NASKAH PUBLIKASI

GENDING USANG

Oleh: Romadani Saputra NIM: 1611636011

TUGAS AKHIR PROGRAM STUDI S1 TARI JURUSAN TARI FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI YOGYAKARTA GENAP 2019/2020 Koreografi Gending Usang: Isu Pemusnahan Tari Gending Sriwijaya Sebagai Sumber Penciptaan Karya Tari Oleh: Romadani Saputra NIM : 1611636011

Pembimbing Tugas Akhir: Dr. Ni Nyoman Sudewi, S.S.T., M.Hum dan Drs. Y. Subawa, M.Sn Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Email : [email protected]

ABSTRAK

Karya tari berjudul “Gending Usang” merupakan sebuah bentuk respon dari penata terhadap berkembangnya isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya pada tahun 2017 lalu. Tari Gending Sriwijaya adalah salah satu identitas budaya kota . Akan tetapi, pada tahun 2017 lalu berkembang sebuah perspektif terhadap tari Gending Sriwijaya yang menilai tarian ini tidak islami dan tidak sesuai dengan tradisi dan kebiasaan yang ada di kota Palembang saat sekarang yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Tari Gending Sriwijaya dinilai sebagai tarian yang bernuansakan Hindu-Buddha. Padahal, tari Gending Sriwijaya jika dijadikan sebagai cultural icon (ikon budaya) tidak bisa direduksi menjadi kebutuhan agama tertentu sebab kehadirannya memberikan dimensi toleransi bagi setiap pemeluk agama, sehingga penghapusan tari Gending Sriwijaya tidak dibenarkan dalam konteks kebudayaan. Dalam wujud melestarikan dan menjaga budaya daerah sendiri yaitu tari Gending Sriwijaya, karya tari Gending Usang lahir dari rasa takut akan kehilangan aset budaya yang telah lama hadir tersebut. Dipilih delapan penari putri yaitu tujuh penari putri sebagai penari inti yang meminjam konsep penari ganjil pada tari Gending Sriwijaya. Serta, satu penari putri yang menyimbolkan budaya Islam. Gerak yang digunakan bersumber dari tari Gending Sriwijaya dan Gerak Melayu Palembang (Dana dan Kincat Arab Palembang). Busana dalam koreografi ini menggunakan bahan dan Jumputan Palembang dengan pilihan warna lebih pada warna merah, emas, dan hijau. Musik tari diformat dalam bentuk rekaman dengan menyesuaikan suasana peradegan yaitu musik bernuansa Hindu- Buddha dan Melayu Islami. Karya tari ini dibagi menjadi enam adegan. Dramatik tari memvisualkan tentang penyingkiran budaya diambil dari esensi terhadap fenomena permasalahan yang terjadi pada tari Gending Sriwijaya tersebut. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa empati kepada para penikmat agar dapat memposisikan diri secara tepat dalam melihat fenomena tersebut sehingga muncul rasa kesadaran untuk berkontribusi dalam menjaga dan melestarikan budaya tanah Sriwijaya yaitu Tari Gending Sriwijaya.

Kata Kunci : Tari Gending Sriwijaya, Isu Pemusnahan, Tari Kelompok.

1

ABSTRACT

The dance work entitled "Gending Usang” is a form of response from the choreographer to the development of the issue of the annihilation of the Gending Sriwijaya dance in 2017. Sriwijaya Gending Dance is one of the cultural identities of the city of Palembang. However, in 2017 a perspective emerged on the Gending Sriwijaya dance which said that this dance was un-Islamic and not in accordance with the traditions and customs that exist in the city of Palembang at the present time where the majority of the community adheres to Islam. Sriwijaya Gending Dance is considered as a Hindu-Buddhist nuanced dance. Meanwhile, the Gending Sriwijaya dance if used as a cultural icon cannot be reduced to a particular religious need because its presence provides a tolerance dimension for every religious adherent, so the elimination of the Gending Sriwijaya dance is not justified in a cultural context. In the form of preserving and maintaining own regional culture, namely the Gending Sriwijaya dance, Gending Usang dance works were born from the fear of losing the long- present cultural assets. Eight female dancers were chosen, namely seven female dancers as core dancers who borrowed the concept of odd dancers in the Gending Sriwijaya dance. Also, a female dancer who symbolizes Islamic culture. The movements used are sourced from the Gending Sriwijaya dance and Palembang Malay Movement (Dana and Kincat Zapin Arabic Palembang). The clothing in this choreography uses Palembang's Songket and Jumputan with a choice of more colors in red, gold and green. Dance music is formatted in the form of recording by adjusting the atmosphere of the scene that is nuanced music Hindu-Buddhist and Islamic Malay. This dance work is divided into six scenes. Dramatic dance visualizes about cultural exclusion taken from the essence of the phenomenon of problems that occur in the Sriwijaya Gending dance. It aims to foster empathy for connoisseurs in order to position themselves appropriately in seeing this phenomenon so that a sense of awareness emerges to contribute in maintaining and preserving the culture of Sriwijaya land namely the Gending Sriwijaya Dance.

