Situs Tondowongso Di Kediri Ini Perlu Diinformasikan Dalam Bentuk Buku
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Sugeng Riyanto TONDOWONGSO Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi Editor: Bambang Sulistyanto KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL BALAI ARKEOLOGI D.I.YOGYAKARTA TONDOWONGSO Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi © Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta © Penerbit Kepel Press Sugeng Riyanto Editor: Bambang Sulistyanto Desain sampul : Arief Budhi Setyawan Desain Isi : Syaiful Cetakan Pertama Oktober 2016 Diterbitkan oleh penerbit Kepel Press Puri Arsita A-6, Jl. Kalimantan, Ringroad Utara, Yogyakarta Telp/faks : 0274-884500; Hp : 081 227 10912 email : [email protected] Anggota IKAPI Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Balai Arkeologi D.I.Yogyakarta ISBN : 978-602-356-125-4 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku, tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit. Percetakan Amara Books Isi diluar tanggung jawab percetakan SAMBUTAN KEPALA BALAI ARKEOLOGI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Setelah melalui berbagai tahapan kegiatan penelitian secara arkeologis, maka saatnya Situs Tondowongso di Kediri ini perlu diinformasikan dalam bentuk buku. Situs ini sebagaimana situs kebanyakan yang baru ditemukan dalam keadaan tertimbun tanah, maka wujud secara fisik benda atau bangunannya memang kurang menarik karena telah rusak berantakan di sana sini. Oleh karena itu, melalui buku ini diharapkan masya- rakat dan berbagai pihak terkait dapat mengapresiasi dalam bentuk informasi mengenai sejarah peradaban, fluktuasi kebudayaan, riwayat tertimbunnya situs oleh bencana alam hingga ditemukan kembali, serta mengapresiasi nilai-nilai positif yang terkandung di situs ini. Kiprah arkeologi di Situs Tondowongso tidak berhenti setelah diterbitkan buku ini, karena dari sisi akademik berdasar- kan temuan-temuan di situs ini sangat menarik dan sangat perlu untuk diungkap hingga tuntas. Situs Tondowongso masih saja menantang untuk diteliti karena masih ada misteri Sambutan Kepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta iii TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi yang perlu diungkap terutama konteks situs dengan temuan arkeologi di sekitarnya, konteks antar situs, maupun konteks sebelum dan sesudah. Diyakini bahwa Tondowongso tidak sendirian pada saat dibuat dan dipakai, hal ini karena saat dibangun dan difungsikan sebagai tempat suci pasti ada masya rakat pendukung beserta tatanan sosial, budaya, dan politiknya. Situs ini ke depan jelas diperlukan upaya pelestarian dan pemanfaatan secara komprehensif, dan sebagian besar telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kediri serta Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Pelestarian tanpa peman faatan situs akan menjadi gersang, tidak ada greget, dan akhirnya terkesan terbengkelai sehingga bisa ber akibat ancaman dari pelestarian yaitu adanya degradasi fisik maupun makna. Pengelolaan situs secara terpadu dan upaya menam- pakkan atau merehab bangunan fisik di situs Tondowongso direkomendasikan kepada pihak terkait, agar tujuan mulia untuk pelestarian dan pemanfaatan dapat dicapai. Saya menyambut baik atas diterbitkan buku ini dan saya ucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun buku ini utama- nya kepada Sdr. Sugeng Riyanto beserta pihak terkait atas pemikiran nya dan kerja kerasnya. Semoga buku ini dapat mem beri pencerahan kepada semua fihak tentang pentingnya memahami, memaknai, dan mencintai peninggalan sejarah peradaban bangsa kita. Siswanto iv SambutanKepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta PENGANTAR EDITOR Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk menjadi narpati Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar Gunung Kampud, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara” Syair di atas adalah cukilan dari kakawin Nagarakrtama pupuh 4:1 yang melukiskan kedahsyatan erupsi Gunung Kelud yang disaksikan oleh Empu Prapanca pada 1256 Caka atau 1334 Masehi. Hasil penelitian geoarkeologi, tidak jauh berbeda dengan yang diberitakan Nagarakrtagama tersebut, bahwa muntahan lahar panas dan semburan material vulkanis eruspsi Gunung Kelud cukup hebat sampai menelan korban nyawa, harta dan meluluh-lantakan banyak bangunan termasuk Candi Kepung dan Candi Tondowongso di Kediri. Penelitian lebih mendalam, ternyata Gunung ini murka dan batuk-batuk memuntahkan lahar panas beberapa kali, sebagaimana terdeteksi dari lapisan tanah (stratigrafi). Buku berjudul “Tondowongso Tanda Pengantar Editor v TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi” ini tidak mem bahas khusus bencana Gunung Kelud, melainkan meng- upas tuntas sisa peradaban berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi. Sebagaimana disadari akan keterbatasan penulisnya sendiri, bahwa tidak mungkin membahas keselu ruhan misteri penemuan Candi Tondowongso yang hingga kini masih menantang para ahli untuk mengkajinya. Buku ini merupakan hasil penelitian arkeologi murni yang ditulis oleh seorang arkeolog, jebolan UGM, yang bertahun- tahun berkutat menekuni situs-situs yang terdampak letusan gunung berapi. Diawali dari kisah penemuan candi di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Sugeng Riyanto, penulis buku ini, memperkirakan Situs Tondowongso dibangun pada kisaran abad XI M, masa kerajaan di bawah pemerintahan Airlangga yang bertahta tahun 1019 M, atau masa sebelumnya dan terus eksis hingga masa Kadiri. Dalam catatan sejarah, masa Kadiri adalah masa sulit penuh intrik pergulatan politik dan bahkan perang saudara. Namun pada era itu pula justru melahirkakan tidak sedikit karya sastra brilian seperti Kitab Baratayudha, Lubdaka, dan Smaradhana, di samping bangunan monumental berupa candi maupun bangunan suci lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Salah satu bangunan suci di era itu adalan candi Tondowongso. Dari latar belakang inilah dapat dipahami jika penulis buku memberi porsi lebih banyak tentang sejarah Kadiri dan era sebelumnya ketika kerajaan di bawah kekuasaan Airlangga. Siapakah Airlangga itu, kalau bukan tokoh sentral dalam sejarah Indonesia kuno yang menjembatani antara masa pralaya dengan masa lahirnya dua kerajaan kembar, Panjalu vi Pengantar Editor TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi dan Janggala. Minimal ada tiga sumber yang menyinggung pembelahan kerajaan Airlangga menjadi dua, yaitu prasasti Mahasokbhya, Nagarakrtagama, dan serat Calon Arang. Demi keten teraman negara, Airlangga rela membelah wilayah kerajaannya yang menurut Nagarakrtagama, Mpu Bharada bertugas menetapkan batas antara kedua belahan negara itu dengan cara terbang sambil mengucurkan air kendi. Tafsir para ahli, pembelahan dua wilayah menjadi Panjalu (Kadiri) dan Janggala dengan cara mengucurkan air kendi dari udara adalah simbol dari penciptaan batas alam berupa aliran sungai. Menurut Berg batas alam berupa aliran sungai itu adalah Sungai Porong sekarang. Alkisah, ketika sampai desa Palungan, jubah Empu Bharada tersangkut ranting pohon asam. Pendeta Budhis itu marah dan mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil dan kemudian daerah itu terkenal dengan nama Kamal Pandak, yang artinya pohon “asem pendek”. Tetapi menurut prasasti Mahaksobhya yang dikeluarkan Raja Kertanegara tahun 1289 M, kutukan Mpu Bharada sudah tawar, karena raja berikutnya Wisnuwardhana berhasil menyatukan kedua wilayah tersebut. Airlangga, kemasyhurannya bergema dan terekam dalam kitab-kitab bangsa seberang. Raja bijak dan gagah berani ini meninggal pada tahun 1049 M, didharmakan di Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan dengani gelar pendeta Aji Paduka Mpunku Sang Pinaka Catraning Buwana. Membicarakan sejarah kuno Indonesia, adalah identik dengan membahas konflik, suksesi kerajaan pada tataran atas yang berujung peperangan yang tidak pernah selesai. Tidak sedikit persoalan historiografi Indonesia kuno perlu Pengantar Editor vii TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi diluruskan. Salah satu permasalahan yang hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli adalah mengapa Raja Sindok pada 929 M memindahkan kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Banyak teori dikemukakan oleh para ahli seperti karena merosotnya ekonomi kerajaan akibat terlalu banyak menguras tenaga, pikiran, dan harta untuk membangun monumen candi-candi besar dan megah seperti Borobudur, Prambanan, dan Sewu. Atau gempa bumi, gunung meletus, dan wabah penyakit serta suksesi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja Mataram sejak abad VIII M yang tidak kunjung selesai. Hipotesis lain adalah alasan ekonomi, khususnya terkait dengan perdagangan global. Tetapi alasan politis karena peperangan dan alasan ekonomi dianggap paling mendekati kebenaran dan menghiasi buku-buku pelajaran sejarah hingga sekarang. Raja Sindok yang bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa tidak hanya memindahkan pusat kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Tmur, tetapi juga mendirikan wangsa baru di Mataram, bernama wangsa Isana. Dalam masa pemerintahannya yang relatif singkat (929-947 M) tidak kurang dari 11 prasasti yang dikeluarkan. Pendiri wangsa Isana ini meninggal pada 947 M dan dicandikan di Isanabajra yang hingga kini belum diketahui di mana lokasi tepatnya. Seperti kebanyakan tinggalan arkeologi di Jawa Timur, candi Tondowongso tebuat dari bahan bata, menghadap ke barat, berukuran 8 x 8 meter, serta terdiri atas satu candi