KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA (Spike Fiddle) PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : HAPPY MAJESTY WARUWU NIM : 120707031

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI 2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lembar Pengesahan

KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA (Spike Fiddle) PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H Nama : HAPPY MAJESTY WARUWU NIM : 120707031

Disetujui oleh, Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Drs. Mauly Purba,M.A.,Ph.D. Drs.Setia Dermawan Purba, M.Si. NIP: 196108291989031003 NIP : 195608281986012001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Usu Medan, untuk memenuhi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI 2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada Tanggal: Hari:

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S. NIP. 19600805 198703 1 001

Panitia ujian: Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D.

4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si

5. Drs.Fadlin, M.A.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA,

Drs. Muhammad Takari., Ph.D.

NIP. 196512211991031001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi , dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 18 Juli 2016

Happy Majesty Waruwu NIM. 120707031

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul : Kajian Organologis Instrumen Lagia (Spike Fiddle) Pada Kebudayaan Musikal Masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.Tulisan ini mengkaji instrumen Lagia dilihat dari sisi konstruksi bangunan instrumen dan kesejarahannya yang dihubungkan dengan latar belakang kebudayaan masyarakat Nias. Dengan metode deskriptif-analitis dan etno-antropologis, penelitian ini membahas bagaimana mekanisme konstruksi bangunan instrumen sehingga dapat menghasilkan bunyi dan menguji apakah benar instrumen Lagia adalahnative instrument( instrumen lokal)bagi masyarakat Nias.

Hasil penelitian ini menunjukkan pertama, bahwa instrumen Lagia memiliki empat bagian penting yaitu bagian resonator, kayu penyangga senar, senar dan busur penggesek. Keempat bagian ini membentuk satu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan bunyi pada instrumen Lagia. Dilihat dari sisi konstruksi, Lagia memiliki konsep bangunan yanng sama dengan Erhu yang ada di China, meskipun berbeda dari sisi ukuran dan materi pembuatan.Kedua, terkait dengan keberadaan instrumen Erhu yang ada di China dan didukung dengan beberapa bukti sejarah tentang kedatangan masyarakat China di pulau Nias pada abad ke -11, menunjukkan bahwa instrumen Lagia bukan merupakan native instrument (instrumen lokal) melainkan hasil kontak budaya antara China dan Nias.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ABSTRACT

This thesis is entitled: Study Organology of Lagia Instrument (Spike Fiddle) On Musical Cultural of Nias Society in Dahadanȍ Botombawȍ Village, District Hili Serangkai, Nias. This article examines the Lagia instrument in terms of building construction and its historical instruments associated with the cultural background of Nias people. With descriptive-analytic method and ethno-anthropological, this study discusses how the mechanism of construction so that the instrument can produce sounds and test whether the Lagia instrument is a native instrument (local instruments) for the people of Nias.

The results of this study indicate, first, that the instrument Lagia has four main parts, namely the resonator, rafters strings, strings and bow . The fourth part is to form a system that aims to produce sound on the instrument Lagia. In terms of construction, Lagia has simillar building concept with the Erhu in China, although they differ in the size and material of manufacture. Second, related to the presence of the instrument Erhu in China and supported by some historical evidence of the arrival of Chinese people on the island of Nias in the 11th century , indicating that the Lagia instrument is not a native instrument (local instruments) but rather the result of cultural contacts between China and Nias .

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas kasih karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian dan pembelajaran bidang etnomusikologi. Selama proses penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat pengetahuan, pengalaman, bimbingan dan arahan dari Bapak Prof. Drs.Mauly Purba,M.A.,Ph.D sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si sebagai pembimbing II. Terimakasih penulis ucapkan kepada kedua dosen pembimbing yang luar biasa memberi semangat, arahan, dukungan pengetahuan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih kepada dosen-dosen Etnomusikologi antara lain Arifninetrirosa, SST., M.A. (dosen pembimbing akademik), Drs. Muhammad Takari, M.A.,Ph.D, Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Drs. Irwansyah Harahap, M.A, Drs. Fadlin,M.A., Torang Naiborhu, M.Hum., Dra. Rita Hutajulu, M.A., Dra. Heristina Dewi, M.Pd., dan Dra. Frida Deliana Harahap, M.Si., serta dosen praktek musik yang selama ini telah memberi banyak ilmu kepada penulis.

Terimakasihku yang setulusnya kusampaikankepada ayahanda dan ibunda Anwar Yaman Waruwu dan Artatina Zai yang selalu menyemangati penulis dan mendukung baik dalam doa, kasih sayang, dan materi yang tidak bisa terbalaskan dengan apa pun. Semoga Tuhan Yesus selalu memberi umur panjang dan kesehatan. Terimakasih banyak kepada abang dan kakak tercinta Wira Fan Eli Waruwu, S.E. yang dengan sabar menemani penulis selama penelitian, Yanna W. Elviana Waruwu, Am.Keb., Ifan Tri Desman Waruwu, S.Kep,Ns., dan adekku Juli Triyani Waruwu yang selalu memberi semangat kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

Ucapan terimakasih kepada teman saya Yuman Harefa dengan jasanya yang luar biasa telah membantu penulis dalam hal pembuatan sketsa instrumen Lagia, juga kepada adekku Yullius Gulȍ yang sudah sangat membantu dalam pembuatan peta dalam skripsi ini. Semoga Tuhan Yesus yang membalas kebaikannya. Penulis juga berterimakasih kepada kakakku Titi Laoli, S.sn.,dan April Yaman Laoli dengan dukungan semangat dan jasanya yang luar biasa terhadap skripsi ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Terimakasih kepada kedua informan saya Bapak Hezatulȍ Ndruru dan Bapak Yustinus Mendrȍfa dan kepada staff tata usaha Etnomusikologi yang telah banyak memberi informasi dan bantuan selama ini.Kepada adek-adek Panti Asuhan Sahabat Keluarga Indonesia, terimakasih atas dukungan doanya terhadap penulis.

Kepada teman-teman seperjuanganku girls etno 0’12, yang selalu nanya:“sudah bab berapa”,Harti, Demala, Ria, Teti, Tika, Odah, Olivia, Inggrid, Yunita, Intan, Nanda, Veronika yang selalu menghibur dan saling menyemangati untuk mengerjakan skripsi ini. Terimakasih juga kepada teman-teman Etnomusikologi stambuk 2012 , Martin, Metra, Rivai, Ardi, Mario, Erwin, Joko, Jefri, Gopas, Gomgom, Reno, Ade, Lawrence, Joseph, Philip dan Paris, semoga terwujud segala cita-cita kalian dan persahabatan ini abadi selamanya.

Saya juga berterimakasih kepada teman saya Sri Endang Sinaga ,Novi Mendrȍfa, Mersi N.Telaumbanua, Agnes Jumarta Gulȍyang selalu mendoakan dan menyemangati penulis selama proses pengerjaaan skripsi ini.Penulis juga berterimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu-persatu yang turut berperan dan terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Tuhan yang membalas kebaikan yang telah diberikan.Akhirnya, penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Semoga hasil penelitian ini memberi konstribusi dan bermanfaat pada disiplin Etnomusikologi dan memperkaya catatan-catatan kebudayaan Nias.Ya’ahowu.

Penulis,

Happy Majesty Waruwu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1.Latar belakang masalah ...... 1 1.2.Pokok Permasalahan ...... 4 1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 4 1.3.1. Tujuan ...... 4 1.3.2. Manfaat ...... 4 1.4.Konsep dan kerangka teori ...... 5 1.4.1. Konsep ...... 5 1.4.2. Kerangka teori ...... 6 1.5.Metode penelitian ...... 10 1.5.1. Studi kepustakaan ...... 11 1.5.2. Wawancara ...... 12 1.5.3. Kerja lapangan ...... 13 1.5.4. Perekaman data visual dan audio ...... 13 1.5.5. Kerja laboratorium ...... 14 1.5.6. dan analisis ...... 14 1.6. Lokasi penelitian ...... 15 BAB II IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN ...... 16 2.1. Gambaran Umum Desa Dahadanȍ Botombawȍ ...... 16  Peta 1: Desa Dahadanȍ Botombawȍ ...... 17 2.1.1. Letak Geografis Desa Dahadanȍ Botombawȍ ...... 18 2.1.2. Struktur Pemerintahan ...... 19  Bagan 1: Struktur Pemerintahan ...... 20 2.2. Sejarah Desa Dahadanȍ Botombawȍ ...... 21 2.3. Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ ...... 23 2.3.1. Sistem Mata Pencaharian ...... 24 2.3.2. Bahasa Dan Agama ...... 24 2.3.3. Jumlah Penduduk dan Tingkat Pendidikan ...... 25 2.4. Sistem Kesenian ...... 25 2.5. Kesimpulan ...... 28 BAB III DESKRIPSI INSTRUMEN LAGIA ...... 29 3.1. Klasifikasi Instrumen Lagia ...... 29 3.2. Sejarah Instrumen Lagia ...... 30 3.3. Konstruksi Instrumen Lagia ...... 33 3.4. Teknik Pembuatan Lagia ...... 34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.4.1. Bahan Baku Pembuatan Lagia ...... 34 3.4.1.1. Bahan Pembuatan Resonator...... 34 3.4.1.2. Bahan Pembuatan Gagang Senar ...... 35 3.4.1.3. Senar ...... 36 3.4.1.4. Bridge (Jembatan Senar) ...... 37 3.4.1.5. Penutup Sisi Kanan Resonator ...... 38 3.4.1.6. Nasa/Niasan ...... 38 3.4.1.7. Busur Penggesek ...... 39 3.5. Peralatan Yang Digunakan ...... 40 3.5.1. Pahat ...... 40 3.5.2. Gergaji...... 40 3.5.3. Palu Kayu ...... 41 3.5.4. Kampak ...... 41 3.5.5. Parang ...... 41 3.5.6. Amplas ...... 42 3.5.7. Lem Perekat ...... 42 3.6. Proses Pembuatan ...... 42 3.6.1. Tahap I ...... 44 3.6.1.1.Proses Pengumpulan Bahan Baku...... 44 3.6.1.2. Proses Pembersihan dan Pengikisan Bagian Luar Resonator ...... 45 3.6.2. Tahap II ...... 46 3.6.2.1. Proses Pembuatan LubangBagian Dalam Resonator ...... 46 3.6.2.2. Proses Pembuatan Lubang Pada Resonator Sebagai Tempat Gagang senar...... 48 3.6.3. Tahap III ...... 52 3.6.3.1. Proses Pembuatan Bagian Penutup Sisi Kanan Resonator ...... 52 3.6.4. Tahap IV ...... 56 3.6.4.1. Proses Pemotongan Kayu Penyangga Senar ...... 56 3.6.4.2. Proses Pemasangan Senar, Bridge, dan Nasa ...... 58 3.6.4.3. Proses Pembuatan Busur Penggesek ...... 59 3.6.4.4. Tahap Akhir ...... 61 3.7. Teknik memainkan Instrumen Lagia ...... 62 3.7.1. Posisi Tubuh Memainkan Lagia ...... 63 3.8. Mekanisme Produksi Bunyi Instrumen Lagia ...... 64 3.9. Nada Yang Dihasilkan Oleh Instrumen Lagia ...... 65 3.10. Kesimpulan ...... 66 BAB IV TRANSKRIPSI DAN ANALISIS LAGU HE LAGIA ...... 68 4.1. Pengertian Transkripsi dan Analisis ...... 68 4.1.1. Transkripsi Lagu He Lagia ...... 69 4.1.2. Deskripsi Analisis Melodi Lagu He Lagia ...... 70 4.1.2.1. Tangga Nada (Scale) ...... 70 4.1.2.2. Nada Dasar (pitch center) ...... 70 4.1.2.3. Wilayah Nada (Range) ...... 71 4.1.2.4. Jumlah Nada (Frequency of Notes) ...... 71 4.1.2.5. Jumlah Interval ( Prevalent Interval) ...... 72 4.1.2.6. Pola Kadensa ...... 72 4.1.2.7. Formula Melodi ...... 73 4.1.2.8. Kontur ...... 73 4.2. Teks Lagu He Lagia ...... 75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.3. Kesimpulan ...... 77 BAB V INSTRUMEN LAGIA SEBAGAI HASIL KONTAK BUDAYA ANTARA KEBUDAYAN CHINA DAN KEBUDAYAAN NIAS ...... 78 5.1.Jejak Kebudayaan China Di Masyarakat Nias Dalam Catatan Sejarah...... 78 5.1.1. Sumber Tulisan ...... 79 5.1.1.1. Catatan Tuanko Tentang Pelabuhan Sing Kwang (Singkuang) (1368 -1645) ...... 79 5.1.1.2. Kutipan Pendapat Ma Huan oleh Yoshiko Yamamoto Mengenai Istilah “Payung Matahari”...... 81 5.1.1.3. Tulisan Ama Norida Daeli, Nias Barat (1984) ...... 81 5.1.2. Sumber Tradisi Lisan ...... 82 5.1.2.1. Mite Tentang Manusia Dari Atas( Siraso/Inada Samihara Luo ) Dalam lagu Hoho di Desa Hilinawalȍ Fau...... 82 5.2. Bukti Fisik Pengaruh Kebudayaan China Dalam Kebudayaan Nias ...... 84 5.2.1. Ornamen Pada Takula Ana’a : Temuan Bapak Tapak Wong ...... 84 5.2.2. Istilah Dalam Bahasa Nias Yang Mirip Dengan Istilah Bahasa di China ...... 85 5.2.3. Pendapat Bapak Tapak Wong tentang Afore Asli di Nias ...... 88 5.2.4. Persamaan Roman Muka dan Postur Tubuh ...... 88 5.2.5. Persamaan Adat Istiadat Dalam Pesta Pernikahan ...... 89 5.2.6. Kebudayaan Megalithikum ( Hȍgȍ Lasara) yang Ditemukan Di Daerah Lahusa danGomo ...... 90 5.3. Proses Kontak Budaya Kebudayaan China dengan Kebudayaan Nias ...... 91 5.4. Deskripsi Instrumen Erhu Pada Masyarakat China ...... 92 BAB VI PENUTUP ...... 94 6.1. Kesimpulan ...... 94 6.2. Saran ...... 95 DAFTAR PUSTAKA ...... 96 DAFTAR INFORMAN ...... 98 PETA ADMINISTRASI KECAMATAN HILI SERANGKAI KABUPATEN NIAS TAHUN 2016 ...... 99 TRANSKRIP LAGU HE LAGIA ...... 110 TRANSKRIP WAWANCARA ...... 111

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Lagia Tampak Depan ...... 100 Gambar 3.2. Lagia Tampak Belakang ...... 101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 3.3. Lagia Tampak Kanan ...... 102 Gambar 3.4. Lagia Tampak Kiri ...... 103 Gambar 3.5. Busur Penggesek ...... 104 Gambar 3.6. Detail Resonator ...... 105 Gambar 3.7. Lagia di dalam buku Music In Nias ...... 106 Gambar 5.2.1. Diagram yang ditemukan di topi emas (Takula Ana’a) ...... 107 Gambar 5.2.6. Hȍgȍ Lasara ( motif kepala Naga) ...... 108 Gambar 5.2.6.1. Osa-osa ...... 108 Gambar 5.4. Erhu ...... 109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Banyak aspek kebudayaan suatu masyarakat yang dapat dipelajari dan ditelusuri melalui satu kajian yang mendalam tentang asal-usul instrumen musikal. Nettl (1964:

204-210) menegaskan bahwa keberadaan berbagai instrumen musikal merupakan satu dari banyak kunci yang tersedia untuk mengetahui berbagai latar belakang sejarah kebudayaan musikal. Lebih jauh Nettl menjelaskan bahwa keberadaan dua atau lebih instrumen musikal yang sama atau hampir sama di dua atau lebih kebudayaan musikal mengindikasikan akan adanya kontak budaya yang mungkin terjadi di antara masyarakat dan kebudayaan tersebut. Curh Sach (1962: 94-99) juga menekankan bahwa instrumen- instrumen musikal di dalam berbagai kebudayaan musikal berperan sebagai simbol- simbol penting di masyarakat pemilik tradisi musikal dimaksud. Artinya, studi tentang instrumen tidak semata berkisar pada aspek fisik atau bunyi yang dihasilkan instrumen an sich, tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih mendalam tentang sejarah kebudayaan masyarakat yang menggunakan instrumen tersebut, khususnya tentang kontak budaya yang terjadi di dalam latar belakang sejarah kebudayaan musikal suatu masyarakat.

Substansi penelitian proposal skripsi ini terinspirasi dari penjelasan Nettl (1964) maupun Curt Sach (1962) di atas terkait dengan keberadaan instrumen Lagia yang ada pada kebudayaan musikal masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan

Hiliserangkai, Kabupaten Nias. Lagia adalah sebuah instrumen berdawai tunggal yang terbuat dari akar pohon Salak (salacca zalacca). Sedangkan tabung resonator lagia terbuat dari bongkahan batang pohon Aren (arenga pinnata). Lagia dimainkan dengan

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA cara digesek menggunakan busur penggesek, sementara itu senar penggesek terbuat dari bahan rotan (calamus manna). Mencermati strukturnya, maka instrumen Lagia dapat digolongkan sebagai instrumen berklasifikasi alat gesek bersenar tunggal, dimana kayu penyangga senar menembus tabung resonatornya (chordophone-spike fiddle-single stringed). Pada umumnya dimainkan dalam formasi solo.

Dari hasil survei yang saya lakukan di desa Dahadanȍ Botombawȍ, saya menemukan beberapa alat musik Lagia. Meskipun sudah sangat jarang digunakan, tetapi pemain Lagia masih ditemukan di desa tersebut. Menurut penjelasan dari salah seorang informan, bapak Hezatulȍ ndruru, mengatakan bahwa asal usul alat musik Lagia berasal dari sebuah cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat Nias. Lagia adalah nama seorang laki-laki berpenyakit kusta yang diasingkan dari pemukiman masyarakat dan tinggal di hutan. Ketika merasa kesepian di hutan, lagia membuat alat musik yang terbuat dari batang pohon aren dan melalui alat musik itu,lagia melantunkan nyanyian He Lagia sebagai ungkapan rasa sedihnya. Ketika masyarakat mendengar bunyi alat musik tersebut, mereka menyebutnya Lagia. sejak saat itu alat musik Lagia dikenal masyarakat sebagai alat musik sendu. Namun, cerita rakyat ini tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Selanjutnya, bapak Hezatulȍ ndruru juga menjelaskan bahwa alat musik Lagia berkembang dan dikenal berasal dari wilayah Nias bagian tengah, yaitu di desa

Dahadanȍ Botombawȍ. Namun, lagia juga ditemukan di beberapa desa di kecamatan

Lȍlȍwa‟u dan kecamatan Gomo wilayah Nias bagian selatan. Meskipun demikian, tidak ada keterangan lebih jelas tentang keberadaan instrumen lagia dikedua wilayah kecamatan tersebut. Hal ini semakin menarik ketika saya bertanya kepada beberapa orangtua dan juga mahasiswa yang berasal dari kecamatan Gomo, sebagian besar dari mereka tidak mengenal apa itu lagia. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa Lagia lebih berkembang di desa Dahadanȍ Botombawȍ dibandingkan dikedua kecamatan

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut di Nias selatan? Bagaimana proses perkembangan instrumen Lagia di desa

Dahadanȍ Botombawȍ? Dengan demikian, rekonstruksi sejarah perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Alat musik yang serupa juga ditemukan dalam kebudayaan China, yaitu alat musik

Erhu. Lagia sangat menyerupai bentuk alat musik Erhu. Di dalam sebuah buku Asal usul masyarakat Nias, dicatat bahwa antara tahun 1368 s/d 1645 pada masa pemerintahannya,

Dinasti Ming melakukan pelayaran dan mendirikan pelabuhan di sekitar tepi pantai barat

Sumatera. Pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Singkuang,yang terkenal dengan eksport kayu meranti ke China dan menjadi pemukiman orang China yang terletak berhadapan dengan kecamatan Lahusa dan kecamatan Gomo di Nias (Rao dalam P.Johannes

M.H,2001:163). Pernyataan ini semakin menarik dan menimbulkan pertanyaan, apakah pada saat itu terjadi kontak budaya antara masyarakat China dengan masyarakat Nias,dan bagaimana proses kontak budaya itu terjadi? Apakah mungkin Lagia adalah instrumen tradisional masyarakat Nias tetapi berasal dari China? Apakah lagia merupakan adaptasi dari alat musik erhu? Bagaimana perkembangan alat musik Lagia di desa Dahadanȍ

Botombawȍ, Kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias.

Dalam tulisan ini, ada dua hal yang akan dianalisa yaitu: struktur bangunan instrumen Lagia, format atau bangunan struktur musik Lagia, metode dan proses pembuatan, serta proses perkembangan instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ.

Berdasarkan pertanyaan- pertanyaan tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan

Hiliserangkai, Kabupaten Nias. Penulis bermaksud mengangkat topik ini menjadi satu tulisan ilmiah yaitu skripsi sarjana untuk memenuhi syarat kelulusan dari Departemen

Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu penulis mengangkat satu judul penelitian yaitu:

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA ( Spike Fiddle) PADA

KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ

BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILISERANGKAI, KABUPATEN NIAS”.

1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan di dalam penelitian tersebut antara lain :

1. Bagaimana bentuk atau struktur organologi serta struktur musik instrumen

Lagia.

2. Apakah Lagia merupakan native instrument (instrumen lokal) bagi masyarakat

Nias? Ataukah merupakan instrumen yang masuk ke dalam kebudayaan musik

masyarakat Nias melalui kontak budaya? Bagaimana sejarah perkembangan

alat musik Lagia di desa DahadanŐ BotombawŐ, Kecamatan Hiliserangkai,

Kabupaten Nias.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dan manfaat penelitian in sesuai dengan pokok permasalahan, antara lain:

1.3.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui bentuk atau struktur organologis alat musik Lagia

2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan alat musik Lagia di desa DahadanŐ

BotombawŐ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.

1.3.2. Manfaat

1. Agar menjadi bahan referensi untuk kegiatan penelitian khususnya penelitian

kebudayaan musikal masyarakat Nias.

2. Agar menjadi bahan dokumentasi acuan bagi pemerintah kabupaten Nias untuk

pelestarian kesenian di Nias

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3. Agar menjadi dokumentasi dan referensi bagi masyarakat untuk

mengembangkan wawasan mengenai kebudayaan musikal masyarakat Nias.

1.4. Konsep dan Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan konsep dan teori sebagai pedoman bagi penulis untuk mendapatkan data atau informasi yang dibutuhkan dalam skripsi ini. Adapun konsep dan teori tersebut, antara lain:

1.4.1.Konsep

Berikut ini adalah beberapa pendapat yang menjelaskan tentang apa itu organologi.

Pertama, Mantel Hood, seorang etnomusikolog, mengatakan bahwa organologi adalah:

“the science of musical instrument-should include not only the history description of instrument but also equally important but neglected aspect of the science of musical instruments, such as particular techniques of performance, musical function, decoration (as distinct from construction), and a variety of socio-cultural consideration” (kajian ilmu tentang alat musik tidak hanya mencakup deskripsi instrumen tetapi juga aspek yang sama pentingnya tetapi diabaikan seperti teknik permainan, fungsi musik, dekorasi (seperti perbedaan dari hal konstruksi), dan berbagai pertimbangan sosial-kultural (Hood 1971: 124).

Menurut Peter William (1984), organologi adalah studi deskriptif dan analitis tentang instrumen. Bagian penting dari studi organologi adalah: klasifikasi analitis tentang instrumen dari tradisi kebudayaan yang berbeda; kesejarahan, perkembangan, serta penggunaan, teknik permainan dalam konteks gaya musik. Sedangkan, menurut Sue

Carole Devale organologi adalah “(1)Describe as the science of sound instrument....(2)concerned with all sound of instrument regards of use, function, culture or historical periode”.(ilmu tentang musik...mempelajari semua peralatan bunyi tanpa harus dibatasi oleh penggunaan, kebudayaan atau periode sejarah (Devale 1990:4-5).

Oleh karena itu, konsep operasional organologi yang saya maksud dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dan analitis tentang instrumen tanpa harus dibatasi oleh

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA penggunaaan, kesejarahan, dan kebudayaan. Dengan demikian, dalam penelitian ini

kajian organologis Lagia tidak hanya dilihat dari struktur instrumen saja, tetapi latar

belakang instrumen Lagia juga perlu dikaji.

Tentang spike fiddle, Mantle Hood menjelaskan sebagai berikut:

“A bow stringed instrument with a neck that pierces the body and emerges from the lower end. Spike fiddle commonly have two or three strings, no frets, and held vertically”(Dengan kata lain spike fiddle adalah sebuah instrumen bersenar dengan leher atau gagang yang menembus badan resonator serta muncul pada ujung bawah resonator. Spike fiddle biasanya memiliki dua atau tiga senar/dawai, tanpa fret, dan dipegang secara vertical (Randel 2003: 837).

Struktur musik. Struktur adalah (1) cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangunan; yang disusun dengan pola tertentu; (2)pengaturan unsur atau bagian suatu benda;(4)ketentuan unsur-unsur dari suatu benda (Suharso, 2005: 500). Jadi, struktur musik dapat diartikan sebagai susunan kejadian bunyi yang mempunyai kombinasi nada, ritme, dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional.

Lagia adalah alat musik yang ditemukan dalam kebudayaan musikal masyarakat

Nias, berdawai tunggal terbuat dari akar salak, dengan resonator yang terbuat dari bongkahan batang pohon aren dan busur penggesek terbuat dari rotan. Alat musik Lagia merupakan alat musik yang tergolong spike fiddle.

Deskripsi analitis terdiri dari dua kata yaitu deskripsi yang artinya menguraikan apa adanya, sedangkan analitis adalah menjelaskan secara lebih dalam dan detail dengan fokus pada pertanyaan mengapa,dan bagaimana. Sehingga deskripsi analitis dapat didefinisikan sebagai penguraian terhadap masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya serta proses pemecahan masalah. Objek penelitian yang akan diuraikan adalah struktur instrumen alat musik Lagia.

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.4.2. Kerangka Teori

Teori klasifikasi Sach dan Hornbortel yang membagi kategori instrumen musikal di dunia. Curt sach-Horn bostel mengatakan bahwa: “...future classifiers of instruments should consider this aspect of instruments along with the structure and sound – producing mechanism”. (pengklasifikasian instrumen yang akan datang harus mempertimbangkan struktur dari suara serta mekanisme penghasil bunyi (Sach-Hornbostel 1961:8).

Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada mekanisme produksi bunyi. Kelima klasifikasi tersebut antara lain adalah aerophone yaitu sumber penggetar utama berasal dari udara; membranophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari membran; idiophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari instrumen itu sendiri, dan chordophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari dawai/ senar. Dengan kata lain, Prinsip pengklasifikasian Sach – Hornbostel tersebut jelas dapat juga diaplikasikan di dalam menganalisa mekanisme produksi bunyi serta di dalam menentukan sumber bunyi yang ada pada instrumen Lagia.

Pemahaman tentang struktur dan fungsi instrumen yang dijabarkan oleh Susumu

(1987) adalah suatu pedoman atau kerangka berpikir yang dapat dijadikan acuan di dalam membangun pemahaman dalam pembahasan tentang struktur dan mekanisme produksi bunyi instrumen Lagia.

“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument-observing, measuring and recording the shape, size,construction,and the materials used in making the instrument. The second deal with its function as a sound-producing tool, researching, measuring,and recording, the playing method, tuning method, sound-producing uses and the loudness,pitch, timbre,and quality of the sound produced”( Susumu,1987:174) 1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara struktural . yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur dan merekam bentuk, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Secara fungsional,yaitu fungsi instrument sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran, dan mencatat metode, memainkan instrumen, kualitas bunyi yang dihasilkan.

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Jeff Titon dalam bukunya Wolrd’s of Music, mengatakan bahwa di dalam hal memahami gaya musik maka harus memperhatikan empat hal yaitu : (1) elemen nada yang meliputi tangga nada, modus, harmoni dan sistem laras; (2) elemen waktu yang meliputi ritme dan birama; (3) elemen suara meliputi warna suara dan bunyi dari instrumen dan (4) intensitas yang meliputi keras lembutnya suara tersebut (1984:5). Tangga nada (scale) adalah nada-nada yang tersusun dari yang terendah ke nada yang tertinggi dengan interval tertentu. A collection of pitches arranged in order from lowest to highest or from highest to lowest ( Randel, 2003:757). Modus (mode) adalah tangga nada dengan jumlah tujuh nada dengan interval setengah atau satu. Sementara itu, harmoni (harmony) adalah dua nada atau lebih dengan interval tertentu dibunyikan secara bersamaan di waktu yang sama

(George,1974). Ritme (rythm) adalah gerakan yang terjadi dalam ruang waktu. Teori tersebut menjadi pedoman untuk mengkaji struktur musik instrumen Lagia.

Kontak budaya adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraninggrat,1990).

Margaret Kartomi mengatakan bahwa proses kontak budaya dapat terjadi melalui enam cara yaitu: perang, perdagangan, wisata, penyebaran agama, perkawinan antar suku dan sekolah. Kartomi menjelaskan tiga proses terjadinya kontak budaya yaitu:

(1) synthesis adalah penyatuan dari beberapa elemen yang membentuk sesuatu yg kompleks (Oxford English Dict). Dalam pengertian musikal, synthesis adalah menyatunya elemen-elemen yang kontradiksi dari dua atau lebih musik yang „tertekan‟ melalui proses dialektikal menjadi suatu elemen musikal yang baru; (2) syncretism adalah sejak thn 1840

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diartikan sebagai usaha menyatunya atau rekonsiliasi dari unsur-unsur praktek agama yang berlawanan atau berbeda, yang kemudian oleh William P Malm diartikan sbg penyatuan unsur-unsur dari dua kebudayaan yang kemudian penyatuan itu merubah nilai-nilai dan bentuk-bentuk asli terdahulu dari kebudayaan tersebut;(3) transculturation adalah satu proses transformasi kebudayaan ditandai dengan masuknya elemen kebudayaan baru dan hilangnya atau tergantinya sesuatu di dalam kebudayaan yang eksis sebelumnya.

Selanjutnya, terdapat enam respon dari ketiga proses kontak budaya tersebut menurut

Margareth kartomi, antara lain: virtual rejection of an impinging music (dalam kondisi tertentu satu kebudayaan bisa saja menolak pengaruh musikal dari kebudayaan yang menginvasi); Tranfer of discrete musical traits (menerima atau mengambil secara terpisah satu aspek dari suatu kebudayaan dan proses ini terjadi secara damai. Transfer ini tidak menyebabkan terjadinya perubahan yang major, dan transfer seperti ini tidak akan disertai perubahan „rasa‟ musikal, sikap maupun konsep yang siginifikan; Pluralistic coexistence of music (Sebuah kebudayaan bisa berlanjut terus, sementara memberikan toleransi terhadap praktek musik komunitas lainnya secara paralel, dan terpisah.); Nativistic musical revival (sebuah kebudayaan musikal yg telah lama didominasi oleh kebudayaan musikal lainnya dan telah mengabaikan tradisi musiknya, suatu ketika tersadar akan bahaya bahwa tradisi musiknya bisa saja punah, dan kemudian membuat usaha untuk penyelamatannya);

Musical abandonment (hilangnya suatu tradisi musik bisa terjadi akibat adanya tekanan atau intimidasi, atau bisa saja hilang secara alamiah jika institusi masyarakat yg mengurusinya „mati‟ dan diganti); Musical impoverishment (hilangnya atau berkurangnya sebagian musik (kemampuan bermusik, repertoar) yang dimiliki akibat mengakomodir aspek kebudayaan yang dominan).

Ini penting untuk menguji Lagia benar merupakan instrumen yang terdistribusi ke dalam kebudayaan masyarakat Nias sekitar abad ke-11, pada saat terjadinya kontak

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perdagangan antara pedagang China dengan masyarakat lokal. Jika hal tersebut benar terjadi, teori ini juga akan menjadi dasar pemikiran untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya kontak budaya tersebut.

Pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology juga menjadi dasar pemikiran penulis untuk melihat apakah benar Lagia merupakan adaptasi dari instrumen erhu sebagai hasil dari proses kontak budaya, mengingat adanya kemiripan antara kedua instrumen tersebut. Berikut kutipannya:

“...The fact that instruments are relatively so complex makes it possible to use them as indicators of cultural contact between peoples. If identical forms of instruments are found in separated areas, and if these forms are fairly complex, there is a strong possibility that they were brought from one area to the other, or to both from a third area”.(keberadaan dua instrumen yang sama atau hampir sama, kemungkinan besar bahwa keduanya mengalami kontak budaya yang mungkin terjadi diantara masyarakat dan kebudayaan) (Nettl,1964:206-207).

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengacu pada pendapat Bruno Nettl, dalam Theory and Method Ethnomusicology, mengatakan bahwa ada dua hal metode penelitian di dalam etnomusikologi , yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work)( Nettl, 1964:62).

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitis, yaitu menguraikan apa adanya dan menjelaskan secara mendalam mengenai alat musik Lagia dari sisi struktur instrumen dan struktur musik Lagia.

Berdasarkan pendapat Nettl di atas, maka dalam penelitian ini penulis melakukan beberapa tahapan kerja yang terdiri dari studi kepustakaan, kerja lapangan, wawancara, pengamatan terlibat, perekaman, dan studi laboratorium.

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.5.1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data-data berupa tulisan-tulisan yang melandasi penelitian. Hal pertama yang dilakukan penulis adalah mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. Penulis mengumpulkan tulisan, artikel, buku, ensiklopedi, jurnal, dan berbagai literatur atau sumber bacaan yang memuat sumber informasi tentang objek penelitian. Dengan dilakukannya studi kepustakaaan maka dapat membantu penulis untuk melakukan penelitian lapangan.

Oleh karena itu, sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan objek penelitian atau pun sumber tulisan lainnya yang mendukung penelitian ini. Studi ini berfungsi untuk mendapatkan data-data yang relevan untuk membahas permasalahan dalam pembahasan ini.

Ada pun beberapa tulisan yang berhubungan dengan tulisan ini antara lain:

Buku Asal Usul Masyarakat Nias, yang ditulis oleh P. Johannes Harmmelle pada tahun 2001. Buku ini memuat tentang asal usul sejarah masyarakat Nias, dan mengutip beberapa tulisan tentang kebudayaan-kebudayaan luar yang pernah masuk ke dalam wilayah kebudayaan Nias. Kemudian skripsi Titi Krisnawati Laoli yang berjudul “ Studi

Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias Yang Terkandung Dalam “ZinunŐ BNKP”.

Skripsi ini membahas tentang kebudayaan musikal Nias serta identitas musikal dalam zinunŐ BNKP. Selanjutnnya artikel-artikel yang diterbitkan oleh yayasan pusaka Nias, salah satunya buku Pusaka Nias dalam Media Warisan. Buku tersebut berisi atrikel-artikel dan opini tentang berbagai kebudayaan Nias.

Sejauh ini, penulis belum pernah mendapatkan kepustakaan khusus mengenai alat musik Lagia. Nasmun ditemukan adanya beberapa buku yang memberikan sedikit penjelasan tentang alat musik Lagia berupa pengenalan dari sisi bentuk dan ukuran, cara

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pembuatan, sejarah serta cara memainkannya. Meskipun demikian informasi yang didapat tidak terlalu spesifik membahas secara mendalam tentang alat musik Lagia. Melalui tulisan-tulisan tersebut diatas cukup memberikan informasi yang mendukung penelitian ini untuk mrngetahui kebudayaan Nias.

1.5.2. Wawancara

Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data-data yang diinginkan di lokasi penelitian secara langsung. Kerja lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman.

Menurut Prof.Dr.Soekidjo, observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara lain melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah ativitas atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Sementara wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seseorang sasaran penelitian

(responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan seseorang tersebut (face to face), (Soekidjo, 2010: 139). Beberapa jenis wawancara yaitu : wawancara formal, pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara dan wawancara baku terbuka.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara berfokus (focussed interview),dan wawancara bebas ( free interview).

Pada penelitian ini, penulis akan mencari informasi dengan melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui tentang alat musik Lagia, pemain alat musik Lagia. Beberapa diantaranya adalah bapak Hezatulȍ Ndruru, sebagai salah seorang karyawan di museum pusaka nias juga sebagai pemain alat musik tardisional nias. selain itu penulis juga akan melakukan wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa sebagai salah seorang tokoh masyarakat, pemain musik lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ,

Kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias.

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1.5.3. Kerja Lapangan

Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data-data yang diinginkan di lokasi penelitian secara langsung. Kerja lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman.

Menurut Prof.Dr.Soekidjo, observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana, yang antara lain melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah ativitas atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Selain itu penullis juga mengacu pada pendapat Nettl yang mengatakan bahwa kerja lapangan ( field work) dalam studi etnomusikologi adalah menunjuk pada pengumpulan rekaman dan pengalaman musikal dalam budaya masyarakat tertentu. Di dalam kerja lapangan,hasil lapangan yang terpenting tidak hanya hasil rekaman, tetapi kemampuan dan pengetahuan peneliti dalam budaya musikal yang sedang diteliti. Hasil jenis ini adalah bayangan pekerjaan etnomusikologi yang mengembangkan bimusicality sebagai tujuannya ( Nettl,1964 :62-63)

Penulis akan melakukan kerja lapangan dengan mendatangi desa Dahadanȍ

Botombawȍ yang berada di kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias yang umumnya masyarakat di desa tersebut masih mengenal dan terdapat beberapa masyarakat yang memiliki bahkan dapat memainkan alat musik Lagia.

1.5.4. Perekaman Data Visual dan Audio

Perekaman data baik visual atau audio merupakan salah satu bagian terpenting yang digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain melakukan wawancara. Perekaman data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pembuatan alat musik lagia oleh seorang pemain musik alat musik Lagia. Perekaman data ini dilakukan dengan menggunakan kamera digital Sony dan Handphone Samsung Galaxy Grandprime. Media

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut digunakan untuk merekam proses pembuatan alat musik Lagia. Selanjutnya hasil rekaman akan dianalisis.

1.5.5. Kerja Laboratorium

Semua hasil perekaman melalui kerja lapangan akan diolah dalam kerja laboratorium dengan menggunakan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis akan melakukan seleksi terhadap data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan deskriptif analitis guna penganalisisan data.

1.5.6. Transkripsi dan Analisis

Randel dalam The Harvard Dictinary of Music, menulis tentang pengertian transkripsi (transcription) adalah “the reduction of music from live or recorded sound to written notation (mereduksi musik secara langsung atau bunyi yang direkam ke dalam bentuk notasi tertulis ( Randel 2003: 902). Selanjutnya, Nettl mengatakan bahwa ada dua pendekatan untuk mendeskripsikan musik; (1)kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2)kita dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang kita lihat .Oleh karena itu untuk menganalisis instrumen lagia maka penulis perlu proses untuk menotasikan/menuliskan bunyi instrumen yang telah direkam ke dalam bentuk simbol visual. Dengan demikian, penulis dapat mendeskripsikan serta menganalisis struktur bunyi instrumen lagia dari simbol notasi visual tersebut.Hal ini lah yang disebut transkripsi dan analisis ( Netll 1964:97-98).

Untuk melakukan kegiatan transkripsi, penulis akan menggunakan metode

Weighted Scale dari William P.Malm (1977) yang mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: 1. scale

(tangga nada), 2. nada dasar (pitch center), 3. range (wilayah Nada), 4. frequency of notes

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (jumlah nada-nada), 5. prevalent Intervals (interval yang dipakai), 6. cadence patterns

(pola-pola kadensa), 7. melodic formulas (formula-formula melodi), 8. contour (kontur).

Simbol-silmol yang akan dipakai dalam proses trankripsi adalah tanda birama 6/8 dengan menggunakan simbol notasi 1/8 yang bernilai ½ ketuk.

Time Signature

Key Signature tanda istrahat Not 1/8 ;½ ketuk ½ ketuk

1.6. Lokasi Penelitian

Tempat penelitian yang dipilih penulis adalah desa Dahadanȍ Botombawȍ, kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias. Penulis memilih lokasi penelitian tersebut karena masyarakat di desa ini pada umumnya masih mengenal alat musik Lagia dan terdapat beberapa masyarakat yang masih memiliki bahkan dapat memainkan alat musik

Lagia. Hal ini memungkinkan penulis untuk mengetahui lebih banyak mengenai instrumen

Lagia.

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN

Pada bab II akan dijelaskan secara singkat gambaran umum mengenai lokasi

penelitian yaitu desa Dahadanȍ Botombawȍ. Penjelasan meliputi letak geografis, sejarah

desa Dahadanȍ Botombawȍ, keadaan penduduk, sistem mata pencaharian, sistem

pemerintahan, bahasa, agama dan kesenian/kebudayaan. Lebih jauh akan dijelaskan

mengenai kesenian lokal yaitu sistem kesenian yang berkembang di desa Dahadanȍ

Botombawȍ. Aspek lain yang penting dibahas adalah deskripsi instrumen Lagia yang

merupakan instrumen yang berkembang di masyarakat setempat. Pembahasan tentang hal

ini akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya. Berikut adalah uraian tersebut secara

umum.

2.1. Gambaran Umum Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah satu desa yang terletak di Kecamatan Hili

Serangkai, Kabupaten Nias (lihat peta 1). Desa ini merupakan ibukota kecamatan dari

lima belas desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Hili Serangkai. Kelima belas desa

tersebut adalah desa Lȍlȍwua, desa Dahadanȍ Botombawȍ, desa Lȍlȍwua Hiliwarasi,

desa Fulȍlȍ , desa lalai, desa Hilizia Lauru, desa Fadoro Lalai, desa Lalai, desa Fulȍlȍ

Lalai, desa Lȍlȍfaȍsȍ Lalai, desa Fadoro Hunogȍa, desa Awela, desa Ehosakhozi, desa

Onombongi, desa Lȍlȍfaȍsȍ, dan desa Orahili Idanoi1. Jika dilihat dari wilayah

kebudayaan (culture area) kepulauan Nias, desa ini termasuk wilayah Nias bagian tengah.

Desa ini berjarak ±19 km dari kota Gunungsitoli.

Penggunaan lahan di desa Dahananȍ Botombawȍ sebagian besar dipergunakan untuk

lahan perkebunan sedangkan sisanya untuk lahan pemukiman penduduk dan fasilitas-

1 Lihat Daftar Gambar (Peta Administrasi Kecamatan Hili Serangkai

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Peta 1: Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Sumber:Profil Desa Dahadanȍ Botombawȍ; Peta Desa, 2016

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA fasilitas desa lainnya, seperti kantor balai desa, puskesmas rawat inap, gereja, taman

kanak-kanak, dan bangunan sekolah.2

Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk masyarakat yang peduli

terhadap kebudayaan tradisi, terbukti dengan berdirinya sebuah sanggar seni desa yang

disebut sanggar Aforeteholi. Sanggar ini telah banyak mengukir prestasi disetiap festival

kebudayaan Nias di wilayah se-Kabupaten Nias, yang dilaksanakan sekali dalam dua

tahun. Terakhir pada tahun 2014, sanggar ini ikut berpatisipasi dan dinilai sebagai

pertunjukkan terbaik pada saat itu. Perlu diketahui bahwa sanggar ini pertama sekali

dipelopori oleh alm A.Tuti Mendrȍfa, yang membangkitkan kesenian tradisional Nias

meliputi penggunaan alat-alat musik tradisi, nyanyian rakyat , dan tarian maena baluse.

Tarian maena baluse adalah salah satu kesenian yang sangat terkenal berasal dari desa

Dahadanȍ Botombawȍ. Hal ini akan lebih lanjut dibahas pada sub judul berikutnya.

Di Desa Dahadanȍ Botombawȍ terdapat beberapa sarana prasarana pendidikan,

agama dan pemerintahan antara lain: dua buah gedung sekolah dasar negeri, satu buah

kantor kecamatan, satu buah gedung puskesmas rawat inap, satu buah kantor penyuluh

pertanian, dan tiga gedung ibadah, yaitu dua gedung ibadah Kristen Protestan (BNKP)

dan satu gedung ibadah untuk umat beragama Kristen Katolik.

2.1.1. Letak Geografis Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki luas ± , dimana 35% merupakan

pemukiman penduduk dan 65% merupakan lahan daratan yang digunakan sebagai lahan

perkebunan karet. Desa ini memiliki morfologi/ bentang alam yaitu perbukitan.

Desa Dahadanȍ Botombawȍ merupakan lalu lintas antar kabupaten. Hal ini

mengakibatkan desa Dahadanȍ Botombawȍ sangat ramai disinggahi oleh masyarakat dari

2 Wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa, tanggal 1 April 2016 di SMA Swasta Pemda Gunungsitoli.

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kabupaten Nias Barat dan Kabupaten Nias Selatan. Batas-batas wilayah desa Dahadanȍ

Botombawȍ adalah sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Desa Lȍlȍwua Kecamatan Hili Serangkai dan desa Sisobahili

Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli

 Sebelah Timur : Desa Lȍlȍwua dan desa Hiliwarasi, Kecamatan Hili Serangkai

 Sebelah Selatan : Desa Lȍlȍwua Hiliwarasi, Kecamatan Hili Serangkai

 Sebelah Barat : Desa Tuhegaofoa I, desa Tetehȍsi, desa Hilihambawa, desa

Hilimbȍwȍ dan desa Hiliwaele ,Kecamatan Botomuzȍi

Desa Dahadanȍ Botombawȍ beriklim tropis, yang memiliki pengaruh terhadap pola tanaman dan lahan pertanian. Selain itu, topografi wilayah perbukitan mengakibatkan tanaman yang paling banyak tumbuh di wilayah ini adalah tanaman karet dan kakao. Oleh sebab itu, keadaan iklim dan topografi desa Dahadanȍ Botombawȍ mempengaruhi sistem pencaharian masyarakat pada umumnya, yaitu bekerja sebagai petani karet dan kakao.

Selain kedua tanaman tersebut, tanaman seperti pohon aren juga banyak tumbuh di wilayah desa Dahadanȍ Botombawȍ. Sehingga tidak sedikit masyarakat desa Dahadanȍ

Botombawȍ selain bekerja sebagai petani karet, mereka juga bekerja sebagai penyadap nira.

2.1.2. Struktur Pemerintahan

Sama seperti sistem pemerintahan desa pada umumnya, sistem pemerintahan desa

Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh seorang kepala desa dan beberapa anggota aparat desa lainnya (lihat bagan 1). Saat ini desa Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh bapak

Yustinus mendrȍfa sekaligus menjabat sebagai sekretaris desa. Aparat desa bekerja untuk menjalankan program-program desa yang telah ditetapkan dari pemerintah pusat demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa di setiap kecamatan.

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bagan 1: Struktur Pemerintahan Desa Dahadanȍ Botombawȍ

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) PEMERINTAHAN DESA

Pj. KEPALA DESA

Ketua BPD Walkil Ketua BPD YUSTINUS MENDROFA Tokoh Penggerak ELISON MENDROFA OPERIANUS MENDROFA Sanggar Aforeteholi

YUSTINUS Anggota BPD Sekretaris BPD MENDROFA MARTHIN D.S HUBERTUS MENDROFA MENDROFA KAUR KAUR KAUR TOLONA MENDROFA PEMERINTAHAN PEMBANGUNAN UMUM

AMIELI MENDROFA YA’ARO MENDROFA FORTUMEI FIYULISON MENDROFA MENDROFA FATOLOSA MENDROFA

KADUS KADUS KADUS KADUS I II III IV

JUNI RAHMAD SEHATI HATO’O SOKHI ATULO MENDROFA MENDROFA MENDROFA MENDROFA

Sumber : Profil desa Dahadanȍ Botombawȍ; Struktur Pemerintahan Desa, 2016

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Desa ini terdiri atas empat dusun yang dibagi lagi menjadi beberapa RT/RW, dimana pusat

pemerintahan desa terletak di dusun II. Setiap dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun

yang dipilih melalui musyawarah mufakat desa.

2.2. Sejarah Desa Dahadanȍ Botombawȍ

Berbicara tentang sejarah desa Dahanȍ Botombawȍ berarti membahas mengenai asal-

usul berdirinya desa Dahadanȍ Botombawȍ. Sejarah desa Dahadanȍ Botombawȍ dimulai

dengan suatu perkumpulan beberapa kelompok masyarakat hingga akhirnya berdiri lah

sebuah desa yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, yang pada awalnya mereka disebut

sebagai kepala kampung. Berikut penjelasan mengenai sejarah desa Dahadanȍ

Botombawȍ.3

Desa Dahadanȍ Botombawȍ berawal dari sebuah daerah yang disebut Fulȍlȍ

keturunan Maru bahili, berkembang menjadi sebuah daerah yang kemudian disebut

Sobagimbȍwȍ. Ketika itu, banyak penduduk yang tinggal di daerah Sobagimbȍwȍ.

Namun, bencana wabah penyakit melanda seluruh wilayah di desa tersebut dan

mengakibatkan ±70 orang warga desa meninggal dunia. Untuk menghindari korban yang

lebih banyak lagi, akhirnya penduduk desa Sobagimbȍwȍ pindah ke daerah Salo’o (kaki

gunung Hiliwarasi).

