i

Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

Siti Herlinda Chandra Irsan

Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

Siti Herlinda

Chandra Irsan

ii

Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan oleh: Siti Herlinda Chandra Irsan

Hak Cipta © 2015 pada penulis

Dicetak oleh Unsri Press

ISBN 979-587-568-X

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penulis.

Penerbit: Unsri Press Kampus Unsri Bukit Besar, Jalan Srijaya Negara, Bukit Besar, Palembang Telpon/Faximili: +62711360969 Email: [email protected]

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Herlinda, S. dan Irsan, C. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan: S. Herlinda dan C. Irsan. Palembang: Unsri Press, 2015 viii + 200 hlm: 16,50 x 21,50 cm

Bibliografi ISBN 979-587-568-X I. Judul 1. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 2. Herlinda, Irsan iii

PRAKATA Penyusunan buku ajar ini dilatarbelakangi oleh masih sangat terbatasnya bahan-bahan bacaan mengenai dasar-dasar pengendalian hayati serangga hama terutama yang berbahasa Indonesia. Penyusunan buku ajar ini juga dilatarbelakangi oleh tuntutan Kurikulum Nasional, yang ditetapkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, menjadikan mata kuliah Pengendalian Hayati wajib bagi mahasiswa strata 1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan atau Agroteknologi semester akhir dan pilihan bagi mahasiswa jurusan lain di lingkungan Fakultas Pertanian. Isi buku ini sebagian juga dapat diberikan pada mata kuliah Pengendalian Hama Terpadu dan Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Edisi 1 Buku ini pernah diterbitkan pada tahun 2011, namun isinya masih sangat sederhana dan berbentuk suplemen materi ajar, selanjutnya mengalami pengayaan materi dari Hibah Kompetensi tahun 2013-2015 sehingga tersusun edisi 2 yang diterbitkan pada tahun 2015 ini. Buku ini tidak hanya terbatas dipergunakan untuk mahasiswa strata 1 di lingkungan Fakultas Pertanian, tetapi juga dapat dipergunakan oleh mahasiswa strata 2 dan 3 bidang ilmu perlindungan tanaman. Buku ini juga dapat dipergunakan bagi para peneliti, petugas dan pelaksana lapangan yang ingin lebih memperdalam ilmu tentang dasar-dasar pengendalian hayati. Buku ini berisikan tentang ruang lingkup pengendalian hayati serangga hama, dilanjutkan dengan sejarah dan perkembangan pengendalian hayati; dasar ekologi pengendalian hayati; ciri-ciri biologi serangga entomofag; prosedur introduksi; augmentasi; dan konservasi musuh alami; mikrobia patogenik terhadap serangga; pembiakan masal dan pemanfaatan entomopatogen; dan implementasi pengendalian hayati. Penulis menyadari bahwa isi buku ajar ini masih jauh dari sempurna sehingga masih diperlukan perbaikan dan penyempurnaan. Konsep Pengendalian Hayati merupakan konsep yang terus berkembang dan kemungkinan materi yang ditulis pada buku ini akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Atas diterbitkannya buku ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktur Pembinaan Penelitian dan iv

Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional karena materi buku ini banyak didapatkan dari hasil riset Program Penelitian Hibah Kompetensi pada tahun 2008-2010 dan 2013-2015, Hibah Bersaing 2005-2008, dan hibah- hibah lainnya yang didanai DP2M, Dirjen, Dikti. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Rektor, Ketua Lembaga Penelitian, dan Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan dan dorongan dalam penulisan buku ini. Khusus kepada Prof. Dr. Ir. Benyamin Lakitan, M.Sc. kami mengucapkan terima kasih atas pemberian izin menggunakan foto-foto untuk cover depan dan tulisan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pengembangan konsep dan penerapan Pengendalian Hayati di Indonesia.

Palembang, Oktober 2015

Ketua Tim Penulis Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda, M.Si.

v

DAFTAR ISI

Halaman PRAKATA ...... iv DAFTAR ISI ...... vi I. RUANG LINGKUP DAN BATASAN PENGENDALIAN HAYAT1...... 1 A. Pendahuluan ...... 1 B. Batasan dalam Pengendalian Hayati...... 2 C. Pendekatan dalam Pengendalian Hayati ...... 3 D. Karakteristik Parasitoid dan Predator ...... 6 E. Karakteristik Entomopatogen ...... 7 F. Pengendalian Hayati Gulma atau Tumbuhan Liar ...... 9 F. Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hayati ...... 10 Latihan Soal ...... 11 II. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENGENDALIAN HAYATI ...... 13 A. Pendahuluan ...... 13 B. Sejarah Awal Pengendalian Hayati ...... 13 C. Periode Pertengahan Perkembangan Pengendalian Hayati ...... 16 D. Sejarah dan Perkembangan Pengendalian Hayati Modern Abad 20 ...... 17 Latihan Soal ...... 22 III. DASAR EKOLOGI PENGENDALIAN HAYATI ...... 24 A. Pendahuluan ...... 24 B. Mekanisme Keseimbangan Alami ...... 24 C. Faktor Bertaut Kerapatan dan Bebas Kerapatan ...... 26 D. Pengendalian Hayati Hama Indigenos...... 30 Latihan Soal ...... 32 IV. BIOLOGI DAN TAKSONOMI PARASITOID ...... 33 A. Pendahuluan ...... 33 B. Hubungan Parasitoid-Inang...... 33 C. Biologi Parasitoid ...... 37 D. Taksonomi Parasitoid ...... 50 Latihan Soal ...... 59 V. SERANGGA PREDATOR APHIS GOSSYPII DI EKOSISTEM TANAMAN SAYURAN ...... 62 A. Pendahuluan...... 62 B. Spesies Serangga Predator ...... 62 C. Deskripsi Spesies Serangga Predator ...... 64 Latihan Soal ...... 75 VI. ENTOMOPATOGEN: MIKROORGANISME PENGENDALI SERANGGA ...... 76 A. Pendahuluan...... 76 B. Virus Entomopatogen ...... 78 vi

C. Jamur Entomopatogen ...... 79 D. Bakteri Entomopatogen ...... 81 E. Nematoda Entomopatogen ...... 83 F. Protozoa Entomopatogen ...... 85 Latihan Soal ...... 86 VII. INTRODUKSI MUSUH ALAMI ...... 88 A. Pendahuluan...... 88 B. Identifikasi Hama Eksotik dan Studi Literatur ...... 88 C. Survei dan Eksplorasi Musuh Alami ...... 91 D. Studi Biologi dan Seleksi Musuh Alami ...... 91 E. Pengujian di Karantina dan Skrening Sebelum Dilepas ...... 93 F. Pembiakan dan Produksi Masal ...... 94 G. Kolonisasi Musuh Alami ...... 94 H. Evaluasi Musuh Alami Setelah Pelepasan ...... 94 Latihan Soal ...... 95 VIII. AUGMENTASI MUSUH ALAMI ...... 96 A. Pendahuluan...... 96 B. Pembiakan Masal Parasitoid ...... 96 C. Pembiakan Masal Entomopatogen ...... 98 D. Pembiakan Masal Predator ...... 99 E. Pelepasan Musuh Alami ...... 103 Latihan Soal ...... IX. AUGMENTASI PARASITOID TELUR ...... 105 A. Pendahuluan...... 105 B. Teknik Produksi Masal Parasitoid ...... 106 C. Produksi Inang Laboratorium ...... 108 D. Produksi Parasitoid Telur ...... 110 E. Metode Pelepasan Parasitoid Telur ...... 111 Latihan Soal ...... 113 X. KONSERVASI MUSUH ALAMI ...... 114 A. Pendahuluan...... 114 B. Perbaikan Bercocok Tanaman ...... 115 C. Mengurangi Gangguan dan Kematian pada Musuh Alami ...... 117 D. Mengurangi Gangguan dan Kematian pada Musuh Alami ...... 119 Latihan Soal ...... 121 XI. MUSUH ALAMI MYZUS PERSICAE DI BERBAGAI TUMBUHAN INANG ...... 123 A. Pendahuluan...... 123 B. Kutudaun dan Tumbuhan Inang ...... 124 C. Serangga Predator ...... 127 D. Parasitoid ...... 129 E. Jamur Entomopatogen ...... 130

vii

F. Hiperparasitoid ...... 132 Latihan Soal ...... 132 XII. UNJUK KERJA PARASITOID MYZUS PERSICAE ...... 134 A. Pendahuluan ...... 134 B. Parasitoid Myzus persicae...... 135 C. Unjuk Kerja Diaretiella rapae dan Aphelinus sp...... 136 D. Pengaruh Pakan Imago terhadap Kehidupan Diaretiella rapae dan Aphelinus sp...... 142 E. Preferensi Parasitoid terhadap Fase Serangga Inang ...... 144 Latihan Soal ...... 147 XIII. PEMANFAATAN SERANGGA ENTOMOFAGA DI EKOSISTEM TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA ...... 149 A. Pendahuluan...... 149 B. Pendekatan dan Pemanfaatan Agens Hayati ...... 150 C. Agens Hayati untuk Pengendalian Tanaman Pangan ...... 152 D. Agens Hayati untuk Pengendalian Tanaman Hortikultura ...... 157 Latihan Soal ...... 159 XIV. PERILAKU HIPERPARASITOID DAN PERILAKU KHAS SERANGGA ENTOMOFAGA ...... 160 A. Pendahuluan...... 160 B. Interaksi Tritropik ...... 161 C. Peran dan Manfaat Hiperparasitoid ...... 163 D. Perilaku Parasitoid dan Serangga Predator ...... 167 Latihan Soal ...... 173 DAFTAR PUSTAKA ...... 175 GLOSARIUM ...... 196

viii

BAB I. RUANG LINGKUP DAN BATASAN PENGENDALIAN HAYATI

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah: 1. mahasiswa mampu menjelaskan batasan dalam pengendalian hayati, 2. mahasiswa mampu menguraikan pendekatan dalam pengendalian hayati, 3. mahasiswa mampu menguraikan kharakteristi parasitoid, predator, dan entomopatogen, 4. mahasiswa mampu menjelaskan batasan pengendalian hayati gulma, dan 5. mahasiswa mampu menguraikan kelebihan dan kelemahan pengendalian hayati.

A. Pendahuluan Mahasiswa mampu menjelaskan batasan dalam pengendalian hayati, pendekatan dalam pengendalian hayati, kharakteristi parasitoid, predator, dan entomopatogen, pengendalian hayati gulma, serta kelebihan dan kelemahan dalam pengendalian hayati. Pengendalian hayati merupakan bagian dari pengendalian yang alamiah karena menggunakan faktor pengendali yang sudah ada di alam. Faktor pengendali tersebut merupakan musuh alami dari organisme yang dikendalikan. Pada dasarnya semua organisme memiliki musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan atau mengatur perkembangan populasi organisme tersebut. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh agens pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami yang mencakup parasitoid, predator, dan patogen adalah agens pengendali alami. Agens pengendali alami tersebut bekerja secara tergantung kerapatan (density dependent) yang kemampuan penekanannya atau perkembangan populasinya sangat tergantung pada perkembangan populasi hama. Istilah pengendalian hayati pertama kali digunakan oleh Smith (1919) yang waktu itu lebih menonjolkan pendekatan introduksi dalam 2 mengendalikan serangga hama. Waktu itu istilah pengendalian hayati masih dicampuradukan antara pemanfaatan musuh alami, pelepasan serangga jantan mandul, penggunaan varietas tahan ataupun pengendalian secara kultur teknis lainnya. Setelah itu tahun 1972 Doutt mempersempit batasan pengendalian hayati sebagai pengendalian hama yang memanfaatkan musuh-musuh alami. Dalam melakukan pengendalian hayati ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu introduksi, augmentasi dan konservasi. Ketiga pendekatan tersebut berbeda dalam hal sasaran dan metodenya, namun dalam prakteknya ketiga pendekatan tersebut sering dilakukan bersamaan. Hal ini disebabkan antara satu pendekatan dengan pendekatannya lainnya sifatnya saling bersinergis. Introduksi adalah mendatangkan musuh alami dari suatu daerah ke daerah baru. Augmentasi adalah penambahan jumlah musuh alami melalui pelepasan dengan tujuan untuk meningkatkan perannya dalam menekan populasi hama, sedangkan konservasi merupakan upaya peningkatan keefektifan musuh alami melalui perbaikan teknik bercocok tanam yang mampu menyediakan sumberdaya ruang dan makanan bagi musuh alami. Bab ini akan menguraikan tentang batasan dalam pengendalian hayati, pendekatan dalam pengendalian hayati, kharakteristi parasitoid, predator, dan entomopatogen, pengendalian hayati gulma, serta kelebihan dan kelemahan dalam pengendalian hayati.

B. Batasan dalam Pengendalian Hayati Pada pernyataan sebelumnya dikatakan bahwa pengendalian hayati merupakan taktik pengendalian yang alamiah karena menggunakan faktor pengendali yang sudah ada di alam. Namun, ada perbedaan batasan antara pengendalian alami dan pengendalian hayati. Pengendalian alami merupakan kegiatan faktor abiotik dan biotik dalam memelihara atau mengatur kerapatan populasi suatu organisme pada kerapatan lebih rendah atau lebih tinggi selama waktu tertentu. Proses tersebut terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia. De Bach pada tahun 1964 telah mengkaji semantik dari istilah pengendalian hayati. Dia menyatakan bahwa istilah pengendalian hayati merujuk pada fenomena alamiah, suatu bidang studi atau suatu taktik pengendalian yang memanipulasi musuh alami. Dalam kaitannya dengan

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 3 pendapat tersebut, DeBach memberikan batasan pengandalian hayati sebagai berikut: “Pengendalian hayati adalah kegiatan parasitoid, predator, dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme lain pada kerapatan rata-rata yang lebih rendah daripada kerapatan jika musuh alami tersebut tidak ada”. Dari batasan tersebut pengendalian hayati merupakan kegiatan oleh faktor biotik saja, yaitu parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme lain, sedangkan pada pengendalian alami kegiatan tersebut dilakukan baik oleh faktor biotik maupun abiotik. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh musuh alami saja tetapi juga karena bekerjanya faktor ekosistem lainnya, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, makanan dan faktor abiotik lainnya. Dengan demikian, batasan pengendalian hayati berbeda dengan pengendalian alami. Batasan pengendalian hayati yang dinyatakan oleh DeBach di atas merupakan batasan yang banyak diikuti hingga saat ini. Namun, ada juga ahli lain yang berpendapat bahwa pengendalian hayati memiliki pengertian yang lebih luas mencakup penggunaan varietas tahan hama, pengendalian melalui pemandulan dan manipulasi genetik. Batasan pengendalian hayati menurut DeBach di atas tidak satupun yang merujuk pada pengertian ekonomi. Dengan demikian, penurunan dalam kerapatan populasi berapapun karena musuh alami menunjukkan bahwa pengendalian hayati tersebut telah terjadi. Penurunan kerapatan populasi tersebut tidak harus mencapai kerapatan di bawah ambang ekonomi. Pengendalian hayati dapat dikelompokkan sebagai pengendalian hayati sempurna dan parsial. Pengendalian hayati sempurna menyebabkan penurunan populasi hama hingga di bawah ambang ekonomi, sedangkan pengendalian hayati parsial penurunan populasi hama tetapi hamanya masih di atas ambang ekonomi.

C. Pendekatan dalam Pengendalian Hayati

1. Introduksi Pengendalian hayati klasik umumnya dilakukan dengan pendekatan introduksi. Introduksi musuh alami dilakukan apabila hama yang akan dikendalikan itu merupakan hama yang eksotik yang berasal dari negeri lain atau tempat lain. Namun, saat ini tidak menutup kemungkinan

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 4 introduksi musuh alami dilakukan untuk mengendalikan hama “pribumi” atau lokal. Introduksi dilakukan dengan cara mengimpor atau memasukkan musuh alami dari negeri lain. Karena introduksi melibatkan hubungan antar dua negara, maka introduksi umumnya dilakukan pada level pemerintah. Misalnya, Departemen Pertanian, Republik Indonesia pada bulan Agustus 1986 memasukkan predator kutu loncat lamtoro, Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) dari Hawaii untuk mengendalikan kutu loncat, Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera: Psyllidae) yang menyerang lamtoro di Indonesia. Prosedur introduksi telah dikemukakan oleh van den Bosch et al. (1985) ada delapan, yaitu identifikasi spesies hama eksotik, penenetuan asli hama eksotik, agen importasi, eksplorasi musuh alami, karantina, pembiakan masal, kolonisasi dan evaluasi musuh alami. Prosedur introduksi musuh alami secara lengkap akan diuraikan pada bab berikutnya.

2. Augmentasi Augmentasi dilakukan apabila musuh alami itu tidak cukup efektif atau tidak efektif pada waktu tertentu. Augmentasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan musuh alami dalam mengendalikan hama. Augmentasi dilakukan dengan cara menambahkan musuh alami melalui pelepasan. Augmentasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu inokulasi dan inundasi. Inokulasi adalah pelepasan sejumlah kecil musuh alami pada saat populasi hama masih rendah, biasanya pada awal musim tanam. Musuh alami ini diharapkan dapat berkembangbiak sehingga keturunannya mampu mengendalikan hama selama musim tanam. Inokulasi ini diharapkan permanen keberadaannya di lapangan. Sasaran inokulasi adalah mempertahankan populasi hama tetap berada di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomi. Berbeda dengan inokulasi, inundasi merupakan pelepasan musuh alami dalam jumlah besar dengan tujuan musuh alami tersebut langsung dapat menurunkan populasi hama dengan segera sampai tingkat yang tidak merugikan. Musuh alami ini digunakan sebagai insektisida biologis (bioinsecticide). Pada inundasi, tidak ada maksud supaya musuh alami itu berkembangbiak dan dapat menetap terus. Karena hasil pengendalian inundasi ini lebih bersifat sesaat, maka pada satu musim tanam pelepasan

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 5 perlu diulang beberapa kali. Hal ini berbeda dengan inokulasi yang biasanya hanya memerlukan satu kali pelepasan. Hama yang sesuai dikendalikan secara augmentasi memiliki ciri berikut, hama tersebut tidak memungkinkan dikendalikan secara konservasi, hama sulit dikendalikan atau terlalu mahal dikendalikan dengan metode lain, hama tersebut tidak dapat dikendalikan secara kimiawi karena akan berdampak pada residu, resistensi dan resurjensi, dan hama yang selalu menimbulkan kerugian hanya satu atau dua jenis saja. Musuh alami yang sesuai untuk kegiatan augmentasi harus memenuhi ciri, yaitu musuh alami yang dilepaskan harus mampu berkembangbiak dan menyebar di pertanaman. Selain itu, musuh alami mudah dibiakkan secara masal, lebih memilih hama sasaran daripada inang atau mangsa alternatif, dan kepridian yang tinggi. Di Indonesia, salah satu jenis musuh alami sejak tahun 1984 digunakan dalam inokulasi adalah Sturmiopsis inferens Towns (Diptera: Tachinidae) yang merupakan parasitoid penggerek tebu raksasa, Phragmatoecia parvipuncta Hamps (: Cossidae). Trichogramma merupakan parasitoid yang paling umum digunakan untuk inundasi dalam mengendalikan hama dari golongan Lepidoptera.

3. Konservasi Lingkungan hama dan musuh alaminya dapat dimanipulasi untuk meningkatkan kehidupan dan dampak musuh alami yang sudah ada. Cara ini disebut juga sebagai metode konservasi. Jadi, konservasi merupakan usaha untuk memanfaatkan musuh alami yang sudah ada di lapangan atau pertanaman dengan cara memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar perannya dalam menekan populasi hama dapat ditingkatkan. Manipulasi lingkungan dapat dilakukan dengan cara pengembangan teknik bercocok tanam yang sesuai, penyediaan sumber daya pakan bagi musuh alami, inang alternatif, sinkronisasi fenologi hama dan musuh alami, pengendalian pesaing biologi, modifikasi praktek bercocok tanam, dan mengurangi gangguan dan kematian musuh alami. Musuh alami sering lebih memilih habitat yang berbeda dari tanaman pokok yang diusahakan. Menanam tanaman sela dalam bentuk barisan

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 6 dapat menyediakan habitat yang sesuai bagi musuh alami. Musuh alami biasanya lebih beragam di habitat pertanaman tumpangsari dibandingkan monokultur. Pertanaman tumpangsari menyediakan berbagai alternatif habitat. Kebanyakan imago parasitoid memerlukan nektar, embun madu atau serbuk sari untuk melengkapi siklus hidupnya. Musuh alami yang bersifat generalis biasanya akan mencari inang lain bila inang atau mangsa utamanya tidak tersedia. Residu pestisida dapat membunuh musuh alami termasuk fase yang tidak terbunuh pada saat aplikasi.

D. Karakteristik Parasitoid dan Predator

1. Parasitoid Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga atau artropoda lainnya. Parasitoid bersifat parasitik pada fase larva atau pradewasa, sedangkan pada fase imago atau dewasa hidup bebas tidak terikat pada serangga inangnya. Parasitoid dewasa hidup dari mengisap nektar, embun madu, air, meskipun kadang-kadang juga mengisap cairan tubuh serangga inang. Parasitoid berbeda dengan parasit karena parasitoid memiliki inang dari golongan takson yang sama, yaitu serangga atau artropoda lainnya, sedangkan parasit memarasit takson yang berbeda, misalnya lalat mengisap darah sapi. Ukuran parasitoid relatif besar dibandingkan ukuran inang, dan tidak pernah pindah inang selama perkembangannya. Parasitoid dapat menyerang setiap instar inang, meskipun instar dewasa yang paling jarang terparasit. Sebagian besar parasitoid tergolong dalam ordo Hymenoptera dan Diptera. Ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid berasal dari famili Ichneumonidae dan Braconidae, sedangkan pada ordo Diptera, famili Tachinidae yang semua spesiesnya hidup sebagai parasitoid. Contoh spesies parasitoid terkenal adalah Trichogramma sp. yang dapat memarasit telur berbagai jenis Lepidoptera dan Diadegma semiclausum yang hanya memarasit larva Plutella xylostella.

2. Predator Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memangsa atau memakan binatang lainnya. Predator memiliki ciri yang berbeda dengan parasitoid (Tabel 1.1). Predator berasal dari kelompok

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 7 serangga, laba-laba, tungau, dan vertebrata. Kalau parasitoid selama perkembangan dari telur sampai menjadi imago hanya membutuhkan satu serangga inang, predator membutuhkan banyak mangsa. Predator fase imago juga memangsa serangga yang sama seperti larvanya. Mangsa predator dapat berupa telur, larva (nimfa), kepompong atau imago serangga lainnya. Pada umumnya predator bersifat polifag dari segi mangsanya, meskipun ada yang relatif spesifik, artinya ia mempunyai preferensi yang tinggi terhadap satu spesies mangsa. Banyak ordo serangga yang memiliki spesies yang berperan sebagai predator, misalnya ordo Coleoptera, Neuroptera, Diptera, Hemiptera, bahkan ada famili yang seluruh atau hampir seluruh spesiesnya hidup sebagai predator, seperti famili Carabidae, Mantidae (Dictyoptera, Mantodea), dan Chrysopidae (Neuroptera). Beberapa contoh spesies predator hama padi yang terkenal ialah kumbang tanah (Pheropsophus spp.), laba-laba pemburu (Pardosa pseudoannulata).

E. Karakteristik Entomopatogen Virus, bakteri, jamur, protozoa dan nematoda merupakan patogen, selain dapat menginfeksi tumbuhan juga dapat menginfeksi serangga. Patogen yang dapat menginfeksi serangga diberi istilah entomopatogen. Entomopatogen ini umumnya dapat menginfeksi beberapa spesies dari ordo Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Lepidoptera, Coleoptera, Diptera atau Hymenoptera. Virus patogen serangga telah ditemukan lebih dari 700 virus yang sebagian besar termasuk dalam genera Baculovirus, Poxvirus, Iridiovirus, Enterovirus, dan Rhabdovirus. Serangga yang terinfeksi virus menunjukkan gejala malas bergerak, kulit berubah menjadi putih seperti susu, bergerak ke pucuk tanaman, dan mati pada posisi tubuhnya seperti patah dan menggantung pada bagian tanaman, serangga yang mati mengeluarkan cairan putih seperti susu. Contoh virus yang terkenal ialah NPV (Nuclear Polyhidrosis Virus) yang menginfeksi Lepidoptera. Kelompok jamur yang telah dikenal saat ini lebih 750 spesies yang berasal dari 100 genera. Gejala serangga terinfeksi jamur adalah tidak mau makan, lemah, kurang aktif, dan perilaku abnormal dengan memanjat cabang yang lebih tinggi, tubuh berubah warna menjadi krem keputihan atau merah muda, kering, kaku seperti mumi. Contoh spesies

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 8 jamur yang terkenal sebagai patogen Lepidoptera adalah Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae.

Tabel 1.1. Perbedaan ciri-ciri parasitoid dan predator Ciri-ciri Parasitoid Predator

Takson Serangga-serangga Berasal dari berbagai invertebrata dan vertebrata

Organisme yang diserang Serangga, tetapi Berbagai macam beberapa menyerang kelompok takson serangga, artropoda lain maupun atropoda lainnya, seperti laba-laba, tungau, caplak

Kespesifikan inang atau Spesifik inang (biasanya Kurang spesifik spesies mangsa satu atau beberapa mangsanya, tetapi spesies inang) memiliki preferensi mangsa

Ukuran tubuh organisme Kurang lebih seukuran Kurang lebih seukuran yang diserangnya dengan parasitoid dengan predator, dan umumnya lebih kecil

Fase memarasit atau Pradewasa (larva) Pradewasa dan dewasa memangsa

Jumlah inang atau mangsa Satu Banyak yang diperlukan setiap individu

Daya bunuh terhadap inang Membunuh inang, Membunuh mangsa segera atau mangsa biasanya setelah beberapa saat Sumber: van den Bosch et al. (1985)

Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri berspora dan bakteri tidak berspora. Serangga terserang bakteri menunjukkan gejala kesakitan, tidak mau makan, tidak aktif, lemah, lembek, kulit berubah menjadi hitam, serangga mati mengeluarkan cairan hitam berbau. Contoh bakteri entomopatogen Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 9 ialah Bacillus thuringiensis (Bt) yang terkenal sebagai penyebab penyakit susu pada Lepidoptera. Disamping virus, jamur, dan bakteri juga ada banyak spesies protozoa dan nematoda yang bersifat parasitik terhadap serangga. Spesies protozoa yang patogenik pada serangga umumnya termasuk dalam sub kelompok mikrosporodia yang telah ditemukan lebih dari 250 spesies menyerang serangga. Dari 19 famili nematoda yang menyerang serangga, mermithidae adalah famili terpenting sebagai patogen serangga.

F. Pengendalian Hayati Gulma atau Tumbuhan Liar Pada dasarnya sedikit perbedaan antara pengendalian hayati serangga hama dan pengendalian hayati gulma. Kedua kegiatan tersebut sama-sama melibatkan musuh alami yang berperan menekan spesies hama di bawah tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi. Ridley pada tahun 1930 memberi batasan pengendalian hayati gulma sebagai pemanfaatan serangga fitofag dalam memangsa atau menekan pertumbuhan gulma. Pengendalian hayati gulma saat ini juga lebih luas batasannya yang faktor pengendalinya bukan hanya serangga fitofag tetapi juga termasuk patogen yang menyebabkan sakit pada gulma. Perbedaan antara pengendalian hayati hama dan pengendalian hayati gulma adalah sebagai berikut. Pada pengendalian hayati gulma, musuh alami yang dalam hal ini adalah serangga pemakan tumbuhan atau gulma harus bersifat monofag dengan kata lain tumbuhan inangnya harus benar-benar spesifik. Apabila musuh alami ini tidak monofag dikhawatirkan akan menjadi hama bagi tanaman yang dibudidayakan. Sebaliknya pada pengendalian hayati hama, musuh alami yang baik adalah yang oligofag tetapi memiliki prefensi yang tinggi terhadap hama yang akan dikendalikan. Musuh alami hama yang terlalu spesifik inangnya atau monofag cenderung kesulitan bertahan hidup apabila populasi inangnya rendah atau tidak ada karena ketidakmampuanya dalam beralih inang (host switching). Musuh alami gulma memiliki peran sebagai berikut. Pertama musuh tersebut membunuh langsung inangnya. Kedua, musuh alami menekan atau memperlemah daya tahan gulma. Ketiga, musuh alami

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 10 mengurangi kemampuan reproduksi gulma. Keempat, luka yang disebabkan musuh alami menyebabkan gulma mudah terinfeksi patogen.

G. Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hayati Pengendalian hayati memiliki kelebihan dan kelemahan (Tabel 1.2). Kelebihan-kelebihannya bila dibanding dengan cara pengendalian lainnya, yaitu pertama tidak memiliki dampak samping yang merugikan terhadap produk pertanian (produk bebas racun), tidak membahayakan serangga dan hewan berguna lainnya, dan tidak membahayakan lingkungan. Parasitoid, predator, dan entomopatogen bersifat spesifik inang atau mangsa sehingga tidak merugikan organisme lain. Pengendalian hayati relatif lebih murah untuk jangka panjang. Pengendalian hayati dapat berkembang dengan sendirinya (self propagating), berkembang dan kekal (self perpetuating), dan tidak perlu campur tangan manusia, hanya perlu pengawasan agar tidak terjadi pengubahan lingkungan yang dapat mengganggu kehidupan musuh alami atau perkembangannya berkelanjutan bila musuh alami dapat menetap. Dalam pengendalian hayati, resistensi dari hama terhadap ketiga kelompok agens hayati tersebut hampir tidak ada, walaupun ada kemungkinannya sangat langkah. Selain kelebihan-kelebihan di atas, pengendalian hayati memiliki kelemahan-kelemahan. Pengendalian hayati dapat membatasi penggunaan pestisida sintetik pada waktu berikut. Suatu pertanaman ada beberapa hama penting, maka penggunaan insektisida harus dikurangi dan metode aplikasinya harus benar, insektisida harus spesifik dari segi kerja dan spesifik aplikasi. Pengendalian hayati bekerjanya lambat kecuali kalau pelepasannya bersifat inundatif. Pengendalian hayati bukan penentu dan tidak dapat memusnahkan atau membunuh habis, seperti bahan kimia karena masih perlu hama tersisa (hama residu). Pengendalian hayati memang tidak untuk tanaman yang memiliki ambang ekonomi yang rendah sekali, seperti hortikultura sayuran daun dan anggrek. Pengendalian hayati umumnya lebih sulit diramal keberhasilannya dibandingkan pengendalian kimia. Umumnya keberhasilannya baru dapat diketahui setelah penelitian yang luas dan kurang waktu yang cukup lama.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 11

Tabel 1.2. Kelebihan dan kelemahan pengendalian hayati Kelebihan-kelebihan Kelemahan-kelemahan 1. Tidak memiliki dampak samping yang 1. Dapat membatasi penggunaan pestisida merugikan sintetik 2. Tidak membahayakan serangga dan 2. Bekerjanya lambat dalam mematikan hewan berguna lainnya, dan tidak hama membahayakan lingkungan 3. Relatif lebih mahal untuk jangka pendek 3. Relatif lebih murah untuk jangka dan dan areal yang sempit panjang dan areal yang luas 4. Bukan penentu dan tidak dapat 4. Berkembang dengan sendirinya dan memusnahkan atau membunuh habis kekal hama karena masih memerlukan hama 5. Resistensi hama terhadap musuh alami residu jarang terjadi 5. Sulit diramal keberhasilannya dibandingkan pengendalian kimia Sumber: van den Bosch et al. (1985)

Latihan Soal 1. Jelaskan perbedaan antara pengendalian hayati dan pengendalian alami! ...... 2. Dalam pengendalian hayati dapat dilakukan dengan pendekatan introduksi, augmentasi, dan konservasi. Diantara ketiga pendekatan tersebut, jelaskan pendekatan yang paling mudah dilakukan! ...... 3. Apa perbedaan antara pelepasan inundatif dan inokulatif? ...... 4. Parasitoid dan parasit memiliki banyak perbedaan, jelaskan minimal tiga perbedaannya! ......

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 12

5. Apa yang dimaksud dengan entomopatogen dan sebutkan organisme yang masuk kelompok entomopatogen? ...... 6. Ada perbedaan yang sangat prinsip antara pendekatan pengendalian hayati gulma dan pengendalian hayati hama, jelaskan perbedaan tersebut! ...... 7. Jelaskan kelebihan dan kelemahan pengendalian hayati dibandingkan dengan pengendalian kimiawi! ......

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

BAB II. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENGENDALIAN HAYATI

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah: 1. mahasiswa mampu menjelaskan sejarah awal pengendalian hayati di Indonesia dan negara lainnya, 2. mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan pengendalian hayati di Indonesia dan negara lainnya.

A. Pendahuluan Sejarah pengendalian hayati terbagi tiga periode waktu, yaitu pertama pengendalian hayati tahap awal atau zaman kuno. Pada tahap awal ini pendekatan dalam pengendalian hayati masih bersifat coba-coba yang pendekatannya kurang ilmiah. Misalnya pada tahap awal ini, petani-petani di Cina menggunakan semut Firaun untuk membunuh hama gudang. Tahap berikutnya adalah masa pertengahan yang dicirikan oleh dimulainya pendekatan introduksi musuh alami. Pada tahap pertengahan ini merupakan tonggak sejarah pengendalian hayati dengan berhasilnya introduksi Rodolia cardinalis (Mulsant) dari Australia ke California untuk mengendalikan cottony-cushion scale, Icerya purchasi Mask. Periode terakhir merupakan masa pengendalian hayati modern. Pengendalian hayati modern ini dicirikan dengan berkembangnya metode pendekatan dalam pengendalian hayati yang sebelumnya hanya introduksi tetapi pada periode ini mulai dilakukan augmentasi dan konservasi. Pada periode ini juga mulai diintegrasikannya pengendalian hayati dengan metode pengendalian lainnya, seperti varietas tahan, jantan mandul, kultur teknis, dan lain-lainnya. Pada masa pengendalian hayati modern ini juga terjadi perkembangan pesat dalam memanfaatkan patogen serangga (entomopatogen), seperti jamur, virus, bakteri, dan lain-lain.

B. Sejarah Awal Pengendalian Hayati Pengendalian hayati pertama kali dilakukan tahun 1200 oleh orang-orang Cina dengan mempergunakan semut predator, Oecophylla smaragdina Fabr. (Formacidae: Hymenoptera) (Gambar 2.1) untuk 14 mengendalikan hama tanaman jeruk mandarin, Tessaratoma papillosa (Dru.). Pada waktu itu semut sudah diperjualbelikan dalam bentuk sarang semut yang pemindahannya dari satu pohon ke pohon lainnya menggunakan bambu. Banyak orang meragukan aktivitas pengendalian hayati tersebut, namun para petani jeruk saat itu yakin bila koloni semut cukup pada tanaman jeruk, maka serangan hama, T. papillosa sangat rendah. Pada tahun 1706 parasitoid pertama kali ditemukan dan diidentifikasi dengan benar oleh Vallisnieri. Parasititoid yang ditemukan tersebut ialah Cotesia glomerata yang memarasit larva Pieris rapae. Pada tahun 1770, van Leuwenhoek menemukan Aphidius sp. memarasit kutudaun. Tahun 1762 pertama kali dilaporkan introduksi musuh alami di dunia. Kala itu di Mauritius terjadi peledakan belalang (Nomadacris septemfasciata), untuk mengendalikannya diinroduksilah burung predator (Gracula religiosa) dari India.

Gambar 2.1. Oecophylla smaragdina, semut predator hama jeruk (Tessaratoma papillosa) (The California Academy of Sciences 2008)

Di Eropa pada tahun 1776, predator (Picromerus bidens) pertama kali digunakan untuk mengendalikan kutu busuk (bedbug). Awal tahun 1800 Eramus Darwin merekomendasikan agar di rumah kaca dilepas lalat predator (Syrphidae) dan kumbang koksi (Coccinellidae) untuk mengendalikan kutudaun. Pada tahun 1840 Boisgiraud melepas predator

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 15 dari kumbang Carabidae, Calosoma sycophanta (L.) (Gambar 2.2) dalam jumlah besar guna mengendalikan larva ngengat gypsy, Porthetria dispar (L.). Selanjutnya Villa tahun 1844 memadukan predator tersebut dengan kumbang predator lainnya dari famili Staphylinidae untuk mengendalikan serangga hama tanaman hias. Sekitar tahun 1859 kodok raksasa, Bufo marinus (L.) diintroduksi dari Cayenne, Amerika Selatan masuk ke Martinique untuk mengendalikan hama tempayak putih yang menyerang tanaman tebu. Setelah itu, predator diintroduksi ke negara lain, yaitu Barbados, Jamaika.

Gambar 2.2. Kumbang Carabidae, Calosoma sycophanta (Watson & Dallwitz 2003)

Di Pantai Gading, Afrika Barat pada waktu itu menggunakan semut rangrang untuk mengendalikan hama kelapa yang mengisap buah kelapa muda, yaitu Pseudotheraptus wayi (Hemiptera: Coreidae). Buah terserang akan gugur dan menjadi malformasi menjadi bengkok dan mudah pecah. Pengendalian dengan menggunakan semut rangrang menurut cukup efektif karena semut agresif mengejar pengisap buah kelapa tersebut. Di Indonesia saat ini belum ada gejala serangan P. wayi. Pada tahun 1873 Riley mengintroduksi tungau predator, Tyroglyphus phylloxerae dari Amerika Utara masuk Prancis untuk mengendalikan hama anggur, Phylloxera vitifolia (Fitch). P. vitifolia masuk Eropah dari Amerika Utara pada awal abad 19. Pada tahun 1874, kumbang predator aphids, Coccinella undecimpunctata (Gambar 2.3) Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 16 diintroduksi dari Inggris masuk ke Selandia Baru. Akan tetapi dampak dari pengendalian hayati ini tidak terdokumentasi.

Gambar 2.3. Kumbang predator aphids, Coccinella undecimpunctata (CSIRO 2004)

C. Periode Pertengahan Perkembangan Pengendalian Hayati Pada tahun 1868 dengan adanya introduksi kumbang vedelia, R. cardinalis (Gambar 2.4) ke California untuk mengendalikan kutu bersisik, cottony cushion scale (I. purchase). I. purchasi masuk ke California dari Australia melalui tanaman akasia. Di California kutu tersebut menghancurkan tanaman jeruk dan menyebabkan hancurnya industri jeruk di sana. Kumbang vedelia mudah sekali berbiak dan menyebar ke pertanaman lainnya. Pada tahun 1888, keberhasilan pengendalian I. purchasi terjadi dengan sempurna dengan dimanfaatkannya dua jenis musuh alami, yaitu R. cardinalis dan Cryptochaetum iceryae (Williston). Keberhasilan dalam pengendalian hayati I. purchasi merupakan tonggak sejarah pengendalian hayati. Dengan introduksi predator tersebut, sejak itu orang banyak melakukan pengendalian hayati. Pengendalian hayati hama eksotik dengan mengintroduksi musuh alami dari luar ini disebut pengendalian hayati klasik. Pada tahun 1892, Koebele memasukkan kumbang predator, Cryptolaemus montrouzieri (Mulsant) (Gambar 2.5) untuk mengendalikan mealybug, Planococcus spp. C. montrouzieri akhirnya mampu mengendalikan mealybug dan dapat menetap di California. Metode pemanfaatan C. montrouzieri pada waktu itu ialah pelepasan periodik. Kutu hitam (black scale), Saisssetia oleae dikendalikan oleh

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 17 kumbang predator, Rhizobius ventralis Erichson. Kumbang predator tersebut diintroduksikan ke California pada tahun 1892.

Gambar 2.4. Kumbang vedelia, Rodolia cardinalis predator kutu tanaman jeruk (Icerya purchasi) (Bryant & Hemberger 2008)

D. Sejarah Perkembangan Pengendalian Hayati Modern Abad 20 Pada tahun 1900 perkembangan pengendalian hayati maju pesat. Teknik penanganan musuh alami semakin baik dan peralatan penelitianpun semakin canggih. Pada tahun 1901, kutu hitam dikendalikan oleh parasitoid, Scutellista cyanea Motschulsky. Parasitoid tersebut diintroduksi ke California dari Afrika Selatan. Dactylopius sp. serangga yang digunakan untuk mengendalikan gulma, Opuntia spp. diintrodkusi dari India pada tahun 1903 masuk ke Australia. Serangga tersebut mampu mengendalikan gulma Opuntia. Pada tahun 1904, Ephiates caudatus (Ratzeburg) diintrodusikan ke California dari Spanyol untuk mengendalikan ngengat Laspeyresia pomonella. Parasitoid tersebut juga digunakan untuk mengendalikan kutu hitam dan kutu merah California. Van der Goot tahun 1920 pernah mengintroduksi ke Indonesia kumbang koksi (Cryptolaemus montrouzieri) untuk mengendalikan tiga spesies kutu Coccidae, yaitu kutu dompolan (Planococcus citri), kutu putih (Ferrisia virgata), dan kutu sirsak (Planococcus deceptor). Selanjutnya pada tahun 1928 kumbang predator tersebut diintroduksikan ke berbagai pulau di Indonesia, seperti Sulawesi dan Sumatera.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 18

Gambar 2.5. Larva Cryptolaemus montrouzieri predator kutu Planococcus spp. (Bryant & Hemberger 2008)

Gambar 2.6. Heterospilus coffeicola, parasitoid penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei) (Universidad de Costa Rica 2007)

Pada tahun 1923 penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei (Ferr.) dikendalikan oleh parasitoidnya dari Uganda, Heterospilus coffeicola Schm. (Hymenoptera: Braconidae) (Gambar 2.6) dan Prorops nasuta Wat. (Hymenoptera: Braconidae). Ribuan imago parasitoid dilepas tetapi tidak berhasil menekan popula penggerek buah kopi tersebut. Parasitoid, Bessa remota (Gambar 2.7) diintroduksi ke Indonesia dari Malaysia untuk mengendalikan Artona catoxantha. Setelah berhasil di Indonesia, pada tahun 1925 B. remota juga diintroduksi ke Fiji untuk mengendalikan Leavuana viridescent yang habitat dan relungnya mirip dengan A. catoxantha.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 19

Gambar 2.7. Imago Bessa remota (Hoddle 2011)

Pengendalian hayati di Indonesia, sudah sejak lama digunakan yang pertama pada tahun 1925 sudah dilakukan pengendalian hayati terhadap Sexava, serangga hama kelapa pemakan daun dari famili Tettigonidae. Tahun berikutnya dilepaskan parasitoid telur dari Indonesia Timur untuk digunakan di Sangir Talaud, parasitoid tersebut ialah Leefmansia bicolor Wat. (Hymenoptera: Encyrtidae) dan Doirania leefmansia Wat. (Hymenoptera: Trichogrammatidae), namun parasitisasinya masih kurang tinggi (kurang dari 50%). Tahun 1927 pernah dilakukan pengendalian hayati di Sulawesi Utara. Kutu Aspidiotus destructor Sign. (Homoptera: Diaspididae) dengan menggunakan kumbang famili Coccinellidae, Chilocorus politus Muls. tetapi juga dianggap tidak berhasil. Pada Gambar 2.8 Chilocorus sp. sedang memangsa kutudaun. Selain itu, untuk pengendalian A. destructor digunakan juga parasitoid, yaitu Comperiella unifasciata Ish. (Hymenoptera: Encyrtidae) juga dianggap tidak berhasil. Pada tahun 1931 pernah diupayakan pengendalian Plutella xylostella (L.) pada kubis dengan mendatang parasitoidnya dari Belanda, yaitu Diadegma fenestralis (Holmgr.) (Gambar 2.9) (Hymenoptera: Ichneumonidae) tetapi parasitoid tersebut tidak berhasil mengendalikan P. xylostella karena iklim di Indonesia tidak sesuai untuk D. fenestralis yang berasal dari negara beriklim subtropis. Namun, pada tahun 1950 P. xylostella kembali diintroduksi parasitoidnya, yaitu Diadegma eucerophaga Holmgr. tetapi berasal dari Selandia Baru yang iklim hampir mirip dengan dataran tinggi di Indonesia. Akhirnya D. eucerophaga mampu menetap di Indonesia dan dapat menekan populasi P. xylostella dengan baik.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 20

Gambar 2.8. Imago Chilocorus sp. sedang memangsa kutudaun (Herlinda & Irsan 2010)

Pada tahun 1932, pengendalian hayati yang dianggap berhasil pengendalian dengan Brontispa longissima (Gestr.) di Sulawesi Selatan adalah Tetrastichus brontispae Ferr. (Hymenoptera: Eulophidae) (Gambar 2.10). B. longissima ialah hama perusak janur kelapa di Sulawesi. T. brontispae berasal dari daerah Bogor dan berhasil dibiakkan secara masal di laboratorium dan parasitoid ini berhasil mengendalikan B. longissima. Pada tahun 1934 pengendalian kumbang kelapa, Oryctes rhinoceros Ol. (Coleoptera: Scarabaeidae) dengan menggunakan Scolia oryctophaga Coq. (Hymenoptera: Scoliidae), parasitoid yang diintroduksi dari Mauritius masuk ke Jawa. Parasitoid tersebut memiliki tubuh yang keras dan memarasit fase larva (lundi) O. rhinoceros. Selain itu, ada satu spesies lain parasitoid lundi kumbang tersebut ialah Scolia ruficornis F. yang berhasil mengendalikan lundi di Samoa, parasitoid ini berasal dari Zanzibar. Di Pulau Bali, Aspidiotus spp. pada tahun 1934 dikendalikan dengan menggunakan beberapa spesies parasitoid dari Jawa. Namun, parasitoid yang berhasil mengendalikan hanya satu spesies, yaitu Aspidiotophagus citrinus Craw. (Hymenoptera: Aphelinidae). Penggerek bunga kelapa, Batrachedra arenosella (Wlk.) di Flores banyak dikendalikan dengan parasitoid telur, Trichogramma, Meteorus, Apanteles, dan Chelonus sp. (Braconidae) dari Bogor tetapi hasil tidak begitu baik. Masalah utama pengendalian hayati menggunakan Chelonus adalah nisbah kelamin yang kurang menguntungkan, yaitu bias jantan (jantan : betina = 3 : 1). Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 21

Gambar 2.9. Diadegma semiclausum, parasitoid larva Plutella xylostella (Herlinda 2005)

a b

Gambar 2.10. Tetrastichus brontispae, parasitoid Brontispa longissima (a) (Widarto 2006) dan pupa Brontispa longissima yang terparasit (b) (Hosang 2005)

Di Indonesia terdapat banyak pulau, pulau-pulau tersebut memiliki perbedaan keanekeragaman fauna, parasit dan predator. Perbedaan sifat fauna ini yang berasal dari daerah geografis yang berbeda dapat menunjang keberhasilan dalam pemanfaatan parasitoid dan predator tersebut. Ras-ras beberapa predator dan parasitoid yang didapatkan dari pulau-pulau lain bisa dimanfaatkan di pulau-pulau lain yang memiliki kemiripan kondisi ekosistem. Pada pengendalian hayati, parasitoid dan predator kemungkinan akan terjadi resistensi parasitoid dan predator walaupun kemungkinannya sangat jarang. Di Indonesia dan juga di Canada ada sejenis tabuhan (Hymenoptera: Tenthredinidae) dari pegunungan tidak menjadi hama.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 22

Tenthredinidae rentan, namun kemudian menjadi tahan terhadap parasitoid sehingga timbul permasalahannya sebagai hama. Setelah perang dunia kedua (PD II), perkembangan pengendalian hayati meluas pada tanaman tebu dan kapas. Perkembangan penting dengan adanya penggunaan Trichogramma spp. untuk mengendalikan penggerek batang tebu atau pucuk tebu. Pengendalian hayati menggunakan Trichogramma tidak dengan cara inokulasi tetapi menggunakan inundasi, dilepas sangat besar diharapkan dapat menekan populasi hama dalam waktu singkat. Pada tebu di Jawa Timur juga ditemukan parasitoid, yaitu lalat Jatiroto (Hymenoptera: Tachinidae), Diatraeophaga striatalis. Parastoid ini dilepas secara inokulasi dengan dosis 15 pasang/ha untuk mengendalikan ulat penggerek batang tebu. Dalam inokulasi ini hama inangnya (residu) juga harus dilepas agar parasitoid tersebut dapat bertahan hidup dan menetap. Pelepasan inokulasi dilakukan secara priodik. Secara umum, pengendalian hayati sebelum PD II banyak upaya yang telah dilakukan, kemudian pengendalian hayati terpuruk karena adanya insektisida modern, yang waktu itu dianggap obat paling mujarab, namun kenyataannya tidak demikian. Setelah tahun 1960 pengendalian hayati kembali diperhatikan, karena komponen utama dalam pengendalian hayati adalah parasitoid, predator, dan entomopatogen yang tidak berdampak buruk terhadap organisme lain maupun lingkungan.

Latihan Soal 1. Pengendalian hayati modern telah mengalami perkembangan yang pesat dibandingkan pengendalian hayati masa pertengahan sejarahnya, jelaskan perkembangan tersebut! ...... 2. Mengapa introduksi D. fenestralis dari Belanda gagal mengendalikan ulat daun kubis, P. xylostella di Indonesia? ......

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 23

3. Jelaskan mengapa perbedaan keanekeragaman spesies parasitoid atau predator menyebabkan tingginya keberhasilan dalam pemanfaatannya! ...... 4. Saat PD II pengendalian hayati terpuruk, mengapa hal ini terjadi? ...... 5. Mengapa pelepasan Trichogramma dilakukan secara inundasi bukan secara inokulasi? ......

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

BAB III. DASAR EKOLOGI PENGENDALIAN HAYATI

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah: 1. mahasiswa mampu menguraikan tentang konsep populasi dan komunitas, 2. mahasiswa mampu menguraikan konsep pengendalian alami, ekosistem alami & agroekosistem.

A. Pendahuluan Pengendalian hayati merupakan bagian dari pengendalian yang alami karena memanfaatkan faktor pengendali yang sudah ada di alam. Faktor pengendali tersebut merupakan musuh alami dari organisme yang dikendalikan. Pada dasarnya semua organisme memiliki musuh alami yang berperan untuk mengendalikan atau mengatur perkembangan populasi organisme tersebut. Karena pengendalian hayati merupakan manifestasi dari hubungan alami pada jenis-jenis organisme hidup yang berbeda, misalnya parasitoid dan entomopatogen dengan inangnya dan predator dengan mangsanya, maka fenomena tersebut merupakan sesuatu hal yang dinamik. Hubungan antara musuh alami dan hama cenderung terganggu oleh faktor-faktor lain, mengubah lingkungan dan adaptasi, sifat-sifat, dan pembatasan dari organisme yang terlibat di dalam masing- masing kasus. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh musuh alami dan keseimbangan ekosistem. Untuk memahami kemampuan dan melaksanakan suatu program pengendalian hayati yang berkompeten, diperlukan suatu kesadaran mengenai dasar-dasar ekologi dari fenomena-fenomena tersebut. Hal-hal yang saling berhubungan yang harus dipahami, yaitu tentang pengendalian alami dan keseimbangan alam, serta faktor bertaut kerapatan dan bebas kerapatan.

B. Mekanisme Keseimbangan Alami Pengendalian hayati adalah manifestasi dalam asosiasi spesies yang berbeda yang saling tergantung di alam. Populasi setiap spesies 25 dapat berubah ukurannya akibat dipengaruhi oleh dua kekuatan di ekosistem alami, yaitu kemampuan biotik dan hambatan lingkungan abiotik. Migrasi dari individu-individu ke dalam (imigrasi) atau keluar (emigrasi) akan mempengaruhi ukuran populasi. Jadi populasi itu berubah-ubah atau dinamis. Selain populasi, aspek lain yang perlu dibicarakan ialah struktur umur populasi dan distribusi geografi. Populasi juga dipengaruhi oleh laju kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), potensi biotik, sifat genetik, dan perilaku. Populasi yang homogen, semua anggotanya umurnya atau fasenya sama; keadaan struktur umur inang penting diketahui dalam pengendalian hayati. Jika musuh alami itu hanya menyerang satu-dua fase inang, maka jika populasi inang itu homogen musuh alami akan mendapat kesulitan untuk bertahan hidup. Dalam kondisi meledak, populasi Artona (hama kelapa) berada dalam keadaan populasi yang homogen sehingga parasitoidnya sulit untuk bertahan hidup. Selain struktur umur populasi, distribusi geografi juga mempengaruhi ukuran populasi. Populasi-populasi cenderung menyebar pada berbagai daerah geografis apabila tidak ada penghalang geografis, seperti pegunungan, padang pasir, lautan atau ketiadaan sumberdaya ruang dan pakan. Populasi tidak hidup dalam kesendirian melainkan hidup dalam habitat dalam asosiasi dengan banyak populasi lain. Populasi merupakan Konsumen IV (parasitoid tersier) kumpulan organisme dari suatu spesies yang menempati ruang dan waktu yang sama. Kumpulan populasi-populasi lebih dari satu spesies membentuk komunitas. Dalam komunitas spesies-spesies itu saling berinteraksi, dan dapat terdapat hubungan tropik atau makan-memakan Konsumen III (parasitoid skunder) dalam interaksi itu. Maka dalam komunitas itu dapat ditemukan produsen (tumbuhan, dan tanaman), konsumen pertama (herbivora atau fitofag), konsumen kedua (karnivora, seperti parasitoid atau predator), konsumen ketiga (karnivora, seperti hiperparasitoid atau predator), Konsumen II (parasitoid primer) pengurai pemakan bangkai/bahan organik mati dan pelapuk. Dalam suatu komunitas itu dapat ditemukan hubungan tropik yang kompleks, terdiri dari satu rantai membentuk rantai makanan (Gambar 3.1) dan banyak (lebih dari satu) rantai yang saling berhubungan membentuk jala Konsumen I (fitofag) makanan (Gambar 3.2). Dengan demikian, predator atau parasitoid dari serangga hama posisinya terutama adalah sebagai konsumen kedua,

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan Produsen (tanaman) 26 meskipun dapat juga sebagai konsumen pertama sekaligus kalau untuk perkembangan dan bertahan hidup mereka memerlukan bahan dan energi dari produsen pertama (nektar, tepung sari).

Konsumen IV (parasitoid tersier)

Konsumen III (parasitoid skunder)

Konsumen II (parasitoid primer)

Konsumen I (fitofag)

Produsen (tanaman)

Gambar 3.1. Rantai makanan di ekosistem alfalfa (Van de Bosch 1985)

Dalam jala makanan, parasitoid atau predator mungkin mempunyai lebih dari satu inang atau mangsa. Dalam pengendalian hayati pengetahuan ini penting karena keberhasilan pengendalian hayati itu dapat ditentukan juga oleh ada atau tidaknya inang kedua (inang alternatif). Semakin kompleks jaring-jaring yang membentuk jala makanan, semakin tinggi peluang parasitoid atau predator untuk bertahan ini di suatu ekosistem.

C. Faktor Bertaut Kerapatan dan Bebas Kerapatan Pengendalian hayati merupakan bagian dari pengendalian alami. Pengendalian hayati merupakan aktivitas pengaturan populasi organisme

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 27 lain oleh musuh alaminya, sedangkan pengendalian alami merupakan aktivitas faktor abiotik dan biotik dalam mengatur populasi organisme. Faktor abiotik tersebut, antara lain suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan, angin, sedangkan faktor biotik adalah musuh alami dan kompetitor.

Gambar 3.2. Jaring makanan terdiri dari banyak rantai (Price 1984)

Faktor-faktor lingkungan yang mengukur populasi dapat digolongkan dalam faktor yang dikerjakannya bertaut dengan kerapatan populasi dan yang tidak bertaut (bebas) kerapatan populasi yang diatur. Faktor fisik lingkungan seperti cuaca dan komponennya pada umumnya adalah faktor bebas kerapatan, sedang musuh alami seperti predator, parasitoid, dan patogen umumnya adalah bertaut kerapatan (Gambar 3.3).

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 28

Faktor terpaut kerapatan terdiri atas faktor yang timbal balik dan tidak timbal balik. Faktor terpaut kerapatan yang timbal balik ini adalah musuh alami (parasitoid, predator, patogen), herbivora, dan crowding. Timbal balik merupakan hubungan antara populasi hama dan mortalitas yang diakibatkan oleh faktor bertaut kerapatan tersebut dapat berjalan dua arah. Bila kerapatan populasi hama meningkatkan, maka mortalitas yang diakibatkan oleh musuh alami akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila kerapatan populasi hama menurun, maka mortalitas yang diakibatkan oleh musuh alami semakin menurun (Gambar 3.4). Oleh karena itu, dalam proses terjadinya keseimbangan alam faktor- faktor bertaut kerapatan itu akan bekerja lebih kuat apabila kerapatan populasi hama meningkat dan sebaliknya mengendur apabila kerapatan populasi menurun. Namun, kecenderungan lain dapat terjadi adalah kerapatan populasi hama meningkatkan, tetapi mortalitas yang diakibatkan oleh musuh alami akan semakin menurun. Kasus seperti ini dapat terjadi pada predator yang cepat jenuh terhadap mangasanya. Faktor terpaut kerapatan (density dependent factor) yang tidak timbal balik adalah makanan, ruang, dan teritorial, yang terbatas yang saling berkompetisi dalam memperebutkannya. Proses ini, misalnya dapat terjadi apabila kerapatan populasi hama semakin tinggi, maka persaingan memperebutkan makanan semakin kuat sehingga mortalitas hama semakin tinggi. Namun, dengan meningkatnya kerapatan populasi hama tidak akan diikuti dengan meningkatnya jumlah makanan. Fenomena ini berbeda dengan proses hubungan antara hama dan musuh alami yang sifatnya timbal balik. Dengan demikian, makanan, ruang, dan teritorial merupakan faktor terpaut kerapatan yang tidak timbal balik. Pada faktor bebas kerapatan (density independent factor), penekanan faktor ini terhadap populasi hama tidak tergantung pada kerapatan populasi hama tersebut. Faktor bebas kerapatan terbagi atas faktor fisik dan biotik. Faktor bebas kerapatan yang bersifat fisik adalah suhu, kelembaban, angin, pH tanah, dan expousure, sedangkan yang bersifat biotik adalah kesesuaian inang, dan kualitas makanan.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 29

PENGENDALIAN ALAMIAH

Faktor bertaut kerapatan Faktor tidak bertaut

Faktor fisik Faktor biotik Tidak timbal balik Timbal balik

1. Suhu 2. Kelembaban - Kesesuaian Makanan - Agens hayati: 3. Angin inang tertentu Parasitoid 4. pH tanah - Kualitas Ruang Predator 5. Expousure makanan Teritorial Patogen  Herbivora  Sumber  Makanan  Crowding Gambar 3.3. Komponen utama pengendalian alamiah (van den Bosch et al. 1985)

Gambar 3.4. Hubungan antara populasi hama dan mortalitas akibat faktor bertaut kerapatan (Untung 1993)

Suhu umpamanya pada suhu 35o C dapat mengakibatkan kematian wereng kapas sebesar 50%. Mortalitas 50% ini juga terjadi pada kerapatan populasi wereng rendah maupun tinggi. Dengan demikian, hubungan antara kerapatan populasi wereng tersebut dan

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 30 mortalitas yang diakibatkan oleh suhu mendekati garis lurus (Gambar 3.5). Suatu populasi serangga bila berada pada posisi seimbang dalam waktu yang relatif lama, maka minimal ada satu faktor atau lebih yang bekerja bertaut kerapatan. Faktor tersebut mengatur populasi serangga agar selalu pada posisi seimbang dengan cara menekan populasi serangga bila meningkat dan mengendurkan penekanan bila populasi serangga tersebut menurun. Posisi populasi yang berfluktuasi di sekitar kerapatan populasi tertentu disebut posisi seimbang (equilibrium position).

Gambar 3.5. Hubungan antara populasi hama dan mortalitas akibat faktor bertaut bebas kerapatan (FBK) (Untung 1993)

D. Pengendalian Hayati Hama Indigenos Apabila sesuatu populasi serangga hama dapat terpelihara pada kelimpahan karakteristik oleh faktor-faktor pengendali alamiah, seperti musuh alami mempunyai kontribusi yang besar terhadap mortalitas total dari tiap generasi populasi tersebut. Oleh karena itu, apabila suatu spesies serangga dapat masuk ke dalam geografi baru karena sesuatu sebab, kerapkali populasinya meledak jika kondisi fisik tertentu dan sumberdaya makanan terpenuhi. Hal itu karena populasi tersebut terbebas dari pengaruh musuh alaminya yang biasanya menekan di tempat asalnya. Spesies pendatang itu disebut spesies eksotik Hama eksotik umumnya berhasil dikendalikan dengan pengendalian hayati klasik. Namun, tidak semua hama adalah eksotik, tetapi banyak juga yang indigenos (indigenous). Seharusnya pengendalian hayati hama indigenos ini lebih berhasil dengan Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 31 menggunakan musuh alami indigenos pula, kenyataannya tidak karena musuh alami tersebut lebih sering terpuruk dan bahkan punah akibat lingkungan dan teknik bercocok tanam yang kurang mendukung kehidupannya, seperti aplikasi insektisida, pertanaman monokultur, pembakaran lahan. Untuk itu, perlu memodifikasi lingkungan dan teknik bercocok tanam atau kegiatan lainnya sehingga dapat meningkatkan keefektifan musuh alami indigenos tersebut. Musuh alami serangga hama indigenos yang tidak atau kurang efektif ini dapat diatasi dengan cara introduksi atau mengambil musuh alami dari habitat lain, tetapi memiliki relung (niche) yang mirip atau sama. Relung ini merupakan kondisi atau faktor yang diperlukan untuk kehidupannya suatu spesies musuh alami. Contoh, ada sejenis hama pada tanaman kelapa di kepulauan Fiji (sebelum PD II merupakan negara jajahan Inggris), Leavuana viridescent (Lepidoptera: Zygaenidae), sedangkan di Asean ada hama kelapa yang satu famili dengan L. viridescent, yaitu Artona catoxantha dan ternyata relung keduanya sama, yaitu daun kelapa tua. Namun, L. viridescent tidak ada parasitoid. Entomolog Inggris telah meneliti dan menemukan relung Artona sama dengan L. viridescent. Selanjutnya, entomolog tersebut mencari dan menemukan parasitoid Artona di Malaysia, yaitu Bessa (Ptychomyia) remota (Diptera: Tachinidae). B. remota dibawa ke Fiji untuk mengendalikan L. viridescent dan akhirnya dapat menetap di sana. Parasitoid tersebut dapat dikembangbiakan dan dilepas di Fiji karena dilepas pada iklim tropis dan habitatnya yang mirip dan relungnya (serangga inangnya) berasal dari takson yang sama, yaitu Lepidoptera. Selain itu, untuk mengatasi kurang efektif musuh alami hama indigenos ini juga dapat diatasi dengan cara memodifikasi cara bercocok tanam yang merangsang perkembangan dan menetapnya musuh alami di lapangan. Misalnya, pemanenan bertahap (strip cropping) pada pertanaman alfalfa di Amerika Serikat. Hasil penelitian tingkat parsitisasi beberapa musuh alami terhadap kutudaun, Therioaphis maculata (Buck.) pada pertanaman alfafa di California memperlihatkan peningkatan parasitisasi yang signifikan (hampir empat kali lipat) dibandingkan dengan tingkat parasitisasi pada pemanenan serentak. Selain itu, penambahan naungan pada ladang tembakau meningkatkan jumlah ngengat predator yang membantu mengendalikan ulat tembakau

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 32 tersebut. Penanaman tanaman blackberry liar dekat ladang anggur menyediakan suatu inang pengganti bagi parasitoid telur penggulung daun anggur, Erythroneura elegantula. Terakhir, untuk mengatasi kurang efektif musuh alami hama indigenos ini juga dapat dilakukan pengendalian cara lain yang dipadukan dengan pengendalian hayati. Misalnya pengendalian A. catoxantha di Jawa Tengah. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan saat terjadi peledakan populasi A. catoxantha tetapi populasi parasitoidnya rendah. Sebaliknya bila populasi parasitoid tinggi, pengendalian kimiawi dihindari.

Latihan Soal 1. Jelaskan mengapa semakin kompleks jaring-jaring yang membentuk jala makanan, semakin tinggi keberhasilan dalam pengendalian hayati! ...... 2. Jelaskan perbedaan antara faktor bertaut kerapatan dan bebas kerapatan! ...... 3. Uraikan tiga pendekatan untuk mengatasi kurang efektifnya musuh alami hama indigenos......

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

BAB IV. BIOLOGI DAN TAKSONOMI PARASITOID

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah: 1. mahasiswa mampu menjelaskan batasan taksonomi 2. mahasiswa mampu mengidentifikasi parasitoid, 3. mahasiswa mampu menguraikan biologi parasitoid,

A. Pendahuluan Istilah entomophagy berasal dari Bahasa Yunani, yaitu entomon = serangga dan phagein = makan. Jadi, entomophagy merupakan istilah yang menunjukkan perilaku memakan serangga. Entomofaga itu sendiri berarti pemakan serangga yang terdiri dari parasitoid dan predator. Contoh entomofaga, antara lain parasitoid telur, parasitoid larva, laba- laba, kalajengking, tungau predator, ikan, katak, dan burung. Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga lain hanya selama masa pradewasanya saja (masa larva). Imagonya hidup bebas, bukan parasit, dan hidup dengan memakan nektar, embun madu, air, meskipun kadang-kadang juga mengisap cairan badan inang. Parasitoid hanya memarasit kelompok serangga atau artropoda. Ukuran parasitoid relatif besar dibandingkan ukuran inangnya, dan tidak pernah pindah inang selama perkembangannya. Sebagian besar parasitoid tergolong dalam ordo Hymenoptera, sub ordo Apocrita. Ordo Diptera juga hampir semua spesiesnya hidup sebagai parasitoid, misalnya Famili Tachinidae semua spesiesnya berperan sebagai parasitoid dan mempunyai peran penting dalam berbagai aktivitas pengendalian hayati.

B. Hubungan Parasitoid-Inang Klasifikasi parasitoid dapat dikategorikan menjadi beberapa subkategori tergantung cara menyerang dan tipe inangnya. Parasitoid berdasarkan posisi menyerangnya dapat dikelompokkan sebagai endoparasitoid (=parasitoid internal) dan ektoparasitoid (=parasitoid eksternal). Endoparasitoid ialah parasitoid yang berkembang di dalam tubuh inang. Ektoparasitoid ialah parasitoid yang memarasit atau 34 mengisap cairan inang dari posisi luar tubuh inang. Parasitoid soliter ialah parasitoid yang hanya satu individu parasitoid dapat berkembang pada satu individu inang. Sebaliknya bila lebih dari satu individu parasitoid dapat berkembang pada satu individu inang disebut sebagai parasitoid gregarius. Berdasarkan fase inang yang diserangnya, parasitoid dapat dibagi menjadi parasitoid telur, larva, telur-larva, telur-larva-pupa, larva-pupa, pupa, dan imago. Parasitoid telur ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase telur inang juga. Parasitoid larva atau nimfa ialah parasitoid yang menyerang fase larva atau nimfa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase larva atau nimfa inang tersebut. Parasitoid telur-larva ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase larva inang. Parasitoid telur-larva-pupa ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang. Parasitoid larva-pupa ialah parasitoid yang menyerang fase larva inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang. Parasitoid pupa ialah parasitoid yang menyerang fase pupa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang tersebut. Parasitoid imago (sangat jarang ditemukan) ialah parasitoid yang menyerang fase imago inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase imago inang tersebut. Parasitoid juga dapat diklasifikasikan berdasarkan hirarkinya dalam rantai makanan, yaitu parasitoid primer, hiperparasitoid, dan kombinasi parasitoid primer dan hiperparasitoid (fakultatif). Parasitoid primer (konsumen tingkat I) ialah parasitoid yang memarasit serangga fitofag. Hiperparasitoid ialah parasitoid yang memarasit parasitoid lainnya. Hiperparasitoid terdiri atas parasitoid skunder, tersier, kwartier, dan seterusnya. Parasitoid skunder (konsumen tingkat II) ialah parasitoid yang memarasit parasitoid primer. Parasitoid tersier (konsumen tingkat III) ialah parasitoid yang memarasit parasitoid skunder. Parasitoid kwartier (konsumen tingkat IV) ialah parasitoid yang memarasit parasitoid tersier. Parasitoid fakultatif ialah parasitoid yang dapat berperan sebagai parasitoid primer dan kadang-kadang sebagai hiperparasitoid.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 35

Parasitoid yang menyerang inang yang sama dapat dibedakan spesiesnya berdasarkan, antara lain perubahan bentuk atau warna inangnya. Parasitoid yang menyerang Myzus persicae dari keluarga Aphidiidae cenderung memperlihatkan warna inang yang terparasit (mumi) kuning metalik, sedangkan yang diserang parasitoid dari keluarga Aphenelidae berwarna hitam (Gambar 4.1) (Irsan et al. 2005).

a b c

Gambar 4.1. Perbedaan warna dan bentuk Myzus persicae sehat (a) dan diparasit oleh Aphidiidae (b), dan diparasit Aphenelidae (c) (Irsan et al. 2005)

Imago parasitoid dan hiperparasitoid dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan letak lubang keluar dari tubuh inangnya. Lubang keluar imago parasitoid dari mumi M. persicae berukuran besar, tepinya rata dan terletak di bagian dorsal abdomen. Lubang keluar imago hiperparasitoid dari mumi M. persicae ukurannya kecil, tepinya tidak rata dan posisi lubang keluar beragam (Gambar 4.2). Imago hiperparasitoid dapat muncul pada sisi dorsal, lateral dan ventral toraks maupun abdomen mumi. Letak lubang keluar imago parasitoid tersebut dapat dijadikan ciri dalam menentukan spesies parasitoid dan hiperparasitoid (Irsan et al. 2005). Berdasarkan kisaran spesies inangnya, parasitoid dapat dikategorikan sebagai parasitoid monofag, oligofag, dan polifag. Parasitoid monofag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang terbatas pada satu atau satu spesies inang. Parasitoid oligofag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang beberapa genus tetapi

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 36 masih dalam satu famili. Parasitoid polifag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang luas pada beberapa famili serangga inang.

a b

Gambar 4.2. Perbedaan lubang keluar imago parasitoid dan hiperparasitoid pada mumi Myzus persicae (a) lubang keluar imago parasitoid (perbesaran 10 kali), (b) lubang keluar imago hiperparasitoid (Irsan et al. 2005)

Parasitoid dapat dikelompokkan berdasarkan fase aktif tumbuh tidaknya inang, yaitu idiobiont dan koinobiont. Idiobiont ialah parasitoid yang menyerang inang yang dalam fase tidak tumbuh aktif, seperti telur dan pupa tetapi parasitoid ini juga dapat menyerang fase larva dengan cara terlebih dahulu melumpuhkannya. Parasitoid idiobiont misalnya adalah Trichogramma sp. Koinobiont ialah parasitoid yang menyerang inang yang aktif tumbuh, seperti larva, nimfa atau imago dan tidak melumpuhkan inang tersebut dengan kata lain inang diberi kesempatan tumbuh dan berkembang, lalu setelah mencapai fase berikutnya (pupa atau imago) baru inang mati, contohnya Aphelinus sp. yang memarasit M. persicae (Gambar 4.3). Umumnya koinobiont adalah endoparasitoid, sedangkan idiobiont adalah ektoparasitoid. Koinobiont cenderung endoparasitoid karena pradewasanya relatif lebih aman bila di dalam tubuh inang yang aktivitasnya mobil, sedangkan idiobiont cenderung sebagai ektoparasitoid karena inang pasif dengan resiko rendah untuk terlepas dari tubuh inang. Strategi kehidupan idiobiont dan koinobiont memiliki banyak perbedaan seperti yang terurai pada Tabel 4.1. Parasitoid merupakan serangga yang berperilaku mirip parasit

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 37 tetapi parasitoid berbeda dengan parasit (Tabel 4.2). Perbedaan antara parasitoid dengan parasit, yaitu pertama parasitoid mematikan inang, sedangkan parasit tidak. Inang parasitoid biasanya dari kelas takson yang sama, yaitu serangga atau artropoda lainnya, sedangkan parasit memiliki inang dari takson yang berbeda. Ukuran parasitoid cenderung lebih besar dari tubuh inangnya, sedangkan parasit cenderung berukuran lebih kecil dibandingkan inangnya. Parasitoid berperan sebagai parasit hanya pada fase larva saja, sedangkan fase imago hidup bebas tetapi parasit berperan sebagai parasit fase larva dan imago. Parasitoid tidak memerlukan inang perantara, sedangkan parasit memerlukannya. Sebagai parameter dinamika populasi, aksi parasitoid lebih mirip predator dibandingkan parasit, sedangkan parasit aksinya berbeda dengan predator.

Gambar 4.3. Aphelinus sp., parasitoid koinobiont yang sedang menusukkan ovipositornya pada nimfa Myzus persicae yang masih aktif bergerak (Irsan et al. 2005)

C. Biologi Parasitoid Sifat-sifat imago parasitoid penting dipelajari terutama perilaku imago betina karena mereka sebagai faktor pengendali. Betina yang mencari atau menemukan inang akan menentukan apakah inang akan diparasit atau tidak. Imago betina tidak saja melakukan pemilihan terhadap inang tapi juga mampu mencari inang terutama pada waktu populasi inang rendah. Doutt (1964) merinci beberapa atribut atau ciri- ciri parasitoid yang efektif, yaitu kapasitas mencari yang tinggi (high searching capacity), inang cukup spesifik (kekhususan inang) atau tertentu saja, kemampuan berkembang biak yang tinggi, kemampuan untuk menempati semua relung inang dan kemampuan bertahan hidup Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 38 yang baik, dan mudah dan ekonomis dibiakkan dilaboratorium. Di antara ciri-ciri parasitoid yang efektif di atas, ciri yang paling penting harus dimiliki parasitoid tersebut adalah mampu memilih dan menentukan inang spesifiknya dan memiliki kemampuan mencari tinggi pada saat populasi inang rendah. Kemampuan mencari tinggi ini dicirikan dengan kemampuan bergerak, mengenal inangnya, memiliki daya bertahan hidup, agresif dan persisten.

Tabel 4.1. Biologi dan strategi kehidupan idiobiont dan koinobiont Idiobiont Koinobiont Ektoparasitoid Endoparasitoid Posisi inang tersembunyi Posisi inang terekspos atau terlihat Generalis Spesialis Mampu permanen melumpuhkan inang Tidak melumpuhkan inang Perkembangan larvanya cepat Perkembangan larvanya lambat Telurnya besar Telurnya kecil Betina memiliki telur matang sedikit Betina memiliki telur matang banyak Synovigeny Pro-ovigeny Mengisap cairan inang (host feeding) Tidak mengisap cairan inang Melakukan penyerapan telur Tidak melakukan penyerapan telur Lama hidup imago panjang Lama hidup imago singkat Ukuran inang lebih besar dari tubuhnya Ukuran inang lebih kecil dari tubuhnya Dapat mengatur jenis kelamin anak Jenis kelamin anak tidak berdasarkan ukuran berdasarkan ukuran inang inang Umumnya diurnal Diurnal atau nocturnal Morfologi jantan dan betina umumnya Morfologi jantan dan betina umumnya tidak berbeda berbeda Sumber: Quicke (1997)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 39

Tabel 4.2. Ciri-ciri yang membedakan antara parasitoid dan parasit Ciri-ciri Parasitoid Parasit

Takson Serangga Bermacam-macam Invertebrata

Inang yang Serangga lainnya, tetapi beberapa Bermacam-macam kelompok, diserangnya menyerang arthropoda lainnya (telur termasuk laba-laba, kutu) Vertebrata.

Tingkat Inang tertentu (biasanya satu atau Biasanya inang tertentu, bisa spesifikasi beberapa spesies inang) memiliki inang alternatif di dalam siklus hidup

Ukuran relatif Kira-kira berukuran sama seperti Lebih besar dari parasit daripada inang parasitoid

Jumlah jenis Satu atau sedikit, tetapi kadang- Jumlahnya sangat besar inang kadang banyak

Jumlah inang Satu Satu, kecuali ada inang yang alternatif di dalam siklus dibutuhkan per hidupnya individu

Pengaruh Membunuh inang, biasanya setelah Biasanya tidak membunuh terhadap inang beberapa waktu inang, tetapi melemahkannya

1. Periode Prakopulasi Periode prakopulasi adalah waktu sejak imago parasitoid terbentuk atau keluar dari tubuh inang hingga berkopulasi. Bagi parasitoid tidak memiliki periode prakopulasi dicirikan begitu imago parasitoid terbentuk, maka parasitoid langsung berkopulasi. Parasitoid yang tidak memiliki periode prakopulasi ini dicirikan dengan kemunculan imago jantan terlebih dahulu. Imago jantan ini biasanya menunggu imago betina yang baru terbentuk, saat betina muncul kopulasi dapat segera terjadi. Parasitoid yang tidak memiliki periode prakopulasi ini, misalnya Trichogramma bactrae bactrae, parasitoid yang menyerang telur Etiella zinckenella. Ada beberapa serangga jantan yang memerlukan waktu beberapa hari untuk mematangkan spermatozoa, misalnya Opius sp. Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 40 parasitoid lalat buah Dacus sp. membutuhkan 5-6 hari (80 oF) untuk pematangan spermanya. Parasitoid tersebut artinya memiliki periode prakopulasi yang cukup lama. Bagi imago parasitoid betina, periode prakopulasi yang panjang ini dibutuhkan untuk memproduksi telur dan pematangan telur.

2. Periode Praoviposisi Periode praoviposisi adalah waktu sebelum serangga betina meletakkan telurnya. Masa praoviposisi bisa fakultatif atau obligat tetapi ada juga yang tidak memiliki masa pra-oviposisi. Masa praoviposisi ada kaitannya dengan proses fisiologis yang kompleks dan juga untuk keperluan makan atau nutrisi imago. Pada parasitoid Hymenoptera ada yang meletakkan telur dalam waktu yang singkat, setelah itu tidak meletakkan telurnya lagi. Dalam hal demikian telur-telur sudah matang saat serangga menjadi imago. Parasitoid yang memiliki masa praoviposisi sangat singkat tersebut diberi istilah proovigenic atau preovigenic. Parasitoid bersifat proovigenic ini dicirikan dengan telurnya diproduksi dari cadangan makan yang diperolehnya saat fase pradewasa (larva atau pupa) sehingga saat imago terbentuk pakan tambahan tidak diperlukan untuk produksi telur. Kelompok parasitoid lainnya meletakkan telur sepanjang hidupnya dan diberi istilah synovigenic. Produksi telur oleh parasitoid synovigenic ini memerlukan pakan tambahan yang harus didapatkan imago di ekosistem karena makanan cadangan yang didapatkan pada fase pradewasanya tidak mencukupi. Untuk memproduksi telur dan pematangan telur ini, parasitoid biasanya memerlukan pakan, seperti nektar, air, serbuk sari atau parasitoid melakukan pengisapan cairan tubuh inang. Parasitoid synovigenic memerlukan sumber protein untuk produksi telurnya. Protein ini bisa didapatkan dari nektar, serbuk sari, embun madu, dan air. Selain itu, protein bisa didapatkan parasitoid tersebut melalui penyerapan cairan tubuh inang. Pemenuhan kebutuhan pakan tambahan ini sangat menentukan keberhasilan parasitoid di lapangan. Misalnya, Tiphia spp. parasitoid lundi yang memerlukan pakan berupa embun madu atau nektar, populasinya cenderung lebih tinggi bila di habitat tersedia embun madu atau nektar yang cukup.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 41

3. Proses Penyerapan Telur Bagi parasitoid synovigenic yang tidak mendapatkan pakan atau inangnya langka, maka parasitoid ini tidak akan meletakkan telurnya melainkan melakukan penyerapan telur (ovisorption). Pola produksi telur parasitoid dapat terjadi secara siklik atau linear. Pola produksi telur siklik diawali dengan pembentukan telur (ovigenesis) – penyerapan telur - pembentukan telur. Pola siklik ini dapat dialami oleh parasitoid synovigenic, sedangkan parasitoid proovigenic memiliki pola reproduksi telur linear, yaitu pembentukan telur – pembuahan – peletakan telur. Penyerapan telur punya arti yang penting karena dengan penyerapan telur serangga melakukan efisiensi energi, bila tidak ada inang telur akan diserap kembali. Kemampuan penyerapan telur ini juga ada hubungan dengan daya mencari. Parasitoid yang mampu melakukan penyerapan telur merupakan parasitoid yang lebih tinggi kemampuan mencari inangnya.

4. Perilaku Seleksi Inang Salt (1973) menyatakan seleksi inang yang dilakukan oleh parasitoid terbagi tiga tahap, yaitu seleksi ekologi (ecological selection), seleksi fsikologis (psychological selection), dan seleksi fisiologis (physiological selection). Kogan (1984) mengemukakan bahwa tahap- tahap seleksi inang yang umum untuk serangga ialah penemuan habitat inang (host habitat finding), penemuan inang (host finding), penerimaan inang (host cceptance), dan kesesuaian inang (host suitability). Sebenarnya pendapat Salt tersebut tidak berbeda dengan pendapat Kogan karena penemuan habitat inang dan penemuan inang ekivalen dengan seleksi ekologi, sedangkan penemuan inang sama dengan seleksi fsikologis, dan kesesuaian inang adalah seleksi fisiologis. Penemuan Habitat Inang. Penemuan habitat inang merupakan tahap awal dalam parasitoid melakukan seleksi inang. Penemuan habitat inang ini biasanya dipandu oleh rangsangan jarak jauh yang dihasilkan oleh tumbuhan inang dari serangga inang dan oleh serangga inang itu sendiri. Misalnya, parasitoid hama tanaman jagung akan menemukan habitat serangga inangnya karena dipandu oleh senyawa volatil yang dihasilkan oleh jagung. Parasitoid Dacus cucurbitae, Opius fletcheri tertarik pada media tempat hidup larva Diptera tersebut walaupun tidak

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 42 ada lalat inangnya tersebut. Selain itu, penemuan habitat inang ini juga dipandu oleh rangsangan yang dihasilkan oleh serangga inang. Misalnya, Nasonia vitripennis hanya tertarik pada bangkai yang ada lalat yang merupakan serangga inangnya. Penemuan habitat inang ini sangat tergantung kondisi internal parasitoid karena proses penemuan inang ini umumnya dilakukan parasitoid betina bila memiliki telur yang telah matang di dalam ovarinya. Penemuan Inang. Apabila parasitoid telah menemukan habitat inang, tahap selanjutnya parasitoid menerima rangsangan dari serangga inang. Indera yang digunakan parasitoid yang mendeteksi adanya inang yang banyak di lapangan adalah indera peraba dan indera pembau. Reseptor kimiawi pada antena dan tarsus parasitoid menerima rangsangan bau yang dihasilkan oleh serangga inang. Ullyett (1953) pernah mengamati Pimpla bicolor parasitoid ulat pucuk pinus (Euproctis terminalia) di Afrika Selatan. Apabila kokon E. terminalia dibuka, maka tangan orang yang membuka kokon dan pupa dari kokon tersebut akan di kerumuni oleh betina-betina P. bicolor. Penemuan habitat dipengaruhi oleh bau atau oleh zat-zat kimia yang bisa menguap yang dihasilkan serangga inang. Selain itu, kemampuan parasitoid menemukan inangnya ada hubungannya dengan adaptasi perilaku dari serangga inang. Misalnya, N. vitripennis menemukan larva Diptera ada hubungannya dengan perilaku berkepompong dari inangnya. Di laboratorium N. vitripennis membuat suatu gradien kelembaban dan cenderung memilih bagian yang kering karena serangga inangnya juga memiliki lokasi tersebut. Dalam mencari inangnya, parasitoid dapat melakukannya secara acak atau sistematis. Dari pengamatan Herlinda et al. (2006) terhadap Hemiptarsenus varicornis (Gambar 4.4a,b) parasitoid larva pengorok daun (Liriomyza sativae) dalam mencari inangnya bersifat acak dan kurang dipengaruhi oleh keberadaan larva inang yang berada di mesofil daun. Sebelum menemukan inang, parasitoid ini berjalan menelusuri tanaman sehat terlebih dahulu, kemudian setelah 1-2 menit pindah ke tanaman yang telah terinfestasi larva L. sativae. Sebaliknya, Gronotoma micromorpha (Gambar 4.4c) dan Opius dissitus (Gambar 4.4d) dalam mencari inangnya sistematis dan lebih dipengaruhi oleh keberadaan larva inang (L. sativae). Keberadaan larva inang di dalam mesofil daun dapat

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 43 terdeteksi oleh G. micromorpha dan O. dissitus dikarenakan cairan yang dikeluarkan dari mulut L. sativae atau dapat juga akibat aroma daun inang yang dikorok oleh larva tadi.

a b c d

Gambar 4.4. Parasitoid Liriomyza sativae: Hemiptarsenus varicornis jantan (a) dan betina (b), Gronotoma micromorpha (c), Opius dissitus (d) (Herlinda et al. 2006)

G. micromorpha mencari dan menemukan inangnya (L. sativae) dengan menelusuri korokan lava terlebih dahulu, sambil berjalan antena disentuhkan ke permukaan daun. Setelah menemukan inang, kegiatan pengenalan inang lebih intensif sambil memutar tubuhnya. Setelah berada di atas permukaan inang, parasitoid menusukkan ovipositornya tepat di bagian tubuh larva dengan posisi tubuh hampir membentuk sudut 90o yang berlangsung 3-10 menit. Pencarian inang oleh O. dissitus dimulai dengan pengenalan inang dengan cara berjalan menelusuri korokan larva L. sativae. Sepanjang perjalanan antena dan alat mulut menyentuh permukaan daun, antena di angkat ke atas. Setelah inang ditemukan pemeriksaan dilakukan lebih intensif dengan menyentuhkan antenanya berkali-kali di atas tubuh inang. Kemudian, O. dissitus memutar arah tubuh dan menusukkan ovipositornya tepat di atas tubuh inang, posisi tubuh membentuk sudut 45o yang berlangsung 2-3 menit. Penerimaan Inang. Meskipun parasitoid sudah menemukan inang atau sudah terjadi kontak tapi masih ada kemungkinan inang tidak diparasit karena masih memerlukan rangsangan tersendiri. Jika inang tidak memproduksi rangsangan tersebut, telur tidak akan diletakkan. Rangsangan-rangsangan pemandu yang menyebabkan parasitoid menerima inangnya dapat berupa perilaku, ukuran, bentuk, bau inang, dan kondisi fisiologis serangga inang. Perilaku serangga inang merupakan rangsangan yang menentukan inang diterima atau tidak. Parasitoid yang biasa menyerang inang yang Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 44 mobil, tidak akan memarasit bila inangnya sesil. Misalnya, Exidechthis canescens parasitoid larva Anagasta küniella tidak mau meletakkan telur pada larva yang dibius tetapi saat larva tersebut digerak-gerakan maka segera parasitoid mendekat dan meletakkan telur. Selain perilaku inang, ukuran, bentuk, bau inang, dan kondisi fisiologis serangga inang juga menentukan apakah inang akan diterima atau ditolak. Trichogramma spp. mampu mengukur dan menentukan ukuran telur inang dengan menggunakan antenanya. Telur yang terlalu kecil atau terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya cenderung kurang dipilih sebagai inang bila dibandingkan ukuran telur yang seimbang dengan ukuran tubuh parasitoid (Herlinda et al. 1997). Trichogramma juga akan menolak telur inang yang sebenarnya sesuai tetapi karena telur tersebut telah disentuh dan ada bekas yang ditinggalkan parasitoid lain. Pengaruh sentuhan atau bekas yang ditinggalkan parasitoid lain ini menurut Flanders (1951) sebagi pengaruh lacak (spoor effect). Parasitoid Trichogramma juga mampu menentukan umur inangnya berdasarkan perubahan senyawa kimia inang. Inang yang terlalu tua umurnya cenderung ditolak oleh parasitoid telur. Parasitoid telur mampu membedakan inang yang telah atau belum diparasit dengan menggunakan ovipositornya. Pada ujung ovipositor terdapat indera kimia yang dapat mengetahui kondisi inangnya secara kimia. Jika inang telah diteluri dia bisa mendeteksi karena pada inang sudah terjadi perubahan kimia. Parasitoid-parasitoid yang mampu mendeteksi kondisi inang ini tentu saja tidak akan meletakkan telur pada telur yang diparasit oleh parasitoid lain sehingga super parasitisme tidak terjadi. Kesesuaian Inang. Parasitoid yang telah menyelesaikan tiga tahap sebelumnya belum tentu mampu menjadi imago bila terjadi reaksi perlawanan dari inang. Reaksi perlawanan inang ini akibat dari bekerjanya sistem kekebalan tubuh inang. Selain sistem imum tersebut, kesesuai nutrisi terkandung di dalam tubuh inang menentukan sesuai tidaknya inang. Umur inang yang terlalu tua memiliki kandungan nutrisi kurang sesuai untuk kehidupan parasitoid. Kandungan senyawa skunder yang tinggi pada inang juga cenderung tidak sesuai untuk kehidupan pradewasa parasitoid. Pristiphora erichsonii yang diparasit oleh parasitoid Ichneumonidae, yaitu Mesoleius tenthredinis awalnya parasitisasinya

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 45 tinggi tetapi semakin lama parasitisasi terus menurun. Ternyata setelah diteliti inangnya memperlihatkan adanya reaksi yang menghambat perkembangan embrio parasitoid. P. erichsonii bisa menghambat embrio parasitoid karena telur parasitoid dikelilingi dan diselimuti oleh sel-sel imun yang berfungsi menghambat invansi organisme asing yang masuk ke tubuh inang. Akibatnya telur parasitoid tidak mendapatkan makanan dan oksigen. Proses ini disebut pengkapsulan (encapsulation) yang nantinya berakhir dengan kematian embrio parasitoid. Saat ini telah banyak penemuan untuk mengatasi sistem imum inang ini. Beberapa spesies endoparasitoid mampu melindungi telurnya dengan membungkus telurnya menggunakan partikel virus. Dengan adanya selimut partikel virus ini menyebabkan telur parasitoid sulit dideteksi oleh sel-sel imun sehingga larva bisa mendapatkan makanan dan oksigen. Sejalan dengan perkembangan larva parasitoid, inang akan semakin lemah dan perlindungan terhadap larva parasitoid yang terus tumbuh ini menjadi tidak begitu penting lagi. Mekanisme lain untuk mengatasi sistem imum ini adalah endoparasitoid meletakkan telurnya di lokasi yang tidak ada sel-sel imun, seperti kelenjar ludah, saluran pencernaan, dan ganglion suboesophageal. Bagi ektoparasitoid sistem imum ini bukan kendala untuk menaklukan inangnya karena parasitoid ini menyerang dari luar tubuh inang sehingga sulit untuk dilawan. Nutrisi yang terkandung di dalam tubuh inang menentukan sesuai tidaknya inang. Parasitoid yang memarasit inang yang kandungan nutrsisinya tidak sesuai cenderung mengalami penurunan laju pertumbuhan dan keperidian, sedangkan mortalitas dan lama perkembangan meningkat. Landis (1937) mendapatkan inang yang mengandung nutrisi rendah cenderung lebih mampu mengkapsulasi inang. Kandungan senyawa skunder yang tinggi di dalam tubuh inang dapat menyebabkan kematian parasitoid. Gilmore (1938) pernah mengamati Apanteles (=Cotesia) congregatus parasitoid ulat Sphingidae (Protoparce sexta) yang menyerang varietas tembakau (dark-fired tobacco) terus mengalami penurunan parasitisasi. Setelah diamati kematian parasitoid tersebut disebabkan tingginya kandungan nikotin di dalam darah P. sexta yang darahnya merupakan pakan larva A. congregatus.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 46

Halaman tidak dapat ditampilkan

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

DAFTAR PUSTAKA

Aceu N, Buchori D. 2001. Ukuran imago dan ciri-ciri kebugaran Trichogrammatoidea cojuangcoi Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatidae) dari dua daerah geografis pada tiga jenis inang. Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga, Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Alba MC. 1990. Use of natural enemies to control sugarcane pests in the Philippines. Book Series 40:124-134. Alba MC. 1978. Biology of Trichogramma spp. and their effectiveness as biological control for the sugarcane stem borer, Tetramoera schistaceana Sn. University of The Philippines at Los Banos, Laguna, Philippines. Altieri M. 1999. The ecological role of in agroecosystems. Agriculture, Ecosystems and Environment 74:19-31. Altieri MA, van Schoonhoven A, Doll J. 1977. The ecological role of weeds in pest management systems: a review illustrated by bean (Phaseolus vulgaris) cropping systems. Pest Abstracts and News Summaries 23:195-205. Altieri MA, van Schoonhoven, Doll J. 1977. The ecological role of weeds in insect pest management systems: a reviewillustrated by bean (Phaseolus vulgaris) cropping systems. Pest Abstracts and New Summaries 23:195-205. Alves SB, Rossi LS, Lopes RB, Tamai MA, Pereira RM. 2002. Beauveria bassiana yeast phase on agar medium and its pathogenicity againts Diatraea saccharalis (Lepidoptera: Cerambidae) and Tetranychus urticae (Acari: Tetranychidae). J. Invert. Pathol. 81:70-77. Amir M. 2002. Kumbang lembing pemangsa coccinelldae (Coccinellinae) di Indonesia. Cetakan Pertama. Puslit Biologi- LIPI. Bogor. Appliedbio-Nomics. 2010. Cryptolaemus (Cryptolaemus montrouzieri) mealybugs destroyer, Australian lady beetle. Sheet 250- Cryptolaemus:1-2. Auckland Museum. 2008. acticities.Tamaki Paenga Hira. Auckland Museum. New Zealand. 176

Baehaki SE, Noviyanti. 1993. Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat, hlm. 113-124. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (eds.). Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993. Baggen LR, Gurr GM. 1998. The influence of food on Copidosoma koehleri (Hymenoptera: Encyrtidae), and the use of flowering plants as habitat management tool to enhance biological control of potato moth, Phtorimaea operculella (Lepidoptera: Gelechiidae). Bio. Contr. 11:9-17. Bagwell RD, Baldwin JL. 2009. Aphids on Cotton. LSU Ag Center Research & Extension. Barbosa P, Benrey B. 1998. The influence of plants on insect parasitoid: implications for conservation biological control. Di dalam: Barbosa P (ed.). Conservation Biological Control. San Diego: Academic Pr. Hlm 55-83. Begon M, Harper JL, Townsend CR. 1986. : Individuals, Populations and Communities. Blackwell Scientific Publications. London. 876 pp. Bergman JM, Tingey WM. 1979. Aspect of interaction between plant genotypes and biological control. ESA Bull. 25:275-279 Bidochka, M.J., A.M. Kamp & J.N.A. Decroos. 2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Fungal Pathol. 42:171-193. Blackman RL, Eastop FV. 2000. Aphids on the world's crops: an identification guide. 2nd eds. John Wiley & Sons., Chichester. 466 p. Boemare N. 2002. and systematics, p. 35-56. In Gaugler R (ed.). Entomopathogenic Nematology. New York. CABI. Borror DJ, Johnson NF. 2005. Introduction to study of insects. 7th Edition. Thomson Brooks/Cole. Australia, Canada, Singapura, Spain, United Kingdom, USA. Brewer MJ, Elliot NC. 2004. Biological control of cereal aphids in North America and mediating effects of host plant and habitat manipulations. Annu. Rev. Entomol 49:219-42. Brodeur J, Rosenheim JA. 2000. Intraguild interactions an aphids parasitoids. Entomol Exp. Appl. 97:93-108.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 177

Brodeur J. 2000. Host specificity and trophic relationships of hyperparasitoids. Di dalam: Hochberg ME, Iver AR, editor. Parasitoid Population Biology. Princeton Univ. Princeton. hlm. 163-183. Broome JR, Sikorowski PP, Norment BR. 1976. A mechanism of pathogenecity of Beauveria bassiana on larvae of the imported fire ant, Selonopsis richteri. J. Inverteb. Pathol. 28: 87-91. Brown, M.W., & S.S. Miller. 1998. Coccinellidae (Coleoptera) in apple orchards of eastern West Virginia and the impact of invasion by Harmonia axyridis. Entomological News 109: 143 – 151. Bryant PJ, Hemberger R. 2008. Coleoptera (Beetles). Department of Developmental and Cell Biology. University of California. Irvine. Buchori D, Pudjianto, Sari A. 1997. Pengaruh perbedaan inang pada bionomi Telenomus spodopterae Dodd. (Hymenoptera: Scelionidae): Dampak terhadap biologi dan kebugaran. Bul. HPT. 9:8-18. Buschman LL, Pitre HN, Hodges F. 1984. Soybean cultural practices: Effects on population pf geocorids, nabids, and other soybean . Environ. Entomol. 13:305-317. Byers JA. 2005. A cost of alarm pheromone production in cotton aphids, Aphis gossypii . Naturwissenschaften 92:69-72. Cadapa EP. 1986. Trichogramma parasitoid: Production and utilization in the Philippines. College, Laguna, Philippines. 24 pp. Carcamo HA, Spence JR. 1994. Crop type effects in the activity and distributin of ground beetles (Coleoptera: Carabidae) Environ. Entomol. 23(3):684-692. Cave RD, Duetting PS. 2010. Predatory Coleoptera on King Sago (Cycadaceae). Ft. Pierce, Florida. University of Florida, Indian River Research & Education Center. Cheung PYK, Grula EA. 1982. In vivo events associated with entomopathology of Beauveria bassiana for the corn earworm (Heliothis zea). J. Inverteb. Pathol. 39:303-313. Clausen CP. 1940. Entomophagous Insects. McGraw-Hill Book Co., Inc. Washington. 688 pp.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 178

CSIRO. 2004. Coccinella undecimpunctata Linnaeus. www.ento.csiro.au/ aicn/name_s/b_1075.htm. Diakses 18 November 2008. Daha L, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Manuwoto S. 1999. Ekologi Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) di pertanaman tomat. Bul. HPT 10:10-16. DeBach P, Rosen D. 1991. Biological Control by Natural Enemies. Cambridge University Press. Cambridge. 440p. DeBach P. 1964. Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and Hall, Ltd., London. 843 hal. Dixon AFG. 2000. Insect Predator-Prey Dynamics: Ladybird Beetles & Biological Control. Cambridge University Press. UK. Dent D. 1991. Insect Pest Management. CAB International. 604 pp. Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2000. Pengenalan dan Pengendalian OPT Padi. Jakarta. Doutt RL. 1964. Biological characteristics of entomophagous adult. In. DeBach (ed.). Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and Hall, Ltd., London. Evans H, Shapiro M. 1997. Viruses, p. 17-53. In Lacey L (ed.). Manual of Techniques in Insect Pathology. London. Academic Press Limited. Fellowes J, Jingshuo Z. 2002. Invasive Alien Species in China. In: LI Zhenyu, XIE Yan (eds.).Beijing: Forestry Press. In Chinese. Feng, M.G., T.J. Poprowski & G.G. Khachatourians. 1994. Production, formulation, and application of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana for insect control: current status. Biocontrol Science and Technology 4:30-34. Fergusson HJ, McPherson PM, Allen WA. 1984. Effects of four soybean cropping systems on the abundance of foliage-inhabiting insect predators. Environ. Entomol. 13:1105-1112. Flint ML, Dreistads SH. 1998. Natural Enemies Handbook: The Illustrated Guide to Biological Control. California. UC Division of Agriculture and Natural Resources and the UC Press. Frank WA, Slosser JE. 1996. An illustrated guide to the predaceous insects of the Northern Texas rolling plains. Texas Agricultural

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 179

Experiment Station. EdwardA. Hiler, Director. The Texas A&M University System. College Station, Texas. Frazer BD. 1988. Predator. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P (ed.) Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Amsterdam: Elsevier. hlm 217-230. French BW, Elliott NC, Berberet RC. 1998. Reverting conservation reserve program lands to wheat and livestock production: Effects on ground beetle (Coleoptera: Carabidae) assemblages. Environ.Entomol. 27(6):1323-1335. Fry GLA. 1994. The role of field margins in the landscape. BCPC Monograph 58:31-39. Geden CJ, Steinkraus DC. 2003. Evaluation of granular formulations of Beauveria bassiana for control of lesser mealworm and hide beetle in Georgia poultry houses. J. Econ. Entomol. 96:1602-1607. Godfray HCJ, Muller CB. 1998. Host-parasitoid dynamics. Di dalam: Dempster JP, McLean IFG (ed.) Insect Population In theory and in practice. Dordrecht: Kluwer Academic. hlm 135-165. Godfray HCJ. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. Princeton University Press, New Jersey. 473 hal. Goto HE. 1982. Taxonomy. The Institute of Biology. Studies in Biology No. 143. 60 h. Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The World: An Identification Guide to Families. Center for Land Biological Resources Research, Ottawa, Ontario. Res. Branch Agriculture Canada Publication 1894/E. 668 h. Grafius EJ. 1997. Know Your Friends: Diadegma insulare, Parasite of Diamondback Moth, Midwest Biological Control News Online. Vol.IV, No.1. Gray ME, Coats JR. 1983. Effects of an insecticide and a herbicide combination on nontarget arthropods in a cornfield. Environ. Entomol. 12(4):1171-1174. Gross P. 1993. Insect behavioral and morphological defences against parasitoids. Annu Rev Entomol 33:251-273. Hagen KS, van den Bosch R. 1968. Impact of pathogens, parasites, and predators on aphids. Annu Rev Entomol 13:325-394.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 180

Hajek AE, Leger RJS. 1994. Interaction between fungal pathogenic and insect host. Ann. Rev. Entomol. 39:293-322. Hallsworth JE, Magan N. 1999. Water and temperature relations of growth of the entomogenous fungi Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, and Paecilomyces farinosus. J. Invertbr. Pathol. 74:261-266. Hardie J, Pickett JA, Pow EM, Smiley DWM. 1999. Aphids. Di dalam: Hardie J, Minks AK, editor. Pheromones of Non-Lepidopteran Insects Associated with Agricultural Plants. Wallingford: CAB International. hlm. 227-250. Harris KF, Maramorosch K. 1977. Aphids as Virus Vectors. New York: Academic Press. Hasyim A. 2006. Evaluasi bahan carrier dalam pemanfaatan jamur entomopatogen, Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin untuk mengendalikan hama penggerek bonggol pisang, Cosmopolites sordidus Germar. J. Hort. 16:190-198. Hawkin BA, Cornell HV, Hochberg ME. 1997. Predators, parasitoids, and pathogens as mortality agents in phytophagous insect population. Ecol Soc Amer 78:2145-2152. Hendrix PF,. Parmelee RW, Crossley DA,. Coleman DC, Odum EP, Groffman PM. 1986. Detritus food webs in conventional and no- tillage agroecosystems. BioScience. 36(6):374-379. Herlinda S, Jaya A, Pujiastuti Y, Rauf A. 2006. Kapasitas reproduksi, lama hidup, dan perilaku pencarian inang tiga spesies parasitoid Liriomyza sativae. Hayati 13:156-160. Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Siswadi, Hidayat P. 2004. Artropoda musuh alami penghuni ekosistem persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat. J. Entomol. Ind. 1:9-15. Herlinda S, Rauf A. 1999. Analisis perbandingan komunitas musuh alami pada pertanaman kedelai dengan pertanaman padi dan lahan bera. Prosiding Temu Teknologi Hasil Penelitian Pendukung PHT, Cisarua 27-30 Juni 1999. Herlinda S, Sari EM, Pujiastuti Y, Suwandi, Nurnawati E, Riyanta A. 2005. Variasi virulensi strain-strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. terhadap larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae). Agritrop 24:52-57.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 181

Herlinda S, Amri U, Hamid B. 2004. Perbaikan kualitas pembiakan masal Trichogramma melalui penyinaran telur inang laboratorium, Corcyra cephalonica (Stainton) dengan menggunakan ultra violet. Majalah Sriwijaya 39:55-61. Herlinda S, Daha L, Rauf A. 1999. Biologi dan pemanfaatan parasitoid telur, Trichogramma chilonis (Hymenoptera: Trichogrammatidae) untuk pengendalian Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) pada pertanaman kedelai dan tomat. Prosiding Seminar Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama Ramah Lingkungan dan Ekonomis, PEI Bekerjasama dengan Program Nasional PHT, Bogor 16 Februari 1999 Herlinda S, Hamadiyah, Adam T, Thalib R. 2006. Toksisitas isolat- isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. terhadap nimfa Eurydema pulchrum (Westw.) (Hemiptera: Pentatomidae). Agria 2:34-37. Herlinda S, Irsan C. 2010. Eksplorasi, Identifikasi, dan Seleksi Parasitoid, Serangga Predator, dan Entomopatogen yang Potensial Sebagai Musuh Alami Vektor Virus Keriting Daun Cabai (Aphis gossypii) di Sumatera Selatan. Laporan Penelitian Riset Insentif KNRT. Lembaga Penelitian, Universitas Sriwijaya, Inderalaya. Herlinda S, Ismail, Pujiastuti Y. 2003. Seminar Nasional Hasil Riset Bidang Pertanian, BKS-PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu-ilmu Pertanian, Universitas Tanjungpura, Pontianak, 9-10 Juni 2003 Herlinda S, Kandowangko DS, Winasa IW, Rauf A. 2000. Fauna artropoda penghuni habitat pinggiran di ekosistem persawahan, h. 163-174. Dalam Sunaryo E (ed.). Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung, 16-18 Oktober 2000. Herlinda S, Mulyati SI, Suwandi. 2007. Pengembangan bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif jamur entomopatogenik untuk pengendalian hayati wereng dan kepik pengisap tanaman padi. Laporan Penelitian Insentif Riset Terapan, Kemenneg. Ristek. Lembaga Penelitian, Universitas Sriwijaya.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 182

Herlinda S, Mulyati SI, Suwandi. 2008. Pengembangan bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif jamur entomopatogenik untuk pengendalian hayati wereng dan kepik pengisap tanaman padi. Laporan Penelitian Insentif Riset Terapan, Kemenneg. Ristek. Lembaga Penelitian, Universitas Sriwijaya. Herlinda S, Rauf A, Kartosuwondo U, Budihardjo. 1997. Biologi dan potensi parasitoid telur, Trichogrammatoidea bactrae bactrae Nagaraja (Hymnoptera: Trichogrammatidae), untuk pengendalian hama penggerek polong kedelai. Bul. HPT. 9:19-25. Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Siswadi, Hidayat P. 2004. Artropoda musuh alami penghuni ekosistem persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat. J. Entomol. Ind. 1:9-15. Herlinda S, Rauf A. 2001. Karakteristik dan kemiripan komunitas musuh alami hama padi penghuni ekosistem persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Air, Lahan, Pangan, Palembang 20 -21 Juni 2001. Herlinda S, Sari EM, Pujiastuti Y, Suwandi, Nurnawati E, Riyanta A. 2005. Variasi virulensi strain-strain Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. terhadap larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Plutellidae). Agritrop 24:52-57. Herlinda S, Utama MD, Pujiastuti Y, Suwandi. 2006b. Kerapatan dan viabilitas spora Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. akibat subkultur dan pengayaan media, serta virulensinya terhadap larva Plutella xylostella (Linn.). J HPTT 6:70-78. Herlinda S. 1995. Kajian Trichogrammatoidea bactrae bactrae Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatidae), parasitoid telur Etiella zinckenella Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae). Program Pascasarjan, IPB. 60 h. (Thesis S2). Herlinda S. 2000. Analisis komunitas musuh alami penghuni lansekap persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. (Disertasi). Herlinda S. 2001. Struktur komunitas dan potensi laba-laba Lycosidae, predator wereng coklat pada ekosistem padi dataran tinggi. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Sumatera Selatan, Palembang, 12-13 November 2001.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 183

Herlinda S. 1999. Pemanfaatan agens hayati, Trichogramma chilonis dan Trichogrammatoidea bactrae bactrae yang ramah lingkungan untuk mengendalikan hama penting kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Universitas Sriwijaya, Inderalaya, 31 Maret 1999. Herlinda S. 2003. Jenis Artropoda Predator Penghuni Tajuk dan Permukaan Tanah di Ekosistem Tanaman Padi Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Ketahanan Pangan dalam Era Otonomi Daerah dan Globalisasi, Palembang 2-4 Maret 2003. Herlinda S. 2005. Parasitoid dan parasitisasi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) di Sumatera Selatan. Hayati 12:151-156. Herlinda S. 2007. Struktur komunitas dan potensi kumbang Carabidae dan laba-laba penghuni ekosistem sawah dataran tinggi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar dan Konferensi Nasional Konservasi Serangga 2007, Konservasi Serangga pada Bentang Alam Tropis: Peluang dan Tantangan, Bogor, 27-30 Januari 2007. Herlinda, S. 2004. Ekologi Ulat Daun Kubis, Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) pada Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). Seminar dan Lokakarya Nasional dalam Menyambut Hari Pendidikan Nasional, Kerjasama DRD Sumsel dengan Balitbangda Sumsel dan Universitas Sriwijaya, Palembang 28-29 April 2004. Hill D. 1995. Agricultural Entomology. Portland: Timber Press. Hoddle MS. 2011. A Critical Analysis of the Extinction of Levuana iridescens in Fiji by Bessa remota. http://www.biocontrol.ucr. edu/hoddle/Levuana.html. On Line. Diakses Tanggal 31 Januari 2011. USA. Department of Entomology, University of California. Hosang MLA. 2005. Pengendalian Hayati Brontispa longissima. Balai Penelitian Kelapa, Manado. House GJ, All JN. Carabid beetles in soybean agroecosystems. Environ. Entomol. 10(2):194-196. Huffaker CB, Messenger PS. 1964. The concept and significance of nstursl control. In. DeBach (ed.). Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and Hall, Ltd., London. Humber RA. 1998. Entomopathogenic Fungal Identification. In The APS/EPA Workshop, 8-12 November 1998, Las Vegas.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 184

Idris AB, Grafius E. 1995. Wildflowers as nectar sources for Diadegma insulare (Hymenoptera: Ichneumonidae), a parasitoid of diamondback moth (Lepidoptera: Yponomeutidae). Environ. Entomol. 24(6):1726-1735. Indrayani, IG.A.A. dan A.A.A. Gothama. 1991. Efisiensi pengendalian Helicoverpa armigera (Hubner) dengan nuclear polyhedrosis virus dan insektisida pada kapas. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri 17(2):37-42. Indrayani, IG.A.A., T. Adiastono, dan G. Mudjiono. 2003. Dosis sublethal SlNPV dan pengaruhnya terhadap transmisi vertikal pada larva Spodoptera litura F. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 9(2):55-62. IRRI (International Rice Research Institute). 2003. Masalah Lapang Hama, Penyakit, Hara pada Padi. IRRI. 71 hal. Irsan C, Hidayat P. 2003. Perilaku Diaeretiella sp. (Hymenoptera: Aphidiidae) dan Aphelinus sp. (Hymenoptera:Aphelinidae) dalam memarasit kutudaun Myzus persicae (Sulzer) (Homoptera: Aphididae). Makalah disampaikan pada Kongres VI Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Simposium, Entomologi 2003, Cipayung Bogor 5-7 Maret 2003. Irsan C, Sosromarsono S. 2000. Identifikasi Hymenoptera parasit pada kutudaun (Homoptera: Aphididae) pada tanaman budidaya di berbagai ketinggian tempat di sekitar Bogor. Di dalam: Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada sistem Produksi Pertanian, Cipayung, 16-18 Oktober 2000. him 149-154. Irsan C, Utomo Kartosuwondo, Syafrida Manuwoto, Soemartono Sosromarsono, Nina Maryana, Hermanu Triwidodo. 2005. Effect of host plants species on Myzus persicae (Homoptera: Aphididae) and the species diversity of its parasitoid and hyperparasitoid. Paper was presented at International Conference of Crops Security, Malang 20-22 September 2005. Irsan C. 2001a. Parasitisasi parasitoid sekunder pada parasitoid primer kutudaun (Homoptera: Aphididae). Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Pertanian Berkelanjutan, Bandar Lampung 26-27 Juni 2001.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 185

Irsan C. 2001b. Hiperparasitoid pada parasitoid kutudaun Aphis gossypii (Glover) (Aphididae: Homoptera) di Tanaman Spatodea sp. Di dalam: Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga, Sukamandi, 14-15 Maret 2001. hlm. 59-62. Irsan C. 2003. Predator, parasitoid dan hiperparasitoid yang berasosiasi dengan kutudaun (Homoptera: Aphididae) pada tanaman talas. Hayati 10:81-84. Irsan C. 2003. Predator, parasitoid dan hyperparasitoid yang berasosiasi dengan kutudaun (Homoptera: Aphididae) pada tanaman talas. Hayati 10:81-84. Irsan C. 2004a. Myzus persicae (Sulzer) (Homoptera: Aphididae) serta parasitoid dan hiperparasitoid pada tanaman brokoli, cabai dan kentang di Ciloto, Kecamatan Pacet, kabupaten Cianjur. (bagian dari disertasi dengan Judul Keanekaragaman tumbuhan inang, parasitoid dan Hiperparasitoid kutudaun Myzus persicae Sulzer (Homoptera: Aphididae) pada beberapa jenis tanaman berbeda). Irsan C. 2004b. Keanekaragaman musuh alami yang berasosiasi dengan kutudaun Myzus persicae Sulzer (Homoptera: Aphididae) pada spesies tanaman inang yang berbeda. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Hasil Penelitian Dasar 2003. Dilaksanakan di Jakarta 14-16 Juli 2004. Irsan C. 2008a. Studi keberadaan hiperparasitoid dalam mempengaruhi perilaku imago parasitoid pada kutudaun (Homoptera: aphididae). Jurnal Entomologi Indonesia No.10 Vol 2 hal 45-51. Irsan C. 2008b. Keanekaragaman spesies kutudaun dan musuh alaminya pada tanaman budidaya dan tumbuhan liar di Rawa Lebak Sumatera Selatan. Seminar Nasional V. Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Bogor 20-21 Maret 2008. Irsan, C, Hidayat P. 2003. Perilaku Diaeretiella sp. dan Aphelinus sp. (Hymenoptera: Aphelinidae) dalam memarasit kutu daun Myzus persicae (Sulzer) (Homoptera: Aphididae). Makalah Seminar Nasional pada Kongres VI Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Simposium Entomologi 2003, Cipayung, Bogor, 5-7 Maret 2003. Ives AR, Settle W. 1997. Matapopulation dynamics and pest control in agricultural systems. Am. Nat. 149:220-246.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 186

Jervis MA, Copland MJW. 1996. The life cycle. Di dalam Jervis M, Kidd N (Eds) Insect Natural Enemies, Practical Approaches to their Study and Evaluation. Chapman & Hall. Hal 63-160 Kalshoven LGE. 1950/1951. De Plagen van de Cultuurgeewassen in Indonesie. Dell I & II. Bandung: W. Van Hoeve – ‘S Gravenhage. Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Revised and Translated by van den Laan. PT Ichtiar Baru - van Hoeve. Jakarta. 701p. Kanga LBB, Jones WA, James RR. 2003. Field trials using fungal pathogen, Metarhizium anisopliae (Deuteromycetes: Hyphomycetes) to control the ectoparasitic mite, Varroe destructor (Acari: Varroidae) in honey bee, Apis mellifera (Hymenoptera: Apidae) colonies. J. Environ. Entomol. 96:1091-1099. Kapur A P. 1965. The coccinellidae (Coeloptera) of the Andaman. Rec. Ind. Mus. 32, B (3&4):1-189. Kartosuwondo U. 1993. Dasar-dasar Pemanfaatan Brassicaceae Liar untuk Konservasi Parasitoid Diagdegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) dalam Mendukung Pengendalian Hama Terpadu Plutella xyllostella Linn. (Lepidoptera: Yponomeutidae). Program Pascarajana, Institut Pertanian Bogor. 75 h. (Disertasi). Kartosuwondo U. 1994. Populasi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) dan parasitoid Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada kubis dan dua jenis Brassicaceae liar. Bul. HPT. 7(2):39-49. Knudsen GR, Johnson JB, Eschen DJ. 1990. Alginate pellet formulation of a Beauveria bassiana (Fungi: Hyphomycetes) isolate pathogenic to cereal aphids. J. Econ. Entomol. 83:2225- 2228. Koch, R.L., 2003. The multicolored Asian lady beetle, Harmonia axyridis: A review of its biology, uses in biological control, and non-target impacts. Journal of Insect Science 3: 32. Koppert. 1999. Koppert Product with Directions for Use. Netherland; Koppert Biological Systems.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 187

Kusmayadi A. 1999. Program nasional pengendalian hama terpadu. Prosiding Seminar Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama Ramah Lingkungan dan Ekonomis, PEI Bekerjasama dengan Program Nasional PHT, Bogor 16 Februari 1999 Latge JP, Papierok B. 1988. Aphid pathogens. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P (ed.) Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Amsterdam: Elsevier. hlm 323-336. Lo PL. 2000. Species and abundance of ladybirds (Coleoptera: Coccinellidae) on citrus orchards in Northland, New Zealand and a comparison of visual and manual methods of assessment. New Zealand Entomologist 23:61-65. Luck RF, Nunnev L. 1999. A Darwinian view of host selection and its practical implications. Di dalam: Hawkins BA, Cornell HV, editor. Theoretical Approaches to Biological Control. Cambridge: Cambridge Univ. him 283-303. Ma XM, Liu XX, Zhang XW, Zhao JZ, Cai XN, MaYM, Chen DM. 2006. Assessment of cotton aphids, Aphis gossypii and their natural enemies on aphid-resistant and aphid-susceptible wheat varieties in a wheat–cotton relay intercropping system. Entomologia Experimentalis et Applicata 121:235-241. Mahr DL, Ridgway NM. 1993. Biological Control of Insects and Mites: An Introduction to beneficial natural enemies and their use in pest management. Univ. Wisconsin, Madison. 19 hal. Mahr S. 2003. Know your friends. The entomopathogen Beauveria bassiana (http;// www. Entomology. Wisc.edu/mben/kyf41 10html. Diakses 21 Januari 2003. Mangoendihardjo S. 1990. Pengendalian hama terpadu sebagai dasar konsep pengelolaan jasad pengganggu terpadu. Kongres Himpunan Perlindungan Tanaman Indonesia. Jakarta. 11 h. Mangoendihardjo S. 2001. Peluang dan tantangan dalam produksi masal serta pemasaran agens pengendalian hayati serangga hama. Prosiding Simposium Pengendalian Hayati Serangga, Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Manuwoto S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Prosiding Seminar Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama Ramah Lingkungan dan

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 188

Mayr E, Ashlock PD. 1991. Principles of Systematic Zoology. McGraw-Hill, Inc. New York. 475 hal. Media Indonesia. 2006. 8.061 Ha Sawah Diserang Wereng. Sabtu, 10 Juni 2006. Meilin A, Hidayat P, Buchori D, Kartosuwondo U. 1999. Trichogrammatidae pada hama kubis-kubisan. Makalah Seminar pada Program Pascasarjana, IPB, 17 Juni 1999, Bogor. 13 hal. Memmott J, Godfray HCJ. 1997. Parasitoid webs di dalam: LaSalle & Gauld (Eds.), Hymenoptera and Biodiversity. CAB International, Wallingford U.K. hlm 217-234. Miles PW. 1989. Specific responses and damage caused by Aphidoidea. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P (ed.) Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Amsterdam: Elsevier. hlm 23-47. Mills N. 1997. Techniques to evaluate the efficacy of natural enemies, p. 271-292. In. Dent DR, Walton MP (eds.). Methods in Ecological and Agricultural Entomology. Washington DC. CAB International Mizell, R.F., 2007. Impact of Harmonia axyridis (Coleoptera: Coccinellidae) on native predators in pecan and crape myrtle. The Florida Entomologist 90:524-536. Mo TT. 1953. Memberantas Hama-hama Kelapa dan Kopra. Jakarta: Noordhof – Kolff. Moore D, Higgins PM. 1997. Viability of stored conidia of Metarhizium flavoviride Gams and Rozsypal, produced under differing culture regimes and stored with clays. Biocontrol Science and Technology 7:335-343. Murad AM, Laumann RA, Lima TA, Sarmento RCB, Noronha EF, Rocha TL, Valadares-Inglis MC, Franco OL. 2006. Screening of entomopathogenic Metarhizium anisopliae isolates and proteomic analysis of secretion synthesized in response to cowpea weevil (Callosobruchus maculatus) exoskeleton, p. 365-370. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology & Pharmacology, Volume 142, Issues 3-4, March-April 2006.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 189

Murthi BK, Rao DS. 1945. Alternative media for large scale rearing of the rice moth Corcyra cephalonica Staint. in the work of mass production of the egg parasite Trichogramma minutum R. Current Sci. 14:252-243. Navarrete-Heredia JL. 2003. A new species of Philonthus (Coleoptera: Staphylinidae) from Sonora, México. Zootaxa 390: 1–7. Nurindah. 2000. Teknik perbanyakan masal parasitoid Trichogrammatidae. Makalah pada Workshop on Development and Utilization of Parasitoids (Exploration, Identification, Mass Production and Field Release), Bogor, Indonesia, February 21-25, 2000. Obrycki JJ, Kring Tj. 1998. Predaceous Coccinelidae in biological control. Annu Rev Entomol 43:295-321. Orr DB, Suh CPC. 2000. Parasitoids and predators. Di dalam: Rechcigl JE, Rechcigl NA, editor. Biological and Biotechnological Control of Insect Pests. Boca Raton: Luwis. him 1-34 Panda N, Khush GS. 1995. Host Plant Resistance to Insects. Manila: CAB International. International Rice Research Institute. Pike KS, Star' P, Miller T, Allison D, Graf G, Bodyston L, Miller R, Gillespie R. 1999. Host range and habitat of the aphid parasitoid Diaeretiella rapae (Hymenoptera: Aphidiidae) in Washington State. Environ Entomol 28(1):61-71. Polis, G.A., & R.D. Holt. 1992. Intraguild predation: the dynamics of complex trophic interations. Trends in Ecology and Evolution 7: 151 – 154. Powell W. 1986. Enhancing parasitoid activity in crops, pp. 319-335. In. J. Waage & D. Greathead (eds.). Insects Parasitoids. Academic Press, Orlando, Florida. Prayogo Y, Tengkano W, Marwoto. 2005. Prospek cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. J. Litbang. Pertanian 24:19-26. Prayogo Y, Tengkano W. 2002. Pengaruh umur larva Spodoptera litura terhadap efektivitas Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak. Biosfera 19:70-76. Price PW. 1984. Insect Ecology. John Wiley & Sons. New York. 607p.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 190

Pustaka Tani. 2006. Pertumbuhan Produksi Padi Lebih Rendah daripada Pertumbuhan Penduduk. Minggu 7 Mei 2006. Quicke DLJ. 1997. Parasitic Waps. London: Chapman & Hall. Rauf A. 1994. Pemanfaatan predator dan parasitoid dalam pengendalian hama terpadu. Pertemuan Pemanfaatan Agensia Hayati dan Pestisida Nabati sebagai Sarana Pengendalian OPT, Pasaruan, 22- 24 November 1994. 13 hal. Rauf, A. & B.M. Shepard. 1999. Leafminers in vegetables in Indonesia: Survey of host crops, species compositon, parasitoids and control practices. Paper presented in Workshop on leafminers of vegetables in Southeast Asia, 2-5 February 1999. Malaysia, CAB Int. 35 hal. Revankar SG, Sutton DA, Sanche SE, Rao J, Zervos M, Dashti F, Rinaldi MG. 1999. Metarhium anasopliae as a cause of sinusitis in immunocompetent hosts. J. Clin. Microbiol. 37:195-198. Rodenhouse NL, Barrett GW, Zimmerman DM, Kemp JC. 1992. Effects of uncultivated corridors on arthropod abundances and crop yields in soybean agroecosystems. Agric. Ecosyst. Environ. 38:179-191. Romoser WS, Stoffolano JG. 1998. The science of entomology. 4th Edition. McGraw-Hill Companies, Inc. Singapura. Rosenheim JA. 1998. Higher-order predators and the regulation of insect herbivore populations. Annu Rev Entomol 43:421-447. Sahari, B., D. Buchori & E. S. Ratna. 2003. Perilaku oviposisi, parasitisasi, superparasitisasi, dan enkapsulasi parasitoid Eriborus agenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada inang Crocidolomia pavonana dan Spodoptera litura. Makalah Seminar Nasional pada Kongres VI Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Simposium Entomologi 2003, Cipayung, Bogor, 5-7 Maret 2003. Samways MJ. 1995. Insect Conservation Biology. Chapman & Hall. London. 358p. Santiago, D.R., A.G. Castillo, R.S. Arapan, M..V. Navasero & J.E. Eusebio. 2001. Efficacy of Metarhium anasopliae (Metsch.) Sor. againts the oriental migratoria locust, Locusta migratoria manilensis Meyen. The Philippine Agric. Scientist 84:26-34.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 191

Sastrosisiwojo S. 1994. Potential use of Diadegma semiclausum for controlling diamondback moth on cabbage. International Training Course on Biological Control, Bogor Agricultural University in Cooperation with Clemson University and USAID. 11 p. Sastrosiswojo S. 1987. Perpaduan pengendalian secara hayati dan kimiawi hama ulat daun kubis (Plutella xylostella L.: Lepidoptera: Yponomeutidae) pada tanaman kubis. Universitas Padjajaran. (Disertasi). Schnepf E, Crickmore N, van Rie J, Lereclus D, Baum J, Feitelson J, Zeigler DR, Dean DH. 1998. Bacillus thuringiensis and its pesticidal crystal proteins. Microbiol Mol Biol Rev. 62:775-806. Shelton MD, Edwards CR. 1983. Effects of weeds on the diversity and abundance of insects in soybeans. Environ. Entomol. 12:196-298. Shepard BM, Barrion AT, Litsinger JA. 1991. Friends of the Rice Farmer: Helpful Insects, Spiders, and Pathogens. International Rice Research Institute. Philippines. 136p. Simmonds FJ, Franz JM, Sailer RI. 1989. Sejarah pengendalian biologis. Dalam Huffaker CB, Messenger PS (eds). Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Smith JW, Wiedenmann RN, Gilstrap FE. 1997. Challenges and opportunities for biological control in ephemeral crop habitat: An overview. Biol. Contr. 10:2-3. Soetopo D. 2004. Efficacy of selected Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. isolates in combination with a resistant cotton variety (PSB- Ct 9) againts the cotton bollworm, Helicoverpa armigera (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae). [Disertasi]. Philippines: University of The Philippines Los Banos. Sosromarsono A, Rauf A. 1989. Laporan konsultasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia, Pasuruan. 29 hal. Sosromarsono S. 1994. Pokok-pokok pengendalian hayati. International Seminar/Training Course on Biocontrol, Bogor Agricultural University in cooperation with Clemson University and USAID. 12 hal.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 192

Sosromarsono S. 2002. Pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman. Makalah disampaikan pada Seminar Perkembangan Terkini Pengendalian Hayati Bidang Pertanian dan Kesehatan. Bogor, 5 September 2002. 31 hlm. Stary P. 1988. Aphidiidae and Aphelinidae Di dalam: Minks AK, Harrewijn P (Eds.), Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Vol 2B. Elsevier: Amsterdam. hlm. 171-188 Stinner BR, House GJ. Arthropods and other invertebrates in conservation-tillage agriculture. Ann. Rev. Entomol. 35:299-318. Strong RC, Partidor GS, Warner DN. 1968. Rearing stored product insects for laboratory studies: Six species of moth. J. Econ. Ent. 61:1237-1246. Sullivan DJ, Volkl W. 1999. Hyperparasitism: multitropic, ecology and behavior. Annu. Rev. Entomol. 44: 291-315. Sullivan DJ. 1988. Hyperparasitoid. Di dalam: Minks AK, Harrewijn P. (Eds.), Aphids: Their Biology, Natural Enemies and Control. Vol 2B. Elsevier: Amsterdam. hlm. 189-203 Suryana T, Widiarta IN, Kasdiaman D. 1999. Konservasi musuh alami hama padi setelah panen musim kemarau (bera) untuk meningkatkan fungsinya pada musim tanam padi berikutnya. Prosiding Seminar Temu Teknologi Hasil Penelitian Pendukung PHT, Cisarua 27-30 Juni 1999. 15h. Suwandi. 2004. Effectiveness of shrimps shell compost extract for suppression of leaf diseases on cowpea, chili pepper and cabbage. Pest Tropical Journal 1:18-25. Sweetman HL. 1963. The Principles of Biological Control: Interrelation of Host and Pests and Utilization in Regulation of Animal and Plant Populations. WM. C. Brown Co. Iowa. 560 pp. Takasu K, Lewis WJ. 1995. Importance of adult food sources to host searching of the larval parasitoid, Microplitis croceips. Biol. Contr. 5:25-30. Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. New York: Academic Press. Tandiabang J, Koesnang, Muis A. 2001. Fluktuasi populasi wereng hijau (Nephotettix virescens) dan intensitas penyakit tungro di Lanrang, Sidrap, Sulawesi Selatan. J. Fitopat. Ind. 5:24-29.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 193

Thalib R, Adam T, Suwandi, Pujiastuti Y, Herlinda S. 2005. Fitness of Beauveria bassiana isolates from Sumatera and Java on Plutella xylostella larvae. In: Crop Security for Food Safety and Human Health. Proceedings of The First International Seminar and Conference of Security, Brawijaya University, Malang, Indonesia, September 20th – 22nd, 2005. Thalib R, Effendi TA, Herlinda S. 2002. Struktur komunitas dan potensi musuh alami hama padi penghuni ekosistem sawah dataran tinggi di daerah Lahat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka Dies Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya dan Peringatan Hari Pangan Sedunia, Palembang 7-8 Oktober 2002. Thalib R, Effendi TA, Herlinda S. 2002. Struktur Komunitas Dan Potensi Artropoda Predator Hama Padi Penghuni Ekosistem Sawah Dataran Tinggi Di Daerah Lahat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Agribisnis – Agroindustri, Oktober 2002. The California Academy of Sciences. 2008. Species: Oecophylla smaragdina. www.antweb.org. Diakses 18 November 2008. Thomas MB, Read AF. 2007. Can fungal biopesticides control malaria. Nature Reviews Microbiology 5:377-383. Trisawa IM. 2007. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keefektifan Bioinsektisida Nematoda, Virus, Cendawan dan Bakteri Entomopatogen. Warta penelitian dan pengembangan tanaman industry. 13(1)24-27 Universidad de Costa Rica. 2007. Control biológico de la broca del café. Fecha De Publicación. Calificación. Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 273h. USDA Forest Service . 2005. Emerald Ash Borer - Natural Enemies. North Central Research Station Van Alphen JIM, Jervis MA. 1997. Foraging behaviour. Di dalam: Jervis M, Kidd N, editor. Insect Natural Enemies Practical Approaches fo Their Study and Evaluation. London: Chapman & Hall. him 1-62. Van den Assem J. 1996. Mating bahavior. Di dalam: Jervis M, Kidd N, editor. Insect Natural Enemies Practical Approaches fo Their Study and Evaluation. London: Chapman & Hall. Him 163-221.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 194 van den Bosch R, Messenger PS, Gitierrez AP. 1985. An Introduction to Biological Control. Plenum Press. New York and London. van Driesche RG, Bellows TS. 1996. Biological Control. Chapman and Hall Ltd. London. 539 pp. Van Emden HF, Eastop VF, Hughes RD, Way MJ. 1968. The ecology of Myzus persicae. Annu Rev Entomol 13:197-269. van Emden HF. 1991. Plant diversity and natural enemy efficiency in agroecosystems, p.63-80. In M. Mackauer, L. E. Ehler & J. Roland (eds.). Critical Issues in Biological Control. Athenaeum Press Ltd. Great Britain. Viaggiani G. 1984. Bionomics of the Aphelinidae. Annu Rev Entomol 29:257-276. Waage X. 1991. Biodiversity as a resource for biological control. Di dalam: Haksworth DL, editor. The Biodiversity of Microorganisms and Vertebrates: Its role in sustainable Agriculture. him 149-163. Wagiman FX. 2006. Pengendalian Hayati Hama Kutu Perisai Kelapa dengan Predator Chilocorus politus. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 217 h. Wagiman FX. 2006. Pengendalian Hayati Hama Kutu Perisai Kelapa dengan Predator Chilocorus politus. Gadjah Mada University Press. 220 h Wahyudi P. 2002. Uji patogenitas kapang entomopatogen Beauveria bassiana Vuill. terhadap ulat grayak (Spodoptera litura). Biosfera. 19:1-5. Walter G. 2000. Diversity and life histories of parasitoids. In Workshop on Development and Utilization of Parasitoids (Exploration, Identification, Mass Production and Field Spreading), Bogor Agricultural University, Bogor, February 21-25, 2000. Wati C. 2010. Aspek Bioekologi Lipaphis erysimi (Kalt.) (Hemiptera: Aphididae) padaTumbuhan Famili Brassicaceae. Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Indralaya [Tesis]. Watson L, Dallwitz MJ. 2003 onwards. British insects: the families of Coleoptera. Version: 18th September 2008. http://delta-intkey.com. Diakses 18 November 2008.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 195

Widarto HT. 2006. Parasitoid Tetrastichus brontispae, musuh alami hama perusak pucuk kelapa, Brontispa longissima. http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/docrep/007/ ad522e/ad522e04.htm. Diakses 18 November 2008. Widiarta IN, Kusdiaman D, Siwi SS, Hasanuddin A. 2004. Variasi efikasi penularan tungro oleh koloni-koloni wereng hijau Nephotettix virescens Distant. J. Entomol. Ind. 1:50-56. Wijffels G, Eisemann C, Riding G, Pearson R, Jones A, Willadsen P, Tellam R. 2001. The J. Biol. Chem. Vol. 276, No.18, Issue of May 4, pp. 15527-15536. Wraight SP, Carruthers RI, Bradley CA, Jaronski ST, Lacey LA, Wood P, Wraight SG. 1998. Pathogenicity of the entomopathogenic fungi Paecilomyces spp. and Beauveria bassiana againts the silverleaf whitefly, Bemisia argentifolii. J. Invertebr. Pathol. 71:217-226. Wraight SP, Ramos ME. 2002. Application parameter affecting field efficacy of Beauveria bassiana foliar treatments againts Colorado potato beetle, Leptnotarsa decemlineata. Biol. Control 23:164-178. Zulyusri. 2000. Pathogenitas beberapa isolat Beauveria bassiana Vuill. dalam menekan hama kubis, Plutella xylostella L. Eksakta. 1:94-99.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

GLOSARIUM

Arrhenotoky atau haplodiploidy ialah tipe reproduksi yang induknya dapat menghasilkan keturunan jantan bila tellur tidak dibuahi tetapi bila telur dibuahi akan berkembang menjadi keturunan betina. Augmentasi ialah penambahan jumlah musuh alami melalui pelepasan dengan tujuan untuk meningkatkan perannya dalam menekan populasi hama Bioinsektisida ialah kemampuan musuh alami yang diinundasikan untuk mengendalikan hama secara cepat seperti kerja insektisida. Deuterotoky atau amphitoky ialah tipe reproduksi partenogenesis obligat kadang-kadang pada kondisi tertentu mampu menghasilkan keturunan jantan tetapi jantan tersebut tidak fungsional atau tidak berguna. Ekosistem ialah interaksi antara komunitas dan lingkungan abiotiknya. Eksplorasi ialah kegiatan mencari, menemukan, mengoleksi, dan mengemas musuh alami yang dilakukan di lokasi penyebaran musuh alami tersebut. Ektoparasitoid ialah parasitoid yang memarasit atau mengisap cairan inang dari posisi luar tubuh inang. Endoparasitoid ialah parasitoid yang berkembang di dalam tubuh inang. Entomofaga ialah serangga yang memangsa (predator) atau memarasit serangga lainnya (parasitoid). Entomopatogen ialah patogen yang dapat menginfeksi dan menyebabkan sakit pada serangga. Factitious host ialah serangga inang yang diserang di laboratorium, sedangkan di lapangan tidak diserang karenan habitatnya terpisah dari musuh alami. Faktor bebas kerapatan ialah faktor yang penekanannya terhadap populasi hama tidak tergantung pada kerapatan populasi hama tersebut.

197

Faktor terpaut kerapatan ialah hubungan antara populasi hama dan mortalitas yang diakibatkan oleh faktor tersebut dapat berjalan dua arah, bila kerapatan populasi hama meningkatkan, maka mortalitas yang diakibatkan oleh musuh alami akan semakin meningkat, begitu juga sebaliknya. Faktor terpaut kerapatan yang tidak timbal balik ialah peningkatan kerapatan populasi hama tidak akan diikuti dengan meningkatnya jumlah makanan. Habitat efemeral ialah tempat hidup yang terbentuk secara rutin setiap dua bulan atau lebih akibat praktek budidaya intrinsik dan faktor ekstrinsik. Hama eksotik ialah hama yang berasal dari daerah atau negeri lain. Hama indigenos ialah hama yang berasal dari daerah asli atau asalnya. Heteronomy ialah hubungan parasitoid jantan dengan inangnya yang berbeda dengan pola hubungan inang saudara betinanya. Hiperparasitoid ialah parasitoid yang memarasit parasitoid lainnya. Idiobiont ialah parasitoid yang menyerang inang yang dalam fase tidak tumbuh aktif, seperti telur dan pupa tetapi parasitoid ini juga dapat menyerang fase larva dengan cara terlebih dahulu melumpuhkannya. Inokulasi ialah pelepasan sejumlah kecil musuh alami pada saat populasi hama masih rendah, biasanya pada awal musim tanam. Introduksi ialah mengimpor atau memasukkan musuh alami dari negeri lain, lalu melepas musuh alami tersebut ke dalam lingkungan baru. Inundasi ialah pelepasan musuh alami dalam jumlah besar dengan tujuan musuh alami tersebut langsung dapat menurunkan populasi hama dengan segera sampai tingkat yang tidak merugikan. Kleptoparasitisme ialah aktivitas pencurian inang yang dimiliki parasitoid spesies lain oleh satu jenis parasitoid pencuri. Koinobiont ialah parasitoid yang menyerang inang yang aktif tumbuh, seperti larva, nimfa atau imago dan tidak melumpuhkan inang tersebut dengan kata lain inang diberi kesempatan tumbuh dan berkembang, lalu setelah mencapai fase berikutnya (pupa atau imago) baru inang mati.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 198

Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Konservasi ialah upaya peningkatan keefektifan musuh alami melalui perbaikan teknik bercocok tanam yang mampu menyediakan sumberdaya ruang dan makanan bagi musuh alami. Lahan pinggir ialah areal tanah di sekitar atau dekat pertanaman dan tidak digunakan untuk bercocok tanam. Parasitoid primer ialah parasitoid yang memarasit serangga fitofag. Parasitoid oligofag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang beberapa genus tetapi masih dalam satu famili. Parasitoid polifag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang luas pada beberapa famili serangga inang. Parasitoid gregarius ialah parasitoid yang dapat hidup berkembang beberapa individu pada satu individu inang. Parasitoid ialah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga atau artropoda lainnya. Parasitoid imago ialah parasitoid yang menyerang fase imago inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase imago inang tersebut. Parasitoid larva atau nimfa ialah parasitoid yang menyerang fase larva atau nimfa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase larva atau nimfa inang tersebut. Parasitoid larva-pupa ialah parasitoid yang menyerang fase larva inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang. Parasitoid monofag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang terbatas pada satu genus atau satu spesies inang. Parasitoid pupa ialah parasitoid yang menyerang fase pupa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang tersebut. Parasitoid soliter ialah parasitoid yang hanya satu individu parasitoid dapat berkembang pada satu individu inang. Parasitoid telur ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase telur inang juga.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 199

Parasitoid telur-larva ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase larva inang. Parasitoid telur-larva-pupa ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang. Pengendalian alami ialah pengaturan populasi organisme lain oleh musuh alami dan faktor abiotik, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, makanan. Pengendalian hayati ialah kegiatan parasitoid, predator, dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme lain pada kerapatan rata-rata yang lebih rendah daripada kerapatan jika musuh alami tersebut tidak ada. Periode prakopulasi adalah waktu sejak imago parasitoid terbentuk atau keluar dari tubuh inang hingga berkopulasi. Periode praoviposisi adalah waktu sebelum serangga betina meletakkan telurnya. Poliembrioni ialah perkembangan embrio dari satu telur pada satu individu inang yang mengalami pembelahan sel secara mitosis sehingga akan terbentuk banyak klon. Populasi ialah kumpulan organisme dari suatu spesies yang menempati ruang dan waktu yang sama. Predator ialah organisme yang hidup bebas dengan memangsa atau memakan binatang lainnya. Rantai makanan ialah pengalihan energi dari sumbernya dalam tumbuhan melalui sederetan organisme yang makan dan yang dimakan. Relung ialah sumber daya ruang fisik yang ditempati organisme dan peran organisme tersebut pada komunitas termasuk sumber energi dan periode aktivitas. Septicemia ialah keracunan yang dialami serangga akibat infeksi bakteri dan bakteri telah berkembangbiak mengisi rongga tubuhnya. Spesies ialah kelompok-kelompok individu yang melakukan kawin antar mereka (interbreeding) dan menghasilkan keturunan fertil, serta terisolasi secara reproduksi dari spesies lainnya. Superparitisme ialah aktivitas memarasit atau meletakkan telur oleh satu induk parasitoid lebih dari satu kali pada inang yang sama.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 200

Taksonomi ialah dasar teori mengelompokkan atau menyusun organisme ke dalam kelompok-kelompok yang tepat yang meliputi prinsip-prinsip dasar, prosedur, dan aturan-aturannya. Thelyotoky ialah tipe reproduksi partenogenesis yang terjadi karena induk betina yang tidak berkopulasi mampu menghasilkan anak semua berjenis kelamin betina.

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

BIODATA PENULIS Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda, M.Si. Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (1989). Tahun 1995 menyelesaikan Magister Sains Bidang Entomologi di IPB Bogor berpredikat cum laude. Pada awal tahun 2000 di usia 34 tahun, wanita berdara Sekayu kelahiran 20 Oktober 1965 di Palembang ini berhasil meraih gelar Doktor Bidang Entomologi di IPB Bogor dengan predikat cum laude juga. Sejak 1990 hingga sekarang berprofesi sebagai dosen tetap di Universitas Sriwijaya. Dari tahun 2004-sekarang sebagai Kepala Laboratorium Entomologi FP Unsri. Pada Usia 42 tahun berhasil meraih jenjang fungsional tertinggi sebagai Guru Besar Pengendalian Hayati. Tahun 2007, terpilih sebagai dosen berprestasi tingkat nasional. Pernah meraih the best full paper award pada International Seminar of Indonesian Society for Microbiology, October 2010. Tahun 2008 dan 2012 mendapat penghargaan dari Dirjen, Dikti sebagai peneliti penyaji makalah terbaik Hibah Bersaing dan akhir tahun 2010 dinobatkan oleh Unsri sebagai Dr. Ir. Chandra Irsan, M.Si. Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (1988). Lahir di Lubuk Linggau pada tanggal 19 Februari 1965. Tahun 1997 menyelesaikan Magister Sains Bidang Entomologi di IPB Bogor. Tahun 2004 berhasil meraih gelar Doktor Bidang Entomologi di IPB Bogor. Sejak 1989 hingga sekarang berprofesi sebagai dosen tetap di Universitas Sriwijaya. Dari tahun 2007-2011 sebagai Ketua Jurusan FP Unsri. Tahun 2004 mendapatkan penghargaan dari Dirjen, Dikti sebagai penyaji poster terbaik Hibah Fundamental, selain itu, tahun 2007 kembali mendapatkan penghargaan yang sama berupa penyaji poster dan pemakalah terbaik Hibah Fundamental. Penerima hibah UJI dari 2008- 2010. ISBN: 979-587-568-X