HUBUNGAN PERDAGANGAN DAN SUNDA KALAPA

ABAD XVI: SUATU STUDI SEJARAH EKONOMI

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Disusun Oleh: ARIFAH MAHFUDZOH NIM: 1111022000017

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKUTAS ABAD DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/ 1439 H HUBUNGAN PERDAGANGAN CIREBON DAN SUNDA KALAPA ABAD XVI:SUATU STUDISEJARAH EKONOMI

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

olch

ARIFAⅡ ⅣIAHFUDZOH NIⅣI:1111022000017

Pembimbing

Drs.TarmidJ Idris,M.A NIP.196012121990031003

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAIVl FAKUTAS ABAD DAN HUⅣ IANIORA

UNIVERSITAS ISLAⅣ I NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

2018卜1/1439】 I LE卜IBAR PENGESAHAN

Skripsi be]udul HUBUNGAN PERDAGANGAN CIREBON DAN SUNDA KALAPA ABAD XⅥ:SUATU STUDI SEJARAHEKONOMIinitelahdittikan ddaln sidang slcipsi

Fakultas Adab dan I‐ ImanioraUINSyarifHidayatullahJakartapada230ktober2017.Skripsi ini tclah d■ e五ma sebagd sdah satu syartt memperoleh gelar Sttana Hllnlaniora(S.Hl血 。) pada Prograln Studi Sttarah dan Pcradaban lslarn。 Ciputat.23 0ktober 2017

Sidang Skripsi

Ketua Merangkap Anggota,

H.Nurhasan,ヽ 4.A ikatus Sa'diyah,ヽ4.Pd.

NIP。 196907241997031001 IP.197504172005012007

Anggota,

Penguji 1, Penguji 2,

Prof Dr.Budi Sulistiono,h711.Hum Dr.Parlindungan Siregar,Ⅳ IA

NIP。 195410101988031001 NIP。 195901151994031002

mbimbing.

Drs.Tarmidzi ldris、 M.A NIP.196012121990031003 LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Arifah Mahfudzoh

NIM :111t022000017

Program Studi : Sejarah dan Peradaban Islam

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang

merupakan hasil penelitian. pengolahan data dan analisis saya sendiri serta bukan

merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang

lain.

r\pabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi

dianggap glrgur san harus r-nelakukan penelitian r-rlang untuk men.vusun skripsi

barLr dan kelulusar-r serta _qelarnr a dibatalkan.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat )'ang tinlbul dikemudian hari

rneniadi tanggung jau'ab saya.

Arifah ⅣIahidzoh KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayahNya kepada kita semua. Shalawat serta salam tak lupa kita limpahkan kepada junjungan nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Rasa syukur yang disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Perdagangan Cirebon dan Sunda Kalapa Abad XVI: Suatu Studi Sejarah Ekonomi”. Meskipun penulis sadar betul akan banyaknya kekurangan dalam karya ini. Penulis berkeyakinan karya ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin bergelut pada dunia penelitian, khususnya bagi mereka yang memfokuskan kajian perdagangan pada abad klasik. Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk membantu. Maka dengan niatan suci yang terpatri kuat dalam sanubari, penulis sampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Nurhasan, MA., selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam dan Solikhatus Sa’diyah, M.Pd., selaku Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah. 4. Drs. Tarmizi Idris, M. A., selaku dosen pembimbing yang membantu mengajarkan tata cara penulisan dan meluangkan waktunya hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Seluruh dosen Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang telah memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya.

i

6. Seluruh staff dan pegamai Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta. 7. Kepada kedua orang tua penulis, Drs. H. Ahmad Sanusi dan Badriah yang selalu mendoakan anak-anaknya, memberikan motivasi, cinta dan pengorbanan tanpa pamrih untuk penulis. Teruntuk kalian skripsi ini aku persembahkan. 8. Kepada adik-adikku tersayang, Alviah Azami, Imam Auliya dan Izzy Tamam. Terima kasih telah menjadikan rumah sebagai tempat berdiskusi dan mengadu hati. 9. Tak lupa, yang tersayang Rintami Nur Fajriah, Darozatun Nissa, Yani Kurnia Sari dan Restu Diniyanti. Terima kasih untuk semangat yang tidak pernah pudar kalian berikan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 10. Teman-teman Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam angkatan 2011. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan mencerdaskan selama perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses. Aamiin.

Ciputat, 23 Oktober 2017

Arifah Mahfudzoh

ii

ABSTRAK

Arifah Mahfudzoh Hubungan Perdagangan Cirebon dan Sunda Kalapa Abad XVI: Suatu Studi Sejarah Ekonomi

Pada awal abad XVI, Cirebon dan Sunda Kalapa berada dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada saat itu, kerajaan Sunda Pajajaran memiliki beberapa pelabuhan penting yang mengelilingnya, yaitu: Cirebon, Indramayu (Cimanuk), Krawang, Sunda Kalapa, , Pontang dan . Pelabuhan-pelabuhan itu menjadi penghubung antara daerah kota dengan daerah pedalamannya. Pelabuhan tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlabuh, tetapi juga tempat untuk berkumpul dan berdagang. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada di sekitarnya. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metodologi historis dengan pendekatan sosial-ekonomi. Karna skripsi ini saling menghubungkan keterkaitan antara masyarakat (makhluk sosial) dengan sistem perniagaan yang ada pada abad XVI. Dari penelitian ini, penulis menemukan aspek geografis dan demografis yang ada pada Cirebon dan Sunda Kalapa, hasil komoditas yang diperjual-belikan di dalamnya, serta pengaruh dari hubungan kerja sama antara Cirebon dan Sunda Kalapa pada abad XVI.

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i ABSTRAK ...... iii DAFTAR ISI ...... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ...... 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 5 D. Tinjauan Pustaka ...... 6 E. Metode Penelitian ...... 8 F. Kerangka Teori ...... 11 G. Sistematika Penulisan ...... 13

BAB II CIREBON DAN SUNDA KALAPA SEBAGAI PELABUHAN DAN KOTA DAGANG A. Aspek Geografis dan Demografis ...... 14 B. Cirebon dan Sunda Kalapa sebagai Pelabuhan ...... 19 C. Cirebon dan Sunda Kalapa sebagai Kota Dagang ...... 23

BAB III KOMODITAS PERDAGANGAN ANTARA CIREBON DAN SUNDA KALAPA A. Komoditas Barang Dagangan Cirebon ...... 30 B. Komoditas Barang Dagangan Sunda Kalapa ...... 35

BAB IV PENGARUH HUBUNGAN PERDAGANGAN CIREBON DAN SUNDA KALAPA A. Sebagai Media Penyebaran Agama Islam ...... 39 B. Pasang Surut Dinamika Politik ...... 50 C. Hubungan sebagai Mitra Kerja Perdagangan ...... 57

iv

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ...... 62 B. Saran ...... 63

DAFTAR PUSTAKA ...... 64 LAMPIRAN ...... 70

v

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jalur pelayaran dan jaringan perdagangan regional maupun internasional tidak dapat dipisahkan dari metodologi sejarah sosial-ekonomi. Menurut J.C van Leur, suatu kajian yang sistematik yang memberikan gambaran kehidupan masa lampau sosial-ekonomi sebagai ilmu pengetahuan sosial. Kajian ini mempunyai peranan penting bagi . Berbagai kepulauan dengan lautan yang berfungsi sebagai jalur-jalur pelayaran dan perdagangan antar-suku bangsa dengan bangsa lain, mempunyai kedudukan penting dalam menentukan jalannya sejarah ekonomi

Indonesia. Sejarah jalur lautan mempunyai arti penting bagi sejarah awal Indonesia dan masa-masa berikutnya, karena mengandung episode penting dalam sejarah politik dan sejarah kebuyaan yang terkait erat dengan perdagangan dan jalur perdagangan.1

Dengan pulau dan lautan yang lebih luas dari daratannya, Indonesia mempunyai letak strategis dan potensial bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan.

Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan tersebut antara lain didorong faktor lautan yang menjadi jalur pelayaran antar pulau dan juga jalur pelayaran internasional. Dengan jalur pelayaran tersebut, terjadilah jaringan perdangan antar

1 J. C. van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, Penerjemah Abmi Handayani, Adbul Aziz dan Aditya Pratama., (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hal. 6-7. Lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hal. 37.

1

2

pulau dan antar-suku bangsa yang kemudian berkembang menjadi jaringan perdagangan internasional atau perdagangan antarbangsa. Sejak abad-abad pertama sampai akhir abad ke XVI M, yang ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha, jaringan perdagangan internasional sudah terjadi antara lain dengan India dan Tiongkok. Di antara kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha yang sangat menonjol peranannya dalam jaringan perdagangan internasional adalah kerajaan maritim Sriwijaya dan kerajaan agraris- maritim Majapahit.

Kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu-Buddha yang mempunyai jaringan perdagangan internasional, biasanya merupakan kerajaan yang memiliki bandar- bandar besar dan ibu kota yang berfungsi sebagai negara-kota (city-state). Hal ini karena perdagangan regional dan internasional merupakan salah satu faktor penting bagi pertumbuhan negara-kota, di samping faktor pengawasan pekerja dan hasil tanah dan faktor legitimasi kekuasaan raja.2

Ketika Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran dan jatuh sekitar abad ke XVI, di Jawa Barat Kerajaan Sunda Pajajaran masih berdiri sampai tahun

1579. Ibukota Kerajaan Pajajaran adalah Pakuan yang diperkirakan berada di .

Pakuan Pajajaran merupakan sebuah negara-kota yang mempunyai potensi penting dalam perkembangan perdagangan internasional untuk memperoleh pendapatan.

Karena kedudukan tersebut, Kerajaan Sunda Pajajaran mempunyai kota-kota

2 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 38.

3

pelabuhan penting terutama di pantai utara, seperti: Banten, Pontang, Ciguede,

Tangerang, Kalapa, Cimanuk dan Cirebon.3

Menurut Tome Pires, pada permulaan abad ke XVI kerajaan Sunda masih berkuasa di Jawa Barat. Karna kerajaan ini mempunyai kota-kota pelabuhan yang penting, terutama Kalapa atau sebagai pelabuhan terbesar, di mana barang-barang dagangan dari seluruh kerajaan datang ke sana dan menjadi peranan penting dalam kegiatan perdagangan regional maupun internasional.4

Perdagangan internasional tidak hanya terjadi antara kerajaan Sunda dengan negara-negara tersebut, tetapi juga dengan Kesultanan Malaka dan Pulau Maladewa.

Pada tanggal 21 Agustus 1522, Raja Sunda melakukan suatu negosiasi dengan

Gubernur Portugis di Malaka, menyangkut hubungan antara keduanya di mana

Kerajaan Sunda mempunyai kewajiban untuk menyerahkan 1.000 bahar lada setiap tahun dan memberikan sebuah wilayah untuk membangun benteng. Pada sisi lain,

Portugis memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan membantu Kerajaan Sunda dari ancaman umat Islam.

Namun perjanjian tersebut tidak dapat diwujudkan, karena pada tahun 1527,

Kalapa yang berperan sebagai kota pelabuhan utama kerajaan ditaklukan oleh umat

Islam di bawah pimpinan Falatehan atau Fatahillah. Sejak permulaan abad XVI itu, situasi budaya, ekonomi dan politik berubah karena adanya pembentukan dan

3 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 53. 4 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, Penerjemah Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti., (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hal. 232-233.

4

ekspansi kerajaan-kerajaan Muslim seperti Demak, Cirebon, Banten dan Jayakarta

(Sunda Kelapa yang berubah nama menjadi Jayakarta setelah ditaklukan oleh

Fatahillah) yang berada di sepanjang wilayah pesisir utara atau suatu wilayah di mana kerajaan Hindu-Budha di Indonesia yang mulai mengalami kejatuhannya.5

Dari gambaran umum mengenai perdagangan regional maupun internasional tersebut dapat disimpulkan bahwa Cirebon dan Sunda Kalapa berada di bawah kekuasaan yang sama, yaitu di bawah Kerajaan Sunda Pajajaran. Karena berada di sepanjang pantai utara, di duga Cirebon dan Sunda Kalapa memiliki kerja sama dalam perdagangan serta saling berkesinambungan satu sama lainnya. Dari sinilah menarik perhatian penulis untuk mengulas lebih dalam lagi, serta memberi alasan yang jelas mengapa penulis memilih Cirebon dan Sunda Kalapa menjadi objek untuk dikaji dalam penulisan skripsi ini. Pertanyaan yang muncul adalah Bagaimana peranan Cirebon dan Sunda Kalapa sebagai kota pelabuhan dan kota dagang di Jawa

Barat? Hasil komoditas seperti apakah yang diperjual-belikan oleh Cirebon dan

Sunda Kalapa untuk menjalin suatu hubungan perdagangan? Dan terdapat pengaruh apakah terhadap hubungan timbal balik antara Cirebon dan Sunda Kalapa? Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin menjelaskan “Hubungan Perdagangan Cirebon dan Sunda Kelapa Abad XVI: Suatu Studi Sejarah Ekonomi”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Hadirnya Cirebon dan Sunda Kalapa sebagai salah satu kota pelabuhan yang terdapat di Pulau Jawa dan mempunyai letak yang sangat strategis di sepanjang pantai

5 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 54.

5

utara, menjadikan pelabuhan Cirebon dan Sunda Kalapa saling berkesinambungan dalam kegiatan ekonomi berupa tukar menukar barang dagangan, juga mengalirkan arus kebudayaan serta keagamaan. Karna pelabuhan Cirebon berperan penting dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya daerah Jawa Barat.

Sesuai dengan fokus bahasan dalam skripsi ini, yaitu hubungan timbal balik

Cirebon dengan Sunda Kalapa. Maka hal pokok yang harus dijadikan pijakan adalah bahwa Cirebon dipandang sebagai tempat menimbun dan tukar menukar barang dagangan yang dikaitkan dengan kebijakan Kesultanan pada abad XVI, terutama sistem perdagangan yang diterapankan oleh Cirebon.

Untuk itu agar pembatasan tidak melebar, maka penulis membatasi pada ruang lingkup permasalahan, mengenai hubungan perdagangan Cirebon dengan Sunda

Kalapa. Adapun masalah waktu yang dibatasi adalah pada abad XVI, dan rumusan masalahnya, sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum tentang pelabuhan Cirebon dan Sunda Kalapa?

2. Komoditas apa saja yang diperdagangkan?

3. Bagaimana pengaruh yang terjadi dalam hubungan perdagangan Cirebon dan

Sunda Kalapa?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1. Penelitian mengenai hubungan perdagangan Cirebon dengan Sunda

Kalapa pada abad XVI dimaksudkan untuk mengetahui letak geografis

pelabuhan Cirebon dan Sunda Kalapa.

6

2. Untuk mengetahui kondisi perdagangan yang terjadi dan komoditas apa

saja yang diperjual-belikan.

3. Untuk mengetahui pengaruh dari hubungan perdagangan antara Cirebon

dan Sunda Kalapa.

2. Manfaat Penelitian

1. Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai Gelai Sarjana (S1), ataupun

Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan

Islam.

2. Untuk memberikan informasi sejarah hubungan pelayaran dan

perdagangan pada abad XVI, serta proses timbal baliknya.

