Daftar Isi

Matinya Kebenaran di Negeri Ini ...... 1 Kemerdekaan yang Di-dam-ba-kan...... 3 Bisakah Indonesia Terlepas Utang? ...... 5 Waspada Kampanye Islam Moderat: Menjauhkan Pemuda Muslim dari Islam Politik ...... 7 Isu Radikalisme: Senjata Kebohongan dalam Framing Kegentingan Indonesia ...... 9 Kenaikan Tarif Listrik, Kedzoliman yang Nyata oleh Negara ...... 11 Menilik Akar Masalah Fenomena “Generasi Micin/Kids Zaman Now” ...... 14 Rezim Memposisikan Dirinya Menentang “Proyek” Khilafah ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah Atas Nama Perang Melawan Radikalisme ...... 16 Islam yang Radikal. Salahkah?? ...... 18 Membaca Narasi Muslimah Superhero dalam Komik Marvell dan DC Comic ...... 20 BPJS Kesehatan: Alat Kapitalis Mengeskploitasi Rakyat ...... 23

Matinya Kebenaran di Negeri Ini Oleh: Ita Dalila Azizah Kurniati (Mahasiswa Hukum Islam UII)

Indonesia merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk lebih dari 262 juta jiwa. Dengan persentase Muslim sebanyak 87,2%, Kristen 6,9%, Katolik 2,9%, Hindu 1,7%, Buddha 0,7%, dan Konghucu 0,05 % menurut data yang saya ambil dari Web Indonesia Investments. Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat di Indonesia menjadikan negeri ini sebagai negeri muslim yaitu negeri yang ditinggali oleh banyak orang islam, dan dijuluki sebagai negeri dengan Muslim terbanyak di dunia.

Namun sayang, walaupun dengan realitas fakta bahwa Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh masyarakat tidak menjadikan masyarakat benar-benar paham akan identitas islamnya. Hal ini dikarenakan dimulai dari sejarah terbentuknya negara ini saat kemerdekaan 1945 diproklamirkan sudah banyak kejadian-kejadian yang menghilangkan islam dari jiwa masyarakat Indonesia dimulai dari dihapuskannya kata Syariat islam pada sila pertama pancasila, dan Piagam Jakarta seolah hilang. Hal ini mengakibatkan Indonesia sebagai negara sekuler yang menerapkan sistem campuran antara Barat, Eropa. Juga Islam sebagai nilai moral. Padahal kita tahu jati diri bangsa ini adalah Islam dengan adanya bukti- bukti sejarah meluasnya kekuasaan khilafah hingga ke Indonesia melalui para ulama yang disebut WALISONGO.

Dengan begitu banyaknya pergolakan politik yang terjadi semenjak merdekanya negeri ini hingga saat ini pun hal tersebut masih berlanjut bahkan di era modern saat ini politik dalam negeri ini semakin rusak. Berkali-kali Indonesia merubah sistem pemerintahan dan politiknya namun tetap saja belum ada yang terbukti mampu memperbaiki Indonesia. Karena saat ini Indonesia dalam cengkeraman penjajahan gaya baru yang dimainkan oleh Barat yaitu Penjajahan Neo-Imperialisme yaitu penjajahan pemikiran dan Barat memainkan ekonomi Kapitalisme yang membuat Indonesia melakukan banyak hutang luar negeri untuk pembangunan infastruktur yang disepakati dengan kontrak Sumber Daya Alam Indonesia dikuasai oleh asing selaku pemilik modal.

Sehingga apa yang terjadi saat ini, Pemerintah pun seakan menjadi boneka asing, segala peraturan perundang-undangan dibuat untuk memudahkan asing masuk dan berinvestasi di Indonesia, seperti kasus Freeport yang diperpanjang hingga 99 tahun mendatang. DPR sebagai lembaga Legislatif pun hanya duduk sidang berjam-jam untuk membahas dan menyetujui apa saja yang diinginkan oleh Barat istilah kerennya Undang-undang pesanan. Muncul pula undang-undang yang mengatur ormas dapat dan Presiden melalui Menterinya dapat dengan mudah membubarkan ormas-ormas tertentu tanpa jalan hukum yang sah, orang-orang yang tidak pro terhadap hal tersebu di kursi DPR pun tidak bisa berbuat apa- apa karena mereka kalah suara.

Karena kita tahu dalam sistem Demokrasi ini siapa yang memiliki suara banyak itu yang menang entah itu benar atau salah tidak diperdulikan. Dalam hal perppu ormas dan pembubaran Ormas, Presiden pun sebagai Esekutif sudah melangkahi dan mencampuri urusan yang seharusnya menjadi ranah Yudikatif selaku pemegang hukum di negeri ini menurut Konsep Trias Politica. Ada lagi kasus terbaru mengenai Setya Novanto yang dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi e-KTP. Sungguh keadaan politik di

1

negeri ini saat ini sungguh-sungguh kacau, sudah tidak ada kontrolling dan nilai-nilai moral pun dihilangkan. Jika konsep kebebasan HAM ini terus dijunjung tanpa aturan yang jelas maka setiap orang pasti akan bertindak secara bebas tanpa aturan dan tidak lagi memedulikan batasan-batasan kewenangannya. Sehingga antara satu aturan dengan aturan lain pun tidak dapat saling melengkapi bahkan banyak yang saling bertentangan.

Hal ini membuktikan bahwa sistem politik yang ada di Indonesia juga di belahan dunia manapun saat ini tidak ada yang dapat benar-benar membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat karena dalam sistem kapitalis maupun sistem komunis itu semua hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya semata. Tidak ada yang memikirkan nasib dan kesejahteraan masyarkat yang seharusnya menjadi tujuan dibentuknya suatu negara. Terbukti dari banyaknya permasalahan dan kekacauan yang terjadi di atas bumi ini yang mengakibatkan ketidaksinambungan antara satu hal dan hal lainnya sehingga dapat menghantarkan manusia kepada keruakan dan kepunahan.

Oleh sebab itu, mari kembali pada fitrah manusia yaitu ISLAM. Islam sebagai sebuah agama yang lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, semuanya sudah diatur secara lengkap dalam Al-Qur’aan dan As-Sunnah sebagai pedoman umat islam. Terbukti dengan tegaknya KHILAFAH selama 13oo Tahun lebih di muka bumi ini yang menguasi hampir 2/3 dunia sudah membuktikan bahwa islam adalah agama yang adil dan membawa rahmat bagi Muslim itu sendiri maupun bagi Non- Muslim. Maka dari semua statemen yang ada saat ini yang menyebut bahwa orang yang mneginginkan Khilafah itu radikalisme, khilafah itu tidak dapat menyatukan keragaman, dan lain sebagainya. Statemen-statemen tersebut harus dihilangkan dan kenali dulu apa itu khilafah bagaimana sistemnya. Dan sudah terbukti menjadi sebuah Peradaban Emas bagi dunia yang menghantarkan kepada kemajuan dunia saat ini. Maka dari itu, terakhir saya sampaikan sebelum teman-teman semua mengejudge sesuatu itu buruk atau tidak kenalilah dan pelajarilah dulu, baru boleh berkomentar apakah itu baik atau buruk. So, YUK NGAJI. ^_^

2

Kemerdekaan yang Di-dam-ba-kan

Akhir- akhir ini masyarakat dihebohkan dengan berita penyanderaan 1300 warga papua oleh kelompok OPM (Organisasi Papua Merdeka). Seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa di papua terbentuk organisasi yang menginginkan kemerdekaan untuk wilayah nya. Dan puncaknya pada tindak kriminal yang mereka lakukan pada warga timika papua baru- baru ini. Namun hal ini seperti menjadi kasus biasa dikutip dari (kompas.com) Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol)Tito menuturkan, kelompok tersebut merupakan pemain lama dan sudah ada sejak dirinya menjabat sebagai Kapolda Papua pada 2012."Sebenarnya enggak banyak kelompok ini, paling 20 atau 25 orang. Senjatanya lima sampai sepuluh pucuk. Mereka menggunakan metode hit and run (beraksi dan berlari)," ujar Tito di Mapolda Metro Jaya, Kamis (9/11/2017).

Kelompok ini pun hanya dicap sebagai “KKB” Kelompok Kriminial Bersenjata bukan dicap sebagai teroris yang sebagaimana sering disematkan pada muslim yang melakukan kejahatan kriminal. Padahal jika dianalisis tindak kejahatan yang dilakukan kelompok ini sudah sangat tidak manusiawi. Para sandera di kurung tanpa boleh beraktifitas bahkan sampai kekurangan bahan makanan. Parahnya bukan hanya disandera namun para korban juga diperkosa. Kebiadaban kelompok ini dinilai karna motif ekonomi dan perselisihan antar suku. Para korban dirampas harta bendanya dan diperlakukan tidak senonoh.

Sebenarnya jika melihat latar belakang terbentuknya kelompok yang telah berdiri sejak tahun 1965 ini tidak lain dari keinginan mereka atas kemerdekaan untuk wilayahnya. Kemerdekaan atas pemerataan distribusi dan SDA yang ada pada daerah tersebut. Keinginan mereka untuk hidup sejahtera tanpa terikat oleh peraturan pemerintah. Keinginan mereka untuk mengelola SDA mereka yang sangat melimpah namun, mereka sendiri pun tak bisa menikmat sendiri hasilnya. Hasilnya pemberontakan atas kesenjangan dan ketidakadilan yang mereka rasakan.

Kasus ini menjadi salah satu efek dari sistem saat ini yaitu sistem kapitalis-sekulerisme. Dimana yang berhak memiliki sumber daya alam ialah yang memiliki modal. Mereka tidak berdaya atas kebijakan- kebijakan pemerintah yang menyesengsarakan mereka. Kebebasan memiliki yang ada pada sistem ini membuat para pemiliki modal bebas membeli apa saja temasuk sumber daya alam emas yang ada di Papua. Mereka mendambakan kemerdekaan atas wilayahnya tanpa dijajah oleh perusahaan-perusahaan asing yang dengan gampangnya mengambil SDA mereka. Kemerdekaan yang hakiki ialah merdeka atas penyembahan dari manusia.Negara yang merdeka ialah negara yang mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya tanpa ada ketergantungan kepada pihak manapun. Mampu menjamin keamanan dan kesatuan masyarakatnya.

Dalam hal ini dilihat dari sudut pandang islam memiliki jawaban tersendiri atas masalah ini.Islam adalah agama yang paripurna dan sempurna. Bukan hanya sekedar agama namun, juga sebagai ideologi. Sejatinya agama islam dapat menjadi problem solver atas segala masalah yang terjadi saat ini. Allah SWT telah mengatur kehidupan manusia dengan panduanNya yaitu Al-Qur’an. Segala aturan kehidupan telah Allah sampaikan melalui Al- Qur’an. Al-Qur’an juga bukan hanya sekedar kitab suci namun, merupakan sumber hukum

3

yang datang nya langsung dari Sang Pencipta semesta alam. Dalam islam telah diatur mengenai pengelolaan sumber daya alam. Tentunya SDA tidak boleh dikelola oleh pihak asing apalagi sampai terjual jatuh ditangan pihak asing. Penerapan sistem islam secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan dan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi dasar hukum negara adalah solusi atas segala permasalahan ini. Umat saat ini membutuhkan sistem yang tidak hanya mengandalkan slogan atau teriakan saja tetapi umat butuh khilafah. Sistem pemerintahan yang secara menyeluruh menggunakan aturan dari Sang Maha Pencipta.

4

Bisakah Indonesia Terlepas Utang? Oleh: Hernani Sulistyaningsih, S.Pd.I

Terhitung sejak 1945 Indonesia terbebas dari penjajahan fisik, namun sejatinya masih ada penjajahan non fisik atau penjajahan gaya baru (neoimperialisme). Kapitalisme telah menjadikan penjajahan sebagai thariqah khas politik luar negerinya. Hal ini akan terus menyasar negeri-negeri muslim agar sejalan dengan kepentingannya. Adanya kebijakan- kebijakan yang di dekte oleh asing inilah yang menandakan Indonesia belum merdeka. Di sisi lain, asing mudah melakukan intervensi karena Indonesia bukanlah negara berideologi sehingga mudah dijebak dengan rangkap bernama utang.

Utang Berbuah Kedzaliman Negeri ini sesungguhnya kaya raya. Namun negara luput tidak bisa mengelola sumber daya alam dengan baik, akhirnya utang menjadi jalan jitu untuk kelangsungan bernegara. Jokowi sebelumnya pernah berkampanye untuk tidak berutang. Pada faktanya utang luar negeri tidak bisa terelakan bahkan jumlahnya kian bertambah dan terbesar sepanjang catatan sejarah. Bisa kita cermati dari RAPBN 2018 yang dirilis Kementerian Keuangan 16 Agustus 2017 tersebut disebukan anggaran penerimaan negara Rp. 1.878,4 triliun yang didapat dari pajak Rp. 1.609,4 triliun (86%), sumber daya alam (SDA) migas Migas Rp 77,2 triliun (4%) dan SDA non Migas Rp 22,1 triliun (1%). Sedangkan anggaran belanjanya, cicilan pokok utang dan bunga Rp 629,2 triliun, bunga Rp 247,6 triliun dan defisit (minus) anggaran Rp 326 triliun. Bagian pajak menjadi masukan terbesar sebanyak 86%, semakin tampak subsidi-subsidi yang banyak dicabut dan menaikan pajak, lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban. Terlebih jika perkepala menanggung beban utang, Sri Mulyani mengatakan, dengan jumlah rasio utang Indonesia saat ini sebesar 27% dari Gross Domestic Product (GDP) yang sekitar Rp 13.000 triliun, maka setiap masyarakat di Indonesia memiliki utang sebesar US$ 997 per kepala (Rp 13 juta). Parahnya sumber daya alam telah banyak dikeruk asing sehingga kemiskinan pun kian merata, meski baru-baru ini diklaim oleh BPS bahwa pendapatan rakyat 11.000 perhari dianggap termasuk kaya. Sungguh ironis!

Islam Memberikan Kesejahteraan Aqidah Islam terdiri dari aqidah ruhiyah dan aqidah siyasiyah, artinya Islam bukan sekadar agama ritual tetapi juga memiliki konsep dalam pengaturan publik. Negara Islam akan mengelola dan mendistribusikan kepemilikan umum (termasuk sumber daya alam) secara adil kepada rakyat. Dalam hal ini Islam mengatur hak kepemilikan, pertama kepemilikan negara harus dimiliki negara, kedua kepemilikan umum harus dimiliki umum dan dikelola oleh negara namun dilarang dimiliki oleh individu, dan ketiga kepemilikan individu.

Berbicara utang dan pajak, negara Islam hanya akan memungut pajak dalam kondisi yang insidental bukan permanen. Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua): (1) Utang-utang luar negeri itu pasti menarik bunga, yang jelas- jelas merupakan riba yang diharamkan dalam al-Quran (QS. 2:275). (2) Utang luar negeri itu pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal

5

ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS an-Nisa‘: 141). Sungguh hanya dengan pengaturan Islam sajalah negeri ini bisa terlepas dan bebas dari jeratan utang. Wallahu’alam bis shawab

6

Waspada Kampanye Islam Moderat: Menjauhkan Pemuda Muslim dari Islam Politik Oleh: Ima Desi Susanti (UINSA)

Berbagai upaya untuk menjauhkan generasi muslim dari pemahaman Islam yang Shahih tidak hentinya dilakukan oleh para musuh-musuh Islam. Dunia pendidikan agaknya menjadi tempat yang paling strategis untuk melakukan berbagai upaya tersebut, khususnya jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan memang sangat berperan penting dalam membentuk arah pandang pemikiran seseorang. Namun, dunia pendidikan hari ini justru menjadi jalan bagi para musuh-musuh Islam untuk memasukkan berbagai macam pemahaman yang sesungguhnya jauh dari nilai Islam.

Tidak main-main. Agenda untuk semakin mensekulerkan pemuda Islam melalui dunia pendidikan semakin intensif dilakukan. Beberapa minggu yang lalu Kementerian Agama Republik Indonesia telah melaksanakan Deklarasi Serpong dalam pembukaan acara International Islamic Education Expo (IIEE) 2017 di Hall Nusantara Indonesia Convention Exhibition (ICE)-BSD City, Tangerang. Deklarasi dibacakan oleh Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA, diikuti perwakilan ormas dari NU, Muhammadiyah, Mathla'ul Anwar, dan Al Khairat, serta Rektor UIN Jakarta dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya mewakili pimpinan Perguruan Tinggi Keagaman Islam (PTKI). Poin penting dari deklarasi tersebut adalah menolak setiap penyalahgunaan agama untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan watak dasar dan tujuan agama itu sendiri. Deklarasi ini juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk memajukan pendidikan Islam sebagai solusi bagi tantangan zaman, sarana mewujudkan perdamaian dunia, dan upaya meningkatkan maslahat bagi umat manusia. (UINSANewsroom, Selasa (21/11/2017)

Poin penting dalam deklarasi tersebut agaknya harus betul-betul kita cermati. Utamanya dalam hal menolak setiap penyalahgunaan agama untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan watak dasar dan tujuan agama itu sendiri. Hal ini seakan akan agama menjadi sesuatu yang salah jika ditempatkan di ranah yang berkaitan dengan pengaturan urusan masyarakat. Agama kemudian dimaknai lebih sempit hanya dalam hal yang berkaitan dengan ibadah ritual saja.

Di tahun politik praktis yang ada sekarang. Isu agama dan politik menjadi sesuatu yang menarik diperbincangkan, isu ketidakbolehan menyalahgunakan agama terus meningkat daya jualnya. Bahkan di berbagai kesempatan juga masif disampaikan kepada mahasiswa berkaitan dengan hal tersebut. Seagaimana dinyatakan oleh Prof. Nur Syam saat mengisi kuliah umum yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UINSA yang mengangkat tema “Perspektif Sosiologi Tentang Perkembangan Relasi Agama dan Politik di Indonesia”. Pada kesempatan tersebut beliau menjelaskan bahwa ada empat isu strategis yang selalu menjadi perbincangan dan mengedepan di tahun politik. Mulai dari isu kesenjangan sosial, kekerasan agama, sara, dan juga konflik. Baik konflik antar agama, internal agama, atau suku. “Terhadap empat isu ini, harapannya adalah ada solusi yang kita lakukan. Salah satu instrumen terbaik adalah melalui pendidikan,” Pemerintah, lanjut Prof. Nur Syam, terus mengupayakan agar pendidikan menjadi panglima dalam peningkatan SDM. Selain itu, dalam upaya

7

menanggulangi isu strategis tahun politik tersebut, Kemenag RI sudah menggerakkan program, Moderasi Agama. Sebuah upaya bagaimana agama disikapi, dipahami kepada esensi dan substansi agama itu sendiri. Sehingga mampu mencegah seseorang tidak terlalu ektrim kiri atau kanan. “Hal ini sangat penting. Saya ingin, mahasiswa UINSA menjadi agen untuk mneggerakkan Moderasi Agama.

Sangat jelas sekali, berbagai upaya ini dilakukan sebagai senjata ampuh mentuk menghindarkan pembahasan Islam dari pembahasan politik bahkan menganggapnya sebagai penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik. Yang pada akhirnya mengarahkan mahasiswa muslim untuk menjadi pelopor moderasi agama. Membahas persoalan agama cukup dari sisi esensinya saja, menjadi muslim yang pertengahan, tidak ekstrim kanan ataupun kiri, yang biasa-biasa saja. Tentu pemahaman yang demikian merupakan pemahaman yang tidak tepat, bahkan batil yang harusnya kita tolak.

Sebagai mahasiswa muslim, kita harus menyadari bahwa Agama Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh yang mampu mengatur seluruh aktvitas manusia yang berbeda dengan agama yang lainnya. Syariah Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, akhlak, ataupun persoalan-persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur muamalah seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya. Bahkan Islam juga mengatur mengenai uqubah (sanksi) dan bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama yang membahas berbagai persoalan mulai dari thahara (bersuci) hingga imamah/khilafah (kepemimpinan politik dalam Islam). Dalam al-Qur’an Allah SWT, Bukan hanya mewajibkan shalat (QS. Al-Baqarah: 43), tapi juga berbicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: 275), juga mewajibkan pendistribusian harta secara adil ditengah masyarakat (QS. Al-Hasyr: 7)

Pentingnya menyatukan hubungan Islam dan politik juga disampaikan oleh imam al-Ghazali, bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar, agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak punya penjaga niscaya akan musnah.

Hal ini menunjukkan bahwa agama jelas tidak menganjurkan dipisahkannya aturan agama dari ranah politik. Sebaliknya agamalah sejatinya yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan melalui aktivitas politik, yaitu mengurusi urusan umat. Inilah makna politik dalam Islam.Makna inilah yang harusnya kita pahami bersama, sehingga kita mahasiswa muslim tidak akan mudah terjebak oleh propaganda yang dibuat oleh musuh- musuh Islam yang tidak lain tujuannya untuk semakin menjauhkan kita pemuda muslim dari memahami Islam secara Kaffah. Wallahu a’lam

8

Isu Radikalisme: Senjata Kebohongan dalam Framing Kegentingan Indonesia Oleh: Difira Auliyandani, SEI

Radikalisme dalam artian asalnya menurut Kamus bahasa Indonesia ada 3: (1) secara mendasar (sampai kpd hal yg prinsip): perubahan yg --; (2) Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju dl berpikir atau bertindak. Maka radikal adalah sebuah kata yang bermakna positif. Namun dalam perkembangannya radikalisme yang santer dalam diskusi-diskusi di kalangan intelektual, umat bergama dan masyarakat umum bermakna paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik; bahkan mengkerucut pada makna paham yang ingin menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan menggantikan kapitalisme yang masih bertahan saat ini. Itu disebabkan karena ketidakkonsistenan pemerintah dan media-media internasional yang hanya memberitakan ekstrimisme, terorisme dan radikalisme untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan umat Islam. Sedangkan fakta-fakta teror, rasisme, intoleran yang jauh lebih banyak dan lebih brutal yang dilakukan pihak non muslim tidak diberitakan sebagai aksi-aksi ekstrimisme maupun radikalisme.

Isu radikalisme memang sudah menjadi senjata cukup ampuh melawan opini-opini islam ideologis yang semakin berkembang dan terus membesar dari hari ke hari. Program War on terrorism yang dicetus AS setelah tragedi 11 sepetember 2001 adalah gong dari senjata perlawanan tersebut. Bahkan bukti atas adanya strategi ini banyak ditemukan pada dokumen-dokumen intelijen Barat ataupun yang dibocorkan oleh WikiLeaks. Sebagaimana yang telah kami amati bahwa kasus-kasus terorisme di Indonesia selalu melibatkan Amerika. Seperti ungkapan kesaksian Fred Burks terkait usaha Amerika untuk ‘mengakhiri’ Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan juga pertemuan rahasia di rumah Megawati 3 pekan sebelum tragedi Bom Bali. Begitu pu;a pengakuan Syafii Maarif yang mengaku diminta langsung oleh Dubes AS Ralph L Boyce agar melobi Ketua MA dan Kapolri untuk menahan Ustadz abu Bakar Ba’asyir sebelum Pemilu berlangsung.

Bahkan dokumen rekomendasi Zeyno Baran untuk pemerintah AS juga disusun sedemikian canggih untuk mengalahkan atau menghadapi suatu kelompok Islam “radikal” seperti Hizbut Tahrir. Bahkan serangan itu benar telah terjadi pada negara yang mengusung demokrasi seperti Indonesia dengan dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia dengan perppu ormas yang tidak memberikan hak pada tertuduh untuk mengklarifikasinyadi pengadilan.

Tidak cukup pada upaya pembubaran ormas-ormas “radikal” saja, namun lagi-lagi senjata opini seperti isu radikalisme kembali diramaikan bahkan diduga keras adanya sokongan pemerintah akan hal ini. Seperti adanya Kuliah Akbar “Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme” yang bermula dari edaran Menristekdikti kepada beberapa pimpinan PT dan PTN. Agenda ini berlangsung di banyak perguruan tinggi dan tentu deradikalisasi yang dituju adalah deislamisasi itu sendiri. Hal itu jelas terjadi karena kegentingan radikalisme yang sesungguhnya tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan kegentingan- kegentingan yang sudah ada pun tidak disebut sebagai kegentingan seperti halnya masalah

9

darurat narkoba, darurat korupsi, darurat jual aset negara dll. Tentu jelas adanya upaya penyesatan pada mindset masyarakat terhadap islam.

Media pun turut menjadi pilar pengokoh strategi propaganda radikalisme ini. Pidato, seruan, iklan, tema acara televisi, slogan dan semboyan semuanya mengangkat isu yang sama yaitu radikalisme. Tentu amat mudah bagi pemerintah membentuk opini dan mencuci otak masyarakat dengan propaganda media-media besar mereka karena mereka memiliki tujuan yang sama dan saling menyokong satu sama lain.

Begitulah akhirnya radikalisme berarti deislamisasi. Tentu bijak bagi diri kita semua lebih lagi para kaum intelek untuk mengamati upaya-upaya kotor ini dan mempelajari seluruh fakta, pemikiran serta mensandarkannya pada Aqidah dan konsep Politik Islam. Dengan begitu maka perlawanan kita akan jelas dan tidak mudah terombang ambing terjerat pada propaganda yang mencuat.

10

Kenaikan Tarif Listrik, Kedzoliman yang Nyata oleh Negara Oleh : Sari rey

Kedzoliman negara lewat listrik Baru-baru ini pemerintah telah mewacanakan akan menyederhanakan golongan daya listrik kepada pelanggan golongan 900 VA non subsidi, 1.300 VA, 2.200 VA, dan 3.300 VA menjadi 4.400 VA. Sedangkan golongan 450 VA dengan pelanggan sebanyak 23 juta rumah tangga dan golongan 900 VA dengan 9,5 juta rumah tangga yang disubsidi oleh pemerintah, tidak mengalami perubahan. Sementara golongan 4.400 VA hingga 12.600 VA dinaikkan dan ditambahkan dayanya menjadi 13.000 VA, dan golongan 13.000 VA ke atasnya akan di- loss stroom.1

Sebelumnya pemerintah juga telah menaikkan tarif dasar listrik untuk golongan 900 VA ke atas secara bertahap dari bulan april hingga bulan juli dengan dalih pengurangan subsidi untuk peningkatan pembangunan. Hal ini sungguh memalukan bagi negara yang dianugrahkan sumber daya alam yang melimpah termasuk sumber daya alam untuk pengelolaan listrik. Betapa tidak, Indonesia memiliki gas alam dan minyak bumi yang melimpah yang dapat digunakan sebagai sumber pembangkit listrik. Selain itu, alam indonesia yang banyak terdapat pegunungan memberikan kelimpahan banyaknya “batu bara putih” yang dapat dipotensikan sebagai sumber tenaga listrik. Namun, sampai saat ini nyatanya pemerintah masih memilih untuk memangkas subsidi khususnya listrik guna membangun insfrastruktur yang lain yang kadang tidak bisa dinikmati oleh keseluruhan rakyat.

Neoliberalisme akar permasalahan listrik Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan mengatakan bahwa meskipun dayanya dinaikkan dia berujar tarif yang dikenakan tidak akan naik alias tarif listrik 900 VA non subsidi. Golongan berdaya 900 VA saat ini dikenai tarif Rp 1.352,00 per kWh. Dia berharap dengan penyederhanaan listrik ini maka tenaga listrik dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia2. Jika kita menengok berbagai kebijakan pemerintah yang sebelumnya telah dicanangkan seperti BPJS maupun kebijakan lain, agaknya hal ini menjadi sanksi jika pemerintah “tak ada udang di balik batu”. BPJS yang awalnya terdengar sangat membantu masyarakat pun kini telah terlihat bahwa justru membebani masyarakat, ditambah lagi dengan kenaikan iurannya. Maka bukan hal yang mustahil jika suatu saat tarif TDL akan dinaikkan lagi. Dengan daya lebih besar tentu saja beban yang diberikan pun akan lebih besar. Selain itu mengingat banyaknya alat-alat elektronik yang ditawarkan, akan semakin memicu konsumen (baca: masyarakat Indonesia) untuk membeli barang-barang tersebut karena anggapan adanya daya listrik yang mencukupi untuk menggunakan alat tersebut. Akibatnya beban listrik bertambah sehingga pemasukan dari PLN pun bertambah. Jika tarif TDL dinaikkan maka secara otomatis pemasukan PLN semakin besar. Misal saja tarif naik menjadi Rp 1.500,00 per kWh, maka jika di rumah memiliki 1 ricecooker 450 W, 3 lampu 20 W, 1 TV 150 W, 1 kulkas 60 W, dan pompa air 100 W, maka jika kita hitung dengan tarif sebelum kenaikan akan diperoleh harga perbulan =[( 450 x 20 jam) +(3 x 20 x 8 jam) + (150 x 5 jam) + (60 x 24 jam) + (100 x 3 jam)] x 30 hari =3,85 kWh x 30 hari x Rp 1.352,00 = Rp 156.156,00. Berarti jika per kWh naik menjadi Rp 1.500,00 maka tarif

11

listriknya menjadi Rp 173.250,00 maka jika kita selisihkan ada sekitar selisih Rp 17.000,00 hanya dengan kenaikan yang tidak sampai 200 rupiah. Hal ini jelas dapat menjadi peluang bagi PLN untuk menaikkan TDL dengan alasan peningkatan layanan (baca: kenaikan golongan) mengingat sebelumnya Menteri ESDM dan Menteri BUMN mendapat surat teguran dari Menteri Keuangan terkait surutnya penjualan listrik PLN yang tak mencapai target.

Maka dapat kita saksikan bahwa pengelolaan energi saat ini bukan untuk mensejahterakan masyarakat, namun untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Pengelolaan listrik PLN saat ini dijalankan dengan bisnis reseller listrik dari pihak swasta/PP kepada masyarakat. Dalam mega proyek pembangkit 35.000 MW, sampai bulan Juni 2017, PLN telah menandatangani 22.779 MW atau 64% kesepakatan pembelian listrik/PPA (power purchase agreement). Sementara sisanya 13.057 MW atau 36% belum ditandatangani. Yang berarti megaproyek ini adalah pembelian listrik kepada swasta yang dijual kepada rakyat3. PLN juga menerapkan mekanisme tarif adjustment, yaitu harga menyesuaikan kondisi pasar. Hal ini jelas menunjukkan hubungan pembeli dengan penjual dibandingkan hubungan rakyat dengan penguasa yang seharusnya penguasa meriayah rakyatnya, termasuk dalam pelayanan listrik.

Penyesuaian tarif yang didasarkan pada pasar akan memungkinkan melangitnya harga listrik. Mengingat sumber daya alam negeri ini telah banyak dijual kepada swasta. Sehingga kelak menjadi hal yang wajar jika tiba-tiba tarif listrik akan meningkat tajam dengan alasan bahan bakar pembakit listrik mahal. Inilah akibat dari liberalisasi energi, yang menyebabkan negara hanya sebuah label sedangkan penguasa ekonomi adalah para pemilik modal yang jelas memiliki watak untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Pada akhirnya rakyat lah yang akan menderita.

Khilafah, menyelesaikan permasalahan listrik. Seperti yang kita ketahui bahwa listrik merupakan hal yang vital bagi masyarakat. Hampir setiap kegiatan baik masih dalam sekup rumah tangga maupun industri telah banyak memanfaat penggunaan listrik. Oleh karena itu, islam memandang bahwa pengelolaan listrik menjadi hal yang penting bagi hajat hidup masyarakat. Islam memberikan aturan dalam kepemilikan yang dibagi dalam 3 jenis yaitu harta milik pribadi, harta milik umum, dan harta milik negara. Didasarkan pada beberapa Hadits Nabi, diantaranya adalah hadits Imam Ahmad Bin Hanbal yang diriwayatkan dari salah seorang Muhajirin, bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda: “Manusia itu berserikat dalam tiga perkara: air, rumput dan api.” Dari hadis tersebut menunjukkan bahwa sumber daya alam merupakan harta milik umum. Dan ini menjadi tugas negara untuk mengelola guna mensejahterakan rakyat. Karena islam memandang bahwa negara memiliki tugas untuk meriayah rakyatnya. Hal itu didasarkan pada salah satu hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan, Nabi SAW bersabda: “Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.”

Agar negara dapat melaksakan kewajibannya, maka syara’ telah memberi kekuasaan kepada negara untuk mengelola harta kepemilikan umum dan negara dan tidak mengijinkan bagi seorangpun (individu maupun swasta) untuk mengambil dan memanfaatkannya secara

12

liar. Kepemilikan umum seperti: minyak, tambang besi, emas, perak, tembaga, hutan harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf ekonomi rakyat. Distribusi kekayaan itu diserahkan sepenuhnya kepada kewenangan Imam (pemimpin negara) dengan melihat dari mana sumber pemasukannya (misalnya, harus dibedakan antara: zakat, jizyah, kharaj, pemilikan umum, ghanimah, fa’i dan sebagainya), maka syara’ telah memberikan ketentuan pengalokasiannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Prinsip umum pendistribusian oleh negara, didasarkan pada firman Allah : “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Qs. al-Hasyr [59]: 7)

Oleh karena itu jelaslah bahwa hanya dengan pengelolaan sumber daya alam menurut aturan Allah lah (baca: islam) yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sehingga sudah saatnya mengganti sistem yang rusak dan merusak ini dengan sistem yang akan membawa kesejahteraan bagi umat manusia dan seluruh alam. Karena islam rahmatan lil alamin.

Wallahu a’lam.

Referensi : 1. www.kabarpos.com/bersiaplah, juni 2018 pelanggan “wajib” menikmati daya listrik 4.400 VA 2. https://bisnis.tempo.co/soal golongan listrik pemerintah akan dengar pendapat masyarakat 3. Listrik nyetrum lagi oleh ratna sari dewi 4. Listrik.org 5. Membangun Ekonomi Alternatif Pasca Kapitalisme.htm

13

Menilik Akar Masalah Fenomena “Generasi Micin/Kids Zaman Now” Oleh: Ryang Adisty Farahsita

“Generasi micin/kids jaman now” adalah istilah baru yang muncul untuk menggambarkan perilaku aneh, tidak wajar, dan cenderung bodoh dari generasi muda saat ini. Kata micin sendiri digunakan karena anggapan masyarakat bahwa konsumsi micin menyebabkan kebodohan. Istilah ini diviralkan oleh netizen karena anak-anak muda ini mengunggah perilaku bodoh-nya di akun media sosial mereka. Beberapa contoh unggahan yang cukup viral adalah video anak laki-laki dan perempuan berusia sekitar 10 dan 12 tahun yang menyanyikan lagu dangdut “Hamil Sama Setan” di panggung dengan aksi seronok, video 7 siswa SD Trenggalek yang menunjukkan keahliannya menghisap rokok Vape, dan foto anak yang menunjukkan kemesraan di publik layaknya suami istri.

Fenomena “generasi micin/kids jaman now” ini tidak sekedar menjadi candaan dan pembicaraan di dunia maya namun juga telah menarik perhatian pemerintah maupun aktivis sosial. Kasus 7 orang siswa Trenggalek yang lihai merokok Vape bahkan telah menuai tanggapan dari pihak Kemenkes. Aktivis anti LGBT juga telah mengkajinya karena melihat beberapa unggahan yang mengarah pada perilaku LGBT. Sayang pembahasan masalahnya baru berkutat di sisi bahaya terhadap kesehatan, pengawasan orang tua, dan sekolah. Padahal fenomena ini tidak hanya melingkupi aspek tersebut. Setidaknya ada faktor internal dan eksternal yang dipengaruhi 3 aspek vital, yaitu ketahanan keluarga, kontrol masyarakat, dan pengaturan negara.

Aspek internal berkaitan dengan krisis identitas dan kosongnya generasi dari visi kehidupan. Kurangnya penanaman nilai dan pembentukan visi hidup oleh keluarga menyebabkan anak bingung menentukan identitas mereka. Akhirnya mereka mencari sosok yang bisa mereka contoh. Parahnya karena saat ini ideologi kapitalisme yang berkuasa dengan gaya hidup sekuler-liberalnya, idola yang muncul adalah sosok yang mempresentasikan gaya hidup western seperti Awkarin dan Young Lex. Pengikut Awkarin di instagram mencapai 2.5 juta sedangkan Young Lex sekitar 800 ribu dengan jumlah likers di setiap postingan mencapai 30.000-150.000. Padahal konten postingannya berkaitan dengan miras, rokok, gaya hidup bebas, dll. Sebagian keluarga sebagai benteng pertama gagal menanamkan visi hidup karena orang tua juga gagal menemukan bagaimana pola pengasuhan yang benar. Sebagian yang lain terlalu disibukkan dengan kesulitan ekonomi sehingga mereka menyerahkan pengasuhan dan pendidikan pada pihak lain. Anak-anak yang krisis identitas dan tidak memiliki visi hidup ini akhirnya menjiplak perilaku dari para idola mereka dan mengunggahnya demi popularitas. Banyaknya likes, loves, comments, dan shares menjadi tujuan hidup yang menunjukkan eksistensi dari identitas mereka.

Faktor internal ini tidak bisa lepas dari faktor eksternal yaitu kontrol masyarakat dan pengaturan negara. Saat ini masyarakat cenderung abai terhadap sekitarnya karena prinsip individualisme dan HAM. Sebagian masyarakat sibuk dengan masalahnya sendiri sehingga menganggap mengurus masalah orang lain menambah beban kehidupannya. Bahkan ada anggapan bahwa urusan anak adalah urusan keluarga yang tabu untuk dicampuri. Dalam hal ini, pengaturan negara menjadi kunci utama. Negara yang tidak memiliki visi yang baik

14

akan gagal membentuk masyarakat yang baik. Pensuasanaan masyarakat melalui pendidikan, media, dan peraturan adalah tanggung jawab negara. Penjagaaan stabilitas politik dan ekonomi sehingga entitas keluarga dan masyarakat tidak menanggung beban negara juga menjadi kewajiban negara. Saat ini kita lihat fakta di lapangan negara gagal dalam menciptakan stabilitas politik, ekonomi, maupun pensuasanaan masyarakat sehingga fenomena kerusakan muncul dimana-mana. Gagalnya negara tidak lain karena sistem yang diadopsi adalah sistem buatan manusia yang rusak dan merusak: kapitalisme.

Saatnya kita kembali kepada sistem dari Allah SWT yang memiliki aturan shahih yaitu sistem Islam. Dalam masalah generasi, Islam mengatur dengan jelas bagaimana tanggung jawab orangtua terhadap pengasuhan dan pendidikan anak untuk menanamkan visi hidup meraih ridlo Allah SWT, bagaimana masyarakat berperan menjadi agen kontrol dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar, dan bagaimana negara menegakkan aturan syariat untuk mengatur IPOLEKSOSBUDHANKAM yang jauh dari intervensi asing. Wallahu a’lam bi ash- shawab.

15

Rezim Memposisikan Dirinya Menentang “Proyek” Khilafah ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah Atas Nama Perang Melawan Radikalisme Oleh: Rahmadinda Siregar (Aktivis Muslimah Lingkar Studi Mahasiswi Peduli Negeri)

Rezim melalui program ‘deradikalisasi’ intens menabuh genderang perang terhadap Islam dan umatnya yang konsisten dalam menyuarakan penerapan syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah dan risalah Rasul-Nya sebagai sistem alternatif global yang dapat melepaskan negeri ini dari hegemoni Kapitalisme Barat dan Timur (Asing-Aseng). Sejumlah program deradikalisasi dijalankan oleh rezim inkompeten atas nama “melindungi NKRI dan Pancasila”. Dengan dalih menangkal paham radikalisme, pemerintah berupaya memberangus dakwah Islam Kaaffah. Program yang di-design dengan alasan meng- counter radikalisme, dijalankan dengan berbagai cara baik dengan menggunakan soft power seperti propaganda, menebarkan kebencian hingga stigmatisasi provokatif atau hard power berupa ‘tekanan’ dan ancaman, pendiskreditan (kriminalisasi), persekusi hingga berujung pada pembungkaman dakwah Islam.

Dalam laporan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, mengatakan bahwa pihaknya meracik formula yang ‘lebih halus’ dalam program deradikalisasi. “Sekarang pendekatan soft juga sangat penting, sekarang sudah kita petakan betul. Kita bukan singlefighter tetapi multifighter. Bukan BNPT saja , tapi semua terlibat. Makanya ada 32 instansi kita kemas bisa sama-sama basmi terorisme ini,” kata Suhardi di Gedung Lemhanas, Sabtu (liputan6.com 28/10/2017)

Begitulah, Rezim kini telah memposisikan dirinya melawan kelompok-kelompok Islam yang mukhlis dengan ide “Khilafah” nya. Rezim berlindung dibalik jubah “Saya Indonesia, Saya Pancasila” untuk menggiring opini publik bahwa negeri ini mengalami ‘kegentingan’ dengan keberadaan kelompok-kelompok ‘radikal’. Ide “Khilafah” yang sejatinya ajaran Islam oleh rezim dianggap sebagai ancaman terbesar bagi negeri ini, di sisi lain Sekularisme, Kapitalisme-demokrasi, yang jelas-jelas membawa petakapolitik bagi umat Islam berupa pengerukan sumber daya alam, kerusakan moral remaja, kriminalitas, budaya korupsi yang tumbuh subur, dan LGBT tidak diusik sama sekali.

Kini, upaya deradikalisasi itu pun telah dilimpahkan ke perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Para intelektual akademisi digiring untuk ‘setia’ terhadap penguasa. Melalui pelaksanaan Deklarasi Kebangsaan Perguruan Tinggi Di Nusa Dua Bali lalu (25-26 September), pemerintah mengumpulkan sekitar 3000 rektor perguruan tinggi se-Indonesia agar turut berkomitmen dalam ‘membantu’ rezim melawan radikalisme. Para intelektual akademisi harus benar benar berkomitmen bersama rezim untuk melawan radikalisme.

Rezim kini memposisikan dirinya menentang “proyek” Allah dan Rasul-Nya melalui kebijakan Perppu sebagai alat untuk menggebuk ormas-ormas Islam yang dianggap ‘bertentangan dengan Pancasila’. Di saat pendekatan soft power gagal dijalankan, rezim beralih meningkatkan tuah Perppu menjadi UU. Serangkaian lobi politik, baik menggunakan pendekatan gizi meja makan, imun kekuasaan hingga ujaran ujaran mantra anti-Pancasila, anti Kebhinekaan terus digulirkan secara massif ke tengah-tengah umat.

16

Namun, nyatanya mantra berulang tersebut tidak mampu mengelabui umat, menarik umat ke barisan penguasa. Umat justru bosan, justru merasa jengah akan bualan-bualan rezim. Pengkhianatan yang terus menerus dipertontonkan rezim terhadap umat Islam semakin membuka mata mereka, bahwa tidak ada harapan untuk bergantung pada rezim yang memposisikan dirinya memusuhi Islam dan ajarannya. Rezim ‘saya Pancasila’, sebutan untuk penguasa nyatanya merekalah yang menjual aset negeri ini kepada pihak Asing atas nama ‘investasi nasional’. Secara faktual, umat mengindera betapa seluruh kerusakan dan bala yang menimpa negeri ini justru disebabkan oleh Kapitalisme-Demokrasi-Sekuler yang diusung rezim ‘pancasilais’. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain bagi umat ini selain mengganti rezim inkompeten dengan pemimpin amanah yang lahir dari sistem yang amanah pula, yaitu sistem yang bersumber dari wahyu Allah SWT.

17

Islam yang Radikal. Salahkah?? Neti Kusmiati (Mahasiswa STEI Hamfara Yogyakarta)

Ariel Heryanto, profesor The Australian National University yang menulis buku Identitas dan Kenikmatan: Potret Budaya Layar di Indonesia (2015), dalam satu kolomnya tahun 1995 merangkum dengan pas bagaimana bentuk represif rezim Soeharto: “Pada awal sejarah Orde Baru, sebagian warga negara didesak agar mengganti nama pribadi dan toko dari nama kecina-cinaan. Pada Tahun 1970-an, Kopkamtib ; Aparatur militer paling berkuasa, sibuk memerangi rambut gondrong pemuda. Tahun 1980-an dewan mahasiswa dihapuskan, jilbab dipersoalkan, dan iklan di TVRl ditabukan.” Sejalan naiknya kelas menengah dan politik Islam di perkotaan, pemerintah Orde Baru—yang sempoyongan lantaran fondasi ekonominya keropos- mulai merangkul “umat Islam”. Aturan diskriminatif terhadap jilbab di sekolah, dengan desakan pelbagai faktor, akhirnya mengendor dengan diterbitkan surat keputusan tahun 1991 yang membolehkan para pelajar mengenakan jilbab. Tren jilbab semakin marak di sini, dan bahkan menjadi budaya populer yang dominan di layar televisi, layar lebar, dan layar ponsel, Akan tetapi saat ini kain penutup kepala ini kembali diperkarakan ketika ekspresi iman mendorong seseorang memakai cadar atau nikab—kain hitam terusan hingga pinggang dengan menutupi bagian wajah minus mata.

Salah satu kasus yang pernah melintas di awal berakhirnya era Orde Baru adalah apa yang terjadi pada dua mahasiswi kedokteran di Universitas Sumatera Utara. Pada 30 November 1999, dekan fakultas kedokteran mengeluarkan surat keputusan yang isinya melarang pemakaian cadar. Alasannya, cadar dianggap menghalangi aktivitas belajar dan komunikasi dengan dosen, selain menyulitkan kontak dengan pasien ketika bertugas sebagai dokter. Akibatnya, Seorang mahasiswi kedokteran USU harus angkat kaki dari universitas tersebut karena tak kuat menahan diskriminasi dari para dosen. Sementara satu mahasiswi bercadar lain harus berjuang di tengah sikap kolot kampus agar dapat lulus dari fakultas tersebut.

Kasus diatas hanyalah sebagian kecil dari berbagai macam kasus yang ada bebagai belahan negeri yang mayoritas muslim. Tak berhenti sampai disitu, ditahun iniIndonesia mendapatkan perhatian vs Penindasan itu kembali dari orang –orang yang haus akan keuntungan, jabatan/pangkat, dan miskin iman serta pembebek kaum kafir. Bentuk perhatian yang diberikan kali ini sangatlah serius dimana yang mejadisasaran utama mereka adalah mahasiswa (intelektual). Mereka menyebarkan dendam kusumat pada kaum muslimin dengan salah satu cara adalah melumpuhkan daya kritis para pemudanya. Kenapa harus pemuda? Karena pemudamerupaka salah satu mutiara yang dianggap berharga ditengah –tengah umat. pemuda juga merupakan agen of change dan tongkat estafet perjuangan islam yang akan melanjutkan dakwah islam ke penjuru dunia. Dan inilah yang tidak inginkan oleh kafir barat. Potensi pemuda islam yang sangat tinggi sudah menjadi maklumatharian mereka. Mereka sangat ketakutan akan islam bangkit memimpin dunia. Atas dasar ini pula yang mendorong mereka untuk terus melumpuhkan pemuda-pemuda islam dan menjauhkan para pemuda dari pemahaman islam yang mendasar( Aqidah ) atau yang dikenal dengan istilah dikampus saat ini yaitu“ Radikal “sayangnya , istilah ini muncul ditengah – tengah kaum muslimin dengan penafsiran yang salah. Mereka

18

menyatakan bahwa kelompok/ormas islam atau individu yang mendakwahkan islam secara mendasar (radikal ) itu mengancam keutuhan negara NKRI. Makanya dipahamkan betul kepada setiap mahasiswa dan seluruh elemen pendidikan untuk saling bersinergi, kerjasama serta bahu - membahu dalam memberantas kelompok atau individu yang kritis dan berani menyebarkan ide islam yang mendasar ( radikal ) ini . Menanggapi hal ini mahasiswa muslim khusunya langsung manut tanpa berpikir panjang. Buktinya mereka takut diajak ke majelis ilmu mereka was - was berteman dengan mahasiswa lain yang berjilbab syar’i pokoknya segala hal yang berbau - keislaman mereka benci.

Pemahaman “radikal “ diatas telah merubah wajah dan persepsi kaum muslimin terhadap islam itu sendiri. Islam mewajibkan setiap pemeluknya untuk memahami islam secara mendasar mulai dari aqidah dengan jalan yang benar sesuai syariat sebab dengan berangkat melalui pemahaman yang mendasar ini, akan nampaklah keunikan –keunikan dalam jiwa setiap muslim. Mereka layak dikatakan muslim sejati yang kalau pada jiwa manusia mulia Nabi Muhammad SAW dikatakan akhlaq beliau seperti “Al-qur’an yang berjalan “maasya Allahandai setiap muslim meresa seperti ini.

Dari pemahaman islam yang mendasar ini pula selanjutnya akan melahirkan peraturan hidup yang unik ditengah –tengah manusia. Ambil contoh pada sistem pendidikan kita saat ini pemerintah tidak mencantumnkan pola pendidikan yang mendasar dimulai dari penanaman aqidah yang kuat. Hasilnya output pendidikan yang ada tidak sesuai dengan sebagaimana yang diharapkan. dan in jauh berbeda dengan konsep pendidikan dalam islam yang menjadikan Al-qur’an sebagai dasar nya dan pemahaman aqidah yang menjadi tulang punggung dari kurikulumnya. Dan sistem inilah yang harus dan terus kita perjuangkan agar potensi pemuda muslim dapat kembali sebagaimana potensi pemuda-pemuda islam dahulu yang mana mereka telah menghasilkan karya-karya yang spektakuler serta memberikan konstribusi besar bagi kemajuan dan perkembangan kehidupan manusia pada saat itu hingga kini. Output pendidikan yang baik itu lahir dari sistem dan kurikulum yang baik dan hanya islam yang memiliki itu.

19

Membaca Narasi Muslimah Superhero dalam Komik Marvell dan DC Comic Oleh : Hesti Rahayu

Bukan hal yang terlalu baru, tetapi mungkin tidak banyak diketahui oleh selain penggemar komik, bahwa beberapa waktu lalu dunia perkomikan pernah dihebohkan dengan munculnya karakter-karakter komik yang berbeda dibanding karakter yang biasa dirilis oleh dua perusahaan raksasa komik dunia, Marvell dan DC Comics. atau Marvel Worldwide Inc. sebelumnya Marvel Publishing Inc. dan Marvel Comics Group adalah nama suatu perusahaan dari Amerika Serikat yang memproduksi buku komik dan media lain yang berkaitan. Marvel pertama kali didirikan dengan nama "Timely Publications" pada tahun 1939 dan sempat berganti nama menjadi "Atlas Comics" sebelum akhirnya menjadi Marvel Comics pada tahun 1961. Sekarang, Marvel telah menjadi salah satu penerbit buku komik terbesar bersama dengan perusahaan saingan lamanya DC Comics. Marvel terkenal karena telah mengorbitkan karakter-karakter komik populer seperti , Spider Man, , , , Black Widow, Doctor Strange, Daredevil, dan Ant-Man dan tim seperti , Guardians of the Galaxy, Fantastic Four, dan X-Men, dan antagonis seperti , , Green Goblin, , Doctor Octopus, , Venom dan . Sebagian besar karakter ciptaan Marvel beroperasi dalam dunia yang dikenal sebagai Marvel Universe. Belakangan, banyak dari karakter Marvel tersebut yang muncul dalam media hiburan lain seperti serial kartun, film, dan permainan video.

Adapun DC Comics saingannya adalah sebuah perusahaan komik dan perusahaan terkait yang terbesar di Amerika, yang merupakan sebuah anak perusahaan dari Warner Bros. Entertainment sejak 1969. DC Comics menerbitkan sejumlah besar tokoh-tokoh terkenal seperti Superman, Batman, Wonder Woman, Flash, Green Lantern dan the Justice League of America. Karakter yang berbeda dan cukup menghebohkan tersebut berupa sosok muslimah yang secara sengaja diciptakan komikusnya dengan identitas kemuslimahannya. Setidaknya ada lima karakter, yaitu : Kamala Khan (nama superheronya adalah Miss Marvell, dirilis November 2013), Faiza Hussain (Excalibur), Monet St. Croix, Sooraya Qadir (The Dust), dan Monica Chang.

Berbeda dengan berbagai wacana dan perdebatan di dunia media seperti yang terjadi pada karakter Wonder Woman yang filmnya meraih box office dunia, maka karakter musilmah dalam komik ini relatif tidak menuai reaksi yang berlebihan dari netizen, kecuali beberapa respon yang justru positif. Contoh reaksi positif itu antara lain ditunjukkan oleh Handrito PhatSo dengan pernyataannya : “Penganut agama Islam tidak hanya ada di dunia kita saja, namun di dunia komik pun ada karakter-karakter yang beragama Islam. Dan karakter- karakter Muslim ini beraksi tidak hanya mengandalkan kekuatan super mereka saja, namun mereka juga tetap menunjukkan keislaman mereka dalam beraksi menghadapi kekuatan jahat.” Klaim Handrito ini dikuatkan dengan uraiannya mengenai beberapa adegan dalam komik yang menunjukkan bagaimana tokoh superhero muslimah ini “berdakwah” menyampaikan nilai-nilai keislaman kepada tokoh superhero lainnya. Dengan kehadiran karakter muslimah superhero ini, maka muncul beberapa pertanyaan, yaitu apakah berarti dua raksasa industri komik ini telah terwarnai dengan Islam? Apakah hal ini dapat dibaca

20

bahwa komik Barat saat ini lebih ramah dan welcome dengan Islam? Apalagi sosok yang dimunculkan adalah sosok muslimah.

Dari berbagai pertanyaan di atas, penulis mencoba menguraikan terlebih dahulu kira-kira narasi apa yang coba dibangun Barat melalui karakterisasi tokoh superhero muslimah tersebut yaitu: 1. Peradaban barat welcome dengan Islam 2. Superhero itu penting 3. Superhero muslimah itu diakui keberadaannya di dunia komik Barat. Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai bagaimana komik superhero pertama kali muncul, pernyataan dari Fitriyan Zamzami, wartawan Republika cukup menarik disimak : “Mula-mula, saya ingin mengajak pembaca yang budiman menengok sejarah para adiwira (superhero) dalam komik di Amerika Serikat. Mau dikata bagaimana juga, sejarah komik adiwira lekat sekali dengan pengalaman wangsa Yahudi. Superman, adiwira pertama yang muncul dalam Action Comic pada 1938, adalah ciptaan Joe Shuster dan Jerry Siegel. Keduanya adalah putra imigran Yahudi Eropa. Demikian juga, Bob Kane dan Bill Finger yang merancang Batman. Ada juga Will Eisner yang namanya diabadikan sebagai penghargaan puncak buat komikus di AS. yang memberikan kita Fantastic Four, Iron Man, X-Men, dan banyak lagi adiwira Marvel Comic, juga generasi pertama imigran Yahudi. Begitu juga Joe Simon yang mereka- reka Captain Amerika, dan yang menerjemahkan rekaan Stan Lee dan Joe Simon ke dalam bentuk gambar. Industri komik, menurut Gerrard Jones dalam buku ciamiknya "Men of Tomorrow" (2005), juga dimulai sebagai usaha Harry Donenfeld, seorang Yahudi Rumania yang mencari jalan menjual cerita-cerita agar lolos sensor. Ini bukan teori konspirasi, semata rekaman sejarah.” Dari pernyataan tersebut, dapat kita pahami mengapa komik Barat terutama produksi Marvell dan DC Comics memiliki muatan opini dan misi tersendiri baik dari segi penokohan, penciptaan alur cerita, serta peran yang diambil oleh karakter superhero yang dimilikinya, tak terkecuali karakter superhero muslimah yang ada di situ.

Secara singkat, karakter superhero muslimah yang ditampilkan dalam komik tersebut tidak terlalu jauh berbeda dalam tampilan visualnya dibanding karakter lainnya yang dinyatakan tidak beragama Islam. Misalnya saja, secara visual karakter yang ditampilkan tidak selalu menutup aurat (Dust menggunakan hijab dan cadar tetapi dalam beberapa adegan yang digambarkan dalam kamarnya, dia tidak mengenakan kerudung. Excalibur menggunakan kerudung, Monet St. Croix mengenakan pakaian seksi dengan belahan dada rendah, Kamala Khan dan Monica Chang berpakaian ketat tanpa kerudung, kecuali Monica Chang yang digambarkan mengenakan kerudung saat shalat). Dari segi kemampuan superheronya, meski mereka cukup “sakti”, tetapi mereka tidak menjadi tokoh utama dan lebih banyak ditampilkan sebagai anggota tim.

Superhero dalam Islam Dalam Islam, wacana mengenai superhero fiktif dengan kemampuan fantastis tentu saja tidak dikenal. Islam tidak mengenal superhero, tetapi Islam memiliki konsep “kekesatriaan”. Prinsip kekesatriaan (chivalry) ini merupakan salah satu penyusun konsep jihad. Kekesatriaan adalah sebuah prinsip yang menekankan pada keadilan, kejujuran, perdamaian, kesopanan, etika, kelembutan, berbagi dalam kesempitan, teguh pendirian, tidak mengeluh dan penerimaan dalam kesulitan hidup. Para shahabat pada zaman Rasulullah SAW adalah ahli ibadah sekaligus ahli dalam ihwal kesatria. Ksatria Islam adalah seorang muslim yang mempunyai kepedulian (awareness) yang tinggi terhadap keadaan sekelilingnya (Ramadhi, 2012 : 22). Dia tidak rela berdiam diri terhadap hal-hal yang tidak

21

sesuai dengan kebenaran yang ia pahami. Ini mirip dengan penggambaran bagaimana seorang superhero harus berperan dalam masyarakatnya. Ketika kemudian dalam komik Marvell dan DC Comics menampilkan karakter muslimah, maka dalam hal ini dapat dibaca bahwa itu hanyalah sekedar upaya menciptakan mitos baru untuk menutupi realita yang sesungguhnya. Menjadi semacam upaya mematikan karakter syakhsiyyah Islamiyyah (kepribadian Islam) yang hakiki dari kaum muslimin, yang dicitrakan selalu berada di tengah krisis identitas dan krisis “superhero”, dan terjepit diantara realitas Islamophobia di dunia Barat. Dan bila dicermati lebih jauh, tokoh superhero muslimah yang dimunculkan ini tidak ada yang berasal dari ras Eropa. Semuanya adalah imigran dari luar AS. Suatu rekonstruksi fakta yang divisualkan dalam komik, dan itu makin menajamkan kecurigaan bahwa penokohan itu terjadi antara lain karena pertimbangan pasar muslim (baca : konsumen komik Barat) yang makin luas dan berkembang.

Wallahu a’lam bisshowwab.

Referensi : http://www.antaranews.com/berita/331411/dc-comics-membuat-tokoh-superhero-muslim http://bit.ly/2A7ByEm https://www.duniaku.net/2014/07/02/superhero-hidayah-ketika-iman-lebih-kuat- daripadakekuatan-super/ http://wow.tribunnews.com/2017/04/07/heboh-simak-fakta-menarik-superhero- muslimahyang-muncul-di-komik-marvel?page=all http://www.muvila.com/film/artikel/6-karakter-superhero-muslim-marvel-dan-dc- 150616ipage6.html https://id.wikipedia.org/wiki/Marvel_Comics https://id.wikipedia.org/wiki/DC_Comics https://id.wikipedia.org/wiki/Warner_Bros http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/04/06/onyrq1396- inilima-superhero-muslimah-pada-komik-marvel https://www.duniaku.net/2014/07/02/superhero-hidayah-ketika-iman-lebih-kuat- daripadakekuatan-super/ http://bit.ly/2A7ByEm Buku : Ramadhi, Rahmat, 2012. Kekesatriaan dalam Islam, Khilafah Press, Jakarta.

22

BPJS Kesehatan: Alat Kapitalis Mengeskploitasi Rakyat Fitria Nurhayati

Sebagaimana diberitakan Republika Online, Detik.com, dan Liputan6.com (1/11/2017), pemerintah tengah mempertimbangkan wacana kenaikan premi BPJS kesehatan akibat kerugian yang mencapai 9 triliyun karena terjadinya inflasi. Hal ini tentu akan semakin menambah beban rakyat untuk bisa mengakses layanan kesehatan secara murah dan layak. Kenaikan ini juga semakin menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan jaminan kesehatan bagi rakyatnya.

Munculnya layanan kesehatan berbasis sosial seperti BPJS kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kesehatan) sejatinya hanyalah kedok lepas tangannya negara terhadap pelayanan kesehatan warganya. Ini adalah konsekuensi bagi negara yang masuk dalam jebakan neoliberalisme dan neoimperialisme. Neoliberalisme merupakan cara pandang yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi sebab negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu. Paham ini merupakan agenda neoimperialisme Barat, yaitu bentuk penjajahan tanpa kekuatan fisik melainkan cukup dengan mengkondisikan aturan-aturan di negeri yang dijajah.

Selain itu, konsep kesehatan berbasis sosial ini menjadi alat bagi kaum kapitalis untuk mengeksploitasi rakyat. Melalui sistem demokrasi, kaum kapitalis bisa dengan leluasa menjadikan kepentingannya sebagai permintaan yang wajib direalisasikan melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat suatu negara. Dengan menggunakan dalih gotong royong dalam kesehatan, rakyat dijerat kewajiban membayar premi setiap bulan dengan besaran tertentu dan dikenai denda apabila terlambat, bahkan besarnya biaya yang telah terkumpul akan hangus jika tidak membayar denda.

Secara pelayanan, mekanisme BPJS kesehatan pun sangat merugikan. Jika biaya kesehatan melebihi batas simpanan peserta maka peserta harus membayar kekurangannya sendiri. Ditambah lagi, BPJS kesehatan tidak berlaku untuk semua jenis penyakit yang dialami peserta. Hanya penyakit yang termasuk dalam ketentuan BPJS saja yang akan ditangani. Lebih lanjut, dalam hal pemberian obat, jenis obat yang diberikan disesuaikan dengan kelas-kelas peserta, artinya jika kelasnya biasa maka obatnya pun yang biasa saja sedangkan yang kelas VIP akan mendapatkan obat dengan kualitas yang bagus.

Dari sini dapat dilihat bahwa BPJS kesehatan adalah produk dari liberalisasi ekonomi dalam aspek kesehatan yang tidak lepas dari campur tangan kaum kapitalis. Sebagaimana wajah asli dari agenda ini maka BPJS kesehatan pun tidak membawa keuntungan ataupun kebaikan bagi rakyat. Perlu diketahui pula, BPJS kesehatan dalam pandangan Islam merupakan sejenis asuransi yang didalamnya sarat dengan unsur atau akad-akad batil sehingga BPJS kesehatan haram sebab tidak sesuai dengan syari’at Islam.

Islam mengatur bahwa kesehatan menjadi tanggung jawab dan wajib dipenuhi oleh negara sebab merupakan kebutuhan pokok bagi manusia selain pangan, sandang, papan, pendidikan, dan keamanan. Islam menempatkan pelayanan kesehatan sebagai bagian dari

23

kemaslahatan sekaligus fasilitas umum yang harus dirasakan oleh seluruh rakyat. Jaminan kesehatan dalam Islam memiliki 3 sifat: tanpa diskriminasi kepada semua rakyat, bebas biaya sehingga rakyat tidak dikenakan pungutan apapun, dan seluruh rakyat harus diberi akses kemudahan pelayanan kesehatan oleh negara. Dana untuk memberikan jaminan kesehatan diperoleh negara dari kekayaan negara yang dikelola secara mandiri sesuai dengan ketentuan syari’at Islam, seperti pengelolaan tambang emas, kekayaan laut, dan hutan. Hasilnya akan didistribusikan kembali kepada rakyat serta digunakan untuk pembiayaan pelayanan umum termasuk kesehatan sehingga bentuk jaminan kesehatan negara yang sesungguhnya dapat diwujudkan. Selain itu, sistem ekonomi Islam mampu menjadikan negara kuat secara ekonomi dan terhindar dari inflasi, misalnya dengan penggunaan emas dan dirham sebagai mata uang.

24