Key words: Gending Sriwijaya Dance, Issue of annihilation, Group of dance

2

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya tari berjudul “Gending Usang” merupakan sebuah bentuk respon dari penata terhadap berkembangnya isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya pada tahun 2017 lalu. Penata sebagai generasi muda yang memiliki latar belakang berdarah asli Sumatera Selatan (Banyuasin), merasa terpanggil dan tergerak untuk mencoba menelusuri dan mengungkap kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dibalik mencuatnya isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya pada tahun 2017 lalu. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk upaya penata dalam menjaga dan mempertahankan kebudayaan asli daerah sendiri yaitu tari Gending Sriwijaya. Muncul pertanyaan, bagaimana isu pemusnahan tersebut dapat mencuat kepermukaan dan berkembang dikhalayak ramai? Penelusuran penata, dimulai dengan membaca dan mencermati beberapa artikel online yang memberitakan tentang isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya tersebut. Beberapa artikel, memberikan informasi bahwa adanya perspektif terhadap tari Gending Sriwijaya. Sudut pandang yang memberikan penilaian terhadap tari Gending Sriwijaya yang ternyata dinilai tidak Islami dan tidak sesuai dengan tradisi dan kebiasaan yang ada di kota Palembang saat sekarang. Hal tersebut didapat ketika memahami pernyataan dari seorang kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang periode tahun 2017-2018 yang mengatakan bahwa tari Gending Sriwijaya kurang mencerminkan Palembang Darussalam yang sarat akan nuansa Islami. “Selama ini kalau ada tamu atau penyambutan pakai tari Gending Sriwijaya atau tari Tanggai. Padahal tarian itu bukan adat istiadat kita, mulai dari gerakan, pakaian penari dan musik dalam tari Gending Sriwijaya indentik dengan ajaran agama lain yakni Hindu-Buddha (Awid Durrhohman, 2017).” Dalam artikel online berjudul “Tonjolkan Palembang Darussalam, Tari Sambut Bakal Diganti” ditulis oleh Awid Durrohman yang telah dipaparkan di atas menginformasikan bahwa tari Gending Sriwijaya dinilai sebagai tarian yang bernuansa budaya Hindu-Buddha, sesuatu yang sama sekali tidak mencerminkan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di kota Palembang saat ini. Menurut interpretasi penata, hal tersebutlah yang menyebabkan munculnya pemberitaan tentang isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya pada tahun 2017 lalu. Berdasarkan sejarah, kota Palembang dilatarbelakangi oleh dua periode masa kejayaan sejarah yang besar. Pertama, diawali dengan masa kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 sampai ke-9 M (Nawiyanto dan Endrayadi, 2016:15). Lalu, dilanjutkan

3 pada masa kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17 dan ke-18 (Nawiyanto dan Endrayadi, 2016:15). Kedua masa kejayaan sejarah ini berpengaruh terhadap lahirnya budaya yang ada di Palembang. Secara kultural, Kerajaan Sriwijaya telah tampil sebagai pusat pengajaran agama Buddha di Asia Tenggara. Ibukota Sriwijaya (Bukit Siguntang) telah menjadi pusat untuk mempelajari agama Buddha (Mahmud, 2008:13). Sehingga masa Kerajaan Sriwijaya membawa kebudayaan Buddha Mahayana (Dana dan Arista, 2014:5). Sedangkan, pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, tumbuh dan berkembangnya kebudayaan (kesenian) sangat dipengaruhi oleh agama Islam (Nawiyanto dan Endrayadi, 2016:165). Berdasarkan sumber sejarah Melayu, cerita tutur Palembang, maupun sumber kolonial diketahui bahwa budaya Palembang mempunyai “keunikan”. Lingkaran budaya lokal dengan budaya asing (Hindu/Buddha dan Islam) tercermin dalam kehidupan di lingkungan keraton dan masyarakat Palembang. Unsur-unsur sosio-budaya tersebut, tersebar di berbagai aspek kehidupan, antara lain: busana/pakaian (fashion), makanan (kuliner), bahasa, sastra, seni tari, dan sebagainya (Nawiyanto dan Endrayadi, 2016:141). Dalam aspek kesenian, terutama seni tari, munculnya tari-tarian di Palembang, terjadi setelah masa Kesultanan Palembang dalam pendudukan kolonial Belanda. Hal ini diketahui dari tiga sumber gambar hitam putih berangka tahun 1875, tahun 1900, dan tahun 1935 (Syarofie, 2014:30-31).

Gambar. 1. Foto para penari tari Penyambutan di Palembang pada tahun 1875. (Foto: diambil dari buku Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya karya Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi, 2016, 166)

4

Gambar. 2. Foto para penari tari Penyambutan di Palembang pada tahun 1900 yang sedang berdiri berjejer. (Foto: diambil dari buku Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya karya Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi, 2016, 167)

Gambar. 3. Foto dua orang penari tari Penyambutan di Palembang pada tahun 1935 berada di depan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (sekarang). (Foto: diambil dari buku Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya karya Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi, 2016, 167)

5

Menurut Syarofie, perkembangan sejarah kesenian di Sumatera Selatan lebih tepatnya berkembang pesat pada saat kedatangan bala tentara Jepang ke Indonesia. Pembinaan kesenian, pada dasarnya bertujuan untuk kepentingan Jepang (Syarofie, 2014:6-7). Dipertengahan abad ke-20 muncul beberapa tarian tradisional Palembang, salah satunya adalah Tari Gending Sriwijaya (Nawiyanto dan Endrayadi, 2016:168).

Terciptanya tari Gending Sriwijaya dilatarbelakangi oleh permintaan dari pemerintahan Jepang setempat yang ada di Karesidenan Palembang kepada jawatan penerangan (Hodohan) untuk menciptakan sebuah lagu dan tarian yang digunakan untuk menyambut tamu yang berkunjung di Sumatera Selatan, dalam suatu acara resmi (Disbudparsumsel,

2017:2). Ahmad Dahlan Mahibat adalah seorang komponis yang menciptakan Syair Gending Sriwijaya. Syair Gending Sriwijaya tersebut kemudian disempurnakan kembali oleh Nungtjik A.R. Syair Gending Sriwijaya berisi tentang kemashuran dan keagungan kerajaan Sriwijaya dari dinasti Syailendra. Setelah syair dan lagu Gending Sriwijaya selesai diciptakan, dilanjutkan dengan proses penciptaan tari yang dilakukan oleh Miss Tina Haji Gung seorang penari profesional dibantu oleh Sukaenah A. Rozak sebagai ahli tari. Mereka berdua juga mengurusi properti dan busana yang akan dipakai dalam pementasan Tari Gending Sriwijaya. Kemudian latihan tari dilakukan di Bioskop Saga (Disbudparsumsel, 2017:3). Tari Gending Sriwijaya diresmikan menjadi tari sambut kehormatan oleh Gubernur Sumater Selatan H. Asnawi Mangku Alam tahun 1960an (Hera, 2016:7). Tari Gending Sriwijaya merupakan tari tradisional berasal dari kota Palembang yang berkembang di Provinsi Sumatera Selatan. Menurut Elly Rudi yaitu seorang penari tari Gending Sriwijaya pada tahun 1965, judul tari Gending Sriwijaya terdiri dari dua suku kata yaitu Gending dan Sriwijaya. Gending berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti irama dan Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri tahun 628 Masehi dan menjadi kerajaan maritim terkuat dan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sriwijaya merupakan pusat pendidikan agama Buddha dan salah satu pusat ritualnya adalah Bukit Siguntang yang berada di Palembang. Secara harafiah, Gending Sriwijaya mempunyai arti irama kerajaan Sriwijaya. Tari Gending Sriwijaya digunakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan yang secara formil datang dan berkunjung ke Sumatera Selatan (Disbudparsumsel, 2017:1-2). Tari Gending Sriwijaya ditarikan oleh tiga belas orang penari putri. Tari ini ditarikan dalam jumlah ganjil. Menurut kepercayaan orang Palembang, jumlah ganjil

6

membawa makna keberuntungan (Nawiyanto dan Endrayadi, 2016:169). Busana tari Gending Sriwijaya menggunakan dodotan dan baju kurung dengan warna busana (primary hues) adalah merah sebagai ciri khas pakaian adat Sumatera Selatan. Tata busana tari Gending Sriwijaya memiliki corak ragam Melayu dan Islam sebagai dasar adat istiadat Palembang dengan perpaduan corak budaya yang telah ada di Palembang seperti Cina dan Arab (Hera, 2016:53). Tari Gending Sriwijaya memang tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan Sriwijaya itu sendiri. Mengingat pengaruh kebudayaan dari kerajaan Sriwijaya yaitu agama Buddha Mahayana yang ikut hadir mengilhami terciptanya gerak-gerak pada tari Gending Sriwijaya.1 Seperti dipaparkan dalam buku Pesona Tari Sambut Sumatera Selatan bahwasanya ragam gerak tari Gending Sriwijaya dikombinasikan dengan unsur-unsur gerak Buddhisme dan gerak tapa Buddha yang berada di relief Candi , serta ditambah unsur-unsur adat istiadat di wilayah Batanghari Sembilan (Disbudparsumsel, 2017:2). Namun, sangat disayangkan pada tahun 2017 lalu berkembang sebuah isu tentang pemusnahan tari Gending Sriwijaya dalam upaya merampingkan “budaya kota” dengan alasan tidak sesuai dengan tradisi dan kebiasaan di masa sekarang, pemerintah saat itu sedang mempertimbangkan mengganti tari Gending Sriwijaya dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan sentuhan Islam, agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di kota Palembang. “…itu (Gending Sriwijaya) bukan budaya kita (Palembang Darussalam yang syarat akan budaya Islam). Gerakan, pakaian penari dan musiknya identik dengan ajaran Hindu dan Buddha.” Kata Sudirman Tegoeh yang merupakan Kepala Dinas Kebudayaan kota Palembang periode tahun 2017-2018 pada wartawan Tribun Sumsel, 2017 lalu (Mareta, Sariyatun dan Sutimin, Jurnal Patanjala, 2, Juni 2019: 333). Dalam hal ini, konteks budaya Hindu-Buddha yang terkandung pada tari Gending Sriwijaya dinilai dari wujud visual busana, gerak dan musiknya. Menurut interpretasi penata, busana pada tari Gending Sriwijaya yang menggunakan dodot (dalam bahasa Jawa) atau kemben songket mungkin yang dinilai tidak mencerminkan budaya Palembang sekarang yang berkiblat pada budaya Islam yang syarat untuk menutup aurat. Gerak pada

1 Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang muncul akibat perpaduan budaya India dengan budaya asli Nusantara. Pengaruh kebudayaan India yang sangat kental pada kerajaan ini adalah agama Buddha Mahayana. Di kutip pada buku I Wayan Dana dan I Made Arista, Melacak Akar Multikulturalisme di Indonesia Melalui Rajutan Kesenian, Yogyakarta: Cipta Media, 2014, 5.

7 tari Gending Sriwijaya yang bersumber dari unsur-unsur gerak Buddhisme dan gerak tapa Buddha yang berada di relief Candi Borobudur juga mungkin sangat berbanding terbalik jika dihubungkan dengan budaya Islam Palembang Darussalam yang lebih mengarah ke budaya Melayu. Serta musik iringan tari Gending Srwijaya yang menggambarkan keluhuran budaya, kejayaan, dan keagungan kemaharajaan Sriwijaya juga sangat tidak mencerminkan Budaya Islam Palembang Darussalam jika dihubungkaitkan. Guna menonjolkan Kota Palembang sebagai Palembang Darussalam, Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Kebudayaan Kota Palembang memiliki rencana akan mengganti tari penyambutan yang selama ini ditampilkan saat melakukan sambutan kepada tamu yang datang yakni Tari Gending Sriwijaya dengan tari sambut yang baru. Kepala Dinas Kebudayaan Palembang, Sudirman Tegoeh menjelaskan, nantinya tarian baru ini disebut sebagai Tari Palembang Darussalam (Awid Durrohman, 2017). Tarian ini nantinya akan mewakili kejayaan Kesultanan Palembang tempo dulu, sehingga bisa menjadi ciri khas dari Palembang dan Sumatera Selatan sekarang ini. Menanggapi hal demikian, penata sebagai warga yang berasal dari Sumatera Selatan menilai tindakan tersebut merupakan bentuk intoleransi dalam budaya. Rencana tersebut dapat mengakibatkan tergerusnya identitas budaya lama (Hindu-Buddha – Kerajaan Sriwijaya) oleh budaya baru (Islam – Kesultanan Palembang Darussalam). Dalam sebuah artikel online “Info Publik” yang diterbitkan oleh Kusnadi dengan judul berita “Palembang Harus Punya Tari Sambut yang Islami”, membahas tentang rencana Dinas Kebudayaan Kota Palembang menggagas tarian sambut Palembang Darussalam. Palembang dengan mayoritas penduduk beragama Islam, sudah saatnya memiliki tarian sendiri yang gerakan, lagu atau musik pengiring dan pakaian penari bernuansa Islami kata Sudirman (Kusnadi, 2017). “Kalau ditanya bagaimana gerakannya, saya tidak tahu. Saya bukan ahli tari, seniman atau budayawan. Tapi kami dari Kebudayaan mendiskusikan dengan ahli tari, seniman atau budayawan, mereka 100 persen mendukung. Mereka yang lebih paham,” ujar Sudirman dalam isi artikel tersebut. Ia melanjutkan, pihaknya akan mengadakan lomba untuk cipta tari sambut Palembang Darussalam ini yang akan digelar setelah pemilihan Duta Budaya, sekitar akhir bulan April 2017 ujar Sudirman. Ia juga menginginkan tari sambut Palembang Darussalam diperkenalkan ke masyarakat, termasuk dipelajari di sekolah-sekolah (Kusnadi, 2017). Menanggapi berita tersebut, penata yang kebetulan saat itu menghadiri lomba cipta tari sambut Palembang Darussalam pada tahun 2017 di OPI Mall Jakabaring

8

Palembang, telah menyaksikan wujud dari tari Mapak Palembang Darussalam karya Gerry Iskandar yang terpilih menjadi pemenang dalam lomba yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Palembang tersebut. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari salah satu pegawai Dinas Kebudayaan Kota Palembang melalui DM (Direct Massage) via media sosial Instagram yaitu Sari Aprilianti, bahwa Tari Mapak Palembang Darussalam mulanya diperkenalkan kepada masyarakat kota Palembang di Grand Atyasa Palembang pada tahun 2018 (Sari Aprilianti, Wawancara, 2 Maret 2020). Penata juga mendapatkan informasi yang sama secara langsung dari pencipta tari Mapak Palembang Darussalam yaitu Gerry Iskandar atau Kak Geger tentang launching tari Mapak Palembang Darussalam tersebut. Setelah diperkenalkan, tari Mapak Palembang Darussalam karya Gerry Iskandar mengalami perubahan nama judul menjadi tari Jemput Tamu Palembang Darussalam. Hal ini dibuktikan dengan piagam penghargaan yang diberikan pada Gerry Iskandar (Gerry Iskandar, Wawancara, 2 Juni 2020).

Gambar 4. Piagam Penghargaan kepada Gerry Iskandar sebagai pemenang lomba tari sambut Palembang Darussalam. (Foto. Gery Iskandar. 2020)

Tari Jemput Tamu Palembang Darussalam juga mengalami perkembangan yaitu pada busana. Namun, sangat disayangkan menurut informasi yang penata dapatkan dari kedua narasumber yaitu Uni Sari dan Kak Geger sapaan akrab penata, setelah pergantian masa jabatan kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang periode tahun 2017-2018, tari Jemput Tamu Palembang Darussalam hanya empat kali dipertunjukan dari tahun 2018 sampai pada tahun 2020. Gerry Iskandar menambahkan mungkin butuh waktu yang cukup

9 lama agar tari Jemput Tamu Palembang Darussalam dapat diterima masyarakat Palembang. Tetapi, menurut interpretasi penata tari Mapak Palembang Darussalam hanyalah sebatas program masa kerja jabatan, dimana ketika jabatan itu lengser maka program yang telah dilaksanakanpun juga akan ikut terhenti. Setelah memicu kontroversi dengan pernyataan yang seolah-olah menganjurkan pemusnahan tari Gending Sriwijaya, pemerintah pusat menekankan bahwa pemerintah daerah tidak bermaksud untuk menghentikan tarian Gending Sriwijaya dan juga dua tarian lainnya yang diilhami oleh Sriwijaya yaitu tari Tanggai dan tari Tepak Keraton. Klarifikasi itu juga diberitakankan dalam media online Sripoku.com berjudul Alex Noerdin Marah Besar Gara-gara Berita Tari Gending Sriwijaya bakal ‘dimusnahkan’. Dalam berita tersebut, Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin marah besar, dan meminta pada Kepala Dinas Kebudayaan kota Palembang untuk meminta maaf atas kesalahan dalam berbicara (Abdul Hafiz, 2017). Namun, terlepas dari kepastiannya bahwa Gending Sriwijaya “tidak Islami”, pemerintah terbuka untuk umpan balik mengenai masalah ini (Mareta, Sariyatun dan Sutimin, Jurnal Patanjala, 2, Juni 2019: 333). Dalam tulisannya, Yoan Mareta, Sariyatun, dan Leo Agung Sutimin menyimpulkan bahwa tari Gending Sriwijaya jika dijadikan sebagai cultural icon (ikon budaya) tidak bisa direduksi menjadi kebutuhan agama tertentu sebab kehadirannya memberikan dimensi toleransi bagi setiap pemeluk agama, sehingga penghapusan tari Gending Sriwijaya tidak dibenarkan dalam konteks kebudayaan (Mareta, Sariyatun dan Sutimin, Jurnal Patanjala, 2, Juni 2019: 333). Dari pemaparan yang telah dinarasikan di atas, dapat disimpulkan bahwa isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya pada tahun 2017 lalu tidak terbukti kebenarannya. Pemerintah Dinas Kebudayaan kota Palembang tidak bermaksud untuk memusnahkan ataupun menghapus tari Gending Sriwijaya. Pada kenyataannya, pemerintah malah mengadakan acara lomba cipta tari Palembang Darussalam yang bertujuan untuk menambah khasanah kebudayan terkhususnya perbendaharaan tari sambut di kota Palembang. Sebelum munculnya pemikiran kritis untuk melakukan penelusuran terhadap pemberitaan dari objek yang penata pilih yaitu tari Gending Sriwijaya. Tentunya, penata mengalami sebuah rasa cemas dan ketakutan saat mendengar pemberitaan tersebut. Ketakutan yang dimaksud jika dianalogikan menjadi sebuah pertanyaan adalah sebagai berikut. Bagaimana jika tari Gending Sriwijaya itu benar dimusnahkan? Pemikiran tersebut bukanlah do’a melainkan hanyalah sebuah rasa cemas yang dirasakan penata karena penata sebagai seorang warga asli Sumatera Selatan yang menempuh pendidikan

10 tari, merasa belum dapat berkontribusi dalam upaya melestarikan aset budaya yang telah lama lahir tersebut apabila tari Gending Sriwijaya benar dimusnahkan. Rasa cemas tersebut mendorong penata untuk mencoba menciptakan karya tari bersumber dari tari Gending Sriwijaya sebagai upaya penata dalam melestarikan tari asal daerah sendiri. Penata mempunyai gagasan menjadikan esensi dari persoalan pada tari Gending Sriwjaya pada tahun 2017 lalu menjadi dramatik dalam karya yang memvisualisasikan sebuah penyingkiran budaya lama (Hindu-Buddha – Kerajaan Sriwijaya) oleh budaya baru (Islam - Kesultanan Palembang Darussalam). Hal tersebut bertujuan untuk menumbuhkan rasa empati kepada para penikmat agar dapat memposisikan diri secara tepat dalam melihat fenomena tersebut sehingga muncul rasa kesadaran untuk berkontribusi dalam menjaga dan melestarikan budaya tanah Sriwijaya yaitu Tari Gending Sriwijaya. Penggunaan dramatik karya yang memvisualisasikan penyingkiran budaya lama oleh budaya baru tersebut juga merupakan wujud penolakan secara kritis oleh penata terhadap munculnya pemberitaan pemusnahan tari Gending Sriwijaya tahun 2017 lalu lewat karya tari.

B. Rumusan Ide Penciptaan Dari uraian yang disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan kreatif penciptaan yaitu: Bagaimana menciptakan karya tari bersumber dari tari Gending Sriwijaya yang memvisualisasikan dua simbol budaya yang ada di kota Palembang yaitu budaya Hindu-Buddha dan budaya Islami dengan dramatisasi konflik penyingkiran budaya lama (Hindu-Buddha) oleh budaya baru (Islami) ke dalam sebuah garap tari kelompok? Pertanyaan kreatif ini mengarahkan pada hadirnya gagasan kreatif yang bersumber dari pengetahuan empiris penata. Beberapa gagasan yang dimaksud diantaranya, pemilihan judul karya “Gending Usang” yang berarti “Irama yang dilupakan”. Irama yang dimaksudkan penata yaitu mewakili tari Gending Sriwijaya dan budaya lama (Hindu-Buddha – Kerajaan Sriwijaya) yang seakan ingin dilupakan oleh budaya baru (Islam – Kesultanan Palembang Darussalam). Dalam wujud menciptakan karya yang bersumber dari tari Gending Sriwijaya maka dipilih delapan penari putri. Tujuh penari putri sebagai penari inti yang meminjam konsep penari ganjil pada tari Gending Sriwijaya yang bernuansa budaya Hindu-Buddha dan satu penari putri sebagai penari simbolik budaya Islam. Motif gerak yang akan dipilih berangkat dari motif gerak pada tari Gending Sriwijaya, untuk memunculkan nuansa budaya Hindu-Buddha serta motif gerak Melayu Islami Palembang (Dana dan Zapin Arab Palembang) untuk

11

memunculkan suasana Islam Palembang Darussalan.2 Terkait dalam memunculkan nuansa budaya Hindu-Buddha dan nuansa budaya Islam, maka digunakan musik pengiring dalam format rekaman dengan konsep musik bernuansa Hindu-buddha dan Melayu. Busana yang digunakan menggunakan tekstil songket Palembang dan jumputan Palembang dengan perpaduan warna merah, emas dan hijau. Dalam memperkuat dramatik karya terkait penyikiran budaya lama oleh budaya baru penata diarahkan untuk menggunakan properti berupa kuku tanggai yang dahulunya memiliki filosofi menjadi senjata dalam melumpuhkan lawan.

II. PEMBAHASAN A. Kerangka Dasar Pemikiran

Karya tari ini memvisualisasikan tentang gagasan yang didapatkan dari pencermatan penata dalam merespon isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya pada tahun 2017 lalu. Sebuah gagasan tentang adanya penilaian terhadap tari Gending Sriwijaya oleh pemerintah kota yang mengatakan bahwa tarian tersebut tidak sesuai dengan tradisi atau kebiasaan yang ada pada masyakarat kota Palembang sekarang ini. Hal ini mengarahkan penata dalam pemilihan aspek-aspek tari yang diperkirakan dapat menyampaikan gagasan yang ingin dikomunikasikan ke dalam wujud karya tari yang diciptakan. Pemilihan delapan penari putri yang terdiri dari satu penari sebagai simbolisasi sosok yang mencerminkan nuansa budaya Islam dan tujuh penari inti mencerminkan nuansa budaya Hindu-Buddha. Motif gerak yang digunakan bersumber pada motif yang ada pada tari Gending Sriwijaya untuk merepresentasikan nuansa budaya Hindu-Buddha. Motif dana dan Kincat Zapin Arab Palembang dipilih untuk memunculkan nuansa budaya Islam Palembang Darussalam. Konsep musik iringan yang digunakan menyesuaikan suasana peradegan, yaitu musik iringan dengan nuansa budaya Hindu-Buddha, nuansa budaya Melayu Islami, dan musik iringan dengan kolaborasi dua nuansa budaya yaitu nuansa Hindu-Buddha dan nuansa Melayu Islami. Musik iringin disajikan dalam format rekaman. Instrumen musik yang digunakan memiliki kualifikasi berdasarkan kebutuhan suasana peradegan. Nuansa budaya Hindu- Buddha menggunakan isntrumen musik yang terdiri dari Kromong, Lonceng, , Beduk. Nuansa budaya Melayu Islami menggunakan instrumen musik yang terdiri dari

2 Motif dana dan Zapin Arab Palembang dipinjam penata untuk memunculkan gerak dan nuansa budaya Melayu Islam.

12

Biola, Akordion, Darbuka, Gendang Melayu, Rebana. Serta instrumen pengiring yang terdiri dari Bass, Gitar, Organ, Simbal, dan Tamborin. Penggunaan suara vokal diharapkan dapat menunjang suasana dalam karya tari Gending Usang. Busana yang digunakan mengambil jenis tekstil songket dan jumputan Palembang dengan perpaduan warna merah, emas, dan hijau. Busana yang digunakan menyesuaikan kebutuhan koreografi peradegan. Dalam memvisualisakan dramatik karya terkait penyikiran budaya lama oleh budaya baru penata diarahkan untuk menggunakan properti berupa Tanggai yang dahulunya memiliki filosofi menjadi senjata dalam melumpuhkan lawan. Tanggai tersebut akan dialihwujudkan menjadi headpieces yang berfungsi sebagai aksesoris busana dan juga properti.

B. Konsep Dasar Tari

1. Rangsangn Tari

Suatu rangsang dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang membangkitkan fikir, semangat, atau dorongan kegiatan. Rangsangan bagi komposisi tari dapat berupa auditif, visual, gagasan, rabaan atau kinestetik (Smith, 1985:22). Penggarapan karya tari ini mulanya berawal dari keinginan penata untuk membuat sebuah karya tari yang bersumber dari tari Gending Sriwijaya didasari oleh kebanggaan penata yang berasal dari Sumatera Selatan terhadap tari penyambutan tamu agung tersebut. Setelah mencari lebih dalam tentang tari Gending Sriwijaya, persoalan yang terjadi terhadap tari Gending Sriwijaya itu sendirilah yang menginspirasi lahirnya karya tari Gending Usang. Proses pencarian data tersebut menghasilkan pemahaman tentang penilaian pada tari Gending Sriwijaya yang tidak sesuai dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat kota Palembang yang mayoritas menganut agama Islam. Gagasan yang didapatkan dari fenomena tentang persoalan pemusnahan tari Gending Sriwijaya tersebutlah yang dijadikan landasan dalam berkarya.

2. Tema Tari

Pada karya tari “Gending Usang” ini tema yang akan diusung adalah memadukan dua budaya yang hidup di kota Palembang dengan memunculkan persoalan penyingkiran budaya Hindu-Buddha oleh budaya baru Islam. Dua budaya tersebut yaitu budaya hindu-buddha yang dibawa pada masa kerajaan Sriwijaya dan

13

budaya melayu islami yang dibawa pada masa kerajaan Kesultanan Darussalam. Kedua budaya tersebut seharusnya dapat terus hidup berdampingan.

3. Judul Tari

Judul karya tari Gending Usang terdiri dari dua suku kata yaitu Gending dan Usang. Gending berarti irama (bahasa Jawa) dan Usang diartikan sebagai sesuatu yang dilupakan. Dapat disimpulkan Gending Usang berarti “Irama yang dilupakan”. Dalam konteks ini, gending atau irama yang dimaksudkan penata adalah lagu dan tari Gending Sriwijaya yang merupakan simbol budaya lama (Hindu-Buddha) yang ada pada zaman kerajaan Sriwijaya.

4. Bentuk dan Cara Ungkap

Karya tari “Gending Usang” merupakan garapan tari yang masuk dalam tipe tari dramatik. Berdasarkan sifatnya, karya tari Gending Usang merupakan tari yang bersifat literal atau memiliki cerita khusus. Pada karya tari Gending Usang menggunakan mode penyajian simbolis akan tertuang dengan gerak-gerak pose yang akan menggambarkan sikap tangan Buddha sebagai cara memvisualisasikan nuansa budaya Hindu-Buddha yang terkandung dalam tari Gending Sriwijaya. Serta gerak melayu Dana dan Kincat Zapin Arab Palembang sebagai wujud memvisualisasikan nuansa budaya nuansa Islam.

C. Konsep Garap Tari

1. Gerak

Gerak yang digunakan pada karya tari Gending Sriwijaya adalah beberapa sikap serta gerak dasar dari tari Gending Sriwijaya yaitu motif Kecubung, motif Borobudur, morif Kolam, dan motif Elang. Untuk memberikan sentuhan unsur kebudayaan Hindu-Buddha maka digunakan gerak dari penuangan konsep sikap tangan (Mudra) Buddha. Dalam memberikan sentuhan islami maka dipinjam motif gerak langkah kaki pada Zapin Arab Palembang yaitu Kincat Zapin dan juga gerak melayu Palembang yaitu motif Dana. Motif tersebut akan dilakukan pencarian variasinya dan menyesuaikan dengan ketubuhan penata.

14

2. Penari

Tari Gending Sriwijaya dulunya ditampilkan oleh tiga belas penari putri, dalam perkembangannya kemudian tari ini ditampilkan oleh sembilan penari putri dan tiga penari putra. Penata tertarik meminjam konsep pemilihan penari ganjil yang ada pada tari Gending Sriwijaya untuk penari inti, dan penambahan satu penari sebagai penari tambahan untuk memvisualkan sosok pengganti yang bernuansakan budaya Islami. Maka dipilih penari dengan jumlah delapan penari putri yaitu tujuh penari putri sebagai penari inti, penggambaran konsep penari ganjil pada tari Gending Sriwijaya dan satu penari sebagai sosok yang menyimbolkan sesuatu yang Islami.

3. Musik Tari

Musik tari yang digunakan pada karya tari Gending Usang menyesuaikan suasana peradegan, yaitu musik iringan dengan nuansa budaya Hindu-Buddha, nuansa budaya Melayu Islami, dan musik iringan dengan kolaborasi dua nuansa budaya yaitu nuansa Hindu-Buddha dan nuansa Melayu Islami. Musik iringin disajikan dalam format rekaman. Instrumen musik yang digunakan memiliki kualifikasi berdasarkan kebutuhan suasana peradegan. Nuansa budaya Hindu- Buddha menggunakan isntrumen musik yang terdiri dari Kromong, Lonceng, Gong, Beduk. Nuansa budaya Melayu Islami menggunakan instrumen musik yang terdiri dari Biola, Akordion, Darbuka, Gendang Melayu, Rebana. Serta instrumen pengiring yang terdiri dari Bass, Gitar, Organ, Simbal, dan Tamborin. Penggunaan suara vokal diharapkan dapat menunjang suasana dalam karya tari Gending Usang.

4. Rias dan Busana

Rias yang digunakan pada tari Gending Usang adalah rias korektif. Rias tersebut digunakan agar menutupi kekurangan yang terdapat pada wajah penari, baik flek atau noda hitam maupun jerawat. Terdapat empat jenis busana yang akan digunakan pada karya tari Gending Usang. Busana pertama yaitu menggunakan busana dodot (dalam bahasa Jawa) atau kemben songket/sewet songket yang terinspirasi dari busana yang dikenakan penari primadona pada tari Gending Sriwijaya. Warna yang digunakan bernuansa merah dan emas serta menggunakan

15 teksil songket Palembang. Busana dodot tersebut dimodifikasi menyesuaikan pada kenyamanan penari saat bergerak. Busana yang kedua yaitu untuk memvisualkan busana yang mencerminkan budaya Palembang Darussalam yang identik dengan keislamian. Maka penata memilih baju kurung Melayu sebagai inspirasi busana yang mewakili busana islami. Baju kurung tersebut dimodifikasi dengan tambahan selendang panjang menutupi bagian kepala dengan tujuan untuk menutupi aurat. Selendang panjang tersebut dapat dipasang dan dilepas sehingga dapat menyesuaikan kebutuhan koreografi. Warna pada busana ini didominasi oleh warna hijau dengan memilih tekstil jumputan Palembang sebagai bahan dasarnya. Busana ketiga adalah hasil pengkolaborasian antara busana pertama dan kedua sebagai wujud memvisualkan konsep kolaborasi dua budaya. Busana ketiga memadukan warna merah, emas dan hijau. Lalu, busana keempat yaitu busana yang digunakan oleh penari simbolis budaya Hindu-Buddha. Busana penari simbolis budaya Hindu-Buddha ini pada awalnya sama menggunakan busana modifikasi dodotan, namun terdapat perbedaan karena pada busana ini menggunakan teknik double sides atau busana memiliki dua sisi bagian. Bagian sisi pertama busana memperlihatkan sisi dari busana dodotan modifikasi itu sendiri. Lalu sisi kedua, yaitu memperlihatkan perubahan wujud menjadi bagian gaun berwarna abu-abu. Gaun abu-abu ini menyimbolkan sebuah keusangan. Hal tersebut didapatkan ketika penata melihat benda-benda yang telah usang identik dengan sesuatu yang berdebu dan berwarna keabu-abuan. Tanggai memiliki filosofi sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan (Sari Aprilianti, Wawancara, 2 Maret 2017). Hal tersebut didapatkan penata dari penjelasan Sari Aprilianti yang pernah mendapatkan penjelasan dari Ana Kumari seniman tari Palembang dan merupakan penari tari Gending Sriwijaya tahun 1960- 1970. Filosofi Tanggai tersebut memunculkan imajinasi pada penata dalam cara memvisualkan adegan penyingkiran budaya lama oleh budaya baru. Penata meminjam fungsi senjata pada Tanggai untuk diolah agar dapat memvisualisasikan adegan tentang sesuatu yang disingkirkan. Terlepas dari itu, penata juga tertarik untuk dialihwujudkan Tanggai kedalam bentuk headpiece. Pengalihanwujudan tersebut merupakan bentuk kreativitas penata, dimana Tanggai tidak hanya dapat dipakai pada jari-jari tangan, namun juga dapat berfungsi sebagai akseoris busana.

16

Gambar 5a. Busana dodot pada tari Gending Gambar 5b. Tanggai yang telah dialihwujudkan Sriwijaya menggunakan tekstil songket menjadi headpieces berwarna merah. (Foto :Almin Syahril, 2020) (Foto : Heriyandi, 2020)

5. Pemanggungan

Tempat pementasan karya ini adalah proscenium stage Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pemilihan panggung ini mempertimbangkan bahwa karya ini merupakan karya Tugas Akhir sebagai syarat kelulusan di Program Studi S1 Seni Tari, sehingga pelaksanaannyapun akan dilaksanakan di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Panggung yang sudah disediakan untuk pementasan karya ini, dimanfaatkan sesuai dengan perspektif proscenium stage yang seharusnya, tanpa menambahkan setting atau batasan-batasan tertentu.

III. PENUTUP

Karya tari berjudul “Gending Usang” merupakan karya yang bersumber dari persoalan tari Gending Sriwijaya pada tahun 2017 lalu yaitu munculnya sebuah isu pemusnahan terhadap tari Gending Sriwijaya. Pemahaman yang didapatkan hasil dari mencermati fenomena tersebut yaitu adanya perspektif tentang tari Gending Sriwijaya yang dinilai tidak sesuai dengan tradisi atau kebiasaan yang ada pada masyakarat kota Palembang saat sekarang yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Tari Gending Sriwijaya dinilai sebagai tarian yang bernuansakan Hindu-Buddha sesuatu yang

17 tidak islami. Padahal, tari Gending Sriwijaya jika dijadikan sebagai cultural icon (ikon budaya) tidak bisa direduksi menjadi kebutuhan agama tertentu sebab kehadirannya memberikan dimensi toleransi bagi setiap pemeluk agama, sehingga penghapusan tari Gending Sriwijaya tidak dibenarkan dalam konteks kebudayaan. Karya ini diciptakan dengan tujuan menumbuhkan kesadaran untuk lebih menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah sendiri yaitu tari Gending Sriwijaya. Penciptaan karya tari ini juga memberi manfaat yaitu menjadi salah satu cara dalam mewujudkan revitalisasi budaya yang ada di Palembang dan juga menumbuhkan kesadaran dalam melestarikan kebudayaan daerah sendiri. Secara garis besar, karya ini merupakan bentuk respon penata ketika mendengar pemberitaan tentang isu pemusnahan pada tari Gending Sriwijaya tahun 2017. Karya tari Gending Usang diciptakan berlandaskan rasa cemas penata akan rasa takut kehilangan terhadap budaya daerah sendiri yaitu tari Gending Sriwijaya. Namun, rasa cemas yang muncul diarahkan penata ke sesuatu hal yang lebih berdampak positif yaitu dengan menuangkannya menjadi sebuah ide penciptaan karya tari sebagai upaya penata dalam melestarikan tari Gending Sriwijaya. Karya tari “Gending Usang” ini pada pengadeganannya memaparkan sebuah pandangan penata tentang resiko terburuk apabila isu pemusnahan tari Gending Sriwijaya tahun 2017 itu benar terjadi. Penata tari memberikan ruang bagi para penikmat untuk memposisikan diri secara tepat dalam melihat fenomena tersebut sehingga muncul rasa kesadaran untuk berkontribusi dalam menjaga dan melestarikan budaya tanah Sriwijaya yaitu Tari Gending Sriwijaya. Penata tari menyadari masih banyak hal yang harus dibenahi dan terus diperbaiki, baik dari sisi proses penciptaan karya maupun proses penulisan skripsi. Tetapi dari proses yang telah dilalui, penata mendapatkan sebuah pembelajaran hidup tentang artinya pendewasaan diri. Penata dituntut untuk dapat memimpin dan mengatur jalannya proses bersama pendukung karya. Tanpa disadari penata telah diajarkan untuk dapat mengambil sikap dan keputusan secara arif dan bijaksana dalam menjadi seorang pemimpin. Dalam proses penciptaan karya tari, seorang penata harus memiliki sifat terbuka dalam menerima kritikan dan masukan. Hal tersebut bermanfaat agar dapat menghasilkan karya yang jauh lebih baik dan memuaskan serta dapat memperkaya wawasan pengetahuan dalam berkarya.

18

DAFTAR SUMBER ACUAN

A. Sumber Tertulis

Dana, I Wayan, I Made Arista. 2014. Melacak Akar Multikulturalisme di Indonesia Melalui

Rajutan Kesenian, Yogyakarta: Cipta Media.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan. 2017. Pesona Tari Sambut

Sumatera Selatan, Palembang: L-SAP.

Hadi, Y. Sumandiyo. 2003. Aspek-aspek Dasar Koreografi Kelompok. Yogyakarta: Elkaphi.

Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Koreografi: Bentuk-Teknik-Isi. Yogyakarta: Cipta Media.

Hadi, Y. Sumandiyo. 2007. Kajian Tari Teks dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Hawkins, Alma. M. 1988. Creating Through Dance cetakan ke 2 atau Mencipta Lewat Tari terjemahan Y. Sumandiyo Hadi. 2006. Yogyakarta: Manthili.

Hera, Treny. 2016. “Makna Gerak Tari Gending Sriwijaya Di Sanggar Dinda Bestari”. Sitakara: Jurnal Pendidikan Seni dan Seni Budaya, Vol. II No. 2, September 2016, Palembang, 49-62.

Mahmud, Kiagus Imran. Sejarah Palembang. Palembang: Penerbit Anggrek, 2008.

Mareta, Y, Sariyatun, dan Sutimin, L.A. 2019. “Tari Gending Sriwijaya: Moralitas dalam Refleksi Historis Civil Society”. Patanjala: Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. II, No.2 Juni 2019, Hal 329-344.

Martono, Hendro. 2010. Mengenal Tata Cahaya Seni Pertunjukan. Yogyakarta: Cipta Media.

Nawiyanto, Eko Crys Endrayadi. 2016. Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budayanya. Jember: Jember University Press dan Tarutama Nusantara.

Smith, Jacqueline. 1985. Komposisi Tari: Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru. Terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: Ikalasti.

Soekmono, R. 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Yogyakarta: Kanisius.

19

Syarofie, Yudhy. 2013. Tari Sambut di Sumatera Selatan. Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Dinas Pendidikan Sumatera Selatan.

Syarofie, Yudhy. 2014. Songket Palembang: Nilai Filosofis, Jejak Sejarah, dan Tradisi. Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.

B. Sumber Lisan

Sari Aprilianti, 38 Tahun, pegawai Dinas Kebudayaan kota Palembang. Alumni STSI Padang Panjang, angkatan tahun 2000. Palembang, Sumatera Selatan. (via chatting Whatsapp).

Gerry Iskandar, 36 Tahun, pencipta tari Jemput Tamu Palembang Darussalam tahun 2017. Seorang seniman tari kota Palembang yang aktif berkarya di Sanggar Rumah Elok Palembang. (via Direct Massage Instagram).

C. Diskografi

Video “Gending Usang” karya Romadani Saputra pada tahun 2019, koleksi Romadani

Saputra

D. Webtografi

https://koransn.com/tonjolkan-palembang-darussalam-tari-sambut-bakal-diganti/ diterbitkan pada tanggal 15 Maret 2017, diakses dan dikutip pada tanggal 19 Februari 2020.

https://palembang.tribunnews.com/amp/2017/03/20/alex-noerdin-marah-besar-gara-gara- berita-tari-gending-sriwijaya-bakal-dimusnahkan?page=all di terbitkan pada tanggal 20 Maret 2017, diakses dan dikutip pada tanggal 2 April 2020.

http://infopublik.id/read/192854/palembang-harus-punya-tari-sambut-yang- islami.html?show= di terbitkan pada 13 Maret 2017 pukul 18.00 WIB, diakses dan dikutip pada 20 Februari 2020.

https://www.liputan6.com/regional/read/2893574/ada-apa-di-balik-isu-pemusnahan-tari- gending-sriwijaya-palembang diterbitkan pada tanggal 21 Maret 2019, diakses dan dikutip pada tanggal 10 September 2019.

20