1

BAB II

MELACAK ARGUMENTASI MUHAMMADIYAH JAWA

A. Kelahiran Muhammadiyah

Di awal abad 20, Muhammadiyah tampil sebagai organisasi

pembaharu atau reformis. Ia mengusung ide-ide yang memperbarui model

keislaman yang dinilai kolot, terbelakang dan gagal beradaptasi dengan

zaman. Selain itu, Islam kolot itu juga menampilkan ritus keagamaan yang

berseberangan dengan hukum-hukum dasar Islam, yakni As- dan Al-

qur`an. Sehingga lahir ide dan gagasan untuk memugar ritus keagamaan

yang berseberangan dengan semangat Islam di awal dan memperbarui cara

berislam yang dianggap kolot dan terbelekang itu. Kurang lebih, segala

tuduhan itu yang ingin ditepis oleh Najib Burhani. Dalam hal tersebut Ia

Menuliskan:

“bila fakta sejarah Muhammadiyah diamati secara jeli, akan terlihat bahwa

organisasi ini, serta pendiri dan tokoh-tokoh masa awalnya, telah menampakkan

apresiasi yang besar terhadap beberapa unsur budaya Jawa. Dengan mengungkap

sejarahnya, kita akan menemukan bahwa Muhammadiyah pernah memiliki

hubungan yang baik dengan budaya Jawa. Memurnikan (pengamalan Islam) tak

harus berarti menghilangkan atau merusak seluruh unsur budaya Jawa. Dengan

menelusuri dan meneliti secara mendalam hubungan Muhammadiyah dan budaya

Jawa pada masa berdirinya, buku ini berupaya menjembatani yang terjadi dewasa

ini.”1

1Ibid., h. 2.

2

Najib kemudian mengajak untuk menepis tuduhan itu dengan

memframing judul buku secara bombastis. Istilah Muhammadiyah

dipersandingkan dengan Jawa. Secara tidak langsung, hal ini mengajak

pembaca untuk memahami Muhammadiyah sejak awal bergandengan

dengan Jawa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Lebih-lebih lagi Najib

memiliki asumsi bahwa Muhammadiyah yang lahir dalam tembok keraton

Yogyakarta tidak mungkin berjauhan dengan tradisi keraton. Hal ini

menambah pengukuhan atas Muhammadiyah yang mampu bermesraan

dengan Jawa.2

Najib mendasari pandangannya dari periode awal kelahiran

Muhammadiyah sampai tahun 1930. Tahun 1930 ialah titik puncak

pergeseran sikap secara signifikan terjadi dalam tubuh Muhammadiyah. Ia

memulai dengan berbagai teks-teks historis yang memperlihatkan

apresiatifnya Muhammadiyah terhadap Budaya Jawa. Bahkan

Muhammadiyah diklaim Najib lebih memadai direpresentasikan sebagai

Islam Jawa ketimbang Nahdlatul sebagai kawan-seteru sepanjang

zaman Islamisasi di Jawa.3

2 Najib sesungguhnya memberi judul hasil risetnya ialah, “ The Muhhammadiyah`s attitude to in 1912-1930”. Tentu bila ditransliterasi dalam bahasa secara bebas akan menemui judul, “Sikap Muhammadiyah terhadap Budaya Jawa pada tahun 1912-1930”. Bila diartikan demikian, tentu saja akan berbeda dengan judul buku “Muhammadiyah Jawa” yang memakai dua entitas yang berbeda. Penulis membayangkan seolah-olah Muhammadiyah dan Jawa bergandengan menjadi entitias baru. Namun lebih masuk akal sikap toleran Muhammadiyah terhadap kebudayaan Jawa. 3 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa..... h. xvi. Najib masih dalam pengantarnya bagaimana Muhammadiyah yang lebih cocok dianggap sebagai representasi Islam Jawa ketimbang NU. Ia melihat sebelum bergeser dan menyayangkan sikap intelektual muda Muhammadiyah yang kurang menonjol ketimbang intelektual muda NU yang getol memperbincangkan soal tradisi Jawa. Ia kemudian menjelaskan pendapatnya dengan klasifikasi Clifford Geertz (1960) yang menempatkan NU sebagai kelompok dan Muhammadiyah di posisi Priayi Muslim. Perbandingan ini dilihat dari nama dan pakaian yang dikenakan dalam foto dokumentasi kegiatan dua organisasi itu.

3

Sebagaimana fokus kajiannya, ia hanya melihat konteks sejarah

kelahiran sampai tahun pergeseran sikap Muhammadiyah. Muhammadiyah

didirikan oleh seorang abdi dalem bernama KH. pada tahun

1912. KH. Ahmad Dahlan bukan seorang sarjana atau penulis. Dia tidak

meninggalkan coretan apapun yang berbentuk buku atau artikel. Mitsuo

Nakamura berpendapat bahwa ia adalah seorang organisator yang ulung.

Dia pada giliannya dianggap sebagai manusia amaliah daripada manusia

ilmiah.4

Meskipun KH. Ahmad Dahlan tidak meninggalkan buku atau artikel

apapun, namun pemahaman agama mengenai nahwu, fiqh, dan tafsir cukup

memadai. Ia kemudian pergi ke Mekkah untuk belajar ke Syaikh Amad

Khatib seorang pengikut madzhab Syafi`i yang memiliki ide pembaruan

seperti Wahabi. Betapapun ia belajar ke Syaikh tersebut, namun belum ada

kepastian ide pembaruan seorang Syeikh itu mendarah daging dalam diri

KH. Ahmad Dahlan. Namun Deliar Noer menilai bahwa penggagas

Muhammadiyah itu telah menghayati cita-cita pembaruan sekembali dari

Mekkah.5 Tidak ada kepastian dari mana pengaruh KH. Ahmad Dahlan itu,

apakah dari perseorang atau madzhab tertentu. Deliar Noer tidak berani

4 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari balik Pohon Beringin, (: Gajah Mada University Press, 1983). h. 54. Kajian yang dilakukan oleh Mitsuo Nakamura menurut Najib ialah kajian yang menekankan aspek antropologi. Konsentrasi awal kajian buku ini ialah doktrin- doktrin awal dalam Muhammadiyah. Karya ini juga menyinggung soal bagaimana Muhammadiyah bersinggungan dengan budaya lokal. Nakamura menurut Najib tidak melihar dalam perspektif historis sehingga tidak mengetahui aspek pergeseran sikap Muhammadiyah ke budaya Jawa. 5 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (: LP3ES, 1980), h. 243.

4

menilai perkara keterpengaruhan ide pembaruan yang diusung oleh KH.

Ahmad Dahlan.

Harus digarasisbawahi, bahwa KH. Ahmad Dahlan sebelum

mendirikan Muhammadiyah, masuk kelompok nasionalis dalam organisasi

Boedi Oetomo. Boedi Oetomo memiliki visi untuk melestarikan budaya

Jawa dari gempuran budaya Barat dan mengembangkan sistem pendidikan

di kalangan masyarakat Jawa. Pelopor organisasi Boedi Oetomo ialah Dr.

Wahidin Soedirohoesodo yang merupakan teman dekat Mas

Djojokusumarto.6 Pandangan sang pelopor tersebut terilhami dari pikiran

adanya kemunduran Jawa sejak abad ke-16, ketika Islam mengakhiri

peradaban Hindhu Budha, sementara China dan Arab jauh lebih maju7.

Pikiran ini mendoronhnya melakukan semacam revitalisasi budaya Jawa

agar mampu bersaing dengan gempuran budaya modern dari Eropa. Mas

Djojokusumarto adalah orang yang mengajak KH. Ahmad Dahlan untuk

bergabung di Boedi Oetomo. Boedi Oetomi menjadi organisasi yang bisa

diterima dengan baik olehnya karena memiliki status sosial yang sama

dengan KH. Ahmad Dahlan.

Najib mengakui bahwa pendirian Muhammadiyah diinspirasi dari

kehadiran Boedi Oetomo. Menurut Najib, para anggota Boedi Oetomo

6 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...... h. 60. 7 Parikriti T. Simbolon, Menjadi Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), h. 248. Pikiran Dr. Wahidin merupakan berkah dari terbikunya pintu informasi di Hindia-Belanda. Rangkaian peristiwa didengar oleh masyarakat Bumiputra lewat surat kabar dan bahasa melayu. Menurut Parakitri, informasi yang didengar oleh masyarakat Bumiputri dalam konteks Dr. Wahidin ialah fenomena gerakan-gerakan pembaruan seperti di Turki dan reformasi di China. Fenomena tersebut kemudian meracuni pikiran untuk memerdekakan diri dengan spirit anti-penjajahan. Namun keberadaan Boedi Oetomo masih dikalangan para elit Jawa semata. Mereka hanya beranggotan para priayi Jawa sehingga kelompok bawah tidak memiliki akses untuk mengikuti perhelatan organisasi itu.

5

sangat nyaman dengan cara ber-Islam ala KH. Ahmad Dahlan. Bahkan

perspektif KH. Ahmad Dahlan diterima dengan baik oleh anggota Boedi

Oetomo. Para anggota seper Mas Budihardjo dan Raden Dwijosewojo

mendukung dan berkontribusi atas gagasan KH. Ahmad Dahlan. Dengan

begitu Boedi Oetomo telah mendukung upaya mendirikan Muhammadiyah

sebagai organisasi keagamaan.8

Kerjasama antar Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo mulus

tanpa ada konflik berarti. Hal ini membuat Muhammadiyah cukup

mendapat respon positif dan menebar ke seantero Jawa. Hal ini bagi Najib

tidak lepas dari peran aktif Boedi Oetomo sebagai partner organisasi yang

terus mendampingi Muhammadiyah. 9

Upaya mengembangkan Muhammadiyah yang baru lahir

digerakkan dengan penuh semangat. Namun ditengah-tengah semangat

juang dalam tubuh Muhammadiyah, harus dijegal oleh pengekangan

Belanda berupa surat keputusan Pemerintah No. 81 pada 22 Agustus tahun

1914. Keputusan tersebut berisi perkara pembatasan gerakan

MuhAammadiyah di Yogyakarta saja. Baru pada tanggal 16 Agustus 1920,

pemerintah mengeluarkan izin yang memungkinkan Muhammadiyah untuk

8 Ahmad Najib Burhani...... h. 62-64. Menurut Najib para anggota Boedi Oetomo memiliki kecenderungan teosofis atau agnostik dan perspektik KH. Ahmad Dahlan cukup mengundang simpati mereka. Para anggota Boedi Oetomo kemudian mengajak KH. Ahmad Dahlah untuk mengajar anak-anak mereka di Kweekschool (Sekolah Raja) di Jetis dan di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Amtenaren) atau sekolah Pamong Praja. Najib juga berasumsi bahwa pandangan KH. Ahmad Dahlan memiliki corak keterbukaan, toleransi, dan pluralitas yang meninggalkan kesan mendalam bagi anggota Boedi Oetomo. Selain itu titik tekan ajarannya ialah menggunakan akal sebagai instrumen penting memahami agama. 9 Ahmad Najib Burhan, Muhammadiyah Jawa....., h. 66. Boedi Oetomo menjalin hubungan baik hingga rumah KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1917 dijadikan sekretariat kongres. Hal ini semakin mengokohkan jalinan mesra antara Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo.

6

membuka cabang baru dan menggait anggota di seluruh pelosok Jawa.10

Setahun berikutnya pada 2 September 1921, Muhammadiyah diizinkan untuk bergerak ke seluruh pulau di Indonesia oleh pemerintah Hindia-

Belanda.

Platform dalam menebar-luaskan ajaran agamanya ialah rasionalisasi dan modernisasi. Dua hal tersebut diambil Muhammadiyah sebagai upaya mereformasi paham keagamaan. Organisasi ini menganjurkan supaya umat menggunakan akal sebagai instrumen beragama. Peran akal sangat diapresiasi dalam tindakan manusia. Menurut

Najib, KH. Ahmad Dahlan tidak meyakini bahwa meniru nenek moyang dalam hal beragama tidak membuat bahagia. Kadang ritual-ritual yang dilakukan masyarakat hanya demi menghormati warisan masa lalu.11

Sehingga pemahaman beragama demikian mesti dirombak karena dianggap taklid buta. Orang tidak memakai akal-pikiran dalam menjalani ritual-ritual yang dilakukan setiap harinya. Inilah upaya KH. Ahmad Dahlan merasionalisasikan ajaran Islam.

Fase awal ini masih dalam kepemimpinan seorang KH. Ahmad

Dahlan yang dinilai sangat toleran. Abdul Munir Mulkan, memberi satu kategori dalam fase ini dengan istilah Islam sejati masa KH. Ahmad Dahlan.

Islam Sejati KH. Ahmad Dahlan ini dilekatkan pada aspek spiritualisme

“hati suci”. Hal ini didasarkan argumentasi bahwa ketaatan syariah adalah hasil ketaatan batiniah. Mulkan mengutip Farid Ma`ruf yang mengatakan

10 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa....., h. 67. 11 Ahmad Najib Burhani, Muhamaddiyah Jawa...., h. 70.

