BAB III SETTING LOKASI PENELITIAN
3.1 Sejarah Desa Adat Osing Kemiren
Asal mula kata Kemiren menurut para sesepuh Desa, dahulu di Desa
Kemiren saat pertama kali ditemukan, desa tersebut masih berupa hutan dan
terdapat banyak pohon kemiri dan duren (durian) sehingga mulai saat itu,
daerah tersebut dinamakan “Desa Kemiren”.
Menurut sejarah masyarakat Desa Kemiren berasal dari orang-orang
yang mengasingkan diri dari kerajaan Majapahit setelah kerajaan ini mulai
runtuh sekitar tahun 1478 M. Selain menuju ke daerah di ujung timur Pulau
Jawa ini, orang-orang Majapahit juga mengungsi ke Gunung Bromo (Suku
Tengger) di Kabupaten Probolinggo, dan Pulau Bali. Kelompok masyarakat
yang mengasingkan diri ini kemudian mendirikan kerajaan Blambangan di
Banyuwangi yang bercorak Hindu-Buddha seperti halnya kerajaan Majapahit.
Kemudian masyarakat Kerajaan Blambangan berkuasa selama dua ratusan
tahun sebelum jatuh ke tangan kerajaan Mataram Islam pada tahun 1743 M.
Desa Kemiren ini lahir pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1830-an.
Awalnya, desa ini hanyalah hamparan sawah hijau dan hutan milik para
penduduk Desa Cungking yang konon menjadi cikal-bakal masyarakat Osing
di Banyuwangi. Hingga kini Desa Cungking juga masih tetap ada. Letaknya
sekitar 5 km arah timur Desa Kemiren. Hanya saja, saat ini kondisi Desa
Cungking sudah menjadi desa kota. Saat itu, masyarakat Cungking memilih
bersembunyi di sawah untuk menghindari tentara Belanda. Para warga
enggan kembali ke desa asalnya di Cungking. Maka dibabatlah hutan untuk
64
dijadikan perkampungan. Hutan ini banyak ditumbuhi pohon kemiri dan durian. Maka dari itulah desa ini dinamakan Kemiren. Pertama kali desa ini dipimpin kepala desa bernama Walik. Sayangnya, tidak ada sumber jelas yang menceritakan siapa Walik. Konon dia termasuk salah satu keturunan bangsawan.
Desa Kemiren secara administratif termasuk, Kecamatan Glagah,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan secara historis geneologis- sosiologis masih memperlihatkan tata kehidupan sosio-kultural yang mempunyai kekuatan nilai tradisional Osing sehingga pada saat kepemimpinan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, Desa Kemiren ditetapkan menjadi kawasan wisata desa adat Osing. Osing merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya.
Dalam lingkup lebih luas, Osing merupakan salah satu bagian sub-etnis Jawa.
Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah
Sabrang Wetan, yang berkembang di daerah ujung timur Pulau Jawa.
Keberadaan komunitas Osing berkaitan erat dengan sejarah Blambangan
(Scholte, J. 1927). orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat, budaya maupun bahasanya. (Stoppelaar, J.W.de. 1927)
Orang Osing menurut Andrew Beatty (dalam buku The Variety of Javanese
Religion) diduga mereka adalah keturunan sisa-sisa penduduk tahun 1768.
Meskipun dokumen sebelumnya tidak menyebutkan nama itu. Para ahli sejarah lokal cukup yakin bahwa julukan ”Osing” itu diberikan oleh para
65
imigran yang menemukan bahwa kata ”tidak” dalam dialek lokal adalah
”Osing”, yang berbeda dari kata ”ora” dalam bahasa Jawa. Orang yang
sebenarnya Jawa itu kini disebut Osing saja atau juga disebut Jawa Osing.
Desa Kemiren terbentuk pada masa penjajahan Belanda. Cikal bakal penduduknya berasal dari sebuah desa tua di Banyuwangi yaitu Cungking; yang letaknya 4 km di sebelah timur Kemiren. Nama Cungking muncul dalam
Babad Tawang Alun sebagai tempat persemayaman terakhir Ki Buyut
Wangsakarya, guru dari Pangeran Macan Putih, Tawang Alun. Meskipun tidak ada catatan tertulis mengenai sejarah Kemiren, namun sejarah lisan mengenai asal-usul desa ini masih bisa dilacak karena adanya proses pewarisan yang turun-temurun .
Asale wong Kemiren iku teko Cungking. Makane bengien akeh wong
Cungking hang duwe sawah ning Kemiren. Ana gendingane pisan ‘panase latar cungking, ademe lurung Kemiren.
Asal muasal penduduk Kemiren itu dari Desa Cungking. Pada awalnya banyak orang Cungking yang memiliki sawah di Kemiren. Ada pula nyanyian yang syairnya berbunyi ‘panasnya halaman Cungking, sejuknya jalanan
Kemiren.
Lebih lanjut Timbul menyatakan bahwa penamaan Kemiren sebagai nama desa tersebut didasarkan atas keberadaan pohon kemiri dan duren
(durian) yang banyak terdapat di wilayah tersebut ketika membuka hutan.
Hingga saat ini keberadaan pohon kemiri dan durian sebagai penanda nama
Kemiren masih bisa ditemukan dengan mudah di desa tersebut. (Kantor desa
Kemiren. 2020).
66
Sejarah terbentuknya desa, kegiatan sosial budaya, topografi dan sistem
kekerabatan merupakan elemen-elemen yang mempengaruhi pola permukiman
masyarakat Kemiren. Desa Kemiren konon terbentuk awalnya dari pembabatan
hutan kemiri dan durian pada sekitar tahun 1830-an untuk membuat jalan raya
yang membentang dari arah timur ke barat. Permukiman memusat di bagian
tengah wilayah desa yang dikelilingi oleh kawasan pertanian yang luas dan
perkembangannya cenderung linier di dua sisi mengikuti jalan utama desa
tersebut. Permukiman masyarakat yang sengaja diatur mengikuti jalan raya
dengan orientasi kosmologis utara-selatan yang menghadap ke jalan ini erat
kaitannya dengan kepercayaan terdahulu (animisme dan Hindu-Siwa), yaitu
bahwa arah hadap rumah harus menghadap ke lurung (jalan), tetapi tidak boleh
menghadap gunung. Hal ini sangat berbeda dengan rumah-rumah modern saat
ini yang arah orientasinya didasarkan pada kemudahan pencapaian dan
sirkulasi.
Desa Kemiren telah ditetapkan sebagai Desa Osing yang sekaligus
dijadikan cagar budaya untuk melestarikan keosingannya. Area wisata budaya
yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing
dan diproyeksikan sebagai cagar budaya Osing.
3.2 Profil Desa Adat Osing Kemiren
Kemiren adalah nama sebuah desa di Banyuwangi,dimana desa ini
dijadikan Desa Adat Wisata oleh pemerintah Banyuwangi. Memiliki luas
177.052 Ha dengan penduduk ± 3000. KEMIREN merupakan kepanjangan
dari Kemronyok Mikul Rencana Nyata (prinsipnya yaitu bersama – sama dan
gotong royong) hal ini di cetuskan oleh POKDARWIS atau kelompok sadar
67
wisata desa Kemiren. Sedangakan Kemiren sendiri berasal dari nama
KEMIRIAN (banyak pohon kemiri, duren dan aren) dan masyarakat setempat menyebutnya daerah tersebut KEMIREN, maka nama daerah tersebut disebut
KEMIREN hingga saat ini. Dijadikannya desa adat wisata, kemiren memiliki berbagai keunikan mulai dari adat,tradisi, kesenian,kuliner serta pola hidup masyarakatnya masih menjaga tradisi yang ada sejak dulu. (Kantor Desa kemiren. 2020).
Suku Osing adalah suku asli Banyuwangi, dimana suku ini mayoritas tinggal di desa Kemiren. Berbagai macam kesenian masih bisa dijumpai di desa ini seperti seni Barong, Kuntulan, jaran Kincak (kuda menari), mocopatan ( membaca lontar kuno ) serta Gandrung yang mayoritas penari gandrung terkenal berasal dari desa Kemiren
68
Gambar. 3.1 Tugu Selamat Datang Desa Kemiren
Kemiren adalah sebuah nama desa di wilayah Glagah, Kabupaten
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Desa Kemiren adalah sebuah desa wisata, di desa ini terdapat perkampungan asli warga suku Osing.
Beberapa tempat wisata yang dapat dikunjungi adalah Makam Buyut Cili ,
Desa Wisata Osing dan tempat minum kopi di Sanggar Genjah Arum.
(Kantor Desa Kemiren. 2019).
Visi dan Misi desa adat osing Kemiren selalu di gaungkan dimasyarakat.Hal ini diharapkan agar semua program yang sudah di rencanakan bisa terlaksana semuanya. Adapun VISI dari desa adat osing
Kemiren adalah :
1. Membangun Pemerintahan yang bersih dan transparan
2. Meningkatkan kemudahan pelayanan publik
3. Mewujudkan Desa Kemiren sebagai ikon wisata pedesaan
kabupaten Banyuwangi dengan berbasis pada kebudayaan dan adat
istiadat yang ada.
69
4. Mewujudkan Kemiren menjadi Desa yang lebih unggul dalam
berbagai Bidang dengan berbasis norma Agama
Sedangkan MISI, untuk menjalankan VISI tersebut desa adat osing Kemiren membagi program kerja dalam berbagai bidang yaitu :
1. Bidang Keagamaan
2. Bidang Kebudayaan, Kemasyarakatan, dan Kepemudaan
3. Bidang Ekonomi
4. Bidang Pelayanan Publik
5. Bidang Pertanian
6. Bidang Keamanan
7. Pendidikan dan Kesehatan
Desa Kemiren ditetapkan sebagai Desa Wisata Adat Osing pada tahun
1995 oleh Gubernur Jawa Timur (Basofi Sudirman). Desa Kemiren memiliki daya tarik wisata yang tergolong unik. Desa ini dihuni oleh suku asli Kota
Banyuwangi yaitu Osing. Kemiren dapat dikatakan sebagai jiwa dari Suku
Osing di Banyuwangi. Desa ini masih memegang teguh adat tradisi dan budaya lokal yang mereka bawa dari sesepuh terdahulu. Desa Kemiren mempunyai Maestro Gandrung Banyuwangi tertua yang masih menjalanakan pakem-pakem Gandrung sampai saat ini yang bernama Gandrung Temu
Misti. Desa ini juga memiliki Kesenian Barong asli Osing Banyuwangi yang berumur ratusan tahun dan masih diyakini oleh masyarakat setempat sebagai
Kesenian Barong yang masih mengandung unsur mistis.
70
Gambar. 3.2 Kantor desa Kemiren
Dalam setahun Tiga kali event yang cukup besar di gelar di Desa
Kemiren seperti, Ider Bumi pada tanggal 2 bulan Syawal, Tumpeng Sewu pada minggu malam atau rabu malam pertama pada bulan Dzulhijjah, dan yang terakhir Desa ini menyelenggarakan Festival Ngopi Sepuluh Ewu
Cangkir gratis yang digelar di setiap bulan Oktober. Desa ini juga menyelenggarakan acara acara adat atau pertunjukan di setiap berlangsungnya pernikan atau khitanan Masyarakat Osing kemiren. Adat tradisi dan budaya menjadi alasan Desa ini menjadi Desa Wisata Budaya dan
Edukasi tentang Pola Hidup Masyarakat Osing Banyuwangi yang merupakan sisa sisa masyarakat Blambangan dan Majapahit.
Keistimewaan desa adat kemiren, masih menjaga tradisi – tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. Adat-istiadat yang masih dilakukan di desa ini antara lain Ider Bumi, Tumpeng Sewu, Selametan Sedekah
Lebaran, Mepe Kasur, Nginang, Mudun Lemah, Koloan, Geredoan, Angkat-
Angakatan, Kawin Colong, Ngeleboni, Arak-Arakan Penganten, dan masih
71
banyak adatistiadat lainnya yang berhasil dilestarikan dan dijaga dengan baik
oleh masyarakat suku Osing yang ada di desa Kemiren. Karena adat-istiadat
yang masih dijaga dan dilestarikan inilah desa Kemiren diresmikan sebagai
desa Adat Osing mulai tahun 1995, yang disahkan langsung oleh gubernur
Jawa Timur saaat itu. Kemudian baru di tahun 2014 dijadikan sebagai desa
wisata Adat Osing. Dan ditahun 2013 masyarakat kemiren mencetuskan event
Ngopi bersama dengan nama Ngopi sepuluh Ewu.
Gambar. 3.3 Miniatur rumah adat osing Kemiren
3.3 Aspek Geografis Desa Kemiren
Desa Kemiren, terletak strategis ke arah menuju wisata Kawah Ijen, desa
ini memiliki luas 117.052 m2 memanjang hingga 3 km yang di kedua sisinya
dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari barat ke arah
timur. Di tengah-tengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 m yang
menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi timur dan pemandian
Tamansuruh dan ke perkebunan Kalibendo di sebelah barat. Untuk
bersekolah di atas SD, penduduk Kemiren harus menempuhnya di luar desa,
72
ke ibukota kecamatan yang berjarak 2 km atau ke kota Banyuwangi yang berjarak 5 km. Adapun batas wilayah desa adalah; (Kantor desa kemiren.
2020).
• Sebelah Utara : Desa Jambesari
• Sebelah Selatan : Desa Olehsari
• Sebelah Barat : Desa Tamansuruh
• Sebelah Timur : Kelurahan Banjarsari
Gambar. 3.4 Peta Lokasi Desa Kemiren
Desa yang berada di ketinggian 144 m di atas permukaan laut yang termasuk dalam topografi rendah dengan curah hujan 2000 mm/tahun sehingga memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26°C ini memang cukup enak dan menarik dari sudut suhu udara dan pemandangan untuk wisata. Desa
Kemiren. Pada siang hari, terutama pada hari-hari libur, jalan yang membelah
Desa Kemiren ini cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke pemandian Tamansuruh, perkebunan Kalibendo maupun ke lokasi wisata Desa Osing. Dengan luas wilayah menurut penggunaan :
73
1. Luas permukiman : 27.494 ha/m2
2. Luas persawahan : 105 ha/m2
3. Luas perkebunan : 8.731 ha/m2
4. Luas tanah makam : 0,7 ha/m2
5. Luas pekarangan : 10,5 ha/m2
6. Luas taman : 2300 ha/m2
7. Luas perkantoran : 0,04 ha/m2
8. Luas prasarana umum lainnya : 0,15 ha/m2
9. Total luasan : 38.641,38 ha/m2
3.4 Keadaan Sosial Budaya
Desa Kemiren merupakan salah satu dari 18 desa di Kecamatan Glagah,
Daerah Tingkat II Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Batas-batas
wilayah desa ini adalah Desa Banjarsari di sebelah timur, Desa Olehsari di
sebelah selatan, Desa Tamansuruh di sebelah barat (Kecamatan Glagah) dan
Desa Jambesari, Kecamatan Giri di sebelah utara.
Dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti masyarakat desa
Kemiren masih tradisional. Misalnya dalam menggunakan pakaian adat untuk
sehari-hari. Dalam berkomunikasi masyarakat masih menggunakan Bahasa
Osing yang masih asli belum teralkultrasi dengan bahasa lainnya seperti
halnya Bahasa Untuk sosial budaya yang dimiliki desa Kemiren memang
sangalah banyak, hal inilah yang menjadi alasan utama kenapa desa Kemiren
menjadi Desa Adat Osing yang ada di Banyuwangi. Sebenarnya budaya atau
adat-istiadat yang ada di desa Kemiren tidaklah jauh beda atau bahkan sama
persis dengan suku Osing, suku Osing yang berada di wilayah lain. Namun
74
perbedaannya terletak pada keteguhan dalam melaksanakan adat-istiadat yang sudah berlaku sejak dulu. Hidup berdampingan dengan jiwa gotong royong, tradisi musyawarah yang terus terjaga.
Gambar. 3.5 Masyarakat menggunakan pakaian adat
Di desa Kemiren semua budaya berupa adat-istiadat dapat dilestarikan meskipun arus modernisasi di Banyuwangi sangat tinggi. Hanya saja bentuk rumah adat saja yang banyak ditinggalkan oleh warga. Namun untuk mempertahankan dan ingin menjaga kelestarian rumah adat Osing maka pemerintah Banyuwangi sendiri mencari daerah yang masih terjaga rumah adatnya yang ada di desa Kemiren. Kemudian ada wilayah di daerah Kemiren
Wetan dekat dengan Petilasan Buyut Cili, disanalah dibangun cagar wisata rumah adat Osing.
75
Gambar. 3.6 Petilasan Makam Buyut Cili
Di Desa Kemiren terdapat Petilasan Makam Buyut Chili, yang konon kabarnya merupakan orang pertama yang menghuni Desa Kemiren.
Masyarakat seringkali berta’jiah ke tempat tersebut dengan harapan semoga apa yang menjadi keinginannya dapat terkabul. Tiap malam senin dan malam
Jumat tempat tersebut tak pernah sepi, bukan hanya masyarakat setempat namun juga dari luar desa dan luar kota Banyuwangi pun banyak.
Ritual selamatan atau kenduri di Makam Buyut Cili, digelar tiap Minggu malam Senin dan Kamis malam Jumat. Punden sesepuh desa ini, berada di sebuah gubuk anyaman bambu di Alas (hutan) Kemiren.Gelar kenduri di
Pusara Buyut Cili, dilakukan sesuai tata cara Islam di Tanah Jawa, yaitu tradisi kirim doa meminta berkah dan keselamatan pada Tuhan Yang Maha
Esa.Hal ini dimaksudkan, menghidari syirik atau menyekutukan Allah, seperti larangan Agama Islam. Meski begitu, syiar tradisi dan adat istiadat kuno di depan pusara sang tokoh, tetap khusuk dan sakral.
76
Usai ritual kirim doa yang dipimpin Sucipto, juru kunci sekaligus generasi keenam Barong Kemiren, acara berlanjut dengan menyantap tumpeng khas orang Blambangan. Ada tiga jenis menu tumpeng yang biasa disajikan di acara kenduri ini. Tergantung selera yang punya hajat. Menu pertama, pecel pitek (ayam), yaitu ayam kampung yang dipanggang kemudian dibumbui parutan kelapa dan sambal. Kemudian ada sego golong.
Wujudnya, nasi dibungkus daun pisang. Lauk pauknya, telur rebus dicampur bumbu pecel seperti pecel pitek. Sego golong dimaksudkan agar yang punya hajat pikirannya bisa plong (bebas atau lega). Selain itu, ada juga tumpeng serakat. Menu nasi dan jenis sayur-sayuran hasil bumi warga sekitar.
Bumbunya masih sama; bumbu pecel. Tujuan dari tumpeng serakat untuk menghilangkan sengkolo atau tolak balak.
Yang khas dari desa kemiren lainnnya adalah rumah Osing yaitu rumah adat suku Osing yang berada di Desa Kemiren, Banyuwangi. Daerah tersebut juga sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Rumah Osing tidak boleh dibangun menghadap gunung dan harus menghadap jalan. Tidak ada ritual khusus untuk mendirika rumah Osing. Namun, setelah selesai mendirikan rumah Osing, masyarakat di Bayuwangi biasanya melakukan selamatan. Arah hadap rumah Osing pada saat pendirian ditentukan dari hari kematian orang tua. Orientasi ke Utara untuk hari Kamis, Timur untuk hari Selasa, Selatan untuk hari Rabu, dan Barat untuk hari Senin atau Minggu. Satu rumah hanya bisa dihuni oleh satu keluarga utuh saja. Ruangan kamar anak akan diletakkan dilahan paling depan (terdekat) dengan jalan utama, dan ruangan kamar orang tua berada di belakang dari jalan utama. (Rofikoh, Siti. 2018).
77
Masyarakat desa ini masih mempertahankan bentuk rumah sebagai bangunan yang memiliki nilai filosofi. Crocogan, tikel /baresan, tikel balung dan serangan adalah jenis rumah adat suku Osing, dimana ke empat macam rumah adat ini masih bisa di temui di desa Kemiren. Salah satunya di sanggar genjah arum milik salah satu budayawan Banyuwangi, bangunan – bangunan ini berusia hingga ratusan tahun. Bangunan ini dirancang tahan gempa, dengan struktur utama susunan 4 tiang saka (kayu) balok dengan system tanding tanpa paku (Knokdown) tetapi menggunakan paju (pasak pipih).
Setiap jenis atap memiliki makna dan keistimewaan yang berbeda. Perbedaan atap rumah adat osing juga memiliki status sosial yang berbeda pula.
Gambar. 3.7 Rumah adat Osing Kemiren
Rumah Osing tidak memiliki jendela, sehingga sirkulasi udara dan pencahayaan kurang.Pola ruang dalam sejajar, mulai dari pintu masuk depan yang berada ditengah dan membagi sisi rumah secara simetris.
Bagian dalam rumah , terdiri dari bale, jrumah, dan pawon. Pada bagian Bale, masih bisa dijangkau oleh tamu luar dan untuk pencahayaan cukup terang. Pada bagian jrumah atau inti rumah, hanya bisa diakses oleh
78
penghuni dan kerabat karena sifatnya pribadi. Pencahayaan di ruangan ini gelap. Pada bagian pawon atau dapur, pencahayaan bisa masuk pada pintu belakang sehingga cukup terang. Selain untuk memasak, dapur juga memiliki fungsi untuk mempersiapkan acara selamatan penduduk. Pada zaman dahulu, masyarakat suku Osing sering menyimpan lumbung padi di depan rumah, karena sering terjadi pencurian di zaman sekarang lumbung padi tersebut dipindahkan ke pawon.
Bagian luar rumah terdiri atas, halaman depan, amper, ampok dan halaman samping. Amper atau ampiran berfungsi untuk menerima tamu atau biasa disebut teras rumah. Ampok adalah ruang tambahan yang ada di samping serambi rumah, Mempunyai fungsi sebagai ruang transisi dari luar dan dalam rumah.
Setiap jenis atas rumah adat osing itu mengandung makna. Perbedaan bentuk atap rumah adat osing tersebut sekaligus menandai status sosial penghuninya. Rumah yang beratap Tikel Balung melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah Crocogan melambangkan penghuninya adalah keluarga mudah atau keluarga yang ekonominya relatif rendah.
Gambar. 3.8 Rumah Tikel Balung
79
Gambar. 3.9 Rumah Crocogan
Gambar. 3.10 Perbedaan atap rumah desa adat osing Kemiren
80
Gambar. 3.11 Rumah Adat Desa Kemiren a. Kondisi Pendidikan
Di desa Kemiren terdapat 2 Sekolah Dasar Negeri yaitu SDN 1 Kemiren
dan SDN 2 Kemiren, kemudian hanya terdapat 1 TK dan 1 PAUD yang
bernama TK dan PAUD Kartini. Untuk Pendidikan sendiri disana masih
minim akan kesadaran akan pentingnya karena dari hasil observasi yang
peneliti jumpai banyak anak yang memutuskan untuk menikah dari pada
melanjutkan untuk mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan.
Meskipun untuk saat ini sudah mulai ada remaja-remaja yang mengenyam
bangku perkuliahan seperti di UNAIR Surabaya, di Jember, dan Malang.
Namun ini tidak sebanyak dengan anak yang memutuskan untuk menikah
setelah lulus SMA atau bahkan belum mendapat ijazah SMA. b. Kondisi Keagamaan
Agama masyarakat desa Kemiren (Osing) yang dominan adalah beragama
Islam. Namun Islam disini tidak bisa disamakan dengan desa-desa lain
yang mulai meninggalkan tradisi hindu. Di desa Kemiren sendiri masih
sangat kental dengan nuansa hindu. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena
dulunya kerajaan Blambangan adalah sebuah kerajaan Hindu terakhir yang
81
ada di tanah Jawa. Hampir semua aktivitas sehari-hari masyarakat itu pasti ada ritualnya, namun untuk saat ini doa-doa yang digunakan adalah doa- doa dalam ajaran Islam, meskipun caranya masih sama dengan cara Hindu.
Kemudian di desa Kemiren mempunyai kitab yang bernama Lontar Yusup.
Kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran nabi yusuf. Pembacaan Lontar Yusup sendiri ada rutinannya, dua kali dalam seminggu. Namun untuk pembacaan rutinitas biasa ada beberapa bagian yang tidak boleh dibaca kecuali acara-acara tertentu, misalnya acara pernikahan. Bagian yang tidak boleh dibaca adalah bagian awal dari Lontar Yusup dan juga bagian Arum-
Arum dalam Lontar Yusup. Jika terlanjur atau tidak sengaja membacanya maka harus mengkhatamkan Lontar Yusup dalam sekali bacaan (Rofikoh,
Siti. 2018).
Ada juga masyarakat desa terutama desa Kemiren Wetan yang selalu rutin mengadakan ritual di petilasan Buyut Cili. Ritual-ritual tersebut biasanya menggunakan Pecel Pithik agar lebih sakral. Karena semua yang sakral di desa Kemiren diselameti dengan menggunakan Pecel Pithik. Buyut Cili sangat dihormati warga desa Kemiren, terutama bagi desa Kemiren Wetan yang memiliki kesenian Barong. Mereka mempercayai bahwasanya saat pertunjukkan atau saat mengadakan ritual dengan menggunakan Barong maka yang akan merasuki Barong tersebut adalah arwah dari Buyut Cili.
82
Gambar. 3.12 Kitab Lontar Yusup suku Osing di Kemiren c. Kondisi Budaya Adat Suku Oseng
Kebudayaan adalah keseluruhan bentuk yang kompleks, yang terkandung
di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-
istiadat dan kemampuan-kemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapat oleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat.
Kebudayaan menjadi sesuatu yang melekat dalam diri manusia, menjadi
hal yang terus menerus dilakukan hingga keberadaannya utuh tidak
terpisahkan dengan kehidupan keseharian manusia.Sedangkan budaya
diartikan dengan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan
politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Menurut Koentjaraningrat (1980) upacara adat yang dilakukan memiliki
berbagai unsur: (Saiful. M. Dkk. 2015).
(1) Tempat berlangsungnya ritual, yaitu tempat yang di gunakan untuk
melangsungkan suatu upacara adat biasanya adalah tempat keramat atau
bersifat sakral/suci, tidak setiap orang dapat mengunjungi tempat tersebut.
83
(2) Saat berlangsungnya ritual, yaitu saat-saat tertentu yang melangsungkan ritual. Waktu pelaksanaan ritual biasanya telah ditetapkan dan berlangsung secara rutin.
(3) Benda-benda atau alat ritual, yaitu benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adat adalah sesuatu yang harus ada semacam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam sebuah upacara adat
(4) Orang-orang yang terlibat didalamnya Orang-orang yang telibat dalam upacara adat adalah mereka yang bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat
(Koentjaraningrat 1980:241).
Sedangkan tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi merupakan mekanisme yang berkembang dalam masyarakat, merupakan sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Nilai budaya yang terdapat pada Suku Osing adalah sangat menjunjung tinggi kegotongroyongan, kerja bakti bersama warga untuk menciptakan kebersamaan, arisan, silahturahmi atau saling berkunjung dan sumbang menyumbang. Desa Kemiren merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup diminati di kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya.Adat
Istiadat yang berlaku di desa Kemiren meliputi : (Ira Rachmawati. 2017).
• Selamatan bersih desa “ Barong Ider Bumi “
• Selametan Bersih Desa Tumpeng Sewu
• Selametan Rebo wekasan
84
• Selametan Rajab
• Selamatan Ruwah
• Selamatan Lebaran syawal ( Syawalan )
• Selamatan Kopatan ( Lebaran hari ke-7 )
• Selamatan Lebaran Haji
• Selametan Suroan ( 1 Muharram)
Tradisi Barong Ider Bumi konon sudah begitu mendarah
daging di dalam kehidupan suku Osing. Warisan budaya unik ini
kabarnya telah berusia hingga ratusan tahun. Barongan’ atau
‘Barong’ dalam mitologi Jawa dan Bali merupakan sosok makhluk
berkaki empat atau dua dengan kepala singa. Bagi masyarakat yang
menganut kepercayaan animisme, Barong dipercaya sebagai
perwujudan nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Ia juga merupakan
figur yang senantiasa melawan kekuatan jahat yang dipimpin oleh
perwujudan iblis bernama Rangda.
Sementara itu frasa ‘Ider Bumi’ dihasilkan dari dua kata yakni
‘Ider’ dan ‘Bumi’. Ider dalam bahasa Jawa berarti berkeliling, dan
Bumi merupakan tempat berpijak. Ider Bumi bisa diartikan sebagai
kegiatan mengelilingi tempat berpijak (bumi). Sejarah tradisi
Barong Ider Bumi berawal pada tahun 1840. Saat itu Desa Kemiren
diserang wabah penyakit aneh yang mengakibatkan banyak warga
meninggal. Banyak petani juga mengalami gagal panen.Salah
seorang sesepuh desa lantas meminta petunjuk kepada Mbah Buyut
Cili, yang makamnya masih dirawat hingga kini. Pencerahan
85
datang dalam wujud mimpi, di mana para warga diminta melakukan arak-arakan Barong sebagai bentuk tolak bala. Tradisi tersebut lantas masih dilestarikan hingga saat ini. Selain menolak pengaruh negatif, Barong Ider Bumi juga terus dipertahankan untuk menjalin kerukunan antar warga.