Masyarakat tersebut semakin banyak dan berkembang sehingga mereka terbagi ke

dalam beberapa perkumpulan yang disebut perkumpulan Fulȍlȍ, Lasara Sobagimbȍwȍ,

Lasara Bawo, Bawo Salo’o, Balȍhili Fulȍlȍ, dan Lasara Bahili. Dahadanȍ berasal dari

kata “daha” yang artinya perkumpulan dari Sobagimbȍwȍ, Fulȍlȍ, Lasara Sobagimbȍwȍ,

Lasara Bawo, Bawo Salo’o, Balȍhili Fulȍlȍ, dan Lasara Bahili. Sedangkan kata “danȍ”

3 Hasil wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa pada tanggal 10 April 2016, di desa Dahadanȍ Botombawȍ

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA artinya tanah/tempat tinggal. Kata “Botombawȍ”, berasal dari nama sebuah jalan yang mempunyai bukit dan ditumbuhi oleh pohon mawȍ ( kayu jati) yang besar. Pada masa pemerintahan Belanda, terbentuklah suatu nagari Dahadanȍ.

Pada awalnya penduduk berjumlah lima puluh kepala keluarga dipimpin oleh seorang salawa silimawulu ( kepala adat) yaitu Kasoala Mendrȍfa ( Ama waelu mendrȍfa/ Bawa duha). Pada saat itu, beliau disebut sebagai kepala kampung dari tahun 1905 s.d. 1917.

Setelah beliau meninggal, kepemimpinan desa dilanjutkan oleh Tarufa mendrȍfa (Ama

Lidia/Tuha angetula), memerintah dari tahun 1917 s.d. 1937. Setelah itu, kepemimpinan dilanjutkan oleh Botokhi Mendrȍfa (Ama Mbalazi mendrȍfa/ Tuha aro, sebagai kepala kampung dari tahun 1937 s.d. 1979. Sejak tahun 1979 istilah kepala kampung tidak lagi disebut kepada seorang pemimpin desa, tetapi masyarakat sudah menggunakan istilah kepala desa.

Oleh sebab itu, pada masa pemerintahan Botokhi Mendrȍfa dari tahun 1979-1985 , beliau disebut sebagai kepala desa. Setelah masa jabatan beliau habis, dia digantikan oleh

Faogoli Mendrȍfa (Ama Rorogȍ Mendrȍfa/ Tuha samaedohili) yang dipilih melalui pemilihan kepala desa oleh masyarakat dan memerintah dari tahun 1985-1998. Setelah masa jabatannnya berakhir, maka pemilihan kepala desa yang baru kembali dilaksanakan dan menetapkan Balazi Mendrȍfa ( Ama Gameda) sebagai kepala desa, memerintah dari tahun 1998-1999. Di tengah masa pemerintahannya beliau meninggal dunia. Untuk melanjutkan tugas kepemimpinannya, maka diangkat lah seorang pelaksana tugas kepala desa yaitu Temasȍkhi Mendrȍfa yang memerintah dari tahun 1999 s.d. 2008. Pemilihan kepala desa untuk periode selanjutnya menetapkan beliau sebagai kepala desa tetap dan memerintah dari tahun 2009-2014. Setelah periode itu berakhir, dipilih lah seorang Pj.

Kepala desa An. Solima Gulȍ ( Ina Calvin Mendrȍfa) selama satu tahun. setelah selesai masa jabatannya, kepemimpinan selanjutnya dipimpin oleh Yustinus Mendrȍfa (Ama

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Christin Mendrȍfa) sebagai kepala desa sekaligus sebagai sekretaris desa sejak bulan

Maret 2015 sampai hari ini.

Dengan demikian, perkembangan kepemimpinan desa sejak berdirinya desa

Dahadanȍ Botombawȍ dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel 1:

Sejarah kepemimpinan desa Dahadanȍ Botombawȍ

Tahun Nama kepala desa Keterangan

1905-1917 Kasoala Mendrȍfa Kepala Kampung

1917-1937 Tarufa Mendrȍfa Kepala Kampung

1937-1979 Botosȍkhi Mendrȍfa Kepala Kampung

1979-1985 Botosȍkhi Mendrȍfa Kepala Desa

1985-1998 Faogȍli Mendrȍfa Kepala Desa

1998-1999 Balazi Mendrȍfa Kepala Desa

1999-2014 Temazȍkhi Mendrȍfa Kepala Desa

2015-sekarang Yustinus Mendrȍfa Kepala Desa

2.3. Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ

Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah penduduk asli suku Nias yang memiliki adat istiadat yang sama dan mayoritas beragama Kristen Protestan. Menurut informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa, masyarakat di desa ini sangat menjunjung tinggi nilai gotong- royong dan kearifan lokal lainnya sejak berdirinya desa Dahadanȍ

Botombawȍ. Hal tersebut secara efektif mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terhindar dari bentrok antarkelompok masyarakat desa. Meskipun jauh dari wilayah perkotaan, namun pengaruh gaya hidup masyarakat di kota masih ditemukan di desa ini.

Penggunaan teknologi dan transportasi sudah berkembang seperti di kota Gunung Sitoli.

2.3.1. Sistem Mata Pencaharian

Keadaan morfologi geografis desa Dahadanȍ Botombawȍ yaitu lahan perbukitan.

Keadaan ini mengakibatkan lahan pertanian di desa ini sangat cocok terhadap perkembangan tanaman karet dan kakao. Oleh sebab itu, 65% dari luas wilayah desa digunakan sebagai lahan perkebunan karet. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, masyarakat di desa ini pada umumnya mengusahakan lahan perkebunan karet. Sebagian masyarakat bekerja sebagai tukang bangunan, peternak ayam dan babi, pedagang dan sebagian lagi penduduknya bekerja di instansi pemerintah sebagai pegawai negeri sipil. Perbedaan status ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat mengakibatkan adanya kelompok rumah tangga yang miskin, sedang, dan kaya (Yustinus,

2016).

2.3.2. Bahasa dan Agama

Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah bahasa Nias ( Li Niha), dengan logat bahasa wilayah Nias bagian tengah (Brian,

2012:51). Meskipun demikian, pengaruh bahasa melayu Indonesia juga ditemukan di desa

Dahadanȍ Botombawȍ. Masyarakat sudah mengenal bahasa Indonesia dan sebagian dari mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.

Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ mayoritas menganut agama Kristen Protestan dan sebagian lagi menganut agama Kristen Katolik. Kedua kelompok masyarakat ini memiliki hubungan yang baik, dan masing-masing melaksanakan kegiatan agamanya.

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3.3 Jumlah Penduduk dan Tingkat Pendidikan

Penduduk desa Dahadanȍ Botombawȍ berjumlah 1.243 jiwa yang terdiri dari laki-

laki: 606 jiwa dan perempuan berjumlah 637 jiwa. Sementara itu, jumlah kepala keluarga

terdiri dari 227 kepala keluarga yang terbagi ke dalam empat wilayah dusun.

Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki tingkat pendidikan yang

berbeda-beda. Berikut penjelasannya:

Tabel 2: Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

Belum Pra sekolah SD SLTP SLTA Sarjana sekolah 79 orang 265 orang 267 orang 245 orang 289 orang 98 orang

Dari tabel tersebut jelas terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat di desa

Dahadanȍ Botombawȍ pada umumnya berada di tingkat pendidikan SLTA.

2.4. Sistem Kesenian

Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk masyarakat yang peduli

terhadap kesenian tradisi, terbukti dengan berdirinya satu sanggar seni budaya yang

disebut sanggar Aforeteholi. Sanggar ini menjadi sarana bagi pemuda-pemudi desa untuk

belajar dan mengenal kesenian tradisi berupa alat musik, nyanyian, dan tarian tradisional

Nias. Informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa mengatakan bahwa sanggar desa ini sudah

berdiri sejak tahun 70-an dan selalu menjadi yang terbaik disetiap pertunjukkan festival

budaya di wilayah Kabupaten Nias, yang dilaksanakan setiap sekali dalam dua tahun.

Ada pun beberapa alat musik yang diperkenalkan dalam sanggar tersebut antara lain

gȍndra, faritia,aramba, tutuhao, lagia, fondrahi, tamburu, koroso, duri mbalȍduhi, doli-

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA doli, surune, koko. Dalam setiap pertunjukkannya, paling tidak terdapat sepuluh instrumen yang selalu digunakan untuk mengiringi tarian dan nyanyian tradisional nias. Perlu diketahui bahwa hampir semua alat musik tersebut diatas dimainkan dalam bentuk ensambel, kecuali Lagia dimainkan secara solo.

Salah satu kesenian yang sangat terkenal dari sanggar desa ini adalah tari maena baluse. Tarian ini adalah tarian yang diikuti oleh beberapa pemuda/i dan orangtua yang diiringgi oleh beberapa instrumen tradisional Nias. Dalam pertunjukkannya, penari maena baluse masing-masing memegang gari (pedang) di tangan kiri dan baluse (tameng) di tangan kanan. Mereka menari sambil diiringi oleh alat musik tradisi seperti gȍndra, aramba, faritia, dan beberapa instrumen lainnya. Tarian ini merupakan tari penyambutan tamu disetiap acara tertentu di desa Dahadanȍ Botombawȍ maupun di wilayah Kabupaten

Nias.

Sejarah berdirinya sanggar desa Aforeteholi pada awalnya dipelopori oleh alm. Ama

Tuti Mendrȍfa sekitar tahun 70-an. Pada saat itu beliau membangkitkan musik tradisi, nyanyian dan tarian maena baluse di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Pada awalnya mereka selalu mengadakan latihan bersama setiap minggunya di lapangan terbuka. Namun, berdasarkan informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa, sampai saat ini sanggar Aforeteholi mengalami kemunduran. Badan pengurus harian sanggar ini sudah tidak jelas lagi dan latihan rutinitas tidak lagi dilaksanakan. Beliau menambahkan bahwa pemuda/i desa hanya akan melaksanakan latihan ketika mereka hendak mengikuti festival yang dilaksanakan oleh pemerintah di Kabupaten Nias atau mengisi acara pada kegiatan tertentu.

Terkait dengan pembasan tulisan ini mengenai instrumen Lagia, penulis sangat prihatin dengan eksistensi instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Lagia sudah tidak banyak diminati oleh masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Selain itu, pada

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kegatan festival kebudayaan terkahir pada tahun 2014, Lagia tidak dimainkan pada saat

pertunjukkan. IPTEK telah mempengaruhi minat remaja dan warga desa Dahadanȍ

Botombawȍ untu mengembangkan instrumen Lagia.4 melihat keadaan seperti itu, penulis

berpendapat bahwa kemungkinan instrumen Lagia bisa saja punah di masa yang akan

datang.Meskipun demikian, penulis masih menemukan beberapa warga masyarakadat

desa Dahadanȍ Botombawȍ yang bisa memainkan insttrumen Lagia.

Pengaruh teknologi seperti masuknya alat musik modern mengakibatkan penduduk di

desa Dahadanȍ Botombawȍ kurang memberi perhatian terhadap kesenian tradisi, tidak

seperti yang dilakukan oleh gnerasi desa di awal berdirinya sanggar Aforeteholi.

Gbr.2: Penari maena baluse dan pemain musik tradisi pada kegiatan festival budaya nias tahun 2014 (Dokumentasi: Yustinus, 2014)

4 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Ama Logis Mendrȍfa, tanggal 10 April 2016 di Desa Dahadanȍ Botombawȍ

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.5. Kesimpulan

Desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah salah satu dari kelima belas desa yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias. Dilihat dari wilayah kebudayaan (culture area), desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk ke dalam wilayah Nias bagian tengah. Desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki luas ± 4.400 meter persegi, dan pada umumnya merupakan lahan perkebunan karet dengan topografi perbukitan. Desa

Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh kepala desa dan beberapa aparat desa. Bahasa yang digunakan oleh penduduk desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah bahasa Nias ( Li Niha) yang digunakan oleh masyarakat Nias pada umumnya. Sedangkan dilihat dari sisi kepercayaannya, mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen Protestan.

Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah masyarakat yang peduli dengan kesenian tradisi, terbukti dengan berdirinya sebuah sanggar yang disebut sanggar

Aforeteholi. Dari beberapa instrumen tradisi, Lagia menjadi salah satu instrumen yang diperkenalkan dan diajarkan bahkan dipertunjukkan di festival kebudayaan se-Kabupaten

Nias. Selain itu, Desa Dahadanȍ Botombawȍ sangat terkenal dengan seni tarinya yaitu tari maena baluse .

Namun perkembangan sanggar Aforeteholi mulai surut semenjak datangnya pengaruh perkembangan IPTEK khususnya dibidang kesenian, seperti masuknya instrumen modern dan penggunaan MP3. Pengaruh ini mengakibatkan penurunan daya tarik masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ untuk mempertahankan kesenian tradisional Nias yang sudah lama berkembang di wilayah mereka. Beberapa alat musik tradisional seperti Lagia, sudah jarang digunakan bahkan jika dilihat dari fisik instrumen, alat musik ini tidak layak pakai.

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

DESKRIPSI INSTRUMEN LAGIA

Pada bab III akan dijelaskan mengenai deskripsi instrumen Lagia. Penjelasan tersebut meliputi klasifikasi instrumen, konstruksi Lagia, sejarah Lagia, proses pembuatan dan teknik memainkan Lagia. Lebih jauh akan menjelaskan konstruksi fisik instrumen Lagia sebagai instrumen chordophone-spike fiddle-singgle stringed (instrumen berdawai tunggal dengan kayu penyangga senar menembus tabung resonator). Aspek lain yang penting dibahas adalah mekanisme penghasil bunyi pada instrumen lagia yang akan dibahas di bab selanjutnya. Berikut penjelasan deskripsi instrumen Lagia.

3.1. Klasifikasi Instrumen Lagia

Curth sach dan Hornbostel dikenal dengan teorinya yaitu sistem pengklasifikasian instrumen dunia (1961). Sistem ini didasarkan pada sumber penggetar utama pada instrumen, sehingga setiap instrumen dapat menghasilkan bunyi. Klasifikasi ini kemudian dikenal dengan sistem klasifikasi Sach-Hornbostel.

Berdasarkan sistem tersebut, Sach-Hornbostel membagi instrumen dunia ke dalam empat klasifikasi yaitu:

A. Idiophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi adalah badan

atau tubuh instrumen itu sendiri. Contohnya adalah gong, xilophone, dll.

B. Membranophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi berasal

dari membran/ kulit. Contohnya gendang.

C. Aerophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi berasal dari

udara yang bergetar. Contohnya seruling, terompet,saksofon, dll.

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA D. Chordophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi adalah

dawai/senar. Contohnya biola, cello, gitar, sitar,dll.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka instrumen Lagia digolongkan ke dalam klasifikasi:

A. Chordophone singgle stringed, yaitu instrumen kordofon berdawai tunggal.

B. Spike fiddle, yaitu instrumen kordofon dimana gagang penyangga senar menembus

resonator.

C. Frettless, yaitu instrumen kordofon yang tidak memiliki batas pemisah pada

papan jari penghasil nadanya (fret).

3.2. Sejarah Instrumen Lagia

Lagia adalah salah satu instrumen musikal masyarakat Nias yang sudah sangat lama dikenal. Instrumen ini hanyalah salah satu dari instrumen diantara beberapa instrumen lainnya seperti tutuhao (idio-chordophone), gȍndr (double head-membranophone) , faritia

(Idiophone), aramba (idiophone), doli-doli (xilophone), fondrahi (membranophone),dll.

Uniknya, Lagia adalah satu-satunya instrumen berdawai tunggal pembawa melodi dalam instrumen musikal masyarakat Nias. Instrumen ini adalah instrumen berdawai tunggal dengan resonator yang terbuat dari batang pohon aren, senar terbuat dari tutura (rotan), dan gagang penyangga senar menembus resonator. Instrumen ini dimainkan menggunakan busur penggesek yang senarnya terbuat dari rotan. Jelas bahwa Lagia dimainkan dalam bentuk formasi solo. Hal- hal yang berkaitan dengan konstruksi Lagia secara jelas akan dibicarakan pada sub judul berikutnya.

Sejarah mengenai asal-usul instrumen ini tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat

Nias. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, asal usul instrumen Lagia berkembang dari sebuah

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA cerita rakyat yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Pusaka Nias Dalam Media

Warisan. Di dalam buku tersebut ditulis bahwa instrumen Lagia diciptakan oleh seorang laki-laki berpenyakit kusta yang diasingkan ditengah hutan, jauh dari pemukiman penduduk. Laki-laki tersebut bernama Ba‟uruna. Ketika merasa kesepian di hutan,

Ba‟uruna membuat alat musik yang terbuat dari batang pohon aren dan melalui alat musik itu, dia melantunkan sebuah nyanyian yang dikenal dengan “He lagia” sebagai ungkapan rasa sedihnya. Ketika masyarakat mendengar bunyi alat musik tersebut, mereka menyebutnya Lagia. Sejak saat itu Lagia dikenal masyarakat sebagai alat musik sendu.

Lagia terus berkembang hingga banyak dikenal oleh masyarakat dan tidak hanya dimainkan di ladang saja, namun sudah dimainkan dalam upacara kematian. Namun, cerita rakyat ini tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Pendapat yang kedua dikemukakan oleh bapak Yustinus mendrȍfa. Beliau mengatakan bahwa instrumen Lagia diciptakan oleh seorang penyadap nira yang berasal dari daerah Nias bagian tengah. Hal ini dikaitkan karena pada zaman dahulu, disaat masyarakat Nias lebih banyak bekerja sebagai petani, mereka menciptakan sesuatu benda yang bisa dimainkan dan menghasilkan bunyi. Benda tersebut dapat terbuat dari benda- benda alam yang ada disekitar mereka. Jelas bahwa benda tersebut berfungsi sebagai hiburan pribadi ketika sedang istrahat dari pekerjaan mereka. Demikian halnya dengan

Lagia. Instrumen ini diciptakan oleh seorang penyadap nira yang sedang kesepian di hutan sembari menunggu tempat penampungan niranya penuh. Mereka memotong batang pohon aren (Arengga Pinatta) yang sudah tidak menghasilkan nira lagi dan menjadikannya sebagai badan dari alat musik yang mereka buat. Proses hingga benda tersebut dapat menghasilkan bunyi mengalami proses yang lama hingga mereka menemukan akar salak

(Salacca Zallaca) sebagai senar dan busur penggesek yang senarnya terbuat dari rotan

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (Callamus Manna) . Namun asal usul nama nama instrumen Lagia, tidak diketahui secara jelas.

Apabila dilihat dari sisi konstruksi fisik instrumen, Lagia sangat mirip dengan instrumen Erhu yang ada di China. Dalam sebuah buku berjudul Asal Usul Nias, pastor

Hammerle sudah menulis tentang pengaruh kebudayaan China pada tahun 1348 s/d 1684 yang ada hubungannya dengan sejarah peradaan masyarakat di pulau Nias. Meskipun tidak ada tulisan yang secara jelas menulis tentang pengaruh kebudayaan musikal, dalam hal ini pengaruh instrumen Erhu terhadap Lagia, namun tulisan pastor Hammerle paling tidak menimbulkan hipotesis penulis bahwa Lagia kemungkinan besar mendapat pengaruh dari instrumen Erhu yangg dibawa oleh masyarakat China ketika terjadi kontak budaya antar masyarakat lokal. Penjelasan lebih detail tentang hal ini akan dijelaskan pada pembahasan bab selanjutnya.

3.2.1. Lagia Dalam Music In Nias Oleh Japp Kunts (1939).

Tulisan tentang instrumen Lagia sudah ditulis terlebih dahulu oleh seorang etnomusikolog bernama Japp Kunts dalam bukunya yang berjudul Music In Nias (1939).

Japp Kunts dalam bukunya tersebut menulis tentang klasifikasi instrumen musikal dalam masyarakat Nias berdasarkan sistem klasifikasi oleh Curt sach dan Hornbostel (1961).

Dalam tulisan tersebut, Kunts menulis sebuah nama instrumen tergolong kordofon yaitu instrumen One Stringed Spitted Lute (instrumen jenis lute yang berdawai tunggal).

Dalam tulisannya tersebut, Kunts tidak menulis secara jelas nama instrumen bahkan mengatakan “...native name unknown” (nama lokal daripada instrumen tersebut tidak diketahui). Kunts menambahkan bahwa instrumen ini sangat primitive dan dimainkan dengan sebuah busur ( very primitive spitte lute played with a bow). Instrumen spitted lute ditemukan di Nias Selatan pada tahun 1925 oleh Dr. Paul Wirz dan diperkenalkan sampai ke museum etnologikal di Bale. Kunts mendeskripsikan bangunan instrumen yaitu

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA resonator instrumen terbuat dari kayu berbentuk konis yang keras dan berongga, bagian

belakang terbuka dan bagian depan terrtutup oleh sepotong kayu tipis. Gagang instrumen

merupakan tongkat kayu yang panjang menembus diameter resonator sehingga beberapa

sentimeter muncul pada bagian resonator dan membentuk kaki instrumen (..foot of the

instrumen). Senar instrumen ini terbuat dari serat bambu ( bamboo fibre). Selain itu,

Kunts juga menyebut bahwa instrumen ini memiliki bridge berbentuk setengah lingkaran

(semicircular) yang memberikan jarak antara resonator dengan senar. Untuk mengatur

ketegangan senar, Kunts mengatakan bahwa tidak hanya melalui bridge tetapi dapat juga

diatur dengan memindahkan bagian yang melingkar (loop) ke atas atau ke bawah (Kunts,

1939:43). Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud “the loop” oleh Kunts pada gagang

senar adalah Nasa5, yaitu bagian yang berbentuk cincin dipasang secara melingkar pada

gagang senar , berfungsi untuk mengatur ketegangan senar.

Berdasarkan deskripsi instrumen Spitted lute yang dikemukakan oleh Japp Kunts,

penulis yakin bahwa instrumen yang dimaksud adalah Lagia. Namun, kemungkinan

istilah Lagia pada saat itu (sekitar tahun 1925 pada saat ditemukan oleh Dr. Wirz) belum

dipakai oleh masyarakat Nias sebagai native name instrument (nama lokal instrumen)

untuk menjelaskan instrumen spitted lute, sehingga Kunts tidak menyebut istilah Lagia

dalam tulisannya tersebut. Selain itu, Kunts mengatakan bahwa adanya bagian yang

melingkar pada bagian gagang (the loop). Tulisan ini menunjukkan bahwa Lagia sudah

ada sejak 91 tahun yang lalu. Namun penulis berpendapat bahwa Lagia yang ditemukan

oleh Dr. Wirz kemungkinan sudah ada sebelum tahun 1925.

3.3. Konstruksi Lagia

Untuk membahas konstruksi instrumen lagia, penulis mengacu pada instrumen Lagia

yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Instrumen ini terdiri dari beberapa bagian yang

5 Lihat Gbr 10 dalam Bab III :Nasa. Hal. 37

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memiliki fungsi masing-masing (lihat lampiran daftar Gambar). Penjelasan mengenai bagian-bagian dari instrumen Lagia akan dijelaskan pada sub judul pembahasan berikut ini.

3.4. Teknik Pembuatan Lagia

Pembahasan mengenai teknik pembuatan Lagia meliputi bahan baku pembuatan dan proses pembuatan. Di dalam pembahasan ini penulis mengacu pada informasi dari bapak

Hezatulȍ Ndruru sebagai informan penulis.

3.4.1. Bahan Baku Pembuatan Lagia

Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru sebagai pembuat alat musik Lagia mengatakan bahwa sesungguhnya ukuran bagian-bagian Lagia tidak memiliki standar ukuran yang tetap. Ukuran Lagia tergantung kepada pembuatnya. Beliau juga menambahkan bahwa pada zaman dulu, pembuat Lagia tidak menggunakan alat ukur yang baku seperti pemggaris, tetapi mereka menggunakan sistem jengkal. Hal ini menimbulkan perbedaan ukuran-ukuran Lagia. Dalam pembahasan ini, penulis mengacu pada ukuran

Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Berikut penjelasannya:

3.4.1.1. Bahan Pembuatan Resonator

30-35 cm

18-22 cm

Gbr.4. Batang Pohon aren (Dokumentasi: penulis,2016)

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Resonator adalah bagian daripada instrumen lagia yang terbuat dari batang pohon aren, nibung atau sembarang kayu yang dinilai memiliki kualitas yang baik dan tentunya tahan lama, tidak mudah rapuh. Salah satu sisi resonator dibiarkan terbuka, sementara sisi lainnya ditutup menggunakan pelepah pinang atau triplek. Ukuran resonator tidak tetap.

Namun, pada umumnya resonator berukuran 30-35 cm, dengan diameter ± 18-22 cm. kayu yang digunakan sebagai resonator memiliki ketebalan ± 1,5 cm. Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru, awalnya resonator lagia terbuat dari batang pohon aren. Namun pada perkembangannya, pembuat Lagia tidak lagi memilih batang pohon aren karena sulit ditemukan, sehingga mereka mencari alternatif lain dan memilih kayu yang dianggap memiliki kualitas yang baik. Meskipun demikian, batang pohon aren memiliki kualitas kayu yang tahan lama dan tidak mudah rapuh. Namun, apabila dilihat dari kualitas bunyi yang dihasilkan, resonator yang terbuat dari batang pohon aren menghasilkan bunyi yang lebih kecil dan cenderung rendah dibandingkan dengan resonator yang terbuat dari kayu yang menghasilkan bunyi yang lebih nyaring. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, hal ini dipengaruhi oleh ketebalan kayu aren dibandingkan dengan sembarang kayu yang memiliki ketebalan lebih tipis.

3.4.1.2. Bahan Pembuatan Gagang Senar

75-80 cm

Gbr.5. Gagang senar pada Lagia

(Dokumentasi : Penulis,2016)

Gagang senar pada instrumen lagia dibuat sama seperti batang kayu yang digunakan sebagai resonator. Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru, gagang senar lagia

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA disesuaikan dengan kayu yang digunakan sebagai resonator. Hal ini berarti apabila

resonator terbuat dari batang pohon aren, maka gagang senarnya terbuat dari potongan

kayu aren yang sudah dipotong dan ditipiskan. Gagang ini tidak memiliki ukuran yang

tetap, tergantung kepada pembuat Lagia. pada umumnya gagang ini berukuran ± 75-80

cm. Kayu sebagai penyangga senar menembus sampai ke bagian bawah resonator. Ujung

senar yang ditarik miring dari ujung atas kayu akan diikatkan pada ujung kayu yang

menembus resonator tersebut.

3.4.1.3. Senar

Senar pada instrumen Lagia terbuat dari akar salak (wa’a guluwi). Namun,

keterbatasan sumber daya alam akar salak maka pembuat Lagia menggunakan tutura6

sebagai alternatif lain untuk dijadikan sebagai senar Lagia pengganti akar salak. Senar

yang terbuat dari tutura ( rotan) yang memiliki ukuran ± 1.5 meter. Penjelasan dari bapak

Hezatulȍ Ndruru mengatakan bahwa sebelum senar digesek, tutura terlebih dahulu diolesi

air sehingga kesat dan bisa menghasilkan bunyi akibat gesekan pada busur penggesek.

Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru, pada zaman dahulu, pemain Lagia pada

umumnya memiliki kebiasaan makan sirih, sehingga mereka cukup meludahi air sirih itu

ke atas instrumen, lalu senar pada busur penggesek dioleskan ke resonator tersebut.

Gbr.6. Senar Lagia ( Dokumentasi : penulis,2016)

6 Sejenis tumbuhan sebangsa rotan yang banyak tumbuh di wilayah hutan di Pulau Nias. di wilayah Nias Selatan, istilah untuk menyebut tumbuhan ini adalah tura-tura. Ketersediaan tutura dalam jumlah yang banyak dan tidak sulit ditemukan mengakibatkan pembuat Lagia menggunakan tumbuhan ini sebagai senar pada Lagia.

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.4.1.4. Bridge (Jembatan senar)

Gbr.7. Bridge (Dokumen:penulis, 2016)

Bridge pada instrumen Lagia terbuat dari sembarang kayu. Namun, pada Lagia yang dibuat oleh Bapak Hezatulȍ Nduru, bridge terbuat dari kayu sineu yang berukuran panjang

± 5 cm dan tinggi ± 3.5 cm. Jembatan senar ini dipasang pada penutup sisi kanan resonator yang menyangga senar supaya tidak menyentuh penutup pada sisi kanan resonator.

Gbr. 8. Posisi bridge pada penutup resonator (Dokumentasi : Penulis,2016)

Selain di bagian penutup resonator, bridge ini juga dipasang di sebelah atas nasa di ujung atas gagang senar, berfungsi untuk mengatur ketegangan senar. Bridge ini bersifat moveable. Apabila bridge digeser ke bawah, maka senar akan semakin tegang dan sebaliknya. Hal ini mempengaruhi intensitas bunyi yang dihasilkan oleh instrumen Lagia.

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.4.1.5. Penutup Sisi Kanan Resonator

Bagian penutup sisi kanan resonator dibuat dari mowa (pelepah pinang) yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran diameter resonator. Penggunaaan mowa sebagai penutup sisi kanan resonator sudah lama dikenal oleh pembuat Lagia. Namun, pada saat ini mereka tidak lagi menggunakan mowa, tetapi menggunakan kayu yang tipis atau triplek. Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru mengatakan bahwa mowa memiliki kelemahan yaitu sifatnya yang cepat kering yang membuat penutup resonator terbuka, sehingga dianggap tidak terlalu baik untuk menghasilkan bunyi yang lebih nyaring.

Sementara itu, triplek memiliki batas nilai guna yang cukup lama dibandingkan dengan pelepah pinang (mowa). Pada bagian tengah mowa atau triplek dibuat lubang dengan diameter ± 2 cm. Lubang pada penutup sisi kanan resonator berfungsi untuk menghantar bunyi pada bagian penutup yang diterima melalui getaran pada bridge yang dihasilkan oleh gesekan busur penggesek pada senar Lagia.

Gbr.9. Mowa (pelepah pinang) (Dokumentasi : penulis,2016)

3.4.1.6. Nasa

Nasa adalah bagian pada instrumen Lagia berbentuk cincin yang terbuat dari tutura, dipasang melingkar pada bagian atas gagang senar dibawah bridge (lihat gbr 10). Nasa

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA berfungsi sebagai pengatur tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan oleh isntrumen lagia.

Sama halnya seperti bridge yang dipasang pada bagian atas gagang senar, nasa juga

bersifat moveable. Apabila nasa digeser makin ke bawah, maka nada yang dihasilkan

lagia akan semakin tinggi dan sebaliknya. Tentunya, pada saat nasa digeser bridge pun

ikut digeser mengikuti arah nasa bergeser. 7

Gbr. 10. Nasa (Dokumentasi penulis, 2106)

3.4.1.7. Busur Penggesek

Busur penggesek Lagia terbuat dari kayu yang memiliki sifat lentur sehingga mudah

melengkung membentuk busur 8. Pada saat ini pembuat lagia lebih banyak menggunakan

bambu. Sementara itu, senar penggesek terbuat dari tutura yang juga digunakan sebagai

senar pada lagia. Panjang kayu yang dibutuhkan adalah ± 35 cm, dilengkungkan sampai

. Sementara itu, senar penggesek (tutura) memiliki panjang ± 30 cm (lihat daftar

gbr). Dalam teknik permainannya, senar busur penggesek terlebih dahulu diolesi dengan

air. Hal ini sangat berpengaruh terhadap intensitas bunyi Lagia. Apabila busur penggesek

7 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 14 April 2016 di Museum Pusaka Nias. 8 Lihat daftar Gambar (busur penggesek)

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tidak diolesi air maka gesekan tidak akan menghasilkan bunyi. Pembasan lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas pada sub pembasan berikutnya.

3.5. Peralatan yang Digunakan

3.5.1. Pahat

Pahat adalah berupa alat bilah besi yang memiliki ujung yang tajam. Pahat adalah salah satu peralatan yang sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan Lagia yaitu sebagai alat untuk melubangi resonator serta mengurangi ketebalan kayu (Hezatulȍ,2016).

Gbr.11.Pahat (Dokumentasi: Penulis,2016)

3.5.2. Gergaji

Gergaji digunakan untuk memotong kayu yang digunakan sebagi gagang peyangga senar Lagia yang telah dibentuk sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.

Gbr.12. Gergaji (Dokumentasi: Penulis, 2016)

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.5.3. Palu Kayu

Palu kayu merupakan alat yang digunakan untuk memukul pahat dalam proses melubangi resonator Lagia.

Gbr.12. Palu kayu (Dokumentasi: Penulis,2016)

3.5.4. Kampak

Kampak digunakan sebagai alat untuk memotong dan batang pohon aren/ kayu lain yang akan dijadikan sebagai resonator.

Gbr.13. Kampak (Dokumentasi: Penulis, 2016)

3.5.5. Parang

Parang digunakan sebagai alat untuk membersihkan batang pohon aren yang sudah dipotong . Parang membersihkan bagian kulit bagian luar dari batang pohon.

Gbr.14. Parang (Dokumentasi: Penulis,2016)

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

3.5.6. Amplas

Amplas atau disebut juga sebagai kertas pasir adalah jenis kertas yang digunakan untuk membuat permukaan benda-benda menjadi lebih halus, dengan cara menggosokkan salah satu permukaan amplas pada permukaan benda. Dalam proses pembuatan Lagia, amplas digunakan untuk menghaluskan permukaan batang pohon yang digunakan sebagai resonator.

3.5.7. Lem Perekat

Lem perekat yang digunakan dalam proses pembuatan Lagia adalah lem china yang digunakan untuk merekatkan triplek yang telah dibentuk sesuai dengan ukuran diameter resonator pada ujung kanan resonator, berfungsi sebagai penutup lubang resonator.

3.6. Proses Pembuatan

Proses pembuatan Lagia terdiiri atas beberapa tahap yang tidak sekaligus dilakukan dalam waktu yang bersamaan, terlebih pada saat pengumpulan bahan baku seperti batang pohon aren atau kayu sineu, rotan, dan bahan baku lainnya. Setelah bahan-bahan yang diperlukan sudah tersedia, baik bahan baku maupun peralatan, maka selanjutnya adalah proses pembentukan bahan dan dibentuk sesuai dengan desain kerangka, konstruksi pada bagian Lagia. Dalam pembahasan ini, penulis akan memberi informasi berdasarkan bentuk dan ukuran instrumen lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Beliau menjelaskan bahwa pada umumnya lagia dibuat dengan ukuran panjang resonator ± 30-35 cm, gagang senar ± 1 m, dan panjang senar ±1,5 m. Jarak bridge dengan nasa juga akan mempengaruhi intensitas bunyi serta tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan. Selain itu, jarak antara lubang penyangga senar dengan ujung kanan resonator memiliki jarak ±12 cm. Sementara itu, lubang pada bagian penutup sisi kanan resonator memiliki diameter ± 2 cm.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Proses pembuatan lagia pada dasarnya dilakukan secara manual tanpa menggunakan peralatan mesin. Proses ini dimulai dari proses pengumpulan bahan baku, proses pemahatan pada resonator, pengikisan hingga proses penghalusan.

Tabel 1.

Tahapan proses pembuatan instrumen Lagia

NO TAHAPAN BAGIAN

PENGERJAAN PENGERJAAN

1. TAHAP I  Proses pengumpulan bahan baku

 Proses pembersihan dan pengikisan bagian luar

resonator.

2 TAHAP II  Proses pembuatan lubang dan pengikisan bagian

dalam resonator

 Proses pembuatan lubang pada resonator sebagai

tempat gagang senar

3. TAHAP III  Proses pembuatan bagian penutup resonator

 Proses pembuatan lubang pada bagian penutup

resonator

4. TAHAP IV  Pemotongan kayu gagang senar

 Proses pemasangan gagang senar

 Proses pemasangan senar ,bridge dan nasa

 Proses pembuatan busur penggesek

 Tahap akhir

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.6.1. Tahap I

3.6.1.1. Proses Pengumpulan Bahan Baku

Proses pengumpulan bahan baku adalah proses yang paling awal dalam pembuatan

Lagia. Pada proses ini, bapak Hezatulȍ Ndruru biasanya memesan bahan baku dari

Lahusa atau Gomo (wilayah Nias Selatan), sehingga beliau tidak langsung turun ke lapangan tetapi menunggu pesanannya tersebut dikirim dari kampung. Penjelasan dari bapak Hezatulȍ Nduru mengatakan bahwa bahan baku yang dipesan tersebut antara lain; batang pohon akhe (aren) , dan tutura (rotan). Proses ini membutuhkan waktu selama ±2 minggu hingga sampai kepada bapak Hezatulȍ Nduru. Ukuran kayu yang dipesan disesuaikan dengan kebutuhan yaitu batang pohon aren atau kayu sineu yang berdiameter

18-22 cm.

Panjang batang pohon seluruhnya tergantung keadaan pohon yang dipilih. Batang pohon tersebut kemudian dipotong menjadi bongkahan- bongkahan yang memiliki panjang 30-35 cm. Selain itu, proses pembuatan lubang pada resonator sebagian sudah dilakukan. Menurut bapak Hezatulȍ Nduru, hal ini menghewat waktu dalam proses pemotongan serta pembuatan lubang pada bagian dalam resonator. Beliau menambahkan bahwa bongkahan kayu tersebut tidak hanya digunakan sebagai resonator Lagia saja, tetapi juga digunakan sebagai bahan pembuatan tutu atau tamburu, yaitu gendang kecil termasuk ke dalam klasifikasi membranophone-double head.

3.6.1.2. Proses Pembersihan dan Pengikisan Bagian Luar Resonator

Perlu diketahui bahwa bagian luar daripada bongkahan batang pohon aren atau pohon sineu yang telah dipotong masih sangat kasar. Bagian luar bongkahan batang pohon aren, misalnya, masih ditutupi oleh serabut dan kulit bagian luar, demikian juga dengan batang pohon sineu yang masih kasar dan tertutup dengan kulit bagian luar. Oleh sebab itu dibutuhkan proses pembersihan untuk mengikis kulit bagian luar bongkahan batang

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pohon supaya terlihat lebih halus dan siap untuk dijadikan sebagai resonator lagia (lihat gbr.15)

Proses ini dilakukan dengan menggunakan kampak. Selama proses ini, pembuat

Lagia harus lebih hati-hati untuk menghindari kerusakan pada bagian luar resonator.

Selain untuk membersihkan kulit bagian luar, proses ini juga sekaligus bertujuan untuk mengurangi ketebalan resonator.

Gbr.15. proses pembersihan bagian luar resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gbr.16. Proses pembersihan bagian ujung resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.2. Tahap II

3.6.2.1. Proses Pembuatan Lubang dan Pengikisan Bagian Dalam Resonator.

Proses pemahatan/ pembuatan lubang pada resonator adalah proses yang dilakukan setelah proses pembersihan bagian luar resonator. Proses ini menggunakan pahat untuk melubangi bagian dalam resonator. Perlu diketahui bahwa proses ini telah dilakukan terlebih dahulu oleh pengrajin dimana kayu ini dipesan. Sehingga, bongkahan batang pohon aren yang diterima oleh bapak Hezatulȍ Ndruru sudah dalam keadaan berlubang.

Meskipun demikian, proses pembuatan lubang ini tidak dilakukan secara sempurna, sehingga dibutuhkan proses pemahatan lebih lanjut. Proses ini akan dilakukan oleh bapak

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Hezatulȍ Nduru. Selama proses ini, peralatan yang dibutuhkan antara lain; palu kayu dan pahat.

Gbr.17. Proses pembuatan lubang pada resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

Selain pembuatan lubang , proses ini juga sekaligus bertujuan untuk mengikis bagian dalam resonator, untuk mengurangi ketebalan kayu (lihat Gbr. 17 dan 18) Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh pada bunyi yang akan dihasilkan. Apabila ketebalan resonatornya semakin tipis, maka intensitas bunyi yang dihasilkan akan lebih besar dan sebaliknya. Perlu diketahui bahwa bongkahan batang pohon aren memiliki sifat kayu yang sangat keras dan tebal, sehingga proses pembuatan lubang ini membutuhkan waktu yang lama sekitar ±1 minggu bahkan lebih. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan bagi

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pembuat Lagia untuk mencari batang pohon pengganti yang tidak lebih tebal dan keras dibandingkan dengan batang pohon aren, seperti batang pohon sineu. Dengan mendapatkan batang pohon pengganti, maka hal ini tentunya akan menghemat waktu pembuatan Lagia. Berdasarkan informasi dari bapak Hezatulȍ Ndruru, ketebalan kayu yang diharapkan menjadi resonator paling tidak mencapai ±1-1,5 cm. Proses ini membutuhkan ketelitian dan sikap hati-hati untuk menghindari kerusakan pada resonator.

Gbr.18. Pengikisan lubang resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.2.2. Proses Pembuatan Lubang Pada Resonator Sebagai Tempat Gagang senar.

Langkah selanjutnya adalah membuat lubang pada bagian luar resonator sebagai tempat gagang senar. Proses ini diawali dengan mengukur jarak antara ujung resonator yang akan ditutupi dengan triplek atau pelepah pinang dengan lubang gagang senar.

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dalam hal pengukuran, pembuat Lagia tidak menggunakan alat ukur yang baku, tetapi menggunakan sistem jengkal atau menggunakan benda di sekitar mereka sebagai patokan dalam hal pengukuran selama proses pembuatan

Lagia.

Dalam proses pengukuran jarak antara ujung resonator dengan lubang gagang senar, bapak Hezatulȍ Ndruru menggunakan gergaji sebagai patokan ukuran jarak tersebut. pertama-tama beliau mengukur diameter resonator (lihat gbr 19) , kemudian mengukur jarak ujung resonator dengan lubang gagang senar dengan jarak setengah dari diameter resonator (lihat gbr 20). Diameter resonator lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ

Ndruru adalah 22 cm, sehingga jarak antara ujung resonator dengan lubang tempat gagang senar adalah 11 cm.

Gbr.19. Proses mengukur diameter resonator menggunakan gergaji (Dokumentasi penulis, 2016)

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Setelah itu, langkah selanjutnya adalah mengukur lebarnya kayu/ gagang senar untuk menentukan besarnya lubang yang akan dibuat. Kemudian mulai lah melubangi resonator sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Mengingat Lagia adalah instrumen spike fiddle, maka proses pembuatan lubang gagang senar tidak hanya di bagian atas resonator, tetapi bagian bahwah resonator ikut dilubangi tegak lurus/ vertikal dengan lubang atas resonator. Proses pembuatan lubang ini menggunakan palu kayu dan pahat (lihat gbr 22).

Perlu diketahui bahwa pembuat lagia selain tidak menggunakan alat ukur baku, mereka juga tidak menggunakan alat tulis sebagai alat untuk menandai ukuran yang diinginkan pada resonator. Mereka cukup mengandalkan benda sekitar seperti parang yang bisa digoreskan sehingga mereka dapat mengingat ukuran yang diinginkan pada resonator

(lihat gbr 21).

Gbr. 20. Proses mengukur jarak antara ujung resonator dengan lubang gagang senar (Dokumentasi penulis, 2016)

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gbr.21. Menggunakan parang sebagai penanda untuk mengingat ukuran yang ditentukan (Dokumentasi penulis, 2016)

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gbr.22. Proses pembuatan lubang tempat gagang senar. (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.3. Tahap III 3.6.3.1. Proses Pembuatan Bagian Penutup Sisi Kanan Resonator Setelah proses pembuatan lubang pada resonator, maka dilanjutkan dengan pembuatan bagian penutup lubang pada sisi kanan resonator. Pada umumnya pembuat menggunakan pelepah pinang untuk membuat bagian penutup pada sisi kanan resonator.

Perlu diketahui bahwa pelepah pinang tidak terlalu sulit ditemukan karena tumbuhan pinang tumbuh banyak diwilayah daratan kepulauan Nias. Namun, pelepah pinang mempunyai kekurangan yaitu sifatnya yang tidak tahan lama dan cepat kering. Apabila mereka menggunakan pelepah pinang, maka pembuat Lagia harus secara rutin mengontrol bagian penutup resonator tersebut. Jika sudah tidak layak dipakai lagi maka harus

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA digantikan dengan pelepah pinang yang baru. Hal ini sangat merepotkan bagi pembuat

Lagia.9 Oleh sebab itu, pembuat Lagia mencari bahan pengganti yang lebih tahan lama,

dan akhirnya memilih triplek untuk menggantikan pelepah pinang sebagai penutup sisi

kanan resonator. Selain tahan lama, bahan penutup resonator yang terbuat dari triplek juga

akan mempengaruhi intensitas bunyi. Bagian penutup triplek akan menghasilkan bunyi

yag lebih nyaring.

Gbr. 23 Proses Pengukuran diameter pelepah pinang pada sisi resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

9 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, pada tanggal 11 April 2016 di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A, Gunungsitoli

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sebelum proses pemasangan bagian penutup resonator, maka terlebih dahulu pelepah pinang diukur sesuai dengan diameter resonator ,demikian juga halnya dengan triplek

(lihat gbr 23). Awalnya pelepah pinang yang belum dipotong, diletakkan pada resonator tepat di bawah salah satu sisi lubang resonator. Resonator dalam keadaan didirikan.

Kemudian, oleh si pembuat Lagia akan memotong pelepah pinang secara melingkar dari kanan ke kiri menggunakan pahat (lihat gbr 24). Dengan demikian akan didapatkan ukuran yang sama antara diameter bagian penutup dengan sisi lubang resonator.

Gbr.24. Proses pemotongan pelepah pinang menggunakan pahat (Dokumentasi penulis, 2016)

Setelah proses pemotongan selesai, proses selanjutnya adalah pembuatan lubang pada bagian penutup tersebut. Ukuran diameter lubang ini diperkirakan saja, disesuaikan

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan ukuran diameter resonator.10 Namun, pada umunya lubang ini berdiameter ±2 cm.

Setelah pembuatan lubang pada bagian penutup, kemudian pelepah pinang siap untuk

dipasang pada sisi kanan resonator (lihat gbr 25). Namun Perlu diketahui bahwa proses

pemasangan bagian penutup berbeda disesuikan bahan apa yang digunakan. Apabila

menggunakan triplek, maka si pembuat Lagia akan menggunakan lem perekat untuk

merekatkan triplek pada sisi kanan resonator. Tetapi apabila menggunnakan pelepah

pinang, maka si pembuat Lagia tidak menggunakan lem perekat tetapi cukup dengan

memasang bridge sebagai perekat pelepah pinang pada resonator.

Gbr.26. Proses pemasangan pelepah pinang pada sisi kanan resonator. (Dokumentasi penulis, 2016)

10 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Nduru, tanggal 11 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yous Sudarso No. 134 A, Gunungsitoli

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.6.4. Tahap IV

3.6.4.1. Proses Pemotongan Kayu Penyangga Senar

Setelah proses pembuatan bagian penutup sisi kanan resonator, tahap selanjutnya adalah mempersiapkan kayu penyangga senar untuk siap dipasang pada resonator. Kayu yang digunakan adalah kayu yang tidak mudah patah dan tahan lama. Pada awalnya pembuat Lagia mengggunakan kayu dari batang pohon nibung, atau pohon aren. Namun, saat ini selain kedua jenis kayu tersebut, batang pohon sineu juga menjadi alternatif lain yang digunakan sebagai kayu penyangga senar. Pada saat bahan baku dipesan, maka kayu penyangga senar sudah dalam keadaan dipotong dengan ukuran panjang yang tidak teratur, tetapi ketebalan kayu sudah diukur sekitar ±2 cm.

Gbr.27. Proses pemotongan kayu penyangga senar

(Dokumentasi penulis, 2016)

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Proses pemotongan kayu (lihat gbr. 27) penyangga senar selanjutnya akan dikerjakan oleh pembuat Lagia dengan cara memperkirakan panjang kayu menggunakan sistem jengkal. Apabila di ukur dengan dengan alat ukur penggaris, panjang kayu mencapai 80 cm- 1 meter. Kayu ini dipotong menggunakan gergaji.

Setelah kayu dipotong sesuai dengan ukuran yang ditentukan, langkah selanjutnya adalah memasang kayu pada lubang tenpat gagang senar pada bagian atas resonator yang berjarak ±11 cm dari ujung sisi kanan resonator. Perlu diperhatikan bahwa terkadang besarnya lubang dengan ketebalan kayu penyangga senar berbeda. Apabila hal ini terjadi maka yang dilakukan adalah mengikis bagian ujung kayu penyangga menggunakan parang

(lihat gbr 28).

Gbr.28. Proses pengikisan ketebalan ujung kayu penyangga senar (Dokumentasi penulis, 2016)

70

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Proses ini bertujuan supaya kayu penyangga tidak longgar sehinggga tidak mudah lepas. Apabila lubang yang dibuat terlalu besar, maka yang dilakukan adalah melilit bagian ujung kayu penyangga menggunakan tutura (rotan). Setelah itu kayu penyangga ditancapkan ke lubang resonator hingga menembus lubang di bagian bawah resonator yang telah dibuat tegak lurus dengan lubang sisi atas resonator . Panjang ujung kayu peyangga yang menembus resonator adalah sekitar ± 0,5-1 cm (lihat gbr 29).

Gbr. 29. Bagian bawah resonator dan panjang gagang senar yang menembus resonator (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.4.2. Proses Pemasangan Senar, Bridge, dan Nasa

Proses selanjutnya adalah pemasangan senar, bridge dan Nasa. Pertama adalah pemasangan senar. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa senar yang digunakan adalah tutura (rotan) yang berukuran panjang ± 1,5 meter. Perlu diketahui bahwa pada ujung kayu penyangga dibuat sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai tempat dimana senar akan diikatkan pada ujung kayu. Setelah senar diikatkan pada ujung kayu penyangga, senar ditarik miring ke arah sisi kanan resonator. Senar ditarik sampai ke bawah resonator dimana ujungnya diikatkan pada ujung kayu penyangga yang menembus resonator. Perlu

71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diperhatikan bahwa pada saat pemasangan senar, senar harus benar-benar dibuat setegang mungkin karena ketegangan senar akan mempengaruhi bunyi yang dihasilkan.

Bridge adalah bagian jembatan senar yang dipasang pada bagian penutup resonator.

Selain itu, bridge juga di pasang pada pertengahan ujung kayu penyangga dengan nasa.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa baik nasa maupun bridge berfungsi untuk mengatur ketegangan senar dan mengatur tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan Lagia. Oleh sebab itu setelah proses pemasangan senar dilanjutkan dengan pemasangan bridge baik pada bagian penutup sisi kanan resonator maupun pada bagian pertengahan atas kayu penyangga dan juga nasa. Dengan demikian, pembuat Lagia dengan mudah mengatur ketegangan senar.

3.6.4.3. Proses Pembuatan Busur Penggesek

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Lagia dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur penggesek. Busur penggesek terbuat dari kayu yang bersifat lentur seperti jenis bambu dan senarnya yang terbuat dari tutura (rotan). Proses pembuatan busur penggesek diawali dengan pembuatan gagang senar yang berukuran ± 35 cm dan senar yang berukuran panjang ± 30 cm.

Langkah pertama adalah mengikat salah satu ujung senar pada salah satu ujung kayu

(lihat gbr.30). Setelah itu, ujung senar yang lain akan diikatkan pada ujung kayu/ bambu lainnya. Perlu diperhatihan bahwa pada proses pemasangan ujung senar kedua pada ujung kayu penyangga/ bambu, dalam waktu bersamaan ujung kayu penyangga akan ditarik melengkung sehingga membentuk sudut , diikuti dengan mengikatkan ujung senar pada ujung kayu yang dilengkungkan tersebut (lihat gbr 31). Ornamentasi juga dibuat untuk menambah nilai estetika pada busur penggesek.

72

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Ornamen ini berupa proses dimana kayu/ bambu dililit menggunakan tutura (rotan), sehingga bentuk asli kayu/ bambu busur penggesek tersebut tidak kelihatan karena tertutupi lilitan rotan.

Gbr. 30. Ujung senar penggesek diikatkan pada salah satu ujung kayu (Dokumentasi penulis, 2016)

73

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gbr. 31. Proses pemasangan senar penggeser; kayu penyangga dilengkungkan (Dokumentasi penulis, 2016)

3.6.4.4.Tahap Akhir

Tahap akhir dari pembuatan Lagia adalah proses akhir yang dilakukan setelah proses

utama pembuatan Lagia sudah selesai. Tahap akhir ini meliputi: penghalusan resonator,

dan penyelarasan bunyi. Pemberian ornamen pada Lagia ditentukan menurut keinginan si

pembuat Lagia. Namun pada umumnya Lagia tidak diberi ornamen ataupun diwarnai

menggunakan cat. Hal ini bertujuan untuk menjaga keaslian warna Lagia11. Adapun

ornamen yang digunakan oleh pembuat Lagia adalah ornamen kebudayaan Nias, yaitu

lambang segitiga berwarna merah, kuning dan hitam.

Proses penghalusan resonator adalah kegiatan yang menggunakan amplas untuk

membuat bagian luar resonator terlihat lebih halus. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, pada

awalnya proses ini tidak dilakukan oleh pembuat Lagia. Mereka cukup membuat

bagaimana supaya benda yang mereka buat itu dapat menghasilkan bunyi sehingga bisa

11 Berdasarkan wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 15 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A kota Gunung Sitoli

74

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menjadi hiburan bagi mereka12. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,

pembuat Lagia melakukan proses penghalusan resonator untuk mendapatkan hasil kerja

yang lebih baik.

Setelah proses penghalusan maka tahap pengerjaan terakhir yang dilakukan oleh

pembuat Lagia adalah melakukan penyelarasan bunyi dengan mengatur nasa dan bridge

dengan cara menggeser ke bawah atau ke atas ujung kayu penyangga senar. Hal ini jelas

akan mempengaruhi tinggi-rendahnya bunyi dan intensitas bunyi yang dihasilkan Lagia.

Proses penyelarasan bunyi pada Lagia tidak menggunakan instrumen lain yang menjadi

patokan untuk mendapatkan tinggi –rendahnya nada yang sesuai dengan sistem notasi

barat. Proses ini dilakukan cukup sederhana,yaitu pembuat Lagia cukup menyesuaikan

pitch nada yang dihasilkan disesuaikan menurut pendengaran si pembuat Lagia. Hal ini

akan dibahas lebih jelas pada sub judul berikutnya.

Setelah proses penyelarasan bunyi dianggap sudah sesuai oleh si pembuat Lagia,

dengan demikian proses pembuatan instrumen Lagia sudah selesai dan siap untuk

dimainkan.

3.7. Teknik Memainkan Instrumen Lagia

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Lagia dimainkan dengan cara digesek (Friction)

menggunakan busur penggesek. Cara memainkan Lagia hampir sama seperti memainkan

instrumen Cello atau Erhu. Lebih lanjut dalam pembahasan akan menjelaskan tentang

bagaimana posisi tubuh pada saat memainkan Lagia. Aspek mekanisme produksi bunyi

juga akan menjadi hal penting yang akan dibahas dalam pembahasan ini.

12 Berdasarkan wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 15 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A kota Gunung Sitoli

75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.7.1. Posisi Tubuh Memainkan Lagia

Posisi badan pada saat memainkan sebuah instrumen adalah hal penting yang harus

diperhatikan untuk mendapatkan posisi yang nyaman bagi seorang pemain alat musik.

Posisi tubuh saat memainkan Lagia didasarkan pada kebiasaan yang berkembang dalam

kehidupan kesenian masyarakat Nias.13 Pada saat memainkan Lagia, posisi badan adalah

duduk dilantai dan kayu penyangga senar disandarkan pada bahu sebelah kiri (lihat gbr

32). Sementara itu resonator diletakkan menyentuh lantai. Posisi kaki diatur tidak terlalu

terikat. Posisi kaki disesuaikan menurut keinginan si pemain Lagia. Ada pemain Lagia

yang melipat kaki kiri sementara kaki kanan dibuat lurus ke depan mengarah ke resonator

dan sebaliknya. Hal ini mementingkan posisi kaki yang nyaman bagi si pemain Lagia.

Gbr. 32. Posisi Tubuh memainkan Lagia ( Dokumentasi : penulis, 2016)

13 Pada umumnya posisi seorang pemain musik dalam masyarakat Nias pada saat memainkan alat musik adalah duduk di lantai. Kecuali pada saat memainkan Gȍndra( gendang), faritia(canang), dan Aramba (gong) dalam pesta adat pernikahan masyarakat Nias, pada umumnya pemain musik dalam keadaan berdiri. Meskipun demikian dalam sebuah pertunjukkan budaya masih ditemukan pemain musik tradisional Nias memainkan alat musik dengan posisi berdiri, seperti pemain surune (seruling).

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Selain posisi tubuh, hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi jari, khususnya jari tangan sebelah kiri. Posisi jari sebelah kiri diletakan diatas kayu penyangga senar tepat di bawah nasa. Posisi ini diatur untuk membentuk formasi jari-jari yang menekan senar saat memainkan tangga nada pada instrumen Lagia. Sementara itu tangan kanan memegang busur penggesek.

3.8. Mekanisme Produksi Bunyi Instrumen Lagia

Mekanisme produksi bunyi pada instrumen Lagia adalah sebuah sistem yang berkesinambungan antara komponen-komponen instrumen pada Lagia. komponen- komponen daripada Lagia masing-masing memiliki fungsi masing-masing, sehingga bekerja membentuk sebuah sistem untuk menghasilkan bunyi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa instrumen Lagia dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur penggesek. Sementara itu tinggi-rendahnya nada ditentukan oleh posisi nasa dan bridge pada kayu penyangga senar. Sedangkan jari-jari tangan sebelah kiri bergerak menekan senar untuk memainkan tangga nada pada instrumen Lagia. Setelah merasa sudah nyaman dengan posisi tubuh, pemain Lagia siap untuk memainkan Lagia.

Pada saat memainkan Lagia, posisi tangan kanan pemain memegang ujung kiri bawah busur penggesek kemudian menarik busur dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.

Perlu diketahui bahwa posisi busur penggesek diletakkan pada senar dekat dengan bagian penutup sisi kanan resonator. Selain itu hal yang harus diperhatikan adalah sebelum memainkan Lagia, terlebih dahulu baik itu senar maupun senar busur penggesek harus diolesi dengan air. Apabila tidak diolesi dengan air maka gesekan busur penggesek pada senar tidak bisa menghasilkan intensitas bunyi yang nyaring.

Proses pengolesan air pada kedua senar adalah kegiatan untuk membuat senar menjadi kesat oleh karena air sehingga serat yang tidak terlihat pada tutura akan dihasilkan lebih

77

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA banyak. Serat yang dihasilkan lebih banyak pada kedua senar akan bergesek sehingga

menimbulkan bunyi yang lebih nyaring. Dalam waktu yang bersamaan jari tangan kiri

akan menekan senar sehingga menghasilkan tinggi nada yang berbeda sesuai dengan nada

yang diinginkan. Jelas bahwa pada saat busur penggesek ditarik maka terjadi gesekan pada

senar. Gesekan tersebut menimbukan getaran yang ditransfer pada bridge yang dipasang

pada bagian penutup resonator. Kemudian getaran yang diterima oleh bridge akan

diteruskan pada lubang bagian penutup resonator (pelepah pinang atau triplek) sehingga

menggetarkan udara yang ada di dalam lubang resonator dan akhinya mengeluarkan bunyi

pada lubang resonator sisi kiri yang dibiarkan terbuka. Demikian mekanisme instrumen

Lagia menghasilkan bunyi.

3.9. Nada Yang Dihasilkan Instrumen Lagia

Perlu diketahui bahwa informasi mengenai nada yang dihasilkan oleh instrumen

Lagia dalam tulisan ini didasarkan pada penjelasan dari bapak Hezatulȍ Ndruru sebagai

seorang pembuat sekaligus pemain alat musik tradisional Nias. Lagia memiliki senar

tunggal yang terbuat dari tutura (rotan) yang bersifat frettless. Pada umumnya Lagia

menghasilkan empat nada dan tidak mempunyai nada terendah. Nada tersebut adalah

do,re,mi, fa, Posisi jari sebelah kiri sangat menentukan untuk menghasilkan ke empat nada

yang berbeda ini mengingat Lagia adalah instrumen yang bersifat fretlless.

Instrumen Lagia dikenal hanya dapat mengiringi lagu He Lagia .14 Lagu tersebut

memiliki melodi yang sederhana yaitu terdiri dari empat nada (tetratonik). Lagu He Lagia

adalah lagu yang dikenal oleh masyarakat Nias sebagai satu-satunya lagu yang dapat

diiringi oleh instrumen Lagia.

14 Satu-satunya lagu yang dikenal masyarakat diiringi oleh instrumen Lagia adalah lagu “He Lagia” ( hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru). mengenai hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada pembahasan bab IV tulisan ini.

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Di dalam hal menentukan nada dasar / tonal pada instrumen Lagia, penulis menggunakan tuner. Sebagai hasilnya, penulis menemukan bahwa nada dasar pada instrumen Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru adalah nada Ges. Oleh sebab itu, keempat nada yang terdapat pada instrumen Lagia adalah nada Ges, As, Bes dan B.

Posisi jari sangat menentukan untuk menghasilkan nada-nada tersebut mengingat instrumen ini bersifat frettless.

Dengan mempelajari teknik permainan dari Bapak Hezatulȍ Ndruru, penulis memperkirakan nada yang dihasilkan berdasarkan posisi jari pada instrumen Lagia pada saat dimainkan adalah sebagai berikut:

 Terbuka : Nada Do

 Ibu jari : Nada Re

 Jari telunjuk : Nada Mi

 Jari tengah : Nada Fa

3.10. Kesimpulan

Dengan demikian deskripsi instrumen Lagia meliputi klasifikasi instrumen yang didasarkan pada sistem Sach-Hornbostel, proses pembuatan, tahapan pengerjaan, teknik memainkan, mekanisme produksi bunyi dan nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen

Lagia. Lagia adalah sebuah instrumen berdawai yang termasuk klasifikasi Chordophone-

Spike fiddle- singgle-stringed yang dibuat dari bahan baku sumber alam yaitu batang aren pohon aren atau batang pohon sineu, potongan kayu nibung atau aren, dan akar salak atau rotan. Ketiga bahan baku tersebut dibentuk dengan pola dan ukuran masing-masing yang memiliki fungsi masing-masing. Proses pengumpulan bahan baku cukup memerlukan waktu dibandingkan dengan proses pembuatan instrumen Lagia yang lebih cepat. Selama proses pengerjaan instrumen Lagia memerlukan berbagai peralatan yang bisa membantu

79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA proses pembuatan Lagia lebih cepat. Perlu diketahui bahwa dalam hal pengukuran, pembuat Lagia tidak menggunakan alat ukur yang baku seperti penggaris. Mereka cukup mengandalkan sistem jengkal untuk memperkirakan ukuran bagian-bagian Lagia.

Teknik memainkan Lagia pertama-tama adalah memperhatikan posisi tubuh dan jari tangan kanan-kiri. Hal ini terkait dengan posisi nyaman bagi seorang pemain Lagia. selebihnya adalah terkait dengan mekanisme produksi bunyi pada instrumen Lagia.

Insturmen Lagia dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur penggesek.

Mekanisme produksi bunyi Lagia adalah sebuah sistem yang terbentuk dari setiap komponen-komponen Lagia yang masing-masing memiliki fungsi sehingga Lagia dapat menghasilkan bunyi.

Akhirnya Lagia adalah instrumen berdawai tunggal yang bersifat frettless. Oleh sebab itu posisi jari sebelah kiri pada senar sangat menentukan untuk mendapatkan ketujuh nada yang dihasilkan oleh Lagia. Lebih jauh akan dijelaskan pada pembahasan sub judulnya berikutnya mengenai struktur musikal instrumen Lagia di dalam lagu He Lagia

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

TRANSKRIPSI DAN ANALISIS LAGU HE LAGIA

Pada bab IV akan dijelaskan mengenai transkripsi dan analisis bunyi yang dihasilkan oleh instrumen Lagia dalam sebuah lagu yang berjudul He Lagia. Penjelasan meliputi pengetian transkripsi dan analisis, tranksripsi dan analisis lagu He Lagia, serta aspek lainnya yaitu deskripsi analitis mengenai teks lagu He Lagia. Diharapkan pembahasan akan memberikan informasi mengenai aspek musikalitas yang terdapat dalam lagu He

Lagia serta instrumen Lagia sebagai pengiring lagu tersebut. Berikut penjelasannya.

4.1. Pengertian Transkripsi dan Analisis

Berdasarkan pendapat Bruno Nettl seorang etnomusikolog (1964) dalam bukunya yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology mengatakan bahwa ada dua hal yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam kegiatan penelitian displin etnomusikologi.

Kedua hal tersebut adalah kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).

Dalam hal ini penulis mengacu pada kerja laboratorium mengingat bahwa kerja laboratorium adalah berkaitan dengan kegiatan transkripsi dan analisis.

Lebih jelas Nettl menjelaskan bahwa ada dua pendekatan untuk mendeskripsikan musik; (1)kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) kita dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang kita lihat .Oleh karena itu untuk menganalisis instrumen lagia maka penulis perlu proses untuk menotasikan/menuliskan bunyi instrumen yang telah direkam ke dalam bentuk simbol visual. Dengan demikian, penulis dapat mendeskripsikan serta menganalisis struktur bunyi instrumen Lagia dari simbol notasi visual tersebut. Hal ini lah yang disebut transkripsi dan analisis ( Netll

1964:97-98). Randel dalam The Harvard Dictinary of Music, menulis tentang pengertian transkripsi (transcription) adalah “the reduction of music from live or recorded sound to

81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA written notation (mereduksi musik secara langsung atau bunyi yang direkam ke dalam bentuk notasi tertulis ( Randel 2003: 902).

Dengan demikian konsep transkripsi dan analisis yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menuliskan apa yang di dengar serta mendeskripsikan melodi yang terkandung di dalam lagu He Lagia.

4.1.1. Transkripsi Lagu He Lagia

Untuk memahami lebih lanjut mengenai unsur musikalitas pada instrumen Lagia, penulis memilih lagu He Lagia sebagai satu-satunya lagu yang dikenal oleh masyarakat

Nias yang diiringi oleh instrumen Lagia. Dalam hal ini penulis akan mentranskripsikan lagu He Lagia berdasarkan hasil rekaman lagu yang dinyanyikan oleh bapak Hezatulȍ

Ndruru ke dalam simbol notasi barat.

Mengenai analisis melodi dalam lagu He Lagia akan dibahas pada sub judul berikutnya. Berikut adalah simbol yang digunakan di dalam transkripsi lagu He Lagia:

Key signature Tanda istirahat Not 1/8 bernilai ½ ketuk

½ ketuk

4.1.2. Deskripsi Analisis Melodi Lagu He Lagia

Di dalam mengkaji struktur lagu He Lagia, penulis akan mengacu pada metode weighted scale oleh William P.Malm (1977) yang mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: 1. scale

(tangga nada), 2. nada dasar (pitch center), 3. range (wilayah Nada), 4. frequency of notes

82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (jumlah nada-nada), 5. prevalent Intervals (interval yang dipakai), 6. cadence patterns

(pola-pola kadensa), 7. melodic formulas (formula-formula melodi), 8. contour (kontur).

4.1.2.1. Tangga Nada (Scale)

Tangga nada (scale ) adalah nada-nada yang tersusun dari yang terendah ke nada yang tertinggi dengan interval tertentu ( Randel,2003:757). Dengan demikian, tangga nada dalam lagu He Lagia dipahami sebagai susunan nada-nada terendah ke nada yang tertinggi dengan interval tertentu yang terdapat di dalam lagu tersebut.

Di dalam lagu He Lagia terdapat empat nada ( tetratonik) yaitu nada Ges, As, Bes, dan B. Berikut tangga nadanya:

4.1.2.2 Nada Dasar (pitch center)

Untuk mengetahui nada dasar (pitch center), penulis mengacu pada hasil rekaman permainan instrumen Lagia oleh Bapak Hezatulȍ Ndruru yang pada saat memainkan

Lagia, beliau juga menyanyikan lagu He Lagia. Rekaman terebut kemudian ditranskripsikan ke dalam notasi barat. Dengan menggunakan tuner sebagai alat untuk membantu penulis mendapatkan nada dasar pada lagu He Lagia, akhirnya penulis menemukan bahwa nada dasar lagu He Lagia yang dinyanyikan oleh bapak Hezatulȍ

Ndruru adalah nada Ges.

4.1.2.3. Wilayah Nada (Range)

Wilayah nada adalah jarak antara nada tertinggi dengan nada terendah. Yang dimaksud dalam hal berarti mengacu pada interval nada tertinggi dan nada terendah yang terdapat dalam lagu He Lagia. diketahui bahwa tangga nada dalam lagu He lagia adalah 1-

83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2-3-4 atau do-re-mi-fa (Ges- As, Bes-B). Dengan demikian nada terendah adalah nada

Ges dan nada tertinggi adalah nada B. Interval keempat nada adalah 1-1-1/2. Jenis interval ini disebut sebagai Kwart Perfect (4P) dengan wilayah nada adalah 2 .

4.1.2.4. Jumlah Nada (Frequency of Notes)

Jumlah nada adalah jumlah nada-nada yang dipakai secara keseluruhan dalam suatu musik baik dalam instrumen maupun vokal. Di dalam lagu He lagia, penulis menemukan jumlah nada Ges adalah 22, nada As berjumlah 15, nada Bes berjumlah 9, dan nada B berjumlah 6. Perlu diketahui bahwa jumlah nada-nada tersebut diatas didasarkan pada jumlah nada di setiap lirik. Nada yang sering muncul adalah nada Ges disusul oleh nada

As, Bes dan B. Dengan demikian, intensitas kemunculan yang paling banyak adalah Ges sehingga mengindikasikan bahwa nada tersebut sebagai pusat tonalitasnya.

Berdasarkan jumlah nada yang diperoleh dalam setiap lirik lagu He Lagia, maka jumlah nada secara keseluruhan dalam tiga lirik He Lagia yaitu:

Tabel 4.1. Jumlah nada dalam lagu He Lagia

No Nada Jumlah Nada Total (X 3 lirik) Dalam 1 lirik Ges 22 66 1 As 15 45 2 Bes 9 27 3 B 6 18 4

4.1.2.5. Jumlah Interval ( Prevalent Interval)

Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari interval naik maupun turun. Di bawah ini adalah jumlah interval yang terdapat dalam lagu “He Lagia”

84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tabel 4.2.

Jumlah Interval lagu “He Lagia”

Interval Posisi Jumlah Interval/1 lirik Total Total (3 lirik)

1p - 24 24 72

2M 15 31 93 16

2m 4 8 24 4

Berdasarkan tabel tersebut, maka interval yang paling banyak digunakan di dalam penyajian lagu He Lagia adalah interval second Mayor (2M) dengan jumlah 93 kali, interval 1P dengan jumlah 72 kali, interval 2m dengan jumlah 24 kali. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa interval 1P dan 2M memiliki peranan penting dalam membentuk lagu He Lagia.

4.1.2.6. Pola Kadensa

Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi yang menjadi penutup pada bagian akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna melodi tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut dalam satu frasa. Dalam lagu

He Lagia hanya terdapat 1 jenis pola kadensa baik dari akhir melodi maupun pertengahan melodi. Berikut pola kadensa pada lagu He Lagia:

85

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.1.2.7. Formula Melodi

Formula melodi dalam pembahasan ini diartikan sebagai bentuk penyajian melodi dalam lagu He Lagia. Malm menjelaskan bahwa terdapat lima istilah yang dapat digunakan untuk mengalisis formula melodi yaitu :

1. Repetitive adalah bentuk nyanyian dengan melodi pendek yang diulang-ulang.

2. Iterative adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan

kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian.

3. Strophic adalah bentuk melodi yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang

baru atau berbeda.

4. Reverting adalah bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frasa

pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi.

5. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi

melodi yang selalu baru.

Dari beberapa istilah tersbut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa bentuk penyajian melodi dalam lagu He Lagia termasuk ke dalam kategori nyanyian Strophic.

4.1.2.7. Kontur

Kontur adalah garis pergerakan melodi dalam sebuah nyanyian. Malm membedakan kontur ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:

1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih

rendah ke nada yang lebih tinggi.

2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih

tinggi ke nada yang lebih rendah.

86

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih

tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau

sebaliknya.

4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada

yang lain baik naik maupun turun.

5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi

ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih

tinggi.

6. Disjucnt yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang

lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor.

7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan.

Berdasarkan istilah tersebut di atas makan dapat disimpulkan bahwa pergerakan garis melodi dalam lagu He Lagia umumnya adalah ascending, descending, conjuct, dan juga static. Untuk lebih jelas perhatikan gambar di bawah ini

- Kontur ascending dan decending

- Kontur static

- Kontur conjuct

87

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4.2. Teks Lagu He Lagia

Lagu He Lagia adalah sebuah nyanyian rakyat yang berkembang dalam masyarakat

Nias. Nyanyian ini dikenal sebagai nyanyian pelipur lara yang mengandung makna

kesedihan dari kisah hidup si penyair 15. Berikut adalah teks lagu He Lagia:

1. He ha Lagia bȍi ofȍnu,...... (Hai Lagia jangan kau marah)

Ba bȍi fanaba akhe wofȍnu,...... (dan jangan marah seperti memotong

menebang pohon aren)

Ba bȍi folau hȍlua wolau khȍgu...... (dan jangan perlakukan aku seperti

semak berduri)

2. He ha Lagia bȍi ofȍnu...... (Hai Lagia jangan kau marah)

Lȍ tatu lala mbawa he aekhu,...... (belum pasti dimana bulan akan

terbenam)

Lȍ tatu lala luo he atoru,...... (belum pasti dimana matahari akan

terbenam)

3. He ha Lagia bȍi ofȍnu,...... (Hai Lagia jangan kau marah)

Zi bȍi halȍ ba hulumȍ khȍgu...... (Jangan lah kau jadikan aku

bebanmu)

Me fa’aurigu hulȍ mo’u-mo’u...... (karena hidupku seperti lumut)

Berdasarkan informasi dari bapak Hezatulȍ Ndruru , teks lagu He Lagia diatas

adalah teks yang biasa digunakan oleh masyarakat di daerah Nias tengah sampai ke daerah

Lȍlȍwa‟u, Nias Selatan. Sementara itu, teks lagu He Lagia tersebut di atas memiliki

perbedaan dengan teks lagu He Lagia yang berkembang di masyarakat Gomo. Meskipun

15 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 11 April 2016, di Museum Pusaka Nias,JL. Yos Sudarso N0.134 A, kota Gunungsitoli

88

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA demikian pada dasarnya kedua teks lagu He Lagia baik yang berkembang di daerah

Lȍlȍwa‟u maupun di Gomo pada dasarnya mengandung makna yang sama.

Dilihat dari sisi teksnya, bahasa lagu He Lagia menggunakan majas personifikasi

yaitu majas atau gaya bahasa yang membandingkan benda-benda tak bernyawa seakan-

akan memiliki sifat seperti manusia16. Dalam hal ini Lagia sebagai benda mati dianggap

memiliki sikap marah seperti manusia.

Meriam dalam buku The Anthropology of Music, menulis demikian: “one of the most

striking examples is shown by the fact that in song the individual or the group can

apparently express deep-seated feelings not pemissibly verbalized in other contexts”

(1964:190) ,(salah satu contoh yang paling mencolok ditunjukkan oleh fakta bahwa dalam

lagu individu atau kelompok ternyata bisa mengungkapkan perasaan yang mendalam yang

tidak dizinkan untuk diungkapkan dalam konteks lain). Selain itu Trasey dalam Meriam

menjelaskan bahwa : “...in song express symbolically the plethora or similar incidents

which gratify, amuse, exasperate,or sadden the common people-comunity expression

through the self expression of their composers..”(1964:194), ( dalam sebuah lagu terdapat

ungkapan secara simbolis mengenai insiden yang serupa seperti kebahagiaan,

hiburan,menjengkelkan atau menyedihkan, berdasarkan ekspresi dari sebuah kelompok

atau ekspresi perasaan pencipta lagu tersebut).

Berdasarkan pendapat baik Malm maupun Tracey menjadi dasar pemikiran bahwa

teks lagu He Lagia memiliki makna ekspresi perasaan dari penyair dilihat dari isi teks

yang digunakan. Ketika seseorang menyanyikan lagu He Lagia , penyair dianggap sedang

menceritakan kisah hidupnya yang malang kepada Lagia. Instrumen Lagia sebagai benda

mati dianggap akan selalu mendengar keluh kesah si penyair tanpa bantahan dari Lagia

itu sendiri. Selain itu dalam teks lagu He Lagia, terdapat sebuah konsep pemikiran yang

16 http://www.abimuda.com/2015/09/pengertian-dan-macam-macam-majas-lengkap-beserta-contoh.html

89

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengkritik sikap keegoisan manusia yang tidak peduli dan tidak mau mendengar keluh

kesah hidup orang disekitarnya17.

4.3. Kesimpulan

Manusia dapat mengungkapkan perasaannya dalam bentuk teks nyanyian. Lagu He

Lagia adalah salah satu nyanyian yang berkembang dalam masyarakat Nias dan memiliki

makna tersendiri bagi seorang penyair lagu tersebut. Teks lagu He Lagia mengandung

makna kiasan yang menceritakan kisah hidup si penyair yang sangat malang.

Berdasarkan hasil transkripsi lagu He Lagia menunjukkan bahwa lagu ini merupakan

lagu yang terbentuk dari tangga nada tetratonik dengan kontur pada umumnya adalah

conjuct (interval melangkah). Selain itu diketahui bahwa formula melodik yang bersifat

stropic, yaitu teks yang terus berubah namun melodi nya tetap sama.

17 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 11 April 2016 di Museum Pusaka Nias

90

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V

INSTRUMEN LAGIA SEBAGAI HASIL KONTAK BUDAYA ANTARA

KEBUDAYAN CHINA DAN KEBUDAYAAN NIAS

Pada bab V akan dibahas mengenai pengaruh kebudayaan China dalam sejarah kebudayaan masyarakat Nias. Pembahasan meliputi sumber-sumber sejarah yang mendukung adanya peradaban kebudayaan China di Nias. Lebih jauh akan menjelaskan bagaimana proses kontak budaya antara kedua kebudayaan China dan Nias pada abad ke-

11. Aspek penting lainnya adalah unsur-unsur kebudayaan masyarakat Nias yang diyakini mendapat pengaruh dari kebudayaan China. Dengan demikian , pembahasan ini diharapkan akan menjadi alasan yang kuat untuk menguji spekulasi penulis terkait pengaruh instrumen

Erhu dari China terhadap instrumen Lagia dalam kebudayaan musikal masyarakat Nias, mengingat skripsi ini membahas mengenai kajian organologis Lagia yang tidak hanya melihat Lagia dari sisi konstruksi tetapi lebih kepada studi kesejarahan. Pada akhir pembahasan akan membahas kesimpulan terkait instrumen Lagia sebagai hasil kontak budaya masyarakat China dengan masyarakat Nias. Mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut pada akhir bab tulisan ini.

5.1. Jejak Kebudayaan China Di Masyarakat Nias Dalam Catatan Sejarah

Sejarah kebudayaan masyarakat Nias dapat diketahui dari sumber sejarah berupa catatan-catatan yang dijelaskan melalui tulisan ilmiah seperti buku, jurnal dan lain-lain.

Beberapa tulisan ilmiah tersebut tampil dengan versi yang berbeda-beda. Artinya pendapat mengenai asal-usul kebudayaan Nias dapat dilihat dari perspektif non ilmiah (kepercayaan lokal) dan ilmiah (data teoritis). Di samping itu tidak sedikit tulisan ilmiah lainnya juga menulis tentang pengaruh kontak budaya eksternal dalam kebudayaan masyarakat Nias.

91

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Salah satu kontak eksternal dengan kebudayaan asing yang ditulis di dalam catatan sejarah latar belakang kebudayaan Nias adalah kontak kebudayaan dengan China. Menurut

Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008)18.

Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengacu pada dua bentuk sumber sejarah yang berupa tulisan-tulisan kuno dan tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Nias.

Kedua sumber sejarah tersebut diharapkan mampu memberikan argumen yang dapat mendukung pendapat bahwa pernah terjadi kontak budaya antara China dengan masyarakat Nias sekitar abad ke-11.

5.1.1. Sumber Tulisan

5.1.1.1.Catatan Tuanko Tentang Pelabuhan Sing Kwang (Singkuang) (1368 -1645)

Pastor Hammerle menulis dalam buku Asal Usul Masyarakat Nias tentang pengaruh kebudayaan Tionghoa yang diduga pernah datang ke pulau Nias. Tulisan –tulisan yang dimuat Pastor Hammerle dalam bukunya tersebut didasarkan pada sebuah catatan kuno yaitu catatan yang ditulis oleh Pongkinangolngolan Sinambela, gelar Tuanko Rao. Tuanko

Rao menulis tentang pelabuhan Singkwang (Singkuang) yang terletak di pantai Barat

Sumatera, berjarak sangat dekat dari wilayah Gomo dan Lahusa di pulau Nias. Pelabuhan

Singkuang didirikan oleh dinasti Ming sebagai pelabuhan eksport kayu meranti ke China.

Selain sebagai pelabuhan, Singkuang juga merupakan pemukiman masyarakat Tionghoa

18 https://aidildelau.wordpress.com/2014/04/16/asal-usul-leluhur-ono-niha-nias/

92

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang tinggal sekitar tahun 1368 s/d 1645 atau sekitar abad ke-11(Hammerle, 2001:154-

163).

Berdasarkan catatan Tuanko Rao, pelabuhan Sing Kwang/ Singkuang di didirikan

pada masa pemerintahan Dinasty Ming sekitar tahun 1416 dibawah komando Laksamana

Haji Sam Po Bo (= Cheng Ho)19 yang merebut dan menduduki Muaralabuh di muara

sungai Batanggadis. Disitu didirikan pengerjaan kayu, dan didirikan pelabuhan Sing

Kwang (=Tanah Baru) yang lambat laun dikenal dengan Singkuang. 20

Lebih jauh Hammerle menjelaskan bahwa terdapat sebuah sungai di daerah Gomo

yang disebut sungai Nalawȍ persis berada disebelah barat Singkuang dan kota Telukdalam

terletak di sebelah barat Natal. Jarak sungai nalawȍ dengan Singkuang ±112 km

(hammerle, 2001:165). Letak geografis ini sangatlah mendukung terjadinya kontak antara

China yang berprofesi sebagai pedagang dan pemilik galangan kapal di Singkuang dulu

dengan masyarakat di pulau Nias khususnya masyarakat di daerah Gomo.

Catatan Tuanko Rao menjadi salah satu sumber sejarah yang cukup jelas mendukung

informasi kedatangan masyarakat China ke pulau Nias. Alasan geografis yang sangat

memungkinkan antara pelabuhan Singkuang dengan daerah Gomo dan Lahusa menjadi

bukti yang kuat bahwa telah terjadi kontak budaya antara China dan masyarakat Nias

sekitar abad ke -11.

19 Merupakan komando pelayaran di China pada masa pemerintahan Dinasty Ming, yang mendirikan Sing kwang dan oleh karena kepempimpinannya,koloni China yang tinggal di Singkuang memeluk agama Islam (Rao dalam Hammerle, 2001: 159). Selain itu, nama Laksamana Po Bo (=Cheng Ho) memiliki kesamaan nama leluhur suku Nias yang dikisahkan dalam sebuah tradisi lisan yaitu Hoho. Dalam teks Hoho disebutkan nama seseorang yaitu Ho=Hia yang diyakini sebagai keturunan manusia /leluhur suku Nias berasal dari daerah Gomo. Kemiiripan nama yang terdapat Catatan Tuanko Rao dan tradisi Hoho kemungkinan menjadi pendukung bahwa leluhur suku Nias berasal dari China . 20 Op.Cit. Hal 158

93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5.1.1.2. Kutipan Pendapat Ma Huan oleh Yoshiko Yamamoto Mengenai Istilah “Payung

Matahari”.

Dalam tesisnya di universitas Cornell (1986), Yoshiko Yamamoto mengutip pendapat

Ma, Huan (1970) yang mengatakan bahwa suatu dokumen yang historis dari abad ke-15 memberitahukan bahwa orang China menamakan pulau Nias sebagai Payung Matahari

(Parasol Island), tetapi tidak ada keterangan lebih lanjut tentang pulau itu. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui pada zaman dulu di wilayah Gomo , telah ditemukan perkampungan China dan “Parasol Island” atau “Pulau Payung Matahari”. Hal ini berarti bahwa penghuni pulau Nias menggemari pemakaian payung matahari (Hammerle, 2001:8).

Catatan mengenai sebutan “Payung Matahari” oleh orang China terhadap masyarakat

Nias memberitahukan bahwa China pernah datang ke Nias. sehingga masyarakat China memiliki istilah tersendiri untuk menyebut masyarakat Nias.

5.1.1.3. Tulisan Ama Norida Daeli, Nias Barat (1984)

Tulisan yang menyebutkan tentang kedatangan orang China juga ditulis oleh Ama

Norida Daeli. Sebuah tulisan tangan yang ditulis sendiri oleh Wilhelmus Fanga‟aro‟ȍ

Daeli alias Ama Norida Daeli yaitu tentang tradisi dan perkembangan marga Daeli di Nias bagian Timur dan Nias bagian Barat. Teks asli ditulis dalam bahasa daerah Nias yang kemudian diterjemahkan oleh Pastor Hammerle. Dalam tulisannya tersebut, Ama Norida menulis bahwa pada zaman dulu banyak orang China menggali tanah dikaki pegunungan di Afrika untuk menghasilkan perak, batu bara, besi, sulfur, emas, dan harta tanah lainnya.

Mereka kemudian mengirimnya ke China dengan berlayar menggunakan kapal-kapal kecil yang disebut biduk. Sewaktu mereka berada di tengah laut, terjadilah badai yang dahsyat.

Angin bertiup dari Selatan, Barat dan Timur. Badai yang dahsyat mengangkat biduk itu ke udara dan membawanya sampai di dekat Nias Selatan. Kemudian angin reda dan kapal itu

94

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA jatuh di atas Tanȍ Niha ( Tanah Manusia). Banyak orang meninggal terutama yang berada di pinggir kapal, sedangkan yang berada ditengah kapal kebanyakan selamat dan menjadi leluhur penduduk Nias Selatan. Ketika pedagang-pedagang dari China datang berkunjung ke Gunungsitoli mereka menemukan kapal kecil yang sudah tua dan hampir hancur bertuliskan huruf China, lalu mereka mengatakan kapal ini adalah milik kita.

Dalam tulisannya yang kedua, Ama Norida menulis tentang Hia-Ho. Dalam tulisan tersebut dia menulis bahwa pada zama dulu ada orang yang berlayar dari pulau

Madagaskar dekat Afrika Selatan, membawa satu biduk bermuatan perkakas keperluan rumah tangga. Ditengah perjalanan tiba-tiba biduknya diterbangkan oleh angin topan.

Angin kemudian reda dan biduknya jatuh di bumi Gomo. Peralatan biduk ditemukan masih teguh sampai sekarang yaitu rantai besi. Pada perkakas tersebut terdapat sebuah tulisan huruf China yaitu Hia-Ho (nama sungai di tanah China) (Daeli dalam Hammerle,

2001:176-178).

5.1.2. Sumber Tradisi Lisan

5.1.2.1. Mite Tentang Manusia Dari Atas( Siraso/Inada Samihara Luo ) Dalam lagu Hoho

di Desa Hilinawalȍ Fau.

Sebuah tradisi lisan (folklore) yang dikenal sebagai mitos berkembang dalam masyarakat Nias, khususnya di daerah Nias Utara dan Nias tengah meyakini bahwa leluhur masyarakat Nias adalah seorang perempuan. Perempuan itu bernama Siraso. Menurut tradisi lisan tersebut, masyarakat Nias percaya bahwa Siraso telah mendarat di sekitar sungai Nalawȍ dekat sungai Susua. Ibu Siraso mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Ho (Tuada Ho). Ho memiliki dua orang istri yang pertama bernama Nandrua

(Aweda Nandrua) dan yang kedua bernama Laoya Ana’a. Dalam tradisi lisan tersebut, Ho disebut juga sebagai Hia Walani Adu, Hia Walani Luo. Hukum (huku), adat istiadat

95

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (Hada, bȍwȍ), adat perkawinan (Hada ba wangowalu), pertanian, pertukangan yang

ditemukan di Nias sejak ratusan tahun yang lalu diyakini berasal dari keturunan Hia. Oleh

masyarakat Nias, Hia kemudian disebut sebagai keturunan dari desa atas ( banua si yawa)

(Hammerle, 2001:60). Keturunan Ho=Hia disebut juga keturunan Lani Ewȍna yang jauh

lebih maju dan menyebut dirinya sebagai Niha (manusia). Mereka merupakan pendatang

terakhir yang lebih maju dibandingkan dengan pendatang yang masih sangat terbelakang.21

Sejarah lokal yang berkembang dalam masyarakat Nias tentang “manusia dari atas”

tersebut dikisahkan dalam nyanyian vokal yang disebut Hoho22. Lagu Hoho sebagai

bagian dari tradisi lisan di desa Hilinawalȍ Fau bercerita tentang asal-usul masyarakat

Nias. Pada teks lagu pertama berbicara tentang seorang ibu yang bernama Simadulo Hȍsi

yang datang dari Asia dan berlabuh di muara susua23. Ibu itu dikisahkan mengalami

banyak derita dan kekurangan (inada sakao dȍdȍ). Pada lagu yang kedua, teks Hoho

berbicara tentang Ho=Hia (manusia dari atas) yang memiliki keturunan sebagai hasil

incest dengan ibunya sendiri.

Sementara itu, teks lagu Hoho yang ketiga juga berbicara tentang leluhur masyarakat

Nias yaitu berasal dari keturunan Ho-Hia. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa leluhur Nias

yang disebut Siraso adalah ibu dari Ho-Hia. Namun dalam teks Hoho yang ketiga ini, tidak

menggunakan nama Siraso, tetapi dalam teks Hoho tersebut memberitahukan bahwa ibu

dari Ho-Hia bernama Sibowo Ndrȍfi Madala yang kemudian disebut juga Inada Samihara

Luo. Hoho mengisahkan Inada Samihara Luo berlayar dari Asia dan perahunya terdampar

di Nias. Ibu itu melahirkan seorang anak dan diberi nama Ho. Ho incest dengan ibunya

21 Op.cit.Hal. 171-172 22 Merupakan tradisi musik vokal Nias yang dibawakan oleh sekelompok penghoho ( Sifahoho atau solau Hoho) yang semuanya adalah pria. Tradisi musikal Hoho tersebut dibawakan dalam gaya responsorial yang oleh orang Nias gaya menyanyi dalam Hoho disebut sifagema-gema ( bersahut-sahutan) (Dachi dalam jurnal Hoho, 1992 No 1, hal. 25-26) 23 Merupakan nama sebuah sungai di daerah Gomo yang berjarak ±6 km dari sungai Nalawȍ dan berhadapan dengan koloni China di Singkuang, Sumatera (Hammerle, 2001: 168)

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sendiri dan melahirkan dua orang anak kembar dan mereka dipisahkan oleh orangtuanya.

Anak pertama diberi nama Sadawa Mȍlȍ di tempatkan di hilir dan Soraizȍsȍma ditempatkan di hulu. Pada suatu hari Sadawa Mȍlȍ menemukan sekuntum bunga hibiskus terlilit dengan rambut yang hanyut di dalam sungai. Ketika Sadawa Mȍlȍ pergi ke hulu, dia bertemu dengan Soraizȍsȍma dan akhirnya mereka menikah. Mereka mempunyai sembilan anak dan ini lah yang menjadi leluhur dari suku Nias (Ono Niha).

Teks lagu Hoho tersebut dapat dipandang sebagai dongeng. Namun, apabila dihubungkan dengan koloni China di pelabuhan Singkuang maka kemungkinan besar dongeng tentang putri raja dari Asia sangat mendekati kenyataan (Hammerle, 2001: 176). pendapat Hammele cukup menjelskan bahwa tradisi Hoho yang berkembang dalam masyarakat Nias berhubungan dengan kedatangan orang China ke Nias.

5.2. Bukti Fisik Pengaruh Kebudayaan China Dalam Kebudayaan Nias

5.2.1 Ornamen Pada Takula Ana’a : Temuan Bapak Tapak Wong

Bukti pendukung kontak budaya antara China ternyata tidak hanya dilihat melihat catatan sejarah berupa tulisan dan tradisi lisan masyarakat lokal. Seorang ahli budaya keturunan China bernama Tapak Wong telah membuktikan adanya kontak budaya antara

China dengan Nias dengan melihat ornamen yang ada di Takula Ana’a (topi emas) yang digunakan oleh masyarakat Nias pada zaman dulu. Tapak Wong adalah seorang pengrajin emas sekaligus ahli budaya yang merupakan keturunan China. Ayahnya berasal dari

Kanton di negara China yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1927. Pada awalnya beliau berdomisili di Teluk Dalam kemudian pindah ke Gunung Sitoli pada tahun 1937.

Tapak Wong sebagai pengrajin emas memiliki koleksi topi emas ( Takula Ana’a) yang dibeli dari beberapa masyarakat Nias yang memiliki topi emas tersebut. Hal yang menarik

97

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ketika bapak Tapak Wong memperhatikan setiap ornamen yang ada di Takula Ana’a ,

beliau menemukan bahwa adanya ornamen yang mirip dengan diagram yang ditemukan di

Provinsi Kanton di China. Bentuk ornamen tersebut berbentuk lingkaran yang masing-

masing lingkaran memiliki jenis simbol yang berbeda. Lingkaran yang paling luar tampak

ukiran Wȍli-wȍli ( tumbuhan pakis) yang melambangkan kesuburan tanah. Lingkaran

yang kedua tampak ukiran 16 ujung tombak (Hulayo) yang melambangkan keberanian

atau kesatria. Lingkaran yang ketiga tampak ukiran buah dada wanita ( Ni’omeme) sebagai

lambang kesuburan manusia. Pada pusat diagram tampak ukiran empat daun yang

melambangkan niat untuk mempertahankan diri. Daun tersebut dinamakan Gese’ese dan

merupakan obat pendingin dan obat penawar (Hammerle,2001)24

Ornamen yang serupa juga tidak hanya ditemukan di topi emas tetapi dapat ditemukan

di ukiran pada papan rumah adat masyarakat Nias yang ada di Gomo ( Rafisa dalam

Hammerle, 2001).

5.2.2. Istilah Dalam Bahasa Nias Yang Mirip Dengan Istilah Bahasa di China

Dalam bukunya Asal-usul Nias, pastor Hammerle menulis bukti yang sangat

mendukung peradaban masyarakat Tionghoa dan hubungannya dengan latar belakang

kebudayaan masyarakat Nias. Hammerle menulis bahwa adanya kemiripan bahasa yang

digunakan oleh kedua kebudayaan tersebut menjadi bukti yang cukup jelas untuk

mengetahui bahwa leluhur orang Nias berasal dari China. Berikut daftar penggunaan

beberapa kata yang hampir memiliki makna yang sama antara bahasa Kanton (China)

dengan bahasa Nias.

Pertama, penggunaan kata Kehai atau Gehai oleh masyarakat Nias untuk menyebut

orang China. Kata “ Hai” dalam bahasa China berarti ke laut. Kemungkinan besar sebutan

24 Lihat gambar 5.2.1

98

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “Gehai” lebih kurang menjelaskan bahwa mereka yang disebut “Gehai” datang ke pulau

Nias melalui pelayaran. Dalam bukunya tersebut, Hammerle mengutip pendapat dari

Pastor Carol, seorang keturunan China dari pulau Penang, Malaysia. Carol mengatakan bahwa penggunaan kata “ Kehai” memiliki persamaan dengan sebutan orang China di

Surabaya. Orang China di kota Surabaya mendapat sebutan “Sihai” atau “Sehai”.

Perbedaannya hanya terdapat pada awalan kata saja. Sementara itu, kata “Sihai” dalam sejarah lokal masyarakat Nias merupakan salah seorang nama leluhur suku Nias. berdasarkan penjelasan dari pastor Carol tersebut, Hammerle meyakini bahwa istilah “

Sihai” atau “ Kehai” sama sekali bukan bahasa Nias, melainkan sebuah istilah yang masuk ke Nias bersamaan dengan kesinggahan orang China di Pulau Nias untuk berdagang atau menetap di Nias ( Hammerle, 2001: 184-185).

Kedua, keterangan dari bapak Tapak Wong sebagai pengarajin emas yang memberikan argumen terkait dengan bahasa Kantonis (bahasa penduduk di Kanton,

China), yang memiliki kemiripan dengan bahasa yang berkembang dalam masyarakat Nias

(Wong dalam Hammerle, 2001:186). Berikut Penjelasannya.

Tabel 5.1.

Daftar Bahasa Kanton-Nias yang memiliki kemiripan menurut bapak Tapak Wong

No Bahasa Kantonis Bahasa Nias

1 Ho Artinya dalam bahasa China: gandum, padi. Dalam bahasa Nias : “Uliho” = sekam padi.

2 Malu Artinya dalam bahasa Kantonis: berjalan cepat seperti kuda. Artinya: tidak sopan. Dalam bahasa Nias: Mȍi Malu : memburu.

3 Zai Artinya dalam bahasa Kantonis: kecil. Di Nias dikatakan : “ Fa’ebua ezai...., artinya besarnya seperti.....

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4 Lou Wa lang Artinya dalam bahasa Kantonis : Lou : tua; Wa : kata, nasehat; lang: sejuk, nyaman; Nama seorang leluhur di Nias : Lo-wa- Langi?

5 Hae Arti pertama adalah :laut; Kehai=pelaut. Seandainya nama leluhur Nias ditulis Sihae artinya adalah pelaut. Arti yang kedua dari Hae adalah : alas, dasar, sandal.

6 Hai Artinya :baik, bagus,indah, benarkah? Maka nama leluhur Sihai di Nias dapat diartikan sebagai :, Yang bagus, Yang baik.

7 Go Mo Dalam bahasa Kanton merupakan kalimat frustrasi: “ saya tidak ada lagi!”- bisa saja orang China yang terdampar di pantai Nias mengucapkan demikian. Apakah istilah ini ada hubungannya dengan nama kecamatan Gomo yang ada di Nias saat ini?

