DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FURBA INDAH

NIM : 11140480000119

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

i

DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

FURBA INDAH NIM : 11140480000119

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016” telah diujikan dalam sidang munaqasyah pada tanggal 26 Februari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Mei 2019

Mengesahkan Dekan

ii

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya Saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 26 Februari 2019

iii

ABSTRAK

Furba Indah NIM 1114048000119 “DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH KERATON YOGYAKARTA Pasca Putusan MK No. 88/PUU-XVI/2016”, Strata Satu (S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M, 75 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis diskusrsus kepemimpinanan perempuan yang sedang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY), baik pengangkatan ratu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan penetapan gubernur perempuan di Daerah Itsimewa Yogyakarta (DIY). Secara khusus, skripsi ini mencoba mendalami aturan yang berlaku secara “ paugeran “ atau aturan adat dan juga Undang – Undang yang bersifat spesialis dalam mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Disamping itu, skripsi ini juga mencoba membahas keadaan masyarakat Yogyakarta pasca Putusan MK No.88/PUU- XVI/2016. Terakhir Penulis mencoba membahas bagaimana seharusnya hukum dibuat agar tidak terjadi kekosongan hukum saat pengangkatan dan penetapan pemimpin bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian empiris, kepustakaan (library research) melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan Aturan Adat (Paugeran), Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang – undang dan Paugeran yang mengatur Pengangkatan Ratu dan Penetapan Gubernur di Dearah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum memberikan kepastian hukum. Terbukti dengan adanya beberapa pasal dalam UU tentang keiwstimewaan Yogyakarta yang masih menimbulkan pertanyaan soal penetapan gubernur di masa mendatang, dan juga soal tata cara pergantian .

Kata Kunci : Daerah, Keistimewaan, monarki,Pengangkatan, penetapan

Pembimbing : Drs. Noryamin Aini, M. A. Daftar Pustaka : Tahun 2000 s.d Tahun 2017.

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPIN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) PASCA PUTUSAN MK NO 88/PUU-XVI/2016”. Selanjutnya, dalam penelitian skripsi ini, peneliti mengucapkan terimakasih untuk berbagai pihak, yaitu yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.

3. Drs. Noryamin Aini, M.A, dosen pembimbing skripsi yang penuh kesabaran dalam meluruskan alur berpikir penulis, serta sangat perhatian dan ketelitian dalam memberikan berbagai ide, gagasan serta kritik yang membangun dan melengkapi banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang diberikan pada Penulis menjadi amal jariyah yang tak pernah putus di sisi Allah S.W.T.

4. Nurrohim Yunus, S.H,L.LM, dosen pembimbing akademik yang telah berperan sebagai guru sekaligus ayah bagi Penulis selama masa pendidikan. Semoga setiap bimbingan yang selalu menyemangati Penulis dibalas dengan pahala yang setimpal dari Allah S.W.T.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan wawasan kepada Penulis selama perkuliahan.

6. Kawan-kawan HMPS Ilmu Hukum yang telah membantu menambah wawasan serta memberikan semangat dan dukungan untuk penulis.

7. Keluarga Study Gender Mahasiswa (STIGMA FSH) yang telah menjadi tempat untuk Penulis mengaktualisasikan berbagai gagasan.

v

8. Segenap keluarga Penulis, baik keluarga besar di Kuningan, Cirebon dan juga Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang telah memberikan pecutan kisah kehidupan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri S1.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademi maupun masyarakat luas.

Jakarta, 26 Februari 2019

Furba Indah

vi

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING...... i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ...... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ...... iii

ABSTRAK ...... iv

KATA PENGANTAR ...... v

DAFTAR ISI ...... vii

DAFTAR TABEL ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 6

D. Manfaat Penelitian 6

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu 7

F. Metode Penelitian 8

G. Sistematika Penulisan 11

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL SISTEM

MONARKI DALAM TATA NEGARA DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA 13

A. Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Pemerintahan

Indonesia 13

B. Tata Pengangkatan Kepala Pemerintahan 14

BAB III PENGANGKATAN SULTAN DAN PENETAPAN

GUBERNUR DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 26

A. Sistem Pengangkatan Sultan pada Monarki Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat 28

B. Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat 32

vii

C. Peraturan Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) 37

D. Sistem Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa

Yogakarta 40

BAB IV PENEGAKAN HUKUM KONSTITUSIONAL DALAM

HUKUM ADAT PENGANGKATAN SULTAN DI

KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 43

A. Perkembangan Penetapan Gubernur bagi Yogyakarta

sebagai Daerah Istimewa dalam bagian Negara Kesatuan

Republik Inodnesia (NKRI) 44

B. Pengangkatan Ratu dan Penetapan Gubernur Perempuan

di Daerah Istimewa Yogyakarta 48

BAB V PENUTUP ...... 62

A. Kesimpulan 62

B. Rekomendasi 62

C. Implikasi Penelitian 63

DAFTAR PUSTAKA ...... 64

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Negara dan Tipe Monarki Konstitusional ...... 23

Tabel 3.2 Gubernur DIY dari masa ke masa ...... 42

Tabel 3.3 Nama Ratu dan Sultanah Kerajaan Nusantara ...... 54

Tabel 3.4 Daftar Nama Pemimpin Perempuan di Wilayah

Pasca Pilkada 2018 59

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai Negara kesatuan telah menetapkan otonomi daerah dalam pengaturan setiap wilayahnya. Pemberian kewenangan daerah juga memberikan kekhususan pada daerah-daerah tertentu yang mempunyai ciri khas dalam wilayah atau sejarahnya. Kewenangan otonomi khusus tersebut diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), selain tiga daerah lainnya seperti , , dan DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena Yogyakarta yang bermodelkan kerajaan telah berdiri sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, Yogyakarta juga ikut serta mengusir penjajah dan memperjuangkan NKRI, lalu meleburkan diri menjadi salah satu wilayah dalam bagian NKRI.

Yogyakarta sebagai daerah istimewa mempunyai kewajiban untuk melestarikan budayanya. Bentuk keistimewaan sekaligus upaya pelestarian tersebut tergambar dalam tata cara penetepan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Gubernur dan Wakil Gubernur harus berasal dari keturunan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten . Hal ini ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbunyi:

“bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”.

Pasal tersebut menegaskan bahwa hanya keturunan kesultanan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Aturan tersebut juga berlaku pada syarat spesifik keturunan yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur hanya berlaku bagi keturunan laki-laki. Hal ini mengikuti budaya Monarki Kesultanan dan Kadipaten yang menganut sistem patriarkhi dalam

1 2

1 pengangkatan seorang Sultan. Adapun paugeran yang dijadikan dasar bahwa Sultan hanya berlaku bagi seorang laki-laki tersebut diambil dari sepenggal 2 kalimat dalam Serat Puji yang berbunyi : “ Utamanya Raja itu Pria….”.

Dikarenakan pengangkatan dengan menggunakan asas patrilineal tersebut masih terus dipertahankan. Sehingga, dapat dengan mudah

dipastikan bahwa aturan yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY hanya seorang laki-laki, terbukti hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 ayat

(1) huruf m Undang-undang No 13 Tahun 2012, yang berbunyi sebagai berikut:

“Menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan,saudara kandung, istri, dan anak”.

Pasal tersebut menyatakan bahwa calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus menyerahkan daftar riwayat istri. Sehingga, memberikan tafsiran bahwa perempuan tidak dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta, karena yang ditetapkan menjadi istri dalam hukum Indonesia adalah seorang Perempuan. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi perempuan keturunan kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Melestarikan budaya tentu menjadi sebuah kewajiban bagi setiap masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat adat yang menganut adat istiadat dalam budaya tertentu. Di sisi lain, upaya masyarakat untuk merekonstruksi ulang budaya sebagai upaya menjawab tantangan zaman juga sangat diperlukan. Dalam hal ini, upaya merekonstruksi atau meleburkan budaya di DIY juga menjadi hal penting, khususnya dalam budaya suksesi

kepemimpinan. Upaya ini bertujuan semata-mata untuk memberikan

1 Menurut Bausastra Jawa yang dihimpun oleh W.J.S Poerwadarminta, ini bentuknya kamus bahasa Jawa. Batavia 1939, Paugeran adalah weweton, Batokan, Dawuh Raja kepada seloroh dalem, abdi dalem, kawula dalem dan bukan tatanan pranatan, laku lampah atau panduan pelaksanaan keraton, Paugeran dapat dikatakan secara tertulis maupun lisan. 2 Serat Puji adalah Karya Sastra Agung dari Sri Sultan Hamnegkubuwono V tahun 1821- 1855 yang isinya penuh ajaran-ajaran bagi seorang raja yang sedang bertakhta, ditulis dalam bahasa Jawa. 3

kepastian dan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara yang terwujud dalam rekayasa budaya hukum.

Merekonstruksi budaya suksesi pengangkatan raja sekaligus mengikis budaya patriarki dalam pengangkatan Sultan, sejatinya telah dilakukan oleh X di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kejadian tersebut sudah dimulai dengan dikeluarkannya dawuh raja pada 5 Mei 2015 yang berbunyi :

“Putri Raja Mataram yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun ditetapkan sebagai Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Ning Bawono Langgeng Ing Mataram “

Pasca adanya dawuh raja tersebut kemudian digelar prosesi pemberian gelar G.K.R Mangkubumi pada putri pertama Sultan . Hal tersebut merupakan prosesi yang dilakukan sebagai salah satu langkah sebelum ditetapkan menjadi penguasa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, dawuh raja ini menuai banyak kritikan dari kalangan internal keraton seperti para adik laki-laki Sultan Hamengkubuwono X yang sebelumnya diproyeksikan sebagai pengganti Sultan. Isi kritikan tersebut kurang lebihnya mengatakan bahwa suksesi pengangkatan Sultan terhadap 3 perempuan tidak sesuai dengan adat istiadat kesultanan.

Perubahan adat istiadat sejatinya telah banyak dilakukan oleh Sultan- Sultan sebelumnya. Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh Hamengkubuwono IX, untuk pertama kali beliau menghapus lembaga pepatih dalem yang menjadi orang kedua di Kesultanan. Padahal Pepatih dalem bertugas mengoperasionalkan sehari-hari Kesultanan yang bisa dipersamakan dengan Perdana Mentri. Selain itu, Hamengkubuwono IX juga pernah memberikan kebebasan pada Hamengkubuwono X untuk memilih calon istri atas kehendaknya sendiri yang bukan berasal dari kalangan kerajaan. Padahal, Sultan sebelumnya diwajibkan memilih, bahkan cenderung dipilihkan oleh orang tua agar menikah dengan keturanan kerajaan yang semata-mata untuk mempertahankan trah dan terjalinnya kontrak politik saja. Selain upaya

3 G.K.R Hemas, Ratu di Hati Rakyat (Jakarta: KOMPAS, 2012, Cet. Pertama), h.,29 4

merekontruksi budaya yang telah disebutkan, Hamengkubuwono IX juga mereduksi masa pingitan yang seharusnya dilakukan selama 40 hari direduksi 4 hanya menjadi 3 hari. , sehingga perubahan yang dicontohkan oleh Ayahnya tersebut mengantarakan Hamengkubuwono X mereduksi masa pingitan 5 menjadi hanya sehari saja ketika menikahkan anak-anaknya. Persoalannya adalah mengapa perubahan terkait suksesi pengangkatan Sultan Perempuan terus diperdebatkan oleh beberapa kalangan di Internal Keraton. Hal ini tentu menyimpan tanda tanya besar.

Upaya perubahan budaya atas suksesi kepemimpinan Yogyakarta juga dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang merasa perlu adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi Perempuan keturunan Keraton Ngayogyakarta Hadiingrat dan Kadipaten Pakualaman dengan mengajukan judicial review terhadap UU No 13 Tahun 2012 Tentang Daerah Keistimewaan Yogyakarta. Permohanan perubahan tersebut tepat pada pasal yang membahas tentanng syarat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur DIY, yakni pasal 18 ayat (1) huruf m kata istri untuk dapat dihilangkan. Pada akhirnya, permohonan tersebut diterima sepenuhnya dengan putusan MK bernomor 88/PUU-XIV/2016. Upaya yang awalnya bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi Perempuan keturunan Keraton Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman untuk menjadi Pemimpin DIY, pada akhirnya membuat situasi semakin memanas. Hal tersebut tergambar pada sikap adik-adik Sultan yang sudah tidak mengikuti berbagai acara yang diadakan oleh keraton.

Berangkat dari kondisi di atas, dirasa menarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul DISKURSUS

HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK No. 88/PUU-XIV/2016.

4 Ibid 5 Ibid 5

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Adapun masalah yang berhasil diidentifikasi oleh Peneliti dalam

Penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Yogyakarta ditetapkan menjadi daerah istimewa karena keterlibatannya dalam mempertahankan NKRI.

b. Indonesia menetapkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan keputusan presiden.

c. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak pada kepala daerah yang dijabat langsung oleh Sultan yang bertahta.

d. Aturan dalam UU DIY mengikuti paugeran tentang suksesi pengangkatan Sultan di Keraton yang telah berlangsung berates-ratus tahun.

e. Paugeran yang dibuat menghasilkan sistem patriarkhi di lingkungan keratin Yogyakarta, sehingga setiap keturunan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya.

f. Sultan Hamengkubuwono X mencoba merekonstruksi budaya suksesi pengangkatan Sultan dengan cara mengeluarkan dawuh raja yang menyatakan bahwa Putri pertamanya G.K.R Pembayun menjadi Putri Mahkota.

g. Terjadi upaya reformasi hukum terkait penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogya yang dilakukan oleh beberapa masyarakat Yogya dengan mengajukan permohonan judicial review atas Pasal 18 ayat 1 huruf m UU tentang Keistimewaan DIY.

h. Terjadi diskursus hukum soal kepemimpinan kepala daerah DIY yang akan dijabat oleh seorang Perempuan.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang serta masalah yang berhasil diidentifikasi oleh peneliti menyangkut problematika yang terus berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terkait pengangkatan dan penetapan Kepala Daerah DIY, maka timbullah diskursus hukum tentang kepemimpinan 6

perempuan di daerah istimewa Yogyakarta pasca putusan MK no 88/PUU-XVI/2016.

3. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik, maka perlu dibuat perumusan masalah sebagai berikut:

a. Apa perkembangan hukum adat ( paugeran ) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pasca adanya dawuh raja tentang penetapan putri mahkota?

b. Apa perkembangan peraturan penetapan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY) Pasca putusan MK No 88/ PUU-XVI/2016?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini berjalan dengan baik, maka perlu dibuat perumusan masalah sebagai berikut:

1. Mengetahui perkembangan paugeran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pasca adanya dawuh raja tentang penetapan putri mahkota

2. Mengetahui perkembangan peraturan penetapan Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta pasaca Putusan MK no 88/PUU-XVI/2016.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil penelitian ini juga dapat memberi manfaat yang nyata untuk masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adapun manfaat penelitian yang ingin dihadirkan peneliti sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Hasil penilitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah keilmuan dalam bidang hukum, khususnya hukum tata Negara, juga dalam bidang hukum Otonomi Daerah. 7

2. Manfaat Praktis

Secara praktis tulisan ini dapat dijadikan rujukan untuk mereformasi hukum tentang kepala daerah di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) pada masa yang akan datang.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk pada skripsi, jurnal serta makalah internasional terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi fokus masalah dalam rujukan dengan fokus masalah yang peneliti bahas, diantaranya:

1. Skripsi

a. Waldan Mufatir dalam skripsinya yang berjudul “ Kedudukan Sultan

Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam Sebagai Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta :2015)”.

Skripsi ini membahas mengenai pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta. Membahas mengenai hak politik warga negara dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4).

b. Farid Mustofa dalam skripsinya yang berjudul “ Mekanisme

Pemilihan Kepala Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Persefektif Demokrasi. (Universitas Negeri Semarang: 2013)”. Skrispi ini membahas mengenai sistem penetapan Kepala daerah di DIY yang tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Kemudian, skripsi ini menjabarkan tentang aturan kepala daerah DIY yang hanya bisa dijabat oleh keluarga Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman saja.

2. Jurnal dan Makalah

a. Ismu Gunadi Widodo dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No.2,

Mei 2011 yang berjudul “ Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah 8

Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945” Artikel ini membahas mengenai penetapan keistimewaan DIY yang tercermin dalam mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur, dengan sistem penetapan Sri Sultan dan Sri Pakualaman secara langsung oleh Presiden. Menganalisis sejauh mana aturan penetapan langsung kepala daerah DIY dengan konstitusi Indonesia.

b. Sumarlam dalam makalah berjudul “Representasi Kekuasaan

Melalui Sabda Raja Paada Teks Berita Mengenai Konflik Internal Keraton Yogyakarta (Sebuah Analisis Wacana Kritis). (International Seminar Prasasti III: Current Research in Linguistics, 2016)”. Makalah ini memaparkan hasil analisis teks berita mengenai konflik internal yang terjadi di keraton pasca dikeluarkannya sabda raja. Sedangkan peneliti akan membahas perkembangan peraturan pengangkatan ratu dan penetapan gubernur maupun wakil gubernur pasca Putusan MK No 88/PUU-XVI/2016.

F. Metode Penelitian

Pada bagian ini Peneliti akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang terkait dengan metode penelitian,yaitu:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan empiris, sosiologis, dan antropologis. Penelitian ini akan mengamati secara langsung objek penelitiannya. Pokok kajian dalam penelitian ini adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif dan hukum adat, serta permasalahan hukum secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, peneliti juga menggunakan Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan penelitian kepustakaan (library research), mengingat peneliti berusaha menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan dan paugeran sebagai fokus penelitian, dan juga memulai penelitian 9

setelah menganalisa ketentuan tertulis berupa buku-buku, dokumen cetak dan dokumen elektronik dari berbagai hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Hal ini karena penelitian hukum empiris, bermula dari ketentuan hukum tertulis yang 6 diberlakukan pada peristiwa hukum in concreto dalam masyarakat.

2. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa informasi terkait Diskursus Hukum Kepemimpinan Perempuan sebagai Sultan dan Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasca putusan MK no 88/PUU-XIV/2016. Seperti, kritikan oleh sebagian keluarga keraton pasca adanya dawuh raja tentang pengangkatan Putri Mahkota yang dianggap tidak sesuai dengan Paugeran Keraton Ngayogyakarta dan sikap diamnya sebagian keluarga keraton atas penetapan kepala daerah DIY yang dapat dijabat oleh seorang perempuan.

Penelitian ini menggunakan sumber data yang berkaitan dengan paugeran dan perundang-undangan kepemimpinan perempuan di daerah istimewa Yogyakarta. Adapun, Informasi tersebut kemudian dikelompokkan menjadi 2 (dua) sumber sebagai berikut: a. Sumber Primer

Sumber primer dari penelitian ini yakni Putusan yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Paugeran tentang pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang ditetapkan pada masa Hamengkubuwono X.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yakni sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Paugeran yang berlaku di Keraton

6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung:citra Aditya Bakti,2004, Cet. Pertama) h.,5 10

Ngayogyakarta Hadingrat. Adapun sumber sekunder yang dimakasud dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18

2) Kontrak Politik antara Soekarno dan Hamengkubuwono IX terkait peleburan DIY kepada NKRI tanggal 5 Agustus 1945.

3) Piagam penetapan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai kepala Gubernur Yoyakarta oleh Presiden Soekarno tanggal 8 Agustus 1945

4) Keputusan DPD RI No 8/DPD/RI/2010-2011 tentang RUU Daerah istimewa Yogyakarta.

5) Serat Puji

6) Sabda Tama Sultan Hamnegkubuwono X tanggal 10 Mei 2012

7) Sabda Tama Sultan hamengkubuwono X tanggal 6 Maret 2015

8) Sabda Raja Sultan Hamnegkubuwono X tanggal 25 April 2015.

9) Sabda jejaring Raja Mataram Sultan Hamnegkubuowono X

tanggal 31 Desember 2015.

Selanjutnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa observasi dan studi dokumentasi dengan diawali membaca naskah hukum positif dan hukum adat yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti. Kemudian, mengamati perkembangan keadaan peraturan terkait Kepala Daerah DIY melalui kunjungan ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

3. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis hermeneutik analisis framing, dan analisis wacana sekaligus. Metode analisis hermeneutik digunakan untuk mengawali membaca peraturan perundang-undangan dan paugeran tentang suksesi kepemimpinan DIY, kemudian diiringi dengan analisis framing dan analisis wacana untuk memahami setiap 11

dialektika dan dinamika sejarah yang mewujudkan adanya aturan-aturan tersebut.

4. Teknik Penulisan

Teknik penyusunan dan penulisan skrispi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017, yang telah ditetapkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penelitian

Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh dengan sistematis dan terstruktur, maka skripsi ini disusun dengan sistematika penelitian yang terdiri dari lima bab sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisi uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian dan BAB II sistematika penulisan.

: Landasan Teori. Dalam bab ini, dijelaskan teori –teori tentang kedudukan hukum adat dalam tata BAB III Negara Indonesia dan tata pengangkatan kepala Negara.

: Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam bab ini, terdiri dari uraian mengenai sistem pengangkatan sultan pada monarki keraton ngayogyakarta hadiningrat, praktek pengangkatan sultan di keraton ngayogyakarta hadiningrat, peraturan penetapan gubernur di daerah istimewa Yogyakarta (DIY), dan sistem BAB IV penetapan gubernur di daerah istimewa Yogyakarta.

: Analisis Penegakan Hukum Konstitusional dalam Hukum Adat Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi. Dalam bab ini dibahas duduk perkara perkembangan 12

penetapan gubernur bagi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa dalam bagian NKRI dan Pengangkatan ratu dan gubernur perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB V : Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan pembahasan bab-bab sebelumnya dan rekomendasi.

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL SISTEM MONARKI

DALAM TATA NEGARA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

A. Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Pemerintahan Indonesia

Setiap masyarakat di daerah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengatur lingkungannya masing-masing melalui berbagai sistem yang sesuai dengan local wisdom daerahnya sendiri sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat itu biasa disebut dengan masyarakat adat. Masyarakat adat biasanya membentuk hukum yang bersifat kekerabatan seperti patrilineal, matrilineal, atau bilateral. Bentuk hukum tersebut sesuai dengan ciri kehidupan mereka yang komunal, gotong-royong, dan saling tolong- menolong.

Kebiasan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat adat tersebut, menghadirkan budaya hukum di lingkungannya tersendiri. Menambahkan atau mengurangi aturan, dengan cara musyawarah misalnya, dilakukan sebagai upaya menanggapi gejala-gejala hukum yang terjadi. Hal ini, seperti hal yang telah dikatakan oleh Hadikusuma bahwa budaya hukum merupakan tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala 1 hukum. Sehingga, budaya Hukum yang berkembang memberikan kebiasaan pada masyarakat untuk menyelesaikan problematika yang ada dengan prinsip- prinsip dan hukum adat yang berlaku.

Indonesia sebagai Negara yang terdiri dari berbagai rasa, suku dan agama telah melakukan penyatuan hukum untuk mengatur pemerintahanya dengan cara tetap memberikan kewenangan bagi setiap daerah dalam melestarikan hukum adat yang dianutnya. Secara tersirat, Indonesia telah menetapkan hukum adat menjadi salah satu sumber hukum dalam pembentukan hukum positif, pengakuan itu diperkuat dalam berbagai

1 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2002), h.29.

13 14

peraturan perundang-undangan, seperti yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1)

huruf b UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Selain ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, pengakuan keberadaan hukum adat di Indonesia diperkuat juga dengan diberlakukannya otonomi daerah. Selain itu juga, otonomi khusus diberlakukan untuk memberikan kewenangan khusus pada suatu daerah yang mempunyai adat- istiadat sendiri. Sehingga, daerah-daerah khusus tersebut dapat mengatur dan melestarikan adat-istiadatnya sendiri. Oleh karena itu, kita dapat mencermati bahwa Indonesia telah mengakui dan memberikan ruang tersendiri bagi masyarakat adat, sepanjang hukum adat yang ditaatinya masih relevan dengan hukum positive yang berlaku di Indoenesia.

B. Tata Pengangkatan Kepala Pemerintahan

Setiap Negara telah menentukan bentuk Negaranya masing-masing. Ada yang memilih Monarki, Republik, Aristokrasi, ataupun Politea. Bentuk- bentuk Negara tersebut dapat juga diidentifikasi salah satunya dengan melihat tata cara pengangkatan kepala negaranya. Misalnya, bentuk negara republik yang menetapkan kepala negaranya dengan cara pemilihan, sedangkan bentuk negara monarki menetapkan dengan cara keturunan. Hal ini, seperti apa yang dikatakan oleh Louis Diguit, bahwa untuk menetukan apakah Negara tersebut berbentuk monarki atau republic dengan melihat cara penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya. Adapun monarki cara pengangktan kepala negaranya diangkat berdasarkan keturunan, sedangkan republik diangkat 2 berdasarkan pemilihan.

Pada masa awal pembentukan Negara, banyak negara di belahan dunia memilih bentuk negara monarki untuk mengatur negaranya. Monarki adalah

2 Retno Listyarti dan Setiadi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK dan MAK Kelas X Standar isi 2006, (Jakarta: Erlangga,2008),h.21 15

negara yang diperintah oleh satu orang saja, biasanya berbentuk kerajaan,kesultanan atau kekaisaran yang pemimpinnya digantikan 3 berdasarkan keturunan. Setiap aturan kehidupan di negara yang berbentuk monarki ditentukan berdasarkan keinginan Sang Raja. Hal ini seperti yang telah dikatakan oleh Jellinek dalam buku Allgemeine Staatslehre, bahwa Negara monarki berjalan sesuai dengan keinginan penguasa. Sehingga, pada abad ke-15 menjadi puncak penjajahan atas negara-negara lemah di dunia yang dilakukan oleh satu dominasi Negara saja. Negara yang mempunyai 4 kekuatan menaklukan negara-negara lemah untuk menguasai wilayahnya. Kekuasan wilayah yang sangat luas tersebut, menjadikan setiap pemimpin di negara berbentuk monarki tidak menginnginkan kekuasaannya jatuh pada orang yang bukan atas kehendak dirinya. Sehingga, peralihan kekuasaan dalam negara berbentuk monarki menghalalkan segala cara dalam tata cara pengangkatan kepala pemerintahannya.

Bentuk Negara Monarki yang telah menentukan aturan pengganti pemimpinnya oleh keturunan Raja yang sedang bekuasa, mengantarkan setiap keluarga kerajaan berlomba untuk merebut tahta raja dengan berbagai cara, seperti pembunuhan, adu domba, dan bahkan peperangan antar keluarga. Akibatnya, pemerintah tidak lagi mementingkan kebutuhan rakyat luas. Sehingga, pada permulaan abad ke-16 yang ditandai dengan kokohnya pemerintahan monarki gereja, muncul tindakan refresif warga yang menginginkan zaman yang lebih modern, peristiwa tersebut ditandai dengan 5 berdirinya negara-negara nasional. Terbentuknya Negara Nasional (nation state) di berbagai wilayah Eropa, telah mengantarkan setiap Negara-negara di dunia berani mencari bentuk negara yang sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Sehingga, berkembanglah susunan pemerintahan modern yang akhirnya digandrungi zaman selanjutnya, seperti Negara Kesatuan dan

3 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta:Bumi Aksaara, 2010), h.59-60 4 Yuval Noah Harari, Sapiens, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), h.23 5 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h,. 198 16

Neagara Federasi. Kedua susunan pemerintahan ini memiliki ciri dan karakteristik masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam uraian di bawah ini:

1. Negara Kesatuan

Negara Kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah. Dengan demikian dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintah dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah – daerah, di dalam maupun luar negri. Adapun macam-macam negara kesatuan, antara lain:

a) Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala urusan diatur oleh pemerintah pusat. Sedang pemerintah daerah tidak mempunyai hak untuk mengurus sendiri daerahnya, pemerintah daerah tinggal melaksanakan. Contoh: Jerman di bawah kepemimpinan Hitler.

b) Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi (gedecentraliseerde eenheidsstaat), di mana kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi

daerah) yang dinamakan daerah swatantra (daerah otonomi).

Contoh: Republik Indonesia dengan Daerah Swatantra (autonomie)

6 tingkat 1 (Daswati I atau pemprov) dan Daswati II atau Pemkot/pemkab.

2. Negara Federasi

Negara federasi secara bahasa berasal dari kata”federal” bahasa latin, yakni foedus yang artinya liga. Liga negara-negara kota yang otonom pada zaman yunani kuno dapat dipandang sebagai negara federal yang mula-mula. Negara federal lahir melalui suatu perjanjian

6 Titik Triwulan tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara,(Jakarta:Prestasi Pustaka,2006), h.94 17

internasioanl yang ditanda tangani oleh negara-negara merdeka, karena negara-negara merdeka tersebut mempunyai jumlah wakil yang sama di dalam Senat, sehingga Komposisi Dewan Perwakilan Negara atau Senat ini yang menjamin bahwa negara-negara anggota, yakni masyarakat- masyarakat daerah, secara tidak langsung telah ikut serta di dalam prosedur pembuatan undang-undang pusat, yang sama dengan satu unsur desentralisasi. Tetapi unsur desentralisasi yang didasarkan pada ide persamaan pada ide persamaan dari negara-negara anggota ini hampir seluruhnya dinetralisir dengan fakta bahwa Dewan Perwkilan Negara harus menerima atau menetapkan resolusi-resolusinya menurut prinsip 7 mayoritas. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan bahwa dalam negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat dalam mengatur berbagai hal telah terperinci satu persatu dalam konstitusi 8 federal.

Perkembangannya banyak Negara yang memilih Negara kesatuan atau yang lebih cenderung dengan penyatuan. Hal ini, dikarenakan bahwa susunan pemerinatahan seperti ini lebih mudah untuk menyatukan wilayah-wilayah kecil yang mempunyai penguasa sendiri. Hukum juga dibuat untuk merespon perkembangan zaman ini, perkembangan yang bertitik pada keinginan rakyat. Utrecth juga mengemukakan bahwa dalam permulaan perkembangan kenegaraan, perlu adanya sentralisasi kekuasaan supaya kekuatan-kekuatan 9 yang bertujuan akan meruntuhkan kesatuan yang baru itu dapat dilenyapkan.

Peristiwa penyatuan atas daerah-daerah atau kekuasaan-kekuasaan kecil tersebut dapat dicontohkan dengan adanya penyatuan kerajaan-kerajaan kecil di Inggris, yang ditandai dengan berdirinya Unitarianisme Kerajaan Inggris, peristiwa dimana bersatunya Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia yang disatukan dengan adanya kesepakatan

7 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa media, 2009),h. 36 8 Ibid, h. 37 9 Ibid, h. 40 18

bersama bernama Undang-undang Penyatuan (The Act of Union), yang kemudian aturan tersebut dijadikan undang-undang yang sah di dalam Kitab 10 Undang-undang Kerajaan Inggris Raya.

Melalui proses panjang tersebut akhirnya banyak Negara yang memilih bentuk dan susunan pemerintahannya sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Semangat rakyat mencari bentuk Negara yang dapat melindungi hak setiap individu dan pemerintahan yang tidak berbuat sewenang-wenang juga mengantarkan Baron de Montesquieu –pemikir pencerahan perancis- mencetuskan teori pembagian kekuasaan. Teori ini bertujuan agar setiap lembaga pemerintahan dalam kerjanya melakukan pengawasan yang berimbang. Pembagian kekuasaan tersebut terbagi atas tiga lembaga yakni eksekutif (pelaksana), legislatif (pembuat aturan), dan yudikatif (pengawas). Adapun orang yang mewakili ketiga lembaga tersebut dipilih langsung oleh rakyat, sehingga setiap perwakilannya mempunyai kewajiban untuk berbuat sesuai kehendak rakyat.

Pasca tercetusnya teori pembagian kekuasaan ini, bagi rakyat yang tetap memilih dan menginginkan bentuk Negaranya monarki, pada akhirnya tetap mempertahankan negaranya menggunakan bentuk monarki tersebut, namun tidak kembali pada monarki yang mutlak hanya mengikuti keinginan sang raja. Bentuk Negara monarki yang saat ini berkembang yakni bentuk Negara monarki yang mempunyai batasan-batasan terhadap penguasa dalam menjalankan pemerintahannya agar tidak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sehingga daam perkembangannya ada tiga macam monarki yang digandrungi oleh banyak Negara, yakni sebagai berikut.

1. Monarki Absolut

Monarki Absolut adalah Seluruh kekuasaan raja berada di tangan raja, raja mempunyai kekuasaan dan wewenang tidak terbatas (mutlak). 11 Suksesi pengangkatan kepala negaranya dengan cara diwariskan.

10 C.F Strong, Konstitusi – Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bnetuk – Bentuk Konstitusi Dunia, (Bandung:Penerbit Nusa Media, 2008), h,. 118 11 Titik Triwulan tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara.h.91 19

Contoh: Prancis di bawah Loius XIV dan Louis XVI, Spanyol di bawah Raja Phillip II. Adapun Negara-negara modern yang sampai saat ini masih menggunakan bentuk Negara monarki absulte ialah sebagai berikut:

a. Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara Arab Saudi diproklamirkan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman As- Saud, yang akrab disapa Ibnu Sa’ud pada 23 September 1932. Ibnu Sa’ud kemudian menjadi raja pertama dengan ibu kotanya Riyadh. Sebagai penganut model monarki absolut Arab Saudi menganut hukum syariat islam yang berasas pada manhaj 12 salafiyah. b. Brunei Darussalam

Brunei Darussalam adalah sebuah negara kerajaan dengan penguasa tunggal disebut sultan. Sultan memegang kekuasan tertinggi yakni sebagi kepala negara dan kepala pemerintahan, Raja Brunei bergelar Sultan Hasanah Bolkiah. Karena corak pemerintahannya adalah monarki absolut, maka gelar ini diturunkan dalam wangsa (keturunan raja) yang sama sejak abad ke -15.13 c. Swaziland

Swaziland adalah sebuah negara kecil di Afrika Selatan sebelah barat yang tidak memiliki pantai. Kepala pemerintahannya adalah raja. Tercatat, Raja Mswati III adalah pemimpin Swaziland sejak tahun 1986. Swaziland juga merupakan negara di Afrika yang menganut monarki absolut terakhir.14 d. Oman

Oman merupakan salah stau negara di bagian selatan Jaziarah Arab yang menganut sistem kerajaan berdasarkan kesukuan dengan legitimasi Islam Sunni. Bentuk Negaranya adalah monarki absolut.

12 Ahmad Baso, NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo – Liberal, (Jakarta:Erlangga,2007), h,.425 13 Radis Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, (Yogyakarta:Diva Pres), h.32 14 Ben Hills, Princess Masako: Kisah Tragis Putri Mahkota di Singgasan Negeri Sakura,(Jakarta: Pustaka Alvabe, 2009), h. 232 20

Adapun raja atau penguasa tunggal neagra ini adalah Qoboos bin Said al-said. Ia naik tahta setelah mengkudeta ayahnya Said bin Tamuir, yang berkuasa pada 1932-23 Juli 1970.15 e. Qatar

Qatar berada di Timur Tengah yang terletak di sebuah semenanjung kecil di Jazizrah Arab. Negara ini berbatasan dengan Arab Saudi di bagian selatan, sedangkan yang lainnya berbatasan dengan Teluk Persia. Meskipun termasuk negara-negara arab, Qatar adalah negara liberalis. Hukum di Qatar cenderung lebih bebas dan liberal. Di bawah kepemimpinan Emir Qatar, Hamad bin Khalifa Al 16 Thani, Qatar mengalami modernisasi dan liberalisasi. Negara- negara yang telah disebutkan di atas, adalah negara yang

masih mempertahankan model monarki absolut sebagai sistem atau bentuk pemerintahannya di era modern ini. Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang terlahir dari berbagai wilayah berbentuk kerajaan, menyisihkan beberapa wilayah yang masih mempertahankan kerajaanya, namun karena melebur dengan NKRI, maka kerajaanya sudah tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur sebuah wilayah, ia hanya menjadi msyarakat adat yang memiliki kewenangan untuk melestarikan budayanya. Menurut riset yang dilakukan oleh Kementrian dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2012, maka ada 186 kerajaan yang eksis secara fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun 17 tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI. Adapun beberapa keraajannya yakni sebagai berikut: a. Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan ini menjadi pangkalan

15 Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h., 33

16 Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h. 40 17 https://www.liputan6.com/news/read/2371749/5-kerajaan-yang-masih-eksis-di-tanah-air 21

penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan pelabuhan yang 'menjembatani' antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga tercipta kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Saat ini, masih berdiri dan melakukan ritual kebudayaan. b. Kasunanan Surakarta

Kasunan Surakarta Hadiningrat adalah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri pada 1755, sebagai hasil perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian ini menyepakati Kesultanan Mataram dibagi 2 wilayah kekuasaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian ini kesepakatan antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Pada dasarnya Kasunanan Surakarta tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walau pun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan--demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan, selalu menandatangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda. c. Kesultanan Ternate

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah 1 dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan , yang merupakan di antara kerajaan Islam tertua di Nusantara. Kesultanan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan ini memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga ke-17.

Kesultanan Ternate mengalami kegemilangan pada paruh abad ke- 16, berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, 22

Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, serta bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik. Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang memiliki pengaruh yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Sampai saat ini Kesultanan Ternate masih menetapkan batas-batas kerajaanya.

d. Kesultanan Kanoman

Kesultanan Kanoman merupakan pecahan dari Kesultanan Cirebon pada 1677. Keraton Kanoman didirikan Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I sekitar 1678 M. Saat ini Kesultanan Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Adapun Peninggalan- peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal 18 dengan Syarif Hidayatullah.

2. Monarki Konstitusional

Monarki terbatas/konstitusional/monarche dengan undang-undang yaitu suatu monarche yang di mana kekuasaan raja itu dibatsi oleh konstitusi (UUD). Salah satu yang membedakan monarki konstitusional dengan monarki absolut adalah orientasi pemerintahan. Pada monarki konstitusional. Pemerintahan dibentuk oleh satu orang demi kepentingan umum, sehingga mempunyai sifat baik dan ideal. Selain itu, model pemerintahan ini telah menerepkan konsep trias politica. Dengan penerapan konsep tersebut, kepala negara atau raja hanya berupa simbol. Sebab raja tidak lagi memiliki kekuasaan pemerintahan yang penuh atau mutlak seperti pada monarki absolut. Adapun pemegang kekuasaan

18 Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h. 41 23

19 tertinggi adalah perdana menteri karena ia dipilih oleh rakyat . Adapun

beberapa Negara di dunia yang menggunakan sistem ini adalah Inggris.

Inggris menggunakan model monarki konstitusional ini. Hal itu, dapat

dilihat dari adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara inggris.

Hood and Jackson seperti dikutip oleh Jimly Asshidiqie mengatakan:

“a body of laws, custom and conventions that define the composition and powers of the organs of the state and that regulate the relations of the various state organs to one another and to the private citizen.”

“Suatu bangun hukum, adat istiadat, kebiasan-kebiasaan yang mennetukan susunan dan Kekuasaan organ-organ negara dan yang mengatur hubungan-hubungan di antara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ –organ 20 negara itu dengan Warga negara.”

Selain Inggris tentu ada beberapa negara lain yang menganut bentuk

pemerintahan monaraki konstitusional, setiap Negaranya itu memiliki ciri

khas dalam cara pengangkatan kepala Negara dan kepala

pemerintahannya masing-masing. Adapun Negara-negara yang menganut 21 monarki konstitusional ialah seperti bagan yang ada di bawah ini:

Tanggal konstitusi Negara Seleksi Monarki terakhir Antigua dan 1981 Suksesi yang diwariskan Barbuda

Pemilihan uskup La Seu Andorra 1993 d'Urgell dan pemilihan Presiden Perancis

Bahama 1973 Suksesi yang diwariskan

Barbados 1966 Suksesi yang diwariskan

Bahrain 2002 Suksesi yang diwariskan

Belgia 1831 Suksesi yang diwariskan

Belize 1981 Suksesi yang diwariskan

Bhutan 2007 Suksesi yang diwariskan

19 Saut Hamonangan Sirait, Politik Kristen di Indoneisa: Suatu Tinjauan Etis, (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), h., 38

20 Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Buku Kompas,2010), h.,6 21 Radis Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, (Yogyakarta :Diva Pres), h.34 24

Tanggal konstitusi Negara Seleksi Monarki terakhir Kamboja 1993 Dipilih oleh dewan tahta

1867 (terakhir Canada Suksesi yang diwariskan diumumkan 1982)

Denmark 1953 Suksesi yang diwariskan

Grenada 1974 Suksesi yang diwariskan

Jamaika 1962 Suksesi yang diwariskan

Jepang 1946 Suksesi yang diwariskan

Yordania 1952

Suksesi yang diwariskan, dengan persetujuan diarahkan Kuwait 1962 Dewan Al-Sabah dan mayoritas Majelis Nasional

Suksesi turun-temurun Lesotho 1993 diarahkan persetujuan dari Komisi kepala

Liechtenstein 1862

Luxembourg 1868

Dipilih dari sembilan Sultan Malaysia 1957 secara keturunan dari negara- negara Melayu

Monako 1911

Moroko 2011 Suksesi yang diwariskan

Norwegia 1814 Suksesi yang diwariskan

Selandia Baru 1907 Suksesi yang diwariskan

Papua Nugini 1975 Suksesi yang diwariskan

Saint Kitts dan 1983 Suksesi yang diwariskan Nevis

Saint Lucia 1979 Suksesi yang diwariskan

Saint Vincent

1979 Suksesi yang diwariskan dan Grenadines

Kepulauan 1978 Suksesi yang diwariskan Solomon

Spanyol 1978 Suksesi yang diwariskan

Swaziland 1968 Suksesi yang diwariskan

dipindahkan dari monarki semi- Swedia 1974 konstitusional ke monarki konstitusional

Diperintah oleh Raja Bhumibol Thailand 1946 Adulyadej sejak 1946 (raja terlama)

Tonga 1970

25

Tanggal konstitusi Negara Seleksi Monarki terakhir Tuvalu 1978 Suksesi yang diwariskan

Presiden dipilih oleh tujuh raja Uni Emirat 1971 multak merupakan Supremasi Arab Konsul Federal

Britania Raya 1688 Suksesi yang diwariskan

Tabel 3.1 Negara dan Tipe Monarki Konstitusional

3. Monarki Parlementer

Monarki Parlementer adalah suatu monarki di mana terdapat suatu parlemen (DPR). Dalam hal ini, sistem negara kerajaan memberikan kekuasan khusus kepada parlemen (DPR). Para menteri, baik pereseorangan maupun keseluruhan, bertanggung jawab kepada parlemen tersebut. Di sini, raja adalah lambang kesatuan negara yang tidak dapat diganggu gugat dan kedudukannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

22 Contoh: Kerajaan Belanda

Upaya memodifikasi bentuk monarki tersebut, juga terjadi di Indonesia. Indonesia berasal dari penyatuan berbagai kerajaan, dari Sabang sampai Merauke. Kemudian, Indonesia menetapkan Negara Republik sebagai jati dirinya dengan asas demokrasi pemilihan dalam pengangkatan kepala negaranya. Namun, Indonesia sebagai Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi telah memberikan kewenangan setiap daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing, termasuk dalam melestarikan adat istiadat. Bahkan, Indonesia memberikan kewenangan bagi daerah-daerah tertentu untuk mengatur tata cara penetapan kepala daerahnya dengan catatan tidak keluar dari asas demokrasi yang dianut. Fenomena ini, terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menganut sistem monarki dalam penetapan kepala daerahnya. Sehingga, disini dapat terlihat keunikan, bahwa adanya sistem monarki yang digunakan untuk penetapan kepala daerah, dalam tubuh Negara yang menganut sistem demokrasi untuk penetapan kepala negaranya.

22 Dianto Bachriadi dan Anton Lucas, Merampas Tanah rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan, (Jakarta: KPG, 2001), h.,121

BAB III

PENGANGKATAN SULTAN DAN PENETAPAN GUBERNUR

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Keunikan pengangkatan seorang pemimpin yang digambarkan pada bab sebelumnya, memberikan ruang bagi para pengamat hukum ketatanegaraan untuk dapat meneliti tentang pengangkatan kepala daerah yang menggunakan sistem monarki, namun berada di dalam Negara yang pemilihan kepala Negaranya dengan asas demokrasi lebih dalam. Sejatinya, telah Peneliti singgung di muka, bahwa DIY telah menempuh perjalanan panjang dan penuh liku, sebelum ditetapkannya menjadi daerah istimewa. Namun, Peneliti di sini akan menjelaskan proses awal berdirinya Yogyakarta yang sering kita kenal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang didirikan pasca adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 M.

Perjanjian Giyanti dibuat untuk menyelesaikan konflik antara Pangeran Mangkubumi dan Mas Said yang terus bergulir di tubuh Kerajaan Mataram Islam, Kerajaan yang menguasai banyak wilayah pada saat itu. Mangkubumi adalah keturanan dari Sultan Agung yang memilki kerajaan Mataram, ia mulai memperlihatkan kemampuannya terkait strategy politik ketika Pakubuwono II memutuskan meninggalkan Istana Kartasura yang sudah kacau ke tepi Sungai 1 Sala. Kepindahan Pakubuwono II pada saat itu tidak mengurungkan para pemberontak untuk tetap menyerang pasukannya, Mas Said,Pangeran Singasari yang juga keponakan Pangeran Pakubuwana II dan Mangkubumi secara terus menerus meneror dan menyulutkan api peperangan, maka Pakubuwono II mengumumkan bahwa siapa saja yang bisa mengalahkan Mas Said dan mengeluarkannya dari daerah Sukowati akan diberikan hadiah, maka pada saat itu Mangkubumi mengambil tantangan tersebut dan mampu mengalahkan Mas Said. Kemudian pada keadaan sulit tersebut, datang Gubernur baru yang akan mengatur wilayah pesisir bernama Jendral Van Imhoff, Ia kemudian menagih perjanjian

1 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: 1920 – 2004), h,.18

26 27

yang dibuat pada tahun 1743, di mana VOC mempunyai hak atas daerah yang sempit di wilayah pesisir dan semua sungai yang mengalir ke laut. Van Imhoff mencoba mempertahankan daerah tersebut dengan menyudutkan Pakubuwono II bahwa raja tidak dapat menjaga wilayah pesisir, sehingga dengan mudahnya Raja tanpa pertimbangan penasehat menyepakati uang sewa atas daerah tersebut 2 seharga 20.000 real per tahun kepada VOC. Kesepakatan tersebut akhirnya diberitahukan kepada setiap penasehat, Namun Mangkubumi merasa keberatan dan tidak sepakat atas keputusan yang diambil oleh Raja. Ia mengganggap bahwa Raja telah melanggar prinsip-prinsip yang diharuskan bagi seorang raja yakni bermusyawarah terlebih dahulu dengan para penasehat. Kemudian, Mangkubumi memberontak dan membangun kekuasaan tersebut di Yogyakarta. Selanjutnya, kekuasaan yang ia pegang tersebut, Ia namakan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Setelah berdirinya Yogyakarta yang penuh strategi tersebut, Yogyakarta berjalan memerintah wilayahnya sesuai dengan keinginan Sultan. Tentu, sistem yang digunakan tidak lain sistem monarki. Mempertahankan wilayah kekuasaan, juga menjadi tanggung jawab utama bagi para penerus Sultan. Pada masa kekuasan Hamengkubuwono IX, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat perlu bekerja keras melawan penjajah yang sudah merajalela menguasai Nusantara. Isu akan didirikannya Negara Indonesia juga menjadi pertimbangan Sultan untuk bergabung melawan Penjajah. Usaha bersama tersebut berhasil dan akhirnya membuahkan kemerdekaan. Pada akhirnya, Yogyakarta bergabung dengan Negara bernama Indonesia memiliki hak istimewa untuk mengatur wilayah kekuasaanya, hal ini diatur dalam piagam kedudukan pada tanggal 19 Agustus 1945, Amanat 5 September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945 yang menyatakan peleburan wilayah kekuasaan Yogyakarta pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peleburan Yogyakarta menjadi bagian NKRI mengantarkan Pendiri bangsa mengapresiasi peranan aktif Yogyakarta dengan memberikannya hak istimewa. Khususnya, dalam hal pengangkatan dan penetapan kepala daerahnya.

2 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 20 28

Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 jo Undang-undang No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. Oleh karena itu, untuk mengtahui lebih dalam mengenai hal ini, kita akan coba menyusurinya tentang pengangkatan dan penetaapan kepala daerah DIY, dari Sultan Hamengkubuwono I hingga Sultan Hamengkubuwono X.

A. Sistem Pengangkatan Sultan pada Monarki Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat

Mempertahankan sebuah kerajaan agar bertahan lama, membutuhkan pelestarian budaya yang baik dan benar. Hal tersebut, juga dilakukan oleh Yogyakarta yang memiliki wilayah yang luas. Sistem itu dilakukan untuk mengatur keberlangsungan kehidupan keraton, khususnya pada tata cara pengangkatan Sultan yang biasa disebut suksesi. Sistem pengangkatan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tentu mempunyai ciri dan model tersendiri yang kemudian ditetapkan dengan paugeran. Adapun, model pengangkatan tersebut seperti; Monocentrum, Metafisis, Etis, Pragmatis, dan Sinkretis. Adapun penjelasannya, seperti uraian di bawah ini:

1. Monocentrum

Adapun yang dimaksud dengan monocentrum ialah kepemimpinan berpusat pada figur yang tunggal. Ciri yang seperti ini dipengaruhi era kepemimpinan raja. Raja menjadi sumber sentral kekuatan. Kepemimpinan jawa bersifat tunggal, yakni berpusat pada satu orang (monoleaderr/monocentrum). Hal ini merupakan suatu kelemahan karena begitu seorang pemimpin lenyap, maka sistem kepemimpinan memiliki kekacauan. Terlebih lagi ketika raja menggariskan bahwa pemimpin harus seorang laki-laki yang disebut Pangeran Pati, akan bermasalah ketika raja tidak mempunyai keturunan laki-laki. Mitos kepemimpinan 3 akan habis (cures), manakala sistem tersebut ditaati secara kaku. Hal ini diatur dalam Serat Puji yang berbunyi :

3 Moedjanto,M.A, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta: Yogyakarta Press, 2012), . hal 9 29

“ Utamanya raja itu pria, akan tetapi ada perkecualian apabila dalam keadaan tertentu, misalnya yang meninggal dunia tidak punya putra pria dan hanya memiliki putra perempuan, maka putra perempuan itu dpaat diangkat menjadi ratu”.

2. Metafisis

Bahwa kepemimpinan Jawa juga bersifat metafisis, yakni selalu dikaitkan dengan hal-hal metafisik seperti wahyu, pulung, drajat, keturunan (nunggak seni), dan sebagainya. Hal ini dapat dicontohkan, saat Hamengkubuwono V mendapatkan wahyu (petunjuk) untuk menciptakan reportoar sacral tari Srimpi yang fenomenal Dewi Renggowati, dikatakan fenomenal karena sebelumnya sebutan Srimpi itu untuk menunjuk tarian yang dibawakan oleh 4 putri, tetapi Sultan Hamnegkubuwono V justru menambahkan 1penari lagi jadi 5 orang putri. Srimpi Dewi Renggowati ini mengajarkan pendidikan moral para putri di dalam kehidupan keluarga ddan masyarakat, dimana keikhlasan menjadi nilainya yang tertinggi.

3. Etis

Bahwa Nilai kepemimpinan jawa bersifat etis artinya apa yang didiamkan adalah suatu yang berdasar pada baik buruk, tetapi konsep aplikasi riil yang ditawarkan sama sekali tidak ditunjukan. Aturan ini ditetapkan dalam Serat Tajus Salatin (Mahkota Para Sultan) dan Serat Purwakandha (Babad Purwa). Kitab serat Tajussalatin ini berisi tentang Etika Kekuasaan Islam yang mesti dipedomani oleh para Sultan. Inti dari pesan etis dalam kitab ini adalah Sultan mesti mengenal Tuhan melalui jalan pengenalan dan pengendalian diri, mewujudkan keadilan bagi semua, mengayomi para hambanya dengan kasih saying, menjunjung tinggi musyawarah di di dalam mengambil keputusan, mempunyai kapabilitas dan eksabaran dalam menjalankan kekuasaan serta menyusun dengan tertib sistem adminstrasi dan sebagainya.

4. Pragmatis

Bahwa konsep pragmatis ini yang dinyatakan oleh Sudardi (1995)

tampak dalam serat tripama (Tiga Umpamaan) dari lingkungan 30

Magkunegaraan yang mengidolakan tiga tokoh kontrovesial: missal, kehadiran tokoh Kumbangkarna, Adipati Karna, dan Sumatri (Patih Suwanda) terkait erat dengan fakta historis Mangkunegaraan yang eksis di pihak perlawanaan khususnya terhadap Kasunan yang merupakan simbolisasi dari pandawa (raja- raja Mataram mengganggap dirinya keturunan Arjuna).

5. Sinkretis

Bahwa Kepemimpinan Jawa bersifat Sinkretis artinya konsep- konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari berbagai agama yang memiliki pengaruh pada pola fikir di jawa, khususnya Islam 4 dan Hindu.

Model pengangkatan yang telah dipaparkan di atas, memberikan pilihan bagi para keturunan Sultan di keraton untuk melakukan berbagai cara dalam memperebutkan kekuasaan. Adapun beberapa cara dalam merebutkan kekuasaan akan dijelaskan secara gamblang di bawah ini:

1. Pemberontakan dan peperangan

Mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan dengan cara peperangan sangat lazim dilakukan oleh setiap kerajaan,seperti yang dilakukan oleh Mangkubumi untuk mendirikan Yogyakarta dengan cara memberontak Pakubuwono II dan menjalin sekutu dengan Mas Said yang sebelumnya dijadikan musuh untuk ia lawan.

2. Diplomasi Perkawinan

Setelah peperangan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk mempersatukan kembali kerajaan demi memperluas kekuasaan,maka Sultan Hamengkubuwano I yang masih mempunyai niatan untuk mempersatukan Dinasti Mataram antara Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta, akhirnya mencoba menjodohkan putra mahkotanya, R.M Sundoro dengan Putri Pangeran Mangkunegara I,

4 Moedjanto,M.A, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, h.10 31

Namun perkawinan tersebut tidak terjadi, karena Pangeran Mangkunegara I lebih memilih untuk menikahkan putrinya dengan Susuhunan Pakubuwana III yang menjadi musuh Hamengkubuwono I, 5 sehingga akhirnya Dinasti mataram tidak dapat dipersatukan lagi.

3. Perceraian secara paksa

Ketika perkawinan menjadi salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan,maka jalan lain untuk memutus rantai perebutan kekuasaan juga dilakukan perceraian jika dirasa”menantu”dianggap menjadi ancaman mengambil tahta. Hal ini digambarkan pada tahun 1763, ketika Ratu Bendara seorang Putri Hamengkubuwono I yang menjadi istri dari Mangkunegara I (Mas Said) meninggalkannya dan kembali ke Yogyakarta yang tidak lama setelah itu Sang ratu menceraikan Mangkunegara. Sehingga, Mangkunegara I terus membenci kejadian ini sampai akhir hayatnya,karena meerasa yakin bahwa Hamengkubuwono I lah yang memaksa sang putri untuk menceraikannya, sedangkan sang 6 putri tidak menginginkannya.

4. Kesepakatan dan Hukum baru

Membuat kesepakatan dan hukum baru untuk ditaati kedua belah pihak sebagai poses legitimasi atas sebuah wilayah kerajaan menjadi hal penting yang harus diperhatikan,pada tahun 1733-1734 misalanya sensus baru dan kesepakatan pembagian wilayah antara Surakarta dan

Yogyakarta dicapai,dan penyelesaian sengketa selanjutnya 7 ditetapkan. Pada saat itu, disetujui pula perundang-undangan baru,yang mengakhiri yuridiksi yang rumit akibat dari pembagian tersebut dan yang secara resmi mengatur hubungan antar warga kedua istana, sehingga pada tahun 1771 dan 1773 aturan tersebut seperti Angger Ageng

5 M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h.224 6 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 226 7 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 228 32

(Peraturan Hukum Besar) Angger-Arubiru (Undang-undang tentang gangguan ketentraman).

B. Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Berbagai cara perebutan kekuasaan yang telah dipaparkan di atas, tentunya memberikan batasan bagi keturunan Sultan untuk mengemban kekuasaan. Bahkan, cara-cara pengangkatannya berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga, setiap Sultan memiliki cara dan cirinya masing-masing saat proses pergantian kekuasaan. Akan tetapi, walaupun berbagai cara dilakukan dalam merebut kekuasaan, tentu saja dalam proses perhelatan perebutan kekuasaannya tidak boleh melanggar paugeran yang telah disepakti rakyat di lingkungan keraton. Untuk mengetahui setiap perbedaan cara dan aturan suksesi tersebut, Maka sudah sebaiknya kita memahami uraian di bawah ini:

1. Bendara Raden Mas Sujono 1756-1792 (Sultan Hamengkubuwono I) Hamengkubuwono I yang mempunyai nama asli Raden Mas

Sujana yang bergelar Pangeran Mangkubumi merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717. Mangkubumi adalah keturanan dari Sultan Agung yang memilki kerajaan Mataram. Pada mulanya, Mangkubumi melakukan pemberontakan bersama-sama dengan Mas Said, kemudian meletuslah Perang Suksesi Jawa III pada tahun 1746 yang akhirnya dimenangkan oleh Mangkubumi. Dipenghujung tahun 1749 Pakubuwono jatuh sakit, sehingga Van Hohendroff sebagai Gubernur Jendral baru untuk wilayah pesisir pada 15 Desember 1749 mengumumkan pengangkatan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788), akan tetapi sebelum prosesi tersebut berlangsung pada 12 Desember 1749 Mangkubumi telah lebih dulu dinyatakan sebagai Raja oleh pengikutnya di daerah kekuasaanya. Akhirnya, Pada tahun 1755 pengangkatan Hamengkubuwono I yang 33

mempunyai kekuasaan di Yogyakarta disepakati dalam perjanjian 8 Giyanti.

2. Bendara Raden Mas Sundoro 1792-1812 (Sultan Hmanegkubuwana II)

Pasca wafatnya Hamengkubuwono I pada Maret 1792, R.M Sundoro yang telah dinobatkan sebagai Putra Mahkota akhirnya naik tahta menggantikan Ayahandanya, R.M Sundoro kemudian bergelar 9 Sultan Hamengkubuwono II dan menjabat dari 1792-1810.

3. Bendara Raden Mas Surojo 1812-1814 (Sultan Hamnegkubuwono III) Pergantian kekuasan dari Hamengkubuwono II terhadap Raden

Mas (RM) Surojo banyak dicampuri oleh Pemerintahan Kolonial, sehingga menuai pertikaian antara RM Surojo dengan Ayahandanya sendiri. Hal ini, dikarenakan pada masa pememrintahan Hamengkubuwono II, Deandles yang menjadi perwakilan VOC adalah orang yang menyukai pembaharuan dan tidak menyukai sistem keukasaan yang berpusat pada satu orang saja. Sedangkan, Hamengkubuwono II adalah seoerang yang sangat tidak mempercayai belanda dan tidak dapat berlaku ramah, sehingga Ia selalu menentang apa yang diperintahkan oleh Belanda dan lebih cenderung mempertahankan adat istiadat Keraton. Hal ini yang mengakibatkan Hamengkubuwana II melancarkan peperangan terhadap Belanda melalui Raden Rangga sebagai kepala Pemerintah wilayah mancanegara. Pemberontakan Raden Rangga dan sikap Hamnegkubuwono II tersebut mendorong Deandles merangkul RM Surojo melalui Danureja II –mantan Patih Sultan

Hamengkubuwono II- dan mengeluarkan ultimatum agar Hamengkubuwana II mau menyetujui perubahan atas”minister”eropa di joggja dan mengangkat kembali Danureja II, namun Sultan menolak hal tersebut. Sehingga,pada bulan Desember 1810 Deandles bergerak menuju

8 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 229 9 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 230 34

Yogyakarta dengan membawa 3.200 serdadu dan memaksa Hamengkubuwona II turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada RM Surojo, Putranya dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton yang lahir pada 20 Februari 1769 sebagai ”wakil raja” yang berkuasa dan menetapkan Hamengkubuwana II sebagai Sultan Sepuh.

Pergantian tersebut memberikan kekecewan kepada Hamengkubuwana II, yang akhrinya Ia memanfaatkan kekacauan penaklukan inggris untuk merebut tahtanya kembali dari Putra Mahkotanya, akhirnya dengan bantuan Inggris keadaan keraton kembali ke semula, namun Rafles yang juga sangat membenci dispotisme dan baru menyadari dimanfaatkan oleh Hamengkubuwono II, mengadakan perundingan-perundingan rahasia dengan R.M Surojo,Putra Mahkota

Hamengkubuwono II, dan Natakusuma –saudara Sultan Hamengkubuwono II- untuk menghancurkan Sultan Hamengkubuwono

II. Sehingga, pada bulan Juni 1812 sebanyak 1.200 prajurit berkebangsaan eropa dan spoy india ditambah 800 prajurit Legiun Mangkunegara berhasil merebut Istana Yogyakarta dan memakzulkan Hamengkubuwana II yang kemudian diasingkan ke Penang, tahta kembali ke tangan Hamengkubuwana III. Kemudian, Natakusuma atas bantuannya kepada pihak Inggris dihadiahi suatu daerah yang merdeka dan dapat diwariskan yang dianugrahi gelar Pangeran Pakualam I (1813- 10 1829 m), Dari titik ini dimulailah pembaharuan sistem kerajaan Yogyakarta dan Surakata yang kemudian memilki kerajaan senior dan Junior, Surakarta Pakubuwana dan Mnagkunegara, adapun Yogya Hamengkubuwano dan Pakualaman, hal ini yang akan menjadi intrik baru pengangkatan tahta di masa mendatang untuk kerajaan Yogyakarta.

4. Bendara Raden Mas Ibnu Jarat 1814-1823 (Hamengkubuwono IV) Hamengkubuwono III tidak lama memerintah, pada tahun 1814 ia

wafat dalam usia 43 tahun, saat itu RM Ibnu Jarat sebagai Putra Mahkota

10 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 232 35

masih berusia 13 tahun, sehingga disepakati pemerintahannya diwalikan pada Paku Alam 1 sampai 1820. Namun pada tahun 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal dunia.

5. Bendara Raden Mas Batot Menol 1823-1835 (Hamengkubuwono V)

Setelah mangkatnya Hamengkubuwono IV ia digantikan oleh Putra Mahkotany, Raden Mas Menol, dengan Gelar Hamengkubuwono V, karena waktu dinobatkan masih berumur 3 tahun, maka pemerintahannya diurus oleh dewan perwalian, Dewan perwalian tersebut bertugas sampai Sultan berusia 17 tahun, sehingga barulah pada 11 sekitar tahun 1836, Sultan menjabat secara penuh.

6. Bendara Raden Mas Murtedjo 1855-1877 (Hamengkubuwono VI)

Sultan Hamengkubuwono V mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan Putra yang bisa mejadi penggantinya, akhirnya tahta Sultan dilimpahkan pada adiknya Sultan Hamengkubuwono V,yang bernama Pangeran Adipati Mangkubumi, dan kemudian bergelar Hamengkubuwono VI menggantikan Sultan Hamengkubuwono V.

7. Bendara Raden Mas Musteyo 1877-1921 (Hamengkubuwono VII)

Pada tahun 1877, seorang putra Hamengkubuwono V , Raden Mas Akhidayat, yang lahir setelah pengangkatan Hamengkubuwono VI, melakukan pemberontakan dan meminta agar sepeninggal hamengkubuwono VI Raden Mas akhidayat dinaikan ke atas tahta, Hamengkubuwono VI. Hamengkubuwono VI yang menyadari bahwa permaswarinya tidak memiliki seorang anak laki-laki, dan Ia tidak menginginkan tahta Sultan jatuh pada keponakannya, akhirnya Sultan Hamengkubuwono VI mengangkat salah seorang selirnya menjadi prameswari, yang kemudian melahirkan Gusti Pangeran Hangabehi. Selanjutnya, Pangeran Hangabehi diangkat menjadi Putra Mahkota dengan nama Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Hanom (Adipati anom) Hamengkunegoro. Walaupun RM Akhidayat masih mencoba untuk

11 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 241 36

merebut kekuasaan, Sultan Hamnegkubuwono VI tetap menunjuk Putra Mahkotanya untuk menggantikannya sebagai Sultan Hamengkubuwono 12 VII dengan dukungan penuh pihak Belanda .

8. Bendara Raden Mas Sujadi 1921-1939 (Hamengkubuwono VIII)

Pada tahun 1920 saat itu Hamengkubuwono VII berusia 80 tahun, ia mengajukan permintaan berhenti dan mengangkat Putra Mahkotanya, Raden Mas Sujadi, untuk menjadi penggantinya. Setelah disepakati oleh Pemerintahan Belanda. RM Sujadi yang saat itu sedang study di Belanda, pada tahun 1921 Ia dipanggil pulang untuk menggantikan posisi Ayahnya dan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono VIII.

9. Bendara Raden Mas Dorojatun 1940-1988 (Sultan Hamengkubuwono IX)

Setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono VIII, sebagai Putra Mahkota, RM Dorodjatun yang merupakan putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dengan R.A Kustilah, lahir pada 12 April 1912 atau bertepatan dengan Sabtu Pahing, 25 Rabingulakir tahun Jimakir

13 1842 penanggalan Jawa. Menggantikan posisi Ayahnya sebagai Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, dalam pengangkatannya, Sultan Hamengkubuwono sempat tidak disetujui oleh Pemerintahan Belanda, hal ini karena Ia menolak draf ”kontrak politik” yang disodorkan

Belanda, sebagai syarat penobatannya menjadi Sultan di Yogyakarta. Padahal Kontrak politik tersebut telah lazim dilakukan oleh raja-raja sebelum dirinya. Namun, Darojatun tetap konsisten untuk mengangkat nilai tawar Keraton menjadi mitra kerja dengan Pemerintahan Belanda,

bukan menjadi bagian wilayah yang dijajah oleh Belanda. Sehingga, pada masanya tarik ulur mengenai kontrak politik dengan Gubernur Dr. Lucien Adam sampai 4 bulan lamanya. Akhirnya, Darojatun

12 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 222 13 Kustianti Muchtar, Pak Sultan dari Masa ke Masa, dalam Atmakusumah (Penyunting), 1982, Tahta untuk Rakyat: Celah – celah Sultan Hamegkubuwono IX, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h,.21 37

memenangkan hasil kesepakatannya bahwa Yogyakarta tidak menjadi wilayah penjajahan Hindia Belanda dan Ia sah menjadi Sultan Hamengkubuwono XI tanpa harus disetujui oleh Pemerintahan Hindia 14 Belanda.

10. Bendara Raden Mas Herjuno Darpito 1988-sekarang (Hamengkubuwono X)

Pasca wafatnya Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 3 oktober 1988, RM Herjuno Darpito sebagai Putra Mahkota secara otomatis menggantikan Ayahnya sebagai Sultan Hamengkubuwono X, yang kemudian penobatannya sebagai Sultan berlangsung pada 7 Maret 1989.

Setelah pemaparan Suksesi pengangkatan Sultan di keraton Yogyakarta, kita dapat mencermati bahwa setiap Sultan memiliki ciri khas masing- masing dalam proses pengangkatannya, ada yang diwakilkan, merebut dengan paksa, menggunakan dukungan pihak ketiga, atau bahkan dibunuh, semua cara tersebut hanya bertujuan untuk merebut tahta Sultan. Walaupun menghalakan segala cara dalam proses pergantiannnya, satu hal yang sama dilakukan oleh setiap Sultan adalah menobatkan gelar Sultan sebagai penggantinya, pada anaknya yang telah diangkat sebagai Putra Mahkota. Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa Putra Mahkota adalah calon penerus Sultan selanjutnya.

C. Peraturan Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Keraton Yogyakarta telah berdiri semenjak Pemerintahan kolonial

bertahta, sehingga agar tetap berlangsungnya pemerintahan Keraton Yogyakarta dapat menagatur wilayah kekuasaan, Yogyakarta tidak pernah memberikan wilayahnya untuk dijajah oleh pemerintahan kolonial. Akhirnya, Pemerintahan Hindia Belanda mengakui secara de facto keberadaan Keraton

14 Kustianti Muchtar, Pak Sultan dari Masa ke Masa, dalam Atmakusumah (Penyunting), 1982, Tahta untuk Rakyat: Celah – celah Sultan Hamegkubuwono IX, h. 39 38

Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang bertahta, sehingga pemerintahan

Hindia Belanda memberikan kewenangan pada Sultan untuk memerintah di daerah kekuasaanya sederajat sebagai Bupati yang harus bertanggungjawab pada Gubernur. Namun, Sultan yang bertahta harus atas persetujuan

Pemerintahan Hindia Belanda. Kontrak politik tersebut bergeser pada masa pengangkatan Sultan Hamengkubuwono IX yang tercantum dalam Pasal 4 kontrak politik tentang kedudukan Sri Sultan yang kemudian ditanda tangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Gubernur Lusian Adam pada tanggal 18 Maret 1940. Aturan tersebut menyatakan bahwa Pemerintahan kolonial tidak lagi menjadi pihak yang harus ikut terlibat dalam menentukan pengganti Sultan di keraton Yogyakarta, namun pemerintahan Kolonial harus tetap mengakui secara de facto dan de jure kekuasaan yang ada di bawah tahta Sultan.

Susunan pemerintahan yang telah dibuat oleh Sultan Hamengkubuwono

IX tersebut berlangsung terus sampai Yogyakarta melebur ke dalam NKRI,

Pasca daerah-daerah bersatunya di Nusantara menjadi NKRI tetap mengakui

Yogyakarta sebagai bagian daerah dalam NKRI yang diberikan hak istimewa untuk mengatur daerahnya sendiri, hal ini diatur dalam Amanat 5 Sepetember

1945 yang dikeluarkan oleh Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII yang menyatakan penggabungan diri Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten

Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya. Adapun amanat ini berbunyi sebagai berikut :

“ Kami Hamnegkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

1. Bahwa Negri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negaraa Republik Indonesia. 2. Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat Negara Republik Inodnesia bersifat 39

langsung dan kami bertanggung jawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indoenesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduuk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahka Amanat kami.”

Amanat tersebut dijawab oleh Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang sah di DIY pada tanggal 6 September 1945. Setelah itu, kedudukan Sultan dan Paku Alam sebagai Kepala daerah DIY diatur dalam Undang-undang No 3 tahun 1950 atas perubahan UU No.22 tahun 1947 tentang Pembentukan DIY, dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa yang menjadi kepala daerah di DIY ialah Gubernur yang berasal dari keturunan Sultan Hamangkubuwono IX, dan Wakil Gubernur adalah keturunan Paku Alam VIII.

Setelah itu UU no 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY diperbaharui dengan UU No 1 tahun 1957, kemudian diperbaharui lagi dengan UU No. 5 Tahun 1965 tentang DIY, Setelah itu diperbaharui lagi dengan UU No 5 Tahun 1974 tentang Pembentukan DIY dan akhirya pada tahun 2012 Undang-undang DIY diterbitkan untuk mengatur susunan pemerintahannya dalam UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adapun dalam UU ini telah ditetapkan bahwa yang dapat menjadi Gubernur DIY ialah yang bertahta sebagai Sultan Hamnegkubuwono dan yang menjadi Wakil Gubernur ialah yang bertahta sebagai Adi Pati paku Alam. Hal ini diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf c UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang berbunyi:

“ Bertahta sebagai Hamengkubuwono untuk Calon Gubernur dan bertahta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”.

Maka dapat sama-sama kita pahami, bahwa yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur ialah siapapun yang sudah mengikuti proses penobatan menjadi Sultan Hamengkubuwono dan telah disahkan untuk bertahta sebagai penguasa Keraton Ngayogyakarta bagi calon Gubenur, dan yang dapat dicalonkan menjadi Wakil Gubernur yakni siapapun yang sudah mengikuti 40

proses penobatan menjadi Adipati Paku Alam dan telah disahkan untuk menjadi penguasa Kadipaten Pakualaman. Sehingga, dalam pasal ini ditegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memilih dan menentukan pengganti Sultan atau Adipati.

D. Sistem Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa Yogakarta

Pasca diserahkannya Piagam Kedudukan atas Sri Sultan dan Adipati Paku Alam pada tanggal 6 Sepetember 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945) yang berbunyi :

“ Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan : Ingkang SInuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalanga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah ingkang Kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaa, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia “

Sultan Hamengkubuwono IX dan Adipati Paku Alam selanjutnya menjalankan amanah baru sebagai kepala pemerintahan DIY, yakni Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai Wakil Gubernur DIY dengan masa jabatan seumur hidup. Semenjak itu, Sultan dan Adipati memegang dua kekuasaan sekaligus yakni sebagai raja di Keraton dan Kepala Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saat menjalankan amanah sebagai Gubernur, Sultan Hamengkubuwono juga banyak mengemban amanah lain untuk mempertahankan Negara Indonesia. Pada 15 Juli 1948 Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan menjadi Menteri Peratahanan Indonesia hingga 20 Desember 1949 untuk mempertahankan Indonesia dari Agresi Militer II. Setelah itu, Pada 6 September 1950 Sultan Hamengkubuwono IX juga diangkat menjadi Wakil Perdana Mentri Indonesia hingga 21 April 1951. Setelah sementara mengisi wakil perdana mentri, Sultan Hamengkubuwono juga diangkat menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri pada 25 Juli 1966-29 Maret 1973 dengan Keputusan Presiden RI No. 64 tahun 1974 tentang Pemberhentian Sebagian Menteri Kabinet Perjuangan. Ketika Sultan 41

menjabat sebagai Menteri, maka pekerjaannya sebagai Kepala Daerah diwakilkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII untuk mengurusi pemerintahan dan Parentah Hageg Keraton oleh GP Hangabehi. Tidak lelah mengemban dua amanah sekaligus, Sultan Hamengkubuwono IX pada 23 Maret 1973-23 Maret 1978 diangkat menjadi Wakil Presiden Soeharto, secara otomatis Ia tidak bisa aktif dalam mengurus DIY, oleh karena itu pemerintahan sehari- hari dijalankan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII yang kemudian diatur dalam

UU No. 5 Tahun 1947 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur khusus tentang Yogyakarta dalam aturan peralihannya. Sehingga dapat kita cermati, Sultan Hamengkubuwono IX tidak pernah digantikan kepemimpinannya sebagai Sultan dan Gubernur, ia tetap menjadi Sultan dan Gubernur sempai akhir hayatnya.

Saat Sultan Hamengkubuwono IX dirawat di rumah sakit hingga wafatnya, pada 11 september 1988-11 September 1998, jabatan Gubernur diberikan kepada KGPAA Paku Alam VIII sesuai dengan penunjukan pemerintahan pusat, namun saat itu Adipati Paku Alam tidak mempunyai Wakil Gubernur. Setelah wafatnya Paku Alam VIII, Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami kekosongan hukum untuk mengatur pergantian kepala daerah, karena UU No 5 tahun 1974 hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur pada saat Sultan Hamnegkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII saja. Pada akhirnya, atas desakan rakyat DIY Sultan Hamnegkubuwono X ditetapkan menjadi Gubernur pada 1988-2003, Sultan Hamengkubuwono X tidak memiliki Wakil Gubernur pada saat itu karena tahta Sri Paduka Paku Alam IX belum ditetapkan penggantinya. Kemudian, pada tahun 2003-2008 Sultan Hamengkubuono X ditetapkan sebagai Gubernur dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur setiap 5 tahun sekali. Pada tahun 2017, Sultan Hamengkubuwono X dan KGPAA menjabat kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang

Diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 107/P tahun 2017 tentang Pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Masa Jabatan Tahun 2017-2022. 42

Adapun uraian masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dapat digambarkan seperti bagan di bawah ini:

NO GUBERNUR MULAI AKHIR MASA KETERANGAN WAKIL JABATAN JABATAN

1 Hamengkubuwono 19 Agustus 1 Oktober KGPAA [ket. 1] 1 IX 1945 1988 VIII

2 KGPAA VIII 11 [ket. 2] Lowong 1 Oktober September 2 [ket. 3] 1988 1998 3 HAMENGKUBUW 3 Oktober 9 Oktober Lowong [ket. 4] 3 ONO X 1998 2003

4 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober KGPAA IX [ket. 5] 4 ONO X 2003 2008

5 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober KGPAA IX [ket. 6] ONO X 2008 2011

6 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober KGPAA IX [ket. 7] ONO X 2011 2012

7 HAMENGKUBUW 10 Oktober 10 Oktober KGPAA X [ket. 8] 5 ONO X 2012 2017

8 HAMENGKUBUW 10 Oktober KGPAA X Petahana 6 ONO X 2017

Tabel 3.2 Gubernur DIY dari masa ke masa

Keterangan: 1. Masa jabatan seumur hidup, pegawai negara dengan NIP 010000001 2. Wakil Gubernur yang melaksanakan tugas Gubernur dalam jabatan Penjabat 3. Gubernur Masa jabatan seumur hidup, pegawai negara dengan NIP 010064150 4. Masa jabatan pertama. 5. Masa jabatan kedua. 6. Perpanjangan masa jabatan kedua 7. Perpanjangan kedua masa jabatan kedua 8. Masa jabatan ketiga.15

15 https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Gubernur_Daerah_Istimewa_Yogyakarta

BAB IV

PENEGAKAN HUKUM KONSTITUSIONAL

DALAM HUKUM ADAT PENGANGKATAN SULTAN

DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Indonesia sebagai Negara Kesatuan telah menetapkan sistem desentralisasi untuk mengatur setiap wilayahnya, selain itu Indonesia juga mengakui satuan wilayah yang mempunyai masyarakat adat. Bentuk Negara

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, yang dijalankan berdasarkan desentralisasi (Pemerintahan Daerah), dengan otonomi yang seluas- 1 luasnyanya. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18 huruf b Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbunyi :

“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesattuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undnag-undang.” .

Penjabaran atas aturan pengakuan terhadap Masyarakat adat dalam

Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam Undang-undnag No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal 2 ayat (8) dan ayat (9) yang berbunyi :

“(8) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-undang. (9) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pasal tersebut juga memberikan pengakuan atas pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, adapun pemerintahan yang diberikan kewenangan istimewa yakni seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang ditetapkan dalam UU No

11 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap daerah dengan asas desentralisasinya mendapatkan kewenangan untuk memilih

1 Laica Marzuki, ”Prinsip – Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Konstitusi, Vol. 6,No.4,2009,h.10

43 44

pemimpin daerahnya sesuai dengan bunyi Pasal 21 huruf b UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

“ Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak: a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. memilih pimpinan daerah ….”

Pasal tersebut telah mengatakan bahwa pemerintahan daerah dapat menyelenggarakan proses pememilihan pimpinan daerahnya masing-masing, sesuai dengan keinginan masyarakatnya itu sendiri. Adapun diskursus hukum yang berkembang atas aturan di atas, akan diuraikan di bawah ini.

A. Perkembangan Penetapan Gubernur bagi Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa dalam bagian Negara Kesatuan Republik Inodnesia (NKRI)

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sejarah khas dalam dirinya sendiri yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Penelaahan atas sejarah Yogyakarta dan Indonesia menunjukkan beberapa hal penting seperti, status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil penguasa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwano IX dan Paku Alam VIII dan bukan pemberian dari entitas politik nasional. Penguasa Yogya tetap mempertahankan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara sadar di tengah-tengah tawaran penguasa Belanda memberikan kekuasaan atas seluruh Jawa bagi Hamengkubuwana IX yang

2 pada akhirnya di tolak secara mentah-mentah oleh beliau. Yogyakarta juga memberikan ruang wilayah dan penduduk yang kongkrit bagi Indonesia awal,

pengakuan kedua raja atas kedaulatan Indonesia di wilayah kekuasaannya telah mengisi ruang kosong dan rakyat sebagai dua unsur kunci sebuah negara yang bernama Republik Indonesia. Yogyakarta juga menjadi kekuatan

2 Berulangkali Belanda mengirim utusan menemui Hamengkubuwono IX untuk kepentingan ini. Tercatat misalnya, Residen E.M Stok, Berkhuis, Kol. Van Langen, Prof. Husein Jayaningrat dan Sultan Hamid yang dijadikan utusan. Tetapi tidak satupun yang dapat bertemu langsung dengan Sultan Hamengkubuwano IX yang sellau mengutus salah seorang saudaranya, Pangeran Prabunigrat, Pangeran Mudaningrat atau Pangeran Bintara untuk menemui para utusan. Alasan yang selalu disampaikan adalah kesehatan beliau yang tidak menginjikan. 45

penyelamat ketika Indonesia berada dalam situasi krisis untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, DIY diberikan keistimewaan melalui UUD 1945 Pasal 18, Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah istimewa yang mempunyai adat- istiadat yang dilindungi oleh undang-undang juga mempunyai kewenangan untuk memilih pimpinan daerahnya sendiri. Daerah istimewa Yogyakarta

(DIY) sebagai daerah yang harus melestarikan budaya diberi kewenangan untuk memilih orang yang memimpin DIY dengan cara penetapan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :

“(1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur…”

Penetapan bagi kepala daerah tersebut menjadi keistimewaan yang dimiliki oleh DIY. Penetapan kepala daerahnya diberikan pada siapapun yang telah diangkat dan bertahta sebagai Sultan di Keraton Yogyakarta dan Adipati

Paku Alam di Kadipaten Pakualaman yang dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tentang syarat dan ketentuan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur DIY yang berbunyi sebagai berikut:

“ (c) bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur….”.

Kedua, Yogyakarta memberikan ruang wilayah dan penduduk yang kongkrit bagi Indonesia awal. Bahwa pengakuan kedua raja atas kedaulatan

Indonesia di wilayah kekuasaannya telah mengisi ruang kosong dan rakyat sebagai dua unsur kunci sebuah negara yang bernama Republik Indonesia.

Ketiga,Yogyakarta menjadi kekuatan penyelamat ketika Indonesia berada dalam situasi krisis untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17

Agustus 1945. Bahwa dijadikannya DIY sebagai ibukota negara ketika

Jakarta tidak dapat dipertahankan sebagai ibu kota negara sebagai akibat 46

agresi militer Belanda ke-1 tahun 1948 dan fakta bahwa Yogyakarta menjadi

satu dari tiga daerah yang tetap menjadi NKRI ketika daerah lain terpecah 3 menjadi Republik Indoensia Serikat. Keistimewaan Indoenesia yang diberikan ke Pemeritahan Daerah

Yogyakarta adalah tata cara pengisian jabatan di Yogyaarta dengan Sultan

atau Adipati yang bertahta. Untuk itu dapat kita ketahui bersama bahwa

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diberi kewennagan untuk merangkap dua

jabatan sekaligus. Perubahan politik nasional berikutnya yang terjadi setelah

turunnya Soeharto juga sama sekali tidak mengakhiri pengakuan legal atas

keberadaan daerah yang bersifat istimewa. Hal ini tercatata dalam Pasal 122

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara literal malah

mempertegas status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh

melalui penegasan yang menyatakan bahwa:

”Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Privinsi Daerah Yogyakarta. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini..”

Secara lebih spesifik penjelasan Pasal 122 menegaskan bahwa :

”Pengukuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuanagn nasional. Sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan memeprtimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-undang ini.”

Ketentuan mengenai pengisisan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

Kepala Daerah melalui mekanisme penetapan (pengangkatan) ini tetap

dipertahankan pada beberapa peraturan tentang Pemerintahan Daerah, bahwa

pada suatu waktu jabatan tersebut tidak terikat oleh waktu (seumur hidup).

Peraturan-peraturan tersebut seperti Penpres No 6 tahun 1959 pada pasal 6

3 SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya,Yogyakarta: 2001 yang dibandigkan dengan Chidmad, Tatag, Sri Edang SUmiyati dan Budi Hartono, Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, (Yogyakarta: Media Persindo,2001) 47

4 ayat (1) dan (2), UU No.18 tahun 1965. UU No. 5 tahun 1970 Pasal 91 sub b, UU No. 22 tahun 1999 (Penjelasan Pasal 122), dan diakhiri dengan UU No.

32 tahun 2004 pada Pasal 2 ayat (8) yang berbunyi:

”Negara mengakui dan menghormati satu-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya mekanisme pengisisan jabatan Gubernur pada dasarnya kesemuanya itu mengikuti mekanisme penetapan (Pengangkatan) Sultan di Keraton. Perlindungan melalui payung hukum ini, mencirikan bahwa Indonesia secara eksplisit dalam setiap Undang-Undang pemerintahan daerahnya konsisten dalam mengakui keistimewaan Yogyakarta. Melalui pelaksananan otonomi daerah peranan kepala daerah diharapkan mampu memahami perubahan yang terjadi secara cepat dan tepat dalam persefektif 5 nasional maupun internasional. Bahwa dengan otonomi daerah keberhasilan untuk menyesuaikan perubahan akan sangat mudah tercapai dan pemilihan umum yang dilakukan oleh setiap daerah baik perwakilan maupun pemilihan langsung memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik sesuai dengan dengan demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan, maka dengan demikian bukan saja kepastian, tetapi terangkum keadilan dan kemanfaatan dalam kerangka 6 memajukan kesejahteraan bersama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 telah menentukan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah

4 Sifat Istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada sat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakrta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2).

5 Titik Triwulan Tutik,”Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam Persefektif Islam,”Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan , Vol.6, No.4, Lembaga Penelitian IAII Sunan AMpel (: 4 Oktober 2005),h.361 6 Zaenal Arifin Husein,”Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, 2010, Vol.7,No.6,h.13 48

7 provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini, telah memberikan makna bahwa demokrasi bukan hanya pemilihan langsung atau keterwakilan saja, tidaklah semata-mata dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun pemilihan yang dilakukan oleh DPRD, tetapi juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sebagaimana dimaksudkan Pasal 18 b ayat (1) UUD 1945 bahwa terdapat mekansime lain dalam proses pengisian jabatan kepala daerah, seperti halnya sistem penetapan Gubernur Kepala Daerah dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dengan demikian, sistem pengangkatan Hamengkubuwono X dan Sri Paku alaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tidaklah inkonstitusional selama penetapan tersebut

memeperoleh legitimasi dari masyarakat (masyarakat 8 menghendakinya). Dalam perkembangannya untuk memberikan kepastian hukum bagi Yogyakarta maka pada tanggal 31 Agustus 2012 disahkanlah

UU No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Pasal 9 sampai 24 Undang-Undang tersebut, menegaskan bahwa penetapan Gubernur ditetapkan dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan yang menjadi Wakil Gubernur dari Kadipaten Paku Alaman, dengan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

B. Pengangkatan Ratu dan Penetapan Gubernur Perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta

1. Pengangkatan ratu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah ditetapkan menjadi daerah istimewa yang diatur dalam UU No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Salah satu yang menjadi hak istimewa DIY ialah penetapan Gubernur dan Wakil

7 A. Mukhtie Fajar,”Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum Pelanggaran Pemilu dan PHPU,”Jurnal Konstitusi, Vol.6,No.1,2009,h.5

8 Ismu Gunadi Widodo,”Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemeilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945,”h.16. 49

Gubernur yang diberikan pada seseorang yang bertahta sebagai Sultan

Hamengkubuwono dan Adipati Pakualaman. Seseorang yang bertahta menjadi Sultan, maka akan ditetapkan sebagai Gubernur DIY, dan yang bertahta sebagai Adipati Pakualam akan ditetapkan sebagai Wakil

Gubernur DIY. Hal ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sampai (2) UU

NO 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang berbunyi sebagai berikut:

“ (1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur…”.

Hal ini dikuatkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c UU NO 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang berbunyi sebagai berikut :

“(c) bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur….”.

Berdasarkan pasal yang telah dipaparkan di atas, maka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya akan mendapatkan seorang kepala daerah yang akan mengurusi urusan pemerintahannya setelah ditetapkannya Sultan Hamengkubuwono di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat dan Adipati Pakualam di Kadipaten Pakualaman. Oleh sebab itu, untuk menjalankan hak istimewanya Keraton Ngayogyakarta dan

Kadipaten Pakualaman diberikan kuasa penuh tanpa ada campur tangan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam pengangkatan Sultan ataupun Adipati di masing-masing kesultanannya.

Hal ini, telah diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU No 13 tahun 2012 tentang

Kesitimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berbunyi: 50

“Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai- nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat”. Sesuai dengan kewenangannya sebagai daerah Istimewa, kedua Raja, baik Raja yang sedang bertahta di Kesultanan Ngayogykarta ataupun Kadipaten Pakualaman selalu mempersiapkan salah satu keturunannya untuk malanjutkan tahta sebagai Sultan ataupun Adipati. Mendekati masa berakhir jabatannya Sultan Hamengkubuwono X sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengantarkan Hamengkubuwono X menetapkan penerus tahtanya sebagai Sultan. Sultan Hamengkubuwono X yang hanya mempunyai keturunan perempuan dari istri sahnya dan telah menetapkan diri tidak menginginkan untuk mempunyai selir atau menikah lagi hanya 9 untuk mendapatkan keturunan laki-laki. Akhirnya, pada 5 Mei 2015 Sultan Hamengkubuwono menetapkan Putri pertamanya G.K.R Pembayun sebagai Permaisuri yang akan menggantikan tahtanya sebagai Sultan. Hal ini ditetapkan dalam Dawuh Raja yang berbunyi :

“Putri Raja Mataram yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun ditetapkan sebagai Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Ning Bawono Langgeng Ing Mataram “.

Adanya Dawuh Raja tersebut secara otomatis mengantarkan Kesultanan Ngayogyakarta untuk pertama kalinya akan ditahta oleh seorang Ratu. Hal ini, menimbulkan ketidaksetujuan dari beberapa keluarga keraton yang sebelumnya telah disebut-sebut sebagai pengganti Sultan Hamengkubuwono X. Adapun beberapa nama yang tidak menyetujui adanya Dawuh Raja tersebut, seperti GPBH Hadisuryo, GBPH Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, GBPH Candraningrat, GBPH 10 Suryodiningrat, GBPH Surya Mataram, dan GBPH Suryonegoro. Kalangan yang tidak sepakat dengan adanya Dawuh Raja tentang

9 G.K.R Hemas, Ratu di Hati Rakyat, h.20

10https://nasional.tempo.co/read/1023874/mereka-yang-berpeluang-gantikan-sultan- hb-x/full&view=ok 51

pengangkatan Sultan yang akan dijabat seorang Perempuan ini, mengambil cerminan dari sikap Hamengkubuwono V yang mengurungkan niatnya untuk tidak menjadikan putrinya sebagai Sultan, karena Hamnegkubuwono V mendapatkan mimpi bahwa Sultan harus mengenal Tuhan dengan jalan pengenalan dan pengendalian diri. Selain itu, kalangan yang tidak sepakat keturunan Perempuan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dapat bertahta sebagai Sultan dengan merujuk pada Serat Tajussalatin (Mahkota Para Sultan) dalam bab perilaku tentang Sultan yang berbunyi :

“Hendaklah Raja itu laki-laki dan jangan perempun adanya….”.

Serat Tajussalitin yang menjadi rujukan para kalangan yang tidak sepakat keturunan perempuan Keraton Ngayogyakrta Hadiningrat menjadi seorang Ratu itu sebenarnya ditulis oleh Sultan Hamengkubuwono V hanya menjelaskan tentang etika kekuasaan islam yang harus dimiliki oleh seorang Sultan. Potongan pasal yang juga dijadikan rujukan tidak memberikan tafsiran bahwa seorang Sultan wajib ditahta oleh seorang laki-laki. Kata “ hendaklah” menurut KBBI bermakna “seharusnya”, artinya lebih baik dijabat oleh seorang laki-laki namun tidak dilarang juga jika yang akan menjabat tahta Sultan adalah seorang perempuan. Hal ini juga ditegaskan dalam sepenggal kalimat dalam Serat Puji yang membahas tentang suksesi Sultan di keraton Ngayogyakarta berbunyi:

“ Utamanya Raja itu pria akan tetapi, ada perkecualian apabila dalam keadaan tertentu…” .

Paugeran tersebut telah menegaskan bahwa jika dalam keadaan tertentu, misalnnya anak laki-laki Sultan yang sedang bertahta meninggal dunia dapat digantikan oleh anak Sultan yang perempuan.

Alasan Kalangan yang tidak menyetujui keturunan perempuan Kesultanan Ngayogyakarta dapat bertahta sebagai Ratu juga karena gelar yang disematkan pada seorang Sultan yakni: 52

“Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagomo Khalifatullah Ingkang Jumennag Kaping Satunggal Ing Ngayogyakarta Hadiningrat “

Menurut kalangan ini, gelar ini hasil adopsi dari konsep islam yang menggunakan tanggung jawab kenabiannya disematkan pada seorang laki-laki. Bagi kalangan ini, gelar yang disematkan pada setiap Sultan di

Keraton Ngayogyakarta adalah sebuah adat istiadat yang ditetapkan dalam Panjangka yang dimuat pada Dawuh Dalem Angka 01/DD/HBIX/EHE-1932 tentang “Tata Pemerintahan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat”. Menurut kalangan ini, gelar yang telah disematkan selama 262 tahun itu tidak dapat diganti. Sehingga, Sabda

Raja pada 30 April 2015 mengganti gelar menjadi

“Ngarso Dalem Smapean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumenang Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgengi Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panotogomo” ditolak karena dirasa melanggar paugeran.

Padahal aturan yang dirujuk oleh kalangan yang tidak setuju dengan

Sultan tidak memberikan argument kepastian hukum yang jelas.

Pergantian gelar yang termasuk dengan Sabda Raja tentang suksesi pengangkatan pemimpin menjadi bagian dari sebuah Paugeran.

Kedudukan Paugeran menurut Basusatra Jawa ialah menjadi hak pregrogratif Sultan untuk menentukan aturan yang akan diberlakukan di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sehingga, Sultan yang sedang berkuasa juga memiliki kewenangan untuk menentukan penggantinya, secara otomatis Sultan mempunyai kewenangan untuk merubah gelar bagi Sultan selanjutnya. Hal ini juga ditegaskan oleh KPH

Yudohadiningrat, S.H dalam lembaran risalah sidang Mahkamah

Konstitusi dalam keterangannnya menjadi ahli, ia mengatakan bahwa:

“Tentang Paugeran atau tata pemerintahan internal kesultanan dapat berubah dan menyesuaikan dengan zaman. Eksistensi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dan kerajaan yang diakui dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lepas dari upaya Sultan Yogyakarta yang bertakhta dalam merespon 53

setiap perkembangan zaman. Para Sultan menerapkan kebijakan pembaharuan perubahan sesuai dengan situasi yang dihadapi, kebijakan pembaharuan perubahan yang diputuskan oleh para Sultan yang bertakhta menjadi paugeran pada masa tersebut. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa paugeran itu bersifat dinamis dan tidak statis. Paugeran ditetapkan untuk menyelesaikan persoalan yang muncul pada saat itu.“.

Adapun gelar Khalifatullah adalah pemberian gelar kerajaan Turki Usmani yang diberikan sekitar tahun 1479 Masehi, pada saat Raden Patah dibantu oleh tentara Turki untuk berperang dengan Prabu Brawijaya V. Makna yang disematkan pada kata Khalifatullah mempunyai arti “ mengemban amanah Allah di dunia” yang tidak diberikan pada salah satu gender manapun. Oleh karena itu, paugeran yang ada di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak melarang perempuan keturunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk menjadi seorang Sultan. Selain itu, sistem patrilineal juga menjadi alasan bagi kelompok yang tidak menyetujui sabda raja tersebut, padahal aturan yang biasa digunakan di keraton ialah sistem matrilineal, yang mengatakan bahwa keturunan laki-laki yang layak menjadi Sultan ialah yang berasal dari seorang Permaisuri bukan seorang selir. Sehingga, merujuk pada tata cara suksesi Sultan ini, mengantarkan bahwa sistem yang digunakan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menggunakan sistem parental, yang membolehkan laki-laki atau perempuan bisa menjadi seorang Sultan. Hal ini dikuatkan dengan data-data kerajaan- kerajaan ada di Indoensia yang memberikan kewenangan pada perempuan untuk mengemban tambuk politik, bahkan kerajaan islam di Aceh yang notabanenya wilayah pertama masuknya islam juga memberikan hak pada perempuan untuk bertahta sebagai Ratu. Adapun daftar tersebut dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini:

NO NAMA RATU (SULTANAH) KERAJAAN TAHUN 1. Ratu Maharani Shima Kerajaan Kaliangga Tahun 647 M

2. Ratu Sri Isyanan Tunggawijaya Kerajaan Medang Tahun 947 M

3. Ratu Sanggamawijayatunggawarman Kerajaan Sriwijaya Tahun 1025 M

54

4. Ratu Syah Alam Barisyah Kerajaan Perlak Tahun 1196 M

5. Ratu Dyah Gayatri Kerajaan Majapahit Tahun 1309 M (Raja ke-II)

6. Ratu Tribuana Wijaya tunngal dewi Kerajaan Majapahit Tahun 1328 M (Raja ke-III)

7. Sultanan Nahrasiyah Kerajaan Samudera Tahun 1405 M Pasai

8. Ratu Stri Suhita Kerajaan Majapahit Tahun 1427 M (Raja ke-VI)

9. We Banrigau Makkalempie Kerajaan Bone (Raja Tahun 1496 M Mallajange’ri Cina ke- IV)

10. Ratu Anchesiny Kerajaan Haru Tahun 1537 M (Ghori/ Guni)

11. Ratu Kencana Kerajaan Jepara Tahun 1549 M (Putri Raja Denmark Trenggana)

12. We Tenri Pattupu Kerajaan Bone (Raja Tahun 1602 M Bone ke-XI)

13. Ratu Putri Hijau Kerajaan Aru, Deli Tahun 1607 M Tua (Sumatera Timur)

14. Sultanah Safiatuddin Syah Kerajaan Aceh Tahun 1641 M Darussalam, menggantikan Sultan Iskandar Tsani

15. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Kerajaan Aceh Tahun 1675 M Syah Darussalam, menggantikan Ratu Safiatuddin Syah

55

16. Ratu KZainatuddin Syah Kerajaan Aceh Tahun 1688 M Darussalam, menggantikan Ratu Safiatuddin Syah.

17. Batari Toga Daeng Taaga Kerajaan Bone Tahun 1714 M

Tabel 3.3 Nama Ratu dan Sultanah Kerajaan Nusantara

Bagan tersebut menggambarkan bahwa kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia dan bahkan kerajaan Islam, telah memberikan hak politik pada perempuan sudah sejak jauh-jauh hari, dan bahwa bagan tersebut juga menggambarkan bahwa ada kerajaan islam yang bersamaan kepemimpinanaya dengan Sultan Hamnegkubuwono I yakni Batari Toga Daeng Taga dari Kerajaan Bone. Selain pemaparan di atas, maka jika kita ingin melihat kepemimpinan perempuan pada saat ini dan memepertahankan sistem kerajaan, sudah barang tentu kita melihat proses pengangkatan terhadap Ratu Elizabeth II yang menjadi Ratu Persemakmuran Inggris hingga saat ini. Oleh karena itu, paugeran yang ada di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan data pendukung telah membolehkan Perempuan keturunan Ngayogyakarta Hadiningrat dapat menajdi seorang Sultan.

2. Penetapan Gubernur Perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta Setelah Sabda Raja yang menuai perdebatan pada 30 April 2015

dan 5 Mei 2015, lalu pada 6 September 2016 beberapa masayarakat dari berbagai profesi seperti Prof. Dr. Saparinah Sadli, Sjamsiah Achmad,M.A, Dra.Siti Nia Nurhasanah, Ninuk Sumaryani Widiyantoro, Dra. Masruchah, Anggiastri Hanantyasari Utami, Dra. Im Surasih, Sutaryo, APT,S.U, Bambang Prajitno Soeroso, Wawan Harmawan,S.E, 11 Raden Mas Adwin Suryo Sairiano, Supriyanto, S.E , mengajukan

11 Mereka berasal dari berbagai kalangan dan profesi, Saparinah Sadli ( Perintis berdirinya KOmnas Perempuan dan Pusat Studi Wanita), Sjamsiah Ahmad (Mantan Diplomat Hak Asasi Perempuan PBB), Siti Nia Nurhasanah (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), Ninuk Sumiarni (Psikiater), Dra. Masruchah (Karyawan Swasta), Anggiastri (Karyawan Swasta), Dr. Im. Sunarsih 56

gugatan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi atas Pasal 18

Ayat 1 huruf m, yang berbunyi:

“menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan,saudara kandung, istri, dan anak;” Kata ”istri” dalam pasal tersebut memberikan keterbatasan bagi

Perempuan dan laki-laki di Keturunana Kesultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat tidak dapat menjadi Gubernur. Kata ”istri” yang menjadi

cerminan diskriminasi bagi perempuan dan beberapa golongan lainnya,

sangatlah tidak mencerminkan NKRI yang menganut asas demokrasi.

Pranata dan praktik demokrasi dalam kehidupan barat selalu merupakan

hasil interaksi antara tradisi nondemokratis dan antidemokratis dengan

tradisi demokratis yang ada, serta persepsi baru dalam bidang social

kemanusiaan, keagamaan, kebutuhan politik dan hak politik. Demokrasi

sejatinya juga sangat melekat di kehidupan NKRI apalagi pasca orde

baru, refromasi hukum secara materiil dan formil banyak dilakukan sana-

sini, untuk itu berpacu pada Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi:

“Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu,”

Sementara dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menajelaskan bahwa

”Diskriminasi adalah setiap pemabatasan, pelecehan, atau penegcualian, yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok golongan, status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa keyakinan politik yang berakibat pengurangan penyimpangan atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, social budaya dan aspek kehidupan lainnya.”

(Dosen), Bambang Prajitno (Karyawan Swasta), Wawan Harmawan ( Karyawan Swasta), Raden Mas Adwin Suryo (Abdi Dalem), Supriyanto ( Perangkat Desa). 57

Dari dua payung hukum di atas, jelas bahwa diskriminasi sangatlah dilarang dipraktikan di NKRI.

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrument hukum nasional yang melarang diskriminasi. Salah satu diantaranya adalah Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR telah menyatakan bahwa:

“Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini sepakat untuk menghormati dan menjamin setiap individu dalam wilayahnya dan yang tunduk pada yuridiksinya hak-hak yang diakui dalam Konvenan ini, tanpa perbedaan dalam bentuk apappun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebngsaan atau social hak milik, kelahiran atau status lainnya”

(Each State Party to the present Convenant undertakes to respect and ensure to alla individuals within it’s territory and subject to it’s jurisdiction the right recognized in the present Convenant without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, nasional or social origin, property, birth or other status).

Bahkan dalam membahas perempuan ICCPR telah secara khsus menegaskan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam penikmatan atas hak-hak politik, hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ICCPR yang mengatakan bahwa:

”Negara-Negara pihak dalam Kovenan ini sepaakat untuk menjamin persamaan hak anatara laki-laki dan perempuan bagi penikmatan hak-hak sipil dna politik yang dinyatakan dalam kovenan ini” (The State Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civil and political right set forth in the present Convenant).

Indonesia juga telah meratifikasi Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tentang larangan diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang Nomor 7

Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On the 58

Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) Pasal 1

CEDAW telah menegaskan penegrtian dikriminasi terhadap perempuan

dengan rumusan:

“Untuk tujuan Konvensi ini istilah diskriminasi terhadap perempuan diartikan sebagai setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang berakibat atau bertujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan hak asasi dan kebebasan manusia dalam bidang politik, ekonomi, social budaya, sipil atau bidang lainnya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan berlandaskan persamaan antara laki- laki dan perempuan” (For the purposes of the present Convention. The term”discrimination against women”shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on the basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedom in the political economic, social, cultural, civil or any other field).

Adapaun terkait persamaan hak antaar laki-laki dan perempuan telah dijelaskan dalam Pasal 3 CEDAW yang berbunyi:

“Negara-Negara pihak akan mengambil segala upaya yang tepat di segaal bidang termasuk legislasi. Guna menjamin perkembangan dan pemajuan perempuan, dengan tujuan menjamin mereka akan pelaksanaan dan penikmatan hak asasi dan kebebasan mendasar di atas landasan persamaan dengan laki- laki.” (State Parties shall take in all fields, in particular in the political, social, economic and cultural fields, all appropriate measures, including legislation, to ensure the full development and advancement of women for the purpose of guaranteeing them the exercise and enjoyment of human rights and fundamental freedoms on a basis of equality with men).

Indonesia sebagai negara pihak (state party) maka sudah barang

tentu mempunyai kewajiban yang didasarkan pada hukum internasional

(international legal obligation) untuk mentaati perjanjiannya. Dalam hal

ini, untuk tidak melakukan sikap diskriminasi. Untuk itu, akhirnya pada

hari Kamis, 31 Agustus 2017 Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara 59

No 88/PUU-VII/2016 dikabulkan seluruhnya, dan bahwa Pasal 18 ayat 1 huruf m kata”istri”nya dihapuskan. Berdasarkn keputusan tersebut, mengantarkan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu memastikan perlindungan terhadap warga negaranya. Sehingga, dapat disimpulkan secara legalitas DIY dapat dipimpin oleh Gubernur seorang Perempuan. Dalam Pasal 18 Ayat 1 huruf c telah dijelaskan bahwa:

“…yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”,

Dua pisau hukum yang menjadi acuan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yakni hukum adat (paugeran) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan UU No. 13 Tahun 2012 Tentang Keisitimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), telah tertatat rapih untuk membolehkan Perempuan menjadi pemegang kekuasaan. Setelah payung hukum yang jelas membolehkan perempuan boleh menjabat pimpinan sebagai bupati, wali kota atau gubernur telah mendorong perempuan-perempuan Indonesia untuk berkiprah di dunia politik dan berkompetisi dalam pemilihan umum. Adapun daftar nama perempuan yang menjabat di eksekutif, sebagai berikut:

Daftar Pemimpin Perempuan di Wilayah Indonesia Pasca Pilkada Serentak 2018 NO NAMA WILAYAH JABATAN

1. Jawa Timur Gubernur

2. Iti Octavia Jayabaya Lebak Bupati

3. Dewi Handjani Tangamus Bupati

4. Ade Munawaroh Yasin Kabupaten Bogor Bupati

5. Anne Ratna Mustika Purwakarta Bupati

6. Ade Uu Sukaesih Banjar Wali Kota

7. Umi Azizah Tegal Bupati

8. Puput Tantriana Sari Probolinggo Bupati

9. Mundjidah Wahab Jombang Bupati

60

10 Anna Mu’awanah Bojonegoro Bupati

11. Ika Puspitasari Mojokerto Wali Kota

12. Paulina Haning Bulu Rote Ndao Bupati

13. Erlina Mempawah Bupati

14. Tatong Bara Kotamobagu Wali Kota

Tabel 3.4 Daftar Nama Pemimpin Perempuan di Wilayah 12 Indonesia Pasca Pilkada 2018 Menyoal Paugaran seharusnya tidak lagi menjadi hambatan, karena Sultan Hamengkubuwono X telah menyatakan bahwa Keraton Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alam itu dua-duanya menjadi satu. Mataram itu negara yang merdeka yang memiliki aturan dan tata pemerintahan sendiri seperti yang dikehendaki dan diperkenalkan termasuk Mataram di dalam Nusantara. Medukung berdirinya negara, tetapi tetap memiliki aturan dan tata pemerintahannya sendiri yang itu seperti (suara tidak terdengar jelas) para Sultan Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam, yang bertahta ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur .

Sifat Raja dalam keraton ialah inherent power, paugeran yang menjadi konstitusi mengibaratkan juga Pangeran adalah konstitusi yang hidup dalam hukum Keistimewaan Yogyakarta. Paugeran bisa saja lahir dari bawah, namun kemudian kewajiban dan tanggung jawab guna menghidupi tatanan, tata karma, atau uger berada di tangan raja. Sehingga, Konstitusi dalam Keraton Yogyakarta dan Konstitusi Indonesia sudah beriringan dan sejalan. Hal ini, memberikan analisa bahwa penetapan menjadi seorang gubernur perempuan nyata-nyata sudah diperbolehkan dan sangat dihormati akan seluruh haknya terkecil hingga hak politik. Namun, Gubernur Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) yang sekaligus menjadi Sultan di Keraton, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU No 13 Tahun 2012

12 Nasional.kompas.com, Senin 30 Juli 2018 61

tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),yang berbunyi:

“bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur.”

Bunyi pasal di atas menunjukkan bahwa Gubernur DIY adalah seorang Sultan yang bertahta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Wakil Gubernur adalah seorang Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakulaman. Hal ini memberikan pertanyaan yang mendasar bagi kita, jika ini menjadi hak istimewa bagi sesorang Sultan atau adipati tersebut berkompeten memangku jabatan juga sebagai gubernur, akankah keturunannya juga mampu mengemban dua amanah sekaligus.

Hukum hadir untuk memberikan kepastian untuk kehidupan, rekayasa hukum setidaknya mengantarkan bahwa pembuatan hukum tersebut harus memprediksi kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. Perempuan yang memegang jabatan sebagai eksekutif seperti apa yang telah dipaparkan pada bagan di atas, baik Presiden, Gubernur, Bupati maupun Walikota yang terpilih karena mengikuti pemilihan umum dan mereka yang mendulang suara terbanyak akan menjadi Presiden, Gubernur, Bupati maupun Walikota yang secara otomatis rakyat mengamini dipimpin olehnya. Namun, hal ini tentu akan berbeda jika kita dudukan pada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan pada mereka yang bergelar Sultan dan Wakil Gubernur yang bergelar Adipati Paku Alam. Gubernur dan Wakil Gubernur ialah seseorang yang telah ditetapkan dan mengikuti penunjukkan di internal keraton dan kadipaten. Keturunan para Sultan di keraton maupun kadipaten keduanya selalu dipersiapkan untuk menerima tanggung jawab guna agar siap ketika mewarisi kebudayaan agar terus lestari. Akan tetapi, apakah keturannya juga diberikan kemampuan untuk mengurusi rakyat yang menjadi territorial Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan berlaku sebagai 62

Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentu ini menjadi tanda tanya besar bagi tafsiran Pasal 18 ayat (1) huruf m tersebut. Namun, dikabulkannya permohonan untuk dihilangkannya kata “ istri” pada Pasal 18 ayat (1) huruf m tersebut telah menunjukkan hukum yang dapat merespon perkembangannya zaman. Hukum yang memberikan keadilan gender tanpa ada satupun diksriminasi dalam substansinya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah Penulis paparkan di atas, maka Penulis dapat mengambil kesimpulan dari permaslaahn yang dibahas yakni tentang Diskursus Pengangkatan Ratu Daerah istimewa Yogyakarta Pasca Putusan MK No 88/PUU-XVI/2016:

1. Perkembangan Hukum adat di Yogyakarta memperkenalkan sebuah aturan baru yakni memperbolehkan perempuan menjadi Ratu yang ditandai dengan adanya Dawuh Raja pada 5 Mei 2015 dari Sri Sultan Hamengkubuwono X terhadap pengangkatan GKR Pembayun, Putri pertama Sultan Hamengkubuwono X menjadi Putri Mahkota yang bergelar Mangkubumi. Secara otomatis telah adanya perubahan dan penetapan paugeran baru di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perdebatan masih terjadi hingga saat ini di internal keraton, pasca perubahan paugeran tersebut.

2. Perkembangan Peraturan penetapan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga memperkenalkan sebuah aturan baru pasca adanya Permohonan Judicial Review terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m agar dihapuskannya kata”istri”yang menggambarkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi seorang Gubernur telah dikabulkan, yang diputuskan dalam Putusan MK No. 88/PUU-XVI/2016. Sehingga, mengantarkan bahwa Perempuan yang memegang kekuasaan di Keraton atau Kadipaten dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY juga.

B. Rekomendasi

1. Mensosialisasikan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 88/PUU-XVI/2016 pada masyarakat.

63 64

2. Adanya penelitian tindak lanjut tentang Penerimaan Masyarakat DIY terhadap Dawuh Raja dan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keisitimewaan DIY pasca Putusna MK No 88/PUU-XVI/2016.

C. IMPLIKASI PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan impilkasi secara teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Implikasi Teoritis

Hukum hadir untuk memberikan kepastian bagi kehidupan setiap umat manusia. Oleh karena itu, hukum harus dapat merespon setiap perkembangan zaman yang ada. Adanya Dawuh Raja tentang penetapan Putri Mahkota dan Putusan MK tentang permohonan untuk dapat dihilangkannya kata “istri” pada Pasal 18 ayat (1) huruf m, menjadi salah satu ciri bahwa hukum harus bersifat responsif terhadap perkembangan zaman, yakni zaman yang tanpa adanya diskriminasi.

2. Implikasi Praktis

Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi kalangan Eksekutor dan Legislator dalam membuat aturan agar tidak mendiskriminasi salah satu gender. Peraturan tersebut baik berupa Undang- undang ataupun keputusan- keputusan. Hal ini, agar setiap aturan yang dibuat juga dapat sejalan dengan perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulkadir, M. (2004). Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Adams, I. (2004). Ideologi Politik Mutakhir : Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya. Yogyakarta: Qalam.

Baso, A. (2007). NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga.

Busroh, A. D. (2009). Ilmu Negara. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Harari, Yuval (2017). Sapiens, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia HAW, W. (2002). Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT.Grafindo Persada.

Hemas, G. (2002). Ratu di hati Rakyat. Jakarta: KOMPAS.

Hills, B. (2009). Princess Masako: Kisah Tragis Putri Mahkota di SInggasan Negeri Sakura . Jakarta : Pustaka Alvabe.

Huda, N. (2011). Ilmu Negara . Jakarta: Rajawali Press.

Irianto, S. (n.d.). Mempersoalkan “Netralitas” dan “Obejktivitas” Hukum”: Sebuah pengalaman Permepuan.

J.A, D. (2006). Politik yang Mencari Bentuk. Yogyakarta: LKIS.

Joseph Rudolph, J. F. (1996). International Encyclopedia of Government and Politics. In F. N. MAGIL. Singapura: Topan.

Kasali, R. (2007). Re code Yoaur Change DNA :Membebaskan Belenggu - Belenggu untuk meraih keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lawrance, F. F. (n.d.). Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial.

Maggalatung, A. S. (2015). Pengantar Studi Antropologi Hukum Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Moedjanto, M. (n.d.). Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, .

Murata, S. (n.d.). The Tao Of islam.Batam: Lucky Publisher.

Prof. Siti Khamamah Suratno, P. D. (n.d.). Khazanah Budaya Keraton Yogyakarta. Yogyakarta.

65 66

Radis, B. (2005). Sistem-sistem Pemerintahan Sedunia. Yogyakarta: Diva Press.

Rahardjo, S. (n.d.). Hukum dan Mayarakat,.

Ricklefs, M. (1920 -2004). Sejarah Indonesia Modern .

Savitri, N. (n.d.). Perempuan dan Hukum : Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan.

Setiadi, R. L. (2008). Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK dan MAK Kelas X Standar isi 2006. Jakarta : Erlangga.

Simorangkir, B. (2000). Otonomi atau Federalisme Dampaknya Terhadap Perekonomian. Jakarta: Pustaka SInar Harapan dan Harian Suara Pembaharuan.

Sirait, S. S. (2006). Politik Kristen di Indoensia: Suatu Tinjauan Etis . Jakarta: Gunung Mulia.

Soehino. (2001). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, S. (2010). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindoo.

Strong, C. (2008). Konstitusi - Konstitusi Politik : Kajian tentang Sejarah dan Bnetuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Bandung: Penerbit Nusa Media.

Sumardjan, P. S. (n.d.). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.

Watimena, R. A. (2007). Melampaui Negara Hukum Klasik. Yogyakarta: Kanisius.

JURNAL

Asshidiqie, J. (2006). Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi. Jurnal Konstitusi, Vol.3 No.4.

Badu, M. N. (2005). Demokrasi dan Amerika. Jurnal The Politic, Universitas Hasanudin, Vol.1 No.1.

Fajar, A. M. (2009). Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesain Hukum Pelangaran Pemilu dan PHPU. Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No.1.

Hasugian, J. (Juli,2009). Kajian Kritis Historis 350 Tahun Penjajahan Belanda di Indoensia. Jurnal Habanaran Da Bona, Edisi 2.

Husein, Z. A. (2010). Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi. Jurnal Konstitusi, Vol.7, No.6. 67

Isharyanto, J. E. (2009). Pemilihan Umum dalam Persfektif Budaya Hukum Berkonstitusi. Jurnal Konstitusi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, VOL.II, NO.1.

Marzuki, L. (2009). Prinsip-Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol.6 No.4.

Sudrajat, H. (2010). Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada . Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No.4.

Tutik, T. T. (4 Oktober 2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam Persefektif Islam. Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan,Lembaga Penelitian IAII Sunan Ampel Surabaya, Vol.6 No.4.

Widodo, I. g. (Mei,2011). Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemeilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945. Jurnal Dinamika Hukum, Vol.11 No.2.

WInarsi, S. (November,2008). Hukum Otonomi Daerah dalam Persefektif Filsafat Ilmu. Jurnal Konstitusi LKK Unair, Vol.1,No.1.

Wiyono, S. (2009). Pemilihan Multi Partai dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial di Indonesia. Jurnal Konstitusi Wishnu Wardhana, Vol.1 No.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

UU Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Daerah Istimewa Yogyakarta Putusan MK NO 88/ PUU- XIV/2016

MEDIA

Chidmad, T. S. (2011). Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Yogyakarta: Media Persindo.

Hadiningrat, A. D. (2016, 16 November Minggu). Kunjungan Antropologi Hukum. (F. Indah, Interviewer)

SESKOAD. (2011). Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya . Yogyakarta.

Nasional.kompas.com, Senin 30 Juli 2018 68

Internet

(n.d.). Retrieved from https://www.liputan6.com/news/read/2371749/5-kerajaan- yang-masih-eksis-di-tanah-air

(n.d.). Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_Gubernur_Daerah_Istimewa_Yogyakarta

(n.d.). Retrieved from http://indonesia-liok-blogspot.com/keistimewaan- yogyakarta-sejarah.html.Diakses Senin29 November 2010

(n.d.). Retrieved from http://indonesia-liok-blogspot.com/keistimewaan- yogyakarta-sejarah.html.Diakses Senin29 November 2010

(n.d.). Retrieved from https://kumparan.com/@kumparanstyle/kisah-di-balik- penobatan-elizabeth-ii-sebagai-ratu-inggris

(n.d.). Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1023874/mereka-yang- berpeluang-gantikan-sultan-hb-x/full&view=ok