KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA TERHADAP SYAIR DENDANG SITI FATIMAH PADA UPACARA MENGAYUN ANAK MASYARAKAT MELAYU TANJUNG PURA

TESIS

Oleh

EDY SISWANTO 097009037/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

Universitas Sumatera Utara

KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA TERHADAP SYAIR DENDANG SITI FATIMAH PADA UPACARA MENGAYUN ANAK MASYARAKAT MELAYU TANJUNG PURA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

EDY SISWANTO 097009037/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

Universitas Sumatera Utara Judul Tesis : KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA TERHADAP SYAIR DENDANG SITI FATIMAH PADA UPACARA MENGAYUN ANAK MASYARAKAT MELAYU TANJUNG PURA Nama Mahasiswa : Edy Siswanto Nomor Pokok : 097009037 Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Analisis Wacana Kesusastraan

Menyutujui

Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Ketua Program Studi Direktur

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE.

Tanggal lulus : 24 Januari 2012

Universitas Sumatera Utara

Telah diuji pada

Tanggal 24 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Anggota : 1. Prof. T. Silvanna Sinar, M.A., Ph.D 2. Dr. T. Thyrhaya Zein, M. A. 3. Dr. Asmyta Surbakti, M. Si.

Universitas Sumatera Utara

PERNYATAAN

Judul Tesis KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA TERHADAP SYAIR DENDANG SITI FATIMAH PADA UPACARA MENGAYUN ANAK MASYARAKAT MELAYU TANJUNG PURA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasilnya karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi- sanksi lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2012

Edy Siswanto

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Edy Siswanto

Tempat dan Tgl. Lahir : Medan, 26 Desember 1971

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Pintu Air 1 Gg. Permai 2 No. 77 S. Pos

P. Bulan Medan

Status : Menikah

Pekerjaan : Pegawai Negeri USU

Pendidikan Formal :

1. SD Negeri 060933 Medan Johor 1980 – 1986

2. SLTP Negeri 8 Medan 1986 – 1989

3. SMA Nasional Khalsa Medan 1989 – 1992

4. S1 Fakultas Sastra USU 1994 – 1999

5. S2 Sekolah Pascasarjana USU 2009 – 2012

Pekerjaan :

1. Pegawai Negeri USU pada Satuan Pengamanan (SATPAM) Medan (1995 s/d

sekarang)

2. Dosen Luar Biasa pada Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah Fakultas

Sastra/Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan (2007 – 2009).

Universitas Sumatera Utara i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Kajian Semiotika Budaya

Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah Pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat Melayu

Tanjung Pura”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapat megister pada

Program Studi Magister (S2) Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan,

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa mengucapkan salawat dan salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Selama proses, pengerjaan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena, selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.

Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si sebagai Pembimbing I dan Ibu Prof. T. Silvana Sinar,

M.A., Ph.D selaku Pembimbing II. Selama penulis menjadi mahasiswa di Program Studi

Magister, Program Studi Linguistik beliau telah banyak memberikan pelajaran yang berharga. Beliau dengan penuh ketelitian dan perhatian memberikan bimbingan, masukan dan motivasi yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini. Perhatian beliau memberikan dorongan semangat bagi penulis untuk segara mungkin menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu sangat diharapkan saran dan masukan yang konstruksi sehingga tulisan ini lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam menempuh perkuliahan dan penyelesaian tesis ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang baik ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala doa, perhatian, bimbingan, arahan, serta dorongan yang telah diberikan kepada penulis oleh pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. dr. Syahril pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K). selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara beserta Staf Akademik dan Administrasinya.

3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Dr. Nurlela, M.Hum. selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Manager Linguistik Sekolah Pascasarjana USU beserta

Dosen dan Staf Administrasinya.

4. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah

membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini serta memberikan dorongan dan

motivasi.

5. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. selaku Dosen dan Penguji yang telah memberikan

dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan serta membangun logika

berfikir penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara 6. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si. selaku Dosen Penguji, sekaligus sebagai teman bertukar

pikiran serta telah rela berbagi waktu menyalurkan dan mendiskusikan ilmu-ilmunya

kepada penulis.

7. Dr. Edy Setia selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis

memberikan arahan dan dorongan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Ayahanda Nafsirul dan Ibunda Siti Marlia yang telah memotivasi, memahami, dan

senantiasa membimbing penulis dengan penuh kasih dan sayang.

9. Halimah (Istri tersayang) secara khusus penulisii rasa terima kasih yang tak terhingga

membantu dan membimbing penulis saat suka dan duka, memberikan doa tulus

kepada penulis dalam mengerjakan tesis ini.

10. Anak-anakku Sylvia, Syntia dan Muhammad Rizqy juga adik-adikku tercinta yang

telah memotivasi, memahami penulis dengan kasih dan sayang.

11. Sahabat mahasiswa Program Studi Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU

angkatan 2009. Sinta Diana, Yuna, Prinsi Daulay, Yelly, Irwan, Edy, Rico, Elva,

henny, Cito, Kenny, serta teman-teman sepenanggungan yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

12. Staf Administrasi Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana USU dan semua

pihak yang telah membantu dan berpasrtisipasi kepada penulis selama perkuliahan

dan penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah SWT memberikan kemurahan rezeki, membalas segala doa dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis berharap semoga tesis

Universitas Sumatera Utara ini dapat memberikan kontribusi dalam kajian sastra, khususnya yang berhubungan dengan psikosastra dan psikoanalisis. Terima kasih.

Medan, April 2012

Penulis,

Edy Siswanto Nim. 097009037

iii Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i UCAPAN TERIMA KASIH ...... ii DAFTAR ISI ...... iv DAFTAR GAMBAR ...... vi DAFTAR LAMPIRAN ...... vii ABSTRAK ...... viii ABSTRACT ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2 Rumusan masalah ...... 5 3.3 Tujuan Penelitian ...... 6 3.4 Manfaat Penelitian ...... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...... 8 2.1 Puisi ...... 7 2.2.1. Unsur-Unsur Puisi ...... 10 2.2.1.1. Struktur Fisik Puisi ...... 11 2.2.1.2. Struktur Batin Pusisi ...... 13 2.2 Syair Sebagai Struktur, Sistem Tanda, dan Jalinan Teks yang Fungsional ...... 14 2.2.1. Struktur Fisik Syair ...... 16 2.2.2. Struktur Batin Syair ...... 17 2.2.3. Syair sebagai Sistem Tanda ...... 18 2.2.4. Syair sebagai Jalinan Teks ...... 19 2.3 Teori Semiotika ...... 19 2.3.1. Semiotika Sastra ...... 23 2.3.2. Tanda; Penanda dan Petanda ...... 26 2.4 Semiotika Budaya ...... 28 2.5 Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre ...... 39 2.6 Fungsi Sosial Sastra ...... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 50 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...... 50 3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian ...... 50 3.3 Data dan Sumber Data ...... 50 3.4 Prosedur Pengumpulan dan Perkaman Data ...... 51 3.5 Analisis Data ...... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN ...... 54 4.1 Deskripsi Singkat Syair Dendang Siti Fatimah ...... 54 4.2 Analisis Struktur dan Semiotika Budaya Terhadap

Universitas Sumatera Utara Syair Dendang Siti Fatimah ...... 59 4.2.1. Struktur Fisik Syair Dendang Siti Fatimah ...... 59 4.2.2. Struktur Batin Syair Dendang Siti Fatimah ...... 63 4.3 Syair Dendang Siti Fatimah: Kajian Semiotik Budaya ...... 65 4.3.1. Syair Dendang Siti Fatimah ivBahagian I ...... 66 4.3.2. Syair Dendang Siti Fatimah Bahagian II ...... 76 4.3.3. Syair Dendang Siti Fatimah Bahagian III ...... 83 4.3.4. Syair Dendang Siti Fatimah Bahagian IV ...... 88 4.4 Fungsi Syair Dendang Siti Fatimah Bagi Masyarakat Melayu Tanjung Pura ...... 94

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...... 97 5.1 Simpulan ...... 97 5.2 Saran ...... 98

DAFTAR PUSTAKA ...... 100

LAMPIRAN ...... 105

v

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Hubungan Tuhan – Nabi – Manusia ...... 75

vi Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman 1. Questioner dan Responden ...... 105

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Kajian Semiotika Budaya Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah Pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat Melayu Tanjung Pura vii

Tesis ini mengkaji tentang nilai-nilai budaya yang terdapat dalam Syair Dendang Siti Fatimah dengan memfokuskan pada pendekatan semiotika budaya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur fisik Syair Dendang Siti Fatimah tersebut dipandang dari segi konvensi struktur puisi; mendeskripsikan masalah budaya yang terkandung dalam struktur isi Syair Dendang Siti Fatimah; mendeskripsikan fungsi Syair Dendang Siti Fatimah bagi masyarakat Tanjung Pura; dan menganalisis semiotika budaya yang terdapat dalam Syair Dendang Siti Fatimah. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif diakronis, yaitu menjelaskan atau memberikan fungsi dan kedudukan Syair Dendang Siti Fatimah yang ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam syair tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada tahap pembacaan semiotika tingkat pertama (pembacaan heuristic) membuahkan sebuah heterogenitas yang tak gramatikal, terkoyak-koyak, dan tidak terpadu seolah-olah tidak ada kesinambungan antara baris demi baris atau lirik demi lirik. Akan tetapi, setelah diadakan pembacaan yang lebih jauh melalui pembacaan semiotika tingkat kedua (pembacaan hermeneutic) diperoleh sebuah makna yang padu tentang ini, sasaran, dan tujuan dari setiap pembacaan syair dengan fungsi yang berbeda-beda. Matriks dan model yang terdapat pada setiap syair merupakan hasil inti dari makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, penentuan matriks dan model pada setiap Syair Dendang Siti Fatimah menjadi penting untuk dilakukan demi memperoleh makna yang utuh. Matriks tidak hadir secara langsung dalam bentuk teks, namun model tampil sebagai aktualisasi pertama dari matriks. Melalui penentuan model, pemaknaan terhadap syair menjadi lebih terfokus. Hubungan interekstual Syair Dendang Siti Fatimah dengan teks lain dapat membantu untuk menemukan pemahaman makna syair dengan utuh. Hubungan interekstual tersebut memperlihatkan bagaimana teks syair memiliki kesamaan dan perbedaan dengan teks-teks lain. Pada umumnya, syair selalu dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim.

Kata Kunci : Syair, Mengayun Anak, dan Semiotika Budaya

viii Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Khasanah budaya bangsa yang berupa naskah klasik, merupakan peninggalan nenek moyang yang masih dapat dijumpai hingga sekarang. Naskah-naskah tersebut tersebar di berbagai penjuru tanah air, dan sebagian besar masih belum diteliti.

Penelitian naskah-naskah klasik nusantara dipandang perlu dilaksanakan guna mengetahui kebudayaan masa lampau, karena naskah-naskah tersebut merupakan satu dari berbagai macam sumber kebudayaan (Robson, 1978:24).

Penelitian terhadap naskah lama merupakan usaha yang teramat mulia, karena ikut menyelamatkan dan melestarikan warisan budaya masa lampau. Semakin banyak penelitian terhadap naskah lama, semakin besar kemungkinan terbentuknya wawasan dan temuan baru terhadap naskah-naskah lama. Hal ini dirasa penting karena masih banyak naskah-naskah yang masih terlantar atau belum dikaji secara tuntas yang memerlukan penanganan secara serius.

Keberadaan sastra lama atau sastra daerah yang terdapat di berbagai pelosok nusantara, tidak terlepas dari unsur-unsur masyarakat yang membangunnya, sehingga apa yang dihasilkan dalam karya sastra lama merupakan replika atau sebuah panggambaran dari keadaan masyarakat pada waktu itu, baik keadaan sosial, religi (keagamaan), maupun adat-istiadat. Sastra lama juga sebagai perekam kebudayaan masing-masing daerah di

Universitas Sumatera Utara nusantara dari kurun waktu yang relatif cukup lama, di dalamnya menampung berbagai buah pikiran, ajaran, budi pekerti, nasihat, hiburan, dan sebagainya.

Peranan sastra dalam masyarakat sangat penting, terutama dalam pembentukan kepribadian atau watak bangsa. Dengan demikian maka sastra, terutama sastra lama, perlu dikaji dan dipelajari kembali agar dapat diketahui dan dimengerti aspek-aspek atau nilai- nilai penting yang terkandung di dalam karya sastra lama itu dengan sebaik-baiknya, sehingga kegunaan karya sastra benar-benar diketahui.

Dalam kebudayaan masyarakat lama dikenal beberapa bentuk sastra lisan. Di antara bentuk-bentuk sastra lisan yang merupakan hasil cipta masyarakat lama (tradisional) itu adalah peribahasa, pantun, syair, dan prosa. Bentuk-bentuk kesusastraan itu diciptakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni sebagai alat mengekspresikan pikiran dan perasaan serta sebagai alat menyampaikan petuah-petuah dan pendidikan.

Sastra lisan yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat dikenal pula sebagai cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yang berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan merupakan milik masyarakat yang bersangkutan. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantaranya kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1994:2).

Sastra Islam yang masuk ke dalam ranah sastra Nusantara itu ada yang mengalami transformasi dan ada pula yang diterima secara utuh. Riwayat Ibrahim bin Adham, misalnya, ditransformasikan menjadi karya prosa berjudul Hikayat Sultan Ibrahim.

Konflik politis antara Syi'ah dengan Khawarij ditransformasikan menjadi cerita kepahlawanan berjudul Hikayat Muhammad Hanafiah, dan berbagai jejak kehidupan

Universitas Sumatera Utara Nabi Muhammad saw. ditransformasikan menjadi aneka karya sastra, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Jika dipandang dari segi isinya, ada karya yang mengandung pokok ajaran Islam, yaitu akidah dan syari'ah, dan ada pula yang mengandung nilai, nasihat, dan kesufian.

Islam merupakan agama yang ajarannya mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Tatkala agama ini masuk ke Indonesia dan diterima oleh mayoritas penduduknya, maka diterima pula aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan Islam, seperti sastra dan bahasa Arab berikut tulisannya. Kemudian aspek-aspek tersebut berakulturasi dan berintegrasi dengan masyarakat pribumi, sehingga melahirkan karya- karya sastra Nusantara yang bernafaskan Islam dan melahirkan huruf Arab melayu atau jawi.

Adapun salah satu karya sastra Islam yang sampai sekarang digunakan dalam upacara-upacara ritual masyarakat Melayu, khususnya masyarakat Melayu Langkat, adalah Syair Dendang Siti Fatimah. Seperti diketahui bahwa Siti Fatimah adalah salah seorang dari anak Rasulullah yang ketika ditabalkan namanya dinyanyikan dengan syair.

Seiring perkembangan sastra Islam, akhirnya syair tersebut dikenal oleh masyarakat

Melayu dengan nama Syair Dendang Siti Fatimah. Syair ini sampai sekarang tetap diapresiasi oleh masyarakat Melayu.

Syair Dendang Siti Fatimah merupakan salah satu karya sastra Arab Islami yang berbentuk puisi. Syair ini diterima secara utuh oleh masyarakat Melayu, khususnya di kalangan masyarakat Melayu Tanjung Pura, Langkat. Mereka membacanya,

Universitas Sumatera Utara mempelajarinya, dan mengamalkannya, baik dengan melagukannya maupun dengan membacanya seperti biasa. Hal itu tergantung pada situasi pemakaiannya.

Deskripsi di atas menunjukkan bahwa sastra Islam telah merasuk ke dalam kehidupan para sastrawan Nusantara dan karya-karyanya. Karena itu, Teeuw (1984: 69) memandang bahwa konsep-konsep sastra Arab mengenai estetik dan puisi pun dianut oleh kebanyakan orang Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Robson (1978) berpandangan bahwa pengkajian terhadap karya sastra seperti itu sangatlah penting karena ia merupakan perbendaharaan pemikiran dan warisan nenek moyang yang mungkin sangat berguna bagi kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini.

Penelaahan sastra Islam tersebut di atas memperlihatkan pentingnya sastra Islam dan penelitian hal-hal yang terkait dengannya. Kepentingan tersebut didasari oleh beberapa anggapan sebagai berikut, baik anggapan yang berkaitan dengan isu keislaman maupun kesusastraan.

Pertama, sastra Islam bersumber dari nilai-nilai kebenaran yang abadi, yaitu nilai keislaman. Apabila suatu karya sastra berlandaskan kepada nilai kebenaran yang abadi, maka ia pun akan "abadi" pula. Apabila ia berlandaskan pada nilai yang tidak langgeng, ia pun menjadi karya yang hidup hanya dalam semusim.

Kedua, "keabadian" karya itu karena ia difungsikan oleh pengarangnya sendiri maupun masyarakat penerimanya. Maka karya yang abadi hanyalah yang berfungsi.

Ketiga, karya sastra Islam telah memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan dunia sastra Indonesia, terutama dalam aspek isinya. Sumbangan itu akan

Universitas Sumatera Utara terus bertambah apabila sastra Islam tersebut dikaji dan dipelajari. Salah satu contoh karya tersebut ialah Syair Dendang Siti Fatimah.

Syair ini mengisahkan tentang keberadaan bayi dalam kandungan, kesusahan ibu mengandung selama sembilan bulan, perjuangan seorang ibu ketika melahirkan, dan mengisahkan tentang kasih sayang seorang ibu mendidik anaknya dari kecil hingga dewasa. Di samping itu syair ini mengandungi kata-kata nasihat kepada si anak terutama agar tidak rnelupakan jasa kedua orang tua.

Jadi, hal-hal yang melatarbelakangi penelitian tentang sastra Islam, khususnya

Syair Dendang Siti Fatimah., terletak pada kekhasan Syair Dendang Siti Fatimah sebagai sastra Islam yang digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama masyarakat Melayu Tanjung Pura. Sastra Islam tersebut diperkirakan telah mempengaruhi konvensi sastra Indonesia, turut mengembangkan-nya, menghidupinya, dan mengilhami bagi terciptanya genre puisi lainnya seperti sastra tasawuf.

Pengkajian terhadap Syair Dendang Siti Fatimah sudah pernah dilakukan oleh

Asman, mahasiswa Departemen Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya USU, pada tahun

1996 dengan judul skripsi: “Analisis Struktural terhadap Syair Dendang Siti Fatimah

Pada Masyarakat Melayu Binjai”. Kajian yang dilakukan oleh Asman hanya sampai tahap struktur pembentuk syair tersebut saja, sedangkan kajian semiotika tidak dilakukan.

Oleh karena itu, penulis merasa bahwa kajian yang penulis lakukan terhadap Syair

Dendang Siti Fatimah berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Asman.

Syair Dendang Siti Fatimahsangat sarat dengan nilai-nilai budaya melayu dan syariat islam. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis mengambil kajian terhadap

Universitas Sumatera Utara Syair Dendang Siti Fatimah dengan judul: “Kajian Semiotika Budaya Terhadap Syair

Dendang Siti Fatimah pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat Melayu Tanjung Pura”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan difokuskan pada penelaahan tentang struktur, baik struktur fisik maupun struktur isi, dan semiotika budaya Syair

Dendang Siti Fatimah bagi masyarakat pemakaianya yang umumnya berasal dari kalangan pesantren. Secara operasional, penelitian ini akan berupaya menjawab beberapa pertanyaan berikut.

a. Bagaimana struktur Syair Dendang Siti Fatimah tersebut dipandang dari segi

konvensi struktur puisi?

b. Masalah-masalah budaya apa saja yang terkandung dalam struktur isi Syair

Dendang Siti Fatimah?

c. Apa fungsi Syair Dendang Siti Fatimah bagi masyarakat Tanjung Pura?

d. Bagaimana deskripsi semiotika budaya yang terdapat dalam Syair Dendang Siti

Fatimah?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

a. Mendeskripsikan struktur fisik Syair Dendang Siti Fatimah tersebut dipandang

dari segi konvensi struktur puisi?

Universitas Sumatera Utara b. Mendeskripsikan masalah budaya yang terkandung dalam struktur isi Syair

Dendang Siti Fatimah?

c. Mendeskripsikan fungsi Syair Dendang Siti Fatimah bagi masyarakat Tanjung

Pura?

d. Menganalisis semiotika budaya yang terdapat dalam Syair Dendang Siti

Fatimah?

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari pengkajian terhadap Syair Dendang Siti

Fatimah, adalah :

1. dapat menjadi rujukan bagi para peneliti tentang Tradisi Lisan Melayu, khususnya

Melayu Sumatera Utara.

2. untuk mengembangkan ilmu Sastra.

3. dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat Melayu tentang nilai-nilai

budaya yang terkandung di dalam Syair Dendang Siti Fatimah.

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Puisi

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta.

Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.

(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah

dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun

secara baik, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat

erat berhubungannya, dan sebagainya.

(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal.

Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik

dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian

bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

Universitas Sumatera Utara (3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang

imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden

mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang

bercampur-baur.

(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia

secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan

kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris,

pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta

berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).

(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah

dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan

menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak,

percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya

merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.

Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya.

Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

Universitas Sumatera Utara

2.1.1Unsur-unsur Puisi

Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.

(1) Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1)

hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada

(tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme,

dan rima.

(2) Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau

yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa

ungkapan batin pengarang.

(3) Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara

jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya

(1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3)

bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.

(4) Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam

puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur

tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke

arah struktur fisik puisi.

(5) Meyer (Badrun, 1989:6) menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3)

bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk.

Universitas Sumatera Utara Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi (1) tema, (2) nada, (3) rasa, (4) amanat, (5) diksi, (6) imaji, (7) bahasa figuratif,

(8) kata konkret, (9) ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards

(dalam Waluyo, 2007:95) dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi

(tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima).

Berdasarkan pendapat Richards (dalamRoekhandan Siswanto, 1991:55-65) menjelaskan unsur-unsur puisi sebagai berikut.

2.1.1.1 Struktur Fisik Puisi

Adapun struktur fisik puisi dijelaskan sebagai berikut.

(1) Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi

kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu

dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat

menentukan pemaknaan terhadap puisi.

(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.

Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan

banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata

dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.

Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69) menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami

9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu penyimpangan leksikal, penyimpangan

Universitas Sumatera Utara semantis, penyimpangan fonologis, penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek,

penggunaan register (ragam bahasa tertentu oleh kelompok/profesi tertentu),

penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis

(penggunaan kapital hingga titik)

(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman

indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh

(imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar,

dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan

munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata

kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan

kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi,

kehidupan, dll.

(5) Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek

dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif

menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya

akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun

macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,

sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,

antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

Universitas Sumatera Utara (6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan

bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1)

onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi

Sutardji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir,

persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata],

dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma

merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat

menonjol dalam pembacaan puisi.

2.1.1.2 Struktur Batin Puisi

Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut.

(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan

tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait,

maupun makna keseluruhan.

(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat

dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang

sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis

kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan

psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam

menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-

kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada

Universitas Sumatera Utara wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar

belakang sosiologis dan psikologisnya.

(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan

dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui,

mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan

masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan

rendah pembaca, dll.

(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong

penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan

puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

2.2 Syair Sebagai Struktur, Sistem Tanda, dan Jalinan Teks yang Fungsional

Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia (sekarang Iran) dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum.

Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum.

Akan tetapi, dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga menjadi khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri

Arab. Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu adalah Hamzah

Universitas Sumatera Utara Fansuri dengan karyanya, antara lain: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir.

Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan, sebagai berikut.

1. Syair Panji

Syair panji menceritakan tentang keadaan yang terjadi dalam istana dan keadaan orang-orang yang berada atau berasal dari dalam istana. Contoh syair panji adalah Syair

Ken Tambuhan yang menceritakan tentang seorang putri bernama Ken Tambuhan yang dijadikan persembahan kepada Sang Ratu Kauripan.

2. Syair Romantis

Syair romantis berisi tentang percintaan yang biasanya terdapat pada cerita pelipur lara, hikayat, maupun cerita rakyat. Contoh syair romantis yakni Syair Bidasari yang menceritakan tentang seorang putri raja yang telah dibuang ibunya. Setelah beberapa lama ia dicari Putra Bangsawan (saudaranya) untuk bertemu dengan ibunya. Pertemuan pun terjadi dan akhirnya Bidasari memaafkan ibunya, yang telah membuang dirinya.

3. Syair Kiasan

Syair kiasan berisi tentang percintaan ikan, burung, bunga atau buah-buahan.

Percintaan tersebut merupakan kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Contoh syair kiasan adalah Syair Burung Pungguk yang isinya menceritakan tentang percintaan yang gagal akibat perbedaan pangkat, atau seperti perumpamaan “seperti pungguk merindukan bulan”.

4. Syair Sejarah

Universitas Sumatera Utara Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Sebagian besar syair sejarah berisi tentang peperangan. Contoh syair sejarah adalah Syair Perang

Mengkasar (dahulu bernama Syair Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang

Makassar dengan Belanda. Syair berbahasa Arab yang tercatat paling tua di Nusantara adalah catatan di batu nisan Sultan Malik al Saleh di Aceh, bertarikh 1297 M.

5. Syair Agama

Syair agama merupakan syair terpenting. Syair agama dibagi menjadi empat yaitu:

(a) syair sufi, (b) syair tentang ajaran Islam, (c) syair riwayat cerita nabi, dan (d) syair nasihat. Perlu diketahui, setiap syair pasti mengandung pesan tertentu. Pesan tersebut dapat kita simpulkan setelah memahami isi sebuah syair.

Dalam perkembangan sastra dewasa ini, istilah syair dipersamakan dengan gurindam. Kedua istilah itu dapat dipadankan dengan istilah puisi sebagaimana yang terdapat dalam konvensi sastra pada umumnya. Meskipun demikian, kasidah memiliki karakteristik tersendiri yang menjadi identitasnya. Di antara karakteristik tersebut ialah bahwa syair merupakan struktur yang terdiri atas unsur-unsur pembentuknya, sebagai sistem tanda yang menunjukkan makna tertentu dari sebuah kasidah, karya yang memiliki keterkaitan dengan teks lain yang dijadikan pijakan, referensi, atau penguat, dan sebagai karya yang memiliki fungsi tertentu bagi para pembaca atau penikmatnya. Untuk memahami karakteristik tersebut dalam rangka memahami Syair Dendang Siti Fatimah, berikut ini akan dibahas masalah syair sebagai struktur, sistem tanda, dan jalinan teks yang fungsional.

Universitas Sumatera Utara 2.2.1 Struktur Fisik Syair

Yang dimaksud dengan struktur fisik syair ialah unsur-unsur yang membentuk sebuah syair. Unsur tersebut dapat dirasakan melalui indra. Istilah struktur fisik ini sama dengan istilah metode puisi sebagaimana yang dikatakan oleh Tarigan (1984: 9). Pendapat ini sejalan dengan pendekatan struktural yang dikemukakan Culler (1983: 259). Dia memandang karya sastra sebagai unsur-unsur yang tidak otonom, tetapi bersistem dan koheren. Unsur tersebut beroleh makna dari sistem hubungan tadi. Selanjutnya Tarigan menjelaskan bahwa unsur struktur fisik puisi itu terdiri atas diksi, imaji, kata konkret, majas, ritme, dan irama. Unsur-unsur tersebut pun terkandung dalam sebuah Syair.

Jika ditinjau dari segi jumlah baitnya, syair terdiri atas beberapa jenis. Menurut

Al-Kina', dalam buku Majmu' Muhimmatil Mutun, syair yang terdiri atas satu bait disebut

”mufrad", yang terdiri atas 2 bait disebut "nutfah" yang terdiri dari 3 hingga 6 bait disebut

"qit'ah", dan yang terdiri atas 7 bait atau lebih disebut "gurinda," (Piah, 1989:125-130).

Struktur syair sebelum periode modern hanya menganut struktur terikat. Struktur ini mengikuti pola tertentu dan sistem yang baku. Pola yang diikuti penyair ialah dalam hal pembaitan, jenis sampiran dan isi.

2.2.2 Struktur Batin Syair

Struktur batin syair (puisi) disebut juga hakikat syair merupakan pasangan struktur fisik atau metode syair. Yang dimaksud dengan struktur isi ialah unsur-unsur yang

Universitas Sumatera Utara membentuk kesatuan makna sebuah karya sastra. Tarigan (1984: 10) menyimpulkan pendapat Richards bahwa unsur struktur isi puisi itu adalah tema, rasa, nada, dan amanat.

Tema merupakan konsep sentral yang dikembangkan di dalam sebuah puisi.

Dengan ungkapan lain, tema merupakan konsep abtsrak yang kemudian menjadi konkret melalui sarana retorika dan pencitraan. Tema ini merupakan refleksi dari gagasan, cita- cita, keinginan, dan harapan penyair. Dengan demikian, tema itu dipengaruhi oleh berbagai unsur yang meliputi seluruh kehidupan penyair.

Adapun rasa merupakan sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang ada dalam puisinya (Tarigan, 1984: 11). Tentu saja sikap penyair yang satu berbeda dengan penyair lainnya. Bagi seseorang, kematian anak dihadapinya dengan sikap tabah. Tidak demikian halnya dengan Ibnu Rumi yang menuduh Allah telah membunuh buah hatinya dengan sengaja dan melemparkannya dari kerumunan orang. Jadi, sikap Ibnu Rumi terhadap kematian anaknya yang diungkapkan dalam sya’irnya disebut rasa di dalam hakikat puisi.

Adapun nada ialah sikap penyair terhadap pembacanya (Tarigan, 1094: 18). Sikap itu berupa nada mencela, memuji, sinis, dan menasihati. Karya yang dibuat penyair memiliki nada tertentu terhadap pembacanya. Nada dalam sebuah sya’ir akan menimbulkan suasana tertentu. Antara nada dan suasana ada hubungan yang erat.

Unsur terakhir dari struktur batin puisi ialah amanat yang ingin disampaikan penyair. Amanat ini dapat diketahui setelah orang membaca puisinya dan mengetahui rasa dan nadanya. Amanat inilah yang mendorong si penyair untuk menciptakan syairnya.

Universitas Sumatera Utara 2.2.3 Syair sebagai Sistem Tanda

Eco (2004: 7) mengartikan tanda sebagai sesuatu yang menggantikan sesuatu atau sesuatu sebagai pengganti sesuatu. Dengan demikian, di balik sesuatu itu, yaitu tanda, senantiasa ada sesuatu yang lain yang disebut arti. Sesuatu yang menjadi tanda disebut penanda atau signifier, dan sesuatu yang menjadi arti tanda disebut petanda atau signified.

Menurut Pierce (Sudjiman dan Zoest, 1992: 7) makna tanda yang sebenarnya ialah mengemukakan sesuatu (representamen). Sesuatu yang dikemukakan, diacu dan ditunjukan oleh tanda diistilahkannya dengan objek. Tanda tersebut berfungsi merepresentasikan sesuatu.

Adapun sistem tanda utama yang menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol tersebut ditentukan oleh konvensi masyarakat penuturnya. Kemudian Pradopo (1990:

122) mengemukakan bahwa bahasa pada umumnya merupakan sistem tanda tingkat pertama. Dalam kajian semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Adapun karya sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua dan artinya ditentukan oleh konvensi sastra. Oleh karena itu, muncullah arti baru yakni arti sastra. Arti sastra ini merupakan arti dari bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama.

Meskipun demikian seorang satrawan tidak boleh melepaskan diri dari sistem tanda tingkat pertama atau dari konvensi bahasa karena hal itu dapat membuat karyanya tidak dapat dipahami.

2.2.4 Syair sebagai Jalinan Teks

Universitas Sumatera Utara Pendekatan yang mengasumsikan karya sastra sebagai jalinan teks disebut intertekstual. Pendekatan ini dipandang efektif untuk mengungkapkan makna suatu karya.

Bahkan Riffaterre (1978: 149) menegaskan bahwa ketuntasan interpretasi terhadap sebuah puisi hanya dapat dicapai melalui cara interteks. Culler (dalam Riffaterre, 1978: 139) menatakan sebuah karya hanya dapat dipahami oleh pembacanya dengan mempertentangkkannya dengan karya lain.

Intertekstual dipandang oleh Beckson dan Gauz (dalam Riffaterre, 1978: 129) sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan beberapa persoalan seperti pengaruh, sumber, sitiran, dan arketipe. Persoalan tersebut mengemukakan "gaung" beberapa teks yang terdapat dalam sebuah karya. Tidaklah mengherankan apabila Julia

Cristeva, yang telah menggunakan istilah tersebut secara luas, memandang sebuah teks itu sebagai bangunan mosaik kutipan; "setiap teks merupakan serapan dan transformasi dari teks lain".

2.3 Teori Semiotik

Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang

Universitas Sumatera Utara mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Ahli sastra Teeuw (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de

Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce

(1839 -1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda.

Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebutkan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics (1913).

Dalam buku itu de Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda- tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelas -kan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign).

Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi)

Universitas Sumatera Utara dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.

Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Sudjiman dan Zoest, 1991:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi.

Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa.

Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya. Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika.

Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.

Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman-teman sejamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskinan Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman-temannya.

Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931-1935 Charles

Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul

Universitas Sumatera Utara Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks.

Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce. Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.

Pierce (dalam Van Zoest, 1996: 8-9) membagi hubungan penanda dan acuannya atas tiga konsep: (1) ikon, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang memiliki hubungan kemiripan. Kemiripan yang dimaksudkan adalah kemiripan secara alamiah.

Misalnya, kesamaan potret dengan orang yang diambil fotonya, kesamaan peta dengan wilayah geografi yang digambarkannya, dan gambar kuda menandai kuda yang nyata; (2) indeks, yakni hubungan antara tanda dan acuannya yang timbul karena ada kedekatan eksistensi. Dapat dikatakan terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang bersifat alamiah. Misalnya, asap menandakan adanya api, dan arah angin menunjukkan cuaca; (3) simbol, yakni hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Maksudnya, tanda itu mengacu pada sesuatu yang telah mendapat kesepakatan masyarakat. Misalnya, lampu merah menandakan berhenti, dan mengangguk mena ndakan menyetujui atau membenarkan.

Menurut Peirce kata „semiotika‟, kata yang sudah digunakan sejak abad kedelapan belas oleh ahli filsafat Jerman Lambert, merupakan sinonim kata logika. Logika harus

Universitas Sumatera Utara mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut hipotesis Pierce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika bagi Pierce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subyek yaitu tanda (sign), obyek (object) dan interpretan

(interpretant).

Pendekatan semiotika Pierce yang menekankan pada jenis-jenis tanda yang utama yaitu ikon, indeks, dan simbol dapat diterapkan pula untuk mengamati gejala-gejala yang nampak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tanda-tanda yang dipalsukan. Pemalsuan tanda-tanda dalam kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia pada dasarnya mempunyai dua sisi, sisi baik dan sisi tidak baik. Sisi baik dari pemalsuan tanda-tanda umumnya adalah untuk tujuan kebaikan bersama sedangkan sisi tidak baik umumnya bertujuan untuk kepentingan pihak pertama saja.

2.3.1 Semiotika Sastra

Strukturalisme dan semiotik umumnya dipandang termasuk dalam suatu bukan teoretis yang sama. Sebetulnya apa yang dinamakan semiotik sastra bukan merupakan suatu aliran ilmu sastra. Berbagai aliran seperti strukturalisma dan ilmu sastra linguistik dapat dinamakan semiotik (Van Luxemburg dkk, 1984: 4446). Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri

Universitas Sumatera Utara diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial.

Bila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti(signifiant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra biasanya diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan

(semantik).

Ada beberapa aliran semiotik dalam ilmu sastra, yang diwakili oleh Saussure

(Perancis), Jurij Lotman (Rusia), dan C.S. Pierce (Amerika). Kesamaan utama pandangan mereka adalah bahwa bahasa merupakan salah satu di antara sekian banyak sistem tanda.

Ada kalanya ditekankan bahwa bahasa merupakan sistem tanda yang paling fundamental.

Pokok-pokok pandangan ketiga teoretisi itu diuraikan berikut ini.

Pierce (1839-1914) adalah seorang filsuf Amerika yang meletakkan dasar bagi sebuah bidang studi yang disebtu semiotik. Pierce menyebutkan tiga macam tanda sesuai dengan jenis hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan.

1. Ikon, yaitu tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang

ditunjuk. Misalnya, foto dengan orang yang difoto, atau pera dengan wilayah

geografisnya.

Universitas Sumatera Utara 2. Indeks, yaitu tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa yang

ditandakan. Misalnya asap menandakan adanya api, mendung menandakan

bakal turun hujan.

3. Simbol atau tanda, yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan

yang ditandakan bersifat arbitrer, manasuka, sesuai dengan konvensi suatu

lingkungan sosial tertentu. Misalnya bahasa.

Saussure adalah ahli linguistik asal Swiss yang memperkenalkan studi tentang tanda sebagai semiologi. Menurut Saussure, bahasa adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, yakni penanda dan petanda. Penanda adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu. Sedangkan petanda adalah aspek makna atau konseptual dari suatu penanda. Tanda memiliki ciri arbitrer, konvensional, dan sistematik. Arbitrer atau manasuka misalnya dalam urutan bunyi k-a-c-a-n-g tidak ada pemikiran atau motif menghubungkan bunyi itu dengan tanaman tertentu. Kombinasi aspek formal dan konseptual (bunyi “kacang” dengan wujud kacang sebenarnya) hanya terjadi berdasarkan konvensi sosial yang berlaku dalam bahasa tertentu saja. Jika kita menyebut “kacang”, orang Inggris menyebutnya “bean” sesuai dengan konvensi bahasa masing-masing.

Jurij Lotman, seorang ahli semiotik Rusia menyebut bahasa sebagai system tanda primer yang membentuk model dunia bagi pemakaiannya. Model ini mewujudkan sarana konseptual bagi manusia untuk menafsirkan segala sesuatu di dalam dan di luar dirinya.

Sastra disebutnya sebagai sistem tanda sekunder. Sastra dan semua cabang seni lainnya

Universitas Sumatera Utara mempergunakan sistem tanda primer seperti terdapat dalam bahasa alamiah tetapi tidak terbatas pada tanda-tanda primer saja.

Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan , yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti.

Dalam lapangan semiotik, yang penting yaitu lapangan sistem tanda, adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu penanda

(signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda (signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda pokok yaitu ikon, indeks dan simbol. Hubungan antara ketiga tanda ini bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang menggunakan lambang adalah bahasa.

Karya sastra merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi sastra. Karena sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Dalam sastra konvensi bahasa disesuaikan dengan konvensi sastra.dalam karya sastra kata-kata ditentukan oleh konvensi sastra, sehingga timbul arti baru yaitu arti sastra. Jadi arti sastra itu merupakan arti dari arti, untuk membedakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertamadsisebut meaning dan arti sastra disebut makna (significance).

Makna sajak bukan semata-mata arti bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan, daya liris, pengertian yang timbul oleh

Universitas Sumatera Utara konvensi sastra, misalnya tipografi, enjabement, sajak, barik sajak, ulangan, dan lainnya lagi.

Makna sajak adalah arti yang timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya, yaitu arti yang bukan semata arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan berdasarkan konvensisastra yang bersangkutan. Memberi makna sajak berarti mencari tanda-tanda yang memungkinkan timbulnya makna sajak, maka menganalisis sajak itu tidak lain adalah memburu tanda-tanda, dikemukakan oleh Culler.

Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti (Preminger, 1974: 981). Maka dalam menganalisis sajak terutama dicari tanda-tanda yang lain yang merupakan konvensi tambahan dalam puisi.

2.3.2 Tanda: Penanda dan Petanda

Wardoyo (2005: 1) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya adalah bagaimana tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi sebuah tanda, terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam semiotik, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan makna.

Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai peranan penting dalam mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure dalam Pilliang (2003: 90) menjelaskan

“tanda” sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi

Universitas Sumatera Utara dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda

(signifier) dan petanda (signified). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya, kata ‘ayah’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti ‘orang tua laki-laki’.

Berkaitan dengan proses pertandaan seperti di atas, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004: 90).

Sementara itu, seorang tokoh semiotik lain, Charles Sanders Peirce (1839–1914) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut Peirce, dalam pengertian tanda terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol

(Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotik yang fundamental.

Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena adanya tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda dengan mata

Universitas Sumatera Utara rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan konsep pragmatisme.

Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain

(qualisigns, firstness, in-itselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu (sinsigns, secondness/overagainstness).

penanda + petanda = tanda

Ketiga, bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan

“ditandai” (legisigns, thirdness/in-betweenness) (Lihat Christomy, 2004: 115-116).

2.4 Semiotika Budaya

Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan

Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut. Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu

Universitas Sumatera Utara yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa

Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg,

1984:44).

Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-

1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).

The core of Saussurres contribution to semiotics is the project for a general theory of sign systems which he called semiology. The term semiologie was apparently coined by Saussure himself to designate the “not yet exiting” general science of sign (cf. Engler 1980). An alternative term suggested in a different context was signologie. Semiology is not to be confounded with semantics, the study of meaning in language. Saussurre gave the following out line of his project of a future semiology: a science that studies the life of sign within society is conceivable:[….] I shall call it semiology (from Greek semeion „sign). Semiology would show what constitutes signs, what laws govern them. Since the science does not yet exist, no one can say what it would be: but it has a right to existence, a place staked out in advance (North, 1990:57). Inti dari kontribusi semiotik Saussure adalah rancanan bagi teori umum tentang system tanda yang disebut semiologi. Istilah semiologi muncul diciptakan oleh Saussure sendiri untuk menandai belum adanya ilmu pengetahuan umum tentang tanda. Sebuah istilah alternatif yang diperkirakan dalam konteks yang berbeda adalah signologi. Semiologi tidaklah menjadi hal yang luar biasa daripada semantik, yang mempelajari arti dalam bahasa. Saussure memberikan kerangka pemikirannya mengenai masa depan semiologi, yakni: sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan sebuah tanda dalam masyarakat yang dapat dipikirkan

Universitas Sumatera Utara [……] saya akan menyebutnya sebagai semiologi (berasal dari bahasa Yunani semion “tanda”) semiologi akan menunjukkan apakah yang mendasari tanda-tanda itu, apakah hukum/undang-undang yang mengaturnya. Semenjak ilmu pengetahuan belum eksis tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan apakah yang akan terjadi: tapi dia memiliki eksistensi yang bagus, sebuah tempat yang mengintai kemajuan (North, 1990: 57).

Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.

Peirce, semiotic is the doctrine of the essential nature and fundamental varieties of possible semiosis the term semiosis is derived from a treatise of the Epicurean philoshoper Philodemus. Pierce explained that “semiosis mean the action of almost any kind of sign and my definition confers on anything that so act the title of sign (North,1990:42) Menurut Peirce, semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis berasal dari risalah Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan pengertian saya ini merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (North, 1990:42)

Universitas Sumatera Utara Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan.

Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat.

Peirce: signs the axiom that cognition, thought, and even man are semiotic in their essence.. like a sign, a thought refers to other thoughts and objects of the word so that „all which is reflected upon has [a] past”. Peirce even went so far as to conclude that “the fact that every thought is a sign, taken in conjunction with the fact that life is a train of thought, proves that man is a sign” (North, 1990: 41) Menurut Peirce, pada intinya tanda-tanda dasar kognisi, pikiran, dan bahkan seseorang merupakan semiotic mereka…sebuah tanda misalnya. Pikiran akan mengacu kepada pikiran yang lain dan begitu juga objek pada sebuah kata, karena „semua yang digambarkan memiliki [sebuah] masa lalu. Peirce bahkan pergi jauh-jauhnya untuk menyimpulkan bahwa “kenyataan yang ada di dalam setiap pikiran itu merupakan sebuah tanda, diterima bersama dengan kenyataan bahwa hidup merupakan sebuah jalannya pikiran, membuktikan bahwa seseorang itu adalah tanda” (North, 1990: 41)

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (diukan)

Universitas Sumatera Utara konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) wacana yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119). ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda

(sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18).

Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.

Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar

(bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya

Universitas Sumatera Utara menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Hal ini dijelaskan Pradopo (2005:120) sebagai berikut.

”Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. 'Ibu' adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Perancis menyebutnya la mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan "kesemena-menaan" tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.” Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan strukturalisme adalah sebagai berikut. ”

Keterangan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara semiotik dan strukturalisme.

a) Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu

penelitian struktural.

b) Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme yang

memungkinkan kita menemui tanda-tanda yang dapat memberi makna (Junus,

1988: 98).

Universitas Sumatera Utara Lebih lanjut Junus (1988: 98) menjelaskan bahwa pada (a) semiotik merupakan lanjutan dari strukturalisme. Pada (b) semiotik memerlukan untuk memungkinkan ia bekerja. Pada (a), semiotik seakan apendix ’ekor‟, kepada strukturalisme. Tapi tidak demikian halnya pada (b). Untuk menemukan tanda, sesuai dengan pengertian sebagai ilmu mengenai tanda. Semiotik tidak dapat memisahkan diri dari strukturalisme, ia memerlukan strukturalisme . dan sekaligus, semiotik juga menolong memahami suatu teks secara strukturalisme.” Keterangan di atas menunjukkan bahwa strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik, karena sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna.

Dalam perkembangan ilmu sastra, beberapa teoritisi sastra menganggap bahwa semiotik dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memperkuat sebuah analisis karya sastra setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu analisis secara struktural. Seperti dikemukakan oleh Zaimar (1990 : 24) bahwa analisis struktural akan berhasil menampilkan bentuk karya, serta pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi karya sastra yang terdapat di dalamnya, namun analisis struktural tidak dapat memecahkan masalah pemahaman karya. Itulah sebabnya dilakukan analisis semiotik.

Berdasarkan uraian di atas, maka analisis semiotik prosa fiksi yang harus dilakukan adalah melihat semua struktur sebagai tanda. Penganalisis harus selalu bertanya apakah tokoh, latar, alur, dan pengaluran, dan penceritaan di dalamnya itu merupakan sebuah tanda/simbol atau bukan. Setelah melihat unsur-unsur itu sebagai simbol, simbol- simbol tersebut dideskripsikan berdasarkan konteksnya. Kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan deskripsi tadi dan ditafsirkan maknanya. Ketika melihat tanda-tanda tersebut,

Universitas Sumatera Utara adakalanya tanda-tanda tersebut berkaitan dengan teks-teks yang lain. Oleh karena itu, untuk memahami makna teks tersebut harus selalu dikaitkan dengan teks yang dirujuknya tadi.

Dalam bukunya, Semiotics of Poetry, Reffaterre (1978) menjelaskan teorinya tentang semiotika budaya dalam puisi. Buku ini terbagi ke dalam lima bab: The Poem s

Significance , Sign Production , Text Production , Interpretant , Textual Semiotics , dan

Conclusion . Untuk keperluan makalah ini empat bab yang pertama sudah mencukupi.

Empat bab tersebut dapat diringkas sebagai berikut. a. Significance

Reffaterre membedakan antara meaning (arti) dan significance (makna). Ciri-ciri puisi adalah kepaduannya, secara formal dan semantik. Dia menyebut kepaduan formal dan semantik ini significance. From the standpoint of significance text is one semantic unit. From the standpoint of meaning text conveys a string of successive information units, the language is referential . Arti adalah yang dirujuk oleh teks pada tataran mimetic.

Ciri dasar mimesis adalah bahwa ia menghasilkan urutan semantik yang terus-menerus berubah. Puisi mentranrsformasikan teks pada tataran ini ke tataran yang tinggi, yaitu ke tataran semiosis yang di dalamnya yang semula merupakan kompleks pemaknaan ditransformasikan ke unit pemaknaan.

Puisi merupakan transformasi matrix, sebuah kalimat minimal dan literal, menjadi periphrases yang compleks dan nonliteral. Matriks itu dapat dinyatakan dalam satu kata

.yang mungkin tidak muncul dalam teks. Kata itu selalu diaktualisasikan ke dalam varian yang berturut-turut; bentuk-bentuk dari varian ini ditentukan oleh aktualisasi yang

Universitas Sumatera Utara pertama atau yang utama yang menjadi model aktualisasi. Matrix, model, dan teks adalah varian dari struktur yang sama. Matriks merupakan motor, generator bagi derivasi tekstual, sementara model menentukan cara (manner) derivasi itu

Pendeknya, pada tataran mimetik arti kata bergantung sepenuhnya pada sintaks dan posisi, kata-kata itu menambahkan informasi ke informasi sebelumnya, dan satu- satunya rujukan umumnya paling-paling adalah sistem deskriptif yang melayani distribusi representasi yang sesuai (compatible) sepanjang kalimat. Pada tataran semiotik, kebalikannya, kata-kata mengulang informasi yang sama, biasanya sebuah seme, .atau struktur tematik yang tak berbeda. Apabila teks mimetik bersifat sintagmatik, teks semiotik bersifat paradigmatik.

Sejalan dengan pembedaan antara arti dan makna itu, Reffaterre membedakan dua jenis pembacaan, yaitu pembacaan heuristic dan pembacaan retroactive (hermeneutic).

Pembacaan heuristic adalah pembacaan pada tahap pertama. Pada pembacaan ini input pembaca adalah kompetensi linguistik, termasuk asumsi bahasa bersifat referential, kemampuannya mencermati ketidaksesuaian (incompatibility) antara kata-kata bahwa ada kata atau frasa yang tidak dapat diartikan secara literal sehingga membutuhkan pemahaman secara kiasan, dan bahwa kompetensi linguistik bukan satu-satunya faktor yang terlibat. Pada tahap pembacaan ini mimesis dipahami secara penuh.

Pembacaan hermeneutic adalah pembacaan tahap kedua. Pada tahap ini pembaca meninjau, merevisi, dan membandingkan ke belakang apa yang baru saja dibacanya. Di sini ia akan mengenali bahwa ketidakgramatikalan yang ada dalam teks sesungguhnya ekivalen, varian dari matriks strutkural yang sama. Teks dengan demikian merupakan

Universitas Sumatera Utara efek dari variasi atau modulasi satu strutkur tematik, simbolik, atau apa pun dan hubungan yang dipertahankan ke satu struktur ini membentuk significance. Dengan demikian, sementara unit arti mungkin kata, frasa, atau kalimat, unit makna adalah teks.

b. Produksi Tanda

Tanda puitik adalah kata atau frasa yang memiliki kaitan dengan significance.

Tanda puitik ditentukan oleh derivasi hipogramatik. Maksudnya, sebuah kata atau frasa menjadi puitis ketika merujuk ke (dan jika merupakan sebuah frasa, terpola berdasar) kelompok kata yang ada sebelumnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan berikut: hypogrammatic derivation: a word or phrase is poeticized when it refers to (and if a phrase , patterns itself upon) a preexistent word group. Hipogram dibentuk dari seme kata dan/ atau presupposition-nya, sedangkan seme adalah inti dari arti sebuah kata, sebagaimana kata Reffaterre berikut: Hypogram is formed out of a word s seme and/or its presupposition. A seme is the very core of a word s meaning. Tanda puitik mengaktualisasikan sebagian dari hal ini. Kata inti hipogram itu sendiri mungkin diaktualisasikan mungkin pula tidak.

Sememe dari kata inti (kernel word) berfungsi seperti sebuah eksiklopedia representasi yang berhubungan dengan arti kata itu. Aktualisasainya mempunyai efek menyerap (saturating) urutan verbal derevatif dengan arti itu, secara terbuka menkonfirmasi apa yang telah dikumpulkan oleh kata itu. Seruling, misalnya, mengandaikan adanya seorang peniup seruling, memerlukan pendengar, mengandung seme kemerduan , tetapi juga mengandung seme keparauan. Neologisme Hugo dalam

Universitas Sumatera Utara sebuah puisinya mengaktualisasikan sebagian dari hipogram dalam puisi itu persis seperti ini: Comme Properce,/ j entends/ Une flute tibicine/ Dans les branches du printemps

(Seperti Propertius, aku mendengar seruling tibicine di cabang-cabang musim Semi).

Reffaterre menjelaskan bahwa kata tibicine adalah neologisme yang berasal dari kata tibicen, peniup seruling . Sebagai sebuah neologisme (kata baru atau kata dengan arti baru) kata itu mempunyai keuntungan memaksa pembaca untuk men-decode-nya; dan sebagai sebuah kata yang dilatinkan, kata tibicine menciptakan hubungan tautology,

(pengulangan yang tidak menambah kejelasan) dengan kata Propercee , eksemplar penyair lirik Roma kuno.

Hubungan antara tibicine dengan Properce dengan demikian tidak bersifat sintagmatik, melainkan bersifat paradigmatik. Hipogram mungkin juga dibentuk dari kata-kata klise dan sistem deskriptif. Kata-kata klise dan sistem deskriptif ini berbeda dari katagori sebelumnya dalam bahwa kata-kata klise dan sistem deskriptif telah teraktualisasikan dalam bentuk-bentuk yang telah berada dalam benak pembaca. Kata- kata klise dan sistem deskriptif ini merupakan bagian dari kompetensi linguistik pembaca, dan konotasi kesastraan sering melekat padanya. Klise adalah contoh-contoh yang telah jadi, citra yang telah teruji, diucapkan pertama kali pada waktu lampau, dan senantisa mengandung kiasan (trope), perangkat stilistik yang tersimpan. Sistem deskriptif adalah kata-kata yang berasosiasi satu sama lain seputar kata inti, sesuai dengan sememe kata inti itu. Tiap komponen dari sistem itu berfungsi sebagai metonimi nucleus-nya.

c. Produksi Teks

Universitas Sumatera Utara Teks sebagai lokus dari significance dihasilkan oleh konversi dan ekspansi.

Konversi dan ekspansi menetapkan (establish) ekivalen antara kata dan rangkaian kata: yakni antara lexeme dan syntagm. Ekspansi menetapkan ekivalen dengan mentransformasikan satu tanda ke beberapa tanda, dengan menderivasikannya dengan menggunakan fitur yang menentukan kata-kata.

Konversi menetapkan ekivalen dengan mentransformasikan beberapa tanda menjadi satu tanda kolektif , dengan memberi komponen rangkaian itu fitur ciri-ciri yang sama. Ekspansi mengintegrasikan aktualisasi porduksi tanda dari hipogram, mendiskusikan sebelumnya, dan mengikuti pola sistem deskripsitif. Hal ini tampak pada perifrasis dan metafora yang dikembangkan. Ekspansi merupakan agen utama tranformasi tanda tekstual dan teks, dan oleh karenanya merupakan penghasil significance yang utama, karena sebuah konstan hanya dapat diketahui di mana teks melebar ke varian yang berturutan dari given awal; yang kompleks keluar dari yang sederhana. Pendeknya, aturan ekspansi adalah mentranformasikan konstituen kalimat matriks ke bentuk yang lebih kompleks.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, ekspansi seluruhnya dibuat oleh sekuen yang bersifat pengulangan, yang melayani pencipataan rima dan penyisipan wacana deskritif ke dalam naratif. Kebanyakan, lebih dari sekadar pengulangan, ekspansi juga melibatkan perubahan gramatikal dari konstituen kalimat model: kata ganti diubah menjadi kata benda, kata benda menjadi kelompok, kata sifat menjadi anak kalimat, dan seterusnya.

Universitas Sumatera Utara Konversi aturannya adalah mentransformasikan konstituen kalimat matriks dengan memodifikasi semuanya dengan faktor yang sama. Sebuah hipogram mungkin dibuat dari klise, atau kutipan dari teks lain, atau deskriptif sistem. Karena hipogram selalu memiliki orientasi positif atau negative, konstituen dari konversi selalu mengubah (transmute) penanda hipogram dalam beberapa kasus konversi terdiri atas tidak lain dari permutasi penanda.

Deskriptif sistem ditransformasikan ke kode dengan permutasi tanda-tandanya: inilah bagaimana konversi dapat mempengaruhi sekuen yang lebih panjang dari pada frasa atau kalimat dan menjadiakan seluruh teks satu tanda. Oleh karena sistem deskriptif merupakan grid metonimi yang bentuk seputar kata inti, komponennya memiliki penanda yang sama sebagaimana kata itu.

Di samping itu, teks bisa diproduksi oleh gabungan antara konversi dengan ekpanasi. Ada satu jenis konversi yang tak berkaitan dengan hipogram eskternal: tipe ini memodifikasi penghasilan teks dengan konvensi. Ketimbang memproduksi secara tak berbeda bentuk-bentuk yang lebih kompleks dari kesepadanannya dalam matriksnya, di sini ekspansi dibatasi ke bentuk-bentuk yang lebih kompleks yang juga mengulang fitur karakteristik matriks.

2.5Teori dan Metode Semiotik Michael Riffaterre

Sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting dalam semiotik. Karya sastra merupakan sistem tanda yang bermakna yang mempergunakan medium bahasa.

Preminger (1974: 981) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem semiotik tingkat

Universitas Sumatera Utara pertama yang sudah mempunyai arti (meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotik tingkat kedua.

Riffaterre (1978: 166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya.

Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotik dari tanda ke tanda terjadi.

Dalam Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalam pemaknaan puisi secara semiotik. Keempat prinsip dasar itu adalah. a. Ketidaklangsungan Ekspresi

Dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005: 124).

Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978: 2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini

Universitas Sumatera Utara jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis.

Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru

(significance).

1) Penggantian arti (displacing of meaning)

Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori.

Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.

Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.

2) Penyimpangan arti (distorting of meaning)

Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978: 2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga

Universitas Sumatera Utara hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan ketiga oleh nonsense.

Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat.

Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.

Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi syair. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Biasanya nonsense banyak terdapat dalam syair atau puisi yang bergaya Syair. Di dalam syair, nonsense lebih cenderung bernada himbauan kepada sang anak, seperti penggalan syair Dendang Siti Fatimah berikut ini.

Oii…oiii..oiii Dengar olehmu wahai anak adam Asalnya wahi nurul izan Dipercaya empat nasirul adam Dipecahnya pula sekalian alam (SDSF, bait ke-4)

Bait di atas terdiri dari kata-kata perumpamaan yang dapat menimbulkan suasana religius yang kental. Perumpamaan yang digunakan adalah nama-nama khusus yang dapat

Universitas Sumatera Utara membangkitkan efek magis. Penggunaan nama-nama seperti yang terdapat dalam bait di atas memiliki makna yang sangat kuat kepada setiap pendengarnya untuk mendengarkan isi syair berikutnya.

3) Penciptaan arti (creating of meaning)

Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi

(Riffaterre, 1978: 2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Sebagai contoh adalah bait 15 dari Syair Dendang Siti Fatimah berikut ini.

Ya iya, iya ya.. Ilahi Waya junjungan waya Muhammad Kamilah ini minta selamat Dari dunia sampai akhirat

Bait di atas berfungsi untuk memohon keselamatan yang diwakilkan dengan penggunaan kata-kata /ya iya, iya ya../ dan /waya/. Pada akhir larik hanya terdapat fonem

/t/. Secara linguistik larik terakhir ini tidak memiliki arti. Namun, dalam kesatuan isi syair, “t” mengandung makna konotatif, yaitu sebuah permohonan. Perintah itu ditujukan pada satu wujud yang tidak terlihat. Dalam syair di atas, “A” diartikan dengan

“kembalilah ke asalmu”.

Contoh lain adalah puisi ”Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum

Bachri. Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zig-zag. Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara linguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam

Universitas Sumatera Utara puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif, yaitu perkawinan itu menimbulkan angin-angan hidup.

Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedy (Pradopo, 2005: 131).

b. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978: 5–6).

Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Syair Dendang Siti Fatimah.

Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978: 5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.

Menurut Santosa (2004: 231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2005: 135) member

Universitas Sumatera Utara definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.

Pembacaan hermeneutik menurut Santosa (2004: 234) adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu,

Pradopo (2005: 137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.

Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Lihat

Riffaterre, 1978: 5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden,

1993 :126) dapat diringkas sebagai berikut.

1) Membaca untuk arti biasa.

2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi

penafsiran mimetik yang biasa.

3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.

Universitas Sumatera Utara 4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal

atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.

c. Matriks dan Model

Riffaterre menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978: 13).

Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993 :126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase.

Aktualisasi pertama dari matriks adalah model.

Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis.

Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental.

Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.

Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Syair

Dendang Siti Fatimah.

d. Hubungan Intertekstual

Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra.

Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya.

Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980: 12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsif kesejarahan itu harus diperhatikan. Syair Dendang Siti

Fatimah misalnya, syair ini tidak terlepas dari hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya.

Riffaterre (1978: 11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat, kebudayaan, film, drama, dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus.

Universitas Sumatera Utara Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre

(1978:11) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983: 65).

Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra, merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain. Sebagai contoh, berikut adalah bait ke 16 dan 17 dari Syair Dendang Siti Fatimah yang secara intertekstual memiliki hubungan dengan hadits nabi Muhammad SAW.

Inilah nasihat ayahanda bunda Supaya ingat di dalam dada Kepada anakku usul sahda Sedikit jangan diberi lupa

Karena hadis yang menyatakan Barang katanya jangan dilawan Mintalah doa kepada Tuhan Turut taqwa sedia beriman

Antara kedua bait di atas memiliki hubungan yang sangat baik dan memiliki tema yang sama yakni untuk menghormati orang tua. Hal itu sesuai dengan hadits

Universitas Sumatera Utara RasulullahSAW yang menganjurkan untuk mengistimewakan dan menghormati orang tua, seperti berikut ini.

Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam, Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda,

“Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)

1.5.4 Fungsi Sosial Sastra

Ilmu sastra meneliti sifat-sifat teks sastra. Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui fungsi teks sastra dalam masyarakatnya. Ilmu sastra yang dimaksud di sini ialah ilmu sastra secara umum. Sifat-sifat sastra itu merupakan ciri khas yang terkandung dalam setiap jenis sastra yang berkaitan dengan fungsinya dalam masyarakat. dan fungsi utama sastra berkaitan dengan masalah kesetiaan kepada sifat-sifatnya sendiri (Wellek dan Warren, 1990: 36).

Fungsi ini merupakan apa yang dituju oleh pengarang dalam karangannya. Apakah maksud pengarang membuat karangan itu dan apa fungsi bagian-bagian karangan di dalam keseluruhannya?

Braginsky, dalam penelitiannya terhadap sastra Melayu, menegaskan adanya tiga lingkaran fungsi sastra: lingkaran fungsi keindahan, kemanfaatan, dan kesempurnaan jiwa, sedangkan Horatius mengemukakan bahwa tugas dan fungsi penyair ialah memberikan faidah dan hiburan atau utile dan dulce (Teeuw, 1984: 183-184).

Universitas Sumatera Utara Adapun fungsi sastra yang sejalan dengan penelitian ini adalah fungsi sosial sastra, dalam hal ini kasidah. Fungsi ini berhubungan dengan masalah kaitan antara nilai sastra dan nilai sosial serta pengaruh nilai sosial terhadap nilai sastra.

Hal tersebut menyangkut tiga aspek fungsi: (a) sastra berfungsi sebagai pembaharu dan pendobrak; dalam hal ini sastra dipandang sama dengan ucapan nabi, (b) sastra berfungsi menghibur semata , dan (c) sastra berfungsi mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1978: 4).

Sementara itu Rusyana (1971: 7-8) mengemukakan fungsi sosial puisi secara khusus, yaitu fungsi yang berkaitan dengan masalah pengaruh puisi terhadap prilaku masyarakat umum dan kegunaannya bagi kehidupan mereka. Kedua fungsi itu diwujudkan dalam penggunaan puisi untuk mengungkapkan pujian dan cacian kepada pihak lain serta untuk mengekspresikan pandangan agama, sosial, dan politik seorang sastrawan.

Sehubungan dengan puisi "pupujian" yang ditelitinya, Rusyana (1971) menyatakan bahwa puisi tersebut pada umumnya untuk tujuan pendidikan, sejarah, dan khotbah. Ketiga fungsi itu berada dalam ranah keagamaan. Fungsi sastra tersebut bersifat dinamis dan berubah sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kebutuhan masyarakatnya.

Universitas Sumatera Utara BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa kuala serapuh kecamatan tanjung pura,

kabupaten langkat. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan September

2011.

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang dilakukan dalam proses pencarian kebenaran atau pembuktian fenomena (permasalahan) yang dihadapi melalui suatu prosedur kerja tertentu.

Penelitian ini menggunakan suatu metode penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicari berupa pemberian bahasa yang biasa sifatnya seperti potret, paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1998 : 82)

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif diakronis, yaitu menjelaskan atau memerikan fungsi dan kedudukan Syair Dendang Siti Fatimah yang ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam syair tersebut.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh data lisan yakni data yang dituturkan oleh pencerita atau tukang cerita Melayu, dalam hal ini penulis mengambil

Universitas Sumatera Utara lokasi penelitian di Desa Kuala Serapuh Kecamatan Tanjung Pura; dengan alasan daerah ini dianggap masih menggunakan syair ini dalam upacara penabalan nama anak.

Dalam memperoleh data lisan, ditempuh dua cara, yakni data yang diperoleh secara lepas, misalnya merekam suatu percakapan di suatu tempat-tempat tertentu ( warung kopi, tempat-tempat penjualan souvenir dan makanan tradisional, dll); dan data buatan berdasarkan rekaman data lepas berupa seperangkat pertanyaan yang diverifikasi kepada informan untuk diuji keabsahan data yang diajukan peneliti. Data buatan ini berfungsi mencek data lepas yang diperoleh dari hasil wawancara.

Data lisan diperoleh dari informan yakni orang-orang yang dianggap tahu tentang keberadaan dari Syair Dendang Siti Fatimah dengan menggunakan metode purposive sampling, artinya bahwa dalam menentukan jumlah dan anggota informan tidak berdasarkan representasi atau generalisasi yang berlaku pada populasi. Kriteria informan yang diacu dalam penelitian ini, terutama (1) penutur asli bahasa yang diteliti; (2) berdomisili di lokasi penelitian; (3) berusia antara 30 sampai dengan 40; (4) sadar dan memahami dengan apa yang diajukan oleh peneliti; (5) sabar, jujur, dan terbuka terhadap setiap pertanyaan yang diajukan; (6) memiliki alat-alat artikulasi yang baik (Samarin,

1988: 55-56; Djajasudarma, 1993:20).

3.4 Prosedur Pengumpulan Dan Perekaman Data

Metode pengumpulan data kebahasaan menurut Sudaryanto (1988 : 2-3) ada dua macam, yaitu metode simak dan metode cakap yang mana kedua metode ini digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini. Metode simak digunakan untuk data tulis

Universitas Sumatera Utara dan menggunakan metode cakap untuk data lisan. Kedua metode ini dapat dijabarkan ke dalam teknik dasar dan teknik lanjutan.

a. Observasi (pengamatan)

Mengobservasi yang dimaksud di sini adalah kegiatan mengamati setiap percakapan

yang berlangsung antara informan dengan penutur lainnya ketika upacara penabalan

nama tersebut berlangsung. b. Pencatatan

Dalam operasionalnya saat pengumpulan data digunakan teknik sadap sebagai teknik

dasar yaitu dengan menyadap pembicaraan para peserta upacara penabalan nama

tersebut. c. Perekaman

Perekaman terhadap tuturan dapat dipandang sebagai teknik lanjutan dan disebut

teknik rekam. Dalam hal ini keikutsertaan penulis bersifat reseptif karena hanya

mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya. Selanjutnya, apa yang

dikatakan informan ditulis kembali dengan cara mengulang-ulang rekaman beberapa

kali untuk mendapatkan keakuratan datanya.

3.5 Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode heuristik. Metode ini melihat karya sastra baik secara isi dalam (intrinsik), isi luar (intrinsic), dan keterkaitannya dengan nilai- nilai budaya yang terkandung di dalam Syair Dendang Siti Fatimah.

Universitas Sumatera Utara Penelitian ini menggunakan metode pembacaan Heuristik dan Retroaktif atau

Hermeneutik. Dalam pembacaan heuristik, sejak dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama.

Puisi dibaca secara linier menurut struktur normatif bahasa. Pada umumnya, bahasa puisi merupakan deotomatisasi atau defamiliarisasi, ketidakotomatisan atau ketidakbiasaan.

Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak biasa dibuat biasa atau harus dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu bentuk kata disesuaikan sedemikian rupa sehingga hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas.

Begitu juga logika yang tidak biasa dikembangkan pada logika bahasa biasa.

Pembacaan Heuristik ini baru memperjelas arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Makna sastra belum terungkap atau tertangkap. Oleh karena itu, harus dibaca lebih lanjut dengan pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik.

Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik adalah pembacaaan ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran atau pembacaan Hermeneutik. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi). Puisi menyatakan sesuatu gagasan secara tidak langsung dengan kiasan, ambiguitas, kontradiksi dan pengorganisasian ruang teks.

Universitas Sumatera Utara BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Singkat Syair Dendang Siti Fatimah

Syair Dendang Siti Fatimah adalah syair yang dibacakan ketika upacara penebalan nama anak. Syair biasanya dibawakan oleh para ibu-ibu yang tergabung dalam sebuah kelompok pengajian.

Transkrip Syair Dendang Siti Farimah

Bahagian I :

Bismillah itu permulaan nama Zat dan sifat ada bersama Keadaan zat menyatakan asma Qadim dan baqa sedialah lama

Amin, amin ilahirrahman Tetapkan olehmu taat dan iman Selamat sempurna di dalam aman Si polan ini bagi beriman

Dititahkan Allah Halikurrahman Menyuruhkan ia membawa iman Kepada nabi akhiru zaman Kepada umatnya beberapa zaman

Asal daripada Nabi Allah Asal nawahi Nur Khatam Dipecah empat akhir qidam Dipecahnya itu sekalian alam

Dengar olehmu ayuhai anak adam Asalnya wahi nurul izan Dipercaya empat nasirul adam Dipecahnya pula sekalian alam

Universitas Sumatera Utara Ialah awal ialah akhir Demikianlah ia batin dan zahir Nyata kepada arif yang mahir Ayuhai umat ambillah fakir

Adalah asal kejadianmu Nur setitik ketahui olehmu Dengan kuderat iradat Tuhanmu Malikat membawa kepada bapakmu

Rahim bapamu turun ibumu Empat puluh hari Nadqah namamu Lapan puluh hari Nadqah namamu Seratus dua puluh hari Madqah namamu.

Bahagian II :

Memperanakan engkau beberapa kesakitan Memeliharakan engkau beberapa kesusahan Tatkala engkau sudah diperanakan Sakit dan demam dipeliharakan

Tidur dan duduk tak senang rasanya Selagi belum besar tubuhnya Jaram dan obat disediakannya Sanak saudara mengahadapinya

Kasihkan anak sehabis cita Mata mengantuk lidah berkata Beratlah tangan meraba rasa Anak tak lupa di dalam cita

Dikandung ibumu sembilan bulan Lebih dan kurang tiada ditentukan Beberapa azab kesakitan Dipantang pula minum dan makan.

Apabila ibumu perutnya sarat Hendak berjalan tiadalah larat Hatinya itu terlalu gelorat Bapamu pantang terlalu berat.

Bapamu itu kerasnya pantang

Universitas Sumatera Utara Siang dan malam pagi dan petang Tiada berani membunuh binatang Takut akhirnya cederanya datang.

Apabila sudah cukupnya hari Sakitlah ibumu tiada terperi Bapamu pun turun berlari-lari Memanggil bidan bawa ke mari.

Bidan pun datang tiadalah lambat Serta membawa kelengkapan ubat Dilihatnya penuh saudara sahabat Bidan pun naik bertempuh rapat.

Sakit ibumu tiada terkira Berhimpunlah sanak saudara Sangatlah ramai tiada terkira Sekeliannya itu duduk berjaga.

Perutnya sakit bagai nak pecah Bukannya kurang makin bertambah Dipanggil bapamu disuruhnya langkah Dipintanya ampun barang yang salah.

Bahagian III :

Kenanglah olehmu Awang dan Dayang pada ibu bapamu hendaklah sayang Sakitnya badan hangat berdiang Hangat serta malam dan siang.

Ibumu berdiang tiada berhenti Hidupnya pun serasa mati Terlalu gundah di dalam hati Antara anak lepas 44 hari.

Waktu ibumu di atas gerai Air matanya jatuh berderai Wahai anakku emas berurai

Universitas Sumatera Utara Dengan ibumu jangan bercerai.

Beranakkan engkau sudahlah tentu Diletak dalam talam yang satu Bapanya rendam gula batu Diberi hisap ganti susu.

Di antara anak lepas 44 hari Pusat engkau luruh sendiri Dipotong rambut buat kenduri Haji dan Lebai dipanggil ke mari.

Ayuhai anak paras gemilang Pada ibumu banyaklah sayang Dipeliharanya engkau bukannya senang Tidur tak lena makan tak kenyang.

Memelihara engkau terlalu sudah Tidur tidak pernah merasa mudah Kiri kanan habis basah Berlumur kencing dengan muntah.

Dijaga engkau tidak terperikan Engkau diletak di atas ribaan Tatkala menangis dipujukkan Segala makanan tiada tertelan.

Ibumu itu penat terlalu Digantang tirai serta kelambu Serta pula dipasang tuntu Tak diberi nyamuk hampir padamu.

Ibu bapamu miskin terhutang Kain sehelai haram di pinggang Kain pun basah anak dipegang

Universitas Sumatera Utara Tarik ke atas di bawah renggang.

Susahnya ayah bukan sedikit Disuluh nyamuk tak diberi gigit Bila menangis bunyi sedikit Daripada tidur segera bangkit.

Diangkat di diri dialah lali Ayuhai anakku emas gemala Diminta doa kepada Allah Taala Supaya jangan mendapat cela

Bahagian IV :

Kepada ibu bapa jangan dilawan Sangat dimurka olehnya Tuhan Ke dalam neraka dimasukkan Azabnya tidak terperikan

Jika disuruh engkau mengaji Membaca Quran jangan dibenci Supaya dapat makam terpuji Sama ada perempuan atau lelaki.

Janganlah takut pergi mengaji Di Padang Mahsyar tiadalah rugi Buang olehmu fiil yang keji Supaya terang hati mengaji

Sembahyanglah anak jangan berhenti Dari hidup sampai ke mati Di Padang Mahsyar diguna nanti Di sanalah ayah bonda menanti

Sembahyang itu jangan dielak Siang dan malam janganlah tidak Serta mengaji janganlah tidak Itulah tuntutan sangat dikehendak.

Janganlah tuan mengikut nafsu

Universitas Sumatera Utara Berkehendakkan intan permata batu Minta jauh sekeliannya itu Kepada Allah juga yang tentu.

Jika kita pergi mengaji Kepada lebai ataupun haji Kita ikutlah bersungguh hati Jangan diumpat atau dikeji.

Ayuhai anakku muda bestari Jangan bermain sehari-hari Banyaklah ilmu engkau pelajari Supaya senang kemudian hari.

Janganlah tuan segan dan silu Pergilah mengaji kepada guru Ikutlah tuan katanya itu Jangan dibuat barang tak tentu.

Jika kita pandai mengaji Ibu dan bapa bersuka hati Kasihan ia tidak terperi Ialah sangat berkehendak di hati.

Habislah nasihat tamat kalam Dendang Fatimah ampun dalam salam Salah silapnya tersebut kelam Jangan simpan hati di dalam.

4.2 Analisis Struktur Dan Semiotika Budaya Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah

4.2.1 Struktur Fisik Syair Dendang Siti Fatimah

Dalam membahas struktur fisik Syair Dendang Siti Fatimah ini penulis akan membahas secara umum saja yakni unsur tipografi, diksi, dan imaji yang terdapat dalam

Universitas Sumatera Utara syair tersebut. Hal ini dilakukan semata bahwa kajian ini hanya pengantar terhadap fokus dari kajian tesis ini.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk dari sebuah puisi, dalam hal ini Syair Dendang Siti Fatimah. Tipografi dari Syair

Dendang Siti Fatimah sama halnya dengan bentuk pantun-pantun Melayu pada umummnya yakni terdiri dari 4 kata sebaris, 4 baris sebait, sehingga dari bagian pertama sampai dengan bagian keempat dari Syair Dendang Siti Fatimah selalu sama, seperti terlihat pada contoh berikut ini.

(1) Bismillah itu permulaan nama Zat dan sifat ada bersama Keadaan zat menyatakan asma Qadim dan baqa sedialah lama (SDSF, Bag. I, bait 2)

(2) Kasihkan anak sehabis cita Mata mengantuk lidah berkata Beratlah tangan meraba rasa Anak tak lupa di dalam cita (SDSF, Bag. II, bait 3)

Adapun diksi atau pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam syair ini sangatlah ketat dan kental. Ketat berarti tidak bisa digantikan oleh posisi kata yang sama arti dan maknanya, sedangkan kental berarti makna yang dikandung oleh setiap kata dalam Syair Dendang Siti Fatimah memiliki makna yang dalam karena erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata, walaupun terkadang terdapat penyimpangan seperti penyimpangan fonologis dan penyimpangan historis (penggunaan kata-kata kuno), contohnya:

Penyimpangan fonologis

Universitas Sumatera Utara (3) Dengar olehmu ayuhai anak adam Asalnya wahi nurul izan Dipercaya empat nasirul adam Dipecahnya pula sekalian alam (SDSF, Bag. I, bait 4)

Penyimpangan historis (4) Ialah awal ialah akhir Demikianlah ia batin dan zahir Nyata dan arif yang mahir Ayuhai umat ambillah fakir

Pada contoh (3) di atas terlihat penyimpangan fonologis (bunyi) yang terdapat pada rima akhirnya. Pada baris 1, 3, dan 4 menggunakan rima a sedangkan pada baris kedua menggunakan rima b, namun dalam penyebutannya kata /izan/ dibaca: izam tetapi dalam penulisan tetap ditulis /izan/.

Pada contoh (4) di atas terlihat penyimpangan historis (penggunaan kosa kata kuno) yang terdapat pada baris 2 dan 3 yakni pada kata zahir dan mahir. Kedua kata ini sudah sangat jarang sekali dipakai dalam kosa kata bahasa Indonesia saat ini.

Pada Syair Dendang Siti Fatimah sangat banyak terdapat imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti imaji suara

(auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Ketiga imaji ini terlihat pada contoh berikut ini.

Imaji Taktil

(5) Memperanakan engkau beberapa kesakitan Memeliharakan engkau beberapa kesusahan Tatkala engkau sudah diperanakan Sakit dan demam dipeliharakan (SDSF, Bag. II, bait 2)

Universitas Sumatera Utara (6) Memeliharakan anak sangatlah susah Tidak pernah merasa sudah Alih ke kiri ke kanan basah Berlumur dengan kencing dan muntah (SDSF, Bag. II, bait 5)

Imaji Visual

(7) Tidur dan duduk tak senang rasanya Selagi belum besar tubuhnya Jaram dan obat disediakannya Sanak saudara menghadapinya (SDSF, Bag. II, bait 3)

(8) Bidan pun datang tiadalah lambat Serta membawa kelengkapan ubat Dilihatnya penuh saudara sahabat Bidan pun naik bertempuh rapat. (SDSF, Bag. II, bait 7)

(9) Sakit ibumu tiada terkira Berhimpunlah sanak saudara Sangatlah ramai tiada terkira Sekeliannya itu duduk berjaga. (SDSF, Bag. II, bait 8)

Imaji Suara

(10) Jika disuruh engkau mengaji Membaca Quran jangan dibenci Supaya dapat makam terpuji Sama ada perempuan atau lelaki. (SDSF, Bag. III, bait 8)

(11) Susahnya ayah bukan sedikit Disuluh nyamuk tak diberi gigit Bila menangis bunyi sedikit Daripada tidur segera bangkit. (SDSF, Bag. III, bait 5)

Universitas Sumatera Utara Pada contoh (5) dan (6) terasa pada kita sebagai pembaca bahwa penyair menggambarkan bagaimana sakitnya melahirkan dan bagaimana susahnya memelihara anak tersebut, sehingga rasa sakit atau pun demam tidak lagi dirasa. Bahkan badan ibu dan ayah kita basah oleh kencing dan terkena muntah. Hal ini terlihat pada kata memperanakan – kesakitan, memeliharakan-kesusahan, sakit dan demam, alih ke kiri ke kanan basah, dan berlumur dengan kencing dan muntah Kata-kata ini lah yang membuat kita benar-benar seperti merasa mengalaminya dan kata-kata itu pula mengkonkretkan imaji rasa (taktil) pada Syair Dendang Siti Fatimah.

Pada contoh (7), (8), dan (9) di atas terlihat bahwa penggunaan imaji visual sangat baik sekali dilakukan oleh pencipta Syair Dendang Siti Fatimah. Ini terlihat dari penggunaan kata-kata yang mengkonkretkan keadaan seolah-olah pembaca melihat dengan sendiri kejadian yang divisualkan dalam bait-bait tersebut melalui kata-kata: sanak saudara menghadapinya, bidan pun datang tiadalah lambat, dan kata sangatlah ramai tiada terkira.

Pada contoh (10) dan (11) juga penyair terlihat berhasil menggunakan imaji suara

(auditif) sehingga pembaca sendiri merasa seolah-olah mengalami kejadian yang divisualkan misalnya kata-kata membaca Quran dan bila menangis. Kata-kata ini mengkonkretkan keadaan bahwa kita seolah-olah mendengar orang membaca Al Quran atau mendengar suara tangis bayi di tengah malam bila digigit oleh nyamuk.

Seperti halnya pantun, penggunaan rima dalam Syair Dendang Siti Fatimah juga mempunyai pola rima yang sama. Berdasarkan pengamatan penulis ada tiga pola rima

Universitas Sumatera Utara yang dipakai dalam syair ini yakni a – a, a-b a-b, dan b – b. Hanya sedikit sekali terdapat pengulangan kata/ungkapan yang terdapat dalam Syair Dendang Siti Fatimah.

4.2.2 Struktur Batin Syair Dendang Siti Fatimah

Dalam pembahasan terhadap struktur batin hanya dilakukan secara sepintas saja, yakni pembahasan tentang tema, nada, dan amanat

Berdasarkan interpretasi dari pembacaan heuristik yang penulis lakukan terhadap

Syair Dendang Siti Fatimah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tema dari syair ini adalah seseorang itu haruslah berbakti dan hormat kepada orang tuanya. Hal ini terlihat dari bagaimana sang penyair menggambarkan bagaimana penderitaan seorang ibu ketika melahirkan dan membesarkan seorang anak dan bagaimana perjuangan seorang ayah dalam membantu istrinya membesarkan dan menjaga seorang anak, seperti kutipan berikut ini.

Memperanakan engkau beberapa kesakitan Memeliharakan engkau beberapa kesusahan Tatkala engkau sudah diperanakan Sakit dan demam dipeliharakan (SDSF, bag II, bait 1)

Dikandung ibumu sembilan bulan Lebih dan kurang tiada ditentukan Beberapa azab kesakitan Dipantang pula minum dan makan. (SDSF, bag II, bait 3)

Ibu bapamu miskin terhutang Kain sehelai haram di pinggang Kain pun basah anak dipegang Tarik ke atas di bawah renggang. (SDSF, bag III, bait 10)

Universitas Sumatera Utara

Adapun nada (tone) atau sikap penyair terhadap pembacanya menggunakan cara nasihat. Hal ini terlihat pada setiap bait yang terdapat dalam Syair Dendang Siti Fatimah, baik dari bahagian I maupun sampai bahagian IV. Penyair menggunakan nada nasihat dalam menyampaikan pesan yang hendak disampaikan, seperti kutipan berikut ini.

Rahim bapamu turun ibumu Empat puluh hari Nadqah namamu Lapan puluh hari Nadqah namamu Seratus dua puluh hari Madqah namamu (SDSF, bag. I, bait 7)

Memperanakan engkau beberapa kesakitan Memeliharakan engkau beberapa kesusahan Tatkala engkau sudah diperanakan Sakit dan demam dipeliharakan (SDSF, bag. II, bait 1)

Diangkat di diri dialah lali Ayuhai anakku emas gemala Diminta doa kepada Allah Taala Supaya jangan mendapat cela (SDSF, bag. III, bait 12)

Ayuhai anakku muda bestari Jangan bermain sehari-hari Banyaklah ilmu engkau pelajari Supaya senang kemudian hari. (SDSF, bag. IV, bait 1)

Tujuan (amanat) dari penyair tidak lain dan tidak bukan adalah agar seorang anak bila sudah besar tetap berbakti, patuh, dan taat terhadap orang tua dan selalu menjalankan ibadah sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Swt.

Kepada ibu bapa jangan dilawan Sangat dimurka olehnya Tuhan

Universitas Sumatera Utara Ke dalam neraka dimasukkan Azabnya tidak terperikan. (SDSF, bag. IV, bait 1)

4.3 Syair Dendang Siti Fatimah: Kajian Semiotik Budaya

Mengkaji syair merupakan usaha untuk menangkap makna dan memberi makna kepada isi syairu itu. Kajian semiotik yang dilakukan terhadap Syair Dendang Siti

Fatimah merupakan salah satu bentuk usaha demikian. Dalam hal ini, Syair Dendang Siti

Fatimah dikaji dengan menggunakan metode semiotik Riffaterre. Bertolak pada metode semiotik Riffaterre inilah, maka penulis melakukan tiga langkah untuk menangkap dan memberi makna terhadap Syair Dendang Siti Fatimah. Pertama, melakukan pembacaan heuristik dan hermeneutik terhadap Syair Dendang Siti Fatimah. Kedua, menentukan matriks dan model. Ketiga, mencari dan menemukan hubungan intertekstual Syair

Dendang Siti Fatimah dengan teks lain.

Ketiga langkah tersebut di atas akan diterapkan dalam rangka mengungkap dan mendeskripsikan makna syair secara tuntas sehingga menghasilkan kesatuan makna yang utuh. Analisis akan dilakukan terhadap empat (4) bagian dari Syair Dendang Siti

Fatimah yang menjadi data dalam penelitian ini. Berikut adalah kajian terhadap empat (4)

Syair Dendang Siti Fatimah dengan menggunakan metode semiotika yang dikembangkan oleh Riffaterre.

4.3.1 Syair Dendang Siti Fatimah Bagian I

Universitas Sumatera Utara Bismillah itu permulaan nama Zat dan sifat ada bersama Keadaan zat menyatakan asma Qadim dan baqa sedialah lama

Amin, amin ilahirrahman Tetapkan olehmu taat dan iman Selamat sempurna di dalam aman Si polan ini bagi beriman

Dititahkan Allah Halikurrahman Menyuruhkan ia membawa iman Kepada nabi akhiru zaman Kepada umatnya beberapa zaman

Asal daripada Nabi Allah Asal nawahi Nur Khatam Dipecah empat akhir qidam Dipecahnya itu sekalian alam

Dengar olehmu ayuhai anak adam Asalnya wahi nurul izan Dipercaya empat nasirul adam Dipecahnya pula sekalian alam

Ialah awal ialah akhir Demikianlah ia batin dan zahir Nyata kepada arif yang mahir Ayuhai umat ambillah fakir

Adalah asal kejadianmu Nur setitik ketahui olehmu Dengan kuderat iradat Tuhanmu Malikat membawa kepada bapakmu

Rahim bapamu turun ibumu Empat puluh hari Nadqah namamu Lapan puluh hari Nadqah namamu Seratus dua puluh hari Madqah namamu.

1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Universitas Sumatera Utara a. Pembacaan Heuristik

Syairini merupakan syair pertama yang dibacakan kepada anak baru lahir ke dunia. syair ini dilafazkan dalam rangka untuk meminta keselamatan ketika akan melaut.

Seperti pada umumnya syair, Syair Dendang Siti Fatimah pun dimulai dengan basmalah.

Hal ini menunjukkan bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan oleh pengguna syair diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Larik pertama,

Bismillahirrahmanirrahim berarti “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

/Amin, amin ilahirrahman/ yang berarti perkenankan ya Allah Yang Maha

Penyayang doa kami. Kata amin biasanya digunakan sebagai permohon doa kepada Allah

Swt. Doa agar Allah Swt memberikan sifat taat dan keimanan dalam diri anak yang didoakan yang tampak pada baris /Tetapkan olehmu taat dan iman/. Doa ini diminta agar si anak / Selamat sempurna di dalam aman/ yang berarti anak yang didoakan agar selamat hidup di dunia dan di akhirat sebagai hamba yang beriman dan bertaqwa, yang ditegaskan pada baris terakhir dari bait kedua ini yaitu /Si polan ini bagi beriman/.

Dititahkan Allah Halikurrahman Menyuruhkan ia membawa iman Kepada nabi akhiru zaman Kepada umatnya beberapa zaman

Hal di atas sesuai dengan apa yang /Dititahkan Allah Halikurrahman/

‘diperintahkanAllah, Sang Maha Penyayang, kepada malaikat Jibril agar mengisi iman ke dalam dada Rasulullah Saw /menyuruhkan ia membawa iman/, nabi akhir zaman /kepada

Universitas Sumatera Utara nabi akhiru zaman/, agar menyebarkan iman dan taqwa kepada oleh Allah Swt /kepada umatNya beberapa zaman/.

Dengar olehmu ayuhai anak adam Asalnya wahi nurul izan Dipercaya empat nasirul adam Dipecahnya pula sekalian alam

Allah telah menyerukan kepada seluruh anak adam /dengar olehmu ayuhai anak adam/, bahwa Allah lah sumber dari segala sumber kehidupan /asalnya wahi nurul izan/; yang telah dipercaya sejak adam dilahirkan /dipercaya empat nasirul adam/, dan membagi alam semesta dalam berbagai tingkatan /dipecahnya pula sekalian alam/.

Ialah awal ialah akhir Demikianlah ia batin dan zahir Nyata kepada arif yang mahir Ayuhai umat ambillah fakir

Allah lah yang awal dan yang akhir, /ialah awal ialah akhir/; begitu pula zatNya baik lahir maupun batin /demikianlah ia batin dan zahir/; yang jelas-jelas nyata bagi yang orang-orang yang beriman dan bertaqwa /nyata kepada arif yang mahir/, oleh karena itu jadikanlah itu sebagai pelajaran bagi orang yang kurang paham /ayuhai umat ambillah fakir/.

Adalah asal kejadianmu Nur setitik ketahui olehmu Dengan kuderat iradat Tuhanmu Malikat membawa kepada bapakmu

Sedangkan manusia itu diciptakan berdasarkan sesuatu zat /adalah asal kejadianmu/; sesuatu zat yang diberikan cahaya /nur setitik ketahui olehmu/; hanya

Universitas Sumatera Utara dengan kehendak dan ketentuan Allah /dengan kuderat iradat Tuhanmu/; malaikat memberikannya kepada orang tuamu /malikat membawa kepada bapakmu/.

Rahim bapamu turun ibumu Empat puluh hari Nadqah namamu Lapan puluh hari Nadqah namamu Seratus dua puluh hari Madqah namamu.

Dari sari tubuh ayahmu turun dalam rahim ibumu /rahim bapamu turun ibumu/; bila dalam kandungan ibumu selama empat puluh hari maka disebutlah ia nadqah /empat puluh hari nadqah namamu/; begitu pula apabila ia berumur delapan puluh hari, masih disebut nadqah /lapan puluh hari nadqah namamu/; dan apabila umurmu telah seratus dua puluh haris dalam kandungan ibumu, maka namamu menjadi madqah /seratus dua puluh hari madqah namamu/.

b. Pembacaan Hermeneutik

Bait-bait yang terdapat pada Syair Dendang Siti Fatimah di atas sesungguhnya mengimplikasikan bahwa Allah Swt, adalah satu-satunya wujud Tuhan, yang harus disembah dan ditakuti manusia. Tanpa ada Allah, maka tak satupun makhluk di dunia ini ada. Allah adalah zat yang tiada berawal dan tiada berakhir.

Allah taala adalah pencipta seluruh jagad alam dan yang berhak untuk menentukan segala sesuatu yang menjadi kehendak-Nya. Kepada-Nyalah semua makhluk harus tunduk dan taat dengan segala perintah dan larangan-Nya.

Kata Allah taala tersebut diulang kembali pada bait ketiga, keempat, dan kelima.

Setiap kata Allah taala pada bait-bait tersebut mengimplikasikan betapa pentingnya dan

Universitas Sumatera Utara besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Allah SWT, sehingga setiap permohonan dan usaha yang dilakukan selalu dikembalikan pada kebesaran-Nya.

Kepada Nabi akhiru zaman mengimplikasikan pada Muhammad yang digambarkan sebagai “penggerak hati” merujuk pada nabi Muhammad SAW yang selalu memiliki hati yang bersih. Muhammad dalam hal ini adalah sebuah simbol kesucian hati.

Muhammad adalah rasul dengan 1001 macam kebaikan yang harus diteladani oleh ummatnya. Untuk itu, syair ini menyimpan suatu makna bahwa setiap kegiatan yang dilakukan harus selalu dilandasi dengan iman dan taqwa agar dapat memperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan.

Syair ini dalam banyak segi mengandung ikonositas. Kata kejadianmu, olehmu, dan namamu serta tuhanmu merupakan tanda ikonis yang maknanya memperkuat fungsi syair ini. Kejadianmu sebagai tanda ikonis bermakna kehidupan. Tidak mengherankan jika kemudian apabila suatu makhluk sudah kehilangan nyawa, maka dia dikatakan telah mati atau tidak hidup lagi. olehmu sebagai sebuah tanda ikonis bermakna pikiran atau menggunakan pikiran kita dalam memaknai dari mana asal kejadian kita. Namamu sebagai sebuah ikon bermakna suatu janin dalam rahim ibu. Tuhanmu bermakna untuk selalu mengingat akan Tuhan, Allah Yang Maha Pencipta.

Keempat tanda ikonis tersebut di atas memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Keempatnya secara jelas mencerminkan maksud dan tujuan dari Syair Dendang Siti

Fatimah bahagian I ini, yaitu harus mengetahui asal usul kejadian kita. Kata kejadianmu, olehmu, dan namamu serta tuhanmu bukan hanya sekedar menggambarkan keinginan

Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh keimanan, tetapi juga mengharapkan dapat memperoleh hidayah serta ketaqwaan kepada Allah Swt.

Keempat tanda ikonis yang terdapat dalam syair tersebut di atas sekaligus berfungsi sebagai simbol. Kata kejadianmu sebagai simbol, bermakna keselamatan dan keberadaan dirinya di dunia. Simbol ini mengimplikasikan pada keinginan penyair atau pendendang syair untuk memperoleh keimanan dan ketaqwaan. Kata olehmu yang terdapat pada bait keenam juga berfungsi sebagai simbol yang bermakna berpikir.

Artinya, setiap orang atau ciptaan Allah hendaklah berpikir akan kejadian dirinya.

Keberadan dirinya akan berarti bila memang dia menyadari seutuhnya akan keberadaan

Allah Swt. Makna ini semakin diperkuat oleh simbol namamu yang bermakna bahwa sebelum seseorang itu lahir ke dunia telah ada nama baginya diberikan oleh Allah, Yang

Maha Pencipta.

Keyakinan ini tumbuh atas dasar kepercayaan terhadap keagungan Allah. Simbol lain yang mempertegas makna dan fungsi dari syair pada bahagian ini adalah kuderat dan iradat. Kata kuderat yang berarti “kodrat” sebagai simbol bermakna bahwa sudah ditentukan oleh oleh segala sesuatunya semenjak seseorang itu dalam rahim ibunya.

Simbol ini dengan jelas menggambarkan akan kekuasaan Allah. Makna ini tergambar jelas pada bait keenam dan ketujuh bahagian I dari Syair Dendang Siti Fatimah, yaitu

/dengan kuderat iradat/ /malaikat membawa kepada bapakmu/. Simbol iradat dalam syair ini bermakna kekuasaan. Jadi, semua simbol yang terdapat dalam syair ini memberikan gambaran mengenai kekuasaan Allah sebagai Sang Maha Pencipta.

Universitas Sumatera Utara Bahagian I dari Syair Dendang Siti Fatimah ini sesungguhnya juga mengandung indeks. Ada tiga tanda indeksikal yang ditemukan dalam syair ini, yaitu kejadianmu, namamu, dan iradat Tuhanmu. Kata kejadianmu sebagai indeks bermakna tercipta karena adanya Allah. Jadi, penciptaan itu merupakan indeks terhadap keyakinan akan kekuasaan yang dimiliki oleh Allah Swt.

Kata iradat Tuhanmu merupakan indeks dari kemampuan untuk melakukan suatu tindakan. Sebagai indeks, kata iradat Tuhanmu bermakna Sang Pencipta. Selanjutnya, kata namamu sebagai indeks bermakna wujud dari ciptaan Allah Swt yaitu nadqah dan

Madqah. Tanda indeksikal ini mengimplikasikan pada kepercayaan akan keberadaan

Sang Penguasa tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai penguasa tunggal, kepada-

Nyalah semua makhluk harus beriman dan bertaqwa.

2) Matriks dan Model

Isi syair pada bahagian I ini mencitrakan hubungan kedekatan antara manusia dengan Sang Pencipta yang secara eksplisit disebutkan di dalam bait-baitnya. Seperti halnya makhluk lainnya yang selalu mempunyai hubungan kedekatan seperti itu. Kata yang merujuk kepa Allah Taala banyak dijumpai pada bahagian I Syair Dendang Siti

Fatimah ini mengimplikasikan bahwa pembaca ataupun penyair menyadari sepenuhnya posisinya di hadapan Tuhan. Kata ini kemudian melahirkan kalimat-kalimat puitis, seperti adalah asal kejadianmu/ dengan kuderat iradat Tuhanmu/ empat puluh hari nadqah namamu.

Universitas Sumatera Utara Dari ketiga kalimat-kalimat tersebut, kalimat dengan kuderat iradat Tuhanmu menjadi inti dari makna yang terkandung dalam ketiga kalimat tersebut. Dengan demikian, maka kalimat dengan kuderat iradat Tuhanmu menjadi model pertama dari syair ini.

Model kedua dalam syair ini adalah /Dititahkan Allah Halikurrahman/ /kepada nabi akhiru zaman/. Kalimat ini memiliki kekuatan puitis yang sama dengan model pertama. Kalimat ini juga bersandar pada wacana religius keislaman yang memperlihatkan hubungan kedekatan antara pembaca syair dengan Muhammad sebagai imamnya. Kata Allah atau Tuhanmu dalam dua kalimat di atas dengan jelas menggambarkan keadaan itu.

3) Hubungan Intertekstual

Secara spiritual Tuhan dipahami oleh manusia sebagai Alif Lamm Miim. Namun, para sufi memahaminya dalam empat hal, yaitu (1) dzat, yang bukan berawal dan berakhir, bukan rupa, bukan warna, bukan wujud, bukan materi, keadaan yang tenang, tentram, dan damai; (2) sifat, sifat dinamis dari Tuhan yang Maha Bijaksana, adil, dan pengasih dan penyayang; (3) Asma, nama Tuhan yang baik-baik, seperti Allah Ta’ala,

Yehueh, Deo, dan God; dan (4) Afngal, hadirnya nasib dan takdir baik dan buruk.

Walaupun dzat, sifat, asma, dan afngal dapat dibedakan menurut pengertiannya, tetapi keempatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Utomo, 1997: 39). Dzat meliputi sifat, sifat menyertai asma, dan asma menandai afngal. Pemahaman tentang

Tuhan yang demikian itu oleh manusia menjadi hidup yang dinamis.

Universitas Sumatera Utara Tuhan dipandang sebagai pemilik atas segala yang berwujud dan tidak berwujud karena Tuhan-lah yang menciptakan atas semua itu. Kesadaran terhadap Tuhan tampaknya tercermin melalui kalimat Ialah awal ialah akhir yang terdapat pada syair di atas. Hal ini menyarankan pada pemahaman bahwa masyarakat Melayu Tanjung Pura sangat meyakini eksistensi Tuhan sebagai Sang Pencipta. Oleh karena itu, Tuhan pulalah yang menentukan baik buruknya nasib manusia. Manusia boleh berusaha, boleh berdoa tetapi hasil akhirnya tetap berada pada kehendak Tuhan.

Sikap egaliter masyarakat suku Melayu Tanjung Pura yang melekat pada corak kehidupan mereka, tampaknya juga dikukuhkan oleh paham Islam dengan melihat teks pada bait-bait syair di atas. Kata Allah Taala “Allah SWT” dan Muhammad “Nabi

Muhammad SAW” menjadi petunjuk terhadap paham Islam yang diyakini dalam lingkup masyarakat itu. Bait-bait di atas menjadi salah satu bentuk ekspresi untuk memohon pertolongan dan berkah dari Tuhan dan Rasulnya.

Kalimat kepadamu nabi akhiru zaman mengimplikasikan pada suatu kepercayaan akan keberadaan Rasulullah Muhammad SAW. Dalam kitab suci Al-Quran dikatakan bahwa Muhammad SAW diibaratkan sebagai sosok yang telah memberikan penerangan bagi kehidupan ummat manusia yang berada dalam kegelapan. Beliau adalah pembawa cahaya dan petunjuk untuk jalan yang lurus. Percaya pada keberadaan Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang ketiga dalam Islam. Rasulullah adalah pembawa ajaran agama Islam.

Universitas Sumatera Utara Atas dasar prinsip paham tersebut, maka masyarakat suku Melayu Tanjung Pura menganggap bahwa Muhammad sebagai tokoh agama memiliki kedudukan yang lebih dekat kepada Tuhan dibandingkan dengan manusia yang lain.

Menurut Thohir (2006: 41), hubungan antara manusia dengan tokoh-tokoh agama adalah hubungan yang dilandasi oleh dua dimensi, yaitu dimensi keagamaan dan dimensi sosial. Pada dimensi keagamaan, hubungan itu dikukuhkan oleh paham-paham keagamaan yaitu konsep derajat manusia atas dasar ketaqwaan dan konsep tawasul

(mediasi). Pada dimensi sosial, orang-orang suci direfresentasikan kepada nabi, wali, sampai kyai. Mereka dinilai lebih dekat dengan Tuhannya, oleh karena itu mereka lebih didengar dan dikabulkan doanya. Logika “keagamaan” ini menjadi alasan bagi manusia untuk memposisikan mereka, khususnya para nabi sebagai mutawasul (mediator) dalam menyampaikan permohonannya kepada Tuhan.

Konsep tawasul (mediasi) dan mutawasul (mediator) tersebut oleh Thohir (2006:

42) dapat digambarkan melalui sistem klasifikasi simbolik dalam bentuk trikotomi untuk menjelaskan tingkatan atau hubungan antara Tuhan – Nabi – Manusia sebagai berikut.

Gambar 4.1 Hubungan Tuhan – Nabi – Manusia

TUHAN

Hubungan perantara RASULULLAH

Hubungan langsung

UMMAT

Universitas Sumatera Utara

Konstruksi pemikiran “keagamaan” seperti yang tergambar melalui gambar 2 di atas, secara simbolik mendudukkan nabi pada posisi di tengah, yaitu antara Tuhan dan

Manusia. Posisi di tengah ini merepresentasikan pada keadaan yang strategis. Artinya, nabi dapat menjadi mediator atas permohonan manusia yang ditujukan kepada Tuhan dan sebaliknya, nabi juga bertindak sebagai penerima wahyu dan menyampaikannya kepada manusia.

Bait-bait dari bahagian I Syair Dendang Siti Fatimah di atas merepresentasikan pada pemahaman mengenai konstruksi “pemikiran” keagamaan seperti yang telah diuraikan. Permohonan untuk memperoleh keselamatan dan rezeki yang baik tidak secara langsung ditujukan kepada Tuhan, melainkan dengan menyinggung terlebih dahulu mediatornya. Mediator yang dimaksudkan dalam hal ini adalah Muhammad SAW, seperti kutipan berikut ini.

Dititahkan Allah Halikurrahman Menyuruhkan ia membawa iman Kepadamu nabi akhiru zaman Kepada umatnya beberapa zaman (SDSF, bag. I, bait 3)

4.3.2 Syair Dendang Siti Fatimah Bahagian II

Memperanakan engkau beberapa kesakitan Memeliharakan engkau beberapa kesusahan Tatkala engkau sudah diperanakan Sakit dan demam dipeliharakan

Tidur dan duduk tak senang rasanya

Universitas Sumatera Utara Selagi belum besar tubuhnya Jaram dan obat disediakannya Sanak saudara mengahadapinya

Kasihkan anak sehabis cita Mata mengantuk lidah berkata Beratlah tangan meraba rasa Anak tak lupa di dalam cita

Dikandung ibumu sembilan bulan Lebih dan kurang tiada ditentukan Beberapa azab kesakitan Dipantang pula minum dan makan.

Apabila ibumu perutnya sarat Hendak berjalan tiadalah larat Hatinya itu terlalu gelorat Bapamu pantang terlalu berat.

Bapamu itu kerasnya pantang Siang dan malam pagi dan petang Tiada berani membunuh binatang Takut akhirnya cederanya datang.

Apabila sudah cukupnya hari Sakitlah ibumu tiada terperi Bapamu pun turun berlari-lari Memanggil bidan bawa ke mari.

Bidan pun datang tiadalah lambat Serta membawa kelengkapan ubat Dilihatnya penuh saudara sahabat Bidan pun naik bertempuh rapat.

Sakit ibumu tiada terkira Berhimpunlah sanak saudara Sangatlah ramai tiada terkira Sekeliannya itu duduk berjaga.

Perutnya sakit bagai nak pecah Bukannya kurang makin bertambah

Universitas Sumatera Utara Dipanggil bapamu disuruhnya langkah Dipintanya ampun barang yang salah.

1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik

Pada bait-bait bahagian II Syair Dendang Siti Fatimah ini berisi perumpamaan yang menggambarkan suasana bagaimana penderitaan seorang ibu ketika mengandung anaknya dan perjuangan seorang ayah dalam menjaga istri ketika hamil. Hal ini berkaitan dengan fungsi bahagian ini sebagai syair yang digunakan ketika ibu mengandung. Bait- bait pada bahagian ini dimulai dengan bait pertama yang menggambarkan bagaimana sakitnya seorang ibu melahirkan dan susahnya memelihara anak /memperanakan engkau beberapa kesakitan/, /memeliharakan engkau beberapa kesusahan/;, sehingga tidak dirasa lagi sakit di badan atau badan yang terasa seperti orang demam, panas dingin.Bait ini disusul dengan baris-baris yang menggambarkan ketidaktenangan orang tua sebelum bayinya besar, segala macam obat disediakan, atau kalaupun ada yg tidak mereka ketahui, mereka akan memanggil kerabatnya, seperti yang tergambar pada baris ketiga dan keempat dari bait kedua berikut ini: /jaram dan obat disediakannya/ /sanak saudara menghadapinya/.

Pada bait ketiga dan keempat /beberapa azab kesakitan/ /hendaklah jalan tiada larat/ merupakan penggambaran bagaimana sakitnya ketika usia kandungan sudah mulai memasuki usia-usia persalinan. Maksud dari kedua bait ini menggambarkan suatu hubungan yang manis sehingga dari hubungan itu menghasilkan suatu gambaran yang benar-benar mengeksploitasi beban seorang wanita ketika hamil.

Universitas Sumatera Utara Hendaklah jalan tiada larat merupakan rangkaian dari bait sebelumnya /Beberapa azab kesakitan/ yang tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya memiliki keterkaitan sintaksis yang jika dimaknai secara terpisah akan kehilangan keutuhannya. Hendaklah jalan tiada larat tidak akan terjadi apabila sang ibu tidak merasa beberapa azab kesakitan akibat mengandung anaknya.

Pada bait kelima dan keenam /bapamu itu kerasnya pantang, tiada berani membunuh binatang/ /bapamu pun turun berlari-lari, memanggil bidan bawa kemari/ masih memiliki hubungan yang erat secara semantik dengan bait-bait sebelumnya pada bahagian II ini. Frase /bapamu itu kerasnya pantang/ dan /bapamu pun turun berlari-lari/ memiliki makna yang sama yakni pengorbanan seorang ayah demi keselamatan anaknya.

Frase ini juga terdapat pada bait pertama.

Tiada berani membunuh binatang yang merupakan gambaran keteguhan sikap seorang ayah, yang memang seharusnya berburu demi kelangsungan hidup keluarganya.

Memanggil bidan bawa kemari yang juga merupakan gambaran pengorbanan seorang ayah demi keselamatan anaknya. Kedua frase tersebut juga terdapat pada bait ketiga.

b. Pembacaan Hermeneutik

Pada bahagian kedua Syair Dendang Siti Fatimah ini sesungguhnya mencerminkan usaha menjaga kandungan dan pengorbanan demi keselamatan anaka.

Dalam hal ini, pihak yang dimaksud adalah si ibu dan ayah. Dengan demikian, usaha untuk menjaga keselamatan anak yang akan dilahirkan tidak akan sia-sia. Bait ketiga dan kelima /hendaklah jalan tiada larat/ /bapamu pun turun berlari-lari/ secara jelas

Universitas Sumatera Utara menggambarkan maksud dari keseluruhan isi dari bahagian kedua ini. Penggunaan kalimat metafora yang menyebutkan jalan tiada larat dan turun berlari-lari pada bahagian ini dapat ditangkap sebagai sebuah tanda yang bertujuan untuk menimbulkan efek psikis.

Bahagian kedua ini berisi perumpamaan yang menggambarkan hubungan ibu dan ayah sebagaimana yang terdapat pada bait keempat /jalan tiada larat. Bait ini memiliki keterkaitan yang erat dengan larik keenam /bapamu pun turun berlari-lari/ di mana keduanya saling menopang. Munculnya perumpamaan pada bait ketiga disebabkan oleh adanya tujuan yang tersirat pada larik keenam, yaitu agar tergambar bagaimana perjuangan orang tua.

Jadi, ada semacam efek psikis yang ditimbulkan oleh bait ketiga dalam hal mewujudkan maksud dari bahagian kedua ini. Bait ketiga dan kelima terdapat kata

/hendak berjalan tiada larat/ dan /bapamu pun turun berlari-lari/ adalah penggambaran suatu hubungan yang erat sehingga hubungan yang lain akan mudah terjalin seperti maksud perumpamaan yang terdapat pada bait ketiga dan keempat. Jadi dalam hal ini, ikonositas yang terdapat dalam bahagian ini bersifat informatif. Urutannya merupakan tanda ikonis yang tidak dapat dihilangkan.

Salah satu aspek yang menonjol pada Syair ini adalah adanya suatu perumpamaan.

Perumpamaan itu dapat dikatakan sebagai satu bentuk tanda indeksikal yang merujuk pada fungsi syair. Indeks ini mencerminkan adanya suatu kebenaran di luar teks tentang hubungan yang digambarkan pada bait ketiga dan keempat, /hendak berjalan tiada larat/ dan /tiada berani membunuh binatang/. Penggambaran ini mendenotasikan hubungan

Universitas Sumatera Utara yang terdapat di luar teks untuk menunjuk isi dan makna yang terkandung dalam syair ini.

Yang lebih penting adalah bait-bait itu dimaksudkan untuk menimbulkan efek psikis sehingga tujuan bahagian kedua ini dapat tercapai.

Bahagian kedua ini mengandung dua buah simbol, yaitu simbol “Ibu” dan “Ayah”.

Kedua simbol ini merujuk pada pengertian hubungan yang erat. Ayah adalah simbol sosok yang perkasa, sedangkan Ibu adalah simbol sosok yang lemah. Dari dua keadaan yang berbeda inilah maka terjalin hubungan yang saling melengkapi. Seperti halnya Adam dan Hawa yang merupakan sepasang manusia yang ketika di buang ke bumi terpisah selama beberapa tahun sehingga satu sama lain saling merindukan. Kerinduan itu digambarkan dengan sangat dalam yang menimbulkan hasrat untuk segera bertemu.

Pertemuan mereka akhirnya terjadi di kota Mekah dengan sangat indah. Keindahan itu melahirkan kegembiraan dan kebahagiaan bagi keduanya dan berjanji untuk terus bersatu.

Gambaran hubungan Ibu dan Ayah dijadikan perumpamaan untuk menimbulkan efek psikis dalam bahagian kedua dari Syair Dendang Siti Fatimah ini, yakni berkorban dan berjuang dalam upaya menjaga keselamatan anak dalam kandungan hingga anak tersebut dilahirkan.

2) Matriks dan Model

Dalam syair ini terbangun citra hubungan yang ingin disejajarkan dengan hubungan antara Ayah dan Ibu atau Adam dan Hawa. Jika dikaitkan dengan fungsi bahagian kedua ini yang menggambarkan bagaimana perjuangan seorang ibu dan

Universitas Sumatera Utara pengorbanan seorang ayah sebagaimana hubungan antara Adam dan Hawa sehingga akan lebih mudah dan cepat mengatasi keadaan.

Ada satu tanda yang tampaknya monumental dalam bahagian kedua ini sehingga dianggap sebagai model, yaitu perjuangan ibu dan ayah. Perjuangan ibu dan ayah bertolak pada wacana religius Islami yang menggambarkan kedekatan hubungan antara

Adam dan Hawa. Seperti yang tersirat pada kisah pertemuan Adam dan Hawa (Hadi,

1999:193), mereka saling membutuhkan satu sama lain. Hawa adalah pasangan sejati bagi Adam. Hal inilah yang dimetaforakan sebagai hubungan antara ibu dengan ayah.

3) Hubungan Intertekstual

Sesungguhnya sebuah karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Artinya, kelahiran sebuah karya sastra didasari oleh karya sastra lain yang telah hadir lebih dahulu.

