Quick viewing(Text Mode)

Kerajinan-Blangkon-Di-Potrojayan

Kerajinan-Blangkon-Di-Potrojayan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14

BAB II

BLANGKON SEBAGAI CINDERAMATA KHAS KOTA SOLO

A. Potrojayan Sebagai Centra Industri

Bagi masyarakat Jawa, blangkon merupakan salah satu identitas budaya,

tutup kepala yang terbuat dari kain ini selain menjadi pelengkap pakaian

tradisional Jawa awalnya juga menjadi ciri kelas masyarakat. Namun sekarang

blangkon menjelma menjadi salah satu produk kerajinan yang banyak diminati

wisatawan.

Di Kecamatan Serengan, Kelurahan Serengan terdapat sebuah

bernama Potrojayan yang saat ini kampung tersebut dikenal sebagai sentra

kerajinan blangkon di Kota Solo dan kemudian dikenal sebagai kampung

blangkon, karena sebagian besar warganya berprofesi sebagai pengrajin blangkon.

Hampir sebagian besar penduduk di kampung Potrojayan berprofesi sebagai

pengrajin blangkon. Kampung Potrojayan terdapat 95 kepala keluarga yang

terpisah menjadi 3 RT dan masih dalam 1 RW. Tidak semua penduduk di

Potrojayan yang berprofesi sebagai pengrajin blangkon ini memiliki tempat usaha

sendiri, ini dikarenakan usahanya dirintis oleh para sesepuh keluarga dan

diturunkan kepada anak dan cucunya. Mereka yang tidak mempunyai usaha

sendiri biasanya akan menjadi karyawan tetangganya yang memiliki usaha

kerajinan blangkon. Dalam menjalankan usahanya mereka juga membentuk

Paguyuban Perajin Blangkon. (Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban

Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15

Pengrajin blangkon di Solo sudah berlangsung sejak tahun 1820-an.

Menurut cerita, di Notoningratan, Kelurahan Serengan ada seorang pengrawit

(penabuh karawitan) dari yang bernama mbah Joyo yang juga merupakan

abdi dalem Keraton Kasunanan . Awalnya beliau mendapat pesanan dari

Keraton untuk membuat blangkon untuk punggawa keraton. Blangkon pertama

yang dibuat berupa model Solo Cekok. Keterampilan mbah Joyo ini yang

diwariskan secara turun temurun. (Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban

Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

Sebagai sebuah karya seni, blangkon ini dibuat dengan ketelitian tingkat

tinggi dengan mempertimbangkan siapa yang akan memakai blangkon tersebut,

sehingga untuk membuat 1 buah blangkon dahulu membutuhkan waktu 3 – 7 hari.

Dengan pertimbangann ekonomi dan pelestarian budaya kemudian mbah Joyo

mengajarkan pembuatan blangkon ini kepada para keluarganya. Tidak semua

mampu bertahan untuk membuat blangkon, karena kerajinan ini membutuhkan

ketelatenan, sementara pada waktu itu konsumen blangkon terbatas kalangan

keraton. (Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada

tanggal 28/05/2015).

Namun sejak tahun 1970an, beberapa ahli waris dari mbah Joyo mulai

mencoba memasarkan blangkon kepada masyarakat luar keraton, dan ternyata

pasar blangkon mulai berkembang. Beberapa wisatawan domestik dan

mancanegara tertarik mengkoleksi blangkon sebagai salah satu souvenir ketika

mereka berkunjung ke Solo. Sejak itulah industri blangkon di Potrojayan mulai

berkembang. Beberapa warga setempat yang semula tak tertarik dengan kerajinan

blangkon pada akhirnya mulai berbisniscommit toblangkon user sehingga sampai sekarang ini perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16

Kampung Potrojayan terkenal sebagai Kampung Sentra Blangkon. (Wawancara

dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

B. Blangkon dan Tradisi

Blangkon merupakan sebuah penutup kepala yang dibuat dari batik dan

digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Blangkon

sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari

batik. Tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan asal mula pria Jawa

memakai kepala atau penutup kepala ini.

Pada masyarakat Jawa jaman dahulu, memang ada satu cerita Legenda

tentang Aji Soko. Dalam cerita ini, keberadaan iket kapala pun telah disebut, yaitu

Aji Soko berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, seorang raksasa penguasa tanah

Jawa, hanya dengan menggelar sejenis sorban yang dapat menutup seluruh tanah

Jawa. Padahal seperti kita ketahui, Aji Soko kemudian dikenal sebagai pencipta

dan perumus permulaan tahun Jawa yang dimulai pada 1941

(http://www.indonesiamedia.com: 28 April 2015).

Pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam

yang diserap oleh orang Jawa. Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke

Jawa terdiri dari dua jenis etnis yaitu keturunan cina dari Daratan Tiongkok dan

para pedagang . Para pedagang Gujarat ini adalah keturunan Arab, mereka

selalu mengenakan sorban, yaitu kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala

mereka. Sorban inilah yang menginspirasi orang Jawa untuk memakai iket kepala

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17

seperti halnya orang keturunan Arab tersebut. (http://www.indonesiamedia.com:

28 April 2015).

Namun ada pendapat lain yang berasal dari para sesepuh yang mengatakan

bahwa, ikat kepala tidaklah permanen seperti sorban yang senantiasa diikatkan

pada kepala. Tetapi dengan adanya masa krisis ekonomi akibat perang, kain

menjadi satu barang yang sulit didapatkan. Oleh sebab itu, para petinggi keraton

meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang menggunakan separoh dari

biasanya untuk efisiensi maka terciptalah bentuk penutup kepala yang permanen

dengan kain yang lebih hemat yang disebut dengan blangkon. (Wawancara

dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

Pada awalnya, blangkon memang hanya dapat dibuat oleh para seniman

ahli dengan pakem (aturan) yang baku. Semakin memenuhi pakem yang

ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Seorang ahli

kebudayaan bernama becker pernah meneliti tata cara pembuatan Blangkon ini,

ternyata pembuatan blangkon memerlukan satu keahlian yang disebut virtuso

skill. Menurutnya blangkon itu sebuah benda yang berguna, yang diperlukan

keterampilan virtuoso untuk membuat tak satu pun dai ini menghalangi dari juga

berfikir indah. Beberapa kerajinan yang dihasilkan dari dalam tradisi mereka

sendiri perasaan untuk kecantikan dan dengan itu sesuai standar estetika.

(Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal

28/05/2015).

Penilian mengenai keindahan blangkon, selain dari pemenuhan terhadap

pakem juga tergantung sejauh mana seseorang mengerti standar cita ras serta commit to user ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi standar sosial. Pakem yang berlaku perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18

untuk blangkon, ternyata bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga

oleh para penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Becker “dengan

menerima keindahan sebgai kriteria, peserta dalam kegiatan kerajinan pada

karakteristik memperhatikan dari definisi rakyat seni. Definisi yang mencakup

penekanan pada kecantikan ditandai dalam tradisi beberapa seni tertentu, pada

tradisi dan keprihatinan dunia seni itu sendiri sebagai sumber nilai. (Wawancara

dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain iket yang berbentuk persegi

empat bujur sangkar. Ukurannya -kira selebar 105cm x 105cm. Yang

dipergunakan sebenarnya hanya separuh kain tersebut. Ukuran blangkon diambil

dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melalui

atas. Blangkon pada umumnya bernomor 48 paling kecil dan 59 paling besar.

(Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal

28/05/2015).

Blangkon terdiri dari beberapa tipe ada blangkon yang menggunakan

mondholan yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti

onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai blangkon gaya . Tonjolan ini

menandakan model rambut pria pada masa itu yang sering mengikat rambu

panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di

bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah

lepas. Model trepes, yang disebut dengan gaya Surakarta atau Solo. Gaya ini

merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang mucul karena kebanyakan pria

sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit

langsung mondholan pada bagiancommit belakang to user blangkon. Selain dari suku Jawa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19

(sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,

dan Jawa Timur), ada beberapa suku lain di yang memakai iket kepala

yang mirip dengan blangkon Jawa yaitu suku Sunda (sebagian besar berasal dari

provinsi Jawa Barat dan ), suku Madura, suku , dan lain-lain. Hanya

saja dengan pakem dan bentuk ikat yang berbeda-beda pada setiap daerah.

(Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal

28/05/2015).

C. Jenis – jenis dan Ragam Hias Blangkon

Dibeberapa tempat yang menjual souvenir seperti di Solo, Yogyakarta,

Cirebon dan sekitarnya para wisatawan merasa senang jika pulang mereka

membawa oleh-oleh salah satunya blangkon. Blangkon juga kerap digunakan oleh

bapak-bapak, remaja bahkan anak laki-laki. Mereka dapat membelinya di toko-

toko souvenir, di kaki lima bahkan dari pedagang asongan yang menjual souvenir.

Tetapi belum banyak yang mengetahui bahwa jenis-jenis blangkon pada dasarnya

itu aja baik fungsi, bahan maupun cara pembuatannya. Sedangkan variasi

dalam bentuk, gaya, motif warna, dan sebagainya berkembang pada berbagai

kelompok masyarakat pemakainya sehingga dapat dibedakan beberapa jenisnya

seperti Kejawen, Pasundan, Pesisiran, dan lain-lain. Pada blangkon jenis kejawen

misalnya pada blangkon Yogyakarta dibagian belakangnya terdapat mondholan ,

sedangkan blangkon Solo bagian belakangnya pipih atau rata. Hal ini tentu

mempunya filosofi masing-masing, berikut adalah filosofi dari kedua jenis

blangkon. (Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan commit to user pada tanggal 28/05/2015). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20

1. Jenis – jenis Blangkon

a. Blangkon Kejawen

Blangkon jenis Kejawen meliputi daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta,

Surakarta, Madiun, Kediri, dapat dibedakan lagi sekurang-kurangnya dua

gaya blangkon yaitu Solo dan Yogyakarta. (Wawancara dengan Ananta Ketua

Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

1) Blangkon Yogyakarta

Blangkon Yogyakarta mempunyai mondholan, mondholan gaya

Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde hal ini dikarenakan pada waktu

itu awalnya laki-laki Yogyakarta memelihara rambut panjang kemudian diikat

keatas seperti Patih Gajah Mada kemudian rambut disebut geluangan kemudian

dibungkus dan diikat, lalu berkembang menjadi blangkon.

Kemudian menjadikan salah satu filosofi masyarakat Jawa yang pandai

menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena

ia akan menyimpan serapat mungkin, dalam bertutur kata dan bertingkah laku

penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu

berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti

keluhuran budi pekerti orang jawa. Dia pandai menyimpan rahasia dan

menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya

menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana bisa berbuat yang

terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri. (Wawancara

dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal

28/05/2015). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21

Gambar 1. Blangkon Model Yogyakarta

Sumber : Dokumentasi Radia 28/05/2015

2) Blangkon Solo

Blangkon Solo berbeda dengan blangkon Yogyakarta. Pada blangkon

Solo tidak terdapat mondholan hanya saja blangkon gaya Solo mondholannya

trepes atau gepeng. Karena waktu itu lebih dahulu mengenal cukur rambut

karena pengaruh Belanda, dan karena pengaruh Belanda tersebut mereka

mengenal jas yang bernama beskap yang berasal dari beschaafd yang berarti

civilized atau berkebudayaan.

Blangkon Solo memiliki dua model ini dikarenakan di Kota Solo

terdapat dua Keraton yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura

Mangkunegaran. Blangkon yang digunakan di Keraton Kasunanan Surakarta

dan Pura jika dilihat secara umum memang memiliki bentuk

yang sama, dengan mondholan yang trepes atau gepeng dan motif kain

modhang berbentuk lidah api. Perbedaan blangkon Keraton Kasunanan

Surakarta dengan blangkon Pura Mangkunegaran terletak pada model dua

ujung kain yang berbentuk seperti pita yang terletak dibagian belakang

blangkon. Blangkon untuk Keraton Kasunanan Surakarta model dua ujung

kain yang berbentuk seperti pita terletak dibagian belakang blangkon ini

menghadap ke bawah. Blangkon untuk Pura Mangkunegaran juga memiliki

dua ujung kain yang berbentuk seperti pita terletak dibagian belakang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22

blangkon tetapi pita ini menghadap ke atas dan ukurannya lebih lebar dari

ukuran pita yang ada di blangkon Keraton Kasunanan Surakarta. (Wawancara

dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal

28/05/2015, lihat gambar nomor 3.4 dan gambar nomor 3.5).

Tidak adanya tonjolan hanya diikatkan jadi satu dengan mengikatkan

dua ujung helai di kanan dan kirinya, yang mengartikan bahwa untuk

menyatukan satu tujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat

syahadat yang harus melekat erat dalam pemikiran orang Jawa.

Secara keseluruhan penempatan blangkon dikepala merupakan

anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala tersebut selalu

membawa nilai-nilai keislaman. Dalam artian sebebas apapun pemikiran yang

dihasilkan oleh otak, agama islam selalu menjadi aliran utama. Jadi, segala

pemikirannya akan berguna bagi orang banyak, tidak malah menyengsarakan.

Juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana islam yang rahmatan lil’alamin.

Makna filosofi blangkon yaang kedua yaitu blangkon sebagai sibol

pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede

(makrokosmos).

Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai

transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat

jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi

yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu

melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan

dengan blangkon. Setelah manusia mendapat kekuatan tersebut, resmilah ia commit to user sebagai khalifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam seisinya. Tidak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23

heran jika pada zaman dahulu orang-orang Jawa banyak yang memakai

blangkon karena mereka sadar bahwa meraka selain sebagai hamba Tuhan

juga merupakan khalifah di bumi. (Wawancara dengan Ananta Ketua

Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

Gambar 2. Blangkon Model Solo Sumber : Dokumentasi Radia 28/05/15

b. Blangkon Pasundan

Pasundan tidak selalu diartikan secara geografis, misalnya Banten dan

Cirebon masuk kelompok pesisiran (meskipun Banten sekarang sudah

menjadi Provinsi tersendiri tidak lagi masuk dalam daerah Provinsi Jawa

Barat). Blangkon atau bendo Pasundan banyak persamaannya dengan gaya

Solo, namun dapat dibedakan beberapa bentuk seperti Barangbang semplak,

Sumedangan, Wirahnasari, dan lain-lain. (Wawancara dengan Ananta Ketua

Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

Gambar 3. Blangkon Model Pasundan commit to user Sumber : Dokumentasi Radia 28/05/15 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24

c. Blangkon Pesisiran

Blangkon pesisiran adalah blangkon yang dibuat di daerah-daerah

yang berlokasi di pantai utara Pulau Jawa corak budayanya berbeda dengan

daerah pedalaman, namun dalam hal blangkon sebenarnya tidak banyak

perbedaan dengan corak Solo dan Yogyakarta, kecuali yang nampak dalam

penerapan motif-motif batik yang tidak ditemukan di Solo dan Yogyakarta.

(Wawancara dengan Ananta Ketua Paguyuban Blangkon Potrojayan pada

tanggal 28/05/2015, lihat gambar nomor 3.6).

Selain yang telah disebutkan di atas masih terdapat corak atau gaya

lain di Pulau Jawa seperti Layaran (Jawa Timur dari Bangkalan), Tengkulak

(Banten, Cirebon, Demak) dipakai oleh santri dan lain-lain. (Wawancara

bapak Ananta ketua paguyuban blangkon Potrojayan 28/05/2015, lihat

gambar nomor 3.7 dan gambar nomor 3.8).

2. Ragam Hias Blangkon

Ragam hiasan dan warna blangkon pada dasarnya memiliki tiga pola

yang beragam yaitu :

a. Beragam hias penuh

b. Beragam hias pinggiran sajaRagam hiasnya membagi bidang,

maksudnya dengan rama hias penuh antara lain bernama blumbangan

yaitu polos dengan warna biru tua, hijau atau putih; byur yaitu penuh

motif hias tanpa blumbangan; tengahan yaitu bagian tengah yang

paling menonjol dengan motif daun-daunan, warna hijau atau biru tua.

commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25

Berdasarkan atas ragam hias pinggirannya, beberapa blangkon

bernama Celengkewangan yaitu pinggirannya berhias motif komende atau

umpak pada pinggirannya; Cemungkiran yaitu pinggiran berhias motif

dedaunan. Di Solo disebut Semungkiran, di Jawa Timur disebut Rejeng, di

Yogyakarta disebut Cemengkiran. Modang yaitu blangkon yang berhias

motif lidah api yang bernilai simbolis. Jenis-jenis ragam hias lainnya yaitu

titik, huruf Arab, ceplokan, lereng, dan masih banyak lagi. Seperti seni

batik pada umumnya, pada blangkon pun di Jawa dikenal banyak warna

dengan istilah Jawa yang berasosiasikan dengan keadaan alam, seperti :

a. Gula kelapa yang berarti warna merah – putih

b. Kepodang nyecep yang berarti warna merah – kuning

c. Parianom yang berarti warna putih – kuning

d. Padhang binethot yang berarti warna hijau - kuning

e. Alas kobong yang berarti warna merah – hitam

f. Bango tulak yang berarti warna putih diatas hitam atau biru tua, dan

lain-lain.

Warna yang dominan pada masyarakat Jawa adalah warna merah,

biru, hitam, kuning, putih. Dahulu warna-warna didapat dari kulit kayu,

daun, buah, akar, dan lain-lain. (Wawancara dengan Ananta Ketua

Paguyuban Blangkon Potrojayan pada tanggal 28/05/2015).

commit to user