7

bahwa KH. Ahmad Dahlan seperti sufinya Imam Al-Ghozali. Reformasi

KH. Ahmad Dahlan sesungguhnya lebih menekankan pada aspek

kehidupan sosial daripada praktik-praktik keagamaan yang bersifat kolot

atau bid`ah.12

Mulkhan menambahkan misi yang dibawa KH. Ahmad Dahlan

dalam merasionalisasikan ajaran Islam bisa dilihat pernyataannya di

Kongres 1922. Berikut kutipan langung dari pernyataan KH. Ahmad

Dahlan:

“Untuk memimpin kehidupan seharusnya mempergunakan satu metode

kepemimpinan yaitu Al-qur`an. ...seluruh manusia harus bersatu-hati mufakat yang

disebabkan karena segala pembicaraan memakai hukum yang sah dan hati yang

suci... untuk mencapai maksud dan tujuan harus dengan mempergunakan akal yang

sehat.... tidak ada gunanya pangkat yang tinggi kecuali dengan hati yang suci.”

Bagi Mulkhan, teks diatas memunculkan suatu makna bahwa KH.

Ahmad Dahlan lebih menekankan aspek kesalehan batin13. Spirit

Muhammadiyah yang dibangun oleh KH. Ahmad Dahlan pada gilirannya

mendapat tafsiran beragam dari generasi penerusnya. Namun dari

beragamnya tafsir atas kisah-hidupnya, ada satu kesamaan yang menaungi,

yakni tafsir atas rasionalitas dan modernisasi. Najib memberi tafsir cukup

memadai dalam menggambarkan KH. Ahmad Dahlan yang ingin

menumpas segala macam praktik keagamaan yang dianggap irasional atau

tidak masuk akal. Najib mengutip kata-kata KH. Ahmad Dahlan yang

12 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), h. 109-110. 13 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani...., h. 112.

8

mengatakan, “Manusia harus mengikuti aturan dan syarat yang sesuai

dengan akal pikiran yang suci.” Keyakinan semacam itu telah membawa

sikap organisasi untuk memberangus praktik takhayul dari sistem keyakinan

manusia.14

Sebagaimana wataknya sebagai reformis, Muhammadiyah mencoba

untuk merombak sistem keagamaan yang ada di Jawa. Sistem keagamaan

ini dilihat Ricklefs menyasar pada kelompok santri tradisional. Hal ini

bukan semata-mata tersasar pada doktrin takhayul dan mitos yang dikelola

oleh kelompok kaum .15 Sehingga bisa diketahui bahwa reformasi

Muhammadiyah kala itu memang menohok kelompok muslim tradisionalis

yang menekankan pada tradisi sufistik atau mistisisme Islam. Menurut

Ricklefs, KH. Ahmad Dahlan benar-benar tidak bisa menerima ajaran Islam

yang dianggap bodoh dan terbelakang. Olok-olokkan pada kelompok Islam

tradisionalis kerap dijumpai kala itu karena dinilai telah makar dari ajaran

Islam.16

Dalam narasi Najib Burhani, Muhammadiyah kerap dibentrok

dengan kelompok Islam tradisionalis. Faktanya Deliar Noer memberi

penjelasan bahwa KH. Ahmad Dahlan sempat diasingkan karena mengganti

14 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa..., h. 71. Dalam konteks tersebut, Najib juga mengutip pernyataan langsung KH. Ahmad Dahlan yang menjunjung tinggi terhadap posisi akal-pikiran manusia. Kutipan tersebut ialah, “Sesungguhnya tidak ada yang lain dari maksud dan kehendak manusia itu ialah menuju kepada keselamatan Dunia dan Akhirat. Adapun jalan untuk mencapai maksud dan tujuan manusia tersebut harus dengan mempergunakan akal yang sehat. Artinya ialah akal yang dapat memilih segala hal dengan cermat dan pertimbanga, kemudian memegang teguh hasil pilihannya tersebut.” 15 M.C Ricklefs, Mengislamkan Jawa...., h. 92. 16 M.C Ricklefs, Mengislamkan Jawa...., h.94. Ricklefs tidak secara mendetail bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengolok kelompok Islam tradisionalis. Bagi Ricklefs olok-olokkannya terhadap fatwa-fatwa yang cenderung mengkeklusi diri dari perkembangan teknologi yang masuk ke Jawa.

9

shof sholat dalam masjid. kemudian KH. Ahmad Dahlan mendirikan masjid

sendiri namun kemudian dibumi hanguskan oleh para ulama keraton yang

geram oleh sikapnya.

Sementara itu Ricklefs tidak spesifik bahwa gerakan puritan

Muhammadiyah di awal ini memang berkonfrontasi dengan kelompok

Islam Tradisional. Ricklefs sendiri hanya melihat bagaimana para ulama

sesudah periode KH. Ahmad Dahlan begitu berkonfrontasi dengan ulama

tradisional. Ulama-ulama ini rata-rata didominasi oleh kelompok reformis

dari Minangkabau yang dikomandoi oleh Haji Rasul.17

Najib sendiri menandai bahwa sejak kelahiran Muhammadiyah

sampai dengan kedatangan kelompok ulama dari Minangkabau

Muhammadiyah masih tampak toleran. Muhammadiyah belum memiliki

sikap konfrontatif, Muhammadiyah kala itu terkesan berhati-hati.

Betapapun platform reformasi yang diusung ialah rasionalisasi dan

modernisasi getol, namun sikap pimpinan organisasi mau menoleransi

praktik keagamaan yang berbeda.

17 M.C Ricklefs, Mengislamkan Jawa...., h. 92-116. Ricklefs sepakat bahwa kelompok Minangkabau ialah kelompok yang paling getol memerangi tradisi-tradisi bid`ah yang ada di dalam agama. Ricklefs mengatakan bahwa pada dasawarsa 1930-an Islam di Jawa masih lekat dengan pengaruh mistisisme. Ricklefs hanya menggambarkan pola-pola umum yang terjadi antara kelompok modernis seperti Rasjidi yang getol melawan kekolotan fatwa ulama tradisional. Ada hal menarik dalam deskripsi Ricklefs mengenai kelompok tradisional yang dianggap cukup modern. Bahwa kala itu kelompok Islam tradisional keberatan dengan kebijakan pemerintah kolonial yang memiliki wewenang menunjuk penghulu. Bagi kelompok tradisional, orang-orang yang diangkat penghulu merupakan birokrat pemerintah dan pada saat bersamaan menjadi pemimpin religius yang disangsikan kemampuannya. Kelompok tradisionalis pada tahun 1935 mengancam pemerintah (walau tanpa hasil) agar melaksanakan semacam pelatihan bagi penghulu agar memiliki wawasan keagamaan secara memadai.

10

Peran penting Muhammadiyah dalam menyebarkan paham

keagamannya waktu itu ialah melalu institusi pendidikan yang kurang

modern. KH. Ahmad Dahlan mencoba meniru sekolah-sekolah Belanda dan

meramu pendidikan sekuler dengan pendidikan agama. Sedangkan upaya

lain memodernkan umat ialah dengan mendirikan sejumlah lembaga

kesejahteraan sosial. Bagi Najib niatan Muhammadiyah ini harus dipahami

sebagai upaya memodernkan Muslim di Indonesia dari ketertinggalan

zaman.18

Sementara kiprah Muhammadiyah dalam politik tidak mencolok.

Hal ini sengaja dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan karena kebijakan

Belanda terhadap politik tak segan-segan menghancurkan setiap organisasi

yang melakukan propagan politik. Sikap KH. Ahmad Dahlan memilih aman

demi keberlangsungan organisasi ini. Muhammadiyah juga memiliki

keyakinan bahwa jalur pendidikan akan berpengaruh besar terhadap setiap

keputusan politik. Najib menggaris bawahi bawah dampak yang dibawa

Muhammadiyah dalam mengusung platform pendidikan ini sudah terasa

sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia.19

18 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jaw...., h. 74. 19 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa..., h.73-77. Kiprah Muhammadiyah lain yang digambarakan Najib ialah peran Muhammadiyah membendung misi Kristenisasi. Upaya- upaya membuat lemabaga sosial selain untuk memodernkan juga membatasi ruang gerak penetrasi para misionaris. Najib menilai bahwa lembaga-lembaga itu sengaja dibangun untuk menandingi kekuatan misionaris yang diuntungkan oleh pemerintah Belanda waktu itu. Selain itu Muhammadiyah juga sangat keras dengan Partai Komunis Indonesia. Muhammadiyah dengan tegas menganggap komunisme sebagai musuh Islam. Bahkan sikap tegas itu sampai termanifestasi dalam pernyataan setiap sujao yang menghina atau memfitnah agama harus ditentang dan dilawan. Sikap ini secara tidak langsung membuat pihak Belanda tidak ingin lebih jauh dengan keberadaan Muhammadiyah yang dirasa tidak akan menyerah Belanda.

11

Dari sejarah singkat kelahiran Muhammadiyah, platform reformasi

yang diusung tidak jauh berbeda dengan kelompok-kelompok yang berasal

dari timur tengah seperti Abduh, Jamaluddin Al-afghani dan

juga Rasyid Ridho. Memang tidak bisa disamakan konsepsi pembaruan

yang diusung beberapa pemikir modernis atau reformis itu ke dalam tubuh

Muhammadiyah. Namun senyatanya, gairah mereformasi dan mengejar

ketertinggalan Islam dengan segenap akar masalahnya dicoba diurai oleh

Muhammadiyah dari kelahirannya hingga (mungkin) sekarang.

B. Sikap terhadap Budaya Jawa dan Pergeserannya

Setelah melihat sejarah singkat Muhammadiyah, penulis perlu

menyuguhkan beberapa poin penting sebelum menunjukkan sikap-sikap

Muhammadiyah terhadap budaya, khususnya Jawa. Poin pertama ialah

upaya Najib dalam melihat soal identitas yang tidak mandeg dan ajeg di

Jawa. Identitas Jawa yang dibangun dari proses panjanng hingga akhirnya

dianggap menjadi kejawaan sekarang ini, telah bersinggungan dengan

pelbagai nilai. Nilai-nilai itu pada gilirannya mendapat amatan dari para

peniliti budaya untuk melihat bagaimana proses dan dinamika kebudayaan

yang mengerangkai lahirnya identitas Jawa20.

20 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa..., h. 11-47. Penulis sengaja menaruh pembahasaan ini dibelakang karena logika yang dipakai najib ialah determinisme sejarah. Seolah Sejarah perubahan di Jawa meniscayakan keberadaan Muhammadiyah. Ia dalam kesimpulannya mengatakan, “Identitas budaya selalu berubah dimana dan kapan saja. Tak terkecuali identitas budaya Jawa. Bisa dikatakan bahwa kejawaan muncul sebagai sebuah identitas pada awal abad kedelapan belas.” Najib hemat penulis sangat gegabah dalam mengambil premis kejawaan vis a vis dengan identitas Eropa. Sementara Kejawaan sendiri sudah banyak dihinggapi nilai-nilai Islam. Ia melihat hal ini dari tesis Ricklefs yang menganggap bahwa Islam dan Jawa pernah menjadi satu identitas. Mereka yang dianggap Islam berarti Jawa dan begitupun sebaliknya. Padahal konteks itu ingin menunjukkan sintesis-mistik di Jawa yang antara Islam dan Jawa bisa menyatu tanpa ada

12

Bagi Najib hubungan antara Islam dan Jawa dilihat sebagai

islamisasi, re-islamisasi dan jawanisasi. Istilah pertama dan kedua

ditunjukkan untuk objek yang sama. Istilah islamisasi akan digunakan bila

budaya Jawa dianggap tidak lebih islami. Hal itu juga sebaliknya, bila

budaya Jawa sudah islami maka akan menggunakan jawanisasi. Dua istilah

antara islamisasi dan jawanisasi ini menjadi isitilah yang berkaitan pada

sikap Muhammadiyah terhadap kebudayaan Jawa di awal kelahirannya.21

Sedangkan pembacaan Najib atas sikap Muhammadiyah terhadap

budaya Jawa dituntun oleh teori Grammar of symbols.22 Ia tidak hanya

menggali dan menganalisis data-data sejarah yang tidak terbaca oleh para

peniliti, tapi juga melihat data-data itu sebagai artikulasi grammar of symbol

dalam tubuh Muhammadiyah. Sejalan dengan itu, Najib sesungguhnya

ingin mengatakan artikulasi grammar of symbol merupakan serangkaian

masalah signifikan. Namun sejak abad 18 identitas itu sudah menghilang, identitas Islam dan Jawa kemudian terkoyak. Pelbagai hal disandarkan, namun najib memberi satu penyebab yakni kekuasaan kolonial Belanda. Terkoyaknya identitas itu kemudian timbul identitas seperti santri (muslim taat) dan abangan (muslim tidak taat) muncul di Jawa. Hal itu membuat para sarjana mana saja yang bermaksud mengungkap budaya Jawa akan dihantui pertanyaan, “Unsur apa yang dominan dalam membentuk budaya Jawa?” guna menjawab Pertanyaan tersebut, Najib membuat klasifikan dalam dua model paradigma yakni, paradigma orientalis lawas dan paradigma yang berpusat pada Islam. Menurutnya perbedaan yang jelas diantara dua model paradigma itu ialah dalam perhatian terhadap Islam dan Jawa. Menurut model pertama, islamisasi di Jawa tidak holistik, sementara model kedua punya asumsi islamisasi di Jawa bisa dianggap cukup berhasil dan menyeluruh. Dua paradigma itu sampai hari ini masih diperdebatkan walaupun paradigma tengahan atau alternatif sudah muncul. Pandangan tengahan atau alternatif ini menyuguhkan proses islamisasi berjalan mulus, tetapi mengalami pasang surut dari waktu ke waktu.

21 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 47. 22 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 81. Najib menggunakan teori grammar of symbol untuk menganalisis, menggali data dan mengartikulasikannya. Artikulasi ini dalam “mode dan bentuk dimana Muhammadiyah memanifestasikan dirinya dalam politik busana, keanggotaan sebagai simbol, bahasa sebagai identitas, seperangkat perilaku dan nama sebagai identitas”,ujar Najib.

13

islamisasi maupun jawanisasi di tubuh Muhammadiyah. Pertama-tama ia

akan melihat artikulasi itu pada karakterisitik keanggotaan Muhammadiyah.

Najib dengan apik mendeskripsikan kelompok priayi-santri menjadi

anggota Muhammadiyah. Namun ia juga melihat kelompok priayi-non satri

dalam tubuhnya Muhammadiyah. Sementara kelompok-kelompok lain akan

banyak diisi oleh kalangan pedagang atau pengusaha.

Sekitar sembilan pemimpin awal Muhammadiyah didominasi oleh

abdi dalem.23 Dominasi itu terlihat dari gelar kebangsawan mereka yakni

empat bergelar Mas, dan tiga lainnya bergelar raden. Najib Juga

menunjukan bahwa motor penggerak Muhammadiyah di masa awal dari

abdi dalem atau putra abdi dalem di . Bukti-bukti ini disodorkan

oleh Najib Burhani untuk melihat bagaimana peran orang-orang dalam

keraton yang menggerakkan Muhammadiyah tidak berkeberatan misi

organisasi tersebut. Sementara Nakamura mengemukakan bahwa

Muhamamdiyah memang mulai gerakan dari keraton. Rata-rata anggota

yang bergabung adalah anak muda yang juga tergabung dengan Boedi

Oetomo.24 Tidak ada masalah dengan anggota yang memiliki organisasi

23 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 82-83. Sembilan orang itu adalah orang yang disahkan oleh Gubernur Jenderal pada tahun 1912. Sembilan orang itu ialah, (1) KH. Ahmad Dahlan, (2) Abdullah Sirat, (3), Haji Ahmat, (4) Haji Abdul Rahman, (5) Raden Haji Sarkawi, (6) Haji Mohamamad, (7) Raden Haji Djaelani, (8) Haji Anis, (9) Haji Muhammad Pakih. 24 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringi,....., h. 60. Menurut Nakamura upaya KH. Ahmad Dahlan mereformasi keagamaan di keraton tidak berhasil. Dia kemudian mencari dukungan dari muda yang bergabung dalam Boedi Oetomo. Dia juga mempengaruhi pikiran-pikirannya ke dan berhasil. Pengembangan Muhammadiyah terjadi berkat dukungan dan partisipasi klas menengah kota di dalam gerakan itu dan proses tersebut berlangsung sangat cepat.

14

selain Muhammadiyah, semua hal berjalan baik-baik tanpa ada kericuhan apapun.

Selain kelompok priayi-santri yang berdomisili di Kauman itu, kelompok kedua yang tertarik ialah kelompok priayi non-santri. Rata-rata mereka ini berpendidikan Barat yang sekuler. Tokoh –tokoh itu ialah Raden

Sosrosoegondo, Mas Radji, Mas Ngabehi Djojosugito dan Dr.

Soemowidagdo.25 Selain itu Najib juga menyebut kalangan lain yang bernamakan Jawa menjadi pimpinan organisasi seperti Raden Pringgodono

(Sekretaris keempat pimpinan pusat), Raden Darmosewojo (Juru Periksa),

M. Sastroewito (Sekretaris pertama bagian dakwah) , M. Soemodisastro

(Asisten bagian dakwah), R. Danoewijoto (Sekretaris bagian pendidikan),

Raden Reksodiharjo (asisten bagian pendidikan), M. Warsodimedjo

(Asisten bagian pustaka dan data), M. Sastrominardjo (Sekretaris bagian penolong kesengsaraan umum), M. Drijowongso (Sekretaris bagian penolong kesengsaraan umum). Najib menampilkannya untuk melihat bagaimana nama-nama para anggota sangat Jawa.26

Kelompok lain yang punya peran penting ialah dari pedagang dan pengusaha. Para pedagang dan pengusaha ini menjadi anggota karena aktivitas KH. Ahmad Dahlan yang berdagang batik. Sehingga sangat mungkin KH. Ahmad Dahlan sudah familiar di kelompok ini. Menurut

Najib, ada kemungkinan besar kelompok ini yang menyokong gerak pertumbuhan Muhammadiyah. Kontribusinya bisa dibuktikan dari

25 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa,.... h. 86. 26 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 85-86.

15

kepmimpinan dari cabang-cabang Muhammadiyah di ,

Pekalongan, Pekajangan, Surakarta dan Kota Gede.27

Dari tiga kelompok ini Muhammadiyah tampil mengusung doktrin gerakannya. Para penyokong ini rata-rata didominasi oleh priayi-santri

Kauman sehingga menjadi pilar penyangga Muhammadiyah. Sedangkan priayi non-santri, pedagang dan pengusaha menempati penyokong kedua.

Ketiga kelompok ini yang menjadi pondasi awal gerakan Muhammadiyah.

Namun tidak bearti anggota dari petani dan pekerja tidak ada. Najib melihat ada sekitar 10 persen keanggotaan dari petani dan 5 persen pekerja dari total keanggotaan Muhammadiyah. Najib berterus terang bahwa

Muhammadiyah ialah organisasi urban dan segmentasi ialah elit. Namun penulis kira Najib ingin membeberkan soal karakteristik anggota

Muhammadiyah yang didominasi oleh identitas kenamaannya Jawa. Ini disuguhkan untuk memantapkan tesisnya Muhammadiyah tidak anti- budaya, khusunya Jawa.

Setelah melihat pengurus inti organisasi yang hampir diisi oleh abdi dalem keraton dan priayi, Najib mengajak pembaca untuk melihat sikap apresiatifnya terhadap budaya Jawa. Ia pertama-tama mengutip pernyataan

Julian Pitt Rivers (1963), “Anda tidak bisa menjadi seorang Brahma di pedesaan Ingris”. Pernyataan tersebut dipakai Najib untuk melihat bagaimana Jawa itu tidak mungkin memisah dengan Muhammadiyah.

Muhammadiyah lahir dalam jantung peradaban Jawa sehingga tidak

27 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 93.

16

mungkin akan melawannya. Najib kemudian mengajak untuk melihat posisi

Yogyakarta sebagai mikrokosmos masyarakat Jawa. Yogyakarta sendiri merupakan pusat dari kesenian dan jawa diuri-uri. Sederhananya,

Muhammadiyah terlahir dalam pusat peradaban Jawa yang berarti tidak mungkin lepas dari tata-keadaban Jawa.28

Fenomena ini jarang dilirik oleh siapapun. Banyak kalangan yang menganggap bahwa Muhammadiyah terlanjur lekat dengan modernitas dan purifikasinya. Sehingga cara-baca Najib ini cukup membuat siapa saja akan memikirkan kembali posisi Muhammadiyah di tengah peradaban Jawa tersebut. Najib sendiri memberi penilaian bahwa sesungguhnya

Muhammadiyah ialah potret dari gerakan abde dalem dan priayi dalam sebuah kerajaan Jawa. Ricklefs sendiri lebih tertarik mendeskripsikan konfrontasi Muhammadiyah di tahun 1930-an. Ia memang tidak memfokuskan atas fenomena kelahiran Muhammadiyah dalam jantung peradaban Jawa. Ia akan melihat sisi-sisi reformisnya Muhammadiyah dan konsekuensi yang diambil sebagai gerakan reformis di Jawa.

Mungkin Ricklefs tidak sempat membaca hasil amatan Nakamura yang menghadang pandangan Muhammadiyah ialah organisasi puritan.

Menurut Nakamura Islam reformis bukan anti-budaya Jawa. Gerakan reformis yang dipelopori Muhammadiyah sendiri bisa dibilang sebagai menyaring inti sari Islam dari tradisi-tradisi di Jawa. Hasilnya, tentu saja ada cita-rasa Jawa yang melekat dalam diri Muhammadiyah.29

28 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 95. 29 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin....., h. 141.

17

Sampai disini Najib memberi gambaran sikap apresiatif

Muhammadiyah terhadap budaya Jawa. ada lima sikap yang digambarkan

oleh Najib Burhani, segi perilaku, bahasa, busana, keanggotaan dan nama.

Kelimanya menjadi acuan Najib sebagai suatu sikap organisasi gerakan

Muhammadiyah. Sikap pertama ialah aturan perilaku. Aturan perilaku ini

dinisbatkan pada kelompok priayi yang memiliki batas-batas tertentu

kepriayian. Dalam hal ini ada batas dalam keraton yang mesti dipatuhi. Hal

ini dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan untuk menghormati adat-istiadat

keraton. KH. Ahmad Dahlan tidak menunjukkan sikap subversif sama

sekali pada tradisi-tradis Keraton. Ia tidak arogan dengan Raja dan budaya

Jawa tetapi justru menampilkan penghargaan luarbiasa terhadap semua itu.

Sehingga ia bertingkah layaknya orang Jawa pada umumnya dihadapan

Raja saat menghadap.30

Sikap menurut penulis paradoks ialah Muhammadiyah mau

mengikuti tradisi grebeg. Tradisi grebeg ini jelas hasil silang budaya antar

Islam dan Jawa. Sedangkan di keraton ada tiga grebeg yang hingga kini

masih tetap dijaga yaitu Grebeg Mulud (Peringatan hari lahir Nabi

Muhammad), Grebeg Besar (Hari raya kurban) dan kemudian Grebed

Sultan (Grebeg yang memperingati hari kehiran Sultan). KH. Ahmad

30 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 97-98. Dalam menjelaskan perilaku KH. Ahmad Dahlan, Najib mengutip langsung pernyataan Peacock, “ Kejadian kedua, yang juga diriwayatkan dalam tujuh anekdot, menunjukkan bahwa, dalam bersikap, Dahlan tetap santun dan rendah hati terhadap pihak istana Yogyakarta. Dia ingin menyampaikan pada sang penguasa, Paduka Sri Sultan, saran mengenai penyelenggaraan perayaan Garebeg. Agar Dahlan bisa “bicara bebas dan mengutarakan isi hatinya tanpa merasa silau dengan Paduka Sri Sultan dan di sebuah ruangan gelap pada malam hari. Meski penulis riwayat Dahlan mengganggap kejadian itu mencerminkan keberanian Dahlan bicara kepada sang raja, pembaca Barat lebih terkesan oleh kepatuhan dan kesopanannya; Dahlan di sini bukanlah Luther yang berteriak “Disini aku berdiri” kepada pangeran.”

18

Dahlan tentu saja mengikuti ketiga grebeg tersebut. Ini merupakan

konsekuensinya sebagai abdi dalem. Kemungkinan dalam acara tersebut

mengandung unsur takhayul tentu saja ada. Namun KH. Ahmad Dahlan

tetap mengikuti grebeg hingga wafatnya.31 Bahkan saat bersinggungan

dengan tradisi takhayul harus diberi perhatian lebih. KH. Ahmad Dahlan

percaya bahwa tradisi itu akan memudar seiring evolusi zaman sehingga ia

tidak menampakkan keresahan atas tradisi semacam itu. Pernyataan seperti

itu oleh Najib Burhani dinilai sebagai pernyataan yang mengganggap

irasionalitas di wilayah pedesaan yang masuk sasaran rasionalisasi dan

modernisasi oleh kaum perkotaan. Hal lain yang dilihat oleh Najib Burhani

ialah pertunjukkan wayang kulit yang masih berbau sinkretisme tapi tetap

diadakan oleh Muhammadiyah pada kongres tahun 1925.32

Catatan penting lain mengenai Muhammadiyah ialah sikapnya yang

tidak sejalan terhadap tokoh-tokoh reformis seperti Mohamad Abduh,

Rasyid Ridho dan Hasan Al-Banna dalam menempatkan bahasa Arab dalam

posisi sakral. Ini sedikit berbeda, saat para ulama modernis rata-rata

mengatakan bahwa penerjamahan Al-Qur`an dalam bahasa asing terlarang,

Muhammadiyah malah menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Ini

merupakan corak reformis berbeda dari Timur Tengah, Muhammadiyah

benar-benar menunjukkan karakter reformis kelokalannya. KH. Ahmad

Dahlan seolah tidak menerima mentah-mentah pemahaman Islam yang

31 Ahmad Najib Burhani, Muhammdiyah Jawa....., h.98-99. Selain itu Najib juga memberi penjelasan bahwa Muhammadiyah memakai kalender Jawa sebelum kongres di tahun 1926. 32 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa....., h. 101. Najib mengutip laporan R. Kern kepada Gubernur Jenderal Hindia Timur Belanda.

19

dibawanya dari Arab. Bahkan dalam level tertentu, pendiri Muhammdiyah ini membolehkan umat untuk melakukan sholat dan khotbah Jum`at dengan bahasa Jawa.33

Para anggota Muhammadiyah dalam berbusana memilih pakaian

Jawa. Sikap ini ditunjukan dalam kongres-kongresnya. Seperti Kongres di

Solo pada tahun 1929 dan kongres lain. Bahkan para delegasi peserta kongres dianjurkan untuk memakai busana lokal. Ini menunjukkan betapa

Muhammadiyah sangat menaruh perhatian terhadap pakaian tradisional ini.

Selain itu logo kongres tersebut, terdapat personifikasi pakaian Jawa lengkap beserta pernak-perniknya seperti keris, berkap, blangkon dan kain batin. Najib menilai logo itu ingin menunjukkan suatu prototipe manusia ideal yang tidak berarti Arab dan Barat. Sikap terhadap pakaian Jawa ini sangat kontras dengan yang ditujukan yang memakai pakaian ala Arab.34

Selanjutnya Najib melihat nama sebagai simbol. Ia menunjukkan bagaimana nama yang terberi memiliki hubungan erat dengan identitas pribadi. Najib kemudian memperlihatkan bagaimana orang Jawa secara mudah dalam kondisi tertentu. Perubahan nama ini didasarkan pada pergantian status sosial, masuk agama baru yang membuat orang Jawa menyandang status baru. Nama tersebut memberi suatu identifikasi terhadap kelompok tertentu. Dalam konteks ini Najib ingin menunjukan bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah di awal menyandang nama Jawa dan

33 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa....., h. 103-104. 34 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 106-110.

20

memiliki ketersambungan dengan budaya Jawa.35 Najib juga menyandarkan keanggotaan Muhammadiyah yang juga banyak ikut serta dalam Boedi

Oetomo telah menunjukkan bagaimana Muhammadiyah mau berdampingan dengan organisasi yang memiliki visi melestarikan Jawa dimaknai dengan identitas keanggotaan.

Di level itu, Muhammadiyah menunjukkan sikap apresiasinya.

Najib Menganggap bahwa budaya itu tadi ialah serangkaian kebudayaan yang disebut sebagai surface culture atau budaya permukaan. Secara sederhana budaya ini hanya melihat aspek permukaan atau kulit semata tidak sampai pada keyakinan, penghayatan ataupun kepercayaan.

Sedangkan dalam di level kebudayaan lain, seperti deep culture menurut

Najib ingin merasionalisasi dan memodernisasi. Proyek ini berupaya menggeser posisi kepercayaan terhadap roh ke tauhid, simbolime yang kaya ke kepercayaan yang disederhanakan. Guna menggeser kedudukan roh-roh itu, KH. Ahmad Dahlan menuturkan bahwa kesuksesan dan keberuntungan tidak dicari di tempat-tempat keramat, melainkan berdo`a kepada Tuhan dan bekerja. Itu saja sudah cukup. Di masa KH. Ahmad Dahlan memang kepercayaan terhadap memedi, bangsa alus, gendruwo, lelembut, setan, jin, tuyul, demit, dayang seolah memberi jalan keluar dari misteri hidup.

Penjelasan Najib sampai pada kesimpulan bahwa budaya permukaan Jawa sangat diapresiasi. Sedangkan beberapa budaya-dalam

Jawa mendapat sentuhan rasionalisasi dan modernisasi. Najib memberi

35 Ahmad Najib Burhani, Muhammdiyah Jawa...... , h. 111-117.

21

gambaran tentang gerakan Muhammadiyah ini sebagai bentuk Islam yang

telah dijawakan dan Jawa secara substansi diislamkan (dirasionalkan dan

dimodernkan). Dalam hal ini mendapat pengertian bahwa Jawa sebagai

isme ditolak dan sebagai budaya ditolak.36

Dari sikap-sikap Muhammadiyah yang apresiatif terhadap surface

culture, pada perkembangannya Muhammadiyah tidak lagi memberi

apresiasi terhadap kebudayaan Jawa secara menyeluruh. Baik surface

culture atau deep culture dinilai Najib tidak diapresiasi lagi sebagaimana

budaya Muhammadiyah di tangan KH. Ahmad Dahlan. Najib melihat

periode pergeseran Muhammadiyah yang apresiatif itu dimulai dari tahun

1927. Hal ini senada dengan pemaparan Mulkhan yang melihat bagaimana

formalisasi syariah begitu getol di tahun-tahun itu.37 Sementara Najib

sendiri melihat fenomena ini sebagai proses panjang dari gesekan

intelektual dan ideologis diantara beragam anggota Muhammadiyah dan

pengaruh luar.

Doktrin ketat di awal berdiri dan berkembangnya Muhammadiyah

tidak mencolok. Muhammadiyah menurut Najib tidak mengharuskan

ibadah yang kaku dan sistematis. Muhammadiyah cenderung menaruh

perhatian pada kesejahteraan sosial dan pendidikan daripada berperilaku

dan berkeyakinan yakni dalam akidah dan syariah. Semua orientasi dan

36 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa....., h. 127. 37 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani...., h. 44. Mulkan menjelaskan bahwa formalisasi syari`ah di tubuh Muhammadiyah ini ialah doktrin ideologis perubahan sosial yang gigih memberantas Takhayul Bid`ah Khurafat (TBC). Dalam penelitiannya bahwa doktrin ini akan sering menggunakan kekerasan fisik dan berhadap-hadapan dengan masyarakat petani di pedesaan. Dalam konteks ini Mulkhan tidak menjelaskan bagaiamana pergeseran Muhammadiyah dari yang inklusif menuju doktrin eksklusif terhadap budaya lain.

22

fokus gerakan Muhammadiyah seakan bergeser dan berubah orientasi sejak

dominasi ulama dari Minangkabau. Ulama dari Minangkabau yang

dimaksud itu ialah Haji Rasul. Ialah orang dari Minangkabau paling

berpengaruh besar terhadap perkembangan Muhammadiyah di sana.

Haji Rasul baru masuk Muhammadiyah di tahun 1925 saat

berkunjung ke Jawa. Ia sebelumnya sudah mendirikan organisasi “Sendi

Aman Tiang Selamat” lalu menggantinya dengan Muhammadiyah karena

ketertarikannya. Bisa dibilang cabang pertama Muhammadiyah di luar Jawa

Minangkabau.38 Haji Rasul sudah dikenal sebagai seorang puritan sebelum

mengenal Muhammadiyah. Ia punya pengaruh kuat dalam menancapkan

purifikasinya terhadap ajaran-ajaran agama di Minangkabu. Sehingga ada

perbedaan mencolok dari Muhammadiyah yang lahir di dalam keraton dan

Minangkabau. Najib melihat bahwa Haji Rasul tidak mau berkompromi

dengan praktik-praktik yang dianggap tidak islamis.39 Ia tak henti-hentinya

terus menyerukan agar umat segera sadar terhadap praktik-prakti yang

menyimpang. Haji Rasul tanpa ampun menolak segala hal yang berbau

TBC.40

38 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942....., h. 88 39 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 133-134. Najib memberi contoh sikap Haji Rasul yang keras mengkritik sistem warisan yang umum dipakai di Minangkabau yang memberi waris kepada kemenakan. Najib deskripsi langsung dari Alfian yang juga mengutip dari Mailrapport 1453xx/27, Haji Rasul mengatakan, “Mereka yang menghukumi tidak dengan hukum yang berasal dari Allah adalah orang-orang yang menyimpang dari agama, penindas, munafik...”Dia juga memaksa para muslimah mengenakan hijab dan melarang menggunakan kebaya. Haji Rasul bahkan menolak menggelar kenduri terhadap ayahnya sendiri pasca wafat. Hal ini berbeda dengan sikap KH. Ahmad Dahlan membiarkan orang-orang menggelar kenduri ketika ayahnya wafat. Namun Najib mencatat bahwa hal itu terjadi di tahun (1896) jauh sebelum Muhammadiyah berdiri. Haji Rasul benar-benar bersifat dengan kelompok adat, tradisional atau mereka yang masih memegang tradisi-tradisi Islam masa lalu. 40 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942....., h. 37.

23

Deskripsi lain yang disuguhkan Najib perkara faktor pergeseran sikap Muhammadiyah ialah berdirinya Majlis Tarjih. Majlis ini memiliki semangat untuk mengurai masalah-masalah khilafah. Selain itu wewenang majlis ini memutuskan dan memastikan amalan-amalan Muslim tertentu, terutama terkait lima fardhlu: fardu/wajib, sunnah atau mustahab, mubah, makruh dan haram. Kelima tersebut menjadi agenda pembahasan majlis ini yang didirikan pada tahun 1928. Majlis ini juga ingin mengakomodir perbedaan-perbedaan pendapat yang rentan akan perpecahan. Sehingga segala macam perbedaan yang bisa memecah belah tubuh organisasi di selesaikan dalam Majlis Tarjih.

Mencoloknya pergeseran pergeseran Muhammadiyah ialah dari anggapan secara kelembagaan tentang kebudayaan Arab dari masa Nabi

Muhammad adalah kebudayaan Islam sejati. Sehingga pengikut

Muhammadiyah kemudian meniru dan berpenampilan Arab. Hemat Najib proses Arabisasi disini telah menguat dan korbannya ialah budaya dan identitas Jawa. Dalam analisisnya, Najib menyuguhkan pelbagai kemungkinan latarbelakang pergeseran orientasi yang awalnya memiliki spirit pembaruan sosial sekarang bergeser memperbarui ritual semata.

Dominasi kelompok minangkabau yang dipelopori oleh Haji Rasul adalah sebab dari pergeseran orientasi Muhammadiyah. Haji Rasul dianggap tidak punya wawasan modern memadai. Najib mengganggap Haji Rasul berhasil mempropagandakan model fanatisme dan revivalisme yang kaku dan celakanya sebagian besar warga Muhammadiyah terpengaruh. Dalam hal

24

proses-proses bagaimana dominasi pengaruh ulama Minangkabau di

Muhammadiyah, Najib mengutarakan untuk dibuktikan lebih jauh.41

Penjelasan di atas merupakan faktor internal di tubuh

Muhammadiyah. Najib juga memberikan faktor eksternal dalam tubuh

Muhammadiyah. Faktor itu ialah kemenangan Wahabi di Arab Saudi ketika menaklukan Mekkah pada 1924, lalu berdirinya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, dan kebijakan Kolonial yang memisahkan dan mempertentangkan Islam dan adat. Wahabi memiliki spirit memuliha ajaran sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dari praktik-praktik keagamaan di

Arab dan menghapus mazhab-mazhab sebagaimana misi otentisitasnya.

Spirit itu sampai berlabuh di tubuh Muhammadiyah dan bergema menjadi dukungan eksternal untuk memurnikan keyakinan dan ajaran Islam.

Sementara kebijakan pemerintah turut berkontribusi atas sikap

Muhammadiyah yang berbalik memusuhi adat. Menurut Najib,

Muhammadiyah memiliki cara pandang kebijakan pemerintah Kolonial ini sebagai alat untuk menundukkan Islam dan menjinakkannya. Hal ini diperkuat dengan keputusan Kongres Muhammadiyah ke-22 di tahun 1933, Muhammadiyah berultimatum perang melawan adat.

Bersamaan dengan itu kelahiran NU bermaksud untuk menjaga adat-adat yang ada dan praktik tradisional. Muhammadiyah melihat sikap NU ini sangat berseberangan dengan spirit Muhammadiyah yang cenderung menyerap Wahabi.42

41 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa...., h. 143. 42 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa....., h. 144-146.

25

Tesis Najib Burhani kira-kira dibangun dengan pondasi itu. Hal ini nampak Muhammadiyah benar-benar mau menyerap tradisi-tradisi lokal seperti di Jawa. Namun semua berubah setelah pelbagai hal terjadi seperti dominasi kelompok yang menyerukan formalisasi syari`ah, kemenangan

Wahabi dan juga kebijakan Kolonial Belanda menambah daftar penyebab pergeseran Muhammadiyah. Penulis mengira, sikap-sikap Muhammadiyah yang tebang pilih terhadap tradisi, adat dan budaya lokal ini patut dicurigai.

Nalar apa yang sedang dibangun dalam sikap tebang pilih itu, penulis akan menyajikan di bab selanjutnya.