Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Disusun oleh: Agus Prasetyo (11140220000035)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H

Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Disusun oleh: Agus Prasetyo (11140220000035)

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Dalam memimpin Banten , Sultan Abul Mafakhir berhasil mencapai tahap ‘Raja Sufi’ karena ia mampu mengembalikan keamanan dan kestabilan di Kesultanan Banten. Ada tiga Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Pertama, apa yang dimaksud dengan Raja Sufi. Kedua, siapakah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Ketiga, bagaimana ia berhasil mencapai tahapan Raja Sufi. Untuk menjawab permasalahan di atas, arah penulisan sejarah dalam skripsi ini akan bersifat analytical history yang dilakukan dengan library research serta observasi langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan memanfaatkan teori kepemimpinan kharismatik Max Weber. Dalam konteks raja-raja Nusantara, teori tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh Merle C. Ricklefs dan A.C Milner menjadi ‘Raja Sufi’. Temuan dalam penelitian ini pertama , Raja Sufi adalah penguasa sempurna yang mampu menjaga kestabilan dan keamanan wilayah kerajaannya. Konsep Raja Sufi bersumber dari doktrin insan kamil yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abd al-Karim al-Jili. Kemudian, insan kamil diaktualisasikan dengan lanskap politik kerajaan Nusantara yang berpusat pada sosok raja. Kedua , Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah Raja Banten keempat yang berkuasa di Banten dari tahun 1624-1651 M. Ia berhasil mengembalikan kedudukan Banten sebagai salah satu kerajaan besar di Nusantara. Ia memperoleh gelar ‘Sultan’ dari Mekkah di tahun 1638 M dan mampu menciptakan stabilitas ekonomi dan politik di Kerajaan Banten. Ketiga, Ia memiliki ketertarikan terhadap doktrin ‘insan kamil ’. Atas dasar ini, ia memberi perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil karya al- Jili dan membaca Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali. Selain itu, ia juga mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta fatwa yang tergambar dalam kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya Muhammad ‘ibn Allan. Ketiga kitab tersebut kemudian membentuk pribadi Sultan Abul Mafakhir menjadi Raja Sufi. Kata Kunci: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, Kesultanan Banten, Insan Kamil, Raja Sufi.

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanau wa Ta’ala. Karena atas segala rahmat, nikmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Teriring juga salawat serta salam kepada utusan Allah untuk memperbaiki akhlak manusia, Nabi Muhammad Shalallahu’alayhi wa Sallam yang akan menjadi pemberi syafa’at bagi kita di hari akhir nanti.

Skripsi yang ada di tangan pembaca sekalian adalah akumulasi dari proses panjang dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui usaha dan upaya yang panjang, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul: RAJA SUFI DARI KESULTANAN BANTEN: SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD ABDUL KADIR (1596-1651 M).

Di balik proses panjang yang telah penulis lalui untuk menyelesaikan skripsi ini, ada banyak partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak yang diwujudkan dalam bentuk moril maupun materiil. Dalam kesempatan yang baik ini, penulis menghaturkan rasa syukur dan terima kasih atas segala bantuan, do’a serta kerja sama dalam mewujudkan penulisan sejarah mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Oleh karena, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

iii

1. Kedua orang tua penulis, Bapak Teguh Miranto dan Ibu Tati Munyanih yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Keduanya juga menjadi penyandang dana terbesar dari skripsi yang penulis tulis ini.

2. Kedua adik penulis, Melysa Anggraini dan Tri Indah Sari, yang senantiasa menemani serta menghibur penulis ketika sedang kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Prof. Jajat Burhanuddin, selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang dengan sabar menuntun serta membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi dan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Awalia Rahma selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang senantiasa mendorong penulis untuk segera menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa juga penulis haturkan banyak ucapan terima kasih kepada Pak Nurhasan dan Ibu Sholikatus Sa’diyah selaku kepala dan sekretaris prodi Sejarah dan Peradaban Islam sebelumnya.

iv

5. Kepada Prof. Budi Sulistiono dan Prof. Amirul Hadi sebagai dosen penguji yang telah membedah dan menguji skripsi penulis. Keduanya telah memberikan masukan dan saran yang membangun bagi penulis untuk bisa memperbaiki skripsi ini agar lebih baik lagi.

6. Kepada seluruh Dosen Sejarah dan Peradaban Islam (2014-2019) yang telah memberikan banyak ilmu mengenai Sejarah dan Peradaban Islam. Atas dasar inilah, penulis semakin banyak belajar dan mendalami tentang Sejarah dan Peradaban Islam, terlebih lagi mengenai sejarah .

7. Dr. Saidun Derani, dosen dan orang tua luar biasa yang selalu memberikan nasihat dan masukan kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi. Nasihat dan masukan dari beliau selalu melekat dalam ingatan penulis ketika sedang berada di situasi yang sulit.

8. Prof. Mufti Ali, MA dan Drs. Tubagus Najib, keduanya merupakan ahli tentang sejarah Banten dan tergabung dalam organisasi Bantenologi di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Prof. Mufti dan Pak Najib beberapa kali memebrikan sumber referensi penting yang belum penulis ketahui mengenai sejarah Banten, khususnya yang berhubungan dengan tema yang penulis kaji.

v

9. Keluarga besar penulis di Kota Tangerang dan Kabupaten Batang yang telah memberikan doa dan dukungan agar penulis lebih cepat lagi dalam menyelesaikan studi.

10. Destri Andriani yang telah menjadi sahabat yang telah setia menemani penulis selama menjalankan studi di UIN Jakarta. dari waktu ke waktu, ia senantiasa memberikan masukan, kritik dan saran agar penulis lebih cepat dan baik lagi dalam menyelesaikan studi dan lebih penting menjalani hidup. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala doa dan dukungan yang Destri berikan selama ini. doa dan harapan yang terbaik juga akan selalu saya berikan padamu. Kamu yang terdalam dan akan selalu kunanti. Bismillah.

11. SKI A GENT (Adika Setiawan, Muhammad Aminuddin, Nurrizal Fahmi, M. Reza Kurnia, Haris Maulana, Ibnul Mubarok) yang bersama mereka, penulis banyak menghabiskan waktu selama mengenyam pendidikan di UIN Jakarta.

12. KELUARGA SKI A, Terima kasih atas segala waktu, kebersamaan dan pembelajaran yang sudah diberikan oleh teman-teman kelas SKI A yang sangat luar biasa.

vi

13. SALAM 156 (Kautsar, Sirojuddin, Ammar, Futuh, Najih, Rizky, Fitri, Ata, Loli, Febri, Riri, Shafira). Satu bulan lamanya penulis menghabiskan waktu dengan mereka. Semoga semangat kekeluargaan yang sudah terjalin sebelumnya bisa terus dipertahankan

14. JOMBS DKI (Abdullah Syafi’i, Dany Erlambang, Teuku Affan, Wijanarko Setyosalam). Banyak momen penting dan berharga yang sudah penulis lewati dan jalani dengan grup ini. Terima kasih atas segala momen seru dan dukungan yang sudah kalian berikan.

15. Inayatul Khasanah, Dicky Prasetya dan Dikiy Hidayat. Terima kasih atas segala dukungan, do’a dan petunjuk yang telah diberikan kepada penulis.

16. Seluruh staf dari Perpustakaan Kebudayaan Kemendikbud, khususnya Bapak Ari yang dengan sabar melayani kebutuhan buku yang penulis cari di Perpustakaan Kebudayaan di lt. 6 Gedung A Kemendikbud.

17. Bapak Thohari, Bapak Indra serta Bapak Frandus. Terima Kasih atas keramahan yang sudah diberikan selama kegiatan magang penulis di Puslit Arkenas tahun 2017.

vii

18. Petugas Perpusnas Lantai 9, Terima kasih atas bantuannya dalam memudahkan dalam mengakses manuskrip-manuskrip yang penulis butuhkan.

19. Ka Syahril dan Ka Syarif. Terima kasih atas segala inspirasi dan contoh baik yang sudah diberikan kepada penulis selama ini.

20. Keluarga besar FRESH (2017-2018). Mohon maaf atas segala kelalaian dan keburukan yang penulis hadirkan selama menjadi anggota FRESH. Terima kasih juga karena telah banyak memotivasi penulis lewat postingan-postingan yang menggugah semangat penulis untuk melanjutkan studi.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini masih begitu banyak. Karenanya, penulis mengharapkan kritik serta masukan yang membangun demi menjadikan skripsi ini lebih sempurna. Semoga bisa bermanfaat untuk para pembaca

Jakarta, 2 Juli 2019

Penulis

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... LEMBAR PENGESAHAN ...... ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... ix DAFTAR GAMBAR ...... xii GLOSSARI ...... xiv BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 12 C. Batasan Masalah ...... 14 D. Rumusan Masalah ...... 14 E. Tujuan dan Manfaat ...... 14 F. Metode Penelitian ...... 15 G. Sistematika Penulisan ...... 22 BAB II Tinjauan Pustaka A. Kerangka Teori ...... 25 B. Kajian Pustaka ...... 27 C. Kerangka Berpikir ...... 30 BAB III Ajaran Insan Kamil di Kesultanan Banten Abad ke-17 A. Doktrin insan kamil dari waktu ke waktu ...... 39 1. Insan kamil dalam pandangan Ibnu Arabi ...... 39

ix

2. Insan kamil dalam pandangan Abd’ al-Karim al-Jili ...... 42 3. Martabat Lima dan insan kamil menurut ...... 44 4. Insan kamil dalam pandangan Nurudin ar-Raniry ...... 47 B. Konsep Raja Sufi:Aktualisasi Doktrin insan kamil di Nusantara ...... 50 C. Ajaran insan kamil di Kesultanan Banten ...... 54 BAB IV Kesultanan Banten di Bawah Kekuasaan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1624-1651 M) A. Kesultanan Banten sebelum Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir berkuasa ...... 59 B. Kesultanan Banten di masa Pemerintahan Sultan Abul Mafakhir (1624-1651 M) ...... 69 C. Inggris dan Belanda: Kawan di satu sisi dan lawan di sisi yang lain ...... 81 D. Mekkah dan India: Sumber otoritas keagamaan bagi Kesultanan Banten ...... 98 BAB V Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir: Raja Sufi dari Kesultanan Banten A. al-Mawahib ar-Rabbaniyyah dan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir ...... 107 B. Perjalanan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir sebagai Raja Sufi ...... 115

x

BAB VI Penutup A. Kesimpulan ...... 123 B. Saran ...... 128 Daftar Pustaka ...... 130 Lampiran-Lampiran ...... 143

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Suasana di situs Makam Kenari, tempat dimakamkannya Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Gambar 2: Gapura Bentar ( Split Cave ) atau Padureksa yang merupakan pintu masuk di situs Makam Kenari. Gambar 3: Beberapa makam yang ada di dalam kompleks makam Kenari. Nyai Gedhe (Ibunda Sultan Abul Mafakhir) dan Sultan Abul Ma’ali (Putra Abul Mafakhir) juga dimakamkan di Kenari. Gambar 4: Nisan Tipe Banten yang ada di situs makam Kenari. Gambar 5: Masjid Kenari yang berada tepat di depan situs makam Kenari. Gambar 6: Suasana di dalam Masjid Kenari. Gambar 7: Mustaka atau Cungkup yang ada di atas Masjid Kenari. Gambar 8: Pintu masuk berbentuk kecil yang menghubungkan selasar masjid dengan ruang utamanya. Gambar 9: Sebuah benda yang menyerupai pedang dzulfiqor, pedang legendaris dalam sejarah Islam . Tersimpan di dalam Masjid Kenari.

xii

Gambar 10: Surat Raja Banten kepada Raja Inggris di tahun 1629 M. Gambar 11: Koin ‘Kasha’, salah satu mata uang Kerajaan Banten di abad ke-17. Gambar 12: Halaman judul manuskrip al-Mawahib ar- Rabbaniyyah. Gambar 13: Pertanyaan pertama yang ada pada al- Mawahib ar-Rabbaniyyah. Gambar 14: Peta ‘La Rade de Bantam’, Gambar 15: Ilustrasi pemandangan Kota Banten dari arah laut di abad ke-17. Gambar 16: Ilustrasi pasar Banten yang ramai dan penuh di abad ke-17. Gambar 17: Ilustrasi Bendera Banten di abad ke-17 oleh Cornelis Daenkert.

xiii

GLOSSARI

Andamohi Keling : Salah satu penasihat raja yang berasal dari India. Ia juga lawan politik dari Pangeran Ranamanggala dalam peristiwa pailir di tahun 1608. BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkekunde Bulletin of SOAS : Bulletin of the School of Oriental and African Studies EIC : East India Company, perusahaan dagang asal Inggris yang dibentuk awal abad ke-17. Fatwa : Jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum Islam. Gula Geseng/Ngemu : Pejabat Istana yang ditugaskan oleh Sultan Abul Mafakhir untuk memberikan uang kepada rakyat yang sedang kesulitan. Insan Kamil : Doktrin sufistik tentang manusia Sempurna yang mampu menjadi bayangan Tuhan di Bumi. Istifta : Pertanyaan yang diajukan mustafti untuk meminta fatwa kepada mufti. JAABE : Journal of Asian Architecture and Building Engineering JMBRAS : Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society Kelapadua : Pusat penghasil gula paling awal di Banten. Koin Kasha : Mata uang kerajaan Banten di masa Sultan Abul Mafakhir. Maulana : Sebutan bagi penguasa atau raja yang diambil dari bahasa Arab. Martabat Lima : Ajaran Sufistik yang diformulasikan Hamzah Fansuri dan Syamsudin al- Sumatrani terkait dengan lima

xiv

tingkatan atau proses pencitraan Tuhan dalam diri manusia. Martabat Tujuh : Ajaran sufistik yang diformulasikan al-Burhanfuri terkait dengan tujuh tingkatan atau proses pencitraan Tuhan dalam diri manusia. Mufti : Orang yang memberikan fatwa. Mustafti : Orang yang meminta fatwa. Mustaka/Cungkup : Ornamen yang berbentuk mahkota yang biasanya berada di atas masjid. Nayaka/Santana : Pegawai Kerajaan. Biasanya berasal dari dalam anggota kerajaan. Pabaranang : Peristiwa penyerangan pasukan Banten terhadap blokade kapal Belanda di tahun 1635 M. Padureksa : Bangunan berbentuk gapura yang banyak ditemui pada beberapa bangunan suci di kawasan Banten Lama. Pagerage : Peperangan yang berlangsung antara Banten dan Cirebon di akhir dekade 1640 M. Pailir : Perang saudara yang berlangsung di Banten sekitar tahun 1608 M. Pangeran : Gelar kerajaan yang sering digunakan oleh pewaris tahta dan para bangsawan. Papungkuran : Bangunan yang ada di tengah danau Tasikardi dan menjadi tempat Sultan Abul Mafakhir bertafakkur dan merenung. Punggawa : Pegawai Kerajaan. Biasanya berasal dari luar anggota kerajaan. Raja Sufi : Penguasa yang memiliki pengetahuan yang baik terhadap doktrin sufistik. Sultan : Penguasa yang memimpin sebuah

xv

Kesultanan. Tajalli : Cerminan atau Manifestasi. Tasikardi : Danau buatan yang terletak di selatan Surosowan. Biasanya disinggahi oleh Sultan Abul Mafakhir selepas berziarah dari makam Ibundanya. Warga : Dewan Musyawarah di Kesultanan Banten yang terdiri dari punggawa, nayaka dan para pejabat Banten lainnya

xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Skripsi ini dimaksudkan untuk menjelaskan salah satu penguasa yang paling penting di Kesultanan Banten, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Sultan Abul Mafakhir lahir di tahun 1596 M dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten1. Ia mulai berkuasa sejak tahun 1624 M hingga tahun 1651 M. Selama menjalankan kekuasaannya di Banten, Sultan Abul Mafakhir mampu menjaga kemerdekaan Banten. Dalam naskah Sajarah Banten (selanjutnya disebut Sajarah Banten), ada banyak peristiwa penting yang berlangsung selama masa kekuasaan Abul Mafakhir. Pertama, peristiwa pailir di tahun 1608 M, ia digambarkan sebagai perang saudara yang terjadi antara para pembesar negeri Banten. Kedua, peristiwa palumaju yang digambarkan sebagai pemberontakan yang digerakkan oleh seorang tokoh bernama ‘Lumaju’ di tahun 1640-an. Ketiga, pengiriman utusan Banten ke Mekkah di tahun 1630-an. Keempat, peristiwa pagerage yang

1 Merupakan gelar Abul Mafakhir sebelum mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M. Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”. Indonesia and The Malay World 31, no.91 (2003): 418.

1

2

mengisahkan upaya Banten dalam mempertahankan diri atas serbuan pasukan Cirebon di tahun 1650.2

Dalam naskah yang sama, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir bahkan dikenal sebagai Sultan Agung atau ‘penguasa besar’.3 Sosoknya sebagai salah satu ‘Sultan Agung’ Kesultanan Banten sering kali luput dari perhatian dan bahkan tertutupi oleh kegemilangan para penerusnya.

Dalam berbagai studi mengenai Sejarah Banten, peran Sultan Abul Mafakhir memang seakan tertutupi dengan kegemilangan penerusnya, Sultan Ageng Tirtayasa (ber 1651- 1682 M. Beberapa di antaranya adalah; pembangunan saluran irigasi, kanal serta ladang selama tahun 1659-1677 M.4 Atas jasa besarnya dalam membangun berbagai macam pengairan di Banten, gelar ‘Tirtayasa’ kemudian disematkan pada dirinya. Selain itu, Banten berhasil menjadi Kesultanan Jawa pertama yang mampu membentuk kongsi dagang sendiri dan mengirim kapal-kapal ke Kamboja, Filipina, Vietnam, Siam dan ke kawasan Asia Timur seperti China, Taiwan serta Jepang di

2 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta: WWS, 2015). 137-140. 3 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten (Jakarta: Djambatan, 1984). 199. Lihat juga Ernest Lavisse & Alfred Rambaud, Histoire Gerneralie: Les Monarchies constitutionnelles. (Paris: Armand Colin & Co, 1898). 998. 4 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (Jakarta: KPG- EFEO, 2008). 205-206.

3

1660’an.5 Namun, kegemilangan Sultan Ageng Tirtayasa bukan muncul dari ruang yang hampa. Ia muncul dari fondasi kuat yang telah diletakkan oleh para pendahulunya.

Menurut penulis, salah satu penguasa Banten yang berhasil menciptakan fondasi yang kokoh adalah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). Dalam bidang pertanian, Sultan Abul Mafakhir juga banyak membuka ladang baru, membangun lumbung serta memformulasikan gula sebagai komoditas baru di Banten.6 Sedangkan dalam bidang perniagaan, Sultan Abul Mafakhir menggandeng EIC (East Indies Company) untuk mengekspor gula ke Batavia dan beberapa kawasan lain di Nusantara.7 Hasilnya, perekonomian dan perniagaan Banten menjadi lebih stabil dan kuat dibanding dengan periode sebelumnya.

Salah satu indikator dari perbaikan ekonomi Banten masa itu adalah harga lada yang membaik dan diikuti dengan kemunculan gula sebagai komoditas perdagangan baru di Banten. Terkait dengan harga lada, data yang dihimpun oleh Johan Talens menunjukkan, di tahun 1620’an yang merupakan

5 Claude Guillot, Hasan M. Ambary & Jacques Dumarcay, The Sultanate of Banten (Jakarta: Gramedia Book Publishing Division, 1990). 49-52. 6 Claude Guillot, Lukman Nurhakim and Claudine Salmon, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”. Archipel 39 (1990):141-142. 7 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater (Hilversum: KITLV-Verloren, 1999). 76-77. 4

masa awal pemerintahan Sultan Abul Mafakhir, harga lada berada di kisaran 1,8 real/bahar. Harga lada kemudian meningkat di tahun 1630’an menjadi 18,75 real/bahar. Kenaikan harga lada terus berlangsung hingga akhir masa kekuasaannya. Di tahun 1640’an dan 1650’an, harga lada menjadi 20,5 real/bahar dan 22 real/bahar.8 Salah satu faktor atas kenaikan harga lada Banten adalah kembalinya Inggris ke pasar Banten di tahun 1628 M. Sultan Abul Mafakhir mengundang secara khusus orang-orang Inggris yang ada di Pulau Lagundi untuk membuka kembali loji Inggris di Banten.9

Perdagangan lada menjadi lebih terbuka dengan kehadiran EIC (East India Company). Kebijakan waliraja Ranamanggala yang sebelumnya memberi hak khusus bagi para pedagang keturunan Cina juga dibatalkan oleh Sultan Abul Mafakhir. Di sisi lain, Sultan Abul Mafakhir juga berusaha untuk menurunkan jumlah produksi lada. Di tahun 1629, jumlah ekspor lada Banten hanya sekitar 15.000 hingga 16.000 karung. Jumlah tersebut turun drastis dari produksi tahun 1627 yang mencapai 50.000-60.000 karung dan tahun 1620 yang mencapai 100.000 karung.10 Kemampuan Sultan Abul Mafakhir dalam emperbaiki demand (permintaan) dan

8 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 86. 9 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651- 1682)”. Archipel 50, (1995): 105. 10 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara (Yogyakarta: Ombak, 2016). 401.

5

supply (ketersediaan) agaknya menjadi salah satu faktor pendorong dari harga lada Banten yang cenderung naik.

Melalui keterlibatan Inggris juga, gula muncul sebagai komoditas baru di tahun 1620’an. Claude Guillot dalam penelitiannya menemukan sebuah kontrak kerja yang disepakati antara orang Cina di Banten dengan loji Inggris, bahwa semua gula yang dihasilkan oleh para petani hanya boleh dijual kepada pihak Inggris. Kontrak tersebut berlangsung antara bulan Februari 1638 sampai Januari 1640. Dalam kontrak ini, Sultan Abul Mafakhir sendiri berperan sebagai pengawas agar segala hak dan kewajiban yang disepakati dalam kontrak tersebut bisa dipenuhi oleh masing- masing pihak. Gula yang dihasilkan dalam setahun diperkirakan mencapai 450 pikul atau 2,8 ton gula putih dengan kualitas bagus.11 Gula yang dibeli Inggris kemudian di ekspor oleh EIC (East India Company) ke Batavia. Di tahun 1637 M bahkan gula yang diekspor ke Batavia mencapai 3000 pikul atau sekitar 20 ton.12

Di tengah kondisi ekonomi Banten yang mulai membaik, Abul Mafakhir juga mengirim utusan ke Mekkah di

11 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 12 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 76-77. 6

tahun 1630-an.13 Utusan Banten kembali pulang di tahun 1638 dengan membawa berbagai hadiah dari Mekkah, di antaranya; (1) gelar ‘Sultan’, (2) kain penutup ka’bah, (3) kitab al- Mawahib ar-Rabbaniyyah, (3) jejak kaki Nabi, (4) bendera Nabi Ibrahim serta beberapa barang lainnya.14 Hasilnya, Banten berhasil memperoleh otoritas keagamaan yang kuat untuk mempersatukan negeri dan membentuk ideologi Banten sebagai sebuah Kerajaan Islam. 15 Lebih jauh lagi, hubungan Banten dengan Mekkah di tahun itu menjadi role model bagi penguasa lain, dalam hal ini Raja Mataram untuk melakukan hal serupa.16

Pengiriman utusan ke Mekkah oleh Sultan Abul Mafakhir hampir selalu dimaknai sebagai usaha mencari gelar ’Sultan’.17 Padahal, utusan ini dikirim dengan membawa misi meminta fatwa atas kitab berjudul Marqum, Muntahi dan

13 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 137-140. Lihat juga Michael Laffan, Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2015). 18. 14 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 54-58. Lihat juga Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and : Religious Institutions in Banten Sultanate”. Archipel, 50 (1995): 167. 15 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 148-149. 16 Daghregister 1661, 88. Lihat juga De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Grafiti pers, 1986). 272-275. 17 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren: Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167. M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in (Connecticut: EastBridge, 2006). 159.

7

Wujudiyah18 serta meminta dikirimkan seorang ahli agama ke Banten.19 Terlebih lagi, fatwa yang berasal dari Mekkah memiliki pengaruh yang sangat besar di abad ke-17.20 Oleh sebab itu, usaha mencari fatwa agaknya lebih tepat jika dibandingkan dengan tujuan mencari ‘gelar’ semata. Selain itu, di tahun 1640’an Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke Nurudin al-Raniri (w. 1658). Utusan ini dikirim ke kampung halaman Nurudin al-Raniry di India, berselang beberapa tahun setelah ia kembali dari Aceh.21

Poin penting yang juga perlu ditekankan adalah ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap ilmu tasawuf, khususnya doktrin insan kamil. Sebagai wujud ketertarikannya, Sultan Abul Mafakhir menyalin atau setidaknya memberikan perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil karya Abd’ al- Karim al-Jili.22 Selain itu, Sultan Abul Mafakhir juga memiliki ketertarikan terhadap sosok raja yang adil yang terdapat dalam

18 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53. Lihat juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890 (Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. 19 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. 20 Nico Kaptein, “The Voice of The ‘Ulama’: Fatwas and Religious Authority in Indonesia”. Archives de Science sociales des religions 49, no. 125 (2004): 125. 21 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili (Serang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2015). 3. 22 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili. 197-198. 8

kitab Nasihat al-Mulk karya al-Ghazali (w. 1111 M). Seorang raja haruslah memiliki sifat yang adil terhadap masyarakatnya. Karena dengan sifat ini, kesempurnaan seorang Raja dapat diukur dengan kemampuannya menjaga keamanan dan kestabilan negeri.23

Dalam hal ini, kitab Taj al-Salatin menguraikan konsep ideal bagi seorang raja. Dalam hal ini konsep yang diperkenalkan dalam naskah dengan istilah “adil”, yang merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama. Dalam Taj al-Salatin, seorang penguasa harus memiliki empat kriteria untuk menjadi Raja Adil. Kriteria tersebut di antaranya (1) seorang penguasa harus selalu ingin menuntut ilmu pada ulama, (2) memperhatikan kondisi rakyatnya, (3) menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan serta (4) melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan.24 Untuk memenuhi kriteria tersebut, seorang Raja Sufi juga perlu banyak membaca karya-karya sufistik. Dalam Sajarah Banten, Sultan Abul Mafakhir juga memiliki empat kriteria yang sudah disebutkan sebelumnya. Ia mengirimkan utusan ke Mekkah dan India untuk menuntut ilmu dan fatwa kepada para ulama. Sultan Abul Mafakhir juga menunjukkan kepedulian kepada rakyatnya dengan mengirimkan bantuan kepada rakyatnya

23 Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19 (Jakarta: INIS, 1995). 110-112. 24 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012). 52-53.

9

yang sedang sakit. Selain itu, ia juga banyak membaca kitab yang membentuk dirinya menjadi seorang Raja Sufi. Beberapa di antaranya adalah Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali, al- Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili, al-Lama’an karya Nurudin ar-Raniry serta al-Muntahi karya Hamzah Fansuri.

Berdasarkan uraian di atas, skripsi ini akan berfokus kepada masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir yang membentang sejak 1624 hingga 1651 M. Dari gelar yang digunakan oleh Abul Mafakhir masa kekuasaannya dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, periode Kepangeranan, di mana gelar yang digunakan adalah ‘pangeran’ dan berlangsung sejak 1624-1638 M. Kedua, periode Kesultanan, yang berlangsung sejak 1638-1651 M. Kebijakan pertanian, perdagangan dan pertahanan lebih dominan selama periode pertama. Dalam bidang pertanian, Sultan Abul Mafakhir banyak melakukan pembangunan. Beberapa di antaranya adalah saluran irigasi serta lumbung yang dibangun antara tahun 1631-1636 M.25 Dalam bidang perdagangan, Sultan Abul Mafakhir mengundang ‘kembali’ EIC (East India Company) untuk mendirikan loji dagang di Banten tahun 1628 M. Menurut Guillot, kembalinya Inggris ke pasar Banten merupakan titik krusial dari kegiatan dagang di Banten yang hancur lebur di masa sebelumnya.26 Sedangkan dalam bilang

25 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373. Lihat juga Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 106. 26 Claude Guillot, The Sultanate of Banten. 35. 10

pertahanan, Sultan Abul Mafakhir berusaha membangun aliansi dengan Inggris untuk melawan Belanda. Usaha ini terdokumentasi melalui dua pucuk surat yang dikirim dari Banten kepada Raja Inggris di tahun 1629 M dan 1635 M.27

Periode kedua kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir berlangsung sekitar tahun 1638-1651, yang ditandai dengan pergantian gelar penguasa Banten dari Pangeran Ratu menjadi Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Gelar tersebut didapatkan oleh Abul Mafakhir setelah utusan yang ia kirim ke Mekkah berhasil kembali ke Banten di tahun 1638 M. Utusan Banten tersebut membawa dua misi, yaitu untuk meminta penjelasan atas kitab Makum, Muntahi dan Wujudiyyah serta meminta seorang ahli agama untuk mencerahkan Banten.28 Selain ke Mekkah, Sultan Abul Mafakhir juga mengirim utusan ke India di tahun 1640-an. Tujuan dari utusan ini adalah untuk meminta penjelasan al-Raniry mengenai doktrin wahdatul wujud Hamzah Fansuri.29

Penelitian mengenai masa kekuasaan Sultan Abul Mafakhir sejatinya masih sangat mungkin untuk dilakukan.

27 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”:0 418. 28 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. Lihat juga Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890. 15-17. 29 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren: Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167-168. Lihat juga Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry (Jakarta: Rajawali, 1983). 55-56.

11

Mengingat terdapat beberapa bukti sejarah, baik berupa naskah maupun artefak yang menyediakan informasi penting mengenai Sultan Abul Mafakhir, di antaranya:

1. Masjid Kenari, sebuah rumah ibadah yang memiliki gaya arsitektur kuno seperti atap bersusun tiga, memiliki mustaka di bagian puncak dan ukuran pintu yang kecil.30 Selain itu, di dalam Masjid Kenari tersimpan sebuah pedang yang memiliki bentuk seperti pedang dzulfiqar. Merupakan makna dari penyebaran Islam di Nusantara.31

2. Tak jauh dari Masjid Kenari terdapat sebuah danau buatan dengan yang dikenal dengan Tasikardi dan pulau di tengahnya yang disebut papungkuran. Tempat ini merupakan tempat istirahat dan bertafakkur bagi Sultan Abul Mafakhir setelah ia mengunjungi makam ibundanya di Kenari.32

30 Kees Van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid” dalam Masa Lalu dan Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ed. Peter J.M Nas dan Martien Vletten (Jakarta: Gramedia, 2009). 57-60. 31 Rizqi Maulvi Nur Annisa & Mukhlis Aliyudin, “Fenomena Dakwah Nyangku” (Makalah dipresentasikan pada Prosiding Seminar Dakwah 2017: Evaluasi Perkembangan dan Kelembagaan Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Jatinagor, Bandung, 27-29 Oktober 2017). 51. 32 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 362-363. Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. 12

3. Naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al- Jawiyyah dan gelar ‘Sultan’, keduanya merupakan pemberian yang didapatkan dari Mekkah yang masih mudah dilacak. Sultan Abul Mafakhir sampai saat ini diketahui sebagai penguasa pertama di tanah Jawa yang mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M. Sementara itu, naskah al-Mawahib ar- Rabbaniyyah merupakan kumpulan pertanyaan yang dilontarkan oleh Sultan Abul Mafakhir dan dijawab oleh Muhammad bin Allan.

4. Bukti lainnya yang hingga kini dapat dijumpai adalah mata uang Banten. mata uang ini disebut juga dengan istilah “Kasha” dengan bentuk berupa koin tembaga yang memiliki lubang segi enam di tengahnya. Di permukaan koin, terdapat inskripsi “Pangeran Ratu Ing Banten”33

B. Identifikasi Masalah

Kesultanan Banten merupakan salah satu kekuatan politik Islam terbesar di tanah Jawa. Ia berhasil bertahan dari gempuran Mataram dan desakan Batavia di waktu yang sama. Dalam peristiwa tersebut, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (w.1651 M) menjadi salah satu penguasa Banten

33 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 148-149.

13

yang mampu mempertahankan kemerdekaan Banten. Di bawah kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir, perniagaan dan perekonomian Banten juga kembali bangkit. Selain itu, pencapaian yang tak kalah mentereng adalah pengiriman utusan ke Mekkah di tahun 1630-an dan India di tahun 1640- an. Ia bahkan tercatat sebagai penguasa pertama di tanah Jawa yang mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M.34

Di sisi lain, pengiriman utusan atau utusan tersebut sebaiknya perlu dimaknai sebagai upaya Banten untuk melibatkan diri dalam dunia Islam yang lebih luas lagi. Di masa tua, sosok Sultan Abul Mafakhir dikenal sebagai sosok ‘Sultan Agung’ yang mampu memerintah Banten dengan adil dan bijaksana. Citranya sebagai Sultan Agung lahir dari proses pembelajarannya terhadap doktrin sufistik, yaitu; insan kamil atau Perfect Man. Dalam literatur-literatur yang kemudian berkembang, sosok raja yang demikian adalah seorang ‘Raja Sufi’.

Dari kegemilangannya di masa lalu, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) ternyata masih belum banyak dikenal oleh masyarakat Banten, terlebih lagi Indonesia. Sementara itu, dalam bidang akademik, penulis masih belum menjumpai sebuah karya ilmiah atau tulisan

34 Michael Laffan, Sejarah Isjawalam Nusantara. 18. 14

akademik yang membahas secara detail mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Hal tersebut tentunya menggambarkan sebuah paradoks: seorang Sultan yang memiliki peran besar dalam kegiatan politik, ekonomi atau bahkan keagamaan di Kesultanan Banten ternyata masih belum banyak dikenal. Selain itu, ia juga menjadi mata rantai penting dan tak terpisahkan dari kejayaan Banten di masa lalu.

C. Batasan Masalah

Dari permasalahan yang sudah penulis identifikasi sebelumnya, maka skripsi ini akan difokuskan untuk membahas sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang hidup pada tahun 1596-1651 M. Dari lintasan waktu tersebut, pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, ketika Abul Mafakhir menggunakan gelar ‘Pangeran’ (Kepangeranan) dari tahun 1624-1638 M. Kedua, ketika Abul Mafakhir menggunakan gelar ‘Sultan’ (Kesultanan) yang berlangsung dari tahun 1638-1651 M.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka terdapat tiga masalah yang akan penulis bahas, di antaranya; apa yang dimaksud dengan Raja Sufi, Siapakah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dan bagaimana ia berkembang menjadi seorang Raja Sufi.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

15

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dibahas sebelumnya, maka ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini. Pertama, menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan Raja Sufi. Kedua, menjelaskan sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). Ketiga, menjelaskan mengenai proses Sultan Abul Mafakhir menjadi seorang Raja Sufi.

Adapun manfaat yang ingin dihadirkan dalam skripsi ini adalah untuk memberikan gambaran dan analisis mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa di Kesultanan Banten tahun 1624-1651 M. Selain itu, skripsi ini juga diharapkan untuk memberikan kontribusi akademik yang dapat menambah khasanah keilmuan dalam penelitian mengenai Kesultanan Banten.

F. Metode Penelitian

Skripsi ini bersifat analytical history (sejarah analitis). Analytical history menurut M. Dien Madjid adalah aliran penulisan sejarah yang memanfaatkan teori dan metodologi. Di dalamnya terkandung penjelasan mengenai asal mula, sebab- sebab, kecenderungan maupun perubahan yang berasal dari suatu peristiwa dan terkait dengan masalah politik, sosial ataupun kebudayaan.35 Oleh karenanya, metodologi yang

35 M. Dien Madjid & Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar (Jakarta: Prenada Media, 2014). 218. 16

digunakan dalam penelitian ini adalah alur metodologi sejarah yang terdiri dari heuristik atau pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik sumber, interpretasi atau penafsiran serta yang terakhir adalah penulisan36.

Dalam proses heuristik, penulis menggunakan teknik studi kepustakaan (library research) dan observasi (pengamatan).37 Melalui studi kepustakaan, penulis menggunakan sumber tertulis seperti manuskrip, buku tertulis maupun jurnal sebagai sumber kajian. Beberapa manuskrip yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah al- Mawahib al-Rabbaniyyah ‘an-As’ila al-Jawiyyah (A 105), naskah Jauhar al-Haqa’iq (A31) yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI. Informasi awal mengenai naskah tersebut penulis dapatkan dari katalog naskah yang disusun oleh Voerhoeve (1980) dan Behrend (1998). Selain itu, informasi yang lebih praktis penulis temukan dalam katalog online Thesaurus of Indonesian Islamic Manuscript (TIIM) yang diarahkan oleh Oman Fathurahman.38 Sumber penting lainnya adalah catatan perjalanan dari James Lancaster yang mengunjungi Banten di tahun 1602 M dan Thomas Best di

36 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013).69. 37 M. Dien Madjid & Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar. 218. 38https://lektur.kemenag.go.id/naskah/index.php?filterBy=title&titl e=20080725144141 diakses pada 8 November 2018 pukul 15.36 WIB.

17

tahun 1613-1614 M.39 Keduanya memberikan informasi penting mengenai keadaan ekonomi Banten sebelum Sultan Abul Mafakhir berkuasa.

Penulis juga melakukan penelusuran awal melalui berbagai macam sumber sekunder. Beberapa di antaranya adalah buku Menyusuri Jejak Kesultanan Banten karya Titik Pudjiastuti, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten karya Hoesein Djajadiningrat serta karya Johan Talens yang berjudul Een feodal samenleving in koloniaal vaarwater. Ketiganya menyediakan keterangan yang sangat berguna bagi penulis untuk memahami keadaan politik dan ekonomi Banten sebelum dan ketika Sultan Abul Mafakhir berkuasa. Selain buku cetak, penulis juga menghimpun beberapa informasi penting dari beberapa artikel, di antaranya adalah artikel Shari’a court, tarekat and pesantren: Religious Institutions in Banten Sultanate karya Martin van Bruinessen, La Politique Vivriere de Sultan Ageng (1651-1682) karya Claude Guillot dan Les Sucriers Chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siecle, Textes en Vestiges yang disusun Claude Guillot bersama Lukman Nurhakim dan Claudine Lombard- Salmon. Sebagian besar artikel yang penulis himpun sebagai sumber skripsi ini diperoleh dari jurnal Archipel yang memang bisa di unduh dengan koneksi pribadi. Sebagian lainnya penulis

39 Clement Markham (ed.), The Voyages of Sir James Lancaster to The East Indies digital version (New York: Cambridge University Press, 2010). Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies 1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934) 18

unduh dari Jstor yang diakses dari lantai 5 Perpustakaan Utama UIN Jakarta.

Sementara itu, dengan menggunakan teknik observasi (pengamatan), penulis menghimpun informasi yang terkandung dalam sumber bendawi, antara lain: mata uang ‘Kasha’ Banten yang memiliki inskripsi “Pangeran Ratu Ing Banten” yang kemungkinan besar merujuk pada masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir. Menurut Bernard Lewis, inskripsi dari sebuah mata uang dapat memberikan informasi mengenai raja ataupun penguasa yang memimpin di daerah tersebut.40 Kini, mata uang “Kasha” berada di Museum Nasional RI. Selain itu, sumber bendawi lainnya adalah sebuah pedang bercabang yang ada di Masjid Kenari Banten. Pedang tersebut diidentifikasi sebagai pedang dzulfiqar yang menjadi lambang penyebaran agama Islam di Nusantara.41

Tahapan selanjutnya adalah verifikasi atau kritik sumber. Pada tahapan ini, penulis berusaha menguji keaslian serta kredibilitas sumber-sumber yang telah berhasil dihimpun oleh penulis sebelumnya. Pertama, kritik ekstern, di mana penulis berusaha melakukan kritik atas sumber-sumber primer lokal, di antaranya adalah naskah al-mawahib al-rabbaniyah dan Jauhar al-Haqa’iq yang tersimpan di Perpustakaan

40 Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988). 45-46. 41 Rizqi Maulvi Nur Annisa & Mukhlis Aliyudin, “Fenomena Dakwah Adat Nyangku”. 51.

19

Nasional. Keduanya masih dalam keadaan yang cukup bagus, sehingga muncul asumsi bahwa keduanya adalah naskah ‘salinan’. Asumsi ini juga sejalan data yang ditunjukkan oleh Jajat Burhanuddin, bahwa naskah asli dari al-Mawahib ar- Rabbaniyyah berada di Perpustakaan Leiden dengan nomor panggil Cod.Or. 7405(4).42 Meskipun yang digunakan hanya naskah salinan, penulis beranggapan bahwa unsur primer melekat pada naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional tersebut tidaklah hilang.43

Naskah dengan judul lengkap al-Mawahib ar- Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyyah.44 ini memiliki sedikit lubang di beberapa halaman, akan tetapi masih dapat dibaca dengan jelas. Ukuran naskah dalam satu halaman adalah 31 cm x 19,7 cm sedangkan teksnya berukuran 24,3 cm x 12 cm. Dalam setiap halaman, ada 7-9 larik yang disertai dengan penjelasan bahasa Jawa dengan aksara Arab di setiap barisnya dengan tinta hitam dan tinta merah pada setiap rubriknya.

Sementara itu, kertas yang digunakan adalah kertas Eropa, dengan watermark M. Schouten & Co dan countermark IVC

42 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 45. Lihat juga P. Voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts in The Library of University of Leiden and Others Collection in the Netherlands Second Edition (The Hague: Leiden University Press, 1980). 204-205. 43 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985). 45. 44 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyyah, 5. 20

(I. Villedary Jo) kemungkinan sebuah singkatan dari45. Sedangkan garis vertikal (Chain Line) sebesar 2,6 cm antara garis yang satu dengan yang lainnya dan garis horizontal (Laid Line) berjumlah 11 buah dalam 1 cm.

Sedangkan dari aspek internalnya, naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah terdiri dari sepuluh pertanyaan dan total jumlah halaman mencapai 157. Sebelum masuk ke bagian pertanyaan, ada sedikit penjelasan mengenai judul naskah, identitas Sultan Abul Mafakhir sebagai peminta fatwa:“...Ini adalah Risalah yang berjudul al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyyah.... Pemimpin Islam dan Muslimin... Abul Mafakhir Abd al-Qadir al-Jawi...”.46 Penulis juga berusaha membandingkan keterangan dari satu sumber kepada sumber lainnya. dalam naskah al-Mawahib, penulis melihat bahwa ada tiga pertanyaan yang merujuk pada kitab Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali. Hasilnya, penulis menemukan bahwa ada keserasian antara keterangan yang ada pada keduanya. Selain itu, penulis juga membandingkan keterangan yang terdapat pada sumber sekunder. Salah satunya adalah buku Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII karya Claude Guillot. Buku ini adalah kumpulan artikel Guillot tentang Banten yang

45 Penjelasan mengenai watermark dan countermark tersebut penulis dapatkan dari Mpu Tantular, “Serat Lokapali Kawi: An Eighteenth-century manuscript of the Old Javanese Arjunawijaya” dalam Bernard Arps & Wilem van der Molen (ed.) Indonesian Development Project, 3 (1994): ix. 46 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 5-6.

21

sudah diterjemahkan dan dihimpun menjadi sebuah buku. Oleh sebab itu, penulis berusaha membandingkan antara keterangan yang terdapat di buku dengan artikel asli yang sudah di unduh dari Archipel. Hasilnya, beberapa kali ditemukan bahwa keterangan yang ada dari footnote artikel asli ditempatkan pada bagian utama buku. Selain itu, penempatan gambar juga berada pada posisi yang berbeda. Dalam sumber sekunder lainnya, keterangan berbeda juga ditemukan pada umur Abul Mafakhir setelah Maulana Muhammad mangkat. Hasan M. Ambary menyatakan bahwa umur Abul Mafakhir saat itu 9 tahun, sedangkan Djajadiningrat menyebut 5 bulan.

Tahapan berikutnya adalah interpretasi atau penafsiran, di mana penulis berusaha menguraikan bagaimana Sultan Abul Mafakhir memimpin Kesultanan Banten dan menguraikan bagaimana ia bertransformasi menjadi seorang Raja Sufi. Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi analitis dengan menguraikan fakta-fakta yang telah dihimpun dan menarik sebuah kesimpulan dari sana, sehingga dapat menjadi penulisan sejarah yang baik. Dalam melakukan interpretasi, penulis menggunakan teori pemimpin kharismatik dari Weber yang dalam konteks kerajaan Jawa dirumuskan oleh Ricklefs menjadi konsep ‘Raja Sufi’. Berbagai sumber primer maupun sekunder yang penulis dapatkan dari studi kepustakaan dan observasi juga digunakan untuk menguatkan analisis penulisan. 22

Tahapan selanjutnya adalah historiografi yang merupakan tahapan akhir dari sebuah penulisan sejarah. data serta fakta sejarah yang sudah dihimpun ke dalam penulisan sejarah. Berbagai opini, data ataupun fakta yang diperoleh dari hasil penelitian pustaka maupun pengamatan dituangkan ke dalam skripsi. Harapannya, skripsi ini mampu melengkapi penelitian sejarah terdahulu mengenai Kesultanan Banten, lebih khusus lagi mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dipahami oleh para pembaca.

Dalam skripsi ini, sumber pedoman yang digunakan adalah Surat Keputusan Rektor tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi terbitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan ditetapkan pada tanggal 14 Juni 2017.47

G. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, skripsi ini memiliki enam (6) bab pembahasan, adapun susunan pembahasannya adalah sebagai berikut:

BAB I Membahas mengenai Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah,

47 Surat Keputusan Rektor, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi (Jakarta: Tanpa Penerbit, 2017)

23

tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan juga sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini.

BAB II Membahas Kajian Pustaka yang terdiri dari landasan teori, tinjauan pustaka serta kerangka berpikir yang digunakan dalam skripsi ini.

BAB III Membahas mengenai gambaran umum mengenai Raja Sufi. Pembahasannya dimulai dari doktrin insan kamil sebagai sumber pembentuk Raja Sufi, konsep Raja Sufi di tanah Melayu dan tanah Jawa serta yang terakhir mengenai Raja Sufi di Kesultanan Banten.

BAB IV Membahas mengenai Kesultanan Banten pada masa Sultan Abul Mafakhir. Pembahasannya meliputi Kesultanan Banten sebelum Sultan Abul Mafakhir, masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, hubungan Banten dengan Inggris dan Belanda serta pengiriman utusan Banten ke Mekkah dan India.

BAB V Membahas mengenai Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi. Pembahasannya meliputi kitab al- 24

Mawahib ar-Rabbaniyyah dan perkembangan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dari Raja Jawa menjadi Raja Sufi dalam urutan peristiwa yang kronologis.

BAB VI Membahas mengenai kesimpulan serta saran dan masukan untuk perbaikan penelitian ke depannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Teori yang sesuai untuk mengulas mengenai masa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir adalah teori Weber tentang Otoritas Karismatik. Dalam otoritas karismatik, ketaatan absolut dan keyakinan pada kualitas individu seorang pemimpin lebih ditekankan. Artinya, seorang pemimpin dituntut memiliki kesempurnaan, baik dalam aspek batiniah maupun lahirian. Dalam perumpamaan Weber, pemimpin karismatik muncul dalam dua bentuk figur yang berbeda. Figur Nabi di satu sisi dan figur panglima perang di sisi lain.1 Kepemimpinan Kharismatik memang lazim ditemui pada sosok raja-raja Nusantara di abad ke-17 M. Baik raja-raja Melayu maupun raja-raja Jawa memiliki karisma yang kuat pengaruhnya.

Karisma yang kuat dari seorang raja sering kali bersumber pada ajaran moral keagamaan, dalam hal ini adalah ajaran-ajaran sufistik yang berkembang pesat di Nusantara abad ke-17-19. Teori mengenai karisma penguasa yang bersumber pada ajaran sufistik sejatinya sudah dirumuskan oleh A.C Milner, M.C Ricklefs dan Abd. Rahim Yunus. Dalam

1 Max Weber, Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 93-94.

25

26

artikelnya, Milner menyebut bahwa raja-raja Melayu memiliki ketertarikan yang kuat terhadap doktrin ‘perfect man’ atau insan kamil.2 Doktrin tersebut menjadi sumber karisma dan legitimasi dari seorang raja. Sedangkan Ricklefs yang menjadikan Jawa sebagai fokus kajiannya menemukan bahwa Ratu Pakubuwana berusaha mendesain pemerintahan Pakubuwana II yang berlangsung dari tahun 1726-1749 M sebagai Sufi Warrior King yang berlandaskan pada ketaatan ajaran sufi agar pemerintahannya menjadi semakin kuat. Usaha tersebut diwujudkan oleh Ratu Pakubuwana dengan menulis beberapa kitab yang ditujukan sebagai pegangan Pakubuwana II dalam menjalankan pemerintahannya.3 Baik di tanah Melayu maupun Jawa, mengandung keserasian bahwa ajaran insan kamil mengambil peran penting dalam memperkuat karisma seorang raja. Melalui doktrin insan kamil, seorang penguasa dapat dikatakan sempurna manakala ia mampu menjaga keamanan dan stabilitas negeri yang ia pimpin, sehingga pada akhirnya ia akan menjadi seorang Raja Sufi.4

Serupa dengan contoh yang disebut di atas, Sultan Abul Mafakhir juga memiliki ketertarikan terhadap doktrin insan kamil. Hal tersebut dapat dilihat ketika ia mengeluarkan

2 A.C Milner, “Islam and Malay Kingship”. The Journal of The Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, no.1 (1981): 54. 3 M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge, 2006). 103-115. 4 Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton (Jakarta: INIS, 1995). 112.

27

perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al- Awakhir wa al-Awa’il karya Abd al-Karim al-Jili dan memberikan terjemahan bahasa Jawa pada setiap lariknya.5 Dalam hal ini, pembahasan mengenai Sultan Abul Mafakhir masih relevan dengan rumusan teori ‘Raja Sufi’.

B. Kajian Pustaka

Kajian mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir merupakan penelitian yang relatif baru. Karena sepengetahuan penulis, masih belum ada penelitian terdahulu yang secara khusus membahas Sultan Banten keempat ini. Meskipun demikian, ada beberapa sumber dalam bentuk buku, artikel maupun jurnal yang menyinggung tentang sosok Sultan Abul Mafakhir secara umum. Beberapa yang dijadikan sumber dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten (1983) yang merupakan disertasi Hoesein Djajadiningrat yang sudah dijadikan buku. Buku ini memusatkan kajiannya pada teks Sajarah Banten dan menjelaskan secara umum mengenai Kesultanan Banten. Penulis menjadikan buku ini sebagai salah satu sumber utama karena buku ini mengandung banyak informasi mengenai Sultan Abul Mafakhir. Korelasinya

5 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili: 13-14. Lihat juga Michael Feener & Michael Laffan, “Sefi Scent Across the Indian Ocean: Yemeni Hagioghrapy and the Earliest History of Southeast Asian Islam”. Archipel 70 (2005): 205.

28

dengan kajian penulis adalah buku ini memberikan peran besar dari Sultan Abul Mafakhir dan sosoknya sebagai ‘Sultan Agung’ di Banten.

Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (2015) merupakan tesis dari Titik Pudjiastuti yang juga sudah dibukukan. Penelitian yang dilakukan oleh Titik Pudjiastuti ini menggunakan magnum opus yang sama dengan Hoesein Djajadiningrat, yaitu: teks Sajarah Banten. Meskipun demikian, buku ini menghadirkan keteraturan yang lebih baik dibanding buku sebelumnya. Penulis menggunakan buku ini sebagai sumber pembanding dari buku sebelumnya agar informasi yang diperoleh dari Sajarah Banten bisa tersaring dengan baik.

Een Feodale Samenleving in Koloniaal Vaarwater (1999) karya Johan Talens, mengkaji tentang keadaan Kesultanan Banten dengan rentang tahun 1600-1750 M. Buku ini mengkaji tentang bentuk pemerintahan Kesultanan Banten beserta keadaan ekonominya. Relevansinya dengan penelitian penulis adalah keadaan ekonomi dan negara yang lebih stabil di masa Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, dalam buku ini juga disinggung mengenai utusan Banten ke Mekkah yang akhirnya membentuk citra Banten sebagai sebuah Kerajaan Islam. Buku ini membantu penulis dalam mengumpulkan informasi mengenai Kesultanan Banten di masa Sultan Abul Mafakhir, baik dari aspek perdagangan, pertanian keagamaan.

29

Laporan penelitian yang disusun oleh Mufti Ali dan kawan-kawan yang berjudul Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shayk Abd al-Karim al-Jili dalam Naskah al-Insan al- Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa;il (2015). Fokus dari kajian ini adalah untuk membedah informasi mengenai naskah al-Insan al-Kamil yang ditemukan di Banten. Dalam melakukan penelitian ini, Mufti Ali dan kawan-kawan menggunakan naskah al-Insan al-Kamil yang tersimpan di Perpustakaan Leiden. Relevansinya dengan penelitian penulis adalah perkembangan doktirin ‘Insan Kamil’ yang pernah berkembang di Banten. Laporan penelitian tersebut menyajikan informasi penting seperti penyalinan teks al-Insan al-Kamil ternyata dititahkan oleh Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1624-1651 M).

Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (2008) karya Claude Guillot, sejatinya buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini merupakan kumpulan dari artikel- artikel Guillot tentang Kesultanan Banten. Guillot memang penulis yang sangat produktif dalam kajian tentang Banten. Buku ini banyak menyinggung tentang Sultan Abul Mafakhir, bahkan dalam salah satu bagiannya, Guillot seolah menantang para pembaca untuk menulis tentang Sultan Abul Mafakhir. Relevansinya dalam penelitian ini adalah bahwa kejayaan yang dialami Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa merupakan sebuah keniscayaan dari perkembangan Banten di masa

30

pemerintahan sebelumnya, dalam hal ini pemerintahan Sultan Abul Mafakhir.

Martin van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul Shari’a Court, tarekat and pesantren: Religious Institutions in Banten Sultanate (1995), mengkaji tentang institusi keagamaan di Kesultanan Banten. Artikel ini menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana otoritas keagamaan muncul di Kesultanan Banten. Relevansinya dalam penelitian penulis bahwa Sultan Abul Mafakhir disebut oleh van Bruinessen mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar. Padahal, dalam Sajarah Banten jelas tercantum bahwa Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta fatwa dan seorang ahli agama dari Mekkah agar dikirim ke Banten untuk menjadi penasihat raja.

Sedangkan posisi dari skripsi ini adalah untuk melengkapi tulisan-tulisan di atas yang penulis anggap belum bisa menggambarkan sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir secara utuh. Oleh sebab itu, skripsi ini akan membahas secara komprehensif mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dari awal ia berkuasa hingga menjadi seorang Raja Sufi dari Kesultanan Banten.

C. Kerangka Berfikir

Raja Sufi merupakan sebuah konsep atau rumusan teori tentang seorang raja atau penguasa yang memiliki pengetahuan

31

sufistik. Konsep Raja Sufi sangat cocok untuk digunakan ketika hendak menggambarkan sosok penguasa Nusantara di abad 17 dan 18. Hal tersebut tak terlepas dari fakta bahwa politik kerajaan hampir selalu berpusat pada sosok raja serta ajaran sufistik yang masif berkembang saat itu. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, konsep Raja Sufi sangat mudah ditemui di Nusantara, baik di Kerajaan Melayu seperti Aceh dan Malaka maupun di Kerajaan Jawa seperti Mataram Islam dan Banten tentunya.

Konsep Raja Sufi sering kali bersumber pada doktrin insan kamil. Seorang Raja Sufi mampu menyadari tugasnya sebagai wakil Tuhan di Bumi, sehingga ia bertanggung jawab secara lahir dan batin dalam menjaga keamanan dan kestabilan di negerinya. Beredarnya kitab al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al- Awakhir wa al-Awa’il karya Abd al-Karim al-Jili juga menjadi pendorong bagi perkembangan doktrin insan kamil di Nusantara, tak terkecuali di Banten. bahkan, Sultan Abul Mafakhir juga menaruh minat yang besar pada doktrin insan kamil. Ketertarikan tersebut diwujudkan oleh Sultan Abul Mafakhir dengan sebuah perintah untuk menyalin kitab al- Insan al-Kamil dan memberikan terjemahan bahasa Jawa pada tiap lariknya.

Ketertarikan terhadap doktrin insan kamil inilah yang menjadi titik penting dari perkembangan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi. Proses perjalanan Abul Mafakhir sebagai

32

Raja Sufi dimulai ketika ia berkuasa di tahun 1624 M. Ketika itu, ia masih sebagai Raja Jawa biasa yang menggunakan gelar ‘Pangeran’. Penggunaan gelar ‘Pangeran’ oleh Abul Mafakhir dapat dilihat dari sebuah mata uang Kesultanan Banten yang beredar di abad ke-17. Mata uang tersebut memuat inskripsi ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ yang merujuk pada Abul Mafakhir. Bukti lainnya dari penggunaan gelar ‘Pangeran’ ada dalam sebuah stempel/cap (seal) surat yang dikirim Raja Banten kepada Raja Inggris di tahun 1629 M. Stempel tersebut memuat informasi mengenai silsilah Raja Banten dari Maulana Hasanuddin sampai Pangeran Ratu, yang tidak lain adalah Abul Mafakhir sendiri.

Perjalanan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi menemui titik krusialnya pada dekade 1630-an. Abul Mafakhir secara aktif mulai membaca dan mendalami kitab-kitab yang memuat doktrin insan kamil dan panduan menjadi raja yang adil. Hal tersebut dapat terlihat ketika Abul Mafakhir sendiri memerintahkan kepada punggawa Istana Surosowan untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil. Tak sampai di situ, ia juga mengirim utusan ke Mekkah di tahun 1630-an untuk bertanya kepada Syarif Mekkah untuk menjadi raja yang adil. Sebagian besar pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir ternyata didominasi oleh pertanyaan terkait ‘keadilan’ dan bagaimana ia menjadi raja yang adil. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir dapat dilihat pada kitab al-Mawahib.

33

Utusan Abul Mafakhir kemudian tiba di Banten tahun 1638 M dengan membawa berbagai hadiah, di antaranya; gelar ‘Sultan’, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila Jawiyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi Muhammad dan beberapa hadiah lainnya. Hadiah-hadiah tersebut diperlakukan dengan istimewa dan dianggap dapat menghadirkan berkah. Oleh sebab itu, perayaan diadakan untuk menyambut hadiah-hadiah tersebut dan diadakan pawai keliling kota untuk menyebarkan berkahnya ke penjuru kota Banten. tak bisa dipungkiri bahwa pemberian yang didapatkan dari Syarif Mekkah membawa berkah tersendiri bagi legitimasi dan karisma Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, keadaan ekonomi dan politik di Kesultanan Banten mulai membaik dan stabil.

Akhir dekade 1630-an, penolakan terhadap kaum wujudiyyah muncul di Aceh. Tokoh sentral dari keluarnya penolakan ini adalah Nurudin ar-Raniry yang ketika itu menjabat sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh. Karena alasan yang belum diketahui pasti, Nurudin pulang ke kampung halamannya di Ranir, India. Hal tersebut agaknya menimbulkan rasa penasaran pada diri Sultan Abul Mafakhir dan pada akhirnya mendorong dirinya untuk mengirim utusan ke India pada dekade 1640-an. Utusan tersebut dikirim untuk bertanya kepada Nurudin terkait penolakannya terhadap kaum wujudiyyah. Pertanyaan tersebut dibalas Nurudin dengan

34

sebuah kitab berjudul Al-Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an itu Makhluk). Pengiriman utusan Banten ke Nurudin agaknya perlu diletakkan pada upaya Sultan Abul Mafakhir mengantisipasi penolakan serupa muncul di Banten dan lebih jauh lagi guna menjaga stabilitas dan keamanan di Kesultanan Banten.

Di tahun 1650, Mataram yang saat itu dipimpin oleh Amangkurat I berupaya menaklukkan Banten. Ia pun meminta Cirebon untuk membujuk Banten mengakui Mataram sebagai pelindungnya. Pertama-tama, Cirebon mengirim beberapa utusan secara berkala pada dekade 1640-an ke Banten. Upaya tersebut selalu menemui kegagalan dan penolakan. Akibat penolakan tersebut, Cirebon merespons dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Namun, pasukan Cirebon berhasil dihalau oleh pasukan Banten. Dalam naskah Sajarah Banten, peristiwa ini dikenal dengan istilah peristiwa pagerage.

Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada kekuatan pasukan Banten.

35

Apa itu Raja Sufi, Siapa itu Sultan Abul MASALAH Mafakhir dan bagaimana ia berkembang menjadi seorang Raja Sufi

METODOLOGI PENDEKATAN Historis

TEORI Otoritas Karismatik

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir merupakan Sultan Banten yang memiliki karisma sebagai ‘Raja Sufi’.

Raja Sufi merupakan konsep yang bersumber dari doktrin insan kamil. Seorang Raja Sufi mampu menyadari tugasnya sebagai wakil Tuhan di Bumi, sehingga ia bertanggung jawab secara lahir dan batin dalam menjaga keamanan dan kestabilan di negerinya.

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah TEMUAN penguasa Banten yang mampu menjaga keamanan dan mengembalikan kestabilan di Kesultanan Banten, sehingga ia telah mencapai tingkat Raja Sufi. Berikut adalah perkembangannya sebagai Raja Sufi:

Di awal Tahun 1630-an Tahun 1638 Tahun 1640-an Tahun 1650, pemerintahannya mulai memiliki memperoleh gelar mengirim utusan menolak untuk menggunakan gelar ketertarikan ‘Sultan’, kitab al- ke Ranir, India tunduk di bawah pangeran Ratu Ing terhadap doktrin Mawahib ar- untuk bertanya kekuasaan Mataram Banten. di tahun insan kamil dan Rabbaniyyah dan mengenai situasi (Amangkurat I) dan 1629. Bekerja sama belajar untuk beberapa hadiah yang terjadi di menghadapinya dengan Inggris menjadi raja yang lainnya dari Syarif Aceh dan dengan kekuatan dalam bidang adil. Membaca Mekkah yang berusaha sendiri. ekonomi dan Nasihat al-Muluk membentuk menghindari hal keamanan negeri karya al-Ghazali legitimasi dan serupa terjadi di dalam menghadapi dan al-Insan al- karisma sbg Raja Banten. Mataram. Kamil karya al-Jili. Sufi.

BAB III AJARAN INSAN KAMIL DI KESULTANAN BANTEN

Istilah ‘insan kamil’ terdiri dari dua kata, al-Insan yang berarti manusia dan al-Kamil yang bermakna sempurna. Singkatnya, doktrin insan kamil adalah doktrin tentang menjadi manusia yang sempurna. Dalam literatur barat, doktrin insan kamil lebih dikenal dengan istilah ‘Perfect Man’.1 Konsep insan kamil mulai dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) pada abad ke-13 M dan kemudian mendapatkan perhatian khusus dari Abd al-Karim al-Jili dalam tulisannya, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il.2 Wacana awal mengenai insan kamil mengacu pada isyarat dalam QS Al-Kahf ayat 65-68 mengenai ‘hamba yang saleh’, yaitu orang yang sudah mencapai ma’rifat yang sempurna tentang Tuhan dan telah fana dalam segala macam sifat-sifat ketuhanan.3 Selain itu, insan kamil juga

1 Nicholson, Studies in Islamic Mysticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1921). 77. Lihat juga A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”. The Journal of Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, no.1 (1981): 54. Lihat juga Mark Woodward, “The ‘’: Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javaanse Islam”. History of Religious 28, no.1 (1988): 59. 2 Masataka Takeshita, Insan Kamil Pandangan Ibnu Arabi (Surabaya: Risalah Gusti, 2005). 12-83. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. 111. 3 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili (Serang: LP2M IAIN Banten, 2015): 187-188.

36

37

berangkat dari hadis yang menyebut bahwa “Tuhan menciptakan Adam dalam citra-Nya”.4

Dalam bab ini, penulis berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘Raja Sufi’. Untuk mengetahui apa itu Raja Sufi, penulis berangkat dari doktrin insan kamil karena ia merupakan fondasi atau dasar dari konsep ‘Raja Sufi’ yang kharismatik. Oleh sebab itu, perkembangan konsep insan kamil sejak era Ibnu Arabi dan al-Jili sampai akhirnya tiba di Nusantara. Oleh karenanya, insan kamil juga disebut sebagai orang suci yang menyadari kesatuannya dengan Tuhan secara utuh.5 Di Nusantara, doktrin insan kamil kemudian dikembangkan untuk memperkokoh legitimasi dan karisma raja.

Melalui hubungan patron-klien antara raja dan ulama, kemudian konsep ‘Raja Adil’ atau ‘Raja Sufi’ terbentuk di ranah Melayu.6 Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry adalah dua tokoh sentral dari pembentukan konsep tersebut.7 Sementara itu di tanah Jawa, konsep ‘Raja Sufi’ muncul dari lingkaran dalam keluarga istana. Salah satu contohnya adalah Ratu Pakubuwana (w. 1732) yang berusaha membentuk sosok Pakubuwana II sebagai seorang sufi warrior king yang menggunakan ajaran

4 Masataka Takeshita, Insan Kamil Pandangan Ibnu Arabi. 10. 5 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 54. 6 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012). 48-49. 7 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 56.

38

sufistik sebagai dasar pemerintahannya.8 Meskipun demikian, baik kerajaan-kerajaan di tanah Melayu maupun Jawa sama- sama menggunakan kitab al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili sebagai sumber referensi dalam membentuk konsep ‘Raja Sufi’.9

Pada bagian akhir bab ini, penulis berusaha mengaktualisasikan konsep ‘Raja Sufi’ dengan Sultan Abul Mafakhir. Kitab al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili juga ditemukan di Banten dan bahkan Sultan Abul Mafakhir sendiri yang memberikan titah untuk menyalinnya dan memberikan terjemahan bahasa Jawa.10 Informasi tersebut menjadi penting karena ia menyimpan indikasi atas ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap doktrin insan kamil yang menjadi sumber atas konsep ‘Raja Sufi’. Selain itu, teks Jauhar al-Haqa’iq karya Syamsudin al-Sumatrani juga ditemukan di Banten. Jauhar al-Haqa’iq sendiri berisi tentang tajalli (Tuhan) terhadap insan kamil yang berlangsung dalam lima tingkatan. Hal tersebut juga biasa dikenal dengan ajaran Martabat Lima. Baik al-Insan al-Kamil maupun Jauhar al-Haqa’iq, keduanya memberikan gambaran bahwa doktrin insan kamil juga dikenal di Kesultanan Banten.

8 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115. 9 Mark Woodward, “The Slametan”: 58-60. Lihat juga A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 56. 10 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili: 13-14.

39

A. Doktrin Insan Kamil dari waktu ke waktu

Ajaran Sufi, khususnya insan kamil memang mendapat tempat yang khusus dalam politik kerajaan di Nusantara. Baik hakikatnya sebagai sebuah doktrin, maupun proses tajalli-nya sudah banyak diuraikan oleh para Ulama Dalam lintasan sejarah, ada banyak ulama yang berusaha menguraikan konsep insan kamil. Akan tetapi, dalam subbab hanya akan dijelaskan empat ulama yang memiliki keterkaitan terhadap kajian skripsi ini, di antaranya; Ibn ‘Arabi, Abd al-Karim al-Jili, Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry. Dua nama pertama menjadi sosok penting dari berkembangnya konsep insan kamil dalam dunia Islam. Sementara sisanya memiliki peran besar dalam mengembangkan doktrin insan kamil di Nusantara.

1. Insan Kamil dalam pandangan Ibnu Arabi

Ibnu Arabi lahir tahun 1165 M (560 H) di kota Murcia, Spanyol dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad bin Sa'id bin Mardaniah yang merupakan Gubernur Andalusia Timur. Nama kelahirannya adalah Mukhyid-Din Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibnu ‘Arabi al-Hatimi al-Tha’i. Semasa hidup, ia pernah memegang jabatan qadi di kota Seville dan kemudian mundur untuk mengabdikan diri dalam kegiatan

40

ilmiah, seperti mengajar dan menulis.11 Selain itu, Ibnu ‘Arabi juga banyak melakukan pengembaraan semasa hidupnya. Di umur 8 tahun, ia pergi ke Lisbon, di mana ia menerima pendidikan hukum-hukum Islam dan membaca Qur’an. Kemudian ia pindah ke kota Seville untuk belajar Hadits, Hukum dan Theologi Islam. Ia menetap selama 30 tahun dan banyak belajar mengenai tasawuf di sana. Setelah menetap cukup lama di Seville, ia berangkat ke Timur untuk melaksanakan ibadah Haji ke Mekkah. Ia juga mngunjungi Mesir, Jerussalem dan Aleppo selama berada di Timur. Pengembaraannya kemudian berakhir di kota Damaskus, di mana ia menetap sampai meninggal di tahun 1240 M (638 H).12

Ibnu ‘Arabi sendiri merupakan ulama ‘golongan awal’ yang memperkenalkan istilah insan kamil. Ia muncul dengan konsep tajalli al-Haqq (Manifestasi Tuhan). Secara sederhana, yang dimaksud tajalli al-Haqq adalah Alam yang menjadi cermin bagi Tuhan untuk menampakkan diri-Nya. Hal tersebut bukan terjadi secara langsung, melainkan dalam bentuk yang tidak langsung. Jadi, apapun yang ada di alam ini merupakan tajalli (manifestasi) Tuhan, sehingga hanya ada realitas tunggal atau wujud yang satu.13 Atas dasar inilah kemudian muncul

11 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara: Kontinuitas dan Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). 23-25. 12 A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995). 1-2. Lihat juga Abdul Haq Ansari, “Ibn Arabi: The Doctrine of Wahdat al-Wujud”, Islamic Studies 38, no.2 (1999): 150-151. 13 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 31-32.

41

konsep ‘insan kamil’ atau manusia sempurna. Menurut Ibnu Arabi, satu-satunya yang mampu memantulkan semua kesempurnaan Tuhan adalah insan kamil.14 Singkatnya, tajalli (Manifestasi) Tuhan yang paling sempurna adalah insan kamil.

Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi, Tajalli Tuhan terbagi menjadi dua bentuk, yaitu tajalli Zati dan tajalli Syuhudi. Tajalli Zati merupakan tajalli yang hanya terjadi dalam esensi Tuhan. Di dalamnya terdiri dari martabat Ahadiyah (Wujud tunggal yang mutlak) dan martabat Wahidiyyah (Citra Tuhan mulai tercermin dalam sifat-sifat-Nya). Sementara itu, tajalli Syuhudi merupakan tajalli yang mengambil bentuk alam semesta. Tingkatan pertama dari tajalli ini adalah al-jism al- kulli (Jasad Universal) kemudian mengambil bentuk al-syakl al-kulli (bentuk universal), yang terdiri dari berbagai unsur di alam seperti air, api, tanah, udara, mineral dan seterusnya. Sedangkan tajalli yang terakhir adalah insan kamil yang merupakan manifestasi dari segala nama dan sifat-Nya.15

Konsep insan kamil kemudian terus berkembang dan dilanjutkan oleh Abd al-Karim al-Jili yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Menurut Nicholson, kitab tersebut ditulis secara khusus untuk

14 A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi. 113-118. 15 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. 61-62.

42

menjelaskan doktrin insan kamil. Selanjutnya akan dijelaskan lebih lanjut mengenai pandangan al-Jili tentang insan kamil.

2. Insan Kamil dalam Pandangan Abd Karim al-Jili

Abd al-Karim al-Jili lahir di Baghdad sekitar tahun 1365 M. Nama lengkapnya adalah Abd Karim al-Jili Ibn Ibrahim Ibn Abd al-Karim Ibn Khalifah Ibn Ahmad Ibn Mahmud al-Jili.16 Masih belum diketahui secara pasti mengenai tanggal kematian al-Jili. Nicholson berpendapat bahwa al-Jili kemungkinan meninggal antara tahun 1406-1417 M.17 Abd Karim al-Jili juga dikenal sebagai penulis yang cukup produktif. Beberapa tulisannya antara lain: al-Insan al-Kamil, Maratib al-Wujud wa Bayan Kulli Maujud, Syarh al-Futuhat al-Makkiyah, Arba’un Mauthinan, Aqidah al-Akbar al- Muqtabasatmin Ahzab wa Shalawat, Haqiqah al-Haqa’iq. Dari semua karya yang sudah ia tulis, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il adalah karyanya yang paling monumental.18

Serupa dengan Ibnu Arabi, Abd Karim al-Jili juga memandang bahwa insan kamil merupakan manifestasi (tajalli) yang paling sempurna bagi Tuhan. Ia juga sepakat dengan Ibnu Arabi terkait sosok Nabi Muhammad sebagai

16 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 38. 17 R. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism. 81. 18 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. 38-47 Lihat juga. R. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism. 82.

43

‘insan kamil’ yang paling tinggi derajatnya.19 Namun, proses manifestasi (tajalli) yang diusung oleh Abd al-Karim al-Jili lebih tersusun sistematis dan mudah dipahami daripada milik Ibnu Arabi. Menurut al-Jili ada lima tingkatan berbeda antara satu dengan yang lain, di antaranya; Martabat uluhiyyah, ahadiyyah, wahidiyyah, rahmaniyyah dan rububiyyah.20 al-Jili kemudian membagi proses tajalli tersebut menjadi tiga kategori. Pertama, kategori al-bidayah (permulaan), asma dan sifat-sifat Tuhan mulai bisa tercermin dalam diri insan kamil. Kedua, kategori tawasuth (pertengahan). Pada tingkatan ini, Tuhan sudah menampakkan sifat-sifat dan namanya ke dalam fenomena alam semesta. Selain itu, pada tingkatan ini insan kamil sudah memiliki sebagian pengetahuan tentang hal-hal gaib. Ketiga, kategori kesempurnaan. Pada tingkatan ini, insan kamil memiliki pengetahuan rahasia penciptaan takdir, ia juga telah mampu tampil sebagai cerminan ilahi secara utuh dan sempurna.

al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili nyatanya memiliki pengaruh yang cukup signifikan di Nusantara. Ia menjadi sumber rujukan penting bagi para ulama serta digemari oleh para penguasa, baik di tanah Melayu maupun tanah Jawa. Meskipun demikian, baik kerajaan-kerajaan di tanah Melayu

19 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 43. 20 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 41-42. R. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism. 84.

44

maupun Jawa.21 Dalam kaitannya dengan kerajaan-kerajaan Melayu, Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry memiliki peran penting dalam memformulasikan doktrin insan kamil sebagai sumber legitimasi dan karisma raja. Selanjutnya, pandangan Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry mengenai insan kamil akan dijelaskan lebih lanjut.

3. Martabat Lima dan Insan Kamil menurut Hamzah Fansuri

Riwayat hidup Hamzah Fansuri juga sudah menarik perhatian besar dari para sejarawan. Mengenai kelahiran ulama masyhur ini, ada beberapa versi berbeda. Naquib Al-Attas berpendapat bahwa ada dua tempat yang paling memungkinkan sebagai lokasi kelahiran Hamzan Fansuri, diantaranya; Barus dan Shahr Nawi (Siam). Kedua tempat tersebut juga sering disebut dalam oleh Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.22 Sedangkan Brakel berpendapat bahwa letak Shahr Nawi (Syahr Nu) bukan di Siam, melainkan masih dalam wilayah Kerajaan Aceh. Lebih jauh ia juga menjelaskan bahwa Syahr Nu bukalah tempat kelahiran Hamzah Fansuri.23 Baik tempat maupun tanggal kelahirannya memang menjadi misteri hingga kini.

21 Mark Woodward, “The Slametan”: 58-60. Lihat juga A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 56. 22 Syed Naguib al-Attas, “New Light on The Life of Hamzah Fansuri”. JMBRAS 40, no.1 (1967): 43-48. 23 L.F Brakel, “The Birth Place of Hamzah Fansuri”. JMBRAS 42, no.2 (1969): 206-212.

45

Bukan hanya itu, waktu kematian Hamzah Fansuri juga masih menjadi misteri besar bagi para sejarawan. Sama seperti sebelumnya, para sejarawan juga berbeda pendapat dalam menentukan waktu kematian Hamzah Fansuri. Kelompok pertama (Voorhoeve dan Nieuwenhuyze) menyatakan bahwa Hamzah Fansuri kemungkinan besar sudah wafat sebelum tahun 1590 M. Kelompok kedua (Kraemer, Winstedt dan Hasyimi) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri masih hidup hingga tahun 1630-an. Pendapat ini didasarkan pada sebuah naskah anonim abad ke-17 (MS SOAS London No. 11646)24 yang diduga memuat ajaran Hamzah Fansuri. Sementara itu, kelompok ketiga (Naquib al-Attas, Brakel dan Braginsky) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri hidup sekurang- kurangnya hingga awal abad ke-17.25

Salah satu yang cukup dikenal dari Hamzah Fansuri adalah konsep ‘Martabat Lima’. Pesona dari konsep ini terasa kuat di awal abad ke-17. Bahkan, Martabat Lima kemungkinan sudah dikenali di Banten. Hal tersebut tentu bukan sesuatu yang tidak mustahil, mengingat beberapa karya Hamzah Fansuri seperti al-Muntahi dan Syarab al-Asyiqin sudah

24 Lihat uraian A.H Johns, “Malay Sufism:as ilustrated in an anonymous collection of 17th Century tracts”. JMBRAS 30, no.2 (1957). 25 Abdul Hadi, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001). 118- 119.

46

dikenali dan sukses menarik perhatian Sultan Abul Mafakhir.26 Konsep martabat lima tak bisa dilepaskan dari ajaran wahdat al-wujud (wujudiyyah). Menariknya, ajaran wujudiyyah yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dan Abd al-Karim al-Jili.27 Karenanya, konsep martabat lima maupun ajaran wujudiyyah juga tak bisa dilepaskan dari doktrin insan kamil.

Meskipun demikian, Hamzah Fansuri memiliki pandangan tersendiri mengenai proses manifestasi (tajalli) Tuhan. “Martabat Lima”, yang terdiri dari:

 Pertama, martabat la ta’ayun (tidak nyata). Dalam martabat ini, Tuhan benar-benar berada dalam realitas yang tidak mampu dipahami oleh manusia karena akal dan budi dari manusia tidaklah mampu menjangkaunya.  Kedua, martabat ta’ayyun awwal (kenyataan pertama), yang terdiri dari Ilmu, Wujud, Syuhud dan Nur. dengan sebab Ilmu maka Alim dan Ma’lum menjadi nyata, dengan sebab Wujud maka yang mengadakan dan yang diadakan menjadi nyata, dengan sebab Syuhud maka yang melihat dan dilihat menjadi nyata, dengan sebab

26 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta: WWS, 2015). 340. Lihat juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890 (Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. Lebih lanjut penjelasan mengenai kitab al-Muntahi, lihat Abdul Hadi, Tasawuf yang Tertindas. 11. 27 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 116.

47

Nur maka yang menerangi dan yang diterangi menjadi nyata. Ta’ayyun awwal terdiri dari dua bagian, Ahad ketika Zat Allah berada dalam keesaannya dan Wahid ketika Zat Allah sudah menyertakan sifat-Nya.  Ketiga, martabat ta’ayyun Tsani (kenyataan kedua), martabat ini juga dikenal oleh kaum sufi sebagai a’yan tsabithah (sesuatu yang pasti).  Keempat, martabat ta’ayyun ketiga, yaitu kenyataan berupa ruh, ruh insan, ruh hewan dan tumbuhan.  Kelima, martabat ta’ayyun keempat dan kelima, yaitu segala yang berbentuk fisik dan segala makhluqat.28

Konsep tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep tajalli dari para pendahulunya seperti Ibnu Arabi maupun Abd al-Karim al-Jili.

4. Insan Kamil dalam pandangan Nurudin ar-Raniry

Nuruddin ar-Raniry lahir dengan di kota Ranir (Rander), India dengan nama Nuruddin bin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Quraisyi al- Syafi’iy. Ia belajar agama di kota kelahirannya ini lalu melanjutkan belajarnya ke kota Tarim, Arab Selatan. Di tahun

28 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 119-120.

48

1621 M, ia berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk ziarah ke makam Nabi dan kemudian kembali ke India.29

Di tahun 1637 M, ia pergi ke Aceh dan menjadi mufti Kerajaan Aceh yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Tsani.30 Nurudin juga sudah pernah berkunjung ke Aceh sebelumnya, argumen itu didasari dari penguasaan bahasa Melayu olehnya.31 Namun, ia pergi meninggalkan Aceh dan kembali ke kota kelahirannya di tahun 1644 M. Kepergiannya yang tiba-tiba ini agaknya didasari atas kekalahan Nurudin dalam diskusi keagamaan dengan Saifurrijal, yang merupakan murid Syamsudin al-Sumatrani.32

Nurudin juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis, lebih dari 20 kitab telah ia hasilkan. Salah satu karya monumentalnya adalah Bustan al-Salathin yang selesai di tahun 1637 M. Menariknya, ia juga menulis sebuah kitab yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan Sultan Abul Mafakhir (w.1651)33 dari Banten. Kitab tersebut berjudul al-Lama’an fi

29 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. 36. 30 P. Voorhoeve, “Van en Over Nurudin ar-Raniri”. BKI 107, no.4 (1951): 357. 31 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. 38. 32 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. 45-46. 33 Ahmad Daudy agaknya keliru dalam menyebut tahun kematian Sultan Abul Mafakhir. Ia menyebut tahun 1640 M sebagai waktu kematian Sultan Abul Mafakhir. Padahal di saat yang bersamaan Daudy juga

49

Takfir man qala bi khalq’l-Qur’an yang ditulis oleh Nurudin ketika ia berada di Ranir, India. Isi dari kitab ini adalah sanggahan terhadap ajaran wujudiyyah Hamzah Fansuri.34 Empat belas tahun setelah kembali dari Aceh, Nurudin ar- Raniri meninggal dunia. Ia meninggal di tanggal 21 September 1658 M (1069 H).35

Menurut Nuruddin ar-Raniry, tajalli Tuhan berlangsung dalam tiga martabat. Berikut di antaranya:

 Martabat Wahidah atau ta’ayyun awwal, yaitu segala sifat dinamai akan tajalli itu syu’un zat.  Martabat Wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, yaitu segala asma dinamai akan dia tajalli itu a’yan tsabitah (Hakikat Alam).  Martabat Alam Arwah atau tajalli Syuhudi, yaitu Zhuhur Haqq Ta’ala dengan Shuwar asma-Nya pada alam.36

menyebut bahwa kitab tersebut ditulis ketika Nurudin sudah kembali ke Ranir di tahun 1644. Dari Sajarah Banten juga didapati bahwa Sultan Abul Mafakhir meninggal di tahun 1651 M dan bukan di tahun 1640 M.. Lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar- Raniry. 56. Bandingkan dengan Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten (Jakarta: Djambatan, 1983). 209. 34 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. 56. 35 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. 47. 36 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. 97-98.

50

Sementara itu, yang dimaksud dengan insan kamil dalam konsepsi Nurudin ar-Raniry adalah manusia yang telah memiliki hakikat Muhammad dalam dirinya. Sejatinya konsep mengenai insan kamil ini tidak berbeda jauh dengan konsep yang sudah ditelurkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin al- Sumatrani. Bahkan, konsep insan kamil dari ketiganya masih berada dalam garis Ibnu Arabi. Lebih jauh menurut Nurudin, nur Muhammad adalah awal dari segala peristiwa (ta’ayyun awwal) yang menghimpun segala haqa’iq, sehingga segala nama dan sifat-Nya hanya bertajalli secara sempurna pada nur Muhammad atau insan kamil, sehingga sampai kepada simpulan bahwa insan kamil merupakan cermin Allah untuk melihat kesempurnaan diri-Nya.37

B. Konsep Raja Sufi: Aktualisasi Doktrin Insan Kamil di Nusantara

Mulai dari Ibnu Arabi hingga Nurudin ar-Raniry beranggapan bahwa insan kamil adalah tajalli Tuhan yang paling sempurna. Manifestasi yang paling sempurna dari insan kamil adalah nur Muhammad, karena ia merupakan awal dari penciptaan alam semesta. Lalu di bawahnya ada para Nabi dan kemudian wali ataupun orang suci. Di abad ke-17, konsep

37 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. 184-189.

51

mengenai insan kamil dipandang begitu menarik bagi raja-raja Nusantara. Konsep tersebut diadopsi dan dimodifikasi agar dapat memperkuat karisma seorang raja. Di tanah Melayu, kemudian lahir istilah Raja Adil yang bersumber dari konsep “insan kamil” dalam konteks politik kerajaan. Sementara itu, di tanah Jawa, istilah yang lebih dikenal adalah Raja Sufi yang juga berasal dari konsep insan kamil.38 Keduanya akan dijelaskan lebih rinci dalam bagian ini.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, doktrin insan kamil masuk ke Nusantara melalui Aceh. Diawali oleh Hamzah Fansuri, dilanjutkan oleh Syamsudin al-Sumatrani dan diperkaya oleh Nurudin ar-Raniri. Ketiganya menempatkan insan kamil ke dalam lanskap politik Nusantara saat itu yang berpusat pada kebesaran seorang Raja. Hubungan patron-klien yang terjalin antara Raja dan Ulama di Aceh rasanya perlu diketengahkan sebagai sebab terbentuknya konsep Raja Sufi atau Raja Adil di Aceh, sehingga konsep Raja Sufi juga harus dipandang sebagai sebuah aktualisasi dan adaptasi dari doktrin insan kamil yang sudah berkembang masif abad itu.

Dalam kaitannya dengan politik kerajaan di Melayu, penting kiranya untuk melihat artikel A.C Milner, Islam and Malay Kingship (1981). Dalam artikel tersebut, Milner secara khusus menyoroti mengenai doktrin ‘perfect man’ atau ‘insan

38 Jajat Burhanuddin, “Wacana Baru Islam”. Studia Islamika 5, no.2 (1998): 195-196.

52

kamil’ yang banyak menarik perhatian raja-raja Melayu. Secara sederhana, insan kamil digambarkan sebagai seorang yang sudah menyadari kesatuannya dengan Tuhan.39 Dalam kerajaan Melayu, kekuasaan politik (hukumah) seperti mengatur tata kelola masyarakat merupakan bagian yang sejajar dengan tugas-tugas kenabian (nubuwah) seperti membimbing manusia menuju kebaikan.40

Uniknya, Taj al-Salatin yang ditulis sekitar tahun 1603 M juga memuat konsep ideal bagi seorang raja. Dalam hal ini konsep yang diperkenalkan dalam naskah tersebut adalah “adil”, yang merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama. Kondisi ini relatif sama dengan doktrin insan kamil yang menyadari secara utuh kesatuannya dengan Tuhan dan pada akhirnya mampu berbuat adil. Dari konsep adil tersebut, kebenaran yang sejati akan terdapat dalam ucapan dan tindakan para raja. Selain itu, Taj al-Salatin juga mengungkapkan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang Raja Adil. Kriteria pertama, seorang Raja Adil harus selalu ingin menuntut ilmu pada ulama, memperhatikan kondisi rakyatnya, menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan serta melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan.41

39 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 54-55. 40 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 48-49. 41 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 52-53.

53

Sementara itu, konsep yang serupa juga ditemui di tanah Jawa. Akan tetapi perbedaan yang cukup terlihat adalah Berbeda dengan kerajaan Aceh dan Melayu yang sarat dengan hubungan patron-klien. Konsepsi Raja Sufi yang berkembang di tanah Jawa justru berasal dari dalam lingkaran kerajaan. Salah satu yang paling fenomenal adalah upaya Ratu Pakubuwana dalam membentuk ajaran sufistik sebagai dasar dari kerajaan Pakubuwana II.

Upaya tersebut dilancarkan oleh Ratu Pakubuwana pada dekade awal abad ke-18. Ia berusaha menyempurnakan sosok Pakubuwana II sebagai seorang “Raja Sufi” dengan cara menyodorkan beberapa kitab sufistik seperti Carita Iskandar, Carita Yusuf, Kitab Usulbiyah serta Suluk Garwa Kencana. Hebatnya, keempat kitab tersebut ia hasilkan dalam keadaan buta. Sosok Ratu Pakubuwana yang menjadi sosok penting dari pengembangan konsep Raja Sufi di Jawa.42

Carita Iskandar dan Carita Yusuf adalah tulisan ulang yang berkisah mengenai petualangan, kepahlawanan serta kesalehan seorang pemimpin. Sementara itu, Kitab Usulbiyah mengandung otoritas yang lebih jelas lagi di dalamnya, sehingga disebut di dalamnya bahwa “seorang Kafir akan menjadi Muslim jika membacanya”. Yang terakhir adalah Suluk Garwa Kencana, di sinilah penguasa ideal digambarkan sebagai seorang yang taat kepada ajaran sufi dan tidak

42 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115.

54

meninggalkan tradisi Jawa. Seorang penguasa kemudian harus mengabaikan kesenangan pribadi dan menjadi Raja Sufi.43

al-Insan al-Kamil juga menjadi kitab yang cukup dikenal di Banten. Bahkan, Sultan Abul Mafakhir yang memerintahkan untuk menyalin kitab tersebut. Hal tersebut didukung dengan fakta bahwa kitab al-Insan al-Kamil yang tertua ditemukan di Banten. Kini, naskah itu tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda.44 Mengenai insan kamil di Kesultanan Banten akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.

C. Insan Kamil di Kesultanan Banten

Dalam kaitannya dengan Kesultanan Banten, setidaknya ada dua teks yang menggambarkan tentang ajaran ‘Martabat Lima’ dan insan kamil. Keduanya adalah teks Jauhar al-Haqa’iq dan al-Insan al-Kamil. Naskah pertama adalah karya Syamsudin al-Sumatrani yang kemudian disalin ulang oleh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani di abad ke 18 M dengan otoritas yang diberikan oleh Sultan Abu Nasr Muhammad Arifuddin Zainulasyiqin.45 Naskah Jauhar al-

43 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115. 44 Michael Feener & Michael Laffan, “Sefi Scent Across the Indian Ocean: Yemeni Hagioghrapy and the Earliest History of Southeast Asian Islam”. Archipel 70 (2005): 205. Lihat juga Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-Karim al-Jili. 13-14. 45 Jauhar al-Haqa’iq, 235-236.

55

Haqa’iq sendiri dalam keadaan baik. Kemungkinan naskah ini ditulis pada abad ke-18. Pada halaman kelima terdapat informasi mengenai judul naskah yang ditandai dengan tinta berwarna merah.46 Kini, teks Jauhar al-Haqa’iq tersimpan di Perpustakaan Nasional dengan nomor panggil A 31.

Menariknya, dari keterangan yang diberikan oleh Mufti Ali, naskah Jauhar al-Haqa’iq memuat ringkasan tanya-jawab antara Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (w.1651 M) dengan Nurudin ar-Raniri.47 Dialog ini sendiri berlangsung di tahun 1640’an. Kemungkinan, maksud dan tujuan Abul Mafakhir mengirimkan pertanyaan adalah untuk mengklarifikasi dengan apa yang terjadi di Aceh. sendiri merupakan seorang ulama terkemuka di Aceh yang menjabat sebagai Syaikhul Islam pada paruh pertama abad ke-17. Kemudian ia pergi dari Aceh dan kembali ke India. Surat yang dikirimkan oleh Abul Mafakhir juga kemungkinan diterima oleh ar-Raniri setelah ia berada di India.

Teks Jauhar al-Haqa’iq terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama hampir dapat dipastikan mengandung ajaran ‘Martabat Lima’ yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan dilanjutkan oleh Syamsudin al-Sumatrani. Kelima martabat tersebut terdiri dari martabat Ahadiyah, Wahdat,

46 Jauhar al-Haqaiq, 5 47 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili. 3.

56

Wahidiyyah, ta’ayyun Ruh serta ta’ayyun makhluqi.48 Uraian tersebut merupakan indikasi awal bahwa ajaran Martabat Lima mendapat ruang yang cukup aus di Kesultanan Banten. terlebih lagi, ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap karya-karya Hamzah Fansuri seperti al-Muntahi menjadi indikasi tambahan bahwa ajaran Martabat Lima memang cukup dikenal di Banten.

Bagian kedua membicarakan mengenai tingkatan penciptaan manusia.49 Allah pertama-tama menciptakan nur yang kemungkinan adalah nur dari Nabi Muhammad. Nur tersebut berasal dari Nur milik Allah ta’ala. kemudian Ia menciptakan para nabi dari cahaya tersebut.50 Dari sinilah gambaran ‘insan kamil’ menurut ar-Raniry, bahwa seorang insan kamil atau Manusia Sempurna adalah ia yang telah memiliki nur Muhammad atau hakikat Muhammad dalam dirinya.

Dalam naskah yang sama juga disebutkan mengenai tingkatan dari qalbu. Pertama hati yang mati, yang dimiliki oleh orang kafir dan jiwa yang dipimpin syaithon. Kedua hati yang rusak, yaitu hati orang-orang fasik, yang memiliki nafsu hewan dan syaithon, dan ia adalah orang yang cacat. Ketiga hati pendusta, yaitu hati orang munafik. Keempat hati yang selamat, yaitu hati orang mukmin yang sholeh dan meyakini dengan

48 Jauhar al-Haqaiq, 7-9. 49 Jauhar al-Haqa’iq, 192. 50 Jauhar al-Haqa’iq, 193-195.

57

mantap Nabi Muhammad. Kelima hati yang terarah, yaitu hati orang-orang mukmin yang sempurna, dan mereka adalah ahlul thariqoh. Keenam hati yang abstrak, adalah hati orang mukmin yang sempurna, dan mereka adalah orang yang benar. Ketujuh hati ketuhanan, yaitu hati orang-orang mukmin yang sudah menyatu dengan Allah, dan mereka adalah ahlul ma’rifat.51

Ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap konsep insan kamil juga terindikasi dari temuan Mufti Ali dik terhadap naskah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il karya Abd al-Karim al-Jili yang sudah diberikan tambahan larik bahasa Jawa. Naskah ini berada di Perpustakaan Leiden, Belanda dengan nomor panggil Cod.Or 7197a.

Naskah al-Insan al-Kamil sering dimaknai sebagai karya Abul Mafakhir. Namun, dalam penelitian yang lebih mutakhir diketahui bahwa Abul Mafakhir hanya memberika otoritas untuk menyalin dan memberikan terjemahan bahasa jawa dalam naskah tersebut.52 Yang dimaksud insan kamil secara harfiah diartikan sebagai “Manusia Sempurna”. Sedangkan dalam konsep al-Raniri, insan kamil adalah manusia yang memiliki nur Muhammad dalam dirinya. Oleh sebab itu, dalam insan kamil terkandung segala hakikat wujud yang paling lengkap, sehingga ia dapat berperan sebagai

51 Jauhar al-Haqa’iq, 284-289. Lihat juga , Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). 75-78. 52 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili. 13-14.

58

cermin-Nya yang lengkap lagi sempurna. Lewat insan kamil, maka lahirlah segala sifat jamal dan jalal-Nya di muka bumi ini, seperti adil, ihsan, kasih sayang, keagungan serta keperkasaan.53

53 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry. 184-189.

BAB IV

KESULTANAN BANTEN DI BAWAH KEKUASAAN SULTAN ABUL MAFAKHIR (1624-1651 M)

A. Kesultanan Banten Sebelum Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir berkuasa.

Kerajaan Banten berdiri sejak tahun 1525 M ditandai dengan di taklukannya Wahanten Girang oleh Sunan Gunung Djati dan Maulana Hasanuddin. Karena posisinya yang sangat strategis, Banten mulai berkembang menjadi salah satu kekuatan penting di Nusantara. Letaknya yang berada di antara dua selat membuatnya terhubung dengan jaringan perdagangan global. Sejak saat itu, Banten berhasil mempertahankan kemerdekaan yang bebas dari segala intervensi, setidaknya sampai tahun 1682 M. Periode ini disebut oleh Guillot sebagai ‘Periode kemerdekaan Banten’.1

Selama periode ini, Banten dipimpin oleh lima Raja, di antaranya Maulana Hasanuddin yang berkuasa sejak tahun 1527-1570 M, Maulana Yusuf yang berkuasa sejak 1570-1580 M, Maulana Muhammad yang berkuasa sejak 1594-1596, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa

1 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651- 1682)”. Archipel 50, (1995): 109.

59

60

sejak tahun 1624-1651 M dan Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa sejak tahun 1651-1682 M. Selain itu, ada lima waliraja yang menggantikan tugas raja sementara waktu. Mereka adalah Patih Mangkubumi (1596-1602 M), adik Mangkubumi yang segera dipecat karena sikapnya yang kurang tegas, Nyi Gede Wanagiri, waliraja keempat adalah seorang mangkubumi yang menikahi Nyi Gede Wanagiri, Waliraja yang terakhir adalah Pangeran Arya Ranamanggala (1608- 1624 M).2

Maulana Hasanuddin (1527-1570 M) menjadi raja Banten setelah berhasil menaklukkan Banten Girang.3 Setelah menetap beberapa waktu, Hasanuddin mendapat arahan dari sang ayah untuk memindahkan Ibu Kota Banten ke kawasan pesisir dan terciptalah Surosowan.4 Pemindahan ibukota ke Banten sering kali dikaitkan dengan ‘unsur magis’, bahwasanya sebuah ibukota yang telah ditaklukkan tidak boleh lagi ditinggali.5 Meskipun demikian, posisi Surosowan di masa itu memang sangat strategis, karena ia berada di jalur perdagangan global. Akibatnya, Banten kemudian

2 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten (Jakarta: Djambatan, 1983): 214-215. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta: WWS, 2015). 303-307. 3 Claude Guillot, “Banten in 1678”. Indonesia no.57 (1993): 90. 4 Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). 67. 5 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia (Kudus: Menara Kudus, 2000). 52.

61

mengokohkan diri sebagai salah satu kota-pelabuhan penting di Nusantara. Poin penting yang juga perlu dilihat dari Maulana Hasanuddin adalah kunjungannya ke Mekkah dan Madinah. Bersama sang ayah, Sunan Gunung Djati, Hasanuddin melaksanakan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama di sana. Dari proses inilah, Hasanuddin ‘diduga kuat’ telah berafiliasi dengan beberapa tarekat, seperti Qadiriyyah, Syatharriyyah maupun Naqshabandiyyah dan membawanya ke Banten.6 Gelar ‘Maulana’ yang disematkan kepada Hasanuddin merupakan hasil dari Peran besarnya dalam menyebarkan dan memperkuat agama Islam di Banten.7 Maulana Hasanuddin wafat di tahun 1570 M. Setelah meninggal, ia mendapat gelar Pangeran Sabangkinkin, merujuk pada tempat bersemayamnya yang dekat dengan Masjid.8 Kekuasaan Banten kemudian diteruskan oleh Maulana Yusuf (1570-1580 M). Pemerintahannya berjalan kurang lebih sepuluh tahun. Meskipun tergolong singkat, ia berhasil meneruskan pembangunan yang sudah dilakukan oleh Maulana Hasanuddin (w. 1570 M). Dalam Sajarah Banten, dikisahkan

6 Gabriel Facal, “Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten” dalam Indo-Islamika 4, no. 1 (2014): 102-103 7 Hasan Muarif Ambary, “Agama dan Masyarakat Banten” dalam Sri Sutjiatiningsih, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997). 49 8 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.. 160.

62

bahwa Maulana Yusuf memiliki kekuatan jasmani yang luar biasa. Oleh sebab itu, ia mampu membangun berbagai infrastruktur di Kesultanan Banten. Mulai dari pembangunan benteng kota, membuka ladang persawahan baru sampai kanal air dan bendungan di Kota Surosowan.9 Selain itu, Ia juga memimpin langsung penyerangan aliansi Banten-Cirebon terhadap Kerajaan Pakuan-Pajajaran di tahun 1579 M.10 Setahun setelah menaklukkan Pajajaran, Maulana Yusuf wafat dan dimakamkan di kawasan Pakalangan yang terletak di luar kota Banten. Setelah mangkat, ia digelari Pangeran Pasarean, yang juga merujuk pada tempat pemakamannya.11

Penguasa selanjutnya adalah Muhammad Nasruddin atau Maulana Muhammad (1594-1596 M). Ia mulai memegang kuasa di tahun 1594 M, ketika usianya sekitar 23 tahun. Adanya jarak antara akhir kekuasaan Maulana Yusuf dengan berkuasanya Maulana Muhammad bukannya tanpa sebab. Sepeninggal Maulana Yusuf, ada dilema yang terjadi karena sang pewaris tahta masih berumur 9 tahun, usia yang relatif muda untuk memimpin sebuah kerajaan. Oleh sebab itu, sistem kewalirajaan dibentuk dan kekuasaan Banten untuk sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi sebagai waliraja pertama

9 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 288. 10 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 36-38. 11 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 162-163.

63

sejak 1580 M dan kekuasaan Banten akan dikembalikan kepada Maulana Muhammad ketika yang bersangkutan telah siap dan cukup dewasa untuk memimpin.

Usaha untuk menerapkan sistem ini pun tidaklah mudah. Karena Pangeran Jepara—adik kandung dari Maulana Yusuf yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat—datang ke Banten untuk mengisi kekosongan di Banten. ambisi untuk berkuasa di Banten tergambar dari besarnya jumlah pasukan yang ia bawa. Karena statusnya yang masih anggota kerajaan Banten, ia disambut baik oleh para punggawa dan mantri. Bahkan Mangkubumi juga menawarkan tahta Banten kepadanya. Tentu saja tawaran ini disambut baik oleh Pangeran Jepara. Akan tetapi langkah Pangeran Jepara kemudian dikandaskan oleh Ki Ali Surasaji atau Kiyai Dukuh. Awalnya, Dukuh bertemu dengan Mangkubumi dan para pembesar negeri untuk membicarakan tahta Banten seharusnya diserahkan kepada Maulana Muhammad, bukan Pangeran Jepara. Usul dari Kyai Dukuh kemudian disetujui oleh Mangkubumi sehingga dibuatlah sistem kewalirajaan.12

Akhirnya keputusan telah dibuat dan Mangkubumi yang sebelumnya mendukung Pangeran Jepara kemudian berbalik menentang. Pertempuran antara antara pasukan Banten dan pasukan Jepara tak terhindarkan lagi. Meskipun

12 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 39-41.

64

demikian, pasukan Jepara kemudian dapat diusir keluar Banten dan Pangeran Muhammad yang masih belia itu diangkat menjadi penguasa Banten, dengan catatan Pemerintahan Banten dipegang oleh waliraja untuk sementara waktu. Untuk itu, Mangkubumi ditunjuk sebagai waliraja pertama di Banten.13 Kegagalan Pangeran Jepara untuk mengambil alih kekuasaan di Banten merupakan sebuah indikasi dari kedaulatan Banten terhadap sisa-sisa kekuasaan Demak di Jawa Tengah.14

Atas jasanya yang besar, Kyai Dukuh diberikan gelar ‘Pangeran Kasunyatan’ sebagai gelar kehormatan. Gelar ini diberikan oleh Maulana Muhammad ketika ia berkuasa.15 Posisi Pangeran Kasunyatan menjadi sangat vital di Kerajaan Banten dengan gelar baru tersebut. Selain mengurusi kegiatan keagamaan di Istana, ia juga memiliki kewenangan dalam persoalan politik.16 Maulana Muhammad dikenal juga sebagai penguasa yang sering kali mewakafkan kitab. Selain itu, ia juga membangun pawestren atau pawadonan di serambi Masjid Agung, sebagai tempat shalat bagi kaum wanita.

13 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 290-297. 14 De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa (Jakarta: Grafiti, 2003). 139. 15 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 289. 16 Ayang Utriza Yakin, “The Transliteration and Translation of the Leiden Manuscript Cod. Or. 5626 On The Sijill of The Qadi of Banten 1754- 1756 CE”. Heritage of Nusantara 5, no.1 (2016): 25-26.

65

Kekuasaan Maulana Muhammad berjalan sangat singkat, ia gugur dalam sebuah ekspedisi ke Palembang. Mangkatnya Maulana Muhammad menghadirkan banyak kesedihan bagi masyarakat Banten. Setelah mangkat, ia digelari Prabu Seda Ing Palembang yang berarti merujuk pada lokasi kematiannya.17. Selain itu, kepergiannya juga memunculkan dilema baru karena Pangeran Ratu sebagai pewaris tahta yang sah masih berumur 9 bulan.18 Oleh sebab itu, sistem kewalirajaan kembali diaktifkan sebelum Pangeran Ratu (1596-1651 M)19 berkuasa.

Ada banyak waliraja yang menjabat selama periode ini. seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada lima waliraja yang silih berganti memegang kekuasaan. Akan tetapi, hanya ada satu yang sangat termasyhur, yaitu Pangeran Ranamanggala. Naiknya Ranamanggala sebagai waliraja juga diiringi dengan sebuah peristiwa penting dalam Kesultanan Banten. Peristiwa tersebut dikenal dengan Peristiwa Pailir. Peristiwa ini secara harfiah berarti peristiwa di hilir. Bermula dari terbunuhnya waliraja keempat oleh Dipati Yudanegara di

17 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 297-302. Lihat juga Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 43. 18 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee: guerres civiles a Banten 1580-1609”. Archipel 43 (1992): 57. 19 Pangeran Ratu adalah gelar Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir semasa Muda, setidaknya sampai tahun 1638 M di mana ia mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Mekkah. Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara (Yogyakarta: Bentang Pustaka). 18.

66

bulan Oktober 1608 M. Berselang satu hari setelah pembunuhan tersebut, Ranamanggala menggantikannya sebagai waliraja. Para punggawa yang merasa dirugikan kemudian memunculkan Pangeran Kulon sebagai waliraja tandingan bagi Ranamanggala.

Atas dasar perseteruan inilah, Banten terbagi menjadi dua kubu. Pertama kubu aliansi Pangeran Kulon dan Andamohi Keling yang sering diistilahkan sebagai kubu ‘Orang Kaya’. Kedua kubu yang dipimpin oleh Pangeran Arya Ranamanggala yang mewakili golongan bangsawan atau ‘santana’.20 Perseteruan antara keduanya dalam mengambil posisi waliraja sudah berlangsung sejak 1602 M dan terus meruncing hingga tahun meletusnya perang pailir 1608 M.21 Untuk mengakhiri pertempuran ini, maka ditunjuklah Pangeran Jakarta sebagai mediator. Akhirnya, disepakati bahwa Pangeran Kulon dan Andamohi Keling dibawa ke Jakarta bersama dengan para pengikutnya yang menentang waliraja

20 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee: guerres civiles a Banten 1580-1609”: 61. Lihat juga Kathirithamby-Wells, “Forces of Regional and State Integration in the Western Archipelago”. Journal of Southeast Asian Studies 18, no.1 (1987): 34-35. 21 Lebih jauh mengenai peristiwa pailir, lihat Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 302-312.

67

Ranamanggala. Sekitar 7000 orang dipindahkan ke Jakarta untuk memulihkan keamanan Kota Banten.22

Ranamanggala sendiri digambarkan oleh para pedagang Eropa sebagai waliraja Banten yang tiran. Hal tersebut tidak dilatarbelakangi oleh beberapa kebijakan Ranamanggala yang cenderung merugikan pihak Eropa, baik VOC (Veerenidge Oost-Indische Compagnie) maupun EIC (East India Company). Kebijakan pertama adalah penghapusan lada. Kebijakan ini diterapkan Ranamanggala setelah disepakati bahwa lada yang membawa banyak peperangan ke Banten. Sehingga, kebijakan pembabatan lada dipilih Ranamanggala agar keadaan Banten menjadi lebih stabil.23 Kebijakan kedua yang memukul para pedagang Eropa adalah kenaikan pajak ekspor. Tak tanggung-tanggung, tarif yang dinaikkan mencapai 8%. Sementara itu, para pedagang Cina hanya dikenai pajak ekspor sebesar 5%.24

22 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (Jakarta: KPG, 2008). 118-128. Lihat juga Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 172-179. 23 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee: guerres civiles a Banten 1580-1609”: 68. Lebih jauh mengenai beberapa peperangan orang Eropa di Banten, lihat Lihat Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: KPG, 2016). 104-105. Lihat juga D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha Nasional, 1988). 242-254. 24 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016). 400-404.

68

Atas dasar inilah, J.P Coen menjuluki Ranamanggala sebagai ‘musuh besar’.25 Coen yang memang dikenal memiliki sifat temperamen bahkan menyebut Ranamanggala sebagai penguasa yang paling buruk dan perampas hak-hak orang lain.26 Sementara itu, orang Inggris mengambil langkah yang lebih konkret dengan memindahkan kantor dagangnya dari Banten ke Jayakarta. Keputusan ini diambil setelah EIC terus menerus mengalami kerugian.27

Meskipun memiliki sikap yang keras, Pangeran Ranamanggala juga memiliki sisi ‘religius’. Schrieke mengungkapkan bahwa para penulis awal Belanda menyematkan kata “Priest” kepada Ranamanggala. Keadaan ini menyiratkan pemahaman awal yang lemah tentang istilah agama lokal di Banten. Selain itu, kondisi ini juga memberikan gambaran informasi mengenai ilmu agama yang dikuasai oleh Ranamanggala. Schrieke bahkan menyebut Ranamanggala pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah bersama Pangeran

25 J.W Ijzerman, Cornelis Buijsero te Bantam 1616-1618 (‘S Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1923). 34-37. Hubungan waliraja Ranamanggala dan Gubernur Jenderal J.P Coen mulai diperbaiki tahun 1619 M. Lihat M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619: Six Early ‘pasar malay’ Letters. Bulletin of SOAS 39, no.1 (1976): 132-134. 26 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee: guerres civiles a Banten 1580-1609”: 67. 27 Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies 1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934). 268-270.

69

Ratu.28 Terlepas dari hal tersebut, kaum bangsawan sejatinya memiliki akses yang cukup besar untuk memperoleh ilmu agama di masa itu.29 Sehingga tak mengherankan apabila Ranamanggala ataupun kaum bangsawan yang lain di Kesultanan Banten memiliki pemahaman agama yang lebih baik dibanding orang kebanyakan. Di tahun 1624 M, tahta Banten kemudian diserahkan oleh Pangeran Ranamanggala kepada Pangeran Ratu (1624-1651 M). Dua tahun berselang, Pangeran Ranamanggala mangkat dan menyerahkan kekuasaan Banten seutuhnya kepada Pangeran Ratu.

B. Kesultanan Banten di masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir (1624-1651 M)

Pangeran Ratu ing Surosowan (1596-1651 M) adalah Raja Banten keempat yang secara efektif memimpin Banten sejak tahun 1624 M. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemerintahan Banten dijalankan oleh seorang waliraja untuk sementara waktu.30 Sistem Waliraja sendiri bukan sesuatu yang baru di Banten. Sistem serupa pernah diterapkan sebelum Maulana Muhammad berkuasa sejak tahun

28 B.J.O Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Ruler and Realm in Early Java book II (The Hague: Van Hoeve, 1959). 242-245. 29 de Graaf, “Titels en Namen Van Javaanse Vorsten en Groten Uit de 16e en 17e Eeuw”. BKI 109 no.1 (1953): 67-69. 30 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 163-164. Lihat juga Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten (Jakarta: Gramedia, 1990). 26.

70

1594-1596 M.31 Dalam sebuah dokumen dari British Library, terdapat sebuah cap segel kerajaan Banten yang berbentuk bulat dan berdiameter 55 mm.32 Di dalamnya tertulis sebuah inskripsi yang berbunyi: “Ngalamat Pangeran Ratu Ingkang pandara ngadi Surasowan kang putra Pangeran Sedangrana kang putu Pangeran Pasareyan kang buyut Pangeran Ing Sabakingking Ing Surasowan”.33 Dari keterangan tersebut, tergambar jelas bahwa Pangeran Ratu adalah raja keempat dari Kerajaan Banten.

Masa kekuasaan Pangeran Ratu atau kemudian dikenal dengan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir34 membentang selama 27 tahun (1624-1651 M). Di awal kepemimpinannya, Banten sedang berada dalam kondisi yang terpuruk. Polarisasi masyarakat Banten akibat peristiwa Pailir yang berlangsung sekitar tahun 1608 M. Merosotnya jumlah penduduk Banten akibat wabah penyakit pes di tahun 1625 M.

31 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 39-41. Lihat juga Ayang Utriza Yakin, “The Transliteration and Translation of The Leiden Manuscript”: 26. 32 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”. Indonesia and The Malay World 31, no.91 (2003): 418-421. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007). 16-18. 33 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 420. 34 Gelar Pangeran Ratu digunakan di tahun 1624-1638 M. Sedangkan gelar ‘Sultan’ digunakan sejak tahun 1638 M, setelah utusan Banten pulang dari Mekkah.

71

Wabah ini disebut-sebut menewaskan sepertiga penduduk Banten.35 Selain itu, perdagangan Banten yang masih lesu akibat kebijakan Ranamanggala yang kontraproduktif menjadi masalah lain yang harus dihadapi oleh Pangeran Ratu di awal pemerintahannya adalah wabah penyakit pes yang menewaskan sepertiga penduduk Banten di tahun 1625 M. Akibatnya, jumlah penduduk Banten menjadi semakin tergerus. Masalah yang muncul kemudian adalah sumber daya manusia yang semakin langka. Dalam perhitungan Guillot, penduduk Banten tak lebih dari 50.000 jiwa di tahun 1630 M. Padahal populasi Banten di akhir abad ke-16 menyentuh angka 80.000 hingga 100.000 jiwa.36

Di tahun 1628 M. Pangeran Ratu kembali mengundang Inggris untuk membuka kembali kantor dagangnya di Banten. Undangan ini diterima dengan tangan terbuka oleh Henry Hawley (President of East India Company 1625-1628 M). Agaknya, datang ke Banten dinilai lebih baik dibanding kembali ke Jakarta. Empat tahun sebelumnya, Hawley memilih keluar dari Batavia dan mendirikan kantor dagang di Pulau Lagundi yang ada di Selat Sunda. Keputusan ini diambil oleh Hawley berselang setahun setelah sengketa yang terjadi antara

35 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651- 1682)”. Archipel 50, (1995): 97. 36 Claude Guillot, Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. 202-203.

72

Inggris dan Belanda.37 Setelah pindah ke Banten, Inggris menjadi mitra dagang strategis sekaligus sekutu utama bagi Banten.

Kedatangan Inggris juga menjadi titik balik dari keterpurukan Banten. Salah satunya adalah dengan memunculkan komoditas perdagangan yang baru. Alih-alih memaksa masyarakat menanam lada, Banten lebih baik mengembangkan potensi yang ada. Dalam hal ini, gula merupakan potensi besar yang dikembangkan oleh Inggris. Masyarakat lebih memilih padi dan tebu daripada lada untuk dibudidayakan.38 Dalam Sajarah Banten, dua kebijakan pangan yang diambil oleh Pangeran Ratu adalah pembukaan lahan dan pembangunan lumbung.39 Boleh jadi, seserangan yang dimaksud oleh Pangeran Ratu adalah lahan pertanian tebu yang sudah disiapkan sebelumnya. Di tahun 1629-1631 M, sumber Inggris mencatat bahwa Banten tengah membangun saluran irigasi yang ditujukan untuk lahan yang cukup luas.40

Hubungan yang sudah dijalin dengan Inggris kemudian berkembang dari hubungan dagang menjadi persekutuan . Di

37 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651- 1682)”: 105. Lihat juga D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. 242-254. 38 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”. Archipel 39 (1990): 141-142 39 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373. 40 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651- 1682)”: 106.

73

tahun 1629 M, Pangeran Ratu mengirim surat kepada Raja Inggris. Dalam surat tersebut, Pangeran Ratu menyampaikan kegembiraannya atas orang-orang Inggris yang kembali membuka kantor dagang di Banten. ia juga meminta bantuan senjata beserta bubuk mesiu untuk mempertebal persenjataan Banten.41 Maklum saja, pasukan Mataram yang datang dengan ambisi menyatukan tanah Jawa menjadi kekhawatiran besar bagi Banten.42 Di tahun 1628 M, mereka bahkan sudah mengepung Batavia. Pengepungan tersebut merupakan tanda bahaya bagi Banten, karena mereka sudah sampai di pintu depan Banten. Meskipun demikian, menurut Guillot, pengepungan terhadap Batavia atau Jayakarta oleh Mataram tak ubahnya sebagai pengepungan terhadap wilayah Banten, lebih jauh lagi sebagai upaya Mataram menguasai Pulau Jawa.43

Sikap Banten yang bersahabat terhadap Inggris sangat bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap Belanda. Di tahun 1633 M, Batavia menuduh Banten mendalangi beberapa aksi perompakan dan perampokan di laut Jawa. Sebagai aksi balasan, Batavia mengirimkan ekspedisi militer ke wilayah Banten seperti Lampung, Tanahara dan Anyer. Aksi balasan ini

41 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. 16-19. Lihat juga Annabel Teh Gallop, “Seventeenth- Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 420-421. 42 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten (Serang: Proyek Pembangunan Masjid Agung Serang, 1990). 71-72. 43 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban. 187

74

juga dilanjutkan dengan serangkaian blokade atas pelabuhan Banten. Banten yang tak terima dengan blokade Batavia kemudian membakarnya. Dalam Sajarah Banten, pembakaran blokade atau lebih tepatnya kapal Barungut dikenal dengan peristiwa pabaranang.44 Peristiwa pabaranang terjadi di awal bulan Januari 1634 M yang terbagi dalam dua sesi. Pertama, malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari dan upaya kedua dilancarkan pada malam 10 dan 11 Januari.45

Pada tahun 1635 M, Belanda menyerang kapal Banten yang mengangkut cengkeh dari Ambon. Atas kejadian ini, hubungan antara Banten dan Batavia jadi semakin meruncing. Bagi Banten, serangan tersebut merupakan ajakan perang secara terbuka dari Belanda. Pangeran Anom46 yang baru diangkat menjadi wakil dari sang ayah kemudian mengirimkan surat kepada Raja Charles di Inggris. Boleh jadi, diplomasi dengan Inggris merupakan kebijakan pertama yang diambil oleh Pangeran Anom sebagai seorang penguasa. Sementara itu, maksud dan tujuannya permintaan Banten agar Inggris membantu Banten dalam menghadapi serangan Batavia. Namun, apabila Inggris tidak bersedia untuk membantu, Banten hanya akan meminta bantuan senjata meriam beserta

44 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 139. 45 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189. 46 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35.

75

peluru dan bubuk mesiunya.47 Permintaan tersebut agaknya hampir serupa dengan surat yang dikirim tahun 1629 M oleh Pangeran Ratu.

Situasi ini kemudian berubah seiring dengan dijajakinya kesepakatan damai dengan Belanda di tahun 1636 M. Akan tetapi, kesepakatan damai antara keduanya baru terjadi tiga tahun kemudian.48 Setelah menjajaki kesepakatan damai, Banten kemudian mulai fokus mengembangkan perdagangannya. Masih di tahun 1636 M, himbauan pemerintah untuk menanam kembali lada menjadi semakin masif disuarakan ke berbagai penjuru negeri. Beberapa tahun kemudian, himbauan pemerintah yang cenderung ‘memaksa’ ternyata menimbulkan berbagai resistensi. Bengkulu, Lampung dan Silebar menolak tunduk di bawah pemerintah pusat. Terkait dengan lada, ketiganya lebih memilih menjual langsung daripada menyetornya kepada pemerintah pusat. Menurut Guillot, resistensi terhadap himbauan penanaman lada oleh pemerintah Banten bukan saja berasal dari wilayah Sumatera, melainkan juga memicu peristiwa palumaju yang berlangsung di Banten. Dalam Sajarah Banten, peristiwa

47 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. 21-23. 48 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.

76

palumaju yang terjadi sekitar tahun 1638/39 M nampaknya lebih bersifat personal daripada terkait dengan lada.49

Bagaimanapun juga, langkah penyelesaian yang diambil Banten selalu sama, yaitu mengirim pasukan dalam jumlah besar ke lokasi yang dianggap memberontak. Dari berbagai resistensi yang muncul, boleh jadi himbauan yang diberikan oleh pemerintah belum mampu diserap oleh masyarakat Banten.50 Saat itu, masyarakat Banten lebih berminat menanam padi dan tebu daripada lada. Sekitar tahun 1635-1636 M, Pangeran Ratu memerintahkan jajarannya untuk membangun lumbung padi besar di darparagi, guna menampung produksi padi negara.51 Sementara itu, komoditas gula Banten yang sudah ada sejak tahun 1620’an sudah mencapai tahap industri yang berpusat di Kelapadua (sekitar 7 kilometer ke arah selatan Surosowan) sejak tahun tahun 1637’an.52

Masa damai juga digunakan Banten untuk mengirim utusan ke beberapa negara sahabat. Dua di antaranya adalah yang dikirim ke Mekkah dan Ranir, India. menariknya,

49 Djajadiningrat, tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 199. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 373-383. 50 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651- 1682)”: 106-107. 51 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 59. Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-1682)”. 87. 52 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:141- 142.

77

keduanya lebih bersifat ‘mencari ilmu’ serta otoritas agama daripada sekedar mencari gelar. Sekitar tahun 1636 M, Pangeran Ratu mengutus Lebe Panji, Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja ke Mekkah. Utusan Banten yang dipimpin oleh Lebe Panji ini membawa berbagai hadiah serta beberapa pertanyaan titipan dari Pangeran Ratu untuk Syarif Mekkah (Syarif Zayd Ibn Muhsin yang memerintah antara tahun 1631-1666 M). Dalam Sajarah Banten, pertanyaan yang dimaksud terkait dengan permintaan tafsir atas kitab berjudul Marqum, Muntahi dan Wahdatul Wujud yang diduga kuat merupakan karya Hamzah Fansuri (w. 1607 M).53 Dalam sumber yang lebih mutakhir, diketahui bahwa Pangeran Ratu juga meminta penjelasan atas kitab Nasihat al-Muluk karya al- Ghazali (w. 1111 M).54 Pangeran Ratu juga secara khusus meminta Syarif Zayd mengirimkan seorang ahli fiqih untuk mencerahkan Banten.55

Utusan tersebut kembali di tahun 1638 M. Dalam Sajarah Banten, utusan yang berhasil kembali ke negeri Banten hanya Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja, sedangkan Lebe Panji meninggal di tanah Mekkah.56 sekembalinya ke

53 Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890 (Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. 54 Oman Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara (Jakarta: Mizan, 2012). 49. Lihat juga Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012). 45-47. 55 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. 56 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53.

78

Banten, Tisnajaya dan Wangsaraj dikukuhkan sebagai ‘Haji’ serta disambut dengan perayaan luar biasa. Pesta besar-besaran diadakan oleh Pangeran Ratu untuk menyambut keduanya. Seluruh pembesar negeri, punggawa bahkan seluruh rakyat dilibatkan dalam perayaan ini. Berbagai macam ‘oleh-oleh’ yang dibawa dari Mekkah juga dipamerkan di hadapan seluruh rakyat Banten dalam momen tersebut. Mulai dari jejak kaki Nabi Muhammad, bendera kebesaran Nabi Ibrahim, kitab al- Mawahib ar-Rabbaniyyah karangan Ibnu Ngalam (Muhammad bin Allan) serta gelar ‘Sultan’ bagi Pangeran Ratu (Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir) dan Pangeran Anom (Sultan Abul Ma’ali Ahmad).57 Sejak saat itu, gelar Pangeran Ratu kemudian ditanggalkan dan diganti dengan gelar Sultan.

Selain ke Mekkah, Sultan Abul Mafakhir juga mengirim utusannya ke Nurudin al-Raniry yang berada di Ranir, India Selatan.58 Utusan Banten dikirim sekitar tahun 1640 M dan sepertinya memiliki keterkaitan dengan konflik yang terjadi di Aceh beberapa tahun sebelumnya antara

57 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. Lihat juga , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013). 48-49. 58 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren: Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167-168. Lihat juga Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry (Jakarta: Rajawali, 1983). 55-56.

79

Nurudin al-Raniry dengan simpatisan Hamzah Fansuri.59 Di satu sisi, al-Raniry mengusung gagasan keislaman yang berorientasi kepada syariat islam. Sementara itu, sisi yang lain mengusung gagasan yang dikenal sebagai wahdatul wujud. Hal tersebut sepertinya mendorong rasa penasaran bagi Sultan Abul Mafakhir. Masih belum diketahui isi dari pertanyaan Sultan Banten, akan tetapi untuk menjawab pertanyaan dari Banten, al-Raniry menelurkan sebuah karya diberi judul Al-Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an itu Makhluk). Naskah tersebut menguraikan sanggahan dan kritik dari Nurudin al-Raniry atas ajaran Hamzah Fansuri.60 Menurut Mufti Ali, ringkasan dari naskah ini juga terangkum dalam naskah Jauhar al-Haqaiq.61

Di tahun 1637, Mataram meminta Cirebon untuk membujuk orang Banten untuk mempersembahkan baktinya kepada Mataram.62 Beberapa utusan dari Cirebon datang ke Banten. Mulai dari utusan biasa hingga pembesar negeri Cirebon datang ke Banten untuk membujuk Sultan Abul Mafakhir mengakui Mataram sebagai penguasa Jawa. Salah

59 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18. 60 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry. 55-56. 61 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili dalam Naskah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (1) Salinan dari Banten 1893 M (Serang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2015). 3. 62 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 202

80

satu pembesar negeri Cirebon yang datang untuk membujuk Sultan Banten adalah Pangeran Martasari. Seluruh utusan Cirebon yang datang ke Banten diperlakukan dengan layak dan pantas. Akan tetapi Sultan Abul Mafakhir menolak tunduk di bawah kekuasaan Mataram. Ia hanya tunduk di bawah kuasa Syarif Zahd dari Mekkah yang telah memberikannya gelar ‘Sultan’.63

Dekade 1640’an aroma peperangan semakin pekat tercium. Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke Mataram untuk menjalin kerja sama. Akan tetapi, utusan Banten mendapat perlakuan yang kurang baik. Pengalaman yang meresahkan dari utusan Banten ini dijadikan sebagai dasar untuk mempersiapkan diri menahan serangan Mataram yang bisa datang kapan saja. Sultan Abul Mafakhir dan Sultan Abul Ma’ali memerintahkan untuk membuat beberapa kapal untuk membentuk pertahanan. Serangan yang dinanti akhirnya tiba juga. Serangan yang diinisiasi oleh koalisi Mataram dan Cirebon berlangsung di tahun 1650. Serangan ini Bermula dari kegagalan Cirebon membujuk Banten untuk tunduk di bawah kekuasaan Mataram. Hal tersebut memantik amarah Pangeran Cirebon. Amarah tersebut kemudian berwujud pengiriman pasukan perang Cirebon ke Banten. Pasukan tersebut terdiri dari 60 kapal yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Untuk ‘menyambut’ pasukan Cirebon, Sultan Abul Mafakhir

63 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405.

81

mengirim 50 kapal yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila beserta Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa.64 Pasukan Cirebon dapat dikalahkan oleh Banten, akan tetapi kemenangan ini tercoreng oleh kebengisan dari Astrasusila dan pasukannya. Ia membantai orang-orang Cirebon yang sudah tidak berdaya. Atas tindakannya ini, Sultan Agung marah dan mencabut hadiah yang sebelumnya dijanjikan.

Berselang satu tahun dari peristiwa pagerage, Sultan Abul Mafakhir mangkat. Raja Banten yang berhasil mengangkat Banten dari keterpurukan meninggal di usianya yang ke 55 tahun.65 Ia mangkat di tahun 1651 M dan disebelah anaknya, Sultan Abul Ma’ali dan ibundanya, Nyai Gedhe Wanagiri di Komplek Makam Kenari.66 Sultan Abul Mafakhir dikenang dalam sejarah Banten sebagai seorang penguasa yang adil dan agung. Di bawah kekuasaannya, Banten berhasil

64 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 205-207. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 407. 65 Dalam Sajarah Banten, disebutkan bahwa Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir mangkat di usia 58 tahun. Hal ini berarti Sultan Abul Mafakhir yang lahir di tahun 1596 M meninggal di tahun 1654 M. Sedangkan menurut Hoesein Djajadiningrat yang merujuk pada laporan Belanda, Sultan Abul Mafakhir mangkat di usia ke-55. Hal ini berarti ia meninggal di tahun 1651 M atau setahun setelah peristiwa pagerage. Uraian lebih lanjut lihat Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 417. Sebagai pembanding lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 205. 66 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 362-363.

82

mempertahankan kemerdekaannya, baik dalam bidang politik maupun ekonomi.

C. Inggris dan Belanda: Kawan di satu sisi dan Lawan di sisi yang lain.

Hubungan Banten dengan dunia luar sudah seperti dua sisi mata pisau. Menguntungkan di satu sisi, akan tetapi juga merugikan di sisi yang lain. Selama 29 tahun Pangeran Ratu— kemudian kita kenal dengan Sultan Abul Mafrakhir sejak tahun 1638—berkuasa, ia banyak berhubungan dengan para pedagang yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dari berbagai macam negeri yang berhubungan dengan Banten, dua negara yang sangat dominan adalah Belanda dan Inggris. Pangeran Ratu pun menggunakan pendekatan yang berbeda dalam berhubungan dengan keduanya. Hubungan dengan Belanda lebih bersifat antagonis, Banten dan Belanda nampaknya lebih sering berperang daripada bermitra. Sementara itu, hubungan Banten dan Inggris bersifat protagonis, keduanya memiliki hubungan yang baik dan saling bermitra. Bagaimanapun juga, hubungan Banten dengan keduanya menggambarkan dinamika yang menarik selama Pangeran Ratu (1596-1651 M) berkuasa.

Hubungan Banten dan Belanda yang kurang harmonis di masa kepemimpinan Pangeran Ratu ternyata tidak muncul

83

dari ruang hampa. hubungan keduanya yang saling bersitegang sudah dimulai sejak kedatangan Belanda di tahun 1598 M. Hal tersebut dipicu oleh sikap Cornelis de Houtman yang menyinggung masyarakat Banten dengan sikap arogan dan kesombongannya.67 Hubungan keduanya menjadi semakin keruh setelah waliraja Ranamanggala (1608-1624 M) mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan perdagangan lada di tahun 1616 M. Ia menggandeng para pedagang Cina dalam menjalankan kebijakan tersebut. Koalisi antara pemerintah Banten dan saudagar Cina ini jelas mengundang kecurigaan dari pihak Belanda.68

Harga lada di awal tahun 1618 M berkisar di harga 10 real per pikul (2 karung). Pada bulan April di tahun yang sama, harga lada Banten turun ke posisi 6 sampai 6 ½ real per pikul. Penurunan harga lada ini disebabkan oleh sentimen negatif yang diciptakan oleh Coen. Ia mengancam akan melucuti muatan lada dari jung-jung Cina yang mengambil lada dari Banten. Empat bulan kemudian, lada Banten kembali menguat di harga 9,6 real per pikul. Merapatnya jung-jung yang datang langsung dari Cina di pelabuhan Banten menjadi sebuah sentimen positif bagi komoditas unggulan Banten. Satu bulan kemudian, Belanda kembali mengancam akan melucuti jung-

67 D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. 242-254. 68 J.W Ijzerman, Cornelis Buijsero te Bantam 1616-1618. 34-37.

84

jung Cina. Hal tersebut kembali berimbas pada harga lada yang kembali turun ke harga 6-6 ½ real per pikul. 69

Dekade kedua abad XVII juga menjadi momentum krusial bagi perdagangan bebas di Banten. Di tahun 1608, usaha untuk mengendalikan fluktuasi harga lada adalah dengan menaikkan tarif bea cukai, baik impor maupun ekspor. Tarif yang dikenakan untuk pedagang Eropa adalah 8% sedangkan untuk pedagang Cina sebesar 5%.70 Kebijakan ini memunculkan gejolak di antara para pedagang Eropa. Wacana untuk meninggalkan Banten pun menyeruak ke permukaan. Atas kebijakannya yang hampir selalu merugikan Belanda, Coen bahkan menyebut waliraja Ranamanggala sebagai penguasa zalim yang sangat sewenang-wenang.71

Keadaan inilah yang sepertinya merugikan kedua pihak. Di akhir 1619 M, kedua belah pihak menjajaki kesepakatan damai. Tanggal 21 November, Coen menyatakan keinginannya untuk berdamai dengan Banten. keinginan ini diterima dengan tangan terbuka oleh waliraja Ranamanggala dan Pangeran Ratu. Tanggal 7 Desember, Tiga surat balasan

69 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara. 404. Lihat juga Johan Talens, Een Feodale Samenleving in Koloniaal Vaarwater (Hilversum: Verloren-KITLV, 1999). 64-66. 70 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara. 402 71 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 67- 68.

85

dari Banten kemudian tiba di Batavia, salah satu surat balasan tersebut ditulis oleh waliraja Ranamanggala:

Surat Pangeran Arya Ranamanyqggala, datang akan Kapitan, adapon Kapitan suruhan sarta dengen surat, mangataken mahu bardame, saparti awal zaman dahulu, adapon Kapitan jika ati betul, saparti zaman Kapitan WIiter, dan zamdn Kapitan Jam Bul, bahik, apa salahnya, Pangeran Ratu pon suka, sakarang aru biru pon, orang Walanda juga yang dahulu, bukan sabab Pangeran Ratu yang salah,,72 Dua hari berselang, Coen mengirim surat balasan ke Banten. Dalam laporannya terhadap Heeren XVII, Coen menyebut bahwa kesepakatan dengan Banten sudah tercapai terkait dengan pencegahan praktek ‘monopoli’ di pasar Banten, baik para pedagang Cina maupun pedagang lainnya. Pihak Banten juga menyebut bahwa apabila ada kecurangan dari pihak Belanda, keadaan damai akan berubah menjadi ‘perang’. Sedangkan dalam penggalan salah satu surat Banten yang sampai di Batavia tanggal 22 Desember, dikatakan bahwa “...jangan ada kuciwa, barangkali ada kuciwa, bukan badame namanya, manyakiti juga namanya...”. Berbeda dengan Coen, dalam surat yang dikirim Ranamanggala itu tidak ada kata ‘perang’, melainkan ‘menyakiti’. 73

72 M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619”. Bulletin of SOAS 39, no.1 (1976): 131-133. 73 Menurut Ricklefs, ada dua kemungkinan yang perlu diperhatikan dalam memahami kata ‘perang’ yang disampaikan oleh Coen. Pertama, penerjemah di Batavia keliru dalam memahami surat yang dikirim dari Banten. Kedua, J.P Coen dengan sengaja menyesatkan Heeren XVII. Lihat M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619”: 133-135.

86

Proses perdamaian ini berlangsung antiklimaks bagi kedua pihak. Perdamaian yang dicita-citakan tak pernah terjadi. Di tahun 1624 M, waliraja Ranamanggala kembali menyerahkan tahta kepada Pangeran Ratu yang ketika itu berumur 28 tahun. Pihak Inggris menyiratkan bahwa bahwa para saudagar Cina kemungkinan menekan Ranamanggala untuk mundur dari jabatannya.74 Kemungkinan hal ini didasari oleh keputusan Ranamanggala yang mencabut hak ‘monopoli’ lada bagi pedagang Cina, seperti yang diinginkan oleh Coen sebelumnya.

Meskipun kepemimpinan Banten telah dialihkan kepada Pangeran Ratu, konflik yang terjadi antara Banten dan Belanda tak pernah surut. Tahun 1630’an menjadi titik nadir dari hubungan keduanya. Di tahun 1633 M, Batavia mencurigai Banten berada di balik serangkaian aksi perampokan yang merugikan Belanda. Ekspedisi militer yang dikirim oleh Batavia ke wilayah Lampung, Tanahara dan Anyer merupakan respons dari kejadian ini. Tidak sampai di situ, pihak Belanda juga melakukan blokade atas pelabuhan Banten.75 Dalam Sajarah Banten, blokade yang dilakukan oleh Batavia tak pernah menyurutkan semangat orang-orang Banten. Perlawanan masyarakat Banten atas kejadian ini terekam

74 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 68. Lihat juga Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651- 1682)”: 105. 75 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.

87

melalui Peristiwa Pabaranang. Secara harfiah, pabaranang berarti ‘api pembakar’, dengan menggunakan sampah yang dikumpulkan dalam sebuah perahu dan diletakkan dekat kapal- kapal blokade Belanda. Pada malam hari, perahu tersebut dibakar dan apinya juga menyambar ke kapal blokade Belanda.76

Siasat ini sukses meredam blokade Belanda yang digambarkan dengan sebuah kapal bernama ‘Barungut’. Peristiwa ini digambarkan dalam Sajarah Banten sebagai sebuah permainan belaka. Meskipun demikian, aksi ini sepertinya benar-benar berlangsung pada awal Januari 1634 M. Serangan yang dirancang oleh Wangsadipa ini terbagi menjadi dua serangan. Serangan pertama terjadi di malam keempat dan kelima Januari dan serangan kedua dilancarkan beberapa hari kemudian, sekitar tanggal 10 dan 11 Januari 1634 M.77 Situasi perang ini juga sampai ke kawasan timur Nusantara. Pangeran Anom menyebut bahwa para pedagang Banten yang mencari cengkeh di Ambon mendapat serangan dari orang-orang Belanda.78 Bagaimanapun juga, Perseteruan antara keduanya mereda di tahun 1636 M dan benar-benar berdamai tiga tahun

76 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 139. Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 52. 77 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 336-337. 78 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. 21-23. Lihat juga Annabel Teh-Gallop, “Seventeenth- century Indonesian Letters in the Public Record Office”: 421-423.

88

berselang. Perjanjian damai yang disepakati oleh keduanya berlangsung di bulan Maret 1639 M.79

Berbeda dengan Belanda, hubungan Banten dengan Inggris lebih bersahabat daripada negara Eropa lainnya. Tahun 1628 M Pangeran Ratu mengundang Inggris ke Banten, bahkan ia mengizinkan Inggris membuka kembali kantor dagangnya di Banten.80 Sambutan hangat dari penguasa Banten terhadap perwakilan Inggris bukan sekali ini saja terjadi. Tahun 1602 M, James Lancaster disambut dengan hangat oleh penguasa Banten. ia juga diberikan izin untuk membuka kantor dagang di Banten.81

Meskipun begitu, Inggris dan Banten tidak selalu harmonis. Sama halnya dengan pihak Belanda, Inggris juga menentang keras kebijakan waliraja Ranamanggala. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kebijakan yang dimaksud adalah kenaikan bea cukai dan upaya penghapusan lada. Tanggal 24 Juni 1614, Thomas Best mendorong Inggris untuk memindahkan lojinya keluar dari Banten. Kerugian yang terus menerus diderita EIC (East India Company) menjadi alasan

79 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189. 80 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 34. 81 Clement Markham (ed.), The Voyages of Sir James Lancaster to The East Indies digital version (New York: Cambridge University Press, 2010). 99-102.

89

utama dari Best.82 Keadaan ini dikonfirmasi tahun 1630’an oleh kepala loji Inggris untuk Banten, G. Willoughby.

“When the Dutch and English fell out with Bantam and left their there residence, then the King (Pangeran Gede) [i.e Pangeran Ranamanggala] did assemble all His nobles and Great personnages to Counsell and examine the cause of Bantam troubles by Dutch and English warring therewith. In the counsell it was found that the pepper and consequently the trade of Bantam was the cause of these warrs, which if destroyed, then the warrs would cease and the country be thereby in peace the which advice was the put in practice namely the pepper trees all cut downe and destroyed with express order for neither planting nor gathering of pepper to kill all trade of Bantam”83

Dalam laporannya yang dimuat dalam India Office Record, ia menyampaikan bahwa kebijakan penghapusan lada yang diambil oleh waliraja Ranamanggala melalui proses musyawarah yang melibatkan banyak pembesar negeri. Terlepas dari proses kebijakan yang dilalui, Inggris dan Belanda akhirnya meninggalkan Banten dan memicu penurunan harga lada.

Inggris meninggalkan Batavia dan mendirikan kantor dagang baru di Pulau Lagundi, Selat Sunda. Kantor dagang yang didirikan tahun 1623 M ini selalu mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Sementara itu, kekuasaan di Banten sudah beralih kepada Pangeran Ratu (1624-1651 M). Berbeda dengan

82 Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies 1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934). 268-270. 83 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 68.

90

Ranamanggala, penguasa yang baru memiliki pandangan yang cukup terbuka dengan orang asing. Oleh sebab itu, di tahun 1628 M Pangeran Ratu mengundang Inggris ke Banten untuk membangkitkan kembali jaringan perdagangan yang dahulu sudah terbentuk, langkah pertamanya adalah dengan memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor dagang di Banten.84

Sejak saat itu, Inggris bertransformasi dari mitra dagang reguler menjadi sekutu utama Banten. Di tahun 1628 M, Pangeran Ratu mengirimkan surat kepada Raja Inggris beserta beberapa barang bawaan yang terdiri dari sebuah belati dengan pegangan emas, tombak yang dilapisi emas serta 500 pikul lada. Seserahan tersebut dikirimkan ke Inggris menggunakan kapal yang diberi nama ‘Morris’ dan dibawa langsung oleh Kapitan Mur Nindri Halli, yang kemudian diketahui sebagai Henry Hawley (President OF East India Company sejak tahun 1625-1628). Harapan dari Pangeran Ratu adalah bantuan senjata dari Inggris guna mempersiapkan diri atas serangan Mataram yang dirasa semakin dekat. Ia juga merasa senang atas kembalinya para pedagang Inggris ke Banten.85

84 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 105. 85 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 418-120. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. 16-19. Latar belakang

91

Ini surat dimulai dengan nama Allah subhanahu wa-ta‘ala yang maha tinggi dan maha besar dan mengasihani hambanya dunia akhirat. Adapun kemudian dari itu ini surat Raja Bantten datang kepada Raja Inggeris yang terbawa oleh Ratnar Bik. Mengatakan perri ihwal Raja Bantten memberi khabar kepada Raja Inggeris hal orang Wolanda yang ada di Jayakarta dikeppung oleh orang Mataram tatkala itulah gedung Inggeris direbahkannya oleh orang Wolanda. Sebermula segala orang Inggeris yang ada di Jayakarta itu pun sekarang semuhanya ada di negeri Banten, terlalu sukacitta Raja Bantten oleh segala saudagar Inggeris pulang seperti dahulu kala. Sebermula dahulu Raja Banten membawakan surat dan lada seribu timbang dan kerris dan tombak, yang membawa dia Kapitan Mur Nindri Halli. Raja Banten minta dikirim bedil dan punglu dan ubat. Jikalau Raja Inggeris suka, Kapitan Mur Nindri Halli disuruhnya kiranya ke Bantten segera-segeri, karena Raja Banten sangat harap akan datangnya Kapitan Mur Nindri Halli datang ke Bantten. Ini 86 kiriman Raja Bantten khasa dua kayuh dan rambuti dua kayuh.

Akan tetapi, Raja Inggris tidak bisa mengirimkan senjata dan bubuk mesiu seperti yang diinginkan oleh Pangeran Ratu. Kapal yang membawa berbagai hadiah itu mengalami bencana di perairan Belanda dan ditemukan dalam keadaan rusak di dekat Pulau Scilly, barat daya Inggris. Dari bencana tersebut, yang tersisa hanya surat dari Pangeran Ratu. Sedangkan berbagai macam barang seserahan yang dikirim bersama Morris sudah menghilang dari kapal. Sementara itu, Henry Hawley yang bertugas membawa semua seserahan dari Pangeran Ratu ditemukan meninggal dalam perjalanan ke Inggris. Atas dasar inilah, Raja Charles I tidak bisa memberikan apa-apa kecuali ucapan terima kasih yang tulus. Untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, Raja Charles I

serangan Mataram lihat de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. 150-157. 86 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 419-420.

92

mengirimkan surat balasan kepada Pangeran Ratu di Banten. Surat tersebut dikirim tanggal 29 Maret 1629 M.87

“… he [the King of Banten] had sent his Majesty a memorial and a princely token of his goodwill; the ship Morris being unfortunately cast away his Majesty has not yet enjoyed the fruit of his desires, yet returns no less hearty thanks …”

Beruntung bagi Banten, serangan Mataram di tahun 1628 tidak pernah sampai ke Banten. Permintaan serupa juga dikirimkan oleh Pangeran Anom (mem. 1635-1650 M, kemudian menjadi Sultan Abul Ma’ali Ahmad di tahun 1638) yang diangkat menjadi wakil Raja Banten di tahun 1635 M.88 Di awal surat, Pangeran Anom mengabarkan kepada Raja Inggris bahwa Banten dan Belanda sedang dalam keadaan perang. Peperangan ini disebabkan oleh pihak Belanda yang menyerang pedagang Banten yang baru kembali dari Ambon. Selain itu, gudang Inggris yang ada di Jayakarta juga menjadi sasaran Belanda. Oleh sebab itu, Pangeran Anom mengabarkan situasi terkini sekaligus meminta bantuan kepada Raja Charles I agar membantu Banten menaklukkan Belanda. Akan tetapi, jika Inggris tidak ingin membantu Banten, Pangeran Anom hanya meminta dikirimkan senjata dan amunisi untuk berperang. Ia juga menjanjikan sebuah gedung di Jayakarta apabila Banten berhasil merebut

87 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 418-420. 88 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35.

93

kembali Jayakarta dari tangan Belanda. Untuk melengkapi suratnya, Pangeran Anom juga mengirimkan dua ekor burung Kasuari, sebuah belati dan juga tombak.

“Ini surat daripada Pangeran Anum yang mempunyai perintah negeri Bantten datang kepada Raja Inggeris. Adapun [kami] Pangeran Anum berkirim surat kepada Raja Inggeris memberi khabar akan Raja Inggeris akan hal Raja Banten sekarang berparang dengan orang Wolanda. Bermula sebab berparang d[engan] Wolanda, bahwa orang Banten datang beniaga daripada negeri Ambon memuat cengkih, m.a—p k.ng.ny oleh Wolanda, akan sekarang tiadalah berputusan bertembak-tembakan antara Ban[ten] [dengan?] Wolanda, dan rakiyyat Raja Inggeris pun yang bergeddung di negeri Banten sama turut di—oleh Wolanda. Karena inilah Pangeran Anum minta bantu kepada Raja Inggeris hendak mengalahkan Wolanda yang ada di negeri Jayakatera; jika alah Wolanda yang ada di negeri Jayakaterra ambillah oleh Raja Inggeris. Jika orang Inggeris tiada berani mengalahkan Wolanda yang ada di negeri Jayakatera, Pangeran Anum minta tolong kepada Raja Inggeris beddil dan ubat lan punglu saja juga. Insha’Allah jika Raja Inggeris membantu senjata dengan selengkapnya kepada Pangeran Anum, dapat Raja Banten—akan gedung dalam negeri Jayakatera itu; adapun jika alah negeri Jayakattera itu seolah-[olah] Raja Inggeris juga mengalahkan diya. Adapun kiriman Pangeran Anum akan Raja Ing[ger]is suari dua ekor dan kerris bertatah sebilah dan tombak sepucuk, jangan di[aibkan] k—n berkenalan juga adanya.”89

Surat yang sampai ke Inggris di bulan April 1635 ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sainsbury di tahun 1907.90 Bagaimanapun, perang antara Banten dan Batavia mulai masuk ke fase perdamaian di tahun 1635 M hingga akhirnya benar-benar berdamai di tahun 1639 M. Di sisi

89 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 422-423. 90 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 421.

94

yang lain, surat ini juga memberikan gambaran mengenai cara Banten bergaul dengan dunia Internasional.

Muncul dan berkembangnya komoditas gula di pasar Banten juga masih terkait dengan hubungan Banten dan Inggris. Dalam catatan India Office Record (IOR) tahun 1630 digambarkan sebuah pembangunan irigasi baru yang terdiri dari bendungan dan kanal-kanal pengairan. Selain pembangunan irigasi yang cukup masif, catatan tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat Banten sudah beralih dari budi daya lada menjadi beras dan gula. Meskipun pemerintah Banten sudah menghimbau penanaman lada yang masif. Bahkan, di tahun 1636 pemerintah ‘memaksa dengan sewenang-wenang’ penanaman lada. Menurut Guillot, pemaksaan ini berujung pemberontakan yang silih berganti sejak 1636 hingga 1641’an.

“The people relinquish the planting of pepper for rice and sugar canes... It is almost incredible what watercouses they have cutand what a goody conpass of ground they have these yeares past manured for those purposes...” 91

Keduanya muncul akibat satu momen yang sama, menurunnya perdagangan lada di Banten. Beras agaknya dibudidayakan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Banten. Dalam Sajarah Banten Pupuh XLVI, Pangeran Ratu Abdul Kadir mengumumkan dua kebijakan

91 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 106.

95

pangan Banten di hadapan para punggawa, yaitu pembukaan lahan pertanian baru dan pembangunan lumbung besar di darparagi.92 Sementara itu, komoditas gula di Banten sudah mulai muncul di tahun 1620’an. Bahkan, hadir dan berkembangnya komoditas gula tak bisa dilepaskan dari pengaruh Inggris.93

Antara tahun 1638 sampai 1640 M, produksi gula Banten memasuki fase yang lebih tinggi lagi. Sebuah kontrak produksi yang paling awal antara produsen gula yang terdiri dari delapan penghasil dan enam keluarga di Kelapadua dengan pihak Inggris berlangsung di teken. Kontrak ini berlangsung sejak bulan Februari 1638 hingga 25 Januari 1640 dan kontrak kedua di bulan Agustus 1640 M dengan pihak produsen yang sama.94 Dalam kedua kontrak tersebut dijelaskan bahwa seluruh produksi gula yang dihasilkan oleh enam keluarga di Kelapadua hanya dijual kepada Inggris saja. Untuk menjamin keamanan dan kenyamanan, Sultan Abul Mafakhir (1626-1651 M)—sebelumnya Pangeran Ratu—menjadi pengawas dari kontrak produksi ini.95

92 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373. Lihat juga Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 87. 93 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35. 94 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:154. 95 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 76.

96

Cukup sulit untuk menghitung jumlah produksi yang ada dalam dua kontrak produksi di atas. Akan tetapi, dari catatan Inggris diperoleh keterangan bahwa gula yang dihasilkan selama kontrak pertama diperkirakan sekitar 100.000 tebu setiap tahunnya. Secara keseluruhan, produksi tebu yang dihasilkan oleh enam keluarga di Kelapadua berkisar di angka 600.000 tebu setiap tahun. Kedelapan penghasil gula kemudian memproduksi 100.000 tebu menjadi 450 pikul atau setara dengan 2,8 ton gula dengan kualitas yang bagus.96 Dari perhitungan tersebut, para penghasil gula di Kelapadua akan menghasilkan 2700 pikul setiap tahunnya dan 8100 pikul sampai tahun 1640 M. Produksi yang tentu cukup luar biasa di masa itu.

Produksi gula Banten yang begitu besar kemudian disalurkan oleh EIC (East India Company) ke berbagai pasar Nusantara, salah satunya adalah Batavia. Di tahun 1637, EIC mengirim sekitar 3000 pikul gula ke pasar Batavia.97 Meskipun ekspor ini dilakukan satu tahun sebelum kontrak produksi dijalankan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa EIC kembali melakukan hal serupa di tahun yang berikutnya. Gula Banten juga dijual di pasar lokal oleh para pedagang Inggris.98

96 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 97 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 77. 98 Heriyanti Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684 (Depok: FIB UI-Komunitas Bambu, 2007). 145-146.

97

Selain itu, hasil produksi gula juga digunakan untuk konsumsi pribadi Sultan Banten, maupun pihak Inggris. Mr. Gerrald Pinson (President of East India Company) juga merasa tidak keberatan apabila Sultan Abul Mafakhir membutuhkan gula untuk keperluan pribadinya.99

Harga yang diperlukan untuk satu pikul gula Banten adalah 6 Real Spanyol. Sedangkan di Batavia harganya bisa mencapai 7,5 Real Spanyol. Menurut Talens, harga gula Banten di masa itu hampir serupa dengan harga lada.100 Secara keseluruhan, transaksi yang ada dalam kontrak pertama ini berada di kisaran 21600 sampai 27000 real Spanyol. Sebuah transaksi yang tentunya cukup besar ketika itu. Oleh sebab itu, Untuk melindungi pihak-pihak yang bertransaksi, kedua kontrak tersebut disertai jaminan dan diawasi langsung oleh Sultan Abul Mafakhir.101 Salah satu jaminan yang diberikan adalah penyerahan harta benda apabila sang penghasil gula tidak mampu memenuhi kewajibannya.102

Keduanya juga memiliki pengaruh yang besar di pasar Banten. Belanda misalnya, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam perdagangan lada. Ancaman J.P Coen untuk merampok

99 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 100 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 76. 101 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 76-77. 102 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141.

98

jung-jung Cina yang memuat lada dari Banten nyatanya mempengaruhi harga lada di pasaran Banten. Belum lagi blokade yang dilancarkan berjilid-jilid. Sedangkan Inggris membawa angin perubahan baru di pasaran Banten, yaitu gula. Komoditas gula lahir dari kerja sama yang dilakukan antara Inggris, orang-orang Cina dan Istana. Di tahun 1629-1631, lahan besar disiapkan khusus untuk menanam tebu. Di masa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir, Belanda dan Inggris menjadi mitra yang sangat dekat dengan Banten. meskipun demikian, Belanda menempati posisi yang antagonis sedangkan Inggris sudah seperti sekutu utama. Belanda mengintervensi harga lada, sedangkan Inggris menghasilkan komoditas gula di Banten.

D. Mekkah dan India: Sumber otoritas keagamaan bagi Kesultanan Banten.

Sepertiga akhir dari hidup dan kekuasaannya di Banten, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) senantiasa aktif mengirim utusan ke berbagai negeri dengan tujuan memperdalam ilmu agama dan berusaha sebisa mungkin membawanya ke Banten. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Sultan Abul Mafakhir mengirimkan beberapa utusan ke Mekkah di tahun 1636 M dan India tahun 1640’an. Hubungan Banten dengan Mekkah, khususnya kawasan Timur

99

Tengah dan India tidaklah muncul dari ruang hampa, ketiganya sudah saling bertalian sejak awal berdirinya Kerajaan Banten.

Hubungan antara Banten dan Mekkah sebagai pusat keislaman dunia sudah dimulai oleh Raja pertama Banten, Maulana Hasanuddin. Setelah tujuh tahun menetap di Banten, Hasanuddin berangkat ke Mekkah bersama sang ayah, Maulana Makhdum (Sunan Gunung Djati). Selain menunaikan ibadah haji, mereka juga memperdalam ilmu agama.103 menurut Gabriel Facal, keduanya berafiliasi dengan beberapa tarekat seperti Naqshabandiyyah, Syathariyyah, Qadiriyyah serta Syadiliyah.104 Di tahun 1644, Syekh Yusuf al-Maqasari (1626-1699 M) memasukkan tarekat Khalwatiyah ke Banten. Ramainya tarekat yang ada di Banten juga agaknya berkaitan juga dengan status Banten sebagai salah satu pintu masuk Islam di Jawa Barat.105

Dalam Sajarah Banten, beberapa sosok ulama yang berasal dari Timur Tengah kerap kali memegang posisi penting di Kerajaan Banten. Salah satunya adalah Molana Judah, ia disebut sebagai sosok yang keramat dan raja dari Jeddah. Molana Judah ikut ambil bagian dalam Serangan Banten

103 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten.. 272. Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 123. 104 Gabriel Facal, “Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten”: 102-103. 105 Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Bagian II (Jakarta: Gramedia, 2005). 136-138.

100

terhadap Pajajaran pasukan Maulana Yusup ke Pajajaran di sekitaran tahun 1579 M.106 Sosok lainnya yang tak kalah penting adalah Ki Ali Surasaji atau Kiyai Dukuh, seorang ulama berpengaruh yang berasal dari Madinah. Sebelum tiba di Banten, Ki Ali Surasaji menjadi guru agama di lingkungan bangsawan Minangkabau. Kondisi serupa juga terjadi ketika ia berada di Banten. Ki Ali merupakan guru agama bagi Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, bahkan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir.107

Peran penting lainnya yang dilakoni oleh Kiyai Dukuh adalah upayanya dalam menjaga tahta Banten untuk Maulana Muhammad. Muncul sebuah dilema ketika Maulana Yusuf wafat dan Maulana Muhammad sebagai pewaris tahta yang sah masih berusia 9 tahun. Pangeran Jepara108 yang mendengar kabar ini kemudian datang ke Banten. Beberapa pembesar negeri mendukung Pangeran Jepara untuk menjadi penguasa Banten. akan tetapi, hal tersebut tak mendapat persetujuan dari

106 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 153. Lihat juga De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa (Jakarta: Grafiti, 2003). 139. 107 Ayang Utriza Yakin, ““The Transliteration and Translation of The Leiden Manuscript”: 25-26. Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 163. 108 Pangeran Japara merupakan orang yang sama dengan Pangeran Arya. Ia menjadi anak ketiga dari Maulana Hasanuddin setelah Ratu Pambayun dan Pangeran Yusuf. Sejak kecil, Pangeran Arya dititipkan dan dirawat oleh Ratu Japara. Oleh karenanya, ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Japara. Lihat Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 36.

101

Kiyai Dukuh. Ia kemudian mendorong Mangkubumi dan beberapa pembesar negeri untuk mengembalikan Maulana Muhammad di tahta Banten. Kemudian disepakati bahwa Pangeran Jepara harus pergi dari Banten dan di saat yang bersamaan, Maulana Muhammad kembali dinobatkan sebagai penguasa Banten yang sah.109

Untuk menyiasati keadaan Banten tanpa pemimpin, kemudian Mangkubumi ditunjuk sebagai orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan Banten untuk sementara. Ketika Maulana Muhammad sudah dianggap dewasa dan mampu untuk bertanggung jawab atas tahtanya, maka pemerintahan akan diserahkan kembali kepadanya. Sistem ini kemudian dikenal dengan istilah ‘Waliraja’. Maulana Muhammad kemudian berkuasa menjelang akhir abad ke-16. Ia juga memberikan gelar Pangeran Kasunyatan kepada Kiyai Dukuh. Gelar tersebut diberikan karena jasanya yang melindungi tahta Maulana Muhammad dari ancaman Pangeran Jepara.110 Pangeran Kasunyatan juga diberikan posisi penting dalam kerajaan Banten, ia menjadi wali apabila Maulana Muhammad dan Mangkubumi sedang tidak berada di Surosowan. Menurut Utriza Yakin, gelar tersebut memiliki otoritas yang kuat dalam politik. Sehingga ia melengkapi

109 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 39-41. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 290-297. 110 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 163. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 289.

102

otoritas agama yang sudah dipegang oleh Kiyai Dukuh atau Pangeran Kasunyatan.111

Molana Judah dan Pangeran Kasunyatan merupakan figur ulama yang punya pengaruh besar di masa Maulana Yusuf dan Maulana Muhammad. Keduanya pun berasal dari kawasan Timur Tengah yang menjadi pusat keislaman masa itu. Sekitar tahun 1630’an, Pangeran Ratu (1596-1651 M) mengirim utusan ke Mekkah yang salah satu misinya adalah meminta tafsir dari beberapa karangan Hamzah Fansuri serta membawa pulang ulama dari Mekkah agar dapat mencerahkan Banten.112 Dalam Sajarah Banten, utusan Banten terdiri yang dari Lebe Panji, Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja berlayar dari Banten ke Maladewa, lalu ke wilayah yang disebut Keling atau Koromandel sampai kemudian tiba di Surat, di mana mereka menunggu kapal yang mengangkut Jemaah Haji. Dari India mereka berlabuh di Jeddah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Mekkah.113 Di tahun

111 Ayang Utriza Yakin, ““The Transliteration and Translation of The Leiden Manuscript”: 25-26. Lihat juga, Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 39-43. 112 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga Voorhoeve, “Van en over Nurudin ar-Raniri”: 358. Lihat juga Oman Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara. 49. 113 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 341-342. Lihat juga Djajadningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sarajah Banten. 193- 194. Lihat juga Daghregister 1640-1641, 357-358.

103

1641 M, Mataram juga menggunakan rute serupa untuk meminta gelar ‘Sultan’ dari Mekkah.114

Meskipun demikian, keberangkatan utusan Banten ke Mekkah seringkali dimaknai sebagai sebuah upaya mendapatkan gelar ‘Sultan’.115 Agaknya, memperdalam ilmu agama lebih bisa dikedepankan daripada hanya mencari gelar saja. Terlebih lagi, Pangeran Ratu memiliki ketertarikan yang cukup besar terhadap ajaran sufi.116 Selain beberapa karya Hamzah Fansuri, Pangeran Ratu juga membaca Nasihat al- Mulk karya al-Ghazali.117 Selain itu, ada al-Insan al-Kamil karya ‘Abd al-Karim al-Jilli. Menurut Mufti Ali, Sultan Abul Mafakhir melakukan penyalinan atas naskah ini.118 Wawacan Seh atau Hikayat Seh karya al-Yafi’i agaknya menjadi salah satu yang dibaca juga olehnya. Ketertarikannya terhadap ilmu agama, khususnya tasawuf memang menjadi nilai lebih dari penguasa Banten keempat ini.

Hikayat Seh sendiri merupakan terjemahan bahasa Jawa (dengan dialek Banten-Cirebon) dari karya Abdallah b.

114 Daghregister 1661, 88. Lihat juga H.J De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram.. 272-275. 115 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren”: 167. M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge, 2006). 159. 116 M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 50. 117 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 45-47. Lihat juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890. 15. 118 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-Karim al-Jili. 197-199.

104

As’ad al-Yafi’i (1298-1367 M) yang berjudul Khulasat al- Mafakhir. kitab ini berisi tentang kisah Shaykh ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Terlepas dari bahan bacaan Abul Mafakhir yang begitu luas, peran al-Yafi’i dengan Khulasat al-Mafakhir menjadi sangat besar bagi penyebaran tarekat Qadiriyah di Nusantara. Laffan pun menyebut bahwa nama Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang diberikan dari Mekkah merupakan penghormatan bagi dua tokoh penting tarekat Qadiriyah di Nusantara, al-Jilani dan al-Yafi’i.119

Utusan Banten kembali di tahun 1638 M dengan membawa berbagai macam hadiah yang dibawa dari Mekkah, di antaranya adalah gelar Sultan bagi Pangeran Ratu (Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, w.1651 M) dan Pangeran Anom (Sultan Abul Ma’ali Ahmad, w. 1649 M), kain penutup ka’bah, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya Muhammad bin Allan, bendera berwarna kuning yang dikatakan berasal dari Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi dan berbagai barang lainnya.120

119 Michael Feener & Michael Laffan, “Sufi Scents Across the Indian Ocean: Yemeni Hagiography and the Earliest History of Southeast Asian Islam”. Archipel, 70 (2005): 202-206. Lihat juga van Bruinessen, “Shaykh ‘Abd al-Qadir al-Jilani and the Qadiriyya in Indonesia”. Journal of the History of Sufism, 1-2 (2000): 369-371. 120 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Titik Pudiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 361-362. Lihat juga Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. 48-49.

105

Permintaan tafsir yang diminta oleh Abul Mafakhir agaknya serupa dengan permintaan fatwa. Fatwa sendiri merupakan sebuah pendapat atau sudut pandang dalam persoalan hukum slam tertentu yang dikeluarkan oleh seorang ahli. Sebuah fatwa biasanya berbentuk tanya-jawab, di mana sebuah pertanyaan akan diikuti dengan jawabannya. Orang yang mengeluarkan fatwa disebut dengan mufti, sedangkan yang meminta fatwa adalah mustafti. Pertanyaan dari mustafti biasanya disebut dengan istifta. Sebuah ‘fatwa’ biasanya tersusun dari beberapa cerita ataupun ide yang berbeda guna menjawab pertanyaan dari mustafti. Di sisi yang lain, istifta sendiri akan merefleksikan keadaan sosial, politik maupun keagamaan dari seorang mustafti.121 Oleh sebab itu, menurut Kaptein, istifta lebih menarik daripada fatwa itu sendiri.

Format tersebut juga ditemukan dalam naskah al- Mawahib al-Rabbaniyyah, yang dibawa pulang dari Mekkah oleh utusan Banten. Format yang hampir sama juga ditemui dalam naskah Jauhar al-Haqaiq. Naskah tersebut merupakan ringkasan dari tanya jawab antara Sultan Abul Mafakhir dengan Nurudin al-Raniry (w. 1658 M).122 Tanya jawab antara keduanya terjadi sekitar tahun 1645 M, setelah kepulangan Nurudin ke Ranir (Rander), India. Agaknya, Sultan Banten

121 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in Indonesia” Islamic Law and Society 12, no.1 (2005): 1. 122 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-Karim al-Jili. 3.

106

berusaha bertanya mengenai perbedaan pendapat antara al- Raniry dengan pengikut Hamzah Fansuri dan Samsudin al- Sumatrani di Aceh.123 Mendapat surat dari Sultan Banten, al- Raniry menulis kitab yang diberi judul al-Lama’an fi takfir man qala bi khalqi’l-Qur’an (Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qaur’an itu makhluk). Isi dari naskah tersebut adalah sanggahan dan kritik dari Nurudin al-Raniry atas ajaran wujudiyyah yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani.124

Dari uraian di atas, ada beberapa poin penting yang menggambarkan sosok dari Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). mengirim utusan ke Mekkah bukanlah usaha dalam mencari gelar semata. Melainkan sebuah usaha mencari fatwa, dan lebih jauh lagi mencari otoritas agama.

123 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry. 39-47. Lihat juga Voorhoeve, “Van en over Nurudin ar- Raniri”: 354-360. 124 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry. 55-56.

BAB V SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD ABDUL KADIR: RAJA SUFI DARI KESULTANAN BANTEN

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai perkembangan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1598-1651 M) dari seorang Raja Jawa menjadi Raja Sufi. Penulis akan berusaha menguraikan secara kronologis perjalanan Sultan Abul Mafakhir dari Raja Jawa yang menggunakan gelar ‘Pangeran’ sampai menjadi seorang Raja Sufi. Sebelum masuk ke pembahasan tersebut, penulis terlebih dulu menjelaskan posisi al-Mawahib ar-Rabbaniyyah sebagai sumber kekuatan dan pedoman bagi Sultan Abul Mafakhir dalam merespons kondisi real politik di Kesultanan Banten.

A. Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah dan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir.

Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, ada beberapa warisan (legacy) yang ditinggalkan oleh Sultan Abul Mafakhir untuk para penerusnya. Salah satunya adalah usaha mengirimkan utusan ke luar negeri. Dalam hal ini, yang paling menyita perhatian adalah utusan yang dikirimkan ke Mekkah. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, langkah serupa juga dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Meskipun

107

108

demikian, ada perbedaan besar antara keduanya dari tujuan pengiriman utusan Banten. Dalam Sajarah Banten, Sultan Ageng Tirtayasa mengirim utusan ke Mekkah dengan tujuan memberitakan kepada Sultan Mekkah bahwa kakeknya telah mengkat dan meminta nama ataupun gelar yang pantas penerus Kesultanan Banten.1 Sedangkan dalam sumber yang sama, tujuan dari Sultan Abul Mafakhir adalah untuk meminta fatwa atas kitab Hamzah Fansuri serta meminta seorang ahli fiqih untuk menerangi Banten.2

Salah satu hadiah penting yang dibawa pulang oleh utusan Banten adalah kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah yang dibawa ke Banten tahun 1638 M. Sejauh penelusuran penulis, naskah al-Mawahib hanya ada dua bundel di dunia ini. Pertama, tersimpan di Perpustakaan Leiden dengan nomor panggil Cod. Or. 7405 (4) yang merupakan naskah asli. Kedua, tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil A 105 sebagai naskah salinannya.3

Dari susunannya ini, al-Mawahib agaknya memiliki ciri sebagai kitab fatwa. Dalam hal ini, ada empat aspek yang

1 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 207. 2 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53-56. 3 P. Voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts in The Library of University of Leiden and Others Collection. 204-205. Behrend T.E (ed.). Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid IV Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Lihat juga https://lektur.kemenag.go.id/naskah/index.php?filterBy=title&title=20080 725144141 diakses pada 8 November 2018 Pukul 15.36 WIB.

109

setidaknya harus dipenuhi, yaitu: Mustafti (orang yang meminta fatwa), Istifta (pertanyaan), Mufti (Ulama yang menjawab pertanyaan) dan fatwa (jawaban).4 al-Mawahib sendiri tersusun atas sepuluh Istifta. Menurut Kaptein, Istifta atau pertanyaan yang ada pada sebuah kitab permintaan fatwa menyimpan informasi menarik terkait keadaan sosial, politik bahkan aspek peribadatan.5 Lebih jauh lagi, al-mawahib juga menjadi sumber penting dari kontak intelektual yang berlangsung antara Muslim Nusantara dengan Mekkah sebagai pusat keislaman dunia.6 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, al-Mawahib tersusun atas sepuluh pertanyaan, diantaranya:

Pertama, pertanyaan pertama berkutat mengenai balasan serta larangan bagi para penguasa yang melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam al-Mawahib disebutkan:

“Berkata Rasulullah SAW: datanglah kepada penguasa di hari kiamat. Maka berkata Allah yang Tinggi, ‘Anda adalah gembala dari mahluk saya dan ketabahan? Kerajaan di bumi kemudian berkata salah satu dari mereka memukul/menghukum hamba-hamba saya di atas yang telah ditentukan kepada mereka. Maka berkata, wahai Tuhan kami, sesungguhnya mereka adalah musuh-Mu dan mereka telah melanggar(perintah?)-Mu. Maka berkata, seharusnya kemarahan(hukuman)mu? Tidak mendahului kemarahan-Ku. Kemudian dia berkata, saya menghukum hamba-hamba

4 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in Indonesia”: 1. 5 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in Indonesia”: 6-7. 1 6 Oman Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara (Jakarta: Mizan, 2012): 49.

110

saya kurang dari batas yang sudah diperintahkan?(ditentukan). Maka berkata, wahai Tuhanku kasihilah mereka ... dari Nasihat al-Muluk, Imam Ghazali berkata”.7 Kedua, pertanyaan mengenai bagaimana keadilan harus ditegakkan oleh seorang penguasa. Dalam pertanyaan ini, Sultan Banten mengutip sebuah kisah yang ada di dalam naskah Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali (1111 M) yang berkisah tentang seorang Gubernur Iraq bernama Ziyad ibn abihi. Dalam al-Mawahib disebutkan:

“Hikayat ini tentang Abi Sufyan dan anaknya, Ziyad bin ayahnya yang lahir di hari Jahiliyyah ... ketika Abu Sufyan memerintah di (Dinasti?) Mu’awiyyah ... Ketika Ziyad menjadi penguasa (Gubernur) Iraq, orang Iraq dikenal sebagai kaum yang berbuat kerusakan dan suka mencuri. Di atas mimbar selepas sholat berjama’ah, Ziyad berkhutbah, kemudian berkata: setelah khutbah ini, demi Allah, barangsiapa keluar rumah setelah Isya akan dipenggal kepalanya, Ziyad bersaksi kepada yg ghaib. Kemudian memerintahkan untuk mengawasi selama tiga malam. Kemudian pada malam keempat, Ziyad ikut serta menyisir wilayah Iraq bersama para penjaganya. Kemudian ia menemukan seorang laki-laki Arab yang..... dari Nasihat al-Muluk, Imam Ghazali berkata”.8

Ketiga, masih merujuk pada Nasihat al-Muluk, Sultan Banten bertanya tentang posisi ‘adil’ dalam sebuah kerajaan. Dalam melontarkan pertanyaan ini, Sultan Abul Mafakhir mengutip pernyataan Ulama yang secara tersirat menyebut, ‘ketika keadilan dapat ditegakkan di sebuah negeri, maka kesejahteraan akan mengikuti. Lebih jauh lagi menjadikan

7 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 6-8. 8 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 52-55. Lihat juga F.R.C Bagley & H.D Isaacs. Ghazali Book of Counsel for Kings. (London: Oxford University Press, 1964). 78-79.

111

agama di negeri tersebut dapat berdiri tegak. Dalam al- Mawahib disebutkan:

“Raja-Raja kuno itu adalah inspirasi mereka, dan upaya mereka dalam membangun wilayah mereka ... seorang ulama shahih berkata, “sesungguhnya agama (berdiri?) dengan kerajaan, dan kerajaan (berdiri?) dengan pasukan, dan pasukan (berdiri?) dengan harta, dan harta (berdiri?) dengan kesejahteraan negeri, dan kesejahteraan negeri (berdiri?) dengan keadilan ... dari Nasihat al-Muluk”.9

Keempat, dalam pertanyaan ini, Sultan Abul Mafakhir bertanya mengenai cara bagi seorang penguasa untuk berbuat adil tanpa harus melebihi batasan. singkatnya, pertanyaan keempat ini merupakan lanjutan dari pertanyaan sebelumnya. Dalam al-Mawahib disebutkan:

“Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa para penguasa yang melebihi batas atau membatas-batasi batas Tuhan akan disiksa. Dalam Nasihat al- Muluk, berkata sang periwayat. Kabarkanlah bahwa orang terdahulu dan orang yang terpercaya bahwa dari kebijakan sulthon. Maka sulthon menjawab kebijakan politik dengan politik yang adil. Sesungguhnya Sulthon adalah wakil Allah di Bumi. Maka bagaimana wahai tuan kami, batasan-batasan dari syari’ah dan batasan-batasan dalam politik. Dan bagaimana dengan menemukan keadilannya?...”.10

Kelima, pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan keempat yang menjadi sambungan atau lanjutan dari pertanyaan-pertanyaan terdahulu. Sultan Abul Mafakhir bertanya bagaimana sebuah ‘keadilan’ dapat membawa

9 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 75-76. 10 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 84-85.

112

kemakmuran untuk sebuah negeri. Dalam al-Mawahib disebutkan:

“Ulama dan ahli hukum berkata, sesungguhnya agama berdiri dengan kerajaan, dan kerajaan berdiri dengan pasukan, dan pasukan berdiri dengan harta, dan harta berdiri dengan kesejahteraan negeri, dan kesejahteraan negeri berdiri dengan keadilan. Dan jika dikatakan bahwa pasukan/tentara berdiri dengan harta, maka harta manakah yang dimaksud? Apakah harta yang berasal dari kerajaan ataukan harta yang dimiliki oleh para tentara? Dan jika dikatakan bahwa harta yang berasal dari kerajaan, maka dari harta yang mana? Dan jika dikatakan harta yang berasal dari kesejahteraan negeri, harta mana yang bisa membuat negeri makmur? Dan jika dikatakan bahwa kemakmuran negeri berasal dari keadilan, keadilan yang bagaimana yang mampu memakmurkan negeri” 11

Keenam, pertanyaan mengenai batasan bagi seorang Sultan dalam memberi dan mengambil sesuatu.

“dalam nasihat disebutkan bahwa seorang Sulltan dalam mengambil sesuatu dari rakyatnya dan memberikan sesuatu juga bagi rakyatnya. Maka, bagaimana batasan dalam mengambil dan memberi itu?”. 12

Ketujuh, merupakan pertanyaan yang menyinggung aspek ibadah, di mana Sultan Banten meminta berkah dan diajarkan sebuah do’a setelah shalat. Dalam al-Mawahib disebutkan:

“saya meminta berkat dari anda untuk mengajarkan sholat dan apa yang dibaca dan apa yang disebut dalam hati. Dan ajarkan do’a yang dibaca setelahnya dan doa ‘mutayassir’ dalam lisan.” 13

11 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 105-107. 12 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 113-114. 13 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 120.

113

Kedelapan, pertanyaan mengenai tanah wakaf, dalam hal ini Sultan Abul Mafakhir bertanya apakah diperbolehkan bagi seorang penguasa memberikan tanah kepada tentara dan keturunannya? Lebih jauh lagi Sultan Abul Mafakhir juga bertanya, apakah diperbolehkan untuk seorang penguasa mengambil alih tanah yang sebelumnya telah diwakafkan/dihibahkan oleh penguasa terdahulu. Dalam al- Mawahib disebutkan:

‘apakah diperbolehkan bagi seorang sultan untuk memberikan tanah kepada para tentara dan ahli warisnya. Jika anda mengatakan boleh, maka bagaimana seorang sultan yang setelah sultan yang memberikan tanah tersebut mengambil alih lagi tanah yang sudah diberikan di awal tadi”.14

Kesembilan, pertanyaan terkait dengan pajak tanah terhadap orang kafir dan pajak dagang terhadap para pedagang muslim.15 Kesepuluh, pertanyaan kesepuluh terdiri dari tiga pertanyaan agaknya menyinggung tentang ajaran wujudiyyah.16

Dari sepuluh pertanyaan (ifta) yang ditanyakan oleh Sultan Banten, lebih dari setengahnya membicarakan mengenai ‘keadilan’. Hal tersebut tidak terlepas dari Sultan Banten yang merujuk pada kitab Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali. Dari

14 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 136-137. 15 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 141-143. 16 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 148-151.

114

keterangan tersebut, muncul indikasi bahwa kitab Nasihat al- Muluk memang sudah dikenal di Nusantara, khususnya Kesultanan Banten. Lebih jauh lagi, Sultan Banten agaknya berusaha untuk memahami lebih jauh teks Nasihat al-Muluk. Pada akhirnya mengintegrasikan konsep ‘adil’ yang ada di dalamnya dengan situasi politik di kerajaan Banten.17 Dalam hal ini, lahirnya naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah juga tak bisa dilepaskan dari alasan di atas. al-Mawahib lahir mengikuti gerak zaman di abad ke-17, di mana teks-teks sastra didedikasikan sebagai nasihat kepada para raja.18 Maka tak mengherankan apabila kitab Nasihat al-Muluk muncul sebagai referensi penting bagi raja-raja Nusantara, salah satunya Banten.

Bagi Sultan Abul Mafakhir, al-Mawahib merupakan sumber referensi untuk mengambil keputusan politik. Konsep ‘adil’ yang dipelajarinya dalam naskah tersebut juga menjadi pegangan baginya dalam memutus perkara hukum. Di masanya, Sultan Abul Mafakhir juga berperan sebagai hakim tertinggi di Kesultanan Banten. Contoh realpolitik terjadi selama dekade 1640-an, ketika itu Sultan Abul Mafakhir dihadapkan pada dua pilihan sulit; menyerah pada Mataram yang saat itu sangat kuat atau melawan Mataram demi kemerdekaan Banten yang utuh. Abul Mafakhir kemudian

17 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 47. 18 G.E Marrison, “Persian Influences in Malay Life (1280-1650)”. JMBRAS 28, no.1 (1955): 61.

115

memilih pilihan kedua. Menariknya, alih-alih tunduk kepada Mataram, ia hanya mau tunduk dan mengakui Syarif Mekkah. Sultan Abul Mafakhir menyebut bahwa Syarif Mekkah yang memberkati Banten dan bukannya Mataram. oleh sebab itu, ia lebih memilih Syarif Mekkah sebagai patronnya.19

B. Perjalanan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir sebagai Raja Sufi

Seperti yang dicantumkan sebelumnya, Sultan Abul Mafakhir berkuasa sejak 1624 sampai 1651 M atau hampir lima abad yang lalu. Meskipun demikian, sosok Sultan Abul Mafakhir masih abadi hingga kini. Setidaknya hal tersebut tercermin dalam berbagai temuan sejarah yang memiliki korelasi dengan Sultan Abul Mafakhir. Beberapa di antaranya bahkan merefleksikan perjalanan spiritualnya sebagai Raja Sufi. Salah satu indikator dari perjalanan tersebut adalah gelar yang digunakan olehnya.

Dari beberapa sumber sejarah yang tersedia seperti surat dan mata uang, diketahui bahwa Raja Banten keempat ini lebih aktif menggunakan gelar ‘Pangeran’. Gelar tersebut digunakan sejak ia berkuasa di tahun 1624 sampai tahun 1638 M. Periode ini penulis kategorikan sebagai era ‘Kepangeranan’. Gelar

19 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405-406. Lebih jauh mengenai pertempuran antara Cirebon dan Banten, lihat bab IV skripsi ini.

116

Pangeran kemudian diganti dengan ‘Sultan’ setelah ia mendapatkannya dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M. Kemudian, sejarah mencatat bahwa Abul Mafakhir menggunakan gelar ‘Sultan’ sampai akhir hayatnya. Dari tahun 1638 hingga 1651 M penulis sebut dengan era ‘Kesultanan’. Baik periode Kepangeranan ataupun Kesultanan memiliki signifikansi yang penting untuk dijelaskan dalam bab ini. Meskipun memiliki beberapa perbedaan, keduanya menjadi sebuah proses yang tak terpisahkan dari sosok Sultan Abul Mafakhir yang berkembang sebagai Raja Sufi.

Sejauh penelusuran penulis, ada dua sumber penting yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan periode ‘Kepangeranan’. Pertama, sumber artefaktual berupa mata uang Kesultanan Banten yang berasal dari masa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir. Kedua, sumber tertulis berupa surat- surat yang dikirimkan oleh Sultan Abul Mafakhir kepada Raja Charles dari Kerajaan Inggris.

Kesultanan Banten pernah mengeluarkan sebuah mata uang koin dengan yang disebut sebagai koin ‘Kasha’. Di atas permukaannya, tertulis inskripsi “Pangeran Ratu Ing Banten” yang merujuk pada gelar Abul Mafakhir.20 Dalam laporan penelitian Banten di tahun 1976, koin ‘kasha’ dikategorikan

20 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”. Archipel 39 (1990): 149.

117

sebagai koin bulat dengan lubang segi enam di tengahnya. Koin ‘kasha’ terbuat dari tembaga dengan diameter keseluruhan mencapai 2,6 cm dan diameter lubang 1,5 cm.21

Mengingat bahwa temuan mata uang sering kali dikategorikan sebagai artefak bertanggal mutlak.22 Maknanya, di dalam mata uang kuno, tersimpan informasi kuat mengenai siapa yang menerbitkan dan kapan ia diterbitkan.23 Dalam hal ini, poin penting yang ingin ditekankan pada mata uang ‘kasha’ adalah penggunaan gelar ‘Pangeran Ratu’ yang merujuk pada awal kepemimpinannya Sultan Abul Mafakhir di Banten. Kini, mata uang ‘kasha’ Kesultanan Banten dapat dijumpai di Gedung Arca lantai 2 (Dua) Museum Nasional Republik Indonesia. Selain itu, koin serupa juga dapat dijumpai pada Museum Kepurbakalaan Banten.

Gelar ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ juga tercantum pada stempel surat Raja Banten kepada Raja Inggris di tahun 1628 M.24 Stempel tersebut berbentuk bulat dengan outline ganda dan berdiameter 55 mm. Muncul dugaan yang kuat bahwa

21 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary & Hasan Djafar, Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976. 47-48. 22 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary & Hasan Djafar, Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976 Cet. II (Jakarta: Puslit Arkenas, 1986). 47. 23 Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988). 45-46. 24Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”. Indonesia and The Malay World 31, no.91 (2003): 418-419.

118

stempel tersebut merupakan stempel resmi Kerajaan Banten saat itu. Hal tersebut didasari pada keterangan stempel tersebut yang memuat informasi tentang silsilah raja-raja Banten.25 Informasi yang terdapat surat Raja Banten ini sekaligus menguatkan keterangan dari koin ‘kasha’, karena surat tersebut berangka tahun 1628 M atau sekitar 4 tahun sejak Abul Mafakhir memegang tahta.

Dekade 1630-an menjadi periode krusial dalam perjalanan spiritual Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi. Setidaknya ada dua peristiwa penting yang terjadi pada periode krusial ini. Pertama, adanya perintah yang dikeluarkan oleh Sultan Abul Mafakhir untuk menyalin tulisan Abd al-Karim al- Jili yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il dan memberikan terjemahan bahasa Jawa dalam setiap lariknya.26 Sejatinya masih belum diketahui secara pasti waktu penyalinan kitab al-Insan al-Kamil, namun muncul dugaan kuat bahwa kitab tersebut disalin pada dekade 1630-an.

Kedua, peristiwa penting lainnya adalah pengiriman utusan Banten ke Mekkah di awal 1630-an. Dalam Sajarah Banten, utusan ini terdiri dari tiga orang, yaitu; Lebe Panji sebagai ketua serta Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja. Ketiganya diberikan tugas untuk menyampaikan

25 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 420. 26 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al- Karim al-Jili: 13-14.

119

surat yang berisi sepuluh pertanyaan Abul Mafakhir dan membawa pulang seorang ahli agama untuk menjadi Ulama Kesultanan.27 Utusan Banten berhasil kembali di tahun 1638 M dengan membawa berbagai hadiah dari Mekkah, di antaranya; gelar Sultan untuk Abul Mafakhir, kitab al-Mawahib ar- Rabaniyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi Muhammad, sepotong kiswah dan seterusnya.28 Kepulangan para utusan ini disambut dengan meriah dan seluruh masyarakat Banten dikumpulkan untuk menyambutnya. Hadiah-hadiah yang diperoleh dari Mekkah juga dianggap mempunya berkah tersendiri, sehingga hadiah-hadiah tersebut diarak keliling kota Banten dengan tujuan berkah tersebut bisa tersebar ke penjuru negeri. 29

Kedua peristiwa tersebut mencerminkan ketertarikan Sultan Abul Mafakhir yang lebih dalam mengenai ajaran Islam, doktrin insan kamil dan ‘menjadi raja yang adil’. Hal tersebut dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah. Dari sepuluh pertanyaan yang diajukan, enam di antaranya terkait dengan ‘keadilan’ dan bagaimana menjadi raja yang adil. Uniknya lagi, ia mengutip

27 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 341-342. Lihat juga Djajadningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sarajah Banten. 193-194. 28 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. 48-49. 29 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Titik Pudiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 361-362.

120

beberapa keterangan yang ada pada kitab Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali (w.1111).

Pada dekade 1640-an, Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke Nurudin ar-Raniry yang saat itu berada di India. Masih belum diketahui secara pasti mengenai pertanyaan Sultan Banten, namun kuat dugaan bahwa ia bertanya mengenai kebijakan Nurudin yang menolak bahkan memusuhi kaum wujudiyyah di Aceh. Untuk menjawab surat dari Sultan Banten, Nurudin menulis sebuah kitab yang diberi judul Al- Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an itu Makhluk). Naskah tersebut menguraikan sanggahan dan kritik dari Nurudin al-Raniry atas ajaran Hamzah Fansuri.30 Utusan Banten yang dikirim ke Nurudin agaknya perlu diletakkan pada konteks ‘menjaga stabilitas dan keamanan Banten’. Sultan Abul Mafakhir menaruh perhatian pada konflik keagamaan yang terjadi di Aceh dan mungkin terbesit kekhawatiran di benaknya bahwa konflik serupa akan terjadi di Banten. Oleh sebab itu, utusan ke India ini perlu dilihat sebagai upaya Sultan Abul Mafakhir menjaga stabilitas dan keamanan di Banten.

Di penghujung dekade 1640-an sosok Sultan Abul Mafakhir menjadi semakin matang. Hal tersebut nampak dari

30 Penjelasan lebih jauh mengenai Nurudin ar-Raniry, lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry. 55- 56.

121

cara Sultan Abul Mafakhir menghadapi Mataram. Meskipun penguasa Mataram sudah beralih dari Sultan Agung Mataram kepada Amangkurat I, namun usaha untuk menaklukkan Banten dan ‘menyatukan Jawa’ masih belum sirna. Di tahun 1637 M, Amangkurat I meminta Cirebon untuk membujuk Sultan Banten mempersembahkan baktinya dan tunduk kepada Mataram.31 Sejak saat itu, Cirebon secara aktif dan berkala mengirim utusan ke Banten. utusan yang dikirim pun beragam, dari utusan biasa hingga pembesar negeri datang secara bergantian ke Banten untuk membujuk Sultan Abul Mafakhir mengakui Mataram.

Salah satu pembesar negeri Cirebon yang datang untuk membujuk Sultan Banten adalah Pangeran Martasari. Matangnya sikap Sultan Abul Mafakhir juga terlihat ketika ia memperlakukan utusan Cirebon yang datang ke Banten dengan perlakuan yang layak dan pantas. Meskipun diminta untuk tunduk, namun Sultan Abul Mafakhir tetap memandang Cirebon sebagai saudara kandung Banten yang harus diperlakukan dengan baik. Terkait dengan keinginan Mataram, Sultan Abul Mafakhir kemudian membicarakannya di depan dewan kesultanan dan secara tegas menolak untuk memenuhi keinginan Mataram. Baginya, Banten tidak perlu tunduk kepada Mataram, karena yang memberikan berkah kepada Banten adalah Syarif Mekkah. Oleh sebab itu, Sultan Abul

31 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 202

122

Mafakhir hanya mengakui Syarif Mekkah sebagai rajanya dan tidak ada orang lain yang harus ia akui. Ia juga menyebut lebih baik lebih baik hancur lebur dalam perang daripada mengirim bakti kepada Mataram.32 Kelanjutan dari peristiwa ini adalah perang pagerage.

Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada kekuatan pasukannya. Kondisinya cukup jauh berbeda dari tahun 1629 M ketika Mataram mengepung Batavia. Saat itu, Abul Mafakhir meminta bantuan kepada Inggris dan tidak berdiri di atas usahanya sendiri.

Hasilnya, Banten berhasil mempertahankan diri dari serangan Mataram dan Cirebon. Di sanalah posisinya sebagai Raja Sufi menjadi semakin kokoh. Karena ia mampu menejaga stabilitas dan keamanan Banten dari ancaman pihak luar.

32 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405.

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Raja Sufi merupakan seorang penguasa yang telah memiliki kesadaran utuh atas kesatuannya dengan Tuhan. Oleh sebab itu, seorang Raja Sufi diyakini mampu berbuat adil karena ia memahami dan menyadari tugasnya sebagai wakil Tuhan di Bumi. Keadilan yang mampu ia tegakkan kemudian akan berimplikasi pada stabilitas dan keamanan negeri yang ia pimpin. Untuk bisa mencapai tingkatan Raja Sufi, sang penguasa harus mampu memahami dan mempelajari ajaran- ajaran Islam, khususnya ajaran sufistik. Dalam hal ini, kitab al- Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili merupakan salah satu pembentuk sosok Raja Sufi di Nusantara, konsep mengenai Raja Sufi lahir dari doktrin insan kamil atau “perfect man” yang ada di kitab al-Insan al-Kamil.

Doktrin insan kamil diaktualisasikan dan dibentuk oleh para ulama kerajaan untuk menyokong legitimasi dan karisma sang penguasa. Di tanah Melayu, muncul konsep ‘Raja Adil’ yang menggambarkan kesempurnaan seorang Raja sebagai penguasa yang adil. Konsep tersebut muncul dari hubungan patron-klien antara Raja dan Ulama. Sementara itu, di tanah Jawa muncul konsep Sufi Warrior King digunakan untuk menggambarkan penguasa Jawa yang menjalankan

123

124

pemerintahannya berdasarkan ajaran-ajaran sufistik. Menariknya, istilah tersebut muncul dari dalam lingkaran keluarga Raja. Di Banten sendiri, salah satu penguasa yang layak dikategorikan sebagai ‘Raja Sufi’ adalah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M).

Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) merupakan Raja Banten keempat yang berkuasa dari tahun 1624 hingga 1651 M. Ia menjadi penguasa Jawa pertama yang memperoleh gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M dan menggunakannya sejak saat itu sampai akhir hayatnya. Sebelum mendapatkan gelar Sultan, ia menggunakan gelar ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ sejak tahun 1624-1638 M. Oleh sebab itu, periode kekuasaan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, ketika ia menggunakan gelar ‘Pangeran’ (Kepangeranan) sejak 1624- 1638 M. Penggunaan gelar ‘Pangeran’ kemudian diperkuat dengan bukti mata uang ‘kasha’ Kesultanan Banten yang kemungkinan beredar di abad ke-17 dan surat Raja Banten kepada Raja Inggris tahun 1629 M. Kedua, sejak ia memperoleh gelar ‘Sultan’ (Kesultanan) dari Syarif Mekkah di tahun 1638 dan digunakan hingga akhir hayatnya. Hal tersebut juga diperkuat dengan keterangan yang ada Pada bagian pengantar manuskrip al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyya, di mana tercantum nama Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir. 125

Keduanya secara tidak langsung mencerminkan proses perjalanan spiritual Abul Mafakhir dari seorang Raja Jawa menjadi Raja Sufi. Proses itu dapat dilihat dari titik awal sebagai Raja Jawa sebagai ‘Pangeran’ dan pada titik lainnya ia menggunakan gelar ‘Sultan’ yang lebih bercitrakan Islam. Oleh sebab itu, titik awal dari perjalanan spiritual Abul Mafakhir adalah ketika ia menggunakan gelar ‘Pangeran’ di masa awal pemerintahannya. Hal tersebut dapat diketahui dari cap/stempel surat Kerajaan Banten yang dikirim kepada Raja Inggris di tahun 1629 M. Lebih jauh lagi, surat itu ditujukan untuk memberi kabar kepada Raja Inggris bahwa Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung1 sudah mengepung Batavia, sehingga ia ingin meminta bantuan persenjataan dalam mengantisipasi pasukan Mataram yang sudah berada di halaman depan Banten. Namun, bantuan Inggris tak pernah datang dan serangan Mataram pun tak pernah benar-benar sampai ke Banten. Gelar ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ juga tertera pada sebuah koin yang diduga kuat berasal dari periode pemerintahan Sultan Abul Mafakhir di Banten.

Perjalanan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi menemui titik krusialnya pada dekade 1630-an. Abul Mafakhir secara aktif mulai membaca dan mendalami kitab-kitab yang memuat doktrin insan kamil dan panduan menjadi raja yang

1 Perlu ditekankan di sini bahwa gelar ‘Sultan’ baru diperoleh dari Mekkah dan digunakan sejak tahun 1641 M. Lihat M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 34.

126

adil. Hal tersebut dapat terlihat ketika Abul Mafakhir sendiri memerintahkan kepada punggawa Istana Surosowan untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil. Tak sampai di situ, ia juga mengirim utusan ke Mekkah di tahun 1630-an untuk bertanya kepada Syarif Mekkah untuk menjadi raja yang adil. Sebagian besar pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir ternyata didominasi oleh pertanyaan terkait ‘keadilan’ dan bagaimana ia menjadi raja yang adil. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir dapat dilihat pada kitab al-Mawahib. Menariknya, Abul Mafakhir sering kali mengutip keterangan al-Ghazali yang ada di dalam kitab Nasihat al-Muluk. Hal tersebut mencerminkan

Utusan Abul Mafakhir kemudian tiba di Banten tahun 1638 M dengan membawa berbagai hadiah, di antaranya; gelar ‘Sultan’, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila Jawiyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi Muhammad dan beberapa hadiah lainnya. Hadiah-hadiah tersebut diperlakukan dengan istimewa dan dianggap dapat menghadirkan berkah. Oleh sebab itu, perayaan diadakan untuk menyambut hadiah-hadiah tersebut dan diadakan pawai keliling kota untuk menyebarkan berkahnya ke penjuru kota Banten. tak bisa dipungkiri bahwa pemberian yang didapatkan dari Syarif Mekkah membawa berkah tersendiri bagi legitimasi dan karisma Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, keadaan 127

ekonomi dan politik di Kesultanan Banten mulai membaik dan stabil.

Akhir dekade 1630-an, penolakan terhadap kaum wujudiyyah muncul di Aceh. Tokoh sentral dari keluarnya penolakan ini adalah Nurudin ar-Raniry yang ketika itu menjabat sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh. Karena alasan yang belum diketahui pasti, Nurudin pulang ke kampung halamannya di Ranir, India. Hal tersebut agaknya menimbulkan rasa penasaran pada diri Sultan Abul Mafakhir dan pada akhirnya mendorong dirinya untuk mengirim utusan ke India pada dekade 1640-an. Utusan tersebut dikirim untuk bertanya kepada Nurudin terkait penolakannya terhadap kaum wujudiyyah. Pertanyaan tersebut dibalas Nurudin dengan sebuah kitab berjudul Al-Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an itu Makhluk). Pengiriman utusan Banten ke Nurudin agaknya perlu diletakkan pada upaya Sultan Abul Mafakhir mengantisipasi penolakan serupa muncul di Banten dan lebih jauh lagi guna menjaga stabilitas dan keamanan di Kesultanan Banten.

Di tahun 1650, Mataram yang saat itu dipimpin oleh Amangkurat I berupaya menaklukkan Banten. Ia pun meminta Cirebon untuk membujuk Banten mengakui Mataram sebagai pelindungnya. Pertama-tama, Cirebon mengirim beberapa utusan secara berkala pada dekade 1640-an ke Banten. Upaya

128

tersebut selalu menemui kegagalan dan penolakan. Akibat penolakan tersebut, Cirebon merespons dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Namun, pasukan Cirebon berhasil dihalau oleh pasukan Banten. Dalam naskah Sajarah Banten, peristiwa ini dikenal dengan istilah peristiwa pagerage

Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada kekuatan pasukan Banten.

B. Saran

Penelitian mengenai masa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir ini sejatinya masih memiliki banyak kekurangan. Keterbatasan biaya dan waktu menjadi alasan dari banyaknya kekurangan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, besar harapan penulis agar penelitian ini dapat memberikan sudut pandang baru atas sejarah Kesultanan Banten yang seolah terfokus pada Sultan Ageng Tirtayasa. Lebih jauh lagi, penulis juga berharap agar kajian ini mampu meningkatkan perhatian dan kepekaan para pembaca serta 129

masyarakat luas terhadap Sultan Abul Mafakhir dan situs Kenari beserta danau Tasikardi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Kesultanan Banten. Akhir kata, penulis juga ingin memberikan beberapa saran kepada para peneliti, penggiat maupun para pemangku kebijakan, di antaranya:

1. Melakukan kajian yang lebih komprehensif lagi mengenai Sultan Abul Mafakhir. Seperti kajian arkeologis terhadap peninggalan yang ada di situs Kenari maupun kajian mengenai pemikiran Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dengan menggunakan sumber-sumber, baik primer maupun sekunder yang terkait dengan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. 2. Memberikan perhatian lebih, baik moril maupun materiil yang lebih besar terhadap peninggalan- peninggalan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, salah satunya adalah situs Kenari. Hal tersebut sangatlah penting, agar nilai-nilai sejarah yang ada di situs tersebut dapat terjaga dalam waktu yang lama.