8 Siefo Dalam bahasa Kanton kata ini berarti: seberang. Sama artinya dengan kata Nias “Siyefo, misiyefo”.

9 Ho Artinya dalam bahasa Kanton :bagus

10 Hao Artinya dalam bahasa Mandarin : putih, suci, terang, bakti. Arti ini identik dengan kata Nias : Ohahau

11 Tae Artinya : besar, nama sungai di Nias : Idanȍ Tae

12 Sao Dalam bahasa Kantonis: membuang. Sama dengan kata Nias: Sasao= yang dibuang / sampah.

13 Oi fanȍ Artinya dalam bahasa Kanton sama dengan kata Nias “ Mofanȍ”, yang berarti : mau pulang/ pergi.

14 Fanȍ Artinya : berangkat ; sudah pulang

15 Yi’a Sama dengan kata Nias “ I‟a” artinya ikan.

16 Ya’ohou Artinya dalam bahasa Kantonis: sehat, baik, bagus. Bila sapaan Kantonis ini diucapkan cepat, hanya kedengaran: “Yahou”! Sama halnya dengan sapaan Nias : “Ya’ahowu” menjadi “ Yahowu” atau “ Yahou”.

17 Li Artinya dalam bahasa Kantonis mengandung unsur-unsur: hukum, pengajaran, pepatah, aturan, pokok, asal, budi, kepatuhan, upacara, budibahasa. Dalam bahasa Nias Nias : osa-osa-li = osali (singkatan); Li-gu da’ȍ! o’ȍ li namau! Taroma li= tahta dari suara, sabda.

100

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 18 Mao Artinya dalam bahasa Kantonis: kucing. – sama hal nya di Nias.

5.2.3. Pendapat Bapak Tapak Wong tentang Afore Asli di Nias

Afore adalah alat ukur berskala yang digunakan oleh masyarakat Nias untuk mengukur besarnya babi. Tapak Wong menjelaskan bahwa Afore asli yang ada di Nias mirip dengan

Afore yang dipakai di provinsi Kanton, China. Afore terbuat dari kayu atau rotan yang berskala ukuran panjang ditandai dengan irisan pisau pada badan tongkat. Afore Nias asli, menurut bapak Tapak Wong, bukan alat untuk mengukur panjang melainkan untuk mengukur berat dan merupakan suatu timbangan yang digantung atau diangkat dengan tangan saja (Wong dalam hammerle, 2001:188).

5.2.4. Persamaan Roman Muka dan Postur Tubuh

Masyarakat Nias seringkali memberi kesan mirip seperti orang China. Hal ini dibuktikan oleh seorang antropolog Italia, Elio Modigliani ( 1890). Ketika beliau berkunjung ke pulau Nias pada tahun 1886 mengakui bahwa di Nias Selatan terdapat orang bermata sipit yang mirip dengan orang China. Selain Modigliani, bapak Tapak Wong juga membenarkan bahwa mata sipit khas China banyak ditemukan di Nias, teristimewa di kecamatan Gomo (Hammerle, 2001: 189; 191).

Pendapat yang serupa juga pada umumnya diterima oleh sebagian orang Nias yang bepergian ke luar daerah Nias. Mereka dianggap sebagai keturunan orang China. Selain bentuk roman muka yang mirip dengan orang China, bahasa yang digunakan oleh orang

Nias kedengaran seperti bahasa China. Sehingga tidak sedikit pendapat yang mengatakan bahwa suku Nias adalah keturunan China.

101

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5.2.5.Persamaan Adat Istiadat Dalam Pesta Pernikahan

Bukti fisik lainnya yang mendukung pernyataan bahwa Nias adalah keturunan China

adalah budaya yang terdapat dalam pesta adat pernikahan masyarakat Nias yang mirip

dengan budaya yang terdapat dalam adat pernikahan di China. Budaya menyuguhkan sirih

kepada tamu ( fame’e afo) pada masyarakat Nias juga ditemukan di Kanton yang disebut

pangte. Selain itu dalam masyarakat Nias terdapat istilah “Mamuli Khȍ Zibaya” (Cross-

cousin). Istilah “Mamuli Khȍ Zibaya” digunakan untuk menjelaskan keadaan apabila

seorang laki-laki suku Nias menikahi putri dari pamannya sendiri. Zibaya artinya paman.

Tradisi yang sama juga ditemui dalam masyarakat di Kanton, China. Hal lain adalah

persamaan atraksi Alisan de Kunyang25 di Taiwan yang sama dengan atraksi yang ada di

Nias, seperti tari elang ( tari moyo), pemakaian gong kecil dan besar ( faritia dan Aramba)

serta tradisi pengusungan pengantin wanita dengan hiasan di kepala ( sai-sai dan bala

hȍgȍ).

Selain pendapat dari bapak Tapak Wong, seorang keturunan China yang tinggal di

Sibolga bernama Pang Wai Tib (1999) ketika diwawancarai mengatakan bahwa adanya

persamaan antara adat pernikahan di China dan di Nias. Pemberian sirih merupakan

kehormatan besar di China seperti di Nias. Perlu diketahui bahwa dalam pesta adat

pernikahan masyarakat Nias, pemberian sirih ( fame’e Afo) sangat berperan penting

sebagai simbol penghormatan. Pemberian sirih adalah bagian dari urutan acara yang

dilaksanakan dalam pesta adat Nias. Oleh karena dianggap sangat penting, pada saat

acara pemberian sirih (fame’e afo), rasa hormat disampaikan melalui nyanyian vokal yang

dinyanyikan secara responsoria.

25 Adalah sebuah atraksi tradisi yang dipertunjukkan oleh orang Taiwan yang terdapat di seluruh negeri China. Alisan adalah nama tarian, sedangkan Kunyang adalah istilah untuk menyebut mempelai wanita ( Hammerle, 2001: 189)

102

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pang Wai Tib menambahkan bahwa kegiatan memukul faritia (canang) dilakukan

juga di China dalam perarakan pengantin perempuan menuju rumah mempelai laki-laki. Di

China, pengantin perempuan dijemput dirumahnya, ditangisi, dia dikenakan tutup muka

dan diusung, sama seperti tradisi pengantin wanita di Nias (Tib dalam Hammerle,

2001:184)

5.2.6. Kebudayaan Megalithikum ( Hȍgȍ Lasara) yang Ditemukan Di Daerah Lahusa dan

Gomo

Eksistensi benda megalitihikum di Nias juga menunjukkan bahwa adanya pengaruh

kebudayaan China pada kebudayaan Nias. Benda yang dimaksud berupa ukiran motif

kepala naga. Pada masyarakat China , naga adalah simbol hewan yang melegenda sehingga

motif kepala naga adalah simbol hewan yang sangat diagungkan. Di seluruh wilayah di

Indonesia,tidak ada satu pun kebudayaan yang dikenal menggunakan motif kepala Naga

selain masyarakat China. Dengan demikian, keberadaan Hȍgȍ Lasara (motif kepala naga )

di Nias menunjukkan bahwa kebudayaan China eksis dalam kekebudayaan Nias.

Dalam masyarakat Nias, motif kepala naga disebut sebagai Hȍgȍ Lasara26. Hȍgȍ

adalah kepala, dan lasara adalah perahu. Sehingga Hȍgȍ Lasara diartikan sebagai kepala

atau ujung daripada perahu. Di kecamatan kepulauan Batu, nama Lasara dipakai untuk

menyebut “suatu perahu yang ajaib”27. Ukiran ini dapat ditemukan di bagian depan rumah,

pegangan pedang, peti mayat yang dibuat dalam bentuk Lasara (perahu). Di daerah Talu

Susua kecamatan Lahusa dan Gomo ditemukan patung yang dipahat terbuat dari batu.

26 Lihat gambar 5.2.6 27 Elio Modigliani (1886) dalam Hammerle, 2001: 205

103

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pahatan pada patung berbentuk Hȍgȍ Lasara yang terdiri dari satu atau tiga kepala yang

disebut osa-osa.28

Keberadaan ukiran Hȍgȍ Lasara di Nias Selatan menurut Pastor Hammerle memiliki

pengaruh dari China mengingat motif ukiran Hȍgȍ Lasara adalah berupa kepala Naga

yang persis terdapat dalam kebudayaan China. Hammerle menjelaskan bahwa koloni

China di Singkuang mempunyai pabrik kapal, sehingga dapat ditafsirkan bahwa fenomena

Hȍgȍ Lasara di Nias Selatan mendapat pengaruh dari kebudayaan China seiring dengan

kedatangannya ke pulau Nias pada abad ke-11 (Hammerle, 2001:206).

5.3. Proses Kontak Budaya Kebudayaan China dengan Kebudayaan Nias

Catatan sejarah tentang kedatangan masyarakat China ke pulau Nias memberi

informasi bahwa telah terjadinya kontak budaya antara China dengan masyarakat lokal.

Proses kontak budaya dapat terjadi melalui perdagangan, perkawinan, wisata,

peperangan,penyebaran agama dan sekolah29

Catatan dari Tuanko Rao menekankan letak geografis yang sangat memungkinkan

kedatangan orang China ke pulau Nias di daerah Gomo dan Lahusa. Rao menjelaskan

bahwa pelabuhan Singkuang adalah pelabuhan yang terkenal dengan eksport kayu meranti

ke China. Jelas bahwa keberadaan orang China di Singkuang terkait hubungan

perdagangan dengan masyarakat lokal. Letak pelabuhan Singkuang yang berdekatan

dengan daerah Gomo memungkinkan bagi orang China untuk datang ke pulau Nias melalui

jalur pelayaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses kontak budaya antara

28 Lihat Gambar 5.2.6.1

29 Kartomi, Journal for Society of Ethnomusicology. Vol. 3. 1981. pp 275 s.d. 297.

104

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA China dan Nias terjadi melalui jalur pelayaran. Selain proses pelayaran, perkawinan juga

menjadi salah satu media kontak budaya China dengan Nias. Artinya, orang China yang

datang ke Nias berbaur dengan masyarakat lokal dan kemungkinan orang-orang China

kawin dengan masyarakat setempat. Penulis berpendapat kemungkinan proses seperti ini

berkaitan dengan keberadaan masyarakat dari Nias Selatan yang menyebut dirinya

keturunan China Telukdalam.

Unsur-unsur pengaruh kebudayaan China dalam kebudayaan Nias dapat dipandang

sebagai sebuah proses akulturasi budaya. Dalam proses akulturasi tersebut, kebudayaan

China sebagai kebudayaan pendatang membawa pengaruh yang dominan terhadap

perkembangan kebudayaan masyarakat Nias sekitar abad ke-11, ketika terjadi kontak

budaya antara kebudayaan tersebut.

5.4. Deskripsi Instrumen Erhu Pada Masyarakat China

Erhu adalah instrumen yang dikenal berasal dari kebudayaan China30. Persebaran

kebudayaan China di daratan Asia, termasuk Indonesia, telah membawa dampak positif

terhadap perkembangan instrumen Erhu di Indonesia. Dengan demikian, tidak heran jika

Erhu dikenal hampir diseluruh wilayah di Indonesia.

Erhu merupakan instrumen yang memiliki resonator terbuat dari kayu eboni,

berukuran sekitar 13 cm, dengan panjang kayu penyangga senar adalah 81 cm. Bagian sisi

kanan tertutup oleh kulit ular sedangkan sisi kiri dibiarkan terbuka. Erhu memiliki dua

senar metal dengan panjang 76 cm dan busur penggesek yang senarnya terbuat dari bulu

ekor kuda. Dalam hal ini, posisi busur penggesek tidak bisa dipisahkan dengan senar,

karena busur penggesek terletak antara kedua senar. Erhu merupakan instrumen yang tidak

memiliki fingerboard (frettless), serta memiliki tala (pasak) dekat ujung atas gagang senar

30 Lihat gambar 5.4. Erhu

105

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Instrumen Erhu pada awalnya digunakan dalam ensambel musik China pada opera peking, dan pada abad ke-21, Erhu digunakan dikenal sebagai instrumen solo. Pada umumnya dimainkan bersamaan dengan nyanyian lokal (Randel, 2003: 192).

Melihat konstrusi instrumen Erhu, instrumen ini sangat mirip dengan konstruksi instrumen Lagia. Perbedaan antara kedua instrumen terletak pada jumlah senar, besar resonatornya , bentuk busur penggesek, dan material pembuatannya. Konsep bangunan secara umum antara Lagia dan Erhu memiliki kesamaan seperti bagian sisi kiri resonator yang dibiarkan terbuka, dan sisi kanan tertutup meskipun dengan material penutup yang berbeda (Lagia dengan mowa, sedangkan Erhu menggunakan snakeskin), dan keduanya merupakan jenis spike fiddle chordophone.

Dengan, mempelajari semua data ini bahwa sumber sejarah sebelumnya cukup memberikan informasi bahwa China pernah datang ke Nias melalui proses pelayaran.

Bukti sejarah tersebut mendasari spekulasi penulis sehingga menyimpulkan bahwa Lagia merupakan instrumen yang mendapat pengaruh dari instrumen Erhu yang di bawa oleh masyarakat China sekitar abad ke-11 ketika terjadi kontak budaya dengan masyarakat lokal. Hal ini berarti Lagia bukan merupakan native instrument dalam masyarakat Nias, tetapi merupakan hasil kontak budaya antara China dan Nias.

106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Kepentingan merupakan satu hal yang abadi dalam pribadi manusia selama hidup di dunia ini. Kepentingan membawa manusia untuk terus berubah dari zaman ke zaman.

Oleh sebab itu manusia yang hidupnya dinamis akan melakukan semua hal untuk memenuhi kebutuhannya yang semakin kompleks. Demikian halnya dengan masyarakat

China yang menginvasi daratan Asia ratusan tahun yang lalu, termasuk ke Indonesia.

Kepentingan perdagangan telah membawa masyarakat China melalui jalur pelayaran ke pulau Sumatera sekitar abad ke-7.

Pengaruh kebudayaan China di Sumatera berdampak hingga ke pulau Nias yang terletak di pantai barat Sumatera. Tuanko Rao menulis bahwa keberadaan pemukiman masyarakat China di tepi pantai barat Sumatera, yaitu pelabuhan Singkuang memiliki jarak yang sangat dekat dengan kecamatan Gomo dan Lahusa yang ada di Pulau Nias bagian Selatan. Beberapa sumber sejarah telah mmberikan informasi yang cukup membuktikan bahwa China pernah datang ke Nias. Hal ini didukung dengan penemuan unsur-unsur kebudayaan China dalam kebudayaan masyarakat Nias sampai hari ini.

Terlepas dari asli atau tidak aslinya, jelas bahwa Lagia adalah instrumen yang hanya ada di Nias. Lagia memiliki konsep konstruksi yang sama dengan Erhu yang ada di China.

Lagia memiliki empat bagian penting yaitu resonator, gagang senar, senar dan busur penggesek, yang membentuk satu sistem untuk menghasilkan bunyi pada instrumen Lagia.

Kehadiran instrumen Erhu mengarahkan penulis untuk melihat lebih jauh bahwa Erhu adalah instrumen yang harus dipandang sebagai terbentuknya instrumen Lagia.

Oleh karena itu, pembahasan dalam skripsi ini melihat hubungan sejarah yang mungkin

107

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ada dalam masyarakat Nias. Hal ini terbukti dengan sumber-sumber sejarah yang menulis bahwa masyarakat China pernah datang ke Nias sekitar abad ke-11.

Dengan demikian, maka penulis menyimpulkan bahwa, pertama, Lagia memiliki konsep konstruksi yang mirip dengan Erhu, yaitu spike- fiddle chordophone, dan frettless, dengan empat bagian penting; Kedua, Lagia bukan merupakan native instrument

(instrumen lokal) dalam masyarakat Nias melainkan hasil kontak budaya dengan masyarakat China pada abad ke-11. Dengan melihat unsur-unsur pengaruh kebudayaan

China yang ditemukan dalam kebudayaan masyarakat Nias, maka penulis menyimpulkan bahwa kebudayaan yang dominan dalam proses kontak budaya antara China dan Nias adalah kebudayaan China.

6.2. Saran

Tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan baik dari teknik penulisan terutama cara penyampaian informasi yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu dibutuhkan perbaikan –perbaikan demi kesempurnaan tulisan ini. Hubungan sejarah kebudayaan

China dengan masyarakat Nias masih dapat diuraikan lebih detail lagi sehingga kemungkinan identifikasi lebih lanjut akan memberikan informasi-informasi baru tentang hasil kontak budaya pengaruh kebudayaan China pada masyarakat Nias.

Penulis yakin bahwa apabila ditelusuri lebih lanjut , hasil kontak budaya antara China dan Nias dilihat dari sisi musikal tidak cukup hanya dilihat dalam instrumen Lagia yang mirip dengan Erhu. Penulis berharap akan ada kedepannya penelitian oleh masyarakat

Nias terutama para etnomusikolog yang berasal dari Nias untuk melihat lebih jauh tentang unsur musikal China yang telah mempengaruhi kesenian masyarakat Nias sampai hari ini.

Selain sebagai kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian lanjutan diharapkan menjadi suatu wujud kepedulian akan pelestarian kebudayaan Nias. Sudah sewajarnya ono niha menyadari akan kekayaan budayanya sendiri.

108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR PUSTAKA

Dachi, Calvin. 1992. Hoho :Tradisi Musik Vokal Nias . Buletin Mahasiswa Etnomusikologi-

Medan, Vol.1, No.1, hal. 25 s.d. 26

Devale,Carole sue. 1990. “Organising organology”. Dalam Selected Reports in

Ethnomusicoloy. California. University of California. Volume VIII, Januari 1990

Hammerle, Johannes. 2001. Asal usul masyarakat Nias suatu Interpretasi. Nias: Yayasan

Pusaka Nias

Jones, Thaddeus George.1974.Music Theory. New york. A Division of Harper and Row

Kartomi,Margareth.1981.The Processes and Result of Musical Culture Contact: A Discussion

of Terminology and Concepts. Dalam Journal for Society of Ethnomusicology.Vol.III.

pp 275 s.d. 297

Kunt,Japp.1939.Music in Nias.Amsterdam

Malm, William.P, 1977. Music Culture of Pasific: The Near East and Asia. New Jersey:

Prontice Hall, Inc

May, Elizabeth.1980. Music in Many Culture: An Introduction. California. University of

California press

Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. London: Collie Star, Publisher.

Parlindungan, Mangaradja Onggang. 2001. “Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanko

Rao” dalam Asal usul Masyarakat Nias. Nias: Yayasan Pusaka Nias

109

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Randel,Michael. 2003. The Harvard Dictionary of Music. London: The Belknap Press of

Harvard University Press

Sach, Curt. 1968. “Terminology” dalam The History of Musical Instrumens

Suharso. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang. Widya Karya

Titi Krisnawati, 2015. Studi Deskriptif Dan Analitis Identitas Musikal Nias Yang

Terkandung Dalam “ZinunŐ BNKP”. Medan: Universitas Sumatera Utara (skripsi

Sarjana).

Titon, Jeff, 1984. World of Music. New York: Scirmer Books.

William, Peter.1984. “Organology” dalam The New Grove Dictionary Of Music and

Musician. Stanley Sadie

Delau, Adil. 2014. “Asal-Usul Leluhur Ono Niha”

https://aidildelau.wordpress.com/2014/04/16/asal-usul-leluhur-ono-niha-nias/ http://www.abimuda.com/2015/09/pengertian-dan-macam-macam-majas-lengkap-beserta-

contoh.html

110

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Hezatulȍ Ndruru alias Ama Elsa Ndruru

Umur : 43 tahun

Tempat/tgl lahir : Tȍgizita, 10 Juli 1973

Pekerjaan : Karyawan tidak tetap di Museum Pusaka Nias ( Pembuat

sekaligus pemain musik tradisional Nias).

Alamat : Jl. Yos Sudarso No.134 A, Museum Pusaka Nias, Gunung

Sitoli.

2. Nama : Drs. Yustinus Mendrȍfa alias Ama Christin Mendrȍfa

Umur : 56 tahun

Tempat/tgl lahir : Dahadanȍ/ Nias, 10 Agustus 1960

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil ( Dosen IKIP Gunung Sitoli dan Kepala

desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai

Kabupaten Nias.

Alamat : Jl. Nias Tengah Km. 11,5, Desa Dahadanȍ Botombawȍ,

Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.

111

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 2.1. Peta Kecamatan Hili Serangkai

Diadaptasi dari : http//ppsp.nawasis.info/dokumen/profil/profil_kota/kab.nias/

Oleh : Yulius Gulȍ, 2016

112

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 3.1 Lagia Tampak Depan

113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 3.2. Lagia Tampak Belakang

114

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 3.3. Lagia Tampak Kanan

115

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 3.4. Lagia Tampak Kiri

116

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 3.5. Busur Penggesek Lagia

117

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 3.6. Detail Resonator

118

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 3.7. Lagia oleh Japp Kunts

(Music in Nias, 1939)

119

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 5.2.1

Diagram yang ditemukan di topi emas (Takula Ana’a)

Sumber : Sampul buku Asal- Usul Masyarakat Nias (2001) oleh P.Johannes Hammerle

120

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 5.2.6.

Hȍgȍ Lasara ( motif kepala Naga)

Gambar 5.2.6.1. Osa-osa

Sumber:https://www.google.co.id/search?newwindow=1&biw=1366&bih=583&tbm=isch&s a=1&q=peti+masti+khas+nias&oq

121

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 5.4. Erhu

Sumber:https://www.google.co.id/search?newwindow=1&biw=1366&bih=583&tbm=isch&sa =1&q=erhu+instrumen+image&oq=erhu+instrumen+image&gs_l=img.3...372557.3

122

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TRANSKRIP LAGU HE LAGIA

123

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TRANSKRIP WAWANCARA

RESPONDEN I

Nama : Hezatulȍ Ndruru

Umur : 43 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Karyawan Tidak Tetap di Museum Yayasan Pusaka Nias

WAWANCARA I

Hari/ tanggal : 16 November 2015

Lokasi Wawancara: Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No.134 Gunungsitoli, Nias

Waktu : 15.30-16.00

Judul Rekaman : Suara012.

124

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA No Pertanyaan Respon Analisa 1 Menurut bapak, alat musik lagia itu Hmmm....alat musik ini biasa dimainkan pada saat Lagia merupakan alat musik yang seperti apa sih? sedang, nalawa’Ő khŐda galau ya. Karena melambangkan kesedihan. Lagia ceritanya lagia ini alat musik merengek-rengek, menurut cerita rakyat, diciptakan oleh semacam kesedihan. Jadi kan, awalnya lagia ini seorang penderita kusta yang meratapi ,menurut cerita mitos ya,jadi seorang penderita nasibnya dengan memainkan Lagia kusta, macam penyakit kulit, jadi dia diasingkan sambil bernyanyi lagu He Lagia. dikampung, jadi karena dia hanya seorang diri, jadi nasibnya itu dia meratapinya.Habis sesudah meratapi, dia membuat alat musik ini. Jadi alat musik ini dia mengikuti nada nyanyiannya itu. Contohnya,heee...lagia (sambil nyanyi). jadi seandainya sama orang dia menceritakan kisah hidupnya itu, mungkin orang lain bisa membantah, tapi karena musik ini tidak bisa membantah. Jadi dia semacam mengadukan bagaimana kemalangannya. Lagia artinya mengikuti apa yang kita ingin bicarakan. Alat musik ini tidak membantah. 2 Ohh,,jadi semenjak itu berkembang lah Iya. Semenjak itu Lagia dikenal oleh masyarakat. Lagia berkembang setelah dimainkan alat musik ini ya pak? bahkan sudah dipakai dalam acara kemalangan oleh seorang si penderita kusta sehingga seperti kematian. dikenal oleh masyarakat banyak.

125

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3 Trus cerita tentang sejarah Lagia ini Iya, ini bisa dikatakan sebagai cerita rakyat biasa Sejarah Lagia hanya sebatas cerita memang nyata atau hanya sebatas cerita dan disesuaikan apakah bisa masuk akal. Menurut rakyat, tidak bisa dipastikan rakyat pak? saya cerita ini bisa di masuk akal. kebenarannya. 4 Jadi, Lagia ini masih dipakai sampai Ohhh,,ini sudah jarang dipakai juga dipertunjukkan. Lagia sudah jarang dipertunjukkan sekarang ya pak, seperti di Kalau di museum pernah dilakukan pertunjukkan kecuali oleh pihak museum untuk pertunjukkan? dalam rangka pelatihan alat musik tradisional untuk keperluan pelatihan bagi anak-anak anak-anak sekolah. Yah, mungkin kalau tidak ada sekolah. museum, kita tidak dapat mengetahui alat musik Lagia ini. 5 Dimuseum apakah masih ada yang bisa Ya jelas, saya sendiri bisa memainkan alat musik Lagia sama seperti memainkan gitar. memainkan alat musik ini pak? ini. Tapi tidak pintar, asal bisa memainkan. Karena Membutuhkan ketekunan selama proses biasanya memainkan alat musik bisa karena biasa. belajar memainkan instrumen Lagia. Sama seperti mmainkan gitar. Begitu juga lagia ini. Saya belajar hampir 6 bulan, tidak ada hasilnya, akhirnya saya capek. Tapi akhirnya bisa terus- menerus berlatih. Tapi tidak seperti sepintar mereka dulu. Karena dulu biasanya dulu yang memainkan lagia ini adalah orangtua yang sudah tidak lagi bisa bekerja di ladang.saya pernah belajar dari seorang orangtuua yang sudah sangat tua di Gomo. Saya sudah tidak tau apakah dia masih ada sampai

126

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sekarang atau tidak. 6 Jadi alat musik ini sebenarnya Yah,,,terakhir kita bisa temukan di wilayah Nias Lagia ditemukan di wilayah Nias berkembang dimana di wilayah Nias Tengah, juga di Nias Selatan. Mungkin saja bisa Tengah hingga ke daerah Nias bagian bagian mana ya pak?apakah mungkin di ditemukan di Nias Utara atau Nias Barat, tapi Selatan. Lagia jarang ditemui dan Nias Selatan? mungkin tidak berkembang dan punah karena hampir punah karena adanya pengaruh pengaruh budaya luar. Itu faktor paling berbahaya, budaya dari luar seperti alat musik karena alat musik ini hampir tidak ditemukan. barat. 10 Ohh,,, begitu ya pak. Trus seberapa Ohh,,hanya kalau ada kegiatan tertentu saja. Ya sering Lagia dipertunjukkan di museum sperti saya bilang tadi kalau ada kegiatan seperti pak? pengenalan alat-alat musik tradisional Nias kepada anak-anak sekolah. Selain itu, ya kadang-kadang saja. Karena sebenarnya saya juga agak segan memainkan alat musik ini 11 Kenapa pak? Yah, karena seseorang yang memainkan Lagia biasanya hidupnya melarat. Hehehe Saya takut nanti hidup saya melarat. Hehehe Tapi ini hanya sebuah kepercayaan masyarakat biasa. 12 Ohh,,hehehe... Hmmm... setau saya sampai sekarang hanya saya Selain bapak, ada karyawan lain yang yang bisa sedkit memainkan Lagia ini. Memang di bisa memainkan Lagia di sini pak? Lȍlȍwa‟u ada yang bisa membuat Lagia tapi mereka

127

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tidak bisa memainkan. Di Gomo juga, saya sering memesan bahan-bahan Lagia ini dari sana. Lalu kemudian saya olah di sini.

WAWANCARA II

Hari/ tanggal : 08 April 2016

Lokasi Wawancara: Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No.134 Gunungsitoli, Nias

Waktu : 16.46- 18.10

Judul Rekaman : suara029,proses pembuatan Lagia

No Pertanyaan Respon Analisis 1 Baik pak, untuk proses pembuatan Biasania ua bale siofȍna fato kan ba wolobȍ. Hal yang pertama dilakukan dalam proses Lagia ini, apa saja bahan-bahan yang Memotong ini (menunjuk bongkahan pohon pembuatan Lagia adalah memotong perlu dipersiapkan untuk tahap awal aren).Jadi, Baru sesudah dipotong, awena latoto batang pohon aren menggunakan pak? faoma fato zui. Aefa la toto, awena la bersihkan kampak. Lalu kulit bagian luar nya da‟ȍ, awena la‟alȍsi ketebalan da‟a ( menunjuk dibersihkan. bagian lubang pada bongkahan pohon aren). 2 Bagian yang mana yang dibersihkan Guli nia. Ini kan, biasanya saya memesan dulu Kulit bagian luar dibersihkan. pak ? batang pohon aren atau batang Sineu ini dari

128

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kampung sana. Jadi waktu sampai disini, kulit bagian luarnya ini masih belum bersih. 3 Ohh, Berarti sebelumnya ada kulit Iya, masih so guli baero nia ba daa. Awena na no Setelah dibersihkan, ujung bongkahan luarnya disini? labersihkan da‟ȍ , la‟alȍsi tebalnia da‟a khȍnia ( pohon aren yang sudah di potong akan menunjuk ujung bongkahan pohon aren) dikurangi ketebalannya. 4 Mengapa harus dikurangi Ba kan, dengan awe‟e-we‟e da‟a kan ambȍ suara. Ketebalan resonator akan mempengaruhi ketebalannya pak? Untuk apa itu Jadi, ini mempengaruhi suara. intensitas bunyi yang dihasilkan. pak? 5 Benda ini untuk apa pak? Da‟a fahȍ geu untuk mengurangi ketebalan bagian Pahat digunakan sebagai alat untuk dalam da‟a khonia. mengurangi ketebalan bagian dalam lubang resonatot. 6 Lalu, setelah itu apa langkah Setelah itu, awena persiapkan ba wangehaogȍ Pembuatan lubang tempat kayu selanjutnya pak? lubang ini, naha tangkai nia dania penyangga senar

7 Jarak tangkai dengan ujung resonator Panjang tangkai ua bale kira-kira 75-80 cm.lalu, Penjelasan mengenai ukuran kayu ini berapa ya pak? diameternya antara 18 sampai ke 22. Lalu, jarak penyangga senar, jarak lubang kayu ujung ke lubang tangkai da‟a sekitar 11 cm, penyangga senar dengan ujung sisi kanan biasanya ini harus lebih panjang ke belakang resonator. Diameter lubang kayu (menunjuk jarak lubang gagang senar dengan ujung penyangga senar harus disesuaikan resonator sebelah kiri). Artinya letak lubangnya dengan tebal/diameter kayu penyangga tidak boleh terlalu ke tengah. Aefa daȍ, lubang senar.

129

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tangkai da‟a khȍnia harus sesuai simane tebal kayu da‟a. ena‟ȍ lȍ aefa dania 7 Trus senarnya diikat dimana nanti Nah, inikan ujungnya harus sampai ke bawah ini ujung senar bagian bawah akan diikatkan pak? (menunjuk ke bawah bagian resonator yang tegak pada ujung kayu penyangga senar yang lurus dengan lubang gagang senar di bagian atas menembus bagian bawah resonator. resonator). Nah,nanti ujung senarnya diikat di ujung kayu ini. Nah, ujungnya ini harus ditutup dulu pakai pelepah pinang. Atau lawa‟ȍ ia khȍda mowa wino. . Sebenarnya disini juga bisa triplek. Cuman saja kalau triplek harus pakai lem cina itu biar bisa lengket di sini ( menunjuk ujung sisi kanan resonator yang akan ditutup) 8 Besarnya disesuaikan dengan Iya. Ini dipotong sesuai diameter yang ini .diameter peleah pinang/bagian penutup dimaternya yang ini ya pak? (menunjuk batang pohon aren).baru, di atas pelepah dipotong sesuai dengan diameter ((menunjuk diameter resonator) ini dikasi kayu kecil penyangga tali resonator. 9 Kayu ini apa namanya pak? Ini sebenarnya boleh sembarang kayu.tidak Kayu penyangga senar (bridge) yang menentukan. Nah, bentuknya ini sebenarnya beda- diletakkan di atas pelepah pinang/triplek beda.ya disesuaikan selera pembuat. Biasanya dapat diambil dari sembarang kayu yang dibuat setengah lingkaran. Jadi, pas di depan dibentuk seperti setengah lingkaran.atau diamater ujungnyanya ini dilubangi supaya bisa disesuaikan bentuk yang diingi oleh menghasilkan suara. Kalau ini ditutup , suaranya pembuat.

130

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA akan berbeda. jadi dengan ini dilubangi maka dia bisa menghasilkan suara lebih enak, atau lebih besar. 10 Jadi, bagaimana cara menentukan Ya kita bisa melihat langsung. Artinya dia tidak Lubang pada bagian penutup sisi kanan besar kecilnya lubang di bagian punya ukuran khusus. Kita harus melihat resonator disesuaikan dengan penutupnya ini pak? keseimbangan lubang ini dengan dimaternya. keseimbangan besarnya terhadap diameter pelepah pinang/triplek sebagai bagian penutup sisi kanan resonator 11 berarti dibunyikan dulu atau gimana Tidak. Cukup diperkirakan saja. Ukuran ini bisa Ukuran Lubang pada bagian penutup pak? beda-beda. disesuaikan dengan ukuran diameternya. diperkirakan sesuai kebutuhan. 12 Setelah itu gimana pak? Nah, setelah itu dipersiapkan pemasangan gagang Setelah pembuatan bagian penutup dan senarnya ini. Setelah itu, tali sudah bisa dipasang. pembuatan lubang, maka senar dipasang 13 Trus ujung kayu yang menembus Hmmm.....tidak. terganggu nanti. Ujung ini kalau Ujung kayu penyangga senar tidak boleh bagian bawahnya ini, berapa terlalu panjang, nanti terganggu. Ini sekitar satu cm lebih dari 1 cm, hal ini bisa ukurannya pak?ukurannya memang lah, ujung gagangnya ini. mempengaruhi posisi instrumen ketika pada umumnya seperti ini atau bisa dimainkan. lebih panjang pak? 14 Ohhh..setelah iitu gimana pak? Awena pasang tali tadi. Tali itu di...hadia la fasikȍ Pemasangan senar, harus diketatkan ba khȍda ba? terlebih dahulu 15 Oho,, diketatkan ya pak? Hmm,, iya. Sesudah diketatkan, setelah itu dipasang nasa.

131

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 16 Panjang kayu penyangga senar Oho, sebenarnya saya tidak pernah mengukurnya Sistem ukur yang digunakan oleh sebenarnya berapa pak biasanya? secara pasti. (mengukur panjang penyangga senar pembuat Lagia adalah menggunakan menggunakan jengkal). sistem jengkal. Ukuran panjang tidak Ohh,, ini ukurannya ini sekitar 75 lah sampai 80 mempunyai ukuran yang mutlak. Cukup cm. diperkirakan oleh pembuat Lagia. 17 Senarnya berapa panjangnya pak? Ini panjangnya sekitar 1,5 meter, 18 Trus, ini senarnya memang dipasang Tidak. Itu hanya sekedar hiasan seninya saja. Ini harus melilit diujung kayu pak? sebenarnya bisa dilepaskan. Ujung kayunya dilubangi, nah, ujung atas senarnya itu diikatkan dilubang kayu ini. 19 Trus gimana caranya mengetatkan Ini harus ditarik sampai ketat dipasang di atas kayu talinya pak? penyangga ini diatas ini ( menunjuk bridge) sampai ditarik ke ujung bawah ujung kayu ini. 20 Ujung kayu nya ini (menunjuk Tidak. Ujung ini tidak dilubangi. Cukup saja ujung bagian bahwah resonator) dilubangi tali nya di ikatkan ke ujung ini (sambil juga ya pak seperti ujung atas kayu menunjukkan cara mengikatkan senar pada ujung penyangga.ini ? kayu penyangga senar)

21 Oiya pak, tadi bapak pakai gergaji ya Iya. Biasanya saya pakai gergaji saja untuk untuk mengukur jarak ini (sambil memperkirakan panjangnya ini. Nah, enao tola u‟ila menunjuk lubang kayu penyangga dania, u tandra fake si‟ȍli da‟a

132

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dengan ujung resonator) 22 Memangnya tidak pakai penggaris Hmmm....tidak, biasanya orangtua dulu biasa pakai ya pak? gergaji , bisa juga di jengkal saja untuk memperkirakan panjangnya ini. Orang nias dulu tidak kenal penggaris.hehehe..itaria yaaga lȍ ma‟ila melȍ sekola.hehehe 23 Ohhh.. Oh,ini Sineu. Kayu ini bisa juga dipakai untuk Oiya, pak. Ini kan Lagia nya ada pengganti batang pohon aren. juga ya yang terbuat dari kayu apa ni pak? 24 Kenapa bisa begitu pak? Apa Hmm... ini kan kayu nya sedkit tipis dibanding bedanya dengan batang pohon aren? dengan kayu aren. Jelas ini berpengaruh pada bunyi yang dihasilkan Lagia ini. 25 Iya tapi kan bisa ditipiskan kan pak, Iya, tapi ini kayu aren ini sifatnya keras. Susah kan bisa dikurangi ketebalannya? mengikisnya. Butuh waktu yang lama. 26 Ohhh iya juga ya pak, trus kalau Senarnya kan sebenarnya akar salak. tapi iadaa sae senarnya? lafake tutura. Bȍrȍ me susah mendapat waa guluwi da‟a. 27 Senar penggesek nya juga sama ya Iya, senarnya sama saja dengan yang ini ( sambil pak? menunjuk senar Lagia).

133

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RESPONDEN II

Nama : Drs. Yustinus Mendrȍfa

Umur : 56 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil; Dosen Bahasa Indonesia IKIP Gunung Sitoli, 1989 ( tokoh penggerak sanggar Aforeteholi desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.

WAWANCARA I

Hari/ tanggal : 23 November 2015

Lokasi Wawancara: Kantor Kepala Sekolah SMA Swasta Pemda 2, Kota Gunung Sitoli

Waktu : 15.44 - 16.20

Judul Rekaman : happy004.Mend

No Pertanyaan Respon Analisa 1 Lagia itu apa pak? Hmm... Lagia salah satu musik tradisional Nias, ya Lagia adalah salah satu alat musik musik ini slalu digunakan dalam mengiringi lagu- tradisional Nias lagu yang punya not, kenapa? Karena musik Lagia

134

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bisa mengikuti nada atau melodi, lagia adalah salah satu alat musik yang boleh dikatakan berbentuk tabung. Dan lagia ini diumpamakan seseorang manusia yang belum terbuka mata dalam arti, pencipta atau pembuat pertama Lagia, karena dia sudah menemukan maka ia menganggap dia hebat, paling tau. 2 Menurut sepengetahuan bapak, Alat musik ini tercipta pada awalnya di Nias Lagia berasal dari Nias tengah Lagia ini lebih banyak berkembang tengah. Kenapa begitu, karena di Nias Tengah dimana pak? banyak yang melakukan kegiatan sehari-hari dalam arti mencari nafkah , yaitu menyadap nira. dan kegiatan sehari2 itu ia akan berpikir karena sendirian di pondok, maklum pada zaman dulu tidak seperti keadaan sekarang yang begitu ramai, dan banyak musik2 elektronik dari dan berbagai musik luar negeri. Dulu, masyarakat menciptakan musik sendiri tanpa memperhatikan tangga nada. Tetapi ia menciptakan musik itu hanya untuk menghibur diri sendiri karena kesenduan pribadi di pondok. Pada waktu luang, penyadap nira akan mencoba-coba menggunakan benda-benda sekitar

135

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan mencoba menciptakan satu bunyi yang berbeda dari yang sudah dia dengar sebelumnya. Dengan begitu, dia memotong batang pohnon nira yang sudah tua yang tidak menghasilkan nira, bermanfaat untuk keluarganya. Manfaatnya banyak, bisa dijadikan kayu api, dan daunnya bisa jadi sapu, dan batangnya juga bisa digunakan untuk membuat pisau. Nah sepotong bagian yang tertinggal batang pohon nira ini lah yang djadikan sebagai alat musik Lagia. 3 Bagaimana cara memainkan alat Oh,, ini alat musik nya digesek, bukan di petik. Lagia dimainkan dengan cara digesek musik Lagia pak? Sama seperti biola. Nah, senarnya itu di tekan untuk menghasilkan nada. 4 Senarnya itu terbuat dari apa ya Hmm..itu senarnya sebenarnya dari akar salak.ma pak? wa‟a guluwi nalawaȍ khȍda. tapi sekrang sudh ada yang memakai tura-tura ma tutura. Itu sebangsa rotan. 5 Berarti sekarang pembuat Lagia Hmmmm....wa‟a guluwi agak sulit tasȍndra iadaa. Akar salak saat ini sulit ditemukan. Biasanya lebih banyak memakai rotan ya Nah sedangkan tutura andre aoha wangalui. Bȍrȍ ditemukan ditepi sungai. Sekarang pembuat pak?kenapa bisa begitu pak? wa‟a guluwi biasania tesȍndra ia bazinga nidanȍ ma Lagia lebih banyak menggunakan tutura ba ma sungai. Andrȍ oya lafake simane tutura jadi sebagai senar pada Lagia.

136

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA senar Lagia andre. 6 Oho,tadi bapak bilang Lagia ini Iya,, yang sedang kesepian dipondoknya sehingga Lagia diciptakan oleh seseorang yang diciptakan oleh seseirang penyadap ia menciptakan alat musik ini untuk menghibur bekerja di ladang sebagai penyadap nira nira? dirinya sendiri. untuk menghibur dirinya sendiri. 7 Iya pak, terus bagaimana alat musik Nah, alat musik Lagia ini kemudian dikenal oleh Lagia sudah dikenal oleh masyarakat Nias ini berkembang shingga Lagia ini banyak masyarakat Nias. digunakan sebagai alat terbukti denga dipertunjukkan di dalam disebut sebagai alat musik musik tradisional Nias, yang mana digunakan kegiatan festival kebudayaan. tradisional Nias? sampai sekarang, terakhir pada tahun 2012, diadakan perlombaan alat musk tradisional dan salah satunya dibawakan Lagia, yang pada saat itu dibawakan dari Kecamatan Hili Serangkai, dan akhirnya mereka mendapat kejuaraan dalam memainkan alat musik traidsional lainnya. Lagia ttp digunakan sampai saat ini untuk mengiringi lagu- lagu sendu yang dinyanyikan oleh orang-orang Nias. 8 Oho, trus istilah Lagia ini darimana Nah, sebelumnya Lagia ini adalah diumpakan Istilah Lagia diumpakan sebagai nama pak? Kenapa mereka menyebutnya sebagai nama seorang Nias. pencipta Lagia seorang manusia. Lagia? darimana istilah alat musik mengumpakan dirinya sebagai orang yang sangat ini pak? terpencil. Sehingga dia menyebut dirinya Lagia. 9. Tadi bapak bilang, lagia ini Ya...sebenarnya kenapa lagu sendu, karena memang Masyarakat Nias lebih banyak menyukai

137

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengiringi lagu sendu? Kenapa pada zaman dulu, orang Nias itu kan banyak lagu yang berkarakter sedih. harus lagu sendu ya pak? Atau alat bekerja di ladangg dan mereka lebih banyak musik ini memang hanya bisa menyukai lagu-lagu sendu untuk menghibur dirinya memainkan lagu sendu? yang kesepian dipondok diladang tempat bekerja. 10 Ohh, lagu He Lagia ya pak? Iya, itu lah lagu yang diiringi oleh alat musik ini. jadi dulu pencipta Lagia menyanyikan lagu ini 11 Ohh,, terus selain lagu ini, ada lagi Segala lagu sekarang yang berbeda nada bisa Lagu He Lagia dikenal merupakan lagu yang lagu lain gag yang bisa diiringi diiringi alat musik Lagia. tapi salah satu lagu yang diiringi oleh instrumen Lagia. sama Lagia ini? menceritakan alat musik ini ada, itu lah lagu He Lagia.jadi, ada lagunya, ada alat musiknya. 12 Berarti pencipta alat musik lagia ini Nyanyian ini sebelumnya ssama seperti lagu Nias Nyanyian lagu He Lagia merupaka lagu juga sekaligus pencipta lagu He lainnya. Bisa kita katakan anonim. Jadi karena terus rakyat yang diwariskan secara lisan. Lagia? dinyanyikan turun temurun sehingga masyarakat Nias mengenal lagu inni. 13 trus Lagia dimainkan bersamaan Ohh,, dulunya memang solo, sampai sekrang pun Lagia dimainkan daam formasi solo dengan alat tradisional Nias lainnya dimainkan solo, tapi sekarang ada juga yang ya pak? Sama kayak mamȍzi dimainkan bersamaan dengan aalat musik Aramba? tradisional Nias lainnya. Lagia ini sebagai pembawa melodi. 14 Hmmm... tadi bapak bilang Lagia Hmmm.. tidak ada, Lagia hanya ada di Nias tengah. Lagia hanya ada di Nias bagian tengah. ini lebih banyak ditemukan di Nias Di Nias Selatan, Barat, atau di Nias utara tidak ada

138

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tengah. Sepengetahuan bapak, ada musik Lagia. gag mungkin di Nias Selatan, Utara atau Nias barat alat musik Lagia ini ?

WAWANCARA II

Hari/ tanggal : 10 April 2016

Lokasi Wawancara: Rumah Bapak Yustinus Mendrȍfa, Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias

Waktu : 14.46- 16.05

Judul Rekaman : Happy029.Mend

No Pertanyaan Respon Analisis 1 sudah sejauh mana perkembangan Hmm...jadi begini nak,Lagia ini sudah Lagia sudah dipertunjukkan oleh masyarakat Lagia di desa ini pak? dipertunjukkan oleh masyarakat dari desa ini , dari desa Dahadanȍ Botombawȍ dalam terakhir dilaksanakan pagelaran di Gidȍ tahun kegiatan festival kebudayaan yang diadakan 2014. Pagelaran budaya dan musik tradisional oleh pemerintah Kabupaten Nias sekali sekabupaten Nias. waktu itu diharapkan paling dalam dua tahun. tidak delapan alat musik tradisional harus

139

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ditampilkan. Lagu yang yang ditampilkan adalah lagu-lagu tradisional Nias. dan saat itu desa kita dinilai sebagai penampilan terbaik . Nah, tapi dulu memang Lagia ini dipakai oleh masyarakat disini. Tapi masuknya alat-alat musik modern, membuat generasi sekarang lebih suka memainkan alat musik modern itu. Kalau alat musik tradisional ya dibiarkan begitu saja. Ya mungkin lebih mudah memainkannya karena modern dan elektrik. Untuk kegiatan pagelaran musik ini diadakan sekali dua tahun dilaksanakan. Hal itu tergantung pada APBD dinas pariwisata kabupaten Nias. sekrang memang pemerintah lagi menggalakkan pelestarian kesnian tradisional di Nias akhir-akhir ini. 2 Pak, disini saya dengar ada sanggar Iya ada. Di desa kita ada sanggar .Namanya Sanggar Aforeteholi adalah sanggar kesenian ya kesenian desa ya? sanggar Aforeteholi. Dulu penggeraknya itu yang berasal dari desa Dahadanȍ sekarang sudah meninggal, Ama tuti mendrȍfa. Botombawȍ. Sehingga kegiatan itu sudah tidak jalan, ya hanya kadang-kadang kalau mau ada kegiatan, ya akan dilakukan latihan. 3 Tapi sanggarnya masih ada sampai Ya masih, hanya saja pengurusnya perlu disegarkan

140

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sekarang ? kembali. 3 Berarti dulu da sistem latihan rutin Bukan. Dulu memang sering dilakukan latihan Masyarakat pada awalnya melaksanakan ya pak di sanggar ini?latihannya di menari, maena, memainkan alat musik tradisional latihan bersama secara rutin. balai desa tadi ya pak? Nias, biasanya dulu kadang hari minggu. Dan biasanya dulu latihannya di lapangan. Dari desa kita memang terkenal dengan pemain musik tradisi termasuk Lagia, juga maena pada pesta pernikahan, maena baluse, folaya baluse.biasanya itu dilaksanakan untuk menyambut tamu. dan menyanyikan nyanyian tradisional Nias 4 Berarti Lagia yang masih ada Iya, ini milik desa, cuman dulu memang ada, tapi ya Masyrakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ sekarang ini milik desa ya pak, entah kemana. hanya beberapa saja dari mereka pada umumnya tidak memiliki instrumen penduduk desa lainnya tidak punya yang masih di desa ini yang bisa memainkan Lagia, Lagia secara pribadi. Namun, masih terdapat sebagai milik pribadi? tapi tidak memiliki Lagia secara pribadi. Kenapa? beberapa di antara mereka yang bisa Karena masyarakat sekarang lenih senag sama lagu- memainkan alat musik Lagia. alasan lagu modern itu. Aefa daȍ, jarang iadaa niha khȍda ketidaktertarikan masyarakat dengan zi so alat musik tradsional andrȍ. Bȍrȍ, lebih omasi instrumen tradisional nias (Lagia) karena ira hiburan lain. simane hp bale so zinunȍ, televisi, adanya pengaruh teknologi yah itu lah maslaahnya. Itu sebabnya alat musik tradisional Nias sekarang tidak begitu menarik bagi masyarakat di sini.

141

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5 Bapak sendiri bisa memainkan Ohh,, kalau saya tidak bisa memainkan Lagia. Lagia? memainkan Lagia itu harus dengan perasaan.yah agak sedikit sulit. Disini kita masih punya beberapa pemain Lagia hanya saja alatnya sudah tidak layak dipakai (menunjukk instrumen Lagia milik desa). saya hanya pelatih pada saat pertunjukkan misalnya seperti festival kebudayaan yang tadi itu di Kabupaten. 6 Kalau tidak salah bapak pernah Iya memang. Disini masyarakatnya banyak bertani. bilang kalau disini masyarakatnya Tidak menyadap nira, juga menyadap karet. Juga lebih banyak bekerja bertani ya beberapa dari mereka beternak, ya beternak babi, pak, termasuk seperti menyadap ayam. nira. selain itu apa lagi mata Selain itu ada juga yang bekerja sebagai PNS, pencaharian masyarakat di sini guru, dan kerja kantoran. pak?

142

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 143

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 144

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 145

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

146

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA