RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KELAS X TEKS BIOGRAFI

Mata Pelajaran Bahasa Sekolah: Materi Teks Biografi SMA Bina Insan Pokok Kelas/ Smt. X IPA-IPS/ mandiri Waktu 8 jam pelajaran Genap/2 Kompetensi Dasar 3.15 Menganalisis aspek makna dan kebahasaan dalam teks biografi 4.15 Mengembangkan permasalahan/ isu dari berbagai sudut pandang yang dilengkapi argumen dalam berbiografi Indikator 3.15.1 Menelaah isi dan struktur teks biografi Pencapaian 3.15.2 Menelaah ciri kebahasaan teks biografi Kompetensi 4.15.1 Merancang teks biografi 4.15.2 Menyusun teks biografi A. Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti pembelajaran diharapkan siswa mampu menelaah isi, struktur, dan kebahasaan teks biografi; menyusun teks biografi; memiliki sikap mandiri, kerja sama, percaya diri, dan selalu bersyukur kepada Tuhan YME.

B. Kegiatan Pembelajaran Media : Teks Biografi Alat/Bahan : Buku tulis, Laptop Kegiatan Pendahuluan (4 x 8 Menit) Guru membuka pembelajaran dengan mengucapkan salam, menyampaikan aprsepsi yang berkaitan dengan kompetensi dasar disampaikan secara tertulis diawal materi Kegiatan Inti (4 x 70 Menit)

1. Siswa mencermati teks biografi yang dibagikan oleh guru. 2. Secara mandiri atau berkelompok, siswa berdiskusi membagi tugas menentukan isi, struktur, dan ciri kebahasaan teks biografi 4. Siswa menentukan isi, struktur, dan ciri kebahasaan teks biografi yang telah dibagikan oleh guru secara tertulis 5. Siswa menulis teks biografi dengan memerhatikan isi, struktur, dan ciri kebahasaannya. 6 Kegiatan Penutup (4 x 12 Menit) Siswa menyimpulkan dan merefleksi pembelajaran, selanjutnya, dan menutup pembelajaran dengan berdoa kepada Tuhan YME.

C. Penilaian 1) Sikap: observasi , 2) Pengetahuan: tes tertulis, 3) Keterampilan: produk

Mengetahui, Nganjuk, 2 April 2020 Kepala Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran,

Wijaya Kurnia Santoso, S. Pd Suliswanto, S. Pd

Biografi Mentri Kesehatan Siti Fadila Supari

Masa jabatan 21 Oktober 2004 – 20 Oktober 2009

Presiden

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla

Pendahulu Achmad Sujudi

Pengganti Endang Rahayu Sedyaningsih Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Kesehatan & Kesejahteraan rakyat Masa jabatan 25 Januari 2010 – 20 Oktober 2014

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Wakil Presiden Boediono

Ketua Dewan Emil Salim Informasi pribadi 6 November 1949 (umur 70) Lahir , Indonesia Pasangan Muhamad Supari Dosen Pekerjaan Dokter

Siti Fadilah

Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 6 November 1949; umur 70 tahun) adalah seorang dosen[1] dan ahli jantung[1] yang menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden dari 25 Januari 2010 hingga 20 Oktober 2014. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Kesehatan Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia merupakan salah satu dari empat perempuan yang menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu, selain Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta.

Ia bekerja sebagai staf pengajar kardiologi Universitas Indonesia. Setelah itu, selama 25 tahun, ia menjadi ahli jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.

Pada tanggal 20 Oktober 2004, Siti Fadilah dilantik menjadi Menteri Kesehatan oleh Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada tahun 2007, ia menulis buku berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung yang berisi tentang konspirasi Amerika Serikat dan organisasi WHO dalam mengembangkan senjata biologis dengan menggunakan virus flu burung. Buku ini menuai protes dari petinggi WHO dan Amerika Serikat.

Ia menikah dengan Ir. Muhamad Supari dan dikaruniai 3 orang anak.

Sebelum menjadi menteri

Ia tampil sebagai dosen tamu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dosen tamu di Pasca Sarjana Jurusan Epidemiologi Universitas Indonesia dan pengajar Departemen Jantung dan Pembuluh Darah Pusat Jantung Nasional Harapan Kita/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan staf pengajar kardiologi Universitas Indonesia.

Siti Fadilah telah menjabat sebagai ahli jantung Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama 25 tahun. Ia juga menjadi Kepala Unit Penelitian Yayasan Jantung Indonesia dan Kepala Pusat Penelitian Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.

Menjadi menteri kesehatan

Pada 20 Oktober 2004, ia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin Departemen Kesehatan. Ia mengaku terkejut karena ditunjuk menjadi menteri. Serah terima jabatan menkes dari Achmad Sujudi ke Siti Fadilah dilakukan di , 21 Oktober 2004. Film kaleidoskop Departemen Kesehatan tahun 1999-2004 diputar pada acara tersebut. Selain itu, Achmad Sujudi juga menyerahkan 32 buku yang berisi kegiatan, kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dihasilkan serta memori jabatan yang diharapkan dapat menjadi acuan kebijakan selanjutnya. Siti Fadilah mengakhiri pengiriman virus flu burung ke laboratorium WHO pada November 2006[2][3] karena ketakutan akan pengembangan vaksin yang lalu dijual ke negara-negara berkembang, dengan Amerika Serikat mendapat keuntungan dan Indonesia tidak mendapat apa-apa.[4] Ia juga takut bahwa vaksin itu akan digunakan untuk senjata biologi.[4] Setelah itu, ia berusaha mengembalikan hak Indonesia. Pada 28 Maret 2007, Indonesia mengumumkan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan dengan WHO untuk memulai pengiriman virus dengan cara baru untuk memberikan akses vaksin terhadap negara berkembang.[5] Siti Fadilah mengkonfirmasi pada tanggal 15 Mei 2007 bahwa Indonesia kembali mengirimkan sampel H5N1 ke laboratorium WHO.[3][5]

Pada Maret 2007, ia menuding Askes tidak menyalurkan klaim rumah sakit sesuai dengan permintaan dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pada tanggal 6 Januari 2008, Siti Fadilah merilis buku Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung yang berisi mengenai konspirasi Amerika Serikat dan WHO dalam mengembangkan "senjata biologis" dengan menggunakan virus flu burung. Bukunya dianggap membongkar konspirasi WHO dan AS[6] Siti Fadilah "membuka kedok" World Health Organization (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang ternyata banyak merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.[4] Buku ini menuai protes dari petinggi-petinggi WHO dan AS. Buku edisi Bahasa Inggris ditarik dari peredaran untuk dilakukan revisi,[7] sedangkan buku edisi Bahasa Indonesia masih beredar dan memasuki cetakan ke-4.

Berikut adalah sebagian kutipan dari apa yang tertulis di buku tersebut.

“ Namun ironisnya pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus flu burung pada manusia. Dan kemudian vaksin itu dijual ke seluruh dunia juga akan dijual ke negara kita. Tetapi tanpa sepengetahuan apalagi kompensasi untuk si pengirim virus, yaitu saudara kita yang ada di Vietnam. ”

“ Mengapa begini? Jiwa kedaulatan saya terusik. Seolah saya melihat ke belakang, ada bayang-bayang penjajah dengan semena-mena merampas padi yang menguning, karena kita hanya bisa menumbuk padi menggunakan lesung, sedangkan sang penjajah punya mesin sleyp padi yang modern. Seolah saya melihat penjajah menyedot minyak bumi di Tanah Air kita seenaknya, karena kita tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki uang untuk mengolahnya. Inikah yang disebut neo- ” kolonialisme yang diramal oleh Bung Karno 50 tahun yang lalu? Ketidak-berdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain? Demikian jugakah pengiriman virus influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveillance Network). Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan GISN yang sangat berkuasa tersebut sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada ketidak-adilan?

Siti Fadilah menjamin bahwa Indonesia dapat memproduksi vaksin flu burung sendiri pada Mei 2008.[8][9] Ia juga menyatakan bahwa industri vaksin Indonesia setara dengan Republik Rakyat Tiongkok.[10]

Pada Selasa, 12 Mei 2009, ia meminta disampaikan secara khusus agar penerimaan mahasiswa asing untuk bidang kedokteran dihentikan secara bertahap kepada petinggi Universitas Padjadjaran, Bandung, dihadapan para wartawan, saat berkunjung ke Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung. Alasannya, masih banyak orang Indonesia yang ingin jadi dokter, serta fasilitas rumah sakit yang dipakai untuk praktik mahasiswa kedokteran asing dibiayai oleh uang rakyat tapi dipakai calon dokter dari Malaysia.[11]

Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Metro TV, membuat acara talkshow yang bernama Bincang Bincang Bareng Bu Menkes yang kerap disingkat B4M. Acara ini kerap tayang setiap minggu malam, dan yang berperan sebagai co-host adalah Denny Chandra dan Kelik.

Pada bulan Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi melantik menteri Kabinet Bersatu II.[12] Endang Rahayu Sedyaningsih ditunjuk sebagai pengganti Siti Fadilah sebagai Menteri Kesehatan yang baru.[13]

Juga menyalin dari kompasiaa : Masih tentang kiprahnya sang mentri kesehatan, Flu Burung yang mematikan"][/caption] Berita kematian Puguh Dwi yanto, seorang warga Sunter, Jakarta Utara, 7 Januari 2012, menggerak perhatian saya melotot kasus ini. Sejumlah media massa merilis, penyebab tewasnya pria berusia 23 tahun itu diduga akibat flu burung. Di Jakarta, menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI, Dien Emmawati, sebagaimana yang saya lansir dari TribunNews (9 Januari 2012), korban flu burung di Jakarta tak banyak yang bisa diselematkan medis. Tahun 2009, dari 10 kasus flu burung, delapan orang diantaranya meninggal dunia. Tahun 2010, dari total tiga kasus, semuanya meninggal dunia. Sepanjang 2011, dari tiga kasus, hanya satu yang selamat. Kasus flu burung yang masih merebak awal 2012 ini mengingatkan saya akan perjuangan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009. Ia menggugat ketidakadilan sistem WHO dalam penanganan flu burung. Proses gugatan itu saya tulis dalam Liputan Utama di Majalah FORUM Keadilan 2008 (saat itu saya masih menjadi wartawan majalah ini). Berikut naskah asli tentang gugatan Bu Siti, yang pernah tayang di majalah FORUM Keadilan (judul: Bu Siti Melawan Amerika), dan mendapat penghargaan karya jurnalistik Terbaik Kedua setelah TEMPO (judul: Panas Dingin Virus Namru) dari Departemen Kesehatan, Desember 2008 (link: http://rol.republika.co.id/berita/21410/Menkes_Serahkan_Penghargaan_Kesehatan) ======[caption id="" align="alignleft" width="439" caption="Siti Fadilah Supari berpidato di depan sidang WHO "][/caption] Edisi 44 | FORUM UTAMA | Majalah FORUM Keadilan | 2008 Bu Siti Melawan Amerika Di dalam buku setebal 182 halaman itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menguak keculasan yang melibatkan organisasi internasional dan negara-negara kaya, mengenai flu burung. Hasil rekayasa Amerika? ”Diborongnya obat Tamiflu oleh negara-negara kaya yang tak memiliki kasus Flu Burung, sungguh sangat menggoreskan luka mendalam hati saya. Alangkah tidak adilnya. Bayangkan saja Flu Burung menimpa negara-negara yang sedang berkembang bahkan miskin, tetapi mereka tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat-obatan yang masih terbatas produksinya di dunia.” Itulah petikan salah satu bab pada buku terbaru Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung." Buku yang diluncurkan 6 Februari 2008 lalu di Jakarta itu terbilang istimewa. Buku setebal 182 halaman itu mengisahkan perjuangan Siti Fadilah mendobrak ketidakadilan organisasi internasional sekelas WHO dan negara-negara maju, terutama dalam penanganan kasus Flu Burung yang mulai menyerang manusia sekitar empat tahun silam. Bu Siti, yang juga dokter spesialis jantung ini tidak patah arang. Ia mengumpulkan energi dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu. Nama generik obat ini: Oseltamivir, produksi Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Dana sudah ada. Sialnya stok habis. Tamiflu ludes dipesan negara-negara kaya sebagai stockpilling. Siti curiga. Pasalnya, kasus flu burung tidak terjadi di negara itu. Menkes akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Negara ini juga memiliki lisensi dari Roche. Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailan dan Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis. Kejadian itu meninggalkan bekas luka mendalam di hati Siti Fadilah Supari. Ia berpikir: seandainya nanti ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara kaya yang meraup keuntungannya. Betapa tidak: bahan (material) untuk membuat vaksin atau virusnya diperoleh dari negara penderita Flu Burung yang tidak kaya, yang belum tentu mampu membeli vaksin yang dibuat oleh negara kaya. Maka, kata Siti Fadilah, tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya. Lebih lanjut, Menkes Siti Fadilah Supari mengungkapkan sampel virus Flu Burung diambil dan dikirim ke WHO (WHO Collaborating Center), untuk dilakukan risk assesment (pengkajian risiko), diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian dipakai untuk membuat vaksin. Sekali lagi, ini amat ironi. Pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara- negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus Flu Burung pada manusia. Vaksin itu lalu dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kedaulatan dan rasa nasionalisme Siti Fadilah terusik. Pikirannya menerawang pada ungkapan Bung Karno 50 tahun lalu yang menyebut praktik kecurangan itu sebagai neo-kolonialisme: ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain. Siti Fadilah menjelaskan, pengiriman sampel virus ke WHO tak hanya Flu Burung. Tak urung, karena aturan Global Influenza Surveilance Network (GISN), spesimen Influenza biasa juga wajib dikirim oleh 110 negara ke WHO. ”Itupun sudah berangsung selama 50 tahun. Entah siapa yang mendirikan GISN itu”, tulisnya. Siti Fadilah tak tahu. Yang jelas, kata dia, negara-negara penderita Flu Burung tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN. Tak ada yang protes kalau virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Kemudian diproses untuk risk assesment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dari seed virus itulah bisa dibuat suatu vaksin. Bila berhasil, vaksin itu didistribusikan ke seluruh negara di dunia secara komersial, termasuk negara penderita yang mengirim virus. Harganya juga cuma bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya bercokol di negara industri yang kaya. Tentu dengan harga yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi, semata. ”Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik,” hardik Supari. Siti Fadilah heran kenapa tidak ada yang protes. Padahal tidak seorang pun tahu virus dari manakah yang digunakan untuk membuat vaksin dan kemudian mereka jual. Konon kabarnya virus dari Indonesia dan Malaysia. ”Entahlah benar apa tidak. Pokoknya kalau Anda butuh ya harus membeli dengan harga mahal,” imbuh Supari lagi. Usut demi usut, virus H5N1 (perantara virus Flu Burung lewat unggas) yang dikirim ke WHO, ternyata penelitinya memperlakukan virus itu sama dengan peraturan Seasonal Flu Virus (Flu biasa). Setelah itu mereka hanya disuruh menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim tersebut. Itupun harus sabar menanti 5-6 hari. Sementara korban terus berjatuhan. Setelah hasil diagnosis dikirim, data yang paling penting, yakni sequencing (pemilahan) DNA H5N1, disimpan di WHO. Tak pernah tersentuh oleh ilmuan dunia, karena memang aksesnya tidak pernah dibuka. Menkes Siti Fadilah mencontohkan Vietnam. Negara itu tak pernah tahu kemana virus yang dikirim itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia sebagai vaksin yang diperjual-belikan dengan harga yang tak terjangkau bagi negara berkembang. Sementara rakyat Vietnam meninggal karena Flu Burung, di depan mata pedagang berkulit putih dari Eropa yang menawarkan vaksin dengan Vietnam strain. Yang mengejutkan: data penting yang mengendap itu disimpan diLos Alamos.Lho? Ini kan sebuah laboratorium yang berada di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Di labotarium inilah Bom Atom untuk melumat Hiroshima (1945) dirancang.

aption id="" align="aligncenter" width="450" caption="With Oak Ridge National Laboratory, where the Spallation Neutron Source is located, Argonne, Berkeley, Brookhaven, Jefferson, and Los Alamos national laboratories are building the facility"]

[/caption] Kabar tersimpan di Los Alamos dilansir Siti Fadilah dari koran Singapura,Straits Times , 27Mei 2006. Artikelnya berjudul ”Scientists split over sharing of H5N1 data”. Dengan kata lain, data sequencingH5N1 yang dikirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los AlamosNational Laboratory di New Mexico,yang jumlahnya sangat sedikit. Barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti, dimana 4 dari 15 ini berasal dari WHO, dan sisanya, Siti memberi analogi, seperti hantu. Kekecewaan kepada WHO tidak hanya itu. Siti Fadilah juga membeberkan soal kasus klaster yang terbesar di dunia, yakni di Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang menderita Flu Burung. Para pakar dari WHO yang hampir semuanya epidemiolog menyimpulkan: klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan antar manusia (human to human transmission). Siti Fadilah menilai kesimpulan itu sangat sembrono. Begitu juga WHO Indonesia, dengan arogannya meyakinkan semua wartawan dalam negeri maupun luar negeri, bahwa sudah terjadi penularan antar manusia di Indonesia. Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan ke seluruh dunia berita ’sadis’ itu. Ini artinya, pandemik Flu Burung yang ditakutkan umat manusia sedunia: sudah mulai. Siti Fadilah sangat marah. Pasalnya belum ada laporan perubahan bentuk dan fungsi (mutagenesis) dari DNA virus Flu Burung yang ditemukan di Tanah Karo. Ia lalu menghubungi Prof Sangkot Marzuki, seorang ilmuwan molecular biologist yang cukup dikenal di dunia, juga pimpinan labotarium Eijkman, yang berpusat di Jakarta. Menkes meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo. Lembaga itu menyanggupi. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Sangkot Marzuki, The brilliant professor behind Eijkman"]

[/caption] Sambil menunggu hasil analisa labotarium Eijkman, Siti Fadilah Supari menggelar konferensi pers, guna meredam ekses statement WHO, yang amat sembrono itu. Siti Fadilah Supari menegaskan, penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo: salah! Bila benar terjadi, korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak. Bukan puluhan, tapi mungkin ribuan. Kabar itu kemudian dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menkes meyakinkan Presiden pendapatnya itu. Hasilnya, menurut cerita Menkes, Presiden SBY kala itu bisa saja melayangkan surat protes ke PBB. Tapi ditahan Menkes, karena sedang menunggu pembuktian labotarium Eijkman. Yang ditunggu kemudian keluar juga. Labotarium Eijkman berhasil melakukan sequencing. Hasilnya: DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo menunjukkan suatu virus H5N1 yang masih identik dengan virus H5N1 sebelumnya di daerah lain di Indonesia. Artinya: belum menular human to human. Hanya, ada sedikit perubahan yang menunjukkan virus Tanah Karo ini agak lebih ganas dibanding dengan virus sebelumnya. Namun struktur lainnya masih sesuai dengan virus yang menular dari binatang (ayam) ke manusia. Sayangnya, masyarakat internasional sepertinya cuek. Mereka seolah-olah kurang percaya dengan hasil sequencing yang dilakukan di labotarium Eijkman, hanya karena lembaga tersebut belum pernah diakreditasi oleh WHO. Maka digelarlah pertemuan antar pakar dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia). Akhirnya diputuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok ilmuwan saja. Sepucuk surat kemudian dilayangkan ke WHO untuk meminta data sequencing virus dari Tanah Karo. Permintaan itu dituruti. Dan tanggal 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia. Caranya, Siti dengan jeli mengirim data yang tadinya disimpan di WHO ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health Amerika, berkolaborasi dengan DNA DataBank of Japan (DDBJ), European Molecular Biology Laboratory (EMBL), dan GenBank itu sendiri di National Center for Biotechnology Information (NCBI). Dari sinilah semua ilmuan dunia akhirnya bisa mengakses DNA H5N1. Sebab database sekuen genetik, dan semua sekuen DNA, berikut dengan teranotasi dan tranlasinya, dipublikasikan ke seluruh dunia; bisa diakses secara online. Sejumlah media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantara menuliskan: Menteri Kesehatan Indoensia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Tapi banyak pula yang mencibirnya. Siti Fadilah, terutama dirilis dalam beberapa blog, dilukiskan setara dengan Ahmadienejad, musuh bebuyutan Presiden Bush. Kabar terakhir yang diperoleh Siti Fadilah, laboratorium Los Alamos sudah ditutup sejak ia menuntut data virus Tanah Karo. Saat FORUM bertandang ke rumahnya, untuk bertanya soal ini, tak kuasa Menkes menahan senyum. Sejak itu diagnosis Flu Burung dilakukan di laboratorium Litbangkes, Departemen Kesehatan RI dan labotarium Eijkman. Meskipun tidak diakui WHO, Siti Fadilah Supari tak ambil pusing. Ia akan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat yang tidak bisa didikte begitu saja. Malah, setelah Siti Fadilah berjuang membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data flu burung pada GenBank (public domain), Departemen Kesehatan berencana akan membuatearly and rapid diagnostic dan vaksin dari virus strain Indonesia secara mandiri atau bekerja sama dengan prinsip kesetaraan dengan negara maju. Terbuka akses DNA H5N1 di GenBank telah menabuh perang diplomasi negara-negara berkembang yang dipelopori Indonesia dengan WHO. Sejak 20 Desember 2006, Indonesia tak lagi mengirimkan spesimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO lagi. ”Itu kalau mekanismenya masih mempertahankan GISN,” cetus Siti. Artinya, Siti menuntut mekanisme imperialistik itu harus diubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan. Dunia tepuk tangan. Berkat data yang diberi Siti Fadilah Supari ke Gen Bank, akhirnya sharing virus disetuji dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia International (Government Meeting WHO) di Jenewa Mei 2007. Yang lebih yahud: GISN dihapuskan. Diplomasi Menkes tidak berhenti sampai di situ. Ia menuntut pengembalian 58 seed virus yang dikembangkan dari virus strain Indonesia ke WHO. Sayangnya, semua seed virus Flu Burung sudah terlanjur disimpan di Los Alamos yang sudah ditutup itu. Menkes mendapat kabar, begitu Los Alamos tutup, penyimpanan data sequencing-nya dipindahkan ke dua tempat. Sebagian ke GISAID dan sebagian lagi ke BHS atau Bio Health Security: suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Pentagon. Dan tentu saja virus-virus H5N1 Indonesia ada disana. Hampir semua pegawai dan peneliti dari Los Alamos ditampung di BHS Pentagon. Artinya, permainan masih diteruskan sampai saat ini, meskipun nama dan keberadaannya sudah berganti. Inilah bayang-bayang yang selalu mengusik Menkes. Bagaimana WHO mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos? Apa hubungannya? Ia menduga virus dari affected countries dikirim ke WHO melalui mekanisme GISN. Tapi bagaimana mekanismenya masih misteri. Bukan tidak mungkin virus itu dijadikan senjata biologi. Soal itu, Menkes tidak berani menceritakan tentang misteri Los Alamos kepada Presiden. Beberapa hari setelah launching buku itu, kepada FORUM, Siti Fadilah mengaku dihubungi wartawan dari salah satu media di Australia untuk menanyakan keabsahan buku yang ia tulis itu. Siti Fadilah menjawab, bukunya itu merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, khususnya ketika wabah Flu Burung mengancam dunia sekitar empat tahun lalu. Namun esoknya, hasil wawancara sama sekali tak dimuat. Malah berita tersebut menggambarkan Menkes Indonesia dalam bukunya membongkar konspirasi Barat dalam menggunakan sampel flu burung. Berita itu juga menulis tuduhan Siti Fadilah akan keterlibatan AS dan WHO, yang memanfaatkan virus itu untuk senjata biologi. Dari sinilah kontroversi meletup hingga ke Timur Tengah. Beberapa ilmuan AS menyebut buku itu karya “Dungu”. Merasa lembaganya disentil, Kamis pekan lalu, David Heymann, pejabat keamanan WHO seperti dilansir surat kabar Australia, The Age, meminta Menkes menarik buku tersebut. Heymann mengaku telah mendiskusikan buku itu dengan Siti Fadilah dan memintanya menariknya dari pasar. Hayman sendiri bingung atas tuduhan Siti bahwa sampel virus flu burung digunakan untuk senjata biologi. "Saya tidak mengerti mengapa mereka akan membuat virus ini sebagai senjata biologi,” katanya. [caption id="" align="alignleft" width="240" caption="Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan dibalik Virus Flu Burung, 2008 (karangan Siti Fadilah Supari, Editor: Cardiyan HIS)"]

Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan dibalik Virus Flu Burung, 2008 (karangan Siti Fadilah Supari, Editor: Cardiyan HIS) [/caption] Amerika Serikat yang awalnya tidak mempersoalkan buku itu, belakangan ikut termakan pers Australia. Beredar kabar: Amerika menawarkan bantuan peralatan militer kepada TNI asalkan buku itu ditarik dari peredaran. Namun isu itu segera dibantah Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates setelah bertemu dengan Presiden SBY, Senin pekan lalu. "Tidak benar Amerika Serikat menawarkan perlengkapan militer agar buku ditarik dari peredaran," imbuh Gates. Ia juga menegaskan tidak membicarakan masalah buku tersebut dengan Presiden Yudhoyono. Tapi kabar yang beredar, Presiden SBY menekan Menkes agar buku itu ditarik. “Tidak benar kabar itu. Ini hanya diplintir media,” aku Siti. Dari pihak Istana Negara, juru bicara Andi Mallarangeng enggan berkomentar. Ia lalu menunjuk Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden urusan luar negeri. Tak beda dengan Andi, Dino pun menolak. ''Saya no comment, silakan masalah ini ditanyakan langsung ke Menkes'' jelasnya. Tuduhan pers Barat terhadap Siti yang mendiskreditkan WHO dan Amerika Serikat, juga ia tampik. Menkes mengaku tidak menuduh negara mana pun. Kepada FORUM, Menkes Siti Fadilah Supari merasa media Australia sudah mempelintir hasil wawancaranya, dan ia merasa dipojokkan oleh sebagian besar pers Barat. Lewat bukunya, Menkes mengaku cuma mempertanyakan para peneliti di WHO menggunakan sampel virus flu burung negara berkembang untuk keperluan vaksin atau mengembangkan senjata kimia. Di halaman 73, Menkes menulis: ''Kami sama sekali tak pernah tahu, apakah virus itu digunakan untuk penelitian atau publikasi, ataukah mereka di-sharing ke pabrik vaksin untuk dibuat vaksin. Atau mungkin virus itu digunakan untuk pengembangan senjata biologi.” Terancam bukunya ditarik dari peredaran tak membuat Menkes Siti Fadilah ciut nyali. Dia bertekad untuk mempertahankan buku itu tetap beredar, apa pun resikonya. Siti bahkan akan mencetak ulang buku yang di luar negeri laris manis itu. Dan bahkan, Siti Fadilah akan menerbitkan jilid keduanya. “Isinya seputar kontroversi buku pertama saya, juga ada seputar polemik Askeskin (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin” kata Siti sedikit buka kartu. Cardiyan HIS, editor buku ini angkat suara. Kepada FORUM dia bilang, buku yang telah beredar sulit ditarik karena ludes terjual, terutama versi Bahasa Inggris-nya. “Saya dapat penuh SMS (pesan pendek) kapan dicetak ulang. Di salah satu toko buku di Jakarta Pusat, bahkan ada bule yang rela menunggu depan plaza sebelum book store dibuka. Tapi tak dapat karena habis. Menurut kabar dari distributor utama buku ini, versi bahasa Inggrisnya ludes dalam waktu yang tak sampai seminggu”. Bahkan, kabarnya, Iran telah memeasan 5000 eksemplar! Mendengar keterangan Cardiyan, sang Maestro senyum-senyum saja. YULIADI, ALFI RAHMADI

******

[caption id="" align="aligncenter" width="800" caption="Siti Fadilah Supari"][/caption] Edisi 44 | WAWANCARA | Majalah FORUM Keadilan | 2008 Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009 ”Kalau Flu Biasa Dengan Kerokan Saja Sudah Sembuh” Rumah dinasnya terletak di bilangan jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta Selatan. Kamis malam pekan lalu, FORUM bertandang ke rumah yang dihuni oleh Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari. Begitu masuk, dia sedang sibuk nelpon. FORUM dipersilahkan masuk ruang tamu utama terlebih dulu oleh ajudannya, bernama Ade. Sepuluh menit kemudian, Bu Siti belum juga muncul. Tapi suaranya yang sedang nelpon sayup-sayup terdengar dari ruang tamu utama. Dinding di ruang utama dihiasi oleh beberapa lukisan Siti Fadilah, yang terpahat dalam kanvas. Satu diantaranya, lukisan saat dia masih menjadi mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Tergurat paras cantik di masa mudanya. Postur tubuhnya ramping, tentu amat berbeda dengan sekarang di usianya kepala 50. Satu lagi lukisan yang kamiamati: lukisan Siti dengan beberapa pasien dengan ornamen abstrak, sulit menangkap maknanya bila hanya dilihat sekilas. Maklum saja--sebagaimana tertera di sebelah kiri lukisan-- yang melukisnya adalah Sujiwo Tejo; seniman yangnjelimet dipahami bagi yang awam. Jarum jam berjalan. Bu Siti masih berbincang via hand phone-nya, sambil memberi kode kepada sang ajudan untuk mempersilahkan dr. Toyibi, mantan ketua tim kedokteran almarhum Soeharto, yang juga baru datang, masuk ke dalam rumah. Dia juga dokter spesialis jantung, sama dengan Siti Fadilah Supari. Dr. Toyibi ditemani rekannya dari Jawa Timur bernama Munzir. Satu lagi, ada adik laki-laki Siti Fadilah juga di situ. Diantara tiga lelaki ini, justeru dialah yang paling antusias selama dalam perbincangan . Ia jebolan Astronomi dari Institut Teknologi Bandung. Sejak Siti Fadilah Supari membongkar ketidakadilan WHO dalam kasus flu burung, memang ada banyak kolega yang menemui dirinya, memberikan support. Media massa asing, aku Siti, menghajar dirinya habis-habisan. “Hp saya ini selalu online. Itu tadi juga dari wartawan,” kata Siti kepada Alfi Rahmadi dari FORUM, setelah hampir 15 jam melayani wawancara dari sebuah media massa yang enggan ia sebutkan. Kadang Siti kesal, karena apa yang disampaikan tak sesuai yang diberitakan. “Yang paling gencar malah bukan dari pers Indonesia, tapi dari Amerika dan Australia.” Media massa di dua negara itu masih ngotot bertanya maksud Siti soal Los Alamos. Mahluk apa itu? Petikannya: Apa motivasi Anda menulis buku ini? Saya menjalani fungsi saya sebagai Menteri. Ngurus dari Tsunami dan segala kejadian kesehatan. Begitu adanya Flu Burung, memang belum pernah di Indonesia. Obat-obat yang dikenal sebagai untuk Flu Burung adalah Tamiflu. Saya ingin membeli obat itu. Tapi habis. Lho kok habis? Siapa yang beli,wong pasiennya saya (Indonesia—red), tapi yang beli seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara kaya dan negara itu tidak kena Flu Burung. Itu pertanyaan pertama. Saya sedih banget. Akhirnya saya dapat Tamiflu dari India sebagai buffer stok, atau tidak boleh dijual di apotek. Dan satu-satunya virus sekarang yang masih tersisa dan tidak resisten terhadap Tamiflu adalah virus kita saja. Tapi tiap hari pasiennya tambah. Tapi eh..malahan ada orang yang nawarin saya obat. Orangnya dari Prancis. Dia bawa vaksin. Dari mana vaksin Anda tanya saya. Nah, dokter jarang tahu bawah vaksin itu juga berasal dari virus. Dia bilang virus vietnam (Vietnam strain). Padahal dia dari orang dari negara kaya, tapi jualan vaksin di vietnam. Apa hubunganya dengan kita di Indonesia? Vietnam sama saja dengan kita. Sama-sama ironi. Kita dan Vietnam juga kirim mengirim virus (H5N1) ke WHO CC. Tapi kemana virus itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia. Harganya mahal. Sementara korban Vietnam mati karena Flu Burung ditengah orang kaya dari Eropa yang mengambil virus dari Vietnam. Vaksin itu satu dosisnya 30 US Dollar. Kalau dunia ini 6 miliar orang, sedang stok yang dibutuhnya itu 10 persen, berarti 600 juta dosis yang diperlukan. Itu jumlah maksmimal. Wah...saya glek-glek (geleng-eleng). Kalau begitu ini terjadi suatu penipuan, pembohongan, perampasan, pemaksaan, dan sebagainya. Saya lihat kok kita mau saja ngasih begitu saja ke WHO. Bukankah kita bisa mendiagnosis sendiri. Tetapi harus dikirim. Kalau kita diagnosis sendiri, ya tidak diakui. Akhirnya ya dikirim. Lalu bagaimana kasus di Tanah Karo (2006) sampai keluar rilis sudah menjangkit dari human ke human (manusia ke mausia)? Iya. dari 8 orang yang terkena, 7 orangnya meninggal. Ini cluster terbesar di dunia sehingga kita dituduh orang bahwa penuluran virus sudah human to human (penularan manusia ke manusia) karena jangak waktu kenanya berdekatan satu sama lain. Sampai disiar di CNN. Presdien kita khawatir. Apa konsekuensinya jika sudah menular dari manusia ke manusia? Kita diembargo. Dari Indonesia ga boleh pergi ke luar negeri. Begitu pula sebaliknya. Ekonomi pasti mati. Bangkrut habis. Saya tidak bisa bayangkan. Lalu presiden panggil saya. Saya yakinkan ke presiden bahwa pendapat penularan demikian adalah salah. Sebab kalau benar, yang pertama kali terjangkit tentu adalah tenaga medisnya lebih dulu. Dan penularannya bukan 8 orang tapi sampai ribuan orang. Dari sisi bentuk virusnya juga sudah berbeda. (sambil memperagakan tangannya). Presiden lalu mau menuntut ke PBB. Saya bilang jangan. Akhirnya saya cek sendiri. Saya kontak Professor Sangkot Marzuki. Dia ini pimpinan laboratorium Eijkman, ilmuwan (molecular biologist), sekaligus teman saya. Saya minta tolong ke Pak Marzuki untuk membuat cek sequencing (pemilahan) spesimen Tanah Karo itu. Alhamdulillah bersedia. Sambil menunggu hasil dari Pak Marzuki, pikiran saya hanya fokus disini. Dalam halaman 10 di bukunya, Siti Fadilah menulis: (sambil memanti hasil)...Kemudian konperensi pers saya gelar. Ratusan wartawan dari dalam maupun luar negeri berduyun-duyun datang. Saya nyatakan bahwa berita tentang penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo adalah tidak benar. Karena bila benar; korban yang pertama adalah tenaga kesehatan yang merawat mereka. Dan kematian di daerah korban akan sangat banyak bukan puluhan tapi mungkin ribuan. Yang paling penting untuk menyimpulkan penularan langsung dari manusia ke manusia tidak cukup hanya berdasarkan data epidemiologi seperti yang dilakukan oleh WHO. Tetapi harus dikuatkan dengan data virologi yang merupakan bukti pasti. Dengan pernyataan saya itu, dunia mulai ragu. Dunia mulai mempertanyakan. Telepon genggam saya terpegang erat di tangan selama 24 jam, karena pasti akan datang pertanyaan dari mancanegara atau dari mana-mana. Ternyata betul. Dimulai dari kantor kantor berita, radio dan tv, ”Reuter” Inggris, ”AFP” Perancis, ”Xinhua” Cina, “Kyodo” Jepang, ”ABC” Australia, ”BBC” London, Puerto Rico,“Aljazeera”, “CNN” dan tentunya kantor berita nasional ”Antara”, serta banyak lagi. Mereka ingin mengkonfirmasikan berita tersebut. Telepon genggam saya sangat membantu meredam isu yang sangat berbahaya tersebut. Wah, ”untung” wartawan dalam negeri tidak begitu ”tanggap” menangkap isu yang sensitif ini. Sehingga tidak sangat merepotkan saya dan staf saya yang memang sudah sangat repot. Tidak ingat lagi hanya berapa jam saja tiap malam saya bisa tidur. Bahkan saya takut tidur karena takut kehilangan momentum perkembangan Flu Burung yang memang sangat menakutkan. Ternyata hasilnya? Bukan human to human tapi masih dari animal to human (binatang ke manusia). Berita itu pembohongan dan penipuan. Kurang ajar ini. Ada sesuatu yang disembunyikan. Saya bilang ke WHO (perwakilan Indonesia), mana virus saya. Saya juga tuntut WHO, bahwa saya membuktikansequencing virus Tanah Karo adalah dari hewan ke manusia. Ngapain kamu bilang dari manusia ke manusia. Mana sekarang punyaku. WHO diam saja. Saya marah, saya usir dia. Pulang kamu! Kamu mencelakakan negara saya. Saya juga minta ke WHO Regional agar staf WHO Indonesia yang nyebar berita itu harus bertanggung jawab. Eh tiba-tiba, Straits Times dari Singapura (27Mei 2006) beri kabar,H5N1 Tanah Karo di labotarium Los Alamos. Los alamos adalah labotariun yang membuat senjata yang mengebom hirosima dan nagasaki. Ngeri toh.. Anda sudah cek terhadap berita itu? Cek di internet kan ada sampai sekarang. Dan ternyata bukan saja H5N1 Tanah karo di situ (Los Alamos) tapi semua H5N1 Indoensia (58 virus). Saya gemetar. Negara lain saya engak tahu. Tapi mengapa sih ada disitu? Los Alamos sudah tutup, tapi data sequencing strain Indonesia pindah ke 2 tempat. Dalam buku Anda ditulis pindah ke GISAID dan Bio Health Security (BHS). Bagaimana Anda tahu bahwa BHS ini adalah labotairum penelitian senjata biologi di bawah Departemen Pertahanan AS di Pentagon? Jadi setiap kali saya tuntut untuk mengembalikan semua H5N1 Indonesia, ternyata ada GISN (Global Influenza Surveilance Network). GISN itu adalah perangkat yang mengharuskan kita untuk kirim semua H5N1. Jangankan H5N1, virus flu biasa saja harus dikirim ke WHO dengan adanya GISN ini. Dan itu sudah berlangsung sejak 50 tahun, dan ada 110 negara yang punya Influenza biasa harus mengirimkan spesimen virusnya ke WHO. Tapi setiap kita mau ambil strain kita, WHO ga tahu. Ini dia pasti perangkatnya Amerika hingga sampai ke Los Alamos.Los Alamos ini labotarium private. Tapi di bawah Menteri Energi AS. Aku ga tahu hubungannya kok bisa ke Almos? Masa aku ga boleh bertanya kemana barangku. Kepada siapa saya bertanya? Ga ada. Sekali lagi, WHO ditanya ga tahu. Ini nih..dia...(skandal) hingga sampai ke Los Alamos. Menurut saya ini gila. Halaman 13, Siti Fadilah menulis:Yang bisa dikatakan sebagai skandal adalah bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos. Apa hubungannya? Apa lagi sekarang di BHS? Tetapi barangkali hal inilah yang bisa menjawab; mengapa yang saya tuntut WHO, tapi kok yang berhadapan dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat. Tadinya saya heran. Tapi sekarang saya tidak heran lagi. Kemungkinannya skenarionya seperti ini: Virus dari affected countries dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi ke luarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu. Dan di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun di lain pihak, kita juga tidak tahu apakah juga dijadikan senjata biologi. Tampak sekali pintu ketidak-transparanan adalah GISN. Padahal, ketidak transparanan akan membahayakan umat manusia di dunia. (Tentang kemungkinan skandal ini, baca juga di Bab II, judul: Dari Jakarta ke Jenewa) Lalu apa tindakan Anda saat ada indikasi ke Los Alamos? Saya terus minta data H5N1 kita. Harus transparan. Coba kirim ke Gane Bank. Lalu saya bikin pernyataan data harus dibuka ke Gen Bank. Lalu dibuka di Gane Bank. Saya kirim virus yang masih kita punya ke Gane Bank. Dan semua ilmuan bisa mengaksesnya (sebelumnya mereka juga tidak bisa buka data sequencing DNA H5N1 Indosnia di WHO). Indonesia saat itu diapresiasi luar biasa bahwa kita mendobrak transparansi. Jadi saya orang pertama yang menaruh data primer ke Gane Bank. Ternyata setelah diteliti banyak ilmuan dunia penularannya juga bukan human ke human. Halaman 12, Siti Fadilah menulis: Majalah the Economist, London, Inggris, yang sangat kredibel di dunia, menyatakan bahwa Menteri Kesehatan Republik Indonesia memerangi Flu Burung bukan hanya dengan obat- obatan tetapi juga dengan ketransparansian ( and Transparency, the Economist, August 10, 2006). Mestinya virus itu dibawah wewenang Departemen Kesehatan (AS)? Apa komentar Menteri Kesehatan AS ke Anda? Nanti dulu. Ceritanya mirip bioskop ya. (ha..ha..) nanti ada kaitannya, tapi sebelum sampai ke situ, saya stop pengiriman strain kita ke WHO (Desember 2007). Kalau saya kirim berbahaya. Karena pertama, bisa dikembangkan sebagai senjata biologis, dan akan menghancurkan umat manusia. Kedua, bisa dibikin kita sakit dan dia bisa jualan vaksin. Ketiga, ini yang paling rendah, kemungkinan mereka hanya jual vaksin saja. Yang terakhir inipun masih bisa menindas. Saya mulai keras. Lalu pada suatu hari (11 November 2006), orang WHO, namanya David Heymann (Assistant to Director General WHO yang mengurus Flu Burung) mau datang ke Indonesia. Waktu ketemu saya bilang, eh..saya sekarang sudah punya vaksin. Ibu kerjasama degan siapa? Rahasia saya bilang. Dia mendesak, dari siapa bu? Rahasia, kata saya. Saya pancing dia. Dia datang dengan bawa duit nawari untuk nyumbang membuat vaksin, tapi seasonal flu vaccine atau vaksin untuk flu biasa. Oh...aku tidak butuh. Yang aku butuh H5N1 Indonesia (strain Indonesia). Bu, ini program WHO. jadi Indonesia harus buat. Indonesia punya kapasitas punya perusahaan vaksin yang bagus (PT. Bio Farma berpusat di Bandung—red). Saya tidak butuh sumbanganmu. Sumbanganmu simpan saja. Pokoknya saya butuh H5N1, karena rakyatku membutuhkan itu. Kalau flu biasa, rakyatku dengan kerokan saja sudah sembuh (ha..ha..). Dia sengaja bikin saya keder (takut) dan dapat sistem atau mainan vaksin (WHO). Saya bilang tidak. Lalu dari situ saya dijelek-jelek media asing. Menteri Kesehatan Indonesia tidak mau kirim virus, itu membahayakan dunia. Satu bulan lalu terjadi tembak-menembak diplomasi. Dalam buku Anda, Indonesia kerjasama bikin virus dengan Baxter International Inc.,dari Chicago (Amerika Serikat) sebagai berganning power. Maksudnya? Waktu itu (akhir 2005), Baxter International promosi buat vaksin. Tapi masih menawarkan denganVietnam strain. Dari situ saya berfikir, bahwa saya tahu persis kasus di Indonesia dengan Vietnam berbeda dilihat dari angka kematiannya. Tipe virusnya juga beda. (Virus Flu Burung di Indonesia disebut sebagai Clade2 sedang di Vietnam termasuk Clade1). Waktu berhadapan dengan mereka, saya membuat semacam hipotesis, bahwa strain Indonesia lebih virulen (ganas) dari pada yang lainnya. Kalau dibuat vaksin nantinya akan lebih cross protective dibanding dengan lainnya. Mereka terkejut. [caption id="" align="alignleft" width="450" caption=" U.S. Secretary of Health and Human Services Michael Levitt (right) shakes hands with Indonesian Health Minister Siti Fadilah Supari following a meeting at the State Palace in Jakarta, April 2008 (JP/Berto Wedhatama)"]

[/caption] Maksudnya? Vaksin kita bisa digunakan lebih luas dibandingkan dengan vaksin dari strain lainnya. Lima bulan setelah itu, hipotesis saya terbukti. Hal ini diteliti oleh Baxter International tadi, termasuk WHO. Dunia terkejut bukan main. Ternyata ada vaksin Flu Burung untuk manusia yang kekuatannya lebih bagus dari yang dimiliki oleh negara lain. Nah disinilah pihak Kementrian Pelayanan Kesehatan AS, Michael O. Levvit, pesan 20 juta dosis vaksin dengan strain Indonesia kepada Baxter. Diar sinilah kita melakukan Bargainning poweruntuk setiap deal dengan pihak manapun. Dari situ pula saya tahu, bahwa virus Indonesia yang pertama dibuat vaksin oleh WHO dibanding negara lain (berinitial O5O5). Sejak itu saya baru tahu jawabanya, mengapa WHO ngotot. Mengapa untuk kasus Flu Burung Anda sampai ke Iran segala? Saya diundang untuk seminar disana setelah data kita dikirim ke Gane Bank. Mereka sangt mendukung Indonesia. Bahkan, mereka siap berikan pengacara jika suatu saat kita mau gugat siapa yang merugikan Indonesia. Bagaimana kronologis kontroversi buku Anda ini pasca launching? Sebenarnya Amerika biasa-biasa saja. Yang terus memburu dari pers Australia. Karena dari awal, misalnya saat Indonesia banjir Februari 2007, saya diinterview secara online. Tapi jawaban saya esoknya dimuat sama sekali berbeda. Saya dituduh macam-macam. Menghambat penelitian WHO lah. Dan lain- lain. Jadi waktu terbit yang wawancara saya itu tadi kembali telepon bertanya isi buku. Saya jawab apa adanya, yaitu kejadian-kejadian yang dulu. Tapi lagi-lagi, dia plintir jawaban saya. Dia bilang saya menuduh Amerika mengembang senjata biologis. Padahal dalam buku saya hanya menulis mempertanyakan peneliti WHO yang datanya tidak dibuka itu. Jangankan sebelum launching, waktu diplomasi, Indonesia dibilang teroris, dan jangan-jangan Menteri Kesehatannya itu teroris. Ini serius. Saudara-saudara saya pake jilbab semua. Diboleg-bloger saya dihujat. Menterinya kurap. Menterinya ga punya otak. Tapi saya tak ambil hati. Saya dibilang kelainan jiwa. Itu dari blogger Afrika. Dalam blog itu saya dibilang, ada dua orang sinting di dunia. Pertama Ahmadienejad. Kedua Siti Fadilah Supardi (Siti tertawa). Anda stress menghadapi pers Barat yang bertubi-tubi itu? Setelah berita dari Australia itu meledak, saya ke Lombok untuk menenangkan diri dalam sehari. Saya merenung, bencana apalagi yang datang ke saya setelah Flu Burung. Tapi hanya sehari saya di Lombok, ada 700 sms (pesan pendek) yang masuk. Semua isinya mendukung saya. Saya belum pernah dapat sms misanya dari Habib Riziq, kemudian Majelis Mujahidin, Egy Sujana, tokoh-tokoh Islam yang tidak saya kenal sebelumnya, Kristen, dan macem-macem pokoknya. Tentang barter Alutsista kalau buku ditarik? Pers lagi-lagi memplintir. Sebenarnya, (alutsista) yang dimasud itu hanya tenk bekas dari China saja. Apa rekasi AS sendiri ke Anda? Biasa saja. Dalam minggu inikan Menteri Pertahanan AS datang ke Indoneia. Dia juga heran mengapa ada kabar data sequencing H5N1 Indonesia sampai ke Los Alamos. Mentri Kesehatan Amerika, (Siti Fadilah sambil bertpuk dada), dukung saya. Sebelumnya saya juga was-was dipanggil ke Istana karena 6 orang bule (Senator Amerika) ingin ketemu saya. Ternyata tak saya duga. Mereka kalau datang ke Indonesia sambil busung dada, tapi yang saya lihat jalannya malah agak bungkung sedikit. Jadi, saya melihat diantara mereka (AS) juga ada dua kubu. ■ KUTIPAN: ”Aku ga tahu hubungannya kok bisa ke Almos? Masa aku ga boleh bertanya kemana barangku. Kepada siapa saya bertanya? Ga ada. Sekali lagi, WHO ditanya ga tahu. Ini nih..dia...(skandal) hingga sampai ke Los Alamos. Menurut saya ini gila.” ”Jangankan sebelum launching, waktu diplomasi, Indonesia dibilang teroris, dan jangan- jangan Menteri Kesehatannya itu teroris. Ini serius. Saudara-saudara saya pake jilbab semua. Diboleg-bloger saya dihujat. Menterinya kurap. Menterinya ga punya otak. Tapi saya tak ambil hati. Saya dibilang kelainan jiwa. Itu dari blogger Afrika. Dalam blog itu saya dibilang, ada dua orang sinting di dunia. Pertama Ahmadienejad. Kedua Siti Fadilah Supardi”. [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Siti Fadilah Supari "]