HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA: KAJIAN AWAL

KEPERCAYAAN PEMENA DI KARO, SUMATERA UTARA

PADA 1966-1979

TESIS

Oleh:

LESTARI DARA CINTA UTAMI GINTING 157050004

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA: KAJIAN AWAL KEPERCAYAAN

PEMENA DI KARO, SUMATERA UTARA PADA 1966-1979

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) dalam Program Studi S2 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

LESTARI DARA CINTA UTAMI GINTING 157050004

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Hubungan Negara dan Agama: Kajian Awal Kepercayaan Pemena di Karo, Sumatera Utara Pada 1966-1979”. Kajian ini menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses pengumpulan sumber, digunakan sumber-sumber berupa arsip kolonial, laporan, buku, tesis dan studi lapangan berupa wawancara tentang kepercayaan Pemena pada masyarakat Karo. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi berupa kritik intern dan ekstern untuk menemukan fakta-fakta. Fakta yang telah melalui proses verifikasi masih terpisah dan untuk merangkainya dilakukan tahap ketiga yaitu interpretasi. Setelah fakta-fakta itu saling berkaitan, maka dilakukan tahap terakhir yaitu menjadikannya sebagai sebuah tulisan proses historiografi. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan negara membuat para pemeluk kepercayaan Pemena mengalami penurunan umat saat itu. Untuk mendukung tujuan tersebut dijelaskan pula kondisi negara sebelum dan sesudah peristiwa gestapu yang menjadi alasan pemeluk kepercayaan Pemena menjadi menurun. Untuk mendukung penelitian ini, maka peneliti menggunakan konsep relasi kekuasaan dan pendekatan konflik. Sejak zaman dahulu, Masyarakat Karo telah memiliki kepercayaannya sendiri yang disebut dengan kepercayaan Pemena. Masyarakat Karo percaya bahwa ada jiwa yang hinggap di batu-batu besar, kayu-kayu besar, sungai, gunung ataupun tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya. Namun sejak masuknya missil Injil Kristen dan Siar ke Tanah Karo, kepercayaan Pemena mulai mengalami penurunan umat namun tidak dalam skala besar. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan dimulainya rezim orde baru, agama menjadi salah satu kunci legitimasi pemerintah pada saat itu. Demi menguatkan legitimasinya, pemerintah mengeluarkan PP No 1 tahun 1965 dan UU No 5 tahun 1969 tentang agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Tidak hanya itu, pemerintah juga mengeluarkan SK Menteri Dalam Negeri No 477/74054/1978 tentang pengisian kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama yang diakui oleh pemerintah. Pemena yang dianut masyarakat Karo tidak ada dalam pilihan yang ditawarkan pemerintah. Apabila masyarakat memutuskan untuk tidak mengisi maka dicap Komunis atau PKI.

Kata Kunci: Pemena, Negara, Transisi kekuasaan.

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRACT The thesis entitled „The Relationship between State and Religion: Preliminary Studies of Pemena in Karo, North in 1966-1979”. The methodological research applied in this research is historical method. The technique of collecting primary and secondary data are conducted through observation or direct survey to research object, for example through colonial archives, reports, books, theses, and direct interview to the Karonese people regarding Pemena. Criticism of the data, including the internal and external examination is employed after all data have been collected. The next step is presentation of facts in a readable form involving problems or organisation, composition, exposition, and interpretation. The final step conducted is by composing the facts into a complete historiographical transcription. This research aims to explain how the state policy has a major impact on the decreasing number of Pemena followers at that time. In order to support these objectives, it also explains the condition of the state before and after the gestapu event which is the main reason behind it. The researcher uses the concept of power relations and conflict approaches to support this research. Since a long time ago, Karo people have had its own traditional belief known as Pemena. They believe that there are souls live on large boulders, large woods, rivers, mountains or other sacred places. Ever since the entry of and Syiar Islam to the Karo Lands, the numbers of the followers were declining although not in a large scale. Following the Thirtieth of September Movement in 1965 and the beginning of the „new order‟ regime, religion became one of the keys of government legitimacy at that time. In order to strengthen its legitimacy, the government issued Presidential Decree No. 1 of 1965 and Law No. 5 of 1969 on the religions that were officially recognized by the government. The government also issued a Decree of the Minister of Home Affairs No. 477/74054/1978 regarding the filling of religion columns in ID Card (KTP) that had to be filled with one of the official religions where Pemena was not one of them. Those who decided not to fill in the column would be labeled as Communists.

Keywords: Pemena, State, Transition of Power.

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil‟alaamiin saya panjatkan puji dan syukur kepada hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan rezeki-Nya yang tidak pernah lepas dari setiap titik kehidupan saya didunia yang tidak kekal ini, serta shalawat dan salam saya berikan kepada junjungan saya yaitu Rasullullah Muhammad SAW yang telah membawa umatnya kedunia yang penuh kebaikan dan kedamaian ini.

Mungkin hanya Allah yang tahu betapa bahagianya penulis telah menyelesaikan rangkaian penelitian dan penulisan tesis untuk memperoleh gelar Master of Humaniora di Program Studi Magister Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun judul penulisan ini adalah Hubungan Negara dan Agama: Kajian Awal Kepercayaan Pemena di Karo, Sumatera Utara Pada 1966-1979. Dalam penyelesaian tesis ini, penulis merasakan banyak memperoleh bantuan serta bimbingan yang cukup berharga dari berbagai pihak, terutama bapak/ibu dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara serta rekan-rekan yang banyak membantu penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran bagi para pembaca untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri. Aamiin Yaa Rabbal‟alaamiin.

Medan, Januari 2018

Penulis

Lestari Dara Cinta Utami Ginting

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia yang tak terkira sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dikesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan terima kasih atas perhatian, tenaga, pikiran serta segala bimbingan yang telah diberikan dalam menyelesaikan tesis ini kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara sekaligus Ketua Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan masukan, kritikan, dorongan, nasehat dan motivasi kepada

penulis selama perkuliahan maupun saat penulis mengerjakan penulisan tesis

ini.

2. Bapak Dr. Suprayitno, M,Hum, sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu

Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji

yang telah memberikan banyak masukan dan kebaikan hati untuk membantu

dan mempermudah penulis sehingga bisa menyelesaikan tesis ini.

3. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, M.Si, sebagai Sekretaris Program Studi Magister

Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus

anggota tim penguji yang telah memberikan nasihat, saran dan berbaik hati

mendengar curahan penulis tentang tesis ini.

4. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, M.Ant, selaku anggota komisi pembimbing,

terimakasih atas segala saran, masukkan, nasehat, kritik, arahan serta

bimbingan dalam penulisan tesis ini. Segala hal pemikiran yang bapak berikan

sangat berperan besar dalam menuntun penulis dalam mengerjakan tesis ini.

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5. Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum, selaku anggota tim penguji yang banyak

memberikan kritik, masukkan serta saran terhadap tesis ini.

6. Ibu Dra. Ratna, M.S yang bagi penulis bukan saja seorang dosen yang

membantu mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini namun juga

seorang ibu bagi penulis. Terima kasih banyak atas semua perhatian ibu kepada

penulis. Semoga kelak penulis dapat membalas semua kebaikan ibu.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, semoga segala ilmu yang

bapak dan ibu berikan kepada penulis dapat diamalkan dengan sebaik-baiknya.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu mengingatkan penulis agar

segera menyelesaikan tesis ini. Berkat segala ilmu yang penulis dapatkan dari

bapak dan ibu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebaik mungkin.

9. Jajaran Staf Akademik dan Pegawai di Fakultas Ilmu Budaya maupun Program

Studi Magister Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan fasilitas, informasi dan kemudahan kepada penulis,

terkhusus kepada Kak Lili dan Kak Tapi.

10. Arsip Nasional Republik (ANRI), Perpustakaan Nasional,

Perpustakaan USU, Perpustakaan Daerah Kabupaten Karo, Arsip Daerah

Kabupaten Karo, Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo dan Kementerian

Agama Kabupaten Karo, yang telag bersedia memberikan informasi dan data-

data untuk penulisan tesis ini.

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 11. Keluarga Besar Madrasah Aliyah Negeri 1 Medan yang telah menjadi

bagian baru dalam hidup penulis. Terima kasih kepada Ayahanda, bunda dan

teman-teman atas kebersamaan, kasih sayang, dan perhatian yang diberikan

kepada penulis.

12. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh narasumber dalam

penulisan tesis ini yang telah berkenan memberikan informasi yang membantu

penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

13. Kepada sahabatku Handoko, Ana, Bang Alfian, Azis dan juga Kiki yang

telah menjadi sahabat baik bagi penulis. Segala canda, tawa, air mata,

masukkan, nasihat bahkan kritikkan yang kalian berikan kepada penulis tidak

akan pernah penulis lupakan. Terimakasih selalu ada ketika penulis senang dan

juga sedih. Mari kita tetap bersahabat baik selamanya sampai kakek dan nenek.

Menumpuk kenangan, pengalaman dan kebahagiaan bersama kalian adalah hal

yang akan selalu penulis syukuri. Terkhusus juga seluruh teman-teman penulis

di S1, S2 dan BT/BS BIMA, Roni, Nurlailisa, Bima, Elisa dan yang tidak bisa

penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih sudah menjadi bagian yang tak

akan pernah terlupakan dari hidup penulis.

14. Kepada diri sendiri, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya. Terima kasih tidak pernah lelah didalam menyelesaikan tesis ini.

15. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih yang tiada kira atas curahan dan

limpahan kasih sayang kepada kedua orang tua penulis, Papaku Hendrik

Ginting, SE dan Mamaku Yusseri Rizky Halida Lubis. Terima kasih telah

melahirkan Dara ya ma, pa, sungguh menjadi anak kalian adalah kebahagiaan

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersendiri bagi penulis. Penulis mendoakan agar segala hal yang baik di dunia ini jatuh kepada mereka, dan kiranya Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunianya kepada mereka. Kepada ketiga adik penulis yang luar biasa, Aida

Caroline Aprilla Ginting, S.S, Gadis Vania Yasmine Ginting, S.Sos dan Sarah

Zulaikha Ginting yang telah menjadi adik-adik yang hebat bagi penulis. Terima kasih atas kasih sayang dan pengertiannya, sesungguhnya menjadi kakak kalian adalah keberuntungan tersendiri bagi penulis. Kepada ibuku Yenni Nuraini

Lubis, S.Sos dan omku Yono, S.S yang selalu memberikan motivasi dan saran kepada penulis. Terima kasih telah menjadi orangtua kedua penulis. Terkhusus kepada nenekku Ida yang tanpanya penulis tidak akan ada seperti ini. Semoga

Allah selalu memberikan kesehatan kepada nenek agar penulis dapat diberi kesempatan untuk membahagiakan nenek. Semua kebahagiaan ini penulis persembahkan kepada kalian semua. Kiranya Allah selalu memberi kesehatan dan kebaikan kepada kita semua. Aamiin.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala kontribusi yang diberikan dari semua pihak baik yang sudah disebutkan maupun yang belum.

Maaf atas segala keterbatasan yang dimiliki penulis. Sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga segala kebaikan saudara- saudaraku yang telah penulis terima hingga saat ini dapat terbalaskan oleh

Allah SWT.

Medan, Januari 2018

Lestari Dara Cinta Utami Ginting

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

Abstrak...... i

Kata Pengantar...... iii

Ucapan Terima Kasih...... iv

Daftar Isi...... x

Daftar Lampiran...... xiii

Bab I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 Latar Belakang ...... 6

1.2 Permasalahan...... 2

1.3 Tujuan dan Manfaat ...... 7

1.4Teori dan Kerangka Konseptual...... 8

1.5Tinjauan Pustaka ...... 13

1.6Metode Penelitian...... 19

1.7Sistematika Penulisan ...... 23

Bab II GAMBARAN UMUM SUKU KARO ...... 25

2.1 Wilayah Tinggal Suku Karo...... 25

2.2 Asal Usul Suku Karo ...... 30

2.3 Asal Usul Nenek Moyang Suku Karo ...... 33

2.4 Kebudayaan Suku Karo...... 42

2.5 Sistem Kekerabatan Suku Karo ...... 45

2.6 Sistem Perkawinan Pada Suku Karo ...... 50

Bab III AGAMA DAN KEPERCAYAAN PADA SUKU KARO ...... 57

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.1 Sistem Religi Suku Karo ...... 57

3.2 Praktik Kepercayaan Pemena Pada Suku Karo ...... 67

3.3 Masuknya Agama Ke Suku Karo ...... 78

Bab IV HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA : EKSODUSNYA PENGANUT KEPERCAYAAN PAMENA SUKU KARO KE AGAMA RESMI PEMERINTAH PADA TAHUN 1996-1979 ...... 85

4.1 Masuknya Kolonialisme Belanda Ketengah-tengah Masyarakat Karo85

4.2 Relasi Antara Negara Dan Agama: Pembentukkan Kemerdekaan

Republik Indonesia Hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959...... 89

4.3 Periode 1948-1965: Ketegangan antara Islam melawan Kelompok

Penghayat Kepercayaan Abangan dan Para Pendukung PKI...... 93

4.4 Kondisi Politik di Indonesia Sebelum Tahun 1965...... 96

4.5 Pelarangan Terhadap Komunisme di Indonesia...... 98

4.6 Masyarakat Karo Memandang Soekarno Dan PKI...... 100

4.7 Konversi Agama Pasca 1965 : Ditinjau Pada Aliran Kepercayaan

Pemena Pada Suku Karo ...... 103

4.4.1Perkembangan Agama Kristen Protestan ...... 103

4.4.2Perkembangan Agama Kristen Khatolik ...... 122

4.4.3Perkembangan Agama Islam...... 124

4.8 Eksitensi Pemena Terhadap Perkembangan Agama-agama Baru di

Tanah Karo ...... 131

Bab V PENUTUP ...... 136

5.1 Kesimpulan ...... 136

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5.2 Saran ...... 138

DAFTAR PUSTAKA ...... 139

DAFTAR INFORMAN ...... 147

LAMPIRAN ...... 148

x

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk.Kemajemukkan masyarakat dapat terlihat dari beragamnya bahasa, suku bangsa dan agama.

Berbicara tentang keberagaman agama di Indonesia, jauh sebelum pemerintah menetapkan agama apa saja yang diakui sebagai agama resmi di Indonesia, aliran kepercayaan telah tumbuh subur ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa sejak dahulu, masyarakat Indonesia telah meyakini bahwa ada kekuatan di luar akal pikiran manusia yang mengatur kehidupan manusia dan alam semesta.Kepercayaan lokal dengan sistem, ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat hingga kini, bahkan jauh sebelum Negara Indonesia merdeka.1

Perjalanan kepercayaan lokal itu sendiri sebenarnya telah mengalami pasang surut dalam perjalanannya.Berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara

(GBHN) yang ditetapkan pada zaman Orde Baru maka agama-agama lokal yang ada di Indonesia digolongkan ke dalam aliran kepercayaan. Hal itu diharapkan agar pembinaan aliran kepercayaan diarahkan kembali kepada induk agamanya masing-masing.Maka pada masa pemerintahan Orde Baru, dikeluarkan kebijakan yang mengarahkan agama lokal bergabung dengan agama yang ajarannya mendekati agama induk (agama mayoritas). Berbagai agama lokal seperti

1Ahmad Syafii Mufid (ed). 2012. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Hal. 11.

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kaharingan (Dayak), AlukTo Dolo (Tana Toraja) digabungkan ke dalam Agama

Hindu, dan Agama Khonghucu digabungkan ke dalam Agama Buddha. Dengan kebijakan pemerintah yang waktu itu sangat represif, maka demi menyelamatkan diri penganut agama-agama lokal dengan sangat terpaksa bergabung ke dalam 5

(lima) agama yang dilayani pemerintah.2

Kebebasan di dalam memeluk dan menjalankan agamanya sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang Dasar 1945, namun dikarenakan peraturan pemerintah yang multi tafsir dalam menyikapi keberagaman agama di Indonesia tersebut yang membuat aliran kepercayaan lokal seperti tidak mendapatkan tempat. Menurut pasal 29 ayat 2 UUD 1945bahwa

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.3Berdasarkan pasal tersebut seharusnya negara menjamin kebebasan warga negara memeluk dan beribadat, namun kepercayaan lokal tidak mendapatkan hak penuh serta tidak diakui dalam menjalankan kehidupan beragamanya.Seperti dalam peraturan Menteri Agama no. 9/1952/pasal 4,Aliran kepercayaan merupakan suatu bentuk budaya keterbelakangan yang masih mengacu pada kepercayaan nenek moyang.4Tafsir Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 secara tidak langsung memisahkan antara Aliran kepercayaan dan Agama.5

2Ibid. ,Hal. 3.

3Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPRRI, 2002, Hal 21.

4 Ramstedt Martin. 2005. Hinduism in Modern Indonesia a Minority Religion Between Local, National and Global Interest. Kota tidak diketahui: Routledge, Hal 9.

5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op.cit.,

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Berbicara tentang kepercayaan lokal, Suku Karo 6 juga memiliki kepercayaannya sendiri.Orang Karo sejak zaman pra-historis percaya adanya

Dibata (Tuhan) yakni Dibata Kaci-Kaci yang menciptakan bumi dan jagad raya.Masyarakat Karo percaya adanya tenaga atau jiwa yang hinggap di batu-batu besar, kayu-kayu besar, sungai, gunung ataupun tempat- tempat yang dianggap keramat lainnya.Berkenan dengan itu, Orang Karo melakukan pemujaan dan penyembahan kepadanya karena benda-benda itu dianggap suci dan berkuasa.Pemujaan tersebut dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. 7 Kepercayaan tradisional Masyarakat Karo ini disebut dengan Pemena.

Kepercayaan Pemena ini sangat berkaitan dengan roh-roh, di mana hubungan dengan roh-roh tersebut dilakukan melalui perantara guru yang dikenal dengan namaguru si baso8. Masyarakat Karo juga mempercayai bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “tendi” sewaktu-waktu bisa meninggalkan badan manusia begitu pula bagi yang sudah meninggal, “tendi” itu dapat berubah menjadi arwah atau “begu” yang selamanya hidup di alam jagat raya.9

Pemena sering disebut juga dengan Pebegu.Masyarakat Karo sendiri tidak begitu menyukai istilah tersebut karena istilah begu sering diartikan dengan

6 Suku Karo adalah suku bangsa yang mendiami wilayahSumatera Utara dan sebagian ; meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Deli Serdang, diakses melalui www.wikepedia.com pada 9 Maret 2017, Pukul 11.57 Wib.

7Pdt. Dr. E.P. Gintings. 1999. Religi Karo. Kaban Jahe: Abdi karya, Hal 1.

8 Dalam suku Karo sendiri, Guru Sibaso adalah seorang perempuan yang memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat dan memimpin upacara/ritual, berhubungan dengan roh atau makhluk gaib, pewartaan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain, dapat dilihat pada buku Sarjani Tarigan. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya Dan Modernisme. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia, Hal 116-119.

9Tridah Bangun. 1985. Manusia Karo. Jakarta: PT. Tema Baru, Hal 37.

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memuja atau menyembah setan atau roh jahat.Sejak masuknya missil Injil Kristen dan Siar Islam ke Tanah Karo, Kepercayaan Pemena mulai mengalami penurunan umat namun tidak dalam skala besar. Menurut Tridah Bangun, jumlah orang Karo yang memeluk agama, baik Kristen Protestan, Islam dan Katolik sampai tahun

1965 baru terhitung puluhan ribu orang. Ramainya penduduk masuk agama, baik

Kristen Protestan, Islam, dan Katolik barulah terjadi setelah tahun 1967.10

Meningkatnya masyarakat Karo memeluk agama tidaklah lepas dari peristiwa Gerakan 30 September 1965.Peristiwa tersebut membawa problematika yang mendalam bagi kehidupan beragama bangsa Indonesia, di mana setelah lengsernya orde lama dan digantikan dengan orde baru, agama menjadi salah satu kunci legitimasi pemerintahan orde baru. Masyarakat harus memilih agamanya jika tidak akan dicap sebagai komunis. Demi menguatkan legitimasi terebut, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta Undang-Undang

(UU) Nomor 5 tahun 1969 tentang berbagai pernyataan dan penetapan presiden yang disahkan sebagai undang-undang. Agama-agama yang dianut penduduk

Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan

Konghucu.Konghucu sendiri dipinggirkan pada masa Orde Baru.Berdasar Surat

Keputusan (SK) Menteri Dalam NegeriNo 477/74054/1978, kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,dan

Buddha. Apabila ada agama di luar peraturan pemerintah itu maka hanya dianggap sebagai aliran kepercayaan saja, termasuk agama lokal.Pemena yang

10Ibid.,Hal 35.

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dianut Masyarakat Karo tak ada dalam pilihan yang ditawarkan oleh pemerintah.Apabila masyarakat memutuskan untuk tidak mengisi, maka dicap komunis atau PKI. 11 Ada peraturan „surat bebas G30S‟ bagi orang yang bersekolah dan melamar pekerjaan, melampirkan surat peryataan „bersih diri‟ dan

„lingkungan‟ bagi orang yang memiliki sanak saudara yang diduga atau dituduh dekat dengan PKI atau organisasi kiri, bahkan melarang anak keturunan PKI menjadi anggota ABRI dan PNS dengan menerapkan skrining (screening) yang ketat.12Masyarakat Karo sendiri akhirnya harus memilih salah satu agama resmi pemerintah tersebut apabila tidak ingin disebut sebagai komunis.Apalagi segala urusan administratif seperti pendaftaran perkawinan, kematian, akta lahir anak dan lain-lain hanya dapat dilakukan apabila memiliki KTP. Hal itulah yang menyebabkan kurun waktu 1966 sampai tahun 1979 banyak masyarakat Karo memutuskan untuk berpindah agama memilih agama resmi yang ditetapkan pemerintah.

Undang-undang tersebut merupakan wujud ketidakpedulian Negara terhadap Aliran kepercayaan di Indonesia.Pada akhirnya, hal tersebut berimbas kehidupan sosial penganut Aliran kepercayaan seperti halnya masalah terkait dengan administrasi negara yang terkesan mendiskriminasikan penganut Aliran

Kepercayaan.Selain itu, lebih lanjut lagi terkait dengan kehidupan sosial penganut

11Beberapa fakta yang bertentangan dengan Hak Kebebasan Beragama: Paksaan untuk pindah agama dengan sanksi administratif: pemecatan dari jabatan, pembatalan perkawinan, dianggap PKI (lih. Pengumuman Kep KUA Daswati II, Lampung Tengah 7 Desember 1966, Tata tertib bagi orang-orang yang akan pindah agama; Peristiwa di Nambahdadi Sumsel pada 21 Januari 1967).

12 Hardiyanti Munsi. 2016. Dari Masa Lalu Ke Masa Kini: Memori Kolektif, Konstruksi Negara dan Normalisasi Anti Komunis, Jurnal Etnosia Vol 01 No 01 Juni 2016, Hal. 30.

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Aliran Kepercayaan yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat sekitar yang notabene adalah pemeluk agama mayoritas. 13 Menariknya walau telah memiliki agama, masih banyak masyarakat Karo melakukan penyimpangan- penyimpangan dari ajaran agama karena terikat dengan kepercayaan lamanya, misalnya: usaha perjimatan, penghormatan kepada roh–roh nenek moyang dengan upacara-upacara tertentu, dan lain-lain.14

Dari paparan di atas, tentu menjadi suatu pembahasan yang sangat menarik untuk mengangkat dan mengikutiperpindahan orang-orang Karo yang menganut kepercayaan Pemena ke agama-agama resmi yang diakui pemerintahuntuk ditulis sejarawan.Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat temaHubungan

Negara dan Agama:Kajian Awal Kepercayaan Pemena di Karo, Sumatera Utara

Pada 1966-1979.Adapun skop temporal yang diangkat adalah tahun 1966 sampai dengan 1979.Tahun 1966 adalah tahun di mana berakhirnya peristiwa gestapu serta dimulainya rezim Orde Baru. Tahun 1979 merupakan batas akhir skop temporal penelitian sejarah dan merupakan tahun penerapan peraturan dari Surat

Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tahun 1978 tentang pengisian kolom agama serta penegasan lima agama yang diakui oleh pemerintah. Rentang waktu antara awal 1966 sampai 1979akan dibahas bagaimanaorang-orang Karo yang menganut kepercayaan pemena terhadap kebijakan pemerintah tersebut

.

13 Abbas Langaji. 2013. “Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan: Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama”, dalam Conference Proceeding Annual Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS), Hal 31, dapat dilihat dalam jurnal Moch. Ichiyak Ulumuddin yang berjudul Praktik Keagamaan Aliran Kejawen Aboge Diantara Agama Resmi dan Negara, Hal 93.

14Darwin Prinst. 1996. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo, Hal 5-6.

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA C. FOKUS PENELITIAN

Dari uraian di atas, fokus bahasan dalam tesis ini nantinya adalah membahas

Hubungan Negara dan Agama pada masyarakat Karo yang menganut aliran kepercayaan Pemena. Sebelum membahas berpindahnya suku Karo yang menganut kepercayaan Pemena ke agama-agama resmi yang diakui pemerintah maka perlu dijelaskan juga apa itu kepercayaan Pemena sebelum masuknya agama pada masyarakat Karo. Setelah kedatangan Missil Injil Kristen dan Syiar Islam bagaimana para penganut kepercayaan Pemena itu terutama setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah terhadap kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang juga mempengaruhi kepercayaan Pemena itu sendiri.Batasan waktu dalam tesis ini adalah tahun 1966 sampai dengan 1979. Tahun 1966 adalah tahun di mana berakhirnya peristiwa gestapu serta dimulainya rezim Orde Baru sedangkan tahun 1979 merupakan tahun penerapan peraturan dari Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam

Negeri tahun 1978 tentang pengisian kolom agama serta penegasan lima agama yang diakui oleh pemerintah.

Untuk lebih mudahnya dalam penulisan tesis ini akan dipandu dengan beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dituangkan dalam rumusan masalah penulisan tesis ini yaitu:

1. Bagaimana gambaran umum Suku Karo?

2. Bagaimana konsep agama dan kepercayaan Pemenapada Suku Karo?

3. Mengapa masyarakat Karo penganut Kepercayaan Pemena harus pindahke agama-agama resmi yang diakui negara pada 1966-1979?

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA D. TUJUAN DAN MANFAAT

Dalam melakukan sebuah penelitian tentu mempunyai tujuan dan manfaat yang dapat diberikan kepada pembaca dan seluruh jajaran sejarawan serta akademisi dan para pengambil kebijakan pada masa sekarang ini. Adapun tujuannya antara lain:

1. Menjelaskan tentang gambaran umum dari Suku Karo.

2. Menjelaskan tentang agama dan kepercayaan pada Suku Karo.

3. Menjelaskan tentang penyebab masyarakat Karo penganut

kepercayaan Pemena harus berpindah ke agama-agama resmi yang

diakui oleh negara pada 1966-1979.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Mendukung perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

penulisan aliran kepercayaan pada masyarakat dewasa ini.

2. Memperkaya khasanah penelitian sejarah terutama dalam rangka

menulis aliran kepercayaan lokal khususnya Pemena.

3. Sebagai sumber inspirasi bagi para akademisi, sejararawan,

masyarakat, pemerintah maupun para pengambil keputusan untuk lebih

menghargai Hak Asasi Manusia khususnya hak beragama setiap

indidvidu seperti yang tertera dalam UUD 1945.

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4. Sebagai sumber informasi bagi peneliti lain apabila membahas tentang

aliran kepercayaan suatu masyarakat, masalah yang mungkin timbul

dan upaya untuk mengatasinya.

E TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

Indonesia adalah negara yang memiliki tradisi keberagamaan yang sangat majemuk, tidak hanya agama resmi yang diakui oleh pemerintah, tetapi juga kepercayaanlokal yang masih bertahan sampai sekarang. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalammasyarakat hingga kini, bahkan jauh sebelum negara Indonesia merdeka. 15Meskipun tampak stagnan dan tak berdaya dalam kehidupan sosial keagamaan, ekonomi dan politik, namun komunitas pengikut kepercayaan lokal ini mengalami perkembangan, pasang surut, demikian pula halnya dengan kepercayaan Pemena.Hal itu terkait dengan adanya perubahan-perubahan baik desakan dari dalam dirinya sendiri, maupun desakan perubahan yang diakibatkan karena adanya perkembangan di sekitarnya, yaitu perubahan kehidupan sosial keagamaan dan kehidupan sosial politik yang terus berubah. Dampak yang akan segera terasa bagi mereka yang menganut kepercaraan lokal adalah adanya diskriminasi administratif, agamis dan politis, sebagaimana yang terjadi selama ini.16

15Ahmad Syafii Mufid (ed). op.cit.,Hal 11.

16Ahmad Syafii Mufid (ed). op.cit.,Hal 12.

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Demikian penulisan tesis ini ingin membahas bagaimana kekuasaan memainkan peranan penting dalam relasi antara negara dan pemeluk aliran kepercayaan khusunya penganut kepercayaan Pemena.Oleh sebab itu, penulisan tesis ini akan menggunakan konsep relasi kekuasaan Michel Foucalt. Menurut

Foucalt, kekuasaan ada dimana-mana. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki negara, atau sesuatu yang dapat diukur.Kekuasaan merupakan suatu dimensi antara relasi. Artinya dimana ada relasi, di sana ada kekuasaan.17

Dalam teorinya, Foucalt mencontohkan bagaimana dulu masyarakat dibeda-bedakan ke dalam kelompok orang-orang yang sakit dengan orang-orang yang sehat.Apa yang terjadi dengan orang gila berjalan beriringan dengan apa yang terjadi dengan para penjahat, orang-orang miskin dan para gelandangan. mereka semua mulai disingkirkan, dalam bentuk penjara, rumah sakit umum, rumah sakit jiwa dan ditertibkan oleh sosok polisi dan pengadilan. Semua lembaga ini adalah bentuk yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaannya atas masyarakat.18

Jadi kita dapat melihat bagaimana Foucault ingin menunjukkan bahwa sakit mental hanya muncul sebagai sakit mental dalam satu kebudayaan yang mendefinisikannya sebagai demikian.Karena menyangkut definisi, maka di dalam sakit mental sebenarnya kekuasaan mendominasi.

17 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 81.

18 Konrad Kebung. 1997. Michel Foucalt Parrhesia Mengenai Etika. Jakarta: Obor, Hal. 68-69.

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sehubungan dengan hal tersebut, Kepercayaan Pemena yang dianut oleh

Masyarakat Karo dapat dikategorikan sebagai kelompok orang-orang sakit yang mengalami diskriminasi terhadap hak kebebasan beragamanya serta hak administratifnya, dimana pemerintah selaku kelompok orang-orang sehat yang memiliki dominasi kekuasaan untuk mengatur kelompok lain. Berbicara tentang kekuasaan juga selalu berkaitan dengan konflik.Menurut Ralf Dahrendorf, masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan, atau wewenang. Kekuasaan adalah dominasi satu pihak atau pihak lain berdasarkan paksaan, sedangkan wewenang adalah dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang didominasi. Dengan kekuasaan kita mempunyai cara untuk mempengaruhi opini publik, dan bertujuan untuk kepentingan pribadi. Orang- orang berkuasa dapat mempengaruhi hukum untuk mengkriminalisasi yang tidak memiliki kekuasaan.19

Walaupun pemerintah memiliki kekuasaan dalam hal ini, Suku Karo yang menganut Pemena juga tidak tinggal diam dan pasrah.Di dalam perjalanannya mereka pun melalukan resistensi terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.Lila Abu-Lughod dalam tulisannya mengungkapkan tentang resistensi sebagai berikut:

“… resistance is, I would argue, a growing disaffection with ways we have understood power, and the most interesting thing to emerge from this work on

19 Novri Susan, M.A. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Hal 40.

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA resistance is a greater sense of the complexity of the nature and forms of domination”.20

Jika Lila mengaitkan resistensi dari perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki dalam struktur sosial maka resistensi yang diungkapkan oleh

Lila pun dapat menjelaskan bagaimana nanti para penganut kepercayaan Pemena pun melakukan sebuah perlawanan untuk mempertahankan eksistensinya. Soren

Kiergaard menyatakan bahwa eksistensi adalah suatu keputusan yang berani diambil oleh manusia untuk menentukan hidupnya, dan menerima konsekuensi yang telah manusia ambil. Jikamanusia tidak berani untuk melakukannya maka manusia tidak bereksistensi dengan sebenarnya.21Dalam hal ini,kepercayaan Pemena memang mengalami penurunan umat sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama tersebut namun Masyarakat Karo yang memeluk Pemena tersebut tidaklah pasif dan diam dalam menghadapi ekspansi agama-agama resmi tersebut.Beberapa gerakan dan upaya pada nantinya dilakukan untuk mempertahankan eksistensi tersebut.

Selain itu, penulisan tesis ini juga ingin membahas tentang kepercayaan

Pemena Suku Karo, oleh karena itu sebelumnya perlu dipahami apa itu aliran kepercayaan lokal. Ada dua hal penting jika ingin membahas tentang kepercayaan lokal yaitu lokalitas dan spiritualitas.Lokalitas selalu mempengaruhi spiritualitas.Sedangkan spiritualitas dapat memberi warna pada lokalitas.Lokalitas

20 Lila Abu-Lughod, “The Romance of Resitance: Tracing Transformation of Power Through Bedouin Women” artikel diakses pada 8 Maret 2018 dari http://www. Jstor.org/pss/64521

21Surijani, Eksistensi Manusia Menurut Kierkkegaard, Surabaya: Tesis Tidak Diterbitkan, 1998, Hal. 23.

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan spiritualitas ibarat simbiosis mutualisme karena saling mempengaruhi.Spiritualitas lahir dan terefleksikan dari asas ajaran kepercayaan lokal itu sendiri.

Hal ini memunculkan ekspresi kerohanian dan praktik praktik ritual sesuai doktrin kepercayaan lokal yang dianut oleh suatu suku di daerah tertentu.Dalam ekspresi spiritualitas dan praktik ritualitas tadi sudah barang tentu masuk unsur- unsur lokalitas (tradisi, adat istiadat, kebiasaan dan seni budaya setempat) yang kemudian menyatu, bersenyawa dan berintegrasi dengan unsur-unsur spiritualitas dan ritualitas.Semua ini membentuk konstruk sosiokultural – spiritual – ritual yang menyatupadu dalam ranah kehidupan kepercayaan/agama suku.Dalam konstruk seperti itu, maka ranah kepercayaan tidak dapat dipisahkan dari wilayah tradisi, kebiasaan, seni dan budaya.Sebaliknya, wilayah tradisi, kebiasaan, adat istiadat, seni dan budaya tidak dapat dilepaskan dari ranah kepercayaan.Demikianlah watak, karakteristik dan ciri khas kepercayaan lokal itu.22

E. TINJAUAN PUSTAKA

Ketika menulis karya ilmiah, maka diperlukanlah beberapa literatur untuk mendukung penulisan tersebut.Literatur-literatur itulah yang penulis sebut dengan tinjauan pustaka. Tinjauan adalah literatur yang relevan dan memiliki keterkaitan secara dekat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka berisi tentang uraian-uraian yang mengarahkan penulis tentang betapa pentingnya literatur sehingga digunakan sebagai sumber acuan yang menimbulkan ide,

22Ahmad Syafii Mufid (ed). op.cit.,Hal 12.

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sumber informasi dan pendukung penelitian. Adapun literatur yang digunakan untuk mendukung penulisan ini adalah sebagai berikut:

Sarjani Tarigan dalam bukunya yang berjudul “Kepercayaan Orang Karo

Tempoe Doeloe” sangat membantu penulis dalam menjelaskan bagaimana kepercayaan yang dianut masyarakat Karo sebelum agama resmi yang diakui pemerintahmasuk.Dalam buku tersebut, penulis semakin menyadari bagaimana adat dan religi tidak bisa dipisahkan pada masyarakat Karo.Di samping itu juga, buku ini dapat menjadi sumber informasi bagi penulis untuk mendapatkan informasi bagaimana sikap gereja dalam hal ini gereja Katolik terhadap adat dan pembangunan pada masyarakat Karo. Gereja Katolik menghendaki agar gereja lokal/dekat familier dengan adat tradisi dan pola berpikir setempat, janganlah hendaknya menjadi Kristen Katolik berarti memindahkan seseorang serta mencabutnya dari akar tradisi, adat kebiasaan lokal, baik pada bidang sosial maupun liturgi.23

Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A.G Sitepu dalam bukunya yang berjudul

“Pilar Budaya Karo” menguraikan dengan sangat baik tentang adat dan kebudayaan masyarakat Karo, mulai dari sejarah terjadinya kuta dan kerajaan di tanah Karo, struktur kemasyarakatan Karo, adat suku Karo hingga adat pada masyarakat Karo yang masih berkaitan dengan religi.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Daerah Sumatera Utara” menguraikan dengan sangat

23Sarjani Tarigan. 2011. Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia, Hal. 113.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA baik tentang sejarah dan perkembangan Sumatera Utara dari zaman Hindu-

Buddha lalu masuknya Islam, kedatangan bangsa barat, era pergerakan nasional, masa pendudukan Jepang sampai memperoleh kemerdekaan. Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana perkembangan seni, budaya sampai agama di daerah

Sumatera Utara.Kemajuan dakwah agama menimbulkan kompetisi dalam batas- batas hubungan yang harmonis.Daerah Sumatera Utara adalah daerah yang heterogen dan sebagian besar penduduknya beragama Islam dan Kristen. Pada tahun 1974 penganut agama-agama itu adalah lebih kurang: Islam: 3.989.000;

Katolik: 220.000; Protestan: 1.746.000; Kristen lainnya: 264.000; dan Kong Hu

Chu: 10.000. Disamping itu masih ada yang menganut kepercayaan asli seperti

Pelbegu dan Pamalim yang berjumlah sekitar 197.000.24

Firman A. Sebayang dalam skripsinya yang berjudul “Representasi Sosial

Tentang Pemena Pada Masyarakat Desa Gunung Kabupaten Tanah Karo” menguraikan dengan sangat baik tentang perkembangan aliran kepercayaan pemena pada masyarakat Karo. Dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana pada tahun 1965, orang-orang Karo diwajibkan untuk memeluk agama resmi, jika tidak, mereka dapat dikategorikan sebagai PKI. Hal lain yang menyebabkan masyarakat Suku Karo mulai memeluk agama resmi adalah untuk kemudahan pengurusan dokumen-dokumen resmi seperti KTP (kartu tanda penduduk) yang didalamnya harus tertera agama.25 Walaupun orang Karo telah

24P. P Bangun, Dkk. 1976. Sejarah Daerah Sumatera Utara. Medan: Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Hal. 220.

25Firman A, Sebayang. 2015. Representasi Sosial Tentang Pemena Pada Masyarakat Desa Gunung Kabuypaten Tanah Karo. Medan: Skripsi Tidak Diterbitkan, Hal. 3

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menganut agama resmi, namun di dalam perilaku mereka masih ditemui adanya penyimpangan-penyimpangan dari ajaran-ajaran agama yang telah dianutnya, misalnya: usaha perjimatan, pergi ketempat-tempat keramat, menyembah atau menghormati roh nenek moyang dengan melakukan berbagai upacara adat dan lain-lain.

Henri Chamber-Loir dan Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul

“Kuasa Leluhur: Nenek Moyang, Orang Suci dan Pahlawan di Indonesia

Kontemporer” menguraikan dengan sangat baik tentang ritual serta makna kematian pada suku-suku bangsa di Indonesia. Buku ini juga menjelaskan bagaimana pada masa orde baru, masalah keagamaan menjadi begitu penting terutama dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai kebijakan 5

(lima) agama resmi yang menjadi wujud toleransi Indonesia.Dalam suatu paham resmi, agama tak dapat diganggu gugat dan tak boleh dipertanyakan.Bersama dengan suku, ras, dan antargolongan, agama dianggap sebagai salah satu dari empat hal tabu (SARA) dalam perbincangan publik. 26 Hal inilah yang menyebabkan pemujaan terhadap kuburan-kuburan suci yang sudah dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang luput dari perhatian media massa nasional.

Sri Alem Sembiring dalam jurnalnya yang berjudul “Guru (Tabib) Dalam

Masyarakat karo: Kajian Antropologi Mengenai Konsep Orang karo Tentang

Guru Dan Kosmos (Alam Semesta) menguraikan dengan sangat baik defenisi guru

26Henri Chamber- Loir dan Anthony Reid.2002.Kuasa Leluhur Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan Indonesia Kontemporer. Medan: Penerbit Bina MediaPerintis, Hal 4.

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (tabib) bagi masyarakat Karo. Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai tabib. 27 Jurnal ini juga menjelaskan defenisi dan konsep kosmos. Orang Karo meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk- mahluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam.28

Jurnal ini juga menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang guru tidak boleh sembarangan. Masyarakat karo mempercayai bahwa untuk menjadi seorang guru telah ditentukan sejak kelahirannya dan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu.

Drs. Tridah Bangun dalam bukunya yang berjudul “Manusia Batak Karo” menguraikan dengan sangat baik alam pikiran dan kepercayaan Suku Karo.Buku ini menjelaskan tentang pendapat keliru dari E. St Harahap dalam bukunya

Perihal Bangsa Batak yang menyatakan bahwa agama orang Batak dahulu ialah kafir. Tetapi di samping itu disebut pula: Sipelebegu atau Perbegu, artinya menyembah begu atau menyembah roh. Begu katanya ialah roh atau badan yang tidak berdaging, tidak sakti.Pendapat E. St Harahap inilah yang diperbaiki oleh

Tridah Bangun sendiri dengan menyatakan bahwa Begu pada masyarakat Karo adalah arwah manusia yang telah meninggal.

Proyek Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslibang

Kehidupan Keagamaan dengan judul bukunya “Dinamika Perkembangan Sistem

27Sri Alem Sembiring. 2002. (Guru) Tabib Dalam Masyarakat Karo: Kajian Antropologi Mengenai Konsep Orang Karo Tentang Guru Dan Kosmos (Alam Semesta). Medan: UsuDigital Library, Hal 1.

28Ibid.,Hal. 2

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kepercayaan Lokal di Indonesia” menguraikan dengan baik tentang realitas kemajemukkan bangsa Indonesia. Geertz29 menyatakan bahwa terdapat lebih dari

300 kelompok etnis di Indonesia, masing-masing mempunyai identitas budayanya sendiri-sendiri, lebih dari 250 jenisbahasa daerah dipakai, dan hampir semua agama besar diwakili, selain agama asli yang banyak jumlahnya.Oleh karena itu, dari segi agama dan kepercayaan, bangsa Indonesia pun menunjukkan kemajemukkan.Selain agama yang diakui oleh pemerintah, tidak bisa kita pungkiri masih banyaknya kepercayaan-kepercayaan lokal yang masih hidup pada masyarakat Indonesia.Ada dua elemen penting dan mendasar dari setiap kepercayaan lokal yaitu, lokalitas dan spiritualitas.30

Dr. E.P Gintings dalam bukunya yang berjudul “Religi Karo: Membaca

Religi Karo dengan Mata yang Baru” menjelaskan dengan sangat baik tentang

Agama Pemena pada Orang Karo sebelum Agama Nasrani dan Islam datang.

Orang Karo yang hidup dalam “Agama Pemena” (Pagan, heiden, kafir, perbegu) merasakan dan mengalami bahwa semua aspek kehidupannya diresapi oleh konsep keberagamaanya.

Simon Rae dalam bukunya yang berjudul “Breath Becomes The Wind Old and New In Karo Religion” menjelaskan tentang kedatangan agama-agama baru di Tanah Karo. Kedatangan agama-agama tersebutbaru mulai terasa perkembangannya ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi. Gerakan

29 Hildred Geertz dlam tulisan Cultures and Communities, dalam buku Ruth T. Mcvey (ed). 1963. Indonesia. New Haven: Yale University Press, Hal 24.

30Ahmad Syafii Mufid (ed). op.cit.,Hal 12.

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut membawa angin segar kepada agama-agama baru tersebut untuk menjaring umatnya.

Singgih Nugroho dalam tulisannya yang berjudul “Konversi Agama Pasca

1965” yang dimuat dalam majalah Lentera pada Maret 2015 menjelaskan tentang konversi agama massak banyak dipengaruhi politik agama di masa awal orde baru. Politik agama itu mulai diterapkan pada 1966 melalui Ketetapan MPRS no

XXVII/1966 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama yang resmi diakui oleh negara dan pemerintah Indonesia. Kebijakan itulah yang nanti juga membuat masyarakat

Karo pemeluk Pemena harus berpindah ke agama-agama resmi pemerintah.

F. METODE PENELTIAN

Di dalam suatu penelitian sejarah yang ilmiah pemakaian metode sejarah sangatlah penting.31Metode sejarah adalah suatu tahapan yang digunakan dalam penelitian sejarah ilmiah.Dengan adanya metode penelitian dapat menjadi petunjuk penulis untuk memperoleh sumber-sumber yang relevan terhadap pokok pembahasan sehingga dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

Adapun tahap-tahap yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah:

1. Heuristik adalah tahapan paling awal dalam metode sejarah. Pada tahapan

ini penulis berusaha mengumpulkan sumber atau data melalui dua metode,

yaitu metode kepustakaan (library research) dan metode penelitian

lapangan (field research).Penelitian dengan metode kepustakaan bertujuan

31Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 94-97.

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA untuk memperoleh data tertulis melalui buku-buku, arsip, artikel ataupun sumber tertulis lainnya. Sumber tertulis dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis primer dapat kita peroleh dari arsip-arsip di ANRI, ataaupun arsip daerah.Sumber-sumber tertulis primer yang didapatkan di ANRI antara lain sebagian besar tersimpan di khazanah arsip Memorie van Overgave

(MvO) khususnya untuk wilayah Residen Sumatera Timur dan

Karolanden.Sedangkan sumber tertulis sekunder dapat diperoleh melalui dari Perpustakaan Propinsi Sumatera Utara, Perpustakaan Nasional,

Perpustakan Tengku Lukman Sinar, Perpustakaan Kota Medan dan

Perpustakaan Pusat Studi Ilmu-Ilmu Sosial (PUSIS) UNIMED. Melalui beberapa kesempatan kunjungan yang dilakukan, penulis mendapatkan beberapa buku yang sangat menunjang dalam menyusun tesis penulis.

Adapun buku yang digunakan sebagai sumber tertulis penulis antara lain

Sarjani Tarigan dalam bukunya yang berjudul “Kepercayaan Orang Karo

Tempoe Doeloe” sangat membantu penulis dalam menjelaskan bagaimana kepercayaan yang dianut masyarakat Karo sebelum agama formal masuk.

Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A.G Sitepu dalam bukunya yang berjudul

“Pilar Budaya Karo” buku ini menjelaskan tentang adat dan kebudayaan masyarakat Karo, mulai dari sejarah terjadinya kuta dan kerajaan di tanah

Karo, struktur kemasyarakatan Karo, adat suku Karo hingga adat pada masyarakat Karo yang masih berkaitan dengan religi. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah dalam bukunya yang berjudul

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Sejarah Daerah Sumatera Utara” memberikan data tentang sejarah dan perkembangan Sumatera Utara dari zaman Hindu-Buddha lalu masuknya

Islam, kedatangan bangsa barat, era pergerakan nasional, masa pendudukan Jepang sampai memperoleh kemerdekaan. Firman A.

Sebayang dalam skripsinya yang berjudul “Representasi Sosial Tentang

Pemena Pada Masyarakat Desa Gunung Kabupaten Tanah Karo” menjelaskan tentang perkembangan aliran kepercayaan pemena pada masyarakat Karo. Drs. Tridah Bangun dalam bukunya yang berjudul

“Manusia Batak Karo” menjelaskan tentang alam dan kepercayaan Suku

Karo. Proyek Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat,

Puslibang Kehidupan Keagamaan dengan judul bukunya “Dinamika

Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia” menguraikan dengan baik tentang realitas kemajemukkan bangsa Indonesia. Henri

Chamber-Loir dan Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul “Kuasa

Leluhur: Nenek Moyang, Orang Suci dan Pahlawan di Indonesia

Kontemporer” menguraikan dengan sangat baik tentang ritual serta makna kematian pada suku-suku bangsa di Indonesia. Dr. E.P Gintings dalam bukunya yang berjudul “Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru” menjelaskan dengan sangat baik tentang Agama Pemena pada

Orang Karo sebelum Agama Nasrani dan Islam datang, dan masih banyak buku-buku penunjang lainnya terutama yang berkaitan dengan aliran kepercayaan di Indonesia. Simon Rae dalam bukunya yang berjudul

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Breath Becomes The Wind Old and New In Karo Religion” menjelaskan tentang kedatangan agama-agama baru di Tanah Karo.

Selain sumber buku, penulis juga mendapatkan sumber jurnal dan koran.

Dalam hal ini, penulis mendapatkan jurnal tulisan Sri Alem

Sembiringyang berjudul “‟Guru Sibaso‟ Dalam Ritual Orang Karo:

Bertahannya Sisi Tradisional Dari Arus Modernisasi”dan “Guru (Tabib)

Dalam Masyarakat karo: Kajian Antropologi Mengenai Konsep Orang karo Tentang Guru Dan Kosmos (Alam Semesta) menjelaskan tentang konsep guru bagi masyarakat Karo dan peranannya dalam kehidupan spiritual masyarakat Karo itu sendiri. Kemudian jurnal tulisan Susan

Rodgers yang berjudul “Breath Becomes the Wind: Old and New in Karo

Religion” menjelaskan bagaimana awalnya masyarakat Karo menolak

Agama Protestan masuk tapi akhirnya masyarakat dapat menerima agama tersebut. Singgih Nugroho dalam tulisannya yang berjudul “Konversi

Agama Pasca 1965” yang dimuat dalam majalah Lentera pada Maret 2015 menjelaskan tentang konversi agama massak banyak dipengaruhi politik agama di masa awal orde baru. Sedangkan pengumpulan data dengan metode penelitian lapangan dilakukan dengan teknik wawancara terhadap beberapa informan khususnya terhadap orang Karo itu sendiri, tokoh- tokoh adat, pihak Gereja ataupun tokoh agama lainnya, dan juga

Pemerintah Kabupaten Karo. Sedangkan sumber koran yang penulis dapatkan melalui harian Waspada, Kompas, Tempo, dan beberapa website berita online lainnya.

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2. Kritik Sumber adalah tahapan kedua dalam metode sejarah. Pada tahapan

ini penulis bertugas untuk mengkritik terhadap sumber-sumber yang

diteliti agar penulis lebih dekat lagi dengan nilai kebenaran dan keaslian

dari sumber yang diperoleh. Dalam tahapan ini terdapat dua jenis kritik

yakni kritik intern yakni kritik terhadap isi sumber tersebut dan kritik

ekstern yakni kritik terhadap sumber-sumber tersebut apakah perlu

digunakan atau tidak. 32Dalam melakukan kritik terhadap sumber dapat

dilakukan dengan cara meng-croschek data dengan menelaah kembali

kebenaran isi atau fakta dari sumber buku, arsip ataupun hasil wawancara

dengan informan, dan kemudian diuji kembali keaslian sumber tersebut

demi menjaga keobjektifan suatu data.

3. Interpretasi adalah tahapan ketiga dalam metode sejarah. Pada tahapan ini

penulis hendaknya menafsirkan data-data yang diperoleh agar menjadi

suatu data yang objektif. Dalam hal ini, peneliti menginterpretasi

pengumpulan sumber dan mengkritik tentang Hubungan Negara dan

Agama pada penganut aliran kepercayaan Pemena pada Suku Karo sejak

1966-1979. Dengan adanya interpretasi ini diharapkan dapat menjadi data

sementara sebelum penulis menuangkannya ke dalam bentuk tulisan.

4. Historiografi adalah tahapan terakhir dalam metode sejarah. Tahapan ini

dapat disebut juga sebagai penulisan laporan. Pada tahap ini, penulis

menjabarkan secara kronologis dan sistematis fakta-fakta yang diperoleh

agar menghasilkan tulisan yang ilmiah dan bersifat objektif.

32Ibid., Hal. 99

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan sangat penting untuk memberikan gambaran umum pada peneliti untuk menyusun penulisan tesis ini. Sistematika penulisan yang dimaksud antara lain sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan; latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan;

BAB II. Menjelaskan Gambaran umum Suku Karo mulai dari wilayah tinggal

Suku Karo, asal usul Suku Karo, asal usul nenek moyang suku Karo, kebudayaan

Suku Karo, sistem kekerabatan suku Karo dan sistem perkawinan Suku Karo;

BAB III. Menjelaskan konsep agama dan kepercayaan pada Suku Karo mulai dari sistem religi Suku Karo, dan praktik kepercayaan Pemena Suku Karo serta masuknya agama ke Tanah Karo,

BAB 1V. Menjelaskan tentang hubungan negara dan agama mulai dari Masuknya

Kolonial Belanda Ke tengah-tengah masyarakat Karo, Relasi Antara Negara Dan

Agama: Pembentukkan Kemerdekaan Republik Indonesia Hingga Dekrit Presiden

5 Juli 1959, Periode 1948-1965: Ketegangan antara Islam melawan Kelompok

Penghayat Kepercayaan Abangan dan Para Pendukung PKI, kondisi politik bangsa Indonesia sebelum tahun 1965, pelarangan terhadap komunisme di

Indonesia, masyarakat Karo memandang Soekarno dan PKI, konversi agama pasca 1965 dan eksistensi Pemena terhadap agama-agama baru.

BAB V. Penutup; yang berisi kesimpulan dan saran.

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

GAMBARAN UMUM SUKU KARO

Pada bab ini, peneliti akan mengkaji tentang gambaran umum Suku Karo.

Kajian ini sangat penting karena sebelum kita membahas apa itu kepercayaan

Pemena dan bagaimana kebijakan pemerintah yang represif saat itu terhadap pemeluk aliran kepercayaan khususnya Pemena, maka perlu kita pahami terlebih dahulu gambaran umum Suku Karo itu sendiri. Disini peneliti akan menguraikan tentang asal usul kata Karo yang bahkan sampai saat ini masih diperdebatkan oleh para ahli yang ternyata masih belum sepakat tentang asal usulnya. Pada bab ini juga, peneliti akan membahas tentang nenek moyang Suku Karo. Terakhir, peneliti juga akan membahas tentang kebudayaan suku Karo, sistem kekerabatan, dan sistem perkawinan pada Suku Karo.

2. 1 Wilayah Tinggal Suku Karo

Suku Karo adalah salah satu suku yang tinggal di Sumatera Utara dan berbatasan dengan Aceh.Masuknya kolonialisme Belanda ke wilayah Sumatera

Timur lah yang kemudian membagi suku bangsa yang ada di wilayah Sumatera

Utara sekarang menjadi enam kelompok khusus dari Suku Batak yaitu Karo,

Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun dan Angkola. Keenam kelompok suku inilah merupakan suku dengan tradisi patrilineal yang kuat di Indonesia. Selain sistem patrilineal yang begitu kuat, dalam sistem kekerabatan suku Batak juga

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terjalin hubungan yang menarik yaitu sistem Daliken si Telu, dimana bagi suku

Simalungun, Mandailing dan Angkola menyebutnya dengan Dalihan Na Tolu.33

Adapun wilayah pemukiman Suku Karo terletak diantara Bukit Barisan yang memiliki banyak hutan rimba dan juga pegunungan.Dapat dikatakan bahwa suku Karo yang tinggal di daerah pegunungan adalah suku yang terisolir sehingga mereka memiliki suatu hubungan yang istimewa dengan Sang Pencipta, alam lingkungan beserta isinya, dan hubungan dengan masyarakat di sekitarnya.34

Sebelum kedatangan Kolonial Belanda, Suku Karo yang di pegunungan telah menjalin hubungan dengan masyarakat pesisir ataupun pantai.Suku karo sendiri memiliki mata pencaharian utama adalah bertani.Dari hasil pertanian itulah yang kemudian menumbuhkan sikap enterpreneurship pada masyarakat

Karo. Kebutuhan mereka akan asupan garam yang membuat orang-orang Karo melakukan pertukaran barang dan perdagangan dengan masyarakat pesisir. Untuk memenuhi kebutuhan garam tersebut tak jarang mereka harus melalui perjalanan yang panjang sehingga lambat laun masyarakat Karo pun memutuskan untuk hidup menetap di dataran rendah sembari bertani dan berdagang.adapun jenis pertanian yang mereka lakukan adalah bertani lada.

Jauh sebelum perdagangan di kawasan pantai Timur Sumatera berkembang sekitar abad ke-18, dimana mereka bermukim disepanjang lembah

33 Masri Singarimbun, “Kuta Gamber: Sebuah Karo” dalam Koentjaraningrat (ed.), Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, 1984, hal. 153.

34Wara Sinuhaji, “Pemerintahan Karo dari Masa ke Masa: Sebuah Perspektif Historis, ” Makalah pada Seminar Penetapan Hari Jadi Kabupaten Karo, Berastagi, 2017, hal. 3.

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lau Renun dan lembah Liang Melas (Karo Beluren), dimana ciri khas masyarakat

Karo melalui sikap enterpreneurship masyarakat Karo ditunjukkan melalui aktivitas “perlanja sira” atau dikenal dengan pemikul garam, selain melakukan pertanian substensial, mereka juga masih mencari hasil hutan berupa damar, gading gajah, kemenyan, kapur barus, cula badak yang nantinya mereka ekspor ke luar negeri kepada pedagang-pedagang Aceh, India, China dan Mesir.35

Setelah terjadi pertukaran perdagangan di pantai timur Sumatera pada abad ke-18, wilayah Karo Berulen berubah menjadi daerah Langkat, Deli dan Serdang, dimana pertanian lada menjadi mata pencaharian utama bagi orang-orang Karo yang tinggal di sepanjang Sungai Ular, Sungai Seruai, Sungai Petani, Sungai

Mencirim, Sungai Belawan, Sungai Bingai, Sungai Batang Serangan dan sungai

Wampu. Hasil perdagangannya lalu dijual ke luar negeri oleh pedagang Arab,

Melayu, Cina, terutama ke Bandar perdagangan Malaka.36

Kegiatan itulah yang membuat Orang Karo ekspansif dan berkembang tidak hanya bermukim di wilayah pegunungan saja namun mereka bermukim di wilayah yang lebih luas lagi, bukan hanya sebatas wilayah Kabupaten Karo sekarang ini, tetapi hampir lebih dari separuh bekas wilayah Sumatera Timur dihuni oleh orang Karo. Wilayah pemukiman orang Karo terbentang mulai dari

Sipispis di daerah sekitar Tebing Tinggi, lalu menyusuri pantai sampai ke

Langkat, lalu ke arah selatan menuju Kabupaten Karo sekarang ini. Tidak sampai

35 Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi dan Enterpreneurship Masyarakat Karo Pasca Revolusi, Medan: USU Press, Hal.

36 Brahmana Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman, Medan: Ulih Saber, 1981, Hal. 79-85.

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA disitu, wilayah pemukiman orang Karo juga berada di wilayah Tigalingga di Dairi menuju ke Simalungun lalu kembali lagi ke Sipispis di Tebing Tinggi. Orang

Karo juga sangat ekspansif sehingga wilayah pemukiman mereka pun sampai ke

Aceh Tengah, hal ini di dasari bagaimana suku-suku di Takengon, Alas,

Blangkejeren banyak yang memakai marga-marga di Karo, terlebih di Aceh

Tenggara masih banyak yang memiliki kekerabatan dan kekeluargaan dengan

Orang Karo dan pada saat-saat tertentu seperti upacara adat masih saling mengunjungi satu sama lain.37

Hal inilah yang sering menyebabkan penafsiran yang salah bahwa Tanah

Karo disamakan dengan Kabupaten Karo, padahal Tanah Karo lebih luas dari

Kabupaten Karo sekarang ini. Kedatangan Kolonial Belanda di wilayah Sumatera

Utara yang membuat wilayah Tanah Karo yang sangat luas menjadi terpecah- pecah dengan politik devide et imperanya. Sehingga setelah Indonesia merdeka, secara administratif wilayah pemukiman orang Karo terdiri dari Kabupaten Karo itu sendiri, Langkat Hulu di Kabupaten Langkat, Deli Hulu di Kabupaten Deli

Serdang dan Serdang Bedagai. Sedangkan dari persamaan budaya, orang-orang

Karo memiliki persamaan budaya dengan orang-orang di Kabupaten Dairi, yaitu kecamatan Tanah Pinem yang termasuk bagian dari wilayah Tanah Karo.38 Lebih jelasnya dapat ditunjukkan melalui peta dibawah ini:

37 Tridah Bangun dan Hemdri Chairuddin, Kilap Sumagan- Biografi Selamat Ginting Salah Seorang Penggerak Revolusi Kemerdekaan di Sumatera Utara, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, hal. 8-12.

38 Wara Sinuhaji, “Pemerintahan Karo dari Masa ke Masa: Sebuah Perspektif Historis, Berastagi, op.cit., hal. 5

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Peta 1 Kabupaten Karo39

Sumber: WWW. Google.Com

Peta 2 Wilayah Tinggal Suku Karo40

39https://google.com/ Peta Kabupaten Karo diunduh pada Kamis, 24 Mei 2018, Pukul. 14.00 Wib 40https://google.com/ Wilayah Tinggal Suku Karo diunduh pada Kamis, 24 Mei 2018, Pukul. 14.10 Wib

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sumber: www. Google.com

2.2 Asal Usul Suku Karo

Berbicara tentang Suku Karo, para ahli berpendapat bahwa Karo merupakan bagian dari salah satu sub etnik Suku Batak sehingga sering kita dengar dengan sebutan Batak Karo, namun bagi orang Karo sendiri mereka senang disebut dengan sebutan Karo tanpa adanya embel-embel Batak. 41 Hal inilah kemudian nanti pada sub bab ini akan dibahas juga tentang asal usul nenek moyang suku Karo sehingga kita dapat melihat apakah memang orang Karo memiliki hubungan dengan Batak atau tidak sama sekali.

41Pernyataan ini dapat dilihat pada wacana Orang Karo bukan orang Batak dalam bukunya Roberto Bangun.Mengenal Suku Karo. 2006. Hal. 72-128.

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebenarnya dari manakah asal kata Karo?Ada beberapa pendapat mengenai darimana asal kata Karo.Ada beberapa pakar menyatakan bahwa kata

Karo berasal dari kata “aru” yang kemudian menjadi Haru dan akhirnya Karo.

Hal ini dikarenakan didalam pengucapannya kata “aru” berbunyi “haru” dan

“karu”. Inilah yang kemudian menjadi Karo.Adapun makna kata aru itu sendiri adalah perasaan yang sangat mendalam meliputi perasaan sedih atau marah yang hampir meledak-ledak.Hal inilah yang kemudian di dalam buku Brahma Putro yang berjudul “Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman” menyatakan bahwa awalnya suku bangsa Karo bernama bangsa “Haru” kemudian menjadi “Haro” dan akhirnya menjadi Karo.Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa suku bangsa “Haru” itu berubah menjadi “Harau”, yang kemudian menjadi Karau lalu

Karo.42

P. Tamboen punya pendapat lain, beliau mengatakan bahwa kata Karo berasal dari bahasa Batak Toba yaitu “Ha” dan “Ro” yang artinya si “Ha datang”.

Pendapat ini didasarkan ketika orang pendatang bertemu dengan orang Batak

Toba biasanya akan menyebut dirinya dengan “Ha” yang kemudian lambat laun beribah menjadi “Ha-Ro” lalu Karo.43

Tidak sampai disitu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kata Karo berasal dari bahasa Karo itu sendiri.Kata Karo berasal dari kata “Saro”.Di dalam bahasa Karo, kata Saro menunjuk pada upaya untuk melerai, mencegah atau

42 Brahma Putro, Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman, Medan: Ulih Saber, 1981, Hal. 13.

43 Bujur Sitepu, Mengenal Kebudayaan Karo, Medan: Penerbit Tidak Diketahui, Hal. 11.

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memisahkan di dalam perkelahian. Jika disebut la nai tersaroi itu berarti tidak tercegah lagi atau terlerai lagi. 44 Makna lain kata Saro adalah menolong, membantu seseorang dari bencana yang menimpanya.45Pendapat di ataslah yang kemudian dihubungkan dengan sifat-sifat orang Karo seperti yang terkandung maknanya di dalam kata Saro tersebut.Pada umumnya, suku Karo bersifat jujur, berani, tegas dan senang membantu. Selain itusudah menjadi watak orang Karo itu sendiri yang terkadang ketika hendak berbuat sesuatu selalu tidak memikirkan resikonya kelak.Sehingga ketika orang Karo berkelahi sangat sulit dihentikan.Sikap inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah “la nai erkaroi” yang berarti tidak dapat dilerai.Kata tersebutlah yang kemudian berubah menjadi

Karo.

Dari semua pendapat para ahli di atas, Dada Moeraxa memiliki pendapat yang berbeda.Beliau menyatakan bahwa kata Karo berasal dari bahasa Arab yaitu

“Qara‟a” yang artinya membaca. Jika pendapat beliau ini benar maka kata Karo ini sebenarnya ada ketika Islam datang ke tanah Karo, entah itu datang dari Barus atau Aceh namun dapat kita lihat telah ada kegiatan belajar-mengajar seperti belajar membaca, mengaji ataupun sembahyang.46 Teori qara‟a ini sendiri bukan tanpa sebab karena jika kita ingin melihat lebih jauh tentang masuknya Islam ke tanah Karo maka kita dapat menghubungkan dengan sebuah analisis yang

44 Darwin Prinst, Kamus Karo Indonesia, Medan: Bina Media, 2002, Hal. 4.

45Ibid.,

46 Dada Moeraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera, Medan:Penerbit tidak diketahui . 1974, Hal. 54. Pendapat Dada Moeraxa juga dikutip oleh Tridah Bangun dalam bukunya Manusia Batak Karo, Hal. 26. Bujur Sitepu juga mengutip pendapat beliau, dapat dilihat pada bukunya Mengenal Kebudayaan Karo, Hal. 5.

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menyatakan bahwa kata Karo itu sendiri berasal dari bahasa Aceh yaitu “Krue” yang artinya takut. Diceritakan bagaimana ketika Orang-orang Aceh datang ke

Karo, mereka membawa perlengkapan senjata untuk melindungi dirinya, disamping mereka sendiri memiliki kesaktian yang cukup tinggi.Orang Karo yang melihat kedatangan Orang–orang Aceh ini pun menjadi ketakutan dan memutuskan untuk lari ke pedalaman. Sikap ketakutan Orang Karo inilah yang kemudian disebut “krue” atau Karo.

Terakhir adalah pendapatnya Neumann.Ketika J.H Neumann datang ke tanah Karo, pada awalnya ia sangat sulit untuk menelusuri darimana asal kata

Karo. Menurutnya, kata Karo telah ada jauh sebelum adanya “Merga Silima”. Dia berkesimpulan bahwa dulunya daerah tinggi dataran Karo telah dinamai Karo, sehingga masyarakat yang tinggal di daerah tersebut di namai dengan orang

Karo.47

2.3 Asal Usul Nenek Moyang Suku Karo

Jika asal kata Karo masih mengalami banyak perdebatan maka darimana asal usul nenek moyang Suku Karo pun tidak kalah rumitnya dan masih meninggalkan banyak polemik dikalangan para ahli itu sendiri.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa semua etnis Batak itu berasal dari keturunan si Raja Batak yang kemudian nanti menurunkan beberapa etnis Batak lainnya yang ada di Sumatera Utara seperti Toba, Mandailing, Simalungun,

47 J.H Neumann, Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan, Jakarta: Bhatara, 1972, Hal 7.

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pakpak, Angkola dan Karo. Bahkan etnis Nias juga disebut memiliki keterkaitan dengan Batak, sekalipun bahasanya sangat jauh berbeda dengan bahasa Batak.48

Pendapat tentang Raja Batak yang menjadi asal usul dari suku-suku Batak yang ada di Sumatera Utara ini dapat dilihat pada karya J.C Vergouwen yang berjudul Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Menurutnya, semua orang

Batak berasal dari si Radja Batak.Si Radja Batak ini sendiri adalah keturunan dari para Dewa.Si Borudeakparudjar yang merupakan ibu dari si Radja Batak ini diutus oleh Debata MulajadiNabolon untuk menciptakan bumi. Setelah bumi terbentuk, ia memutuskan bermukim di Siandjurmulamula. Kampung itulah yang menjadi asal mula tempat tinggal si Radja Batak yang terletak di lereng Gunung

Pusuk Buhit.Orang Batak Toba memandangnya sebagai tempat dimana seluruh orang bangsa Batak, termasuk Batak Karo.49

Si Raja Batak ini sendiri diperkirakan hidup sekitar tahun 1200 atau permulaan abad XIII.Ia tinggal di kaki Gunung Pusuk Buhit sekitar Danau Toba yang kemudian kampungnya kita kenal dengan nama Sianjur Mula-mula.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa si Raja Batak ini berasal dari India yang datang melalui Barus.50 Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ia datang dari Thailand. Tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa si Raja Batak ini berasal

48 Payung Bangun, Kebudayaan Batak”, dalam Koentjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1995, Hal 95.

49 Informasi yang lebih detail dapat kita lihat, J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKis, 2004), Hal. 7. Lihat juga, Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, Jakarta: Gramedia, 2001, Hal.3-5.

50 Martin L. Perangin-angin, Orang Karo Diantara Orang Batak: Catatan-catatan Penting Tentang Eksitensi Masyarakat Karo, Jakarta: Pustaka Sora Mido, 2004, Hal.2.

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dari Alas Gayo yang kemudian berkenal ke daerah Selatan dan bermukim di daerah Toba.51

Pendapat tentang asal usul orang Batak ini juga dikemukan oleh Bungaran

Antonius Simanjuntak. Beliau mengutip Harahap yang menyatakan ada beberapa pendapat tentang asal usul Suku Batak. Pendapat pertama menyatakan bahwa suku Batak berasal dari India (maksudnya Hindia Muka) lalu pindah ke Burma, turun ke Tanah Genting Kra, kemudian berlayar ke Barat dan sampailah ke

Sumatera. Dari Tanjung Balai mereka menuju Simpang dan tibalah ke

Danau Toba. Dapat juga menyusuru Labuhan Deli lalu dari Sungai Wampu naik ke Tanah Karo dan kemudian turun ke Danau Toba. Kemudian Harahap juga menambahkan di dalam perjalanan perpindahan Orang Batak tadi tanpa menyatakan darimana asal pindahnya namun sampai ke Malaka lalu berlayar ke

Aceh, menyusuri Pantai Barat Aceh, tiba di Barus kemudian naik ke Dairi, dari situ pindah lagi ke Pusuk Buhit di Samosir. Adapun pendapat kedua menyatakan bahwa orang Batak berasal dari Filipina lalu turun ke Selatan yakni

Selatan yang melahirkan Suku bangsa Bugis dan Makasar. Kemudian mereka

51Berdasarkan silsilahnya dikatakan bahwa si Raja Batak ini memiliki tiga orang anak yaitu Guru Tateambulan, Raja Isumbaon, dan Toga Laut. Keturuan dari Guru Tateambulan inilah yang menurunkan induk marga Batak Toba antara lain, Lontung, Naiambaton, Borbor, Naisuanon dan Nairasaaon. Keturunan Raja Isumbaon antara lain, Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalindang. Menurut legenda bahwa kedua putra Raja Isumbaon yaitu Raja Asi0asi dan Sangkar Somalindang inilah yang pergi merantau ke Dairi dan kemudian ke Tanah Karo.Diperkirakan dari salah satu merekalah yang kemudian melahirkan keturunan yang bernama Nini Karo dan menjadi leuhur dari Orang Karo itu sendiri. Lihat, Ibid. Hal.2.

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berlayar ke barat dan tibalah di Lampung, lalu menyusuri Pantai Barat Sumatera dan tibalah di Barus.Dari Barus mereka naik ke Samosir di Danau Toba.52

Namun tidak semua ahli setuju dengan pendapat yang dikemukan di atas.Roberto Bangun sendiri menyatakan bahwa Suku Karo bukan berasal dari si

Raja Batak. Menurut pendapat beliau, adapun nenek moyang suku Karo berasal dari India selatan yang berbatasan dengan Myanmar.53

Sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Roberto Bangun, menurut pendapatnya Sempa Sitepu bahwa orang Karo bukanlah berasal dari si Raja

Batak. Menurutnya bahwa orang Karo berasal dari seorang raja yang pergi bersama rombongannya berusaha mencari daerah yang subur untuk membangun sebuah kerajaan yang baru.Tidak disebutkan kapan dan dimana peristiwa itu terjadi, namun seorang pengawalnya yang bernama Si Karo lalu menikahi salah seorang anak perempuannya yang bernama Miansari. Didalam perjalanan mencari tanah yang subur tadilah kemudian rombongan ini diterpa angin rebut sehingga rombongan menjadi terpisah dan akibatnya ada yang terdampar di Pulau Berhala.

Si Karo dan Miansari pun ikut terpisah dari rombongannya. Mereka pun berjuang memakai rakit dan tibalah disebuah pulau yang bernama “Perbulawanen” yang artinya perjuangan yang kemudian kita kenal dengan daerah Belawan.54

52 Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, Hal. 26

53Dapat dilihat pada buku, Roberto Bangun, Mengenal Orang Karo, pada Bab I dan II.

54 Martin L.Peranginangin, Orang Karo Diantara Orang Batak: Catatan-catatan Penting Tentang Eksitensi Masyarakat Karo, Jakarta: Pustaka Sora Mido, 2004, Hal. 4. Beliau sendiri

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kemudian, dari sanalah mereka menyusuri Sungai Deli dan Babura dan sampailah mereka ke sebuah Gua Umang di daerah Sembahe.Mereka pun memutuskan untuk menetap di dataran tinggi tersebut. Dari situlah asal mula perkampungan di dataran Tinggi Karo.Selanjutnya Sempa menyatakan bahwa dari perkawinan si Karo dengan Mainsari inilah melahirkan tujuh orang anak.Keenam anak mereka berjenis kelamin perempuan yang diberi nama: Corah, Unjuk,

Tekang, Girik, Pagit, dan Jile. Anak bungsu merekalah yang berjenis kelamin laki-laki dan diberi nama Meherga (artinya yang berharga) atau Mehaga (artinya penting) sebagai pelanjut garis keturunan mereka.55 kemudian Meherga menikah dengan anak saudara bungsu Miansari yang bernama Cimata. Mereka melahirkan lima orang anak laki-laki yang nama anak mereka merupakan lima induk marga pada Suku Karo. Anak pertama diberi nama Karo. Kedua Ginting, ketiga

Sembiring, keempat Perangin-angin dan si bungsu adalah Tarigan.56

Selain pendapat yang telah dikemukan di atas, ada pendapat lagi yang menyebutkan bahwa Orang Karo berasal berasal dari Yunan, Cina Selatan dimana kedatangan mereka menyusuri Siam dan Indo China menuju pantai Timur dan sebagian utara. Orang Karo sendiri merupakan salah satu etnik keturunan bangsa

Proto Melayu (Melayu Tua) yang tiba ke Pantai Timur Sumatera kemudian tinggal didaerah sekitar Pangkalan Brandan.Jadi dapat disimpulkan bahwa Orang

mengutip dari bukunya Sempa Sitepu yang berjudul Sejarah Pjer Podi, Adat Ngeluh Suku Karo Indonesia.

55Ibid.,

56Ibid.,

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Karo merupakan bagian dari bangsa Proto Melayu yang berasal dari Yunan, Cina

Selatan.

Menurut pendapat Lukman Sinar di dalam bukunya Wara Sinuhaji yang berjudul Aktifitas Ekonomi dan Perkembangan Enterpreneurship Masyarakat Karo

Pasca Revolusi di Sumatera Utara 1950-1965menyatakan bahwa orang Karo termasuk dalam ras Proto Melayu dengan ciri fisik seperti berambut tidak keriting, berkulit sawo matang, sedangkan berkepala brachicepal. 57 Hal ini dikarenakan jauh sebelum kedatangan ras Proto Melayu ke daerah tersebut telah tinggal ras Negrito yang berciri fisik yaitu rambut yang keriting, berkulit hitam, dan bertubuh kecil.Mereka inilah yang kita kenal dengan sebutan orang Umang

(orang Karo pada zaman purba) yang hidup pada zaman Paleolithikum hingga

Neolithikum, tinggal di dalam gua batu dan peninggalannya sampai kini masih ditemukan di dataran tinggi Karo, Langkat, Deli dan Serdang.58

Adapun ciri-ciri orang Umang ini yaitu berjalan dengan jari yang dibengkokkan ke bawah sehingga jika berjalan maka yang tersentuh ke tanah adalah bagian atas dari jari kakinya.Orang Umang ini diyakini memiliki kemampuan sihir, ahli bangunan dan senang menolong.Kedatangan ras Proto

Melayu tersebutlah kemudian mendesak dan bercampur dengan ras Negrito yang telah datang dan bermukim duluan, di mana ras Proto Melayu ini masuk melalui

57 Wara Sinuhahi, Aktifitas Ekonomi dan Perkembangan Enterpreneurship Masyarakat Karo Pasca Revolusi di Sumatera Utara 1950-1965, op.cit., Hal.24.

58Ibid.,

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pantai Timur Sumatera atau sekitar Pangkalan Brandan dan Belawan.59 Dengan demikian, dari uraian ini dapat pula diambil kesimpulan sementara orang Karo adalah hasil percampuran atau akulturasi biologis apa yang sekarang dinamakan dengan Hindia atau Indocina. 60 Kiranya apa yang dikemukakan oleh Lukman

Sinar dan Wara Sinuhaji tersebut sejalan dengan apa yang diutarakan oleh E.P

Gintings dalam bukunya yang berjudul Religi Karo yang menyatakan bahwa:

…Suku Karo mempunyai beberapa lapisan asal-usul, ada lapisan asli Proto Melayu, disusul pengaruh Deutro Melayu (Kebudayaan Dongson), kemudian datang pula pengaruh Hindu. Dari pelapisan pengaruh budaya tadi percampuran daerah dan budaya dan tidak ada yang kalah atau yang menang, sebab semua yang baru dapat diterima sepanjang mengemban adanya keserasian (keselarasan dan keseimbangan).61 Roberto Bangun memiliki pendapat tentang bagaimana akhirnya orang

Karo terpusat penduduknya di dataran tinggi Karo. Menurutnya, datangnya suku

Karo dari pesisir (Deli, Langkat dan Serdang) dikarenakan datangnya Ras Deutro

Melayu serta karena pada abad ke-8 adanya penyerangan dari Kerajaan Mataram ke Pantai Timur dan Barat Sumatera, kemudian terjadi peperangan kerajaan Haru

(Karo) dengan kerajaan Majapahit pada tahun 1331-1364. Migrasi pun terus berlanjut hingga ke dataran tinggi Karo, terutama daerah Dairi dan Toba seperti

59Ibid.,

60 J.H Neumann, Sedjarah Batak Karo, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1972, Hal. 11-23.

61 E.P Gintings, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru, : Abdi Karya, 1999, Hal.2.

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Marga Lingga, Barus, Sitepu, dan lain-lain.Mereka kemudian menetap dan mendirikan perkampungan atau kuta.62

Kemiripan suku Karo dengan India juga tidak dapat dipungkiri.Hal ini dapat kita lihat bagaimana orang Karo yang beragama Hindu pada tahun 1939 pernah melakukan pembayaran mayat di Perbesi dan Buah Raya.Tidak hanya itu, pakaian Guru (yang dalam hal ini adalah dukun bagi orang Karo) mirip dengan pendeta Hindu yaitu berwarna putih. Sub Marga pada etnis Karo seperti

Brahmana, Colia, Pandia, Lingga dan Meliala juga diduga memiliki keterkaitan dengan agama Hindu dari India.

Hal inilah kemudian nantinya kenapa kepercayaan Pemena sangat dikaitkan dengan agama Hindu. Seperti yang diketahui pada kepercayaan Pemena menganut perwujudan Tuhan ke dalam tiga bentuk yaitu: Dibata Di atas (Dibata

Kaci-kaci), Dibata Tengah (Dibata Ni Aji), dan Dibata Teroh (Banua Koling).

Pada agama Hindu juga memiliki perwujudan Tuhan ke dalam tiga bentuk yaitu

Dewa Brahmana (Pencipta alam), Dewa Wisnu (Pelindung alam), dan Dewa

Syiwa (Perusak alam). Kajian tentang Kepercayaan Pemena itu sendiri akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya.

Namun tidak dapat kita abaikan bahwa pengaruh Hindu pada masyarakat

Karo sangat terasa. Mohammad Said menyebutkan bahwa ketika Islam masuk pertama kali ke daerah Barus, agama Hindu menyingkir ke daerah Dairi dan

Tanah Karo pada kurun waktu tahun 1200-an. Pengaruh Hindu ini sendiri banyak

62 Roberto Bangun, Mengenal Suku Karo, Jakarta: Yayasan Pendidikan Bangun, 2006, Hal. 32.

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kita temukan di dalam kehidupan bermasyarakat Suku Karo. Hal ini dapat kita lihat dalam ritual-ritual kepercayaan yang berhubungan dengan tendi atau roh seperti di dalam ritual “erpangir kulau” dan “perselihi” dan lain-lain. Dalam pengucapan mantera-mantera di dalam ritual juga sering diawali dengan kata

“ong” yang memperlihatkan adanya pengaruh Hindu, sedangkan yang menggunakan kata “bismillah” menunjukkan adanya pengaruh dari agama

Islam.63

Pendapat dari Moh. Said dan Roberto Bangun ini sendiri sepertinya juga disetujui oleh E.P Gintings kembali yang sangat baik menjelaskan pengaruh

Hindu dengan religi dan budaya Karo. Beliau menyatakan bahwa:

Dalam lapisan sejarah Karo berikutnya, pengaruh Hindu pun memasuki Karo, yang membawa kepada Dewata. H. Parkin berpendapat dalam bukunya, “Batak Fruit of Hindu Thought”, bahwa orang India (Tamil) sebagai pedagang- pedagang masuk dari Pantai Barat, Barus, dan terus ke Dairi dan masuk ke Karo, kebalikan dari pengungsian Vietnam Utara yang memasuki Pantai Timur Sumatera pada abad III BC, bandingkan kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Maka terjadilah pertemuan kepercayaan serba roh (animisme) dan kepercayaan antara suku Karo yang Proto Melayu dan Deutro Melayu dengan orang India/Tamil secara serasi.64 Dari semua pendapat para ahli di atas pada dasarnya mereka menyetujui bahwa orang Karo itu berasal dari India walau mereka memiliki perbedaan pendapat mengenai rute perjalanan pendatang tersebut hingga sampai ke tanah

Karo. Akulturasi budaya para pendatang tersebutlah dan percampuran biologis

63Dalam hal ini Roberto Bangun mengutip pendapatnya Moh.Said didalam bukunya.Moh. Said sendiri sebenarnya ingin menegaskan bahwa Suku Karo itu ya Karo dan tidak ada sangkut pautnya dengan suku Batak. Lihat Bangun, Mengenal Orang Karo, Hal.73-74.

64 E. P Gintings, Op.cit.,Hal. 22.

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dari uraian di ataslah yang kemudian menghasilkan apa yang kita kenal dengan orang Karo.

2.4 Kebudayaan Suku Karo

Secara umum kata budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin yaitu colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai

“kultur” dalam bahasa Indonesia. 65 Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beseta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.66

Di dalam perwujudannya, budaya terdiri atas tiga bentuk, yaitu: Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia.67

65 Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos, 2001,Hal. 153.

66 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal.9.

67Ibid.,Hal.5.

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Wujud pertama kebudayaan ini sifatnya lebih abstrak artinya tidak dapat kita lihat bentuknya atau tidak dapat diraba. Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan inilah yang kita sebut dengan adat tata kelakuan atau adat istiadat.

Adat istiadat tersebutlah yang menjadi pengendali dalam bertingkah laku pada masyarakat. Adat istiadat tersebut memiliki beberapa lapisan.Pada lapisan pertama kita menyebutnya dengan sistem nilai budaya, sedangkan pada lapisan kedua kita menyebutnya dengan sistem norma-norma sosial yang sangat mengatur, mengendalikan dan memberi arah kehidupan bermasyarakat.

Suku Karo68 merupakan salah satu suku Bangsa Indonesia yang memiliki kebudayaan yang cukup tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dari materi budaya Karo yang lengkap antara lain: Pertama, Tatanan kehidupan Masyarakat Karo yang terikat dalam suatu sistem yaitu: Merga Silima, Tutur Siwaluh dan Rakut Sitelu.

Kedua, Tulisan dan bahasa Karo yang cukup kaya seperti istilah bisbis, cekurang, meluat, permalna, mbergohna, daluna, buganna, bajarna, iluh, dan sebagainya.Ketiga, Peralatan hidup yang cukup lengkap, seperti: kudin, tendang, ukat, kerpe, busan-busan, cuan, kiskis, capah, sapo, sangketen, kampoh, sekin, tajak, benangun, palas, ret-ret sangka mamok, dan sebagainya. Keempat, pembinaan rohaniah/ kepercayaan serta tata cara pelaksanaanya seperti ngalang tendi, persilihi, erpangir ku lau, dan sebagainya. Kelima, alat-alat kesenian Karo yang beragam jenisnya, sesuai dengan kepentingannya, seperti perangkat gendang, sarune, gendang, gunung, penganak, belobat, sordam, kulcapi, ketteng-

68 Suku Karo adalah suku bangsa yang mendiami wilayahSumatera Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Deli Serdang, diakses melalui www.wikepedia.com pada 9 Maret 2017, Pukul 11.57 Wib.

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ketteng, dan sebagainya. Keenam, ragam busana, baik untuk pria maupun wanita, bentuk busananya berbeda-beda dalam berbagai jenis dan ragam pesta contohnya pada pesta perkawinan, guro-guro aron,kemalangan, ngelandekken, galuh, dan sebagainya. Ketujuh, penentuan hari untuk turun ke ladang menanam padi, didasarkan kepada musim (semacam ramalan cuaca). Kedelapan, nama-nama hari, seperti aditia, suma, nggara, dan sebagainya.69

Berdasarkan ketujuh materi budaya Karo yang dipaparkan diatas, empat diantaranya dapat dijadikan sebagai penanda dan identitas orang Karo itu sendiri.Keempat identitas itu adalah Merga, kesenian, adat istiadat dan bahasa.Terkait dengan bahasa, setiap suku bangsa memiliki bahasa daerahnya sendiri-sendiri.Tetapi belum tentu semua suku bangsa memiliki aksaranya sendiri.Namun tidak berlaku untuk Suku Karo.Suku Karo tidak hanya memiliki bahasanya sendiri tetapi juga memiliki aksaranya sendiri. Menurut Henry Guntur

Tarigan, bahasa Karo adalah bahasa tertua kedua setelah bahasa Kawi atau bahasa

Sansekerta. Terkait dengan bahasa, menurut Henry, bahasa Karo inilah yang menjadi alat komunikasi utama para anggota masyarakat di Tanah Karo, bukan hanya dengan sesama orang Karo tetapi juga dengan para penduduk non pribumi seperti orang-orang Arab atau Cina juga harus menggunakan bahasa Karo.70 J. H

Neumann pun mengatakan bahwa orang Karo yang tinggal di Langkat, Deli

69 Sarjani Tarigan, Mengenal Rasa, Karsa, dan Karya Kebudayaan Karo, Medan: BABKI, 2016, Hal. 12.

70 Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta: Inti Idayu Press, 1986, Hal. 64. Dikutip dari Henry Guntur Tarigan dan Jago Tarigan, Bahasa Karo (Dep P & K, 1979).

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Serdang, Dataran Tinggi Karo bahkan sampai tanah Alas baik satu sama lain juga terikat oleh bahasa Karo.71

Berbeda pendapat dengan Henry Guntur Tarigan, di dalam disertasi

Payung Bangun yang berjudul Pelapisan Sosial di Kabanjahe, bagi orang Karo ada tiga pengikat dan sekaligus penanda orang Karo.Pertama, Marga atau Merga.

Setiap orang Karo memiliki marga. Menurut keputusan Kongres Budaya Karo tahun 1995 di Brastagi, salah satu keputusan yang diambil adalah merga-merga yang terdapat dalam Merga Silima adalah: Ginting, Karo-Karo, Peranginangin,

Sembiring dan Tarigan. 72 Dari kelima merga tadi melahirkan 83 sub merga.

Kelima merga diatas sering disebut juga dengan merga si lima.

Kedua, kampung. Bagi orang Karo, harus dapat menunjukkan dimana kampungnya. Ketiga adalah Norma. Setiap orang Karo harus mengakui dan menerima adat Karo sebagai norma yang harus dipatuhinya. Bagi Payung Bangun sendiri, beliau tidak memasukkan bahasa sebagai penanda kesukuan pada orang

Karo. Walaupun berbahasa itu sangat penting, namun ketidakmampuan seseorang berbahasa Karo bukan berarti menjadikan orang tersebut bukanlah Suku Karo.

Identitas merga, kampung dan norma sudah menandakan seseorang itu adalah orang Karo.

2.5 Sistem Kekerabatan Suku Karo

71Ibid., 72Sarjani Tarigan, op.cit., Hal.12.

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada dasarnya, kekerabatan pada Suku Karo didasarkan pada dua hal yaitu: hubungan keturunan yang didasarkan pada klan yang sama dan ikatan perkawinan 73 yang terjadi dengan orang Karo itu sendiri. Ikatan kekerabatan itulah yang mengatur kehidupan sosial-budaya masyarakat Karo. Setiap orang

Karo memiliki “status” tertentu pada peristiwa tertentu artinya tidak ada orang

Karo yang tidak memiliki “status” dan tidak ada orang Karo yang berani melanggar ketentuan tersebut. Tidak ada peraturan tertulis yang mengatur ketentuan tersebut tetapi masyarakat Karo seakan-akan sudah memahaminya dan dengan sadar untuk mematuhi kebiasan-kebiasaan tersebut.Orang Karo sangat memegang adat dan tradisinya. Adat itiadat itu diwariskan turun temurun kepada generasi berikutnya dalam bentuk pengetahuan dan pembelajaran pada kehidupan sehari-hari masyarakat sehingga masyarakat umumnya belajar dari apa yang mereka alami dan rasakan dalam kehidupan kesehariannya.74

Tatanan kehidupan bermasyarakat yang paling utama pada masyarakat

Karo adalah merga.75 Kata merga berasal dari kata meherga yang berarti mahal.Di dalam kamus kata merga berasal dari kata “erga” yang artinya harga, nilai barang yang dirupakan dengan uang, penghormatan, mahal tinggi harganya.Garis merga pada orang Karo diperoleh melalui garis keturunan ayah (patrilineal).76 Semua anggota dari satu marga memakai satu identitas yang dibubuhkan sesudah nama

73Sarjani Tarigan, op.cit., Hal. 12. 74 Tridah Bangun, op.cit., Hal. 87.

75 Darwin Prinst, op.cit., Hal. 187.

76 Payung Bangun, Pelapisan Sosial di Kabanjahe, Jakarta: Disertasi Universitas Indonesia, 1981, Hal. 55.

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kecilnya, dan nama marga itu merupakan pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek bersama.77

Dalam masyarakat Karo yang mengatur sendi kekerabatan adalah rakut si telu dan tutur si waluh.Marga Si Lima pada masyarakat tadi diikat di dalam rakut si telu (ikatan nan tiga) yaitu Kalimbubu, Senina dan Anak Beru serta tutur si waluh (delapan hubungan kekeluargaan) yaitu Sembuyak, senina, sipermen, anak beru, anak beru menteri, Kalimbubu dan puang kalimbubu. Sehingga apabila kedua orang Karo bertemu maka hal pertama yang mereka lakukan adalah ertutur untuk menetapkan tali kekerabatan.78 Menariknya walau garis merga diperoleh melalui garis ayah, namun ketika orang Karo bertutur maka mereka juga akan menanyakan beberenya.

Setelah mengetahui merga dan bere barulah hubungan kekerabatan tadi nampak. Pada Suku Karo, tidak ada individu baik itu dari Suku Karo itu sendiri atau di luar suku Karo yang tidak menjadi bagian dari rakut si telu selama masih ada ikatan perkawinan baik langsung ataupun tidak langsung dengan suku Karo tersebut. Memakai istilah yang dipergunakan oleh Bujur Sitepu maka rakut si telu pada suku Karo ibarat tenaga penggerak pada masyarakat. Masing-masing memiliki bagian dan fungsi tertentu pada kehidupan masyarakat dan ketiganya terikat dalam satu kesatuan utuh. Tetapi rakut si telu ini tidak berlaku abadi pada setiap individu artinya pada setiap kesempatan bisa saja si A memiliki kedudukan

77 T.O Ihromi “Pengantar” dalam J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Yogyakarata: LKiS, 2004, Hal. X. 78 Henry Guntur Tarigan, Percikan Budaya Karo, Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1988, Hal. 116-117.

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebagai kalimbubu79 maka pada kesempatan yang lain dapat menjadi senina80 atau anak beru81. Jadi setiap orang Karo akan pernah merasakan peran-peran tertentu.

Peran senina dalam acara adat biasanya bertugas sebagai pelaku utama dalam mensukseskan keberhasilan acara tersebut.Peran kalimbubu dalam hal ini sebagai penasehat, pengawal dan pemberi petunjuk agar acara adat dapat berjalan lancar.Sedangkan peranan anak beru adalah petugas lapangan pada acara adat tersebut.82

Supaya sistem rakut si telu ini dapat berjalam harmonis pada Orang Karo maka ada satu ungkapan yang menjadi doktrin dalam kehidupan Masyarakat Karo itu sendiri.Ungkapan tersebut adalah mehamat, erkalimbubu, metenget ersembuyak/ersenina, metami man anak beru.Yang artinya adalah hormat dan santunlah kepada kalimbubumu, pedulikah kepada seninamu dan timbang rasalah kepada anak berumu. Setidaknya ungkapan dalam kehidupan Masyarakat Karo tersebut sangat disetujui oleh Runtung Sitepu di dalam disertasinya yaitu:

Mehamat artinya bersikap hormat, sopan santun, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Konsep ini adalah suatu sikap yang harus dilakukan anak

79 Kalimbubu adalah pihak pemberi perempuan dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan orang Karo. Orang Karo meyakini bahwa Kalimbubu adalah pembawa berkat. Kalimbubu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak), (Lihat Roberto Bangun di dalam bukunya Mengenal Suku Karo).

80 Senina adalah hubungan kekerabatan berdasarkan marga yang sama (Lihat Tridah Bangun dalam bukunya Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, Jakarta: Kesaint Blanc, 1986).

81 Anak beru adalah pihak pengambil perempuan atau penerima perempuan untuk diperistri (Lihat Nalinta Ginting dalam bukunya yang berjudul Turi-turin Beru Rengga Kuning: Turi-turin Adat Budaya Karo, Deli Tua: Toko Buku Kobe, 1984).

82 Sukaria Sinulingga dan Ngadep Tarigan, Peranan Daliken Siteludalam Etnik Karo dalam Merekat Kesatuan Bangsa, Forkala, 2005, Hal. 71-73.

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berunya terhadap kalimbubunya, karena kalimbubuitu adalah Dibata Ni Idah (Tuhan yang kelihatan), yang akan memberi berkat kepada anak berunya. Medes artinya sama rasa, tidak membedakan antara satu dengan yang lain, sederajat, saling menghargai, saling menghormati. Konsep ini dipergunakan sesama anggota kelompok senina.Metami artinya suatu sikap suka menghargai orang lain, memberi pujian atas karya dan jerih payah orang lain. Konsep ini dilakukan dalam hubungan antara kalimbubu dengan anak beru.83 Selanjutnya mari kita lihat pernyataan Singarimbun di dalam bukunya yang berjudul Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak sebagai berikut:

“All person to whom any Karo is related by genealogical connection or by marriage are his kade‟-kade‟ relatives. His agnatic relatives are his sembuyak. The apposed category on non agnatic relatives (including non agnatic cognates and relatives by marriage) has no single word designation in the Karo language. This category is divided into two reciprocal categories, anak beru and kalimbubu (In Toba Batak anakberu and hulahula), each of which is further subdived according to whether the relationship is by birth of marriage”.84 Jadi dapat kita simpulkan bahwa Orang Karo di mana pun ia berada akan selalu dikaitkan dengan hubungan darah/perkawinan atau yang sering disebut juga dengan istilah kade-kade (hubungan kekeluargaan).

Sistem kekerabatan pada suku Karo ini telah berjalan sangat baik pada kehidupan masyarakat Karo. Masyarakat Karo sangat mematuhi aturan dari rakut si telu ini, sehingga melahirkan kehidupan yang tertib, damai, harmonis serta tersistem pada masyarakat.Setidaknya, dengan adanya rakut si telu ini tidak ada orang Karo yang merasa terpinggirkan atau tersisihkan dari kehidupan sosial dan ekonomi ditengah-tengah masyarakat.

83 Runtung Sitepu, Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Berastagi, Disertasi Universitas Sumatera Utara: Medan, 2002, Hal. 172. 84Masri Singarimbun, Kinship, Descent, and Alliance among the Karo Batak, California: University of California Press, 1975, Hal. 97.

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kembali dalam konsep merga di atas yang menarik garis keturunan berdasarkan garis keturunan ayah atau yang kita sebut dengan sistem patrilinear85 maka untuk menujukkan identitas kemergaan seseorang, selalu dibubuhkan dibelakang namanya identitas merga tersebut. Sehingga jika kita menemukan seseorang dengan merga yang sama maka akan terjalin suatu keyakinan bahwa orang tersebut memiliki hubungan darah dengan kita, dan akibatnya kita tidak boleh menikahi seseorang dengan marga yang sama dengan kita.86

Sistem patrilinear sangat jelas dalam kehidupan masyarakat Karo khususnya didalam perkawinan dan pembagian harta waris pada Suku Karo.

Pembahasan lebih lanjut mengenai sistem perkawinan pada Suku Karo akan dibahas pada berikutnya.

2.6 Sistem Perkawinan Pada Suku Karo

Pada masyarakat yang menganut garis keturunan berdasarkan sistem patrilinear maka perkawinan yang dilakukan akan berbentuk perkawinan eksogami. Contohnya pada perkawinan jujur pada suku Batak mengharuskan adanya perbedaan klan antara mempelai laki-laki dengan perempuan. Artinya pihak laki-laki menarik pihak perempuan untuk bergabung di dalam klannya.

85 Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda.Patrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang berarti garis.Jadi, patrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah.Sementara itu, patriarkat berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu pater yang berarti "ayah", dan archein yang berarti memerintah. Jadi, patriarki berarti kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal pada Rabu, 24 Januari 2018, Pukul: 05.45 Wib. 86Runtung Sitepu, op.cit., Namun penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada T.O Ihromi di dalam “kata pengantar”, Masyarakat dan Hukum… Hal.x-xi.

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penarikan tersebut menyebabkan pihak perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota keluarga pihak laki-laki. Biasanya penarikan pihak perempuan tersebut harus disertai dengan pemberian jujur (bruidshaadt) berupa barang-barang suci (mukaddas) atau yang memiliki nilai magis kepada keluarga pihak perempuan.87

Mengutip pendapat Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas dan

Susunan Hukum Adat mengenai perkawinan jujur mengatakan bahwa:

Penyerahan uang dan barang-barang dari phak suami kepada kerabatnya si istri dengan maksud memasukkan si istri ke dalam golongan suami, sedemikian rupa sehingga anak-anaknya yang akan lahir sebagai angkatan mudanya bagi klannya si suami untuk meneruskan klannya, itulah jujur (bruidchat) yang setepat- tepatnya (dalam arti teknis hukum adat). Pertukaran barang-barang atau hadiah- hadiah lainnya selain dari pada itu, yang diadakan karena perkawinan, seharusnya diberi sebutan dengan istilah lain. Jadi perkawinan jujur itu (untuk mempertahankan susunan hukum bapak).88 Pada masyarakat Karo, perkawinan mengandung arti yang luas karena perkawinan bukan saja menyatukan seorang laki-laki dan perempuan tetapi juga menyatukan dua keluarga/ klan yaitu keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Perkawinan inilah yang kemudian membentuk rakut sitelu yang baru yaitu hubungan antara kalimbubu dan anak beru karena perkawinan. Ada dua tujuan perkawinan pada Suku Karo: pertama, untuk memperluas hubungan kekeluargaan (pabelang kade-kade)89 dan untuk melanjutkan keturunan. Seperti

Suku Batak lainnya, memiliki anak laki-laki sangat penting bagi Suku Karo,

87 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung: Alumni, 2002, Hal, 176

88 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Liberty, 1991, Hal. 167.

89Jamal Sebayang, Hukum Waris Pada Masyarakat Karo Muslim (Studi di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo), Tesis PPS USU, 2006, Hal. 17.

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA namun bukan berarti anak perempuan tidak memiliki arti. Suku Karo sendiri mengenal konsep “beranak dua” yaitu laki-laki dan perempuan yang diibaratkan dengan matahari dan bulan.Itulah kenapa di dalam upacara adat, pihak rakut sitelu dalam memberikan wejangan kepada para pengantin selalu mendoakan agar pengantin memperoleh keturunan anak laki-laki dan anak perempuan.90

Selayaknya masyarakat yang menganut sistem patrilinear, Suku Karo juga menerapkan perkawinan dengan penyerahan uang jujur (unjuken). Seperti yang diutarakan sebelumnya tentang perkawinan jujur, maka pemberian uang jujur kepada pihak perempuan itu adalah syarat penting yang harus dipenuhi pihak laki- laki. Tanpa adanya pemberian uang jujur tersebut maka perkawinan tersebut bisa dikatakan tidak sah secara adat.

Di dalam melaksanakan perkawinan berdasarkan adat Karo maka adapun tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan antara lain:

Tahapan pertama adalah Ngembah Belo Selembar yang berarti membawa sirih, kapur, tembakau, pinang di dalamnya. Pada dasarnya, tahapan ngembah belo selembar ini bertujuan untuk menanyakan kesediaan dari calon pengantin perempuan beserta keluarganya.Disinilah diadakan musyawarah antara sirembah kulau (bibi calon pengantin perempuan) dan singaloulu emas (paman calon pengantin laki-laki).Jika keikhlasan tercapai di dalam musyawarah tersebut maka tahapan selanjutnya adalah menentukan gantang tumba/batang unjuken (besar kecilnya uang mahar) bagi pihak keluarga perempuan.Kemudian pada tahapan ini

90 Runtung Sitepu, op.cit., Hal. 20.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA juga diberikan penindih pundun (tanda pengikat dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan). Pada tahapan ini juga dibicarakan tentang pengaturan pesta adat serta persiapan untuk tahapan selanjutnya yaitu nganting manuk.

Kedua adalah Nganting Manuk. Secara etimologi, nganting manuk adalah

“menenteng ayam”.Pada tahapan ini adalah untuk mematangkan kembali hasil musyawarah yang terjadi di tahapan sebelumnya yaitu ngembah belo selembar.

Disini kembali lagi menanyakan tentang keikhlasan pihak kalimbubu, namun sebenarnya ini hanyalah bunga-bunga ranan (basa-basi) saja. Sebenarnya pembicaran di dalam acara nganting manuksama dengan ngembah belo selembar yaitu tentang persiapan pesta adat namun di dalam acara nganting manuk inilah segala hasil keputusan sudah berubah menjadi prinsip dan tidak dapat diubah lagi.

Jikapun ada perubahan itu biasanya karena terjadi bencana, penyakit, dan lain- lain. Itulah kenapa sekarang ini, masyarakat Karo sering menggabungkan acara ngembah belo selembar dengan nganting manuk.Istilah yang popular dalam

Bahasa Karo dewasa ini adalah mbaba belo selembar itingkatken ku nganting manuk.91

Ketiga adalah mata kerja atau hari H pesta perkawinan.Bagi orang Karo, pesta adat ini dilaksanakan sebagai pembayaran hutang adat yang harus dilunasi oleh pihak orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan.

91 Sarjani Tarigan, Mengenal Rasa, Karsa, dan Karya Kebudayaan Karo, Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia, 2016, Hal. 34.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Orang tua laki-laki membayarkan hutang adat kepada singalo ulu emas, sedangkan orang tua perempuan membayar hutang adat kepada singalo bebere.92

Keempat mukul. Setelah pesta adat selesai, maka kedua calon pengantin tadi telah resmi menjadi suami istri, maka masuklah mereka kedalam tahapan berikutnya yaitu mukul.Mukul sendiri artinya menyatukan jiwa antara kedua keluarga besar.Tahapan mukul ini diadakan di rumah orang tua pengantin laki- laki.Pada acara mukul inilah diadakan acara mecahken tinaroh (memecahkan telur) serta acara ngerebuken atau pelarangan untuk berbicara/bersentuhan dengan ayah mertua terhadap menantu perempuannya serta ibu mertua terhadap menantu laki-lakinya. Biasanya dalam acara ini pihak kalimbubu akan membawa makanan berupa ayam gulai, air nira dan lain-lain. Lalu makanan ini dihidangkan dan pengantin disuruh memakannya bersama didalam satu piring. Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua pengantin laki-laki maka kedua pengantin selanjunya akan diantar oleh anak berunya ke rumah orang tua perempuan. Hal ini dilakukan untuk mengambil barang atau pakaian pengantin perempuan yang masih ada di rumah orang tuanya.Acara ini dinamakan ngulihi tudung atau mengembalikan tudung.

Melihat banyaknya tahapan yang harus dilakukan didalam perkawinan adat Karo maka dapat kita lihat bagaiamana peranan runggu atau musyawarah selalu diadakan didalam semua tahapan. Biasanya pihak yang hadir dalam musyawarah tersebut pada pihak perempuan antara lain: gadis yang dilamar, sukut

(orang tua), sembuyak, senina sikaku ranan, kalimbubu singalo bere, singalo

92Ibid., Hal. 35.

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perbibin dan anak beru. Sedangkan dari pihak laki-laki antara lain: pemuda yang melamar, sukut (orang tua), sembuyak, senina sikaku ranan, kalimbubu singalo ulu emas dan anak beru yang membawa seserahan berupa kampil yang berisi peralatan rokok, korek api, daun sirih dan tembakau.93

Bagi masyarakat Karo, dengan adanya perkawinan jujur ini, maka ada tiga akibat hukum yang terjadi.Pertama, perkawinan jujur ini, istri bukan saja masuk ke dalam klan suaminya namun suaminya juga memiliki kontrol penuh terhadap istrinya. Maka di dalam semua tindakannya, istri memiliki tanggung jawab dan harus meminta restu suaminya atau kerabat suaminya. Kontrol suami terhadap istrinya juga dilakukan walaupun suaminya telah meninggal. Hanya saja itu dilakukan oleh kerabat suaminya terhadap si janda tersebut.Ikatan ini baru terputus ketika si janda mengembalikan uang jujur yang diterima kerabatnya kepada kerabat mendiang suaminya.94

Kedua, semua anak yang lahir dari ikatan perkawinan tersebut akan masuk ke dalam klan si ayah. Baik itu anak laki-laki atau anak perempuan berhak menempelkan marga ayahnya dibelakang namanya. Si ayah juga memiliki tanggung jawab penuh akan hidup anaknya sampai si anak ke jenjang pernikahan.

Jika hubungan kedua orang tua si anak putus (cerai) maka si anak harus tetap tinggal bersama ayahnya.

93Ibid., Hal. 38.

94 Runtung Sitepu, op.cit.,Hal. 34.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Ketiga, semua harta pernikahan yang diperoleh sebelum atau sesudah pernikahan, baik itu berupa harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, hasil pencarian bersama suami dan istri, barang-barang hadiah itu diatur berdasarkan prinsip kekerabatan yang dianut oleh masyarakat setempat atau bagaimana bentuk perkawinan yang dilakukan oleh suami istri bersangkutan. Hal inilah yang nanti akan mempengaruhi sistem waris adat pada suku Karo itu sendiri.

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

AGAMA DAN KEPERCAYAAN PADA SUKU KARO

Pada bab ini, peneliti akan mengkaji tentang agama dan kepercayaan yang dianut oleh Suku Karo. Pada bab inilah peneliti akan menguraikan tentang bagaimana sebenarnya religi memegang peranan yang sangat besar pada manusia dalam hidupnya. Kajian ini sangat penting karena disini peneliti akan membahas tentang apa itu kepercayaan Pemena, konsep kepercayaan Pemena hingga masuknya agama-agama resmi yang diakui pemerintah ke Tanah Karo.

3.1 Sistem Religi Suku Karo95

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, religi adalah kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; kepercayaan berupa animisme dan dinamisme. Sedangkan kepercayaan adalah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau tidak termasuk kedalam agama.96

Berangkat dari pengertian di atas, ternyata Suku Karo sejak dahulu telah memiliki sistem kepercayaannya sendiri. Suku Karo memiliki kepercayaan terhadap Sang

Pencipta yang disebut “Dibata Kaci-Kaci”. Bagi Suku Karo, alam semesta dibagi atas tiga dunia yaitu: Dunia atas, Dunia tengah dan Dunia bawah. Ketiga bagian dunia ini menjadi tempat kedudukan Tuhan atau “Dibata Kaci-Kaci”.97

95 Judul bab ini diambil dari Bukunya Pdt Dr. E.P Gintings yang berjudul “Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanhaje, 1999).

96 Prof. Dr. H.M Rasjidi, Buku Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1980.

97 Pdt. E.P Gintings, op.cit., Hal. 1

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Orang karo sejak zaman prahistoris percaya adanya “Dibata” yakni

“Dibata Kaci-Kaci” yang menciptakan segala yang ada di bumi dan jagat raya.98

Bagi suku Karo, kepercayaan yang mereka percayai inilah yang disebut

Dinamisme 99 dan Animisme 100 . Pada tingkat kepercayaan inilah, masyarakat melakukan penyembahan dan pemujaan kepada yang dianggap suci, di mana pemujaan tersebut dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.

Orang Karo yang saat itu masih berfikir mistis sangat mempercayai bahwa hidupnya dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis. Hal itulah kemudian pada tingkat yang lebih tinggi, pada Suku Karo muncul konsep “Guru Sibaso”. Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai tabib. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara tradisional bagi orang Karo.101

Sistem kepercayaan animisme dan dinamisme pada Suku Karo ini berasal dari zaman Pra-Hindu yakni sejak bangsa Proto-Melayu yang menjadi nenek moyang Orang karo. 102 Namun ketika Hindu masuk ke tanah Karo, konsep animisme dan dinamisme yang dipercayai Suku Karo ini kemudian berakulturasi

98 Pdt. E.P Gintings, op.cit., Hal. 1

99 Dinamisme (dalam kaitan agama dan kepercayaan) adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempat-tempat tertentu, seperti pohon-pohon besar, diakses melalui wikepedia.com Pada 20 November 2017, Pukul. 20.55 Wib.

100 Kepercayaan animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dn roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul dikalangan primitive, diakses melalui wikepedia.com pada 20 November 2017, Pukul 20.58 Wib. 101 Sri Alem Sembiring, (Guru) Tabib Dalam Masyarakat Karo: Kajian Antropologi Mengenai Konsep Orang Karo Tentang Guru Dan Kosmos (Alam Semesta), Medan: USU Digital Library, 2002, Hal.1.

102E.P Gintings, op.cit., Hal. 2.

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan baik, sehingga konsep dewata pada Agama Hindu kemudian menjadi

Dibata bagi suku Karo.

Akulturasi kepercayaan animisme dan dinamisme dengan agama Hindu pada suku Karo ini kemudian melahirkan beberapa ritus-ritus kepada roh-roh atau benda-benda yang dianggap gaib seperti: ritus-ritus kepada roh pelindung desa seperti “Buah Huta-Huta”, “Nini Pagar”, lalu ada pula ritus kepada roh pelindung keluarga seperti “Begu Jabu” berupa Simate-sadawari (merujuk kepada roh-roh yang meninggal seketika) contohnya roh bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh atau orang yang meninggal sebelum menikah biasanya akan dipuja sebagai roh pelindung keluarga yang disebut “Begu Bicara Guru”.

Ada juga roh bayi yang meninggal sejak kandungan ibunya disebut “Begu Batara

Guru”.

Sistem religi masyarakat Karo yang membagi alam semesta atas tiga dunia dimana Dibata kaci-Kaci tinggal terdiri atas:

1. Dibata Atas atau Tuhan di atas, sering disebut juga sebagai “Batara Guru”.

Adapun tugas dari Batara Guru adalah menjaga dunia bagian atas meliputi semua yang ada di angkasa dan segala isinya. Batara Guru juga bertugas untuk melindungi alam semesta dan isinya, memelihara segala berkat dan kebaikan.

2. Dibata Tengah atau Tuhan di tengah, sering disebut juga sebagai Tuan

Padukah Ni Aji”. Adapun tugas dari Tuan Paduka Ni Aji adalah menjaga dunia tengah yaitu bumi kita ini.

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3. Dibata Teruh atau Tuhan di bawah, sering disebut juga sebagai Tuhan Banua

Koling. Adapun tugas Tuhan Banua Koling adalah sebagai penguasa dunia bawah, sering disebut juga sebagai penguasa kematian. Suku Karo menyebut ketiga konsep di atas dengan istilah “Dibata Si Telu”.

Selain konsep Dibata Si telu, Suku Karo juga meyakini ada dua unsur kekuatan lain yaitu “Sinar Mata Niari” dan “Siberu Dayang”.

Orang Karo meyakini bahwa Sinar Mata Niarilah yang bertugas sebagai perantara antara “Batara Guru”, “Tuan Padukah Ni aji” dan “Tuhan Banua

Koling”. Dengan adanya Sinar Mata Niari inilah alam semesta menjadi seimbang sehingga dunia yang diciptakan oleh Dibata Kaci-Kaci tetap harmonis dan

“Dibata si Telu” dapat menjalan tugasnya dengan tertib. Tidak hanya bertugas sebagai perantara, Sinar Mata Niari juga berfungsi sebagai pemberi penerangan, mengatur terbit dan terbenamnya matahari.

Orang Karo juga meyakini adanya “Siberu Dayang”. Adapun yang dimaksud dengan Siberu Dayang adalah roh seorang wanita yang bertempat tinggal di bulan. Masyarakat Karo mengibaratkan bahwa bulan mencerminkan sosok dari Siberu Dayang tersebut. Sehingga tidaklah mengherankan kemudian masyarakat Karo khususnya perempuan-perempuan Karo berharap dan mengajarkan putri-putrinya untuk bersikap dan bertutur kata layaknya seorang putri serta dapat memenuhi segala-galanya bagi dirinya dan keluarganya seperti layaknya Siberu Dayang tersebut. Siberu Dayang sendiri memiliki tugas untuk membuat bumi tempat tinggal Tuan Paduka ni Aji kuat dan tangguh serta tidak

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dapat diterbangkan oleh angin topan. Setelah hujan turun, Siberu Dayang akan muncul dalam wujud pelangi.

Konsep “Dibata Si Telu” serta “Sinar Mata Niari” dan “Siberu Dayang” pada Orang Karo ini memperlihatkan bagaimana sifat yang dimiliki “Dibata Kaci- kaci” tersebut. Hal ini menujukkan bahwa Tuhan itu bersifat kekal dan tidak ada satu manusia pun yang dapat merubahnya. Dibata Kaci-Kaci dalam wujud

“Dibata Si Telu”, serta “Sinar Mata Niari” dan “Siberu Dayang” memperlihatkan bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaanya-Nya. Adanya

Dibata Kaci-Kaci pada kepercayaan orang Karo mengungkapkan bahwa kehadiran Tuhan yang tak terlihat merupakan simbol dan bentuk iman dalam kehidupan orang Karo itu sendiri.

Dibata ini disembah oleh masyarakat agar manusia memperoleh keselamatan, dijauhkan dari segala marabahaya dan wabah penyakit, serta selalu dilimpahkan dengan rezeki. Itulah kenapa masyarakat Karo percaya bahwa ada tenaga-tenaga besar yang hinggap di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau tempat lain. Tempat-tempat tersebut dianggap keramat oleh masyarakat.

Dan apabila tenaga gaib yang memiliki kekuatan besar dari sang Pencipta; dalam hal ini adalah Dibata Kaci-Kaci yang menguasai alam semesta baik jagad raya hingga dunia bawah dipuja oleh masyarakat maka semua keinginan akan terkabul.

Oleh karena itu, masyarakat yang berkepercayaan melakukan berbagai macam cara untuk penyembahan tersebut.

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bagi masyarakat Karo, alam semesta ini dipenuhi dengan sekumpulan tendi (roh). Semua bagian pada dunia ini diisi dengan tendi. Kesatuan dari seluruh tendi inilah yang meliputi seluruh yang ada di dalam Dibata sebagai kesatuan keseluruhan dari “makro kosmos” yaitu alam semesta. Manusia adalah bagian kecil dari alam semesta yaitu “mikro kosmos” atau semesta kecil. Masyarakat

Karo juga mempercayai bahwa dalam diri manusia terdiri atas tiga yaitu: Tendi

(Jiwa), Begu (Roh orang yang sudah meninggal), dan Hantu. Apabila seseorang meninggal maka tendi akan hilang, lalu tubuhnya akan membusuk namun tidak untuk begunya. Tendi dan aku seseorang tidak dapat dipisahkan karena merupakan kesatuan yang utuh, sehingga apabila tendi berpisah dari aku seseorang maka orang tersebut akan sakit. Apabila tendi tidak kembali maka seseorang tersebut akan meninggal.103 Disinilah diperlukan adanya pengobatan untuk pemanggilan tendi. Dalam hal ini, manusia tidak bisa berhubungan langsung dengan tendi tersebut. Adapun penghubung dengan roh-roh tersebut dilakukan dengan peranan seorang guru. Menurut keyakinan orang Karo, hanya orang-orang pilhan saja yang dapat menjadi guru.104 Sehingga apabila hubungan di dalam “mikro kosmos” seseorang itu terganggu maka ada keadaan yang tidak seimbang dalam tubuhnya, itulah mengapa seorang guru di dalam melakukan ritualnya akan menggunakan jeruk purut dan menyiramkannya di kepala si pasiennya. Kepala dipilih karena dengan alasan bahwa tempat dari segala pusat alam pikiran dari “mikro kosmos” pada manusia.

103 Henry Guntur Tarigan, Percikan Budaya Karo, Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1990, Hal. 43. 104Ibid., Hal. 6.

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut orang Karo, semula “tendi” itu ada tujuh pada setiap manusia yang lahir. 105 Namun pada akhirnya hanya tertinggal dua yakni “tendi” yang hidup akan kembali kepada dibata dan “tendi” yang mati akan menjadi begu. E.P

Gintings dalam bukunya yang berjudul “Religi Karo” memberi konsep yang menarik tentang begu tersebut, dimana menurut beliau begu bagi orang Karo ibarat “benci tapi rindu”. Artinya walau orang Karo pada dasarnya menakuti begu tersebut namun masih banyak yang berusaha memanggil begu orang-orang yang meninggal tersebut. Disinilah kembali peranan guru si baso sangat diperlukan.

Begu orang yang sudah meninggal terkadang sering mengganggu orang yang masih hidup, itulah kenapa begu sering dipahami sebagai suatu ancaman yang perlu ditakuti dan diperlukan ritual-ritual tertentu untuk menenangkannya.

Ada beberapa jenis begu yang dipercayai masyarakat Karo antara lain:

 Begu Jabu

Sering diartikan sebagai penjaga keluarga. Tidak sembarangan untuk dikategorikan sebagai begu jabu. Hanya mereka yang meninggal sebelum tumbuh gigi atau mereka yang mati karena kecelakaan, melahirkan atau meninggal karena usia lanjutlah yang dapat dijadikan sebagai begu jabu. Adapun ritual yang dilakukan masyarakat Karo untuk menenangkan begu jabu tersebut biasanya dilakukan dengan upacara “perumah begu” yaitu memanggil roh orang mati.

Biasanya di dalam upacara ini yang perlu dipersiapkan adalah satu ekor ayam putih, satu ekor ayam merah dan satu ekor ayam kuning. Sebenarnya ritual perumah begu ini menunjukkan bagaimana orang Karo merasa terancam dan takut

105E.P Gintings, op.cit.,Hal. 19.

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA jiwanya terhadap begu tersebut sehingga perlu diadakan sebuah ritual untuk menenangkannya.106

 Begu Butara Guru

Merupakan roh orang yang meninggal sejak masih dari kandungan. Sering disebut juga dengan nama “begu perkakun jabu” atau begu penjaga keluarga.

Adapun ritual-ritual yang dilakukan masyarakat agar “begu butara guru” tidak marah maka masyarakat membuat “Bere-beren” atau “Pajuh-pajuhen” dengan menanam pisang yang dipagar didekat rumah sebagai lambang “Bere-beren” yang diyakini serta dipuja oleh keluarga tersebut.

 Begu Bicara Guru

Merupakan pelindung keluarga kedua, berasal dari roh orang yang meninggal sebelum tumbuh giginya. Sering disebut juga dengan nama “Begu

Sikaku Jabu”. Sama dengan begu butara guru, maka ritual yang dilakukan masyarakat untuk menenangkan “Begu Bicara Guru” dengan membuat “Bere- beren” yaitu menanam pisang yang dipagar didekat rumah.

 Begu Simate Sada Wari

Merupakan pelindung ketiga, berasal dari roh orang yang meninggal secara tiba-tiba atau mengejutkan karena perang, penyakit, jatuh, disambar petir, dan lain-lain. Biasanya untuk menenangkan begu simate sada wari, maka masyarakat juga melakukan ritual “bere-beren” yang disertai dengan memakai pakaian lengkap dan menyiapkan pakaian yang lengkap juga untuk roh tersebut.

106 E.P Gintings, op.cit., Hal. 21.

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Ritualnya dilakukan setahun sekali dan biaya ritual akan dibicarakan melalui musyawarah dengan bergotong royong.

 Berbagai macam Begu lainnya107

Masyarakat Karo meyakini bahwa selain begu yang menjadi pelindung keluarga, terdapat juga “Begu jinunjung” atau begu yang menjadi junjungan bagi guru si baso, dan ada juga yang disebut begu luar yakni begu yang senang mengganggu manusia. Begu luar ini ada berbagai macamnya antara lain:

1. Begu kayat-kayaten adalah roh orang yang meninggal karena sakit

2. Begu mentas yaitu begu jabu atau begu keluarga orang lain

3. Begu tungkup adalah begu dari gadis yang meninggal sebelum menikah sehingga senang mengganggu

4. Begu menggap adalah begu jahat yang senang bersembunyi di bawah kolong atau dekat tangga untuk mencederai orang tersebut

5. Begu sidangbela adalah begu dari wanita yang meninggal ketika melahirkan.

Biasanya begu ini akan mengintai wanita hamil lainnya. Untuk itulah maka orang

Karo meyakini dibutuhkan adanya “jerango” yang diselipkan di dalam sanggul wanita hamil agar dijadikan “bura” sebagai penangkal bahaya.

6. Begu Juma adalah begu dari orang yang meninggal secara umum, biasanya begu ini senang mengganggu orang yang sedang bekerja di ladang sehingga dapat merasuki orang tersebut.

107 E.P Gintings, op.cit., Hal. 25.

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 7. Begu Sirudang Gara adalah begu yang biasanya disuruh-suruh untuk menjaga ladang, kolam ikan, dan lain-lain. Apabila ada orang yang mengganggu ladang tersebut maka begu ini akan membuat orang tersebut mati stroke.

8. Begu Ganjang adalah begu yang paling seram. Begu ini dapat mencelakakan orang lain apabila disuruh oleh pemiliknya. Begu ini dapat membuat lidah orang yang dicekiknya menjulur dan mata si orang tersebut akan melotot.

Terkait dengan begu ganjang inilah yang kemudian nantinya ketika

Belanda masuk ke tanah Karo untuk menyebarkan missil Injil Kristennya, dengan mempropaganda masyarakat, mereka menyatakan kepercayaaan tradisi masyarakat Karo tersebut sebagai agama Perbegu. Masyarakat Karo sendiri tidak begitu menyukai istilah tersebut karena istilah begu sering diartikan dengan memuja atau menyembah setan atau roh jahat. Oleh sebab itu melalui sebuah kongres maka istilah perbegu itu kemudian diganti namanya menjadi Pemena pada tahun 1946 oleh para pengetua adat dan para guru mbelin. Latar belakang pergantian nama perbegu itu karena sudah terlalu banyak mendapat tekanan pahit dari pemerintah Belanda bersama penganjur-penganjur agama yang dibawa oleh

Bangsa Eropa, dengan mencaci-maki seenaknya saja terhadap penganut perbegu, menuduh perbegu sebagai agama yang menyembah setan-setan, jin-jin dan sebagainya, demi kepentingan kolonial Belanda.108

Barulah setelah revolusi kemerdekaan Indonesia meletus, isu-isu yang mendiskirminasikan agama Pemena mulai reda. Hal ini dikarenakan ternyata para

108 Sarjani Tarigan, Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe, Medan: BABKI, 2011, Hal.18.

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemimpin-pemimpin dan anggota badan perjuangan seperti Tama Ginting,

Selamat Ginting, Rakutta Brahmana, Payung Bangun, dan pahlawan nasional seperti Kiras Bangun semuanya adalah penganut agama Pemena.

3.2 Praktik Kepercayaan Pemena Pada Suku Karo

Pada penerapannya, praktik kepercayaan Pemena ini dapat kita lihat pada keseharian suku Karo itu sendiri, menariknya walau Suku Karo sudah mempercayai suatu agama sekalipun namun praktik-praktik kepercayaan Pemena ini tidak dapat ditinggalkan. Masyarakat Karo mempercayai Debata Sitongal

Singarajai, dimana dalam bahasa Karo berarti Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebagaimana dengan aliran kepercayaan pada umumnya, Pemena menganggap roh nenek moyang bergabung dengan Debata Sitonggal sebagai kesatuan super natural, dimana roh itu sendiri menjadi perantara antara manusia dan Sang

Pencipta.

Biasanya komunikasi yang terjadi itu bisa dilakukan lewat mimpi sewaktu tidur, namun kebanyakan melalui bantuan guru si baso, yaitu dukun (pria atau wanita) yang konon dikehendaki sang roh. Guru si baso memiliki keistimewaan dibanding dukun pengobat biasa yaitu:

“Lehernya bisa bersuara,” ujar Muhammad Yamin Depari (51), staf di

Kantor Departemen Agama Kabupaten Karo, bekas penganut Pemena.109

109Karo Siadi, “Siap Untuk Berpisah” Majalah Tempo, Edisi 8 Desember 1979

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Suara desah di leher guru si baso ketika kesurupan itulah dianggap suara sang roh. Dimana makna suara itu tentu saja hanya diketahui sang guru, yang kemudian “menterjemahkannya” untuk yang berkomunikasi. Sebelum komunikasi, biasanya disediakan sesajen terdiri dari daun sirih minyak kelapa, pinang dan kapur, ditaruh di loteng rumah, di atas lemari, atau di tempat lain yang tinggi dalam rumah.

Adapun contoh doanya adalah:

“Reh kam begu jabu mate sadawari, bicara guru, junjung-junjunganku. Enda kecibalkan belau. Man bandu krina. Adi malem pinakit aku berjanji kuperumahken kam/begundu krina.”110 Adapun artinya adalah datanglah kamu roh, makanlah sajian ini. Kalau penyakit sembuh kamu akan kupanggil ke rumah. Doa di atas adalah contoh doa untuk minta kesembuhan. Untuk keperluan lain, misalnya membuka ladang, pindah rumah akan lain lagi doanya.

Bila penyakit sembuh, maka dipanggil guru si baso dan diadakan upacara memanggil roh ke dalam rumah. Tapi terkadang roh itu tak cukup hanya diberi sesajen. Dia masih meminta yang lain, misalnya kambing atau kerbau. Maka diadakanlah kenduri dengan merebahkan kambing atau kerbau.

Selain itu, Masyarakat Karo juga meyakini bahwa anak yang belum lahir baru menerima tendinya diawal bulan pertama kehamilan ibunya. Apabila sebelum anak itu lahir dan ibunya mengalami keguguran, hal itu tidak langsung membuat identitas anak yang belum lahir ini hilang. Anak inilah yang kemudian

110Ibid.,

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menjadi batara guru dan akan mewahyukan namanya melalui guru. Disinilah pentingnya pemberian sajian atau kurban agar anak yang belum lahir tersebut dapat dijadikan sebagai roh pelindung keluarga.111

Pada bulan ketujuh kehamilan si ibu biasanya akan diadakan semacam ritual untuk si anak yang belum lahir. Ritual ini biasanya dilakukan pada anak pertama dalam keluarga tersebut, yaitu pihak kalimbubu harus memberi makanan atau dikenal juga dengan nama kalimbubu mesuri man. Masri Singarimbun dalam bukunya yang berjudul Kinship, Descent and Among the Karo Batak menjelaskan bahwa tujuan dari ritual ini adalah untuk memberi makan anak pertama kali dan untuk melihat juga apakah ada gangguan atau tidak terhadap orang tua atau kalimbubu maupun dunia roh itu sendiri.112 Pelaksanaan ritual dilakukan perantara roh dengan membaca telur rebus dan kepala ayam. Apabila ternyata setelah dilakukan ritual ini dan ditemukan adanya gangguan maka harus diberikan korban, dalam hal ini korbannya adalah kalimbubu. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka setelah anak tersebut lahur kelak dia akan mengalami kesialan sepanjang hidupnya.

Tidak hanya terhadap anak yang belum lahir saja, pada perempuan hamil dan yang telah melahirkan pun harus patuh terhadap beberapa larangan untuk menghindari maksud yang jahat. Sebagai contoh, perempuan yang baru

111Simon Rae, Breath Becomes The Wind Old and New In Karo Religion, New Zealand: Universitas of Otago Press, Tahun tidak diketahui, Hal. 42.

112Masri Singarimbun, Kinship, Descent, and Alliance among the Karo Batak, California: University of California Press, 1975, Hal. 98.

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA melahirkan tidak boleh menghadiri pemakaman perempuan yang meninggal karena melahirkan. Hal ini dilakukan agar si perempuan hamil tersebut dapat terhindar dari nasib buruk yang sama yang dibuat oleh begu dari perempuan yang baru saja meninggal tersebut. Selain itu bagi perempuan hamil atau yang baru saja melahirkan juga dilarang untuk pergi jauh-jauh dari pintu rumahnya demi menghindari hal-hal tidak baik yang mungkin terjadi.

Upacara ritual yang berhubungan dengan kelahiran memperlihatkan gambaran kekuatan magis, ilahi dan sifat kinigurun dari kepercayaan Suku

Karo.113 Disinilah peranan seorang guru sangat diperlukan. Sang guru biasanya akan diminta untuk menentukan apakah hari kelahiran si anak berdasarkan kalender Batak tergolong baik atau tidak, tergolong muda atau tidak atau penuh kesialan yang berakibat fatal (nundaken) bagi orang tuanya. Tidak hanya itu, bagaimana cara dan dimana tempat si anak itu lahir juga dapat menggambarkan masa depan si anak tersebut. Dibeberapa daerah seperti Pancur Batu dan

Singgamanik, ritual ini dilakukan dengan pembukaan pintu dan jendela lalu melepaskan tali dan benang pada kelahiran yang sulit.114

Pada ritual keselamatan anak yang baru lahir beserta ibunya yang bertujuan untuk mencegah diganggu begu karena dapat menyebabkan sakit bahkan mati, disinilah diperlukan ikatan-ikatan yang dibuat secara khusus dari tanaman, seperti daun kalinjuhang, tujuh helai daun sirih, daun sangke sumpilet

113Ibid., Hal. 43

114Ibid., Hal. 43

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan daun pinang. Kemudian, ikatan-ikatan dari tanaman ini lalu disemburi dengan belo penurungi yaitu campuran daun betel, lusana, pia, lada dan gambir. Ramuan ini lalu diberkati oleh guru sambil membaca mantra berulang-ulang. Satu ikatan tanaman tadi disebut purih tonggal yang digantung disetiap pintu keluar rumah dan juga didekatkan kepada si ibu setiap kali si ibu meninggalkan rumah. Apabila si ibu meninggalkan rumah pada malam hari walau hanya untuk pergi ke kamar mandi, si ibu harus melemparkan arang ke api sebelum didahului oleh perempuan lain yang memiliki roh-roh tertentu. Di Langkat, bagi perempuan hamil dan melahirkan harus membawa paku dikepalanya sebagai bentuk perlindungan dari puntianak yaitu begu perempuan yang meninggal ketika melahirkan.115

Delapan hari setelah kelahiran si anak akan diadakan ritual pepitulauken atau yang dikenal sebagai maba anak ku lau yang artinya membawa anak ke air, dimana si anak akan dibawa untuk pertama kalinya ke sungai atau air pancur yang juga dijadikan sebagai sumber air minum bagi penduduk desa. Menurut P.

Tambun dalam bukunya yang berjudul adat istiadat Karo, adapun bahan-bahan yang digunakan di dalam ritual ini antara lain tongkat atau sejenis kayu enau, purih tonggal, dua jenis sihir berupa belo cawir dan belo baja minak, sumbu yang terbuat dari kain using yang apabila dibakar biasanya akan mengeluarkan bau yang sangat menyengat untuk mengusir roh-roh, lalu daun talas yang diatasnya diletakkan abu dapur, bejana yang terbuat dari bambu yang berisi pangir, jerango yang akarnya beraroma kuat dan diyakini memiliki kekuatan khusus yang semua bahan-bahan ini telah diberkati oleh seorang guru untuk menolak begu ganjang.

115Ibid., Hal. 43.

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Selama menuju tempat pemandian, maka sebagian sirih dipotong kecil- kecil dan dicampur dengan pundang dan abu lalu ditabur di tempat-tempat yang ada kekuatan magis untuk mengusir roh-roh jahat yang dilakukan dengan urutan- urutan sebagai berikut yaitu: untuk anak laki-laki maka yang melakukan ritual yang memandikan adalah istri dari saudara si ibu atau yang dipanggil mami oleh si anak, sedangkan untuk anak perempuan maka yang melakukan ritual yang memandikan adalah saudari ayahnya yang dipanggil bibi oleh si anak.

Ritual berikutnya adalah sanga matawari nangkih yaitu mengambil air saat matahari sedang terbit. Hal ini bertujuan agar hal-hal baik tidak terlewati sehingga harapan dan keberuntungan serta kekayaan dapat dicapai. Adapun urutan ritualnya adalah sebagai berikut: untuk anak laki-laki maka dimulai dari guru, anak dengan mami, ibu tetangga oleh kerabat terdekat, sedangkan untuk anak perempuan maka dimulai dari guru, ibu, anak dengan bibi yang dikelilingi oleh sanak saudara.116

Pada ritual pemandian inilah si anak akan diperkenalkan dengan Si Beru

Lau atau roh laut. Kepadanya disampaikan doa-doa sebagai berikut:

O nini, arak-arak kempundu enda, tandai kam ia, adi lalar ia tegu-tegu kerumah, sabab irumah nge nande bapana, mami ras mamana, bibi ras bengkila (Wahai leluhur kami, ikuti dan lindungi cucumu ini, kenalilah dia. Kalau dia lalai tuntunlah dia kembali ke rumah, karena di rumahlah ayah dan ibunya, kalimbubu dan anak beru-nya).117 Pada ritual inilah si ibu, guru dan semua yang hadir juga melaksanakan acara ritual pencucian rambut (erpangir).

116 P. Tamboen, Adat Istiadat Karo, Jakarta: Balai Pustaka, Hal. 30

117Ibid., Hal.

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Setelah ritual pemandian dilakukan kemudian dalam perjalanan pulang, guru akan memimpin jalan sembari menggiring roh-roh yang mendampingi mereka. setelah kembali ke rumah, diletakkan piring sesaji yang berisi sepiring ikan laut dan dua jenis sirih di atas batu tungkuan. Hal ini dilakukan agar roh dapur tidak mengganggu si ibu memasak demi menjamin kelangsungan dan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Kemudian empat atau lima hari setelah ritual pemandian dilakukan maka diadakan ritual anak dibawa ke ladang (juma) untuk diperkenalkan kepada roh pelindung keluarga yang dikenal dengan nama begu juma. Ritual ini disebut dengan nama erjuma tiga, di mana pada masa penyesuaian si ibu telah berakhir dan bebas melakukan aktifitas diluar. Sedangkan bagi si anak, maka untuk anak laki-laki akan dibawa pulang kerumah kalimbubunya, untuk anak perempuan akan dibawa pulang ke rumah anak berunya. Kepada si anak diberikan hadiah sekeping mata uang sebagai ikatan diantara keluarga yang kelak akan diwujudkan melalui pernikahan antara si anak. Selain sekeping mata uang, juga diberikan uis yang dikenal sebagai uis perembah yang melambangkan harapan bahwa anak akan memiliki umur panjang (nteguh iembah).118

Adapun ritual penting lainnya bagi kepercayaan Pemena adalah ritual kematian. Pada upacara penguburan jenazah akan dilakukan ritual sirang-sirang yang artinya berpisah yang dilakukan oleh keluarga yang menempati rumah rumah almarhum pada waktu jenazah pertama kali diusung. Pada ritual ini, kuku

118 Simon Rae, op.cit., Hal. 46

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA induk jari almarhum akan diolesi dengan calmus dan perasan jeruk yang digunakan juga pada upacara pangir yang dicampur dengan air lalu dipercikkan empat kali. Tujuannya adalah agar roh almarhum tidak akan kembali ke rumah untuk mengganggu keluarga yang ditinggalkan. Ketika waktu penguburan tiba, seluruh anggota keluarga harus menari (landek). Kemudian jenazah diusung dengan keranda yang diringi barisan pengawal yang saling berhadapan wajahnya, hal ini dilakukan agar roh almarhum tidak akan ditarik kembali ketengah-tengah keluarganya hidup. Biasanya penguburan jenazah dilakukan jauh dari desa. Semua aspek penguburan ini dilakukan dalam satu hari penuh agar roh orang meninggal akan pergi ketempatnya tanpa mencoba menarik jiwa (tendi) yang lainnya dan tidak mencoba kembali ke kehidupannya yang lama.119

Prosesi penguburan kepercayaan Pemena diiringi dengan gendang yang menghasikan musik tradisional yang disertai dengan teriakan dan ratapan. Prosesi ini dikenal dengan sebutan sirang-sirang. Selama ritual dilakukan sehelai kain putih dikibarkan untuk memanggil tendi orang yang berduka untuk mengikuti roh orang yang meninggal.

Setibanya di area perkuburan, salah seorang kerabat dekat akan mengayunkan tangan kirinya sambil memegang sebongkah sirih dan daun ersam sebanyak empat kali sembari mengucapkan kata-kata sebagai berikut:

Nggo nam sam kerina belawanta, mejuah-juah kal kami kerina itadingkenndu (Semua kesepakatan kami kini sudah terpenuhi, semoga engkau meninggalkan kami semua dalam keadaan damai)120

119 Simon Rae,op.cit., Hal. 50 120 Simon Rae, op.cit., Hal. 50

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kemudian sirih disemburkan empat kali ke jenazah. Ritual ini disebut namsaken belawen. Disekitar jenazah juga akan diletakkan sesajen seperti betel, rokok ataupun uang yang tujuannya sebagai pengantar orang yang meninggal tersebut di alam baka sampai dia berhasil bertemu keluarga yang ditinggalkan didunia kematian. Pada area pekuburan, biasanya akan dilakukan tarian akhir yang diiringi tujuh irama landek yang berbeda. Diyakini bahwa begu dari keluarga yang sudah meninggal tersebut akan ikut menari dan menerima tendi orang yang baru meninggal tadi.

Menariknya salah satu sub marga pada suku Karo yaitu Sembiring

Kembaren mengenal tradisi pembakaran/kremasi jenazah. Prosesi upacara kremasi ini sendiri sama dengan upacara penguburan jenazah seperti biasanya hanya saja prosesi akhir mayat tidak dikuburkan tetapi dibakar yang dipimpin oleh seorang guru dibantu oleh 4 orang perempuan yang bertugas sebagai pembakar mayat yang disebut si dapur. Jenazah yang sudah dikremasi akan diletakkan di bagian depan dari kuburan dengan menempatkan anggota badan ke dalam nyala api. Para si dapur inilah yang bertanggung jawab untuk menguburkan jenazah secara layak.

Prosesi dimulai ketika jenazah hendak dibawa ke tempat kremasi. Sebelum jenazah dibawa keluar rumah, di depan pintu diletakkan kudin yaitu belanga dari tanah liat yang di dalamnya diisi gulai ayam ala masakan karo (cipera). Kemudian istri atau suami dari almarhum menendang belanga hingga pecah. Adapun maknanya adalah sebagai lambang hancurnya hati sang istri/suami dari almarhum atas kehilangan suami/istri yang meninggal.

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Selanjutnya daging ayam tersebut akan disuguhkan dan disantap oleh kerabat dekat saat makan siang. Dengan menyantap hidangan tersebut, diharap kepedihan karena kehilangan keluarga tercinta segera sirna. Setelah itu mayat dibawa ke tempat kremasi di daerah lapangan terbuka dekat dengan sungai.

Sungai yang masih dipertanyakan ini adalah Lau Biang (Sungai Anjing) yakni nama yang diberikan orang Karo untuk bagian hulu dari Sungai Wampu yang ada di jantung wilayah Tanah Karo dan mengalir ke Selat Malaka setelah melintasi dataran rendah. 121 Sebelumnya telah dipersiapkan kayu bakar oleh anak beru.

Kayu pembakar mayat berasal dari kayu pohon dokum. Perlu diperhatikan bahwa selama proses pembakaran mayat, kayu tidak boleh ditambah, sehingga harus diperhitungan dengan matang jumlah kayu yang akan digunakan.

Setelah sampai di tempat pembakaran mayat, keluarga dari yang meninggal disuruh kembali ke rumah dan yang tinggal hanya sang guru dengan 4 orang si dapurnya. Sebelum api disulutkan, guru yang memimpin prosesi memerintahkan si dapur untuk melepas semua pakaian jenazah dan ditelungkupkan di atas batang kayu dokum dan si dapur diperintahkan oleh sang guru untuk memukul kaki jenazah sekuat-kuatnya agar arwahnya tidak kabur dan gentayangan. Bagi peremuan yang meninggal melahirkan, bayinya juga dibakar dengan sang ibu. Barulah kemudian sang guru membakar jenazah di atas kayu yang telah dipersiapkan.

121 Simon Rae, op.cit., Hal. 53

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Setelah pembakaran mayat, si dapur harus segera membuang abu jenazah ke sungai terdekat dan membersihkan sisa-sisa upacara agar sisa-sisa jenazah tidak digunakan oleh orang-orang yang menunut ilmu hitam. Kemudian Si dapur harus menjalani ritual yang dipimpin oleh sang guru. Mereka dimandikan dengan

Lau penguras yaitu air yang sudah dijampi-jampi oleh sang guru, dan baru setelah itu boleh pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah mereka harus mencuci telapak tangan dan memegang para-para yaitu tungku api unuk masak, dengan demikian si dapur tidak diganggu oleh jenazah orang yang dibakarnya tadi.

Sejak tahun 1970-an, upacara kremasi ini mengalami penururunan dan hanya dilakukan di daerah-daerah terpencil. Sebagian pihak mengatakan bahwa upacara kremasi ini telah mencemari area persawahan. Selain itu pengaruh agama bagi masyarakat Karo yang melarang praktik kremasi ini semakin membuat ritual ini ditinggalkan.122

Hampir setiap hal dalam kehidupan orang Karo dahulu selalu berkaitan dengan praktik-praktik kepercayaan Pemena. Mulai dari ritual keselamatan, perkawinan hingga kematian didalam prosesinya akan kita jumpai unsur-unsur kepercayaan Pemena itu sendiri. Orang Karo menurut pengertiannya mungkin tergolong masyarakat yang primitif, tetapi secara harfiah mereka mendapatkan banyak pengetahuan dari India. Meskipun kita melihat banyak elemen-elemen kuno di dalam kepercayaan Pemena, namun tidak bisa kita kategorikan

122 Simon Rae, op.cit., Hal. 52

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kepercayaan tersebut sebagai agama primitif.123 Oleh karena itu Perbegu bukanlah istilah yang tepat untuk menjelaskan kiniteken si pemena yakni kepercayaan pertama bagi Suku Karo. Karena itulah bentuk kepercayaan khusus masyarakat

Karo yang tidak dapat ditransfer kedalam kelompok masyarakat atau penduduk lainnya.

3.3 Masuknya Agama Ke Tanah Karo

Setiap manusia memiliki beragam macam kebutuhan baik itu kebutuhan lahir maupun kebutuhan batin. Di dalam memenuhi kebutuhan lahir, manusia tidak terlepas dari bantuan manusia lainnya. Akan tetapi ketika memenuhi kebutuhan batin, disinilah manusia membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama. Agama ada untuk memenuhi kebutuhan manusia karena manusia memiliki suatu perasaan yang mengakui bahwa ada yang maha kuasa sebagai tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Kestabilan manusia dilandasi kepercayaan beragama.

Agama mengambil peranan yang paling penting dalam kehidupan manusia. Kelahiran, perkawinan bahkan kematian dihubungkan melalui agama.

Agama juga memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan manusia seperti: Bagaimana kehidupan dimulai? Mengapa orang menderita? Apa yang terjadi dalam diri apabila kita telah mati? Semua pertanyaan itu kita temukan jawabannya melalui agama. Mengingat hal demikian wajarlah jika agama menjadi sangat dibutuhkan oleh manusia, karena ia mampu

123 Simon Rae, op.cit., Hal. 71.

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memberikan jawaban sekaligus inspirasi bagi terwujudnya kehidupan yang diinginkan manusia.

Jauh sebelum agama berkembang, manusia yang memiliki sifat penakut, lemah, dan mudah berputus asa selalu membutuhkan sesuatu yang lebih kuat dari dirinya. Hal itulah yang melatarbelakangi munculnya keyakinan-keyakinan atau kepercayaan dengan sesuatu yang dianggap misterius dan diyakini jauh lebih kuat dan hebat dari manusia.

Linda Woodhead menyatakan hampir tidak ada perbedaan antara agama dan kepercayaan.124 Dalam bukunya yang berjudul Religion or belief: Identifying issues and priorities, Linda mengungkapkan bahwa:

“there is no hard and fast boundary between „religion‟ and „belief‟. Both refer to orientating commitments which help give meaning and directions to life. Both have a social aspect, but can take more individuals forms. „Belief‟ is broader in so far as it encompasses commitments which deny a dimension of existence beyond this world, and which may be actively opposed to religion”.125

Berbicara tentang kepercayaan, Suku Karo juga memiliki kepercayaannya sendiri. Orang Karo sejak zaman pra-historis percaya adanya Dibata (Tuhan) yakni Dibata Kaci-Kaci yang menciptakan bumi dan jagad raya. Dalam

Masyarakat Karo secara tradisional terdapat religi yang telah memadukan antara roh dan tuhan secara serasi dan seimbang. Kepercayaan yang paling tua di Karo adalah Dinamisme dan Animisme. Dalam tingkat kepercayaan ini dilakukan pemujaan, yakni penyembahan kepada yang dianggap suci dan berkuasa.

124Syamsul Arifin, Attitudes To Human Rights And Freedom Of Religion Or Belief In Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2010, Hal. 17.

125 Linda Woodhead, Religion or belief: Identifying issues and priorities, London: Equality and Human Rights Commision, Lancester University, 2009, Hal. iii.

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pemujaan tersebut dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.126 Kepercayaan tradisional Masyarakat Karo ini disebut dengan Pemena. Kepercayaan Pemena ini sangat berkaitan dengan roh-roh, di mana hubungan dengan roh-roh tersebut dilakukan melalui perantara guru yang dikenal dengan nama guru si baso127.

Kemudian corak Hindu masuk dalam kebudayaan Karo karena perdagangan dari Tamil (India) sehingga terjadi percampuran antara kepercayaan yang serba roh (animisme) dan kepercayaan kepada Dewata (Dibata).

Kepercayaan Dinamisme dan Animisme dapat berbaur serasi dengan pengaruh

Hindu sehingga di kalangan Karo terus berlangsung ritus-ritus kepada roh-roh dan kepada benda-benda yang dianggap mempunyai roh-roh yang lebih tinggi dari roh-roh biasa. Ada ritus-ritus kepada roh pelindung desa seperti Buah Huta-Huta,

Nini Pagar, Pengulu Balang dan ada pula ritus kepada roh pelindung keluarga seperti Begu Jabu, yakni Simate-sadawari (roh-roh yang mati seketika/sehari) misalnya: roh bayi yang mati sejak dari dalam kandungan (disebut Begu Butara

Guru), roh bayi dan roh orang yang mati sewaktu melahirkan atau juga yang terbunuh dan orang yang mati sebelum kawin dipuja sebagai roh pelindung keluarga (Begu Bicara Guru).128 Agama Hindu berakulturasi sangat baik dengan kepercayaan Pemena sehingga dapat diterima dengan baik oleh Masyarakat Karo.

126 Dr. E.P. Gintings. 1999. Religi Karo. KabanJahe: Abdi karya, Hal 1.

127 Dalam suku Batak Karo sendiri, Guru Sibaso adalah seorang perempuan yang memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat dan memimpin upacara/ritual, berhubungan dengan roh atau makhluk gaib, pewartaan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain, dapat dilihat pada buku Sarjani Tarigan. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya Dan Modernisme. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia, Hal 116-119.

128Dr. E.P. Gintings, op.cit, Hal. 3.

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tidak hanya itu perhatian orang Tamil Hindu yang dari India terhadap

Pemena dimulai ketika seorang resi Megit, seorang Brahmana datang dari India pada abad ke-16. Resi itu kemudian menikah dengan putri Karo. Turunan resi kemudian mengembangkan Agama Hindu ajaran Maharesi Brgu Sekte Ciwi, lalu bergabung ke dalam marga Sembiring Brahmana. Namun setelah itu sepertinya hubungan Karo-India kembali terputus hal ini mungkin karena kaum Pemena kembali mulai tersisihkan oleh gencarnya missi Injil Kristen dan Siar Islam di

Tanah Karo setelah kedatangan VOC di wilayah-wilayah Karo. Berkembangnya kembali Agama Hindu pada Suku Karo dimulai dengan terbentuknya Parisadha

Hindu Dharma di Tanah Karo pada 1977.

Berbicara tentang masuknya Islam ke Tanah Karo, ada beberapa teori yang menyebutkan tentang kedatangan Islam. Adapun teori-teori tersebut antara lain:

Teori Barus, Teori Aceh, dan Teori Perbatasan. Pada teori Barus, Moh. Said menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Sumatera utara pada abad ke IX, hal ini terlihat bagaimana pedagang-pedagang Arab banyak berlabuh di pelabuhan Barus.

Seperti kita ketahui Barus terkenal akan penghasil kemenyan dan kapur barus.

Kapur barus sendiri digunakan oleh Masyarakat Karo di dalam pengobatan tradisional. Biasanya di dalam ramuan obat-obat mereka ataupun hendak memulai ritual mereka biasanya memulainya dengan membaca

“bismillahirrahmanirrahim” dan diakhiri “qabol berkat la ilaha illa Allah”.129

Pada teori Aceh menyebutkan bahwa Islam masuk ke Tanah Karo dibawa oleh para pendakwah dari Aceh. Penyebaran Islam ke Tanah Karo dilakukan oleh

129 Moh. Said. Sejarah Masuknya dan Berkembangnya Da‟wah Islam di Sumatera Utara. Medan: MUI Sumatera Utara, Hal 70-71.

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA orang Aceh yang bernama Tengku Sjech. Tujuaan awal menyebarkan Agama

Islam dengan melakukan peperangan dengan para urung namun usaha mereka gagal. Barulah Agama Islam dikenal pada abad XIX setelah Tengku Muda mengembangkan Islam kepada sebuah keluarga di Tiga Beringin.130

Pada teori perbatasan menyebutkan pengaruh Islam masuk ke Karo dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan yang ada diperbatasan Karo yaitu Kerajaan

Haru Deli Tua, Kerajaan Haru Langkat dan Kerajaan Haru Pane. Menurut

Lukman Sinar 131 sejak abad XIII sudah ada kerajaan Haru yang mayoritas penduduknya berasal dari Suku Karo dan Melayu. Namun perkembangan Islam sendiri baru mulai terasa bagi Masyarakat Karo sejak bedirinya organisasi- organisasi keagamaan seperti Al- Wasliyah, Muhammadiyah, Al- Ittihaqdiyah ataupun organisasi-organisasi Islam lainnya pada 1930-an.

Penyebaran Islam pada Masyarakat Karo juga berbarengan dengan masuknya Agama Kristen ke Tanah Karo. Kedatangan Agama Kristen tidak lepas dari pembukaan perkebunan di Sumatera Timur. Ketika JT Cremer menjadi pimpinan perusahaan tembakau tersebut, dia mengusulkan agar didatangkan penginjil utusan NZG (Nederlands Zendelinggenootschap). Usulan ini dikarenakan Orang Karo sering mengganggu perkebunan Belanda. Orang Karo harus ditenangkan dengan menanamkan Injil dalam hati orang-orang Karo. Maka datanglah HC Kruyt dari Minahasa ke Tanah Karo pada 18 April 1890 di pelabuhan Belawan. Kedatangan HC Kruyt didampingi oleh Nicolas Pontoh yang

130 P. Tamboen. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka. 1952, Hal. 135.

131 Tuanku Luckman Sinar. 2006. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur. Medan: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA direkrutnya dari Gereja Tondano. Akan tetapi Agama Kristen pada Masyarakat

Karo semakin berkembang pada tahun 1893-1940. Periode ini sering disebut sebagai periode pembaptisan orang Karo. Pada periode ini pendidikan sudah semakin maju terbukti dengan pada 1916 Pdt J.H. Neumann menerbitkan Kisah

Para Rasul berbahasa Karo, lalu tahun 1922 menerbitkan buku Tata Bahasa Karo

(Schets der Karo Batasche Spraakkunst) dan Kitab Roma berbahasa Karo. Tahun

1928, Neumann telah selesai menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru, tahun 1936

Kitab Mazmur dan tahun 1937 dia memulai pekerjaannya untuk menerjemahkan

Kitab Perjanjian Lama yaitu Kitab Kejadian, Ayub dan Yesaya.132 Kamus bahasa

Karo – Belanda (Karo -Nederlands Woordenboek) yang dicetak tahun 1951 adalah juga hasil pekerjaannya.133

Tidak hanya kepercayaan Pemena, Agama Hindu, Islam dan Kristen tetapi

Agama Buddha ikut mempengaruhi Masyarakat Karo. Agama Buddha masuk ke

Sumatera utara pada abad XII ke Kota Cina yang dibawa oleh pedagang

Tamilnadu dan Srilangka. Menurut Mc Kinnon134, pedagang-pedagang Karo juga berdagang ke kota cina sehingga terjadi interaksi antara pedagang-pedagang Karo tersebut dengan pedagang-pedagang China tersebut. Pengaruh Agama Buddha

132Paul Bodholdt Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK-GM, 1975, Hal. 27-40.

133J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Laidjdecker, Jilid 2, Jakarta : LAI, 2006, Hal. 338.

134Dr. Edmund Edwards McKinnon, Ph.D.,M.A, merupakan arkeolog terkenal kelahiran Scotlandia (Inggris), tahun 1936. Aceh tidak lagi asing baginya karena, bersama Mohammad Said (penulis buku Aceh Sepanjang Abad) ia pernah melakukan penelitian situs-situs penting yang tersebar di Pulau Sumatera. Salah satunya adalah situs Kerajaan Lamuri, diakses melalui www.google.com pada Senin, 13 Maret 2017, Pukul: 11.30 Wib.

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pada Masyarakat Karo semakin terasa sejak datangnya Bhikshu Jinadhammo pada

1984.

Menariknya walaupun agama telah masuk ke Tanah Karo namun perkembangan agama-agama tersebut berjalan lambat. Hal ini dikarenakan masih kuatnya pengaruh kepercayaan Pemena tersebut pada masyarakat Karo. Namun memang sejak masuknya missil Injil Kristen dan Siar Islam ke Tanah Karo,

Kepercayaan Pemena mulai mengalami penurunan umat namun tidak dalam skala besar. Menurut Tridah Bangun, jumlah orang Karo yang memeluk agama, baik

Kristen Protestan, Islam dan Katolik sampai tahun 1965 baru terhitung puluhan ribu orang. Ramainya penduduk masuk agama, baik Kristen Protestan, Islam, dan

Katolik barulah terjadi setelah tahun 1967.135

135Tridah Bangun. 1985. Manusia Batak Karo. Jakarta: PT. Tema Baru, Hal 35.

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

Hubungan Agama dan Negara: Eksodusnya Penganut Kepercayaan Pemena

Suku Karo ke Agama Resmi Pemerintah Pada Tahun 1966-1979

Pada bab ini, peneliti akan membahas tentang keadaan negara Indonesia pasca peristiwa Gestapu, di mana pada saat itu dengan dalil untuk mengamankan negara, pemerintah melakukan beberapa tindakan preventif yang sebenarnya justru sangat represif kepada masyarakat khususnya terhadap para penganut aliran kepercayaan. Suku Karo yang sejak zaman dahulu telah menganut sistem kepercayaan sendiri pun harus ikut terkena dampak dari beberapa kebijakan pemerintah tersebut. Kajian ini sangat penting karena disini peneliti akan menjelaskan tentang berpindahnya para penganut aliran kepercayaan Pemena ke agama-agama resmi yang diakui oleh pemerintah.

4.1. Masuknya Kolonialisme Belanda Ketengah-tengah Masyarakat Karo

Berdasarkan traktat London 1824 menyatakan bahwa Sumatera menjadi milik Belanda, sedangkan Malaya menjadi milik Inggris. Namun walaupun demikian, Inggrislah yang memperlihatkan ketertarikannya ke Sumatera Utara, dan selanjutnya memperlihatkan ktertarikan yang sama terhadap Masyarakat

Karo. Terbukti setahun sebelum ditandatanganinya Traktat London, gubernur

Inggris yang berkedudukan di Penang mengutus John Anderson untuk mencatat secara rinci ke Pantai Timur Sumatera demi keberlangsngan akses Inggris ke pelabuhan.

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Melalui catatan Anderson, dapat dilihat bahwa orang-orang Batak yang tinggal di pesisir Pantai bekerja sebagai petani, penderes ataupun preman. 136

Anderson didalam perjalanannya juga mencatat, ketika ia berada di Langkat, penduduk Langkat yang saat itu berjumlah 7350 adalah orang-orang Melayu dan

13560 adalah orang-orang Karo. Menariknya walaupun mayoritas penduduk adalah orang-orang Karo, namun otoritas kekuasaan berada ditangan orang-orang

Melayu. Dari hasil laporan inilah, Anderson mencatat telah ada penduduk Batak yang demikian luas di dataran rendah Sumatera Timur dan memiliki peranan yang penting didalam perekonomian.

Melalui pengamatan Anderson terhadap orang-orang Karo di sekitar Bulu

Cina, Sunggal inilah, ia berpendapat bahwa karakter orang Karo adalah sebagai berikut:

... tidak candu dengan kanibalisme, mereka sangat sensitif, dan menghadapi orang-orang Melayu, mereka menjadi minder. Mereka sangat gemar mencari uang, yang menandai mereka sebagai penduduk yang berorientasi industri. Mereka sedikit angkuh dan mandiri, namun tidak mau menanggung segala resiko. ... banyak diantara mereka yang sakit, namun mereka selalu taat kepada peraturan yang berlaku dan tidak bertindak seperti orang Melayu. Mereka senang menghisap candu dan rokok opium, mereka juga senang meminum tuak dari nira, mereka senang berjudi, tetapi mereka giat bekerja sehingga terkadang mereka tidak memperhatikan kesehatan pribadi mereka...137 Anderson melaporkan bahwa telah ada 20000 orang Karo diwilayah

Sunggal. Dari hasil pengamatan Anderson tersebutlah, ia kemudian membentuk gambaran bagaimana kehidupan orang-orang Karo yang berada di dataran tinggi.

Setelah dari Sunggal, Anderson pun singgah ke Lingga, dimana Sibayak Lingga

136 Simon Rae, Breath Becomes The Wind Old and New In Karo Religion, New Zealand: Universitas of Otago Press, Tahun tidak diketahui, hal. 78.

137 Ibid., Hal. 80.

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menurut penuturan Anderson tidak bisa membaca dan menulis Melayu. Namun sibayak Lingga ini memiliki banyak merica, kuda, lilin, gading, gambir yang ternyata telah banyak dieksport ke luar negeri. Tidak hanya sibayak Lingga,

Anderson juga berhasil menemui Sibayak Berastagi yang memimpin 12 desa.

Sehingga menurut Anderson, orang-orang Batak yang tinggal di dataran tinggi adalah orang-orang yang memiliki “sikap terbuka dengan pandangan jauh ke depan”. Mereka adalah orang-orang yang mandiri dari pemerintahan Eropa dan

Melayu.138

Pemerintah kolonial Belanda baru merasa tertarik dengan wilayah

Sumatera Timur ketika Jacobus Nienhuijs mendapat kabar dari seorang Arab tentang tembakau Deli yang memiliki kualitas yang sangat baik. Pada tahun 1865,

Nienhuijs mendapat konsesi tanah seluas 1000 hektar dari Sultan Deli dengan kontrak sembilan tahun untuk budi daya tembakau tersebut. Hingga akhir abad ke-

19, pemerintah kolonial Belanda berhasil menguasai seluruh pesisir timur dan barat Sumatera. Adapun satu-satunya daerah yang belum berhasil dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda adalah wilayah Sumatera Timur, Tapanuli dan dataran tinggi Karo. Di wilayah Sunggal, orang-orang Karo sendiri sudah terlibat di dalam perang Sunggal melawan kolonialisme Belanda. Perang yang berlangsung 23 tahun ini (1872-1895) terjadi karena datuk Sunggal menentang

138 Ibid., Hal. 82

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sultan Deli yang memberikan konsesi tanah kepada Belanda perihal perluasan perkebunan Tembakau. 139

Terkait perluasan perkebunan tembakau inilah Belanda lalu mendirikan bangsal-bangsal tembakau. Perbuatan Belanda tersebut memicu orang-orang Karo menjadi marah karena menganggap kebun-kebun Belanda tersebut dibangun atas tindakan sewenang-wenangnya Sultan Deli atas hak ulayat orang-orang karo untuk menanam lada dan tembakau. Oleh karena itu mulailah orang-orang Karo melakukan pembabatan tanaman tembakau milik penguasa Belanda. 140 Perang yang berlangsung 20 tahun tersebut mulai terlihat intensitasnya berkurang karena di awal abad ke-20, orang-orang Karo mengganti taktik perang musuh berngi

(musuh di malam hari) atau selimin. Tindakan gerilya orang-orang Karo tersebutlah yang membuat pemerintah kolonial Belanda semakin frustasi dan kewalahan. Untuk mengatasinya, maka Belanda mengubah taktik dengan melakukan penetration pasifique.141 Misi damai Belanda ini dilakukan dengan memasukkan agama Kristen ke tengah-tengah orang Karo.