Festival Barong Ider Bumi ini diawali ritual memainkan angklung oleh para sesepuh di balai desa setempat. Barong lantas diarak keliling desa sambil diiringi nyanyian Jawa, isinya doa kepada nenek moyang dan Tuhan untuk menolak bala dan memohon keselamatan.
Arak-arakan dimulai dari pusaran (gerbang masuk desa) menuju arah barat ke tempat mangku barong (pintu keluar desa) sejauh dua kilometer. Di sepanjang jalan, tokoh adat akan melakukan tradisi
“Sembur Utik-utik” yakni kegiatan menebarkan uang logam, beras kuning, dan bunga sebagai simbol tolak bala. Kata pak suhaimi sesepuh desa Kemiren Melempar uang receh dalam ritual ini melambangkan usaha warga untuk membuang sial dari Desa
Kemiren. Usai sembur othik-othik, seluruh warga mengarak tiga barong Osing yang diyakini bisa mengusir bencana. Ketiga benda tersebut nantinya akan dibawa oleh rombongan tokoh adat dan para sesepuh di dalam sebuah “Bokor”. Uang logam yang dibawa harus tepat bernilai Rp 99.900 dan bunga yang digunakan jumlahnya juga harus ada 9. Angka 9 ini merujuk pada 99 Nama Allah (Asmaul
Husna).
86
Waktu pelaksanaannya juga terbilang unik. Festival Barong Ider
Bumi dilaksanakan setiap 2 Syawal dan dimulai pada pukul 2 siang
(14.00 WIB). Pemilihan waktu pelaksanaan tersebut berkaitan dengan simbol ciptaan Tuhan yang berpasang-pasangan.
Begitu arak-arakan mencapai ujung desa, para warga akan berebut memakan pisang yang dipajang. Siapa yang berhasil konon bakal senantiasa diberi keselamatan dan kemudahan dalam hidup.
Usai dilakukan ritual Barong Ider Bumi, masyarakat menggelar selamatan bersama sebagai penutup upacara. Di sinilah puncak acaranya, yakni selamatan dengan menggunakan tumpeng pecel pitik (ayam kampung yang dibakar dengan ditaburi parutan kelapa muda dengan bumbu) sebagai wujud rasa bersyukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan keberkahan. Tumpeng dan pecel pitik untuk selamatan ini digelar di sepanjang jalan desa. (Kumalasari, A.D. 2018).
Gambar. 3.13 Kegiatan Barong Ider Bumi
87
Selain barong ider bumi juga terdapat tumpeng sewu, tumpeng sewu adalah salah satu tradisi budaya Osing. Tradisi ini diselenggarakan di desa Kemiren, Glagah, Kabupaten Banyuwangi,
Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Desa Kemiren adalah sebuah desa wisata yang merupakan perkampungan asli suku Osing. Di setiap tahunnya dilaksanakan Festival Tumpeng Sewu di Desa Kemiren,
Banyuwangi, Jawa Timur. Bukan hanya sebuah ritual adat, namun festival ini kini menjadi atraksi wisata Banyuwangi yang dihadiri oleh ribuan warga dari berbagai penjuru desa maupun wisatawan.
Tumpeng Sewu biasanya digelar seminggu sebelum Idul Adha.
Sebelum makan tumpeng sewu warga akan di ajak berdoa agar desanya dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala. Setiap rumah warga mengeluarkan minimal satu tumpeng yang diletakkan di depan rumahnya. Karena banyaknya tumpeng yang dihadirkan maka dari sinilah asal muasal nama festival tumpeng sewu yang berarti seribu tumpeng. (Kabupaten
Banyuwangi. 2016).
Ritual Tumpeng Sewu ini ditandai dengan kegiatan pembuatan nasi di setiap rumah. Nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur kelapa). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah.Bentuk mengerucut ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping
88
kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan
alam. Sementara pecel pithik mengandung pesan moral yang
bagus, yakni "ngucel-ucel barang sithik". Dapat juga diartikan
mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur. Dengan
diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), Tumpeng
Sewu ini menjadi sebuah ritual yang khas dan tetap sakral.
Sebelum makan bersama, warga Desa Kemiren mengawalinya salat
maghrib berjamaah dan doa bersama. Usai makan bersama, warga
membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di
rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf
yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan
hidup Nabi Yusuf.
Gambar. 3.14 Pecel pitik makanan khas untuk tumpeng sewu
89
Gambar. 3.15 Tumpeng sewu
Melengkapi tradisi Tumpeng Sewu, pada siang hari, warga desa melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara massal.
Uniknya, semua kasur yang dijemur berwarna hitam dan merah.
Beramai-ramai warga menjemur kasur di sepanjang depan rumah masing-masing dari pagi hari hingga menjelang sore.Kasur yang dijemur juga bukan sembarang kasur. Namun kasur khas warga
Kemiren, yang cirinya berwarna hitam dan merah. Masyarakat
Osing ini meyakini dengan mengeluarkan kasur dari dalam rumah dapat membersihkan diri dari segala penyakit. Penjemuran kasur dari jam 07.00 hingga pukul 14.00, sebelum Ashar dimasukkan kembali
Keunikan lain dari Desa kemiren, mayoritas penduduk kemiren memiliki tempat tidur “Kasur – Bahasa jawa” dengan motif dan warna yang sama yaitu hitam dibagian atas dan bawah, merah di pada tepinya. Kasur ini akan dimiliki oleh pasangan pengantin dari orang tuanya. Hal ini memiliki filosofi tersendiri, warna merah
90
yang berarti sebagai penolak balak dan hitam melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Pada satu moment seluruh masyarakat kemiren mengeluarkan Kasur tersebut untuk di jemur disepanjang jalan desa kemiren. Tradisi ini dinamakan mepe
Kasur, menurut tetua adat setempat tradisi ini dilakukan karena sumber segala penyakit berasal dari tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk mengusir segala macam penyakit. Tradisi tersebut merupakan satu rangkaian dari tradisi tumpeng sewu “ritual bersih desa” yang dilaksanakan pada bulan Dhulhijjah. (Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi. 2015).
Gambar.3.16 Tradisi mepe kasur
Sedangkan selamatan Rebo Wekasan adalah selamatan yang dilakukan pada setiap titik mata air yang bertujuan supaya air yang dikeluarkan dari setiap titik mata air terhindar dari segala macam penyakit. Selamatan ini diadakan pada hari terakhir di Bulan Safar.
Jumlah mata air yang terdapat di Desa Kemiren sebanyak 27 titik mata air, sehingga selamatan yang digelar sebanyak 27 tempat.
91
Warga masyarakat yang mengadakan selamatan menuju sumber
mata air terdekat dengan rumahnya. (Nur Muktining. T.K.H,
Antariksa dan Nindya Sari. 2010).
Gambar.3.17 Selametan Rebo Wekasan
d. Kondisi Gotong Royong
Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin
yang kuat sesama warga desa, yaitu setiap warga atau anggota masyarakat
yang amat kuat hakikatnya, bahwa seseorang merasa bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat di mana ia hidup dicintainya serta
mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi
masyarakatnya atau anggota masyarakatnya, karena beranggapan sama-
sama sebagai anggota msyarakat yang saling menghormati, mempunyai
hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagian
bersama di dalam masyarakat. Hal ini benar-benar tercermin di kehidupan
masyarakat suku Osing yang ada di desa Kemiren. Dari hasil observasi dan
juga wawancara peneliti menemukan rasa gotong royong dan sikap saling
92
memiliki antara masyarakat satu dengan lainnya. Salah satu contohnya
adalah saat salah satu warga desa ada yang memiliki sebuah acara hajatan,
bisa dipastikan warga baik laki-laki mau pun perempuan pasti akan
berbondong untuk membantu. Melabot itu adalah yang biasa mereka sebut
saat membantu warga lain yang sedang punya acara hajatan. Meskipun
mereka tidak diundang hanya melihat ada keraiman di rumah tetangganya
pasti masyarakat berbondong-bondong mendatanginya. Bahkan di
Kemiren sendiri tidak pernah menyebar undangan untuk tetangga atau
masyarakat desa Kemiren lainnya selain tetangga desa atau teman yang
jauh. Kondisi gotong royong warga masyarakat desa masih kuat dan
kental, hal ini terlihat pada orang yang mendidrikan rumah dan bangunan
sosial lainnya.
3.5 Keadaan Ekonomi
Lahan pertanian untuk tanaman pangan yang tersedia masih luas sehingga
masih dapat dikembangkan. Produktvitas komoditi pertanian tanaman pangan
mengalami kenaikan setiap tahunnya. Jumlah populasi ternak cukup tinggi,
berpotensi untuk pengembangan sebagai kawasan peternakan terutama ternak
hewan besar karena bahan pakan ternak tersedia termasuk untuk
pengembangan industri pengolahan hasil pertanian dan peternakan, serta
industri pengolahan makanan Khas Banyuwangi seperti aneka dodol bolu
kuwuk, molen pisang, ladrang, bagiak, kopi dan aneka makanan ringan
lainnya.
Perekonomian masih belum dapat bertumpu pada sector pertanian dan
peternakan saja karena lahan tanaman pangan yang ada sebagian hanya
93
dimiliki oleh orang kaya, sehingga dengan keterbatasannya masyarakat mengalihkan mata pencahariannya pada sector nonformal.
Kemudian perekonomian warga mulai meningkat juga karena ada kebijakan menjadikan desa Kemiren sebagai desa Adat Osing. Dari sanalah warga mulai berinovasi.Dari hasil observasi dan juga wawancara di desa Kemiren sendiri tidak terdapat sebuah pasar, namun setiap pagi banyak warga yang berjualan.
Setiap hari minggu pagi di desa Kemiren juga terdapat Pasar Kampoeng
Osing. Pasar yang berisi aneka jajanan tradisional ini diadakan setiap hari
Minggu pagi, berlokasi di gang yang berada tepat di sebelah Kantor Desa
Kemiren. Dimulai dari pukul 6 dan berakhir sekitar jam 10 pagi atau hingga dagangan habis, pasar ini selalu menarik minat penggemar kuliner. Tidak hanya orang lokal, namun juga wisatawan dari kota, bahkan negara lain.
Pasar Kampoeng Osing diadakan di sepanjang gang yang tidak terlalu lebar.
94
Gambar. 3.18 Pasar Kampoeng Osing
Uniknya di sini, ibu-ibu penjual mengenakan pakaian Suku Osing, yakni atasan kebaya hitam dan bawahan jarit batik. Di bagian tengah pasar, ada sekelompok kakek nenek yang memainkan Gedogan, sebuah alat musik menggunakan alu penumbuk padi dikombinasikan dengan angklung sederhana dari bambu. Alunan musiknya sungguh membuatmu semakin menikmati berbelanja makanan dan minuman di pasar ini.
Beberapa jajanan pasar tradisional tersedia seperti Cenil, Horog-horog yang terbuat dari tepung beras, Lanun jajan pasar yang berwarna hitam, Lupis,
Klepon, Clorot kue manis dari gula merah yang bentuknya kerucut dibungkus janur, dan jajanan tradisional lainnya
95
Gambar . 3.19 Jajanan Pasar Kampong Osing
Seperti kue Kucur yang terasa nikmat ketika dimakan dalam kondisi hangat.
Tidak hanya itu saja, ada juja jajanan Tape Ketot. Berbeda dari tempat lain, tape ketan di Desa Kemiren disajikan dalam bungkusan daun kemiri dan dimakan bersamaan dengan ketot atau jadah yang terbuat dari beras ketan.
Di pasar ini juga menyajikan makanan berat yang pas untuk dijadikan menu sarapan. Ada Nasi Tempong, yang terdiri dari sayuran rebus, lauk pauk dan sambal. Ada Ayam Lodho yang bersantan dengan irisan lontong. Ada Sate
96
Kola Tau Keong Sawah yang kenyal nikmat. Ada pula Sego Cawuk, kuliner khas Banyuwangi yang biasa dijadikan menu sarapan, yakni nasi yang disiram air kuah pindang bercampur parutan kelapa dan serutan jagung bakar.
Disajikan bersama beberapa lauk seperti pelas ikan laut dan sambal kemangi.
Bagi penyuka pecel rawon dipasar ini juga tersedia, nasi pecel yang disiram kuah rawon. Menu lainnnya menu khas dari Desa Kemiren yang biasa disajikan ketika ada acara selamatan desa ada juga yaitu Pecel Pithik . Ayam
Kampung yang dibakar di tungku, dipotel-potel, kemudian diulet bersama parutan kelapa yang sudah berbumbu. Rasanya gurih dengan sedikit sensasi pedas yang berasal dari sambal yang diulet bersama parutan kelapa tadi. Di pasar kampoeng Osing juga terdapat kesenian khas dari desa Kemiren yaitu seni gedhongan (Othek (Musik Lesung)) disana para ibu ibu yang sudah tua melestarikan budaya seninya dengan memakai baju khas Osing yang sama dilengkapi alat yang mereka gunakan. Mereka bukanlah perempuan- perempuan cantik, melainkan wanita-wanita yang sudah uzur, memainkan alu dan lesung (kayu tempat menumbuk padi). Mereka bergantian memukul lesung-lesung dihadapan mereka. Musik yang dimainkan mbah-mbah ini disebut Gedhogan. Biasanya diiringi oleh pemain biola tradisional dan angklung paglak. Kesenian ini merupakan warisan budaya asli Osing,Suku asli Banyuwangi.Pada saat masa panen tiba, para petani menggunakan ani- anak diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan di pematang- pematang sawah. Saat menumbuk pada, para perempuan memainkan tradisi
Gedhogan, yaitu memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi ritmis yang enak didengar. Dari sinilah tradisi Ghedhogan bermula.
97
Gambar . 3.20 Kesenian gedhongan (Othek (Musik Lesung))
Kegiatan lain untuk meningkatkan perekonomian desa,seperti membangun home stay bagi para wisatawan. Untuk saat ini terdapat 55 home stay yang ada di desa Kemiren. Kemudian para remaja juga bekerjasama dengan desa untuk membuat sebuah usaha tentang kulier yang dinamai Kemangi.
Kemangi adalah nama sebuah rumah makan yang menyediakan makanan- makanan khas Osing. Ini juga sangat berpengaruh terhadap pendapatan pemuda dan juga desa Kemiren sendiri. Perekonomian warga suku Osing untuk saat ini mulai berkembang karena desa Kemiren menjadi desa adat
Osing yang sering dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun wisatawan asing.
Hal ini dapat dilihat dari antusias warga mendirikan home stay dan juga rumah makan. Selain itu di Kemiren juga terdapat hotel yang bernama hotel
Sahid (Sahid Osing Resort Kemiren). Kemiren juga merupakan jalur yan digunakan untuk para pendaki kawah Ijen, jadi Kemiren sering digunakan sebagai tempat untuk mampir sejanak. Misalnya di rumah makan Kemangi
98
yaitu rumah makan yang menu menunya adalah makanan khas Banyuwangi.
Jadi hal ini menarik minat masyarakat luar.
Gambar 3.21 Hotel Sahid
3.6 Kesenian di Desa Adat Kemiren
Kesenian di Kemiren sebagian besar merupakan bentuk ekspresi seni
masyarakat Osing yang agraris. Jenis-jenis kesenian tradisional yang masih
bertahan hingga saat ini antara lain adalah Gandrung, Barong dan Mocoan
Lontar Yusuf. Gandrung adalah sebuah seni pertunjukan yang di dalamnya
terdapat tarian dan nyanyian yang melibatkan seorang penari perempuan yang
menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan instrumen musik
khas perpaduan Jawa-Bali. (Kantor Desa Kemiren. 2019). Gandrung
merupakan seni tertua di Banyuwangi yang lahir dan muncul pertama kali pada
waktu orang-orang Blambangan membabat hutan untuk dijadikan kota baru
yang kelak menjadi Banyuwangi, tidak lama setelah Mas Alit dilantik oleh
Belanda menjadi bupati pertama pada tahun 1773. Gandrung saat itu, selain
untuk menghibur para pembabat hutan, juga untuk mengiringi upacara
99
meminta selamat berkaitan dengan pembabatan hutan yang dikenal wingit.
Gending-gending Osing yang dibawakan penari gandrung terkadang berisi petuah-petuah bijak dan kisah perjuangan melawan penjajahan, sementara itu dalam interaksinya pemaju (pengibing), penonton dan penari gandrung berbalas pantun (basanan) dengan bahasa Osing.
Di Desa Kemiren, Barong selain berfungsi secara sakral (berhubungan dengan ritual) juga berfungsi secara profan sebagai pertunjukan kesenian rakyat. Fungsi secara sakral, Barong merupakan unsur terpenting dalam ritual selametan Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Sedangkan secara profan, Barong
Kemiren merupakan sarana hiburan rakyat pada acara hajatan pernikahan, khitanan dan acara-acara lainnya. Pada konteks profan inilah Barong bertransformasi menjadi hiburan baik dalam bentuk teater tradisional berupa drama tari maupun arak-arakan dan atraksi tari Barong, meskipun unsur spiritual magis masih berperan dalam pertunjukannya. Pertunjukan Barong
Tuwek yang hanya menampilkan lakon pakem juga secara tidak langsung berisi petuah kebajikan. Di dalamnya juga bisa didapati gambaran relasi gender dalam masyarakat Osing dan gaya berpantun (basanan) masyarakat Osing dalam babak ketika para badutnya berinteraksi secara khusus.
Mocoan Lontar Yusuf, seperti banyak tradisi tutur lainnya di Nusantara, merupakan produk dari proses akulturasi atau silang budaya antara Islam dan kepercayaan serta kebudayaan lokal, dalam hal ini kebudayaan masyarakat
Osing. Persilangan budaya ini bisa dilihat dari wujud karya sastra yang dibaca, isi, bentuk, tembang, cara melagukan, bahasa yang dipakai, dan fungsinya dalam masyarakat. Lontar Yusuf pada dasarnya adalah sebuah kitab beraksara
100
Arab pegon dalam bahasa Jawa. Kendati demikian, di dalamnya juga ditemukan banyak kosakata bahasa Osing. Kitab ini disalin dan diturunkan dari generasi ke generasi. Mocoan Lontar Yusuf merupakan suatu ikhtiar dan harapan untuk mengambil barakah dari kemuliaan Nabi Yusuf. Masyarakat
Osing meyakini bahwa dengan pembacaan ini, harapan dan keinginan bias terkabulkan. Meski pada umumnya mereka tidak mengerti arti bahasa lontar
Yusuf ini, kesakralannya tetap diyakini. Di Kemiren terdapat dua kelompok yang membacakan lontar Yusuf, yaitu kelompok tua (kelompok reboan) dan kelompok muda (kelompok kemisan) (Indiarti, 2013: 79-80). Jenis kesenian yang terdapat di desa Kemiren diantaranya adalah :
• Barong : 4 Grup
• Hadrah : 3 Grup
• Gandrung terob : 2 Grup
• Karawitan : 3 Grup
• Angklung paglak : 2 Grup
• Angklung Daerah : 2 Grup
• Angklung Sindenan : 2 Grup
Di desa Kemiren juga terdapat beberapa sanggar seni antara lain, Sanggar yang terdapat di kemiren sanggar Kinjah Arum, LBO, Kemangi, Sapu Jagat, Sopo
Niro dan sebagainya. Dari bidang seni yang dimiliki oleh masyarakat suku
Osing di desa Kemiren ini juga sangat berpengaruh pada perekonomian desa dan juga masyarakat. Karena banyaknya kesenian yang dimiliki banyak anak- anak muda pecinta seni di desa Kemiren berhasil membawa karya seninya di kancah mancanegara. Seperti salah satu ajang kencantikan dunia wakil
101
Indonesia menggunakan Kostum tradisional yang yang terinspirasi dari Barong
Kemiren
Gambar. 3.22 Tugu Barong Kemiren
Kesenian yang lain di desa Kemiren adalah Angklung Paglak. Paglak adalah
gubuk kecil sederhana tanpa dinding yang terbuat dari bambu dan beratap
ijuk (anyaman daun kelapa), yang dibangun di sawah atau di dekat
pemukiman. Paglak umumnya berukuran hanya 2x3 meter dan dibangun
sekitar 10 meter di atas tanah, ditopang empat bumbu utuh sebagai kaki
penyangga. Jadi, jika seseorang ingin masuk ke dalam gubuk, ia harus
memanjat untuk mencapainya.
Awalnya, fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga padi dari
burung. Petani biasanya menjaga sawah sembari bermain alat musik angklung
dalam paglak tersebut. Karena itu, seni ini disebut angklung paglak.
Angklung paglak juga dimainkan pada saat panen padi di Desa Kemiren.
Versi lain, konon musik tersebut dulunya diciptakan untuk mengejek para
penjajah kolonial. Untuk memainkan musik tersebut dibutuhkan keberanian
dan konsentrasi ekstra karena bertempat di ketinggian. Orang-orang Belanda
102
yang ditantang untuk memainkan musik di ketinggian, tidak berani dan mengakui bahwa orang pribumi jauh lebih berani daripada mereka.
Angklung Paglak biasanya dimainkan 4 pemian laki-laki, yang terdiri dari 2 pemain angklung dan 2 orang pemukul kendang. Seperti namanya, kesenian ini harus dimainkan di atas ketinggian dari bilik Paglak. Meski begitu tidak ada perasaan takut bagi seniman saat tampil. Justru sebaliknya, bermain dari ketinggian membuat mereka semakin asyik memainkan alat musik yang diiringi canda dan senyuman. Ditambah lagi dengan ketinggian paglak, ketika angin bertiup kencang, maka panggung semakin bergoyang. Bukannya takut, hal ini justru membuat pemain angklung semakin bersemangat.
Gambar. 3.23 Tempat Angklung Paglak
Angklung Paglak haruslah memainkan lagu-lagu kuno yang diyakini mengandung nilai spiritual dan petuah kehidupan. Seperti lagu Jaran Dawuk,
Gunung Sari, Lemar limir, Gondorio, Kembang jeruk dan masih banyak lagi.
Uniknya semua lagu ini tanpa lirik (semacam Mozart) dan siapa penciptanya
103
masih misterius. Yang pasti lagu kuno tersebut dipertahankan sebagai ciri
khas kesenian Angklung Paglak.
Gambar. 3.24 Angklung Paglak
3.7 Pola Komunikasi Desa Kemiren
Max Weber (1947) menyebutkan tentang dua penyebab terbentuknya
kelompok dengan pergaulan sosial yang khas, yakni lewat suatu peristiwa
historis maupun lewat karakter ras yang diwarisi. Masyarakat Suku Osing
memiliki keduanya sebagai faktor pembentuk solidaritas etnik mereka.
Menyusul kemudian, bahasa yang mereka pakai mendapat sebutan yang
sama –Bahasa Osing– yang kini semakin mengecil wilayah tuturnya,
tergerus oleh pengaruh penggunaan Bahasa Indonesia, dan bahkan Bahasa
Jawa. Namun demikian, masyarakat Osing telah mengenali identitasnya
sebagai ”Orang Osing”, dan persamaan lain yang mengikat dan mereka
warisi, yakni suatu bahasa tutur dengan ciri dan karakteristik tersendiri. (Max
Weber. 1947).
Fungsi-fungsi bahasa, memberikan dimensi primer untuk
mengkarakterisasi dan mengorganisasikan proses komunikatif dan produk
104
dalam masyarakat. Karakteristik tersebut akhirnya memunculkan suatu pola
komunikasi yang berbeda antara masyarakat sosial satu dengan lainnya.
Sehingga dapat disimpul kan bahwa pola komunikasi dapat dipandang
sebagai cara-cara yang dipakai untuk berkomunikasi. Pola komunikasi yang
terjadi pada masyarakat etnik tertentu seperti di Suku Osing misalnya, dapat
diartikan sebagai cara-cara berkomunikasi yang dilakukan baik oleh individu
maupun kelompok masyarakat Osing. Cara-cara tersebut meliputi bagaimana
Orang Osing berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang telah
disepakati sebelumnya. Masyarakat Suku Osing di Desa Kemiren antara lain
dapat dikenali lewat ciri-ciri linguistik mereka.
Karakteristik masyarakat Osing tersebut sering mempengaruhi cara
mereka dalam berinteraksi dengan orang lain dalam kesehari annya. Di balik
keseharian mereka yang bersahaja, rupanya sarat akan petunjuk tersirat
terhadap karakteristik Suku Osing, yang mana, telah membawanya mampu
terus bertahan di tengah gerusan globalisasi dan perubahan zaman.
Terdapat tiga hal penting yang berhubungan dengan pola komunikasi masyarakat Kemiren (Serikit, P.S.R.M. 2008):
• Pola komunikasi masyarakat Kemiren sangat dipengaruhi oleh nilai dan
norma yang terkandung dalam lembaga kemasyarakatan tradisionalnya;
yaitu melabot, selametan, pengajian, arisan, dan kelompok-kelompok
kesenian. Melabot adalah bentuk gotong royong masyarakat Osing.
Melabot dilakukan apabila ada tetangga yang memiliki hajat (pernikahan,
khitanan, pindah rumah, dan yang semacamnya). Bentuk melabot yang
lazim dilakukan oleh para perempuan adalah ikut menyiapkan makanan
105
hajatan, sedangkan para pria memberikan bantuan tenaga untuk
mendirikan atau menata tempat yang dipakai untuk hajatan.
• Variasi bahasa yang digunakan didasarkan pada suasana atau setting.
Bentuk informal (interaksi keseharian) adalah yang paling sering
digunakan oleh masyarakat. Bentuk ini disebut Cara Osing. Sementara itu,
bahasa Jawa halus (karma) digunakan pada suasana yang sifatnya
seremonial (Cara Besiki).
• Bahasa tutur masyarakat Kemiren menunjukkan tidak terlalu banyaknya
variasi bahasa yang terkait dengan hubungan peran. Tidak dikenalnya
hierarki bahasa seperti contohnya dalam Bahasa Jawa menandai sifat
egaliter masyarakatnya. Andrew Beatty menyatakan bahwa ada
kecenderungan dalam masyarakat seperti itu untuk dapat hidup pada level
yang sama. Bahasa Osing bagi penutur setianya adalah salah satu cara
untuk menunjukkan hal tersebut. Sentimen atau emosi yang keluar
darinya, menurut Beatty, antara lain terutama “feeling of rukun, meaning
social harmony and mutuality” (Serikit, P.S.R.M.2008).
• Masyarakat Osing mengenal dua macam pola kepemimpinan yang sama-
sama kuat, yakni kepemimpinan formal dan tradisional. Kepemimpinan
formal membawahi wilayah administrasi desa, dan segala kebijakan yang
menyangkut orang banyak. Kepemimpinan formal tersebut berpusat pada
sosok kepala desa yang dipilih langsung oleh rakyat. Hubungan yang
terjalin antara kepala desa dengan warganya masih sangat kental dengan
nuansa kekeluargaan. Sementara itu kepemimpinan adat dipegang oleh
orang-orang yang dituakan. Tetua adat bisa jadi modin desa, juru kunci
106
makam Buyut Cili, pimpinan sanggar barong, maupun seseorang yang
sangat menguasai perihal adat di desanya.
• Keberadaan masyarakat suku Osing serta budaya Osing juga masih banyak
terlihat, salah satunya yang sangat jelas terlihat adalah dari segi Bahasa
yang masih kental akan logat Bahasa Osingnya, orang yang asing
mendengar logat Bahasa Osingpun mungkin terdengar sedikit unik dan
menarik. Bahasa ini memiliki ciri khas yaitu ada sisipan “y” dalam
pengucapannya. Seperti contoh berikut ini : madang (makan) dalam
bahasa Osing menjadi “madyang“, abang (merah) dalam bahasa Osing
menjadi “abyang“. Contoh dalam pengucapan lain dalam sebutan kata
“kopi” jika pada umumnya orang mengatakan kopi cukup dikatakan
dengan “kopi” atau “ngopi” namun pada suku osing berubah menjadi
“kopai” atau “ngopai”, dan ini di banyuwangi khususnya Desa Kemiren
sendiri masih sering digunakan untuk Bahasa keseharian mereka, tidak
seperti masyarakat osing yang bertempat tinggal di kecamatan Kota yang
sudah mulai luntur akan bahasa khas Osingnya menjadi Bahasa jawa.
3.8 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Kemiren
Macam-macam mata pencaharian masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat Kemiren adalah
Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak,
Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan
Buruh Jasa.
107
Macam-macam jenis hasil mata pencahariannya yaitu hasil pertanian yang terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat, bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga, durian, pisang, rambutan, pepaya, apokat, jeruk, dan blimbing. Dan ada terdapat juga hasil perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir- ukiran, dan kerajinan barang lainnya.
Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing terdapat teknik- teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan pembasmian hama dan teknik dalam home industri yaitu menenun, dan mengukir.
Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Kemiren adalah dalam bidang pertanian. Oleh karena mata pencaharian ini telah diturunkan secara turun temurun, maka penelusuran kearifan masyarakat juga dapat ditilik dari aktivitas di sawah, utamanya system budidaya padi. Terdapat 9 prosesi yang berkenaan dengan budidaya padi, yaitu dhawuhan, labuh nyingkal, nyawani ngurit, labuh tandur, ngrujaki, nyelameti sawah, metik, labuh nggampung, dan ngunjal. Masing-masing prosesi berisi tentang harapan agar aktivitas yang akan dilakukan diridhoi oleh Tuhan dan memberikan hasil maksimal. Dari sini bisa disimpulkan bahwa masyarakat adat sangat mensyukuri hidup, menyadari bahwa keberadaan mereka di bumi ini atas pantauan dari Tuhan, bahwa mereka tidak hidup sendirian.Data jenis mata pencaharian masyarakat desa Kemiren dapat dilihat dalam Tabel 3.1
108
Tabel 3.1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Kemiren Jumlah Jumlah Laki- Jumlah No Pekerjaan Persentase Penduduk Laki Perempuan
1 Petani/pekebun 539 220 319 20.98 %
2 Belum/tidak bekerja 386 204 182 15.03 % Mengurus rumah 3 225 0 225 8.76 %
tangga
4 Buruh harian lepas 619 330 289 24.09 %
5 Wiraswasta 201 137 64 7.82 %
6 Pelajar/mahasiswa 297 151 146 11.56 %
7 Tukang batu 12 12 0 0.47 %
8 Pensiunan 10 5 5 0.39 % Pegawai negeri 9 18 16 2 0.7 %
sipil(pns)
10 Karyawan swasta 71 44 27 2.76 %
11 Sopir 15 15 0 0.58 %
12 Peternak 1 1 0 0.04 %
13 Pedagang 21 11 10 0.82 %
14 Guru 15 3 12 0.58 % Buruh 15 56 20 36 2.18 %
tani/perkebunan
16 Konstruksi 19 19 0 0.74 % Tentara nasional 17 9 9 0 0.35 %
indonesia(tni)
18 Tukang kayu 11 11 0 0.43 %
19 Mekanik 4 4 0 0.16 %
20 Perdagangan 8 2 6 0.31 % Tukang las/pandai 21 1 1 0 0.04 %
besi
22 Tukang jahit 3 1 2 0.12 % Buruh 23 1 1 0 0.04 %
nelayan/perikanan
24 Kepolisian ri(polri) 3 3 0 0.12 %
25 Industri 1 1 0 0.04 %
26 Dosen 2 2 0 0.08 %
27 Karyawan honorer 4 1 3 0.16 %
28 Karyawan bumn 3 3 0 0.12 %
29 Perangkat desa 7 6 1 0.27 %
30 Dokter 2 2 0 0.08 %
31 Perawat 1 0 1 0.04 %
32 Seniman 3 3 0 0.12 %
33 Penata rias 1 0 1 0.04 % Sumber : Dokumen Kantor Desa Kemiren, 2020
109
Gambar. 3.25 Hamparan sawah di desa Kemiren
3.9 Perkembangan masyarakat Desa Kemiren
Desa Kemiren ditetapkan sebagai Desa Wisata Adat Osing pada tahun 1995
oleh Gubernur Jawa Timur (Basofi Sudirman). Desa Kemiren memiliki daya tarik
wisata yang tergolong unik. Desa ini dihuni oleh suku asli Kota Banyuwangi yaitu
Osing.Keistimewaan desa adat kemiren, masih menjaga tradisi – tradisi yang
sudah ada sejak nenek moyang mereka. Barong ider Bumi,Tumpeng Sewu,
arak – arakan, dan seni barong. Hidup berdampingan dengan jiwa gotong
royong, tradisi musyawarah yang terus terjaga.
110
Dinas Pariwisata dan kebudayaan menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan kegiatan wisata ke kota Banyuwangi oleh wisatawan domestik dan mancanegara namun tujuan kunjungan tersebut masih didominasi oleh kegiatan wisata alam dengan kunjungan tertinggi yang didominasi di sisi barat kota Banyuwangi yakni wisata alam Kawah Ijen. Potensi peningkatan kunjungan wisatawan pada area tersebut dapat dijalankan secara bersamaan untuk mengoptimalkan kekayaan wisata budaya Osing, asli Banyuwangi.
Pemerintah kota telah menyediakan sebuah fasilitas Desa Wisata Osing yang terletak di Desa Kemiren yang merupakan jalur strategis yang dilalui wisatawan yang menuju Kawah Ijen serta merupakan desa adat Osing yang ditetapkan pemerintah karena keberadaan pemukiman masyarakat asli
Banyuwangi. Desa Wisata Osing ini menyediakan fasilitas utama yakni, gedung kesenian sebagai obyek pelestarian kebudayaan dan fasilitas penunjang yakni, penginapan dan rekreasi berenang yang bersifat publik.
Namun belum adanya aktivitas yang dapat menghidupkan gedung kesenian sebagai obyek pelestarian kebudayaan Osing mengakibatkan wisata berenang jauh lebih diminati masyarakat sedangkan gedung kesenian hanya digunakan pada hari besar saja. (Sanjaya, Lani dan Gunawan, Rony. 2014).
Meskipun saat ini upacara ritual telah dikemas dalam bentuk
Banyuwangi festival (b-fest) namun tetap tidak mengurangi makna dari pelaksanaan ritual tersebut. Sementara itu keberadaan festival-festival lain hanya sebagai pelengkap dari seluruh rangkaian acara Banyuwangi festival.
111
3.10 Perkembangan Ngopi Sepuluh Ewu
Ngopi sepuluh ewu juga merupakan tradisi adat dimana setiap rumah
mengeluarkan kopi dan diletakkan di teras rumah masing-masing. Mereka
akan merasa sangat puas jika kopi yang diletakkan di teras banyak yang
meminum. Tradisi mepe kasur dan ngopi sepuluh ewu ini dilaksanakan setiap
bulan Suro.
Dalam perkembangan selanjutnya Ngopi sepuluh ewu tidak hanya
menyediakan kopi tapi juga jajanan khas seperti, lepet, ketan kirik, tape ketan
dan kue kucur. Namun tradisi inipun berkembang menjadi sebuah event yang
pelaksanaannya tidak disediakan didepan rumah warga namun digelar di tepi
jalan di Desa Kemiren dan menjadi event yang tidak lagi gratis.
“Sekarang acara ini menjadi bagian dari festival, digelar disepanjang
jalan Kemiren. Tidak hanya kopi tetapi juga disediakan jajanan. Tetapi jajan
itu tidak gratis, kopinya yang gratis.”
Kopi jadi salah satu cara untuk menjalin persaudaraan, salah satunya
terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Ungkapan, sekali seduh kita bersaudara
jadi paradigma masyarakat di sana, khususnya di Desa Adat Kemiren,
Kecamatan Glagah, dalam melakukan interaksi sosial. Masyarakat
menjadikan kopi sebagai medium untuk menumbuhkan kehangatan interaksi
dengan masyarakat yang lain.Untuk melestarikan budaya tersebut, Festival
Ngopi Sepuluh Ewu digelar setiap tahun. Acara tersebut diselenggarakan
pada malam hari.Seluruh latar rumah di Desa Kemiren disulap menjadi ruang
tamu yang menyuguhkan kopi Osing dan jajanan tradisional Banyuwangi
setiap acara berlangsung. Festival itu juga salah satu bentuk keterbukaan dan
112
keramahan masyarakat Banyuwangi terhadap para tamunya.Selain itu, warna ribuan cangkir yang disuguhkan adalah seragam. Untuk menghasilkan citarasa kopi yang terbaik, cara penyajiannya pun harus seragam.
Sebanyak 10 ribu atau sepuluh ewu cangkir kopi disajikan secara gratis.
Semua tamu dan wisatawan yang datang bisa menikmati kopi dan penganan khas lokal yang disajikan di rumah di desa adat tersebut.
Di desa adat Kemiren, masyarakat suku Osing yang merupakan penduduk asli Banyuwangi, punya tradisi minum kopi yang unik dan khas.
Tradisi minum kopi ini konon adalah warisan leluhur nenek moyang Kemiren yang masih dilestarikan oleh warganya hingga sekarang. Mereka memegang teguh ujaran nenek moyang yang dalam Bahasa Osing berbunyi “Welurine
Mbah Buyut Kemire ngombe kopi cangkir tutup”, yang berarti meminum kopi dengan cangkir yang ada tutupnya.
Di desa Kemiren ini, setiap keluarga memiliki paling tidak satu set cangkir keramik yang motif dan bentuknya sama. Ketika ada warga yang menikah biasanya akan diberi hadiah cangkir dengan motif yang sama. Tak heran banyak cangkir yang dimiliki warga Kemiren telah berusia puluhan tahun, karena merupakan warisan dari leluhur sebelumnya. Inilah ciri khas tersendiri yang dimiliki desa Kemiren, selain kasur warganya yang berwarna merah dan hitam semua. Bagi warga Kemiren, cangkir keramik adalah alat terbaik untuk menghidangkan kopi panas yang enak.
Mungkin ini alasan mengapa di desa Kemiren Anda tidak akan menemukan warung kopi, karena bagi masyarakat setempat minum kopi adalah kebiasaan yang dilakukan didalam rumah mereka sendiri. Mereka
113
terbiasa menerima tamu dengan menyuguhkan secangkir kopi dalam cangkir mungil lengkap dengan tatakan dan tutup cangkirnya. Bahkan warga Osing
Kemiren memiliki filosofi atau tatanan tersendiri saat menyajikan kopi kepada tamunya, yaitu gupuh, lungguh, suguh. Gupuh dapat diartikan jika menerima tamu, tuan rumah akan segera mempersilahkan masuk.
Lungguh dalam bahasa Indonesia diartikan duduk, yaitu tuan rumah akan mempersilahkan si tamu untuk duduk sesaat setelah dipersilahkan masuk.
Yang terakhir suguh, diartikan sebagai memberikan hidangan kepada tamu, dimana salah satunya adalah menghidangkan kopi. Kopi memang punya peran penting dalam laku sosial masyarakat Kemiren. Mereka punya kelakar: kalau orang ngumpul ya harus ngopi, kalau ngeteh itu untuk orang sakit.
Keramahan seperti ini merupakan tradisi warga Osing dalam menghormati tamu yang datang sekaligus untuk menumbuhkan persaudaraan.
Bagi warga Kemiren, secangkir kopi dapat mendekatkan jarak, membuat suasana lebih hangat, layaknya bertemu dengan teman lama. Simbolisasi kopi sebagai perekat persaudaraan ini terwakili dalam ungkapan setempat : “Sak corot dadi saduluran.” Yang bermakna dari secangkir kopi yang dinikmati bersama ini akan menumbuhkan rasa persaudaraan. Maka kemudian munculah jargon populer “Sekali seduh, kita bersaudara” (Bappeda
Banyuwangi. 2020).
Ide ini pun pertama kali diwujudkan pada tahun 2013 lalu dalam bentuk festival minum kopi, yang diberi nama festival seribu kopi. Yang menarik ide tentang minum kopi gratis ini benar-benar membumi, sebab berasal dari warga setempat dan dananya pun hasil swadaya masyarakat sendiri tanpa
114
bantuan APBD Banyuwangi. Pada saat itu hanya seribu cangkir kopi yang disajikan kepada pengunjung secara gratis.
Melihat antusias pengunjung yang begitu besar, maka pada selanjutnya jumlah kopi yang disiapkan pun meningkatkan drastis menjadi sepuluh ribu cangkir. Jadilah Festival Ngopi Sepuluh Ewu menjadi contoh nyata mempertahankan tradisi gotong royong karena semua acara digarap bersama- sama oleh warga. Festival Ngopi Sepuluh Ewu ini mulai diagendakan di tahun 2014. Festival Ngopi Sepuluh Ewu dilaksanakan pada 23 November
2014. Tempatnya adalah Desa Kemiren, desa yang sudah lama dikenal sebagai desa yang masih kental nuansa budaya Osing. Tahun ini jumlah cangkir meningkat jadi 10 ribu, alias sepuluh ewu. Panitia menyiapkan 2,5 kuintal biji kopi robusta yang diambil dari perkebunan kopi di daerah
Kalibendo dan Kemiren.
Bahkan ada seorang dermawan yang suka rela membantu, yaitu Setiawan
Subekti. Pak Iwan —panggilan akrab Setiawan— sendiri merupakan seorang tester kopi internasional yang sudah melalang buana di banyak negara sebagai juri kompetisi kopi. Selain memberikan hasil kebun kopinya untuk acara ini, Iwan dikenal sebagai pengusaha yang membeli kopi dari petani lokal untuk kembali dijual di Bali. Kopi ini dikenal dengan sebutan Kopi
Kemiren, atau Kopi Jaran Goyang.
Festival Ngopi Sepuluh Ewu sudah memasuki tahun ketujuh yaitu tahun
2019 dan menjadi “hari raya”-nya pemuja kopi. Selain menikmati kopi khas
Banyuwangi, pengunjung bisa bersilaturahmi sekaligus mengenal keunikan desa adat Kemiren. Acara ini menjadi cara untuk mengundang orang datang
115
ke sini. Sebagai desa wisata, kedatangan orang ke Kemiren menjadi sesuatu
yang penting untuk menggerakkan sektor ekonomi kreatif yang sedang
tumbuh di sini. Seperti kuliner, batik, seni pertunjukan hingga penginapan.
Pada 2020 akan diadakan festival ke VIII yang sudah diagendakan pada 3
Oktober 2020.Untuk data kegiatan Ngopi Sepuluh Ewu bisa dilihat di tabel
3.2 di bawah ini.
TABEL 3.2 DATA PELAKSANAAN FESTIVAL NGOPI SEPULUH EWU DI DESA KEMIREN BANYUWANGI
NAMA NO FESTIVA TAHUN TANGGAL L KE- PELAKSANAAN FESTIVAL KET. Tidak Festival Seribu tercatat 1 I 2013 Tidak tercatat Kopi tanggalnya Festival Ngopi 2 II 2014 23 Nopember 2014 Sepuluh Ewu Festival Ngopi 3 III 2015 20 Oktober 2015 Sepuluh Ewu Festival Ngopi 4 IV 2016 5 Nopember 2016 Sepuluh Ewu Festival Ngopi 5 V 2017 21 Oktober 2017 Sepuluh Ewu Festival Ngopi 6 VI 2018 10 Nopember 2018 Sepuluh Ewu Festival Ngopi 7 VII 2019 12 Oktober 2019 Sepuluh Ewu Festival Ngopi 8 VIII 2020 03 Oktober 2020 Sepuluh Ewu Diagendakan
Sumber. Kantor Desa Kemiren. 2020.
Banyuwangi memiliki rangkaian acara yang digelar setiap tahunnya,
acara tersebut dikenal dengan “Majestic Banyuwangi Festival”. Ada 123
macam acara yang akan digelar di tahun 2020 ini, dan semuanya penuh
dengan keunikan serta ciri khas tersendiri tentang seni dan budaya
116
Banyuwangi dan beberapa event yang bertajuk millenial.Dan acara Ngopi
Sepuluh Ewumerupakan salah satuacara dalam rangkaian “Majestic
Banyuwangi Festival”.
Gambar.3.26 Jadwal Festival tahun 2020
Festival Ngopi Sepuluh Ewu bukan acara minum kopi secara massal di satu tempat, melainkan pertunjukan budaya bahwa ngopi yang merupakan tradisi asli warga Kemiren yang menggambarkan keramahan dan kemurahhatian warga Osing. Festival Ngopi Sepuluh Ewu berlangsung sederhana namun meriah. Untuk menyambut pengunjung, warga Kemiren
117
akan menyulap seluruh latar rumahnya menjadi ruang tamu. Setiap depan rumah disiapkan meja lengkap dengan kursi dan perlengkapan untuk minum, seperti cangkir dan alasnya yang terbuat dari keramik, toples kaca dengan bentuk khas berisi bubuk kopi dan gula serta termos berisi air panas.Yang menarik, ribuan cangkir yang digunakan motifnya seragam, berornamen bunga. Cara penyajiannya pun seragam, karena diyakini bisa menghasilkan rasa kopi terbaik. Pengunjung bebas duduk di halaman rumah siapa saja.
Mereka yang datang akan dipersilahkan duduk di kursi, sang empunya rumah akan mengajak ngobrol ringan si tamu. Ditemani secangkir kopi, suasana pun menjadi guyub dan hangat.Sebagai pelengkap ngopi, di meja tersaji jajanan tradisional khas setempat seperti singkong goreng, tape ketan yang dibungkus daun kemiri, tetel ketan, kue cucur, bolu, dan rengginang. Khas cemilan wong ndeso. Menikmati kopi sambil bercengkrama, bersenda gurau sembari diiringi alunan musik tradisional. Suasana malam makin romantis dengan dipasangnya obor dan lampu teplok sebagai penerangan.
Untuk menemani 3 kwintal kopi yang akan dihidangkan nanti, para
'pemilik rumah' biasanya juga menawarkan berbagai camilan dan makanan khas Banyuwangi di atas meja. Nanti setiap meja akan kita berikan 250 gram kopi siap seduh untuk tahap pertama. Itu nanti kondisional tergantung jumlah tamu yang dating. Kopi telah menjadi salah satu produk perkebunan yang menjadi andalan Banyuwangi. Data mencatat produksi kopi di Banyuwangi mencapai 8.047 ton pada 2015, meningkat dari tahun 2014 yang 7.992 ton.
Angka produktivitasnya mencapai 19,49 kwintal per hektar pada 2015.
118
Selain secangkir kopi yang diolah sesuai kebiasaan mengolah biji kopi di keluarga mereka, aneka kudapan yang disajikan di atas meja juga menarik perhatian. Mulai dari kue cucur, lepet, tape yang dibungkus dengan daun kemiri, kacang rebus, rengginang, peyek kacang, hingga warna-warni cenil berbahan dasar singkong yang menggugah selera makan. Katanya nggak baik menolak suguhan yang disajikan tuan rumah ketika bertamu di rumahnya.
Maka dari itu nggak boleh menolak apa yang sudah dihidangkan di atas meja tamu. Puk-puk perut kekenyangan. Kesenian daerah yang masih lestari di
Kecamatan Glagah ikut ditonjolkan selama Festival Ngopi Sepuluh Ewu berlangsung. Salah satunya adalah menghadirkan permainan musik dan lagu dengan bahasa Osing, serta Barong Kemiren yang masih lestari dan dianggap sangat sakral oleh masyarakat Banyuwangi. Lapak-lapak penjual kopi
Banyuwangi juga membuka stan di beberapa titik di sepanjang jalan.
Gambar.3.27 Acara Ngopi Sepuluh Ewu tahun 2019
119
Gambar 3.28 Pengunjung Saat Ngopi Sepuluh Ewu
120