Syair Dendang Siti Fatimah, sebagai salah satu bentuk karya sastra berjenis puisi lama yang tergolong sebagai sastra lisan, kehadirannya juga tidak terlepas oleh teks lain yang mendahuluinya. Hal ini dapat dilihat melalui teks-teks kebahasaan yang terdapat pada bahagian kedua ini.

Penggunaan kosakata tertentu menunjukkan bahwa bahagian kedua ini memiliki hubungan dengan teks lain yang berdiri di luarnya. Kata Ibu dan Ayah dapat disamakan dengan perjuangan antara Adam dan Hawa ketika berpisah, dalam teks bahagian kedua ini berangkat dari wacana religius keislaman yang merefleksikan kedekatan hubungan antara keduanya. Kata ini mengingatkan kita pada perjuangan mereka untuk menjadi khalifah di

Universitas Sumatera Utara bumi sebagai penebus kesalahan yang telah mereka lakukan. Kisah mengenai Adam dan

Hawa dapat ditemukan dalam buku kumpulan kisah-kisah para nabi. Dalam kisah itu, salah satu keterangan yang ditemukan yaitu bahwa Hawa diciptakan untuk menemani dan mendampingi Adam agar tidak kesepian dalam hidupnya. Keterangan ini menunjukkan bahwa Adam dan Hawa sengaja diciptakan untuk hidup berpasangan. Untuk itu, bukan tanpa sebab jika hubungan antara Adam dan Hawa dijadikan suatu perumpamaan dalam syair untuk menangkap ikan dengan mudah.

Dalam kisah dibuangnya Adam dan Hawa dari kehidupan surga, dikatakan bahwa hal itu sebagai hukuman bagi Adam karena telah melanggar larangan yang diberikan oleh

Tuhan. Selain iblis yang dikatakan telah menggoda Adam, Hawa juga menjadi salah satu pemicu mengapa Adam mau melanggar larangan Tuhan. Hawa-lah yang membujuk

Adam untuk melanggar perintah Tuhan dan nekad memakan buah khuldi (buah terlarang).

Sesungguhnya, Hawa telah dijadikan umpan oleh sang iblis untuk menjebak

Adam. Kisah mengenai terbuangnya Adam dan Hawa dari kehidupan di surga pada dasarnya memiliki kesamaan dengan fungsi syair ini. Fungsi bahagian kedua ini adalah agar bagaimana bayi dalam kandungan selamat ketika dilahirkan. Kedua peristiwa ini mengandung hal perjuangan dan pengorbanan. Bahagian kedua ini dengan jelas menggambarkan suatu upaya untuk membujuk sasaran agar mau melakukan apa yang diinginkan oleh pembaca Syair Dendang Siti Fatimah, sama halnya ketika Hawa berusaha mencari Adam ketika mereka dilemparkan dari surga.

Perumpamaan yang menggambarkan hubungan itu mengimplikasikan pada keinginan pembaca syair untuk membuat ikan tertarik memakan umpan yang dipasang.

Universitas Sumatera Utara Pernyataan /hendak berjalan tiada larat/ dan /bapamu pun turun berlari-lari/ menunjukkan bahwa hubungan antara perjuangan dan pengorbanan ibu dan ayah memiliki kesamaan dengan hubungan antara Adam dan Hawa. Dengan demikian, apa yang mereka harapkan selama masa perjuangan dan pengorbanan itu dapat tercapai.

4.3.3 Syair Dendang Siti Fatimah Bahagian III

Kenanglah olehmu Awang dan Dayang pada ibu bapamu hendaklah sayang Sakitnya badan hangat berdiang Hangat serta malam dan siang.

Ibumu berdiang tiada berhenti Hidupnya pun serasa mati Terlalu gundah di dalam hati Antara anak lepas 44 hari.

Waktu ibumu di atas gerai Air matanya jatuh berderai Wahai anakku emas berurai Dengan ibumu jangan bercerai.

Beranakkan engkau sudahlah tentu Diletak dalam talam yang satu Bapanya rendam gula batu Diberi hisap ganti susu.

Di antara anak lepas 44 hari Pusat engkau luruh sendiri Dipotong rambut buat kenduri Haji dan Lebai dipanggil ke mari.

Ayuhai anak paras gemilang Pada ibumu banyaklah sayang Dipeliharanya engkau bukannya senang

Universitas Sumatera Utara Tidur tak lena makan tak kenyang.

Memelihara engkau terlalu sudah Tidur tidak pernah merasa mudah Kiri kanan habis basah Berlumur kencing dengan muntah.

Dijaga engkau tidak terperikan Engkau diletak di atas ribaan Tatkala menangis dipujukkan Segala makanan tiada tertelan.

Ibumu itu penat terlalu Digantang tirai serta kelambu Serta pula dipasang tuntu Tak diberi nyamuk hampir padamu.

Ibu bapamu miskin terhutang Kain sehelai haram di pinggang Kain pun basah anak dipegang Tarik ke atas di bawah renggang.

Susahnya ayah bukan sedikit Disuluh nyamuk tak diberi gigit Bila menangis bunyi sedikit Daripada tidur segera bangkit.

Diangkat di diri dialah lali Ayuhai anakku emas gemala Diminta doa kepada Allah Taala Supaya jangan mendapat cela

1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik

Secara khusus, bahagian ketiga dari Syair Dendang Siti Fatimah di atas mempunyai fungsi untuk memberi nasihat kepada tentang bagaimana perjuangan dan pengorbanan orang tua, sejak dalam kandungan sampai melahirkan. Keseluruhan isi

Universitas Sumatera Utara bahagian ketiga ini merupakan rangkaian permohonan kepada sang anak untuk menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.

Pada bait pertama dan kedua pembaca syair diminta untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan ibu dan ayah. Setelah melahirkan pun, ibu tetap harus berjuang menjaga kesehatannya selama belum lepas masa nifasnya yang 44 hari. Keadaan ini sangat rentan bila dipaksa untuk bekerja maka sang ibu akan jatuh sakit, seperti gambaran dari kedua bait ini: /sakitnya badan hangat berdiang/ dan /ibumu berdiang tiada berhenti/.

Pada bait ketiga dan keempat, /wahai anakku emas berurai, dengan ibumu jangan bercerai/ dan /bapanya rendam gula batu, diberi hisap ganti susu/ masih melukiskan keadaan seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya dan seorang ayah yang berusaha membantu istrinya untuk membesarkan anak mereka. Hal ini masih tergambar pula pada bait kelima, keenam, ketujuh, kedelepan, kesembilan, dan kesepuluh.

Pada bait kesebelas, digambarkan bagaimana ayah dan ibu bermohon kepada

Allah Taala agar memberikan keselamatan, keimanan, dan ketaqwaan kepada anak mereka agar hidupnya tidak tercela atau membuat aib pada orang tuanya. Hal ini seperti yang terlukis pada /diminta kepada Allah Taala/ /supaya jangan mendapat cela/.

/diminta kepada Allah Taala/ artinya kedua orang tua berpegang kepada agama.

Kata harfiah “berpegang”, sesuatu yang dijadikan sandaran atau pegangan agar tidak terjatuh atau terjerumus. Dengan demikian, orang tua berharap agar anaknya juga kelak menjadi insan yang cinta kepada agama sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan- perbuatan maksiat. Namun manusia hanya dapat merencanakan, sedangkan yang

Universitas Sumatera Utara memutuskan adalah Allah Swt. Oleh karena itu, manusia wajib memohon dan berdoa kepada Allah Taala agar mendapat keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

(b) Pembacaan Hermeneutik

Bahagian ketiga dari Syair Dendang Siti Fatimah ini merupakan syair yang masih menggambarkan tentang pengorbanan orang tua kepada anaknya sekaligus permohonan orang tua kepada Allah Taala untuk menjaga anaknya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan tercela. Untuk itu, isi bahagian ketiga ini dapat dipahami berdasarkan keterangan dari urutan kata-kata yang terdapat pada tiap bait. Secara keseluruhan, isi bahagian ketiga sudah mengimplikasikan pada keinginan untuk memperoleh hasil baik dalam menjaga anaknya. Keinginan itu dimanifestasikan dengan sebuah permohonan

(doa) kepada Tuhan. Dengan demikian, tercermin sikap harapan dari pembaca syairu untuk memperoleh restu dari Tuhan atas usaha yang dikerjakannya.

/diminta kepada Allah Taala/ mengimplikasikan pada keteguhan sikap dan keimanan terhadap Allah Swt. Ini merupakan ungkapan yang menggambarkan suatu sikap yang teguh dalam menjalani hidup sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang dapat menjerumuskan. Selain itu, ungkapan /diminta kepada Allah Taala/ juga mengandung nilai kepasrahan. Sebagai sebuah ungkapan, /diminta kepada Allah Taala/ merupakan suatu tanda ikonis yang menandakan sikap pasrah atas usaha yang dilakukan.

Tanda ini memberi pemaknaan yang mengacu pada sikap “sadar” agar tetap berada pada jalur yang benar. /diminta kepada Allah Taala/ /supaya jangan mendapat cela/ merupakan tujuan akhir dari perjalanan manusia sehingga harus selalu waspada,

Universitas Sumatera Utara teguh, dan tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang bisa menyesatkan agar memperoleh keselamatan. Dalam hubungannya dengan memancing, sikap teguh dan pasrah ini mencerminkan keadaan seseorang pada saat memancing. Dalam kegiatan memancing, hal pokok yang perlu dimiliki adalah sikap sabar dan teguh pada niat hingga memperoleh apa yang menjadi tujuan.

/diminta kepada Allah Taala/ juga mengimplikasikan pada kebesaran Tuhan.

Tidak ada kekuatan lain yang mampu menandingi kebesaran-Nya. Tuhan adalah pemilik kekuatan dan keabadian yang berarti pula menjadi sumber hidup dan yang menghidupi.

Implikasinya dengan fungsi bait ini adalah memberikan pertolongan kepada si pembaca sebagai makhluk yang lemah di hadapan Tuhan sehingga dimudahkan untuk mencari keselamatan.

2) Matriks dan Model

Dalam syair ini tergambar keinginan si pembaca untuk memperoleh pertolongan dari Tuhan melalui perantaraan doa, seperti halnya seorang hamba yang mengharapkan berkah dari tuannya. Ada dua tanda yang tampaknya monumental dalam syair ini, yaitu

/diminta kepada Allah Taala/ dan supaya jangan mendapat cela. Kedua kalimat ini memiliki kekuatan makna yang merujuk pada suatu keinginan untuk memperoleh kemudahan dalam melakukan aktivitas, yaitu keselamatan. Secara signifikan “Allah

Universitas Sumatera Utara ta’ala” merupakan metafora sumber kekuatan yang dijadikan sebagai tumpuan untuk mendapat kemudahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kedua kalimat di atas bersandar pada dua wacana tentang suatu keyakinan yang dipercaya dalam lingkungan masyarakat suku Melayu Tanjung Pura. Yang pertama, bertolak dari wacana religius Islami keagamaan ihwal kepercayaan terhadap kebesaran

Allah SWT. Oleh karena itu, kalimat ini bersifat hipogramatik dan monumental pada keseluruhan isi syair. Kedua, sesungguhnya juga bertolak dari wacana religius Islami, namun hal ini sifatnya lebih mengglobal. Kata “jangan mendapat cela” yang menunjuk pada keingian untuk mendapat keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

3) Hubungan Intertekstual

Bahagian ketiga dari Syair Dendang Siti Fatimah ini memperlihatkan hubungan antara Tuhan dengan manusia. Ada semacam tingkatan kekuasaan yang ingin digambarkan melalui syair ini. Gambaran tingkatan kekuasaan itu dapat ditelusuri maknanya dengan menghubungkan konteks ini dengan konsep spiritual, “semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, yang membedakannya adalah tingkat ketaqwaannya”. Atas dasar prinsip konsep spiritual tersebut, maka para nabi, makhluk gaib (malaikat), dan orang-orang suci dinilai memiliki tingkat ketaqwaan yang lebih tinggi dan lebih mendapatkan penghargaan. Oleh karena itu, doa yang mereka panjatkan akan segera dikabulkan oleh Tuhan.

Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi lebih mempunyai legitimasi untuk memposisikan diri sebagai pemimpin di muka bumi sekaligus juga penyampai ajaran-

Universitas Sumatera Utara ajaran yang disampaikan oleh para nabi kepada manusia lainnya. Manusia yang hendak berhubungan dengan Tuhan dapat melakukannya secara langsung, dapat pula dengan melalui perantara. Pembacaan doa merupakan salah satu cara untuk berhubungan dengan

Tuhan secara langsung, seperti kutipan berikut ini.

Diangkat di diri dialah lali Ayuhai anakku emas gemala Diminta doa kepada Allah Taala Supaya jangan mendapat cela (SDSF, bag. III, bait 12)

4.3.4 Syair Dendang Siti Fatimah Bahagian IV

Dengarlah anak yang berbahagia Sampai umurmu muda belia Baik tingkah kelakuan kaya Dipuji orang akannya kita.

Kepada ibu bapa jangan dilawan Sangat dimurka olehnya Tuhan Ke dalam neraka dimasukkan Azabnya tidak terperikan.

Jika disuruh engkau mengaji Membaca Quran jangan dibenci Supaya dapat makam terpuji Sama ada perempuan atau lelaki.

Janganlah takut pergi mengaji Di Padang Mahsyar tiadalah rugi Buang olehmu fiil yang keji Supaya terang hati mengaji

Sembahyanglah anak jangan berhenti Dari hidup sampai ke mati Di Padang Mahsyar diguna nanti Di sanalah ayah bonda menanti

Sembahyang itu jangan dielak

Universitas Sumatera Utara Siang dan malam janganlah tidak Serta mengaji janganlah tidak Itulah tuntutan sangat dikehendak.

Janganlah tuan mengikut nafsu Berkehendakkan intan permata batu Minta jauh sekeliannya itu Kepada Allah juga yang tentu.

Jika kita pergi mengaji Kepada lebai ataupun haji Kita ikutlah bersungguh hati Jangan diumpat atau dikeji.

Ayuhai anakku muda bestari Jangan bermain sehari-hari Banyaklah ilmu engkau pelajari Supaya senang kemudian hari.

Janganlah tuan segan dan silu Pergilah mengaji kepada guru Ikutlah tuan katanya itu Jangan dibuat barang tak tentu.

Jika kita pandai mengaji Ibu dan bapa bersuka hati Kasihan ia tidak terperi Ialah sangat berkehendak di hati.

Habislah nasihat tamat kalam Dendang Fatimah ampun dalam salam Salah silapnya tersebut kelam Jangan simpan hati di dalam.

1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

(a) Pembacaan Heuristik

Bahagian keempat atau terakhir dari Syair Dendang Siti Fatimah ini merupakan syair yang digunakan sepenuhnya untuk memberi nasihat kepada anak. Inilah sebenarnya

Universitas Sumatera Utara inti dari Syair Dendang Siti Fatimah yakni memberikan tujuan pengajaran atau didaktis baik kepada anak maupun kepada pembaca syair ini. Tujuannya adalah agar si anak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, pintar mengaji, dan memiliki iman yang kuat.

Pada bait pertama terdapat azabnya tiada terperikan yang berarti neraka. Neraka walaupun merupakan gambaran yang gaib, tetapi dalam agama Islam itu merupakan rukun Iman yang mutlak harus dipercaya keberadaannya. Jadi azabnya tiada terperikan merupakan peringatan kepada umat manusia untuk tidak sekali-kali punya keinginan menuju ke sana karena itu berarti menuju kehancuran, baik kehancuran hidup di dunia, maupun kehidupan di akhirat kelak.

Pada bait kedua terdapat membaca Quran jangan dibenci yang berarti “pandai mengaji”. Kata membaca Quran atau Iqra berarti seruan, panggilan, atau bisa juga berupa peringatan. Seruan untuk belajar membaca Al Quran sebagai tuntunan hidup karena Al

Quran itu ibarat pepatah Melayu, “tak lekang dipanas, tak lapuk di hujan”. Artinya Al

Quran dalam kondisi peradaban dunia yang bagaimanapun tetap sebagai bacaan yang aktual. Selain itu, bila mampu membaca Al Quran dengan cara mentartilkannya

(membaca Al Quran dengan tajwid dan lagu yang benar) akan menentramkan hati sendiri dan hati orang banyak. Bahkan akan sangat berguna ketika kita di Yaumil Masyar kelak, seperti yang terdapat pada bait ketiga dan keempat, /di padang masyar tiadalah rugi/ dan

/di padang masyar diguna nanti/

Pada bait kelima dan keenam /sembahyang itu jangan dielak/ dan /kepada Allah juala yang tentu/ merupakan perintah untuk menjalankan apa yang diridlai oleh Allah

Universitas Sumatera Utara Taala. Sembahyang merupakan perintah Allah Swt yang termaktub dalam Rukun Islam yang tidak dapat ditawar-tawar dan tidak dapat digantikan dengan ibadah apapun. Allah

Swt telah memerintahkan kita untuk Aqimusshalah yang berarti ‘tegakanlah shalat’ karena sesungguhnya shalat itu adalah tiang atau pondasi dari agama.

/kepada Allah juala yang tentu/ yang berarti segala sesuatu serahkanlah pada

Allah Taala. Tiada ada kekuatan apa pun yang dapat mengalahkan kekuatan Allah di jagad raya ini. Tidak boleh disekutukan pula dengan hal-hal gaib lainnya karena Allah sangat tidak suka disekutukan, seperti yang diperintahkannya Lasyarikallahu ‘jangan sekutukan Allah’ sebab dosa yang paling tinggi derajatnya adalah mensekutukan Allah

Swt. Begitu pula dengan bait ketujuh, kedelapan, dan kesembilan, yang intinya menasihati pembaca untuk rajin mengaji dan menimba ilmu.

Bait kesepuluh pada bahagian keempat ini merupakan bait terakhir yang kedudukannya sebagai kata kunci dari bahagian ini. /Jika kita pandai mengaji/ /ibu dan bersuka hati/ berarti “membahagiakan orang tua” merupakan gambaran mengenai tujuan yang hendak diperoleh dari pembacaan syair ini. Frase /Jika kita pandai mengaji/ merupakan inti dari Syair Dendang Siti Fatimah ini. /Jika kita pandai mengaji/ berarti manusia atau seorang anak sudah memiliki pegangan yang teguh karena sudah mampu, tidak hanya membaca tetapi juga mengambil intisari dari Al Quran yang merupakan pedoman hidup umat Islam.

(b) Pembacaan Hermeneutik

Universitas Sumatera Utara Sesuai fungsinya, Syair Dendang Siti Fatimah ini sesungguhnya mengimplikasikan pada keinginan untuk memperoleh anak yang pintar mengaji dan rajin shalat. Keinginan itu diwujudkan dalam bentuk sebuah permohonan yang ditujukan kepada Allah SWT melalui doa. Keinginan itu secara tekstual terdapat pada bait keenam dan kesepuluh dari Syair Dendang Siti Fatimah bahagian keempat ini, yaitu kepada

Allah jua yang tentu/ /jika kita pandai mengaji/. Makna dua kalimat itu memiliki kecenderungan untuk memberikan perintah atau seruan kepada ummat manusia agar menjalankan seluruh perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangannya.

kepada Allah jua yang tentu mengimplikasikan pada kepasrahan diri seutuhnya kepada Allah Taala tanpa ada syarat apa pun dan tidak dapat ditawar-tawar apalagi coba- coba untuk digantikan.

jika kita pandai mengaji mengimplikasikan pada pelaksanaan dari apa yang diperintahkan oleh Allah Taala kepada seluruh ummat manusia agar dapat mempelajari, memahami, dan membaca Al Quran karena Al Quran adalah bacaan yang aktual dari zaman ke zaman.

Jika dicermati dengan lebih seksama, maka kedua bait tersebut dari syair ini memiliki kesamaan perintah. Kesamaan itu sesungguhnya merupakan tanda ikonis yang menandakan sesuatu yang letaknya jauh dan sulit untuk dijangkau, namun dengan kuasa

Tuhan, semuanya dapat teratasi.

Selain tanda ikonis dan simbol yang mewarnai isi syair ini, beberapa tanda indeksikal juga ditemukan pada syair ini. Bait ketiga dan keempat yang memuat kata padang masyar adalah sebuah indeks yang menandai adanya suatu bentuk kepercayaan

Universitas Sumatera Utara masyarakat suku Melayu Tanjung Pura akan kekuasaan tertinggi yang berada di tangan

Tuhan. Larik kesepuluh jika kita pandai mengaji, sebagai tanda indeksikal menandakan adanya kepatuhan dalam diri manusia terhadap perintah dari Allah Taala.

Tiap bait pada bahagian keempat pada Syair Dendang Siti Fatimah dalam syair ini memiliki keterkaitan yang erat yang menggambarkan maksud dan tujuan dari keseluruhan isi syair ini. Hubungan yang tercipta pada tiap isi dari syair ini merupakan hubungan kausalitas yang meyakinkan bahwa hal itu adalah suatu bentuk tanda indeksikal. Tanda indeksikal ini menandai sesuatu yang sifatnya menyuruh dan mengingatkan pada suatu makhluk agar patuh terhadap perintah Allah Taala. Untuk itu, manusia yang baik akan melakukan apa yang diperintahkan padanya.

2) Matriks dan Model

Berdasarkan paparan pembacaan hermeneutik di atas, maka ditemukan dua tanda yang monumental sebagai matriks dan model dalam syair ini. Kedua tanda itu adalah kepada Allah jua yang tentu dan jika kita pandai mengaji. Kedua kata itu terdapat pada bait keenam dan kesepuluh syair Syair Dendang Siti Fatimah.

Pada dua kalimat inilah sesungguhnya inti dari syir ini. Sesuai dengan fungsinya, syair ini digunakan untuk memudahkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kata kepada Allah jua yang tentu merupakan penanda yang menandai sasaran dari syair ini. Setiap syair tentunya harus mengandung sasaran dan tujuan dari pembacaannya untuk menunjukkan fungsi. Jadi, kepada Allah jua yang tentu merupakan

Universitas Sumatera Utara model pertama dari syair ini. Bait ini menjiwai seluruh isi syair yang menunjukkan betapa pentingnya kalimat itu.

Selanjutnya, model kedua dari syair ini adalah jika kita pandai mengaji. Kalimat ini merupakan bagian dari bait terakhir dari Syair Dendang Siti Fatimah sekaligus sebagai kunci dari apa yang dikehendaki oleh si pembaca syair. Kalimat ini memberikan gambaran pada harapan dan keinginan dari pembacaan syair ini. Ada keterkaitan yang erat antara kedua tanda ini, di mana masing-masing mengimplikasikan pada hubungan makhluk hidup dengan Sang Penguasa. Setiap makhluk hidup di mana pun berada tidak akan pernah bisa lari dari seruan penciptanya. Sejauh apa pun keberadaannya jika memang dikehendaki oleh Sang Penguasa, maka akan menjadi dekat. Hal ini sudah menjadi kodrat alam bahwa setiap makhluk hidup akan kembali pada tempat di mana sesungguhnya dia berasal.

3) Hubungan Intertekstual

Padang Masyar yang terdapat pada larik keempat syair ini mereferensikan pada bayangan suasana surga. Padang Masyar memiliki makna sebagai tempat suci dimana manusia nantinya akan berkumpul semua di sana setelah ditiupnya terompet Sang Kakala sebagai tanda akhir zaman. Tempat yang bermandikan cahaya, seperti itulah yang ingin ditunjukkan oleh kata ini.

Universitas Sumatera Utara 4.4 Fungsi Syair Dendang Siti Fatimah Bagi Masyarakat Melayu Tanjung Pura

Syair Dendang Siti Fatimah menghadirkan konstruksi realitas budaya masyarakat suku Melayu Tanjung Pura yang dihayati dan dipandang berharga serta bernilai oleh masyarakat tersebut. Syair Dendang Siti Fatimah dapat dipandang sebagai wacana dan sekaligus inskripsi yang merepresentasikan konstruksi realitas budaya masyarakat suku

Melayu Tanjung Pura. Syair Dendang Siti Fatimah bagi masyarakat suku Melayu

Tanjung Pura merupakan tradisi budaya yang mendasar dan sulit terpisahkan dari kehidupannya.

Syair Dendang Siti Fatimah sebagai suatu bentuk tuturan ritual, realisasinya dengan cara dituturkan dengan menggunakan irama tertentu atau khas dan nadanya penuh daya magis yang bernuansa sakral. Syair Dendang Siti Fatimah sebagai wacana dalam konteks ritual merepresentasikan konstruksi realitas nilai-nilai budaya yang dikemas dalam bentuk tanda-tanda.

Tanda-tanda itu merupakan suatu sistem yang membentuk dan mendukung keutuhan Syair Dendang Siti Fatimah dalam upacara Mengayun Anak. Sebagai sistem, tanda-tanda itu mengandung berbagai macam makna yang menggambarkan kondisi realitas dan identitas dalam kehidupan masyarakat suku Melayu Tanjung Pura.

Pembacaan Syair Dendang Siti Fatimah oleh masyarakat suku Melayu Tanjung

Pura ketika akan atau sedang melaksanakan ritual Mengayun Anak merupakan salah satu peristiwa budaya yang mengandung banyak makna. Seperti kata-kata yang terdapat pada bait kedelapan bahagian ketiga, /dijaga engkau tiada terperikan/ /engkau diletak di atas ribaan/ /tatkala menangis engkau dipujukkan/ /segala makana tiada tertelan/

Universitas Sumatera Utara merepresentasikan pada makna kesabaran. Sikap kesabara ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Melayu Tanjung Pura yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Sehari-hari, mereka menghadapi tantangan-tantangan dalam mencari nafkah penghidupan yang harus dihadapi dengan hati-hati dan sabar. Sikap sabar ini dibentuk oleh keadaan lingkungan alam yang mewarnai pola hidupnya, seperti keadaan daerahnya di pesisir laut. Dengan demikian, sesungguhnya isi Syair Dendang Siti

Fatimah suku Melayu Tanjung Pura berfungsi sebagai pengingat kepada masyarakat suku

Melayu Tanjung Pura agar selalu berhati-hati dan sabar dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan cobaan. Apalagi mereka hidup dalam lingkungan yang keras dan mengandung banyak bahaya.

Dari segi kegiatan yang berhubungan dengan merawat dan menjaga anak, sikap sabar memang menjadi hal utama yang harus dimiliki oleh setiap orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya, kegiatan memelihara anak. Orang harus “ekstra” sabar ketika sedang melakukan kegiatan semacam ini karena jenis pekerjaan ini membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk memperoleh anak yang sholeh ataupun shalehah. Sebagai masyarakat nelayan, suku Melayu Tanjung Pura memiliki sikap-sikap semacam ini.

Sikap sabar ini rupanya berpedoman pada sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi

Muhammad SAW sebagaimana yang tercermin dalam bait dalam Syair Dendang Siti

Fatimah “Kepadamu nabi akhiru zaman.” Kalimat ini merupakan suatu tanda bahwa masyarakat suku Melayu Tanjung Pura meyakini keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai kekasih Allah SWT yang layak untuk dijadikan panutan. Dengan demikian, isi

Universitas Sumatera Utara Syair Dendang Siti Fatimah ini memberikan suatu identitas mengenai masyarakat suku

Melayu Tanjung Pura tentang keyakinan yang mereka anut.

Universitas Sumatera Utara BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Analisis terhadap Syair Dendang Siti Fatimah berdasarkan pada tinjauan semiotik

budaya yang dikembangkan oleh Riffaterre membuahkan pemahaman makna secara

total. Kandungan makna yang dipahami terhadap keempat bagian dari Syair

Dendang Siti Fatimah melalui langkah analisis pada bagian sebelumnya dapat

disimpulkan sebagai berikut.

2. Pada tahap pembacaan semiotika tingkat pertama (pembacaan heuristik)

membuahkan sebuah heterogenitas yang tak gramatikal, terkoyak-koyak, dan tidak

terpadu seolah-olah tidak ada kesinambungan antara baris demi baris atau larik demi

larik. Akan tetapi, setelah diadakan pembacaan yang lebih jauh melalui pembacaan

semiotika tingkat kedua (pembacaan hermeneutik) diperoleh sebuah makna yang

padu tentang isi, sasaran, dan tujuan dari setiap pembacaan Syair dengan fungsi yang

berbeda-beda.

3. Matriks dan model yang terdapat pada setiap Syair merupakan inti dari makna yang

terkandung di dalamnya. Dengan demikian, penentuan matriks dan model pada setiap

Syair Dendang Siti Fatimah menjadi penting untuk dilakukan demi memperoleh

makna yang utuh. Matriks tidak hadir secara langsung dalam bentuk teks, namun

model tampil sebagai aktualisasi pertama dari matriks. Melalui penentuan model,

pemaknaan terhadap syair menjadi lebih terfokus.

Universitas Sumatera Utara 4. Hubungan intertekstual Syair Dendang Siti Fatimah dengan teks lain dapat

membantu untuk menemukan pemahaman makna Syair dengan utuh. Hubungan

intertekstual tersebut memperlihatkan bagaimana teks Syair memiliki kesamaan dan

perbedaan dengan teks-teks lain. Pada umumnya, syair selalu dimulai dengan kalimat

Bismillahirrahmanirrahim. Kalimat ini menunjukkan bahwa Syair Dendang Siti

Fatimah memiliki hubungan yang lebih dekat dengan teks Al-Quran. Artinya,

penciptaan syair ini mendapat inspirasi dari kandungan teks Al-Quran. Selain itu,

hubungan ini juga menunjukkan bahwa Syair Dendang Siti Fatimah memuat

kandungan kepercayaan dan keyakinan sesuai dengan kandungan isi dan ajaran yang

terdapat dalam isi Al-Quran, khususnya kepercayaan dan keyakinan terhadap

kekuasaan Tuhan, nabi-nabi, dan mahluk gaib.

5. Secara keseluruhan, makna yang terkandung dalam Syair Dendang Siti Fatimah

dapat merefresentasikan konstruksi realitas sosial budaya masyarakat suku Melayu

Tanjung Pura sekaligus sebagai identitas budaya bagi kelompok masyarakat tersebut.

Pemaknaan terhadap kelahiran seorang memperlihatkan pula suatu pola kepercayaan

yang berkembang di tengah masyarakat suku Melayu Tanjung Pura. Masyarakat suku

Tanjung Pura meyakini keberadaan Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi dan

adanya nabi/rasul sebagai utusan-Nya.

5.2 Saran

Adapun saran yang hendak diberikan dalam tesis ini adalah:

Universitas Sumatera Utara 1. Kajian-kajian terhadap kesusastraan Melayu lama, hendaknya tetap bertumpu kepada

nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam kesusastraan tersebut.

2. Pengkajian terhadap kesusastraan Melayu hendaknya lebih ditingkatkan agar

kesusastraan tersebut dapat eksis di tengah masyarakat yang semakin mengglobal.

3. Adanya peningkatan terhadap pengkajian kesusastraan daerah, khususnya

kesusastraan Melayu demi kelestarian dari kesusastraan tersebut.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa, Heddy Shri. 1995. Levis-Strauss di Kalangan Suku Bajo: Analisis Struktural dan

Makna Cerita Suku Bajo. : Kalam.

------. 2001. Strukturalisme Levis-Strauss, Mitos, dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang

Press.

Alwi, Hasan., dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III). : Balai

Pustaka.

Badudu, J.S. 1984. Seri Kesusastraan Indonesia I dan II. Bandung: Pustaka Prima.

Badrun, Ahmad. 1989. Pengantar Teori Sastra. Bandung: Angkasa.

Barker, Chris. 2006. Cultural Studies: Teori dan Praktik (diindonesiakan Nurhadi).

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Christomy, T. 2004. “Peircean dan Kajian Budaya”. T. Christomy dan Untung Yuwono

(Penyunting). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan

dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas

Indonesia.

Culler, Jonathan. 1983. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction.

London, Melbourne and Henley: Routledge and Keganpauc.

Eco, Umberto. 2004. Tamasya dalam Hiperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Widyatama.

Universitas Sumatera Utara Hadi, W. M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-Esai Sastra

Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hag, Pendais. 2004. Suku Bajo (Studi tentang Interaksi Sosial Masyarakat Suku Bajo dengan Masyarakat Sekitarnya di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara). Makassar: PPS

Universitas Negeri Makassar.

Handono, Suryo. 2005. “Keteguhan Adam Membuat Jarak dengan Tuhan: Memaknai

Puisi Dua Penyair Indonesia”. Alayasastra. Semarang: Pusat Bahasa,

Departemen Pendidikan Nasional.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Helman, Cecil. 1984. Culture, Health, and Illness. Bristol: John Wright dan Sons, Ltd.

Herlina, Nur. 2005. “Makna Bhatata dalam Masyarakat Tolaki”. Kandai. Kendari: Kantor

Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Herusatoto, Budiono. 2005. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita

Graha Widia.

Hooykas, C. 1952. Penjedar Sastra (Terjemahan Ramoel Amar Gelar Datuk Besar).

Jakarta: J. B. Wolters.

Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. “Semiotika: Michael Riffaterre dan Roland Barthes”.

Makalah. Yogyakarta: Belum diterbitkan.

Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.

Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

North, Winfrid. 1990. Semiotic. Bristol: John Wright dan Sons, Ltd.

Universitas Sumatera Utara Piah, Harun Mat. 1998. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.

Yogyakarta: Jalasutra.

Poesporadjo, W, Dr. 1987. Interpretasi (Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya).

Jakarta: Remadja Karya CV.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. “Dewa Telah Mati: Kajian Strukturalisme Semiotik”.

Teori Penelitian Sastra. Staf Pengajar YGM dkk. Yogyakarta: Masyarakat

Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah Yogyakarta.

------. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Pramono, Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia.

Preminger, Alex., dkk. (ed). 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics.

Princeton: Princeton University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Roekhan, S dan B. Siswanto. 1991. Teori Puisi. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Rusyana, Yus dan Raksanegara, Ami. 1971. Sastra Lisan Sunda: Cerita Karuhan,

Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa.

Universitas Sumatera Utara Sande, JS., et al. 1998. Struktur Sastra Lisan Wolio. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

------. 2004. “Tuhan, Kita Begitu Dekat: Semiotika Riffaterre”. T. Christomy dan Untung

Yuwono (Penyunting). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian

Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian

Masyarakat, Universitas Indonesia.

Sastrowardoyo, Subagio. 1975. Simponi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra (diindonesiakan Rachmat Djoko

Pradopo). Yogyakarta: Press.

Soesangobeng, H. 1997. Perkampungan Bajo di Bajoe. Ujung Pandang: Laporan

Penelitian PLPIIS.

Suciati, Sri. 1999. “Citra Diri Perempuan Indonesia dalam Analisis Semiotika Sajak-Sajak

Nikah Ilalang Karya Dorothea Rosa Herliany”. Sosiohumanika.

Yogyakarta: Berkala Penelitian Pasca Sarjana UGM.

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sudjiman P dan Aart van Zoest. 1992. Semiotika. Jakarta: Gramedia.

Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik.

Sunarto, Achmad dan Syamsuddin Noor. 2005. Himpunan Hadits Shahih Bukhari.

Jakarta: An Nur.

Tarigan, Henry Guntur. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

Universitas Sumatera Utara ------. 1982. Khazanah Kesastraan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

------. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Thohir, Mudjahirin. 1999. “Selamatan Rasulan: Simbol dan Pemaknaannya”. Wacana

Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran. Semarang: Bendera.

------. 2006. Orang Islam Jawa Pesisiran. Semarang: Fasindo.

Uniawati. 2006a. Fungsi Mantra Melaut pada Masyarakat Suku Bajo di Sulawesi

Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

------. 2006b. “To Bajo”. Rahmania (Ed). Langkolee Si Kupu-Kupu: Antologi Cerita

Rakyat Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi

Tenggara.

Utomo, Imam Budi. 1997. “Penafsiran Simbol Konsepsi Mistik Serat Centini”, dalam

Pangsura. Bilangan 4 Jilid 3, Januari – Juni 1997.

Waluyo, H.J. 2004. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (diindonesiakan Melani

Budianta). Jakarta: Gramedia.

Wardoyo, Subur Laksono. 2005. “Semiotic and Naration Structure” Kajian Sastra I (29),

2 Januari 2005, Universitas Diponegoro, Semarang.

Zaehner. 1994. Mistisisme Hindu Muslim. Yogyakarta: LKIS.

Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional.

Zoest, Aart Van. 1991. Fiksi dan Nonfiks dalam Kajian Semiotik (diindonesiakan

Manoekmi Sardjo). Jakarta: Intermasa.

Universitas Sumatera Utara ------. dan Panuti Soedjiman. 1992. Serba-Serbi Semiotica. Jakarta: Gramedia Pustaka.

------. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan

Dengannya (diindonesiakan Ani Soekawati) Jakarta: Yayasan Sumber

Agung. http://www.liputan6.com/view/0,85886,1,0,1178518322.html.> 29 September 2011 http://bambangpriantono.multiply.com/journal/item/1229.>29 September 2011

Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN

QUSTIONER & RESPONDEN

NAMA UMUR PEKERJAAN 1. Ibu Basaniah 50 tahun Ibu Rumah Tangga 2. Ibu Halimah 41 tahun Ibu Rumah Tangga 3. Bapak Syahfrizal 55 tahun Pedagang 4. Bapak Adlin 45 tahun Pedagang 5. Pak Kartiman 60 tahun Petani

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kuala Serapuh Kecamatan Tanjung Pura,

Kabupaten Langkat dilaksanakan pada bulan September 2011.

Data yang digunakan dalam penelitian ini data lisan yakni data yang dituturkan oleh pencerita (orang Melayu) dan juga melalui merekam/data lepas yang dapat menyanyikan Syair Dendang Siti Fatimah tersebut.

Universitas Sumatera Utara