Situs Tondowongso Di Kediri Ini Perlu Diinformasikan Dalam Bentuk Buku

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Situs Tondowongso Di Kediri Ini Perlu Diinformasikan Dalam Bentuk Buku Sugeng Riyanto TONDOWONGSO Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi Editor: Bambang Sulistyanto KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT PENELITIAN ARKEOLOGI NASIONAL BALAI ARKEOLOGI D.I.YOGYAKARTA TONDOWONGSO Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi © Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta © Penerbit Kepel Press Sugeng Riyanto Editor: Bambang Sulistyanto Desain sampul : Arief Budhi Setyawan Desain Isi : Syaiful Cetakan Pertama Oktober 2016 Diterbitkan oleh penerbit Kepel Press Puri Arsita A-6, Jl. Kalimantan, Ringroad Utara, Yogyakarta Telp/faks : 0274-884500; Hp : 081 227 10912 email : [email protected] Anggota IKAPI Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Balai Arkeologi D.I.Yogyakarta ISBN : 978-602-356-125-4 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku, tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit. Percetakan Amara Books Isi diluar tanggung jawab percetakan SAMBUTAN KEPALA BALAI ARKEOLOGI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Setelah melalui berbagai tahapan kegiatan penelitian secara arkeologis, maka saatnya Situs Tondowongso di Kediri ini perlu diinformasikan dalam bentuk buku. Situs ini sebagaimana situs kebanyakan yang baru ditemukan dalam keadaan tertimbun tanah, maka wujud secara fisik benda atau bangunannya memang kurang menarik karena telah rusak berantakan di sana sini. Oleh karena itu, melalui buku ini diharapkan masya- rakat dan berbagai pihak terkait dapat mengapresiasi dalam bentuk informasi mengenai sejarah peradaban, fluktuasi kebudayaan, riwayat tertimbunnya situs oleh bencana alam hingga ditemukan kembali, serta mengapresiasi nilai-nilai positif yang terkandung di situs ini. Kiprah arkeologi di Situs Tondowongso tidak berhenti setelah diterbitkan buku ini, karena dari sisi akademik berdasar- kan temuan-temuan di situs ini sangat menarik dan sangat perlu untuk diungkap hingga tuntas. Situs Tondowongso masih saja menantang untuk diteliti karena masih ada misteri Sambutan Kepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta iii TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi yang perlu diungkap terutama konteks situs dengan temuan arkeologi di sekitarnya, konteks antar situs, maupun konteks sebelum dan sesudah. Diyakini bahwa Tondowongso tidak sendirian pada saat dibuat dan dipakai, hal ini karena saat dibangun dan difungsikan sebagai tempat suci pasti ada masya rakat pendukung beserta tatanan sosial, budaya, dan politiknya. Situs ini ke depan jelas diperlukan upaya pelestarian dan pemanfaatan secara komprehensif, dan sebagian besar telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kediri serta Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Pelestarian tanpa peman faatan situs akan menjadi gersang, tidak ada greget, dan akhirnya terkesan terbengkelai sehingga bisa ber akibat ancaman dari pelestarian yaitu adanya degradasi fisik maupun makna. Pengelolaan situs secara terpadu dan upaya menam- pakkan atau merehab bangunan fisik di situs Tondowongso direkomendasikan kepada pihak terkait, agar tujuan mulia untuk pelestarian dan pemanfaatan dapat dicapai. Saya menyambut baik atas diterbitkan buku ini dan saya ucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun buku ini utama- nya kepada Sdr. Sugeng Riyanto beserta pihak terkait atas pemikiran nya dan kerja kerasnya. Semoga buku ini dapat mem beri pencerahan kepada semua fihak tentang pentingnya memahami, memaknai, dan mencintai peninggalan sejarah peradaban bangsa kita. Siswanto iv SambutanKepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta PENGANTAR EDITOR Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk menjadi narpati Selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar Gunung Kampud, gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara” Syair di atas adalah cukilan dari kakawin Nagarakrtama pupuh 4:1 yang melukiskan kedahsyatan erupsi Gunung Kelud yang disaksikan oleh Empu Prapanca pada 1256 Caka atau 1334 Masehi. Hasil penelitian geoarkeologi, tidak jauh berbeda dengan yang diberitakan Nagarakrtagama tersebut, bahwa muntahan lahar panas dan semburan material vulkanis eruspsi Gunung Kelud cukup hebat sampai menelan korban nyawa, harta dan meluluh-lantakan banyak bangunan termasuk Candi Kepung dan Candi Tondowongso di Kediri. Penelitian lebih mendalam, ternyata Gunung ini murka dan batuk-batuk memuntahkan lahar panas beberapa kali, sebagaimana terdeteksi dari lapisan tanah (stratigrafi). Buku berjudul “Tondowongso Tanda Pengantar Editor v TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi” ini tidak mem bahas khusus bencana Gunung Kelud, melainkan meng- upas tuntas sisa peradaban berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi. Sebagaimana disadari akan keterbatasan penulisnya sendiri, bahwa tidak mungkin membahas keselu ruhan misteri penemuan Candi Tondowongso yang hingga kini masih menantang para ahli untuk mengkajinya. Buku ini merupakan hasil penelitian arkeologi murni yang ditulis oleh seorang arkeolog, jebolan UGM, yang bertahun- tahun berkutat menekuni situs-situs yang terdampak letusan gunung berapi. Diawali dari kisah penemuan candi di Dusun Tondowongso, Desa Gayam, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Sugeng Riyanto, penulis buku ini, memperkirakan Situs Tondowongso dibangun pada kisaran abad XI M, masa kerajaan di bawah pemerintahan Airlangga yang bertahta tahun 1019 M, atau masa sebelumnya dan terus eksis hingga masa Kadiri. Dalam catatan sejarah, masa Kadiri adalah masa sulit penuh intrik pergulatan politik dan bahkan perang saudara. Namun pada era itu pula justru melahirkakan tidak sedikit karya sastra brilian seperti Kitab Baratayudha, Lubdaka, dan Smaradhana, di samping bangunan monumental berupa candi maupun bangunan suci lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Salah satu bangunan suci di era itu adalan candi Tondowongso. Dari latar belakang inilah dapat dipahami jika penulis buku memberi porsi lebih banyak tentang sejarah Kadiri dan era sebelumnya ketika kerajaan di bawah kekuasaan Airlangga. Siapakah Airlangga itu, kalau bukan tokoh sentral dalam sejarah Indonesia kuno yang menjembatani antara masa pralaya dengan masa lahirnya dua kerajaan kembar, Panjalu vi Pengantar Editor TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi dan Janggala. Minimal ada tiga sumber yang menyinggung pembelahan kerajaan Airlangga menjadi dua, yaitu prasasti Mahasokbhya, Nagarakrtagama, dan serat Calon Arang. Demi keten teraman negara, Airlangga rela membelah wilayah kerajaannya yang menurut Nagarakrtagama, Mpu Bharada bertugas menetapkan batas antara kedua belahan negara itu dengan cara terbang sambil mengucurkan air kendi. Tafsir para ahli, pembelahan dua wilayah menjadi Panjalu (Kadiri) dan Janggala dengan cara mengucurkan air kendi dari udara adalah simbol dari penciptaan batas alam berupa aliran sungai. Menurut Berg batas alam berupa aliran sungai itu adalah Sungai Porong sekarang. Alkisah, ketika sampai desa Palungan, jubah Empu Bharada tersangkut ranting pohon asam. Pendeta Budhis itu marah dan mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil dan kemudian daerah itu terkenal dengan nama Kamal Pandak, yang artinya pohon “asem pendek”. Tetapi menurut prasasti Mahaksobhya yang dikeluarkan Raja Kertanegara tahun 1289 M, kutukan Mpu Bharada sudah tawar, karena raja berikutnya Wisnuwardhana berhasil menyatukan kedua wilayah tersebut. Airlangga, kemasyhurannya bergema dan terekam dalam kitab-kitab bangsa seberang. Raja bijak dan gagah berani ini meninggal pada tahun 1049 M, didharmakan di Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan dengani gelar pendeta Aji Paduka Mpunku Sang Pinaka Catraning Buwana. Membicarakan sejarah kuno Indonesia, adalah identik dengan membahas konflik, suksesi kerajaan pada tataran atas yang berujung peperangan yang tidak pernah selesai. Tidak sedikit persoalan historiografi Indonesia kuno perlu Pengantar Editor vii TONDOWONGSO – Tanda Peradaban Wangsa di Jawa Abad XI-XIII Masehi diluruskan. Salah satu permasalahan yang hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli adalah mengapa Raja Sindok pada 929 M memindahkan kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Banyak teori dikemukakan oleh para ahli seperti karena merosotnya ekonomi kerajaan akibat terlalu banyak menguras tenaga, pikiran, dan harta untuk membangun monumen candi-candi besar dan megah seperti Borobudur, Prambanan, dan Sewu. Atau gempa bumi, gunung meletus, dan wabah penyakit serta suksesi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja Mataram sejak abad VIII M yang tidak kunjung selesai. Hipotesis lain adalah alasan ekonomi, khususnya terkait dengan perdagangan global. Tetapi alasan politis karena peperangan dan alasan ekonomi dianggap paling mendekati kebenaran dan menghiasi buku-buku pelajaran sejarah hingga sekarang. Raja Sindok yang bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa tidak hanya memindahkan pusat kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Tmur, tetapi juga mendirikan wangsa baru di Mataram, bernama wangsa Isana. Dalam masa pemerintahannya yang relatif singkat (929-947 M) tidak kurang dari 11 prasasti yang dikeluarkan. Pendiri wangsa Isana ini meninggal pada 947 M dan dicandikan di Isanabajra yang hingga kini belum diketahui di mana lokasi tepatnya. Seperti kebanyakan tinggalan arkeologi di Jawa Timur, candi Tondowongso tebuat dari bahan bata, menghadap ke barat, berukuran 8 x 8 meter, serta terdiri atas satu candi
Recommended publications
  • Journal Für Religionskultur
    ________________________________ Journal of Religious Culture Journal für Religionskultur Ed. by / Hrsg. von Edmund Weber in Association with / in Zusammenarbeit mit Matthias Benad, Mustafa Cimsit, Natalia Diefenbach, Alexandra Landmann, Martin Mittwede, Vladislav Serikov, Ajit S. Sikand , Ida Bagus Putu Suamba & Roger Töpelmann Goethe-Universität Frankfurt am Main in Cooperation with the Institute for Religious Peace Research / in Kooperation mit dem Institut für Wissenschaftliche Irenik ISSN 1434-5935 - © E.Weber – E-mail: [email protected]; [email protected] http://web.uni-frankfurt.de/irenik/religionskultur.htm; http://irenik.org/publikationen/jrc; http://publikationen.ub.uni-frankfurt.de/solrsearch/index/search/searchtype/series/id/16137; http://web.uni-frankfurt.de/irenik/ew.htm; http://irenik.org/ ________________________________ No. 215 (2016) Dang Hyang Astapaka and His Cultural Geography in Spreading Vajrayana Buddhism in Medieval Bali1 By Ida Bagus Putu Suamba2 Abstract The sway of Hinduism and Buddhism in Indonesia archipelago had imprinted deep cultural heritages in various modes. The role of holy persons and kings were obvious in the spread of these religious and philosophical traditions. Dang Hyang Asatapaka, a Buddhist priest from East Java had travelled to Bali in spreading Vajrayana sect of Mahayana Buddhist in 1430. He came to Bali as the ruler of Bali invited him to officiate Homa Yajna together with his uncle 1 The abstract of it is included in the Abstact of Papers presented in the 7th International Buddhist Research Seminar, organized by the Buddhist Research Institute of Mahachulalongkornrajavidyalaya University, Ayutthaya, Thailand held from the 18th to the 20th of January, 2016 (2559 BE) at Mahachulalongkornrajavidy- alaya University, Nan Sangha College, Nan province.
    [Show full text]
  • Maritime Indonesia and the Archipelagic Outlook Some Reflections from a Multidisciplinary Perspective on Old Port Cities in Java
    Multamia R.M.T. WacanaLauder Vol. and 17 Allan No. 1 (2016): F. Lauder 97–120, Maritime Indonesia 97 Maritime Indonesia and the Archipelagic Outlook Some reflections from a multidisciplinary perspective on old port cities in Java Multamia R.M.T. Lauder and Allan F. Lauder Abstract The present paper reflects on Indonesia’s status as an archipelagic state and a maritime nation from a historical perspective. It explores the background of a multi-year research project into Indonesia’s maritime past currently being undertaken at the Humanities Faculty of Universitas Indonesia. The multidisciplinary research uses toponymy, epigraphy, philology, and linguistic lines of analysis in examining old inscriptions and manuscripts and also includes site visits to a number of old port cities across the archipelago. We present here some of the core concepts behind the research such as the importance of the ancient port cities in a network of maritime trade and diplomacy, and link them to some contemporary issues such as the Archipelagic Outlook. This is based on a concept of territorial integrity that reflects Indonesia’s national identity and aspirations. It is hoped that the paper can extend the discussion about efforts to make maritime affairs a strategic geopolitical goal along with restoring Indonesia’s identity as a maritime nation. Allan F. Lauder is a guest lecturer in the Post Graduate Linguistics Department program at the Humanities Faculty of the Universitas Indonesia. Allan obtained his MA in the English Language at the Department of English Language and Literature, National University of Singapore (NUS), Singapore, 1988 – 1990 and his Doctorate Degree in Applied Linguistics, English Language at Atma Jaya University.
    [Show full text]
  • UNESCO World Heritage Site Yogyakarta 57454 Indonesia
    Candi Perwara, Bokoharjo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa UNESCO World Heritage Site Yogyakarta 57454 Indonesia unesco | 1 PRAMBANAN THE LEGEND The astonishing temples of Prambanan, believed to be the proof of love from Bandung Bondowoso to Princess Loro Jonggrang, are the best remaining examples of Java’s extended period of Hindu culture. Located 17 kilometers northeast of Yogyakarta, the temples boast of a wealth of sculptural detail and are considered to be one of Indonesia’s most phenomenal examples of Hindu art. Legend says that there were once a thousand temples standing in the area, but due to a great earthquake in the 16th century, accelerated by the treasure hunters and locals searching for building material, many of the temples are gone now. Initiatives to restore the temples have been conducted to some extent, though many stand in ruin today. The UNESCO World Heritage Site of the Prambanan Temple Compounds. PHOTO BY MICHAEL TURTLE prambanan | 2 prambanan | 3 CONSTRUCTION The Prambanan temple is the largest Hindu temple of ancient Java, and the first building was completed in the mid-9th century. It was likely started by Rakai Pikatan as the Hindu Sanjaya Dynasty’s answer to the Buddhist Sailendra Dynasty’s Borobudur and Sewu temples nearby. Historians suggest that the construction of Prambanan probably was meant to mark the return of the Hindu Sanjaya Dynasty to power in Central Java after almost a century of Buddhist Sailendra Dynasty domination. The construction of this massive Hindu temple signifies that the Medang court had shifted its patronage from Mahayana Buddhism to Shaivite Hinduism.
    [Show full text]
  • Menganalisis Perjalanan Bangsa Indonesia Pada Masa Negara
    Menganalisis perkembangan kehidupan negara- negara kerajaan Hindu-Budha di Indonesia(KD2) Nama Keraajaan Mataram Kuno atau Medang Kemulan atau Mataram Hindu Letak Kerajaan di Jawa Tengah abad ke 8 dan berpindah ke Jawa Timur abad ke 10 Beberapa lokasi kerajaan Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya) Yogyakarta Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan) Kedu Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung) Kedu Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) Yogyakarta Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok) Jombang Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok) Jombang Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) Madiun 1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang 2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra 3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra 4. Rakai Warak alias Samaragrawira 5. Rakai Garung alias Samaratungga 6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya 7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala 8. Rakai Watuhumalang 9. Rakai Watukura Dyah Balitung 10. Mpu Daksa 11. Rakai Layang Dyah Tulodong 12. Rakai Sumba Dyah Wawa 13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur 14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya 15. Makuthawangsawardhana 16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir 1. Ratu , Datu, Sri Maharaja 2. Rakryan Mahamantri i Hino 3. Mahamantri i Halu dan Mahamantri iSirikan 4. Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang. 5. Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an) ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya.
    [Show full text]
  • INDO 6 0 1107138592 1 37.Pdf (5.242Mb)
    Photo Lembaga Purbakala Nasional Indonesia BELAHAN OR A MYTH DISPELLED Th. A. Resink1 Anyone who has attempted to challenge a hypothesis which, though originally advanced with cautious reservations, has gained in authority in the course of years to assume in the end the nature of an established fact, knows about the tough tenacity of myths. They become unassailable. Our case concerns the hypothesis of Rouffaer, stated in the Notulen of the Royal Batavian Society in 1909.2 In it the author first advanced the notion that a portrait statue of King Airlangga was embodied in the splendid image of Wi§nu borne by Garu^a which originally came from the bathing-place sanctuary BSlahan, on the eastern slope of Mt. Penanggungan in the Bangil region of Surabaja, and which now graces the Museum of Modjokerto. This notion was accepted and emphatically defended by Krom,3 was subsequently used by Stutterheim as a point of departure for further assumptions, ** and has been perpetuated since as an unassailable fact, or rather myth. It probably would not have occurred to me to question the myth of Airlangga*s portrait myself were it not for the fact that new data have come to light subsequent to the publications of the above scholars. They make it possible to determine more precisely the foundation date of the Belahan complex and, as a 1. An earlier version of this story, "BSlahan - of een mythe ontluisterd," was published in Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (CXXIII), 1967, pp. 250-266. The author and the editors of Indonesia are grateful to that journal for permission to publish this revised and expanded version and to Claire Holt for translating the essay and making valuable suggestions for its revision.
    [Show full text]
  • RESEARCH NOTES Javanese Names During the Height Of
    KEMANUSIAAN Vol. 20, No. 2, (2013), 81–89 RESEARCH NOTES Javanese Names during the Height of the Hindu-Buddhist Kingdoms in Java: An Ethnolinguistic Study SAHID TEGUH WIDODO Universitas Sebelas Maret, Indonesia. [email protected] Abstract. Javanese names have undergone numerous developments throughout the course of human civilisation. The study of names is an important means of discovering the desires, cultural tastes and lifestyles of the Javanese from one period to another. This study used a qualitative descriptive research method. The data for the research were obtained from Indonesian historical sources, the story of Babad Tanah Jawa, epigraphs and selected informants. The techniques used to collect the data were content analysis and interviews with a number of historical and language experts. The analysis resulted in a description of the development of the form and structure of Javanese names. Based on the historical context, these names were strongly influenced by the Sanskrit language of the centuries- old Hindu and Buddhist traditions in India. The influence of the ancient Javanese language on Javanese names began to appear at the beginning of the Javanese Hindu era, along with a decline in the Hindu-Buddhist influence in Java. This influence was marked by the appearance of elements in names that do not exist as syllables in Sanskrit. This phenomenon indicates an acculturation of the Javanese, Hindu and Buddhist cultures. Ancient Javanese influences are still found today in modern Javanese names, such as in the use of the names Dyah, Jaya, Dewi/Devi, Wardhana, Arya and Rangga. Keywords and phrases: name, Javanese, Hindu, Buddhist, Sanskrit Introduction The height of the Hindu and Buddhist era in Java was marked by the establishment of large kingdoms and a high level of civilisation.
    [Show full text]
  • Sang Hyang Kamahāyānikan: Translation and Analytical Study
    Sang Hyang Kamahāyānikan: Translation and Analytical Study Ven. Budi Utomo Ph.D. (Bhikkhu Ditthisampanno) Lecture and Principal of Smaratungga Buddhist College, Indonesia. Ph.D. Candidate in Buddhist Studies, Mahachulalongkornrajavidyalaya University. [email protected] Abstract This dissertation has three objectives, namely: 1. to examine the origin and historical development of The Sanghyang Kamahayanikan; 2. to study the main concept of The Sanghyang Kamahayanikan; 3. to analyze and critique the versions of the Sanghyang Kamahayanikan. This Dissertation is a documentary research. The data and observations are limited to the Sanghyang Kamahayanikan text, translation, interpretation and explanation. Sanghyang Kamahayanikan is an esoteric Buddhist text. Venerable Mpu Shri Sambhara Surya Warama it about 929-947 C from East Java, the successor of Mataram Kingdom, which was shifted to there. The oldest literature was found at Lombok Island in 1900 CE. Professor Yunboll discussed it in 1908 and it was translated into the Dutch language by J. deKatt in 1910. Later, Professor Wuff inspected it. The text is restricted for the teachings in the Mahayana school, with focus on the tantric path of the Yogacara School using Mantranaya or the Mantra method. The text has been divided into two parts, each of which can be read independently. The fi rst section entitled Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya, consists of 42 Sanskrit verses, each with a related commentary in elaborate old Javanese and regrouped under 11 subtopics and a conclusion. The second section consists of instructions in 86 verses, written mainly in old Javanese, with a few middle level Sanskrit references. Both texts belong to the same school and are connected.
    [Show full text]
  • Volcanic Disaster and the Decline of Mataram Kingdom in the Central Java, Indonesia
    Volcanic Disaster and the Decline of Mataram Kingdom in the Central Java, Indonesia Sari Bahagiarti Kusumayudha(&), Helmy Murwanto, Sutarto, and Siti Umiyatun Choiriyah Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia [email protected] Abstract. In the area of Central Java and Yogyakarta there are several volca- noes namely Sindoro volcano, Sumbing volcano, Slamet volcano, Ungaran volcano, Merbabu volcano, and Merapi volcano. Among the volcanoes, Merapi volcano is the most active, generating lava flows, pyroclastic flows, glowing clouds, and lahar. On the other hand, during the 7th to 10th century in this region had been existed an ancient monarchy, known as the Mataram Kingdom. Its glory at that time was marked by many ancient heritages especially in the form of temples. There are many monumental, beautiful, and majestic archae- ological relics, located on the plains, slopes, even near the summit of Merapi volcano, Sumbing volcano, Sindoro volcano, Dieng mountains, and Ungaran volcano. In the 11th century the history of Mataram Kingdom was not recorded any- more, suspected that the kingdom declined, and the cultural center of excellence transferred to East Java. Up to now, the cause of the collapse of Mataram Kingdom is still a mystery. Some historians suspect as a result of a great war, and some others thought as the impact of volcanic disaster. Nevertheless, the fall of Mataram Kingdom still being an enigma. At the southern slopes of Merapi volcano, there are some ancient buildings that buried by volcanic deposits. For example Kadisoka temple part of the building is still dotted sandstone, tuff, and pyroclastic sandstone, cobbles.
    [Show full text]
  • Penggambaran Etika Jawa Dalam Relief Wiracarita Ramayana Di Candi Prambanan, Jawa Tengah
    PENGGAMBARAN ETIKA JAWA DALAM RELIEF WIRACARITA RAMAYANA DI CANDI PRAMBANAN, JAWA TENGAH SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah pada Universitas Negeri Semarang Oleh Mufti Riyani NIM 3101401013 FAKULTAS ILMU SOSIAL JURUSAN SEJARAH 2005 PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada: Hari : Tanggal : Pembimbing I Pembimbing II Dra. Ufi Saraswati, M.Hum Dra. Rr. Sri Wahyu S, M.Hum NIP. 131876209 NIP. 132010313 Mengetahui Ketua Jurusan Sejarah Drs. Jayusman, M.Hum NIP. 131764053 PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada: Hari : Tanggal : Penguji Skripsi : Drs. Abdul Muntholib, M.Hum NIP. 131813653 Anggota I Anggota II Dra. Ufi Saraswati, M.Hum Dra. Rr.Sri Wahyu Sarjanawati, M.Hum NIP. 131876209 NIP. 132010313 Mengetahui: Dekan Fakultas Ilmu Sosial Drs. Sunardi, M M NIP. 130367998 PERNYATAAN Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benarbenar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Semarang, Agustus 2005 Mufti Riyani NIM 3101401013 MOTTO DAN PERSEMBAHAN ♠ Haluslah agar kau tak terlihat, misteriuslah agar kau tak teraba, dan kau akan kuasai nasib lawanmu. (Sun Tzu) ♠ Kehormatan adalah mempertahankann apa yang kita yakini, bukan apa yang kita tau (Penulis) Akhirnya selesai juga…. Ini ku persembahkan kepada: 1. Bapak dan ibu serta adik-adikku yang memberi terlalu banyak cinta, agar aku dapat belajar bagaimana bertanggung jawab pada hidup dan pilihanku.
    [Show full text]
  • Perpindahan Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah Ke Jawa Timur Abad X Ditinjau Dari Aspek Ekonomi
    PERPINDAHAN KERAJAAN MATARAM HINDU JAWA TENGAH KE JAWA TIMUR ABAD X DITINJAU DARI ASPEK EKONOMI (TRANSFER MATARAM HINDU KINGDOM IN CENTRAL JAVA TO EAST JAVA IN X CENTURY VIEWED FROM ECONOMY ASPECTS) Dwi Lukitawati ([email protected]) F.X Wartoyo Widjijanto STKIP PGRI Sidoarjo Jl. Jenggala Kotak Pos 149 Kemiri Sidoarjo Abstrak Perpindahan Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad X ditinjau dari aspek ekonomi diteliti karena banyaknya faktor perpindahan Kerajaan Mataram Hindu yang belum diungkap secara jelas dan ilmiah, terutama dibidang ekonomi. Penelitian ini menjawab rumusan masalah bagaimana proses berdirinya Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah, jelaskan faktor penyebab perpindahan Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah ke Jawa Timur dari aspek Ekonomi, dan bagaimana perkembangan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Timur. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah mulai heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menjelaskan berdirinya Kerajaan Mataram Hindu Jawa Tengah terjadi setelah Raja Sanjaya mendirikan Lingga di Kunjarakunja. Setelah Sanna wafat, Sanjaya menjadi raja dan mendirikan Kerajaan Mataram Hindu tahun 732 M. Faktor penyebab perpindahan Kerajaan Mataram Hindu dari aspek Ekonomi berkaitan dengan masalah perdagangan dan pertanian. Perkembangan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Timur sangat pesat, baik dibidang ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, kesenian dan agama. Kata Kunci: Perpindahan, Kerajaan Mataram Hindu, Ekonomi. Abstract Transfer of Mataram Hindu
    [Show full text]
  • Cultural Heritage Tourism in Indonesia Potential of “Gunung Gangsir Temple” As a Tourist Attraction
    Sys Rev Pharm 2020;11(12):283-289 A multifaceted review journal in the field of pharmacy CULTURAL HERITAGE TOURISM IN INDONESIA POTENTIAL OF “GUNUNG GANGSIR TEMPLE” AS A TOURIST ATTRACTION Nuruddin1, Akhmad Fajar Ma’rufin2, Putu Eka Wirawan3, I Wayan Pantiyasa4, I Made Trisna Semara5, Estikowati6, Fitria Earlike Anwar Sani7 1 Vocational Faculty of Airlangga University Surabaya 2 STMIK Yadika Bangil Pasuruan 3 The International Institute of Tourism and Business Bali 4 Diploma Program of Tourism Merdeka Malang University Author Correspondence: [email protected] ABSTRACT The existence of human life in the past can be traced The results of this study indicate that the use of historic through its historical heritage. Relics in the form of human buildings as a tourist attraction is one part of the effort to creations in the past that can be developed and utilized as preserve these buildings. Concrete steps to realize it are a cultural heritage tourism. Pasuruan in the historical the fulfillment of the carrying capacity needed in the course is one area that has cultural heritage from the Hindhu-Buddhist period, one of which is in the form of tourism business which includes 4A Concepts, Attraction, Gunung Gangsir Temple, a heritage from Medang Amenities, Access and Ancillary. Some things that must be Kamulan Kingdom. This approach uses a qualitative in place are special shelters or places to stay for tourists, a method with a historical science approach, so that place to exchange foreign currencies, representative historical aspects in this study remain visible. Data restaurants and adequate health facilities and form collection techniques in this study are the literature review, organizations specifically in the field of tourism.
    [Show full text]
  • Transformation's Model of Indonesian Agricultural Spirit Across Time and Across Area: "Gotong Royong" and "Lumbung Desa" 1
    International Journal of Scientific and Research Publications, Volume 11, Issue 2, February 2021 619 ISSN 2250-3153 Transformation's Model Of Indonesian Agricultural Spirit Across Time And Across Area: "Gotong Royong" And "Lumbung Desa" 1 Umi Salamah, Endang Sumarti, and Rokhyanto2 Indonesian Languange and Literature Department, IKIP Budi Utomo Malang [email protected] DOI: 10.29322/IJSRP.11.02.2021.p11079 http://dx.doi.org/10.29322/IJSRP.11.02.2021.p11079 Abstract: The agricultural development, which is capitalistic-biased, leads to the industrial economy with the impacts on the loss of "gotong royong" culture, increasing individualism, social gap, and environmental degradation. This study aims to explore the agricultural spirit through the diction of Indonesian popular songs across time, its conservation, and transformation. The current research applies an interdisciplinary approach, documentary method, and agricultural ethnography. The result shows that the Indonesian agricultural spirit's content is the spirit of gotong royong and self-help, the roles of village food bank as the supporter of food security. The agricultural spirit functions to empower the farming, resistance to the policy that ignores the sociocultural capital. It recommends that the state protect and facilitates the development of agriculture within the Indonesian character. The conservation model of agricultural spirit "gotong royong" puts the farmers as the subject, maintaining the environmental harmony, empowering roles and functions of "village food bank" as the partners of Bulog. The model of agricultural transformation of "gotong royong" strengthens the spirit of gotong royong through widening the cooperation, revitalizing the roles of Bulog. Village food bank is widened as the partners and the central distribution of subsidy, the need and market of the agricultural product at national through village level, in order that the program of food security can be realized and controlled easily.
    [Show full text]