3. Untuk memberikan informasi tentang studi sejarah ekonomi yang ada di

Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Telah banyak karya tulis yang membahas mengenai sejarah perkembangan perdagangan di Indonesia, baik dalam buku, hasil penelitian seperti, Skripsi, Tesis dan lain sebagainya, namun dari hasil penelusuran penulis belum menemukan studi mengenai hubungan perdagangan antara Cirebon dengan Sunda Kalapa pada XVII.

Ada pun buku dan laporan penelitian berupa skripsi yang menjadi rujukan oleh penulis, di antaranya sebagai berikut:

1. Dalam bukunya J. C. Van Leur, yang berjudul Perdagangan dan

Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia.

Buku ini mendefinisikan hukum dari sosial-ekonomi dengan cara yang sama,

7

yaitu sebagai sebuah keteraturan tertentu dalam bentuk-bentuk untuk

menyediakan kebutuhan sebagaimana yang terjadi di seluruh peradaban.6

2. Abd Rahman Hamid, yang berjudul Sejarah Maritim Indonesia. Buku ini

menjelaskan bahwa laut memiliki dua kekuatan, yaitu naval power dan sea

power. Kekuatan laut pertama ditetapkan dalam wilayah teritorial dan yang

kedua di luar wilayah teritorial terutama kawasan laut yang strategis untuk

menjamin kepentingan nasional. Buku ini juga menyajikan risalah kerajaan-

kerajaan Nusantara di masa lalu yang pernah berjaya dalam memanfaatkan

potensi kelautan. Karna aspek maritim merupakan hal yang sangat penting

dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.7

3. Armando Cortesao (ed), yang berjudul Suma Oriental karya Tome Pires:

Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, yang

diterjemakan kedalam Bahasa Indonesia oleh Adrian Perkasa dan Anggita

Pramesti dan diterbitkan oleh Penerbit Ombak pada tahun 2014 dan direvisi

tahun 2015. Dalam buku ini, Tome Pires deskripsi dan catatan mengenai

jawa dan Sunda adalah pulau yang makmur, penuh kebanggaan, kaya dan

kesatria. Sebagian orang menegaskan bahwa Kerajaan Sunda menguasai

setengah Pulau Jawa. Sebagian lainnya, yakni orang-orang yang memiliki

6 J. C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, hal. 49. 7 Abd Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hal. x-xi.

8

kedudukan dan pemerintahan, meyakini bahwa Kerajaan Sunda menduduki

seperdelapan bagian pulau.8

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode historis dengan pendekatan sosial-ekonomi yang diharapkan dapat memberikan gambaran sejarah menjadi lebih bulat dan menyeluruh sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Karena hubungan antara suatu aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.9

Dalam penelitian tersebut, penulis berusaha mendeskripsikan atau menggambarkan suatu peristiwa yang menyertainya dalam kondisi yang terjadi di

Indonesia pada masa lampau. Pada tahap selanjutnya, penulis berupaya merekontruksi yang terkait „Hubungan Perdagangan antara Cirebon dengan Sunda

Kalapa pada abad XVI: Suatu Studi Sejarah Ekonomi‟.

Adapun dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode historis yang meliputi 4 tahapan10, yaitu:

1. Heuristik

Pertama, penulis melakukan tahapan heuristik. Heuristik berasal dari kata

Yunani heurishein, yang artinya memperoleh. Heuristik merupakan suatu

8 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, Penerjemah Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti., (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hal. 232-233. 9 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 87. 10 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal.54.

9

teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu.11 Heuristik adalah suatu tahapan atau kegiatan untuk menemukan dan menghimpun sumber-sumber atau data-data informasi. Kemudian, penulis melanjutkan ke arah metode penelitian pustaka atau Library Research, untuk mengunjungi berbagai perpustakaan, seperti

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas

Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Penulis berusaha mengumpulkan buku, menyeleksi buku-buku atau bahan-bahan sebagai pedoman, dan mereview buku dengan cara membedah isi buku yang terkait dengan karya ilmiah ini.

2. Verifikasi

Tahap kedua, penulis melakukan teknik verifikasi atau kritik sumber.

Setelah sumber sejarah dalam berbagai kategorinya itu terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber.

Dalam hal ini, dilakukan uji keabsahan tentang keaslian sumber (auntentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern dan keabsahan tentang kesahihan sumber

(kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern.12

Kritik ekstern dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keabsahan dan autentisitas sumber. Kritik terhadap autentisitas sumber tersebut misalnya dengan melakukan pengecekan tanggal penerbitan dokumen, pengecekan bahan

11 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, hal.54. 12 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, hal. 68.

10

yang berupa kertas atau tinta apakah yang cocok dengan masa di mana bahan

semacam itu biasa digunakan atau diproduksi. Sedangkan, kritik intern

dilakukan untuk menilai kelayakan atau kredebilitas sumber. Kredibilitas

sumber biasanya mengacu pada kemampuan sumber untuk mengungkap

kebenaran suatu peristiwa sejarah.13

3. Interprestasi

Tahap selanjutnya adalah teknik Interprestasi. Interprestasi sering disebut

juga dengan analistis sejarah. Dalam hal ini, ada dua metode yang digunakan,

yaitu analisis dan sintesis. Analistia adalah menguraikan, sedangkan sintesis

berarti menyatukan. Keduanya dipandang sebagai metode utama di dalam

interprestasi. Analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta

yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan teori, dari sinilah disusun dalam

suatu interprestasi yang menyeluruh.14

4. Historiografi

Kemudian tahapan yang terakhir adalah Historiografi, sebagai upaya

penulisan sejarah secara berurutan melalui satu rangkaian heuristik, verifikasi

dan interprestasi. Historiografi merupakan tahapan terakhir sebagai salah satu

cara untuk mengurutkan secara sistematik yang diatur sesuai buku ‘pedoman

penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)’. Dalam tahapan

historiografi ini, penulis berusaha menyusun cerita kembali dalam bentuk

13 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu sejarah: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hal. 223-224. 14 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, hal. 73.

11

sejarah sesuai rangkaian urutan peristiwa, berdasarkan kronologi kejadian yang

terkait. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

analitis15 yaitu, suatu cara untuk mencari akar permasalahan dengan cara

menguraikan, menafsirkan, mencatat dan melanjutkan proses analisa data-data

yang telah diperoleh. Hal ini yang kemudian memudahkan proses untuk

pengetikan.

F. Kerangka Teori

Menurut J. C. Van Leur, ilmu ekonomi adalah ilmu yang berhubungan dengan seluruh kegiatan manusia dalam menyediakan kebutuhan hidup.16 Sifat atau hukum dari teori sosial-ekonomi didefinisikan dengan cara yang sama, yaitu sebagai sebuah keteraturan tertentu dalam bentuk-bentuk untuk menyediakan kebutuhan sebagaimana yang terjadi di seluruh peradaban. Ciri dari bentuk-bentuk ini adalah memperbaiki batasan dan alur tertentu di dalam dan di sepanjang hubungan-hubungan yang proposional (seperti tren bisnis, zaman keemasan, kemerosotan, siklus produksi), dan kompleksitas-kompleksitas tertentu dari aktivitas-aktivitas yang disengaja, diatur secara rasional, dan termotivasi (seperti hubungan persediaan dan permintaan yang diatur oleh hukum, aktivitas yang berorientasi pada keperluan marjinal, hukum

Gresham sebagai efek sosial dari aktivitas semacam itu dan hukum-hukum lainnya).

15 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia, 1975), hal 30. 16 J. C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, hal. 45.

12

Dari kegiatan ini muncullah fenomena budaya yang kompleks yang terdiri dari aktivitas hubungan antarindividu (pembelian,layanan keagamaan, pernikahan, ekspedisi militer) yang berhubungan dengan objek dan materi alami (pertanian, pelayaran, pertahanan, pembangunan rumah). Motif dari pelaku kegiatan tersebut adalah kepentingan dari aktivitas manusia, yang meliputi seluruh aktivitas berpikir manusia yang selalu dipenuhi oleh budaya dan secara terus-menerus muncul sebagai hubungan sebab-akibat.

Keteraturan dari kompleksitas yang ditunjukkan oleh aktivitas kompleks tertentu dibatasi dalam bentuk-bentuk fenomenologis. Penjelasan mengenai keteraturan semacam itu atau hukum, kemudian menjadi sebuah penjelasan mengenai sejumlah kasus sebab-akibat individual dalam kompleksitas makna. Kompleksitas makna tersebut perlu diperhitungkan kualitasnnya dengan hati-hati: penyebab di balik tujuan umum yang selalu ditemukan dalam motif-motif individual.17

Dari pernyataan di atas, jelaslah bahwa kompleksitas sistem ekonomi dengan sendirinya menuntut pula pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan lain sebagainya. Berawal dari konsep ekonomi sebagai pola distribusi alokasi produksi dan konsumsi, maka jelaslah bahwa pola itu saling berkaitan dan sering ditentukan oleh sistem sosial serta stratifikasinya. Dengan

17 J. C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, hal. 49-50.

13

demikian, fungsi ekonomi tidak terlepas dari fungsi-fungsi sosial dan politik serta kulturalnya.18

G. Sistematika Penulisan

Penulis akan membagi penulisan skripsi ini dalam lima bab, dan masing-masing bab terdiri dari beberapa bab sebagai berikut:

Bab Pertama, ini adalah bab pendahuluan yang berisikan uraian latar belakang masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, membahas aspek geografis dan demografis yang terdapat pada

Cirebon dan Sunda Kelapa, serta menjelaskan bagaimana peranan Cirebon dan Sunda

Kelapa sebagai kota pelabuhan dan kota dagang pada abad XVI.

Bab Ketiga, membahas barang-barang komoditas yang diperjual-belikan oleh

Cirebon dan Sunda Kelapa pada abad XVI.

Bab Keempat, menjelaskan pengaruh hubungan perdagangan antara Cirebon dan Sunda Kelapa, serta peranan politik yang dilakukan pada abad XVI.

Bab Kelima, penutup, kesimpulan dan saran.

18 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, hal. 138.

BAB II

CIREBON DAN SUNDA KALAPA SEBAGAI PELABUHAN DAN KOTA

DAGANG

A. Aspek Geografis dan Demografis

Cirebon merupakan salah satu kota di Jawa Barat. Kota ini berada di pesisir

Laut Jawa tepatnya di jalur pantura. Dahulu Cirebon merupakan ibu kota Kesultanan

Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Cirebon menjadi pusat regional di wilayah pesisir timur Jawa Barat1 dan sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak beberapa abad silam. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, pada abad XIV di pantai Laut Jawa sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati sebagai tujuan wisata di Jawa Barat, mulai dari wisata sejarah kejayaan kerajaan Islam, wisata kuliner, sampai wisata batik dan sentra rotan.2

Secara administratif, kota Cirebon termasuk wilayah Daerah Tingkat I Jawa

Barat. Kota Cirebon berada di bagian timur Jawa Barat tepatnya di pantai Laut Jawa.

Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon, sebelah utara atau barat laut berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu, sebelah selatan berbatasan dengan Daerah Tingkat II Kuningan, dan sebelah timur berbatasan

1 Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2000), hal. 166-167. 2 Hasanudin, Batik Pesisiran: Melacak Etos Dagang Santri Pada Ragam Hias Batik, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2001), hal. 47. Lihat Yogi Marlianto Abdurachman, Pengaruh Kraton Kasepuhan dan Kanoman Terhadap Motif Batik Cirebon, (Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

14 15

dengan Laut Jawa dan Kabupaten Brebes, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.

Kota Cirebon secara geografis terletak pada lintang 108o 35 Bujur Timur dan 9o 30

Lintang Selatan. Curah hujannya rata-rata 1.963 mm/tahun, kelembaban udara mencapai angka tertinggi pada bulan Mei yaitu 94% dan tercatat pada bulan Juni, Juli dan Agustus yaitu 48%, iklim pada umumnya bersifat tropis dengan temperatur nasional terjadi bulan September sampai Oktober mencapai 32,5o celcius.3

Luas wilayah kota Daerah Tingkat II Cirebon adalah 3.735,82 hektar yang meliputi 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Kejaksaan, Lemah Wungkuk, Pekalipan,

Kesambi dan Harjamukti. Pada kurun waktu antara 1910-1937 Cirebon disahkan menjadi Gementee Cheirebon. Berdasarkan ketentuannya, Cirebon meliputi lahan seluas 1.100 hektar dengan jumlah penduduk 20.000 jiwa. Kota Cirebon perkembangannya terus bertambah pesat, luas wilayah daerah ini bertambah menjadi

2.450 hektar. Pada tahun 1957, kota Cirebon ditetapkan menjadi kota Praja dan daerahnya diperluas menjadi 3.300 hektar, dan pada tahun 1965 diperluas lagi menjadi 3.609 hektar. Kemudian pada tahun 1967 kota Cirebon disahkan menjadi wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon.4

Secara geografis, Cirebon menghubungkan jalur perekonomian antara Jawa

Barat dan DKI Jakarta dengan daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga

Kota Cirebon dapat tumbuh dan berkembang sebagai kota pelabuhan, perdagangan,

3 Hermana, Pola Kehidupan Santri di Pesantren Jagasatru Kotamadya Cirebon, (Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Jarahnittra 1994/1995), hal. 8. 4 Lasmiyati, Sejarah Keraton Kasepuhan di Kotamadya Cirebon, (Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Kajian Jarahnitra, 1995), hal. 9. 16

industri budaya dan pariwisata di Jawa Barat. Menurut catatan Tome Pires, Cirebon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan ada empat sampai lima kapal yang berlabuh di sana. Sedangkan menurut sumber dari Belanda yang berkurun waktu abad XVI awal, Cirebon disebut sebagai “Charabaon”, Cheribon atau Tjerbon.5

Karateristik kebudayaan Cirebon merupakan sebuah entitas kebudayaan yang unik dan memiliki kekhasan tersendiri. Posisi geografisnya yang berada di jalur perdagangan yang ramai adalah salah satu faktor yang menjadikan Cirebon sebagai bandar jalur sutera (Silk Road), sehingga memungkinkan terjadinya persilangan kebudayaan antara kebudayaan Cirebon dengan kebudayaan lain terutama Sunda dan

Jawa. Ekspresi kebudayaan Cirebon seringkali memperlihatkan hubungan dengan kebudayaan lama (Pra Islam), seperti pada artefak pengungkapan Paksi Naga Liman

(sebagai makhluk prabangsa) sebagai reka visual binatang mistis. Ungkapan simbolisasi pada Paksi Naga Liman ada hubungannya dengan nilai-nilai lama, yang merupakan visualisasi dari nilai atau sistem kerohanian masyarakat Cirebon yang masih percaya adanya dunia-atas sebagai alam-alus atau dunia ideal yang suci dilambangkan dengan paksia atau burung dan dunia-bawah sebagai alam wadag

(dunia manusia biasa atau makhluk yang berlumur dosa dan dilambangkan dengan ular atau naga).6

5 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: CV. Eka Darma, 1998), hal. 10-11. 6 Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986), hal.29-30. 17

Selanjutnya, kehidupan penduduk Cirebon sama dengan kota-kota pesisir lainnya di pantai utara Pulau Jawa. Penduduknya yang beraneka ragam dan nama- nama kampung yang mereka berikan adalah ciri dari kehidupan sosial penduduknya.

Keraton Cirebon adalah pusat dari pemerintahan Kerajaan Cirebon, istana atau kraton dikelilingi oleh tembok kota dan pemukiman orang asing berada di luar tembok keraton.

Pada masa itu, ada kampung-kampung yang dinamai sesuai jabatan/kedudukan penghuninya, seperti ada daerah yang bernama Ksatriaan yang berarti perkampungan ini dihuni oleh para prajurit kerajaan. Sedangkan Kauman atau Kademangan adalah nama tempat para ulama dan para demang kraton Cirebon. Asal-usul nama kampung juga dapat dilihat dari jenis pekerjaan penduduknya, contohnya sampai saat ini di

Cirebon ada kampung bernama panjuran, yang dulunya dikenal sebagai kampung pembuat gerabah.7

Sedangkan, Sunda Kalapa merupakan asal mula terbentuknya Jakarta terletak antara 160.40’ dan 170.0’ Garis Bujur Timur dan dikelilingi beberapa pulau yang terkenal dengan sebutan Kepulauan Seribu. Keadaan ini menjadi faktor potensial bagi pertumbuhan dan perkembangan pemukiman masyarakatnya. Bahkan dapat berkembang menjadi sebuah perkotaan, seperti: adanya ekologi yang

7 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, (Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hal. 7-8. 18

menguntungkan, adanya teknologi yang maju dan adanya suatu organisasi sosial yang kompleks dan struktur kekuasaan yang berkembang.8

Sunda Kalapa merupakan pelabuhan Hindu-Jawa bernama Pajajaran. Kerajaan ini berdiri hingga abad ke XVI. Nama pelabuhan tersebut mengacu pada nama Sunda, yaitu wilayah Jawa bagian Barat dimana penduduknya memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta nama tumbuhan kelapa yang banyak tumbuh di wilayah pesisir tersebut. Di sinilah untuk pertama kalinya sebuah pelabuhan di Kali berdiri sebagai bagian penting dalam perdagangan Indonesia.9

Tome Pires menceritakan, bahwa Kerajaan Sunda memiliki beberapa kota pelabuhan, di antaranya: Banten, Pontang, Cigeude, Tangerang, Cimanuk, Cirebon dan pelabuhan Sunda Kalapa merupakan kota pelabuhan yang terpenting di bawah kekuasaan Sunda Pajajaran. Dari Kerajaan Sunda, diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari berbagai daerah pedalaman melalui jalan perairan. Peranan

Ciliwung sangat penting sebagai sungai yang menghubungan Bogor dengan pusat kota kerajaan Kerajaan Sunda. Sedangkan, Cisadane menghubungkan daerah pedalaman Bogor dengan pelabuhan Tangerang yang memudahkan menuju pelabuhan Sunda Kalapa dan Citarum yang membawa barang dagangan sampai di muara, sehingga mudah menuju Sunda Kalapa.10

8 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 134. 9 Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, seri terjemahan, (Jakarta: Masup Jakarta, 2011), hal. 6. 10 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 139. 19

B. Cirebon dan Sunda Kalapa sebagai Pelabuhan

Kedudukan Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah berlangsung sejak zaman kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Budha. Menurut Carita Purwaka

Caruban Nagari, menceritakan bahwa Cirebon dulunya adalah sebagai dukuh yang diperintah oleh seorang juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang diperintah oleh kuwu. Pelabuhan awal adalah Muara Amparan Jati yang berada di

Dukuh Pasambangan, kurang lebih 5 km sebelah utara Kota Cirebon. Pada saat itu, kerajaan Sunda Pajajaran yang beribukota di Pakuan, di perintah oleh Prabu

Siliwangi yang setiap tahunnya menerima upeti berupa garam dan terasi sebagai hasil daerah Cirebon.11

Dukuh Pasambangan dan pelabuhan Muara Amparan Jati sudah mulai disinggahi kapal-kapal dagang dari beberapa daerah di Indonesia, seperti dari Pasai,

Palembang, Jawa Timur, Madura, juga beberpa pedagang negeri asing, seperti Arab,

Persia (Iran), Irak, India, Tionghoa, Malaka, Tumasik dan Campa. Itulah sebabnya

Dukuh Pasambangan menjadi ramai dan banyak penduduk yang hidupnya menjadi makmur.

Pada saat kapal Tionghoa, di bawah Panglima bernama Wai Ping dan

Laksamana Te Bo dengan para pengikutnya yang berjumlah banyak, singgah di

Pasambangan dalam perjalannya ke Majapahit. Oleh juru labuhan, mereka diterima baik dan selama di dukuh itu mereka membuat menara api di atas Bukit Amparan

11 Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986). Lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 159. 20

Jati. Sebagai imbalannya mereka diberikan hadiah beruba garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati.12

Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik. Banyak kapal berlabuh dan terdapat tiga atau empat jung di sana. Cirebon juga mempunyai banyak hasil bumi berupa beras dan bahan makanan. Menurut Tome Pires, bahwa pelabuhan Cimanuk yang merupakan pelabuhan keenam yang masuk dalam kekuasaan Sunda Pajajaran, banyak terdapat orang-orang Muslim, padahal pelabuhan Cimanuk atau Indramayu merupakan batas dari kerajaan Sunda Pajajaran.13 Adapun bukti arkeologis bahwa

Cirebon sudah mengalami pertumbuhan dan masuk wilayah kerajaan Sunda

Pajajaran, yaitu ditemukannya sebuah prasasti batu dari Huludayeuh dekat Cirebon yang aksara dan nama rajanya serupa dengan tulisan dalam Prasasti Batu Tulis

Bogor.14

Sedangkan, Pelabuhan Sunda Kalapa, terletak di kelurahan , kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.15 Tepatnya berada diantara 160.40’ dan 170.0

Garis Bujur Timur. Hal ini menjadikan Sunda Kalapa dikelilingi oleh berbagai pulau yang terkenal dengan sebutan Kepulauan Seribu.16 Keadaan geografis Sunda Kalapa dengan teluk yang dikelilingi kepulauan, menjadi faktor potensial bagi pertumbuhan

12 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 160. 13 Armando Cortesao (ed), Suma Oreiental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, hal. 232-276. 14 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 162. 15 Lihat http://www.arsitekcenterpoint.com/bangunan-bersejarah-jakarta-utara 16 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 134. 21

dan perkembangan pemukiman masyarakatnya. Sehingga Sunda Kalapa dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah perkotaan.17

Sunda Kalapa Berdiri sejak abad ke V dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke XII, yang terkenal dengan aktivitas perdagangannya. Sunda Kalapa merupakan sebutan sebuah pelabuhan tradisional di teluk Jakarta. Asal mula Jakarta atau Pelabuhan Sunda Kalapa telah dikenal sejak abad ke XII. Pada waktu itu, disebutkan adanya sebuah kota bernama Sunda Kalapa yang merupakan pelabuhan kerajaan Hindu-Jawa bernama Pajajaran.18 Pada masa itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada milik kerajaan Hindu Sunda terakhir di Jawa Barat, Pakuan

Pajajaran, yang sekarang berpusat di Kota Bogor. Para pedagang nusantara yang sering singgah di Sunda Kalapa di antaranya berasal dari , Tanjungpura,

Malaka, dan Madura, bahkan kapal-kapal asing dari Cina Selatan,

Gujarat/India Selatan, dan Arab yang sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, wangi-wangian, kemenyan, kuda, anggur dan zat warna untuk ditukar dengan lada dan rempah-rempah yang menjadi komoditas unggulan pada saat itu. Para pelaut Cina menyebut Sunda Kalapa dengan nama Kota Ye-cheng yang berarti kota Kalapa. Hal ini juga disebabkan banyaknya pohon kelapa yang tumbuh di sekitar pelabuhan.

Pelabuhan yang dapat menunjukkan nilai pentingnya di wilayah tersebut dapat mengambil keuntungan dari pajak dan cukai perdagangan. Inilah tujuan beberapa

17 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 134. 18 Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, seri terjemahan hal. 5. 22

penguasa maritim Asia Tenggara yang membangun kerajaannnya berdasarkan kontrol perdagangan internasional dan mereka mengawasi transaksi secara langsung untuk keuntungan mereka sendiri. Nilai penting pelabuhan Sunda Kalapa juga dipengaruhi hal yang sama, ketika pelabuhan Malaka di pantai barat Malaya semakin kuat, pengaruh Sunda Kalapa dan pelabuhan-pelabuhan lain di wilayah itu memudar.

Namun, saat Malaka ditaklukan Portugis pada 1511, Sunda Kelapa diuntungkan dengan meningkatnya kedatangan pada pedagang Muslim yang memboikot Malaka.

Perdagangan di kepulauan ini mendatangkan orang asing dan pengaruh asing.

Dari India masuk agama Hindu dan Budha yang sudah diterima di banyak wilayah di

Indonesia. Agama-agama ini dipeluk oleh para penguasa yang mengharapkan rakyatnya untuk mengikutinya. Pada abad XVI, Sunda Kalapa tetap berada dalam pengaruh agama Hindu dan terjebak dalam persaingan antara dua kekuatan asing baru, yaitu Islam dan Kristen. Walaupun ingin mendapatkan keuntungan dari kedatangan para pedagang Muslim, pemimpin Pajajaran tetap merasa khawatir terhadap invasi agama baru ini di pelabuhan-pelabuhan Jawa lainnya yang berdekatan.

Saat itu, penguasa Sunda Kalapa mengamati permusuhan tajam antara kaum

Muslim dengan pengaruh asing baru di wilayah ini, yaitu orang-orang Kristen

Portugis yang merupakan pelaut Eropa pertama yang sering mengunjungi Indonesia.

Bangsa Portugis telah membuktikan keberanian mereka dengan merebut Malaka dari orang kafir (kaum Muslim). Sunda Kalapa mengharapkan perlindungan yang sama dari Portugis terhadap ancaman kekuatan Muslim di daerah sekitarnya. Pada tahun 23

1522, Sunda Kalapa membuat kesepakatan dengan Portugis dan menjanjikan sejumlah lada setiap tahun dengan syarat Portugis harus membangun benteng di

Sunda Kalapa. Selanjutnya, pada tahun 1527, ketika Portugis datang untuk membangun benteng ternyata merekatelah didahului oleh kaum Muslim.

Kekuatan Jawa Barat semakin berkembang dengan adanya Kesultanan Banten di sebelah barat Sunda Kalapa, yang telah mengirimkan seorang panglima bernama

Fatahillah untuk menaklukan Sunda Kalapa dan mengubahnya menjadi negarabawahan Banten. Fatahillah berhasil mengusir armada Portugis, lalu mengganti nama pelabuhan Sunda Kalapa menjadi Jayakarta atau “kemenangan dan kejayaan”.19

C. Cirebon dan Sunda Kalapa sebagai Kota Dagang

Cirebon adalah sebuah kota yang tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya sebagai

Kota Pelabuhan dan Kota Dagang. Dahulu peranan Cirebon adalah sebagai tempat pemandian suci, namun seiring perubahan zaman Cirebon tempat itu berganti menjadi pelabuhan yang berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan perdagangan serta hubungan dengan dunia luar.20 Pada tahun 1415, armada Cina yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dan Kun Wei Ping berlabuh di Muara Jati. Dalam Carita

Purwaka Caruban Nagari dijelaskan, armada Cina transit di Muara Jati untuk membeli perbekalan, baik air bersih maupun pangan, dalam perjalanannya ke

19 Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, seri terjemahan, hal. 7-8. 20 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisinal cirebon, hal. 40. 24

Majapahit. Namun, tidak sebatas itu saja, Ki Gedeng Tapa21 dan Cheng Ho berhasil menjalin kerja sama dalam pembuatan mercusuar.22

Pihak Cina merasa tertarik dengan pelabuhan Cirebon, selain keterlibatan mereka membuat mercusuar, mereka juga membuat perwakilan dagang Cina untuk

Nagari Singapura. Pembukaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa Cirebon merupakan pelabuhan yang ramai. Setiap hari banyak orang berjual beli dan banyak perahu berlabuh di Muara Jati, mereka itu diantaranya berasal dari Cina, Arab, Persia,

India, Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, dan Palembang.23

Perkembangan pelabuhan Cirebon berlanjut seperti perdagangan internasional, terutama yang berhubungan dengan Cina, mereka selalu membawa barang dagangan berupa kain sutera yang sangat tinggi nilai jualnya dan mereka melakukan selama berabad-abad. Selain sutera, Cina juga membawa rempah-rempah, buah-buahan, porselen, mesiu dan lain-lain. Rute yang mereka tempuh sangat sulit, banyak menghadapi rintangan, seperti badai pasir, cuaca panas dan dingin, serta para penyamun dan perompak. Dalam hal ini, para pedagang mencari jalan alternatif baru yang mudah dan aman, yaitu melalui sistem transportasi laut dan menjadikan sebuah motivasi yang kuat untuk membuka pusat-pusat perdagangan baru, perdagangan kawasan dunia barat dan timur. Dengan demikian, muncullah pelabuhan-pelabuhan

21 Ki Gedeng Tapa adalah syahbandar dari Nagari Singapura. Nagari Singapura dipimpin oleh penguasa yang bernama Ki Gedeng Surawijaya Sakti. 22 Mercusuar tersebut merupakan sarana pelabuhan yang penting sebagai tanda bagi kapal- kapal yang akan berlabuh pada malam hari. Lihat Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, hal. 49. 23 RH Unang, Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, 1983, hal. 16. 25

baru sebagai pusat-pusat perdagangan dari Cina sampai Eropa, dan Nusantara termasuk dalam jaringan perdagangan tersebut.24

Letak geografis Cirebon yang sangat strategis membuat Cirebon masuk ke dalam mata rantai perdagangan internasional pada saat itu. Kedatangan kapal-kapal asing di Cirebon memperjelas keterkaitan Cirebon dalam jaringan internasional.

Pesatnya perkembangan pelabuhan Cirebon didukung adanya politik ekspansi dari

Kerajaan Islam (di bawah pimpinan Demak) untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan

Pajajaran. Setelah Banten dikuasai (1526) dan Sunda Kelapa (1527), maka seluruh pesisir utara Jawa Barat sudah berada di bawah kekuasaan Islam. Akibat politik ini bandar-bandar lain termasuk Cirebon merupakan tempat jaringan perdagangan internasional atau pasar dunia yang menjadi sumber ekonomi dan perdagangan serta sumber penghasilan kerajaan-kerajaan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang, terbentang dari Demak, Cirebon hingga Banten.25

Dari beberapa kegiatan dagang yang dilakukan Cirebon dengan kota-kota pelabuhan lainnya, membuat kota Cirebon ramai didatangi orang-orang asing dari luar Cirebon untuk melakukan transaksi perdagangan atau untuk menyebarkan agama

Islam di Cirebon. Karena letaknya yang sangat strategis itu, membuat Cirebon mudah dipengaruhi oleh budaya luar termasuk Islam.

Sedangkan, Sunda Kalapa merupakan pelabuhan utama yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Kerajaan ini berdiri sampai abad ke XVI, nama

24 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, hal. 40- 41. 25 Lihat Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, hal. 50-51. 26

pelabuhan ini mengacu pada nama Sunda, yaitu wilayah Jawa bagian Barat yang penduduknya memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga nama tumbuhan kelapa karena banyak pohon kelapa yang tumbuh di sekitar wilayah pesisir tersebut. Dari data arkeologis, historis dan berita- berita asing pada masa pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran, Sunda Kalapa merupakan kota pelabuhan yang sangat penting karena pada waktu itu Kerajaan

Sunda memiliki enam kota pelabuhan: Banten, Pontang, Ciguede, Tangerang, Kalapa,

Cirebon dan Cimanuk.26 Pusat Kerajaan Sunda Pajajaran terletak di daerah pedalaman, namun kerajaan itu mempunyai fungsi sebagai negara-kota (city-state) yang di antaranya melakukan kegiatan perdagangan yang bersifat regional maupun internasional.27Dari Kerajaan Sunda Pajajaran-lah diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari berbagai daerah pedalaman melalui jalan perairan.

Dengan adanya perdagangan di kepulauan Indonesia dan sekitarnya, juga di berbagai kota di sekitar Selat Melaka menjadi semakin penting karena ada banyak kapal yang harus melewati selat ini dalam perjalanannya melewati Nusantara dan

Barat. Pelabuhan ini memberikan nilai penting di wilayah tersebut untuk dapat mengambil keuntungan dari pajak dan bea cukai perdagangan. Ini merupakan tujuan beberapa penguasa maritim Asia Tenggara yang membangun karajaannya

26 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, hal: 232-276. 27 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara., hal. 139. 27

berdasarkan kekuasaan dari perdagangan internasional, dan mereka mengawasi transaksi ini secara langsung untuk keuntungan mereka sendiri.28

Kota-kota pusat kerajaan Indonesia-Hindu di Jawa, seperti: Majapahit dengan kota-kota pelabuhannya yaitu Gresik, Tuban dan Jaratan, serta Pajajaran dengan pelabuhannya Sunda Kelapa, yang mengalami perkembangan yang meningkat sangat pesat sehingga mencapai puncak kekuasaannya di bidang politik-ekonomi dan kultural. Sejak pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa, secara bersamaan muncullah kota-kota Muslim dengan pelabuhannya, seperti di Jawa Tengah pusat kerajaan Demak dengan kota-kota pelabuhan Jepara, Tuban, Gresik dan Sedayu, yang memungkinkan untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Hal itu terjadi karena pelayaran dan perdagangan yang terbentang antara Selat Malaka melalui pesisir utara Jawa sampai Maluku yang sebagian besar ada di tangan pedagang-pedagang Muslim. Bupati-bupati pesisir yang semula merupakan bawahan dari pusat kerajaan Majapahit lambat-laun mulai melepaskan diri dan melakukan hubungan perdagangan dengan pedagang-pedagang Muslim tersebut. Tumbuhnya kota-kota pusat kerajaan di Jawa Barat seperti Cirebon, Sunda Kalapa dan Banten membentuk jalinan perhubungan pelayaran, perekonomian dan politik dengan

Demak, sebagai pusat kerajaan besar pada abad ke XVI.29

28 Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, hal. 5-7. 29 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Jakarta: Menara Kudus, 2000), hal. 48. BAB III

KOMODITAS PERDAGANGAN ANTARA CIREBON DAN SUNDA

KALAPA

Perdagangan adalah hal yang vital bagi para pedagang Nusantara. Karena sifatnya yang unik, dapat dijangkau lewat lalu lintas laut dan menguasai jalur maritim sehingga dapat singgah di berbagai pelabuhan daerah yang dituju. Selain sebagai tempat berlabuh, Pelabuhan juga sebagai tempat berkumpul untuk berdagang, pelabuhan juga berperan sebagai pintu gerbang, tempat kapal dan perahu keluar-masuk.

Pelabuhan merupakan penghubung antara dunia sebrang laut dengan daerah pedalaman. Peranan dan fungsi pelabuhan dapat berubah karena tuntutan zaman.

Kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang tergolong sebagai City-State yang sangat erat kaitannya dengan faktor kegiatan perdagangan regional dan internasional memerlukan bandar-bandar tempat ekspor dan impor komoditi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan kesultanan yang bersangkutan. Seperti kerajaan

Sunda Pajajaran yang mempunyai bandar-bantar penting disekitarnya, di antaranya: Cirebon dan Sunda Kalapa.1

Banyak kota-kota bandar yang tidak hanya berfungsi sebagai City-State tetapi juga sebagai tempat melakukan ekspor dan impor komoditas yang diperlukan oleh masyarakat kesultanan. Pemerintahan kota-kota bandar biasanya diserahkan kepada putra-putra Sultan yang berkedudukan sebagai Tumenggung

1 M. Dien Madjid, Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Islam Indonesia (Suatu Kajian Sosial Ekonomi): ISLAM dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), hal. 225-226.

28 29

atau Adipati yang membawahi para Syahbandar yang diangkat oleh Sultan dan ada pula diantaranya orang-orang asing yang diangkat sebagai Syahbandar.

Pengangkatan orang asing sebagai Syahbandar dilakukan karena adanya hubungan dengan pengetahuan dan pengalamannya tentang perdagangan yang luas dan dengan kepandaian bahasanya untuk memudahkan komunikasi dengan para nahkoda asing. Fungsi Syahbandar bukan hanya urusan perdagangan dengan orang asing saja tetapi juga hubungan antar negara dan semua urusan yang bersifat internasional, misalnya dalam bidang legalisasi, yudikasi, kepolisian dan administrasi.2 Dari bandar-bandar besar atau penting dilakukan ekspor dan impor barang komoditas untuk kepentingan jaringan perdagangan regional maupun internasional.

Untuk komoditi-komoditi perdagangan yang diekspor dan diimpor memerlukan pasar terutama pasar-pasar besar yang berfungsi sebagai pasar di kota-kota pusat kerajaan yang juga berfungsi sebagai kota-kota Bandar. Sesuai dengan proses pengumpulan komoditas ekspor dan impor yang tergantung pada pelaksanaan pelayaran serta angin muson yang harus menunggu waktu lama maka terjadilah perkampungan Keling, Pajokan, kampung-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi seperti

Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon dan Kampung Bali di

Jakarta.3

2 M. Dien Madjid, Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Islam Indonesia (Suatu Kajian Sosial Ekonomi): ISLAM dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, hal. 230-231. 3 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, hal. 106-107. Lihat M. Dien Madjid, Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Islam Indonesia (Suatu Kajian Sosial Ekonomi): ISLAM dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, hal. 231. 30

A. Komoditi Barang Dagangan Cirebon

Dalam catatannya, Tome Pires memberikan keterangan mengenai kondisi pelabuhan Cirebon dan barang komoditi yang diperjual-belikan di sana. Dari catatannya, dapat diketahui bahwa pada masa itu Cirebon merupakan pelabuhan yang bagus dan ramai, banyak kapal berlabuh di sana antara lain 3 atau 4 jun dan beberapa lancara. Keramaian pelabuhan Cirebon lebih terlihat lagi dari jumlah penduduknya mencapai 1000 jiwa dengan 5 atau 6 saudagar, salah satunya Pate

Quedir seorang saudagar yang cerdik, berani dan dihormati. Dari catatan itu juga, dapat diketahui barang komoditi yang dihasilkan oleh Cirebon adalah beras dan bahan makanan lainnya.4

Untuk barang dagangan Cirebon yang diekspor, sumber lokal berupa naskah

Negarakertabumi dapat membantu memperinci jenis-jenis barang dagangan tersebut. Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa:

Pada tahun1337 saka (1415/6 M) Muhara Jati kedatangan armada Cina yang dipimpin oleh Cenhuwa (laksamana), Mah-Wan (juru tulis), Ong Keng-Hong

(juru mudi), Kung Way-Ping (panglima), Pey-Sin (juru tulis). Mereka adalah utusan Maharaja Cina Yuwang-lo (Yung-lo) dari wangsa Ming. Dalam rombongan itu terdapat juga beberapa orang pembesar kerajaan Wilwtika yang menjadi duta di Swarnabhumi di Muhara Jati, armada itu berhenti untuk mendapatkan perbekalan. Atas persetujuan kedua belah pihak, di Muhara Jadi didirikan sebuah menara dan sebagai imbalannya, pihak Cina mendapatkan

4 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, hal. 232-276. 31

perbekalan yang diperlukan berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati.5

Dari sinilah diketahui bahwa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati mempunyai daya tukar yang tinggi, oleh sebab itu menjadi komoditi andalan bagi Cirebon. Sedangkan untuk komoditi yang didatangkan ke Cirebon, diketahui dalam Cerita Purwaka Caruban Nagari, yaitu: logam besi, perak, emas, sutra dan keramik halus.6

Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, menceritakan bahwa pelabuhan

Cirebon sudah berlangsung sejak zaman kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak

Hindu-Budha. Pada awal XVI, Cirebon yang dulunya adalah sebagai dukuh yang diperintah oleh seorang juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang diperintah oleh kuwu. Pelabuhan awal adalah Muara Amparan Jati yang berada di Dukuh Pasambangan, kurang lebih 5 km sebelah utara Kota Cirebon.

Pada saat itu, kerajaan Sunda Pajajaran yang beribukota di Pakuan, di perintah oleh Prabu Siliwangi yang setiap tahunnya menerima upeti berupa garam dan terasi sebagai hasil daerah Cirebon.7

Dukuh Pasambangan dan pelabuhan Muara Amparan Jati sudah mulai disinggahi kapal-kapal dagang dari beberapa daerah di Indonesia, seperti dari

Pasai, Palembang, Jawa Timur, Madura, juga beberpa pedagang negeri asing,

5 Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari. Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, hal. 37. 6 Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari. Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, hal. 30. Lihat juga Dartono, Penyebaran Agama Islam di Cirebon dan Sekitarnya, Antara Tahun 1470-1570 M, (Depok: Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1991). 7 Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986). Lihat Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 159. 32

seperti Arab, Persia (Iran), Irak, India, Tionghoa, Malaka, Tumasik dan Campa.

Itulah sebabnya Dukuh Pasambangan menjadi ramai dan banyak penduduk yang hidupnya menjadi makmur.

Pada saat kapal Tionghoa, di bawah Panglima bernama Wai Ping dan

Laksamana Te Bo dengan para pengikutnya yang berjumlah banyak, singgah di

Pasambangan dalam perjalannya ke Majapahit. Oleh juru labuhan, mereka diterima baik dan selama di dukuh itu mereka membuat menara api di atas Bukit

Amparan Jati. Sebagai imbalannya mereka diberikan hadiah beruba garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati.8

Menurut Tome Pires, pelabuhan Cirebon sejaman dengan pelabuhan- pelabuhan yang dimiliki oleh Kerajaan Sunda, maka dapat dikatakan barang komoditi yang diperjual-belikan tidak jauh berbeda. Komoditi yang terdapat di pelabuhan Kerajaan Sunda, antara lain Tome Pires menyebutkan bahwa komoditi

Kerajaan Sunda yang terpenting adalah beras, lada dan kain tenun yang diekspor ke Malaka. Sedangkan barang yang di impor untuk kebutuhan Kerajaan Sunda adalah teksil halus dari Cambay dan kuda dari Pariaman.9

Sumber sejarah lainnya juga membuktikan bahwa pedagang Cina mempunyai peranan yang besar, sebagaimana di tunjukan oleh penggunaan mata uang Cina sebagai alat tukar yang utama di Jawa. Uang Cina itu tentu saja tidak dibuat sendiri oleh para penguasa di Jawa tetapi didatangkan langsung dari negeri

Cina, impor mata uang Cina itu bahkan terus berlangsung sampai masa VOC.

Adapun bukti-bukti lain yang medukung peranan Cina pada masa itu adalah

8 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 160. 9 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, hal. 232-276. 33

terdapatnya keramik Cina, kain sutera, kelenteng dan vihara yang ada di setiap pelabuhan di Jawa, juga lukisan kaca dan masakan cina yang dikenal luas di masyarakat.10

Selain mata uang Cina, ada alat tukar lain yang ada dalam jalinan perdagangan di Pulau Jawa yaitu uang Portugis yang dikenal dengan nama

Crusados, uang Malaka yang disebut Calais dan uang lokal Jawayang diberi nama tumdaya atau tail.11 Sayangnya diantara mata uang yang beredar tersebut tidak jelas mata uang mana yang dijadikan sebagai standar ukuran perdagangan.

Namun, bentuk awal lalu lintas uang di Nusantara (Hindia Belanda) sudah ada sebelum kedatangan kebudayaan Hindu (tahun 400 sesudah Masehi). Uang stempel dari pengusaha diterima sebagai jaminan bahan pembuatan yang secara intrinsic sering berada di bawah nilai nominalnya. Memasuki zaman Hindu, bentuk mata uang yang digunakan berupa koin emas dan koin perak. Begitu pula pada periode awal Kerajaan Islam terutama di daerah-daerah pantai yang termasuk jalur perdagangan atau jalur perdagangan sekunder dikenal berbagai jenis uang seperti: di Banten (berupa perak dan tembaga), Sumenep (bahan celup yang dioleskan pada kain yang sudah dipakai), Cirebon (takaran kecil dari timah yang disebut picis), Aceh (para penguasa sering berkumpul untuk melaksanakan pencetakan uang), Palembang (timah), Jambi (timah seperti Pelembang dan picis seperti Cirebon), Bangka (timah), (tembaga dan timah), Mampawa

(timah), (tembaga) dan Sulawesi (emas dan timah hitam).12

10 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, hal. 58. 11 Lihat Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, hal. 232-276. 12 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, hal. 58. 34

Terlihat jelas sekali keramaian yang terdapat di Pelabuhan Cirebon. Lalu lintas barang dari dan keluar Cirebon mencapai jumlah yang besar, sayangnya sumber-sumber sejarah yang ada tidak menggambarkan secara terinci keadaan perdagangan itu, semasa Cirebon dalam kondisi puncaknya. Gambaran tentang situasi perdagangan itu dapat dilihat dari catatan harian (Dagh Register) yang dibuat oleh Belanda. Dagh Registermencatat perdagang Cirebon pada abad ke

XVII, justru pada masa itu Cirebon mulai mengalami kelemahan sebagai akibat adanya percaturan politik antara Banten, Mataram dan Belanda. Secara otomatis, hal itu membuat Cirebon tidak dapat lagi mempertahankan kemajuan-kemajuan di bidang politik maupun ekonomi.13

Sejak terjadinya serangan Mataram ke Batavia, perdagangan melalui bandar

Cirebon agaknya mengarah ke Batavia. Pada tanggal 30 April 1632, Dagh

Register memberitakan tentang empat ribu atau lima ribu orang dari Mataram dan seribu orang dari Cirebon menuju Batavia. Secara bersamaan, diberitakan bahwa ada lima puluh kapal dari Cirebon dengan muatan beras memasuki daerah sebelah timur Karawang. Begitu juga pada tanggal 7 Mei 1632, datang perahu-perahu dari

Cirebon dan kapal Melayu yang membawa gula dan lain-lain yang diduga oleh

Belanda untuk dipergunakan Batavia.14

Selanjutnya, Dagh Register memberitakan pada tanggal 19 Desember 1633, bahwa adanya kapal-kapal yang dari Cirebon ke Batavia membawa gula, asam dan beras. Begitu juga pada tanggal 9 dan 26 Oktober 1634, terdapat pemberitaan

13 Uka Tjandrasasmita, Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia: Makalah Diskusi Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, 1995), hal. 14. 14 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, hal. 59. 35

adanya kapal-kapal dari Cirebon menuju Batavia dengan muatan gula dan beras.15

Dari sumber-sumber tersebut, dapatlah dipastikan adanya hubungan yang terjadi antara pelabuhan Cirebon dengan Sunda Kelapa, baik pada saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran, pada abad ke XVI sampai pada masa pemerintahan Belanda.

B. Komoditi Barang Dagangan Sunda Kalapa

Pada awal abad XVI, Sunda Kalapa merupakan bandar utama yang mengekspor barang-barang komoditi ke bandar-bandar yang masih berada dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran, barang-barang itu antara lain: lada, asam, beras, daging, buad-buahan dan sayuran. Komoditi hasil bumi itu juga diekspor untuk jaringan perdagangan regional dengan bandar-bandar di Indonesia sendiri.

Karena Sunda Kalapa mempunyai hubungan dagang dengan , Palembang,

Lawe, Makassar, Malaka, Jawa, Madura dan banyak daerah lainnya. Hubungan perdagangan internasional Sunda Pajajaran melalui Sunda Kalapa tidak hanya dengan Malaka tetapi juga dengan India, Maladiwa dan Cina. Sedangkan komoditi-komoditi yang diimpor pada masa itu, yaitu: kain-kain berwarna putih, blacu, drill, katechu dan lainnya dari Kelling dan Cambay, juga keramik dari

Cina.16 Dalam sumber lain dikatakan, bahwa setiap tahun ada dua atau tiga jung yang berangkat dari Malaka menuju Sunda Kalapa untuk membeli budak, beras dan lada. Budak di sini (Sunda Kalapa) ada yang dari pedalaman dan ada yang

15 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, hal. 60. 16 M. Dien Madjid, Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Islam Indonesia (Suatu Kajian Sosial Ekonomi): ISLAM dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, hal. 233. 36

diambil dari pulau-pulau Maladiwa. Sejak saat itu, Sunda Kalapa dikatakan mengimpor dan mengekspor budak.17

Pada tahun 1527 Banten menduduki Sunda Kalapa, kota pelabuhan terpenting dari kerajaan Pajajaran. Setelah itu namanya di ganti menjadi

Jayakarta. Sebagai pelabuhan, kerajaan Sunda yang pada waktu itu beragama

Hindu, dengan kemenangan Banten terhadap Sunda Kalapa sekaligus mengubahnya dari darulharb menjadi Darul Islam.

Dalam catatannya Tome Pires menjelaskan, kira-kira 15 tahun sebelum

Sunda Kalapa menjadi Jayakarta, ada beberapa saudagar beragama Islam yang diperbolehkan masuk kerajaan Sunda karena pemerintah takut akan terjadi perebutan kekuasaan di sini. Pires menjelaskan bahwa pada waktu itu sudah banyak pedagang muslim yang berdiamdi daerah perbatasan. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pedagang-pedagang tersebut bebas masuk ke kota untuk berdagang sehingga tidak mustahil apabila ada pedagang setempat yang harus gulung tikar karena tidak sanggup menyaingi pendatang baru yang mungkin mendapat perlindungan penguasa baru dan yang barang kali mempunyai koneksi dagang penting di ibu kota Banten.18

Jarak yang harus ditempuh para pedagang itu sangat jauh dan memakan waktu yang panjang. Kapal harus menunggu sampai angin berbalik arah, dengan kata lain harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Jika transaksi niaga terlambat dijalankan sehingga tidak sempat menggunakan angin musim tahun itu, terpaksa

17 Poesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 136. 18 Armando Cortesao (ed), 2015, op. citSuma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, hal: 232-276. 37

kapal menunggu sampai tahun berikutnya. Banyak sekali resiko yang dihadapi para pedagang yang tengah berlayar. Angin ribut, bajak laut dan segala macam rintangan harus diatasi sebelum berhasil mendapat keuntungan yang lumayan.

Petak-petak yang terbatas tidak memungkinkan pedagang membawa muatan dalam jumlah banyak. Oleh sebab itu, barang yang diperjual-belikan lebih banyak berupa barang yang tidak memakan tempat tetapi berharga tinggi.19

Selain menggunakan sistem barter, pelabuhan Sunda Kelapa juga sudah menggunakan uang. Menurut Tome Pires,20cash adalah sejenis mata uang

Tionghoa yang dipakai sebagai alat penukar. Mata uang tersebut kecil-kecil dan mempunyai lubang. Beratus-ratus cash itu diikat oleh benang seperti mata uang yang disebut ceiti. Mata uang Tionghoa cash yang bernilai 1.000 sama nilainya dengan dua puluh lima calais mata uang Malaka. Sedangkan, mata uang tumdaya yang dibuat orang pribumi dari emas yang beratnya delapan mate, sama dengan dua belas ribu cash atau sembilan crusado (Portugis).

Pelabuhan Sunda Kalapa yang dikunjungi para pedagang dari dalam dan luar Indonesia, menambah keramaian. Dengan demikian, perlu ada aturan yang memadai dan penanganan dari para pemimimpinnya. Oleh karena itu, pelabuhan yang penting dipimpin oleh paybu (prabu) atau pate (adipati). Sementara itu, pusat kerajaan dipimpin oleh raja yang disebut sambariang (Sang Hyang), dengan wakil coconum (Prabu Anom) dan makubumy (Mangkubumi). Jabatan

Mangkubumi disamakan dengan bendahara sebagai suatu jabatan yang dikenal di

19 Poesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, hal. 132. 20 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, hal. 232-276. 38

Malaka. Karena, di Malaka jabatan bendahara bertugas menghubungkan para pedagang asing dengan raja atau sultan.21 Hubungan ini menceritakan antara

Portugis di Malaka dengan Kerajaan Sunda pada abad ke XVI.

21 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, hal. 140. BAB IV

PENGARUH HUBUNGAN PERDAGANGAN ANTARA CIREBON DAN

SUNDA KALAPA

A. Sebagai Media Penyebaran Agama Islam

Proses penyebaran Agama Islam terjadi dalam waktu yang tidak bersamaan, karena masing-masing daerah mempunyai situasi politik, sosial dan budaya yang berbeda. Pada abad VII-VIII, saat Kerajaan Sriwijaya sedang memperluas kekuasaannya, Selat Malaka sudah dilalui oleh pedagang-pedagang muslim yang berlayar melintasi negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan Timur disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Banu Umayyah di bagian Barat maupun dari kerajaan Cina pada zaman dinasti T‟ang di Asia Timur dan kerajaan

Sriwijaya di Asia Tenggara.1 Awal perkembangan Islam di Jakarta sangat erat hubungannya dengan situasi politik dan perdagangan yang memiliki letak pelabuhan yang sangat strategis, termasuk pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Kekuasaannya meliputi daerah propinsi Jawa Barat yang sekarang termasuk DKI Jakarta dan pusat kerajaan yang terletak di pedalaman (Bogor), serta pantai-pantainya yang terletak di bagian utara

Jawa Barat, berfungsi untuk membuka perhubungan yang erat dengan dunia luar

1 Lihat Poesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, hal. 1.

39 40

baik di bidang ekonomi, politik maupun budaya, keadaan semacam ini membawa

Kerajaan Sunda Pajajaran semakin makmur.2

Kerajaan Pajajaran memiliki keadaan tanahnya yang agraris untuk menghasil berbagai macam jenis pertanian, akan tetapi perdagangan merupakan unsur yang penting dalam menentukan kehidupan di kerajaan. Dengan banyaknya pelabuhan di wilayah kekuasaan Pajajaran yang terbentang di pantai utara Jawa

Barat bagian Timur sampai Barat, seperti: Cirebon, Indramayu (Cimanuk),

Krawang, Kalapa, Tangerang, Pontang dan Banten, membuktikan pelabuhan itu sangat penting dalam menghasilkan devisa untuk kerajaan, karena disana menjadi tempat kegiatan jaul beli barang dan merupakan salah satu kesempatan bagi pemerintah untuk memungut pajak kapal yang berlabuh.3

Sunda Kalapa merupakan salah satu bandar terpenting bagi kelangsungan hidup Kerajaan Sunda Pajajaran, karena letaknya tidak terlalu jauh dari pusat ibu kota kerajaan. Sebuah kota besar yang menjadi pintu gerbang bagi para pendatang dan menjadi tempat pertemuan dari berbagai macam golongan, etnis atau suku bangsa, dan kebudayaan, sehingga merupakan suatu daerah strategis bagi tumbuhnya kehidupan dan kebudayaan baru. Dari beberapa fungsi itu menyebabkan Kota Jakarta sering disebut memiliki sifat heterogen karena penduduknya datang dari berbagai wilayah yang ada di Nusantara.4

2 Dien Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995), hal. 78-92. 3 Uka Tjandrasasmita, Pangeran Jakarta Wijayakrama: Pasang Surut Perjuangannya, (Yogyajarta: Seminar Sejarah Nasional II, tanggal 28-29 Agustus 1970), hal. 1. 4 Dien Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi., hal: 79. 41

Dengan peranan Sunda Kalapa sebagai jalur sutera yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah, mungkinan adanya para pedagang Arab juga datang ke Sunda Kalapa, namun awal kedatangannya tidak diketahui secara pasti.

Kemudian, setelah Agama Islam datang (abad ke VII M), barulah dapat diketahuidengan lebih jelas kedatangan orang Arab di Indonesia. Pada masaini mereka berniaga sambil menyiarkan Agama Islam.5 Selanjutnya pada abad ke IX

M, orang Arab Muslim telah menguasai lautan Hindia dan Tiongkok sebagai jalur lalu lintas dagang antara Barat dan Timur. Orang Arab dikenal sebagai orang yang suka bertualang menjelajahi sepanjang lautan sebelum dan sesudah berkembangnya Islam,6 kisah perjalanannya ke dunia Timur banyak diungkap oleh Al-Mas‟udi dalam bukunya Murujuzzahab yang diketahui bahwa sebelum

Belanda datang di Indonesia, orang Arab telah ada yang datang dari Hadramaut ke

Jawa, termasuk ke Jakarta seperti kelompok Aidarus dan kelompok al-Bafaqih berada di Kampung Jawa (sekarang berada dalam kelurahan Jatinegara,

Kecamatan Cakung).7 Menurut perjalanan sejarah di masa lalu ada di antara Wali

Sanga yang berasal dari Arab yang sengaja datang ke Nusantara untuk melaksanakan dakwah Islamiyah atau kegiatan lainnya.

Kemajuan dan keramaian yang dimiliki Sunda Kalapa mendorong Portugis yang telah menguasai Malaka untuk mengambil alih Sunda Kalapa, yang sampai tahun 1522 masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran dan untuk mempertahankan kekuasaannya, akhirnya Raja Pajajaran mengadakan perjanjian

5 Ismail Yacob, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Wijaya, -), hal. 14-15. 6 Sejed Alwi bin Tahir al-Haddad, Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, terj. Dzija Shahab, (Jakarta: Al-Maktab al-Daimi, 1957), hal. 15. 7 Dien Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi., hal: 79. 42

dengan Portugis yang ditandatangani oleh beberapa wakilnya di antaranya

Mandaritoda (Menteri), Tamungo Sangue de Pete (Tumenggung), Sam Angy depaty (Sang Adipati) serta pejabat Pabean. Sementara itu di tempat lain, bandar

Cirebon dan Cimanuk menurut Tome Pires sudah dimasuki pedagang-pedagang

Muslim sejak tahun 1513.8

Salah satu yang mendorong adanya perjanjian antara Pajajaran dengan

Portugis adalah dengan munculnya kekhawatiran akan datangnyapengaruh Islam yang merambah ke Sunda Kalapa. Karena setelah umat Islam menguasai Cirebon, kemudian mereka memboikot pembayaran pajak-pajak dari Cirebon ke kerajaan

Pajajaran, sebagai tindakan untuk melumpuhkan kekuatan dan kekuasaan

Pajajaran Dadi mampet pajeg tarasi ning Pajajaran.9 Pemboikotan pajak dari

Cirebon menimbulkan berkurangnya devisa untuk ekonomi dan kestabilan politik

Pajajaran, terbukti dari Pajajaran mengirimkan misi khusus untuk menyelidiki pemboikotan pajak itu, Ratoe Padjadjaran angoetoes ing daeta, mriksa ingkang mawi mampet in padjegan.10

Pajajaran dan Portugis tidak menyadari bahwa dengan adanya perjanjian yang mereka buat mengundang gerakan Islam untuk lebih cepat dan giat berjuang untuk mendorong orang-orang Muslim lebih cepat menguasai wilayah-wilayah strategis Pajajaran, sebelum Portugis melaksanakan niatnya dan mengambil alih

Sunda Kalapa. Dari Perjanjian yang disepakati antara Portugis dan Pajajaran

8 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Rodrigues., hal: 232-276.. 9 Lihat J.L.A. Brandes, Babaad Tjerbon, V.B.G. LIX, (Batavia: 1911), hal. 80. Dien Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi., hal: 79. 10 Dien Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi., hal: 80. 43

tersebut menambah kegelisahan Kerajaan Islam Demak dan pemuka-pemuka

Islam di Cirebon. Maka sebagai bentuk membalasan terhadap bentuk perjanjian tersebut, umat Islam yang datang dari Demak serta yang berada di Cirebon merubah sistem dakwahnya dan memasukkan unsur-unsur politik di dalamnya.

Perubahan politik bertujuan untuk membatasi kegiatan dan melumpuhkan sumber kehidupan suatu lawan yang akan diserang, sehingga bisa fokus dalam memperkuat barisan Islam dengan latihan-latihan ketahanan fisik dan mental.

Pelabuhan-pelabuhan menjadi sasaran utama bagi umat Islam, terutama Sunda

Kelapa yang berada diambang kekuasaan Portugis. Sebelum menguasai Sunda

Kalapa, terlebih dahulu umat Islam bergerak untuk menguasai Pelabuhan Banten, karena umat Islam melihat kedudukan Banten sebagai tempat yang strategis dan merupakan pintu gerbang di pantai Utara Jawa Barat. Pelabuhan Banten merupakan salah satu pelabuhan yang ramai dan bertambah maju setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511). Kemajuan Banten juga dikarenakan oleh saudagar-saudagar Muslim yang melakukan kegiatan berdagang di Malaka membalikkan arah pelayarannya, dengan jalan menyusuri pantai Barat pulau

Sumatera, melintasi Selat Sunda. Dari sinilah yang menyebabkan umat Islam memilih Pelabuhan Banten sebagai pelabuhan pertama yang ditaklukkan dan pada tahun1526 dengan kekuatan sekitar 2000 tentara gabungan Cirebon dan Demak,

Pelabuhan Banten berhasil dengan mudah dikuasai umat Islam.

Selanjutnya, pasukan gabungan antara Banten, Cirebon dan Demak bergerak menuju ke bandar Sunda Kalapa dan dapat menaklukan bandar tersebut 44

tahun 1527, sebelum Portugis mendirikan bentengnya.11 Usaha Portugis untuk menguasai Sunda Kalapa sia-sia. Sebelum sampai di tempat tujuan, di bawah pimpinan Francisco de Sa‟ kapalnya terdampar di pantai Utara Jawa Barat12 dan yang lainnya dapat dikalahkan dengan kekuatan tentara yang relatif lebih banyak, dalam diri mereka juga terdapat semangat juang yang tinggi dan diilhami ajaran

Islam. Kehadiran umat Islam di Sunda Kalapa selain untuk menguasai perdagangan, juga untuk melanjutkan tabligh Islam dengan melibatkan Pangeran

Surasa (dari Cirebon) atau ratu Zainab (adik Flatehan) untuk melakukan dakwah

Islamiyah. Kemenangan menguasai Sunda Kalapa atas Portugis sekaligus mendorong keinginan Fatahillah mengganti nama Sunda Kalapa menjadi

Jayakarta. Menurut Sukanto, peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527.13

Setelah Sunda Kalapa dikuasai oleh Fatahillah, kemudian ia ditetapkan menjadi Pangeran mewakili Cirebon di Jayakarta (sebutan baru Sunda Kalapa) dan pada tahun 1530, ia di utus untuk menjadi penguasa Cirebon menggantikan

Pangeran Pasarean yang telah mengikuti jejak ayahnya Sunan Gunung Jati yangtelah turun tahta untuk mengajarkan Islam di daerah Sunda yang kebanyakan masih menganut agama Hindu. Sementara yang menggantikan Fatahillah di

Jayakarta adalah Ratu Bagus Angke.

Untuk mempererat hubungan antara Banten dengan Jayakarta sebagai daerah bawahannya maka putri Hasanuddin, penguasa Banten, yaitu ratu

11 Dien Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi., hal: 80. 12 Dien Madjid, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi., hal: 80. 13 Sukanto, Dari Jakarta ke Jakarta, Sejarah Ibukota kita, (Jakarta: 1954). Lihat juga Abdurrachman Surjomiharjo, Pemekaran Kota Jakarta, (Djambatan: 1977), hal. II. 45

Pembayun dinikahkan dengan Tubagus Angke. Dalam politik, dari cara pemerintahan inilah dapat diketahui bagaimana cara pembagian kekuasaan

(distribution of power) pada masa itu. Pengangkatan Tubagus Angke itu adalah sistem patrimonial atau kebapaan dan clientship atau kekerabatan. Pengangkatan itu erat hubungannya dengan sistem kekeluargaan karena sebagai menantu Syarif

Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang mendapat perintah untuk menguasai

Sunda di Jawa Barat.14

Jauh sebelum ketadangan Portugis pada abad XVI M, pelabuhan Sunda

Kalapa sudah banyak didatangi kapal-kapal yang berlayar berbagai penjuru negeri. Kedatangan kapal-kapal ini tidak hanya untuk kepentingan perdagangan saja, melainkan sebagai salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam, seperti yang dilakukan negara-negara di Timur-Tengah pada abad XIII M, dalam pelayarannya ke Nusantara selain untuk berdagang, para pedagangnya juga memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam.15 Karena, dalam perjalanan jalur laut yang menyusuri Pantai Timur Sumatra melalui Laut Jawa ke Nusantara bagian Timur Jauh sudah ditempuh sejak zaman dahulu oleh para pedagang yang telah beragama Islam, dalam perjalanannya mereka singgah di berbagai tempat, karena pusat-pusat pemukiman di Pantai Utara Jawa lebih strategis untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam.

Adapun seorang yang terkenal dan tertua di antara para penyebar agama

Islam di Pulau Jawa adalah Raden Rahmat dari Ngampel Delta. Ia diberi nama sesuai kampung halamannya yaitu Sunan Ampel. Sejak dahulu dalam hal

14 Dien Madjid, 1995, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah Diskusi., hal: 81-82. 15 Anwar Ibrahim, dkk., Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 78-79. 46

pelayaran dan perdagangan di Jawa Timur, Raden Rahmat telah berhubungan dagang dengan tokoh dari Negeri Campa.16 Setelah melihat Raden rahmat bersama putera seorang da‟i Arab di Campa, seorang pedagang Muslim memperoleh kesempatan baik di istana Majapahit. Kemudian kabar itu menyebar luas, Raden Rahmat memegang peran penting dalam aspek perniagaan besar yang sangat penting dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan dipandang sebagai pemimpin wali sanga yang diberi gelar Sunan ampel.

Sejarah Campa disebut di dalam Hikayat Hasanudin versi Banten. Dalam hikayat tersebut, bahwa Kerajaan Campa (Kamboja) sudah ditaklukan oleh „Raja

Koci‟ Campa, akibat adanya serangan Cina terhadap Vietnam pada tahun 1471.

Para pedagang muslim melarikan diri mencari dukungan dan perlindungan, mereka melalui jalan laut sebagai jalan utamanya dan menyusuri selat Sunda dan dilanjutkan ke Pantai Utara Jawa, setelah perjalanan pelayaran dan perdagangannya hingga diluruskan ke daerah yang dituju yaitu Surabaya. Mereka berkumpul di tempat tinggal Raden Rahmat yang berpusat di daerah Ngampel

Delta.17 Karena itu, bagian Timur Pulau Jawa menjadi persimpangan jalur laut, berhubungan dengan Gujarat maupun indo-cina, sebagai petunjuk bahwa telah ada golongan menengah kaum pedagang yang melewati jalur itu.

Dalam bukunya H.J. De Graaf dan Th.G. Th. Pigeaud, yang berjudul

Kerajaan-Kerajaan Islam di Pertama Jawa: Kajian Sejarah Politik abad XV dan

XVI, menjelaskan:

16 H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama: Kajian Sejarah Politik Abad XV dan XVI, seri terjemahan, (Jakarta: Grafie Pers, 1986), hal. 23. 17 H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama: Kajian Sejarah Politik Abad XV dan XVI., hal. 23. 47

,18 mendapatkan perhatian secara khusus bahwa pada abad XIV dan awal abad XV, bukan hanya orang-orang Jawa yang berpengaruh besar terhadap pedagang Muslim yang hadirkan jalan lintas menuju pedalaman, melainkan yang menjadi pengaruhnya ialah mereka yang berasal dari keluarga pedagang Cina (Indocina), yang sejatinya mempunyai misi berdagang dan mengislamkan penduduk setempat baik perorangan maupun kelompok. Dalam tradisi Jawa, diungkapkan ada seorang adi pati, bawahan raja di Terung (Sungai Brantas) telah memiliki darah keluarga Cina, yang melantik menjadi Imam pertama di Masjid tua di Ngampel Delta. Dapat dilihat bahwasannya telah ada hubungan Islam antar golongan menengah, dengan diikuti pedagang- pedagang yang beragama Islam, yang telah memilih jalan laut sebagai jalan utamanya dan seringkali pedagang Cina diikutsertakan guna menyusuri Laut Cina Selatan hingga yang di tuju ke arah Laut Jawa dan menetap di Jawa Timur.”

Berbeda dengan Tome Pires yang merupakan seorang apoteker Lisabon yang dikirim ke India sebagai agen obat-obatan, ia bekerja selama satu tahun di

Cannanoree dan di Cochin Pantai Barat India Selatan, kemudian ia naik pangkat dan dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟ Albuqurque, dan melakukan perjalanan ke

Pantai Utara Jawa selama beberapa bulan. Dalam perjalanan Tome Pires ke Jawa

Tengah, wilayah Demak merupakan wilayah yang strategis, karena diduga telah ada hubungan dengan para pedagang Muslim yang berlayar dan berdagang dari

Semarang hingga ke arah Rembang, dengan membawa misi untuk berdagang dan mendakwahkan agama Islam.

Sejak masa awal kepemimpinan Raden Patah yang mengawali penyebaran agama Islam di Jawa Tengah melalui kegiatan dagang. Raden Patah mulai berlayar mengelilingi Pantai Jawa Barat yaitu ke arah Cirebon, untuk melawan orang-orang kafir yang ada di sana. Setelah di Cirebon, ia diberi gelar pate yang

18 H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama: Kajian Sejarah Politik Abad XV dan XVI., hal. 23. 48

diterjemahkan sebagai tuannya dan ia berkuasa secara penuh atas wilayah Cirebon tahun 1470-1475.19 Karena iatelah mengadakan penyerbuan atas perlawanan- perlawanan dan telah mengalahkan Palembang (Sumatra Selatan), dan Jambi

(Provinsi Jambi) di Sumatra.

“Menurut Tome Pires, pada tahun 1513 telah ada bentuk hubungan dagang dengan pedagang Muslim yang berpusat di Pantai Utara Jawa. Menurutnya, bahwa yang memegang kekuasaan di Cirebon adalah seorang lebe‟ Uca atau yang bernama Husain jadi patih dari Demak. Tome Pires juga menuliskan tentang Gresik elle veio teer a Dema, yang menjelaskan secara utuh bahwa telah ada hubungan dagang di Nusantara dan keislaman di Gresik, yang menjadi pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.20”

Di tempat lain, menurut cerita Aria Damang, yaitu cerita yang berasal dari

Palembang, disebutkan bahwa yang menjadi raja Demak pertama adalah Raden

Patah. Sementara dalam naskah cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, diceritakan tentang raja Demak yang disebut sebagai Sabrang-Lor, yang diterjemahkan sebagai tempat tinggalnya „di Seberang Utara‟ (Demak). Sabrang

Lor berlayar menyebrang ke Utara atau ke Malaka,yang mempunyai armada sebanyak 40 kapal jung yang kesemuanya itu, berasal dari kekuatan orang-orang

Muslim sebagai daerah-daerah taklukan Jepara.21 Sementara itu, dalam pandangan

Slamet Muljana, Raden Patah adalah sebagian walisongo yang merupakan tokoh

19 Armando Cortesao (edo), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues., hal. 232-276. 20 Tome Pires adalah seorang apoteker Lisabon yang dikirim ke India sebagai agen obat- obatan, saat ia berusia 40 tahun. Sesudah bekerja kurang lebih setahun di Cannanoree dan di Cochin di Pantai Barat India Selatan, kemudian dia naik pangkat setelah dikirim ke Malaka oleh Alfonso d‟ Albuqurque. Sewaktu ditempatkan di Malaka, ia melakukan perjalanan ke Pantai Utara Jawa selama beberapa bulan. Kemudian pada tahun 1515, ia kembali lagi ke Cochin untuk menyelesaikan bukunya yang berjudul „The Suma Oriental of Tome Pires‟. Lihat Armando Cortesao (ed), 2015, Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues., hal: 257-259. 21 H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama: Kajian Sejarah Politik Abad XV dan XVI., hal. 23. 49

penyebaran Islam di Pulau Jawa. Ia merupakan keturunan pedagang Cina Muslim.

Oleh karena itu, Kerajaan Demak tidak bisa dilepaskan dari peran pedagang Cina

Muslim yang telah membentuk simpul-simpul keislaman. Raden Patah merupakan pengusa pertama Demak yang bergelar „Jin Bun‟.22

Selain ada Raden Patah di Demak, ada juga Pate Unus di Jepara. Pate Unus adalah penguasa di wilayah Jepara yang berperan penting sebagai pemegang kota

Pelabuhan Jepara. Ia memiliki peran penting dalam berdagang dan menyebarkan agama Islam, sekaligus membentuk budaya ke-Islaman antara wilayah Jepara dengan Demak. Pate Unus juga mendapatkan kekuasaan untukke-Islaman di wilayah Jepara karena dakwahnya yang mnyebar luas sampai ke seberang lautan

Jepara yaitu Demak.23 Hal ini berhubungan dengan kota-kota pelabuhan lainya di

Jawa pada abad XV dan pada awal abad XVI, karena diduga telah ada hubungan dagang jarak dekat dan hubungan dagang jarak jauh dalam berlayar untuk membentuk ke-Islaman di Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Tuban, Surabaya,

Aros Baya, Wiraba dan Pasuruan.

Sejak tahun 1521, Sultan Trenggana yaitu anak dari Raden Patah sudah mendakwahkan agama Islam atau menyebarkan agama Islam yang dilakukan di seluruh wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, meliputi: Cirebon,

Sunda Kalapa (Jakarta), dan Banten.24 Kemudian pada tahun 1542, Nurullah atau yang lebih dikenal Sunan Gunung Jati yang merupakan saudara dari Sultan

22 Lihat Tulisan Munawir Aziz yang berjudul Jejak Cheng Ho, Antitesis Benturan Peradaban dalam harian Kompas, (Minggu, 17-10-2010), hal. 22. 23 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues., hal: 260. 24 H. J de Graaf dan Th. G. Th. Pigueaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama: Kajian Sejarah Politik Abad XV dan XVI., hal. 23-79. 50

Trenggana, berlayar ke arah Demak menyusuri Pantai Jawa Barat dan Banten. Hal ini bertujuan untuk mendirikan komunitas muslim di wilayah Kerajaan Sunda

Pajajaran.

Demikian jalan penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Agama Islam tidak datang secara bersamaan di wilayah-wilayah yang ada di Pulau Jawa, namun memiliki keerkaitan satu dengan yang lainnya. Dimana Raden Patah, Nurullah,

Pate Unus dan Sunan Ampel merupakan tokoh-tokoh dari Wali Sanga yang mempunyai tugas untuk menyebarkan Agama Islam melalui kegiatan berdagang di Pulau Jawa dan sekitarnya.

B. Pasang Surut Dinamika Politik

Pada zaman Dinasti Ming, sekitar abad XIV, peningkatan akan kebutuhan barang-barang mewah terbesar di Nusantara terjadi pada masa Kerajaan

Majapahit. Barang mewah tersebut antara lain sutera dan porselin dari Cina.

Untuk bisa mendapatka barang kebutuhan itu, maka dikirim utusan khusus dengan gelar Arya atau Patih untuk melakukan perdagangan diplomatik dengan Cina.

Ekonomi perdagangan tersebut meningkat lebih pesat lagi ketika ada misi perjalanan Cina yang dipimpin Zheng He (Cheng Ho) yang diutus oleh Kaisar

Yongle dari Dinasti Ming untuk memperluas pengaruh Ming di luar perbatasan

Cina yang berlangsung antara tahun 1405-1433 M.25

Misi tersebut akhirnya memunculkan kota-kota pelabuhan di sepanjang

Pantai Utara Jawa yang terbentuk akibat adanya perdagangan, sehingga menambah keramaian arus perdagangan di Pulau Jawa dan sekitarnya pada abad

25 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 83-86. 51

XV. Sejak berdirinya Kerajaan Demak,26 yang merupakan emporium pada abad

XV dan XVI, dan berhasil mengadakan hubungan ekonomi-perdagangan secara langsung maupun tidak langsung dengan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang

Pantai Utara Jawa. Demak telah menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung dari aktivitas berlayar dan berdagang atau transito antara daerah- daerah yang berpenghasilan rempah-rempah di Nusantara bagaian Barat dengan

Malaka, dan sebagian besar ke pasar-pasar di Nusantara. Oleh karena itu, timbullah keinginan Demak untuk menggantikan kedudukan Malaka sebagai pusat perdagangan dalam negeri hingga ke luar negeri. Untuk mencapai tujuannya itu, Demak terlebih dahulu mengusir bangsa Portugis yang berkuasa penuh di

Malaka sejak tahun 1511. Pada tahun1513, Demak mengerahkan armada dagangnya untuk menyerang Portugis di Malaka, di bawah pimpinan Pati Unus, tetapi penyerangannya gagal total.

Kemudian, ekonomi-perdagangan Kerajaan Demak dapat berkembang pada masa kekuasaan Sultan Trenggana dan selalu diramaikan dalam kegiatan aktivitas berlayar dan berdagang dalam hal ekonomi-perdagangan dari dalam negeri sampai ke luar negeri. Hal ini didukung dari penghasilan utamanya yang menjual berbagai macam jenis tumbuhan, seperti: beras, jagung, gula, terutama lada dan rempah-rempah yang kemudian dikirim ke Jawa Barat.27 Beberapa saudagar

Palembang ikut berdagang ke tempat ini, dengan membawa berbagai macam

26 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. citumbuhatSejarah Nasinoal Indonesia, Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indnoesia., hal. 35. 27 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op. citSejarah Nasional Indonesia, Jilid III: Zamano Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia., hal. 35. 52

barang dagangan. Barang dagangan tersebut kemudian ditukar kembali dengan kain belacu yang berasal dari India. Pertukaran barang dagangan tersebut juga terjadi di Semenanjung Malaya (Melayu), yang memanfaatkan waktunya dan memainkan kegiatan perdagangannya itu di Malaka dengan masyarakat yang datang dari Pulai Jawa. Perdagangan antara Malaka dengan Pulau Jawa yang dibantu melalui pelabuhan Sunda Kalapa semakin erat terlebih dengan munculnya kota-kota pelabuhan di Pulau Jawa seperti Banten, Jepara, Cirebon, Gresik, dan

Tuban sebagai penghasil beras.28

Dengan demikian ekonomi perdagangan di Nusantara memperlihatkan situasi persaingan dagang yang semakin pesat dan selalu diramaikan dengan banyaknya para pedagang-pedagang asing, seperti: Gujarat, Persia, Cina, Turki,

Pegu, Birma atau Myanmar, Keling, Protugis dan lain sebagainya, yang dipusatkan di Pulau Jawa. Demikian juga para pedagang seperti: Patih Adam,

Patih Kadir, Patih Yusoff, Pati Unus dan Utimutiraja yang ikut berdagang melalui jalur laut menuju Demak.

„Selain itu, terdapat penerapan unsur Melayu-Jawa dalam berdagang yang dapat dilihat di dalam tradisi sastra budaya Sejarah Melayu dan Hikayat Hang

Tuah.‟29 Dahulu rempah-rempah diangkut dari „Maluku Utara ke Hitu dan Banda serta Pelabuhan Gresik yang dijalankan oleh Sultan Giri semenjak menjalin hubungan dagang dengan dua hulu ini, agar membentuk suatu persekutuan dagang

28 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari Emporium Sampai Imperium, (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 3-4. 29 Anthony Reid, Sejarah Mdern Awal Asia Tenoggara., hal. 218-223. 53

di Pulau Jawa.‟30Sejak saat itu, kegiatan perdagangan menjadi pesat oleh kedatangan para pedagang dari luar negeri untuk berdagang dan bertransaksi, hal ini menjadikan barang-barang dagangan semakin banyak di Pulau Jawa. Kegiatan ini memberikan dampak positif dan membawa angin segar bagi pelabuhan- pelabuhan di sepanjang Utara Jawa, karena pelabuhan-pelabuhan tersebut semakin dipadati oleh transaksi-transaksi para pedagang dari dan ke arah Malaka yang kemudian mereka kembali ke Pulau Jawa.31

Dari Jawa mereka terus meluaskan pengaruhnya ke arah kepulauan rempah- rempah, yaitu Maluku. Dari Maluku Utara ke Hitu kemudian ke Banda mereka membawa rempah-rempah seperti pala dan cengkeh. Para pedagang harus menempuh jalan secara bertahap dan memakan waktu yang lama. Dalam perjalannya tersebut, mereka membawa rempah-rempah itu ke bagian Barat

Indonesia, tepatnya ke arah pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pantai Utara Jawa.32

Pada abad XV, Demak dan Malaka telah berhasil menjadi pusat utama lalu-lintas pelayaran dan perdagangan rempah-rempah sampai para pedagang dapat menukarkan barang dagangan yang dibeli dari Jawa, Malaka dan Maluku.33

Hal ini, diperjelas dalam bukunya Anthony Reid Asia Tenggara Dalam

Kurun Niaga 1450-1680:

“Bahkan di sepanjang Pantai Utara Jawa, di provinsi Jawa Tengah terdapat kota Jepara sebagai pemasok beras untuk ke Malaka. Untuk daerah ini mengirimkan beras sampai lima jung (sekitar 15.000, yang

30 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad XVI-XVII, (Depok: Komunitas Bambu, 2009), hal. 41. 31 Armando Cortesao (ed), 2015, op. citSuma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cinoa dan Buku Francisco Rodrigues., hal. 232-276. 32 Adrian B. Lapian, op. citPelayarano dan Perniagaan Nusantara Abad XVI-XVII., hal. 41. 33 Wilayah Maluku meliputi: Ternate, Tidore, Bacan, Hitu sampai di Kepulauan Banda. 54

merupakan jumlah beras yang dipasok dari Pulau Jawa setiap tahunnya pada awal abad XVI. Jepara juga merupakan pemasok beras utama ke Banjarmasin, Maluku, dan kota-kota pelabuhan besar (Banten dan Jakarta-Batavia).”34

Kebangkitan ekonomi-perdagangan di Pulau Jawa merupakan sumbangan besar dari Malaka ke arah kebangkitan dan kemajuan pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Utara Pulau Jawa pada penghujung abad XVI, termasuk Demak,

Cirebon, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Tuban dan daerah-daerah sekitarnya. Kota-kota pelabuhan tersebut telah memberikan warna tersendiri bagi kemajuan ekonomi-perdagangan di Pulau Jawa. Pada saat itu, Sultan Trenggana telah menggunakan hak atas perluasan Banten setelah melakukan perjalanan berlayarnya ke arah Banten. Hal ini terjadi dikarenakan ekonomi-perdagangan pada saat itu telah tumbuh dan berkembang setiap harinya dalam melakukan transaksi beras, rempah-rempah, dan bentuk perdagangan lainnya. Bahkan Sultan

Trenggana juga memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Demak sampai ke wilayah Jawa Barat (Banten, Sunda Kalapa, Cirebon), Jawa Tengah dan Jawa

Timur.35

Di Jawa Barat, Demak mendukung pertumbuhan Banten dan Cirebon.

Sehingga pada abad XV, Cirebon telah berhasil dikuasai Demak dan masyarakatnya menganut agama Islam, tetapi masa kejayaan Cirebon ini dari beberapa catatan selalu dihubungkan dengan Sunan Gunung Jati (wafat

1570).Sunan Gunung Jati juga telah berhasil menguasai Banten dan menjadi

34 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 145-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hal. 27. 35 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagiano II: Jaringan Asia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 52. 55

penguasa lokal. Ia berhasil merebut pelabuhan utama Pajajaran, yaitu Sunda

Kalapa. Setelah menaklukkan wilayah Jawa Barat, Sunan Gunung Jati (yang diberi nama Fatahillah atau Tagaril) menjadi pemegang kekuasaan dan perdagangan besar Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten. „Pada abad

XVI,Banten menjadi bandar perdagangan terpenting dan semakin pesat berkat perjualan barang dagangan, yaitu rempah-rempah dengan kualitas tinggi, seperti: lada, asam, cengkeh dan kayu manis. Masyarakat daerah Banten telah berhasil diislamkan oleh Sunan Gunung Jati atau Fatahillah. Sejak saat itu, Banten berkembang sebagai bandar perdagangan dan sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.‟36

Faktor-faktor yang mendukung perkembangan Banten sebagai pusat kerajaan Islam dan pusat perdagangan, adalah sebagai berikut:

1. Banten terletak di Teluk Banten dan pelabuhan terlindungi oleh Pulau

Panjang, sehingga bagus sekali menjadi pelabuhan.

2. Kedudukan Banten yang strategis di tepi Selat Sunda menyebabkan

karena aktivitas yang tinggi untuk berlayar dan berdagang dari kalangan

pedagang Islam dan pedagan asing, dan selalu diramaikan sejak Portugis

berkuasa di Malaka.

3. Banten telah memiliki bahan ekspor yang begitu penting, yaitu: lada.

Sehingga dapat menjadi dayatarik yang kuat bagi pedagang-pedagang

asing, seperti: Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu, Birma atau Myanmar,

Keling, Portugis dan lain-lain.

36 Nina H Lubis, Banten dalam Pergemulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 26-27. 56

4. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong pedagang-pedagang

mencari jalan baru melalui Selat Sunda hingga kemudian ke Banten dan

menjadikan Banten sebagai salah satu pusat perdaganga di Jawa Barat di

samping Cirebon.37

Dengan demikian, saat Fatahillah atau Sunan Gunung Jati sedang membangun kota itu, kegiatan berlayar dan berdagang mempunyai peranan penting sebagai pemilik kapal dagang dan barang dagangannya, sekaligus pemegang uang atau harta yang melimpah. Para pedagang Arab, Persia, maupun

India ikut berdatangan dan menambah jumlah pedagang yang meramaikan bentuk pertukaran barang dagangan. Hal ini disebabkan oleh faktor jual belikain sutra, pala, rempah-rempah atau hasil agraris dan hasil lainnya.38

Kegiatan ekonomi-perdagangan di Pantai Utara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, lebih banyak ditentukan pada masa Sultan Trenggana. Setelah

Fatahillah berperan secara aktif di Kerajaan Cirebon dan mendapatkan bantuan dari pihak Kerajaan Demak (Trenggana). Fatahillah telah berhasil mematahkan hegemoni atas ekonomi-perdagangan.39 Atas wilayah taklukannya yang meliputi daratan dan lautan, sehingga sangat erat hubungannya dengan para pedagang di

Jawa Barat.

37 Armando Cortesao (ed), Suma Orienotal karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues.,hal. 232-276. Lihat M. C. Ricklefs, 2004, op. citSejarah Modern Awal Asia Tenggara., hal. 56-57. 38 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi., hal. 13-19. 39 Daerah Jawa Barat telah ditaklukan oleh Demak, terbukti dengan keterangan Urdaneta yang dalam perjalannya pulang ke tanah Maluku singgah di Panarukan pada tahun 1535, ia melaporkan bahwa raja Demak yang Moor (Islam) adalah raja yang paling berkuasa di Jawa, atas lada dari Sunda. Lihat Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues., hal: 232-276. 57

Pada awal abad XVI, di Sunda Kalapa telah ada pelayaran Eropa yang pertama kali dengan memakai empat kapal Protugis di bawah pimpinan Jorge d‟

Albouerqe „de Alvin‟ dalam misinya mencari rempah-rempah di wilayah

Nusantara dengan menyusuri laut Asia. Hal ini didukung oleh Portugis semenjak keberadaannya di Sunda Kalapa (Bandar Kelapa).40

Dalam catatan Tome Pires, yang menjadi salah satu bentuk pelayaran dan perdagangan adalah karena Banten dan Sunda Kalapa telah memainkan peranan penting yang didukung sebuah bandar Pelabuhan dan dibantu oleh beberapa pelabuhan lainnya. Sekarang Sunda Kalapa merupakan sebuah bandar terpenting pada masa Kerajaan Cirebon. Setelah Fatahillah memegang peranannya, Sunda

Kalapa dijadikan sebagai bandar pelabuhan yang pesat dan diramaikan dengan kedatangan barang-barang dagangan yang diangkut oleh kapal-kapal dagang dan perahu-perahu dagang yang mendarat di Sunda Kalapa.41

C. Hubungan Cirebon dan Sunda Kalapa sebagai Mitra Kerja

Sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Cirebon dan Sunda Kalapa berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Hal ini menjadikan kedua kota ini memiliki hubungan satu sama lain dalam kegiatan perdagangan untuk saling memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Cirebon memang sebuah kota yang tidak dapat di pisahkan dari citranya sebagai Kota Pelabuhan. Karna sejak awal kehidupan peraian sudah melekat

40 Adolf Heuken SJ, Dokumen-Dokumen Sejarah Jakarta sampai dengan Akhir Abad ke XVI, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1999), hal. 74. 41 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francico Rodrigues., hal: 232-276. Lihat Agus Ridwiyanto, Batavia Sebagai Kota Dagang pada Abad XVII-XVIII, (Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 18-40. 58

dengan kota ini.42 Kota-kota pelabuhan biasanya berperan sebagai pusat ekonomi di wilayahnya, dengan fungsi sebagai jalur impor dan ekspor ke arah pedalaman yang terpencil. Menurut T.D. Sudjana, terbentuknya pelabuhan sangat dimungkinkan dengan adanya kebutuhan: jasa angkutan, berkenaan dengan adanya arus perdagangan melalui transportasi kelautan. Menurut pendapat itu, suatu pelabuhan minimal harus memenuhi tiga kriteria dasar yang harus berlangsung dan berlanjut, yaitu:

1. Adanya hubungan antara pasar dunia dengan pasar domestik.

2. Adanya hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman dalam

konteks keluar masuknya barang, terbentuknya jalur transportasi dan

terbentuknya pusat-pusat pengumpulan barang dagangan di tempat-

tempat tertentu.

3. Hubungan antara kegiatan pelabuhan dengan pembentukan kota

pelabuhan itu sendiri.43

Sama halnya dengan Cirebon, sebagai kota pelabuhan Cirebon merupakan tempat yang menghubungkan dua dunia, yaitu: daratan dan lautan. Dari sudut ekonomi, pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai tempat menampung surplus dari wilayah pedalaman untuk didistribusikan ke tempat-tempat lain yang membutuhkan. Pelabuhan Cirebon juga berfungsi sebagai tempat penampungan

42 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera., hal. 47. 43 Lihat T.D. Sudjana, “Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang” Makalah Diskusi Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra., (Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek IDSN, 1996), hal. 1. 59

barang-barang dari tempat-tempat lain yang tidak dapat dihasilkan oleh wilayah pedalaman dan juga sangat dibutuhkan.44

Sedangkan menurut Sedyawati dan Adrian B. Lapian:

“Bahwa suatu pusat pemukiman yang disebut kota pada dasarnya bukanlah suatu unit yang bisa menghidupi dirinya sendiri. Bahwa kota ditandai oleh penduduk yang terutama bekerja di sektor non pertanian memberi arti bahwa kehidupan kota hanya dapat di mengerti dalam kaitannya dengan pusat-pusat pemasok bahan mentah di wilayah belakangnya.”45

Adapun kebutuhan timbal-balik itu membuat pelabuhan dan pedalaman berada pada posisi yang saling membutuhkan, satu dengan yang lainnya saling menopang. Untuk itu sarana dan prasarana transportasi dibangun agar memudahkan arus barang baik dari pelabuhan maupun menuju ke pelabuhan.

Menurut Tome Pires, hubungan ke daerah pedalaman terjalin melalui sungai dan jalan darat. Bahwa sungai di Cirebon berperan sebagai jalan lalu lintas yang dapat di layari perahu atau kapal ke arah pedalaman.

Pelabuhan Cirebon memang didukung oleh wilayah pedalaman yang dapat diandalkan sebagai pemasok bahan-bahan pertanian. Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon merupakan wilayah penyangga yang tanahnya subur dan terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi, serta daerah pegunungan yang memiliki beberapa gunung berapi. Dari wilayah di atas dihasilkan produksi pertanian dalam jumlah yang besar, seperti sayur-mayur, buah-buahan, macam-macam daging, juga yang terutama padi dan tarum atau indigo. Di samping itu, kayu juga menjadi

44 Adeng dkk,1998, op, citKota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera., hal. 52. 45 Edi Sedyawati dan Adrian B. Lapian, Peranan Politik Bandar Cirebon: Makalah Diskusi Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1995/1996), hal. 5. 60

barang komoditi ekspor yang banyak dihasilkan dari daerah ini. Dari produksi pertanian ini, Cirebon menjadi pelabuhan yang ramai karena hasil pertanian ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat internasional. Fakta ini menjadikan Cirebon sebagai salah satu penghasil beras di Jawa.46

Dengan adanya para pedagang dari manca negara ke pelabuhan Cirebon, maka banyak pula permintaan barang-barang yang keluar masuk Cirebon. Barang- barang itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah pedalaman, karena masyarakat pedalaman tidak dapat memproduksi barang-barang tersebut. Adapun barang-barang tersebut meliputi: barang-barang yang asing dan menarik, yang pasti barang-barang tersebut belum dapat diproduksi oleh masyarakat di pedesaan, seperti: logam besi, emas, perak, serta tekstil halus seperti sutera dan barang- barang keramik halus. Di samping barang-barang impor, ada juga barang produksi khas daerah pantai yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedalaman, yaitu garam, terasi dan ikan asin.47

Perkembangan pelabuhan Cirebon di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, Cirebon bertindak sebagai penyedia barang kebutuhan bekal perjalanan kapal. Di samping itu, Cirebon juga mengekspor beras ke Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis. Kedua, Cirebon telah menjadi tempat bermukimnya para pedagang besar. Setelah Portugis menguasai Malaka, berberapa pedagang mulai berpindah ke pelabuhan Islam lainnya, termasuk

Cirebon. Tome Pires48 memperikrakan bahwa penduduk Cirebon sekitar 1000

46 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera., hal. 53. 47 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera., hal. 53-54. 48 Armando Cortesao (ed), 2015, Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues., hal. 232-276. 61

orang. Di kota pelabuhan tersebut tinggal kurang lebih 7 orang pedagang besar, satu di antaranya Pate Quedir yaitu seorang bangsawan pedagang yang pernah menjadi kepala perkampungan Jawa di Malaka, kemudian diusir oleh tentara

Portugis karena dituduh berkomplot dengan tentara Demak yang menyerbu

Malaka.

Sebelum dikuasai oleh Belanda, pelabuhan Cirebon memiliki peranan sebagai pusat perdagangan yang cukup besar. Pelabuhan ini memiliki hubungan dagang dengan Sunda Kelapa. Tome Pires menginformasikan cukup detail mengenai aktivitas pelabuhan Cirebon dengan Sunda Kalapa. Barang-barang yang dibongkar di Sunda Kalapa berasal dari Cirebon, seperti: beras, padi, lada, kayu jati, gula merah, tembakau, minyak kelapa, ikan, garam, bawang merah, bawang putih, kelapa, buah pinang, panas, sapi, kambing, kulit kerbau, kulit rusa, tembikar, rotan dan sebagainya. Barang-barang ini tidak semuanya diproduksi oleh Cirebon, tetapi juga berasal dari pelabuhan di sekitarnya, seperti Pekalongan dan Tegal, juga pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur dan Madura serta dari

Palembang.Sebaliknya dari pelabuhan-pelabuhan lain, khususnya dari Sunda

Kalapa, pelabuhan Cirebon mengimpor pakaian, candu, arak, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi tua, panci besi dan perunggu Jepang.49

49 Armando Cortesao (ed), Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues., hal. 232-276.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan terdahulu, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Cirebon dan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang dikuasai oleh

kerajaan Sunda Pajajaran. Kedua pelabuhan ini saling menghubungkan satu

dengan yang lainnya. Karena barang-barang komoditi yang dihasilkan oleh

daerah pedalaman dikumpulkan di Sunda Kalapa dan kemudian di lanjutkan

ke pelabuhan-pelabuhan lainnya yang ada di Nusantara.

2. Adanya barang-barang komoditi yang dihasilkan oleh bumi Cirebon dan

Sunda Kalapa, menjadikan kedua daerah ini dapat mengekspor hasil

pertanian dan alam mereka ke luar daerah untuk dapat memenuhi kebutuhan

masyarakatnya. Cirebon yang terkenal dengan hasil garam, terasi dan udang,

sedangkan Sunda Kalapa terkenal dengan tumbuhan kelapa di sekitar

pelabuhan tersebut, juga beras dan lada. Cirebon dan Sunda Kalapa juga

mengimpor barang-barang yang tidak bisa dihasilkan sendiri, seperti

keramik dari Cina dan belacu dari Kelling.

3. Fatahillah datang ke Cirebon untuk menguasai daerah tersebut dengan

bantuan Kerajaan Demak dan menyebarkan agama Islam. Kemudian, Demak

dan Cirebon bersatu untuk menguasai Banten dan Sunda Kalapa. Pada saat

itu, penguasa Sunda Kelapa membuat kesepakatan dengan Portugis agar

Sunda Kalapa terlindungi oleh pasukan dari Banten. Namun, saat Portugis

62 63

datang, Sunda Kalapa sudah dikuasai oleh kaum Muslim dibawah pimpinan

Fatahillah.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini (skripsi) masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis mengharapkan masukan (saran) dan kritik untuk menyimpulan karya ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdurahman, Dudung,MetodePenelitianSejarah, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).

Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, (Jakarta: CV. Eka

Darma, 1998).

Ahmad, Taufik, Jakarta Berawal dari Pelayaran dan Pelabuhan, (Jakarta:

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman,

Museum Bahari, 2008).

Alwi bin Tahir al-Haddad, Sejed, Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh, terj.

Dzija Shahab, (Jakarta: Al-Maktab al-Daimi, 1957).

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan

Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, 1986).

Atja dan Ayatrohaedi, Nagarakertabumi, (Bandung: Direktorat Jendral Kebudayaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Aziz, Munawir Aziz, Jejak Cheng Ho, Antitesis Benturan Peradaban dalam harian

Kompas, (Minggu, 17-10-2010).

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur-Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia, edisi ke-3, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2007).

B. Lapian, Adrian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad XVI-XVII, (Depok:

Komunitas Bambu, 2009).

64 65

Blackburn, Susan, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, seri terjemahan, (Jakarta: Masup

Jakarta, 2011).

Bochari, M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon,

(Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Jenderal

Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, 2001).

Brandes, J.L.A., Babaad Tjerbon, V.B.G. LIX, (Batavia: 1911), hal. 80. Lihat Dien

Madjid, 1995, op. cit., hal: 79.

Cortesao, Armando (ed),Suma Oriental karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut

Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, Penerjemah Adrian Perkasa dan

Anggita Pramesti., (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015).

Ekadjati, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Kerjasama Pemerintah

Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Fakultas Sastra Pajajaran, 1992), hal. 46.

Ekadjati, dkk., Sejarah Perkembangan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa

Barat, (Bandung, 1991).

Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan

Betawi, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2000).

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia, 1975).

Graaf, H. J de dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa:

Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, seri terjemahan, (Jakarta: PT

Pustaka Utama Grafiti, 2001).

Hamid, Abd Rahman, Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2013) 66

Haris, Tawalinuddin, Kota dan Masyarakat Jakarta dari Kota Tradisional ke Kota

Kolonial (abad XVI-XVIII), (Jakarta: Widya Saputra, 2007).

Hasanudin, Batik Pesisiran: Melacak Etos Dagang Santri Pada Ragam Hias Batik,

(Bandung: Kiblat Buku Utama, 2001).

Hermana, Pola Kehidupan Santri di Pesantren Jagasatru Kotamadya Cirebon,

(Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal

Kebudayaan, Balai Kajian Jarahnittra 1994/1995).

Heuken SJ, Adolf, Dokumen-Dokumen Sejarah Jakarta sampai dengan Akhir Abad

ke XVI, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1999).

Ibrahim, Anwar, dkk., Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989).

Kartodirjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dan Metode Sejarah, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1992).

______, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari Emporium

Sampai Imperium, (Jakarta: Gramedia, 1988).

Lasmiyati, Sejarah Keraton Kasepuhan di Kotamadya Cirebon, (Bandung:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,

Balai Kajian Jarahnitra, 1995).

Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Terpadu Bagian II: Jaringan

Asia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).

Lubis, Nina H., Banten dalam Pergemulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta:

LP3ES, 2003). 67

Madjid, M. Dien, Awal Perkembangan Islam di Jakarta dan Pengaruhnya hingga

Abad XVII: Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Kumpulan Makalah

Diskusi, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal

Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995).

Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi, Ilmu sejarah: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014). Madjid, M. Dien, Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Islam Indonesia (Suatu Kajian Sosial Ekonomi): ISLAM dan Konstruksi Ilmu Peradaban dan Humaniora, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003). Marwati Djoened, dkk.,Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). Rahardjo, Supratikno dan Wiwik Djuwita Ramelan, Demak Sebagai Kota Bandar Dagang di Jalur Sutra, (Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 18-19. ______, Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi,

(Jakarta: Proyek Penelitian Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,

1998).

Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 145-1680, Jilid I: Tanah di

Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992).

______, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka LP3ES

Indonesia, 2004). 68

Sedyawati, Edi dan Adrian B. Lapian, Peranan Politik Bandar Cirebon: Makalah Diskusi Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Cirebon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1995/199s6). Sudjana, T. D., “Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang” Makalah Diskusi

Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Cirebon: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Trdisional, Proyek IDSN, 1996).

Sunardjo, R.H Unang, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809, 1983, hal. 16. Sulendraningrat, P. S., Sejarah Cirebon, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra: Indonesia dan Daerah). Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009). ______, Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia: Makalah Diskusi Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Cirebon: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisioanal, Proyek IDSN, 1995). ______, Pangeran Jakarta Wijayakrama: Pasang Surut Perjuangannya,

(Yogyakarta: Seminar Sejarah Nasional II, tanggal 28-29 Agustus 1970).

______, Pertubuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Jakarta: Menara Kudus, 2000). Van Leur, J C,Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-Esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, Penerjemah Abmi Handayani, Adbul Aziz dan Aditya Pratama., (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015). Yacob, Ismail,Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Wijaya, -).

69

SKRIPSI Abdurachman, Yogi Marlianto, Pengaruh Kraton Kasepuhan dan Kanoman Terhadap Motif Batik Cirebon, (Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011). Dartono, Penyebaran Agama Islam di Cirebon dan Sekitarnya, Antara Tahun 1470- 1570 M, (Depok: Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1991). Ridwiyanto, Agus, Batavia Sebagai Kota Dagang pada Abad XVII-XVIII, (Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

WEBSITE http://www.arsitekcenterpoint.com/bangunan-bersejarah-jakarta-utara http://www.republika.co.id/berita/senggang/nostalgia-abah-alwi/16/04/01/o4wzdj282- hikayat-perang-suci-fatahillah-melawan-portugis-di-sunda-kelapa https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/07/20/jalur-rempah-sejarah-kekayaan- nusantara-yang-mengubah-dunia

70

Lampiran l: Jalur Dagang Muslim dan Jalur Penyebaran Islam di Jawa Barat.l

.t

Z t,i-tl Σ く 0 く J Σ一 ∽ 一 J一 ∽ Z ⊃ く Σ に く 卜 O m く Z u 匡 く > く 0 z 口 く Ш O α ぶ 多 卜 α α ⊃ ⊃ く ● J コ つ 】 り く く 一 ヽ つ つ 0

、 b 、 ′ 、 ′

1

い 0 ひ 一 一 }“ 「” 〓 ′ コ ; . . ‥ 一 。 . ち 〓 一 ゛ 〇 ‥ヽ O ‥ F ¨ 5 \\ 回 一 ∽

I Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalw'Sulera, (Jakarta: CV. Eka Darma, 1998), hal.202. 71

Lampiran2: Peta Wilayah Kerajaan Cirebon.2

τ o ( ロ ” ∽ ヽ ^ い メ j m c * 「 イ ヨ ^ ロ F m く へ ヽ ” σ 〒 、 > 〓 O メ = ‐ ― 2 ” 一 の = て 「 > 」 ∞ ” 智 肇 2 ¨ ¨ 。 営 〓 ∽ を ・ 妻 F 〓 ¨ 罪 不 c 多 コ ス 3 〓 韮 3 o ” 5 「 『 ・ 萎 ` ” ■ ヽ α 、ヽ 一 ・ 凍 一 ● 一 一 つ 0 」 誠 ¨ ” ・ オ ・ 電 o 3 , 5 藁 詳 ¨ 〓 ( F 螢 r 一 . ¨ ¨ コ 3 一 計 C 〓 「 一課 す g 「 一 ● o コ / 3 ● ひ 翌 一 o 「 「 一 に 営 ) ∞ ご し ∽ ヽ 去 C X ● , は , 8 σ ∞ 7 C ● ュ ヨ 6 0 ● 一 『 ′ ” ∽ 〓 〓 ● 3 ( 〕 ● 3 ⊆ 3 ” 」 o ■ 一 ヽ 「 C ‐ 一 い 0 ¨ ⌒ノ チ* ■.ノ ョ

2 Adeng dkk,κ ・ ο′αD′ gα ″gC′ 7で bO″ S′ わαgα ′βα′″α″ノα′2′ ′S`rra′ ′,(」 akaltai CV Eka Darma, 1998),hal.198 72

Lampiran 3: Gambar Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon Abad XVI.3

3 PoeSponegoro dan Manvati Dioened,SCJα ′η力 Ⅳθsノ ο″αノルあ 4`sれ Jilゴグ ′〃f乏効″α′ Pθr″ ″ろγ力θ′淵α′Pθ″た″ια′gα′Kθ グαα″お′α″″ルグο′θsね,(Jakarta:Balai Pustaka,2008),hal.61. “ つ う / 0

Lampiran 4: Gambar Ukiran Batu pada Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon.a

aPoesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembanga4 Kerajaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal.62. 74

Lampiran 5: Pedang dan Baju Jitah Cirebon.s

s Poesponegoro dan Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III: Zaman pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 63. 75

Lampiran 6: Gambar Pembuatan Perahu Layar di Cirebon.6

6 Adeng dkk,κ ・ ・ ‐ οrα Dα gα ηg C′′でbο′7 Sab■gαノBα ηr/cr′ Jα ′2`′ S,′ ′α,(Jakaltal CV Eka Darma, 1998),hal.219 `′ 76

Lampiran 7: Gambar Dermaga Perahu di Cirebon.T

7 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandur Jalur Sutera. (Jakarta: CV. Eka Darma, I 998), hal. 219. 77

Lampiran 8: Gambar Praksi Naga Liman di Cirebon.8

8 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutera, (Jakarta: CV. Eka Darma, 1998), hal. 216. 78

Lampiran 9: Gambar Batu Padrao.9

9 Batu Padrao merupakan hasil perjanjian antara Kerajaan Sunda Pajajaran dengan Portugis. 79

Lampiran l0: Gambar Pelabuhan Sunda Kelapa.lo

l'r Susan Blackburn. Jakarta: Sejarah 1()0 Tahun, seri terjemahan. (Jakarta: Masup Jakarta, 20 I I ), hal. 6. 80

Lampiran 11: Jalur Rempah Abad XVI11

11 Lihat https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/07/20/jalur-rempah-sejarah-kekayaan- nusantara-yang-mengubah-dunia 81

Lampran 12: Armada Muslim MenyerangPortugis di SundaKalapa12

12 Lihat http://www.republika.co.id/berita/senggang/nostalgia-abah-alwi/16/04/01/o4wzdj282- hikayat-perang-suci-fatahillah-melawan-portugis-di-sunda-kelapa