1 Monumen Simpang Lima Gumul Sebagai Ikon City Branding Kabupaten Kediri Hafida W. Ardhani FISIP, Universitas Airlangga, Jalan A
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Monumen Simpang Lima Gumul Sebagai Ikon City Branding Kabupaten Kediri Hafida W. Ardhani FISIP, Universitas Airlangga, Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286, Indonesia Abstract : This research is about Monumen Simpang Lima Gumul (SLG) as an icon of the city branding of Kediri Regency and the meaning of local communities towards it. This research is important to do because the building as one of the elements of city branding should be built as unique as possible and come from local culture. Statsbygg (2005) in Smith & Strand (2011) [10] said that to make an icon must be accompanied by efforts to make the appearance of a building very different from other buildings. But this is different from the Monument SLG which has a design similar to the Arc de Triomphe, France. This study uses the theory of instruments of place branding by Gregory J. Ashworth (2009) [1]. This research uses descriptive method with a qualitative approach. The informant of this research is the Culture and Tourism Office of Kediri Regency as the creator and responsible for explaining the branding of Monument SLG. And four local residents as local community selected from various professional and educational backgrounds to see variations in answers regarding the meaning of the Monument SLG. This research was conducted because the researcher wanted to know about the reason of the similarity of Monument SLG with the Arc de Triomphe and how the local communities meant it. The results of this study are the adaptation of the Arc de Triomphe design to the SLG Monument as an attraction. But it is considered irrelevant because they do not have any context. The design adaptation aims to sell Kediri Regency. Especially with the CBD (Central Business District) program pinned to the area of Monument SLG. The conclusion of this study are that the non-reflection of the original culture and characteristics of the local community in an iconic building can affect the meaning and connectivity of the people of Kediri Regency with the Monument SLG. As well as other elements that do not reflect the identity of the community and Kediri Regency as a whole can lead to the absence of the sense of belonging and the sense of pride of the local community. Keyword: city branding, place branding, identity, culture, local communites Pendahuluan : Penelitian ini mengenai Monumen Simpang Lima Gumul sebagai ikon city branding Kabupaten Kediri. Monumen Simpang Lima Gumul selanjutnya dalam penelitian ini akan disebut dengan Monumen SLG. Penelitian ini dilakukan 1 JURNAL MONUMEN SIMPANG LIMA... HAFIDA W. ARDHANI IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA karena peneliti ingin mengetahui pemilihan Monumen SLG sebagai ikon city branding Kabupaten Kediri dan pemaknaan masyarakat lokal terhadap Monumen SLG. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena monumen/ ikon sebagai salah satu atribut city branding seharusnya memiliki desain yang unik sehingga berfungsi untuk menciptakan identitas yang unik bagi sebuah tempat/ kota/ negara sesuai dengan ide pokok branding yang dijelaskan oleh Hankinson dan Cowking (1993) dalam Kavaratzis & Ashworth (2005) [6]. Studi mengenai branding secara umum dijelaskan oleh Knox dan Bickerton (2003) dalam Kavaratzis & Ashworth (2005) [6] menjelaskan branding sebagai sebuah proses yang dipilih untuk menggabungkan atribut-atribut produk karena dianggap akan menambah nilai produk tersebut. Kapferer (2004) dalam Kavaratzis & Ashworth (2005) [6], branding adalah sebuah diferensiasi produk dan strategi segmentasi pasar. Ashworth (2009) [1] sebagai sebuah upaya untuk menciptakan asosiasi dibenak konsumen tentang karakteristik produk dan berbagai atribut/ nilai lain (tanpa merubah karakteristik fisik produk) yang ditambahkan sehingga konsumen tidak hanya membeli produk tersebut secara fisik namun juga membeli kelebihan simbolik tersebut. Selanjutnya branding diterapkan dalam city yang merujuk pada suatu tempat secara geografikal. Kavaratzis (2008) dalam Braun (2011) [3] menjelaskan city branding sebagai penerapan baru dari city marketing. Kavaratzis (2008) dalam Braun (2011)[3], selanjutnya mengidentifikasikan sebuah perubahan fokus city branding dari sebuah karakter pemasaran menjadi hubungan yang melibatkan emosional, mental, psikologis publik dengan sebuah kota. Seperti yang banyak orang ketahui bahwa city branding selalu merujuk pada sebuah slogan/ tagline. Menurut Freeman (2005) [5], tagline adalah langkah pertama dalam membangun sebuah merek yang dapat menunjukan gaya dan personalitas sebuah merek. Kavaratzis (2008) dalam Braun (2011) [3], menjelaskan bahwa city branding tidak hanya sebuah slogan, namun juga sebuah gambaran dan ekspektasi yang muncul dari benak publik ketika mendengar nama, logo, dan hal-hal lain terkait sebuah kota tersebut. City branding yang merujuk pada tempat secara geografikal dapat menyusun atribut untuk menambah gambaran asosiasi 2 JURNAL MONUMEN SIMPANG LIMA... HAFIDA W. ARDHANI IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA identitas suatu kota. Selain tagline, berbagai kota memiliki bangunan ikonik untuk menambah atribut city branding mereka. Sebuah bangunan ikonik tersebut dapat memiliki branding secara lebih spesifik yaitu disebut dengan place branding. Mayes (2008) dalam Kavaratzis & Hatch (2013) [7] mengatakan bahwa place branding adalah seni untuk menyaring esensi dari tempat tersebut yang berguna untuk menunjukan spesifikasi tempat tersebut dan identitas yang ingin diproyeksikan. Ashworth (2009) [1] memberikan contoh bangunan ikonik di dunia. Yang pertama berupa menara adalah Empire State di New York, CN Tower di Toronto, dan Menara Petronas Malaysia yang dibangun pada tahun 1998. Contoh kedua adalah jembatan yang disebut Koolhaas (1994) dalam Ashworth (2009) [1] sebagai “The Propagandistic Nature of Architecture” atau propaganda arsitektur. Yaitu jembatan tidak hanya dibangun untuk sebuah kepentingan infrastruktur, namun juga sebagai bangunan terfavorit untuk mengekspresikan seni, keindahan, dan enginering skills pemerintah pada era tersebut. Jembatan biasanya juga dijadikan sebagai ikon jangka panjang suatu kota/ negara. Seperti Chain Bridge di Budapest (1849), Tower Bridge di London (1894), Harbour Bridge di Sydney (1932), Golden Gate Bridge di San Francisco (1937), Erasmus Bridge di Rotterdam (1996) dan Millenium Bridge di London (2002). Sedangkan contoh bangunan ikonik di berbagai kota di Indonesia adalah Menara Nasional (Monas) di DKI Jakarta, Jembatan Ampera di Kota Palembang, Tugu Golong Gilig di Jogjakarta, dan Tugu Pahlawan di Kota Surabaya. Seperti yang peneliti sampaikan dalam bagian awal bahwa objek dalam penelitian ini adalah Monumen SLG. Smith & Strand (2011) [10] mengatakan bahwa monumen adalah bangunan simbolis berupa bangunan besar dan mewah yang dirancang untuk menginspirasi, menimbulkan rasa kagum, dan mengakomodasi indentitas masyarakat secara kolektif. Monumen SLG sebagai ikon city branding Kabupaten Kediri diresmikan pada tahun 2008 oleh Bupati yang menjabat saat itu, Ir. Sutrisno. Yang menarik dari Monumen SLG adalah bahwa desain bangunan tersebut menyerupai Arc de Triomphe, Paris, Perancis. Kemiripan kedua bangunan tersebut dapat kita lihat dari bentuk kubus yang 3 JURNAL MONUMEN SIMPANG LIMA... HAFIDA W. ARDHANI IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA serupa, lengkung ditengah kubus, desain garis-garis secara horizontal, dan penempatan relief. Statsbygg (2005) dalam Smith & Strand (2011) [10], menjelaskan bahwa dalam menetapkan (to justify) sebuah ikon adalah disertai dengan upaya yang disengaja untuk membuat bangunan memiliki penampilan yang sangat berbeda dari yang lainnya. Kemunculan Monumen SLG dengan desain menyerupai Arc de Triomphe memunculkan berbagai insight dengan berbagai konotasi. Mengenai insight negatif, menurut peneliti beberapa insight tersebut langsung menggunakan kata berkonotasi negatif dan mengandung tujuan sindiran. Melalui kemiripan kedua bangunan tersebut jika ditelaah, sebelumnya Kabupaten Kediri tidak memiliki konsteks apapun dengan Paris maupun dengan Perancis. Konteks dapat berupa hubungan yang pernah terjalin sebelumnya, contohnya adalah Indonesia dengan Belanda yang mewariskan berbagai arsitektur bercorak kolonial pada bangunan-bangunan yang dibangun pada masa Belanda. Contoh lain adalah konteks kerajaan, seperti arsitektur bercorak keraton pada berbagai bangunan di Jogjakarta. Sedangkan Kediri sebelumnya tidak memiliki konteks dengan Perancis. Dengan kata lain peneliti mempertanyakan alasan lain mengapa kreator Monumen SLG memutuskan menggunakan desain Arc de Triomphe. Selain menuai insight yang negatif dari masyarakat sebagai pengunjung, kemiripan tersebut juga merupakan sebuah permasalahan bagi masyarakat lokal. Kavaratzis & Hatch (2013) [7], menjelaskan bahwa place identity tidak hanya soal “how others see us”, namun justru lebih menekankan pada “how we see ourselves”. Hal tersebut berkaitan dengan gagasan sebuah place branding sebagai refleksi identitas sebuah kota (Smith & Strand, 2011) [10]. Selain itu, desain Monumen SLG yang meniru Arc de Triomphe dapat diindikasikan tidak berasal dari unsur sejarah budaya lokal Kabupaten Kediri. Hal tersebut dijelaskan Mayes (2008) dalam Kavaratzis & Hatch (2013) [7], bahwa identitas tempat berasal dari fitur intrinsik dan sejarah dari tempat tersebut. Govers & Go (2007) dalam Kavaratzis & Hatch (2013) [7], juga mengatakan bahwa identitas tempat dibangun melalui wacana sejarah, politik, agama dan budaya. Sehingga peneliti juga 4 JURNAL MONUMEN SIMPANG LIMA... HAFIDA W. ARDHANI IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA