28 ayat (1) UUPA, b. Hak masyarakat hukum adat yang tidak mungkin menjadi hak milik sesuai dengan ketentuan VIII UUPA, hak ini menjadi hak pakai EX Pasal 41 ayat (1) UUPA; c. Hak milik atas tanah yang jatuh kepada ahli warisnya karena meninggal si pemilik, sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi Pasal VII menjelma menjadi hak milik EX Pasal 2 ayat (1) UUPA; d. Tanah-tanah sawah jabatan seperti tanah bengkok atau sawah kelungguhan, sabah nabolak, galung arajang, dusun dati raja, bukti, sesuai dengan konversi pada VI UUPA menjadi hak pakai EX Pasal 41 ayat (1) UUPA.51 F. Objek Tanah Enklave

51Rosnidar Sembiring ,Hukum Pertanahan Ulayat,Op.Cit, hal. 34.

Universitas Sumatera Utara Objek memiliki arti (benda) hal, dan sebagainya yang dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan, dan sebagainya.52

Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar.

Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernapas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagaian besar hewam darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.53

Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus-menerus, maka pulihlah hak-haknya masyarakat, dan beschikkingsrecht atas tanah itu berlaku kembali dengan tiada gangguannya.

Mengenai orang-orangnya penumpang yang mengelolanya meninggalkan kuria, maka tanha-tanah itu (salipi na tartar) dibagikan kepada orang-orang baru atau orang-orang miskin dengan hak pakai. Di beberapa lingkungan hukum maka hak- hak perseorangan daripada anggota-anggota atas sawah yang ditinggalkan, bertahan sampai lama lawan hak masyarakat itu. Di Minahasa pada pokoknya hak-hak perseorangan atas tanah yang terbuka itu bertahan untuk selama-lamanya sampai abadi, di sana tidak ada pencabutan kembali secara pelan-pelan atau cepat daripada tanah-tanah yang ditinggalkan, untuk kepentingan beschikkingsrecht

52diakses dari www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/objek.html pada hari Minggu pukul 13.12 WIB. 53diakses dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tanah pada hari Minggu pukul 13.18 WIB.

Universitas Sumatera Utara yang utuh: tetapi sebaliknya dalam lingkungan hukum situ masyarakat ada kekuasaan (berdasarkan atas beschikkingsrecht) untuk memberikan hak-hak sementara (hak-hak pakai) kepada sesama anggota atas tanah hak miliknya lain- lain orang, sebagaimana terdapat di Batak atas sawahnya anggota marga yang meraja di situ .54

Objek tanah enklave, berada di tengah hutan, sudah dikelola dan dihuni oleh masyarakat setempat sudah lama bahkan sebelum masa penjajahan Belanda datang ke Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pemukiman dan ladang-ladang, dan juga adanya makam di tempat enklave tersebut, hal ini menjadi patokan juga terhadap pemerintah terumata dinas kehutanan dan balai pemantapan dalam melakukan pengukuran bahwa eksistensi enklave tetap masih diakui, dengan bukti tidak dihilangkan dalam pengukuran dan peta dalam balai pemantapan.

54Soebakti Poesponoto(penterjemah), Asas-asas dan Sususnan Hukum Adat,(Jakarta:PT Pradnya Paramita,2001), hal.51.

Universitas Sumatera Utara BAB

IV

PENGATURAN MENGENAI BATAS-BATAS DAN LUAS ENKLAVE

TERHADAP HAK TANAH ULAYAT DALAM KAWASAN KEHUTANAN

/ KSDA DOLOK SURUNGAN I MENURUT HUTAN REGISTER TAHUN

1974 DI DAERAH SIBARGOT KECAMATAN PINTU POHAN MERANTI

KABUPATEN TOBA SAMOSIR

A. Gambaran Umum tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dolok

Surungan I

1) Sejarah Kawasan

Hutan konservasi ialah kawasan hutan sengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.55

Suaka Margasatwa Dolok Surungan sebelumnya merupakan kawasan hutan yang penetapannya dilakukan pada tahun 1924 dengan Surat Keputusan

Zelfsbestuur Nomor 50 tanggal 25 Juni 1924, dengan ditetapkannya kelompok hutan Dolok Surungan (Register 21 seluas 10.8000 hektar) dan kelompok hutan

Dolok Sihobun (Register 22 seluas 13.000 hektar) sebagai kawasan hutan. Pada tahun 1974 kelompok hutan Dolok Surungan (Register 21) dan kelompok hutan

Dolok Sihobun (Register 22) seluas 23.800 hektar ditetapkan statusnya menjadi kawasan SM.Dolok Surungan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian

55Indriyanto, Pengantar Budi Daya Hutan, Op. Cit, Hal. 10.

Universitas Sumatera Utara 43/Kpts/Um/2/1974 tanggal 2 Februari 1974 dengan panjang batas 228,63 km.

Kawasan tersebut merupakan habitat penting bagi hidup dan berkembangbiaknya satwa-satwa liar terutama Tapir/Cipan (Tapirus indicus).56

2) Letak dan Luasan

Suaka margasatwa Dolok Surungan membentang di wilayah Kabupaten

Toba Samosir terletak di bagian wilayah Kecamatan Pintu Pohan Meranti,

Habinsaran, Parsoburan, dan Parhitean serta sebagian pada Kabupaten Labuhan

Batu Utara.

Secara geografis SM.Dolok Surungan terletak di antara 99015’ s/d 99035’

Bujur Timur 02015’ s/d 02035’ Lintang Utara. Sedangkan berdasarkan wilayah pengelolaan hutan termasuk Padangsidimpuan, Balai Besar Konservasi Sumber

Daya Alam Sumatera Utara.

Suaka Margasawa Dolok Surungan memiliki luas 23.800 hektar dengan rincian 10.800 hektar merupakan kawasan Dolok Surungan I (register 21) dan

13.000 hektar merupakan kawasan Dolok Surungan II (register 22)

3) Penataan Batas

Suaka Margasatwa Dolok Surungan telah dilakukan tata batas pada tahun

1978 oleh Balai Planologi Wilayah I.

56diakses dari httpp://bbksdasumaterautara.com/sm-dolok-surungan/ diakses pada hari Rabu, 07 Maret 2018, pukul 5.50 WIB.

Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1994 dan 2003 dilaksanakannya orientasi batas SM.Dolok

Surungan sepanjang 228,63 km oleh Balai Inventarisasi dan perpetakan Hutan

Wilayah I Medan.

Pada tahun 2005 telah dilakukan rekontruksi batas kawasan SM.Dolok

Surungan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan yaitu di wilayah Kecamatan Pintu Pohan Meranti sepanjang 30.291,7 meter, Kecamatan

Habinsaran sepanjang 30.529,60 meter dan Kecamatan Habinsaran dan Pintu

Pohan Meranti sepanjang 15.529,30 meter.

Batas-batas kawasan SM.Dolok Surungan adalah sebagai berikut: a). Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir dan Labuhan Batu Utara. b). Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir. c). Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir. d). Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Utara. 4) Topografi, Geologi dan Iklim

Kelerengan SM.Dolok Surungan berdasarkan Peta Topografi skala

1:50.000 berada pada kelerengan 25% - 45%. Suaka Margasatwa Dolok Surungan mengalir beberapa sungai dan anak sungai diantaranya Aek Napa, Aek Ucim, Aek

Soporobean, Aek Sianak-anak, Aek Pulo Jaba, Aek Rimo, Aek Sibuni-buni, Aek

Sitonggi-tonggi, Aek Tupanan, Aek Sibaulangit dan beberapa anak sungai lainnya yang keseluruhannya mengalir ke pantai timur.

Jenis tanah di kawasan SM.Dolok Surungan berdasarkan Peta Tanah

Propinsi Sumatera Utara skala 1:500.000, terdiri dari podlosik merah kuning, latosol dan litosol dengan bahan induk batuan beku endapan dan metamorf.

Universitas Sumatera Utara Menurut klasifikasi kepekaan tanah, jenis tanah podlosik merah kuning, latosol dan litosol tergolong dalam jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi.

Menurut klasifikasi iklim Smith dan Ferguson keadaan iklim di wilayah

Suaka Margasatwa Dolok Surungan ini termasuk dalam Tipe A dengan nilai Q antar 0%-14,3% dengan curah hujan rata-rata 140 mm dan rata-rata hujan per bulan sebanyak 17 hari.

5) Sosial Budaya

a) Kependudukan

Jumlah penduduk di sekitar SM.Dolok Surungan sebanyak 7.715 jiwa

(BPS,2010) dengan distribusi yang tidak merata. Pada umumnya penduduk bermukim secara berkelompok pada pusat-pusat desa, sebagian penduduk bermukim di perladangan.

b) Mata Pencaharian

Sumber mata pencaharian penduduk di sekitar kawasan SM.Dolok

Surungan adalah sektor pertanian dan perkebunan.

c) Agama

Penduduk di sekitar kawasan SM.Dolok Surungan sebagian besar beragama Islam dan Kristen, sebagian lain penduduk masih menganut aliran kepercayaan yang biasa disebut Parmalim.

d) Pendidikan dan Kesehatan

Universitas Sumatera Utara Sarana pendidikan yang terdapat di SM.Dolok Surungan hanya sekolah dasar, tersebar di Kecamatan Habinsaran sebanyak 7 (tujuh) unit dan Kecamatan

Pintu Pohan Meranti sebanyak 10 (sepuluh) unit.

Sarana kesehatan yang ada terdapat di Kecamatan Habinsaran yaitu 1 unit Puskesmas Pembantu, 2 unit Poliklinik Desa dan Posyandu, sedangkan di

Kecamatan Pintu Pohan Meranti 1 unit Puskesmas Pembantu dan Poliklinik Desa dan 6 unit Posyandu (BPS,2010).

e) Transportasi

Desa-desa yang berada di sekitar kawasan SM.Dolok Surungan secara umum belum dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi umum, jalan menuju desa-desa tersebut sebagian telah diaspal dan sebagaian berupa jalan tanah.

f) Potensi Kawasan

1) Flora

Kondisi vegetasi di SM.Dolok Surungan merupakan vegetasi hutan hujan tropis yang didominasi oleh famili sapotaceae, dipterocarpaceae,

Podocarpaceae, Euphorbiaceae, Anacardiacea, Mirtaceae, Lauraceae,

Meliaceae, Annonaceae dan Sapindaceae.

2) Fauna

Suaka Margasatwa Dolok Surungan merupakan habitat penting bagi satwa Tapir (Tapirus indicus) sehingga perlu dijaga dan dibina kelestariannya untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan. Satwa lain yang hidup di kawasan antara

Universitas Sumatera Utara lain Kambing Hutan, Rusa (Cervus unicolor), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Babi Hutan (Sus sp), Siamang (Hylobathes sp,), Elang (Fam:

Accipitridae) dan jenis lainnya.

3) Potensi Lain

Potensi lain di SM.Dolok Surungan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan wisata alam terbatas diantaranya panorama alam (bentang alam), goa-goa alam, mata air, kesejukan udara pegunungan, keunikan, dan keindahan alam.

g) Kondisi Saat Ini

1) Permasalahan

a) Ilegal Loging

Suaka Margasatwa Dolok Surungan telah mengalami gangguan ilegal loging sejak tahun 1989.

b) Perambahan

Suaka Margasatwa Dolok Surungan telah mengalami gangguan pembukaan areal hutan (perambahan) sejak tahun 1989, dan terjadi peningkatan aktivitas pada saat terjadinya reformasi (1998) . Luas hutan yang dikuasai sampai saat ini diperkirakan lebih dari 3.000 hektar yang diusahakan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet dan lain-lain oleh para pemodal dan masyarakat, baik masyarakat sekitar kawasan maupun dan daerah luar.

c) Adanya bangunan pemnodokan di dalam kawasan hutan

Universitas Sumatera Utara Terjadinya pembangunan pemondokan di dalam SM.Dolok Surungan erat kaitannya dengan permasalahan perambahan (penyerobotan lahan). Pada umumnya masyarakat yang bermukim di dalam kawasan ini adalah para pekerja perusahaan perkebunan dan masyarakat yang membuka lahan yang relatif sempit dan secara pribadi.

d) Adanya tumpang tindih dan cirridor di dalam kawasan

Sesuai dengan hasil pengukuran yang dilaksanakan bersama Sub

BIPHUT Pematang Siantar pada tahun 1990, dalam rangka penunjukan batas

SM.Dolok Surungan dengan PIRBUN PTPN III atas nama pemohon Jahopal

Sinaga, ditemukan bahwa areal PIRBUN PTPN III Bandar Manis telah melewati batas SM. Dolok Surungan mulai Pal B 85 (titik 1.250 meter) ke arah Pal B 86, sehingga diperkirakan areal PIRBUN PTPN III telah masuk ke dalam SM. Dolok

Surungan seluas 30 hektar.

Areal PIRBUN PTPN III dimaksudkan merupakan areal tanaman karet yang saat ini sudah berproduksi dan dikelola masyarakat peserta PIRBUN PTPN

III.

2) Upaya-upaya yang pernah dilakukan

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di SM. Dolok Surungan antara lain:

a) Kegiatan Operasi Pengamanan dan Perlindungan (Fungsi dan Gabungan). b) Kegiatan rekontruksi batas. c) Kegiatan pemeliharaan jalur batas dengan menanam pinang dan memperjelas tanda-tanda batas. d) Inventarisasi keanekaragaman hayati. e) Rehabilitasi hutan. f) Penyusunan Rencana Pengelolaan SM.Dolok Surungan.

Universitas Sumatera Utara g) Pembuatan jalan patroli. h) Pemberdayaan masyarakat dalam pengamanan kawasan melalui pembentukan masyarakat mitra polhut. i) Model desa konservasi. h) Aksesibitas

Aksesibilitas menuju Kawasan SM.Dolok Surungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) jalur, yaitu:

1) Melalui Dusun Salimpotpot Desa Labu Rappa

a) Medan - Kisaran - Bandar Pulau - Dolok Maraja - Labu Rappa

Salimpotpot dengan jarak tempuh 250 km dan waktu sekitar 6 jam.

b) Medan - Pematang Siantar – Porsea - Parhitean - Labu Rappa

Salimpotpot dengan jarak tempuh 280 km waktu tempuh 7 jam

2) Melalui Parsoburan

Medan - Pamatang Siantar - Balige - Parsoburan dengan jarak

tempuh adalah 260 km dan waktu 8 jam.

3) Melalui Parlilitan

4) Medan - Pematang Siantar - Balige - Habinsaran - Parlilitan dengan

jarak tempuh adalah 270 km dan waktu 8 jam.

i) Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana pendukung dan upaya pengelolaan Kawasan Suaka

Margasatwa Dolok Surungan untuk melestarikan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yaitu:

a) Pos Jaga sebanyak 4 (empat) unit yang berada di Parsoburan, Lumban Balik, Parhitean dan Salimpotpot. b) Kantor pengelolaan sebanyak 2 (dua) unit yang berada di Parsoburan dan Salimpotpot.

Universitas Sumatera Utara c) Sepeda motor 2 (dua) unit.57 B. Kepastian hukum batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah

ulayat dalam kawasan kehutanan/Konservasi Sumber Daya Alam

Dolok Surungan I menurut hutan register tahun 1974 di daerah

Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir.

Sejarah daerah Sibargot sudah ada sejak lama,bahkan sebelum kedatangan Belanda ke daerah Sibargot, dikarenakan dahulu manusia mempunyai sejarah yang begitu panjang, maka siapa saja boleh untuk menempati suatu daerah yang belum ditempati untuk dikelola dijadikan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Keragaman hayati merupakan sumber daya penting baik bagi kehidupan sosial ekonomi dan kebudayaan masyarakat Indonesia maupun bagi negara secara keseluruhan. Hampir sebagian besar penduduk Indonesia hidupnya ditopang langsung oleh keanekaragaman hayati ini dengan menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan, pesisir, laut ataupun pertanian.58

Maka untuk yang pertama sekali menempati daerah Sibargot adalah

Oppung Pardekkas Siagian. Mata pencaharian utama Oppung Pardekkas dengan membuka hutan rimba dijadikan tempat bermukim dan bertani, maka mata pencaharian yang utama berasal dari sektor pertanian, selanjutnya memanfaatkan hutan yang belum terjamah sama sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan tetap memegang teguh mengelola hutan yang tidak merusak hutan. Hal

57Kementerian Kehutanan,Buku Informasi Kawasan Konservasi, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara,hal.60. 58Irene Mariane, Loc.Cit, hal.4.

Universitas Sumatera Utara inilah yang diyakini oleh masyarakat dahulu, terumata yang masih memegang adat istiadat mengelola hutan mempunyai tata cara tersendiri, menebang kayu harus menghormati alam dengan cara meminta izin, dan juga mempertimbangkan aspek atau dampak yang akan ditimbulkan terhadap hal apapun yang akan dilakukan oleh masyarakat adat di daerah Sibargot dalam mengelola hutan.59

Di daerah Sibargot dulu dipimpim oleh raja, yaitu raja Pardekkas

Siagian, maka masyarakat sekitar sering menyebutkannya dengan sebutan

Oppung Pardekkas Siagian, dan masyarakat setempat sekeliling daerah Sibargot ataupun desa yang lebih dekat dengan Sibargot yaitu Desa Baturangin juga mengakui bahwa daerah Sibargot sudah lama dihuni dan dikelola, sehingga di daerah Sibargot terdapat enklave dan masyarakat setempat dan sekitar sering menyebutnya dengan nama “tano kalape”.60

Identitas narasumber yang diwawancarai, keturunan Oppung Pardekkas, yang memberikan keterangan lebih lengkap adalah:

Nama : Kaliamas Siagian

Tempat Tanggal Lahir : Baturangin/04 Juli 1955

Pekerjaan : Petani

Keturunan Oppung Pardekkas Siagian yang masih tetap menempati daerah Sibargot sampai dengan saat ini, bahwa pada tahun 1880 pertama sekali

Oppung Pardekkas membuka daerah Sibargot dijadikan sebagai lahan pertanian,

59Wawancara dengan Narasumber Bapak Kaliamas Siagian, selaku keturuan dari Oppung Pardekkas, oppung yang pertama sekali menempati daerah Sibargot, [pada hari Senin tanggal 28 Agustus 2017, pada pukul 14.00 WIB] 60Ibid

Universitas Sumatera Utara lalu selanjutnya pada tahun 1934 menjadi dibuat daerah perkampungan oleh

Oppung Ponggung dan Pariaman Siagian yang masih keturunan Oppung

Pardekkas Siagian di daerah Sibargot, untuk mencari lahan yang subur maka untuk pertama kalinya daerah Sibargot dijadikan sebagai lahan pertanian, dikarenakan jarak tempat Sibargot dengan desa sekitar yang sangat jauh yang dapat ditempun dengan memakan waktu yang lama berkisar 4-5 jam ditempuh dengan jalan kaki, maka Oppung Pardekkas selanjutnya membuat pondok yang lama kelamaan menjadi ditempati dalam waktu yang lama, dibuktikan dengan masih adanya sampai saat ini pohon Hariara/Rambong Merah di pintu masuk menuju daerah Sibargot, penanaman Pohon Hariara diperaya masyarakat adat Batak terutama di daerah Sibargot yang seluruhnya keturunan

Batak dapat menjauhkan kampung dari hal-hal buruk, seperti supaya tidak terjadi kebakaran, supaya penyakit yang mematikan dijauhkan, supaya tidak datang banjir dan lain sebagainya.61

Setelah kedatangan Belanda ke tanah batak sampai jugalah ke daerah

Sibargot, maka dengan maksud menguasai kekayaan alam Indonesia, Belanda berusaha mencari berbagai cara untuk mendapatkannya namun bukan dengan cara kekerasan melainkan pecah belah masyarakat adat yang ada di Indonesia termasuk di daerah Sibargot, maka pada tahun inilah Belanda dan Oppung Pariaman dan ju ga Oppung ponggung melakukan perundingan mengenai batas eklave di daerah sibargot.62

61Ibid 62Ibid.

Universitas Sumatera Utara Maka menurut keturunan Oppung Pardekkas Siagian yaitu Kaliamas

Siagian bahwa batas-batas enklave di daerah Sibargot yaitu:

Sebelah Timur : Natumikka

Sebelah Selatan : Adian Pinantaran/Sijambur

Sebelah Barat : Alubi

Sebelah Utara : Tebing Parhitean

Aek Natio Silicuak dan sekitar daerah Sibargot bisa diusahakan sebagian besar hutan yang dulunya masih berstatus Konservasi Sumber Daya Alam

(KSDA), menurut ketentuan bahwa konservasi sumber daya alam tidak boleh dikelola oleh masyarakat, ataupun dijadikan lahan pertanian dikarenakan daerah

Konservasi, dan setelah perubahan konservasi sumber daya alam pada tahun 1974 sudah diklaim oleh masyarakat yang bisa diusahakan contoh daerah tempat yang telah diklaim bisa dikuasai oleh masyarakat yaitu: Aek Natio dan sekitarnya yang berbatasan dengan enklave Sibargot yaitu Sijambur/Adian Pinantaran Silicuak dan sekitarnya dalam hal ini dapat dikatakan hutan ini menjadi hutan produksi.63

Masyarakat Baturangin yaitu desa yang berada dekat dengan daerah

Sibargot hanya mengetahui setelah perpindahan register tahun 1974 yaitu konservasi sumber daya alam Dolok Surungan, di mana tidak bisa diganggu yang sifatnya merusak oleh masyarakat.

Selama ini masyarakat Baturangin dan yang desa lainnya bahwa hutan rakyat adalah yang berada di luar ataupun yang berbatasan dengan registrasi

63Ibid.

Universitas Sumatera Utara kehutanna tersebut, yang bisa dianggap hak milik ataupun bebas mengusahakan.

Maka menurut keturunan Oppung Perdekkas Siagian yaitu Kaliamas Siagian maka Aek Natio dan Silicuak bisa diusahai atau dikelola oleh masyarakat di mana lokasi Aek Natio sekitarnya yaitu Silicuak dan Sijambur berbatasan dengan enklave di daerah Sibargot yaitu Sijambur bisa dikatakan sebagai hutan produksi.

Kepastian hukum batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/ KSDA Dolok Surungan I menurut pendapat masyarakat yang masih tinggal di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan

Meranti Kabupaten Toba Samosir, masih belum ada kejelasan dikarenakan sepengetahuan masyarakat sekitar bahwa batas-batas enklave di daerah Sibargot adalah dari Natumikka ke Adian Pinantaran/Sijambur sampai ke Alubi lalu ke

Tebing Parhitean.64

Persoalannya sekarang, apakah peraturan-peraturan yang berasal dari zaman penjajahan tersebut masih berlaku setelah berlakunya UUPA. Menurut

Boedi Harsono, dengan mempergunakan ketentuan Pasal 58 kiranya peraturan- peraturan tersebut masih dapat dianggap berlaku. Sudah tentu dengan diberi tafsiran yang sesuai dengan asas-asas dan ketentuan-ketentuan UUPA, misalnya bahwa hak ulayat diakui, tetapi pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kepentingan nasional dalam Pasal 46, yaitu pada satu pihak mengakui hak para anggota masyarakat hukum untuk membuka tanah dan mengambil hasil hutan yang termasuk ulayatnya, tetapi pada pihak lain menjaga jangan sampai

64Wawancara dengan Narasumber Bapak Kaliamas Siagian, sebagai keturunan dari Oppung Pardekkas, Daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir,[Pada hari Senin tanggal 28 Agustus 2016, Pukul:14.00].

Universitas Sumatera Utara pelaksanaannya merugikan kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan.65

C. Syarat dan dasar penentuan batas-batas dan luas enklave terhadap

hak ulayat dalam kawasan kehutanan/konservasi sumber daya alam.

Kedudukan dan status hutan di Indonesia perlu dilakukan penetapan status dan fungsi agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran terhadap status hutan tersebut. Penetapan status dan fungsi sangat penting diwujudkan untuk menghindari klaim atau tuntutan dari masyarakat yang saat ini gencarnya menuntut pengakuan atas hutan hak mereka. Dalam tuntutan tersebut sebagian kalangan masyarakat ingin membedakan secara jelas antara hutan negara dan hutan hak. Sebab dalam benak sebagian masyarakat, bahwa hutan hak adalah hutan yang tetap di bawah pengawasan masyarakat, khususnya masyarakat adat dan tidak ada boleh ada campur tangan negara. Oleh karena itu, dalam undang- undang ini, telah diatur mengenai status hutan, agar ada gambaran kepada semua kalangan bahwa alaupun negara menguasai hutan yang terdapat di wilayah

Republik Indonesia, tetapi juga mengakui hutan yang telah diakui keberadaannya baik oleh perorangan atau masyarakat yang dalam bentuk hutan hak.66

UUPA menerapkan pengakuan bersyarat. Kedudukan masyarakat hukum adat dan hak ulayat digantungkan sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang

65OK Saidin, Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia, Op. Cit, hal. 64. 66Supriadi, Hukum Kehutanan Hukum Perkebunan di Indonesia,(Jakarta Timur: Sinar Grafika,2010),hal.18.

Universitas Sumatera Utara dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Bertalian dengan itu, ketentuan

Pasal 18B ayat(1) UUD 1945 juga dapat dimaknai bahwa eksistensi masyarakat hukum adat diakui dan dijamin, namun kondisional karena terdapat empat unsur yang harus dipenuhi, yaitu:

1. syarat pertama “sepanjang masih hidup”; 2. syarat kedua “sesuai dengan perkembangan masyarakat”; 3. syarat ketiga “sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”; 4. syarat keempat “yang diatur dalam undang-undang”. Koesnoe berpendapat bahwa pembuat undang-undang berpandangan negatif terhadap hukum adat sebagai persyaratan yang timbul dari penglihatan bahwa hukum adat tidak selalu akan sesuai dengan kepentingan tersebut, hukum adat harus dikesampingkan.

Unsur-unsur untuk dikukuhkannya suatu komunitas sebagai masyarakat hukum adat dibebani persyaratan. Ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan bahwa masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sementara itu, unsur-unsur untuk adanya pengakuan adalah sebgaai berikut:

1. Masyarakatnya masih dalam bentuk peguyuban (rechtsgemeenchap). 2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya. 3. Ada wilayah hukum adat yang jelas. 4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditatai, dan 5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kewenangan untuk menetapkan suatu komunitas sebagai masyarakat hukum adat adalah kewenangan pemerintah daerah untuk pengukuhan dalam

Universitas Sumatera Utara peraturan daerah. Ketentuan Pasl 67 ayat (2) UU Kehutanan menentukan,

“pengukuhan keberdaan dan hapusnya masyrakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah.” Pasal ini menjelaskan bahwa peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dengan demikian, pengakuan atas eksistensi masyarakat hukum adat menjadi tidak hanya bersyarat, tetapi juga berlapis.

Studi lain meneguhkan pula bahwa sejumlah pelanggaran hak-hak tradisional masyarakat hukum adat yang bersifat struktural dan sistematik berakar pada kesalahan konseptual dan posisi struktural masyarakat adat dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Kesalahan Konseptual tersebut kemudian tertuang dalam sejumlah undang-undang organik yang satu sama lain tidka singkron,yang memerlukan koreksi untuk mewujudkan jaminan konstitusional hak-hak tradisional masyarakat adat yang terdapat dalam ketentuan Pasal 18 B ayat (2) dan

Pasal 28 I ayat (1) jo Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Dari aspek ius constituendum, terjadi kekosongan hukum karena belum adanya instrumen hukum perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut.

Hal ini semua berdampak merugikan masyarakat hukum adat terutama karena alam tempat mereka menggantungkan hidup dan penghidupannya telah dialihkan melalui kebijakan pemberian hak kepada swasta. Pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada badan-badan swasta karena negara membutuhkan modal untuk membangun. Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum adat yang hidup di

Universitas Sumatera Utara dalam dan sekitar kawasan hutan dan sumber daya alam, penerapan undang- undang sektoral mengenai sumber daya alam menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum adat, yang lambat laun terpinggirkan.

Beberapa catatan menunjukkan bahwa berkurangnya ruang masyarakat adat atas sumber daya alam telah menimbulkan beragam konflik dan berdampak secara ekologis serta merugikan masyarakat hukum adat. Misalnya, dari 1.400 kasus konflik agraria yang melibatkan masyarakat,tak satu pun yang dimenangkan mereka. Hak ulayat negara menghilang ketika 100 hektar tanah berpindah menjadi tanah Departemen Kehutanan serta adanya fenomena kemiskinan yang menimpa

40-60 juta masyarakat adat di kawasan hutan. Sumber daya mineral, hutan, air, dan laut yang menjadi kekayaan masyarakat hukum adat dialihkan melalui kebijakan-kebijkaan pemerintah tanpa ganti rugi yang memadai.

Sebagai akibat terpuruknya hidup, masyarakat hukum adat mencari kehidupan di daerah lain sehingga ia sebagai individu dengan individu lainnya tidak mempunyia pertalian darah. Akibatnya, kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya selama ini lama-kelamaan menjadi memudar.67

Menurut peta dari Balai pemantapan kawasan hutan Medan, sesuai dengan peta bahwa di dalam peta tidak ada dicantumkan enklave yang ada d daerah Sibargot, hal ini bertentangan dengan pendapat masyarakat setempat yang sudah lama bermukim di sana, bahwa pihak balai pemantapan kawasan hutan

Medan mengatakan bahwa mereka masih berpatokan terhadap Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan hal ini tidak sesuai dengan SK

67Irene Mariane,Op.Cit, hal .51.

Universitas Sumatera Utara Mentan Nomor 43 Tahun 1974 tentang pengaturan lebih lanjut, dalam penentuan syarat batas-batas dan luas enklave masih tetap menggunakan UU No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan.

Tingkatan peradaban maupun cara hidup yang modern ternyata tidak dapat atau tidak mampu begitu saja menghilangkan adat (kebiasaan) yang hidup di dalam peri kehidupan masyarakat, kalaupun ada paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah adat (kebiasaan) tersebut selalu dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman sehingga oleh karenanya adat (kebiasaan) itu tetap kekal dan tetap segar dalam keadaan dan keberadaannya.

Peraturan daerah yang berkaitan dengan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak-hak adatnya atas pengelolaan hutan adat.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2001 tentang

Pemerintah Daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan keberadaan masyarakat hukum adat. Undang-undang ini memberikan hak otonomi kepada daerah seluas-luasnya pada daerah didasarkan alasan fundamental, yaitu sebagai berikut:

“...pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat. Di samping itu, pemberian otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Otonomi daerah merupakan salah satu mekanisme untuk mendekatkan pemerintah sengan rakyat sehingga ruang pastisipasi rakyat demi demokratisasi

Universitas Sumatera Utara menjadi terbuka. Dengan dekatnya “jarak” baik politik maupun geografis antara rakyat dengan pembuat kebijakan, seharusnya kontrol terhadap kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah semakin besar. Otonomi dianggap jauh lebih demokratis dibanding sistem yang terpusat, bahkan lebih menjamin tidak terjadi dominasi suatu kekuasaan berdasarkan budaya atau agama atau kepercayaan/ideologi tertentu. Dengan otonomi, daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan sesuai dengan kebutuhannya.

Otonomi daerah juga merupakan suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimiliknya secara optimal.

Dalam bidang pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan, otonomi daerah berarti:

1. menyesuaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam/hutan dengan ekosistem setempat; 2. menghormati kearifan tradisional yang sudah dikembangkan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya alam/hutan dan lingkungan hidup secara lestari; 3. tidak berdasarkan batas administrasi, tetapi berdasarkan batas ekologi; 4. meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan setempat dan bukan menghancurkan daya dukung ekossitem denagn ekploitasi yang melewati daya dukung; 5. pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling berkepnetingan (menentukan) dalam pembuatan kebijakan pengelolan sumber daya alam dan lingkungan hidup.68 D. Hambatan dalam penentuan batas-batas dan luas enklave terhadap

hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/konservasi sumber daya

alam Dolok Surungan I menurut hutan register 1974 untuk kepastian

hukum.

68Irene Mariane,Ibid,hal. 286.

Universitas Sumatera Utara Salah satu sumber konflik yang terjadi selama ini, khususnya antara pemerintah, swasta dengan masyarakat, karena tidak jelasnya batas-batas kewenangan yang dijadikan patokan oleh pihak-pihak tertentu dalam pengelolaan hutan dan pengukuhan hutan. Untuk mencegah terjadinya konflik tersebut, maka pemerintah memasukkannya dalam Undang-Undang Kehutanan yang baru mengenai pengelolaan dan pengukuhan hutan. Oleh karena itu, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ini, pengukuhan kawasan hutan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 dinyatakan bahwa pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan oleh

Menteri untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, fungsi, letak, batas, dan luas kawasan hutan. Sementara itu, penentuan kawasan hutan untuk keperluan lain, merupakan tanggung jawab Menteri, hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 16

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dinyatakan bahwa, pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui tahapan proses: a) penunjukan kawasan hutan, b) penataan batas kawasan hutan, c) pemetaan kawasan hutan, dan d) penetapan kawasan hutan.

Sejalan dengan ketentuam Pasal 15 ayat (1) di atas, dalam penjelasan

Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa: (a) pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar,

(b) pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong batas, (c) pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan, dan (d) pengumuman tentang

Universitas Sumatera Utara rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak. Oleh karena itu, dalam penentuan pengukuhan kawasan hutan tersebut, tetao mengacu pada rencana tata ruang wilayah. Untuk mengefektifkan pelaksanaan pernecanaan kehutanan, maka kegiatan yang paling bersentuhan dengan pelaksanaan perencanaan kehutanan, maka kegiatan yang paling bersentuhan dengan pelaksanaan perencanaan kehutanan adalah kegiatan penunjukan kawasan hutan.69

Penetapan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman (UU No. 19 Tahun 1964), maka ketentuan di dalam

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) berbunyi: ”Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman” telah dipenuhi menyelenggarakannya secara konstitusioanl menurut Pasal 3

Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dimaksud dia atas beserta penjelasannya, oleh karenanya hukum yang dipakai adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yaitu hukum yang sifat-sifatnya berakar pada kepribadian bangsa.

Meskipun dalam Pasal 3 tersebut di atas tidak disebut hukum adat.

Menunggu Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 dan juga sesuai dengan penjelasan dari Pasal 10-nya, dinyatakan adanya hukum yang tidak tertulis dan tertulis.70

Konflik pertanahan, dari berbagai bentuk macam bentuk transaksi- transasksi tanah ini dikenal sejak zaman dahulu hingga sekarang. Seiring dengan

69Supriadi, Op.Cit.hal 51 70Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat,(Jakarta:Kencana,2017),hal.83.

Universitas Sumatera Utara perkembangan zaman dan begitu kompleksnya kebutuhan-kebutuhan atas penguasaan, pengelolaan dan pemilikan tanah, memberi konsekuensi logis yang tidak terlepas dari berbagai konflik dan sengketa.

Konflik menutur definisi coser adalah conflict invilve struggles between two or more people over values competition for status, power or scarce resources.

Jika konflik tersebut telah nyata, dalam hal ini mengenai kepemilikan atas tanah, maka hal itu bukan dikatakan sebagai sengketa.

Konflik bukanlah suatu keadaan yang statis. Konflik bersifat ekspresif, dinamis, dan dialektis. Konlik pertanahan adalah suatu keadaan akibat adanya persaingan atau perebutan dua pihak atau lebih (subjek) mengenai satu atau beberapa bidang tanah (objek) terutama berkaitan dengan status hak penguasaan pengelolaan, dan kepemilikan.

Awal timbulnya konflik pertanahan pada umumnya dipicu oleh suatu keadaan di mana terdapat seseorang atau sekelompok orang atau lebih menunjukkan praktik-praktik untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai bidang tanah yang diperebutkan. Selain itu, konflik pertanahan juga terjadi karena adanya praktek-praktek penghilangan pengakuan

(hak) rakyat setempat terhadap tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, yang dilakukan oleh pihak-pihak lain baik badan-badan pemerintah maupun swasta.

Hal ini merupakan suatu hal yang mengancam bagi keberlanjutan hidup mereka.

Konflik pertanahan tidak saja melanda masyarakat kota tetapi juga melanda masyarakat pedesaan. Bagi penduduk desa, dahulu di masa rezim Orde

Universitas Sumatera Utara baru, konflik ditandai oleh penggunaan kekerasan terhadap penduduk yang menguasai tanah yang tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah ketika itu.

Namun di masa reformasi belakangan ini, perhatian terhadap masalah tersebut semakin membesar, di mana konflik tersebut telah sampai pada reaksi balik dari penduduk lokal untuk mengambil kembali secara langsung tanah-tanah mereka yang telah dirampas.

Hal demikian, menyadarkan kita bahwa budaya kekerasan telah melanda bangsa ini notabene adalah bangsa beradab yang anti terhadap kekerasan.

Faktanya, di tanah masyarakat kerap kali muncul konflik yang umumnya disebabkan oleh salah pengertian mengenai makna; hukum agraria adalah hukum adat. Pemicu konflik lainnya seperti ditulis Abrar Saleng (2006) dalam makalah

Format Baru Penyelesaian Konflik dan Sengketa Tanah, disebabkan karena hubungan antara hak-hak masyarakat/perorangan atas tanah dengan hak menguasai tanah dari negara pemahamannya masih samar-samar.

Seiring dengan perkembangan dan eksistensi masyarakat hukum adat, nampak jelas terjadinya kecenderungan alamiah mengenai melemahnya hak ulayat secara kasat mata. Ini merupakan pengaruh pergeseran secara intern eksistensi masyarakat hukum adat yang dikarenakan bertambah menguatnya hak- hak individual para warga masyarakat adatnya.

Memungkinkan lain-lain melemahnya hak ulayat masyarakat adat diakibatkan untuk pengaruh ekstern terutama kebijakan pemerintah dengan sejumlah regulasi mengenai hak tanah.

Universitas Sumatera Utara Pemahaman yang cenderung terlihat memprofokasi antara kepentingan masyarakt dan negara menjadi akar masalah dari konflik itu sendiri. Jika merujuk pada perspektif ilmu hukum sebagai suatu sistem yang utuh dan tidak saling bertentangan, maka seharusnya sinkronisasi tujuan antara masyarakat dan negara bukanlah hal yang tidak mungkin.

Dengan kondisi demikian, sudah seharusnya dalam menyelesaikan sebuah konflik yang menjadi substansi adalah bukan dimulai langsung pada praktiknya akan tetapi dimulai dari pemahaman tentang sumber, asas ketentuan dan penerapan dalam penyelesaian konflik sesuai dengan kemandirian dan jat diri bangsa yang berbudaya arif.

Oleh karenanya, hukum tanah nasional sepatutnya menjelaskan perasaan hukum masyarakat sebagaimana nilai-nilai yang ada dalam hukum adat dalam rangka memperoleh kepastian hukum.71

Dalam pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Lengkap (PTSL) masih terkendala:

1. Banyak bidang tanah tidak memiliki alas hak. 2. Kurang optimal dukungan aparat desa. 3. Kurangnya petugas ukur. 4. Teknologi peralatan terbatas. 5. Subyek tidak berada di lokasi obyek hak. 6. Waktu/jam kerja melebihi jam kerja semestinya. 7. Sulitnya akses bagi daerah kepulauan.72 Setelah perubahan registrasi tahun 1974 konservasi sumber daya alam Dolok

Surungan sudah berpindah dari registrasi sebelumnya,sehingga status hutan

71Suryaman, ibid.Hal. 144. 72Menurut pendapat Ketua BPN Medan, pada Kuliah Umum Hukum Agraria dan Perkembangannya Dewasa Ini. Pada Jumat, 29 September 2017.

Universitas Sumatera Utara setelah perubahan registrasi tahun 1974 menjadi tidak jelas menurut sepengetahuan masyarakat sekitar, dan menurut pendapat masyarakat betas enklave yang sudah ada sejak dulu adalah sesuai dengan keterangan yang di atas.

Sampai saat ini pihak dari balai pemantapan masih mengakui masih kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh mereka terhadap masyarakat tentang batas-batas dan luas enklave, hal ini juga mengakibatkan salah satu bagian dari hambatan dalam menentukan batas-batas dan luas enklave di daerah Sibargot.

Universitas Sumatera Utara BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan memperhatikan hal-hal yang sudah diuraikan penulis mulai dari

bab I sampai dengan bab IV dari skripsi yang berjudul Tinjauan Yuridis

Batas-batas dan Luas Enklave terhadap Hak Tanah Ulayat dalam

Kawasan Kehutanan/Konservasi Sumber Daya Alam Dolok Surungan I

menurut Hutan Register Tahun 1972 (Studi di Daerah Sibargot

Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Tobasa), maka dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Gambaran umum tentang konservasi sumber daya alam Dolok

Surungan I Hutan konservasi ialah kawasan hutan sengan ciri khas

tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Suaka Margasatwa Dolok

Surungan sebelumnya merupakan kawasan hutan yang penetapannya

dilakukan pada tahun 1924 dengan Surat Keputusan Zelfsbestuur

Nomor 50 tanggal 25 Juni 1924, dengan ditetapkannya kelompok

hutan Dolok Surungan (Register 21 seluas 10.8000 hektar) dan

kelompok hutan Dolok Sihobun (Register 22 seluas 13.000 hektar)

sebagai kawasan hutan.

2. Pengaturan batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah ulayat

dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut hutan

register tahun 1974 saat ini, dengan dicabutnya peraturan dan

Universitas Sumatera Utara keputusan agraria kolonial, maka tercapailah unifikasi (kesatuan)

hukum agraria yang berlaku di Indonesia, yang sesuai dengan

kepribadian dan persatuan bangsa Indonesia. Domein Verklaring

menjadi tidak berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan unifinasi hukum tersebut, hukum adat

tentang tanah dijadikan dasar pembentukan hukum agraria nasional.

Hukum adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh

sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga hukum adat tentang tanah

mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan hukum

agraria nasional.Untuk itu perlu dicari persamaan-persamaannya, yaitu

dengan merumuskan asas-asas/konsepsi, lembaga-lembaga hukum,

dan sistem hukumnya. Hal-hal inilah yang diambil dalam hukum adat

untuk dijadikan dasar utama dalam pembentukan hukum agraria

nasional.

3. Status tanah kawasan kehutanan setelah hutan register tahun 1974

terhadap pengelolaan masyarakat dengan hak tanah ulayat menurut

konsepsi hukum adat, hubungan manusia dengan kekayaan alam

seperti tanah mempunyai sifat religio magis, artinya kekayaan alam itu

merupakan kekayaan yang dianugerahkan oleh Tuhan pada masyarakat

hukum adat. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam Pasal 1 ayat (2)

UUPA.Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dikenal hak

ulayat. Hak ulayat ini kemudian dijadikan dasar alam menentukan

hubungan negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk

Universitas Sumatera Utara kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Konsep ini kemudian

dimuat dalam Pasal 2 UUPA.Di dalam konsep hukum adat di samping

ada hak masyarakat hukum adat yaitu hak ulayat, juga ada hak

perseorangan atas tanah yang diakui. Masing-masing individu diberi

kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah. Konsepsi ini kemudian

dimuat dalam Pasal 4 jo. Pasal 16 UUPA. Di dalam hukum adat

dikenal suatu asas: “Di dalam hak individu terlekat hak masyarakat”.

Hal ini merupakan perwujudan dari sifat kemasyarakatan Indonesia.

4. Hambatan dalam penentuan batas-batas dan luas enklave terhadap hak

tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I

menurut hutan register 1974 untuk kepastian hukum, untuk itu

penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh

Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para hukum adat,

masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan,

Lembaga Swadaya Masyarakat, dan instansi-instansi yang mengelola

sumber daya alam. Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat

yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan

membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan

menggambarkan batas-batasnya serta mencatatkannya dalam daftar

tanah (Pasal 5 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999).

B. Saran

Adapun saran yang dikemukakan dalam penulisan skripsi

Universitas Sumatera Utara 1. Sebaiknya dalam membuat gambaran umum tentang KSDA Dolok

Surungan I, memberikan gambaran yang jelas tentang luas dan status

hutan dan pengaturan lebih spesifik yang mengatur tentang keberadaan

tanah adat, dan juga pengaturan mengenai batas dan luas enklave di

daerah konservasi sumber daya alam Dolok Surungan I yang

keberadaannya masih diakui dibuktikan dengan adanya enklave

digambarkan di peta.

2. Sebaiknya pengaturan batas-batas dan luas enklave terhadap hak tanah

ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok Surungan I menurut

hutan register tahun 1974 saat ini harus memiliki kejelasan dan

pengaturan yang sah dan memiliki payung hukum disosialisasikan

kepada masyarakat sekitar sehingga dalam pengaturan batas dan luas

enklave tetap melibatkan masyarakat sekitar sebagai bagian dari

standart operasional procedure (SOP).

3. Sebaiknya dalam menentukan status tanah kawasan kehutanan setelah

hutan register tahun 1974 terhadap pengelolaan masyarakat dengan

hak tanah ulayat harus menggunakan fakta yang ada dilapangan

dengan melibatkan masyarakat adat setempat dan kearifan lokal adat

setempat, ini merupakan realisasi amanat yang terdapat dalam UUPA,

maka status dan batas-batas hutan di daerah Sibargot harus memiliki

kejelasan, dan sosialisasi yang diberikan oleh pemerintah kepada

masyarakat sekitar untuk memberikan penjelasan lengkap mengenai

Universitas Sumatera Utara status dan batas hutan di sekitar daerah enklave agar tidak ada saling

klaim yang dilakukan antara masyarakat dan pihak kehutanan.

4. Sebaiknya hambatan dalam penentuan batas-batas dan luas enklave

terhadap hak tanah ulayat dalam kawasan kehutanan/KSDA Dolok

Surungan I menurut hutan register 1974 untuk kepastian hokum, dapat

diminimalisisr dengan melakukan pengukuran batas-batas dan status

hutan harus menggunakan fakta yang ada dilapangan dengan

melibatkan masyarakat adat setempat dan kearifan lokal adat setempat,

ini merupakan realisasi amanat yang terdapat dalam UUPA. Harus

adanya koordinasi dalam menentukan status dan batas-batas hutan

antara pihak pusat dengan daerah begitu juga dengan propinsi dengan

kabupaten. Agar kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan

kekuasaan daerah dapat memenuhi rasa keadilan, kebutuhan, dan

keadilan masyarakat setempat, pelaksanaan otonomi harus memenuhi

prasyarat sebagai berikut: Otonomi bukan hanya menyangkut

penyelenggaraan kekuasaan pemerintah ataupun legislatif, tetapi yang

lebih penting lagi adalah perwujudan kedaulatan rakyat. Oleh karena

itu, pengalihan kekuasaan dari pemerintahan yang selama ini terpusat

harus menjadi bagian dari proses demokratisasi. Dalam rangka

penelitian masih banyak ditemukan hambatan dari berbagai pihak yaitu

baik dari pihak masyarakat dan pemerintah, sehingga informasi yang

didapat sangat minim, pihak masyarakat dan pihak pemerintah seolah

tertutup tidak ingin memberikan kebenaran sepengetahuan mereka,

Universitas Sumatera Utara dikarenakan di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Meranti

Kabupaten Toba Samosir masih banyak permasalahan tentang tanah,

sehingga untuk melakukan penelitian dianggap sebagai ancaman bagi

para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Araf, Al dan Awan Puryadi. 2002. Perebutan Tanah. Yogyakarta: LAPPETA Pustka

Utama.

Indriyanto. Pengantar Budi Daya Hutan. 2008. Jakarta: Bumi Aksara.

Khakim, Abdul. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. Bandung: PT.Sitra

Aditya Bakti.

Muhammad, Bushar. 2006. Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Universitas Sumatera Utara Marine, Irene. 2014. Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat. Jakarta: PT

RAJAGRAFINDO PERSADA.

Mukti, Affan. 2006. Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria. Medan: USU Press.

Nugroho, Bambang Daru. 2015. Hukum Adat. Bandung: PT Refika Aditama.

Parlindungan, AP. 1999. Hukum Agraria Beberapa Pemikiran dan Gagasan. Medan:

penerbit Universitas Sumatera Utara.

Poesponoto. Soebakti. 2001. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya

Paramita.

Pide, Suriyaman Mustari. 2017. Hukum Adat. Jakarta: Kencana.

Ruchiyat, Eddy. 1995. Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA.

Bandung: penerbit Alumni.

Rachman, Noer Fauzi. 2017. Petani & Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria

Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress.

Sembiring, Rosnidar. 2017. Hukum Penyelesaian Sengketa Hak atas Tanag Adat

di Simalungun. Medan: CV.Dharma Persada.

Setiady, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Sukmananto, Bambang danAcmad Sodiki. 2014. Hukum Agraria Kehutanan. Jakarta: PT

RAJAGRAFINDO PERSADA.

Simanjuntak, Antonius Bungaran. 2015. Arti dan Fungsi Tanah bagi Masyarakat Batak.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Universitas Sumatera Utara Supriadi, Bambang Eko. 2014. Hukum Agraria Kehutanan. Jakarta: PT

RAJAGRAFINDO PERSADA.

Sumardjono, SW Maria. 2009. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan

Implementasinya. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Supriadi. 2010. Hukum Kehutanan Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta Timur: Sinar

Grafika.

Salim. 2006. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.

Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.

Saidin OK.2016, Mencari dan Menjadi Hukum Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada.

Zaman, Nurus. 2016. Politik Hukum Pengadaan Tanah. Bandung: Rafika Aditama.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia.

TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber

Daya Alam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-

benda yang Berkaitan dengan Tanah.

Universitas Sumatera Utara Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya.

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik.

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1982 tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman

Industri.

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Tahun 1999 tentang

Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

C. Wawancara

Wawancara dengan Narasumber Bapak Kaliamas Siagian, selaku Keturunan Oppung

Pardekkas.[ Pada hari Sabtu tanggal 26 Agustus 2017, Pukul 14.00].

D. Website https://id.m.wikipedia.org/wiki/Enklave, Wikipedia, Enklave atau Daerah

Kantong, [diakses Jumat 15 September 2017.Jam 17.54 WIB.] http://akhirmh.blogspot.co.id/2011/02/desa-di-dalam-dan-sekitar-kawasan-

hutan.html?m=1Tapanuli Selatan dalam Angka, Desa di Dalam dan

Sekitar Kawasan Hutan di Tapanuli Bagian Selatan [ diakses Jumat 15

September 2017. Jam 18.00 WIB.]

Universitas Sumatera Utara http://x-tremesains.blogspot.co.id/2012/10/pengertian-enklave-dan-

eksklave.html?m=1, Pengertian Enkalve dan Eksklave, [diakses Jumat 22

September 2017.Jam 20.08 WIB] http://distrik-karimnagar.karya-ilmiah.web.id/ind/2366-

2248/Enklave_27813_umb_distrik-karimnagar-karya-

ilmiah.html#Negara_enklave , Enklave ,[diakses Jumat September

2017.Jam 20.24 wib] http://www.gedepangrango.org/kegiatan-pembinaan-enclave-di-resort-ptn-

sarongge/, Kegiatan Pembinaan Enklave di Resort PTN Sarongge,

[diakses pada 22 September 2017, jam 21.13 wib] www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/objek.html ,[diakses pada hari Minggu

pukul 13.12 WIB.] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tanah, [diakses pada hari Minggu pukul 13.18

WIB.] https://bbksdasumaterautara.com/sm-dolok-surungan/, [diakses pada hari Rabu

pukul 5.50 WIB.] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=8475#.W

q4ywj0xfqA, Mahkamah Konstitusi, Hutan Adat termasuk hutan Hak

bukan hutan negara, Diakses pada Minggu tanggal 18 Maret 2018, pukul

15.00 WIB http://www.aman.or.id/petisi-mk-35-bahasa-indonesia/ Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara, Berdaulat Mandiri Bermartabat, diakses pada hari Senin,

tanggal 19 Maret 2018 pukul 20.58 WIB.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA KEPADA NARASUMBER PADA

SENIN, 28 AGUSTUS 2017

Universitas Sumatera Utara 1. Bagaimana sejarah adanya tanah ulayat di daerah Sibargot Kecamatan Pintu

Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir?

2. Apa mata pencaharian pertama sekali di daerah Sibargot Kecamatan Pintu Pohan

Meranti Kabupaten Toba Samosir?

3. Bagaimana masyarakat mengelola tanah ulayat yang ada di daerah Sibargot

Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir?

4. Bagaimana batas-batas tanah ulayat masyarakat dengan hutan?

5. Apa saja yang membuktikan bahwa sudah lama ada perkampungan di daerah

Sibargot Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir?

6. Bagaimana status hutan di sekitar enklave yang ada di daerah Sibargot

Kecamatan Pintu Pohan Meranti Kabupaten Toba Samosir?

Universitas Sumatera Utara Pohon hariara yang berada di daerah Sibargot

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Patok batas KSDA Dolok Surungan I yang dibuat dari seng

Universitas Sumatera Utara

Patok batas KSDA Dolok Surungan I yang dibuat dengan semen

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Patok batas KSDA Dolok Surungan I

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara