BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari mana cabang olahraga badminton berasal dan bagaimana sejarah awalnya? Orang
hanya mengenal nama badminton berasal dari sebuah rumah/istana di kawasan
Gloucester-shire, sekitar 200 kilometer sebelah barat London, Inggris. Badminton House,
demikian nama istana tersebut, menjadi saksi sejarah bagaimana olahraga ini mulai
dikembangkan menuju bentuknya sekarang
. Di bangunan tersebut, sang pemilik, Duke of Beaufort dan keluarganya pada abad ke-17
menjadi aktivis olahraga ini. Akan tetapi, Duke of Beaufort bukanlah penemu permainan
itu. Badminton hanya menjadi nama karena dari situlah permainan ini mulai dikenal di
kalangan atas dan kemudian menyebar. Badminton menjadi satu-satunya cabang
olahraga yang namanya berasal dari nama tempat.
Yang juga tanda tanya besar adalah bagaimana nama permainan ini berubah dari
battledore menjadi badminton. Nama asal permainan dua orang yang menepak bola ke
depan (forehand) atau ke belakang (backhand) selama mungkin ini tadinya battledore.
Asal mula permainan battledore dengan menggunakan shuttlecock (kok) sendiri juga
misteri. Dulu orang menggunakan penepak dari kayu (bat). Dua orang menepak “burung”
itu ke depan dan ke belakang selama mungkin. Permainan macam ini sudah dilakukan
anak-anak dan orang dewasa lebih dari 2000 tahun lalu di India, Jepang, Siam (kini
Thailand), Yunani, dan Cina. (www.pb-pbsi.org)
Dari sejarah singkat diatas kita akan bertanya-tanya dimana nama-nama
negara asia, terutama saya dan anda pembaca sesama orang Indonesia, yang
pernah mendominasi cabang olahraga bulutangkis dunia, yang sekarang
didominasi oleh China. Dalam perjalanannya Indonesia merupakan langganan juara dalam berbagai kejuaraan bergengsi dunia. Tercatat enam medali emas, lima perak, dan enam perunggu telah dirain indonesia dalam olimpiade semenjak tahun 1992 (wikipedia.org). Tetapi belakangan ini prestasi itu terus menurun seiring dengan berjalannya waktu, sehingga tradisi emas yang selalu diraih
Indonesia diaanggap sebagai sesuatu yang ,mungkin akan terputus.
Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah beserta dengan pengurus PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia) selaku organisasi yang berwenang dalam memajukan kembali citra baik Indonesia pada cabang olahraga yang satu ini. Kemerosotan ini bahkan diakui oleh para pengurus
PBSI salah satunya Sekjen PB PBSI Yacob Rusdianto yang mengatakan, “Kita akui lengah. Negara lain ada yang mengejar dan melewati kita." (www.detik.com ).
Usaha regenerasi dan pembinaan pemain muda merupakan salah satu hal yang harus terus dipantau unuk menciptakan generasi penerus yang dapat menghasilkan generasi-generasi pembawa nama harum bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari terbentuknya klub atau perkumpulan bulu tangkis di berbagai daerah untuk menyaring talenta-talenta muda dari berbagai belahan tanah air. Selain itu diselenggarakannya kejuaraan tingkat nasional antar klub bulu tangkis, menjadi sebuah kompetisi bergengsi yang dapat mencetak atlit-atlit berskala internasional.
Dalam masalah regenerasi, kekhawatiran muncul dari apa yang dinyatakan oleh Ketua Umum POR PB Djarum FX Supandji (2009) yang menegaskan, saat ini Indonesia terlambat dalam urusan regenerasi. Bahkan dapat dikatakan generasi emas bulu tangkis Indonesia sudah hilang satu generasi. Hal ini terbukti dari, setelah era Hariyanto Abi, Ardy B Wiranata, sampai Joko Suprianto, nyaris tak ada lagi yang stabil selain Taufik Hidayat. Sony Dwi Kuncoro yang dianggap bisa menyaingi Taufik malah melempem, begitu juga Tommy Sugiarto sampai
Andre Kurniawan yang nyaris stagnan (www.badminton-indonesia.com ). Kenyataannya, dalam dunia olahraga, cabang olahraga bulu tangkis merupakan cabang yang selalu diharapkan mampu membawa nama harum
Bangsa Indonesia di kancah dunia. Apalagi dengan semakin dekatnya perhelatan pentas olahraga dunia, Olimpiade 2012 di London, Inggris. Dengan minimnya prestasi olahraga yang dapat diperoleh sampai saat ini, pada perhelatan
Olimpiade yang diikuti setiap empat tahun sekali, tradisi emas selalu dapat dipertahankan oleh cabang bulu tangkis. Hal ini seharusnya dapat dipertahankan bahkan dikembangkan, tak terkecuali dalam bidang ilmu dan pengetahuan.
Robert, Spink, Pemberton (1986) mengatakan menggali potensi olahraga seseorang serta melatihnya secara terarah merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan dari tahap persiapan awal sampai pada puncak prestasi. Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa waktu dan tenaga yang harus dikorbankan dalam menelurkan atlet-atlet berprestasi tidaklah sedikit. Monty (1996) menguatkan dengan pernyataan bahwa membina prestasi olahraga seorang atlet tidak dapat dilakukan dalam waktu satu malam, melainkan melalui berbagai proses dan tahapan dalam satu kurun waktu tertentu. Sekalipun seorang individu memiliki bakat khusus pada bidang olahraga tertentu, tanpa latihan yang terarah bakat tersebut akan tetap tinggal sebagai potensi terpendam.
Setiap atlit dihadapkan pada pelatihan dengan porsi yang beragam dan adil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang telah dicapainya. Selain kemampuan ( skills) fisik, faktor-faktor psikologis seorang atlet, dinilai turut berperan dan berkontribusi nyata. Lars-Erik Unestahl (dalam Singgih, Monty,
Myrna, 1996) menegaskan bahwa latihan mental dalam olahraga harus dianggap sama pentingnya dengan latihan fisik . Pada 35-40 tahun yang lalu, komunitas akademis dan masyarakat telah menyadari sebuah bidang kajian baru yang disebut psikologi olahraga. Para psikolog olahraga mempelajari motivasi, kepribadian, kekerasan, kepemimpinan, dinamika kelompok, latihan, dan kesejahteraan psikologis, pikiran dan perasaan atlet, dan banyak dimensi lainnya yang mengambil bagian dalam olahraga dan aktivitas fisik. Penerapan psikologi olahraga mengarah kepada faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi keikutsertaan dan kinerja dalam olahraga dan latihan, efek-efek psikologis yang berasal dari keikutsertaan, dan teori-teori, dan intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja, keikutsertaan, dan pribadi. Satu tujuan dari intervensi psikologis adalah untuk menciptakan konsistensi suasana mental yang ideal, yang memungkinkan atlet untuk melakukan pada kondisi terbaik mereka. (Williams, 2010).
Lebih lanjut lagi Williams (2010) mengatakan, motivasi adalah fondasi dari kinerja dan prestasi olahraga. Tanpa hal itu, bahkan atlet paling berbakat sekalipun tidak mungkin untuk mencapai potensi maksimalnya. Motivasi juga bersangkutan pada bagaimana pengalaman dan tanggapan seorang atlet pada olahraga. Asumsi bahwa, persepsi individu mengenai kemampuan dan kemandirian adalah hal kritis pada pola-pola motivasi, merupakan dasar dari beberapa teori umum perilaku motivasi jaman sekarang.
Setiap latihan yang dilakukan oleh atlit akan meningkatkan kualitas permaninan atlit tersebut. Seperti yang diungkap diatas, bahwa faktor-faktor psikologis seorang atlet juga turut membawa peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata, maka penulisan ini ditunjukan untuk menggali lebih dalam lagi salah satu faktor psikologis yang mempengaruhi tingkat permaninan seorang atlet untuk dapat meraih prestasi yang dapat dikatakan berhasil atau mencapai target.
Faktor itu adalah self-efficacy. Self-Efficacy disini adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya
dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai hasil
yang harus digapai (Bandura, 1997). Sedangkan Performance adalah hasil akhir
atau penyelesaian yang diinginkan melalui tingkah laku atau aktivitas yang
bertujuan (Scholars dalam Wang & King, 2009). Pada hubungannya dengan
performance, Martens dan Burtons, dalam Williams (2010), telah membuat
perbedaan antara, outcome goals , yang merupakan standar kinerja yang berfokus
pada hasil kontes antara lawan atau tim, dan performance goals , yang berfokus
pada perbaikan yang relatif terhadap kinerja masa lalu individu. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan antara sasaran yang berfokus pada hasil kontes
yang didapat, dengan sasaran yang berhubungan pada perbaikan kinerja masa
lalu.
Peneliti dalam hal ini merujuk pada anggapan bahwa, pemain yang menampilkan
permainan terbaik, tidak selalu mendapatkan kemenangan. Dan sebaliknya,
pemain yang menampilkan permainan yang lebih buruk, tidak selalu mendapatkan
kekalahan. Karenanya Penelitian akan difokuskan pada hubungan antara self-
efficacy, dengan outcome goals yang berfokus pada hasil pertandingan, bukan
performance goals yang mengacu pada kinerja individu.
I.2 Rumusan Masalah
Apakah Self-efficacy seorang atlet bulu tangkis memiliki hubungan dengan
outcome goals yang dihasilkan?
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.3.1 Tujuan
Tujuan Penelitian ini adalah menguji hubungan antara self-efficacy dengan
outcome goals seorang atlet, dalam hal ini atlet bulu tangkis. I.3.2 Manfaat
I.3.2.1 Manfaat Teoritis
Manfaat penulisan ilmiah ini adalah sebagai sumber referensi yang dapat
digunakan oleh kalangan akademis maupun non-akademis dalam menjabarkan
hubungan antara self-efficacy dengan outcome goals seorang atlet.
I.3.2.2 Manfaat Praktis
Memberikan manfaat praktis dalam usaha seleksi, penanganan, dan
pembinaan seorang atlet agar mencapai hasil dan prestasi yang baik.