1. Pendahuluan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman saat ini, industri fashion semakin mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Masyarakat di Indonesia saat ini dapat dengan mudah mengikuti tren fashion dengan berbagai macam produk dan model fashion, untuk melengkapi penampilan mereka setiap hari agar lebih menarik dan stylish. Industri fashion merupakan salah satu industri yang cukup berkembang dengan pesat di Indonesia. Menurut data dari Kemenperin, kapasitas ekspor industri fashion meningkat dari tahun 2016–2017 menjadi 8,7 persen. Berdasarkan hasil survei dari Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui bahwa industri fashion menyumbang prosentase 56 persen di antara industri kreatif dari total ekspor dibandingkan sub sektor lainnya (Hananto, 2017). Peningkatan industri fashion di Indonesia membuat banyak kompetitor yang masuk ke pusat perbelanjaan di seluruh Indonesia sehingga membuat persaingan di pasar industri fashion semakin kompetitif. Persaingan yang semakin kompetitif membuat banyak perusahaan ritel fashion menutup seluruh gerainya di Indonesia. Berdasarkan data dari (Kompas, 2018), salah satu ritel fashion yang telah hengkang dan tutup yaitu New Look. PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAP) selaku pemasok brand fashion asal Inggris itu bahkan memastikanseluruh gerai New Look di Indonesia sudah tutup. MAP diketahui mengoperasikan 12 gerai New Look di sejumlah pusat perbelanjaan di Jakarta seperti Mall Kota Kasablanka, Senayan City, Pondok Indah Mall, Mall Central Park, dan juga di Surabaya yang terdapat di Grand City dan Galaxy Mall. Selain New Look, ada beberapa perusahaan ritel fashion yang telah menutup beberapa gerainya di Indonesia salah satunya yaitu PT Matahari Department Store Tbk. Data yang didapat dari (Liputan6, 2017) mengatakan bahwa Matahari Department Store telah menutup dua gerainya yaitu Pasaraya Blok M dan Pasaraya Manggarai pada akhir September 2017, karena jumlah pengunjung yang tidak sesuai 1 Universitas Kristen Petra target sehingga membuat kinerja kedua gerai tersebut tidak sesuai dengan target penjualan manajemen. Perusahaan ritel fashion lain yang juga menutup beberapa gerainya di Indone- sia ialah GAP, perusahaan ritel asal Amerika Serikat. Menurut data dari Kompas (2018), GAP telah menutup seluruh gerainya di Indonesia pada akhir tahun 2017 yang tersebar di beberapa kota, antara lain Pondok Indah Mall Jakarta, Lippo Mall Puri Jakarta, Grand Indonesia Jakarta, Kuta Beach Walk Bali, dan Tunjungan Plaza 4 Surabaya. Salah satu pegawai GAP yang berada di Pondok Indah Mall Jakarta, mengatakan bahwa penutupan terjadi karena daya beli pembeli yang menurun dan juga karena masa sewa di Indonesia sudah habis dan sudah dilepas dari globalnya. Seluruh gerai GAP di Indonesia berada di bawah naungan PT Gilang Agung Persada, yang juga mengelola beberapa gerai yang ada di Indonesia seperti Guess, Lasenza, VNC, Banana Republic, Celine, Givenchy, Casio, Citizen, Nautica, dan Swarovski (Kompas, 2018). Berbeda dengan New Look, Matahari Department Store, dan juga GAP yang telah hengkang dari pasar ritel fashion di Indonesia, ada beberapa perusahaan kompetitor ritel fashion yang saat ini sedang berkembang di industri fashion Indonesia (Viva, 2018). Contohnya seperti perusahaan ritel fashion asal Spanyol yaitu perusahaan Inditex yang di dalamnya terdapat berbagai brand terkenal seperti Zara, Pull&Bear, Stradivarius, Bershka, dan Massimo Dutti. Perusahaan Inditex didirikan oleh Armancio Ortega pada tahun 1975 dan merupakan perusahaan ritel fashion terbesar di dunia (Viva, 2018). Selain perusahaan Inditex, ada juga perusahaan ritel asal Swedia yaitu Hennes dan Mauritz (H&M) yang didirikan pada tahun 1947, dan juga perusahaan fast fashion yaitu Retailing Co (Uniqlo) yang berasal dari Jepang didirikan oleh Tadashi Yanai pada tahun 1949. Kota Surabaya diketahui sebagai salah satu kota dengan incaran ritel fashion terbanyak, sebab Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan dengan per- kembangan dunia mode yang menjadi bagian dari gaya hidup tren berbusana bagi masyarakat Surabaya. Terdapat 200 brand fashion masuk ke industri fashion Su- rabaya, baik lokal maupun internasional yang senantiasa menawarkan update tren terbaru dunia fashion sehingga masyarakat Surabaya saat ini dinilai sudah fashionable (Kanalsatu, 2018). 2 Universitas Kristen Petra Persaingan dalam dunia industri fashion membuat banyak perusahaan ritel fashion yang memanfaatkan bisnis daring (online) melalui social media untuk mempromosikan produk-produk mereka agar konsumen dapat dengan mudah mencari serta mengetahui produk terbaru yang dijual. Seperti halnya yang dilakukan oleh dua perusahaan besar ritel fashion yaitu Zara (Inditex) dengan pesaingnya yaitu Hennes dan Mauritz (H&M) yang terus mengunggah foto-foto produk mereka untuk dipajang di website resmi dan juga social media. Zara mengunggah foto-foto produk mereka dalam dua kali seminggu ke social media mereka untuk menandingi kece- patan siklus pemajangan di toko-toko fisik mereka (Kompas, 2018). CEO Inditex yaitu Pablo Isla yang mengelola sejumlah merek seperti Zara dan Massimo Dutti, mengatakan bahwa penjualan daring memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan bisnis perusahaannya, dan pada tahun 2017 penjualan daring mewakili 10 persen dari total pendapatan Zara (Kompas, 2018). Brand Zara diketahui sebagai salah satu ritel brand fashion yang memimpin di Indonesia sebagai brand fashion yang berkelas dengan harga menengah ke atas. Data penjualan pada tahun 2017 diketahui pendapatan Zara di Indonesia menurut BBC di Jakarta, Inditex membukukan laba bersih sebesar € 1,26 miliar dalam enam bulan yang berakhir pada 31 Juli, atau naik 8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016. Adapun penjualan Zara meningkat 11 persen, melonjak dari € 9,4 miliar menjadi € 10,5 miliar (Wartaekonomi, 2018). Peningkatan persaingan bisnis daring (online) melalui social media, memberikan kesempatan industri fashion untuk memanfaatkan social media marketing agar bisa meningkatkan brand equity bagi perusahaan mereka. Persaingan yang semakin kompetitif menjadikan pentingnya brand equity bagi industri fashion di Indonesia. Bagi perusahaan menciptakan brand equity merupakan permasalahan yang tidak mudah, karena mengedukasi serta menanamkan produk sebuah brand pada customer sulit, sehingga perusahaan harus mampu menciptakan kesan produk pada konsumen agar konsumen mudah mengingat dan konsumen akan mengenal suatu brand (Nam et al., 2011). Abbas dan Naser (2015) mengatakan, jika merek telah melekat di benak konsumen, maka nilai dari ekuitas dari merek tersebut akan tercipta sehingga berperan penting dalam mengingatkan konsumen. 3 Universitas Kristen Petra Brand equity merupakan aset yang strategis bagi perusahaan karena sebagai ciri khas, mengandung simbol, makna yang membantu perusahaan dalam mengu- rangi biaya promosi, dan menarik konsumen baru berdasarkan kesan yang ditanam- kan pada konsumen (Durianto & Sitinjak, 2004). Adanya fenomena berpindah merek fashion seperti yang terjadi di masyarakat Indonesia banyak yang suka berpindah dari merek fashion terkenal seperti Zara, sehingga menjadikan loyalitas merek pada sebuah produk fashion tertentu rendah (Tribunnews, 2018). Menurut Yunita dan Rosa (2016), perpindahan merek merupakan fenomena yang sering terjadi pada berbagai pasar, terutama pasar persaingan sempurna yang terdapat berbagai macam produk sejenis dengan harga yang bersaing sehingga memudahkan konsumen melakukan variety seeking (pembelian bervariasi). Dalam hal pemenuhan terhadap kebutuhan, konsumen sekarang ini cenderung lebih individualis dan menuntut sesuatu hal yang lebih bersifat pribadi atau personal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, perusahaan dituntut mampu memahami ke- inginan dan kebutuhan konsumer agar tetap bertahan (Rangkas & Syahputra, 2014). Diterima atau tidaknya produk yang dijual saat ini oleh konsumen, tidak tergantung pada produk tersebut saja, melainkan terkait dengan komunikasi pemasaran yang di- berikan serta brand equity pada produk tersebut. Brand equity dari suatu produk fashion juga membuat seseorang dikenal me- lalui kelas sosialnya. Apakah merek fashion yang dikenakan termasuk dalam merek yang terkenal maupun tidak. Janghyeon et al. (2011) menyatakan bahwa brand equity adalah serangkaian aset dan kewajiban yang terkait dengan sebuah merek, na- ma, dan simbol yang menambah atau nilai yang diberikan sebuah produksi atau jasa kepada perusahaan dan atau pelanggan. Brand equity berhubungan dengan nama me- rek yang dikenal, kesan kualitas, asosiasi merek yang kuat dan aset-aset lainnya seperti paten dan merek dagang (Abul, 2012). Jika pelanggan tidak tertarik pada suatu merek dan membeli karena karakter- istik produk, harga, kenyamanan, dan dengan sedikit mempedulikan merek, kemung- kinan brand equity-nya rendah, sedangkan jika para pelanggan cenderung membeli suatu merek walaupun dihadapkan pada para pesaing yang menawarkan produk yang lebih unggul, misalnya dalam hal harga dan kepraktisan maka merek tersebut memiliki brand equity yang tinggi (Irwan et al., 2014). Komponen brand equity 4 Universitas Kristen Petra terdiri dari brand image, brand awareness, brand loyalty, dan perceived quality (Aaker, 2013). Brand image merupakan citra merek yang diciptakan oleh perusahaan pada produk agar muncul di benak konsumen, sedangkan brand awareness sebagai pengenalan pada brand yang memunculkan persepsi bahwa produk ini sudah memiliki ciri khas yang kuat (Christodoulides, 2010). Brand loyalty merupakan salah satu strategi perusahaan untuk menumbuhkan rasa