Pada 18 April 1890, datang penginjil di tengah-tengah orang Karo. 142

Penginjil tersebut adalah H.C Kruyt dan rekannya dari Minahasa bernama Nicolas

139 Wara Sinuhaji, “Pemerintahan Karo dari Masa ke Masa: Sebuah Perspektif Historis, Berastagi” Makalah pada Seminar Penetapan Hari Jadi Kabupaten Karo, Berastagi, 2017, hal. 8. 140 Karl J. Pelzer, Toean Keboen Dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1995, Hal. 93-94.

141 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid II, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990, Hal. 37

142 Th. Van den End dan J Weitjens, S.J, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, Hal. 28.

88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pontoh. Melihat keadaan pada saat itu, mereka memutuskan untuk membuat pos pelayanan di Buluh awar yang pada saat itu dihuni oleh 200 rumah tangga.

Setahun kemudian, tiba empat orang guru lagi dari Minahasa yaitu B. Wenas, J.

Pinontoan, R. Tampenawas dan H. Pesik yang merupakan murid-murid Kruyt di

Tomohon. Dari sana mereka membuka sekolah dasar di Buluh Awar, Sibolangit,

Salabuan, Pernangenen, dan Tanjung Beringin. 143

Namun kedatangan para penginjil tersebut ke dalam konteks lokal orang- orang Karo tidak serta merta dapat diterima orang-orang Karo, karena mereka telah memiliki kepercayaan sendiri yaitu kepercayaan Pemena dengan serangkaian adat istiadatnya. Lagi pula, kehadiran para penginjil tersebut di Tanah

Karo memberi kecurigaan pada orang-orang Karo terhadap misi kolonialisme yang mekatarbelakanginya. Walaupun orang-orang Karo memperlihatkan sikap hormat dan membantu para penginjil namun tidak menunjukkan ketertarikan untuk menerima ajaran kekristenan saat itu.

4.2 Relasi Antara Negara Dan Agama: Pembentukkan Kemerdekaan

Republik Indonesia Hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Pasca berakhirnya pendudukan Jepang, Negara Indonesia sebagai negara yang baru lahir mulai menyusun pembentukkan sebuah negara dimana pada saat itu elit modern politik Indonesia dibagi atas beberapa kelompok yaitu kelompok

Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dengan kelompok Islam sekuler yang anggotanya memeluk agama Islam namun mereka tidak

143 Simon Rae, Op.cit, Hal. 79

89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menginginkan Islam sebagai dasar negara. Kedua kelompok inilah yang kemudian disederhanakan menjadi kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Ketegangan yang terjadi hanya dirasakan pada tingkat elit politik saat itu namun tidak sampai dirasakan oleh rakyat Indonesia. Ketegangan antara para pendiri negara terlihat ketika hendak merumuskan ideologi negara Indonesia.

Seperti yang diketahui bahwa diakhir tahun 1944, Jepang mulai terdesak didalam perang Asia Pasifik sehingga untuk menarik simpati bangsa Indonesia,

Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia yang sebelumnya pernah disampaikan Jepang pada 7 September 1944. Oleh karena itu, Jepang memutuskan untuk membentuk BPUPKI. Di dalam pelaksanaanya, BPUPKI pernah melakukan dua kali sidang yaitu sidang 1 dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945. Dihari terakhir pada sidang 1 yaitu pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan suatu pidato yang terkenal dengan lahirnya Pancasila.144 Pada sidang inilah perbedaan pendapat antara kelompok Islam dengan kelompok Nasionalis terlihat ketika memperdebatkan bunyi sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut kelompok Islam pencantuman sila pertama belumlah sempurna sehingga perlu ditambah dengan kata-kata “Dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” 145 . Penambahan tujuh kata inilah yang memicu perdebatan berkepanjangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis (dimana dalam kelompok ini juga termasuk tokoh-tokoh yang beragama Kristen).

144B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, Hal.23

145 Amos Sukamto, Ketegangan Antar Kelompok Agama Pada Masa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru: Dari Konflik Perumusan Ideologi Negara Sampai Konflik Fisik, Jurnal Teologi Indonesia 2013

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dikarenakan perdebatan belum menemukan titik temu maka untuk memecahkan ketegangan tersebut dibentuklah panitia sembilan.146

Panitia sembilan inilah yang kemudian melahirkan sebuah kesepakatan pada 22 Juni 1945 yang oleh Yamin, kesepakatan tersebut dinamakan Piagam

Jakarta atau Jakarta Charter.147 Pada Piagam Jakarta, tujuh kata yang ada pada sila pertama masih dipertahankan. Sehingga dapat dikatakan sampai saat itu keinginan kelompok Islam masih terakomodasi dengan baik. Namun kemenangan kelompok

Islam ini tidak berlangsung lama, karena sehari setelah kemerdekaan Indonesia,

PPKI melangsukan sidang pertamanya pada 18 Agustus 1945, dimana atas dasar keberatan kelompok nasionalis dan tokoh-tokoh Kristen dari Indonesia timur maka tujuh kata pada sila pertama dihapus dari naskah pembukaan UUD 1945.148

Penghapusan tujuh kata tersebut bagi kelompok Islam dianggap sebagai kekalahan dan kelemahan politik wakil-wakil umat Islam. 149 Seperti yang diutarakan oleh Natsir:

“Isi pesan itu pendek saja, yaitu: ada tujuh kata yang tercantum dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar Republik yang harus dicabut, katanya kalau tidak umat Kristen di Indonesia sebelah timur “tidak akan turut serta dalam Negara Republik Indonesia”, yang baru diproklamirkan itu. Tujuh kata-kata itu berbunyi… “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemelukNya”. Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang

146 B.J Boland, op.cit., Hal. 27.

147 B.J Boland, op.cit., Hal. 27.

148 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsesus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gemalnsani Press, 1997, Hal. 50-58.

149 Ahmad Syafii Maarif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, Hal. 109.

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik. Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pesan diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Ini berupa ultimatum.150 Perdebatan mengenai tujuh kata pada Piagam Jakarta tersebut memang tidak menyebabkan konflik terbuka antara Islam dengan Kristen, namun peristiwa tersebut membawa pengaruh bagaimana hubungan antara Islam dengan Kristen dimasa mendatang. Beberapa peristiwa pun pernah terjadi sebagai bentuk kekacauan umat Islam atas keputusan tersebut, seperti pemberontakan Datul

Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat oleh Kartosuwiryo yang kemudian memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.151

Bukan hanya di Jawa Barat saja, pemberontakan juga terjad di Sulawesi Selatan oleh Kahar Muzakar152 dan Aceh oleh Daud Bereuh.

Pemilu pertama pada tahun 1955 semakin memperlihatkan ketegangan bukan hanya melibatkan kelompok elit politik tetapi juga melibatkan kelompok masyarakat Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa peta persaingan peserta pemilu 1955 jika dikelompokkan meliputi tiga kubu yaitu: Kubu Islam, Kubu

Nasionalis dan Kubu Sosial-ekonomi. Berdasarkan perolehan kursi maka kelompok partai Islam yang terdiri atas Masyumi, NU, PSII, Perti, AKUI, PPTI,

Gerakan Pilihan Sunda, L.M Idrus Effendi meraih 230 kursi.153 Sedangkan untuk

150 M. Natsir, Tanpa Toleransi Takkan Ada Kerukunan: Dalam Fakta dan Data Usaha- usaha Kristenisasi di Indonesia, Jakarta: Majalah Media Dakwah, 1991, Hal. 45.

151 C. Van Dick, Rebellion Under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1981.

152 Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Pejuang Sampai Pemberontak, Jakarta: PT. Gramedia, 1992.

153 Amos Sukamto, op.cit., Hal. 29.

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kelompok nasionalis yang terdiri dari PNI, PKI, Parkindo, Partai Khatolik, PSI,

IPKi, dan PRN memperoleh 274 kursi, dan kelompok sosial-ekonomi memperoleh 10 kursi. 154 Tidak adanya suara mayoritas tunggal yang menyebabkan sampai tahun 1959, badan konstituante tidak mencapai kata sepakat mengenai masalah rumusan dasar Negara Indonesia. 155 Hal tersebutlah yang membuat presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, dimana presiden mengembalikan UUD 1945 sehingga Indonesia memasuki suatu babak baru yang disebut dengan demokrasi terpinpin.156

4.3 Periode 1948-1965: Ketegangan antara Islam melawan Kelompok

Penghayat Kepercayaan Abangan dan Para Pendukung PKI

Pada dasarnya ketegangan antara kelompok abangan pendukung PKI dengan para santri sudah berlangsung sejak September 1948. Peristiwa Madiun

1948 dianggap merepresentasikan bagaimana terjadi pembunuhan, penyiksaan, perampokan yang dilakukan oleh kaum abangan pendukung PKI. Baru setelah

Madiun dikuasai pemerintah, para santri disekitar Surakarta melakukan aksi balas dendam terhadap para abangan.157

154 Boland, op.cit., Hal. 85

155 Maarif, op.cit., Hal. 75

156 Maarif, op.cit., Hal. 75

157 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI, 2001, Hal.98-99.

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada tahun 1950-an, gerakan aliran kepercayaan mengalami kebangkitan yang cukup signifikan.158 Bahkan Departemen Agama Republik Indonesia pada pada tahun 1951 mencatat bahwa terdapat 73 kelompok aliran kepercayaan.159

Pada tahun 1956, Departemen Agama di Yogyakarta dan Jawa Tengah mengumumkan bahwa ada 63 sekte agama di Pulau Jawa. Dari 63 kelompok tersebut, 35 terdapat di Jawa Tengah, 22 di Jawa Barat dan 6 di Jawa Timur.160

Jumlah ini mengalami peningkatan pesat, bahkan menurut Departemen

Agama kantor wilayah Jawa Timur sampai tahun 1953 di wilayah tersebut jumlahnya sudah mencapai angka 100. 161 Kelompok aliran kepercayaan ini jumlahnya terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 1965 mencapai jumlah yang tak kurang dari 300 kelompok aliran kepercayaan.162

Meningkatnya jumlah para penganut aliran kepercayaan membuat

Departemen Agama pada tahun 1952 menyatakan bahwa defenisi dari agama adalah apabila memiliki nabi, ada kitab suci, dan pengakuan internasional. 163

Bagi agama samawi (Islam dan Kristen dalam hal ini), defenisi yang dikeluarkan oleh Departemen Agama sangat menguntungkan karena agama samawi tidak mengakui adanya aliran kepercayaan.

158Amos Sukamto, op.cit., Hal. 31

159 Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989, Hal.9.

160 J.M van der Kroef, New Religious Sects In , Far Eastern Survey, 1961, Hal.18.

161 Kroef, ibid., Hal. 18

162 Rahmat Subagya, op.cit., Hal. 9.

163 Rahmat Subagya, op.cit., Hal. 116.

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Namun defenisi yang dikeluarkab oleh Departemen Agama tersebut pada akhirnya mendapat pertentangan dari kelompok Hindu Bali sehingga defenisi tersebut ditarik mundur. Walaupun defenisi tersebut telah ditarik, bukan berarti pemerintah tidak mencari cara lain untuk tetap bisa mengontrol perkembangan aliran kepercayaan. Untuk tetap bisa mengawasi aliran-aliran kepercayaan tersebut maka pada bulan Oktober 1954, Departemen Agama membentuk

Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). 164 Fungsi badan ini adalah sebagai pengawas gerakan-gerakan spiritual yang tidak sepaham dengan

Islam.165

Pada tahun 1961, sekali lagi Departemen Agama menyusun defenisi agama. Menurut Departemen Agama, agama harus mempunyai kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa dan suatu sistem hukum bagi para penganutnya. 166 Defenisi yang dikeluarkan oleh Departemen Agama tentu semakin memudahkan para penganut agama samawi khususnya kelompok Islam untuk menekan perkembangan aliran kepercayaan.

Seperti yang diketahui bahwa sekitar tahun 1957, PKI dapat membangun kembali anggotanya, dan pada 1959, PKI mengawali kampanyenya dengan program Land Reform. Undang-undang pengawasan dan pembagian hasil ini disetujui DPR pada tahun 1960. Bagi para santri, gerakan ini membahayakan agama dan cara hidup mereka. hal ini dikarenakan gerakan land reform adalah

164Ahmad Sukamto, op.cit., Hal. 31

165 Rahmat Subagya, op.cit., Hal. 117.

166 NIels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari0hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Jakarta: PT. Gramedia, 1984, Hal. 6.

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA suatu upaya pembebasan tanah bagi mereka yang tidak memiliki tanah.

Sedangkan para penguasa tanag di desa pada umumnya adalah para pejabat, haji dan para pemimpin agama. Ketegangan mencapai puncaknya pada 30 September

1965.

4.4 Kondisi Politik di Indonesia Sebelum Tahun 1965

Tidak dapat dimungkiri bahwa ideologi komunis sangat mempengaruhi situasi politik Negara Indonesia sebelum tahun 1965. Pemilu pertama tahun 1955 ternyata membawa PKI sebagai salah satu partai pemenang pemilu dengan perolehan suara sebesar 6.232.512 atau 16,47% dari total suara. Keberhasilan PKI di dalam memenangkan pemilu tidaklah lepas dari adanya usaha PKI untuk menggalakkan land reform. Dalam bukunya, Achmad Habibi menyatakan bahwa:

“Isu land reform ini dimanfaatkan oleh PKI untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan antara tuan tanah “setan desa” dengan petani yang tidak memiliki lahan garapan. Di samping itu, peraturan land reform merupakan celah yang dimanfaatkan oleh PKI untuk mengembangkan keanggotaanya di pelosok pedesaan”.167 Tindakan PKI tersebut tentu bertujuan untuk menghimpun kekuatan petani di desa. Menurut DN. Aidit hanya 7% dari 90% jumlah petani yang telah berhasil diorganisir.168 Upaya land reform ini dilakukan PKI untuk menghapus jejak-jejak feodalisme yang masih sangat terasa di negara Indonesia ini. Feodalisme hanya menguntungkan kaum borjuis seperti para pemilik modal, para kepala daerah, para pejabat, kaum ulama dan orang-orang kaya lainnya.

167 Achmad Habib, Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa, Yogyakarta: LKiS, 2004, Hal. 46.

168 Peter Edman, Komunisme Ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N Aidit 1950-1965, Jakarta: Center for Information Analysis, 2005, Hal. 123.

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Untuk mewujudkan gerakan land reform ini tak jarang sering terjadi penguasaan secara paksa oleh PKI, khususnya seperti yang terjadi di Jawa

Timur.169 Hal ini dikarenakan pada umumnya para kyai adalah para pemilik tanah di pedesaan, sehingga sering terjadi konflik antara PKI dan kelompok Islam.

Rakyat kecil inilah yang menjadi pendukung utama PKI yang jika kita lihat dari agama dan kepercayaannya yang mereka anut adalah agama minoritas seperti

Muslim awam, Kelompok Non Jama‟ah, Kejawen atau abangan serta para penganut aliran kepercayaan.

Puncak dari segala peristiwa ini terjadi pada 30 September 1965 yang dikenal dengan nama G 30 S.170 Jika ingin menelusuri siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa tersebut maka sampai sekarang kita tidak dapat memastikannya dan masih dapat diperdebatkan tentang peristiwa tersebut. Hanya saja, menurut versi resmi pemerintah, dalang dibalik peristiwa tersebut adalah PKI. Akibat dari peristiwa tersebut, PKI dan ideologi komunis dilarang di Negara Indonesia.

Pelarangan tersebut semakin diperkuat dengan dikeluarkannya TAP MPRS No

XXV/ MPRS/ 1966 yang berbunyi:

“Ketetapan tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan

169 Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, Surabaya: Yayasan Kajian Citra Bangsa dan Centre Indonesian Communities Studies, 2009.

170 Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta, diakses melalui wikepedia.co.id Pada Rabu, 27 Februari 2017, Pukul. 21.00 Wib.

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan faham/ ajaran Komunisme/ Marxisme- Leninisme”. Dengan dikeluarkannya ketetapan tersebut membuat para pengikut, simpatisan bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa tentang PKI harus merasakan akibatnya, bahkan ikut menanggung penganiyayaan yang tidak berprikemanusiaan oleh bangsanya sendiri.

4.5 Pelarangan Terhadap Komunisme di Indonesia

Peristiwa G 30 S 1965 telah membawa perubahan yang begitu besar di dalam percaturan politik negara Indonesia. Bukan hanya membuat sebuah orde harus tersingkirkan namun juga membawa Indonesia ke suatu babak baru dibawah kepemimpinan penguasa lainnya. PKI yang sebelumnya menyokong hampir semua kebijakan yang dikeluarkan Soekarno sebagai suatu tahapan strategi yang menguntungkan PKI membuat banyak dugaan bahwa Presiden Soekarno dianggap pro terhadap PKI sehingga ia pun harus kehilangan kekuasaannya yang segera digantikan oleh Soeharto yang dianggap memiliki kontribusi besar untuk mengamankan keadaan negara pasca kudeta PKI saat itu. 171 Soeharto pun selanjutnya terpilih sebagai presiden.

Disinilah titik permasalahan dimulai, dimana salah satu tindakan rezim baru ini adalah membubarkan PKI dengan mengeluarkan TAP MPRS No

XXV/MPRS/ 1966. Lebih lanjut terhadap pelarangan tersebut adalah menyatakan

Komunis sebagai suatu bentuk ideologi yang tidak mengakui Tuhan atau

171Hardiyanti Munsi. 2016. Dari Masa Lalu Ke Masa Kini: Memori Kolektif, Konstruksi Negara dan Normalisasi Anti Komunis, Jurnal Etnosia Vol 01 No 01 Juni 2016, Hal. 32.

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Ateisme.172 Oleh karena itu demi mencegah bahaya laten dari infiltrasi ideologi komunis tersebut, pemerintah melalui angkatan daratnya mengharuskan seluruh rakyat Indonesia wajib memeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah.

Pemerintah sendiri menggunakan TAP MPRS No XXVII/ 1966 yang sebenarnya jika kita cermati baik-baik, ketetapan ini menyatakan bahwa agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dasar hingga perguruan tinggi negeri.173 Lebih lanjut tentang TAP MPRS No XXVII/ 1966, Bab I tentang agama Pasal 1 adalah:

“Mengubah diktum ketetapan MPRS No 11/ MPRS/ 1960 Bab II Pasal 2 ayat (3) dengan menghapuskan kata”…. Dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid-murid dewasa menyatakan keberatannya…” sehingga kalimatnya berbunyi sebagai berikut yaitu “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri”. Sebenarnya TAP MPRS tersebut adalah perbaikan dari TAP MPRS No 11/

MPRS/ 1960 khususnya pada bab II ketentuan umum tentang bidang mental/ agama/ kerohanian/ penelitian pada ayat 3 yang isinya adalah:

“Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah- sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas negeri dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid- murid dewasa menyatakan keberatannya”. Jika kita cermati isi TAP No 11/ MPRS/ 1960 hanya menyatakan bahwa setiap siswa berhak tidak ikut serta dalam pelajaran agama. Namun pada TAP No

172 Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewiataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan, diakses melalui wikepedia.co.id pada Selasa, 27 Agustus 2017, Pukul 21.14 Wib.

173 Amos Sukamto, Dampak Peristiwa G30S Tahun 1965 Terhadap Kekristenan Di Jawa, Sumatera Utara dan Timor, Jurnal Amanat Agung.

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 11/ MPRS/1960 Pasal 2 justru menyatakan bahwa “Pancasila dan manipol sebagai mata pelajaran di perguruan rendah sampai dengan perguruan tinggi”.

Penafsiran yang berkembang pada masyarakat tentang TAP No 11 MPRS

1960 ditambah pelarangan ideologi komunis tersebut menyebabkan mereka yang menganut agama dan aliran kepercayaan diluar yang diakui pemerintah tentu mengalami ketakutan dituduh sebagai pendukung PKI atau menganut ateis.

Sehingga pasca peristiwa 1965, banyak masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong memeluk agama yang diakui oleh pemerintah.

4.6 Masyarakat Karo Memandang Soekarno Dan PKI

Tidak bisa dimungkiri bahwa Tanah Karo merupakan basis massa nasionalis yang kemudian berafiliasi menjadi politik Soekarnoisme sejak pemilu pertama tahun 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) merupakan salah satu partai pemenang pemilu saat itu, dimana di Tanah Karo, partai yang didirikan Soekarno ini bercirikan ideologi Marhaenisme tersebut memperoleh suara mutlak sekitar

90% dari total suara.174 Kemenangan PNI di Tanah Karo dapat dijadikan tolak ukur kesetiaan politik masyarakat Karo terhadap Soekarno. Masyarakat Karo sendiri menggelari Soekarno dengan sebutan “Bapa Rakat Sirulo” yang artinya pemimpin yang membawa kemakmuran rakyat.

Kesetiaan masyarakat Karo terhadap Soekarno juga terlihat ketika beberapa daerah di Sumatera melakukan Pemberontakan Revolusioner Rakyat

174 Hiski Darmayana, “Spirit Soekarnoisme Warga Tanah Karo”, diakses dari Spirit%20Soekarnoisme%20Warga%20Tanah%20Karo.html, Pada 27 Februari 2018, Pukul. 21.21.

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Indonesia atau yang dikenal dengan PRRI/Permesta, masyarakat Karo justru tidak tertarik untuk ikut melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Soekarno dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketika negara dalan keadaan darurat itulah, Suku Karo justru melahirkan seorang tokoh hebat seperti Letjen Djamin Gintings yang secara tegas menyatakan mendukung pemerintahan Soekarno dan berdiri dibawah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Berkat jasa-jasanyalah kemudian Soekarno mengangkat

Djamin Gintings sebagai Pangdam Bukit Barisan seluruh wilayah Sumatera pada tahun 1957-1958.

Kesetiaan masyarakat Karo terhadap Soekarno pun membawa putra kebanggaan Karo lainnya yaitu Ulung Sitepu yang kemudian diangkat sebagai

Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1963. Namun sepak terjang Ulung Sitepu sebagai gubernur harus terhenti karena nantinya dia dituduh sebagai tokoh PKI.

Tudingan ini didasari karena selama masa jabatannya, Ulung banyak mendapat dukungan dari PKI.175

PKI sendiri telah memasuki masyarakat Karo secara luas, baik secara langsung maupun melalui kedok-kedok organisasi-organisasi, dan bahkan memasuki sejumlah organisasi-organisasi non politik termasuk GBKP yang salah satu perkumpulan jemaatnya kemudian diketahui memiliki 50% anggota terlibat langsung dalam PKI.176

175 Hiski Darmayana, Ibid.,

176 Simon Rae, Op. Cit., Hal. 204.

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Perkembangan partai pada masyarakat Karo baik itu yang beraliran nasionalis, agamais ataupun komunis ternyata dapat menarik perhatian masyarakat

Karo yang tidak mempunyai keterikatan kelas seperti suku-suku lainnya yang ada di Sumatera Utara, khususnya pengaruh komunis yang memang tujuan pergerakannya sangat menyentuh kaum buruh, petani, dan nelayan yang kemudian menjadi salah satu andalan komunis untuk merangkul masyarakat Karo yang memang mayoritas mata pencahariannya adalah kaum petani.

Sebenarnya, sebulan sebelum kudeta itu terjadi, pada awal September

1965, Pemerintah Daerah Karo sudah mengeluarkan peraturan agar setiap camat hingga kepala desa di desa masing-masing untuk melaporkan para pemimpin partai komunis, anggota beserta kader-kadernya untuk segera membubarkan diri sebagai bentuk pernyataan tidak setuju atas tindakan PKI di Jakarta.177

Itulah ketika terjadi kudeta pada 30 September 1965, di Tanah Karo, seluruh partai politik seperti PNI dan juga organisasi kepemudaan yang dipelopori oleh Pemuda Marhaenis kemudian bersatu dalam suatu wadah yang disebut dengan Komando Aksi yang nantinya menjadi senjata bagi pemerintah daerah

Karo untuk memberantas PKI berserta para anggotanya. Menurut Pendeta Werner

Grothaus yang ketika itu berada di Tanah Karo, ada sekitar 3000 nama dalam daftar orang Karo termasuk dari para pemimpin Islam, Kristen dan Buddha.178

177 Julkifli Sembiring, Gerakan Pemuda Rakyat Di Tanah Karo 1945-1966, Medan: Skripsi Tidak Diterbitkan, 2008.

178 Simon Rae, op.cit., Hal. 204.

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Seperti halnya yang terjadi di daerah lainnya, terdapat juga reaksi pemberontakan di Tanah Karo yang menentang PKI atau yang dicurigai PKI yang dilakukan oleh PNI dan Pemuda Marhaenisme Tanah Karo yang merasa bangga telah menghancurkan PKI beserta para pengikutnya. Mereka tidak menyadari bahwa dengan kehancuran PKI justru juga menjadi kehancuran dari rezim

Soekarno yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi dan bagi

PNI itu sendiri. Hal ini terbukti dengan dibekukannya PNI berserta pengikutnya di

Sumatera Utara oleh Sarwo Edi Wibowo selaku Panglima TNI Bukit Barisan pada saat itu.

4.7 Konversi Agama Pasca 1965: Ditinjau Pada Aliran Kepercayaan Pemena

Pada Suku Karo

4.7.1 Perkembangan Agama Kristen Protestan

Dilihat dari asal usulnya, maka agama dapat dikategorikan dua yaitu ada agama yang berasal dari bumi dan ada agama yang diturunkan dari langit (agama wahyu). Agama yang berasal dari bumi sendiri lahir dan berkembang dalam suatu kelompok, suku atau masyarakat tertentu. 179 Agama bumi sering disebut juga dengan agama asli atau pribumi. Biasanya agama pribumi ini hanya dikenalnya di dalam lingkungan para penganutnya saja.

Lalu ada juga agama yang tumbuh dan berkembang di luar kelompok, suku atau masyarakat tertentu sehingga untuk masuk dan diterima maka agama

179 A.M Hardjana, Penghayat Agama: Yang otentik dan tidak otentik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993, Hal. 9.

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut akan melakukan usaha penyebaran atau pemaksaan. Upaya penyebaran dilakukan oleh para penyebar agama, sedangkan upaya pemaksaan dilakukan oleh para para penjajah. Agama yang disebarkan di luar kelompok biasanya merupakan agama universal. Itulah sebabnya maka agama tersebut disebarluaskan di seluruh dunia. Konsepsi istilah agama di Indonesia yang dibuat oleh Departemen Agama mensyaratkan adanya wahyu Tuhan, memiliki nabi, kitab suci, dan pengakuan berskala internasional.180

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Kemajemukkan masyarakat dapat terlihat dari beragamnya bahasa, suku bangsa dan agama.

Berbicara tentang keberagaman agama di Indonesia, jauh sebelum pemerintah menetapkan agama apa saja yang diakui sebagai agama resmi di Indonesia, aliran kepercayaan telah tumbuh subur ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa sejak dahulu, masyarakat Indonesia telah meyakini bahwa ada kekuatan di luar akal pikiran manusia yang mengatur kehidupan manusia dan alam semesta. Kepercayaan lokal dengan sistem, ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat hingga kini, bahkan jauh sebelum Negara Indonesia merdeka. 181 Oleh karena itu, pengakuan sangat diperlukan dalam menghadapi kemajemukkan di dalam kehidupan bermasyarakat di Negara Indonesia kita ini.

180 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskurus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang: Rasail Media Group, 2009.

181Ahmad Syafii Mufid (ed), Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2002, Hal. 11.

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Perjalanan kepercayaan lokal itu sendiri sebenarnya telah mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara

(GBHN) yang ditetapkan pada zaman Orde Baru maka agama-agama lokal yang ada di Indonesia digolongkan ke dalam aliran kepercayaan. Hal itu diharapkan agar pembinaan aliran kepercayaan diarahkan kembali kepada induk agamanya masing-masing. Maka pada masa pemerintahan Orde Baru, dikeluarkan kebijakan yang mengarahkan agama lokal bergabung dengan agama yang ajarannya mendekati agama induk (agama mayoritas). Berbagai agama lokal seperti

Kaharingan (Dayak), Aluk To Dolo (Tana Toraja) digabungkan ke dalam Agama

Hindu, dan Agama Khonghucu digabungkan ke dalam Agama Buddha. Dengan kebijakan pemerintah yang waktu itu sangat represif, maka demi menyelamatkan diri penganut agama-agama lokal dengan sangat terpaksa bergabung ke dalam 5

(lima) agama yang dilayani pemerintah.182

Kebebasan di dalam memeluk dan menjalankan agamanya sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah melalui Undang-Undang Dasar 1945, namun dikarenakan peraturan pemerintah yang multi tafsir dalam menyikapi keberagaman agama di Indonesia tersebut yang membuat aliran kepercayaan lokal seperti tidak mendapatkan tempat.

Menurut pasal 29 ayat 2 UUD 1945 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.183 Berdasarkan pasal

182Ibid.,Hal. 3.

183Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPRRI, 2002, Hal 21.

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut seharusnya negara menjamin kebebasan warga negara memeluk dan beribadat, namun kepercayaan lokal tidak mendapatkan hak penuh serta tidak diakui dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Seperti dalam peraturan

Menteri Agama no. 9/1952/pasal 4, Aliran kepercayaan merupakan suatu bentuk budaya keterbelakangan yang masih mengacu pada kepercayaan nenek moyang.184 Tafsir Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 secara tidak langsung memisahkan antara Aliran kepercayaan dan Agama.185

Politik agama mulai dirasakan masyarakat Indonesia setelah terjadi peristiwa 1965. Seperti yang diketahui bahwa salah satu dampak dari peristiwa

1965 adalah banyaknya masyarakat Indonesia yang kemudian berpindah agama ke agama resmi pemerintah. Perpindahan agama itu merupakan salah satu strategi bertahan hidup di kalangan korban, terutama berkaitan dengan tuntutan kejelasan identitas agama formal dari negara dan sebagian masyarakat yang muncul dalam gerakan pembersihan PKI.186

Politik agama di negara Indonesia mulai diterapkan sejak pemerintah mengeluarkan Ketetapan MPRS No XXVII/ 1966 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama resmi yang diakui oleh negara dan pemerintah Indonesia.187 Dengan dikeluarkannya ketetapan tersebut, hal ini juga membuka jalan bagi para pemuka lima agama resmi untuk

184 Ramstedt Martin. 2005. Hinduism in Modern Indonesia a Minority Religion Between Local, National and Global Interest. Kota tidak diketahui: Routledge, Hal 9.

185 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, op.cit.,

186 Singgih Nugroho,”Konversi Agama Pasca 1965”, Lentera, 2015, Hal.30.

187 Singgih Nugroho, Ibid., Hal.30

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menyiarkan ajaran agamanya masing-masing ketengah masyarakat Indonesia.

Bahkan di beberapa daerah, para gubernur turut aktif melalui Kantor Departemen

Agama mengajak para pemimpin agama untuk ikut serta di dalam Pilot Proyek

Pembinaan Mental Agama (P3A) yang bertujuan untuk: meningkatkan peranan agama dalam kehidupan rakyat dan menempatkannya sebagai pengaruh dari sila pertama Pancasila, menciptakan sebuah mentalitas agama dan memproduksi suatu spritualitas yang akan mengisi kehidupan rakyat baik dari segi fisik maupun mental; dan membangun kembali pondasi keagamaan yang telah dirusak oleh

Gerakan 30 September dan golongan ateis.188

Berdasarkan data dari Kementerian Agama menyatakan bahwa bantuan financial yang diterima setiap daerah terkait dengan P3A tersebut antara lain:

Tabel 1 Bantuan Finansial Daerah Sumatera Utara Dari Kementerian Agama189

Mesjid 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 Jumlah

Medan - 4000 5000 - 9000

Deli - - 500 - 500

Serdang

Tapanuli - - 500 - 500

Selatan

Langkat - - 500 - 500

Labuhan - - 500 - 500

188 Singgih Nugroho, Ibid., Hal.31.

189Nama tidak diketahui, “Beberapa Fakta Jang Bertentangan Dengan Hak Kebebasan Beragama”, Arsip Perpustakaan Nasional, 1967, Hal. 12

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Batu

Pematang - - 500 - 500

Siantar

Sibolga - - 500 - 500

Binjai - - 500 - 500

Tanjung - - 500 - 500

Balai

Tebing - - 500 - 500

Tinggi

Kabanjahe - - 500 4150 4150

Gereja 1969/70 1970/71 1971/72 1972/73 Jumlah

Tigalingga - - - 350 350

Padang - 3000 - - 3000

Sidempuan

Sumber: Perpustakaan Nasional

Tindakan pembedaan agama yang diakui dan tidak diakui oleh pemerintah tentu mengakibatkan terjadinya berbagai diskriminasi di Indonesia. Pemerintah hanya mengakui enam agama saja seperti yang tertera pada UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan agama menunjukkan intervensi negara terhadap kehidupan beragama masyarakatnya. Bagi keenam agama yang diakui tadi tentu mendapatkan jaminan dan bantuan finansial dari pemerintah. Sedangkan bagi para penganut aliran kepercayaan dianggap

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bertentangan sehingga para pengikutnya harus diarahkan ke padangan agama yang sehat. Tercatat ada 78 aliran kepercayaan pada tahun 1950 di seluruh Indonesia, lalu meningkat menjadi 300 pada tahun 1964. Pasca peristiwa 1965, aliran kepercayaan dilarang, dibekukan dan dibubarkan hingga jumlahnya menurun drastis. Pada tahun 1972 terdaftar 64 aliran pada sekretariat Kerjasama

Kepercayaan di tingkat pusat maupun cabang.190

Berbicara tentang kepercayaan lokal, kita mengetahui bahwa Suku Karo juga memiliki kepercayaannya sendiri. Kepercayaan tradisional Masyarakat Karo ini disebut dengan Pemena. Kepercayaan Pemena ini sangat berkaitan dengan roh- roh, di mana hubungan dengan roh-roh tersebut dilakukan melalui perantara guru yang dikenal dengan nama guru si baso. Pemena sering disebut juga dengan

Pebegu. Masyarakat Karo sendiri tidak begitu menyukai istilah tersebut karena istilah begu sering diartikan dengan memuja atau menyembah setan atau roh jahat.

Sejak masuknya missil Injil Kristen dan Siar Islam ke Tanah Karo,

Kepercayaan Pemena mulai mengalami penurunan umat namun tidak dalam skala besar.191 Walaupun pada tahun 1907 daerah Karo seluruhnya sudah tunduk kepada pemerintah Kolonial Belanda, dan missi zending Henoschap dapat leluasa mengembangkan agama Nasrani, serta adanya mubaligh-mubaligh Islam yang berusaha juga mencari pengaruh di daerah Karo, namun sampai tahun 1945, penganut Kristen dan Islam masih dapat dihitung dengan jari sedangkan agama

Pemena masih tetap unggul sampai tahun 1965, dan masih menjadi agama

190 Djoko Dwiyanto, Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Yogyakarta: Ampera Utama, 2009.

191Tridah Bangun. Manusia Batak Karo, Jakarta: PT. Tema Baru, 1985, Hal 37.

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mayoritas Suku Karo. 192 Menurut Tridah Bangun, jumlah orang Karo yang memeluk agama, baik Kristen Protestan, Islam dan Katolik sampai tahun 1965 baru terhitung puluhan ribu orang. Ramainya penduduk masuk agama, baik

Kristen Protestan, Islam, dan Katolik barulah terjadi setelah tahun 1967.193

Meningkatnya masyarakat Karo memeluk agama tidaklah lepas dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut membawa problematika yang mendalam bagi kehidupan beragama bangsa Indonesia, di mana setelah lengsernya orde lama dan digantikan dengan orde baru, agama menjadi salah satu kunci legitimasi pemerintahan orde baru. Masyarakat harus memilih agamanya jika tidak akan dicap sebagai komunis.

Demi menguatkan legitimasi terebut, pemerintah mengeluarkan Penetapan

Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1969 tentang berbagai pernyataan dan penetapan presiden yang disahkan sebagai undang- undang. Kedua kebijakan tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa agama- agama yang dianut penduduk Indonesia antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Buddha, dan Konghucu. Konghucu sendiri dipinggirkan pada masa Orde Baru.

Peraturan pemerintah yang multi tafsir pun kembali terlihat pada Ketetapan MPR

RI Nomor IV/MPR/1978 yang menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa tidak merupakan agama dan pembinaannya tidak mengarah

192 Sarjani Tarigan, op.cit., Hal. 3

193Tridah Bangun, op.cit.,Hal 35.

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kepada pembentukkan agama baru. 194 Dimana pada salah satu pasal pada ketetapan tersebut menyatakan bahwa perkawinan dikatakan sah jika sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud adalah hukum yang berlaku pada masing-masing agama dan kepercayaan itu berlaku pada umatnya selama tidak bertentangan dengan konstitusi.

Dampak dari gerakan itu adalah terjadinya gelombang perpindahan ke agama resmi secara besar-besaran di Indonesia. Kebanyakan dari mereka yang berpindah adalah para penganut kepercayaan tradisional yang tidak berafiliasi dengan agama resmi. Oleh karena itu sejak 1960-an dan masa-masa selanjutnya terjadi peningkatan umat terhadap agama-agama resmi pemerintah dibandingkan masa sebelumnya. Salah satu agama yang mengalami peningkatan jumlah anggota paling mencolok adalah Kristen. Sementara Hindu dan Buddha juga berkembang walaupun jumlah pemeluknya tetap kecil.195

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, agama sebenarnya sudah masuk ke dalam masyarakat Karo jauh sebelum terjadi peristuwa tahun

1965. Masyarakat Karo sendiri pasca peristiwa tahun 1965 memang sangat dominan dengan Agama Kristen. Perkembangan Agama Kristen pada masyarakat

Karo tidak lepas dari peranan Nederlands Zendeling Genootschap(NZG). Pada tahun 1797, NZG lebih menekankankan pada penginjilan pribadi.196

194 Pdt. Weinata Sairin, Himpunan Peraturan Di Bidang Keagamaan, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1994, Hal. 208.

195 Amos Sukamto, op.cit,

196 Rita Smith Kipp, “Conversion by Affiliation: The History of The Batak Karo Protestant Church”, American ethnologist, Vol 22 No 4, 1995, Hal. 870.

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Namun perkembangan Kristen di Tanah Karo justru mulai bertumbuh cepat setelah GBKP berdiri sendiri pada tahun 1941. Rita Smith Kipp dalam penelitiannya pada tahun 1972-1974 di GBKP, disusul penelitian tambahannya pada tahun 1983, 1986, 1989 dan 1990 mengungkapkan bahwa:

“after independence, and once local come under local Karo control, many Karo began to find church membership more attractive”.197

Konversi Orang Karo ke Agama Kristen pertama kali terjadi pada tahun

1894 dengan jumlah 5 orang laki-laki dan 1 perempuan. 198 Kemudian Gereja

Buluhawar ditahbiskan pada tanggal 24 Desember 1899.199 Tahun 1899 baru 25 orang yang menjadi Kristen di desa Buluhawar, dan pada Perayaan Natal 24

Desember 1899 diadakan Kebaktian Perayaan Natal dengan bahasa Karo untuk pertama kalinya. 200 Namun pada kurun waktu 1915-1925, terjadi kemandegan pertumbuhan umat. Menurut laporan Pendeta E.J Van Den Berg yang melayani resort Serdang dari tahun 1917-1919 menyatakan hampir semua orang yang dibaptis pada kurun waktu 1893-1918 tidak ada yang aktif ke gereja.201 Adapun penyebab kemandegan tersebut antara lain karena pada saat itu muncul gerakan parhudamdam. Gerakan ini adalah gerakan religius yang berasal dari Toba, dan memasuki Karo melalui wilayah Serdang. Gerakan ini adalah gerakan anti

Belanda, anti gereja, anti pengobatan Belanda, anti pajak dan anti sekolah

197 Rita Smith Kipp, Ibid., Hal. 875.

198 Rita Smith Kipp, Ibid., Hal.873.

199 P. Sinuraya, Cuplikan Sejarah Penginjilan kepada Masyarakat Karo, Medan: Berkat Jaya, 2002, Hal. 15.

200 Ulrich Beyer, Und Viele Wurden Hinzugetan, Verlag UEM Wuppertal, diterjemahkan oleh : Matius Panji Barus, 1982, Hal. 22-23. 201 Pdt. E.P Gintings, Sejarah GBKP, Medan: EL Penampat Gerafindo, Hal. 56

112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Belanda. Selain itu di Eropa sedang berlangsung Perang Dunia I, dimana Belanda ikut terlibat dalan perang tersebut. Orang-orang Karo yang melihat tersebut merasa tidak ada gunanya menjadi Kristen karena etika dan moral yang diajarkan

Belanda di sekolah-sekolahnya tidak sejalan dengan kenyataan dilapangan. Orang

Belanda juga hanya menyuruh orang Karo untuk rajin beribadah hari minggu namun mereka sendiri tidak melakukannya.202 Dalam perjalanannya, GBKP selain membangun sekolah, namun juga membangun pelayanan-pelayanan medis untuk orang-orang sakit. Namun menurut laporang pendeta Muijlwijk pada tahun 1923, baru 75 orang yang berobat sepanjang tahun. Keengganan orang-orang Karo untuk datang ke pelayanan medis karena masyarakat Karo pada waktu itu lebih mempercayai pengobatan alternatif dukun yang bersifat tradisional. Pada tahun

1937 orang Karo yang telah dibaptis hanya berjumlah 3508 orang. 203 Antara kurun waktu antara tahun 1890 sampai tahun 1940, adapun pertumbuhan umat

GBKP berjumlah 5000 anggota baptisan. Ada sejumlah alasan lambatnya perkembangan agama Kristen pada orang-orang Karo antara lain:

1. Kuatnya pengaruh kebudayaan dan tradisi Karo melalui kepercayaan

Pemena sehingga membuat orang-orang Karo yang baru masuk

Kristen merasa diasingkan dari kebudayaannya, karena jika masuk

Kristen berarti anti adat dan otomatis akan terpisah dari masyarakat

Karo itu sendiri.

2. Perang Sunggal yang berlangsung 20 tahun tersebut membuat orang-

orang Karo beranggapan bahwa kedatangan missil Injil Kristen

202Ibid., Hal. 56

203 Ibid., Hal. 63

113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ketengah-tengah masyarakat Karo adalah propaganda kolonial yang

ingin menguasai tanah-tanah orang Karo.

3. Ada semacam anggapan dasar orang-orang Karo bahwa kepercayaan

Pemena dianggap sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Orang-orang Karo sangat mencurigai hal-hal baru seperti pendidikan,

kesehatan dan agama yang belum mereka kenal.204

Kemudian pada masa pendudukan Jepang sampai upaya mempertahankan kemerdekaan, jemaat GBKP tidak mengalami pertambahan, namun walau demikian, GBKP tetap berhasil menjaga jemaatnya di masa yang serba sulit tersebut. Ada beberapa alasan kenapa pertumbuhan agama Kristen pada masa pendudukan Jepang mengalami kemandegan antara lain:

1. Jepang memaksa penduduk untuk menyembah Matahari setiap pagi

2. Tidak adanya izin penginjilan utuk dilaksanakan

3. Adanya anggapan orang-orang Kristen pendukung Belanda

Namun hambatan paling besar justru datang dari orang-orang Karo yang masih memeluk kepercayaan Pemena. Tradisi dan kebudayaan Karo yang sangat kuat seperti perumah begu, perumah tendi, ngeluncang, niktik wari, tidak hanya itu pesta adat dalam perkawinan, kematian, dan lain-lain selalu dikaitkan dengan ritus-ritus kepercayaan Pemena.205

204 Ibid., 205 Ibid.,

114

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Di bawah ini adalah tabel perkembangan anggota baptisan GBKP dari tahun 1893-1971:206

Tabel 2 Anggota Baptisan GBKP Tahun 1893-1971

Tahun Anggota Baptisan

1893 6 orang207

1900 25 orang208

1940 5000 orang209

1950 5000 orang

1953 13808 orang

1963 23000 orang210

1965 35000 orang

1968 76300 orang

1971 94085 orang

Sumber: Laporan GBKP Regional Sumatera Utara

Jika ditunjukkan ke dalam grafik maka dapat ditunjukkan seperti di bawah ini:

Grafik 1

206 Frank L Coeley, Benih Yang Tumbuh 11: Gereja Masehi Injili Timor, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1976, Hal. 67.

207 Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh XII: Suatu Survey Mengenai Gereja-gereja di Sumatera Utara (Laporan Regional Sumatera Utara), Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gerjea di Indonesia, tahun tidak diketahui, Hal. 38

208 Walter Lempp, Ibid., Hal 38.

209 Walter Lempp, Ibid.,Hal 38.

210 Paul B. Pedersen, Batak Blood and Protestant Soul The Development of National Batak Churchs in North Sumatera, Grand Rapids: Eerdmans, 1970, Hal. 188.

115

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Jumlah Anggota Baptisan GBKP di Tanah Karo

Anggota Baptisan 100000 90000 80000 70000 60000 50000 Anggota Baptisan 40000 30000 20000 10000 0 1940 1950 1953 1963 1965 1968 1971

Sumber: Laporan Regional GBKP Sumatera Utara

Data di atas menunjukkan bahwa kurun waktu 1950 sampai 1971, jemaat

GBKP bertambah dari 5000 jemaat menjadi 94.085 jemaat. Ada beberapa alasan kenapa terjadi pertumbuhan umat yang signifikant pada kurun waktu 1950-1953, antara lain:

1. Banyak para pemuda dan anak-anak sekolah mulai meninggalkan

kampung halamannya untuk menuntut ilmu sehingga terjadi perubahan

transisi nilai-nilai ditengah-tengah kehidupan mereka, dimana

kekristenan adalah salah satu pilihan pada saat itu

2. Selama masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, semangat

pancasila terutama pada sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha

Esa” membuat orang-orang Karo yang masih menganut kepercayaan

Pemena yang belum memilih agama akhirnya memilih agama Kristen.

116

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Walaupun sebelum tahun 1965 telah ada pertambahan jemaat namun pertumbuhan drastis justru terjadi mulai tahun 1965. Berdasarkan tabel dan grafik menujukkan bahwa setelah tahun 1968, pertumbuhan GBKP menurun dari

39,33% pada tahun 1965 menjadi 7,7% untuk periode 1969-1971.211

Menurut Lempp, pertumbuhan jemaat GBKP pada tahun 1940-1963 berkisar 15% setahun, lalu pada tahun 1964-1968 meningkat menjadi 43% setahun, dan pada 1969-1971 menjadi 7% setahun.

Peristiwa 1965 membawa kontribusi yang cukup besar bagi pertumbuhan

GBKP. Menurut Cooley:

“Tetapi yang lebih nyata mengurangi tekanan itu ialah meningkatnya Nasakom, dimana unsur Nas, A, dan Kom tidak boleh saling caci-mencaci, karena waktu itu ketiga unsur Nasakom harus maju bersama-sama dalam perjuangan revolusi Indonesia. Memang satu kenyataan yang nampak waktu itu ialah bahwa ada anggota-anggota jemaat, bahkan penatua yang muncul sebagai tokoh-tokoh PKI atau organisasi-organisasinya. Tetapi di pihak lain, dan hal ini lebih menonjol, semakin banyak orang datang ke gereja meminta katekisasi dan baptisan. Jadi sebenarnya pertumbuhan pesat GBKP telah mulai tahun 1963, sebelum G30S tetapi baru mencapai puncaknya sesudah peristiwa yang bersejarah dan mengejutkan itu”.212 Pernyataan tersebut juga didukung oleh Cermin Br Kemit, seorang dukun yang mengobati orang-orang sakit. Ia sendiri dalam kehidupannya masih mempercayai dan melakukan praktik-praktik Pemena, namun jauh sebelum peristiwa 1965, Cermin telah menganut Agama Kristen. Berikut penuturannya:

“Bapakku jauh sebelum peristiwa PKI sudah lama masuk Kristen, sejak tahun 1930 lah yang kuingat, soalnya aku lahirpun udah Kristen aku. Usiaku sekarang sudah 78 tahun, kam hitung ajalah sendiri kapan aku lahir. Bapakku masuk Kristen ya karena ia percaya akan itu, panitera hebat dia di Kabanjahe. Sedangkan kemampuanku mengobati orang sakit ini udah dari kecil kudapat,

211 Walter Lempp, op.cit., Hal. 46.

212 Frank L Cooley, Benih Yang Tumbuh 4: Gereja Batak Karo Protestan, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1976, Hal. 69.

117

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA cuma baru benar-benar kujalankan ya 33 tahun belakangan ini. Dulu yang kuingat sering aku sakit karena menolak kemampuan ini. Jadi kalau kam tanya apa karena setelah PKI keluarga kami beragama ya kujawab lang lah. Memang karena iman.”213

Rita Smith Kipp mengungkapkan bahwa:

“for the GBKP this was an era of “mass conversions” as it was in several other areas throught Indonesia- especially where, as in Karoland, communism had been strong before 1965 (Grothaus 1970; Pedersen 1970). The abortive coup of the communist in Jakarta on September 30, 1965 gave way throughout Indonesia to the violent crushing of the Partai Komunis Indonesia (PKI) by execution and incarceration. In this atmosphere people rushed to identify with one of the recognized religions as a badge of innocence. But the mass conversions of the post-1965 era were not an entirely spontaneous, grassroots, response. The governor‟s office of North Sumatera, the military, and the council of churches (of which The GBKP was a member) cooperated to fund flashy evangelatization tours, complete with brass bands and choirs, that held rallies in the villages of Karoland to recruit converts (Pedersen 1970:190). The gonverment decided that “the making of believers was the unmaking of communist” (Thomson 1968: 8), and, looking toward the future, that building religious faith would temper the impulses toward a class-based revolution. Having counted claimed 100.000 members by 1970 (Grothaus 1970).214

Ketika peristiwa 1965 terjadi, menurut pendeta Wenner Grothaus yang ketika itu berada di Tanah Karo, ada sekitar 3000 nama dalam daftar orang Karo termasuk dari para pemimpin Islam, Kristen dan Buddha. 215 Sebenarnya masyarakat Karo tidak tahu arti menjadi seorang PKI. Bagi masyarakat Karo, PKI hanyalah sebuah partai yang berjuang dengan program land reformnya. Menurut

Grothaus menyatakan bahwa:

“Many congregratiansn were infiltrated by PKI. There was one congregiatian discovered later, where are of the elders was himself a communist

213 Wawancara dengan Cermin Br Kemit pada Selasa, 13 Februari 2018, Pukul. 16.00 WIB.

214 Rita Smith Kipp, op.cit., Hal. 875.

215 Simon Rae, op.cit., Hal. 204

118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA leader and where fifty percent of the members where communist party members”216

Tentu saja peristiwa 1965 bukanlah satu-satunya faktor terjadinya konversi agama pada Masyarakat Karo. Usaha pendidikan yang telah dirintis di Tanah

Karo, dan mengalami perkembangan sejak 1961 menunjukkan bagaimana kaum pemuda sangat tertarik terhadap agama Kristen. Sejak dibangku sekolah, mereka memilih masuk Kristen bukan karena dipilih oleh Orang Kristen melainkan karena Agama Kristen itu sendiri mampu memberikan alternatif yang lebih rasional dan dapat diterima secara budaya dibandingkan agama lama.217

Tidak hanya itu, usaha penginjilan yang dilakukan GBKP pasca peristiwa tahun 1965 juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan jemaat GBKP. Pada 28-

29 Mei 1966, diadakan pekabaran Injil massal di 3 desa yaitu Tiga binanga,

Kabanjahe dan Tiganderket yang diselenggarakan oleh DGI Sumatera Utara.

Dengan adanya pekabaran Injil ini ditengah masyarakat Karo, membicarakan agama telah menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan.218 Selain itu dibawah binaan pendeta W. Grothaus dimana beliau secara khusus membina musik gereja serta melatih para pemuda menggunakan alat musik tiup. Hal ini adalah salah satu cara yang dilakukan GBKP agar gendang Karo dapat dikombinasikan dengan alat musik tiup di dalam acara gereja. Sehingga jubilium 75 tahun GBKP di kota

216 Paul B Pedersen, op.cit., Hal. 189

217 Simon Rae, op.cit., Hal. 172

218 Cooley,op.cit., Hal. 16

119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Medan pada tahun 1965 merupakan pesta perayaan pertama dimana gendang Karo dipergunakan dalamn acara pesta Kristen.219

Bukan hanya mengadakan pekabaran Injil, GBKP juga melaksanakan beberapa pembatisan massal di beberapa desa antara lain: Tiga Lingga,

Tiganderket, Serbajadi, Sidodadi, Serdang, Gunung Sari, Munte, Namoukur,

Gunung Meriah, Tiga Juhar, Bangun Purba, Tiga Binanga, Tiga Jumpa,

Cinrakyat, Sibolangit, dan lain-lain.

Berikut ini adalah tabel jumlah pembatisan massal di Tanah Karo pada tahun 1967-1969 sebagai berikut ini:220

Tabel 3 Jumlah Pembatisan Massal di Tanah Karo Pada 1967-1969

No Daerah Jumlah Tahun

1 Tigalingga 2000 1967

2 Tiganderket 1000 1967

3 Munte 1000 1967

4 Cinta Rakyat 559 1968

5 TigaBinanga 700 1968

6 TigaJumpa 450 1968

7 TigaJuhar 1100 1968

8 Bangun Purba 545 1968

9 Gunung Meriah 1000 1969

10 Namoukur 1000 1969

219 220 Cooley, op.cit., Hal. 73-74

120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sumber: Amos Sukamto dalam tulisannya yang berjudul Dampak Peristiwa G 30 S Tahun 1965 Terhadap Kekristenan di Jawa, Sumatera Utara dan Timor

Sedangkan jumlah pertambahan tempat ibadah dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Diagram 1 Jumlah Tempat Ibadah di Tanah Karo Tempat Ibadah 300

250

200

150 Tempat Ibadah

100

50

0 1940 1953 1968 1971

Sumber: Sumber: Amos Sukamto dalam tulisannya yang berjudul Dampak Peristiwa G 30 S Tahun 1965 Terhadap Kekristenan di Jawa, Sumatera Utara dan Timor

Dari diagram di atas menunjukkan bahwa pertambahan tempat ibadah mengalami peningkatan sangat besar dalam kurun waktu 1968-1971. Apabila pada kurun waktu 1940-1963 pertumbuhan tempat ibadah hanya sebesar 17% setahun, maka pada tahun 1964-1968 meningkat sebesar 30% setahun, sedangkan pada tahun 1971 mengalami penurunan menjadi 7% setahun.

4.7.2 Perkembangan Agama Kristen Khatolik

Bukan hanya pertumbuhan Agama Kristen Protestan yang mengalami perkembangan pesat pasca peristiwa 1965, dengan alasan yang sama hal tersebut

121

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA juga melatarbelakangi pertumbuhan gereja Khatolik. Tidak bisa dipungkiri bahwa

Agama Kristen pasca peristiwa 1965 mendapatkan tempat dalam lingkungan masyarakat Karo. Gereja Khatolik juga memperoleh manfaat dari gerakan masuk agama setelah kudeta berencana tahun 1965.221

Apabila GBKP kemudian sangat menentang praktik-praktik kepercayaan

Pemena, maka gereja Khatolik dianggap lebih fleksibel terhadap agama nenek moyang Suku Karo tersebut sehingga mendapatkan simpati dari sejumlah masyarakat Karo.

Berdasarkan tabel di bawah ini menunjukkan kenaikkan jemaat Khatolik pada masyarakat Karo sebagai berikut:222

Tabel 4 Pertumbuhan Jemaat Khatolik Tanah Karo

1965 1966 1967 1968 1972

Stasi 18 23 39 46 45

Umat 2536 3112 4736 7085 10122

Khatolik

Katekumen 800 900 3332 2987 473

Baptisan 603 699 1237 2622 940

Sumber: Simon Rae dalam bukunya yang berjudul Breath Becomes The Wind

Keberhasilan pertumbuhan jemaat Khatolik pada masyarakat Karo tidak lepas dari peranan Gereja Khatolik yang banyak melakukan aksi-aksi sosial dan memberikan bantuan kepada masyarakat Karo pasca peristiwa tahun 1965.

221 Simon Rae, op.cit., Hal. 224.

222 Simon Rae, op.cit., Hal. 226.

122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Semenjak semakin berkembangnya agama Khatolik di Tanah Karo, banyak terjadi perubahan di Tanah Karo itu sendiri mulai dari adanya pembangunan sekolah-sekolah berbasis Khatolik kemudian adanya pengajaran- pengajaran terhadap para guru agama dan katekis.

Adapun misionaris-misionaris yang ada di Tanah Karo sampai tahun 1970an kebanyakan adalah para misionaris Belanda. Tak jarang untuk memudahkan para misionaris itu menyebarkan Agama Khatolik maka mereka akan mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia dan mengambil salah satu marga di Karo. Tidak hanya itu, para misionaris pun memiliki kemampuan yang aktif di dalam berbahasa Karo. Sebagai contoh pada

1916 Pdt J.H. Neumann menerbitkan Kisah Para Rasul berbahasa Karo, lalu tahun

1922 menerbitkan buku Tata Bahasa Karo (Schets der Karo Batasche

Spraakkunst) dan Kitab Roma berbahasa Karo. Tahun 1928, Neumann telah selesai menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru, tahun 1936 Kitab Mazmur dan tahun 1937 dia memulai pekerjaannya untuk menerjemahkan Kitab Perjanjian

Lama yaitu Kitab Kejadian, Ayub dan Yesaya.223 Kamus bahasa Karo – Belanda

(Karo Bataks-Nederlands Woordenboek) yang dicetak tahun 1951 adalah juga hasil pekerjaannya.224

4.7.3 Perkembangan Agama Islam

Jika Agama Kristen Protestan dan Khatolik semakin bertumbuh pasca peristiwa tahun 1965, maka agama Islam juga tidak tinggal diam. Dapat dikatakan

223Paul Bodholdt Pedersen, op.cit., Hal. 27-40

224J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Laidjdecker, Jilid 2, Jakarta : LAI, 2006, Hal. 338

123

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bahwa sejak tahun 1965, Agama Islam sudah menjadi pilihan yang diakui ditengah-tengah pluralism agama dalam masyarakat Karo. 225 Karena tidak ada sistem perbandingan pendaftaran atau registrasi antara masyarakat Karo yang beragama Kristen dengan agama lainnya, maka sulit sekali untuk memperoleh angka-angka statistik umum untuk melihat perubahan pada masyarakat Karo pasca peristiwa tahun 1965. 226 Namun menurut Simon Rae dalam bukunya menyebutkan bahwa berdasarkan Kantor Departemen Urusan Agama di

Kabanjahe menunjukkan bahwa penduduk Karo yang beragama Islam pada tahun

1968 berjumlah 10% dari total penduduk Kabupaten Karo, dan menjelang tahun

1975, jumlah umat beragama Islam meningkat sebesar 20%.227

Sebenarnya Agama Islam sudah masuk ke Tanah Karo jauh sebelum peristiwa tahun 1965. Terjadi Islam masuk ke Tanah Karo diperkirakan pada tahun 1888 dibawa oleh para mubalih dari Aceh, namun geliat dakwah Islam di

Tanah Karo baru mulai terasa pada awal abad XX. Islam sendiri mulai menujukkan eksitensinya pada tahun 1930an sejak berkembangnya organisasi- organisasi Islam seperti Muhammadiyah pada tahun 1936 kemudian organisasi Al

Washliyah pada tahun 1939.

Perkembangan Islam di Tanah Karo dapat dikatakan berlangsung lambat.

Hal imi terjadi karena adanya konflik antara Islam dengan adat, ditambah lagi

225 Simon Rae, op.cit., Hal. 228.

226 Simon Rae, op.cit., Hal. 228

227 Dewi Br. Ginting, Sejarah Berkembangnya Agama Islam Di Tanah Karo Sumatera Utara Pada Tahun 1980-2010, Medan: Skripsi Tidak Diterbikan S1 Pendidikan Sejarah UNIMED, 2012, Hal. 4.

124

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mayoritas masyarakat Karo pada saat itu masih memeluk kepercayaan Pemena.

Salah satu penyiar Islam di Tanah Karo adalah H. Sulaiman Tarigan, dimana beliau di dalam metode dakwahnya menggunakan media penunjang seperti ilmu kuat pegang besi panas, dan di dalam pelafalan jampi-jampi, doa-doa ataupun obat-obatan selalu dimulai dengan bacaan “bismillahi rahmanirohim”.228

Walaupun demikian salah satu bukti yang menunjukkan keberhasilan penetrasi Islam ke Tanah Karo adalah daerah Tigabinanga dimana dua desanya yakni Desa Pergendangen dan Desa Kuala berhasil mendirikan komunitas Islam di Tanah Karo. Tetapi sebelum tahun 1960an, kedua desa itu juga tidak mengalami perkembangan. Perkembangan justru baru terlihat sejak tahun 1960an.

Adapun jumlah masyarakat Karo yang beragama Islam di Tigabinanga sekitar 250 jiwa, sedangkan Desa Tigaberingin yang terletak diantara Tigabinanga dan Kuta

Galuh sudah memeluk Agama Islam pada tahun 1978.229

Namun dapat dikatakan sejak peristiwa tahun 1965 keterbukaan besar masyarakat Karo terhadap Agama Islam dan semakin mempertegas dakwah Islam di Tanah Karo.

Berdasarkan harian Mimbar Umum pada 8 Agustus 1978 menyebutkan bahwa:

“Majelis Penyiaran Da‟wah Islam PB. Al Jam‟iyatul Wasliyah pada tanggal 6 Agustus 1978 sampai dengan 20 Agustus 1978 akan mengirimkan misi da‟wah Islam Al Wasliyah ke Kabupaten Karo untuk mengisi libur puasa Ramadhan 1398 H. selama 15 hari di Tanah Karo missi da‟wah Al Wasliyah akan mengadakan tabligh penerangan Agama Islam berda‟wah mengajar anak-anak dan

228 Dewi Br. Ginting, Ibid.,

229 Simon Rae, op.cit., Hal. 230.

125

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA orang tua, bimbingan serta ceramah agama yang berhubungan dengan puasa, zakat, Idul Fitri, tarawih, dan sebagainya”230

Selain itu berdasarkan harian Mimbar Umum pada 25 Agustus 1978 juga menyebutkan bahwa:

“Organisasi Persatuan Wanita Islam (PERWANIS) melalui pengurunya pada hari Minggu 13 Agustus 1978 menyerahkan sejumlah 20 buah telekung dan 20 buah kain sarung untuk diteruskan pada masyarakat Kampung Perbesi Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo yang baru saja memeluk agama Islam”.231

Proses islamisasi di Tanah Karo semakin didukung dengan peraturan- peraturan yang dilakukan pemerintah yang sangat represif untuk mendorong masyarakat Karo yang menganut kepercayaan Pemena agar menerima salah satu agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Tak jarang, sering kali para pejabat Islam ataupun Kristen yang melakukan penyuluhan ke rumah-rumah akan berbicara seperti berikut:

“Sebagai seorang pejabat, saya meminta anda untuk memilih agama menurut kepercayaan masing-masing, dan sebagai pribadi, saya menganjurkan agar anda memilih agama…”232

Pernyataan itu juga didukung oleh Lince Br Ginting, seorang guru sibaso yang sebelum memeluk Agama Islam, ia menganut kepercayaan Pemena. Ia menyatakan bahwa:

“Aku sejak lahir percaya sama Pemena tapi memang sejak PKI banyak orang Karo masuk agama, aku pun begitu. Aku masuk Islam yak arena ikut suamiku, itu tahun 1973. Sekarang usiaku 66 tahun. Masuk Islam pun aku ya

230 Harian Mimbar Umum Pada 8 Agustus 1978

231 Harian Mimbar Umum Pada 25 Agustus 1978

232 Simon Rae, op.cit., Hal. 232.

126

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA karena leluhurku yang dibadanku ini cocoknya sama Islam ya makanya aku pilih Islam.”233

Islam menyadari bahwa salah satu kesulitan masyarakat untuk memahami agama Islam adalah penggunaan bahasa Arab, sehingga untuk mempermudah masyarakat Karo di dalam menjalankan agama maka diterbitkan buku Sholat berbahasa Karo pada tahun 1977.234 Dengan cara ini Islam, semakin mudah untuk menjadi bagian sepenuhnya dari kehidupan masyarakat Karo yang bergerak melalui suatu proses yang sama dengan apa yang dilakukan oleh zending Kristen.

Pada dasarnya peta persaingan konversi agama pada Masyarakat Karo terjadi antara tiga agama dan Pemena itu sendiri di dalam mempertahankan eksitensinya. Permasalahan sering terjadi yaitu apabila masyarakat Karo ingin melangsungkan pernikahan.

Negara Indonesia telah mengatur pernikahan kedalam beberapa ketetapan dan Undang-undang. Berdasarkan UUD 1945 pasal 28 B ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. 235 Sedangkan perkawinan yang dianggap sah di

Indonesia adalah perkawinan yang resmi menurut UU No 1 Tahun 1974. Apabila

UU tersebut untuk beberapa daerah yang masih menganut kepercayaan, maka peraturan tersebut dapat membuat para pemeluk kepercayaan tidak dapat

233 Wawancara dengan Lince Br. Gintings pada Minggu, 18 Februari 2018, Pukul 16.30 Wib.

234 Simon Rae, op.cit., Hal. 235

235 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPRRI, 2002, Hal 21.

127

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mendaftarkan perkawinannya. Karena UU tersebut mengartikan bahwa hanya agama resmi yang diakui oleh negara yang diakui pernikahannya.

Namun hal tersebut tidak terjadi pada Suku Karo yang memeluk kepercayaan Pemena. Adat istiadat Karo memiliki sikap yang toleran dan inklusif terhadap minoritas non konformis. 236 Sehingga apabila pada suatu desa hanya memiliki 3 atau 4 kaum Muslim atau Kristen bahkan Pemena itu sendiri maka bagi masyarakat sekitarnya agamanya tetap akan dihargai. Sikap toleransi inilah yang memunculkan pluralisme agama di Tanah Karo, ditambah adanya ikatan kekerabatan yang kuat pada masyarakat Karo semakin mendorong satu sama lain, meskipun menentang aliran co-religianis non Karo yang tengah berusaha untuk memanfaatkan agama sebagai media pemisah.237

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasca peristiwa 1965, persaingan syiar agama bukan hanya antara tiga agama resmi pemerintah dengan kepercayaan

Pemena di dalam mempertahankan eksitensinya. Persaingan pun dirasakan antara

Kristen dan Islam. Apabila peraturan pemerintah mengenai pernikahan tidak terlalu dirasakan oleh Masyarakat Karo pemeluk Pemena, justru pernikahan menjadi faktir penting dalam peribahan agama dan biasanya pada pemeluk agama masing-masing. Bagi Islam pada saat itu, memandang pernikahan antara 2 orang yang memeluk agama berbeda, entah itu Islam dengan Kristen ataupun Pemena dengan Islam, maka pernikahan itu dianggap sebagai suatu langkah positif ke arah pertaubatan selanjutnya. Sedangkan bagi Kristen, dalam hal ini memandang

236 Simon Rae, op.cit., Hal. 237.

237 Simon Rae, op.cit., Hal. 237.

128

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pernikahan dengan seorang non Kristen bisa berakibat dengan tindakan skorsing atau ekskomunikasi diantara kedua belah pihak.

Tidak hanya mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965,

Pemerintah juga kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam

Negeri No 477/74054/1978, kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,dan Buddha. Apabila ada agama di luar peraturan pemerintah itu maka hanya dianggap sebagai aliran kepercayaan saja, termasuk agama lokal. Pemena yang dianut Masyarakat Karo tak ada dalam pilihan yang ditawarkan oleh pemerintah. Apabila masyarakat memutuskan untuk tidak mengisi, maka dicap komunis atau PKI. 238 Pelabelan PKI tentu akan membuat hidup mereka sulit. Anak mereka tak bisa jadi PNS dan TNI jika ada cap

PKI. Masyarakat Karo sendiri akhirnya harus memilih salah satu agama resmi pemerintah tersebut apabila tidak ingin disebut sebagai komunis. Apalagi segala urusan administratif seperti pendaftaran perkawinan, kematian, akta lahir anak dan lain-lain hanya dapat dilakukan apabila memiliki KTP. Tidak hanya itu, bagi masyarakat Karo yang masih memeluk Pemena dan bukan agama resmi yang diakui pemerintah biasanya akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat, dan tak jarang juga dikucilkan.

Menurut penuturan Lince Br Ginting menyatakan bahwa:

238Beberapa fakta yang bertentangan dengan Hak Kebebasan Beragama: Paksaan untuk pindah agama dengan sanksi administratif: pemecatan dari jabatan, pembatalan perkawinan, dianggap PKI (lih. Pengumuman Kep KUA Daswati II, Lampung Tengah 7 Desember 1966, Tata tertib bagi orang-orang yang akan pindah agama; Peristiwa di Nambahdadi Sumsel pada 21 Januari 1967)

129

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Jadi kalau kam tanya kenapa aku memilih Islam sebagai agamaku ya karena selain ikut suami dan leluhurku cocok sama Islam ini ya supaya gak dijauhi aku sama masyarakat. Memang harus ada agama jika mau berbaur, walaupun kalau ditanya batinku ya imanku sama Pemena ini. Kalau waktu dulu Pemena diperbolehkan ya kurasa gak berpindah agama aku. Murtadlah istilahnya”.239 Hal itulah yang menyebabkan kurun waktu 1966 sampai tahun 1979 banyak masyarakat Karo memutuskan untuk berpindah agama memilih agama resmi yang ditetapkan pemerintah. Tercatat seperti ditunjukkan oleh catatan

Kantor Departemen Agama Kabupaten Karo, dalam perlombaan da'wah tiga agama (Protestan, Katolik, Islam), plus kepercayaan asal (Pemena), ternyata

Protestan keluar sebagai pemenang dalam jumlah urutannya: Protestan 96.970,

Islam 57.568, Pemena 27.571, Katolik 25.336, ditambah Buddha 996 orang. Itu semua dari jumlah 208.441 penduduk kabupaten tersebut, tentunya termasuk orang suku lain atau keturunan asing.240

Undang-undang tersebut merupakan wujud ketidakpedulian Negara terhadap Aliran kepercayaan di Indonesia. Pada akhirnya, hal tersebut berimbas kehidupan sosial penganut Aliran kepercayaan seperti halnya masalah terkait dengan administrasi negara yang terkesan mendiskriminasikan penganut Aliran

Kepercayaan. Selain itu, lebih lanjut lagi terkait dengan kehidupan sosial penganut Aliran Kepercayaan yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat

239 Wawancara dengan Lince Br Gintings Pada Minggu, 18 Februari 2018, Pukul. 16.30 WIB.

240 https://karosiadi.blogspot.co.id/2010/11/bila-agama-menghitung-angka.html oleh Majalah Tempo 8 Desember 1979, diunduh pada Rabu, 12 April 2017, Pukul: 10.02 Wib.

130

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sekitar yang notabene adalah pemeluk agama mayoritas. 241 Menariknya walau telah memiliki agama, masih banyak masyarakat Karo melakukan penyimpangan- penyimpangan dari ajaran agama karena terikat dengan kepercayaan lamanya, misalnya: usaha perjimatan, penghormatan kepada roh–roh nenek moyang dengan upacara-upacara tertentu, dan lain-lain.242

4.8 Eksitensi Pemena Terhadap Perkembangan Agama-agama Baru di

Tanah Karo

Eksitensi berasal dari kata bahasa latin yaitu eksitere artinya muncul, ada, timbul, memiliki keberatan actual. Eksitere disusun dari ex yang artinya keluar dan sistere yang artinya tampil atau muncul.243

Dalam mempertahankan kepercayaan tetap eksis dan mampu menjaga keberadaannya, kelompok masyarakat primitif Karo tidak tetap pasif dalam menghadapi kedatangan agama Khatolik dan Protestan maupun Islam yang berlangsung dalam tahun-tahun setelah 1965. 244 Pada saat itu muncul sebuah gerakan perodakodak yang berusaha menghimpun orang-orang Karo yang memiliki keinginan untuk menjadikan kepercayaan Pemena dapat diakui oleh pemerintah sebagai suatu agama atau setidaknya sebagai aliran kepercayaan yang mendapat pengakuan secara resmi dan sejajar.

241 Abbas Langaji. 2013. “Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan: Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama”, dalam Conference Proceeding Annual Internasional Conference on Islamic Studies (AICIS), Hal 31, dapat dilihat dalam jurnal Moch. Ichiyak Ulumuddin yang berjudul Praktik Keagamaan Aliran Kejawen Aboge Diantara Agama Resmi dan Negara, Hal 93. 242Darwin Prinst. 1996. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo, Hal 5-6

243 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, Hal. 183.

244 Simon Rae, op.cit., Hal. 242.

131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Adapun yang dimaksud dengan perodakodak adalah mereka yang berhubungan dengan kehidupan ritual ekstatik. Perodakodak sendiri diambil dari kata odak yang artinya mengeras yang mengacu kepada suatu tarian dengan gerak-gerak tangan dan hentakan kaki di mana para penganut mereka berada, mencari kontak atau hubungan dengan dunia roh atau pemilikan actual

(seluken).245

Bagi masyarakat Karo yang masih menganut kepercayaan Pemena, gerakan perodakodak ini sangat penting di dalam mempertahankan eksitensi kepercayaan mereka terhadap begu dan roh-roh halus lainnya.

Gerakan perodakodak ini muncul ketika terjadi kekacauan pada tahun

1965 yang membuat krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Namun pasca orde baru dengan kebijakan-kebijakannya serta muncul persaingan agama-agama baru di Tanah Karo membuat gerakan perodakodak ini mengalami penurunan kepentingan. Gerakan perodakodak yang marak di Berastagi dan sekitarnya ditunjukkan melalui kegiatan perumah begu, dengan memakain perangkat musik tradisional budaya Karo, lalu perumah tendi, erpangir ku lau, untuk menarik minat orang-orang Karo yang masih memeluk kepercayaan Pemena.246

Ketika agama-agama baru tersebut mulai menarik para pengikutnya, di

Tanah Karo pada tahun 1977 mulai berkembang agama Hindu-Buddha, dimana kedua agama tersebut adalah agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Dari hasil pengamatan akan berbagai acara ritual Hindu-Buddha yang dilaksanakan di Kutambaru, Kecamatan Munte tampaknya jauh lebih

245 Simon Rae, op.cit., Hal. 243.

246 E.P Gintings, op.cit., Hal.

132

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memungkinkan bahwa gerakan ini adalah merupakan cabang dari gerakan

Perodakodak yang mendapatkan pengakuan melalui asimilasi ke dalam suatu kelompok komunitas agama yang diakui secara sah dan dapat menerima kepercayaan dan berbagai aspek acara ritualnya.247

Menurut penuturan Sinpei Sinulingga, ketua sanggar budaya Lingga menyebutkan bahwa:

“Ke Karo ini dulu pun Hindu ini masuk ke sini bukan Hindu namanya baru setelah heboh orang-orang beragama baru ada nama Hindu. Abad-abad ke XV mana dikenal Agama Hindu, dulu hanya penyebutan Sang Hyang Widhi itu, dulu bukan agamalah itu hanya tradisi sehari-hari”248

Ritual yang dilakukan di Kutambaru pada Februari 1977 memperlihatkan upacara pembakaran mayat dengan menggabungkan suatu trance dengan musik gendang yang dinamakan dengan “landek Hindu”. Tarian trance yang ditarikan pada ritual tersebut memiliki kesamaan dengan tarian trance di Bali, sehingga terjadilah akulturasi yang melahirkan “Agama Hindu Bali”. 249 Hal ini memperlihatkan bagaimana para pemeluk Pemena berusaha mempertahankan eksitensinya dengan mendapat pengakuan sebagai Agama Hindu Karo.

Konsep trance (seluken) pada masyarakat Karo sebenarnya sudah berlangsung lama dalam berbagai ritual mulai ritual memanggil hujan, meminta berkat alam hingga mencegah gangguan alam. Seperti yang diketahui, pada agama

Hindu mengenal konsep Trimurti dengan penyebutan Tuhan yang maha kuasa

247 Simon Rae, op.cit., Hal. 244.

248 Wawancara dengan Sinpei Sinulingga Pada Jumat, 19 Januari 2018, Pukul. 14.42 WIB.

249 Simon Rae, op.cit., Hal. 243.

133

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menjadi Hyang Widhi. Konsep ini memiliki persamaan dengan konsep dunia roh dan kuasa yang sangat dikenal baik oleh para pemeluk Pemena.

Bukan hanya gerakan perodakodak saja yang memperlihatkan upaya

Pemena mempertahankan eksitensinya, namun orang-orang Karo yang sudah memeluk agama Kristen ataupun Islam masih tidak bisa lepas dari ritual-ritual

Pemena itu sendiri. Sebagai contoh bagaimana seorang istrin penatua GBKP masih menemui seorang guru tradisonal untuk diobati karena mendengar suara- suara dipikirannya dimana para dokter tidak mampu mengobatinya.250

Hal tersebut sejalan dengan penuturan Cermin Br. Kemit yang menyatakan bahwa:

“Kalau kam tanya apa kegiatanku yg mengobati orang-orang sakit ini disetujui gereja ya pasti dilaranglah. Bagi gereja mana sesuai itu ya namun gereja begitu juga karena takut kehilangan jemaatnya. Cuma gak bisa kuabaikan leluhurku ini, sudah dari kecil aku dapatkan. Ya menikah aku di gereja, cuma sekarang aku gak ke GBKP lagi”.251

GBKP menyatakan bahwa hampir 75% penduduk Karo yang beragama

Kristen entah ia beragama Khatolik atau Protestan akan kembali melaksanakan ritual-ritual Pemena dalam kesempatan-kesempatan tertentu dan hanya 25% saja yang benar-benar telah memutuskan hubungan sama sekali dengan Kepercayaan

Pemena.252

Namun di saat bersamaan, agama-agama baru tersebut pun telah memasuki jiwa Orang karo itu sendiri. Terlihat bagaimana kuburan-kuburan para

250 Simon Rae, op.cit., Hal. 246.

251 Wawancara dengan Cermin Br Kemit pada Selasa, 13 Februari 2018, Pukul. 16.00 WIB.

252 Simon Rae, op.cit., Hal. 245

134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemeluk Pemena diletakkan tanda salib atau pelafalan “bismillah” yang digunakan pada ritual-ritual pengobatan para dukun Karo.

Sehingga menurut Departemen Agama di Kabanjahe pada tahun 1968 menunjukkan bahwa 10% penduduk Karo memeluk agama Islam, 30% memeluk agama Kristen Protestan, 10% memeluk Agama Khatolik, sedangkan sisanya 50% masih memeluk kepercayaan Pemena. Perubahan baru terlihat ketika menjelang tahun 1978, dimana terjadi perubahan komposisi menjadi 20% memeluk Agama

Islam, 40% memeluk Agama Protestan, 13% memeluk Agama Khatolik, dan sisanya 27% memeluk Kepercayaan Pemena.

135

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V

5.1 KESIMPULAN

Jauh sebelum pemerintah menetapkan agama-agama resmi apa saja yang diakui, masyarakat Indonesia telah memiliki aliran kepercayaanya yang telah tumbuh subur ditengah-tengah kehidupan bangsa. Suku Karo sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia juga memiliki kepercayaannya sendiri. Kepercayaan tradisional Masyarakat Karo ini disebut dengan Pemena. Kepercayaan Pemena ini sangat berkaitan dengan roh-roh, di mana hubungan dengan roh-roh tersebut dilakukan melalui perantara guru yang dikenal dengan nama guru si baso. Pemena sering disebut juga dengan Pebegu. Masyarakat Karo sendiri tidak begitu menyukai istilah tersebut karena istilah begu sering diartikan dengan memuja atau menyembah setan atau roh jahat. Sejak masuknya missil Injil Kristen dan Siar

Islam ke Tanah Karo, Kepercayaan Pemena mulai mengalami penurunan umat namun tidak dalam skala besar

Meningkatnya masyarakat Karo memeluk agama tidaklah lepas dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dimana setelah peristiwa Gestapu itu terjadi, agama menjadi salah satu kunci legitimasi pemerintahan orde baru.

Masyarakat harus memilih agamanya jika tidak akan dicap sebagai komunis.

Demi menguatkan legitimasi terebut, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan yang sangat represif kepada masyarakat. Dampaknya adalah para pemeluk aliran kepercayaan dipaksa untuk memilih agama resmi yang diakui oleh pemerintah, tidak ada pengecualian dalam hal ini. Suku Karo yang notabene

136

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menganut kepercayaan Pemena demi menghindari stigma-stigma yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu memutuskan untuk berpindah ke agama- agama resmi yang diakui pemerintah. Sehingga sampai kurun waktu tahun 1979, terjadi perlombaan tiga agama di Tanah Karo yaitu: Kristen, Islam dan Pemena itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Agama Kristen menjadi pemenang pada saat itu.

Masyarakat Karo yang memeluk Pemena tidak tinggal diam dan pasif di dalam menghadapi masuknya agama-agama resmi pemerintah ke Tanah Karo.

Beberapa upaya dilakukan mereka untuk mempertahankan eksistensinya. Gerakan perodakodak para pemeluk Pemena dengan mengakulturasikan di dalam tarian dan mengakulturasikannya dengan agama Hindu merupakan salah satu upaya resistensi pemeluk Pemena terhadap peraturan pemerintah.

Tidak hanya itu, bagi masyarakat Karo yang sudah memeluk agama pun dalam kehidupannya tidak bisa lepas dari praktik-praktik Pemena itu sendiri.

Masih banyak masyarakat Karo melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran agama karena terikat dengan kepercayaan lamanya, misalnya: usaha perjimatan, penghormatan kepada roh–roh nenek moyang dengan upacara-upacara tertentu, dan lain-lain.

137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5. 2 SARAN

Pertama tesis ini dapat dijadikan sumber bacaan bagi para akademisi yang ingin melakukan penelitian terkait aliran kepercayaan khususnya Kepercayaan

Pemena. Dengan adanya tesis ini diharapkan masyarakat, mahasiswa hingga para pengambil kebijakan dapat mengetahui dengan jelas sistem religi dan kepercayaan pada Suku Karo.

Kedua, dengan adanya tesis ini dapat menjadi pedoman bagi para pengambil kebijakan khususnya negara dalam hal ini untuk membuat kebijakan yang tidak represif terhadap suatu golongan dan dapat mengakomodir semua pihak ke dalam bingkai kesatuan seperti yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia ketika membangun Negara Indonesia.

Ketiga, dengan adanya tesis ini kiranya para penghayat kepercayaan diberi kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya, dan seluruh masyarakat Indonesia dapat bertoleransi memandang sebuah perbedaan bukanlah hambatan namun justru menjadi pemersatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

138

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

1. ARSIP

Memorie Van Overgave Van de Controleur Van het Binnenlandsch-Bestuur Dr.W Huenders, Controleur van de Karolanden over het tijdvak 28 November 1928-5 Agustus 1931 Memorie Van Overgave Van de Controleur Van het Binnenlandsch-Bestuur W.B Hollmann, Controleur van de Karolanden over het tijdvak 5 Agustus 1931- 4 Juli 1933. Memorie Van Overgave Van de Controleur Van het Binnenlandsch-Bestuur B.J Vanden Berg, Controleur van de Karolanden over het tijdvak 4 Juli 1933 11 Desember 1934. Memorie Van Overgave Van de Controleur Van het Binnenlandsch-Bestuur P.A Lanting, Controleur van de Karolanden over het tijdvak Februari 1936-11 Juni 1937.

2. BUKU

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Bangun, P.P, Dkk. 1976. Sejarah Daerah Sumatera Utara. Medan: Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Bangun, Tridah. Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadat Karo.Jakarta: Yayasan Merga Silima. ______. 1985. Manusia Batak Karo. Jakarta: PT Tema Baru. ______.1986. Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo. Jakarta: Kesaint Blanc.

Bangun, Roberto. 2006. Mengenal Suku Karo. Jakarta: Yayasan Pendidikan Bangun.

Bangun, Payung. 1981. Pelapisan Sosial di Kabanjahe. Jakarta: Disertasi Universitas Indonesia

Bangun, Tridah dan Hendri Xhairudin. 1994. Kilap Sumagan- Biografi Selamat Ginting Salah Seorang Penggerak Revolusi Kemerdekaan di Sumatera Utara. Jakarta: CV Haji Mas Agung.

Castles, Lance. 2001. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Coeley, Frank L. 1976. Benih Yang Tumbuh 11: Gereja Masehi Injil Timur.

139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia. ______. 1976. Benih Yang Tumbuh 4: Gereja Batak Karo Protestan. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI.

Dwiyanto, Djoko. 2009. Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Yogyakarta: Ampera Utama.

Edman, Peter. 2005. Komunisme Ala Aidit: Kisah Partai Komunisme Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N Aidit 1950-1965. Jakarta: Center For Information Analysis.

E.P. Gintings, Dr. Pdt. 1999. Religi Karo. Kaban Jahe: Abdi karya. ______.2015. Sejarah GBKP. Medan: EL Penampat Grafindo.

Gintings, Ir. Perdana. 1989. Masyarakat Karo Dewasa Ini: Hasil Rumusan Sarasehan Budaya Karo 1989. Medan: Penerit Tidak Diketahui.

Ginting, Nalinta. 1984. Turi-turin Beru Rengga Kuning: Turi-turin Adat Budaya Karo. Deli Tua: Toko Buku Kobe.

Haar, Ter. 1991. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Liberty.

Habib, Achmad. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta: LKis.

Hardjana, A.M. 1993. Penghayat Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Indrawardana, Ira. 2014. Berketuhanan Dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan. Jurnal Melintas.

Ismail, Nawari. 2011. Konflik Umat Beragama Dan Budaya Lokal. Bandung: CV. Lubuk Agung. Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Kasdi, Aminuddin. 2009. Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965. Surabaya: Yayasan Kajian Citra Bangsa dan Center For Information Studies.

Kebung, Konrad. 1997. Michel Foucalt Parhesia Mengenai Etika. Jakarta: Yayasan Obor.

140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kholiludin, Tedi. 2009. Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: Rasail Media Group.

Kipp, Rita Smith. 1993. Dissociated Identities Ethnicity, Religion, and Class in anIndonesian Society. Michigan: Provost and Dean of The College.

Kinloch, Graham C. 1979. The Sociology of Minority Group Relations. New Jersey: PrenticeHall

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. ______. 1995. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Lempp, Walter. Tahun Tidak Diketahui. Benih Yang Tumbuh XII: Suatu Suvey Mengenai Gereja-gereja di Sumatera Utara (Laporan Regional Sumatera Utara). Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia.

Loir- Henri Chamber dan Anthony Reid. 2002. Kuasa Leluhur Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan Indonesia Kontemporer. Medan: Penerbit Bina Media Perintis.

Martin, Ramstedt. 2005. Hinduism in Modern Indonesia a Minority Religion Between Local, National andGlobal Interest. Kota tidak diketahui: Routledge.

Mcvey, Ruth T (ed). 1963. Indonesia. New Haven: Yale University Press

Martono, Nanang. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik Modern, Posmodern dan Poskolonial. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Mufid, Ahmad Syafii (ed). 2012. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Muhaimin. 2001. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos.

Muhni, Djuretna A. Imam. 1994. Moral Dan Religi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Moeraxa, Dada. 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Penerbit tidak diketahui

141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Neumann, J.H. 1933. Aanteekeningen over de Karo-Bataks. Kota tidak diketahui: Penerbit tidak diketahui. ______.1949. Een Jaar Onder De Karo-Bataks. Medan: Penerbit tidak Diketahui ______.1972. Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhatara

Pedersen, Paul Bodholt. 1975. Darah Batak dan Jiwa Protestan. Jakarta: BPK GM.

Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan.

Peranginagin, Martin L. 2004. Orang Karo Diantara Orang Batak. Jakarta: Penerbit Pustaka Sora Mido.

Prinst, Darwin. 1996. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo ______. 2002. Kamus Karo-Indonesia. Medan: Bina Media

Putro, Brahmo. 1981. Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman. Medan: Ulih Saber

Rae, Simon. Tahun Tidak Diketahui. Breath Becomes The Wind Old and New In Karo Religion. New Zealand: University of Otago Press.

Rasjidi, Prof. Dr. H.M. 1980. Buku Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Said, Moh. Sejarah Masuknya dan Berkembangnya Da‟wah Islam di Sumatera Utara.Medan: MUI Sumatera Utara.

Sairin, Weinata.Pdt. 1994. Himpunan Peraturan Di Bidang Keagamaan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sinar, Tuanku Luckman. 2006. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di SumateraTimur. Medan: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Singarimbun, Masri. 1975. Kinship, Descent, and Alliance among The Karo Batak. California: University of California Press. ______. 1984. Kuta Gamber: Sebuah Kampung Karo dalam

142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Koentjaraningrat (ed.), Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sinuhaji, Wara. 2004. Aktivitas Ekonomi dan enterpreneurship Masyarakat Karo Pasca Revolusi. Medan: USU Press.

Sinulingga, Sukaria, Dkk. 2005. Peranan Daliken Sitelu dalam Etnik Karo dalam Merekat Kesatuan Bangsa. Sumatera Utara: Penerbit Forkala.

Sitepu, Bujur. 1978. Mengenal Kebudayaan Karo. Indonesia: Sigurunggung.

Sitepu, Sempa, Dkk. 1996. Pilar Budaya Karo. Medan: Bali Scan Dan Percetakan.

Sujarwa. 2005. Manusia Dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

Susan, Novri M.A. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. Soemadiningrat, Otje Salman. 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer. Bandung: Alumni.

Swellengrebel, J.L. 2006. Mengikuti Jejak Laidjdecker Jilid 2. Jakarta : LAI. Tantawi, Isma. 2015. Masyarakat Dan Kebudayaan Indonesia. Medan: Yayasan Al Hayat. ______.2016. Dasar-Dasar Ilmu Budaya. Tanggerang: Mahara Publishing.

Tamboen, P. 1952. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka.

Tarigan, Azhari Akmal. 2013. Harmonisasi Antara Adat dan Agama dalam Masyarakat Karo: Belajar dari Dakwah Tuan Guru H. Sulaiman Tarigan. Medan: Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara.

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Percikan Budaya Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima.

Tarigan, Sarjani. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya Dan Modernisme. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia. ______. 2010. Wilayah Peradatan Masyarakat Karo. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia. ______. 2011. Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia.

143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ______. 2012. Mutiara Hijau Budaya Karo. Medan: Balai Adat Budaya KaroIndonesia. ______. 2016. Sekilas Sejarah Pemerintahan Karo Dan Roh Otonomi Daerah Serta Pengelolaan Keuangan Desa. Medan: Balai Adat Budaya KaroIndonesia. ______. 2016. Mengenal Rasa, Karsa, Dan Karya Kebudayaan Karo. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia.

T. Mcvey, Ruth (ed). 1963. Indonesia. New Haven: Yale University Press

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2002. Sekretariat JenderalMPRRI.

Vergouwen, J.C. 2004. Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKis

3. JURNAL/SKRIPSI/TESIS/DISERTASI

Ginting, Dewi Br. 2012. Sejarah Berkembangnya Agama Islam di Tanah Karo Sumatera Utara Pada 1980-2010. Medan: Skrpsi Tidak Diterbitkan S1 Pendidikan Sejarah UNIMED.

Kipp, Rita Smith. 1995. Conversion by Affiliation: The History of The Batak Karo Protestant Church. American ethnologist journal Vol 22 No 4.

Langaji, Abbas. 2013. Dinamika Aliran Keagaamaan Senpalan: Tinjauan Perpektif Sosiologi Agama. Jurnal Internasional Conference On Islamic Studies (AICIS).

Munsi, Hardiyanti. 2016. Dari Masa Lalu Ke Masa Kini: Memori Kolektif, Konstruksi Negara dan Normalisasi Amti Komunis. Jurnal Etnosia Vol 01 No 01.

Rodgers, Susan. 1996. Breath Becomes the Wind: Old and New in Karo Religion. The Journal of Asian Studies.

Sebayang, Firman A. 2015. Representasi Sosial Tentang Pemena Pada Masyarakat Desa Gunung Kabupaten Tanah Karo. Medan: Skripsi Tidak Diterbitkan.

Sebayang, Jamal. 2006. Hukum Waris Pada Masyarakat Karo Muslim (Studi di Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo). Medan: Tesis PPS USU.

Sembiring, Julkifli. 2008. Gerakan Pemuda Rakyat Di Tanah Karo 1945-1966. Medan: Skripsi Tidak Diterbitkan.

144

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sembiring, Sri Alem. 2002. (Guru) Tabib Dalam Masyarakat Karo: Kajian Antropologi Mengenai Konsep Orang Karo Tentang Guru Dan Kosmos (Alam Semesta). Medan: USU Digital Library ______.2005. „Guru Si Baso‟ Dalam Ritual Orang Karo: Bertahannya Sisi Tradisional dari Arus Modernisasi. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi Vol 1.

Sinuhaji, Wara. 1997. Aktifitas Ekonomi dan Perkembangan Enterpreneurship Masyarakat Karo Pasca Revolusi di Sumatera Utara 1950-1965. Jakarta: Tesis Magister UI.

Sitepu, Runtung. 2002. Keberhasilan dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Berastagi. Medan: Disertasi Universitas Sumatera Utara.

Sukamto, Amos. Tahun tidak diketahui. Dampak Peristiwa G30S Tahun 1965 Terhadap Kekristenan Di Jawa, Sumatera Utara dan Timor. Jurnal Amanat Agung.

Surijani. 1998. Eksitensi Manusia Menurut Kierkkegaard. Surabaya: Tesis Tidak Diterbitkan

Ulumuddin, Moch. Ichiyak. 2016. Praktik Keagamaan Aliran Kejawen Aboge Diantara Agama Resmi dan Negara. Jurnal Studi Agama-agama, Volume 6 Nomor 1.

4. KORAN/MAJALAH/TABLOID

Harian Mimbar Umum Pada 8 Agustus 1978

Harian Mimbar Umum Pada 18 Agustus 1978

Harian Mimbar Umum Pada 25 Agustus 1978

Harian Mimbar Umum pada 26 Agustus 1978

Harian Mimbar Umum Pada 20 September 1978

Harian Sinar Indonesia Baru pada 30 Maret 1974

Harian Sinar Indonesia Baru Pada 2 Maret 1976

Harian Waspada Pada 22 Februari 1975

Nugroho, Singgih. 2015. Konversi Agama Pasca 1965. Jawa Timur: Tabloid Lentera.

145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5. SUMBER WEB

Hiski Darmayana, “Spirit Soekarnoisme Warga Tanah Karo”, diakses dari Spirit%20Soekarnoisme%20Warga%20Tanah%20Karo.html, Pada 27 Februari 2018, Pukul. 21.21. https://karosiadi.blogspot.co.id/2010/11/bila-agama-menghitung-angka.html oleh Majalah Tempo 8Desember 1979, diunduh pada Rabu, 12 April 2017, Pukul:10.02 Wib. http://tehpebri.blogspot.co.id/2012/10/sosiologi-eksistensi.html diakses pada Rabu,12 April 2017, Pukul: 11.08 Wib https://wirasudewa.wordpress.com/2013/01/24/teori-konflik-dalam-sosiologi/ diunduh pada Kamis, 22 Septemer 2015 Pukul 11.00 Wib. https:// wikepedia.co.id/ G30SPKI diunduh pada Rabu, 27 Februari 2017, Pukul. 21.00 Wib. https:// wikepedia.co.id/ Ateisme diunduh pada Rabu, 27 Februari 2017, Pukul. 21.10 Wib.

6. SUMBER WAWANCARA Wawancara dengan Cermin Br Kemit pada Selasa, 13 Februari 2018, Pukul. 16.00 WIB Wawancara dengan Lince Br. Gintings pada Minggu, 18 Februari 2018, Pukul 16.30 Wib. Wawancara dengan Sinpei Sinulingga Pada Jumat, 19 Januari 2018, Pukul. 14.42 WIB.

146

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Cermin Br Kemit Alamat : Jalan Karya dekat SMA N 2 Medan Usia : 78 tahun Pekerjaan : Dukun mengobati orang sakit

2. Nama : Lince Br Ginting Suka Alamat : Jalan Kebun Binatang Usia : 66 tahun Pekerjaan : Makelar Tanah

3. Nama : Kumalo Tarigan Alamat : Komplek USU Usia : 50 tahun-an Pekerjaan : Dosen

4. Nama : Sinpei Sinulingga Alamat : Desa Lingga Usia : 40 tahun-an Pekerjaan : Pemilik Sanggar Tari Lingga

5. Nama : Pendeta Justin Leo Alamat : Gereja Khatolik Berastagi Usia : 70 tahun-an Pekerjaan : Pastur

147

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN I

Sumber: Harian Sinar Indonesia Baru pada 30 Maret 1974

xiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN 2

Sumber: Harian Mimbar Umum pada 26 Agustus 1978

xiv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN 3

Sumber: Harian Mimbar Umum pada 8 Agustus 1979

xv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN 4

Sumber: Harian Mimbar Umum Pada 18 Agustus 1978

xvi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN 5

Sumber: Harian Mimbar Umum pada 25 Agustus 1978

xvii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN 6

Sumber: Harian Mimbar Umum Pada 20 September 1978

xviii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN 7

Sumber: Harian Sinar Indonesia Baru Pada 2 Maret 1976

xix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA LAMPIRAN 8

Sumber: Harian Waspada Pada 22 Februari 1975

xx

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA