I. RANGKUMAN EVALUASI KINERJA DPR MS I TS 2018-2019 (RILIS 23 NOVEMBER 2018)

HARI KERJA MAXI HASIL MINI (Evaluasi Kinerja DPR Selama MS I TS 2018-2019)

Jakarta, 23 November 2018

A. Pengantar Pasal 1 angka 13 Pertaturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (Tatib) sebagaimana telah diubah tiga kali, terakhir melalui persetujuan Rapat Paripurna (Rapur) 16 Oktober 2018 menyatakan bahwa Masa Sidang (MS) adalah masa DPR melakukan kegiatan terutama di dalam gedung DPR. Selanjutnya Pasal 225 Tatib DPR menyatakan bahwa: Pimpinan DPR menyampaikan pidato pembukaan yang terutama menguraikan rencana kegiatan DPR dalam masa sidang yang bersangkutan dan masalah yang dipandang perlu disampaikan dalam rapat paripurna DPR pertama dari suatu masa sidang. Sedangkan pada penutupan masa sidang, Pimpinan DPR menyampaikan pidato penutupan yang menguraikan hasil kegiatan dalam masa reses sebelumnya, hasil kegiatan selama masa sidang yang bersangkutan, rencana kegiatan dalam masa reses berikutnya, dan masalah yang dipandang perlu disampaikan dalam rapat paripurna DPR dari suatu masa sidang. Menurut Pasal 69 dan 70 UU No. 17/2014 sebagaimana telah diubah tiga kali (terakhir dengan UU No. 2/2018) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), DPR memiliki tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

B. Rencana Kerja DPR Selama MS I TS 2018-2019 Rencana kegiatan untuk melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan selama MS I TS 2018-2019 setidaknya dapat ditemukan pada tiga dokumen berikut: (1) putusan Rapat Konsultasi antara Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi 25 Juli 2018 sebagai pengganti Rapat Badan Musyawarah (Bamus) tentang Jadwal Acara Rapat-

1 rapat DPR RI Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019;1 (2) Pidato Ketua DPR pada Pembukaan MS I TS 2018-2019;2 (3) agenda harian rapat-rapat DPR. Dalam jadwal acara tersebut, Rapat-rapat Paripurna direncanakan sebanyak 12 (dua belas) kali. Untuk melaksanakan fungsi legislasi telah dirancang rapat-rapat Komisi I s/d XI dan Badan Legislasi maupun Pansus RUU sebanyak 107 kali rapat terdiri atas: Komisi I s/d XI 26 kali. Baleg 55 kali, Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan RUU dilakukan sebanyak 26 kali sidang. Untuk melaksanakan fungsi anggaran direncanakan rapat-rapat (Komisi I s/d XI dan Badan Anggaran sebanyak 127 kali. Terdiri atas Rapat Komisi I s/d XI 92 kali rapat, Rapat Banggar sebanyak 35 kali (selengkapnya lihat lampiran 2). Sedangkan untuk melaksanakan fungsi pengawasan telah direncanakan rapat Komisi I s/d XI dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebanyak 96 kali, terdiri atas Rapat Komisi I s/d XI sebanyak 85 kali dan 11 kali rapat BAKN (selengkapnya lihat lampiran 3). Namun berdasarkan informasi yang dapat dirunut dari laman dpr.go.id maupun media massa lainnya, dalam Pidato Pembukaan MS I TS 2018-2019 pada 16 Agustus 2018, Ketua DPR tidak mengemukakan secara lengkap rencana kegiatan DPR selama MS I TS 2018-2019. Ketua DPR hanya memfokuskan pada harapan DPR terhadap RAPBN 2019 yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Rapur 16 Agustus 2018. Selama MS I TS 2018-2019 dirancang pula pelaksanaan tugas Tim yang dibentuk oleh DPR maupun Komisi. Terdapat 7 Tim yang direncanakan melaksanakan tugasnya, yaitu: (1) Tim Pengawas DPR RI terhadap Perlindungan Pekerja Migran ; (2) Tim Implementasi Reformasi DPR RI; (3) Tim Pemantau DPR RI terhadap Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, serta Pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; (4) Tim Pemantau dan Evaluasi Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP); (5) Tim Penguatan Diplomasi Parlemen; (6) Tim Pengawas

1Jadwal Acara Rapat DPR-RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus s.d. 18 November 2018), Sekretariat Jenderal DPR RI, 10 Agustus 2018 dalam http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BAMUS-10-8f48c68f94b0433308b9be94c206c5ef.pdf. 2Pasal 225 Tatib DPR menyatakan bahwa: Pimpinan DPR menyampaikan pidato pembukaan yang terutama menguraikan rencana kegiatan DPR dalam masa sidang yang bersangkutan dan masalah yang dipandang perlu disampaikan dalam rapat paripurna DPR pertama dari suatu masa sidang. Sedangkan pada penutupan masa sidang, Pimpinan DPR menyampaikan pidato penutupan yang menguraikan hasil kegiatan dalam masa reses sebelumnya, hasil kegiatan selama masa sidang yang bersangkutan, rencana kegiatan dalam masa reses berikutnya, dan masalah yang dipandang perlu disampaikan dalam rapat paripurna DPR dari suatu masa sidang.

2

DPR RI tentang Pembangunan Wilayah Perbatasan; dan (7) Tim Pengawas DPR RI terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji.3

C. Sistematika Evaluasi Mencermati rencana kegiatan DPR yang telah disusun seperti tersebut di atas dan juga Pidato Pembukaan Masa Sidang pada 16 Agustus 2018, evaluasi terhadap kinerja DPR selama satu masa sidang (MS I TS 2018-2019), mencakup empat aspek, yaitu: (1) rencana kegiatan dan hasil pelaksanaan fungsi legislasi; (2) rencana kegiatan dan hasil pelaksanaan fungsi anggaran; (3) rencana kegiatan dan hasil pelaksanaan fungsi pengawasan; (4) evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan kelembagaan DPR, mencakup Pimpinan DPR, Pimpinan Komisi dan AKD, tingkat kehadiran anggota, serta penegakan kode etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.

D. Pelaksanaan Fungsi Legislasi Rapat-rapat AKD untuk melaksanakan fungsi legislasi direncanakan sebanyak 107 kali. Rapat AKD yang secara khusus membahasa RUU oleh Panitia Khusus dilakukan sebanyak 26 kali. Dalam Pidato Pembukaan MS I TS 2018-2019, 3 RUU ditargetkan selesai pembahasannya. Sementara berdasarkan Agenda kegiatan yang tercantum pada kalender kerja DPR, terdapat 21 RUU yang direncanakan oleh masing- masing AKD untuk dikerjakan selama MS I. Jadi total ada sekitar 24 RUU yang direncanakan DPR untuk dibahas pada MS I lalu. Melalui penelusuran pada laman dpr.go.id, diketahui bahwa selama MS I TS 2018- 2019, RUU yang dibahas DPR oleh Komisi-komisi DPR sebanyak 16 RUU, terdiri atas 3 RUU Kumulatif Kerbuka (RUU APBN 2019, RUU Kerjasama Pertahanan Indonesia dengan Belanda dan RUU Kerjasama Pertahanan Indonesia dengan Arab Saudi). Sedangkan 13 RUU lainnya merupakan RUU Prolegnas Prioritas. Sekalipun begitu, yang berhasil disahkan menjadi UU hanyalah 3 RUU Kumulatif Terbuka. Sedangkan RUU- RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2018 tidak ada satupun yang berhasil diselesaikan pembahasannya untuk disahkan menjadi Undang-undang. Lebih dari itu, RUU-RUU yang sudah dibahas selama lebih dari 5 kali masa sidangpun, pada Rapur Penutupan MS I TS 2018-2019 31 Oktober 2018 justru disetujui untuk diperpanjang lagi waktu pembahasannya. Jumlah RUU yang diperpanjang lagi pada Rapur 31 Oktober 2018 ada 15 RUU terdiri atas: (1) RUU tentang larangan minuman beralkohol; (2) RUU tentang pertembakauan; (3) RUU tentang sisnas iptek; (4) RUU tentang kewirausahaan nasional; (5) RUU tentang wawasan nusantara; (6) RUU tentang kuhp; (7) RUU tentang jabatan hakim; (8) RUU tentang Mahkamah Konstitusi; (9) RUU tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; (10) RUU tentang perkoperasian; (11) RUU tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umroh; (12) RUU tentang penghapusan

3 Lihat Jadwal Acara Rapat DPR-RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus s.d. 18 November 2018), Sekretariat Jenderal DPR RI, 10 Agustus 2018 dalam http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BAMUS-10-8f48c68f94b0433308b9be94c206c5ef.pdf

3 kekerasan seksual; (13) RUU tentang kebidanan; (14) RUU tentang perubahan atas undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara; (15) RUU tentang ekonomi kreatif. Padahal menurut ketentuan Pasal 140 Peraturan Tatib DPR, pembahasan RUU masimal dilakukan selama 3 (tiga) kali masa sidang. Perpanjangan waktu pembahasan suatu RUU memang diberi peluang dan landasan hukum, yaitu diatur dalam Pasal 143 Peraturan Tatib DPR. Pada ayat (1) Pasal 143 dinyatakan bahwa Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) kali masa sidang. Tetapi terdapat kalimat lanjutan dapat diperpanjang. Namun mekanisme permintaan perpanjangan dan alasannya harus jelas. Hal itu diatur pada Pasal 143 ayat (1) Peraturan Tatib DPR, antara lain didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan berikut: diputuskan rapat paripurna DPR sesuai dengan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus.Perpanjangan diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan rancangan undang-undang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas dari komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus. Kecuali itu diatur pula bahwa Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, dan pimpinan panitia khusus memberikan laporan perkembangan pembahasan rancangan undang-undang kepada Badan Musyawarah paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) masa sidang dan tembusan kepada Badan Legislasi. Sekalipun begitu, apa yang menjadi alasan perpanjangan pembahasan 15 RUU tersebut di atas sulit dilacak masyarakat apakah karena materi muatan RUU bersifat kompleks dan jumlah pasalnya banyak, ataukah karena apa. Tidak berhasil disahkannya RUU-RUU yang termasuk ke dalam Prolegnas 2018 maupun RUU yang ditargetkan penyelesaiannya oleh Ketua DPR pada Pidato Pembukaan MS I TS 2018-2019 dapat diduga karena konsentrasi para anggota DPR difokuskan pada pembahasan secara kritis terhadap RAPBN 2019 demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi di sisi lain dapat diduga pula bahwa tidak dapat diselesaikan pembahasan RUU tersebut karena para anggota DPR memang tidak peduli pada asas prioritas penyelesaian RUU yang telah ditetapkannya sendiri.

E. Pelaksanaan Fungsi Anggaran Menurut Pasal 70 ayat (2) UU MD3, dalam membahas RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, DPR dapat memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan. Rumusan seperti ini dapat dimaknai sebagai peluang bagi DPR untuk bersikap kritis dalam membahas RAPBN 2019 bersama pasangan kerjanya. Sekalipun begitu, amanat konstitusional untuk kritis tersebut ada diantaranya yang tidak dimanfaatkan. Lebih dari itu ada pula Komisi tertentu yang membiarkan Pemerintah melanggar sendiri Peraturan Menteri Keuangan No. 258/2015 yang mengatur pemberian penghargaan/sanksi kepada Kementerian/Lembaga (K/L) dalam penambahan pagu anggaran tahun anggaran berikutnya dibanding tahun anggaran sebelumnya. Salah satu kriteria dapat diberikannya tambahan anggaran adalah bahwa K/L yang bersangkutan mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun dalam penetapan APBN 2019, terdapat

4

K/L yang menurut Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS I) tahun 2018 mendapatkan opini WDP dari BPK, pagu anggarannya dapat disetujui dinaikkan dari APBN 2018 ke APBN 2019. Hal itu diberikan kepada Badan Keamanan Laut/Bakamla dari Rp. 425,7 milliar dinaikkan menjadi Rp. 447,4 miliar. Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dinaikkan dari Rp. 958,1 miliar menjadi Rp. 994,1 miliar, sedangkan Badan Pengawas Tenaga Nuklir dinaikkan dari Rp. 175,4 miliar menjadi Rp. 178, 7 miliar. Bahkan ada pula Komisi tertentu (Komisi VIII), dalam rapat pembahasan anggaran dengan K/L pasangan kerjanya dilakukan secara tertutup. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 246 ayat (2) Tatib DPR yang menetukan bahwa setiap rapat DPR bersifat terbuka, kecuali dinyatakan tertutup. DPR memang punya hak untuk melakukan rapat tertutup tetapi persoalannya adalah rapat yang tertutup ini membahas pagu anggaran Kementerian/Lembaga yang dananya akan dikucurkan dari pembiayaan negara, bagaimana mungkin rakyat tidak boleh tahu. Jangan-jangan sengaja dirahasiakan, alasan rapat tertutup juga tidak disampaikan. Sikap ini tentu tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Kecuali itu rapat tertutup Komisi VIII mengkhianati slogan DPR sebagai DPR modern dan juga slogan “DPR Now” yang dicanangkan oleh Ketua DPR pada 29 Agustus 2018 bahwa “DPR Now” merupakan perwujudan DPR modern. Padahal kriteria modernitas antara lain adalah adanya keterbukaan, akuntabel, mudah di akses dan lain sebagainya. Dalam melaksanakan fungsi anggaran untuk APBN 2019, DPR juga tidak kritis terhadap kemauan Pemerintah melakukan Penambahan Penyertaan Modal Negara (PNM) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas. Pasal 5 huruf c menyatakan bahwa Penambahan penyertaan modal Negara ke dalam suatu BUMN dan Perseroan Terbatas dilakukan dalam rangka: a. memperbaiki struktur permodalan BUMN dan Perseroan Terbatas; dan/atau b. meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas. Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan huruf b PP tersebut diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri dan Menteri Teknis. Namun penambahan PMN pada APBN 2019 sebesar Rp 6.500.000.000.000 (Enam Triliun Lima ratus milliar Rupiah) kepada PT PLN yang mengalami kerugian sepanjang Tahun 2018 serta terjadinya kasus korupsi di PT PLN yang melibatkan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dalam proyek PLTU-I Riau tidak menjadi pertimbangan pemerintah. Terhadap kondisi seperti itu, DPR tidak seharusnya menyetujui PMN terhadap PT PLN, apalagi jika DPR memperhatikan betul IHPS I Tahun 2018 dari BPK yang menemukan terjadinya ketidakpatuhan terhadap peratuan perundang-udangan oleh PT PLN, yaitu ditemukannya penambahan pagu anggaran Subsidi Listrik Tahun 2017 sebesar Rp 5,22 triliun yang tidak sesuai dengan UU APBN/APBN-P dan tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai. Akibatnya, belanja subsidi listrik sebesar Rp 5,22 triliun direalisasikan tanpa penganggaran dalam

5

APBN/APBN-P serta tidak didukung dengan dasar hukum yang jelas dan diragukan keabsahannya.4 Postur APBN 2019 menggambarkan ketidak konsistenan DPR dalam mengkritisi APBN. Di satu sisi DPR berhasil mendorong peningkatan jumlah pendapatan negara, namun di sisi lain DPR juga memberikan anggaran belanja negara di atas angka yang diajukan pemerintah. Seharusnya, keinginan untuk meningkatkan pendapatan negara dapat diselaraskan juga dengan kemampaun berhemat sebagaimana DPR dalam beberapa kali cemas dengan utang negara.

F. Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan DPR dilakukan terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah, pelaksanaan UU, pelaksanaan APBN dan tindak lanjut temuan BPK. Pengawasan terhadap kebijakan pemerintah yang disoroti DPR antara lain, soal validasi data kemiskinan di BPS, pengelolaan aset-aset Negara yang berada di kawasan Gelora Bung Karno dan Kemayoran, perlunya peningkatan dan penguatan, pemberdayaan serta kesejahteraan nelayan, Fungsi Perum BULOG sebagai penerima Public Service Obligation (PSO) dan fungsi komersial agar dapat berjalan beriringan sehingga BULOG sebagai stabilisasi harga dan fungsi stok pangan nasional dapat berjalan optimal, mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan RI untuk segera mencairkan dana cadangan program Jaminan Kesehatan Nasional sebesar Rp 4,99 triliun guna menyelesaikan defisit BPJS Kesehatan. Dalam mengawasi pelaksanaan UU dan peraturan pelaksanaannya, DPR tidak jeli, bahkan seolah melakukan pembiaran pelanggaran peraturan perundang-undangan. Hal itu tampak antara lain pada pembiaran kepada Pemerintah melanggar PMK No. 258/2015. Kecuali itu juga membiarkan terjadinya penambahan pagu anggaran Subsidi Listrik Tahun 2017 sebesar Rp 5,22 triliun yang tidak sesuai dengan UU APBN/APBN-P dan tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai. Dengan demikian, penambahan belanja subsidi listrik sebesar Rp 5,22 triliun direalisasikan tanpa penganggaran dalam APBN/APBN-P serta tidak didukung dengan dasar hukum yang jelas. Kasus ini ditemukan oleh BPK pada laporaan IHPS I 2018. Tetapi DPR tidak tampak mengambil sikap terkait kasus ini. Padahal BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan bersama DPR untuk mengatur mekanisme mekanisme pertanggungjawaban atas penambahan anggaran pagu APBN subsidi di luar parameter yang ditetapkan. Terhadap temuan dan rekomendasi BPK ini, selama MS I TS 2018-2019 tidak menindaklanjuti. Dalam mengawasi pelaksanaan APBN, DPR juga tampak melakukan pembiaran pelanggaran PMK No. 258 tahun 2015 tentang pemberian penghargaan/sanksi terhadap Kementerian/Lembaga terkait pelaksanaan penggunaan keuangan di K/L yang bersangkutan berupa dapat diberikan atau tidaknya tambahan anggaran kepada K/L pada tahun anggaran (t/a.) berikutnya. Salah satu persyaratan K/L dapat diberikan tambahan anggaran pada t.a. berikutnya adalah jika K/L tersebut diberikan opini Wajar

4 Lihat temuan BPK dalam IHPS I Tahun 2018 pada http://www.bpk.go.id/assets/files/ihps/2018/I/ihps_i_2018_1538459607.pdf

6

Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK. Namun ternyata ada K/L yang mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) bahkan ada yang diberi opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) dari BPK, tetapi anggaran untuk K/L tersebut pada APBN 2019 disetujui untuk dinaikkan jika dibandingkan anggaran pada APBN 2018. Persetujuan pemberian kenaikan anggaran pada APBN 2019 dari APBN 2018 itu diberikan kepada 3 Lembaga, yaitu Badan Keamanan Laut (diberi opini TMP), Lembaga Penyiaran Publik RRI (diberi opini WDP), dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir ( diberi opini WDP). Terjadi pula persetujuan penambahan modal Negara (PMN) pada APBN 2019 sebesar Rp 6.500.000.000.000 (Enam Triliun Lima ratus milliar Rupiah) kepada PT PLN yang mengalami kerugian sepanjang Tahun 2018 serta terjadinya kasus korupsi di PT PLN yang melibatkan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dalam proyek PLTU-I Riau. Disetujuinya penaikan anggaran pada APBN 2019 kepada lembaga-lembaga ini menunjukkan bahwa DPR tidak jeli dalam mengawasi pelaksanaan APBN. DPR juga luput mengkritisi PNM kepada PT PLN pada APBN 2019, padahal di BUMN ini pernah terjadi korupsi yang melibatkan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih. Pengawasan DPR dilakukan pula melalui pelaksanaan kegiatan Tim Pengawas yang dibentuknya. Selama MS I TS 2018-2019, DPR mengadendakan pelaksanaan tugas 7 Tim Pengawas, yakni: (1) Tim Pengawas DPR RI terhadap Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (dibentuk sejak 26 Januari 2015) ; (2) Tim Implementasi Reformasi DPR RI (dibentuk sejak 5 Februari 2015); (3) Tim Pemantau DPR RI terhadap Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, serta Pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (dibentuk sejak 26 Januari 2015); (4) Tim Pemantau dan Evaluasi Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan/UP2DP (dibentuk sejak 26 Januari 2015); (5) Tim Penguatan Diplomasi Parlemen (dibentuk sejak 3 Januari 2015); (6) Tim Pengawas DPR RI tentang Pembangunan Wilayah Perbatasan (dibentuk sejak 27 Juli 2016); dan (7) Tim Pengawas DPR RI terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji.5 Namun hanya satu Tim Pengawas bentukan DPR yang terberitakan di media massa melakukan kegiatannya, yaitu Tim Pengawas DPR RI terhadap Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Hal itu nampak pada terjadinya Rapat Tim bersama Pemerintah pada 3 Oktober 2018.6 Sebaliknya enam Tim yang lain tidak ditemukan

5 Jadwal Acara Rapat DPR-RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus s.d. 18 November 2018), Sekretariat Jenderal DPR RI, 10 Agustus 2018 (http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BAMUS-10- 8f48c68f94b0433308b9be94c206c5ef.pdf) 6http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/22407/t/Layanan+Satu+Atap+PMI+Belum+Banyak +Terbentuk. Lihat pula http://www.tribunnews.com/nasional/2018/10/03/rieke-diah-pitaloka-uu-ppmi-perlu-pp- penanganan-khusus.

7 beritanya tentang pelaksanaan tugas mereka. Jika semua anggota Tim tersebut mendapat tunjangan jabatan, maka patut diduga telah terjadi pemborosan keuangan Negara. Terkait pelaksanaan Kunjungan Kerja (Kunker) selama MS I TS 2018-2019 ditemukan ada 86 Kunker yang dilakukan oleh Komisi I s/d XI serta AKD lainnya. Namun ditemukan berita adanya AKD, yakni Badan Urusan Rumah Tangga yang tujuan kunkernya semata-mata hanya untuk kepentingan anggota DPR sendiri, yakni memastikan pelayanan rumah sakit-rumah sakit dalam melayani anggota DPR sebagai peserta Jaminan Kesehatan (kelas) Utama (Jamkestama). Diantara 86 kunker, terdapat sekitar 37 kunker (42,53%) yang hanya dilakukan pertemuan di kantor Gubernuran, Bupati, Hotel dan sebagainya. Hal ini patut diduga bahwa kunker tersebut tidak membumi (tidak menemui rakyat secara langsung di tempat mereka berada/beraktifitas sehari-hari). Salah satu aspek lain yang diawasi oleh DPR adalah menindaklanjuti temuan- temuan hasil pemeriksaan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) oleh Komisi maupun BAKN. Dalam IHPS I 2018 yang disampaikan BPK kepada DPR pada 2 Oktober 2018 ditemukan jumlah dan nilai Permasalahan Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan pada Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga (LKKL) serta Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) Tahun 2017.7 Permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain terdiri atas: (1) Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Subbidang Prioritas Daerah dan Tambahan DAK Fisik Percepatan Infrastruktur Publik Daerah Tahun Anggaran (TA) 2017 tidak berdasarkan mekanisme dan formula perhitungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, DAK Fisik Afirmasi TA 2017 belum sepenuhnya sesuai dengan kategori daerah afirmasi sebagaimana ditetapkan dalam UU APBN. Akibatnya, timbul risiko penyimpangan dalam pelaksanaannya dan berpotensi tidak memenuhi asas keadilan dan objektivitas serta hasilnya berisiko tidak dimanfaatkan; (2) Penambahan pagu anggaran Subsidi Listrik Tahun 2017 sebesar Rp 5,22 triliun tidak sesuai dengan UU APBN-P dan tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai. Akibatnya, belanja subsidi listrik sebesar Rp 5,22 triliun direalisasikan tanpa penganggaran dalam APBN/APBN-P serta tidak didukung dengan dasar hukum yang jelas dan diragukan keabsahannya. Sekalipun menurut Jadwal Rapat-rapat DPR selama MS I TS 2018-2019 direncakan rapat pengawasan sebanyak 85 kali rapat oleh Komisi I s/d XI dan 11 kali rapat pengawasan oleh BAKN, dan terdapat begitu banyak temuan BPK, tetapi melalui penelusuran Laporan Singkat Rapat-rapat Komisi dengan K/L yang menjadi pasangan kerjanya, tidak ditemukan satupun Rapat Komisi/AKD yang mengagendakan tindak lanjut temuan-temuan BPK. Secara demikian dapat disebut bahwa selama MS I TS 2018- 2019, DPR telah melakukan pembiaran atas temuan-temuan BPK.

7Selengkapnya lihat IHPS I 2018 BPK (http://www.bpk.go.id/assets/files/ihps/2018/I/ihps_i_2018_1538459607.pdf)

8

G. Kinerja Kelembagaan Salah satu aspek penting lain yang dapat menjadi ukuran DPR sebagai lembaga berkinerja baik atau buruk adalah melihat kinerja Pimpinan DPR, tingkat kehadiran anggota dalam rapat-rapat paripurna maupun penegakan kode etik DPR terhadap pelanggarnya. Pimpinan DPR memiliki posisi yang sangat strategis. Dengan wewenang yang dimilikinya, pimpinan DPR dapat merencanakan dan mengarahkan kebijakan yang perlu diambil serta menentukan keputusan yang akan dan harus diambil. Gambaran paling nyata dapat dilihat dari kebijakan yang diambil pimpinan DPR ketika salah satu atau lebih pimpinan tersebut tersangkut kasus, entah pelanggaran kode etik atau hukum. Kasus terbaru misalnya yang menimpa Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (TK) yang dijadikan tersangka dan ditahan oleh KPK karena diduga terlibat tindak pidana korupsi. Untuk menjaga kredibilitas DPR, sudah semestinya yang bersangkutan mengundurkan diri. Namun yang aneh adalah pernyataan Ketua DPR Bambang Soesatyo yang mengatakan bahwa TK tidak perlu mundur.8 Sekalipun Pimpinan DPR bersifat kolektif dan kolegial, pernyataan Bambang Soesatyo terkait kasus Taufik Kurniawan terkesankan sebagai membela koleganya sendiri sebagai sesama pimpinan DPR. Kebebasan berpendapat memang dijamin konstitusi dan undang-undang bagi setiap warga negara (termasuk anggota dan pimpinan DPR). Namun sebagai orang yang mengatasnamakan lembaga negara terhormat seperti DPR hendaknya juga menyampaikan pendapat secara terhormat dan mengindahkan prosedur kelembagaan secara benar. Pendapat termasuk kritik hendaknya disampaikan dengan baik, disertai data dan solusi untuk memperbaiki hal yang dikritik itu. Kritik terhadap pemerintah misalnya ada mekanisme dan prosedurnya sendiri. Semestinya DPR menyampaikan kritik secara kelembagaan, antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kritik itu diperbincangkan dulu secara internal DPR lalu diambil keputusan, baru kemudian disampaikan Pimpinan DPR sebagai jurubicara kepada Pemerintah. Namun yang terjadi saat ini justru tidak demikian, setiap anggota DPR seenaknya mengkritik pemerintah dan seolah-olah itu pendapat DPR sebagai lembaga. Isi dan tujuan kritik juga hanya untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Cara seperti ini justru mencerminkan ketidakberadaban berdemokrasi dan berkonstitusi. Oleh karena itu, kembalikan cara kritik DPR ke pemerintah secara kelembagaan agar mekanisme checks and balances memang terjadi antara legislatif dan eksekutif. Wakil Ketua DPR yang diduga terlibat dalam kasus penyebaran berita bohong atau hoax terkait Ratna Sarmpaet. Melalui akun twiternya, Fadli Zon mencuitkan: "Mbak@RatnaSpaet memang mengalami penganiayaan dan pengeroyokan oleh oknum yang belum jelas. Jahat dan biadab sekali." Fadli Zon juga mengunggah foto dirinya dengan Ratna yang menggunakan baju berwarna biru dengan motif garis- garis. "Saya menjenguk Mbak @RatnaSpaet saat proses recovery dua hari lalu.

8 https://news.detik.com/berita/4282169/akankah-taufik-kurniawan-bertahan-di-dpr-dengan- status-tersangka

9

Tindakan penganiayaan ini memang sungguh keji."9 Padahal berita penganiayaan dan pengeroyokan itu bohong sebagaimana diakui sendiri oleh Ratna Sarumpaet.10 Terhadap kasus ini dapat dikritisi dalam tiga hal, yakni pertama, bagaimana seorang pejabat negara selevel Wakil Ketua DPR tidak cermat menilai dan menyaring suatu informasi, bahkan berita yang pada akhirnya terungkap bohong justru disebarkan melalui akun twiternya. Kedua, setelah mengetahui berita itu bohong, Fadli Zon justru memojokkan Ratna Sarumpaet seolah-olah hanya Ratna yang salah. Padahal berita bohong itu menjadi tersebar dan viral justru salah satunya karena cuitan akun twiter Fadli Zon. Tanggung jawab penyebaran berita hoax tersebut juga menjadi dan tidak bisa dihindari oleh Fadli Zon. Ketiga, kasus keterlibatan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam penyebaran berita hoax ini harus diusut tuntas. Karena itu Penyidik harus segera melakukan tugasnya yang tampaknya belum jelas hasilnya karena baru menetapkan Ratna Sarumpaet sebagai tersangka seorang diri. Penuntasan ini penting untuk menentukan posisi Fadli Zon, jika bersalah harus dihukum sebaliknya jika benar harus dipulihkan nama baiknya. Hal ini pentingdilakukan karena di masyarakat muncul penilaian bahwa secara hukum Fadli Zon dianggap ikut bertanggung jawab atas kasus itu. Dengan demikian posisi Fadli Zon menjadi clear. Kecuali itu Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga harus segera bertindak untuk mengusut keterlibatan Fadli Zon dalam kasus Ratna Sarumpaet ini. Tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat paripurna (Rapur) yang sering mengakibatkan tertunda-tundanya pelaksaan Rapur sungguh memprihatinkan. Dari tujuh kali Rapur yang terdeteksi presensinya selama MS I TS 2018-2019, hanya Rapur Pembukaan masa sidang yang memenuhi quorum dimana hadir 367 anggota DPR (65,54%). Namun jika di rata-rata maka setiap Rapur hanya dihadiri oleh 216 anggota (38,57%). Ini menunjukkan bahwa Rapur-rapur DPR (kecuali pembukaan MS) sesungguhnya tidak quorum sehingga tidak sah. Sebab Pasal 232 ayat (1) UU MD3 menyatakan: “Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.” Kriteria quorum itu dijelaskan oleh Pasal 232 ayat (2) UU MD3 yang menyatakan: “Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi. Namun karena ada klausul lain, yakni Pasal 232 ayat (4) UU MD3 yang menyatakan: “Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR.” Nah, kalau pimpinan DPR menyatakan lanjut, maka maka Rapur tetap dilanjukan meski tidak quorum. Ketentuan mengenai quorum ini menjadi salah satu problem dalam perundang-undangan Indonesia dimana ketentuan yang berikut justru menganulir ketentuan terdahulu. Hal seperti ini dapat disebut

9 https://metro.tempo.co/read/1136456/kasus-hoax-ratna-sarumpaet-puluhan-mahasiswa- minta-fadli-zon-diperiksa/full&view=ok 10 https://news.detik.com/berita/4240973/minta-maaf-fadli-zon-kecam-ratna-sarumpaet- yang-bohong

10 sebagai “pasal atau ayat kalajengking” (pasal/ayat yang satu menyengat dan mematikan pasal/ayat yang lain).

H. Kesimpulan Berdasarkan data-data pelaksanaan tugas pokok dan fungsi DPR selama MS I TS 2018-2019 seperti telah diuraikan terdahulu, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan seperti berikut. Pertama, dalam melaksanakan fungsi legislasi, DPR gagal paham tentang arti prolegnas prioritas. Sebab yang berhasil disahkan menjadi Undang-undang bukan RUU yang berasal dari Prolegnas Prioritas. Kecuali itu, DPR hanya mampu menunda- nunda penyelesaian pembahasan RUU Prioritas dan meminta perpanjangan waktu pembahasan dan penyelesaian untuk beberapa kali masa sidang. Kedua, dalam melaksanakan fungsi anggaran, DPR tidak kritis terhadap kemauan dan jumlah anggaran yang diajukan oleh Pemerintah. Bahkan terhadap K/L yang seturut kriteria PMK No. 258/2015 tidak layak mendapatkan tambahan anggaranpun, DPR tetap menyetujui diberikannya kenaikan anggaran terhadap K/L yang diminta/diajukan oleh Pemerintah. Ketiga, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah, selama MS I TS 2018-2019, DPR tampak tidak berdaya. Hal itu tampak antara lain pada persetujuannya terhadap kebijakan penambahan PNM kepada BUMN yang merugi karena terjadinya salah urus oleh BUMN yang bersangkutan, termasuk terjadinya korupsi di BUMN tersebut. Keempat, berkaitan dengan pengawasan terhadap pelaksaan Undang-undang, DPR juga tampak tidak melakukannya dengan cermat. Hal itu tampak pada pembiaran terhadap beberapa kasus berikut: (1) Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Subbidang Prioritas Daerah dan Tambahan DAK Fisik Percepatan Infrastruktur Publik Daerah Tahun Anggaran (TA) 2017 yang tidak berdasarkan mekanisme dan formula perhitungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, DAK Fisik Afirmasi TA 2017 belum sepenuhnya sesuai dengan kategori daerah afirmasi sebagaimana ditetapkan dalam UU APBN; (2) dilakukannya penambahan pagu anggaran Subsidi Listrik Tahun 2017 sebesar Rp 5,22 triliun yang tidak sesuai dengan UU APBN-P dan tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai serta tanpa penganggaran dalam APBN/APBN-P. Kelima, terkait amanat UU MD3 dan Tatib untuk menindaklanjuti temuan- temuan hasil pemeriksaan BPK terhadap LKPP, selama MS I TS 2018-2019, DPR sama sekali tidak melakukan tugas yang diamanatkan kepadanya. Keenam, tingkat kehadiran anggota DPR dalam Rapur sangat rendah. Bahkan pengambilan keputusan dalam Rapur sering kali dilakukan tidak sesuai kriteria kuorum yang dipersyaratkan oleh peraturan perundangan yang disusun DPR sendiri. Ketujuh, posisi DPR sebagai lembaga yang berfungsi melakukan check and balances terhadap eksekutif tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan DPR dapat dikesankan hanya tunduk pada keinginan Pemerintah. Kecuali itu, Pimpinan DPR maupun Komisi sebagai pejabat tinggi Negara yang seharusnya menjadi contoh bagi

11 warga masyarakat pada umumnya, justru ada yang terlibat kasus kejahatan yang luar biasa berupa korupsi.

I. Rekomendasi Akhirnya, berdasarkan kesimpulan-kesimpulan seperti telah dikemukakan di depan, berikut ini dapat diberikan saran dan rekomendasi perbaikannya ke depan seperti berikut: 1. Mencermati bahwa saat ini sampai dengan 17 April 2019 mendatang merupakan tahun politik, antara lain dilaksanakannya Pemilu anggota DPR, maka karena sebagian besar anggota DPR hasil Pemilu 2014 mencalokan diri lagi pada Pemilu 2019, maka di tahun terakhir masa jabatan DPR hasil Pemilu 2014 harus meningkatkan kinerja dan citra dirinya sebagai lembaga Negara pengawas eksekutif kritis, konstuktif dan efektif. Jika hal ini dapat diwujudkan, kepercayaan public terhadap DPR akan meningkat dan partisipasi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya Pemilu juga akan meningkat. 2. Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan yang pasal/ayat tertentu mengandung bisa yang mematikan terhadap pasal/ayat lainnya harus direvisi. Hal itu misalnya dengan menghilangkan peluang Pimpinan DPR mengambil sendiri keputusan untuk melanjutkan maupun menskors Rapat Paripura meskipun quorum rapat menurut jumlah kehadiran belum mencukupi. 3. Untuk menutup peluang pelaksana fungsi legislasi bermalas-malasan menyelesaikan pembahasan dan pengesahan RUU menjadi UU, maka pemberian perpanjangan masa sidang untuk membahas dan menyelesaikan pemnahasan RUU dan pengesahannya menjadi UU harus benar-benar ketat, misalnya maksimal hanya dapat diperpanjang sampai lima kali masa sidang. 4. Agar anggaran Negara yang disusun dan dialokasikan untuk K/L benar-benar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan mencerminkan peningkatan kesejahteraan rakyat, maka para anggota DPR harus meningkatkan kejeliannya dalam mencermati jumlah anggaran yang diajukan oleh Pemerintah. 5. Agar prinsip Indonesia sebagai Negara hukum yang demokratis sungguh terwujud dalam kenyataan, maka para anggota DPR harus melakukan pengawasan pelaksaaan semua peraturan perundangan secara serius, dan jika terjadi penyimpangan harus berani meluruskanya melalui kewenangan yang ada pada DPR maupun Komisi- komisinya.

Jakarta, 23 November 2018 Para Peneliti FORMAPPI: 1. Peneliti Fungsi Legislasi: Lucius Karus, HP No. 081399367707 2. Peneliti Fungsi Anggaran: Yupita, HP: 081321420649 Marius Air, HP: 082315996855 3. Peneliti Fungsi Pengawasan: Albert Purwa, HP: 08571966766 M. Djadijono, HP: 0818418545 4. Peneliti Fungsi Kelembagaan: I Made Leo Wiratma, HP: 081316860458

12

II. EVALUASI PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI A. Pengantar Tahun Sidang (TS) 2018-2019 DPR sudah dibuka oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo pada Rapat Paripurna (Rapur) 16 Agustus 2018, dilanjutkan Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan RAPBN 2019 beserta Nota Keuangannya. Masa Sidang (MS) I TS 2018-2019 ini akan berlangsung sampai dengan 31 Oktober 2018 (55 hari kerja). Untuk pelaksanaan Fungsi Legislasi, rencana kerjanya dapat diketahui dari tiga sumber berikut: (1) Pidato Ketua DPR pada Pembukaan Masa Sidang; (2) dari Agenda kegiatan yang tercantum pada kalender kerja DPR;dan (3) dari Pidato Ketua DPR pada Pembukaan Masa Sidang.

B. Rencana Kerja Pelaksanaan Fungsi Legsilasi a. Rencana Kerja berdasarkan Pidato Pembukaan MS I Sekurang-kurangnya ada 2 acuan untuk mengetahui rencana kerja DPR dalam menjalankan fungsi legislasi. Pertama; pidato pembukaan Masa Sidang yang disampaikan oleh Ketua DPR. Kedua; Agenda kegiatan yang tercantum pada kalender kerja DPR. Terkait rencana kerja Legislasi MS I, Ketua DPR dalam Pidato Pembukaan MS 16 Agustus lalu menyebutkan sejumlah RUU yang diharapkan bisa dibahas dan diselesaikan cepat. Ketua DPR hanya menyebutkan 3 RUU saja. Sementara berdasarkan Agenda kegiatan yang tercantum pada kalender kerja DPR, terdapat 21 RUU yang direncanakan oleh masing-masing AKD untuk dikerjakan selama MS I. Jadi total ada sekitar 23 RUU yang direncanakan DPR untuk dibahas pada MS I lalu.

RENCANA PEMBAHASAN RUU PADA MS I 2018-2019

VERSI KALENDER KERJA NO. VERSI PIDATO KETUA DPR HARIAN DPR di Laman dpr.go.id RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata 1 Cara Perpajakan RUU tentang Pertambangan Mineral dan 2 Batu Bara 3 RUU tentang Minyak dan Gas Bumi RUU Minyak dan Gas Bumi 4 RUU tentang Daerah Kepulauan 5 RUU Kebidanan 6 RUU Praktek Pekerja Sosial RUU Lalu Lintas Angkutan Jalan 7 (LLAJ) RUU Serah Simpan Karya Cetak dan 8 Karya Rekam (SKKCKR) 9 RUU Pendidikan Keagamaan 10 RUU Penyadapan

13

11 RUU Masyarakat Adat RUU Pengawas Obat dan Makanan 12 (WASPOM) RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji 13 dan Umroh 14 RUU Pertembakauan 15 RUU BUMN 16 RUU Pendidikan Kedokteran 17 RUU Pertanahan RUU tentang Karantina Hewan, Ikan 18 dan Tumbuhan 19 RUU Pendapatan Asli Daerah RUU Penghapusan Kekerasan 20 Seksual 21 RUU Ekonomi Kreatif RUU Larangan Praktik Monopoli 22 dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 23 RUU Perkoperasian b. RUU yang disusun dan dibahas

Tak semua rencana rapat yang diagendakan DPR terlaksana pada MS I. Berikut daftar RUU yang dikerjakan DPR selama MS I yang dikumpulkan dari pemberitaan resmi DPR melalui laman www.dpr.go.id.

DAFTAR RUU YANG DIKERJAKAN OLEH KOMISI (Sedang Disusun dan sedang Dibahas) Selama MS I TS 2018-2019 NO NAMA RUU AKD KETERANGAN RUU KERJA SAMA PERTAHANAN KUMULATIF 1 KOM I INDONESIA DENGAN BELANDA TERBUKA RUU KERJA SAMA PERTAHANAN KUMULATIF 2 KOM I INDONESIA DENGAN ARAB SAUDI TERBUKA 3 RUU KUHP KOM III PEMBAHASAN 4 RUU JABATAN HAKIM KOM III PEMBAHASAN 5 RUU MAHKAMAH KONSTITUSI KOM III PEMBAHASAN 6 RUU KEHUTANAN KOM IV PENYUSUNAN 7 RUU SISNAS IPTEK KOM X PEMBAHASAN 8 RUU DOSEN KOM X PENYUSUNAN

14

9 RUU BPK KOM XI PEMBAHASAN 10 RUU BEA METERAI KOM XI PEMBAHASAN 11 RUU ASN BALEG HARMONISASI 12 RUU Minyak dan Gas Bumi BALEG HARMONISASI 13 RUU Kebidanan KOM IX PEMBAHASAN 14 RUU Pekerja Sosial (PEKSOS) BALEG HARMONISASI RUU Serah SImpan Karya Cetak dan Karya 15 KOM X PEMBAHASAN Rekam (SKKCKR) 16 RUU Pesantren Pendidikan Keagamaan KOM VIII PEMBAHASAN RUU Pengawasan Obat dan Makanan 17 KOM IX PEMBAHASAN (WASPOM) RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan 18 KOM VIII PEMBAHASAN Umroh 19 RUU Pertanahan KOM II PENYUSUNAN 20 RUU Pendapatan Asli Daerah KOM II PENYUSUNAN 21 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) KOM VIII PEMBAHASAN 22 RUU Ekonomi Kreatif KOM X PEMBAHASAN Dari daftar RUU yang dibahas diatas tercatat sebanyak 22 RUU yang digumuli DPR selama MS I. Dari ke-22 RUU tersebut, 2 RUU diantaranya merupakan RUU Kumulatif Terbuka. Dengan demikian hanya 20 RUU yang merupakan RUU Prioritas. Dari ke-20 RUU tersebut, 2 diantaranya tidak termasuk daftar RUU Prolegnas Prioritas 2018 yakni: RUU Dosen dan RUU Kehutanan.

Sementara itu dari ke-20 RUU Prioritas yang disusun dan dibahas pada MS I, sebanyak 11 RUU yang dibahas sesuai dengan rencana kerja DPR dalam Agenda Kegiatan mereka. Selebihnya adalah RUU yang tak diagendakan, walaupun beberapa RUU diantaranya memang melanjutkan proses pembahasan dari MS sebelumnya. c. RUU yang disahkan selama MS I Hasil akhir kinerja legislasi DPR ditentukan oleh capaian RUU yang berhasil disahkan. Sebanyak-banyaknya RUU yang dibahas oleh DPR dalam suatu kurun waktu, tak akan merubah penilaian akan kinerja mereka jika tak satupun RUU-RUU yang dibahas berhasil disahkan menjadi UU. Pembahasan RUU oleh DPR tentu saja merupakan kewajiban mereka, akan tetapi hanya jika sampai pada pengesahan RUU-lah DPR mendapatkan nilai tambah pada kinerja legislasinya.

15

DAFTAR RUU YG DISAHKAN Pada MS I ini, DPR melakukan MS I penyusunan dan pembahasan 20 RUU 1 RUU tentang Pengesahan Nota Prioritas ditambah beberapa RUU Kesepahaman antara Kumulatif Terbuka seperti RUU APBN Kementerian Pertahanan RI dan 2019 dan 2 RUU Ratifikasi Perjanjian Kementerian Pertahanan Internasional. Hasilnya, hanya RUU dari Daftar Kumulatif Terbuka saja yang Kerajaan Belanda berhasil disahkan menjadi UU (lihat 2 RUU tentang Pengesahan tabel samping). Sementara dari Daftar Persetujuan Kerjasama RUU Prioritas, 1 RUU sudah Pertahanan antara Pemerintah diagendakan untuk pengambilan RI dengan Pemerintah Kerajaan keputusan Tingkat II di paripurna yakni Arab Saudi RUU SKKCKR namun urung dilaksanakan karena pemerintah tiba- 3 RUU APBN 2019 tiba meminta penundaan pengesahannya. Dengan demikian tak ada hasil RUU baru dari Daftar RUU Prioritas 2018. Sampai berakhirnya MS I, tunggakan RUU Prioritas yang masih membebani DPR masih tetap berjumlah 46 dari total 50 RUU yang direncanakan. Itu artinya hampir setahun berjalan, baru 4 RUU Prioritas yang berhasil disahkan DPR. d. RUU Prioritas 2018 yang Pembahasannya Diperpanjang DPR kembali memperpanjang Proses Pembahasan terhadap 15 RUU Prioritas 2018. Berikut daftar RUU Prioritas yang kembali diperpanjang Proses Pembahasannya: 1) RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol 2) RUU tentang Pertembakauan 3) RUU tentang Sisnas Iptek 4) RUU tentang Kewirausahaan Nasional 5) RUU tentang Wawasan Nusantara 6) RUU tentang KUHP 7) RUU tentang Jabatan Hakim 8) RUU tentang Mahkamah Konstitusi 9) RUU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 10) RUU tentang Perkoperasian 11) RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh 12) RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual 13) RUU tentang Kebidanan 14) RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara 15) RUU tentang Ekonomi Kreatif

16

Dari 15 RUU yang diperpanjang di atas, beberapa diantaranya memang tak nampak dibahas oleh DPR pada MS I yaitu: RUU Wawasan Nusantara, RUU Perkoperasian, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pertembakauan, RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan demikian perpanjangan proses pembahasan tidak saja terjadi karena ketersediaan waktu pembahasan yang terbatas dihadapan materi RUU yang belum tuntas dibahas. Akan tetapi besar kemungkinan perpanjangan terjadi karena DPR mendiamkan proses pembahasan terhadap RUU tersebut.

e. Pengesahan Daftar Prioritas 2019 DPR sudah memutuskan Daftar RUU Prioritas untuk Tahun 2019. Sebanyak 55 RUU Prioritas yang diputuskan DPR dengan rincian 43 RUU berasal dari Daftar RUU Prioritas 2018, dan 12 RUU tambahan baru. Dari 43 RUU Prioritas 2018 yang belum rampung, 27 RUU diantaranya sudah dalam tahap Pembicaraan Tingkat I, 4 RUU sedang menunggu Surat Presiden (Surpres); 1 RUU menunggu keputusan rapat paripurna untuk ditetapkan sebagai RUU usulan DPR. Selain itu, sebanyak 2 RUU dalam tahap harmonisasi di Baleg; 3 RUU dalam status sedang dalam tahap penyusunan oleh DPR, dan 6 RUU usul pemerintah sedang dalam status menunggu Surpres.

f. Anggaran Pembahasan RUU DPR 2018 Dalam Dokumen Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja (SATKER), Rencana Kinerja Satuan Kerja Sekretariat Jendral DPR RI tercatat anggaran untuk dukungan pelaksanaan fungsi legislasi 2018 dengan rincian sebagai berikut:

ANGGARAN PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR 2018 SATKER DESKRIPSI SATUAN JUMLAH (Rp.) SEKJEN Program Dukungan Keahlian Fungsi 51,101,451,000.00 Dewan: SEKJEN Perancangan Peraturan Perundang-24 22,794,663,000.00 Undangan DOKUMEN SEKJEN Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang: 4,852,067,000.00 Kajian, analisis, dan evaluasi pemantauan pelaksanaan, Undang-undang, dan keterangan DPR Total untuk Dukungan Fungsi Legislasi 32,498,797,000.00

17

PROGRAM PELAKSANAAN FUNGSI DEWAN DPR DEWAN Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI 385,141,033,000.00 DEWAN Rancangan Undang-Undang 37 RUU 307,112,141,000.00 DEWAN RUU Perorangan anggota DPR 25 RUU 1,875,000,000.00 DEWAN Dokumen Program Legislasi Nasional 1 DOK 10,650,651,000.00 Dokumen Pertimbangan Hukum dan Litigasi DEWAN 62 Perkara 7,685,997,000.00 DPR RI Dokumen Harmonisasi Undang-Undang oleh DEWAN 6 RUU 8,929,010,000.00 Baleg Dokumen Pembahasan, Pengubahan, DEWAN dan/atau 1 RUU 821,300,000.00 Penyempurnaan RUU Laporan Sosialisasi Undang-Undang oleh DEWAN 1120 kali 34,905,010,000.00 anggota DPR RI Laporan Hasil Pemantauan, Peninjauan, dan DEWAN 2 RUU 5,214,073,000.00 Penyebarluasan Undang-undang oleh Baleg DEWAN Peraturan DPR 2 Peraturan 7,947,851,000.00 Keterangan: Data diperoleh dari http://ppid.dpr.go.id/data/Rencana%20Kerja%20dan%20Anggaran%20Sekretariat%20 Jenderal%20DPR%20RI%202018.pdf dan http://ppid.dpr.go.id/data/Rencana%20Kerja%20dan%20Anggaran%20DPR%20RI%2 02018.pdf

B. KINERJA LEGISLASI MASA SIDANG I TS 2018-2019 1. Rencana Legislasi yang Gagah-Gagahan Dalam pekerjaan apapun, tahap perencanaan merupakan sesuatu yang sangat penting. Perencanaan merupakan guideline yang mengarahkan pelaksana agar bisa mengejar capaian yang diharapkan. Manajemen perencanaan juga penting untuk memastikan efektifitas dan efisisensi bisa terjadi. Perencanaan yang buruk, tidak fokus dan tidak terarah ini selalu menjadi isu utama terkait dengan pelaksanaan fungsi DPR khususnya di bidang legislasi. Sejak penyusunan Prolegnas Prioritas yang merupakan gambaran perencanaan selama masa kerja setahun, hingga perencanaan untuk jangka waktu satu masa sidang. DPR selalu memperlihatkan ketidak seriusan mereka dalam menyusun perencanaan yang terarah dengan mengacu pada kebutuhan prioritas. Dalam perencanaan Masa Sidang I lalu, kelihatan bagaimana DPR tidak serius menentukan RUU yang menjadi prioritas untuk diselesaikan. Pidato Ketua DPR yang hanya menyebutkan 3 RUU prioritas untuk MS I tidak sinkron dengan

18

agenda rapat yang tercantum dalam Agenda Kerja DPR. Ada 2 RUU yang disebutkan Ketua DPR yang justru tak muncul dalam agenda kerja yang tersaji pada kalender DPR yakni RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan RUU tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sementara terdapat juga RUU yang bukan termasuk RUU Prioritas 2018 tetapi tercantum dalam Agenda Kerja MS I yakni RUU LLAJ dan RUU Perkoperasian. Ini menguak sisi lain perencanaan legislasi DPR yang kerap menjadikan instrumen Prolegnas Prioritas hanya sekedar “keranjang sampah” untuk menampung atau mengakomodasi usulan dari lembaga Pengusul yakni DPR, Pemerintah, dan DPD. Jadi jangan mengira banyaknya usulan RUU yang diusulkan setiap lembaga sebagai pembuktian keseriusan mereka menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Daftar prioritas hanya semacam daftar gagah-gagahan yang sesungguhnya tak bermakna apapun apalagi jika disebut sebagai alat perjuangan wakil rakyat dan pemerintah untuk kehidupan berbangsa. Dengan model perencanaan ala DPR ini memang sulit pada akhirnya mengharapkan pencapaian hasil yang memuaskan. Jika dala tahap perencanaan saja, DPR sudah nampak ketakterarahan mereka, bagaimana mengharapkan ada capaian yang memuaskan. Bekerja dengan rencana yang tak terarah hanya akan menghabiskan waktu dan terlebih lagi anggaran.

2. Pelaksanaan Fungsi Legislasi yang Tidak Efektif Perencanaan yang tidak terarah di atas kembali dibuktikan dalam proses pembahasan legislasi selama MS I. Formappi mencatat dari 22 RUU yang jejak pembahasannya terpantau selama MS I, hanya 11 RUU Prioritas yang sudah tercantum dalam Agenda Persidangan pada Kalender Kerja DPR. 7 RUU lainnya tidak tercantum dalam agenda persidangan tetapi dikerjakan oleh DPR. Sementara ada 2 RUU yang disusun oleh DPR yang tak termasuk dalam daftar RUU yang diagendakan, pun tak termasuk dalam daftar RUU Prioritas 2018 yakni RUU Dosen dan RUU Kehutanan. 2 RUU lainnya adalah RUU Kumulatif Terbuka. Dari data tersebut, sekali lagi diperlihatkan bagaimana manajemen perencanaan dan pembahasan RUU yang tidak sistematis di DPR. Penentuan RUU yang dibahas nampak dilakukan serabutan. Bisa jadi ini didorong oleh kepentingan tertentu yang muncul secara tiba-tiba. Akan tetapi pertimbangan tiba-tiba tanpa alasan kemendesakan luar biasa hanya akan mengacaukan proses pembahasan RUU lain yang sudah dimulai sebelumnya. Model pembahasan RUU yang tiba-tiba atau tanpa perencanaan sedari awal ini yang akhirnya membuat DPR sulit menyelesaikan pembahasan RUU tertentu. Yang satu belum

19

selesai, muncul RUU baru sekaligus meninggalkan RUU yang belum selesai tadi. Hasilnya pasti akan sama-sama tidak selesai. Kemunculan RUU Prioritas baru yaitu RUU Dosen dan RUU Kehutanan - terlepas dari kebutuhan yang menuntutnya - tetap saja mengganggu proses penyelesaian RUU Prioritas yang sudah direncanakan sejak awal tahun. Apalagi beban penyelesaian RUU Prioritas 2018 masih sangat banyak yaitu 46 RUU dari 50 yang direncanakan. Baru 4 dari 50 RUU tersebut yang berhasil disahkan. Dengan beban itu mestinya tak ada alasan untuk mengakomodasi RUU Prioritas baru, apalagi waktu tersisa sebelum pergantian tahun sudah sangat singkat. Jika RUU Dosen dan RUU Kehutanan mendesak, DPR bisa mengusulkannya untuk tahun yang akan datang. Inilah gambaran pembahasan RUU yang tidak efektif sekaligus tidak efisien dari DPR. Banyaknya RUU yang mangkrak hanya menghabiskan anggaran untuk sesuatu yang tak berhasil diselesaikan.

3. Capaian Legislasi MS I : tanpa Satupun dari Daftar Prioritas 2018 Tanpa 1 RUU Prioritas yang berhasil disahkan DPR pada MS I membuktikan bahwa kinerja legislasi DPR memang tetap memprihatinkan. Dengan demikian mereka masih tetap tercatat baru berhasil menyelesaikan 4 RUU Prioritas selama tahun 2018 ini. Tentu saja hasil ini mempertahankan predikat kinerja legislasi DPR yang buruk karena hampir selama 4 tahun, setiap tahun mereka tidak mampu melahirkan lebih dari 10 RUU Prioritas.

Sejak DPR 2014-2019 dilantik sampai dengan Rapat Paripurna terakhir MS I TS 2018/2019, DPR sudah menorehkan capaian 64 RUU yang sudah disahkan. Dari jumlah tersebut, hanya 23 RUU yang berasal dari Daftar RUU Prolegnas Prioritas dengan rincian, 3 RUU di tahun 2015, 10 RUU di tahun 2016, 6 RUU di tahun 2017, dan 4 RUU di tahun 2018. 41 RUU lainnya berasal dari Daftar Kumulatif Terbuka yang rinciannya sbb: 14 RUU pada tahun 2015, 9 RUU pada tahun 2016, 11 RUU pada tahun 2017, dan 7 RUU pada tahun 2018.

20

Dari grafik di atas, nampak sekali trend kinerja DPR semakin menurun sejak tahun 2017 lalu. DPR terlihat produktif dalam mengesahkan RUU Kumulatif Terbuka sedangkan RUU yang disebut Prioritas justru nampak lesu.

4. Kebiasaan Buruk Memperpanjang Proses Pembahasan RUU. Pada rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang I lalu, DPR kembali menyepakati perpanjangan proses pembahasan terhadap 15 RUU. Kesepakatan itu bukanlah khabar baru dari DPR karena setiapkali masa sidang berakhir selalu muncul kesepakatan tersebut. Dengan keputusan perpanjangan ini, DPR sepertinya ingin menunjukkan beban luar biasa yang membuat mereka gagal sekaligus meminta perpanjangan pembahasan terhadap RUU tertentu. Padahal sesungguhnya alasan mendasar perpanjangan tersebut tak lebih dari kekacauan manajemen pembahasan sebagaimana diberitahukan sebelumnya. Ketakterarahan DPR dalam menentukan prioritas RUU yang dibahas membuat mereka kesulitan sendiri untuk memastikan penyelesaian pembahasan. Dan seolah-olah sadar dengan buruknya tata kelola pembahasan itu, DPR dengan kekuasaannya membuat UU, sudah sejak awal membangun benteng kokoh agar tak langsung divonis gagal bekerja. Pembentengan diri oleh DPR untuk melindungi kemalasan mereka dilakukan melalui pembuatan peraturan yang saling menegasi atau saling membunuh. Di satu sisi mereka menetapkan pembatasan 3 kali masa sidang untuk pembahasan 1 RUU. Aturan ini langsung dinegasikan sendiri di ayat selanjutnya dengan membuka peluang sebebas-bebasnya bagi DPR untuk memperpanjang pembahasan RUU dengan syarat yang sangat lemah.11 Formappi mengistilahkan aturan ala DPR ini sebagai “Pasal Kalajengking”. Benteng perlindungan DPR ini sepertinya memang menjadi surga bagi legislator yang santai dan malas. Mereka selalu punya alasan setiap kali dikritik soal minimnya RUU yang dihasilkan. Ke depannya, DPR harus merubah “pasal kalajengking” ini jika serius ingin bekerja. RUU dikatakan prioritas bukan hanya terkait rencananya saja, tetapi terlebih justru prioritas untuk diselesaikan. Karena prioritas untuk diselesaikan maka harus ada target waktu yang jelas. Jika target tak terpenuhi harus ada sanksi yang disiapkan RUU. DPR harus menunjukkan teladan soal tanggung jawab terhadap tugas yang dikerjakan. Apalagi tugas itu sudah dibiayai negara sejak awal, maka harusnya tanggung jawab terhadap anggaran itu membuat DPR tak bisa santai menyelesaikan pembahasan RUU.

11 Tatib DPR RI Pasal 143

21

5. Prolegnas Prioritas 2019: Tahun Terakhir dengan Ambisi yang Tidak Realistis. DPR kembali menetapkan Daftar RUU Prioritas 2019 sebanyak 55 RUU. Ini jumlah RUU Prioritas terbanyak selama periode 2014-2019. Anehnya jumlah itu diputuskan justru di saat masa kerja DPR periode ini tinggal tersisa tak sampai setahun. Bulan Oktober 2019 anggota DPR 2014-2019 sudah harus berganti dengan DPR hasil Pemilu 2019. Tak hanya soal durasi waktu yang lebih pendek, dinamika politik yang mau tak mau melibatkan hampir semua anggota DPR saat ini juga tak bisa disangkal akan lebih banyak menyita waktu anggota DPR dalam setahun ke depan. Sebagaimana diketahui hampir seluruh anggota DPR saat ini (Catatan FORMAPPI berjumlah 529 orang) kembali berjuang mempertahankan kursi legislatif pada Pemilu 2019 nanti. Itu artinya ada semacam tuntutan lain di luar kerja sebagai anggota DPR yang akan secara serius menyedot pikiran dan kosentrasi anggota DPR. Lalu dalam kondisi seperti itu, DPR bersama Pemerintah dan DPD masih nekad merencanakan 55 RUU Prioritas untuk dibahas pada 2019? Bahwa sebanyak 43 RUU dari 55 RUU tersebut memang merupakan RUU luncuran 2018 yang sebagiannya sedang dalam proses pembahasan di DPR. Tetapi pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tak ada perbedaan pada hasil kerja DPR sekalipun sebagian RUU Prioritas merupakan RUU luncuran. Bahkan terlihat bahwa keberadaan banyaknya RUU luncuran hanya menjadi alasan bagi DPR untuk bersantai karena merasa sudah punya alasan untuk mengakui kerja mereka di bidang legislasi. Dengan itu mereka akan terus memperpanjang proses saja tanpa upaya lebih untuk menyelesaikan semua RUU yang tengah dalam proses pembahasan itu. Dalam proses penetapan RUU Prioritas 2019, Baleg melakukan penyerapan aspirasi ke 5 daerah. Serap aspirasi itu dilakukan untuk mendapatkan masukan terkait RUU Prioritas 2019. Serap aspirasi ini nampak hanya basa-basi saja karena yang terjadi DPR masih menetapkan daftar yang sebagian besarnya merupakan RUU-RUU Prioritas dari tahun sebelumnya. Serap aspirasi juga sia-sia karena DPR sendiri sudah dihantui beban sejumlah RUU yang pembahasannya diperpanjang. Ini hanya menghabiskan anggaran tanpa manfaat yang jelas. Lagian serap aspirasi sekedar untuk menyusun daftar RUU Prioritas mestinya bisa menggunakan instrumen media sosial saja, tanpa perlu anggaran dan waktu serta tenaga yang banyak.

22

Serap aspirasi itu juga menjadi sia-sia karena dalam kriteria yang digunakan Baleg, tak ada syarat terkait RUU berdasarkan aspirasi masyarakat. Parameter yang digunakan Baleg dalam menentukan RUU Prioritas 2019 tak satu pun pertimbangan ASPIRASI MASYARAKAT. Baleg menyebutkan sejumlah parameter yakni:

a) RUU yang dalam tahap Pembicaraan Tingkat satu. b) RUU yang menunggu Surat Presiden (Surpres). c) RUU yang dalam tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan Konsepsi di Badan Legislasi DPR RI. d) RUU yang dalam tahap penyusunan dan tersedia Naskah Akademik dan RUU-nya. e) RUU usulan baru yang memenuhi urgensi tertentu dan telah tercantum dalam Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019.

6. Anggaran Legislasi Nyaris Terbuang Sia-sia Total anggaran untuk segala kegiatan terkait pelaksanaan legislasi untuk Tahun anggaran 2018 pada satuan kerja Setjen dan DPR adalah: 417.639.830.000 rupiah. Dari anggaran tersebut, jatah untuk pembahasan 1 RUU adalah: 8.300.328.125 rupiah. Untuk pembahasan Prolegnas 2019: 10.650.651.000 rupiah. Seorang anggota juga mendapatkan jatah 62.330.375 rupiah untuk sosialisasi RUU sebanyak 2 kali selama setahun. Jatah anggaran untuk pelaksanaan fungsi legislasi tentu luar biasa besarnya. Pembahasan 1 RUU menelan biaya sampai 8 milyar lebih. Tentu saja jika anggaran sudah harus dikucurkan sejak awal proses pembahasan, maka berapa banyak uang yang dihabiskan untuk suatu pekerjaan yang tidak tuntas seperti begitu banyak RUU yang setiap tahun selalu diperpanjang tanpa tahu kapan akan selesai? Begitu juga dengan Baleg yang menghabiskan 10 Milyar untuk penyusunan Prolegnas. Ini juga pemborosan luar biasa jika hanya untuk menentukan RUU-RUU yang akan masuk dalam daftar Prioritas. Padahal nampaknya begitu mudah karena RUU-RUU yang masuk daftar Prioritas banyak yang merupakan lanjutan dari Prolegnas tahun sebelumnya. Baleg juga tak nampak begitu sulit untuk menentukan RUU-RUU baru karena tinggal menyeleksi usulan dari lembaga-lembaga pengusul seperti DPR, Pemerintah, dan DPD.

C. Kesimpulan

23

Berdasarkan evaluasi terhadap rencana kerja dan realisasi pelaksanaan fungsi legislasi sebagaimana diuraikan di depan dapatlah diambil beberapa kesimpulan seperti berikut: 1. Perencanaan kerja dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi DPR belum juga memperlihatkan perubahan dengan fokus pada prioritas sesuai kebutuhan bangsa. DPR nampak masih begitu terpukau dengan jumlah rencana yang banyak, tetapi dalam pelaksanaan mereka sendiri kebingungan untuk mengejar capaian. 2. Kinerja legislasi DPR sangat buruk pada MS I dengan tanpa 1 pun RUU Prioritas yang diselesaikan. Makna prioritas dalam perancangan legislasi menjadi basi karena DPR gagal menunjukkannya dalam pelaksanaan fungsi. 3. Kebiasaan DPR memperpanjang proses pembahasan RUU menjadi kebiasaan buruk yang secara sengaja dilindungi oleh peraturan DPR. Jika kebiasaan bekerja tanpa target yang jelas, maka fungsi legislasi hanya akan menjadi sebuah fungsi yang menghabiskan anggaran tanpa hasil maksimal. 4. Anggaran untuk legislasi sangat besar tetapi hasil yang dicapai sangat sedikit. Dimana kepedulian DPR pada rakyat?

24

III. EVALUASI PELAKSANAAN FUNGSI ANGGARAN

“RAPAT TERTUTUP BAHAS ANGGARAN KHIANATI DPR NOW” (Evaluasi Pelaksanaan Fungsi Anggaran MS I TS 2018-2019)

A. Pengantar

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Repubtik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) menyatakan bahwa, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar'" Kedaulatan rakyat berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20I8 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3). Dalam undang-undang tersebut telah secara eksplisit diatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Ralryat Daerah dalam rangka mewujudkan lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. 12 Kewenangan yang diberikan kepada DPR untuk dapat mewujudkan aspirasi rakyat yang memilihnya antara lain membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD (memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Rancangan Undang undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden).13

B. Sistematika Evaluasi Evaluasi ini mencakup 3 hal berikut: (1) apa sajakah yang menjadi agenda kerja bidang anggaran; (2) seperti apakah pelaksanaan rencana kerja; (3) kesimpulan dan rekomendasi atas pelaksanaan rencana kerja dalam MS I TS 2018-2019.

C. Rencana Kerja Anggaran Berdasarkan publikasi yang disampaikan oleh Badan Musyawarah DPR RI, Masa Sidang akan mulai tanggal 16 Agustus 2018 s.d. 31 Oktober 2018. Adapun rencana kerja Bidang Anggaran adalah sebagai berikut: (1) Evaluasi pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2018; (2) Pembahasan RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2019 dan Nota Keuangannya.

12 Penjelasan umum UU MD3 No. 2 Tahun 2018 13 Pasal 70 ayat (2) UU MD3.

25

D. Pelaksanaan Fungsi Anggaran

1. APBN TA 2018 Sejauh pengamatan kami dalam laporan-laporan singkat DPR RI, evaluasi terhadap APBN 2018 tidak memberikan kritikan yang berarti. Secara umum DPR menerima dan menyetujui laporan pengunaan anggaran Tahun 2018. Pembahasan mengenai laporan pelaksanaan APBN 2018 cenderung singkat dan porsi waktu banyak diberikan untuk membahas pagu anggaran di TA 2019. Akibatnya, Kementerian dan Lembaga yang belum maksimal dalam penggunaan anggaran, baik itu daya serap anggaran yang buruk, maupun laporan yang tidak rapi, tidak mendapat teguran keras oleh DPR. Laporan pelaksanaan anggran dari internal DPR mungkin menjadi satu- satunya sorotan menarik untuk diulas. Salah satu yang paling mencolok adalah anggaran yang dikeluarkan untuk pelaksanaan sidang di MKD. Sepanjang yang teramati di media, selama 2018 sidang MKD kurang lebih hanya kasus Setia Novanto dan Menteri ESDM Sudirman Said. DPR mencatat sudah ada 20 kali pelaksanaan siding kode etik. Mirisnya, hanya untuk 20 kali rapat ini, sudah memakan anggaran sebesar Rp. 22.793.898.000.14 Bagaimana mungkin pelaksanaan siding kode etik memakan lebih banyak anggaran dibandingkan sidang kasus-kasus pelanggaran HAM berat, misalnya terorisme.

2. Pembahasan RAPBN 2019 Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo dalam Pidato Tanggal 16 Agustus 2018 memberikan poin-poin yang akan menjadi perhatian dalam pembahasan RAPBN 2019 yakni; mengoptimalkan pencapaian target-target pembangunan yang sudah dicanangkan dalam RPJMN, memfokuskan kembali anggaran Pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas dan akses yang merata dan berkeadilan, meningkatkan efektifitas layanan kesehatan, penguatan program-program perlindungan social, peningkatan daya dorong pengentasan kemiskinan dan percepatan pengurangan angka pengangguran, yang tidak kalah penting adalah pemerintah harus memperhatikan aspek pemerataan program-program tersebut dengan mengingat angka ketimpangan ekonomi, baik individu maupun daerah tergolong tinggi.15 Renana Rapat Badan Anggaran dan komisi-komisi yang membahas RAPBN 2019 tercatat sebanyak 96 kali. Pada 31 Oktober 2018 DPR bersama Pemerintah akhirnya mengesahkan RUU APBN 2019 menjadi APBN 2019 dengan beberapa perubahan sebagai berikut.16

14 Dokumen Rencana Kerja Anggaran Satker TA 2018 Bagian A, hal 1. 15 http://dpr.go.id/berita/detail/id/21713 16:http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BANGGAR-36-d313d7caee927ebdd28f09392b9dfd02.pdf

26

Perubahan Asumsi Makro Ekonomi dari RAPBN 2019 ke APBN 2019

Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2019 APBN 2019 Pertumbuhan ekonomi 5,3 5,3 % Inflasi 3,5 3,5 % Tingkat suku bunga SPN 3 Bulan 5,3 5,3 % Nilai tukar rupiah 14,400 per $USD 15.000 per $USD Harga minyak mentah 70 U$ per barel 70 U$ per barel Lifting minyak 750 ribu barel per hari 775 ribu barel per hari Lifting gas 1.250 ribu barel per hari 1.250 ribu barel per hari Cost recovery 11,3 miliar dolar AS 10,22 miliar dolar AS Tingkat Pengangguran 4.8-5.2 % 4.8-5.2 % Pendapatan negara 2.142,5 triliun 2.165,1 triliun Belanja Negara 2.439,7 triliun 2.462,3 triliun Keseimbangan primer negative

297, 2 triliun atau 1,84% 297, 2 triliun atau 1,84% Defisit dari PDB dari PDB Pembiayaan anggaran 297,2 Triliun 296,0 Triliun Keterangan: 1. Data dikutip dari http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BANGGAR-36- d313d7caee927ebdd28f09392b9dfd02.pdf 2. Data dalam tabel yang bertanda kuning menunjukkan angka-angka yang mengalami perubahan dari proses RAPBN 2019 menjadi APBN 2019.

Catatan: Terhadap perubahan-perubahan Makro Ekonomi dalam APBN 2019 ini, dari kesepuluh fraksi yang ada di DPR hanya fraksi PKS yang memberikan catatan terhadap Asumsi Makro dalam APBN 2019. Kemana suara sembilan fraksi lainnya? Apakah karena delapan dari fraksi-fraksi ini begitu pro pemerintah, sehingga akan permisif dan merasa tidak perlu bertanggung jawab pada masa depan rakyat? Atau lebih suka bersikap pura-pura tidak tahu tapi bisa jadi mereka juga tidak paham. Sikap yang lebih tidak bertanggung jawab juga ditunjukkan oleh Fraksi Gerindra. Supaya terlihat konsisten oposisi Pemerintah, Fraksi Gerindra memilih untuk menolak tanpa memberikan catatan. Rakyat seharusnya tidak mecontoh perilaku ini, bahkan seharusnya Fraksi Gerindra tidak menjadi representasi rakyat Indonesia. Pendapat Akhir Fraksi-fraksi Terhadap RAPBN 2019 Pada Rapur 31 Oktober 2018 dapat dipetakan seperti table berikut :

27

Tabel : Pandangan Akhir Fraksi Terhadap RAPBN 2019 Pada Rapur 31 Oktober 2018 No. Nama Fraksi Pandangan

1 PKB  Kebijakan defisit dan pembiayaan anggaran pada RAPBN 2019 sebesar 1,84% dari PDB merupakan konsekuensi dari penerapan kebijakan fiskal ekspansif oleh pemerintah untuk tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.  Secara khusus, Fraksi PKB menekankan bahwa rencana Pernerintah untuk mengambil pembiayaan defisit anggaran lewat sumber pembiayaan utang dengan kembali menerbitkan SBN Neto sebesar Rp 389,2 triliun di tahun 2019 agar terus memperhatikan votalitas perkembangan pasar SBN dalam negeri dan mencermati resiko akan terjadinya sudden reversal atau pembalikan dana asing secara tiba-tiba.. Fraksi PKB berpendapat bahwa pernbiayaan investasi kepada BUMN, Lernbaga/Badan lainnya, BLU dan Organisasi/LKI/ Badan Usaha Internasional harus diarahkan agar dapat memberi hasil dan nilai tambah, baik berupa pengembalian nilai pokok maupun manfaat ekonomi dan sosial yang dirasakan masyarakat. 2 PDIP Fraksi PDI Perjuangan berpendapat bahwa:

 Dana D esa yang naik dari tahun ke tahun sebagai wujud pembangunan Indonesia yang dimulai dari pinggiran sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo. Keberhasilan itu mewajibkan pemerintah untuk menjawab aspirasi Walikota se Indonesia untuk memberikan kesempatan berkembang yang sarna bagi Kelurahan dengan adanya Dana Kelurahan. Kami berharap hal ini dapat menjadi stimulus untuk meningkatkan kinerja pelayanan dasar publik di daerah yang tercerrnin dari membaiknya beberapa indikator kesejahteraan masyarakat. Maksimalisasi pelaksanaan Dana Kelurahan ini akan tercapai dengan tata kelola yang baik, pengawasan yang terukur serta adanya penguatan dari segi hukum.  Selain itu, tingginya nilai tukar dolar di angka Rp. 15.000/USD hendaknya tidak menjadikan pelemahan,

28

namun hal ini dapat dijadikan peluang untuk meningkatkan pendapatan negara dari perdagangan luar negeri clan pajak yang terjadi dalam transaksi intemasional.  Kekuatan ekspor harus ditingkatkan untuk menciptakan nilai positif dari keadaan yang dianggap kurang baik. Inovasi dan kreatifitas akan membentuk sebuah kesempatan yang dapat memberikan manfaat positif bagi pendapatan negara. 3 Fraksi Partai Golkar berpendapat bahwa :

 Guna menghadapi berbagai tantangan eksternal dan internal, APBN 2019 harus disusun secara kredibel dengan mengedepankan asas prudensialitas.  Fraksi Partai Golkar mengajak Pernerintah clan DPR RI agar menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas dalam proses pernbahasan dan pelaksanaan APBN.  Fraksi Partai Golkar memutuskan untuk menyerahkan sepenuhnya penggunaan optimalisasi anggaran kepada Pernerintah dan mengusulkan penggunaannya untuk program rehabilitasi bencana, pengurangan utang serta cadangan fiskal (fiscal buffer) sebagai bantalan dalam mengantisipasi ketidakpastian perekonomian nasional.  Fraksi Partai Golkar juga berpandangan bahwa perkembangan sektor industri sebagai sektor yang memiliki multiplier effect yang tinggi akan turut mendorong sektor perdagangan dan sektor-sektor lainnya, Pemerintah perlu mernberikan prioritas pada pengembangan sektor industri sesuai peta jalan making Indonesia 4. 0. 4 PPP  Fraksi PPP menilai Pemerintah sangat optimis dalarn menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di tahun 2019, ditengah masih adanya tantangan kenaikan suku bunga acuan sebagai akibat kenaikan Federal Fund Rate (FRR), perang dagang AS dan Tiongkok serta perkiraan volume perdagangan yang melambat.  Fraksi PPP mengharapkan pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat agar target perturnbuhan tersebut dapat tercapai.  Fraksi PPP juga meminta pernerintah agar meningkatkan kehati-hatian dalam pengelolaan utang luar negeri. Seiring dengan resiko global, maka Pemerintah sebaiknya mernprioritaskan utang yang bersumber dari dalam negeri melalui penerbitan SBN dalam mata uang rupiah. Hal

29

ini juga untuk mencapai kernandirian dalam pembiayaan serta meningkatkan pendalaman pasar uang.

5 Nasdem Fraksi Partai Nasional Demokrat mendukung program utama Pernerintah untuk memacu perekonomian dan menciptakan kesejahteraan rakyat yang baik merata dan adil, dengan mengarahkan belanja pada program perlindungan sosial, peningkatan SOM, percepatan pembangunan infrastruktur dan penguatan desentrasli fiscal.

Fraksi Partai Nasdem perlu mengingatkan beberapa hal diantaranya perlu sinkronisasi antara kebijakan dan perencanaan pembangunan antar instansi pemerintah pusat dan daerah berdasarkan data-data yang valid sebagai acuan sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai. Juga perlunya menyusun kebijakan yang selaras dengan visi pemerintahan di mata publik, khususnya yang berhubungan erat dengan perlindungan sosial.

6 Hanura Fraksi Partai Hanura berpandangan bahwa Pemerintah harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan didukung oleh fundamental ekonomi yang baik dan kerangka kebijakan yang hati-hati. Namun agar n i l a i tukar rupiah menjadi lebih stabil, pemerintah harus dapat mensinergikan kebijakan fiskal dengan moneter, rnengingat stabilitas rupiah tidak bisa diwujudkan hanya dengan instrumen moneter semata tetapi juga harus sinergi dengan kebijakan fiskal lainnya.

Fraksi Partai Hanura mendorong Pemerintah untuk tidak ragu dalam mengambil kebijakan untuk pengalokasian Dana Kelurahan, karena banyak kelurahan yang sarana dan fasilitas umumnya sudah tidak mernadai dan tidak semua Pemerintah Kota mampu meng-cover kebutuhan untuk percepatan pembangunan infrastruktur di kelurahannya masing-masing.

7 PAN Fraksi PAN menyatakan bahwa rencana Pemerintah menaikkan gaji pokok dan pensiun aparatur negara, sebesar rata-rata 5% pada tahun 2019 merupakan upaya yang tergolong baik dalam meningkatkan taraf hidup aparatur negara dan pensiunan, sebagai perwujudan dari UUD 1945, Alinea empat, yaitu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah dan

30

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara dalam rangka mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. tidak dijadikan komoditi politik bagi Pernerintah pada tahun politik 2018-2019.

Fraksi PAN juga meminta Pemerintah untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan, defisit neraca pembayaran, keterpurukan harga komoditas ekspor, rneningkatkan pembangunan sektor pertanian, memperbaiki de-industrialisasi, dan membangun industry maritime, industri pariwisata dan industri kreatif.

8 Demokrat  Fraksi Partai Demokrat mendengar, menyerap aspirasi dan memahami kondisi perekonornian bangsa hari ini yang berada dalam kesulitan. Pemerintah harus peka terhadap hal ini, dan diharapkan mampu rnengatasi persoalan ekonomi yang terjadi baik global maupun domestik.  Fraksi Partai Dcmokrat kembali mengingatkan agar pernerintah mempersiapkan kontigensi plan tcrhadap berbagai kemungkinan yang terjadi pada tahun 2019, apabila indikator asumsi ekonomi makro m e l e s e t terhadap angka pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, inflasi maupun k e n a i k a n harga minyak dunia dan tetap mernperhatikan program pro rakyat,  Fraksi Partai Dernokrat mendukung setiap upaya Pemerintah yang berorientasi kepada kesejahtcraan rakyat dengan program Pro Rakyat yang pernah ada di Pemerintahan sebelumnya yang mcnajamkan pada prioritas pernbangunan nasional dengan konsep Sustainable Growth with Equity, termasuk dengan nama dan nomenklatur yang berbeda seperti halnya BOS, Jamkesmas, Program Keluarga Harapan/PKH, Bantuan untuk penyandang cacat, Bantuan Siswa Miskin/BSM, Pengcmbangan Infrastruklur dan Sosial Ekonomi Wilayah/PISEW, Bantuan Sosial untuk Pengungsi, Karban Bencana dan Raskin, KUBE, KUR, PNPM, Program peningkatan kualitas hidup masyarakat, peningkatan hidup nelayan, tani, guru, PNS, dan buruh.. Masyarakat rnembutuhkan sentuhan dari Pernerintah, agar dapat terus terkait pendidikan, kesehatan dan ekonorni kerakyatan,. Stop bcrjanji dan saatnya mendengarkan suara rakyat serta membantu kesulitan rakyat. 9 Gerindra Fraksi Partai Gerindra berpendapat bahwa:

31

1. Stabilitas kebijakan fiskal terrmasuk monctcr, terlebih indikator fiskal di tahun-tahun sebelumnya rentan dan tidak bisa dikatakan baik,

2. Target penerimaan pajak t i d a k bisa tercapai dan tax ratio masih rendah, turut berpengaruh pada belum optimalnya penerimaan pajak sebagai penopang utama penerimaan dalam APBN.

3. Alokasi belanja rutin, termasuk pembayaran bunga utang (dalam dan luar negeri), telah menghabiskan porsi terbesar dalam belanja negara.

4. Keseimbangan primer masiih dalam posisi defisit. Kondisi ini sangatlah memprihatinkan. Defisit keseimbangan primer itu menunjukkan bahwa untuk memenuhi kewajiban utang jatuh tempo, pemerintah menutupinya dengan menambah utang baru.

5. Pembiayaan defisit rnasih mengandalkan penarikan utang baru melalui berbagai instrumen utang seperti SUN rnaupun utang luar negeri.

6. Kebijakan alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial, sejauh ini masih jauh dari konsep pemberdayaan dan kernandirian, lebih didominasi oleh semangat charity. Kesannya Pemerintah telah mengambil langkah kebijakan populis.. Narnun pada prinsipnya justru tidak bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti yang substansial. Program perlindungan sosial rnenjadi bias, bahkan dapat menimbulkan dugaan adanya motif politik, merebut suara pemilih demi mempertahankan kekuasaan.

7. Dengan garnbaran tersebut, RAPBN 2019 hanyalah sekedar rutinitas belaka. Slogan mandiri, berdaulat dan gotong royong terkesan hanya sebagai pemanis saja. 10 PKS 1. Fraksi PKS menilai hal yang mencemaskan dalam 3 tahun terakhir menurunnya kesejahteraan rakyat buruh tani dan bangunan. Pertumbuhan upah nominal buruh tani dan bangunan tumbuh lebih lambat bila dibandingkan dengan inflasi terutama inflasi pangan. Pada 2015 upah nominal buruh tani tumbuh 3,31 persen secara tahunan sedangkan inflasi bergejolak naik 4,84 persen. Pada 2016, upah nominal buruh

32

tani tumbuh 3,47 persen dan inflasi pangan naik sebesar 5,92 persen. Sedangkan pada 2017 (Feb 2017-Feb2018), upah nominal buruh tani tumbuh 4,2 persen dan upan nominal buruh bangunan tumbuh 2,3 persen dan inflasi pangan naik sebesar 4,97 persen. Hal ini memnunjukan semakin tertekan dan melemahnya daya beli rakyat buruh petani dan rakyat buruh bangunan. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius pemerintah, agar daya beli rakyat tidak semakin tergerus. 2. Fraksi PKS berpendapat revisi signifikansi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menunjukan ketidakmampuan pemerintah meningkatkan daya saing ekonomi dipasar global. Sementara itu, pemerintah mengklaim telah banyak hal yang didapatkan Indonesia lewat event bertaraf internasional baru-baru ini di Bali. Nyatanya jutru pemerintah mengajukan revisi nilai tukar menjadi Rp 15.000 per Dolar AS. Perubahan asumsi nilai tukar menjadi Rp. 15.000 dapat menjadi pesan yang pesimistis bagi para stakeholder perekonomian dan juga publik. Pergeseran asumsi kurs yang signifikan dari awal sebelumnya ini menjadi ironi ditengah hingar binger Annual Meeting IMF-WB yang seolah memberi mereka harapan besar akan fundamental ekonomi kita, namun ternyata pemerintah malah menaikan kesepakatan asumsi nilai tukar rupiah yang awalnya Rp. 14.400. kemudian disepakati Rp, 14.500. dan akhirnya pemerintah merubah usulan menjadi Rp 15.000. langkah tersebut akan berpengaruh besar terhadap presepsi stakeholder perekonomian terhadap pemerintah. Dengan revisi tersebut biaya inport akan menjadi mahal, cicilan dan bunga untang akan melonjak serta, investasi akan menurun, dan pertumbuhan akan menjadi semakin tertekan. Revisi nilai tukar akan mempengaruhi target makro ekonomi lainya. Seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga SPN, hingga penerimaan negara. Namun demikian kondisi tersebut belum terlihat dari hasil pembahasan APBN 2019, Fraksi PKS berpendapat nilai tukar terhadap dolar Amerika dalam tahun 2019 seharusnya ditetapkan sebesar Rp. 14.400. per dolar. 3. Fraksi PKS berpendapat bahwa kegagalan pemerintah Jokowi- JK dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kemudian brdanmpak pada pencapaian target pada indikator-indikator kesejahteraan seperti pengurangan kemiskinan, pengaguran, dan tingkat kesenjangan. Pencapaian tingkat kemiskinan masih 9,8 persen, tingkat penganguran 5,13 persen, dan gini ratio 0,389. Lebih lanjut, berdasarkan hasil sejumlah penelitian, kualitas pertumbuhan juga mengalami penurunan sehingga

33

menyebabkan stagnanya koefisien gini. Pada era pemerintahan sebelumnya, setiap pertumbuhan 1 persen, maka konsumi masyrakat 20 persen termiskin akan bertumbuh mencapai hampir 1 persen, sedangkan pada era pemerintah Jokowi-Jk hanya tumbuh 0,7 persen. 4. Selain itu, pemerintah perlu melihat fenomena semakin besarnya propori anak muda yang bekerja dibawah 15 jam satu minggu. Fenomena tersebut menunjukan bahwa tenaga kerja muda di Indonesia masihk kesulitan mendapatkan pekerjaan penuh( diatas 35 jam perminggu). Fraksi PKS berpendapat bahwa Kinerja pengurangan angka kemiskinan diera Pemerintahan Jokow-JK masih jauh dari memuaskan, oleh karena itu pemerintah harus berkomitmen penuh untuk merealisasikan target pengurangan kemiskinan tersebut. Pengurangan kemiskinan mengalami perlambatan selama era kekuasaan Jokowi-Jk: dimana pada periode 2009-2014 setiap tahunya, kemiskinana rata-rata berkurang 0,58 persen, sedangkan pada era pemerintahan Jokowi-JK hanya berkurang 0,26 persen per tahun. 5. Fraksi PKS berpendapat pemrintah harus berhati-hati dalam kebijakan utang. Deficit APBN mengalami tren peningkatan setiap tahunya. Dari yang hanya sebesar 2, 34 persen pada tahun 2014, menjadi 2,57 persen pada tahun 2017. Selain itu, produktifitas dari utang pemerintah justru menurun, terlihat dari tren meningkatnya debt to GDP Ratio dari 24,74 persen (2014) menjadi 29, 74 persen (2018). Tren meningkatnya debt to GDP ratio menunjukan bahwa utang yang ditambah pemerintah kurang berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi, hal ini seharusnya menjadi warning awal untuk pemerintah. Terkait penarikan utang, harus dikaji lebih mendalam, mengingat realisasi serapan anggaraan yang juga tidak optimal dan deficit PBN yg masih bersifat tidak produktif. 6. Fraksi PKS berpendapat bahwa pembayaran Bungan utang akibat utang negara yang semakin membengkak telah sangat membebani Negara. Pembayaran kewajiban Bungan utang pemerintah terus meningkat dari Rp 155 triliun atau 8,6 persen dari belanja negara tahun 2015, menjadi Rp. 182 triliun atau 9,7 persen tahun 2016 dan mencapai Rp 220 trilun atau 12,5 persen tahun 2017. Pada 2018 pembayaran Bunga utang mencapai Rp 238 triliun dan melonjak menjadi Rp 275 triliun tahun 2019. Kewajiban pembayaran bunga utang pemerintah udah melebihi realisasi pos belanja lainya yang sangat urgent seperti

34

pos anggran supsidi Rp 224 triliun. Beban bunga utang tahun 2019 mencapai Rp. 275 triliun atau 17 persen lebih disbanding belanja pemerintah pusat, karena itu berutang sekedar untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sebelumnya. 7. Fraki PKS berpendapat target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.786 Triliun meragukan untuk dicapai melihat kinerja selama ini. Fraki PKS mencermati bahwa shortfall penerimaan pajak regular atas APBN beberapa tahun terakhir terus berulang dan pemerintah Jokwi-JK selalu gagal mencapai target penerimaan pajak. Tax ratio yang stagnan, dan bahkan menurun beberapa tahun terakhir. Juga menujukan kegagalan pemerintah tersebut. Padahal pemerintah telah mendapatkan amunisi penting dengan disetujuinya Perpu akses Informasi Keuangan Untuk kepentingan Perpajakan. Meski demikian berbagai kebijakan besar sector perpajakan yang belum diselesaikan pemerintah adalah reformasi lanjutan baik berupa amandemen paket UU perpajakan seperti UU KUP, UU PPh, dan UU PPN, penguatan kelembagaan, pembinan apparat perpajakan, optimalisasi akses data dan informasi dan lain- lain. Hal ini diharapkan menjadi prasyrat penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan secara komperhensif dan berkelanjutan. Selain itu pemerintah perlu secara serius dan tegas dalam menggali sector-sektor yang masih under-tax, pemerintah perlu meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta menurunkan tax evasion, selain itu trget penrimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir yang selalu tidak tercapai dan pencapaian yg masih rendah sampai semester pertama 2018 harus menjadi perhatian serius pemerintah. 8. Fraksi PK perihatin dengan kebijakan inpor beras yang menunjukan kegaggalan pemrintah dalam swa sembada pangan, Fraksi PKS mendsak Pemrintah agar serius mereaklisasisksnan program ketahanan dan kedaulatan pangan dengan alokasi anggaran yang memadai. Hal ini sangat penating mengingat permasalahana ketersediaan, kecukupan, dan kenaikan harga-harga pangan selalu berimbas pada turunya daya beli dan kesejahteraan rakyat secara luas. Pemerintah juga perlu meningkatkan pemberian insentif dan subsidei perataniaan secara memadai, seperti supsidi benih, supsidi pupuk, ansuransi pertanian, jaminana pembeliaan, dan laianin ebaganya. Pemerintah harus sungguh-sunggu merealisasikan kebijkan agraria yang lebih berkeadilan untuk meningkatkan penguasaan lahan bagi petani sehingga akan meningkatkan produksi pangan nasional. Demikian juga

35

program-program kesejahteraaan dana perlindungan nelayan perlu ditingkatkan. 9. Fraksi PKS prihatin dengan masih rendahnya nilai tukar Petani (NPT) nasional. Fraksi PKS menilai bahwa rencana pemerintah tahun 2019 yang kembali meng hapus subsidi benih mrupakan kebijakan yang tidak tepat, apalagi dengn menyalahkan rendahnya penyarapan tanpa ada upaya prbsiksn ysng optimal sebelumnya. Sebaiknya pemerintah lebih mengutamakan solusi untuk meningkatkan penyerapan dengan memperbaiki mekanime penyaluran bukan dengan penghapusan subsisdi benih tersebut, Fraksi PKS mendesak pemerintah untuk menetapkana kembali subsidi benih dan meamperbaiki mekanisme penyaluran, diantaranya dengan pola penyaluran secara langung kepada petani, alasan pemrintah mengalihkan ubsidi benih ke bantuan langsung benih unggul (BLBU) dinilai tidak menjamin lebih efektif dan tepat sasaran karena BLBU hanya menjangkau ebagian kecil petani dan jumlahnya terbatas. Dinegara maju sekalipun, pemeerintah tetap memberikan subsidi untuk petani, karena merupakan wujud perlindungan negara dalam meningkatakan kesejahteraan petani. 10. Terkait dengan alokasi subsidi energy sebesar Rp 164 Triliun untuk BBM dan LPG serta Listrik. Fraksi PKS mendesak pemrintah menyalurkan subsisdi secara tepat sasaran dan tidak memastikan beban biaya, energi rakyat kecil tidak melonjak. PKS juga mendesak pemerintah agar rakyat yang kurang mampu mudah mengakses LPG Tabung 3 Kg dan agar ketrediaan terjaga untuk menjaga daya beli rakyat kecil. Fraksi PKS juga mendesak kepastian dari pemerintah agar tidak terjadi kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) untuk rakyat kecil. Fraksi PKS mendesak agar subsidi LPG tabung 3 Kg dan subsidi listrik untuk pelanggan ruamah tangga daya 450 VA dan 900 VA untuk rakyat kecil haru tetap diberikan dan jika memungkinakn justru ditambah alokasinya. Fraksi PKS juga mendesak pemerintah untuk mamastikan ketersediaan BBBM jeninis pertalite dan pertamax. Fraksi PKS mendesak, agar pemerintah menjaga keberadaan Premium di masyarakat. Fraksi PKS juga terus mendesak agar pemerintah terus melakukan langkah-langkah efisiensi bagi pertamina maupun PT PLN 11. Fraksi PKS perlunya peningkatan evektifitas alokasi anggaran untuk pendidikan dimana untuk tahun 2019 di rencanakan mencapai Rp 482,4 Triliun. Alokasi yang cukup besar

36

diharapkan mendorong peningkatan kualitas bangsa secara keeluruhan. Fraksi PKS memberi perhatian khuus terkait kepastian untuk tunjangan profesi Guru baik PNS atau non PNS. Hal inisangat penting mengingat para guru telah berkontribusi untuk mewujudkan amanat konstitusi. Turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Fraksi PKSI juga berpandangan bahwa Pagu biaya Oprasional Perguruan Tinggi tidak mengalami kenaikan yang akan menyebabkan biaya kuliah semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin yang membutuhkan akses pendidikan tinggi. Fraksi PKS juga mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang terkait dana BOS yang selama ini diberikan dengan menggunakan satu standar biaya tanpa memperhatikan unsur kemahalan daerah. 12. Fraksi PKS berpendapat alokasi anggaran untuk fungsi kesehatan sebesar Rp 123,1 triliun secara umum masih konsisten memenuhi amanat UU kesehatan, sebagaiman selama ini didesak oleh fraksi PKS. Fraksi PKS mendorong pemerintah untuk memprcepat pembenahan jaminan layanan kesehatan Nasinal (JKN) yang masih kurang memadai serta memenuhi kekurangan infrastruktur layanan dan SDM Kesehatan secara luas. Fraksi PKS berpandangan bahwa sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus berjalan secara sehatdan berkelanjutan, termasuk untuk jaminan ketenagakerjaan. Fraksi PKS memandang pemerintah belum sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan-persoalan Fundamentaldalam imlementasi JKN. Deficit BPJS yang terus menerus adaqlah indikasi lemahnya manajemen pemerintah dalam pelaksanaan JKN. Keterangan: 1. Data diolah dari Laporan Badan Anggaran DPR-RI Mengenai Hasil Pembicaraan Tk. I /Pembahasan Rancangan Undang undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019, disampaikan pada Rapat Paripurna DPR 31 Oktober 2018 oleh Wakil Ketua Banggar, Ir. H. Achmad Rizki Sadiq, M.Si. dalam http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BANGGAR- 36d313d7caee927ebdd28f09392b9dfd02.pdf Wakil Ketua Banggar, Achmad Rizki Sadiq menyatakan bahwa Fraksi PDIP, Golkar, PKB, PPP, Demokrat, PAN, Nasdem dan Hanura menerima RUU APBN 2019 disahkan menjadi Undang-undang, Fraksi PKS menerima dengan catatan, sedangkan Fraksi Partai Gerindra tidak memberikan pendapat (https://www.antaranews.com/berita/763691/rapat-paripurna-dpr-setujui- pengesahan-rapbn-2019).

37

2. Akhirnya, Rapat Paripurna DPR RI, Rabu (31/10/2018) siang yang dipimpinan Wakil Ketua DPR Agus Hermanto (setelah sebelumnya ada beberapa interupsi dari anggota dewan yang berasal dari beberapa fraksi) semua fraksi menyetujui RUU APBN 2019 disahkan menjadi UU (https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/31/133228526/resmi-dpr-sahkan- uu-apbn-2019).

3. Hasil Pembahasan RAPBN 2019 Pembahasan yang cukup banyak dan panjang terhadap RPBN 2019 selama MS I TS 2018-2019 ini akhirnya melahirkan postur APBN 2019 seperti table berikut. Postur APBN 2019 RAPBN 2019 APBN 2019 A Pendapatan Negara 1.894.720.323.977 2.165.111.8 I. Penerimaan Dalam Negeri 1.894.720.327.977 2.164.676.5 1. Penerimaan Perpajakan 1.618.095.493.162 1.786.378.7 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 275.427.969.415 II. Penerimaan Hibah 1.196.865.400 435.3 B Belanja Negara 2.220.656.966.577 2.461.112.1 I. Belanja Pemerintah Pusat 1.454.494.390.020 1.634.339.5 II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa 766.162.576.557 826.772.5 C Keseimbangan Primer -87.32951723 D Surplus/ (Defisit) Anggaran (A-B) % Defisit Anggaran Terhadap PDB 296.000,2 atau 1,84% E Pembiyaan Anggaran (I+II+III+IV+V) I. Pembiayaan Utang 359.250.6 II. Pembiayaan Investasi 75.900.3 III. Pemberian Pinjaman 2.350.0 IV. Kewajiban Pinjaman V. Pembiayaan Lainnya 15.000 Miliar

Keterangan: Data dikutip dari Laporan Badan Anggaran DPR RI Mengenai Hasil Pembicaraan Tinkat I/Pembahasan RUU tentang RAPBN Tahun Anggaran 2019 (http://dpr.go.id/dokakd/dokumen/BANGGAR-36- ed90f25e064e5a84adc514062d984acb.pdf)

Catatan: Postur APBN 2019 menggambarkan ketidak konsistenan DPR dalam mengkritisi RAPBN. Di satu sisi DPR berhasil mendorong peningkatan jumlah pendapatan negara, namun di sisi lain DPR juga memberikan anggaran belanja negara di atas angka yang diajukan pemerintah. Seharusnya, keinginan untuk meningkatkan pendapatan negara

38 dapat diselaraskan juga dengan kemampaun berhemat sebagaimana DPR dalam beberapa kali cemas dengan utang negara.

4. Inkonsistensi Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 258 Tahun 2015 Dalam penentuan pagu Anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) pada Tahun Anggaran 2019, DPR dan Pemerintah melakukan inkonsistensi. Menurut PMK No. 258 Tahun 2015 Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 dinyatakan bahwa penghargaan berupa tambahan alokasi anggaran K/L pada tahun anggaran (t.a) berikutnya dapat diberikan jika prosentase penyerapan anggaran t.a. sebelumnya paling sedikit mencapai 95%; prosentase realiasasi capaian output paling sedikit 95%; dan laporan keuangan K/L berpredikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK. Kecuali itu juga dengan memperhatikan kondisi keuangan negara; prioritas dalam mendapatkan dana atas inisiatif baru yang diajukan; atau prioritas dalam mendapatkan anggaran belanja tambahan apabila kondisi keuangan negara memungkinkan. Sekalipun begitu, pada penetapan pagu anggaran dalam APBN 2019 terdapat beberapa lembaga yang mendapat kenaikan anggaran jika dibandingkan dengan anggaran yang diperolehnya pada APBN 2018 meski lembaga-lembaga tersebut mendapat opini WDP dan TMP dari BPK. Ada pula Kementerian yang anggarannya diturunkan pada APBN 2019 jika dibandingkan dengan APBN 2018 sebagaimana dapat disimak pada table berikut: K/L Yang Memperoleh Kenaikan/Penurunan dari APBN 2018 ke APBN 2019 No. Nama K/L Opini dari Jumlah Anggaran dalam Keterangan BPK APBN (dalam Rp.) 2018 2019 1 Kementerian Pertahanan WDP 114.2 108.4 Turun dan Keamanan (Triliun) (Triliun)17 2 Kementerian Kelautan WDP 8,79 triliun 5,48 triliun18 Turun dan Perikanan 3 Lembaga Penyiaran WDP 958,1 994,1 miliar19 Naik Publik RRI miliar 4 Badan Pengawas Tenaga WDP 175,4 178,7 milyar20 Naik Nuklir (Bapeten) milliar

17http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/data/document/paparan/2018/paparan/paparan%20APB N%202019.pdf 18 Lapsing Raker Komisi IV Bersama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Tanggal 12 September 2018 19 Lapsing Raker Komisi I Bersama dengan Menkominfo, RRi,TVRI, KPI,KIP, Dewan Pers Tanggal 23 Oktober 2018 20 Lapsing RDP komisi VII dengan Kementerian Ristekdikti dan Bapeten, Batan Informasi Geospasial dan BPPT …, 23 Oktober 2018.

39

5 Badan Keamanan Laut TMP 425,7 447,4 miliar21 (Bakamla) miliar

5. “Penyertaan Modal Negara Terus Menerus, BUMN Semakin Menjadi Beban Negara!” Pada 23 Oktober 2018, Komisi VI DPR RI menyetujui Penyertaan Modal Negara pada BUMN dalam APBN Tahun Anggaran 2019 sebesar Rp17.000.000.000.000,00 (tujuh belas triliun) untuk ditetapkan Badan Anggaran, yang diberikan kepada dua BUMN yaitu: (a) PT. Hutama Karya (Persero) Sebesar Rp. 10.500.000.000.000 (Sepuluh triliun lima ratus milliar rupiah); dan (b) PT PLN (Persero) sebesar Rp 6.500.000.000.000 (Enam Triliun Lima ratus milliar Rupiah). Menurut Menteri Keuangan dalam jawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Fraksi-fraksi atas RAPBN 2019 pada Rapat Paripurna DPR 31 Oktober 2018, Penyertaan Modal Negara kepada dua BUMN ini dimaksudkan untuk pembiayaan investasi dengan capaian antara lain sebagai berikut: (1) pembangunan proyek ruas tol Pejagan-Pemalang dan Batang-Pemalang, konstruksi jalan tol Solo- Ngawi dan Ngawi-Kertosono, pembangunan jalan tol trans Sumatera, seperti ruas tol MedanBinjai, Palembang-Indralaya, dan Bakauheni-Terbanggi Besar; (2) pengembangan kapasitas Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta, serta pembangunan pembangkit listrik di Musi Banyuasin-Sumatera Selatan dan Kendari; dan (3) pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, seperti PLTGU Grati, PLTGU Tanjung Priok (Jawa-2), transmisi, distribusi, gardu induk, PLTG/MG, dan PLTD yang tersebar di seluruh Indonesia. Kinerja PT Hutama Karya Vs PT PLN Tahun 2018 Laporan Nama BUMN Keuangan

PT Hutama Karya PT PLN

Laba bersih melampaui target yakni Rugi bersih sebesar Rp sebesar Rp. 2,221 Trilun atau tumbuh 18,48 triliun.23

117,57% secara year-on-year dengan Triwulan III tahun 2017 sebesar Rp. 1,021 Triliun.22 Tahun 2018

21 Lapsing Raker Komisi I Bersama dengan Lemhanas, Wantannas, dan Bakamla Tanggal 23 Oktober 2018 22 https://www.hutamakarya.com/blog/post/pertajam-strategi-operasional-hutama- karya-raih-laba-bersih-tahun-2018-di-triwulan-iii 23 https://www.cnbcindonesia.com/news/20181030141802-4-39693/rupiah-jeblok-pln- rugi-rp-1848-t-di-kuartal-iii-2018

40

Catatan: Menurut Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2018 (IHPS I 2018) terhadap pengelolaan keuangan Negara oleh BPK yang disampaikan kepada DPR pada Rapur 2 Oktober 2018, ditemukan bahwa PT PLN merupakan BUMN yang melakukan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, yaitu Penambahan pagu anggaran Subsidi Listrik Tahun 2017 sebesar Rp 5,22 triliun tidak sesuai dengan UU APBN-P dan tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai. Akibatnya, belanja subsidi listrik sebesar Rp 5,22 triliun direalisasikan tanpa penganggaran dalam APBN/ APBN-P serta tidak didukung dengan dasar hukum yang jelas dan diragukan keabsahannya.24

Aturan Penyertaan Modal Negara Pada BUMN dan PT Ketentuan Penyertaan Modal Negara kepada BUMN diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas. Pasal 5 huruf c menyatakan bahwa Penambahan penyertaan modal Negara ke dalam suatu BUMN dan Perseroan Terbatas dilakukan dalam rangka: a. memperbaiki struktur permodalan BUMN dan Perseroan Terbatas; dan/atau b. meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas. Penyertaan Modal Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan huruf b diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri dan Menteri Teknis.

Catatan Penyertaan Modal Negara ke PT Hutama Karya yang sudah berlangsung sejak 2015 dan terus memberikan keuntungan bagi negara, mungkin dapat menjadi alasan negara terus menyertakan modalnya, sebagai bentuk investasi. Sebaliknya bagi PT PLN yang mengalami kerugian sepanjang Tahun 2018 dan kondisi utang PLN yang terus meningkat sejak Tahun 2015. Kasus korupsi yang melibatkan Eni Maulani Saragih dalam proyek PLTU-I Riau juga harusnya menjadi pertimbangan penting pemerintah dalam menentukan pemberian PMN. Jika PT PLN terus menerima PMN, dengan kinerja yang buruk, bukankah ini akan mengancam perekonomian negara? Tidak ada harapan atas investasi yang disertakan di PT PLN. DPR tidak seharusnya menyetujui PMN terhadap PT PLN jika DPR memperhatikan betul hasil pemeriksaan BPK.

6. “Rapat Tertutup Khianati DPR Now!” Rapat-Rapat Pembahasan Anggaran di Komisi-Komisi bersama mitra kerjanya ditemukan sebanyak 85 rapat dari 184 jumlah keselutuhan rapat. Namun terkait Rapat pembahasan Anggaran untuk APBN 2019 terdapat rapat-

24 http://www.bpk.go.id/assets/files/ihps/2018/I/ihps_i_2018_1538459607.pdf

41

rapat yang dilakukan secara tertutup sebanyak 11 kali, seluruhnya dari Komisi VIII dengan Komisi yang menjadi mitra kerjanya, antara lain seperti berikut : 1. Kementerian Sosial25 2. Kementerian Sosial26 3. Kementerian Agama27 4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia28 5. Badan Nasional Penanggulangan Bencana29 6. Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana BPKH30

Catatan: Pasal 246 ayat (2) Tatib DPR diatur bahwa Setiap rapat DPR bersifat terbuka, kecuali dinyatakan tertutup. DPR memang punya hak untuk melakukan rapat tertutup tetapi persoalannya adalah rapat yang tertutup ini membahas pagu anggaran Kementerian/Lembaga yang dananya akan dikucurkan dari pembiayaan negara, bagaimana mungkin rakyat tidak boleh tau. Jangan-jangan sengaja dirahasiakan , alasan rapa tertutup juga tidak disampaikan. Sikap ini tentu tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Komisi VIII mengkhianati slogan DPR untuk menjadi DPR modern, kriteria modern: keterbukaan, akuntabilitas, mudah di akses.

E. Kesimpulan Berdasarkan pencermatan yang telah dilakukan di depan dapatlah diambil beberapa kesimpulan seperti berikut: 1. Dalam melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan APBN 2018, DPR tidak kritis dan terlalu permisif terhadap Kementerian dan Lembaga pasangan kerjanya, Padahal, DPR bisa menolak laporan tersebut terutama Kementerian dan Lembaga yang daya serap anggarannya buruk dan memperoleh opini selain WTP dari BPK. 2. Kepedulian Ketua DPR terhadap perbaikan bidang Pendidikan, Kesehatan dan Pelayanan Sosial serta program-program RPJMN perlu diapresiasi. Kepedulian yang disampaikan dalam pidato Pembukaan Masa Sidang dalam rangka pembahasan RAPBN 2019 mampu membuahkan hasil, yakni dengan dinaikkannya anggaran pada kementerian terkait. 3. Sikap mayoritas Fraksi di DPR (8 Fraksi) yang langsung menyetujui RAPBN 2019 menjadi APBN 2019, sementara satu Fraksi menyetujui dengan catatan dan satu fraksi

25 http://dpr.go.id/dokakd/dokumen/K8-14-435c389484bea06387b1c3db1ed0f00d.pdf 26 http://dpr.go.id/dokakd/dokumen/K8-14-435c389484bea06387b1c3db1ed0f00d.pdf 27 http://dpr.go.id/dokakd/dokumen/K8-14-2340ffd1d2fd6b6ad448c3706330c02b.pdf 28 http://dpr.go.id/dokakd/dokumen/K8-14-0423e970f0b7c21d497cea9feaec5267.pdf 29 http://dpr.go.id/dokakd/dokumen/K8-14-c0ec66c4247b09d4a86aebdd2262dd21.pdf 30 http://dpr.go.id/dokakd/dokumen/K8-14-4d557ebd8b697991bc6f72cbde3c2e82.pdf

42

tidak memberikan pendapat menengarai bahwa secara kelembagaan DPR tidak mampu menunjukkan diri sebagai lembaga penyeimbang pemerintah. 4. Persetujuan DPR terhadap penambahan anggaran tahun 2019 kepada lembaga Negara yang mendapatkan opini WDP dan TMP dari BPK menunjukkan bahwa DPR bersama Pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap PMK No. 258 Tahun 2015. 5. Pemberian persetujuan PMN kepada PT PLN padahal dalam perusahaan ini terjadi korupsi menunjukkan tidak adanya kepekaan DPR dan Kementerian Keuangan dalam mendukung pemberantasan korupsi. 6. Terjadinya rapat-rapat tertutup pada Komisi VIII dengan pasangan kerjanya dalam membahas RAPBN 2019 menimbulkan kecurigaan masyarakat. Jangan-jangan ada kolusi tertentu antara Komisi VIII dengan Kementerian/Lembaga Negara dalam menentukan besaran anggarannya dalam APBN 2019.

IV. EVALUASI PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN A. Pengantar Menurut Undang-undang (UU) No. 17/2014 sebagaimana telah diubah tiga kali, terakhir dengan UU No. 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) Pasal 71 dan 72 maupun Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 huruf f dan Pasal 7 huruf d dan e Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib (Tatib) sebagaimana telah diubah tiga kali, terakhir melalui Rapat Paripurna DPR 16 Oktober 2018, ruang lingkup fungsi pengawasan DPR mencakup: (1) pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya; (2) pembahasan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang telah diaudit oleh BPK; hasil pemeriksaan semester BPK; tindak lanjut hasil pemeriksaan semester BPK; hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu oleh BPK; hasil pengawasan DPD; dan/atau pengaduan masyarakat; (3) pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; (4) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan

43 daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Aturan-aturan dalam UU MD3 dan Tatib DPR tersebut di atas merupakan batu uji untuk mengevaluasi kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan selama Masa Persidangan I (MS I) Tahun Sidang (TS) 2018 - 2019. Karena itu evaluasi ini hendak meneliti dua hal pokok, yaitu: pertama, seperti apakah rencana kerja pengawasan yang disusun DPR; kedua, bagaimanakah realisasinya. Pada bagian akhir evaluasi ini akan diambil kesimpulan dan ditutup dengan rekomendasi perbaikannya ke depan.

B. Rencana Kerja Pengawasan Secara sehari-hari, fungsi pengawasan DPR dilakukan oleh Alat Kelengkapan DPR (AKD), baik Komisi (I s/d XI) maupun AKD lainnya, misalnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Panitia Khusus Hak Angket, Tim Pengawas yang dibentuk DPR maupun Panitia Kerja Pengawasan yang dibentuk oleh Komisi/AKD lainnya. Pelaksaan pengawasan dilakukan melalui Rapat-rapat Kerja (Raker), Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi/AKD lainnya dengan Kementerian/Lembaga (K/L) yang menjadi pasangan kerja AKD yang bersangkutan, pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), serta melalui kunjungan kerja Komisi/AKD lainnya ke wilayah tertentu di masa sidang maupun di masa reses. Terkait rencana kerja pengawasan oleh Komisi/AKD selama MS I TS 2018-2019 dapat disimak pada dua sumber utama, yaitu: pertama, putusan Rapat Konsultasi antara Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi 25 Juli 2018 sebagai pengganti Rapat Badan Musyawarah (Bamus) tentang Jadwal Acara Rapat-rapat DPR RI Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019;31 kedua, dari Pidato Ketua DPR pada Pembukaan MS I TS 2018-2019.32

1. Rencana rapat-rapat pengawasan oleh Komisi I s/d XI dan BAKN Rencana Kerja pengawasan DPR dilakukan melalui rapat-rapat pengawasan oleh Komisi dan AKD selama MS I TS 2018-2019 dapat didimak pada tabel 1.

Tabel 1: Rencana Rapat-rapat Pengawasan oleh Komisi dan BAKN Selama MS I TS 2018-2019

31Jadwal Acara Rapat DPR-RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus s.d. 18 November 2018), Sekretariat Jenderal DPR RI, 10 Agustus 2018 dalam http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BAMUS-10-8f48c68f94b0433308b9be94c206c5ef.pdf) 32Pasal 225 Tatib DPR menyatakan bahwa: Pimpinan DPR menyampaikan pidato pembukaan yang terutama menguraikan rencana kegiatan DPR dalam masa sidang yang bersangkutan dan masalah yang dipandang perlu disampaikan dalam rapat paripurna DPR pertama dari suatu masa sidang. Sedangkan pada penutupan masa sidang, Pimpinan DPR menyampaikan pidato penutupan yang menguraikan hasil kegiatan dalam masa reses sebelumnya, hasil kegiatan selama masa sidang yang bersangkutan, rencana kegiatan dalam masa reses berikutnya, dan masalah yang dipandang perlu disampaikan dalam rapat paripurna DPR dari suatu masa sidang.

44

No. Tanggal Jam Komisi Jam BAKN

1 21-8-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI 0 0

2 23-8-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI 0 0 3 23-8-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI 13:00 - 16:00 1

4 27-8-2018 09:00 – 11:00 I s/d XI

5 27-8-2018 13:30 – 16:00 I s/d XI

6 27-8-2018 19:30 – 22:30 I s/d XI 7 28-8-2018 setelah Rapur I s/d XI

19:30 – 22:30

8 29-8-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI

9 29-8-2018 19:30 – 22:30 I s/d XI

10 30-8-2018 09:00 - selesai I s/d XI 11 30-8-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI

12 30-8-2018 ======? 1

13 3-9-2018 09:00 -13:00 I s/d XI

14 4-9-2018 Setelah Rapur I s/d XI 15 4-9-2018 19:30 – 22:30 I s/d XI

16 5-9-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI

17 5-9-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI

18 5-9-2018 19:00 – 22:30 I s/d XI 19 6-9-2018 09:00-selesai I s/d XI

20 6-9-2018 ----- 13: 00-16:00 1

21 6-9-2018 19:00-22:30 I s/d XI

22 10-9-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI

23 10-9-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI 24 10-9-2018 19:30-22:30 I s/d XI

45

11-9-2018 Libur Thn Baru Islam

25 12-9-2018 09:00-12:00 I s/d XI

26 13-9-2018 09:00 – 11:00 I s/d XI 27 13-9-2018 13:30-16:00 I s/d XI

28 13-9-2018 ======13:00 – 16:00 1

29 14-9-2018 19:30 – 22:30 I s/d XI

30 17-9-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI 31 17-9-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI

32 17-9-2018 19:30-22:30 I s/d XI

33 18-9-2018 Setelah Rapur I s/d XI

34 18-9-2018 19:30-22:30 I s/d XI

35 19-9-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI 36 20-9-2018 09:00 – 11:00 I s/d XI

37 20-9-2018 13:30 – 16:00 I s/d XI

38 20-9-2018 19:30 – 22:30 I s/d XI

39 20-9-2018 ======? 1 40 24-9-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI

41 24-9--2018 13:00 – 16:00 I s/d XI

42 24-9-2018 19:30 – 22:30 I s/d XI

43 25-9-2018 Setelah Rapur I s/d XI 44 25-9-2018 19:30-22:30 I s/d XI

45 26-9-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI

46 27-9-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI

47 27-9-2018 13:30 – 16:00 I s/d XI

48 27-9-2018 ------? 1 49 27-9-2018 19:30-22:30 I s/d XI

46

50 1-10-2018 09:00 – 12:00 I s/d XI

51 1-10-2018 13:00 – 16:00 I s/d XI

52 1-10-2018 19:30 -22:30 I s/d XI 53 2-10-2018 Setelah Rapur I s/d XI

54 2-10-2018 19:30 – 22:30 I s/d XI

55 3-10-2018 09:00 - 12:00 I s/d XI

56 4-10-2018 09:00 -12:00 I s/d XI 57 4-10-2018 13:00 -16:00 I s/d XI

58 4-10-2018 ======? 1

59 08-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI

60 08-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

61 9-10-2018 Setelah Rapur I s.d XI 62 9-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

63 10-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI

64 11-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI

65 11-10-2018 13.00 – 16.00 I s.d XI 13.00 – 16.00 1 67 11-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

68 15-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI

69 15-10-2018 13.00 – 16.00 I s.d XI

70 15-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI 71 16-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

72 17-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI

73 18-10-2018 13.00 – 16.00 I s.d XI 13.00 – 16.00 1

74 18-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

75 22-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI 76 22-10-2018 13.00 – 16.00 I s.d XI

47

77 22-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

78 23-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

79 24-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI 80 25-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI

81 25-10-2018 13.00 – 16.00 I s.d XI 13.00 – 16.00 2

82 25-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

83 29-10-2018 09.00 – 12.00 I s.d XI 84 29-10-2018 13.00 – 16.00 I s.d XI

85 29-10-2018 19.30 – 22.30 I s.d XI

Keterangan: 1. Data Rencana Rapat Pengawasan oleh Komisi dan BAKN diolah dari Jadwal Acara Rapat DPR-RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus s.d. 18 November 2018), Sekretariat Jenderal DPR RI, 10 Agustus 2018 dalam (http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BAMUS-10- 8f48c68f94b0433308b9be94c206c5ef.pdf) 2. Total Rencana Rapat Pengawasan oleh Komisi I s/d XI ada 85 kali. 3. Total Rencana Rapat Pengawasan oleh BAKN sebanyak 11 kali.

2. Realisasi Rapat-rapat Pengawasan Rencana rapat-rapat pengawasan tersebut yang terealisasi dapat disimak pada diagram 1 seperti berikut:

48

Diagram 1:Realisasi Rapat-rapat Komisi MS I TS 2018-2019 25 21 20 16 15 12 11 10 10 9 9 9 77 7 6 6 6 5 5 4 4 4 5 3 3 3 3 3 2 2 2 1 1 1 1 1 000 0 0 000 00 00 000 0 00 00 000 0 I II III IV V VI VII VIII IX X XI Raker 3 6 1 6 3 10 9 6 3 11 7 RDP 4 9 5 2 21 9 12 7 4 16 4 RDPU 0 2 2 0 3 1 0 7 5 1 0 Internal 0 0 1 0 0 0 0 3 0 0 0 Rakor 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Raker RDP RDPU Internal Rakor

Keterangan: Total Rapat Komisi sebanyak 184 kali (Data diolah dari lapsing rapat- rapat komisi DPR dari berbagai media).

3. Tim Pengawas Bentukan DPR dan Komisi Selama MS I TS 2018-2019 dirancang pula pelaksanaan tugas Tim yang dibentuk oleh DPR dan Komisi, yaitu: (1) Tim Pengawas DPR RI terhadap Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (dibentuk sejak 26 Januari 2015) ; (2) Tim Implementasi Reformasi DPR RI (dibentuk sejak 5 Februari 2015); (3) Tim Pemantau DPR RI terhadap Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, serta Pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (dibentuk sejak 26

49

Januari 2015); (4) Tim Pemantau dan Evaluasi Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan/UP2DP (dibentuk sejak 26 Januari 2015); (5) Tim Penguatan Diplomasi Parlemen (dibentuk sejak 3 Januari 2015); (6) Tim Pengawas DPR RI tentang Pembangunan Wilayah Perbatasan (dibentuk sejak 27 Juli 2016); dan (7) Tim Pengawas DPR RI terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji.33

4. Temuan-temuan BPK Pada Rapat Paripurna DPR tanggal 2 Oktober 2018, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semeter I tahun 2018 (IHPS I 2018) kepada Pimpinan DPR. Dalam IHPS I 2018 tersebut BPK antara lain menemukan jumlah dan nilai Permasalahan Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan pada Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga (LKKL) serta Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) Tahun 2017.34 Permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan, antara lain terdiri atas: (1) Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Subbidang Prioritas Daerah dan Tambahan DAK Fisik Percepatan Infrastruktur Publik Daerah Tahun Anggaran (TA) 2017 tidak berdasarkan mekanisme dan formula perhitungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, DAK Fisik Afirmasi TA 2017 belum sepenuhnya sesuai dengan kategori daerah afirmasi sebagaimana ditetapkan dalam UU APBN. Akibatnya, timbul risiko penyimpangan dalam pelaksanaannya dan berpotensi tidak memenuhi asas keadilan dan objektivitas serta hasilnya berisiko tidak dimanfaatkan; (2) Penambahan pagu anggaran Subsidi Listrik Tahun 2017 sebesar Rp 5,22 triliun tidak sesuai dengan UU APBN-P dan tidak berdasarkan pertimbangan yang memadai. Akibatnya, belanja subsidi listrik sebesar Rp 5,22 triliun direalisasikan tanpa penganggaran dalam APBN/ APBN-P serta tidak didukung dengan dasar hukum yang jelas dan diragukan keabsahannya. Terhadap ketidakpatuhan pada ketentuan peraturan perundang undangan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan selaku wakil pemerintah antara lain agar: (1) menyusun mekanisme dan kebijakan terkait dengan penyelarasan perhitungan teknis dan usulan DPR dalam pengalokasian DAK Fisik; (2) bersama dengan DPR mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas penambahan anggaran pagu APBN subsidi di luar parameter yang sudah ditetapkan. BPK menemukan pula 525 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kerugian senilai Rp

33 Jadwal Acara Rapat DPR-RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 (16 Agustus s.d. 18 November 2018), Sekretariat Jenderal DPR RI, 10 Agustus 2018 (http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BAMUS-10 8f48c68f94b0433308b9be94c206c5ef.pdf) 34Selengkapnya lihat IHPS I 2018 BPK dalam http://www.bpk.go.id/assets/files/ihps/2018/I/ihps_i_2018_1538459607.pdf

50

447,51 miliar pada 83 K/L. Permasalahan tersebut meliputi kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume, belanja tidak sesuai/melebihi ketentuan, biaya perjalanan dinas ganda dan/atau tidak sesuai ketentuan, spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak dan permasalahan kerugian lainnya. Kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang senilai Rp 149,48 miliar terjadi pada 63 K/L, antara lain pada Kementerian PUPR, dan Kementerian Perhubungan. Kekurangan volume terjadi pula atas 131 paket pengadaan barang dan jasa pada 55 satuan kerja senilai Rp9,24 miliar, antara lain untuk pembangunan renovasi dan pemeliharaan gedung, revitalisasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan pembangunan Integrated Cold Storage (ICS) pada KKP. Kelebihan pembayaran selain kekurangan volume senilai Rp139,99 miliar terjadi pada 51 K/L, antara lain pada Kementerian Kominfo, Kementerian Perhubungan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan lain-lain.35 Pada IHPS I tahun 2018, BPK juga melakukan pemeriksaan terhadap 10 laporan pertanggungjawaban bantuan keuangan partai politik (banparpol) dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik (parpol) nasional. Pemeriksaan ini dilaksanakan untuk memenuhi amanat Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yaitu Pasal 34A, dan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 dan Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik Pasal 13 dan 14. Hasil pemeriksaan atas Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) banparpol dari APBN tahun 2017 ditemukan adanya 6 DPP yang mempertanggungjawabkan jumlah banparpol tidak sama dengan jumlah yang disalurkan pemerintah. IHPS I 2018 memberikan oponi WDP kepada 6 LKKL dan TMP kepada 2 LKKL (lihat tabel) No Kementerian/Lembaga Opini 1 Kementerian Pertahanan WDP

2 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia WDP

3 Badan Pengawas Tenaga Nuklir WDP

4 Kementerian Pemuda dan Olahraga WDP

5 Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia WDP

6 Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia WDP

7 Kementerian Kelautan dan Perikanan TMP

8 Badan Keamanan Laut TMP

35 Selengkapnya lihat IHPS I 2018 oleh BPK, hlm, 26-27.

51

Sumber: http://www.bpk.go.id/assets/files/ihps/2018/I/ihps_i_2018_1538459607.pdf

5. Realisasi Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Terhadap 4 Aspek Dalam jadwal acara Rapat-rapat DPR (Komisi I s/d XI dan BAKN) untuk melaksanakan fungsi pengawasan direncanakan sebanyak 85 kali. Namun yang terealisasi hanya sebanyak 78 kali rapat. Sebab rencana rapat-rapat pengawasan oleh Komisi dan BAKN untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK tidak terlihat realisasinya. Aspek-aspek yang diawasi mencakup 4 hal, yaitu: pelaksanaan kebijakan Pemerintah, pelaksanaan UU, pelaksanaan APBN (selengkapnya lihat diagram 1).

Diagram 1 : Rapat-Rapat Komisi Terhadap 4 Aspek Pengawasan 60

50 48

40

30

20 15 15

10 0 0 1 Kebij. Pemerintah UU Pelaks Apbn Temuan BPK

Keterangan: 1. Data diolah dari lapsing rapat-rapat komisi DPR berdasarkan berbagai media 2. Temuan BPK tidak ditindaklanjuti.

Adapun rincian jumlah rapat pengawasan yang diperoleh datanya hanya pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah, pelaksanaan UU. Pelaksanaan rapat Komisi atas pengawasan pelsakaan APBN lebih banyak menyangkut serap anggaaran oleh K/L pasangan kerja Komisi. Sedangkan Rapat Komisi dan/atau BAKN untuk menindaklanjuti temuan-temuan BPK pada IHPS I Tahun 2018 tidak ditemukan (lihat table 2 dan 3) berikut ini.

52

Tabel 2: Daftar Kebijakan Pemerintah yang diawasi DPR RI Selama MS I TS 2018-2019

No Komisi Kebijakan Pemerintah yang di awasi 1 a. Soal kualitas program penyediaan akses internet Badan Aksesibilitas Komunikasi dan Informasi (BAKTI) dari aspek jangkauan dan lebar bandwidth; I b. Soal peningkatan kerjasama dengan Kementerian Perindustrian terkait dengan pengawasan peredaran telepon seluler illegal; 2 Kebijakan Soal pelayanan kesehatan bagi Prajurit TNI, PNS Kemhan dan Keluarganya serta Purnawirawan. 3 Soal Evaluasi Pilkada 2018 dan Persiapan Pemilu Serentak 2019 4 Soal program kerja Ombudsman RI, Lembaga Administrasi Negara dan Kepala Arsip Nasional RI (ANRI) 5 Soal Pengelolaan Aset-aset Negara yang berada di Kawasan PPK- II Gelora Bung Karno dan PPK Kemayoran 6 Soal Evaluasi Rekruitmen dan Kebutuhan ASN serta Membahas Tenaga Honorer 7 Membahas soal rekruitmen CPNS dan tenaga honorer 8 Soal Keamanan Data, Koordinasi dengan POLRI dan Kejaksaan dalam Pemilihan Penyidik dan Jaksa Penuntut, Pencegahan III Korupsi, SDM di KPK 9 Soal Pembuatan Makalah Calon Pimpinan LPSK Periode 2018-2023 10 Soal peningkatan dan penguatan pemberdayaan serta kesejahteraan pelaku utama perikanan yakni nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam serta pengolah dan pemasar hasil perikanan 11 Soal fungsi Perum BULOG sebagai penerima Public Service Obligation (PSO) dan fungsi komersial dapat berjalan beriringan IV sehingga fungsi Perum BULOG sebagai stabilisasi harga dan fungsi stok pangan nasional dapat berjalan optimal. 12 Soal pogram dan kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan 13 Soal pelayanan sertifikat kesehatan dan karantina untuk perdagangan anemon dan koral 14 V Soal Pembangunan di Desa Patimban

53

15 Soal Bencana Alam Gempa di Palu dan Donggala 16 Soal Upaya Meningkatkan Keselamatan Transportasi Nasional 17 Soal Pemberlakuan OSS (Online Single Submission) 18 Soal Kebijakan Hapus Buku Kredit Macet 19 VI Soal Kinerja Operasional, Keuangan, SDM Garuda Indonesia 20 Soal Tambahan PMN PT. PLN (persero) 21 Soal CPO, Fame, dan Kebijakan B20 22 Soal Peningkatan Produksi Hulu Migas 23 Soal Produksi dan Ekspor batubara dan Harga DMO Batubara 24 1. Progres Produksi Hulu Migas PT Pertamina sampai dengan bulan Agustus 2018 2. Progres Penyaluran BBM PSO dan non PSO sampai dengan bulan Agustus 2018 3. Progres LPG 3 Kg subsidi dan non subsidi sampai dengan bulan Agustus 2018 4. lmplementasi program 820 5. lmplementasi Sub Penyalur BBM 25 1. Progres Pembangunan Pembangkit EBT 2018 VII 2. Harga Produksi Listrik EBT kepada PT PLN (Persero) 3. Realisasi Program Listrik EBT untuk Pedesaan dan Daerah 3T 26 Soal Smelter dan Verifikator Independennya 27 Soal penanganan aktivitas gunung berapi di Indonesia oleh Badan Geologi dan Kementerian ESDM 28 Soal pelaksanaan program dan kegiatan tahun 2019 Kementerian ESDM 29 Soal Pengelolaan Batu Bara 30 Kebijakan Pemerintah dalam Penyediaan dan Pendistribusian BBM Nasional 31 Soal divestasi saham PT.Freeport Indonesia masih belum terealisasi 32 Laporan Panja Ibadah Umrah dan Haji Khusus ke Komisi VIII DPR RI 33 Soal penanganan korban gempa di Lombok dalam bidang Medis VIII dan Psikologi kejiwaan. 34 Soal Kehidupan Keberagamaan dan Pendidikan Keagamaan Islam 35 Soal Masukan dari Perkumpulan Guru Inpassing Nasional (PGIN) agar bisa diangkat menjadi ASN

54

36 Soal masukan dari Perkumpulan Pendidik dan Kependidikan Madrasah Indonesia (PPKMI), yaitu : 1. Agar madrasah swasta memiliki akses yang setara terhadap bantuan sarana dan prasarana serta sistem dari Kementerian Agama RI seperti madrasah negeri 2. Guru Madrasah Swasta hendaknya mendapatkan honor yang sesuai dengan standar kesejahteraan. 3. Tunjangan inpassing guru madrasah swasta yang terhutang hendaknya segera dibayarkan. 37 Soal Kebijakan, Sistem dan Teknis Pelaksanaan Verifikasi dan Validasi Data Kemiskinan 38 Soal Akurasi Data Kemiskinan: Permasalahan dan Perbaikan 39 Soal Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan (3) Peraturan IX Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik 40 Soal Catatan Kinerja dan Kegiatan Rutin 2019 BPJS Ketenagakerjaan 41 Soal masalah ketenagakerjaan di PT. Freeport. 42 Soal permasalahan fisioterapi di Indonesia. 43 Soal lmplikasi Bencana Lombok Terhadap Wisman dan Wisnus 44 Soal dampak gempa Lombok dan penanganannya terhadap pendidikan 45 X Soal lmplikasi Bencana Lombok Terhadap Pendidikan Tinggi 46 Soal arah kebijakan Perpusnas 47 Soal penyampaian aspirasi terkait SMP Swasta yang ada di Surabaya 48 Pembahasan Rencana Anggaran Tahunan Bank Indonesia Tahun XI 2019

Tabel 3: Daftar UU yang di awasi DPR RI Selama MS I TS 2018-2019

No Komisi Nama UU Yang diawasi 1 I Undang-Undang 44 Tahun 2009 tentang Kesehatan 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 3 II Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

55

5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 7 III UU No.39 Tahun 1999 tentang HAK ASASI MANUSIA Undang-Undang No.16/1992 tentang Karantina Hewan Ikan dan IV 8 Tumbuhan 9 V Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 10 VI Undang-Undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 11 VII UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi 12 VIII Kemasyarakatan 13 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan IX UU No.4 Tahun 2004 tentang sistem jaminan Sosial Nasional dan 15 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

6. Hasil Kerja Tim Pengawas DPR Sangat Minim Selama MS I TS 2018-2019, DPR juga mengagendakan pelaksanaan tugas 7 buah Tim Pengawas. Namun hanya satu Tim Pengawas bentukan DPR yang terberitakan di media massa, yaitu Tim Pengawas Perlindungan Tenaga Kerja, yaitu adanya Rapat Tim bersama Pemerintah pada 3 Oktober 2018.36 Tim yang lain tidak ditemukan beritanya tentang pelaksanaan tugas mereka. Jika semua anggota Tim tersebut mendapat tunjangan jabatan, maka berarti telah terjadi pemborosan keuangan Negara.

7. Pelaksanaan Kunker Komisi dan AKD selama MS I TS 2018-2019 Melalui penelusuran berita-berita media massa, selama MS I TS 2018-2019 ditemukan telah dilakukan kunjungan kerja selama masa sidang sebanyak 87 kali (lihat diagram 2)

36http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/22407/t/Layanan+Satu+Atap+PMI+Belum+ Banyak+Terbentuk. Lihat pula http://www.tribunnews.com/nasional/2018/10/03/rieke-diah-pitaloka-uu-ppmi- perlu-pp-penanganan-khusus.

56

Diagram 2: Kunker AKD MS I TS 2018-2019 14 12 12 11

10 9 8 8 7 7 6 6 6 5 4 4 3 2 2 2 2 1 1 1

0

Catatan: 1. Komisi yang paling banyak berkunker adalah Komisi V (12 kali Kunker). 2. Komisi yang jumlah kunkernya hanya 1 kali ada 2 Komisi yaitu Komisi III dan VI. 3. Ada AKD yang melaksanakan kunker hanya untuk kepentingan anggota DPR sendiri, yaitu yamg dilakukan oleh BURT. 4. Ada Kunker yang sebagian besar dilakukan hanya ke kantor Gubernuran, Bupati, Hotel dan sebagainya sebanyak 37 kunker (42,53%). Hal ini berarti bahwa sebagian besar Kunker tidak langsung bertemu dengan rakyat, tetapi lebih banyak bertemu dengan pejabat daerah, pengusaha atau direksi perusahaan BUMN. 5. Ada Kunker yang patut dipertanyakan apakah punya hak menurut UU/ Tatib DPR, yaitu kunker oleh Badan Keahlian Dewan (BKD).

C. Kesimpulan Berdasarkan data-data yang telah diuraikan di depan dapatlah diambil beberapa kesimpulan seperti berikut ini: pertama, rencana kerja pelaksanaan fungsi pengawasan tidak ditemukan pada Pidato Pembukaan MS I TS 2018-2019. Karena itu untuk mendapatkan informasi tentang rencana kerja pengawasan DPR harus dicari dari sumber-sumber lain. Kedua, pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBN lebih banyak membahas masalah alokasi anggaran untuk K/L, sedangkan terkait temuan BPK atas ketidakpatuhan K/L terhadap peraturan perundang-undangan yang berimplikasi pada kerugian Negara, sama sekali tidak dibahas oleh Komisi maupun BAKN. Ketiga, DPR juga mengagendakan pelaksanaan tugas Tim Pengawas dan Tim Pemantau (ada 7 Tim: ada yang dibentuk sejak tahun 2015), tetapi yang ditemukan berita melaksanakan

57 tugas hanya satu Tim, yaitu Tim Pengawas Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Sedangkan Tim yang lainnya tidak diketahui kinerjanya, Keempat, selama MS I TS 2018-2019, Komisi dan AKD DPR juga melakukan kunjungan kerja ke banyak daerah. Diantara kunker-kunker tersebut terdapat Kunker yang tujuannya hanya untuk kepentingan para anggota DPR sendiri, yaitu yang dilakukan oleh BURT. Laporan hasil kunker MS I TS 2018-2019 semestinya disampaikan kepada public, Namun jika mencermati laporan hasil kunker-kunker sebelumnya cukup sulit diakses, tampaknya laporan kunker MS I TS 2018-2019 ini juga harus kita tunggu dengan harap-harap cemas. Kelima, anggaran yang disediakan oleh DPR pada tahun 2018 untuk pengawasan terhadap pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah, layanan fit and proper test dan penanganan kasus-kasus spesifik, jumlahnya cukup besar, yakni Rp. 411.856.012.000,- (http://ppid.dpr.go.id/data/Rencana%20Kerja%20dan%20Anggaran%20DPR%20RI% 202018.pdf). Namun mencermati hasil pengawasan sebagaimana diuraikan di depan patut diduga telah reejadi pemborosan keuangan negara.

58

V. EVALUASI KINERJA KELEMBAGAAN A. Pimpinan 1. Posisi Strategis Pimpinan DPR Pimpinan DPR selalu menjadi incaran setiap anggota DPR dan partai politik karena memiliki posisi strategis. Dengan wewenang yang dimiliki, pimpinan DPR dapat merencanakan dan mengarahkan melalui kebijakan yang diambil serta pada akhirnya menentukan keputusan yang akan diambil sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Gambaran paling nyata dapat dilihat dari kebijakan yang diambil pimpinan DPR ketika salah satu atau lebih pimpinan tersangkut kasus, entah pelanggaran kode etik atau hukum. Misalnya, kasus terbaru yang menimpa Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan (TK), dengan dijadikannya sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK, sudah semestinya yang bersangkutan mengundurkan diri. Namun yang aneh adalah pernyataan Ketua DPR Bambang Soesatyo yang mengatakan bahwa TK tidak perlu mundur.37 Justru TK harus mundur untuk menjaga kredibilitas dan martabat pimpinan DPR. Demikian juga, kasus pimpinan DPR lainnya yaitu yang telah dipecat oleh partainya, tetapi masih bercokol pada kedudukannya. Jangan sampai pimpinan dinilai solid ketika hanya membela koleganya sendiri di pimpinan DPR. Pimpinan tidak mempunyai nyali atau memang tidak mau untuk menindak teman sesama pimpinan, ibarat “jeruk makan jeruk.”

2. Menjadi contoh berdemokrasi secara beradab Berdemokrasi tidak saja harus tunduk kepada aturan-aturan hukum tertulis tetapi juga mesti mengindahkan sopan santun (fatsun) berpolitik. Setiap pimpinan DPR seharusnya dapat menjadi inspirasi bagi publik menjadi insan yang berkeadaban dalam berdemokrasi. Berita hoax, ujaran kebencian, penghinaan ternyata tidak hanya menjadi monopoli rakyat biasa. Pimpinan DPR pun ada yang terlibat hoax secara terang benderang. Tentu ini tidak menjadi bagian dari demokrasi yang beradab tetapi justru menjadi perilaku yang biadab dan bertentangan dengan tujuan demokrasi. 3. Pimpinan “sontoloyo” Strategisnya posisi pimpinan DPR jika tidak difungsikan secara benar dapat menjadi malapetaka jika disalahgunakan. Misalnya, apa kata yang dikatakan oleh seorang pimpinan memiliki pengaruh dan daya magis bagi yang mendengarnya. Jika yang dikatakan bernilai positif maka pengaruhnya akan menjadi positif pula. Ibarat “sontoloyo” atau penggembala bebek yang senantiasa mengarahkan bebeknya ke tempat yang banyak makanan sehingga bebek-bebeknya menjadi kenyang. Demikianlah seharusnya pimpinan DPR, ketua dan wakil- wakilnya. Namun jika yang dikatakan bernuansa negatif maka pengaruhnya juga menjadi negatif. Seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini, ada unsur pimpinan yang justru terlibat penyebaran berita hoax, ujaran kebencian dan asal kritik tanpa data dan solusi.

37 https://news.detik.com/berita/4282169/akankah-taufik-kurniawan-bertahan-di- dpr-dengan-status-tersangka

59

4. Kebebasan Berpendapat Kebebasan berpendapat memang dijamin konstitusi dan undang-undang bagi setiap warga negara (termasuk anggota dan pimpinan DPR). Namun sebagai orang yang mengatasnamakan lembaga negara terhormat seperti DPR hendaknya juga menyampaikan pendapat secara terhormat. Mestinya pendapat termasuk kritik disampaikan dengan baik, disertai data dan solusi untuk memperbaiki hal yang dikritik itu. Kritik terhadap pemerintah itu ada mekanismenya, semestinya DPR menyampaikan kritik secara kelembagaan, antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kritik itu diperbincangkan dulu secara internal DPR lalu diambil keputusan, baru kemudian disampaikan Pimpinan DPR sebagai jurubicara kepada Pemerintah. Yang terjadi saat ini justru tidak demikian, setiap anggota DPR seenaknya mengkritik pemerintah dan seolah-olah itu pendapat DPR sebagai lembaga. Isi dan tujuan kritik juga hanya untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Kondisi ini juga mencerminkan ketidakberadaban berdemokrasi dan berkonstitusi. Oleh karena itu, kembalikan cara kritik DPR ke pemerintah secara kelembagaan agar mekanisme cheks and balance memang terjadi antara legislatif dan eksekutif. B. Kode Etik dan Kasus Hukum 1. Kasus Wakil Ketua DPR Fadli Zon Wakil Ketua DPR Fadli Zon diduga terlibat dalam kasus penyebaran berita bohong atau hoax terkait Ratna Sarmpaet. Melalui akun twiternya, Fadli Zon mencuitkan: "Mbak @RatnaSpaet memang mengalami penganiayaan dan pengeroyokan oleh oknum yang belum jelas. Jahat dan biadab sekali." Fadli Zon juga mengunggah foto dirinya dengan Ratna yang menggunakan baju berwarna biru dengan motif garis-garis. "Saya menjenguk Mbak @RatnaSpaet saat proses recovery dua hari lalu. Tindakan penganiayaan ini memang sungguh keji."38 Padahal berita dan penganiayaan dan pengeroyokan itu bohong sebagaimana diakui sendiri oleh Ratna Sarumpaet.39 Melihat kasus ini dapat dikritisi dalam tiga hal, yakni pertama, bagaimana seorang pejabat negara selevel Wakil Ketua DPR tidak cermat menilai dan menyaring suatu informasi, bahkan berita yang pada akhirnya terungkap bohong justru disebarkan melalui akun twiternya. Untuk berita biasa saja sudah salah mengantisipasinya apalagi berita menyangkut kepentingan negara yang lebih besar. Apa jadinya negeri ini? Kedua, setelah mengetahui berita itu bohong, Fadli Zon justru memojokkan Ratna Sarumpaet seolah-olah hanya Ratna yang salah. Padahal berita bohong itu menjadi tersebar dan viral justru salah satunya karena cuitan akun twiter Fadli Zon. Tanggung jawab penyebaran berita hoax tersebut juga menjadi dan tidak bisa dihindari oleh Fadli Zon. Ketiga, kasus keterlibatan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam penyebaran berita hoax ini harus diusut tuntas. Penyidik harus segera melakukan tugasnya yang tampaknya belum jelas hasilnya karena baru menetapkan Ratna Sarumpaet sebagai tersangka seorang diri. Penuntasan ini penting untuk menentukan posisi Fadli Zon, jika bersalah harus dihukum sementara jika benar harus

38 https://metro.tempo.co/read/1136456/kasus-hoax-ratna-sarumpaet-puluhan- mahasiswa-minta-fadli-zon-diperiksa/full&view=ok 39 https://news.detik.com/berita/4240973/minta-maaf-fadli-zon-kecam-ratna- sarumpaet-yang-bohong

60

dipulihkan nama baiknya. Sebab di masyarakat muncul penilaian bahwa secara hukum Fadli Zon dianggap ikut bertanggung jawab atas kasus itu. Dengan demikian posisi Fadli Zon menjadi clear. Sementara itu, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga harus segera bertindak untuk mengusut keterlibatan Fadli Zon dalam kasus Ratna Sarumpaet ini. Adakah Fadli Zon telah melanggar kode etik karena sebagai pejabat negara justru ikut menyebarkan berita bohong?

2. Kasus korupsi Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan

Satu lagi dari kalangan pimpinan DPR terlibat kasus korupsi dan kali ini menimpa Taufik Kurniawan, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang kini menjadi Wakil Ketua DPR bidang Ekonomi dan Keuangan. Taufik Kurniawan telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat kasus korupsi terkait Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.40 TaufikKurniawan merupakan pimpinan DPR kedua yang tersangkut korupsi setelah . Taufik Kurniawan seharusnya sudah mengundurkan diri dari pimpinan DPR dan digantikan oleh orang lain untuk menjaga kredibilitas pimpinan DPR. Kasus ini semakin mencoreng kehormatan DPR yang sudah coreng moreng, baik oleh perilaku para anggotanya yang melanggar kode etik dan hukum maupun karena kinerja yang tidak menggembirakan.

C. Kehadiran

Tingkat kehadiran anggota DPR dalam sidang-sidang paripurna tetap memprihatinkan. Dari tujuh sidang paripurna dalam MS I Tahun Sidang 2018-2019 hanya sidang paripurna Pembukaan masa sidang yang memenuhi quorum dimana hadir 367 anggota DPR (65,54%). Namun jika di rata-rata maka setiap sidang paripurna hanya dihadiri oleh 216 anggota (38,57%). Ini menunjukkan bahwa sidang-sidang paripurna DPR (kecuali pembukaan MS) sesungguhnya tidak quorum sehingga tidak sah. Pasal 232 ayat (1) UU MD3 menyatakan: “Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.” Jadi setiap sidang atau rapat (termasuk paripurna) DPR baru dapat mengambil keputusan apabila sudah memenuhi quorum. Kriteria quorum itu dijelaskan oleh Pasal 232 ayat (2) UU MD3 yang menyatakan: “Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat. Jelaslah bahwa hanya sidang paripurna pembukaan Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019 yang memenuhi quorum karena dihadiri oleh 367 (dari 560) anggota DPR. Sementara rapat-rapat paripurna lainnya dalam MS I ini tidak ada yang mencapai 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat sehingga tidak memenuhi quorum dan rapat-rapat itu juga seharusnya tidak sah. Namun karena ada klausul lain, yakni Pasal 232 ayat (4) UU MD3 yang menyatakan: “Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga

40 http://aceh.tribunnews.com/2018/10/31/wakil-ketua-dpr-ri-taufik-kurniawan-jadi- tersangka-kasus-korupsi-5-fakta-ini-terungkap

61

terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR.” Nah, kalau pimpinan DPR menyatakan lanjut, maka sidang paripurna tetap dilanjukan meski tidak quorum. Ketentuan mengenai quorum ini menjadi salah satu problem dalam perundang-undangan Indonesia dimana ketentuan yang berikut justru menganulir ketentuan terdahulu. Ini yang disebut dengan “ayat kalajengking.” Sementara itu, kehadiran tertinggi selama MS I ini diraih oleh Fraksi Golkar dengan rata-rata kehadiran 43, 96% dan terendah adalah Fraksi Hanura dengan rata-rata kehadiran 31, 25% setiap sidang paripurna. Kehadiran Anggota DPR dalam Sidang Paripurna MS I TS 2018-2019 16 Agustus hingga 31 Oktober 2018 Fraksi Jumlah SP SP SP SP 4- SP 2- SP 16- SP 31- Total Rata-rata Anggota 16-8- 28-8- 29-8- 9- 10- 10- 10- 2018 2018 2018 2018 2018 2018 2018 Hadir Hadir Hadir Hadir Hadir Hadir Hadir Hadir Hadir % PDI-P 109 84 55 25 45 43 29 41 322 46 42,20 Golkar 91 71 40 30 35 40 28 37 281 40 43,96 Gerindra 73 34 35 20 30 22 18 25 184 26 35,62 Demokrat 61 45 25 21 20 15 16 18 160 23 37,70 PAN 48 26 5 13 22 18 14 20 118 17 35,42 PKB 47 25 10 12 20 15 13 10 105 15 31,91 PKS 40 24 5 15 20 13 17 15 109 16 40 PPP 39 25 5 10 20 13 14 15 102 15 38,46 Nasdem 36 25 10 10 15 11 12 12 95 14 38,89 Hanura 16 8 5 5 5 7 3 4 37 5 31,25 TOTAL 560 367 195 161 232 197 164 197 1.513 216 38,57 Keterangan : data-data tentang tingkat kehadiran anggota DPR dalam Rapur diolah dari berbagai media.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian di depan dapatlah ditarik beberapa kesimpulan seperti berikut: Pertama, pimpinan DPR yang katanya kolektif kolegial itu belum memberikan teladan yang baik bagi publik, bagaimana seharusnya berperilaku dan bertutur kata di depan publik atau media massa. Keterlibatan dalam kasus korupsi, penyebaran berita bohong (hoax), dan menjelek-jelekkan pemerintah tanpa mampu memberi solusi menjadi bukti nyata buruknya integritas pimpinan DPR. Kedua, masih rendahnya kehadiran anggota DPR dalam sidang-sidang paripurna menunjukkan belum seriusnya pimpinan DPR memperbaiki disiplin anggota DPR. Kehadiran anggota DPR pada Sidang Paripurna lebih buruk dari rapat-rapat di tingkat (RT) yang cakupan persoalannya jauh lebih kecil. Kepentingan negara yang jauh lebih besar seolah-olah disepelekan oleh DPR. Ketiga, ke depan pembentukan parlemen modern yang dicita-citakan semestinya dimulai dari disiplin pimpinan dan kemudian diikuti oleh anggota DPR. Kalau masalah disiplin saja tidak dapat dilakukan, sulit untuk membenahi DPR di masa mendatang.

62

VI. LIPUTAN MEDIA EVAKIN DPR VII. MS I TS 2018-2019 FORMAPPI, 23 NOVEMBER 2018

LIPUTAN MEDIA EVAKIN DPR MS I TS 2018-2019 FORMAPPI, 23 NOVEMBER 2018

Foto: Eva Safitri/detikcom Jumat 23 November 2018, 18:10 WIB Formappi: Bamsoet Bela Taufik Kurniawan yang Tersangka di KPK

Jakarta - Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) terkesan membela Taufik Kurniawan, yang menjadi tersangka KPK. Menurut peneliti Formappi, M Djadijono, Bamsoet justru memberikan ruang supaya Taufik tetap menjadi Wakil Ketua DPR.

"Untuk menjaga kredibilitas DPR, sudah semestinya yang bersangkutan (Taufik) mengundurkan diri. Namun yang aneh adalah pernyataan Bambang Soesatyo

63 yang mengatakan bahwa Taufik nggak perlu mundur," kata Djadijono di kantor Formappi, Jalan Matraman, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018).

Baca juga: Masa Sidang DPR Dibuka, PAN Belum Ajukan Pengganti Taufik Kurniawan

Djadijono menuturkan pernyataan Bamsoet yang menyebut Taufik tak perlu mundur dari DPR membuktikan ketidaktegasan. "Pernyataan Bamsoet soal kasus Taufik terkesan membela koleganya sendiri sebagai sesama pimpinan DPR," ujarnya.

Sebelumnya, Bamsoet menyebut Taufik bisa tetap hadir di DPR. Taufik, sambung Bamsoet, tak perlu mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR.

"Saya harapkan beliau bisa tetap hadir dan aktif di DPR dan tak perlu mundur sambil melaksanakan proses hukum yang berjalan," kata Bamsoet di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/10).

Baca juga: Bamsoet: Taufik Kurniawan Tak Perlu Mundur dari Pimpinan DPR

Alasan Bamsoet, belum ada putusan dari pengadilan. Namun, untuk pergantian, politikus Golkar itu menyerahkan sepenuhnya kepada partai yang menaungi Taufik, yakni PAN. "Kan belum ada putusan tetap. Aturan kita kan... ya, tergantung pada partainya atau fraksinya. Kami serahkan sepenuhnya," jelasnya. (zak/zak), https://news.detik.com/berita/4314468/formappi-bamsoet-bela-taufik- kurniawan-yang-tersangka-di-kpk).

64

Soroti Kinerja DPR, Formappi: Tak Ada RUU Prioritas Prolegnas Rampung

VIVA – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi memberikan evaluasi terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal yang disoroti Formappi kali ini adalah kinerja DPR selama masa sidang I tahun 2018-2019, yaitu 16 Agustus sampai 18 November 2018.

Selama masa sidang ini, peneliti senior Formappi, M. Djadijono mengatakan, terkait fungsi legislasi rapat-rapat alat kelengkapan dewan (AKD) direncanakan sebanyak 107 kali. Rapat AKD yang secara khusus membahas rancangan undang-undang dilakukan sebanyak 26 kali.

Djadijono menambahkan, dalam pidato Ketua DPR Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa dalam pidato pembukaan masa sidang I 2018-2019, tiga RUU ditargetkan selesai pembahasannya. Sementara itu, berdasarkan agenda yang tercantum pada kalender kerja DPR, terdapat 21 RUU yang direncanakan oleh masing-masing AKD untuk dikerjakan selama masa sidang I. "Jadi total ada 24 RUU yang direncanakan DPR untuk dibahas pada masa sidang I lalu," ujar Djadijono di kantor Formappi Jakarta Timur, Jumat, 23 November 2018

65

Melalui penelusuran pada laman dpr.go.id, Djadijono mengatakan, selama masa sidang I, RUU yang dibahas oleh komisi-komisi di DPR sebanyak 16 RUU, terdiri atas tiga RUU komulatif terbuka dan 13 RUU lainnya merupakan prolegnas prioritas.

"Yang berhasil disahkan menjadi UU hanya tiga RUU komulatif terbuka, sedangkan RUU prolegnas prioritas tidak ada satupun yang berhasil diselesaikan pembahasannya dan menjadi UU," ujarnya.

Selain itu, menurut Djadijono, RUU yang sudah dibahas lebih dari lima kali masa sidang pun pada masa Rapat Paripurna penutupan MS I, 31 Oktober 2018 lalu, justru disetujui untuk diperpanjang lagi waktu pembahasannya. (ase, https://www.viva.co.id/berita/nasional/1097024-soroti-kinerja-dpr-formappi-tak-ada-ruu- prioritas-prolegnas-rampung). Formappi Pertanyakan Alasan DPR Perpanjang Pembahasan 15 RUU

REZA JURNALISTON Kompas.com - 23/11/2018, 18:51 WIB

Formappi Pertanyakan Alasan DPR Perpanjang Pembahasan 15 RUU REZA JURNALISTON Kompas.com - 23/11/2018, 18:51 WIB Peneliti Fungsi Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018).(KOMPAS.com/Reza Jurnaliston) JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Fungsi Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) Lucius Karus mempertanyakan alasan DPR memperpanjang pembahasan 15 Rancangan Undang-Undang (RUU). Menurut Lucius, perpanjangan pembahasan 15 RUU harus melalui mekanisme dan alasan yang jelas. “Jadi saya kira tidak perlu mencari alasan mereka (DPR) memanfaatkan peluang proses memperpanjang RUU tanpa alasan apa pun,” kata Lucius, di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018). Melalui penulusuran pada laman dpr.go.id diketahui bahwa selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019 RUU yang dibahas DPR oleh komisi-komisi DPR sebanyak 16 RUU, terdiri dari 3 RUU Kumulatif terbuka. Baca juga: Capaian Kinerja Legislasi DPR Masih Rendah RUU tersebut antara lain RUU APBN 2019, RUU Kerja Sama Pertahanan Indonesia dengan Belanda dan RUU Kerja Sama Pertahanan Indonesia dengan Arab Saudi. Lucius juga menyoroti DPR yang menunda penyelesaian pembahasan sejumlah RUU prioritas. RUU-RUU yang sudah dibahas selama lebih dari 5 kali masa sidang justru disetujui untuk diperpanjang waktu pembahasannya. Padahal, kata Lucius, berdasar ketentuan Pasal 143 Peraturan Tata Tertib DPR pembahasan RUU maksimal dilakukan 3 kali masa sidang. “Saya kira pasti proses pembahasan pasal “kalajengking” di satu sisi Tatib dapat

66 memerintahkan batas waktu 3 kali sidang tetapi di satu sisi di Pasal yang berbeda sidang bisa diperpanjang tanpa alasan jika disetujui pimpinan,” ujar Lucius. Baca juga: Pimpinan DPR Yakin Kunker Luar Negeri Tak Ganggu Kinerja Legislasi Pasal/ayat “kalajengking” yang dimaksud adalah tiga kali masa sidang yang disebut durasi waktu pembahasan satu RUU tidak ada makna sekali bila DPR melakukan perpanjangan pembahasan RUU. “Jadi pasal-pasal ini DPR bekerja tanpa pola, tanpa target saat menentukan ada batas pembahasan 1 RUU. Pada saat yang sama, tiga masa sidang tidak ada maknanya ketika di pasal selanjutnya masa waktu pembuatan RUU waktu pembahasan bisa bertambah tanpa ada batas lagi,” kata Lucius. Perpanjangan waktu pembahasan suatu RUU memang diberi peluang dan landasan hukum yaitu diatur dalam Pasal 143 Peraturan Tata Tertin DPR. Perpanjangan pembahasan RUU didasarkan pertimbangan-pertimbangan dengan permintaan tertulis pimpinan, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus. Baca juga: Menanti DPR Menggenjot Kinerja Legislasi... Selain itu, perpanjangan diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan rancangan undang-undang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas dari komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus. Lucius mengatakan, kelonggaran aturan itu dimanfaatkan DPR untuk “santai” melakukan pembahasan RUU karena tidak ada aturan ketat untuk menyelesaikan satu RUU. “Tidak bisa ada satu rencana pembahasan RUU yang tanpa batas waktu. Mereka (DPR) memiliki program prioritas tahunan itu mestibya harus diwujudkan kalau itu RUU prioritas,” kata Lucius. https://nasional.kompas.com/read/2018/11/23/18512131/formappi-pertanyakan-alasan-dpr- perpanjang-pembahasan-15-ruu.

Formappi: DPR Tak Kritis dalam Pembahasan RAPBN 2019

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), M. Djadjiono mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR tidak bersikap kritis dalam membahas Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau RAPBN 2019. Padahal, kata Djadjiono, DPR memungkinkan untuk bersikap sebaliknya.

Baca juga: Parlemen Surati Pemerintah Soal Pembangunan Gedung Baru DPR

Menurut Djadjiono Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang MD3, DPR memungkinkan untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan dalam membahas RUU APBN yang diajukan oleh Presiden. “Sekalipun begitu, amanat konstitusional untuk kritis tersebut ada diantaranya yang tidak dimanfaatkan,” kata dia.

67

Sebaliknya justru ada komisi tertentu yang memberikan penghargaan bagi Kementerian atau Lembaga dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan menambahkan pagu anggaran pada tahun anggaran berikutnya. Sedangkan salah satu syarat untuk kenaikkan ini adalah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK.

Beberapa lembaga dengan opini WDP yang mendapatkan kenaikkan anggaran menurut penelitian Formappi adalah Badan Keamanan Laut atau Bakamla, naik dari Rp 425,7 menjadi Rp 447,4 miliar. Radio Republik Indonesia atau RRI naik dari Rp 958,1 miliar menjadi Rp 994,1 miliar, dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir dari Rp 175,4 miliar menjadi Rp 178,7 miliar.

Komisi VIII, kata Djadjiono, mengadakan rapat pembahasan angaran dengan lembaga pasangan kerjanya secara tertutup. Ia memprotes keras hal ini. Menurut dia menutup- nutupi pembahasan pagu anggaran tidak sejalan dengan slogan DPR sendiri yakni DPR Now atau DPR yang modern. (https://nasional.tempo.co/read/1149070/formappi-dpr-tak-kritis-dalam- pembahasan-rapbn-2019/full&view=ok).

Formappi: Kinerja DPR tahun ini adalah yang paling buruk

Jumat, 23 November 2018 / 19:35 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, tidak ada yang patut dibanggakan dari DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya.

Sedangkan untuk evaluasi kinerja DPR dari jumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhasil disahkan, Lucius menilai kinerja DPR tahun ini adalah yang paling buruk, sejak era reformasi.

Asal tahu, untuk tahun pertama pemerintahan terdapat tiga RUU yang disahkan. Untuk tahun kedua mengalami peningkatan, terdapat 10 RUU yang disahkan. Namun, mulai tahun ketiga mulai merosot, DPR hanya mensahkan enam RUU. Dan di tahun ke empat, hanya ada empat RUU yang disahkan oleh DPR.

"Bagaimanapun dalam Undang-undang (UU) mengatakan DPR itu adalah legislator utama pembentuk UU. Sehingga, mestinya tidak ada lagi alasan bagi DPR untuk lari dari tanggung jawabnya," kata Lucius, Jum'at (23/11).

68

Dalam pidato pembukaan masa sidang (MS) I tahun sidang (TS) 2018-2019, ada tiga RUU yang ditargetkan selesai pembahasannya.

Sementara, berdasarkan agenda kegiatan yang tercantum pada kalender kerja DPR, terdapat 21 RUU yang direncanakan oleh masing-masing alat kelengkapan dewan (AKD) untuk dikerjakan selama MS I. Jadi, untuk total keseluruhan, ada sekitar 24 RUU yang direncanakan DPR untuk dibahas pada MS I lalu.

Namun realisasinya diketahui, bahwa selama MS I TS 2018-2019 hanya ada 16 RUU yang dibahas oleh komisi-komisi DPR.

Terdiri atas tiga RUU kumulatif terbuka, yaitu RUU APBN 2019, RUU kerja sama pertahanan Indonesia dengan Belanda, dan RUU kerja sama pertahanan Indonesia dengan Arab Saudi. Sedangkan untuk 13 RUU lainnya, merupakan RUU prolegnas prioritas.

"Sekalipun begitu, yang berhasil disahkan menjadi UU hanyalah tiga RUU kumulatif terbuka. Sedangkan untuk RUU yang masuk prolegnas prioritas 2018 tidak ada satupun yang berhasil diselesaikan pembahasannya untuk disahkan menjadi UU," ujarnya.

Lebih dari itu, RUU yang sudah melewati tahap pembahasan lebih dari lima kali masa sidang, pada Rapat Paripurna (Rapur) 31 Oktober 2018 dalam penutupan MS I TS 2018-2019 justru disetujui untuk diperpanjang lagi waktu pembahasannya.

Berikut RUU yang masih mengalami masa perpanjangan pada Rapur 31 Oktober 2018.

1. RUU tentang larangan minuman beralkohol 2. RUU tentang pertembakauan 3. RUU tentang Sisnas Iptek 4. RUU tentang kewirausahaan nasional 5. RUU tentang wawasan nusantara 6. RUU tentang KUHP 7. RUU tentang jabatan hakim 8. RUU tentang Mahkamah Konstitusi 9. RUU tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat 10. RUU tentang perkoperasian 11. RUU tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umroh 12. RUU tentang penghapusan kekerasan seksual 13. RUU tentang kebidanan 14. RUU tentang perubahan atas UU nomor 5 tahun 2014 15. RUU tentang ekonomi kreatif

DPR memang diberikan peluang perpanjangan waktu pembahasan suatu RUU. Namun, perpanjangan tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan RUU bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas dari komisi, gabungan komisi, badan legislasi, atau panitia khusus.

69

"Sekalipun begitu, yang menjadi alasan perpanjangan pembahasan 15 RUU tersebut masih sulit dilacak oleh masyarakat. Apalagi kalau dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan oleh DPR untuk pembahasan per satu RUU, untuk satu tahun bisa lebih dari Rp 8 miliar. Bayangkan jika setiap tahun DPR memperpanjang RUU yang sama," kritis Lucius.

Dalam kata lain, DPR dinilai telah menghamburkan uang negara sebanyak Rp 8 miliar secara cuma-cuma, dan tanpa adanya kejelasan, kapan RUU tersebut akan diputuskan dan kapan RUU tersebut disahkan.

"Ada dua kemungkinan kenapa RUU tersebut tidak jadi dituntaskan. Kemungkinan pertama ialah, karena konsentrasi DPR difokuskan pada pembahasan RAPBN 2019 demi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Kemungkinan lainnya, RUU tersebut tidak dapat terselasaikan karena anggota DPR memang tidak peduli pada asas prioritas penyelesaian RUU yang telah ditetapkannya sendiri," ujar Lucius kembali.( https://nasional.kontan.co.id/news/formappi- kinerja-dpr-tahun-ini-adalah-yang-paling-buruk?page=2) Formappi Tantang MKD Umumkan Absensi Anggota DPR Tiap Rapat Penulis: Putri Rosmalia OctaviyaniPada: Jumat, 23 Nov 2018, 18:45 WIB

FORUM Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai kinerja DPR di masa sidang pertama tahun 2018-2019 belum maksimal. Perubahan harus dilakukan.

Salah satu yang dianggap penting ialah dengan membuka rekapitulasi kehadiran para wakil rakyat setiap kali rapat dan sidang. Majelis Kehormatan Dewan (MKD) didesak untuk mengumumkan kehadiran rapat para anggota dewan agar publik bisa menilai kinerja wakil rakyat.

"Baik juga sebenarnya MKD itu mengumumkan kehadiran setiap anggota DPR baik dalam rapat komisi, rapat paripurna, dan rapat lainnya. Sehingga rakyat tahu wakilnya itu rajin, jadi layak untuk dipilih 2019," ujar Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma, dalam konferensi pers Evaluasi Kinerja DPR oleh Formappi, di Jakarta, Jumat (23/11).

Leo mengatakan, absensi yang transparan serta diumumkan ke publik membuat masyarakat bisa melihat dan menilai kerajinan setiap anggota DPR. Bila dirasa buruk, pemilih akan bisa tahu dan tidak memilihnya lagi di pemilu.

"Mestinya kita dorong MKD untuk lebih transparan untuk mengumumkan kehadiran," ucap Leo.

Ketua MKD Sumfi Dasco mengatakan ia tidak memermasalahkan jika memang dirasa perlu untuk membuka data kehadiran anggota DPR. Ia mengatakan akan membahas hal itu untuk menentukan tindak lanjut dari usul tersebut.

70

"Memang sudah ada permohonan soal itu dari fraksi-fraksi. Kita lihat nanti, kalau mau dibuka ya dibuka saja," ujar Dasco. (A-2, http://mediaindonesia.com/read/detail/199806-formappi-tantang-mkd-umumkan- absensi-anggota-dpr-tiap-rapat). Kinerja DPR Terus Memburuk Faisal Abdalla - 23 November 2018 18:17 wib

Jakarta: Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan kinerja lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) cenderung menurun setiap tahun. Lucius bahkan menilai DPR periode saat ini merupakan yang terburuk sejak era reformasi.

"Saya kira secara umum bisa kita katakan kinerja DPR sangat buruk kalau dibandingkan dengan DPR-DPR selama era reformasi," kata Lucius di kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Jumat, 23 November 2018.

Lucius mengatakan tren penurunan kinerja DPR telah terjadi sejak tahun pertama DPR periode ini menjabat pada 2014 lalu.

Dia mencatat pada tahun pertama, DPR hanya berhasil mengegolkan tiga rancangan undang-undang. Jumlah itu meningkat pada tahun kedua menjadi 10 RUU dan terus mengalami penurunan hingga tahun ini.

"Tahun lalu hanya enam dari 52 RUU yang berhasil disahkan DPR, dan tahun ini yang akan segera berakhir dalam hitungan bulan, DPR baru mensahkan 4 RUU dari total 50 RUU yang direncanakan," papar dia.

(Baca juga: Bamsoet Jamin Kinerja DPR Tak Kendor pada Tahun Politik)

Padahal, kata dia, biaya yang dikeluarkan DPR untuk membahas satu RUU bisa mencapai Rp8 miliar. Kebiasaan DPR yang kerap memperpanjang masa pembahasan RUU dianggap sebuah inefesiensi besar-besaran.

"Bayangkan setiap tahun DPR memperpanjang masa pembahasan RUU yang sama dari tahun ke tahun. Itu berarti setiap satu RUU setiap tahun memakan anggaran Rp8 miliar," tutur dia.

Lebih lanjut, Lucius mengatakan pembagian tanggung jawab legislasi antara pemerintah dan DPR tidak bisa dijadikan alasan menurunnya kinerja DPR. Dewan tetap merupakan lembaga yang memiliki kontrol untuk proses legislasi.

"Sehingga mestinya tak ada alasan lari dari tanggung jawab terkait dengan sedikitnya undang-undang yang dihasilkan DPR dari prolegnas prioritas, apalagi kalau dibandingkan anggaran pembahasan DPR per satu RUU itu mencapai Rp8 miliiar

71 lebih," tegas dia (http://m.metrotvnews.com/news/politik/eN4OXxWK-kinerja-dpr-terus- memburuk). Formappi sebut fungsi legislasi DPR tahun ini minim

Jumat, 23 November 2018 18:24 WIB “Padahal sesuai tata tertib, pembahasan RUU dibatasi hanya tiga kali masa sidang, dan jika diperpanjang harus dengan alasan yang jelas."

Jakarta (ANTARA News) - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut fungsi legislasi DPR RI pada masa sidang I Tahun 2018-2019 sangat minim.

Peneliti senior Formappi M Djadijono mengatakan dari 24 RUU yang semestinya dibahas DPR pada masa Sidang I Tahun 2018-2019, hanya 16 yang masuk tahap pembahasan dan hanya tiga yang berhasil disahkan menjadi undang-undang.

"Hanya ada tiga yang berhasil disahkan, itu pun merupakan RUU Kumulatif Terbuka di luar Prolegnas Prioritas," kata Djadijono dalam konferensi pers evaluasi kinerja DPR RI pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019, di Jakarta, Jumat.

Dia mempertanyakan apakah para anggota dewan tidak memahami arti Prolegnas Prioritas, atau memang malas.

Dia menegaskan, sejatinya DPR memiliki waktu yang sangat cukup untuk membahas 24 RUU pada Masa Sidang I 2018-2019.

Faktanya, kata Djadijono, sisa RUU yang belum disahkan diajukan untuk diperpanjang masa pembahasannya.

Dia mencermati, dari sejumlah RUU yang diperpanjang itu, ada yang sudah dibahas dalam lima masa sidang namun belum juga disahkan, tanpa diketahui kendalanya.

"Padahal sesuai tata tertib, pembahasan RUU dibatasi hanya tiga kali masa sidang, dan jika diperpanjang harus dengan alasan yang jelas," kata dia. (https://www.antaranews.com/berita/771019/formappi-sebut-fungsi-legislasi-dpr- tahun-ini-minim).

72

Menurut Formappi, Target Legislasi DPR Meleset karena Aturan yang Longgar

REZA JURNALISTON Kompas.com - 23/11/2018, 22:56 WIB

Peneliti Fungsi Pengawasan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) M. Djadijonosaat memaparkan evaluasi Kinerja DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019 di Kantor Formappi, Jumat (23/11/2018).(Reza Jurnaliston)

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Fungsi Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menuturkan, rendahnya kinerja anggota DPR dalam fungsi legislasi lantaran longgarnya ketentuan yang diatur oleh Undang- Undang. Menurut Lucius, ada pasal/ayat “kalajengking” dalam penyelesaian pembahasan RUU menjadi Undang-Undang. Lucius menuturkan, berdasar ketentuan Pasal 143 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR pembahasan RUU maksimal dilakukan 3 kali masa sidang. Namun, dalam ayat itu juga mengatur perpanjangan waktu pembahasan suatu RUU didasarkan pertimbangan-pertimbangan dengan permintaan tertulis pimpinan, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus. “Tidak bisa ada satu rencana pembahasan RUU yang tanpa batas waktu, mereka (DPR) memiliki program prioritas tahunan itu mestinya harus

73 diwujudkan kalau itu RUU prioritas,” kata Lucius di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018). Baca juga: Kinerja DPR Masa Sidang I 2018-2019 Diwarnai Rapat Tidak Kuorum hingga Kasus Korupsi Lucius menuturkan, kelonggaran aturan itu dimanfaatkan DPR untuk “santai” melakukan pembahasan RUU lantaran tidak ada aturan ketat untuk menyelesaikan satu RUU. “Pada Pasal 143 itu disebutkan masa waktu pembahasan untuk satu RUU dalam 3 masa sidang, tapi pada ayat yang sama juga dibukakan peluang bagi RUU yang tidak selesai dalam 3 masa sidang bisa diperpanjang itu yang tanpa target,” ujar Lucius. “Kenapa kita bilang itu pasal Kalajengking karena akhirnya 3 kali masa sidang yang disebutkan durasi pembahasan satu RUU tidak ada maknanya sama sekali ketika kemudian DPR atas Pansus bisa meminta perpanjangan dan umumnya diterima,” sambung dia. DPR, kata Lucius, seyogyanya memiliki tata kelola yang baik termasuk dalam menyusun RUU harus terukur.

Baca juga: Formappi: Kinerja DPR di Masa Sidang I Jeblok

“Jadi tidak bisa ada RUU tanpa batas waktu, mereka sendiri kemudian yang memiliki program prioritas itu mestinya bisa diwujudkan harus cepat proses pembahasannya,” tutur Lucius. Lucius mengatakan, semestinya DPR memiliki “greget” untuk mengejar penyelesaian RUU menjadi UU. “Mestinya harus ada gregetan untuk mengejar supaya itu (RUU) selesai, tetapi kemudian yang dikatakan prioritas 2014 sampai 2019 masih prioritas apa yang disebut prioritas sama saja nggak ada prioritas,” kata Lucius. Diberitakan sebelumnya, Peneliti Fungsi Pengawasan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) M. Djadijono mengkritik kinerja anggota DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019. Menurut Djadijono, DPR belum melaksanakan tugas pokok dan fungsi dengan baik bahkan cenderung jeblok.

Baca juga: Bambang Soesatyo: Tahun Politik, Tantangan Kinerja DPR

Hal itu dikatakan Djadijono saat memaparkan evaluasi Kinerja DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019 di Kantor Formappi, Jumat (23/11/2018). Pertama, kata Djadijono, dalam melaksanakan fungsi legislasi DPR mengalami gagal paham tentang arti program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Djadijono menuturkan, implementasi fungsi legislasi DPR sangat minim hasil dan prestasi. “Sebanyak 3 RUU kumulatif terbuka lainnya prolegnas prioritas selama 55 hari kerja berapa RUU yang dibahas dan disahkan menjadi UU? tidak ada satupun UU dari prolegnas yang dibahas dan disahkan,” ujar Djadijono. (https://nasional.kompas.com/read/2018/11/23/22560361/menurut-formappi-target- legislasi-dpr-meleset-karena-aturan-yang-longgar).

74

Jumat 23 November 2018, 16:14 WIB Formappi: DPR Jadi Lembaga yang Birokratis Eva Safitri – detikNews

Foto: Eva Safitri/detikcom

Jakarta - Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menilai, pergantian pimpinan DPR periode 2014-2019 tidak memberikan efek positif. Menurut Direktur Eksekutif Formappi, I Made Leo Wiratma, DPR sekarang menjadi lembaga yang birokratis.

"Ternyata pergantian DPR ini tidak membawa efek. Masih zaman old saja. Tidak pernah baru meski berganti pimpinan. Dan kami melihat lembaga DPR ini semakin menjadi suatu lembaga yang sangat birokratis, sehingga untuk mengubahnya pun sangat sulit," kata Leo dalam sebuah diskusi di kantor Formappi, Jalan Matraman, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018).

Baca juga: 60 Persen Koruptor dari Politikus, KPK Soroti 4 Masalah Parpol

Leo menilai, saat ini seluruh partai politik hanya berlomba mencari kekuasaan yakni menduduki kursi pimpinan DPR. Kursi pimpinan, sambung Leo, sangat strategis karena menentukan baik atau buruk DPR.

"Ini yang selalu menjadi perhatian kita bahwa pimpinan DPR ini menjadi jabatan yang sangat strategis. Karena pimpinan yang bisa menentukan arah ke mana DPR akan dibawa. Apakah lebih baik atau lebih buruk sangat

75 ditentukan oleh pimpinan," ucapnya.

"Saking strategisnya ini menjadi rebutan. Bahkan partai sebisa mungkin untuk bisa menduduki pimpinan. Tetapi tujuannya hanyalah untuk mencari kekuasaan. Mereka tidak bisa amanah. Ini yang kita sayangkan," lanjut Leo.

Baca juga: Buka Penyelidikan Baru, KPK Telusuri Pihak Terkait Mafia Anggaran

Menurut Leo, yang menjadi catatan khusus adalah kehadiran para wakil rakyat dalam setiap rapat. Seharusnya Majelis Kehormatan Dewan (MKD) mengumumkan absensi rapat para anggota dewan agar publik bisa menilai.

"Baik juga sebenarnya MKD itu mengumumkan kehadiran setiap anggota DPR baik dalam rapat komisi, rapat paripurna dan rapat lainnya sehingga rakyat tahu wakilnya itu rajin, jadi layak untuk dipilih 2019. Kehadiran yang buruk tidak usahlah dipilih lagi. Mestinya kita dorong MKD untuk lebih transparan untuk mengumumkan kehadiran," ucap Leo.

Leo juga menyinggung soal kewenangan DPR pengawas APBN. Leo mengatakan, DPR seharusnya bisa menekan anggaran yang tidak diperlukan, bukan malah memberikan secara lebih dari anggaran yang dibutuhkan.

"Jadi dalam APBN ini pemerintah mengajukan Rp 2.200 triliun. Tapi setelah dirapatkan ternyata malah diberikan Rp 2.400 triliun. Jadi ada suatu penambahan 200 trilun. Mestinya sebagai lembaga pengawas justru harus bisa menekan pemerintah untuk mengurangi pengeluaran sehingga keuangan negara bisa hanya untuk yang diperlukan," jelasnya. (zak/zak, https://news.detik.com/berita/d-4314226/formappi-dpr-jadi-lembaga-yang- birokratis)

76

FORMAPPI Sebut Kinerja DPR Saat Ini Terburuk Sejak Reformasi

Minimnya RUU yang dihasilkan menjadi salah satu faktor terbesar mengapa kinerja DPR RI saat ini menjadi yang terburuk. tirto.id - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus mengatakan, kinerja DPR RI dalam masa sidang 1 tahun 2018-2019 menjadi periode dengan kinerja terburuk sejak Reformasi berlangsung di Indonesia. DPR dinilai tak menjalankan fungsi legislatifnya dengan baik.

"Saya kira secara umum bisa kita katakan sangat buruk, kalau dibandingkan dengan DPR-DPR periode lain sejak era Reformasi. Ada kecenderungan penurunan sejak tahun pertama. Tahun pertama ada 3 RUU yang disahkan. Tahun kedua sempat naik 10 RUU, tapi kemudian terus turun sekarang sudah 4 RUU dari 50 yang direncanakan. Tahun lalu ada 6 yang disahkan dari 52 RUU," kata Lucius pada Jumat (23/11/2018) sore.

Lucius menilai, minimnya RUU yang dihasilkan menjadi salah satu faktor terbesar mengapa kinerja DPR RI menjadi yang terburuk. Ia mengatakan, DPR RI saat ini tak patut dibanggakan karena tak menjalankan fungsi legislatifnya dengan baik.

"Mestinya tak ada alasan lari dari tanggung jawab terkait dengan sedikitnya UU yang dihasilkan DPR RI dari prolegnas prioritas, apalagi kalau dibandingkan anggaran pembahasan DPR per 1 RUU, ada 8 miliar rupiah lebih. Bayangkan setiap tahun DPR memperpanjang pembahasan RUU yang sama dari tahun ke tahun. Itu berarti 1 RUU setiap tahun memakan anggaran 8 miliar," katanya.

Baca juga:

 HUT DPR ke-72: Kinerja Legislasi Masih Jauh dari Harapan

Salah satu contoh, kata dia, adalah RUU KUHP yang digagas sejak 2014, namun baru dibahas tahun 2015. Namun, hingga saat ini RUU itu tak kunjung disahkan dan belum tahu akan kapan disahkan.

"2019 juga belum bisa dipastikan. Jadi kalau begitu dalam 5 tahun, tiap tahun RUU ini menyedot 8 miliar untuk sesuatu yang tidak ada hasilnya. Hanya selesai dengan perdebatan beberapa isu tanpa kejelasan kapan disahkan," katanya.

Menurut Lucius, kinerja DPR RI sangat inefisiensi mengingat tak berjalannya fungsi legislasi, korupsi yang muncul, hingga kinerja pengawasan yang melempem.

Ia paham terjadi perdebatan sengit antar anggota dewan ketika membahas sebuah RUU untuk disahkan. Tetapi, kata Lucius, hal tersebut tidak dibarengi dengan kepastian kapan RUU akan

77 disahkan.

Baca juga:

 Memeriksa Rapor Merah DPR

"Bayangkan ada begitu banyak RUU prioritas DPR dibahas sejak 2014, sampai dengan jelang masa berakhirnya periode 2014-2019, belum juga disahkan, seperti RKUHP, Jabatan Hakim, Miras, pekerja sosial. Jadi ada RUU yang masuk jadi langganan prolegnas, tapi saat bersamaan DPR tak punya target kapan RUU itu mau disahkan," katanya.

Lucius menduga, salah satu penyebab buruknya kinerja DPR saat ini dikarenakan para anggota dewan malas dan tak memiliki tanggung jawab sosial sebagai wakil rakyat di DPR.

"Malas pasti. Saya kira itu yang paling utama sebagai alasan kenapa banyak pekerjaan DPR yang mangkrak. Selain itu, tanggung jawab moral sebagai wakil rakyat tak ada. Mereka bebas melakukan korupsi, bebas tak hadir rapat-rapat, itu menunjukan tidak ada kesadaran tanggung jawab DPR sebagai wakil rakyat," kata Lucius.

Baca juga:

 Pengesahan UU MD3 Bukti Kemunduran Kinerja DPR

Baca juga artikel terkait KINERJA DPR atau tulisan menarik lainnya Haris Prabowo (tirto.id - Politik)

Kinerja DPR Masa Sidang I 2018-2019 Diwarnai Rapat Tidak Kuorum hingga Kasus Korupsi

REZA JURNALISTON Kompas.com - 23/11/2018, 18:26 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Fungsi Pengawasan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) M. Djadijono menyoroti kinerja DPR dalam Masa Sidang I Tahun 2018-2019. Djadijono menuturkan, tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat paripurna (Rapur) minim sehingga tak jarang mengakibatkan Rapur tertunda-tunda. Bahkan, kata Djadijono, pengambilan keputusan dalam Rapur sering kali dilakukan tidak sesuai kriteria kourum yang dipersyaratkan oleh peraturan perundangan yang disusun DPR sendiri. Djadijono menuturkan, ada rapat yang mestinya sangat penting dihadiri oleh para anggota DPR yaitu rapat penutupan tanggal 31 Agustus yang berkaitan dengan pengambilan keputusan mengenai APBN 2019. Namun, saat itu masih ada anggota DPR yang bolos. “Kalau tidak memenuhi kourum dan diambil keputusan juga ini sesuatu yang aneh, absah atau tidak,” tutur Djadijono saat memaparkan evaluasi Kinerja DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019 di Kantor Formappi, Jumat (23/11/2018). Baca juga: Formappi: Kinerja DPR di Masa Sidang I Jeblok Diketahui dalam Pasal 232 ayat (1) UU MD3 menyatakan,”Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.” Sementara kriteria kuorum dijelaskan oleh Pasal 232 ayat (2) UU MD3 yang menyebut kuorum terpenuhi apabila rapat dihadiri lebih dari setengah (1/2) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari setengah jumlah fraksi. Meski demikian, ada klausul lain dalam Pasal 232 ayat (4) UU

78

MD3 yang menyatakan setelah dua kali penundaan, kuorum belum juga terpenuhi cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR. Peneliti Fungsi Pengawasan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) M. Djadijono saat memaparkan evaluasi Kinerja DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019 di Kantor Formappi, Jumat (23/11/2018). (Reza Jurnaliston) Pimpinan DPR terjerat pidana Djadijono juga menyoroti pelanggaran kode etik oleh pimpinan DPR. Ia menilai pimpinan DPR terkesan saling membela dan melindungi koleganya sendiri. Ia memberi contoh kebijakan yang diambil pimpinan DPR ketika salah satu atau lebih pimpinan terjerat kasus, baik pelanggaran kode etik atau hukum. Teranyar kasus Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan yang dijadikan tersangka oleh KPK pada 30 Oktober 2018 lantaran diduga menerima imbalan (gratifikasi) saat mengurus dana alokasi khusus fisik untuk daerah pemilihannya Kabupaten Kebumen. “Jangan-jangan ini karena jeruk makan jeruk atau memang bersembunyi tentang pimpinan DPR yang kolektif kolegial. Kolegial ini membela meskipun salah, bukan membela yang benar tapi membela yang salah,” ujar Djadijono. Baca juga: Fadli Zon: Penetapan Novanto sebagai Tersangka Tak Ganggu Kinerja DPR Ia juga menilai penegakan disiplin oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam menegakkan Kode Etik DPR tidak tampak. Sementara, Peneliti Fungsi Kelembagaan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) I Made Leo Wiratma berpendapat sekarang DPR menjadi lembaga yang sangat birokratis. "Kita melihat lembaga DPR ini semakin menjadi suatu lembaga yang sangat birokratis. Dia (anggota DPR) terdiri dari birokrat-birokrat bukan politisi sehingga untum mengubahnya pun sulit sangat sulit sebagaimana kita mengubah birokrasi," tutur Made. Made mengatakan, pimpinan DPR memiliki posisi yang sangat strategis dalam menentukan arah kemana DPR berjalan. Pimpinan DPR, kata Made, bisa menjadi inspirasi bagi anggota-anggotanya. “Mestinya pimpinan DPR bisa mengarahkan anggota-anggotanya menjadi lebih disiplin, menjadi lebih kreatif, lebih rajin dan juga tidak melakukan pelanggaran kontradiktif,” kata Made. (https://nasional.kompas.com/read/2018/11/23/18261841/kinerja-dpr-masa-sidang-i-2018-2019- diwarnai-rapat-tidak-kuorum-hingga-kasus).

79

Minim Prestasi, Formappi Minta Publik Tak Pilih Caleg Incumbent

Peneliti Formappi Lucius Karus, M. Djadijono dan Direktur Eksekutif Formappi I Made Leo Wiratma saat konferensi pers "Evaluasi Kinerja DPR Selama MS 1 TS 2018-2019" di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta, Jumat (23/11).

(Foto: istimewa ) Jakarta - Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus meminta publik agar tidak memilih kembali calon legislatif (caleg) incumbent di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Berdasarkan data Formappi, kata dia, sekitar 94% anggota DPR sekarang, yang kembali maju menjadi caleg pada Pileg 2019 atau sekitar 529 dari 560 anggota DPR.

"Prestasi DPR periode ini di bidang legislatif merupakan prestasi paling rendah sejak era reformasi. UU yang berhasil disahkan setiap tahunnya hanya 11% saja," ujar Lucius Karus, di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta, Jumat (23/11).

Menurut Lucius, tidak ada prestasi yang dibanggakan dari DPR periode sekarang dalam menjalankan fungsi legislasinya. Walaupun, kata dia, DPR sering mengatakan tanggung jawab legislasi tak hanya di DPR, tetapi juga di pemerintah.

"Tetapi bagaimanapun UU itu mengatakan DPR itu memang legislator yang mempunyai tugas utama membentuk UU. Koordinasi pembentukan UU itu ada di

80

DPR sehingga mestinya tak ada alasan lari dari tanggung jawab terkait dengan sedikitnya UU yang dihasilkan DPR dari prolegnas prioritas," katanya.

Berdasarkan data Formappi, pada tahun 2015, DPR berhasil mengsahkan 3 RUU dari 40 RUU prioritas prolegnas; tahun 2016, terdapat 10 RUU disahkan dari 50 RUU; tahun 2017, 6 RUU dari 52 RUU dan tahun 2018, 4 RUU dari 50 RUU prioritas prolegnas.

Padahal, kata Lucius, setiap tahun, rata-rata anggaran pembahasan satu RUU prioritas di DPR sebesar Rp 8 miliar.

"Bayangkan pembahasan satu RUU memakan anggaran sebanyak Rp 8 miliar dan anggarannya mengikuti tahun anggaran. Misalnya tahun ini 2018, Rp 8 miliar per satu RUU tak selesai, masuk tahun 2019, menggunakan anggaran 2019 yang juga sekitar Rp 8 miliar," jelas dia.

Apalagi, kata dia, DPR tidak mempunyai target kapan RUU akan disahkan. Menurut dia, yang terjadi adalah anggaran pembahasan satu RUU terus keluar, namun hasil dan prestasinya rendah dan bahkan pembahasan RUU sengaja diperpanjang agar anggarannya terus mengalir.

"Yang terjadi anggaran terus keluar untuk membiayai pembahasan, padahal sangat mungkin cuma 2 kali rapat dalam satu masa sidang," katanya.

Sumber: BeritaSatu.com (http://www.beritasatu.com/nasional/524029-minim-prestasi- formappi-minta-publik-tak-pilih-caleg-incumbent.html).

81

Respon DPR Atas Kritik FORMAPPI

Anggap Kritikan Vitamin, Ketua DPR Berharap Pemerintah Lebih Proaktif Selesaikan RUU Sabtu, 24 November 2018 10:57 WIB

Tribunnews.com/Chaerul Umam

Ketua DPR Bambang Soesatyo TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo menilai kritikan yang ditujukan terhadap DPR RI sebagai vitamin. Dirinya berharap pemerintah juga mendengar aspirasi yang disampaikan masyarakat mengenai percepatan RUU. Menurutnya, pembahasan RUU tidak hanya di tangan DPR saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah. Hal ini menanggapi kritik disampaikan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), terhadap kinerja DPR RI. “Saya tidak terkejut dengan Kritik Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) yang disampaikan pada Jumat (23/11) terhadap berbagai kinerja DPR RI. Bahkan saya sangat menghargai upaya dan kerja keras Formappi yang ingin mendorong DPR menjadi baik," kata Bamsoet sapaan akrabnya lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (24/11/2018).

82

Bamsoet mengungkapkan, kritik dilontarkan Formappi merupakan bentuk rasa cinta rakyat kepada DPR RI agar bisa terus memperbaiki kinerjanya. Dirinya berharap kritik Formappi juga bisa didengarkan oleh pihak pemerintah sehingga harapan agar DPR lebih ligat menyelesaikan RUU bisa tercapai. “Mengapa? Karena sesuai dengan ketentuan yang ada, pembuatan UU di DPR harus bersama-sama dengan pemerintah. DPR tidak bisa sendirian apalagi bertindak suka- suka. Intinya, kalau kita mau jujur pembahasan sebuah RUU tidak hanya tanggung jawab DPR RI saja. Melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah,” kata Bamsoet. “Artinya, Kita bisa lebih jauh lagi meneliti apa penyebab pembahasan sebuah RUU tertunda. Apakah karena disebabkan kelambatan di pihak DPR RIatau di pemerintah yang sering kali tidak hadir dalam rapat kerja dengan komisi terkait?” lanjutnya. Politikus Partai Golkar ini mencontohkan, pada pembahasan RUU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah hingga saat ini belum mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/anggap-kritikan-vitamin-ketua- dpr-berharap-pemerintah-lebih-proaktif-selesaikan-ruu.

Hal ini berdampak belum bisa dimulainya pembahasan terhadap RUU tersebut oleh DPR. Contoh lain kendala ditemukan dikatakan Bamsoet terjadi pada pembahasan RUU Karantina Kesehatan. Karena adanya pergantian Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang mewakili pemerintah, Dirjen yang baru memerlukan waktu untuk mempelajari substansi RUU. Bamsoet menuturkan, setelah terus menerus diberikan warning oleh DPR RI, bahkan hingga dirinya menelepon Menteri Kesehatan, akhirnya rapat pembahasan bisa kembali dilanjutkan dan RUU tersebut bisa disahkan pada Juli 2018 kemarin. "Itu hanya sebagian contoh tentang bagaimana kendala yang dihadapi oleh DPR RI dalam membahas sebuah RUU. Karena itu awalnya dalam UU MD3, ada ketentuan pemanggilan atau menghadirkan secara paksa terhadap pihak-pihak yang diperlukan keterangannya oleh DPR RI," kata Bamsoet. "Dengan demikian kami harapkan kementerian yang mewakili pemerintah tidak terus menerus menghindar dalam membahas sebuah RUU. Sayangnya pasal pemanggilan tersebut dibatalkan oleh MK," kata Bamsoet. Contoh lain dikemukakan Bamsoet terhadap RUU tentang Pengaturan Peredaran Minuman berakhohol dan RUU Tembakau yang sudah melewati 10 kali masa persidangan namun belum juga tuntas. Kendala disebutkannya antara lain karena minimnya kehadiran dari pihak pemerintah. Bamsoet menuturkan, perjalanan pembahasan RUU tersebut dapat dilihat catatannya di kesekjenan DPR RI. Terkait penilaian FORMAPPI bahwa DPR RI kini menjadi lembaga birokratis, ditegaskan Bamsoet tidak sepenuhnya tepat

83

(http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/anggap-kritikan-vitamin-ketua- dpr-berharap-pemerintah-lebih-proaktif-selesaikan-ruu?page=2)

Kehadiran aplikasi DPR NOW yang bisa di download oleh setiap orang di smartphonenya, justru membuat DPR RI menjadi lembaga yang terbuka. "DPR saat ini justru seperti memasang CCTV raksasa agar rakyat bisa memantau dan mengakses setiap kegiatan kedewanan dari mulai Komisi I hingga Komisi XI plus alat kelengkapan dewan lainnya. Rakyat juga bisa langsung menuliskan kritik, saran, maupun apresiasi dan aspirasinya melalui aplikasi DPR NOW," katanya. Mantan Ketua Komisi III ini menegaskan, saat ini DPR di bawah kepemimpinannya tengah berupaya agar berbagai hambatan yang terjadi dalam proses meningkatkan kinerja kedewanan bisa selalu diselesaikan secara tepat dan cepat. Baik itu melalui pertemuan formal maupun informal antara wakil pemerintah dan komisi terkait. Seperti yang terjadi dalam pembahasan RUU Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme yang sudah terlalu lama tidak menemui titik temu. Tapi, hanya dalam waktu sekitar dua minggu, DPR RI bisa mencari titik temu dengan pemerintah maupun Kepolisian dan TNI

Bahkan setiap pekan di hari Selasa atau hari lain yang ditentukan, Pimpinan DPR ucapnya selalu bertemu pimpinan Fraksi maupun pimpinan Komisi serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) untuk membahas berbagai hambatan dan masalah yang ada disetiap komisi dan AKD secara informal. “DPR juga semakin terbuka dan siapapun bisa datang ke DPR RI kapanpun mereka mau, tanpa ada yang menghalangi. Anggota dewan juga bisa ditemui dengan mudah tanpa adanya keprotokoleran yang kaku dan ketat seperti yang terjadi di negara-negara lain,” ujar Bamsoet. “Walau masa tugas periode kami kurang dari satu tahun lagi, namun percayalah kami tidak akan pernah berhenti untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Harapan saya kepada Formappi, jangan pernah lelah untuk terus kritik kami. Karena kritik bagi kami adalah vitamin,” kata Bamsoet.

(http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/anggap-kritikan-vitamin-ketua- dpr-berharap-pemerintah-lebih-proaktif-selesaikan-ruu?page=3)

84

Kritikan FORMAPPI, Bamsoet: Itu Bagian Rasa Cinta Masyarakat terhadap DPR Sabtu, 24 November 2018 07:49 WIB

Chaerul Umam

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo tidak terkejut dengan evaluasi yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) terhadap lembaga yang dia pimpin. Dia pun menghargai upaya yang dilakukan FORMAPPI untuk mendorong DPR menjadi lebih baik.

85

"Bahkan saya sangat menghargai upaya dan kerja keras FORMAPPI yang ingin mendorong DPR menjadi baik," ujar Bamsoet, sapaan akrabnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (24/11/2018). Baginya, kritik tersebut merupakan kepedulian dan rasa cinta rakyat agar DPR dapat memperbaiki kinerjanya. Legislator Partai Golkar itu berharap kritik FORMAPPI juga dapat didengarkan oleh pemerintah. "Mengapa? Karena sesuai dengan ketentuan yang ada, pembuatan UU di DPR harus bersama-sama dengan pemerintah. DPR tidak bisa sendirian apalagi bertindak suka- suka. Intinya, kalau kita mau jujur pembahasan sebuah RUU tidak hanya tanggung jawab DPR RI saja. Melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah," kata Bamsoet. "Artinya, Kita bisa lebih jauh lagi meneliti apa penyebab pembahasan sebuah RUU tertunda. Apakah karena disebabkan kelambatan di pihak DPR RI atau di pemerintah yang sering kali tidak hadir dalam rapat kerja dengan komisi terkait?," imbuhnya. Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu memberikan contoh kendala pembahasan pada Rancangan Undang-Undang (RUU). Misalnya, pada pembahasan RUU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pemerintah sampai saat ini belum mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sehingga DPR belum bisa memulai pembahasannya. Atau kendala lainnya seperti yang pernah terjadi pada pembahasan RUU Karantina Kesehatan. Karena adanya pergantian Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang mewakili pemerintah, Dirjen yang baru memerlukan waktu untuk mempelajari substansi RUU. "Setelah terus menerus diberikan warning oleh DPR RI, bahkan saya sampai perlu menelepon Ibu Menteri Kesehatan, akhirnya rapat pembahasan bisa kembali dilanjutkan dan RUU tersebut bisa disahkan pada Juli 2018 kemarin," ujar Bamsoet.

Itu hanya sebagian contoh tentang bagaimana kendala yang dihadapi oleh DPR RI dalam membahas sebuah RUU. Karena itu awalnya dalam UU MD3, ada ketentuan pemanggilan atau menghadirkan secara paksa terhadap pihak-pihak yang diperlukan keterangannya oleh DPR RI. "Dengan demikian kita harapkan kementerian yang mewakili pemerintah tidak terus menerus menghindar dalam membahas sebuah RUU. Sayangnya pasal pemanggilan tersebut dibatalkan oleh MK," jelas Bamsoet. "Contoh lain, RUU tentang Pengaturan Peredaran Minuman berakhohol dan RUU Tembakau yang sudah melewati 10 kali masa persidangan belum juga tuntas itu antara lain karena minimnya kehadiran dari pihak pemerintah. Semua ada catatannya di kesekjenan DPR RI," kata Bamsoet.

86

Sebelumnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) mengggelar konferensi pers terkait evaluasi kinerja DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018- 2019. Dalam fungsi legislasi, peneliti FORMAPPI, M Djadijono menyebut DPR gagal paham arti prolegnas (program legislasi nasional) prioritas. Sebab yang berhasil disahkan menjadi Undang-Undang bukan RUU (Rancangan Undang-Undang) yang berasal dari prolegnas prioritas. http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/kritikan-formappi-bamsoet-itu- bagian-rasa-cinta-masyarakat-terhadap-dpr?page=2.

Dia menjelaskan seharusnya ada sekitar 24 RUU direncanakan DPR untuk dibahas pada Masa Sidang I. Namun, Djadijono mengatakan jumlah RUU yang berhasil dibahas berjumlah 16 RUU yang terdiri dari 3 RUU Kumulatif Terbuka dan 13 RUU prolegnas prioritas. "Yang berhasil menjadi Undang-Undang hanya 3 RUU Kumulatif Terbuka, artinya yang harus disahkan, contohnya RUU APBN 2019," ujarnya di kantor Formappi, Jl Matraman no 32B, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018). "Sedangkan RUU prolegnas prioritas 2018 tak ada satupun yang berhasil diselesaikan pembahasannya menjadi Undang-Undang," imbuhnya. (http://www.tribunnews.com/nasional/2018/11/24/kritikan-formappi-bamsoet-itu- bagian-rasa-cinta-masyarakat-terhadap-dpr?page=3.)

87

Jawab Kritik, Ketua DPR Sebut

Sejumlah

Ketua DPR Bambang Soesatyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/10/2018).

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo berharap pemerintah mendengar aspirasi yang disampaikan masyarakat mengenai percepatan pembuatan dan revisi UU.

Ia mengatakan, pembahasan RUU tidak hanya di tangan DPR, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah.

Hal ini disampaikan Bambang menanggapi kritik Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) terhadap kinerja DPR RI dalam bidang legislasi.

“Saya tidak terkejut dengan Kritik Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia terhadap berbagai kinerja DPR RI. Bahkan saya sangat menghargai upaya dan kerja keras Formappi

88 yang ingin mendorong DPR menjadi baik,” kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (24/11/2018).

Bamsoet mengungkapkan, kritik yang dilontarkan Formappi merupakan bentuk rasa cinta rakyat kepada DPR RI agar bisa terus memperbaiki kinerjanya.

Ia berharap kritik Formappi juga bisa didengarkan oleh pihak pemerintah sehingga harapan agar DPR lebih cepat menyelesaikan RUU bisa tercapai.

"Karena sesuai dengan ketentuan yang ada, pembuatan UU di DPR harus bersama-sama dengan pemerintah. DPR tidak bisa sendirian apalagi bertindak suka-suka. Intinya, kalau kita mau jujur pembahasan sebuah RUU tidak hanya tanggung jawab DPR RI saja. Melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah,” kata Bamsoet.

“Artinya, kita bisa lebih jauh lagi meneliti apa penyebab pembahasan sebuah RUU tertunda. Apakah karena disebabkan kelambatan di pihak DPR RI atau di pemerintah yang sering kali tidak hadir dalam rapat kerja dengan komisi terkait?” lanjut politisi Partai Golkar ini.

Ia mencontohkan, pada pembahasan RUU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah hingga saat ini belum mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Hal ini berdampak belum bisa dimulainya pembahasan terhadap RUU tersebut oleh DPR.

Contoh lain terjadi pada pembahasan RUU Karantina Kesehatan. Di Kementerian Kesehatan, sebagai wakil pemerintah, ada pergantian Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan sehingga Dirjen yang baru memerlukan waktu untuk mempelajari substansi RUU.

Menurut Bambang, DPR harus terus menerus memberi warning kepada pihak Kemenkes untuk mengebut RUU ini.

Bahkan, ia harus menelepon Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, baru pembahasan RUU bisa dilanjutkan. RUU tersebut akhirnya disahkan pada Juli 2018.

Contoh lainnya, RUU tentang Pengaturan Peredaran Minuman beralkohol dan RUU Tembakau yang sudah melewati 10 kali masa persidangan, namun belum juga tuntas.

Kendala antara lain karena minimnya kehadiran dari pihak pemerintah. Bambang mengatakan, perjalanan pembahasan RUU tersebut dapat dilihat catatannya di Kesetjenan DPR RI.“Itu hanya sebagian contoh tentang bagaimana kendala yang dihadapi oleh DPR RI dalam membahas sebuah RUU. Karena itu awalnya dalam UU MD3, ada ketentuan pemanggilan atau menghadirkan secara paksa terhadap pihak-pihak yang diperlukan keterangannya oleh DPR RI,” kata dia.

89

“Dengan demikian kami harapkan kementerian yang mewakili pemerintah tidak terus menerus menghindar dalam membahas sebuah RUU. Sayangnya pasal pemanggilan tersebut dibatalkan oleh MK,” tambah Bambang.

Kritik untuk DPR

Sebelumnya, peneliti Formappi M. Djadijono mengkritik kinerja anggota DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019.

Kritik disampaikan saat memaparkan evaluasi Kinerja DPR selama Masa Sidang I Tahun Sidang 2018-2019 di Kantor Formappi, Jumat (23/11/2018).

Pertama, kata Djadijono, dalam melaksanakan fungsi legislasi DPR mengalami gagal paham tentang arti program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Djadijono menuturkan, implementasi fungsi legislasi DPR sangat minim hasil dan prestasi.

“Sebanyak 3 RUU kumulatif terbuka lainnya prolegnas prioritas selama 55 hari kerja berapa RUU yang dibahas dan disahkan menjadi UU? Tidak ada satupun UU dari prolegnas yang dibahas dan disahkan,” ujar Djadijono (https://today.line.me/id/pc/article/Jawab+Kritik+Ketua+DPR+Sebut+Sejumlah+RUU+Terha mbat+karena+Pemerintah-MQn7BM).

90

DPR harap pemerintah proaktif selesaikan RUU

Sabtu, 24 November 2018 14:21 WIB

Ketua DPR, Bambang Soesatyo. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto) Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR, Bambang Soesatyo, berharap pemerintah juga mendengar aspirasi disampaikan masyarakat mengenai percepatan RUU karena pembahasan RUU dia tegaskan tidak hanya di tangan DPR saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah.

"Saya tidak terkejut dengan kritik Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) yang disampaikan Jumat (23/11) terhadap berbagai kinerja DPR RI. Bahkan saya sangat menghargai upaya dan kerja keras Formappi yang ingin mendorong DPR menjadi baik," kata dia, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu.

91

Ia berpendapat kritik dari Formappi merupakan bentuk rasa cinta rakyat kepada DPR agar bisa terus memperbaiki kinerjanya.

Ia berharap kritik Formappi juga bisa didengarkan pemerintah sehingga harapan agar DPR lebih giat menyelesaikan RUU bisa tercapai.

"Mengapa? Karena sesuai dengan ketentuan yang ada, pembuatan UU di DPR harus bersama-sama dengan pemerintah. DPR tidak bisa sendirian apalagi bertindak suka-suka. Intinya, kalau kita mau jujur pembahasan sebuah RUU tidak hanya tanggung jawab DPR saja. Melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama dengan pemerintah," jelas politikus Partai Golkar ini.

Artinya, kita bisa lebih jauh lagi meneliti apa penyebab pembahasan sebuah RUU tertunda. Apakah karena disebabkan kelambatan di pihak DPR RI atau di pemerintah yang sering kali tidak hadir dalam rapat kerja dengan komisi terkait.

Mantan ketua Komisi III DPR ini mencontohkan, pada pembahasan RUU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah hingga saat ini belum mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah. Hal ini berdampak belum bisa dimulainya pembahasan terhadap RUU itu oleh DPR.

Contoh lain, kendala terjadi pada pembahasan RUU Karantina Kesehatan. Karena ada pergantian direktur jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan yang mewakili pemerintah, pejabat yang baru memerlukan waktu untuk mempelajari substansi RUU.

Menurut dia, setelah terus menerus diberikan peringatan DPR, bahkan hingga dia menelepon menteri kesehatan, akhirnya rapat pembahasan bisa kembali dilanjutkan dan RUU itu bisa disahkan pada Juli 2018.

"Itu hanya sebagian contoh tentang bagaimana kendala yang dihadapi oleh DPR RI dalam membahas sebuah RUU. Karena itu awalnya dalam UU MD3, ada ketentuan pemanggilan atau menghadirkan secara paksa terhadap pihak-pihak yang diperlukan keterangannya oleh DPR RI," katanya.

Sehingga diharapkan kementerian yang mewakili pemerintah tidak terus menerus menghindar dalam membahas sebuah RUU. "Sayangnya pasal pemanggilan tersebut dibatalkan oleh MK," kata dia.

Ia juga mencontohkan lain terhadap RUU tentang Pengaturan Peredaran

92

Minuman berakhohol dan RUU Tembakau yang sudah melewati 10 kali masa persidangan namun belum juga tuntas. Kendala disebutkannya antara lain karena minimnya kehadiran dari pihak pemerintah.

Ia menuturkan, perjalanan pembahasan RUU itu dapat dilihat catatannya di Sekretariat Jenderal DPR.

Terkait penilaian Formappi bahwa DPR RI kini menjadi lembaga birokratis, dia bilang, hal itu tidak sepenuhnya tepat. Kehadiran aplikasi "DPR NOW" yang bisa diunggah setiap orang di smartphonenya, justru membuat DPR menjadi lembaga yang terbuka.

"DPR saat ini justru seperti memasang CCTV raksasa agar rakyat bisa memantau dan mengakses setiap kegiatan kedewanan dari mulai Komisi I hingga Komisi XI plus alat kelengkapan dewan lainnya. Rakyat juga bisa langsung menuliskan kritik, saran, maupun apresiasi dan aspirasinya melalui aplikasi 'DPR NOW',” paparnya. Ia meyakinkan, saat ini DPR di bawah kepemimpinannya tengah berupaya agar berbagai hambatan yang terjadi dalam proses meningkatkan kinerja kedewanan bisa selalu diselesaikan secara tepat dan cepat, baik itu melalui pertemuan formal maupun informal antara wakil pemerintah dan komisi terkait. Seperti yang terjadi dalam pembahasan RUU Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme yang sudah terlalu lama tidak menemui titik temu. Hanya dalam waktu sekitar dua minggu, DPR bisa mencari titik temu dengan pemerintah maupun TNI dan Kepolisian Indonesia. Bahkan setiap pekan pada Selasa atau hari lain yang ditentukan, pimpinan DPR selalu bertemu pimpinan fraksi maupun pimpinan komisi serta alat kelengkapan dewan untuk membahas berbagai hambatan dan masalah yang ada di setiap komisi dan AKD secara informal. "DPR juga semakin terbuka dan siapapun bisa datang ke DPR, kapanpun mereka mau, tanpa ada yang menghalangi. Anggota dewan juga bisa ditemui dengan mudah tanpa adanya keprotokoleran yang kaku dan ketat seperti yang terjadi di negara-negara lain," ujarnya. Walau masa tugas periode kami kurang dari satu tahun lagi, namun percayalah kami tidak akan pernah berhenti untuk melakukan perbaikan-perbaikan. "Harapan saya kepada Formappi, jangan pernah lelah untuk terus kritik kami. Karena kritik bagi kami adalah vitamin," kata dia (https://aceh.antaranews.com/nasional/berita/771244/dpr-harap-pemerintah- proaktif-selesaikan-

93 ruu?utm_source=antaranews&utm_medium=nasional&utm_campaign=antarane ws). Fahri Hamzah: Formappi Kurang Riset Kritik DPR Holang , Senin, 26/11/18 12:55 WIB

Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah (Foto: BreakingNews.co.id/Holang)

BREAKINGNEWS.CO.ID- Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) kurang melakukan riset sebelum mengkritik DPR RI. Menurut Fahri, kritikan balik tersebut supaya Formappi memperbaiki lembaganya. "Formappi termasuk yang menurut saya mohon maaf biar mereka memperbaiki diri, kurang dia, kurang riset," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (26/11/2018). Fadli mengatakan, masih ada Lembaga lain yang memberikan pandangan positif untuk DPR RI. Hal tersebut membuat LSM itu menambat rating tinggi di tengah masyarakat. "Sebagai pimpinan parlemen saya juga dikasih tahu LSM2. Apa aja, banyak itu yamg bagus seperti. Itu termasuk yang ratingnya tinggi karena menilai itu dalam," tegasnya. Sebelumnya diberitakan, Rancangan Undang-Undang prioritas 2018 sebanyak 37 item. Peneliti Legislasi Formappi, Lucius Karus mengatakan, satu RUU dianggarkan Rp 8 miliar per tahun. Menurut Lucius, anggaran tersebut bisa dicairkan saat RUU tersebut dibahas di DPR.

94

"RUU Prioritas masa sidang 2018/2019 sebanyak 37 item. Per RUU dianggarkan Rp 8 miliar. Selesai dan tidak, uang tersebut tetap dicairkan," ujar Lucius di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (23/11/2018). Lanjut Lucius, DPR dalam masa sidang 1 tahun 2018/2018 hanya berhasil mengesahkan empat RUU dari 50 prolegnas prioritas. Hasil ini kata Lucius sangat rendah dan buruk. "Dari daftar prioritas hanya 4 RUU. Hasil ini sangat rendah. Artinya DPR hanya berhasil 8 persen dari RUU prioritas tersebut," tegasnya. Lucius menilai kinerja DPR periode 2014-2019 paling buruk sejak zaman reformasi ketimbang angkatan sebelumnya. Hal tersebut kata Lucius lantaran UU yang dihasilkan tidak mencapai 10 item. "Kinerja DPR paling buruk sejak reformasi. Karena capaian UU yang tidak pernah lebih dari 10 UU setiap tahun," tegasnya. Berdasarkan data yang dihimpun Formappi kata Lucius, jumlah Caleg yang kembali bertarung di Pemilu 2019 berjumlah 94 persen dengan total 529 orang. "Pemilih diminta untuk memperhatikan kinerja DPR RI saat ini sebelum pemilu. Idealnya dengan catatan buruk kinerja DPR 2014/2019 anggota DPR yang kembali maju mestinya tak layak dipilih kembali," tegasnya. Dari 50 RUU yang mesti diselesaikan, DPR hanya bisa menyelesaikan empat RUU saja, yakni RUU MD3 di Masa Sidang III, dan tiga RUU di Masa Sidang V. Tiga RUU tersebut antara lain RUU tentang Pembernatasan Tindak Pidana Terorisme, RUU Tentang Kekerantinaan Kesehatan, dan RUU tentang perubahan atas UU no 20 tahun 1997 tentang penerikaan negara bukan pajak (RUU PNBP). (https://breakingnews.co.id/read/fahri-hamzah-formappi-kurang-riset-kritik-dpr)

95